SKRIPSI PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN PADA SUHU RENDAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus Oleh : SUKMA PARAMITA DEWI F24104059 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN PADA SUHU RENDAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : SUKMA PARAMITA DEWI F24104059 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 Sukma Paramita Dewi. F24104059. Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan pada Suhu Rendah di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Di bawah bimbingan Ratih DewantiHariyadi RINGKASAN Salah satu kasus keracunan makanan yang sering terjadi terkait dengan bahaya mikrobial adalah intoksikasi makanan Staphylococci (Staphylococcal food poisoning). Keracunan oleh bakteri ini kebanyakan terjadi karena Staphylococcus aureus mencemari makanan yang telah mengalami proses pengolahan, sementara bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang karena mati oleh proses pemasakan. S. aureus ditemukan pada tubuh manusia sehingga dapat mencemari melalui pekerja yang mengolah makanan. Seperti bakteri lainnya, S. aureus tumbuh cepat pada kisaran suhu 4,4 sampai 60ºC (”danger zone”), oleh karena itu makanan seharusnya tidak disimpan dalam suhu ruang dalam waktu yang relatif lama. Di tingkat rumah tangga makanan yang telah selesai disajikan sering kali disimpan dalam refrigerator untuk mengawetkannya. Akan tetapi tidak semua refrigerator yang ada pada rumah tangga dapat mencapai suhu yang dianggap aman untuk menyimpan makanan. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa suhu yang digunakan tidak cukup untuk menahan pertumbuhan bakteri ini. Penelitian ini bertujuan mempelajari praktik sanitasi dan penyimpanan pangan di tingkat rumah tangga dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap pertumbuhan S. aureus. Penelitian diharapkan dapat memberi informasi mengenai praktik penanganan pangan yang ada di rumah tangga dan potensi resiko selama penyimpanan pada suhu rendah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama yaitu survei mengenai praktik penyimpanan pangan dan sanitasi di tingkat rumah tangga, metode yang digunakan adalah observasi, wawancara dan pembagian kuesioner kepada 30 ibu rumah tangga di daerah Jakarta. Kemudian tahap kedua adalah mempelajari pertumbuhan S. aureus ATCC 25923 pada penyimpanan suhu refrigerator 5ºC, 10ºC dan 15ºC, dengan jumlah kontaminasi awal 3 dan 5 log cfu/g sampel. Pertumbuhan S. aureus akan diamati setiap interval 3 jam selama 48 jam. Sampel masakan yang diuji adalah pangan siap santap yang lazim di Indonesia yaitu soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (88%) memilih menyimpan masakan di dalam refrigerator untuk mengawetkannya. Dan dari 30 rumah tangga, hanya 36,6% rumah tangga yang memiliki refrigerator dengan suhu <10oC, bahkan terdapat refrigerator yang memilki suhu >15 oC. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pertumbuhan S. aureus yang signifikan pada suhu penyimpanan 5ºC, dan jumlah S. aureus cenderung konstan. Hal yang sama terjadi pada penyimpanan 10ºC. Dengan demikian dapat dikatakan penyimpanan suhu 5 dan 10ºC tidak mendukung pertumbuhan S. aureus dalam masakan soto ayam, nasi uduk, maupun tumis buncis karena hingga penyimpanan selama 48 jam pertambahan bakteri tidak mencapai 1 log. Tetapi pada suhu 15ºC, pertumbuhan S. aureus cukup signifikan. Pertambahannya mencapai lebih dari 1 log cfu/g sampel selama penyimpanan 24 jam, dan di akhir penyimpanan 48 jam pertambahan S. aureus 3 mencapai 3 log cfu/g, jumlah ini telah mencapai jumlah yang cukup untuk mendukung produksi enterotoksin. Berdasarkan uji statisik, perbedaan jumlah kontaminasi awal S. aureus 3 dan 5 log cfu/g tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan di dalam ketiga sampel makanan. Hal ini dapat terjadi karena suhu pertumbuhan yang tidak optimum sehingga laju pertumbuhan berjalan lambat. Kandungan nutrisi masakan dan lingkungan pertumbuhan menunjukkan pengaruh terhadap laju pertumbuhan S. aureus. Berdasarkan data yang didapatkan laju pertumbuhan S. aureus pada tumis buncis berjalan lebih lambat dibandingkan dengan masakan soto ayam dan nasi uduk. Ini disebabkan karena kandungan protein dan karbohidrat yang ada pada tumis buncis sangat rendah, sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan dari bakteri S. aureus ini. 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN PADA SUHU RENDAH DI TINGKAT RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : SUKMA PARAMITA DEWI F24104059 Dilahirkan pada tanggal 3 Februari 1986 di Jakarta Tanggal lulus : 20 Agustus 2008 Menyetujui, Bogor, September 2008 Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi M.Sc. Dosen Pembimbing Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen ITP 5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan pada Suhu Rendah di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, arahan serta saran selama penulis berkuliah dan menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Mama dan Papa yang telah memberikan kasih sayang, doa, restu serta dukungannya selama ini. Tanpa kalian semua perjuangan dan usahaku tidak akan ada artinya. Trimakasih atas segala yang kalian berikan kepadaku. 3. Adik-adikku Alice dan Bidari atas persaudaraan dan dukungannya. Penulis berharap kalian akan tetap menjadi adik-adik yang selalu memberikan dukungan penuh serta kasih sayang kepadaku hingga kita dewasa dan tua nanti. 4. Teman-teman ITP 41 yang selama ini menjadi teman seperjuangan dalam menggapai cita-cita. Penulis berharap pertemanan serta persahabatan yang telah terjalin selama ini dapat terus berlangsung dan mudah-mudahan kita semua dapat bertemu lagi di masa depan, tentu saja dengan keadaan yang lebih baik. 5. Mita, Acil, Agus, Nasrul, dan Indra atas persahabatan sejati yang mereka berikan. Penulis berterima kasih karena selama ini kalian selalu memberikan yang terbaik, dalam suka bahkan pada masa-masa tersulit dalam hidupku kalian selalu ada.. Tanpa dukungan dan doa yang kalian berikan, hidup dan hari-hariku akan terasa berat, sekali lagi terimakasih teman. 6. Rani dan Arum atas persahabatan dan telah menjadi teman sebelah bangku selama empat tahun ini berkuliah dan menjadi tempat curahan hati serta pendengar yang baik. 7. Netha, yang telah menjadi partner terbaik dalam melakukan penelitian untuk tugas akhir ini. Terimakasih teman atas segala bantuan dan dukungannya. 6 8. Iren, Idha, dan Shidiq terimakasih atas segala pertemanan dan bantuan yang kalian berikan selama ini. Mudah-mudahan kita dapat mengharumkan nama Labschool dengan prestasi yang baik di masa depan. 9. Teman-teman di Dwi regina, Dita, Koko, kak Dyah, kak Desi, serta temanteman yang lain atas doa dan bantuannya. 10. Semua pihak yang telah membantu selama penulis berkuliah, dalam penelitian dan penulisan skripsi yang tidak sempat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi orang lain. Bogor, 2008 Penulis 7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada hari senin 3 Februari 1986 di Jakarta dari pasangan ayah Dr.Ir Santoso M.Phil dan ibu Drs. Endang Siti Sulistiowati Heri Ningrum. Penulis adalah anak sulung dari tiga bersaudara, memiliki dua orang adik yang bernama Alice Raga Dewi dan Bidari Mara Dewi. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Ratna Kusuma Jakarta pada tahun 1992 dan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1998 di SDN Gedong 07 pagi Jakarta. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 223 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Labschool Jakarta diselesaikan pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan penulis mengikuti kepanitian beberapa acara kegiatan kampus antara lain NSPC (National Student Paper Competition). Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah mikrobiologi pangan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skipsinya dengan judul Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan pada Suhu Rendah di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus di bawah bimbingan Dr.Ir. Ratih DewantiHaryadi M.Sc. 8 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR................................................................................. ii DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... iv I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3 C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4 A. Keamanan Pangan............................................................................ 4 B. Pangan Siap Santap ........................................................................... 8 C. Staphylococcus aureus ...................................................................... 11 D. Pengendalian Staphylococcus aureus dalam Pangan........................ 19 III. METODOLOGI .................................................................................... 23 A. Alat dan Bahan................................................................................. 23 B. Metode Penelitian ............................................................................ 24 C. Prosedur Analisis ............................................................................. 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 35 A. Evaluasi Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan di Tingkat Rumah Tangga ................................................................... 35 B. Perilaku Staphylococcus aureus dalam Pangan Siap Santap Selama Penyimpanan Suhu Rendah ................................................ 41 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 57 A. Kesimpulan ...................................................................................... 57 B. Saran ................................................................................................ 58 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 59 LAMPIRAN................................................................................................. 64 9 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Bakteri Penyebab keracunan pangan di Perancis 1999-2000 ........ 6 Tabel 2. Faktor-faktor yang mampengaruhi pertumbuhan S. aureus........... 13 Tabel 3. Karakteristik yang membedakan S. aureus dengan Staphylococci lain ................................................................................................ 13 Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus .............................................................. 15 Tabel 5. Sumber pangan yang sering menyebabkan kasus keracunan Staphylococcal food poisoning (SFP) di Amerika, 1973-1987) .... 19 Tabel 6. Faktor penyebab keracunan Staphylococcal di Amerika Serikat tahun 1973- 1987 ......................................................................... 21 Tabel 7. Suhu refrigerator rumah tangga di beberapa negara ...................... 21 Tabel 8. Jenis bakteri dan persentase keberadaannya di dalam refrigerator (menurut survei pada 806 rumah tangga di Irlandia).. 22 Tabel 9. Komposisi bumbu dasar pembuatan soto ayam............................. 27 Tabel 10.Komposisi bumbu dasar pembuatan nasi uduk.............................. 28 Tabel 11.Komposisi bumbu dasar pembuatan tumis buncis......................... 28 Tabel 12.Waktu Generasi S. aureus pada sampel masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5, 10, dan 15ºC dengan kontaminasi awal awal 3 log cfu/g .................................... 48 Tabel 13.Waktu Generasi S. aureus pada sampel masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5, 10, dan 15ºC dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g............................................. 49 10 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Persentase sumber keracunan makanan 1997-2000 .................. 7 Gambar 2. Staphylococus aureus................................................................ 11 Gambar 3. Diagram alir proses penelitian................................................... 24 Gambar 4. Proses pembuatan soto ayam..................................................... 27 Gambar 5. Proses pembuatan nasi uduk ..................................................... 28 Gambar 6. Proses pembuatan tumis buncis ................................................ 29 Gambar 7. Tipe gumpalan pada uji koagulase ............................................ 31 Gambar 8. Prosedur pewarnaan gram ......................................................... 32 Gambar 9. Bagan alir perhitungan populasi Staphylococcus aureus.......... 33 Gambar 10. Sumber air untuk mencuci peralatan memasak......................... 36 Gambar 11. Aktivitas memasak saat terjadi luka terbuka ditangan .............. 37 Gambar 12. Aktivitas memasak saat menderita batuk .................................. 37 Gambar 13. Jangka waktu pembersihan refrigerator .................................... 38 Gambar 14. Lama penyimpanan makanan pada suhu ruang......................... 38 Gambar 15. Penyimpanan makanan sisa....................................................... 39 Gambar 16. Suhu refrigerator ...................................................................... 40 Gambar 17. Tingkat pendidikan responden .................................................. 41 Gambar 18. Hasil uji koagulase pada kultur S. aureus ................................ 42 Gambar 19. Staphylococcus aureus pada media BPA+ egg yolk tellurite.... 44 Gambar 20. S. aureus dalam media agar darah............................................. 44 Gambar 21. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g........................................................................ 46 Gambar 22. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g........................................................................ 46 Gambar 23. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g........................................................................ 48 11 Gambar 24. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g........................................................................ 49 Gambar 25. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g........................................................................ 50 Gambar 26. Grafik pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g........................................................................ 51 12 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keracunan makanan akibat bakteri patogen sering dijumpai di masyarakat. Salah satu kasus penyakit yang paling sering terjadi terkait dengan bahaya mikrobial adalah intoksikasi makanan Staphylococci (Staphylococcal food poisoning), dimana penyebabnya berasal dari hasil metabolit bakteri S. aureus. Ada beberapa toksin ekstraseluler yang berkontribusi terhadap patogenitas S. aureus, tetapi staphylococcal enterotoxins (SEs) merupakan zat yang memiliki risiko tertinggi terhadap penyebab gangguan kesehatan konsumen (Holeckova et al.,2002). Bakteri kokus gram positif ini memproduksi toksin (enterotoksin) yang bersifat stabil terhadap pemanasan (termostabil), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim pencernaan, dan relatif resisten terhadap pengeringan. Keracunan oleh bakteri ini banyak terjadi pada makanan yang telah dimasak. Hal ini disebabkan karena pada makanan yang telah dimasak, bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang karena mati oleh proses pemasakan. Sementara itu bakteri Staphylococcus aureus terdapat luas di alam, seperti udara, debu, dan air, selain itu bakteri S. aureus sangat erat hubungannya dengan manusia, karena merupakan flora normal pada berbagai bagian tubuh manusia terutama pada kulit, hidung dan mulut. Dengan demikian makanan yang sudah dimasak sangat mudah tercemar oleh bakteri S. aureus ini. Keracunan makanan oleh Staphylococcus aureus terjadi jika menelan makanan yang telah mengandung enterotoksin S. aureus. Makanan yang mengandung enterotoksin dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan mencapai usus halus. Selanjutnya dengan cepat toksin tersebut akan merusak dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus. Sementara itu keberadaan bakteri S. aureus dan toksin yang dihasilkan pada makanan tidak dapat dideteksi secara visual karena tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada makanan. Bakteri secara umum tumbuh cepat pada kisaran suhu 4,4 sampai 60ºC. Kisaran suhu ini sering disebut dengan danger zone. Oleh karena itu 13 makanan seharusnya tidak disimpan diluar refrigerator dalam waktu yang relatif lama, oleh karena itu, pola penyajian yang biasa dilakukan pada rumah tangga atau rumah makan yang ada memberikan peluang bagi bakteri S. aureus ini untuk tumbuh, yaitu waktu tenggang yang cukup lama hingga makanan di meja makan keluarga kembali dihangatkan atau sampai makanan yang dijajakkan di warung makan terjual habis. Penyimpanan dalam suhu rendah atau refrigerasi merupakan metode yang paling sering dilakukan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri atau mengawetkan suatu bahan pangan. Sebagai konsekuensinya, prosedur refrigerasi atau pendinginan makanan yang baik harus diterapkan untuk memastikan bahwa makanan tidak hanya awet tetapi aman untuk dikonsumsi. Di tingkat rumah tangga sering kali makanan yang telah selesai disajikan akan disimpan pada refrigerator untuk mengawetkannya, dan akan kembali dipanaskan untuk disajikan di hari berikutnya. Tetapi pada kenyataannya refrigerator yang ada pada rumah tangga jarang sekali dapat mencapai suhu yang dianggap aman untuk menyimpan suatu makanan. Karena menurut Fardiaz (1994), rekomendasi penyimpanan makanan dingin sebaiknya pada suhu di bawah 4ºC. Menurut Adam dan Moss (1995) kisaran suhu untuk pertumbuhan bakteri S. aureus adalah 4-48ºC. