Analisis Penolakan Terhadap Kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja 2019: Perspektif Teori Konflik Sosial Kontemporer Ralf Dahrendorf Abstrak Konflik sosial yang terjadi akibat ketidakseimbangan otoritas dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang terjadi dalam kasus ratifikasi Undang-Undang Cipta Kerja di Indonesia, merupakan fenomena yang relevan dengan teori konflik kontemporer yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf. Teori ini menjelaskan pergeseran struktur kelas sosial dari kepemilikan fasilitas produksi menjadi kontrol atas fasilitas produksi sebagai pemicu utama konflik sosial. Konflik dianggap sebagai kekuatan kreatif yang mendorong perubahan sosial, dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan serta penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan ditonjolkan. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi konflik sosial, diperlukan peningkatan partisipasi masyarakat, edukasi, dan pemberdayaan komunitas, serta komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Kata Kunci : Konflik. Otoritas. Penolakan. Kebijakan. Teori. Pendahuluan Deskripsi Kasus Kasus penolakan terhadap Omnibus Law 2019 adalah fenomena yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal sebagai Omnibus Law. Undang-undang ini disahkan pada Oktober 2019 dengan tujuan untuk menggabungkan berbagai regulasi terkait ketenagakerjaan, investasi, lingkungan hidup, dan sektor-sektor lainnya menjadi satu aturan yang lebih terpadu. Namun, sejak awal usulannya, Omnibus Law ini telah memicu kontroversi dan protes dari berbagai kalangan. Beberapa alasan utama penolakan tersebut antara lain: 1. Dikhawatirkan merugikan pekerja: Salah satu poin kontroversial Omnibus Law adalah revisi terhadap ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan, seperti pengurangan hak-hak buruh dan perlindungan pekerja. Banyak pihak khawatir bahwa perubahan ini akan memberikan keleluasaan lebih besar kepada perusahaan untuk mempekerjakan dan memberhentikan karyawan tanpa perlindungan yang memadai. 2. Potensi merusak lingkungan:Beberapa pasal dalam Omnibus Law juga dianggap dapat merusak lingkungan hidup karena kemungkinan melemahkan regulasi lingkungan yang sudah ada, seperti dalam hal perizinan lingkungan untuk proyek-proyek pembangunan. 3. Proses legislasi yang kontroversial: Proses pembahasan dan pengesahan Omnibus Law juga menuai kritik karena dianggap kurang transparan dan partisipatif. Banyak pihak merasa bahwa ada kekurangan dalam proses konsultasi publik dan ruang bagi perdebatan yang memadai sebelum disahkan. 4. Konsentrasi kekuasaan: Ada kekhawatiran bahwa Omnibus Law ini memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada pemerintah dan mengurangi kontrol yang dimiliki oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan otoritas lokal, dalam mengatur sektor-sektor yang terkena dampak. Protes dan penolakan terhadap Omnibus Law ini terealisasikan dalam bentuk unjuk rasa, mogok kerja, dan berbagai tindakan lainnya di seluruh Indonesia. Meskipun Omnibus Law telah disahkan, perdebatan dan perlawanan terhadapnya tetap berlanjut di berbagai forum politik, hukum, dan sosial antara pihak penguasa dan pihak tidak berkuasa. Teori Sosial Kontemporer Ralf Dahrendorf Ralf Dahrendorf, seorang sosiolog terkemuka, menemukan bahwa dalam sistem sosial, meskipun aspekaspeknya dapat saling menyelaraskan dengan baik, mereka juga dapat mengalami ketegangan dan konflik. Dahrendorf memandang fungsionalisme struktural dengan kritis, menganggap bahwa teori ini gagal memahami masalah perubahan sosial. Sebagai alternatif, ia membangun teorinya dengan memadukan dan memodifikasi teori Marx, dengan separuh penolakan dan separuh penerimaan terhadap teori tersebut. Dahrendorf awalnya melihat teori konflik sebagai teori yang bersifat parsial, namun kemudian mengakui bahwa teori konflik dapat digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena sosial. Ia melihat masyarakat sebagai entitas yang memiliki dua sisi, yaitu konflik dan kerja sama. Dahrendorf