kritik sosial dalam naskah drama cannibalogy karya benny yohanes

advertisement
KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA CANNIBALOGY
KARYA BENNY YOHANES DAN IMPLIKASINYA PADA
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Rahayu Handayani
NIM 1111013000081
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
│
Lembar Pengesahan SkriPsi
KRITIKSOSIALDALAMNASKAIIDRAMACANNIBALaGY
KARYABENNYYOHANESDANIMPI.IKASINYAPADA
PEMBELAJARANBAHASADAl\SASTRAINDONESIADI
SEKOLA.II MENEI\GAH A',IIAS (SMA)
SkriPsi
DiajukanguruanUniversitaslslamNegeri
"sy'#ii
Menempuh Gelar
n* ,r:.#l'untuk
C)leh
Rahavu Handavanl
lll1013000081
Mengetahui
lRA lNDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SAS■
FAKULTASILPIllTTARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIF ⅡIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN PENGUЛ
ルαJOθ
SkripSi beludul Kritik SoSial Dalam Naskah Drama Cα ““
Karya
Bemmy YohaneS dan lmplikaSinya pad,Pelmbelaiaran Bahasa dan Sastra
lndonesia di Sekolah DIleneDgah Atas(SM鵬
0・
Di Sus■m
Oleh nhayu
Handayanio NIM ll H013000081,di4ukan kepada Fakultas lmu Tarbiyah dan
Keguruan,Un市 ersitas
ISlaIII Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dmyatakan
LULUS pada ttian MunaqOSah tangga1 18 November 2016 di hadapan dewall
pe■ guJi.Karena itu pellulis berhak mempeF01Ch gelaF Sttana Pendidikan(S.Pd。
dalam bidang Pendidikan BahaSa dan Sastra lndonesia.
Jtarta,18 Nov面ber 2016
Paniti Ujian Munaqosah
Ketua Panitia/Ketua Jllrusttrogralln Smdi
DL MakVunSubukio M・
Hum
の
/1ル
NIP.198003052009011015
Sekertaris husttpgraln Smdi
Tanda Tangan
Tanggal
1・
6∠ :4響
Tolo EdidarmOo Me A
NIP,197602252008011020
PenguJi l
@6
Ahmad Bahtiar.M.Hum
/, /t,1'
NIP.197601182009121002
PenguJi 2
.!119岬
″ィ
Novi Diah Harvantin M.Hum
NIP.198411262015032007
Mengetahui,
hu Tarbiyah dan
Dekan Faku
UIN S
NIP。
1
1007
)
k
KEMENTERIAN AGAMA
No Dokumen
UIN JAKARTA
F:TK
Л ″圧」 rda
“
Ar●
FORM(FR)
No´
95q國 ′ダィ2¨
Revisi:
i
F!丁
:
:
: 01
Ha
ini,
Rahayu Handayani
Tempat/Tgl.Lahir:Jakarta,1l FebllЯ ri 1993
NEM
:1111013000081
Jllrusan/Plodi
:Pendidikan Bahasa dan Sastra lndoncsia
Judul Skripsi
:IGitik Sosial Dalaln Naskah Drama Cα 刀 Jbα lo響 Karya
“
Bemy Yohanes dan hlplikasinyaPadaPembelttaran Bahasa
dan Sastra lndonesia di Sekolah Menengah Atas(SMAp
Dosen Pembimbing
dengan
:1.Rosida DЮ wati
ini menyatakan bahwa skripsi yang
saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan
K―
FR― AKD-089
l Maret 2010
SURAT PERNYATAAN KARYA SEND:RI
Saya yang bertanda tangan di bawah
Nama
Tgl Terbl
ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta,
Mahasiswa Ybs.
ABSTRAK
Rahayu Handayani, (1111013000081), “Kritik Sosial dalam Naskah Drama
Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.
Karya sastra memiliki kecenderungan untuk mencerminkan kondisi sosial
masyarakat yang dipotretnya. Oleh karena itu jika di dalamnya terdapat kritik sosial,
hal ini menandakan bahwa karya sastra tersebut menyikapi sebuah fenomena sosial.
Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes merupakan salah satu naskah
drama yang mengandung kritik sosial di dalamnya. Dengan demikian peneliti
menggunakan naskah tersebut sebagai objek penelitian. Penelitian ini bertujuan
untuk: (1) mendeskripsikan struktur naskah; (2) merepresentasikan kritik sosial masa
Orde Baru dan (3) mengimplikasikannya ke dalam pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan
yang berupaya mengungkapkan hubungan antara karya sastra dengan kehidupan
sosial masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan
terdapat lima kritik sosial terkait kekuasaan pada masa Orde Baru dalam naskah
drama Cannibalogy karya Benny Yohanes, yaitu: (1) Kritik terhadap pembatasan
kebebasan berbicara (pembungkaman publik) yang dilakukan pemerintah Orde Baru,
(2) Kritik terhadap sistem ketakutan sebagai kontrol, (3) Kritik terhadap lahirnya
Supersemar, (4) Kritik mengenai rekayasa di seputar G-30-S melalui penggambaran
peristiwa lubang buaya, (5) Kritik mengenai pembantaian di Bengawan Solo.
Kata kunci: Kritik Sosial, Orde Baru, Kekuasaan, Naskah Drama, Naskah
Cannibalogy, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
i ABSTRACT
Rahayu Handayani, (1111013000081), "Social Criticism in Drama Cannibalogy
Work of Benny Yohanes and its Implications on Indonesian Language and
Literature Learning". Majors Indonesian Language and Literature Education,
Faculty of Science and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic
University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum.
The literary work has a tendency to reflect the social conditions. Therefore, if
in it there is social criticalism, this indicates that the literary work to address a social
phenomenon. Cannibalogy script by Benny Yohanes was one of the plays that
contain social criticism in it. Thus researchers used the text as an object of research.
This study to: (1) describe the structure of the text; (2) represents the social criticism
Orde Baru and (3) implement its into teaching Indonesian language and literature at
schools.
This study uses the approach of sociology of literature that approach seeks to
express the relationship between literature in the social life of the community. The
method used in this study is a qualitative method.
Based on the analysis performed, the results of this study indicate there are
five social criticism related to power during the Orde Baru in the Cannibalogy script
by Benny Yohanes, namely: (1) Criticism of restrictions on freedom of speech
(silencing public) conducted the New Order government, (2 ) criticisms of fear as a
control system, (3) Criticism of birth Supersemar, (4) Critics of engineering around
the G-30-S through the depiction of Lubang Buaya events, (5) Criticism and the
massacre at Bengawan Solo
Keywords: Social Criticism, Orde Baru, Power, Drama Script, Cannibalogy Script,
Indonesian Language and Literature Learning in High School.
ii KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Segala puji bagi Allah SWT atas segala yang ada di semesta jagad raya
yang telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Naskah Drama
Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan untuk
Nabi Besar Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya.
Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam proses penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan,
bimbingan, saran, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain
untuk menjadikan
penulis
menjadi
pribadi
yang lebih baik dan kaya
informasi. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses dalam perkuliahan.
3. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
berusaha meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi,
sabar dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan
hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
4. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya
dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah
memberikan ilmu dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
iii 5. Ucapan terimakasih ditujukan kepada sahabat yang selalu bersedia
meluangkan waktu untuk menjadi tempat berkeluh kesah dan berdiskusi
dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu Bambang Prihadi, Irfan Nawawi, dan
Tendy Ahmad.
6. Sahabat seperjuangan “Genk Che” Ade Nurfadillah, Amalia Rosyidah, Astri
Pertiwi, Madhensia Putri Pratiwi, dan Rohmatun Masruroh yang sejak awal
perkuliahan menjadi keluarga baru yang membingkai kebahagiaan, yang
selalu mendukung, menyemangati, dan mendoakan penulis dalam segala hal.
7. Sahabat seperjuangan Syifa Fauziah, Nova Liana, Maisyah, Marsita, Irmalia,
Nugroho, Ivan, Taufik, Ikhsan, Arafi beserta keluarga PBSI C 2011 yang
selalu mendukung, menyemangati serta menjadi tempat berdiskusi dan
berkeluh kesah dalam perkuliahan dan proses penulisan skripsi ini.
8. Keluarga besar Teater Syahid yang telah memberi banyak pelajaran serta
pengalaman berharga dalam berkesenian, berteater, dan kehidupan.
9. “Keluarga Cemara Teater Syahid 2012”, keluarga yang selalu memberikan
pelukan hangat dalam bahagia dan gundah, yaitu Dede Zakiyah, Henny
Andayani, Firsa Lubis, Nur Ariyani, Malissa Rizki, Nurul Hidayanti, Arsheila,
Muhammad Irfan, dan Jarot Andaru yang selalu memberikan semangat,
dukungan, keceriaan, dan kebahagiaan, dalam menjalani hari.
10. Ucapan teristimewa ditujukan kepada keluaga tersayang terutama Ayah dan
Ibu tercinta yaitu Muhammad Syafii dan Rosmini yang telah mendidik,
membimbing, memotivasi penulis untuk menjadi manusia yang baik dan
bijaksana, yang tiada hentinya memanjatkan doa kepada Sang pencipta dan
memberikan dukungan moril serta
materil sehingga penulis dapat
mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bakti dan tanda cinta. Tak lupa
untuk kakak-kakak dan adik tercinta yaitu Kakanda Muhammad Fikri Ilman,
dan Dwi Ayu Lestari, serta Adinda Novi Andini yang telah memberikan
motivasi, keceriaan, dan kasih sayang dalam perjalanan hidup hingga saat
selesainya skripsi ini;
iv Terimakasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
proses penyelesaian penelitian ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. Semoga
limpahan rahmat Allah, Tuhan yang maha kuasa terhikmat kepada kita semua.
Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini
dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.
Jakarta, 23 September 2016
Penulis
v DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................5
C. Pembatasan Masalah ...........................................................................5
D. Rumusan Masalah...............................................................................5
E. Tujuan Penelitian ................................................................................6
F. Manfaat Penelitian ..............................................................................6
G. Metodologi Penelitian .........................................................................7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Kritik Sosial ........................................................................10
1. Pengertian Kritik Sosial ..........................................................10
2. Kritik Sosial, Protes Sosial, dan Kreativitas ...........................12
3. Kritik Sosial dalam Sastra .......................................................13
4. Kritik Sastra.............................................................................14
5. Jenis-Jenis Kritik Sosial ..........................................................15
B. Hakikat Sosiologi Sastra ...................................................................19
1. Pengertian Sosiologi Sastra .....................................................19
C. Hakikat Drama ..................................................................................21
1. Pengertian Drama ..........................................................................22
2. Pengertian Naskah Drama .............................................................23
3. Unsur Intrinsik Drama ...................................................................24
4. Unsur Ekstrinsik Drama ................................................................38
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ......................................38
vi
E. Penelitian yang Relevan ...................................................................43
BAB III BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi Benny Yohanes.........................................................................44
B. Pandangan Benny Yohanes ....................................................................46
C. Naskah-Naskah Drama Karya Benny Yohanes ......................................48
D. Penyutradaraan Karya Benny Yohanes ..................................................50
E. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy ....................................................52
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes ....53
1. Tokoh dan Penokohan ...................................................................53
2. Alur................................................................................................78
3. Latar dan Ruang ............................................................................87
4. Penggarapan Bahasa ......................................................................93
5. Tema (Premise) dan Amanat.........................................................99
B. Analisis Kritik Sosial terhadap Kekuasaan Orde Baru dalam Naskah
Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes.........................................104
1. Rekayasa di Seputar G-30-S (Peristiwa Lubang Buaya) ............105
2. Lahirnya Supersemar...................................................................108
3. Pembatasan Kebebasan Berbicara (Pembungkaman Publik) ......110
4. Sistem Ketakutan Sebagai Kontrol .............................................113
5. Pembantaian di Bengawan Solo ..................................................114
6. Pelengseran Penguasa .................................................................116
C. Implikasi Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny
Yohanes terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ............119
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...............................................................................................120
B. Saran .....................................................................................................121
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................122
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
BIOGRAFI PENULIS
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide,
dan pikiran. Karya sastra menyuguhkan pengalaman batin serta kehidupan yang
dialami sastrawan di masyarakat. Sastrawan merupakan anggota dari masyarakat
yang turut menyaksikan serta berkontribusi dalam kehidupan dan peristiwa yang
terjadi di lingkungan masyarakat. Maka tidak heran jika karya sastra dianggap
sebagai tiruan kehidupan masyarakat. Namun, karya sastra tidak semata-mata
menyodorkan fakta secara denotatif, melainkan melalui sebuah refleksi yang
diperhalus dengan bangunan estetis.
Sejak awal perkembangannya, hampir semua karya sastra khususnya
naskah drama mengandung unsur kritik sosial. Wujud kehidupan sosial yang
dikritik bermacam-macam. Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya lahir
akibat terjadinya keresahan pengarang pada peristiwa yang terjadi di kehidupan
masyarakat. Salah satu peristiwa yang menarik perhatian beberapa sastrawan
ialah tentang kekuasaan dan Orde Baru.
Kekuasaan tak selamanya mengikuti jalan logika, kekuasaan dapat
bertahan dengan berbagai cara, salah satunya melakukan tekanan dengan
kekerasan. Tidak terlupakan, bagaimana pemerintah semasa Orde Baru
mengorbankan ribuan nyawa demi kelanggengan kekuasaannya, seperti yang
dikatakan dalam Asvi Warman mengenai pembantaian besar-besaran terhadap
orang-orang yang dianggap berhaluan komunis, diatandai dengan jatuhnya korban
jiwa hingga 500.000 orang.1 Hal inilah yang kemudian diangkat oleh Benny
Yohanes dalam naskah drama Cannibalogy.
1
Asvi Warman Adam, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004),
hlm. VI.
1 2 Benny Yohanes yang selanjutnya disebut Benjon merupakan salah
seorang penulis naskah drama dan dosen di STSI Bandung yang aktif dan
produktif dalam dunia keteateran, terbukti dari banyak karya yang ditulis serta
beberapa naskah drama yang menjadi nominasi terbaik dalam beberapa ajang
festival penulisan naskah drama. Salah satu di antaranya ialah naskah
Cannibalogy yang masuk ke dalam lima besar naskah terbaik versi Federasi
Teater Indonesia pada 2008.
Naskah ini merupakan naskah drama yang menggambarkan masa
kekuasaan rezim Orde Baru yang dibumbui potongan-potongan sejarah Indonesia
lainnya. Karya ini dapat menjadi renungan bagi penikmat karya sastra tentang
sejarah bangsa Indonesia, yakni saat keadaan yang menjadikan bangsa kita
terpuruk oleh kegelisahan peradaban; kediktatoran pemimpin, ketidakberdayaan
hukum, kemiskinan, demonstrasi, dan pelengseran jabatan.
Permasalahan-permasalahan aktual di atas ternyata juga telah diangkat
oleh beberapa sastrawan yang juga mengusung tema Orde Baru dalam naskah
drama. Dua di antaranya yakni Seno Gumira Ajidarma dalam karyanya Mengapa
Kau Culik Anak kami? dan Nano Riantiarno dalam karyanya Semar Gugat.
Dalam Mengapa Kau Culik Anak kami? Seno mengusung latar Masa
pemerintahan Orde Baru yang marak terjadi kekerasan politik baik secara
birokratis maupun secara fisik. Naskah ini mengangkat peristiwa penculikan
aktivis yang terwujud dalam obrolan antara tokoh Ibu dan Bapak yang anaknya
diculik dan belum kembali. Drama ini menggambarkan tindak kekejaman yang
dilakukan oleh tentara, serta kehidupan Ibu-Bapak yang anaknya hilang diculik
oleh penguasa.
Sejak awal penceritaan, Seno telah menunjukkan teror yang terjadi dalam
dunia politik. Bagaimana kejahatan hukum dapat saja terjadi demi kepentingan
penguasa, terutama jika berada di bawah negara dan pemerintahan dengan kendali
hukum serta tatanan nilai yang kabur.
3 Selain mengenai peristiwa penculikan aktivis, dalam drama ini juga
mengangkat tindak kekerasan yang pernah terjadi pada tahun 1965-1966. Dalam
naskah tersebut digambarkan tindak kekerasan dan pembunuhan massal yang
dialami orang-orang terduga komunis sebagai tindak pembersihan politik pada
masa transisi dari Orde Lama menuju ke Orde Baru. Penggambaran pembantaian
besar-besaran ketika ricuh Partai Komunis menjadi relevansi dari ketimpangan
sosial dan politik yang terjadi di Indonesia.
Selanjutnya adalah naskah Semar Gugat karya Nano Riantiarno. Dalam
naskah tersebut Nano menyampaikan kritikan serta isu besar yang terjadi selama
Orde Baru berlangsung secara simbolik melalui penggalan-penggalan kalimat
dalam dialog antartokoh. Dikarenakan represifnya rezim yang berkuasa saat itu,
maka kritik yang disampaikan tidak bersifat langsung atau verbal.
Rezim penguasa yang otoriter pada saat itu cenderung represif terhadap
kebebasan pers. Setiap media massa yang berani mengkritik kebijakan penguasa,
kemudian pemimpin redaksi media tersebut dicekal atau dibredel media
penerbitannya.
Kondisi sosial masyarakat pada masa Orde Baru yang sangat kapitalistik,
merajalelanya kemiskinan, bobroknya sistem pendidikan, kurang dihargainya hak
asasi manusia dan semacamnya tidak lepas pula dari kritik Nano dalam naskah
drama Semar Gugat tersebut.
Naskah-naskah drama tersebut dapat menjadi referensi bacaan sastra bagi
siswa-siswa di sekolah agar menjadi generasi yang lebih kritis dan peka terhadap
sejarah dan perkembangan yang terjadi di Indonesia.
Keberadaan naskah drama sebagai bacaan fiksi dapat melengkapi
pembelajaran sastra. Kritikan sosial yang terkandung di dalamnya pun dapat
merangsang siswa untuk terus berpikir kritis mengenai keadaan sosial yang terjadi
di sekitar. Naskah-naskah yang menyuarakan kritik penyimpangan masa Orde
Baru pun dapat mengajarkan siswa untuk tidak melupakan sejarah bangsa.
4 Keberadaan naskah drama Cannibalogy sebagai bacaan fiksi dapat pula
melengkapi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Naskah drama
Cannibalogy dapat menjadi salah satu bacaan yang memberikan peserta didik
pemahaman dan pengenalan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam
sastra. Dari kondisi dan masalah sosial yang terkandung dalam karya fiksi dapat
mengembangkan diri peserta didik pada aspek afektif.
Pada saat membahas unsur ekstrinsik karya sastra, siswa dapat mengamati
kenyataan sosial yang diceritakan oleh pengarang. Dengan pendidikan sastra,
peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan
bukti yang ada dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi
juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan
semacam ini akan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan
peserta didiknya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan
salah satu media ajar sekaligus penyampaian kritik. Dalam pembelajaran sastra
pun peserta didik diharapkan mampu memahami realitas kehidupan yang
tercermin secara kritis, maka penelitian ini sangat penting untuk dapat diterapkan
pada pembelajaran sastra di sekolah.
Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti
tertarik untuk meneliti kritik sosial dalam naskah drama cannibalogy karya Benny
Yohanes yang menggambarkan kondisi Indonesia pada masa Orde Baru dalam
skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya
Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).”
5 B. Identifikasi Masalah
Tujuan dari identifikasi masalah adalah untuk memudahkan peneliti dalam
mengkaji bahasan penelitiannya. Dari latar belakang masalah yang telah
diuraikan, terdapat beberapa identifikasi masalah yang dapat dibahas dalam
penelitian ini, di antaranya:
a. Karya sastra merupakan media krtitik sosial.
b. Sastra yang mengandung pesan kritik sosial lahir akibat keresahan pengarang
pada peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat.
c. Banyak terjadinya kasus penyimpangan oleh sosok penguasa pada masa Orde
Baru.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis
membatasi masalah hanya pada kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy
karya Benny Yohanes dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar
permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam penelitian ini penulis
merumuskan permasalahan yang akan dibahas, yakni:
1. Bagaimana struktur naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes?
2. Bagaimana bentuk kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes?
3. Bagaimana implikasi kritik sosial naskah Cannibalogy karya Benny Yohanes
sebagai bahan ajar sastra di SMA?
6 E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui struktur naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes.
2. Untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benny Yohanes.
3. Untuk mengetahui implikasi penelitian naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan
pendidik bahasa dan sastra Indonesia baik secara teoretis maupun praktis :
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang
kritik sosial dan sastra Indonesia serta dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a) mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy
karya Benny Yohanes.
b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia.
c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang akan mengkaji atau
meneliti bahan dan kajian sejenis.
7 G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian, setiap penulis perlu menetapkan suatu
metode penelitian. Dalam arti luas, metode dianggap sebagai cara, strategi
untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan
rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi menyederhanakan
masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.2
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan sosiologi sastra. Metode kualitatif menafsirkan data dengan
menyajikannya
dalam
bentuk
deskripsi.
Dengan
metode
kualitatif
memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya
konteks keberadaannya.3
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi
sastra dengan menghubungkan cerita dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benjon dengan kondisi sosial masa pemerintahan Orde Baru.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Data primer merupakan data langsung yang berkaitan dengan
karya sastra yang dikaji, dalam hal ini data primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes
2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), h. 34.
3
Ibid, h. 47
8 yang diterbitkan pada tahun 2008 dan Drama dalam Dua Dimensi karya
Hasanuddin W.S.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang
memiliki hubungan dengan objek penelitian, sumber data sekunder yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari referensi di luar naskah
Cannibalogy, yakni buku-buku mengenai sastra, pengkajian fiksi, dan
Orde Baru. Data ini sebagai penunjang untuk membantu penelitian terkait
kritik sosial karya sastra.
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik yang dipakai dalam mengumpulkan data ini adalah studi
kepustakaan atau dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah suatu teknik
pengumpulan data dengan membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan
permasalahan yang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data
yang relevan dengan masalah penelitian. Semua data yang berkaitan dengan
masalah pokok penelitian ini ditelaah secara teliti sehingga diperoleh data
penelitian yang komprehensif. Setiap data yang diperlukan disajikan dalam
tulisan ini, sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk
menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar dapat
dipahami oleh peneliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
9 a. Manganalisis data yakni naskah drama Cannibalogy karya Benjon
berdasarkan struktur naskah meliputi tema, tokoh, dan penokohan, alur,
latar cerita, dan gaya bahasa.
b. Analisis dalam penelitian ini menggunakan tinjauan ilmu sosiologi sastra.
Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami buku yang
berkaitan dengan penelitian dan mengumpulkan berbagai teks yang
berkaitan dengan Orde Baru kemudian menganalisisnya sesuai rumusan
yakni kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon.
c. Mengimplikasikan naskah drama Cannibalogy karya Benjon dalam
pembelajaran sastra di SMA dilakukan dengan cara menghubungkannya
dengan materi pembelajaran sastra di sekolah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Kritik Sosial
1. Pengertian Kritik Sosial
Pengertian ‘kritik’ berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang berarti
‘hakim’. Krites sendiri semula berasal dari kata krinein ‘menghakimi’.
Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
“kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan
baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.1 Kata sosial
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ‘berkenaan dengan
masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.’2 Dari definisi kritik
dan sosial yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
kritik sosial adalah pandangan atau tanggapan yang berisi komentar atau
kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang.
Adanya pengaruh masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang
akan memunculkan kritik terhadap ketimpangan yang terjadi dalam
lingkungan masyarakat. Karya sastra yang mengandung kritik sosial lahir di
masyarakat akibat keresahan dan kekritisan pengarang akibat terjadinya
peristiwa yang tidak semestinya di kehidupan sosial masyarakat. Kritik sosial
tidak hanya bersifat mengecam, mencela, tetapi juga berisi tanggapan, serta
inovasi sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial.
Kritik dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup
beragam. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan
kritik sosial secara tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya
sastra sebagai gambaran realita sosial.
1
Tim Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed , cet
3ibid, h. 601
2
ibid., h. 1085.
10 11 Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat
yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem
sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah, kritik sosial
merupakan salah satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial.
Berbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari orde
sosial maupun orde nilai moral dalam masyarakat dapat dicegah dengan
memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini
berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem
sosial atau masyarakat.3
Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial. Artinya, kritik
sosial menjadi sarana komunikasi gagasan-gagasan barusembari menilai
gagasan-gagasan lama untuk suatu perubahan sosial. Kritik sosial dalam
kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar berbagi sikap
konservatif, status quo, dan vested interest dalam masyarakat untuk perubahan
sosial.4 Perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum
kritis dan strukturalis. Mereka melihat bahwa kritik sosial adalah wahana
komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial.5
Kritik sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang
bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun
berbagai bentuk keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan.
Akhmad Zaini Abar dalam Mahfud M.D mengemukakan bahwa, “kritik sosial
adalah suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau
berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial atau proses
bermasyarakat”. Zaini juga mengatakan bahwa “berbagai tindakan sosial
atupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari
3
Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Moh. Mahfud MD,
dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (Yogyakarta: UII Press, 1999),
Cet. 2, h. 47.
4
Ibid, h. 49.
Ibid, h. 49.
5
12 maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial”.6 Dengan kata lain,
kritik sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk mencegah
hal-hal menyimpang yang terjadi di lingkungan sosial atau masyarakat, selain
itu kritik sosial juga tampil sebagai penetral keadaan agar keadaan tetap
tentram dan terjaga.
2. Kritik Sosial, Protes Sosial, dan Kreativitas
Kritik sosial dapat dipahami
sebagai instrumen yang mengoreksi
kekuasaan dengan menciptakan suatu integritas.7 Sehingga kritik sosial tidak
selalu diartikan sebagai suatu disintegrasi, melainkan mampu memberikan
kontribusi terhadap harmoni sosial. Harmoni sosial atau stabilitasi di sini
dianggap sebagai garis tengah atau keseimbangan yang berdiri di tengahtengah konflik yang ada. Pada titik inilah dapat dilihat suatu ketegasan bahwa
kritik sosial harus berfungsi sebagai sistem kontrol.
Berbicara mengenai kritik sosial, maka erat hubungannya dengan
protes sosial dan kreativitas, terutama jika dikaitkan dengan karya sastra.
Seperti yang dipaparkan Saini K. M mengenai hubungan antara protes sosial
dan kreativitas. Pertama, terdapat dua unsur yang menghasilkan kreativitas,
yaitu kesadaran manusia dan realitas. Kesadaran manusia dapat berupa
kepekaan pikiran maupun hasratnya. Realitas dapat berupa rangsangan,
sentuhan-sentuhan, serta masalah-masalah yang melibatkan dan menjadi
pemicu kesadaran manusia.8 Kedua, melalui keterarahan dapat melahirkan
kreativitas bila diungkapkan dengan usaha sadar. Usaha sadar tersebut hanya
dapat terjadi setelah melakukan penetapan (identifikasi) tantangan-tantangan
yang ditemukan dalam realitas. Saini membagi realitas menjadi empat bagian,
6
Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta : UI
Press, 1997), h. 47.
7
Ibid, h. 25
8
Saini K.M, Protes sosial dalam Sastra, (Bandung: Angkasa, 1988), h. 2.
13 antara lain realitas fisik, realitas sosial, realitas psikis, dan realitas metafisik.
Letak protes sosial berada pada lingkungan sosial (realitas sosial) yang terdiri
atas hubungan antara individu dengan individu lain atau jangkauan yang lebih
luas mencakup masyarakat. Tetapi, tidak berhenti pada realitas sosial belaka
untuk membuat karya sastra yang bermutu.
Pada prosesnya, penciptaan karya sastra tidak berlangsung dalam
kondisi tekanan dari pihak lain ataupun atas ideologi tertentu. Kejujuran
dalam berkreativitas ditunjukkan melalui karya sastra. Maka dari itu, untuk
melihat kejujuran tersebut, Saini mengutip istilah yang digunakan oleh T. S.
Elliot, Yaitu objective-correlative. Maksud dari istilah tersebut adalah,
“pengalaman (sejati) yang semula merupakan milik seseorang, kalau orang itu
sastrawan kreatif, maka ia akan mengolah pengalaman itu sedemikian rupa
sehingga menjadi pengalaman yang bersifat objective-correlative.9
3. Kritik Sosial dalam Sastra
Damono memaparkan bahwa karya sastra dapat menampilkan
gambaran kehidupan masyarakat. Berbagai hal atau peristiwa dalam
masyarakat dapat mempengaruhi pikiran pengarang atau mengendap dalam
pikirannya sehingga lahirlah sebuah karya. Sastra dengan ini berarti tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam karya sastra tercermin gambaran
tentang struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lainlain.10
Berkat kemampuan dan kepekaannya, seorang sastrawan dapat
menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Jadi selain sebagai alat
yang menghibur, suatu karya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,
9
Ibid., h. 2.
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas,(Jakarta:Depdikbud,
2002), h. 11.
10
14 antara lain menuliskan kritik terhadap masyarakat. Banyak karya sastra yang
bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.11
Sementara itu, Sikana memaparkan bahwa karya sastra merupakan
sebuah cerminan masyarakat, sebuah dokumentasi sosial, dan sebuah wadah
bagi protes sosial.12 Pada bagian lain dikatakannya pula bahwa teks sastra
dapat dianalisis dalam kaitannya dengan isu politik, ekonomi, budaya, dan
aspek-aspek lainnya yang membangun masyarakat.13 Sikana menjabarkan halhal yang bisa digali dalam sebuah karya sastra jika sebuah penelitian
menggunakan pendekatan sosiologi sastra, seperti ekonomi, isu politik, dan
budaya. Menuangkan kritik sosial dalam bentuk karya sastra adalah salah satu
bentuk penyampaian kritik sosial secara tidak langsung terhadap kondisi
sosial yang sedang terjadi. Pengarang menyuarakan tanggapannya yang
berbentuk kritik sosial dan mewakili masyarakat untuk mengemukakan
keluhan dan harapan masyarakat. Keluhan dan harapan terjadi karena realitas
sosial berada pada ketidaksesuaian dari apa yang diharapkan sehingga
memunculkan kritik sosial yang dikemukakan melalui berbagai media yang
salah satunya adalah karya sastra. 14
4. Kritik Sastra
William Flint Thrall dan Addison Hibbard dalam Atar Semi
mengemukakan bahwa kritik merupakan keterangan, kebenaran analisis atau
judgment suatu karya sastra. Selanjutnya dikatakan, bahwa ada beberapa cara
mengklasifikasikan kritik, yang lazim di antaranya adalah mimetik, pragmatik,
ekspresif, dan objektif. Salah satu dikotomi umum kritik ialah aliran
11
Op., cit. Nurgiyantoro, h. 330
Mana Sikana, Kritikan Sastra Melayu Modern. (Singapura: Pustaka Karya, 2006), h. 400.
13
ibid., h. 404.
12
14
ibid., h. 397.
15 Aristotelian versus Platonic. Aristotelian menganggap kritik bersifat formal,
logis, dan yudisial yang cenderung mengemukakan nilai-nilai karya pada diri
suatu karya sastra atau hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri.
Platonic mengarah kepada pandangan moral dan kegunaan (manfaat) suatu
karya seni, di mana nilai suatu karya diperoleh pada kegunaan untuk yang lain
dan tujuan-tujuan non seni. Jadi, pada pokoknya apa yang dimaksudkan
dengan dikotomi Aristotelian Platonic ialah pemisahan intrinsik dengan
ekstrinsik.
Definisi lain mengenai kritik sastra dikatakan oleh Andra Harjana
sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki
karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran semantik yang dinyatakan
dalam bentuk tertulis.15
Dari beberapa pemaparan di atas, secara singkat dapat dijelaskan
bahwa kritik sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang masyarakat
dalam karya sastra. Dalam kritik sastra, dapat diketahui nilai-nilai pada suatu
karya sastra serta hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri.
5. Jenis-jenis Kritik Sosial
Kritik sosial yang menjadi perhatian peneliti dalam penelitian ini
meliputi beberapa aspek, yakni kritik sosial masalah politik, sosial-budaya,
moral, dan kemanusiaan.
a. Kritik Sosial Masalah Politik
Sumaadmaja mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk
berpolitik karena manusia mempunyai kemampuan untuk mengatur
kesejahteraan, keamanan, dan pemerintahan di dalam kelompoknya. Manusia
adalah makhluk yang dapat mengatur pemerintahan dan negaranya.16 Dalam
usaha mengatur pemerintahannya, manusia harus menjalankan suatu
15
Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 5.
Nursid Sumaadmaja, Perspektif Studi Sosial. (Bandung: Penerbit Angkasa,1980), h. 42.
16
16 mekanisme yang sesuai sehingga tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang
akan merugikan masyarakat.
Mahfud dalam bukunya yang berjudul “ Politik Hukum di Indonesia”
membagi dua hal mengenai susunan kekuatan politik secara dikotomis.17
1) Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sisem politik yang
membuka peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif
menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjadinya kebebasan politik.
2) Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir
seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini
ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk melaksanakan persatuan,
penghapusan
oposisi
terbuka,
dominasi
pimpinan
negara
untuk
menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuatan politik oleh
elite politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang
membenarkan konsentrasi kekuasaan.
Mekanisme lain yang harus dijalankan dalam pemerintahan adalah
kekuasaan (power). Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan
orang lain, dalam hal ini kekuasaan memiliki unsur yang tidak dimiliki oleh
pengaruh, yaitu kemampuan untuk memadamkan perlawanan dan menjamin
tercapainya keinginan penguasa itu.
Aspek terakhir yang dalam mekanisme politik adalah kekuasaan
(authority).
Kekuasaan
dapat
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menggunakan kekerasan. Kekuasaan dapat melawan keinginan orang dan
17
Mahfud MD. Politik Hukumdi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 30.
17 membuatnya patuh pada peraturan atau kebijakan yang dtetapkan penguasa
pemerintahan, walaupun dengan menggunakan jalan-jalan kekerasan.
Kritik sosial masalah politik berkaitan dengan masalah kekuasaan
(power), pengam bilan keputusan (decision making), kebijakan politik (public
policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).18
b. Kritik Sosial Masalah Sosial-Budaya
Masalah sosial budaya adalah peristiwa atau kejadian yang timbul
akibat interaksi sosial dalam kelompok masyarakat atau antara kelompok
masyarakat guna memenuhi suatu kepentingan hidup, yang dianggap
merugikan salah satu pihak atau masyarakat secara keseluruhan. Masalah
tersebut bersumber pada perbedaan sosial budaya yang dianggap merugikan
kepentingan pihak lain, sehingga dapat memicu terjadinya konflik. Dengan
demikian moral selalu menunjukkan baik buruknya perbuatan atau tingkah
laku manusia sebagai manusia. Tolok ukur untuk menilai baik buruknya
tingkah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat penting adalah
melakukan yang baik dan menolak yang buruk.
Abdulkadir memaparkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial
artinya manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan
berkembang sempurna tanpa hidup bersama dengan individu manusia yang
lain. Manusia harus hidup bermasyarakat, artinya saling berhubungan dan
berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya dan juga dengan individu di
luar kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi kepentingannya.19
Warga masyarakat menyatukan diri dalam tipe kelompok sosial
budaya berdasarkan kesatuan tempat dan ikatan alamiah. Alasan pertama
karena mata pencaharian yang sama, sehingga penerapan asas gotong royong
dan tolong menolong lebih efektif dan efisien. Kedua adalah keturunan (etnis)
18
19
Ibid., h. 31.
M Abdulkadir,ilmu Sosial Budaya Dasar, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.5.
18 yang sama, budaya yang sama yang mengikat mereka, sehingga berkembang
rasa solidaritas kelompok untuk hidup bersama dan saling melindungi di
tempat yang sama.20
Sikap sosial yang secara moral dapat dinilai buruk yaitu, misalnya
sikap radikal, sikap membenci golongan yang dianggap menindas orang kecil,
sikap acuh tidak acuh atau masa bodoh, sikap kasihan. Sikap-sikap macam ini
tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka layak dihindari. Jadi kritik sosial
masalah moral adalah kritik yang ditujukan kepada sikap atau perbuatan
manusia, apakah sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku.
c. Kritik Sosial Masalah Kemanusiaan
Manusia adalah makhluk cipataan Tuhan yang paling sempurna.
Kesempurnaan itu dibuktikan oleh akal, perasaan, dan kehendak yang
membedakannya dengan makhluk lain. Karena kesempurnaan itu, manusia
mempunyai nilai yang sama di mana saja. Manusia yang bernilai adalah
manusia yang selalu mengarahkan setiap tingkah laku dan perbuatannya
pada kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan bagi semua manusia.21
Lebih lanjut mengenai berbagai aspek kehidupan manusia yang
dapat dikategorikan menjadi 2 ungkapan, yaitu ungkapan aspek kehidupan
manusiawi dan ungkapan aspek kehidupan tidak manusiawi. Aspek
kehidupan manusiawi diungkapkan sesuai dengan nilai budaya sebagai
pandangan hidup, melalui sikap dan perbuatan yang saling menyayangi,
melindungi,
menghargai,
menguntungkan,
menyenangkan
dan
membahagiakan yang dirasakan sebagai keindahan hidup. Aspek kehidupan
tidak manusiawi diungkapkan melalui sikap dan perbuatan yang merugikan,
menggelisahkan dan menjadikan manusia menderita karena dirasakan tidak
adil, tidak bertanggung jawab, jelek dan jahat.22
20
Ibid., h. 45.
Ibid., h. 11.
22
Ibid., h. 93.
21
19 Dalam realita, ada pula yang menanggapi manusia lain serta
lingkungan hidupnya secara tidak manusiawi, mengabaikan nilai manusia
lain guna memenuhi kepentingannya sendiri. Bertindak kasar, sewenangwenang, menyakiti, membuat orang menderita, bahkan dimusnahkan.
Dengan demikian, kritik sosial mengenai masalah kemanusiaan ditujukan
terhadap tindakan-tindakan seseorang atau sekelompok orang yang
menyakiti secara fisik kepada orang lainnya, bertindak tidak manusiawi
yang merugikan dan menyengsarakan orang lain.
B. Hakikat Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Arenanya asumsi dasar penelitian sosiologi
sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial
akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses
yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.23
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga
dan
proses
sosial.
Sosiologi
mencari
tahu
bagaimana
masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada dengan
mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian,
keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur
sosial- kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan
diri
dengan
lingkungaannya,
tentang
mekanisme
sosialisasi,
proses
23
Suwardi Endraswara, Metodologi penelitian Sastra, (Yogyakarta: Medpress, 2008), Cet.
IV., h.77.
20 pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat ditempatnya masingmasing.24
Sesungguhnya antara sosiologi dan sastra merupakan dua ilmu yang
memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat.25 Hakikat sosiologi
adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah objektivitas dan
kreativitas sesuai dengan pandangan pengarang. Jadi, dasar pemikiran yang
mengitari konsep sosiologi sastra adalah keterkaitan sastra dengan masyarakat.
Munculnya sebuah karya sastra merupakan gambaran dari masyarakat
itu sendiri, sebab sastra merupakan refleksi hubungan seseorang dengan orang
lain atau masyarakat.26 Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan
kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.27
Untuk meneliti sebuah karya sastra, dalam penelitian ini khususnya
drama sangat berkaitan dengan masyarakat, sehingga untuk memaparkan
gejala sosial dan segala persoalannya dibutuhkan pendekatan sosiologi.
Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian
ilmiah maupun praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami,
dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahanperubahan sosial yang terjadi disekitarnya.28
Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping
itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak
terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semua
itu tercermin dalam karya sastra.
24
Sapadi Joko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta, Pusat
Pembinaan dan Pengenmbangan Bahasa, 1979), h. 7.
25
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), h . 2.
26
Rachmat Djoko Pradopo,dkk, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya, 2002),h.151.
27
Pradopo. Loc.cit.
28
Nyoman Kutha Ratna, Op.cit,. h. 25.
21 Hill dan Pradopo berpendapat bahwa karya sastra adalah sebuah
struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk memahaminya haruslahkan
karya sastra dianalisis.29 Sedangkan Goldman dan Faruk mengemukakan dua
pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yaitu, (1) bahwa karya sastra
merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan (2) bahwa dalam
usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan
semesta tokoh, objektif, dan relasi secara imajiner.30
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra
yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil
berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra
terhadap pembaca. Konsep tersebut menandai bahwa sosiologi sastra akan
meneliti sastra sebagai ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai
sebuah cermin, serta memuat aspek sosial budaya yang memiliki fungsi sosial
berharga yakni aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup
bermasyarakat.
C. Hakikat Drama
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan
dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan dan
dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.31
Berbicara tentang drama, terdapat dua aspek yang perlu di pahami dan
dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek
29
Rachmat Djoko Pradopo, op. cit., h. 108.
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.71.
31
E.Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama, (Jakarta: PT Perca, 2008), h.
81.
30
22 pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan yang
sangat erat.
1. Pengertian Drama
Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan
bentuk kesusastraan lainnya, cerpen dan novel misalnya. Pada novel dan
cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh
melalui kombinasi antara narasi dan sedikit dialog, sedangkan sebuah drama
pada hakikatnya terdiri atas dialog dan sedikit prolog.
Dalam Suyadi San, drama (Yunani Kuno : δramoy) adalah satu bentuk
karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosa kata ini
berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”.32 Dalam bahasa
Inggris disebut drama, dan dalam bahasa Perancis disebut drama yang berarti
perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini, memang drama sebagai
pengertian lebih difokuskan kepada dimensi pertunjukannya.
Ferdinan Brunetire dan Balthazar Verhagen dalam Hasanuddin
berpendapat bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap
manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku.
Sedangkan pengertian drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan
dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang
diekspresikan secara langsung.33
Pementasan sebuah drama akan memudahkan penikmat sastra untuk
memahami drama, karena penikmat akan lebih mudah mengerti dan
memahami dialog yang diucapkan dengan intonasi dan artikulasi yang sesuai
jika dibandingkan dengan membaca dialog-dialog pada naskah drama secara
langsung. Dengan dialog, akan terlihat penokohan, permasalahan dan
32
Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV. Partama Mitra Sari, 2013), h.
5.
33
Hasanuddin, Drama Karya Dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), cet. 1, ,h. 2.
23 peristiwa yang hendak dikemukakan oleh pengarangnya. Akan tetapi, jika
pemahaman tersebut terus dipaksakan dan berorientasi dengan pengertian
seperti di atas, drama akan kehilangan dimensi sastranya, dan hanya akan
menonjol dari seni pertunjukannya saja.
2. Naskah Drama
Kata naskah berasal dari bahasa Inggris manuscript dan bahasa
Perancis manuscrit yang berarti karangan yang ditulis tangan atau diketik,
yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencetaknya.34 Jadi, naskah dapat
dikatakan sebagai karangan yang tertulis. Sedangkan drama, seperti yang telah
dijelaskan, merupakan karya sastra dalam bentuk dialog dan juga merupakan
seni pertunjukan.
Sebagai genre sastra, drama mempunyai unsur cerita yang ditulis
seorang pengarang dalam bentuk dialog. Pengarang naskah drama
menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyalurkan kreativitas dan
imajinasinya yang dibentuk dalam dialog dan petunjuk pemanggungan.
Dialog merupakan pemikiran tokoh yang ditampilkan dalam bentuk perkataan
atau ujaran, sedangkan petunjuk pemanggungan merupakan tuntunan bagi
pengaturan tingkah laku pemain.35
Sebagai genre sastra, secara umum dapat dikatakan drama mendekati,
atau bahkan dapat diidentikan dengan fiksi. Biasanya rumusan tentang
keidentikan ini diperoleh dari penelusuran tentang bagaimana unsur cerita
atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang. Dalam fiksi dapat ditemukan
pemaparan tersebut tentang suatu peristiwa atau tentang seseorang.
Pemeranan tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga seolah-olah terjadi.
Tokoh atau seseorang yang dipaparkan seolah-olah benar ada dan pernah ada,
34
35
Ibid., h. 532.
Attar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa, 1988),h. 161.
24 atau akan ada nantinya. Padahal peristiwa hanya ada dalam imajinasi dan
pikiran pengarang semata. Tentu saja harus diingat bahwa pemaparan ini tidak
mungkin terus imajinasi, karena jika terus saja imajinasi, fiksi tidak pula bisa
dipahami. Unsur-unsur yang semacam ini – yang biasa dikenal dengan istilah
fiksionalitas – di dalam drama.36 Namun dengan terbentuknya cerita melalui
dialog-dialog antar tokoh membuat naskah drama berbeda dengan genre sastra
lainnya. Puisi tersusun dari rangkaian kata yang bermakna dan sifatnya
simbolik, sedangkan cerita fiksi seperti cerpen dan novel disusun dengan
menarasikan cerita yang ditulis oleh pengarang.
3. Unsur Intrinsik Drama
Di dalam drama tidak ditemukan adanya unsur pencerita, sebagaimana
terdapat di dalam fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui
motif yang merupakan alasan utama munculnya suatu peristiwa. Motif di
dalam drama menjadi penting, karena aspek ini sudah menjadi perhatian
pengarang sewaktu karya drama ditulis.37
Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibanding
dengan genre sastra yang lain. Jika dibandingkan dengan karya fiksi yang lain,
maka unsur intrinsik dalam drama dikatakan kurang sempurna. Namun begitu,
tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan pembeberan,
drama menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada aspek ini jugalah
letak kekuatan karya drama.38 Dalam bukunya, Hasanuddin menyebutkan
naskah drama terdiri atas :
36
Hasanuddin, op. cit., h. 58.
Ibid., h. 75.
38
Ibid., h. 76
37
25 a. Penokohan dan Perwatakan
Dalam drama (kecuali monolog) tidak hanya ada seorang tokoh
yang bergerak tanpa hubungan dengan tokoh lain. Tokoh dalam drama
tersebut berdialog dengan tokoh lain, bertatap muka dan berkonflik antara
satu sama lain, saling berinteraksi dan komunikasi hingga menimbulkan
konflik.
Dalam Suyadi San, terdapat istilah yang lazim digunakan yakni
penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk kepada proses
penampilan tokoh yang berfungsi sebagai pembawa peran watak tokoh
cerita dalam drama. Sedangkan teknik penokohan adalah teknik yang
digunakan penulis naskah lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan
atau penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam cerita.
Teknik penokohan dilakukan dalam rangka menciptakan citra
tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Watak tokoh cerita dapat
diungkapkan melalui salah satu teknik berikut : 1. Apa yang dipikirkan,
dirasakan, atau dikehendaki tentang dirinya atau tentang diri orang lain, 2.
Lakuan, tindakan, 3. Cakapan, ucapan, ujaran, 4. Kehendak, perasaan,
pikiran, 5. Penampilan fisik.
Penokohan, gerak, dan cakapan adalah tiga komponen utama yang
menjadi dasar terjadinya konflik (tikaian) dalam drama. Pada hakikatnya
konflik (tikaian) merupakan unsur intrinsik yang harus ada dalam sebuah
drama.
Dalam Suyadi San terdapat empat cara membangun pola
penokohan naskah drama. Pertama, tiap tokoh mempunyai nama. Namanama tokoh tidak di susun secara serta merta oleh pengarang. Tentu
memiliki alasan dan latar belakang. Ini, tentu penamaan saja akan menjadi
gambaran perwatakan sang tokoh. 39
39
Suyadi San, op.cit., h. 10.
26 Pola penokohan yang pertama ini tentu akan membantu pembaca
ataupun aktor dalam mengetahui watak, dialek, serta kebiasaan yang
dilakukan oleh tokoh dalam naskah. Sebagai contoh tokoh Mas Ageng
dalam naskah Cannibalogy karya BenJon. Tentu ada maksud serta makna
di balik nama tersebut. Dari namanya akan terlihat Mas Ageng berasal
dari tanah Jawa dan memiliki kedudukan yang dihormati.
Tidak jauh berbeda halnya dengan Suyadi San, Hasanuddin. WS
mengatakan dalam penokohan terbentuk hal-hal yang berkaitan dengan
penamaan, keadaan fisik tokoh, keadaan sosial tokoh, serta karakter tokoh.
Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling
berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau
konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama.
Bahkan di dalam unsur drama, penokohan merupakan aspek penting,
selain aspek ini aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan
berkembang, unsur penokohan di dalam drama terkesan lebih tegas dan
jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi.40
Pemilihan aspek penamaan untuk tokoh diniatkan sejak semula
oleh pengarang untuk mewakili permasalahan dan konflik yang hendak
dikemukakan. Oleh sebab itu, dalam upaya penemuan permasalahan
drama, pembaca perlu mempertimbangkan unsur penamaan tokoh.
Setidak-tidaknya yang harus disadari pembaca adalah faktor nama
merupakan suatu subsistem yang lebih besar. Nama di dalam drama dapat
menimbulkan persepsi dan resepsi tertentu.41
Kedua, pemeranan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang,
untuk dapat membangun persoalan dan menciptakan konflik-konflik,
biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka lakukan. Jarang
tokoh memiliki peran tunggal, kebanyakan multi peran. Jumlah peran
40
41
Hasanuddin, op.cit., h. 76.
Ibid., h. 78.
27 yang harus diemban tokoh biasanya tergantung dengan interaksi sosial
yang dijalaninya. Perubahan lawan interaksi sosial akan menyebabkan
berubahnya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir
berpasangan dengan peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu
hadir berpasangan dengan peran lain dalam bentuk suatu permasalahan
atau konflik. Setiap konflik atau permasalahan dapat saja muncul atau
dibentuk oleh beberapa peran dari beberapa tokoh. Namun, beberapa
peran itu tetap hadir dalam dua kelompok peran yang berpasangan.42
Mengenai hal ini, Robert Sholes dalam Hasanuddin merumuskan
enam kedudukan peran tokoh di dalam drama. Keenam kedudukan peran
inilah yang membangun cerita dan membentuk konflik. Kedudukan enam
peran itu adalah :
a)
Peran Lion, yaitu tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai
pembawa ide. Disebut juga tokoh protagonis. Biasanya memerjuangkan
sesuatu, yang mungkin berupa kebenaran, kekuasaan, perdamaian,
cinta, atau juga wanita. Di dalam perjalanannya kerap kali tokoh Lion
mendapat hambatan dan tantangan.
Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan
peran Lion ialah Suman. Suman digambarkan sebagai tokoh pejuang
yang sedang merebut tanah Mojokuto dari tangan penjajah, serta
berjuang untuk membebaskan Sun dari Mars.
b)
Peran Mars, yaitu tokoh yang menentang dan menghalang-
halangi perjuangan Lion. Biasanya berkeinginan untuk mendapatkan
apa yang diinginkan peran Lion. Sering juga di sebut dengan tokoh
antagonis.
42
Suyadi San, op.cit., h. 11.
28 Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan
peran Mars ialah Suhar. Suhar berkeinginan untuk menguasai dan
merampas tanah Mojokuto dan berambisi untuk menikahi Sun.
c)
Peran Sun, tokoh atau apapun yang menjadi sasran perjuangan
Lion dan juga yang ingin didapatkan Mars. Merupakan apa yang
diinginkan dan diperjuangkan oleh Lion dan Mars.
Dalam naskah Cannibalogy Sun diperankan oleh Sinta Salim
dan Tanah Mojokuto, karena kedua hal tersebut yang sedang di
perjuangkan oleh peran Lion dan Mars.
d)
Peran Earth, yaitu peran atau tokoh apapun yang menerima
hasil perjuangan Lion atau Mars. Jika Lion berjuang untuk dirinya
sendiri, maka Lion dapat berperan sebagai Earth. Begitu juga Mars,
jika ia berjuang untuk dirinya sendiri maka sekaligus sebagi Earth.
Dalam naskah Cannibalogy yang berperan sebagai Earth ialah rakyat
Mojokuto, hal tersebut dikarenakan dalam naskah Cannibalogy peran
Lion berusaha untuk merenggut tanah Mojokuto dari jajahan Olanda.
e)
Peran Scale, yaitu peran yang menghakimi, memutuskan,
menengahi, atau juga menyelesaikan konflik dan permasalahan yang
terjadi dalam drama. Biasanya pertengahan antara Lion dan Mars.
Dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Scale ialah Mas
Ageng Rais. Mas Ageng merupakan sosok penguasa dalam naskah ini
yang berhak memberikan keputusan layaknya hakim.
f)
Peran Moon, yaitu peran yang bertugas sebagai penolong. Bisa
saja Moon menolong Lion, namun ada juga yang mungkin bertugas
menolong Mars. Di dalam kondisinya akan muncul banyak variasi
peran. Tidak menutup kemungkinan peran Moon yang membatu Sun,
Earth, dan Scale.43 Dalam naskah Cannibalogi Peran Moon dapat
43
Hasanuddin, op.cit., h. 81.
29 digambarkan pada sosok Landless yang memuluskan jalan Suhar
menuju kekuasaan.
Ketiga, sistem perwatakan. Tokoh watak atau karakter dalam
drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai
penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi
sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga
berfungsi sebagai pembentuk dan pencipta alur cerita.
Keempat, tindakan. Dalam menjalankan peran dan perwatakannya,
tokoh cerita pada drama dapat diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi,
meliputi: 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani
atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan
ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau
rohanni, seperti mentalitas, tempramen, cipta, rasa, krasa, IQ, sikap
pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan
sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan,
kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat,
agama, ideology, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi
pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul
sosial.
Perwatakan atau penokohan juga memiliki dasar-dasar tersendiri.
Watak hendaklah bergerak bebas tanpa mendapat gangguan meski dari
penulisnya sendiri. Adalah suatu perbuatan yang kurang etis, apabila sang
dramawan masuk menyusup ke dalam diri watak. Jadilah watak itu
sebagai boneka dan dialog yang diucapkan adalah ucapan sang
dramawannya sendiri.44
44
Suyadi San, op.cit., h.12.
30 Sependapat dengan Suyadi, Wahyudi Siswanto dalam bukunya
menyampaikan bentuk komunikasi dalam naskah drama secara skematik
yang diadaptasi dari Luxemburg sebagai berikut :
pengarang
aktor aktor pembaca
Di dalam teks yang bicara adalah aktor atau pelaku, bukan
pencerita seperti halnya dalam prosa rekaan. Pengarang menyerahkan
segalanya kepada pelaku, demikian juga pembaca langsung berhadapan
dengan pelaku. Pelaku bisa bergantian peran sebagai pembicara dan
pendengar. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya
hubungan tidak langsung antara pengarang dan aktor serta komunikasi
aktor dan pembaca.45
Sesuatu yang unik dalam kedudukan watak pada drama ialah
bahwa antara watak-watak dalam drama tidak harus ada persamaan atau
penerimaan. Setiap watak mempunyai posisinya tersendiri dan bergerak
menurut kemauannya sendiri. Ia tidak boleh menjadi bayang-bayang
watak yang lain. Menciptakan pelakon atau tokoh adalah mudah, tetapi
menciptakan watak teramat sukar.
Watak yang dinamis, yang berani, yang lebih bijak dari audien,
yang lebih pintar dan mempunyai unsur-unsur keuniversalan sangat
penting bagi perwatakan dalam sebuah drama. Jika terdapat watak yang
seperti ini, niscaya sebuah drama itu akan menjanjikan nilai dan mutu.
Sebaliknya watak yang statis, menyerah, kalah, dan dialognya juga lemah,
akan menjadikan drama itu tidak menarik dan menjemukan.
45
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teaori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008).h. 163.
31 Kebulatan watak akan muncul dari sudut fisik, mental, dan
tindakannya. Audien akan mengenali mereka dari data-data tersebut. Di
samping
itu
gambaran-gambaran
yang
bercorak
sosial,
seperti
pekerjaannya, sosialisasinya, agamanya, politiknya, dan sebagainya akan
lebih menolong menjadikan ia watak yang bulat. Apalagi jika sifat
kejiwaan atau psikologi membantunya sehingga dapat dikemukakan citacitanya, perangainya, dan tindakannya; ini akan lebih menguatkan
perwatakan.46
b. Alur
Permasalahan yang terkandung dalam drama akan membangun lakon
lebih jelas dan konkret, selain dapat dibangun melalui pertemuan dua tokoh
atau sekelompok tokoh yang melakoni peran yang berbeda, dapat pula
dibangun melalui laku. Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan
tokoh-tokoh, selanjutnya gerakan serta tindakan para tokoh dapat membentuk
atau membangun suatu peristiwa.
Dalam memahami peristiwa di dalam drama harus disadari
sepenuhnya bahwa peristiwa tidaklah terjadi begitu saja secara tiba-tiba atau
serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai
hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh
suatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi.47 Oleh
sebab itu, usaha untuk memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan
memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh.
Pada akhirnya, pembaca dapat menemukan sebuah peristiwa yang
nantinya berhubungan satu sama lain tanpa ada peristiwa yang terlepas.
Hubungan antara peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut dengan alur
atau plot.
46
47
Suyadi San, op.cit., h.12.
Ibid., h. 86.
32 Alur sebagai rangkaian peristiwa yang saling berhubungan secara
kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab akibat. Jika hubungan kausalitas
peristiwa terputus, dengan peristiwa yang lain, maka dapat dikatakan bahwa
alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas
sesama peristiwa yang terdapat dalam naskah drama.
Karakteristik alur drama dikategorikan menjadi dua, yakni alur
konfensional dan non konfensional. Pengertian alur konfensional ialah dimana
peristiwa yang disajikan terlebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya
peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu
menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan alur nonkonvensional adalah alur yang dibentuk
berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runtutan sebagaimana
alur konvensional. Tidak berarti alur nonkonfensional tidak mempunyai
keteraturan. Selintas memang alur yang demikian sepertinya tidak teratur,
tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk di
dalamnya.48
Selain karakteristik alur drama seperti di atas, terdapat tahapan lain
yang terlihat lebih rinci, hal tersebut seperti yang dikemukakan Tasrif dalam
Nurgiantoro. Tasrif membedakan tahapan alur menjadi lima bagian. Kelima
tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan
dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini
merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain
yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan
pada tahap berikutnya.
2) Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan konflik, masalah dan
peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi,
48
Ibid., h. 90
33 tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri
akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap selanjutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini,
tampaknya berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang
dikemukakan di atas.
3) Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah
dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
berkembang
dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan. Konflikkonflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya,
pertentangan, benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
4) Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan
dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama.
5) Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik
yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi
jalan keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir
di atas. 49
Tahap-tahap pemplotan seperti di atas dapat juga digambarkan dalam
bentuk diagram. Diagram struktur yang dimaksud biasanya didasarkan pada
urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Seperti yang digambarkan
oleh Jones dalam Nurgiantoro.
49
Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi,(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013)
h.149.
34 Klimaks
Pemecahan
Inciting Forces +)
*)
**)
Awal
Tengah
Akhir
Keterangan: *) Konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan
**) Konflik dan keegangan mulai dikendorkan
+) Inciting force menyaran pada hal-hal yang semakin
meningkatkan konflik sehingga akhirnya mencapai
klimaks.
Diagram di atas menggambarkan perkembangan plot yang runtut dan
kronologis. Jadi sesuai dengan tahap-tahap pemplotan yang secara teoretis
konfensional itu. 50
c.
Latar dan Ruang
Latar
merupakan
identitas
permasalahan
drama
sebagai
karya
fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika
permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar
dan ruang memperjelas suasana tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku.
Latar dan ruang dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi
permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan
alur. Sehubungan dengan itu, latar harus dapat menunjang alur dan penokohan
dalam membangun permasalahan dan konflik.
Ruang merupakan unsur lain drama yang jelas berkaitan dengan latar.
Ruang juga menyangkut tempat dan suasana. Namun begitu, sukar untuk
50
Ibid., h. 151.
35 menganalisis ruang tanpa menghubungkannya dengan persoalan pementasan.
Membicarakan ruang hanya menitik beratkan drama sebagai genre sastra
belaka memberikan pemahaman yang tidak menyeluruh. Oleh sebab itu,
bukanlah berlebihan jika untuk memahami persoalan ruang di dalam drama,
pembaca pembaca menghubungkannya dengan pementasan.51
Luxemburg, dkk dalam Hasanuddin, di dalam teks drama sebenarnya
dimungkinkan untuk memasukkan hal-hal bersifat naratif yang mengisahkan
suatu ruang lebih luas, bahkan terdapat juga kemungkinan vokalisasi. Di
dalam teks drama dapat dilakukan, misalnya dengan menempatkan suatu
kejadian tempat seorang tokoh melihat keluar, melalui jendela, dari tempat
ketinggian seperti dari balkon, dan lain-lain. Teknik seperti ini biasanya
disebut teichoscopie.52
d. Penggarapan Bahasa
Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama.
Namun begitu, pengertian penggarapan bahasa dipergunakan pengarang
sehingga terjadi situasi bahasa. Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut
kemahiran pengarang dalam menggunakan bahasa sebagai medium drama.
Masalah penggarapan bahasa di dalam drama memang berkaitan
dengan gaya bahasa. Bagaimana pengarang memilih sarana pengucapannya
sehingga permasalahan yang ingin dikemukakan dapat tertuang melalui
bentukan dialog para tokoh drama.
Menggunakan bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang
berarati tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga terdapat celah
kelemahan komunikasi dibandingkan bahasa lisan. Akan tetapi karena situasi
bahasa di dalam drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa
51
52
Ibid., h. 97
Hasanuddin. Op., cit., h. 98
36 tulis, kesan kelisanan dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan
dalam drama dibandingkan pada fiksi yang lain.
Gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu
penegasan, pertentangan, perbandingan, dan sindiran. Sebagaimana di dalam
karya sastra lainnya, di dalam drama para pengarang pun memanfaatkan hal
ini. Tentu dengan memperhatikan kekhususan karakteristik drama. Masingmasing jenis itu dapat diperinci lebih lanjut, misalnya metafora, personifikasi,
asosiasi, paralel, dan lain-lain, untuk jenis bahasa perbandingan, ironi, sarkas,
dan sinis, untuk jenis gaya bahasa sindiran; pleonasme, repetisi, klimaks,
retoris, dan lain-lain, untuk gaya bahasa penegasan, dan paradoks, antithesis,
dan lain-lain, untuk jenis gaya bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya
bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh.
Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya
tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa
sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan. 53
Penggarapan bahasa di dalam drama akan memberikan indikasi lain
tentang keberadaan unsur-unsur yang berkaitan erat dengan latar drama,
misalnya hal-hal berhubungan dengan latar drama, dengan indikasi suasana,
waktu, dan tempat. Jika di dalam teks drama ditemukan gaya sinisme yang
digunakan
pengarang,
kesewenang-wenangnya
mungkin
akan
kekuasaan,
memberikan
ataupun
gaya
indikasi
simbolisme
tentang
yang
berhubungan dengan suasana keprihatinan. Dengan begitu, suasana dan latar
cerita dapat dikenali melalui gaya bahasa atau penggarapan bahasa yang
dilakukan oleh pengarang melalui para tokoh, apakah bersuasana komedi atau
tragedi. Oleh sebab itu, penggarapan bahasa oleh pengarang di dalam drama
53
Ibid., h.99.
37 merupakan bagian penting untuk diselidiki guna menunjang pemahaman
informasi-informasi teks drama dengan baik dan benar.54
e. Tema (Premisse) dan Amanat
Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa,
penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak
dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan
hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan
latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-masing
mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari
permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini dapat juga muncul
melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan
ruang.55
Tema
sebuah
karya
sastra
selalu
berkaitan
dengan
makna
(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan
makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan
menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang
permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.56
Amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap
tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari
satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada
dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu,
amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh,
latar, dan ruang cerita.57
54
Ibid., h. 101.
Ibid., h. 103.
56
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta,
2012), h. 71.
57
Hasanuddin, Op. cit. h. 103
55
38 4. Unsur Ekstrinsik
Struktur luar karya sastra atau disebut dengan unsur ekstrinsik adalah
“segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang turut
mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial
ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai
yang dianut masyarakat”.58 Dengan demikian, pemahaman unsur ekstrinsik
suatu karya akan membantu dalam pemahaman makna karya tersebut, karena
karya sastra muncul dari suatu budaya. Segi ekstrinsik hanya dapat
dibicarakan bila dilihat dari segi-segi kemasyarakatan atau sosio kultural yang
mempengaruhi karya tersebut dan falsafah hidup yang dianut pengarangnya.59
Oleh karena itu, biografi pengarang, lingkungan sosial, pendidikan, dan
pandangan hidup pengarang termasuk kedalam bagian dari pembahasan unsur
ekstrinsik yang mempengaruhi isi dari karya yang bersangkutan.
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Pendidikan secara luas, merupakan pembentukan kepribadian, kemajuan
ilmu, kemajuan teknologi, dan kemajuan kehidupan sosial pada umumnya.60
Proses pendidikan dapat berlangsung karena adanya sarana yang mendukung dan
menjadi ajang berlangsungnya pendidikan Yang dimaksud sarana dan ajang
tersebut adalah masyarakat, baik masyarakat mikro seperti keluarga ataupun
masyarakat makro seperti sekolah dan lingkungan.
Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam perkembanganya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan
yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.
58
Semi, Op. Cit, h. 35.
Ibid, h. 36.
60
Nursid Sumaadmaja,Perspektif Studi Sosial (Bandung: Penerbit Angkasa, 1980), h. 89
59
39 Pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Rahmanto dalam Metode
Pengajaran Sastra mengemukakan bahwa pembelajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu
membantu
keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.61
Pembelajaran yang baik dan tepat akan mewujudkan cita-cita pendidikan
yang luhur sebagaimana tertuang dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional, yang berbunyi: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam dunia pendidikan para pengajar terus berupaya meningkatkan
