Majalah Kedokteran FK UKI 2008 Vol XXVI No.2 April - Juni Tinjauan Pustaka Pemeriksaan Polymerase Chain Reactions (PCR) untuk Deteksi Leptospira spp. pada Penderita Leptospirosis I Made Setiawan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Sulianti Saroso Abstrak Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Pada manusia, penyakit itu mempunyai gejala klinis yang sangat bervariasi dari paling ringan sampai sangat berat, dan mirip dengan penyakit lain. Untuk menegakkan diagnosis dini, diperlukan pemeriksaan laboratorium yang cepat, sehingga pengobatan dapat diberikan dengan cepat dan tepat. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium standar untuk diagnosis leptospirosis adalah microscopic agglutination test (MAT). Akan tetapi, pemeriksaan itu sangat rumit dan memerlukan tenaga terlatih, serta cukup berbahaya karena harus membiakkan bakteri leptospira secara terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan antigen. Salah satu alternatif adalah uji PCR. Untuk deteksi leptospira, uji PCR cukup sensitif, spesifik, dan hanya memerlukan waktu yang sangat singkat, sehingga hasil yang diperoleh sangat cepat. Karena itu, teknik PCR cukup baik dipakai untuk diagnosis penyakit leptospirosis pada manusia, tetapi tidak semua laboratorium diagnostik mempunyai peralatan tersebut karena mahal dan memerlukan tenaga terlatih. Kata kunci: PCR, leptospirosis, laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR) to Detect Leptospira spp. in Patients with Leptospirosis Abstract Leptospirosis is a disease caused by Leptospira bacteria. In human, the disease has varying clinical symptoms from mild infection to severe infection. Hence, many other diseases have similar clinical symptoms as leptospirosis. Performing rapid detection of leptospirosis on human needs fast laboratory test, so treatment can be administered quickly and accurately. Currently, standard laboratory practices to diagnose leptospirosis use microscopic agglutination test (MAT). However, MAT is very complex and needs special expert. MAT is also quite dangerous due to the requirement to culture Leptospira continuously for gaining antigen supply. As an alternative, the PCR test is recommended for Leptospira detection. PCR test is a sufficiently sensitive and, specific and requires short time. Therefore the results can be obtained quickly. Hence, the PCR technique is suitable enough to be used in diagnosing human leptospirosis disease. However, not every diagnostic laboratory has PCR machines while it is expensive. Finally, it is also need an expert to perform the test. Key words: PCR, leptospirosis, laboratory 66 Pendahuluan Teknik lain, misalnya enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan slide aglutination test (SAT) dapat mendeteksi kelas antibodi, akan tetapi sering terjadi reaksi positif palsu, dan untuk memastikan diagnosis sering memerlukan pemeriksaan lain (MAT).5 Untuk mengatasi hal tersebut tampaknya teknologi PCR merupakan jawaban yang tepat. Dalam tulisan ini selanjutnya akan dibahas tentang pemeriksaan PCR untuk mendeteksi Leptospira pada penderita leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh serovar spesies Leptospira interrogans yang dapat menginfeksi binatang dan 1 manusia. Binatang yang menjadi sumber utama penular leptospira adalah tikus, selain anjing, babi, sapi, mencit dan kucing.2 Infeksi pada manusia umumnya disebabkan oleh kontak