KURIKULUM PAK PTU: Berbagi Catatan Atas Pelaksanaan PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI PERGURUAN TINGGI UMUM1 “semakin demokrasi, semakin terbuka, Semakin potensi konflik terbuka, Semakin ide berkembang bebas, Semakin jati diri terungkap dan terkurung” (aloma sarumaha, 2017). 1. Pendahuluan a. Latar belakang 1) 2) Kondisi riil: bercermin pada kaca buram? a) Fakta terurai. Bicara [soal] pendidikan agama, termasuk Katolik, bukanlah hal baru (hot news). Sudah menjadi pemahaman umum bahwa pendidikan agama adalah sarana untuk menyembuhkan situasi sosial yang kadang mengalami disharmoni atau distorsi. Maka tidak heran kalau ada peristiwa di mana pun, pelajaran dan/atau kuliah agama menjadi bahan pertanyaan (atau diskusi lepas – retoris), “apa sih yang dikerjakan dengan pendidikan agama di sekolah (baca: juga di perguruan tinggi) khususnya?”.2 b) Mendera agama atas atribut norma moral dan perilaku. Selain itu, untuk melengkapi (semacam) tuduhan atau gugatan (positif) kepada pendidikan agama yang dianggap kurang kapabel dalam mengatasi masalah sosial, maka digandengkan dengan apa yang disebut dengan pendidikan budi pekerti (maka tidak heran kalau perilaku hidup bermasyarakat juga juga menjadi sasaran empuk). c) Memperluas cakupan isu. Bahkan, di beberapa tempat, pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti dianggap dapat saja digabungkan menjadi pendidikan religiositas, yang diprediksi dapat memberikan bantuan untuk memahami dinamika masyarakat mulai dari keyakinannya, relasinya dengan sesamanya sampai tata berkehidupan yang menyokong langgengnya harmoni kehidupan masyarakat.3 Posisi kurikulum PAK di PTU a) Penguatan regulasi: amanat konstitusi (mandatori). Bila mencermati regulasi yang ada, misalnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, jelas bahwa Pendidikan Agama menjadi bagian penting dalam struktur kurikulum. Artinya salah satu hal yang menjadi bahasan dalam UndangUndang tersebut adalah Kurikulum, malah Pendidikan Agama menjadi hal “wajib” 1 oleh Dr. Aloma Sarumaha, MA., M.Si. Disampaikan pada Pembinaan Dosen Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum Regio Timur di Kupang tgl. 23-26 November 2018. Direktorat Pendidikan Katolik, DITJENBIMAS Katolik Kementerian Agama RI. Dengan perubahan di beberapa bagian, bahan ini pernah disampaikan pada pertemuan yang sama untuk Regio Tengah di Banjarmasin, tgl. 19-22 Juli 2017, Regio Barat di Batam, Kepulauan Riau tgl. 28-31 Agustus 2017. 2 Salah satu situasi sosial yang dianggap tidak positif di level birokrasi pemerintahan adalah perilaku korupsi, di level perguruan tinggi plagiasi, di level masyarakat pelecehan, hingga penghilangan nyawa manusia, termasuk yang dicor dalam lantai rumah atau dimasukan dalam drum.... bahkan seperti di mancanegara ada yang menjadikan tubuh manusia sebagai santapan (https://food.detik.com/info-kuliner/d-4311281/sadis-wanita-ini-mutilasi-kekasihnya-dan-memasaknya-jadi-nasi-kabsa diunduh Kamis 22 Nov 2018, jam 13.04. Sadis! Wanita Ini Mutilasi Kekasihnya dan Memasaknya Jadi Nasi Kabsa. Wanita asal Maroko telah dituduh menghabisi kekasihnya sendiri. Dikutip dalam Dailymail (20/11) alasan wanita ini menghabisi kekasihnya adalah karena mengungkapkan rencana untuk menikah dengan wanita lain. Fakta-fakta tersebut dapat menjadi alat untuk bertanya, apakah agama sama sekali tidak berfungsi dalam mengendalikan perilaku manusia baik sebagai individu maupun kelompok? 3 Menuju Budaya Hidup Damai. Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau. Konferensi Waligereja Indonesia. Jakarta, 2018. 1 harus ada. Dengan demikian, adanya Pendidikan Agama dalam Kurikulum Pendidikan, menjadikan penyelenggara pendidikan semakin percaya diri bahwa lembaga pendidikan yang diselenggarakan bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki pemahaman yang memadai mengenai agama (baca: Tuhan) beserta dampaknya dalam kehidupan manusia. Selain itu, juga mempertegas bahwa lembaga pendidikan tidak semata-mata hanya mengejar keunggulan kompetitif pada level profan, tetapi juga pada level spiritual, yang tampil dalam bentuk frase iman, takwa, akhlak mulia. Dengan demikian, tujuan pendidikan tinggi (UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi)4 mempertegas amanah UUD 1945, khususnya Pasal 31 ayat (5) mengamanatkan agar Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kemajuan adalah sebuah proses mencapai keseimbangan antara hal profan dan sakral (harmonis sosial). b) Kontrol Sosial.5 Kajian-kajian ilmu sosial (seperti Antropologi, Sosiologi dan Psikologi) mencoba memahami agama pada setidaknya dalam dua tataran yaitu tataran horison dan vertikal. Tataran horison untuk menjelaskan bagaimana rangkaian aktivitas manusia dalam usahanya mencapai tujuan hidupnya memerlukan transendensi. Ini bertujuan agar aktivitas tersebut mempunyai nilai spiritual, nilai rohani. Sementara pada tataran vertikal ingin menjelaskan bagaimana aktivitas horison tersebut memperoleh pembenaran dari “Atas”. Dinamika tataran horison dan vertikal mensyaratkan norma atau kriteria agar tidak terjadi kekacauan karena ambisi masing-masing. Fungsi sosial kontrol bekerja untuk mensinerjikan berbagai hal. Karena itu secara sosial, agama kerap dikatakan sebagai menjalankan fungsi integrasi masyarakat. Selain fungsi integrasi adalah fungsi konflik (disintegrasi). Pada konteks ini jelas bahwa agama “mengandung dimensi positif dan negatif” dalam kehidupan manusia.6 4 Pendidikan Tinggi bertujuan: a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 5). Dalam Pasal 4 dikemukakan fungsi Pendidikan Tinggi, yaitu: a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. 5 Dinamika global, seolah mengajak semua pihak untuk berlomba mencapai tingkat maksimal dari cita-citanya; setiap hal dapat diperlakukan sebagai panggung kontestasi yang diperebutkan dengan berbagai strategi tertentu. Maka dalam Penjelasan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, antara lain ditegaskan bahwa “Pada tataran praktis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antarbangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa lain di pihak lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan karya Penelitian dalam cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.” 6 Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc., Publishers. 2000 Negara Teater. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2013 Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Pengantar Taufik Abdulah. Depok: Komunitas Bambu. Jurgensmeyer, Mark2002. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Judul asli: Terror in the Mind of God: the Global Rice of Religious Violence. Penerj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam Press. Kimball, Charles 2013 Kala Agama Menjadi Bencana. Judul asli: When Religion Becomes Evil. Penerj. Nurhadi dan Izzuddin Washil. Bandung: Mizan 2 Terdapat kajian-kajian yang menjelaskan dengan baik hal itu. Durkheim menjelaskan agama sebagai kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaannya.7 Pada level tertentu, Kurikulum membatasi hal yang dianggap relevan dikaji atau dibahas bersama peserta dalam ruang akademik. Pembatasan itulah yang Gereja Katolik sebagai batas normal yang membantu peserta untuk mengusahakan kesarjanaannya diresapi oleh substansi agamanya (Pendidikan Agama Katolik). c) Wajah Gereja Katolik. PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pada Pasal 37 ayat (5) ditegaskan bahwa “Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja Katolik.” Kalau pun konteks Pasal itu adalah Pendidikan Keagamaan Katolik, substansi tetap menjadi domain Gereja Katolik. Hal ini sejalan dengan KHK Kanon 804, yang menegaskan bahwa “Otoritas Gereja berwenang atas pengajaran dan pendidikan agama katolik, yang diberikan di sekolah-sekolah mana pun atau diselenggarakan dengan pelbagai sarana komunikasi sosial; Konferensi para Uskup bertugas mengeluarkan norma-norma umum di bidang kegiatan itu, dan Uskup diosesan bertugas mengatur dan mengawasinya” (ayat 1).8 Selain itu dalam Kan 229 dikemukakan,”Mereka juga mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan yang lebih penuh dalam ilmu-ilmu suci yang diberikan di universitasuniversitas atau fakultas-fakultas gerejawi atau lembaga-lembaga ilmu keagamaan, dengan mengikuti kuliah-kuliah dan meraih gelar-gelar akademis” (§ 2). Begitu pentingnya individu yang dalam hal ini adalah peserta (mahasiswa) dalam usahanya mencapai tujuan hidupnya; perlu didampingi, dituntun. Bagaimana dituntun, terkait isi – substansi, Gereja memiliki wewenang penuh. Peserta yang adalah mahasiswa tergolong dalam kategori dewasa yang menjadi harapan Gereja. Kerap disebut sebagai Gereja masa depan.9 d) Hit and run. Dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola dikenal istilah “hit and run” – giring dan tendang atau lepas.... Kurikulum dapat bertindak sebagai bola yang 7 Durkheim, Emile. 2003 Sejarah Agama. Judul asli The Elementary Forms of the Religious Life. Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD. 8 Dalam Kan 217 dikemukakan bahwa “Kaum beriman kristiani, yang karena baptis dipanggil untuk menjalani hidup yang selaras dengan ajaran injili, mempunyai hak atas pendidikan kristiani, agar dengan itu dibina sewajarnya untuk mencapai kedewasaan pribadi manusiawi dan sekaligus untuk mengenal dan menghayati misteri keselamatan.” 9 Sebagai kategori sosial menjanjikan, berbagai harapan digelar. Dalam kesempatan menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari Pahlawan di Alun-alun Kajen, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis 22-11-2018, Presiden Joko Widodo, seluruh elemen di negeri ini, termasuk Gerakan Pemuda Ansor, seyogianya menjaga persatuan dan kerukunan bangsa. Pasalnya, persatuan dan kerukunan bangsa adalah aset terbesar yang perlu terus dirawat serta dipelihara. Dengan memelihara persatuan dan kerukunan, segala kemungkinan yang bisa memecah-mecah bangsa dapat dicegah serta dihindari. Di bawah judul “GP Ansor Diajak Rawat Persatuan”. Harian Kompas, Jumat 23 November 2018, hal 3. Senada, opini Ismail Fahmi Arrauf Nasution di bawah judul “Sungutan Radikalisme dan peran Perguruan Tinggi” juga mengingatkan bagaimana mahasiswa tidak mengalami kegersangan spiritual, sehingga perilaku radikal dapat ditangkal dengan arif dan bijak. Harian Kompas, Jumat 23 November 2018, hal 6. Harian Media Jumat 23 Nov 2018 hal 1 juga menegaskan hal yang sama, di bawah judul “Kaum Muda Energi Positif bagi Demokrasi”; Prananda Paloh mengatakan bahwa „kaum muda menjadi kunci baik-buruknya demokrasi. Anak muda progesif dan mampu membawa cara berpikir yang out of the box dan suka tidak suka membawa warna....‟. Demikian juga DPR, di bawah judul “DPR Ajak Mahasiswa Membangun Karakter dan Budaya Literasi”, Harian Media Jumat 23 Nov 2018 hal 4. Sekolah menjadi benteng bagaimana harapan-harapan itu ditransformasi, diantaranya pelajaran agama menjadi alat kontrol yang berusaha memperjelas posisi manusia dalam tata dunia. Kompas menurunkan berita di bawah judul “Sekolah Bentengi Toleransi”, Jumat 23 November 2018 hal 11. 3 mengelinding menyentuh batas kekuatan pemain untuk menegaskan indahnya permainan, yang akhirnya mencapai goal.10 Gawang adalah tujuan akhir dari serangkaian aktivitas di lapangan hijau. Kalau gawang itu dianalogikan sebagai surga, maka bola yang bulat (dapat bergulir dengan sangat bebas; gulir-an akan berhenti dengan sendirinya ketika ada keseimbangan yang konstan) mewakili pandangan manusia mengenai sesuatu hal, menuntunnya sampai ke tujuan akhir hidupnya. Penggiringan bola yang adalah dinamika pandangan manusia (pikiran, penghayatan, sikap dan tindakan) menentukan strategi bagaimana memaknai hidupnya agar nyampang sampai ke gawang. Setidaknya empat hal itu yang memperkuat posisi kurikulum Pendidikan Agama Katolik di PTU. Sekarang kita memiliki draf Kurikulum PAK di PTU perlu disosialisasi secara terstruktur dan berkelanjutan. Mengapa sosialisasi, sementara kurikulum posisinya masih draft? Setidaknya dua cara pikir yang dapat digunakan, yaitu induktif – apriori (cara individu dan/atau kelompok menyikapi sesuatu hal) dan deduktif – aposteriori (dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan untuk menyelamatkan semua). Apakah draft sesuatu hal dapat disosialisasi? Umum dapat dijawab, “ya”, tentu dengan tujuan untuk mendapatkan tanggapan positif sebelum diberlakukan. Ini namanya “uji publik” (walau terbatas). Sementara kalau sudah jadi dokumen resmi, ia menjadi alat untuk mencapai sesuatu (visi, misi bersama). Sosialisasi dengan model regio bermaksud menyiapkan atau mengkondisikan (simultan, pertimbangan geografis) untuk pelaksanaan selanjutnya. Peserta yang ikut sosialisasi akan memahami filosofi PAK di PTU. Sejauh yang saya ketahui, pertemuan ini untuk pertama sekali di wilayah NTT. b. Tujuan 1) Menyamakan persepsi mengenai eksistensi kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi umum. Hal ini dilatari oleh latar belakang dosen yang tidak semua berbasis agama (sarjana agama), tidak semua memiliki status kepegawaian sama (PNS atau Non PNS), dinamika kuliah pendidikan agama katolik juga tidak sama saja. Dengan demikian, pengelolaan Pendidikan Agama Katolik di PTU menjadi bahan pemikiran serius.11 10 Dewasa ini istilah “revolusi industri 4.0” sudah menjadi biasa. Istilah “industri 4.0” berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik. Isu itu diangkat kembali dalam pameran industri Hannover Messe pada tahun 2011. Pada tahun 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan industri 4.0 kepada pemerintah federal Jerman. Anggota kelompok kerja itu diakui sebagai bapak pendiri sekaligus perintis industri 4.0. Salah satu Profesor Klaus Schwab, ekonom Jerman yang juga pendiri World Economic Forum. Laporan akhir World Economic on Insdustry 4.0 dipaparkan dalam Hannover Fair pada 8 April 2013. Revolusi Industri 4.0 kata Schwab, secara fundamental berbeda dengan revolusi industri jilid sebelumnya. Revolusi Industri 4.0 membuat batas antara dunia digital, fisik dan biologis makin tipis, bahkan menghilangkannya. Kecerdasan buatan, tekologi robot, big data, dan internet of things membuat semua elemen dalam kehidupan manusia terhubung dengan mudah. Tempo, Edisi 12-18 November 2018, hal 74. Untuk dapat mengikuti dinamika dan akselerasinya maka diperlukan modal sosial yang cukup. Field, John 2010 Modal Sosial. Judul asli Social Capital. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: KREASI WACANA. Yang jelas dalam Revolusi Industri 4.0 mensyaratkan “luas dan padatnya jaringan dalam kehidupan” menentukan kualitas hidup manusia. 11 Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum dapat berfungsi sebagai landasan etik, moral dan spiritual bagi pembangunan sensitifitas akademika untuk pembangunan manusia. Kalau mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 37 ayat (2), Pendidikan Agama menjadi matakuliah wajib bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa. Dalam Penjelasan Pasal 37 dikemukakan Ayat (1) Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: 1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; 2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan 3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak mencantumkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah di Perguruan Tinggi. Hal ini dianggap menjadi “ruang bebas” terjadinya eskalasi pemahaman mengenai perkembangan iptek yang berdampak pada terganggunya dinamika harmoni sosial dengan munculnya paham-paham yang dianggap mengganggu seperti radikalisme, ekstrisme, intoleran, ujaran kebencian. Gejala sosial itu seperti semakin menjadi-jadi, sekali pun dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sudah mencantumkan Pancasila sebagai matakuliah wajib; Pasal 35 ayat (3) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. agama; b. Pancasila; c. kewarganegaraan; dan d. bahasa Indonesia. Dalam Penjelasan disebutkan Ayat (3) Huruf a, yang dimaksud dengan “mata kuliah agama” adalah pendidikan untuk membentuk Mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Huruf b, yang dimaksud dengan “mata kuliah Pancasila” adalah Pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada Mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Huruf c, yang dimaksud dengan “mata kuliah kewarganegaraan” adalah pendidikan yang mencakup Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. 4 c. 2) Mengajak dosen kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi umum untuk tetap konsisten melaksanakan tugas memberikan kuliah sebagai bagian dari panggilan mewartakan Kabar Gembira dengan cara menanamkan nilai-nilai kristiani untuk kemudian menjadi bekal membangun bangsa yang majemuk.12 3) Dosen perlu memahami kurikulum yang baru, yang memberikan ruang kepada kemajemukan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara: wawasan kebangsaan. Hal ini menjadi penting karena kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi umum memiliki metodologi yang khas, yang tidak sama saja dengan metodologi matakuliah lainnya. Dan sekali pun waktunya tidak banyak, diharapkan dapat menjadi kekuatan integrasi sosial berbasis kampus yang identik dengan “ruang ilmiah – rasionalitas.” Alibinya, menjadi pilar penangkal isu-isu mutakhir yang sering dinamaidirasakan-dijustifikasi sebagai ekstrim. Dasar 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Perpres Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. PMA Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Agama Pada Sekolah. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. PMA Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi. Tempat Katekese Dalam Proses Pembelajaran PAK di PTU a. b. Umum. 1) Kuliah PAK menyiasati katekese sebagai sarana komunikasi iman. 2) Katekese mentransformasikan aspek kehidupan Gereja Katolik secara tematik. Khusus, treatmen. 1) Metodologi pembelajaran, proses pembelajaran PAK di PTU Apakah mengajar/kuliah PAK di PTU sama saja dengan berkatekese?13 Memberi kuliah vs berkatekese dipengaruhi oleh pemahaman yang memadai mengenai karakteristik, yang bermuara pada tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini sketsa untuk bahan cermatan, sbb: Kan. 795 menegaskan bahwa “Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.” 12 Tampaknya pertanyaan yang sama pernah muncul di sekitar tahun 1980-an, dikenal dengan istilah “telur Malino”; kalau tidak keliru dalam konteks pola PAK. Tiga term yang berkembang dan dikaji dengan serius yaitu pendidikan, katekese dan pendidikan agama. Mereka yang rajin menghadiri PKKI, hal itu tidak asing.... bahkan bisa menjadi sumber informasi yang sejuk. 5 13 Kuliah Pendidikan Agama Katolik di PTU Katekese Pendekatan Ilmiah - Struktural Pendekatan fungsional - praksis Unsur falsifikasi dan verifikasi – pengaruh nalar Unsur apologi – tekanan pada verstehen – baharui perilaku Apakah kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi “bertindak atas nama” melanjutkan tugas katekese? Atau mempersiapkan katekese? Apakah memang dosen harus berpikir sampai ke hal itu? Itulah yang pernah saya kemukakan dalam diskusi penyusunan kurikulum PAK di PTU di Hotel Ibis Slipi Jakarta, tgl. 29 Mei – 2 Juni 2017 lalu, ada kesan, ibaratnya kita ingin “memasukan gajah dalam lubang harum”. Mengapa? Karena begitu tinggi ekspektasi kita terhadap keberadaan peserta dan kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi (umum) sebagai materi penting dan individu yang sedang mempersiapkan diri menjadi sarjana atau ahli terapan.14 Setelah kurang lebih 1 tahun 5 bulan: apakah ada ide baru mengenai rancangan Kurikulum yang baru saja kita susun? (khususnya bagi yang ikut hadir dalam menyusun kurikulum itu). Ide berkembang bermanfaat untuk penyempurnaan. Saya lupa, siapa wakil NTT saat di Slipi itu? Kongregasi Iman (2000:56),15 menjelaskan bahwa hubungan antara pelajaran agama di sekolahsekolah dan ketekese merupakan hubungan yang berbeda dan saling melengkapi: secara mutlak harus dibedakan pelajaran agama dengan katekese. Pelajaran agama di sekolah ialah kenyataan bahwa ia dipanggil untuk meresapi satu bidang budaya yang khas dan untuk berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai bentuk asli dari pelayanan sabda, dia menghadirkan Injil dalam sebuah proses personal dan asimilasi kultural, sistematis dan kritis. Oleh karena itu, pelajaran agama di sekolah hendaknya tampil sebagai disiplin studi, dengan tuntutan dan kepentingan yang sama dengan disiplin-disiplin yang lain. Pelajaran agama harus menyampaikan pesan dan peristiwa kristiani dengan kesungguhan dan kedalaman yang sama dengan apa disajikan oleh disiplin-disiplin lain. Tidak dapat ditempatkan hanya sebagai tambahan, melainkan sebagai hal yang perlu dalam dialog indispliner. Tugas fundamental katekese adalah membantu mengetahui, merayakan, dan merenungkan misteri Kristus. (Kongregasi Iman, 2000: 71-72). Ketika kita katakan dosen pendidikan agama katolik di PTU adalah katekis, Kongregasi Iman (2000: 145), menegaskan bahwa: “katekis adalah seorang perantara. Ia mempermudah komunikasi antara manusia dengan misteri Allah, antara subyek-subyek diantara mereka sendiri, serta dengan komunitas. Karena alasan itulah, visi budaya, kondisi sosial, dan gaya hidupnya tidak boleh menjadi halangan bagi perjalanan iman, melainkan menolong menciptakan kondisi-kondisi yang paling menguntungkan untuk mencari, menyambut, dan memperdalam pesan kristiani. Ia tidak lupa, bahwa iman 14 Siapa individu itu? Adalah mahasiswa yang mempunyai pengaruh besar terhadap bagaimana mewujudkan impian perguruan tinggi, termasuk didalamnya materinya. Mungkin pertanyaan pengiring, apakah mahasiswa yang studi adalah orang-orang yang memang siap menempuh studi di perguruan tinggi? Tentu sistem dan materi rekruitmen ikut andil dalam hal ini. Bdk. J.I.G.M. Drost. Sekolah mengajar atau mendidik? Yogyakarta: Kanisius & Universitas Sanata Dharma. 