1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Matematika siswa seharusnya memperoleh nilai yang maksimal, karena
setiap penyelesaian masalah kehidupan tidak terlepas dari kemampuan berpikir
logik dan berpikir sistematis. Dalam pelajaran matematika siswa diajarkan
berpikir logik dan sistematis untuk menyelesaikan setiap soal. Sudah seharusnya
setiap siswa memperoleh nilai yang maksimal.
Matematika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang melandasi semua
disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial. Penguasaan matematika bagi
para siswa akan menjadi sarana yang utama untuk mempelajari mata pelajaran
lain, baik pada jenjang yang sama maupun pada jenjang yang lebih tinggi
(Nawangsari, 2001). Akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar matematika yang mengakibatkan nilai
matematikanya rendah.
Salah
satu
tujuan
dari
pengajaran
matematika
adalah
untuk
mengembangkan kemampuan penalaran dan kemampuan logika siswa, serta
menjadi salah satu metode untuk mengembangkan pola penalaran siswa secara
sistematis (Sembiring, Hadi & Dolk, 2008). Mengacu pada tujuan tersebut, maka
penting untuk membuat matematika yang diajarkan itu relevan dengan
permasalahan sehari-hari yang dihadapi oleh siswa. Dengan demikian siswa
dapat menggunakan penalaran dan logika berpikirnya untuk dapat memecahkan
permasalahan yang dihadapinya sehari-hari.
Sampai saat ini dinas pendidikan melalui sekolah formal masih
menerapkan Ujian Nasional (UN), baik tingkat SD, SMP maupun SMA. Hanya
2
saja pada tingkat SD yang awalnya Ujian Nasional berubah menjadi Ujian
Sekolah Daerah (USD). Mata pelajaran yang masuk dalam materi USD pada
tingkat sekolah dasar adalah bahasa Indonesia, IPA dan matematika. Mata
pelajaran matematika menjadi sangat penting karena selain masuk dalam mata
pelajaran yang diujikan juga merupakan dasar-dasar dari perhitungan yang akan
mendukung ilmu lain termasuk penerapan dan aplikasi dalam kehidupan seharihari.
Sampai tahun 2014 matematika masih menjadi salah satu mata pelajaran
yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN). Hal ini berarti bahwa penguasaan
siswa pada mata pelajaran matematika sangat penting. Menurut Kepala Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, Baskara Aji, rata-rata nilai ujian nasional
di Yogyakarta tertinggi ada pada mata pelajaran Bahasa Indonesia 8,43; sedang
untuk mata pelajaran IPA 7,62, dan terendah ada di mata pelajaran matematika
7,39. Rekapan dari hasil kelulusan tercatat, rata-rata total nilai akhir jenjang
SD/MI, Kota Yogyakarta masih meraih nilai terbaik di DIY yaitu dengan rata-rata
23,62, Kabupaten Bantul 23,50, Kabupaten Kulon Progo 23,40, Kabupaten
Sleman 23,28, dan Kabupaten Gunung Kidul 22,53. Sedangkan rata-rata nilai
total di DIY adalah sekitar 23,26. Dari data di atas mata pelajaran Matematika
menempati urutan terendah (Aji, 2013).
Pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pranoto (2011)
mengemukakan bahwa pembelajaran matematika pada siswa sangatlah penting
terutama dalam pandangan dunia abad ke-21, yang nantinya melalui matematika
diharapkan ilmu ini dapat berfungsi efektif dikehidupan sehari-hari. Realita yang
ada sekitar 76,6 persen siswa setingkat SMP dinilai ”buta” matematika. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa masih sangat rendah dalam penguasaan matematika.
3
Mayer (2011) menjelaskan bahwa kemampuan Matematika merupakan
salah satu bentuk dari kemampuan akademik. Kemampuan akademik ini
didefinisikan oleh Mayer sebagai suatu kemampuan untuk belajar (the ability to
learn). Kemampuan akademik dapat diukur melalui kinerja seseorang dalam tes
kemapuan kognitif, seperti salah satunya adalah memecahkan permasalahanpermasalahan cerita yang ada dalam kemampuan Matematika.