keberhasilan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Basennang
Saliwangi, pengajaran berbahasa berupaya untuk melatih siswa menemukan
konsep-konsep yang berkaitan dengan semantik, pemahaman arti kata, kalimat, isi
paragraf, dan isi secara keseluruhan, juga prinsip tentang bahasa yang
digunakan.62 Sedangkan menurut Wahyudi Siswanto, melalui pengajaran sastra
siswa diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati
karya sastra secara langsung.63
Mengutip Henry Guntur Tarigan dalam kurikulum di sekolah keterampilan
berbahasa (atau language arts, language skills) biasanya mencakup empat aspek,
yaitu: “(1) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (2) keterampilan
61
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanius, 1988), h. 16.
Basennang Saliwangi, Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia, (Malang:
IKIP, 1989), hlm. 23.
63
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 168.
62
40 berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading skills) dan
keterampilan menulis (writing skills).”64
Dalam
pembelajaran
sastra
menurut
Wahyudi
Siswanto
keempat
keterampilan tersebut meliputi: (1) keterampilan mendengar meliputi: mendengar,
memahami, mengapresiasi ragam karya sastra baik asli, saduran atau terjemahan
sesuai kemampuan siswa. (2) keterampilan berbicara meliputi: membahas dan
mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi konteks lingkungan dan
budaya. (3) keterampilan membaca meliputi: membaca dan memahami ragam
karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. (4) keterampilan
menulis meliputi: mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk
sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan
ragam sastra yang telah dibaca.65 Keempat aspek tersebut terdapat dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang
mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan
proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pendidikan
ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui
pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca,
memahami, dan
menganalisis karya sastra secara langsung. Mereka diajak
berkenalan dengan sastra, tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra
atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.66
M. Atar Semi berpendapat bahwa pengajaran sastra di sekolah menengah
pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra
sehingga dapat terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan demikian,
diharapkan siswa memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan
64
Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 2008), hlm. 1.
65
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,(Jakarta: Grasindo, 2008), h. 171.
66
ibid., 168.
41 sebagai suatu respon sastra, mengenal nilai-nilai dan mendapat ide-ide baru.
67
Karya sastra lahir dari penggabungan antara fakta dan imajinasi dengan bahasa
sebagai medianya, sehingga diharapkan siswa mempunyai bekal untuk merespon
kehidupan ini dengan imajinatif.
Manfaat membaca dan mempelajari sastra yakni untuk menunjang
keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
sosial
budaya,
mengembangkan rasa karsa dan pembentukan watak.68 Dengan manfaat ini,
kemampuan siswa dapat lebih diasah melalui pembelajaran sastra.Studi sastra
dalam hubungannya dengan pengajaran sastra telah melahirkan berbagai macam
pendekatan, yakni:
1. Pendekatan kesejarahan
Pendekatan
kesejarahan
adalah
pendekatan
pengajaran
yang
memusatkan perhatian kepada aspek sejarah kehadiran sastra. Periodisasi
sastra, dan ciri-ciri khas yang menandai perkembangan sastra dari zaman ke
zaman. Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengetahuan mengenai: (1)
proses kejadian suatu karya sastra; (2) latar belakang yang mewarnai karya
sastra tersebut; (3) perkembangan sastra dari masa ke masa; dan (4) latar
belakang yang mendorong perkembangan sastra atau yang menjadi fenomena
yang menonjol pada suatu periode tertentu.
2. Pendekatan sosiopsikologis
Pendekatan yang memusatkan perhatian kepada masalah kejiwaan dan
kemasyarakatan yang ada di dalam karya sastra. Dengan pendekatan ini
diharapkan siswa memahami sastra dalam konteks kemasyarakatan tempat
sastra tersebut dilahirkan.
67
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1990), hlm. 152-153. 68
Ibid., hlm. 154. 42 3. Pendekatan emotif
Pendekatan
ini
dalam
pengajaran
sastra
berupa
upaya
guru
memanipulasi emosi siswa tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk
menentukan sendiri atau menikmati sendiri karya tersebut. Setelah itu guru
memberikan tugas kepada siswanya untuk membaca karya sastra. Dengan
begitu siswa membaca dengan menggunakan sikap emosi tertentu.
4. Pendekatan analisis
Pendekatan ini memusatkan perhatian kepada aspek pendidikan dan
moral yang terdapat dalam suatu karya sastra.
5. Pendekatan didaktis
Pendekatan analisis yaitu pendekatan yang memusatkan perhatian
kepada analisis segi-segi intrinsik karya sastra. Dengan pendekatan ini guru
cenderung untuk menunjukan komponen-komponen yang terdapat dalam
suatu karya sastra.
Pendekatan yang disebutkan di atas memiliki kelemahan-kelemahan di
samping adanya kekuatan, sehingga guru dapat mengambil unsur-unsur yang
positifnya. Di dalam pemilihan pendekatan perlu mempertimbangkan beberapa
masalah, yaitu: a) tujuan pengajaran; b) kebutuhan siswa menurut perkembangan jiwa
dan lingkungan ekologis; c) hakikat sastra sebagai karya seni; d) memperhatikan
perbedaan individual siswa seperti watak dan minat; e) pendekatan yang dipilih
hendaknya memungkinkan siswa mendapat peluang seluas-luasnya mengapresiasi
karya sastra; dan f) pendekatan yang dipilih hendaknya menjamin pengertian yang
benar tentang sastra secara utuh dan memperhatikan fungsi sastra dalam kehidupan.69
69
Ibid., hlm. 196-197. 43 E. Penelitian yang Relevan
Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti atau
penulis. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan referensi sebagai acuan suatu
penelitian yang sedang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari
makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Sejauh yang penulis ketahui,
belum ditemukan penelitian mengenai “Kritik Sosial Dalam Naskah Drama
Cannibalogy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”
di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta di universitas lain,
namun terdapat beberapa tulisan yang berkaitan dengan skripsi yang penulis buat.
Selanjutnya akan penulis paparkan judul serta masalah yang dibahas :
1. Akhyar Makaf dengan tesis yang berjudul “Proses Kreatif Penciptaan
“Pertja” Karya Benny Yohanes” yang disusun oleh untuk memenuhi
persyaratan mencapai derajat magister dalam bidang seni, Minat Utama Seni
Teater di Program Penciptaan dan Pengkajian di Pascasarjana Institut Seni
Indonesia Yogyakarta tahun 2014. Adapun pembahasan dalam tesis ini ialah
mengenai proses kreatif Benjon dalam menciptakan karya drama dan
pertunjukan “Pertja” yang berhubungan dengan pengalaman masa lalunya
dengan menggunakan teori kreativitas dalam perspektif psikoanalisis
Sigmund Freud dan Jacques Lacan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Benjon didorong oleh perasaan
keterasingan yang justru membuatnya menemukan momen kreatif. Ia
mengeksplorasi pengalaman masa lalunya tentang kekerasan dan erotisme,
kisah unik dari orang yang pernah ditemuinya,serta realita kehidupan
masyarakat perkotaan ke dalam karya yang diciptakannya.
44 Relevansi penelitian ini dengan penelitian di atas ialah sama-sama
menganalisis karya sastra berupa naskah drama karya Benny Yohanes.
Perbedaannya. jika dalam penelitian di atas meneliti naskah dan pementasan
Pertja dari sudut pandang proses kreatif Benjon dalm menciptakan karya,
penelitian ini menggunakan naskah Cannibalogy sebagai objek penelitian
dengan sudut pandang kritik sosial yang terkandung di dalamnya.
2. Ilmi Fadilah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas Pendidikan
Bahasa dan Seni UPI Bandung 2013 dengan judul Skripsi “Representasi
Ketidakadilan Gender dalam Naskah Drama Pertja Karya Benny Yohanes
(Kajian Feminis)” yang dikaji dengan metode deskriptif analitik, penelitian ini
menggunakan teori feminis secara umum, khususnya mengenai ketidakadilan
gender. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender pada
tokoh-tokoh perempuan dalam naskah Pertja karya Benjon.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian di atas ialah sama-sama menganalisis
karya sastra berupa naskah drama karya Benny Yohanes serta membahas
permasalahan sosial. Perbedaannya terletak pada judul naskah yang diteliti serta teori
yang digunakan. Teori yang digunakan dalam penelitian di atas ialah teori feminis
yang mengkaji ketidak adilan gender sedangkan teori yang digunakan dalam
penelitian ini ialah teori sosiologi sastra yang mengkaji permasalahan sosial yang
terkandung dalam naskah drama Cannibalogy.
BAB III
Biografi Pengarang
A. Biografi Benny Yohanes
Benny Yohanes lahir di kota Bandung, 15 Februari 1962. Pemilik nama
panggung Benjon ini menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Muda Teater di
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung pada tahun 19891, menyelesaikan S2
dengan menyandang gelar M.Hum di Universitas Indonesia pada tahun 2000,
serta menyelesaikan S3 dengan menyandang gelar Dr. di Universitas Padjadjaran
pada tahun 2013.2
Dengan perjalanan pendidikan yang telah ditempuh oleh suami dari Soeko
Sri Setiati ini, maka kreativitasnya dibidang keteateran tak dapat di ragukan.
Benjon merupakan seorang teaterawan yang serba bisa, bahkan dapat dikatakan
pemborong segala pekerjaan bidang keteateran.
Benjon merupakan pendiri teater Re-publik, sutradara, aktor, penulis
naskah, kritikus, pengamat seni pertunjukan, anggota pengawas Federasi Teater
Indonesia sejak 2008 dan anggota International Federation of Theatre Research
sejak 2005, selain itu ia turut pula dalam pekerjaan produksi keteateran, mulai
dari membuat proposal, mendesain poster, skeneri, lampu, kostum, properti,
merias, memilih dan belanja material pentas, menjahit, bertukang hingga menulis
kritik pentasnya sendiri.3 Selain aktif dalam dunia keteateran, Benjon juga
merupakan seorang akademisi, ia merupakan Wakil Rektor Bidang Akademik dan
1
Beny Yohanes, Profil Beny Yohanes, 2010, dalam Nano Riantiarno (ed.),
(http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=67&p=3). Diakses pada tanggal 24
Desember 2015, pukul 21.00 WIB.
2
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Biodata Dosen
http://forlap.dikti.go.id/dosen/detail/OUQ2NzlDRjktMUM5MC00MkUzLUI3MjEtOTYzMj
VDMUM2QUI2/0. Diakses pada tanggal 24 Desember 2015, pukul 21.15 WIB.
3
Riantiarno, op. cit.
44 45 Kemahasiswaan dengan tugas mewakili Rektor dalam memimpin pengelolaan
kegiatan di bidang akademik, kemahasiswaan, dan alumni.4
Ayah dari tiga anak ini merupakan penulis lakon dan sutradara yang sering
kali bermain dengan kerumitan dalam karyanya. Sebagai penulis naskah sekaligus
sutradara, Benjon memiliki gaya dan karakteristik yang unik. Dalam tulisannya ia
menggunakan pilihan bahasa yang ekspresif, melanggar tabu dan kesantunan;
banyak menyalahi kaidah bahasa konvensional, serta mencampur adukkan gaya
bahasa. Berkat daya kreatifnya dalam menulis, pada tahun 2008 Benjon meraih
penghargaan The Best Five Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi Teater
Indonesia, setelah sebelumnya meraih Juara Pertama Lomba Naskah Monolog
Lembaga Anti Korupsi pada tahun 2004, dan Juara II Lomba Menulis Naskah
Drama Radio Common Ground Indonesia di tahun 2002. Di bidang penulisan
kritik teater, BenJon juga meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada
tahun 2005, Direktorat Kesenian tahun 1996 dan Direktorat Kesenian-Harian
Umum Pikiran Rakyat tahun 1996.
Salah satu hubungan antara karya Benjon dan pengalaman masa lalu
adalah kecenderungan yang dominan untuk menghadirkan hal-hal ganjil yang
bersifat metaforik, baik dalam bentuk lakuan (action) dan bahasa (dialog). Hal ini
kemudian menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan dari drama-drama Benjon.
“Momok Zaman” (1988) adalah drama surealis yang menghadirkan simbolsimbol primitif untuk mengungkapkan bermacam bentuk kekerasan dan incest
yang ditafsirkan dalam perspektif politik dan kekuasaan. “Shakaespeare
CARNIVORA” (2009) mengisahkan tentang perjalanan sejarah manusia yang
dipenuhi kekejaman, penindasan dan intrik layaknya karya-karya tragedi William
Shakaespeare.
Sedangkan
“Cannibalogy”
(2008)
mengisahkan
tentang
perbandingan kekejaman antara penjajahan, kediktatoran sebuah rezim dan aksi
kanibalisme manusia. Secara langsung Benjon membandingkan antara penjajahan
4
http://www.stsi-bdg.ac.id/index.php/2015-03-30-05-27-49/struktur-isbi/pimpinan
46 Eropa terhadap dunia ketiga, rezim Orde Baru di Indonesia dan aksi kanibalisme
Sumanto. 5
B. Pandangan Benny Yohanes
Benny Yohanes (BenJon) merupakan salah seorang penulis drama yang
mendapat pengaruh kuat dari pengalaman masa lalunya. Ia banyak menulis drama
yang berhubungan dengan kejadian yang dialaminya langsung di lingkungan
tempat ia dibesarkan, terutama pengalaman yang membekas kuat yang sering
dihadirkan dalam karya-karyanya.6
Beberapa naskah Benjon mempunyai struktur yang unik. Struktur alur
Aritoteles benar-benar dicederai bahkan dimutilasi, tokoh-tokohnya juga
cenderung tidak jelas bahkan beberapa naskah terkesan seperti orang gila. Latar
tempat, waktu, dan sosialnya pun sengaja dihancurkan untuk memperkuat
keabsurdan tokoh, sehingga naskah-naskah Beny Yohanes terkesan gelap, rumit,
dan susah dimengerti namun Benjon suka membubuhkan hal-hal yang komedi
khususnya dalam naskah monolognya sehingga terkesan naskah dramanya berbau
black komedi.7
Berdasarkan
wawancara
Munaf,
Benjon
mengungkapkan
bahwa
kecenderungannya menulis naskah yang sarat kekerasan dan erotisme, yaitu
karena masa kecil hingga dewasanya yang dilalui di lingkungan “hitam” di
wilayah Cicadas, Kota Bandung. Cicadas adalah daerah padat penduduk di tengah
kota yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi. Sekitar tahun 1960-1980-an
daerah ini terkenal sebagai daerah rawan karena menjadi tempat aktifitas
premanisme dan prostitusi. Benjon bercerita bahwa di masa kecilnya semenjak
Sekolah Dasar (SD) sampai setelah tamat SMA (1968-1981), ia sudah terbiasa
5
ibid
Akhyar Makaf, “Proses Kreatif Penciptaan Pertja Karya Benny Yohanes,” Tesis pada
Pascasarjana ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 2014 . h.1, tidak dipublikasikan.
7
Ferick Sahid Persi, Arkeologi Beha: Kehidupan Urban yang Rakus, 2015,
(http://www.panggungkita.com/2015/02/arkeologi-beha-kehidupan-urban-yang.html), diakses
pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 15.09 WIB.
6
47 melihat perkelahian antar geng dan preman, kekerasan dan penganiayaan di depan
publik, serta kehidupan malam yang ada di sekitar lingkungannya. Ketertarikan
Benjon pada ilmu pengetahuan dan semangatnya untuk terus bersekolah
menyelamatkan masa depannya dari kesuraman akibat pengaruh lingkungan. Ia
menjatuhkan pilihan untuk menjadi praktisi sekaligus akademisi seni. Dalam
setiap karya-karyanya, kenangan masa lalu atas apa yang dialaminya seringkali
hadir.
Benjon juga mengatakan bahwa erotisme dan sensualitas adalah “bahasa”
yang bisa dipahami/ dimengerti semua orang, walaupun belum tentu diterima
karena sebab atau alasan tertentu. Benjon memilih menghadirkan sesuatu yang
berhubungan dengan kekerasan dan seksualitas karena ia menganggap hal ini
merupakan sifat alamiah dari perilaku manusia sebagai dasar konflik yang
kemudian dihadirkan melalui metafora. Hal inilah yang diutarakan Benjon
sebagai alasan kecenderungannya mengekplorasi dua hal ini dalam naskahnaskahnya.8
Menurut berbagai sumber, pemikiran Benjon tak hanya berhenti pada
penulisan naskah drama atau naskah pertunjukan saja. Benjon telah menulis
banyak karya esai. Esai-esainya, selain telah dipublisir di beragam media cetak,
juga terangkum dalam buku Teater untuk Dilakoni, Ideologi Teater Modern Kita,
Mencipta Teater dan Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema, serta 70
tahun Rendra. Mendapat Penghargaan Pertama Lomba Penulisan Kritik Teater
Tingkat Nasional, Direktorat Kesenian, 1996. Mendapat Penghargaan Pertama
Lomba Penulisan Kritik Teater Tingkat Nasional, Dewan Kesenian Jakarta, 2005.
Salah satu tulisannya yang berjudul “Panggung Besar, Panggung Kecil:
Fenomena Pemuaian dan Penukilan Ruang Publik dalam Panggung”, Benjon
menuliskan bahwa realitas ruang-publik dalam kurun reformasi, ditandai oleh
eksplosi wacana kekuasaan, sebagai implikasi mengencernya kontrol represif
8
Munaf, op.cit., h. 7.
48 negara terhadap masyarakat. Terhadap realitas ruang-publik tersebut, dunia teater
modern telah meresponsnya secara aktif. Respons aktif itu telah mempengaruhi
pilihan tematiknya, juga samapai tingkat pengucapan artistiknya. Pergeseran
pertama pada tematik teater menunujukkan fokus pada masalah-masalah “besar”,
seperti problem kompetisi kekuasaan, perlawanan publik terhadap otoritas
pemerintah, serta kritisme terhadap kinerja elite politik atau penguasa. Respon
aktif seperti ini bersifat adoptif terhadap realitas ruang-publiknya. Pengadopsian
masalah-masalah “besar” seperti itu telah memungkinkan terjadinya pemuaian
ruang-publik dalam panggung teater.9
C. Naskah Drama Karya Benny Yohanes
Benjon merupakan teaterawan yang aktif dan produktif dalam
penulisan naskah drama, beberapa naskah drama karyanya telah mendapatkan
penghargaan di beberapa ajang kepenulisan naskah drama, selain naskahnaskah yang telah mendapatkan penghargaan, berikut akan dipaparkan juduljudul naskah drama karya Benjon baik yang belum atau sudah pernah
dipentaskan dalam bentuk tabel yang disusun oleh peneliti dengan acuan dari
berbagai sumber :
9
Benny Yohanes, “ Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena Pemuaian Dan Penukilan
Ruang Public Dalam Panggung Teater” , dalam Ipit S. Dimyanti (ed.),Teater Bandung:
Gagasan & Pemikiran, (Bandung: Jurusan Teater STSI Bandung),h. 13.
49 3.1
No
Judul
Tahun No
Judul
Tahun
1
Sangkuriang
1988
19
Bendera Untuk Dewa
2000
2
Momok
1989
20
Tubuh Melayoe
2000
3
Yang Berwajib
1989
21
Pipis
2000
4
Ibunda Elektronika
1990
22
EGG
2001
5
Dobol
1992
23
Metropolutan
2002
6
Ibu Mencari Boedi
1992
24
Aku Ke Luar Menjemput Badai
2003
7
Bersama Tengkorak
1993
25
Hamlet Inside
2004
8
Takoet
1994
26
Sphinx Tripel-X
2004
9
Momok Zaman
1998
27
ARKEOLOGI BeHa
2004
10
BIUS
1997
28
Black Jack
2006
11
Dubur
1997
29
BIN
2008
12
1000 Watt
1997
30
Cannibalogy
2008
13
Sodom Kota Binatang
1998
31
Shakespeare CARNIVORA
2009
14
Sumbi dan Gigi Imitasi
1998
32
Interupsi Jambal Roti
2009
15
Makan Hakan
1999
33
Pertja
2010
16
Telur, Tomat dan Seteguk
Darah : Demokrasi Belum
Nyali
1999
34
Urban Corpus
2010
17
Boen/ Cit Aku Ada Karena
Aku Mesum dan Ternoda
1999
35
Manifes Urbanis
2010
18
Gigolo Galileo
2000
50 D. Penyutradaraan Karya Benny Yohanes
Benjon merupakan sutradara yang produktif, sejak tahun 1983 sampai
dengan 2009 Benjon telah menyutradarai dan memanggungkan beragam naskah
baik karya sendiri maupun karya pengarang lain, berikut akan dipaparkan naskahnaskah drama yang pernah disutradarai Benjon:
3. 2
No
Judul Pementasan
Karya
Tahun
1
Caligula
Albert Camus
1983
2
Pelacur Terhormat
Jean Paul Sartre
1987
3
Pakaian dan Kepalsuan
karya Averchenko
1987
4
Kisah Perjuangan Suku Naga
karya Rendra
1988
5
Amat Berontak
Saini KM
1988
6
Momok
Benjon
1989
7
Yang Berwajib
Benjon
1989
8
Ibunda Elektronika
Benjon
1990
9
Architruc
Robert Pinget
1991
10
Ibu Mencari Boedi
Benjon
1992
11
End Game
Samuel Beckett
1993
12
Bersama Tengkorak
Benjon
1993
13
Pinangan
Anton Chekhov
1994
14
Takoet
Benjon
1994
15
Dag Dig Dug
Putu Wijaya
1995
16
Senja dan Dua Kematian
Kirdjomuljo
1996
17
Bius
Benjon
1997
18
Dubur
Benjon
1997
19
Sodom Kota Binatang
Benjon
1998
51 20
Makan Hakan
Benjon
1999
21
Hikayat Celana Dalam
Benjon
1999
22
Benjon
1999
23
Boen/Cit Aku Ada Karena Aku Mesum
dan Ternoda
Telur, Tomat dan Seteguk Darah
Benjon
2000
24
Gigolo Galileo
Benjon
2000
25
Tubuh Melayoe
Benjon
2000
26
Jas Panjang Pesanan
Wolf Mankowich
2001
27
ARKEologi BeHa
Benjon
2004
28
Monolog Aku Ke Luar Menjemput Badai Benjon
2003
29
Monolog Hamlet Inside
Benjon
2004
30
Monolog Black Jack
Benjon
2006
31
Shakespeare CARNIVORA
Benjon
2009
32
Interupsi Jambal Roti
Benjon
2009
Selain dalam penulisan naskah drama dan penyutradaraan, keaktoran
Benjon pun sudah teruji. Di teater Re-publik, ia handal berakting bahkan sampai
enam jam di panggung pada pentas Ruh di tahun 1992. Ia tampil meyakinkan pula
di pementasan berjudul Shakespeare Carnivora di tahun 2009 dan Interupsi
Jambal Roti di tahun 2009, produksi Oyag Forum, bahkan ia juga kerap bermain
monodrama yang ditulis dan disutradarainya sendiri.
E. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy
Berawal dari kebangkrutan usaha kelontongannya, Suhar berambisi untuk
menjadi seorang yang kaya, kuat, dan sukses dengan bertapa di kali Solo. Dalam
perjanjiannya dengan guru spiritual yang ditemui di kali Solo, Suhar diwajibkan
memberi makan kali Solo dengan darah manusia setiap kali nasibnya membaik,
“satu kepala baru setiap kali alam mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi”.
52 Suhar semakin gemilang, nasib baik terus menghampirinya dan ia tidak pernah
lupa untuk memberikan tumbal kepada kali solo.
Suhar berada di atas angin setelah ia menculik seorang perempuan
peranakan yang merupakan selir penguasa desa Mojokuto dan menyerahkannya
kepada pemimpin pasukan Olanda dengan imbalan jabatan yang tinggi, yakni
menjadi komandan divisi Jawa. Hingga kemudian ia kelimpungan karena
kekuasaan Olanda dijatuhkan dan Sinta Salim yang merupakan tawanannya
direbut kembali oleh pasukan Suman. Namun hal tersebut tak bertahan lama,
Suhar kembali menyusun strategi. Seluruh alas puputan di bumi hanguskan
hingga Suhar berhasil menangkap Suman dan Sinta salim.
Suhar kembali Berjaya, ia terus membangun Jawa dengan mengambil hak
hidup manusia. Kekuasaan membutakannya, Suhar menjadi sosok tangan besi
yang kejam. Nyawa-nyawa tak bersalah menjadi korban.
Di akhir cerita, semua pintu keberuntungan Suhar tertutup. Setelah gagal
menikah dengan Sinta Salim dan kehilangan Ki Butho, jatuhlah kepedihan suhar.
Ki Ageng yang membawa pasukan tentara peranakan dari Batavia berhasil
melumpuhkan pasukan Suhar. Kekuasaan suhar jatuh, ia dihakimi dan dihukum
untuk menggali lubang menjadi parit dari pusar banyuwangi ke barat sampai
Bantam Kulon hingga akhir hayatnya.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur
Intrinsik
Naskah
Drama
Cannibalogy
Karya
Benny Yohanes
Unsur intrinsik dapat dijadikan sebagai jembatan atau fondasi awal
dalam proses analisis kesusasteraan, sehingga unsur intrinsik sangat penting
diketahui agar sebuah cerita dapat dinikmati serta lebih dipahami oleh
pembaca. Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan
dibanding dengan genre sastra yang lain. Jika dibandingkan karya fiksi yang
lain, maka unsur intrinsik dalam drama dikatakan kurang sempurna. Namun
begitu, tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan
pembeberan, drama menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada
aspek ini jugalah letak kekuatan karya drama.1 Di bawah ini akan dijelaskan
unsur intrinsik dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon sebagai
berikut:
1. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam cerita fiksi.
Hadirnya sebuah peristiwa dan konflik dalam cerita fiksi dijalani oleh
tokoh-tokoh dengan segala perwatakannya. Benjon dalam Cannibalogy
melukiskan tokohnya secara jelas, hal ini terlihat melalui tindakan para
tokoh serta pendeskripsian yang disampaikan oleh pengarang melalui
narasi dan dialog.
Dalam Suyadi San dibahas empat cara membangun pola
penokohan dalam naskah drama yakni: 1) setiap tokoh mempunyai nama,
2) Pemeranan, 3) sistem perwatakan, dan 4) tindakan. Namun yang akan
dibahas hanya pada sub-bab pemeranan dan tindakan karenakan dianggap
cukup mewakili keempat pola penokohan yang ada.
1
Hasanuddin, Drama: Karya Dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), cet. 1, h.
76.
53 54 a. Pemeranan
Pemeranan yang dimaksudkan pada sub-bab ini ialah tokohtokoh yang dihadirkan pengarang, untuk dapat membangun persoalan
dan menciptakan konflik-konflik, biasanya melalui peran-peran
tertentu yang harus mereka lakukan. Jarang tokoh memiliki peran
tunggal, kebanyakan multi peran. Jumlah peran yang harus diemban
tokoh biasanya tergantung dengan interaksi sosial yang dijalaninya.
Perubahan
lawan
interaksi
sosial
akan
menyebabkan
berubahnya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir
berpasangan dengan peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya
selalu hadir berpasangan dengan peran lain dalam bentuk suatu
permasalahan atau konflik. Setiap konflik atau permasalahan dapat saja
muncul atau dibentuk oleh beberapa peran dari beberapa tokoh.
Namun, beberapa peran itu tetap hadir dalam dua kelompok peran
yang berpasangan.2
Pada bab ini akan dibahas mengenai pemeranan menurut
Robert Sholes dalam Hasanuddin WS. Dalam membangun pola
penokohan, Robert Sholes membagi menjadi enam bentuk pemeranan
sebagai berikut:
a) Peran Lion
Peran Lion dalam naskah Cannibalogy diwakili oleh tokoh
Suman. Dalam naskah drama ini, Suman mewakili penggambaran
sosok heroik dengan segala kebaikan dalam dirinya. Dalam naskah ini
Suman digambarkan dengan karakter lugu, tabah, tegar, amanat,
berani, beranggung jawab, serta memiliki jiwa kepemimpinan.
Meskipun pada tahap pembukaan cerita Suman digambarkan sebagai
sosok kanibal pemakan daging manusia yang sudah mati untuk
mendapatkan kekayaan dan kekuatan, namun ternyata setelah melewati
2
Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV. Partama Mitra Sari, 2013),
h. 11.
55 fragmen demi fragmen dapat terjelaskan bahwa dalam naskah
Cannibalogy, Suman tidak ditakdirkan untuk berperan sebagai tokoh
jahat, bahkan sebaliknya. Terdapat sisi berbeda dari Suman seperti
pada penggalan dialog berikut:
Suman: (Berlutut di depan kaki Ki Ageng)
saya ingin kaya, tuan. Dan saya ingin kebal dari senjata. Saya
ingin menjadi prajurit. Maju perang. Membela tanah yang
kupijak.3
Dari kutipan dialog di atas dapat terlihat bahwa di balik
keganasannya memakan mayat manusia, ternyata Suman memiliki niat
tulus untuk menjaga tanah Mojokuto. Tak hanya itu, setelah
pertemuannya dengan sosok Mas Ageng, Suman pun dipercaya untuk
memimpin pasukan Mojokuto dalam melawan pasukan Olanda serta
merebut kembali tanah Mojokuto dari kekuasaan Olanda.
Suman :
Mojokuto sudah dirampas. Cuma kami yang bertahan. Kalau
kalian musuh, tempur denganku.4
Suman :
Mojokuto sudah tak ada. Sekarang, setiap jengkal tanah yang
aku pijak, dan sejengkal yang akan kurebut kembali, di sanalah
Mojokuto.5
Dari kutipan kedua dialog tersebut menjelaskan bahwa Suman
yang sebelumnya dipercaya oleh Mas Ageng untuk menjaga tanah
Mojokuto benar-benar menjalankan tugasnya. Suman menjadi
pemimpin pasukan yang berani dan tangguh. Tak hanya menjalankan
tugasnya untuk menjaga Mojokuto, Suman juga berjuang untuk
menjaga Sinta Salim dari pasukan Olanda.
3
Benny Yohanes, Cannibalogy, (Bandung: Republik, 2008), h. 11.
Ibid,. h. 1.
5
Ibid,. h. 22.
4
56 Suman:
Linggar, siapkan terus pasukan dan perbekalan. Kita segera
berangkat. Mencari jalan masuk kota!
Linggar :
Seperti rencana ?
Suman :
(Berpikir sejenak. Mengambil buku yang dibaca Suto.
Menimbang) Ya ! Kita akan masuk Mojokuto. Membebaskan
Nyai. Meneguhkan kesetiaan kita untuk Jawa. Tapi aku minta
semua senjata disamarkan. Kita akan bermain. (Suman
mengoleskan bubuk putih ke wajahnya)6
Kutipan dialog di atas menggambarkan aksi Suman sebagai
seorang pemimpin pasukan perang. Suman merupakan pemimpin
pasukan yang cerdik, kreatif dan berani. Untuk melancarkan
perjuangannya dalam merebut kembali tanah Mojokuto dan Sinta
Salim yang dirampas oleh Suhar dan pemerintah Olanda. Suman
mengatur strategi peperangan dengan menggunakan pertunjukan seni.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari pemaparan
tersebut,
tokoh
Suman
dapat
mewakili
peran
Lion
yang
memperjuangkan sesuatu, berupa kebenaran, kekuasaan, perdamaian,
cinta, atau juga wanita.
b) Peran Mars
Tokoh yang berperan sebagai Mars dalam naskah ini ialah
Suhar. Suhar merupakan penggambaran penuh sosok Mars yang
merupakan penantang dari peran Lion (Suman). Dalam naskah drama
Cannibalogy Suhar digambarkan sebagai tokoh dengan sifat ambisius,
picik, kejam, kuat, dan berani.
Pada penggambaran awal, Suhar dimunculkan sebagai seorang
yang
depresi
akibat
mengalami
kebangkrutan
atas
usaha
kelontongannya. Kejadian tersebut membuat Suhar mengambil
keputusan untuk bertapa di kali Solo agar mendapatkan kekayaan,
kekuatan, dan kekuasaan. Berkat keputusannya tersebut, Suhar
6
Ibid., h. 43.
57 bertemu dengan sosok penasehat spiritual yang mengantarkan Suhar
memasuki gerbang cita-citanya. Seperti dalam dialog Suhar dan Ki
Butho di bawah ini :
Ki Butho :
Kau lihat, betapa berharganya umpan yang kita pasang ?
Suhar :
Luar biasa.
Ki Butho :
Kau seorang komandan sekarang. Dengan surat perintah
langsung dari tahta Olanda. Kau rasakan itu ? Perubahan yang
besar ini ?
Suhar :
Luar biasa. Alam memberiku takdir yang luar biasa.7
Cita-cita Suhar untuk menjadi seorang penguasa mulai
terwujud setelah menuruti nasihat Ki Butho untuk menjadikan Sinta
Salim sebagai umpan kepada pemerintahan Olanda dan sejak saat itu
Suhar diberi tahta kuasa oleh Landless sebagai komandan divisi Jawa.
Setelah kekuasaan di tangannya, Suhar memulai aksinya. Suhar
yang penuh ambisi dan haus kuasa. Semua yang menghalanginya akan
ditumpas, tak ada ampun, tak ada kata menyerah. Suhar akan terus
berusaha mempertahankan kekuasaanya.
Suhar :
(Berubah tenang) Ki, pasukanku masih kuat. Dan aku sanggup
membakar habis Alas Puputan. Suman bisa kutaklukkan! Ratu
Olanda akan kasih kepercayaan daripada kita lagi. Jangan
kuatir soal hutang bank. Aku pemegang saham mayoritas.
Direksinya bisa kuganti setiap saat. Kalau uang segar masih
kurang, pulau-pulau terpencil bisa kita jual. Banyak bule
7
Ibid., h.31.
58 gendheng mau punya daripada surga di hutan tanpa penghuni.
Sumatera, Celebes dan Papua, bisa kuamankan…8
Suhar :
(Bicara sambil menginjak gundukan tubuh)
Alas Puputan obong! Tumpas sudah semua gerombolan. Kita
kembali ke Kali Solo. Rayakan kemenangan!... 9
Kutipan dialog di atas menjelaskan watak dan ambisi Suhar
sebagai seorang penguasa. Dengan kekuasaan dan pikirannya yang
licik, Suhar menghalalkan segala cara untuk mempertahankan
kuasanya dengan menghancurkan orang-orang yang membuatnya
merasa terancam hingga tak segan untuk melakukan pembunuhan
besar-besaran.
c) Peran Sun
Dalam naskah Cannibaloogy peran Sun diwakili dalam tokoh
Sinta Salim. Sinta Salim merupakan tokoh yang diperebutkan dan
diperjuangkan oleh peran Lion (Suman) dan Mars (Suhar). Sinta Salim
digambarkan sebagai sosok wanita peranakan (keturunan Cina) yang
mencintai tanah Mojokuto. Sinta Salim merupakan wanita yang cantik,
cerdas, dan pemberani.
Suman :
Kita akan selamatkan dia, Suto! Nyai akan selamat!
(Mengeluarkan saputangan dari kantung kain kecil di
pinggangnya. Menarik nafas panjang) Kitalah pasukan kera itu.
Kita akan kembalikan Nyai pada suaminya.10
8
Ibid., h. 47.
Ibid., h. 49.
10
Ibid.,h. 41.
9
59 Pada kutipan dialog di atas menggambarkan peristiwa saat
Suman mengatur rencana untuk membebaskan Sinta Salim dari
tawanan Suhar dan pasukan Olanda. Bagi Suman, Sinta salim bukan
hanya sekedar perempuan peranakan namun juga amanah dari Mas
Ageng. Selain kedua alasan tersebut, Suman memiliki alasan lain
untuk memperjuangkan Sinta Salim: Suman jatuh hati kepada Sinta
Salim.
Seperti definisi peran Sun yang menjadi tokoh yang
diperebutkan dan diperjuangkan oleh peran Lion (Suman) dan Mars
(Suhar), bukan hanya Suman yang berperan sebagai Lion yang
memperjuangkan Sinta, namun Suhar sebagai peran Mars juga turut
memperebutkan Sinta untuk memenuhi ambisi.
Ki Butho :
(Mendekap bahu Suhar dari belakang. Serius. Kejam) Rebut
kembali Sinta. Bumi hanguskan Alas Puputan. Telanjangi
Suman. Dia akan mati dengan sengsara. Setiap pelacur di
Mojokuto akan merajamnya. Seluruh tetelan daging dan
jeroannya akan berceceran sepanjang Bantam hingga
Banyuwangi. Itu akan jadi peringatan untuk siapapun yang
menentang kekuasaanmu.11
Dalam kutipan dialog Ki butho tersebut, Suhar dan Ki Butho
merencakan untuk kembali merebut Sinta Salim yang sebelumnya
telah
dibebaskan
oleh
Suman.
Suhar
tak
dapat
menerima
kekalahannya, pikirannya semakin picik. Sinta Salim bukan hanya
sekedar wanita idamannya, namun juga digunakan sebagai alat untuk
memperluas wilayah kekuasaannya.
Melalui penjelasan serta kutipan-kutipan dialog yang telah
dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa Sinta Salim berperan sebagai
Sun dalam naskah Cannibalogy, sebab Sinta Salim merupakan sosok
sasaran perjuangan Lion dan juga yang ingin didapatkan Mars. Selain
11
Ibid., h. 47.
60 itu, Sinta Salim juga merupakan apa yang diinginkan dan
diperjuangkan oleh Lion dan Mars.
d) Peran Earth
Peran atau tokoh apapun yang menerima hasil perjuangan Lion
atau
Mars.
Dalam
naskah
ini
rakyat
Mojokuto
merupakan
penggambaran peran Earth, karena dalam naskah drama Cannibalogy
peran Lion berusaha untuk merenggut tanah Mojokuto dari jajahan
Olanda dan peran Mars.
Suman :
(Menegakkan wajahnya) Akan kujaga seluruh makam. Akan
kurawat yang hidup, dan yang mati.
Mas Ageng :
(Menatap dalam pada Suman. Membebatkan kain hijau ke
lengan Suman) Bela...Mojokuto. (Mas Ageng masuk ke
pendopo).12
Pada dialog di atas Suman berjanji untuk menjaga warga
Mojokuto kepada dirinya sendiri. Suman yang sebelumnya mempunyai
mimpi untuk membela dan menjaga Mojokuto kini menjadi nyata.
Suman bertekad dan berjuang untuk merebut kembali tanah Mojokuto
yang telah dirampas oleh pasukan Olanda hingga akhir hayatnya.
Ageng Rais :
Penduduk Mojokuto, berjagalah terus di garis batas pernyataan
dan impian. Setiap pemimpin akan menggali kelemahannya
sendiri, saat menukar impian sebagai kenyataan. Memaksakan
pernyataan menjadi akhir semua impian. Berjagalah! Telah
kuberikan kembali Mojokuto pada kalian. Tapi, tidak semua
akan kembali.13
12
13
Ibid., h. 15.
Ibid., h.66.
61 Kutipan di atas terjadi pada fragmen IV. 3 yakni penggambaran
peristiwa
menjelang
akhir
cerita,
penduduk
Mojokuto
telah
mendapatkan kembali tanah mereka berkat pengorbanan Suman yang
diteruskan oleh pasukan Mas Ageng sepeninggal Suman. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa warga Mojokuto merupakan
penggambaran peran Earth, sebab warga Mojokuto merupakan
penerima hasil perjuangan Lion atau Mars yang berupa desa mereka
yakni tanah Mojokuto .
e) Peran Scale
Dalam naskah ini peran Scale diwakili dalam tokoh Mas Ageng
atau Ageng Rais. Mas Ageng merupakan penguasa di tanah Mojokuto.
Mas Ageng digambarkan sebagai sosok pemimpin dan hakim yang
bijaksana, adil dan tegas.
Mas Ageng :
(Mas Ageng menekan ujung golok lebih keras ke dada Suman.
Suman menahan nafas bersorak)
Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang mojokuto
dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum
bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum
itu untuk menyembuhkan.
Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di
dunia orang hidup, dan hormat di dunia orang mati. Kau
dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat
seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau
menjaga kehidupanmu sendiri.
itulah baktimu untuk tanah mojokuto.
Sekali saja kau langgar ini, maka tanganku sendirilah yang
menjadi hukum untuk hidupmu!14
Kutipan dialog di atas mewakili bahwa Mas Ageng merupakan
sosok pemimpin serta hakim yang bijaksana. Tak terbayangkan
hukuman apa yang pantas diberikan kepada seorang yang berani
mencuri dan memakan jasad orang mati, namun Mas Ageng dengan
bijaksana memberikan hukuman yang dapat memberikan Suman
14
Ibid., h.13.
62 pelajaran bahwa orang hidup tidak melakukan “hal seperti itu”, orang
hidup harus menghargai dan menghormati orang lain baik yang masih
hidup ataupun sudah mati.
Ageng Rais :
Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual
kekebasannya padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli
kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri. Itulah yang sudah
kau perbuat kepada penduduk Mojokuto. Suhar, kepada yang
hidup kamu bisa bersaksi. Tetapi kepada yang telah mati, kamu
harus menggali. Inilah penebusan yang harus kamu jalani :
