MAKALAH BIOFARMASI STUDI BIOFARMASETIKA TERAPI INHALASI UNTUK PENGOBATAN PENYAKIT PARU Dosen: Hilda Damayanti, S.Farm., M.Farm. Disusun Oleh: 1. Aan Khoriah (18040001) 2. Ezra Satrio (18040030) 3. Fitria Firdaus (18040037) SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH TANGERANG 2021 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA ································································ BAB I Pendahuluan ·································································· 1 I.1 Latar Belakang ························································· 1 BAB II Tinjauan Pustaka ··························································· 3 II.1 Anatomi dan Fisiologi paru ········································ 3 II.2 Pembuluh Darah yang Melewati Paru-Paru ··················· 6 II.3 Karakteristik Paru-Paru············································ 7 II.4 Gerakan Paru-Paru ·················································· 8 II.5 Jenis-Jenis Obat Inhalasi ··········································· 8 II.5.1 Bronkodilator·················································· 8 II.5.1.1 Agonis Adrenergik Inhalasi ····················· 8 II.5.1.2 Antagonis Kolinergik Inhalasi ·················· 10 II.5.2 Anti Inflamasi Pada Saluran Nafas ······················· 11 II.5.2.1 Kortikosteroid Inhalasi ·························· 12 II.5.3 Obat-Obatan Penunjang : Mobilisasi Secret Bronkus 13 II.5.3.1 Mukolitik ············································ 13 II.5.3.2 Proteolitik ··········································· 14 II.6 Faktor yang Mempengaruhi Proses Biofarmasetik Obat Pada Pemberian Melalui Paru ···································· 14 II.7 Evaluasi Biofarmasetik Sediaan Obat yang Diberikan Melalui Paru-Paru ··················································· 16 BAB III Penutup ······································································ 19 III.1 Kesimpulan ··························································· 19 DAFTAR PUSTAKA ································································ 20 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi pernafasan pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cedera (Hou S, 2015). Terapi ini telah lama dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), selain pemberian dengan cara peroral, injeksi intramuskular, dan intravena (Maccari J, 2017; Mangku G, 2017). Pada umumnya, terapi inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat khusus yang dapat membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan teknik tertentu dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat. Aerosol adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi (Mangku G, 2017). Keuntungan utama dari terapi inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara langsung menuju lumen internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di dalam paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang diberikan lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang diberikan secara inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan efek samping sistemiknya juga akan lebih rendah (Maccari J, 2017; Mangku G, 2017). Adapun beberapa tipe perangkat pembentuk aerosol atau generator aerosol yang umum digunakan yaitu pressurized metered dose inhaler (pMDI), dry powder inhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan generator aerosol disesuaikan dengan penderita Terapi inhalasi harus dapat menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi ukuran partikel aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat secara efisien mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain 1 generator (device) yang baik juga harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien, hal ini dapat meliputi ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok untuk segala usia yang ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari pasien terhadap pengobatan yang diberikan (Hou S, 2015). Pemahaman terhadap terapi inhalasi ini baik tujuan, jenis-jenis regimen obat, cara kerja obat, serta tipe-tipe generator aerosol sangat penting diketahui oleh seorang dokter. Maka melalui pembuatan makalah ini, diharapkan dapat memberikan lebih banyak informasi tentang terapi inhalasi kepada temanteman sejawat dokter muda. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Anatomi Dan Fisiologi Paru-Paru A. Anatomi Paru-paru Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadinya pada alveolus-alveolus di paru melalui sistem kapiler (Guyton, 2007). Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paruparu kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Pada paru kanan lobus-lobus nya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonalis. Di antara lobus-lobus paru kanan terdapat dua fisura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub bagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segment. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sheerwood, 2001). Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura.pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura parietal. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura (Guyton, 2007). Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan kelanjutan dari trakea. Bronkus berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampak paru-paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri 3 dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-2 cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkiolus). Pada bronkiolus tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru/ gelembung hawa atau alveoli (Syarifuddin, 2006). Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim itu mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantung udara yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveolus (zona respirasi) terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs (kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmonal dan alveoli. Gambar Anatomi Paru-paru B. Fisiologi Paru-paru Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida tersebut (West, 2004). Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik 4 otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Price, 1994). Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronkus dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paruparu utama (trakea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paruparu (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Mc Ardle, 2006). Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi pengeluaran pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali membesar paruparu dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu bernafas dalam dan volume udara bertambah (Syarifuddin, 2001). Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan volume intratoraks. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai -6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang menjadi sedikit negatif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru (Syarifuddin, 2001). 5 Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price, 2005). Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveolus ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007). Gambar Fisiologi Paru-paru II.2 Pembuluh Darah Yang Melewati Paru-Paru Arteri pulmonalis membawa darah yang sudah tidak mengandung oksigen dari ventrikel kanan jantung ke paru-paru, cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial, dan bercabang lagi sampai menjadi arteriol halus. Arteriol membelah-belah dan membentuk kapiler selanjutnya kapiler menyentuh dinding alveolus atau gelembung udara (Guyton, 2007). Kapiler halus hanya dapat memuat sedikit darah, maka praktis dapat dikatakan sel-sel darah merah membuat baris tunggal. Alirannya bergerak 6 lambat dan dipisahkan dari udara dalam alveoli hanya oleh dua membran yang sangat tipis, maka pertukaran gas berlangsung dengan difusi, yang merupakan fungsi pernapasan (Guyton, 2007). Kapiler paru-paru bersatu lagi sampai menjadi pembuluh darah yang lebih besar dan akhirnya dua vena pulmonalis meninggalkan setiap paru-paru membawa darah berisi oksigen ke atrium kiri jantung untuk didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aorta (Guyton, 2007). Pembuluh darah yang disebut sebagai arteria bronkialis membawa darah berisi oksigen langsung dari aorta torasika ke paru-paru guna memberi makan dan menghantarkan oksigen ke dalam jaringan paru-paru sendiri. Cabang akhir arteri-arteri ini membentuk pleksus kapiler yang tampak jelas dan terpisah dari yang terbentuk oleh cabang akhir arteri pulmonalis, tetapi beberapa dari kapiler ini akhirnya bersatu dalam vena pulmonalis dan darahnya kemudian dibawa masuk ke dalam vena pulmonalis. Sisa darah itu diantarkan dari setiap paruparu oleh vena brakialis dan ada yang dapat mencapai vena kava superior. Maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda (Guyton, 2007). II.3 Karakteristik Paru-Paru Paru-paru pada dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruang antara paru-paru dan dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007). Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk menggembung dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembung dan mengempis disebabkan karena adanya surfaktan yang dihasilkan oleh sel alveolar 2. Namun selain itu menggembung dan mengepis paru juga sangat dibantu oleh otot-otot dinding toraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang terdapat dalam cavum pleura. Pergerakan udara dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru-paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang 7 baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu: 1) Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna, sternocleidomastoideus, scalenus dan diafragma. 