kultur in vitro sel-sel otak besar (cerebrum) anak tikus

advertisement
KULTUR IN VITRO SEL-SEL OTAK BESAR
(CEREBRUM) ANAK TIKUS
VIVIT RIYACUMALA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kultur In Vitro Sel-sel Otak
Anak (Cerebrum) Tikus adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Agustus 2010
Vivit Riyacumala
NIM B04060805
ABSTRAK
VIVIT RIYACUMALA. Kultur In Vitro Sel-sel Otak Besar (Cerebrum) Anak
Tikus. Dibimbing oleh ITA DJUWITA.
Telah dilakukan penelitian kultur in vitro sel-sel otak besar anak tikus
(Sprague Dawley) umur tiga hari dalam Dulbecco’s Modified Eagle Medium
(DMEM) yang mengandung Fetal Bovine Serum (FBS) 10%, dan gentamisin 50
µg/ml dengan dan tanpa penambahan insulin 5 µg/ml, transferin 10 µg/ml,
selenium 5 µg/ml (ITS). Kultur dilakukan dalam inkubator CO2 5% dan suhu
37oC selama 11 hari. Identifikasi dilakukan terhadap jenis sel yang tumbuh
berdasarkan pengamatan morfologi, kemampuan pertumbuhan sel (tingkat
proliferasi dan population doubling time (PDT) serta panjang akson dendrit)
berdasarkan penghitungan sel menggunakan hemositometer dan mikrometer, serta
kandungan protein yang dihasilkan berdasarkan identifikasi menggunakan metode
Sodium dodecyl sulfate – polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Data
kuantitatif dianalisis menggunakan uji statistik T-test dalam program Minitab,
sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan morfologi terdapat dua jenis sel
yaitu sel saraf yang meliputi sel saraf bipolar dan multipolar serta sel glia yang
meliputi astrosit fibrous, astrosit protoplasmik, oligodendrosit, dan mikroglia.
Penambahan ITS ke dalam medium kultur mampu meningkatkan tingkat
proliferasi (P<0,05) dengan PDT yang lebih rendah, meningkatkan pertumbuhan
panjang akson dan dendrit, serta secara kualitatif produksi protein (berukuran
antara 21,5–36,5 kDa) yang lebih tinggi yang diindikasikan dari intensitas pita
protein.
Kata kunci: kultur sel, sel saraf, ITS, SDS-PAGE
ABSTRACT
VIVIT RIYACUMALA. In Vitro Culture of Newborn Rat Cerebrum Cells.
Under direction of ITA DJUWITA.
Research has been conducted on in vitro culture of three days old rat
cerebrum cells in Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) containing 10%
Fetal Bovine Serum (FBS) and 50 µg/ml gentamycin, and supplemented with and
without 5 µg/ml insulin, 10 µg/ml transferin, 5 µg/ml selenium (ITS). Culture was
done in 5% CO2 incubator at 37oC for 11 days. Identification was done on types
of cell based on morphological observation, growth capacity (cell proliferation,
population doubling time/ PDT and length of axon and dendrit) based on
calculation of the number of cells using hemocytometer and micrometer, and the
protein produced by the cerebrum cells in the culture medium using sodium
dodecyl sulfate–polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) method.
Quantitative data were analyzed using statistical T-test on Minitab program. The
results showed that based on the morphological observations, there are two types
of cells including nerve cells of bipolar and multipolar neurons and glial cells
including the fibrous astrocyte, protoplasmic astrocyte, oligodendrocyte, and
microglia. Supplementation of ITS into the culture medium could increase the
cells proliferation rate (P<0.05) with lower PDT, axon and dendrit lenght growth
and quantitatively the 21.5–36.5 kDa protein production as indicated by the
intensity of the protein band.
Keywords: cell culture, nerve cell, ITS, SDS-PAGE
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KULTUR IN VITRO SEL-SEL OTAK BESAR (CEREBRUM)
ANAK TIKUS
VIVIT RIYACUMALA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Kultur In Vitro Sel-sel Otak Besar (Cerebrum) Anak
Tikus
: Vivit Riyacumala
: B04060805
Disetujui:
Pembimbing
Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil
19590403 198601 2 002
Diketahui
a.n. Dekan
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini
19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kultur In Vitro Sel-sel
Otak Besar (Cerebrum) Anak Tikus”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2010 dan merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan pada Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil selaku dosen pembimbing akademik
sekaligus pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak ilmu,
bimbingan,
dukungan,
perhatian,
dan
pelajaran
hidup
selama
menyelesaikan studi di S1.
2. Mas Wahyu, Bu Ekayanti, dan para staf laboratorium Anatomi, Histologi,
dan Embriologi yang telah banyak membantu selama penelitian.
3. Dr. Nurhidayat, Dr. Joko Pamungkas, dan Dr. Iis Arifiantini selaku dosen
penguji dalam seminar dan ujian akhir sarjana.
4. Harlystiarini, atas doa, dukungan, dan bantuan serta suka cita selama
menjalani penelitian bersama.
5. Keluarga tercinta, Ayah dan Ibu serta Mas David, atas doa, dukungan, dan
kasih sayangnya.
6. Teman-teman terbaik Sisca, Nirna, Nobo, Reni, Winda, Sekar, Bundo,
Dina, Binol, Edo, Laras, Rista, Ninis, Nia, Dana, Yevi, atas semua bantuan
dan dukungannya.
7. Keluarga besar wisma PNS, Haya, Bintang, Sofura, Nia, Sabti, Chika,
Melly, Idja, Asti, Iwi, Nita, Lia, Mbak Vika, Mbak Vivi, Mbak Kiki atas
semua keceriaan, kebersamaan, dan dukungannya.
8. Rekan-rekan penelitian di Laboratorium Embriologi Kak Yeni, Kak Devi,
Rani, Riska, Adhil, Vin, Irma, Disa, Yayan, Ani, Nita, atas kebersamaan
dan dukungan yang diberikan.
9. Rekan-rekan Aesculapius 43 atas dukungan, bantuan, serta kekompakan
selama menempuh pendidikan S1 dan untuk semua pihak yang turut
membantu kelancaran penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satupersatu.
Penulis menyadari penelitian ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian, penulis berharap agar hasil
penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kediri, pada tanggal 07 Juni 1988 dari pasangan
Bapak Drs. Mujiono dan Ibu Anik Mutafarida. Penulis telah menempuh
pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah-YPSM Tawangrejo-Kediri (2000),
SLTPN 1 Pagu-Kediri (2003), dan SMAN 2 Pare-Kediri (2006). Pada tahun 2006,
penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan setelah setahun di IPB.
Selama menjalani pendidikan sarjana, penulis berkesempatan menjadi
anggota dan pengurus Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar divisi pendidikan
(2007-2008) dan divisi infokom (2008-2009) serta aktif dalam berbagai kegiatan
kepanitiaan. Untuk menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Hewan
IPB, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Kultur In Vitro Sel-sel
Otak Besar (Cerebrum) Anak Tikus”.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Halaman
....................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR
................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN
.............................................................................. iii
DAFTAR SINGKATAN
............................................................................ iv
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ....................................................................................
Tujuan
...............................................................................................
Manfaat ..............................................................................................
1
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Sel Saraf Otak ....................................................................................
Morfologi dan Fungsi Berbagai Jenis Sel Otak ....................................
Kultur Sel Saraf ..................................................................................
Sistem Kultur ......................................................................................
Pemanfaatan Kultur Sel Saraf .............................................................
Protein yang Dihasilkan Sel Saraf ......................................................
Metode Analisis Protein Sel Saraf .......................................................
3
3
3
5
6
8
9
9
METODE PENELITIAN ...........................................................................
Waktu dan Tempat ..............................................................................
Alat dan Bahan ....................................................................................
Prosedur Kerja .......................................................................................
Isolasi Sel Saraf Otak Besar ........................................................
Kultur Sel Saraf Otak .................................................................
Pembuatan dan Koleksi Conditioned Medium ............................
Evaluasi Hasil Kultur Sel Otak ....................................................
Tipe-tipe sel ....................................................................
Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time .........
Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit ........................
Identifikasi Protein Menggunakan SDS-PAGE ...............
Rancangan Percobaan ..........................................................................
12
12
12
12
12
13
13
13
13
14
14
14
14
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur .....
Pertumbuhan Sel Saraf .............................................................
Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time .......
Panjang Akson dan Dendrit ..........................................
Komposisi Sel Saraf dan Glia .......................................
Analisis Protein pada Kultur Sel Saraf Otak dengan Menggunakan
SDS-PAGE ..............................................................................
16
16
19
19
20
21
22
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 24
Simpulan ............................................................................................ 24
Saran ................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
................................................................................ 25
.............................................................................................. 29
i
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Tingkat proliferasi sel yang tumbuh dalam medium mDMEM dan
mDMEM+ITS .........................................................................................
20
2
Panjang akson dan dendrit pada medium mDMEM dan mDMEM+ITS ..
21
3
Persentase sel saraf dan sel glia yang berkembang dalam kultur
22
..........
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Morfologi neuron di dalam kultur ..............................................................
