NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL BADAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, interaksi dan interdependensi antar negara semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya interaksi tersebut, meningkat pula kerjasama internasional di berbagai bidang yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional yang mengikat para pihak. Ini berarti semua pihak dengan itikad baik harus bersungguhsungguh melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional yang telah disepakati bersama. Tidak dilaksanakannya perjanjian internasional oleh suatu pihak dapat berakibat timbulnya gugatan oleh pihak lain. Sebagai melaksanakan bagian dari hubungan masyarakat internasional internasional, dan Indonesia membuat juga perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya. Agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan nasional, memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat bagi rakyat, maka perlu diatur dalam suatu undang-undang (UU). Sampai saat ini UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional adalah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000. Pada saat dibentuknya UU No. 24 Tahun 2000, UUD Tahun 1945 baru mengalami dua kali perubahan. Dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 yang menjadi landasan yuridis pembentukan UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengalami perubahan. Rumusan Pasal 11 tetap seperti semula, yang berbunyi ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sedangkan dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002), Pasal 11 mengalami perubahan yaitu terdiri dari 3 ayat, yang rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut: 2 (1) ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (2) Presiden dalam membuat perjanjian ineternasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.” Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Partiana, ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan dari Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat tersebut, diantaranya adanya kriteria perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.1 Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat seharusnya juga menjadi landasan yuridis dalam pembentukan UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Permasalahan lain dari perjanjian internasional adalah tidak semua perjanjian internasional memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Ada beberapa perjanjian internasional yang dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat dapat menyengsarakan rakyat. Misal, berbagai perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Pemerintah baik secara bilateral maupun multilateral seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-Japan Partnership.2 Baca: I Wayan Partiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308460487.pdf –, hal. 473. 2 Baca: Edy Burmansyah (Peneliti Institute for Global Justice), FTA dan UU Perjanjian Internasional, “Globalisasi”, www.unisosdem.org/article_detail.php?... –. 1 3 Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut menyebabkan rakyat dihadapkan kepada perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akibatnya, perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden (Kepres). Dalam praktiknya, selama ini juga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2000. Pagu pinjaman luar negeri yang disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak sesuai dengan maksud UU No. 24 Tahun 2000. Persetujuan DPR terhadap UU APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional oleh DPR. UU APBN bukanlah UU mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional, melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Sedangkan pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah sesuai dengan hukum perjanjian internasional.3 Beberapa permasalahan tersebut menandakan adanya kelemahan atau kekurangan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2000 dalam mengatur mekanisme pembuatan atau pun pengesahan perjanjian internasional. Hal ini dikhawatirkan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional kurang memberikan manfaat yang maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Damos Dumoli Agusman, Beberapa Perkembangan Teori dan Praktik di Indonesia tentang Hukum Perjanjian Internasional, e-library.kemlu.go.id/index.php?...65%3Aapa-perj... –. 3 4 B. Identifikasi Masalah Penggantian terhadap UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2011. Dalam Lampiran Keputusan DPR RI No. 02B/DPR/II/2010-2011 tanggal 14 Desember 2010 penggantian Undang-Undang ini terdapat di urutan nomor 37, yang Naskah Akademik dan draft awal RUU penggantiannya disiapkan oleh DPR RI. Untuk itu, berdasarkan Surat Ketua Badan Legislasi Nomor 63/BALEG/DPR RI/V/2010 perihal dukungan teknis administratif dan keahlian pada Badan Legislasi tanggal 24 Mei 2010 dan sesuai Rapat Koordinasi Deputi Perundang-Undangan tanggal 22 Desember 2010 dengan agenda membicarakan tugas pendampingan perancangan undang-undang dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011, dibentuk Tim Penyusun Naskah Akademik dan draft awal RUU tentang Penggantian UndangUndang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 43 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan disebutkan bahwa Rancangan UndangUndang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.4 Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang akan dimuat dalam NA RUU Penggantian UU No. 24 Tahun 2000 ini adalah: 1. Bagaimana definisi atau pengertian perjanjian internasional yang tepat agar tidak ada multitafsir antara perjanjian internasional yang bersifat publik dan yang bersifat privat? Lampiran I angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. 4 5 2. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penggantian UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional? 3. Materi-materi perjanjian internasional apa saja yang pengesahannya harus memerlukan persetujuan DPR? 4. Bagaimana mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian internasional? 5. Bagaimanakah materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional? A. Tujuan dan Kegunaan Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut: 1. menguraikan mengenai pengertian perjanjian internasional. 2. menguraikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000. 3. menganalisis materi-materi perjanjian internasional yang pengesahannya harus dengan persetujuan DPR. 4. menganalisis mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang baik agar sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian internasional. 5. merumuskan materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Adapun kegunaan dari penyusunan NA ini adalah sebagai acuan atau referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tercantum dalam daftar Prolegnas 2011 – 2014 RUU Prioritas Tahun 2011. Penggantian UU tentang Perjanjian Internasional ini akan menjadi landasan hukum yang kuat dan menjadi pedoman dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sehingga perjanjian internasional benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. 6 C. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti data sekunder.5 Penelitian dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian internasional yang ada di dalam peraturan perundang-undangan, konvensi/perjanjian internasional, dan literatur terkait. Sedangkan sifat penelitian yuridis normatif ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya6. 2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh lembaga/pihak yang berwenang, meliputi antara lain, peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan konvensi. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, makalah, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.7 Data sekunder tersebut diperoleh dari perpustakaan, internet, surat kabar, seminar, dan sebagainya. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya, yang semuanya dapat disebut bahan referensi atau bahan acuan atau rujukan8. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 24. 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI Press, 1984, hal. 10. 7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal.103-104. 8 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta,1998), hal. 103-104. 5 7 Untuk mendukung data sekunder diperlukan data primer yang diperoleh melalui wawancara secara mendalam dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun para pihak yang diwawancara adalah para pejabat/pegawai Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh, anggota DPRD Kalimantan Barat dan Aceh, dan para akademisi. Disamping itu, data juga diperoleh dengan mengadakan diskusi internal dengan pejabat/pegawai Kementerian Luar Negeri, akademisi, dan praktisi. 3. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011, sedangkan penelitian ke daerah dilakukan pada tanggal 9 sampai dengan 12 Agustus 2011. Adapun daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh. Pertimbangan pemilihan Provinsi Kalimantan Barat didasarkan antara lain pada karakteristik wilayah Provinsi ini sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, yang memiliki kesepakatan Sosek Malindo atau Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia, dan didasarkan pula pada adanya kesepakatan kerjasama Memorandum of Understanding (MoU) Sister City antara pemerintah Kota Singkawang dengan Pemerintah Yang Mei Taiwan Sedangkan pertimbangan pemilihan Provinsi Aceh sebagai lokasi penelitian adalah adanya MoU antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau perjanjian perdamaian yang ditandatangani di Helsinki. Selain itu, terjadinya bencana tsunami yang menarik perhatian berbagai donor internasional. 8 4. Teknik Penyajian dan Analisis Data Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif. Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada. Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pada tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri.9 Sedangkan rumusan sifat regulasi preskriptif, yang bahwa diharapkan penelitian untuk mengemukakan menjadi alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturan mengenai perjanjian internasional di masa yang akan datang. 9 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 22. 9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. TEORI PERJANJIAN INTERNASIONAL Dari awal berkembangnya hukum internasional, hukum perjanjian internasional pada mulanya tumbuh dan berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang kemudian oleh masyarakat internasional diformulasikan dalam bentuk hukum tertulis yang berupa konvensi-konvensi atau perjanjian internasional. Hukum kebiasaan internasional pada dasarnya terbentuk oleh praktik yang sama yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya subyek hukum internasional yang menentang, dan diikuti oleh banyak negara. Dengan cara demikian maka hukum kebiasaan internasional tersebut terbentuk semakin kuat dan berlaku secara universal karena diikuti oleh banyak negara di dunia. Konvensi atau perjanjian internasional merupakan salah satu sumber penting dalam hukum internasional. Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menentukan bahwa dalam mengadili suatu perkara Mahkamah sebaiknya menggunakan sumber hukum internasional10: 1. Perjanjian Internasional (International Conventions); 2. Kebiasaan Internasional (International Customs); 3. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Internasional (general principles of international law); dan 4. Keputusan Pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Judicial teachings of the most high qualified publicist). Konvensi-konvensi tersebut dapat berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua negara, dan berbentuk multilateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua negara. Dalam praktiknya terdapat juga 10 Lihat, Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, Edisi Kedua, 2003 hlm 113-116 ; Urutan penyebutan dalam Pasal 38 tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya mana yang paling utama atau terpenting karena tidak ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 38 tersebut. Pada praktiknya antara sumber hukum yang satu dengan yang lain saling mengisi. Yang dapat diklasifikasikan adalah bahwa sumber hukum yang pertama sampai dengan ketiga adalah sumber hukum utama, sedangkan sumber hukum yang keempat merupakan sumber hukum tambahan (subsidiary means). 10 konvensi atau perjanjian internasional yang disebut regional bila yang menjadi pihak hanya negara-negara dari suatu kawasan misalnya ASEAN. Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh negara di dunia. Melalui perjanjian internasional tersebut, tiap subyek hukum internasional menggariskan dasar kerjasama mereka dan mengatur berbagai kegiatan yang akan disepakati. Dengan demikian perjanjian internasional merupakan instrumen yuridis bagi masyarakat internasional untuk menampung kehendak dan persetujuan untuk mencapai tujuan bersama. Pembuatan perjanjian internasional merupakan perbuatan hukum dari subyek hukum internasional dan mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan praktik-praktik dari hukum kebiasaan internasional, masyarakat internasional berhasil mengkodifikasikan kaidah-kaidah perjanjian internasional ke dalam dua konvensi yaitu : Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang Mengatur Perjanjian-Perjanjian Internasional Antar Negara dan Negara. Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional yang Mengatur Tentang Perjanjian Internasional, Antara Organisasi Internasional dan Negara, Ataupun Perjanjian Internasional Antara Sesama Organisasi Internasional. Pada dasarnya kedua konvensi tersebut mengatur tentang proses atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai dengan pengakhiran perjanjian internasional yang secara garis besarnya dimulai dari tahap perundingan (negotiation) untuk merumuskan naskah perjanjian, penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text), pengotentikan naskah perjanian (authentication of the text), persetujuan untuk terikat atau pengikatan diri pada perjanjian (consent to be bound by treaty) yang dapat disertai dengan pengajuan pensyaratan (reservation), mulai berlakunya perjanjian (entry into force of a treaty), dan lain-lain. Indonesia sampai saat ini belum menjadi negara pihak pada kedua Konvensi Wina tersebut, tetapi ketentuanketentuan yang terdapat di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain. 11 1. Teori Monisme dan Dualisme Perjanjian kerjasama internasional yang dibuat antara negara dengan negara lainnya atau dengan organisasi internasional merupakan perjanjian internasional dalam pengertian hukum internasional publik11. Bagaimana perjanjian internasional sebagai norma hukum internasional diterapkan dalam hukum nasional persoalannya terletak pada permasalahan bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum nasional. Dalam hukum internasional, ada dua macam teori yang mencoba untuk menerangkan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu teori dualisme dan teori monisme12. Menurut aliran monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Karena adanya hubungan hirarki ini, maka timbul aliran monisme dengan primat hukum internasional dan monisme dengan primat hukum nasional. Menurut monisme dengan primat hukum nasional, berlakunya hukum internasional karena negara atau hukum negara itu menyetujui berlakunya hukum internasional, dan karena hukum internasional itu tidak lain merupakan kelanjutan hukum nasional. Di lain pihak, menurut monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional mengatur sesuatu karena diperbolehkan oleh hukum internasional. Menurut aliran ini hukum nasional membuat peraturan pelaksanaan, dan pada hakekatnya tidak terjadi penciptaan hukum tersendiri oleh hukum nasional. Pembuatan hukum nasional dianggap sebagai penerusan dan penciptaan hukum internasional. Sebaliknya, menurut aliran dualisme, hukum internasional dan hukum nasional itu sama sekali terlepas satu sama lainnya karena masing11 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku-I Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1977, hal. 42-43. 