menyempurnakan teorinya dengan menegaskan bahwa apa pun yang dapat dianalisis oleh fungsionalisme struktural juga dapat dianalisis dengan baik melalui teori konflik. Dalam pandangannya, Dahrendorf memprediksi bahwa struktur sosial dapat runtuh melalui aksi-aksi revolusioner. Namun, ia juga mencatat bahwa konflik-konflik yang ada cenderung diatur melalui pelembagaan, seperti serikat pekerja, yang memfasilitasi mobilitas sosial dan menyelesaikan konflik antara karyawan dan manajemen. Menurut Dahrendorf, dalam masyarakat modern, relasi kekuasaan antara bawahan dan atasan memunculkan kelas sosial. Ia berpendapat bahwa dalam setiap asosiasi yang sarat konflik, terdapat ketegangan antara mereka yang berpartisipasi dalam struktur kekuasaan dan mereka yang tunduk padanya. Dalam konteks ini, ia mengidentifikasi adanya pseudogroup dan interest group, yang memiliki kepentingan manifest dan laten. Dahrendorf berargumen bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsensus, sehingga teori sosiologi harus mencakup kedua aspek tersebut. Dengan demikian, pandangannya membagi teori sosiologi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak dapat eksis tanpa konsensus dan konflik, yangmerupakan kondisi bersama. Jadi, kita tidak akan memiliki konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. Tidak adaintegrasi sebelumnya yang menjadi dasar konflik; sebaliknya, konflik dapat mengarah pada konsensus dan integrasi. Ralf Dahrendorf, yang sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural, menyatakan bahwa menurut fungsionalis, masyarakat disatukan oleh kerja sama sukarela atau konsensus bersama. Namun, menurut teori konflik, masyarakat lebih dipersatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dahrendorf menekankan bahwa distribusi kekuasaan selalu menjadi faktor penentu dalam konflik sosial yang sistematis. Menurutnya, analisis konflik harus dimulai dengan mengidentifikasi berbagai peran otoritas dalam masyarakat. Dahrendorf membedakan tiga jenis utama kelompok: kuasi-kelompok, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik. Kelompok kepentingan adalah kelompok yang memiliki struktur, organisasi, tujuan, dan anggota perorangan, dan merupakan agen riil dari konflik kelompok. Dahrendorf mengembangkan konsep-konsep seperti kepentingan tersembunyi, kepentingan nyata, kuasikelompok, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik untuk menjelaskan konflik sosial. Dia menyatakan bahwa konflik merupakan sumber perubahan sosial yang diperlukan dalam masyarakat, karena konflik menekankan identitas dalam kelompok dan menjadi dasar stratifikasi sosial. Dalam proses penyelesaian konflik, Dahrendorf menekankan pentingnya tiga faktor: pengakuan terhadap situasi konflik, pengaturan kepentingan dengan jelas, dan kesepakatan atas aturan dasar dalam hubungan dan interaksi. Dia juga mengidentifikasi tiga bentuk penyelesaian konflik: arbitrase, mediasi, dan arbitrasi. Pembahasan Teori konflik kontemporer Ralf Dahrendorf merupakan bentuk penolakan Dahrendorf terhadap pandangan Marxian yang menyatakan bahwa kelas sosial ditentukan oleh kepemilikan fasilitas produksi. Menurutnya, kelas sosial lebih ditentukan oleh kontrol atas fasilitas produksi, bukan kepemilikan. Periode kapitalisme yang telah berubah menjadi pasca-kapitalisme membuat kepemilikan infrastruktur sarana produksi dan kontrolnya menjadi dua hal yang berbeda. Fenomena ini menjadi latar belakang munculnya istilah baru yang disebut dekomposisi modal, yaitu kondisi di mana pemegang saham tidak dapat sepenuhnya mengendalikan saham yang dimilikinya, lebih banyak kontrol dilakukan oleh pihak lain yang memiliki otoritas dalam hal ini. Ada juga istilah dekomposisi tenaga kerja, yaitu terjadinya heterogenitas yang lebih tinggi dari tenaga kerja karena peningkatan persyaratan keterampilan. Menurut Dahrendorf, konflik cenderung disebabkan oleh distribusi otoritas yang tidak seimbang. Dalam hal ini, ia mengadopsi konsep dua kelas dari Marx, termasuk mereka yang menjalankan otoritas dan mereka yang tunduk pada penggunaan