Kecoa Sebagai Korpus Aleneum pada Liang - Majalah FK

advertisement
Majalah Kedokteran FK UKI 2008 Vol XXVI No.2
April - Juni
Tinjauan Pustaka
Pemeriksaan Polymerase Chain Reactions (PCR) untuk Deteksi
Leptospira spp. pada Penderita Leptospirosis
I Made Setiawan
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Sulianti Saroso
Abstrak
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Pada manusia, penyakit itu
mempunyai gejala klinis yang sangat bervariasi dari paling ringan sampai sangat berat, dan mirip dengan
penyakit lain. Untuk menegakkan diagnosis dini, diperlukan pemeriksaan laboratorium yang cepat,
sehingga pengobatan dapat diberikan dengan cepat dan tepat. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium
standar untuk diagnosis leptospirosis adalah microscopic agglutination test (MAT). Akan tetapi,
pemeriksaan itu sangat rumit dan memerlukan tenaga terlatih, serta cukup berbahaya karena harus
membiakkan bakteri leptospira secara terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan antigen. Salah satu
alternatif adalah uji PCR. Untuk deteksi leptospira, uji PCR cukup sensitif, spesifik, dan hanya memerlukan
waktu yang sangat singkat, sehingga hasil yang diperoleh sangat cepat. Karena itu, teknik PCR cukup baik
dipakai untuk diagnosis penyakit leptospirosis pada manusia, tetapi tidak semua laboratorium diagnostik
mempunyai peralatan tersebut karena mahal dan memerlukan tenaga terlatih.
Kata kunci: PCR, leptospirosis, laboratorium
Polymerase Chain Reaction (PCR) to Detect Leptospira spp. in Patients
with Leptospirosis
Abstract
Leptospirosis is a disease caused by Leptospira bacteria. In human, the disease has varying clinical
symptoms from mild infection to severe infection. Hence, many other diseases have similar clinical
symptoms as leptospirosis. Performing rapid detection of leptospirosis on human needs fast laboratory test,
so treatment can be administered quickly and accurately. Currently, standard laboratory practices to
diagnose leptospirosis use microscopic agglutination test (MAT). However, MAT is very complex and
needs special expert. MAT is also quite dangerous due to the requirement to culture Leptospira
continuously for gaining antigen supply. As an alternative, the PCR test is recommended for Leptospira
detection. PCR test is a sufficiently sensitive and, specific and requires short time. Therefore the results can
be obtained quickly. Hence, the PCR technique is suitable enough to be used in diagnosing human
leptospirosis disease. However, not every diagnostic laboratory has PCR machines while it is expensive.
Finally, it is also need an expert to perform the test.
Key words: PCR, leptospirosis, laboratory
66
Pendahuluan
Teknik lain, misalnya enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dan slide
aglutination
test
(SAT)
dapat
mendeteksi kelas antibodi, akan tetapi
sering terjadi reaksi positif palsu, dan
untuk memastikan diagnosis sering
memerlukan pemeriksaan lain (MAT).5
Untuk mengatasi hal tersebut tampaknya
teknologi PCR merupakan jawaban yang
tepat. Dalam tulisan ini selanjutnya akan
dibahas tentang pemeriksaan PCR untuk
mendeteksi Leptospira pada penderita
leptospirosis.
Leptospirosis
adalah
penyakit
zoonosis yang disebabkan oleh serovar
spesies Leptospira interrogans yang
dapat
menginfeksi binatang dan
1
manusia.
Binatang yang menjadi
sumber utama penular leptospira adalah
tikus, selain anjing, babi, sapi, mencit
dan kucing.2 Infeksi pada manusia
umumnya disebabkan oleh kontak
dengan tanah, air, binatang, sayuran,
daging, susu, dan industri pertanian yang
terkontaminasi leptospira.1,2
Manifestasi
penyakit
sangat
bervariasi dari bentuk yang sangat
ringan dengan gejala subklinis yang
sembuh spontan sampai bentuk fatal
yang melibatkan organ paru, hati, ginjal,
susunan saraf pusat, dan jantung.3
Karena gejalanya sangat bervariasi,
maka sulit dibedakan dengan penyakit
lain, yang juga mempunyai gejala dan
epidemiologi yang serupa.4
Sampai saat ini dari genus leptospira
sudah dikenal terdiri lebih dari 250
serovar. Diagnosis leptospirosis secara
serologis biasanya dipastikan dengan
pemeriksaan Microscopic agglutination
test (MAT), yang dapat mendeteksi
antibodi spesifik yang timbul dalam
tubuh penderita pada saat terjadi infeksi.
