skripsi praktik sanitasi dan penyimpanan pangan pada suhu

advertisement
SKRIPSI
PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN PADA SUHU
RENDAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus
Oleh :
SUKMA PARAMITA DEWI
F24104059
2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
1
PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN PADA SUHU
RENDAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
SUKMA PARAMITA DEWI
F24104059
2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2
Sukma Paramita Dewi. F24104059. Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan
pada Suhu Rendah di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Di bawah bimbingan Ratih DewantiHariyadi
RINGKASAN
Salah satu kasus keracunan makanan yang sering terjadi terkait dengan
bahaya mikrobial adalah intoksikasi makanan Staphylococci (Staphylococcal food
poisoning). Keracunan oleh bakteri ini kebanyakan terjadi karena Staphylococcus
aureus mencemari makanan yang telah mengalami proses pengolahan, sementara
bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang
karena mati oleh proses pemasakan. S. aureus ditemukan pada tubuh manusia
sehingga dapat mencemari melalui pekerja yang mengolah makanan. Seperti
bakteri lainnya, S. aureus tumbuh cepat pada kisaran suhu 4,4 sampai 60ºC
(”danger zone”), oleh karena itu makanan seharusnya tidak disimpan dalam suhu
ruang dalam waktu yang relatif lama. Di tingkat rumah tangga makanan yang
telah selesai disajikan sering kali disimpan dalam refrigerator untuk
mengawetkannya. Akan tetapi tidak semua refrigerator yang ada pada rumah
tangga dapat mencapai suhu yang dianggap aman untuk menyimpan makanan.
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa suhu yang digunakan tidak cukup untuk
menahan pertumbuhan bakteri ini.
Penelitian ini bertujuan mempelajari praktik sanitasi dan penyimpanan
pangan di tingkat rumah tangga dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap
pertumbuhan S. aureus. Penelitian diharapkan dapat memberi informasi mengenai
praktik penanganan pangan yang ada di rumah tangga dan potensi resiko selama
penyimpanan pada suhu rendah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap
pertama yaitu survei mengenai praktik penyimpanan pangan dan sanitasi di
tingkat rumah tangga, metode yang digunakan adalah observasi, wawancara dan
pembagian kuesioner kepada 30 ibu rumah tangga di daerah Jakarta. Kemudian
tahap kedua adalah mempelajari pertumbuhan S. aureus ATCC 25923 pada
penyimpanan suhu refrigerator 5ºC, 10ºC dan 15ºC, dengan jumlah kontaminasi
awal 3 dan 5 log cfu/g sampel. Pertumbuhan S. aureus akan diamati setiap interval
3 jam selama 48 jam. Sampel masakan yang diuji adalah pangan siap santap yang
lazim di Indonesia yaitu soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (88%)
memilih menyimpan masakan di dalam refrigerator untuk mengawetkannya. Dan
dari 30 rumah tangga, hanya 36,6% rumah tangga yang memiliki refrigerator
dengan suhu <10oC, bahkan terdapat refrigerator yang memilki suhu >15 oC.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
pertumbuhan S. aureus yang signifikan pada suhu penyimpanan 5ºC, dan jumlah
S. aureus cenderung konstan. Hal yang sama terjadi pada penyimpanan 10ºC.
Dengan demikian dapat dikatakan penyimpanan suhu 5 dan 10ºC tidak
mendukung pertumbuhan S. aureus dalam masakan soto ayam, nasi uduk,
maupun tumis buncis karena hingga penyimpanan selama 48 jam pertambahan
bakteri tidak mencapai 1 log. Tetapi pada suhu 15ºC, pertumbuhan S. aureus
cukup signifikan. Pertambahannya mencapai lebih dari 1 log cfu/g sampel selama
penyimpanan 24 jam, dan di akhir penyimpanan 48 jam pertambahan S. aureus
3
mencapai 3 log cfu/g, jumlah ini telah mencapai jumlah yang cukup untuk
mendukung produksi enterotoksin.
Berdasarkan uji statisik, perbedaan jumlah kontaminasi awal S. aureus 3
dan 5 log cfu/g tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan di dalam ketiga
sampel makanan. Hal ini dapat terjadi karena suhu pertumbuhan yang tidak
optimum sehingga laju pertumbuhan berjalan lambat. Kandungan nutrisi masakan
dan lingkungan pertumbuhan menunjukkan pengaruh terhadap laju pertumbuhan
S. aureus. Berdasarkan data yang didapatkan laju pertumbuhan S. aureus pada
tumis buncis berjalan lebih lambat dibandingkan dengan masakan soto ayam dan
nasi uduk. Ini disebabkan karena kandungan protein dan karbohidrat yang ada
pada tumis buncis sangat rendah, sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan
dari bakteri S. aureus ini.
4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN PADA SUHU
RENDAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
SUKMA PARAMITA DEWI
F24104059
Dilahirkan pada tanggal 3 Februari 1986
di Jakarta
Tanggal lulus : 20 Agustus 2008
Menyetujui,
Bogor,
September 2008
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi M.Sc.
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.
Ketua Departemen ITP
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul ” Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan pada Suhu Rendah di
Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Staphylococcus
aureus”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan ilmu, arahan serta saran selama penulis berkuliah dan
menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Mama dan Papa yang telah memberikan kasih sayang, doa, restu serta
dukungannya selama ini. Tanpa kalian semua perjuangan dan usahaku tidak
akan ada artinya. Trimakasih atas segala yang kalian berikan kepadaku.
3. Adik-adikku Alice dan Bidari atas persaudaraan dan dukungannya. Penulis
berharap kalian akan tetap menjadi adik-adik yang selalu memberikan
dukungan penuh serta kasih sayang kepadaku hingga kita dewasa dan tua
nanti.
4. Teman-teman ITP 41 yang selama ini menjadi teman seperjuangan dalam
menggapai cita-cita. Penulis berharap pertemanan serta persahabatan yang
telah terjalin selama ini dapat terus berlangsung dan mudah-mudahan kita
semua dapat bertemu lagi di masa depan, tentu saja dengan keadaan yang
lebih baik.
5. Mita, Acil, Agus, Nasrul, dan Indra atas persahabatan sejati yang mereka
berikan. Penulis berterima kasih karena selama ini kalian selalu memberikan
yang terbaik, dalam suka bahkan pada masa-masa tersulit dalam hidupku
kalian selalu ada.. Tanpa dukungan dan doa yang kalian berikan, hidup dan
hari-hariku akan terasa berat, sekali lagi terimakasih teman.
6. Rani dan Arum atas persahabatan dan telah menjadi teman sebelah bangku
selama empat tahun ini berkuliah dan menjadi tempat curahan hati serta
pendengar yang baik.
7. Netha, yang telah menjadi partner terbaik dalam melakukan penelitian untuk
tugas akhir ini. Terimakasih teman atas segala bantuan dan dukungannya.
6
8. Iren, Idha, dan Shidiq terimakasih atas segala pertemanan dan bantuan yang
kalian berikan selama ini. Mudah-mudahan kita dapat mengharumkan nama
Labschool dengan prestasi yang baik di masa depan.
9. Teman-teman di Dwi regina, Dita, Koko, kak Dyah, kak Desi, serta temanteman yang lain atas doa dan bantuannya.
10. Semua pihak yang telah membantu selama penulis berkuliah, dalam penelitian
dan penulisan skripsi yang tidak sempat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan.
Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi
orang lain.
Bogor,
2008
Penulis
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada hari senin 3 Februari 1986 di Jakarta dari pasangan
ayah Dr.Ir Santoso M.Phil dan ibu Drs. Endang Siti Sulistiowati Heri Ningrum.
Penulis adalah anak sulung dari tiga bersaudara, memiliki dua orang adik yang
bernama Alice Raga Dewi dan Bidari Mara Dewi. Penulis menyelesaikan
pendidikan taman kanak-kanak di TK Ratna Kusuma Jakarta pada tahun 1992 dan
pendidikan sekolah dasar pada tahun 1998 di SDN Gedong 07 pagi Jakarta.
Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 223
Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Labschool Jakarta
diselesaikan pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti pendidikan penulis mengikuti kepanitian beberapa acara
kegiatan kampus antara lain NSPC (National Student Paper Competition). Penulis
juga menjadi asisten praktikum mata kuliah mikrobiologi pangan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Teknologi Pertanian, penulis
menyelesaikan skipsinya dengan judul Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan
pada Suhu Rendah di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus di bawah bimbingan Dr.Ir. Ratih DewantiHaryadi M.Sc.
8
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
iv
I. PENDAHULUAN..................................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Tujuan Penelitian ..............................................................................
3
C. Manfaat Penelitian ............................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
4
A. Keamanan Pangan............................................................................
4
B. Pangan Siap Santap ...........................................................................
8
C. Staphylococcus aureus ......................................................................
11
D. Pengendalian Staphylococcus aureus dalam Pangan........................
19
III. METODOLOGI ....................................................................................
23
A. Alat dan Bahan.................................................................................
23
B. Metode Penelitian ............................................................................
24
C. Prosedur Analisis .............................................................................
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
35
A. Evaluasi Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan di
Tingkat Rumah Tangga ...................................................................
35
B. Perilaku Staphylococcus aureus dalam Pangan Siap Santap
Selama Penyimpanan Suhu Rendah ................................................
41
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
57
A. Kesimpulan ......................................................................................
57
B. Saran ................................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
59
LAMPIRAN.................................................................................................
64
9
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Bakteri Penyebab keracunan pangan di Perancis 1999-2000 ........
6
Tabel 2. Faktor-faktor yang mampengaruhi pertumbuhan S. aureus...........
13
Tabel 3. Karakteristik yang membedakan S. aureus dengan Staphylococci
lain ................................................................................................
13
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin yang
dihasilkan oleh S. aureus ..............................................................
15
Tabel 5. Sumber pangan yang sering menyebabkan kasus keracunan
Staphylococcal food poisoning (SFP) di Amerika, 1973-1987) ....
19
Tabel 6. Faktor penyebab keracunan Staphylococcal di Amerika Serikat
tahun 1973- 1987 .........................................................................
21
Tabel 7. Suhu refrigerator rumah tangga di beberapa negara ......................
21
Tabel 8. Jenis bakteri dan persentase keberadaannya di dalam
refrigerator (menurut survei pada 806 rumah tangga di Irlandia)..
22
Tabel 9. Komposisi bumbu dasar pembuatan soto ayam.............................
27
Tabel 10.Komposisi bumbu dasar pembuatan nasi uduk..............................
28
Tabel 11.Komposisi bumbu dasar pembuatan tumis buncis.........................
28
Tabel 12.Waktu Generasi S. aureus pada sampel masakan soto ayam, nasi
uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5, 10, dan 15ºC
dengan kontaminasi awal awal 3 log cfu/g ....................................
48
Tabel 13.Waktu Generasi S. aureus pada sampel masakan soto ayam, nasi
uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5, 10, dan 15ºC
dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g.............................................
49
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Persentase sumber keracunan makanan 1997-2000 ..................
7
Gambar 2. Staphylococus aureus................................................................
11
Gambar 3. Diagram alir proses penelitian...................................................
24
Gambar 4. Proses pembuatan soto ayam.....................................................
27
Gambar 5. Proses pembuatan nasi uduk .....................................................
28
Gambar 6. Proses pembuatan tumis buncis ................................................
29
Gambar 7. Tipe gumpalan pada uji koagulase ............................................
31
Gambar 8. Prosedur pewarnaan gram .........................................................
32
Gambar 9. Bagan alir perhitungan populasi Staphylococcus aureus..........
33
Gambar 10. Sumber air untuk mencuci peralatan memasak.........................
36
Gambar 11. Aktivitas memasak saat terjadi luka terbuka ditangan ..............
37
Gambar 12. Aktivitas memasak saat menderita batuk ..................................
37
Gambar 13. Jangka waktu pembersihan refrigerator ....................................
38
Gambar 14. Lama penyimpanan makanan pada suhu ruang.........................
38
Gambar 15. Penyimpanan makanan sisa.......................................................
39
Gambar 16. Suhu refrigerator ......................................................................
40
Gambar 17. Tingkat pendidikan responden ..................................................
41
Gambar 18. Hasil uji koagulase pada kultur S. aureus ................................
42
Gambar 19. Staphylococcus aureus pada media BPA+ egg yolk tellurite....
44
Gambar 20. S. aureus dalam media agar darah.............................................
44
Gambar 21. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan
tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi
awal 3 log cfu/g........................................................................
46
Gambar 22. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan
tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi
awal 5 log cfu/g........................................................................
46
Gambar 23. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan
tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi
awal 3 log cfu/g........................................................................
48
11
Gambar 24. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan
tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi
awal 5 log cfu/g........................................................................
49
Gambar 25. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan
tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi
awal 3 log cfu/g........................................................................
50
Gambar 26. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan
tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi
awal 5 log cfu/g........................................................................
51
12
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keracunan makanan akibat bakteri patogen sering dijumpai di
masyarakat. Salah satu kasus penyakit yang paling sering terjadi terkait
dengan bahaya mikrobial adalah intoksikasi makanan Staphylococci
(Staphylococcal food poisoning), dimana penyebabnya berasal dari hasil
metabolit bakteri S. aureus. Ada beberapa toksin ekstraseluler yang
berkontribusi
terhadap
patogenitas
S.
aureus,
tetapi
staphylococcal
enterotoxins (SEs) merupakan zat yang memiliki risiko tertinggi terhadap
penyebab gangguan kesehatan konsumen (Holeckova et al.,2002). Bakteri
kokus gram positif ini memproduksi toksin (enterotoksin) yang bersifat stabil
terhadap pemanasan (termostabil), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh
enzim-enzim pencernaan, dan relatif resisten terhadap pengeringan.
Keracunan oleh bakteri ini banyak terjadi pada makanan yang telah
dimasak. Hal ini disebabkan karena pada makanan yang telah dimasak, bakteri
lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang karena
mati oleh proses pemasakan. Sementara itu bakteri Staphylococcus aureus
terdapat luas di alam, seperti udara, debu, dan air, selain itu bakteri S. aureus
sangat erat hubungannya dengan manusia, karena merupakan flora normal
pada berbagai bagian tubuh manusia terutama pada kulit, hidung dan mulut.
Dengan demikian makanan yang sudah dimasak sangat mudah tercemar oleh
bakteri S. aureus ini.
Keracunan makanan oleh Staphylococcus aureus terjadi jika menelan
makanan yang telah mengandung enterotoksin S. aureus. Makanan yang
mengandung enterotoksin dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan
mencapai usus halus. Selanjutnya dengan cepat toksin tersebut akan merusak
dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus. Sementara itu
keberadaan bakteri S. aureus dan toksin yang dihasilkan pada makanan tidak
dapat dideteksi secara visual karena tidak menimbulkan perubahan yang nyata
pada makanan.
Bakteri secara umum tumbuh cepat pada kisaran suhu 4,4 sampai
60ºC. Kisaran suhu ini sering disebut dengan danger zone. Oleh karena itu
13
makanan seharusnya tidak disimpan diluar refrigerator dalam waktu yang
relatif lama, oleh karena itu, pola penyajian yang biasa dilakukan pada rumah
tangga atau rumah makan yang ada memberikan peluang bagi bakteri S.
aureus ini untuk tumbuh, yaitu waktu tenggang yang cukup lama hingga
makanan di meja makan keluarga kembali dihangatkan atau sampai makanan
yang dijajakkan di warung makan terjual habis.
Penyimpanan dalam suhu rendah atau refrigerasi merupakan metode
yang paling sering dilakukan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri atau
mengawetkan suatu bahan pangan. Sebagai konsekuensinya, prosedur
refrigerasi atau pendinginan makanan yang baik harus diterapkan untuk
memastikan bahwa makanan tidak hanya awet tetapi aman untuk dikonsumsi.
Di tingkat rumah tangga sering kali makanan yang telah selesai disajikan akan
disimpan pada refrigerator untuk mengawetkannya, dan akan kembali
dipanaskan untuk disajikan di hari berikutnya. Tetapi pada kenyataannya
refrigerator yang ada pada rumah tangga jarang sekali dapat mencapai suhu
yang dianggap aman untuk menyimpan suatu makanan. Karena menurut
Fardiaz (1994), rekomendasi penyimpanan makanan dingin sebaiknya pada
suhu di bawah 4ºC. Menurut Adam dan Moss (1995) kisaran suhu untuk
pertumbuhan
bakteri
S.
aureus
adalah
4-48ºC.
Sehingga
terdapat
kemungkinan bahwa suhu refrigerator pada rumah tangga tidak cukup untuk
dapat menahan pertumbuhan dari bakteri ini. Karena menurut Bolton et al.
(2005), berdasarkan survei terhadap 100 refrigerator di Irlandia, hanya 40%
refrigerator yang memiliki suhu dibawah 5ºC. Dan bakteri S. aureus
merupakan bakteri dominan yang terdapat pada bagian dalam dari refrigerator,
sehingga kontaminasi oleh bakteri ini dapat terjadi
S. aureus menggunakan berbagai macam karbohidrat. Asam amino
dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, selain itu juga dibutuhkan thiamin dan
asam nikotinat (Jay, 1992). Perbedaan proses pengolahan dan bahan dasar dari
sistem pangan menghasilkan kondisi pertumbuhan yang berbeda pula bagi
mikroorganisme yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu pengetahuan
tentang toleransi lama waktu penyimpanan dan suhu refrigerator yang masih
14
dapat digunakan untuk menyimpan makanan, diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai keamanan dari produk masakan yang diuji.
B. TUJUAN DAN SASARAN
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari praktik sanitasi dan
penyimpanan pangan pada suhu rendah di tingkat rumah tangga, dan (2);
mengevaluasi pengaruh penyimpanan suhu rendah terhadap pertumbuhan S.
aureus pada makanan siap santap Indonesia.
C. MANFAAT
Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi mengenai
praktik sanitasi dan penyimpanan pangan di tingkat rumah tangga serta
memberi informasi mengenai pertumbuhan S. aureus dalam berbagai kondisi
dan sistem pangan selama penyimpanan pada suhu pendinginan yang berbeda,
sehingga dapat diketahui potensi resiko bahaya karena pertumbuhan S. aureus
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KEAMANAN PANGAN
Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologi, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia (Undang-undang RI No.7, 1996).
Keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks sebagai hasil
interaksi antara toksisitas mikrobiologi, toksisitas kimiawi, dan status gizi
yang kesemuanya saling berkaitan. Pangan yang tidak aman dapat
mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan
masalah terhadap status gizi (Winarno et al,1993).
Empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia saat ini adalah
(1) pencemaran pangan oleh mikroba karena rendahnya praktik-praktik
sanitasi dan higiene, (2) pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya
seperti residu pestisida, residu obat hewan, logam berat, mikotoksin dan
sebagainya, (3) penggunaan salah (misuse) bahan berbahaya yang dilarang
digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, rhodamin B, metanil
yellow, dan (4) penggunaan melebihi batas maksimum yang diijinkan (abuse)
dari bahan tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya oleh badan
POM (Winarno, 2004). Dan WHO setiap tahunnya menerima ratusan ribu
laporan kasus keracunan pangan yang terkontaminasi bakteri dari seluruh
dunia. United States Food and Drug Administration (1999) melaporkan
bahwa terjadi 14 juta kasus keracunan, dimanan 60.000 diantaranya
memerlukan rawat inap dan 1800 kasus lainnya menyebabkan kematian.
Menurut Fardiaz (1994), bahaya mikrobiologi dalam keamanan pangan
meliputi : bakteri, virus, kapang, parasit dan protozoa. Bahaya mikrobiologi
pada makanan dapat berasal dari penggunaan bahan mentah dan air yang
tercemar mikroba dalam jumlah tinggi. Lingkungan penjualan atau penyajian
yang tidak bersih, pekerja yang kotor dan menderita penyakit infeksi,
peralatan atau wadah yang tidak bersih dan kontaminasi silang antara
makanan yang telah dimasak dengan bahan mentah juga merupakan faktor
penting penyebab bahaya mikrobiologi. Berdasarkan data yang didapat dari
16
BPOM (2007), penyebab keracunan makanan di Indonesia sebesar 14%
karena cemaran mikro, 12% karena kimia, dan 57% diantaranya tidak
diketahui sebabnya.
Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba pathogen (Riemann dan
Bryan 1979). Lebih dari 90% kejadian penyakit pada manusia disebabkan
mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit
tipus, disentri, botulisme, dan intoksikasi bakteri lainnya seperti hepatitis A
(Winarno 1997). Mikroba terutama bakteri yang bersifat patogen dapat
ditemukan di mana saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan,
peralatan untuk pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Pangan membawa
berbagai jenis mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman atau
hewan, baik yang berasal dari lingkungan maupun yang masuk selama
pemanenan
atau
penyembelihan
distribusi,
penanganan
pascapanen,
pengolahan, serta penyimpanan produk (Djaafar dan Rahayu, 2007).
Dari kasus-kasus tersebut, jenis patogen yang sudah lama dikenal
dilaporkan sebagai penyebab utama keracunan karena kemampuannya untuk
berpenetrasi, bertahan hidup dan bermultiplikasi pada sel inang. Menurut
United States of Food and Drug Administration (1999), patogen-patogen
tersebut antara lain Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Clostridium
perfringens, Bacillus cereus, Camphylobacter sp, Shigella sp., Clostridium
botulinum, dan Escherichia coli. Tingkat bahaya bakteri tersebut bergantung
pada beberapa faktor antara lain: faktor lingkungan (komposisi makanan,
suhu, dll), faktor bakteri (galur, jenis toksin, dll) (Stewart et al., 2003).
Patogen yang terdapat dalam bahan pangan dapat berkembang biak
dan memproduksi toksin hingga jumlah yang tidak aman bila terkonsumsi.
Kasus yang dapat ditimbulkan dari pangan yang terkontaminasi bakteri
digolongakan menjadi dua yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi disebabkan
oleh terkonsumsinya jenis-jenis patogen yang berkembang biak dalam saluran
pencernaan. Gejala yang ditimbulkan terjadi setelah masa inkubasi 12-24 jam
dan ditandai oleh gangguan perut, pusing, mual, diare, muntah, demam dan
sakit kepala. Bakteri yang menyebabkan infeksi tersebut antara lain
17
Salmonella,
Clostridium
perfringens,
Vibrio
parahaemolyticus,
enteropatogenik Escherichia coli, dan Shigella (Buckle et al., 1987).
Intoksikasi terjadi karena terkonsumsinya toksin yang dihasilkan oleh bakteri
yang mengkontaminasi bahan pangan. Gejala intoksikasi umumnya terjadi
dengan cepat (1-12jam) dan ditandai dengan seringnya muntah-muntah
ringan dan diare. Contoh bakteri yang menyebabkan intoksikasi antara lain
Staphylococcus aureus dan Clostridium botulinum (Buckle et al., 1987).
Bakteri penyebab keracunan pangan dan frekuensi kasus yang terjadi di
perancis tahun 1999-2000 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Bakteri penyebab keracunan pangan di Perancis periode 1999-2000*
Bakteri
Outbreaks
(n=530)
(%)
Kasus
(n=6451)
(%)
Perawatan di
rumah sakit
(n=872)
(%)
Kematian
(n=7)
(%)
Salmonella sp
(enteretidis,
typimurium,
heidelberg, dan
jenis lainnya)
63,8
47,7
16,8
100
Staphylococcus
aureus
16
25,6
17,1
0
Clostridium
perfringens
5,1
12,3
0,5
0
Bacillus cereus
2,8
3,7
10
0
Histamin
3,8
1,4
30,4
0
Bakteri
patogen
lain (Dinophysis, C.
Botulinum, Shigella
sp.,
Calicivirus,
HAV, Vibrio sp., E.
coli, dll)
8,5
9,2
7,6
0
*)Haeghebaert et al. (2002)
18
Menurut Bryan (1974), terdapat 5 faktor utama yang sering
menyebabkan keracunan akibat bakteri S. aureus, yaitu: (1) Suhu refrigerasi
yang tidak tepat atau tidak cukup, (2) Penyiapan makanan yang terlalu lama
dari waktu penyajian, (3) Praktik sanitasi pekerja yang buruk, (4) Proses
pemasakan dan pemanasan yang tidak cukup, dan (5) Menahan makanan pada
temperatur
pertumbuhan
bakteri.
Suhu
rerigerasi
yang
tidak
tepat
meyumbangkan 25,5% sebagai faktor penyebab keracunan ini.
Seperti di negara lainnya, di Indonesia kasus keracunan pangan juga
marak terjadi. Walaupun sektor katering merupakan penyebab keracunan
makanan terbesar di Indonesia tetapi kasus keracunan di dalam rumah tangga
juga menjadi salah satu sumber keracunan pangan. Presentase sumber
keracunan makanan di Indonesia tahun 1997-2007 dapat dilihat pada Gambar
1.
Persentase
kasus
keracunan
(%)
Sumber
Gambar 1. Presentase sumber keracunan makanan periode 1997-2000
(PPM dan PL, 2007)
Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi
daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan
pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan
yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budi daya perlu diterapkan
Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen dilakukan
Good Handling Practices (GHP). Begitu pula pada tahap pengolahan,
penerapan Good Manufacture Practices (GMP) sangat diperlukan, dan pada
19
tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar
produk pertanian maupun makanan sampai ke konsumen dalam keadaan aman
(Djaafar dan Rahayu, 2007)
Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 Tentang Pangan, sanitasi
pangan didefinisikan sebagai upaya pencegahan terhadap kemungkinan
tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam
pangan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan
membahayakan manusia. Terjadinya kasus-kasus keracunan sebagian besar
diakibatkan oleh kondisi sanitasi yang tidak memadai. Salah satu cara untuk
mencegah pencemaran pangan adalah dengan cara sanitasi. Oleh karena itu
untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan tindakan sanitasi yang nyata
dan efektif, terutama dengan menerapkan cara-cara sanitasi yang memadai dan
sikap hidup serta kebiasaa higiene yang terus-menerus (Soekarto, 1990).
Selain itu penerapan sanitasi dalam penyelenggaraan makanan akan
menurunkan adanya resiko penularan penyakit atau terjadinya penyakit dan
gangguan kesehatan yang disebabkan atau ditularkan melalui makanan
(Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 1990).
Menurut Jenie (1988), sumber kontaminasi pangan dapat berasal dari
pekerja, hewan dan lingkungan. Aplikasi sanitasi pangan meliputi praktik
higiene untuk memelihara kebersihan dalam keseluruhan produksi, persiapan,
penyimpanan, dan penyajian pangan serta air minum (Marriot, 1985).
B. PANGAN SIAP SANTAP
Menurut Standar Pangan Australia dan New Zealand (2002), pangan
siap santap (ready to eat) adalah makanan yang biasanya dikonsumsi dalam
bentuk makanan yang sama seperti ketika makanan tersebut dijual atau
dijajakan, tidak termasuk buah dan sayuran segar yang masih memerlukan
perlakuan pengupasan maupun pencucian oleh konsumen.
Dalam arus globalisasi yang cepat, pesatnya kemajuan komunikasi,
ilmu dan teknologi, jenis makanan suatu bangsa secara leluasa masuk ke suatu
negara lain tak kenal garis perbatasan. Karena alasan tersebut suatu bangsa
20
yang maju harus memiliki konsep kulinernya sendiri dengan mengedepankan
rasa yang khas dan tentunya keamanan (Winarno, 2004).
Beberapa pangan siap santap yang biasa di konsumsi masyarakat
Indonesia adalah soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis. Soto ayam adalah
masakan khas Indonesia yang berupa sejenis sup ayam dengan kuah yang
berwarna kekuningan. Warna kuning ini dikarenakan oleh kunyit yang
digunakan sebagai bumbu. Soto ayam banyak ditemukan di daerah-daerah di
Indonesia dan Singapura. Selain ayam bahan yang digunakan juga meliputi
telur rebus, irisan kentang, daun seledri, serta bawang goreng. Terkadang soto
juga disajikan dengan lontong atau nasi putih. Selain itu soto ayam juga sering
dihidangkan dengan sambal, kerupuk dan koya (campuran tumbukan kerupuk
dengan bawang putih (Anonim, 2008).
Nasi uduk adalah nama sejenis masakan terbuat dari bahan dasar nasi
putih yang diaron dan dikukus dengan santan dari kelapa yang diparut, serta
dibumbui dengan pala, kayu manis, jahe, daun serai dan merica. Masakanan
ini kemudian dihidangkan dengan emping goreng, tahu goreng, telur dadar/
telur goreng yang sudah diiris-iris,abon, kering tempe, bawang goreng, ayam
goreng, timun dan sambal dari kacang. Masakan ini biasanya lebih sering
dijual di pagi hari ( Anonim, 2008).
Tumis buncis merupakan jenis pangan olahan tradisional yang sering
disajikan dalam rumah tangga, ketering transportasi umum seperti kereta api
dan acara-acara hajatan karena pembuatannya yang mudah dan menggunakan
bahan baku yang relatif murah. Teknik menumis sendiri berasal dari negeri
Cina yang di negara asalnya disebut teknik chao dan bao. Kedua teknik
menumis tersebut dibedakan berdasarkan besar panas yang digunakan serta
seringnya tossing atau teknik melambungkan tumisan yang dilakukan
(Anonim, 2008).
Berdasarkan penelitian, pangan siap santap lainnya seperti produk
olahan unggas yaitu sate ayam, ayam panggang maupun ayam opor yang
diproduksi oleh industri jasa boga juga berisiko tercemar mikroba.
Pengolahan sate ayam yang memerlukan waktu penyiapan yang panjang
menyebabkanproduk ini rentan terhadap cemaran mikroba. Harmayani et al.
21
(1996) menyebutkan karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan sate
pada suatu industri jasa boga telah tercemar S. aures sebanyak 1,60 x 106
cfu/g. Hal ini perlu mendapat perhatian karena S. aureus mampu
memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap panas. Bergdoll (1990)
menyatakan, S. aureus 105 cfu/g merupakan pedoman terhadap kerawanan
adanya toksin tersebut. Namun berdasarkan hasil penelitian, enterotoksin
belum dapat terdeteksi pada total S. aureus >106 cfu/g. Pada kasus-kasus
keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 cfu/g atau lebih
(Harmayani et al. 1996). Pemanasan dapat menurunkan total S. aureus
menjadi 2,60 x 103 cfu/g. Oleh karena itu, dalam pengolahan sate ayam ada
beberapa tahap yang perlu diperhatikan sebagai titik kendali kritis, yaitu tahap
penyiapan (pemotongan dan penusukan), pembekuan, pemanggangan, serta
pengangkutan dan penyajian (Harmayani et al. 1996).
Produk lain dari industri jasa boga yang biasa disajikan dalam acara
perkawinan atau pertemuan adalah ayam panggang bumbu sate. Berdasarkan
hasil pengujian Harmayani et al. (1996), karkas ayam mentah yang digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan ayam panggang bumbu sate memiliki total
bakteri 6,50 x 107 cfu/g dan total S. aureus 7,30 x 105 cfu/g. Karkas ayam
mentah diproses melalui tahap pencucian dan perebusan. Pada akhir tahap
perebusan, total bakteri menurun menjadi 1,70 x 106 cfu/g dan total S. aureus
< 103 cfu/g. Setelah pembakaran, total S. aureus berkurang lagi menjadi 5 x
102 cfu/g. Namun populasi S. aureus meningkat menjadi 1,50 x 104 cfu/ g
selama proses pengangkutan dan menunggu waktu disajikan (pada suhu
kamar selama 7,50 jam). Oleh karena itu, penyajian merupakan tahap penting
yang perlu mendapat perhatian. Sebaiknya ayam panggang bumbu sate
disajikan dalam keadaan panas sehingga dapat menekan populasi mikroba.
Selain sate dan ayam panggang bumbu sate, di pasar juga banyak beredar
bakso ayam, salah satu produk yang digunakan sebagai bahan pengisi sup
pada industri jasa boga. Bakso ayam sering diproduksi sendiri oleh industri
jasa boga. Menurut Harmayani et al. (1996), karkas ayam mentah yang
digunakan untuk membuat bakso ayam tercemar S. aureus 1,40 x 105 cfu/g
dengan total bakteri 1,90 x 107 cfu/g. Namun melalui proses pemanasan atau
22
pengolahan, total S. aureus menurun menjadi 4,30 x 103 cfu/g dan total
bakteri menjadi 6,40 x 105 cfu/g. Walaupun total mikroba selama pengolahan
menurun, angka tersebut masih tinggi. Menurut SNI 01-3818 1995, cemaran
S. aureus dalam produk bakso maksimal 1 x 102 cfu/g, total bakteri maksimal
1 x 105 cfu/g, dan negatif terhadap Salmonella.
C. Staphylococcus aureus
1. Karakteristik Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus, dalam
uji mikroskop terlihat dalam bentuk berpasangan, rantai pendek, atau
berkelompok seperti buah anggur. Beberapa strain mampu menghasilkan
toksin tahan panas dalam jumlah banyak, yang menjadi penyebab penyakit
pada manusia. Bakteri S. aureus ini nonmotil dan asporogenus. Bentuk
kapsul dapat ditemukan pada kultur bakteri muda tetapi umumnya tidak
terdapat pada saat fase stasioner sel (Monday dan Bennet, 2003).
Gambar 2. Staphylococcus aureus (Todar, 2007)
Spesies Staphylococcus tumbuh secara aerob atau anaerob
fakultatif dan melakukan metabolisme secara fermentasi serta respiratori.
Bakteri ini bersifat katalase positif dan dapat menggunakan berbagai jenis
karbohidrat.
Seperti
Staphylococcus
kebanyakan
membutuhkan
bakteri
komponen
Gram
organik
positif
tertentu
lainnya,
untuk
kebutuhan nutrisinya. Asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen,
dan thiamin serta asam nikotinat digunakan sebagai sumber vitamin B, dan
ketika tumbuh secara anaerob, bakteri ini membutuhkan urasil (Jay, 2000).
23
Walaupun Staphylococcus merupakan bakteri mesofil, beberapa
galur S . aureus tumbuh pada temperature 6ºC-7ºC. Secara umum suhu
pertumbuhan S. aureus berkisar antara 7ºC-47ºC, dengan suhu optimum
35ºC (Jay, 2000). Kisaran pH untuk pertumbuhan bakteri ini antara 4-10
dengan pH optimum pertumbuhan antara 6-7 (Lund at al., 2000).
Dilihat dari kondisi aw (aktifitas air), Satphylococcus merupakan
bakteri unik, karena dapat tumbuh pada tingkat aw yang lebih rendah
daripada bakteri nonhalofilik lainnya. Tercatat bakteri ini dapat tumbuh
pada aw di bawah 0,83 dibawah kondisi ideal. Kondisi aw ini merupakan
kondisi yang sangat rendah bagi pertumbuhan banyak bakteri pesaing
lainnya. Kebanyak strain Staphylococcus sangat toleran terhadap
keberadaan garam dan gula. Kisaran aw pertumbuhan bagi bakteri ini 0,83
sampai lebih dari 0,99 dan tumbuh baik pada aw lebih dari 0,99. S. aureus
dapat tumbuh pada nilai aw rendah tergantung pada kondisi pertumbuhan
lainnya yang ideal (FDA, 2003).
Walaupun S. aureus
tumbuh baik pada media yang tidak
mengandung NaCl, tetapi bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada
konsentrasi NaCl 7-10% dan beberapa strain dapat tumbuh pada
konsentrasi 20%. Konsentrasi maksimum NaCl ini tergantung pada
parameter-parameter lainnya, seperti suhu, pH, aw, dan potensial oksidasireduksi (Eh) (Jay, 2000). Menurut Iandolo (1989), S. aureus mampu
menghasilkan enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya
dalam jumlah besar. Sumber lain yang menjelaskan tentang faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 2.
24
Tabel 2. Faktor-faktor yang mampengaruhi pertumbuhan S. aureus*
Pertumbuhan
Faktor Pengaruh
Optimum
Kisaran
Temperatur (ºC)
37
4-48
pH
6,0-7,0
4,0-9,8
aw
0,98≥0,99
0,83-0,99
Atmosfer
aerobik
Anaerobik sampai aerobik
Sodium Klorida (%)
0,5-4,0
0-20
*)Adams dan Moss (1995)
Berbeda dengan Staphylococci lain, S. aureus bersifat koagulase
positif, hemolisa positif dan memfermentasi manitol pada pertumbuhan
anaerobik. Karakteristik tersebut dapat membedakan S. aureus dari jenis
Staphylococci lain . Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Karakteristik yang membedakan
Staphylococci lain*
Karakteristik
S.
S.
aureus intermedius
Tabel 3.
