BAB I PENDAHULUAN Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari kelainan kongenital pada mata, infeksi / peradangan pada mata hingga tingginya angka kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.1 Predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik sebagai dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Kornea Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus 2 Kornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian mata yang tembus cahaya. Kornea disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis. Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar ke dalam :1 1. Epitel Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi. 2. Membran bowman Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi. 3. Stroma Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibrilfibril kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. 4. Membran Descemet Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal +40 mm. 5. Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan,jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea. Kornea dipersarafi oleh saraf sensoris yang terutama berasal dari n.siliaris longus, cabang n.nasosiliaris (n.V/1). Kornea tidak mengandung pembuluh darah oleh karena sebagai media refrakta, akan tetapi di limbus kornea terdapat arteri ciliaris anterior yang membawa nutrisi untuk kornea. Nutrisi yang lain didapat dari humor aquos di camera okuli anterior dengan cara difusi dari endotel. Fungsi dari kornea adalah sebagai media refrakta dan sebagai bagian mata dengan pembiasan sinar terkuat. 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar yang masuk dibiaskan oleh kornea.1 Kornea memiliki banyak serabut nyeri sehingga lesi kornea dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperhebat oleh gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Lesi kornea pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama pada lesi di tengah kornea.1 Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi pada ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta. 2.2 Fisiologi Kornea Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.3 Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.3 Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.3 2.2 Definisi Keratitis adalah peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu proses alergi-imunologi4. Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Infeksi pada kornea biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau membran bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (disebut juga keratitis parenkimatosa) apabila sudah mengenai lapisan stroma.5 2.3 Etiologi Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi terhadap yang diberi topikal, dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun.3 Infeksi korena pada umumnya didahului trauma, penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol. Kelainan ini merupakan penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia.4 Keratitits dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:5,6,7 1. Virus 2. Bakteri 3. Jamur 4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sun lamps, dan hubungan ke sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur. 5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak 6. Mata kering disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata 7. Adanya benda asing di mata 8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti debu, serbuk sari, jamur atau ragi 9. Efek samping obat tertentu 2.4 Epidemiologi Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur keratitis di beberapa negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa angka kejadian keratitis bakteri di Banglades 82%, India 68,4%, dan yang terendah yaitu di Taiwan 40%. Fusarium sp merupakan penyebab keratitis jamur paling umum di Florida, Nigeria, Tanzania, dan Singapura. Spesies Aspergillus lebih banyak ditemukan di India bagian utara, Nepal, dan Banglades. Di India dan Nepal, Steptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen yang lebih dominan. Sedangkan Pseudomonas sp merupakan spesies bakteri yang lebih banyak ditemukan dalam penelitian di Banglades, Hongkong dan Paraguai.8 Perbedaan tersebut dipegaruhi oleh faktor ikim dan lingkungan. Keratitis jamur dan keratitis bakteri lebih sering terjadi pada musim semi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau peningkatan proliferasi dari agen patogen pada periode tersebut. Faktor predisposisi keratitis bakteri yang sering di Brazil adalah taruma, khususnya taruma pada kornea. Penelitian Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa iklim, lingkungan tempat tinggal mempengaruhi karakteristik dari keratitis bakteri.8 Menurut Murillo Lopez, sekitar 25.00 orang Amerika terkena keratitits bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar 2% dari kasus keratitis di New York dan 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum dari infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur). Sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara negara utara. Secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak.9,10 2.5 Patofisiologi Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera, stroma yang avaskuler dan membrane Bowman mudah terinfeksi oleh berbagai macam mikroorganisme seperti amoeba, bakteri dan jamur. Streptococcus pneumonia (pneumokokus) adalah bakteri pathogen kornea sejati, pathogen lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (misalnya pada pasien yang mengalami defisiensi imun) agar dapat menimbulkan infeksi.3 Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin. 3,7 Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion.3 Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.3,11 Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ketempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.3,11 2.