Untuk melakukan MAT dibutuhkan
kultur leptospira hidup, yang digunakan
sebagai panel antigen, termasuk serovar
yang terdapat di wilayah pemeriksaan.
Respons antibodi spesifik yang dapat
dideteksi oleh MAT umumnya muncul
sekitar 8-10 hari sesudah munculnya
gejala. MAT biasanya hanya dapat
dilakukan oleh laboratorium rujukan
karena untuk melakukannya diperlukan
biakan organisme leptospira hidup yang
sangat berbahaya, juga diperlukan media
komersial yang harganya mahal, dan
serovar atau serogrup yang representatif
untuk wilayah tertentu.5
Polymerase Chain Reactions (PCR)
PCR
adalah
metode
untuk
amplifikasi DNA spesifik secara
enzimatik in vitro, menggunakan
sepasang primer oligonukleotida yang
dapat berhibridisasi dengan untai yang
berlawanan, dan mengapit daerah yang
diinginkan pada DNA sasaran. Dengan
serentetan pengulangan siklus yang
melibatkan
denaturasi
template,
annealing primer, dan perpanjangan
primer
yang
diannealing
oleh
polymerase
DNA,
maka
terjadi
akumulasi secara eksponensial fragmen
spesifik yang diinginkan, yang ujungnya
ditentukan oleh ujung 5` primer. Karena
hasil sintesis perpanjangan primer dalam
satu siklus dapat digunakan sebagai
template pada siklus berikutnya, maka
jumlah salinan DNA sasaran menjadi
dua kali lipat untuk setiap siklus. Jadi,
bila mesin PCR dioperasikan dengan 20
siklus, maka akan dihasilkan satu juta
kali (220) amplicon.6 Bahan yang
diperlukan dalam pemeriksaan PCR
adalah sampel DNA dan reagen yang
saat ini sudah dijual secara komersial.
Amplifikasi biasanya dapat dilakukan
pada mesin pengatur siklus panas PCR
dengan program yang dapat diprogram
sesuai kebutuhan. Setelah amplifikasi
67
amplikon
divisualisasi
dengan
elektroforesis pada gel dan diwarnai
dengan ethidium bromide dan dilihat
dengan cahaya ultraviolet, yang akan
tampak sebagai pita.7
Kemampuan
Leptospira
PCR
antara galur leptospira, seperti yang
digunakan untuk membedakan antara
hardjobovis dan hardjoprajitno. Analisis
Southern blot digabung dengan REA dan
teknik hibridisasi, tidak hanya dapat
membedakan perbedaan dalam satu
galur, tetapi juga dapat memperlihatkan
homologi di antara mereka.8
Smythe
et
al.,5
mengevalusi
sensitifitas primer dan probe PCR
dengan
menggunakan
29
galur
Leptospira dan 22 bakteri lain yang
patogen.
Ternyata
semua
galur
leptospira dapat dideteksi menggunakan
primer dan probe tersebut, sedangkan 22
bakteri patogen yang lain tidak
terdeteksi. Selanjutnya, sensitifitas PCR
juga diukur dengan menggunakan DNA
L. borgpeterseni dan L. interrogans
serovar pomona yang diencerkan dengan
kelipatan sepuluh dari 108-100. Jumlah
minimum
leptospira
yang
dapat
dideteksi dengan PCR adalah dua sel. 5
mendeteksi
Metode MAT untuk identifikasi dan
klasifikasi Leptospira patogen sudah
ditingkatkan, namun hasilnya masih
kurang memuaskan. Selain itu, teknik
antibodi monoklonal yang sudah
berkembang dengan pesat juga belum
dapat
digunakan
untuk
deteksi
8
Leptospira dengan cepat.