4
2
Berbagai tipe neuron dan sel glia
5
3
Morfologi sel-sel saraf dalam kultur in vitro
4
Morfologi sel glia yang berkembang dalam kultur sel otak
5
Morfologi neuroblast dengan pengamatan secara natif ............................. 18
6
Morfologi sel saraf dengan pengamatan secara natif ................................. 19
7
Sel saraf bipolar dengan akson bermyelin .................................................. 19
8
Hasil SDS elektroforesis CM kultur sel saraf yang diwarnai dengan silver
nitrat ......................................................................................................... 23
..............................................................
........................................... 16
..................... 17
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Pembuatan medium kultur mDMEM ........................................................
30
2
Pembuatan mPBS ......................................................................................
30
3
Pembuatan separating dan stacking gel elektroforesis ...............................
30
4
Pembuatan buffer SDS
...........................................................................
31
5
Pewarnaan silver nitrat
............................................................................
31
6
Prosedur tripsinasi.......................................................................................
32
iv
DAFTAR SINGKATAN
CM
: conditioned medium
DMEM
: Dulbecco’s Modified Eagle Medium
FBS
: fetal bovine serum
FGF
: fibroblast growth factor
HE
: hematoksilin eosin
IEF
: isoelectric focusing
ITS
: insulin transferrin selenium suplement
MBP
: myelin basic protein
mDMEM
: Dulbecco’s Modified Eagle Medium yang telah dimodifikasi
mPBS
: phosphate buffered saline yang telah dimodifikasi
MS
: mass spectrometry
NBCS
: newborn calf serum
NGF
: nerve growth factor
PBS
: phosphate buffered saline
PLP
: proteolipid protein
SDS
: sodium dodecyl sulphate
SDS-PAGE
: sodium dodecyl sulfate – polyacrilamide gel electrophoresis
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Otak besar (cerebrum) merupakan bagian otak yang paling besar, tersusun
atas jaringan saraf yang terdiri atas sel saraf (neuron) dan sel glia yang masingmasing berfungsi untuk menyampaikan sinyal dari satu sel ke sel lainnya dan
melindungi, mendukung, merawat, serta mempertahankan homeostasis cairan di
sekeliling neuron (Kuntarti 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa sel saraf
individu dewasa secara in vivo diketahui tidak memiliki kemampuan membelah
(Cormack 2001; Junqueira & Carneiro 2005) meskipun telah ditemukan bahwa
pada burung dewasa sel saraf masih dapat membelah (Junqueira & Carneiro
2005). Kerusakan pada sistem saraf pusat akan bersifat permanen karena
ketidakmampuan sel saraf untuk melakukan regenerasi (Yiu & He 2006; Jusuf &
Antarianto 2009). Kerusakan sel saraf dapat menyebabkan munculnya penyakit
yang disebut dementia yang meliputi penyakit Alzheimer dan Parkinson (Halim et
al. 2010).
Menurut Gage dan Verma (2003) serta Halim et al. (2010) stem cell
memiliki potensi besar sebagai alternatif terapi penyakit degenerasi saraf. Stem
cell tersebut dapat diarahkan untuk berdiferensiasi membentuk sel saraf dan
progenitor sel saraf. Pengarahan stem cell menjadi sel saraf dibutuhkan induktor
seperti nerve growth factor (Zhang et al. 2006), fibroblast growth factor, atau
suatu bahan kimia seperti retinoic acid dan sebagainya.
Sel-sel otak besar dapat digunakan sebagai sumber untuk kultur sel saraf.
Kultur sel saraf memiliki banyak manfaat terutama untuk menyelidiki
karakteristik fisiologi dan metabolisme sel saraf serta pengujian terhadap efek zat
tertentu (Butler 2004). Kultur in vitro sel saraf juga dapat digunakan untuk
memproduksi berbagai growth factor ke dalam medium yang dapat digunakan
untuk menginduksi perkembangan stem cell. Medium kultur yang telah
mengandung sekreta sel-sel yang dikultur ini dikenal dengan conditioned medium
(CM). Conditioned medium dari kultur primer sel saraf mengandung faktor
pertumbuhan seperti nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor
(GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP).
Dibandingkan dengan tipe sel lain seperti sel fibroblas dan epitel, kultur
primer sel saraf otak lebih susah ditumbuhkan. Sel saraf berkembang dari
progenitor saraf dan tidak mampu membelah ketika sudah mature, berbeda
dengan sel fibroblas dan epitel yang kemampuan pertumbuhannya masih bagus
meskipun sudah mature. Selain itu sel harus beradaptasi dengan lingkungan
(Mather dan Roberts 1998) dan berinteraksi dengan populasi sel yang tidak
homogen pada awal kultur primer. Oleh karena itu dibutuhkan medium yang
mampu mempertahankan daya hidup pada kultur primer sel saraf otak.
Insulin
transferrin selenium (ITS) diketahui mampu meningkatkan daya hidup dan proliferasi sel (Freshney 1994). Kebanyakan
medium kultur tidak mengandung ITS sehingga ingin diketahui pertumbuhan sel saraf dalam medium yang mengandung
ITS. Penambahan ITS diharapkan dapat meningkatkan proliferasi sel.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan pertumbuhan secara in vitro sel-sel saraf yang diisolasi dari
otak besar anak tikus umur tiga hari dan secara khusus untuk mengidentifikasi tipe-tipe sel yang tumbuh, tingkat
proliferasi, population doubling time (PDT) dan panjang akson dan dendrit serta
gambaran kualitatif protein yang
disekresikan.
Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi
tentang kemampuan pertumbuhan
secara in vitro
dan tingkat proliferasi sel saraf otak besar
anak tikus dalam medium dengan dan tanpa penambahan ITS. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan
conditioned medium dan galur sel.
TINJAUAN PUSTAKA
Sel Saraf Otak
Otak merupakan bagian dari sistem saraf yang termasuk dalam susunan
saraf pusat. Otak terdiri atas sel-sel saraf yang jumlahnya diperkirakan mencapai
100 milyar sel (Freudenrich 2001; Kuntarti 2007). Otak berfungsi dalam
mengkoordinasi, mengontrol, dan mengatur seluruh aktivitas tubuh (Freudenrich
2001). Bagian-bagian otak vertebrata secara umum antara lain cerebrum,
diensefalon, cerebellum, midbrain, pons, dan medulla oblongata (Kuntarti 2007).
Bagian-bagian otak pada tikus dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama yaitu
otak depan (forebrain), batang otak (brain stem), otak tengah (midbrain),
cerebellum, dan medulla oblongata. Otak depan terdiri atas korteks serebri,
hippocampus, dan bulbus olfactorius. Batang otak meliputi ganglia basalis,
septum, epithalamus, thalamus, dan hypothalamus. Sedangkan otak tengah
meliputi tectum, tegmentum, dan pedunculi cerebri (Hedrich & Bullock 2004).
Secara umum sistem saraf disusun oleh jaringan saraf yang terdiri atas selsel saraf atau neuron dan sel pendukung atau sel glia (Beresford 2001; Junqueira
& Carneiro 2005). Neuron memiliki bagian-bagian yang sama seperti sel yang
lain akan tetapi memiliki kemampuan yang istimewa yaitu kemampuan
mentransmisikan sinyal dan menyampaikan pesan menuju sel target (Freudenrich
2001) sehingga dapat menjalankan fungsi sistem saraf seperti mengingat, berfikir,
dan mengontrol semua aktivitas tubuh. Secara khusus neuron juga berfungsi
dalam merangsang aktivitas sel tertentu dan melepaskan neurotransmitter dan
molekul lain (Junqueira & Carneiro 2005). Sel glia atau neuroglia berfungsi untuk
melindungi, mendukung, merawat, dan mempertahankan homeostasis cairan di
sekeliling neuron (Kuntarti 2007).
Morfologi dan Fungsi Berbagai Jenis Sel Otak
Neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu dendrit, badan sel, dan akson
(Gambar 1). Dendrit merupakan penjuluran-penjuluran kecil yang memanjang
berfungsi dalam menerima stimulus dari lingkungan, sel sensoris atau sel saraf
lainnya (Junqueira & Carneiro 2005). Badan sel berukuran besar mengandung
bagian-bagian utama sel seperti nukleus, reticulum endoplasma, ribosom, dan
mitokondria. Kerusakan pada badan sel menyebabkan kematian pada sel saraf
(Freudenrich 2001). Badan sel berfungsi menerima stimulus dari dendrit untuk
diteruskan menuju akson. Akson berupa penjuluran tunggal yang keluar dari
badan sel. Fungsi akson yaitu menghubungkan stimulus menuju sel lainnya
seperti sel saraf, otot, dan kelenjar. Bagian distal akson biasanya bercabang dan
berhubungan dengan sel lain baik sel saraf maupun sel lainnya membentuk
struktur yang disebut sinaps (Junqueira & Carneiro 2005).
Gambar 1 Morfologi neuron di dalam kultur, N: nukleus, P: perikaryon, D:
dendrit, A: akson, H: axon hillock, tanda panah: sel glia (Kerr 2000).
