Uploaded by bogaramanda02

Siapa Pemilik Sense of Place Tinjauan Dimensi Manu

advertisement
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/328255571
Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia dalam Konservasi
Kawasan Pusaka Kota Lama
Conference Paper · May 2017
DOI: 10.32315/sem.1.b235
CITATIONS
READS
6
820
3 authors:
Christin Dameria
Roos Akbar
Bandung Institute of Technology; Indonesia Ministry of Public Works and Public H…
Bandung Institute of Technology
10 PUBLICATIONS 47 CITATIONS
24 PUBLICATIONS 94 CITATIONS
SEE PROFILE
Petrus Natalivan Indradjati
Bandung Institute of Technology
53 PUBLICATIONS 123 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Petrus Natalivan Indradjati on 16 January 2019.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
SEE PROFILE
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, B 235-240
https://doi.org/10.32315/sem.1.b235
Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia
dalam Konservasi Kawasan Pusaka Kota Lama
Christin Dameria1, Roos Akbar2, Petrus Natalivan3
1
Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.
Perencanaan dan Perancangan Kota, Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.
Korespondensi: [email protected]
2,3
Abstrak
Perencanaan konservasi kawasan pusaka kota lama menjadi dilematis ketika adanya tuntutan
mempertahankan signifikansi budaya, namun juga harus mampu mengakomodir perubahan akibat
perkembangan kota. Di sisi lain, perencanaan konservasi dianggap mengabaikan hal-hal non fisik
dan hanya terpaku pada hal-hal fisik saja padahal pemahaman sosial budaya masyarakat adalah
salah satu kunci penentu keberhasilan perencanaan. Tulisan ini berargumen bahwa salah satu upaya
agar dimensi manusia dapat dikomunikasikan dalam perencanaan konservasi adalah dengan
memahami konsep sense of place pada kawasan pusaka, yang diyakini hanya dimiliki warga lokal
dan para turis yang sengaja datang untuk beraktivitas. Gagasan yang disampaikan adalah akibat
pengaruh budaya urban yang mempengaruhi perkembangan sosial media, sense of place kini dapat
saja dimiliki oleh individu dari luar kawasan, bahkan dari luar kota, walau individu tersebut belum
berkesempatan beraktivitas dalam kawasan. Pemahaman siapa pemilik sense of place ini dapat
dipertimbangkan sebagai bagian alasan praktis (practical reasoning) untuk melengkapi pengetahuan
ilmiah (knowledge of science) yang dimiliki para perencana.
Kata-kunci : budaya urban, konservasi, perencanaan pusaka, persepsi, sense of place.
Pendahuluan
Dinamika pembangunan kota telah mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan konsumsi ruang di
perkotaan, termasuk ruang di kawasan pusaka kota lama, yang memiliki nilai sejarah. Kota lama
merupakan sebuah kawasan yang menjadi lokasi awal pertumbuhan suatu kota, memiliki makna
sejarah, berkarakter sehingga memiliki citra kawasan yang kuat. Tanpa adanya kawasan ini,
masyarakat akan merasa terasing tentang asal-usul lingkungannya, karena tidak mempunyai
orientasi pada masa lampau (Sidharta & Budihardjo, 1989). Upaya untuk menjaga keberadaan
kawasan kota lama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pelestarian. Dalam Piagam
Pelestarian Pusaka Indonesia (2003), pelestarian memiliki pengertian yang sama dengan konservasi,
yang dijelaskan oleh ICOMOS (1999) sebagai seluruh proses pemeliharaan sebuah tempat untuk
mempertahankan signifikansi budayanya.
Pada praktiknya, upaya pemerintah untuk melestarikan kawasan pusaka kota lama sering terbentur
pada kendala bahkan mengalami kegagalan. Dalam perkembangannya, terjadi konflik antara
pembangunan dan upaya konservasi di perkotaan karena umumnya pelestarian dianggap hanya
sebagai romantisme masa lalu saja (Campbell, 1996). Kegagalan konservasi di kawasan pusaka kota
lama, termasuk adanya penolakan dari masyarakat, dianggap tidak lepas dari ketidakmampuan
perencana dalam membuat perencanaan. Penolakan masyarakat terjadi karena revitalisasi kawasan
lebih banyak menggunakan teori perencanaan, urban design, arsitektur, pariwisata, dan bahkan
Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti
ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 235
Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia dalam Perencanaan Konservasi Kawasan Pusaka di Perkotaan
studi-studi lainnya yang hanya didasarkan pada tradisi desain tingkat tinggi ( high-design traditisions),
dengan teori-teori yang menitikberatkan pada hasil pekerjaan para perencana dan perancang, serta
mengabaikan lingkungan-lingkungan yang didesain oleh rakyat biasa atau tradisi popular masyarakat
akibat pemahaman budaya lokal, terutama makna ruang, yang dangkal (Rapoport dalam Kautsary,
2015).
