BIOMASSA SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL (PDF

advertisement
BIOMASSA SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Eny Ida Riyanti
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111
Telp. (0251) 8337975, 8339793, Faks. (0251) 8338820, E-mail: [email protected]
Diterima: 25 Agustus 2008; Diajukan: 10 Juni 2009
ABSTRAK
Bioetanol merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan dan makin banyak diproduksi dibanding energi
alternatif lain, seperti biodiesel. Produksi bioetanol dunia meningkat seiring dengan gejolak harga minyak. Minat
untuk memproduksi etanol melalui fermentasi bahan baku yang murah, seperti lignoselulosa dari limbah pertanian,
kehutanan, dan tanaman yang mempunyai kandungan biomassa tinggi makin meningkat. Penelitian untuk
menurunkan biaya produksi bioetanol terus dilakukan agar dapat bersaing dengan energi dari fosil, meliputi penggunaan
bahan baku murah, rekayasa genetik mikroorganisme untuk hidrolisis biomassa dan produksi etanol tinggi dan
efisien dalam penggunaan substrat, dan teknologi fermentasi yang efisien. Indonesia memiliki potensi biomassa
yang tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Pemanfaatan bahan baku ini akan mengurangi
kekhawatiran akan persaingan penggunaan bahan pangan untuk produksi energi. Energi dari gula sederhana hasil
hidrolisis lignoselulosa dapat difermentasi menjadi etanol. Mikroba asli Indonesia untuk produksi enzim pendegradasi
selulosa, dan mikroba fermentasi dapat digunakan untuk produksi etanol. Beberapa faktor perlu dipertimbangkan
untuk mendorong produksi etanol sebagai bahan bakar alternatif, baik teknis maupun nonteknis. Faktor teknis
meliputi peningkatan kemampuan hidrolis dengan menggunakan enzim selulase yang efisien, serta peningkatan
kemampuan mikroba dalam memfermentasi campuran gula C5 dan C6 hasil hidrolisis bahan berlignoselulosa.
Faktor nonteknis mencakup identifikasi dan pengelolaan limbah pertanian, insentif dari pemerintah untuk riset
dan aplikasi teknologi, serta kesadaran masyarakat akan lingkungan.
Kata kunci: Bioetanol, biomassa berlignoselulosa, perbaikan genetik
ABSTRACT
Biomass as raw material of bioethanol
Bioethanol is the world’s most produced alternative biofuel as considered environmentally friendly compared to
biodiesel. World’s production on bioethanol has been increasing due to the fluctuation of fossil fuel price. There is
increasing interest in fermentation for ethanol production from various raw materials including lower cost
lignocellulosic materials such as agricultural/forestry residues and high yield biomass energy crops. Reports and
reviews have been focusing on lowering cost production such as using lignocellulosic biomass feedstock, genetic
manipulation of microorganism for higher ethanol production using lignocellulosic hydrolisat, and efficient
fermentation technology. Indonesia has potential of using cellulosic biomass for ethanol production for alternative
energy. The use of lignocellulosic biomass will reduce the impact of using foodstuff for biofuel production.
Abundant lignocellulosic energy is potentially converted into simple sugars and then further converted into biofuel
energy. Other potential factor is the use of indigenous Indonesian microbes for cellulosic enzymes production for
lignocellulose hydrolysis and then also potential indigenous microbes for fermentation of these sugars into
biofuels. Several challenges shoud be considered both technology difficulty and non-technique constraints, including
improvement for hydrolysis process for producing simple sugars and microbe improvement for utilizing all sugars
C5 and C6 produced by lignocellulosic hydrolisate. Agriculture waste management and identification, and government
support is others non-techniques challenge to be considered.
Keywords: Bioethanol, lignocellulosic biomass, genetic engineering
H
arga bahan bakar minyak yang
terus meningkat dan cadangan
minyak dunia yang makin terbatas telah
mendorong upaya untuk mendapatkan
bahan bakar alternatif (Kerr 1998; Wheals
et al. 1999; Aristidou dan Penttila 2000;
Jeffries dan Jin 2000; Zaldivar et al. 2001;
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
John 2004; Schubert 2006). Berbagai faktor
seperti kenaikan harga bahan bakar
minyak, kesadaran akan biosekuriti untuk
meningkatkan pendapatan domestik,
kesadaran untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca, dan potensi untuk meningkatkan pengembangan regional sangat
mempengaruhi peningkatan minat untuk
memproduksi bahan bakar nabati (BBN)
(Rogers 2006).
Bioetanol dan biodiesel adalah energi
alternatif yang banyak diproduksi di dunia
sampai saat ini. Laporan menunjukkan
bahwa produksi bioetanol dunia meng101
ungguli produksi biodiesel karena bioetanol lebih ramah lingkungan. Gambar 1
menunjukkan produksi bioetanol dunia
yang meningkat tajam pada dekade
terakhir dengan produksi hampir 40 miliar
liter per tahun. Brasil merupakan negara
penghasil bioetanol terbesar di dunia
selama dekade terakhir, walaupun produksi Amerika Serikat mulai mendekati
level produksi Brasil. Perbedaan utamanya
adalah struktur biaya produksi yang lebih
rendah di Brasil karena menggunakan
bahan baku tebu, sedangkan di Amerika
Serikat lebih banyak menggunakan bahan
baku tepung dan jagung (Henniges dan
Zeddies 2006).
Minat untuk mendapatkan bahan
bakar alternatif di Indonesia akhir-akhir
ini juga meningkat, karena Indonesia
adalah negara penghasil sekaligus pengimpor minyak bumi. Oleh karena itu,
penelitian untuk mencari energi alternatif sangat penting untuk menopang
kemandirian energi. Produksi etanol
nasional ditargetkan 150 juta liter per
tahun dengan bahan baku ubi kayu atau
tebu. Untuk dapat memproduksi bioetanol
sebanyak itu, dibutuhkan areal tebu
minimal 600.000 ha. Upaya percepatan
bisa dilakukan di antaranya di Lampung,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Percepatan produksi etanol
sekaligus dapat menghemat devisa negara
hingga Rp16 triliun per tahun dan
menghasilkan pendapatan dari pajak
hingga Rp7,50 triliun, serta membuka lebih
banyak lapangan pekerjaan.
beberapa negara dan bahan baku yang
digunakan. Brasil mempunyai tingkat
harga yang paling rendah karena menggunakan bahan baku tebu, dan adanya
dukungan dari pemerintah berupa insentif
tanpa pajak. Harga BBN di negara-negara
penghasil BBN seperti Brasil, Uni Eropa,
dan Amerika Serikat dapat bersaing
dengan harga bahan bakar dari fosil karena
diberlakukannya insentif tanpa pajak.
Untuk menekan biaya produksi, penelitian intensif dilakukan untuk mendapatkan organisme pengurai biomassa menjadi
etanol yang efisien melalui rekayasa
metabolisme, bahan baku/substrat yang
murah, dan kondisi optimum untuk proses
fermentasi (Arato et al. 2005; Berson et
al. 2005; Chung et al. 2005; Sassner et al.
2005; Steele et al. 2005; Zhu et al. 2005).
SIKLUS METABOLISME
ETANOL PADA
MIKROORGANISME
Di dalam sel organisme, gula yang dapat
difermentasi akan diubah menjadi senyawa
Produksi
(miliar liter)
45
Dunia (bioetanol)
Uni Eropa (bioetanol)
Brasil (bioetanol)
40
35
Amerika Serikat (bioetanol)
Dunia (biodiesel)
Uni Eropa (biodiesel)
30
25
20
15
10
5
0
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
Tahun
Gambar 1. Produksi bioetanol dunia, 1975-2005 (Henniges dan Zeddies 2006).