dengan tanah, air, binatang, sayuran, daging, susu, dan industri pertanian yang terkontaminasi leptospira.1,2 Manifestasi penyakit sangat bervariasi dari bentuk yang sangat ringan dengan gejala subklinis yang sembuh spontan sampai bentuk fatal yang melibatkan organ paru, hati, ginjal, susunan saraf pusat, dan jantung.3 Karena gejalanya sangat bervariasi, maka sulit dibedakan dengan penyakit lain, yang juga mempunyai gejala dan epidemiologi yang serupa.4 Sampai saat ini dari genus leptospira sudah dikenal terdiri lebih dari 250 serovar. Diagnosis leptospirosis secara serologis biasanya dipastikan dengan pemeriksaan Microscopic agglutination test (MAT), yang dapat mendeteksi antibodi spesifik yang timbul dalam tubuh penderita pada saat terjadi infeksi. Untuk melakukan MAT dibutuhkan kultur leptospira hidup, yang digunakan sebagai panel antigen, termasuk serovar yang terdapat di wilayah pemeriksaan. Respons antibodi spesifik yang dapat dideteksi oleh MAT umumnya muncul sekitar 8-10 hari sesudah munculnya gejala. MAT biasanya hanya dapat dilakukan oleh laboratorium rujukan karena untuk melakukannya diperlukan biakan organisme leptospira hidup yang sangat berbahaya, juga diperlukan media komersial yang harganya mahal, dan serovar atau serogrup yang representatif untuk wilayah tertentu.5 Polymerase Chain Reactions (PCR) PCR adalah metode untuk amplifikasi DNA spesifik secara enzimatik in vitro, menggunakan sepasang primer oligonukleotida yang dapat berhibridisasi dengan untai yang berlawanan, dan mengapit daerah yang diinginkan pada DNA sasaran. Dengan serentetan pengulangan siklus yang melibatkan denaturasi template, annealing primer, dan perpanjangan primer yang diannealing oleh polymerase DNA, maka terjadi akumulasi secara eksponensial fragmen spesifik yang diinginkan, yang ujungnya ditentukan oleh ujung 5` primer. Karena hasil sintesis perpanjangan primer dalam satu siklus dapat digunakan sebagai template pada siklus berikutnya, maka jumlah salinan DNA sasaran menjadi dua kali lipat untuk setiap siklus. Jadi, bila mesin PCR dioperasikan dengan 20 siklus, maka akan dihasilkan satu juta kali (220) amplicon.6 Bahan yang diperlukan dalam pemeriksaan PCR adalah sampel DNA dan reagen yang saat ini sudah dijual secara komersial. Amplifikasi biasanya dapat dilakukan pada mesin pengatur siklus panas PCR dengan program yang dapat diprogram sesuai kebutuhan. Setelah amplifikasi 67 amplikon divisualisasi dengan elektroforesis pada gel dan diwarnai dengan ethidium bromide dan dilihat dengan cahaya ultraviolet, yang akan tampak sebagai pita.7 Kemampuan Leptospira PCR antara galur leptospira, seperti yang digunakan untuk membedakan antara hardjobovis dan hardjoprajitno. Analisis Southern blot digabung dengan REA dan teknik hibridisasi, tidak hanya dapat membedakan perbedaan dalam satu galur, tetapi juga dapat memperlihatkan homologi di antara mereka.8 Smythe et al.,5 mengevalusi sensitifitas primer dan probe PCR dengan menggunakan 29 galur Leptospira dan 22 bakteri lain yang patogen. Ternyata semua galur leptospira dapat dideteksi menggunakan primer dan probe tersebut, sedangkan 22 bakteri patogen yang lain tidak terdeteksi. Selanjutnya, sensitifitas PCR juga diukur dengan menggunakan DNA L. borgpeterseni dan L. interrogans serovar pomona yang diencerkan dengan kelipatan sepuluh dari 108-100. Jumlah minimum leptospira yang dapat dideteksi dengan PCR adalah dua sel. 5 mendeteksi