Uploaded by User124128

KURIKULUM PAK PTU

advertisement
KURIKULUM PAK PTU:
Berbagi Catatan Atas Pelaksanaan
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI PERGURUAN TINGGI UMUM1
“semakin demokrasi, semakin terbuka,
Semakin potensi konflik terbuka,
Semakin ide berkembang bebas,
Semakin jati diri terungkap dan terkurung”
(aloma sarumaha, 2017).
1.
Pendahuluan
a.
Latar belakang
1)
2)
Kondisi riil: bercermin pada kaca buram?
a)
Fakta terurai. Bicara [soal] pendidikan agama, termasuk Katolik, bukanlah hal
baru (hot news). Sudah menjadi pemahaman umum bahwa pendidikan agama
adalah sarana untuk menyembuhkan situasi sosial yang kadang mengalami
disharmoni atau distorsi. Maka tidak heran kalau ada peristiwa di mana pun,
pelajaran dan/atau kuliah agama menjadi bahan pertanyaan (atau diskusi lepas –
retoris), “apa sih yang dikerjakan dengan pendidikan agama di sekolah (baca: juga
di perguruan tinggi) khususnya?”.2
b)
Mendera agama atas atribut norma moral dan perilaku. Selain itu, untuk
melengkapi (semacam) tuduhan atau gugatan (positif) kepada pendidikan agama
yang dianggap kurang kapabel dalam mengatasi masalah sosial, maka
digandengkan dengan apa yang disebut dengan pendidikan budi pekerti (maka tidak
heran kalau perilaku hidup bermasyarakat juga juga menjadi sasaran empuk).
c)
Memperluas cakupan isu. Bahkan, di beberapa tempat, pendidikan agama dan
pendidikan budi pekerti dianggap dapat saja digabungkan menjadi pendidikan
religiositas, yang diprediksi dapat memberikan bantuan untuk memahami dinamika
masyarakat mulai dari keyakinannya, relasinya dengan sesamanya sampai tata
berkehidupan yang menyokong langgengnya harmoni kehidupan masyarakat.3
Posisi kurikulum PAK di PTU
a)
Penguatan regulasi: amanat konstitusi (mandatori).
Bila mencermati regulasi yang ada, misalnya UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, jelas bahwa Pendidikan Agama menjadi bagian penting dalam
struktur kurikulum. Artinya salah satu hal yang menjadi bahasan dalam UndangUndang tersebut adalah Kurikulum, malah Pendidikan Agama menjadi hal “wajib”
1
oleh Dr. Aloma Sarumaha, MA., M.Si. Disampaikan pada Pembinaan Dosen Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum
Regio Timur di Kupang tgl. 23-26 November 2018. Direktorat Pendidikan Katolik, DITJENBIMAS Katolik Kementerian Agama RI.
Dengan perubahan di beberapa bagian, bahan ini pernah disampaikan pada pertemuan yang sama untuk Regio Tengah di
Banjarmasin, tgl. 19-22 Juli 2017, Regio Barat di Batam, Kepulauan Riau tgl. 28-31 Agustus 2017.
2
Salah satu situasi sosial yang dianggap tidak positif di level birokrasi pemerintahan adalah perilaku korupsi, di level perguruan
tinggi plagiasi, di level masyarakat pelecehan, hingga penghilangan nyawa manusia, termasuk yang dicor dalam lantai rumah atau
dimasukan dalam drum.... bahkan seperti di mancanegara ada yang menjadikan tubuh manusia sebagai santapan
(https://food.detik.com/info-kuliner/d-4311281/sadis-wanita-ini-mutilasi-kekasihnya-dan-memasaknya-jadi-nasi-kabsa
diunduh
Kamis 22 Nov 2018, jam 13.04. Sadis! Wanita Ini Mutilasi Kekasihnya dan Memasaknya Jadi Nasi Kabsa. Wanita asal Maroko telah
dituduh menghabisi kekasihnya sendiri. Dikutip dalam Dailymail (20/11) alasan wanita ini menghabisi kekasihnya adalah karena
mengungkapkan rencana untuk menikah dengan wanita lain. Fakta-fakta tersebut dapat menjadi alat untuk bertanya, apakah agama
sama sekali tidak berfungsi dalam mengendalikan perilaku manusia baik sebagai individu maupun kelompok?
3
Menuju Budaya Hidup Damai. Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau. Konferensi Waligereja Indonesia.
Jakarta, 2018.
1
harus ada. Dengan demikian, adanya Pendidikan Agama dalam Kurikulum
Pendidikan, menjadikan penyelenggara pendidikan semakin percaya diri bahwa
lembaga pendidikan yang diselenggarakan bertujuan untuk melahirkan manusia
yang memiliki pemahaman yang memadai mengenai agama (baca: Tuhan) beserta
dampaknya dalam kehidupan manusia. Selain itu, juga mempertegas bahwa
lembaga pendidikan tidak semata-mata hanya mengejar keunggulan kompetitif pada
level profan, tetapi juga pada level spiritual, yang tampil dalam bentuk frase iman,
takwa, akhlak mulia.
Dengan demikian, tujuan pendidikan tinggi (UU Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi)4 mempertegas amanah UUD 1945, khususnya Pasal 31
ayat (5) mengamanatkan agar Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kemajuan adalah sebuah
proses mencapai keseimbangan antara hal profan dan sakral (harmonis sosial).
b)
Kontrol Sosial.5
Kajian-kajian ilmu sosial (seperti Antropologi, Sosiologi dan Psikologi)
mencoba memahami agama pada setidaknya dalam dua tataran yaitu tataran horison
dan vertikal. Tataran horison untuk menjelaskan bagaimana rangkaian aktivitas
manusia dalam usahanya mencapai tujuan hidupnya memerlukan transendensi. Ini
bertujuan agar aktivitas tersebut mempunyai nilai spiritual, nilai rohani. Sementara
pada tataran vertikal ingin menjelaskan bagaimana aktivitas horison tersebut
memperoleh pembenaran dari “Atas”. Dinamika tataran horison dan vertikal
mensyaratkan norma atau kriteria agar tidak terjadi kekacauan karena ambisi
masing-masing.
Fungsi sosial kontrol bekerja untuk mensinerjikan berbagai hal. Karena itu
secara sosial, agama kerap dikatakan sebagai menjalankan fungsi integrasi
masyarakat. Selain fungsi integrasi adalah fungsi konflik (disintegrasi). Pada
konteks ini jelas bahwa agama “mengandung dimensi positif dan negatif” dalam
kehidupan manusia.6
4
Pendidikan Tinggi bertujuan: a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk
kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi
kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang
memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia; dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang
bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 5). Dalam Pasal 4 dikemukakan
fungsi Pendidikan Tinggi, yaitu: a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil,
berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.
5
Dinamika global, seolah mengajak semua pihak untuk berlomba mencapai tingkat maksimal dari cita-citanya; setiap hal dapat
diperlakukan sebagai panggung kontestasi yang diperebutkan dengan berbagai strategi tertentu. Maka dalam Penjelasan UU Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, antara lain ditegaskan bahwa “Pada tataran praktis bangsa Indonesia juga tidak terlepas
dari persaingan antarbangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa lain di pihak lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya
saing bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma
pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan
berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan
dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan karya Penelitian
dalam cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.”
6
Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc., Publishers. 2000 Negara Teater. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya. 2013 Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Pengantar Taufik Abdulah. Depok: Komunitas Bambu.
Jurgensmeyer, Mark2002. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Judul asli: Terror in the Mind of God: the Global Rice of
Religious Violence. Penerj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam Press. Kimball, Charles 2013 Kala Agama Menjadi Bencana. Judul asli: When Religion
Becomes Evil. Penerj. Nurhadi dan Izzuddin Washil. Bandung: Mizan
2
Terdapat kajian-kajian yang menjelaskan dengan baik hal itu. Durkheim
menjelaskan agama sebagai kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang
berhubungan dengan sesuatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang,
keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas
moral yang disebut gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai
tempat masyarakat memberikan kesetiaannya.7
Pada level tertentu, Kurikulum membatasi hal yang dianggap relevan dikaji
atau dibahas bersama peserta dalam ruang akademik. Pembatasan itulah yang
Gereja Katolik sebagai batas normal yang membantu peserta untuk mengusahakan
kesarjanaannya diresapi oleh substansi agamanya (Pendidikan Agama Katolik).
c)
Wajah Gereja Katolik.
PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pada
Pasal 37 ayat (5) ditegaskan bahwa “Isi dan/atau materi kurikulum yang
menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan
tinggi merupakan kewenangan gereja Katolik.” Kalau pun konteks Pasal itu adalah
Pendidikan Keagamaan Katolik, substansi tetap menjadi domain Gereja Katolik.
Hal ini sejalan dengan KHK Kanon 804, yang menegaskan bahwa “Otoritas
Gereja berwenang atas pengajaran dan pendidikan agama katolik, yang diberikan di
sekolah-sekolah mana pun atau diselenggarakan dengan pelbagai sarana
komunikasi sosial; Konferensi para Uskup bertugas mengeluarkan norma-norma
umum di bidang kegiatan itu, dan Uskup diosesan bertugas mengatur dan
mengawasinya” (ayat 1).8 Selain itu dalam Kan 229 dikemukakan,”Mereka juga
mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan yang lebih penuh dalam ilmu-ilmu
suci yang diberikan di universitasuniversitas atau fakultas-fakultas gerejawi atau
lembaga-lembaga ilmu keagamaan, dengan mengikuti kuliah-kuliah dan meraih
gelar-gelar akademis” (§ 2).
Begitu pentingnya individu yang dalam hal ini adalah peserta (mahasiswa)
dalam usahanya mencapai tujuan hidupnya; perlu didampingi, dituntun. Bagaimana
dituntun, terkait isi – substansi, Gereja memiliki wewenang penuh. Peserta yang
adalah mahasiswa tergolong dalam kategori dewasa yang menjadi harapan Gereja.
Kerap disebut sebagai Gereja masa depan.9
d)
Hit and run.
Dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola dikenal istilah “hit and run” –
giring dan tendang atau lepas.... Kurikulum dapat bertindak sebagai bola yang
7
Durkheim, Emile. 2003 Sejarah Agama. Judul asli The Elementary Forms of the Religious Life. Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir.
Yogyakarta: IRCiSoD.
8
Dalam Kan 217 dikemukakan bahwa “Kaum beriman kristiani, yang karena baptis dipanggil untuk menjalani hidup yang selaras dengan
ajaran injili, mempunyai hak atas pendidikan kristiani, agar dengan itu dibina sewajarnya untuk mencapai kedewasaan pribadi manusiawi dan
sekaligus untuk mengenal dan menghayati misteri keselamatan.”
9
Sebagai kategori sosial menjanjikan, berbagai harapan digelar. Dalam kesempatan menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari
Pahlawan di Alun-alun Kajen, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis 22-11-2018, Presiden Joko Widodo, seluruh elemen di negeri ini,
termasuk Gerakan Pemuda Ansor, seyogianya menjaga persatuan dan kerukunan bangsa. Pasalnya, persatuan dan kerukunan bangsa adalah aset
terbesar yang perlu terus dirawat serta dipelihara. Dengan memelihara persatuan dan kerukunan, segala kemungkinan yang bisa memecah-mecah
bangsa dapat dicegah serta dihindari. Di bawah judul “GP Ansor Diajak Rawat Persatuan”. Harian Kompas, Jumat 23 November 2018, hal 3. Senada,
opini Ismail Fahmi Arrauf Nasution di bawah judul “Sungutan Radikalisme dan peran Perguruan Tinggi” juga mengingatkan bagaimana mahasiswa
tidak mengalami kegersangan spiritual, sehingga perilaku radikal dapat ditangkal dengan arif dan bijak. Harian Kompas, Jumat 23 November 2018, hal
6. Harian Media Jumat 23 Nov 2018 hal 1 juga menegaskan hal yang sama, di bawah judul “Kaum Muda Energi Positif bagi Demokrasi”; Prananda
Paloh mengatakan bahwa „kaum muda menjadi kunci baik-buruknya demokrasi. Anak muda progesif dan mampu membawa cara berpikir yang out of
the box dan suka tidak suka membawa warna....‟. Demikian juga DPR, di bawah judul “DPR Ajak Mahasiswa Membangun Karakter dan Budaya
Literasi”, Harian Media Jumat 23 Nov 2018 hal 4. Sekolah menjadi benteng bagaimana harapan-harapan itu ditransformasi, diantaranya pelajaran
agama menjadi alat kontrol yang berusaha memperjelas posisi manusia dalam tata dunia. Kompas menurunkan berita di bawah judul “Sekolah
Bentengi Toleransi”, Jumat 23 November 2018 hal 11.
3
mengelinding menyentuh batas kekuatan pemain untuk menegaskan indahnya
permainan, yang akhirnya mencapai goal.10
Gawang adalah tujuan akhir dari serangkaian aktivitas di lapangan hijau.
Kalau gawang itu dianalogikan sebagai surga, maka bola yang bulat (dapat bergulir
dengan sangat bebas; gulir-an akan berhenti dengan sendirinya ketika ada
keseimbangan yang konstan) mewakili pandangan manusia mengenai sesuatu hal,
menuntunnya sampai ke tujuan akhir hidupnya. Penggiringan bola yang adalah
dinamika pandangan manusia (pikiran, penghayatan, sikap dan tindakan)
menentukan strategi bagaimana memaknai hidupnya agar nyampang sampai ke
gawang.
Setidaknya empat hal itu yang memperkuat posisi kurikulum Pendidikan Agama Katolik
di PTU. Sekarang kita memiliki draf Kurikulum PAK di PTU perlu disosialisasi secara
terstruktur dan berkelanjutan. Mengapa sosialisasi, sementara kurikulum posisinya masih
draft? Setidaknya dua cara pikir yang dapat digunakan, yaitu induktif – apriori (cara
individu dan/atau kelompok menyikapi sesuatu hal) dan deduktif – aposteriori (dapat
mempengaruhi pengambilan kebijakan untuk menyelamatkan semua).
Apakah draft sesuatu hal dapat disosialisasi? Umum dapat dijawab, “ya”, tentu
dengan tujuan untuk mendapatkan tanggapan positif sebelum diberlakukan. Ini namanya
“uji publik” (walau terbatas). Sementara kalau sudah jadi dokumen resmi, ia menjadi alat
untuk mencapai sesuatu (visi, misi bersama). Sosialisasi dengan model regio bermaksud
menyiapkan atau mengkondisikan (simultan, pertimbangan geografis) untuk pelaksanaan
selanjutnya. Peserta yang ikut sosialisasi akan memahami filosofi PAK di PTU. Sejauh
yang saya ketahui, pertemuan ini untuk pertama sekali di wilayah NTT.
b.
Tujuan
1)
Menyamakan persepsi mengenai eksistensi kuliah pendidikan agama katolik di
perguruan tinggi umum. Hal ini dilatari oleh latar belakang dosen yang tidak semua
berbasis agama (sarjana agama), tidak semua memiliki status kepegawaian sama (PNS
atau Non PNS), dinamika kuliah pendidikan agama katolik juga tidak sama saja. Dengan
demikian, pengelolaan Pendidikan Agama Katolik di PTU menjadi bahan pemikiran
serius.11
10
Dewasa ini istilah “revolusi industri 4.0” sudah menjadi biasa. Istilah “industri 4.0” berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih
pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik. Isu itu diangkat kembali dalam pameran industri Hannover Messe pada tahun 2011.
Pada tahun 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan industri 4.0 kepada pemerintah federal Jerman. Anggota
kelompok kerja itu diakui sebagai bapak pendiri sekaligus perintis industri 4.0. Salah satu Profesor Klaus Schwab, ekonom Jerman yang juga pendiri
World Economic Forum. Laporan akhir World Economic on Insdustry 4.0 dipaparkan dalam Hannover Fair pada 8 April 2013. Revolusi Industri 4.0
kata Schwab, secara fundamental berbeda dengan revolusi industri jilid sebelumnya. Revolusi Industri 4.0 membuat batas antara dunia digital, fisik
dan biologis makin tipis, bahkan menghilangkannya. Kecerdasan buatan, tekologi robot, big data, dan internet of things membuat semua elemen dalam
kehidupan manusia terhubung dengan mudah. Tempo, Edisi 12-18 November 2018, hal 74. Untuk dapat mengikuti dinamika dan akselerasinya maka
diperlukan modal sosial yang cukup. Field, John 2010 Modal Sosial. Judul asli Social Capital. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: KREASI WACANA.
Yang jelas dalam Revolusi Industri 4.0 mensyaratkan “luas dan padatnya jaringan dalam kehidupan” menentukan kualitas hidup manusia.