Pada praktiknya, perencanaan konservasi kawasan pusaka sering dianggap mengabaikan hal-hal non
fisik dan hanya terpaku pada hal-hal fisik saja padahal pemahaman mengenai sosial dan budaya
masyarakat adalah salah satu kunci penentu keberhasilan perencanan. Perencanaan konservasi
kawasan pusaka kota lama yang bersifat tradisional semata dengan menekankan upaya
mempertahankan keotentikan fisik bangunan saja akan berbenturan pada tuntutan akan
kemampuan untuk dapat mengakomodir dinamika perubahan kota yang sangat cepat (Martokusumo,
2014). Kini, konservasi menghadapi tantangan dengan adanya tuntutan agar kawasan pusaka kota
lama tetap mampu mempertahankan bentuk fisiknya yang berkarakter sejarah, dapat memberi
pengalaman ruang, sekaligus juga memiliki fungsi baru kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan
fungsi kota.
Sense of place: Dimensi manusia dalam Perencanaan Konservasi
Perencanaan untuk konservasi lingkungan perkotaan (urban conservation) akan berhasil bila
memperhatikan 3 (tiga) aspek yang saling berhubungan yaitu aspek fisik, spasial dan sosial (Orbasli,
2000). Dibandingkan dengan dimensi fisik dan spasial, Orbasli menjelaskan bahwa dimensi sosial
dalam konservasi kawasan perkotaan merupakan hal yang sulit untuk didefinisikan namun
sebenarnya sangat penting, karena kontinuitas dalam konservasi hanya dapat dicapai melalui
kelanjutan kehidupan perkotaan. Dimensi sosial ini juga disebutkan sebagai bagian dari konsep
keberlanjutan (sustainaibility), yang terintegrasi dengan dimensi sosial, lingkungan, dan ekonomi
(Rodwell, 2003). Orbasli (2000) menyatakan bahwa aspek sosial terkait dengan dimensi manusia
yaitu para pengguna kawasan yang merupakan masyarakat lokal dan penduduk perkotaan. Manusia,
sebagai aktor, harus diperhitungkan dalam pelestarian kawasan perkotaan karena berperan penting
dalam mendukung keberhasilan atau gagalnya upaya pelestarian tersebut. Dimensi manusia Konsep
keberlanjutan (sustainability) itu sendiri mulai disandingkan bersama dengan konsep pusaka
(heritage) oleh Inggris Heritage pada tahun 1997, di mana pemahamannya justru mengacu pada
“people” yaitu sebagai penghubung masa lalu dan masa depan (Stubbs, 2004).
Namun di sisi lain, kondisi literatur pelestarian saat ini justru mencerminkan kesenjangan
pengintegrasian dimensi sosial dalam perencanaan karena lebih berfokus pada atribut fisik dan
potensi komersial produk konservasi daripada faktor manusia (Nasser, 2003) sementara pelestarian
sebenarnya membutuhkan “pasar” berisi para aktor yang nantinya akan mampu memelihara,
mengembangkan dan memanfaatkan objek pelestarian tersebut sehingga dapat berkelanjutan.
Karena itu, tak heran bila upaya konservasi kawasan pusaka kota lama sering mengalami kendala
bahkan mengalami kegagalan. Kegagalan konservasi, bila dilihat dari perspektif para aktor yang
terlibat, antara lain karena kondisi sosial ekonomi, rendahnya kesadaran dan kepedulian, minimnya
pengetahuan, serta keterbatasan pengelola secara administratif (Martokusumo, 2002; Panjaitan,
2004). Untuk itu, manusia sebagai aktor, harus diperhitungkan dalam pelestarian kawasan perkotaan
karena berperan penting dalam mendukung keberhasilan atau gagalnya upaya pelestarian tersebut.