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa suhu refrigerator pada rumah tangga tidak cukup untuk dapat menahan pertumbuhan dari bakteri ini. Karena menurut Bolton et al. (2005), berdasarkan survei terhadap 100 refrigerator di Irlandia, hanya 40% refrigerator yang memiliki suhu dibawah 5ºC. Dan bakteri S. aureus merupakan bakteri dominan yang terdapat pada bagian dalam dari refrigerator, sehingga kontaminasi oleh bakteri ini dapat terjadi S. aureus menggunakan berbagai macam karbohidrat. Asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, selain itu juga dibutuhkan thiamin dan asam nikotinat (Jay, 1992). Perbedaan proses pengolahan dan bahan dasar dari sistem pangan menghasilkan kondisi pertumbuhan yang berbeda pula bagi mikroorganisme yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu pengetahuan tentang toleransi lama waktu penyimpanan dan suhu refrigerator yang masih 14 dapat digunakan untuk menyimpan makanan, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keamanan dari produk masakan yang diuji. B. TUJUAN DAN SASARAN Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari praktik sanitasi dan penyimpanan pangan pada suhu rendah di tingkat rumah tangga, dan (2); mengevaluasi pengaruh penyimpanan suhu rendah terhadap pertumbuhan S. aureus pada makanan siap santap Indonesia. C. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi mengenai praktik sanitasi dan penyimpanan pangan di tingkat rumah tangga serta memberi informasi mengenai pertumbuhan S. aureus dalam berbagai kondisi dan sistem pangan selama penyimpanan pada suhu pendinginan yang berbeda, sehingga dapat diketahui potensi resiko bahaya karena pertumbuhan S. aureus 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologi, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang-undang RI No.7, 1996). Keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologi, toksisitas kimiawi, dan status gizi yang kesemuanya saling berkaitan. Pangan yang tidak aman dapat mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah terhadap status gizi (Winarno et al,1993). Empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia saat ini adalah (1) pencemaran pangan oleh mikroba karena rendahnya praktik-praktik sanitasi dan higiene, (2) pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya seperti residu pestisida, residu obat hewan, logam berat, mikotoksin dan sebagainya, (3) penggunaan salah (misuse) bahan berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, rhodamin B, metanil yellow, dan (4) penggunaan melebihi batas maksimum yang diijinkan (abuse) dari bahan tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya oleh badan POM (Winarno, 2004). Dan WHO setiap tahunnya menerima ratusan ribu laporan kasus keracunan pangan yang terkontaminasi bakteri dari seluruh dunia. United States Food and Drug Administration (1999) melaporkan bahwa terjadi 14 juta kasus keracunan, dimanan 60.000 diantaranya memerlukan rawat inap dan 1800 kasus lainnya menyebabkan kematian. Menurut Fardiaz (1994), bahaya mikrobiologi dalam keamanan pangan meliputi : bakteri, virus, kapang, parasit dan protozoa. Bahaya mikrobiologi pada makanan dapat berasal dari penggunaan bahan mentah dan air yang tercemar mikroba dalam jumlah tinggi. Lingkungan penjualan atau penyajian yang tidak bersih, pekerja yang kotor dan menderita penyakit infeksi, peralatan atau wadah yang tidak bersih dan kontaminasi silang antara makanan yang telah dimasak dengan bahan mentah juga merupakan faktor penting penyebab bahaya mikrobiologi. Berdasarkan data yang didapat dari 16 BPOM (2007), penyebab keracunan makanan di Indonesia sebesar 14% karena cemaran mikro, 12% karena kimia, dan 57% diantaranya tidak diketahui sebabnya. Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba pathogen (Riemann dan Bryan 1979). Lebih dari 90% kejadian penyakit pada manusia disebabkan mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan intoksikasi bakteri lainnya seperti hepatitis A (Winarno 1997). Mikroba terutama bakteri yang bersifat patogen dapat ditemukan di mana saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Pangan membawa berbagai jenis mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman atau hewan, baik yang berasal dari lingkungan maupun yang masuk selama pemanenan atau penyembelihan distribusi, penanganan pascapanen, pengolahan, serta penyimpanan produk (Djaafar dan Rahayu, 2007). Dari kasus-kasus tersebut, jenis patogen yang sudah lama dikenal dilaporkan sebagai penyebab utama keracunan karena kemampuannya untuk berpenetrasi, bertahan hidup dan bermultiplikasi pada sel inang. Menurut United States of Food and Drug Administration (1999), patogen-patogen tersebut antara lain Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Camphylobacter sp, Shigella sp., Clostridium botulinum, dan Escherichia coli. Tingkat bahaya bakteri tersebut bergantung pada beberapa faktor antara lain: faktor lingkungan (komposisi makanan, suhu, dll), faktor bakteri (galur, jenis toksin, dll) (Stewart et al., 2003). Patogen yang terdapat dalam bahan pangan dapat berkembang biak dan memproduksi toksin hingga jumlah yang tidak aman bila terkonsumsi. Kasus yang dapat ditimbulkan dari pangan yang terkontaminasi bakteri digolongakan menjadi dua yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi disebabkan oleh terkonsumsinya jenis-jenis patogen yang berkembang biak dalam saluran pencernaan. Gejala yang ditimbulkan terjadi setelah masa inkubasi 12-24 jam dan ditandai oleh gangguan perut, pusing, mual, diare, muntah, demam dan sakit kepala. Bakteri yang menyebabkan infeksi tersebut antara lain 17 Salmonella, Clostridium perfringens, Vibrio parahaemolyticus, enteropatogenik Escherichia coli, dan Shigella (Buckle et al., 1987). Intoksikasi terjadi karena terkonsumsinya toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi bahan pangan. Gejala intoksikasi umumnya terjadi dengan cepat (1-12jam) dan ditandai dengan seringnya muntah-muntah ringan dan diare. Contoh bakteri yang menyebabkan intoksikasi antara lain Staphylococcus aureus dan Clostridium botulinum (Buckle et al., 1987). Bakteri penyebab keracunan pangan dan frekuensi kasus yang terjadi di perancis tahun 1999-2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Bakteri penyebab keracunan pangan di Perancis periode 1999-2000* Bakteri Outbreaks (n=530) (%) Kasus (n=6451) (%) Perawatan di rumah sakit (n=872) (%) Kematian (n=7) (%) Salmonella sp (enteretidis, typimurium, heidelberg, dan jenis lainnya) 63,8 47,7 16,8 100 Staphylococcus aureus 16 25,6 17,1 0 Clostridium perfringens 5,1 12,3 0,5 0 Bacillus cereus 2,8 3,7 10 0 Histamin 3,8 1,4 30,4 0 Bakteri patogen lain (Dinophysis, C. Botulinum, Shigella sp., Calicivirus, HAV, Vibrio sp., E. coli, dll) 8,5 9,2 7,6 0 *)Haeghebaert et al. (2002) 18 Menurut Bryan (1974), terdapat 5 faktor utama yang sering menyebabkan keracunan akibat bakteri S. aureus, yaitu: (1) Suhu refrigerasi yang tidak tepat atau tidak cukup, (2) Penyiapan makanan yang terlalu lama dari waktu penyajian, (3) Praktik sanitasi pekerja yang buruk, (4) Proses pemasakan dan pemanasan yang tidak cukup, dan (5) Menahan makanan pada temperatur pertumbuhan bakteri. Suhu rerigerasi yang tidak tepat meyumbangkan 25,5% sebagai faktor penyebab keracunan ini. Seperti di negara lainnya, di Indonesia kasus keracunan pangan juga marak terjadi. Walaupun sektor katering merupakan penyebab keracunan makanan terbesar di Indonesia tetapi kasus keracunan di dalam rumah tangga juga menjadi salah satu sumber keracunan pangan. Presentase sumber keracunan makanan di Indonesia tahun 1997-2007 dapat dilihat pada Gambar 1. Persentase kasus keracunan (%) Sumber Gambar 1. Presentase sumber keracunan makanan periode 1997-2000 (PPM dan PL, 2007) Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budi daya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen dilakukan Good Handling Practices (GHP). Begitu pula pada tahap pengolahan, penerapan Good Manufacture Practices (GMP) sangat diperlukan, dan pada 19 tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pertanian maupun makanan sampai ke konsumen dalam keadaan aman (Djaafar dan Rahayu, 2007) Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 Tentang Pangan, sanitasi pangan didefinisikan sebagai upaya pencegahan terhadap kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam pangan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Terjadinya kasus-kasus keracunan sebagian besar diakibatkan oleh kondisi sanitasi yang tidak memadai. Salah satu cara untuk mencegah pencemaran pangan adalah dengan cara sanitasi. Oleh karena itu untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan tindakan sanitasi yang nyata dan efektif, terutama dengan menerapkan cara-cara sanitasi yang memadai dan sikap hidup serta kebiasaa higiene yang terus-menerus (Soekarto, 1990). Selain itu penerapan sanitasi dalam penyelenggaraan makanan akan menurunkan adanya resiko penularan penyakit atau terjadinya penyakit dan gangguan kesehatan yang disebabkan atau ditularkan melalui makanan (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 1990). Menurut Jenie (1988), sumber kontaminasi pangan dapat berasal dari pekerja, hewan dan lingkungan. Aplikasi sanitasi pangan meliputi praktik higiene untuk memelihara kebersihan dalam keseluruhan produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian pangan serta air minum (Marriot, 1985). B. PANGAN SIAP SANTAP Menurut Standar Pangan Australia dan New Zealand (2002), pangan siap santap (ready to eat) adalah makanan yang biasanya dikonsumsi dalam bentuk makanan yang sama seperti ketika makanan tersebut dijual atau dijajakan, tidak termasuk buah dan sayuran segar yang masih memerlukan perlakuan pengupasan maupun pencucian oleh konsumen. Dalam arus globalisasi yang cepat, pesatnya kemajuan komunikasi, ilmu dan teknologi, jenis makanan suatu bangsa secara leluasa masuk ke suatu negara lain tak kenal garis perbatasan. Karena alasan tersebut suatu bangsa 20 yang maju harus memiliki konsep kulinernya sendiri dengan mengedepankan rasa yang khas dan tentunya keamanan (Winarno, 2004). Beberapa pangan siap santap yang biasa di konsumsi masyarakat Indonesia adalah soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis. Soto ayam adalah masakan khas Indonesia yang berupa sejenis sup ayam dengan kuah yang berwarna kekuningan. Warna kuning ini dikarenakan oleh kunyit yang digunakan sebagai bumbu. Soto ayam banyak ditemukan di daerah-daerah di Indonesia dan Singapura. Selain ayam bahan yang digunakan juga meliputi telur rebus, irisan kentang, daun seledri, serta bawang goreng. Terkadang soto juga disajikan dengan lontong atau nasi putih. Selain itu soto ayam juga sering dihidangkan dengan sambal, kerupuk dan koya (campuran tumbukan kerupuk dengan bawang putih (Anonim, 2008). Nasi uduk adalah nama sejenis masakan terbuat dari bahan dasar nasi putih yang diaron dan dikukus dengan santan dari kelapa yang diparut, serta dibumbui dengan pala, kayu manis, jahe, daun serai dan merica. Masakanan ini kemudian dihidangkan dengan emping goreng, tahu goreng, telur dadar/ telur goreng yang sudah diiris-iris,abon, kering tempe, bawang goreng, ayam goreng, timun dan sambal dari kacang. Masakan ini biasanya lebih sering dijual di pagi hari ( Anonim, 2008). Tumis buncis merupakan jenis pangan olahan tradisional yang sering disajikan dalam rumah tangga, ketering transportasi umum seperti kereta api dan acara-acara hajatan karena pembuatannya yang mudah dan menggunakan bahan baku yang relatif murah. Teknik menumis sendiri berasal dari negeri Cina yang di negara asalnya disebut teknik chao dan bao. Kedua teknik menumis tersebut dibedakan berdasarkan besar panas yang digunakan serta seringnya tossing atau teknik melambungkan tumisan yang dilakukan (Anonim, 2008). Berdasarkan penelitian, pangan siap santap lainnya seperti produk olahan unggas yaitu sate ayam, ayam panggang maupun ayam opor yang diproduksi oleh industri jasa boga juga berisiko tercemar mikroba. Pengolahan sate ayam yang memerlukan waktu penyiapan yang panjang menyebabkanproduk ini rentan terhadap cemaran mikroba. Harmayani et al. 21 (1996) menyebutkan karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan sate pada suatu industri jasa boga telah tercemar S. aures sebanyak 1,60 x 106 cfu/g. Hal ini perlu mendapat perhatian karena S. aureus mampu memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap panas. Bergdoll (1990) menyatakan, S. aureus 105 cfu/g merupakan pedoman terhadap kerawanan adanya toksin tersebut. Namun berdasarkan hasil penelitian, enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total S. aureus >106 cfu/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 cfu/g atau lebih (Harmayani et al. 1996). Pemanasan dapat menurunkan total S. aureus menjadi 2,60 x 103 cfu/g. Oleh karena itu, dalam pengolahan sate ayam ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan sebagai titik kendali kritis, yaitu tahap penyiapan (pemotongan dan penusukan), pembekuan, pemanggangan, serta pengangkutan dan penyajian (Harmayani et al. 1996). Produk lain dari industri jasa boga yang biasa disajikan dalam acara perkawinan atau pertemuan adalah ayam panggang bumbu sate. Berdasarkan hasil pengujian Harmayani et al. (1996), karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ayam panggang bumbu sate memiliki total bakteri 6,50 x 107 cfu/g dan total S. aureus 7,30 x 105 cfu/g. Karkas ayam mentah diproses melalui tahap pencucian dan perebusan. Pada akhir tahap perebusan, total bakteri menurun menjadi 1,70 x 106 cfu/g dan total S. aureus < 103 cfu/g. Setelah pembakaran, total S. aureus berkurang lagi menjadi 5 x 102 cfu/g. Namun populasi S. aureus meningkat menjadi 1,50 x 104 cfu/ g selama proses pengangkutan dan menunggu waktu disajikan (pada suhu kamar selama 7,50 jam). Oleh karena itu, penyajian merupakan tahap penting yang perlu mendapat perhatian. Sebaiknya ayam panggang bumbu sate disajikan dalam keadaan panas sehingga dapat menekan populasi mikroba. Selain sate dan ayam panggang bumbu sate, di pasar juga banyak beredar bakso ayam, salah satu produk yang digunakan sebagai bahan pengisi sup pada industri jasa boga. Bakso ayam sering diproduksi sendiri oleh industri jasa boga. Menurut Harmayani et al. (1996), karkas ayam mentah yang digunakan untuk membuat bakso ayam tercemar S. aureus 1,40 x 105 cfu/g dengan total bakteri 1,90 x 107 cfu/g. Namun melalui proses pemanasan atau 22 pengolahan, total S. aureus menurun menjadi 4,30 x 103 cfu/g dan total bakteri menjadi 6,40 x 105 cfu/g. Walaupun total mikroba selama pengolahan menurun, angka tersebut masih tinggi. Menurut SNI 01-3818 1995, cemaran S. aureus dalam produk bakso maksimal 1 x 102 cfu/g, total bakteri maksimal 1 x 105 cfu/g, dan negatif terhadap Salmonella. C. Staphylococcus aureus 1. Karakteristik Staphylococcus aureus S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus, dalam uji mikroskop terlihat dalam bentuk berpasangan, rantai pendek, atau berkelompok seperti buah anggur. Beberapa strain mampu menghasilkan toksin tahan panas dalam jumlah banyak, yang menjadi penyebab penyakit pada manusia. Bakteri S. aureus ini nonmotil dan asporogenus. Bentuk kapsul dapat ditemukan pada kultur bakteri muda tetapi umumnya tidak terdapat pada saat fase stasioner sel (Monday dan Bennet, 2003). Gambar 2. Staphylococcus aureus (Todar, 2007) Spesies Staphylococcus tumbuh secara aerob atau anaerob fakultatif dan melakukan metabolisme secara fermentasi serta respiratori. Bakteri ini bersifat katalase positif dan dapat menggunakan berbagai jenis karbohidrat. Seperti Staphylococcus kebanyakan membutuhkan bakteri komponen Gram organik positif tertentu lainnya, untuk kebutuhan nutrisinya. Asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, dan thiamin serta asam nikotinat digunakan sebagai sumber vitamin B, dan ketika tumbuh secara anaerob, bakteri ini membutuhkan urasil (Jay, 2000). 