File : ISI

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perekonomian global telah mengakibatkan adanya integrasi atau
penyatuan ekonomi antarnegara di dunia melalui peningkatan aliran barang, jasa,
modal, dan bahkan tenaga kerja (Stiglitz, 2007: 52). Adanya pengintegrasian
ekonomi secara global terutama dalam bidang perdagangan ditandai dengan
disepakatinya pembentukan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995
sebagai kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang
didukung International Monetary Fund (MF) dan Bank Dunia (Word Bank).
Yaitu, setiap negara anggota WTO membuka pasarnya dengan menyesuaikan
ketentuan-ketentuan WTO secara mengikat (binding agreement) dan bersifat
mandotory terhadap kebijakan perdagangan luar negerinya. Oleh karena itu,
dapatlah dikatakan bahwa secara “resmi” dunia saat ini telah bergerak menjadi
satu pasar bebas dalam pengertian mengurangi pelbagai pembatasan akses ke
pasar dan pembatasan perlakuan nasional (national treathment).
Ekonomi menggiring setiap negara terjun ke dalam “arena” globalisasi
(diadopsi dari Stiglitz dalam Making Globalization Work), terutama melalui
turunnya biaya komunikasi dan transportasi, yang mengakibatkan arus barang
(perdagangan) yang melintasi batas-batas negara berubah dari tetesan menjadi
banjir bandang. Kecenderungan negara-negara untuk membuka pasarnya tidak
1
2
bisa terelakan lagi. Globalisasi jelas tidak bisa terelakkan, suka atau tidak, siap
atau tidak, globalisasi sudah merasuki kehidupan sebagian besar umat manusia.
Seperti yang dikutip oleh Manfred B. Steger dalam headline laporan utama
majalah newsweek mengenai globalisasi ekonomi, “Like it or not, you’re married
to the market (Suka atau tidak suka, Anda telah menikah dengan pasar)”; dan
“Market ‘R Us (Pasar adalah Kita)” (Steger, 2002: 9).
Perkembangan globalisasi yang berlangsung dalam beberapa dasawarsa
terakhir telah menyebabkan pelbagai perubahan yang fundamental dalam tatanan
perekonomian dunia baik sektor keuangan maupun perdagangan. Khususnya di
bidang perdagangan, perubahan tersebut telah mendorong sebagian besar negara
di dunia untuk melakukan penyesuaian kebijakan dan praktek perdagangan
internasional. Namun dalam perkembangannya, kebijakan dan peraturan
perdagangan yang dikeluarkan suatu negara seringkali bertentangan dengan
mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan prinsip perdagangan bebas sehingga
menghambat penetrasi pasar bagi pelaku bisnis negara lain.
Sebuah pilihan dilematis bagi Indonesia yang masih digolongkan negara
berkembang dalam menghadapi perubahan besar tatanan perekonomian dunia. Di
satu sisi, dalam hal ini, pemerintah membuka pasarnya sebagai respon dari kondisi
yang telah meningkatkan persaingan perdagangan antarnegara. Di sisi lain,
Pemerintah harus bertindak cepat dan tepat untuk menstabilkan nilai tukar rupiah,
laju inflasi dan pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia, (ketiganya secara
teoritis merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya nilai impor
Indonesia, sementara nilai tukar, inflasi dan PDB negara-negara mitra dagang
3
serta harga komoditi ekspor merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi
tinggi-rendahnya nilai ekspor Indonesia (http://mep.unsoed.ac.id/content.php?
cat=tesis&id=60, diakses pada Desember 2007)). Ini merupakan salah satu respon
atau langkah Indonesia dalam menghadapi perubahan tatanan ekonomi dunia,
yang dapat dilihat ketika krisis ekonomi 1997 di banyak negara tanpa terkecuali
Indonesia.
Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama perdagangan, dengan
semangat liberalisasi perdagangan, baik secara multilateral di bawah payung
WTO, regional (regional trade area), ataupun kerja sama dalam kerangka
bilateral. Namun, masih butuh waktu untuk melihat efektifitas dari kerja sama
perdagangan secara menyeluruh sebab liberalisasi perdagangan tidak hanya
memberi keuntungan.
Dalam kontek liberalisasi perdagangan global, Indonesia sangat rentan
untuk menjadi korban dari kebijakan liberalisasi perdagangan yang mengglobal
baik ekonomi, kesehatan dan lingkungan, diantaranya ekploitasi sumber daya
alam yang berlebihan, kerusakan lingkungan, masalah bagi petani dalam daya
saing produk pertanian yang di impor, yang sebetulnya dalam hal pertanian ini,
Indonesia merupakan salah satu negara yang secara terpaksa membuka akses
pasar impor beras, gula, kedelai, dan gandum sebagai salah satu persyaratan yang
tercantum dalam Letter of Intent (LoI) awal dengan IMF (Jhamtani, 2005: 155157). Kasus konkritnya seperti dalam hal Amerika Serikat memberi subsidi pada
pertanian kedelainya. Sedangkan, Indonesia belum mampu menciptakan kondisi
paling tidak memberi keuntungan bagi petani kedelai, akibatnya sedikit sekali
4
petani menanam kedelai. Petani Indonesia tidak mampu bersaing, jika kedelai
impor dari Amerika jauh lebih murah. Sejalan apa yang dikatakan Gonzalo Fanjul,
juru bicara Oxfam International, "Dengan memberi subsidi, AS dan Uni Eropa
merusak kehidupan jutaan warga negara berkembang." (http://kompas.com/
kompas-etak/0406/ 19/ ln/1095168.html, diakses pada Desember 2007).
Kesiapan serta mengukur kemampuan sangat dibutuhkan dalam
membuka pasar. Sebab, untuk meghadapi ketidakseimbangan “persiapan”
memasuki era baru yang lazim dikenal sebagai globalisasi, negara berkembanglah
yang biasanya menjadi korban. Kerugian tersebut terjadi karena baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam dikuasai oleh negara kaya melalui perusahaan
multinasionalnya (Arifin, dkk., (ed), 2007: 130).
Namun, tidak sedikit manfaat dari globalisasi perdagangan dengan
membawa implikasi yang berbeda di masing-masing negara. Sejumlah negara
yang melaksanakan globalisasi memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang
mengagumkan. Sejak bergabungnya China dalam WTO 2001, GDP-nya terus
menunjukkan peningkatan. Pedapatan China tumbuh 10% pertahun sepanjang dua
dekade terakhir (Srinivasan, di dalam Arifin, dkk., 2007: 133). Sedangkan salah
satu keuntungan bagi Indonesia di WTO yaitu dalam pemanfaatan DSB (Dispute
Settlement Body adalah badan yang dibentuk dalam WTO berdasarkan
kesepakatan Putaran Uruguay yang menjalankan fungsinya mengenai prosedur
untuk konsultasi, penyesuaian dan penyelesaian masalah secara netral atas
perselisihan antara dua pihak anggota WTO tentang persetujuan perdagangan
5
Internasional, terutama yang terkait dengan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat
dalam putaran Uruguay (Rinaldy, 2006: 91)).
Pada tanggal 23 April 1998, Indonesia meminta diadakannya konsultasi
dengan Argentina menyangkut kebijakan safeguard
(Penggunaan safeguard
harus dilakukan dengan cara yang bersifat nondiskriminatif. Tindakan safeguard
melalui langkah pembatasan impor hanya diterapakan karena adanya peningkatan
impor yang tinggi dan mendadak serta menimbulkan serious injury. Selain itu,
negara yang terkena pembatasan ekspor harus diberi kompensasi (Kartadjoemena,
1997: 155)).
Kemudian Indonesia pada April 1999, meminta DSB membentuk panel
untuk
mengamankan
akses
pasar
ekspor
sepatu
ke
(http://ditjenkpi.depdag.go.id/images/Bulletin/Buletin43.pdf,
pasar
Argentina
diakses
pada
Desember 2007). Oleh karena itu, sangat diperlukan kesiapan suatu negara dalam
menghadapi fenomena globalisasi ini, dan tidak terburu-buru menyimpulkan
bahwa WTO yang “mewakili” globalisasi di dalam liberalisasi perdagangan
memberi memberi “ketakutan” yang mengerikan bagi negara berkembang
khususnya.
Meskipun
China
telah
menunjukkan
manfaat
dari
liberalisasi
perdagangan melalui WTO, tidak sedikit kalangan yang skeptis terhadap
organisasi ini yang terlihat pada kegagalan konferensi WTO di Seattle,
Washington 1999. Pada pertemuan itu diharapkan untuk mencapai tahapan baru
negosiasi perdagangan bebas, dan hingga akhirnya gagal dikarenakan mendapat
halangan dari massa dalam jumlah besar. Para pendemo di Seattle mengirim pesan
6
penting tentang ketidakpuasan mereka kepada para menteri perdagangan yang
hadir di konferensi tersebut. Salah satu isi di dalam tahapan pembentukan WTO di
bahas mengenai, apa yang dikenal sebagai “grand bargain” yaitu negara-negara
maju berjanji untuk melakukan perdagangan bebas di bidang pertanian dan tekstil
(merupakan produk yang dihasilkan dari usaha padat karya yang bernilai ekspor
tinggi di negara-negara berkembang), sehingga perundingan yang sangat syarat
kepentingan dengan posisi tawar yang besar tersebut dikenal dengan istilah grand
bargain. Dan sebagai balasannya, negara-negara berkembang setuju untuk
mengurangi tarif dan menerima serangkaian aturan baru berikut kewajibankewajiban dalam hal hak-hak intelektual properti, investasi, dan jasa. Setelah
perjanjian, negara-negara berkembang merasa telah dirugikan karena menyetujui
“grand bargain” tersebut, karena ternyata negara-negara maju mengingkari
kesepakatan. Kuota terhadap tekstil tetap diberlakukan oleh negara maju selama
satu dekade, dan subsidi terhadap produk-produk pertanian tetap dijalankan
(Stiglitz, 2007: 142-143).
Sementara para petani di pelbagai negara terutama di Korea
mengkhawatirkan
produk pertanian mereka terancam oleh impor produk
pertanian yang lebih murah yang membanjiri pasar lokal mereka yang diakibatkan
liberalisasi produk pertanian yang dibahas di WTO, tetapi negara-negara maju
tidak berhenti untuk terus mendorong liberalisasi ke arah yang lebih jauh lagi
yang selanjutnya muncul pertemuan-pertemuan para menteri negara-negara
anggota WTO tersebut. Di Doha, Qatar 2001, negara-negara maju berjanji untuk
mendorong diri mereka sendiri untuk menciptakan sebuah sistem perdagangan
7
yang secara aktif dapat meningkatkan prospek-prospek pembangunan dan
mengatasi ketidakseimbangan yang timbul pada tahap-tahap sebelumnya. Namun,
negara berkembang mulai ragu terhadap pencapaian pada perundingan ini yang
diakibatkan penolakan negara-negara maju untuk memotong subsidi di bidang
pertanian. Bahkan pada 2002, Amerika Serikat mengeluarkan rencana baru di
bidang pertanian yang menyatakan akan menambah subsidi pertanian hingga
hampir dua kali lipat (Stiglitz, 2007: 142-144). Pemerintahan Indonesia
mengkritik keras sikap AS dalam perundingan WTO yang tidak menunjukkan
kepemimpinan dan kemauan politiknya dalam hal pemangkasan subsidi tersebut,
termasuk dalam isu pembangunan.
Dalam menghadapi globalisasi Indonesia melakukan liberalisasi terhadap
ekspor kayu gelondongan, kebijakan pemerintah tersebut mengakibatkan kesulitan
yang dialami bagi industri perkayuan dalam negeri dalam memperoleh bahan
baku. Dan mengeluarkan kebijakan liberalisasi impor beras semenjak 1998,
dampak dari langkah tersebut sangat dirasakan oleh petani beras di Indonesia, dan
pemerintah menyadari kesalahan kebijakan tersebut dengan mengkoreksi melalui
penerapan tarif impor beras yang setara 30% (Wibowo, di dalam Stiglitz, 2007:
20).
Globalisasi yang dikempanyekan terutama oleh WTO sangat menuntut
kesiapan pemerintahan Indonesia dalam berkompetisi dengan negara lainnya,
sehingga globalisasi berubah dari ancaman pesaing produsen-produsen luar negeri
yang lebih efisien terhadap industri dalam negeri menjadi peluang bagi kemajuan
8
industri dalam negeri dengan meningkatkan ekspor dan pada gilirannya
perdagangan luar negeri mampu berkontribusi mensejahterakan rakyat Indonesia.
Seperti sudah dikemukakan, bahwa salah satu indikator perekonomian
yang mengglobal adalah peningkatan arus barang. Dalam kaitan peningkatan arus
barang dapat disimpulkan kegiatan ekspor-impor antarnegara atau dapat disebut
perdagangan internasional yang merupakan faktor penting bagi setiap negara,
menurut Rinaldy (2006: 275), perdagangan internasional adalah perdagangan
yang dilakukan oleh pihak-pihak dari negara yang berbeda, secara garis besar
diimplementasikan dalam bentuk transaksi ekspor dan impor. Oleh karena itu,
sangat diperlukan hubungan perdagangan antarnegara yang tertib dan adil. Untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang perdagangan internasional,
diperlukan aturan-aturan yang mampu menjaga serta memelihara hak-hak dan
kewajiban para pelaku perdagangan internasional ini.
Sebagai negara berkembang Indonesia memerlukan kepastian hukum
yang lebih besar ketimbang negara-negara maju guna menjamin perdagangan
internasional
yang terbuka
dan
adil.
Mengingat,
pelbagai
pembatasan
perdagangan yang bersifat trade distortive dalam betuk subsidi, hambatan tarif
dan non tarif serta proteksi regulasi masih banyak terjadi di pelbagai negara,
termasuk negara maju sekalipun (Nurhemi, 2007: 251).
Selain diakibatkan buruknya iklim investasi, hambatan perdagangan juga
berdampak
terhadap
kinerja
ekspor
Indonesia,
sehingga
menghambat
pertumbuhan ekonomi Indonesia. dan mengakibatkan masih besarnya tingkat
pengangguran serta masih sangat rendahnya penyerapan tenaga kerja. Dalam
9
laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal, mencatat bahwa pada tahun 1996
penyerapan tenaga kerja di dalam negeri mencapai 2,7 persen sebelum krisis.
Setelah krisis pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja menurun menjadi 1, 8
persen. Lalu tahun-tahun berikutnya terus menurun, sampai akhirnya pada tahun
2005 penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 0,9 persen saja. Sedangkan
menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), secara nominal jumlah pengangguran
terbuka mencapai 10,854,300 orang, atau menembus angka 10.3 persen pada
tahun 2005 (The Indonesian Institute, 2005: 88-91).
Meskipun gambaran umum ekspor dan impor nonmigas Indonesia
selama periode bulan Januari-April 2007 menunjukkan peningkatan sebesar
22,12% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2006, atau meningkat dari
US$ 23.25 milyar menjadi US$ 28.39 milyar. Impor nonmigas Indonesia pada
periode yang sama mengalami peningkatan 18,87% atau meningkat dari US$
12.97 milyar menjadi US$ 15.42 milyar. Namun, jika dibandingkan pencapaian
kinerja ekspor Indonesia dengan kinerja impor di beberapa kawasan selama
periode bulan Januari-April 2007 menunjukkan volume impor lebih besar dari
pada ekspor. Diantaranya, ekspor ke negara-negara ASEAN sebesar 15,63 persen
lebih rendah dari pada pencapaian impor 33,73 persen. ASEM 21,56 persen untuk
ekspor dan impor sebesar 24,33 persen (http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/
index.php?module=news_detail&newscategory_id=6&news_sub_category_id=8,
diakses pada Januari 2008).
Upaya-upaya untuk mencapai tingkat liberalisasi yang lebih tinggi perlu
dilakukan, sebagai upaya meningkatkan daya saing di pasar dunia dan dengan
10
liberalisasi perdagangan dapat membantu perbaikan standar hidup di negaranegara miskin seperti yang diserukan delegasi dari 180 negara G-77
(http://kompas.com/kompas-cetak/0406/19/ln/1095168.html,
diakses
pada
Desember 2007). Namun, upaya-upaya peningkatan tersebut bukannya tanpa
persoalan, baik dalam tataran nasional maupun dalam tataran internasional.
Sensitivitas kebijakan perdagangan dan politik telah semakin mempersulit proses
liberalisasi.
Untuk menyingkirkan pelbagai rintangan ini, kesepakatan perdagangan
multilateral mutlak perlu. Dalam hal ini, Penting agar Indonesia tidak bereaksi
seperti kegagalan konferensi di Cancun (Konferensi Tingkat Tinggi (KTM) V
WTO yang berlangsung di Cancun, Meksiko pada 2003. Pembahasan dalam
konferensi tersebut mengenai pelbagai masalah perdagangan terutama mengenai
liberalisasi
produk
pertanian
(Direktorat
Perdagangan
dan
Peridustrian
Multilateral, 2003: 60)), dengan kembali ke kebijakan proteksionis. Ada banyak
tekanan pada saat itu, yang meminta kebijakan proteksi dilakukan, khususnya di
bidang pertanian. Misalnya, para pemimpin organisasi-organisasi petani
mengusulkan perlunya memproteksi para petani beras yang miskin terhadap
impor, khususnya selama musim panen. Para pemimpin ini tepat menekankan
ketahanan pangan dan kerentanan pangan sebagai keprihatinan utama.
Namun, kebijakan Indonesia untuk menaikkan tarif untuk beras, atau
lebih buruk lagi, membatasi impor hanya kepada para importir tertentu atau
tempat impor tertentu, bukan jawabannya. Karena, seperti yang telah diketahui,
disamping mengonsumsi beras orang juga memproduksinya, dan beras merupakan
11
makanan pokok terpenting yang menghabiskan lebih dari 25 persen pengeluaran
untuk makanan bagi rumah tangga pada separuh dari distribusi pengeluaran.
Selain itu, mayoritas dari rumah tangga Indonesia mengonsumsi lebih banyak
beras daripada yang mereka hasilkan. Sehingga, menaikkan harga beras akan
merugikan rumah tangga-rumah tangga ini. Sedangkan hampir tidak ada dari ke22 juta rumah tangga perkotaan di Indonesia menghasilkan beras, akibatnya
rakyat miskin perkotaan akan dihantam oleh kenaikan harga beras. Membatasi
impor beras ke para importir justru akan berdampak sebaliknya, meningkatkan
fluktuasi harga dan menaikkan harga bagi kalangan konsumen miskin
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/27/ ekonomi/647941.htm, diakses
pada 13 Januari 2008). Inilah yang harus dihadapi Indonesia sebagai negara
berkembang yang rentan terhadap produksi dalam negeri, dan dalam hal ini,
menjaga kestabilan kebutuhan dalam negeri.
Seperti apa yang diharapkan negara G-77 untuk meningkatkan
liberalisasi perdagangan, perlu direspon Indonesia, apakah meningkatkan
liberalisasi perdagangan atau justru menutup diri demi memproteksi industri
dalam negeri khususnya petani beras, seperti yang diutarakan diatas. Sedangkan
peluang untuk memanfaatkan liberalisasi perdagangan tetap menggiurkan dengan
permintaaan akan barang ataupun sektor jasa terus meningkat, yang terlihat pada
tahun 2005 saja pertumbuhan volume perdagangan dunia meningkat dari 7,5
persen menjadi 9,4 persen.
Sedangkan, untuk menjelaskan dan menjawab situasi dan kondisi di era
liberalisasi perdagangan yang mengglobal dengan kecenderungan negara di dunia
12
saat ini yang menjalin kerja sama perdagangan secara intensif baik bilateral,
regional, dan multilateral, sangatlah diperlukan campur tangan pemerintah untuk
membuat kebijakan-kebijakan perdagangan yang peduli terhadap peningkatan
industri yang kompetitif, supaya eksportir lebih bisa memanfaatkan peluangpeluang dari liberalisasi perdagangan. Untuk itu dalam menetapkan kebijakan
perdagangan perlu dikaitkan dengan pola pembangunan secara komprehensif yang
dapat secara optimal mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan
liberalisasi perdagangan, Indonesia tidak dirugikan dengan kebijakan perdagangan
negara lain atau pun di bawah skema kerja sama perdagangan baik pada tingkat
multilateral, regional, maupun bilateral.
Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa dengan meningkatnya
interaksi pasar, dan arah dalam mencapai liberalisasi perdagangan yang
mengglobal,
merupakan
tantangan
bagi
Indonesia
sebagai
konsekuensi
keikutsertaannya dalam pelbagai forum kerja sama perdagangan internasional
untuk mengambil untung dari liberalisasi perdagangan atau justru sebaliknya.
Oleh karena itu, kebijakan perdagangan yang merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional sangat berperan dalam menentukan proses pembangunan
nasioanal dan secara khusus untuk memaksimalkan peluang Indonesia dalam
menghadapi atau merespon liberalisasi perdagangan yang mengglobal.
Berdasarkan uraian perubahan-perubahan dalam tatanan perekonomian
yang mengglobal dalam hal liberalisasi perdagangan serta kondisi kesejahteraan
dan kinerja ekspor Indonesia di atas, maka hal tersebut merupakan alasan yang
menggugah peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul:
13
Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Global WTO Terhadap Kebijakan
Perdagangan Indonesia.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu tahap permulaan dari penguasaan
masalah di mana objek dalam suatu jalinan tertentu dapat kita kenali sebagai suatu
masalah (Suriasumantri, 2001: 309). Dan menurut Amien Silalahi, (2003: 21),
identifikasi masalah artinya usaha mendaftar sebanyak-banyaknya pertanyaan
terhadap masalah yang terjadi yang sekiranya dapat dicari jawaban melalui
penelitian.
Berdasarkan
pembahasan
latar
belakang
permasalahan
dapat
diidentifikasi beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana
proses
liberalisasi
perdagangan
dalam
organisasi
perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO)?
2. Bagaimana pengaruh liberalisasi perdagangan global terhadap
kebijakan perdagangan Indonesia?
3. Sejauhmana
kebijakan
perdagangan
Indonesia
mengahadapi
liberalisasi perdagangan global?
1.2.2 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, dibahas tiga diantara beberapa skema liberalisasi
perdagangan global, yaitu dalam kerangka produk peraturan WTO berkenaan
14
perdagangan barang yang memfokuskan pada beberapa variabel yaitu tarif,
subsidi dan kuota. Peneliti juga membahas kebijakan perdagangan sebagai
variabel terikat, karena Indonesia sebagai negara berkembang yang masih dalam
proses penyesuaian kebijakan pedagangan dalam skema WTO sesuai dengan
jadwal implementasinya, dan juga Indonesia sangat membutuhkan aturan yang
jelas dalam kebijakan perdagangannya terutama di bidang pertanian.
Penelitian ini mengkaji dan memfokuskan perkembangan liberalisasi
perdagangan dalam skema WTO, mengingat perkembangan liberalisasi semenjak
berdirinya WTO pada 1995 hingga sekarang dirasakan cukup luas, sehingga
peneliti perlu membatasi dalam kurun waktu dari tahun 2002 sampai dengan
2006, selain itu perkembangan perundingan WTO terus berlanjut pada rentang
tahun 2002-2006 memberi pertimbangan sendiri bagi perkembangan kebijakan
perdagangan Indonesia dengan penyesuaian-penyesuian yang telah dilakukan.
Sehingga kebijakan perdagangan Indonesia sebagai variabel terikat juga
difokuskan dalam kurun waktu tersebut.
1.2.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, pembatasan masalah
yang telah ditetapkan dan agar memudahkan pembahasan dan analisis yang
dilakukan serta mengarahkan pada fokus penelitian, maka dapat dirumuskan
maslah penelitian sebagai berikut:
“Sejauhmana pengaruh liberalisasi perdagangan global dalam skema WTO
(tarif, subsidi, kuota) terhadap kebijakan perdagangan Indonesia?”
15
1.3 Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Merujuk kepada latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan
permaslahan dan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai pada peneletian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran proses liberalisasi perdagangan global
dari skema World Trade Organization (WTO).
2. Memahami dan menggambarkan pengaruh liberalisasi perdagangan
global terhadap kebijakan perdagangan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menggambarkan sejauhmana kebijakan
perdagangan Indonesia mengahadapi liberlisasi perdagangan global.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaannya penelitian ini antara lain:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang
bermanfaat bagi para peminat dan pemerhati kebijakan perdagangan
Indonesia dan pemerhati perkembangan liberalisasi perdagangan
global.
2. Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu
Hubungan
Internasional
khususnya
dalam
konsentrasi
bisnis
internasional, ekonomi politik internasional, serta kajian disiplin
lainnya pada umumnya.
16
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
Hubungan Internasional.
1.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah alur-alur yang logis dalam mebangun suatu
kerangka berpikir yang membuahkan kesimpulan berupa hipotesis (Suriasumantri,
2001: 316).
Berdasarkan latar belakang penelitian dan permasalahan penelitian, maka
dibawah ini disusun suatu kerangka pemikiran sebagai argumentasi yang
menjelaskan hubungan antar pelbagai faktor dalam membentuk konstelasi
permasalahan untuk memudahkan dalam membuat hipotesis, sebagai berikut:
Hubungan Internasional merupakan ilmu dengan kajian interdisipliner
yaitu bahwa ilmu ini dapat menggunakan pelbagai teori, konsep, dan pendekatan
dari bidang-bidang ilmu lain dalam mengembangkan kajian-kajiannya (Rudy,
1993: 3). Sedangkan, Hermawan (2007: 282) menjelaskan bahwa studi Hubungan
Internasional bersifat divergen, artinya studi ini merupakan kumpulan dari
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang memiliki perhatian terhadap masalahmasalah internasional. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang
menyangkut aspek internasional (hubungan/interaksi yang melintasi batas negara)
adalah Hubungan Internasional yang berkemungkinan berkaitan atau ada
relevansinya dengan pelbagai bidang lain.
Dalam penjelasan lain, Hubungan Internasional merupakan segala
macam hubungan interaksi antar negara bangsa dan kelompok-kelompok bangsa
dalam masyarakat internasional, dengan segala aspek yang terkait dalam
17
hubungan tersebut (Holsti, 1992: 29), dan Johari (1985: 5) menambahkan, yaitu
suatu studi tentang para pelaku bukan negara (non state-performer) yang
perilakunya memiliki pengaruh terhadap kehidupan negara bangsa.
Hubungan Internasional adalah studi tentang interaksi yang terjadi antara
negara-negara yang berdaulat di dunia, juga merupakan studi tentang aktor bukan
negara yang perilakunya mempunyai pengaruh tehadap kehidupan negara bangsa
atau merupakan bentuk interaksi antar aktor atau anggota masyarakat yang satu
dengan aktor atau anggota masyarakat lain (Perwita dan Yani, 2005: 3).
Mas’oed (1994: 28), mendefinisikan Hubungan Internasional sebagai
studi tentang interaksi antar beberapa aktor yang berpartisipasi dalam politik
internasional, yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi
non pemerintah, kesatuan sub-nasional seperti birokrasi dan pemerintah domestik
serta individu-individu. Tujuan dasar studi Hubungan Internasional adalah
mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para aktor negara maupun non
negara, di dalam arena transaksi internasional. Perilaku ini bisa berwujud kerja
sama, pembentukan aliansi, perang, konflik serta interaksi dalam organisasi
internasional.
Berdasarkan penjelasan itu diketahui bahwa peran aktor non negara
semakin penting dalam mewarnai interaksi Hubungan Internasional, dalam hal ini
adalah organisasi internasional yang merupakan salah satu kajian dalam
Hubungan Internasional serta merupakan salah satu aktor dalam Hubungan
Internasional. Defenisi dari organisasi internasional adalah suatu pola kerja sama
yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas
18
dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta
melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna
mengusahakan
tercapainya
tujuan-tujuan
yang diperlukanserta
disepakati
bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama
kelompok non pemerintah pada negara yang berbeda (Rudy, 1998: 3).
Organisasi internasional dalam pengertian Michael Hass memiliki dua
pengertian yaitu: pertama, sebagai suatu lembaga atau struktur yang mempunyai
serangkaian aturan, anggota, jadwal, tempat, dan waktu pertemuan; kedua,
organisasi internasional merupakan pengaturan bagian-bagian menjadi satu
kesatuan yang utuh dimana tidak ada aspek non lembaga dalam istilah organisasi
internasional ini (Rossenau, di dalam Perwita dan Yani, 2005: 93).
Archer mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu struktur
formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggotaanggota (pemerintah dan on pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat
dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama anggotanya. Upaya
mendefinisikan pakar lain yaitu dari Coulumbus dan Wolfe, suatu organisasi
internasional harus melihat tujuan yang ingin dicapai, institusi-institusi yang ada,
suatu proses perkiraan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah terhadap
hubungan antara suatu negara dengan aktor-aktor non negara (Perwita dan Yani,
2005: 92).
Sedangkan dari sisi kajian, Hubungan Internasional pada masa lampau
berfokus kepada kajian mengenai perang dan damai, dan pada kajian Hubungan
Internasional kontemporer mencakup sekelompok kajian lainnya seperti mengenai
19
interdependensi ekonomi, hak-hak asasi manusia, globalisasi, terorisme,
organisasi-organisasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional
seperti MNC, TNC, dan lain sebagainya (Rudy, 2003: 1). Semakin luasnya ruang
lingkup yang dikaji Hubungan Internasional mengenai pelbagai aspek dalam
kehidupan masyarakat
memungkinkan
menggambarkan,
disiplin
(politik, ekonomi, sosial dan budaya) sehingga
ilmu
menjelaskan
Hubungan
ataupun
Internasional
memprediksi
internasional. Bahkan diharapkan ilmu Hubungan
untuk
dapat
kejadian-kejadian
Internasional mampu
mengembangkan dan memberi jawaban terhadap pelbagai isu dan fenomena baru
di dalam menghadapi tantangan
interaksi internasional yang dinamis dan
berkembang pesat.
Semakin luas cakupan kajian studi hubungan internasioanal tidak
terkecuali bidang ekonomi. Seperti sudah di utarakan di atas, dan diperjelas
melalui tulisan Lopez dan Stohl (1983: 3) bahwa Hubungan Internasional juga
meliputi transaksi ekonomi, penggunaan kekuatan militer dan diplomasi baik
secara umum maupun khusus, sehingga dalam perkembangannya mengarah ke
arah kegiatan-kegiatan seperti perang, bantuan kemanusiaan, perdagangan
internasional dan investasi, turisme, dan juga olimpiade. Dan melalui pendapat
bahwa Hubungan Internasional mempelajari fenomena politk internasional yang
meliputi keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara untuk mempengaruhi
negara-negara lain, dapatlah disimpulkan bahwa kajian ekonomi khususnya
ekonomi
politik internasional
Internasional.
merupakan
bagian dari studi
Hubungan
20
Sebagaimana diketahui bahwa studi Hubungan Internasional mulai
mengkaji ekonomi-politik internasional sejak tahun 1970, dan ekonomi-poltik
internasional itu sendiri membutuhkan integrasi teori-teori dari disiplin ekonomi
dan poltik, misalnya masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional,
moneter,dan pembangunan ekonomi (Gilpin, 1987: 3). Lebih lanjut, Rudy (1993:
50-51) menjelaskan ekonomi-politik adalah hasil interaksi anatara kajian ekonomi
dan kajian politik, yang mempertimbangkan serta dipengaruhi unsur ekonomi,
unsur politik yang satu sama lain saling berinteraksi. Dan ekonomi politik
internasional adalah interaksi mekanisme pasar internasional (termasuk hal
interdependensi,
depedensi,
dan
globalisasi)
dengan
sistem
masyarakat
internasional yaitu multi-state system dan pola hubungan antarnegara serta
kebijakan masing-masing pemerintah untuk mempengaruhi situasi pasar
internasional baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang moneter.
Bahwasanya dari penjelasan di atas, ekonomi-politik internasional
merupakan subkajian Hubungan Internasional, dan dalam bahasan ekonomi
politik-internasional itu sendiri diantaranya mencakup aktivitas perdagangan,
sudah tentu perdagangan yang dimaksud adalah aktivitas yang melibatkan dua
atau lebih negara, atau kegiatan yang melintasi batas negara. Juga dibahas
pelbagai point seperti, melindungi industri perdagangan (term of trade), proteksi,
tarif prinsip (pajak) dan kuota (Rudy, 2003: 11).
Perdagangan internasional (pengertian dari perdagangan internasional
adalah perdagangan yang dilakukan oleh pihak-pihak dari negara yang berbeda,
secara garis besar diimplementasikan dalam bentuk transaksi ekspor dan impor
21
(Rinaldy (2006: 275)) itu sendiri berdasarkan teori klasik pada awal-awal
perkembangannya, seperti yang diperkenalkan Adam Smith, David Ricardo, dan
John
Stuart
Mill.
Dalam
perkembangan
selanjutnya,
seiring
dengan
perkembangan perdagangan internasional, teori perdagangan internanisional juga
mengalami perkembangan yang disebut atau dikenal dengan teori modern. Secara
umum teori perdagangan internasional yang tradisional memperlihatkan bahwa
perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang terlibat
dalam perdagangan tersebut dengan asumsi setiap negara mempunyai keunggulan
komparatif dibandiingkan dengan negara lain. Kemudian teori yang lebih modern
atau dikenal sebagai new theory mendasarkan pada asumsi persaingan sempurna,
increasing return to scale (hasil yang bertambah) dan perbedaan produk (Arifin,
dkk., (eds), 2007: 2).
Perdagangan dewasa ini membutuhkan perhatian serius, mengingat
perdagangan melibatkan banyak negara di dunia, dan nyatanya tidak satupun
negara di dunia ini yang benar-benar menutup pasarnya. Sehingga, akhir-akhir ini
usaha untuk meliberalisasi perdagangan semakin kuat (Arifin, dkk., (eds), 2007:
14). Dengan keyakinan bahwa keuntungan akan banyak diperoleh apabila
dilakukan pedagangan yang bebas, ini dapat dijelaskan melalui keuntungan
spesialisasi yang semakin jauh sehingga volume perdagangan naik (Nopirin,
1999: 83-84). Pendukung kebijakan perdagangan bebas menekankan bahwa
perdagangan bebas akan meningkatkan efesiensi ekonomi dan karenanya akan
meningkatkan kesejahteraan nasional, sebagaimana dijelaskan Adam Smith
(1723-1790) dan David Ricardo (1722-1823), bahwa:
22
Perdagangan bebas akan dengan sendirinya menciptakan
international
division of labour (pembagian kerja internasional)
yang saling
menguntungkan.... (Hadiwinata, 2004: 2).
Namun, tidak semua pihak mendukung sepenuhnya perdagangan bebas
bahkan sebaliknya. Ini terlihat dari kegagalan pertemuan-pertemuan WTO, seperti
kerusuhan yang terjadi di Seattle, Amerika Serikat. Pertemuan ini sebagai lanjutan
dari pertemuan-pertemuan sebelumnya untuk membicarakan pelbagai masalah
yang terkait kesepakatan perdagangan di WTO. Bahkan, yang lain beranggapan
perdagangan bebas tidak saja membawa keuntungan bagi kelompok masyarakat,
namun pada sebagian lain bisa menderita kerugian seperti yang diungkapkan oleh
pendukung kebijakan proteksionisme. Kemudian muncul pula gagasan fair trade
(perdagangan yang adil adalah suatu gerakan internasional yang mencoba
memberikan jaminan bahwa produsen di negara-egara miskin mendapatkan
kontrak-kontrak pembelian yang adil (fair deal) yang mencakup harga yang
pantas bagi produk-produk mereka, kontrak-kontrak pembelian jangka panjang,
dukungan
untuk
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilan,
dan
peningkatan poduktivitas (Hadiwinata, 2004: 6)) yang dikumandangkan terutama
dari kalangan NGOs atas ketidakpuasan terhadap rejim perdagangan internasional
yang didominasi dorongan untuk meliberalisasi perdagangan.
Liberalisasi perdagangan itu ditandai dengan penghapusan bea masuk
impor dan hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar dunia dan pasar
domestik secara spasial semakin terintegrasi (http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/
pdffiles/Mono26-6.pdf). Menurut McGuire (2004) liberalisasi memerlukan proses
yang kompleks. Artinya, ada tindakan membuka pasar dalam negeri, dan pada
23
saat yang sama memungsikan pasar dalam negeri untuk meraih manfaat dari
pengembangan perdagangan. Indikasi liberalisasi dapat dilihat dari tingkat
penerapan tarif impor maupun ekspor (Sawit, 2007: 32).
