LOGIKA DAN STATISTIKA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH Oleh : Hujair AH. Sanaky1 A. Pendahuluan Tadi malam di rumah pak Pulan ada pencuri dan Polisi segera diberitahukan. Komandan polisi yang dating memimpin pemeriksaaan, sebuah jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendelah inilah mereka masuk piker Komandan. Dengan segera ia tahun, bahwa yang mencuri itu lebih dari satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah tuan, barang-barang apa yang dicuri, Tanya Komandan Polisi kepada pak Pulan, sebuah Radio, satu set Komputer jawab pak Pulan. Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki. Menurut J.S.Suriasumantri2, ‘manusia – homo sapiens, makhluk yang berpkir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpkir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi”. “Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. … Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di 1Hujair AH. Sanaky, adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam, Jurusan Tarbiyah, Program Studi : Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Kepala Lembaga Pengabdian paada Masyarakat [LPM] UII – 2004-2006 dan sekarang sedang studi lanjut di Program Doktor [Program S-3] Universitas Islam Negeri [UIN] Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun akademi 2005-2006. 2 J.S.Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, 1997, hlm. 1 samping rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan”3. Dengan demikian, “cirri utama dari berpkikir adalah adanya abstraksi. Maka dalam arti yang luas kita dapat mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah meletakan atau mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi4. “Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir alamiah, pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya [katakana saja : penalaran tentang api yang dapat membakar]. Berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat [dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan]5. Dari dua pola berpikir di atas, akan dibahas pola berpikir ilmiah dan lebih khusus di fokuskan pada pembahasan “logika dan statistika sebagai sarana berpikir ilmiah”. B. Sarana Berpkir Ilmiah “Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”6. Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah 3 Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberti, Yogyakarta, 1992, hlm. 67. M. Ngalim Puswanti, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hlm. 44. [Pengertian abstrak, ialah pengertian yang memperlihatkan sifat tanpa memperlihatkan subjeknya. Misalnya : secara konkrit kita berkata : ia amat pandai, tetapi secara abstrak kita mengatakan: Kepandaiannya amat sangat. Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan pengertian yang abstrak itu ialah dengan menamba pada kata itu awalan “ke” dan akhiran “an” misalnya: kebaikan, keburukan, keduniawan, kebangsaan, ketidak-adilan, dan sebagainya[Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, 1981, hlm. 25]. 5 Tim Dosen Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Loc.cit. 6 S.Suriasumantri, Loc.cit. 4 www,sanaky.com April 2006 2 kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika7. Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”. Bahasa Berpikir Ilmiah Logika Matematika Mengembangkan Materi Pengetahuan Logika Statistika Gambar 1 : Sarana Berpikir Ilmiah Berdasarkan Metode-metode Ilmiah8 Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. “Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa : 7 Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat, Op.Cit, hlm. 68. Penjelasan Metode Ilmiah – merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Pola umum tata langkah dalam metode ilmiah mencakup : [1] penentuan masalah, [2] perumusan dengan sementara, [3] pengumpulan data, [4] perumusan kesimpulan, dan [5] verifikasi [Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 110] 8 www,sanaky.com April 2006 3 bahasa, logika, matematika, dan statestika”. Sedangkan “fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif9. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. C. Logika dan Statistika Perkataan logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. Dalam bahasa Arab dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur benar10. Dalam Kamus Filsafat, logika – Inggris – logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos [apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti]11. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah 12. Logika sebagai cabang filsafat – adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara 9 Ibid, hlm. 100. Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Wijaya Jakarta, 1981, hlm. 18. 11 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 519. Pengertian lain : Logika – ilah ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk memperjelas isi atau komprehensi serta keluasan atau akstensi suatu pengertian atau istilah dengan menggunakan definisi-definisi yang tajam. Munculnya logika dalam proses berpikir ialah pada waktu diucapkan “sesuatu” yang lain yang dikaitkan dalam hubungan tertentu atau pada waktu dikemukakan “dua sesuatu” yang dikaitkan dengan penilaian tertentu dan dari kaitan itu ditarik kesimpulan. Fungsi logika adalah : [1] membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama, dan [2] menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya [Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, 1990, hlm. 45]. 12 Yaya S. Kusumah, Logika Matematika Elementer, Bandung, 1986, hlm. 2. 