Nama : Ibnu Akbar NurAlamsyah NIM : D0313035 Mata Kuliah : TeoriSosiologi Modern RALF DAHRENDORF Teori konflik Ralf Dahrendorf sering kali disebut teori konflik dialektik. Bagi Dahrendorf masyarakat memiliki dua wajah yakni konflik dan konsensus. Kita tidak akan mengalami konflik kalau sebelumnya tidak ada konsensus. Misalnya, si A dan si B dalam kelas tidak akan terlibat dalam konflik karena mereka tidak pernah mengenal satu sama yang lain dan hidup bersama. Demikian sebaliknya konflik bisa menghantar orang terhadap konsensus. Kerjasama yang sangaterat antara Jepang dan Amerika pada saat ini terjadi sesudah mereka terlibat dalam konflik yang sangat hebat pada waktu perang dunia dua. Teori konflik Ralf Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Karena dalam situasi konflik golongan yang terlibat konflik melakukan gerakan perubahan dalam struktur sosial. Apabila konflik terjadi sangat hebat maka yang akan terjadi adalah perubahan secara radikal. Bila konflik tersebut disertai kekerasan maka perubahan struktur akan efektif. Dahrendorf melihat masyarakat selalu dalam kondisi konflik dengan mengabaikan normanorma dan nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Ralf Dahrendorf melihat bahwa “kepentingan” yang dikaitkan dengan peran-peran didefinisikan sebagai peran-peran yang diharapkan. Hal itu bukanlah kepentingan “material”. Peran yang dimaksud Dahrendorf berbeda dengan pengertian peran menurut Lockwood dan pengertian dari Marx. Jadi setiap peran memiliki harapan yang bertentangan yang dikaitkan dengannya. Suatu peran yang mengandung kekuasaan membawa harapan bahwa kesesuaian itu dilaksanakan untuk keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Dahrendorf menjelaskan, apa yang terjadi sangat tergantung pada pilihan orang yang melakukan peran. Penjelasan Dahrendorf sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Weingart, yaitu tentang “voluntarisme” suatu ide bahwa keteraturan social peraturanperaturan dalam kehidupan sosial tergantung pada pilihan individu. Dahrendorf melihat melihat masyarakat berdimensi ganda, memiliki sisi konflik dan memiliki sisi kerjasama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisis dengan funsionalisme structural dan dapat pula dengan konflik. Harapannya bersama Coser, agar perspektif konflik dapat digunakan dalam rangka memahami dengan lebih baik fenomenasosial. Meskipun ada hubungan yang sangat erat antara keduanya Dahrendorf tidak optimis bisa membangun satu teori tunggal yang bisa mencakupi konflik dan konsensus karena itu dia berusaha membangun suatu teori konflik yang kritis tentang masyarakat. Dia berkata bahwa didalam fungsionalisme struktural dibutuhkan keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang suka rela atau karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan dalam teori-teori konflik keseimbangan atau kestabilan terjadi karena paksaan, hal itu berarti bahwa dalam masyarakat ada beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga kestabilan bisa tercapai. Ada pula fungsi konflik menurut Ralf Dahrendorf seperti membantu membersihkan suasana yang sedang kacau, katub penyelamat sebagai fungsi jalan keluar yang meredakan permusuhan, energy-energi agresif dalam konflik realitas (berasal dari kekecewaan) dan konflik tidak realitas (berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan) mungkin terakumulasi dalam proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi konflik diredakan, konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan, konflik dapat dipakai sebagai indicator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, dan yang terakhir konflik dengan berbagai outgrup dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok. Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada pemikirannya yang lain terkait teori konflik bahwa perbedaan distribusi “otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Hubungan otoritas dan konflik sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentup ada lingkungan lainnya. Sehingga seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain. Otoritas yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas selalu berarti subordinasi dan superordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas tersebut diharapkan akan mengendalikan subordinat, jadi mereka mendominasi karena harapan dari mereka yang mengelilinginya, bukan karena karakteristik psikologinya. Seperti halnya otoritas, harapan-harapan ini melekat pada posisi, dan bukan melekat pada individu tersebut. Otoritas bukanlah fenomena social yang dapat digeneralisasi, mereka yang dikendalikan, maupun ranah kontrol yang diizinkan ditentukan ditengah-tengah masyarakat. Karena otoritas adalah bersifat legitim, maka sanksi dapat diberikan pada mereka yang tidak mematuhinya. Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain : 1. Kelompok Semu 2. Kelompok Kepentingan 3. Kelompok Konflik Kelompok semua adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dikuasai (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama. Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada perubahan. Konflik ini pasti selalu ada dalam setiap kehidupan bersama atau perkumpulan atau negara walaupun mungkin secara tersembunyi, ini berarti bahwa legitimasi itu tidak bersifat tetap. Kesimpulan Menurut Ralf Dahrendorf, teori konflik tersebut memiliki dua wajah yakni konflik dan konsensus. Premisnya ada dua pula yaitu pertama adalah apabila tidak terjadi konflik maka tidak ada konsensus, kedua dimana apabila terjadi konflik maka disitu akan terjadi konsensus pula. DAFTAR PUSTAKA Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Cetakan Kesepuluh. Kreasi Wacana: Bantul, Yogyakarta Prof. DR. Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma Cetakan kesatu. Kencana Prenada Media Group: Jakarta