Hasil penelitian TIMMS (Trends in International Matematics and Science
Study) pada tahun 2006 ditemukan mayoritas soal yang diberikan guru
matematika di Indonesia terlalu kaku. Soal yang kaku mengakibatkan siswa
sering kali merasa bosan dan menganggap matematika sebagai pelajaran yang
tidak menyenangkan dan tidak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari (Mulis,
Martin, Foy & Arora, 2012). Hal yang senada disampaikan oleh pencetus metode
matematika dahsyat Siwoyo (2011), bahwa 9 dari 10 anak Indonesia tidak suka
pelajaran matematika. Siswa menganggap bahwa matematika adalah pelajaran
tersulit dan rata-rata guru matematika galak dan keras ketika menyampaikan
pelajaran matematika.
Suryabrata (2011) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal dibedakan atas faktor fisik dan non fisik. Beberapa hal
yang termasuk dalam faktor fisik antara lain: kesehatan secara umum, koordinasi
motorik, dan kondisi syaraf. Faktor nonfisik yang dapat mempengaruhi prestasi
antara lain: kepribadian, penyesuaian diri, kematangan emosional, abilitas, atau
ketrampilan khusus, minat, inteligensi dan efikasi diri. Beberapa faktor eksternal
yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa di antaranya lingkungan rumah,
lingkungan sekolah, guru, pergaulan, fasilitas belajar dan bahan ajar yang
4
dipelajari.
Hasil penelitian eksperimen terhadap 20 siswa dalam 2 kelas
menemukan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa,
yaitu (a) materi belajar; (b) program pendidikan; (c) kuantitas dan kualitas guru;
dan (d)
iklim
sekolah.
Sekolah yang
membangun suasana kesatuan,
menciptakan proses pembelajaran menyenangkan, guru yang memiliki empati
serta mempunyai hubungan baik dengan siswa dalam proses belajar, dapat
mewujudkan suasana kondusif dalam proses belajar mengajar, dan pada
akhirnya memiliki pengaruh terhadap hasil belajar (Retnoningtyas, 2007). Dalam
proses pembelajaran matematika, juga akan mengalami hal yang sama, jika guru
dapat membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan, memiliki empati
serta menjalin hubungan baik dengan siswa
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar. Faktor internal yaitu kepribadian, penyesuaian
diri, kematangan emosional inteligensi, minat, sikap, efikasi diri dan motivasi
belajar; faktor eksternal yaitu lingkungan rumah, lingkungan sekolah, interaksi
dengan teman sebaya, guru, dan orang tua, fasilitas belajar dan bahan ajar yang
dipelajari. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, peneliti tertarik untuk mengaitkan
prestasi belajar matematika dengan interaksi guru-siswa dan efikasi diri. Lebih
lanjut akan dijelaskan secara rinci alasan memilih variabel interaksi guru-siswa
dan efikasi diri dalam kaitan dengan prestasi belajar matematika.
Bergin & Bergin (2009) mengatakan bahwa hubungan guru-siswa pada
tahun pertama sekolah berpengaruh terhadap keterlibatan dan usaha siswa
dalam belajar. Pada tahun kedua hubungan guru-siswa juga berpengaruh
terhadap capaian nilai siswa. Pendapat yang sama dikemukakan Hughes dan
5
Kwok (2007) bahwa interaksi guru-siswa memberi kontribusi penting bagi
prestasi siswa di sekolah. Omrod (2008) berpendapat bahwa kualitas hubungan
guru-siswa adalah salah satu faktor terpenting, yang mempengaruhi kesehatan
emosi dan pembelajaran siswa selama di sekolah. Ketika siswa memiliki
hubungan yang positif dengan guru, mereka memiliki sikap yang positif untuk
belajar. Siswa juga terlibat dalam pembelajaran yang lebih self-regulated,
cenderung kurang nakal, dan berprestasi di tingkat yang lebih tinggi.
Guru sebagai profesional secara permanen terlibat dalam interaksi
dengan siswanya ketika bekerja di dalam kelas. Pada satu sisi, interaksi ini dapat
terlihat sebagai proses dinamis yang positif, di mana guru mendidik, mengajar,
dan menyediakan apa yang dibutuhkan siswa. Pada sisi lain, proses tersebut
dapat terlihat sebagai konfrontasi ketika guru bermaksud untuk mendapatkan
perhatian siswa pada pelajaran, sementara siswa mencoba memperoleh
kebebasan untuk memenuhi keinginan dan kesukaan mereka (Einarsson &
Granstroms, 2002).
