makalah - Unpad Repository

advertisement
MAKALAH
PCR
Oleh:
Sri Agung Fitri Kusuma, M.Si., Apt
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
FEBUARI 2010
LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH
PCR
Oleh :
Sri Agung Fitri Kusuma,M.Si., Apt.
Jatinangor, 2 Februari 2010
Mengetahui,
Dekan Fakultas Farmasi
Prof. Dr. Anas Subarnas, M.Sc.
NIP. 195207191985031001
I.
PENDAHULUAN
Asam nukleat merupakan suatu polinukleotida, yaitu polimer linier yang
tersusun dari monomer-monomer nukleotida yang berikatan melalui ikatan
fosfodiester. Fungsi utama asam nukleat adalah sebagai tempat penyimpanan dan
pemindahan informasi genetik. Informasi ini diteruskan dari sel induk ke sel anak
melalui proses replikasi. Sel memiliki dua jenis asam nukleat yaitu asam
deoksiribonukleat
(deoxyribonucleic
acid/DNA)
dan
asam
ribonukleat
(ribonucleic acid/RNA). (Marks Dawn, et al., 2000).
1.2
Deoxyribonucleic Acid (DNA)
Ada tiga struktur DNA yang dikenal selama ini. Struktur-struktur DNA
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Struktur primer
DNA tersusun dari monomer-monomer nukleotida. Setiap nukleotida
terdiri dari satu basa nitrogen berupa senyawa purin atau pirimidin, satu gula
pentosa berupa 2’-deoksi-D-ribosa dalam bentuk furanosa, dan satu molekul
fosfat. Penulisan urutan basa dimulai dari kiri yaitu ujung 5’ bebas (tidak terikat
nukleotida lain) menuju ujung dengan gugus 3’ hidroksil bebas atau dengan arah
5’3’ (Darnell, et al., dalam T. Milanda, 1994).
2.
Struktur sekunder
Salah satu sifat biokimia DNA yang menentukan fungsinya sebagai
pembawa informasi genetik adalah komposisi basa penyusun. Pada tahun
1949-1953, Edwin Chargaff menggunakan metode kromatografi untuk pemisahan
dan analisis kuantitatif keempat basa DNA, yang diisolasi dari berbagai
1
organisme. Kesimpulan yang diambil dari data yang terkumpul adalah sebagai
berikut :
a.
Komposisi basa DNA bervariasi antara spesies yang satu dengan
spesies yang lain.
b.
Sampel DNA yang diisolasi dari berbagai jaringan pada spesies
yang sama mempunyai komposisi basa yang sama.
c.
Komposisi DNA pada suatu spesies tidak berubah oleh perubahan
usia, keadaan nutrisi maupun perubahan lingkungan.
d.
Hampir semua DNA yang diteliti mempunyai jumlah residu adenin
yang sama dengan jumlah residu timin (A=T), dan jumlah residu
guanin yang sama dengan jumlah residu sitosin (G=C) maka A+G
= C+T, yang disebut aturan Charrgaff.
e.
DNA yang diekstraksi dari spesies-spesies dengan hubungan
kekerabatan yang dekat mempunyai komposisi basa yang hampir
sama.
Pada tahun 1953, James D. Watson dan Francis H.C. Crick berhasil
menguraikan struktur sekunder DNA yang berbentuk heliks ganda melalui analisis
pola difraksi sinar X dan membangun model strukturnya (Darnell, et al. dalam
T. Milanda, 1994). Heliks ganda tersebut tersusun dari dua untai polinukleotida
secara antiparalel (arah 5’3’ saling berlawanan), berputar ke kanan dan
melingkari suatu sumbu. Unit gula fosfat berada di luar molekul DNA dengan
basa-basa komplementer yang berpasangan di dalam molekul. Ikatan hidrogen di
antara pasangan basa memegangi kedua untai heliks ganda tersebut (Willbraham
2
and Matta dalam T. Milanda, 1994). Kedua untai melingkar sedemikian rupa
sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan kembali bila putaran masing-masing
untai dibuka.
(a)
(b)
Gambar 1 Struktur DNA (Prentis Steve, 1990)
Keterangan: a. Struktur primer DNA
b. Struktur sekunder DNA
Jarak di antara kedua untai hanya memungkinkan pemasangan basa purin
(lebih besar) dengan basa pirimidin (lebih kecil). Adenin berpasangan dengan
timin membentuk dua ikatan hidrogen sedangkan guanin berpasangan dengan
sitosin membentuk tiga ikatan hidrogen.