Metode MAT untuk identifikasi dan klasifikasi Leptospira patogen sudah ditingkatkan, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Selain itu, teknik antibodi monoklonal yang sudah berkembang dengan pesat juga belum dapat digunakan untuk deteksi 8 Leptospira dengan cepat. Sebagai alternatif adalah deteksi DNA menggunakan teknik PCR. Teknik ini sudah lama digunakan untuk deteksi berbagai jenis DNA mikroorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab penyakit. Metode PCR sangat ideal digunakan untuk deteksi cepat organisme pada infeksi akut. Selain itu, dengan metode yang lebih baru real-time PCR, jumlah template dalam sampel dapat dikuantifikasi, sehingga jumlah organisme sasaran dapat diketahui. 5 PCR bersama dengan teknologi biomolekuler lain dapat digunakan untuk mengenal galur Leptospira. Dua teknik yang telah digunakan adalah restriction endonuclease analysis (REA) dan hybridization-annealing techniques. REA sangat berguna dan dapat mendeteksi perbedaan yang terdapat di antara serovar Leptospira, walaupun perbedaan tersebut terdapat di dalam galur yang sama. Teknik hibridisasi DNA dengan probe yang lengkap seperti yang diterapkan pada teknik dot blot in situ dan hydroxylapetite assay, telah memperlihatkan manfaat untuk mengidentifikasi dan klasifikasi leptospira. Probe DNA rekombinan dapat digunakan untuk membedakan Deteksi Leptospira dalam Serum Leptospiremia pada penderita leptospirosis umumnya terjadi pada minggu pertama infeksi, dan pada minggu kedua leptospira sudah mulai menghilang.9 Karena itu, pemeriksaan PCR untuk identifikasi leptospira di dalam serum sudah dapat dilakukan mulai pada minggu pertama sakit sampai minggu kedua. Sensitivitas PCR untuk deteksi leptospira di dalam serum jauh lebih tinggi dibandingkan dalam urin (di dalam serum minimum dua sel, di dalam urin minimum 8-10 sel). Akan tetapi, pemeriksaan PCR serum sering memberikan hasil yang negatif. Hal itu disebabkan konsentrasi leptospira di dalam serum lebih rendah, sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi.10 Vinetz et al.,11 dapat mendeteksi DNA leptospira pada minggu pertama sakit, sehingga diagnosis dini dapat 68 ditegakkan, karenanya penderita akan mendapat penanganan lebih cepat. Levet et al.,3 mendeteksi leptospira di dalam serum dengan real-time PCR menggunakan primer LipL32 dengan sasaran nukleotida berukuran 423 pb dengan sensitifitas minimum tiga salinan genom. Bahan kimia yang dapat menghambat reaksi yaitu, heparin, sodium polyanetholesulfonate, dan safonin. Bahan itu harus menjadi perhatian pada saat mengambil darah untuk spesimen pemeriksaan PCR.3 sensitifitas dalam urin belum diketahui pasti, mungkin disebabkan beberapa komponen dalam urin yang tercampur pada saat melakukan ekstraksi DNA, dan mempengaruhi reaksi PCR, atau ekstraksi DNA dari urin tidak sama efisien dengan ekstraksi DNA dari serum.5 Bal et al.,10 melaporkan semua sampel urin yang diambil sebelum hari ke-8 masa sakit memberikan hasil PCR positif, sedangkan yang diambil sesudah hari ke-8 masa sakit hanya 86% yang positif. Dari 86% sampel yang positif, ternyata dua sampel sudah mendapat antibiotik dan satu sampel diambil satu tahun sesudah masa sakit. Bila hasil PCR urin dibandingkan dengan hasil biakan, ternyata PCR memberi hasil dua kali lipat lebih sensitif dibandingkan biakan. Hanya satu sampel yang biakan positif, tetapi hasil PCR negatif. Hal itu mungkin karena pasangan primer