PRODUKSI ETANOL
Etanol dapat diproduksi melalui beberapa
cara, yaitu secara kimiawi dengan bahan
baku dari bahan bakar fosil atau melalui
proses biologi dengan cara fermentasi gula
yang hasilnya berupa bioetanol. Minat
dunia dalam menggunakan bioetanol
sebagai energi alternatif telah mendorong
penelitian yang berkaitan dengan efisiensi
biaya dan proses produksi. Etanol dilaporkan dapat menghasilkan paling sedikit
20% energi lebih tinggi dibandingkan
dengan energi yang digunakan dalam
proses produksinya. Selain itu, proses
produksi dan pembakaran etanol dapat
menurunkan 12% gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil (Hill et
al. 2006).
Gambar 2 menunjukkan perbandingan
tingkat biaya produksi bioetanol di
102
Harga
( €/l)
1,40
pajak bahan bakar
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0
Tebu
Jagung
Gula
Gula
Jagung
Gandum
Gasolin
Gasolin
(Ags. '05) (Sept.'05)
Brasil
AS
UE
Jerman
Spanyol
Inggris
AS
UE
Gambar 2. Rata-rata biaya produksi bioetanol di beberapa negara (Herrera 2006).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
antara (intermediate) umum, piruvat, melalui tiga siklus utama, yaitu EmdenMeyerhoff-Parnas (EMP), EntnerDoudoroff (ED), dan siklus pentosa fosfat
(Gambar 3). Siklus metabolisme yang
umum digunakan oleh mikroorganisme
untuk memecah gula adalah siklus EMP
(atau lebih terkenal dengan nama glikolisis). Siklus ini bisa terjadi pada kondisi
aerobik maupun anaerobik, dan menghasilkan energi dalam bentuk adenosin
trifosfat (ATP) melalui fosforilasi substrat
(Prescott et al. 2002). Siklus ED sangat
mirip dengan EMP, dan kedua siklus
berpusat pada piruvat. Namun, siklus
EMP menghasilkan 2 mol ATP per mol
glukosa yang digunakan, sementara siklus
ED hanya menghasilkan 1 mol ATP.
Sebagai konsekuensinya, biomassa lebih
banyak dihasilkan pada siklus EMP. Oleh
karena itu, organisme dengan siklus ini
tidak diharapkan untuk produksi etanol.
Zymomonas mobilis, misalnya, menggunakan siklus ED, menghasilkan etanol
lebih tinggi (5−10%) dan produktivitas
etanol lebih tinggi (2,50 kali), tetapi
menghasilkan biomassa yang lebih rendah
dibandingkan dengan Saccharomycess
cerevisiae, yang mempunyai siklus EMP
(Zhang et al. 1995; Dien et al. 2003).
Meskipun demikian, kedua mikroorganisme tersebut mengandung siklus homoetanol yang sangat efisien, yang mengubah piruvat menjadi asetaldehida dengan
menggunakan piruvat dekarboksilase
(PDC), selanjutnya menjadi etanol dengan
menggunakan alkohol dehidrogenase
(ADH) (Gambar 3) (Cueger dan Cueger
1989; Ingram et al. 1999).
Sebagian besar bakteri mempunyai
siklus EMP dan pentosa fosfat (atau
heksosa monofosfat), meskipun beberapa
Pentose Phosphate pathway
D-Xylose
XR
L-Xylulose
X1
Xylinol
D-Xylulose
XDH
ATF
XK
ADF
D-Xylulose-5-phosphate
L-Arabinitol
L-Arabinose
Ribulose-5-phosphate
Ribose-5-phosphate
TKL
Sedoheptulose-7-phosphate
Glyceraldehyde-3-phosphate
TAL
Orthose-4-phosphate Fructose-4-phosphate
Fructose-6-phosphate
TKL
Glyceraldehyde-3-phosphate
Heterolactic Fermentation
(Phosphoketolase Pathway)
di antaranya menggunakan siklus EMP
daripada siklus ED. Perbedaan yang nyata
dari siklus pentosa fosfat jika bekerja
simultan dengan siklus EMP atau ED
adalah pada senyawa antaranya (fruktosa6-fosfat dan gliseraldehida-3-fosfat) dari
katabolisme gula pentosa dari siklus
pentosa fosfat dapat masuk ke siklus EMP
dan ED, yang kemudian akan diubah
menjadi piruvat (Gambar 3) (Prescott et al.
2002). Mikroorganisme yang mempunyai
pentosa fosfat dan siklus EMP atau ED
dapat menggunakan gula pentosa dan
heksosa.
Di samping tiga siklus utama, beberapa
bakteri juga memfermentasi gula menjadi
etanol dan CO2 melalui siklus fermentasi
heterolaktik (atau fosfoketolase). Organisme yang bersifat homolaktik (seperti
bakteri asam laktat) menghasilkan piruvat
melalui siklus EMP dan sebagian besar
Embden-Meyerhoff-Parnas
(Glycolytic) Pathway
Entner-Doudoroft
Pathway
Galactose
Glucose
Glucose
Glucose
ATP
ATP
ATP
Mannose ADP
ADP
ADP
Glucose-6-phosphate
Glucose-6-phosphate
Glucose-6-phosphate
ATP
NAD1
ADP
NADH + H1
Fructose-6-phosphate
6-phosphogluconate
6-phosphogluconic acid
ATP
ADP
NAD1
H 2O
Fructose-1,6-bisphosphate
CO2
NADH + H1
2-keto-3-deoxy-6Ribulose-5-phosphate Dihydroxyacetone
phosphogluconate
phosphate
Xylulose-5-phosphate
Glyceraldehyde-3-phosphate
NAD1
P1
NADH + H1
1,3-bisphosphoglycerate
Acetyl-phosphate
Substrate-level
ADP
CoA
ATP
phosphorylation
F1
3-phosphoglycerate
Acetyl-CoA
NADH + H1
CoA
NAD1
2-phosphoglycerate
P1
H2O
CoA
Phosphoenolpyruvate
ADP
Substrate-level
Acetyl-phosphate
ATP
phosphorylation
ADF
NAD1 NADH + H1
ATF
Lactate
PYRUVATE
Acetate
LDH
PDC
CO2
Acetaldehyde
NADH + H1
ADH
NAD1
ETHANOL
Homo-ethanol Pathway
Gambar 3. Siklus metabolisme etanol (Dimodifikasi dari Zhang et al. 1995; Ingram et al. 1999; Zaldivar et al. 2001; Prescott et al.
2002).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
103
mereduksinya menjadi asam laktat dengan
menggunakan laktat dehidrogenase
(LDH). Organisme yang bersifat heterolaktik (seperti Bacillus) menghasilkan
xilulosa-5-fosfat melalui siklus heterolaktik
dan mengubah senyawa antara pentosa
terfosforilasi ini menjadi asam laktat dan
etanol (melalui piruvat) (Gambar 3)
(Prescott et al. 2002). Siklus heterolaktik
ini bersama dengan siklus ED menghasilkan 1 mol ATP per 1 mol glukosa yang
digunakan (Esser dan Karsch 1984).
PERKEMBANGAN
PEREKAYASAAN
MIKROORGANISME
PENGHASIL ETANOL
Etanol umumnya diproduksi dengan
fermentasi secara batch dan fed batch
dengan menggunakan mikroba Saccharomyces dan dapat menghasilkan etanol
yang tinggi, sekitar 12−14% (v/v). Laporan
dan tinjauan tentang produksi etanol
melalui proses fermentasi dengan menggunakan beberapa strain bakteri, kapang,
dan jamur telah banyak diterbitkan (Dien
et al. 2003; Desai et al. 2004; Demain et al.
2005; Chinn et al. 2006; Keating et al. 2006;
Stephanopoulos 2007). Namun, kemampuan organisme tersebut biasanya terbatas karena hanya dapat menggunakan
substrat gula C6 (heksosa). Mikroorganisme lain yang dapat menggunakan
gula heksosa (C6) dan pentosa (C5) secara
bersamaan biasanya juga menghasilkan
campuran produk fermentasi yang tidak
diinginkan dan tingkat produksi etanol
rendah (Ingram et al. 1998; Gong et al.