12 Sri Setianingsi Suwardi, Masalah-masalah Hukum Perjanjian Pinjaman Internasional, Makalah pada Fakultas Pasca Sarjana Bidang Hukum Internasional UNPAJ, 1990, hal. 5. 12 masingnya mempunyai sifat yang berlainan. Menurut aliran dualisme ini, daya pengikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Dengan perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakekatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya. Dengan demikian, hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum nasional13. Dalam hal perjanjian internasional yang dilakukan antara subyek hukum internasional publik yakni antara pemerintah Republik Indonesia dengan negara lainnya, maka hukum yang dipakai adalah hukum internasional publik, maka asas-asas hukum perjanjian internasional publik berlaku pada perjanjian ini. Ini berarti bahwa asas-asas hukum perjanjian internasional baik yang tertuang dalam Konvensi Wina tahun 1986 berlaku untuk perjanjian internasional tersebut. 2. Teori Delegasi Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan: kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Internasional Nasional dan dijadikan cara Hukum bagaimana Nasional. ketentuan Indonesia Perjanjian cenderung menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Keterikatan Indonesia pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada 13 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York, Russel & Russel, 1973, hal. 123-124. 13 penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia melaksanakannya sudah dengan menjadi itikad Negara baik dan pihak, Indonesia melakukan wajib penyesuaian perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah berlaku secara definitif.14 3. Konsep one door policy Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional Negara merupkan entitas abstrak. Negara terbagi dalam berbagai kekuasaan yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang kesemuanya diatur dalam konstitusi. Tidak bisa semua institusi negara melakukan hubungan dengan subyek hukum internasional lainnya. Dalam kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional, negara yang memiliki Dalam suatu negara ditentukan dalam konstitusi lembaga mana yang dapat melakukan hubungan luar negeri atas nama negara tersebut. Ini penting agar hanya ada satu pintu (one door policy) dan kebijakan bila pihak lain ingin berhubungan dengan negara tersebut. Berdasarkan konsep yang dikenal dalam hukum internasional, pemerintah pusat merupakan pemegang kedaulatan suatu negara. Subyek hukum internasional lainnya akan berhubungan dengan pemerintah pusat bila hendak melakukan hubungan luar negeri. Hukum internasional tidak mengatur lembaga mana yang dianggap sebagai pemerintah pusat. Ini diserahkan kepada masing-masing konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara.15 Dalam konstitusi Indonesia yakni Pasl 11 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan: 14 Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum”, Bina Cipta, Bandung, 1990, hlm. 65 15 Hikmahanto Juwana, UU Hbungan Luar Negeri,:Konteks, Konsep pemikiran dan pelaksanaannya selama ini, artikel Hukum pada Institut for legal and zonstitutional goverment, 1 Maret 2010. 14 ”Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”. Lebih lanjut terkait dengan peran pemerintah daerah, pada Pasal 5 ayat (1) UU tentang Perjanjian Internasional menyebutkan: ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri”16. B. PRAKTIK EMPIRIS 1. Tinjauan Terhadap Defenisi Perjanjian Internasional Mengenai terminologi atau istilah Perjanjian Internasional yang dipakai oleh masyarakat internasional sampai saat ini dapat berupa berbagai macam diantaranya traktat (treaties), konvensi (convention), persetujuan (agreement), piagam (charter), protokol (protocol), nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU), dan sebagainya. Terminologi-terminologi tesebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Boer Mauna sebagai berikut: “Penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut 16 Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 15 dengan dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat sebelumnya.”17 Defenisi perjanjian internasional publik harus dibedakan dengan perjanjian internasional yang bersifat privat atau dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular yaitu negara/transnasional. Pemerintah RI-GAM perjanjian Sebagai 2005 yang contoh, akan bersifat MOU dimengerti lintas Helsinki sebagai batas antara Perjanjian Internasional, MOU RI-Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RIMicrosoft 2007 juga dipahami sebagai suatu perjanjian internasional. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional” sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian internasional. Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi memberikan penegasan dan batasan dan perbedaan yang jelas dalam pembedaan tersebut. Dalam kasus ini yang menjadi permasalahan adalah Pasal 11 ayat (2) yang berketentuan : “setiap kontrak kerjasama yang sudah ditandatangani harus segera diberitahukan secara tertulis kepada DPR RI” dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”. 17 DR. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni Bandung, Cetakan ke-4, Bandung, hlm. 89. 16 Di dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan : “Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, „perjanjian internasional lainnya perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akbiat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”. Kami dapat menyetujui pendapat pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasionaln yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi WIna tahun 1969 tentang Hukum perjanjian (Law of treaties) dan Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi WIna tahun 1986 tentang perjanjian Internasional. Oleh karenanya Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang migas tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945…”. Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah: “An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation” Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang 17 harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu: an International Agreement; by Subject of International Law; in Written Form; “Governed by International Law” (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik); Whatever Form. Undang-Undang Internasional sendiri No. 24 telah Tahun 2000 menekankan tentang Perjanjian bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktik Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”Treaty Room” Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “Governed by 18 International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti “loan agreements”. Dilihat dari kewenangannya, negara sebagai institusi publik, dapat menjalankan kewenangannya sebagai institusi perdata dengan melakukan suatu perdagangan internasional dengan negara lain. Perjanjian suatu negara dengan subyek hukum lain dikategorikan sebagai hukum perdata internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada hukum nasional salah satu pihak dalam perjanjian. Sebagai contoh, perjanjian pembelian tanah atau pembangunan gedung atau transaksi lainnya yang dibuat mengacu pada hukum setempat walaupun dilakukan oleh negara-negara dan organisasiorganisasi internasional bukan merupakan Perjanjian Internasional.18 Pembedaan secara tegas ini sangat penting dan diperlukan apabila perjanjian yang bersifat ekonomi dan perdagangan dimasukkan ke dalam kategori perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan/ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Meskipun dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional yang berkaitan dengan ekonomi dan perdagangan masuk ke dalam kategori hukum perdata internasional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan juga dapat berpengaruh strategis bagi masyarakat atau kepentingan bangsa, sehingga pada dasarnya juga perlu dilakukan pengesahan dengan undang-undang. Contoh, dengan keikutsertaan Indonesia di dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) maka rakyat dihadapkan kepada perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 18 DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 88. 19 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Hal ini berakibat perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan terhadap definisi Perjanjian Internasional dalam revisi Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Terkait dengan definisi Perjanjian Internasional tersebut, dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan Barat menegaskan, Pengertian PI hendaknya mengacu ke Konvensi Wina, baik Konvensi Wina yang mengatur PI antar negara maupun Konvensi Wina yang mengatur PI dengan organisasi internasional. Berpijak pada Konvensi Wina tersebut maka perjanjian antara RI dengan Aceh tidak dapat disebut PI. Begitupula perjanjian dengan korporasi internasional (international corporation) juga bukan dalam lingkup hukum internasional (bukan PI). 2. Surat Kuasa (Full Powers). Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum internasional yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu Negara dalam pembuatan hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa yang utuh untuk mewakili negaranya. Full power sebagaimana UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk 20 mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional. Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konferensi Wina 1969: Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk mengesahkan atau mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk menyatakan kesepakatan dari suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika: Ia memberikan surat kuasa penuh. Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan mereka yang mendapatkan kuasa penuh untuk mewakili Negara adalah : 1) Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para mentri luar negeri, dengan maksud untuk melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian Internasional yakni : 2) Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk mengesahkan naskah suatu perjanjian antara Negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana mereka diakreditasikan; 3) Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu konferensi internasional atau organisasi internasional, atau salah satu badannya, dengan maksud untuk mengesahkan naskah dari suatu perjanjian di konfrensi, organisasi atau badan tersebut. Terkait dengan pemberian surat kuasa tersebut, dalam Konvensi Wina tidak diatur teknis mengenai jangka waktu Surat Kuasa, namun dari hasil pengumpulan data yang dilakukan yakni hasil wawancara dengan Dosen Universitas Udayana dan Universitas Syech Kuala menyatakan, tidak ada salahnya Indonesia mengatur dalam RUU. Persoalan jangka waktu sebuah surat kuasa atau surat kepercayaan, adalah hal teknis. Jangka waktu menyangkut dua hal, yaitu (1) dalam hubungannya dengan pemerintah daerah yang akan melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dengan negara 21 lain, harus ada ketentuan yang mengikat menteri luar negeri untuk mengeluarkan suarat kuasa bagi seorang kepala daerah setelah kepala daerah yang bersangkutan mengajukan permohonan. (berapa lama surat kuasa itu dapat digunakan, apakah dapat digunakan berulang-ulang. Kedua hal ini harus diatur dalam RUU yang baru. Sebagai catatan bahwa kuasa jabatan sebagaimana dipangku oleh seorang menteri keuangan misalnya, sangat berbeda pengertiannya dengan kewenangan yang diterima oleh menteri keuangan melalui sebuah surat kuasa untuk melakukan suatu perjanjian karena sifat berlakunya dengan surat kuasa ada tenggang waktunya, yakni selesainya sebuah perjanjian. 3. Peran Pemerintah Daerah Terkait dengan peran daerah dalam pelaksanaan perjanjian internasional khususnya dalam pembuatan perjanjian Internasional, dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan : ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, ter1ebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri“. Dengan demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut, menyimpulkan bahwa daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri. Dalam pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah, kewenangan atau yang menjadi pihak dalam perundingan rancangan suatu perjanjian tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 5 ayat (4) adalah Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing. Selain itu, daei aspek hukum internaional, Subyek Hukum Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini perjanjian internasional, 22 Pemerintah Daerah meskipun dapat melaksanakan perjanjian atau kerjasama internasional, tetapi kedudukannya tidak bisa dipandang sebagaimana layaknya subjek hukum internasional. Tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat. Dalam konteks hukum internasional, beban pertanggungjawaban perjanjian internasional tetap berada di Pemerintah Pusat. Terkait dengan keinginan daerah untuk dilibatkan dalam pembuatan PI, dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Universitas .... Provinsi Kalimantan Barat dan Universitas Syech Kuala Provinsi Aceh, menyatakan, perlu ada kehati-hatian jika hendak mengakomodir keinginan daerah tersebut dalam UU PI karena daerah bukan subyek hukum yang memiliki kewenangan untuk membuat PI (treaty making power). Daerah tidak bisa dilibatkan secara langsung dalam pembuatan PI. Namun peran daerah perlu diatur secara jelas agar tidak terjadi lagi pengalaman kasus yang telah lalu, misal: rencana Kalbar untuk mendatangkan mobil bekas yang dituangkan dalam Perda dimentahkan oleh SK Menteri Perdagangan yang mengakibatkan Perda tidak berlaku. Kasus yang terbaru adalah mengenai tata gula. Meskipun hal tersebut tidak dapat dibenarkan dimana produk legislasi (Perda) dibatalkan oleh eksekutif (SK Menteri Perdagangan), hal tersebut dapat dimaklumi karena merupakan mekanisme kontrol dari pusat kepada daerah. Dalam pembuatan PI, dunia internasional (negara pihak) akan melihat konstitusi. Berdasarkan konvensi Montivideo yang mengatur hak dan kewajiban negara, jika negara berbentuk negara kesatuan maka yang memiliki kewenangan/kemampuan untuk melakukan hubungan keluar adalah pemerintah pusat. Oleh karena itu, jika daerah hendak membuat PI maka harus melibatkan pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan negara yang berbentuk federal, dimana negara bagian ada yang diberi wewenang untuk membuat PI. Untuk itu, ke depan agar tidak ada permasalahan lagi maka dalam kerangka NKRI, perlu ada dialog dengan daerah dalam pembuatan PI agar 23 kebutuhan/keinginan daerah dapat terakomodasi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengantispasi masalah maka perlu ada ”benang merah” antara UU PI dengan UU terkait, diantaranya UU Hubungan Luar Negeri, UU Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan sebagainya. Jika tidak ada benang merah maka apa pun yang dibuat dalam PI maka akan timbul masalah di kemudian hari. 4. Pengesahan Perjanjian Internasional a. Pasal 11 UUD 1945 Dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen dapat dijumpai suatu ketentuan pokok yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian internasionkekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilanal. Ketentuan yang dimaksud dituangkan dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Selanjutnya pada tanggal 22 Agustus 1960 telah dikeluarkan Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/60 yang isinya berbunyi sebagai berikut :17) 1. “ ………………… 2. Menurut pendapat Pemerintah perkataan “perjanjian” di dalam pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan Negara asing, tetapi hanya perjanjian-perjanjian terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat (treaty). Jika tidak diartikan demikian, maka Pemerintah tidak akan mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional 17) Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), Penerbit CV. Armico, Bandung, Edisi ke-2, Agustus 1988, Lampiran II, Hal.269-271. 