Neuron memiliki bentuk yang bervariasi. Berdasarkan bentuknya neuron
dapat dikelompokkan menjadi neuron multipolar, bipolar, dan unipolar atau
pseudounipolar (Gambar 2) yang didasarkan atas jumlah penjuluran akson dan
dendrit (Junqueira & Carneiro 2005). Neuron multipolar memiliki satu penjuluran
akson dengan banyak penjuluran dendrit. Neuron bipolar memiliki masing-masing
satu penjuluran dendrit dan akson sedangkan neuron unipolar hanya memiliki satu
penjuluran yang dekat dengan badan sel dan membagi menjadi dua cabang.
Kebanyakan neuron dalam tubuh berbentuk multipolar (Cormack 2001; Junqueira
& Carneiro 2005). Neuron bipolar dapat ditemukan pada ganglion cochlearis dan
ganglion vestibularis serta pada retina dan mukosa olfaktorius. Neuron unipolar
banyak ditemukan pada ganglion kranialis dan juga dapat ditemukan pada
ganglion spinalis (Junqueira & Carneiro 2005).
Sel glia terdiri dari astrosit, oligodendrosit, sel Schwann, sel-sel
ependymal, dan mikroglia (Gambar 2). Sel glia lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan neuron. Sel glia terletak di sekitar sel saraf mengelilingi
badan sel, dendrit, dan akson. Astrosit, oligodendrosit, sel-sel ependymal, dan
mikroglia dapat ditemukan pada sistem saraf pusat sedangkan sel Schwann
ditemukan pada saraf perifer (Junqueira & Carneiro 2005). Masing-masing sel
glia memiliki fungsi yang spesifik. Astrosit berfungsi dalam mengontrol sinyal
antarneuron, mengatur ion dan metabolisme sel saraf, serta sebagai blood brain
barrier (Cormack 2001). Oligodendrosit dan sel Schwann memiliki fungsi yang
sama yaitu bertanggung jawab dalam sintesis selubung myelin, sedangkan
mikroglia berfungsi sebagai makrofag. Sel-sel ependymal merupakan komponen
sel glia yang menyusun plexus choroideus. Sel-sel ependymal berfungsi dalam
sekresi dan pergerakan cairan serebrospinal (Junqueira & Carneiro 2005).
Gambar 2 Berbagai tipe neuron dan sel glia (Cormack 2001).
Kultur Sel Saraf
Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang
telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel.
Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan
(monolayer) di atas permukaan yang keras seperti botol, tabung, dan cawan atau
menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990). Kultur primer berarti
menumbuhkan sel dari jaringan hewan secara langsung dalam medium penumbuh
(Butler 2004). Kebanyakan kultur primer sel saraf didapatkan dari jaringan saraf
tikus pada masa embrionik atau neonatal (Banker & Goslin 1998; Butler 2004).
Sel-sel pada masa embrionik tersebut lebih mudah didispersi dan memiliki potensi
pertumbuhan yang lebih unggul (Butler 2004). Di antara mamalia, tikus dan
mencit merupakan spesies yang umum digunakan sebagai sumber jaringan pada
kultur saraf (Banker & Goslin 1998; Fedoroff & Richardson 2001). Penggunaan
tikus dan mencit dapat memberikan keuntungan terutama pada konsistensi genetik
dan biaya yang tidak terlalu mahal (Banker & Goslin 1998).
Sel saraf dapat juga ditumbuhkan dari neural cell line (Murayama et al.
2001). Beberapa neural cell line telah dikembangkan seperti neuronal cell line,
glial cell line, embryonal carcinoma cell line, dan melanoma cell line.
Keuntungan menggunakan cell line antaralain memiliki kemampuan hidup lebih
lama, pertumbuhannya tidak terbatas, dan terdiri dari satu jenis sel tunggal. Selain
itu penggunaan cell line sebagai sumber kultur dapat mengurangi penggunaan
hewan coba (Murayama et al. 2001). Ketersediaan sel tunggal dalam jumlah
cukup besar dalam kultur dapat memberikan keuntungan untuk purifikasi bahan
alami maupun rekombinan. Misalnya untuk produksi neuroendokrin yang
jumlahnya dalam tubuh sangat sedikit. Meskipun demikian kultur sel saraf dari
sumber cell line memiliki kekurangan terutama karena ketiadaan beberapa jenis
sel yang berkembang dalam sistem saraf secara in vivo (Murayama et al. 2001).
Sistem Kultur
Kultur sel membutuhkan medium dan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi in vivo. Kondisi ini diciptakan dengan pengaturan temperatur, pH,
oksigen, CO2, tekanan osmosis, permukaan untuk melekat sel, nutrien dan
vitamin, proteksi terhadap zat toksik, hormon, dan faktor pertumbuhan yang
mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel (Malole 1990). Temperatur yang ideal
untuk pertumbuhan sel adalah pada 37°C (Pollard & Walker 1990) dengan pH
optimal 7,4 (Malole 1990). Selama kultur diusahakan pH tidak lebih rendah dari
7,0 karena pH yang rendah akan memperlambat pertumbuhan sel. Kestabilan pH
dapat dijaga dengan sistem buffer karbondioksida-karbonat sama seperti dalam
darah (Malole 1990). Sistem tersebut terdiri dari penambahan NaHCO 3 dalam
medium dan udara yang mengandung karbondioksida 5%. (Malole 1990).
Permukaan untuk melekat sel harus memiliki daya adhesif. Beberapa bahan
tertentu dapat digunakan sebagai substrat untuk melekatkan sel seperti fibronectin,
gelatin, dan kolagen (Butler 2004).
Sel di dalam tubuh organisme menerima nutrisi dari sirkulasi darah.
Medium untuk kultur sel in vitro harus mampu menyuplai nutrisi yang sama
seperti keadaan nutrisi pada darah (Radledge & Kristiansen 2001). Awalnya untuk
menumbuhkan sel mamalia in vitro melibatkan medium yang berasal dari bahan
alami seperti embrio ayam, serum, dan cairan limfe. Tetapi sejak tahun 1950
ditemukan medium kultur yang mengandung berbagai komponen penting dan
sudah banyak perkembangan.
Medium dasar untuk kultur sel adalah larutan garam seimbang. Larutan ini
berfungsi untuk menciptakan pH dan osmolaritas fisiologis yang dibutuhkan
untuk mempertahankan viabilitas sel in vitro. Untuk menciptakan kondisi yang
mampu merangsang proliferasi sel, dalam medium perlu ditambahkan glukosa,
asam amino, vitamin, dan beberapa garam tertentu yang dibutuhkan sesuai jenis
sel yang dikultur (Radledge & Kristiansen 2001).
Medium pertumbuhan yang sering dipakai untuk kultur sel mamalia adalah
Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM). Medium tersebut merupakan
modifikasi dari Basal Medium Eagle (BME) yang mengandung konsentrasi asam
amino dan vitamin empat kali lipat lebih banyak. Asam amino dan vitamin yang
ditambahkan dalam media berfungsi sebagai suplemen tambahan. Awalnya DME
mengandung 1000 mg/L glukosa dan dilaporkan pertama kali digunakan untuk
kultur embrio tikus. Selain asam amino dan vitamin, medium ini juga
mengandung asam folat, nikotinamid, riboflavin, vitamin B-12, dan garam
mineral seperti kalsium korida, potasium klorida, magnesium sulfat, sodium
klorida, dan monosodium fosfat. Natrium bikarbonat digunakan sebagai sumber
karbonat yang dapat mempertahankan pH dan osmolaritas (Mather dan Barnes
1998). Medium DMEM sangat cocok digunakan dalam berbagai kultur sel
termasuk sel-sel yang berasal dari manusia, monyet, hamster, tikus, mencit, ayam,
dan ikan (Pombinho et al. 2004).
Medium kultur dapat juga ditambahkan komponen lain seperti ITS.
Suplemen ITS mengandung tiga komponen faktor pertumbuhan yang penting
untuk beberapa tipe sel tertentu. Insulin penting dalam pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel sedangkan transferrin merupakan protein pengangkut zat
besi (iron-transport protein) yang fungsinya sama seperti insulin (Banker &
Goslin 1998). Selenium berfungsi sebagai kofaktor sintesis glutathione, yaitu
membantu memecah peroksida dan superoksida. Dilaporkan juga bahwa selenium
mampu melindungi kerusakan yang distimulasi oleh cahaya (Banker & Goslin
1998). Selain itu selenium juga dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel.
Kebanyakan medium basal untuk kultur sel tidak mengandung ITS. Penambahan
ITS diketahui mampu mengurangi penggunaan serum dalam medium. Banyak cell
line seperti BHK, HeLa, Vero, MDCK, dan CHO dapat tumbuh dengan
penambahan ITS meskipun serum yang digunakan 1-2% (Anonimus 2005).