Koagulase (plasma
kelinci)
Faktor pengumpal
Termonuklease
Pigmen
Acetoin
Hemolisis
Asam dari fermentasi
manitol secara anaerob
S.
aureus
+
+
S. hyicus
subsp.
hyicus
D
+
+
+
+
+
+
D
+
D
-
+
-
dengan
Lainnya
D
D
D
D
-
D= reaksi berbeda-beda
*) Ash (2000)
2. Produksi Enterotoksin oleh S. aureus
Enterotoksin
yang
dihasilkan
oleh
bakteri
Staphylococcus
merupakan protein ikatan tunggal, yang merupakan antigen dengan berat
molekul 26.000-29.000. Enterotoksin adalah protein netral dengan nilai
isoelektrik sebesar 7-8,6. Zat ini resisten terhadap enzim-enzim proteolitik,
seperti tripsin dan pepsin, hal inilah yang memungkinkan bagi
enterotoksin untuk dapat masuk ke dalam saluran pencernaan menuju sisi
25
aksinya. Toksin ini sangat stabil dalam pemanasan, dan membuat
enterotoksin menjadi titik potensial bahaya kesehatan dalam pembuatan
makanan kaleng (Monday dan Bennet, 2003).
Banyak
variabel
yang
mempengaruhi
jumlah
produksi
enterotoksin, oleh karena itu tidak ada hal dapat memprediksi dengan tepat
jumlah dari S. aureus dalam masakan yang dibutuhkan untuk
menyebabkan SFP (Staphylococcal food poisoning) ini. Faktor yang
berkontribusi terhadap tingkat konsentrasi enterotoksin telah secara luas
dipelajari, antara lain komposisi masakan, temperatur, dan keberadaan dari
inhibitor (Doyle et al., 1997).
Enterotoksin diproduksi pada kisaran suhu yang lebih rendah
daripada suhu pertumbuhan normal S. aureus, suhu mempengaruhi baik
jumlah maupun tingkat produksinya. Suhu optimum untuk produksi
enterotoksin sama dengan suhu optimum pertumbuhan dari bakteri S.
aureus tersebut, sedangkan batas suhu untuk produksi enterotoksin sekitar
10ºC. Pada suhu ini produksi enterotoksin sangat lambat dan dalam satu
penelitian dibutuhkan empat minggu untuk memproduksi enterotoksin
(SEB) dari inokulasi sebanyak 106 g-1 pada daging babi. Staphylococcus
enterotoksin sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan.
Enterotoksin dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi
komersial dan kadangkala dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi
pada makanan kaleng (Lund, 2000).
Enterotoksin Staphylococcus diproduksi pada kisaran pH yang
lebih rendah dari pada nilai kisaran pH pertumbuhan bakterinya, dan batas
pH untuk dapat memproduksi enterotoksin pada makanan asam adalah 5.
Nilai pH optimum untuk produksi enterotoksin berada pada kisaran 7-8.
Sementara itu, secara umum nilai aw optimum untuk produksi enterotoksin
lebih tinggi dari pada batas aw pertumbuhan bakteri S. aureus tersebut
(Lund, 2000). Sumber lain yang menyajikan data mengenai faktor-faktor
atau kondisi yang dapat mempengaruhi produksi enterotoksin dapat dilihat
pada Tabel 4.
26
Tabel 4. Faktor-faktor yang mampengaruhi produksi enterotoksin yang
dihasilkan oleh S. aureus*
Produksi Toksin
Faktor Pengaruh
Optimum
Kisaran
Temperatur (ºC)
35-40
10-45
pH
5,3-7,0
4,8-9,0
aw
≥0,9
0,86-0,99
Atmosfer
5-20% 02
Anaerobik sampai aerobik
NaCl %
0,5
0-20
*)Adam dan Moss (1995)
Dalam bahan masakan tidak ada faktor tunggal yang dapat
mengontrol pertumbuhan, daya tahan atau produksi enterotoksin oleh
bakteri S. aureus, melainkan kombinasi dari beberapa faktor seperti aw,
pH, Eh, dan suhu. Interaksi faktor-faktor tersebut terjadi dalam bahan
pangan yang diolah secara berbeda, diformulasikan dengan cara yang
berbeda, dan disimpan dalam kondisi tertentu. (Lund, 2000).
3. Intoksikasi oleh Staphylococcus aureus
Foodborne illness merupakan masalah kesehatan utama di dunia.
Baik negara maju ataupun berkembang mengalami konsekuensi dari
foodborne illness ini, tetapi dalam jumlah kasus yang berbeda. Saat ini
Amerika memperkirakan bahwa sekitar 76 juta orang menderita penyakit
dan 5.000 meninggal dunia pertahunnya akibat penyakit yang disebabkan
karena mengonsumsi makanan (foodborne illness). Diantara semua
penyakit yang terjadi, 30% disebabkan oleh bakteri, 3% oleh parasit, dan
67% oleh virus (Mead et al., 1999).
Keracunan Staphylococcus merupakan gejala intoksikasi yang
paling banyak dilaporkan di Amerika Serikat, dimana setiap tahunnya
meliputi 20% sampai 50% dari keseluruhan keracunan yang disebabkan
oleh makanan. Kasus keracunan ini disebabkan oleh tertelannya suatu
toksin yang disebut enterotoksin yang mungkin terdapat di dalam
makanan. Toksin ini disebut enterotoksin karena dapat menyebabkan
gastroenteritis atau inflamasi pada saluran usus (Supardi et al., 1999).
27
Selain itu, di banyak negara, S. aureus menjadi bakteri patogen yang
menduduki peringkat kedua atau ketiga sebagai bakteri penyebab
outbreaks pada kasus keracunan pangan setelah Salmonella dan
Clostridium perfringens (Bean dan Griffin, 1990; Bean, Goulding, Lao,
dan Angulo, 1996; Todd, 1983). Di Spanyol, S. aureus menjadi penyebab
kedua dari kasus keracunan pangan selama periode 1993-1998,
bertanggung jawab untuk 228 kasus dari total 5517 kejadian yang
terdeteksi (Anonim, 2001).
Menurut FDA (1992), dosis efektif dari enterotoksin Staphylococus
(SE) yang dapat menyebabkan penyakit yaitu ketika populasi S. aureus
lebih besar dari 105 sel per gram dalam makanan yang terkontaminasi.
Dalam penelitian lain tercatat kisaran populasi yang dapat menghasilkan
kasus keracunan berkisar 105 sampai 108 sel per gram produk, walaupun
dalam kenyataannya tingkat populasi sel yang lebih rendah kadang dapat
menjadi penyebab penyakit Staphylococcal ini (Holmberg dan Blake,
1984).
Secara umum jumlah enterotoksin dalam makanan relatif rendah,
oleh karena itu jumlah dari enterotoksin yang dibutuhkan untuk dapat
menyebabkan kematian jarang tersedia. Pemeriksaan yang dilakukan pada
makanan yang diimplikasikan dalam keracunan akibat makanan (Food
poisoning outbreak) menghasilkan data bahwa kandungan enterotoksin
kurang dari 1μg (kurang dari 100 ng) cukup untuk menghasilkan gejalagejala keracunan pada individu yang sensitif (Raiser et al., 1974). Dalam
penelitian lain juga menyebutkan bahwa dosis toksin kurang dari 1 μg
dalam masakan yang terkontaminasi akan menimbulkan gejala penyakit
Staphylococcal. Tingkat jumlah toksin ini akan dicapai ketika populasi S.
aureus lebih dari 106 cfu/g. Tetapi pada individu yang memiliki tingkat
sensitivitas
tinggi, dosis enterotoksin 100-200 ng
telah cukup
menyebabkan penyakit atau keracunan ini (Bergdoll, 1990).
Kendaraan masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya
adalah jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka atau terbuka seperti
terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit,
28
atau penyakit kulit lain. Hal ini dikarenakan S. aureus pada umumnya
tidak memiliki kemampuan untuk menembus bagian dalam jaringan kulit
atau selaput lendir yang tidak terbuka. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka
pada kulit tidak diperbolehkan mengolah pangan terlebih disertai dengan
praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus
(Schaechter et al., 1993).
Apabila S. aureus terkontaminasi kedalam bahan pangan yang
mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S.
aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan
pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus
adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan
produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk
olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan
makaroni, produk bakeri, serta susu dan produk olahannya (USFDA,
1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin,
threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan
arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi
pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).
Keracunan pangan akibat S. aureus disebabkan oleh tertelannya
staphylococcus enterotoksin (SE) bersama pangan yang terkontaminasi.
Bila tertelan, SE akan masuk ke saluran pencernaan dan mencapai usus
halus. Selanjutnya toksin tersebut akan merusak dinding usus halus dan
menimbulkan sekresi jaringan usus dengan cepat. Gejala yang ditimbulkan
pada keracunan pangan akibat S. aureus biasanya muncul dalam waktu
tiga jam setelah konsumsi pangan yang mengandung enterotoksin atau
paling cepat satu jam dan paling lama enam jam. Masa inkubasi tidak
hanya bergantung pada jumlah toksin yang tertelan namun juga kerentanan
individu (Ash, 2000).
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah perasaan letih,
mual, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan,
bahkan inflamasi usus (ICMSF, 1996). Dalam beberapa kasus, darah dan
lendir tampak pada feses dan muntahan. Namun pada kasus yang ringan,
29
penderita mengalami mual dan muntah tanpa disertai diare atau kram perut
atau diare tanpa muntah-muntah (Ash, 2000). Pada kasus yang parah,
penderita mengalami sakit kepala berlebih dengan terus mengeluarkan
keringat sehingga merasakan demam dan tekanan darah menjadi rendah.
Penderita akan mengeluarkan cairan dari seluruh jaringan sehingga dapat
kehilangan 7-9kg berat badannya (Winarno, 2004). Pemulihan biasanya
terjadi antara satu hingga tiga hari dan umunya tidak ada perawatan yang
diberikan. Walaupun sebagian menganggap keracunan pangan akibat
Staphylococcus tidak tergolong fatal, beberapa kasus keracunan yang
sangat fatal dilaporkan terjadi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia
(Ash, 2000).
Menurut Sutherland dan Varnam (1982) Salah satu organisme
penting yang secara sigifikan berkaitan dengan
kesehatan masyarakat
dalam produk daging matang adalah S. aureus. Hal ini terjadi karena
praktek yang jorok, prosedur pendinginan yang buruk dimana produk
dibiarkan dingin secara lambat dalam suhu hangat, serta kontaminasi
dalam penangnan produk.
Sumber pangan penyebab keracunan akibat bakteri S. aureus ini
bervariasi pada setiap negara. Di Inggris, 53% dari kasus keracunan S
aureus
yang dilaporkan antara 1969-1990 berasal dari daging dan
makanan daging olahan, 22% berasal dari pangan berbasis unggas, 8%
dari produk susu, 9% dari ikan dan kerang, dan 3,5% dari produk telur
(Wieneke et al., 2003). Dan berbeda dengan di perancis, dalam periode
1999-2000
penyebabnya antara lain
adalah keju sebesar 32%, 22%
berasal dari daging, sosis dan pai 15%, ikan dan makanan laut 11%, telur
dan produk olahannya 11% dan berasal dari unggas sebesar 9,5%
(Haeghebaert et al., 2002). Pada Tabel 5 dapat dilihat jenis pangan
penyebab keracunan di Amerika periode 1973-1987.
30
Tabel
Pangan yang sering menyebabkan kasus keracunan
Staphylococcal (SFP) di Amerika, 1973-1987*
Sumber Makanan
Jumlah Kasus Keracunan
5.
Daging babi (Pork)
96
Produk roti (Bakery)
26
Daging sapi (Beef)
22
Turkey
20
Ayam
14
Telur
9
*)Bean dan Griffin (1990)
D. PENGENDALIAN Staphylococcus aureus DALAM PANGAN
Pengendalian Staphylococcal Food Poisoning dapat dilakukan dengan
sanitasi atau higiene pekerja yang baik. Higiene adalah kebiasaan seseorang
untuk menjaga kebersihan diri sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya
penyakit baik pada dirinya atau orang lain (Triller, 1983). Dan diperkirakan
bahwa 30-50% populasi manusia membawa bakteri S. aureus di dalam
tangannya, dan konsekuensinya bakteri ini dapat berpindah ke dalam produk
makanan matang (Schumitt et al., 1990).
Menurut Mariot (1985), higiene pekerja penting untuk dilaksanakan
karena bagian-bagian tubuh seperti tangan, rambut, hidung, dan mulut
merupakan jalan masuk mikroba untuk mencemari pangan selama proses
penyiapan, pengolahan, sampai penyajian melalui sentuhan, pernapasan,
batuk, dan bersin. Penerapan higiene pekerja yang baik dapat memutuskan
rantai infeksi terhadap makanan (Hobbs, 1989).
Rantai kontaminasi dari pekerja dapat diminimalisasi dengan adanya
prilaku higiene pekerja seperti mencuci tangan dengan benar dan sesuai
waktunya, menggunakan masker dan tutup kepala, dan lain sebagainya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.715/Menkes/SK/V/2003,
perilaku pekerja yang bergerak dalam bidang jasa boga yang disarnkan selama
bekerja adalah:
31
1. Tidak merokok
2. Tidak makan atau mengunyah
3. Tidak memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berhias
4. Selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil
5. Pakaian kerja dan pelindung dipakai dan dalam keadaan bersih
6. Pakaian kerja tidak dipakai diruang pengolahan
Penanganan pangan dengan tangan yang tidak menggunakan peralatan
memadai merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika
pengelola mengalami infeksi atau luka. Batuk, bersin, dan jatuhnya rambut
juga merupakan cara bakteri ini mengkontaminasi pangan (Gaman dan
Sherington, 1992).
Selain dengan higiene pekerja, untuk mengendalikan Staphylococcal
Food Poisoning adalah dengan melakukan penyimpanan dingin (refrigerasi)
pada suatu makanan, dengan suhu yang lebih rendah, maka akan semakin
melambat pula pertumbuhan dari bakteri Staphylococcus, dengan sedikit
pertumbuhan atau bahkan tidak sama sekali (Bergdoll, 1992). Sehingga
dengan terhambatnya pertumbuhan S. aureus, maka produksi enterotoksin
juga akan dapat dihambat.
Ketika makanan yang diproduksi hanya mengandung sedikit
Staphylococcus, maka makanan tersebut akan aman dari enterotoksin dan
bahaya racun makanan lainnya jika disimpan pada suhu yang aman yaitu di
bawah 4,4ºC dan diatas suhu 60ºC hingga dikonsumsi. Data tentang faktor
penyebab keracunan Staphylococcal gastroenteritis di Amerika, 1973-1987
dapat dilihat pada Tabel 6.
32
Tabel 6. Faktor penyebab keracunan Staphylococcal di Amerika Serikat
tahun 1973- 1987*
Faktor Penyebab
Jumlah Keracunan
Suhu penyimpanan yang tidak tepat
98
Hygiene pekerja yang buruk
71
Peralatan yang terkontaminasi
43
Pemasakan yang tidak cukup
22
Makanan dari sumber yang tidak aman
12
Faktor lain
24
*)Bean dan Griffin (1990)
Refrigerasi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri. Tetapi suhu penyimpanan yang tepat perlu
diterapkan agar masakan tidak hanya awet tetapi tetap aman dikonsumsi.
Berdasarkan survei, di Amerika Serikat sekitar 20% refrigerator rumah tangga
suhunya >10ºC (Hutton et al., 1991). Sedangkan menurut survei yang
dilakukan di Irlandia, dari 100 refrigerator rumah tangga 40% refrigerator
memiliki suhu 0-5ºC, 54% bersuhu 5-10ºC, dan 6% refrigerator memilki suhu
lebih dari 10ºC (Bolton et al., 2005). Data lain mengenai survei suhu
refrigerasi di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Suhu udara pada refrigerator rumah tangga di beberapa negara*
Negara
AS
1987
Inggris
1990
Inggris
1991
n
Pengukuran
-
Tidak diketahui
75
Tidak diketahui
252 Data logger (3
tingkat:
Atas,
tengah, bawah)
Irlandia 150 Thermometer
(3
1992
tingkat : Atas,
tengah, bawah)
Perancis 102 Thermometer
(3
tingkat : Atas,
1993
tengah, bawah)
*)James et al.(2007)
T
T
T
% dalam
min
mean
max
kisaran suhu
21%≥10ºC
<5
15
6%>5ºC
0,9
6,0
11,4
70%>5ºC
0,8
6,5
12,6
71%>5ºC
14
70%>>6ºC
33
Refrigerator yang ada di rumah tangga juga dapat menyebabkan
kontaminasi jika kebersihannya tidak dijaga. Berdasarkan survei di Irlandia
dengan 806 responden, didapatkan data bahwa hanya 6% responden yang
membersihkan refrigerator dalam jangka waktu mingguan, dan 80% dalam
jangka waktu bulanan atau lebih. Refrigerator rumah tangga paling tidak
terkontaminasi oleh satu jenis bakteri patogen (Bolton et al., 2005). Jenis
bakteri dan persentase bakteri yang ada pada refrigerator rumah tangga dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.Jenis bakteri dan persentase keberadaannya dalam refrigerator rumah
tangga di Irlandia *
% Keberadaan Mikroorganisme dari 806
Jenis Mikroorganisme
Refrigerator
E. coli
6
Salmonella
7
Campylobacter
0
L. monocytogenes
6
Y. enterocolytica
2
S. aureus
41
E.coli O157
0
*)Bolton et al.(2005)
34
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Makanan Siap Santap
Bahan baku yang digunakan adalah tiga jenis pangan siap santap
Indonesia yaitu soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Ketiganya dipilih
untuk membandingkan pola pertumbuhan S. aureus pada makanan siap
santap yang berbahan dasar dan cara pengolahan yang berbeda. Bahanbahan tersebut diperoleh dari pedagang sayur di daerah Babakan Raya,
Darmaga dan diolah di Laboratorium Evaluasi Sensori Seafast Centre
dengan formulasi yang mengacu pada Anonim (2004).
2. Kultur
Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur murni
Staphylococcus aureus ATCC 25923, yang diperoleh dari laboratorium
Mikrobiologi Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Mutu, Muara
Baru Jakarta.
3. Media
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara lain
Baird Parker Agar (BPA) Oxoid dan Merck, Egg Yolk Tellurite (EYT),
Trypticase Soy Agar (TSA), larutan penduga Mc Farland, Brain Heart
Infussion Broth (BHIB), dan Rabbit Plasma dengan EDTA 0,1% untuk
konfirmasi S. aureus.
4. Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu Butterfield’s
phosphate buffered (BPB) yang terbuat dari KH2PO4 sebagai larutan
pengencer fisiologis, alkohol 70% sebagai desinfektan, aquades untuk
melarutkan berbagai macam media, spriritus, minyak emersi,
dan
bahan untuk pewarnaan Gram seperti pewarna kristal violet, safranin,
iodium, dan alkohol 70 %.
35
5. Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain peralatan memasak (kompor
gas, panci, sodet, penggorengan, pisau, talenan) stomacher, pH meter, aw
meter, incubator 37°C, refrigerator suhu 5, 10 dan 15ºC, laminar flow,
tabung sentrifuse, hot plate, oven, autoklaf 121°C, vortex, colony counter,
mikropipet, tips, pembakar bunsen, plastik tahan panas, peralatan gelas
(cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, dan tabung reaksi ulir, toples tahan
panas), neraca analitik, pinset, dan jarum ose.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan, terdiri dari survei terhadap ibu rumah
tangga, kemudian dilakukan praktik pemasakan, inokulasi kultur S. aureus,
proses penyimpanan pada
suhu refrigerator 5, 10, dan 15ºC. Kemudian
dilakukan uji pH dan mikrobiologi yaitu jumlah bakteri S. aureus. Alur
penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir di bawah ini.
Konfirmasi S. aureus
Persiapan sampel makanan
(Soto ayam,
Nasi uduk, dan Tumis
buncis)
Persiapan kultur
Survei terhadap 30
ibu rumah tangga
mengenai praktik
penyimpanan
makanan pada
suhu rendah dan
sanitasi
Inokulasi kultur S. aureus ke
dalam sampel makanan
Penyimpanan sampel makanan
pada suhu ruang dan suhu
refrigerasi (5ºC,10ºC dan 15ºC)
Gambar 3. Diagram alir proses penelitian
36
1. Survei Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Suhu Rendah di Tingkat
Rumah Tangga
Survei dilakukan dengan cara pengamatan ke sekitar 30 rumah tangga
di daerah Jakarta timur dan selatan. Persyaratan yang harus dimiliki oleh
responden adalah sebagai berikut :
a. Responden adalah ibu rumah tangga yang mengolah sendiri
makanan untuk dikonsumsi sehari-hari.
b. Responden adalah ibu rumah tangga yang memiliki refrigerator
Survei dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang berisi
pertanyaan mengenai praktik sebenarnya yang dilakukan pada rumah
tangga. Komponen-komponen yang terdapat dalam pertanyaan survei
antara lain:
a. Praktik penyimpanan makanan pada rumah tangga
Pada pengamatan praktik penyimpanan makanan, juga dilakukan
pengukuran suhu refrigerator, menggunakan thermometer yang
diletakkan bagian ditengah refrigerator selama 15 menit dengan
dua kali pengulangan.
b. Praktik sanitasi yang dilakukan pada rumah tangga
Data survei disajikan dalam bentuk persentase jawaban, dan
ditampilkan dalam bentuk pie chart. Hasil survei yang didapat akan
digunakan sebagai data pendukung di dalam penelitian ini.
2.Pengaruh Penyimpanan Suhu Rendah terhadap Pertumbuhan S.
aureus dalam Makanan Siap Santap
a.Penyegaran dan Pengawetan Kultur Staphylococcus aureus
Kultur S. aureus disegarkan setiap dua minggu pada media agar
miring Trypticase Soy Agar (TSA). Penyegaran dilakukan dengan
mengambil satu ose kultur dan digores pada agar miring TSA yang baru,
kemudian diinkubasi pada suhu 35°C selama 24 jam. Setelah 24 jam,
kemudian kultur dalam agar miring disimpan dalam refrigerator.
37
b.Persiapan Inokulum
Bakteri uji yang akan ditambahkan ke dalam produk masakan soto
ayam dan nasi uduk harus dalam kondisi segar dimana bakteri belum
memasuki fase kematian (berumur ± 24 jam). Kultur segar disiapkan
dengan cara memindahkan kultur dalam agar miring TSA menggunakan
ose untuk digoreskan ke atas media selektif dalam cawan, yaitu BPA +
egg yolk tellurite. Kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam
dengan suhu 35°C.
Setelah proses inkubasi dilakukan, dilakukan transfer koloni dari
BPA+ egg yolk tellurite ke media cair Brain Heart Infussion Broth
(BHIB). Kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 35°C. Kultur
segar dalam BHIB didapatkan setelah proses inkubasi selesai.
Sebelum kultur diinokulasikan ke dalam sampel makanan, terlebih
dahulu dilakukan penentuan jumlah sel per ml. Penentuan ini dilakukan
dengan standarisasi Mc Farland. Pada proses standarisasi Mc Farland ini,
kultur segar S. aureus dalam BHIB tersebut disentrifuse selama 15 menit
dengan kecepatan 5000 rpm, sentrifugasi ini dilakukan untuk memisahkan
sel-sel S. aureus dengan cairan media BHIB. Setelah disentrifuse sel-sel
bakteri akan mengendap, kemudian cairan BHIB tersebut dipisahkan dari
endapan sel tersebut . Kemudian endapan sel disuspensikan dengan larutan
pengencer BPB, dan suspensi yang terbentuk ini dijadikan sebagai laruan
stok pada standarisasi Mc Farland.
c.Persiapan Sampel Masakanan
Sampel masakan yang digunakan meliputi soto ayam,tumis buncis
dan nasi uduk. Masakan tersebut dipilih karena makanan tersebut
merupakan masakan yang banyak dikenal dan dikonsumsi oleh rumah
tangga. Selain itu, masakan tersebut memiliki sumber nutrisi yang cukup
untuk pertumbuhan bakteri. Masakan yang digunakan dalam penelitian
dibuat sesaat sebelum dilakukan uji mikrobiologi. Komposisi bumbu dasar
soto ayam dapat dilihat pada Tabel 9.
38
Tabel 9. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan soto ayam*
Bumbu Dasar
Bawang Merah
Bawang Putih
Kemiri
Jahe
Kunyit
Merica
Lengkuas
Sereh
Gula
Garam
Minyak Goreng
*)Anonim (2004)
Jumlah (%) (b/b ayam)
3
2
1.6
1
0.6
0.2
1.5
4
1
2
5
Seluruh bumbu dasar dihaluskan dengan blender selama 2 menit
dan ditumis pada suhu 70ºC selama 3 menit. Setelah itu bumbu
dimasukkan ke dalam panci yang berisi 1000 ml air dan direbus bersama
500 g ayam selama 20 menit pada suhu 100ºC, daun jeruk dan sereh
dimasukkan dan perebusan dilanjutkan selama 5 menit pada suhu 100ºC.
Proses pembuatan soto ayam dapat dilihat pada Gambar 4 dan komposisi
bumbu dasar nasi uduk dapat dilihat pada Tabel 10.
1 kg Daging Ayam yang telah dipotong
Bumbu yang telah
dihaluskan, Daun Jeruk, dan
Sereh
Perebusan 100°C, 15 menit
Penumisan 70°C, 3 menit
Pencampuran
Perebusan kembali 100°C , 5 menit
Soto Ayam
Gambar 4. Proses pembuatan soto ayam
39
Tabel 10. Komposisi bumbu dasar untuk nasi uduk*
Bumbu Dasar
Lengkuas
Daun Salam
Daun Jeruk
Sereh
Garam
Santan
*)Anonim (2004)
Jumlah (%) (b/b beras)
1.5
0.5
0.2
4
2
20 (v/b)
Nasi uduk dibuat dengan merebus 800 ml air, 100 ml santan kental,
lengkuas, daun jeruk, daun salam dan sereh selama 15 menit, 100°C.
Setelah itu campurkan 500 g beras dengan rebusan air, santan dan bumbubumbu tersebut 500 g kemudian dimasukkan kedalam alat penanak nasi
(Rice cooker) selama 30 menit. Proses pembuatan nasi uduk dapat dilihat
pada Gambar 5 dan komposisi bumbu dasar tumis buncis dapat dilihat
pada tabel 11.
500 gr beras
Lengkuas, Daun Salam, Daun Jeruk, Sereh
Santan Kelapa
Perebusan 100ºC, 5 menit
Pencampuran
Pemasakan dengan alat penanak nasi (Rice Cooker), selama 15 menit
Nasi Uduk
Gambar 5. Proses pembuatan nasi uduk
Tabel 11. Komposisi bumbu dasar untuk tumis buncis*
Bumbu Dasar
Bawang Putih
Minyak
Garam
*) Anonim (2004)
Jumlah (%)(b/b buncis)
2
5
1
40
Tumis buncis dibuat dengan menumis bawang putih dalam wajan
dengan suhu 70°C selama 1 menit. Selanjutnya buncis yang telah
dipotong-potong sepanjang 1 cm dimasukkan ke dalam wajan dan
penumisan dilanjutkan selama 5 menit, 70°C. Proses pembuatan tumis
buncis dapat dilihat pada Gambar 6.
500 gr buncis
Minyak dan bawang putih yang
yang telah diiris tipis
Penumisan 70ºC, 1 menit
Pencampuran
Penumisan 70°C, 5 menit
Tumis Buncis
Gambar 6. Proses pembuatan tumis buncis
d.Pengukuran pH
Sebelum dilakukan inokulasi, dilakukan pengukuran pH sampel
makanan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis. Pengukuran nilai pH ini
perlu dilakukan untuk mengetahui pH dari lingkungan pertumbuhan S.
aureus
e.Inokulasi Bakteri
Pada penelitian ini, digunakan dua tingkat jumlah kontaminasi,
sehingga di awal penyimpanan terdapat kontaminasi bakteri sebesar 3 log
dan 5 log cfu/g sampel. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh jumlah
kontaminasi awal terhadap pertumbuhan bakteri selama penyimpanan.
Penghitungan jumlah kultur inokulum dilakukan dengan standarisasi Mc
Farland. Setelah semua produk masakan selesai diolah, kemudian
dilakukan kontaminasi ke dalam masakan pada saat suhu makanan telah
mencapai 37-40ºC.
41
f.Penyimpanan Dingin
Setelah inokulasi, masing-masing sebanyak 25 g sampel masakan
disimpan dalam refrigerator. untuk soto ayam perbandingan air dan daging
ayam adalah 4:1 yaitu 20 g air kaldu soto dan 5 g daging ayam. Selama
penyimpanan, sampel diambil dari masing-masing bagian sampel, dan
dihitung jumlah populasi total mikroorganisme, dan S. aureus) yang
dilakukan secara aseptik dalam periode waktu akan dilakukan dalam 5
periode waktu penyimpanan, yaitu 0, 3, 6, 9, 12, 24, dan 48 jam. Perlakuan
tersebut dilakukan pada beberapa suhu penyimpanan, yaitu suhu
refrigerator 5-7, 10 dan 15ºC.
g.Perhitungan Waktu Generasi dan Pengolahan Data secara Statistik
Setelah didapatkan jumlah koloni atau populasi bakteri setiap
interval waktu penyimpanan, kemudian dilakukan perhitungan waktu
generasi bakteri. Selain itu untuk mengetahui pengaruh perbedaan jumlah
kontaminasi awal bakteri dilakukan uji secara statistik pada penyimpanan
suhu 10ºC dan 15ºC.
C. PROSEDUR ANALISIS
1.Pengukuran pH (Apriantono et al., 1989)
Alat pH meter yang akan digunakan dalam pengukuran pH sampel
sebelumnya telah distandarisasi menggunakan larutan buffer pH 4 dan
buffer pH 7. Sampel yang akan diukur pH nya merupakan padatan, sehingga
sampel harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air dengan perbandingan
tertentu untuk sampel yang sama. Pada pengukuran pH sampel soto ayam,
nasi uduk, dan tumis buncis ditimbang 20 gram dari masing-masing sampel
tersebut kemudian dilarutkan dalam 50 ml air, dihomogenkan dan biarkan
selama 15 menit setelah itu diukur pH nya.
2.Analisi Mikrobiologi
a. Uji Konfirmasi (BAM, 2001)
Sebelum kultur bakteri digunakan dilakukan uji konfirmasi untuk
mengetahui bahwa kultur bakteri yang digunakan merupakan kultur
42
positif S. aureus. Uji konfirmasi yang dilakukan adalah (1) uji
koagulase, (2) uji katalase, dan (3) pewarnaan gram. Prosedur uji
koagulase, katalase dan pewarnaan gram dapat dilihat pada Gambar 7,
Gambar 8, dan Gambar 9.
1. Prosedur uji koagulase
Uji koagulase dilakukan dengan cara mencampurkan 0,3 ml
kultur dengan 0,5 rabbit plasma+EDTA di dalam tabung 10x75 mm.
Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu 35-37ºC dan diperiksa
setiap interval 6 jam untuk melihat terjadinya gumpalan. Tipe
gumpala 3+ atau 4+ diindiksikan sebagai positif S. aureus.
Gumpalan kecil atau tidak beraturan (1+ dan 2+), harus melalui uji
konfirmasi berikutnya. Teruskan inkubasi pada hasil uji koagulase
yang sedikit meragukan, dengan melakukan inkubasi pada suhu 3537ºC selama lebih dari 18 jam tetapi tidak lebih dari 48 jam.
Negatif
Positif
+1
+2
+3
+4
Gambar 7. Tipe gumpalan pada uji koagulase
2. Prosedur uji katalase
Uji katalase dilakukan dengan meneteskan cairan peroksida
0,3 % ke atas kultur bakteri. Kemudian diamati apakah terjadi reaksi
setelah dilakukan penetesan, jika terbentuk gelembung-gelembung
gas berarti kultur merupakan katalase positif.
3. Pewarnaan gram
Pewarnaan gram dilakukan untuk membedakan bakteri gram
positif dan gram negatif. Hasil positif untuk bakteri gram positif
43
yaitu jika sel yang diamati di bawah mikroskop berwarna biru dan
jika gram negatif sel akan berwarna merah. Urutan pewarnaan gram
dapat dilihat pada Gambar 8.
Kultur dioles diatas gelas objek, kemudian difiksasi
Kultur ditetesi dengan violet kristal selama 1 menit
Dibilas dengan air
Kultur ditetesi dengan larutan iodium selama 1
it
Kultur diatas gelas objek ditetesi dengan alkohol 70%
Kultur ditetesi dengan safranin selama 20 detik
Kultur diamati di bawah mikroskop perbesaran 1000 kali.
Gambar 8. Prosedur pewarnaan gram
b. Analisis S. aureus
Analisis mikrobiologi yang dilakukan yaitu penghitungan jumlah
S. aureus dalam sampel. Metode yang digunakan adalah Standard Plate
Count atau metode hitungan cawan. Metode inokulasi permukaan
(surface inoculation method)
digunakan untuk menghitung populasi
Staphylococcus aureus (SA), metode ini mengacu kepada BAM FDA
(2001).
Koloni S aureus yang tumbuh pada BPA+ eyt dihitung, dengan
koloni positif berwarna hitam dan dikelilingi oleh dua zona opaque dan
44
bening.
Uraian
lebih
lanjut
tentang
penghitungan
populasi
Staphylococcus aureus dalam sampel disajikan pada Gambar 9.
Pengenceran sampel
Medium BPA+egg yolk tellurite (BPAet) yang
telah mengeras dalam cawan disiapkan, lalu
sebanyak 0,1 ml inokulum pada tiap
pengenceran dimasukkan kedalam cawan petri
steril yang telah berisi BPAet, pemupukan
dilakukan duplo.
inokulum tersebut disebar di permukaan
medium dengan menggunakan hockey stick
steril yang terbuat dari kaca secara merata
Setelah dianggap mengering, semua cawan
yang berisi SA disimpan kedalam inkubator
secara terbalik untuk diinkubasi selama 2 hari
pada suhu 35oC
Gambar 9. Bagan alir penghitungan populasi Staphylococcus aureus
1.Perhitungan populasi bakteri Staphylococcus aureus
Perhitungan populasi S. aureus didasarkan pada metode BAM
dengan rumus sebagai berikut :
N=
Σc
((1 x n1) + (0,1 x n2)) x d
Keterangan :
N= Total koloni/g
Σc= Jumlah koloni yang dihitung
n1= Jumlah sel pada pengenceran pertama
n2= Jumlah sel pada pengenceran ke-2
d = Pengenceran terendah
45
2.Perhitungan waktu generasi
Kecepatan pertumbuhan eksponensial biasanya dinyatakan dalam
waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi sel
untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya atau sebaliknya.
Perhitungan waktu generasi didasarkan pada rumus :
K = log xt – log xo
0,301 t
Keterangan :
xo = Jumlah sel awal
xt = Jumlah sel setelah waktu t
t
= Waktu dari xo ke xt dinyatakan dalam waktu jam atau menit
k = Konstanta kecepatan pertumbuhan dinyatakan dalam jumlah
generasi per waktu
1/k= Waktu generasi
c. Analisis Data
Untuk menguji pengaruh perbedaan jumlah kontaminasi awal
bakteri yang di inokulasikan ke dalam sampel makanan, digunakan uji
paired test atau uji berpasangan menggunakan program Minitab. Dengan
uji ini kita dapat mengetahui apakah terdapat perbedaan dari perlakuan
yang diberikan. Uji ini dilakukan pada penyimpanan suhu 10ºC dan
15ºC.
46
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bakteri Staphylococcus aureus digunakan sebagai bakteri indikator
dalam produk makanan yang diuji. Pemilihan bakteri ini didasarkan pada data
yang menyebutkan bahwa diperkirakan bahwa 30-50% populasi manusia
membawa bakteri patogen ini dalam tangannya, dan konsekuensinya bakteri ini
dapat secara mudah berpindah ke dalam produk masakan matang (Schumitt et
al.,1990).
Peneilitian ini dilakukan untuk mempelajari praktik sanitasi yang ada
di tingkat rumah tangga serta mengetahui pengaruh penyimpanan pada beberapa
suhu yang berbeda terhadap pertumbuhan bakteri Stphylococcus aureus dalam
beberapa pangan siap santap dalam menjamin kemanan dari pangan tersebut.
A. SURVEI PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN DI
TINGKAT RUMAH TANGGA
Survei dilakukan dengan cara membagikan kuesioner ke sekitar 30
rumah tangga yang berisi pertanyaan mengenai praktik penyimpanan
sebenarnya yang dilakukan pada skala rumah tangga dan pengamatan terhadap
suhu refrigerator bentuk kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1.