1998. 15 Kongregasi Untuk Iman. Petunjuk Umum Katekese. Jakarta: Komkat KWI kerja sama Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 2000. 6 merupakan buah rahmat dan kebebasan. Maka, katekis meyakinkan bahwa kegiatankegiatannya selalu menarik dukungan dari iman akan Roh Kudus dan dan dari doa. Akhirnya, hubungan pribadi antara katekis dengan subyek amatlah penting.” Dapat dilukiskan sbb: Katekis Pendidikan Agama Katolik di PTU Allah – Yesus Kristus Dosen Pendidikan Agama Katolik di PTU Pengetahuan Catatan: Soal distingtif terminologi. Sekedar bahan diskusi, dalam cara pikir agama, status katekis di atas dosen (pemaknaan term). Dalam cara pikir ilmu-ilmu profan, dosen di atas status katekis. Dalam cara pikir lain, status sama, dengan tekanan berbeda.... Jadi tidak baik untuk kesehatan kalau terjadi konflik antara (term) dosen & katekis. Dua-duanya menjadi “jalan dan tangan kanan Yang Ilahi.” Hal ini dapat semakin terasa jika subyek pendidikan agama katolik/katekese adalah kaum muda/mahasiswa. Hal yang perlu diingat adalah katekese yang paling berhasil adalah katekese yang diberikan dalam konteks pemeliharaan pastoral yang lebih luas bagi kaum muda, khususnya bila berkenaan dengan masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh sebab itu, katekese harus diintegrasikan dengan prosedur tertentu, seperti analisa situasi, perhatian bagi ilmu pengetahuan manusiwasi dan pendidikan, kerja sama kaum awam dan kaum muda itu sendiri (Kongregasi Iman, 2000: 165) Efek lain. Apakah sosialisasi ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk pembinaan kepada katekis? Tidak bermaksud mendahului, saya menjawab “ya”. Kongregasi Iman (2000: 201) menjelaskan bahwa, ”mutu setiap kegiatan pastoral akan menghadapi resiko bila kegiatan ini tidak bersandar pada personel yang sungguh-sunggguh kompeten dan terlatih. Sarana-sarana yang disediakan bagi katekese tidak bisa efektif kalau tidak digunakan dengan baik oleh katekiskatekis yang terlatih. Maka, pembinaan katekis yang memadai tidak bisa diabaikan lewat perhatian-perhatian seperti pembaruan teks-teks dan penataan kembali katekese.” Pembinaan berusaha membuat para katekis sanggup meneruskan injil kepada mereka yang rindu menyerahkan diri kepada Yesus Kristus. Pusat dan dan puncak pembinaan kateketik terletak pada keterampilan dan kemampuan mengkomunikasikan pesan injil. Hal ini gayung bersambut dengan penegasan Kanon 804, yakni pembinaan dan pendidikan agama katolik, yang diberikan di sekolah-sekolah mana pun atau diselenggarakan dengan pelbagai sarana komunikasi sosial ada di bawah otoritas Gereja, adalah tugas konferensi Waligereja untuk mengeluarkan pedomanpedoman umum di bidang kegiatan itu, sedangkan uskup diosesan harus mengatur dan mengawasinya; kemudian, hendaknya ordinaris wilayah memperhatikan agar mereka yang diangkat menjadi guru-guru agama di sekolah, adalah orang-orang yang unggul dalam ajaran yang benar, dalam kesaksian hidup kristiani dan juga ahli dalam pendidikan.16 2) Format Rencana Pembelajaran Semesteran (RPS) Rencana kegiatan belajar dituangkan dalam bentuk rencana pembelajaran semester (RPS), dahulu namanya SAP. Dalam KKNI model yang disarankan adalah ADDIE, model yang 16 Dalam Kan 211 dikemukakan bahwa “Semua orang beriman kristiani mempunyai kewajiban dan hak mengusahakan agar warta ilahi keselamatan semakin menjangkau semua orang dari segala zaman dan di seluruh dunia.” 7 dikembangkan oleh Molenda (1990, dalam Illah Sailah, 2014) yaitu analysis, design, development, implementation, dan evaluation. Rancangan Analysis Design Development Implementation Evaluation Tahapan Luaran Menganalisis masalah-masalah pembelajaran sesuai kebutuhan belajar mahasiswa untuk mengidentifikasi capaian pembelajaran mata kuliah Design merupakan tahapan untuk menentukan indikator, instrumen, asesmen dan metode/strategi pembelajaran berdasarkan hasil tahapan analysis Berdasarkan tahapan design kemudian pada tahapan development, dikembangkan bahan pembelajaran dan media penghantarnya Berdasarkan tahapan development kemudian diimplementasikan dalam proses pembelajaran mahasiswa Berdasarkan pelaksanaan proses pembelajaran, kemudian dilakukan evaluasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas belajar mahasiswa dalam menggapai capaian pembelajaannya Kebutuhan belajar mahasiswa Capaian pembelajaran Indikator Instrumen asesmen Metode/strategi pembelajaran Tugas-tugas Bahan pembelajaran Media penghantaran Pelaksanaan pembelajaran Evaluasi pembelajaran Evaluasi proses pembelajaan Evaluasi hasil pembelajaran Sumber: Sutrisno & Suyadi, 2016: 157-158. Bentuk RPS memuat paling sedikit (Sutrisno & Suyadi, 2016: 159): 1. 2. 3. Nama program studi, nama dan kode matakuliah, semester, sks, nama dosen pengampu. Capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada matakuliah. Kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap pembelajaran untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan. Kriteria, indikator, dan bobot penilaian. Pengalaman belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam deskripsi tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester. Metode pembelajaran. Bahan kajian yang terkait dengan kemampuan yang akan dicapai. Waktu yang disediakan untuk mencapai kemampuan pada tiap tahap pembelajaran. Daftar referensi yang digunakan. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Contoh format RPS (Sutrisno & Suyadi, 2016: 160). Matakuliah : Pendidikan Agama Katolik Program Studi: Semester: Dosen: Kode: sks: 3. Waktu belajar (menit) Kriteria penilaian (indikator) Capaian Pembelajaran: Minggu ke... Kemampuan akhir yang diharapkan Bahan kajian (materi pelajaran) Bentuk pembelajaran Bobot nilai 1 2 3 4 5 8 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 UTS UAS Penjelasan: No Minggu ke... 2 Kemampuan yang diharapkan 3 Baha kajian (materi) Bentuk pembelajaran 4 3. Judul Kolom 1 5 Waktu belajar 6 Kriteria penilaian (indikator) 7 Bobot nilai Penjelasan Pengisian Menunjukkan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, yakni mulai minggu ke 1 sampai minggu ke 16 (satu semester) Rumusan kemampuan di bidang kognitif, psikomotorik dan afektif diusahakan lengkap dan utuh (hard skill & soft skills). Merupakan tahapan kemampuan yang diharapkan dapat mencapai kompetensi mata kuliah ini di akhir semester Bisa diisi pokok bahasan atau subpokok bahasan, atau topik bahasan (dengan asumsi tersedia diktat/modul ajar untuk setiap pokok bahasan) Bisa berupa ceramah, diskusi, presentasi tugas, seminar, simulasi, responsi, praktikum, latihan, kuliah lapangan, praktek bengkel, survei lapangan, bermain peran, atau gabungan berbagai bentuk. Penetapan bentuk pembelajaran didasarkan pada keniscayaan bahwa kemampuan yang diharapkan di atas akan tercapai dengan bentuk/model pembelajaran tersebut Takaran waktu yang menyatakan beban belajar dalam satuan sks (satuan kredit semester). Satu sks setara dengan 160 (seratus enam puluh) menit kegiatan belajar per minggu per semester Berisi indikator yang dapat menunjukkan pencapaian kemampuan yang dicanangkan, atau unsur kemampuan yang