Sebagai alternatif adalah deteksi
DNA menggunakan teknik PCR. Teknik
ini sudah lama digunakan untuk deteksi
berbagai jenis DNA mikroorganisme,
termasuk mikroorganisme penyebab
penyakit. Metode PCR sangat ideal
digunakan
untuk
deteksi
cepat
organisme pada infeksi akut. Selain itu,
dengan metode yang lebih baru real-time
PCR, jumlah template dalam sampel
dapat dikuantifikasi, sehingga jumlah
organisme sasaran dapat diketahui. 5
PCR bersama dengan teknologi
biomolekuler lain dapat digunakan untuk
mengenal galur Leptospira. Dua teknik
yang telah digunakan adalah restriction
endonuclease analysis (REA) dan
hybridization-annealing
techniques.
REA sangat berguna dan dapat
mendeteksi perbedaan yang terdapat di
antara serovar Leptospira, walaupun
perbedaan tersebut terdapat di dalam
galur yang sama. Teknik hibridisasi
DNA dengan probe yang lengkap seperti
yang diterapkan pada teknik dot blot in
situ dan hydroxylapetite assay, telah
memperlihatkan
manfaat
untuk
mengidentifikasi
dan
klasifikasi
leptospira. Probe DNA rekombinan
dapat digunakan untuk membedakan
Deteksi Leptospira dalam Serum
Leptospiremia
pada
penderita
leptospirosis umumnya terjadi pada
minggu pertama infeksi, dan pada
minggu kedua leptospira sudah mulai
menghilang.9 Karena itu, pemeriksaan
PCR untuk identifikasi leptospira di
dalam serum sudah dapat dilakukan
mulai pada minggu pertama sakit sampai
minggu kedua. Sensitivitas PCR untuk
deteksi leptospira di dalam serum jauh
lebih tinggi dibandingkan dalam urin (di
dalam serum minimum dua sel, di dalam
urin minimum 8-10 sel). Akan tetapi,
pemeriksaan
PCR
serum
sering
memberikan hasil yang negatif. Hal itu
disebabkan konsentrasi leptospira di
dalam serum lebih rendah, sehingga
kadang-kadang tidak terdeteksi.10
Vinetz et al.,11 dapat mendeteksi
DNA leptospira pada minggu pertama
sakit, sehingga diagnosis dini dapat
68
ditegakkan, karenanya penderita akan
mendapat penanganan lebih cepat. Levet
et al.,3 mendeteksi leptospira di dalam
serum
dengan
real-time
PCR
menggunakan primer LipL32 dengan
sasaran nukleotida berukuran 423 pb
dengan sensitifitas minimum tiga salinan
genom. Bahan kimia yang dapat
menghambat reaksi yaitu, heparin,
sodium
polyanetholesulfonate,
dan
safonin. Bahan itu harus menjadi
perhatian pada saat mengambil darah
untuk spesimen pemeriksaan PCR.3
sensitifitas dalam urin belum diketahui
pasti, mungkin disebabkan beberapa
komponen dalam urin yang tercampur
pada saat melakukan ekstraksi DNA, dan
mempengaruhi reaksi PCR, atau
ekstraksi DNA dari urin tidak sama
efisien dengan ekstraksi DNA dari
serum.5
Bal et al.,10 melaporkan semua
sampel urin yang diambil sebelum hari
ke-8 masa sakit memberikan hasil PCR
positif, sedangkan yang diambil sesudah
hari ke-8 masa sakit hanya 86% yang
positif. Dari 86% sampel yang positif,
ternyata dua sampel sudah mendapat
antibiotik dan satu sampel diambil satu
tahun sesudah masa sakit. Bila hasil
PCR urin dibandingkan dengan hasil
biakan, ternyata PCR memberi hasil dua
kali lipat lebih sensitif dibandingkan
biakan. Hanya satu sampel yang biakan
positif, tetapi hasil PCR negatif. Hal itu
mungkin karena pasangan primer G1-G2
yang digunakan kurang sensitif terhadap
DNA serogrup celedoni. Selanjutnya,
jika
hasil
analisis
PCR
urin
dibandingkan PCR serum yang diambil
sebelum hari ke-8 sakit, ternyata hasil
pemeriksaan PCR urin semuanya (7
sampel) menunjukkan hasil positif,
sedangkan pemeriksaan dalam serum
hanya dua sampel dari tujuh sampel
menunjukkan hasil positif.