24 dengan sewajarnya, karena tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar. 3. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tertera dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar, Pemerintah akan menyampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, hanya perjanjian- perjanjian yang terpenting saja, (treaties) yang diperincikan dibawah, sedangkan perjanjian yang lain (agreements) akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui. 4. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden ialah perjanjianperjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut : a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (alliansi), perjanjian-perjanjian tentang perobahan wilayah atau penetapan tapal batas. b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara; dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerja sama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang. c. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang- 25 undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman. Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Dari Surat Presiden tersebut, keikutsertaan DPR seperti dimaksudkan Pasal 11 UUD 1945, mencakup : a. Soal-soal politik atau yang akan mempengaruhi politik luar negeri RI, antara lain : 1) perjanjian persahabatan; 2) perjanjian persekutuan; 3) perjanjian tentang perubahan wilayah; 4) perjanjian kerja sama ekonomi dan teknik; 5) perjanjian pinjaman uang; b. Soal-soal yang menurut UUD 1945 dan peraturan perundangundangan harus diatur oleh Undang-undang. c. Soal-soal yang menurut Undang-undang diatur dalam bentuk traktat (treaty).18) Sedangkan perjanjian yang mengandung materi yang lain yang lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Didalam praktek pembedaan antara traktat dan persetujuan (agreement) dapat dilihat bahwa traktat memerlukan persetujuan DPR dan bentuk yuridis persetujuan ini dalam bentuk Undang-undang. Sedang dalam hal persetujuan DPR hanya diberitahu dan bentuk yuridis ratifikasi persetujuan dalam bentuk KEPPRES atau kadang-kadang tanpa ratifikasi.19) 18) Bagir Manan, Kekuasaan Presiden Untuk Membuat, Memasuki dan Mengesahkan Perjanjian/Persetujuan, Majalah Universitas Padjajaran No. 3-4, Jilid XVI, 1998. Hal.14. 19) Sri Setianingsih Suwardi, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya Dengan Pasal 11 UUD 1945, Makalah Pada Lokakarya “Perjanjian RI dengan Negara Lain serta Ratifikasi oleh DPR RI”, di DPR, 10 Juni 1993. Hal. 15. 26 Ratifikasi sebenarnya adalah suatu metode pengecekan oleh parlemen mengenai apakah utusan negara yang ditugaskan untuk berunding dalam suatu perjanjian internasional tidak keluar dari instruksi. ”Ratifikasi ini dianggap perlu dan penting karena : Perjanjian itu umunya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan Negara dalam hal-hal tertentu karena itu harus disahkan oleh kekuasaan Negara tertinggi. Untuk menghindari kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka. Perlu adanya waktu agar intansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima. Pengaruh Parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.”19 Selain berdasarkan penandatangan dan Ratifikasi, suatu perjanjian internasional juga dapat tunduk dan mengikat bagi suatu negara meskipun bukan sebagai negara peserta dari perjanjian internasional tersebut melalui cara Aksesi. Yang dimaksudkan dengan Aksesi disini adalah pernyataan suatu negara yang bukan peserta dari perjanjian internasional untuk tunduk terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Umumnya Aksesi ini dilakukan dengan cara mengirimkan piagam Aksesi ke negara penyimpan untuk kemudian memberitahukan kepada negara-negara peserta lainnya.20 Tindakan internasional lain yang lazim dilakukan oleh negaranegara pada saat pembuatan Perjanjian Internasional adalah dengan mengajukan suatu Pensyaratan (Reservation) terhadap klausul dari suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Apabila Pensyaratan tersebut diterima maka negara bersangkutan tidak tunduk terhadap ketentuan dari pasal yang diajukan Pensyaratan tersebut. Umumnya 19 20 DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 118. Mengenai Aksesi Konvensi Wina 1969 mengaturnya di dalam Pasal 15 yang menyatakan bahwa Aksesi dapat dilakukan apabila : 1.Perjanjian itu sendiri secara jelas menyatakan hal tersebut, 2.Bila terbukti Negara-negara yang ikut berunding menginginkan demikian. 27 Pensyaratan ini diajukan pada waktu penandatanganan, Ratifikasi, ataupun pada saat Aksesi. Terhadap Pensyaratan ini pada praktiknya menimbulkan beberapa kesukaran yaitu keseragaman perjanjian menjadi tidak terjaga karena Pensyaratan suatu negara berbeda-beda dengan negara lain. Integritas perjanjian internasional juga menjadi tidak terjamin karena sulit untuk diketahui pasal-pasal mana yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara. Namun meskipun demikian, praktik Penysaratan ini masih kerap dilakukan dan diakui oleh masyarakat internasional.21 Mengenai keterikatan atau tunduknya suatu Negara pada perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek eksternal dan internal. Aspek eksternalnya adalah negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional tersebut. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Yang dimaksud dengan aspek internal disini adalah dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional terhadap hukum atau peraturan perundangundangan nasional negara yang bersangkutan yang substansinya ada hubungannya dengan substansi dari perjanjian internasional tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau penyelarasan substansi dari perjanjian internasional tersebut dengan substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan terkait. b. Masalah Ruang Lingkup Pengesahan Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam 21 Mengenai Pensyaratan diatur di dalam Konvensi Wina 1969 di dalam Pasal 19 yaitu : suatu Negara waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, atau aksesi dapat mengajukan Pensyaratan terhadap suatu Perjanjian kecuali; 1.Pensyaratan dilarang oleh perjanjian, 2.Pensyaratan tertentu dimana tidak termasuk Pensyaratan yang dilarang, 3.Pensyaratan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Perjanjian. 28 Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR dalam konteks Undang-Undang APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang APBN bukanlah Undang- Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan UndangUndang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN bukanlah mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian, secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam UU lainnya. 29 Dalam praktiknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut, wewenang penandatanganan Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan. Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah sebabnya, dalam mengamankan rangka akuntabilitas juridis serta kepentingan hukum khususnya untuk kewajiban pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar Negeri pada setiap mengupayakan perjanjian klausula pinjaman tentang kategori dipenuhinya ini terlebih selalu dahulu prosedur konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian. Dalam praktik, notifikasi “telah Departemen terpenuhinya Luar Negeri prosedur akan menyampaikan konstitusional/internal” setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan perihal tersebut. Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional 30 biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per definisi Undang-Undang ini yaitu perjanjian “Governed by International Law”. Untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang ini, akan terjadi konflik kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi, dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri ditandatangani oleh Menteri Keuangan sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) mendelegasikan kepada Menteri Keuangan”. Terkait dengan pemberian hibah dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh, menyatakan, sebaiknya dilaksanakan kebijakan one door policy, yakni dalam penerimaan hibah Pemerintah Daerah harus melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Karena implikasi dari pemberian hibah berdampak terhadap politik dan ekonomi suatu daerah. Sebagai contoh pemberian hibah dari suatu Negara terhadap pemerintah Aceh. Dampak dari pemberian hibah tersebut pemerintah Aceh harus melakukan kerjasama (dibidang Sumber Daya Alam misalnya) dengan pihak pemberi hivah tersebut. Oleh karena itu, dalam revisi UU PI masalah hibah tersebut perlu pengaturan tersendiri. 31 c. Pengesahan Perjanjian Internasional di Bidang Ekonomi Indonesia sebagai salah satu Negara yang berkembang dengan cukup pesat di Asia Tenggara, saat ini terlibat dalam sejumlah perjanjian perdagangan bebas, yaitu dengan World Trade Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS. Dampak positif FTA telah dipaparkan oleh perwakilan pemerintah. Namun, sejumlah FTA yang melibatkan Indonesia tersebut tidak dapat dikatakan memberikan dampak yang lebih positif bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah masalah sosial yang terjadi, diantaranya: masalah pengangguran, masalah kemiskinan, masalah transformasi sektor penanganan pertanian, sektor masalah informal, reforma masalah agraria, atau penanganan terhadap masyarakat adat. Secara statistik, angka pengangguran di Indonesia memang menurun. Tetapi, lapangan kerja lebih banyak disumbangkan oleh sektor informal yang selalu dimarjinalkan. Data BPS menyebutkan pertumbuhan sektor informal terus meningkat sejak 1997 sebagai akibat berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Sektor informal ini ibaratnya spons cuci yang menyerap sisa-sisa kotoran. Ia akan menyerap tenaga kerja yang terlempar dari piring-piring sektor formal. Sektor informal di kota-kota besar juga menjadi penyerap bagi mereka yang terlempar dari sektor pertanian yang sekarang dibanjiri oleh produk impor. BPS mencatat, selisih ongkos produksi dengan pendapatan petani dari tahun ke tahun selalu menurun. Akibatnya, semakin sedikit penduduk yang mau melestarikan pertanian dan terjadilah urbanisasi yang juga menimbulkan masalah sosial 32 lanjutan. BPS menyebutkan bahwa sampai Februari 2011 sektor pertanian mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 0,84% dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan internasional di data dan bidang alasan ekonomi, diatas, maka khususnya perjanjian terkait dengan perdagangan bebas harus diratifikasi dalam pengesahannya. Ada tiga hal utama mengapa perjanjian internasional di bidang perdagangan Undang bebas harus Undang, internasional pertama memiliki penandatanganan diratifikasi, ; perjanjian dampak perjanjian atau penting disyahkan melalui perdagangan dan perdagangan luas. bebas bebas Kedua, menuntut konsekuensi perubahan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya di dalam negeri. Ketiga, perjanjian perdagangan bebas umumnya mengikat (legally binding), yang pelanggarannya dapat dikenakan denda atau sangsi secara internasional. Selama ini awam mengenal perdagangan bebas sebagai perjanjian perdagangan semata, atau hanya semata-mata urusan jual beli antar Negara. Perdagangan bebas tidaklah demikian. Perdagangan bebas adalah suatu rezim yang mengatur tidak hanya perdagangan barang, akan tetapi investasi dan jasa-jasa. Rezim perdagangan bebas mengatur seluruh aspek dalam ekonomi. Melalui WTO yang merupakan suatu organisasi internasional tentang perdagangan bebas, kita temukan ruang lingkup perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian WTO mencakup perjanjian sektor pertanian, perdagangan barang, jasa dan kekayaan intelektual. Dasar seluruh kebijakan WTO adalah prinsip-prinsip liberalisasi, termasuk komitmen masing-masing negara untuk menurunkan dan menghilangkan tarif bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pendirian WTO melalui UU No 7 tahun 1994. Ratifikasi ini berarti bahwa Indonesia menyetujui dokumen final pendirian WTO dan sekaligus secara resmi menjadi anggota WTO. Keikutsertaan menjadi anggota WTO telah menimbulkan konsekuensi yang luas terhadap perekonomian 33 nasional. Dalam hal ini semestinya parlemen dapat memanggil pemerintah/presiden dalam urusan pelaksanaan UU No 7 tahun 1994, menyangkut semakin lemahnya posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Selain WTO perjanjian perdgaangan bebas lainnya ditandantangani oleh pemerintah melalui Free Trade Agreement (FTA). Meski hanya dilakukan antara Negara, antar Negara dengan suatu kawasan dan antara kawasan yangs atu dengan kawasan lainnya, namun perjanjian FTA memiliki dampak yang sangat luas. Ruang lingkup perjanjian FTA lebi komprehensif dibandingak WTO, karena tidak hanya meliputi pertanian, perdagangan barang, namun juga liberalisasi dibidang keuangan dan jasa-jasa. Komitmen penurunan tariff bea masuk dalam perdagangan dan liberalisasi keuangan serta jasa-jasa dalam FTA lebih tinggi dibandingkan kesepakatan didalam WTO. Perjanjian FTA berlangsung sangat cepat. Idonoensia saat ini telah menandatangani banyak FTA, misalnya perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan komitmen penuh kea rah ASEAN single market. Melalui ASEAN Indonesia telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan China, Korea, Jepang, Australia , India dan rencana perjanjian perdagan bebas dengan AS dan EU yang saat ini dalam proses negosiasi. Dengan ditandantanganinya seluruh perjanjian FTA tersebut maka berarti Indonesia telah melakukan liberalisasi penuh terhadap perekonomian nasionalnya baik dalam bidang investasi, perdagangan dan keuangan. Berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut telah berdampak penting dan luas. Sebagai contoh perjanjian FTA dengan China telah menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekspansi produk manufactur murah asal China. Perdagngan bebas dengan Australia Newzealand menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekapansi produk pertanian dan peternakan. Demikian pula halnya perdagangan bebas dengan Jepang telah menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekspansi pasar produk Jepang dan sisi lain 34 Indonesia menjadi sasaran eksploitasi sumber daya alam oleh actoraktor ekonomi dari Negara tersebut. Ringkasnya perjanjian perdagangan bebas memiliki dampak penting dan luas. Penadatanganan perjanjian ini oleh pemerintah menyebabkan Negara terikat di dalam rezim internasional yang seringkali Negara tidak dapat menarik diri keluar dari perundingan karena berbagai konsekusnsi yang dapat diterima secara internasional. Sebagai contoh Indonesia gagal melakukan negosiasi ulang FTA dengan China meski telah jelas merugikan ekonomi nasional. Sementara pemerintah (eksekutif) begitu mudah menandatangani perjanjian FTA karena menerima insentif seperti utang, bantuan lainnya, tanpa memikirkan bahwa kesepakatan itu akan berlaku pada pemerintahan berikutnya dan sulit menarik dari dari perjanjian yang telah ditandatangani. Dengan demikian maka satu-satunya cara untuk mengerem tindakan pemerintah yang “terus menerus” menandatangani FTA adalah dengan meratifikasi melalui UU. Karena kesepakatan itu sangat strategis dan harus memperoleh persetujuan dari seluruh rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat (DPR). Selain itu yang terpenting adalah UU ratifikasi FTA nantinya tidak boleh bertentangan dengan semangat proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan konstitusi dasar Negara Republic Indonesia. 35 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Dalam UU No. 37 Tahun 1999, yang dimaksud dengan hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia (Pasal 1 angka 1). Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional {Pasal 5 ayat (1)}. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1), kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri. Yang dimaksud dengan Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri (Pasal 1 angka 4). Masih terkait dengan kewenangan, Pasal 7 ayat (1) mengatur Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar Negeri di bidang tertentu. Namun sesuai dengan prinsip ”one door policy”, Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri. 36 Sehubungan dengan keinginan Indonesia untuk masuk ke dalam atau keluar dari keaggotaan organisasi internasional, seperti organisasi perdagangan internasional maka Pasal 9 dapat menjadi pedoman. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1), pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Pembukaan dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di negara lain atau kantor perwakilan pada organisasi internasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden {Pasal 9 ayat (2)}. Dalam UU No. 37 Tahun 1999, pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur tersendiri dalam Bab III, Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Sesuai dengan prinsip one door policy, Pasal 13 mengatur bahwa Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri. Pasal 14 mengatur bahwa Pejabat lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang akan menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, harus mendapat surat kuasa dari Menteri. Sebagai catatan, nomenklatur atau penamaan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen sebagaimana yang ada dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tersebut saat ini sudah tidak sesuai lagi. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, istilah yang digunakan adalah Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Lebih lanjut, Pasal 15 mengamanatkan untuk mengatur ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang tersendiri. 37 B. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pembuatan perjanjian internasional di bidang pengelolaan sumber daya alam perlu memperhatikan tujuan penyelenggaraan penananaman modal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007, yaitu antara lain untuk: a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b) menciptakan lapangan kerja; c) meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d) meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e) meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f) mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g) mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pembuatan perjanjian internasional di bidang pengelolaan sumber daya alam juga harus memperhatikan kebijakan dasar penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Pemerintah menetapkan kebijakan dasar untuk: a) mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b) mempercepat peningkatan penanaman modal. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) mengatur bahwa dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: a) memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; b) menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c) membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3), Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal. Tidak seperti Undang-Undang Penanaman Modal sebelumnya, yaitu UU No. 1 Tahun 1967 yang hanya mengatur penanaman modal asing dan 38 UU No. 6 Tahun 1968 yang hanya mengatur penanaman modal dalam negeri, UU No. 25 Tahun 2007 memberlakukan prinsip perlakuan sama (equal treatment) dengan tidak membedakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Perlakuan sama ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d, yang menyebutkan: penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Selain itu, perlakuan sama juga dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a sebagaimana telah dipaparkan dan juga Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan: Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Pemberian perlakuan yang sama (non diskriminasi) kepada penanam modal baik dalam negeri maupun asing merupakan wujud implementasi dari prinsip yang diatur dalam WTO, khususnya dalam Agreement on Trade Related Investment Measure (TRIMs). Beberapa prinsip dalam WTO tersebut adalah: 1) Prinsip most favoured nations (MFN), yang menuntut perlakuan yang sama dari negara host country terhadap penanam modal dari negara asing yang satu dengan penanam modal dari negara asing lainnya, yaitu tidak membedakan asal negara penanam modal tersebut; dan 2) Prinsip national treatment, yang mengharuskan negara penerima modal untuk tidak membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri di negara penerima modal tersebut. Selain perlakuan sama, hal lain yang harus diperhatikan adalah masalah bidang usaha. Dalam UU No. 25 Tahun 2007, bidang usaha diatur dalam dalam BAB VII, Pasal 12 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. 39 (2) Bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi penanam modal asing adalah: (3) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang, dan (4) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. (5) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. (6) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. (7) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Untuk melaksanakan amanat Pasal 12 ayat (4), pemerintah telah membentuk Perpres No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Perpres No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Terkait dengan bidang usaha, dalam rangka pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, Pasal 13 ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja 40 sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Selanjutnya Pasal 13 ayat (2) mengatur bahwa Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. UU No. 25 Tahun 2007 juga mengatur mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab Penanam Modal. Berdasarkan Pasal 14, setiap Penanam Modal berhak mendapat: a) kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b) informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c) hak pelayanan; dan d) berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajiban setiap Penanam Modal diatur dalam Pasal 15, yaitu berkewajiban: a) menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c) membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d) menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e) mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab Penanam Modal diatur dalam Pasal 16, yaitu: a) menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b) menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c) menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d) menjaga kelestarian lingkungan hidup; e) menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain tanggung jawab tersebut, berdasarkan Pasal 17, Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan 41 lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU No. 25 Tahun 2007 juga mengatur mengenai penyelenggaraan urusan penanaman kewenangan modal pemerintah sehingga daerah dan dapat diketahui pemerintah secara pusat di jelas bidang penanaman modal. Penyelenggaraan urusan penanaman modal tersebut diatur dalam Bab XIII, Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. (2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah. (3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. (4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah. (5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi. (6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota. (7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah : a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; 42 d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. (8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota. (9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 30 ayat (9), telah dibentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. PP ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu pada tanggal 9 Juli 2007. Terkait dengan perjanjian internasional di bidang penanaman modal, dalam Bab XVII (Ketentuan Peralihan), Pasal 35 diatur bahwa Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. Lebih lanjut Pasal 36 mengatur bahwa Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini. Sebagai catatan UU No. 25 Tahun 2007 mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada tanggal 26 April 2007 43 C. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan Pembentukan fungsi pemerintahan pemerintahan negara dalam tersebut berbagai menimbulkan bidang. hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, hubungan keuangan antara pemerintah dan lembagalembaga infra/supranasional meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/BUMN, dan Pemerintah dapat melakukan penyertaan modal pada BUMN, pinjaman dan/atau hibah yang diterima oleh Pemerintah dapat pula diteruskan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk hibah, atau dijadikan sebagai penyertaan modal Pemerintah pada BUMN. Selain itu pula, pengaturan mengenai hibah/pinjaman luar negeri diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi: (1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. (2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah. 44 Pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri tersebut dapat diterus pinjamkan atau diterus-hibahkan kepada Pemerintah Daerah, dan diterus-pinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN. Untuk pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan kemampuan perekonomian nasional karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup berat, sehingga pengelolaan diperlukan pinjaman luar kecermatan negeri. dan kehati-hatian Pengadaan pinjaman dalam dan/atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dilakukan dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekononomian nasional. Perbaikan pengelolaan keuangan negara bertumpu pada sistem anggaran yang transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin efektivitas pemanfaatan. Dalam rangka meningkatkan kemandirian, peran pinjaman luar negeri dijaga pada tingkat yang aman, sementara sumber utama dalam efektivitasnya. negeri yang Kepentingan berasal utama dari pajak pembiayaan terus ditingkatkan pemerintah adalah penciptaan pembiayaan pembangunan yang dapat menjamin kemampuan peningkatan pelayanan publik baik di dalam penyediaan pelayanan dasar, prasarana dan sarana fisik serta ekonomi, dan mendukung peningkatan daya saing ekonomi. D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan internasional sebagaimana Peraturan Perundang-Undangan Mengingat pentingnya pergaulan dituangkan pula dalam pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia harus berperan aktif dalam pergaulan dunia maka tidak dapat dihindari keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional serta terjalinnya perjanjian kerjasama dengan negara lain dan tentu saja akan berpengaruh juga dengan kebijakan nasional karena suatu perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia atau secara otomatis berlaku bagi negara-negara anggota perlu dituangkan dalam kebijakan hukum nasional. 45 Terkait perjanjian internasional, Pasal 10 ayat (1) huruf e UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi salah satunya yaitu pengesahan perjanjian internasional tertentu. Yang dimaksud dengan perjanjian internasional tertentu adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini tentu saja harus mendapatkan perhatian, karena normanorma yang diakibatkan karena pengesahan suatu perjanjian internasional tertentu harus diterjemahkan dalam norma hukum tertentu yakni undangundang karena hal ini terkait dengan daya mengikat keberlakuannya dan disesuaikan dengan Dikarenakan kepentingan negara dan bangsa Indonesia. akibat hukum yang akan menyertai keberlakuan suatu pengesahan perjanjian internasional maka menjadi suatu keharusan hal ini menjadi salah satu materi muatan yang harus diatur dalam undang- undang. Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; dan f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Sementara itu dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa: 46 (1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. (2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Pengesahan perjanjian internasional yang dituangkan dalam suatu undang-undang, terkait juga dengan materi undang-undang yang harus memuat mengenai tugas dan kewenangan penyelenggara negara. Sehingga dengan diaturnya ketentuan tersebut sebagai materi muatan suatu undangundang akan memberikan limitasi yang tegas mengenai tugas dan kewenangan penyelenggara negara dan sebagai upaya preventif dari detournement de puvoir atau penyalahgunaan wewenang. Mengacu pada ketentuan pada Pasal 11 ayat (2) (perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 10 November 2001) maka perjanjian internasional yang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang. Ketentuan ini berarti perjanjian internasional yang tidak menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau tidak mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, tidak harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga tidak semua perjanjian internasional haruslah disahkan dengan undang-undang. Pengaturan dengan undang-undang merupakan suatu bentuk persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dapat diartikan bahwa semua pengesahan perjanjian internasional harus dengan 47 persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu dengan menggunakan undangundang. Pengesahan perjanjian internasional tidak semuanya harus diratifikasi dengan Undang-Undang, mengingat perjanjian atau persetujuan internasional ada yang bersifat teknis dan administratif yang tidak berpengaruh terhadap hak, kewajiban, dan kehidupan masyarakat luas. Di samping itu proses pembentukan undang-undang memerlukan waktu yang panjang, di satu sisi perjanjian internasional harus segera dilaksanakan. Selain ketentuan tersebut di atas, berkaitan dengan kondisi lingkungan global yang semakin menurun dewasa ini, Indonesia sebagai salah satu negara di dunia dengan kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah sudah semestinya mengatur pemanfaatan, pengelolaan serta perlindungan sumberdaya alam sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga keberlangsungan kehidupan generasi yang akan datang. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang berciri nusantara sangat rentan dengan bencana alam, dengan kondisi yang demikian, jika terjadi perubahan keseimbangan alam di dunia dapat berakibat fatal bagi Indonesia sehingga sudah seharusnya pemikiran mengenai perlindungan sumber daya alam memasuki ranah kebijakan yang mesti dituangkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan menjadi salah satu yang disyaratkan sebagai materi muatan dalam suatu undang-undang. E. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Berkaitan dengan peran pemerintah daerah dalam pembuatan perjanjian inetrnasional, terkait dengan otonomi khusus di provinsi Papua, dalam UU internasional No. 21 yang Tahun berkenaan 2001 mengenai dengan pembuatan kepentingan perjanjian provinsi Papua. Pembuatan perjanjian inetrnasional di dalam Pasal 4 ayat (6) dinyatakan bahwa Perjanjian Internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Selanjutnya dalam ayat (7) dinyatakan bahwa Provinsi Papua dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga 48 atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Provinsi Papua dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan tersebut memungkinkan Provinsi Papua memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau swasta, yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi, dan mengembangkan pariwisata di Provinsi Papua. Masih berkenaan dengan kekhususan provinsi Papua berkenaan dengan kerjasama intenasional, dalam Pasal 35 ayat (1) dinyatakan Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Kemudian pemerintah provinsi Papua diberikan wewenang dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2). Untuk pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP {(Pasal 35 ayat 3)}. Sementara itu, terkait dengan pinjaman yang berasal dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Dalam pasal-pasal tersebut, terlihat bahwa terkait dengan politik luar negeri Indonesia, bahwa bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan penuh mengurus politik luar negeri negara, dan provinsi Papua termasuk kedalamnya. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Papua melakukan kerjasama dan konstultasi dengan pemerintah pusat untuk pelaksanaan hal-hal tersebut di Provinsi Papua. Keterlibatan pemerintah pusat tetap diperlukan terutama hal-hal kesepakatan-kesepakatan Pelaksanaan kewenangan luar yang negeri pembuatan menyangkut dan standarisasi kerjasama perjanjian dan antarnegara. internasional dan kerjasama internasional baik hibah maupun pinjaman, pemerintah provinsi Papua harus tetap berkoordinasi dengan pemrintah pusat. Untuk itu 49 pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya jika isi Pasal 35 di hubungkan dengan Pasal 5 Jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, hal ini dikategorikan sebagai suatu bentuk perjanjian internasional, yang merupakan perjanjian internasional yang menyangkut pinjaman dan/atau hibah luar negeri disahkan dalam bentuk Undang-Undang. Hukum internasional hanya mengenal perjanjian antar negara tanpa melihat sistem internal negara mengikatkan diri pada perjanjian otonomi, federal, atau sentralisasi. Pemerintah daerah dalam hal ini bertindak sebagai elemen negara (lembaga pemrakarsa) yang mengikatkan negara pada perjanjian inetrnasional. Oleh karena itu, pemrintah daerah bertindak atas nama negara, bukan atas nama pemerintah daerah. Undang-Undang Otonomi Khusus hanya mengatur mekanisme daerah mengenai pembuatan perjanjian internasional. Mekanisme daerah yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua memiliki esensi yang sama yaitu memberikan ruang partisipasi bagi daerah dalam pembuatan perjanjian inetrnasional. Mengingat perjanjian internasional yang di buat oleh pemerintah daerah atas nama negara, perlu di perhatikan ketentuan nasional yang berlaku termasuk perjanjian internasional dimana Indonesia menjadi pihak. Oleh karena itu, konsekuensinya diperlukan koordinasi dan konsultasi berbagai instansi terkait (mekanisme internal). F. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Pemerintah Daerah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam melaksanakan kerjasama internasional. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri serta dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olahraga internasional. Hal ini secara jelas disebutkan dalam Pasal 8 mengenai rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh. Selanjutnya dalam Pasal 9 undang-undang tersebut yang menyatakan: 50 (1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Pemerintah Acemeh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. (3) Dalam hal diadakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Aceh dapat melakukan perjanjian internasional dengan lembaga atau badan luar negeri secara langsung dalam batasan kewenangannya. Artinya, kerjasama atau perjanjian internasional hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh di bidang selain yang menjadi kewenangan Pemerintah, yang berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (3) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 9 ayat (4) diatas bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama luar negeri yang dapat dilakukan oleh Aceh diatur dalam Peraturan Presiden, yaitu Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga atau Badan Di Luar Negeri. Dalam perpres ini diatur secara jelas tentang prinsip kerjsama, tata cara kerjasama, pendanaan kerjasama, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan, serta penyelelesaian perselisihan. 51 Terkait dengan tugas dan wewenang DPRA, dalam Pasal 23 huruf g dan huruf h dinyatakan bahwa DPRA mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan memberikan pertimbangan terhadap rencana kerjasama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh. Mengenai kewenangan di bidang sumber daya alam di bidang pertambangan mineral, batubara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan berada pada pemerintah daerah (Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota). Sedangkan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan di laut di wilayah kewenangan aceh berada dibawah pengelolaan bersama antara pemerintah Pusat penggunaan dengan sumber Kabupaten/Kota, Pemerintah daya alam Pemerintah Aceh Aceh. (SDA) tetap non Menyangkut migas melakukan dengan di daerah koordinasi dan persetujuan dengan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pembagian hasil bagi daerah atas penggunaan sumber daya alam sangat tergantung dari jenis perjanjian yang dilakukan. Misalnya pertambangan, kehutanan, perikanan, pembangkit sumber daya listrik yang menjadi kewenangan masing masing Kabupaten/Kota. Terkait dengan hal tersebut di atas, mengenai pengelolaan sumber daya alam diatur dalam Pasal 156 yang menyatakan bahwa: (1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerap-kan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. (5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan 52 ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing. Dibuka ruang partisipasi masyarakat bekenaan dengan kerjasama internasonal, dalam hal ini penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan {Pasal 165 ayat (1)}. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku secara nasional. Hal tersebut dilakukan untuk pengembangan dan pembangunan provinsi Aceh dan untuk menyejahterakan masyarakat Aceh. Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian pinjaman luar negeri, melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Peencanaan Pembangunan Nasonal. Dalam pembuatan perjanjian internasional tersebut mengacu Pasal 186 Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri atau bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. (2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari dalam negeri yang bukan berasal dari pemerintah dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri dan bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 53 (4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan DPRA/DPRK. (5) Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat: a.tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota; b.tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota; c. tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan d. tidak bertentangan dengan ideologi negara. (6) Dalam hal hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mensyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan kepada DPRA/DPRK. Terkait dengan kegatan ekonomi perbankan, dalam Pasal 196 ayat (4) dinyatakan bahwa Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, bekenaan dengn perjanjian bagi hasi minyak dan gas bumi yang berlokasi di Aceh antara dengan negara asing atau pihak lain, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian diatur dalam Pasal 252. Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewenangan untuk melakukan hubungan internasional dan membuat perjanjian internasional ada pada pemerintah pusat yang diwakili oleh Presiden Republik Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat(3) UU No. 32 Tahun 2004. Pemerintah Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000, dan Pemerintah Aceh berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan juga dapat melakukan hubungan luar negeri dan membuat perjanjian internasional. Namun untuk pelaksanaannya diperlukan koordinasi dan konsultasi 54 dengan pemerintah pusat. Kepala Daerah merupakan pengemban tugas dan kewenangan untuk mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan, termasuk dalam melaksanakan hubungan luar negeri dan membuat perjanjian internasional namun masih memerlukan adanya surat kuasa penuh (full powers) dari Menteri Luar Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa yang memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan luar negeri dan untuk membuat serta menandatangani perjanjian internasional adalah pemerintah pusat yang diwakili oleh Presiden Republik Indonesia. Kedudukan Kepala Daerah sebagai kepala pemerintah daerah disatu sisi dengan kedudukan kepala daerah sebagai pejabat negara yang memperoleh surat kuasa penuh (full powers) dari Menteri Luar Negeri untuk melaksanakan hubungan luar negeri, disisi yang lain adalah saling berkaitan satu dengan yang lain. Oleh karenanya obyek hubungan kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah segala urusan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan disebutkan sebagai urusan dari pemerintah daerah. Sedangkan dalam penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hubungan kerjasama luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah, pemerintah pusat harus terlibat aktif dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi sebab dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dianggap sebagai subyek hukum internasional adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara utuh dan tidak terbagi-bagi. Sehingga oleh karenanya, walaupun hubungan kerjasama luar negeri di prakarsai dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, pada saat terjadi sengeketa internasional pemerintah pusat tidak dapat lepas tangan begitu saja. Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam perjanjian sister city melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat khususnya Kementerian Luar Negeri dan dalam hal kerjasama yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA) dan daerah, maka kami harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dalam hal ini berlaku ketentuan khusus (lex specialis) bagi Aceh sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Ketentuan 55 ini berbeda dengan ketentuan umum (lex generalis) yang berlaku bagi kebanyakan daerah lainnya di Indonesia. Mengingat perkembangan hukum yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, baik yang bersifat umum (UU No. 32/2004) maupun yang bersifat khusus seperti Aceh (UU No. 11/2006) dan Papua (UU No. 21/2001) telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah secara khusus untuk melakukan hubungan luar negeri. Oleh karena itu, prinsip one door policy sebaiknya diadakan pembatasan hanya terhadap perjanjian internasional yang bersifat central power sebagai kewenangan Pemerintah saja, sedangkan untuk residu power sebagai kewenangan daerah seperti yang ditentukan di dalam UU No. 11/2006 misalnya tidak dibutuhkan prinsip kebijakan satu pintu tersebut. Jika merujuk pada pasal-pasalnya, maka UU tersebut memiliki beberapa fungsi yaitu, penguat eksistensi NKRI, sebagai instrumen yuridis untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, instrumen yuridis pelaksanaan perjanjian internasional (Memorandum of Understnding) serta untuk penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh. G. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Seiring dengan proses reformasi Indonesia, yang salah satu pilar utamanya adalah pembentukan sistem otonomi daerah maka tidak dapat dipungkiri bahwa peran pemerintah daerah sangat penting sebagai salah satu aktor dalam pelaksanaan hubungan internasional. Globalisasi yang secara tidak langsung berimbas kepada kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah menuntut semua lapisan masyarakat mulai dari pemerintah pusat sampai warga Negara untuk memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam melakukan hubungan luar negeri, tak terkecuali bagi pemerintah di tingkat daerah. Semakin luas cakupan hubungan luar negeri, ditambah dengan pemberlakuan otonomi daerah maka secara tidak langsung akan berdampak pada semakin luasnya aktivitas pemerintah daerah dalam mengembangkan daerahnya. 56 Dalam melakukan hubungan luar negeri, pemerintah daerah tidak dapat bertindak diluar aturan mengingat adanya hal-hal yang menjadi batasan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti regulasi, wewenang dan kemampuan masingmasing pemerintah daerah dalam melakukan hubungan luar negeri. Memang kenyataannya masih banyak pemerintah daerah yang belum mengetahui tentang batasan-batasan tersebut dan sering kali melangkahi pemerintah pusat dalam melaksanakan aktivitas hubungan luar negeri, sehingga dirasakan perlu adanya pemahaman mengenai mekanisme atau tata cara pelaksanaan hubungan luar negeri yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, serta batasan dan akibat hukum yang muncul akibat aktivitas tersebut. Sebenarnya jika dicermati peran pemerintah daerah telah ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang berbunyi sebagai berikut:22 “hubungan luar negari adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga Negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara”. Sementara pengaturan terkait perjanjian internasional dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tampak pada Pasal 42 ayat (1) huruf (f), yang berbunyi:23 “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah”. 22 23 Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Lihat Pasal 42 ayat (1) huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 57 Penjelasan: “ yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam ketentuan ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar negeri yang terkait dengan kepentingan daerah.” Penjelasan yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional” dalam ketentuan ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar negeri yang terkait dengan kepentingan daerah, sementara dalam penjelasannya hanya disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah. Hal inilah yang secara tidak langsung menimbulkan problematika, mengingat perumusan pasal ini tidak didukung oleh konsepsi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam konteks pemerintah daerah karena di dalam penjelasannya hanya disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah. Secara sederhana dapat dirinci permasalahan sebagai berikut: - Apakah perjanjian yang dimaksud oleh undang-undang ini adalah perjanjian internasional seperti yang didefinisikan oleh UU PI? - Apakah pengertian perjanjian antar pemerintah dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud harus perjanjian antar pemerintah (G to G) atau pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah pusat sesuai dengan definisi undang-undang ini? - Apakah perjanjian yang terkait dengan kepentingan daerah dimaksudkan sebagai perjanjian yang dibuat oleh pemerintah pusat (Indonesia) namun materinya terkait kepentingan daerah? Dalam praktik internasional, kekuasaan membuat perjanjian lazimnya berada di tangan pemerintah pusat dan tidak dikenal adanya perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Memang jika dicermati dalam praktik Indonesia dikenal juga beberapa jenis dokumen yang berkaitan dengan pemerintah daerah, seperti: - Dokumen yang ditandatangani antar pemerintah daerah, seperti MOU sister city yang telah dibuat banyak oleh berbagai pemerintah daerah. - Dokumen yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah, seperti perjanjian RI – Singapura terkait kawasan ekonomi khusus Batam, Bintan dan Karimun 2006. 