G1-G2 yang digunakan kurang sensitif terhadap DNA serogrup celedoni. Selanjutnya, jika hasil analisis PCR urin dibandingkan PCR serum yang diambil sebelum hari ke-8 sakit, ternyata hasil pemeriksaan PCR urin semuanya (7 sampel) menunjukkan hasil positif, sedangkan pemeriksaan dalam serum hanya dua sampel dari tujuh sampel menunjukkan hasil positif. Dari uraian diatas disimpulkan, untuk deteksi leptospira secara langsung dari urin, PCR lebih sensitif dan lebih cepat dibandingkan biakan. PCR memberikan hasil lebih baik, karena biakan mendeteksi leptospira hidup sedangkan PCR dapat mendeteksi leptospira hidup maupun mati, dan leptospira tidak dapat hidup lama di dalam urin.10 Bal et al.,10 menemukan bahwa dengan biakan urin, leptospira mulai terdeteksi pada minggu ke-2 sakit, Deteksi Leptospira dalam Urin Pemeriksaan PCR untuk deteksi leptospira dalam serum lebih sensitif dibandingkan dengan biakan, tetapi disayangkan sekitar 50% kasus tidak dapat dideteksi. Pemeriksaan leptospira pada urin merupakan alternatif untuk pemeriksaan leptospira pada penderita leptospirosis, karena sampel urin mudah diperoleh dalam jumlah banyak, dan sedimen dapat diperiksa dengan PCR.10 Deteksi leptospira dalam urin dengan menggunakan teknik PCR lebih menguntungkan dibandingkan dengan biakan, karena leptospira cepat mati dalam suasana asam urin, sedangkan PCR tidak hanya mendeteksi dalam keadaan hidup, juga leptospira yang mati. PCR juga dilaporkan memberikan hasil positif sebelum antibodi dapat dideteksi dengan MAT muncul dalam darah.10 Umumnya leptospira mulai terdapat di dalam urin sekitar minggu ke-2 sejak munculnya gejala penyakit, dan mulai menghilang sekitar 4-6 minggu berikutnya. Pada beberapa kasus leptospira baru menghilang setelah beberapa bulan.10 Kemampuan PCR untuk mendeteksi leptospira dalam urin lebih rendah dibandingkan dalam serum.5,10 Penyebab rendahnya 69 sedangkan dengan PCR sudah terdeteksi pada minggu pertama sakit. Hal itu menunjukkan bahwa leptospira sudah berkembang dalam ginjal pada minggu pertama sakit. Selain itu empat dari tujuh kasus menunjukkan hasil PCR positif sebelum terjadi serokonversi, sedangkan tiga kasus positif PCR yang lain mempunyai titer antibodi yang rendah, sehingga hasil pemeriksaan titer antibodi tidak dapat dipakai sebagai indikator diagnosis leptospirosis pada fase dini penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka pemeriksaan PCR pada urin dapat digunakan untuk diagnosis dini leptospirosis dan memberikan hasil lebih cepat, yaitu pada minggu pertama sakit. yang spesifik leptospira. Sistem klasifikasi serovar yang sudah ada ternyata tidak dapat dipakai sebagai petunjuk untuk membuat primer, juga serotipe dan genotipe tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Untuk itu, tingkat homologi genom diantara galur leptospira perlu diketahui. Pengetahuan itu dapat memberi petunjuk tentang galur asal pustaka dibuat dan galur tempat menjaring pustaka untuk memperoleh sikuens spesifik umum, yang dapat digunakan sebagai primer PCR. Analisis Southern blot adalah metode yang dapat memberi informasi tentang sikuens tertentu dan susunan genomnya.8 Savio et al.,14 merancang primer dari fragmen pL590, yang mengandung elemen ulangan yang terdapat di dalam genom Leptospira interrogans serovar hardjo tipe hardjoprajitno. PCR dengan primer ini tidak dapat mendeteksi jenis Leptospira serovar lain termasuk non patogenik yaitu, serovar