23 Walaupun Staphylococcus merupakan bakteri mesofil, beberapa galur S . aureus tumbuh pada temperature 6ºC-7ºC. Secara umum suhu pertumbuhan S. aureus berkisar antara 7ºC-47ºC, dengan suhu optimum 35ºC (Jay, 2000). Kisaran pH untuk pertumbuhan bakteri ini antara 4-10 dengan pH optimum pertumbuhan antara 6-7 (Lund at al., 2000). Dilihat dari kondisi aw (aktifitas air), Satphylococcus merupakan bakteri unik, karena dapat tumbuh pada tingkat aw yang lebih rendah daripada bakteri nonhalofilik lainnya. Tercatat bakteri ini dapat tumbuh pada aw di bawah 0,83 dibawah kondisi ideal. Kondisi aw ini merupakan kondisi yang sangat rendah bagi pertumbuhan banyak bakteri pesaing lainnya. Kebanyak strain Staphylococcus sangat toleran terhadap keberadaan garam dan gula. Kisaran aw pertumbuhan bagi bakteri ini 0,83 sampai lebih dari 0,99 dan tumbuh baik pada aw lebih dari 0,99. S. aureus dapat tumbuh pada nilai aw rendah tergantung pada kondisi pertumbuhan lainnya yang ideal (FDA, 2003). Walaupun S. aureus tumbuh baik pada media yang tidak mengandung NaCl, tetapi bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 7-10% dan beberapa strain dapat tumbuh pada konsentrasi 20%. Konsentrasi maksimum NaCl ini tergantung pada parameter-parameter lainnya, seperti suhu, pH, aw, dan potensial oksidasireduksi (Eh) (Jay, 2000). Menurut Iandolo (1989), S. aureus mampu menghasilkan enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya dalam jumlah besar. Sumber lain yang menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 2. 24 Tabel 2. Faktor-faktor yang mampengaruhi pertumbuhan S. aureus* Pertumbuhan Faktor Pengaruh Optimum Kisaran Temperatur (ºC) 37 4-48 pH 6,0-7,0 4,0-9,8 aw 0,98≥0,99 0,83-0,99 Atmosfer aerobik Anaerobik sampai aerobik Sodium Klorida (%) 0,5-4,0 0-20 *)Adams dan Moss (1995) Berbeda dengan Staphylococci lain, S. aureus bersifat koagulase positif, hemolisa positif dan memfermentasi manitol pada pertumbuhan anaerobik. Karakteristik tersebut dapat membedakan S. aureus dari jenis Staphylococci lain . Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Karakteristik yang membedakan Staphylococci lain* Karakteristik S. S. aureus intermedius Tabel 3. Koagulase (plasma kelinci) Faktor pengumpal Termonuklease Pigmen Acetoin Hemolisis Asam dari fermentasi manitol secara anaerob S. aureus + + S. hyicus subsp. hyicus D + + + + + + D + D - + - dengan Lainnya D D D D - D= reaksi berbeda-beda *) Ash (2000) 2. Produksi Enterotoksin oleh S. aureus Enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus merupakan protein ikatan tunggal, yang merupakan antigen dengan berat molekul 26.000-29.000. Enterotoksin adalah protein netral dengan nilai isoelektrik sebesar 7-8,6. Zat ini resisten terhadap enzim-enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin, hal inilah yang memungkinkan bagi enterotoksin untuk dapat masuk ke dalam saluran pencernaan menuju sisi 25 aksinya. Toksin ini sangat stabil dalam pemanasan, dan membuat enterotoksin menjadi titik potensial bahaya kesehatan dalam pembuatan makanan kaleng (Monday dan Bennet, 2003). Banyak variabel yang mempengaruhi jumlah produksi enterotoksin, oleh karena itu tidak ada hal dapat memprediksi dengan tepat jumlah dari S. aureus dalam masakan yang dibutuhkan untuk menyebabkan SFP (Staphylococcal food poisoning) ini. Faktor yang berkontribusi terhadap tingkat konsentrasi enterotoksin telah secara luas dipelajari, antara lain komposisi masakan, temperatur, dan keberadaan dari inhibitor (Doyle et al., 1997). Enterotoksin diproduksi pada kisaran suhu yang lebih rendah daripada suhu pertumbuhan normal S. aureus, suhu mempengaruhi baik jumlah maupun tingkat produksinya. Suhu optimum untuk produksi enterotoksin sama dengan suhu optimum pertumbuhan dari bakteri S. aureus tersebut, sedangkan batas suhu untuk produksi enterotoksin sekitar 10ºC. Pada suhu ini produksi enterotoksin sangat lambat dan dalam satu penelitian dibutuhkan empat minggu untuk memproduksi enterotoksin (SEB) dari inokulasi sebanyak 106 g-1 pada daging babi. Staphylococcus enterotoksin sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadangkala dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund, 2000). Enterotoksin Staphylococcus diproduksi pada kisaran pH yang lebih rendah dari pada nilai kisaran pH pertumbuhan bakterinya, dan batas pH untuk dapat memproduksi enterotoksin pada makanan asam adalah 5. Nilai pH optimum untuk produksi enterotoksin berada pada kisaran 7-8. Sementara itu, secara umum nilai aw optimum untuk produksi enterotoksin lebih tinggi dari pada batas aw pertumbuhan bakteri S. aureus tersebut (Lund, 2000). Sumber lain yang menyajikan data mengenai faktor-faktor atau kondisi yang dapat mempengaruhi produksi enterotoksin dapat dilihat pada Tabel 4. 26 Tabel 4. Faktor-faktor yang mampengaruhi produksi enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus* Produksi Toksin Faktor Pengaruh Optimum Kisaran Temperatur (ºC) 35-40 10-45 pH 5,3-7,0 4,8-9,0 aw ≥0,9 0,86-0,99 Atmosfer 5-20% 02 Anaerobik sampai aerobik NaCl % 0,5 0-20 *)Adam dan Moss (1995) Dalam bahan masakan tidak ada faktor tunggal yang dapat mengontrol pertumbuhan, daya tahan atau produksi enterotoksin oleh bakteri S. aureus, melainkan kombinasi dari beberapa faktor seperti aw, pH, Eh, dan suhu. Interaksi faktor-faktor tersebut terjadi dalam bahan pangan yang diolah secara berbeda, diformulasikan dengan cara yang berbeda, dan disimpan dalam kondisi tertentu. (Lund, 2000). 3. Intoksikasi oleh Staphylococcus aureus Foodborne illness merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Baik negara maju ataupun berkembang mengalami konsekuensi dari foodborne illness ini, tetapi dalam jumlah kasus yang berbeda. Saat ini Amerika memperkirakan bahwa sekitar 76 juta orang menderita penyakit dan 5.000 meninggal dunia pertahunnya akibat penyakit yang disebabkan karena mengonsumsi makanan (foodborne illness). Diantara semua penyakit yang terjadi, 30% disebabkan oleh bakteri, 3% oleh parasit, dan 67% oleh virus (Mead et al., 1999). Keracunan Staphylococcus merupakan gejala intoksikasi yang paling banyak dilaporkan di Amerika Serikat, dimana setiap tahunnya meliputi 20% sampai 50% dari keseluruhan keracunan yang disebabkan oleh makanan. Kasus keracunan ini disebabkan oleh tertelannya suatu toksin yang disebut enterotoksin yang mungkin terdapat di dalam makanan. Toksin ini disebut enterotoksin karena dapat menyebabkan gastroenteritis atau inflamasi pada saluran usus (Supardi et al., 1999). 27 Selain itu, di banyak negara, S. aureus menjadi bakteri patogen yang menduduki peringkat kedua atau ketiga sebagai bakteri penyebab outbreaks pada kasus keracunan pangan setelah Salmonella dan Clostridium perfringens (Bean dan Griffin, 1990; Bean, Goulding, Lao, dan Angulo, 1996; Todd, 1983). Di Spanyol, S. aureus menjadi penyebab kedua dari kasus keracunan pangan selama periode 1993-1998, bertanggung jawab untuk 228 kasus dari total 5517 kejadian yang terdeteksi (Anonim, 2001). Menurut FDA (1992), dosis efektif dari enterotoksin Staphylococus (SE) yang dapat menyebabkan penyakit yaitu ketika populasi S. aureus lebih besar dari 105 sel per gram dalam makanan yang terkontaminasi. Dalam penelitian lain tercatat kisaran populasi yang dapat menghasilkan kasus keracunan berkisar 105 sampai 108 sel per gram produk, walaupun dalam kenyataannya tingkat populasi sel yang lebih rendah kadang dapat menjadi penyebab penyakit Staphylococcal ini (Holmberg dan Blake, 1984). Secara umum jumlah enterotoksin dalam makanan relatif rendah, oleh karena itu jumlah dari enterotoksin yang dibutuhkan untuk dapat menyebabkan kematian jarang tersedia. Pemeriksaan yang dilakukan pada makanan yang diimplikasikan dalam keracunan akibat makanan (Food poisoning outbreak) menghasilkan data bahwa kandungan enterotoksin kurang dari 1μg (kurang dari 100 ng) cukup untuk menghasilkan gejalagejala keracunan pada individu yang sensitif (Raiser et al., 1974). Dalam penelitian lain juga menyebutkan bahwa dosis toksin kurang dari 1 μg dalam masakan yang terkontaminasi akan menimbulkan gejala penyakit Staphylococcal. Tingkat jumlah toksin ini akan dicapai ketika populasi S. aureus lebih dari 106 cfu/g. Tetapi pada individu yang memiliki tingkat sensitivitas tinggi, dosis enterotoksin 100-200 ng telah cukup menyebabkan penyakit atau keracunan ini (Bergdoll, 1990). Kendaraan masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya adalah jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka atau terbuka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, 28 atau penyakit kulit lain. Hal ini dikarenakan S. aureus pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk menembus bagian dalam jaringan kulit atau selaput lendir yang tidak terbuka. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah pangan terlebih disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al., 1993). Apabila S. aureus terkontaminasi kedalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakeri, serta susu dan produk olahannya (USFDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999). Keracunan pangan akibat S. aureus disebabkan oleh tertelannya staphylococcus enterotoksin (SE) bersama pangan yang terkontaminasi. Bila tertelan, SE akan masuk ke saluran pencernaan dan mencapai usus halus. Selanjutnya toksin tersebut akan merusak dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus dengan cepat. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan pangan akibat S. aureus biasanya muncul dalam waktu tiga jam setelah konsumsi pangan yang mengandung enterotoksin atau paling cepat satu jam dan paling lama enam jam. Masa inkubasi tidak hanya bergantung pada jumlah toksin yang tertelan namun juga kerentanan individu (Ash, 2000). Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah perasaan letih, mual, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan, bahkan inflamasi usus (ICMSF, 1996). Dalam beberapa kasus, darah dan lendir tampak pada feses dan muntahan. Namun pada kasus yang ringan, 29 penderita mengalami mual dan muntah tanpa disertai diare atau kram perut atau diare tanpa muntah-muntah (Ash, 2000). Pada kasus yang parah, penderita mengalami sakit kepala berlebih dengan terus mengeluarkan keringat sehingga merasakan demam dan tekanan darah menjadi rendah. Penderita akan mengeluarkan cairan dari seluruh jaringan sehingga dapat kehilangan 7-9kg berat badannya (Winarno, 2004). Pemulihan biasanya terjadi antara satu hingga tiga hari dan umunya tidak ada perawatan yang diberikan. Walaupun sebagian menganggap keracunan pangan akibat Staphylococcus tidak tergolong fatal, beberapa kasus keracunan yang sangat fatal dilaporkan terjadi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia (Ash, 2000). Menurut Sutherland dan Varnam (1982) Salah satu organisme penting yang secara sigifikan berkaitan dengan kesehatan masyarakat dalam produk daging matang adalah S. aureus. Hal ini terjadi karena praktek yang jorok, prosedur pendinginan yang buruk dimana produk dibiarkan dingin secara lambat dalam suhu hangat, serta kontaminasi dalam penangnan produk. Sumber pangan penyebab keracunan akibat bakteri S. aureus ini bervariasi pada setiap negara. Di Inggris, 53% dari kasus keracunan S aureus yang dilaporkan antara 1969-1990 berasal dari daging dan makanan daging olahan, 22% berasal dari pangan berbasis unggas, 8% dari produk susu, 9% dari ikan dan kerang, dan 3,5% dari produk telur (Wieneke et al., 2003). Dan berbeda dengan di perancis, dalam periode 1999-2000 penyebabnya antara lain adalah keju sebesar 32%, 22% berasal dari daging, sosis dan pai 15%, ikan dan makanan laut 11%, telur dan produk olahannya 11% dan berasal dari unggas sebesar 9,5% (Haeghebaert et al., 2002). Pada Tabel 5 dapat dilihat jenis pangan penyebab keracunan di Amerika periode 1973-1987. 30 Tabel Pangan yang sering menyebabkan kasus keracunan Staphylococcal (SFP) di Amerika, 1973-1987* Sumber Makanan Jumlah Kasus Keracunan 5. Daging babi (Pork) 96 Produk roti (Bakery) 26 Daging sapi (Beef) 22 Turkey 20 Ayam 14 Telur 9 *)Bean dan Griffin (1990) D. PENGENDALIAN Staphylococcus aureus DALAM PANGAN Pengendalian Staphylococcal Food Poisoning dapat dilakukan dengan sanitasi atau higiene pekerja yang baik. Higiene adalah kebiasaan seseorang untuk menjaga kebersihan diri sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya atau orang lain (Triller, 1983). Dan diperkirakan bahwa 30-50% populasi manusia membawa bakteri S. aureus di dalam tangannya, dan konsekuensinya bakteri ini dapat berpindah ke dalam produk makanan matang (Schumitt et al., 1990). Menurut Mariot (1985), higiene pekerja penting untuk dilaksanakan karena bagian-bagian tubuh seperti tangan, rambut, hidung, dan mulut merupakan jalan masuk mikroba untuk mencemari pangan selama proses penyiapan, pengolahan, sampai penyajian melalui sentuhan, pernapasan, batuk, dan bersin. Penerapan higiene pekerja yang baik dapat memutuskan rantai infeksi terhadap makanan (Hobbs, 1989). Rantai kontaminasi dari pekerja dapat diminimalisasi dengan adanya prilaku higiene pekerja seperti mencuci tangan dengan benar dan sesuai waktunya, menggunakan masker dan tutup kepala, dan lain sebagainya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.715/Menkes/SK/V/2003, perilaku pekerja yang bergerak dalam bidang jasa boga yang disarnkan selama bekerja adalah: 31 1. Tidak merokok 2. Tidak makan atau mengunyah 3. Tidak memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berhias 4. Selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil 5. Pakaian kerja dan pelindung dipakai dan dalam keadaan bersih 6. Pakaian kerja tidak dipakai diruang pengolahan Penanganan pangan dengan tangan yang tidak menggunakan peralatan memadai merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika pengelola mengalami infeksi atau luka. Batuk, bersin, dan jatuhnya rambut juga merupakan cara bakteri ini mengkontaminasi pangan (Gaman dan Sherington, 1992). Selain dengan higiene pekerja, untuk mengendalikan Staphylococcal Food Poisoning adalah dengan melakukan penyimpanan dingin (refrigerasi) pada suatu makanan, dengan suhu yang lebih rendah, maka akan semakin melambat pula pertumbuhan dari bakteri Staphylococcus, dengan sedikit pertumbuhan atau bahkan tidak sama sekali (Bergdoll, 1992). Sehingga dengan terhambatnya pertumbuhan S. aureus, maka produksi enterotoksin juga akan dapat dihambat. Ketika makanan yang diproduksi hanya mengandung sedikit Staphylococcus, maka makanan tersebut akan aman dari enterotoksin dan bahaya racun makanan lainnya jika disimpan pada suhu yang aman yaitu di bawah 4,4ºC dan diatas suhu 60ºC hingga dikonsumsi. Data tentang faktor penyebab keracunan Staphylococcal gastroenteritis di Amerika, 1973-1987 dapat dilihat pada Tabel 6. 