dinilai (bisa kualitatif misalnya ketepatan analisis, kerapian sajian, kreativitas ide, kemampuan komunikasi; bisa juga yang kuantitatif: banyaknya kutipan acuan atau unsur yang dibahas, kebenaran hitungan) Disesuaikan dengan waktu yang digunakan untuk membahas atau mengerjakan tugas, atau besarnya sumbangan suatu kemampuan terhadap pencapaian kompetensi mata kuliah ini Dosen PAK di PTU: “Membaca” wajah PAK di PTU? Tiga hal yang dicermati 1) dosen, 2) mahasiswa peserta, dan 3) bahan pendidikan. Pemahaman mengenai siapa dosen dan siapa peserta dapat mempengaruhi bagaimana merancang dan memperlakukan bahan untuk diproses bersama. a. Pemahaman yang fleksibel mengenai metode pembelajaran. Pemahaman tentang sejumlah metode mengajar [proses pembelajaran] membantu bagaimana dosen memperlakukan materi dan peserta didik. Penggiat dinamika individu dalam suatu kelompok dan event terus menerus mencoba membangun cara pikir yang positif dan kreatif inovatif mengenai bagaimana strategi tujuan yang ditetapkan dapat dicapai. Hal ini (dapat) diinpsirasi oleh pandangan konstruktivis yang mengedepankan self inquiry (growth mind set). 1) Khusus. Pertemuan ini isunya adalah Pendidikan Agama Katolik, di Perguruan Tinggi – Umum. Maka secara khusus akan coba dilihat bagaimana pemahaman dan perlakuan terhadap (pelaksanaan dan/atau penyelenggaraan) Pendidikan Agama Katolik, yang dimulai 9 semenjak (tingkat PAUD), tingkat Dasar dan Menengah. Mungkinkah pengalaman (proses belajar, materi dan luasan bahan; dikenal juga istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK) di level Dasar dan Menengah relevan di level Perguruan Tinggi? Seolah Pendidikan Agama mau “membaca” dunia lain untuk (seolah mau) melabel bahwa sudah sesuai atau tidak. Salah satu aspek mengemuka adalah metode mengajar yang tepat. Metode mengajar yang dianggap relevan? Dalam konteks Pendidikan Agama, Telaumbanua (1999)17 telah mencoba mendokumentaskan sejumlah metode yang dianggap relevan untuk digunakan (tentu ini sebuah pilihan subyektif), yakni metode penjelasan teks atau metode katekismus, metode penjelasan pokok pikiran (yang menurut J. Kersten SVD adalah metode Tuhan Yesus sendiri), metode München, metode aktif (kebalikan dari Metode München yang menekankan guru aktif, peserta mendengar), metode menggali pengalaman (katekese eksperiensial, dengan struktur seluk beluk pengalaman, pengalaman religius, langkah-langkah: gali pengalaman peserta, bangkitkan pengalaman religius, meresapkan pengalaman religius), metode Sower (penabur. Di Inggris metode ini disesuaikan dengan daya tangkap dan minat peserta). Metode Shields (dikembangkan di Washington oleh Thomas Edward Shields yang menekankan kebutuhan peserta, jadi tidak memaksa untuk hafal), metode induktif dan deduktif, metode naratifeksperiensial (Kur 1994), dan metode dialog partisipatif (Kur 1994). 2) Umum. Ketika kita selintas memahami metode mengajar yang pernah berkembang di lingkungan pendidikan agama katolik, pikiran berikutnya adalah bagaimana dengan perguruan tinggi yang identik dengan peserta adalah “orang dewasa”, labelnya: mahasiswa. Apakah metode yang selama ini berkembang relevan untuk digunakan? Umum diketahui bahwa “metode” pada dirinya sendiri netral. Artinya dipakai-tidaknya tergantung situasi dan kondisi yang menyertainya. Memang kalau melihat hal “khusus” di atas, kita disadari soal penggunaan istilah metode dalam bidang umum dan bidang pendidikan agama. Dalam bidang pendidikan agama, setidaknya metode tersebut pernah berkembang dan secara simultan masih digunakan oleh yang menyukainya karena pertimbangan tertentu. Dalam bidang umum (untuk mengatakan bukan pendidikan agama), sejumlah metode berkembang yang tidak jarang dipertukarkan; sehingga metode yang khusus itu tidak menjadi monopoli karena di dalamnya tersalurkan bentuk metode yang bersifat umum. Disinilah misalnya yang disebut dengan metode ceramah, tanya jawab, dsb bekerja dengan baik, sesuai dengan situasi dan kondisi semasa. Namun, seiring dengan perkembangan situasi peserta dan konsep tentang individu yang bergerak dari cenderung diperlakukan sebagai obyek ke menjadi subyek proses pembelajaran, maka metode-metode yang ada terasa mengalami transformasi, 17 Telaumbanua, Marinus. Ilmu Kateketik: hakikat, merode, dan peserta katekese gerejawi. Jakarta: Obor. 1999. Diperkenalkan pertama kali oleh Johan Friderich Herbart (+ 1841) diteruskan muridnya Thuiskon Ziller (+ 1882), dipopulerkan oleh Anton Weber melalui Majalah Katechetische Blätter, yang kemudian dipadukan dalam buku Die Münchener Katechetische Blätter (1905). Asas utamanya adalah 1) menjelaskan arti teks dengan lebih baik dahulu mempengaruhi panca indera murid, kemudian mempengaruhi akal budinya, dan baru mendorongnya untuk bertindak, 2) memberi perhatian pada pembentukan budi pekerti murid agar mau berkelakuan baik, dan 3) menekankan kesatuan pelajaran. Dalam suatu pengajaran dibicarakan satu tema saja agar perhatian murid tidak terbagibagi untuk beberapa kebenaran iman. Otto Willman (+1920) murid Thiskon Ziller mengemukakan 3 langkah fundamental dalam metode München, yaitu 1) penyajian bahan pengajaran melalui sebuah cerita atau lewat gambar dinding (untuk mempengaruhi cara panca indera/perasaan), 2) penjelasan doktriner, yang ditarik dari cerita yang baru dikisahkan (unsur pengetahuan), dan 3) aplikasi yang sesuai dengan isi ajaran untuk praksis hidup (mempengaruhi kehendak). Tiga kandungan yaitu melihat atau mendengar, berpikir dan bertindak. Metode München mengalami respons yang bagus, demikian Heinrich Stieglitz mengembangkan 5 langkah untuk setiap proses pembelajaran dengan setting psikologi, yaitu 1) persiapan (membangkitkan interes pendengar – mengemukakan tujuan pengajaran dan kaitannya dengan pengajaran yang terakhir – ini mungkin yang disebut appersepsi), 2) penyajian materi (mengemukakan tema baru yang diawali dengan sebuah cerita, gambar, pembacaan sebuah teks Kitab Suci atau lagu musik), 3) penjelasan (menguraikan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam materi pelajaran), 4) sinstesis (memberi ringkasan dari ajaran pokok yang perlu dipahami, dan 5) aplikasi (berbentuk tugas yang hendak dilaksanakan dan dipraktekkan) (Telaumbanua, 1999: 111144). Terkait dengan sejarah perkembangan Katekese.... ada metode AMOS.... Yang aktif dalam PKKI tentu tidak asing lagi, bagaimana berbagai metode saling dipertukarkan sesuai dengan situasi dan kondisi semasa. 