11
Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum dapat berfungsi sebagai landasan etik, moral dan spiritual bagi pembangunan sensitifitas
akademika untuk pembangunan manusia. Kalau mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 37 ayat (2),
Pendidikan Agama menjadi matakuliah wajib bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa. Dalam Penjelasan Pasal 37 dikemukakan
Ayat (1) Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia. Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air. Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: 1. Bahasa
Indonesia merupakan bahasa nasional; 2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan 3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan
bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak
mencantumkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah di Perguruan Tinggi. Hal ini dianggap menjadi “ruang bebas” terjadinya eskalasi pemahaman
mengenai perkembangan iptek yang berdampak pada terganggunya dinamika harmoni sosial dengan munculnya paham-paham yang dianggap
mengganggu seperti radikalisme, ekstrisme, intoleran, ujaran kebencian. Gejala sosial itu seperti semakin menjadi-jadi, sekali pun dalam UU Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sudah mencantumkan Pancasila sebagai matakuliah wajib; Pasal 35 ayat (3) Kurikulum Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. agama; b. Pancasila; c. kewarganegaraan; dan d. bahasa Indonesia. Dalam
Penjelasan disebutkan Ayat (3) Huruf a, yang dimaksud dengan “mata kuliah agama” adalah pendidikan untuk membentuk Mahasiswa menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Huruf b, yang dimaksud dengan “mata kuliah Pancasila”
adalah Pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada Mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Huruf c, yang dimaksud
dengan “mata kuliah kewarganegaraan” adalah pendidikan yang mencakup Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI dan
Bhineka Tunggal Ika untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
4
c.
2)
Mengajak dosen kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi umum untuk
tetap konsisten melaksanakan tugas memberikan kuliah sebagai bagian dari panggilan
mewartakan Kabar Gembira dengan cara menanamkan nilai-nilai kristiani untuk
kemudian menjadi bekal membangun bangsa yang majemuk.12
3)
Dosen perlu memahami kurikulum yang baru, yang memberikan ruang kepada
kemajemukan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara: wawasan
kebangsaan. Hal ini menjadi penting karena kuliah pendidikan agama katolik di perguruan
tinggi umum memiliki metodologi yang khas, yang tidak sama saja dengan metodologi
matakuliah lainnya. Dan sekali pun waktunya tidak banyak, diharapkan dapat menjadi
kekuatan integrasi sosial berbasis kampus yang identik dengan “ruang ilmiah –
rasionalitas.” Alibinya, menjadi pilar penangkal isu-isu mutakhir yang sering dinamaidirasakan-dijustifikasi sebagai ekstrim.
Dasar
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
2.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Perpres Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
PMA Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Agama Pada Sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan
Tinggi.
Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
PMA Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama.
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan
Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi.
Tempat Katekese Dalam Proses Pembelajaran PAK di PTU
a.
b.
Umum.
1)
Kuliah PAK menyiasati katekese sebagai sarana komunikasi iman.
2)
Katekese mentransformasikan aspek kehidupan Gereja Katolik secara tematik.
Khusus, treatmen.
1)
Metodologi pembelajaran, proses pembelajaran PAK di PTU
Apakah mengajar/kuliah PAK di PTU sama saja dengan berkatekese?13 Memberi kuliah
vs berkatekese dipengaruhi oleh pemahaman yang memadai mengenai karakteristik, yang
bermuara pada tujuan yang ingin dicapai.
Berikut ini sketsa untuk bahan cermatan, sbb:
Kan. 795 menegaskan bahwa “Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan
akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga
dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih
sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.”
12
Tampaknya pertanyaan yang sama pernah muncul di sekitar tahun 1980-an, dikenal dengan istilah “telur Malino”; kalau tidak keliru dalam konteks
pola PAK. Tiga term yang berkembang dan dikaji dengan serius yaitu pendidikan, katekese dan pendidikan agama. Mereka yang rajin menghadiri
PKKI, hal itu tidak asing.... bahkan bisa menjadi sumber informasi yang sejuk.
5
13
Kuliah
Pendidikan Agama
Katolik di PTU
Katekese
Pendekatan
Ilmiah - Struktural
Pendekatan
fungsional - praksis
Unsur falsifikasi dan
verifikasi –
pengaruh nalar
Unsur apologi –
tekanan pada verstehen –
baharui perilaku
Apakah kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi “bertindak atas nama” melanjutkan
tugas katekese? Atau mempersiapkan katekese? Apakah memang dosen harus berpikir sampai
ke hal itu? Itulah yang pernah saya kemukakan dalam diskusi penyusunan kurikulum PAK di
PTU di Hotel Ibis Slipi Jakarta, tgl. 29 Mei – 2 Juni 2017 lalu, ada kesan, ibaratnya kita ingin
“memasukan gajah dalam lubang harum”. Mengapa? Karena begitu tinggi ekspektasi kita
terhadap keberadaan peserta dan kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi (umum)
sebagai materi penting dan individu yang sedang mempersiapkan diri menjadi sarjana atau ahli
terapan.14 Setelah kurang lebih 1 tahun 5 bulan: apakah ada ide baru mengenai rancangan
Kurikulum yang baru saja kita susun? (khususnya bagi yang ikut hadir dalam menyusun
kurikulum itu). Ide berkembang bermanfaat untuk penyempurnaan. Saya lupa, siapa wakil NTT
saat di Slipi itu?
Kongregasi Iman (2000:56),15 menjelaskan bahwa hubungan antara pelajaran agama di sekolahsekolah dan ketekese merupakan hubungan yang berbeda dan saling melengkapi: secara mutlak
harus dibedakan pelajaran agama dengan katekese.
Pelajaran agama di sekolah ialah kenyataan bahwa ia dipanggil untuk meresapi satu bidang
budaya yang khas dan untuk berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai
bentuk asli dari pelayanan sabda, dia menghadirkan Injil dalam sebuah proses personal dan
asimilasi kultural, sistematis dan kritis.
Oleh karena itu, pelajaran agama di sekolah hendaknya tampil sebagai disiplin studi, dengan
tuntutan dan kepentingan yang sama dengan disiplin-disiplin yang lain. Pelajaran agama harus
menyampaikan pesan dan peristiwa kristiani dengan kesungguhan dan kedalaman yang sama
dengan apa disajikan oleh disiplin-disiplin lain. Tidak dapat ditempatkan hanya sebagai
tambahan, melainkan sebagai hal yang perlu dalam dialog indispliner.
Tugas fundamental katekese adalah membantu mengetahui, merayakan, dan merenungkan
misteri Kristus. (Kongregasi Iman, 2000: 71-72). Ketika kita katakan dosen pendidikan agama
katolik di PTU adalah katekis, Kongregasi Iman (2000: 145), menegaskan bahwa:
“katekis adalah seorang perantara. Ia mempermudah komunikasi antara manusia dengan
misteri Allah, antara subyek-subyek diantara mereka sendiri, serta dengan komunitas. Karena
alasan itulah, visi budaya, kondisi sosial, dan gaya hidupnya tidak boleh menjadi halangan bagi
perjalanan iman, melainkan menolong menciptakan kondisi-kondisi yang paling menguntungkan
untuk mencari, menyambut, dan memperdalam pesan kristiani. Ia tidak lupa, bahwa iman
14
Siapa individu itu? Adalah mahasiswa yang mempunyai pengaruh besar terhadap bagaimana mewujudkan impian perguruan tinggi,
termasuk didalamnya materinya. Mungkin pertanyaan pengiring, apakah mahasiswa yang studi adalah orang-orang yang memang siap
menempuh studi di perguruan tinggi? Tentu sistem dan materi rekruitmen ikut andil dalam hal ini. Bdk. J.I.G.M. Drost. Sekolah
mengajar atau mendidik? Yogyakarta: Kanisius & Universitas Sanata Dharma. 1998.
15
Kongregasi Untuk Iman. Petunjuk Umum Katekese. Jakarta: Komkat KWI kerja sama Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI. 2000.
6
merupakan buah rahmat dan kebebasan. Maka, katekis meyakinkan bahwa kegiatankegiatannya selalu menarik dukungan dari iman akan Roh Kudus dan dan dari doa. Akhirnya,
hubungan pribadi antara katekis dengan subyek amatlah penting.”