Tulisan ini berargumen bahwa salah satu upaya agar dimensi manusia dapat dipertimbangkan untuk
dikomunikasikan dan dikolaborasikan dalam perencanaan konservasi adalah melalui pemahaman
mengenai interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam konsep Sense of Place.
Dalam konteks perkotaan, perubahan yg terjadi pada manusia sbg penghuni kota akan berpengaruh
pd bentuk/fisik, struktur & tipologi kota (Doxiadis, 1968 dalam Soetomo, 2002) sehingga pastinya
B 236 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Christin Dameria
akan ada hubungan timbal balik yang terjadi antara manusia dan lingkungannya. Menurut Creswell
(2004), sense of place hadir berdasarkan pengalaman yang dialami sehingga jika tidak terdapat
pengalaman, maka tidak akan timbul sense of place (Cresswell, 2004). Konsep sense of place ini
kemudian hadir sebagai hasil pengalaman urban yang hadir dalam kawasan pusaka kota lama
tersebut sebagai hasil persepsi manusia terhadap lingkungan fisik. Konsep sense of place
sebenarnya telah banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu, antara lain bidang psikologi,
geografi, dan arsitektur, serta mulai diperhatikan dalam bidang heritage baru-baru ini. Dalam
konservasi, upaya utk mewujudkan sebuah pengalaman ruang urban (sense of place) yg berkarakter
sejarah dinilai jauh lebih penting ketimbang hanya melakukan restorasi (detail) elemen fisik urban
dlm pelestarian lingkungan perkotaan (Martokusumo, 2014).
Konsep sense of place ini berangkat dari pemahaman bahwa place adalah space yang memiliki
pemaknaan. Unsur pembentuk sense of place itu sendiri diyakini berasal dari 3 (tiga) hal yaitu
aktivitas, pemaknaan dan lingkungan binaan (Punter, 1991). Berangkat dari teori tersebut, Carmona
(2003) menyatakan bahwa kesan sense of place akan diperoleh dari perpaduan penataan setting
fisik (physical setting), aktivitas (activity) dan makna (meaning) pada sebuah place (tempat).
Dengan kata lain, konsep sense of place ini merupakan sebuah konsep holistik yang berfokus pada
subjektifitas karena terkait dengan pengalaman, emosi, atau ikatan seseorang terhadap ruang dan
diyakini oleh Najafi et.al. (2011) bersifat psikologis, interaksional dan fisik. Secara umum, definisi
sense of place dapat digambarkan sebagai sebuah sensasi yang diterima manusia, berbentuk kesan
atau perasaan yang ditimbulkan terhadap sebuah tempat yang kemudian dipersepsikan oleh
manusia, menghasilkan sebuah makna subjektif terhadap tempat tersebut.
Siapakah pemilik Sense of place?
Jiven & Larkham (2003) mengatakan bahwa dalam pemaknaan suatu tempat, persepsi orang yang
terlibat harus menjadi pertimbangan utama dalam konsep sense of place. Karenanya, proses
terjadinya sense of place itu sendiri membutuhkan waktu, tahapan, sekaligus pengalaman yang
dirasakan oleh penggunanya (Carmona, 2003). Namun siapakah sebenarnya pemilik sense of place
dalam sebuah kawasan? Hal ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan dalam kajian literatur di
dunia akademik.
Beberapa ahli berargumen bahwa sense of place timbul akibat adanya sense of belonging (Hawke,
2011) atau social insideness karena adanya familiarity dengan lansekap dan masyarakat di tempat
tersebut (Relph, 1976). Karena itu, mereka meyakini bahwa pihak-pihak yang mampu memiliki sense
of place di sebuah tempat adalah mereka yang telah menetap lama di tempat tersebut karena sense
of place terkait dengan durasi menetap di sebuah tempat. Dalam tulisan Ching et.al. (2013) yang
memaparkan sebuah pilot program tentang partisipasi masyarakat (pemilik dan penyewa bangunan)
mengenai perencanaan konservasi terkait harga sewa rumah toko bersejarah di Armenian Street
George Town Penang Malaysia, dijelaskan bahwa penyewa bangunan yang memiliki sense of
belonging yang kuat terhadap bangunan yang ditinggalinya cenderung untuk merawat bahkan
bersedia mengeluarkan biaya untuk melakukan renovasi perbaikan. Ching et.al. (2013) juga
menjelaskan bahwa penduduk asli yang umumnya generasi tua tetap mempertahankan gaya hidup
lama mereka yaitu kebiasaan untuk berinteraksi dengan tetangga dengan duduk-duduk di luar
rumah mereka. Hal ini membuat Armenian street, walapun berfungsi komersial, namun tetap hidup
di malam hari, sehingga cukup kontras dengan kondisi kawasan komersial lainnya di kota tersebut.
