Tugas etika bisnis

advertisement
Tugas etika bisnis
Nama : fitri agustini
Nim : 01211003
Kelas : C / Management
CSR PERUSAHAAN ROKOK INDONESIA
Pendahuluan
Tembakau adalah salah satu komoditas perkebunan di Indonesia. Dari segi
botani, kebanyakan tanaman tembakau yang dibudidayakan sekarang ini adalah
Nicotiana tabacum L. Nama Nicotiana diberikan oleh ahli botani Linnaeus pada
tahun 1753, dengan mengambil sebagian nama duta besar berkebangsaan
Perancis Jean Nicot de Villamain, beliau banyak berjasa dalam penyebaran tanaman
tembakau di Eropa. Sedang kata tabacum atau tobacco tidak jelas aslinya tetapi
kemungkinan berasal dan kata tobago yaitu sejenis pipa bercabang yang kala itu
digunakan orang-orang Indian dengan menghisap asap melalui hidung atau
mungkin pula berasal dari nama suatu pulau di India Barat, yaitu Tobago.
Dua tahun kemudian, yaitu pada 1858 diadakan penanaman jenis tembakau
cerutu lainnya di daerah Klaten. Sekitar tahun 1925 oleh Belanda didirikan
Krosok-Central di Talun, Jawa Timur dalam usaha penanaman jenis tembakau
sigaret Virginia. Perkembangan permintaan jenis tembakau sigaret yang makin
meningkat, menyebabkan kemudian di beberapa daerah mulai dikembangkan
dan telah dicoba penanamannya, antara lain di Lombok, Nusa Tenggara Barat;
Lampung; Sumatra Selatan; sekitar Ujung Pandang, Sulawesi Se1atan. Sejauh kini
hampir sebagian besar pengusahaan komoditas tembakau jenis cerutu dan jenis
Virginia diusahakan oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam bentuk PT
Perkebunan Nusantara. Lazim orang menyebut jenis tembakau yang diusahakan
oleh Perkebunan dikenal dengan nama “tembakau perkebunan”.
Jenis virginia merupakan jenis tembakau untuk keperluan rokok sigaret.
Permintaan pasar akan rokok sigaret, membuat jenis virgina banyak
dibudidayakan. Permintaan pasar akan rokok sigaret yang besar, diimbangi pula
oleh berdirinya pabrik-pabrik rokok di Indonesia. Hingga kini ada beberapa
pabrik rokok yang mempunyai konsumen loyal yang sangat besar sehingga
perusahaan tersebut menjelma menjadi perusahaan raksasa. Beberapa
perusahaan rokok ternama di Indonesia adalah PT Djarum Indonesia dan PT. HM
Samporena.
Corporate Social Responbilities (CSR )
Dalam undang-undang telah dikatakan bahwa perusahaan yang berstatus
perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam UU
PT, disebutkan pada Ayat 1 pasal 74 berbunyi ”Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan”. Hal ini merupakan salah satu dari representasi dari kegiatan
CSR sebuah perusahaan. Kalimat dalam undang-undang tersebut hanya
merupakan salah satu dari sekian banyak dari definisi CSR.
Sampai saat ini belum disepakati tentang definisi CSR. Dengan tidak adanya
kesepakatan ilmiah tentang CSR, maka konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak
dapat menginterpretasikan CSR sesuai kepentingan dan selera mereka. Banyak
pendapat tentang definisi CSR. Namun secara umum dapat dimengerti bahwa CSR
adalah kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan kata kunci pada
pengertian CSR. Kalau bukan ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan negara
di mana perusahaan itu berada, maka CSR tersebut merupakan sekadar kosmetik
untuk perbaikan citra. Jadi, dengan menggunakan pembangunan berkelanjutan
sebagai konsep kunci, ada perbedaan yang tegas antara CSR dan greenwash alias
pengelabuan citra. CSR mengandung lima komponen penting, yaitu : ekonomi,
sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan voluntarisme. Komponen
ekonomi, sosial dan lingkungan menekankan bahwa CSR dengan pembangunan
berkelanjutan tidak dapat dipisahkan.