Kau akan menggali lubang, menjadi parit panjang, selebar
tubuhmu saat terlentang. Kau akan menggali dari pusar
Banyuwangi, terus ke barat sampai Bantam Kulon. Itulah yang
akan kau lakukan dengan jiwa petanimu, sampai nafasmu yang
terakhir kali. Dari parit yang kau gali, sepanjang jalan pos yang
berliku ini, kau akan menggali untuk mengingat sejarahmu
kembali. Menentukan akhirmu sendiri! Beri dia perbekalan.15
Pada menjelang akhir cerita sosok Mas Ageng kembali muncul
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mas Ageng datang melawan
dan menangkap pasukan Suhar serta memberikan Suhar hukuman atas
segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Penggalan dialog tersebut
juga menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah tegas dan
bijaksana dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin akan
menjadi panutan dan dihormati ketika ia memimpin dengan bijaksana
dan penuh wibawa.
Dari kutipan-kutipan dialog di atas, dapat disimpulkan bahwa
Mas Ageng adalah tokoh dengan peran Scale dengan definisi peran
sebagai tokoh yang menghakimi, memutuskan, menengahi, atau juga
menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi
15
Ibid., 65.
63 f) Peran Moon
Peran Moon diwakili dalam tokoh Landless. Landless
merupakan
pemimpin
besar
pasukan
Olanda.
Dalam
naskah
Cannibalogy, Landless digambarkan sebagai seorang pemimpin
pasukan yang lalim. Dalam naskah ini, Landless berperan sebagai
penolong dari peran Mars (Suhar). Landless yang menjadikan Suhar
sebagai pemimpin Jawa dan menaikkan derajat Suhar.
Landless :
Well... Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima. Kamu
boleh tumpas habis semua gerombolan pengacau keamanan
zonder pengadilan. En jalan pos terpanjang harus lahir di Jawa.
En akan kuberi nama PosLandless straat. Kerja baik, upahmu
baik. Bersumpahlah Suhar. (Landless menjabat tangan Suhar.
Suhar bersimpuh di depan Landless)16
Kutipan dialog di atas merupakan peristiwa saat Landless
mengangkat Suhar menjadi komandan divisi Jawa, saat yang sangat
dinantikan oleh Suhar. Dialog tersebut membuktikan bahwa Landless
merupakan sosok pendukung dari peran Mars (Suhar).
Landless :
(Bertepuk tangan ) Bravo!...Bravo! Pertunjukan bagus. Timing
yang tepat. Suhar, pandai kamu membuat drama. Well,
amankan terus trans Jawa, Suhar. Dan kalau semua lancar,
kamu tidak hanya berwenang di Jawa. Kamu juga akan
berwenang atas Sumatera, Celebes dan Papua.
Suhar :
Saya akan jaga daripada kesetiaan saya.17
Pada kutipan dialog tersebut digambarkan Landless semakin
percaya dan kagum pada keberanian Suhar. Keberanian serta
kekejaman Suhar dalam bertugas membawanya terus menuju
kejayaannya, Landless tanpa ragu menjanjikan kekuasaan lebih kepada
Suhar jika semua pekerjaannya lancar.
16
17
Ibid., h. 33.
Ibid., h.37.
64 Melalui penjelasan serta kutipan diaolog yang telah dipaparkan,
dapat disimpulkan bahwa Landless merupan peran Moon dalam naskah
Cannibalogy. Sebab Landless bertugas sebagai penolong. Bisa saja
Moon menolong Lion, namun ada juga yang mungkin bertugas
menolong Mars.
b. Tindakan
Tindakan yang dimaksudkan pada sub-bab ini adalah tindakan
tokoh dalam menjalankan peran dan perwatakannya. Tokoh cerita pada
drama dapat diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi, meliputi: 1. Dimensi
fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia,
jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya.
2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti mentalitas,
temperamen, cipta, rasa, karsa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku.
3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial,
pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan
pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem
kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial,
suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul sosial.18 Berikut akan
disampaikan penjelasan mengenai ketiga dimensi tindakan penokohan
dalam pemaparan berdasarkan tokoh.
a) Suhar
Pada tahap pemunculan, tokoh Suhar digambarkan sebagai
orang yang sedang putus asa akibat kegagalannya dalam usaha yang
dijalankannya. Hal tersebut menunjukkan dimensi psikologis tokoh
Suhar yang mudah menyerah dan putus asa, hal tersebut digambarkan
dalam kutipan di bawah ini:
18
Suyadi San, Drama: Konsep teori dan Kajian,(Medan: CV. Pratama Mitra Sari, 2013).,
h. 13.
65 Tengah hari. Di tengah pasar yang sudah usai, sebuah tegalan
terbuka, desa Pring. Suhar menumpuk semua barang kelontong
jualannya, memantik api ke jerami kering, lalu membakarnya.
Di depan barang-barang kelontong yang terbakar itu, seorang
ibu terisak sambil bersimpuh.
Mbok Tirah :
O...Nang... Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu cocoknya ya
berdagang. Itu sudah garis hidupmu. O...alah, kok sekarang
semuanya malah kamu obong. Sing eling tho Nang...nang...
Suhar :
(Wajahnya mengeras, tapi sikapnya mantap)
Mbok Tirah, aku sudah bangkrut. Nasibku sempit di sini.
Kampung ini sepertinya menolakku.19
Dalam kutipan di atas menggambarkan peristiwa pembakaran
barang dagangan Suhar akibat keputus asaannya atas kebangkrutan
usaha kelontongannya. Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa
tokoh Suhar merupakan seseorang yang lemah hati dan mudah
menyerah. Namun dengan berjalannya cerita, Suhar berubah menjadi
sosok yang pantang menyerah dan penuh percaya diri seperti pada
kutipan di bawah ini:
Ki Butho :
Bencana! Bencana! Kita terjepit, Suhar. Dijepit dua musuh.
Dan keduanya seperti membuang berak di muka kita. Ratu
Olanda murka karena kematian Landless. Proyek trans Jawa
ludas, dan kita terlilit getahnya. Seluruh hutang bank si bule
Landless diwariskan pada kita. Mau bayar dengan apa, kita ?
Bencana! Ini bencana! Dan si Suman, makin bercokol di Alas
Puputan. Bayangannya terus mengancam pasukan kita dari
setiap sisi hutan. Seperti kelelawar lapar dia menyergap. Dan
setiap malam menjadi upacara kematian. Bencana!
Suhar :
19
Ibid., h.3.
66 (Berubah tenang) Ki, pasukanku masih kuat. Dan aku sanggup
membakar habis Alas Puputan. Suman bisa kutaklukkan! Ratu
Olanda akan kasih kepercayaan daripada kita lagi. Jangan
kuatir soal hutang bank. Aku pemegang saham mayoritas.
Direksinya bisa kuganti setiap saat. Kalau uang segar masih
kurang, pulau-pulau terpencil bisa kita jual. Banyak bule
gendheng mau punya daripada surga di hutan tanpa penghuni.
Sumatera, Celebes dan Papua, bisa kuamankan. Semuanya
sudah jadi zona militerisasi. Kita dapat dukungan senjata dari
negeri Amenglika. Intel-intelnya tersebar di seluruh jawatan.
Semuanya akan aman dan terkendali. Cuma tinggal satu
permintaanku. Ki, jadikan Suhar penguasa nusantara.20
Kutipan di atas menggambarakan suasana yang kacau. Setelah
pasukan Suman berhasil membunuh Landless dan pasukan Olanda
serta merebut kembali Sinta Salim. Ki Butho yang kalang kabut akibat
kekalahan pasukan Olanda tidak membuat Suhar turut larut dalam
kebingungan. Sebaliknya, Suhar bersikap tenang dan penuh percaya
diri, tak seperti pada awal kemunculannya yang mudah putus asa.
Seiring berjalannya peristiwa, Suhar berubah menjadi pribadi yang
tenang serta dapat berpikir jernih dalam menghadapi masalah dan
cerdik mengatur strategi untuk tetap mempertahankan kuasanya.
Suhar :
(Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri
tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku.
Pernikahanku tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang
saya sendiri. Lemah kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan
itu semua, atau tidak sama sekali!21
Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog di atas adalah
dimensi psikologis karsa yang terdapat dalam kutipan “harus kurebut
lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak sama sekali!”. Dalam
keputusasaannya akibat matinya Ki Butho dan Sinta, Suhar masih
20
21
Ibid., h.47.
Ibid., h. 59.
67 memiliki ambisi yang kuat untuk kembali bangkit dan merebut
kembali kekuasaannya. Jika diperhatikan dari dimensi psikologis,
Suhar merupakan tokoh dengan kondisi psikologis yang labil, ada
kalanya ia putus asa, dan ada kalanya pula ia kuat penuh dengan
percaya diri menghadapi masalah yang dihadapinya.
Suhar :
Saya orang miskin, Ki.
Ki Butho :
Kamu masih miskin, ya. Tapi menurut penerawanganku,
takdirmu akan membaik. Syarat kerbau bisa kau tunda. Tapi
tidak untuk yang satu ini.22
Kutipan dialog tersebut mempertegas dimensi sosial tokoh
Suhar dengan status sosial sebagai orang miskin yang mencoba
mencari jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan dengan kemusrikan.
Seiring berjalannya cerita, Suhar berubah menjadi orang yang mapan
dan memiliki jabatan yang tinggi.
Hari yang lain. Siang hari. Markas Suhar. Suhar mengisap
cerutu, berkacamata hitam, dan mengenakan seragam militer.
Suhar mengempit tongkat komando. Asistennya masuk
melaporkan keadaan.23
Kutipan di atas menggambarkan status sosial Suhar yang telah
berubah. Tidak seperti pada awal kemunculannya yang hanya seorang
pedagang kelontongan, Suhar telah memiliki markas dan mengenakan
seragam militer yang dilengkapi dengan tongkat komando. Kini Suhar
telah mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang penguasa.
Selanjutnya ialah pembahasan dimensi fisiologi tokoh Suhar
yang disampaikan melalui dialog Ki Butho di bawah ini:
22
23
Ibid., h. 6.
Ibid., h. 36.
68 Ki Butho :
Orang-orang sepanjang Kali Solo adalah binaanku, meneer.
Mereka petani dan kuli yang tekun. Dilatih sedikit saja, mereka
sanggup jadi soldadu. Dan Suhar, dia kaderku nomor satu. Dia
muda, kuat, putera daerah pula. Saya berani jamin, dia pandai
memimpin.24
Dalam kutipan dialog di atas, Ki Butho menggambarkan tokoh
Suhar sebagai seorang pemuda yang kuat, tidak terlalu spesifik
memang jika dilihat dari kutipan di atas. Namun jika kembali dibaca
fragmen demi fragmen dalam naskah ini, pembaca akan dapat
mengimajinasikan ciri fisik tokoh Suman dengan dasar “dia muda dan
kuat” pada umumnya seorang pemuda yang kuat memiliki struktur
tubuh yang proporsional dan tegak serta mampu bekerja keras.
Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh
Suhar, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta
kondisi sosial tokoh Suhar dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benjon. Dalam naskah tersebut, penggambaran ciri fisik Suhar tidak
terlalu mendetail, Suhar hanya digambarkan sebagai seorang pemuda
yang
kuat.
Selanjutnya
dalam
dimensi
psikologis
Benjon
menggambarkan Suhar sebagai tokoh dengan keadaan psikologis yang
labil, berubah tak menentu. Pada awal kemunculannya ia digambarkan
sebagai seseorang yang mudah putus asa, di tengah cerita digambarkan
sebagai seorang yang keras dan kejam, dan di akhir cerita digambarkan
sebaagai seseorang yang lemah tak berdaya. Terakhir penggambaran
dimensi sosial. Dalam penggambaran dimensi sosial, perubahan yang
terjadi dalam tokoh Suhar berubah dengan drastis, yang pada awalnya
Suhar hanya seorang pedagang kelontongan, kemudian berubah
menjadi seorang komandan, dan pada akhir cerita Suhar tidak menjadi
apa-apa. Dengan demikian, melalui pemaparan ketiga tindakan di atas,
24
Ibid., h. 33.
69 pembaca dapat mengimajikan tokoh Suhar lebih nyata, serta aktor
yang akan memerankan tokoh Suhar ke dalam sebuah pementasan
memiliki gambaran yang jelas tentang tokoh yang akan diperankannya.
b) Suman
… Dari liang makam nampak sosok kepala plontos sedang
menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan
suara gagak saling menimpal. Angin kencang. Seonggok jasad
dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad
ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang
dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya.25
Kutipan tersebut menggambarkan ciri fisik tokoh Suman
dengan kepalanya yang plontos, berkulit keruh serta bermata hitam.
Penggambaran ciri fisik Suman yang demikian membuat pembaca
menerka-nerka betapa menyeramkannya penampakan tokoh Suman
yang ditambah dengan keterangan peristiwa dalam kutipan di atas yang
mencirikan sosok yang mengerikan.
Suman :
Karena apa yang kumakan ? Tidak, tuan. Aku tidak melayani
rasa sakit! Aku biarkan sakit datang, kalau dia mau datang. Itu
memberiku pelajaran untuk bertahan. Kalau aku bertahan, aku
bisa membela tanah yang kupijak! Itu sikapku sebagai
manusia.26
Kutipan di atas menggambarkan betapa kuatnya tekad Suman
untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan. Dimensi psikologis yang
tercermin dalam dialog di atas menggambarkan sikap mentalitas
Suman yang kuat. Kuat yang dimaksudkan yakni berambisi untuk tetap
bertahan hidup dalam kemiskinan dan kelaparan untuk menjadi
pembela tanah Mojokuto. Selain dimensi psikologis, dimensi sosial
pun tergambar dalam kutipan di atas. Dimensi sosiologis yang
25
26
Ibid., h. 1.
Ibid., h.12.
70 tergambar ialah sikap hidup Suman. Ia tak hanya ingin hidup untuk
dirinya sendiri tetapi juga untuk tanah yang dipijaknya dengan arti
menjadi pahlawan perang. Dalam kemiskinan dan keanehannya ia
tetap bertekad untuk menjadi orang baik yang kemudian dibuktikan
dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya dalam naskah ini.
Mas Ageng :
Apa agamamu ?
Suman :
Sehari-hari, aku Islam. Tuhanku satu.27
Selain pemaparan mengenai dimensi sosial di atas, pada
kutipan dialog di atas ini juga menjelaskan dimensi sosiologis dalam
ciri kehidupan beragama, dengan penjelasan dalam dialog bahwa
Suman memeluk agama Islam. Meskipun Suman percaya bisikan
magis yang membuatnya memakan mayat, Suman tetap menganggap
Islam adalah agama yang benar.
Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh
Suman, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta
kondisi sosial tokoh Suman dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benjon.
Dalam
naskah
tersebut,
dimensi
fisiologis
Suman
digambarkan dengan mendetail sehingga pembaca dapat mengimajikan
tokoh suman lebih nyata, yakni dengan menyebutkan warna kulitnya
yang coklat, matanya yang hitam, dan kepalanya yang plontos serta
gerakannya yang sigap saat menggotong mayat curiannya. Selanjutnya
dalam dimensi psikologis Benjon menggambarkan Suman sebagai
tokoh dengan keadaan psikologis mental yang kuat, Suman berani
menerima hukuman atas kesalahan yang telah dilakukannya, selain itu
Suman juga memili mental sebagai pejuang. Terakhir penggambaran
dimensi sosial. Dalam penggambaran dimensi sosial, dalam hal ini
27
Benny Yohanes. op. cit,. h. 7.
71 Suman digambarkan sebagai orang miskin yang memiliki pandangan
hidup ingin menjadi orang yang berguna untuk tanah yang dipijaknya.
c) Mas Ageng
Mas Ageng muncul. Sosoknya pendek, berkulit hitam, alisnya
setebal kumisnya. Tubuhnya berisi. Di bahunya menclok
seekor iguana, yang selalu dielusnya. Mas Ageng masih
mengunyah sirihnya...28
Dalam kutipan di atas, Mas Ageng digambarkan dengan ciri
fisik yang pendek, berkulit hitam, beralis dan berkumis tebal, serta
tubuh yang berisi. Penggambaran ciri fisik yang demikian membuat
penampakan sosok Mas Ageng terkesan menyeramkan, meskipun
demikian Mas Ageng tetap terkesan gagah dari penggambaran alis
serta kumis yang tebal.
Mas Ageng :
(Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada
Suman. Suman menahan nafas. Penduduk bersorak)
Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto,
dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum
bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum
itu, menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh.
Supaya kau patuh di dunia orang hidup,dan hormat di dunia
orang mati. Kau dihukum untuk hidup.
Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah
Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu
sendiri. Itulah baktimu untuk tanah Mojokuto. Sekali saja kau
langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau
gagal sembuh, maka tanganku sendirilah yang akan menjadi
hukum untuk hidupmu!29
Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog tersebut
adalah dimensi psikologis sikap pribadi. Mas Ageng memiliki sikap
pribadi yang bijaksana hal tersebut tercermin dari pemberian hukuman
terhadap Suman yang telah memakan jasad orang mati. Suman
28
29
Ibid., h. 9.
Ibid., h. 14.
72 diberikan
hukuman
bukan
dengan
disakiti
namun
diberikan
kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi
orang lain.
Sinta Salim :
Mas Ageng pasti selamat dalam pelariannya. Dia pernah
sekolah di luar negeri. Pandai membaca mana kawan mana
lawan. Mas Ageng dan kamu itu mirip. Alis kalian serupa.30
Pada dialog Sinta Salim tersebut menggambarkan dimensi
sosiologis jenjang pendidikan pada diri Ki Ageng. Dengan penjelasan
bahwa Mas Ageng pernah sekolah di luar negeri. Melalui dimensi
sosial yang demikian, memungkinkan Mas Ageng dapat menghadapi
musuh dengan cerdik.
Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh
Mas Ageng di atas, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan
psikologis, serta kondisi sosial tokoh Mas Ageng dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, ciri fisik Mas
Ageng digambarkan dengan mendetail, yakni dengan menyebutkan
bahwa Mas ageng memiliki postur tubuh yang pendek, berkulit hitam,
beralis dan berkumis tebal, serta tubuh yang berisi. Selanjutnya dalam
dimensi psikologis Benjon menggambarkan Mas Ageng sebagai tokoh
yang memiliki keadaan psikologis sikap pribadi yang bijaksana,
dijelaskan melalui pemberian hukuman untuk pelaku tindak kesalahan
seperti pemberian hukuman kepada Suman yang telah mencuri dan
memakan jasad Mbah Sirep, Mas ageng justru menghukumnya dengan
memberikan amanat untuk menjaga tanah Mojokuto. Terakhir
penggambaran dimensi sosial. Mas Ageng digambarkan sebagai orang
yang memiliki pendidikan tinggi sehingga melalui dimensi sosial yang
demikian, memungkinkan Mas Ageng dapat menghadapi musuh
dengan cerdik.
30
Ibid., h. 24.
73 d) Landless
Kebo :
Dengan senjata meriam, dan pasukan berseragam. Badan
mereka tinggi, berkulit putih, dengan topi lancip bersurai.
Mereka menyisir gudang rempah, dan membongkar paksa
pintu-pintunya. Rempah-rempah dijarah. Pasukanku yang
melawan, mereka tembak. Penduduk ditawan. Mereka bersiap
menuju kemari, dengan kuda, dan meriam.
Mas Ageng :
Siapa pemimpinnya ?!
Kebo :
Landless. Panglima Landless. Pasukannya menyebut nyebut
nama itu sambil bernyanyi, menendang penduduk dan
membakar gudang gudang yang sudah mereka kuras isinya.31
Kutipan dialog di atas, menggambarkan dimensi fisiologis
pasukan Landless dengan menggunakan majas sinekdok pars pro parte,
yakni dengan menyebutkan ciri fisik keseluruhan pasukan yang
berbadan tinggi dan berkulit putih untuk mewakili penggabaran ciri
fisik Landless. Dengan ciri fisik Landless beserta pasukan yang
demikian dapat pula menjelaskan bahwa Landless dan pasukannya
tidak berasal dari Mojokuto dan Nusantara, melainkan dari negaran
lain di bagian Barat.
Landless :
(Tertawa) Ne, Suhar. Terlalu banyak laporan di atas meja.
Landless mau sedikit hiburan. Tembak kepala orang ini di
depanku.
(Landless melepaskan pengaman senjata pistolnya. Lalu senjata
itu diserahkan ke tangan Suhar)32
31
32
Ibid,. h.15.
Ibid., h. 36.
74 Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog tersebut
menggambarkan
bahwa
Landless
merupakan
seseorang
yang
temperamen Hal tersebut terdapat dalam peristiwa saat Landless marah
akibat markasnya dihancurkan dan ingin pelakunya dihukum dengan
tembakan di kepala.
Hoffmann :
Yang Mulia tuan Landless. Batavia dibanjiri pendatang.
Mereka jual perhiasan, sutra dan candu. Pasar gelap makin
ramai. Orang pribumi dan pendatang bangun rumah gelap
sepanjang Ciliwung. Buang hajat di situ juga. Malaria
merajalela. Pendatang sering bikin onar. Penjara penuh. Kramat
Tunggak ramai. Mohon petunjuk. Komisaris Abeng.33
Penggunaan sebutan "Yang Mulia" dalam dialog Hoffman
tersebut menjelaskan bahwa dalam dimensi sosial tokoh Landless
memiliki kekuasaan atau jabatan yang tinggi dan dihormati.
Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh
Landless di atas, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan
psikologis, serta kondisi sosial tokoh Landless dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, ciri fisik Landless
digambarkan dengan kurang mendetail,
yakni
hanya
dengan
menyebutkan bahwa pasukan Landless memiliki postur tubuh yang
tinggi dan berkulit putih serta menggunakan topi lancip bersurai,
Penampakan ciri fisik yang demikian menggambarkan bahwa Landless
beserta pasukannya bukanlah orang pribumi. Selanjutnya dalam
dimensi psikologis Benjon menggambarkankan Landless sebagai
tokoh dengan keadaan psikologis yang tempramental, dijelaskan
melalui penggambaran emosi Landless yang mudah meledak. Terakhir
penggambaran dimensi sosial. Dalam penggambaran dimensi sosial,
dalam hal ini Landless digambarkan sebagai orang yang memiliki
jabatan dan status sosial yang tinggi sehingga melalui dimensi sosial
33
Ibid., h. 19.
75 yang demikian Landless mendapat panggila kehormatan yakni
Yang Mulia.
e) Sinta Salim
Sinta Salim :
Ini soal tekad untuk tidak menyerah. Untuk saling memperkuat
kepercayaan. Untuk saling menambatkan pegangan. Sejak Mas
Ageng harus lari, aku hanya seorang perempuan, terlunta tanpa
perlindungan, di tengah kecamuk perang. Kulitku putih,
mataku sipit. Tanpa Mas Ageng, aku tak bisa lagi berlindung
di balik keningratannya. Aku kembali seorang perempuan
peranakan. Sama seperti perempuan-perempuan lain di gubukgubuk kotor Batavia. Dan komplotan setan putih itu tentu akan
menganggap aku tak lebih sebagai daging mainan. Tapi kamu
menjaga aku. Menjaga dagingku. Menjaga kehormatanku.
Semua ini lebih besar dari asmara. Karena aku tidak jatuh demi
tubuhmu, aku tertarik daya hatimu. Simpan sapu tangan ini,
Suman. Janji ini akan kuat, untukku dan untukmu.34
Dimensi fisiologis tokoh Sinta Salim dalam kutipan dialog di
atas menggambarkan Sinta merupakan seorang perempuan peranakan
(Tionghoa) dengan ciri fisik bermata sipit, serta berkulit putih. Dengan
ciri fisik yang demikian menandakan bahwa Sinta memiliki paras yang
cantik. Dalam dialog tersebut pula digambarkan bahwa wanita dengan
paras demikian hanya akan menjadi “mainan” dari pasukan Olanda.
Namun karena berada dalam lindungan Suman beserta pasukannya,
kehormatan dan kehidupan Sinta terjaga.
Selain dimensi fisiologis, dimensi psikologis tokoh Sinta Salim
pun tercermin dalam kutipan tersebut yang menggambarkan sikap
pribadinya. Dari kutipan di atas dapat terlihat sikap pribadi Sinta.
Tokoh Sinta Salim digambarkan sebagai wanita yang berprinsip dan
teguh pendirian. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat “Ini soal tekad
untuk tidak menyerah, untuk saling memperkuat kepercayaan.”
34
Ibid., h.26.
76 Kutipan tersebut semakin memperjelas bahwa Sinta merupakan wanita
yang kuat dan percaya diri. Selain kutipan di atas, dimensi Psikologis
Sinta kembali dimunculkan pengarang dalam fragmen III.5.
Sinta Salim :
(Siuman. Melihat tubuh Suman yang telah jadi mayat. Sikapnya
berubah tegas, penuh nyali) Hanya satu syarat untuk
perkawinan ini, Suhar. Dan hanya kuminta sekali. Kau
menolak, aku mati.
Suhar :
Katakan.
Sinta Salim :
(Membuka kebayanya, tampak seluruh perutnya dilekati lilitan
bom) Syaratku satu : Apa yang telah kau hinakan, itulah yang
akan kau telan. Maka, kau harus makan daging Suman di depan
mataku. Tujuh kerat daging mentah, yang masih berdarah. Dan
satu dentum meriam untuk setiap kerat yang kau makan. Itu
mas kawin yang kuminta! Kau menolak, segera kutarik pemicu.
Dagingku pasti hancur, dan kepahitanmu abadi!35
Kutipan di atas memperjelas sikap pribadi Sinta yang tegas dan
berani. Sinta berani mengambil sikap untuk menghukum Suhar yang
telah membunuh Suman, yakni dengan meminta Suhar memakan jasad
Suman serta mengancam untuk bunuh diri jika keinginannya tak
terpenuhi. Pengambilan sikap oleh Sinta dalam kutipan di atas
membuktikan bahwa Sinta merupakan wanita yang tegas dan
pemberani.
Suhar :
(Terkekeh) Ki, itu cara daripada berpikir lama. Kita harus pakai
cara hitung yang lebih realistis. Aku bisa kuasai ini nusantara,
kalau Sinta Salim bisa kumiliki. Aku sudah telusuri daripada
silsilah keluarganya. Sinta Salim itu keluarga dari super-taipan.
Keluarganya kuasai hampir delapan puluh prosen jaringan
bisnis Asia. Bayangken, Ki. Kalau Sinta Salim di tanganku,
35
ibid. h. 55.
77 kita bahkan bisa bangun Bengawan Solo menjadi kali
bertingkat. Pasar modern di tingkat atas, makam pahlawan di
bawahnya. Atau seluruh Mojokuto bisa kita ubah jadi Kramat
tunggaknya Asia. Itu cepat sekali menaikkan devisa daripada
negara. Atau Batavia kita penuhi dengan kuli-kuli peranakan,
untuk bangun tiruan great wall atau taman mini nusantara,
dengan upah paksa.36
Dalam kutipan dialog Suhar di atas menggambarkan dimensi
sosiologis tokoh Sinta Salim berdasarkan asal usul sosial. Sinta
merupakan seorang perempuan peranakan yang berasal dari keluarga
super taipan yang memiliki kekuasaan dalam jaringan bisnis di Asia.
Keadaan sosial yang dimiliki Sinta membuat Suhar berambisi
mendapatkannya agar kekuasaan yang dimilikinya semakin kuat.
Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh
Sinta Salim, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis,
serta kondisi sosial tokoh Sinta Salim dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, Sinta Salim
digambarkan sebagai seorang perempuan Tionghoa dengan ciri fisik
bermata sipit, serta berkulit putih. Selanjutnya dalam dimensi
psikologis Benjon menggambarkan Sinta Salim sebagai tokoh
perempuan dengan sikap pribadi yang tegas dan berani. Sinta berani
mengambil sikap untuk menghukum Suhar yang telah membunuh
Suman. Terakhir penggambaran dimensi sosial, dalam naskah ini Sinta
Salim merupakan seorang perempuan peranakan yang berasal dari
keluarga super taipan yang memiliki kekuasaan dalam jaringan bisnis
di Asia. Dengan demikian, melalui pemaparan ketiga tindakan di atas,
pembaca dapat mengimajikan tokoh Sinta Salim lebih nyata, serta
aktor yang akan memerankan tokoh Sinta Salim ke dalam sebuah
pementasan memiliki gambaran yang jelas tentang tokoh yang akan
diperankannya.
36
ibid. h. 48.
78 2. Alur
Cerita dalam naskah Cannibalogy terdiri dari empat babak. Pada setiap
fragmennya menggambarkan perubahan peristiwa yang berlangsung selama
beberapa waktu dengan menggunakan alur maju. Jangka waktu yang
digunakan dalam naskah ini kurang lebih mencapai tiga tahun. Rangkaian
peristiwa dimulai dengan kasus pembongkaran makan Mbah Sirep oleh Suman
dan kemudian ditutup dengan penghukuman Suhar yang telah melakukan
banyak tindak kesalahan dalam kehidupannya.
Sebelum membahas tahapan alur yang terdapat dalam naskah drama
Cannibalogy, peneliti akan menjelaskan sistematika yang terdapat dalam
naskah drama Cannibalogy terlebih dahulu. Naskah drama Cannibalogy terdiri
dari enam puluh Sembilan halaman yang terdiri atas empat babak yang di
dalamnya terdapat pengadeganan dengan sebutan fragmen.
Pada babak I terdiri dari lima fragmen yang terdapat dalam enam belas
halaman. Pada babak I fragmen I.2 dan I.4, merupakan tahap pengenalan
tokoh Suhar. Pada fragmen I.1, I.3, dan I.5 merupakan merupakan tahap
pengenalan tokoh Suman.
Selanjutnya babak II terdiri dari tujuh fragmen dalam dua puluh tujuh
halaman. Fragmen II.1 merupakan penampakan Mojokuto setelah ditaklukan
pasukan Olanda, fragmen II.2 menggambarkan pertemuan Suhar dengan
Suman, fragmen II.3 menggambarkan penculikan Sinta Salim yang menjadi
pemicu konflik dalam naskah Cannibalogy,fragmen II.4 menggambarkan
peristiwa pertemuan Suhar dengan Landless yang membawanya menuju
kekuasaan dengan menyerahkan Sinta Salim, fragmen II.5 merupakan
penggambaran awal Suhar setelah menjadi seorang Penguasa, II.6 merupakan
penggambaran Sinta Salim yang telah ditawan oleh pasukan Olanda dan
berhasil dimata-matai oleh Kerpo, pada fragmen ini Sinta Salim menitipkan
Sapu tangan pertanda kepada Suman melalui Kerpo, fragmen II.7 merupakan
79 peristiwa penyusunan strategi untuk merebut kembali Sinta Salim oleh Suman
dan pasukan Mojokuto.
Babak III terdiri dari lima fragmen dalam dua belas halaman. Fragmen
III. 1 merupakan penggambaran peristiwa penaklukan pasukan Olanda dan
perebutan kembali Sinta Salim oleh pasukan Suman, fragmen III. 2 merupakan
peristiwa penyusunan strategi untuk menaklukan pasukan Mojokuto dan
merebut kembali Sinta Salim dengan membumi hanguskan Alas Puputan,
fragmen III. 3 menggambarkan peristiwa penaklukan Alas Puputan oleh
pasukan Suhar, Sinta Salim telah direbut kembali, dan Suman telah ditangkap,
fragmen III. 4 menggambarkan peristiwa penangkapan Suman dan dirajam
oleh sundal Kali Solo, fragmen III. 5 pada fragmen ini Suhar memaksa untuk
menikah dengan Sinta Salim.
Babak IV terdiri dari lima fragmen dalam enam belas halaman.
Fragmen IV. 1 menggambarkan peristiwa kanibalisme yang dilakukan Suhar
dengan memakan daging Suman sebagai mas kawin untuk Sinta Salim, pada
fragmen ini juga merupakan tahap penurunan konflik dengan matinya Sinta
Salim dan Ki Butho, fragmen IV. 2 menggambarkan hari menjelang
kehancuran Suhar serta penangkapan Suhar oleh pasukan Mas Ageng,
fragmen IV. 3 merupakan peristiwa penghakiman Suhar oleh Mas Ageng di
hadapan warga Mojokuto, fragmen IV. 4 menggambarkan hari-hari
penghukuman Suhar dengan menggali parit sampai ke Bantam Kulon,
fragmen IV. 5 merupakan penutupan naskah dengan penyampaian pesan oleh
“Suara Pelatih”.
Dalam penelitian ini tahapan alur tersebut akan dipaparkan dengan
menggunakan teori pembagian tahapan alur menurut Tasrif dalam Nurgiantoro
yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan tersebut adalah sebagai
berikut:
80 a. Tahap Situation
Tahap penyituasian, tahap yang pertama yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi awal yang berfungsi
melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
Tahap Situation dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon
ini dimulai dari fragmen kesatu dan kedua yang dibuka dengan
menceritakan sejarah hidup tokoh-tokoh utama dalam naskah ini, yakni
Suman dan Suhar.
Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah
makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup
terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada pertunjukan
wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala plontos sedang
menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan suara
gagak saling menimpal. Angin kencang.
Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos
memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat
mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam
matanya.
Suman :
Guru, syaratnya sudah dapat. Ini baru yang kelima. Ya,.....harus
tambah dua lagi. Ilmuku hampir sampai. Semua syarat akan
kupenuhi, guru. Hah, aku lapar. Aku bosan melarat. Aku minta
kaya! Aku ingin kebal dari senjata. Gusti, paringono kuat slamet! 37
Pada kutipan dari fragmen satu ini memperkenalkan sosok Suman
yang merupakan tokoh protagonis dalam naskah drama Cannibalogy.
Suman digambarkan sebagai seorang yang menyeramkan tidak hanya
dilihat dari fisiknya, tetapi perbuatannya yang menyimpang dengan
menganut ilmu sesat dengan membongkar makam dan mencuri jasadnya.
37
Benny Yohanes., op. cit. h.1.
81 Situasi selanjutnya yakni terjadi pada fragmen kedua. Pada situasi
ini diperkenalkan tokoh Suhar yang merupakan pemeran antagonis dan
memiliki andil besar dalam berjalannya cerita. Fragmen ini dimulai
dengan kemunculan tokoh Suhar yang sedang membakar barang
dagangannya karena putus asa dengan nasibnya. Dalam fragmen kedua ini,
dimunculkan pula tokoh Mbok Tirah sebagai ibu kandung Suhar yang
bersedih karena perbuatan Suhar. Pada fragmen kedua ini terjadi dialog
dingin antara Suhar dan Mbok Tirah.
Mbok Tirah :
Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa
lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku daganganmu. Bapakmu dulu juga
begini. Tapi ndak pernah sampai ngobong. Rejeki harus disyukuri.
Gusti Allah ora sare.
Suhar :
Mbok, aku memang mau pergi. Ke Solo. Aku mau bertapa di
Bengawan Solo.38
Pada fragmen kedua ini Tidak jauh berbeda dengan Suman, Suhar
pun melakukan hal yang sama untuk meraih impiannya, yakni dengan cara
mistis. Meskipun dengan cara yang berbeda, keduanya memiliki misi yang
sama, yakni untuk mendapatkan kekayaan dan kekuatan. Pada tahap ini,
tergambar situasi awal yang menyulut kemunculan cerita pada tahapan
berikutnya.
b. Tahap Generating Circumstance:
Tahap ini merupakan tahap pemunculan masalah dan peristiwa
yang menyulut terjadinya konflik sehingga kemudian konflik tersebut
terus berkembang seiring berjalannya cerita. Tahap pemunculan konflik
yang terjadi dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon terletak pada
38
Ibid., h. 2.
82 fragmen II. 4, pada fragmen ini digambarkan penculikan Sinta Salim oleh
Suhar.
Kini, diantara ayunan Suhar dan Ki Butho, menyembul ayunan
lain. Sosok tubuh perempuan tertelungkup lemah, seperti tertidur.
Di tangannya tergenggam beberapa anak panah yang patah
tangkainya. Anak panah yang patah itu berjatuhan ke tanah.
Derap pasukan berkuda menembus kabut. Suara letusan senjata
menerobos dari sela pepohonan. Tubuh perempuan yang berayun,
lenyap disaput kabut. Sosok Suhar dan Ki Butho juga lenyap. Di
sambung gema gelak tawa bersambungan. Suman terlonjak,
terbangun dari tidurnya. Kokok ayam menyambut pagi.
Pasukan Suman menghambur melingkari Suman. Salah seorang
melaporkan.
Linggar :
Kerpo tak nampak. Gubukmu kosong. Tamu yang menginap
menghilang. Pasti melarikan diri.
Dari arah lain, muncul seorang lain melaporkan.
Suto :
Suman...gubuk Nyi Mas kosong. Pintu terkunci, tapi jendelanya
terbuka. Tak mungkin Nyi Mas bersekongkol melarikan diri.39
Kutipan di atas menggambarkan peristiwa penculikan Sinta Salim
dengan menggunakan mantra sihir oleh Ki Butho. Peristiwa penculikan
tersebut merupakan tahap awal pemunculan masalah dalam naskah
Cannibalogy. Dari penculikan Sinta Salim tersebut permasalahan demi
permasalahan mulai dimunculkan. Suman yang tidak terima dengan
penculikan tersebut segera menyusun rencana untuk merebut kembali
Sinta Salim, peperangan antara Suman beserta pasukan Mojokuto dengan
pasukan Suhar pun dimulai. Peperangan ini yang menjadi awal dari
peningkatan konflik.
39
Ibid., 28.
83 c. Tahap Rising Action
Tahap ini merupakan tahap peningkatan konflik di mana konflik
yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Cerita semakin menegangkan dan
konflik yang terjadi dari segi eksternal, internal, maupun keduanya hingga
mengarah menuju klimaks.
Peningkatan konflik dalam naskah Cannibaligy karya Benjon dapat
terlihat pada fragmen III. 3. Pada fragmen ini menceritakan penyerangan
Alas Puputan oleh pasukan Suhar untuk menangkap Suman dan Sinta
Salim.
Alas Puputan. Penaklukan pasukan Suman, dalam sebuah
koreografi. Barisan serdadu berseragam lengkap berderap melintas,
dalam formasi menyerbu. Dari arah yang berseberangan,
bergulingan puluhan tubuh berkomprang , dadanya dalam lilitan
jerami berapi. Terdengar letusan letusan besar meriam yang
ditembakkan. Cakrawala memerah. Tubuh tubuh dalam lilitan
jerami terhempas, dalam formasi ambruk satu persatu, menjadi
gundukan tubuh. Suhar muncul dari tengah pasukan berseragam.
Suhar :
(Bicara sambil menginjak gundukan tubuh) Alas Puputan obong!
Tumpas sudah semua gerombolan. Kita kembali ke Kali Solo.
Rayakan kemenangan!
Pasukan Suhar :
Jayalah Suhar!
Solih :
Suman kita tangkap. Perempuannya juga.
Suhar :
Wanita itu urusanku. Borgol si Suman. Aku mau semua sundal
Kali Solo merajamnya.40
40
Ibid., h. 48.
84 Kutipan di atas terjadi pada fragmen III. 3 yani menunjukkan tahap
situasi yang semakin menegang, Suhar yang murka atas perebutan Sinta
Salim dan pembunuhan Landless oleh pasukan Suman, akhirnya
membumihanguskan
Alas
Puputan
yang
merupakan
tempat
persembunyian pasukan Suman. Dalam peperangan ini Suhar muncul
sebagai pemenang karena telah berhasil menangkap Suman dan
mendapatkan kembali Sinta Salim.
d. Tahap Climax
Pada tahap climax ini, konflik dan atau pertentangan-pertentangan
yang terjadi mencapai titik intensitas puncaknya. Klimaks sebuah cerita
akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama.
Dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, tahap climaks
disampaikan pada fragmen III. 5. Dalam fragmen ini, tibalah kehancuran
Suhar. Suhar yang menjadi tokoh utama mengalami konflik batin dengan
keadaan yang harus ia hadapi. Semua yang diinginkannya hancur. Wanita
impiannya mati dengan melakukan bom bunuh diri, Ki Butho yang
merupakan sosok penasehatnya juga mati karena hanyut terbawa arus
deras kali Solo.
Suhar :
(Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri
tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku. Pernikahanku
tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang saya sendiri.
Lemah kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau
tidak sama sekali!41
Keputusasaan Suhar yang merupakan sosok penguasa kejam dan
bertangan besi tak terbendung lagi. Suhar merasa sangat hancur, lemah
dan pesimis, namun di tengah keputusasaannya Suhar kembali memotivasi
dirinya untuk kembali bangkit.
41
Ibid., h. 59.
85 Dalam
fragmen
berikutnya
kehancuran
Suhar
kembali
dimunculkan. Suhar yang sedang bertapa di Gua Semar terkejut saat kedua
prajuritnya datang dengan membawa laporan bahwa mereka telah diserang
oleh tentara peranakan yang dipimpin oleh Mas Ageng.
Djono :
Serahkan diri. Minta perlindungan, sesuai undang-undang.
Suhar :
(Tenang) Tidak! Tidak akan saya serahkan daripada diri saya, dan
kehormatan saya. Sebagai prajurit, saya tidak akan mundur, atau
menyerah. Ini tidak sesuai dengan Sapta Marga. Tentara itu
mengabdi, sampai mati.
Djono :
Kita kesulitan uang. Harga harga mahal. Orang-orang muda jadi
musuhmu, menghinamu. Menurunkan dan membakar gambargambarmu. Penduduk miskin menjarah kota. Membunuh siapa
saja, yang tidak serupa. Tentara bingung. Amenglika cuci tangan.
Zaman sedang berubah. Kita tak punya pilihan.42
Kutipan tersebut menunjukan tahap situasi yang semakin rumit,
baik dari segi keadaan maupun perasaan yang dirasakan Suhar. Suhar
mulai dihadapkan dengan situasi yang mengharuskannya menerima
kenyataan yang tidak diinginkannya. Suhar tidak rela melepaskan masa
kejayaan dan kekuasaannya. Hari-hari menjelang kejatuhan Suhar sudah
mulai terlihat.
e. Tahap Denouement
Pada tahap Denouement ini, konflik yang telah mencapai klimaks,
diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. Suhar yang digambarkan sebagai
sosok pemimpin yang ambisius, merugikan banyak pihak dan memakan
banyak korban nyawa, kini menuai hasilnya. Suhar dan pasukannya
disergap oleh pasukan Mas Ageng di dalam Gua Semar.
42
Ibid.,h. 61.
86 Pasukan yang dipimpin Daeng, tiba-tiba masuk menyerbu gua.
Moncong-moncong senjata diarahkan pada Suhar dan
kelompoknya.
Daeng :
Ageng Rais, pemimpin Mojokuto, menahan anda.
Suhar :
Saya bukan penjahat. Saya penyelamat Jawa. Maka sekarang, saya
umumkan: Saya menyatakan berhenti sebagai pembangun
Mojokuto. Saya menyatakan berhenti, dan melepaskan seluruh
mandat. Dari dulu, saya tak pernah kepingin pekerjaan ini. Saya ini
jiwa petani!43
Pada tahap sebelumnya Suhar mengalami kegelisahan karena
kehancurannya pada tahap ini Suhar kegelisahan Suhar semakin menuncak
dengan mulai diperlihatkannya kenyataan bahwa ia benar-benar telah
gagal dan hancur. Kutipan tersebut menggambarkan penyergapan pasukan
Suhar oleh pasukan Mas Ageng. Pada fragmen berikutnya Suhar
dipertemukan dengan Mas Ageng, ia dihakimi dan dihukum untuk
mengingat kesalahannya dengan menggali parit hingga akhir hayatnya.
Ageng Rais :
Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual kekebasannya
padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali
dengan nyawanya sendiri. Itulah yang sudah kau perbuat kepada
penduduk Mojokuto. Suhar, kepada yang hidup kamu bisa
bersaksi. Tetapi kepada yang telah mati, kamu harus menggali.
Inilah penebusan yang harus kamu jalani: Kau akan menggali
lubang, menjadi parit panjang, selebar tubuhmu saat terlentang.
Kau akan menggali dari pusar Banyuwangi, terus ke barat sampai
Bantam Kulon. Itulah yang akan kau lakukan dengan jiwa
petanimu, sampai nafasmu yang terakhir kali. Dari parit yang kau
gali, sepanjang jalan pos yang berliku ini, kau akan menggali untuk
mengingat sejarahmu kembali. Menentukan akhirmu sendiri! Beri
dia perbekalan.44
43
44
Ibid.,h. 62.
Ibid., h. 65.
87 Melalui dialog tersebut akhir dari naskah Cannibalogy dapat
terjelaskan. Suhar yang merupakan penguasa dengan sikap semena-mena
harus menebus
segala kesalahannya dengan hukuman membuat parit
panjang diberikan oleh Mas Ageng untuk mengingat sejarah dan
kesalahannya. Meskipun pada awal cerita sosok Suhar terlihat ambisius,
kejam dan berani, pada tahap denouement ini seketika berubah drastis
menjadi seorang yang lemah dan tak berdaya. Peristiwa tersebut menjadi
jalan keluar atau penurunan klimaks untuk mengakhiri cerita.
3. Latar dan Ruang
Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya
fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika
permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka
latar dan ruang memperjelas suasana tempat, serta waktu peristiwa itu
berlaku. Latar dan ruang dalam drama memperjelas pembaca untuk
mengidentifikasi permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan
dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus dapat
menunjang alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan
konflik.
Dalam naskah drama Cannibalogy, penyajian latar seperti latar
tempat disebutkan secara gamblang oleh pengarang, baik dalam narasi
ataupun melalui dialog antartokoh dan petunjuk laku. Di bawah ini akan
disajikan analisis latar dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon.
a. Latar Tempat
Jika dilihat secara keseluruhan latar tempat yang digunakan
dalam naskah drama Cannibalogy adalah pulau Jawa, karena terdapat
beberapa fragmen yang menyebutkan beberapa daerah di pulau Jawa
serta terdapat pula beberapa fragmen yang menggunakan bahasa jawa.
Selain itu terdapat pula sebuah desa yang sering kali digunakan
sebagai latar tempat dalam naskah Cannibalogy, yaitu desa Mojokuto.
88 Desa Mojokuto merupakan Latar tempat yang mendominasi peristiwa
penting dalam naskah drama Cannibalogy. Dalam naskah drama
Cannibalogy Mojokuto digambarkan sebagai pusat kota yang menjadi
latar munculnya beberapa peristiwa penting.
… Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang
digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup terdengar gamelan
mengiringi adegan perang pada pertunjukan wayang. Dari liang
makam nampak sosok kepala plontos sedang menggaruk tanah
dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan suara gagak saling
menimpal. Angin kencang.
Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos
memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat
mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam
matanya.45
Kutipan tersebut merupakan penggambaran latar dan suasana
dalam naskah Cannibalogy yaitu peristiwa pencurian jasad mbah Sirep
yang baru meninggal oleh Suman. Latar suasana dibuat mencekam
dengan menampilkan bunyi-bunyian melalui prolog sehingga pembaca
dapat mengimajikannya secara detail.
Selain Mojokuto, dalam naskah ini terdapat pula peristiwa
yang terjadi di Kali Solo. Seperti pada kehidupan nyata, air
merupakan sumber peradaban manusia, begitupun Kali Solo dalam
naskah Cannibalogy yang digambarkan sebagai pusat peradaban bagi
masyarakat Mojokuto sehingga peristiwa kehidupan dalam naskah ini
tak terlepas dari aliran sungai tersebut. Kali Solo atau Bengawan Solo
digambarkan sebagai tempat keramat yang biasa digunakan sebagai
tempat bertapa untuk meminta kelancaran atas urusan duniawi.
Ki Butho :
Aku penunggu Bengawan Solo.
Suhar :
Saya datang Ki Butho. Saya minta ijin eyang, saya mau...
45
Ibid. h, 1.
89 Ki Butho :
Sudah kubaca maksudmu. Romanmu bagus,cah. Tapi jiwamu
belum bersih, Suhar.
Suhar :
Mohon saya dibersihkan, Ki.46
Kutipan tersebut menggambarkan pertemuan Suhar dengan Ki
Butho di Kali Solo. Dalam naskah Canniballogy, kali Solo
digambarkan sebagai tempat keramat untuk meminta berkah dan
kekayaan, dan tujuan Suhar mengunjungi tempat tersebut adalah untuk
bertapa guna mewujudkan mimpinya. Dayung bersambut, Ki Butho
pun merestui niat Suhar untuk bertapa di Kali Solo. Selain tempat
keramat, Kali Solo juga digambarkan sebagai puasat kehidupan dalam
naskah tersebut.
Berdasarkan kutipan dialog di atas terlihat bahwa Suhar
memiliki kesempatan besar untuk meraih mimpinya, namun tidak
dengan cuma-cuma. Suhar harus memberi tumbal pada Kali Solo
setiap nasibnya membaik. Tanpa rasa takut dan kemantapan hati, Suhar
pun
menyanggupi
perjanjian
tersebut.
Peristiwa
selanjutnya
berlangsung di pendopo Mojokuto yang telah dijadikan Opera Minerva
oleh pasukan Olanda.
Landless :
Dan untuk kamu, Suhar. Kau kumpulkan seluruh orang-orang
muda yang sehat. Mereka akan jadi pasukan pribumi, untuk
menjaga kelancaran proyek trans Jawa. En Kolonel Hoffmann
akan kasi dia punya ilmu militer untuk kamu semua.
Pasukanmu boleh pegang senjata atas ijinku. En kamu bisa
tumpas itu kerusuhan-kerusuhan para inlander, atas nama
keamanan negara. Aku akan teken surat perintah untuk kamu
sebagai komandan divisi Jawa. Sekarang awal bulan Maret. En
Hoffmann, kapan surat perintahnya kelar ?47
46
47
Benny Yohanes. op.cit., h. 4.
Ibid., h. 34.
90 Peritiwa di tempat ini menjadi sangat penting karena Opera
Minerva dan perjumpaannya dengan Landless, impian Suhar untuk
menjadi orang yang sukses terkabul. Setelah menyerahkan selir
pemimpin Mojokuto pada pasukan Olanda, Suhar diangkat menjadi
komandan divisi Jawa.
Hari yang lain. Di sebuah gua, bernama gua Semar, di daerah
dataran tinggi. Suhar sedang bersemedi di atas batu. Djono
menyalakan dupa. Bersamaan dengan itu, bias cahaya merah
dan kepul asap kekuningan menguasai seluruh kawasan gua.
Terdengar suara senjata-senjata diletuskan, pertempuran
menuju akhirnya, dan dari arah Barat gelora kemenangan
terdengar. Amir dan Yusuf berlari tanpa senjata dan seragam
berlumpur, bersimpuh di depan Suhar.
Amir :
Serangan gerilya dari Barat. Mojokuto sudah mereka rebut.
Yusuf :
Mereka punya mesiu. Dan tentara-tentara berkuluk putih
menyergap pasukan kita dari setiap perbatasan. Seluruh
komandan ambil langkah menyerah.48
Kutipan di atas menggambarkan detik-detik kekalahan Suhar
yang sedang bersembunyi di Gua Semar. Mojokuto yang sebelumnya
berhasil ia kuasai telah berhasil direbut kembali oleh pasukan Mas
Ageng yang dibantu oleh pasukan dari Batavia.
Dalam seluruh latar tempat pada naskah Cannibalogy
pengarang menggambarkan tempat-tempat penting yang berkaitan
dengan peristiwa penting yang berkaitan dengan tokoh utama yang
menjadi sasaran penelitian ini. Demikian beberapa latar tempat di sini
memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang telah dipaparkan
sebelumnya yakni mengenai kekuasaan. Dengan demikian latar tempat
pun berkaitan erat dengan alur yang menjadi jalan cerita tokoh utama.
48
Ibid., h.61.
91 b. Latar Waktu
Latar waktu dalam naskah Cannibalogy tidak digambarkan secara
gamblang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kejadian yang ada dalam
naskah berjalan begitu saja tanpa harus menampilkan penanda waktu
akurat. Meskipun demikian, petunjuk waktu dapat dianalisis melalui
peristiwa-peristiwa yang secara faktual terdapat dalam sejarah. Dalam
naskah tersebut penggambaran latar waktu secara implisit tertera pada
beberapa dialog. Salah satunya dapat dilihat pada kutipan berikut:
Solih :
Mayat-mayat sudah diangkat dari lubang. Tujuh orang. Korban
diiris-iris. Mereka masih hidup waktu dikubur paksa di sumur
kering. Orang-orang terbaik yang kita punya.
Suhar :
Ya..ya. Itu kerjaan BTI. Pengacau! Mereka komplotan si Suman
juga. Makamkan semuanya dengan baik. Kasih gelar sebagai
pahlawan revolusi. Biar rakyat seneng.
Solih :
Harus kita tangkap gembongnya.
Suhar :
Pasti. Aidil dan Untung. Kejar mereka sampai Madiun.49
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa dalam naskah terjadi
peristiwa pembantaian sadis yang melibatkan tokoh bernama Aidil dan
Untung. Jika ditarik pada peristiwa sejarah Indonesia, kutipan tersebut
mengacu pada tragedi Lubang Buaya, dimana tujuh orang jenderal
dibunuh dengan sadis dan dikumpulkan dalam satu sumur kering dengan
terduga pelaku anggota PKI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1965-1998 atau
49
Ibid. h. 36
92 diketahui sebagai masa Orde Baru. Pemilihan latar waktu ini digunakan
pengarang bukan tanpa alasan sebab saat itu banyak sekali peristiwa
sejarah kelam yang terkesan kabur atau dikaburkan. Kegelisahan tersebut
yang melandasi pengarang untuk menyampaikan kritik melalui naskah ini.
Kemudian latar lainnya yang terdapat dalam naskah Cannibalogy
ialah malam hari, tengah hari, dan hari yang lain. Berikut kutipan-kutipan
yang mengacu pada latar waktu tersebut:
1) Malam
Malam ini, kita bikin Jawa bersuka! Mojokuto tinggal sejarah.
Sekarang, Opera Minerva adalah mercusuar baru kekuasaan di
Jawa…50
Hari yang lain. Malam hari. Pertunjukan sedang berlangsung di
gedung Opera Minerva. Nampak belasan perempuan berambut blonda
mengenakan kostum serimpi, dan secara rampak mereka menari gaya
bedhaya.51
(Pada pasukannya) Dulur, malam ini akan kita kenang sebagai malam
untuk kesetiaan nyali dan keberanian seni.
Dulur, lepaskan
samaran…52
2) Tengah hari
Tengah hari. Di tengah pasar yang sudah usai, sebuah tegalan terbuka,
desa Pring. Suhar menumpuk semua barang kelontong jualannya,
memantik api ke jerami kering, lalu membakarnya…53
3) Hari yang lain
Hari yang lain. Siang hari. Markas Suhar. Suhar mengisap cerutu,
berkacamata hitam, dan mengenakan seragam militer. Suhar
mengempit tongkat komando…54
Hari yang lain. Di sebuah gua, bernama gua Semar, di daerah dataran
tinggi. Suhar sedang bersemedi di atas batu. Djono menyalakan dupa.
Bersamaan dengan itu, bias cahaya merah dan kepul asap kekuningan
menguasai seluruh kawasan gua. Terdengar suara senjata-senjata
diletuskan, pertempuran menuju akhirnya, dan dari arah Barat gelora
50
Ibid., h. 39.
Ibid., h. 45.
52
Ibid., h. 46.
53
Ibid., h. 2.
54
Ibid., h. 47.
51
93 kemenangan terdengar. Amir dan Yusuf berlari tanpa senjata dan
seragam berlumpur, bersimpuh di depan Suhar.55
Penggambaran latar waktu yang digunakan oleh Benjon dalam naskah
drama Cannibalogy berfungsi untuk memperkuat cerita. Malam hari dalam
naskah ini menggambarkan betapa sebenarnya malam bukan hanya sekedar
waktu untuk beristirahat. Banyak hal yang dapat dilakukan malam hari,
terlebih naskah ini merupakan penggambaran suasana perang sehingga
pemilihan waktu malam sangat tepat untuk berkegiatan. Latar selanjutnya
ialah siang hari, pada kutipan tersebut digambarkan tokoh Suhar yang
frustasi akibat kebangkrutannya sehingga ia membakar seluruh barang
dagangannya dan memilih jalan kiri untuk melanjutkan hidup. Latar
selanjutnya ialah hari yang lain, pada kutipan pertama Suhar yang
sebelumnya hanya seorang pedagang kelontongan kini digambarkan telah
menjadi seorang komadan lengkap dengan seragam militer yang
menjelaskan bahwa status sosialnya telah berubah. Selanjutnya pada kutipan
yang kedua menggambarkan hari-hari menjelang kehancuran Suhar. Suhar
yang sebelumnya telah menjadi seorang komandan, akhirnya hancur karena
perbuatannya sendiri dan mengharuskan ia bersembunyi di sebuah gua,
namun persembunyiannya sia-sia karena tempat persembunyian tersebut
telah diketahui oleh pasukan Mas Ageng.
4. Penggarapan Bahasa
Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama para
pengarang pun memanfaatkan penggunaan gaya bahasa. Tentu dengan
memperhatikan kekhususan karakteristik drama. Penggunaan jenis gaya
bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh.
Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-
55
Benny Yohans. op.cit,.h. 60.
94 ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan
gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan.56
Gaya bahasa yang paling dominan yang digunakan dalam naskah
drama Cannibalogy kaya Benny Yohanes yakni gaya bahasa sinisme. Hal
tersebut terjadi karena naskah ini merupakan naskah yang menggambarkan
keadaan sosial yang menyimpang. Salah satu contohnya ialah terdapat pada
awal pembukaan cerita
Kuro : Lihat sendiri. Dagingnya sudah dibikin sate. Lainnya
sedang direbus. Lihat di lehernya. Itu masih daging korban juga.
Malah dibikin kalung. Orang ini gemblung, Daeng.
Sentolo : Matanya melotot terus. Seperti burung hantu. Nantang
dia. Ada setan di dagingnya. Kamu ini manusia apa binatang ?!57
Peristiwa yang terjadi dalam kutipan tersebut ialah menggambarkan
kemarahan warga Mojokuto akibat ulah Suman yang membongkar dan
memakan daging mayat yang dicurinya. Selain gaya bahasa sinisme, ada
beberapa gaya bahasa pula yang digunakan oleh Benjon dalam naskah
drama Cannibalogy seperti yang akan dipaparkan di bawah ini:
a.
Antitesis
Antitesis merupakan sebuah gaya bahasa yang mengandung
gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang
berlawanan.58 Penggunaan antitesis dapat dilihat dalam kutipan:
Dik Sinta Salim, bicara adik panjang dan rumit. Suman tidak
sekolah. Tidak bisa bergaya bahasa. Agak mumet jadinya. Tapi
wajah adik, suara adik, tatapan adik, lebih sampai dari bahasa
adik.59
56
Ibid., h.99.
Benny Yohanes., op.cit. h, 3
58
Gorys Keraf,Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004). h.
126.
59
Benny Yohanes, op. cit., h. 26.
57
95 Pengarang menggunakan majas ini untuk menggambarkan bentuk
pertentangan yang terjadi pada tokoh Suman. Hal ini berfungsi untuk
menguatkan dimensi sosial tokoh Suman dalam naskah. Pada dialog
tersebut, digambarkan bahwa tokoh Suman merupakan seorang yang tidak
bersekolah maka tidak cerdas dalam menyimak pembicaraan orang lain
yang terkesan rumit, namun karena rasa sukanya terhadap Sinta Salim,
Suman mengerti maksud dari apa yang disampaikan olah Sinta Salim.
b.
Personifikasi
Personifikasi merupakan semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.60
Penggunaan personifikasi dapat dilihat dalam kutipan:
Ki Butho :
Bengawan Solo belum memberiku tanda.61
Dalam kutipan tersebut Ki Butho menunggu pertanda dari Bengawan Solo
untuk menjadikan Suhar penguasa Nusantara. Penggambaran latar tempat
yang disampaikan pengarang menggambarkan bahwa Bengawan Solo bukan
sekedar tempat air mengalir, namun juga merupakan sebuah benda yang
memiliki sifat-sifat manusia sehingga dapat memberi pertanda akan sesuatu.
c. Sinisme
Sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian
yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.62
Penggunaan majas ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Mas Ageng :
(Mengambil golok dari tangan Sentolo. Dengan isyarat tangan
meminta Sentolo mundur. Meminta pada Daeng)
Daeng, baringkan.
60
Gorys Keraf, op. cit., h. 140.
Benny Yohanes, op. cit, h. 47.
62
Gorys Keraf, op. cit., h. 143.
61
96 (Daeng menelentangkan tubuh Suman di atas sebatang gebok pisang.
Mas Ageng menempelkan ujung golok ke dada Suman)
Orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Orang ini miskin.
Begitu juga pikirannya. Dia tidak hormat pada jasad orang mati,
karena dia merasa harus bertahan hidup. Tak ada orang lain
memberinya jalan keluar. Dia mencari jalan keluar di dunia orang
mati. Pikirannya menjadi bagian dari kematian itu juga. Tapi orang ini
berkeras hati ingin hidup. Kalau dia mau hidup, dia harus berpikir
seperti orang hidup. Dia harus patuh pada hukum.63
Pada kutipan di atas pengarang menggunakan gaya bahasa sinisme yang
disampaikan oleh Mas Ageng sebagai sindiran terus terang terhadap
ketakperdulian masyarakat atas potret kemiskinan yang ada di sekitarnya
melalui tokoh Suman. Kutipan tersebut berkaitan dengan dimensi sosial tokoh
Suman yang menggambarkan bahwa kemiskinan serta ketakberdayaannya
membuat Suman gelap mata untuk mencari jalan keluar di jalan yang salah
karena ia merasa harus tetap bertahan hidup sehingga ia menjadi manusia yang
ganas.
d. Simile
Simile merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya secara eksplisit
menunjukkan kesamaan yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan,
laksana, dan sebagainya.64 Penggunaan simile dapat dilihat dalam kutipan:
Landless :
Tak ada lapangan bagus di Mojokuto. Tanahnya lembek, banyak
lumpur, seperti pribuminya.65
Pada kutipan di atas pengarang menggunakan gaya bahasa simile melalui
tokoh Landless untuk menggambarkan pribadi pribumi yang lemah sehingga
63
Benny Yohanes, op. cit, h. 13.
Gorys Keraf, op. cit., h. 138.
65
Benny Yohanes, op. cit, h. 18.
64
97 sangat mudah untuk diinjak-injak dan dihancurkan melalui penggambaran
tanah yang lembek.
e. Elipsis
Elipsis berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan
mudah dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca, sehingga struktur kalimatnya
memenuhi pola yang berlaku.66 Penggunaan elipsis dapat dilihat dalam
kutipan:
Suhar :
(Setengah tertidur) Mbok, saya mau mati di Kali Solo. Itu tanahku.
Dulu, saya ingat betul lagunya. Sekarang…ah, aku tak kuat, mbok.67
Secara tidak langsung pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk
memperlihatkan
kesedihan
yang
dialami
Suhar
akibat
kejatuhan
kekuasaannya. Kutipan tersebut juga sekaligus menggambarkan dimensi
psikologis dan sosial tokoh Suhar. Suhar yang sebelumnya selalu optimis
dan memiliki kuasa, kini berubah menjadi pesimis dan lemah saat harus
menerima hukuman untuk membayar perbuatannya hingga tak kuat lagi
untuk mengingat dan menyanyikan lagu tempat yang telah memberinya
pertanda untuk menjadi penguasa.
f. Hiperbola
Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan dan terkesan membesar-besarkan.68
Penggunaan hiperbola dapat dilihat dalam kutipan:
Suhar :
(Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri tanpa
kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku. Pernikahanku tanpa
restu. Alam sedang melawanku. Sekarang saya sendiri. Lemah
66
Gorys Keraf, op. cit., h. 132.
Benny Yohanes, op.cit., h. 69.
68
Gorys Keraf, op. cit., h. 135.
67
98 kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak
sama sekali!69
Kutipan di atas menggambarkan keputusasaan Suhar atas lenyapnya Ki
Butho di Bengawan Solo karena berusaha menyelamatkan Sinta Salim. Kata
“saya tak bisa berdiri tanpa kakimu” dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
Suhar tak berkutik tanpa Ki Butho dan petuahnya, Sebab Ki Butho
merupakan petunjuk arah dalam hidup Suhar.
g. Eufemismus
Eufemismus semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan halus untuk
menggantikan sesuatu yang dirasa tidak menyenangkan.70 Penggunaan
eufemismus dapat dilihat dalam kutipan:
Ageng Rais :
Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual kekebasannya
padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali
dengan nyawanya sendiri.71
Kutipan di atas menggambarkan kemarahan Mas Ageng setelah mengetahui
perbuatan Suhar yang telah mengorbankan banyak nyawa penduduk
Mojokuto
untuk
melanggengkan
kekuasaannya.
Penggunaan
“Dan
kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali dengan nyawanya
sendiri”
sebagai
media
penyampaian
makna
“membunuh”
yang
disampaikan dengan kata yang lebih halus.
Penggunaan gaya bahasa yang menarik akan menimbulkan kesan
imajinatif yang mendalam. Hal ini dilakukan Benjon dalam naskah drama
Cannibalogy dengan banyak menggunakan gaya bahasa untuk menambah
69
Benny Yohanes, op. cit, h. 60.
Gorys Keraf, loc. cit.
71
Benny Yohanes, op. cit, h. 66.
70
99 fariasi dan fantasi alur cerita dalam naskah tersebut untuk memperoleh
pendalaman isi naskah
5. Tema (Premisse ) dan Amanat
a. Tema
Tema merupakan salah satu unsur pembangun dalam sebuah
cerita yang tidak hanya dituliskan secara tersurat atau terpampang jelas
dalam kutipan, tetapi penampakan tema dapat tersirat dalam berbagai
kutipan dialog antar tokoh ataupun alur kejadian dalam suatu peristiwa
yang tengah dialami tokoh. Tema dalam naskah drama tidak dapat
ditentukan hanya dengan membaca sepotong cerita, tetapi harus
membaca keseluruhan cerita secara utuh. Hal tersebut dikarenakan
sifat tema yang bersifat luas, artinya tema dalam sebuah naskah drama
harus mampu menjadi ide dasar atau gagasan besar.
Cannibalogy
memiliki
makna
yang
menyeramkan.
Cannibalogy berasal dari kata kanibal atau kanibalisme yang secara
harfiah berarti kebiasaan memakan daging atau bagian tubuh manusia;
secara ilmiah dikenal pula dengan istilah antropofagi (Yunani:
anthroopos = manusia; fragein = makan).72 Namun kanibal yang
dimaksudkan dalam naskah ini tidak hanya sekedar sifat manusia
memakan daging manusia, namun
artian
merampas
kebebasan
serta
juga memakan manusia dalam
hak
hidup
manusia
demi
melanggengkan kekuasaan.
Jika diperhatikan fragmen demi fragmen dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benjon, banyak membahas masalah-masalah sosial
pada masa Orde Baru. Bukan hanya budaya saling makan dan saling
sikut pada sosok penguasa, namun juga penggambaran cara seorang
pemimpin berkuasa dan memiliki kuasa sebagai pengendali keamanan
dan kehancuran suatu wilayah. Jika ditelisik dari permasalahan ini,
72
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve,
1982), h. 1646.
100 maka tema minor yang digunakan dalam naskah ini adalah sosok
penguasa. Di sisi lain, perjalanan tokoh Suhar yang berperan sebagai
penggerak cerita dalam naskah ini memuat tema haus kuasa.
Terdapat empat sosok penguasa dengan beragam perwatakan
yang digambarkan dalam naskah drama Cannibalogy, mulai dari
pemimpin yang adil, bijaksana, sampai pada sosok penguasa yang
lalim, otoriter, dan licik. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya ialah Mas
Ageng yang merupakan seorang pemimpin bijaksana, Landless
pemimpin pasukan Olanda yang digambarkan sebagai sosok pemimpin
yang lalim. Setelah keduanya, muncullah kedua karakter penguasa
yang sebenarnya berperan sebagai pembawa cerita, yakni Suman dan
Suhar. Suman merupakan pemimpin yang diberikan kuasa oleh Ki
Ageng. Pada awal penceritaan Suman digambarkan sebagai pemakan
jasad manusia yang sudah mati untuk mendapatkan kekayaan,
kekuatan, dan kekuasaan, namun seperti pemberi kuasanya, Suman
merupakan pemimpin yang memperjuangkan kebaikan.
Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di
dunia orang hidup, dan hormat di dunia orang mati. Kau
dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat
seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau
menjaga kehidupanmu sendiri. Itulah baktimu untuk tanah
Mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk
sembuh. Dan kalau kau gagal sembuh, maka tanganku
sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu!73
Pada penggalan dialog tersebut, Mas Ageng mempercayakan
Suman untuk menjaga tanah Mojokuto, dan setelah peristiwa itu
datanglah pasukan Olanda untuk merebut Mojokuto. Mas Ageng
bersembunyi, di sanalah Suman mengambil alih peran Mas Ageng
untuk memimpin dan merebut kembali tanah Mojokuto.
Sedangkan Suhar, seperti pemberi kekuasaannya, ia merupakan
sosok pemimpin yang lalim, tak mempedulikan kepentingan orang
lain. Cannibalogy
yang tergambar dalam diri Suhar adalah sosok
73
Benny Yohanes, op.cit., h. 13.
101 pemimpin dengan sifat kanibal yang sesungguhnya, ia tak hanya
memakan daging manusia, namun juga memakan hak manusia untuk
mempertahankan kekuasaannya.
(Bertepuk tangan) Bravo!...Bravo! Pertunjukan bagus.
Timing yang tepat. Suhar, pandai kamu membuat drama.
Well, amankan terus trans Jawa, Suhar. Dan kalau semua
lancar, kamu tidak hanya berwenang di Jawa. Kamu juga
akan berwenang atas Sumatera, Celebes dan Papua.74
Pada penggalan dialog tersebut, Suhar dipercayakan untuk
memimpin tanah Jawa oleh Landless atas keberaniannya dalam
menjalankan tugas, dan setelah kematian Landless, Suhar menjadi
penguasa penuh atas Nusantara.
Berdasarkan tema minor dan pemaparan di atas, dengan
ditonjolkannya beberapa tokoh pemimpin atau penguasa, cara
mendapatkan dan cara memimpin masing-masing dapat ditarik
kesimpulan bahwa naskah drama Cannibalogy karya Benjon
bertemakan “kekuasaan”.
b. Amanat
Amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang
terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat
terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema.75 Pada
umumnya karya sastra, khususnya naskah drama selalu berisi pesan
atau amanat yang disampaikan melalui dialog-dialog tiap tokoh,
sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh
pembaca. Melalui karya sastra, setiap pengarang memiliki tujuan
tersendiri yang ingin disampaikan kepada pembacanya Begitu pula
Benjon dengan naskah drama Cannibalogy, melalui naskah ini Benjon
menyampaikan pesan melalui dialog Mas Ageng selaku tokoh
pemimpin yang bijaksana.
74
75
Ibid., h. 37.
Hasanuddin, op.cit., h.103.
102 Mas Ageng :
(Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada
Suman. Suman menahan nafas. Penduduk bersorak )
Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto,
dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum
bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum
itu, menyembuhkan.
Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di
dunia orang hidup,dan hormat di dunia orang mati. Kau
dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat
seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau
menjaga kehidupanmu sendiri. Itulah baktimu untuk tanah
Mojokuto.
Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh.
Dan kalau kau gagal sembuh, maka tanganku sendirilah yang
akan menjadi hukum untuk hidupmu!76
Pesan yang cukup menarik untuk diungkit kaitannya dengan
perkara eksekusi penghukuman tindak penyimpangan sosial. Eksekusi
dari kekuasaan feodal yang tergambar dalam naskah Cannibalogy
justru diungkapkan secara paradoksal terhadap kanibalisme yang
dilakukan oleh Suman. Dikatakan oleh Mas Ageng Rais bahwa
menghukum itu tidaklah harus menyakiti atau bahkan harus
menghabisi seseorang yang terbukti bersalah. Menghukum itu
'menyembuhkan'. Maksud menyembuhkan dalam kutipan dialog
tersebut ialah merubah pelaku penyimpangan menjadi manusia yang
lebih baik dan tidak mengulangi kesalahannya di masa lampau. Inilah
semangat humanisme yang ditiupkan oleh Benjon atau sang penulis
naskah yang sangat menyentuh realita hukum yang kadang muncul
banyak kasus, dengan adanya aparat yang malah melakukan pembiaran
pada tindak kekerasan dari individu atau kelompok masyarakat yang
76
Benny Yohanes, op. cit., h. 14.
103 'menghukum'
kelompok
masyarakat
lainnya
yang
semakin
memperkuat kesan bahwa hukum tajam ke bawah.
Ageng Rais :
Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual
kekebasannya padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli
kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri. Itulah yang sudah
kau perbuat kepada penduduk Mojokuto. Suhar, kepada yang
hidup kamu bisa bersaksi. Tetapi kepada yang telah mati, kamu
harus menggali. Inilah penebusan yang harus kamu jalani :
Kau akan menggali lubang, menjadi parit panjang, selebar
tubuhmu saat terlentang. Kau akan menggali dari pusar
Banyuwangi, terus ke barat sampai Bantam Kulon. Itulah yang
akan kau lakukan dengan jiwa petanimu, sampai nafasmu yang
terakhir kali. Dari parit yang kau gali, sepanjang jalan pos yang
berliku ini, kau akan menggali untuk mengingat sejarahmu
kembali. Menentukan akhirmu sendiri! Beri dia perbekalan.
Daeng :
(Memberikan sekop dan pacul baru kepada Suhar)
Ini barang inventaris negara. Rawatlah dengan baik.
(Kepada pasukannya) Bawalah ke ladangnya.
(Dua orang membawa Suhar pergi)
Ageng Rais :
Penduduk Mojokuto, berjagalah terus di garis batas pernyataan
dan impian. Setiap pemimpin akan menggali kelemahannya
sendiri, saat menukar impian sebagai kenyataan. Memaksakan
pernyataan menjadi akhir semua impian. Berjagalah! Telah
kuberikan kembali Mojokuto pada kalian. Tapi, tidak semua
akan kembali.77
Pesan moral yang terkandung dalam naskah Cannibalogy
disampaikan oleh penulis melalui dialog Ki Ageng menjelang akhir
cerita. Dialog tersebut bermaknakan bahwa setiap orang memiliki
tanggung jawab atas dirinya dan segala yang dilakukannya, karena
setiap orang
akan menebus kesalahannya, begitu juga seorang
77
ibid., h. 66.
104 pemimpin. Ketika seorang pemimpin melakukan kesewenangwenangan dengan jabatan dan kuasanya, maka ia akan berakhir dengan
kehancuran dirinya.
Rangkaian peristiwa dan dialog tersusun secara integral dalam
tema. Kekuasaan dan penindasan menjadi latar penuh konstruksi
naskah drama Cannibalogy. Dalam penyelenggaraan kekuasaan,
kadang penguasa melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan norma dan moral. Seperti halnya Suhar dalam melakoni
tugasnya harus menumbalkan banyak nyawa.
Kenyataan demikian tentu menuai respon dan kritik dari
banyak kalangan. Cannibalogy mengandung pesan moral tentang kritik
terhadap kekuasaan yang menumbalkanp rakyat. Sejatinya kritik
adalah upaya mengingatkan apa yang dikritik. Benjon lewat
Cannibalogy sedang memaparkan apa yang terlupa oleh penguasa
jaman Orde Baru, yaitu bahwa tiap generasi selalu menyusun
kelemahannya sendiri kepada generasi lanjut.
B. Analisis Kritik Sosial dalam Naskah Cannibalogy karya
Benny Yohanes
Setelah melakukan pengkajian unsur intrinsik yang terkandung dalam
naskah drama Cannibalogy karya Benjon, penelitian ini menghasilkan datadata yang berkaitan dengan penggambaran peristiwa masa Orde Baru. Kritik
sosial yang dapat ditemukan dalam Cannibalogy karya Benjon adalah kritik
terhadap kekuasaan pada masa Orde Baru.
Dalam naskah ini, kritik sosial tergambar di setiap fragmennya. Dalam
hal ini Benjon sangat jeli memilih peristiwa yang kemudian jika diperhatikan
kembali mengandung kritik di dalamnya. Diawali dengan penggambaran
seorang tokoh super di negeri ini yang terkenal dengan sifat kepemimpinan
“tangan besi”, tokoh tersebut adalah mantan presiden RI ‘Soeharto’.
Penggambaran watak secara psikologis dan sosiologis penulis tuangkan
dengan cerdas dan kreatif dalam tokoh Suhar.
105 Benjon menceritakan pemimpin masa Orde Baru dengan cara yang
berbeda, naskah ini diciptakan dengan gaya interteks. Ia tidak hanya
menceritakan peristiwa di masa Orde Baru saja, tetapi juga menyatukan
dengan peristiwa bersejarah lainnya melalui cuplikan-cuplikan peristiwa,
seperti saat kedatangan pasukan Belanda di Indonesia, tumbangnya masa
penjajahan Belanda, hingga tragedi G–30-S, bukan dengan mengambarkan
peristiwa sejarah Indonesia secara utuh.
Kritik sosial yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy
merupakan perwujudan dari tanggapan terhadap tindak penyimpangan yang
kerap terjadi pada masa kekuasaan Soeharto, serta pada masa transisi dari
Orde Lama ke Orde Baru. Wujud kritik sosial yang didapati dalam naskah
Cannibalogy di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Rekayasa di Seputar G-30-S (peristiwa Lubang Buaya)
Pada Oktober 1965, radio dan televisi Indonesia menyiarkan secara
luas berita yang dapat membuat perasaan menjadi tidak menentu, “jasad
para jenderal yang dibunuh ditemukan di Lubang Buaya.” Sementara itu,
anggota organisasi-organisasi yang terafiliasi PKI sedang berlatih di dekat
Lubang Buaya sebagai sukarelawan kasus konfrontasi Indonesia-Malaysia
yang digagas Soekarno. Fakta ini dimanfaatkan dengan baik oleh militer
yang kemudian menuding PKI mencoba melakukan kudeta dan menyebut
komunis adalah pembunuh yang kejam dan sadis. Dalam penalaran yang
tidak masuk akal ini, bukan hanya pemimpin PKI yang dinyatakan
bersalah, melainkan seluruh anggota partai dan simpatisannya (nonpartai).78 Peristiwa ini kemudian menjadi salahsatu peristiwa yang
diangkat sebagai bahan kritik yang disampaikan Benjon dalam naskah
Cannibalogy melalui laporan Solih kepada Suhar yang sedang berada di
markas, Suhar digambarkan sebagai komandan divisi Jawa dengan
seragam militer yang dikenakannya lengkap dengan tongkat komando.
78
Julie Southwood – Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum &
Propaganda 1965-1981, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), ter. Komunitas Bambu, h.
86.
106 Solih :
Mayat-mayat sudah diangkat dari lubang.Tujuh orang. Korban
diiris-iris. Mereka masih hidup waktu dikubur paksa di sumur
kering. Orang-orang terbaik yang kita punya.
Suhar :
Ya..ya. Itu kerjaan BTI. Pengacau! Mereka komplotan si Suman
juga. Makamkan semuanya dengan baik. Kasih gelar sebagai
pahlawan revolusi. Biar rakyat seneng.
Solih :
Harus kita tangkap gembongnya.
Suhar :
Pasti. Aidil dan Untung. Kejar mereka sampai Madiun.
Solih :
Tangkap hidup atau mati ?
Suhar :
(Tenang. Tersenyum) Tembak saja. Paling adil buat gerombolan. 79
Peristiwa Lubang Buaya menjadi latar dalam dialog tersebut.
Kekejaman BTI yang digambarkan Solih dalam naskah Cannibalogy
semacam kritikan tajam yang dilakukan Benjon dalam karyanya.
Penyampaian peristiwa yang sebenarnya disampaikan secara gamblang
pada kutipan di atas. Peristiwa dalam kutipan tersebut Seperti pernyataan
yang dilontarkan Soeharto selaku Pangkostrad yang disiarkan langsung
oleh RRI dan TVRI setelah pengangkatan jasad para korban pembunuhan
G-30-S di Lubang Buaya, Senin 4 Oktober 1965, sekitar pukul 15.00,
“jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualangpetualang G-30-S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, 6 Jendral dan
79
Benny Yohanes, op.cit, h. 34.
107 seorang Perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas
penuh luka karena siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita”.80
Selain pemberitaan yang disampaikan RRI dan TVRI, mediamedia cetak pun gencar memberitakan peristiwa tersebut dengan kabar