Bandura (dalam Ormrod, 2008) mengatakan bahwa perilaku atau aksi
dari seseorang akan mempengaruhi perilaku, dalam hal ini aksi komunikasi guru
di dalam kelas akan mempengaruhi perilaku siswa. Dobransky dan Frymier
(2004) berpendapat bahwa interaksi guru-siswa merupakan interaksi antar
pribadi yang terjadi di lingkungan sekolah dan saling mempengaruhi satu sama
lain. Uitto dan Syrjala (2008) mengungkapkan bahwa hubungan guru-siswa
merupakan bagian penting dalam dunia pendidikan dan berkaitan dengan
perkembangan belajar siswa di sekolah. Sardiman (2011) memaparkan, interaksi
antara guru dengan siswa diharapkan merupakan proses motivasi, yaitu
bagaimana dalam proses interaksi tersebut guru mampu memberikan motivasi
6
kepada siswa dan mengembangkan motivasi yang ada pada diri siswa, dengan
memberikan penguatan (reinforcement) agar siswa dapat melakukan belajar
secara optimal. Soekanto (1999) mengatakan bahwa di dalam interaksinya
dengan siswa, guru akan mencoba untuk menguasai kelas supaya interaksi
berlangsung dengan seimbang.
Prestasi selain dipengaruhi oleh interaksi guru-siswa, juga dipengaruhi
oleh efikasi diri siswa. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan dari hasil
wawancara peneliti
tanggal 15 Januari 2014, dengan seorang pengajar
matematika di sekolah dasar dapat diketahui bahwa sebagian siswa masih
menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit. Selain itu, para siswa
juga sering merasa tidak yakin bisa mengerjakan tugas atau soal yang diberikan
oleh guru sebelum mereka mengerjakannya. Kurangnya rasa kepercayaan dan
kemantapan hati bahwa mereka mampu mengerjakan tugas atau soal
matematika tersebut dapat mempengaruhi pemilihan perilaku siswa.
Para siswa yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan
soal-soal matematika akan menghindari tugas-tugas yang diberikan oleh guru
khususnya tugas yang menantang dan sulit. Mereka akan menyerah sebelum
mencoba dan kurang berusaha agar dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan
baik. Pemilihan perilaku inilah yang pada akhirnya mempengaruhi prestasi atau
performansi individu. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan lebih bersedia
mencoba, lebih banyak berusaha, dan lebih lama bertahan dalam kesulitan
dibandingkan dengan individu yang efikasi dirinya lebih rendah. Hal-hal inilah
yang pada akhirnya memunculkan prestasi atau performansi yang lebih baik
pada individu dengan efikasi diri yang tinggi (Suprawati, 2006).
7
Bassi dkk (2007) mengemukakan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri
akademik yang tinggi memiliki aspirasi akademik yang tinggi pula, jika
dibandingkan dengan siswa yang memiliki efikasi diri akademik rendah. Siswa
yang memiliki efikasi diri akademik tinggi juga akan lebih banyak menghabiskan
waktu lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengikuti
kegiatan belajar dengan pengalaman yang optimal. Selain itu berdasarkan
penelitian Zajacova, Lynch dan Espenshade (2005) diperoleh hasil bahwa efikasi
diri akademik menjadi prediktor yang kuat dan konsisten terhadap kesuksesan
akademik.
Penelitian yang dilakukan Wahyudin dkk (2006) menyimpulkan bahwa
prestasi siswa dalam pelajaran bahasa Inggris akan meningkat saat siswa
memiliki efikasi diri yang tinggi pada bahasa Inggris. Penelitian yang lain yang
dilakukan oleh Ayotola dan Adedeji (2009) menunjukkan hasil bahwa efikasi diri
matematika, gender, dan kecemasan memiliki hubungan yang signifikan dengan
prestasi matematika siswa, sama halnya penelitian yang dilakukan Blake dan
Lesser (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara efikasi
diri siswa dengan prestasi belajar siswa.
Salah satu faktor internal yang penting adalah seberapa besar para siswa
yakin bahwa dengan kemampuan yang dimiliki, mereka dapat meraih hasil yang
maksimal. Keyakinan seperti ini disebut sebagai efikasi diri, khususnya efikasi diri
akademik karena keyakinan ini terkait dengan keberhasilan dalam tugas
akademik. Kemampuan kognitif memang memiliki pengaruh yang besar dalam
keberhasilan pada tugas akademik. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh
Collins (dalam Bandura, 1997) tentang beberapa siswa yang memiliki
kemampuan matematika beragam, didapatkan hasil bahwa efikasi diri lebih tepat
8
untuk
memprediksi
prestasi
dalam
pelajaran
matematika
dibandingkan
kemampuan matematika yang sebenarnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
siswa yang berprestasi kurang bagus kemungkinan disebabkan oleh kurangnya
kemampuan yang dimiliki atau karena siswa memiliki kemampuan namun kurang
memiliki efikasi diri untuk mengoptimalkan kemampuannya tersebut.