Dapat dilukiskan sbb:
Katekis Pendidikan
Agama Katolik di PTU
Allah – Yesus Kristus
Dosen Pendidikan
Agama Katolik di PTU
Pengetahuan
Catatan:
Soal distingtif terminologi. Sekedar bahan diskusi, dalam cara pikir agama, status katekis di atas
dosen (pemaknaan term). Dalam cara pikir ilmu-ilmu profan, dosen di atas status katekis. Dalam
cara pikir lain, status sama, dengan tekanan berbeda.... Jadi tidak baik untuk kesehatan kalau
terjadi konflik antara (term) dosen & katekis. Dua-duanya menjadi “jalan dan tangan kanan
Yang Ilahi.”
Hal ini dapat semakin terasa jika subyek pendidikan agama katolik/katekese adalah kaum
muda/mahasiswa. Hal yang perlu diingat adalah katekese yang paling berhasil adalah katekese
yang diberikan dalam konteks pemeliharaan pastoral yang lebih luas bagi kaum muda,
khususnya bila berkenaan dengan masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Oleh sebab itu, katekese harus diintegrasikan dengan prosedur tertentu, seperti analisa situasi,
perhatian bagi ilmu pengetahuan manusiwasi dan pendidikan, kerja sama kaum awam dan kaum
muda itu sendiri (Kongregasi Iman, 2000: 165)
Efek lain. Apakah sosialisasi ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk pembinaan kepada katekis?
Tidak bermaksud mendahului, saya menjawab “ya”. Kongregasi Iman (2000: 201) menjelaskan
bahwa, ”mutu setiap kegiatan pastoral akan menghadapi resiko bila kegiatan ini tidak
bersandar pada personel yang sungguh-sunggguh kompeten dan terlatih. Sarana-sarana yang
disediakan bagi katekese tidak bisa efektif kalau tidak digunakan dengan baik oleh katekiskatekis yang terlatih. Maka, pembinaan katekis yang memadai tidak bisa diabaikan lewat
perhatian-perhatian seperti pembaruan teks-teks dan penataan kembali katekese.” Pembinaan
berusaha membuat para katekis sanggup meneruskan injil kepada mereka yang rindu
menyerahkan diri kepada Yesus Kristus. Pusat dan dan puncak pembinaan kateketik terletak
pada keterampilan dan kemampuan mengkomunikasikan pesan injil. Hal ini gayung bersambut
dengan penegasan Kanon 804, yakni pembinaan dan pendidikan agama katolik, yang diberikan
di sekolah-sekolah mana pun atau diselenggarakan dengan pelbagai sarana komunikasi sosial
ada di bawah otoritas Gereja, adalah tugas konferensi Waligereja untuk mengeluarkan pedomanpedoman umum di bidang kegiatan itu, sedangkan uskup diosesan harus mengatur dan
mengawasinya; kemudian, hendaknya ordinaris wilayah memperhatikan agar mereka yang
diangkat menjadi guru-guru agama di sekolah, adalah orang-orang yang unggul dalam
ajaran yang benar, dalam kesaksian hidup kristiani dan juga ahli dalam pendidikan.16
2)
Format Rencana Pembelajaran Semesteran (RPS)
Rencana kegiatan belajar dituangkan dalam bentuk rencana pembelajaran semester (RPS),
dahulu namanya SAP. Dalam KKNI model yang disarankan adalah ADDIE, model yang
16
Dalam Kan 211 dikemukakan bahwa “Semua orang beriman kristiani mempunyai kewajiban dan hak mengusahakan agar warta
ilahi keselamatan semakin menjangkau semua orang dari segala zaman dan di seluruh dunia.”
7
dikembangkan oleh Molenda (1990, dalam Illah Sailah, 2014) yaitu analysis, design,
development, implementation, dan evaluation.
Rancangan
Analysis
Design
Development
Implementation
Evaluation
Tahapan
Luaran
Menganalisis masalah-masalah pembelajaran
sesuai kebutuhan belajar mahasiswa untuk
mengidentifikasi capaian pembelajaran mata
kuliah
Design merupakan tahapan untuk menentukan
indikator, instrumen, asesmen dan metode/strategi
pembelajaran berdasarkan hasil tahapan analysis
Berdasarkan tahapan design kemudian pada
tahapan development, dikembangkan bahan
pembelajaran dan media penghantarnya
Berdasarkan tahapan development kemudian
diimplementasikan dalam proses pembelajaran
mahasiswa
Berdasarkan pelaksanaan proses pembelajaran,
kemudian dilakukan evaluasi untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas belajar mahasiswa dalam
menggapai capaian pembelajaannya












Kebutuhan belajar
mahasiswa
Capaian pembelajaran
Indikator
Instrumen asesmen
Metode/strategi
pembelajaran
Tugas-tugas
Bahan pembelajaran
Media penghantaran
Pelaksanaan
pembelajaran
Evaluasi pembelajaran
Evaluasi proses
pembelajaan
Evaluasi hasil
pembelajaran
Sumber: Sutrisno & Suyadi, 2016: 157-158.
Bentuk RPS memuat paling sedikit (Sutrisno & Suyadi, 2016: 159):
1.
2.
3.
Nama program studi, nama dan kode matakuliah, semester, sks, nama dosen pengampu.
Capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada matakuliah.
Kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap pembelajaran untuk memenuhi
capaian pembelajaran lulusan.
Kriteria, indikator, dan bobot penilaian.
Pengalaman belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam deskripsi tugas yang harus
dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester.
Metode pembelajaran.
Bahan kajian yang terkait dengan kemampuan yang akan dicapai.
Waktu yang disediakan untuk mencapai kemampuan pada tiap tahap pembelajaran.
Daftar referensi yang digunakan.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Contoh format RPS (Sutrisno & Suyadi, 2016: 160).
Matakuliah : Pendidikan Agama Katolik
Program Studi:
Semester:
Dosen:
Kode:
sks: 3.
Waktu
belajar
(menit)
Kriteria
penilaian
(indikator)
Capaian Pembelajaran:
Minggu
ke...
Kemampuan
akhir yang
diharapkan
Bahan kajian
(materi
pelajaran)
Bentuk
pembelajaran
Bobot nilai
1
2
3
4
5
8
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
UTS
UAS
Penjelasan:
No
Minggu ke...
2
Kemampuan
yang diharapkan
3
Baha kajian
(materi)
Bentuk
pembelajaran
4
3.
Judul Kolom
1
5
Waktu belajar
6
Kriteria
penilaian
(indikator)
7
Bobot nilai
Penjelasan Pengisian
Menunjukkan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, yakni mulai minggu ke 1
sampai minggu ke 16 (satu semester)
Rumusan kemampuan di bidang kognitif, psikomotorik dan afektif
diusahakan lengkap dan utuh (hard skill & soft skills). Merupakan tahapan
kemampuan yang diharapkan dapat mencapai kompetensi mata kuliah ini di
akhir semester
Bisa diisi pokok bahasan atau subpokok bahasan, atau topik bahasan
(dengan asumsi tersedia diktat/modul ajar untuk setiap pokok bahasan)
Bisa berupa ceramah, diskusi, presentasi tugas, seminar, simulasi, responsi,
praktikum, latihan, kuliah lapangan, praktek bengkel, survei lapangan,
bermain peran, atau gabungan berbagai bentuk. Penetapan bentuk
pembelajaran didasarkan pada keniscayaan bahwa kemampuan yang
diharapkan di atas akan tercapai dengan bentuk/model pembelajaran tersebut
Takaran waktu yang menyatakan beban belajar dalam satuan sks (satuan
kredit semester). Satu sks setara dengan 160 (seratus enam puluh) menit
kegiatan belajar per minggu per semester
Berisi indikator yang dapat menunjukkan pencapaian kemampuan yang
dicanangkan, atau unsur kemampuan yang dinilai (bisa kualitatif misalnya
ketepatan analisis, kerapian sajian, kreativitas ide, kemampuan komunikasi;
bisa juga yang kuantitatif: banyaknya kutipan acuan atau unsur yang
dibahas, kebenaran hitungan)
Disesuaikan dengan waktu yang digunakan untuk membahas atau
mengerjakan tugas, atau besarnya sumbangan suatu kemampuan terhadap
pencapaian kompetensi mata kuliah ini
Dosen PAK di PTU: “Membaca” wajah PAK di PTU?
Tiga hal yang dicermati 1) dosen, 2) mahasiswa peserta, dan 3) bahan pendidikan. Pemahaman
mengenai siapa dosen dan siapa peserta dapat mempengaruhi bagaimana merancang dan
memperlakukan bahan untuk diproses bersama.
a.