Dari uraian diatas disimpulkan,
untuk deteksi leptospira secara langsung
dari urin, PCR lebih sensitif dan lebih
cepat dibandingkan biakan. PCR
memberikan hasil lebih baik, karena
biakan mendeteksi leptospira hidup
sedangkan PCR dapat mendeteksi
leptospira hidup maupun mati, dan
leptospira tidak dapat hidup lama di
dalam urin.10
Bal et al.,10 menemukan bahwa
dengan biakan urin, leptospira mulai
terdeteksi pada minggu ke-2 sakit,
Deteksi Leptospira dalam Urin
Pemeriksaan PCR untuk deteksi
leptospira dalam serum lebih sensitif
dibandingkan dengan biakan, tetapi
disayangkan sekitar 50% kasus tidak
dapat dideteksi. Pemeriksaan leptospira
pada urin merupakan alternatif untuk
pemeriksaan leptospira pada penderita
leptospirosis, karena sampel urin mudah
diperoleh dalam jumlah banyak, dan
sedimen dapat diperiksa dengan PCR.10
Deteksi leptospira dalam urin dengan
menggunakan teknik PCR
lebih
menguntungkan dibandingkan dengan
biakan, karena leptospira cepat mati
dalam suasana asam urin, sedangkan
PCR tidak hanya mendeteksi dalam
keadaan hidup, juga leptospira yang
mati. PCR juga dilaporkan memberikan
hasil positif sebelum antibodi dapat
dideteksi dengan MAT muncul dalam
darah.10
Umumnya leptospira mulai terdapat
di dalam urin sekitar minggu ke-2 sejak
munculnya gejala penyakit, dan mulai
menghilang
sekitar
4-6
minggu
berikutnya. Pada beberapa kasus
leptospira baru menghilang setelah
beberapa bulan.10 Kemampuan PCR
untuk mendeteksi leptospira dalam urin
lebih rendah dibandingkan dalam
serum.5,10
Penyebab
rendahnya
69
sedangkan dengan PCR sudah terdeteksi
pada minggu pertama sakit. Hal itu
menunjukkan bahwa leptospira sudah
berkembang dalam ginjal pada minggu
pertama sakit. Selain itu empat dari tujuh
kasus menunjukkan hasil PCR positif
sebelum terjadi serokonversi, sedangkan
tiga kasus positif PCR yang lain
mempunyai titer antibodi yang rendah,
sehingga hasil pemeriksaan titer antibodi
tidak dapat dipakai sebagai indikator
diagnosis leptospirosis pada fase dini
penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka
pemeriksaan PCR pada urin dapat
digunakan
untuk
diagnosis
dini
leptospirosis dan memberikan hasil lebih
cepat, yaitu pada minggu pertama sakit.
yang
spesifik
leptospira.
Sistem
klasifikasi serovar yang sudah ada
ternyata tidak dapat dipakai sebagai
petunjuk untuk membuat primer, juga
serotipe dan genotipe tidak mempunyai
hubungan satu sama lain. Untuk itu,
tingkat homologi genom diantara galur
leptospira perlu diketahui. Pengetahuan
itu dapat memberi petunjuk tentang
galur asal pustaka dibuat dan galur
tempat
menjaring pustaka untuk
memperoleh sikuens spesifik umum,
yang dapat digunakan sebagai primer
PCR. Analisis Southern blot adalah
metode yang dapat memberi informasi
tentang sikuens tertentu dan susunan
genomnya.8
Savio et al.,14 merancang primer dari
fragmen pL590, yang mengandung
elemen ulangan yang terdapat di dalam
genom Leptospira interrogans serovar
hardjo tipe hardjoprajitno. PCR dengan
primer ini tidak dapat mendeteksi jenis
Leptospira serovar lain termasuk non
patogenik yaitu, serovar patoc dan
andamana, keturunan bovine dan swine,
dan juga spirochaeta lain (Borrelia
burgdorferi), serta bakteri lain yang
umum ditemukan dalam sampel biologi.
Teknik PCR digabung dengan restriction
fragment length polymorphism (RFLP)
dengan mencerna DNA amplikon
menggunakan enzim HinfI dan DdeI,
sehingga diperoleh gambaran polimorfik
spesifik.