Liberalisasi perdagangan adalah salah satu dari tiga paket besar
liberalisasi ekonomi guna menciptakan pasar bebas dunia. Ketiga agenda tersebut
secara
beriringan
membuka
“benteng”
perekonomian
nasional
dan
mengintegrasikannya ke dalam sistem pasar dunia. Secara khusus, liberalisasi
perdagangan ditujukan untuk memudahkan pergerakan barang dan jasa ke seluruh
dunia. Secara sederhana. Todaro (1997) menyatakan bahwa liberalisasi
perdagangan (perdagangan bebas) diartikan sebagai suatu perdagangan di mana
barang-barang dapat diimpor dan diekspor tanpa adanya halangan baik dalam
bentuk tarif, kuota, maupun pelbagaii halangan lainnya (Juliantono, 2007: 35-36).
Liberalisasi
perdagangan
merupakan
penerjemahan
liberalisme,
khususnya liberalisme ekonomi, di sektor perdagangan. Rujukan konseptual yang
menjadi dasar teori liberalisasi perdagangan adalah pandangan David Ricardo
mengenai “keunggulan komparatif”. Menurut teori tersebut, suatu negara dapat
meraih kesejahteraan bersama melalui perdagangan apabila mengkhususkan
perekonomiannya untuk memproduksi dan mengekspor barang-barang yang
paling efisien atau memiliki kerugian absolut yang lebih kecil dan mengimpor
barang-barang yang memiliki kerugian absolut yang paling besar bagi negaranya
(Todaro, di dalam Julianto, 2007: 36).
Sedangkan, laju perdagangan juga didorong pesat oleh fenomena
globalisasi. Globalisasi yang telah mengantarkan kepada dunia tanpa “batas”
24
untuk berinteraksi, membutuhkan pengendalian agar tercipta keadaan yang
kondusif di dunia. Memang, perdebatan mengeani globalisasi belumlah tuntas,
seperti yang digambarkan Manfred B. Steger (2002: 29):
....perdebatan tentang globalisasi terjadi dalam dua arena yang terpisah
namun berhubungan. Satu pertempuran terjadi dalam dinding sempit
akademis, sedangkan pertempuran lainnya terjadi di arena wacana publik.
Proses
globalisasi
telah
meningkatkan
kadar
hubungan
saling
ketergantungan antarnegara, dan menimbulkan proses menyatunya ekonomi
dunia, sehingga batas-batas antarnegara dalam pelbagai paraktik dunia
usaha/bisnis seakan-seakan tidak berlaku lagi. Banyaknya definisi globalisasi
dengan berbagi perspektif masing-masing seperti apa yang diungkapkan Steger di
atas, sehingga globalisasi disini merupakan suatu proses hubungan sosial secara
relatif yang menemukan tidak adanya batasan jarak dan menghilangkan batasbatasan secara nyata (Rudy, 2003: 5). Sedangkan, dimensi globalisasi dijelaskan
Thomas I Friedman (New York Time, 2000), sebagai berikut:
1. Dimensi ideologi, yaitu kapitalisme dan seperangkat nilai yang
meyertainya.
2. Dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas.
3. Dimensi tekonologi, khususnya teknologi informasi (Halwani, 2005:
194).
Globalisasi sebagai fenomena riil yang menandai transformasi besar
dalam persoalan dunia. Dalam hal ini bahwa kajian-kajian globalisasi
menyampaikan pandangan esensi dari fenomena tersebut meliputi meningkatknya
keterkaiatan ekonomi nasional melalui perdagangan, aliran keuangan, dan
investasi asing langsung (FDI) melalui perusahaan multinasional (Gilpin, 2000:
25
299). Sehingga, globalisasi meningkatkan peranan NGOs yang lebih besar dalam
persoalan dunia, terutama menyangkut perekonomian dunia.
Tidak Seperti halnya tema-tema klasik perekonomian dunia
dengan
memfokuskan pada interaksi antara unsr-unsur state (negara), market (pasar),
power (kekuasaan), dan plenty (kemakmuaran) (Hadiwinata, 2002: 26). Pada
perkembangan Hubungan Internasional kontemporer aktor-aktor internasional
tidak lagi didominasi negara (state), tapi adanya tantangan dari NGOs seperti
beroperasinya MNCs di banyak negara yang didukung kaum liberalis. Robert
Gilpin mengakui bahwa, meningkatnya kekuatan TNCs telah sangat mengubah
struktur dan kinerja ekonomi global.
Perusahaan-perusahaan raksasa ini dan strategi global mereka telah
menjadi penentu utama arus perdagangan.... Akibatnya, perusahaanperusahaan multinasional kian berperan menentukan perekonomian,
politik, dan kesejahteraan sosial di banyak negara (Steger, 2006: 44).
Kenyataan ini membuka peluang selebar-lebarnya bagi liberalisasi pasar.
Oleh sebab itu, peran dan pengaruh WTO sebagai organisasi
yang
mengempanyekan globalisasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi secara terus
menerus, karena tanpa dipungkiri perdagangan merupakan salah satu faktor
penting dari perkembangan globalisasi itu sendiri.
Perkembangan liberalisasi perdagangan dunia dalam perekonomian,
politik dan semua sektor memberikan peluang dan ancaman, atau kesempatan dan
hambatan terhadap aktivitas perdagangan global seluruh dunia. Sehingga, setiap
negara memerlukan ketepatan dalam membuat suatu kebijakan (Secara umum
kebijakan disini, menurut Grifith (2002: 95) diartikan sebagai susunan strategi
26
yang digunakan oleh pemerintah untuk memandu tindakan mereka dalam bidang
tertentu (yang didalamnya tedapat pelbagai alternatif yang sebelumnya telah
disusun bersama)) sebagai respon dari perkembangan liberalisasi perdagangan
dunia.
Pengaruh menurut Daniel S. Paap dinyatakan secara tidak langsung oleh
kemampuan untuk mempengaruhi pembuat keputusan untuk menentukan hasil
yang keluar. Konsep pengruh merupakan suatu alat untuk mencapai dan secara
tidak langsung kemampuan untuk mempengaruhi pembuat keputusan yang
menentukan outcomes (Perwita dan Yani, 2005: 31). Rubenstein, pengaruh adalah
hasil yang timbul sebagai kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebgai
sumbernya. Dalam hal ini, syaratnya adalah bahwa terdapat keterkaitan (relevansi)
yanh kuat dan jelas antara sumber dengan hasil (Rudy, 1993: 26). Sedangkan,
penelitian ini bertujuan melihat ssjauhmana liberalisasi perdagangan global WTO
memberi pengaruh dalam pembuatan kebijakan perdagangan untuk menentukan
pencapaian ekspor yang diharapkan Indonesia dalam mengahadap globalisasi
yang sedang berlangsung.
Karena globalisasi merupakan fakta tak terelakkan bila suatu negara
ingin menjadi bagian dari dunia modern. Berarti ada peluang bahwa Indonesia
sebagai negara berkembang, yang masih memiliki banyak kelemahan akan
menjadi korban globalisasi, bukan pemenang sangatlah besar (Stiglitz, 2007:19).
Mengingat, rentannya industri dalam negeri terhadap persaingan yang tidak
seimbang dari luar, seperti pertanian yang menjadi karakteristik andalan industri
negara berkembang terhadap gempuran produk-produksi yang sama dari negara
27
maju yang mendapat dukungan dari pemerintah baik berupa subsidi ataupun
kemudahan-kemudahan lainnya yang mengakibatkan biaya produksi lebih rendah,
sehingga produk yang murah ini akan membanjiri pasar domestik negara
berkembang. Meskipun demikian, Indonesia sebagai negara berkembang dapat
memaksimalkan manfaatkan globalisasi dan meminimalkan dampak negatifnya,
dengan menjadi anggota organisasi perdagangan dunia atau dalam satu kawasan.
Karena terbentuknya suatu organisasi negara-negara dalam hal bidang ekonomi,
politik, budaya dan keamanan antar negara, baik kerja sama bilateral, melalui
kerja sama kelompok wilayah regional seperti ASEAN, atau negara-negara di
dunia sehingga terbentuk organisasi perdagangan dunia yang mempunyai fungsi
dan tujuan mendorong arus perdagangan antar negara, dengan menghapus
pelbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang
dan jasa, dan memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi
yang lebih permanen bagi negara anggotanya (Deperindag Multilateral, 2003: 1),
dapat meningkatkan kerja sama dalam pelbagai bidang khususnya perdagangan
dengan aturan yang jelas dan adil sehingga Indonesia mendapat untung dari kerja
sama yang dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan Indonesia
sebagai upaya pembangunan nasional yaitu melalui peningkatan perdagangan luar
negerinya.
Selain itu, untuk memperlancar kegiatan perdagangan dan agar tercipta
persaingan sehat dan meningkatnya daya saing di pasar dunia dibutuhkan
kebijakan perdagangan yang mampu mengembangkan ekspor, memperluas
kesempatan berusaha dan lapangan kerja, dan memperlancar arus barang dan jasa.
28
Kebijakan yang dibuat diharapkan secara signifikan memberi kontribusi terhadap
pembangunan, serta mampu merespon perkembangan perdagangan dunia dan
tetap menjaga persaingan yang sehat diantara kepentingan-kepentingan negara.
Kebijakan perdagangan itu sendiri mencakup tindakan pemerintah terhadap
rekening yang sedang berjalan (current account) daripada neraca pembayaran
internasional,
khususnya
tentang
ekspor
dan
impor
barang/jasa.
Jenis
kebijaksanaan ini misalnya tarif terhadap impor, bilateral trade agreement, state
trading, dan sebagainya (Nopirin, 1999: 49-50).
Dengan adanya kepentingan-kepentingan dari setiap anggota WTO,
maka ada kebijakan-kebijakan yang memberikan kepastian peraturan yang
berkaitan dengan fungsi dan tujuan bersama dalam terlaksananya liberalisasi
perdagangan global, seperti kebijakan perundingan perdagangan yang lebih
terbuka secara bertahap melalui mengurangi hambatan tarif, pemberian subsidi
ekspor dalam persetujuan bidang pertanian dan kebijakan kuota impor
perdagangan produk tekstil dan garmen (Deperindag, 2003: 23-25). Tarif, sebagai
pembebanan pajak terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara.
Subsidi di dalam perdagangan internasional diartikan setiap bantuan keuangan
atau dukungan pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada pelaku
ekonomi (Rinaly, 2006: 328). Dan kuota adalah pembatasan jumlah fisik terhadap
barang yang masuk dan keluar (Nopirin, 1999: 65). Ketiganya merupakan
beberapa jenis kebijaksanaan perdagangan dan telah diatur di dalam WTO.
Kebijakan-kebijakan yang disetujui dalam perundingan negara-negara
dalam WTO, langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi negara Indonesia
29
sebagai salah satu anggota WTO dalam membuat, menentukan kebijakan
perdagangan Indonesia untuk ikut melakukan kegiatan ekspor-impor antarnegara
di dunia. Kebijakan perdagangan Indonesia merupakan upaya-upaya yang
sistematis dan konsepsional untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional
(Nurhemi, di dalam Arifin, dkk, 2007: 252). Dan upaya yang dilakukan dengan
memperhatikan gejolak dan perkembangan yang terjadi di negara lain yang
berpengaruh terhadap perekonomian nasional (Djiwandono, 1992: 170-171).
Kebijakan perdagangan pada hakekatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari kebijakan pembangunan nasional. Sehingga setiap kebijakan pemerintah yang
dibuat mempunyai output positif pada efektivitas perdagangan produk atau pun
jasa dan masyarakat Indonesia, dan Indonesia tidak menjadi korban globalisasi
karena melakukan liberalisasinya. Implikasi positif dari kebijakan perdagangan
Indonesia dapat dilihat melalui peningkatan cadangan devisa Indonsia. Dimana
cadangan devisa diperoleh langsung dari kegiatan perdagangan ekspor-impor
Indonesia dengan negara mitra dagang, dalam hal ini mitra dagang anggotaanggota WTO (Yuliadi, 2007: 84).
1.5 Hipotesis dan Definisi Operasional
1.5.1 Hipotesis
Berdasarkan beberapa acuan pada latar belakang, permasalahan
penelitian dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan, maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
“Liberalisasi perdagangan global yang dicanangkan dalam skema
WTO berupa harmonisasi tarif, subsidi, kuota memiliki pengaruh
30
positif terhadap kebijakan perdagangan Indonesia yaitu meliberalisasi
perdagangan dengan mengimplementasikan ketentuan WTO mengenai
tarif, subsidi, dan kuota dalam kebijakan untuk meningkatkan ekspor
berimplikasi pada peningkatan cadangan devisa"
1.5.2 Definisi Operasional
Untuk memperjelas pengertian masing-masing variabel yang akan
diukur, baik variabel bebas (independent variabel) maupun variabel tergantung
(dependent variabel), di bawah ini akan dijelaskan defenisi operasional variabelvariabel tersebut, sebagai berikut:
1. Liberalisasi Perdagangan global merupakan upaya WTO untuk
menciptakan perdagangan yang bebas diantara anggota-anggota
(negara-negara) WTO, yaitu menghapus hambatan perdagangan
internasional berupa hambatan tarif dan hambatan non tarif (subsidi,
kuota) yang diterapkan kepada barang
yang diekspor dan yang
diimpor. Liberalisasi perdagangan dalam penelitian ini digunakan
sebagai variabel independen dengan kombinasi peraturan mengenai
tarif, subsidi, kuota yang diatur di dalam ketetapan WTO yang
mempengaruhi variabel kebijakan perdagangan Indonesia.
2. Kebijakan perdagangan global Indonesia adalah kebijakan berupa
meliberalisasi perdagangan yang ditandai dengan penurunan tarif,
pemberian subsidi, serta penghapusan kuota secara bertahap, yang
dibuat
oleh
pemerintah
Indonesia
mengenai
permasalahan
perdagangan yakni ekspor dan impor di Indoesia yang bertujuan
31
meningkatkan ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan tersebut
sebagai
variabel
yang
dipengaruhi
oleh
variabel
liberalisasi
perdagangan global.
3. Tarif adalah ketentuan WTO sebagai implementasi dari perjanjian
akses ke pasar untuk menciptakan perdagangan bebas berupa bea
masuk, sejenis pajak, yang dibebankan terhadap barang yang melewati
batas wilayah pabean suatu negara baik tarif impor maupun ekspor,
yaitu dengan pengurangan tarif hingga 0% pada jenis barang yang
diekspor dan diimpor. Pengenaan tarif yang semakin tinggi pada
barang impor menyebabkan harga lebih mahal dibanding harga
produksi dalam negeri.
4. Subsidi adalah setiap bantuan pemerintah kepada perusahaan yang
memproduksi barang-barang ekspor tertentu. Subsidi yang diberikan
dapat dalam bentuk suku bunga pinjaman modal kerja yang rendah
atau kemudahan-kemudahan yang termasuk bantuan bantuan dari
pemerintah yang menyebabkan secara langsung atau tidak langsung
harga barang ekspor lebih murah. Dan subsidi dalam hal ini,
berkenaan ketentuan di dalam skema WTO untuk menghilangkan
hambatan non-tarif perdagangan sebagai kerangka liberalisasi
perdagangan.
5. Kuota adalah tindakan sepihak yang dilakukan oleh negara pengimpor
dengan jalan menentukan batas maksimum jumlah sejenis barang
tertentu yang boleh diimpor selama jangka waktu tertentu, dengan
32
penetapan kuota akan mengurangi jumlah barang yang diekspor oleh
negara pengekspor. Yang dimaksud disini ialah program liberalisasi
perdagangan WTO untuk mencabut secara bertahap ketentuan kuota
yang bersifat diskriminatif yang dikenakan terhadap barang impor
tertentu, dan memberi peningkatan kuota secara bertahap dan kontinu
terhadap produk impor tertentu.
6. Cadangan devisa, tagihan bersih otoritas meneter kepada sektor luar
negeri yang terdiri dari liquid reserver. Yang dimaksud liquid reserve
adalah jumlah cadangan yang terdiri dari emas dan valuta asing yang
dipelihara oleh setiap negara. Besar cadangan ini sangat ditentukan
oleh posisi neraca perdagangan negara Indonesia dengan negara mitra
dagangnya. Jika nilai ekspor lebih besar dari dari pada impor
dikatakan mengalami surplus baik perdagangan barang maupun jasa
dan berakibat pada meningkatnya jumlah cadangan devisa. Cadangan
devisa adalah otuput dari kebijakan perdagangan global indonesia
yang dipengaruhi variabel liberalisasi perdagangan global.
1.6 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.6.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode yang
bertujuan menggambarkan fakta-fakta yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai hubungan antar fenomena yang diselidiki, yang kemudian
33
pada akhirnya metode ini digunakan untuk mencari pemecahan atas masalah yang
diteliti (Nazir, 1988: 63).
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif tidak dimaksudkan
untuk memecahkan masalah dengan suatu pengujian (Silalahi, 2003: 56). Metode
deskriptif analitis bertujuan menggambarkan secara cermat terhadap suatu
permasalahan dari suatu gejala atau masalah yang diteliti serta dengan jelas dan
teliti untuk mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta yang berkenaan dengan
penelitian, disamping itu sebagai upaya menggambarkan suatu proses mekanisme
dan keterkaitan variabel-variabel yang diteliti.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan cara studi
kepustakaan. Yaitu, Pengumpulan data yang dibutuhkan peneliti diperoleh dari
data sekunder dengan jenis data dekumenter yaitu pelbagai tulisan, catatan dan
laporan dalam tabel, gambar dan grafik yang diperoleh dari jurnal, surat kabar,
majalah, terutama data-data berupa text book, disamping itu media internet sangat
diperlukan sebagai sumber data yang mendukung data-data lain.
1.7 Lokasi Penelitian dan Waktu penelitian
1.7.1 Lokasi Penelitian
Di atas telah dijelaskan mengenai teknik pengumpulan data yaitu dengan
menggunakan studi kepustakaan. Sehubungan itu, untuk menyukseskan penelitian
ini didukung pelbagai tempat yang dinilai layak dan menyediakan referensi dan
kebutuhan yang diperlukan, diantarnya:
34
1. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia, Jl. Dipatiukur No. 112,
Bandung.
2. Perpustakaan Universitas Padjadjaran, Jl. Dipatiukur, Bandung.
3. Perpustakaan Universitas Pasundan, Jl. Lengkong Besar No. 68,
Bandung.
4. Perpustakaan Universitas Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit, Bandung.
5. Departemen Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Jl. M. I Ridwan Rais
No. 5 Blok II Lt. 7, Jakarta 10110.
6. Perpustakaan CSIS, Jl. Tanah Abang, Jakarta Pusat.
1.7.2 Waktu Penelitian
Tabel 1.1
Tabel Rencana Kegiatan
WAKTU PENELITIAN 2007/2008
Kegiatan
Januari
Maret
April
Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengumpulan
Data
Pengajuan
Judul
Pemilihan
Dosen
Pembimbing
Bimbingan
Dosen
Seminar
Proposal
Penelitian
Pengolahan
Data
Penyusunan
Skripsi
Sidang Skripsi
Juni
1
2 3
Juli/A
gustus
35
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terbagi atas lima bab, setiap bab terdiri dari
beberpa pembahasan yang diperlukan bagi penelitian ini. Di bawah ini dijelaskan
bab-bab yang akan ditulis, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab I, terdiri dari pembahasan latar belakang masalah peneltian,
identifikasi masalah, pembahasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis dan defenisi operasional,
metodologi penelitian, lokasi dan waktu penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Menyajikan tinjauan kepustakaan dari literatur-literatur yang dipilih
untuk menjelaskan teori-teori serta konsep-konsep yang relevan dengan variabelvariabel yang diteliti. Menjelaskan teori-teori, konsep-konsep, berkenaan dengan
Hubungan Internasional, organisasi internasional, ekonomi politik internasional,
perdagangan internasional, liberalisasi
perdagangan internasional, globalisasi,
interdependensia, kebijakan perdagangan, dan pengetian cadangan devisa.
BAB III OBYEK PENELITIAN
Menjelaskan uraian tentang objek penelitian yang meliputi aspek-aspek
umum dan khusus berkenaan variabel-variabel yang akan dibahas yaitu gambaran
umum WTO; sejarah dan struktur organisasinya, gambaran umum negara
Indonesia; kondisi ekonomi, serta kebijakan perdagangannya, dan kemudian dapat
digunakan sebagai gambaran kondisi yang mendorong timbulnya masalah yang
diteliti.
36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dibahas penemuan-penemuan dalam pegelolaan data
dari variabel-vatiabel yang terkait dengan menggunakan metodologi yang telah
ditentukan, serta memaparkan hasil dari penelitian melalui teori dan konsep yang
telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan kesimpulan dari pembahsan setiap babnya secara
keseluruhannya dalam bentuk pembuktian dari hipotesis yang diajukan diterima,
ditolak, atau membutuhkan pengkajian lebih lanjut. Bab ini juga memberi saran
yang berdasarkan seluruh pembahsan dari penelitian, dimaksudkan sebagai
masukan konstruktif bagi peneltian lebih lanjut.
37
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hubungan Internasional
Aktor-aktor Hubungan Internasional (Lentner (1974: 3), mendefinisikan
aktor dalam studi Hubungan Internasional adalah suatu kesatuan yang
terorganisasi yang dapat memilih tujuan, mobilisasi sarana untuk mencapai tujuan
dan implementasi) tidak lagi didominasi oleh negara-negara berdaulat semata,
namun dalam perkembangannya aktor-aktor non negara yang memiliki
kemampuan potensial juga mewarnai dinamika dalam studi hubungan
internasional sebagai aktor global dengan pengaruh setara dengan negara.
Sehingga, kajian hubungan internasional selanjutnya, tidak lagi semata-mata
menyoal pertahanan dan keamanan seperti pada kajian Hubungan Internasional
(HI) masa lampau tetapi pelbagai permasalahan, isu-isu kontemporer yang
semakin kompleks.
Tema perang dan damai mendominasi kajian studi HI selama dua-tiga
dekade awal perkembangannya. Kini, displin HI yang hampir berumur seratus
tahun menemukan beragam tema yang patut menjadi bahan kajian, seperti pasar
global dengan jaringan transnasional; terorisme global dengan jaringan lokal;
perusakan lingkungan hidup yang berdampak extrateritorial; demokrasi dan hak
asasi manusia di tingkat domestik yang beriring ketidakadilan dan ketimpangan
global; integrasi regional yang mengantar pada terbentuknya lembaga
38
supranasional seperti di kawasan Eropa; dan meningkatnya peran media massa.
Sehingga dalam kajian HI tidak lagi didominasi oleh aktor-aktor negara (state
actors), tetapi juga diwarnai oleh aktor-aktor non negara seperti peran nongovernment organizations (NGOs) dalam pelbagai permasalahan dunia.
Studi ilmu Hubungan Internasional mengacu pada semua bentuk interaksi
antar anggota masyarakat yang terpisah, baik yang didukung pemerintah atau
tidak. Interaksi ini dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan
(competition), dan pertentangan (conflict) (Rudy, 2003: 2). Holsti (1992: 22),
menyatakan bahwa Hubngan Internasional mencakup segala bentuk interaksi
antarbangsa
atau kelompok masyarakat yang berbeda, baik yang disponsori
pemerintah atau tidak. Lebih lanjut Holsti (1988: 23) menjelaskan lingkup studi
Hubungan
antarnegara
Internasional
bangsa
menyangkut
dan
segala
kelompok-kelompok
macam
bangsa
hubungan interaksi
dalam
masyarakat
internasional, dengan segala aspek yang terkait dalam hubungan tersebut.
Kemudian dipertegas pendapat Johari (1985: 5), bahwa Hubungan Internasional
itu sendiri merupakan studi tentang interaksi yang terjadi di antara negara-negara
yang berdaulat di dunia, atau merupakan suatu studi tentang para pelaku bukan
negara (non state-performers) yang perilakunya memiliki pengaruh terhadap
kehidupan
negara
bangsa.
Chan
(1984:
5),
mendefinisikan
Hubungan
Internasional sebagai interaksi yang terjadi antara aktor-aktor, baik negara
maupun non negara, dimana tindakan-tindakan aktor-aktor tersebut beserta
kondisi yang melingkupinya, memberikan konsekuensi pada aktor-aktor lain yang
berada di luar batas teritorialnya. Berdasarkan penjelasan dan beberapa pengertian
39
di atas dapat dipertegas bahwa studi ilmu Hubungan Internasional tidak hanya
mengkaji bentuk-bentuk interaksi atau hubungan yang terjadi di antara aktor-aktor
negara seperti bentuk klasiknya Hubungan Internasional yang diperankan hanya
oleh para diplomat dan mata-mata selain tentara dalam medan peperangan.
Namun, disiplin HI kontemporer juga memfokuskan pada peran penting yang
tidak dapat dikesampingkan, yaitu aktor-aktor non negara (perusahaan
multinasional, organisasi nonpemerintah, gerakan sosial, dan bahkan individu)
(Hermawan,
2007:
1).
Dalam
penjelasan
lain,
Rossenau
(1976:
5),
mengidentifikasikan lima tipe aktor dalam HI, yaitu: Pertama, individu-individu
tertentu seperti pemimpin politik dan pejabat pemerintahan; Kedua, kelompok dan
organisasi nonpemerintahan; Ketiga, semua negara-bangsa dan pemerintahannya;
Keempat, semua organisasi internasional; Kelima, semua kawasan geografi utama
dan pembagian wilayah secara politis.
Dari sisi isu, jika pada awal kemunculannya pada akhir abad-19 disiplin HI
lebih memfokuskan, seperti telah disebut, yaitu pada isu di seputar masalah
peperangan dan perdamaian (war and peace), maka dalam perkembangannya,
Hubungan Internasional meliputi semua interaksi yang melibatkan pelbagai
fenomena sosial yang melintasi batas nasional suatu negara, hal ini dipicu
kompleksitas dari realita yang terjadi, sehingga memunculkan pelbagai masalah
yang diharapkan pemecahannya yang melibatkan aktor-aktor internasional.
Seperti yang dikemukakan Lopez dan Stohl (1989: 3), Hubungan Internasional
meliputi semua interaksi yang melibatkan fenomena sosial yang melintasi batas
nasional suatu negara, baik menyangkut aspek ideologi, politik, hukum, ekonomi,
40
sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan. Lebih lanjut Lopez dan Stohl
menjelaskan, hubungan ini tidak hanya berupa kontak fisik atau temu muka
secara langsung tetapi juga berupa transaksi ekonomi, penggunaan kekuatan
militer dan diplomasi baik secara umum maupun khusus, sehingga dalam
perkembangannya mengarah ke arah kegiatan-kegiatan seperti perang, bantuan
kemanusiaan, perdagangan internasional, dan investasi, turisme dan juga
olimpiade (Lopez dan Stohl (1989: 3).
Menurut Mc.Clelland, Hubungan Internasional merupakan studi tentang
interaksi antara jenis-jenis kesatuan-kesatuan sosial tertentu, termasuk studi
tentang keadaan-keadaan relevan yang mengelilingi interaksi (Perwita dan Yani,
2005: 4). Dalam penjelasan lain, Wiriaatmadja (1967: 39), Hubungan
Internasional adalah sesuai untuk mencakup segala macam hubungan antarbangsa
dalam masyarakat dunia dan kekuatan-kekuatan, tekanan-tekanan proses yang
menentukan cara hidup, cara bertindak dan cara berpikir manusia. Dari penjelasan
kedua pakar tersebut, menunjukan semakin luasnya isu-isu yang menjadi kajian
HI kontemporer, hingga merambah ke persoalan yang menyangkut kerja sama
ekonomi
antarnegara,
upaya memerangi
kemiskinan global, memahami
ketimpangan hubungan antar kelompok negara kaya dengan negara miskin, upaya
memahami dan memerangi kriminalitas antarnegara (transnational crime), upaya
untuk mengatasi konflik dan separatisme, dan sebagainya (Hadiwinata, di dalam
Hermawan (ed), 2007: 1).
41
2.2 Organisasi Internasional
Hubungan antarnegara sangat kompleks sehingga diperlukan pengaturan.
Untuk mengatur agar mencapai tujuan bersama yang merupakan kepentingan
bersama, negara-negara membutuhkan pembentukan wadah, yaitu organisasi
internasional (Suwardi, 2004: 2-3). Sebab, berdirinya organisasi internasional
(international organization) pada hakekatnya didorong oleh keinginan untuk
meningkatkan dan melembagakan kerja sama internasional secara permanen
dalam rangka mencapai tujuan bersama (Parthiana, 2003: 103).
Organisasi internasional memang bukan merupakan suatu fenomena baru
dalam tatanan masyarakat internasional. Dalam Parthiana (2003: 102),
menjelaskan organisasi internasional barulah muncul pada abad ke-19.
Sedangkan, Suwardi (2004: 3) menulis bahwa pertumbuhan organisasi
internasional telah dimulai sejak abad pertengahan. Kecenderungan negara-negara
atau anggota masyarakat untuk membentuk wadah, yaitu oragnisasi internasional
telah sejak lama terjadi, yang kemudian berdiri dengan pesatnya pelbagai bentuk
dan macam organisasi internasional yang meluas ke pelbagai bidang.
Organisasi internasional merupakan salah satu kajian studi Hubungan
Internasional (HI) serta merupakan salah satu aktor dalam kajian Hubungan
Internasional. Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan HI, bahwa pada
awalnya disiplin HI sesungguhnya menitikberatkan pada ”negara” (state) sebagai
subjek rujukannya, yaitu dengan menjadikan negara sebagai rujukan dalam
pembahasan mengenai prilaku, kepentingan, pembuatan keputusan, dan
sebagainya. Namun dalam perkembangnya, dominasi negara sebagai aktor studi
42
hubungan internasional mulai digeser oleh aktor-aktor non negara, seperti dalam
dominasi negara sebagai pemilik modal yang berdaulat (soverign entrepreneur)
yang digantikan oleh peusahaan transnasional. Hal ini kemudian yang meyakini
pendukung pluralis (pluralis merupakan salah satu perspektif yang memandang
hubungan internasional tidak hanya terbatas pada hubungan antarnegara saja
tetapi juga merupakan hubungan antar individu dan kelompok kepentingan
dimana negara tidak selalu sebagai aktor utama dan aktor tunggal (Perwita dan
Yani, 2005: 26)) untuk memperhitungkan aktor-aktor lain diluar negara sebagai
pemain penting di dalam hubungan tingkat dunia.
Sebagaimana, Viotti dan Kauppi (1999) menjelaskan empat asumsi utama
yang digunakan pendekatan pluralis dalam memahami fenomena hubungan
internasional. Empat asumsi utama tersebut adalah; aktor-aktor non negara adalah
entitas penting dalam politik dunia (aktor-aktor non negara adalah juga aktor yang
penting seperti negara); negara bukan merupakan aktor yang hanya memiliki satu
suara (unity actor) (karena negara terdiri dari kaum birokrat, kelompok
kepentingan dan individu-individu yang masing-masing berusaha untuk
memformulasikan dan mempengaruhi kebijakan luar negerinya); negara bukan
merupakan aktor yang rasional (pada kenyataannya pembuatan kebijaksanaan luar
negeri suatu negara adalah merupakan proses yang diwarnai konflik dan
kompromi antar aktor dalam negara), dan; agenda dalam politik internasional
adalah sangat luas (yaitu, mencakup isu-isu militer keamanan maupun sosial
ekonomi tanpa ada pembedaan mana yang lebih penting diantara keduanya)
43
(Perwita dan Yani, 2005: 26). Sehingga jelaslah bahwa peran dan fungsi
organisasi internasional sangat penting dalam kajian studi hubungan internasional.
2.2.1 Pengertian Organisasi Internasional
Awal organisasi internasioanal (OI) ini terjadi ketika terbentuknya
kesepakatan pertama antara satu-satuan politik yang otonom untuk menegaskan
hak dan kewajiban bersama demi kerja sama atau perdamaian. Pada umumnya
organisasi internasional yang dimaksudkan adalah organisasi internasional yang
dibentuk antarpemerintah (intergovernmental organization), dan organisasi
internasional tidak pernah dibentuk untuk saling memerangi atau saling memusuhi
antar anggota. Memang, pada awalnya organisasi internasional didirikan dengan
tujuannya untuk mempertahankan peraturan-peraturan agar dapat berjalan tertib
dalam rangka mencapai tujuan bersama dan sebagai suatu wadah (Suwardi (2004:
5) menjelaskan, wadah tersebut
untuk menjalankan tugas bersama antar
anggotanya, baik dalam bentuk kerjasama yang sifatnya koordinatif maupun
subordinatif) hubungan antarbangsa dan negara agar kepentingan masing-masing
negara dapat terjamin dalam konteks hubungan internasional (Perwita dan Yani,
2005: 91).
Sedangkan, Bennet (1995: 2) menjelaskan OI bisa dilihat sebagai pelopor
atau barisan depan dari upaya pemunculan pemerintah dunia dan pada sisi lain
merupakan contoh kegagalan untuk memupuk kerjasama di antara negara-negara
bangsa, tetapi juga dipandang sebagai wadah kerjasama antarnegara-bangsa dalam
masyarakat internasional.
44
Archer (1983), bahwa organisasi internasional berasal dari dua kata yaitu
organisasi dan internasional. Kata internasional sendiri diartikan dalam beberapa
arti, pertama, intergovernmental yang berarti interstate atau hubungan antara
wakil resmi dari negara berdaulat. Kedua, aktivitas di antara individu-individu dan
kelompok-kelompok
di
negara
lain
serta
juga
termasuk
hubungan
intergovernmental yang disebut dengan hubungan transnasional. Ketiga,
hubungan antar suatu cabang pemerintah di suatu negara (seperti departemen
pertahanan) dengan suatu cabang pemerintah di negara lain (seperti departement
pertahanan dan badan intelijennya) dimana hubungan tersebut tidak melalui jalur
kebijakan luar negeri disebut transgovermental. Selanjutnya, Archer (1983),
mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu struktur formal dan
berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antar anggota-anggota
(pemerintah dan nonpemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan
tujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya (Perwita dan Yani,
2005: 91-92). Pendapat yang hampir serupa dengan Wright di dalam Kartasasmita
(1987: 3), bahwa organisasi internasional adalah seni untuk menciptakan dan
mengurus masyarakat yang luas terdiri dari negara-negara merdeka untuk
memudahkan kerja sama dalam mencapai tujuan bersama.
Dan sejalan dengan pendapat Marbun (1992: 201), mengenai keanggotaan
dalam pembentukan OI yang dikemukakan Archer di atas, bahwa apabila dua atau
lebih negara menandatangani perjanjian atau piagam, maka dapat terbentuk suatu
(hanya saja Marbun menyebutkan) organisasi antarpemerintah.
45
Mengingat suatu kerja sama intenasional tidak selalu harus berbentuk OI.
Mungkin saja dilaksanakan atau diwujudkan melalui perjanjian (teaty) atau
kesepakatan (agreement) yang buka bentuk perjanjian untuk membentuk suatu OI.
Oleh karena itu, perlunya pendekatan atas peringkat defenisi, seperti yang
diunggkapkan oleh Couloumbis dan Wolf, yaitu:
1. Dari segi tujuan organisasi, apakah bersifat internasional yaitu bahwa
kegiatannya melintasi batas-batas negara nasional.
2. Dari tinjauan terhadap model dan kelembagaan organisasi internasional
yang ada dewasa ini.
3. Sebagai proses yang mendekati taraf pengaturan oleh suatu bentuk
pemerintahan, dalam hubungan yang mencakup baik antarnegara
dengan negara maupun aktor-aktor bukan negara (non state actors)
(Rudy, 2005: 3-4).
Sejalan dengan penjelasan di atas tersebut, Rudy (2005: 3) berpendapat
bahwa pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur
organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk
berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan
melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta
disepakati bersama, baik antara sesama kelompok nonpemerintah pada negara
yang berbeda.
2.2.2 Penggolongan Organisasi Internasional
Bennet (1997) menggolongkan dua kategori utama organisasi internasional
yang dikemukakan secara umum, yaitu:
46
1. Organisasi antarpemerintah (intergovernmental organization/IGO),
yang anggotanya terdiri dari delegasi resmi pemerintah negara-negara.
2. Organisasi
terdiri
dari
nonpemerintah
(nongovernmental
kelompok-kelompok
swasta
di
organization/NGO),
bidang
keilmuan,
keagamaan, kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi, dan sebagainya
(Perwita dan Yani, 2005: 93-94).
Lebih lanjut, Bennet (1997) menjelaskan bahwa karakteristik umum yang
terdapat dalam kedua jenis lembaga internasional tersebut meliputi: organisasi
permanen untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu; keanggotaannya bersifat
sukarela; instrumen dasar yang menyatakan tujuannya, struktur, dan metode
pelaksanaanya; badan konsultatif yang refresentatif; dan sekretariat permanen
yang menjalankan fungsi administrtif, penelitian, dan informasi (Perwita dan
Yani, 2005:94).