Dua ikatan glikosidik yang mengikat pasangan basa pada cincin gula, tidak
persis berhadapan. Akibatnya, jarak antara unit-unit gula fosfat yang berhadapan
sepanjang heliks ganda tidak sama dan membentuk celah antara yang berbeda,
3
yaitu celah mayor dan celah minor (Marks, et al., 1996 ; Robert K. Murray,
et al., 2000).
3.
Struktur tersier
Kebanyakan DNA virus dan DNA mitokondria merupakan molekul
lingkar. Konformasi ini terjadi karena kedua untai polinukleotida membentuk
struktur tertutup yang tidak berujung. Molekul DNA lingkar tertutup yang
diisolasi dari bakteri, virus dan mitokondria seringkali berbentuk superkoil, selain
itu DNA dapat berbentuk molekul linier dengan ujung-ujung rantai yang bebas.
(a)
Gambar 2
(b)
Struktur tersier (Prentis Steve, 1990)
(a). konformasi DNA sirkular
(b). konformasi DNA linear
2.2 Ribonucleic Acid (RNA)
RNA mirip dengan DNA, perbedaanya terletak pada :
1. Basa utama RNA adalah Adenin, Guanin, Sitosin dan Urasil, dengan panjang
molekul 70 sampai 10.000 pb.
2. Unit gula RNA adalah D-ribosa.
3. Molekul RNA berupa untai tunggal, kecuali pada beberapa virus.
2.3
Denaturasi
Jika larutan DNA dipanaskan, maka energi termal akan memecahkan
ikatan hidrogen dan ikatan lain yang menentukan kestabilan heliks ganda,
4
akibatnya kedua untai akan memisah atau mengalami denaturasi (Marks, et al.,
2000).
Panas
(a)
(b)
OH-
OH-
(c)
RNA
Gambar 3 Proses denaturasi (Marks, et al., 2000)
(a).
DNA mengalami denaturasi oleh pemanasan
(b).
DNA mengalami denaturasi oleh larutan basa
(c). RNA mengalami denaturasi menjadi nukleotidanukleotidanya
Molekul DNA heliks tunggal dari proses denaturasi cukup stabil. Jika suhu
diturunkan, molekul tersebut biasanya tidak mengalami renaturasi menjadi
molekul DNA heliks ganda asal tetapi membentuk pola kusut, namun untai yang
saling komplemen dapat mengalami ranaturasi secara perlahan-lahan. Sifat ini
menjadi dasar teknik hibridisasi asam nukleat (Watson, et al., dalam T. Milanda,
1994 ; Marks Dawn, et al., 2000).
5
2.4
Sentral Dogma.
Pada tahun 1956, Francis H. Crick memperkenalkan diagram alur yang
menggambarkan fungsi DNA dalam perjalanan informasi genetik yang disebut
sentral dogma (Watson, et al. dalam T. Milanda, 1994).
Replikasi
DNA
transkripsi
RNA
translasi
Protein
Gambar 4 Dogma sentral aliran informasi genetik (Marks, et al., 2000)
Tanda panah yang melingkari DNA menunjukkan bahwa DNA berfungsi sebagai
template atau cetakan bagi replikasi dirinya. Tanda panah antara DNA dan RNA
menunjukkan pembentukkan molekul RNA dari DNA cetakan (transkripsi)
kemudian sintesis protein ditentukan oleh RNA cetakan melalui proses translasi
(Willbraham and Matta dalam T. Milanda, 1994).
6
3.
Amplifikasi DNA Menggunakan Metode Polymerase Chain Reaction
(PCR)
3.1Prinsip metode PCR
PCR merupakan suatu teknik amplifikasi DNA secara in vitro yang
mampu mengamplifikasi segmen tertentu dari keseluruhan genom bakteri. Proses
amplifikasi PCR melibatkan variasi suhu yang mendekati suhu didih air, jadi
diperlukan enzim polimerase yang tetap stabil dalam temperatur yang tinggi. Pada
proses PCR, enzim polimerase yang digunakan berasal dari bakteri Thermus
aquaticus (Taq) yang hidup di lingkungan bersuhu lebih dari 90 oC.
Berikut adalah tiga tahap pengulangan yang penting dalam proses PCR
yaitu :
1.
Denaturasi
Pada tahap ini molekul DNA dipanaskan sampai suhu 94 oC yang
mnyebabkan terjadinya pemisahan untai ganda DNA menjadi untai DNA tunggal.
Untai DNA tunggal inilah yang menjadi cetakan bagi untai DNA baru yang akan
dibuat.
Gambar 6 Untai DNA mengalami denaturasi (Innis M., et al.,
1990)
7
2.