Penggambaran dalam tulisan tersebut menjelaskan teori Relph (1976) ketika penyewa bangunan
dan pemilik bangunan (generasi lama) ternyata sama-sama memiliki sense of place karena adanya
pemahaman sense of belonging dan social insideness akibat perasaan familiarity terhadap
lingkungan tempat mereka tinggal.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 237
Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia dalam Perencanaan Konservasi Kawasan Pusaka di Perkotaan
Di pihak lain, ada argumen yang menyatakan sebaliknya bahwa pihak yang paling tepat untuk
memiliki sense of place adalah turis dan bukan mereka yang tinggal di tempat tersebut karena turis
memang memiliki niat untuk sengaja datang ke suatu tempat dan mencari pengalaman yang
ditawarkan oleh tempat tersebut (Jakle, 1987). Kianicka et.al. (2006) menjelaskan dalam penelitian
yang dilakukan di Swiss Alpine Village, bahwa sense of place dapat dimiliki oleh penduduk lokal dan
turis yang mengunjungi kawasan pusaka tersebut hanya saja bentuk sense of place yang dimiliki itu
berbeda. Menurut Kianicka et.al., sense of place yang dimiliki oleh penduduk lokal, selain terkait
dengan kehidupan mereka sehari-hari seperti pekerjaan, properti, ikatan sosial, juga terkait dengan
kenangan masa kecil dan remaja, sedangkan sense of place milik turis terbentuk karena estetika dan
karakteristik tempat yang dialami dalam konteks pengalaman dari sebuah kegiatan rekreasi.
Penelitian-penelitian di atas juga sekaligus dapat menjawab perdebatan terkait apakah sense of
place itu sebenarnya berasal dari individu atau justru berasal dari sudut pandang sekelompok orang
(kolektif) yang dipaparkan oleh Jiven & Larkham (2003).
Penggambaran di atas menjelaskan bahwa selain adanya aktivitas, faktor pengalaman memang
menjadi salah satu variabel pencetus terciptanya sense of place. Akan tetapi variabel pengalaman
yang disebutkan oleh Creswell (2004), menjadi sesuatu yang menarik untuk dipertimbangkan
kembali di era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasinya, ketika pengalaman itu ternyata
selain dapat diperoleh secara langsung melalui sensasi fisik sebuah place, juga dapat dimiliki secara
tidak langsung melalui pengetahuan kognitif. Pengalaman tidak langsung tersebut, kini dapat
diperoleh melalui sebuah proses observational learning, karena kemudahan berinteraksi dengan
individu-individu lain, yang gemar berbagi pengalamannya saat beraktivitas di sebuah tempat,
melalui perantaraan media sosial. Walau begitu, dalam proses mendapatkan pengalaman ini,
individu tidaklah sekedar mengkopi atau meniru secara otomatis (mekanis) setelah mengobservasi,
namun juga menggunakan pertimbangan pengalaman sebelumnya, moralnya, cara pandangnya atau
pemikirannya (Bandura dalam Suroso, 2004). Karena itu, tulisan ini berpendapat bahwa pemilik
sense of place tidaklah lagi dapat dibatasi hanya pada individu atau kelompok yang berada di
sebuah tempat tersebut dan beraktivitas di dalamnya, namun telah berkembang luas, hingga ke luar
kawasan, bahkan mungkin di luar kota sekalipun. Dalam konteks kota lama, perkembangan gaya
hidup urban, melalui sosial media, pada akhirnya mampu mempengaruhi persepsi individu, yang
sekalipun belum berkesempatan untuk berinteraksi secara fisik, untuk memiliki sense of place
terhadap kawasan kota lama.