patoc dan andamana, keturunan bovine dan swine, dan juga spirochaeta lain (Borrelia burgdorferi), serta bakteri lain yang umum ditemukan dalam sampel biologi. Teknik PCR digabung dengan restriction fragment length polymorphism (RFLP) dengan mencerna DNA amplikon menggunakan enzim HinfI dan DdeI, sehingga diperoleh gambaran polimorfik spesifik. Masing-masing serovar memperlihatkan gambaran yang berbeda. Primer yang digunakan adalah 590-dir1 (upstream) 5`CGTTGTCAGAGGTCTAAACTG-3`, (berhubungan dengan sikuens nukleotida 2-21) dan 590-rev.2 (downstream) 5`GCTTTGAGAGGGCTTATAAA-3` (berhubungan dengan sikuens nukleotida 552-572).14 Merien et al.12 merancang primer dari sikuens gen rRNA leptospira rrs Deteksi Leptospira dalam Cairan Serebrospinal Pada stadium dini, MAT tidak dapat mendeteksi antibodi di dalam cairan serebrospinal. Karena itu diperlukan metode deteksi lain dengan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi serta memberikan hasil cepat untuk diagnosis dan surveilans epidemiologi yang lebih efektif. Dari hasil penelitian, ternyata leptospira dapat ditemukan di dalam cairan serebrospinal pada sebagian besar penderita leptospirosis. Untuk itu, PCR lebih menjanjikan dalam mendeteksi DNA leptospira yang terdapat dalam cairan serebrospinal.12,13 Primer untuk Deteksi Leptospira Berbagai percobaan telah dilakukan untuk merancang primer PCR (9) leptospira. Sebenarnya sangat sulit untuk mengidentifikasi seluruh spesies leptospira patogen, juga sangat sulit untuk membedakan antara spesies leptospira patogen dan nonpatogen hanya menggunakan pemeriksaan PCR. Agar dapat mengidentifikasi leptospira dengan PCR, diperlukan primer umum 70 (16S) yang merupakan daerah conserved. Sikuens oligonukleotida primer tersebut adalah A 5`GGCGGCGCGTCTTAAACATG-3`; B, 5`-TTCCCCCCATTGAGCAAGATT3`; C, 5`CAAGTCAAGCGGAGTAGCAA-3`; dan D, 5`CTTAACCTGCTGCCTCCCGTA-3`. Oligonukleotida A dan B berhubungan dengan nukleotida 38 sampai 57 dan 348 sampai 368 pada struktur primer gen rrs (16S) L. interrogans. Oligonukleotida C dan D berturut-turut berhubungan dengan nukleotida 58 sampai 77 dan 328 sampai 347. Woo et al.,15 mengidentifikasi leptospira dengan primer spesifik terhadap gen 23S rDNA dari 23 galur mewakili enam genospesies leptospira patogen dan delapan galur L. beflexa. Tanda-tanda yang membedakan antara patogen dan nonpatogen kemudian ditentukan. Selanjutnya disintesis sepasang primer spesifik genus dan dua pelacak hibridisasi fluoregenik spesifik spesies disebelahnya yang terletak di bagian tengah primer dan dipisahkan satu sama lain oleh satu nukleotida. Pelacak di bagian hulu dilabel pada ujung 3` dengan fluorescein, sedangkan pelacak dibagian hilir dilabel pada ujung 5` dengan Cy5. Karena pemindahan energi resonans fluoresen akibat annealing probe pada daerah sasaran spesifik pada amplikon, maka terjadi perubahan emisi fluoresen saat reaksi PCR. Cara merancang primer PCR dan pelacak hibridisasi adalah dengan menjejer sebagian sikuens 23S rDNA, sehingga diperoleh primer PCR spesifik genus leptospira yaitu, L373 (5` GACCCGAAGCCTGTCGAG 3`) dan L1218 (5` GCCATGCTTAGTCCCGATTAC 3`), yang terletak pada posisi 737 sampai 754 dan 1218 sampai 1198. berdasarkan penomeran skema untuk L. interrogans Moulton 23S rDNA. Primer L737L1218 diharapkan menghasilkan amplicon yang panjangnya 482 pb. Dua daerah spesifik untuk genospesies patogen terletak pada posisi 1053-1073 dan 1075-1102, yang