Penempelan (Annealing)
Enzim Taq polimerase dapat memulai pembentukan suatu untai DNA baru
jika ada seuntai DNA berukuran pendek (DNA yang mempunyai panjang sekitar
10 sampai 30 pasang basa) yang menempel pada untai DNA target yang telah
terpisah. DNA yang pendek ini disebut primer. Agar suatu primer dapat
menempel dengan tepat pada target, diperlukan suhu yang rendah sekitar 55 0C
selama 30-60 detik.
Untai cetakan
Daerah target
Primer
Primer
Untai cetakan
Gambar 7 Penempelan primer dengan untai DNA yang telah terdenaturasi
(Innis M., et al., 1990)
3.
Pemanjangan (Ektension)
Setelah primer menempel pada untai DNA target, enzim DNA polimerase
akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari gabungan antara
primer, DNA cetakan dan nukleotida.
8
Gambar 2.8 Perpanjangan DNA secara semi-konservatif
(Innis M., et al., 1990)
Ketika tiga tahap di atas dilakukan pengulangan, maka untai DNA yang
baru dibentuk akan kembali mengalami proses denaturasi, penempelan dan
pemanjangan untai DNA menjadi untai DNA yang baru. Pengulangan proses PCR
akan menghasilkan amplifikasi DNA cetakan baru secara eksponensial (Marks
Dawn, et al., 2000).
Gen target
Amplifikasi
secara
eksponensial
Juta kopi
Gambar 8 Proses amplifikasi DNA target (Innis M., et al., 1990)
3.2Komponen-Komponen untuk Reaksi PCR
Berikut adalah komponen yang diperlukan untuk reaksi PCR, yaitu:
a.
DNA cetakan / DNA target
Merupakan
keseluruhan DNA sampel yang di dalamnya terkandung
fragmen DNA target.
9
b.
Primer
Primer adalah suatu oligonukleotida yang memiliki 10 sampai 40 pb
(pb = pasangan basa) dan merupakan komplementer dari DNA target. Pemilihan
primer yang tidak sesuai dapat menyebabkan tidak terjadinya reaksi polimerasi
antara gen target dengan primer. Berikut adalah kriteria pemilihan primer, yaitu :
1. Panjang primer : 15-30 pb
2. Kandungan GC sekitar 50%
3. Temperatur penempelan kedua primer tidak jauh berbeda
4. Urutan nukleotida yang sama harus dihindari
5. Tidak boleh terjadi self dimmer, pair dimmer, atau hairpin
c.
DNA Polimerase
Merupakan enzim yang stabil dalam pemanasan dan umumnya digunakan
enzim Taq DNA polimerase (Taq = Thermus aquaticus). Enzim ini tetap stabil
mengamplifikasi DNA walaupun amplifikasi berjalan pada suhu mendekati titik
didih air.
d.
Buffer / Dapar
Buffer atau dapar yang digunakan umumnya mengandung MgCl2 yang
mempengaruhi stabilitas dan kerja enzim polimerase.
e.
dNTPS
dNTPS atau deoxynukleotide Triphosphates merupakan suatu nukleotida
bebas yang berperan dalam perpanjangan primer melalui pembentukkan pasangan
10
basa dengan nukleotida dari DNA target (Innis M. and Gelfand D. in White
Thomas, 1990).
4.
Elektroforesis Gel
4.1 Pemisahan molekul DNA dengan Elektroforesis Gel
Molekul DNA
mempunyai
muatan istrik
l
negatif,
sehingga
bila
ditempatkan pada medan listrik akan bermigrasi menuju kutub positif. Tetapi
kebanyakan molekul DNA mempunyai bentuk dan muatan listrik yang hampir
sama sehingga fragmen-fragmen dengan ukuran yang berbeda tidak terpisahkan
oleh elektroforesis biasa.
Tetapi ukuran molekul DNA merupakan suatu faktor pemisahan jika
elektroforesis dikerjakan dalam suatu gel. Gel yang dibuat adri agarosa,
poliakrilamid atau campuran keduanya akan membentuk kerangka pori-pori yang
kompleks untuk dilewati molekul DNA menuju elektroda positif. Makin kecil
molekul DNA makin cepat migrasinya melewati gel, sehingga molekul DNA akan
terpisah berdasarkan ukurannya.
Gel agarosa dan poliakrilamid dapat dibuat dengan berbagai bentuk,
ukuran, porositas serta dijalankan dalam berbagai konfigurasi. Kemampuan
pemisahan gel
agarosa lebih endah
r
dibanding gel poliakrilamid tetapi
penanganannya lebih mudah. Selain itu DNA yang berukuran sekitar 2 pb sampai
50 kb dapat dipisahkan dalam berbagai konsentrasi gel agarosa.
11
4.2 Penampakan Molekul DNA dalam Gel
Letak DNA pada gel dapat dilihat melalui pewarnaan gel dengan senyawa
etidium bromida. Pewarnaan ini menghasilkan pita-pita yang paling tidak
mengandung 1-10 ng DNA, yang dapat dideteksi di bawah cahaya UV.