bahwa ketujuh korban disiksa di luar batas kemanusiaan.
Pada edisi 5 Oktober, Harian Angkatan Bersendjata bahkan
menampilkan foto kabur dari mayat-mayat yang mulai membusuk, lalu
menggambarkan kematian mereka sebagai “perbuatan barbar dalam
bentuk penyiksaan yang diluar batas-batas kemanusiaan “. Sementara itu
Berita Yudha menyebutkan, mayat-mayat itu tertutup dengan tanda-tanda
yang mengindikasikan adanya penyiksaan. Dalam suatu penjelasannya
kepada pers, Soeharto sendiri mengatakan bahwa dengan mata kepala
sendiri dia melihat bekas penyiksaan biadab telah dilakukan oleh
segerombolan manusia barbar yang menamakan dirinya “Gerakan 30
September”.
Pada edisi 9 Oktober 1965, Berita Yudha bahkan melaporkan
bahwa jasad Lettu Tendean mengalami luka sayatan pisau di dada sebelah
kiri dan perutnya, lehernya telah dipenggal, dan kedua matanya dicungkil
keluar. Pada edisi 11 Oktober Harian Angkatan Bersendjata menulis Piere
Tendean sebelumnya diperlakukan sebagai “barang mainan” Gerwani. 81
Berlainan dengan pemberitaan yang disampaikan oleh media,
pemeriksaan yang dilakukan oleh tim forensik yang terdiri dari dua orang
dokter tentara beserta tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran UI.
Tim forensik sama sekali tidak menemukan bekas siksaan di tubuh para
korban, sebelum mereka terbunuh.
Pengumuman sengaja dibuat untuk memprovokasi hiruk-pikuk anti
komunis, mengompori orang lain untuk melakukan tindakan gegabah
membunuh ‘PKI’, memancing amarah tanpa alasan atau kesetiakawanan:
“jika kamu berdiri di depan pintu dan kamu berkata bahwa kamu hanyalah
80
Eros Drarot, dkk, Siapa Sebenarnya Soeharto - Fakta dan Kesaksian Para Pelaku
Sejarah G-30-S/PKI), (Jakarta: PT. TransMedia, 2008), Cet. 10, h.16.
81
Ibid., h.17.
108 manusia, tidak seorangpun yang akan tertarik. Massa hanya perduli pada
partai tempatmu bernaung.” Komunis digambarkan sebagai sosok yang
tidak manusiawi; yang harus dimusnahkan, disapu bersih, diberantas,
diganyang. Mengutip metafora dari pemimpin Angkatan Bersenjata
mengenai pembantaian tersebut, “Reaksi publik terhadap komunisme
sungguh ekstrem.”82
Rumor dan isu yang sengaja disebar dengan mengklaim seperti
peristiwa di atas merupakan cara efektif dalam propaganda. Justifikasi
kelompok pembantai elit militer di Lubang Buaya digunakan oleh
Soeharto untuk meyakinkan masyarakat bahwa PKI memiliki keterlibatan
dengan kelompok tersebut. Terlebih gelar pahlawan yang melekat pada
para korban akan lebih menarik simpati masyarakat untuk ikut melakukan
“pembersihan”.
2. Lahirnya Supersemar
Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) merupakan catatan sejarah
yang sampai saat ini keabsahannya masih menjadi kontroversi. Secara
umum, isi Supersemar adalah perintah Presiden Soekarno kepada Letnan
Jenderal Soeharto yang mengalihkan tanggung jawab kepresidenan. Dalam
Cannibalogy pun terdapat fragmen yang tampak mengacu pada peristiwa
11 Maret 1966 tersebut. Dengan sentuhan imajinasi kreatifnya Benjon
menyisipkan peristiwa penting dengan cara yang terlihat sepele.
Landless :
Well... Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima. Kamu boleh
tumpas habis semua gerombolan pengacau keamanan zonder
pengadilan. En jalan pos terpanjang harus lahir di Jawa. En akan
kuberi nama Pos Landless straat. Kerja baik, upahmu baik.
Bersumpahlah Suhar. (Landless menjabat tangan Suhar. Suhar
bersimpuh di depan Landless)83
82
83
Julie Southwood- Patrick Flanagan. Op. cit., h. 86.
Benny Yohanes, op.cit.,h. 33.
109 Dialog di atas menandakan betapa besarnya pengaruh Supersemar
dalam praktik kekuasaan Suhar. Supersemar menjadi simbol sakti Suhar
untuk melancarkan ambisinya. Dalam kenyataan sejarah Indonesia,
Supersemar
menjadi
titik
balik
Soeharto
untuk
secara
politis
“membersihkan” saingan-saingan dari kubu PKI dan upaya penuh untuk
memegang kekuasaan.
Keterkaitan yang dibuat Benjon bukan kebetulan semata,
penanggalan yang dimaksudkan dalam kenaikan jabatan Suhar tak hanya
penanggalan sembarang, namun menjadi suatu kritik tersendiri ketika
dikaitkan dengan sejarah yang terjadi pada tanggal yang sama, yakni
peristiwa Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) yang menjadi titik tolak
Soeharto sebagai penguasa RI.84 Dengan lahirnya supersemar, Soekarno
selaku presiden pertama Negara ini tak lagi memiliki daya, langkah
Soeharto semakin mulus untuk menjadi seorang penguasa dan terbukti
hingga tiga puluh dua tahun masa jabatan digenggamnya. Keadaan sosial
dan politik berubah setelah naiknya Soeharto sebagai presiden. Pada
perawalan Orde Baru, Soeharto mampu memenuhi dua dari tiga tuntutan
rakyat (Tritura), yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari
unsurunsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga
yang berarti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi
karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan
secara terus-menerus dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pelaksanaan pembangunan agar lancar dan mencapai hasil maksimal
memerlukan stabilitas nasional.
84
Isi Supersemar itu antara lain Presiden Soekarno memberikan kekuasaan kepada Letjen
Soeharto unruk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan,
keamanan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta
menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima
Besar Revolusi/Mandataris MPRS, serta demikian kebutuhan bangsa dan Negara RI
dan melaksanakan dengan pasti ajaran-ajaran Panglima Besar Revolusi.
110 3. Pembatasan Kebebasan Berbicara (Pembungkaman Publik)
Reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, merupakan
transisi demokrasi dari otoritarian menuju liberatarian, demokrasi di
Indonesia di era tahun 1968-1998 cenderung menganut sistem otoritarian
dimana media massa dan kebebasan pers dibatasi oleh undang-undang dan
peraturan pemerintah dibawah kendali orde baru, sehingga media massa
tunduk dibawah kekuasaan pemerintah. Begitu besarnya kontrol
pemerintah terhadap media massa pada saat Orde Baru tersebut, seolah
kran-kran pers dikunci rapat oleh pemerintah, akibatnya pers tidak dapat
memberikan informasi yang akurat dan terbuka (transparancy) kepada
masyarakat, media tidak dapat mengkritik kebijakan pemerintah yang
menyimpang, kritik dibungkam dan sistem oposisi diharamkan, yang
ahirnya penyimpangan yang dilakukan pemerintahan itu berakibat seperti
semakin
merajarelanya
koncoisme
korupsi,
kolusi
nepotisme,
pembangunan yang tidak merata, bertambahnya kesenjangan sosial, ketika
media massa tidak bebas untuk menyampaikan informasi maka
pengetahuan
masyarakat
tentang
informasi
yang
sebenarnya
termarjinalisasikan. Kasus yang paling terlihat dengan banyaknya surat
kabar dan majalah yang dibredel, seperti kasus majalah Tempo dan
majalah Detik pada tahun 1997, karena tidak tunduk pada pemerintah yang
berkuasa, maka kedua koran dan majalah tersebut dibreidel, begitu
ketatnya pengawasan pemerintahan yang otoriterian terterhadap kebebasan
pers, namun tidak semua hal yang buruk pada teori otoriterian, ada sisi
kebaikan yang dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia,
meskipun saat itu media massa dan persnya seolah-olah dibungkam dan
dikontrol oleh pemerintah yang berkuasa.
85
Dalam naskah Cannibalogy
85
Jamhur Poti. Demokratisasi Media Massa Dalam Prinsip Kebebasan, Jurnal Ilmu
Pemerintah,
2011,
19.https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja
&uacElet=8&ved=0ahUKEwjcsaPQ46rPAhVJK48KHZwkDfcQFggaMAA&url=http
%3A%2F%2Ffisip.umrah.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2012%2F03%2FJURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARUKOREKSI-
111 sindiran mengenai pembatasan kebebasan berbicara disampaikan melalui
dialog Suhar pada fragmen VI.I.
Suhar :
Amir, Yusuf. Tak boleh ada yang tahu berita ini! Kontrol surat
kabar!
Amir :
Perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi. Kita apakan ?
Suhar :
Hemmh! Mereka pantas jadi tumbal untuk kesialan ini. Habisi!86
Dalam naskah ini, pembatasan kebebasan publik untuk berbicara
digambarkan dalam fragmen IV. 1. Peristiwa pada
kutipan di atas
membawa ingatan pembaca untuk kembali pada peristiwa pembungkaman
publik di masa Orde Baru. Pada masa itu, terdapat banyak media yang
dicabut izin terbitnya serta beberapa sastrawan yang ditangkap serta
diasingkan karena menyampaikan informasi yang dianggap mengancam
keamanan negara.
Sepert dilansir dalam situs online harian Kompas, jurnalisme
dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers. Kritik
terhadap pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP,
yang berarti perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi. Belenggu yang
dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi.
Sejumlah gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam
pemerintah dengan cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli
last.2335.pdf&usg=AFQjCNG9mesSlr6F_tt28tclMSh1ECbuEQ&sig2=QL_cY7pYZQ
SlfB8GCjs43Q&bvm=bv.133700528,d.dGo. Diakses pada 25 September 2016 pukul
22:35.
86
Benny Yohanes, op.cit., h. 58.
112 1996. Setelah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi Kudatuli,
dinamika politik semakin panas, apalagi menjelang Pemilu 1997.87
Menurut pemberitaan, terdapat beberapa media cetak yang dibredel
pada masa itu, salahsatunya ialah Koran Tempo yang dibredel sebanyak
dua kali. Pembredelan yang pertama pada 12 April 1982, Tempo dibredel
oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali
Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode
etik pers. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian
Pos Kota. Diduga, pembredelan tersebut terjadi karena Tempo meliput
kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir
rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka
dengan berita tersebut. Pada pembredelan yang kedua, 21 Juni 1994,
Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan Detik. Kali
ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur
eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan
para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi.88
Pengalaman panjang terkait pembungkaman publik yang terjadi
selama pra-reformasi 1998, yang berkaitan dengan pembredelan media
cetak, pencekalan karya sastra, dan pembubaran paksa terhadap suatu
karya seni, tentu bisa menjadi pelajaran yang paling berharga dalam
perkembangan budaya demokrasi di Indonesia. Pembungkaman serta
pembubaran oleh aparat terhadap media, sastra dan kegiatan kesenian di
Indonesia pada masa Orde Baru menunjukkan bahwa budaya politik pusat
87
Bayu
Galih . Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru.
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/21/06060041/21.Mei.1998.Berakhirnya.Keku
asaan.Soeharto.dan.Orde.Baru.?page=all. Diakses pada 12 Juli 2016 pukul 20:30 WIB.
88
Fachrul Khairuddin. Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan
http://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/sejarah-majalah-tempo-konflik-danpembredelan_5500651a813311a019fa768d. Diakses pada 16 Agustus 2016 pukul
22:17 WIB.
113 kekuasaan belum bisa mentolerir hadirnya kebaruan pemikiran pada saat
itu.
4. Sistem ketakutan Sebagai Kontrol
Sistem ketakutan diciptakan melalui ancaman dan intimidasi
dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan, hingga bahkan
kematian. Eksekusi dijadikan sebagai contoh bagi pihak-pihak yang
melawan kekuasaan, sehingga menimbulkan ketakutan dan memberikan
pertimbangan pada pihak lain untuk tidak melawan penguasa. Sistem
ketakutan sebagai kontrol dalam naskah ini terlihat pula melalui gambaran
lingkungan korban pembantaian.
Oleh Benjon, lingkungan korban digambarkan sebagai lingkungan
yang antisipatif. Lingkungan bersikap tanggap terhadap situasi tersebut
dengan cara bungkam dan menjauhi keluarga korban pembantaian, seperti
yang digambarkan pada dialog warga Mojokuto ketika hari penghakiman
Suhar berikut.
Penduduk 4 :
Saya melaporkan nasibnya mas Suranto, kepala sekolah di Pare.
Istrinya sedang hamil sembilan bulan. Yang laki dipenggal, istri
dan bayinya dicincang. Tak ada yang berani menolong kelima anak
mereka yang masih kecil-kecil, karena kami diancam.89
Sistem ketakutan sebagai kontrol dibangun oleh pemerintah masa
Orde baru untuk mengontrol gerak warga. Dengan rasa takut dan ancaman
warga-warga dikontrol agar tidak memberontak terhadap tindakan yang
mengatasnamakan pemerintah negara. Penggambaran Benjon dalam
kutipan tersebut yakni mengenai nasib kelima anak korban pembantaian
yang mengalami kondisi sulit, para tetangga justru menjauhi setelah
orangtua mereka dibunuh. Hal ini tidak lain adalah karena sistem
ketakutan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tetangga-tetangga korban
memilih menjauh karena rasa takut akan mengalami nasib yang sama jika
menolong kelima anak korban. Jika diingat kembali, peristiwa tersebut
89
Benny Yohanes, op.cit.,h. 65.
114 membawa kita kembali pada sejarah kelam bangsa Indonesia dalam
peristiwa G-30-S di mana banyak nyawa-nyawa menjadi korban akibat
tuduhan sebagai mata-mata atau terduga anggota PKI yang kepastiannya
masih samar.
Kritik demikian disampaikan Benjon dalam naskahnya melalui
penggambaran yang disampaikan oleh seorang warga yang mengadukan
perbuatan Suhar kepada Mas Ageng selaku pemimpin Mojokuto pada hari
pengadilan Suhar. Terlalu banyak orang yang memilih bungkam karena
takut turut menjadi korban.
5. Pembantaian di Bengawan Solo
Ki Butho :
(Menempelkan ujung keris ke kepala Suhar)Kau dan aku akan
mengikat sebuah perjanjian. Setiap kali nasibmu membaik, kau
harus kembali ke Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar
ini. Bukan dengan darah ayam, Suhar. Kau harus memberi makan
Bengawan Solo dengan darah segar yang sesungguhnya. Satu
kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat lebih
tinggi. (Nada suaranya berubah, tekanan dan ancaman)
Sanggup?90
Kutipan di atas menggambarkan pertemuan Suhar dengan Ki
Butho di kali Solo. Dalam naskah Canniballogy, kali Solo digambarkan
sebagai tempat keramat untuk bertapa meminta berkah dan kekayaan,
namun untuk mendapatkan kesemuanya Suhar harus mengikat perjanjian
dengan Ki Butho, Suhar harus memberikan persembahan kepada Kali Solo
setiap kali nasibnya membaik.
Membaca kembali peristiwa yang terjadi dalam kutipan tersebut,
terselubung pengungkapan sejarah pembantaian di Sungai Bengawan Solo
dan Sungai Brantas pada sekitaran 1965. Pada masa itu Sungai Bengawan
Solo dan sungai Brantas menjadi saksi bisu atas pembantaian yang
dilakukkan kepada orang-orang terduga anggota PKI.
90
Benny Yohanes. Op. cit., h. 7.
115 Pada saat itu, selama enam bulan, tiap 2-3 hari sekali ada eksekusi
terhadap aktivis PKI. Jika bunyi dor senjata api menyalak, penduduk
sekitar jembatan memilih mengunci pintu. “Kalau ada di luar rumah takut
dituduh PKI” kata Suyek (saksi hidup). Penduduk baru berani keluar
rumah ketika pagi menjelang. Kerap, pada pagi hari, ia menyaksikan
mayat terdampar di tepi Bengawan Solo. Lalu beberapa orang menggeser
mayat bergelimpangan itu ke tengah sungai agar terbawa arus.
Jembatan yang berjarak empat kilo meter dari jantung kota Solo itu
memang merupakan salah satu tempat yang sering dijadikan sebagai
tempat pengeksekusian. Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta, Sudharmono, mengatakan eksekusi mati orang-orang PKI di
atas Jembatan Bacem terjadi pada sekitar Oktober 1965. Akibat
pembantaian itu, air Bengawan Solo berwarna darah. Kadang penduduk
mendapati jari manusia di perut ikan. Ketika terjadi banjir besar pada
1966, bekas eksekusi di Bengawan Solo hilang. “Sungai kembali jernih,”
kata Sudharmono.91
Namun jika diperhatikan pada perjanjian Ki Butho “satu kepala
baru setiap kali alam mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi”,
kejadian tersebut merujuk pada peristiwa di Sungai Brantas Kediri, di
mana banyak jasad tanpa kepala merintangi sungai tersebut. Berbeda
dengan eksekusi yang dilakukan di Bengawan Solo, eksekusi yang
dilakukan di Sungai Berantas jauh labih sadis, yakni dengan memenggal
kepala terduga anggota PKI.
Salah satu lokasi yang sering kali digunakan untuk membantai
adalah gisikan atau sepanjang pinggiran Sungai Brantas, yang membelah
wilayah Kediri. Kepala para korban dipenggal dan lantas dilempar ke
sungai.
Kediri diduga menjadi ladang pembantaian paling besar di Jawa
Timur. Belum ada angka pasti jumlah korban pembantaian kala itu.
91
Kurniawan et.al, Pengakuan Algojo 1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2013), cet.
IV, h. 51.
116 Namun, sejak operasi penumpasan dimulai, Sungai Berantas menjadi
kuburan terapung. Mayat-mayat yang sebagian besar tanpa kepala
mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk menguar. Tidak ada orang
yang berani menangkap ikan serta bersedia makan ikan dari sungai
terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu.92 Hal tersebut diungkapkan juga
dalam dialog naskah Cannibalogy.
Penduduk 5 :
Sungai Brantas mampet akibat mayat-mayat. Tubuh tanpa kepala
merintangi sungai-sungai di Semarang. Dan kepala-kepala manusia
berjejer di atas pagar kayu sepanjang jalan di Solo.
Pengarang memunculkan dialog di atas untuk menjelaskan
kesalahan yang telah dilakukan Suhar. Kutipan tersebut menggambarkan
keadaan sosial yang mengerikan semasa Suhar berkuasa. Banyak nyawa
yang menjadi korban atas keberingasannya. Dengan alasan untuk
“kebersihan” dan keamanan, nyawa dan jiwa banyak ditumbalkan.
Deskripsi suasana yang dipaparkan Benjon mengindikasikan
peristiwa Bengawan Solo adalah tragedi. Mayat-mayat yang mengambang
tidak direspon sebagai suatu yang mengerikan atau kejahatan, tetapi
sebaliknya, seakan pajangan atau ornamen kekuasaan. Kenyataan pahit
yang dialami oleh korban dengan atribut PKI meniadakan hukum, baik
hukum positif maupun moral.
6. Pelengseran Penguasa
Keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Soeharto dengan
rezim Orde Baru pada akhirnya mengalami keruntuhan. Keburukan yang
dilakukan oleh rezim Soeharto mulai nampak ke permukaan semenjak
rezim ini mengalami kemunduran. Periode 1989-1998 merupakan masa
92
Ibid., h. 12.
117 tersulit yang harus dilalui oleh rezim ini. Seperti digambarkan dalam
kutipan peristiwa di bawah ini.
Djono : Kita kesulitan uang. Harga harga mahal. Orang-orang
muda jadi musuhmu, menghinamu. Menurunkan dan membakar
gambar-gambarmu. Penduduk miskin menjarah kota. Membunuh
siapa saja, yang tidak serupa. Tentara bingung. Amenglika cuci
tangan. Zaman sedang berubah. Kita tak punya pilihan.93
Suhar yang sebelumnya merupakan seorang penguasa yang ditakuti di
Mojokuto menemui akhir kekuasaannya setelah Sinta dan Ki Butho mati.
Kuasanya tak dapat bertahan lagi karena seluruh rakyat Mojokuto dan pasukan
Mas Ageng bersatu untuk menyerang da merebut kembali tanah Mojokuto yang
telah direnggut paksa oleh Suhar dan pemerintah Olanda. Keadaan sosial berubah
menjadi kacau dan Suhar tak lagi memliki pendukung.
Peristiwa tersebut merupakan penggambaran keadaan sosial pada masa
menjelang berakhirnya rezim Orde Baru yang disampaikan Benjon dalam naskah
Cannibalogy. Peristiwa demi peristiwa membuat rakyat Indonesia khususnya
mahasiswa gerah dengan rezim otoriter pada masa itu. Massa mulai memberontak
dan terjadi kerusuhan dimana-mana, yang pada awalnya mahasiswa hanya
melakukan aksi prihatin atas krisis yang terjadi di Indonesia menjadi semakin
besar akibat naiknya kembali Soeharto sebagai Presiden RI.
Beberapa hari sebelum kejatuhan Soeharto merupakan hari-hari terpanjang
yang harus dilaluinya. Tuntutan reformasi dari rakyat terus menggema.
Demonstrasi terjadi diberbagai daerah. Terjadi sebuah insiden ketika penembak
jitu ABRI menembak empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei.94
Tanggal 13 Mei 1998 siang, usai pemakaman keempat mahasiswa itu,
ribuan massa mulai menyemut di sekitar kampus Trisakti. Mereka ingin
93
94
Benny Yohanes, op.cit.,h. 61.
Ibid,. h. 689.
118 bergabung dengan para mahasiswa, namun dicegah aparat keamanan. Akibatnya
massa mengamuk dan mulai mengadakan aksi pelemparan dan perusakan.95
Kerusuhan yang bermula disekitar Universitas Trisakti dengan cepat
menyebar ke tempat-tempat lain, dan kemudian berkembang menjadi kerusuhan
rasialis. Etnis Tionghoa menjadi sasaran. Toko-toko dan rumah-rumah mereka
dirusak, barang-barang mereka dijarah, dan tidak sedikit rumah yang kemudian
dibakar.96
Soeharto yang kala itu menghadiri sebuah konferensi di Kairo
memutuskan untuk segera kembali ke tanah air pada 15 Mei 1998. Tiga hari
berselang, Harmoko, yang kala itu menjabat sebagai ketua MPR, secara terangterangan meminta kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. MPR dan ABRI
pun mendukung segera diadakannya sidang istimewa guna memilih presiden yang
baru. Nampaknya usaha yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menggulingkan
Soeharto dari kursi kepresidenannya kala itu telah mendapatkan dukungan dari
pejabat tinggi pemerintahan. Peristiwa tersebut tergambarkan dalam fragmen IV.2
dalam naskah drama Cannibalogy yakni pernyataan pengunduran diri Suhar
sebagai pembangun Mojokuto.
Suhar : Saya bukan penjahat. Saya penyelamat Jawa. Maka
sekarang, saya umumkan: Saya menyatakan berhenti sebagai
pembangun Mojokuto. Saya menyatakan berhenti, dan melepaskan
seluruh mandat.Dari dulu, saya tak pernah kepingin pekerjaan ini.
Saya ini jiwa petani!
Dalam naskah ini setelah ditangkap oleh pasukan Mas Ageng, Suhar
menyatakan berhenti sebagai pembangun Mojokuto. Peristiwan ini menggabarkan
detik-detik pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya yang didesak oleh
rakyat Indonesia. Dalam pidatonya, Presiden terlama di Indonesia ini menyatakan
berhenti dari jabatannya dan menyerahkan kuasanya kepada Wakil Presiden saat
itu yakni B. J Habibie.
95
James Luhulima, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan
Beberapa Peristiwa Terkait, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), cet. VI.
h.120.
96
Ibid,. h. 103
119 Pengunduran diri Presiden Soeharto disambut gembira oleh puluhan ribu
mahasiswa yang “menduduki” Gedung MPR/DPR sejak tanggal 18 Mei 1998.
Para mahasiswa yang mengerumuni pesawat televisi di Lokawirashaba dan ruangruang lain di DPR berteriak dan berjingkrak serta bersalam-salaman.97
Suasana serupa juga tampak di kota-kota lain, termasuk Yogyakarta,
Semarang, Purwokerto, Denpasar, Palembang, dan Ujung Pandang. Di beberapa
tempat, warga masyarakat ikut larut bersama kegembiraan mahasiswa.Para
mahasiswa sangat bergembira karena perjuangan mereka untuk menurunkan
presiden Soeharto sejak Desember 1997 membuahkan hasil.98
Periode rezim Orde Baru hingga kejatuhannya memang menjadi periode
kelam dalam perjalanan negara ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Banyak
hal yang telah dilakukan oleh rezim terlama yang pernah ada di negeri ini guna
mempertahankan kekuasaannya tanpa menghiraukan adanya pihak lain yang
berada diluar rezim tersebut.
C. Implikasi Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy
Karya Benny Yohanes dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia
Pembelajaran
sastra
adalah
pembelajaran
yang
mencoba
untuk
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif
sastra. Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pendidikan ini adalah
kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui pendidikan
semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, dan
menganalisis karya sastra secara langsung. Mereka diajak berkenalan dengan
sastra, tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra atau sinopsisnya saja,
tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.99
97
Ibid,. h. 11
Ibid,,. h. 12
99
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,(Jakarta: Grasindo, 2008), h. 168.
98
120 Menurut M. Atar Semi pelajaran sastra di sekolah bertujuan agar siswa
memiliki kepekaan terhadap karya sastra sehingga merasa termotivasi dan tertarik
untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan peserta didik
memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal
nilai-nilai dan mendapatkan ide-ide baru.100
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, drama merupakan bagian dari
bahan ajar dalam pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah
Atas (SMA). Keberadaan naskah drama Cannibalogy sebagai bacaan fiksi
menjadi salah satu bacaan yang memberikan peserta didik pemahaman dan
pengenalan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sastra. Analisis
kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benjon dapat pula
diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah,
yaitu melalui materi unsur intrinsik dan ekstrinsik naskah drama. Dengan
mempelajari unsur-unsur tersebut siswa dapat memahami kondisi dan masalah
sosial yang terkandung dalam karya fiksi sehingga dapat mengembangkan diri
peserta didik pada aspek afektif.
Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia pada Kurikulum KTSP. Dalam kurikulum KTSP, pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia memiliki silabus yang di dalamnya terdapat Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dicapai dan dikuasai
oleh siswa. Dalam analisis ini terdapat analisis unsur-unsur intrinsik yang dapat
diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada jenjang SMA
kelas XI semester ganjil.Dalam silabus terdapat SK yang harus dikuasai oleh
peserta didik yakni mampu mengulas secara kritisi teks film/drama. Kemudian
KD yang harus dicapai ialah siswa dapat memahami struktur dan kaidah teks
film/drama baik melalui lisan maupun tulisan serta mampu mengungkapkan
kembali kaidah teks film / drama.
100
Atar Semi, Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1990), hlm. 152-153.
121 Dalam kegiatan pembelajaran drama, strategi yang digunakan yakni
pembelajaran aktif dan interaktif dengan merujuk pada bentuk diskusi dan saling
berbagi kesempatan di antara peserta didik untuk memberi suatu tanggapan.
Untuk merealisasikan strategi tersebut, digunakan beberapa metode pembelajaran
yakni tanya jawab, ceramah, diskusi, kerja kelompok dan demonstrasi atau
pemeragaan model. Semua ini harus diupayakan dengan baik agar siswa
menguasai materi tersebut dan tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam mencapai tujuan pembelajaran mengenai drama, peserta didik akan
mempraktikkan dua keterampilan berbahasa, yakni menyimak dan berbicara. Dua
minggu sebelum materi pembelajaran, peserta didik sudah diberi tugas membaca
naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes secara berkelompok. Saat
kegiatan belajar mengajar, peserta didik menyimak penjelasan dari guru terkait
cara dan langkah-langkah menganalisis unsur intrinsik drama khususnya alur
cerita, karakter tokoh dan latar cerita yang akan menjadi fokus pembahasan.
Setelah peserta didik selesai menyimak penjelasan guru, peserta didik membentuk
kelompok diskusi. Kemudian, secara berkelompok peserta didik diminta untuk
mengidentifikasi dan menganalisis keterkaitan unsur intrinsik (karakter tokoh, alur
cerita dan latar) pada naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes. Tiap
kelompok mengerjakan tugas di Lembar Kerja Siswa (LKS) yang telah disiapkan
oleh guru. Setelah tugas selesai, tiap kelompok mempresentasikan di depan kelas.
Untuk menguji pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari, di
akhir pembelajaran peserta didik diberikan pertanyaan lisan tentang fungsi dialog
dalam drama dan cara mengekspresikan dialog dalam drama dan memberikan
tanggapan penampilan dialog dalam drama oleh kelompok lain.
Melalui tahapan-tahapan pembelajaran di atas peserta didik dituntut untuk
berwawasan lebih luas dan berpikir kritis lewat kritik sosial yang tertuang dalam
naskah drama, sehingga diharapkan mampu lebih menghargai dan peduli terhadap
sejarah bangsa serta keadaan sosial disekitarnya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Setelah melakukan analisis terhadap naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes merupakan naskah dengan
tema kekuasaan. Alur cerita tersusun secara kronologis dan runtut. Terdapat
banyak tokoh dalam Cannibalogy, namun terdapat beberapa tokoh central
yang mempengaruhi alur cerita yakni Suhar, Suman, Sinta, Landles, dan Mas
Ageng. Pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1965-1998,
ditandai dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru.
Amanat yang disampaikan yakni setiap orang memiliki tanggung jawab atas
dirinya dan segala yang dilakukannya, karena setiap orang akan menebus
kesalahannya, begitu juga seorang pemimpin. Ketika seorang pemimpin
sewenang-wenangan dengan jabatan dan kuasanya, maka ia akan berakhir
dengan kehancuran.
2. Terdapat lima kritik Sosial yang dipresentasikan dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benny Yohanes yang terlihat dari penggambaran tokoh
dan peristiwa. Kritik pertama adalah kritik terhadap pembatasan kebebasan
berbicara (pembungkaman publik) yang dilakukan pemerintah Orde Baru,
kedua kritik mengenai sistem ketakutan sebagai kontrol, ketiga kritik tentang
lahirnya Supersemar, keempat kritik mengenai rekayasa di seputar G-30-S
melalui penggambaran peristiwa Lubang Buaya, kelima kritik mengenai
pembantaian di Bengawan Solo.
3. Analisis kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes
dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA
kelas XI semester ganjil dalam silabus Kurikulum 2013. Naskah drama ini
122
123
dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sastra yang isinya banyak
mengandung nilai-nilai sosial, pendidikan moral maupun sejarah, dengan
standar kompetensi mampu mengkritisi teks film/drama, dan kompetensi
dasar memahami struktur dan kaidah teks film/drama baik melalui lisan
maupun tulis serta mampu mengungkapkan kembali kaidah teks film/drama
dan menginterpretasikan makna baik secara lisn maupun tulisan.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, penulis
mengajukan beberapa saran, yakni:
1. Guru diharapkan menjadi pendidik yang cerdas serta memahami apresiasi
sastra yang dikaitkan dengan keadaan sosial dan bersikap edukatif ketika
menyampaikan materi pembelajaran apresiasi sastra.
2. Dari penggambaran peristiwa sejarah Indonesia dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benjon, diharapkan peserta didik dapat mengetahui
sejarah bangsanya.
3. Lewat kritik sosial yang tertuang dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benjon, diharapkan siswa mampu memahami norma-norma bangsa serta
menjadi calon pemimpin yang bermoral di masa depan.
4. Naskah drama Cannibalogy dapat digunakan sebagai sumber dalam
pembelajaran apresiasi sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia
karena naskah tersebut mengandung nilai-nilai sosial, pendidikan moral
serta sejarah yang dapat menjadikan peserta didik lebih kritis dan
menghormati keadaan sosial di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, M. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005.
Asvi, Adam Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010.
Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.
Djarot, Eros. dkk. Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku
Sejarah G-30-S/PKI. Jakarta: PT. TransMedia, Cet. 10, 2008.
Damono, Sapardi Joko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta,
Pusat Pembinaan dan Pengenmbangan Bahasa, 1979.
Dimyanti, Ipit S. Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena Pemuaian Dan
Penukilan Ruang Public Dalam Panggung Teater, Teater Bandung:
Gagasan & Pemikiran. Bandung: Jurusan Teater STSI Bandung.
Djafar Zainuddin. Soeharto: Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan Selama 32
Tahun. Depok: FISIP-UI Press, 2005.
Endraswara, Suwardi. Metodologi penelitian Sastra, Yogyakarta: Medpress, , Cet.
IV. 2008
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama. Jakarta: PT Perca,
2008.
K.M Saini. Protes sosial dalam Sastra, Bandung: Angkasa, 1988.
Kurniawan et.al, Pengakuan Algojo 1965. Jakarta: PT Tempo Inti Media, cet. IV,
2013.
Luhulima, James. Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden
Soeharto. Jakarta: Kompas, 2007.
MD, Mahfud dkk. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta : UI
Press, cet. 2, 1997.
Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
124
125
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta, 2012.
Pradopo, Rachmat Djoko. dkk. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya, 2002.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanius, 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2009.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, Terj. dari A History of
Indonesia Since c. 1200 Fourth Edition. Cet. I. Serambi Ilmu Semesta,
2008.
Saliwangi, Basennang. Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia.
Malang: IKIP, 1989.
San, Suyadi. Drama Konsep Teori dan Kajian. Medan: CV. Partama Mitra Sari,
2013.
Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal, Malang: UMM
Press.
Semi, Attar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa, 1988.
Semi, Atar. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1990
Sikana, Mana. Kritikan Sastra Melayu Modern. Singapura: Pustaka Karya, 2006.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum
& Propaganda 1965-1981. Depok: Komunitas Bambu, 2012.
Sumaadmaja, Nursid. Perspektif Studi Sosial. Bandung: Penerbit Angkasa,1980.
Tarigan, Henry Guntur. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa, 2008.
Tim Analisis Informasi (LAI). Kontroversi Super Semar: Dalam Transisi
Kekuasaan Soekarno-Soeharto (Edisi Revisi). Yogyakarta: Medpress, Cet.
10, 2007.
W S. Hasanuddin. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa, Cet.
1, 1996.
126
Yohanes, Benny. Cannibalogy, Bandung: Republik, 2008.
Ibo,
Ahmad . Catatan Kelam Dunia Seni di Masa Orde Baru.
http://www.huntnews.id/p/detail/16c9fa5c7cc4237d0f3cda537d96eeb1?uc_
param_str=dnfrpfbivesscpgimibtbmntnijblauputoggdnw&pos=14533501285
34&channel=lifestyle&chncat=category_indonesian. Diakses pada 19
Agustus 2016 pukul 22:15 WIB.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pramoedya Ananta Toer.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/278/Pramoedya%2
0Ananta%20Toer. Diakses pada 19 Agustus 2016 pukul 22:10 WIB.
Galih, Bayu. Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru.
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/21/06060041/21.Mei.1998.Berakh
irnya.Kekuasaan.Soeharto.dan.Orde.Baru.?page=all. Diakses pada 12 Juli
2016 pukul 20:30 WIB.
Khairuddin, Fachrul. Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan
http://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/sejarah-majalah-tempokonflik-dan-pembredelan_5500651a813311a019fa768d. Diakses pada 16
Agustus 2016 pukul 22:17 WIB.
Yohanes, Beny. Profil Beny Yohanes, 2010, dalam Nano Riantiarno (ed.),
(http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=67&p=3
Poti, Jamhur. Jurnal: Demokratisasi Media Massa Dalam Prinsip Kebebasa.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjcsaPQ46rPAhVJK48KHZwkDfcQFggaM
AA&url=http%3A%2F%2Ffisip.umrah.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2012%2F03%2FJURNAL-ILMUPEMERINTAHAN-BARU-KOREKSIlast.2335.pdf&usg=AFQjCNG9mesSlr6F_tt28tclMSh1ECbuEQ&sig2=QL_
cY7pYZQSlfB8GCjs43Q&bvm=bv.133700528,d.dGo. Diakses pada 25
September 2016 pukul 22:35.
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia, jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru – Van
Hoeve, 1982.
Tim Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet.
3, 2005.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
NAMA SEKOLAH
MATA PELAJARAN
KELAS /SEMESTER
PROGRAM
ASPEK PEMBELAJARAN
STANDAR KOMPETENSI
SMAN 22 Kab. Tangerang
Bahasa dan Sastra Indonesia
XI (sebelas) / 2 (dua)
KOMPETENSI DASAR
5.2 Memahami struktur dan kaidah teks film / drama
IPS
Menulis
5. 1 Mengulas secara kritis film/drama
INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI :
No
Indikator Pencapaian Kompetensi
1
2
3
Memahami struktur dan kaidah teks film /
drama baik melalui lisan maupun tulisan
Mengungkapkan kembali struktur teks
film / drama
Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa
Kewirausaha
Ekonomi Kre
 Bersahabat/
 Kepemimpin
 Keorisinilan
komunikatif
 Kreatif
Menginterpretasi makna teks film / drama
baik secara lisan maupun tulisan
ALOKASI WAKTU
2 x 45 menit ( 2 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN
Siswa mampu mengungkapkan kembali struktur teks film /
drama
MATERI POKOK
PEMBELAJARAN
METODE PEMBELAJARAN
v
v
Presentasi
Diskusi Kelompok
Teks drama/ video rekaman pementasan drama
Unsur yang terkandung dalam teks drama (unsur intrinsik
dan ekstrinsik)
v
v
Tanya Jawab
Penugasan
STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka

Terstruktur
 Menganalisis teks film/
Memahami teks film/
drama
drama berdasarkan unsur
intrinsik dan ekstrinsik
yang terkandung
Mandiri
 Siswa dapat memahami unsur
intrinsik teks film/drama serta
mengkritisi teks yang telah
dipelajari
KEGIATAN PEMBELAJARAN
KEGIATAN PEMBELAJARAN
KEGGIATAN
PEMBUKA
(Apersepsi)

Guru memberi salam dan
memberi pertanyaan yang berhubungan dengan
pembelajaran sebelumnya tentang teks film/
drama serta kondisi yang beredar di masyarakat

Guru memutarkan rekaman
beberapa cuplikan adegan pementasan drama .
Cuplikan difokuskan pada fenomena sosial.
 Eksplorasi

Kegiatan Inti :
ALOKASI
WAKTU
20 Menit
70 Menit
Guru menjelaskan beberapa teknik
yang sangat penting dalam mengkritisi teks drama.
Setiap penjelasan langsung disertai contoh yang
terdapat dalam teks drama
 Elaborasi
Siswa membaca teks drama secara

utuh. Dengan berdiskusi, siswa menganalisis unsur
intrinsik dan ekstrinsik di dalamnya.

Siswa berdiskusi untuk
merumuskan mengkritisi teks drama.

Siswa mempresentasikan hasil
diskusinya di muka kelas dan ditanggapi secara
70 menit
kritis oleh anggota kelompok lain.
Guru mengobservasi kinerja dan
keterlibatan setiap siswa dalam berdiskusi maupun
presentasi
 Guru mengulas hasil presentasi setiap kelompok
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:

Menyimpulkan tentang hal-hal
yang belum diketahui

Menjelaskan tentang hal-hal yang
belum diketahui.

PENUTUP
(Internalisasi dan
refleksi)

Guru mengakhiri kegiatan
pembelajaran dengan memberikan pesan
agar peserta didik selalu belajar agar dapat
menjawab soal-soal Kuis Uji Teori untuk mereview
konsep-konsep penting tentang mengkritisi teks
film/ drama yang telah dipelajari

Guru memberikan kuis
berkenaan dengan aspek pengetahuan dan
keterampilan.