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetik akibat infeksi herpes simpleks yang kambuh. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena kortikosteroid merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks.3,7 Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea.7,11 Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga mengeluhkan mata berair namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen. Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.,7,11 Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah : 1. Pemeriksaan tajam penglihatan Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen maupun secara manual yaitu menggunakan jari tangan. 2. Uji dry eye Pemeriksaan mata kering (dry eye) termasuk penilaian terhadap lapis film air mata (tear film), danau air mata ( teak lake ), dilakukan uji break up time tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik film air mata yang melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25 detik. Pembasahan kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air mata tidak stabil. 3. Ofthalmoskop Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina, serat yang pucat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan peripapilar. 4. Keratometri (pegukuran kornea) Keratometri tujuannya untuk mengetahui kelengkungan kornea, tear lake juga dapat dilihat dengan cara fokus kita alihkan kearah lateral bawah, secara subjektif dapat dilihat tear lake yang kering atau yang terisi air mata. 5. Tonometri digital palpasi Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea ireguler dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan dengan tahahan lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian superior. 2.7 Klasifikasi5,7 Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi: 1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel) 2. Keratitis Marginal 3. Keratitis Interstisial Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi: 1. Keratitis Bakteri 2. Keratitis Jamur 3. Keratitis Virus 4. Keratitis Herpetik a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek : Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis 5. Keratitis Alergi a. Keratokonjungtivitis b. Keratokonjungtivitis epidemi c. Tukak atau ulkus fliktenular d. Keratitis fasikularis e. Keratokonjungtivitis vernal Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi: 1. Keratitis Flikten 2. Keratitis Sika 3. Keratitis Neuroparalitik Menurut lapisan kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.7 subepitel Herpes zoster, herpes simplek, punctata Numularis, disiform stroma neuroparalitik epitel Superfisial KERATITIS interstitial Profunda disiformis sklerotikan 2.7.1 Keratitis Berdasarkan Tempatnya Keratitis Pungtata Keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman dengan infiltrat berbentuk bercak bercak halus. Penyebab: Moluscum kontagiosum, acne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, Infeksi virus, vaksinia, Trakoma dan trauma radiasi, dryeyes, trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti: neomisin, tobramisin. Keratitis Pungtata biasanya terdapat bilateral, berjalan kronis tanpa terlihat gejala konjungtiva atau tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Keratitis Pungtata Superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Dapat disebabkan sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmos, keracunan obat topical (neomisin, tobramisin ataupun obat lainnya), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak. Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan. Pasien diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata dan siklopegik. Keratitis Pungtata Subepitel: keratitis yang terkumpul di membran Bowman. Pada keratitis ini biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Gambar 2.1. Keratitis Pungtata Keratitis Marginal Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral / marginal. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik maka akan mengakibatkan tukak kornea. Penderita mengeluh sakit seperti kelilipan, lakrimasi, fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme satu mata, Injeksi konjungtiva, Infiltrat atau ulkus memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau multiple, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus. Pengobatan : Antibiotika sesuai infeksi lokalnya dan Steroid dosis ringan. Diberikan juga vit B dan C dosis tinggi. Pada kelainan yang indolen dilakukan kauterisasi dengan listrik ataupun AgNO3 di pembuluh darah / dilakukan flep konjungtiva yang kecil. Gambar 2.2. Keratitis Marginal Keratitis Interstisial Gambar 2.3. Keratitis Interstisial dengan sifilis congenital Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Seluruh kornea keruh sehingga iris susah dilihat. Keratitis Interstisial akibat lues kogenital didapatkan neovaskularisasi dalam. Keratitis interstisial merupakan keratitis nonsuppuratif profunda disertai neovaskularisasi disebut juga Keratitis Parenkimatosa. Pasien mengeluh fotofobia, lakrimasi dan menurunnya visus. Keluhan akan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat. Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi Siliar disertai serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberi gambaran merah kusam yang disebut “Salmon Patch” dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah cerah. Keratitis disebabkan sifilis kogenital atau bisa juga oleh tuberkulosis, trauma. Pengobatan tergantung penyebabnya. Diberikan juga Sulfas Atropin tetes mata untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan kortikosteroid tetes mata. 2.7.2 Keratitis Berdasarkan Penyebabnya Keratitis Bakterial Penyebab: Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas dan Enterobakteriacea. Faktor Predisposisi : Pemakaian kontak lens, trauma, kontaminasi obat tetes. Pengobatan: Batang Gram (-): Tobramisin, Ceftazidime, Fluoroquinolone. Batang Gram (+): Cefazoline, Vancomycin, Moxifloxacin/Gatofloxacin. Kokus Gram (-): Ceftriaxone, Ceftazidime, Moxifloxacin/Gatofloxacin. Gambar 2.4. Keratitis Bakterial Keratitis Jamur Penyebab : trauma kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuhtumbuhan. Dapat juga akibat efek samping penggunaan antibiotik dan kortikosteroid yang tidak cepat. Gambar 2.5. Keratitis Jamur (B. Keratitis aspergilus, C. Keratitis Candida) Keluhan timbul setelah 3 minggu kemudian. Keluhan sakit mata hebat, berair dan silau. Pada mata terlihat infiltrat berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan plaque bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada kornea dan lipatan Descemet. Pengobatan : Natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun untuk keratitis jamur filamentosa seperti miconazole, amphoterisin, nistatin dan lain-lain dan sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma jika disertai peningkatan tekanan intraokular. Keratolasti jika tidak ada perbaikan. Keratitis Virus Keratitis Pungtata Superfisial dengan gambaran Infiltrat halus bertitik-titik pada dataran depan kornea yang dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes zoster, infeksi virus, vaksinia dan trakoma. Keratitis terkumpul di daerah membran Bowman, bilateral dan kronis tanpa terlihat kelainan konjungtiva. Jenis Keratitis Virus: Keratitis herpetik, Keratitis dendritik, Keratitis Disformis, Infeksi Herpes Zoster, Keratokonjuntivitis Epidemi. a) Keratitis Herpetik Disebabkan herpes simpleks dan herpes zoster. Keratitis karena herpes Simpleks dibagi 2 bentuk : Epitelial adalah Keratitis dendritik. Pada epitelial terjadi pembelahan virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial.Pengobatan : pada pembelahan virus. Stromal adalah Keratitis diskiformis. Pada Stromal diakibat reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (tubuh pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen (virus) yang juga merusak jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan : pada virus dan reaksi radangnya. Biasanya infeksi Herpes Simpleks berupa campuran antara Epitelial dan Stromal. Pengobatan: IDU (Iodo 2 dioxyuridine). Murah, kerja tidak stabil, bekerja menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga toksik untuk epitel normal dan tidak boleh digunakan lebih dari 2 minggu. Bentuk : larutan 1% diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vibrabin sama dengan IDU, hanya ada dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT) sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Bentuk salep 3% diberikan setiap 4 jam. Efektif dengan Efek samping kurang. Gambar 2.6. Keratitis herpetik b) Keratitis Dendritik Merupakan Keratitis Superfisial yang membentuk garis infiltrate pada permukaan kornea kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Gejala : Fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva hiperemia disertai sensibilitas kornea yang hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat berkonsultasi. Dapat menjadi tukak kornea Pengobatan : Dapat sembuh spontan. Dapat juga diberikan antivirus (IDU 0,1% salep tiap 1 jam atau Asiklovir) dan sikloplegik dan antibiotik dengan bebat tekan. Gambar 2.7. Keratitis Dendritik c) Keratitis Disiformis Merupakan keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di dalam jaringan kornea. Penyebab: Infeksi virus Herpes Simpleks. Merupakan reaksi alergi atau imunologik terhadap virus Herpes Simpleks pada permukaan kornea. Gambar 2.8. Keratitis Disiformis d) Infeksi Herpes Zoster Merupakan keratitis vesikular karena infeksi Herpes Zoster di mata. Biasanya pada usia lanjut. Gejalanya rasa sakit di daerah yang terkena, badan terasa hangat, merah dan penglihatan berkurang. Pada kelopak terlihat vesikel dan infiltrat pada kornea. Vesikel juga tersebar pada dermatom yang dipersarafi saraf Trigeminus, progresif dan tidak melewati garis meridian. Pengobatan tidak spesifik, hanya simptomatik Bisa dengan Asiklovir dan pada usia lanjut diberikan Steroid. Penyulit berupa Uveitis, Parese otot penggerak mata, Glaukoma dan Neuritis Optik. Gambar 2.9. Infeksi Herpes Zoster Keratokonjungtivitis epidemi Merupakan keratitis akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang disebabkan adenovirus tipe 8. Biasanya unilateral, suatu epidemi. Gejalanya demam, gangguan nafas, penglihatan menurun, merasa ada benda asing,bberair, kadang nyeri. Pada mata berupa edema kelopak dan folikel konjungtiva, pseudomembran pada konjungtiva tarsal yang membentuk jaringan parut, pada kornea terdapat Keratitis Pungtata pada minggu pertama. Kelenjar preaurikel membesar. Kekeruhan subepitel kornea menghilang sesudah 2 bulan sampai 3 tahun / lebih. Pengobatan : Pada yang akut : kompres dingin, cairan air mata dan supportif lainnya. Jika terjadi penurunan visus berat dapat diberikan