Sel tidak dapat hidup hanya dengan medium basal saja (Banker & Goslin
1998). Kebutuhan akan nutrisi dan faktor pertumbuhan untuk pemeliharaan sel
dapat disediakan dalam medium dengan penambahan serum. Serum yang
digunakan dapat diperoleh dari berbagai hewan seperti sapi (Fetal Calf Serum
(FCS), Newborn Calf Serum (NBCS)), kuda, dan manusia (Mather & Barnes
1998). Jumlah serum yang ditambahkan biasanya 5-20% (Shuler & Kargi 1992;
Banker & Goslin 1998). Menurut Banker dan Goslin (1998) FCS mengandung
faktor mitogenik yang tinggi sehingga sering digunakan untuk keperluan kultur
cell line atau kultur primer sel glia. Serum terbukti dapat mendukung
pertumbuhan sel melalui penyediaan faktor hormonal, pertumbuhan, perlekatan,
dan penyebaran sel (Mather & Roberts 1998) serta menyediakan transport protein
pembawa hormon, mineral, dan lipid (Shuler & Kargi 1992). Penggunaan
antibiotik dalam medium juga diperlukan untuk mencegah kontaminasi (Jakoby &
Pastan 1979). Antibiotik yang sering digunakan dalam medium adalah gentamisin
(Mather & Roberts 1998).
Pemanfaatan Kultur Sel Saraf
Kultur sel memiliki banyak manfaat terutama untuk menyelidiki
karakteristik fisiologi dan metabolisme sel. Kultur sel juga bermanfaat dalam
pengujian efek zat tertentu terhadap suatu sel. Zat toksik dan bahan-bahan
mutagenik dapat dievaluasi di dalam kultur (Butler 2004). Selain itu kultur sel
dapat digunakan untuk memproduksi bahan-bahan untuk mendiferensiasikan stem
cell menjadi sel spesifik. Secara khusus, kultur sel saraf memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dalam terapi penyakit degenerasi saraf seperti Alzheimer dan
penyakit Parkinson. Hal ini karena sel saraf sendiri memiliki stem cell yang
disebut sebagai neural stem cell (Halim et al. 2010). Stem cell pada jaringan saraf
dimanfaatkan untuk regenerasi sel-sel saraf yang rusak. Saat ini penelitian baik
riset maupun klinis telah banyak dilakukan untuk mengarahkan diferensiasi neural
stem cell menjadi sel saraf (Halim et al. 2010)
Protein yang Dihasilkan oleh Sel Saraf
Otak menghasilkan bermacam-macam protein yang disekresikan oleh sel
saraf maupun sel glia. Menurut Quarles et al. (2006) protein menyusun bagian
otak tikus sebanyak 56,9%. Salah satu protein yang dihasilkan oleh sel saraf
adalah protein tau. Protein ini dihasilkan dari bagian akson yang berfungsi dalam
menstabilkan
dan
meningkatkan
pembentukan
mikrotubuli
neuron
serta
meningkatkan viabilitas neuron (Hansson 2008). Bagian lain sel saraf seperti
selubung myelin juga menghasilkan protein yaitu myelin basic protein (MBP) dan
proteolipid protein (PLP). Kedua protein ini dapat larut dalam SDS elektroforesis
dan dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya (Quarles et al. 2006).
Selain protein, sel saraf juga mensekresikan beberapa growth factor seperti
nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor (GDNF), nestin, dan
glial fibrillary acidic protein (GFAP). Astrosit diketahui mampu mensekresikan
fibroblast growth factor-1 (FGF-1) berdasarkan penelitian Ito et al. (2005).
Metode Analisis Protein Sel Saraf
Identifikasi protein dapat dilakukan dengan berbagai macam metode
diantaranya liquid phase isoelectric focusing (IEF), imunopresipitasi, mass
spectrometry (MS), dan gel elektroforesis (Hansson 2008). Protein merupakan
molekul yang bersifat amfoter yang mengandung grup asam dan basa pada sekuen
asam amino sehingga muatan protein akan bervariasi berdasarkan pH. Sifat
demikian dimanfaatkan untuk memisahkan protein berdasarkan titik isoelektrik
(pI) masing-masing protein dengan IEF. Titik isoelektrik akan berhenti pada pH
spesifik ketika muatan protein sama dengan nol (Hansson 2008). Pemisahan
protein dapat juga dengan metode imunopresipitasi apabila sampel biologis
mengandung beberapa macam protein. Metode MS digunakan untuk menganalisis
massa protein berdasarkan rasio massa per muatan. Selain itu MS juga
memberikan informasi tentang sekuen dan perubahan asam amino (Hansson
2008).
Penelitian ini menggunakan gel elektroforesis untuk menganalisa protein.
Elektroforesis mampu memisahkan protein dengan baik berdasarkan titik
isoelektrik dan berat molekul. Biasanya metode yang digunakan adalah SDSPAGE (Sodium dodecyl sulfate – polyacrilamide gel electrophoresis ) (Hansson
2008). Menurut Roe (2001) dan Ahmed (2005) SDS-PAGE merupakan metode
yang cukup cepat dalam identifikasi protein dan sering digunakan untuk
memperkirakan berat molekul serta menentukan komposisi subunit dari suatu
protein murni (Deutscher 1992). Penggunaan lain SDS-PAGE adalah untuk
monitoring purifikasi protein, verifikasi konsentrasi protein, deteksi proteolisis,
deteksi modifikasi protein, dan deteksi imunopresipitasi protein (Ahmed 2005).
Mekanisme kerja SDS-PAGE sama seperti elektroforesis pada umumnya
akan tetapi ditambahkan dengan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebelum
dilakukan elektroforesis. Adanya SDS yang merupakan bahan detergen anionik
ini akan mendenaturasi protein lalu melekat kuat pada molekul yang diuraikan
tersebut. Satu molekul SDS diperkirakan mengikat dua asam amino. Molekul SDS
ini lalu menutupi permukaan protein dan membentuk jejaring muatan negatif yang
dihasilkan dari grup sulfat pada molekul SDS. Semua protein akan bermuatan
negatif dengan berat jenis yang sama sehingga protein tersebut hanya dapat
dipisahkan berdasarkan ukurannya (Hames 1998). Protein dengan berat molekul
rendah akan bergerak lebih cepat di dalam gel dibandingkan dengan protein
dengan berat molekul besar. Berdasarkan prinsip tersebut berat molekul suatu
protein dapat diperkirakan dengan memasukkan marker protein standar yang
sudah diketahui berat molekulnya dalam gel yang sama (Ahmed 2005).
Elektroforesis dapat dilakukan dalam dua sistem bufer yaitu sistem
langsung dan tidak langsung. Sistem langsung (continuous system) hanya
menggunakan satu separating gel serta buffer yang sama baik pada gel maupun
bak elektroforesis sedangkan pada sistem tidak langsung (discontinuous system)
terdiri dari dua macam gel yaitu separating gel dan stacking gel. Kedua gel ini
memiliki daya rembes, daya ion, dan pH yang berbeda. Kelebihan penggunaan
sistem ini adalah didapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa
stacking gel dalam volume sampel yang sama (Ahmed 2005).
Deteksi protein dalam gel dilakukan dengan berbagai macam pewarnaan
seperti coomassie blue, silver nitrat, dan amido black (Ahmed 2005). Coomassie
blue merupakan pewarnaan yang cepat dan sering digunakan untuk visualisasi
protein pada gel poliakrilamid (Ahmed 2005; Bonner 2007). Protein dapat
terdeteksi oleh coomassie blue apabila konsentrasi sampel protein yang diloading
dalam gel sebelum tahapan rehidrasi sebanyak 500 µg sampai dengan 1 mg (Blot
2003). Dibandingkan dengan coomassie blue, pewarnaan silver nitrat jauh lebih
sensitif (Janson & Ryden 1998; Blot 2003) bahkan pada konsentrasi nanogram,
akan tetapi membutuhkan waktu lebih lama (Ahmed 2005).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2010 di Laboratorium
Embriologi dan Laboratorium Layanan Pendidikan Terpadu, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan bedah steril,
pinset, mikropipet, tip, timbangan digital, biosafety cabinet, mikroskop, cawan
petri steril, object glass, cover glass, gelas piala, gelas ukur, tabung konikal,
tabung eppendorf, mikrofilter, spuit, hemositometer, dan mesin elektroforesis.
Bahan–bahan yang digunakan antara lain otak tikus (Rattus norvegicus)
umur 3 hari (newborn), medium kultur mDMEM (Dulbecco’s Modified Eagle
Medium) yang dimodifikasi dengan penambahan asam amino non esensial
(AANE) 10%, fetal bovine serum (FBS) 10%, sodium bikarbonat 3 mM, 2mercaptoetanol 0,1 mM dan gentamisin 50 µg/ml, phosphate buffered saline yang
dimodifikasi dengan penambahan FBS 0,1% dan gentamisin 50 µg/ml (mPBS),
insulin transferrin selenium (ITS),
pewarna hematoksilin eosin, dan pewarna silver nitrat.