1. Praktik Sanitasi di Tingkat Rumah Tangga
Sekitar 96,67 % responden menyatakan bahwa mereka mencuci
tangan sebelum memasak dan 3,33% menyatakan tidak selalu melakukan
pencucian tangan sebelum memasak. Sebanyak 93,33 % mencuci
tangannya dengan air mengalir, dan 6,67 % responden mencuci tangannya
dengan air tergenang dalam bak. Praktik pencucian tangan sebelum
melakukan kegiatan memasak sangat penting dilakukan, karena tangan
merupakan bagian tubuh yang bersentuhan atau kontak langsung dengan
bahan pangan, sehingga kebersihannya perlu dijaga untuk menghindari
perpindahan dan kontaminasi makanan oleh bakteri yang mungkin ada di
tangan. Menurut Berdgoll (1992), sekitar 30-50% manusia sehat adalah
pembawa bakteri Staphylococcus. Menurut Jenie (1988), kulit manusia
tidak pernah bebas dari bakteri, bahkan kulit manusia yang bersih masih
membawa bakteri. Akan tetapi bila kulit tidak bersih, maka jumlah dan
47
macam mikroorganisme yang terdapat lebih nyata lagi. Flora bakteri
umum yang terdapat pada kulit manusia adalah staphylococcus
epidermidis dan S. aureus.
Pada Gambar 10 terlihat bahwa peralatan makan seperti piring, gelas,
sendok, dan wadah dicuci menggunakan air mengalir menurut 90%
responden, kemudian 96,67% responden menyatakan menggunakan sabun
pada saat pencucian peralatan tersebut sedangkan
3,33% responden
lainnya menyatakan tidak selalu menggunakan sabun. Menurut Jenie
(1988), peralatan pengolahan maupun alat makan dapat menjadi salah satu
sumber kontaminasi makanan bila digunakan dalam kondisi yang kotor
dan mengandung jumlah mikroba yang tinggi.
6,67%
3,33%
air mengalir
air tergenang
keduanya
90%
n=30
Gambar 10. Hasil survei sumber air untuk mencuci peralatan di
tingkat rumah tangga
Untuk penggantian lap, sekitar 43,33% responden mengganti lap
peralatan makan setiap hari, 50% setiap dua kali sehari dan hanya 6,67 %
responden yang melakukan penggantian lap satu minggu sekali.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa praktik yang dilakukan sudah
baik, karena dengan seringnya dilakukan penggantian lap, maka
kemungkinan berkembangbiaknya bakteri akan semakin kecil.
Pada Gambar 11 terlihat bahwa sekitar 76,67% responden
menyatakan bahwa mereka tetap memasak walaupun terdapat luka terbuka
ditangan, hal ini tentu memungkinkan terjadinya kontaminasi terhadap
makanan
yang
sedang
diolah,
karena
menurut
Jenie
(1988),
Staphylococcus umumnya terdapat pada bisul, jerawat, luka, atau pada
wajah yang memar.
48
23,33%
Tetap memasak
Tdk memasak
n=30
76,67%
Gambar 11. Hasil survei aktivitas memasak saat responden
menderita luka terbuka
13,33%
Tetap memasak
Tdk memasak
86,67%
n=30
Gambar 12. Hasil survei aktivitas memasak saat responden
menderita batuk
Gambar 12 menunjukkan sebagian besar responden yaitu sekitar
86,67% menyatakan tetap memasak walaupun dalam keadaan batuk.
Praktik seperti ini dapat menjadi penyebab berpindahnya S. aureus dari
manusia ke makanan. Menurut Jenie (1988), daerah-daerah mulut, hidung,
dan tenggorokan dari manusia normal penuh dengan mikroba dari berbagai
jenis. Lingkungannya basah dan hangat serta zat-zat nutrien tersedia dalam
bentuk sisa-sisa makanan yang dikonsumsi oleh manusia.|Dari beberapa
mikroba yang ada, salah satunya adalah Staphylococcus aureus yang
berada dalam saluran pernapasan dari manusia sehat. Telah diketahui
bahwa bakteri dapat disebarkan melalui batuk dan bersin dalam jarak yang
cukup jauh, yaitu 4,5 meter.
Pada Gambar 13 terlihat sebagian besar responden yaitu sekitar
63,33% membersihkan kulkas setiap 1-2 minggu sekali. Pembersihan
kulkas perlu rutin dilakukan, karena kulkas merupakan tempat
penyimpanan makanan sehingga pasti ada sisa-sisa masakan yang terjatuh
di dalamnya dan jika suhu kulkas sudah tidak baik maka pertumbuhan
bakteri di dalam krefrigerator mungkin terjadi dan dapat mengkontaminasi
masakan yang disimpan di dalamnya. Karena berdasarkan survei di
49
Irlandia dengan 806 responden, didapatkan data bahwa refrigerator rumah
tangga paling tidak terkontaminasi oleh satu jenis bakteri patogen, antara
lain S. aureus (41%), Salmonella spp. (7%), Eschericia coli (6%), Listeria
monocytogenes (6%) dan Yersinia enterocolitica (2%). Hanya 6%
responden yang membersihkan refrigerator dalam jangka waktu satu
minggu sekali,
80% dalam jangka waktu bulanan atau lebih (Bolton et
al., 2005).
1-2 minggu sekali
3-4 minggu sekali
33,33%
63,33%
Gambar 13. Jangka waktu pembersihan refrigerator di tingkat
rumah tangga
2. Praktik Penyimpanan Makanan
20%
23,33%
1-3 jam
4-6 jam
7-9 jam
23,33%
33,33%
n=30
10-12 jam
Gambar 14. Lama penyimpanan makanan pada suhu ruang
Berdasarkan hasil survei, sekitar 23,33% responden melakukan
penyimpanan makanan diatas meja makan dalam rentang waktu 1-3 jam,
sebanyak 33,33% responden 4-6 jam, 23,33% responden 7-9 jam dan
sisanya melakukan penyimpanan masakan paling lama di atas meja makan
dalam waktu 10-12 jam. Penyimpanan masakan di atas meja makan dalam
suhu ruang ini sebaiknya tidak dilakukan terlalu lama, karena menurut
penelitian yang dilakukan Rawendra (2008), penyimpanan masakan soto
ayam dan tumis buncis dalam suhu ruang dapat meningkatkan jumlah S.
aureus sebanyak 3 log cfu/g, dan dengan kontaminasi awal 3 dan 5 log
cfu/g diduga telah dapat menghasilkan toksin dalam waktu penyimpanan
12 jam.
50
Sebagian besar responden (63,33%) meletakkan masakan di atas
meja makan dalam wadah terbuka dan ditutup dengan tudung saji, dan
30% diletakkan di atas meja dalam wadah tertutup, tetapi terdapat
responden yang meletakkan masakan di atas meja makan tanpa penutup
apapun (6,67%). Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi terhadap
masakan yang berasal dari udara. Menurut Jenie (1988), sebenarnya udara
tidak mempunyai flora mikroba alamiah, tetapi partikel-partikel debu atau
tetesan air yang terdapat dalam udara dapat membawa mikroba. Kondisi
udara di daerah persiapan pangan tergantung pada banyak faktor, adanya
debu, tetesan air, dan pergerakan udara oleh gerak angin dari ventilasi atau
manusia bergerak.
Pada Gambar 15 terlihat bahwa jika terdapat masakan sisa, mayoritas
responden (88%) menyimpan makanan tersebut di dalam refrigerator.
Penyimpanan masakan dalam refrigerator ini merupakan cara yang tepat,
karena menurut Bergdoll (1992), salah satu cara untuk mencegah
terjadinya Staphylococcal food poisoning adalah dengan refrigerasi,
dengan suhu rendah maka semakin lambat pula pertumbuhan dari bakteri
S. aureus. Tetapi suhu refrigerator tersebut harus memenuhi rekomendasi
suhu aman untuk penyimpanan agar pertumbuhan bakteri dapat terhambat.
refrigerator
8,33% 3,60%
refrigerator atau
lemari biasa
88%
refrigerator,
lemari, ruangan
n=30
Gambar 15. Penyimpanan masakan sisa oleh responden
Berdasarkan hasil survei, terdapat responden yang menyimpan
masakan di dalam lemari pendingin lebih dari 12 jam yaitu satu hingga
dua hari. Hal seperti ini dapat menimbulkan bahaya, jika dalam makanan
yang disimpan telah mengandung bakteri dan suhu kulkas tidak cukup
rendah untuk menahan pertumbuhan dari bakteri. Karena menurut
51
penelitian yang dilakukan, dalam masakan soto ayam, tumis buncis, dan
nasi uduk S. aureus dapat bertambah sebanyak 1 log cfu/g pada suhu
penyimpanan 15ºC dengan jumlah kontaminasi awal 3 dan 5 log cfu/g.
Berdasarkan
hasil
survei
sekitar
26,67%
responden
tidak
memanaskan masakan sebelum disimpan di dalam kulkas atau refrigerator.
Sebenarnya pemanasan ulang makanan tidak perlu dilakukan jika suhu
kulkas masih baik, yaitu dapat menehan pertumbuhan bakteri selama
makanan di simpan di dalamnya, tetapi jika suhu refrigerator sudah tidak
baik dan terdapat sejumlah mikroba awal sebelum masakan dimasukkan ke
dalam refrigerator, maka pertumbuhan bakteri dapat terjadi.
10%
36,67%
5-9 ºC
5-9*C
10-14
10-14*C
15-19*C
> 15 ºC
53,33%
n=30
Gambar 16. Suhu refrigerator rumah tangga
Pengamatan terhadap suhu refrigerator pada rumah tangga juga
dilakukan, berdasarkan pengamatan hanya sekitar 36,67% refrigerator
yang suhunya kurang dari 10ºC, dan sisanya sekitar 63,33% bersuhu diatas
10ºC. Bahkan beberapa rumah tangga suhu refrigeratornya mencapai 15ºC
dan 16ºC. Hal ini tentu saja harus diwaspadai, karena menurut penelitian
yang dilakukan, setelah penyimpanan selama 24 jam pada suhu
penyimpanan 15ºC dengan jumlah kontaminasi awal 3 dan 5 log cfu/g
pertambahan bakteri mencapai 1 log cfu/g. Berdasarkan data tersebut,
terlihat bahwa kulkas atau refrigerator yang ada di rumah tangga jarang
sekali dapat mencapai suhu yang dianggap aman untuk penyimpanan suatu
masakan. Dan menurut Bolton et al. (2005), berdasarkan survei yang
dilakukan di Irlandia dari 100 refrigerator rumah tangga 40% refrigerator
memiliki suhu 0-5ºC, 54% bersuhu 5-10ºC, dan 6% refrigerator memilki
suhu lebih dari 10ºC. Menurut
Fardiaz (1994), penyimpanan pangan
dalam keadaan dingin sebaiknya pada suhu dibawah 4ºC. Dari data survei
52
yang dilakukan, terlihat bahwa refrigerator yang ada tidak memenuhi suhu
penyimpanan yang aman.
6,67%
20%
16,67%
SD
SMP
SMU
Perguruan Tinggi
56,67%n=30
Gambar 17. Tingkat pendidikan responden
Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa sekitar 56,67% ibu rumah
tangga yang disurvei, memilki tingkat pendidikan SMU. Menurut Winarno
(1997), tingkat pendidikan yang dimilki akan memberikan pengaruh
terhadap
kemampuan
dan
kesadaran
sebagai
konsumen,
dengan
pendidikan yang rendah maka mustahil mereka dapat mengetahui dan
sadar akan bahaya serta pengaruh negatif lainnya yang diakibatkan oleh
konsumsi pangan.
B. PERILAKU S. aureus DALAM PANGAN SIAP SANTAP SELAMA
PENYIMPANAN SUHU RENDAH
1. Persiapan Bakteri Uji
Konfirmasi S. aureus dilakukan untuk memastikan bahwa kultur asal
yang digunakan merupakan kultur S. aureus murni. Uji konfirmasi yang
dilakukan antara lain, 1) uji koagulase, 2) uji katalase, dan 3) pewarnaan
gram.
Uji koagulase merupakan metode umum yang dilakukan untuk uji
konfirmasi dari bakteri S. aureus ini. Produksi koagulase oleh bakteri
diasosiasikan dengan patogenitas dari bakteri yang diuji. Koagulase
merupakan substansi yang dapat menggumpalkan plasma dari manusia
atau hewan atau suatu enzyme-like faktor yang dapat mengkoagulasi fibrin
dan membentuk gumpalan (Madigan et al., 2002).
53
Berdasarkan
uji
koagulase
yang
dilakukan,
yaitu
dengan
mereaksikan 0,5 ml rabbit plasma + EDTA dan 0,2 kultur S. aureus dalam
BHIB didapatkan hasil bahwa terjadi gumpalan setelah waktu inkubasi
kurang dari 3 jam. Reaksi dari uji koagulase menunjukkan tipe 4+, ini
berarti hasil uji koagulase positif. Hal ini sesuai dalam BAM FDA (2001)
yang menyebutkan jika telah terjadi penggumpalan +3 atau +4 setelah
diinkubasi maka kultur bakteri tersebut positif S. aureus. Hasil uji
dinyatakan tipe 4+ jika gumpalan terjadi pada seluruh kultur uji di dalam
tabung reaksi, dan tidak terjadi pergerakkan media kultur jika tabung
dibalik. Hasil uji koagulase dapat dilihat pada gambar 18.
Gambar 18. Hasil uji koagulase pada kultur S. aureus
Uji katalase merupakan uji yang dilakukan untuk menguji kehadiran
enzim katalase, yaitu enzim yang dapat menguraikan hidrogen peroksida
(H2O2) menjadi oksigen (O2) dan air (H2O). Uji katalase yang dilakukan
terhadap kultur bakteri S. aureus dilakukan dengan meneteskan cairan
peroksida 0,3% ke atas kultur, kemudian diamati reaksi yang terjadi.
Setelah beberapa saat terlihat gelembung-gelembung udara pada kultur.
Gelembung udara tersebut mengindikasikan telah terjadi reaksi, yaitu
terbentuknya O2, berarti kultur bakteri yang diuji merupakan katalase
positif.
Menurut Fardiaz (1992), setiap bakteri memiliki suatu enzim yang
tergolong flavoprotein yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk
54
senyawa-senyawa beracun yaitu H2O2 dan suatu radikal bebas yaitu O2*
sebagai berikut :
+O2
Flavoprotein
H2O2 + O2*
Bakteri yang bersifat aerob dan anaerob tetapi tidak sensitif terhadap
oksigen
(aerotoleran)
mempunyai
enzim-enzim
yaitu
superoksida
dismutase, yang memecah radikal bebas tersebut, dan enzim katalase yang
memecah H2O2 sehingga menghasilkan senyawa-senyawa akhir yang tidak
beracun. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut :
2O2* + 2H*
2 H2O2
superoksida dismutase
katalase
H2O2 + O2
2H2O + O2
Selain uji koagulase dan katalase, dilakukan pula pewarnaan gram
terhadap kultur bakteri uji. Pewarnaan gram dilakukan untuk melihat jenis
gram dari kultur serta bentuk morfologinya. Setelah dilakukan uji menurut
prosedur pewarnaan gram dan dilihat di bawah mikroskop perbesaran
1000X didapatkan hasil bahwa kultur bakteri yang diuji merupakan jenis
gram positif yang ditunjukkan dengan warna yang terlihat pada bakteri
adalah biru, dan bakteri berbentuk bulat atau kokus bergerombol ataupun
terpisah. Berdasarkan ketiga uji konfirmasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kultur bakteri yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya
positif Staphylococcus aureus.
Baird Parker Agar + egg yolk tellurite media yang digunakan untuk
menumbuhkan S. aureus dan digunkan pula agar darah untuk melihat
metabolisme dari bakteri ini. Baird-Parker mengandung media selektif
yaitu glisin, litium, dan tellurit yang dapat menekan pertumbuhan bakteri
lain tanpa menghambat pertumbuhan dari bakteri S. aurus. Koloni S.
aureus yang tumbuh pada media BPA+ egg yolk tellurite berwarna hitam
mengkilat dan dikelilingi oleh dua zona hasil metabolisme sel. Zona
bening terbentuk karena adanya aktifitas proteolitik dan zona opak atau
keruh terbentuk karena adanya aktifitas lipolitik.
Pada agar darah (Blood agar), koloni S. aureus berwarna putih dan
dikelilingi zona bening yang terbentuk karena adanya lisis darah karena
55
aktifitas sel S. aureus. Karena menurut Monday dan Bennet (2003), S.
aureus bersifat hemolitik atau dapat memecah sel darah. Gambar koloni
bakteri S. aureus dalam media BPA+ egg yolk tellurite dan media agar
darah dapat dilihat pada gambar 19 dan 20.
Koloni SA
Zona Bening
Zona Opak
Gambar 19. S. aureus pada media BPA+ egg yolk tellurite
Gambar 20. S. aureus dalam media agar darah
2. Pengaruh Penyimpanan Suhu Rendah terhadap Pertumbuhan
Staphylococcus aureus
Refrigerasi merupakan salah satu cara yang dapat mengendalikan
pertumbuhan dari bakteri S. aureus ini, tetapi tetapi berdasarkan survei
yang dilakukan dalam penelitian ini, tidak terdapat refrigerator rumah
tangga yang memliki suhu sesuai suhu yang direkomendasikan sebagai
suhu penyimpanan aman. Menurut CDC (1975), Ketidakcukupan suhu
refrigerasi pada salad ayam ataupun daging ayam telah memberikan
56
kesempatan dari bakteri S. aureus ini untuk tumbuh dengan baik sehingga
menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan keracunan. Kasus lain juga
terjadi di New York, 104 orang keracunan setelah mengkonsumsi salad
makaroni yang disiapkan sehari sebelum disajikan dan disimpan selama
satu malam dalam sebuah wadah, dan mengandung sekitar 107 sel
Staphylococcus/g dari sampel salad makaroni tersebut. Hal ini diduga
terjadi karena suhu refrigerasi yang tidak tepat (CDC, 1979).
a.Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam Soto ayam, Nasi Uduk,
dan Tumis Buncis pada Penyimpanan Suhu Rendah
Suhu 5ºC
Penyimpanan suhu rendah atau refrigerasi yang baik dilakukan
pada kisaran suhu diluar kisaran suhu danger zone (4,4ºC-60ºC), karena
secara umum bakteri akan tumbuh baik pada kisaran suhu danger zone
tersebut. Penyimpanan suhu 5ºC merupakan suhu yang akan dijadikan
kontrol untuk melihat pertumbuhan S. aureus dalam makanan yang akan
diuji, karena suhu 5ºC mendekati kisaran suhu yang direkomendasikan
sebagai suhu aman untuk menyimpan suatu bahan makanan agar
terbebas dari pertumbuhan bakteri. Tetapi berdasarkan survei yang
dilakukan pada penelitian ini, dari 30 rumah tangga yang disurvei tidak
ada refrigerator yang memiliki suhu dibawah 5ºC. Selain itu survei lain
yang dilakukan di Irlandia terhadap 100 rumah tangga, hanya 40%
refrigerator yang bersuhu dibawah 5ºC (Bolton et al., 2005). Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa rekomendasi tentang suhu penyimpanan
yang aman belum dapat diaplikasikan secara menyeluruh
dalam
kehidupan sehari-hari.