Sedangkan, Marbun (1992: 194-195) memberi penjelasan berbeda
mengenai istilah yang dipakai dalam organisasi internasional dengan menyebut
organisasi transnasional, Ia beralasan keanggotaan, tujuan, dan lingkup
aktivitasnya melewati batas-batas nasional. Kemudian Marbun menambahkan,
selain organisasi antarpemerintah yang beranggotakan lebih dari satu nagara, ada
dua jenis organisasi transnasional (yang Ia maksud organisasi internasional)
lainnya: pertama, organisasi nonpemerintah, yaitu suatu organisasi yang dibentuk
di antara individu-individu atau organisasi-organisasi swasta di pelbagi negara;
dan tipe kedua dari organisasi transnasional adalah organisasi multinasional.
Organisasi multinasional merupakan perusahaan-perusahaan, yang diatur dan
47
dikendalikan oleh sekelompok individu di suatu negara, yang para pemimpinnya
bekerja di satu pangkalan, tetapi aktivitasnya dilakukan di negara lain. Marbun
menambahkan,
organisasi
multinational
ini
berbeda
dari
organisasi
nonpemerintah karena tujuan mereka ditetapkan dan kebijakan mereka
dirumuskan oleh sekelompok individu yang relatif kecil yang biasanya tinggal di
satu negara (Marbun, 1992: 197-198).
2.2.3 Peran Organisasi Internasional
Peran organisasi internasional (OI) dapat dibagi ke dalam tiga kategori,
yaitu:
1. Sebagai instrumen (alat pencapaian tujuan). Organisasi internasional
digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan
tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya. Suatu instrumen
menunjukkan tujuannya apabila memperlihatkan kegunaannya dalam
periode tertentu bagi mereka yang memanfaatkan jasanya. Dan untuk
tujuan tertentu biasanya terjadi pada Intergovernmental Organizations
(IGOs) dimana anggota-anggotanya merupakan negaraberdaulatyang
dapat
membatasi
tindakan-tindakan
OI.
Sedangkan,
pada
Nongovernmental Organizations (INGOs) tindakannya mencerminkan
perilaku dari anggotanya yang berupa kelompok perdagangan,
organisasi bisnis, partai poltik, atau kelompok gereja.
2. Sebagai arena (perumusan suatu masalah). Organisasi internasional
merupakan
tempat
bertemu
bagi
anggota-anggotanya
untuk
membicarakan dan membahas masalah-masalah yang dihadapi. Dalam
48
hal ini OI menyediakan tempat-tempat pertemuan bagi para anggota
untuk
berkumpul
bersama-sama
untuk
berdiskusi,
berdebat,
berkerjasama, ataupu saling berbeda pendapat. OI menyediakan
kesempatan bagi
para
anggotanya untuk
lebuh meningkatkan
pandangan serta usul dalam suatu foru publik dimana hal seperti ini
tidak dapat diperoleh dalam diplomasi bilateral.
3. Sebagai aktor independen (pembuat keputusan). Orgnisasi internasional
dapat membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh
kekuasaan atau paksaan dari luar organisasi.
Sejak tahun 1960-an
terdapat bukti-bukti bahwa sejumlah entitas termasuk OI dapat
mempengaruhi kejadian-kejadian dunia. Bila hal ini terjadi, entitasentitas tersebut menjadi aktor dalam arena internaisonaldan saingan
bagi negara. Kemampuan entitas tersebut dalam beroperasi sebagai
aktor internasional atau transnasional dapat dibuktikan karena
mengidentifikasi diri
dan kepentingannya melalui badan-badan
korporasi, bukan melalui negara. (Archer, di dalam Perwita dan Yani,
2005: 95-97).
Organisasi internasional dalam isu-isu tertentu berperan sebagai aktor yang
independen dengan hak-haknya sendiri. OI juga memiliki peranan penting dalam
mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan-perselisihan yang
timbul dari adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara-negara
(Viotti&Kauppi 1999: 228).
49
Sedangkan menurut Archer, OI mempunyai tiga peran penting dalam
World politic. Pertama, OI digunakan oleh negara-negara sebagai instrumen dari
kebijakan luar negerinya dimana hal ini sesuai dengan pandangan state centric.
Kedua, OI dimanfaatkan untuk memodifikasi atau mengatur tingkah laku negaranegara. Ketiga, OI adalah sebagai aktor yang dapat bertindak sesuai dengan
kemauannya, sehingga dapat dilihat apakah OI otonom atau tidak (Rudy, 2005:
29).
2.2.4 Fungsi Organisasi Internasional
Setiap OI dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsinya
dalam
menjalankan aktivitasnya sesuai dengan tujuan pendirian OI tersebut oleh
anggotanya. Fungsi OI menurut Bennt adalah:
1. Menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerja sama yang dilakukan
antarnegara dimana kerja sama itu menghasilkan keuntungan yang
besar bagi seluruh bangsa.
2. Menyediakan banyak saluran-saluran komunikasi anatarpemerintahan
sehingga ide-ide dapat bersatu ketika maslah muncul ke permukaan
Perwita dan Yani, 2005: 97).
Selanjutnya
Archer (1983) menyebutkan OI dalam fungsinya sebagai
instrument, forum/arena, dan aktor mempengaruhi fungsi dari sistem politik
internasional mewlalui fungsi-fungi, yaitu sebagai; artikulasi dan agregasi
kepentingan nasional negara-negara anggotanya; menghasilkan norma-norma
(rejim); rekrutmen; sosialisasi; pembuat peraturan (rule making); penerapan
50
peraturan (rule application); penilaian/penyelarasan keputusan (rule adjuction);
tempat memperoleh informasi; dan operasionalisasi (Rudy, 2005: 29).
Fungsi sebagai artikulasi dan agregasi, OI berfungsi untuk melakukan
tugas artikulasi dan agregasi kepentingan dalam hubungan internasional dengan
menjadi instrumen untuk artikulasi dan agregasi kepentingan, menjadi forum
mengartikulaiskan kpentingan, dan mengartikulasikan kepentingan yang terpisah
dalam beroperasinya OI sebagai forum bagi diskusi dan negosiasi.
OI sebagai instrumen, forum, dan aktor telah memberi kontribusi yang
berarti bagi aktivitas normatif dari sistem politik internasional yaitu dengan
membantu membuat norma dalam hubungan internasional. Seperi keaadilan dan
sosial yang dilakukan oleh jaringan IGOs di bawah PBB dan didukung oleh
sistem konsultasi dan mendapat dukungan dari INGOs. Dalam bidang ekonomi,
OI membantu mentuk norma tingka laku ekonomi. Keamanan internasional yaitu,
prinsip anti perang, melegitimasi kolonialisme barat, mengumumkan situasu
tertentu, mendorong pelucutan senjata dan mendesak kekuasaaan negara.
Fungsi ketiga yaitu sebgai rekrutmen. Berkenaan fungsi OI yang penting
dalam merekrut partisipan dalam sistem politik internasional. Misalnya IGOs
yang terdiri dari dari wakil-wakil negara berdaulat, hal ini mendorong wilayah
yang
belum
merdeka
untuk
memperoleh
kemerdekaaannya
sehingga
memungkinkan negara-negara yang belum merdeka untuk menyampaikan
kepentingannya dalam IGOs dan menambah pula universalitas keanggotaanya.
Begitu pula terhadap INGOs yang melakukan rekrutmen melalui pengumpulan
51
kelompo dan individu untu tujuan tertentu, seperti menyebarkan agama,
meningktkan aktivitas serikat dagang, dan lain sebagainya.
Proses sosialisasi bekerja secara internasional dalam dua level. Pertama,
agen sosialisasi bekerja melintasi perbatasan mempengaruhi individu dan
kelompok di sejumlah negara. Kedua, proses sosialisasi dapat terjadi antara
negara-negara dalam level internasional dan antara wakil-wakil negara. Sosialisasi
bertjuan untuk mendorong para anggota OI untuk bertindak dalam cara-cara yang
kooperatif dengan tidak melupakan norma-norma yang dianut bersama.dengan
demikian, diharapkan dapat membangun pola tingkah laiku yang dapat diandalkan
dan berlangsung terus menerus.
Pembuatan peraturan (rule making) sistem internasional tidak seperti di
dalam sistem politik domestik. Sistem internasional tidak punya badan formal
pusat rule making. Sumber peraturan dalam arena internasional pun lebih dapat
berasal dari praktek sebelumnya atau produk dari panitia ad hoc atau dari
kesepakatan bilateral legal antarnegara atau berasal dari organisasi internasional.
Kemudian, dalam sistem politk internasional penerapan peraturan
dilakukan oleh negara berdaulat karena tidak otoritas sentral dengan agen-agennya
yang melakukan tugasnya. Seperi fungsi OI dalam menerapkan aturan-aturan
umum, dalam m,enerapkan aturan yang telah disepakati. Begitu juga INGOs turut
berpartisipasi dalam memonitor penerapan aturan internasional oleh pemrintah.
Sedangkan, rule adjunction biasa dilakukan oleh pengadilan, arbitrase.
Fungsi rule adjuction dilakukan oleh institusi tertentu dimana tugasnya untuk
bertindak menjadii hakim dalam klaim-klaim yang dibuat negara-negara. Dan OI
52
juga berfungsi sebagai tempat untuk memperoleh informasi dan pertukaran
informasi di antara anggota-anggotanya.
Serta fungsi terakhir OI adalah sebagai operasional. Dapat berupa
perbankan, penyediaan bantuan; bantuan untuk pengungsi, berhubungan dengan
komoditas, dan juga pelayanan teknis. Demikian sembilan fungsi OI yang di
kemukakan Arher (1983: 152-169).
2.3 Ekonomi Politik Internasional
Pada dekade 1970-an sejumlah pakar Hubungan Internasional (HI) mulai
memikirkan bagaimana negara-negara, yang selalu didorong nafsu berperang,
pada waktu yang sama tetap berkeinginan untuk tetap menjalin kerja sama dengan
negara lain (Hermawan (ed), 2005: 5).
Pakar tersebut (yaitu, menginginkan negara-negara (yang selalu didorong
nafsu berperang) untuk tetap melakukan kerja sama dengan negara lain),
sebagaimana yang dijelaskan Hadiwinata (2007), diantaranya Keohane dan Nye
(1972), yang mencoba untuk menggambarkan bagaimana saling ketergantungan di
bidang ekonomi telah mendorong negara-negara untuk tetap menjalin kerja sama.
Kemudian, Gilpin (1975) mencoba mengidentifikasi keberadaan perusahaan
multinational sebagai pelaku penting dalam mendorong negara-negara untuk
terlibat dalam kerja sama ekonomi. Melalui aktivitas perusahaan-perusahaan
multinasional, modal, barang dan jasa dapat saling dipertukarkan melewati batasbatas negara dalam waktu relatif singkat (Hadiwinata, di dalam Hermawan, 2007:
6), sehingga dengan sendirinya meningkatkan kerja sama ekonomi antarnegara.
53
Hadiwinata (2007) melanjutkan, dapat dikatakan sejak saat itu ilmu ekonomi
mulai mempengaruhi studi HI.
Sedangkan, Perwita dan Yani (2005:75) menjelaskan, bahwa ekonomi
menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan proses ekonomi, begitu pula
sebaliknya, yaitu pada saat (awal-awal munculnya kajian ekonomi-politik
internasional tahun 1970-an), stabilitas politik dan ekonomi negara-negara di
dunia digoyahkan oleh timbulnya krisis yang disebabkan oleh pemboikotan
pasokan minyak bumi oleh negara-negara Arab.
Ekonomi politik itu sendiri baru berkembang dan mendapat tempat sebagai
bidang keilmuan yang dipelajari secara luas sekitar tahun 1930-an, dan penerapan
pemikiran ekonomi politik diawali pada saat pemberlakuan sistem Bretton Woods
(Bretton Woods diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat, Franlin Roosevelt dan
dihadiri oleh perwakilan 44 negara untuk merancang pasal persetujuan bagi
Internasyional Bank for Reconstruction and Development (IBRD) serta
International Monetary Fund (IMF) yang diselenggarakan pada tanggal 1-22 Juli
1944. Konperensi Bretton Woods bertujuan untuk menanggulangi pemulihan
ekonomi seusai Perang Dunia II (Plano dan Olton, 1999: 253)) (Rudy, 1993: 49).
Bahkan, Gilpin (1978) menjelaskan bahwa faktor-faktor ekonomi (misalnya,
faktor harga atau nilai tukar mata uang, terutama hal yang berkenaan dengan
prinsip praktik monopoli yang dilakukan oleh dunia swasta maupun peran
pemerintah (negara) dan bertambahnya logam mulia (emas, perak) yang berkaitan
dengan meluasnya perdagangan internasional (Ikbar, 1995: 29)) telah memainkan
peran penting dalam hubungan internasional sepanjang sejarah.
54
Ekonomi politik dalam studi HI memerlukan
suatu metode dan
pendekatan (metode atau pendekatan di sini adalah suatu cara atau prosedur yang
ditempuh dalam proses penyelidikan atau penelitian dan pengamatan maupun
analisis-analisis dari studi ekonomi politik dalam perspektif hubungan
internasional menyangkut aplikasi keilmuannya sesuai konteksnya (Ikbar, 1995:
21) yang disesuaikan dengan keperluan telaahnya secara tepat, oleh karena ruang
lingkup kajian-kajian HI itu sendiri, adalah mencakup segala macam aspek
kegiatan yang “melintasi batas wilayah negara” (Rudy, 1993: 50), dan memiliki
karakter khas yaitu, interdisiplinier. Sedangkan, konfigurasi pendekatan ekonomi
politik internasional adalah tidak tunggal (monodisiplin), artinya bahwa
implementasi alat-alat analisisnya dapat dilihat pada sejumlah teori dan konsepkonsep yang mendasari substansi ekonomi politik, seperti interdepedensi,
depedensi, keterbelakangan, pertumbuhan, perkembangan, pembangunan ekonomi
sosial, sistem-sistem ekonomi dan termasuk juga persoalan power politics,
realisme dan idealisme, linier dan strukturalis internasional, globalisasi, atau
regionalisme, dan lain-lain, demikin yang diutarakan Ikbar (1995: 21).
Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan diatas, dalam penelitian ini akan
digunakan teori interdepedensi dan konsep globalisasi.
Secara umum, akan dijelaskan pengertian ekonomi politik terlebih dahulu,
sebelum menjelaskan defenisi/pengertian ekonomi politik internasional itu sendiri.
Ekonomi politik secara umum, dapat dipahami dari beberapa pendapat pakar
penstudi ini, diantaranya: Lord Robbin (1977) menjelaskan, bahwa yang
dimaksud dengan ekonomi politik dapat mengandung dua versi. Pertama, ialah
55
versi ekonomi klasik yang memberi pengertian ekonomi politik sebagai suatu
kesatuan menyeluruh dari suatu pembahasan, sejak dari ilmu ekonomi (murni,
teori) itu sendiri (economics science) samapi dengan teori-teori tentang kebijakan
ekonomi (theory of economics policy) yang meliputi analisis dari bekerjanya
keuangan negara. Kedua, ekonomi politik versi modern yaitu ekonomi politik
yang membahas bagaimana sistem ekonomi itu bekerja. Namun demikian, ia
bukanlah sciencetific economics yang merupakan himpunan dari value free
generalization tentang cara-cara sistem ekonomi itu bekerja. Ekonomi politik di
sini membicarakan prinsip-prisip umum dalam bidang ekonomi (Ikbar, 1995: 17).
Pemahaman lain mengenai studi ekonomi politik, sebagaimana dijelaskan
oleh Ichman (1972), bahwa ekonomi politik adalah suatu integrated social science
of public porpuse. Dikatakan bersifat politik karena membahas segi autoritas
dalam masyarakat. Bersifat ekonomi karena membahas masalah-masalah alokasi
dan petukaran sumber-sumber yang langka, termasuk di dalamnya sumber-sumber
sosial dan politik. Kemudian, Ikbar (1995: 18) menegaskan yang dimaksud oleh
Icman di atas, bahwa ekonomi politik berkepentingan dengan semua persoalan
yang memiliki relevansi dengan kebijakan-kebijakan dan masalah umum,
disamping memperhatikan dan mendorong partisipan dalam perspektif kehidupan
sosial dan politik.
Secara umum dapat dipahami adanya pertalian erat antara dunia politik
dan dunia ekonomi—meminjam kesimpulan dari Mas’oed (2003: 4), mengingat
pelbagai pendapat yang berbeda dalam memahami ekonomi politik dari beberapa
pakar di atas, maka di sini ekonomi didefinisikan sebagai sistem produksi,
56
distrubusi, dan konsumsi kekayaan; sedang politik sebagai sehimpunan lembaga
dan aturan yang mengatur pelbagai interaksi sosial dan ekonomi. Bahkan, Gilpin
(1987) menjelaskan bahwa, hubungan dan interaksi dari “negara” dan “pasar” di
dalam dunia modern menciptakan “ekonomi politik”, tanpa kedua faktor tersebut;
pasar dan negara tidak akan ada ekonomi politik, dan perbedaan mendasar terletak
pada hakikat paradigma ilmu politik yang menekan power dan sebaliknya ilmu
ekonomi pada “mekanisme pasar” (terutama yang bukan kaum marxian) (Ikbar,
1995: 19). Oleh karena itu, Gilpin (1987) memandang perlunya untuk memahami
tiga unsur dasar dalam isu-isu ekonomi politik. Tiga unsur tersebut adalah; 1)
penyebab dan hal-hal yang mempengaruhi kebangkitan pasar; 2) hubungan
anatara perubahan ekonomi dan perubahan politik; dan 3) Signifikansi ekonomi
pasar dunia terhadap ekonomi domestik.
Ekonomi politik internasional (EPI) secara luas didefinisikan Mas’oed
(2003: 4) sebagai studi tentang saling kaitan dan interaksi fenomena politik
dengan ekonomi, antara “negara” dengan “pasar”, antara lingkungan domestik
dengan yang internasional, dan antara pemerintah dengan masyarakat. Hal senada
(Ia kemukakan) yang dirumuskan oleh Frieden dan Lake (1991), “the study of the
interplay of economics and politics in the world arena” (Mas’oed, 2003: 4). Rudy
(1993: 50-51), menyimpulkan ekonomi-politik sebagai hasil interaksi antara
kajian ekonomi dengan kajian politik, yang mempertimbangkan serta dipengaruhi
oleh kondisi mekanisme pasar (unsur pasar) dan kondisi kehidupan sosial
masyarakat serta pola kebijakan pemerintah (unsur politik) yang satu sama lain
saling berinteraksi pula. Dan lebih lanjut Rudy menjelaskan, dalam kaitan dengan
57
EPI, maka yang berinteraksi adalah mekanisme internasional (termasuk
interdependensi,
depedensi,
dan
globalisasi)
dengan
sistem
masyarakat
internasional yaitu sistem banyak negara (multistate system) dan pola hubungan
antarnegara serta kebijakan masing-masing pemerintah mempengaruhi situasi
pasar internasional baik dalam bidang perdagangan (misalnya, term of trade,
quota, proteksionisme, dan sejenisnya) maupun dalam bidang moneter (misalnya,
cadangan devisa dan nilai tukar mata uang).
Saling berkaitan dan interaksi ekonomi-politik, negara-pasar, negaramasyarakat, dan domestik-internasional, dapat dilihat dari pelbagai usaha
pemerintahan di dunia dalam menyelesaikan masalah domestiknya dengan
memanfaatkan hubungan internasional. Misalnya, seperti yang dipaparkan
Mas’oed (2003: 5), masalah ekonomi domestik negara-negara anggota Gerakan
Non-Blok (GNB) sejak lama diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme
politik internasional. Begitu juga, Boris Yeltsin sejak menjabat sebagai presiden
Russia berusaha memanfaatkan mekanisme ekonomi internasional untuk
menyelesaikan masalah domestiknya. Lebih lanjut, Dia menjelaskan beberapa
contoh yang menunjukkan bagaimana masalah internasional dicoba diselesaikan
dengan menerapkan kebijakan domestik. Misalnya, penerapan kebijakan politik
domestik pemerintahan Vietnam, terutama “Doi Moi” atau “keterbukaan politik”,
dengan tujuan lebih besar di arena ekonomi politik internasional, yaitu
memperbaiki hubungan dengan aktor-aktor utama dunia, mengingat (ujarnya),
sampai awal tahun 1994 hambatan utama bagi Vietnam untuk memanfaatkan
sumberdaya ekonomi dunia adalah embargo Amerika Serikat.
58
Sedangkan, Spero (yang dijelaskan dalam Perwita dan Yani (2005: 76))
mengajukan konstruksi berpikir yang berawal dari pengertian politik internasional
dan ekonomi internasional guna memahami makna ekonomi politik internasional.
Politik internasional adalah interaksi di antara negara-negara dalam upaya
mencapai tujuan masing-masing dan penentuan “who gets what, when, and
how?”. Ekonomi internasional merupakan prilaku negara untuk memenuhi
kepentingan nasionalnya dalam kondisi keterbatasan sumber daya. Maka
sebenarnya interaksi ekonomi adalah interaksi politik dalam arena internasional.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa hubungan internasional mengandung
interaksi yang bersifat ekonomi politik internasional.
Kemudian, Perwita dan Yani (2005: 76) melanjutkan dengan menjelaskan
ada empat faktor politik yang mempengaruhi ekonomi yang dikemukakan Spero
(1985), yaitu:
1. Struktur dan operasi sistem ekonomi internasional dipengaruhi oleh
struktur dan operasi politik internasional.
2. Kepedulian-kepedulian
politik
selalu
mempengaruhi
kebijakan
ekonomi.
3. Kebijakan-kebijakan ekonomi dituntun oleh kepentingan politik, dan
4. Hubungan dalam ekonomi politik internasional adalah hubungan politik
interaksi ekonomi internasional, dan hubungan politik adalah proses
dimana negara-negara dan aktor non negara mengatur konflik dan kerja
sama untuk mencapai suatu tujuan.
59
2.4 Perdagangan Internasional
Perdagangan antarnegara atau lebih dikenal dengan perdagangan
internasional, sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu, namun dalam ruang
lingkup dan jumlah yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan setempat (dalam
negeri) yang tidak dapat diproduksi, mereka melakukan transaksi dengan cara
barter (pertukaran barang dengan barang lainnya yang dibutuhkan oleh kedua
belah pihak, dimana masing-masing negara tidak dapat memproduksi barang
tersebut untuk kebutuhannya sendiri). Hal ini terjadi karena setiap negara dengan
negara mitra dagangnya mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan
kandungan sumber daya alam, iklim, penduduk, sumber daya manusia, spesifikasi
tenaga kerja, konfigurasi geografis, teknologi, tingkat harga, struktur ekonomi,
sosial dan politik, dan lain sebagainya. Dari perbedaan tersebut di atas, maka atas
dasar kebutuhan yang saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang
dalam skala luas dikenal sebagai perdagangan internasional (Halwani, 2005:1).
Amir (2000: 1) menegaskan, perbedaan-perbedaan di atas menimbulkan pula
perbedaan barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu dan
kuantumnya. Karena itu (tuturnya), adanya negara yang lebiih unggul dan lebih
istimewa dalam memproduksi hasil tertentu.
Lebih lanjut Halwani (2005:1) menjelaskan, (yang sekarang lazim disebut
perdagangan internasional) pada proses awalnya merupakan pertukaran dalam arti
perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya
diikuti dengan perdagangan barang dan jasa sekarang (saat terjadi transaksi)
dengan kompensasi barang dan jasa di kemudian hari. Akhirnya berkembang
60
selanjutnya, hingga pertukaran antarnegara/internasional dengan aset-aset yang
mengadung resiko, seperti saham, valuta asing, dan obligasi, yang saling
menguntungkan kedua bela pihak, bahkan semua negara yang terkait di dalamnya,
sehingga
memungkinkan
setiap
negara
melakukan
diversifikasi
atau
penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan
mereka.
Halwani (2005: 2), mengindentifikasi ada empat penyebab umum yang
mendorong terjadinya perdagangan internasional, sebagai berikut:
1. Sumber daya alam (natural resources).
2. Sumber daya modal (capital resources).
3. Tenaga kerja (human resources), dan
4. Teknologi.
Sebab-sebab umum di atas menunjukkan bahwa setiap negara dapat
berbeda tingkat produksi secara kuantitas, kualitas, dan jenis produknya. Dari
perbedaan tersebut akhirnya timbul transaksi perdagangan antarnegara atau
perdagangan internasional.
Sama halnya dengan perdagangan dalam negeri yakni melakukan transaksi
“jual-beli” maka dalam perdagangan luar negeri pun (yang selanjutnya disebut
perdagangan internasional) juga dilakukan aktivitas “jual” yang disebut ekspor
dan aktivitas “beli” disebut impor. Yang dimaksud ekspor dan impor dalam
penelitian ini dibatasi pada ekspor dan impor barang-barang (visible goods)
terutama barang pertanian (selaras karakteristik negara berkembang seperti
Indonesia adalah bahwa perdagangan internasionalnya dipengaruhi komoditas
61
sektor pertanian dan pertambangan yang mengandalkan pada kekayaan sumber
daya alam (SDA) (Yuliadi, 2007: 84). Pembatasan ini dikarenakan aktivitas
perdagangan tidak terbatas pada ekspor dan impor barang saja, seperti yang telah
dijelaskan oleh Halwani diatas, sebagaimana pengertian perdagangan luar negeri
atau perdagangan internasional yang dikemukakan Yuliadi (2007: 83), yaitu
perdagangan yang melintasi antarnegara yang mencakup aktivitas ekspor dan
impor baik barang maupun jasa. Yuliadi mencontohkan, aktivitas perdagangan
barang meliputi; ekspor dan impor barang modal, barang industri, barang
pertanian, barang tambang, dan sebagainya. Sedangkan, aktivitas perdagangan
jasa misalnya berkaitan dengan biaya perjalan ibadah haji (BPIH), biaya
transportasi, asuransi, pembayaran bunga pinjaman dan remmitance (pengiriman
uang atau tranfer melalui bank komersial (seperti bank umum) (Rinaldy, 2006:
302)) seperti pendapatan TKI (Tenaga Kerja Indonesia), gaji konsultan asing, dan
sebagainya.
2.4.1 Landasan Teori Perdagangan Internasional
Jhingan dan ML (1993: 45), mengatakan dasar teori pedagangan
internasional adalah “gain from trade” artinya perdagangan internasional dapat
terjadi, karena salah satu negara atau kedua negara yang melakukan perdagangan
melihat adanya keuntungan dari pertukaran tersebut. Hal ini bermanfaat untuk
memperluas pasar bagi barang yang dihasilkan dalam negeri, transfer teknologi,
dan meraih keuntungan komparatif dari spesialisasi ekspor.
Nopirin (1997: 7) menjelaskan, bahwa teori perdagangan internasional
membantu menjelaskan arah serta komposisi perdagangan antara beberapa negara
62
serta bagaimana efeknya terhadap struktur perekonomian suatu negara. Di
samping itu, teori perdagangan internasional juga dapat menunjukkan adanya
keuntungan yang timbul dari adanya perdagangan internasional seperti yang telah
disebut di atas (gains from trade).
Nopirin (1999: 7), mengklasifikasi teori perdagangan internasional
menjadi tiga bagian, yaitu:
A. Teori Klasik
 Kemanfaatan absolut (absolut advantage) oleh Adam Smith.
 Kemanfaatan relatif (comparative advantage) oleh John Stuart
Mill.
 Biaya relatif (comparative cost) oleh David Ricardo.
B. Teori Modern
 Faktor Proporsi (Heckscher dan Ohlin).
 Kesamaan harga faktor produksi (factor price equalibzation) oleh
P. Samuelson.
 Permintaan dan Penawaran (teori parsial).
C. Alternatif Teori.
Banyak alasan mengapa negara-negara terlibat dalam perdagangan
internasional. Adam Smith menerangkan bagaimana perdagangan internasional
dapat menguntungkan kedua belah pihak. Maka masing-masing negara tersebut
lebih mengkonsentrasikan produk mereka pada barang-barang yang secara mutlak
(absolut) mempunyai keunggulan. Kemudian mengeksor barang tersebut (yang
merupakan kelebihan atau surplus untuk pemenuhan kebutuhan maupun konsumsi
63
dalam negerinya) kepada mitra dagangnya. Proses inilah yang dijadikan dasar
utama perdagangan internasional. David Ricardo mengembangkan teori
keunggulan komparatif (comparative advantage) untuk menjelaskan perdagangan
internasional atas dasar perbedaan kemampuan teknologi antarnegara. Eli
Heckscher dan Beril Ohlin berpandangan bahwa perdagangan internasional terjadi
karena adanya perbedaan kekayaan faktor produksi yang dimiliki negara-negara.
Untuk selanjutnya, lebih jauh akan dijelaskan ketiga teori yang dikemukan
pemikir-pemikir di atas, dengan alasan ketiga teori tersebut, dirasa sudah cukup
menjelaskan aktivitas perdagangan internasional yang dilakukan Indonesia
berkenaan dengan penelitian ini.
Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage: Adam Smith)
Pada dasarnya, pemikiran Adam Smith tersebut menerangkan bagaimana
perdagangan internasional dapat menguntugkan kedua belah pihak. Sebagai
contoh, suatu negara dapat memproduksi barang tertentu, misalnya barang X yang
mempunyai keunggulan dalam bidang pengolahan (manufacture) dibandingkan
dengan
negara
mitra
dagangnya
yang
mempunyai
keunggulan
dalam
memproduksi barang Y yang merupakan komoditas pertanian (primer) (Halwani,
2005: 4). Kemudian, masing negara menspesialisasi pada produk-produk tertentu
yang hanya dimiliki/dapat diproduksi oleh negara-negara tertentu tersebut
(sehubungan keunggulan mutlak yang mempengaruhi produksi/barang tersebut).
Oleh karena itu, negara-negara yang tidak mempunyai produk-produk tersebut
tentuya harus mengimpor (Rudy, 2002: 9).
64
Teori absolute advantage ini lebih mendasarkan pada besaran (variabel)
riil bukan moneter, sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure
theory) perdagangan internasional. Murni, dalam arti bahwa teori ini memusatkan
perhatian pada variabel riil seperti misalnya, nilai sesuatu barang diukur dengan
banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin
banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut
(Nopirin, 1999: 8).
Sedangkan, keunggulan yang biasanya dimiliki oleh suatu negara berbeda
berdasarkan karakteristik wilayah/geograifis dan masyarakatnya. Oleh sebab itu,
ada beberapa keunggulan mutlak, yaitu:
1. Natural Advantage (keunggulan faktor alami)
Keunggulan yang tersedia di alam atau efesiensi produksi berdasarkan
kondisi alam (geografis, iklim dsb) yang lazim disebut sumber daya
alam. Seperti, Indonesia memiliki keunggulan mutlak pada minyak
bumi, rotan dsb. Eropa unggul pada produksi anggur, gandum.
2. Acquired Advantage (keunggulan yang diperoleh karena usaha)
Keunggulan
dalam
memproduksi
barang
tertentu
dengan
memaksimalkan sumber daya atau keunggulan-keunggulan yang
dimiliki. Sehingga produk yang dihasilkan lebih unggul (high quality).
Seperti,
Swiss
unggul
dalam
memproduksi
jam.
Denmark
menspesialisasi biscuit. Perancis memilik Acquired Advantage pada
minyak wangi.
3. Resource Efficiency (efisiensi sumber daya)
65
Suatu negara yang mampu menggunakan sumber dayanya dengat
sangat efisien, sehingga perbandingan harganya sangat jauh dengan
negara lain.
4. Besar Kecilnya Negara
Mempertimbangkan
besar
kecilnya
suatu
negara
serta
skala
perekonomiannya (Rudy, 2002: 9-11).
Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage: David Ricardo)
Spesialisasi produksi suatu negara dalam kondisi tertentu dilandasi oleh
“keunggulan komparatif” yang dimiliki negara tersebut. Keunggulan komparatif
tersebut berasal dari perbedaan kemampuan teknologi antarnegara. Ricardo
meyakini bahwa semua negara akan memetik keuntungan dari perdagangan
internasional. Keuntungan itu bahkan juga diperoleh oleh negara yang mempunyai
kemampuan teknologi lebih rendah secara mutlak (absolute) di semua sektor
ekonomi daripada negara mitra dagangnya.
Konsep keunggulan komparatif Ricardo dibangun dengan sejumlah asumsi
yaitu: (i) dua negara masing-masing memproduksi dua jenis komoditi dengan
hanya menggunakan satu faktor produksi, tenaga kerja; (ii) kedua komoditi yang
diproduksi bersifat identik (homogen) baik antar industri maupun antarnegara;
(iii) komoditi tersebut juga dapat dipindahkan antarnegara dengan biaya
transportasi nol; (iv) tenaga kerja merupakan faktor produksi yang bersifat
homogen dalam suatu negara, namun bersifat heterogen (tidak identik)
antarnegara; (v) tenaga kerja dapat bergerak antar industri dalam suatu negara,
namun tidak antarnegara; (vi) pasar barang dan pasar tenaga kerja di kedua negara
66
diasumsikan dalam kondisi persaingan sempurna; (vii) perusahaan-perusahaan di
kedua negara diasumsikan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan,
sementara tujuan konsumen (tenaga kerja) adalah memaksimalkan kepuasan
(utility) (Pratomo, di dalam Arifin, dkk., (ed), 2007: 19).
Halwani (2005: 12) menjelaskan, dalam analisis keunggulan komparatif
dinyatakan bahwa yang menentukan tingkat keuntungan dalam perdagangan
internasional sebenarnya bukan berasal dari keunggulan mutlak, melainkan teori
keunggulan komparatif.
Teori Faktor-Proporsi Heckscher-Ohlin
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) merupakan pengembangan teori Ricardo.
Heckcher dan Ohlin, menambahkan sejumlah karakteristik produksi yang tidak
ditemukan pada teori Ricardo, diantaranya faktor produksi diperkaya dengan
menambahkan faktor “modal”. Pemilik faktor modal menikmati hasil “sewa” atas
penggunaan modal mereka seperti halnya “upah” untuk tenaga kerja (Pratomo, di
dalam Arifin, dkk., (ed), 2007: 23).
Heckscher dan Ohlin menyatakan bahwa keunggulan komparatif yang
dimiliki suatu negara terhadap negara lain berasal dari perbedaan kekayaan faktorfaktor produksi, entah itu tenaga kerja ataupun modal. Dalam negeri, dikatakan
mempunyai keunggulan komparatif pada produksi barang yang tenaga kerja
intensif bila dalam negeri memiliki tenaga kerja yang melimpah (labour
abundant) secara relatif, dan demikian pula sebaliknya dengan luar negeri. Dalam
pandangan H-O, harga barang sangat ditentukan oleh harga input (faktor
produksi) yang digunakan. Barang yang dalam produksinya lebih memerlukan
67
faktor produksi yang relatif melimpah di suatu negara, karenanya dapat diproduksi
dengan biaya lebih murah daripada barang yang diproduksinya lebih memerlukan
faktor produksi yang sulit didapatkan (Pratomo, di dalam Arifin, dkk., (ed), 2007:
24-25).
2.4.2 Liberalisasi Perdagangan
Peranan perdagangan internasional sangatlah penting sejak munculnya
kaum merkantilis, untuk membangun negara modern dengan doktrin yang sangat
nasionalistis, yakni menekankan kemakmuran negara sebagai hal yang utama
melalui cara pengaturan dan perencanaan ekonomi secara sentral sebagai cara
yang efisien untuk mencapai cita-cita suatu bangsa. Paham merkantilisme (yang
didasari oleh pemikiran merchant capitalism atau commercial capiltalism dimana
kaum saudagar memegang peranan dominan dalam ekonomi masyarakat (Ikabar,
1995: 28)) memberi pemahaman praktek politik ekonomi yang mendasarkan pada
politik isolasi dan proteksi (dengan argumentasi, bahwa proteksionisme
(proteksionisme sebagai
kebijakan ekonomi
yang diwarisi
dari
sistem
merkantilsme adalah perlindungan secara sengaja atau dorongan tindakan oleh
suatu negara untuk mengekang impor dan memungkinkan produsen dalam negeri
yang relatif tidak efisien bersaing dengan produsen asing dan dapat mengatasi
pasar domestik (Rinaldy, 2006: 289)) dalam pola hubungan perdagangan luar
negeri adalah manivestasi rasa patriotisme kebangsaan untuk memperoleh
keuntungan (Ikbar, 1995: 31)).