CSR dalam Perspektif Perusahaan
Bagi perusahaan, CSR dapat dipandang menjadi dua hal yang saling bertolak
belakang, yaitu apakah CSR itu bersifat sukarela atau wajib. Beberapa ahli
menyatakan CSR seharusnya didasarkan pada kesukarelaan dengan pendirian Ketua
Panitia Khusus UU. Dengan demikian kegiatan CSR perusahaan harus diregulasi.
Namun,sampai saat ini banyak perusahaan yang memandang CSR bukan sebagai
kewajiban, tetapi suatu kesukarelaan.
Pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan yang berkomitmen CSR
tinggi maupun banyak ahli yang sependapat adalah bahwa sukarela bukan berarti
perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan
tanggung jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Yang dimaksud
dengan kesukarelaan adalah perusahaan juga menjalankan tanggung jawab yang
tidak diatur oleh regulasi. Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah harus dipatuhi
dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang
tidak diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu
tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu semakin tinggi.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumber
daya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan
lingkungan. Perdebatan banyak terjadi di seputar CSR yang seharusnya berlandaskan
kerelaan, tetapi menjadi kewajiban. Tetapi karena sudah menjadi UU, yang bisa
dilakukan adalah justru bagaimana merumuskan dalam peraturan pemerintah yang
akan menjadi strategi baru dalam menjalankan perusahaannya. CSRtelah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis,
yang pada intinya adalah bagaimana perusahaan
secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik
dan lingkungan yang lebih bersih.
Tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar
(eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada
pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung
jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan
penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi
masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.
Dengan hal ini dapat disimpulkan begitu luasnya makna CSR. Dapat digambarkan
CSR sebagai sebuah piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi
sebagai landasannya, kemudian tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab
etik, dan tanggung jawab filantropis berada di puncak piramida.
CSR Perusahaan Rokok di Indonesia, Kepedulian Sosial atau Strategi
Pemasaran
PT. HM Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan kegiatan sosial
yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Tidak mau kalah dengan PT. HM
Sampoerna, PT. Djarum Indonesia menawarkan banyak program yang dilakukan
untuk masyarakat, antara lain Djarum Bakti Pendidikan, Djarum Bakti
Lingkungan, dan Djarum Bakti Olahraga. Bentuk dari Djarum Bakti Pendidikan
dan Djarum Bakti Olahraga adalah pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi
namun tidak mampu secara ekonomi atau siswa yang berprestasi baik di bidang
akademik maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis).
Di mata sebagian besar pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan,
istilah corporate social responsibility (CSR) dipandang hanya sebagai tindakan
filantropi. CSR ditempatkan sebagai derma perusahaan atau bahkan sedekah
pribadi. Selain itu, terdapat juga pandangan yang cukup kuat di mata pelaku
bisnis yang memandang CSR sebagai strategi bisnis. CSR dijadikan sebagai
instrumen untuk mencapai dan meningkatkan tujuan ekonomi melalui aktivitas
sosial.
Dalam beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan rokok
menyentuh sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa pendidikan bagi
masyarakat yang kurang mampu dipublikasikan secara dramatis, sehingga
iklan rokok bukan saja mengagumkan, namun juga mampu menyentuh
solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM Sampoerna dengan jargon
”Sampoerna untuk Indonesia” banyak menampilkan sumbangsih mereka untuk
mencerdasakan bangsa, belakangan PT Djarum menampilkan hal senada.
Kendati sebagian orang mengetahui bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk
Indonesia” dikelola oleh Sampoerna Foundation yang secara manajerial terpisah
dan independen dari PT HM Sampoerna, namun semua orang mafhum bahwa
publikasi itu memiliki relasi dengan pemasaran (caused related marketing) dengan
produk rokok Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau Diklat
Bulu Tangkis Djarum.