Secara umum, dalam bidang perencanaan heritage, kontribusi pengetahuan mengenai pelaku sense
of place akan berpengaruh pada upaya pelibatan masyarakat dalam sebuah perencanaan. Berbagai
penelitian di negara-negara maju membuktikan secara empiris, pengaruh persepsi masyarakat
terhadap lingkungan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap perencanaan tata ruang
(Poerwoningsih et.al., 2016). Dalam konteks konservasi, pengenalan akan faktor sense of place para
aktor dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari alasan praktis (practical reasoning) untuk
melengkapi pengetahuan ilmiah (knowledge of science) yang selama ini dimiliki oleh para perencana
untuk mendorong terwujudnya perencanaan konservasi kawasan pusaka kota lama yang berbasis
masyarakat. Pengetahuan bahwa adanya perkembangan identitas pemilik sense of place, akibat
gaya hidup urban, dapat bermanfaat bagi perencanaan pariwisata kawasan kota lama, terutama
terkait perencanaan jenis dan bentuk kemasan aktivitas yang ditawarkan oleh kawasan untuk
menarik kaum urban untuk datang dan beraktivitas di dalam kawasan demi mendapatkan sebuah
pengalaman langsung.
Kesimpulan
Pemahaman mengenai pentingnya dimensi manusia sebagai aktor dalam perencanaan konservasi
kawasan pusaka kota lama menjadi sebuah langkah penting karena para aktor tersebut memiliki
B 238 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Christin Dameria
peran penting dalam keberhasilan atau kegagalan konservasi. Salah satu upaya pemahaman yang
dapat dilakukan oleh perencana adalah dengan mengenali para aktor yang memiliki sense of place
terhadap sebuah kawasan pusaka perkotaan yang akan dilestarikan walaupun hingga kini, konsep
mengenai siapa yang berhak dan seharusnya memiliki sense of place tersebut masih menjadi
perdebatan dalam kajian literatur akademik. Pengenalan para aktor pemilik sense of place dapat
membantu perencana untuk mengidentifikasi bentuk partisipasi yang dapat diberikan oleh para aktor,
sebagai salah satu upaya mendorong terwujudnya perencanaan konservasi berbasis masyarakat.
Berdasarkan pemahaman beberapa literatur, diyakini bahwa sense of place itu hanya dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dengan kawasan kota lama, baik yang telah menetap lama di kawasan
tersebut, hingga para turis yang sengaja datang berkunjung dan beraktivitas di dalam kawasan.
Mencoba menambah kontribusi pemikiran dalam perdebatan tersebut, tulisan ini berpendapat bahwa
walaupun mungkin tingkat pemaknaan yang dimiliki berada pada skala yang berbeda, namun sense
of place itu sebenarnya juga dapat dimiliki oleh individu yang berlokasi jauh di luar kawasan dan
belum mendapatkan kesempatan untuk beraktivitas di dalamnya. Gaya hidup urban, melalui sosial
media, telah berhasil mendorong kecenderungan masyarakat perkotaan untuk berbagi pengalaman
saat berinteraksi dengan sebuah tempat sehingga pengalaman tersebut mudah diakses individu lain,
melewati proses observational learning, dan menciptakan sense of place bagi individu yang
mengakses sosial media tersebut.
Konsep sense of place berpotensi besar untuk dikaji lebih dalam karena hingga kini masih banyak
perdebatan mengenai konsep dan operasional konsep tersebut dalam perencanaan. Pemahaman
mengenai hubungan antara place dan space memang sangat beragam dan luas sehingga sampai
saat ini belum ada penjelasan yang berupa konsensus mengenai hubungan kedua konsep tersebut
(Bernardo & Palma, 2005), termasuk definisi dari konsep sense of place itu sendiri. Sayangnya,
keberagaman dari konsep dan operasional sense of place ini mengakibatkan kurangnya pemahaman
tentang bagaimana manusia memiliki motivasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya serta
bagaimana motivasi tersebut dapat berpengaruh pada tingkah laku dan kebiasaan manusia, terkait
dengan lingkungannya (Kyle et.al, 2004). Karena itu, pakar konservasi dan urban desain perlu
meninjau kembali dasar teoritis, istilah, dan konsep sense of place yang ingin diterapkan, agar
mereka sepenuhnya memahami kontribusi potensi sense of place, keaslian dan karakter untuk
konservasi (Jiven & Larkham, 2003). Dalam tulisan ini, contoh kasus yang diberikan adalah hasil
penelitian di luar Indonesia karena memang dalam konteks Indonesia, jumlah penelitian-penelitian
terkait sense of place di kawasan konservasi pusaka kota lama di perkotaan masih sangat terbatas.
Daftar Pustaka
Bernardo, F. & Palma, J.M. (2005). Place Change and Identity Processes. Medio Ambiente y Comportamiento
Humano, 6 (1), 1-87.