Masing-masing
serovar
memperlihatkan
gambaran
yang
berbeda. Primer yang digunakan adalah
590-dir1
(upstream)
5`CGTTGTCAGAGGTCTAAACTG-3`,
(berhubungan dengan sikuens nukleotida
2-21) dan 590-rev.2 (downstream) 5`GCTTTGAGAGGGCTTATAAA-3`
(berhubungan dengan sikuens nukleotida
552-572).14
Merien et al.12 merancang primer
dari sikuens gen rRNA leptospira rrs
Deteksi Leptospira dalam Cairan
Serebrospinal
Pada stadium dini, MAT tidak dapat
mendeteksi antibodi di dalam cairan
serebrospinal. Karena itu diperlukan
metode deteksi lain dengan sensitifitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi serta
memberikan hasil cepat untuk diagnosis
dan surveilans epidemiologi yang lebih
efektif. Dari hasil penelitian, ternyata
leptospira dapat ditemukan di dalam
cairan serebrospinal pada sebagian besar
penderita leptospirosis. Untuk itu, PCR
lebih menjanjikan dalam mendeteksi
DNA leptospira yang terdapat dalam
cairan serebrospinal.12,13
Primer untuk Deteksi Leptospira
Berbagai percobaan telah dilakukan
untuk
merancang
primer
PCR
(9)
leptospira.
Sebenarnya sangat sulit
untuk mengidentifikasi seluruh spesies
leptospira patogen, juga sangat sulit
untuk membedakan antara spesies
leptospira patogen dan nonpatogen
hanya menggunakan pemeriksaan PCR.
Agar dapat mengidentifikasi leptospira
dengan PCR, diperlukan primer umum
70
(16S)
yang
merupakan
daerah
conserved. Sikuens oligonukleotida
primer
tersebut
adalah
A
5`GGCGGCGCGTCTTAAACATG-3`; B,
5`-TTCCCCCCATTGAGCAAGATT3`;
C,
5`CAAGTCAAGCGGAGTAGCAA-3`;
dan
D,
5`CTTAACCTGCTGCCTCCCGTA-3`.
Oligonukleotida A dan B berhubungan
dengan nukleotida 38 sampai 57 dan 348
sampai 368 pada struktur primer gen rrs
(16S) L. interrogans. Oligonukleotida C
dan D berturut-turut berhubungan
dengan nukleotida 58 sampai 77 dan 328
sampai 347.
Woo et al.,15 mengidentifikasi
leptospira dengan primer spesifik
terhadap gen 23S rDNA dari 23 galur
mewakili enam genospesies leptospira
patogen dan delapan galur L. beflexa.
Tanda-tanda yang membedakan antara
patogen dan nonpatogen kemudian
ditentukan.
Selanjutnya
disintesis
sepasang primer spesifik genus dan dua
pelacak hibridisasi fluoregenik spesifik
spesies disebelahnya yang terletak di
bagian tengah primer dan dipisahkan
satu sama lain oleh satu nukleotida.
Pelacak di bagian hulu dilabel pada
ujung 3` dengan fluorescein, sedangkan
pelacak dibagian hilir dilabel pada ujung
5` dengan Cy5. Karena pemindahan
energi resonans fluoresen akibat
annealing probe pada daerah sasaran
spesifik pada amplikon, maka terjadi
perubahan emisi fluoresen saat reaksi
PCR. Cara merancang primer PCR dan
pelacak hibridisasi adalah dengan
menjejer sebagian sikuens 23S rDNA,
sehingga diperoleh primer PCR spesifik
genus leptospira yaitu, L373 (5`
GACCCGAAGCCTGTCGAG 3`) dan
L1218
(5`
GCCATGCTTAGTCCCGATTAC 3`),
yang terletak pada posisi 737 sampai 754
dan 1218 sampai 1198. berdasarkan
penomeran skema untuk L. interrogans
Moulton 23S rDNA. Primer L737L1218
diharapkan
menghasilkan
amplicon yang panjangnya 482 pb. Dua
daerah spesifik untuk genospesies
patogen terletak pada posisi 1053-1073
dan 1075-1102, yang merupakan sasaran
sangat berguna untuk probe hibridisasi
fluoregenik yang bersebelahan, primer
yang dirancang adalah, AP1053 (5`
CCAGACCGTCGTTTAAGGCCC 3`)
dan
AP1075
(5`
AAAGTTCATGCTAAGTGGCAAAG
GATGT 3`) yang terletak di bagian
dalam pasangan primer L737-L1218.