1999; Ingram et al. 1999; Zaldivar et al.
2001; Dien et al. 2003). Selama dua dasawarsa terakhir, upaya untuk merekayasa
berbagai mikroba mesofilik penghasil
etanol intensif dilakukan agar dapat
menggunakan gula pentosa dan heksosa.
Caranya, dengan memasukkan dan mengekspresikan gen-gen yang berperan dalam
asimilasi dan metabolisme gula pentosa
(Feldmann et al. 1992; Zhang et al. 1995;
Eliasson et al. 2000; Zaldivar et al. 2001;
Dien et al. 2003; Lu dan Jeffries 2007).
Toleransi terhadap produk (etanol)
yang relatif tinggi sangat penting agar
proses produksi etanol dengan fermentasi
berkesinambungan dan ekonomis. Namun,
beberapa mikroorganisme yang telah
diteliti untuk produksi etanol umumnya
hanya tahan terhadap etanol pada tingkat
104
yang rendah, kecuali S. cerevisiae (10−
12% b/v) (Walker 1998) dan Z. mobilis
(12% b/v) (Rogers et al. 1979; Rogers et
al. 1982; Zhang et al. 1995). Hal ini
disebabkan oleh mekanisme yang berhubungan dengan terganggunya integritas
membran sel dari mikroorganisme sejalan
dengan meningkatnya konsentrasi etanol
pada cairan fermentasi. Struktur membran
yang unik pada S. cerevisiae (kaya sterol)
dan Z. mobilis (kaya senyawa asam
vasenik dan hopanoid) diduga merupakan
penyebab tingginya ketahanan terhadap
etanol (Zaldivar et al. 2001).
Sifat lain yang juga diinginkan sebagai
penghasil etanol adalah sifat toleran
terhadap lignoselulosa hidrolisat (hasil
degradasi lignoselulosa melalui tahap
praperlakuan). Beberapa senyawa (hasil
degradasi lignoselulosa) bersifat sebagai
inhibitor terhadap pertumbuhan organisme penghasil etanol, seperti yang berasal
dari: 1) degradasi gula (berupa furfural dari
gula pentosa dan hidroksi-metilfurfural
dari heksosa), 2) kondisi perlakuan awal
yang keras (berupa asam asetat dan asam
format), 3) degradasi lignin (berupa alkohol
fenol, asam-asam dan aldehida), dan 4)
senyawa-senyawa pengontaminasi yang
berhubungan dengan perlakuan awal
tangki fermentor dan atau biomassa yang
mengandung kayu. Cara untuk menanggulangi masalah tersebut meliputi perbaikan proses perlakuan awal, seperti
penggunaan kondisi perlakuan awal yang
sedang (mild), dan kombinasi metode
kimiawi dan enzimatik pada tahap detoksifikasi, juga penggunaan strain yang tahan
terhadap inhibitor melalui adaptasi, mutasi
atau rekayasa metabolik. Contoh penggunaan strain penghasil etanol (etanologenik) yang toleran terhadap inhibitor
adalah pembuatan strain mutan Z. mobilis
yang tahan terhadap asam asetat
(Joachimsthal et al. 1998; Jeon et al. 2002),
isolasi Z. mobilis yang dapat tumbuh pada
hasil hidrolisis (hidrolisat) bahan berkayu
keras (Lawford dan Rousseau 2000),
adaptasi S. cerevisiae terhadap inhibitor
yang dihasilkan bahan berlignoselulosa
(Keating et al. 2006), introduksi gen-gen
untuk ekspresi asam fenilakrilik dekarboksilase (yang dapat memecah senyawa
aromatik asam ferulik dan sinamik)
(Zaldivar et al. 2001) dan laccase (yang
dapat memecah senyawa aromatik koniferil aldehida) pada S. cerevisiae (Zaldivar
et al. 2001; Kiiskinen dan Saloheimo 2004).
Pemecahan selulosa pada suhu tinggi
memberikan manfaat pada produksi etanol
dari bahan baku berselulosa, seperti
meningkatkan aktivitas selulase, menurunkan biaya energi untuk pendinginan, dan
menurunkan risiko kontaminasi. Organisme termofilik potensial telah diteliti untuk
produksi etanol pada suhu tinggi, seperti
Clostridium thermochelum dan Thermoanaerobacter spp. (Lacis dan Lawford
1985; Chan et al. 2001; Demain et al. 2005;
Chinn et al. 2006; Williams et al. 2007).
Konstruksi yeast thermotolerant yang
dapat mengekspresikan selulase termostabil juga telah dilaporkan (Hong et al.
2007). Tabel 1 menyajikan kelebihan dan
kelemahan mikroorganisme penghasil
etanol alam dan hasil modifikasi melalui
teknik rekayasa genetik.
PENGARUH PENGGUNAAN
BAHAN BAKU TERHADAP
PRODUKSI ETANOL
Sampai saat ini ada dua teknologi utama
yang telah mapan untuk produksi etanol,
yaitu dengan menggunakan bahan baku
tepung atau gula. Sementara teknologi
untuk bahan baku berlignoselulosa masih
perlu penyempurnaan agar lebih efisien.
Proses Produksi Bioetanol dari
Jagung dan Tebu
Biji jagung mengandung tepung sekitar
60%. Tepung dapat diekstrak dengan cara
penggilingan biji dengan menggunakan
proses secara kering atau basah. Tepung
kemudian dibuat gelatin melalui proses
pemasakan, kemudian dihidrolisis secara
enzimatis untuk memproduksi glukosa dan
selanjutnya difermentasi untuk menghasilkan etanol. Proses ini biasanya terdiri atas
tujuh tahap, yaitu penggilingan, pengubahan dalam bentuk cair, sakarifikasi,
fermentasi, distilasi, dehidrasi, dan
denaturasi. Proses ini banyak digunakan
di Amerika Serikat.
Tebu adalah tanaman tropis yang
dapat mengakumulasikan sukrosa pada
batangnya. Cairan sukrosa dapat diekstrak
dengan pengepresan batang yang kemudian difermentasi lebih lanjut untuk
menghasilkan etanol. Proses ini biasanya
membutuhkan lima tahap, yaitu penggilingan, pengepresan, fermentasi, distilasi, dan dehidrasi. Negara penghasil
etanol terbesar, Brasil, mengadopsi proses
ini. Limbah pengepresan yang biasanya
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Tabel 1. Perbandingan karakter beberapa mikroorganisme penghasil etanol dan kemampuannya dalam menggunakan
bahan baku berlignoselulosa. (Dimodifikasi dari Lynd 1996).
Kemampuan
Deskripsi
Contoh
Pengguna
heksosa
Pengguna
pentosa
Penghasil
selulase
Penghasil
etanol
Produksi
tinggi1
Tumbuh dan
fermentasi
secara anaerob
Dapat
menggunakan
heksosa (tidak
dimodifikasi/
alami)
Saccharomyces sp.
Zymomonas mobilis
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Dapat
menggunakan
pentosa (tidak
dimodifikasi/
alami)
Pichia stipitis/
Candida shehatae
Pengguna xilosa
termofilik 2
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya2,3
Ya
Pengguna xilosa
(hasil modifikasi)
Escherichia coli
Saccharomyces sp.
Zymomonas mobilis
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak 4
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya3
Ya3
Ya3
Ya
Ya
Ya
Penghasil selulase
dan etanol
Clostridium thermocellum
Clostridium papyrosolvens C7
Neospora crassa,
Fusarium oxysporum
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak dihasilkan hasil samping yang mendekati hasil secara teori (theoritical yields).