Etidium bromida merupakan zat warna berfluorosensi yang dapat terikat
diantara pasangan basa dan membuat molekul DNA lebih kaku. Ikatan yang
terbentuk akan meningkatkan intensitas fluorosensi dari zat warna bebasnya.
4.3 Perkiraan Ukuran Molekul DNA
Elektroforesis gel akan memisahkan molekul DNA dengan ukuran yang
berbeda, yaitu molekul yang paling kecil akan melewati jarak yang paling besar
menuju elektroda positif. Jika ada beberapa fragmen DNA dengan ukuran
berbeda, maka tampak rangkaian pita-pita pada gel. Ukuran DNA hasil
elektroforesis gel dapat diperkirakan dengan menggunakan marka DNA yang
telah diketahui ikurannya.
Cara yang paling akurat untuk menentukan ukuran fragmen-fragmen
tersebut adalah melalui hubungan matematik antara kecepatan migrasi dan ukuran
pasangan basa. Persamaannya adalah sebagai berikut :
Log pb = bx + a
dimana x adalah jarak migrasi, pb adalah jumlah pasangan basa, a serta b adalah
konstanta yang tergantung pada kondisi elektroforesis (Sambrook, et al. dalam T.
Milanda, 1994).
12
DAFTAR PUSTAKA
Brown Alfred, E., 2005, Laboratory Manual in General Microbiology :
Microbiological Applications, McGraw-Hill Comp., US, p. 395-401
Brown, T. A., 1995, Gene Cloning, an introduction, third edition, Chapman and
Hall, London, p. 13-18, 27-35, 68-72, 228-241
Darnell J., Lodish H., and Baltimore D., 1990, Molecular Cell Biology, 2nd
edition, Scientific American Book Inc., New York, p. 99-76
Debbie S. Retnoningrum, 1998, Mekanisme dan Deteksi Molekul Resistensi
Antibiotik pada Bakteri, Jurusan Farmasi-ITB, Bandung, h. 1-5, 16-21
Jawetz, E., J. L. Melnick dan E. A. Adelberg, 1995, Mikrobiologi Untuk Profesi
Kesehatan, Edisi 16, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, h. 299, 362
Jawetz E., J. L. Melnick dan E. A. Adelberg, 1996, Mikrobiologi Kedokteran,
Edisi 20, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, h. 211-217, 249-251
Johnson James R. and Owens Krista, 2004, Rapid and Specific Detection of the
O15:K52:H1 Clonal Group of Escherichia coli by Gene-Specific PCR, J.
Clin. Microbiol. 42:3841-3843
Johnson James R. and Kuskowski Michael A., 2005, Virulence Genotype, and
Phylogenetic Origin, in Relation to Antibiotic Resistance Profile among
Escherichia coli Sample Isolates from Israeli Women with acu
te
Uncomplicated Cystitis, Antimicrobial Agents and Chemo. J. 49 : 26-31
Madej, R. 1991. Polymerase Chain Reaction : Application to the Clinical
Laboratory, Laboratory Roche Diagnostic Research, p. 23-32, 45-49
Manges Amee R. and Riley Lee W., 2001, Widespread Distribution Of Urinary
Tract Infections Caused By A Multidrug-Resistant Escherichia Coli Clonal
Group, N Engl J Med., 345:1007-1013
Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan, 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid 2,
Terjemahan Ratna Sri Hadioetomo, dkk., Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, h. 449
Persing D.H., F.C. Tenover, 2004, Diagnostic Molecular Microbiology :
Principles and Applications, ASM, Washington DC., p. 392-299
Russell A.D. and I. Chopra, 1990. Understanding Antimicrobial Action and
Resistance, Ellis Horword limited, England, p. 1-5, 25-35, 56-78
13
Sambrook J., Fritsch E. F., an
d Maniatis T., 1989, Molecular Cloning,
a laboratory Manual, Volume 1, 2nd edition, Cold Spring Harbor Laboratory
Press, New york, p. 14.2-14.5
Watson, J. D., et al., 1987, Molecular Biology of the Gene, 4th edition, The
Benjamin/Cummings Publishing Company Inc., Menco Park, California,
p. 68-75, 81-83, 98-99, 194, 202-203
Wawan Kosasih dkk., 1992, Petunjuk praktikum kursus singkat rekayasa genetika
teknologi DNA rekombinan, PAU-Bioteknologi ITB, Bandung, 5-10, 21-23
Wilbraham, A.C and Matta, M.S., 1986, General Organic and Biological
Chemistry, 2nd edition, The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc.,
New york, p. 582-587
14
Download