Menurut Bandura (1997), terlepas dari kemampuan kognitif yang dimiliki,
siswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih berusaha keras dalam
mencapai prestasi akademik, memiliki fleksibilitas tinggi dalam strategi pencarian
solusi serta lebih akurat dalam evaluasi atas kualitas prestasi yang dicapai.
Efikasi diri akademik
juga dianggap sebagai prediktor yang lebih kuat dan
konsisten terhadap keberhasilan (Zajacova dkk, 2005). Dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa keberhasilan dalam tugas akademik, khususnya prestasi dalam
pelajaran matematika, tidak hanya terkait pada kecerdasan dan kemampuan
kognitif siswa saja namun juga sangat berhubungan dengan seberapa besar
siswa yakin dengan kemampuan yang dimiliki, ia dapat berhasil dalam tugastugas disekolah, khususnya dalam pelajaran matematika.
Psikologi humanis berpandangan bahwa proses belajar dianggap berhasil
jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri (Pintrich & Shunk, 1996).
Artinya pemahaman terhadap lingkungan yaitu interaksi guru-siswa merupakan
faktor eksternal dan pemahaman terhadap diri sendiri yaitu efikasi diri siswa
merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Rogers
(1962) berpendapat bahwa jika siswa berinteraksi dengan guru yang kongruen,
memiliki empati dan menerima tanpa syarat maka dapat diprediksi siswa akan
memiliki efikasi diri yang kuat yang akan membantunya mengaktualisasikan diri.
9
Dengan demikian, peneliti mengasumsikan bahwa ada hubungan positif
antara interaksi guru siswa dan efikasi diri dengan prestasi belajar matematika
siswa.
B. Rumusan Masalah
Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa hasil dari proses
pembelajaran yang telah dilakukan sekolah masih belum optimal, khususnya
pada kemampuan matematika yang ditunjukkan melalui prestasi matematika. Hal
ini diduga karena kurangnya efikasi diri yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar,
selain itu interaksi guru siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah
turut mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa sekolah dasar. Oleh
karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Apakah peranan
interaksi guru-siswa dan efikasi diri dapat memprediksi prestasi belajar
matematika pada siswa sekolah dasar?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik dari interaksi
guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika pada siswa
Sekolah Dasar (SD). Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara
lain berupa manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Manfaat secara teoritis dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khasanah ilmu
pengetahuan, yakni dapat memperkaya khasanah kepustakaan yang terkait
dengan kajian efikasi diri dan interaksi guru siswa dalam perolehan hasil
belajar siswa khususnya pada prestasi belajar matematika.
10
2. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan bahan masukan pada institusi pendidikan tentang alternatif
untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan yang salah satunya dilihat
melalui hasil belajar siswa atau prestasi belajar siswa dengan cara
meningkatkan kemampuan siswa yakni dengan cara mengoptimalkan
interaksi guru dengan siswa sehingga dapat memberikan kenyamanan pada
siswa dan lebih terjalin kedekatan antara guru dan siswa. Serta dapat
meningkatkan efikasi diri siswa agar dapat memaksimalkan prestasi belajar
yang diraih siswa. Bagi para siswa penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai informasi untuk lebih mengenali dan
memahami interaksi guru siswa dan efikasi diri yang dapat menunjang
tercapainya tujuan proses belajar yang dijalani di sekolah. Selain itu, manfaat
secara praktis dalam penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan
pemahaman kepada para guru, betapa pentingnya peran guru dalam
berinteraksi dengan para muridnya terkait dengan peningkatan kemampuan
yang dimiliki siswa dan peningkatan prestasi belajar siswa.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Telah ada beberapa penelitian yang membahas tentang prestasi belajar
matematika, namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitianpenelitian sebelumnya, antara lain:
Tesis oleh Ani Endriani (2008) yang berjudul “Hubungan Antara Efikasi
Diri dan Konsep Diri Akademik dengan Kecemasan Praktik Mahasiswa FKIP
Universitas PGRI Yogykarta”. Penelitian yang dilakukan Ani Endriani bertujuan
11
untuk melihat hubungan antara efikasi diri dan konsep diri dengan kecemasan
praktik mengajar. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa 1) ada hubungan
positif dan signifikan antara efikasi diri, konsep diri akademik kecemasan praktik
mengajar 2) ada hubungan positif antara efikasi diri dan kecemasan praktik
mengajar. 3) ada hubungan negatif antara konsep diri akademik dengan
kecemasan praktik mengajar. Pada penelitian Ani Endriani variabel bebasnya
adalah efikasi diri dan konsep diri sedangkan pada penelitian ini variabel
bebasnya adalah interaksi guru-siswa dan efikasi diri.