Mikroorganisme termofilik seperti Thermoanaerobacter ethanoliticus, T. mathranii, T. brockii, T. thermohydrosulfuricus, Thermoanaerobacterium
thermosacharolyticum dalam beberapa kondisi fermentasi.
3
Dalam kondisi yang hampir sama.
4
Rekombinan dan mutasi spontan E. coli yang mengekspresikan gen casAB pengkode protein untuk transpot dan penggunaan selobiose dan
selotriose (Zaldivar et al. 2001).
1
2
disebut bagase dimanfaatkan untuk
memproduksi panas untuk proses distilasi
cairan fermentasi melalui pembakaran.
Tanah di Brasil cocok untuk pertumbuhan
tanaman tebu. Teknologi ini sudah sangat
lanjut, tidak seperti teknologi produksi
etanol dari biomassa (materi berbahan
lignoselulosa). Sekarang ini hampir semua
etanol diproduksi melalui fermentasi
glukosa dari jagung (Amerika Serikat) atau
sukrosa dari tebu (di Brasil) (Marris 2006;
Sanderson 2006; Goldemberg 2007).
Produksi Etanol dengan
Menggunakan Biomassa
Berlignoselulosa
Penggunaan bahan baku berlignoselulosa
untuk produksi bioetanol mendapatkan
perhatian khusus untuk mendorong
pengembangan usaha energi terbarukan
dan juga untuk menekan biaya produksi
karena harganya murah (Knauf dan
Moniruzzaman 2004; Ragauskas et al.
2006; Schubert 2006). Penggunaan
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
bahan baku ini akan mengurangi kekhawatiran akan persaingan penggunaan
tanaman untuk pangan. Bahan baku ini
sering kali tersedia secara lokal.
Penggunaan biomassa sebagai bahan
baku energi juga berperan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, karena CO2
yang dilepaskan dari degradasi biomassa
alam akan tersedia sebagai karbon dalam
energi, sehingga meniadakan emisi gas
rumah kaca (Lynd 1996; Herrera 2006;
Schubert 2006; Potoènik 2007). Walaupun
demikian, proses produksi bioetanol
dengan bahan baku berlignoselulosa
belum mapan, karena kandungan lignin
yang bersifat rekalsitran terhadap proses
fermentasi. Pengurangan gas rumah kaca
melalui produksi etanol dari bahan baku
berlignoselulosa ditampilkan pada Gambar
4. Etanol yang diproduksi dari bahan baku
selulosa, tebu, dan penggunaan biodiesel
dari limbah minyak sayur dapat mereduksi
gas rumah kaca paling banyak.
Dilihat dari senyawa penyusunnya,
biomassa merupakan materi kompleks
yang terbentuk dari tiga fraksi organik
utama dengan komposisi berdasarkan
bobot keringnya sebagai berikut: selulosa
(35−50%), hemiselulosa (20−35%), dan
lignin (12−20%) (Wyman 1996). Selain itu,
bahan berlignoselulosa mengandung
mineral dalam jumlah kecil dan berbagai
materi yang disebut ekstraktif. Selulosa
terdiri atas glukosa yang berantai panjang, yang dapat dipecah melalui reaksi
hidrolisis dengan air dengan dikatalis oleh
enzim yang disebut selulosa, atau dengan
menggunakan asam. Meskipun demikian,
ikatan hidrogen mengikat kuat rantai
selulosa dalam bentuk struktur kristal,
yang menghalanginya pecah menjadi
glukosa. Hemiselulosa adalah suatu rantai
yang amorf dari campuran gula, biasanya
berupa arabinosa, galaktosa, glukosa,
manosa, dan xilosa, juga komponen lain
dalam kadar rendah seperti asam asetat.
Rantai hemiselulosa lebih mudah dipecah
menjadi komponen gula penyusunnya
dibandingkan dengan selulosa. Lignin
bukan merupakan struktur yang dibentuk
oleh gula, tetapi merupakan materi yang
dibentuk oleh fenol-propena.
105
(%)
-100
-50
0
Jagung,
grain
etanol
Biodiesel,
kedelai,
kanola
Selulosa,
etanol
Tebu,
etanol
Biodiesel,
limbah
minyak goreng
Gambar 4. Persentase pengurangan emisi gas rumah kaca dengan penggunaan
bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar konvensional.
Masing-masing tanaman dibandingkan terhadap bahan bakar yang
sesuai: etanol terhadap bensin; biodiesel terhadap diesel (Farrell et al.
2006).
Metode perlakuan awal merupakan
cara untuk pelarutan dan pemisahan satu
atau lebih empat komponen utama
biomassa (hemiselulosa, selulosa, lignin,
dan ekstraktif lain) untuk membuat komponen biomassa lebih sesuai untuk perlakuan secara kimiawi atau biologi.
Hidrolisis (proses sakarifikasi) memecah
ikatan hidrogen dalam fraksi hemiselulosa
dan selulosa menjadi komponen gula:
pentosa dan heksosa. Gula-gula ini
kemudian difermentasi menjadi bioetanol.
Setelah proses perlakuan awal, ada dua
tipe proses untuk menghidrolisis biomassa
untuk fermentasi menjadi etanol. Proses
yang umum digunakan adalah hidrolisis
secara kimiawi (hidrolisis secara lemah dan
kuat) dan hidrolisis secara enzimatis. Ada
metode lain tanpa menggunakan bahan
kimia atau enzim, walaupun jarang digunakan secara komersial, yaitu penggunaan sinar gamma atau iradiasi dengan
elektron, atau iradiasi dengan microwave.
Proses enzimatis dan kimiawi memerlukan perlakuan awal untuk meningkatkan
kerentanan materi selulosa. Metode
dengan menggunakan kombinasi hidrolisis asam lemah, suhu tinggi, dan tekanan
pada selulosa murni akan menghasilkan
106
50% gula. Kelebihan metode ini adalah
reaksi berlangsung cepat. Karena gula
dengan atom C5 lebih mudah didegradasi
dibandingkan dengan atom C6, dianjurkan
menggunakan proses dua tahap; tahap
pertama dilakukan dengan menggunakan
proses yang lemah (mild), untuk
mengekstrak gula C5, kemudian menggunakan proses yang lebih keras untuk
mendapatkan atom C6. Pada dekade
mendatang, diproyeksikan produksi
bioetanol dengan menggunakan bahan
baku berlignoselulosa akan meningkat.
Untuk mencapai tujuan ini diperlukan
pemecahan hambatan teknologi yang
signifikan (mengurangi biaya perlakuan
awal, meningkatkan kualitas enzim,
rekayasa genetik mikroorganisme) yang
akan membuka peluang peningkatan nilai
produk-produk fermentasi dan tanaman
penghasil biomassa yang tinggi (Rogers
2006).
Energi yang dihasilkan dari bahan
berlignoselulosa bervariasi menurut jenis
tanaman, karena perbedaan komposisi
kandungannya. Konversi energi yang
dihasilkan oleh etanol dari berbagai
tanaman dirangkum dalam Tabel 2.
Tanaman yang digunakan tidak hanya
terbatas yang mengandung tepung atau
gula sederhana. Walaupun proses ini
belum diaplikasikan dalam skala industri,
hasil skala pilot plant mengindikasikan
bahwa penggunaan bahan dari selulosa
memungkinkan dapat menghasilkan etanol
sekitar 70 galon per ton berat kering, hanya
sedikit lebih rendah dari etanol yang
diproduksi dari jagung (Sheehan et al.
2004). Dengan rasio net energy balance
yang lebih besar, peluang untuk menggunakan bahan tanaman seperti rumput
Tabel 2. Potensi kandungan energi beberapa bahan tanaman untuk bahan
bakar nabati (BBN).
