iptek 17 Halaman >> Selasa > 5 Oktober 2010 REPUBLIKA Cumulus Nimbus dan Masa Transisi Oleh Dewi Mardiani Bila suhu dan tekanan udara kontras, potensi terjadinya angin kencang sangat besar. P agi hingga siang hari, terasa panas menyengat. Namun, menjelang siang hingga malam hari, tiba-tiba saja awan gelap menggantung, disertai angin, turun bersama derasnya hujan. Kondisi seperti ini, kerap pula disertai petir dan guntur yang menggelegar. Badai angin dan hujan deras disertai angin kencang seperti ini, sering terjadi di masa transisi musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Beberapa wilayah di Indonesia bisa merasakan kejadian tersebut akhirakhir ini. Akibatnya, banjir terjadi di beberapa daerah. Angin puting beliung juga terjadi di beberapa tempat, seperti di Bogor dua pekan silam. Inilah karakter cuaca di saat transisi musim. Menurut Kepala Bidang Informasi Publik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Prabowo, badai angin dan hujan ini akan berakhir pada saat sudah benar-benar masuk ke musim kemarau atau penghujan. “Di saat masuk masa transisi ke arah musim kemarau atau ke musim penghujan seperti ini, badai angin dan hujan memang sudah menjadi karakteristik,” ujar meteorolog ini, Senin (4/10). Menurutnya, berbagai daerah memiliki karakteristik masa transisi yang berbeda pula, baik curah hujan maupun suhunya. Angin menjadi ciri khas yang sering kali muncul pada masa ini, tetapi terjadi tak berlangsung lama, yaitu hitungan menit sampai satu hingga tiga jam. Padat versus jarang Menurut Prabowo, saat musim transisi, kondisi atmosfer di udara menurun. Akibatnya, radiasi matahari di beberapa tempat meningkat dan menyebabkan pembentukan awan yang tinggi. Pada saat yang sama, di permukaan tanah beberapa daerah terjadi pemanasan akibat radiasi matahari. Itulah yang mengakibatkan tekanan udara naik. “Di beberapa daerah yang padat penduduk dan lapangan terbuka yang jarang penduduknya bisa terjadi per bedaan radiasinya sehingga pemanasannya pun bervariasi. Lapangannya bisa merupakan taman, persawahan, tegalan, bahkan perkantoran yang memiliki lahan terbuka,” ujarnya. MUSIRON/REPUBLIKA Luasan lahan terbuka ini tak menjadi faktor penentu. Yang jelas, tambah Prabowo, bila suhu dan tekanan udara terdapat kekontrasan, potensi terjadinya angin kencang sangat besar. Kekontrasan penerimaan radiasi di permukaan juga mengakibatkan penguatan proses konveksi. Akibatnya, bisa memunculkan angin sporadis dengan kecepatan tinggi. Pembentukan awan yang cepat, angin yang kencang dan tak rata di beberapa tempat (akibat kekontrasan tadi), menyebabkan angin bersifat sporadis dan tak meluas. “Kejadian seperti ini bisa terjadi di mana-mana. Bukan hanya di Jakarta dan sekitarnya. Yang jelas, kejadiannya di daerah-daerah dengan kontras radiasi matahari tinggi,’’ jelas Prabowo. Untuk luasan badai angin dan hujan yang muncul sporadis ini, tambahnya, tak begitu besar. Areal berkisar hingga 10 kilometer persegi. “Durasinya pun tak lama, yaitu tak lebih dari dua sampai tiga jam,’’ ujarnya. Cumulus Nimbus Dampak cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia ini adalah banjir bandang dan angin kencang. Angin kencang itu terjadi dari awan Cumulus Nimbus. Cuaca ekstrem hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Umumnya, cuaca ekstrem itu terjadi di daerah-daerah konvergensi angin atau belokan angin. Cuaca ekstrem yang terjadi pada masa transisi ini, menurut pakar cuaca eks- trem BMKG, Kukuh Riburiyanti, sangat erat dengan tekanan udara. Pada masa transisi, misalnya, dari tekanan udara di timur beralih ke penghujan ke tekanan barat menyebabkan kedua tekanan melemah. Selain itu, kondisi air di wilayah lokal (daerah tertentu) dan kontur permukaan di darat memicu pembentukan awan. “Bila kondisinya mendukung, pemampatan tekanan udara dan kelembapan juga tinggi, maka terbentuk uap air yang banyak. Lalu, terbentuklah awan Cumulus Nimbus,’’ jelasnya. Kukuh mengingatkan, agar mewaspadai bila di pagi hari sangat panas karena dimungkinkan ada potensi siang atau sorenya hujan dan angin kencang. Bahkan, sewaktu-waktu bisa angin puting beliung terjadi walau dalam durasi pendek. Awan Cumulus Nimbus, menurutnya, memang memiliki karakter tertentu. Awan ini disertai petir atau kilat. Bila akumulasinya besar dan tinggi, munculnya adalah angin kencang, puting beliung, bahkan ada pula yang berwujud hujan es. Menurutnya, kondisi ini akan berangsur turun saat musim penghujan sebenarnya yang diperkirakan pada akhir Oktober hingga awal November 2010. Suhu yang ada saat ini pun bervariasi di tiap daerah dengan kisaran 23 hingga 34 derajat Celsius. Faktor yang terus diwaspadai adalah pengaruh La Nina yang bisa memperburuk cuaca ekstrem. Aspek lainnya yang juga harus diwaspadai adalah siklon tropis di sebelah selatan Pulau Jawa yang bisa muncul tiba-tiba di masa penghujan. Masa tumbuhnya siklon tropis ini adalah di lintang selatan 10 (sebelah barat Darwin atau Perth, Australia). Siklon tropis ini membuat curah hujan di sepanjang musim penghujan itu menurun atau ‘beristirahat’. Kondisi ini, kata Kukuh, tampak seperti ada transisi pendek. “Di saat itu bisa berpotensi terbentuknya awan Cumulus Nimbus dan angin besar walau dengan durasi pendek. Pengaruh siklon tropis ini bisa berlangsung sekitar sepekan,” tandasnya. ■ ed: andi nur aminah