10 www,sanaky.com April 2006 4 atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan13. Menurut Louis O. Kattsoff14, logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan. Logika sama tuanya dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu ada manusia sudah berpikir, manusia berpikir sebenarnya logika itu telah ada. “Hanya saja logika itu dinamakan logika naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan fitrah manusia saja. Manusia walaupun belum mempelajari hokum-hukum akal dan kaidah-kaidah ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur. Akan tetapi bila manusia memikirkan persoalan-persoalan yang lebih sulit maka seringlah dia tersesat. Misalnya, ada dua berita yang bertentangan mutlak, sedang kedua-duanya menganggap dirinya benar. Dapatlah kedua-duanya dibenarkan semua? Untuk menolong manusia jangan tersesat dirumuskan pengetahuan logika. Logika rumusan inilah yang digunakan logika artificialis15. Logika bukan ilmu yang baru muncul, perumusan kaidah-kaidah logika untuk berpikir benar dipelopori Aristoteles yang hidup pada tahun 348-322 SM, dengan bukunya Organon yang berarti instrument [alat], alat untuk berpikir benar. “Aristoteles dianggap sebagai pelopor pembukuan pengetahuan logika. Tidak berarti belum Aristoteles belum ada kaidah-kaidah berpikir yang benar [logika]. Sebenarnya di negara-negara Timur Kuno [Mesir, Babilon, India, dan Tiongkok], diakui telah terdapat semacam kaidah-kaidah berpikir yang dianggap 13 Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila I, Edisi II, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, 1982, hlm. 22. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogya, 1986, cet.7, hlm. 71. 15 Hasbullah Bakry, Op.cit., hlm. 20. Logika Artificialis, dibedakan menjadi dua yaitu : [1] Logika Formal – mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hokum-hukum berpikir yang harus ditaati, agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran, [2] Logika Material – mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Logika formal – sesuai dengan isi [materi] kenyataan yang sesungguhnya. Logika material – mempelajari sumber-sumber dan aslinya pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika material inilah yang menjadi sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenai [kennisteer] dan filsafat ilmu pengetahuan [wetenschapsleer]. Logika formal – dinamakan logika minor, sedangkan logika material dinamakan logika mayor. Logika formal – ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara berpikir untuk mencapai kebenaran [Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, hlm. 21]. 14 www,sanaky.com April 2006 5 benar, hanya saja belum teratur sistematikanya seperti rumusan logika Aristoteles16. Memang diakui sejak manusia ada sampai sekarang selalu menggunakan akal pikirannya dalam melakukan setiap kegiatan, baik kegiatan berpikir alamiah [naturalis] maupun kegiatan berpikir yang sifat kompleks. Tetapi dalam melakukan kegiatan berpikir yang benar diperlukan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objktif dan kritis atau proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Proses berpikir semacam ini adalah cara berpikir atau penalaran yang terdapat dalam kaidah-kaidah logika. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logic dibagi menjadi dua bagian, yaitu : “[a] Logika Induktif - cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. [b] Logika Deduktif – cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus. Silogismus. Disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut17. Contoh – karakteristik berpikir silogismus : [a] Semua makhluk hidup mesti akan mati 16 Hasbullah Bakry, Loc.cit. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 48-49. Pengertian – silogismus – suatu argumentasi yang terdiri dari tiga buah proposisi atau pernyataan yang membenarkan atau menolak suatu perkara. Dua buah proposisi yang pertama disebut premis mayor dan premis minor, sedangkan proposisi yang ketiga disebut simpulan atau konklusi. Konklusi merupakan konsekuensi dari kedua premis yang terdahulu [Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, 1990, hlm. 27]. Pengertian premis – premise [premis] dalil yang dipakai sebagai pangkal pembicaraan. Premis, kata-kata atau tulisan sebagai pendahuluan [S.Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung, 1980, hlm. 156-157]. 17 www,sanaky.com April 2006 6 [premis mayor], [b] Si Pulan adalah makhluk hidup [premis minor], [c] Jadi si Pulan mesti mati [kesimpulan – konklusi]. Kesimpulan bahwa si Pulan mesti mati, menurut Jujun S. Suriasumantri, kesimpulan tersebut adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Sedangkan pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus dikembalikan kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar. Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar, sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri, mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal yaitu : [1] kebenaran premis mayor, [2] kebenaran premis minor, dan [3] keabsahan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, apabila salah satu dari ketiga unsure tersebut tidak memenuhi persaratan, maka kesimpulan yang diambil atau diputuskan akan salah. Contoh berpikir induktif, simpulan yang diharapkan berlaku umum untuk suatu kasus, jenis, dan peristiwa, atau yang diharapkan adalah agar kasus-kasus yang bersifat khusus dapat dimasukkan ke dalam wilayah umum, yang menjadi simpulan. Misalnya : [1] P – penduduk desa A = adalah pegawai, [2] Q – penduduk desa A = adalah pegawai, [3] R – penduduk desa A = adalah pegawai, [4] S – penduduk desa A = adalah pegawai, [5] Y – penduduk desa A = adalah pegawai, [6] Z – penduduk desa A = adalah pegawai. Kesimpulan – jadi semua penduduk [ P sampai Z ] yang mendiami desa A adalah pegawai. Menurut Kasmadi, dkk., pola berpikir ini adalah berpikir induksi komplet. P Gambar 2 : Cara Berpikir Induksi Komplet Q R PEGAWAI S Y Z www,sanaky.com April 2006 7 Sedangkan Francir Bacon dalam usaha menariuk kesimpulan yang berlaku umum, hendaknya bertolak dari hasil observasi untuk menentukan ciri-ciri gejala yang didapatinya. Ada tiga jenis pencatatan ciri sebagai berikut : [1] pencatatan ciri posetif, pencatatan terhadap peristiwa yang kondisinya dapat dipastikan menimbulkan gejala, [2] pencatatan ciri negatif, pencatatan terhadap peristitwa yang kondisinya tidak memunculkan gejala, dan [3] pencatatan variasi gejala, pencatatan mengenai ada atau tidak adanya perubahan gejala pada kondisi yang berubah-ubah atau diubah-ubah. Kesimpulan yang dapat diambil sesuai dengan ciri-ciri, sifat-sifat atau unsur-unsur yang harus ada sebagai gejala yang berlaku umum18. Statetstika berakar dari teori peluang, Descartes, ketika mempelajari hukum di Universitas Poitiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi. Sedangkan, pendeta Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statestika sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat subyektif. Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana Muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluan19 . Semula statistika baru hanya digunakan untuk mengembarkan persoalan seperti; pencatatan banayaknya penduduk, penarikan pajak, dan sebagainya, dan mengenai penjelasannya. Tetapi, dewasa ini hampir semua bidang keilmuan menggunakan statistika, seperti; pendidikan, psikologi, pendidikaan bahasa, biologi, kimia, pertanian, kedekteran, hukum, politik, dsb. Sedangkan yang tidak 18 Hartono Kasmadi, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, Semarang, 1990, hlm. 30. S. Suriasumantri, Op.Cit., hlm. 213. 19Jujun www,sanaky.com April 2006 8 menggunakan statistika hanya ilmu-ilmu yang menggunakan pendekatan spekulatif20. Statika merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang melalui pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidahkaidah statistik. Bagi masyarakat awam kurang terbiasa dengan istilah statistika, sehingga perketaan statistik biasanya mengandung konotasi berhadapan dengan deretan angka-angka yang menyulitkan, tidak mengenakan, dan bahkan merasa bingung untuk membedakan antara matematika dan statistik. Berkenaan dengan pernyataan di atas, memang statistik merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angka dari aspek kuantitatif suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta dalam bentuk ”hitungan” atau ”pengukuran”. Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema21. ... Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran 22. Maka, Hartono Kasmadi, dkk., mengatakan bahwa, ”statistika [statistica] ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan 23. Statistika digunakan untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu bidang keilmuan. Maka, dengan menggunakan prinsip statistika masalah keilmuan dapat diselesaikan, suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana 20Hartono Kasmadi, dkk., Op.cit., hlm.43. [bahasa Yunani], Inggris; term artinya teori, pandangan, aturan, prinsip. Beberapa pengertian : [1] Hal yang dianggap atau ditetapkan sebagai suatu prinsip, aturan hokum atau kebenaran. [2] Foemula kalkulus logis dan untuk itu ada bukti dan digunakan untuk menarik pernyataan-pernyataan umumnya. [3] Logis formal modern dan matematika teorema adalah proposisi apapun dalam teori deduktif ketat yang dibuktikan dengan mererapkan aturan yang dapat diterima dari deduksi pernyataan awal aksioma. Konsep aksioma dan teorema bersifat relatif. Proposisi yang sama dari sebuah teori dapat diterima dalam beberapa hal sebagai aksioman, dan dalam hal ini diterima sebagai teorema, karena itu aksioman sering dianggap sebagai teorema [Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Jakarta, 1996]. 22 J.S.Suriasumantri, Op.cit., hlm. 201. 23Kasmadi, dkk., loc.cit. 21Teorema www,sanaky.com April 2006 9 melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengjian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya. Contoh yang dikemukakan Jujun S Suriasumantri24, penarikan kesimpulan tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. ...Tak seorangpun, saya kira, yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, ...karena menurut Jujun S. Suriasumantri 25, ”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”. Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknikteknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”26. 24Jujun S.Suriasumantri, Op.cit., hlm. 211. hlm. 213., [Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variable yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre [1667-1745] mengembangkan teori galat atau kekeliruan [theory of error]. Pada tahun 1757 Thomas Simpson, menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut [continuous distribution] dari suatu variable dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon Lapace [1749-1827], mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan oleh Francis Galton [1822-1911], dan Karl Pearson [1857-1936]. Teknik kuadrat terkecil [least squares] simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata [the standard error of the mean] dikembangkan Karl Friedrick Gauss [1777-1855]. Pearson, melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi chi-kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif di samping menulis buku The Grammar of Science karya klasik dalam filsafat ilmu. Willaim Searli Gosset, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Disain eksperimen dikembangkan oleh Ronald Alyimer Fisher [1890-1962] di samping analisis varian dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t-,uji signifikan dan teori tentang perkiraan [theory of estimation]. 