Pemahaman yang fleksibel mengenai metode pembelajaran.
Pemahaman tentang sejumlah metode mengajar [proses pembelajaran] membantu bagaimana
dosen memperlakukan materi dan peserta didik. Penggiat dinamika individu dalam suatu
kelompok dan event terus menerus mencoba membangun cara pikir yang positif dan kreatif
inovatif mengenai bagaimana strategi tujuan yang ditetapkan dapat dicapai. Hal ini (dapat)
diinpsirasi oleh pandangan konstruktivis yang mengedepankan self inquiry (growth mind set).
1)
Khusus.
Pertemuan ini isunya adalah Pendidikan Agama Katolik, di Perguruan Tinggi – Umum.
Maka secara khusus akan coba dilihat bagaimana pemahaman dan perlakuan terhadap
(pelaksanaan dan/atau penyelenggaraan) Pendidikan Agama Katolik, yang dimulai
9
semenjak (tingkat PAUD), tingkat Dasar dan Menengah. Mungkinkah pengalaman (proses
belajar, materi dan luasan bahan; dikenal juga istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK) di level Dasar dan Menengah relevan di level Perguruan Tinggi? Seolah Pendidikan
Agama mau “membaca” dunia lain untuk (seolah mau) melabel bahwa sudah sesuai atau
tidak. Salah satu aspek mengemuka adalah metode mengajar yang tepat.
Metode mengajar yang dianggap relevan? Dalam konteks Pendidikan Agama,
Telaumbanua (1999)17 telah mencoba mendokumentaskan sejumlah metode yang
dianggap relevan untuk digunakan (tentu ini sebuah pilihan subyektif), yakni metode
penjelasan teks atau metode katekismus, metode penjelasan pokok pikiran (yang menurut
J. Kersten SVD adalah metode Tuhan Yesus sendiri), metode München, metode aktif
(kebalikan dari Metode München yang menekankan guru aktif, peserta mendengar),
metode menggali pengalaman (katekese eksperiensial, dengan struktur seluk beluk
pengalaman, pengalaman religius, langkah-langkah: gali pengalaman peserta, bangkitkan
pengalaman religius, meresapkan pengalaman religius), metode Sower (penabur. Di
Inggris metode ini disesuaikan dengan daya tangkap dan minat peserta). Metode Shields
(dikembangkan di Washington oleh Thomas Edward Shields yang menekankan kebutuhan
peserta, jadi tidak memaksa untuk hafal), metode induktif dan deduktif, metode naratifeksperiensial (Kur 1994), dan metode dialog partisipatif (Kur 1994).
2)
Umum.
Ketika kita selintas memahami metode mengajar yang pernah berkembang di lingkungan
pendidikan agama katolik, pikiran berikutnya adalah bagaimana dengan perguruan tinggi
yang identik dengan peserta adalah “orang dewasa”, labelnya: mahasiswa. Apakah metode
yang selama ini berkembang relevan untuk digunakan? Umum diketahui bahwa “metode”
pada dirinya sendiri netral. Artinya dipakai-tidaknya tergantung situasi dan kondisi yang
menyertainya. Memang kalau melihat hal “khusus” di atas, kita disadari soal penggunaan
istilah metode dalam bidang umum dan bidang pendidikan agama.
Dalam bidang pendidikan agama, setidaknya metode tersebut pernah berkembang dan
secara simultan masih digunakan oleh yang menyukainya karena pertimbangan tertentu.
Dalam bidang umum (untuk mengatakan bukan pendidikan agama), sejumlah metode
berkembang yang tidak jarang dipertukarkan; sehingga metode yang khusus itu tidak
menjadi monopoli karena di dalamnya tersalurkan bentuk metode yang bersifat umum.
Disinilah misalnya yang disebut dengan metode ceramah, tanya jawab, dsb bekerja
dengan baik, sesuai dengan situasi dan kondisi semasa.
Namun, seiring dengan perkembangan situasi peserta dan konsep tentang individu yang
bergerak dari cenderung diperlakukan sebagai obyek ke menjadi subyek proses
pembelajaran, maka metode-metode yang ada terasa mengalami transformasi,
17
Telaumbanua, Marinus. Ilmu Kateketik: hakikat, merode, dan peserta katekese gerejawi. Jakarta: Obor. 1999. Diperkenalkan
pertama kali oleh Johan Friderich Herbart (+ 1841) diteruskan muridnya Thuiskon Ziller (+ 1882), dipopulerkan oleh Anton Weber
melalui Majalah Katechetische Blätter, yang kemudian dipadukan dalam buku Die Münchener Katechetische Blätter (1905). Asas
utamanya adalah 1) menjelaskan arti teks dengan lebih baik dahulu mempengaruhi panca indera murid, kemudian mempengaruhi akal
budinya, dan baru mendorongnya untuk bertindak, 2) memberi perhatian pada pembentukan budi pekerti murid agar mau berkelakuan
baik, dan 3) menekankan kesatuan pelajaran. Dalam suatu pengajaran dibicarakan satu tema saja agar perhatian murid tidak terbagibagi untuk beberapa kebenaran iman. Otto Willman (+1920) murid Thiskon Ziller mengemukakan 3 langkah fundamental dalam
metode München, yaitu 1) penyajian bahan pengajaran melalui sebuah cerita atau lewat gambar dinding (untuk mempengaruhi cara
panca indera/perasaan), 2) penjelasan doktriner, yang ditarik dari cerita yang baru dikisahkan (unsur pengetahuan), dan 3) aplikasi
yang sesuai dengan isi ajaran untuk praksis hidup (mempengaruhi kehendak). Tiga kandungan yaitu melihat atau mendengar, berpikir
dan bertindak. Metode München mengalami respons yang bagus, demikian Heinrich Stieglitz mengembangkan 5 langkah untuk setiap
proses pembelajaran dengan setting psikologi, yaitu 1) persiapan (membangkitkan interes pendengar – mengemukakan tujuan
pengajaran dan kaitannya dengan pengajaran yang terakhir – ini mungkin yang disebut appersepsi), 2) penyajian materi
(mengemukakan tema baru yang diawali dengan sebuah cerita, gambar, pembacaan sebuah teks Kitab Suci atau lagu musik), 3)
penjelasan (menguraikan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam materi pelajaran), 4) sinstesis (memberi ringkasan dari ajaran
pokok yang perlu dipahami, dan 5) aplikasi (berbentuk tugas yang hendak dilaksanakan dan dipraktekkan) (Telaumbanua, 1999: 111144). Terkait dengan sejarah perkembangan Katekese.... ada metode AMOS.... Yang aktif dalam PKKI tentu tidak asing lagi,
bagaimana berbagai metode saling dipertukarkan sesuai dengan situasi dan kondisi semasa.
10
pengembangan dengan paradigma tertentu. Dikenal misalnya istilah metode
konstruktivisme18untuk menjelaskan bagaimana mensinkronkan atau mengorkestrasikan
ruang kelas sebagai ruang tumbuh kembangnya ide, penghayatan dan pengetahuan baru
peserta.19
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa tidak ada metode balajar yang paling baik.
Ketika peserta menjadi fokus maka proses memberi ruang luas kepada peserta. Demikian
halnya kalau tekanan pada penemuan hal baru, maka tekanan pada proses; jadi bagaimana
semua yang terlibat dalam proses itu aktif seoptimal mungkin. Ini sebuah harapan yang
luar biasa kalau betul-betul terjadi. Membongkar kemapanan (comfort zone) tidak selalu
mudah. Kemapanan dosen tidak mudah diganti begitu saja. Demikian halnya
kemapanan peserta, tidak mudah. Apalagi ketika individu sudah membangun pemikiran
bahwa “asal saja hadir setiap perkuliahan dan mengerjakan semua tugas, sesekali aktif
bertanya, pasti lulus”, merupakan sebuah penyakit tradisional, yakni nilai (kuliah)
pendidikan agama tidak boleh merah karena diasosiasikan negatif.
Bagaimana metode tersebut bekerja berbarengan dengan kemampuan peserta? Kita
diingatkan oleh Gardner soal kecerdasan majemuk yang begitu memukau.20
Ilustrasi cara belajar.