Hubungan CSR dengan Profitabilitas Perusahaan
Tanggung jawab ekonomi adalah memperoleh laba, sebuah tanggung jawab
agar dapat menghidupi karyawan, membayar pajak dan kewajiban
perusahaan yang lainnya. Tanpa laba perusahaan tidak akan eksis, tidak
dapat memberi kontribusi apapun terhadap masyarakat. Artinya, CSR yang
dalam dimensi filantropi yang biasanya bersifat kerelaan, dijadikan sebuah
keharusan bagi perusahan yang berbasis sumberdaya alam. Penjabarannya
mungkin lebih mengarah kepada community development yang tersirat dari
judulnya “tanggung jawab sosial dan lingkungan” dan mengaitkannya
dengan perusahaan berbasis sumberdaya alam. Dalam program community
development telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan
komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan amal,
berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan externally driven
menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral,
berorientasi kepada etika dan internally driven.
Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan
75% responden memberi nilai lebih kepada produk dan jasa yang
dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata
kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66%
responden juga menunjukkan mereka siap berganti merek
kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif.
Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ”minat” konsumen
dari ”produk” menuju korporat. Konsumen semacam ini tidak
hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat
saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan jangka
panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas
kehidupan, harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga
memengaruhi aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah gugatan
terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab
sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik
perusahaan dari kegiatan CSR. CSR dapat mengimbangi exposure
terhadap sisi negatif perusahaan dan mengurangi dampak
terhadap tindakan yang tidak menyenangkan. Misalnya, jika
suatu saat perusahaan menghadapi krisis. Aktivitas CSR yang
efektif akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada
perusahaan. Ketika perusahaan diterpa kabar miring, masyarakat
tidak langsung percaya. satu manfaat yang dapat dipetik
perusahaan dari kegiatan CSR.
Dalam perspektif ganda, keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu
derak roda perekonomian, yang membawa komunitas menuju taraf hidup yang
lebih tinggi. Dengan demikian harus ada keseimbangan manfaat komunitas
(community benefits) dengan manfaat bisnis (business benefits), yang dapat
diperoleh dari percampuran antara filantropi murni dan pendekatan business
sponsorship approach yang melahirkan strategic philanthropy. Bahkan bila perlu
diberikan insentif khusus bagi perusahaan yang konsisten menerapkan CSR
atau community development secara efektif serta terbukti berhasil meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya, sehingga ada
keseimbangan antara punishment berupa sanksi dan reward berupa insentif
(misalnya keringanan pajak).
Strategi Pengelabuan Citra
Di tengah hiruk pikuknya iklan-iklan terkait CSR, ia mengingatkan bahwa banyak sekali
kemungkinan iklan-iklan itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra (greenwash) belaka.
Citra perusahaan kerap dinyatakan sebagai variabel antara dalam hubungan antara kinerja
CSR dengan kinerja finansial perusahaan. Ada beberapa hal yang dapat ditimbulkan oleh
pengelabuan citra. Salah satunya adalah para konsumen yang beriktikad baik akan
terperosok membeli produk yang sesungguhnya tidak berkinerja sebaik yang dijanjikan,
sehingga peningkatan mutu lingkungan yang diharapkan oleh konsumen tersebut tidak
terjadi. Dengan kerugian tersebut, maka pengelabuan citra oleh perusahaan memang harus
diperangi.
Bagaimana dengan pengelabuan citra rokok? Rokok yang dikelompokkan sebagai produk
dewasa dan bahkan tidak sedikit kalangan pengamat CSR yang mengategorikannya sebagai
produk berbahaya— masuk ke dalam harmfull industries yang dianggap legal, setara
dengan miras, judi dan senjata—tampil sedemikian elegan. Industri rokok memang sudah
lama menjadi sponsor untuk berbagai event yang sama sekali bertentangan dengan
kebiasaan merokok, seperti turnamen sepak bola, kejuaraan bulu tangkis, dan bahkan tidak
sedikit menjadi sponsor utama untuk acara-acara keagamaan. Padahal, olahraga adalah
upaya untuk meningkatkan kesehatan yang kerap disejajarkan dengan upaya menghindari
rokok, sementara majoritas norma agama menganjurkan agar tidak merokok.