Jurnal oleh Jeane L. Edman dan Brad Brazil (2007) yang berjudul
“Perception of Campus Climate, Academic Efficacy and Academic Success
Among Community College Students: An Ethnic Comparison”. Memaparkan
apakah secara etnik ada perbedaan persepsi terhadap iklim kampus, dukungan
sosial dan efikasi akademik pada mahasiswa. Subyek penelitian Jeane L. Edman
dan Brad Brazil adalah mahasiswa, sedangkan subyek pada penelitian ini adalah
siswa kelas 6 SD. Perbedaan lain adalah pada variabelnya yaitu persepsi
akademik, dukungan sosial, sedangkan penelitian ini adalah interaksi guru-siswa,
efikasi diri dan prestasi belajar matematika.
Penelitian Baran, Erdogan dan Cakmak (2011). Penelitian ini bertujuan
untuk menguji secara empirik apakah kreativitas anak dan kemampuan
matematika anak bervariasi atas perbedaan jenis kelamin dan apakah terdapat
hubungan antara kreativitas dengan kemampuan matematika. Pada penelitian
Baran, dkk subjek berusia enam tahun, sementara penelitian ini menggunakan
subjek siswa kelas enam SD (10-12 tahun). Perbedaan lain terletak pada
variabelnya yaitu berupa kreativitas, sedangkan penelitian ini menggunakan
12
variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar
matematika.
Jurnal oleh Rahil Mahyuddin, Habibah Elias, Loh Sau Cheong, Muhd
Fauzi Muhamad, (2006) yang berjudul “The Relationship Between Student’s Self
Efficacy and Their English Language Achievement”. melihat hubungan antara
efikasi diri yang dimiliki oleh siswa dengan prestasi pelajaran bahasa Inggris.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa prestasi bahas Inggris akan meningkat
ketika siswa memiliki efikasi diri yang tinggi dalam berbahasa. Variabel yang
digunakan Rahil, dkk yaitu kemampuan bahasa Inggris, sedangkan penelitian ini
menggunakan variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi
belajar matematika.
Tesis oleh Nikmah Rahmawati (2007) yang berjudul “Tingkat Prestasi dan
Efikasi Diri Siswa Ditinjau dari Penerapan Program Imersi”. Penelitian yang
dilakukan Nikmah bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan dalam efikas
diri dan prestasi belajar antara siswa imersi dan reguler. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara siswa imersi dan
siswa reguler. Tingkat prestasi siswa imersi lebih tinggi daripada siswa reguler.
Demikian pula tingkat efikasi diri siswa imersi lebih tinggi daripada efikasi diri
siswa reguler. Penelitian yang dilakukan Nikmah menggunakan variabel
penerapan program imersi, sedangkan penelitian ini menggunakan variabel
interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika.
Tesis Hazhira Qudsyi (2012) yang berjudul “Keterlibatan Orang Tua dan
Efikasi Diri Matematika dan Prediksinya Terhadap Kemampuan Matematika pada
Siswa SD”. bertujuan untuk menguji secara empirik dari keterlibatan orang tua
dan efikasi diri matematika terhadap kemampuan matematika pada siswa SD.
13
Hasil penelitian yang diperoleh adalah keterlibatan orang tua dan efikasi diri
matematika secara bersama-sama dapat memprediksi kemapuan matematika
pada siswa SD, kesimpulan lain bahwa efikasi diri matematika memiliki
hubungan signifikan dengan kemampuan matematika, sedangkan keterlibatan
orang
tua
tidak
memiliki
hubungan
dengan
kemampuan
matematika.
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada variabel bebasnya Hazhira
menggunakan variabel keterlibatan orang tua, sedangkan peneliti menggunakan
variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar
matematika.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas, tidak ada
satupun yang mempunyai kesamaan dengan penelitian ini, terutama dalam
variabel bebas yang digunakan dan subyek penelitian yang dikenakan penelitian.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dipastikan
keasliannya dan memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Download