Peserta yg
memiliki
kecenderungan
Cara berpikir
Linguistik
Melalui katakata
Matematikslogis
Melalui
penalaran
Spasial
Melalui kesan
dan gambar
Kinestetis -
Melalui
Kegemaran
Membaca, menulis,
bercerita, bermain,
permainan kata
Bereksperimen, tanya
jawab, memecahkan
teka-teki logis,
berhitung
Mendesain,
menggambar,
membayangkan,
mencoret-coret
Menari, berlari,
Kebutuhan
Buku, alat rekam, alat tulis,
kertas, buku harian, dialog,
diskusi, debat, cerita
Bahan-bahan untuk
bereksperimen, materi sains,
kegiatan manipulatif, kunjungan
ke planetarium dan musem
pengetahuan
Seni, video, film, slide, game,
imajinasi, labirin, teka teki, buku
yang berisi banyak ilustrasi,
kunjungan ke museum seni
Bermain drama, bergerak, benda
18
Yamin, Martinis. Paradigma pendidikan konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008. Lorin W. Anderson & David R.
Krathwohl. Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen. Judul asli A Taxonomy for learning, teaching and
assessing: a revision of Bloom taxonomy of educational objectives. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Konstruktif dapat dijelaskan sebagai paradigma bentuk, sebagai dinamika kognisi. Gagasan pokoknya dari Giambatissta Vico. Salah
satu argumennya adalah “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan atas ciptaan.” Tuhan yang tahu tentang seluk
beluk alam semesta karena Dia yang membuatnya dan dari apa Ia buat; sementara itu manusia dapat mengetahui sesuatu yang telah
dikonstruksinya. Pengetahuan selalu menunjukkan kepada struktur konsep yang dibentuk dan pengetahuan tidak lepas dari orang
(subyek) yang tahu (Yamin 2008: 7-11). Di kemudian hari konstruktivisme berkembang dengan baik di tangan Jean Piaget. Dalam
bidang ilmu, konstruktivisme sebagai bentukan sejalan dengan usaha individu untuk membangun pemahamannya mengenai sesuatu
hal, sebagaimana dikembangkan oleh Kuhn. Paradigma yang bagus adalah kemampuan seseorang dalam mengatur dan mengontrol
proses berpikirnya, di dalamnya keterampilan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan kreatif.
19
Sudah tidak asing bahwa perlakuan pendidikan kepada manusia tidak selalu berjalan mulus, kalau berpikir linier. Misalnya, guru
menjadi sumber ilmu dan murid menjadi penerima ilmu. Ini disebut sebagai edukasi versi 1.0; guru dan murid menjadi mitra untuk
belajar, ini disebut edukasi versi 2.0; dan secara kolektif menjadi sumber ilmu bagi murid dimana guru menjadi fasilitator dan
narasumber pendukung proses belajar, disebut edukasi versi 3.0. Guru dan peserta menerapkan pembelajaran deduktif, induktif, dan
kreatif. Pembelajaran menjadi proses untuk membindani pengetahuan orisinal, menjadikan lingkungan menjadi stimulus yang
beresonansi dengan pikirannya sehingga pengetahuan orisinal bekerja. Asumsi mendasar adalah setiap orang memiliki pengetahuan
orisinal yang perlu ia kontribusikan ke dalam komunitas pengetahuan. Jadi tugas pendidikan adalah menemukan kontribusi itu, dan
membidaninya agar lahir. Di edikasi versi 3.0 kesempatan belajar menjadi milik mereka yang memiliki selera yang tinggi akan
pengetahuan serta kapasitas “metabolisme” pengetahuan yang tinggi pula. Lih. Armien Z.R. Langi. Edukasi 3.0 di era digital
pervasif: pembelajaran vs individual. Makalah tidak diterbitkan. Bandung, 2015: 1-3.
20
Thomas Amstrong. Menerapkan multiple intellegences di sekolah. Bandung: Mizan Media Utama, 2004.
11
jasmani
sensasi
somatis
melompat, membuat
bangunan, meraba,
menggerakkan isyarat
tangan
Musikal
Melalui irama
dan melodi
Interpersonal
Dengan cara
melemparkan
gagasan pada
orang lain
Intrapersonal
Berhubungan
dengan
kebutuhan
perasaan, cita
rasanya
Melalui alam
dan
pemandangan
alam
Bernyanyi, bersiul,
bersenandung,
mengetuk-ngetukan
tangan dan kaki,
mendengarkan
Memimpin,
mengorganisasi,
menghubungkan,
menebarkan
pengaruh, menjadi
mediator, berpesta
Menyusun tujuan,
bermeditasi,
melamun,
merencanakan,
merenung
Bermain dengan
binatang piaraan,
berkebun, meneliti
alam, memelihara
binatang, peduli pada
lingkungan
Naturalis
b.
rakitan, olahraga atau permainan
fisik, pengalaman yang
berhubungan dengan indra peraba
(tactile experiences), belajar
dengan cara yang terlibat
langsung (hand on learning)
Waktu bernyanyi bersama,
kunjungan ke konser musik,
musik di sekolah dan di rumah,
alat musik
Teman-teman, permainan
kelompok, pertemuan sosial,
perlombaan atau peristiwa sosial,
perkumpulan, penasihat atau
magang
Tempat rahasia, waktu
menyendiri, proyek yang
direncanakan sendiri, pilihan
Akses ke alam, kesempatan untuk
berinteraksi dengan binatang,
peralatan untuk meneliti alam
(mis. Kaca pembesar, teropong)
Keterampilan mengajar: antara konsep dan praksis.
Apakah di perguruan tinggi term keterampilan mengajar masih cukup relevan
didiskusikan? Kesan umum, keterampilan mengajar adalah wilayahnya pendidikan dasar dan
menengah. Hal ini tampaknya kuat dipengaruhi oleh faktor psikologis, rentang usia yang begitu
rupa. Maka perlu penanganan sedemikian rupa, termasuk bagaimana mengelola situasi
psikologis ruang kelas.
Mengingat yang dihadapi adalah individu yang sedang dalam proses melaksanakan tugas
dan fungsi perkembangan (Fowler),21 maka keterampilan mengajar di perguruan tinggi relevan
dibicarakan. Setidaknya karena dosen adalah orang yang memiliki pengalaman banyak, maka
posisi keterampilan mengajar penting dipertimbangkan penggunaannya, terlebih pada tataran
teknis. Situasi dan kondisi juga menjadi pertimbangan serius. Konteks dan konten menjadi ranah
pertimbangan bagi seorang dosen dalam membahas atau mengkaji bersama sesuatu hal dengan
peserta didik atau mahasiswa. Informasi berikut dapat memperjelas bagaimana sebuah proses
dikelola dengan baik.
Ciri abad 21
21
Model Pembelajaran
Informasi (tersedia dimana saja, kapan saja)
Pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta
didik mencari tahu dari berbagai sumber observasi,
bukan diberitahu
Komputasi (lebih cepat memakai mesin)
Pembelajaran diarahkan untuk mampu merumuskan
masalah (menanya), bukan hanya menyelesaikan
masalah (menjawab)
Lih Charles M. Shelton, “Tahap Perkembangan Iman”. Yogyakarta: Kanisus.
12
Otomasi (menjangkau segala pekerjaan rutin)
Pembelajaran diarahkan untuk melatih berpikir
analitis (pengambilan keputusan) bukan berpikir
mekanistis (rutin)
Komunikasi (darimana saja, ke mana saja)
Pembelajarn menekankan pentingnya kerjasama dan
kolaborasi dalam menyelesaikan masalah
Sumber: Diknas, 2016.
Referensi mencoba memberikan pertimbangan mengenai ragamnya pengelolaan keterampilan
mengajar, seperti Usman (2002).
1)
Keterampilan bertanya dasar.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2)
Komponen
Pengungkapan pertanyaan secara jelas dan singkat
Pemberian acuan
Pemusatan
Pemindahan gilir
Penyebaran:
 Ke seluruh kelas
 Respons peserta
Pemberian waktu berpikir
Pemberian tuntutan:
 Pengungkapan pertanyaan dengan cara lain
 Pengungkapan penjelasan sebelumnya
Ket
Keterampilan bertanya lanjut.
No
Komponen
1. Pengubahan tuntutan tingkat kognitif dalam menjawab
pertanyaan:
 Ingatan
 Pemahaman
 Aplikasi
 Analisis
 Sintesis
 Evaluasi
2. Urutan pertanyaan
3. Pertanyaan pelacak:
 Klasifikasi
 Pemberian alasan
 Kesepakatan
 Ketepatan
 Relevansi
 Contoh
 Jawaban kompleks
4. Mendorong terjadinya interaksi
Ket
13
3)
Keterampilan bertanya penguatan.