Event lain yang banyak disponsori industri rokok adalah pagelaran seni. Bahkan sebuah industri
rokok secara rutin menyelenggarakan konser musik tahunan dengan tur berkeliling ke sejumlah
kota-kota besar di Indonesia. Sekali lagi, pesannya pun dikemas sedemikian indah dan
menyentuh sisi yang sangat positif. Hampir dalam semua kegiatan yang disponsori industri
rokok, dengan publikasi yang besar-besaran dan nyaris menggunakan semua media publikasi,
mulai dari televisi, radio, baliho, dan bahkan sampai dengan poster-poster yang ditempel di
berbagai tempat. Juga, selalu mengutamakan pesan utama yang sepertinya tidak ada
hubungannya dengan bahaya merokok.
Sesungguhnya baik pesan yang menunjukkan kepedulian pada penderitaan sosial, kesehatan,
menjadi sahabat di saat duka dan menjadi teman di kala suka, dengan sangat mudah dipastikan
bahwa itu semua merupakan strategi pemasaran. Bertambahnya jumlah pecandu perokok adalah
tujuan utama dari kegiatan ini. Padahal, para dokter punya banyak daftar nama penyakit yang
bakal diderita orang yang kecanduan rokok. Bahkan dalam setiap kemasan bungkus rokok,
dicantumkan peringatan: ”Merokok dapat menyebabkan serangan jantung, impotensi dan
gangguan kehamilan dan janin.”
Tampaknya strategi pengelabuan citra rokok ini berhasil. Pada peringatan pada tahun 2008, tema
yang diangkat adalah membebaskan generasi muda dari asap rokok. Pada Youth Tobacco Survey
(GYTS) yang dilakukan WHO sepanjang tahun 2004-2006 di Indonesia, diungkapkan bahwa
12,6% pelajar SMP adalah perokok. Untuk pelajar laki-laki mencapai seperempatnya (24,5%)
dan perempuan 2,3%. Dan yang mengejutkan sebanyak 30,9% dari pelajar perokok tersebut
mulai merokok sebelum umur 10 tahun dan 3,2% dari mereka termasuk dalam kategori
kecanduanrnah merokok dengan persentase laki-laki 61,3% dan perempuan 15,5%. Sebanyak
64,2 % pelajar SMP menyatakan mereka telah menjadi perokok pasif. Kondisi lebih parah terjadi
di tempat-tempat umum yaitu sebanyak 81,0% pelajar SMP menjadi perokok pasif. . Hasil lain
penelitian itu adalah lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar SMP Indonesia pe
Namun dari semua data negatif yang tersajikan, sekitar 88% pelajar SMP setuju adanya larangan
merokok di tempat umum dan 75,9% pelajar perokok ingin berhenti merokok. Sayangnya, 85,5%
dari mereka mengaku telah mencoba untuk berhenti namun gagal sehingga memutuskan untuk
kembali merokok. Begitu tingginya aktivitas merokok di kalangan generasi muda jelas sangat
memprihatinkan, karena hal ini berkorelasi langsung dengan kesehatan kualitas anak usia sekolah
tersebut.
Efektifitas Strategi Pengelabuan Citra dengan Keberhasilan Pemasaran
Apa yang membuat anak muda dan orang dewasa tidak mampu bisa berhenti merokok atau
kecanduan rokok. Jawabannya adalah iklan rokok yang marak muncul di stasiun TV. Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang melakukan survai tahun 2007 di 12 kota di
indonesia dengan total responden 2.750 menyebutkan 97,3% pelajar mengaku pernah melihat
iklan dan promosi rokok dan 83,7% responden pun mengaku bahwa mereka terinsipirasi untuk
mulai merokok setelah melihat iklan, promosi dan kegiatan yang disponsori industri rokok.
Dalam catatan Komnas PA lainnya, sepanjang Januari-Oktober 2007 terdapat 2.848 tayangan
televisi yang disponsori rokok di 13 stasiun televisi. Juga tercatat ada 1.350 kegiatan yang
disponsori industri rokok, meliputi acara musik, olahraga, film layar lebar, seni dan budaya,
hingga kegiatan keagamaan. Karena iklan rokok itu pulalah yang menjadi penyebab orang
untuk mulai belajar merokok. Contoh yang konsisten adalah konser pertunjukan para musisi
yang berasal dari dalam dan luar negeri yang sarat akan pengerahan massa hampir 100%
disponsori oleh perusahaan rokok. Kegiatan olahraga di tingkat nasional juga menggunakan
rokok sebagai sponsor utamanya. Ironis memang, kegiatan yang menekankan kreativitas dan
sportivitas malah dibayari oleh rokok yang sebetulnya bertentangan makna dan tujuannya.