Guru memberikan arahan
kegiatan berikutnya dan tugas pengayaan

Siswa diajak merefleksikan nilainilai serta kecakapan hidup (live skill) yang bisa
dipetik dari pembelajaran
Guru menyampaikan tugas mandiri

(dikerjakan di rumah): mencermati teks. Pengamatan
difokuskan pada hubungan teks drama dengan
fenomena sosial.
20 Menit
SUMBER BELAJAR
Pustaka rujukan
V
Buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik kelas XI
SMA/SMK/MA/MAK semester 2 Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 2013
Drama Karya dalam dua dimensi karya Hasanuddin W.S
V
Material:
Mediacetak
dan
elektronik
Website internet
Lingkungan
Naskah drama Cannibalogy
Lingkungan masyarakat sekitar siswa
PENILAIAN
V
V
V
TEKNIK DAN BENTUK
INSTRUMEN /SOAL
RUBRIK/KRITERIA
PENILAIAN/BLANGKO
OBSERVASI
Tes Lisan
Tes Tertulis
Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio
Pengukuran Sikap
Penilaian diri
Tugas untuk menganalisis teks drama
Tugas untuk mendiskusikan dan mempresentasikan hasil
analisis teks drama
Daftar pertanyaan Kuis uji teori untuk mengukur
pemahaman siswa atau konsep-konsep yang telah dipelajari
Blangko observasi dan penilaian kinerja siswa dalam
mengikuti diskusi dan presentasi (terlampir di bawah)
Mengetahui
Kepala Sekolah
Tangerang, Juli 2016
Guru Mata Pelajaran
NIP.
NIP.
Uraian Materi
A. Hakikat Drama 1. Pengertian Drama Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan
dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan dan
dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.1
Berbicara tentang drama, terdapat dua aspek yang perlu di pahami dan
dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek
pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan yang
sangat erat. Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan
bentuk kesusastraan lainnya, cerpen dan novel misalnya. Pada novel dan cerpen
masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh melalui
kombinasi antara narasi dan sedikit dialog, sedangkan sebuah drama pada
hakikatnya terdiri atas dialog dan sedikit prolog.
Pementasan sebuah drama akan memudahkan penikmat sastra untuk
memahami drama, karena penikmat akan lebih mudah mengerti dan memahami
dialog yang diucapkan dengan intonasi dan artikulasi yang sesuai jika
dibandingkan dengan membaca dialog-dialog pada naskah drama secara
langsung. Dengan dialog, akan terlihat penokohan, permasalahan dan peristiwa
yang hendak dikemukakan oleh pengarangnya. Akan tetapi, jika pemahaman
tersebut terus dipaksakan dan berorientasi dengan pengertian seperti di atas,
drama akan kehilangan dimensi sastranya, dan hanya akan menonjol dari seni
pertunjukannya saja.
1
E.Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama, (Jakarta: PT Perca, 2008), h.
81.
B. Kemampuan Bersastra
1. Mendengarkan
Mendengarkan Drama dan Mengidentifikasi Peristiwa serta Konfliknya
Drama merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang diperankan di atas
panggung atau dipentaskan. Oleh karena merupakan tiruan kehidupan manusia,
drama selalu menyajikan rangkaian peristiwa yang berhubungan sebab akibat
sehingga terbentuk jalan cerita (alur). Setiap tahapan alur dipentaskan dalam adegan
berupa dialog dan pemeranan yang dipisahkan menggunakan perpindahan panggung
atau pergantian layar. Secara lengkap, penyajian alur dapat dijelaskan berikut ini.
1) Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan
dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini
merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain
yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan
pada tahap berikutnya.
2) Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan konflik, masalah dan
peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi,
tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri
akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap selanjutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini,
tampaknya berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang
dikemukakan di atas.
3) Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah
dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
berkembang
dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan. Konflikkonflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya,
pertentangan, benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
4) Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan
dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama.
5) Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik
yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi
jalan keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir
di atas.2
Contoh teks drama
Cannibalogy
Naskah drama ini menceritakan tentang seorang penguasa diktator yang
menguasai suatu daerah . ia merupakan seorang penguasa yang semena-mena.
Karena sifatnya yang tidak baik, maka akhirnya penguasa tersebut jatuh dan
diberikan hukuman seumur hidupnya.
BABAK I
Fragmen 1
Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang digali. Dari tengah
kampung, sayup-sayup terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada pertunjukan wayang. Dari
liang makam nampak sosok kepala plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya.
Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin kencang.
Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad ke bahunya.
Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya.
Suman : Guru, syaratnya sudah dapat. Ini baru yang kelima. Ya,.....harus tambah dua lagi. Ilmuku
hampir sampai. Semua syarat akan kupenuhi, guru. Hah, aku lapar. Aku bosan melarat. Aku minta
kaya! Aku ingin kebal dari senjata. Gusti, paringono kuat slamet!
Suara gamelan perang meninggi. Suman berjalan tergesa ke timur, menembus gelap. Kuburan sesaat
senyap. Bias api obor menyorot ke areal makam. Muncul dua orang tentara desa, Kuro dan Sentolo.
***
Mbok Tirah : O...Nang... Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu cocoknya ya berdagang. Itu sudah garis
hidupmu. O...alah, kok sekarang semuanya malah kamu obong. Sing eling tho Nang...nang...
Suhar : (Wajahnya mengeras, tapi sikapnya mantap)
Mbok Tirah, aku sudah bangkrut. Nasibku sempit di sini. Kampung ini sepertinya menolakku.
Mbok Tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa lain,Suhar. Coba lagi.
Pasti laku daganganmu. Bapakmu dulu juga begini. Tapi ndak pernah sampai ngobong. Rejeki harus
disyukuri. Gusti Allah ora sare.
2
Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi,(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013)
h.149.
Suhar : Mbok, aku memang mau pergi. Ke Solo. Aku mau bertapa di Bengawan Solo.
Mbok Tirah : Bertapa ? Siapa yang menyuruhmu, nang ?
Suhar : Suhar mau cari wangsit. Suhar mau berjuang. Pamit,mbok.
(Mencium tangan Mbok Tirah. Berangkat dengan gembolannya)
Fragmen 3
Hari yang lain. Dekat hutan. Selewat subuh. Gubuk tua. Suman sedang membakar daging. Asap
mengepul. Belasan orang bersenjata tajam mengendap-endap mendekatinya dari arah belakang.
Segera orang-orang merangseknya.
Suman : (Membalik, sorot matanya menantang. Mulutnya masih mengunyah keratan daging hangus.
Suaranya tenang, berjalan mendekati orang-orang) Mau coba ?
Massa : Bunuh! Bunuh!!
(Dari arah belakang, Kuro menerjang dan meringkus Suman. Sentolo menyudahinya dengan pukulan
keras batang kayu ke kepala Suman. Suman rubuh. Massa bersorak. Pukulan bertubi ke tubuh Suman.
Muncul Daeng, dalam seragam hitam prajurit)
Kuro : Lihat sendiri. Dagingnya sudah dibikin sate. Lainnya sedang direbus. Lihat di lehernya. Itu
masih daging korban juga. Malah dibikin kalung. Orang ini gemblung, Daeng.
Sentolo : Matanya melotot terus. Seperti burung hantu. Nantang dia. Ada setan di dagingnya. Kamu ini
manusia apa binatang ?!
Fragmen 4
Hari yang lain. Malam belum tua. Sebuah kelokan di tepi Bengawan Solo. Cahaya bulan meronai
wajah pepohonan. Rumput tinggi. Suara serangga malam.
Suhar : Ini tempatnya. Mirip seperti mimpiku. Alam akan memberi tanda-tanda.Takdir baruku mulai
dari sini. (Memungut sesuatu dari hampar batu) Apa ini? (Membaca judul majalah) Playboy.
(Membuka halaman, nafasnya mendadak terengah)
Cahaya tajam seperti kilat menyambar jidat Suhar. Tubuhnya tersungkur ke hampar batu. Muncul
sosok kurus kecil, kepalanya berkuluk hijau tua, mengenakan baju batik berlapis-lapis. Di tangannya
terhunus keris yang masih mengepulkan asap.
Ki Butho : Aku penunggu Bengawan Solo.
Suhar : Saya datang Ki Butho. Saya minta ijin eyang, saya mau...
Ki Butho : Sudah kubaca maksudmu. Romanmu bagus,cah. Tapi jiwamu belum bersih, Suhar.
Suhar : Mohon saya dibersihkan, Ki.
Ki Butho : Kamu sedia syaratnya ?
Suhar : Ada, Ki. Kemenyan, cerutu, beras hitam, air kembang, daun kelor, darah ayam cemani.
Ki Butho : Masih kurang.
Suhar : Bisa saya penuhi, Ki.
Ki Butho : Satu kerbau betina yang masih perawan. Dan edisi terbaru majalah yang kau pegang itu.
Suhar : Yang dua itu, saya belum sedia, Ki. Saya juga belum paham kaitannya dengan maksud saya.
Ki Butho : Suhar, Suhar. Kamu ini mau tapa brata, minta berkah kekayaan dan kemulyaan. Tapi apa
yang kamu bawa?! Cuma kemenyan dan sebotol darah ayam. Lainnya cuma tetek bengek murahan.
Penuhi semua syaratnya. Baru aku bisa membimbingmu membaca rencana alam untuk kamu.
Suhar : Apa yang mesti saya perbuat, Ki ?
Ki Butho : (Menempelkan ujung keris ke kepala Suhar) Kau dan aku akan mengikat sebuah perjanjian.
Setiap kali nasibmu membaik, kau harus kembali ke Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar ini.
Bukan dengan darah ayam, Suhar. Kau harus memberi makan Bengawan Solo dengan darah segar
yang sesungguhnya. Satu kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat lebih tinggi.
(Nada suaranya berubah, tekanan dan ancaman ) Sanggup ?
Suhar : Saya belum paham...
Ki Butho : Pada waktunya kau akan paham. Darah !( Dengan ujung kerisnya Ki Butho mengoleskan
darah ayam cemani ke kening Suhar. Sisanya dikucurkan melingkar di sekeliling mezbah batu, dimana
Suhar bersimpuh ) Cerutu ! (Suhar menyodorkan cerutu.Ki Butho ambil cerutu, lalu menyalakannya.
Terbatuk) Ah, cerutu murah. Kau boleh mulai semedi malam ini. Tempat ini sudah aku lindungi.
Fragmen I. 5
Hari yang lain. Siang hari. Lapangan terbuka sebelum pendopo Mojokuto.Tiga pemain jathilan,
dengan pakaian sorban dan jubah putih menunggang kuda gebyok. Kepala kuda berbentuk kepala
plontos, serupa kepala Suman, tapi dengan mulut menganga dan bergigi serigala. Pemain jathilan
memecut kepala plontos itu. Semakin kuat pecutan, semakin atraktif gerakan pemainnya. Di
belakangnya nampak tubuh Suman, yang digotong serupa babi buruan. Tinggal cawat menutupi tubuh
Suman. Penduduk Mojokuto memainkan musik dari pukulan bambu dan besi. Arak-arakan itu sampai
ke depan pendopo. Daeng naik ke lantai pendopo, memasuki pintu, lalu sesaat ke luar lagi,
mendatangi massa.
Daeng : Mas Ageng, pemimpin Mojokuto, sedia menerima kalian.
Mas Ageng muncul. Sosoknya pendek, berkulit hitam, alisnya setebal kumisnya. Tubuhnya berisi. Di
bahunya menclok seekor iguana, yang selalu dielusnya. Mas Ageng masih mengunyah sirihnya. Sinta
Salim,selir Mas Ageng, seorang perempuan peranakan, membawakan tempolong.
Mas Ageng : Mana orangnya ?
Daeng : ( Kepada Kuro dan Sentolo) Lepaskan talinya!
Suman digelandang ke depan Mas Ageng. Didudukkan di atas tanah. Mas Ageng memandanginya
sesaat. Alis Suman setebal rambut alis dirinya.
Mas Ageng : Kamu senang daging ?
Suman : Tidak suka.
Mas Ageng : (Suaranya berubah meninggi dan tegas) Suman, kenapa mayat mbah Sirep kamu makan
?!
Suman : (Berlutut di depan kaki Mas Ageng)Saya ingin kaya, tuan. Dan saya ingin kebal dari senjata.
Saya ingin jadi prajurit. Maju perang. Membela tanah yang kupijak.
Sentolo : (Merenggut kepala Suman. Menempelkan golok ke leher Suman) Bohong!! Ngawur!!
Gemblung!! Hukum dia, den Mas. Penclas lehernya! Biar dia nyahok! Beri aku perintah, den Mas.
Suman : Jika sekarang tuan ijinkan golok ini menebas leherku, teruskan, tuan. Aku tidak melayani rasa
sakit. Kalau hari ini harus menjadi hari kematianku, Suman hanya menyesal, sedikit sekali baktiku
untuk tanah Mojokuto.
Sentolo : (Mendesak Mas Ageng) Den Mas,.....
Mas Ageng : (Mengambil golok dari tangan Sentolo. Dengan isyarat tangan meminta Sentolo mundur.
Meminta pada Daeng). Daeng, baringkan.
(Daeng menelentangkan tubuh Suman di atas sebatang gebok pisang. Mas Ageng menempelkan ujung
golok ke dada Suman)
Orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Orang ini miskin. Begitu juga pikirannya. Dia tidak
hormat pada jasad orang mati, karena dia merasa harus bertahan hidup. Tak ada orang lain
memberinya jalan keluar. Dia mencari jalan keluar di dunia orang mati. Pikirannya menjadi bagian
dari kematian itu juga. Tapi orang ini berkeras hati ingin hidup. Kalau dia mau hidup, dia harus
berpikir seperti orang hidup. Dia harus patuh pada hukum.
Mas Ageng : (Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan
nafas. Penduduk bersorak )
Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Di dunia
orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu,
menyembuhkan.
Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup,dan hormat di dunia
orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah
Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri, Itulah baktimu untuk tanah
Mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau gagal sembuh,
maka tanganku sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu!
(Dengan sepenuh tenaga, Mas Ageng menancapkan golok ke batang gebok pisang. Golok tegak
terpasak. Cairan semerah darah meleleh dari lapisan gebok. Orang-orang takjub. Suman bersimpuh
di kaki Mas Ageng)
Setelah itu terdengar letusan meriam. Suara kepanikan awalnya sayup lalu makin menegas. Perintah
untuk mengungsi dan embikan hewan ternak berbaur, dengan suara letusan senjata yang terdengar
makin kerap. Sejumlah penduduk tergopoh, berduyun mencari perlindungan di sekitar pendopo.
Suasana serentak kalut. Daeng melindungi Mas Ageng.
Kebo muncul, terluka tembak di bahunya.
Daeng : Kebo, apa terjadi ?
Kebo : Mojokuto diserang. Rumah-rumah dibakar.
Mas Ageng : Siapa mereka ?
Kebo : Dari laut utara datangnya. Lusinan kapal besi, dengan bendera merah biru merapat ke pantai.
Syahbandar melaporkan, mereka cuma kapal dagang pembeli rempah. Tapi mereka tidak seperti
pedagang.
Mas Ageng : Kapal besi ?
Kebo : Dengan senjata meriam, dan pasukan berseragam. Badan mereka tinggi, berkulit putih, dengan
topi lancip bersurai. Mereka menyisir gudang rempah, dan membongkar paksa pintu-pintunya.
Rempah-rempah dijarah. Pasukanku yang melawan, mereka tembak. Penduduk ditawan. Mereka
bersiap menuju kemari, dengan kuda, dan meriam.
Mas Ageng : Siapa pemimpinnya ?!
Kebo : Landless. Panglima Landless. Pasukannya menyebut nyebut nama itu sambil bernyanyi,
menendang penduduk dan membakar gudang gudang yang sudah mereka kuras isinya.
Terdengar lagi dentuman meriam. Lalu suara pasukan berkuda, makin menegas. Mars yang
bergelora.
Daeng : Kita akan melawan!
Mas Ageng : Daeng, siapkan seluruh pasukanmu, dan siaga di gerbang timur. Kebo, kau akan menahan
setan putih itu bersama pasukan Murod, di gerbang barat. Perintahkan penduduk mengungsi ke tepi
hutan. Aku sendiri yang akan menjaga pendopo. Laksanakan segera!
Daeng : Segera! Kebo, kita akan melawan. (Berlari ke timur)
Kebo : Sampai darah terakhir! (Berlari ke Barat)
(Letusan senjata makin kerap. Gerombolan penduduk berlarian. Sesaat sepi, tanpa suara. Suman
masih bersimpuh.)
Sinta Salim menarik kain panjangnya, lalu ujungnya diselipkan ke pinggang. Dia memasang busur
dan anak panah.
Sinta Salim : (Berteriak nyaring) Cantrik Dalem! Bela Mojokuto!
Dari arah lain masuk belasan perempuan, siap dengan panah dan busur. Sinta Salim berjalan ke luar
pendopo, diikuti belasan perempuan itu.
Lembar Kerja Siswa
(LKS)
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Analisislah unsur intrinsik dari naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes:
No.
1.
Unsur
Intrinsik
Alur
a) Penyituasian
b) Pemunculan
konflik
c) Peningkatan
konflik
d) Klimaks
e) Penyelesaian
2.
Latar
a) Waktu
b) Tempat
3.
Tokoh dan
penokohan
Jawaban
Bukti
Jawaban Lembar Kerja Siswa (LKS)
No
.
1.
Unsur Intrinsik
Jawaban
Bukti
Tahap Situation dalam
naskah drama Cannibalogy
karya Benjon dimulai dari
fragmen pertama dan kedua
yakni dengan menceritakan
sejarah hidup tokoh-tokoh
utama dalam naskah ini,
yakni Suman dan Suhar.
…Sosok kepala plontos
memanggul jasad ke bahunya.
Gerakannya sigap. Keringat
mengkilat dari bidang dadanya.
Kulitnya coklat keruh. Hitam
matanya (Benny Yohanes, hlm.
1)
Jangan putus asa. Gusti Allah
sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa
lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku
daganganmu. Bapakmu dulu
juga begini. Tapi ndak pernah
sampai ngobong. Rejeki harus
disyukuri. Gusti Allah ora sare.
(Benny Yohanes, hlm. 2)
b) Pemunculan
konflik
Tahap pemunculan konflik
yang terjadi dalam naskah
drama Cannibalogy karya
Benjon terletak pada
fragmen II. 4, pada fragmen
ini digambarkan penculikan
Sinta Salim oleh Suhar.
Suman...gubuk Nyi Mas
kosong. Pintu terkunci, tapi
jendelanya terbuka. Tak
mungkin Nyi Mas bersekongkol
melarikan diri. (Benny
Yohanes, hlm. 28)
c) Peningkatan
konflik
Peningkatan konflik dalam
naskah Cannibaligy karya
Benjon dapat terlihat pada
fragmen III.3. Pada fragmen
ini menceritakan
penyerangan Alas Puputan
oleh pasukan Suhar untuk
menangkap Suman dan
Suhar :
(Bicara sambil menginjak
gundukan tubuh) Alas Puputan
obong! Tumpas sudah semua
gerombolan. Kita kembali ke
Kali Solo. Rayakan
kemenangan!
Pasukan Suhar :
Alur
a) Penyituasian
2.
Sinta Salim.
Jayalah Suhar!
Solih :
Suman kita tangkap.
Perempuannya juga.
Suhar :
Wanita itu urusanku. Borgol si
Suman. Aku mau semua sundal
Kali Solo merajamnya. (Benny
Yohanes, hlm. 48)
d) Klimaks
tahap klimaks disampaikan
pada fragmen III. 5. Dalam
fragmen ini, kehancuran
Suhar dimunculkan. Suhar
yang menjadi tokoh utama
mengalami konflik batin
dengan keadaan yang harus
ia hadapi. Semua yang
diinginkannya hancur.
Suhar :
(Lemah) O, ancur tenan. Ucul
kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri
tanpa kakimu. Alam menutup
gerbangnya untukku.
Pernikahanku tanpa restu. Alam
sedang melawanku. Sekarang
saya sendiri. Lemah kakiku. Ah,
harus kurebut lagi! Kekuasaan
itu semua, atau tidak sama
sekali! (Benny Yohanes, hlm.
59)
e) Penyelesaian
Tahap penyelesaian
disampaikan dalam fragmen
IV. Pada fragmen ini
menggambarkan peristiwa
penyergapan Suhar oleh
pasukan Mas Ageng di
dalam Gua Semar.
Pasukan yang dipimpin Daeng,
tiba-tiba masuk menyerbu gua.
Moncong-moncong senjata
diarahkan pada Suhar dan
kelompoknya.
Daeng :
Ageng Rais, pemimpin
Mojokuto, menahan anda.
(Benny Yohanes, hlm. 61)
Latar
a) Tempat
Jika dilihat secara
keseluruhan latar tempat
yang digunakan dalam
naskah drama Cannibalogy
… Kuburan desa pinggiran
Mojokuto. Sebuah makam
sedang digali. Dari tengah
kampung, sayup-sayup
b) Waktu
adalah pulau Jawa, karena
terdapat beberapa fragmen
yang menyebutkan beberapa
daerah di pulau. Selain itu
terdapat pula sebuah desa
yang sering kali digunakan
sebagai latar tempat dalam
naskah Cannibalogy, yaitu
desa Mojokuto. Desa
Mojokuto merupakan Latar
tempat yang mendominasi
peristiwa penting dalam
naskah drama Cannibalogy.
terdengar gamelan mengiringi
adegan perang pada pertunjukan
wayang. (Benny Yohanes, hlm.
1)
Latar waktu dalam naskah
Cannibalogy tidak
digambarkan secara
gamblang. Meskipun
demikian, petunjuk waktu
dapat dianalisis melalui
peristiwa-peristiwa yang
secara faktual terdapat
dalam sejarah.melaului
peristiwa-peristiwa yang di
gambarkan dalam naskah,
dapat diperkirakan latar
waktu yang digunakan
pengarang adalah sekitar
tahun 1965-1998 atau
diketahui sebagai masa
Orde Baru.
Solih :
Mayat-mayat sudah diangkat
dari lubang. Tujuh orang.
Korban diiris-iris. Mereka
masih hidup waktu dikubur
paksa di sumur kering. Orangorang terbaik yang kita punya.
Suhar :
Ya..ya. Itu kerjaan BTI.
Pengacau! Mereka komplotan si
Suman juga. Makamkan
semuanya dengan baik. Kasih
gelar sebagai pahlawan
revolusi. Biar rakyat seneng.
Solih :
Harus kita tangkap
gembongnya.
Suhar :
Pasti. Aidil dan Untung. Kejar
mereka sampai Madiun. (Benny
Yohanes, hlm. 36)
3
Tokoh dan
penokohan
a)
Peran Lion Peran Lion dalam naskah
Cannibalogy diwakili oleh
tokoh Suman. Dalam
naskah drama ini, Suman
mewakili penggambaran
sosok heroik dengan segala
kebaikan dalam dirinya.
Dalam naskah ini Suman
digambarkan dengan
karakter lugu, tabah, tegar,
amanat, berani, beranggung
jawab, serta memiliki jiwa
kepemimpinan.
Suman: (Berlutut di depan kaki Ki Ageng) saya ingin kaya, tuan. Dan saya
ingin kebal dari senjata. Saya
ingin menjadi prajurit. Maju
perang. Membela tanah yang
kupijak. (Benny Yohanes, hlm.
11)
b)Peran Mars Tokoh yang berperan
sebagai Mars dalam naskah
ini ialah Suhar. Suhar
merupakan penggambaran
penuh sosok Mars yang
merupakan penantang dari
peran Lion (Suman). Dalam
naskah drama Cannibalogy
Suhar digambarkan sebagai
tokoh dengan sifat ambisius,
picik, kejam, kuat, dan
berani.
Ki Butho :
Kau lihat, betapa berharganya
umpan yang kita pasang ?
Suhar :
Luar biasa.
Ki Butho :
Kau seorang komandan
sekarang. Dengan surat perintah
langsung dari tahta Olanda.
Kau rasakan itu ? Perubahan
yang besar ini ? (Benny
Yohanes, hlm. 31)
c) Peran Sun
Suman : Dalam naskah
Cannibaloogy peran Sun
diwakili dalam tokoh Sinta
Salim. Sinta Salim
Kita akan selamatkan dia, Suto!
Nyai akan selamat!
(Mengeluarkan saputangan dari
kantung kain kecil di
merupakan tokoh yang
diperebutkan dan
diperjuangkan oleh peran
Lion (Suman) dan Mars
(Suhar). Sinta Salim
digambarkan sebagai sosok
wanita peranakan
(keturunan Cina) yang
mencintai tanah Mojokuto.
pinggangnya. Menarik nafas
panjang) Kitalah pasukan kera
itu. Kita akan kembalikan Nyai
pada suaminya. (Benny
Yohanes, hlm. 41)
d) Peran Earth Suman :
Peran atau tokoh apapun (Menegakkan wajahnya) Akan
kujaga seluruh makam. Akan
yang menerima hasil kurawat yang hidup, dan yang
perjuangan Lion atau Mars. mati.
Dalam naskah ini rakyat Mas Ageng :
Mojokuto merupakan (Menatap dalam pada Suman.
penggambaran peran Earth, Membebatkan kain hijau ke
karena dalam naskah drama Cannibalogy peran Lion lengan Suman)
berusaha untuk merenggut Bela...Mojokuto. (Mas Ageng
tanah Mojokuto dari jajahan masuk ke pendopo).
Olanda dan peran Mars. (Benny Yohanes, hlm.15) e) Peran Scale Mas Ageng : Dalam naskah ini peran Scale diwakili dalam tokoh Mas Ageng atau Ageng Rais. Mas Ageng merupakan penguasa di tanah Mojokuto. Mas Ageng digambarkan sebagai sosok pemimpin dan hakim yang (Mas Ageng menekan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan nafas bersorak) Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang‐orang mojokuto dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan bijaksana, adil dan tegas. menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu untuk menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup, dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri. itulah baktimu untuk tanah mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, maka tanganku sendirilah yang menjadi hukum untuk hidupmu! (Benny Yohanes, hlm. 13) f) Peran Moon Landless : Peran Moon diwakili dalam
tokoh Landless. Landless
merupakan pemimpin besar
pasukan Olanda. Dalam
naskah Cannibalogy,
Landless digambarkan
sebagai seorang pemimpin
pasukan yang lalim. Dalam
naskah ini, Landless
berperan sebagai penolong
dari peran Mars (Suhar).
Landless yang menjadikan
Suhar sebagai pemimpin
Jawa dan menaikkan derajat
Suhar.
Well... Suhar, mulai 11 Maret,
kau resmi panglima. Kamu
boleh tumpas habis semua
gerombolan pengacau
keamanan zonder pengadilan.
En jalan pos terpanjang harus
lahir di Jawa. En akan kuberi
nama PosLandless straat. Kerja
baik, upahmu baik.
Bersumpahlah Suhar. (Landless
menjabat tangan Suhar. Suhar
bersimpuh di depan Landless)
(Benny Yohanes, hlm. 33)
Penilaian Kelompok
Kelompok keAnggota kelompok
Kelas
Tanggal penilaian
No.
:
:
:
:
Aspek-aspek yang dinilai
Nilai
A
1.
2.
Antusiasme
peserta
kelompok
dalam
penyusunan tugas.
Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3.
Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4.
Keberanian dalam mengemukakan pendapat.
5.
Tingkat perhatian pada kelompok lain yang
sedang mempresentasikan hasil diskusi.
B
C
D
Petunjuk:
Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas dan
mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai dengan sikap
sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai berikut:
Baik sekali
(A)
: skor 81-90
Baik
(B)
: skor 71-80
Cukup
(C)
: skor 61-70
Kurang
(D)
: skor 51-60
UJI REF'ERENSI
Seluruh referensi yan digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul
"Kritik
Sosial
dalam Naskah Drama Cannibalogt Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekaolah Menengah Atas (SMA)" yang
disusun oleh Rahayu Handayani NIM: 1111013000081 Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Itrru Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi
pada tanggal 28 September 2016.
28 September 2016
10302008012009
UJI REFERENSI
Nama
NIM
Jurusan
Fakultas
Judul skripsi
: Rahayu Handayani
:1111013000081
: Pendidikan Bahasa dan Sasira Indoaresia
: Ihnu Tarbiyah dan Keguruan
: Kritik sosial dalam Naskatr Drama cannibalogt Karya
Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran
Batrasa
Dosen
dan Sastra Indonesia.
Pembimbing : Rosida Erowati, M.Hum
REFERENSI
I
つ4
3.
PARAF
Adam, Asvi Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010.
Adam, Asvi Warman. Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.
Damono, Sapadi Joko. ,Soslologi Sastra: Sebuah Pengantar
Ringlas. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengenmbangan
Bahasa, 1979.
4.
Dirnyati, Ipit S. Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena
Pemuaisn Dan Peruthlan Ruang Public Dalam Panggung
Teater, Tealer Bandung: Gagasan & Pemikiran Bandung:
Jurusan Teater STSI Bandrurg.
5.
Djmot, Eros, dkk. Siapa Sebenamya Soeharto: Fakta dan
Kesaksian Paro Pelaht Sejarah G-3?-S/PKL Jakarta: PT.
TransMedia, Cet. 10, 2008.
6.
Endraswara, Suwardi, Metodologi penelitian
Sastra,
Yogiakarta: Medpress, Cet. tV. 2008
7.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
q
嚇メ
NO。
誹
メ
卸
´
礫
PUStaka
P-elajar,2013.
8.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia
⊂ス
Pustaka Utama, 2004.
MD, Moh. Mahfud dkk, Kritik
Sosial dalam Wacana
Pembangunan. Y ogyakarta : UI Press, 1 997.
1988.
θ
う0
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjatr Mada
University Press: Yogyakarta, 2072.
Pradopo, Rachrnat Djoko, dk,k. Metodologi Penelitian Sastra.
Yoryakarta: Hanindita Graha Widya 2002.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanius,
1
1
988.
16 Ratna, Nyoman
Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra, Yogyakara: Pustaka Pelajar,2009.
17 San, Suyadi-
Drama Konsep Teori don Kajian. Medan: CV.
Partama Mitra Sari, 2013.
串
´
翠
岬
C
︱ス
0ン
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa, 1988.
d
Semi, Atar. Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan
Sastra
Indanesia. Bandung: Angkasa, I 990.
つ4
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo
2008.
22 Southwood,
中
3絆
Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal,
Malang: UMMPress.
2C
準
Angkasa,
∩MP
K. M, Saini. Protes sosial dalam Sastra. Bandung:
C
R膝F
nυ
Kurniawan et.al, Pengalcuan Algojo 1965, (Jakarta: PT Tempo
Inti Media, cet. IV,2013.
耳 Ч
Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indnnesia: Puisi, Prosa, Dranta.
Jakarta: PT Perca, 2008.
ヽス
9
a
&
Julie dan Patrick Flanagan. Teror Orde Bant:
Penyelewengan Hukum
Komunitas Bambu,2012.
&
Propaganda 1965-1981. Depok,
以 剰
23 Tim Analisis hrformasi (LAI). Kontroversi &tper Semar: Dalam
Transisi Kekuasaan Soelmmo-Soeharto @disi
Revisi).
C
Yogyakarta:Ⅳ lcdpress,Cct.10,2007.
24
Tim Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
25
W.S,Hasanllddin.Drttα 施 ッα Dalam Dua Dimensi.
Bandllllg:Angkasa,Cet.1,1996.
σ
2( Yollalles,Benw.助 η
″bα ゎ,4 Balldung Rcpllblk,2008.
27
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Prttο ιめη
И
″
`冽
“
http://badanbahasa.kenldikbud.go.idД
allloedyaO/。 20An狙 協%20ToeL
C
1
■,ι ス
alnanballasa/tokoh/278/Pr
Diakses pada 19 Agllstus 2016
puku1 22:10 WIB.
28
ひ
︱ス洲ヽ
Balai Pustaka, Cet. 3, 2005.
』
Khairuddin, Fachrul. Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan
P e mb re de I an.http I / vmw.kompasian a. comJ fachrulkhairuddinlse
j arah-maj alah-temp o-konfl ik-dan-
pembredelan_5500651a813311a019fa768d. Diakses
Agustus 2016 pukul22:17 ] .flB.
pada
16
串
2S
課
3C Galib,Bayll.3θ ra餞′
の り
′
1.Diakses pada 12」 llli 2016 puku1 20:30 WIB.
31 Persi,Ferick Sahid.И
″
権ο
′
α旋″
9g′ Bθ 力
Rα肋 ■ 2θ f5,
0■ ゾん
'
w,panggllngkita.cOlw2015/02/arkeologl― bcha…
“ urban‐ yallg.llml).diakses pada tallggal 15 Maret
kehidupall¨
撃
2016 puku1 15.09 WIB.
3
Poti, Jamhur.ア DeIIlokratisatt Mcdia Massa Dalam Risip
Kebebasan,
プレ α′
/7H"
Pθ 閣
滋ね乃,
2011,
“
19.https://www.g00gle.co.id/url?sa■
&rc← i&q=&esrc=s&§ ΩwQ
`″
Pz咀lVJIC48KI― IZlvkDfcOF2gaMAA&ul・ l=http%3A%32F%2Fisi
p lllllrah.ac.id'′ QFum―
戚
.dGo. Diakses pada 25 Septemb er
20l6pukul 22:35.
B
柵
dalalln Nano
。
(ed.),
0"ノ/www.kelola.Or.id/database/theatre/1ist/&dd 」d-67&p=3
Shadiン ,Hassan.助 ∫
Bartl―
訪物
ρθ
van HOeve,1982.
“
れ 山 d HI,Jakma lchti肛
“
Tim Balai Pustaka.焔 ″ s Bem′ Bα ′
″sα
Balai Pustaka,Cet.3,2005.“
Jヵ
`ゎ
ηθsね 。Jakartal
Jakarta, 28 September 2016
Yang Menyatakan
Erowati,M.Hum
2008012009
BIOGRAFI PENULIS
Rahayu Handayani lahir di Jakarta,
11 Febuari 1993. Anak ketiga dari Bapak
Muhammad Syafii dan Ibu Rosmini ini
memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanan
Bina Umat pada tahun 1998, setelah lulus dari
Taman
Kanak-Kanak
ia
melanjutkan
pendidikannya di SD Negeri Perumnas BP
Parung Panjang dari tahun 1999 - 2006, lalu
melanjutkan pendidikan ke jenjang pertama di
sekolah favorit berstandar Nasional SMP
Negeri 1 Parung Panjang dari tahun 2006 –
2009. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri 22 Kabupaten Tangerang sebelum
akhirnya
memilih
untuk
melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yakni
di Universitas Islam Negeri Jakarta. Sejak kecil
penulis bercita-cita untuk menjadi seorang
guru. Itulah yang menjadi salah satu alasan
penulis memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan mengambil jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penulis merupakan penggiat seni dan penyuka sastra. Hal ini terlihat sejak
kecil hingga sekarang sering mengikuti pementasan seni. Sejak duduk di bangku
Sekolah Menengah Pertama penulis merupakan vocalis band. Hal tersebut dilanjutkan
sampai Sekolah Menengah Atas. Selain ngeband penulis juga sempat aktif di
ekstrakurikuler karawitan dan paduan suara sekolah di SMA. Setelah memasuki
perguruan tinggi penulis sempat aktif di UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM)
selama satu tahun dengan pencapaian konser Recital PSM UIN tahun 2011 di Aula
Student Center serta beberapa konser kecil di dalam dan di luar kampus. Kemudian
penulis melanjutkan tahun-tahun berikutnya di UKM Teater Syahid sejak 2012
hingga sekarang. Selama aktif di Teater Syahid penulis tercatat terlibat sebagai aktor
dalam dalam beberapa pementasan, di antaranya pementasan MADA di Hall Student
Center dan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada tahun 2013 yang disutradari
Bambang Prihadi dengan naskah yang terinspirasi dari novel MADA karya Abdullah
Wong, Cannibalogy naskah karya Benny Yohanes di Hall Student Center pada tahun
2014 disutradarai Bangkit Sanjaya, lakon Pada Suatu Hari naskah karya Arifin C.
Noer di Aula Student Center tahun 2014 disutradarai Taufik Hidayat, Orkes Pulang
inspirasi naskah Dzatmiati Sari di Aula Madya tahun 2015 disutradarai Amalia
Rosyidah (Audisi FESTAMASIO 7), Orkes Pulang inspirasi naskah Dzatmiati Sari di
UPI Bandung tahun 2015 disutradarai Rajab Husain (FESTAMASIO 7).
Download