No
Komponen
1. Penguatan verbal:
 Kata-kata
 Bagus
 Benar
 Tepat
 Kalimat
 Pekerjaanmu baik sekali
 Saya senang dengan pekerjaanmu
 Pekerjaanmu makin lama makin baik
2. Penguatan nonverbal:
 Mimik/gerak tubuh
 Mendekati
 Sentuhan
4)
Keterampilan mengadakan variasi.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
5)
Ket
Komponen (gaya mengajar)
Suara: nada suara, volume suara, kecepatan bicara
Mimik dan gerak: tangan dan badan, untuk memperjelas
Kesenyapan: memberi waktu senyap/hening dalam pembicaraan
Kontak pandang: melayangkan pandangan/kontak pandang dengan
peserta
Perubahan posisi: gerak
Memusatkan: tekana pada butir yang penting
Variasi visual: dengan alat pelajaran
Variasi oral: suara/rekaman
Ket
Keterampilan menjelaskan.
No
Komponen
1. Kejelasan:
 Menggunakan kalimat yang berbelit-belit
 Menghindari kata yang berlebihan dan yang meragukan
2. Penggunaan contoh/ilustrasi:
 Menggunakan contoh-contoh
 Contoh relevan dengan penjelasan
 Contoh sesuai dengan kemampuan peserta
3. Pengorganisasian:
 Pola/struktur sajian
 Memberikan ikhtisar butir yang penting
4. Penekanan pada yang penting:
 Dengan suara
 Dengan cara mengulangi
 Dengan gambar, demontrasi
 Dengan mimik, gerakan
5. Balikan: mengajukan pertanyaan
Ket
14
6)
Keterampilan membuka-menutup.
No
1.
2.
3.
4.
1.
2.
7)
Komponen
Membuka.
Menarik perhatian peserta:
 Gaya mengajar
 Penggunaan alat bantu
 Pola interaksi
Menimbulkan motivasi:
 Kehangatan/antusiasme
 Menimbulkan rasa ingin tau
 Mengemukakan ide
 Memperhatikan minat peserta
Memberi acuan:
 Mengemukakan tujuan
 Langkah-langkah
 Mengajukan pertanyaan-pertanyaan
Membuat kaitab:
 Membandingkan pengetahuan baru dengan yang lama
 Menjelaskan konsep sebelum bahan dirinci
Menutup.
Meninjau kembali: merangkum/meringkaskan
Mengevaluasi: demonstrasi, dsb.
Ket
Keterampilan membimbing diskusi kelompok.
No
Komponen
1. Memusatkan perhatian:
 Merumuskan tujuan
 Merumuskan masalah
 Membuat rangkuman
2. Memperjelas masalah dan urun pendapat:
 Merangkum
 Menggali
 Menguraikan secara rinci
3. Menganalisas pandangan peserta:
 Menandai persetujuan/ketidaksetujuan
 Meneliti alasannya
4. Meningkatkan urunan peserta:
 Menimbulkan pertanyaan
 Menggunakan contoh
 Menunggu
 Memberi dukungan
5. Menyebarkan kesempatan berpartisipasi:
 Meneliti pandangan
 Menghentikan monopoli
6. Menutup diskusi:
 Merangkum
 Menilai
Ket
15
8)
Keterampilan mengelola kelas.
No
Komponen
1. Bersikap tanggap:
 Memandang peserta secara seksama
 Gerakan mendekati
 Teguran
2. Memberi perhatian:
 Secara visual
 Secara verbal
 Visual - verbal
3. Memusatkan perhatian kelompok:
 Menyiapkan
 Mengarahkan perhatian
 Menyusun komentar
4. Menuntun tanggungjawab peserta:
 Meminta peserta lain mengawasi rekannya
 Meminta peserta menunjukkan pekerjaannya
5. Petunjuk yang jelas:
 Kepada seluruh kelas
 Kepada individu
9)
Keterampilan mengajar kelompok kecil.
No
Komponen
1. Keterampilan pengorganisasian
 Memberi motivasi
 Membuat variasi tugas
 Menutup
2. Membimbing dan memudahkan belajar
 Memberi penguatan
 Supervisi proses awal
 Supervisi proses
 Interaksi
3. Rencana penggunaan:
 Ruangan
 Alat-alat
 Sumber
 Gerakan peserta
 Gerakan dosen
4. Apakah tugas:
 Diarahkan dengan jelas?
 Menarik dan menantang?
 Memberikan kesempatan?
10)
Ket
Ket
Keterampilan mengajar perorangan.
No
Komponen
1. Berkomunikasi antarpribadi:
 Menunjukkan kehangatan
 Menunjukkan kepekaan
 Mendengarkan
 Merespons
Ket
16
2.
3.
4.
c.
 Mendukung
 Mengerti perasaan
 Menangani emosi peserta
Merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar:
 Menetapkan tujuan
 Merencanakan kegiatan
 Memberi nasihat
 Membantu menilai
Rencana:
 Kegiatan setiap orang
 Penyediaan alat
 Penyediaan sumber
 Cara membantu peserta
Cara pendekatan dosen:
 Menyenangkan
 Menantang peserta berpikir
 Mendorong peserta berpendapat
 Mendorong peserta menyelesaikan tugas
Sekedar ilustrasi – ruang pikiran tambahan.
1)
Fatamorgana. Hal yang mau diingatkan adalah waktu untuk mengumpulkan data –
informasi mengenai peserta. Dari aspek waktu tidak cukup untuk mendokumentasikan
atau mengadministrasi peserta. Maka taatkala menyebut seseorang pandai atau fleksibel,
bagai fatamorgana; jelas dipenuhi bayang-bayang. Dokumen masa studi di STLA tidak
ada, demikian portofolio lainnya, juga minim kalau tidak mau dikatakan tidak ada (blind
data).
2)
Kecerdasan ganda. Menggunakan cara pikir konstruktivisme dalam pendidikan,
khususnya di ruang kelas, tidak mudah. Tetapi perlu dilakukan. Persoalannya, bagaimana
caranya. Dapat terjadi pengalaman menjadi aset untuk melakukan inovasi alamiah yang
dapat dipersamakan dengan pengelolaan kelas majemuk dan profesional.
3)
“Mencuplik” dari besaran. Kuliah PAK di PTU bukanlah jenis kuliah mayor. Kalau pun
dikelompokkan sebagai matakuliah pengembangan kepribadian,22 itu semacam pemberian
status sebagai penting – mendasari sikap hidup seseorang yang kelak menyandang cerdik
pandai – sarjana. Dalam kesarjanaannya, ia mampu memasukan dirinya dalam
“bedongan” keyakinannya agar tidak mudah hanyut atau tenggelam dalam lautan
informasi yang bebas nilai.
Mencuplik peserta 3 sks yang hanya sekali, tidak mudah. Dalam keseluruhan masa studi
maksimal 4 tahun, perlu strategi tertentu. Apa strategi itu? Ada yang mengatakan terapkan
prinsip pedagogi murni. Sebaliknya ada juga yang berpendapat terapkan prinsip
22
Hal ini diperjelas oleh visi, misi dan kompetensi MK Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi. Dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu
Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi dijelaksan bahwa visi kelompok MPK di
perguruan tinggi rnerupakan sumber nilai dan pedornan dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna
mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Misi Kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan
nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab. Standar kompetensi kelompok
MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis: bersikap rasional,
etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban (Pasal 1, 2 dan 3 ayat (1).
17
andragogi secara fleksibel.23 Karena pendidikan modern melihat dan memperlakukan
peserta didik sebagai insan yang sedang mengembara ke pencapaian cita-cita hidupnya.24
Di sini perlu kahadiran seorang dewasa yang ekspert!.
4)
Ekspert di sini dapat direpresentasi oleh:
a)
Kapasitas pendidikan formal di bidang pendidikan agama katolik.