Steroid tetes mata 3 kali per hari. Gambar 2.10. Keratokonjungtivitis epidemi Keratitis Filamentosa Gambar 2.11. Keratitis Filamentosa Merupakan keratitis yang disertai filamen mukoid dan deskuamasi sel epitel pada permukaan kornea. Penyebab tidak diketahui. Disertai penyakit lain seperti keratokonjungtivitis sika, sarkoidosis, trakoma, pempigoid okular, pemakaian lensa kontak, edema kornea, keratokonjuntivitis limbik superior DM, trauma dasar otak dan pemakaian antihistamin. Ditemukan pada dry eyes, DM, Post op Katarak, keracunan kornea oleh zat tertentu. Gambaran : filamen mempunyai dasar bentuk segitiga yang menarik epitel, epitel pada filamen terlihat tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen terdapat defek filamen dan kekeruhan epitel berwarna abu abu. Gejala : rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme dan epiforia. Mata merah dan terdapat defek kornea. Pengobatan : larutan hipertonik NaCl 5%, air mata hipertonik. Mengangkat filamen dan memasang lensa kontak lembek. Keratitis Dimmer atau Keratitis Numularis Merupakan keratitis numularis dengan infiltrate bundar berkelompok dan tepi berbatas tegassehingga ada gambaran halo. Keratitis berjalan lambat dan sering unilateral. Gambar 2.12 Keratitis Numularis Keratitis Alergi a) Keratokonjungtivitis Flikten Gambar 2.13 Keratokonjungtivitis flikten Merupakan radang kornea dan konjungtiva sebagai suatu reaksi imun yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Gejala :Terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan dengan atau tanpa neovaskularisasi menuju ke arah benjolan tersebut. Bilateral, pada limbus tampak benjolan putih kemerahan dikelilingi konjungtiva hiperemis. Terdapat papul dan pustula pada kornea dan konjungtiva. Lakrimasi dan fotofobia disertai rasa sakit. Hiperemis konjungtiva, menebalnya epitel kornea, perasaan panas disertai gatal dan tajam penlihatan berkurang. Pengobatan : Pemberian steroid. 1) Tukak atau ulkus fliktenular Tukak Flikten berbentuk benjolan abu abu terlihat sebagai : Ulkus Fasikular (ulkus menjalar melintas kornea dengan pembuluh darah di belakangnya), Flikten multiple di sekitar limbus, Ulkus Cincin merupakan gabungan ulkus. Pengobatan : Steroid. Flikten menghilang tanpa bekas, tetapi jika terjadi ulkus akibat infeksi sekunder maka akan menjadi parut kornea. 2) Keratitis Fasikularis Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari limbus ke arah kornea. Berupa tukak kornea akibat flikten yang berjalan membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea. 3)Keratokonjungtivitis vernal Merupakan Peradangan tarsus dan konjungtiva yang rekuren. Muncul pada musim panas, anak laki laki lebih sering terkena dibanding perempuan. Gejala : Gatal, disertai riwayat alergi, blefarospasme, fotofobia, penglihatan buram, dan kotoran mata serat-serat. Hipertrofi papil kadang berbentuk cobble stone pada kelopak atas dan konjungtiva daerah limbus. Pengobatan : obat topikal antihistamin dan kompres dingin. Keratitis Neuroparalitik Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior kranium, peradangan sehingga kornea menjadi anestetis. Kemudian kornea menjadi kehilangan pertahanannya terhadap iritasi luar. Kornea menjadi mudah infeksi dan terbentuk tukak kornea. Gejalanya : tajam penglihatan menurun, silau, tidak nyeri. Refleks berkedip hilang, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat dan vesikel pada kornea. Pengobatan : air mata buatan dan salep untuk menjaga kornea tetap basah. Untuk cegah infeksi sekunder : pengobatan keratitis, tarsorafi, dan menutup pungtum lakrimal. Gambar 2.12. Keratitis Neuroparalitik Keratokonjungtivitis Sika Gambar 2.13. Keratokonjungtivitis Sika Merupakan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Gejala : mata berpasir, gatal, silau, penglihatan kabur, sekresi mukus mata yang berlebihan, sukar menggerakkan kelopak mata, mata kering karena ada erosi kornea, Edema kojungtiva bulbi, filamen (benang) di kornea. Pemeriksaan yang dilakukan : Tes Schimer : resapan air mata pada kertas Schimer normal 10-25 mm dalam waktu 5 menit. Abnormal < 10 mm. Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva zat warna ini akan mewarnai sel epitel kornea. Terdapat titik merah di konjungtiva bila mata kering. Tear film break up time. Pengobatan tergantung penyebabnya. Pemberian air mata tiruan bila kurang adalah komponen air. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang berkurang. Penutupan pungtum lakrimal bila terjadi penguapan yang berlebihan. Keratitis Lagoftalmus Keratitis yang terjadi akibat lagoftalmus dimana kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna sehingga menyebabkan kekeringan pada kornea dan konjungtiva sehingga rentan terkena infeksi. Lagoftalmus dapat disebabkan tarikan jaringan parut pada tepi kelopak, eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni orbikularris okuli dan proptosis karena tiroid. Pengobatan : mengatasi penyebab, air mata buatan. Untuk cegah infeksi sekunder diberikan salep mata. Keratitis Sklerotikan Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea yang menyertai skleritis. Penyebabnya diduga perubahan susunan serat kolagen yang menetap. Gejala : kekeruhan kornea terlokalisasi dan berbatas jelas, unilateral, kadang mengenai seluruh limbus, kornea putih menyerupai sklera. Pengobatan : steroid dan fenil butazon. 