57
S. aureusl (log cfu/ml)
3,8
3,6
3,4
3,2
3
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
48
Waktu Penyimpanan (Jam)
Gambar 21. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) dalam soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC
Nasi uduk
soto ayam
tumis buncis
Dari Gambar 21 terlihat bahwa pada penyimpanan suhu 5 oC
dengan kontaminasi awal 3 log cfu/g tidak mendukung pertumbuhan dari
bakteri S. aureus, selama penyimpanan terjadi peningkatan jumlah sel
pada sampel soto ayam dan tumis buncis walaupun jumlahnya tidak
signifikan, pada penyimpanan selama 24 jam peningkatan jumlah sel
lebih tinggi daripada pertambahan yang terjadi setelah jam ke-24.
Sedangkan pada nasi uduk terjadi penurunan jumlah sel. Semakin
lambatnya pertumbuhan ataupun penurunan jumlah sel setelah
penyimpanan jam ke-24 diduga terjadi karena terjadinya kerusakan
membran sel, sehingga permeabilitas dari sel terganggu dan metabolisme
dalam sel terhambat (Frazier dan Westhoff, 1988).
S. aureus (log cfu/g)
5,6
5,4
5,2
5
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
48
Waktu Penyimpanan (Jam)
Gambar 22. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) dalam soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC .
Nasi uduk
soto ayam
tumis buncis
Dari Gambar 22 terlihat bahwa pertumbuhan S. aureus pada
penyimpanan suhu 5 oC dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g tidak
58
berbeda dengan pertumbuhan S. aureus pada kontaminasi bakteri awal 3
log cfu/g. Dan pada kedua tingkat kontaminasi tersebut, jumlah sel S.
aureus pada nasi uduk mengalami penurunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu 5 oC tidak mendukung
pertumbuhan dari bakteri S. aureus, hasil ini sesuai dengan pernyataan
Hayes (1985), salah satu cara untuk mengontrol pertumbuhan S. aureus
adalah dengan melakukan refrigerasi atau penyimpanan dingin pada
masakannan dengan suhu di bawah 10 oC.
Lambatnya laju pertumbuhan dari bakteri S. aureus ini diduga
disebabkan karena suhu 5 oC ini, mendekati batas suhu minimum kisaran
suhu pertumbuhan bakteri ini yaitu 4 oC-48 oC (Adam dan Moss, 1995).
Pertumbuhan
dari
bakteri
di
bawah
suhu
optimumnya
menyebabkan perubahan fisiologi dan morfologi
dapat
dari sel bakteri
(Shehata dan Marr, 1975). Perubahan yang dapat terjadi pada bakteri
secara umum akibat penyimpanan pada suhu rendah antara lain
pembentukan
filamen
(Shaw,
1968),
kerusakan
mesosom
dan
pembentukan dinding sel ganda (Neale dan Chapman, 1970), perubahan
aktivitas enzim yang dapat menyebabkan perubahan jalur metabolisme
dan produk akhir (Witter et al., 1966), serta perubahan komposisi lipida
(Marr dan Ingraham, 1962). Perubahan-perubahan tersebut tentu saja
dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme dalam sel karena
beberapa proses pengaturan (regulator) metabolisme sel sangat sensitif
jika berada pada suhu dibawah suhu optimumnya (Rose, 1968).
Suhu 10ºC
Pada praktiknya refrigerator yang ada di rumah tangga sulit untuk
mencapai suhu yang direkomendasikan sebagai suhu aman untuk
penyimpanan suatu bahan pangan, sehingga pengetahuan tentang suhu
yang dapat ditoleransi sebagai suhu penyimpanan makanan penting
diketahui. Suhu refrigerator yang tidak tepat, dapat menjadi tempat
berkembang biak dari suatu bakteri. Selain itu kebersihan dari
refrigerator harus tetap dijaga, karena bukan tidak mungkin bahan
makanan terkontaminasi oleh bakteri yang terdapat dalam refrigerator.
59
karena menurut survei yang dilakukan terhadap 806 rumah tangga di
Irlandia, setelah dilakukan swab pada bagian dalam refrigerator, paling
tidak terdapat satu jenis mikroorganisme di dalam suatu refrigerator dan
S. aureus merupakan bakteri dominan pada refrigerator rumah tangga,
S. au reus (log cfu/g)
yaitu sekitar 41%.
3,8
3,6
3,4
3,2
3
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
48
Waktu Penyimpanan (Jam)
Gambar 23. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) dalam soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC.
nasi uduk
soto ayam
tumis buncis
Dari Gambar 23 terlihat bahwa pada kontaminasi awal 3 log cfu/g,
terjadi peningkatan jumlah sel S. aureus pada ketiga sampel makanan,
dan pertambahan jumlah tertinggi terjadi pada sampel makanan nasi
uduk. Sedangkan pada tumis buncis pertumbuhan sel yang terjadi tidak
terlalu signifikan.
Selama penyimpaan 24 jam pertumbuhan sel pada sampel soto
ayam hanya sebesar 0,13 log cfu/g, dan setelah penyimpanan 48 jam
jumlah bakteri mancapai 3,44 log cfu/g, yang berarti telah bertambah
sebesar 0,26 log cfu/g. Pertumbuhan bakteri S. aureus pada sampel
makanan nasi uduk tidak berbeda jauh dengan prtumbuhan yang terjadi
pada sampel soto ayam, pada penyimpanan selama 24 jam, pertumbuhan
yang terjadi hanya sekitar 0,16 log cfu/g dan pertambahan bakteri
mencapai 0,30 log cfu/g setelah penyimpanan selama 48 jam. Sedangkan
pada sampel tumis buncis, tidak terjadi pertumbuhan yang signifikan,
yaitu hanya sebesar 0,18 log cfu/g setelah penyimpanan 48 jam.
60
S. aureus (log cfu/g)
5,6
5,4
5,2
5
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
48
Waktu Penyimpanan (Jam)
Gambar 24. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) dalam soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC.
nasi uduk
soto ayam
tumis buncis
Pada Gambar 24 di atas terlihat bahwa pertumbuhan bakteri S.
aureus dengan jumlah kontaminasi awal 5 log cfu/g pada penyimpanan
suhu 10oC juga tidak menunjukan pertumbuhan yang signifikan. Ini
dapat dilihat dari pertambahan bakteri pada ketiga sampel yaitu soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis yang tidak lebih dari 1 log selama
penyimpanan 48 jam, walaupun menurut Adam dan Moss (1995) kisaran
suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah 4-48ºC. Berdasarkan
percobaan, selama waktu penyimpanan 48 jam suhu refrigerator 10oC
masih dapat ditoleransi sebagai suhu penyimpanan masakan soto ayam,
nasi uduk dan tumis buncis. Jumlah tersebut tentu tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap resiko bahaya akibat mengkonsumsi masakan
ini jika disimpan selama 48 jam dengan jumlah kontaminasi bakteri awal
3 atau 5 log cfu/g.
Pada penyimpanan suhu 10 oC ini pengaruh perbedaan nutrisi dari
lingkungan pertumbuhan terlihat memiliki peran walaupun tidak
signifikan, karena pertumbuhan atau metabolisme sel pada suhu
penyimpanan ini belum mencapai titik optimum. Pada sampel soto ayam
dan nasi uduk pertumbuhan S. aureus lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan S. aureus pada tumis buncis, hal ini diduga disebabkan
karena tumis buncis hanya berbahan dasar sayuran dan nutrisi yang
terkandung sangat minimum, yaitu hanya mengandung protein sebesar
1,8% dan karbohidrat sebesar 7% (Anonim, 1999). Kondisi tersebut
tentu saja membawa pengaruh terhadap pertumbuhan S. aureus pada
61
sampel masakan tumis buncis, karena menurut Supardi et al. (1999)
bakteri S. aureus tidak dapat tumbuh baik pada media sintetik yang tidak
mengandung asam amino atau protein.
Pada penyimpanan suhu 10ºC pertumbuhan dari bakteri S. aureus
ini memang berjalan lambat, tetapi pertumbuhan masih terjadi, sehingga
jika penyimpanan diteruskan lebih dari 48 jam diduga bakteri dapat
mencapai level yang dianggap tidak aman karena produksi enterotoksin,
karena menurut Genigeorgis et al.(1961);Tatini (1973), enterotoksin
dapat diproduksi atau dideteksi pada penyimpanan suhu 10ºC, walaupun
produksinya berjalan lebih lambat.
Berdasarkan uji statistik, perbedaan jumlah kontaminasi awal
bakteri pada penyimpanan suhu 10ºC, tidak berpengaruh nyata terhadap
kecepatan atau pertambahan jumlah sel. Hasil uji dapat dilihat pada
Lampiran 21.
Suhu 15 oC
7
6,5
S. aureus (log cfu/g)
6
5,5
5
4,5
4
3,5
3
2,5
2
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
48
Waktu Penyimpanan (Jam)
Gambar 25. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) dalam soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC.
Nasi uduk
soto ayam
tumis buncis
Pada Gambar 25 terihat bahwa secara umum, pertumbuhan bakteri
S. aureus pada masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis selama
penyimpanan suhu 15oC lebih cepat dari pada penyimpanan suhu 10oC.
Ini terlihat dari peningkatan jumlah bakteri yang terjadi selama
62
penyimpanan. Selama penyimpanan 24 jam pada jumlah kontaminasi
awal log 3 cfu/gr terjadi pertambahan jumlah bakteri rata-rata lebih dari
1 log cfu/g. Pada soto ayam terjadi pertambahan bakteri sebanyak 1,14
log cfu/g, pada nasi uduk pertambahannya mencapai 1,7 cfu/g, dan pada
masakan tumis buncis pertambahannya sebesar 1,3 log cfu/g.
Sementara itu, setelah penyimpanan dilanjutkan hingga 48 jam,
memperlihatkan pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu terjadi
pertambahan jumlah bakteri sebanyak 3,13 log cfu/g pada soto ayam
sehingga total S. aureus sebanyak 6,43 log cfu/g, kemudian terjadi
pertambahan sebesar 3,26 log cfu/g sehingga total bakteri mencapai 5,96
log cfu/g, dan pada tumis buncis terjadi pertambahan sel S. aureus
sebanyak 3,11 log cfu/g sehingga total bakteri setelah penyimpanan 48
jam sebanyak 5,74 log cfu/g. Jika dibandingkan pertambahannya per 24
jam, secara umum pertambahan 24 jam pertama (hari ke-1) lebih lambat
dibandingkan 24 jam kedua (hari ke-2) hal ini diduga terjadi karena sel
bakteri
berada
dalam
tahap
adaptasi
dengan
lingkungan
pertumbuhannya, sehingga tidak dapat tumbuh dengan optimum.
9
8,5
S. au reus (log cfu/g)
8
7,5
7
6,5
6
5,5
5
4,5
4
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
48
Waktu Penyimpanan (Jam)
Gambar 26. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) dalam soto
ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC .
Nasi uduk
soto ayam
tumis buncis
Pertumbuhan S. aureus dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g pada
penyimpanan suhu 15oC menunjukan hasil yang tidak terlalu berbeda
63
dengan perlakuan kontaminasi awal 3 log cfu/g. Pada soto ayam setelah
penyimpanan selama 48 jam terjadi pertambahan bakteri S. aureus
sebanyak 3,13 log cfu/g sehingga total bakteri menjadi 8,47 log cfu/g,
kemudian pada masakan nasi uduk pertambahan bakteri mencapai 3,28
log cfu/g dan total bakteri menjadi 7,95 log cfu/g, dan pada tumis buncis
terjadi pertambahan bakteri sebesar 2,90 log cfu/g sehingga diakhir
penyimpanan selama 48 jam jumlah bakteri mencapai 7,48 log cfu/g.
Dari data yang didapatkan, terlihat bahwa terjadi perbedaan
pertambahan jumlah bakteri S. aureus antara kontaminasi awal 3 log dan
5 log cfu/g tetapi tidak signifikan karena setelah dilakukan uji statistik
perbedaan jumlah kontaminasi awal tidak menunjukkan perbedaan
nyata, hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 22. Terjadinya
sedikit perbedaan pertambahan ini diduga karena pertumbuhan bakteri
yang berjalan secara eksponensial yaitu pertambahan jumlah sel
sebanyak dua kali lipat dari jumlah sel sebelumnya, sehingga jika jumlah
kontaminasi lebih tinggi maka hasil duplikasi sel akan semakin tinggi
pula. Berdasarkan data yang didapatkan, terlihat bahwa pertumbuhan
bakteri S. aureus yang tetinggi terjadi pada makanan nasi uduk,
kemudian soto ayam dan terakhir tumis buncis.
Dilihat dari kandungan proteinnya, soto ayam merupakan sampel
masakan yang memiliki kandungan protein yang terbesar karena
berbahan dasar daging ayam selain itu menurut Paull et al. (1980),
daging ayam memiliki komposisi asam amino yang cukup lengkap
antara lain arginin, cystin, histidin, isoleusin, leusin, lisine, methionin,
phenilalanin, threonin, tryptophan, tirosin, dan valin. Oleh karena itu,
soto ayam merupakan media yang cukup baik bagi pertumbuhan S.
aureus, hal ini sesuai dengan pernyataan Supardi (1999), adanya 11
asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein,
metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk daging
termasuk daging unggas juga mendukung optimasi pertumbuhan S.
aureus.
64
Dilihat dari kandungan nutrisinya, soto ayam merupakan media
yang lebih baik dari pada sampel masakan nasi uduk atau tumis buncis
dalam hal pembentukan enterotoksin, karena menurut Supardi et
al.(1999), substrat yang baik untuk produksi enterotoksin adalah substrat
yang mengandung protein atau asam amino, garam anorganik, dan
vitamin. Arginin merupakan asam amino yang esensial untuk produksi
enterotoksin, sedangkan vitamin yang dibutuhkan terutama adalah
thiamin dan asam nikotinat.
Tetapi pertumbuhan S. aureus yang terjadi pada nasi uduk
memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada soto ayam hal
ini diduga terjadi karena tingginya kandungan karbohidrat pada nasi
uduk. Karena menurut DKBM (1989) nasi mengandung 76,2%
karbohidrat. Adanya santan yang terdapat dalam nasi uduk dapat pula
mempengaruhi kondisi pertumbuhan dari bakteri. Karena menurut
Frazier dan Westhoff (1988), adanya kandungan gula, garam, koloid dan
lemak dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan atau kematian sel
selama penyimpanan dingin. Selain itu adanya kandungan zat anti
bakteri pada bahan-bahan penyusun bumbu soto ayam, antara lain
bawang merah, bawang putih, jahe, dan kunyit. Pada pembuatan soto
ayam, digunakan 0,6% atau sekitar 3 g kunyit yang dimasukkan ke
dalam 1 liter air dan berdasarkan hasil penelitian Lukman (1984)
menunjukkan bahwa kurkuminoid yang terdapat pada rimpang kunyit
selain berfungsi sebagai pigmen juga berfungsi sebagai anti mikroba,
karena pada konsentrasi 2 g/l bersifat bakterisidal terhadap B. subtilis, L.
acidophilus, dan S. aureus. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
dikatakan bahwa jumlah kunyit yang digunakan dalam masakan soto
ayam cukup untuk menghambat pertumbuhan dari bakteri S.aureus.
Menurut Adam dan Moss (1995), kisaran suhu dalam produksi
toksin adalah 10-45oC. Dosis toksin kurang dari 1,0 μg dalam makanan
yang terkontaminasi sudah dapat menimbulkan gejala dari intoksikasi
staphylococcal. Toksin ini akan mencapai level tersebut ketika populasi
S. aureus lebih dari 6 log cfu/g sampel dan jumlah toksin yang dapat
65
menyebabkan penyakit pada manusia bergantung dari berat badan dan
sensitivitas individu (Bergdoll, 1990). Berdasarkan literatur data
tersebut, penyimpanan sampel masakan soto pada suhu refrigerator 15oC
dengan jumlah kontaminasi awal 3 log cfu/g selama 48 jam diduga telah
terjadi produksi enterotoksin. Sedangkan dengan jumlah kontaminasi
awal 5 log cfu/g hanya dalam waktu 24 jam sudah dapat meghasilkan
enterotoksin karena di akhir penyimpanan sampel selama 24 jam total
bakteri S. aureus mencapai lebih dari 6 log cfu/g. Kasus keracunan
karena suhu refrigerasi yang tidak tepat pernah terjadi di daerah
Kentucky Amerika Serikat sebanyak 200 penumpang kereta api
mengalami
keracunan karena mengkonsumsi ham salad ,yang
sebelumnya disimpan dalam refrigerator bersuhu 13 oC (CDC, 1976).
Berdasarkan data yang didapatkan, pada penyimpanan masakan
soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada suhu 15 oC, pertumbuhan S.
aureus terlihat cukup signifikan, sehingga suhu 15 oC merupakan suhu
yang perlu diwaspadai dan tidak direkomendasikan sebagai sebagai suhu
penyimpanan untuk suatu bahan pangan. Dan berdasarkan survei yang
dilakukan pada penelitian ini ke sekitar 30 rumah tangga, terlihat bahwa
sebagian besar suhu refrigerator yang ada di rumah tangga tidak
memenuhi anjuran atau rekomendasi tentang suhu aman penyimpanan,
yaitu sekitar 53,3% refrigerator bersuhu 10-14 oC bahkan sekitar 10%
refrigerator rumah tangga bersuhu >15oC. sehingga dapat dikatakan
bahwa kemungkinan adanya pertumbuhan bakteri selama penyimpanan
di dalam refrigerator rumah tangga dapat terjadi.
b.Laju Pertumbuhan S. aureus dalam Soto ayam, Nasi Uduk, dan
Tumis Buncis pada Penyimpanan Suhu Rendah
Pertumbuhan
populasi
sel
pada
umumnya
terjadi
secara
eksponensial, yang berarti setelah sel membelah menjadi dua anak sel,
masing-masing anak sel tersebut membelah lagi menjadi dua, dan
seterusnya. Kecepatan pertumbuhan eksponensial biasanya dinyatakan
dalam waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi
sel untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya atau sebaliknya.