10 pengembangan dengan paradigma tertentu. Dikenal misalnya istilah metode konstruktivisme18untuk menjelaskan bagaimana mensinkronkan atau mengorkestrasikan ruang kelas sebagai ruang tumbuh kembangnya ide, penghayatan dan pengetahuan baru peserta.19 Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa tidak ada metode balajar yang paling baik. Ketika peserta menjadi fokus maka proses memberi ruang luas kepada peserta. Demikian halnya kalau tekanan pada penemuan hal baru, maka tekanan pada proses; jadi bagaimana semua yang terlibat dalam proses itu aktif seoptimal mungkin. Ini sebuah harapan yang luar biasa kalau betul-betul terjadi. Membongkar kemapanan (comfort zone) tidak selalu mudah. Kemapanan dosen tidak mudah diganti begitu saja. Demikian halnya kemapanan peserta, tidak mudah. Apalagi ketika individu sudah membangun pemikiran bahwa “asal saja hadir setiap perkuliahan dan mengerjakan semua tugas, sesekali aktif bertanya, pasti lulus”, merupakan sebuah penyakit tradisional, yakni nilai (kuliah) pendidikan agama tidak boleh merah karena diasosiasikan negatif. Bagaimana metode tersebut bekerja berbarengan dengan kemampuan peserta? Kita diingatkan oleh Gardner soal kecerdasan majemuk yang begitu memukau.20 Ilustrasi cara belajar. Peserta yg memiliki kecenderungan Cara berpikir Linguistik Melalui katakata Matematikslogis Melalui penalaran Spasial Melalui kesan dan gambar Kinestetis - Melalui Kegemaran Membaca, menulis, bercerita, bermain, permainan kata Bereksperimen, tanya jawab, memecahkan teka-teki logis, berhitung Mendesain, menggambar, membayangkan, mencoret-coret Menari, berlari, Kebutuhan Buku, alat rekam, alat tulis, kertas, buku harian, dialog, diskusi, debat, cerita Bahan-bahan untuk bereksperimen, materi sains, kegiatan manipulatif, kunjungan ke planetarium dan musem pengetahuan Seni, video, film, slide, game, imajinasi, labirin, teka teki, buku yang berisi banyak ilustrasi, kunjungan ke museum seni Bermain drama, bergerak, benda 18 Yamin, Martinis. Paradigma pendidikan konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008. Lorin W. Anderson & David R. Krathwohl. Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen. Judul asli A Taxonomy for learning, teaching and assessing: a revision of Bloom taxonomy of educational objectives. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Konstruktif dapat dijelaskan sebagai paradigma bentuk, sebagai dinamika kognisi. Gagasan pokoknya dari Giambatissta Vico. Salah satu argumennya adalah “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan atas ciptaan.” Tuhan yang tahu tentang seluk beluk alam semesta karena Dia yang membuatnya dan dari apa Ia buat; sementara itu manusia dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksinya. Pengetahuan selalu menunjukkan kepada struktur konsep yang dibentuk dan pengetahuan tidak lepas dari orang (subyek) yang tahu (Yamin 2008: 7-11). Di kemudian hari konstruktivisme berkembang dengan baik di tangan Jean Piaget. Dalam bidang ilmu, konstruktivisme sebagai bentukan sejalan dengan usaha individu untuk membangun pemahamannya mengenai sesuatu hal, sebagaimana dikembangkan oleh Kuhn. Paradigma yang bagus adalah kemampuan seseorang dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya, di dalamnya keterampilan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan kreatif. 19 Sudah tidak asing bahwa perlakuan pendidikan kepada manusia tidak selalu berjalan mulus, kalau berpikir linier. Misalnya, guru menjadi sumber ilmu dan murid menjadi penerima ilmu. Ini disebut sebagai edukasi versi 1.0; guru dan murid menjadi mitra untuk belajar, ini disebut edukasi versi 2.0; dan secara kolektif menjadi sumber ilmu bagi murid dimana guru menjadi fasilitator dan narasumber pendukung proses belajar, disebut edukasi versi 3.0. Guru dan peserta menerapkan pembelajaran deduktif, induktif, dan kreatif. Pembelajaran menjadi proses untuk membindani pengetahuan orisinal, menjadikan lingkungan menjadi stimulus yang beresonansi dengan pikirannya sehingga pengetahuan orisinal bekerja. Asumsi mendasar adalah setiap orang memiliki pengetahuan orisinal yang perlu ia kontribusikan ke dalam komunitas pengetahuan. Jadi tugas pendidikan adalah menemukan kontribusi itu, dan membidaninya agar lahir. Di edikasi versi 3.0 kesempatan belajar menjadi milik mereka yang memiliki selera yang tinggi akan pengetahuan serta kapasitas “metabolisme” pengetahuan yang tinggi pula. Lih. Armien Z.R. Langi. Edukasi 3.0 di era digital pervasif: pembelajaran vs individual. Makalah tidak diterbitkan. Bandung, 2015: 1-3. 20 Thomas Amstrong. Menerapkan multiple intellegences di sekolah. Bandung: Mizan Media Utama, 2004. 11 jasmani sensasi somatis melompat, membuat bangunan, meraba, menggerakkan isyarat tangan Musikal Melalui irama dan melodi Interpersonal Dengan cara melemparkan gagasan pada orang lain Intrapersonal Berhubungan dengan kebutuhan perasaan, cita rasanya Melalui alam dan pemandangan alam Bernyanyi, bersiul, bersenandung, mengetuk-ngetukan tangan dan kaki, mendengarkan Memimpin, mengorganisasi, menghubungkan, menebarkan pengaruh, menjadi mediator, berpesta Menyusun tujuan, bermeditasi, melamun, merencanakan, merenung Bermain dengan binatang piaraan, berkebun, meneliti alam, memelihara binatang, peduli pada lingkungan Naturalis b. rakitan, olahraga atau permainan fisik, pengalaman yang berhubungan dengan indra peraba (tactile experiences), belajar dengan cara yang terlibat langsung (hand on learning) Waktu bernyanyi bersama, kunjungan ke konser musik, musik di sekolah dan di rumah, alat musik Teman-teman, permainan kelompok, pertemuan sosial, perlombaan atau peristiwa sosial, perkumpulan, penasihat atau magang Tempat rahasia, waktu menyendiri, proyek yang direncanakan sendiri, pilihan Akses ke alam, kesempatan untuk berinteraksi dengan binatang, peralatan untuk meneliti alam (mis. Kaca pembesar, teropong) Keterampilan mengajar: antara konsep dan praksis. Apakah di perguruan tinggi term keterampilan mengajar masih cukup relevan didiskusikan? Kesan umum, keterampilan mengajar adalah wilayahnya pendidikan dasar dan menengah. Hal ini tampaknya kuat dipengaruhi oleh faktor psikologis, rentang usia yang begitu rupa. Maka perlu penanganan sedemikian rupa, termasuk bagaimana mengelola situasi psikologis ruang kelas. Mengingat yang dihadapi adalah individu yang sedang dalam proses melaksanakan tugas dan fungsi perkembangan (Fowler),21 maka keterampilan mengajar di perguruan tinggi relevan dibicarakan. Setidaknya karena dosen adalah orang yang memiliki pengalaman banyak, maka posisi keterampilan mengajar penting dipertimbangkan penggunaannya, terlebih pada tataran teknis. Situasi dan kondisi juga menjadi pertimbangan serius. Konteks dan konten menjadi ranah pertimbangan bagi seorang dosen dalam membahas atau mengkaji bersama sesuatu hal dengan peserta didik atau mahasiswa. Informasi berikut dapat memperjelas bagaimana sebuah proses dikelola dengan baik. Ciri abad 21 21 Model Pembelajaran Informasi (tersedia dimana saja, kapan saja) Pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber observasi, bukan diberitahu Komputasi (lebih cepat memakai mesin) Pembelajaran diarahkan untuk mampu merumuskan masalah (menanya), bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab) Lih Charles M. Shelton, “Tahap Perkembangan Iman”. Yogyakarta: Kanisus. 12 Otomasi (menjangkau segala pekerjaan rutin) Pembelajaran diarahkan untuk melatih berpikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berpikir mekanistis (rutin) Komunikasi (darimana saja, ke mana saja) Pembelajarn menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah Sumber: Diknas, 2016. Referensi mencoba memberikan pertimbangan mengenai ragamnya pengelolaan keterampilan mengajar, seperti Usman (2002). 1) Keterampilan bertanya dasar. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 2) Komponen Pengungkapan pertanyaan secara jelas dan singkat Pemberian acuan Pemusatan Pemindahan gilir Penyebaran: Ke seluruh kelas Respons peserta Pemberian waktu berpikir Pemberian tuntutan: Pengungkapan pertanyaan dengan cara lain Pengungkapan penjelasan sebelumnya Ket Keterampilan bertanya lanjut. No Komponen 1. Pengubahan tuntutan tingkat kognitif dalam menjawab pertanyaan: Ingatan Pemahaman Aplikasi Analisis Sintesis Evaluasi 2. Urutan pertanyaan 3. Pertanyaan pelacak: Klasifikasi Pemberian alasan Kesepakatan Ketepatan Relevansi Contoh Jawaban kompleks 4. Mendorong terjadinya interaksi Ket 13 3) Keterampilan bertanya penguatan. No Komponen 1. Penguatan verbal: Kata-kata Bagus Benar Tepat Kalimat Pekerjaanmu baik sekali Saya senang dengan pekerjaanmu Pekerjaanmu makin lama makin baik 2. Penguatan nonverbal: Mimik/gerak tubuh Mendekati Sentuhan 4) Keterampilan mengadakan variasi. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 5) Ket Komponen (gaya mengajar) Suara: nada suara, volume suara, kecepatan bicara Mimik dan gerak: tangan dan badan, untuk memperjelas Kesenyapan: memberi waktu senyap/hening dalam pembicaraan Kontak pandang: melayangkan pandangan/kontak pandang dengan peserta Perubahan posisi: gerak Memusatkan: tekana pada butir yang penting Variasi visual: dengan alat pelajaran Variasi oral: suara/rekaman Ket Keterampilan menjelaskan. No Komponen 1. Kejelasan: Menggunakan kalimat yang berbelit-belit Menghindari kata yang berlebihan dan yang meragukan 2. Penggunaan contoh/ilustrasi: Menggunakan contoh-contoh Contoh relevan dengan penjelasan Contoh sesuai dengan kemampuan peserta 3. Pengorganisasian: Pola/struktur sajian Memberikan ikhtisar butir yang penting 4. Penekanan pada yang penting: Dengan suara Dengan cara mengulangi Dengan gambar, demontrasi Dengan mimik, gerakan 5. Balikan: mengajukan pertanyaan Ket 14 6) Keterampilan membuka-menutup. No 1. 2. 3. 4. 1. 2. 7) Komponen Membuka. Menarik perhatian peserta: Gaya mengajar Penggunaan alat bantu Pola interaksi Menimbulkan motivasi: Kehangatan/antusiasme Menimbulkan rasa ingin tau Mengemukakan ide Memperhatikan minat peserta Memberi acuan: Mengemukakan tujuan Langkah-langkah Mengajukan pertanyaan-pertanyaan Membuat kaitab: Membandingkan pengetahuan baru dengan yang lama Menjelaskan konsep sebelum bahan dirinci Menutup. Meninjau kembali: merangkum/meringkaskan Mengevaluasi: demonstrasi, dsb. Ket Keterampilan membimbing diskusi kelompok. No Komponen 1. Memusatkan perhatian: Merumuskan tujuan Merumuskan masalah Membuat rangkuman 2. Memperjelas masalah dan urun pendapat: Merangkum Menggali Menguraikan secara rinci 3. Menganalisas pandangan peserta: Menandai persetujuan/ketidaksetujuan Meneliti alasannya 4. Meningkatkan urunan peserta: Menimbulkan pertanyaan Menggunakan contoh Menunggu Memberi dukungan 5. Menyebarkan kesempatan berpartisipasi: Meneliti pandangan Menghentikan monopoli 6. Menutup diskusi: Merangkum Menilai Ket 15 8) Keterampilan mengelola kelas. No Komponen 1. Bersikap tanggap: Memandang peserta secara seksama Gerakan mendekati Teguran 2. Memberi perhatian: Secara visual Secara verbal Visual - verbal 3. Memusatkan perhatian kelompok: Menyiapkan Mengarahkan perhatian Menyusun komentar 4. Menuntun tanggungjawab peserta: Meminta peserta lain mengawasi rekannya Meminta peserta menunjukkan pekerjaannya 5. Petunjuk yang jelas: Kepada seluruh kelas Kepada individu 9) Keterampilan mengajar kelompok kecil. No Komponen 1. Keterampilan pengorganisasian Memberi motivasi Membuat variasi tugas Menutup 2. Membimbing dan memudahkan belajar Memberi penguatan Supervisi proses awal Supervisi proses Interaksi 3. Rencana penggunaan: Ruangan Alat-alat Sumber Gerakan peserta Gerakan dosen 4. Apakah tugas: Diarahkan dengan jelas? Menarik dan menantang? Memberikan kesempatan? 10) Ket Ket Keterampilan mengajar perorangan. No Komponen 1. Berkomunikasi antarpribadi: Menunjukkan kehangatan Menunjukkan kepekaan Mendengarkan Merespons Ket 16 2. 3. 4. c. Mendukung Mengerti perasaan Menangani emosi peserta Merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar: Menetapkan tujuan Merencanakan kegiatan Memberi nasihat Membantu menilai Rencana: Kegiatan setiap orang Penyediaan alat Penyediaan sumber Cara membantu peserta Cara pendekatan dosen: Menyenangkan Menantang peserta berpikir Mendorong peserta berpendapat Mendorong peserta menyelesaikan tugas Sekedar ilustrasi – ruang pikiran tambahan. 1) Fatamorgana. Hal yang mau diingatkan adalah waktu untuk mengumpulkan data – informasi mengenai peserta. Dari aspek waktu tidak cukup untuk mendokumentasikan atau mengadministrasi peserta. Maka taatkala menyebut seseorang pandai atau fleksibel, bagai fatamorgana; jelas dipenuhi bayang-bayang. Dokumen masa studi di STLA tidak ada, demikian portofolio lainnya, juga minim kalau tidak mau dikatakan tidak ada (blind data). 2) Kecerdasan ganda. Menggunakan cara pikir konstruktivisme dalam pendidikan, khususnya di ruang kelas, tidak mudah. Tetapi perlu dilakukan. Persoalannya, bagaimana caranya. Dapat terjadi pengalaman menjadi aset untuk melakukan inovasi alamiah yang dapat dipersamakan dengan pengelolaan kelas majemuk dan profesional. 3) “Mencuplik” dari besaran. Kuliah PAK di PTU bukanlah jenis kuliah mayor. Kalau pun dikelompokkan sebagai matakuliah pengembangan kepribadian,22 itu semacam pemberian status sebagai penting – mendasari sikap hidup seseorang yang kelak menyandang cerdik pandai – sarjana. Dalam kesarjanaannya, ia mampu memasukan dirinya dalam “bedongan” keyakinannya agar tidak mudah hanyut atau tenggelam dalam lautan informasi yang bebas nilai. Mencuplik peserta 3 sks yang hanya sekali, tidak mudah. Dalam keseluruhan masa studi maksimal 4 tahun, perlu strategi tertentu. Apa strategi itu? Ada yang mengatakan terapkan prinsip pedagogi murni. Sebaliknya ada juga yang berpendapat terapkan prinsip 22 Hal ini diperjelas oleh visi, misi dan kompetensi MK Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi dijelaksan bahwa visi kelompok MPK di perguruan tinggi rnerupakan sumber nilai dan pedornan dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Misi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab. Standar kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis: bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban (Pasal 1, 2 dan 3 ayat (1). 17 andragogi secara fleksibel.23 Karena pendidikan modern melihat dan memperlakukan peserta didik sebagai insan yang sedang mengembara ke pencapaian cita-cita hidupnya.24 Di sini perlu kahadiran seorang dewasa yang ekspert!. 