Adalah Adam Smith (1723-1790), perintis ekonomi modern dan seorang
pendukung perdagangan bebas, yang mempelopori gugatan terhadap paham
68
merkantilisme. Bagi Smith, kemakmuran tidak dapat dinilai hanya dari
kemampuan suatu negara untuk menumpuk emas, perak, dan barang berharga
lainnya, tetapi merupakan suatu hasil dari tindakan berproduksi dan bertransaksi
secara bebas yang saling menguntungkan bagi setiap pihak yang terlibat di
dalamnya (Hadiwinata, 2002: 60). Argumentasinya adalah perdagangan bebas
memungkinkan setiap negara untuk mengambil keuntungan komparatif yang
dimilikinya. Keuntungan akan dirasakan oleh setiap negara karena masing-masing
memiliki spesialisasi di bidang yang dianggap paling unggul. Wilayah
perdagangan bebas yang lebih luas memungkinkan perusahaan dan individu untuk
lebih terspesialisasi dan menjadi semakin baik. Pasar yang lebih besar
menciptakan efisiensi bagi para produsen dan keragaman pilihan bagi konsumen
(Stiglitz, 2007: 128), dengan kata lain, perdagangan bebas akan dengan sendirinya
menciptakan sisitem pembagian kerja internasional (international division of
labour) yang saling menguntungkan karena stiap negara akan berkonsentrasi pada
sektor-sektor yang dianggap paling menguntungkan (Hadiwinata, 2002: 61)
Sedangkan, Stiglitzt (2007: 128) seorang ekonom AS yang memperoleh
Nobel bidang ekonomi (2001), memberi pandanganya tentang perdagangan bebas
dengan mempertegas argumentasi Smith. Bahwa, tanpa perdagangan bebas,
inventasi dan buruh akan menerima return (hasil) dan upah yang berbeda-beda di
tiap-tiap negara (dengan asumsi modal/investasi dan buruh tidak dapat berpindahpindah, yang merupakan asumsi yang masuk akal, khususnya dalam jangka
pendek). Negara yang kekurangan modal, misalnya dalam hal mesin dan
teknologi, pekerjanya akan lebih tidak produktif dan menerima upah yang lebih
69
rendah dibandingkan negara yang memiliki modal. Jika pekerja tersebut pindah
dari negara dengan produktivitas dan upah yang tinggi, akan terjadi peningkatan
output yang sangat besar sehingga ekonomi dunia pun tumbuh. Perdagangan
bebas adalah sebuah substitusi bagi mereka yang harus pergi ke daerah lain (untuk
bekerja atau membeli barang). Penduduk di negara maju dapat membeli barangbarang murah dari Cina (tempat upah pekerja murah) tanpa harus pergi ke Cina.
Sebaliknya, orang-orang Cina dapat tetap berada di negaranya sambil
mendapatkan barang-barang berteknologi tinggi dari Amerika Serikat, negara
yang memiliki teknologi yang lebih maju, hal ini berarti bahwa kenaikan
permintaan akan barang-barang dari Cina akan mengakibatkan kenaikan jumlah
tenaga tidak terampil, dan pada akhirnya upah tenaga kerja tidak terampil akan
ikut naik.
Secara umum, indikasi liberalisasi perdagangan dapat dilihat dari tingkat
penerapan tarif (tarif adalah sejenis pajak yang dibebankan terhadap barang yang
melewati wilayah pabean suatu negara (Mahdi, 1993: 38), dalam aplikasinya
kebijakan tarif di masing-masing negara ditentukan oleh sisitem perdagangan,
politik dan perekonomiannya. Tarif sebagai salah satu bentuk hambatan
perdagangan (Rinaldy, 2006: 334-335))
dan hambatan non tarif (kebijakan
pemerintahh suatu negara membatasi impor barang tertentu dengan jalan
mengatur tata niaga impornya, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
produksi dalam negeri (Rinaldy, 2006: 247)). Semakin rendah penerapan tarif
atau semakin kecil hambatan non tarif yang dilakukan suatu negara terhadap
negara lain, maka semakin besar pula tingkat keterbukaan pasar dalam negeri
70
(liberalisasi perdangangan) (Sawit, 2007: 32-33). Meskipun, penerapan tarif yang
semakin rendah akan mewujudkan liberalisasi perdagangan yang lebih tinggi,
Smith tetap mentolerir diberlakukannya tarif impor sebagaimana dikemukakan
kaum
proteksionisme
(diantaranya,
Hamilton
(1755-1804)
berpandangan
proteksionisme dapat mengatasi pelbagai masalah di dalam sistem perdagangan
internasional yang dapat merugikan kepentingan nasional, dan pendapat Lizt
(1789-1846), bahwa proteksionisme merupakan kebijakan yang sangat diperlukan
untuk memacu industri dalam negeri dalam berkompetisi denagn pihak asing
(Crane dan Amawi, di dalam Hadiwinata, 2002: 58-59)). Smith mengatakan,
pemberlakuan tarif itu sekurang-kurangnya memenuhi dua persyaratan: (1) jumlah
punutan hendaknya tidak lebih dari pajak/cukai domestik yang diberlakukan bagi
para produsen di dalam negeri, dan (2) pungutan tersebut hanya bersifat
sementara, yakni ketika industri di dalam negeri melakukan penyesuaian
seperlunya dengan industri-industri sejenis di luar negeri (Crane dan Amawi, di
dalam Hadiwinata, 2002: 61).
Sistem perdagangan yang dipelopori Inggris dengan pemikir liberal klasik
(liberal klasik (1780-1850), bertolak dari asumsi bahwa kebutuhan manusia akan
terpenuhi dengan cara yang paling baik apabila sumbaer-sumbar daya produksi
dipergunakan secara efisien, dan hasil produksi barang dan jasa itu dipasarkan
melalui persaingan bebas, berpandangan bahwa aktivitas individu maupun
aktivitas satuan-satuan usaha harus diberi kebebasan untuk mengurus kepentingan
mereka sendiri dan untuk memperbaiki kedudukannya di bidang ekonomi (Ikbar,
1995: 33-34)) seperti Adam Smith (yang telah dikemukakan di atas) dan David
71
Ricardo yang selalu menekankan pada pentingnya mekanisme pasar yang tidak
diintervensi oleh pihak manapun termasuk negara, sempat bertahan hingga
mencapai satu abad lamanya sejak akhir 1700-an hingga akhir 1800-an. Namun,
pada masa Perang Dunia (PD) Pertama pada awal 1900-an, banyak negara Eropa
yang memberlakukan isolasi dengan kebijakan proteksionisme yang diakibatkan
salah satu dampak dari perang
sehingga terjadinya resesi ekonomi (resesi
diartikan
kegiatan
sebagai
melemahnya
produksi
secara
umum,
yang
mengakibatkan pengangguran secara besar-besaran (Irawan, di dalam Hermawan,
2007: 103)) yang parah pada akhir 1920-an (Hadiwinata, 2004: 25). Masingmasing negara (yang kini telah menjadi negara maju) memacu pembangunan
industri dalam negeri dengan kebijakan proteksionisme tersebut bertujuan untuk
memacu pembangunan ekonomi di masing-masing negara. Proteksi ini tentu telah
berpengaruh buruk terhadap perdagangan dan perkembangan industri di negara
lain. Dan kondisi ini berlangsung hingga berakhir PD kedua pada akhir 1940-an
(Sawit, 2007: 1).
Proteksi yang mengakibatkan setiap negara mengalami kontraksi ekonomi
dan melakukan pembatasan impor yang terjadi pada akhir 1920-an dan akhir
1940-an berupa kenaikan tarif tersebut, dapat dipahami (yang dijelaskan Stiglitz
(2007: 138), bahwa tindakan pembatasan negara-negara tersebut telah memukul
perekonomian negara-negara lainnya. Pembatasan (proteksi) yang dilakukan satu
negara direspon oleh negara lainnya dengan lebih membatasi impor (tarif impor
tinggi). Demikianlah, terus menerus seperti lingkaran setan.
72
Stiglitz (2007: 139) melanjutkan, persoalan-persoalan di atas telah
mendorong para pemimpin dunia untuk mencari cara menuju ekonomi yang baru
dan lebih prospektif setelah Perang Dunia II, tidak saja melalui penguatan
stabilitas keuangan dengan menciptakan International Monetary Fund (IMF),
tetapi juga berusaha untuk mendirikan sebuah organisasi perdagangan
internasional
(International
Trade
Organization/ITO)
untuk
mengatur
perdagangan. Sawit (2007: 2) menjelaskan lebih jauh, ITO adalah inisiatif
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatasi masalah proteksi tersebut.
Pada 1948, PBB untuk pertama sekali melaksanakan suatu konferensi tentang
perdagangan dan pengerjaan (employment) di Havana, Kuba. Konferensi ini
kemudian dikenal dengan Havana Charter yang bertujuan membentuk ITO. ITO
tidak jadi berdiri karena Amerika Serikat (AS) menolak usulan tersebut pada
tahun 1950, karena mempertimbangkan beberapa perusahaan dan pihak-pihak
konservatif yang akan mengarah pada pelanggaran terhadap kedaulatan nasional
dan peraturan yang ada (Sitiglitz, 2007: 139). Sawit (2007: 2) menulis, bahwa
selain AS penolakan ITO juga dilakukan Inggris, dengan alasan dimasukkannya
aspek pengerjaan dalam perdagangan. Banyak negara lain kemudian enggan ikut
serta untuk menandatangani
Havana Charter, mereka berpendapat tanpa
keikutsertaan AS, banyak komitmen internasional tidak akan dapat dilaksanakan.
Tak sampai 45 tahun kemudian, yaitu tepatnya pada tahun 1995, berdirilah
organisasi perdagangan sedunia atau World Trade Organization (WTO) sebagai
organisasi pengganti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade atau
Perjanjian mengenai Tarif dan Perdagangan) (Sitglitz, 2007: 139). Dapat
73
disimpulkan bahwa, liberalisasi perdagangan yang secara organisasi telah
diwujudkan dalam pelbagai bentuk kerja sama multilateral seperti WTO, regional,
AFTA, NAFTA, dan pelbagai blok-blok perekonomian yang dibentuk secara
kawasan terdekat dalam bentuk segitiga pertumbuhan ekonomi, seperti SingapuraJohor-Riau (SIJORI), Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS), Indonesia-MalaysiaThailand (IMT), adalah produk dari globalisasi perdagangan (Musnaini, 2005:
34).
2.4.2.1 Tarif
Perundingan di bidang tarif merupakan bagian yang paling lama di tangani
oleh GATT (General Agreement in tariff and Trade), pada setiap perundingan
(GATT Rounds of Multilateral Trade Negotitions-MTN) yang telah berlangsung
sebagai upaya menurunkan tingkat bea masuk (impor) negara-negara anggota
GATT. Dimana, GATT yang didirikan pada tahun 1947 dan mulai berlaku pada
bulan januari 1948, merupakan paket peraturan perdagangan dan konsesi tarif
yang terbentuk dari kegagalan berdirinya ITO yang diharapkan dapat memacu
perdagangan bebas. Perundingan antar anggota GATT mengenai penurunan tarif
cukup memakan waktu yang lama, diantaranya disebakan tarif merupakan isu
yang secara politis cukup sensitif; tuntutan negara maju terhadap negara
berkembang untuk menerapkan tarif secara binding (mengikat); sulitnya mencapai
kata sepakat mengenai tingkat tarif yang harus diterapkan seperti pada produkproduk pertanian (Kartadjoemena, 1998: 63).
Pengenaan tarif biasanya mempunyai tujuan ganda, yaitu proteksi dan
pendapatan untuk negara. Adanya tarif bea masuk cenderung menaikkan harga,
74
menurunkan jumlah yang dikonsumsi dan diimpor, serta menaikkan produksi
domestik. Anggapan umum tentang tarif menurut Kakisna (1989), adalah:
a. Tarif selalu menciutkan kemakmuran dunia.
b. Tarif biasanya menciutkan kemakmuran suatu bangsa termasuk negara
yang mempunyai tarif tersebut.
c. Sebagai aturan umum, apapun yang dapat dilakukan tarif bagi suatu
negara, hal-hal lain dapat memberikan manfaat lebih baik.
d. Kecuali untuk perdagangan bebas;
 Tarif nasional yang optimal, dapt memberikan manfaat bagi negara
yang mengenakan tarif,
 Argument terbaik kedua untuk tarif, bila efek dalam perekonomian
dapat diperbaiki, maka tarif mungkin berguna untuk alat.
e. Tarif secara absolut membantu diperkuatnya ikatan kelompok untuk
memproduksi substitusi impor, sekalipun tarif itu tidak baik bagi
bangsa secara menyeluruh (Ikbar, 1995: 134-135).
2.4.2.2 Subsidi
Subsidi merupakan cara pemerintah suatu negara untuk melindungi
produksi dalam negeri dari kekuatan produk luar negeri dengan cara memberikan
sejumlah dana atau keperluan yang menjadi kebutuhan penting bagi peningkatan
produksi negaranya. Isentif yang diberikan berada di bawah standar normal biaya
faktor produksi, sehingga komoditas yang dihasilkan dapat memasuki harga pasar,
baik pada peringkat keseimbangan maupun di bawahnya (Ikbar, 1995: 137-138).
75
Nazir dan Hassanuddin (2004), subsidi adalah cadangan keuangan dan
sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau
kegiatan perorangan oleh pemerintah. Lebih lanjut, Nazir dan Hassanuddin
menjekaskan
bahwa
subsidi
dapat
bersifat
langsung
(bantuan
tunai,
pinjaman/loan), bebas biaya, dan sebagainya, atau bantuan tidak langsung
(pembebasan penyusutan, potongan sewa) dan dapat digunakan untuk bermacammacam tujuan. Subsidi dapat mendorong peningkatan output produk-produk yang
dibantu, akan tetapi mengganggu proses alokasi sumber daya domestik secara
umum dan memberi dampak yang merugikan terhadap perdagangan internasional
(Rahmawati, 2007: 8).
2.4.2.3 Kuota
Kuota adalah pembatasan jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota
impor) dan keluar (kuota ekspor). Kuota biasanya dilakukan sebagai alat proteksi
bagi neraca pembayaran yang mengalami keadaan kritis, dan dapat pula untuk
membatasi impor dalam rangka menggalakkan ekspor nasional (Ikbar, 1995: 135).
Dalam penjelasan Nopirin (1999: 65-68), kuota dibagi sebagai berikut:
A. Kuota impor dibagi beberapa jenis, sebagai berikut:
1. Absolute atau unilateral quota, adalah kuota yang besar/kecilnya
ditentukan sendiri oleh suatu negara tanpa persetujuan dengan
negara lain.
2. Negotiated atau bilateral quota, adalah kuota yang besar/kecilnya
ditentukan berdasarkan perjanjian antara dua negara atau lebih.
76
3. Tarif quota, adalah gabungan antara tarif dan quota. Untuk sejumlah
barang tertentu diizinkan masuk (impor) dengan tarif tertentu,
tambahan impor masih diizinkan tetapi dikenakan tarif yang lebih
tinggi.
4. Mixing quota, yakni membatasi penggunaan bahan mentah yang
diimpor dalam proporsi tertentu dalam produksi barang akhir.
Pembatasan ini untuk mendorong berkembangnya industri di dalam
negeri.
B. Kuota ekspor. Kuota ekspor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah
yang merupakan barang perdagangan penting dan di bawah suatu
pengawasan badan internasional tertentu. Tujuan pembatasan jumlah
ekspor, antara lain;
1. Untuk mencegah barang-barang yang penting jatuh/berada di tangan
musuh,
2. Untuk menjamin tersedianya barang di dalam negeri dalam proporsi
yang cukup,
3. Untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga
guna mencapai stabilisasi harga.
2.4.3 Interdependensi
Prinsip saling ketergantungan itu berawal dari konsep ekonomi dalam
pengertian saling membutuhkan untuk memenuhi keperluan hidup masing-masing
disebabkan langkanya benda-benda ekonomis yang dibutuhkan manusia, atau
karena faktor-faktor alamiah dan lingkungan masing-masing yang membuatnya
77
tidak sanggup memenuhi kebutuhan sendiri. Kemudian muncul apa yang dikenal
sebagai konsep interdependensi yang merupakan salah satu konsep yang dapat
dipakai untuk menggambarkan sifat sistem internasional kontemporer. Keohane
dan Nye (1977) menjelaskan, konsep ini menyatakan bahwa negara bukan aktor
independen secara keseluruhan, melainkan negara saling bergantung satu sama
lainnya. Memang pada kenyataannya, tidak ada satu negara pun yang secara
keseluruhan dapat memenuhi sendiri kebutuhannya, masing-masing bergantuing
pada sumberdaya dan produk dari negara lainnya. Karena itu, kebijakan yang
dikeluarkan oleh suatu negara akan memberikan akibat yang cepat dan serius pada
negara lainnya, bahkan kebijakan domestik bisa memiliki implikasi yang lebih
luas ke negara lainnya (Perwita dan Yani, 2005: 77-78).
Interdependensi secara sederhana diartikan sebagai kontak atau pertukaran
(exchange) di antara bangsa-bangsa (Mas’oed, di dalam Rudy, 1993 (121).
Pengertian
lebih
khusus
diungkapkan
oleh
Rosecrance,
yaitu
bahwa
interdependensi timbul akibat dari tindakan satu pemerintah dan sebagian
ditentukan oleh apa yang dilakukan pemerintah-pemerintah lain (Maghmoori dan
Ramberg (1982), di dalam Rudy, 1993: 121).
Selanjutnya, akan dijelaskan salah satu argumen dan beberapa sektor yang
diyakini dapat memahami fenomena interdependensi khususnya bidang ekonomi
dimana interdependensi dalam bidang ekonomi adalah salah satu dari kondisi
dasar kehidupan internasional, dan mampu menjelaskan saling ketergantungan
negara baik negara maju/kaya atau negara berkembang/miskin, kepada yang
lainnya sebab tidak satupun negara secara ekonomi dapat berdiri sendiri dalam
78
rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya (Rudy, 1993: 119). Salah satu
argumen tersebut dikemukakan oleh Lester R. Brown, di dalam bukunya World
Without Borders.
Brown (1972) memberi penjelasan berkenaan kenyataan dunia yang hidup
saling tergantung. Ia melihat ketergantungan yang dialami Dunia Ketiga (negara
yang terdiri dari negara-negara berkembang, yang kebanyakan negara tersebut
bercirikan miskin, lemah, tidak memiliki pengalaman dalam kehidupan bernegara.
Yang pada awalnya negara Dunia Ketiga menggalang diri sebagai negara nonblok
(kelompok yang tidak mendukung blok Barat yang dipimpin AS dan juga tidak
berpihak pada blok Timur yang ditunggangi Uni Soviet) dalam Perang Dingin
(Plano dan Olton, 1999: 18)) kepada negara-negara industri kaya, ternyata juga
dapat dialami oleh negara-negara maju karena hidup mereka pun tergantung
kepada negara-negara Dunia Ketiga. Langkanya sumber daya alam/energi dan
pasar internasional bagi produk-produk industri negara-negara maju memberikan
posisi berimbang bagi negara-negara Dunia ketiga terhadap ketergantungan yang
sama di pihak “rivalnya”. Negara-negara industri maju yang melakukan ekspansi
modal ke negara-negara sedang berkembang sesungguhnya amat tergantung
kepada keberhasilan mereka untuk hidup dan tumbuh mengeksploitasi Dunia
Ketiga. Bank-bank pemerintah dan swasta kapitalis dapat hidup dengan subur
berkat perputaran modal mereka di Dunia Ketiga, begitu pula dengan perusahaanperusahaan multinasional atau transnasional (MNC/TNC), tidak dapat tumbuh
kuat dengan hanya mengandalkan pasar domestik mereka. Perusahaan tersebut
tergantung dengan asset keuangan negara sedang berkembang. Oleh karenanya
79
tidak ada satu negara pun sesungghnya yang mampu hidup tanpa dibantu oleh
negara lainnya (Ikbar, 1995: 199).
Kemudian, dalam memahami fenomena interdependensi yang dipaparkan
Perwita dan Yani (2005: 78-79), dapat diamati melalui beberapa sektor ekonomi
dan politik dalam hubungan interdependensi antarnegara, yaitu
sektor
perdagangan, investasi, finansial, dan politik.
Sektor perdagangan; hubungan ekonomi melalui perdagangan dapat
berubah dan perubahan tersebut dapat mempengaruhi interdependensi. Transaksi
perdagangan memiliki implikasi bedar terhadap interdependensi dibandingkan
transaksi internasional yang melibatkan petukaran informasi antarpemerintah.
Antarnegara akan terjadi mutual dependent dalam hal barang dan jasa yang tidak
dapat diproduksi oleh mereka sendiri.
Sektor investasi; kenaikan pertaruhan atau resika aktor interdependensi
akan mengalami kecenderungan untuk semakin tinggi yang disebabkan oleh
berubahnya pola investasi. Perubahan ini terutama terjadi pada investasi langsung
dalam bentuk kepemilikan saham. Konsekuensinya yaitu diperlukan adanya
peningkatan kendali dan keterlibatan investor secara langsung dalam pengelolaan
investasinya.
Sektor finansial; nilai tukar uang menjadi sangat vital dalam hubungan
interdependensi. Perubahan-perubahan dalam operasi keuangan telah menigkatkan
hubungan interdependensi. Negaraa yang mata uangnya menjadi pertukaran
berupaya untuk mendesiplinkan kebijakan keuangannya. Sedangkan negara lain
80
mencoba untuk tidak membiarkan mata uangnya merosot di bawah nilai tukar
internasional.
Sektor politik; terdapat suatu kesadaran bahwa suatu negara tidak dapat
menjamin kelangsungan hidupnya secara mandiri tanpa kerja sama dengan negara
lain. kerja sama antarnegara ini akan dapat saling melengkapi kekurangan dari
masing-masimg negara.
Saling ketergantungan (interdependensi) tidak hanya terjadi dalam
ekonomi, sebagaimana yang ditulis Perwita dan Yani (2005: 78), tetapi juga pada
isu politik dan sosial. Saling ketergantungan mengacu pada situasi yang
dikarakteristikkan dengan adanya efek imbal-bailk (resiprokal) antara negara atau
antara aktor negara yang berbeda, dimana efeknya ini kerap kali merupakan hasil
dari transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia, dan informasi
yang melewati batas negara. Adanya saling ketergantungan antarbangsa di
pelbagai sektor, baik ekonomi, politik dan sosial, tidak lepas dari adanya usaha
manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, ketergantungan ini
menampakkan adanya proses interaksi yang saling membutuhkan antara suatu
negara dengan negara lainnya yang saling menguntungkan dan saling
berkepentingan satu sama lainnya (Rudy, 1993: 119). Dan pada akhirnya setiap
negara khusunya negara berkembang, mampu mengubah tingkat ketergantungan
menjadi kerja sama berimbang dalam bidang ekonomi dengan konsep saling
membutuhkan dan saling melengkapi (komplementer) satu sama lainnya.
Meskipun demikian, dalam interdependensi keberhasilan suatu negara
dalam bekerja sama berpijak pada dua hal yakni power dan tawar menawar, dan
81
rezim internasional. Power dan kemampuan tawar menawar terutama berkaitan
dengan kondisi interdependensi yang asimetris. Hal ini dikarenakan meski dalam
teorinya hubungan interdependensi mengarahkan pada suatu hubungan yang
timbal balik, namun dalam kenyataannya hubungan yang simetris tersebut jarang
terjadi. Karena itu power aktor dalam hubungan interdependensi akan beragam
sesuai dengan isunya. Kemudian, rezim internasional akan berttumpu pada saling
ketergantungan asimetris yang menyediakan setiap pihak untuk saling
mempengaruhi melalui kebijakan perdagangan ekonomi-politiknya dalam
mencapai kesepakatan di antara mereka. Demikianlah yang dikemukakan oleh
Perwita dan Yani dalam mengamati hubungan interdependensi (Perwita dan Yani,
2005: 79).
2.5 Pengertian Globalisasi
Globalisasi sebagai sebuah konsep dan fenomena baru yang paling sering
digunakan dalam hubungan internasional (HI). Chandra (2007), menyebutkan
bahwa, hampir tidak ada sebuah teks HI yang tidak menyertakan konsep
globalisasi, sehingga kalau bisa dihitung “globalisasi” menjadi sebuah konsep
yang paling banyak digunakan penstudi HI kontemporer dibanding, seperti,
kedaulatan (Hermawan (ed), 2007: 129). Scholte (2000) mengatakan, globalisasi
awal muncul dan berkembangnya pada tahun 1960-an pada saat masyarakat Eropa
sepakat untuk bergabung dalam sebuah institusi yang menjadi cikal bakal supra
territorial. Sejak tahun 1960-an globalisasi secara perlahan kemudian merubah
pola interaksi banyak orang di dunia, hingga saat ini jutaan orang terus melakukan
kontak dan bepergian dari satu wilayah dunia ke sudut dunia lainnya (Chandra, di
82
dalam Hermawan, 2000: 133). Sedangkan studi tentang glibalisasi dimulai pada
akhir abad 19, yang ditunjukkan oleh intensitas perdagangan anatarnegara yang
meluas dan imigrasi serta investasi ekonomi meningkat, dan gejala globalisasi lain
ditandai dengan ditemukan dan dipergunakannya secara meluas pesawat jet (untuk
keperluan sipil) dan komputer (Hirt dan Thomson (1996), yang dikutip Chandra,
di dalam Hermawan, 2007: 133).
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal
atau dunia secara keseluruhan, sebelumnya global hanya diartikan “hal yang
berhubungan dengan bola atau berbentuk bola” (Rudy,2003: 4). Globalisasi dapat
didefinisikan sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah
yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama
lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat, karena
anggapan definisi globalisasi masih merupakan work definition, yaitu tergantung
dari sisi mana orang memahami globalisi tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/
Globalisasi, di akses pada 03 Juni 2008).
Scholte (2001), mengidentifikasi bahwa globalisasi bisa bermakna sebagai
internasionalisasi,
liberalisasi,
universalisasi,
westerenisasi.
Makna
internasionalisasi adalah meningkatnya intensitas intensitas interaksi lintas batas
dan saling ketergantungan antarnegara. Liberalisasi dimaknai sebagai proses
untuk memindahkan larangan-larangan yang dibuat oleh negara dalam rangka
membentuk
ekonomi
dunia
yang lebih
terintegraasi.
Konsepsi
ketiga,
universalisasi bermakna menyebarnya pelbagai macam obyek dan pengalaman
83
dari masyarakat di seluruh dunia. Westerenisasi merupakan kritik bagi proses
peniruan budaya Barat atau bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem
politik dan sistem ekonomi negara-negara Barat dalam panggung dunia (Chandra,
di dalam Hermawan, 2007: 131-132)
Cochrane dan Pain, menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan
globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
1. Globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang
memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di
seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan
kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global
yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat
sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
Sedangkan, Held (2000) perspektif globalis dinyatakan sebagai sebuah
fenomena nyata perubahan signifikan dalam hubungan internasional.
Dampak globalisasi bisa dirasakan dalam setiap aspek kehidupan manusia
dimana saja dan berdampak besar bagi eksistensi, batas dan fungsi dari
negara. Arus globalisasi membentuk kampung dunia (global village) yang
cenderung membentuk kultur yang makin homogen (Chandra, di dalam
Hermawan, 2007: 139).
a. Globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan
semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan
masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
84
b. Globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah
fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk
penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah
bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai
sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian
membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
2. Tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka
berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika
memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme
telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa
yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau
evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
3. Transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis.
Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan
oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh
jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat
bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan
yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang
sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa
proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau,
setidaknya, dapat dikendalikan (http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi, di
akses pada 03 Juni 2008).
85
2.5.1 Globalisasi Ekonomi
Pertumbuhan pesat lembaga-lembaga internasional seperti Uni Eropa,
North American Free Trade Association (NAFTA), dan blok perdagangan
lainnya, menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi dunia begitu pesat sehingga
meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan mempertajam
persaingan antarnegara, seperti peningkatan keterkaitan ekonomi nasional melalui
perdagangan, aliran keuangan, dan investasi asing langsung (foreign direct
investment/FDI) melalui perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), diman
peningkatan keterkaitan ekonomi tersebut dipandang sebagai esensi dari
fenomena globalisasi ekonomi. Sehingga kegiatan ekonomi yang ekspansif
diindentifikasi baik sebagai aspek utama dari globalisasi maupun sebagai “mesin”
di balik lajunya perkembangna globalisasi (Steger, 2006: 38).
Kajian globalisai ekonomi erat kaitannya terhadap tahapan kemunculan
ekonomi dunia pascaperang hingga Konferensi Bretton Woods 1944. Di bawah
kepemimpinan Amerika Serikat
dan
Inggris, kekuatan ekonomi
Barat
memutuskan untuk mengubah kebijakan proteksionis masa anataraerang (19181939) dengan komitmen untuk memperluas perdagangan internasional. Hasil
utama dari Konferensi Bretton Woods meliputi liberalisasi terbatas atas
perdagangandan penciptaan aturan-aturan yang mengikat kegiatan ekonomi
internsioanal. Sealin itu, para peserta Konferensi Bretton Woods sepakat untuk
menciptakan sistem pertukaran mata uang yang stabil, dimana nilai mata uang
masing-masingnegara dipatok terhadap dolar AS yang nilainya disejajarkan
dengan emas. Dengan batasan-batasan tersebut, masing-masing negara bebas
86
untuk mengatur persoalan lain di dalam wilayah kekuasaan mereka, yang
memungkinkan mereka bisa membuat agenda ekonomi mereka sendiri, termasuk
menjalankan kebijakan kesejahteraan sosial yang luas. Breeton Woods juga
membentuk landasan institusional bagi pendirian tiga organisasi ekonomi
internasional. Yaitu, International Monetary Fund (IMF) yang didirikan untuk
tujuan mengatur sisitem keuangan internasional. Kedua, International Bank
Recontruction and Development (IBRD) atau yang dikenal sebagai Bank Dunia
yang pada perkembangannya menjadi lembaga yang membiayai pelbagai proyek
industrial di negara-negara berkembang. Hingga terbentuknya organisasi
perdagangan dunia WTO pada tahun 1995 yang mengurusi perumusan dan
perlaksanaan kesepakatan perdagangan multilateral (Steger, 2006: 39-40).
Wibowo mengatakan ketiga lembaga internasional tersebut dan didukung peran
korporasi multinasional merupakan alat “kampanye” globalisasi ekonomi
(Stiglitz, 2007: 22).
Kecenderungn laju ekonomi global semakin terlihat setelah kejatuhan
sistem Bretton Woods di awal 1970-an dengan ditandai berkurangnya daya saing
pelbagai industri yang berbasis di Amerika Serikat, sehingga menyebabkan
Presiden AS Richard Nixon pada tahun 1971 memutuskan untuk membatalkan
sistem petukaran tetap yang berbasis pada niali emas. Hal itu, melempangkan
ekspansi pasar internasional dengan didukung oleh deregulasi sistem keuangan
domestik, penghapusan bertahap atas kontrol kapital, dan drastinya peningkatan
transaksi keuangan global. Dan kecenderungan inipun semakin diperkuat melalui
persetujuan liberalisasi perdagangan dalam banyak bidang yang semakin
87
meningkatkan perputaran sumber daya ekonomi melintas batas-batas negara
(Steger, 2006: 41).
Selanjutnya, gejala globalisasi ekonomi bekaitan dengan perubahan yang
terjadi dalam kegiatan finansial, proses produksi, dan perdagangan yang kemudian
mempengaruhi tata hubungan ekonomi antarbangsa. Pasar finansial merupakan
aspek penting proses globalisasi dan mengalami percepatan di akhir 1980-an,
ketika pasar modal dan saham di Eropa dan Amerika Serikat dideregulasi yaitu
lewat pembatasan yang lebih sedikit dan kesempatan penanaman investasi yang
global, liberalisasi perdagangan finansial, dan kemajuan dalam pemrosesan data
dan teknologi informasi (Steger, 2006: 42) .
Dalam proses produksi Steger (2006: 43) menjelaskan peran Transnational
Corporations (TNCs) juga menentukan arah globalisasi ekonomi melalui produksi
produksi global. Tersedianya buruh murah, sumber daya, dan kondisi produksi
yang mendukung di dunia ketiga memperkuat mobilitas maupun profitabilitas
TNCs. Melalui investasi asing langsung (foreign direct investment) perusahaanperusahaan raksasa tersebut melakukan proses produksi di pelbagai tempat di
seluruh penjuru dunia dan mengusai perdagangan dunia, sehingga meningkatkan
kadar hubungan saling ketergantungan antarnegara, bahkan menimbulkan proses
menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antarnegara dalam pelbagai
praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi.
Secara singkat menurut Halwani (2004: 194), globalisasi ekonomi ditandai
dengan makin menipisnya batas-batas investasi dan pasar secara nasional,
regional maupun internasional. Hal ini disebabkan oleh adanya hal-hal berikut ini:
88
1. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih.
2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas.
3. Ekonomi negara yang makin terbuka.
4. Penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif tiap-tiap negara.
5. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang
makin efisien, dan
6. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir
seluruh dunia (Halwani, 2005: 194).
2.6 Kebijakan
Kebijakan adalah keputusan yang menggambarkan tujuan, menetapkan
sesuatu yang dapat dijadikan pedoman/acuan, atau sebagai dasar suatu tindakan,
dan tindakan tersebut diambil untuk menerapkan keputusan itu, atau kebijakan
dapat diartikan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
recana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, hasil dari sebuah kepemimpinan dalam
sebuah pemerintahan atau sebuah organisasi (Holsti, di dalam Rudi, 1993: 17).
Sedangkan Grifith (2002: 95) mendefinisikan kebijakan sebagai susunan
strategi yang digunakan oleh pemerintah untuk memandu tindakan mereka dalam
bidang tertentu (yang di dalamnya terdapat pelbagai alternatif yang sebelumnya
telah disusun bersama).
89
2.7 Kebijakan Perdagangan
Jhingan (1990) menjelaskan, bahwa kebijakan perdagangan sebagai suatu
kebijakan yang dapat menopang percepatan laju pembangunan ekonomi dengan:
a. Memungkinkan negara tebelakang memperoleh bagian lebih besar dari
manfaat perdagangan;
b. Meningkatkan laju pembentukan modal;
c. Meningkatkatkan industrialisasi;
d. Menjaga keseimbangan neraca pembayaran (Ikbar, 1995: 148).
Pendapat yang senada, dikemukakan Djiwandono (1992: 52-53), bahwa
kebijakan perdagangan dimungkinkan sebagai landasan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
Kebijakan perdagangan mencakup tindakan pemerintah terhadap rekening
yang sedang berjalan (current account) daripada neraca pembayaran intenasional,
khususnya tentang ekspor dan impor barang/jasa. Jenis kebijakan ini misalnya
tarif terhadap impor, bilateral trade agreement, state trading, dan sebagainya
(Nopirin, 1999: 49-51)
Ikbar (1995), mengidentifikasi beberapa argumen guna mendukung suatu
kebijakan perdagangan yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk proteksi,
sebagai berikut:
1. Terms of Trade (perbandingan antara harga impor dan harga-harga
ekspor). Bahwa perubahan ”terms of trade” yang menguntungkan suatu
negara akan memberi peluang bagi negara yang bersangkutan untuk
memperoleh surlpus pendapatan nasional. Ini bisa dilakukan dengan
90
penerapan tarif dan bukan tarif tertentu yang membuat nilai impor turun
dan nilai ekspor meningkat. Namun, tindakan kebijakan negara dengan
penerapan tarif dan bentuk proteksi lainnya, biasanya dapat
mengundang tindakan balasan negara lain terutama yang terkena
langsung akibat itu.
2. Rasio Tabungan. Untuk pembentukan modal, salah satu cara yang
penting ialah dengan tabungan domestik, dengan membatasi impor
komoditas konsumsi melalui pengawasan langsung atau penetapan bea
masuk. Maka, pengeluaran untuk konsumsi dapat dikurangi dengan
jumlah sebesar jumlah kenaikan dalam tabungan. Peningkatan tabungan
bermanfaat pula untuk melakukan barang modal, dan kondisi yang
diperlukan untuk ialah bahwa pengurangan barang impor konsumsi
harus diikuti oleh peningkatan impor barang modal dengan nilai yang
sama.
3. Investasi Asing. Proteksi juga relevan untuk sumber pembentukan
modal dengan menarik investasi asing bagi negara berkembang
khususnya, dan modal kerja sama penanaman modal yang dilakukan
oleh negara-negara industri maju. Hambatan pokok bagi output produk
industri dari penanaman modal asing di negara berkembang, biasanya,
adalah lemahnya daya beli masyarakat dan sempitnya pasar domestik.