32 Tabel 6. Faktor penyebab keracunan Staphylococcal di Amerika Serikat tahun 1973- 1987* Faktor Penyebab Jumlah Keracunan Suhu penyimpanan yang tidak tepat 98 Hygiene pekerja yang buruk 71 Peralatan yang terkontaminasi 43 Pemasakan yang tidak cukup 22 Makanan dari sumber yang tidak aman 12 Faktor lain 24 *)Bean dan Griffin (1990) Refrigerasi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Tetapi suhu penyimpanan yang tepat perlu diterapkan agar masakan tidak hanya awet tetapi tetap aman dikonsumsi. Berdasarkan survei, di Amerika Serikat sekitar 20% refrigerator rumah tangga suhunya >10ºC (Hutton et al., 1991). Sedangkan menurut survei yang dilakukan di Irlandia, dari 100 refrigerator rumah tangga 40% refrigerator memiliki suhu 0-5ºC, 54% bersuhu 5-10ºC, dan 6% refrigerator memilki suhu lebih dari 10ºC (Bolton et al., 2005). Data lain mengenai survei suhu refrigerasi di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Suhu udara pada refrigerator rumah tangga di beberapa negara* Negara AS 1987 Inggris 1990 Inggris 1991 n Pengukuran - Tidak diketahui 75 Tidak diketahui 252 Data logger (3 tingkat: Atas, tengah, bawah) Irlandia 150 Thermometer (3 1992 tingkat : Atas, tengah, bawah) Perancis 102 Thermometer (3 tingkat : Atas, 1993 tengah, bawah) *)James et al.(2007) T T T % dalam min mean max kisaran suhu 21%≥10ºC <5 15 6%>5ºC 0,9 6,0 11,4 70%>5ºC 0,8 6,5 12,6 71%>5ºC 14 70%>>6ºC 33 Refrigerator yang ada di rumah tangga juga dapat menyebabkan kontaminasi jika kebersihannya tidak dijaga. Berdasarkan survei di Irlandia dengan 806 responden, didapatkan data bahwa hanya 6% responden yang membersihkan refrigerator dalam jangka waktu mingguan, dan 80% dalam jangka waktu bulanan atau lebih. Refrigerator rumah tangga paling tidak terkontaminasi oleh satu jenis bakteri patogen (Bolton et al., 2005). Jenis bakteri dan persentase bakteri yang ada pada refrigerator rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8.Jenis bakteri dan persentase keberadaannya dalam refrigerator rumah tangga di Irlandia * % Keberadaan Mikroorganisme dari 806 Jenis Mikroorganisme Refrigerator E. coli 6 Salmonella 7 Campylobacter 0 L. monocytogenes 6 Y. enterocolytica 2 S. aureus 41 E.coli O157 0 *)Bolton et al.(2005) 34 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Makanan Siap Santap Bahan baku yang digunakan adalah tiga jenis pangan siap santap Indonesia yaitu soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Ketiganya dipilih untuk membandingkan pola pertumbuhan S. aureus pada makanan siap santap yang berbahan dasar dan cara pengolahan yang berbeda. Bahanbahan tersebut diperoleh dari pedagang sayur di daerah Babakan Raya, Darmaga dan diolah di Laboratorium Evaluasi Sensori Seafast Centre dengan formulasi yang mengacu pada Anonim (2004). 2. Kultur Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur murni Staphylococcus aureus ATCC 25923, yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Mutu, Muara Baru Jakarta. 3. Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara lain Baird Parker Agar (BPA) Oxoid dan Merck, Egg Yolk Tellurite (EYT), Trypticase Soy Agar (TSA), larutan penduga Mc Farland, Brain Heart Infussion Broth (BHIB), dan Rabbit Plasma dengan EDTA 0,1% untuk konfirmasi S. aureus. 4. Bahan Kimia Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu Butterfield’s phosphate buffered (BPB) yang terbuat dari KH2PO4 sebagai larutan pengencer fisiologis, alkohol 70% sebagai desinfektan, aquades untuk melarutkan berbagai macam media, spriritus, minyak emersi, dan bahan untuk pewarnaan Gram seperti pewarna kristal violet, safranin, iodium, dan alkohol 70 %. 35 5. Alat Alat-alat yang digunakan antara lain peralatan memasak (kompor gas, panci, sodet, penggorengan, pisau, talenan) stomacher, pH meter, aw meter, incubator 37°C, refrigerator suhu 5, 10 dan 15ºC, laminar flow, tabung sentrifuse, hot plate, oven, autoklaf 121°C, vortex, colony counter, mikropipet, tips, pembakar bunsen, plastik tahan panas, peralatan gelas (cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, dan tabung reaksi ulir, toples tahan panas), neraca analitik, pinset, dan jarum ose. B. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan, terdiri dari survei terhadap ibu rumah tangga, kemudian dilakukan praktik pemasakan, inokulasi kultur S. aureus, proses penyimpanan pada suhu refrigerator 5, 10, dan 15ºC. Kemudian dilakukan uji pH dan mikrobiologi yaitu jumlah bakteri S. aureus. Alur penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir di bawah ini. Konfirmasi S. aureus Persiapan sampel makanan (Soto ayam, Nasi uduk, dan Tumis buncis) Persiapan kultur Survei terhadap 30 ibu rumah tangga mengenai praktik penyimpanan makanan pada suhu rendah dan sanitasi Inokulasi kultur S. aureus ke dalam sampel makanan Penyimpanan sampel makanan pada suhu ruang dan suhu refrigerasi (5ºC,10ºC dan 15ºC) Gambar 3. Diagram alir proses penelitian 36 1. Survei Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Suhu Rendah di Tingkat Rumah Tangga Survei dilakukan dengan cara pengamatan ke sekitar 30 rumah tangga di daerah Jakarta timur dan selatan. Persyaratan yang harus dimiliki oleh responden adalah sebagai berikut : a. Responden adalah ibu rumah tangga yang mengolah sendiri makanan untuk dikonsumsi sehari-hari. b. Responden adalah ibu rumah tangga yang memiliki refrigerator Survei dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai praktik sebenarnya yang dilakukan pada rumah tangga. Komponen-komponen yang terdapat dalam pertanyaan survei antara lain: a. Praktik penyimpanan makanan pada rumah tangga Pada pengamatan praktik penyimpanan makanan, juga dilakukan pengukuran suhu refrigerator, menggunakan thermometer yang diletakkan bagian ditengah refrigerator selama 15 menit dengan dua kali pengulangan. b. Praktik sanitasi yang dilakukan pada rumah tangga Data survei disajikan dalam bentuk persentase jawaban, dan ditampilkan dalam bentuk pie chart. Hasil survei yang didapat akan digunakan sebagai data pendukung di dalam penelitian ini. 2.Pengaruh Penyimpanan Suhu Rendah terhadap Pertumbuhan S. aureus dalam Makanan Siap Santap a.Penyegaran dan Pengawetan Kultur Staphylococcus aureus Kultur S. aureus disegarkan setiap dua minggu pada media agar miring Trypticase Soy Agar (TSA). Penyegaran dilakukan dengan mengambil satu ose kultur dan digores pada agar miring TSA yang baru, kemudian diinkubasi pada suhu 35°C selama 24 jam. Setelah 24 jam, kemudian kultur dalam agar miring disimpan dalam refrigerator. 37 b.Persiapan Inokulum Bakteri uji yang akan ditambahkan ke dalam produk masakan soto ayam dan nasi uduk harus dalam kondisi segar dimana bakteri belum memasuki fase kematian (berumur ± 24 jam). Kultur segar disiapkan dengan cara memindahkan kultur dalam agar miring TSA menggunakan ose untuk digoreskan ke atas media selektif dalam cawan, yaitu BPA + egg yolk tellurite. Kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam dengan suhu 35°C. Setelah proses inkubasi dilakukan, dilakukan transfer koloni dari BPA+ egg yolk tellurite ke media cair Brain Heart Infussion Broth (BHIB). Kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 35°C. Kultur segar dalam BHIB didapatkan setelah proses inkubasi selesai. Sebelum kultur diinokulasikan ke dalam sampel makanan, terlebih dahulu dilakukan penentuan jumlah sel per ml. Penentuan ini dilakukan dengan standarisasi Mc Farland. Pada proses standarisasi Mc Farland ini, kultur segar S. aureus dalam BHIB tersebut disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm, sentrifugasi ini dilakukan untuk memisahkan sel-sel S. aureus dengan cairan media BHIB. Setelah disentrifuse sel-sel bakteri akan mengendap, kemudian cairan BHIB tersebut dipisahkan dari endapan sel tersebut . Kemudian endapan sel disuspensikan dengan larutan pengencer BPB, dan suspensi yang terbentuk ini dijadikan sebagai laruan stok pada standarisasi Mc Farland. c.Persiapan Sampel Masakanan Sampel masakan yang digunakan meliputi soto ayam,tumis buncis dan nasi uduk. Masakan tersebut dipilih karena makanan tersebut merupakan masakan yang banyak dikenal dan dikonsumsi oleh rumah tangga. Selain itu, masakan tersebut memiliki sumber nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan bakteri. Masakan yang digunakan dalam penelitian dibuat sesaat sebelum dilakukan uji mikrobiologi. Komposisi bumbu dasar soto ayam dapat dilihat pada Tabel 9. 38 Tabel 9. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan soto ayam* Bumbu Dasar Bawang Merah Bawang Putih Kemiri Jahe Kunyit Merica Lengkuas Sereh Gula Garam Minyak Goreng *)Anonim (2004) Jumlah (%) (b/b ayam) 3 2 1.6 1 0.6 0.2 1.5 4 1 2 5 Seluruh bumbu dasar dihaluskan dengan blender selama 2 menit dan ditumis pada suhu 70ºC selama 3 menit. Setelah itu bumbu dimasukkan ke dalam panci yang berisi 1000 ml air dan direbus bersama 500 g ayam selama 20 menit pada suhu 100ºC, daun jeruk dan sereh dimasukkan dan perebusan dilanjutkan selama 5 menit pada suhu 100ºC. Proses pembuatan soto ayam dapat dilihat pada Gambar 4 dan komposisi bumbu dasar nasi uduk dapat dilihat pada Tabel 10. 1 kg Daging Ayam yang telah dipotong Bumbu yang telah dihaluskan, Daun Jeruk, dan Sereh Perebusan 100°C, 15 menit Penumisan 70°C, 3 menit Pencampuran Perebusan kembali 100°C , 5 menit Soto Ayam Gambar 4. Proses pembuatan soto ayam 39 Tabel 10. Komposisi bumbu dasar untuk nasi uduk* Bumbu Dasar Lengkuas Daun Salam Daun Jeruk Sereh Garam Santan *)Anonim (2004) Jumlah (%) (b/b beras) 1.5 0.5 0.2 4 2 20 (v/b) Nasi uduk dibuat dengan merebus 800 ml air, 100 ml santan kental, lengkuas, daun jeruk, daun salam dan sereh selama 15 menit, 100°C. Setelah itu campurkan 500 g beras dengan rebusan air, santan dan bumbubumbu tersebut 500 g kemudian dimasukkan kedalam alat penanak nasi (Rice cooker) selama 30 menit. Proses pembuatan nasi uduk dapat dilihat pada Gambar 5 dan komposisi bumbu dasar tumis buncis dapat dilihat pada tabel 11. 500 gr beras Lengkuas, Daun Salam, Daun Jeruk, Sereh Santan Kelapa Perebusan 100ºC, 5 menit Pencampuran Pemasakan dengan alat penanak nasi (Rice Cooker), selama 15 menit Nasi Uduk Gambar 5. Proses pembuatan nasi uduk Tabel 11. Komposisi bumbu dasar untuk tumis buncis* Bumbu Dasar Bawang Putih Minyak Garam *) Anonim (2004) Jumlah (%)(b/b buncis) 2 5 1 40 Tumis buncis dibuat dengan menumis bawang putih dalam wajan dengan suhu 70°C selama 1 menit. Selanjutnya buncis yang telah dipotong-potong sepanjang 1 cm dimasukkan ke dalam wajan dan penumisan dilanjutkan selama 5 menit, 70°C. Proses pembuatan tumis buncis dapat dilihat pada Gambar 6. 500 gr buncis Minyak dan bawang putih yang yang telah diiris tipis Penumisan 70ºC, 1 menit Pencampuran Penumisan 70°C, 5 menit Tumis Buncis Gambar 6. Proses pembuatan tumis buncis d.Pengukuran pH Sebelum dilakukan inokulasi, dilakukan pengukuran pH sampel makanan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis. Pengukuran nilai pH ini perlu dilakukan untuk mengetahui pH dari lingkungan pertumbuhan S. aureus e.Inokulasi Bakteri Pada penelitian ini, digunakan dua tingkat jumlah kontaminasi, sehingga di awal penyimpanan terdapat kontaminasi bakteri sebesar 3 log dan 5 log cfu/g sampel. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh jumlah kontaminasi awal terhadap pertumbuhan bakteri selama penyimpanan. Penghitungan jumlah kultur inokulum dilakukan dengan standarisasi Mc Farland. Setelah semua produk masakan selesai diolah, kemudian dilakukan kontaminasi ke dalam masakan pada saat suhu makanan telah mencapai 37-40ºC. 41 f.Penyimpanan Dingin Setelah inokulasi, masing-masing sebanyak 25 g sampel masakan disimpan dalam refrigerator. untuk soto ayam perbandingan air dan daging ayam adalah 4:1 yaitu 20 g air kaldu soto dan 5 g daging ayam. Selama penyimpanan, sampel diambil dari masing-masing bagian sampel, dan dihitung jumlah populasi total mikroorganisme, dan S. aureus) yang dilakukan secara aseptik dalam periode waktu akan dilakukan dalam 5 periode waktu penyimpanan, yaitu 0, 3, 6, 9, 12, 24, dan 48 jam. Perlakuan tersebut dilakukan pada beberapa suhu penyimpanan, yaitu suhu refrigerator 5-7, 10 dan 15ºC. g.Perhitungan Waktu Generasi dan Pengolahan Data secara Statistik Setelah didapatkan jumlah koloni atau populasi bakteri setiap interval waktu penyimpanan, kemudian dilakukan perhitungan waktu generasi bakteri. Selain itu untuk mengetahui pengaruh perbedaan jumlah kontaminasi awal bakteri dilakukan uji secara statistik pada penyimpanan suhu 10ºC dan 15ºC. C. PROSEDUR ANALISIS 1.Pengukuran pH (Apriantono et al., 1989) Alat pH meter yang akan digunakan dalam pengukuran pH sampel sebelumnya telah distandarisasi menggunakan larutan buffer pH 4 dan buffer pH 7. Sampel yang akan diukur pH nya merupakan padatan, sehingga sampel harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air dengan perbandingan tertentu untuk sampel yang sama. Pada pengukuran pH sampel soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis ditimbang 20 gram dari masing-masing sampel tersebut kemudian dilarutkan dalam 50 ml air, dihomogenkan dan biarkan selama 15 menit setelah itu diukur pH nya. 2.Analisi Mikrobiologi a. Uji Konfirmasi (BAM, 2001) Sebelum kultur bakteri digunakan dilakukan uji konfirmasi untuk mengetahui bahwa kultur bakteri yang digunakan merupakan kultur 42 positif S. aureus. Uji konfirmasi yang dilakukan adalah (1) uji koagulase, (2) uji katalase, dan (3) pewarnaan gram. Prosedur uji koagulase, katalase dan pewarnaan gram dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9. 1. Prosedur uji koagulase Uji koagulase dilakukan dengan cara mencampurkan 0,3 ml kultur dengan 0,5 rabbit plasma+EDTA di dalam tabung 10x75 mm. Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu 35-37ºC dan diperiksa setiap interval 6 jam untuk melihat terjadinya gumpalan. Tipe gumpala 3+ atau 4+ diindiksikan sebagai positif S. aureus. Gumpalan kecil atau tidak beraturan (1+ dan 2+), harus melalui uji konfirmasi berikutnya. Teruskan inkubasi pada hasil uji koagulase yang sedikit meragukan, dengan melakukan inkubasi pada suhu 3537ºC selama lebih dari 18 jam tetapi tidak lebih dari 48 jam. Negatif Positif +1 +2 +3 +4 Gambar 7. Tipe gumpalan pada uji koagulase 2. Prosedur uji katalase Uji katalase dilakukan dengan meneteskan cairan peroksida 0,3 % ke atas kultur bakteri. Kemudian diamati apakah terjadi reaksi setelah dilakukan penetesan, jika terbentuk gelembung-gelembung gas berarti kultur merupakan katalase positif. 