Namun, perusahaan rokok juga menyambut dengan antusias kegiatan ini, yaitu dengan
mengobral iklan produknya. Iklan-iklan tersebut yang selanjutnya ditonton, diperhatikan,
ditiru dan bahkan dicoba oleh sebagian penonton, turutama anak usia sekolah yang sedang
gemar dengan acara musik maupun olahraga.
Menetukan Arah CSR Perusahaan Rokok
Upaya-upaya yang dilakukan oleh industri rokok dalam menyiasati pembatasan iklan, di
antaranya adalah melalui program CSR. Bagaimana industri rokok dilihat dari sudut pandang
CSR? Secara umum dapat dinyatakan bahwa majoritas pakar CSR tidak ragu untuk menyatakan
bahwa industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung jawab sosial. Ada
setidaknya tiga indikasi yang terkait dengan pendapat tersebut. Pertama, tidak satupun indeks
socially responsible investment (SRI) yang menyertakan perusahaan rokok ke dalam portofolio
investasinya.
Kedua, penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas ilmiah
yang membahas CSR. Yang paling terkenal adalah penolakan puluhan pakar terhadap ketelibatan
BAT dan Philip Morris dalam forum Ethical Corporation Asia di Hong Kong (14-15 Oktober
2004). Tadinya, kedua raksasa industri rokok tersebut terdaftar sebagai sponsor emas dan juga
mengirimkan eksekutif puncaknya sebagai pembicara. Namun, sebuah petisi yang ditandatangani
86 pakar CSR dan etika bisnis, membuat keikutsertaan dua perusahaan tersebut dibatalkan oleh
panitia. Ketiga, berbagai survei mutakhir menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan
sepakat bahwa industri rokok adalah yang paling rendah kinerja CSR-nya. Artinya, telah terjadi
kesepakatan global para pemangku kepentingan bahwa industri rokok memang tidak bisa
dipandang bertanggung jawab.
Mengapa kesepakatan global ini muncul di kalangan penggiat CSR? Karena beberapa tahun
belakangan telah tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas, walaupun
definisinya masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini diketahui hanyalah merupakan
perbedaan penekanan dan artikulasi, namun secara substansi tidaklah berbeda.
CSR jauh lebih luas dari sekedar pemberian sponsor, karena sebetulnya CSR adalah manajemen
dampak. Timbal balik ke masyarakat juga hanya sebagian dari CSR, karena CSR terutama
berkaitan dengan bagaimana keuntungan dibuat oleh perusahaan, bukan sekadar berapa dan
kepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif adalah hasil menjalankan CSR dalam
jangka panjang, namun citra bukanlah tujuan menjalankan CSR itu sendiri. Demikian juga
dengan uang. Banyak riset telah membuktikan bahwa kinerja CSR dan kinerja financial
perusahaan memang berkorelasi positif, namun uang (keuntungan) hanyalah dampak ikutan dari
menjalankan CSR.
Kalau sebuah perusahaan rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah
perusahaan yang bertangung jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan
internalisasi eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang
dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum
tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak dan remaja merokok
dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok dan berbagai iklannya. Industri ini juga
sama sekali tak serius melindungi bukan perokok.
.
Dalam berbagai literatur CSR dinyatakan, apabila perusahaan tidak meminimumkan
dan mengkompensasi dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun
dalam kegiatan amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang
banyak terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.
Begitu juga dengan sinyal bahwa CSR adalah budi pekerti korporat. Jika budi pekerti tidak
baik, maka masyarakat akan melihat budi pekerti korporat juga tidak baik. Pencitraan sebagai
perusahaan dengan budi pekerti yang baik merupakan sebuah metode untuk mentransfer rival
costs yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menghadapi pesaing pada industri sejenis.