Untuk itu banyak negara berkembang melakukan orientasi ekspor
(export oriented).
91
4. Industri Muda (The Infant Industry). Industri muda merupakan tahap
transisi menuju industri besar-besaran. Perlunya perlindungan (campur
tangan pemerintahan) untuk pengawasan dan intensif terhadap industri
ini, hal ini disebabkan karena industri muda banyak berhadapan dengan
kondisi eksternal kompetitif. Ada empat empat alasan khusus bagi
proteksi industri di negara-negara berkembang:
a. Adanya kendala untuk memperoleh pasar bagi penewaran baru,
b. Adanya kelebihan tenaga kerja,
c. Besarnya biaya investasi individual dalam mewujudkan
ekonomi eksternal,
d. Struktur harga internal yang tidak menguntungkan industri.
5. Ekonomi Eksternal. Bahwa pendirian dan perkembangan setiap industri
yang baru menghasilkan keuntungan-keuntungan dalam bentuk
ekonomi eksternal (Meade (1952) menggolongkan ekonomi eksternal
adalah; tekonologi dan; moneter (Jhingan (1990), di dalam Ikbar, 1995:
151)). Ini menimbulkan perbedaan ”private profit” dan “social benefit”.
Apabila perbedaan ini timbul, dapat diterapkan proteksi atau subsidi
sebagai cara untuk memperkecil nilai perbedaan itu.
6. Faktor Redistribusi. Pada negara-negara berkembang biasanya terjadi
kesenjangan harga dan biaya pertanian dan industri begitu lebar. Hal ini
menghambat perkembangan industri yang dianggap lebih produktif.
Sehingga, diperlukan suatu insentif atau proteksi hingga derajat yang
92
sesuai (tidak terjadi kesenjangan). Hal ini disertai asumsi bahwa
pertanian kurang produktif bila dibanding dengan industri.
7. Neraca Pembayaran. Salah satu tujuan penting kebijakan pemerintah
atau negara dalam perdagangan, ialah mencegah ketidakseimbangan
neraca pembayarannya. Penyebab utama yang sering kali terjadi dalam
kesulitan neraca pembayaran ialah kebutuhan yang besar atas industri
utama dan penting, dan terjadinya inflasi. Ketidakseimbangan neraca
pembayaran terjadi bila suatu ekonomi yang sedang tumbuh atau
berkembang membutuhkan devisa untuk membayar pinjaman luar
negeri.
2.8 Devisa
Devisa adalah kekayaan suatu negara dalam bentuk mata uang asing yang
berguna sebagai alat pembayaran internasional atau pembayaran luar negeri,
dalam bahasa Inggris dipakai istilah foreign exchange dan bentuk convertible
(yang dapat ditukar). Devisa dalam peredarannya terdapat pelbagai bentuk, dapat
terdiri dari uang kertas asing, wesel, cek, surat-surat berharga, surat-surat obligasi,
saham perusahaan luar negeri (Amalia, 2007: 34), dan sebagainya dalam valuta
asing (mata uang atau instrument keuangan lainnya yang memungkinkan suatu
negeri menyelesaikan hutang piutangnya dengan negeri lainnya (Samuelson dan
Nordhaus, 1991: 668)) yang biasanya di nilai dalam dollar Amerika Serikat atau
SDR (Special Drawing Right, activa cadangan untuk digunakan dalam transaksi
valuta internasional sebagai tambahan atu pengganti cadangan emas dollar
Amerika Serikat) (Ardiyos, 2001: 74).
93
Sumber devisa suatu negara pada umumnya terdiri dari hasil penjualan
barang maupun jasa keluar negeri, pinjaman valuta asing yang diperoleh dari
negara-negara asing, badan-badan internasional serta swasta asing, hadiah atau
grant (grant merupakan salah satu bantuan luar negeri tanpa adanya syarat-syarat
tertentu
dan
negara
yang
menerima
bantuan
tersebut
tidak
perlu
mengembalikannya kepada negara pemberi bantuan) dan bentuk dari badanbadan PBB dalam bentuk valuta asing, laba dari penanaman modal di luar negeri
(seperti laba yang ditransfer dari perusahaan milik pemerintah dan warga
Indonesia yang berdomisili di luar negeri, termasuk transfer dari warga negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri), hasil dari kegiatan pariwisata (turis asing
yang masuk dan menguangkan mata uang asing untuk digunakan di Indonesia)
(Ardiyos,2001: 74-75).
Sedangkan, nilai ekspor yang lebih besar daripada impor (surplus), baik
perdagangan barang maupun jasa merupakan salah satu yang akan meningkatkan
jumlah cadangan devisa (Yuliadi, 2007: 84). Dan untuk mengukur suatu cadangan
devisa dianggap memadai atau tidak, maka dipakai kriteria jumlah besarnya
kemampuan cadangan devisa tersebut untuk menutup impor minimal selama tiga
bulan (Halwani, 2005: 116).
94
BAB III
OBYEK PENELITIAN
3.1 Gambaran Tentang World Trade Organization (WTO)
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Pedagangan Dunia adalah
organisasi antarpemerintah didirikan pada tahun 1994 dengan ditandatanganinya
Marrakesh Agreement Establishing in World Trade Organization oleh 124 negara
anggota
GATT
(General
Agreements
Trade
and
Tarrif).
Dengan
ditandatanganinya perjanjian pembentukan WTO tersebut, maka WTO menjadi
organisasi pengganti GATT yang melaksanakan seluruh aturan perdagangan
internasional yang telah disepakati di Marrakesh. WTO sendiri telah berfungsi
secara resmi mulai 1 Januari 1995. Perjanjian WTO bersifat contractual dan
binding terhadap negara-negara anggotanya (Perwita dan Yani, 2005: 85). Dan
jumlah anggota WTO sampai tanggal 27 Juli 2007 tercatat sebanyak 151 negara
(http://www.wto.org/members, diakses Januari 2008).
Tugas utama WTO adalah mendorong perdagangan bebas, dengan
mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif
dan non tarif (misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan
internasional;
penyelesaian
sengketa
dagang
dan
memantau
kebijakan
perdagangan di negara-negara anggotanya (http://www.deptan.go.id/kln/berita/
wto/ttg-wto.htm, diakses pada 17 Oktober 2007).
Dengan disahkan berdirinya WTO, maka semua kesepakatan perjanjian
GATT kemudian diatur di dalam WTO plus isu-isu baru yang sebelumnya tidak
95
diatur seperti perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property
Rights/TRIPs (Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan),
jasa (General Agreement on Tariff in Servis/GATS), dan aturan investasi (Trade
Related Investment measures/TRIMs) (http://www.wto.org/wt/min, diakses
Januari 2008).
Sistem perdagangan WTO multilateral WTO diatur melalui suatu
perjanjian yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil
perujanjian yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Perjanjian
tersebut merupakan kontrak antarnegara anggota yang mengikat pemerintah untuk
mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Dan perjanjian
WTO mengikat secara hukum. Negara anggota yang tidak mematuhi perjanjian
bisa diadukan oleh negara anggota lainnya karena merugikan mitra dagangnya,
serta menghadapi sanksi perdagangan yang diberlakukan oleh WTO. Karena itu
sistem WTO bisa sangat berkuasa terhadap anggotanya dan mampu memaksakan
aturan-aturannya, karena anggota terikat secara legal (legally-binding) dan
keputusannya irreversible artinya tidak bisa ditarik kembali (http://www.wto.org/
what is the wto, diakses Januari 2008).
3.1.1 Sejarah Pembentukan WTO
Pada tanggal 23 Oktober 1947, sebanyak 23 negara anggota delegasi
komite persiapan pada dewan ekonomi dan sosial PBB (ECOSOC/Economic and
Social Council) menyiapkan bahan tentang Piagam Organisasi Perdagangan
Internasional (Internasional Trade Organization/ITO) (dimana piagam ini
sebelumnya dimaksudkan untuk memberikan ketentuan-ketentuan atau aturan-
96
aturan dalam perdagangan dunia, dan bertujuan memuat aturan-aturan ketenaga
kerjaan
(employment),
(pembatasan)
persetujuan
perdagangan,
menandatangani
Perjanjian
komoditi,
penanaman
Umum
modal
tentang
praktik-praktik
internasional
Tarif
dan
restriktif
dan
jasa)
Perdagangan
(GATT/General Agreement Tarrif and Trade). Perjanjian ini merumuskan 45.000
item tarif dengan nilai 10 milyar Dollars AS (Rudy, 2002: 43).
Pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa dari bulan April sampai
November 1947. Dari tanggal 10 April sampai dengan 22 Agustus, panitia
persiapan melanjutkan tugasnya membuat rancangan piagam ITO. Sementara
panitia melaksanakan tugasnya, dan dari tanggal 10 Aopril Oktober sampai 30
Oktober, perundingan-perundingam bilateral berlangsung antarnegara-negara
anggota komisi, antara lain, Brazil, Burma, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia
Selatan (Adolf, 2005: 14).
Hasil perundingan mengenai konsesi timbal balik di bidang tarif
(reciprocal tarrif concession) dicantumkan ke dalam GATT yang ditandatangani
pada 30 Oktober 1947. Hasil perundingan tersebut berisi pula suatu kodifikasi
sementara mengenai hubungan-hubungan pedagangan di antara negara-negara
penandatanganan. Bedasarkan persyaratan-persyaratan protokol tanggal 30
Oktober 1947, GATT yang beranggotakan 23 negara sebagai pendirinya,
termasuk Cina, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat (Rudy, 2002: 43),
ditetapkan sebagai suatu kesepakatan sementara sejak tanggal 1 Januari 1948
hingga berlakunya ITO (Adolf, 2005: 14-15).
97
Pembentukan GATT sendiri, merupakan sebagai suatu dasar (wadah) yang
sifatnya sementara setelah Perang Dunia II, yang benih sejarahnya berawal
daripada penandatanganan Piagam Atlantik (Atlantik Charter) pada bulan Agustus
1941. Salah satu tujuan piagam ini adalah menciptakan suatu sistem perdagangan
dunia yang didasarkan pada prinsip nondiskriminasi dan kebebasan tukar menukar
barang dan jasa (Adolf, 2005: 11).
Sejak pendiriannya, GATT tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi
sebuah organisasi yang mengatur perdagangan antarbangsa, tetapi hanya sebagai
sebuah kerangka persepkatan di bidang perdagangan dan penetapan tarif impor
(Jackson, di dalam Hadiwinata, 2002: 70). Hal ini disebabkan karena pada
mulanya pembentukan GATT dimaksudkan sebagai instrumen pendukukng dari
ITO seperti yang telah dijelaskan di atas (Hadiwinata, 2002: 70-71).
Selanjutnya, pada 21 November
1947 sampai 24 Maret 1948 GATT
mengadakan sidang yang pertama kali oleh delegasi dari 66 negara, dengan topik
bahasan tentang upah dan perdagangan di Havana, Kuba yang mencetuskan
Piagam Havana yang berkaitan juga dengan pendirian ITO (Rudy, 2002: 43).
Piagam ini memuat aturan-aturan yang jauh lebih kompleks daripada GATT.
Selain memuat tentang pembentukan ITO, juga memuat ketentuan mengenai
ketenagakerjaan,
kegiatan
ekonomi,
pembangun
dan
kontruksi,
praktik
perdagangan yang tidak sehat dan pelbagai kesepakatan mengenai produk-produk
dasar (primer) (Adolf, 2005: 15).
Namun, sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta
menemui kesulitan dalam meratifikasinya. Hal ini disebabkan karena negara-
98
negara waktu itu tidak memiliki keinginan politis untuk menerima atau mertifikasi
Piagam. Amerika Serikat, pelaku utama perdagangan dunia, pada tahun 1958,
menyatakan bahwa negaranya tidak akan meratifikasi Piagam tersebut. Sejak itu
pulalah ITO secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali (Adolf, 2002: 15).
Meskipun tidak berfungsi, dan minimnya negara-negara yang meratifikasi
ITO, tidak menyebabkan GATT menjadi tidak berlaku. Para perunding GATT
mengeluarkan suatu perjanjian internasional baru yaitu the Protocol of
Provisional Application, yaitu suatu protokol (perjanjian) yang memberlakukan
GATT untuk sementara (provisional) (Adolf, 2005: 15-16).
Terlepass dari keberhasilan yang telah dicapainya, GATT dipandang tetap
memiliki beberapa kekurangan sehingga mengurangi efektivitas sebagai sebuah
mekanisme yang dimaksudkan untuk memperlancar perdagangan internasional
(Jackson, di dalam Hadiwinata, 2002: 73).
Menyadari pelbagai persoalan yang dapat menghambat fungsi GATT
sebagai sebuah mekanisme pengatur perdagangan internasional, beberapa anggota
mengusulkan reformasi mendasar bahkan penggantian GATT dengan sebuah
mekanisme baru yang lebih mengikat dan memiliki status hukum yang lebih jelas.
Pada bulan Desember 1991, para perunding Putaran Uruguay menyusun sebuah
rancangan tentatif untuk menggantikan GATT yang dikenal dengan sebutan MTO
(Multilateral Trade Organization). Pada bulan Desember 1993 rancangan itu
lebih dimatangkan lagi, dan sebuah istilah baru yakni WTO (World Trade
Organization) mulai diperkenalkan (Hadiwinata, 2002: 73).
99
Deklarasi
Marrakesh
(Marrakesh
Declaration)
yang
merupakan
pernyataan dari 124 negara yang hadir dalam pertemuan tingkat menteri di
Marrakesh, Maroko pada 12 sampai 15 April 1994 mendukung hasil-hasil dari
Uruguay Round yakni bagian kedelepan putaran perdagangan internasional di
bawah GATT yang dimulai di Punta del Esta, Uruguay pada 1987 berakhir
Desember 1995 dan diikuti oleh 117 negara anggota GATT. Hasil dari Uruguay
Round adalah pembentukan organisasi perdagangan yang akan menggantikan
GATT, yakni WTO. Dan WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995
(Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds), 2005: 38-39).
3.1.2
Perkembangan Sejarah WTO
Adanya
keinginan
sejumlah
negara
untuk
bangkit
memperbaiki
kehancuran ekonomi akibat perang dunia ke II serta mengakhiri pengaruh sistem
proteksionisme yang berkembang sejak tahun 1930 melatar belakangi
pembentukan GATT, dalam rangka pembentukan organisasi perdagangan
Internasiona (International Trade Organzation/ITO) namun gagal terbentuk.
Sedangkan World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan
Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur
masalah perdagangan antarnegara yang terbentuk dari negosiasi-negosiasi, dan
perubahan perjanjian dalam setiap putaran perundingan perdagangan multilateral
(Multilateral Trade Negotiation/MTNs) yang secara bertahap memperluas
cakupan GATT dalam kebijakan non tarif yang lebih besar (Arifin, dkk., 2007:
69).
100
Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan
yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan Internasional sebagai hasil
perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan
tersebut merupakan kontrak antarnegara anggota yang mengikat pemerintah untuk
memenuhinya
dalam
pelaksanaan
kebijakan
perdagangannya.
Walaupun
ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para
produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan.
(Deperindag Multilateral, 2003: 1).
Sementara, WTO sudah berdiri selama lebih dari sepuluh tahun yakni
pada tahun 1995 yang didirikan berdasarkan perjanjian pendirian WTO. WTO
merupakan organisasi perdagangan internasional pertama di dunia dengan 149
anggota. Telah menjadi suatu perhatian masyarakat internasional mengenai
globalisasi, lingkungan hidup, hak asasi manusia, aturan perburuhan, orang-orang
pribumi, peraturan perusahaan transnasional dan peranan organisasi non
pemerintah. WTO juga membantu memperjuangkan kedaulatan dan identitas
budaya suatu negara, dapat dilihat dari adanya peran dalam protes terhadap
pertemuan kementerian kedua di Seattle, Amerika Serikat pada bulan November
1999. Berdasarkan kewajiban dan prosedur yang mengikat untuk pembentukan
resolusi bagi sengketa perdagangan dan termasuk pembentukan peraturan
masalah-masalah perdagangan sebagai bagian dari hukum Internasional.
Perkembangan peranan dan pengaruh dari WTO dalam abad ke 21 menjadi
objek yang signifikan bagi advokat internasional dan menyarankan adanya
penggabungan aspek dalam hukum privat dan hukum publik. Apakah hal ini
101
dimungkinkan? Contohnya apakah dalam
tindakan yang bertujuan
untuk
mencapai tujuan berdasarkan Protokol Kyoto dapat diharmoniskan dengan
konvensi rangka kerja PBB mengenai perubahan iklim? Apakah suatu bagian
yang sudah ada dapat dipakai pada kondisi perburuhan? Bagaimana liberalisasi
perdagangan dapat dicapai bila dihadapkan dengan kebutuhan ekonomi dan sosial
negara berkembang.
3.1.3 Tujuan dan Fungsi WTO
3.1.3.1 Tujuan WTO
Organisasi
perdagangan
dunia
(World
Trade
Organization/WTO)
terbentuk karena keinginan untuk liberalisasi perdagangan global dengan
menghapus diskriminasi perdagangan untuk seluruh negara di dunia. Sehingga
WTO memeiliki beberapa tujuan penting sebagai berikut:
1. Mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan
menghapus hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus
perdagangan barang dan jasa.
2. Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang
lebih permanen.
3. Menyelesaikan
menimbulkan
sengketa,
mengingat
konflik-konflik
hubungan
kepentingan,
dagang
sering
kemungkinan
terjadi
perbedaan interprestasi dan pelanggaran sehingga diperlukan prosedur
legal penyelesaian sengketa yang netral dan telah disepakti bersama
(Deperindag Multilateral, 2003: 1).
102
3.1.3.2 Fungsi WTO
Adapun fungsi utama dari WTO adalah untuk memberikan kerangka
kelembagaan
bagi
hubungan
perdagangan
antarnegara
anggota
dalam
implementasi perjanjian-perjanjian dan hubungan dengan instrumen-instrumen
hukum termasuk dalam Annex Perjanjian WTO.
Berdasarkan Pasal III Perjanjian WTO ditegaskan lima fungsi WTO secara
khusus, yaitu sebagai:
1. Implementasi
dari
Perjanjian,
yaitu
untuk
memfasilitasi
implementasi, administrasi dan pelaksanaan dari perjanjian WTO serta
perjanjian-perjanjian multilateral dan plurilateral.
2. Forum Untuk Perundingan Perdagangan, yaitu untuk memberikan
suatu forum tetap guna melakukan perundingan diantara negara anggota
yang membahas isu-isu/masalah yang telah tercakup dalam perjanjian
WTO dan pelbagai masalah yang belum tercakup dalam perjanjian
WTO.
3. Penyelesaian Sengketa, sebagai administrasi sistem penyelesaian
sengketa WTO.
4. Mengawasi Kebijakan Perdagangan, adalah sebagai administrasi dari
mekanisme tinjauan atas kebijakan perdagangan (Trade Policy Review
Mechanismn/TRPM).
5. Kerjasama dengan Organisasi Lainnya, yang berfungsi untuk
melakukan kerjasama dengan organisasi internasional dan negosiasi
organisasi non pemerintah (Deperindag Multilateral, 2003: 1-2).
103
3.1.4 Pencapaian Pembentukan WTO
Para anggota asal bergabung dengan WTO pada saat ditandatanganinya
hasil kesepakatan Putaran Uruguay di Marakesh bulan April tanhun 1994. WTO
memiliki 149 anggota. Lebih dari 30 proposal (usul) pencapain pembentukan
WTO telah dirundingkan dengan kemungkinan bahwa dalam beberapa tahun
seluruh perdagangan di dunia akan menjadi pokok persoalan dari WTO.
Pemerintah dengan otonomi penuh di dalam tingkah laku kebijakan-kebijakan
perdagangan dapat mengabulkan kebijakan agar didapat persetujuan antara
pemerintah dengan WTO.
Keputusan didasarkan pada 2/3 suara mayoritas. Pengakuan diperoleh dari
diskusi bilateral dengan negara lain dan dalam hal pencapaian harus disetujui oleh
negara pemohon dan semua anggota WTO (proses ini dapat diperpanjang).
Seluruh kelonggaran tarif dan tanggung jawab terhadap jalan masuk menuju pasar
diperoleh melalui perundingan hubungan bilateral yang kemudian tersedia bagi
anggota melalui MFN dan prinsip-prinsip non diskriminasi. Beberapa negara juga
dapat memperoleh pengakuan melalui keanggotaan dari serikat yang berbedabeda.
3.1.5
Negosiasi dan Perjanjian WTO
3.1.5.1 Negosiasi Perdagangan dari GATT Ke WTO
Sejak tahun 1984-1994 GATT membuat peraturan-peraturan perdagangan
melalui serangkaian putaran perundingan perdagangan. Antara lain:
104
Tabel 3.1
Rekapitulasi Pesetujuan GATT
Putaran Perundingan Perdagangan GATT
Tahun
1947
1949
1951
1956
1960-1961
Tempat
Jenewa
Annecy
Turki
Jenewa
Jenewa (Putaran
Dillon)
Jenewa (Putaran
Kennedy)
Jenewa (Putaran
Tokyo)
Masalah yang Dibahas
Tarif
Tarif
Tarif
Tarif
Tarif
Tarif dan Kebijakan Anti
Dumping
Tarif, kebijakan non Tarif,
1973-1979
Kerangka Persetujuan
Tarif, kebijakan non Tarif,
jasa, Kekayaan Intelektual,
Jenewa (Putaran
1986-1994
Penyelesaian sengketa,
Uruguay)
tekstil, Pertanian,
Pembentukan WTO,dll
Tarif, kebijakan non
Tarif,jasa, Kekayaan
2001Doha (Putaran
Intelektual, Penyelesaian
Sekarang
Doha)
sengketa, tekstil,
Pertanian, Pembentukan
WTO,dll
Sumber: Deperindag Multilateral (WTO), 200: 5
1964-1967
Jumlah
Negara
Peserta
23
13
38
26
26
62
102
123
145
3.1.5.2 Perjanjian WTO
Perjanjian yang mendirikan WTO berfungsi sebagai perjanjian pokok bagi
perjanjian-perjanjian lain dalam bidang yang lebih spesifik dan pengertianpengertian, yang antara lain adalah sebagai berikut:
105
Tabel 3.2
Bentuk Perjanjian WTO
Bagian
Jenis Perjanjian
Perjanjian tentang Pertanian.
Perjanjian Penerapan tentang Kebersihan dan tindakan
kebersihan tumbuhan.
Perjanjian pakaian dan textile (telah dihapuskan pada 1
Januari 2005).
Perjanjian tentang hambatan dalam perdagangan secara
teknis.
Perjanjian perdagangan yang berhubungan dengan tindakan
Bagian 1A
investasi.
Perjanjian tentang pelaksanaan pasal VI GATT 1994
(perjanjian anti-dumping).
Perjanjian tentang pelaksanaan pasal VII GATT 1994.
Perjanjian tentang pemeriksaan sebelom mengirim barang.
Perjanjian mengenai ketentuan dari tempat asal.
Perjanjian tentang prosedur perizinan impor.
Perjanjian tentang subsidi dan tindakan ………
Perjanjian tentang usaha perlindungan (keamanan).
Perjanjian umum dalam pelayanan perdagangan (GATS) dan
Bagian 1B
bagian-bagian lainnya.
Perjanjian perdagangan yang berhubungan dengan Hak
Bagian 1C
Kekayaan Intelektual.
Pengertian tentang prosedur dan ketentuan pemerintahan
Bagian 2
penyelesaian sengketa.
Bagian 3
Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan.
Perjanjian perdagangan plurilateral dalam penerbangan sipil,
Bagian 4
usaha pemerintah, dan perjanjian internasional tentang
daging sapi.
Sumber: http://www.org/, diakses Desember 2007.
3.1.6 Sistimatika Keorganisasian WTO
3.1.6.1 Struktur Organisasi WTO
WTO memiliki 3 organ utama, yaitu :
1. Konferensi Kementrian yang bertemu paling sedikit setiap 2 tahun
sekali.
Dewan Kementrian juga mendirikan Komite Perdagangan dan
106
Pembangunan dan Komite Perdagangan dan Lingkungan. Pembuatan
Keputusan didasarkan pada persertujuan umum (Konsensus), apabila
tidak dicapai kesepakatan maka keputusan akan diambil berdasarkan
suara terbanyak dibawah pasal IX dari Perjanjian WTO dan dalam
beberapa kasus pengambilan keputusan dapat didasarkan pada 2/3 suara
terbanyak. Setiap anggota memiliki satu suara, walaupun masyarakat
Eropa memiliki jumlah suara yang sama dengan jumlah anggota dari
Uni Eropa yang juga merupakan anggota dari WTO.
2. Dewan Umum yang terdiri dari perwakilan seluruh anggota dan
berkedudukan sebagai Badan Penyelesaian Perselisihan dan Badan
Kebijakan Perdagangan.
Yang bertindak di bawah Dewan Umum adalah Dewan untuk
Perdagangan barang, Dewan untuk Perdagangan dan Pelayanan dan
Dewan Perdagangan yang berhubungan dengan Hak Kekayaan
Intelektual.
3. Sekertariat yang dikepalai oleh Direktur Jendral.
Karakteristik khusus dari WTO yakni adanya pertimbangan dari
anggota untuk menjadi anggota penggerak guna melakukan kegiatan
yang mewakili harapan para anggota, suatu pernyataan yang sangat
jelas tetapi adanya perhatian yang sama bahwa WTO tidak seharusnya
menjadi objective personality dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan nyata
dari seluruh anggota.
107
Gambar 3.1
Struktur Organisasi WTO
Sumber: http://www.wto.org/organization chart, diakses pada Januari. 2008
3.1.6.2 Kewenangan dalam Struktur WTO
3.1.6.2.1 Kewenangan Tertinggi : Konferensi Tingkat Menteri (KTM)
Konferensi Tingkat Menteri mempunyai kewenangan keputusan di WTO
dan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun.
Ministerial Conference (Konferensi Tingkat Menteri), merupakan badan
tertinggi WTO yang bertemu paling sedikit satu kali dalam setiap dua tahun;
108
KTM pertama diadakan di Singapura tahun 1996, kedua di Geneva tahun 1998
dan sidang ketiga di Seattle, AS tanggal 30 November hingga 3 Desember 1999.
Sidang ketiga ini gagal menyusun Deklarasi Menteri karena dua hal, blockade
para demonstrans yang intinya menolak liberalisasi perdagangan di luar gedung
pertemuan sehingga para delegasi tidak bisa hadir dan perbedaan pandangan yang
tajam di ruang sidang antara delegasi dari Negara-negara berkembang dan
Negara-negara maju.
KTM ke IV diselenggarakan di Doha Qatar, yang menghasilkan Deklarasi
Doha (sering juga disebut sebagai Deklarasi Pembangunan Doha atau Doha
Development Agenda dan Deklarasi Doha untuk Kesehatan Publik. KTM ke-V
diadakan di Cancun Meksiko. KTM ke-V ini juga gagal karena sidang mengalami
kebuntuan akibat perbedaan pandangan antara negara-negara maju dan negara
berkembang mengenai isu-isu baru (kebijakan kompetisi, investasi, pengadaan
barang untuk pemerintah; fasilitasi perdagangan). KTM ke-VI diadakan di kota
Hongkong China pada Desember 2005 yang menghasilkan deklarasi menteri
untuk menyelesaikan putaran Doha. Keputusan yang dihasilkan dalam KTM
merupakan keputusan para anggota WTO melalui pelbagai dewan dan komite
(Perwita dan Yani, 2005: 88).
Kegiatan organisasi dalam struktur organisasi WTO terbagi tiga badan:
1. The General Council (Dewan Umum) bertindak atas nama konferensi
tingkat menteri pada kegiatan sehari-hari untuk membahas seluruh
permasalahan dalam WTO.
2. The Dispute Settlement Body, (badan Penyelesaian Sengketa) untuk
109
mengawasi prosedur penyelesaian sengketa dan,
3. Trade Policy Review Body (Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan)
membahas kebijakan perdagangan negara-negara dalam WTO.
3.1.6.2.2 Kewenangan Tingkat Kedua: General Council
Dalam struktur tingkat ketiga ini, terdiri dari tiga dewan yang mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan WTO berkaitan
dengan ruang lingkup perdagangan barang (the Council for Trade in Good), jasa
(Services Council), dan hak atas kekayaan intelektual /HAKI (The Council for
Trade/Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs Council).
3.1.6.2.3 Kewenangan Tingkat Ketiga: Dewan-Dewan (Councils)
Dalam struktur tingkat ketiga ini, terdiri dari tiga dewan yang mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan WTO berkaitan
dengan ruang lingkup perdagangan barang (the Council for Trade in Good), jasa
(Services Council), dan hak atas kekayaan intelektual /HAKI (The Council for
Trade/Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs Council).
3.1.6.2.4 Kewenangan Tingkat Keempat: Membahas sampai pada Hal-hal
yang Kecil
Pada kewenangan tingkat keempat ini merupakan badan-badan bawahan
(subsidiary Bodies) yang bertangggungjawab terhadap hal-hal khusus dari setiap
dewan-dewan di WTO, seperti pada Goods Council memiliki 11 komite yang
berhubungan dengan persoalan khusus seperti pertanian, akses pasar, subsidi,
antidumping dan seterusnya. Komite ini terdiri dari semua anggota WTO. Pada
110
Tingkat general council juga memilik Dispute Settlement Body (DSB), para ahli
yang dipilih secara hukum memutuskan sengketa yang tidak terselesaikan, And
The Appellate Body, yang menangani banding apabila pihak yang bersengketa
belum dapat menerima keputusan panel (Deperindag Multilateral, 2003: 15).
3.1.6.2.5 Peranan Sekretariat
Sejak tahun 1995, sekretariat DSB telah menduga pertumbuhan peranan
secara langsung dan tidak langsung dalam operasi prosedur ketetapan
perselisihan, mengembangkan karakeristik dari birokrsi internasional. Tugasnya
adalah membantu para dewan secara aspek hukum, sejarah, dan prosedural dalam
suatu kasus dan menyediakan dukungan sekretarial dan teknikal. Sekretariat
memegang peranan inti dalam memilih anggota dewan dan peletakannya dalam
ingatan konstitusional dari GATT. Melalui kefamiliarannya dengan aturan pokok
GATT/WTO yang telah berkembang, sekretariat memiliki pengaruh yang kuat
dalam hasil-hasil, terutama ketika membantu dewan ad hoc dengan menyediakan
konsep pertama dari penemuan mereka.
Peranan sentral dan kuat dari sekretariat dapat membantu mengembangkan
suatu negara dan menaikkan perhatian pada mereka, program pelatihan penetapan
undang-undang yang dilakukan melalui sekretariat dapat membantu negara-negara
berkembang untuk memperoleh keahlian yang dibutuhkan hingga keuntungan dari
akses
yang
ada
ke
pasar
dunia.
Namun,
negara-negara
berkembang
mempertimbangkan bahwa kekuatan sekretariat dapat mengurangi kedaulatan
ekonomi mereka dan tidak bersimpati terhadap kepentingan pengembangan
mereka.
111
Tanggung Jawab Dan Fungsi-Fungsi Sekretariat WTO:
Sekretariat WTO dikepalai oleh seorang Direktur Jenderal, yang
memiliki sekitar 550 staf, yang bertanggung jawab:
1. Melaksanakan tugas administratif dan teknis bagi badan-badan, komitekomite, team work, kelompok-kelompok negosiasi untuk melakukan
negosiasi dan implementasi persetujuan.
2. Memberikan dukungan teknis untuk negara berkembang.
3. Menganalisis kinerja dan kebijakan perdagangan oleh para ahli
ekonomi dan statistik WTO
4. Memberikan bantuan hukum dalam penyelesaian sengketa.
5. Menangani masalah aksesi anggota baru dan memberikan saran-saran
kepada pemerintah yang mengajukan aksesi.
Sedangkan fungsi dari sekretariat WTO antara lain:
1. Melaksanakan
negosiasi
perdagangan
dan
penerapan
aturan
perdagangan multilateral
2. Membantu perekonomian negara berkembang dan transisi, melalui
program untuk menjelaskan sistem kerja WTO dan melatih pejabat
serta negosiator pemerintah.
3. Secara khusus membantu promosi ekspor, dan membantu untuk
memformulasikan
serta
mengimplementasikan
program
promosi
ekspor, melalui pusat perdagangan Internasional (International Trade
Center/ITC).
4. Kerjasama didalam pembuatan kebijakan ekonomi global, melalui
112
hubungan dan kerjasama dengan IMF, Bank Dunia dan institusi
Internasional.
5. Notifikasi rutin bilamana anggota-anggota memprkenalkan pengaturan
perdagangan baru atau sebelumnya.
3.1.6.2.6 Keanggotaan
Keanggotaan dalam WTO mempunyai hak dan kewajiban yang harus
seimbang, karena perlakuan istimewa dari negara lain dan keamanan
perdagangan, maka negara anggota diwajibkan untuk membuka pasarnya dan
memenuhi ketentuan-ketentuan perdagangan yang ada.
A. Keanggotaan dalam WTO
1. Sebagai negara anggota GATT otomatis menjadi anggota asli WTO.
2. Proses aksesi ke WTO, yaitu negara atau wilayah yang memiliki hak
sepenuhnya dalam menetapkan kebijakan perdagangannya (Custome
Teritory), dan menyetujui ketentuan yang berlaku. Secara umum calon
anggota harus melalui empat tahap:
a. Permintaan resmi untuk menjadi anggota WTO, harus menjelaskan
dalam
memorandum
seluruh
aspek
pedagangan
dan
kebijakan
ekonominya berkaitan dengan persetujuan WTO, yang diteliti oleh
kelompok kerja (Working group on accession).
b. Negosiasi dengan seluruh anggota WTO, melakukan perundingan
bilateral dengan negara-negara anggota berdasarkan prinsif non
diskriminasi untuk membahas tingkat tarif, akses pasar, kebijakan
mengenai barang dan jasa (peluang ekspor dan jaminan-jaminan yang
113
dapat diperoleh anggota WTO dari calon anggota baru tersebut.
b. Menyusun draff keanggotaan baru (Protocol of accsession) dan daftar
skedul komitmen (schedules of commitments) setelah di telaah dan
finalisasi dari kelompok kerja bidang aksesi.
c. Keputusan akhir, Dewan Umum melaporkan ke Konferensi Tingkat
Menteri mengenai laporan aksesi, protokol dan daftar komitmenkomitmen, sehingga disetujui dan diratifikasi oleh negara-negara anggota
WTO.
B. Pengelompokan Negara-Negara dalam WTO
Pengelompokan dan aliansi dalam WTO adalah wajar mengingat semakin
terintegrasinya ekonomi dunia dengan banyaknya daerah perdagangan pasar bebas
dan pasar bersama yang sedang dibangun di seluruh dunia, untuk meningkatkan
posisi tawar menawar negara yang lebih kecil dengan mitra dagang negara yang
lebih besar (Deperindag Multilateral, 2003: 16-17).
Pengelompokan dan Aliansi negara dalam WTO sebagai berikut:
 Kelompok Terbesar adalah Uni Eropa (European Communities) yang
terdiri 15 negara di Brussels dan Jenewa.
 Kelompok ASEAN (Malaysia, Indonesia,singapura, Filipina, Thailand,
Brunei Darussalam, Myanmar dan Kamboja).
 Negara Latin American Economic System (SELA) dan Africa,
Caribbean, and Pasifick Group (ACP)
 Kelompok NAFTA (Kanada, Amerika Serikat dan Meksiko) dan
MERCOSUR (the Southern
Common Market: Brazil, Argentina,
114
Paraguay dan Uruguay).
 Aliansi The Cairns Group, berasal dari 4 benua, anggotanya mencakup
negara OECD hingga negara miskin yang terdiri dari 17 negara:
Argentina,
Bolivia,
Kanada,
Kolombia,
Guatemala,
Malaysia,
Paraguay, Afrika Selatan, Uruguay, Australia, Brasil, Chili, Kostarika,
Indonesia, Selandia Baru, Filipina dan Thailand, yang mempunyai
kekuatan dalam perundingan pertanian dan implementasi liberalisasi
pertanian, dengan menghapus subsidi ekspor dan impor untuk perluasan
akses pasar.
 Aliansi Like Minded Group (LMG) beranggotakan beberapa negara
berkembang (Mesir, Kuba, Republik Dominika, Honduras, Indonesia,
India, Kenya, Malaysia, Sri Lanka, Tanzania, Uganda, Zimbabwe dan
Jamaika).