Bahan
Jagung
Tebu
Selulosa biomassa
Minyak kedelai
Minyak kelapa
Minyak lobak
(rape oil)
Massa
Konversi
tanaman
BBN kotor
(ton 3 /tahun)
(GJ/t) 1
696
1.324
−
35
36
17
8
2
6
30
30
30
Energi
BBN kotor
(EJ/tahun) 2
5,80
2,80
−
1
1,10
0,50
Rasio net energy
Energi
balance 3
BBN bersih4
(output/input)
(EJ/tahun)
1,25
8
5,44 5
1,93
9
2,50
1,20
2,40
−
0,50
1
0,30
Energi BBN yang berguna per ton tanaman untuk konversi ke BBN (1GJ = 109J).
Produksi massa bahan dan konversi BBN kasar (1EJ = 1018J).
3
Rasio energi yang terkandung dalam bahan bakar dari biomassa terhadap input energi yang
berasal dari bahan baku fosil.
4
Hasil energi di atas energi yang berasal dari fosil yang digunakan dalam pertanaman,
transportasi, proses produksi, dihitung sebagai gross energy biofuel x (net energy balance
ratio-1)/net energy balance ratio.
5
Belum dicapai pada skala industri.
Sumber: Field et al. (2007).
1
2
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Panicum virgatum, Miscanthus Miscanthus x gigantenum, dan beberapa
spesies tanaman lainnya bergantung
pada teknologi untuk memproses bahan
selulosa yang masih harus terus dikembangkan.
BIOTEKNOLOGI TANAMAN
UNTUK BAHAN BAKU
BIOETANOL
Hal yang tidak kalah menjadi perhatian
adalah bahan tanaman sebagai sumber
lignoselulosa. Beberapa kendala masih
dihadapi dalam penggunaannya sebagai
bahan baku etanol, yaitu mahalnya enzim
selulase dan biaya perlakuan awal untuk
memecah lignoselulosa menjadi senyawa
antara dan menghilangkan lignin agar
enzim selulase dapat bekerja memecah
selulosa. Kombinasi kedua biaya tersebut
menjadikan harga etanol dari bahan baku
biomassa (lignoselulosa tanaman) menjadi
dua atau tiga kali lebih tinggi dari harga
etanol dari jagung. Hal tersebut mendorong perekayasaan tanaman dan komposisi biomassa tanaman untuk bioetanol.
Hasil penelitian komposisi berbagai
biomassa berlignoselulosa, seperti rumput,
jerami dan tanaman lain, telah banyak
dilaporkan dan dapat mengefisienkan
proses produksi etanol dari baku tersebut.
Bioteknologi dan pemuliaan tanaman
untuk bahan baku bioetanol telah
dilaporkan pula. Genomik dan transgenik
tanaman rumput switchgrass (Panicum
virgatum) telah banyak diteliti untuk
digunakan sebagai tanaman energi di
Amerika Serikat (Bouton 2007). Rekayasa
genetik tanaman untuk menghasilkan
selulase dan hemiselulase telah pula
dilakukan untuk menurunkan proses
perlakuan awal (Hood et al. 2007).
Biosintesis lignin (monolignols) telah
dipelajari dan gen-gen yang berperan
dalam menurunkan kadar lignin seperti
gen o-metiltransferase telah diekspresikan pada beberapa tanaman model
seperti tembakau, alfalva, arabidobsis,
poplar, dan aspen. Modifikasi lignin juga
banyak dilakukan dalam rekayasa genetik
tanaman. Program ini dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas dan komposisi kimiawinya, menurunkan rekalsitran
kandungan ligninnya, dan meningkatkan
kadar polisakaridanya (Elkind et al. 1990;
Meyer et al. 1998; Li et al. 2003; Ralph et
al. 2006).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
produksi kedua perusahaan tersebut
mencapai 93.282 kiloliter per tahun
(Anonim 2008). Saat ini, di Indonesia,
bioetanol diproduksi dari tetes tebu, ubi
kayu maupun jagung, sehingga bersaing
dengan kebutuhan untuk pangan, pakan,
dan bahan baku industri lain sehingga
pasokan bahan baku tidak kontinu. Salah
satu alternatif bahan baku pembuatan bioetanol adalah biomassa berselulosa.
Biomassa berselulosa merupakan
sumber daya alam yang berlimpah dan
murah dan berpotensi mendukung industri
BBN seperti etanol dan butanol. Selain
dikonversi menjadi BBN, biomassa
berselulosa juga dapat mendukung
industri kimia seperti asam organik,
aseton, dan gliserol (Wyman 2002).
Biomassa mempunyai peluang untuk
dimanfaatkan sebagai BBN dilihat dari
kandungan energi dari selulosa yang bisa
dikonversi menjadi gula sederhana dan
kemudian difermentasi menjadi bioetanol.
Potensi limbah pertanian yang tersedia di
Indonesia berupa limbah biomassa hasil
pertanian (jerami padi, jagung, dan
lainnya), limbah kehutanan (sisa biomassa
setelah diambil kayunya), limbah industri
hasil kehutanan dan pertanian (pabrik
kertas, pabrik gula, dan lainnya), maupun
sampah rumah tangga (hijauan, kertas, dan
lainnya).
Potensi biomassa sebagai bahan baku
etanol bervariasi sesuai dengan kandungan bahan penyusun yang dapat dikonversi
menjadi gula sederhana, yaitu selulosa
dan hemiselulosa. Kandungan berbagai
jenis biomassa disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan rata-rata kandungan selulosa
(42%) dan hemiselulosa pada kayu,
dengan hasil secara teoritis maksimum
dari etanol, diperkirakan akan dihasilkan
Pemanfaatan tanaman berlignoselulosa sebagai bahan baku energi alternatif
juga dapat membuka kesempatan kerja
baru di pedesaan. Hal ini akan berperan
pula dalam aspek sosial dan menjaga
kesinambungan pasokan bahan baku.
Aplikasi bioproses untuk menangani
limbah agroindustri tidak hanya akan
menyediakan bahan baku alternatif, tetapi
juga membantu memecahkan masalah
pembuangan limbah. Dengan keunggulan
inovasi bioteknologi, khususnya di bidang
enzim dan teknologi fermentasi, beberapa
kesempatan baru akan tumbuh untuk
memanfaatkan biomassa berselulosa.
POTENSI PENGGUNAAN
BIOMASSA UNTUK
PRODUKSI BBN
Produksi etanol nasional pada tahun 2006
dilaporkan mencapai 200 juta liter, sedangkan kebutuhan etanol nasional pada
tahun 2007 diperkirakan 900 juta kiloliter
(Surendro 2006). Pada tahun 1982, BPPT
telah mengawali pembangunan pabrik
etanol di Tulang Bawang, Lampung,
berkapasitas 15.000 liter etanol/hari dan
setiap harinya memerlukan sekitar 90 ton
ubi jalar dan atau ubi kayu (BPPT 2005).
Peningkatan kebutuhan BBN juga ikut
mendorong berkembangnya industri
etanol di Indonesia. Saat ini terdapat
sembilan perusahaan dengan kapasitas
produksi total 133.632 kiloliter. Dari
sembilan perusahaan tersebut, hanya dua
perusahaan yang memproduksi etanol
dengan spesifikasi untuk bahan bakar/
bioetanol, yaitu PT Bukitmanikam Subur
Persada di Lampung dan PT Indo Acidama
Chemical di Surabaya. Total kapasitas
Tabel 3. Komposisi berbagai tipe biomassa berselulosa.
Jenis
Alga hijau
Kapas
Rumput
Kayu keras
Kayu lunak
Jerami jagung
Jerami gandum
Koran
Bubur kimia (pulp)
Komposisi (% bobot kering)
Selulosa
20−4 0
80−9 5
25−4 0
45+2
42+2
39−4 7
37−4 1
40−5 5
60−8 0
Hemiselulosa
20−5 0
5−2 0
25−5 0
3 0+5
27+2
26−3 1
27−3 2
25−4 0
20−3 0
Lignin
Abu
Ekstraktif
−
−
1 0−3 0
2 0+4
2 8+3
3 −5
1 3−1 5
1 8−3 0
2 −1 0
−
−
−
0,6+0,2
0,5+0,1
12−16
11−14
−
−
−
−
−
5+3
3+2
1−3
7+2
−
−
Sumber: Demirbas (2005).