3. Pewarnaan gram Pewarnaan gram dilakukan untuk membedakan bakteri gram positif dan gram negatif. Hasil positif untuk bakteri gram positif 43 yaitu jika sel yang diamati di bawah mikroskop berwarna biru dan jika gram negatif sel akan berwarna merah. Urutan pewarnaan gram dapat dilihat pada Gambar 8. Kultur dioles diatas gelas objek, kemudian difiksasi Kultur ditetesi dengan violet kristal selama 1 menit Dibilas dengan air Kultur ditetesi dengan larutan iodium selama 1 it Kultur diatas gelas objek ditetesi dengan alkohol 70% Kultur ditetesi dengan safranin selama 20 detik Kultur diamati di bawah mikroskop perbesaran 1000 kali. Gambar 8. Prosedur pewarnaan gram b. Analisis S. aureus Analisis mikrobiologi yang dilakukan yaitu penghitungan jumlah S. aureus dalam sampel. Metode yang digunakan adalah Standard Plate Count atau metode hitungan cawan. Metode inokulasi permukaan (surface inoculation method) digunakan untuk menghitung populasi Staphylococcus aureus (SA), metode ini mengacu kepada BAM FDA (2001). Koloni S aureus yang tumbuh pada BPA+ eyt dihitung, dengan koloni positif berwarna hitam dan dikelilingi oleh dua zona opaque dan 44 bening. Uraian lebih lanjut tentang penghitungan populasi Staphylococcus aureus dalam sampel disajikan pada Gambar 9. Pengenceran sampel Medium BPA+egg yolk tellurite (BPAet) yang telah mengeras dalam cawan disiapkan, lalu sebanyak 0,1 ml inokulum pada tiap pengenceran dimasukkan kedalam cawan petri steril yang telah berisi BPAet, pemupukan dilakukan duplo. inokulum tersebut disebar di permukaan medium dengan menggunakan hockey stick steril yang terbuat dari kaca secara merata Setelah dianggap mengering, semua cawan yang berisi SA disimpan kedalam inkubator secara terbalik untuk diinkubasi selama 2 hari pada suhu 35oC Gambar 9. Bagan alir penghitungan populasi Staphylococcus aureus 1.Perhitungan populasi bakteri Staphylococcus aureus Perhitungan populasi S. aureus didasarkan pada metode BAM dengan rumus sebagai berikut : N= Σc ((1 x n1) + (0,1 x n2)) x d Keterangan : N= Total koloni/g Σc= Jumlah koloni yang dihitung n1= Jumlah sel pada pengenceran pertama n2= Jumlah sel pada pengenceran ke-2 d = Pengenceran terendah 45 2.Perhitungan waktu generasi Kecepatan pertumbuhan eksponensial biasanya dinyatakan dalam waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi sel untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya atau sebaliknya. Perhitungan waktu generasi didasarkan pada rumus : K = log xt – log xo 0,301 t Keterangan : xo = Jumlah sel awal xt = Jumlah sel setelah waktu t t = Waktu dari xo ke xt dinyatakan dalam waktu jam atau menit k = Konstanta kecepatan pertumbuhan dinyatakan dalam jumlah generasi per waktu 1/k= Waktu generasi c. Analisis Data Untuk menguji pengaruh perbedaan jumlah kontaminasi awal bakteri yang di inokulasikan ke dalam sampel makanan, digunakan uji paired test atau uji berpasangan menggunakan program Minitab. Dengan uji ini kita dapat mengetahui apakah terdapat perbedaan dari perlakuan yang diberikan. Uji ini dilakukan pada penyimpanan suhu 10ºC dan 15ºC. 46 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteri Staphylococcus aureus digunakan sebagai bakteri indikator dalam produk makanan yang diuji. Pemilihan bakteri ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa diperkirakan bahwa 30-50% populasi manusia membawa bakteri patogen ini dalam tangannya, dan konsekuensinya bakteri ini dapat secara mudah berpindah ke dalam produk masakan matang (Schumitt et al.,1990). Peneilitian ini dilakukan untuk mempelajari praktik sanitasi yang ada di tingkat rumah tangga serta mengetahui pengaruh penyimpanan pada beberapa suhu yang berbeda terhadap pertumbuhan bakteri Stphylococcus aureus dalam beberapa pangan siap santap dalam menjamin kemanan dari pangan tersebut. A. SURVEI PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN PANGAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA Survei dilakukan dengan cara membagikan kuesioner ke sekitar 30 rumah tangga yang berisi pertanyaan mengenai praktik penyimpanan sebenarnya yang dilakukan pada skala rumah tangga dan pengamatan terhadap suhu refrigerator bentuk kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1. 1. Praktik Sanitasi di Tingkat Rumah Tangga Sekitar 96,67 % responden menyatakan bahwa mereka mencuci tangan sebelum memasak dan 3,33% menyatakan tidak selalu melakukan pencucian tangan sebelum memasak. Sebanyak 93,33 % mencuci tangannya dengan air mengalir, dan 6,67 % responden mencuci tangannya dengan air tergenang dalam bak. Praktik pencucian tangan sebelum melakukan kegiatan memasak sangat penting dilakukan, karena tangan merupakan bagian tubuh yang bersentuhan atau kontak langsung dengan bahan pangan, sehingga kebersihannya perlu dijaga untuk menghindari perpindahan dan kontaminasi makanan oleh bakteri yang mungkin ada di tangan. Menurut Berdgoll (1992), sekitar 30-50% manusia sehat adalah pembawa bakteri Staphylococcus. Menurut Jenie (1988), kulit manusia tidak pernah bebas dari bakteri, bahkan kulit manusia yang bersih masih membawa bakteri. Akan tetapi bila kulit tidak bersih, maka jumlah dan 47 macam mikroorganisme yang terdapat lebih nyata lagi. Flora bakteri umum yang terdapat pada kulit manusia adalah staphylococcus epidermidis dan S. aureus. Pada Gambar 10 terlihat bahwa peralatan makan seperti piring, gelas, sendok, dan wadah dicuci menggunakan air mengalir menurut 90% responden, kemudian 96,67% responden menyatakan menggunakan sabun pada saat pencucian peralatan tersebut sedangkan 3,33% responden lainnya menyatakan tidak selalu menggunakan sabun. Menurut Jenie (1988), peralatan pengolahan maupun alat makan dapat menjadi salah satu sumber kontaminasi makanan bila digunakan dalam kondisi yang kotor dan mengandung jumlah mikroba yang tinggi. 6,67% 3,33% air mengalir air tergenang keduanya 90% n=30 Gambar 10. Hasil survei sumber air untuk mencuci peralatan di tingkat rumah tangga Untuk penggantian lap, sekitar 43,33% responden mengganti lap peralatan makan setiap hari, 50% setiap dua kali sehari dan hanya 6,67 % responden yang melakukan penggantian lap satu minggu sekali. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa praktik yang dilakukan sudah baik, karena dengan seringnya dilakukan penggantian lap, maka kemungkinan berkembangbiaknya bakteri akan semakin kecil. Pada Gambar 11 terlihat bahwa sekitar 76,67% responden menyatakan bahwa mereka tetap memasak walaupun terdapat luka terbuka ditangan, hal ini tentu memungkinkan terjadinya kontaminasi terhadap makanan yang sedang diolah, karena menurut Jenie (1988), Staphylococcus umumnya terdapat pada bisul, jerawat, luka, atau pada wajah yang memar. 48 23,33% Tetap memasak Tdk memasak n=30 76,67% Gambar 11. Hasil survei aktivitas memasak saat responden menderita luka terbuka 13,33% Tetap memasak Tdk memasak 86,67% n=30 Gambar 12. Hasil survei aktivitas memasak saat responden menderita batuk Gambar 12 menunjukkan sebagian besar responden yaitu sekitar 86,67% menyatakan tetap memasak walaupun dalam keadaan batuk. Praktik seperti ini dapat menjadi penyebab berpindahnya S. aureus dari manusia ke makanan. Menurut Jenie (1988), daerah-daerah mulut, hidung, dan tenggorokan dari manusia normal penuh dengan mikroba dari berbagai jenis. Lingkungannya basah dan hangat serta zat-zat nutrien tersedia dalam bentuk sisa-sisa makanan yang dikonsumsi oleh manusia.|Dari beberapa mikroba yang ada, salah satunya adalah Staphylococcus aureus yang berada dalam saluran pernapasan dari manusia sehat. Telah diketahui bahwa bakteri dapat disebarkan melalui batuk dan bersin dalam jarak yang cukup jauh, yaitu 4,5 meter. Pada Gambar 13 terlihat sebagian besar responden yaitu sekitar 63,33% membersihkan kulkas setiap 1-2 minggu sekali. Pembersihan kulkas perlu rutin dilakukan, karena kulkas merupakan tempat penyimpanan makanan sehingga pasti ada sisa-sisa masakan yang terjatuh di dalamnya dan jika suhu kulkas sudah tidak baik maka pertumbuhan bakteri di dalam krefrigerator mungkin terjadi dan dapat mengkontaminasi masakan yang disimpan di dalamnya. Karena berdasarkan survei di 49 Irlandia dengan 806 responden, didapatkan data bahwa refrigerator rumah tangga paling tidak terkontaminasi oleh satu jenis bakteri patogen, antara lain S. aureus (41%), Salmonella spp. (7%), Eschericia coli (6%), Listeria monocytogenes (6%) dan Yersinia enterocolitica (2%). Hanya 6% responden yang membersihkan refrigerator dalam jangka waktu satu minggu sekali, 80% dalam jangka waktu bulanan atau lebih (Bolton et al., 2005). 1-2 minggu sekali 3-4 minggu sekali 33,33% 63,33% Gambar 13. Jangka waktu pembersihan refrigerator di tingkat rumah tangga 2. Praktik Penyimpanan Makanan 20% 23,33% 1-3 jam 4-6 jam 7-9 jam 23,33% 33,33% n=30 10-12 jam Gambar 14. Lama penyimpanan makanan pada suhu ruang Berdasarkan hasil survei, sekitar 23,33% responden melakukan penyimpanan makanan diatas meja makan dalam rentang waktu 1-3 jam, sebanyak 33,33% responden 4-6 jam, 23,33% responden 7-9 jam dan sisanya melakukan penyimpanan masakan paling lama di atas meja makan dalam waktu 10-12 jam. Penyimpanan masakan di atas meja makan dalam suhu ruang ini sebaiknya tidak dilakukan terlalu lama, karena menurut penelitian yang dilakukan Rawendra (2008), penyimpanan masakan soto ayam dan tumis buncis dalam suhu ruang dapat meningkatkan jumlah S. aureus sebanyak 3 log cfu/g, dan dengan kontaminasi awal 3 dan 5 log cfu/g diduga telah dapat menghasilkan toksin dalam waktu penyimpanan 12 jam. 50 Sebagian besar responden (63,33%) meletakkan masakan di atas meja makan dalam wadah terbuka dan ditutup dengan tudung saji, dan 30% diletakkan di atas meja dalam wadah tertutup, tetapi terdapat responden yang meletakkan masakan di atas meja makan tanpa penutup apapun (6,67%). Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi terhadap masakan yang berasal dari udara. Menurut Jenie (1988), sebenarnya udara tidak mempunyai flora mikroba alamiah, tetapi partikel-partikel debu atau tetesan air yang terdapat dalam udara dapat membawa mikroba. Kondisi udara di daerah persiapan pangan tergantung pada banyak faktor, adanya debu, tetesan air, dan pergerakan udara oleh gerak angin dari ventilasi atau manusia bergerak. Pada Gambar 15 terlihat bahwa jika terdapat masakan sisa, mayoritas responden (88%) menyimpan makanan tersebut di dalam refrigerator. Penyimpanan masakan dalam refrigerator ini merupakan cara yang tepat, karena menurut Bergdoll (1992), salah satu cara untuk mencegah terjadinya Staphylococcal food poisoning adalah dengan refrigerasi, dengan suhu rendah maka semakin lambat pula pertumbuhan dari bakteri S. aureus. Tetapi suhu refrigerator tersebut harus memenuhi rekomendasi suhu aman untuk penyimpanan agar pertumbuhan bakteri dapat terhambat. refrigerator 8,33% 3,60% refrigerator atau lemari biasa 88% refrigerator, lemari, ruangan n=30 Gambar 15. Penyimpanan masakan sisa oleh responden Berdasarkan hasil survei, terdapat responden yang menyimpan masakan di dalam lemari pendingin lebih dari 12 jam yaitu satu hingga dua hari. Hal seperti ini dapat menimbulkan bahaya, jika dalam makanan yang disimpan telah mengandung bakteri dan suhu kulkas tidak cukup rendah untuk menahan pertumbuhan dari bakteri. Karena menurut 51 penelitian yang dilakukan, dalam masakan soto ayam, tumis buncis, dan nasi uduk S. aureus dapat bertambah sebanyak 1 log cfu/g pada suhu penyimpanan 15ºC dengan jumlah kontaminasi awal 3 dan 5 log cfu/g. Berdasarkan hasil survei sekitar 26,67% responden tidak memanaskan masakan sebelum disimpan di dalam kulkas atau refrigerator. Sebenarnya pemanasan ulang makanan tidak perlu dilakukan jika suhu kulkas masih baik, yaitu dapat menehan pertumbuhan bakteri selama makanan di simpan di dalamnya, tetapi jika suhu refrigerator sudah tidak baik dan terdapat sejumlah mikroba awal sebelum masakan dimasukkan ke dalam refrigerator, maka pertumbuhan bakteri dapat terjadi. 10% 36,67% 5-9 ºC 5-9*C 10-14 10-14*C 15-19*C > 15 ºC 53,33% n=30 Gambar 16. Suhu refrigerator rumah tangga Pengamatan terhadap suhu refrigerator pada rumah tangga juga dilakukan, berdasarkan pengamatan hanya sekitar 36,67% refrigerator yang suhunya kurang dari 10ºC, dan sisanya sekitar 63,33% bersuhu diatas 10ºC. Bahkan beberapa rumah tangga suhu refrigeratornya mencapai 15ºC dan 16ºC. Hal ini tentu saja harus diwaspadai, karena menurut penelitian yang dilakukan, setelah penyimpanan selama 24 jam pada suhu penyimpanan 15ºC dengan jumlah kontaminasi awal 3 dan 5 log cfu/g pertambahan bakteri mencapai 1 log cfu/g. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kulkas atau refrigerator yang ada di rumah tangga jarang sekali dapat mencapai suhu yang dianggap aman untuk penyimpanan suatu masakan. Dan menurut Bolton et al. (2005), berdasarkan survei yang dilakukan di Irlandia dari 100 refrigerator rumah tangga 40% refrigerator memiliki suhu 0-5ºC, 54% bersuhu 5-10ºC, dan 6% refrigerator memilki suhu lebih dari 10ºC. Menurut Fardiaz (1994), penyimpanan pangan dalam keadaan dingin sebaiknya pada suhu dibawah 4ºC. Dari data survei 52 yang dilakukan, terlihat bahwa refrigerator yang ada tidak memenuhi suhu penyimpanan yang aman. 6,67% 20% 16,67% SD SMP SMU Perguruan Tinggi 56,67%n=30 Gambar 17. Tingkat pendidikan responden Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa sekitar 56,67% ibu rumah tangga yang disurvei, memilki tingkat pendidikan SMU. Menurut Winarno (1997), tingkat pendidikan yang dimilki akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan dan kesadaran sebagai konsumen, dengan pendidikan yang rendah maka mustahil mereka dapat mengetahui dan sadar akan bahaya serta pengaruh negatif lainnya yang diakibatkan oleh konsumsi pangan. B. PERILAKU S. aureus DALAM PANGAN SIAP SANTAP SELAMA PENYIMPANAN SUHU RENDAH 1. Persiapan Bakteri Uji Konfirmasi S. aureus dilakukan untuk memastikan bahwa kultur asal yang digunakan merupakan kultur S. aureus murni. Uji konfirmasi yang dilakukan antara lain, 1) uji koagulase, 2) uji katalase, dan 3) pewarnaan gram. Uji koagulase merupakan metode umum yang dilakukan untuk uji konfirmasi dari bakteri S. aureus ini. Produksi koagulase oleh bakteri diasosiasikan dengan patogenitas dari bakteri yang diuji. Koagulase merupakan substansi yang dapat menggumpalkan plasma dari manusia atau hewan atau suatu enzyme-like faktor yang dapat mengkoagulasi fibrin dan membentuk gumpalan (Madigan et al., 2002). 53 Berdasarkan uji koagulase yang dilakukan, yaitu dengan mereaksikan 0,5 ml rabbit plasma + EDTA dan 0,2 kultur S. aureus dalam BHIB didapatkan hasil bahwa terjadi gumpalan setelah waktu inkubasi kurang dari 3 jam. Reaksi dari uji koagulase menunjukkan tipe 4+, ini berarti hasil uji koagulase positif. Hal ini sesuai dalam BAM FDA (2001) yang menyebutkan jika telah terjadi penggumpalan +3 atau +4 setelah diinkubasi maka kultur bakteri tersebut positif S. aureus. Hasil uji dinyatakan tipe 4+ jika gumpalan terjadi pada seluruh kultur uji di dalam tabung reaksi, dan tidak terjadi pergerakkan media kultur jika tabung dibalik. Hasil uji koagulase dapat dilihat pada gambar 18. Gambar 18. Hasil uji koagulase pada kultur S. aureus Uji katalase merupakan uji yang dilakukan untuk menguji kehadiran enzim katalase, yaitu enzim yang dapat menguraikan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi oksigen (O2) dan air (H2O). Uji katalase yang dilakukan terhadap kultur bakteri S. aureus dilakukan dengan meneteskan cairan peroksida 0,3% ke atas kultur, kemudian diamati reaksi yang terjadi. Setelah beberapa saat terlihat gelembung-gelembung udara pada kultur. Gelembung udara tersebut mengindikasikan telah terjadi reaksi, yaitu terbentuknya O2, berarti kultur bakteri yang diuji merupakan katalase positif. Menurut Fardiaz (1992), setiap bakteri memiliki suatu enzim yang tergolong flavoprotein yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk 54 senyawa-senyawa beracun yaitu H2O2 dan suatu radikal bebas yaitu O2* sebagai berikut : +O2 Flavoprotein H2O2 + O2* Bakteri yang bersifat aerob dan anaerob tetapi tidak sensitif terhadap oksigen (aerotoleran) mempunyai enzim-enzim yaitu superoksida dismutase, yang memecah radikal bebas tersebut, dan enzim katalase yang memecah H2O2 sehingga menghasilkan senyawa-senyawa akhir yang tidak beracun. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut : 2O2* + 2H* 2 H2O2 superoksida dismutase katalase H2O2 + O2 2H2O + O2 Selain uji koagulase dan katalase, dilakukan pula pewarnaan gram terhadap kultur bakteri uji. Pewarnaan gram dilakukan untuk melihat jenis gram dari kultur serta bentuk morfologinya. Setelah dilakukan uji menurut prosedur pewarnaan gram dan dilihat di bawah mikroskop perbesaran 1000X didapatkan hasil bahwa kultur bakteri yang diuji merupakan jenis gram positif yang ditunjukkan dengan warna yang terlihat pada bakteri adalah biru, dan bakteri berbentuk bulat atau kokus bergerombol ataupun terpisah. Berdasarkan ketiga uji konfirmasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kultur bakteri yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya positif Staphylococcus aureus. Baird Parker Agar + egg yolk tellurite media yang digunakan untuk menumbuhkan S. aureus dan digunkan pula agar darah untuk melihat metabolisme dari bakteri ini. Baird-Parker mengandung media selektif yaitu glisin, litium, dan tellurit yang dapat menekan pertumbuhan bakteri lain tanpa menghambat pertumbuhan dari bakteri S. aurus. Koloni S. aureus yang tumbuh pada media BPA+ egg yolk tellurite berwarna hitam mengkilat dan dikelilingi oleh dua zona hasil metabolisme sel. Zona bening terbentuk karena adanya aktifitas proteolitik dan zona opak atau keruh terbentuk karena adanya aktifitas lipolitik. Pada agar darah (Blood agar), koloni S. aureus berwarna putih dan dikelilingi zona bening yang terbentuk karena adanya lisis darah karena 55 aktifitas sel S. aureus. Karena menurut Monday dan Bennet (2003), S. aureus bersifat hemolitik atau dapat memecah sel darah. Gambar koloni bakteri S. aureus dalam media BPA+ egg yolk tellurite dan media agar darah dapat dilihat pada gambar 19 dan 20. Koloni SA Zona Bening Zona Opak Gambar 19. S. aureus pada media BPA+ egg yolk tellurite Gambar 20. S. aureus dalam media agar darah 2. Pengaruh Penyimpanan Suhu Rendah terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Refrigerasi merupakan salah satu cara yang dapat mengendalikan pertumbuhan dari bakteri S. aureus ini, tetapi tetapi berdasarkan survei yang dilakukan dalam penelitian ini, tidak terdapat refrigerator rumah tangga yang memliki suhu sesuai suhu yang direkomendasikan sebagai suhu penyimpanan aman. Menurut CDC (1975), Ketidakcukupan suhu refrigerasi pada salad ayam ataupun daging ayam telah memberikan 56 kesempatan dari bakteri S. aureus ini untuk tumbuh dengan baik sehingga menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan keracunan. Kasus lain juga terjadi di New York, 104 orang keracunan setelah mengkonsumsi salad makaroni yang disiapkan sehari sebelum disajikan dan disimpan selama satu malam dalam sebuah wadah, dan mengandung sekitar 107 sel Staphylococcus/g dari sampel salad makaroni tersebut. Hal ini diduga terjadi karena suhu refrigerasi yang tidak tepat (CDC, 1979). a.Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam Soto ayam, Nasi Uduk, dan Tumis Buncis pada Penyimpanan Suhu Rendah Suhu 5ºC Penyimpanan suhu rendah atau refrigerasi yang baik dilakukan pada kisaran suhu diluar kisaran suhu danger zone (4,4ºC-60ºC), karena secara umum bakteri akan tumbuh baik pada kisaran suhu danger zone tersebut. Penyimpanan suhu 5ºC merupakan suhu yang akan dijadikan kontrol untuk melihat pertumbuhan S. aureus dalam makanan yang akan diuji, karena suhu 5ºC mendekati kisaran suhu yang direkomendasikan sebagai suhu aman untuk menyimpan suatu bahan makanan agar terbebas dari pertumbuhan bakteri. Tetapi berdasarkan survei yang dilakukan pada penelitian ini, dari 30 rumah tangga yang disurvei tidak ada refrigerator yang memiliki suhu dibawah 5ºC. Selain itu survei lain yang dilakukan di Irlandia terhadap 100 rumah tangga, hanya 40% refrigerator yang bersuhu dibawah 5ºC (Bolton et al., 2005). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rekomendasi tentang suhu penyimpanan yang aman belum dapat diaplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari. 57 S. aureusl (log cfu/ml) 3,8 3,6 3,4 3,2 3 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 Waktu Penyimpanan (Jam) Gambar 21. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC Nasi uduk soto ayam tumis buncis Dari Gambar 21 terlihat bahwa pada penyimpanan suhu 5 oC dengan kontaminasi awal 3 log cfu/g tidak mendukung pertumbuhan dari bakteri S. aureus, selama penyimpanan terjadi peningkatan jumlah sel pada sampel soto ayam dan tumis buncis walaupun jumlahnya tidak signifikan, pada penyimpanan selama 24 jam peningkatan jumlah sel lebih tinggi daripada pertambahan yang terjadi setelah jam ke-24. Sedangkan pada nasi uduk terjadi penurunan jumlah sel. Semakin lambatnya pertumbuhan ataupun penurunan jumlah sel setelah penyimpanan jam ke-24 diduga terjadi karena terjadinya kerusakan membran sel, sehingga permeabilitas dari sel terganggu dan metabolisme dalam sel terhambat (Frazier dan Westhoff, 1988). S. aureus (log cfu/g) 5,6 5,4 5,2 5 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 Waktu Penyimpanan (Jam) Gambar 22. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 5oC . Nasi uduk soto ayam tumis buncis Dari Gambar 22 terlihat bahwa pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu 5 oC dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g tidak 58 berbeda dengan pertumbuhan S. aureus pada kontaminasi bakteri awal 3 log cfu/g. Dan pada kedua tingkat kontaminasi tersebut, jumlah sel S. aureus pada nasi uduk mengalami penurunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu 5 oC tidak mendukung pertumbuhan dari bakteri S. aureus, hasil ini sesuai dengan pernyataan Hayes (1985), salah satu cara untuk mengontrol pertumbuhan S. aureus adalah dengan melakukan refrigerasi atau penyimpanan dingin pada masakannan dengan suhu di bawah 10 oC. Lambatnya laju pertumbuhan dari bakteri S. aureus ini diduga disebabkan karena suhu 5 oC ini, mendekati batas suhu minimum kisaran suhu pertumbuhan bakteri ini yaitu 4 oC-48 oC (Adam dan Moss, 1995). Pertumbuhan dari bakteri di bawah suhu optimumnya menyebabkan perubahan fisiologi dan morfologi dapat dari sel bakteri (Shehata dan Marr, 1975). Perubahan yang dapat terjadi pada bakteri secara umum akibat penyimpanan pada suhu rendah antara lain pembentukan filamen (Shaw, 1968), kerusakan mesosom dan pembentukan dinding sel ganda (Neale dan Chapman, 1970), perubahan aktivitas enzim yang dapat menyebabkan perubahan jalur metabolisme dan produk akhir (Witter et al., 1966), serta perubahan komposisi lipida (Marr dan Ingraham, 1962). Perubahan-perubahan tersebut tentu saja dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme dalam sel karena beberapa proses pengaturan (regulator) metabolisme sel sangat sensitif jika berada pada suhu dibawah suhu optimumnya (Rose, 1968). Suhu 10ºC Pada praktiknya refrigerator yang ada di rumah tangga sulit untuk mencapai suhu yang direkomendasikan sebagai suhu aman untuk penyimpanan suatu bahan pangan, sehingga pengetahuan tentang suhu yang dapat ditoleransi sebagai suhu penyimpanan makanan penting diketahui. Suhu refrigerator yang tidak tepat, dapat menjadi tempat berkembang biak dari suatu bakteri. Selain itu kebersihan dari refrigerator harus tetap dijaga, karena bukan tidak mungkin bahan makanan terkontaminasi oleh bakteri yang terdapat dalam refrigerator. 59 karena menurut survei yang dilakukan terhadap 806 rumah tangga di Irlandia, setelah dilakukan swab pada bagian dalam refrigerator, paling tidak terdapat satu jenis mikroorganisme di dalam suatu refrigerator dan S. aureus merupakan bakteri dominan pada refrigerator rumah tangga, S. au reus (log cfu/g) yaitu sekitar 41%. 3,8 3,6 3,4 3,2 3 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 Waktu Penyimpanan (Jam) Gambar 23. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC. nasi uduk soto ayam tumis buncis Dari Gambar 23 terlihat bahwa pada kontaminasi awal 3 log cfu/g, terjadi peningkatan jumlah sel S. aureus pada ketiga sampel makanan, dan pertambahan jumlah tertinggi terjadi pada sampel makanan nasi uduk. Sedangkan pada tumis buncis pertumbuhan sel yang terjadi tidak terlalu signifikan. Selama penyimpaan 24 jam pertumbuhan sel pada sampel soto ayam hanya sebesar 0,13 log cfu/g, dan setelah penyimpanan 48 jam jumlah bakteri mancapai 3,44 log cfu/g, yang berarti telah bertambah sebesar 0,26 log cfu/g. Pertumbuhan bakteri S. aureus pada sampel makanan nasi uduk tidak berbeda jauh dengan prtumbuhan yang terjadi pada sampel soto ayam, pada penyimpanan selama 24 jam, pertumbuhan yang terjadi hanya sekitar 0,16 log cfu/g dan pertambahan bakteri mencapai 0,30 log cfu/g setelah penyimpanan selama 48 jam. Sedangkan pada sampel tumis buncis, tidak terjadi pertumbuhan yang signifikan, yaitu hanya sebesar 0,18 log cfu/g setelah penyimpanan 48 jam. 60 S. aureus (log cfu/g) 5,6 5,4 5,2 5 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 Waktu Penyimpanan (Jam) Gambar 24. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC. nasi uduk soto ayam tumis buncis Pada Gambar 24 di atas terlihat bahwa pertumbuhan bakteri S. aureus dengan jumlah kontaminasi awal 5 log cfu/g pada penyimpanan suhu 10oC juga tidak menunjukan pertumbuhan yang signifikan. Ini dapat dilihat dari pertambahan bakteri pada ketiga sampel yaitu soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis yang tidak lebih dari 1 log selama penyimpanan 48 jam, walaupun menurut Adam dan Moss (1995) kisaran suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah 4-48ºC. Berdasarkan percobaan, selama waktu penyimpanan 48 jam suhu refrigerator 10oC masih dapat ditoleransi sebagai suhu penyimpanan masakan soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Jumlah tersebut tentu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap resiko bahaya akibat mengkonsumsi masakan ini jika disimpan selama 48 jam dengan jumlah kontaminasi bakteri awal 3 atau 5 log cfu/g. Pada penyimpanan suhu 10 oC ini pengaruh perbedaan nutrisi dari lingkungan pertumbuhan terlihat memiliki peran walaupun tidak signifikan, karena pertumbuhan atau metabolisme sel pada suhu penyimpanan ini belum mencapai titik optimum. Pada sampel soto ayam dan nasi uduk pertumbuhan S. aureus lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan S. aureus pada tumis buncis, hal ini diduga disebabkan karena tumis buncis hanya berbahan dasar sayuran dan nutrisi yang terkandung sangat minimum, yaitu hanya mengandung protein sebesar 1,8% dan karbohidrat sebesar 7% (Anonim, 1999). Kondisi tersebut tentu saja membawa pengaruh terhadap pertumbuhan S. aureus pada 61 sampel masakan tumis buncis, karena menurut Supardi et al. (1999) bakteri S. aureus tidak dapat tumbuh baik pada media sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein. Pada penyimpanan suhu 10ºC pertumbuhan dari bakteri S. aureus ini memang berjalan lambat, tetapi pertumbuhan masih terjadi, sehingga jika penyimpanan diteruskan lebih dari 48 jam diduga bakteri dapat mencapai level yang dianggap tidak aman karena produksi enterotoksin, karena menurut Genigeorgis et al.(1961);Tatini (1973), enterotoksin dapat diproduksi atau dideteksi pada penyimpanan suhu 10ºC, walaupun produksinya berjalan lebih lambat. Berdasarkan uji statistik, perbedaan jumlah kontaminasi awal bakteri pada penyimpanan suhu 10ºC, tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan atau pertambahan jumlah sel. Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 21. Suhu 15 oC 7 6,5 S. aureus (log cfu/g) 6 5,5 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 Waktu Penyimpanan (Jam) Gambar 25. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC. Nasi uduk soto ayam tumis buncis Pada Gambar 25 terihat bahwa secara umum, pertumbuhan bakteri S. aureus pada masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis selama penyimpanan suhu 15oC lebih cepat dari pada penyimpanan suhu 10oC. Ini terlihat dari peningkatan jumlah bakteri yang terjadi selama 62 penyimpanan. Selama penyimpanan 24 jam pada jumlah kontaminasi awal log 3 cfu/gr terjadi pertambahan jumlah bakteri rata-rata lebih dari 1 log cfu/g. Pada soto ayam terjadi pertambahan bakteri sebanyak 1,14 log cfu/g, pada nasi uduk pertambahannya mencapai 1,7 cfu/g, dan pada masakan tumis buncis pertambahannya sebesar 1,3 log cfu/g. Sementara itu, setelah penyimpanan dilanjutkan hingga 48 jam, memperlihatkan pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu terjadi pertambahan jumlah bakteri sebanyak 3,13 log cfu/g pada soto ayam sehingga total S. aureus sebanyak 6,43 log cfu/g, kemudian terjadi pertambahan sebesar 3,26 log cfu/g sehingga total bakteri mencapai 5,96 log cfu/g, dan pada tumis buncis terjadi pertambahan sel S. aureus sebanyak 3,11 log cfu/g sehingga total bakteri setelah penyimpanan 48 jam sebanyak 5,74 log cfu/g. Jika dibandingkan pertambahannya per 24 jam, secara umum pertambahan 24 jam pertama (hari ke-1) lebih lambat dibandingkan 24 jam kedua (hari ke-2) hal ini diduga terjadi karena sel bakteri berada dalam tahap adaptasi dengan lingkungan pertumbuhannya, sehingga tidak dapat tumbuh dengan optimum. 9 8,5 S. au reus (log cfu/g) 8 7,5 7 6,5 6 5,5 5 4,5 4 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 Waktu Penyimpanan (Jam) Gambar 26. Pertumbuhan S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) dalam soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC . Nasi uduk soto ayam tumis buncis Pertumbuhan S. aureus dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g pada penyimpanan suhu 15oC menunjukan hasil yang tidak terlalu berbeda 63 dengan perlakuan kontaminasi awal 3 log cfu/g. Pada soto ayam setelah penyimpanan selama 48 jam terjadi pertambahan bakteri S. aureus sebanyak 3,13 log cfu/g sehingga total bakteri menjadi 8,47 log cfu/g, kemudian pada masakan nasi uduk pertambahan bakteri mencapai 3,28 log cfu/g dan total bakteri menjadi 7,95 log cfu/g, dan pada tumis buncis terjadi pertambahan bakteri sebesar 2,90 log cfu/g sehingga diakhir penyimpanan selama 48 jam jumlah bakteri mencapai 7,48 log cfu/g. Dari data yang didapatkan, terlihat bahwa terjadi perbedaan pertambahan jumlah bakteri S. aureus antara kontaminasi awal 3 log dan 5 log cfu/g tetapi tidak signifikan karena setelah dilakukan uji statistik perbedaan jumlah kontaminasi awal tidak menunjukkan perbedaan nyata, hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 22. Terjadinya sedikit perbedaan pertambahan ini diduga karena pertumbuhan bakteri yang berjalan secara eksponensial yaitu pertambahan jumlah sel sebanyak dua kali lipat dari jumlah sel sebelumnya, sehingga jika jumlah kontaminasi lebih tinggi maka hasil duplikasi sel akan semakin tinggi pula. Berdasarkan data yang didapatkan, terlihat bahwa pertumbuhan bakteri S. aureus yang tetinggi terjadi pada makanan nasi uduk, kemudian soto ayam dan terakhir tumis buncis. Dilihat dari kandungan proteinnya, soto ayam merupakan sampel masakan yang memiliki kandungan protein yang terbesar karena berbahan dasar daging ayam selain itu menurut Paull et al. (1980), daging ayam memiliki komposisi asam amino yang cukup lengkap antara lain arginin, cystin, histidin, isoleusin, leusin, lisine, methionin, phenilalanin, threonin, tryptophan, tirosin, dan valin. Oleh karena itu, soto ayam merupakan media yang cukup baik bagi pertumbuhan S. aureus, hal ini sesuai dengan pernyataan Supardi (1999), adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk daging termasuk daging unggas juga mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus. 64 Dilihat dari kandungan nutrisinya, soto ayam merupakan media yang lebih baik dari pada sampel masakan nasi uduk atau tumis buncis dalam hal pembentukan enterotoksin, karena menurut Supardi et al.(1999), substrat yang baik untuk produksi enterotoksin adalah substrat yang mengandung protein atau asam amino, garam anorganik, dan vitamin. Arginin merupakan asam amino yang esensial untuk produksi enterotoksin, sedangkan vitamin yang dibutuhkan terutama adalah thiamin dan asam nikotinat. Tetapi pertumbuhan S. aureus yang terjadi pada nasi uduk memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada soto ayam hal ini diduga terjadi karena tingginya kandungan karbohidrat pada nasi uduk. Karena menurut DKBM (1989) nasi mengandung 76,2% karbohidrat. Adanya santan yang terdapat dalam nasi uduk dapat pula mempengaruhi kondisi pertumbuhan dari bakteri. Karena menurut Frazier dan Westhoff (1988), adanya kandungan gula, garam, koloid dan lemak dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan atau kematian sel selama penyimpanan dingin. Selain itu adanya kandungan zat anti bakteri pada bahan-bahan penyusun bumbu soto ayam, antara lain bawang merah, bawang putih, jahe, dan kunyit. Pada pembuatan soto ayam, digunakan 0,6% atau sekitar 3 g kunyit yang dimasukkan ke dalam 1 liter air dan berdasarkan hasil penelitian Lukman (1984) menunjukkan bahwa kurkuminoid yang terdapat pada rimpang kunyit selain berfungsi sebagai pigmen juga berfungsi sebagai anti mikroba, karena pada konsentrasi 2 g/l bersifat bakterisidal terhadap B. subtilis, L. acidophilus, dan S. aureus. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa jumlah kunyit yang digunakan dalam masakan soto ayam cukup untuk menghambat pertumbuhan dari bakteri S.aureus. Menurut Adam dan Moss (1995), kisaran suhu dalam produksi toksin adalah 10-45oC. Dosis toksin kurang dari 1,0 μg dalam makanan yang terkontaminasi sudah dapat menimbulkan gejala dari intoksikasi staphylococcal. Toksin ini akan mencapai level tersebut ketika populasi S. aureus lebih dari 6 log cfu/g sampel dan jumlah toksin yang dapat 65 menyebabkan penyakit pada manusia bergantung dari berat badan dan sensitivitas individu (Bergdoll, 1990). Berdasarkan literatur data tersebut, penyimpanan sampel masakan soto pada suhu refrigerator 15oC dengan jumlah kontaminasi awal 3 log cfu/g selama 48 jam diduga telah terjadi produksi enterotoksin. Sedangkan dengan jumlah kontaminasi awal 5 log cfu/g hanya dalam waktu 24 jam sudah dapat meghasilkan enterotoksin karena di akhir penyimpanan sampel selama 24 jam total bakteri S. aureus mencapai lebih dari 6 log cfu/g. Kasus keracunan karena suhu refrigerasi yang tidak tepat pernah terjadi di daerah Kentucky Amerika Serikat sebanyak 200 penumpang kereta api mengalami keracunan karena mengkonsumsi ham salad ,yang sebelumnya disimpan dalam refrigerator bersuhu 13 oC (CDC, 1976). Berdasarkan data yang didapatkan, pada penyimpanan masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada suhu 15 oC, pertumbuhan S. aureus terlihat cukup signifikan, sehingga suhu 15 oC merupakan suhu yang perlu diwaspadai dan tidak direkomendasikan sebagai sebagai suhu penyimpanan untuk suatu bahan pangan. Dan berdasarkan survei yang dilakukan pada penelitian ini ke sekitar 30 rumah tangga, terlihat bahwa sebagian besar suhu refrigerator yang ada di rumah tangga tidak memenuhi anjuran atau rekomendasi tentang suhu aman penyimpanan, yaitu sekitar 53,3% refrigerator bersuhu 10-14 oC bahkan sekitar 10% refrigerator rumah tangga bersuhu >15oC. sehingga dapat dikatakan bahwa kemungkinan adanya pertumbuhan bakteri selama penyimpanan di dalam refrigerator rumah tangga dapat terjadi. b.Laju Pertumbuhan S. aureus dalam Soto ayam, Nasi Uduk, dan Tumis Buncis pada Penyimpanan Suhu Rendah Pertumbuhan populasi sel pada umumnya terjadi secara eksponensial, yang berarti setelah sel membelah menjadi dua anak sel, masing-masing anak sel tersebut membelah lagi menjadi dua, dan seterusnya. Kecepatan pertumbuhan eksponensial biasanya dinyatakan dalam waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi sel untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya atau sebaliknya. 66 Waktu generasi S. aureus selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Tabel 12. Waktu Generasi S. aureus (kontaminasi awal 3 log cfu/g) pada soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu rendah Sampel Suhu Waktu generasi (jam) pH Masakan (ºC) 0-24 24-48 5 357,5 557,2 Soto 6,27 10 54,2 57,5 ayam 15 6,35 3,6 5 415,7 -274,3 Nasi 6,15 10 47 49,7 uduk 15 4,21 4,65 5 302,45 623,3 Tumis 5,89 10 167,9 50,9 buncis 15 5,5 4,0 Pada Tabel 12 terlihat bahwa waktu generasi S. aureus pada suhu 5ºC terlihat cukup tinggi, yaitu diatas 300 jam, bahkan pada nasi uduk waktu generasinya bernilai minus yang berarti telah terjadi penurunan jumlah bakteri, baik pada masakan soto ayam, nasi uduk, maupun tumis buncis. Sedangkan pada penyimpanan suhu 10ºC, waktu generasi berjalan lebih cepat tidak lebih 100 jam. Waktu generasi S. aureus tercepat terjadi pada masakan nasi uduk, yaitu 49,7 jam dan waktu generasi terlambat pada tumis buncis. Menurut Sutherland dan Herbert (2000), waktu generasi S. aureus pada media brain heart infusion pada suhu 10ºC dengan pH lingkungan optimum adalah 12,0 jam. Perbedaan waktu generasi ini disebabkan karena faktor-faktor pertumbuhan lain selain suhu seperti nutrisi dan pH dapat mempengaruhi waktu generasi dari bakteri S. aureus ini. Perbedaan waktu generasi antara penyimpanan suhu 10ºC dan 15ºC terlihat signifikan, nilainya kurang dari 10 jam. 67 Tabel 13. Waktu Generasi S. aureus (kontaminasi awal 5 log cfu/g) pada soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu rendah Sampel Suhu Waktu generasi (jam) pH Masakan (ºC) 0-24 24-48 5 -1039,5 -2079,1 Soto 6,27 10 23,2 45,89 ayam 15 5,0 4,25 5 -52,3 -192,2 Nasi 6,15 10 91,5 65 uduk 15 4,4 4,3 5 -122,8 85 Tumis 5,89 10 -235,1 79 buncis 15 6,7 3,9 Pada Tabel 13 terlihat bahwa laju pertumbuhan sel pada hari pertama, lebih cepat dibandingkan hari ke-2. Hal ini diduga terjadi karena pada penyimpanan di hari pertama bakteri berada dalam tahap adaptasi. Faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri S.aureus pada masakan soto, nasi uduk dan tumis buncis adalah suhu penyimpanan, karena faktor pertumbuhan lainnya seperti aw, kadar garam yang hanya sekitar 2% dan pH berada pada kondisi optimum pertumbuhan S. aureus. secara umum waktu generasi tercepat terjadi pada pertumbuhan Menurut S. aureus di masakan nasi uduk yaitu 4,0 jam. Sutherland dan Herbert (2000), waktu generasi S. aureus dalam media brain heart infusion penyimpanan suhu 15ºC adalah sebesar 4,0 jam. Tanda minus (-) pada waktu generasi berarti telah terjadi penurunan jumlah bakteri, dan dari data terlihat bahwa penyimpanan suhu 5ºC menyebabkan penurunan jumlah sel, ini diduga terjadi karena kondisi suhu pertumbuhan berada pada batas minimum. Menurut Sutherland dan Herbert (2000), ketika suhu pertumbuhan di bawah suhu optimum suatu bakteri, fase lag dan waktu generasi akan meningkat dan laju pertumbuhan menurun. 68 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil survei mengenai praktik sanitasi yang dilakukan pada tingkat rumah tangga menunjukkan bahwa sebagian besar responden tetap melakukan aktivitas memasak saat menderita batuk atau luka terbuka dan sebesar 33% responden melakukan pembersihan refrigerator setiap 3-4 minggu sekali. Sedangkan survei mengenai penyimpanan masakan menunjukkan sebagian responden yaitu sekitar 88% menggunakan refrigerator sebagai tempat menyimpan masakan. Dan setelah dilakukan pengukuran terhadap suhu refrigerator rumah tangga didapatkan hasil bahwa tidak terdapat refrigerator yang memiliki suhu di bawah 5ºC, dan hanya 36,6% rumah tangga yang memiliki refrigerator dengan suhu <10ºC, bahkan terdapat refrigerator yang bersuhu >15ºC. Penyimpanan masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada suhu 5 oC tidak memperlihatkan pertumbuhan S. aureus bahkan jumlah bakteri cenderung konstan. Hal ini juga terjadi pada penyimpanan suhu 10oC , penyimpanan sampel masakan pada suhu10oC ini tidak memperlihatkan pertambahan sel S. aureus yang signifikan. Penyimpanan selama 24 jam untuk jumlah kontaminasi awal 3 log cfu/gr dan 5 log cfu/gr hanya menghasilkan pertambahan bakteri S. aureus yang tidak lebih dari 1 log cfu/g sampel. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa penyimpanan sampel makanan pada suhu 10oC dianggap aman karena diakhir penyimpanan 48 jam total bakteri tidak mencapai 6 log cfu/gr. Sedangkan pada penyimpanan sampel masakan pada suhu 15 oC, pertumbuhan bakteri cukup signifikan. Setelah penyimpanan selama 48 jam dengan inokulasi awal S. aureus sebanyak 3 log cfu/g, total bakteri telah mencapai lebih dari 6 log cfu/g. Sedangkan dengan kontaminasi awal 5 log cfu/g, hanya dengan penyimpanan 24 jam bakteri telah mencapai jumlah 6 log cfu/g. Perbedaan nutrisi pada sampel masakan terlihat memiliki pengaruh pada pertumbuhan bakteri S. aureus. Ini dapat dilihat dari pertumbuhan bakteri pada sampel masakan soto ayam dan nasi uduk yang lebih cepat dari 69 pada pertumbuhan S. aureus pada masakan tumis buncis, karena pada tumis buncis kebutuhan nutrisi berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia, sehingga pertumbuhan yang terjadi tidak optimum. Pengaruh perbedaan jumlah inokulasi awal bagi pertumbuhan bakteri S. aureus ini tidak signifikan, karena secara umum pertambahan jumlah sel antara jumlah kontaminasi awal 3 log dan 5 log cfu/g tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Berdasarkan uji statistik, dengan perbedaan jumlah kontaminasi awal bakteri yaitu 3 log cfu/g dan 5 log cfu/g tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Ini berarti dengan jumlah kontaminasi awal 3 log atau 5 log cfu/g tidak menunjukkan perbedaan jumlah pertambahan dari bakteri S. aureus selama penyimpanan suhu refrigerator. Berdasarkan data yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa suhu 10oC dan 5 oC tidak mendukung pertumbuhan dari bakteri S. aureus, sehingga penyimpanan pada suhu ini masih dianggap aman dan tidak berpeluang akan terjadinya produksi enterotoksin, tetapi pada kenyataanya berdasarkan hasil survei, suhu refrigerator rumah tangga jarang dapat mencapi suhu penyimpanan <10ºC. Sedangkan penyimpanan pada suhu refrigerator 15oC perlu lebih diwaspadai, karena terdapat kemungkinan adanya produksi enterotoksin, dan didukung oleh hasil survei yang menyatakan bahwa pada praktiknya terdapat rumah tangga yang memiliki refrigerator dengan suhu penyimpanan >15ºC. B. SARAN Penelitian selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menambahkan bakteri lain sebagai bakteri pesaing dalam lingkungan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ini, sehingga persaingan antar bakteri dapat terlihat. Variasi masakan juga dapat diuji, penggunaan sampel masakan dengan kondisi pertumbuhan yang berbeda-beda dari segi aktivitas air, pH, maupun kadar garam dapat memberikan informasi yang lebih beragam. Selain itu pengukuran jumlah toksin yang dihasilkan dapat dilakukan untuk menghasilkan data yang lebih akurat. 70 DAFTAR PUSTAKA Adam, M.R. dan Moss, M.O. 1995. Food Microbiology. Royal Society of Chemistry, Cambridge, UK. Anonim. 2001. The 7th Report of The WHO Surveillance Programme for Control of Foodborne Infections and Intoxications in Europe. www.bgvv/internet/7threport/7threp.fr.htm. Anonim. 2004. Resep Masakan Nusantara. http:// www.myrecepeonline.com Anonim. 2008. Nasi Uduk. www.wikipedia.com [11 Juli 2008] Anonim. 2008. Soto Ayam. www.wikipedia.com [11 Juli 2008] Ash, Megan. 2000. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxins. Di dalam: Hocking, A. D., Glenda A., Ian J., Ken N., dan Peter S. 2000. Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. AISFT Food Microbiology Group, New South Wales. Australia New Zeland Food Standards. 2002. Guidline for The Microbiological Examination of Ready to Eat Food. Canberra Bean, N.H. dan P.M. Griffin. 1990. Foodborne disease outbreaks in The United States, 1973-1987: Pathogens, vehicle, and trends. J. Food Protect. 53: 711-728 Bergdoll, M.S. 1992. Staphylococcal Intoxication in Mass Feeding. Di dalam Handbook of Natural Toxins Food Poisoning Vol 7, Anthony T.Tu,ed. Marcel Dekker, New York Bergdoll, M.S. 1990. Staphylococcal Food Poisoning. Di dalam : Foodborne Diseases, Academic Press, Inc., San Diego Bolton, D.J,J. Kennedy, dan C. Cowan. 2005. Final Report Irish Domestic Food Safety Knowledge, Practice and Microbiology with Particular Emphasis on Staphylococcus aureus. The National Food Centre, Ashtown, Dublin. BPOM. 2005. Data Kondisi Keamanan Pangan. Di Dalam : Haryadi, P dan N. Andarwulan. 2007. Konsolidasi Sistem Keamanan Pangan di Indonesia. Piramedia, Depok. Buckle, K.A., Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. UIPress, Jakarta 71 Center for Disease Control. 1975. Staphylococcal food poisoning-Georgia. MMWR 24:350 di dalam Handbook of Natural Toxins Vol.1 Ed. Anthony T.Tu 1992. Marcel Dekker, New York. Center for Disease Control. 1976. Staphylococcal food poisoning-Colorado. MMWR 26:22,27 di dalam Handbook of Natural Toxins Vol.1 Ed. Anthony T.Tu 1992. Marcel Dekker, New York. Center for Disease Control. 1979. Staphylococcal food poisoning-New York. MMWR 28:45 di dalam Handbook of Natural Toxins Vol.1 Ed. Anthony T.Tu 1992. Marcel Dekker, New York. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1990. Aspek Gizi Makanan Jajanan. Disampaikan pada Seminar Sehari Tentang Peranan Organisasi Kemasyarakatan/ Potensi dalam Pembinaan dan Pemasyarakatan Makanan Jajanan yang Sehat dan Aman. Djaafar, T.F. dan S. Rahayu. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan, dan pencegahannya. J. Litbang Pertanian 26 (2) Doyle, Michael P., Larry R. Beuchat., T.J. Montville. 1997. Food Microbiology Fundamentals and Frontiers. ASM Press, Washington DC Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fardiaz. 1994. Pengendalian Keamanan dan Penerapan HACCP dalam Perusahaan Jasa Boga. Buletin Teknologi Industri Pangan, 5 (3), 7177. Food Drug Administration. 2003. Handbook of Foodborne Pathogens. Marcel Dekker, Inc., New York Frezier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th. Mc-Graw-Hill, Inc, New York. Gaman, P.M. dan K.B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Haeghebaert, S., Le Querrec, F., Gallay, A., Bouvet, P., Gomez, M. and Vaillant, V. 2002. Les toxi-infections alimentaires collectives en France, en 1999 et 2000. Bull. Epidémiol. Hebdo. 23: 105-109. Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami, dan S. Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya kontaminasi S. aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan produk daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16(3): 7−15. 72 Holeckova, B., E. Holoda., M. Fotta., V. Kalinacova., J. Gondol., dan J. Grolmus. 2002. Occurance of enterotoxigenic Staphylococcus aureus in food. An Agric Environ Med 9: 179-182. Holmberg, S.D dan P.A. Blake. 1984. Staphylococcal food poisoning in The United States. JAMA 251: 487-489. Hutton, M.T., Chekak, P.A., dan Hanlin, J.H (1991). Inhibition of Botulinum Toxin Production by Pediococcus acidilactici in Temperature Abused Refrigerated Food. Di dalam : Lund B.M., Toni C. Baird-Parker, G.W. Gould. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol.2. Aspen Publication, Maryland. Iandolo, J.J. 1989. Genetic Analysis of Extrcelluler Toxins of Staphylococcus aureus. Annu Rev Microbiology 43: 375-02. International Commission on Microbiological Specifications for Foods. 1996. Staphylococcus aureus, p. 299–333. Di dalam: T. A. Roberts, A. C. Baird-Parker, and R. B. Tompkin (ed.), Microorganisms in Foods 5: Characteristics of Microbial Pathogens. Blackie Academic & Professional, London. James S J, J.Evans, C. James .2007. A review of the performance of domestic refrigerators . Journal of Food Engineering, Volume 87, Pages 2-10 Jay, M.J. 2000. Modern Food Microbiology 6th ed. Aspen Publication, Maryland. Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor Lukman, A.A.S. 1984. Pengaruh Bubuk Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) dan Bubuk Residu Ekstraknya terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Basili Gram Positif. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Lund B.M., Toni C. Baird-Parker, G.W. Gould. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol.2. Aspen Publication, Maryland. Madigan, M.T., J.M Martinko, dan J. Parker. 2002. Biology of Microorganisms 7th Ed. Prentice Hall, Illinois. Marr, A.G. 1980. Effect of Temperature on The Composition of Fatty Acid in E. coli. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York. 73 Monday S.R. dan R.W. Bennet. 2003. Staphylococcus aureus. Di dalam: Miliotis M.D. dan J.W. Bier. International Handbook of Foodborne Pathogenes. Marcel Dekker, New York. Marriot dan G. Norman. 1985. Principles of Food Sanitation. Van Nostrand Reinhold, New York. Mead, P., Slutsker, L., Dietz,V., McCaig, L., Bresee, J., Shapiro, C., Griffin, P., dan Tauxe, R. 1999.Food-Related Illnes and Death in The United States. Emerg. Infect.Dis. 5: 607-625. Naele, E.K dan G.B Chapman. 1980. Effect of Low Temperature on The Growth and Fine Structure of B. subtilis. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York. Raiser, R., Conaway, D., dan Berdgoll, M.S. 1974. Detection of Staphylococcal enterotoksin in food. Appl. Microbiol.27: 83-85 Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. Foodborne Infection and Intoxication. 2nd edition, Academic Press, Inc., San Diego. Rose, A.H. 1980. Physiology of Microorganisms at Low Temperature. Di dalam : Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York. Schaechter, M., G Medoff, B. I. Eisenstein. 