58 Terkait dengan sister city maka perjanjian tersebut bukanlah merupakan suatu bentuk perjanjian internasional karena dokumen ini belum diakui memenuhi persyaratan sebagai suatu perjanjian internasional oleh UU PI mengingat para pihak tidak dimaksudkan bertindak atas nama Negara melainkan bertindak atas nama lembaganya. Materi yang tertuang dalam perjanjian ini lebih bersifat administratiF sehingga tidak melahirkan hak dan kewajiban Negara menurut hukum internasional. Hal ini semakin diperkuat dimana PBB tidak pernah menerima pendaftaran (depository) MoU semacam ini berdasarkan Pasal 102 Piagam PBB.24 Tidak hanya itu, kenyataan di lapangan 25membuktikan bahwa sister city lebih didasarkan pada misi dagang, kerjasama budaya, pariwisata, hubungan etnisitas atau emosional antara kota tersebut. Namun sayangnya di lain pihak, seiring dengan pemahaman yang distortif tentang perjanjian internasional, tidak dipungkiri bahwa di kalangan pemerintah sendiri masih menganggap MOU seperti ini sebagai perjanjian internasional dengan perimbangan bahwa karakternya adalah antar pemerintah (daerah). Dengan demikian, jika bertolak dari definisi perjanjian internasional maka lebih tepat jika yang dimaksudkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ini adalah perjanjian yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Yang perlu untuk diperhatikan lebih jelas apabila konstruksi atau konsep ini diadopsi maka secara tidak langsung akan memunculkan persoalan yuridis lain bahwa perjanjian ini harus melalui pendapat dan pertimbangan dari DPRD yang disampaikan kepada pemerintah daerah. Mekanisme seperti ini akan memunculkan “double ratification” yang diratifikasi oleh DPR dan DPRD, mengingat di Indonesia mekanisme seperti ini tidak pernah dilakukan. Praktik di Indonesia selama ini masih diarahkan kepada pembuatan MOU sister city antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah Negara asing, yang ditandatangani oleh masing-masing kepala daerah. 24 Lihat Pasal 102 Piagam PBB. Pengumpulan data yang dilakukan oleh tim asistensi terkait penyusunan naskah akademik dan draft RUU Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak). 25 59 Dengan demikian maka praktik tersebut bukanlah dalam rangka pembuatan perjanjian internasional seperti yang dimaksud Pasal 42 ayat (1) huruf (f) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, akan tetapi semata-mata pelaksanaan dari Pasal 42 ayat (1) huruf (g), yang berbunyi: “ DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah”. Berdasarkan pengertian pasal tersebut maka MOU sister city lebih tepat untuk diartikan sebagai kerjasama internasional daripada perjanjian internasional. Dalam praktiknya, sebelum membuat MOU ini Pemerintah daerah harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, namun kadang kala peraturan normative yang seharusnya dilakukan sering terbentur pada kenyataan atau realita di lapangan, dimana tidak adanya kesepahaman dalam mekanisme antara Pemerintah daerah dan DPRD itu sendiri. Jika dicermati untuk membuat perjanjian internasional, seluruh lembaga (termasuk Pemerintah Daerah) apabila ingin mengadakan kerjasama dengan pihak dari luar negeri harus melewati proses yang panjang agar aman dari segi politik, yuridis, security dan teknis. Adapaun proses pengajuan rencana kerjasama luar negeri oleh Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut: Pemerintah daerah mengajukan rencana kerjasama luar negeri kepada DPRD untuk dipertimbangkan dan disetujui. 1. Pemerintah daerah berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kementeriaan Luar Negeri dan lembaga/departemen terkait tentang isi perjanjian; 2. Pengajuan full power oleh pimpinan daerah atau pejabat daerah yang berwenang (jika diperlukan); Menurut Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dijelaskan bahwa pembuatan perjanjian internasional harus melewati 5 tahapan yaitu: 1. Penjajakan, dalam proses ini dilakukan tukar-menukar draft yang ingin diajukan melalui jalur diplomatik. 60 2. Perundingan, dalam proses ini kedua belah pihak berunding untuk menentukan pasal-pasal dalam perjanjian. 3. Perumusan naskah, merupakan hasil kesepakatan perundingan yang berisi pasal-pasal. 4. Penerimaan, pemberian paraf terhadap naskah perjanjian yang siap untuk ditandatangani. 5. Penandatanganan, pemberian tanda tangan oleh para pihak yang melakukan perjanjian melalui presiden, menteri luar negeri, atau pejabat yang memperoleh full power. Perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh pimpinan daerah perlu disahkan agar dapat berlaku di daerahnya. Menurut Pasal 9 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terdapat 2 macam cara untu mengesahkan perjanjian yang dibuat oleh Pemernitah Daerah, yaitu: 1. pengesahan dengan undang-undang, jika menyangkut hal-hal yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, mekanismenya adalah sebagai berikut: - pemerintah daerah menagjukan ijin prakarsa kepada Presiden melalui menteri luar negeri; - pemerintah daerah membentuk panitia antar kementeriaan yang terdiri dari kementeriaan terkait untuk menyiapkan rancangan undang-undang pengesahan; - pemerintah daerah menyerahkan berkas-berkas perjanjian kepada kementeriaan luar negeri; - kementeriaan luar negeri mengajukan permohonan amanat presiden; - Presiden menunjuk menteri atau kepala instansi terkait sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan dengan DPR; - Jika disetujui, rancangan undang-undang berubah menjadi undangundang dan diterbitkan dalam lembar negara; - Menteri luar negeri menerbitkan instrumen pengesahan. 61 2. Pengesahan dengan peraturan presiden (Perpres), jika menyangkut halhal di luar Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, adapun mekanismenya adalah sebagai berikut: - Pemerintah Daerah mengkoordinasikan rapat interkementeriaan untuk mempersiapkan pengesahan perjanjian internasional; - Pemerintah Daerah menyerahkan berkas-berkas perjanjian kepada kementeriaan luar negeri; - Menteri luar negeri mengajukan surat permohonan kepada presiden; - Jika disetujui, rencana peraturan presiden berubah menjadi peraturan presiden (Perpres); - Menteri luar negeri menerbitkan instrumen pengesahan. Selain itu sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka daerah perlu mengembangkan potensi daerahnya guna mmpercepat laju pembangunan, sehingga diperlukan adanya kreatifitas daerah untuk meningkatkan pendapatan daerahnyab guna membiayai pembangunan yang dimaksud, salah satunya melalui pinjaman daerah. Pinjaman luar negeri merupakan salah satu bentuk dari dana luar negeri. Dana luar negeri itu dapat berbentuk hibah, bantuan program, bantuan proyek, bantuan teknik dan pinjaman dimana unsur penting dalam pinjaman ini adalah bahwa pinajman itu harus dibayar kembali dengan waktu dan persyaratan yang telah disetujui para pihak, yaitu antara yang meminjam dan pihak yang memberikan pinjaman. Pengertian pinjaman ini secara tidak langsung membawa kewajiban bagi yang meminjam untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dengan memenuhi persyaratan yang telah disetujui oleh kedua pihak, yaitu tentang besaranya bunga dan waktu pengembaliannya, dan lain-lain. Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam pinjaman uang pada umumnya sebagai berikut: - Ada unsur kepercayaan; 62 - Ada perjanjian pinjam uang; - Tujuannya bebas, artinya penggunaannya diserahkan kepada keinginan pihak yang meminjam (kreditur); - Mengandung kewajiban untuk mengembalikan. Yang dimaksud dengan pinjaman luar negeri menurut Pasal 1a Keppres No. 59 Tahun 1972 adalah “Kredit luar negeri adalah pinjaman yang diterima dari luar negeri, yang pemasukannya ke Indonesia bukan dalam rangka penerimaan kredit dari badan-badan internasional dam pemerintahan negara-negara yang tergabung dalam Inter-Government Group of Indonesia (IGGI)”. Sementara peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut yakni SK Mneteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep-261/MK/IV/5/73 Pasal 1 berbunyi: “yang dimaksud dengan kredit luar negeri adalah‟ a. Semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap luar negeri, baik dalam valuta asing maupun dalam rupiah. b. Semua pinjaman dalam negeri yang dapat menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap luar negeri, baik valuta asing maupun dalam rupiah, baik brdasarkan perjanjian kredit maupun berdasarkan pengeluaran obligasi, garansi, proses aksep, serta bentuk pinjaman dan kewajiban pembayaran lainnya yang lazim digunakan termasuk antara lain charter purchase, elease purchase, deffered payment purchase arrangement dan sebagainya. Selanjutnya dalam ayat (4) ditentukan: “Terhadap kredit luar negeri yang berasal dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF (International Bank for (International Monetary Funds), Recontruction and Development), IBRD IDA (International Development Agency) dan ADB (Asian Development Bank) serta negara-negara yang tergabung dalam IGGI, tidak berlaku 63 ketentuan-ketentuan dalam surat kepeutusan ini sepanjang kredit tersebut diberikan dalam rangka IGGI”. Berkaitan dengan pinjaman daerah dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatakan bahwa pinjaman ini dapat dilakukan dengan perantara pemerintah pusat, diwakili oleh Menteri Keuangan (Menkeu) melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada pemerintah daerah. Selain itu di dalam Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah telah diatur bahwa pinjaman daerah harus terlebih dahulu disetujui oleh Pemerintah Pusat. Sebenarnya berdasarkan peraturan yang mengatur mengenai perjanjian internasional khususnya terkait dengan pinjaman luar ngeri untuk pemerintah daerah, maka pemerintah daerah diperbolehkan untuk meminjam dana dari luar negeri. Ketentuan dapat dilihat melalui UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah, dimana pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman atas persetujuan presiden atau Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih diatasnya. Ketentuan ini dapat dilihat juga pada Pasal 72 UU No. 18 Tahun 1965 dan Pasal 61 UU No. 5 Tahun 1974, yang menyatakan Pemeintah Daerah dapat melakukan pinjaman dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah setingkat diatasnya. Perumusan tentang perjanjian internasional juga dilakukan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang memuat rumusan sebagai berikut:26 “ perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan provinsi papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan gubernur dan sesuai dengan pertauran perundang- undangan”. Sementara itu UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga ikut menyinggung mengenai treaty making power, yang memuat rumusan sebagai berikut:27 26 27 Lihat Pasal 4 angka 6 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Lihat Pasal 8 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. 64 “Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh ”. H. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia, yang telah semakin meningkat jumlahnya dewasa ini, pada hakikatnya bersifat lintas sektor dan menjamah beberapa disiplin ilmu hukum di Indonesia seperti Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Ekonomi dan bahkan hukum perdata. Dengan demikian maka pada hakekatnya semua pemangku kebijakan di pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif memiliki keterlibatan yang cukup kental terhadap perjanjian internasional. Hukum perjanjian internasional dewasa ini dirasakan telah mengalami pergeseran yang radikal seiring dengan perkembangan hukum internasional. Hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan banyaknya perubahan-perubahan mendasar, antara lain munculnya subyek-subyek baru non-negara disertai dengan meningkatnya interaksi intensif antara subyek-subyek baru tersebut. Indonesia sendiri juga mengalami fenomena ini, khususnya otonomi daerah dan lembaga non pemerintah yang interaksinya dengan elemen asing sudah semakin meningkat. Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antar pemerintah namun juga antar individu. Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhan-persentuhan hukum antara Indonesia dengan negara-negara lain bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan tumpang tindih antara hukum internasional termasuk perjanjian internasional dengan hukum nasional. Dengan fenomena ini, maka cepat atau lambat, publik hukum Indonesia di semua lini harus bersentuhan dengan perjanjian internasional dan akan semakin 65 menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional hanya milik diplomat saja. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi di bidang perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pola hubungan lintas batas yang mengharuskan adanya pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian dewasa ini khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu-individu di negara pihak. Praktik di negara-negara yang telah mengalami pasar bebas menunjukkan bahwa pemahaman hukum perjanjian internasional oleh para praktisi hukum termasuk “Law Firm” menjadi mutlak karena perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar, investor serta pedagang. Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia pasca reformasi pada umumnya mengatur mengenai masalah ekonomi, investasi dan perdagangan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan bersentuhan dengan kepentingan para warga negara Indonesia. Sejak tahun 2000, indonesia telah membuat perjanjian internasional rata-rata 100 perjanjian yang didominasi oleh perjanjian ekonomi, investasi dan perdagangan. Oleh sebab itu, pemahaman tentang perjanjian internasional telah menjadi kebutuhan mutlak bagi para pelaku ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis akan menjadi kebutuhan bagi aparat penegak hukum di Indonesia. Jika dicermati Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara antara lain menegaskan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif yang makin mampu menunjang kepentingan nasional dan diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional, dengan lebih memantapkan dan meningkatkan peranan Gerakan Non-Blok. Garis-Garis Besar Haluan 66 Negara juga menggariskan bahwa perkembangan dunia yang mengandung peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan mendorong ekspor, khususnya komoditi non-migas, peningkatan daya saing dan penerobosan serta perluasan pasar luar negeri. Bertolak dari prinsip-prinsip tersebut, adalah semestinya apabila segala perkembangan, perubahan dan kecenderungan global lainnya yang diperkirakan akan dapat mempengaruhi stabilitas nasional serta pencapaian tujuan nasional, perlu diikuti dengan seksama sehingga secara dini dapat diambil langkah-langkah yang tepat dan cepat dalam mengatasinya. Dengan sikap seperti itu, kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu pada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, dapat tetap dipelihara. Dalam rangka menghadapi perkembangan dan perubahan, serta memanfaatkan peluang yang ada tersebut, Indonesia terus berusaha ikut serta dalam upaya meningkatkan kerjasama antar negara, terutama untuk mempercepat terwujudnya sistem perdagangan internasional yang terbuka, adil, dan tertib serta bebas dari hambatan serta pembatasan yang selama ini dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional tersebut. Dalam skala nasional, masalah yang timbul di bidang ekonomi ternyata tidaklah sederhana. Perubahan orientasi perekonomian nasional ke arah pasar ekspor, membawa berbagai konsekuensi termasuk di dalamnya kebutuhan peningkatan kegiatan perdagangan luar negeri, khususnya di bidang produk non-migas. Tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan untuk makin mamantapkan berbagai sarana dan prasarana penunjang ekspor, serta keterkaitan yang saling menguntungkan antara produsen dan konsumen. Sementara itu, kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas pembangunan yang nasional diarahkan pada untuk dasarnya menunjang juga pelaksanaan menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang memerlukan perhatian secara menyeluruh. Hambatan dan tantangan tersebut dapat berupa ketidakpastian pasar maupun persaingan antar negara yang semakin meningkat tajam. Secara 67 umum, ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia juga dilatarbelakangi oleh perubahan-perubahan yang terus terjadi secara cepat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional, keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta kemantapan sistem perdagangan internasional di samping kemampuan penyesuaian ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia, adalah tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam hubungan perdagangan antar negara. Tatanan dimaksud adalah General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan). Persetujuan tersebut terwujud dalam tahun 1947, dan Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan tersebut sejak tanggal 24 Pebruari 1950. General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hingga saat ini Persetujuan tersebut telah diikuti oleh lebih dari 125 negara. Dari segi tujuan, GATT dimaksudkan perdagangan sebagai upaya bebas, adil untuk dan memperjuangkan menstabilkan sistem terciptanya perdagangan internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya. Sebagai tatanan multilateral yang memuat prinsip-prinsip perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa hubungan perdagangan antar negara dilakukan tanpa diskriminasi (non discrimination). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam GATT tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi negara tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama dan timbal balik dalam hubungan perdagangan internasional. GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang perdagangan 68 internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta. GATT juga merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari suatu negara yang merasa dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak adil dari negara peserta yang lain di bidang perdagangan. Prinsipnya, masalah-masalah yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negaranegara yang terlibat dalam persengketaan dagang melalui konsultasi dan konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT. Untuk mewujudkan jaminan agar perdagangan antar negara dapat berjalan baik, GATT mengatur ketentuan mengenai pengikatan tarif bea masuk (tariff binding) yang diberlakukan negara-negara peserta. Di samping itu, GATT juga menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mendorong kegiatan perdagangan berdasarkan prinsip persaingan yang jujur, dan menolak beberapa praktek seperti dumping dan pemberian subsidi terhadap produk ekspor. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam GATT tidak melarang tindakan proteksi terhadap industri domestik, tetapi proteksi demikian hanya boleh dilakukan melalui proteksi tarif dan bukan melalui tindakan seperti larangan impor atau kuota impor. GATT melarang pembatasan perdagangan yang bersifat kuantitatif, seperti misalnya penerapan kuota impor maupun ekspor. Meskipun dimungkinkan demikian, sepanjang pengecualian pembatasan atas tersebut larangan tersebut merupakan tindakan pengamanan guna mengatasi antara lain kesulitan neraca pembayaran. Dalam pelaksanaannya, pembatasan tersebut hanya dapat berlangsung dalam waktu yang terbatas, dan secara progresif harus dikurangi atau dihapuskan setelah teratasinya kesulitan dalam neraca pembayaran. GATT memungkinkan negara-negara peserta untuk memperoleh pengecualian dari suatu bersangkutan mengalami perdagangan. Untuk kewajiban tertentu permasalahan melindungi dalam industri yang apabila negara yang bidang ekonomi dan masih dalam tahap pertumbuhan, GATT mengijinkan suatu negara untuk melarang impor atau tidak memberlakukan konsesi tarif yang diberikannya dalam kerangka GATT untuk selama jangka waktu tertentu. Tindakan tersebut dapat dilakukan apabila negara yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain 69 dalam menghadapi lonjakan produk impor sehingga mengakibatkan kesulitan terhadap industri dalam negeri. Pengelompokan sejumlah negara dalam kerjasama regional guna menghapuskan hambatan perdagangan di antara mereka juga diperbolehkan, sepanjang masih sesuai dengan ketentuan GATT. Ketentuan GATT menyebutkan bahwa keberadaan kelompok regional diperbolehkan untuk meningkatkan perdagangan di antara negara-negara dalam kelompok tersebut, sejauh hal itu tidak menimbulkan hambatan perdaganagan bagi negara-negara di luar kelompok regional tersebut. Dengan menyadari adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi negaranegara peserta GATT yang tidak memungkinkan terlaksananya berbagai ketentuan dan disiplin yang telah diatur, GATT mengakui perlunya perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang. Ketentuan GATT yang mengatur perlakuan khusus ini mengakui adanya negara berkembang yang memperoleh kondisi lebih menguntungkan dalam upaya mereka memasuki pasar dunia bagi produk-produknya. Negara-negara maju tidak boleh menerapkan hambatan terhadap ekspor komoditi primer dan produk lain yang merupakan kepentingan khusus negara-negara berkembang, dan khususnya negara-negara yang paling terbelakang. Negara-negara maju juga tidak boleh mengharapkan tindakan timbal balik dari negara-negara berkembang untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan yang berupa tarif atau non-tarif. Selain itu ditegaskan pula prinsip mengenai perlakuan yang berbeda dan lebih menguntungkan, timbal balik serta keikutsertaan penuh negara berkembang, yang selanjutnya menjadi dasar bagi pemberian perlakuan khusus melalui Sistem Preferensi Umum (Generalized System of Preferences/GSP) oleh negara maju kepada negara berkembang, serta diperbolehkannya perlakuan perdagangan yang khusus bagi negara-negara berkembang yang paling terkebelakang. Perdagangan internasional sendiri merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah di bidang perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tidak 70 saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan di wilayahnya tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal negara lain yang akan masuk ke negaranya. Oleh karena itu adalah kurang tepat apabila mempresepsikan perdagnagn internasional sebagai transaksi perdagangan (bisnis) dimana pelakunya adalah negara. Sebagai contoh ada yang beragurmen bahwa negara dengan negara dapat melakukan transaksi di bidang perdagangan, seperti pemerintah Indonesia melakukan kesepakatan dengan pemerintah thailand untuk melakukan imbal beli pesawat yang diproduksi oleh indonesia dengan 110.000 ton beras ketan yang diproduksi di thailand. Namun setelah diperdalam hal tersebut bukanlah transaksi perdagangan antarnegara. Pertama, pesawat yang diproduksi di Indonesia bukan hasil produksi dari pemerintah Indonesia melainkan hasil produksi badan hukum yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia (PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN). Sementara beras ketan tidak diproduksi oleh pemerintah Indonesia melainkan oleh para pelaku usaha di Thailand. Sama halnya jika contoh yang diberikan adalah pengadaan pesawat tempur oleh pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Departemen Pertahanan dari Amerika Serikat. Adalah benar bahwa Departemen Pertahanan merupakan representasi dari negara, namun pihak yang memproduksi pesawat tempur bukanlah pemerintah Amerika Serikat melainkan badan usaha yang berada di Amerika. Perjanjian seperti ini disebut sebagai government contract dimana salah satu pihaknya negara atau pemerintah. Negara disini harus dianggap sebagai subyek hukum perdata bukan sebagai subyek hukum dalam hukum publik. Hukum internasional sendiri memiliki subyek hukum sendiri antara lain negara, organisasi internasional, palang merah internasional dan sebagainya. Sementara dalam konteks perdagangan internasional yang mengatur aturan-aturan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan bidang perdagangan yang menjadi subyek hukum adalah subyek hukum internasional. Dalam hukum perdagangan internasional, orang dan badan hukum bukanlah subyek hukumnya. Disini harus dipahami bahwa perdagangan internasional masuk dalam kategori 71 hukum internasional (publik), dan sama sekali bukan termasuk hukum perdata internasional. Hubungan WTO dengan perjanjian internasional merupakan satu kesatuan khususnya berkaitan dengan hukum internasional mengingat peranannya semakin lama semakin meningkat terlebih lagi di era globalisasi ekonomi seperti ini. I. Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah Sebagai petunjuk teknis berenaan dengan pinjaman daerah, dalam Pasal 3 ayat (1) dinyatakan pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Jelas bahwa dalam melakukan kejasama internasional terkait pinjaman, pemerintah daerah harus berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Selanjutnya ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi Obligasi Daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Artinya terdapat pengecualian bagi daerah untuk melakukan pinjaman langsung kepada luar negeri, namun jangan sampai merugikan kepentingan Negara. Selanjutnya dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan perjanjian pinjaman yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) dan/atau Pemerintah daerah membuat perjanjian pinjaman yang tidak sesuai dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) maka Pemerintah Daerah yang bersangkutan dilarang melakukan Pinjaman Daerah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. J. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri Berkenaan dengan peran Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah daerah untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional, dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini dibatasi yaitu: “Kementerian 72 Negara/Lembaga/Pemerintah daerah dilarang melakukan perikatan dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan kewajiban untuk melakukan pinjaman luar negeri”. Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa Kementerian Negara/Lembaga mengajukan usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan. Dalam hal ini harus diajukan usulan kegiatan termasuk kegiatan yang pembiayaannya akan diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah atau sebagai penyertaan modal negara kepada BUMN. Untuk kegiatan investasi, Pemerintah Daerah mengajukan usulan kegiatan investasi untuk mendapatkan penerusan pinjaman luar negeri dari Pemerintah kepada Menteri Perencanaan. Pengaturan mengenai pinjaman dan/atau hibah luar negeri tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi “Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan BUMN pelaksana kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dapat mengajukan usulan perubahan NPPLN/NPHLN kepada Menteri”. Selanjutnya dalam penetapan pinjaman dan/atau hibah luar negeri, Pasal 20 menyatakan Menteri menetapkan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang akan diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dan diteruspinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN. Penetapan Menteri dilaksanakan sebelum dilakukan negosiasi dengan PPLN/PHLN. Sedangkan dalam menentukan penerusan pinjaman kepada Daerah dalam bentuk pinjaman atau hibah, Menteri memperhatikan kemampuan membayar kembali daerah dan kapasitas fiskal daerah serta pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. K. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga Atau Badan Di Luar Negeri Dalam Peraturan Presiden kerjsama, tata cara kerjasama, ini diatur secara jelas tentang prinsip pendanaan kerjasama, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan, serta penyelelesaian perselisihan. Di provinsi 73 Aceh, kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri adalah bentuk hubungan antara Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lembaga atau badan di luar negeri. Rencana kerja sama merupakan ide atau gagasan dan rancangan naskah kerja sama yang dibuat Pemerintah Aceh mengenai kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri, yang memuat pokok pikiran, ruang lingkup, dan tujuan yang akan dicapai. Lembaga atau badan di luar negeri adalah pemerintah negara bagian/pemerintah daerah, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, lembaga non pemerintah, dan badan usaha milik negara atau swasta. Dalam melakukan kerja sama, dituangkan dalam bentuk naskah kerja sama yang merupakan kesepakatan tertulis dalam bentuk dan nama tertentu, yang ditandatangani oleh Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri. Hal pokok yang menjadi batasan umum bagi Pemda Aceh untuk kerjasama luar negeri yang diatur dalam Peraturan Presiden 11 Tahun 2010 adalah: a. Kerja sama dilaksanakan dengan berpedoman pada standar dan prosedur yang berlaku secara nasional sesuai dengan bidang kerja sama. b. Kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri dari negara yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. c. Kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri hanya meliputi bidang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam tahapannya, setiap kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh Pemda Aceh harus melalui tahapan berikut: terlebih dahulu menyusun rencana kerja sama; rencana kerja sama tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRA; 74 setelah disetujui rencana kerja sama tersebut disampaikan kepada Menteri untuk mendapat pertimbangan; sebelum memberikan pertimbangan, Menteri melakukan koordinasi dengan Pemerintah Aceh dan instansi terkait. 75 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memuat baik cita-cita, dasar-dasar, maupun prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara dengan istilah tujuan nasional, tertuang dalam alinea keempat, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; (d) ikut melaksanakan perdamaian ketertiban abadi, dan dunia yang keadilan berdasarkan sosial. Cita-cita kemerdekaan, tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdiri diatas lima dasar, yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai penyelenggaraan negara cita-cita berdasarkan tersebut dan Pancasila, UUD melaksanakan 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. UUD 1945 merupakan konstitusi politik, ekonomi, dan sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi mengharuskan adanya perubahan sistem dan kelembagaan, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu upaya membangun sistem kelembagaan harus dilakukan berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, 76 makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan kerjasama Bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Secara filosofis, dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang mewujudkan dalam perjanjian internasional. Berdasarkan amandemen keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 khususnya Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi: “(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.” Kerjasama internasional yang dilakukan antar negara, antara negara dengan organisasi internasional ataupun antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya semakin gencar dilakukan dan dunia semakin sempit seiring perkembagan teknologi informasi. Akan tetapi sebagai negara berkembang, Indonesia terkadang dirugikan oleh perjanjian internasional yang dilakukan dengan negara maju. Sebagai contoh adalah perjanjian Sosek Malindo dan perjanjian ASEAN dengan Negara China yang disebut ACFTA. Saat ini perjanjian Sosek Malindo dirasakan masyarakat Kalimantan sangat merugikan karena Warga Negara Indonesia dibatasi 77 hanya bisa melakukan transaksi pembelian produk Malaysia sampai dengan 400 ringgit Malaysia, sedangkan Warga Negara Malaysia tidak dibatasi nominal untuk melakukan pembelian produk Indonesia. Perjanjian ACFTA antara ASEAN dengan Cina dirasakan sangat merugikan Indonesia karena produk-produk China membanjiri pasar Indonesia dan mengambil pasar produk-produk domestik dikarenakan secara harga lebih murah dan tampilan lebih memikat daripada produk domestik Negara Indonesia. Landasan untuk mengadakan kerjasama dengan negara lain adalah adanya hak dari setiap negara untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Komisi Hukum Internasional/ International Law Commission PBB Tahun 1949. Selain itu juga dilandaskan pada Kewajiban Negara yang juga diatur dalam Komisi Hukum Internasional/ International Law Commission PBB Tahun 1949, yaitu: “Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); dan Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).”28 Praktik negatif pelaksanaan perjanjian internasional yang terjadi saat ini adalah banyaknya perjanjian antara pihak Indonesia, baik Pemerintah Indonesia maupun lembaga pemerintah dengan subyek hukum internasional asing yang selalu merugikan pihak Indonesia. Sebagai contoh pertambangan Freeport di Papua dimana pihak asing telah mengambil lebih dari 80 % dari hasil keuntungan , sementara pihak Indonesia hanya bisa menikmati kurang dari 20 % dari hasil keuntungan. Adanya pemberlakuan otonomi daerah juga belum diantisipasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dimana Kabupaten/ Kota yang sudah diperbolehkan untuk melakukan perjanjian internasional subyek hukum internasional asing tidak melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah provinsi yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Oleh 28 Parry and Grant, et.al., Encyclopaedic Dictionary of International Law, New York: Oceana Publications inc., 1986, hlm. 374. 