otoritas. Pembentukan kedua kelompok tersebut bukan disebabkan oleh karakteristik personal, tetapi lebih merupakan posisi yang terinstitusionalisasi dan sah dalam suatu asosiasi yang berkoordinasi secara kooperatif. Kelompok-kelompok dengan otoritas berusaha mempertahankan status quo yang mereka miliki, sementara kelompok-kelompok tanpa otoritas berusaha mengubahnya. Kedua kelompok semu ini memiliki potensi antagonis, di mana anggotanya berbagi beragam pengalaman, peran, dan kepentingan. Dahrendorf menyimpulkan bahwa "kekuatan kreatif besar" yang mendorong perubahan dalam masyarakat adalah konflik sosial. Ada pernyataan yang menyatakan bahwa "di mana ada kehidupan sosial, di situlah selalu ada konflik". Pernyataan ini mungkin terdengar menakutkan, tetapi ini benar. Masyarakat dan organisasi sosial dipertahankan bukan melalui konsensus, tetapi melalui tekanan, bukan melalui persetujuan tetapi melalui paksaan. Hal ini kemudian menciptakan konflik yang memiliki potensi untuk perubahan sosial. Dahrendorf menyatakan bahwa konflik di dalam suatu organisasi sosial adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dihilangkan, hal ini karena keduanya tertanam dalam struktur hubungan kekuasaan. Upaya yang dilakukan untuk menekan atau menyangkal terjadinya konflik hanya akan membuat pihak-pihak yang bertikai tertekan ke permukaan, kemudian memiliki potensi untuk meluap dan menjadi panas, tidak ada yang tahu kapan konflik yang lebih besar akan meletus. Ledakan-ledakan ini biasanya mengambil bentuk revolusi yang kekerasan. Teori konflik oleh Ralf Dahrendorf sangat relevan dengan fenomena konflik terkini, yaitu konflik antara pemerintah dan masyarakat terkait dengan ratifikasi RUU Cipta Kerja menjadi UU. Penyebab utama konflik ini tidak lain adalah distribusi otoritas yang tidak seimbang. Distribusi otoritas yang tidak seimbang membuat struktur sosial terbagi menjadi dua kelompok semu, yaitu mereka yang memiliki otoritas (pemerintah), dan mereka yang tunduk pada penggunaan otoritas (masyarakat yang tunduk pada aturan yang dibuat oleh pemerintah). Perbedaan kepentingan antara kedua kelompok semu ini membuat konflik yang terjadi semakin luas. Mereka yang memiliki otoritas cenderung menggunakan otoritas mereka untuk membuat kebijakan yang menguntungkan diri mereka sendiri guna mempertahankan status quo mereka. Dalam hal ini adalah pemerintah, kebijakan yang dibuat memberikan manfaat kepada investor dengan menarik investasi modal mereka ke Indonesia sehingga ekonomi Indonesia akan membaik dari waktu ke waktu, memberikan manfaat kepada pemerintah secara tidak langsung. Sedangkan mereka yang tunduk pada penggunaan otoritas cenderung ingin mengubahnya. Dalam hal ini adalah masyarakat (pekerja), mereka menginginkan setiap kebijakan yang dibuat selalu memprioritaskan pihak mereka sebagai warga negara asli Indonesia. Perbedaan kepentingan yang tidak segera diselesaikan akhirnya mengarah pada demonstrasi. Selain itu, rakyat Indonesia tidak dipertahankan melalui konsensus tetapi melalui tekanan, bukan melalui persetujuan tetapi melalui paksaan, yang kemudian memiliki potensi untuk memicu konflik. Sudah jelas bahwa dalam fenomena ini, rakyat Indonesia cenderung terpaksa untuk mengikuti regulasi yang dibuat oleh pemerintah, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja, tanpa melalui proses sosialisasi kepada masyarakat agar mendapatkan persetujuan kemudian. Dalam pembuatan undang-undang, masyarakat juga tidak terlibat dalam meminta persetujuan. Konflik dalam struktur sosial adalah suatu kebutuhan, artinya setiap kali ada organisasi sosial di dalamnya, pasti akan ada konflik. Upaya untuk menekan dan menyangkal konflik hanya akan membuat pihak-pihak yang bertikai tertekan ke permukaan dan memiliki potensi untuk meledak dan menyebabkan konflik yang lebih besar. Seperti yang kita ketahui, protes terhadap pemerintah telah dilakukan oleh masyarakat sejak draf undang-undang disusun, tetapi mereka diabaikan dan bahkan ditekan oleh pemerintah dengan tujuan agar demonstrasi tidak berlanjut. Memang, demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat sudah berhenti, tetapi sebagai akibat dari aspirasi rakyat yang diabaikan dan undang-undang tetap disahkan, membuat masyarakat semakin marah dan akhirnya demonstrasi yang lebih besar muncul. Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Konflik akan terjadi setiap kali ada beberapa pihak yang memutuskan untuk hidup bersama dalam masyarakat. Namun, konflik dapat diminimalkan. Setiap kebijakan yang berkaitan dengan berbagai pihak harus disiapkan, dirancang, dan direncanakan dengan baik. Tentu saja, proses perencanaan melibatkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagai negara hukum, Indonesia menjalankan pemerintahannya melalui tiga lembaga negara, salah satunya adalah lembaga legislatif yang memiliki peran dalam menyusun dan merancang undang-undang. Setiap regulasi yang akan disusun harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia, baik karakteristik regional maupun karakteristik komunitas. Selain itu, undang-undang dan regulasi yang dirancang dengan baik harus disosialisasikan kepada masyarakat sebelum akhirnya diratifikasi. Hal ini bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman sehingga pada akhirnya regulasi tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat yang kemudian akan menjadi target dari regulasi tersebut. Kesimpulan Teori sosiologi konflik kontemporer yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf menjelaskan tentang pergeseran dalam struktur kelas sosial dari kepemilikan fasilitas produksi menjadi kontrol atas fasilitas produksi. Dahrendorf menekankan bahwa konflik sosial cenderung dipicu oleh distribusi yang tidak seimbang dalam hal otoritas, di mana kelompok dengan otoritas berusaha mempertahankan status quo mereka sementara kelompok tanpa otoritas berupaya untuk mengubahnya. Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik merupakan kekuatan kreatif yang besar dalam mendorong perubahan sosial, dan kehidupan sosial selalu diwarnai oleh konflik. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, distribusi yang adil atas otoritas, serta penyelesaian konflik melalui kesepakatan dan musyawarah menjadi poin penting dalam menjaga stabilitas sosial dan mencegah eskalasi konflik yang lebih besar. Di Negara Indonesia, konflik terkait dengan ratifikasi RUU Cipta Kerja menjadi UU menggambarkan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat akibat distribusi otoritas yang tidak seimbang. Konflik semacam ini pada akhirnya mengingatkan kita bahwa pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan serta perlunya dialog dan kesepakatan dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan. Saran Dalam rangka mengatasi konflik sosial yang timbul akibat ketidakseimbangan otoritas dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan memperkuat dialog antarpihak. Selain itu, sosialisasi kebijakan, edukasi masyarakat, pemberdayaan komunitas, dan komitmen terhadap demokrasi serta hak asasi manusia juga perlu diperkuat guna membangun masyarakat yang lebih stabil, adil, dan harmonis. Daftar Pustaka : A. Faizal, “Demonstrasi Tolak UU Cipta Kerja di Surabaya Kondusif, Polisi Tangkap 169 Orang,” 2020. A. M. Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. A. TW, “Konsep Implementasi Omnibus Law Pada Sistem Perundang-Undangan,” 2020. F. Kurniawan , “Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep Omnibus Law Pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 Tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja Yanh di PHK,” J. Panorama Hukum., vol. 5, no. 1. 2020. M. K and B. Arief, Pengantar Ilmu Hukum: Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2009. Ralf Dahrendorf, 2010, Konflik dan konflik dalam masyarakat industri : sebuah analisa kritik, Perpustakaan lembang S. H, Pengantar Sosiologi. Surabaya: Unesa University Press, 2018. S. L., Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Bandung: Mandar Madju, 2009. S. Vago, Social Change Fifth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2004. Yudo, “Apa itu Omnibus?,” 2020.