2) Otot-otot ekspirasi adalah rectus abdominis dan interkostalis internus (Alsagaff dkk, 2005). II.4 Gerakan Paru-Paru Pernafasan manusia melalui dua tahap, yakni (Alsagaff dkk, 2005): 1. Inspirasi (penghidupan) Pada tahap tersebut terjadi akibat tulang rusuk dan diafragma. Volume rongga dada dan paru-paru akan meningkat ketika diafragma bergeral turun ke bawah dan sangkar tulang rusuk membesar. Kemudian tekanann udara dalam paru-paru akan turun di bawah tekanan udara atmosfer dan mengalir ke dalam paru-paru. 2. Ekspirasi (penghembusan) Tahap penghembusan terjadi akibat otot tulang rusuk dan diafragms berelaksasi. Volume rongga dada dan paru-paru mengecil ketika diafragma bergerak naik dan sangkar tulang rusuk mengecil. Tekanan udara dalam paru-paru akan naik melebihi tekanan udara atmosfer, dan udara akan mengalir keluar paru-paru. II.5 Jenis-jenis Obat Inhalasi 2.5.1 Bronkodilator Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan merelaksasi otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum digunakan pada penyakit-penyakit paru seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Stoelting R, 2017; Katzung B. 2004). 2.5.1.1 Agonis adrenergik inhalasi Agonis adrenergik yang digunakan untuk terapi bronkospasme, wheezing, dan obstruksi aliran udara adalah agonis β-adrenergik. Penggunaan klinis dari agonis βadrenergik biasanya diberikan melalui inhaler atau nebulizer, 8 bersifat selektif β2 dan dibagi menjadi terapi kerja pendek dan kerja panjang. Terapi agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan dengan cepat keluhan bronkospasme, wheezing dan obstruksi aliran udara. Agonis β2 kerja panjang digunakan untuk terapi pemeliharaan untuk memperbaiki fungsi paru dan mengurangi gejala dan risiko terjadinya serangan (Shafer S, 2015). Agonis β2 kerja pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang berada pada membran plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel saluran nafas lainnya. Ikatan ini menyebabkan stimulasi protein G untuk mengaktivasi adenylate cyclase converting adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP), sehingga terjadi penurunan pelepasan kalsium dan perubahan membran potensial yang menyebabkan relaksasi otot polos. Agonis β2 kerja panjang mempunyai mekanisme yang sama, namun memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Hal ini berkaitan dengan ikatan obat dengan reseptor yang dapat berlangsung lebih lama (Shafer S, 2015). Agonis β2 kerja pendek seperti albuterol, levalbuterol, metaproterenol, dan pirbuterol memiliki onset kerja dalam beberapa menit dan durasi kerja 4-6 jam, sehingga ditujukan sebagai terapi pereda atau penyelamat terhadap gejala- gejala bronkospasme dan hambatan saluran nafas lainnya, yang dapat mengancam nyawa penderita. Agonis β2 kerja panjang biasanya digunakan untuk terapi pemeliharaan dan dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi. Penyerapan sistemik dari agonis β2 dapat menyebabkan beberapa efek samping dan kebanyakan tidak menimbulkan masalah yang serius. Sebagian besar terapi agonis β2 dapat menimbulkan tremor dan takikardi secara sekunder akibat stimulasi langsung reseptor β2 pada otot skelet atau vaskuler. 9 Pada serangan asma berat agonis β2 dapat menyebabkan penurunan sementara pada tekanan oksigen arterial sebanyak 5 mmHg atau lebih, akibat adanya vasodilatasi yang dimediasi β2 pada keadaan ventilasi paru yang buruk. Hiperglikemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia juga dapat terjadi, namun efek samping ini cenderung berkurang dengan penggunaan yang regular (Shafer S, 2015). 2.5.1.2 Antagonis kolinergik inhalasi Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi kontrol dan terapi serangan akut pada penyakit-penyakit obstruksi saluran nafas. Sistem saraf parasimpatis adalah memegang peranan utama untuk mengatur tonus bronchomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada reseptor muskarinik pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot. Penggunaan antikolinergik inhalasi pada kasus PPOK sebagai pemeliharaan dan terapi serangan akut telah dipertimbangkan sebagai terapi standar. Pada kasus asma antikolinergik lebih direkomendasikan untuk terapi serangan akut saja (Shafer S, 2015). Terdapat tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan pada saluran nafas manusia. Reseptor muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel postganglion dan bertanggung jawab untuk membatasi produksi asetilkolin dan melindungi dari terjadinya bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari antikolinergik. Reseptor muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3) bertanggung jawab untuk terjadinya bronkokonstriksi dan produksi mukus dan merupakan target kerja dari obat antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan dengan M1 dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G. Protein tersebut kemudian mengaktivasi fosfolipase C untuk memproduksi inositol trifosfat (IP3), yang 10 akan menyebabkan pelepasan kalsium dari penyimpanan intraseluler dan aktivasi dari myosin light chain kinase yang kemudian menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik menghambat kaskade tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan mengurangi pelepasan kalsium intraseluler (Shafer S, 2015). Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk terapi penyakit obstruksi saluran nafas yaitu (Katzung B, 2004; Shafer S, 2015): a Ipratropium Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek yang biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi serangan akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut). Pasien yang diterapi dengan ipratropium mengalami peningkatan toleransi olahraga, penurunan sesak, dan memperbaiki ventilasi. b Tiotropium Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang dapat diberikan sebagai terapi pemeliharaan tiotropium pada penyakit dapat PPOK. mengurangi Penggunaan terjadinya serangan/eksaserbasi akut PPOK, gagal nafas, dan penyebab mortalitas lainnya. 2.5.2 Anti Inflamasi Pada Saluran Nafas Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas yang mempunyai komponen inflamasi sebagai bagian dari patogenesisnya. Walaupun inflamasi adalah patogenesis umum, karakteristik dan elemen seluler yang dominan terlibat pada kedua penyakit tersebut adalah berbeda. Pada PPOK, komponen sel-sel inflamasi yang dominan terlibat adalah neutrophil, makrofag, limfosit T CD8+, dan eosinophil. Sementara pada asma, peran eosinophil paling dominan, diikuti oleh sel mast, limfosit T CD4+, dan makrofag (Shafer S, 2015). 11 2.5.2.1 Kortikosteroid Inhalasi Pada terapi asma kortikosteroid inhalasi berfungsi untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi, sehingga dapat memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi serangan akut. Pada terapi PPOK penggunaan kortikosteroid inhalasi sebagai monoterapi tidak disarankan dan biasanya dikombinasikan dengan agonis β adrenergik kerja panjang (LABA). Kombinasi dari kedua obat tersebut akan bekerja secara sinergis dan sangat bermanfaat untuk mengurangi inflamasi (Shafer S, 2015). Receptor glukokortikoid alfa (GR α) berada pada sitoplasma dari sel epitel saluran nafas yang merupakan target kerja primer dari kortikosteroid inflamasi. Adanya difusi pasif dari steroid ke dalam sel akan memberikan kesempatan pada GR α untuk berikatan dengan ligan steroid, sehingga nantinya dapat menurunkan ekspresi dari produk gen inflamasi.12 Obat ini memiliki aksi penting dalam menghambat limfositik dan eosinofilik dari mukosa saluran nafas (Stoelting R, 2017; Katzung B, 2004) Kortikosteroid inhalasi digunakan pada terapi asma sebagai regimen terapi multimodal dan ditambahkan ketika adanya peningkatan keparahan dan frekuensi dari serangan asma. Penggunaannya sebagai terapi PPOK dibatasi untuk PPOK berat sampai sangat berat, dan dikombinasi dengan LABA. Walaupun tidak adanya perbaikan dalam mortalitas dengan penggunaan terapi kombinasi tersebut, namun dilaporkan adanya peningkatan dalam status kesehatan dan fungsi paru seiring dengan terjadinya penurunan serangan (Shafer S, 2015). Efek samping dapat muncul dari penggunaan kortikosteroid inhalasi pada asma dan PPOK. Berdasarkan suatu penelitian meta analisis dilaporkan bahwa penggunaannya dapat meningkatan insiden terjadinya pneumonia. Efek samping lainnya adalah meliputi kandidiasis orofaringeal, faringitis, mudah memar, 12 osteoporosis, katarak, peningkatan tekanan intraokular, disfonia, batuk, dan gangguan pertumbuhan (pada anak-anak) (Shafer S, 2015). Pemberian terapi kortikosteroid inhalasi merupakan cara yang efektif untuk menurunkan efek samping sistemik yang dapat ditimbulkan. Beberapa jenis kortikosteroid inhalasi yang lipidsoluble yaitu beklometason, budesonide, flunisolide, flutikason, triamcinolone, dan mometasone (Katzung B, 2004). Tabel. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan 2.5.3 Obat-Obatan Penunjang : Mobilisasi secret bronkus 2.5.3.1 Mukolitik Mukolitik merupakan obat yang memiliki aksi kerja memutus rantai panjang senyawa organik yang membentuk sputum atau mukus sehingga terpecah menjadi molekul yang lebih kecil dan mudah bergerak. Hal ini akan menyebabkan mukus menjadi lebih mudah untuk dibersihkan oleh silia yang terdapat pada sel epitel yang ada pada sepanjang saluran nafas (Mangku G, 2017). Salah satu jenis mukolitik kuat adalah asetilsistein. Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril 13 pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan molekul mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan peningkatan pH. Pemberian asetilsistein dapat melalui inhalasi dengan menggunakan nebulizer (Katzung B, 2004). 