2.8 Diagnosis Banding 1. Ulkus kornea Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk ulkus kornea yaitu ulkus kornea sentral dan marginal atau perifer.12 Penyebab ulkus kornea adalah bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes simpleks. Bakteri yang sering mengakibatkan ulkus kornea adalah Streptokokkus alfa hemolitik, Streptokokkus aureus, Moraxella likuefasiens, Pseudomonas aeruginosa, Nocardia asteroids, Alcaligenes sp., Streptokokkus beta hemolitik, dll. Pada ulkus kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epite yang dikelilingi leukosit polimorfnuklear. Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitivitas disekitarnya.12 Gejala yang dapat menyertai adalah terdapat penipisan kornea, lipatan descement reaksi jaringan uvea, berupa hipopion, hifema dan sinekia posterior. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membuat diagnosa kausa. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan sediaan hapus yang memakai larutan KOH.12 2. Konjungtivitis Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata.Konjungtivitis menunjukkan gejala yaitu hiperemi konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat dengan secret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak membengkak dan mata terasa seperti ada benda asing. Ulkus kornea dapat diadiagnosis banding dengan konjungtivitis dilihat dari gejala mata merah yang terjadi.Pada konjungtivitis kornea masih jernih dan terang sehingga tidakada gangguan visus yang berbeda dengan ulkus kornea dimana terjadi kekeruhan lensa. 3. Keratomikosis Keratomikosis merupakan suatu infeksi kornea oleh jamur.Biasanya dimulai oleh suatu ruda paksa pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian-bagian tumbuhan. Setelah beberapa hari pasien akan merasa sakit hebat pada mata dan silau.12 Keratomikosis dapat didiagnosis banding dengan ulkus kornea karena menujukkan gambaran yang sama pada kornea. Untuk mendiagnosis keratomikosis perlu dilakukan pemerikasaan KOH dimana diharapkan pada kerokan kornea ditemukan adanya hifa.12 2.9 Penatalaksanaan1,6 Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity debridement yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Keratitis Bakteri3 a) Terapi antibiotika Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan. Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anterior mata. Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun, fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri. Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri nontuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal. b) Terapi kortikosteroid Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan. Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai. Keratitis Virus3 1) Debridement Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat. 2) Terapi obat Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan (herpes eye disease study). Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus. 3) Bedah Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens. Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek . 4) Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi. Keratitis jamur3 Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi: 1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. 2. Jamur berfilamen. 3. Ragi (yeast). 4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole. Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih). Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % (Jack, 2009). Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior. Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadangkadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua. Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada. Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue. 2.10 Komplikasi1,4,5 Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai hilangnya penglihatan (kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya: Gangguan refraksi Jaringan parut permanent Ulkus kornea Perforasi kornea Glaukoma sekunder 2.11 Prognosis Prognosis bergantung pada virulensi organisme, lokasi dan perluasan ulkus kornea, vaskularisasi dan deposit kolagen, diagnosis awal dan terapi tepat dapat membantu mengurangi komplikasi. Keratitis pungtata superficial penyembuhan biasanya berlangsung baik meskipun tanpa pengobatan. Imunitas tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena diketahui reaksi imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon terhadap virus ataupun bakteri. DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas, Sidarta. Anatomi dan fisiologi mata dalam ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008 2. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK. 2005. p.62. 3. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2009 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI). Panduan manajemen klinis Perdami. Jakarta: PP Perdami. 2006. h 30-33. 5. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009. h 125-49. 6. American Academy of Ophthalmology. External eye disease and cornea. San Fransisco. 2012 7. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. h 113-116. 8. Ibrahim MM, Vanini R, et al. Epidemiology and medical protection of microbial keratitis on southeast Brazil. Brazil: Arq Bras Oftalmol. 2011; 74 (1): 7-12. 9. Thygeson P. Superfisial punctate keratitis. Journal of the American Medical Association. 1997. 144: 1544-1549. 10. Reed KK. Thygeson’s SPK photos. Nova Southeastem University College of Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale. Florida. 2007. 11. Dahl, A. Keratitis. Diunduh dari : http: //www. medicinenet. com/ keratitis/ article. htm 12. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.