Smythe et al.,5 menggunakan
TaqMan fluoregenis Probe untuk deteksi
leptospira pada sampel klinis. Ternyata
metode itu cukup sensitif dan dapat
membedakan spesies patogen dan
nonpatogen pada sampel klinis, sehingga
sebelum reaksi PCR dilakukan tidak
perlu untuk mengisolasi bakteri. Untuk
merancang primer dan pelacak, Smythe
et al.,5 menjejer sebagian sikuens 16S
rDNA Leptospira spp. yang diperoleh
dari GenBank. Program yang digunakan
untuk merancang adalah Primer Express
(Perkin-Elmer, Applied Biosystems,
USA). Selanjutnya, primer dan pelacak
yang diperoleh diuji dengan mendeteksi
sikuens
leptospira
menggunakan
program
BLAST
pada
sikuens
nukleotida rujukan di National Center
for Biotechnology Information (NCBI).
Hasil primer yang dirancang tersebut
adalah
:Lepto
F(5`171CCCGCGTCCGATTAG
3`),
Lepto
R
(5`258
TCCATTGTGGCCGRA/GACAC
3`).
Keduanya terletak antara 171 dan 258
gen rrs (16S) dengan panjang nukleotida
yang diharapkan adalah 87 pb. Probe
[5`205(FAM)
CTCACCAAGGCGACGATCGGTAG
71
C228 3` (TAMRA)] yang mempunyai
reporter warna fluorensent, 6-carboxyfluorescein (FAM) terletak pada ujung
5` probe dan quencher 6-carboxytetramethyl-rhodamine
(TAMRA)
terletak pada ujung 3`.
Levett et al.,3 merancang primer
dengan gen sasaran lipoprotein utama
yang terletak pada membran bagian luar
yaitu Lipl 32,16 yang merupakan faktor
virulen yang sangat penting,17 yang
umumnya dimiliki oleh seluruh galur
patogen Leptospira spp. Cara merancang
primer, sikuens Lipt 32 dari serovar
berikut ini dijejer dengan menggunakan
program ClustalW (DNASTAR) L.
borgpetersenii serovar harjo (GenBank
accession no. AF 181554), L.
interrogans
serovar
Autumnalis
(GenBank accession no. AF366366), L.
interrogans
serovar
copenhageni
(GenBank accession no. AF245281), L.
interogans serovar Lai (GenBank
accession no. LIU89708), L. interrogan
serovar Pomona (GenBank accession
no.AF181553), L. kirschneri serovar
Grippotyphosa (GenBank accession no.
AF121192) Leptospira noguchi serovar
Fortbragg (GenBank accession no.
AF181556), dan Leptospira santarosai
serovar Tropica (GenBank accession no.
AF181555). Primer dirancang pada
daerah conserved dengan jumlah basa
yang tercampur menggunakan program
Oligo 6,0 (Moleculer biology insights).
Setelah dilakukan percobaan, diperoleh
pasangan primer: LipL32-270F (5`CGCTGAAATGGGAGTTCGTATGAT
T-3`)
dan
LipL32692R
(5`CCAACAGATGCAACGAAAGATCC
TTT-3`) yang menghasilkan amplikon
sebesar 423 pb yang terletak antara
posisi 270 dan 692 daerah penyandi
LipL 32.
A
B
Gambar A: elektroforesis hasil PCR dengan perbedaan konsentrasi sel
PCR untuk melihat perbedaan genome spesies.18
15
Gambar B: elektroforesis hasil
jauh lebih singkat dibandingkan dengan
MAT. Banyaknya bakteri yang dapat
dideteksi dengan PCR antara 2-8 sel/ml
sampel. Karena itu, uji PCR dapat
digunakan untuk diagnosis leptospirosis
pada stadium dini. Pemeriksaan PCR
tidak
selalu
tersedia
disetiap
laboratorium diagnostik, karena mahal
dan memerlukan tenaga terlatih.
Kesimpulan
Pemeriksaan
PCR
untuk
leptospirosis lebih sensitif dibandingkan
biakan
bakteri dan pemeriksaan
serologis menggunakan metode standar
MAT. Uji PCR memberikan hasil positif
lebih
dini
dibandingkan
dengan
pemeriksaan MAT. Waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan uji PCR
72
Daftar Pustaka:
1.