1993. Mechanisms of Microbial Disease 2nd Edition. Williams and Wilkins, London. Schmitt M, Schuler-schmid U, Scmidt-lorenz W. 1990. Temperature limits of growth, TNase, and enterotoxin production of Staphylococcus aureus strains isolated from foods. Int J Food Microbiol 11:1-19. Shaw, M.K. 1980. Formation of Filament and Synthesis of Macromolecules at Temperature Below The Minimum for Growth of E. coli. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York. Shehata, E. dan A.G. Marr. 1980. Effect of Temperature on The Size of E. coli Cells. Di dalam: Silliker, J.H., R.P. Elliott, A.C. Baird-Parker, F.L. Bryan,, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson, Jr., T.A. Roberts. Microbial Ecology of Foods. Academic Press, New York. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. 74 Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Stewart C. M., M. B. Cole, dan D. W. Schaffner. 2003. Managing the risk of Staphylococcal food poisoning from cream-filled baked goods to meet a food safety objective. J. Food Prot. 66(7): 1310-1325. Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung Sutherland, J.P. dan A. Varnam. 1982. Meat Mirobiology.Di edit oleh: M.H. Brown. Applied Science Publisher LTD, London. Todar, K. 2007. Textbook of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net [24 Februari 2008] Triller, J.A. 1983. Sanitation in Food Processing. Academic Press, New York. US Food and Drug Administration. 1999. Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic Microorganism and Natural Toxins Handbook. Factors Affecting the Growth of Some Foodborne Pathogens: Centre of Food Safety and Applied Nutrition (CFSAN). http://vw.cfsan.fda.gov/mow/intro.html [12 Januari 2008] Wieneke, A.A., Roberts D and Gilbert, R. J. 1993. Staphylococcal food poisoning in United Kingdom 1969-1990. Epidemiology Infection 110:519-531 Winarno, F.G. 1993. Keamanan, Gizi, dan Khasiat Makanan Tradisional. Prosiding Seminar Pengembangan Pangan Tradisional dalam Rangka Penganekaragaman Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta. Winarno, F.G. 1997.Keamanan Pangan. Pusbangtepa IPB, Bogor. 75 Lampiran 1. Kuesioner Survei KUESIONER SURVEI PRAKTIK SANITASI DAN PENYIMPANAN MAKANAN DALAM RUMAH TANGGA Nama Alamat : : Petunjuk pengisian : - Jawab dengan jujur - Beri tanda (√) pada pilihan jawaban di bawah ini - Pertanyaan berupa isian, harap dijawab dengan singkat dan jelas 1. Umur : Kurang dari 20 tahum 20-30 tahun Lebih dari 30 tahun 2.Pendidikan: Tidak tamat SD SD SMP SMU Perguruan Tinggi 3.Apakah anda selalu mencuci tangan sebelum memasak? Ya Tidak 4.Bagaimana anda mencuci tangan? Dengan air mengalir (kran) Dengan air tergenang (di ember atau baskom) Lainnya, sebutkan _____________________________________________ 5.Apakah anda mencuci tangan dengan sabun? Ya Tidak Tidak selalu 6. Bagaimana anda mencuci peralatan makan seperti piring, gelas, sendok, dan garpu? Dengan air mengalir (kran) 76 Dengan air tergenang (ember atau baskom) Lainnya, sebutkan _____________________________________________ 7. Apakah anda mencuci peralatan makan/masak tersebut dengan sabun? Ya Tidak Tidak selalu 8. Apakah anda menggunakan lap yang berbeda untuk membersihkan meja, peralatan makan (sendok, garpu, piring, gelas) dan peralatan masak (pisau, talenan)? Ya Tidak 9. Berapa kali anda mengganti lap yang digunakan untuk membersihkan peralatan makan? Setiap hari 2 hari sekali Seminggu sekali Lainnya, sebutkan ______________________________________________ 10.Jika terdapat luka terbuka di tangan apakah anda tetap memasak? Ya tidak 11.Jika anda batuk, apakah anda tetap memasak? Ya Tidak 12.Ketika harus memasak , kapankah anda mandi? Sebelum memasak Sesudah memasak Lainnya, sebutkan _____________________________________________ 13.Apakah anda membersihkan meja dapur setelah selesai memasak? Ya Tidak Tidak selalu 14.Berapa kali anda mengepel dapur? Setiap kali selesai memasak Satu hari sekali 3-4 kali dalam seminggu 1-2 kali dalam seminggu 77 15.Berapa jam paling lama (maksimum) anda menyimpan masakan (di meja atau di lemari) ? 1-3 jam 4-6 jam 7-9 jam 10-12 jam 16.Bagaimana anda menyimpan makanan tersebut? dalam wadah terbuka tanpa penutup apapun dalam wadah terbuka ditutup dengan tudung saji atau sejenisnya dalam wadah tertutup lainnya, sebutkan ______________________________________________ 17.Jika ada makanan yang tersisa/ tidak habis, apa yang anda lakukan? Disimpan untuk keesokan hari Dibuang Lainnya, sebutkan _____________________________________________ 18.Jika disimpan, bagaimana penyimpanannnya ? (jawaban boleh lebih dari 1) Dalam lemari pendingin (kulkas) Dalam lemari biasa Dalam ruangan terbuka Lainnya, sebutkan _____________________________________________ 19.Berapa jam paling lama (maksimum) anda menyimpan makanan di lemari pendingin (kulkas)? 1-3 jam 4-6 jam 7-9 jam 10-12 jam Lebih dari 12 jam, sebutkan______________________________________ 20.Berapa kali anda membersihkan lemari pendingin (kulkas) ? 1-2 minggu sekali 3-4 minggu sekali lebih dari 1 bulan sekali lainnya, sebutkan ______________________________________________ 21.Sebelum menyimpan makanan (di kulkas atau lemari atau meja makan), apakah anda memanaskannya terlebih dahulu? Ya Tidak Tidak selalu Suhu kulkas : 78 Lampiran 2. Tabulasi data jawaban kuesioner No Kategori 1 Usia 2 Pendidikan 3 Pencucian tangan sebelum masak 4 Sumber air untuk mencuci tangan 5 Penggunaan sabun untuk cuci tangan 6 7 Sumber air mencuci peralatan dapur Penggunaan sabun untuk mencuci peralatan dapur 8 Penggunaan lap yang berbeda 9 Penggantian lap Jawaban <20 tahun 20-30 tahun >30 tahun SD SMP SMU Perguruan tinggi Ya Tidak Air mengalir Air tergenang Ya Tidak Tidak selalu Air mengalir Air tergenang Keduanya Ya Tidak Tidak selalu Ya Tidak 1 hari sekali 2 hari sekali 1 minggu sekali Persentase (%) 3,3 13,7 83,3 6,6 16,7 56,7 20 96,7 3,3 93,3 6,7 73,3 0 26,7 90 6,7 3,3 96,7 0 3,3 90 10 43,3 50 6,7 Total responden 30 30 30 30 30 30 30 30 30 10 11 12 13 14 15 16 Aktivitas memasak saat terjadi luka terbuka ditangan Aktivitas memasak saat menderita batuk Mandi Pembersihan meja dapur setelah peoses memasak Pengepelan dapur setelah masak Lama penyimpanan makanan dalam suhu ruang Cara penyimpanan makanan 17 Jika terdapat makanan sisa 18 Tempat penyimpanan makanan Ya, tetap memasak Tidak Ya Tidak Sebelum memasak Setelah memasak Tidak tentu Ya Tidak Tidak tentu Setiap selesai masak 1 hari sekali 3-4 kali seminggu 1-3 jam 4-6 jam 7-9 jam 10-12 jam Dalam wadah terbuka Dalam wadah terbuka + tudug saji Dalam wadah tertutup Disimpan Dibuang Refrigerator Refrigerator, lemari Refrigerator, lemari, ruangan terbuka 76,7 23,3 86,7 13,3 46,7 50 3,3 93,3 0 6,7 70 26,7 3,3 23,3 33,3 23,3 20 6,7 63,3 30 86,7 13,3 88 8,3 3,7 30 30 30 30 30 30 30 30 30 19 20 21 21 Lama penyimpanan di dalam refrigerator Jangka waktu pembersihan refrigerator Pemanasan makanan sebelum disimpan dalam refrigerator Suhu refrigerator rumah tangga* * Rincian suhu • Suhu 6ºC = 3 • Suhu 8ºC = 6 • Suhu 9ºC = 2 • Suhu 10ºC= 7 • Suhu 11ºC= 5 • Suhu 12ºC= 3 • Suhu 14ºC= 1 • Suhu 15ºC= 2 • Suhu 16ºC= 1 1-3 jam 4-6 jam 7-9 jam 10-12 jam > 12 jam 1-2 minggu sekali 3-4 minggu sekali > 1 bulan sekali Ya Tidak Tidak selalu 5-9ºC 10-14ºC >15ºC 3,3 13,3 26,7 30 26,7 63,3 33,3 3,3 40 26,7 33,3 36,7 53,3 10 30 30 30 30 Lampiran 3 . Data jumlah sel Staphylococcus aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 2,50 x 103 1,49 x 103 2,77 x 103 1,54 x 103 2,99 x 103 2,37 x 103 3,34 x 103 3,30 x 103 4,36 x 103 3,71 x 103 2,80 x 104 2,65 x 104 2,83 x 106 2,59 x 106 Rata-rata Nilai log 1,99 x 103 3,299 2,15 x 103 3,333 2,64 x 103 3,421 3,24 x 103 3,511 4,03 x 102 3,605 2,72 x 104 4,435 2,71 x 106 6,432 Lampiran 4. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/gr. Kultur yang diinokulsikan Staphylococcus aureus Waktu Penyimpanan (Jam) Media Rata-rata Nilai log 0 2,20 x 105 5,342 3 2,67 x 105 5,426 6 4,60 x 105 5,662 5,85 x 105 5,767 12 8,22 x 105 5,914 24 5,85 x 106 6,767 48 2,92 x 108 8,465 9 BPA Lampiran 5. Data jumlah sel nasi uduk pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Media Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Cfu/g 5,00 x 102 4,00 x 102 5,00 x 102 9,50 x 102 5,00 x 102 1,20 x 102 1,36 x 103 1,72 x 103 2,45 x 103 2,63 x 103 2,31 x 104 2,80 x 104 9,65 x 105 8,60 x 105 Rata-rata Nilai log 5,00 x 102 2,698 7,25 x 102 2,860 8,50 x 102 2,929 1,54 x 103 3,189 2,54 x 103 3,405 2,55 x 104 4,407 9,12 x 105 5,960 Lampiran 6. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/gr. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 3,86 x 104 5,45 x 104 5,86 x 104 5,68 x 104 5,95 x 104 9,22 x 104 2,21 x 105 1,13 x 105 2,21 x 105 1,45 x 105 1,62 x 106 2,31 x 106 8,17 x 107 9,50 x 107 Rata-rata Nilai log 4,65 x 104 4,66 5,77 x 104 4,76 7,59 x 104 4,88 1,67 x 105 5,22 1,83 x 105 5,26 1,97 x 106 6,29 8,84 x 107 7,94 Lampiran 7. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 4,00 x 102 4,50 x 102 5,00 x 102 4,50 x 102 6,50 x 102 8,57 x 102 5,00 x 102 1,62 x 103 1,00 x 103 1,45 x 103 8,86 x 103 8,59 x 103 5,18 x 105 5,85 x 105 Rata-rata Nilai log 4,25 x 102 2,62 4,75 x 102 2,67 7,53 x 102 2,87 1,06 x 103 3,02 1,23 x 103 3,08 8,72 x 103 3,94 5,51 x 105 5,75 Lampiran 8. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 15oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 3,40 x 104 4,18 x 104 3,72 x 104 4,86 x 104 3,40 x 104 5,22 x 104 4,90 x 104 5,45 x 104 3,45 x 104 5,68 x 104 4,04 x 105 4,72 x 105 1,71 x 107 4,37 x 107 Rata-rata Nilai log 3,79 x 104 4,57 4,29 x 104 4,63 4,31 x 104 4,63 5,18 x 104 4,71 4,56 x 104 4,66 4,38 x 105 5,64 3,04 x 107 7,48 Lampiran 9. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 1,61 x 103 1,42 x 103 1,64 x 103 1,43 x 103 2,02 x 103 1,89 x 103 2,08 x 103 2,01 x 103 2,05 x 103 1,60 x 103 2,09 x 103 2,03 x 103 3,00 x 103 2,50 x 103 Rata-rata Nilai log 1,51 x 103 3,18 1,53 x 103 3,18 1,95 x 103 3,29 2,04 x 103 3,31 1,82 x 103 3,26 2,06 x 103 3,31 2,75 x 103 3,43 Lampiran 10. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 1,55 x 105 1,00 x 105 1,50 x 105 1,18 x 105 1,24 x 105 1,38 x 105 1,69 x 105 1,38 x 105 2,24 x 105 1,53 x 105 3,22 x 105 2,00 x 105 4,50 x 105 3,00 x 105 Rata-rata Nilai log 1,27 x 105 5,10 1,34 x 105 5,12 1,31 x 105 5,11 1,53 x 105 5,18 1,88 x 105 5,27 2,61 x 105 5,41 3,75 x 105 5,57 Lampiran 11. Data Jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 2,90 x 103 1,59 x 103 3,31 x 103 1,95 x 103 2,81 x 103 2,04 x 103 2,22 x 103 1,71 x 103 2,90 x 103 1,72 x 103 3,90 x 103 2,50 x 103 4,00 x 103 4,95 x 103 Rata-rata Nilai log 2,24 x 103 3,35 2,63 x 103 3,42 2,43 x 103 3,38 1,97 x 103 3,29 2,31 x 103 3,36 3,20 x 103 3,50 4,47 x 103 3,65 Lampiran 12. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 2,09 x 105 1,53 x 105 1,90 x 105 1,56 x 105 2,20 x 105 1,59 x 105 2,33 x 105 1,34 x 105 2,38 x 105 1,45 x 105 2,73 x 105 1,61 x 105 3,44 x 105 2,16 x 105 Rata-rata Nilai log 1,81 x 105 5,25 1,73 x 105 5,24 1,90 x 105 5,27 1,83 x 105 5,26 1,91 x 105 5,28 2,17 x 105 5,33 2,80 x 105 5,45 Lampiran 13. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 2,03 x 103 2,41 x 103 2,72 x 103 2,65 x 103 2,27 x 103 2,24 x 103 1,88 x 103 2,35 x 103 2,12 x 103 2,35 x 103 2,50 x 103 2,40 x 103 3,50 x 103 3,31 x 103 Rata-rata Nilai log 2,22 x 103 3,35 2,69 x 103 3,42 2,26 x 103 3,35 2,11 x 103 3,32 2,23 x 103 3,34 2,46 x 103 3,39 3,40 x 103 3,53 Lampiran 14. Data jumlah sel S. aureus dalam tumis buncis pada penyimpanan suhu 10oC dengan inokulasi awal 5log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media Ulangan BPA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 3 6 Staphylococcus aureus 9 12 24 48 Cfu/g 2,54 x 105 2,51 x 105 2,20 x 105 2,51 x 105 2,20 x 105 2,27 x 105 2,28 x 105 2,36 x 105 2,24 x 105 2,36 x 105 2,30 x 105 2,41 x 105 2,75 x 105 3,05 x 105 Rata-rata Nilai log 2,52 x 105 5,40 2,36 x 105 5,37 2,24 x 105 5,35 2,32 x 105 5,36 2,30 x 105 5,36 2,35 x 105 5,37 2,90 x 105 5,46 Lampiran 15. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media 0 6 Staphylococcus aureus 12 BPA 24 48 Cfu/g Nilai log 1,43 x 103 3,15 1,47 x 103 3,16 1,45 x 103 3,16 1,50 x 103 3,17 1,54 x 103 3,18 Lampiran 16. Data jumlah sel S. aureus dalam soto ayam pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media 0 6 Staphylococcus aureus 12 24 48 BPA Cfu/g Nilai log 1,43 x 105 5,15 1,39 x 105 5,14 1,27 x 105 5,10 1,40 x 105 5,14 1,40 x 105 5,14 Lampiran 17. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 3 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media 0 6 Staphylococcus aureus 12 BPA 24 48 Cfu/g Nilai log 2,22 x 103 3,34 2,22 x 103 3,34 2,18 x 103 3,33 2,31 x 103 3,36 2,18 x 103 3,33 Lampiran 18. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media 0 6 Staphylococcus aureus 12 24 48 BPA Cfu/g Nilai log 2,33 x 105 5,36 3,03 x 105 5,48 1,93 x 105 5,28 1,70 x 105 5,23 1,55 x 105 5,19 Lampiran 19. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media 0 6 Staphylococcus aureus 12 BPA 24 48 Cfu/g Nilai log 2,13 x 103 3,32 2,66 x 103 3,42 2,46 x 103 3,39 2,25 x 103 3,35 2,31 x 103 3,36 Lampiran 20. Data jumlah sel S. aureus dalam nasi uduk pada penyimpanan suhu 5oC dengan inokulasi awal 5 log cfu/g. Kultur yang diinokulsikan Waktu Penyimpanan (Jam) Media 0 6 Staphylococcus aureus 12 24 48 BPA Cfu/g Nilai log 2,54 x 105 5,40 2,35 x 105 5,37 2,31 x 105 5,36 2,21 x 105 5,34 2,69 x 105 5,43 Lampiran 21. Hasil uji statistic pengaruh perbedaan inokulasi awal 3 log cfu/g dan 5 log cfu/g dalam masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 10ºC. Paired T-Test and CI: sotolog310, sotolog510 Paired T for sotolog310 - sotolog510 sotolog310 sotolog510 Difference N 6 6 6 Mean 0.043106 0.077958 -0.034853 StDev 0.064783 0.065453 0.085156 SE Mean 0.026447 0.026721 0.034765 95% CI for mean difference: (-0.124218, 0.054513) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.00 0.362 P-Value = Paired T-Test and CI: nasiuduklog310, nasiuduklog510 Paired T for nasiuduklog310 - nasiuduklog510 nasiuduklog310 nasiuduklog510 Difference N 6 6 6 Mean 0.049815 0.031493 0.018322 StDev 0.095172 0.048078 0.075238 SE Mean 0.038854 0.019628 0.030716 95% CI for mean difference: (-0.060635, 0.097279) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.60 0.577 P-Value = Paired T-Test and CI: tumisbuncislog310, tumisbuncislog510 Paired T for tumisbuncislog310 - tumisbuncislog510 tumisbuncislog31 tumisbuncislog51 Difference N 6 6 6 Mean 0.030811 0.010063 0.020748 StDev 0.077448 0.043370 0.061741 SE Mean 0.031618 0.017706 0.025205 95% CI for mean difference: (-0.044044, 0.085541) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.82 0.448 P-Value = Lampiran 22. Hasil uji statistic pengaruh perbedaan inokulasi awal 3 log cfu/g dan 5 log cfu/g dalam masakan soto ayam, nasi uduk, dan tumis buncis pada penyimpanan suhu 15ºC. Paired T-Test and CI: sotolog315, sotolog515 Paired T for sotolog315 - sotolog515 sotolog315 sotolog515 Difference N 6 6 6 Mean 0.522171 0.520493 0.001678 StDev 0.783274 0.645056 0.153247 SE Mean 0.319770 0.263343 0.062563 95% CI for mean difference: (-0.159145, 0.162500) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.03 0.980 P-Value = Paired T-Test and CI: nasiuduklog315, nasiuduklog515 Paired T for nasiuduklog315 - nasiuduklog515 nasiuduklog315 nasiuduklog515 Difference N 6 6 6 Mean 0.543544 0.546366 -0.002822 StDev 0.597794 0.654541 0.105649 SE Mean 0.244048 0.267215 0.043131 95% CI for mean difference: (-0.113694, 0.108049) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.07 0.950 P-Value = Paired T-Test and CI: tumisbuncislog315, tumisbuncislog515 Paired T for tumisbuncislog315 - tumisbuncislog515 tumisbuncislog31 tumisbuncislog51 Difference N 6 6 6 Mean 0.518871 0.484065 0.034807 StDev 0.695927 0.769750 0.117888 SE Mean 0.284111 0.314249 0.048128 95% CI for mean difference: (-0.088909, 0.158522) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0.72 0.502 ` P-Value =