3.1.7 Hak–Hak dan Kewajiban WTO Dikaitkan dengan Prinsip Umum
Hukum Internasional
Perjanjian WTO adalah perjanjian antara negara–negara sebagai bagian
dari hukum internasional publik, ketentuan–ketentuan WTO adalah bagian dari
hukum internasional. Hubungan antara hukum internasional dengan ketentuan
WTO adalah saling berkesinambungan, dapat dilihat sebagai contoh yaitu konflik
dari ketentuan hukum kebiasaan dengan ketentuan hukum tertulis internasional
dan ketentuan WTO dapat terselesaikan.
Secara teknis tidak ada kebutuhan bagi perjanjian WTO serta ruang
lingkup yang sesuai hukum kebiasaan internasional untuk memenuhi syarat–
115
syarat dari hukum internasional. Perjanjian WTO merupakan perjanjian yang
harus dilakukan oleh para pihak dengan tidak melupakan prinsip itikad baik.
Sebuah negara dalam mendapatkan rekomendasi harus mengaplikasikan ketentuan
hukum WTO sebagai kewajiban terikat. Hal ini berkaitan juga dengan WTO
sebagai subjek hukum internasional yang juga terikat dengan hukum kebiasaan
internasional.
Hal–hal yang mungkin terjadi adalah negara–negara anggota WTO
mengalami konflik kewajiban. Solusi yang mungkin dilakukan adalah mencari
konsesus internasional. Forum perdagangan dan lingkungan, sebagai contoh telah
menyatakan dimana perselisihan perdagangan muncul sebagai akibat hubungan
dari traktat multilateral lingkungan, hal tersebut diselesaikan berdasarkan traktat
tersebut.
Hal–hal yang diharapkan dari organisasi adalah untuk mengabulkan
kekuatan hukum yang digunakan untuk menginterpretasikan konstitusi dan
ketentuan dari organisasi tersebut dalam rangka memberikan respon terhadap
kesimpulan yang baru. Untuk negara berkembang, hukum yang dinamis akan
menciptakan peran hukum daripada forum dan badan peradilan
3.2 Gambaran Umum Tentang Indonesia
Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (disingkat NKRI
atau Indonesia atau Republik Indonesia atau RI) terletak antara 6008’ lintang utara
dan 11015’ lintang selatan dan antara 94045’ bujur timur dan 141005’ bujur timur,
ialah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara,
melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra
116
Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua,
dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara) (Yuliadi,
2007: 1), Sebagai suatu negara yang berbentuk republik (NKRI) sejak tahun 2006
terbagi menjadi 33 propinsi dengan tambahan tiga propinsi yaitu propinsi
Kepulauan Riau (KEPRI), Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Sampai dengan
tahun 2006 propinsi-propinsi tersebut meliputi 349 kabupaten, 91 kota, 5.641
kecamatan dan 71.555 desa (wwe.bps.go.id, diakses pada Mei 2008).
3.2.1 Kondisi Ekonomi
Indonesia
memiliki
ekonomi
berbasis
pasar
dimana
pemerintah
memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan
menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan
listrik. Selain itu, perekonomian Indonesia bersifat dualistis yaitu perekonomian
yang terbagi menjadi dua sektor yaitu sektor ekonomi modern (perkebunan,
pertambangan, dan perindustrian besar) yang bercirikan padat modal dan diimpor.
Kedua, sektor tradisional (pertanian, kerajinan tangan, dan perdagangan kecil
tradisional) (Yuliadi, 2007: 4).
Indonesia masih merupakan salah satu negara pertanian yang sangat
potensial. Lebih dari tiga per empat penduduk Indonesia hidup di pedesaan
dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Sektor pertanian khususnya padi
sangat menonjol di pulau Jawa, sedangkan di luar jawa produksi perkebunan
untuk kepentingan ekspor dan industri dalam negeri seperti karet, kelapa sawit,
kopi, kopra. Kecenderungan hasil sektor industri, pertambangan minyak dan gas
bumi, dan perikanan memberikan kontribusi terhadap GDP dan nilai ekspor yang
117
semakin besar (Yuliadi, 2007: 5). Namun, kecenderungan pangsa produksi sektor
pertanian semakin berkurang yang dapat terlihat dalam GDP (Gross Domestic
Product).
Sedangkan, dari aspek pendapatan dan kekayaan Indonesia termasuk salah
satu negara di dunia dalam kategori negara berpendapatan rendah meskipun
memiliki kekayaan melimpah dengan sumber daya alam seperti minyak, tambang,
hutan, hasil laut, dan sebagainya. Pengolahan yang tidak maksimal dan baik
disebabkan kurangnya dari aspek modal manusia (human capital) dan modal
buatan manusia seperti sarana dan prasarana infrastruktur, pelabuhan, listrik, air,
transportasi, dan sebagainya (Yuliadi, 2005: 5).
Perekonomian
Indonesia
juga
dicirikan
oleh
tingginya
tingkat
pengangguran baik pengangguran terbuka (open unemployment), setengah
menganggur,
pengangguran
tertutup
(hidden
unemployment),
dan
juga
pengangguran tidak kentara (disguised unemployment) yaitu orang yang bekerja
namun hasilnya kurang optimal atau bahkan taka ada kontribusi dalam proses
produksi. Seperti yang diungkapkapkan Badan Pusat Statistik Indonesia di dalam
the Indonesia Institute (2005: 6-7), bahwa tingkat pengangguran Indonesia belum
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan yang berarti, ini dapat dilihat dari angka
pengangguran yang masih pada level 9,1 persen di 2002, 9,5 persen di 2003,
hingga mencapai angka 10,3 persen pada tahun 2005.
Sedangkan, perkembangan di sektor ekonomi di tahun 2005 adalah
parameter-parameter khususnya makro ekonomi Indonesia beberapa tahun
belakangan yang menunjukkan trend membaik. Pertumbuhan ekonomi sejak tahun
118
2001 terus meningkat dari 3,83 persen di 2001 ke 4, 38 persen di 2002 kemudian
ke 4,88 persen di 2003 seperti ditunjukkan oleh pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB adalah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di
suatu negara dalam suatu periode tertentu). Pertumbuhan PDB pada tahun 2002
mencapai 4,38 persen, 2003 4,88 persen, hingga 2005 menjadi 5,5 persen (The
Indonesia Institute, 2005: 4-5).
Perekonomian Indonesia juga ditandai oleh tingginya tingkat inflasi
(inflasi adalah indikator yang dapat memberikan informasi tentang dinamika
perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat). Meskipun
inflasi dapat ditekan pada tingkat yang terkendali, menurun dari rata-rata 13,6
persen dari tahun sebelumnya ke 5,06 persen antara 2002 dan 2003, dan berada
pada 6,4 persen di 2004. Namun kecenderung meningkat pada tahun berikutnya
hingga pada tingkat rata-rata 17,11 persen pada tahun 2005. Tekanan inflasi tahun
2005 berlanjut di tahun 2006 sebagai akibat kenaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) di kuartal keempat 2005. Tingginya angka inflasi mengakibatkan suku
bunga kredit perbankan sulit untuk turun, artinya pengucuran kredit perbankan
akan semakin berjalan tersendat-sendat, dan pada sektor usaha akan semakin
terbeban oleh peningkatan suku bunga. Selain laju inflasi, patokan pemerintah
tentang nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.300 per dolar AS sering meleset. Di tahun
2002 nilai tukar rupiah berada pada level rata-rata Rp. 9.318/dolar As dan
menguat ke level Rp. 8.572/dolar AS di tahun 2003 (The Indonesian Institute,
2005: 5-6).
119
Sedangkan, kenaikan harga BBM di dalam negeri sebagai akibat kenaikan
harga minyak di pasar internasional dimana harga minyak mentah OPEC tahunan
menunjukan peningkatan dari tahun 2002 berada pada harga 24.36 dolar AS
menjadi 61.56 dolar AS di tahun 2006, berdampak sangat luas dan besar.
Kenaikan harga BBM akan memaksa naiknya tarif dasar listrik (TDL) dan biaya
transportasi hingga berimbas kepada kenaikan harga hampir semua barang.
Meskipun demikian, pemerintah akhirnya menaikan harga BBM sebesar rata-rata
dari 100 persen pada triwulan terakhir tahun 2005, sehingga lonjakan harga BBM
diikuti kenaikan harga produksi yang menyebabkan melonjaknya angka inflasi
seperti yang telah dipaparkan diatas (The Indonesian Institute, 2006: 15-19).
Namun demikian, pertumbuhan sektor industri manufaktur di Indonesia
2001-2006 menunjukkan tren yang secara umum meningkat antara 2,8% hingga
4,63%. Pertumbuhan sektor industri di Indonesia 2005-2006 hanya meningkat
sebesar 4.6%. Meskipun pertumbuhan menunjukkan tren yang baik, sayangnya
belum mencapai target, dimana pemerintah menargetkan industri tumbuh sebesar
8,56% tahun selama 2004-2009.
Angka yang dicapai pada sektor industri manufaktur, tidak demikian terhadap
perusahaan tekstil. Setidaknya 467 perusahaan tekstil, pemintalan, pencelupan,
dan garmen di Jawa-Bali menutup usaha (http://paue.ugm.ac.id/seminar/update
2007/1/mudrajad.ppt). Kuncoro, yang di sampaikan dalam suatu seminar
kebijakan Industri dan Investasi 2007 di Yogyakarta, menganalisis beberapa
permasalahan yang mengakibatkan banyak industri tekstil tidak mampu bertahan,
di antaranya:
120
 Kenaikan harga BBM dan UMK (upah menimum karyawan)
 Banjir impor tekstil dari China dll
 Tak ada peremajaan mesin
 Selundupan
Keempat masalah tersebut menidetifikasikan ketidakmampuan perusahaan
tekstil untuk bertahan (survive) pada masa-masa sulit, yang diikuti ketidaksiapan
pemerintah Indonesia memberantas selundupan yang merugikan produsen tekstil.
Pertumbuhan industri manufaktur dan kolapsnya bebrapa industri tekstil
menunjukkan dinamika perekonomian Indonesia hingga akhir-akhir tahun 2006.
Tabel 3.3
Indikator Ekonomi Indonesia
Sumber: www.bps.go.id, diakses Mei 2008
121
3.3 Gambaran Umum Perdagangan Indonesia
3.3.1 Kondisi Ekspor
Ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan rata 7,82% per tahun.
Peningkatan ekspor ini didukung oleh fasilitas perbankan yang semakin terbuka
dan relatif stabil. Berdasarkan jenis komoditas ekspor, struktur ekspor Indonesia
lebih banyak mengandalkan komoditas primer, hal ini dapat dilihat dari kategori
ekspor berdasarkan komoditas. Dan penopang utama ekspor Indonesia masih
mengandalkan bahan bakar minyak.
Sedangkan, ekspor Indonesia kebanyakan ditujukan ke negara-negara
mitra dagang utama seperti; Asia Tenggara (34,1) terutama Singapura, Thailand,
dan Malaysia; Jepang (14,7%); Uni Eropa (13,5) dan AS (13,9%). Kontribusi
ekspor Indonesia ke negara tujuan utama ini rata-rata tersebut mencapai 84,3%
dari total ekspor Indonesia.
Tabel 3.4
Perkembangan Ekspor Indonesia Tahun 2002-2006 (Nilai: Juta US$)
Ekspor
Tahun
Total
2002
57.154,8
2003
61.058,1
2004 124.962,7
2005
77.536,3
2006* 100,798.6
Sektor
Pertanian Industri Tambang Lainnya
Migas
Non
Migas
12.112,7
13.651,4
15.645,3
17.406,4
21,209.5
45.046,1
47.406,9
55.939,2
60.129,9
79,589.1
2.573,7
2.526,1
2.513,3
2.617,6
38.724,2
40.880,0
48.660,2
50.406,3
3.743,7
3.995,7
4.761,0
7.098,0
4,4
4,7
4,2
8,0
Sumber: Amalia, 2007: 196-198.
*www.bps.go.id, diakses pada 10 Mei 2008.
Sektor
industri
mampu
menjadi
penyumbang
terbesar
dalam
pembentukkan angka ekspor Indonesia, ini terlihat pada jenis komoditas industri
yang sebesar US$ 50.406,3 pada tahun 2005 yang meningkat dari capaian tahun-
122
tahun sebelumnya. Jenis komoditas ekspor laiinya, yang mengalami peningkatan
adalah minyak dan gas, di awal triwulan II 2004 saja, peningkatannya sebesar
1.361 juta $ US meningkat dibandingkat dengan waktu yang sama tahun 2003
sebesar 1.298 juta $ US. Sumbangan pada komoditas lain juga mengalami
peningkatan relatif stabil meskipun kecenderungan komoditas pertanian tidak
mengalami peningkatan yang signifikan jika dilihat dari periode 2002-2006 .
Secara umum ekspor Indonesia mengalami peningkatan sebesar 16,83 % pada
periode Januari 2006 dibandinkan periode yang sama tahun 2005, atau meningkat
dari US$ 4,91 milyar menjadi US$ 5,73 milyar.
3.3.2 Kondisi Impor
Kegiatan impor Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi domestik dan volume ekspor. Fenomena ini merupakan
karakteristik dari suatu negara berkembang yang cukup tinggi ketergantungannya
terhadap fluktuasi ekonomi eksternal. Kinerja impor Indonesia khususnya
nonmigas, secara umum terus mengalami penigkatan pada awal triwulan I tahun
2006 meningkat sebesar 3,89% atau meningkat dari US$ 3,06 milyar menjadi
US$ 3,18 milayar. Di bawah ini ditampilkan perkembangan data impor Indonesia:
123
Tabel 3.3
Perkembangan Impor Indonesia Tahun 2002-2006 (Nilai: Juta US$)
Tahun
Total
2002
31.288,9
2003
23.550,7
2004
46.525,7
2005
52.811,3
2006*
61.065,5
Sumber: Amalia, 2007: 198-199.
Barang
Konsumsi
2.650,4
2.862,8
3.786,5
4.188,0
4,738.2
Impor
B. Baku
Industri
24.227,5
25.496,3
36.204,2
41.139,4
47,171.4
Barang Modal
4.410,9
4.191,6
6.529,7
7.483,9
9,155.9
*www.bps.go.id, diakses pada 10 Mei 2008.
Data mengenai impor Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun sampai dengan tahun 2006 total menigkat sebesar 61.o65,5 juta, meskipun
pada 2003 sempat terjadi penurun. Jika ditinjau dari komoditas yang diimpor nilai
impor bahan baku dan penolong juga menunjukkan peningkatan yang stabil,
penikatan ini juga diikuti dua komoditas lainnya, yaitu barang konsumsi dan
barang modal.
Tingginya nilai impor Indoesia dari tahun ketahun terkait dengan karakter
perekonomian Indonesia yang sedang mendorong pertumbuhan ekonominya
dimana banyak komponen bahan mentah dan penolong yang masih harus diimpor.
Kelangkaan bahan mentah dan penolong akan mengganggu proses produksi
beberapa jenis komoditas di dalam negeri sehingga seiring dengan semakin
tingginya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan diikuti dengan tingginya
nilai impor dari waktu kewaktu. Dan untuk beberapa jenis komoditas ekspor juga
ada sebagian dari komponennya yang msih harus diimpor sehingga aktivitas
impor sangat berpengaruh terhadap laju ekspor nasional. (Yuliadi, 2007: 91).
124
3.3.3 Peluang dan Tantangan Perdagangan Indonesia
Peluang ekspor Indonesia ke manca negara sejak dahulu telah ada dan
bahkan sejak terbentuknya GATT dan WTO mestinya peluang semakin luas
mengingat pelbagai bentuk hambatan di negara-negara anggota WTO telah
diminimalkan. Selain itu, Indonesia memiliki peluang ekspor yang lebih baik
mengingat kekayaan sumber daya alam dan berlimpahnya tenaga kerja yang
dimiliki. Lebih jauh lagi penigkatan ekspor ini telah dilakukan pula dengan
fasilitas perbankan yang semakin terbuka dan relatif stabil.
Peningaktan kinerja ekspor Indonesia selama 2005-2006 terkahir terutama
disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas primer; pertanian dan
pertambangan seperti CPO, karet, minyak, perak dan logam.
Sebagian besar ekspor negara-negara di dunia yang ditujukan ke pasar
utama yaitu AS dan Jepang yakni sekitar 14%-15%. Sementara 20% ekspor China
ditujukan ke AS dan Jepang (Nurhemi, di dalam Arifin, dkk., (eds), 2007: 264).
Sedangkan komoditas ekspo Indonesia di AS dan Jepang, banyak yang sama
dengan negara-negara pesaing dari ASEAN (Association South East Asia) dan hal
ini mengindikasikan makin besar potensi negara-negara tersebut menjadi
kompetitor bagi Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke AS tahun 2003-2005 untuk
komoditas kompetitor semakin turun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pangsa
pasar ekspor barang Indonesia di pasar utama semakin terancam oleh barangbarang China. China memasarkan produk ekspornya rata-tata dalam periode yang
sama dengan Indonesia mencapai 20% ke AS dan 17% ke Jepang. Dan Indonesia
memasarkan masing-masing 14%produk ke AS dan 15% ke Jepang.
125
Di pasar global produk unggulan ekspor Indonesia untuk yang berbasis
sumber daya alam harus bersaing dengan Thailand, Vietnam dan Malaysia.
Sementara itu untuk industri yang berbasis teknologi rendah dan lebih
mengandalkan tenaga kerja harus bersaing dengan China, Thailand dan Vitnam
(Nurhemi, di dalam Arifin, dkk., (eds), 2007: 264).
3.4 Kebijakan Perdagangan Indonesia
Halwani (2005: 340) menjelaskan, bawa kebijakan perdagangan Indonesia
diarahkan pada penciptaan dan pemantapan kerangka landasan perdagangan, yaitu
dengan meningkatkan efisiensi, khususnya dalam hal ini perdagangan luar negeri
dengan tujuan lebih memperlancar arus barang dan jasa, mendorong pembentukan
harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat, mengembangkan ekspor,
memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan dan
memeratakan pendapatan rakyat serta memantapkan stabilitas ekonomi. Untuk itu
dalam menetapkan kebijakan perdagangan perlu dikaitkan dengan pola
pembangunan secara komperehensif, seperti kebijakan perdagangan yang terkait
dengan pola industrialisasi yang dipilih serta kebijakan yang mendorong investasi,
sehingga dapat secara optimal mendorong pertumbuhan ekonomi (Nurhemi, di
dalam Arifin, dkk., (eds), 2007: 252), terutama tercapainya tujuan-tujuan yang
dikemukakan Halwani tersebut.
Kebijakan perdagangan Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke
waktu dan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dan kebijakan
penguasa pada masanya. Indonesia terus melakukan reformasi di bidang
perdagangan sejak tahun 1960-an. Nurhemi (2007 menyebutkan kebijakan yang
126
ditempuh lebih bersifat reaktif dan parsial, belum menyentuh pada persoalan
struktural seperti meningkatkan daya saing, pengembangan infrastruktur dan
pengembangan persaingan yang sehat serta belum memiliki arah jangka panjang
(Nurhemi, di dalam Arifin, dkk., (eds), 2007: 252-254).
Kebijakan perdagangan yang diterapkan pada pada tahun 1970-an hanya
berfokus pada substitusi impor yang bersifat inward looking, dengan
mengandalkan ekspor minyak dan gas dalam perdagangan luar negeri Indonesia.
Pemerintah kemudian melakukan Kebijakan reformasi di bidang perdagangan dan
investasi yang dimulai dengan stabilisasi ekonomi makro yakni pengetatan fiskal
dan devaluasi (devaluasi diartikan sebagai pengurangan jumlah kesatuan mata
uang asing yang dapat dicapai dengan sebuah kesatuan mata uang negara sendiri
(Winardi, 1998: 166). Devaluasi Rupiah sebesar 27,5 % (1983) dilakukakan untuk
menggenjot ekspor dan memperbaiki posisi neraca pembayaran. Kebijakan
pengetatan fiskal dilakukan dengan mengurangi subsidi minyak, sektor pertanian
dan BUMN. Pada tahun 1986 pemerintah kembali melakukan devaluasi Rupiah
serta reformasi perdagangan lainnya. Langkah devaluasi Rupiah ditujukan untuk
mendorong ekspor non migas. Selanjutnya, pemerintah mengalihkan orientasi
kebijakan dari “dual track” yakni mengembangkan kebijakan yang berorientasi
ekspor dan dalam waktu yang sama juga melakukan kebijakan substitusi impor,
menjadi single track
yaitu kebijakan yang berorientasi ekspor. Langkah
selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi kesempatan bagi
perusahaan yang berorientasi ekspor untuk membeli barang input baik melalui
impor atau domestik dengan harga internasional untuk mendorong promosi ekspor
127
terutama di sektor mamnufaktur (Nurhemi, di dalam Arifin, dkk., (eds), 2007:
254-256).
Sedangkan pada saat perdagangan lebih terbuka di era globalisasi,
kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi globalisasipun menurut
Nurhemi (2007), lebih kepada penilaian obyektif apa yang akan diperoleh oleh
negara-negara Asia Timur lain bukan karena pertimbangan ideologis. Ia
melanjutkan, keadaan ini membuat Indonesia dalam situasi yang gamang
menghadapi globalisasi perdagangan, tidak saja karena banyak kritik yang harus
tetap mempertahankan rasa nasionalisme tapi juga rasa takut tertinggal dari
negara-negara tetangga lainnya. McGuire (2004) juga berpendapat bahwa
kebijakan perdagangan Indonesia sifatnya sangat reaksioner dan bukan kebijakan
yang berkelanjutan. Ia menelusuri argumnenya melalui gejolak perdagangan
Indonesia yang menempatkan nilai penting perdagangan sebagai sumber utama
pertumbuhan yang terlihat pada peningkatan perdagangan dalam persentase PDB.
Meskipun menggunakan perdagangan sebagai sumber pertumbuhan yang penting,
Indonesia telah menangkap isyarat dari perkembangan di luar negeri untuk
melakukan reformasi seperti ketika anjloknya penjualan minyak bumi di awal
1980-an telah mengarah kepada strategi substitusi impor karena Indonesia
bergantung pada penghasilan dari minyak bumi untuk membiayai pembangunan
perekonomiannya. Hingga krisis keuangan Asia pada 1997 telah menyebabkan
liberalisasi perdagangan secara signifikan melalui program IMF yang berupaya
untuk menghapuskan struktur-struktur pasar yang kaku di Indonesia (McGuiere,
2004: 5), dan langkah ini merupakan salah satu kebijakan yang di anggap terlalu
128
tergesa-gesa dengan dilakukannya liberalisasi terhadap sektor-sektor yang sensitif
yang seharusnya mendapat perlindungan.
Juga terlihat pada upaya pemerintah menyikapi perkembangan ekonomi
internasional dengan melakukan srategi globalisasi melalui deregulasi kebijakan
untuk mengundang investasi ke Indonesia yaitu dikeluarkannya paket Juni 1991
mengenai reformasi di bidang perdagangan dan investasi dan dilanjutkan dengan
paket-paket yang terus di keluarkan hingga Juni 1996. Reformasi ini mengurangi
kebijakan non tariff baries dan menggantinya dengan tarif dan pajak ekspor,
pengurangan tarif untuk komoditas tertentu (Nurhemi, di dalam Arifin, dkk.,
(eds), 2007: 254-257).
3.4.1 Perkembangan Kebijakan Perdagangan Indonesia
Indonesia lebih dulu mengalami perubahan perdagangan yang terjadi pada
tahun 1985 ketika harga minyak jatuh dan perhatian terhadap ekonomi yang tinggi
mengakibatkan pemerintahan Soeharto menurunkan tarif hingga 60 persen dan
mengurangi beberapa tarif yang terukur dari 25 sampai 11. Perubahan ini juga
mengkonversi beberapa izin impor, yang mana mencakup 43 persen dari tarif
yang termasuk padanan tarif (Pusat Strategi dan Studi Internasional, 2000). Pada
resesi tahun 1985 dan kolapsnya harga minyak pada tahun 1986 membuat
perubahan perdagangan secara agresif, yang mengurangi harga tarif dasar dari 27
persen pada tahun 1986 sampai 20 persen pada tahun 199. Perubahan lain
menghapuskan
monopoli
impor
untuk
plastik,
baja
dan
kapas,
dan
memperkenalkan sistem kuota yang lebih transparan untuk tekstil. Pada tahun
1990, pemerintah juga mengurangi barang non-tarif untuk impor elektronik dan
129
memindahkan impor baja, sheets dan timah. Perubahan ini secara underpinned
membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih cepat pada tahun 1980 dan 1990.
Bagaimanapun, pada awal 1990, liberalisasi perdagangan sangat lambat
dan tarif dasar tidak dihargai. Tarif propylene dan ethylene meningkat dan mobil
nasional, Timor, dengan membuat pengecualian pengenaan pajak domestik
mewah sebesar 35 persen dan dilindungi oleh non-tarif yang lebar dan tarif
barang. Perkembangan ini menimbulkan keraguan tekad pemerintahan Soeharto
untuk melanjutkan perubahan perdagangan.
Pada pertengahan tahun 1990, mengenai saldo perdagangan eksternal
Indonesia yang buruk pemerintah menghimbau liberalisasi diperbaharui dan tarif
dasar rata-rata. Di tahun 1995, pemerintah pertama kali melakukan jadwal
pengurangan tarif, hal ini untuk mengantisipasi tarif dasar maksimum 10 persen di
tahun 2003, tidak termasuk produk yang berhubungan dengan permobilan, dan
tarif pada materi yang terjerumus antara 0 dan 5 persen. Paket ini pada
hakekatnya mengurangi barang non-tarif; di tahun 1995, tarif mencakup 65 persen
setiap barang.
Pada bulan Juli 1997, sejalan dengan pengumuman secara sepihak dan
adanya pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, dan komitmen APEC,
pemerintah mengurangi lagi tarif pada 1600 barang, menurunkan tarif dasar
sebesar 11,7 persen. Di atas 50 persen dari kode tarif Indonesia berada dalam
cakupan 0 sampai 5 persen, dan 60 persen berada di kisaran 10 persen atau lebih.
Pemerintah juga memindahkan rangkaian barang non-tarif, mencakup barang
yang digunakan atau impor.
130
Merespon dari krisis keuangan, kebijakan perdagangan diarahkan untuk
mempercepat iklim usaha melalui, terutama menghapuskan barang non-tarif atas
produk pertanian dan kebijakan untuk melindungi mobil nasional. Namun, Rupiah
secara dramatis mengalami penyusutan sebesar 80 persen pada pertengahan tahun
1998 yang membuat produk Indonesia sangat kompetitif pada harga dunia,
banyak hambatan perdagangan menjadi berlebihan. Ketika Rupiah tidak mungkin
menguat kembali dengan cepat, krisis memberikan kesempatan untuk
memindahkan perdagangannya. Indonesia saat ini sedang bergerak ke arah
liberalisasi perdagangan dengan menghapus pelbagai hambatan perdagangan
namun berhati-hati untuk meliberalisasi sektor-sektor sensitif.
Tabel 3.4
Perkembangan Kebijakan Perdagangan Indonesia
Periode
1948-1966
1967-1973
1974-1981
Kebijakan
Ekonomi nasionalis; nasionalisasi perusahaan Belanda
Sedikit liberalisasi perdagangan
Substitusi impor, booming komoditas primer dan
minyak
Liberalisasi perdagangan perdagangan dan orientasi
1986-Sekarang
ekspor
Sumber: Nurhemi, di dalam Arifin, dkk., (eds), 2007: 256.
3.4.2 Regulasi Pemerintah Berkenaan Liberalisasi Perdagangan
Arah dan komitmen kebijakan perdagangan Indonesia tetap fokus pada
upaya untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Untuk komitmen di WTO,
Indonesia tetap pada pendirian sebagaimana dituangkan dalam UU No. 7 Tahun
1994 untuk memajukan kebijakan multilateralisme di bidang perdagangan.
131
Perundingan-perundingan yang sampai saat ini masih berlangsung tetap
mendasarkan diri pada prinsip multilateralism.
Kebijakan
Indonesia
dalam
upaya
meliberalisasi
perdagangannya
diantaranya dapat ditemui pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 381/Kmk.01/2003 Tanggal 3 September 2003 tentang pemberian
pembebasan bea masuk atas impor bahan baku/komponen untuk pembuatan
peralatan dan jaringan telekomunikasi oleh industri manufaktur telekomunikasi.
Keputusan tersebut memberikan pembebasan bea masuk sehingga tarif akhir bea
masuknya menjadi 0% (nol persen).
Secara umum kebijakan Indonesia untuk meliberalisasi perdagangannya di
keluarkan melalui beberapa paket kebijakan pemerintah, diantaranya paket
kebijakan mengenai disahkannya pembentukan timkoordinasi peningkatan
kelancaran arus barang ekspor dan impor. Pada 2005 paket kebijakan yang
memuat diantaranya disahkannya tim nasional peningkatan ekspor dan
peningkatan investasi melalui Keputusan Presiden Keppres 87 (Rinaldy,
2006:194-195).
132
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Proses Liberalisasi Perdagangan WTO (World Trade Organization)
Pada saat berakhirnya perang dunia kedua, bangsa-bangsa tidak hanya
berencana untuk mewujudkan perdamaian melainkan juga untuk menciptakan
stabilitas ekonomi. Hubungan antara perang dengan kehancuran perdagangan
internasional pada tahun 1930 telah diakui (Telah diakui bahwa kehancuran
perdagangan global pada tahun 1930 adalah disebabkan oleh perang), juga
berakibat pada pincangnya kebijakan-kebijakan ekonomi dalam negeri. Para ahli
ekonomi berpendapat bahwa perdagangan bebas akan menjamin penggunaan
sumber daya yang paling efisien dalam suatu negara dan dunia. Sistem liberalisasi
(kebebasan) dalam perdagangan global berdasar pada non diskriminasi dan
penghapusan halangan dalam perdagangan global dipandang sebagai esensi dalam
perekonomian dunia yang baik. Pada tahun 1994, bagaimanapun perekonomian
multirateral dan hukum perdagangan hampir tidak hidup atau berjalan dan
mengutamakan perencanaan untuk mengeluarkan negara-negara besar seperti
Amerika Serikat dari perdagangan di kerajaan kolonial Inggris dan Perancis.
Kesepakatan di bidang perdagangan sebagian besar berbentuk perjanjian bilateral
FCN, yang dinegosiasikan untuk melindungi investasi asing dan perdagangan dan
untuk memberikan penjaminan. Hal ini menjelaskan bahwa kesepakatan
internasional adalah penting untuk membangun atau membentuk hukum sebagai
133
alat untuk dapat mengimplementasikan teori perdagangan bebas.
Dalam negosiasi WTO, negara-negara anggota sepakat untuk melakukan
liberalisasi perdagangan jasa di bawah kerangka General Agreement on Trade in
Services (GATS), yang di yakini mendukung mendorong kenaikan efisiensi dan
kesejahteraan nasional, karena prinsip utama dalam GATS adalah prinsip nondiskriminasi MFN (mutlak) bahwa setiap komoditi jasa atau penyedia jasa dari
suatu negara anggota tidak diperlakukan berbeda dengan komoditi jasa dan
penyedia jasa asing lainnya. Liberalisasi perdagangan jasa regional dilakukan oleh
kerjasama Canada United State Free Trade Agreement (CUSFTA), Australia New Zealand Closer Economic Relation (CER), European Economic Community
(EEC), North-American Free Trade Agreement (NAFTA), United States - Israel
Free Trade Area, dan MERCOSUR pasar bersama yang melibatkan Argentina,
Brazil, Uruguay, dan Paraguay. Liberalisasi tersebut pada umumnya melibatkan
negara maju atau memiliki budaya, sosial politik, dan kesetaraan perkembangan
ekonominya (Arifin, dkk., 2007: 63-66).
Persidangan yang dilakukan para menteri anggota WTO memberi indikasi
bahwa setiap isu yang dibahas adalah mengupayakan kesepakatan untuk
memenuhi kepentingan masing-masing negara di bawah kelompok-kelompok atau
aliansi yang mewarnai proses perundingan di WTO sekaligus mengupayakan
tujuan utama yaitu meliberalisasi perdagangan mereka sesuai skema WTO. hal ini
tampak pada tabel 4.1 dimana hasil persidangan yang diselenggarakan merupakan
semua keputusan di bawah kerangka multilateral.
134
Tabel 4.1
Persidangan Para Menteri Anggota WTO
Tahun
Tempat Sidang
Desember 1996
Singapura
Desember 1998
Jenewa
Desember 1999
Seattle
November 2001
Doha
September 2003
Cancun, Meksiko
Sumber: Deperindag Multilateral (2003:13).
Output
Semua keputusan di
bawah kerangka
Persetujuan perdagangan
multilateral
4.1.1 Kaitan Proses Liberalisasi Perdagangan General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) dengan WTO
Berdasarkan pengelompokan subsitusi perundinga tersebut disepakati
upaya pengembangan institusi GATT yang membawa perubahan besar bagi
organisasi perdagangan dunia yaitu dengan membentuk WTO. Dari Tabel 3.1 juga
dapat diketahui bahwa kedudukan WTO juga memayungi perjanjian-perjajian
baru yang dicapai yakni bidang jasa, hak kekayaan intelektual, dan investasi.
Upaya untuk meliberalisasi perdagangan tercermin pada pembahsan yang dibahas
yang semula hanya menyangkut tarif dan meluas mengikutii perkembangan isu
yang dibahas. Artinya liberalisasi yang ingin dicapai masih terus berlangsung.
Sehingga peranan GATT menjadi penting dalam pembentukan WTO dalam
mendorong liberalisasi perdagangan dunia yang dilakukan dengan cara
meminimalkan hambatan-hambatan perdagangan (trade barries).
135
4.1.2 Upaya Liberalsiasi Perdagangan WTO melalui Perundingan dan
Persetujuan
Berdasarkan tabel 3.1 dan 3.2 di atas dapat diilustrasikan bahwa
perundingan dan persetujuan yang disepakti dalam GATT saling berhubungan,
dan dikembangkan dalam perjanjian WTO. Dimana tambahan terhadap
perjanjian-perjanjian di atas yakni antara lain adalah dari Putaran Kementrian
Uruguay, keputusan dan pernyataan-pernyataan yang diambil dari komite
perundingan perdagangan, jasa, perjanjian informasi tekhnologi, lingkungan
hidup, jadwal negara tentang tanggung jawab terhadap barang-barang, Pelayanan
dan Pencegahan terhadap negara-negara berkembang.
Perjanjian
WTO
mewajibkan
semua
anggota
menerima
seluruh
persetujuan dan perbuatan dari Putaran Uruguay dengan beberapa pengecualian.
Perbuatan tunggal yang telah diambil memberikan kejelasan dan kesederhanaan
pada jaringan awal hubungan hukum dibawah GATT 1947. Sehingga diketahui
upaya liberalisasi perdagangan melalui putaran-putaran perundingan diwujudkan
pada bentuk perjanjian-perjanjian berkemaan aturan-aturan yang mengarah
kepada upaya meminimalkan hambatan perdagangan.
4.2 Pengaruh Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Global World Trade
Organization (WTO) Terhadap Kebijakan Liberalisasi Perdagangan
Global Indonesia
4.2.1 Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Gobal WTO
Kebijakan liberalisasi perdagangan global dalam kerangka WTO,
merupakan kebijakan perdagangan global yang ditetapkan dari hasil perundingan-
136
perundingan dan perjanjian-perjanjian anggota WTO dalam mekanisme
liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan hak kekayaan Intelektual (TRIPs) yang
mengglobal.
4.2.1.1 Prisip-Prinsip Dasar Sistem Kebijakan Liberalisasi Perdagangan
Global WTO
Dalam sistem perdagangan WTO terdapat banyak kebijakan melalui
perjanjian yang harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap negara anggota, mengingat
perjanjian perdagangan WTO bersifat mengikat secara hukum (Legally Binding),
dan keputusan yang dihasilkan WTO bersifat tidak dapat ditarik kembali
(Irreversible). Dalam Perjanjian dan keputusan WTO ditetapkan sebagai
kebijakan liberalisasi perdagangan global yang meyangkut kebijakan dalam
bidang perdagangan barang (GATT), Jasa (GATS) dan hak kekayaan Intelektul
(TRIPs) serta kesepakatan mengenai aturan dan prosedur penyelesaian sengketa
dan mekanisme peninjauan kebijakan perdagangan (Arifin. dkk., 2007: 82-90).