26Ibid, hlm. 215 25Ibid, www,sanaky.com April 2006 10 D. Statistika dan Berpikir Ilmiah Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak”. ...Maka, pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif27. Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. ...Selain itu, statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat emperis 28. Selain itu, Jujun S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik 27Kasmadi, 28Jujun dkk., loc,cit S. Suriasumantri, Op.ciut., hlm. 218-219. www,sanaky.com April 2006 11 dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif29. Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalaam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar30. Logika induktif31 tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan”. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang. Penarikan kesimpulan secara induktif 32 menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, 29Ibid, hlm. 216. Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Op.cit., hlm. 90. 31Tim Dosen Filsafat Ilmu, loc.cit. 32Suriasumantri, loc.cit. 30Tim www,sanaky.com April 2006 12 tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja. Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles [1956]33, diperlukan proses penalaran sebagai berikut: [1] Langkah pertama, mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi [pengamatan] dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari. [2] Langkah kedua, dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. [3] Langkah ketiga, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu 33Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Op.cit., hlm.91-92. www,sanaky.com April 2006 13 teori. [4] Langkah keempat, teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis34 adalah lebih tinggi. Langkah Proses Penalaran Induksi Gambar 3 : Langkah Proses Penalaran Mengumpulkan Fakta [Observasi] Hipotesis [Dalil sementara] Pembuktian Verifikasi & PengukuhanPembuktian [Statistika] Derajatnya lebih tinggi dari Hipotesis [paling awal/paling rendah, dalam urutan deraajatnya] Temuan: Teori dan Hukum Ilmiah diterapkan utk Semua Hal Untuk itu, statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. Bagaimana seseorang dapat melakukan generalisasi tanpa menguasai statistik? 34Hipotesis adalah suatu keterangan bersifat sementara atau untuk keperluan pengujian yang diduga mungkin benar dan dipergunakan sebagai pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut sampai diperoleh kepastian dengan pembuktian [The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui], Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 116. Hipotesis, dapat dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam urut-urutan derajat. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hokum ilmiah [Herbert L. Searles, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 92. www,sanaky.com April 2006 14 Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berarti, bahwa kita tidak perduli terhadap statistika sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah35. E. Penutup Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas, penulis mencoba memberikan beberapa ringkasan sebagai berikut : [1] Dalam kegiatan atau kemampuan berpkir ilmiah yang baik harus menggunakan atau didukung oleh sarana berpkir ilmiah yang baik pula, karena tanpa menggunakan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melakukakan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik. [2] Cara berpikir ilmiah dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan logika induktif dan logika deduktif. [3] Penggunaan statistika dalam proses berpikir ilmiah, sebagai suatu metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang berdasarkan logika induktif. Karena statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. [4] Berpkir induktif, bertitik tolak dari sejumlah hal-hal yang bersifat khusus untuk sampai pada suatu rumusan yang bersifat umum sebagai hukum ilmiah. 35Jujun S. Suriasumantri, Op.cit., hlm. 169. www,sanaky.com April 2006 15 DAFTAR PUSTAKA Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta. Bakry, Hasbullah, 1981, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, Gie, The Liang, 1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui], Liberty, Yogyakarta. Jujun S. Suriasumantri, 1988, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kasmadi, Hartono, dkk., 1990, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, Semarang. Kattsoff, Louis O. 1986, Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta. Kusumah, Yaya S., 1986, Logika Matematika Elementer, Bandung. Puswanto, M. Ngalim, 1992, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Sunoto, 1982, Mengenal Filsafat Pancasila I, Edisi II, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. Suriasumantri, Jujun S., 1997, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, 1992, Filsafat Ilmu, Liberti, Yogyakarta. Wojowasito, S.,– W.J.S. Poerwadarminto, 1980, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung. www,sanaky.com April 2006 16