-
Dosen mesti paham betul, misalnya membahas bersama Gereja, perlu dimapping, hal mana saja yang dianggap relevan dan urgen.25
-
Dosen sebagai profesi merupakan jabatan atau pekerjaan yang menuntut
keahlian (Saud, 2009: 6).26
b)
Pengalaman hidup yang ajeq dapat menjadi role model. Ini sebetulnya lebih
banyak cocoknya pada pembinaan di luar kelas, karena aspek pengalaman tanpa
menekankan kapasitas pendidikan formal (dalam ketentuan dikenal dengan istilah
rekognisi pembelajaran masa lampau -RPL). Pengalaman hidup – rohani, akan
tampak dalam performa ke-bapak-an yang dapat terjadi lebih menekankan pada
penerimaan –afirmasi kebutuhan peserta didik (pamong).
c)
Kemampuan mengelola kelas. Cukup kuat tekanan diberikan kepada dosen untuk
mengelola kelas secara profesional. Untuk kelas PAK di PTU, pengelolaan kelas
merupakan persoalan tersendiri.27 Karena kelas dapat berarti “ruang di bawah langit
untuk dapat bernafas”.
Kelas merupakan sarana ideal untuk belajar bersama. Namun dalam kondisi tertentu
halaman atau ruang kosong di Paroki dapat menjadi pengganti ruang kelas
akademik. Seorang ekspert, dapat terjadi tidak mempersoalkan ruang kelas yang
dibatasi. Malah mungkin lebih positif di luar. Hanya yang perlu menjadi
23
Pedagogik adalah istilah Yunani „paedos‟ artinya anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Secara harfiah
berarti pembantu anak laki-laki zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar anak majikan ke sekolah. Di kemudian hari makna
tu berkembang menjadi ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak „mampu secara
mandiri menyelesaikan tugas hidupnya‟. Term pedagogik dalam istilah Inggrisnya adalah „education‟ dan ini berhubungan dengan
kata Latin „educere‟, artinya „mengeluarkan sesuatu kemampuan‟ (e = keluar, ducere = memimpin). Jadi membimbing untuk
mengeluarkan suatu kemampuan yang tersimpan dalam diri anak. Educere ditemukan dalam kata konduktor = seseorang yang
memimpin sekelompok pemain musik; dalam kata kondektur = seseorang yang memimpin kereta api dalam perjalanan; konduktor =
bahan (biasanya logam) yang dapat „membawa aliran listrik‟. Singkatnya, pedagogik orientasinya kepada anak. Andragogi, kata
Yunani „andr‟ = orang dewasa, dan „agogos‟ = memimpin atau membimbing. Lalu dirumuskan sebagai „seni dan ilmu dalam
membantu warga (orang dewasa) untuk belajar. Uyoh, Sadulloh. Pedagogi (Ilmu mendidik). Bandung: Alfabeta. 2010. Hal 2-6.
24
Pesan Delors - UNESCO: learning to know, learning to do, learningto be, dan learning to live together.
25
Misalnya, buku Katolisisme, karangan Thomas P. Rausch, terj. Agus M, Hardjana. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Judul aslinya
“Catholicism, at the down of the third millenium”, diterjemahkan dengan judul “Katolisisme, teologi bagi kaum awam.” Tom
Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II. Jogyakarta: Kanisius. I. Ismartono, SJ. Kuliah Agama Katolik di Perguruan Tinggi, khususnya
Model-Model Gereja [saduran dari Avery Dulles]. Jakarta: Obor.
26
Syarat profesi: 1) lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi; 2) seorang
pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip
pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya; 3) memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu
mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan; 4) memiliki )kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah lagi, sikap dan
cara kerja; 5) membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi; 6) adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan,
spesialisasi dan dalam profesi; 8) memandang profesi sebagai suatu karir dan menjadi seorang anggota yang permanen (Saud, 2009:
15). Kapasitas formal tersebut merupakan sebuah cita-cita suci. Bdk. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi jo Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi.
27
Pengelolaan kelas merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar. Hamid, Darmadi. Kemampuan dasar mengajar. Bandung:
Alfabeta, 2009. Moh Uzer Usman. Menjadi guru profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Sudjana. Metode & teknik
pembelajaran partisipatif. Bandung: Falah Production, 2001.
18
pertimbangan adalah bahan diskusi bersama, selain kondisi fisik dan kesehatan
peserta diri, berikut peristiwa psikologis tertenti (fobia?).28
Poinnya, pengalaman kelas bertujuan untuk bagaimana peserta berpartisipasi dalam
keseluruhan proses pembelajaran dengan penuh motivasi, gairah, dan mampu
berekspresi-eksplorasi ide-ide yang positif; mampu berdebat menurut kaidah-kaidah
ilmiah ilmu pengetahuan, sebagai tanda kedewasaan dalam berpikir dan
mengungkapkan pendapatnya.
d)
4.
Menilai. Menilai merupakan sebuah tahapan yang tidak selalu mudah. Bagi ekspert,
bisa jadi “proses menjadi poin penting seseorang mengumpulkan nilainya.” Tetapi
ada juga yang tidak. Bahkan dapat terjadi “pertemuan pertama yang memberi kesan
positif akan menjadi garansi” di pasca pertemuan ke-16 untuk memperoleh nilai
positif. Namun yang namanya dosen, ada yang disebut dengan memiliki kritera
tertentu yang tidak mudah ditebak menurut prinsip ilmu pengetahuan dan penilaian;
bagai seorang hakim yang memutus suatu perkara yaitu dengan mengedepankan
kekuatan atau keyakinan “demi Tuhan Yang Maha Esa dan atas nama keadilan”
menjatuhkan putusan memberi nilai [akademis] peserta. Setidaknya portofolio
menjadi alat untuk mendukung setiap putusan menilai.
Penutup
a.
Kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi umum tujuan jauhnya adalah
mempersiapkan kaum muda katolik menjalani hidupnya di kemudian hari penuh makna;
menjadi sarjana yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai imannya dengan dunia
nyatanya (harapannya: positif). Kita perlu optimis karena tiap orang mempunyai caranya
sendiri-sendiri untuk mencapai dan mewujudkan kebahagiaan hidupnya.
b.
Sekalipun urusan pribadi untuk pencapaian bahagia, namun kerja sama semua pihak tidak
dianggap sederhana. Efek kerja sama ada di kemudian hari, ketika individu berada dalam
kebersamaan dengan masyarakatnya, membangun bangsanya (yang heterogen-majemuk)
dibutuhkan pemahaman yang positif terhadap dinamika perubahan sosial.
c.
Gereja Katolik dan Pemerintah menjadi pilar penting dalam usaha mengantar generasi
muda yang penuh idealisme membangun diri, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya.
Empat pilar NKRI menjadi fondasi bagaimana seorang warga masyarakat Katolik
berjuang untuk mencapai seratus persen Katolik dan seratus persen pancasilais.29 Sejarah
telah menunjukkan bagaimana kokohnya Pancasila sebagai dasar dan pola hidup bangsa.
Terima kasih.
28
Fobia adalah kondisi psikologis yang menggambarkan ketakutan sebagai reaksi manusiawi berupa mekanisme perlindungan bagi
seseorang dalam keadaan bahaya. Ketakutan merupakan emosi yang timbul pada waktu orang dihadapkan pada suatu ancaman
tertentu yang membahayakan hidup atau bidang-bidang kehidupan tertentu. Ketakutan dapat menjadi tanda peringatan terhadap
hidup; peringatan agar berhenti, melihat dan mendengarkan. Dalam situasi yang menakutkan, mengancam kebahagiaan atau sukses,
sering terjadi serangan rasa nyeri pada perut, telapak tangan berkeringat, jantung berdenyut kencang, malas bergerak, gagap bicara,
dll. Frank S. Caprio. Mengatasi rasa sepi, frustrasi dan rendah diri. Jakarta: Mega Media. 1985. Hal 33-35.
29
Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila. Hubungan Gereja dan Negara pedoman MAWI bagi Umat Katolik. Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan MAWI. 1985. Antara lain dijelaskan bahwa “Iman Katolik tidak memisahkan Umat Katolik dari
kebersamaan hidup kemasyarakatan dengan warga negara lain sebangsa dan setanah air (42). Peranserta Umat Katolik di dalam
masyarakat Indonesia tidak hanya terungkap dalam kehidupan bersama sebagai tetangga sehari-hari, tetapi juga dalam gerakan
kebangkitan nasional dan dalam perjuangan kemerdekaan yang dirintis oleh para pelopor bangsa. Di dalam jajaran pahlawan dan
pemuka bangsa terdapat putera-putera Katolik, yang jasa mereka diakui secara nasional. Di samping itu, Gereja dan Umat Katolik
seluruhnya turut mengusahakan karya mencerdaskan bangsa, khususnya melalui jaringan lembaga-lembaga pendidikan (43). Dokpen
MAWI, 1985: 21.
19
Download