Persetujuan kebijakan liberalisasi perdagangan WTO yang menyangkut
perdagangan barang, jasa dan kepemilikan Intelektual memiliki struktur yang
sedikit banyak serupa meskipun perinciannya berbeda, seperti dalam tabel 4.3
dibawah ini:
137
Tabel 4.2
Struktur Dasar Persetujuan Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Global
World Trade Organization (WTO)
Prisip dasar
Barang
Jasa
GATT
GATS
Persetujuan
Tambahan
mengenai
secara Rinci barang dan
Annex
Skedul
Komitmen
Komitmen
NegaraAksses
negara
Pasar
Anggota
WTO
Kepemilikan
Intelektual
Sengketa
/TRIPs
Penyelesaian
TRIPs
Sengketa
Annex
Bidang Jasa
Skedul
Komitmen
Negaranegara
(kecuali
terhadap
MFN)
Sumber: Deperindag Multilateral (2003: 20).
Terdapat 5 prinsip, yang dikemukakan Kennedy (2005) yang disadur oleh
Setiawan dan Amier, di dalam Arifin, dkk., (2007: 82-90) mengenai perjanjian
yang diatur WTO sebagai kebijakan liberlisasi perdagangan global yang
merupakan struktur dari GATT 1994 dan diambilalih oleh WTO yakni:
1. Most Favoured Nation (MFN)
2. Tariff Binding (Pengikatan Tarif)
3. The Nataion Treatment
4. Penghapusan Kuota
5. Transparansi
Prinsip Most Favoured Nation
Prinsip most favoured nation (MFN) ini termuat di dalam pasal I GATT.
Prinsip ini merupakan prinsip utama dalam GATT yang mengatur perdagangan
138
barang. MFN juga menjadi prioritas dalam Persetujuan Perdagangan Bidang Jasa
(General Agreement on Tariff in Services/GATS) dan Persetujuan Perdagangan
yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights/TRIPs).
Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus
dilaksanakan atas dasar nondiskriminasi. Menurut prinsip ini, semua negara
anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama
dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biayabiaya lainnya. MFN atau prinsip nomdiskriminasi meletakkan kewajiban yang
juga diberlakukan terhadap bea masuk dan sejenisnya yang terkait dengan
kegiatan ekspor-impor. Prinsip ini berlaku pula terhadap aturan-aturan dalam
negeri suatu negara mengenai perpajakan dan bea masuk lainnya.
Namun demikian ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.
Beberapa pengecualian diperbolehkan, seperti negara-negara anggota dapat
membentuk persetujuan perdagangan bebas dimana tidak berlaku untuk barangbarang dari luar kelompok ini. Sebuah negara dapat mengenakan hambatan
terhadap produk-produk negara tertentu yang dinilai tidak adil (fair) dalam
melakukan perdagangan.
Pada bidang jasa, sebuah negara diperbolehkan melakukan diskriminasi
dalam batas-batas tertentu. Pengecualian ini hanya diijinkan untuk kondisi tertentu
saja. Secara umum MFN diartikan bahwa setiap kali suatu negara mengurangi
hambatan perdagangan dan membuka pasarnya, maka negara tersebut harus
139
melakukan hak yang sama terhadap negara mitranya, baik negara itu kaya atau
miskin, lemah atau kuat.
Tariff Binding
Pengenaan tarif terhadap barang impor tidak secara khusus dilarang oleh
perjanjian GATT. Menurut prinsip ini masing-masing negara dapat melakukan
penurunan tarif dan masing-masing negara mengikat diri untuk memberikan
konsesi tarif berdasarkan hasil negosiasi tarif secara multilateral. Apabila
berdasarkan hasil negosiasi tersebut telah dilakukan konsesi tertentu atas tarif
impor maka tarif produk yang telah menjadi komitmen suatu negara anggota tidak
boleh melebihi level tarif yang telah menjadi komitmennya. Namun, bila negara
importir mengenakan tarif lebih besar dari level tarif yang menjadi komitmennya
maka partner dagang yang melakukan ekspor ke negara tersebut berhak
memperoleh kompensasi. Apabila kompensasi ini tidak diperoleh maka negara
anggota yang dirugikan dapat melakukan pembalasan (retalisasi) dengan
menaikan tarif atas barang-barang tertentu yang menjadi kepentingan eksportir.
Tidak diperkenankan terjadinya diskriminasi pengenaan tarif di dalam
negeri (Artikel III) dan dalam prinsip ini juga melarang pengenaan tarif yang
berlebihan terkait dengan prosedur pabean (Artikel VII).
Prinsip National Treatment
Prinisp ini terdapat dalam pasal III GATT, pasal XVII GATS, dan pasal III
TRIPs. Menurut prinsip Perlakuan Nasional ini, produk dari suatu negara yang
diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk
dalam negeri (produk lokal). Perlakuan Nasional yang meliputi bidang barang,
140
jasa, merek, paten, dan hak kekayaan intelektual tersebut diterapkan pada saat
suatu produk memasuki pasar domestik. Namun demikian, pengenaan bea masuk
terhadap barang impor bukan merupakan pelanggaran terhadap perlakuan
nasional, bahkan jika produk-produk lokal tidak dikenakan pajak yang setara.
Prinsip ini pada dasarnya juga untuk melengkapi prinsip MFN mengingat
untuk mencapai liberalisasi perdagangan tidak dapat dicapai hanya dengan
pengurangan tarif tetapi juga harus terdapat perlakuan yang sama kepada produk
impor di pasar domestik.
Penghapusan Kuota
Prinsip keempat WTO adalah mengurangi hambatan kuota atas impor dan
ekspor. Pertimbangan pengaturan prinsip ini dimaksudkan untuk mencegah
kurangnya transparansi dalam pengaturan bea masuk dan distorsi harga yang
disebabkan tidak berlakunya hukum penawaran dan permintaan (Kennedy (2005),
yang dikutip Setiawan dan Amier, di dalam Arifin, dkk., 2007: 86). Yang
dimaksud hambatan kuota termasuk persyaratan ijin impor dan ekspor serta
kebijakan lain atas impor barang yang akan masuk ke dalam maupun ke luar
wilayah negara anggota.
Terdapat pengecualian atas prinsip tersebut yakni apabila penerapan kuota
tersebut dimaksudkan dalam rangka program stabilisasi pasar terkait produk
pertanian, permasalahan neraca pembayaran, dan alokasi kuota sebagai berikut:
a. Program satabilisasi pasar terkait produk pertanian
Pengecualian dalam rangka program stabilisasi pasar terkait dengan produk
pertanian dan produk perikanan meiliputi:
141
i.
Larangan ekspor dan pembatasan yang berlaku sementara dengan tujuan untuk
melindungi kekurangan bahan pangan yang penting bagi negara pengekspor;
ii. Larangan ekspor dan impor serta pembatasan yang diperlukan dalam rangka
memenuhi standar atau aturan klasifikasi, kualitas dan pemasaran produk tersebut
di pasar internasional dan;
iii. Dalam rangka penerapan kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan cara;
membatasi pasar atau produk barang sejenis atau yang secara langsung dapat
menggantikan produk domestik, mengembalikan sementara surplus dari produk
serupa atau menjadi substitusi produk domestik dengan harga di bawah pasar atau
secara gratis, membatasi produk yang berasal dari hewan dimana produk tersebut
di dalam negeri sangat terbatas.
b. Neraca Pembayaran
Pembatasan kuota oleh setiap negara anggota WTO dapat dilakukan pula
apabila hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah atau mengatasi semakin
berkurangnya cadangan devisa atau dalam rangka meningkatkan cadangan devisa
jika cadangan yang tercatat diangggap terlalu rendah. Khusus untuk negara
berkembang
terdapat
pengaturan
yang
secara
khusus
memperbolehkan
pembatasan impor dengan tujuan untuk menjamin cadangan devisa pada level
yang dianggap cukup untuk melaksanakan program pembangunan.
Dalam melaksanakan kebijakan pembatasan impor untuk keperluan neraca
pembayaran, tindakan negara anggota sangat dibatasi sehingga hanya dapat
dipergunakan dengan tujuan untuk menjaga level umum impor dan tidak boleh
melebihi dari yang diperlukan untuk menyelamatkan neraca pembayaran. Dalam
142
hal ini kebijakan harga yang digunakan untuk mengatasi permasalahan neraca
pembayaran dipandang tidak cukup maka negara baru dapat menggunakan
pembatasan impor melalui pembatasan kuota.
Negara anggota WTO sebelum menerapkan kebijakan pembatasan impor
harus melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Komite Pembatsan Nerca
Pembayaran dan mengumumkan batas waktu kapan penghentian kebijakan akan
dilaksanakan. Untuk keperluan transparansi maka negara yang melakukan
konsultasi dalam rangka permsalahan neraca pembayaran harus memberikan
informasi tertulis mengenai (i) gambaran kondisi neraca pembayaran, (ii)
penjelasan lengkap pembatasan neraca pembayaran, (iii) kebijakan yang telah
diterapkan sejak konsultasi terakhir untuk meliberalisasi impor dan; (iv) rencana
mengurangi dan menghapus pembatasan yang diterapkan.
c. Alokasi Kuota
Apabila kebijakan alokasi kuota berdasarkan syarat-syarat yang di tetapkan,
dapat dipertimbangkan untuk digunakan, maka penerapan kebijakan tersebut
harus dilakukan tanpa diskriminasi. Dalam menentukan alokasi kuota tersebut
maka artikel XIII: 2 mengatur agar besarnya kuota tidak diterapkan. Dengan
demikian, semakin besar peranan negara pengekspor dalam perdagangan dengan
negara pengimpor maka semakin besar pula alokasi kuota yang diberikan negara
pengimpor kepada negara pengekspor tersebut.
143
Prinsip Transparancy
Prinsip transparansi merupakan prinsip yang juga berperan cukup penting
sebagaimana halnya prinsip MFN atau National Treatment. Bahkan prinsip ini
menjadi prinsip penting dalam Perjanjian WTO dan pelbagai perjanjian
multilateral lainnya.
Negara-negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan
terhadap pelbagai kebijakan perdagangannya, sehingga memudahkan para pelaku
usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. Untuk mendukung prinsip ini,
negara anggota diharapkan untuk menotifikasi segala kebijakan yang terkait
dengan perdagangan barang, jasa, dan kekayaan intelektual.
4.2.1.2 Ruang Lingkup Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Global WTO
dalam Aspek Perjanjian Bidang Perdagangan
Perjanjian yang berkenaan perdagangan barang adalah menyangkut
masalah perluasan akses pasar, bidang yang secara tradisional ditangani oleh
GATT. Beberapa perjanjian dalam aspek perdagangan barang sebagai berikut:
Tarif
Inti dari ketentuan tarif dalam GATT adalah bahwa negara anggota WTO
dalam keadaan normal tidak dapat menaikkan tarif atas produk tertentu
melampaui tingkat yang telah dijadwalkan. Apabila suatu negara ingin
meningkatkan tarif melampaui tingkat tarif yang telah di jadwalkan (bound tariff),
maka harus dilakukan dengan mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Salah
satu prosedur tersebut antara lain dengan pemberitahuan kepada The Council for
Trade in Goods, dan melakukan negosiasi dengan anggota lain yang
144
berkepentingan. Dalam praktek perdagangan internasional, terdapat tiga jenis tarif
yang umumnya digunakan yaitu ad valorem (atas dasar prosentase atas nilai/harga
barang), spesifik (atas dasar kuantitas barang impor), dan gabungan (ad valorem
dan spesifik). Apabila terdapat tarif spesifik biasanya dikonversikan ke dalam tarif
ad valorem.
Setelah Putaran Uruguay tidak ada persetujuan yang secara legal mengikat
negara-negara anggota untuk menurunkan tingkat tarif, tetapi karena disadari
bahwa komitmen mengenai tingkat tarif selain dianggap dapat meningkatkan
prediktabilitas perdagangan, di sisi lain sistem tarifikasi dapat mengurangi distorsi
perdagangan akibat pemberlakuan kebijakan hambatan non tarif. Setelah Putaran
Uruguay terjadi peningkatan daftar binding tarif
yang signifikan (tediri dari
22.500 halaman daftar tarif) sebgai bentuk komitmen negara-negara anggota
dalam kategori barang dan jasa, termasuk komitmen untuk menurunkan tarif atas
barang-barang impor. Dalam beberap kasus, tarif dapat diturunkan menjadi nol
persen(contohnya, tarif 0% dikenakan untuk produk teknologi dan informasi).
Tarif yang mengikat tersebut meningkat secara signifikan dan sekali tarif tersebut
diikat, maka tidak mudah untuk menaikkannya lagi.
Penurunan tarif dilakukan secara betahap, seperti dalam bidang pertanian
kewajiban tarifikasi berdasarkan atas komitmen untuk menurunkan tarif yang
penerapannya dapat dilakukan dalam kurun waktu 6 tahun untuk negara maju dan
10 tahun untuk negara berkembang. Bagi negara negara maju, ditentukana
program penurunan tarif sebesar 36% dan minimal 15% untuk tiap produk atau
145
mata tarif. Bagi negara berkembang ditentukan 24%, dan 10% minimal untuk
setiap mata tarif.
Sedangkan dalam implementasinya, sekitar 40% produk-produk industri
rata-rata mengalami penurunan tarif dari 6,3% sampai dengan 3,8%. Dan produkproduk ekspor negara berkembang yang dikenai tarif di atas 15% di negara-negara
industri proporsinya telah turun dari 9% menjadi 5%.
Subsidi Ekspor
Perjanjian dalam bidang subsidi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
unfair practice. Dengan adanya aturan yang jelas mengenai subsidi dapat
meningkatkan daya saing di antara negara produsen, sehingga dapat
meminimalisir persaingan yang berlebihan akibat adanya subsidi pemerintah.
Memang aturan dalam subsidi ditujukan kepada unfair practice yang dilakukan
pemerintah.
Pengaturan di bidang subsidi dapat mengurangi timbulnya sengketa akibat
persaingan yang tidak sehat melalui “perang subsidi”. Subsidi yang sifatnya
meluas menimbulkan distorsi, apabila barang yang menikmati subsidi semakin
membanjiri pasar internasional maka produsen negara yang tidak memberi subsidi
akan tersingkir. Karena itu negara berkembang mempunyai kepentingan jangka
panjang untuk mencegah agar subsidi ekspor negara maju tidak merebut pasaran
negara berkembang.
Subsidi banyak digunakan pemerintah suatu negara sebagai instrumen
dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, baik dalam rangka pemngembangan
suatu industri maupun untuk meningkatkan daya saing ekspor. Dalam GATT
146
mengenai subsidi terdapat dalam Pasal XVI yang mengatur bentuk-bentuk
langsung yang mempunyai dampak terhadap pola persaingan yang dapat
menimbulkan keadaan yang tidak adil. Dan masalah subsidi ini dianggap
persoalan yang sensitif di bidang pertanian. Oleh karena itu, subsidi di bidang
pertanian dirundingkan dalam forum tersendiri, mengingat kompleknya masalah
yang terkait.
Penerapan subsidi ekspor menentukan keawajiban sebagai berikut:
 Negara maju harus menurunkan 36% dari nilai anggaran subsidi yang
semula diberikan serta menurunkan subsidi sebesar 24% dari seluruh
kuantitas yang diekspor yang memperoleh subsidi ekspor dalam waktu 6
tahun.
 Kewajiban negara berkembang adalah untuk menurunkan kuantitas subsidi
sebesar 14%, dan kewajiban yang berlaku untuk negara maju yakni 21%.
Subsidi Ekspor Pertanian
Persetujuan bidang pertanian melarang negara anggota WTO untuk
menetapkan subsidi ekspor kecuali subsidi tersebut telah dicantumkan secara
spesifik dalam Daftar Komitmen (list of commitments). Jika telah dicantumkan
maka terdapat keharusan untuk mengurangi dana subsidi maupun jumlah ekspor
yang menerima subsidi.
Subsidi ekspor untuk komoditas pertanian primer, seperti subsidi kredit
ekspor, dibatasi sesuai dengan disiplin yang telah ditetapkan. Hampir semua jenis
subsidi ekspor untuk komoditas pertanian dilarang. Empat aspek yang terkait
pembatasan subsidi ekspor; pertama, subsidi ekspor untuk produk spesifik harus
147
dikurangi sesuai dengan komitmen. Kedua, setiap kelebihan pengeluaran
pemerintah untuk keperluan itu harus dibatasi sesuai dengan yang telah disepakati.
Ketiga, subsidi ekspor buat negara berkembang dianggap konsisten dengan SDT
(Special and Differential Treatment/perlakuan khusus). Dan, keempat, subsidi
ekspor selain dari yang masuk dalam komitmen pengurangan, akan tetapi apabila
dilaksanakan di luar itu, maka sebelum suatu negara melakukannya diwajibkan
untuk melaporkannya terlebih dahulu ke WTO (Sawit, 2007: 24).
Kuota
Pada prinspinya kuota merupakan kebijakan yang secara umum dilarang
penggunaannya. Kuota diatur dalam Pasal XI hingga XIV mengenai aturan
restriksi kuantitatif. Dan penggunaan kuota saat ini biasanya digunakan untuk
menghambat ekspor tektil oleh negara maju, namun negara berkembang juga
memakai instumen kuota untuk mengamankan persediaan pangan atau industriindustri sensitif.
Persetujuan di bidang tekstil mengenai kuota menentukan bahwa;
 Akses pasar bagi negara berkembang yang produk ekspornya dibatasi kuota harus
ditingkatkan melalui peningkatan kuota.
 Kuota yang dikenakan terhadap produk-produk tekstil dari negara-negara
berkembang yang ekspornya selama ini dibatasi akan secara bertahap dihapus
kuotanya.
Kuota biasanya digunakan dalam penerapan safeguards. Safeguards
merupakan hak darurat untuk membatasi impor, dapat melalui tarif maupun
pembatasan kuantitatif (kuota), apabila terjadi peningkatan impor yang
148
menimbulkan serious injury terhadap industri domestik. Apabila safeguard
diterapkan dalam bentuk kuota maka yang menerapkan administrasi kuota adalah
negara eksportir. Kuota yang diberlakukan tidak boleh lebih rendah dari tingkat
yang sudah berlaku. Dalam ketentuan safeguards penggunaan kuota harus dengan
cara yang bersifat nondiskriminatif, dan langka pembatasan impor diterapkan
karena adanya peningkatan impor yang tinggi dan mendadak serta menimbulkan
serious injury, selain itu negara yang terkena pembatasan kuantitaif (kuota) harus
diberlakukan kompensasi.
Perjanjian lain mengenai penggunaan kuota adalah tidak boleh mengurangi
jumlah impor di bawah rata-rata per tahun selam tiga tahun berturut-turut, kecuali
ada alasan yang secara jelas diberikan yaitu bahwa tingkat perbedaan tersebut
diperlukan untuk melindungi atau mengatasi kerugian yang serius. Umumnya,
penjatahan kuota harus didasarkan kepada proporsi dari jumlah seluruhnya atau
kepada nilai barang yang diimpor pada suatu kurun waktu yang dianggap
refresentatif. Sedangkan, dalam kondisi normal, suatu anggota WTO dilarang
untuk melakukan pembatasan kuantitatif untuk impor dan ekspor karena
bertentangan
dengan
prinsip
WTO untuk
menghapus
hambatan kuota
(Kartajdoemena, 1998: 155-166).
Pengaturan kuota pada perjanjian mengenai tekstil diatur di dalam
Persetujuan WTO di bidang Tekstil dan Pakaian Jadi (Agreement on Textiles and
Clothing/ATC) yang menggantikan MFA (Multifibre Arrangement), suatu
kerangka kerja perjanjian bilateral atau aksi unilateral yang membentuk sistem
149
kuota impor ke negara-negara yang industrinya sedang menghadapi kerugian
akibat peningkatan impor yang cepat.
Tabel 4.3
Jadwal Liberalisai Produk Tekstil dan Garmen dari Kuota Impor
(dengan jangkan waktu lebih dari 10 tahun)
Prosentase produk yang diintegrasikan
Tahap
dalam GATT (termasuk penghapusan
kuotanya)
Tahap I: 1 Januari 1995
16% (minimum, dengan mengambil tahun 1990
(samapi 31 Desember 1997)
sebagai tahun dasar)
Tahap II: 1 Januari 1998 17%
(samapi 31 Desember 2001)
Tahap III: 1 Januari 2002 18%
(samapi 31 Desember 2004
Tahap IV: 1 Januari 2005 49% (maksimum)
integrasi penuh kedalam
GATT (penghapusan kuota
final) persetujuan bidang
tekstil dan pakai jadi berakhir
Sumber: Deprindag Multilateral, 2003: 25.
4.2.2 Kendala Implementasi Perjanjian Kebijakan Liberalisasi Perdagangan
Global WTO
Hasil dari perundingan dan persetujuan WTO yang menyangkut barang
memiliki struktur dasar/prinsip utama liberalisasi. Di dalam kebijakan yang
disepakati oleh negara-negara anggota WTO terdapat pelbagai komitmen negaranegara untuk membuka pasar dan menurunkan tarif dan hambatan perdagangan
lainnya secara individu. Selain itu dalam perundingan dan perjanjian WTO juga
terdapat ketentuan penyelesaian sengketa antarnegara dan perlakuan khusus dan
berbeda untuk negara-negara berkembang (Deperindag Multilateral, 2003: 20).
Kebijakan liberalisasi perdagangan global WTO mempunyai konsekuensi bagi
150
negara-negara
anggota
untuk
membuat
kebijakan-kebijakan
liberalisasi
perdagangan globalnya yang terbuka, jelas dan berlaku untuk semua anggota
WTO yang melakukan kerjasama perdagangan barang dan jasa yang seimbang
dengan kebijakan-kebijakan perdagangan WTO yang telah disepakati oleh seluruh
anggota WTO.
Beberapa kebijakan liberalisasi perdagangan perjanjian WTO yang
mengalami permasalahan dalam implementasi kebijakan tersebut (Arifin, dkk.,
2007: 147-152), antara lain:
1. Sektor Pertanian
2. Sektor Industri (Non Agricultural Market Acces/NAMA)
3. TRIPs
4. TRIMs
5. Mekanisme “ Special Safeguard / SSG)
Berkenaan implementasi yanng mengalami masalah, peneliti hanya
menjelaskan pada sektor yang menjadi fokus pada penelitian ini, dimana kelima
permasalahan yang diungkapkan di dalam Arifin, dkk., (2007) di atas cukup luas.
Pada bidang pertanian ditemui beberapa permasalahan dalam implementasinya,
selengkapnya sebagai berikut:
Liberalisasi di sektor pertanian bersandar kepada 3 (tiga) pilar yakni akses
pasar, subsidi ekspor dan bantuan subsidi. Implementasi liberalisasi di sektor
pertanian mengalami hambatan terutama berasal dari negara maju yang
disebabkan oleh perjanjian WTO di sektor pertanian masih memperkenankan
negara maju untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan subsidi domestik
151
melalui skema pengalihan dari Amber Box, yaitu subsidi harga yang secara
langsung mendistorsi perdagangan seperti kebijakan untuk mendongkrak atau
mendukung harga yang terkait langsung dengan jumlah produksi, menjadi Green
Box, yaitu subsidi ysng tidak menggunakan dukungan harga. Sementara negara
berkembang yang tidak didukung sumber keuangan yang memadai melakukan
perlindungan sektor pertaniannya melalui pengenaan tarif impor yang justru
berdasarkan perjanjian pertanian WTO harus dipangkas. Bagi petani di Indonesia
pemberian subsidi tersebut menyebabkan petani tidak mampu berkompetisi baik
di level internasional maupun nasional (domestik).
Untuk itu, negara maju perlu membuka akses pertanian dan mengurangi
subsidi, sehingga tidak merugikan daya saing produk pertanian negara
berkembang dan miskin. Batas akhir pemberian subsidi oleh negara maju perlu
ditentukan serta perlu pembatasan jenis produk sensitif yang dapat diproteksi oleh
negara maju.
Selanjutnya untuk melindungi ketahanan pangan dan kesejahteraan para
petani kecil, negara berkembang masih memerlukan dukungan berupa pemberian
fleksibilitas dalam melakukan pemotongan tarif impor, kemudahan untuk
menentukan sendiri jenis produk khusus yang akan diproteksi serta kemudahan
menggunakan
safeguard
mechanism.
Memberikan
mekanisme
safeguard
memungkinkan suatu negara anggota untuk melindungi sektor pertanian dari
serbuan produk pertanian impor. Agar negara berkembang memiliki peluang yang
lebih besar untuk memanfaatkan pengaturan mekanisme safeguard sebagai
152
alternatif untuk melindungi produk pertanian maka kiranya aturan tersebut perlu
ditinjau ulang dengan memberi kemungkinan pendaftaran untuk tarif.
4.2.3 Tinjauan Kebijakan liberalisasi Perdagangan global WTO
Tinjauan kebijakan perdagangan dalam WTO dilakukan oleh badan
Trade Policy Review Body (TPRB) dan difokuskan pada kebijakan dan praktik
perdagangan negara-negara anggota. Intensitas tinjauan kebijakan perdagangan
oleh TPRB didasarkan pada peran dan pengaruh suatu negara dalam share
perdagangan global (Arifin, dkk., 2007: 116-117).
Untuk peninjauan kebijakan perdagangan negara kelompok terbesar yaitu
Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada dilakukan setiap 2 tahun sekali.
Sedangkan 16 negara berikutnya ditinjau kebijakan perdagangannya dilakukan
setiap 4 tahun sekali. Penilaian tinjauan kebijakan perdagangan global tersebut
secara penuh dan rinci mengenai kebijakan dan praktek perdagangan yang
dilakukan, dan perubahan-perubahan kebijakan perdagangan dari negara anggota
WTO yang di review.
4.2.4 Penerapan Prinsip-prinsip Liberalisasi Perdagangan Global WTO
dalam Kebijakan Perdagangan Indonesia
Setelah tidak lagi mengandalkan ekspor minyak yang kemudian beralih
kepada upaya penggenjotan ekspor pada sektor non minyak, pemerintah Indonesia
mulai melakukan pembenahan-pembenahan dengan membuat kebijakan yang
menunjang peningkatan ekspor non migas, seperti pada upaya pemerintah
melakukan kebijakan reformasi di bidang perdagangan dan investasi yang dimulai
153
dengan stabilisasi ekonomi makro yakni pengetatan fiskal dan devaluasi.
Kebijakan ini disebabkan pengalaman Indonesia dengan kondisi ekonomi yang
rentan kepada ketergantungan fluktuasi harga ekspor minyak pada tahun 1970-an,
yang pada tahun 1983 Indonesia benar-benar merasakan dampak dari rentannya
ketergantungan pada ekspor minyak tersebut ketika harga minyak dunia di pasar
internasional anjlok dari USD 28,77 per barel hingga mencapai USD 14,38 per
barel pada 1986, menyebabkan perekonomian Indoesia mengalami krisis, keadaan
ini makin bertambah parah dengan anjloknya harga komoditas primer lainnya.
Disamping itu, ketergantungan perdagangan luar negeri Indonesia pada
minyak menyebabkan sektor manufaktur atau proses industrialisasi menjadi
tertinggal. Sampai dengan akhir tahun 1970-an ekspor barang manufaktur tidak
lebih dari 4% dari total ekspor. Mengandalkan minyak juga menyebabkan
pemerintah Indonesia membuat kebijakan mengalihkan strategi pembangunan
pada kebijakan substitusi impor (Substitusi impor sering dikaitkan dengan
kebijakan proteksi) terhadap kebijakan industri dan perdagangan dengan alasan
untuk melindungi barang-barang produksi dalam negeri (Arifin, dkk., (eds), 2007:
253-254).
Dalam rangka menyikapi perkembangan ekonomi internasional dan
menyadari pentingnya perdagangan sebagai motor penggerak pertumbuhan,
pemerintah melakukan strategi globalisasi dengan melakukan deregulasi
kebijakan untuk mengundang investasi ke Indonesia yang bertujuan mendorong
peningkatan ekspor. Hasilnya pada tahun 1990-an sebelum krisis, aktivitas
investasi baik asing maupun domestik bergulir pesat setelah dikeluarkannya paket
154
Juni 1991 yaitu reformasi di bidang perdagangan dan investasi hingga pada 1996
dengan mengeluarkan paket 1996. Reformasi ini mengurangi kebijakan non tariff
barries dan menggantinya dengan tarif dan pajak ekspor, pengurangan untuk
komoditas tertentu. Sebagai akibatnya rata-rata tarif menurun signifikan dan
ekspor non migas menjadi motor penting penggerak ekonomi. Sementara itu
penurunan tarif bea masuk terus dilakukan dan sejak tahun 1995 sampai dengan
tahun 2003 secara konsisiten dan berkesinambungan telah menghasilkan tingkat
tarif bea masuk yang rendah, sebagai berikut:
 Tingkat tarif rata-rata menurun dari 15,48% pada tahun 1995 menjadi 7,23% pada
tahun 2003;
 Lebih dari separuh (67%) pos tarif tahun 2003 berada pada tingkat 0%-5%.
Tabel 4.4
Komitmen Pengurangan Tarif
Tarif
Sebelum
Mei 1995 1995
5
5
1996
5
1997
5
1998
5
1999
5
10
5
5
5
5
5
15
10
10
5
5
5
20
15
15
10
10
5
20
15
15
10
10
25
25
20
20
15
15
30
30
25
25
20
20
35
30
25
25
20
20
40
Sumber: www.dfat.gov.au/eaau, diakses 4 Juli 2008.
2000
max
5
max
5
max
5
max
5
10
10
15
15
2001
2002
2003
10
10
15
15
10
10
10
10
max 10
max 10
max 10
max 10
155
Tabel 4.4 menjelaskan bahwa, setelah meratifikasi WTO melalui
keputusan Menteri Keuangan No. 378/1996 pemerintah memberikan komitmen
jadwal tarif yang lebih menyeluruh terdiri dari:
a. Tarif sebesar <20% pada tahun 1995 akan diturunkan secara bertahap hingga 5%
pada tahun 2000.
b. Tarif yang >20% pada tahun 1995 akan diturunkan secara bertahap hingga
maksimum 10% pada tahun 2003 dengan sasaranantara 20% pada tahun1998.
c. Berapa produk dikecualikan dari jadwal penurunan tarif impor, yaitu:
 Hasil pertanian yang diatur secara terpisah dalam AoA.
 Beberapa produk otomoti yang akan diatur secara terpisah.
 Produk kimia, barang plastik dan logam yang akan diatur secara terpisah dan tarif
akan diturunkan secara bertahap hingga maksimum 10% pada tahun 2003.
4.2.5 Komitmen Indonesia dalam WTO
Sebagai salah satu anggota WTO, Indonesia berperan aktif mendukung
kebijakan dan aturan perdagangan multilateral yang telah disepakati bersama.
Setiawati dan Amier (2007), menjelaskan forum multilateral seperti WTO bagi
Indonesia merupakan forum perdagangan yang paling adil dan mendapat prioritas
utama di samping forum regional karena melalui prinsip non diskriminasi dalam
WTO, semua negara anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama terlepas
dari kondisi atau kekuatan perekonomian masing-masing negara.
Komitmen yang diberikan oleh Indonesia pada dasarnya merupakan
pembukaan akses pasar (market access) dan perlakuan nasional (national
treatment). Akses pasar di bidang perdagangan barang dicerminkan dalam bentuk
156
besaran tarif dan penghapusan non tariff barriers yang diberikan terhadap produkproduk mitra dagang. Seberapa besar sektor tertentu tersebut dibuka merupakan
hasil kesepakatan dan negosiasi yang berlaku mengikat sama halnya seperti tarif.
Komitmen Indonesia untuk mendukung WTO dipertegas dengan ratifikasi
Agreemen Establishing the WTO melalui UU No.7 tahun 1994. Sebagai
konsekuensi dari hal itu, Indonesia berkewajiban memenuhi atau melaksanakan
komitmen yang telah diberikan dalam rangka menjalankan komitmen tersebut
maka peraturan perdagangan Indonesia harus diselaraskan dengan aturan dan
kesepakatan WTO.
Komitmen Indonesia di bidang
perdagangan barang pada dasarnya
sebelum meratifikasi WTO Indonesia telah melakukan beberapa perubahan dalam
kebijakan tarif dan liberalisasi melalui Paket Deregulasi Juni 1994. Paket
Deregulasi tersebut mencakup antara lain:
a. Pembebasan satu perempat barang impor dari bea masuk.
b. Penghapusan hambatan bukan tarif dalam waktu 10 tahun.
c. Penurunan tarif impor komoditi pertanian sekurang-kurangnya 10% per laju
barang selama 10 tahun.
d. Komitmen liberalisasi di lima sektor yaitu telekomunikasi, jasa industri,
pariwisata, jasa keuangan dan perbankan serta transportasi laut.
Secara rinci komitmen Indonesia dalam menerapkan kebijakan perluasan
akses pasarnya yang ditandai sistem tarif, khusunya pada sektor pertanian dapat
terlihat pada tabel dibawah ini.
157
Tabel 4.5
Tarif Diikat dan Tarif yang Dipakai untuk Beberapa Komoditi
Produk
Tarif yang Diikat (%)
160
Beras
95
Gula
27
Kedelai
40
Jagung
18
Kacang Tanah
40
Gandum
210
Susu/Mentega
50
Daging
40
Rataan Mode
Sumber: Sawit (2005), di dalam Juliantono, 2007: 122.
Tarif yang Dipakai (%)
atau Tarif Spesifik
Rp. 430,Rp. 700,0
0
0
5
5
5
5
Sedangkan dalam implementasi meneganai ketentuan subsidi ekspor
khususnya pada sektor pertanian, berdasarlkan data dan penjelasan Sawit (2005)
yang dikutip oleh Juliantono (2007: 120), Indonesia secara umum tidak lagi
menerapkan subsidi ekspor, karena Indonesia sudah tidak lagi melakukan ekspor,
khusunya komoditi pangan. Namun, ketika kebijakan swasembada pangan hingga
1990, Indonesia pernah melakukan komitmennya untuk melakukan subsidi ekspor
untuk komoditas beras, dengan melakukan ekspor beras bersubsidi rata-rata
299.750 ton dengan nilai subsidi pemerintah sebesar 28 juta dolar AS.
Dukungan domestik yang diberikan pemerintah Indonesia saat ini adalah
alokasi subsidi pupuk melalui subsidi gas untuk pupuk urea dan subsidi harga
untuk pupuk non urea. Pemberlakuan subsidi pupuk sebagaimana yang dijalankan
selama 2000-2006 bukan berari dipulihkannya kebijakan subsidi yang pernah
Indonesia lakukan sebagaimana yang diterapkan sebelum 1998 ketika Indonesia
mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian.
158
Sedangkan sisitem subsidi kali ini melalui subsidi pupuk hanyalah bersifat parsial
dan terarah, oleh karenanya subsidi tidak lagi berupa subsidi harga yang berlaku
secara umum.
Kebijakan dalam rangka dukung domestik yang diterapkan Indonesia
berada di bawah batas minimal yang ditetapkan WTO. Tingkat minimal paling
tinggi yang pernah diterapkan Indonesia adalah 7,3% dan selama 1998-2002 ratarata tingkat minimal hanya sekitar 6%. Hal ini di bawah ketentuan WTO ynag
menetapkan tingkat minimal sebesar 10% untuk negara-negara berkembang
seperti Indonesia.
Mengenai ketentuan kuota, di sini diambil contoh dampak aturan WTO
pada sektor teksti. Selam kurang lebih 20 tahun perdagangan internasional di
bidang tekstil telah dikenakan peraturan menurut perjanjian khusus yang dikenal
sebagai Multi Fibre Arrangement (MFA). MFA merupakan suatu perjanjian yang
secara formal merestui suatu ketentuan yang sifatnya diskriminatif melalui
instrumen utama yang digunakan yaitu kuota untuk melindungi industri domestik,
bukan melalui tarif (Kartadjoemena, 1998: 90). Pada tahun 2005, sektor tekstil
secara penuh diintegrasikan ke dalam aturan WTO yang mengakibatkan
berakhirnya sistem kuota. Dengan terintegrasi secara penuh, maka negara
pengimpor tidak lagi dapat mendiskriminasi para eksportir.
WTO menjadwalkan penghapusan kuota secara penuh terlaksanakan pada
2005, sebagaimana jadwal penghapusan dengan kuota bertahap selama 10 tahun
yang terlihat pada tabel 4.3. Dengan demikian industri tekstil dan produk tekstil
(TPT) di pasar internasional bersaing sangat ketat. Implementasi ketentuan WTO
159
ini juga dilaksanakan oleh Indonesia dengan menyepakati perjanjian di bidang
tekstil, artinya persaiangan TPT Indonesia semakin ketat dengan penghapusan
kuota untuk industri tekstil.