107
0,32 g etanol per g kayu. Perhitungan ini
berdasarkan pada asumsi jika semua
kandungan selulosa dan hemiselulosa
dapat diubah menjadi gula, dan konversi
gula ke etanol 0,51 g/g (Taherzadeh 1999).
Produk pertanian yang berpotensi
sebagai penghasil biomassa menurut data
dari BPS meliputi tanaman pangan (padi,
jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan
lainnya), tanaman hortikultura (kentang,
tomat, cabai, dan lainnya), tanaman
perkebunan (karet, minyak palem, sawit,
kakao, kopi, teh, tebu, tembakau), dan
tanaman kehutanan. Dalam produksi
biomassa semua jenis tanaman tersebut
belum tersedia. Namun berdasarkan data
produksi tanaman tersebut, dapat
diperkirakan jumlah biomassa yang
dihasilkan dari indeks panennya.
Salah satu limbah pertanian di
Indonesia yang belum dimanfaatkan
adalah jerami padi. Sebagian petani
memanfaatkan jerami sebagai mulsa pada
saat menanam palawija. Hanya sebagian
kecil petani menggunakan jerami sebagai
pakan ternak, terutama pada musim kering
karena sulitnya mendapatkan hijauan.
Karena itu, jerami sering menjadi
permasalahan bagi petani sehingga sering
dibakar. Produksi jerami padi dapat
mencapai 12−15 t/ha/panen, bervariasi
bergantung pada lokasi dan varietas padi
yang ditanam.
Setiap jenis tanaman bahkan setiap
varietas mempunyai indeks panen yang
berbeda. Sebagai contoh, indeks panen
tanaman padi adalah sekitar 0,50. Untuk
memperkirakan total produksi biomassa,
uraian berikut akan memberikan sedikit
gambaran. Berdasarkan data BPS,
produksi beras nasional pada tahun 2007
sekitar 57,15 juta ton GKG (gabah kering
giling) dari 11,90 juta ha sawah. Jika
dihitung berdasarkan indeks panen ratarata tanaman padi 0,50 (dari kisaran 0,40−
0,55) maka produksi jerami diperkirakan
mencapai 54,70 juta ton. Jika dihitung
secara kasar, dengan asumsi potensi
kandungan gula dari selulosa dan
hemiselulosa pada jerami 50% (27,50 ton),
dan hasil secara teoritis dari gula ke
etanol 0,51 g/g, maka potensi etanol dari
jerami padi sekitar 0,27 g/g atau total 7.425
ton. Jumlah itu hanya berasal dari limbah
biomassa tanaman padi. Menghitung
produksi semua limbah biomassa
pertanian di Indonesia sangat rumit,
karena ketiadaan data biomassa, dan
indeks panen masing-masing tanaman
berbeda. Produksi tanaman Indonesia
tahun 2007 dan perkiraan produksi
biomassanya disajikan pada Tabel 4.
Peluang yang lain adalah memanfaatkan lahan marginal atau lahan tidur untuk
mengusahakan tanaman bahan baku
bioetanol yang mudah ditanam dan atau
tanpa harus ada masukan. Sekitar 14%
lahan di Indonesia dilaporkan sebagai
lahan yang tidak diusahakan (Departemen
Pertanian 2007).
TANTANGAN PENGGUNAAN BIOMASSA UNTUK
PRODUKSI BIOETANOL
Pencanangan target produksi bioetanol
1% dari kebutuhan premium bersubsidi di
Tabel 4. Produksi komoditas pertanian, indeks panen, dan perkiraan
produksi biomassa, 2007.
Tanaman
Padi
Jagung
Kedelai
Ubi kayu
Ubi jalar
Kacang tanah
Kacang hijau
Tanaman industri 2
Produksi
(juta ton)
Rata-rata
indeks panen 1
Perkiraan
produksi biomassa
(juta ton)
57,16
13,29
0,60
19,99
1,90
0,80
0,30
17,60
0,50
nd
nd
nd
nd
nd
nd
nd
57,16
nd
nd
nd
nd
nd
nd
nd
Indeks panen = perbandingan antara hasil dengan biomassa total.
Tanaman industri meliputi karet, minyak palem, kelapa sawit, kakao, kopi, teh, tebu, tembakau.
nd = tidak ada data.
Sumber: Badan Pusat Statistik.
1
2
108
Indonesia pada tahun 2010, yaitu sebesar
214.541 kiloliter/tahun, sulit dicapai
karena kapasitas produksi semua produsen hanya sekitar 100.000 kiloliter
(Detikfinance 2009). Di Indonesia,
bioetanol diproduksi bahan berkarbohidrat seperti ubi kayu, jagung, dan gula
(tebu) atau limbah tebu (molases) sehingga berkompetisi dengan pemanfaatannya untuk pangan, pakan, dan
industri. Oleh karena itu, bahan baku dari
limbah pertanian menjadi pilihan lain.
Namun, penggunaan biomassa limbah
berbahan lignoselulosa untuk produksi
etanol skala komersial masih menghadapi
beberapa tantangan.
Tantangan pertama adalah teknologi
konversi biomassa menjadi etanol yang
belum efisien, baik proses sakarifikasi
(pengubahan bahan biomassa lignoselulosa menjadi gula sederhana), maupun proses fermentasi campuran gula
sederhana hasil degradasi biomassa
menjadi etanol. Proses sakarifikasi masih
perlu diperbaiki agar lebih efisien dengan
menggunakan enzim hasil rekayasa yang
lebih efisien dalam mendegradasi bahan
berlignoselulosa. Selain itu, mikroba yang
berperan dalam fermentasi masih perlu
ditingkatkan kemampuannya untuk dapat
menggunakan campuran gula sederhana
hasil hidrolisis biomassa, dengan mendorong penelitian di bidang biologi
molekuler. Diharapkan tantangan ini dapat
dijawab melalui penelitian di bidang
bioteknologi dan rekayasa genetik.
Ketersediaan biomassa limbah pertanian
dalam jumlah yang besar dan kontinu juga
merupakan tantangan tersendiri dalam
pengelolaan limbah pertanian.
Tantangan nonteknis dapat berupa
kesadaran akan lingkungan dan kebijakan
pemerintah untuk mendorong penggunaan bahan bakar terbarukan, seperti
kebijakan pajak dan alokasi dana untuk
penelitian. Adanya peraturan pelaksanaan
yang mendukung penggunaan etanol di
dalam negeri dapat mempercepat pengembangan produksi etanol untuk bahan
bakar.
Di Indonesia, sebagian besar etanol
masih digunakan sebagai bahan baku
pada industri alkohol, rokok atau plastik.
Semestinya ada kebijakan yang mengatur
industri memasok etanol untuk kebutuhan
dalam negeri atau Domestic Market
Obligation (DMO) dan penggunaan
etanol untuk menggantikan BBM. DMO
akan membantu menstabilkan harga etanol
di dalam negeri. Produsen saat ini lebih
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
tertarik menjual etanol ke luar negeri
karena harganya tinggi. Sementara itu,
penggunaan etanol di dalam negeri juga
rendah karena harganya lebih tinggi
dibanding BBM bersubsidi.
Limbah pertanian perlu dikelola dengan baik. Data konkret mengenai jumlah
limbah yang dihasilkan dan pemanfaatannya di seluruh Indonesia sulit diperoleh.