Metode
Isolasi Sel Saraf Otak Besar
Tikus strain SD (Sprague Dawley) umur 3 hari dimatikan terlebih dahulu
dengan menggunakan eter kemudian daerah kepala didesinfeksi dengan alkohol
70%. Otak bagian cerebrum diisolasi dan dicuci dengan larutan PBS. Suspensi
otak dibuat dengan cara menyedot dan mengeluarkan kembali secara berulang
menggunakan spuit 1 cc yang mengandung larutan mPBS. Suspensi dimasukkan
ke dalam tabung dan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 210 g selama 10
menit. Pencucian dilakukan dengan mPBS sebanyak 4 kali ulangan dan medium
mDMEM sebanyak 1 kali ulangan. Terakhir pelet diresuspensi dalam larutan
mDMEM sebanyak 1 ml.
Kultur Sel Saraf Otak
Suspensi otak dengan konsentrasi 104 sel/ml dikultur dalam 3 cawan petri
yang telah dilapisi dengan gelatin 0,1% dan berisi 2 ml mDMEM dengan dan
tanpa ITS. Kultur sel otak dilakukan dengan teknik aseptis di dalam clean bench
untuk mencegah kontaminasi. Kultur diinkubasi dalam inkubator CO 2 5% pada
suhu 37°C. Penggantian medium dilakukan setiap 2 hari untuk menyediakan
kembali nutrisi yang berkurang dan membuang sisa metabolisme sel. Kultur
dilakukan selama 11 hari atau sampai mencapai konfluen 90%.
Pembuatan dan Koleksi Conditioned Medium
Kultur yang telah konfluen dilakukan koleksi medium. Medium kultur
primer dibuang dan dicuci dengan PBS tanpa FBS. Selanjutnya diganti dengan
mDMEM tanpa FBS pada masing-masing petri sebanyak 2 ml. Setelah 2 hari
medium dikoleksi dan disimpan dalam tabung eppendorf 1,5 ml pada refrigerator.
Evaluasi Hasil Kultur Sel Otak
Tipe-tipe Sel
Identifikasi tipe-tipe sel yang tumbuh dilakukan berdasarkan morfologi sel
baik secara natif maupun dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Kultur sel
yang ditumbuhkan di atas cover glass dicuci menggunakan PBS kemudian
difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehid 4% selama 24 jam. Setelah 24 jam
dilakukan penyimpanan dalam alkohol 50% selama 2 jam kemudian dalam
alkohol 70% sampai dengan dilakukan pewarnaan HE. Kultur yang disimpan
dalam alkohol 70% sebelum diwarnai dilakukan stopping point dalam alkohol
50% selama 3 menit. Selanjutnya direndam dalam aquades selama 5 menit,
hematoksilin 4 menit, dan dibilas dengan aquades. Selanjutnya dilakukan
perendaman dalam eosin selama 2 menit dan dibilas dengan aquades. Pewarnaan
dilanjutkan dengan dehidrasi bertingkat dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%,
absolut 3 kali ulangan, masing-masing 10 menit dan dilanjutkan dalam xilol dua
kali ulangan kemudian dimounting pada object glass menggunakan entelan.
Evaluasi dilakukan dengan mengamati morfologi sel dengan mikroskop cahaya
pada perbesaran 40x10.
Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time
Tingkat poliferasi ditentukan berdasarkan penghitungan jumlah sel
sebelum dan setelah kultur mencapai konfluen 90%. Peningkatan (proliferasi) sel
diketahui dari total sel yang tumbuh menggunakan kamar hitung hemositometer
Improved Neubauer dengan perhitungan sebagai berikut:
Total sel (sel /ml) = jumlah sel pada 5 kotak x faktor pengenceran x 104
Sedangkan Population Doubling Time (PDT) dihitung menggunakan rumus:
PDT (hari) =
1
( log jumlah sel akhir- log jumlah sel awal) x 3,32
waktu
Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit
Pertumbuhan panjang akson dan dendrit diamati dengan mikroskop pada
perbesaran 40x10 dan diukur menggunakan mikrometer. Satu skala mikrometer
pada perbesaran 40x10 setara dengan 2,5 µm. Jumlah sel yang diukur sebanyak 50
sel untuk masing-masing ulangan.
Identifikasi Protein Menggunakan Sodium Dodecyl Sulfate – Polyacrilamide
Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)
Elektroforesis diawali dengan pembuatan gel poliakrilamid yang terdiri
atas dua bagian yaitu separating gel 12% dan stacking gel 4%. Selanjutnya
chamber alat elektroforesis diisi dengan running buffer 1x sampai bagian bawah
gel terendam. Sampel dari CM kultur sel saraf sebanyak 15 µl dicampurkan
dengan loading buffer (1:2) dan dimasukkan ke dalam sumur gel. Larutan baku
protein dimasukkan juga ke dalam gel sebagai marker. Elektroforesis dijalankan
pada tegangan 120 V dan arus listrik sebesar 25 A selama 3 jam. Setelah proses
running selesai, gel dilepaskan secara hati-hati dari lempeng kaca dan selanjutnya
dilakukan visualisasi protein dengan pewarnaan silver nitrat.
Rancangan Percobaan
Kultur sel-sel saraf dibagi menjadi dua kelompok perlakuan berdasarkan
kondisi medium yang digunakan yaitu (1) mDMEM dan (2) mDMEM yang
ditambah dengan ITS (insulin 5 µg/ml, transferin 10 µg/ml, selenium 5 µg/ml)
masing-masing sebanyak tiga kali ulangan. Parameter yang diamati adalah tipe
sel yang tumbuh berdasarkan morfologi, panjang akson dan dendrit, komposisi
sel saraf dan sel glia, tingkat proliferasi sel dan population doubling time, serta
kandungan protein yang disekresikan. Data tipe-tipe sel berdasarkan morfologi sel
serta gambaran protein diuraikan secara deskriptif sedangkan data kuantitantif
yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan
metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur
Berdasarkan morfologi, sel-sel yang tumbuh dan berkembang dalam kultur
primer terdiri dari dua tipe sel yaitu sel saraf dan sel-sel glia. Tipe sel saraf yang
teramati dalam kultur adalah sel saraf bipolar dan sel saraf multipolar (Gambar 3).
d
a
A
a
s
d
s
B
Gambar 3 Morfologi sel-sel saraf dalam kultur in vitro, a: akson, d: dendrit, s:
badan sel. (A) Sel saraf multipolar. (B) Sel saraf bipolar. Pewarnaan HE. Bar:
10µm.
Sel saraf umumnya memiliki morfologi badan sel yang besar dengan
penjuluran akson dan dendrit. Morfologi sel saraf mudah diidentifikasi karena
dicirikan oleh banyaknya penjuluran panjang yang khas (Junqueira & Carneiro
2005). Sel saraf bipolar memiliki inti sel bulat dengan satu penjuluran akson dan
satu penjuluran dendrit. Sel saraf multipolar memiliki morfologi inti sel besar
dengan beberapa penjuluran dendrit dan satu penjuluran akson.
Penyusun utama jaringan saraf adalah sel saraf dan sel glia (Beresford
2001) dan sel saraf multipolar dan sel saraf bipolar merupakan jenis sel saraf yang
sering ditemukan dalam susunan saraf pusat (Junqueira & Carneiro 2005;
Cormack 2001). Tidak ditemukannya sel saraf unipolar dalam kultur karena
biasanya sel ini berbentuk menyerupai sel saraf bipolar. Ditegaskan pula oleh
Beitz dan Fletcher (2006) bahwa sel saraf unipolar berasal dari sel saraf bipolar
dan setelah dewasa (mature) akan berkembang menjadi sel saraf bipolar.
Sel-sel glia diidentifikasi dengan melihat morfologi, memiliki inti sel yang
lebih gelap, dan ukuran yang relatif lebih kecil dari sel saraf. Sel glia yang
teramati dalam kultur antara lain astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia (Gambar
4). Sel glia terlihat lebih gelap dengan pewarnaan HE akan. Hal ini dikarenakan
pada inti sel mengandung banyak kromatin (Beitz & Fletcher 2006). Astrosit
memiliki morfologi yang khas dengan penjuluran sitoplasma seperti bintang.
Astrosit protoplasmik memiliki inti yang bulat berbeda dengan astrosit fibrous
yang memiliki inti sedikit lebar dan memanjang. Oligodendrosit dapat
diidentifikasi dari morfologinya yang menyerupai astrosit dengan jumlah
penjuluran lebih sedikit dan kecil. Mikroglia memiliki inti sel kecil dan bulat
dikelilingi dengan banyak penjuluran berukuran kecil.
A
B
C
D
Gambar 4 Morfologi sel glia. (A) Astrosit protoplasmik. (B) Astrosit fibrous. (C)
Oligodendrosit. (D) Mikroglia. Pewarnaan HE. Bar: 10µm.
Beberapa sel glia seperti sel Schwann dan sel ependymal tidak ditemukan
dalam pengamatan. Tidak ditemukannya pertumbuhan sel Schwann dalam kultur
karena sel tipe ini ditemukan di susunan saraf perifer (Junqueira & Carneiro
2005). Sel-sel ependymal memiliki morfologi yang cukup berbeda dibandingkan
sel glia lainnya akan tetapi sel ini juga tidak ditemukan di dalam kultur. Sel ini
berbentuk seperti epitel kubus dan kadang memiliki silia (Junqueira & Carneiro
2005). Identifikasi dan karakterisasi sel ini berdasarkan penelitian Gabrion et al.