3.1.6 Implementasi Liberalisasi Perdagangan dalam Skema WTO pada
Komitmen Pelaksanaannya dalam Kebijakan Pedagangan Indonesia
Dalam perjanjian WTO memuat peraturan dan komitmen yang terkait
dengan perdagangan. Komitmen Indonesia dalam perjanjian itu, mencakup
implementasi mengenai aturan tarif, subsidi ekspor, dan peratutan lainnya adalah
adalah larangan dan pembatasan ekspor. Dalam perjanjian tersebut negara
berkembang diberikan pelbagai perlakuan khusus yang tersebar di pelbagai
penjanjian yang disepakati. Pada komitmen penurunan tarif, negara berkembang
memperoleh tingkat penurunan tarif yang lebih kecil dan pelaksanaan reformasi
perdagangan lebih lama waktunya. Pada sektor pertanian negara berkembang
mendapat toleransi berkaitan perhatian non perdagangan (non trade concern),
antara lain, ketahanan pangan (food security), lingkungan hidup, dan
pembangunan perdesaan.
Berkaitan dengan komitmen skedul WTO, Indonesia menyatakan besaran
tarif, penurunan tarif kuota untuk sejumlah produk pertanian. Indonesia mencatat
1.341 mata/pos tarif untuk produk pertanian sesuai dengan HS (harmonized
system) 1996 sebagai acuan pada tahun-tahun selanjutnya. Komoditas beras salah
satu diantaranya.
Tabel 4.4 di atas menjelaskan bahwa Indonesia dalam komitmennya di
WTO dan komitmen menurunkan tarif impor pada tahun 2003, dengan tingkat 0,5
160
dan 10 persen untuk semua barang kecuali mobil dan alkohol yang memiliki tarif
yang cukup tinggi hingga 150%, komoditas lain yang tarifnya diikat cukup tinggi
adalah beras (160%), gula (95%), dan susu sebesar 250%. Pemerintah
menganggap semua komoditas itu penting dan strategis, sehingga perlu dilindungi
dengan tingkat tarif yang lebih tinggi. Pemerintah merasa terikat dengan tidak
mengurangi tarif dasar pada beberapa liberalisasi barang sebelumnya, termasuk
mengurangi tarif 15 sampai 25 persen pada besi dan baja sekitar 5 persen sampai
10 persen di tahun 2003. Ini juga berkaitan dengan pengurangan tarif pada bahan
kimia, metal dan produk perikanan yang mencapai 5 sampai 10 persen di tahun
2003.
Pada pertengahan tahun 2000, 60 persen dari tarif mempunyai tarif 0
sampai 5 persen, dan lebih dari 70 persen memiliki tarif 10 persen atau lebih
sedikit, ini mengurangi tarif dasar rata-rata tertimbang modal yang di bawah 9
persen. Saat krisis, pemerintah juga memperluas program untuk mengurangi tarif
pada produk pertanian, ini menurunkan dasar tarif rata-rata tertimbang modal pada
produk agrikultur dari 19 persen di tahun 1995 sampai 8,6 persen di tahun 1998.
Tarif pada produk pertanian terkait dengan makanan yang jatuh pada 0 sampai 5
persen dan tarif pertanian bukan makanan jatuh pada 5 persen dari tingkatan yang
berlaku. Di tahun 2002, tarif maksimum pada produk agrikultur bukan makanan
menjadi 10 persen.
Sedangkan implementasi kuota yang disepakati WTO di Indonesia,
diantaranya kuota dalam bentuk tariff rate quota yaitu beras dan susu. Untuk
beras akses minimum sebesar 70.000 ton dan untuk susu segar impor dibatasi
161
414.700 ton. Khusus untuk susu segar, tarif dalam kuota (in quota tariff) sebesar
40%, sedangkan tarif di luar kuota dapat ditingkatkan menjadi 238%, dan pada
2004 Indonesia berkomitmen menurunkan menjadi 210%. Indonesia berkomitmen
untuk membuka pasar dalam negeri minimal seperti yang telah diuraikan, dengan
tingkat tarif yang lebih rendah.
Sedangkan, pada kasus beras, Indonesia menetapkan tingkat tarif lebih
rendah dalam tarif kuota untuk sejumlah 70 ribu ton beras dengan tingkat in quota
tariff sebesar 90%. Namun boleh dinaikkan sampai mencapai angka 180%
manakala volume impor melebihi atau di luar kuota (out quota tariff), dan
diturunkan menjadi 160% pada tahun 2004. Menaikkan tarif tersebut tidak
menyalahi aturan WTO manakala Indonesia memperbesar akses minimum,
misalnya 1,5 ton juta ton. Tidak untuk sebaliknya ketika impor kurang dari 70
ribu ton.
Pada umumnya negara berkembang termasuk Indonesia menerapkan tarif
lebih rendah dari tingkat tarif yang diikat (bound tariff). Contohnya tarif rata
Bangladesh sebesar 188,3% dalam penerapan mencapai 25%. Bolivia (40%
aplikasinya 10%), Jamaika (bound tariff rata-rata 100% lawan applied tariff
20,2%) dan pada kasus Indonesia tarif yang mengikat rata-rata 48,1% yang ratarata diimplikasikan sebesar 8,6%.
Untuk penerapan subsidi sebagai bantuan pemerintah terhadap eksportir
atau produsen yang melaksanakan ekspor produk tertentu, tidak banyak dilakukan
Indonesia, malah Indonesia melakukan sebaliknya seperti memajaki ekspor CPO
(crude palm oil) untuk pelbagai kepentingan dalam negeri. Meskipun demikian
162
ada beberapa sektor yang disubsidi pemerintah khususnya pertanian, Indonesia
memberi subsidi untuk pupuk urea dalam membantu petani, diharapkan bantuan
tersebut berdampak pada kesejahteraan petani yang mampu bersaing dengan
produk-produk pertanian impor.
4.3 Liberaslisasi Perdagangan WTO Berimplikasi Terhadap Pertumbuhan
Ekspor Inodnesia Melalui Komitmen Indonesia di WTO
Kebijakan perdagangan Indonesia mengalami masa-masa proteksi dan
juga masa liberalisasi. Pada awal 1970-an sampai awal 1980-an, tingkat proteksi
di Indonesia masih cukup tinggi. Reformasi kebijakan terutama terjadi pada tahun
pertengahan dekade 1980-an. Deregulasi yang paling penting adalah pada tahun
1986 ketika harga minyak turun drastis dan memaksa pemerintah untuk
mereformasi kebijakan perdagangannya antara lain dengan menurunkan tingkat
tarif dan mengkonversi beberapa lisensi impor. Kebijakan perdagangan ditujukan
untuk mengurangi ketergantungan terhadap ekspor minyak dan gas dan sasaran
kebijakan difokuskan untuk meningkatkan ekspor non minyak dan gas. Gencarnya
proses liberalisasi perdagangan yang dilakukan tentunya berkaitan dengan tujuan
Indonesia untuk mendapatkan gains from trade yang statis maupun dinamis yaitu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui surplus neraca perdagangan.
Liberalisasi perdagangan berhubungan dengan pembukaan akses pasar produk
ekspor Indonesia ke dunia. Namun, perlu dicatat bahwa terbukanya akses pasar
dunia berlaku juga sebaliknya, dalam arti bahwa pasar domestik Indonesia juga
terbuka bagi produk impor negara lain. Aktivitas ekspor impor tercermin dalam
neraca perdagangan suatu negara. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang
163
berusaha untuk menghilangkan hambatan perdagangan dapat meningkatkan
ekspor namun di lain pihak juga dapat meningkatkan impor. Suatu negara
bertujuan untuk memiliki neraca perdagangan yang surplus atau ekspor lebih
besar daripada impor. Dengan demikian, liberalisasi perdagangan akan
berpengaruh terhadap neraca perdagangan yakni pertumbuhan ekspor dan impor.
Pertumbuhan ekspor dan impor inilah yang menentukan necara perdagangan
surplus atau defisit. Tercatat neraca perdagangan Indonesia tumbuh berturut-turut
sebesar 15% dan 12,97% pada tahun 2005 dan 2006 dimana ekspor non migas
tumbuh sebesar 18,75% dan 19,68% (tabel 3.5).
Secara umum, ekspor Indonesia mengalami perubahan yang signifikan
dalam kurun 2002-2006 seperti terlihat pada tabel 3.5 Jika dahulu ekspor
didominasi produk-produk sarat penggunaan tenaga kerja maka sekarang ke arah
produk yang sarat sumber daya alam dan produk sarat kapital.
Tabel 4.6
Pertumbuhan Struktur Ekspor Indonesia
Sumber: http://www.depdag.go.id/pos hutabarat, diakses pada Mei 2008
164
Pertumbuhan ekspor dan impor beberapa tahun terakhir antara lain
disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor dan harga satuan ekspor beberapa
komoditi ekspor. Berdasarkan kinerja perdagangan yang baik ini, pemerintah
menargetkan pertumbuhan ekspor sebesar 20% di tahun 2007. Selain, itu ekspor
Indonesia terus meningkat beriringan dengan peneerapan tarif serta penghapusan
kuota secara bertahap seperti pada bahasan komitmen Indonesia di WTO yang
telah diuraikan.
Peran
WTO
sebagai
organisasi
yang
mengupayakan
liberalisasi
perdagangan memberi implikasi positif terkadap kebijakan Indonesia untuk
meminimalkan tingkat tarif impor, serta menghapus secara bertahap kuota
impornya dalam kerangka kebijakan liberalisasi perdagangannya, jika dilihat
melalui perkembangan ekspor Indonesia dan mengabaikan tujuan perdagang
sebagai cara untuk meningkatkan lapangan kerja. Meskipun perkembangan ekspor
non migas Indonesia pada periode 2002-2006 cenderung meningkat namun tidak
berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang maksimal. Dalam konteks
penelitian ini pengaruh positif dilihat pada pencapaian ekspor Inodesia yaitu
melalui indikator peningkatan cadangan devisa. Selain sebagai perbandingan
perkembangan ekspor Indonesia cenderung mengalami tren peningkatan setelah
memanfaatkan mekanisme WTO daripada sebelum bergabungnya Indonesia
dengan WTO seperti pada pertumbuhan ekspornon migas Indonesia di bawah ini:
165
Tabel 4.7
Pertumbuhan Nilai Ekspor Beberapa Jenis Barang Utama (persen)
Total Ekspor
Non Migas
1991
24,95
1992
27,67
1992
16,23
1994
12,12
1995
15,13
Sumber: Basri, 2002: 73.
Tahun
Total Ekspor
Manufaktur
26,85
30,17
18,76
10,34
14,11
Komditi Manufaktur
Pakaian Jadi
Alas kaki
38,18
74,56
39,23
33,15
10,09
25,51
-8,09
13,67
5,02
8,83
Jika dibandingakn tren perkembangan ekspor Indonesia pada tabel 3.5
dengan pertumbuhan nilai ekspor tabel 4.7 yaitu sebelum Indonesia melakukan
implementasi harmonisasi tarif, subsidi dan kuota dalam skema, maka dapat
disimpulakan bahwa ada pengaruh positif terhadap kebijakan Indonesia untuk
meliberalisasi Perdagangan dengan menyesuaikan kebijakan perdagangannya
dengan ketentuan WTO hal ini terlihat pada peningkat cadangan devisa sebagi
indikator pengaruh dalam penelitian ini.
4.4 Kebijakan Perdagangan Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi
Perdagangan Global WTO
Berdasarkan uraian mengenai kebijakan perdagangan yang dibuat
Indonesia, serta peluang dan tantangan perdagangan Indonesia dapat dikatakan
bahwa eksistensi produk unggulan perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan guna
meraih peluang pangsa pasar yang lebih luas dan untuk mencapai hal tersebut
tidak sedikit tantangan yang dihadapi Indonesia. Seperti yang terjadi pada sektor
tekstil dan produk tekstil (TPT). Dengan terus meningkatnya ekspor TPT hingga
166
2004 mencapai USD 7.564 juta atau meningkat 1,3% dibandingkan tahun 2003.
Kecenderungan meningkat ini juga tampak pada pencapaian ekspor TPT menjadi
7,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya tahun 2004.
Produsen tekstil Indonesia telah menikmati banyak keuntungan dari
adanya kebijakan pemberian kuota sejak dimasukkannya perjanjian Multi Fibre
Arrangement (MFA) dalam WTO. Dengan menunjukakan peningkatan ekspor
dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan
peluang pangsa pasar yang sebelum adanya perjanjian WTO mengenai kuota TPT
Indonesia sangat sulit bersaing. Artinya dalam beberapa sektor Indonesia cukup
siap untung mengambil manfaat dari liberalisai perdagangan meskipun diiringi
pelbagai kekurangan-kekurangan di sana-sini.
Selain itu, liberalisasi perdagangan yang terjadi berpotensi mematikan
industri dalam negeri. Hal ini disebabkan kalahnya industri dalam negeri
berkompetisi dengan negara yang lebih siap menghadapi negara-negara pesaing.
Hal ini dapat dijelaskan setelah pencapaian produsen tekstil tersebut berubah
menjadi kondisi yang mempengaruhi lapangan pekerjaan Inodesia. Pada Bab III
dijelaskan kondisi ekonomi Inodesia terutama pada tahun 2006, mengalami
kesulitan ketika harga BBM naik, pelbagai produk tekstil, khususnya dari China
membanjiri pasar Indonesia, ditambah permasalahan faktor-faktor teknis
mengakibatkan banyak perusahaan tekstil terutama di Jawa dan Bali terpaksa
“gulung tikar”. Hal ini menunjukkan dari satu sisi Indoensia belum siap
menghadapi gempuran produk-produk impor yang memenuhi pasar domestik
melalui semakin mudahnya akses pasar yang diprakarsai WTO. Komitmen
167
Indonesia untuk menurunkan tarif dan mengurangi hambatan-hambatan non tarif,
seperti tidak ada lagi kebijakan kuota (yang bersifat proteksionis), menyebabkan
ekspansi produk-produk impor yang secara keunggulan komparatif lebih efisien
dibanding industri dalam negeri, terutama dari China yang unggul pada tenaga
kerja yang murah.
Sebagai bandingan, serta untuk memperkuat argumen kesiapan kebijakan
perdagangan yang diambil untuk menghadapi liberalisasi perdagangan, maka
peneliti paparkan pencapaian pemanfaatan pangsa pasar Indonesia intra ASEAN,
yang berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia. Dimana Indonesia
memperoleh surplus perdagangan intra ASEAN sekitar 21% lebih rendah dari
pencapaian Singapura dan Malaysia sebesar 58% pada tahun 2000.
Tabel 4.8
Pangsa Ekspor Intra ASEAN (%), ASEAN-5
19998
1999 2000 2001
Indonesia 13,5
11,1 11,7 11,5
Malaysia
31,2
29,2 26,1 25,4
Philipina
5,5
6,7
6,4
6,0
Singapura 37,5
39,1 40,5 39,7
Thailand
12,0
13,2 14,1 15,2
Sumber: ASEAN Trade Statistics Database,
2002 2003
11,5 10,7
25,5 26,5
6,4
6,6
39,2 35,9
15,2 16,5
di dalam Arifin,
2004
Rata-rata
10,8
11,5
26,4
27,2
5,7
6,2
36,2
38,3
17,6
14,8
dkk., (eds), (2007:
298).
Dari data tersebut terlihat bahwa Indonesia belum maksimal dalam
memanfaatkan penurunan tarif bea masuk untuk meningkat ekspor ke negaranegara tersebut. Seharusnya ketika WTO juga membuat aturan yang
memperbolehkan menentukan tarif di antara negara-negara kerjasama regional,
dan dalam kesepakatan ASEAN tarif yang diberlakukan jauh lebiih rendah dari
168
ketentuan WTO, maka peningkatan ekspor Indonesia seharusnya jauh lebih tinggi
dibanding sebelumnya yang berdampak pada pangsa ekspor intra ASEAN.
Namun secara umum, kebijakan liberalisasi perdagangan Indonesia yang
ditandai penurunan tarif hingga menjadi rata-rata menurun 7,23% pada tahun
2003, yang dapat dilihat dari penerapan tingkat tarif moderat pemerintah
Indonesia terhadap beras, menunjukkan kesiapan manakala peningkatan ekspor
pada sektor manufaktur tetap stabil. Ekspor manufaktor bukan ukuran
keberhasilan atau kegagalan Indonesia memanfaatkan liberalisasi perdagangan
yang mengglobal, namun pelbagai fasilitas baik infrastruktur, iklim investasi,
ataupun kebijakan yang menjamin kesediaan barang baku menunjukkan fokus dan
perhatian Indonesia untuk meningkatkan ekspor pada sektor manufaktur. Artinya,
barang manufaktur diharapkan meningkatkan/mendongkrak kebijakan target
ekspor Indonesia dan dapat dipahami jika pencapaian ekspor manufaktur dianggap
mampu memanfaatkan peluang liberalisasi perdagangan dengan semakin
berkurangnya hambatan perdagangan yang menyangkut sektor tersebut, apalagi
sektor manufaktur sebagai salah satu intrumen industrialisasi.
Kesiapan ini juga terlihat pada pencapaian cadangan devisa Indonesia pada
tahun 2002-2006. Indikator ekonomi Indonesia memperlihatkan bahwa cadangan
devisa berada pada angka yang stabil yaitu pada tahun 2002 sebesar USD 32,0
miliyar hingga 2006 meskipun tidak menunjukkan angka yang fantastis, naik
menjadi USD 43,27 miliyar. Tidak diketahui pasti berapa sumbangan besaran
ekspor terhadap cadangan devisa, namun jika melihat kinerja ekspor tahun 2002-
169
2006, USD 57.154,8 juta pada 2002 hingga USD 100,798.6 juta di tahun 2006,
menujukkan sumbangan terhadap cadangan devisa Indonesia secara signifikan.
170
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat
disimpulkan beberapa poin dari penelitian ini dengan mengacu pada gambaran
dan analisis yang telah dilakukan sebagai berikut:
Pertama, proses liberalisasi perdagangan WTO dicerminkan melalui
proses perundingan setiap Putaran Perundingan, dari awal perundingan dalam
rangka pembentukan Organsiasi Perdagangan Dunia/WTO, hingga perundinganperundingan setelah terbentuknya WTO. Dari perundingan-perundingan yang
dilakukan menghasilkan persetujuan-pesetujuan untuk menurunkan hingga
menghapus secara total hambatan-hambatan, yang dimaksud adalah hambatan
berupa kebijakan perdagangan internasional untuk mempersempit akses pasar, dan
hambatan yang tercipta akibat penyelesaian sengketa secara sepihak sehingga
merugikan pihak/negara lain. Berkurangnya hambatan-hambatan perdagangan
yang diperjuangkan di dalam forum WTO tersebut menunjukkan liberalisasi
perdagangan sedang berlangsung melalui perkembangan masalah-masalah, isu-isu
yang dibahas pada forum WTO.
Kedua, semangat liberalisasi perdagangan, yang sejalan dengan teorinya
adalah untuk meminimalkan, hingga bila perlu meniadakan campur tangan
pemerintah sehingga pada gilirannya masalah ekonomi, dalam hal ini adalah
perdagangan, berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Ada kesan bahwa WTO
171
sebagai suatu oraganisasi merupakan wadah untuk memperjuangkan kepentingan
dominan negara anggotanya, berarti kontradiktif dengan tujuan liberalisasi itu
sendiri untuk mengurangi campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi.
Dari penelitian ini, hal tesebut dapat disimpukan bahwa WTO sebagai organisasi
antarpemerintah dimana anggotanya adalah sekumpulan negara-negara, sesuai
dengan klasifikasi atau penggolongan organisasi internasional, tidaklah terkesan
bertolak belakang dengan semangat liberalisasi itu sendiri, karena melihat kepada
aturan-aturan yang disepakati melalui proses liberalisasi pedagangan di dalam
skema WTO adalah untuk kepentingan para produsen-produsen/pengusahapengusaha dalam meningkatkan produktivitas dan pangsa ekspornya, yaitu dengan
semakin berkurangnya hambatan perdagangan (berkurang/turunnya tingkat tarif
hingga 0%, dihapusnya kuota, dan mengurangi/melarang pemeberian subsidi),
para pengekspor (pihak swasta) dapat bersaing melalui mekanisme pasar.
Ketiga, pengaruh WTO dalam pemetaan kebijakan perdagangan Indonesia
disimpulkan melalui gambaran kasus-kasus penerapan kebijakan pedagangan
yang di buat pemerintah Indonesia. Dari pembahasan diketahui bahwa kebijakan
perdagangan Indonesia untuk meliberalisasi hampir seluruh komoditi, bahkan
Indonesia pun pernah melakukan liberalisasi dengan mengurangi tarif bea masuk,
terhadap sektor sensitif seperti beras dan gula, menunjukkan bahwa semangat
WTO untuk meliberalisasi perdagangan sangat berdampak pada Indonesia
meskipun sektor tersebut belum siap untuk diliberalisasikan. Hal itu sebenarnya
tidak perlu terjadi, karena WTO mengecualikan penerapan aturan mengenai tarif,
kuota, subsidi, sehingga Indonesia dapat mengambil beberapa alternatif. Hanya
172
saja dengan kecenderungan negara-negara meliberalisasi perdagangannya, cukup
sulit bagi Indonesia membendung gempuran produk-produk dari luar negeri
mengingat harga yang ditawarkan masih kompetitif, sehingga hal ini menjadi
persoalan tersendiri bagi Indonesia.
Pengaruh liberalisasi perdagangan selanjutnya tercermin pada upaya
pemerintah dalam meningkatkan ekspor. Kebijakan perdagangan Indonesia
dengan mencapai target ekspor adalah keinginan Indonesia untuk memperoleh
peluang dari liberalisasi perdagangan global tersebut. Secara teori, globalisasi
melalui liberalisasi perdagangan selain memberi ancaman juga memberi peluang.
Dan inilah yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa Indonesia berusaha tidak
menutup diri dari era globalisasi, memang kenyataannya mau tidak mau Indonesia
harus menghadapi globalsiasi, yang terlihat bergabungnya Indoensia dalam WTO.
Konsekuensi dari bergabungnya Indonesia tersebut, disadari akan memberi
peluang yang lebih besar dan sekaligus ancaman pada sektor yang belum siap
untuk diliberalisasi. Ancaman ini juga tidak dipungkiri, salah satunya datang dari
proses negosiasi perjanjian di WTO yaitu antara negara maju dengan negara
berkembang seperti keengganan negara maju untuk benar-benar menghapus
subsidi pertania. Maka WTO sebagai organisasi yang dinilai Indonesia sebagai
wadah yang akomodatif terhadap kepentingan Indonesia dari satu segi perlu
dipertanyakan.
Keikutsertaan Indonesia dalam agenda liberalisasi perdagangan melalui
pengurangan tarif impor untuk memperluas akses pasar, pengurangan dukung
domestik dan subsidi ekspor, serta penghapusan kuota secara bertahap memberi
173
pengaruh yang berbeda pada setiap sektor yang diliberalisasi. Hal ini terlihat pada
kebijakan untuk bidang tertentu masih banyak menimbulkan permasalahan. Tarif
yang rendah sesuai yang ditentukan WTO, pada beberapa bidang akan
menyulitkan bagi produsen dalam negeri karena kalah bersaing oleh produkproduk negara-negara yang lebih efesien. Hal ini mengakibatkan produsen dalam
negeri tidak bisa bertahan. Di lain pihak, kondisi ini memberi peluang bagi para
produsen Indonesia untuk memperluas akses pasarnya yang selama ini produkproduk serupa mendapat proteksi. Hal ini menunjukkan kebijakan yang diambil
pemerintah Indonesia belum dapat merespon secara komprehensif permasalahan
yang ditimbulkan dengan semakin luasnya liberalisasi perdagangan.
Keempat, proses untuk memaksimalkan peluang dalam liberalisasi
perdagangan global masih berlanjut, dan karena itu pula untuk mengukur
sejauhmana ketepatan kebijakan yang diambil tidak perlu terburu-buru
disimpulkan. Keberlanjutan itu tampak pada upaya meliberalisasi perdagangan
dengan mengikat pada ketentuan WTO, negara-negara berkembang termasuk
Indonesia masih
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya
di
WTO.
Persetujuan-persetujuan tersebut tidak lepas dari negosiasi-negosiasi yang terjadi
antara negara-negara berkembang lawan negara maju meliputi kepentingankepentingan masing-masing negara, sehingga tarik ulur antara kepentingan ini
menghambat terjadinya kesepakatan final terutama pada sektor pertanian.
Meskipun demikian, pada perkembangan kebijakan Indonesia saat ini
dapat disimpulkan belum sepenuhnya siap menghadapi fenomena liberalisasi
perdagangan yang mengglobal ini. Dan itu terjadi tidak semata-mata disebabkan
174
berdirinya WTO sebagai organisasi yang mengatur persoalan perdagangan, seperti
Indonesia secara terpaksa, jika tidak ingin menyebut dipaksa, meliberalisasi sektor
sensitifnya seperti beras dan gula dalam melaksanakan program yang ditawarkan
IMF. Kesiapan Inodnesia yang belum sepenuhnya tersebut dapat terlihat pada
pencapaian ekspor dan impor Indonesia, dengan logika jika ekspor naik maka
pertumbuhan industri dalam negeri meningkat sehingga dapat membuka lapangan
pekerjaan selanjutnya tercapai kesejahteraan. Dan pada kenyataannya tingkat
pengangguran
Indonesia tidak berkurang bahkan meningkat,
meskipun,
peningkatan ekspor Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun dan
diikuti dengan peningkatan cadangan devisa. Artinya kesiapan Indonesia dalam
konteks pemanfatan globalisasi melalui perluasan pangsa pasar dapat terjawab
dengan meningkatknya jumlah ekspor Indonesia.
Kelima, perdagangan yang diharapkan dapat memberi kontribusi kepada
peningkatan kesejahteraan di Indonesia ternyata belum sepenuhnya terjawab.
Janji-janji kesenjahteraan yang tertuang melalui perjanjian-perjanjian dalam
konteks WTO itu pun mengandung kemunafikan, yaitu ketika semua negara yang
menjanjikan kesejahteraan dengan pasar bebas ternyata merupakan negara-negara
yang sesungguhnya tidak pernah yakin akan kesejahteraan yang diraih melalui
pasar bebas.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian dalam skripsi ini, penulis mengajukan beberapa
saran kepada, khususnya bagi peneliti yang hendak meneliti pada topik yang sama
dan umumnya pihak-pihak yang terkait dengan tema penelitian. Saran-saran
175
tersebut adalah; pertama, WTO yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang
akomodatif terhadap kepentingan perdagangan Indonesia hendaknya tidak
difahammi sebagai suatu perolehan final sebagai anggotanya sehingga tidak
memandang sebagai revisilitas dalam kerangka kerja sama multilateral.
Kedua, melakukan evaluasi secara komprehensif atas efektivitas peran
WTO, termasuk mengkaji keterbatasan-keterbatasan teori pasar bebas dan
merumuskan pola hubungan yang simbiosis anatara pasar dan negara, karena ada
kesan bahwa peran khususnya negara maju yang masih kukuh mempertahankan
subsidi domestik, subsidi ekspor, dan tarif bea masuk yang tinggi untuk
mempertahankan keseimbangan politik di dalam negerinya, khususnya antara
pemerintah dengan institusi pasar domestiknya. Indonesia pun melakukan hal
sama untuk mengakomodasi kepentingan pasar domestik sebagai jalan untuk
mempertahankan pengaruhnya terhadap pasar. Dengan pola hubungan simbiosis
Indonesia tetap memperhatikan kepentingan bagi rakyat dan tidak akan berujar
“asal orang kaya senang”.
Ketiga, tidak menjadikan kebijakan liberalisasi sebagai tujuan utama
dalam tujuan pembangunan tanpa mempersiapkan “pertahanan” dan “bekal
senjata dan amunisi” bagi industri dalam negeri sehingga dapat bertahan dan
bersaing dalam “gempuran-gempuran” produk impor.
Keempat, bagi peneliti yang hendak meneliti topik yang sama dengan
menggunakan metode yang sama, perlu memperhatikan objek penelitian pada
kebijakan pemerintah pada sektor tertentu dan, atau pada kasus spesifik mengingat
banyaknya kebijakan yang dibuat yang mengacu pada kesepakatan secara bilateral
176
atau pada organisasi di luar WTO namun tidak bertentangan dengan prinsip WTO
seperti organisasi-organisasi pada komoditi tertentu. Sehingga analisis yang
diperoleh lebih tajam. Selain itu, permasalahan-permasalahan yang dihadapi
Indonesia kerap mewarnai proses perundingan WTO, sehingga sangat dibutuhkan
analisis secara tajam dengan memfokuskan variabel yang diteliti.
Kelima, perlu transparannya kebijakan-kebijakan baik secara spesifik
ataupun umum menyangkut kebijakan perdagangan Indonesia. Meskipun, di
WTO di kenal badan yang meninjau kebijakan perdagangan namun, pada
aplikasinya ada kecenderungan untuk tidak memberi akses secara luas bagi publik
terkait kebijakan spesifik. Dalam hal ini situs departemen perdagangan hendaknya
melengkapi informasi yang dapat diakses/didownload.
177
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adolf, Huala. 2005. Hukum Perdaganga Internasional. Jakarta: Badan Penerbit
Iblam.
Amalia, Lia. 2007. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Archer, C. 1984. International Organization. London: George Allen & Unwin
(Publishers), Ltd.
Ardiyos. 2001. Kamus Ekonomi: Istilah Pasar Modal dan Perdagangan
Internasional. Jakarta: Citra Harta Prima.
Arifin,
Sjamsul,
dkk.
(eds.).
2007.
Kerja
sama
Perdagangan
Internasional:Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi
Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Bennet, A.L.. 1995. International Organization: Principles and Issues. New
Jersey: Prentice-Hall.
Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds.). 2005: kebudayaan Perdagangan dan
Globalisasi: 25 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius.
Chan, Steve. 1984. International Relation in Perspective. New York: Macmillan
Publishing Company.
Coulombus, T.A. dan Wolfe, J.H.. 1999. Pengantar Hubungan Internasional:
Keadilan dan Power. Bandung: Abardin.
178
Direktorata Perdagangan dan Perindustrian Multilateral & Direktorat Jenderal
Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar
Negeri. 2003. Sekilas WTO World Trade Organization.
Djiwandono, J. Soedrajad. 1992. Perdagangan dan Pembangunan: Tantangan,
Peluang dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Dougherty, James dan Pfaltgraff, Rbert L.. 1981. Contending Theories of
International Relations: A Comprehensive Survey. New York: Harper and
Row Publisher.
Gilpin, Robert. 1987. The Political Economy of International Relations. New
Jersey: Princeton University Press..
. 2000. The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the
21st Century. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Greg, McGuire. 2004. “A Futurre Trade Policy: Which Road to Take?”. Jakarta:
UNSFIR
Griffith, Martin & O’callaghan, Terry. 2002. International Relation: Key
Concepts. London: Routeledge.
Hadiwinata, Bob S.. 2002. Politik Bisnis Internasional. Yoyakarta: Kanisius.
Halwani, Hendra. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Hermawan, Yulius P.. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional:
Aktor, Isu, dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
. 1988. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey:
Prentice Hall.
179
Holsti, K.J. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analitis. Bandung: Bina
Cipta.
Jackson, R. dan Sorensen, G.. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jhingan, ML.. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Radja
Grafindo Persada.
Johari, J. C.. 1985. International Relation and Poltics: A Theoritical Perspective.
New Delhi: Prentice Hall of India Private Limited.
Juliantono, Ferry J.. 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta:
Banana.
Lindert, Peter H.. 1994. Ekonomi Internasional. Jakarta: Bumi Aksara.
Lentner, Howard H. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and
Conceptual Approach. Ohio: Bell & Howell Company.
Lopez, G. dan Stohl, M.S.. 1989. International Relation: Contemporary Theory
and Practice. Washington D.C.: CQ Press.
Kartadjoemena, H. S.. 1997. GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Jakarta: UIPRESS.
. 2002. Substansi Perjanjian GATT/WTO/ dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa: Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan
Negara Berkembang. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Kartasasmita, Koenadi. 1987. Administrasi Internasional. Bandung: FISIP Press.
Mahdi, Imam. 1993. Ekonomi Intenasional. Malang: STIE MALANGKUCECWARA.
180
Marbun, William D. Coplin M.. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu
Telaah Teoritis. Bandung: Sinar Baru.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES.
. 2003. Ekonomi Politik Intrenasional dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
M. S., Amir. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta:
PPM.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nopirin. 1999. Ekonomi Internasional Edisi 3. Jakarta: BPFE.
Parthiana, I Wayan. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar
Maju.
Perwita, Anak Agung Banyu & Yani, Yanyan Mochamad. 2005. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Plano, Jack C. dan Olton, Roy. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Putra A.
Bardin.
Rinaldy, Eddie. 2006. Kamus Perdagangan Internasional. Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing.
Rossenau, James N. dkk. 1981. World Politic: An Introduction. New York,
Nichols Publishing.
181
Rudy, T. May. 2003. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalahmasalah global: Isu, Konsep, Teori dan paradigma. Bandung: Reflika
Aditama.
. 1993. Teori, Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional. Bandung:
Angkasa.
. 2002. Bisnis Internasional: Teori, Aplikasi, Operasionalisasi. Bandung:
Refika Aditama.
. 2005. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung: Refika
Aditama.
Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D.. 1991. Ekonomi Edisi 12. Jakarta:
Erlangga.
Sawit, M. Husein. 2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran
Doha WTO. Jakarta: Lembaga Penerbit FE, Universitas Indonesia.
Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.
Suwardi, Sri Setianingsih. 2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press.
Stiglitz, Joseph E.. 2007. Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi
Menuju Dunia yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.
Steger, Manfred B.. 2006. Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta:
Lafadl Pustaka.
182
Viotti, P.R. dan Kauppi, M.V.. 1999. International Relations Theory: Realism,
Pluralism, Globalism and Beyod. New York: MacMillan Publishing
Company.
Winardi. 1998. Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Wiraatmadja, Suwardi. 1967. Pengantar hubungan Internasional.
Surabaya:
Pustaka Tinta Mas.
Yuliadi, Imamudin. 2007. Perekonomian Indoneisia: Masalah dan Implementasi
Kebijakan. Yogyakarta: UPFE.
B. Sumber dari Dokumen Lain: Artikel, Jurnal, dan Laporan-laporan
Biro Umum Hubungan Masyarakat, Departemen Perdagangan. 2006. Analisis
Posisi
Perdagangan
Indonesia
di
Beberapa
Kawasan/Kerjasama
Perdagngan Internasional. Jakarta: Depdag.
Direktorat
Jenderal
Kerjasama
perdagangan
Internasional,
Departemen
Perdagangan. 2002-2006. Analisis Posisi Perdagangan indonesia di
Beberapa Kawasan/Kerjasama Perdagangan Internasional. Jakarta:
Depdag.
Dokumen Konsultasi Jaringan Kebijakan Publik Indonesia (JAJAKI). 2004.
Pilihan-pilihan Kebijakan Perdagangan Indonesia. Jakarta: UNSFIR.
Laporan Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional, Paruh Kedua
Periode Juli-Desember 2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama
Perdagangan Internasional.
The Indonesian Institute. 2005. Indonesia 2005. Jakarta.
The Indonesian Institute. 2006. Indonesia 2006. Jakarta.
183
C. Situs Internet
http://mep.unsoed.ac.id/content.php? cat=tesis&id=60
Diakses pada Desember 2007.
http://ditjenkpi.depdag.go.id 2007
Diakses pada Desember 2007.
http://kompas.com/kompas-cetak/0406/ 19/ ln/1095168.html
Diakses pada Desember 2007.
http://ditjenkpi.depdag.go.id/ images/Bulletin/Buletin43.pdf
Diakses pada Januari 2008.
http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&newsc
ategoryid=6&news_sub_category_id=18
Diakses pada Januari 2008.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/27/ekonomi/647941.htm
Diakses pada 13 Januari 2008.
http://paue.ugm.ac.id/seminar/update 2007/1/mudrajad.ppt
Diakses pada Mei 2008.
http://www.bps.go.id/
Diakses pada Mei 2008.
http://www.wto.org/wt/min
Diakses Januari 2008
http://www.wto.org/members
Diakses Januari 2008
http://www.wto.org/organization chart
184
Diakses pada Januari 2008.
http://www.wto.org/ what is the wto
Diakses Januari 2008
http://www.depdag.go.id/regulasi/tarif
Diakses Januari-Juli 2008.
http://www.dfat.gov.au/Indonesia ”Indonesia Facing the Challenge”.
Diakses pada Juli 2008
http://www.pegasus.or.id/trade-policy
Diakses pada Juli 2008.
Download