Demikian pula luas lahan marginal karena
datanya tersebar pada berbagai instansi
terkait.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai limbah biomassa yang berlimpah
(walaupun data pasti belum ada), yang
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan
energi alternatif bioetanol yang ramah
lingkungan. Selain itu, lahan marginal
dan lahan kering yang diabaikan juga
berpotensi untuk mengembangkan tanaman tahan kekeringan, seperti sorgum
dan rumput-rumputan, yang dapat dimanfaatkan biomassanya. Peningkatan
kesadaran akan bahaya polusi lingkungan, penanganan limbah biomassa,
penelitian dan pengembangan juga perlu
didorong untuk dapat menyukseskan
produksi bioetanol di Indonesia.
Penelitian dalam bidang bioteknologi
perlu didukung untuk membuka peluang
penggunaan dan rekayasa genetik untuk
perbaikan karakter mikroba penghasil
etanol dan pengguna limbah berlignoselulosa. Penelitian untuk mencari dan
memperbaiki sifat tanaman yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku
bioetanol juga berperan penting. Semua
hal tersebut dapat berjalan dengan lancar
bila disertai dukungan dan kebijakan
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Perkembangan Industri Biofuel
di Indonesia. Indonesian Commercial Newsletter. http://www.datacon.co.id/Biofuel
2008Ind.html. [14 Juli 2009].
Arato, C., E.K. Pye, and G. Gjennestad. 2005.
The lignol approach to biorefining of woody
biomass to produce ethanol and chemicals.
Appl. Biochem. Biotechnol. 121−124: 871−
882.
Aristidou, A. and M. Penttila. 2000. Metabolic
engineering applications to renewable resource
utilization. Current Opin. Biotechnol. 11:
187−198.
Berson, R.E., J.S. Young, S.N. Kamer, and T.R.
Hanley. 2005. Detoxification of actual
pretreated corn stover hydrolysate using
activated carbon powder. Appl. Biochem.
Biotechnol. 121–124: 923−934.
Bouton, J.H. 2007. Molecular breeding of
switchgrass for use as a biofuel crop. Curr.
Opin. Genet. Dev. 17: 553−558.
BPPT. 2005. Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel dan Bioetanol pada Sektor
Transportasi di Indonesia. Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi, Jakarta.
BPS. http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/
table1_2007.shtml. [20 Mei 2009].
Chan, I.K.O., P.G. Stroot, K.R. Mackie, B.A.
White, and R.I. Mackie. 2001. Characterization of two novel saccharolytic, anaerobic
thermophiles, Thermoanaerobacterium
polysaccharolyticum sp. nov. and Thermoanaerobacterium zeae sp. nov., and emendation of the genus Thermoanaerobacterium.
Int. J. Syst. Evolutionary Microbiol. 51: 293–
302.
Chinn, M.S., S.E. Nokes, and H.J. Strobel. 2006.
Screening of thermophilic anaerobic bacteria
for solid substrate cultivation on lignocellulosic substrates. Biotechnol. Prog. 22: 53−
59.
Chung, Y.C., A. Bakalinsky, and M.H. Penner.
2005. Enzymatic saccharification and ferJurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
mentation of xylose-optimized dilute acidtreated lignocellulosics. Appl. Biochem.
Biotechnol. 121−124: 947−962.
Cueger, W. and A. Cueger. 1989. Organic
feedstocks produced by fermentation.
Biotechnology: A textbook of industrial
microbiology. Sinauer Associates Inc., T.D.
Brook. Sunderland, M.A., p.124−133.
Demain, A.L., M. Newcomb, and J.H.D. Wu.
2005. Cellulase, clostridia, and ethanol.
Microbiol. Mol. Biol. Rev. 69(1): 124–154.
Demirbas, A. 2005. Bioethanol from cellulosic
materials: A renewable motor fuel from
biomass. Energy Sources 21: 327−337.
Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Departemen Pertanian, Jakarta.
Desai, S.G., M.L. Guerinot, and L.R. Lynd. 2004.
Cloning of L-lactate dehydrogenase and
elimination of lactic acid production via gene
knockout in Thermoanaerobacterium
saccharolyticum JW/SL-YS485. Appl.
Microbiol. Biotechnol. 65: 600−605.
Detikfinance. 2009. Kapasitas bioetanol tak
cukup penuhi mandatori. http://www.
detikfinance. com/read/2009/05/27/125557/
1137936/4/kapasitas-bioethanol-tak-cukuppenuhi-mandatori. [14 Juli 2009].
Dien, B.S., M.A. Cotta, and T.W. Jeffries. 2003.
Bacteria engineered for fuel ethanol
production: Current status. Appl. Microbiol.
Biotechnol. 63: 258−266.
Eliasson, A., E. Boles, B. Johansson, M.
Osterberg, J.M. Thevelein, I. SpencerMartins, H. Juhnke, and B. Hahn-Hagerdal.
2000. Xylulose fermentation by mutant and
wild-type strains of Zygosaccharomyces and
Saccharomyces cerevisiae. Appl. Microbiol.
Biotechnol. 53: 376−382.
Elkind, Y., R. Edwards, M. Marandad, S.A.
Hedrick, O. Ribak, R.A. Dixon, and C.J.
Lamb. 1990. Abnormal plant development
and down-regulation of phenylpropanoid
biosynthesis in transgenic tobacco containing a heterologous phenylalanine ammonialyase gene, Proc. Natl. Acad. Sci. USA 87:
9057−9061.
Esser, K. and T. Karsch. 1984. Bacterial ethanol
production: advantages and disadvantages.
Proc. Biochem. 19: 116−121.
Farrell, A.E., R.J. Plevin, B.T. Turner, A.D. Jones,
M. O’Hare, and D.M. Kammen. 2006.
Ethanol can contribute to energy and
environmental goals. Science 311: 506−508.
Feldmann, S.D., H. Sahm, and G.A. Sperenger.
1992. Pentose metabolism in Zymomonas
mobilis wild-type and recombinant strains.
Appl. Environ. Microbiol. 38: 354−361.
Field, C.B., J.E. Campbell, and D.B. Lobell. 2007.
Biomass energy: the scale of the potential
resource. Trends in Ecology and Evolution
23(2): 65−72.
Goldemberg, J. 2007. Ethanol for sustainable
energy future. Science 315: 808−810.
Gong, C.S., N.J. Gao, J. Du, and G.T. Tsao. 1999.
Ethanol production from renewable
resources. Adv. Biochem. Eng./Biotechnol.
65: 207−241.
Henniges and Zeddies. 2006. Bioengineering and
agriculture: Promises and challenges. International Food Policy Research Institute.
http://www.ifpri.org/2020/focus/focus14/
focus1409.pdf.[17 Februari 2008]
Herrera, S. 2006. Bonkers about biofuels. Nature
Biotechnol. 24(7): 755−760.
Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky and D.
Tiffany. 2006. Environmental, economic,
and energetic costs and benefits of biodiesel
and ethanol biofuels. Proceeding of the
National Academy of Science, USA 103:
11206−11210.
Hong, J., Y. Wang, H. Kumagai, and H. Tamaki.
2007. Construction of thermotolerant yeast
expressing thermostable cellulase genes. J.
Biotechnol. 130: 114−123.
109
Hood, E.E., R. Love, J. Lane, J. Bray, R. Clough,
K. Pappu, C. Drees, K. R. Hood, S. Yoon, A.
Ahmad, and J.A. Howard. 2007. Subcellular
targetting is a key condition for high level.
Plant Biotechnol. J. 5(6): 709−719.
Ingram, L.O., H.C. Aldrich, A.C.C. Borges, T.B.
Causey, A. Martinez, F. Morales, A. Saleh,
S.A. Underwood, L.P. Yomano, S.W. York,
J. Zaldivar, and S.D. Zhou. 1999. Enteric
bacterial catalysts for fuel ethanol production. Biotechnol. Prog. 15: 855−866.
Ingram, L.O., P.F. Gomez, X. Lai, M. Moniruzzaman, B.E. Wood, L.P. Yomano, and S.W.
York. 1998. Metabolic engineering of
bacteria for ethanol production. Biotechnol.