4) Ekspert di sini dapat direpresentasi oleh: a) Kapasitas pendidikan formal di bidang pendidikan agama katolik. - Dosen mesti paham betul, misalnya membahas bersama Gereja, perlu dimapping, hal mana saja yang dianggap relevan dan urgen.25 - Dosen sebagai profesi merupakan jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (Saud, 2009: 6).26 b) Pengalaman hidup yang ajeq dapat menjadi role model. Ini sebetulnya lebih banyak cocoknya pada pembinaan di luar kelas, karena aspek pengalaman tanpa menekankan kapasitas pendidikan formal (dalam ketentuan dikenal dengan istilah rekognisi pembelajaran masa lampau -RPL). Pengalaman hidup – rohani, akan tampak dalam performa ke-bapak-an yang dapat terjadi lebih menekankan pada penerimaan –afirmasi kebutuhan peserta didik (pamong). c) Kemampuan mengelola kelas. Cukup kuat tekanan diberikan kepada dosen untuk mengelola kelas secara profesional. Untuk kelas PAK di PTU, pengelolaan kelas merupakan persoalan tersendiri.27 Karena kelas dapat berarti “ruang di bawah langit untuk dapat bernafas”. Kelas merupakan sarana ideal untuk belajar bersama. Namun dalam kondisi tertentu halaman atau ruang kosong di Paroki dapat menjadi pengganti ruang kelas akademik. Seorang ekspert, dapat terjadi tidak mempersoalkan ruang kelas yang dibatasi. Malah mungkin lebih positif di luar. Hanya yang perlu menjadi 23 Pedagogik adalah istilah Yunani „paedos‟ artinya anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar anak majikan ke sekolah. Di kemudian hari makna tu berkembang menjadi ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak „mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya‟. Term pedagogik dalam istilah Inggrisnya adalah „education‟ dan ini berhubungan dengan kata Latin „educere‟, artinya „mengeluarkan sesuatu kemampuan‟ (e = keluar, ducere = memimpin). Jadi membimbing untuk mengeluarkan suatu kemampuan yang tersimpan dalam diri anak. Educere ditemukan dalam kata konduktor = seseorang yang memimpin sekelompok pemain musik; dalam kata kondektur = seseorang yang memimpin kereta api dalam perjalanan; konduktor = bahan (biasanya logam) yang dapat „membawa aliran listrik‟. Singkatnya, pedagogik orientasinya kepada anak. Andragogi, kata Yunani „andr‟ = orang dewasa, dan „agogos‟ = memimpin atau membimbing. Lalu dirumuskan sebagai „seni dan ilmu dalam membantu warga (orang dewasa) untuk belajar. Uyoh, Sadulloh. Pedagogi (Ilmu mendidik). Bandung: Alfabeta. 2010. Hal 2-6. 24 Pesan Delors - UNESCO: learning to know, learning to do, learningto be, dan learning to live together. 25 Misalnya, buku Katolisisme, karangan Thomas P. Rausch, terj. Agus M, Hardjana. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Judul aslinya “Catholicism, at the down of the third millenium”, diterjemahkan dengan judul “Katolisisme, teologi bagi kaum awam.” Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II. Jogyakarta: Kanisius. I. Ismartono, SJ. Kuliah Agama Katolik di Perguruan Tinggi, khususnya Model-Model Gereja [saduran dari Avery Dulles]. Jakarta: Obor. 26 Syarat profesi: 1) lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi; 2) seorang pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya; 3) memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan; 4) memiliki )kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah lagi, sikap dan cara kerja; 5) membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi; 6) adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, spesialisasi dan dalam profesi; 8) memandang profesi sebagai suatu karir dan menjadi seorang anggota yang permanen (Saud, 2009: 15). Kapasitas formal tersebut merupakan sebuah cita-cita suci. Bdk. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi jo Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. 27 Pengelolaan kelas merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar. Hamid, Darmadi. Kemampuan dasar mengajar. Bandung: Alfabeta, 2009. Moh Uzer Usman. Menjadi guru profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Sudjana. Metode & teknik pembelajaran partisipatif. Bandung: Falah Production, 2001. 18 pertimbangan adalah bahan diskusi bersama, selain kondisi fisik dan kesehatan peserta diri, berikut peristiwa psikologis tertenti (fobia?).28 Poinnya, pengalaman kelas bertujuan untuk bagaimana peserta berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembelajaran dengan penuh motivasi, gairah, dan mampu berekspresi-eksplorasi ide-ide yang positif; mampu berdebat menurut kaidah-kaidah ilmiah ilmu pengetahuan, sebagai tanda kedewasaan dalam berpikir dan mengungkapkan pendapatnya. d) 4. Menilai. Menilai merupakan sebuah tahapan yang tidak selalu mudah. Bagi ekspert, bisa jadi “proses menjadi poin penting seseorang mengumpulkan nilainya.” Tetapi ada juga yang tidak. Bahkan dapat terjadi “pertemuan pertama yang memberi kesan positif akan menjadi garansi” di pasca pertemuan ke-16 untuk memperoleh nilai positif. Namun yang namanya dosen, ada yang disebut dengan memiliki kritera tertentu yang tidak mudah ditebak menurut prinsip ilmu pengetahuan dan penilaian; bagai seorang hakim yang memutus suatu perkara yaitu dengan mengedepankan kekuatan atau keyakinan “demi Tuhan Yang Maha Esa dan atas nama keadilan” menjatuhkan putusan memberi nilai [akademis] peserta. Setidaknya portofolio menjadi alat untuk mendukung setiap putusan menilai. Penutup a. Kuliah pendidikan agama katolik di perguruan tinggi umum tujuan jauhnya adalah mempersiapkan kaum muda katolik menjalani hidupnya di kemudian hari penuh makna; menjadi sarjana yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai imannya dengan dunia nyatanya (harapannya: positif). Kita perlu optimis karena tiap orang mempunyai caranya sendiri-sendiri untuk mencapai dan mewujudkan kebahagiaan hidupnya. b. Sekalipun urusan pribadi untuk pencapaian bahagia, namun kerja sama semua pihak tidak dianggap sederhana. Efek kerja sama ada di kemudian hari, ketika individu berada dalam kebersamaan dengan masyarakatnya, membangun bangsanya (yang heterogen-majemuk) dibutuhkan pemahaman yang positif terhadap dinamika perubahan sosial. c. Gereja Katolik dan Pemerintah menjadi pilar penting dalam usaha mengantar generasi muda yang penuh idealisme membangun diri, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya. Empat pilar NKRI menjadi fondasi bagaimana seorang warga masyarakat Katolik berjuang untuk mencapai seratus persen Katolik dan seratus persen pancasilais.29 Sejarah telah menunjukkan bagaimana kokohnya Pancasila sebagai dasar dan pola hidup bangsa. Terima kasih. 28 Fobia adalah kondisi psikologis yang menggambarkan ketakutan sebagai reaksi manusiawi berupa mekanisme perlindungan bagi seseorang dalam keadaan bahaya. Ketakutan merupakan emosi yang timbul pada waktu orang dihadapkan pada suatu ancaman tertentu yang membahayakan hidup atau bidang-bidang kehidupan tertentu. Ketakutan dapat menjadi tanda peringatan terhadap hidup; peringatan agar berhenti, melihat dan mendengarkan. Dalam situasi yang menakutkan, mengancam kebahagiaan atau sukses, sering terjadi serangan rasa nyeri pada perut, telapak tangan berkeringat, jantung berdenyut kencang, malas bergerak, gagap bicara, dll. Frank S. Caprio. Mengatasi rasa sepi, frustrasi dan rendah diri. Jakarta: Mega Media. 1985. Hal 33-35. 29 Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila. Hubungan Gereja dan Negara pedoman MAWI bagi Umat Katolik. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan MAWI. 1985. Antara lain dijelaskan bahwa “Iman Katolik tidak memisahkan Umat Katolik dari kebersamaan hidup kemasyarakatan dengan warga negara lain sebangsa dan setanah air (42). Peranserta Umat Katolik di dalam masyarakat Indonesia tidak hanya terungkap dalam kehidupan bersama sebagai tetangga sehari-hari, tetapi juga dalam gerakan kebangkitan nasional dan dalam perjuangan kemerdekaan yang dirintis oleh para pelopor bangsa. Di dalam jajaran pahlawan dan pemuka bangsa terdapat putera-putera Katolik, yang jasa mereka diakui secara nasional. Di samping itu, Gereja dan Umat Katolik seluruhnya turut mengusahakan karya mencerdaskan bangsa, khususnya melalui jaringan lembaga-lembaga pendidikan (43). Dokpen MAWI, 1985: 21. 19