2.5.3.2 Proteolitik Tujuan pemberian proteolitik adalah untuk menghancurkan protein pada sputum yang purulen, melalui aktivitas enzim protease. Jenis proteolitik yang sering dipakai adalah tripsin dan dornase. Pemakaian secara aerosol masih terbatas, dimana dosis inhalasinya adalah 100.000 U 2-3 kali per hari (Mangku G, 2017). II.6 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Biofarmasetik Obat Pada Pemberian Melalui Paru Paru-paru merupakan daerah absorpsi yang baik pada penggunaan sediaan gas atau kabut dari aerosol dengan partikel yang sangat halus dari cairan atau padatan. Penghantaran obat melalui paru-paru mengacu pada pendekatan formulasi, teknologi dan sistem senyawa obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai efek terapi yang diinginkan (Shargel, dkk., 2012). Ukuran partikel (tetesan) dan kecepatan pemakaian mengendalikan jumlah senyawa yang terhirup menembus ruang jalur udara. Ukuran optimum untuk penembusan jalur udara yang lebih dalam dari partikel obat adalah 3 sampai 5 mikrogram. Partikel- partikel besar cenderung terkumpul pada jalur udara atas, sedangkan partikel molekul sangat kecil (<3 mikrogram) keluar bersama hembusan napas sebelum terjadi absorbsi (Shargel, dkk., 2012). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penahanan partikel dalam saluran pernapasan sebagai berikut: A. Faktor anatomi saluran fisiologis saluran napas Ditinjau dari anatomi, penahanan partikel tersebut berkaitan dengan ukuran saluran napas yang secara bertahap semakin mengecil, frekuensi pembagian, jumlah dan sudut percabangan yang dapat mempengaruhi depo (Shargel, dkk.,2012 ). 14 Ditinjau dari fisiologinya. Perubahan irama pernapasan, kapasitas vital, volume aliran, atau adanya halangan bronkus merupakan parameter yang berpengaruh pada pembentukan pada depo (Shargel, dkk., 2012). B. Faktor fisiko kimia partikel a) Ukuran partikel Pada aerosol monodisperse, partikel ukuran 1-5 mikrogram dapat menembus dan mengendap dalam alveoli partikel yang lebih kecil dari 1 mikrogram tidak akan mengendap dan keluar saat ekspirasi (Shargel, dkk., 2012). b) Muatan partikel Partikel bermuatan dengan mobilitas yang tinggi dan menimbulkan muatan yang lemah pada partikel-partikel kecil (1 mikrogram atau lebih kecil) atau muatan yang besar (1 mikrogram atau lebih) (Shargel, dkk., 2012). c) Bobot jenis partikel Stabilitas sediaan aerosol berkaitan dengan pengaruh bobot jenis terhadap laju pengendapan suatu partikel dengan diameter 0,5 mikrogram dan bobot jenis 10 mikrogram , memiliki laju pengendapan yang sama dengan laju pengendapan partikel 2 mikrogram dan bobot jenis 1 g/cm (Shargel, dkk., 2012). d) Bobot jenis gas pendorong Sediaan farmasi yang berbentuk semprot pada gas pendorongnya mempunyai bobot jenis yang tinggi. Semakin tinggi bobot jenisnya maka semakin nyata pengaruh pembawa gas terhadap partikel yang tersuspensi, dan hal ini dapat mengakibatkan penetrasi yang jauh ke dalam saluran (Shargel, dkk., 2012). C. Faktor biologis Faktor biologis adalah adanya mekanisme pertahanan pada paruparu yang terdapat benda asing sehingga terjadi barrier yang harus diatasi untuk memastikan deposisi dan absorpsi obat yang efisien pada saluran pernafasan. Adapun beberapa barrier tersebut yaitu: epitel paru- 15 paru, sel-sel bersilia, alveolar magrofag, lapisan cairan epitel, surfaktan paru-paru, dan mucociliary clearance (Ansel 1985). D. Faktor farmasetik Faktor farmasetik adalah faktor yang terkait dengan formulasi yang mempengaruhi sistem penghambatan pada obat ini adalah ukuran, bentuk, kerapatan dan stabilisasi fisik partikel (Ansel 1985). II.7 Evaluasi Biofarmasetik Sediaan Obat Yang Diberikan Melalui Paru-Paru A. Perjalanan aerosol dalam tubuh Dengan alat penyemprot, partikel-partikel aerosol akan menempuh jalur tertentu yang berbeda dengan jalur perjalanan zat aktif yang diberikan dengan cara lainnya dan jalur tersebut tergantung pada cara pemberian aerosol pada tempat pemberian aerosol (partikel yang dihirup). Oleh karena itu penelitian sediaan terdiri dari 2 jenis yaitu penelitian pertama, berkaitan dengan perjalanan partikel-partikel dari alat generator sampat tempat fiksasi di dalam saluran napas (dengan kemungkinan kembali ke lingkungan luar), dan pada penelitian kedua meneliti transfer zat aktif yang terkandung dalam partikel aerosol sejak dari tempat depo sampai dikeluarkan dari tubuh. Perjalanan aerosol yaitu: 1. Transit atau penghirupan 2. Penangkapan atau depo 3. Penahanan atau pembersihan 4. Penyerapan (Shargel, 2005). B. Evaluasi ketersediaan hayati Pada aerosol dengan efek sistemik kemungkinan untuk memperkirakan aktivitas farmakologi atau terapeutik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkan dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena dan pemberian lainnya (Shargel,2005). Pada aerosol dengan efek setempat, sangat diperlukan untuk melaksanakan studi ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbagai formulasi yang berbeda untuk memilih formula yang lebih setempat, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi 16 dari ukuran partikel yang harus sehomogen mungkin. Sebelum melakukan penilaian yang tepat tentang ketersediaan hayati sediaan aerosol, perlu diketahui dengan pasti seberapa parameter zat aktif, yaitu: a) Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapeutik dari partikel aerosol yang halus b) Daerah depo dan peranannya untuk menghasilkan efek terapeutik yang sesuai dan terukur c) Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari efek sekunder d) Pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel (Shargel, 2005). Adapun tahap evaluasi biofarmasetik yaitu: a. Tahap pertama Yaitu pemilihan bagian saluran napas yang akan dicapai oel zat aktif untuk memberikan aksi setempat atau untuk memberikan aksi setempat atau untuk diserap dan selanjutnya menghasilkan efek sistemik (Shargel, 2005). b. Tahap kedua Yaitu pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol sedemikian hingga diperoleh diameter partikel yang diinginkan. Pemilihan alat harus dilengkapi dengan cara pemberian (tujuan bukal, nasal, masker wajah ) karena harus dihindari terjadinya depo yang tidak dikehendaki dalam saluran napas (Shargel,2005). c. Tahap ketiga Yaitu penelitian in vitro pada hewan untuk meramalkan toksisitas dan reaksi samping yang mungkin terjadi setelah pemberian zat aktif dalam aerosol.percobaan ini menggunakan pipa khusus ke berbagai tempat saluran napas untuk mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu termasuk reaksi sistemik atau setempat (Shargel, 2005). 17 d. Tahap keempat Yaitu pada subjek manusia dalam hal ini keadaan pemberian dan penghirupan partikel harus tepat, serta penentuan ritme pernapasan (Shargel, 2005). e. Tahap kelima Yaitu studi ketercampuran obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk terpilih (larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan dan lainlain) (Shargel, 2005). Sedangkan evaluasi pada subjek manusia: Tahapan-tahapan evaluasi pada subjek manusia yaitu: Keadaan pemberian dan penghirupan partikel harus tepat,Ritme pernafasan diatur,Kedua hal diatas berhubungan dengan jumlah obat yang dihirup dan jumlah zat aktif yang diserap (Shargel,2005). 18 BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua bagian yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru mempunyai permukaan absorpsi potensial 70m2, permukaan yang lebih besar dari usus halus atau jalur nasal. Pembuluh darah yang melewati paru-paru diantaranya arteri pulmonalis, vena pulmonalis, arteri bronkial dan vena bronchialis. Faktor utama yang mempengaruhi proses biofarmasetik sediaan yang diberikan melalui paru-paru yaitu ukuran partikel. Makin kecil ukuran partikel maka makin tinggi ukuran penetrasinya ke dalam alveoli paru-paru. Absorpsi melalui paru-paru cocok untuk sediaan terutama zat dalam bentuk gas yaitu aerosol. 19 DAFTAR PUSTAKA Alsagaf, H, dkk. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi 4. Surabaya: Universitas Airlangga. AMK, Syarifuddin. 2010. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC Ansel, H. C . 1985. Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Fourth Edition,New York : Lea & Fibiger. Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Hou S, Wu J, Li X. Practical, regulatory and clinical considerations for development of inhalation drug products. Asian Journal of Pharmaceutical Sciences. 2015;10 (6):490-500. Katzung B. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. Boston: McGraw-Hill; 2004. Maccari J, Teixeira C, Gazzana M. Inhalation therapy in mechanical ventilation. Journal Brasileiro de Pneumologia [Internet]. 2015 [cited 13 May 2017]; 41 (5): 467. Mangku G, Senapathi TGA. Terapi Cairan. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks Jakarta. 2017: 243-56. McArdle WD. 2006. Exercise Physiology: Energy, Nutrition, and Human Performance. 4th Edition. USA: Williams and Wilkins. hlm. 19-41. Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Vol. 2 . Jakarta: EGC Price, sylvia Anderson. 1994. Pathophysiology. Ed. 4. Jakarta : EGC Shafer S, Rathmell J, Flood P. Stoelting's pharmacology and physiology in anesthetic practice. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. Shargel, L.& Andrew B.C.YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press. Shargel, Leon, et al,. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima. Surabaya : Airlangga University Press. Sheerwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC Stoelting R, Hines R, Marschall K. Handbook for Stoelting's anesthesia and coexisting disease. 7th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2017. 20 Syaifuddin H. 2001. Fungsi Sistem Tubuh Manusia. Jakarta: Widya Medika. West JW. 2004. Interaction of energy and bovine somatotropin with heat stress. J. Dairy Sci. 43: 1245 21