Sebagai contoh PT. HM. Sampoerna yang mencitrakan dirinya sebagai perusahaan rokok yang
menjalankan CSR melalui kepedulian pada pendidikan atau PT. Djarum Indonesia melalui
program CSR penghijauan dan peduli lingkungan. Positioning tersebut menurunkan rival cost
dengan perusahaan lain dalam satu industri, terutama dengan bentuk pasar yang oligopoli
maka melalui strategi ini perusahaan mengirimkan sinyal positif sebagai perusahaan yang
berbudi pekerti. Hasilnya diharapkan nilai perusahaan akan mengalami peningkatan atau
dengan kata lain tujuan financial perusahaan akan tercapai.
Terlepas dari batas yang tipis antara sumbangsih sosial dan strategi pemasaran, sumbangsih
mereka, jelas-jelas diakui membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun yang perlu
dipertanyakan adalah kegiatan CSR perusahaan rokok tersebut sudah tepat atau belum.
Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk rokok adalah soal kesehatan. Oleh
karena itu seharusnya industri rokok banyak memprakarsai meminimumkan dampak negatif
ini dibandingkan dengan memberikan sumbangsih bagi kegiatan hiburan dan
mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Demikian pula hanya dengan produk rokoknya
sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk bagi kesehatan, produk rokok selain
mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya juga menginformasikan kandungan dan batas
toleransi racun dan tata cara merokok yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif
bagi kesehatan bagi konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang publik juga
banyak dikeluhkan. Oleh karena itu, industri rokok juga seharusnya berperan aktif untuk
menyosialisasikan larangan merokok di ruang publik dan membangun sarana-sarana smoking
area. Dari sisi penonjolan kemewahan dan kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat
berhasil. Namun dari sisi pendidikan untuk perokok tentang bagaimana sebaiknya merokok
dengan santun, hingga kini tak ada satu pun industri rokok yang mulai memprakarsainya
Dalam soal supply chain, industri rokok merupakan salah satu industri yang memiliki mata
rantai keterlibatan pelaku bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih
sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan
Sejak petani tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan
penting yang harus diajukan adalah: apa yang dilakukan oleh industri rokok untuk
meningkatkan kehidupan merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan
yang relatif adil sudah terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri pelaku
industri ini?
Kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) bisa diartikan sebagai inisiatif
perusahaan untuk terlibat dalam upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial. Alasan
kemanusiaan pada mulanya menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya
lebih lanjut, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan membangun
reputasi, causerelated marketing, dan bahkan secara diam-diam menghitung dampak dan
peluang politik hadir dalam tindakan filantropis ini. Sepertinya ini terjadi karena sebagian
besar perusahaa menempatkan diri sebagai diri sebagai perusahaan dermawan, untuk
kemudian melakukan ekspansi pasar atas modal perolehan citra positif dari publik.
Sebagai sebuah tindakan, CSR tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan untuk
menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara, tampak
bahwa kinerja CSR lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak positif dengan
memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CSR lebih sering
memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor pendidikan dan
kesehatan. Nyaris semua kegiatan CSR berhenti sampai di sini. Dan nyaris pula,
mereka melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif operasi
perusahaannya.
Langkah Strategis Pelaksanaan CSR Perusahaan Rokok
Agar CSR menjadi sebuah langkah yang sustainable dan termasuk sebagai upaya minimalisasi
dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif, disarankan beberapa langkah manajerial
yang sebaiknya diambil.
Pertama, melakukan review atas portfolio kegiatan dan program yang sudah berlangsung.
Dalam melakukan review dilakukan perusahaan harus melihat apakah kegiatan yang selama ini
dilakukan termasuk (i) communal obligation, sebuah kegiatan umum sebagaimana layaknya
seorang warga negara. Ciri umum dari kategori ini adalah keterlibatan CSR dalam program
pendidikan dan kesehatan; (ii) goodwill building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh
kepada seluruh karyawan, pelanggan, dan community leader dalam menjalin hubungan baik dan
merangkai program company relationship jangka panjang. Dalam kategori ini CSR, juga
dijadikan sebagai momentum untuk merangkai stakeholder engagement baik secara internal
(khususnya employee dan supply chain) maupun secara eksternal (khususnya dengan
pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum); (iii) strategic giving,
memberikan bantuan sesuai dengan core competence bisnis dan konteks kebutuhan lokal.