(1998) dilakukan menggunakan transmission electron microscopy (TEM) dan
teknik pewarnaan imunositokimia.
Sel-sel glia yang ditemukan dalam kultur memiliki fungsi masing-masing
yang spesifik. Astrosit berfungsi dalam memberi nutrisi sel saraf, mengontrol
sinyal antarneuron, mengatur ion dan metabolisme sel saraf, serta sebagai blood
brain barrier (Cormack 2001). Oligodendrosit berfungsi dalam sintesis selubung
myelin sedangkan mikroglia berfungsi sebagai makrofag dalam jaringan saraf
(Junqueira & Carneiro 2005).
Sel saraf berkembang dari progenitor saraf yang belum berdiferensiasi
(Svendsen et al. 2001). Progenitor saraf atau neuroblast yang ditemukan dalam
kultur memiliki morfologi bulat, bulat dengan disertai penjuluran pendek (bipolar
neuroblast), serta berbentuk spindel yang memanjang (Gambar 5). Menurut Tzeng
(2002) umumnya neuroblast di dalam kultur berbentuk bulat. Neuroblast akan
berkembang menjadi sel saraf dan penjuluran neuroblast pada akhirnya akan
membentuk akson dan dendrit (Kalverbour et al. 1999).
Gambar 5 Morfologi neuroblast (tanda panah) dengan pengamatan secara natif.
Bar: 10 µm.
Sel saraf selain dikelilingi oleh berbagai sel glia juga dikelilingi oleh
protein transmitter. Protein ini memiliki morfologi bulat, memiliki ukuran kecil,
dan menempel pada sel saraf dengan jumlah cukup banyak (Gambar 6). Sel ini
dibedakan dengan sel glia dengan melihat morfologi dan cara menempel pada sel
saraf. Sel glia menempel pada sel saraf melalui penjuluran-penjulurannya
sedangkan protein transmitter tidak memiliki penjuluran.
a
s n
d
Gambar 6 Morfologi sel saraf dengan pengamatan secara natif, a: akson, d:
dendrit, s: soma, n: inti sel, tanda panah: protein transmitter. Bar: 10 µm.
Beberapa sel saraf ditemukan memiliki myelin. Myelin tampak seperti
badan sel saraf namun berukuran kecil dan hanya terdapat pada akson (Gambar 7).
Antar myelin dipisahkan oleh nodus Ranvier yang merupakan bagian akson yang
tidak bermyelin (Agamanolis 2010). Myelin berfungsi untuk melindungi akson
dan meningkatkan kecepatan impuls. Pada saraf perifer myelin dibentuk oleh sel
Scwann sedangkan pada saraf pusat dibentuk oleh oligodendrosit (Agamanolis
2010).
Gambar 7 Sel saraf bipolar dengan akson bermyelin (tanda panah hitam) yang
dipisahkan oleh nodus Ranvier (tanda panah merah). Bar: 10 µm.
Pertumbuhan Sel Saraf
Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time. Jumlah sel yang
tumbuh dalam medium mDMEM dengan penambahan ITS secara nyata lebih
banyak dibandingkan dengan medium mDMEM (P<0,05). Demikian pula dengan
PDT yang dihasilkan pada medium mDMEM+ITS lebih cepat dibandingkan tanpa
penambahan ITS (Tabel 1).
Tabel 1 Tingkat proliferasi sel yang tumbuh dalam medium mDMEM dan
mDMEM+ITS
mDMEM
Jumlah awal
9,0x104
mDMEM+ITS
Jumlah akhir
PDT
6,2x105a ±104083
3,9 ± 0,3
Jumlah akhir
8,6x105b ± 28868
PDT
3,2 ± 0,2
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata (P<0,05).
Menurut Freshney (1994) insulin dalam suplemen ITS memiliki fungsi
untuk meningkatkan penyerapan glukosa dan asam amino ke dalam sel. Efek
mitogenik yang dihasilkan insulin dikarenakan pada sel terdapat reseptor terhadap
insulin yaitu insulin-like growth factor receptor (reseptor IGF-1). Adanya
transferin dan selenium juga membantu pertumbuhan sel menjadi lebih baik.
Transferin diketahui sebagai protein pengangkut zat besi ke dalam sel. Protein ini
juga dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel melalui proses detoksifikasi
terhadap peroksidase dan radikal bebas dalam medium (Freshney 1994). Selenium
dalam medium digunakan sebagai antioksidan. Selenium dapat mengoptimalkan
pertumbuhan sel melalui aktivasi glutathione peroxidase yang berfungsi dalam
detoksifikasi dari radikal bebas. Suplemen ITS selain berfungsi dalam
pertumbuhan sel juga dipakai untuk mengurangi penggunaan serum dalam
medium (Freshney 1994).
Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh
populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua kali dari jumlah semula. Sel saraf
yang dikultur dalam medium dengan dan tanpa ITS menunjukkan kisaran PDT
yang normal. Menurut Martin (1994) sel saraf memiliki PDT sekitar 3-4 hari.
Proliferasi sel yang cepat ditunjukkan dengan PDT yang rendah. Kultur sel saraf
dalam medium dengan ITS menunjukkan nilai PDT yang rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan ITS ke dalam medium mampu meningkatkan
proliferasi sel.
Panjang Akson dan Dendrit. Panjang akson dalam medium mDMEM
berkisar dari 58-469 µm dengan rata-rata 167,7 µm dan panjang dendrit 20,3-432
µm dengan rata-rata 102,5 µm. Panjang akson dalam medium mDMEM+ITS
berkisar dari 52,2-478,5µm dengan rata-rata 211,3 µm dan panjang dendrit 20,3252,3 µm dengan rata-rata 115 µm. Panjang akson dan dendrit dalam medium
mDMEM dan mDMEM+ITS tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun
demikian secara rataan didapatkan angka lebih besar pada medium mDMEM+ITS
(Tabel 2).
Tabel 2 Rataan panjang akson dan dendrit pada medium mDMEM dan
mDMEM+ITS
Parameter
akson
dendrit
Ukuran panjang (µm ) dalam medium
mDMEM
167,7 ± 9,6
102,5 ± 6,6
mDMEM+ITS
211,3 ± 36,4
115,0 ± 26,9
Akson dan dendrit dijadikan salah satu parameter ukuran pertumbuhan sel
karena sel saraf yang mature dilihat dari ukuran akson dan dendrit yang
dimilikinya. Isnaeni (2006) memaparkan bahwa penjuluran dendrit dan akson
sangat bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Hasil pengukuran menunjukkan
panjang akson dan dendrit yang dihasilkan dari kultur sel saraf memiliki ukuran
bervariasi yaitu berkisar antara 20-400 µm. Menurut Korogod dan Dumont (2009)
ukuran dendrit yang paling pendek pada tikus adalah 20,803 µm dan dapat
mencapai panjang 250-300 µm.
Akson umumnya memiliki ukuran lebih panjang daripada dendrit
meskipun beberapa neuron ditemukan memiliki ukuran akson yang pendek
(Junqueira & Carneiro 2005). Sama seperti dendrit, ukuran akson yang dihasilkan
dalam kultur juga bervariasi. Akson tikus berukuran kurang dari 1 mm dan dapat
mencapai panjang 1 cm (Barres 1997). Ukuran akson yang dihasilkan dalam
kultur relatif lebih pendek. Butler (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan akson
dan dendrit dapat menjadi lebih baik dengan penambahan NGF ke dalam kultur.
Neuron cukup dapat teramati dengan pewarnaan HE namun penjuluran
neuron tidak terwarnai jelas dengan HE (Agamanolis 2010). Akson dan dendrit
dapat ditunjukkan dengan lebih jelas dengan pewarnaan silver (Agamanolis
2010). Umumnya pewarnaan silver yang digunakan untuk mewarnai akson dan
dendrit adalah Bielschowsky stain (Agamanolis 2010).
Komposisi Sel Saraf dan Glia. Hasil kultur in vitro menunjukkan bahwa
komposisi rata-rata antara sel saraf dan glia tidak berbeda nyata yaitu masingmasing 47,8% dan 52,2%. (Tabel 3). Hasil pengamatan dengan menggunakan
mikroskop menunjukkan jumlah sel saraf dan sel glia lebih banyak pada medium
mDMEM+ITS dibandingkan dengan dalam medium DMEM namun persentase
sel-sel tersebut dalam kedua medium tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa sel yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama tetapi berbeda tingkat
kepadatannya. Tingkat kepadatan lebih tinggi dihasilkan pada medium
mDMEM+ITS.