66
Waktu generasi S. aureus selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel
12 dan Tabel 13.
Tabel 12. Waktu Generasi S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) pada
soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan
suhu rendah
Sampel
Suhu
Waktu generasi (jam)
pH
Masakan
(ºC)
0-24
24-48
5
357,5
557,2
Soto
6,27
10
54,2
57,5
ayam
15
6,35
3,6
5
415,7
-274,3
Nasi
6,15
10
47
49,7
uduk
15
4,21
4,65
5
302,45
623,3
Tumis
5,89
10
167,9
50,9
buncis
15
5,5
4,0
Pada Tabel 12 terlihat bahwa waktu generasi S. aureus pada suhu
5ºC terlihat cukup tinggi, yaitu diatas 300 jam, bahkan pada nasi uduk
waktu generasinya bernilai minus yang berarti telah terjadi penurunan
jumlah bakteri, baik pada masakan soto ayam, nasi uduk, maupun tumis
buncis. Sedangkan pada penyimpanan suhu 10ºC, waktu generasi
berjalan lebih cepat tidak lebih 100 jam. Waktu generasi S. aureus
tercepat terjadi pada masakan nasi uduk, yaitu 49,7 jam dan waktu
generasi terlambat pada tumis buncis. Menurut Sutherland dan Herbert
(2000), waktu generasi S. aureus pada media brain heart infusion pada
suhu 10ºC dengan pH lingkungan optimum adalah 12,0 jam. Perbedaan
waktu generasi ini disebabkan karena faktor-faktor pertumbuhan lain
selain suhu seperti nutrisi dan pH dapat mempengaruhi waktu generasi
dari bakteri S. aureus ini. Perbedaan waktu generasi antara penyimpanan
suhu 10ºC dan 15ºC terlihat signifikan, nilainya kurang dari 10 jam.
67
Tabel 13. Waktu Generasi S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) pada
soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan
suhu rendah
Sampel
Suhu
Waktu generasi (jam)
pH
Masakan
(ºC)
0-24
24-48
5
-1039,5
-2079,1
Soto
6,27
10
23,2
45,89
ayam
15
5,0
4,25
5
-52,3
-192,2
Nasi
6,15
10
91,5
65
uduk
15
4,4
4,3
5
-122,8
85
Tumis
5,89
10
-235,1
79
buncis
15
6,7
3,9
Pada Tabel 13 terlihat bahwa laju pertumbuhan sel pada hari
pertama, lebih cepat dibandingkan hari ke-2. Hal ini diduga terjadi
karena pada penyimpanan di hari pertama bakteri berada dalam tahap
adaptasi. Faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri
S.aureus pada masakan soto, nasi uduk dan tumis buncis adalah suhu
penyimpanan, karena faktor pertumbuhan lainnya seperti aw, kadar
garam yang hanya sekitar 2% dan pH berada pada kondisi optimum
pertumbuhan S. aureus. secara umum waktu generasi tercepat terjadi
pada pertumbuhan
Menurut
S. aureus di masakan nasi uduk yaitu 4,0 jam.
Sutherland dan Herbert (2000), waktu generasi S. aureus
dalam media brain heart infusion penyimpanan suhu 15ºC adalah
sebesar 4,0 jam.
Tanda minus (-) pada waktu generasi berarti telah terjadi
penurunan jumlah bakteri, dan dari data terlihat bahwa penyimpanan
suhu 5ºC menyebabkan penurunan jumlah sel, ini diduga terjadi karena
kondisi suhu pertumbuhan berada pada batas minimum. Menurut
Sutherland dan Herbert (2000), ketika suhu pertumbuhan di bawah suhu
optimum suatu bakteri, fase lag dan waktu generasi akan meningkat dan
laju pertumbuhan menurun.
68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil survei mengenai praktik sanitasi yang dilakukan pada tingkat
rumah tangga menunjukkan bahwa sebagian besar responden tetap melakukan
aktivitas memasak saat menderita batuk atau luka terbuka dan sebesar 33%
responden melakukan pembersihan refrigerator setiap 3-4 minggu sekali.
Sedangkan survei mengenai penyimpanan masakan menunjukkan sebagian
responden yaitu sekitar 88% menggunakan refrigerator sebagai tempat
menyimpan masakan. Dan setelah dilakukan pengukuran terhadap suhu
refrigerator rumah tangga didapatkan hasil bahwa tidak terdapat refrigerator
yang memiliki suhu di bawah 5ºC, dan hanya 36,6% rumah tangga yang
memiliki refrigerator dengan suhu <10ºC, bahkan terdapat refrigerator yang
bersuhu >15ºC.
Penyimpanan masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada
suhu 5 oC tidak memperlihatkan pertumbuhan S. aureus bahkan jumlah bakteri
cenderung konstan. Hal ini juga terjadi pada penyimpanan suhu 10oC ,
penyimpanan sampel masakan pada suhu10oC ini tidak memperlihatkan
pertambahan sel S. aureus yang signifikan. Penyimpanan selama 24 jam untuk
jumlah kontaminasi awal 3 log cfu/gr dan 5 log cfu/gr hanya menghasilkan
pertambahan bakteri S. aureus yang tidak lebih dari 1 log cfu/g sampel.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa penyimpanan
sampel makanan pada suhu 10oC dianggap aman karena diakhir penyimpanan
48 jam total bakteri tidak mencapai 6 log cfu/gr. Sedangkan pada
penyimpanan sampel masakan pada suhu 15 oC, pertumbuhan bakteri cukup
signifikan. Setelah penyimpanan selama 48 jam dengan inokulasi awal S.
aureus sebanyak 3 log cfu/g, total bakteri telah mencapai lebih dari 6 log
cfu/g. Sedangkan dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g, hanya dengan
penyimpanan 24 jam bakteri telah mencapai jumlah 6 log cfu/g.
Perbedaan nutrisi pada sampel masakan terlihat memiliki pengaruh
pada pertumbuhan bakteri S. aureus. Ini dapat dilihat dari pertumbuhan
bakteri pada sampel masakan soto ayam dan nasi uduk yang lebih cepat dari
69
pada pertumbuhan S. aureus pada masakan tumis buncis, karena pada tumis
buncis kebutuhan nutrisi berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia,
sehingga pertumbuhan yang terjadi
tidak optimum. Pengaruh perbedaan
jumlah inokulasi awal bagi pertumbuhan bakteri S. aureus ini tidak signifikan,
karena secara umum pertambahan jumlah sel antara jumlah kontaminasi awal
3 log dan 5 log cfu/g tidak menunjukan perbedaan yang nyata.
Berdasarkan uji statistik, dengan perbedaan jumlah kontaminasi awal
bakteri yaitu 3 log cfu/g dan 5 log cfu/g tidak menunjukan perbedaan yang
nyata. Ini berarti dengan jumlah kontaminasi awal 3 log atau 5 log cfu/g tidak
menunjukkan perbedaan jumlah pertambahan dari bakteri S. aureus selama
penyimpanan suhu refrigerator.
Berdasarkan data yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa suhu
10oC dan 5 oC tidak mendukung pertumbuhan dari bakteri S. aureus, sehingga
penyimpanan pada suhu ini masih dianggap aman dan tidak berpeluang akan
terjadinya produksi enterotoksin, tetapi pada kenyataanya berdasarkan hasil
survei, suhu refrigerator rumah tangga jarang dapat mencapi suhu
penyimpanan <10ºC. Sedangkan penyimpanan pada suhu refrigerator 15oC
perlu lebih diwaspadai, karena terdapat kemungkinan adanya produksi
enterotoksin, dan didukung oleh hasil survei yang menyatakan bahwa pada
praktiknya terdapat rumah tangga yang memiliki refrigerator dengan suhu
penyimpanan >15ºC.
B. SARAN
Penelitian selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menambahkan
bakteri lain sebagai bakteri pesaing dalam lingkungan pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus ini, sehingga persaingan antar bakteri dapat terlihat.
Variasi masakan juga dapat diuji, penggunaan sampel masakan dengan
kondisi pertumbuhan yang berbeda-beda dari segi aktivitas air, pH, maupun
kadar garam dapat memberikan informasi yang lebih beragam. Selain itu
pengukuran
jumlah
toksin
yang
dihasilkan
dapat
dilakukan
untuk
menghasilkan data yang lebih akurat.
70
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M.R. dan Moss, M.O. 1995. Food Microbiology. Royal Society of
Chemistry, Cambridge, UK.
Anonim. 2001. The 7th Report of The WHO Surveillance Programme for Control
of Foodborne Infections and Intoxications in Europe.
www.bgvv/internet/7threport/7threp.fr.htm.
Anonim. 2004. Resep Masakan Nusantara. http:// www.myrecepeonline.com
Anonim. 2008. Nasi Uduk. www.wikipedia.com [11 Juli 2008]
Anonim. 2008. Soto Ayam. www.wikipedia.com [11 Juli 2008]
Ash, Megan. 2000. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxins. Di
dalam: Hocking, A. D., Glenda A., Ian J., Ken N., dan Peter S. 2000.
Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. AISFT
Food Microbiology Group, New South Wales.
Australia New Zeland Food Standards. 2002. Guidline for The Microbiological
Examination of Ready to Eat Food. Canberra
Bean, N.H. dan P.M. Griffin. 1990. Foodborne disease outbreaks in The United
States, 1973-1987: Pathogens, vehicle, and trends. J. Food Protect. 53:
711-728
Bergdoll, M.S. 1992. Staphylococcal Intoxication in Mass Feeding. Di dalam
Handbook of Natural Toxins Food Poisoning Vol 7, Anthony T.Tu,ed.
Marcel Dekker, New York
Bergdoll, M.S. 1990. Staphylococcal Food Poisoning. Di dalam : Foodborne
Diseases, Academic Press, Inc., San Diego
Bolton, D.J,J. Kennedy, dan C. Cowan. 2005. Final Report Irish Domestic Food
Safety Knowledge, Practice and Microbiology with Particular
Emphasis on Staphylococcus aureus. The National Food Centre,
Ashtown, Dublin.
BPOM. 2005. Data Kondisi Keamanan Pangan. Di Dalam : Haryadi, P dan N.
Andarwulan. 2007. Konsolidasi Sistem Keamanan Pangan di
Indonesia. Piramedia, Depok.
Buckle, K.A., Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. UIPress, Jakarta
71
Center for Disease Control. 1975. Staphylococcal food poisoning-Georgia.
MMWR 24:350 di dalam Handbook of Natural Toxins Vol.1 Ed.
Anthony T.Tu 1992. Marcel Dekker, New York.
Center for Disease Control. 1976. Staphylococcal food poisoning-Colorado.
MMWR 26:22,27 di dalam Handbook of Natural Toxins Vol.1 Ed.
Anthony T.Tu 1992. Marcel Dekker, New York.
Center for Disease Control. 1979. Staphylococcal food poisoning-New York.
MMWR 28:45 di dalam Handbook of Natural Toxins Vol.1 Ed.
Anthony T.Tu 1992. Marcel Dekker, New York.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1990. Aspek Gizi Makanan Jajanan.
Disampaikan pada Seminar Sehari Tentang Peranan Organisasi
Kemasyarakatan/ Potensi dalam Pembinaan dan Pemasyarakatan
Makanan Jajanan yang Sehat dan Aman.
Djaafar, T.F. dan S. Rahayu. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian,
penyakit yang ditimbulkan, dan pencegahannya. J. Litbang Pertanian
26 (2)
Doyle, Michael P., Larry R. Beuchat., T.J. Montville. 1997. Food Microbiology
Fundamentals and Frontiers. ASM Press, Washington DC
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fardiaz. 1994. Pengendalian Keamanan dan Penerapan HACCP dalam
Perusahaan Jasa Boga. Buletin Teknologi Industri Pangan, 5 (3), 7177.
Food Drug Administration. 2003. Handbook of Foodborne Pathogens. Marcel
Dekker, Inc., New York
Frezier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th. Mc-Graw-Hill,
Inc, New York.
Gaman, P.M. dan K.B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan
Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi II. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Haeghebaert, S., Le Querrec, F., Gallay, A., Bouvet, P., Gomez, M. and Vaillant,
V. 2002. Les toxi-infections alimentaires collectives en France, en
1999 et 2000. Bull. Epidémiol. Hebdo. 23: 105-109.
Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami, dan S. Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya
kontaminasi S. aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan produk
daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech, Majalah Ilmu dan
Teknologi Pertanian 16(3): 7−15.
72
Holeckova, B., E. Holoda., M. Fotta., V. Kalinacova., J. Gondol., dan J. Grolmus.
2002. Occurance of enterotoxigenic Staphylococcus aureus in food.
An Agric Environ Med 9: 179-182.
Holmberg, S.D dan P.A. Blake. 1984. Staphylococcal food poisoning in The
United States. JAMA 251: 487-489.
Hutton, M.T., Chekak, P.A., dan Hanlin, J.H (1991). Inhibition of Botulinum
Toxin Production by Pediococcus acidilactici in Temperature Abused
Refrigerated Food. Di dalam : Lund B.M., Toni C. Baird-Parker, G.W.
Gould. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol.2.
Aspen Publication, Maryland.
Iandolo, J.J. 1989. Genetic Analysis of Extrcelluler Toxins of Staphylococcus
aureus. Annu Rev Microbiology 43: 375-02.
International Commission on Microbiological Specifications for Foods. 1996.
Staphylococcus aureus, p. 299–333. Di dalam: T. A. Roberts, A. C.
Baird-Parker, and R. B. Tompkin (ed.), Microorganisms in Foods 5:
Characteristics of Microbial Pathogens. Blackie Academic &
Professional, London.
James S J, J.Evans, C. James .2007. A review of the performance of domestic
refrigerators . Journal of Food Engineering, Volume 87, Pages 2-10
Jay, M.J. 2000. Modern Food Microbiology 6th ed. Aspen Publication, Maryland.
Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB,
Bogor
Lukman, A.A.S. 1984. Pengaruh Bubuk Rimpang Kunyit (Curcuma domestica
Val.) dan Bubuk Residu Ekstraknya terhadap Pertumbuhan Beberapa
Bakteri Basili Gram Positif. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Bogor.
Lund B.M., Toni C. Baird-Parker, G.W. Gould. 2000. The Microbiological Safety
and Quality of Food Vol.2. Aspen Publication, Maryland.
Madigan, M.T., J.M Martinko, dan J. Parker. 2002. Biology of Microorganisms
7th Ed. Prentice Hall, Illinois.
Marr, A.G. 1980. Effect of Temperature on The Composition of Fatty Acid in E.
coli. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L.
Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts.
Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York.
73
Monday S.R. dan R.W. Bennet. 2003. Staphylococcus aureus. Di dalam: Miliotis
M.D. dan J.W. Bier. International Handbook of Foodborne
Pathogenes. Marcel Dekker, New York.
Marriot dan G. Norman. 1985. Principles of Food Sanitation. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Mead, P., Slutsker, L., Dietz,V., McCaig, L., Bresee, J., Shapiro, C., Griffin, P.,
dan Tauxe, R. 1999.Food-Related Illnes and Death in The United
States. Emerg. Infect.Dis. 5: 607-625.
Naele, E.K dan G.B Chapman. 1980. Effect of Low Temperature on The Growth
and Fine Structure of B. subtilis. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott,
A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C.
Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology of Foods. Academic Press,
New York.
Raiser, R., Conaway, D., dan Berdgoll, M.S. 1974. Detection of Staphylococcal
enterotoksin in food. Appl. Microbiol.27: 83-85
Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. Foodborne Infection and Intoxication. 2nd
edition, Academic Press, Inc., San Diego.
Rose, A.H. 1980. Physiology of Microorganisms at Low Temperature. Di dalam :
Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B.
Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology
of Foods. Academic Press, New York.
Schaechter, M., G Medoff, B. I. Eisenstein. 1993. Mechanisms of Microbial
Disease 2nd Edition. Williams and Wilkins, London.
Schmitt M, Schuler-schmid U, Scmidt-lorenz W. 1990. Temperature limits of
growth, TNase, and enterotoxin production of Staphylococcus aureus
strains isolated from foods. Int J Food Microbiol 11:1-19.
Shaw, M.K. 1980. Formation of Filament and Synthesis of Macromolecules at
Temperature Below The Minimum for Growth of E. coli. Di dalam:
Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B.
Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology
of Foods. Academic Press, New York.
Shehata, E. dan A.G. Marr. 1980. Effect of Temperature on The Size of E. coli
Cells. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L.
Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts.
Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu. PAU
Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
74
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Stewart C. M., M. B. Cole, dan D. W. Schaffner. 2003. Managing the risk of
Staphylococcal food poisoning from cream-filled baked goods to
meet a food safety objective. J. Food Prot. 66(7): 1310-1325.
Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Penerbit Alumni, Bandung
Sutherland, J.P. dan A. Varnam. 1982. Meat Mirobiology.Di edit oleh: M.H.
Brown. Applied Science Publisher LTD, London.
Todar, K. 2007. Textbook of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net
[24 Februari 2008]
Triller, J.A. 1983. Sanitation in Food Processing. Academic Press, New York.
US Food and Drug Administration. 1999. Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic
Microorganism and Natural Toxins Handbook. Factors Affecting the
Growth of Some Foodborne Pathogens: Centre of Food Safety and
Applied Nutrition (CFSAN). http://vw.cfsan.fda.gov/mow/intro.html
[12 Januari 2008]
Wieneke, A.A., Roberts D and Gilbert, R. J. 1993. Staphylococcal food poisoning
in United Kingdom 1969-1990. Epidemiology Infection 110:519-531
Winarno, F.G. 1993. Keamanan, Gizi, dan Khasiat Makanan Tradisional.
Prosiding Seminar Pengembangan Pangan Tradisional dalam Rangka
Penganekaragaman Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan,
Jakarta.