merupakan sasaran sangat berguna untuk probe hibridisasi fluoregenik yang bersebelahan, primer yang dirancang adalah, AP1053 (5` CCAGACCGTCGTTTAAGGCCC 3`) dan AP1075 (5` AAAGTTCATGCTAAGTGGCAAAG GATGT 3`) yang terletak di bagian dalam pasangan primer L737-L1218. Smythe et al.,5 menggunakan TaqMan fluoregenis Probe untuk deteksi leptospira pada sampel klinis. Ternyata metode itu cukup sensitif dan dapat membedakan spesies patogen dan nonpatogen pada sampel klinis, sehingga sebelum reaksi PCR dilakukan tidak perlu untuk mengisolasi bakteri. Untuk merancang primer dan pelacak, Smythe et al.,5 menjejer sebagian sikuens 16S rDNA Leptospira spp. yang diperoleh dari GenBank. Program yang digunakan untuk merancang adalah Primer Express (Perkin-Elmer, Applied Biosystems, USA). Selanjutnya, primer dan pelacak yang diperoleh diuji dengan mendeteksi sikuens leptospira menggunakan program BLAST pada sikuens nukleotida rujukan di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Hasil primer yang dirancang tersebut adalah :Lepto F(5`171CCCGCGTCCGATTAG 3`), Lepto R (5`258 TCCATTGTGGCCGRA/GACAC 3`). Keduanya terletak antara 171 dan 258 gen rrs (16S) dengan panjang nukleotida yang diharapkan adalah 87 pb. Probe [5`205(FAM) CTCACCAAGGCGACGATCGGTAG 71 C228 3` (TAMRA)] yang mempunyai reporter warna fluorensent, 6-carboxyfluorescein (FAM) terletak pada ujung 5` probe dan quencher 6-carboxytetramethyl-rhodamine (TAMRA) terletak pada ujung 3`. Levett et al.,3 merancang primer dengan gen sasaran lipoprotein utama yang terletak pada membran bagian luar yaitu Lipl 32,16 yang merupakan faktor virulen yang sangat penting,17 yang umumnya dimiliki oleh seluruh galur patogen Leptospira spp. Cara merancang primer, sikuens Lipt 32 dari serovar berikut ini dijejer dengan menggunakan program ClustalW (DNASTAR) L. borgpetersenii serovar harjo (GenBank accession no. AF 181554), L. interrogans serovar Autumnalis (GenBank accession no. AF366366), L. interrogans serovar copenhageni (GenBank accession no. AF245281), L. interogans serovar Lai (GenBank accession no. LIU89708), L. interrogan serovar Pomona (GenBank accession no.AF181553), L. kirschneri serovar Grippotyphosa (GenBank accession no. AF121192) Leptospira noguchi serovar Fortbragg (GenBank accession no. AF181556), dan Leptospira santarosai serovar Tropica (GenBank accession no. AF181555). Primer dirancang pada daerah conserved dengan jumlah basa yang tercampur menggunakan program Oligo 6,0 (Moleculer biology insights). Setelah dilakukan percobaan, diperoleh pasangan primer: LipL32-270F (5`CGCTGAAATGGGAGTTCGTATGAT T-3`) dan LipL32692R (5`CCAACAGATGCAACGAAAGATCC TTT-3`) yang menghasilkan amplikon sebesar 423 pb yang terletak antara posisi 270 dan 692 daerah penyandi LipL 32. A B Gambar A: elektroforesis hasil PCR dengan perbedaan konsentrasi sel PCR untuk melihat perbedaan genome spesies.18 15 Gambar B: elektroforesis hasil jauh lebih singkat dibandingkan dengan MAT. Banyaknya bakteri yang dapat dideteksi dengan PCR antara 2-8 sel/ml sampel. Karena itu, uji PCR dapat digunakan untuk diagnosis leptospirosis pada stadium dini. Pemeriksaan PCR tidak selalu tersedia disetiap laboratorium diagnostik, karena mahal dan memerlukan tenaga terlatih. Kesimpulan Pemeriksaan PCR untuk leptospirosis lebih sensitif dibandingkan biakan bakteri dan pemeriksaan serologis menggunakan metode standar MAT. Uji PCR memberikan hasil positif lebih dini dibandingkan dengan pemeriksaan MAT. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan uji PCR 72 Daftar Pustaka: 1. Nardone A, Capek I, Baranton G, Campese C, Posric D, Vaillant V, et al. Risk factors for leptospirosis in metropolitan France: results of a national case-control study, 1999-2000. Clin Infect Dis 2004; 39: 751-3. 2. Smythe L, Dohnt M, Symonds M, Barnett L, Moore M, Brookes D, et al. Review of leptospirosis notifications in Queensland and Australia: January 1998-June 1999. Commun Dis Intell 2000; 24: 153-7. 3. Levett PN, Morey RE, Galloway RL, Turner DE, Steigerwalt AG, and Mayer LW. Detection of pathogenic leptispires by realtime quantitative PCR. J Med Microbiol 2005; 54: 45-9. 4. Plank R, Dean D. Overview of the epidemiology, microbiology, and pathogenesis of leptospira spp. in humans. Microb Infect 2000; 2: 1265-76. 5. Smythe LD, Smith IL, Smith GA, Dohnt MF, Symond ML, Barnett IJ, et al. A quantitative PCR (TaqMan) assay for pathogenic leptospira spp. BMC Infect Dis 2002; 2: 13-9. 6. Erlich HA. PCR technology. Principles and applications for DNA amplification., New York; M press Stockton; 1989. 7. Saiki RK, Hapter I. The design and optimization of the PCR. In Erlich HA. PCR technology. principles and applications for DNA amplification., New York; M press Stockton; 1989. 8. Van Eys GJJM, Gerritsen MJ, Korver H, Schonne GJ, Kroon CCM, Terpstra WJ. Characterization of serovars of the genus leptospira by DNA hybridization with Hardjobovis and icterohaemorrhagie recombinant probe with special attention to serogroup Sejroe. J Clin Microbiol 1991; 29: 1042-8. 9. Levett PN. Leptospirosis. Clin Microbiol Rev 2001; 14: 296-326. 10. Bal AE, Gravekamp C, Hartskeerl RA, Brewster JDM, Korver H, Terpstra WJ. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 73 Detection of leptospira in urine by PCR for early diagnosis of leptospirosis. J Clin Mecrobiol 1994; 32: 1894-8. Vinetz JM, Glass GE, Flexner CE, Mueller P, Kaslow DC. Sporadic urban leptospirosis. Ann Intern Med 1996; 125:794-8. Merien F, Amourioux P, Perolat P, Baranton G, Saint Girons I. Polymerase chain reaction for detection of leptospira spp. in clinical samples. J Clin Microbiol 1992; 30: 221924. Romero EC, Billerbeck AEC, Lando VS, Camargo ED, Souza CC, Yasuda PH. Detection of leptospira DNA in patients with aseptic meningitis by PCR. J Clin Microbiol 1998; 36: 1453-5. Savio ML, Rossi C, Fusi P, Tagliabue S, Pacciarini ML. Detection and identification of leptospira interrogans serovars by PCR coupled with restriction endonuclease analysis of amplified DNA. J Clin Microbiol 1994; 32: 935-41. Woo THS, Patel BKC, Smythe LD, Symond ML, Norris MA, Dohnt MF. Identification of pathogenic leptospira genospicies by continuous monitoring of fluorogenic hybridization probes during rapid-cycle PCR. J Clin Microbiol 1997; 35: 3140-6. Haake DA, Chao G, Zuerner RL, Barnett JK, Barnett D, Mazel M, et al. The leptospiral major outer membrane protein LipL32 is a lipoprotein expressed during mammalian infection. Infect Immun 2000; 68: 2276-85. Yang CW, Wu MS, Pan MJ, Hsieh WJ, Vandewalle A, Huang CC. The leptospira outer membrane protein LipL32 induces tubulointerstitial nephritis-mediated gene expression in mouse proximal tubule cells. J Am Soc Nephrol 2002; 13: 2037-45. Zuerner RL, Alt D, Bolin CA. IS1533-Based PCR assay for identification of Leptospira interrogans Sensu Lato Serovars. J Clin Microbiol 1995; 33: 3284-9.