Tabel 3 Persentase sel saraf dan sel glia yang berkembang di dalam kultur (%)
Medium
Jenis sel
Sel saraf
Sel glia
Rata-rata
mDMEM
mDMEM+ITS
48,5 ± 10,3
51,5 ± 10,3
47,16 ± 1,06
52,84 ± 1,06
47,8
52,2
Sel glia memiliki persentase lebih banyak daripada sel saraf. Menurut
Junqueira & Carneiro (2005) jumlah sel glia 10 kali lebih banyak dibandingkan
dengan sel saraf dan mengisi jaringan saraf sebesar 90% (Beitz dan Fletcher
2006). Sel glia memiliki jumlah lebih banyak karena digunakan untuk membantu
pertumbuhan sel saraf melalui absorbsi nutrisi secara optimal. Berdasarkan hasil
pengamatan diperoleh jumlah sel glia sedikit lebih banyak daripada sel saraf yaitu
52,2%. Komposisi sel saraf dan sel glia memiliki persentase yang sama pada otak
manusia. Pewarnaan HE kurang mampu menggambarkan sel glia secara jelas
terutama untuk sel yang berukuran sangat kecil. Penggunaan imunositokimia
dalam pewarnaan sel dapat membantu identifikasi sel glia secara jelas (Beitz &
Fletcher 2006).
Analisis Protein pada Kultur Sel Saraf Otak dengan Menggunakan SDSPAGE
Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa CM yang dikoleksi dari kultur sel
saraf baik dari medium mDMEM maupun mDMEM+ITS menghasilkan tiga pita
dengan perkiraan berat molekul (BM) +66, +55 dan +30 kDa yang menunjukkan
intensitas pita tebal (Gambar 8). Sampel CM medium dengan penambahan ITS
menunjukkan intensitas warna yang lebih gelap pada gel elektroforesis yang
mengindikasikan konsentrasi protein yang lebih tinggi. Hal ini selaras dengan
hasil pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa jumlah sel yang tumbuh dalam
mDMEM+ITS lebih tinggi dibandingkan dengan dalam mDMEM. Jumlah sel
yang tinggi akan menghasilkan konsentrasi protein yang tinggi pula.
1
2
3
66,3 kDa
55,4 kDa
36,5 kDa
21,5 kDa
3,5 kDa
Gambar 8 Hasil SDS elektroforesis CM kultur sel saraf yang diwarnai dengan
silver nitrat. (1) Unstained marker. (2) Sampel mDMEM. (3) Sampel
mDMEM+ITS.
Sel saraf menghasilkan berbagai macam protein diantaranya protein tau,
protein MBP (myelin basic protein), dan protein PLP (proteolipid protein).
Protein tau memiliki berat molekul cukup besar yaitu 48-65 kDa (Holzer 2002).
Protein yang dihasilkan myelin memiliki berat molekul lebih ringan, misalnya
protein MBP yang memiliki berat molekul 21,5 kDa dan protein PLP dengan
berat molekul 30 kDa (Quarles et al. 2006). Growth factor yang dihasilkan oleh
sel saraf antara lain nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor
(GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP) dengan berat molekul
masing-masing 30 kDa (Bocchini dan Angeletti 1969), 39 kDa (Lin 1996), 240 kDa,
dan 52 kDa (Jung et al. 2007). Berdasarkan berat molekul tersebut diperkirakan
protein yang dihasilkan adalah NGF dan protein PLP, namun perlu dilakukan
analisis lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti protein yang dihasilkan
tersebut. Salah satu teknik identifikasi yang dapat dilakukan adalah western
immunoblotting. Selanjutnya, untuk memisahkan protein dapat digunakan metode
isoelectric focusing gel electrophoresis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kultur sel saraf otak besar menghasilkan sel-sel saraf bipolar dan
multipolar serta sel-sel glia berupa astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia.
Penambahan ITS ke dalam medium mampu meningkatkan proliferasi sel-sel yang
berkembang dalam kultur dan menghasilkan protein dengan konsentrasi lebih
banyak.
Saran
Kultur sel saraf menghasilkan protein yang diduga mengandung growth
factor tertentu. Oleh karena itu diperlukan identifikasi, purifikasi, dan
penghitungan konsentrasi protein tersebut. Peneguhan terhadap identifikasi sel-sel
yang berkembang dalam kultur sel saraf dapat dilakukan dengan pewarnaan yang
lebih spesifik yaitu imunositokimia. Peneguhan terhadap sekreta protein yang
dihasilkan dapat menggunakan metode western immunoblotting.
DAFTAR PUSTAKA
Agamanolis DP. 2010. Applied Neurocytology and Basic Reactions.
http://neuropathology.neoucom.edu/chapter1/chapter1cOligodendroglia.ht
ml. [09 Agustus 2010].
Ahmed H. 2005. Principles and Reactions of Proteins Extraction, Purification,
and Characterization. USA: CRC Press LLC.
Anonimus.
2005.
Insulin–Transferrine-Sodium
Selenite
Suplement.
http://www.roche-applied-science.com/support. [13 Mei 2010].
Banker G, Goslin K. 1998. Culturing Nerve Cells. USA: Massachusetts Institute
of Technology.
Barres BA. 1997. Neuron-glial Interactions. Di dalam Cowan WM, Jessel TM,
Zipursky SL, editor. Mollecular and Cellular Approaches to Neural
Development. USA: Oxford University Press.
Beitz AJ, Fletcher TF. 2006. Nervous Tissue. Di dalam Eurell JA, Frappier BL,
editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. USA: Willey
Blackwell.
Beresford WA. 2001. Nervous Elements. http://wberesford.hsc. wvu. edu/ histol.
htm#NERVOUS%20ELEMENTS. [18 Juli 2010].
Blot M. 2003. Prokayotic Genomics. Germany: Birkhauser Verlag.
Bocchini V, Angeletti PU. 1969. The nerve growth factor purification as a
30.000-molecular-weight protein. Proceeding of the National Academy of
Sciences of the United States of America 64: (787-794).
Bonner PLR. 2007. Protein Purification. New York: Tailor and Francis Group.
Brancoft JD, Gamble M. 2008. Theory and Practice of Histological Techniques.
Philladelphia: Elsevier Limited.
Butler M. 2004. Animal Cell Culture & Technology. Cornwall UK: Bios
Scientific Publishers.
Chevallet M, Luche S, Rabilloud T. 2006. Silver staining of proteins in
polyacrylamide gels. Nature Protocols 1: (1852-1858).
Cormack DH. 2001. Essential Histology. USA: Lippincott William&Wilkins.
Deutscher MP. 1992. Guide to Protein Purification. USA: Academic Press.
Fedoroff S, Richardson A. 2001. Protocols for Neural Cell Cultures. USA:
Humana Press Inc.
Freshney RI. 1994. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique. New
York: Wiley-Liss.
Freudenrich CC. 2001. How Your Brain Works. http:// pustaka. ictsleman. net/
how/b/brain/brain.htm. [18 Juli 2010].
Gabrion JB, Herbuté S, Bouillé C, Maurel D, Kuchler BS, Laabich A, Delaunoy
JP. 1998. Ependymal and choroidal cells in culture: characterization and
functional differentiation. Microscopy Research and Technique 41(2):
124-57.
Gage FH, Verma IM. 2003. Regenerative Medicine. USA: National Academy of
Science.
Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuewantono T, Setiawan B. 2010.
Stem Cell – Dasar Teori & Aplikasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hames BD. 1998. Gel Electrophoresis of Proteins. New York: Oxford
University Press Inc.
Hansson S. 2008. Proteomic Strategies for Analysis of Cerebrospinal Fluid in
Neurodegenerative Disorders. Sweden: Institute of Neuroscience and
Phisiology University of Gothenburg.
Hedrich HJ, Bullock GR. 2004. The Laboratory Mouse. USA: Elsevier
Academic Press.
Holzer JM. 2002. Alterations in Content and Phosphorylation State of
Cytoskeletal Proteins in the Sciatic Nerve During Ageing and Alzheimer's
Disease.
http://www.innovitaresearch.org/news/02111801.html.
[08
Agustus 2010].
Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Ito J, Nagayasu Y, Lu R, Hayashi AKM, Yokoyama S. 2005. Astrocytes
produce and secrete fibroblast growth factor-1 that promotes production of
apoE-high density lipoprotein in a manner autocrine action. Journal of
Lipid Research 46: (679-686).
Jakoby WB, Pastan IH. 1979. Cell Culture. USA: Academic Press Inc.
Janson JC, Ryden L. 1998. Protein Purification Principles, High Resolution
Methods, and Applications. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Jung CS, Foerch C, Schanzer A, Heck A, Plate KH, Seifert V, Steinmetz H,
Raabe A, Sitzer M. 2007. Serum GFAP is a diagnostic marker for
glioblastoma multiform. Brain 130: (3336-3341).
Junqueira LC, Carneiro J. 2005. Basic Histology 11th Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies Inc.
Jusuf AA, Antarianto RD. 2009. Aspek Histologi dalam Neurosains. Jakarta:
Departemen Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kalverbour AF, Genta ML, Hopkins JB. 1999. Current Issues in Developmental
Psychology. Neteherlands: Kluwer Academic Publishers.
Kerr JB. 2000. Atlas of Functional Histology. London: Harcourt Publishers
Limited.
Korogod S, Dumont ST. 2009. Electrical Dinamics of the Dendritic Space.
United Kingdom: Cambridge University Press.