Winarno, F.G. 1997.Keamanan Pangan. Pusbangtepa IPB, Bogor.
75
Lampiran 1. Kuesioner Survei
KUESIONER SURVEI PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN
MAKANAN DALAM RUMAH TANGGA
Nama
Alamat
:
:
Petunjuk pengisian
:
- Jawab dengan jujur
- Beri tanda (√) pada pilihan jawaban di bawah ini
- Pertanyaan berupa isian, harap dijawab dengan
singkat dan jelas
1. Umur :
Kurang dari 20 tahum
20-30 tahun
Lebih dari 30 tahun
2.Pendidikan:
Tidak tamat SD
SD
SMP
SMU
Perguruan Tinggi
3.Apakah anda selalu mencuci tangan sebelum memasak?
Ya
Tidak
4.Bagaimana anda mencuci tangan?
Dengan air mengalir (kran)
Dengan air tergenang (di ember atau baskom)
Lainnya, sebutkan _____________________________________________
5.Apakah anda mencuci tangan dengan sabun?
Ya
Tidak
Tidak selalu
6. Bagaimana anda mencuci peralatan makan seperti piring, gelas, sendok, dan
garpu?
Dengan air mengalir (kran)
76
Dengan air tergenang (ember atau baskom)
Lainnya, sebutkan _____________________________________________
7. Apakah anda mencuci peralatan makan/masak tersebut dengan sabun?
Ya
Tidak
Tidak selalu
8. Apakah anda menggunakan lap yang berbeda untuk membersihkan meja,
peralatan makan (sendok, garpu, piring, gelas) dan peralatan masak (pisau,
talenan)?
Ya
Tidak
9. Berapa kali anda mengganti lap yang digunakan untuk membersihkan peralatan
makan?
Setiap hari
2 hari sekali
Seminggu sekali
Lainnya, sebutkan ______________________________________________
10.Jika terdapat luka terbuka di tangan apakah anda tetap memasak?
Ya
tidak
11.Jika anda batuk, apakah anda tetap memasak?
Ya
Tidak
12.Ketika harus memasak , kapankah anda mandi?
Sebelum memasak
Sesudah memasak
Lainnya, sebutkan _____________________________________________
13.Apakah anda membersihkan meja dapur setelah selesai memasak?
Ya
Tidak
Tidak selalu
14.Berapa kali anda mengepel dapur?
Setiap kali selesai memasak
Satu hari sekali
3-4 kali dalam seminggu
1-2 kali dalam seminggu
77
15.Berapa jam paling lama (maksimum) anda menyimpan masakan (di meja atau
di lemari) ?
1-3 jam
4-6 jam
7-9 jam
10-12 jam
16.Bagaimana anda menyimpan makanan tersebut?
dalam wadah terbuka tanpa penutup apapun
dalam wadah terbuka ditutup dengan tudung saji atau sejenisnya
dalam wadah tertutup
lainnya, sebutkan ______________________________________________
17.Jika ada makanan yang tersisa/ tidak habis, apa yang anda lakukan?
Disimpan untuk keesokan hari
Dibuang
Lainnya, sebutkan _____________________________________________
18.Jika disimpan, bagaimana penyimpanannnya ? (jawaban boleh lebih dari 1)
Dalam lemari pendingin (kulkas)
Dalam lemari biasa
Dalam ruangan terbuka
Lainnya, sebutkan _____________________________________________
19.Berapa jam paling lama (maksimum) anda menyimpan makanan di lemari
pendingin (kulkas)?
1-3 jam
4-6 jam
7-9 jam
10-12 jam
Lebih dari 12 jam, sebutkan______________________________________
20.Berapa kali anda membersihkan lemari pendingin (kulkas) ?
1-2 minggu sekali
3-4 minggu sekali
lebih dari 1 bulan sekali
lainnya, sebutkan ______________________________________________
21.Sebelum menyimpan makanan (di kulkas atau lemari atau meja makan),
apakah anda memanaskannya terlebih dahulu?
Ya
Tidak
Tidak selalu
Suhu kulkas :
78
Lampiran 2. Tabulasi data jawaban kuesioner
No
Kategori
1
Usia
2
Pendidikan
3
Pencucian tangan sebelum masak
4
Sumber air untuk mencuci tangan
5
Penggunaan sabun untuk cuci tangan
6
7
Sumber air mencuci peralatan dapur
Penggunaan sabun untuk mencuci
peralatan dapur
8
Penggunaan lap yang berbeda
9
Penggantian lap
Jawaban
<20 tahun
20-30 tahun
>30 tahun
SD
SMP
SMU
Perguruan tinggi
Ya
Tidak
Air mengalir
Air tergenang
Ya
Tidak
Tidak selalu
Air mengalir
Air tergenang
Keduanya
Ya
Tidak
Tidak selalu
Ya
Tidak
1 hari sekali
2 hari sekali
1 minggu sekali
Persentase (%)
3,3
13,7
83,3
6,6
16,7
56,7
20
96,7
3,3
93,3
6,7
73,3
0
26,7
90
6,7
3,3
96,7
0
3,3
90
10
43,3
50
6,7
Total responden
30
30
30
30
30
30
30
30
30
10
11
12
13
14
15
16
Aktivitas memasak saat terjadi luka
terbuka ditangan
Aktivitas memasak saat menderita batuk
Mandi
Pembersihan meja dapur setelah peoses
memasak
Pengepelan dapur setelah masak
Lama penyimpanan makanan dalam suhu
ruang
Cara penyimpanan makanan
17
Jika terdapat makanan sisa
18
Tempat penyimpanan makanan
Ya, tetap memasak
Tidak
Ya
Tidak
Sebelum memasak
Setelah memasak
Tidak tentu
Ya
Tidak
Tidak tentu
Setiap selesai masak
1 hari sekali
3-4 kali seminggu
1-3 jam
4-6 jam
7-9 jam
10-12 jam
Dalam wadah terbuka
Dalam wadah terbuka +
tudug saji
Dalam wadah tertutup
Disimpan
Dibuang
Refrigerator
Refrigerator, lemari
Refrigerator, lemari,
ruangan terbuka
76,7
23,3
86,7
13,3
46,7
50
3,3
93,3
0
6,7
70
26,7
3,3
23,3
33,3
23,3
20
6,7
63,3
30
86,7
13,3
88
8,3
3,7
30
30
30
30
30
30
30
30
30
19
20
21
21
Lama penyimpanan di dalam refrigerator
Jangka waktu pembersihan refrigerator
Pemanasan makanan sebelum disimpan
dalam refrigerator
Suhu refrigerator rumah tangga*
* Rincian suhu
• Suhu 6ºC = 3
• Suhu 8ºC = 6
• Suhu 9ºC = 2
• Suhu 10ºC= 7
• Suhu 11ºC= 5
• Suhu 12ºC= 3
• Suhu 14ºC= 1
• Suhu 15ºC= 2
• Suhu 16ºC= 1
1-3 jam
4-6 jam
7-9 jam
10-12 jam
> 12 jam
1-2 minggu sekali
3-4 minggu sekali
> 1 bulan sekali
Ya
Tidak
Tidak selalu
5-9ºC
10-14ºC
>15ºC
3,3
13,3
26,7
30
26,7
63,3
33,3
3,3
40
26,7
33,3
36,7
53,3
10
30
30
30
30
Lampiran 3 . Data jumlah sel Staphylococcus aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
2,50 x 103
1,49 x 103
2,77 x 103
1,54 x 103
2,99 x 103
2,37 x 103
3,34 x 103
3,30 x 103
4,36 x 103
3,71 x 103
2,80 x 104
2,65 x 104
2,83 x 106
2,59 x 106
Rata-rata
Nilai log
1,99 x 103
3,299
2,15 x 103
3,333
2,64 x 103
3,421
3,24 x 103
3,511
4,03 x 102
3,605
2,72 x 104
4,435
2,71 x 106
6,432
Lampiran 4. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/gr.
Kultur yang
diinokulsikan
Staphylococcus
aureus
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Rata-rata
Nilai log
0
2,20 x 105
5,342
3
2,67 x 105
5,426
6
4,60 x 105
5,662
5,85 x 105
5,767
12
8,22 x 105
5,914
24
5,85 x 106
6,767
48
2,92 x 108
8,465
9
BPA
Lampiran 5. Data jumlah sel nasi uduk pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Media
Ulangan
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
Cfu/g
5,00 x 102
4,00 x 102
5,00 x 102
9,50 x 102
5,00 x 102
1,20 x 102
1,36 x 103
1,72 x 103
2,45 x 103
2,63 x 103
2,31 x 104
2,80 x 104
9,65 x 105
8,60 x 105
Rata-rata
Nilai log
5,00 x 102
2,698
7,25 x 102
2,860
8,50 x 102
2,929
1,54 x 103
3,189
2,54 x 103
3,405
2,55 x 104
4,407
9,12 x 105
5,960
Lampiran 6. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/gr.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
3,86 x 104
5,45 x 104
5,86 x 104
5,68 x 104
5,95 x 104
9,22 x 104
2,21 x 105
1,13 x 105
2,21 x 105
1,45 x 105
1,62 x 106
2,31 x 106
8,17 x 107
9,50 x 107
Rata-rata
Nilai log
4,65 x 104
4,66
5,77 x 104
4,76
7,59 x 104
4,88
1,67 x 105
5,22
1,83 x 105
5,26
1,97 x 106
6,29
8,84 x 107
7,94
Lampiran 7. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
4,00 x 102
4,50 x 102
5,00 x 102
4,50 x 102
6,50 x 102
8,57 x 102
5,00 x 102
1,62 x 103
1,00 x 103
1,45 x 103
8,86 x 103
8,59 x 103
5,18 x 105
5,85 x 105
Rata-rata
Nilai log
4,25 x 102
2,62
4,75 x 102
2,67
7,53 x 102
2,87
1,06 x 103
3,02
1,23 x 103
3,08
8,72 x 103
3,94
5,51 x 105
5,75
Lampiran 8. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
3,40 x 104
4,18 x 104
3,72 x 104
4,86 x 104
3,40 x 104
5,22 x 104
4,90 x 104
5,45 x 104
3,45 x 104
5,68 x 104
4,04 x 105
4,72 x 105
1,71 x 107
4,37 x 107
Rata-rata
Nilai log
3,79 x 104
4,57
4,29 x 104
4,63
4,31 x 104
4,63
5,18 x 104
4,71
4,56 x 104
4,66
4,38 x 105
5,64
3,04 x 107
7,48
Lampiran 9. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
1,61 x 103
1,42 x 103
1,64 x 103
1,43 x 103
2,02 x 103
1,89 x 103
2,08 x 103
2,01 x 103
2,05 x 103
1,60 x 103
2,09 x 103
2,03 x 103
3,00 x 103
2,50 x 103
Rata-rata
Nilai log
1,51 x 103
3,18
1,53 x 103
3,18
1,95 x 103
3,29
2,04 x 103
3,31
1,82 x 103
3,26
2,06 x 103
3,31
2,75 x 103
3,43
Lampiran 10. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
1,55 x 105
1,00 x 105
1,50 x 105
1,18 x 105
1,24 x 105
1,38 x 105
1,69 x 105
1,38 x 105
2,24 x 105
1,53 x 105
3,22 x 105
2,00 x 105
4,50 x 105
3,00 x 105
Rata-rata
Nilai log
1,27 x 105
5,10
1,34 x 105
5,12
1,31 x 105
5,11
1,53 x 105
5,18
1,88 x 105
5,27
2,61 x 105
5,41
3,75 x 105
5,57
Lampiran 11. Data Jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
2,90 x 103
1,59 x 103
3,31 x 103
1,95 x 103
2,81 x 103
2,04 x 103
2,22 x 103
1,71 x 103
2,90 x 103
1,72 x 103
3,90 x 103
2,50 x 103
4,00 x 103
4,95 x 103
Rata-rata
Nilai log
2,24 x 103
3,35
2,63 x 103
3,42
2,43 x 103
3,38
1,97 x 103
3,29
2,31 x 103
3,36
3,20 x 103
3,50
4,47 x 103
3,65
Lampiran 12. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
2,09 x 105
1,53 x 105
1,90 x 105
1,56 x 105
2,20 x 105
1,59 x 105
2,33 x 105
1,34 x 105
2,38 x 105
1,45 x 105
2,73 x 105
1,61 x 105
3,44 x 105
2,16 x 105
Rata-rata
Nilai log
1,81 x 105
5,25
1,73 x 105
5,24
1,90 x 105
5,27
1,83 x 105
5,26
1,91 x 105
5,28
2,17 x 105
5,33
2,80 x 105
5,45
Lampiran 13. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
2,03 x 103
2,41 x 103
2,72 x 103
2,65 x 103
2,27 x 103
2,24 x 103
1,88 x 103
2,35 x 103
2,12 x 103
2,35 x 103
2,50 x 103
2,40 x 103
3,50 x 103
3,31 x 103
Rata-rata
Nilai log
2,22 x 103
3,35
2,69 x 103
3,42
2,26 x 103
3,35
2,11 x 103
3,32
2,23 x 103
3,34
2,46 x 103
3,39
3,40 x 103
3,53
Lampiran 14. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
Ulangan
BPA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
3
6
Staphylococcus
aureus
9
12
24
48
Cfu/g
2,54 x 105
2,51 x 105
2,20 x 105
2,51 x 105
2,20 x 105
2,27 x 105
2,28 x 105
2,36 x 105
2,24 x 105
2,36 x 105
2,30 x 105
2,41 x 105
2,75 x 105
3,05 x 105
Rata-rata
Nilai log
2,52 x 105
5,40
2,36 x 105
5,37
2,24 x 105
5,35
2,32 x 105
5,36
2,30 x 105
5,36
2,35 x 105
5,37
2,90 x 105
5,46
Lampiran 15. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan
suhu 5oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
0
6
Staphylococcus
aureus
12
BPA
24
48
Cfu/g
Nilai
log
1,43 x 103
3,15
1,47 x 103
3,16
1,45 x 103
3,16
1,50 x 103
3,17
1,54 x 103
3,18
Lampiran 16. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan
suhu 5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
0
6
Staphylococcus
aureus
12
24
48
BPA
Cfu/g
Nilai
log
1,43 x 105
5,15
1,39 x 105
5,14
1,27 x 105
5,10
1,40 x 105
5,14
1,40 x 105
5,14
Lampiran 17. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu
5oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
0
6
Staphylococcus
aureus
12
BPA
24
48
Cfu/g
Nilai
log
2,22 x 103
3,34
2,22 x 103
3,34
2,18 x 103
3,33
2,31 x 103
3,36
2,18 x 103
3,33
Lampiran 18. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu
5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
0
6
Staphylococcus
aureus
12
24
48
BPA
Cfu/g
Nilai
log
2,33 x 105
5,36
3,03 x 105
5,48
1,93 x 105
5,28
1,70 x 105
5,23
1,55 x 105
5,19
Lampiran 19. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu
5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
0
6
Staphylococcus
aureus
12
BPA
24
48
Cfu/g
Nilai
log
2,13 x 103
3,32
2,66 x 103
3,42
2,46 x 103
3,39
2,25 x 103
3,35
2,31 x 103
3,36
Lampiran 20. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu
5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g.
Kultur yang
diinokulsikan
Waktu
Penyimpanan
(Jam)
Media
0
6
Staphylococcus
aureus
12
24
48
BPA
Cfu/g
Nilai
log
2,54 x 105
5,40
2,35 x 105
5,37
2,31 x 105
5,36
2,21 x 105
5,34
2,69 x 105
5,43
Lampiran 21. Hasil uji statistic pengaruh perbedaan inokulasi awal 3 log cfu/g
dan 5 log cfu/g dalam masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada
penyimpanan suhu 10ºC.
Paired T-Test and CI: sotolog310, sotolog510
Paired T for sotolog310 - sotolog510
sotolog310
sotolog510
Difference
N
6
6
6
Mean
0.043106
0.077958
-0.034853
StDev
0.064783
0.065453
0.085156
SE Mean
0.026447
0.026721
0.034765
95% CI for mean difference: (-0.124218, 0.054513)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.00
0.362
P-Value =
Paired T-Test and CI: nasiuduklog310, nasiuduklog510
Paired T for nasiuduklog310 - nasiuduklog510
nasiuduklog310
nasiuduklog510
Difference
N
6
6
6
Mean
0.049815
0.031493
0.018322
StDev
0.095172
0.048078
0.075238
SE Mean
0.038854
0.019628
0.030716
95% CI for mean difference: (-0.060635, 0.097279)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.60
0.577
P-Value =
Paired T-Test and CI: tumisbuncislog310, tumisbuncislog510
Paired T for tumisbuncislog310 - tumisbuncislog510
tumisbuncislog31
tumisbuncislog51
Difference
N
6
6
6
Mean
0.030811
0.010063
0.020748
StDev
0.077448
0.043370
0.061741
SE Mean
0.031618
0.017706
0.025205
95% CI for mean difference: (-0.044044, 0.085541)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.82
0.448
P-Value =
Lampiran 22. Hasil uji statistic pengaruh perbedaan inokulasi awal 3 log cfu/g
dan 5 log cfu/g dalam masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada
penyimpanan suhu 15ºC.
Paired T-Test and CI: sotolog315, sotolog515
Paired T for sotolog315 - sotolog515
sotolog315
sotolog515
Difference
N
6
6
6
Mean
0.522171
0.520493
0.001678
StDev
0.783274
0.645056
0.153247
SE Mean
0.319770
0.263343
0.062563
95% CI for mean difference: (-0.159145, 0.162500)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.03
0.980
P-Value =
Paired T-Test and CI: nasiuduklog315, nasiuduklog515
Paired T for nasiuduklog315 - nasiuduklog515
nasiuduklog315
nasiuduklog515
Difference
N
6
6
6
Mean
0.543544
0.546366
-0.002822
StDev
0.597794
0.654541
0.105649
SE Mean
0.244048
0.267215
0.043131
95% CI for mean difference: (-0.113694, 0.108049)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.07
0.950
P-Value =
Paired T-Test and CI: tumisbuncislog315, tumisbuncislog515
Paired T for tumisbuncislog315 - tumisbuncislog515
tumisbuncislog31
tumisbuncislog51
Difference
N
6
6
6
Mean
0.518871
0.484065
0.034807
StDev
0.695927
0.769750
0.117888
SE Mean
0.284111
0.314249
0.048128
95% CI for mean difference: (-0.088909, 0.158522)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.72
0.502
`
P-Value =
Download