Dalam konteks ini, yang kegiatan CSR yang disarankan bagi perusahaan rokok adalah
memperhatikan kesejahteraan para pelaku bisnis rokok yang sangat panjang. Sejak petani
tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Peningkatan taraf hidup
mereka yang terlibat di dalamnya. Dan menerapkan suatu sistem pembagian keuntungan yang
relatif adil.
Kedua, melakukan penilaian atas resistensi—baik yang potensial maupun yang sudah eksis—
dari inisiatif pemberian bantuan oleh perusahaan. Penilaian ini dilakukan dengan
memerhatikan: (i) proses seleksi atas upaya pemberian bantuan terbaik; (ii) upaya memperlebar
mitra dengan kelompok lain dalam memberikan bantuan; (iii) upaya-upaya dan proses-proses
perbaikan kinerja pemberian bantuan; (iv) perolehan dampak perbaikan dan perluasan
pengetahuan. Empat “saringan” ini diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai sosial
dan ekonomi baru: terjadi keseimbangan atau titik temu antara semakin tingginya manfaat
sosial dalam kegiatan filantropi murni dan manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis murni.
Ketiga, mencari opportunity untuk melakukan collective action di sebuah wilayah operasi
bersama mitra lain. Mitra di sini baik berupa perusahaan lain maupun beragam para pemangku
kepentingan yang memiliki competitive context sesuai dengan canangan program yang hendak
dijalankan. Dalam konteks ini disarankan bagi perusahaan rokok bekerja sama dengan
perusahaan rokok lain untuk membangun unit-unti smokingarea dan mengkampanyekan hanya
boleh merokok pada smoking area tersebut. Hal ini sebagai konsekuansi bahwa rokok
sebenarnya mengganggu bagi orang-orang disekitarnya. Sebab hal ini sebenarnya yang
dibutuhkan masyarakat yang bukan perokok.
Keempat, dengan penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring) dan mengevaluasi hasil.
Temuan perolehan hal-hal unik yang mungkin berbeda sama sekali dengan langkah teks
manajerial sebaiknya dijadikan sebagai input untuk perbaikan dan inovasi program tiada henti.
Satu hal yang juga penting diperhatikan—kendati secara implisit sudah ditegaskan di muka,
bahwa CSR juga membawa misi penyebaran nilai-nilai. Nyaris semua perusahaan besar
dibangun atas nilai-nilai universal pendirinya dan berbagai program CSR juga sedikit banyak
mencerminkan keinginan penyebaran nilai-nilai para pendiri bangunan dan jaringan bisnis ini.
Nilai-nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama, komitmen pada kebersihan dan
kejujuran, semangat dan kerja keras, seni bertahan dan mengaktualisasikan diri, serta sejumlah
cita-cita yang berhubungan dengan nilai-nilai citizenship, juga merupakan item yang harus
diperhatikan dengan saksama dalam melakukan CSR.
Secara keseluruhan langkah-langkah di atas haruslah bermuara pada keseimbangan antara
kontribusi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan tentunya ditempatkan dalam kerangka upaya
manajemen untuk meminimumkan dampak negatif rokok dan memaksimalkan dampak positif
perusahaan rokok sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di sinilah titik temu makna
tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus
mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang
keseimbangan ini dijaga dengan saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh
tanggung jawab.
kesimpulan
Kegiatan CSR yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan perusahaan rokok merupakan
sebuah strategi pemasaran dan strategi pengelabuan citra. Kegiatan CSR yang dilakukan bukan
untuk meminimalisir dampak nigatif rokok yang berbahaya bagi kesehatan, namun kegiatan
tersebut bertujuan untuk menarik simpati sosial. Kegiatan ini efektif dilakukan untuk
mendongkrak keuntungan perusahaan rokok. Seharusnya CSR perusahaan rokok dilakukan
untuk meminimalisir bahaya rokok, dengan setidaknya menggunakan langkah-langkah
strategis yang dikemukakan di atas. Dengan demikian akan ditemukan titik temu antara makna
tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus
mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang
keseimbangan ini dijaga dengan saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh
tanggung jawab.
Download