Kuehnel W. 2003. Color Atlas of Citology, Histology, and Microscopic
Anatomy. Germany: Georg Thieme Verlag.
Kuntarti. 2007. Anatomi Sistem Saraf. http:// staff.ui.ac.id/ internal/
1308050290/ material/anatomisaraf.pdf. [18 Juli 2010].
Lin LFH. 1996. Glial Cell Line-Derived Neurotropic Factor (GDNF): A
Comprehensive Review. http:// www. promega.com/ nnotes/ nn203/
203_03. pdf. [31 Agustus 2010].
Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat
Antaruniversitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Martin BM. 1994. Tissue Culture Technique. USA: Birkhauser Boston.
Mather JP, Barnes D. 1998. Animal Cell Culture Methods. USA: Academic
Press.
Mather JP, Roberts PE. 1998. Introduction to Cell and Tissue Culture Theory
and Technique. New York: Plenum Press.
Murayama K, Singh NN, Helmrich A, Barnes DW. 2001. Neural Cell Lines. Di
dalam Fedoroff S, Richardson A, editor. Protocols for Neural Cell
Cultures. Totowa: Humana Press Inc.
Pollard JW, Walker JM. 1990. Animal Cell Culture. USA: The Humana Press
Inc.
Pombinho AR, Laizé V, Molha DM, Marques SM, Cancela ML. 2004.
Development of two bone-derived cell lines from the marine teleost
Sparus aurata evidence for extracellular matrix mineralization and celltype-specific expression of matrix Gla protein and osteocalcin. Cell Tissue
Research 315(3): (393-406).
Quarles RH, Macklin WB, Morell P. 2006. Myelin Formation, Structure, and
Biochemistry. Di dalam Siegel G, Albers RW, Brady S, Price D, editor.
Basic Neurochemistry: Molecular, Cellular, and Medical Aspects. Canada:
Elsevier Academic Press.
Radledge C, Kristiansen B. 2001. Basic Biotechnology. United Kingdom:
Cambridge University Press.
Roe S. 2007. Protein Purification Techniques: A Practical Approach. Great
Britain: The Bath Press.
Shuler ML, Kargi F. 1992. Bioprocess Engineering. USA: Prentice Hall Inc.
Svendsen CN, Bhattacharyya A, Tai YT. 2001. Neurons from stem cells:
preventing an identity crisis. Nature Reviews Neuroscience 2: (831-834).
Tzeng SF. 2002. Neural progenitor isolated from newborn rat spinal cord
differentiate into neurons and astroglia. Journal of Biomedical Science 9:
(10-16).
Yiu G, He Z. 2006. Glial inhibition of CNS axon regeneration. Nature Reviews
Neuroscience 7: (617-627).
Zhang JQ, Yu XB, Ma BF, Yu WH, Zhang AX, Huang G, Mao FF, Zhang XM,
Whang ZC, Li SN, Lahn BT, Yiang AP. 2006. Neural differentiation of
embryonic stem cells induced by conditioned medium from neural stem
cell. Neuroreport 17: (981-986).
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pembuatan medium kultur mDMEM
Medium kultur mDMEM merupakan medium Dulbecco’s Modified Eagle
Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam
amino non-esensial (AANE; Sigma) 1%, fetal bovine serum (FBS; Gibco) 10%,
NaHCO3 44mM, gentamisin 50 µg/mL, dan 2-mercaptoetanol 0,1 mM.
Pembuatan 100 mL mDMEM diperlukan 1 gram serbuk DMEM, 0,37 gram
serbuk NaHCO3, 100 µL larutan asam amino non-esensial (AANE; Sigma), 125
µL gentamisin 50 µg/mL, 700 µL 2-mercaptoetanol 0,1 mM, dan ddH 2O sampai
volume akhir 100 mL. Penambahan 10 mL FBS dilakukan pada saat medium akan
digunakan untuk kultur. Medium yang telah ditambah FCS selanjutnya
disterilisasi menggunakan mikrofilter 0,22 µm. Penambahan FCS dan sterilisasi
medium dilakukan di dalam clean bench. Medium yang sudah steril diinkubasi
dalam inkubator 37°C 5% CO2 selama 15 menit sebelum digunakan sebagai
medium kultur.
Lampiran 2 Pembuatan mPBS
Larutan mPBS merupakan larutan phosphate buffered saline (PBS; Gibco)
yang diberi tambahan fetal bovine serum (FBS; Gibco) 1% dan gentamisin 50
µg/mL. Pembuatan 100 mL PBS diperlukan 0,96 gram serbuk PBS yang
dilarutkan dalam 95 mL ddH2O kemudian ditambah 125 µL gentamisin 50
µg/mL. Selanjutnya larutan tersebut ditambah FCS sebanyak 5 mL dan
disterilisasi menggunakan mikrofilter 0,22 µm. Penambahan FCS dan sterilisasi
mPBS dilakukan di dalam clean bench. Sebelum digunakan, mPBS diinkubasi
dalam inkubator selama 15 menit.
Lampiran 3 Pembuatan separating dan stacking gel elektroforesis
Separating gel dibuat dengan memasukkan berturut-turut yaitu larutan
akrilamid 12% sebanyak 12 mL, aquades 10,05 mL, tris HCl 1,5M (pH 8,8) 7,5
mL, SDS 10% sebanyak 3 mL, TEMED 15 µL dan ammonium persulfat 10%
sebanyak 150 µL. Semua bahan tersebut dihomogenkan dalam Erlenmeyer.
Stacking gel dibuat dengan mencampurkan berturut-turut larutan akrilamid 12%
sebanyak 0,65 mL, aquades 3,05 mL, tris HCl 0,5M (pH 6,8) 1,25 mL, SDS 10%
50 µL, TEMED 5 µL, dan ammonium persulfat 10% 125 µL. Semua bahan
tersebut dihomogenkan dalam Erlenmeyer.
Lampiran 4 Pembuatan buffer SDS
Larutan buffer yang digunakan dalam proses elektroforesis adalah tris HCl
1,5 M pH 8,6, tris HCl 0,5 M pH 6,8, dan running buffer. Tris HCl 1,5 M pH 8,6
dibuat dengan cara melarutkan tris base 54,45 g dalam 150 mL aquades. Setelah
larutan homogen, pH larutan diatur hingga mencapai 8,6 dengan penambahan
larutan NaOH atau HCl. Selanjutnya, larutan ditambah aquades hingga volumenya
mencapai 300 mL. Tris HCl 0,5 M pH 6,8 dibuat dengan cara melarutkan 6 g tris
base di dalam 60 mL aquades. Larutan kemudian dihomogenkandan pH larutan
diatur hingga mencapai 6,8 dengan penambahan NaOH atau HCl. Selanjutnya
larutan ditambah aquades hingga volumenya mencapai 100 mL.
Running buffer dibuat dengan mengencerkan stock buffer. Stock buffer
dibuat dengan mencampurkan tris base 1,5 g, glycine 7,2 g, dan SDS 0,5 g.
Pembuatan running buffer 1x yang siap pakai dilakukan dengan mengencerkan
100 mL stock buffer dalam 400 mL aquades. Kemudian pH larutan diatur dengan
dengan menambah NaOH atau HCl sampai mencapai 8,3.
Lampiran 5 Pewarnaan silver nitrat
Pewarnaan silver nitrat terdiri dari empat tahapan yaitu fiksasi protein,
sensitisasi, pewarnaan (impregnation), dan pembentukan warna (developing)
(Chevallet et al 2006). Setelah dilakukan elektroforesis, gel dikeluarkan dan
dimasukkan dalam larutan fiksasi yang terdiri dari etanol 100 mL, asam asetat
glasial 25 mL, dan aquades 125 mL. Proses fiksasi dilakukan selama 30 menit.
Selanjutnya proses sensitisasi dalam larutan etanol, glutaraldehid 25% w/v,
sodium tiosulfat 5% w/v, sodium asetat, dan aquades. Sensitisasi dilakukan
selama 30 menit. Kemudian dilakukan pencucian dengan aquades 3x5 menit.
Proses pewarnaan dilakukan dalam larutan silver nitrat 2,5% w/v, formaldehid
37% w/v, dan aquades selama 20 menit. Tahapan terakhir adalah pembentukan
warna (developing). Gel dimasukkan dalam larutan yang terdiri dari sodium
karbonat, formaldehid, dan aquades selama 2-5 menit sampai terbentuk warna
yang cukup jelas. Setelah itu dilakukan stopping menggunakan larutan EDTA dan
dicuci dalam aquades selama 3x15 menit.
Lampiran 6 Prosedur tripsinasi
Sel yang telah konfluen 90% dibuang mediumnya lalu dicuci dengan PBS
kemudian dimasukkan tripsin 0,1% sebanyak 1 ml ke dalam petri. Selanjutnya sel
diinkubasi selama 5-10 menit sampai sel terlihat soliter dengan pengamatan di
bawah mikroskop. Pemipetan berulang dapat dilakukan untuk mempermudah
disosiasi
sel.
Sel
yang
telah
hemositometer Improved Neubauer.
terdisosiasi
selanjutnya
dihitung
dengan
Download