Bioeng. 58: 204−214.
Jeffries, T.W. and Y.S. Jin. 2000. Ethanol and
thermotolerance in the bioconversion of
xylose by yeasts. Adv. Appl. Microbiol. 47:
221−268.
Jeon, Y.J., C.J. Svenson, E.L. Joachimsthal, and
P.L. Rogers. 2002. Kinetic analysis of
ethanol production by an acetate-resistant
strain of recombinant Zymomonas mobilis.
Biotechnol. Letters 24(10): 819−824.
Joachimsthal, L.E., K.D. Haggett, J. Jang, and
P.L. Rogers. 1998. A mutant of Zymomonas
mobilis ZM4 capable of ethanol production
from glucose in the presence of high acetate
concentrations. Biotechnol. Letters 20(2):
137−142.
John, T. 2004. Biofuels for transport. http://
www.task39.org [20 Februari 2008]
Keating, J.D., C. Panganiban, and S.D. Mansfield.
2006. Tolerance and adaptation of ethanologenic yeasts to lignocellulosic inhibitory
compounds. Biotechnology and Bioengineering. Published online 9 February 2006 in
Wiley InterScience (www. interscience.wiley.
com). [9 December 2008]
Kerr, R.A. 1998. The next oil crisis looms large
and possibly close. Science 281: 1128−1131.
Kiiskinen, L.L. and M. Saloheimo. 2004.
Molecular cloning and expression in
Saccharomyces cerevisiae of a laccase gene
from the ascomycete Melanocarpus albomyces. Appl. Environ. Microbiol. 70(1):
137−144.
Knauf, M. and M. Moniruzzaman. 2004.
Lignocellulosic biomass processing: A
perspective. Intl. Sugar J. 106(1263): 147−
150.
Lacis, L.S. and H.G. Lawford. 1985. Thermoanaerobacter ethanolicus in a comparison
of the growth efficiencies of thermophilic
and mesophilic anaerobes. J. Bacteriol.
163(3): 1275−1278.
Lawford, H.G. and J.D. Rousseau. 2000.
Comparative energetics of glucose and xylose
metabolism in Zymomonas mobilis. Appl.
Biochem. Biotechnol. 84−86: 277−292.
natorial modification of multiple lignin traits
in trees through multigene cotransformation. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 100:
4939–4944.
Lu, C. and T. Jeffries. 2007. Shuffling of
promoters for multiple genes to optimize
xylose fermentation in an engineered
Saccharomyces cerevisiae Strain. App.
Environ. Microbiol. 73(19): 6072–6077.
Lynd, L.R. 1996. Overview and evaluation of
fuel ethanol from cellulosic biomass:
Technology, economics, the environment,
and policy. Ann. Rev. Energy Environ. 21:
403−465.
Marris, E. 2006. Sugar cane and ethanol: Drink
the best and drive the rest. Nature 444: 670−
679.
Meyer, K., A.M. Shirley, J.C. Cusumano, D.A.
Bell-Lelong, and C. Chapple. 1998. Lignin
monomer composition is determined by the
expression of a cytochrome P450-dependent
monooxygenases in Arabidopsis. Proc. Natl.
Acad. Sci. USA 95(1998): 6619–6623.
Potoènik, J. 2007. Renewable energy sources
and the realities of setting an energy agenda.
Science 315: 810−811.
Prescott, A.M., J.P. Harley, and D.A. 2002.
Microbiology. McGraw-Hill, New York.
Ragauskas, AJ., C.K. Williams, B.H. Davison, G.
Britovsek, J. Cairney, C.A. Eckert, W.J.
Frederick Jr., J.P. Hallett, D.J. Leak, C.L.
Liotta, J.R. Mielenz, R. Murphy, R. Templer,
and T. Tschaplinski. 2006. The path forward
for biofuels and biomaterials. Science 311:
484−489.
Ralph, J., T. Akiyama, H. Kim, F. Lu, M.S.S.
Reddy, F. Chen, and R.A. Dixon. 2006.
Effects of coumarate 3-hydroxylase downregulation on lignin structure. J. Biol. Chem.
281: 8843−8853.
Rogers, P.L. 2006. Energy and agriculture:
bioethanol and biodiesel opportunities, In
Strategic Roundtable Conference on Future
Agriculture, Conference Proceedings, 2−3
November, Australian Farm Institute,
Sydney.
Rogers, P.L., K.J. Lee, and D.E. Tribe. 1979.
Kinetics of alcohol production by Zymomonas mobilis at high sugar concentration.
Biotechnol. Letters 1: 165−170.
Rogers, P.L., K.J. Lee, M.L. Skotnicki, and D.E.
Tribe. 1982. Ethanol production by Zymomonas mobilis. Adv. Biochem. Eng. 23: 37−
84.
Sanderson, K. 2006. US biofuels: A field in
ferment. Nature 444: 673−676.
Sassner, P., M. Galbe, and G. Zacchi. 2005. Steam
pretreatment of salix with and without SO2
impregnation for production of bioethanol.
Appl. Biochem. Biotechnol. 121−124:
1101−1117.
Schubert, C. 2006. Can biofuels finally take
center stage? Nature Biotechnol. 24(7):
777−784.
Sheehan, J., A. Aden, K. Paustian, K. Killian, J.
Brenner, M. Walsh, and R. Nelson. 2004.
Energy and environmental aspects of using
corn stover for fuel ethanol. J. Indust. Ecol.
7 (3−4): 117−146.
Steele, B., S. Raj, J. Nghiem, and M. Stowers.
2005. Enzyme recovery and recycling
following hydrolysis of ammonia fiber
explosion–treated corn stover. Appl.
Biochem. Biotechnol. 121−124: 901−910.
Stephanopoulos, G. 2007. Challenges in engineering microbes for biofuels production.
Science 315: 801−804.
Surendro, H. 2006. Biofuel. Direktorat Jenderal
Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
Jakarta.
Taherzadeh, M.J. 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiological Effects of Inhibitors
and Fermentation Strategies. PhD Thesis,
Department of Chemical Reaction Engineering, Chalmers University of Technology,
Goteborg, Sweden.
Walker, G.M. 1998. Yeast growth. Yeast: physiology and biotechnology. John Wiley and
Sons, New York. p.101−669.
Wheals, A.E., L.C. Basso, D.M.G. Alves, and H.V.
Amorim. 1999. Fuel ethanol after 25 years.
Trends Biotechnol. 17: 482−486.
Williams, T.I., J.C. Combs, B.C. Lynn, and H.J.
Strobel. 2007. Proteomic profile changes in
membranes of ethanol-tolerant Clostridium
thermocellum. Appl. Microbiol. Biotechnol.
74: 422−432.
Wyman, C.E. 2002. Potential Synergies and
Challenges in Refining Cellulosic Biomass
to Fuels. Biotechnol Progress.
Wyman, C.E., ed. 1996. Handbook on Bioethanol: Production and Utilization. Applied
Energy Technology Series. Taylor & Francis,
Washington, DC. 424 pp.
Zaldivar, J., J. Nielsen, and L. Olsson. 2001.
Fuel ethanol production from lignocellulose:
A challenge for metabolic engineering and
process integration. Appl. Microbiol.
Biotechnol. 56: 17−34.
Zhang, M., C. Eddy, K. Deanda, M. Finkelstein,
and S. Picataggio. 1995. Metabolic engineering of a pentose metabolism pathway in
ethanologenic Zymomonas mobilis. Science
267: 240−243.
Zhu, Y., Y.Y. Lee, and R.T. Elander. 2005.
Optimization of dilute-acid pretreatment of
corn stover using a high-solids percolation
reactor. Appl. Biochem. Biotechnol. 121−
124: 1045−1054.
Li, L., Y. Zhou, X. Cheng, J. Sun, J.M. Marita, J.
Ralph, and V.L. Chiang. 2003. Combi-
110
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Download