Nardone A, Capek I, Baranton G, Campese
C, Posric D, Vaillant V, et al. Risk factors
for leptospirosis in metropolitan France:
results of a national case-control study,
1999-2000. Clin Infect Dis 2004; 39: 751-3.
2. Smythe L, Dohnt M, Symonds M, Barnett L,
Moore M, Brookes D, et al. Review of
leptospirosis notifications in Queensland and
Australia:
January 1998-June 1999.
Commun Dis Intell 2000; 24: 153-7.
3. Levett PN, Morey RE, Galloway RL, Turner
DE, Steigerwalt AG, and Mayer LW.
Detection of pathogenic leptispires by realtime quantitative PCR. J Med Microbiol
2005; 54: 45-9.
4. Plank R, Dean D. Overview of the
epidemiology,
microbiology,
and
pathogenesis of leptospira spp. in humans.
Microb Infect 2000; 2: 1265-76.
5. Smythe LD, Smith IL, Smith GA, Dohnt
MF, Symond ML, Barnett IJ, et al. A
quantitative PCR (TaqMan) assay for
pathogenic leptospira spp. BMC Infect Dis
2002; 2: 13-9.
6. Erlich HA. PCR technology. Principles and
applications for DNA amplification., New
York; M press Stockton; 1989.
7. Saiki RK, Hapter I. The design and
optimization of the PCR. In Erlich HA. PCR
technology. principles and applications for
DNA amplification., New York; M press
Stockton; 1989.
8. Van Eys GJJM, Gerritsen MJ, Korver H,
Schonne GJ, Kroon CCM, Terpstra WJ.
Characterization of serovars of the genus
leptospira by DNA hybridization with
Hardjobovis
and
icterohaemorrhagie
recombinant probe with special attention to
serogroup Sejroe. J Clin Microbiol 1991; 29:
1042-8.
9. Levett PN. Leptospirosis. Clin Microbiol
Rev 2001; 14: 296-326.
10. Bal AE, Gravekamp C, Hartskeerl RA,
Brewster JDM, Korver H, Terpstra WJ.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
73
Detection of leptospira in urine by PCR for
early diagnosis of leptospirosis. J Clin
Mecrobiol 1994; 32: 1894-8.
Vinetz JM, Glass GE, Flexner CE, Mueller
P, Kaslow DC. Sporadic urban leptospirosis.
Ann Intern Med 1996; 125:794-8.
Merien F, Amourioux P, Perolat P, Baranton
G, Saint Girons I. Polymerase chain reaction
for detection of leptospira spp. in clinical
samples. J Clin Microbiol 1992; 30: 221924.
Romero EC, Billerbeck AEC, Lando VS,
Camargo ED, Souza CC, Yasuda PH.
Detection of leptospira DNA in patients with
aseptic meningitis by PCR. J Clin Microbiol
1998; 36: 1453-5.
Savio ML, Rossi C, Fusi P, Tagliabue S,
Pacciarini ML. Detection and identification
of leptospira interrogans serovars by PCR
coupled with restriction endonuclease
analysis of amplified DNA.
J Clin
Microbiol 1994; 32: 935-41.
Woo THS, Patel BKC, Smythe LD, Symond
ML, Norris MA, Dohnt MF. Identification
of pathogenic leptospira genospicies by
continuous monitoring of fluorogenic
hybridization probes during rapid-cycle
PCR. J Clin Microbiol 1997; 35: 3140-6.
Haake DA, Chao G, Zuerner RL, Barnett
JK, Barnett D, Mazel M, et al. The
leptospiral major outer membrane protein
LipL32 is a lipoprotein expressed during
mammalian infection. Infect Immun 2000;
68: 2276-85.
Yang CW, Wu MS, Pan MJ, Hsieh WJ,
Vandewalle A, Huang CC. The leptospira
outer membrane protein LipL32 induces
tubulointerstitial nephritis-mediated gene
expression in mouse proximal tubule cells. J
Am Soc Nephrol 2002; 13: 2037-45.
Zuerner RL, Alt D, Bolin CA. IS1533-Based
PCR assay for identification of Leptospira
interrogans Sensu Lato Serovars. J Clin
Microbiol 1995; 33: 3284-9.
Download