BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks uteri merupakan salah satu masalah penting pada wanita di dunia. Karsinoma serviks uteri adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi dan merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini merupakan sesuatu yang menakutkan karena kanker serviks pada stadium awal tidak menunjukkan gejala dan penderita cenderung datang pada stadium lanjut. Belum dilakukannya skrining massal berdasarkan populasi terhadap kanker serviks uteri secara intensif menyebabkan tingginya angka penderita baru, bahkan angka kematian pada penderita kanker serviks meskipun telah ada pap smear untuk mendeteksi adanya kanker serviks uteri. Karsinoma serviks uteri merupakan keganasan yang menempati urutan kedua di dunia barat setelah kanker payudara. Berdasarkan statistik kanker secara global tahun 2015 terdapat 12.900 kasus baru dan 4.100 kasus kematian per 100.000 populasi (Siegel, 2015). Di Indonesia terutama di Bali berdasarkan data pada tahun 2009 di Denpasar, terdapat 129 kasus kanker serviks uteri yang menduduki peringkat kedua terbanyak pada wanita setelah kanker payudara (Anonim, 2009). Pada tahun 2010, kanker serviks merupakan kanker pertama terbanyak yaitu 182 kasus (Anonim, 2010) Berdasarkan registrasi kanker berbasis patologi pada tahun 2011 di Denpasar, kanker serviks uteri kembali menduduki tingkat kedua terbanyak pada wanita setelah kanker payudara yaitu 108 kasus 1 2 dengan insiden tersering pada usia 45-54 tahun (Anonim, 2011). Insiden squamous cell carcinoma di RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Januari 2013 sampai dengan 30 September 2015 terdapat 130 kasus terdiri dari: 36 kasus (27,69%) well differentiated carcinoma, 30 kasus (23%) moderately differentiated carcinoma, dan 64 kasus (49,2%) poorly differentiated carcinoma. Squamous cell carcinoma (SCC) adalah suatu keganasan pada epitel dengan diferensiasi sel skuamosa pada permukaan serviks uteri dan merupakan keganasan tersering pada serviks uteri. Insidensi terjadi biasanya pada usia tua, tetapi meningkat pada usia muda pada wanita kulit putih (70%) (Fuchs et al., 2007). SCC serviks uteri berdasarkan derajat diferensiasi sudah dikenal sejak tahun 1977 dan sampai sekarang masih digunakan. Saat ini SCC berdasarkan AJCC/UICC TNM 7th ed College of American Pathologists (CAP) tahun 2014 dibagi atas well differentiated carcinoma, moderately differentiated carcinoma dan poorly differentiated carcinoma (Witkiewicz et al., 2011; Anonim a, 2014). Berdasarkan WHO dibagi atas keratinizing squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell carcinoma dan bermacam-macam tipe lainnya (Stoler et al, 2014). SCC serviks uteri merupakan karsinoma sel epitel skuamosa yang infiltratif diantara stroma desmoplastik dengan sitoplasma luas eosinofilik, perbandingan inti dan sitoplasma meningkat, inti pleomorfik, membran inti irregular dan anak inti prominent. Karsinoma skuamosa serviks uteri bisa dengan gambaran keratin, individual sel dan adanya jembatan antar sel. Bisa juga tanpa adanya keratin maupun sel individual (Witkiewicz et al., 2011; Stoler et al., 2014). 3 Penatalaksanaan kanker serviks uteri selain berdasarkan histopatologi, juga berdasarkan faktor klasik yang digunakan untuk mendiagnosis kanker serviks uteri yaitu faktor klinis mengacu pada TNM Classification dan FIGO Staging System for Cervical Carcinoma, yaitu: tumor primer, Regional Lymph Nodes (N), Distant Metastasis (M), Resection Margins, dan Lymph-Vascular Invasion, tipe histologi, grading, dengan terapi radiasi baik kombinasi kemoterapi (kemoradiasi) dengan tindakan operasi maupun paliatif (Anonim, 2014 a). Penanganan masa kini yang telah dilakukan yaitu dengan marker pemeriksaan molekuler dan imunohistokimia pada karsinoma servik uteri untuk menentukan target terapi yaitu p53, c-myc, EGFR, VEGF, Cox2, dan lain-lain (Stoler et al., 2014). Penelitian dengan menggunakan HER2/neu pada SCC berdasarkan derajat diferensiasi dalam tujuan sebagai target terapi dan faktor prognosis sangat jarang dilakukan mengingat latar belakang SCC serviks uteri memiliki prevalensi angka kesakitan dan kematian yang tinggi. HER2/neu mulai diteliti dan ditemukan pada karsinoma payudara, kolon dan ovarium (Schuell et al., 2006). Ada kepustakaan yang menyatakan bahwa reseptor HER2/neu berhubungan dengan perilaku biologi agresif prognosis yang buruk dan resistensi terapi pada sebagian besar keganasan, termasuk pada kanker serviks uteri. Selain faktor prognostik yang buruk pada stadium awal dari kanker serviks uteri, metastasi ke kelenjar limfa, ke parametrium, batas operasi, dan diameter tumor yang besar juga mempengaruhi faktor prognostik (Barbu et al., 2013). Penelitian lain menulis bahwa HER2/neu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan staging karsinoma serviks uteri, tetapi ekspresi HER2/neu 4 meningkat pada metastasis ke kelenjar limfa dan parametrium (Joseph dan Raghuveer, 2015). Sedangkan overekspresi HER2/neu telah dilaporkan pada keganasan epitel yaitu pada kanker paru, prostat, kandung kemih, pankreas, esofagus dan sarkoma (Ghaffarzadegan et al., 2006; Arman et al., 2014). Ekspresi HER2/neu pada SCC serviks uteri berdasarkan derajat diferensiasi dalam tujuan menentukan target terapi dan prognosis pada karsinoma serviks belum jelas diketahui. Hal ini terjadi karena masih sangat sedikit jurnal yang membahas tentang ekspresi HER2/neu sebagai prognosis dan target terapi terhadap SCC serviks uteri berdasarkan derajat diferensiasi. Kondisi ini menyebabkan penanganannya menjadi lebih sulit dan prognosis menjadi lebih buruk. Diperlukan suatu pemeriksaan ekpspresi HER2/neu yang dapat dipakai sebagai faktor prognostik dan dasar target terapi pada SCC serviks uteri. Proto-onkogen merupakan gen yang memproduksi faktor pertumbuhan yang mempunyai peranan penting terhadap sel normal. Golongan reseptor HER; HER1 / EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor), HER2 (HER2/neu atau ErbB2), HER3 dan HER4 yang terikat membran, merupakan G-protein reseptor ketika diaktifkan mendorong beberapa jalur sinyal transduksi mengatur pertumbuhan sel. Aktivasi reseptor HER membutuhkan dimerisasi untuk membentuk homodimer ataupun heterodimer yang merupakan hasil dari dimerisasi antar anggota golongan yang berbeda. Golongan HER memiliki peranan penting dalam mengatur pertumbuhan sel, kelangsungan hidup, dan diferensiasi secara kompleks. Overekspresi reseptor, terutama dari HER1 dan 5 HER2/neu berhubungan dengan potensial keganasan dan prognosis yang buruk pada variasi tumor (Fuchs et al., 2007). Pada sedikit penelitian yang ada dinyatakan bahwa terdapat perdebatan ekspresi HER2/neu pada kanker serviks uteri. Ada yang menyatakan bahwa ekspresi HER2/neu ditemukan pada 29,7% kasus, ada yang mendapatkan 40%, dan ada hanya 3,2 % kasus yang mengekspresi HER2/neu pada SCC (Shen et al., 2008). Pada hasil penelitian sebelumnya mencatat bahwa tingkat ekspresi HER2/neu pada SCC lebih rendah dari adenocarcinoma serviks uteri (Fuchs et al., 2007). Pada satu penelitian ditemukan 84,61% ekspresi HER2/neu terpulas pada adenocarcinoma serviks uteri (Barbu et al., 2013). Pada penelitian lain membandingkan ekspresi HER2/neu pada tumor primer serviks uteri dengan metastasis ke kelenjar limfa, didapatkan hasil bahwa tidak ditemukan ekspresi HER2/neu baik dari kasus tumor serviks uteri maupun metastasis ke kelenjar limfe (Shen et al., 2008). Ditemukannya antibodi yang spesifik pada HER2/neu untuk terapi anti kanker, diharapkan memberikan dampak sebagai anti tumor. Pada kanker payudara termasuk pada tumor lain, antibodi anti-HER2/neu trastuzumab menunjukkan tanda kelangsungan hidup yang bermakna (Dabbs dan Bhargava, 2014). Pada sedikit penelitian kanker serviks uteri, ekspresi HER2/neu masih merupakan suatu pertentangan, baik sebagai faktor prognostik maupun sebagai target terapi potensial. Pada penelitian sebelumnya overekspresi HER2/neu berkisar antara 3 % dan 77 %. Tingginya perbedaan ini karena terjadinya metodologi yang bervariasi, terdapat perbedaan ambang batas terhadap definisi 6 HER2/neu dan keragaman histopatologi tumor dalam penelitian yang sama (Fuchs et al., 2007). Belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan HER2/neu dengan SCC serviks uteri berdasarkan derajat diferensiasi dalam hubungannya dengan target terapi dan prognosis pasien terutama di Bali RSUP khususnya di Sanglah Denpasar, sehingga dibutuhkan penelitian untuk dapat memahami lebih jelas secara biologi, terutama molekuler karsinoma serviks agar lebih selektif dalam pengembangan dan strategi terapi klinis yang tepat. Berdasarkan hal diatas maka penelitian ini dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan positif antara ekspresi HER2/neu dengan berbagai derajat diferensiasi squamous cell carcinoma serviks uteri? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan ekspresi HER2/neu dengan SCC serviks uteri berdasarkan derajat diferensiasi yang nantinya dapat dipakai sebagai faktor prognosis dan dasar target terapi. 2. Untuk mengetahui hubungan positif ekspresi HER2/neu dengan berbagai derajat diferensiasi SCC serviks uteri. 7 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik Dari segi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data molekuler tentang ekspresi HER2/neu yang dihubungkan dengan berbagai derajat diferensiasi SCC serviks uteri dan memberikan tambahan pengetahuan yang mendukung HER2/neu dan berbagai derajat diferensiasi SCC serviks uteri sebagai faktor prognosis. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada klinisi bahwa ekspresi HER2/neu yang tinggi berkaitan dengan derajat diferensiasi yang lebih tinggi dan memiliki prognosis yang lebih buruk, sehingga penanganan SCC serviks uteri dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien khususnya pemberian target terapi. 8