Campbell, S. (1996). Green cities, growing cities, just cities? Urban planning and the contradictions of sustainable
development. Journal of the American Planning Association 62, 3 , 296-312.
Carmona, M. (2003). Public Places, Urban Spaces: The Dimensions of Urban Design. Architectural Press.
Ching, Sia May., Ochiai, Chiho., Kobayashi, Hirohide. (2013). A pilot Program of Participatory Historic Urban
Conservation Case from Armenian Street of George Town, Penang. Reports of the City Planning Institute of
Japan, No.11, February, 2013.
Cresswell, T. (2004). Place: a short introduction. London: Blackwell.
Hawke, S.K. (2011). Sense of Place, Engagement with Heritage and Ecomuseum Potential in the North Pennines
AONB. International Centre For Cultural And Heritage Studies School Of Arts And Cultures Newcastle University.
ICOMOS. (1999). http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf. Retrieved from www.icomos.org.
Diunduh 25 April 2016.
Jakle, J. (1987). The Visual Elements of Landscape. University of Massachusetts Press.
Jiven, G. & Larkham, P.J. (2003). Sense of Place, Authenticity and Character: A Commentary. Journal of Urban
Design, Vol. 8, No. 1, 67–81, 2003
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 239
Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia dalam Perencanaan Konservasi Kawasan Pusaka di Perkotaan
Kautsary, J. (2015). Pelapisan Ruang Berbasis Spiritual dan Kesejarahan Komunitas di Kawasan Pecinan
Semarang. Disertasi. Ilmu Arsitektur. Universitas Gadjah Mada. Jogyakarta.
Kianicka, S. Buchecker, M. Hunziker, M. & Müller-Böker, U. (2006). Locals’ and Tourists’ Sense of Place. A Case
Study of a Swiss Alpine Village. Mountain Research and Development Vol 26 No 1 Feb 2006 : 55–63
Kyle, G.T. Bricker, K. Graefe, A.R. & Wickham, T.D. (2004). An examination of recreationists’ relationships with
activities and settings. Leisure Sciences, 26, 123-142.
Martokusumo, W. (2002). Bangunan Tua yang Hilang di Bandung. Kompas 9 Juni 2002.
Martokusumo, W. (2014). Kota Pusaka Sebagai Living Museum. Makalah disampaikan dalam diskusi Temu Pusaka
Indonesia 2014, di Galeri Cemara, Jakarta, 7-9 September 2014.
Nasser, N. (2003). Planning for Urban Heritage Places: Reconciling Conservation, Tourism, and Sustainable
Development. Journal of Planning Literature, Vol. 17, No. 4. Sage Publications.
Najafi, M. & Shariff M.K. (2011). The Concept of Place and Sense of Place in architectural Studies. International
Journal of Human and Social Sciencies, 6, 3.
Orbasli, A. (2000). Tourists in Historic Towns; Urban Conservation and Heritage Manage. London: E & FN Spon.
Panjaitan, T.W.S. (2004). Peranan Konservasi Arsitektur Bangunan dan Lingkungan dalam Melestarikan Identitas
Kota. Selasar Jurnal Arsitektur.
Punter, J. (1991). Participation in the Design of Urban Space. Landscape Design, 200, pp. 24--‐27.
Piagam Pelestarian Indonesia. (2003). http://www.icomos.org/charters/indonesia-charter.pdf.
Poerwoningsih, D. Santoso, I. Winansih, E. (2016). Sense of Place Masyarakat terhadap Karakter Lanskap
Kawasan Bumiaji Kota Batu. Temu Ilmiah IPLBI 2016.
Relph, E. (1976). Place and Placelessness. London: Pion.
Rodwell, D. (2003). Sustainability and the Holistic Approach to the Conservation of Historic Cities. Journal of
Architectural Conservation Volume 9, 2003 - Issue 1.
Sidharta. & Budihardjo, E. (1989). Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Soetomo, S. (2000). Dari Urbanisasi ke Morfologi Kota. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Stubbs, M. (2004). Heritage-sustainability: Developing A Methodology for The Sustainable. Planning Practice &
Research, 19:3, 285-305.
Suroso. (2014). Teori Belajar Observasi Menuju Belajar Mempertajam Rasa. Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 1,
Juni 2004. ISSN: 0854 – 7108.
B 240 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
View publication stats
Download