78 karena beberapa alasan tersebut di atas maka sangat diperlukan adanya penggantian UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. B. Landasan Sosiologis Adanya ketimpangan dimana dalam perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia dengan pihak asing selalu merugikan rakyat dan Bangsa Indonesia sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat terhadap perbaikan pengaturan hukum dalam perjanjian internasional tidak terlepas dari keinginan adanya perlindungan hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Perbaikan pengaturan hukum dalam pembuatan perjanjian internasional akan membentuk budaya hukum (legal culture) baru yaitu apakah telah terdapat sistem birokrasi yang tidak berbelit-belit, koruptif, dan lebih memberi perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia yang hendak melakukan perjanjian internasional dengan pihak asing sehingga membuat masyarakat ingin melakukan perjanjian internasional sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh karena sering tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat dalam implementasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sebagaimana terjadi dalam perjanjian Freeport dan Newmont dimana hasil kekayaan alam Indonesia sudah dieksploitasi oleh pihak asing dengan pembagian hasil yang sangat sedikit bagi pihak Indonesia maka muncul keinginan masyarakat yang diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk melakukan penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dengan salah satunya menambahkan masalah ekonomi dan keuangan sebagai hal-hal yang memerlukan pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang-undang tersebut. C. Landasan Yuridis Berdasarkan Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, landasan yuridis 79 merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Adapun persoalan hukum tersebut antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Jika pengertian mengenai landasan yuridis tersebut dikaitkan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Penggantian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka terdapat beberapa ketentuan mengenai Perjanjian Internasional yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, sebagai contoh dengan adanya dorongan dari masyarakat untuk menambahkan masalah ekonomi dan keuangan sebagai hal-hal yang memerlukan pengesahan perjanjian internasional untuk dilakukan dengan undang-undang. Selain itu, dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten/ kota mulai melakukan perjanjian internasional secara mandiri, akan tetapi tidak ada koordinasi dengan pemerintah daerah provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penggantian atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perjanjian Internasional. 80 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG A. JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN Berdasarkan kajian sebagaimana diuraikan sebelumnya, tentu ke depan perjanjian internasional harus mengarah dan menjangkau beberapa hal yang perlu diimplementasikan yang sekarang ini belum dilaksanakan sesuai dengan semangat konstitusi. Perjanjian internasional harus senantiasa berpijak pada asas negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta sebagai bagian dari upaya untuk mencapai tujuan bernegara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, maka negara Indonesia akan senantiasa mengadakan perbuatan-perbuatan hukum dengan subjek hukum internasional lainnya, antara lain dengan mengadakan perjanjian internasional. Oleh karena itu, perjanjian internasional yang dibuat tersebut juga harus senantiasa memperhatikan kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat, bahkan termasuk kepentingan masyarakat dari suatu daerah manakala perjanjian internasional yang dibuat berimplikasi kepada daerah. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi, menerapkan sistem demokrasi perwakilan sehingga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ditentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Berdasarkan aturan 81 konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa peran Dewan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia cukup penting dan strategis, yakni sebagai lembaga perwakilan rakyat yang akan bertindak dalam tiga fungsi sekaligus, yaitu pembentukan undang-undang, anggaran, dan pengawasan. Dalam hal ini jelas memiliki hubungan atau kaitan yang erat dengan perjanjian internasional. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa perjanjian internasional itu adalah sebuah dokumen hukum yang juga mempunyai implikasi yang luas dan strategis bagi kepentingan nasional, kepentingan rakyat, atau kepentingan negara. Bahkan tidak jarang sebuah perjanjian internasional diratifikasi dengan undang-undang sehingga kekuatan hukumnya menjadi sama dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penguatan peran Dewan Perwakilan rakyat dalam kaitannya dengan perjanjian internasional menjadi sangat penting dalam sistem yang akan dibangun dalam UndangUndang Perjanjian Internasional. Penguatan peran Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk diwujudkan dengan sebuat klausul, bahwa setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah harus disertai dengan pemberitahuan dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Khusus perjanjian internasional di bidang atau yang menyangkut dengan pengelolaan memberikan sebuah diperhatikan oleh sumber garis daya acuan Pemerintah alam, atau Undang-Undang rambu-rambu manakala melakukan ini yang juga perlu perjanjian internasional, khususnya menyangkut bidang pengelolaan sumber daya alam, antara lain aspek ketersediaan kebutuhan nasional yang terkait dengan ketahanan dan kedaulatan energi nasional serta yang menyangkut kepentingan nasional lainnya. Undang-Undang Perjanjian Internasional ke depan juga ingin membuat aturan yang harus dipedomani oleh Pemerintah, yakni terkait dengan keterlibatan daerah dalam suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini, manakala perjanjian internasional terkait atau menyangkut dengan kepentingan daerah yang bersangkutan, maka Pemerintah harus 82 memberitahukan dan mengikutsertakan daerah dalam pembuatan perjanjian internasional. Perjanjian internasional sebagai sebuah dokumen hukum perlu memiliki sistem penyimpanan yang memadai dan mudah diakses oleh setiap orang yang memerlukan internasional. Oleh karenanya, naskah atau penyimpanan dokumen perjanjian dokumen perjanjian internasional ke depan ditangani oleh lembaga arsip nasional. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa perjanjian internasional adalah sebuah instrumen hukum yang berdampak atau berimplikasi kepada kepentingan masyarakat, maka perlu kiranya diatur mengenai partisipasi masyarakat sehingga ke depan setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah perlu membuka atau memberi ruang bagi adanya partisipasi masyarakat. B. RUANG LINGKUP MATERI Sebagaimana diketahui sitematika undang-undang penggantian terdiri atas dua bagian, yaitu Pasal I yang berisi materi pokok dan Pasal II sebagai penutup. Oleh karenanya, ruang lingkup materi Undang-Undang Penggantian Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut: 1. Pasal I: Materi Pokok Penggantian a. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah dengan rumusan: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya yang menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Selanjutnya juga ditambahkan 1 (satu) angka, yaitu angka 10 dengan rumusan: Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR 83 adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 1A: yakni mengenai asas atau prinsip dalam pembuatan perjanjian internasional, yaitu 1) Itikad baik; 2) persamaan kedudukan; 3) saling menguntungkan; 4) kemanfaatan; 5) saling menghormati; 6) berkedaulatan; dan 7) berkeadilan. c. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) diubah dengan rumusan sebagai berikut: (1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. (2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman memperhatikan baik pada kepentingan hukum nasional nasional, maupun dan hukum internasional. d. Ketentuan Pasal 5 diubah dengan rumusan sebagai berikut: (1) Lembaga negara, lembaga pemerintah baik kementerian maupun nonkementerian, dan pemerintah daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat Perjanjian Internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri. (2) Pemerintah Republik pembuatan Perjanjian Indonesia Internasional, dalam terlebih mempersiapkan dahulu harus 84 menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia. (3) Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut : a. latar belakang permasalahan; b. analisis permasalahan, yang ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia; dan c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan. (4) Perundingan rancangan suatu Perjanjian Internasional dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing masing. (5) Dalam hal Perjanjian Internasional berdampak pada kepentingan daerah maka Pemerintah Daerah harus diikutsertakan dalam keanggotaan delegasi Republik Indonesia. e. Ketentuan Pasal 7 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga Pasal 7 dirumuskan sebagai berikut: (1) Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerimaan atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional, memerlukan Surat Kuasa. (2) Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 adalah: a. Presiden; dan b. Menteri. (3) Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu Perjanjian Internasional, memerlukan Surat Kepercayaan. (4) Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan dengan Surat Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut 85 ketentuan dalam suatu Perjanjian Internasional atau pertemuan internasional. (5) Penandatangan suatu Perjanjian Internasional yang menyangkut kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga kementerian negara atau maupun lembaga nonkementerian, pemerintah, baik dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Surat Kuasa dan Surat Kepercayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. f. Ketentuan Pasal 9 diubah dengan rumusan sebagai berikut: (1) Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh Perjanjian Internasional tersebut. (2) Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. g. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A dengan rumusan sebagai berikut: Pengesahan Perjanjian Internasional dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan terhadap Perjanjian Internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan keuangan negara, rakyat dan/atau yang terkait mengharuskan dengan penggantian beban atau pembentukan undang-undang. h. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h dengan rumusan sebagai berikut: Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan undangundang apabila materi Perjanjian Internasional berkenaan dengan : a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 86 b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri; g. perdagangan; dan h. pengelolaan sumber daya alam. i. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 10A, Pasal 10B, dan Pasal 10C dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 10A (1) Pengesahan Perjanjian Internasional mengenai pinjaman luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f, meliputi substansi perjanjian antara lain nominal pinjaman, bunga pinjaman, jangka waktu pinjaman dan pengakhiran pinjaman. (2) Perjanjian Internasional mengenai hibah luar negeri yang dimintakan persetujuan kepada DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f, meliputi antara lain substansi perjanjian, jenis, dan jumlah hibah luar negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman dan/atau hibah luar negeri diatur dengan Undang-Undang. Pasal 10B (1) Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional bersama dengan Pemerintah, DPR dapat mengajukan usul Pensyaratan, dan Pernyataan terhadap materi Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). (2) Usul Pensyaratan dan Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan terhadap substansi Perjanjian Internasional yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional. 87 Pasal 10C DPR berhak tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) jika merugikan kepentingan nasional. j. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 12 dirumuskan sebagai berikut: (1) Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang, naskah akademik atau rancangan peraturan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan. (2) Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian, mengoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan pihak-pihak terkait. (3) Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden. k. Ketentuan Pasal 13 diubah dengan rumusan sebagai berikut: Setiap undang-undang atau peraturan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaga Negara Republik Indonesia. l. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A dengan rumusan sebagai berikut: (1) Lembaga negara, nonkementerian, dan kementerian pemerintah maupun daerah yang lembaga membuat 88 Perjanjian Internasional menyerahkan naskah asli Perjanjian Internasional kepada Menteri. (2) Naskah asli Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah penandatanganan Perjanjian Internasional. 2. Pasal II Penutup Sebagai konsekuensi dari penggantian norma Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, maka dalam penutup penggantian undang-undang tersebut dirumuskan dua hal, yaitu: a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. b. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 89 BAB VI PENUTUP Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memuat baik cita-cita, dasar-dasar, maupun prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara dengan istilah tujuan nasional, tertuang dalam alinea keempat, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai citacita tersebut Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang mewujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Beberapa konsepsi dasar yang perlu menjadi pertimbangan untuk penyelenggaran perjanjian internasional adalah sebagai berikut : a. memperjelas dan mempertegas asas dan prinsip negara dalam melakukan perjanjian internasional. b. mempertegas keterlibatan DPR tersebut dalam pembuatan perjanjian internasional; c. membuat batasan dan acuan yang tegas dalam pembuatan setiap perjanjian internasional di bidang-bidang tertentu, terutama di bidang perdagangan dan sumber daya alam, yang selama ini dianggap kurang menguntungkan negara; d. membuat batasan dan acuan tegas dalam pembuatan perjanjian internasional yang terkait dengan pinjaman yang dilakukan pemerintah dan hibah yang diterima pemerintah. e. melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam pembuatan perjanjian internasional yang memiliki implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap daerah yang bersangkutan; f. mempertegas partisipasi masyarakat dalam pembuatan perjanjian internasional; dan 90 g. membuka akses bagi publik mengenai dokumen perjanjian internasional. Dengan dibuatnya penggantian atas undang-undang ini diharapkan bahwa perjanjian internasional dapat dilaksanakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan melindungi segenap bangsa dari segala bentuk penjajahan dalam bentuk apapun dan keterpurukan. 91