Disertasi B00 - IPB Repository

advertisement
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Pertanian sebagai industri dapat dilihat dalam tiga sisi, yaitu teknologi
produksi pertanian, unit ekonomi rumahtangga petani (farm household), dan
komoditas produk pertanian, seperti pendapat Nakajima (1986) tentang teori
keseimbangan subyektif dari rumahtangga pertanian. Analisis perilaku ekonomi
rumahtangga petani berusaha mengkaji sektor tanaman pangan di Indonesia yang
dikuasai oleh rumahtangga petani. Tujuan akhirnya adalah peningkatan
kesejahteraan rumahtangga petani.
Rumahtangga petani berusaha mengontrol
kehidupannya untuk mencapai tujuan tersebut.
Rumahtangga petani sebagai suatu unit ekonomi yang kompleks adalah
usahatani dengan tenaga kerja keluarga dan konsumen yang memaksimumkan
utilitasnya untuk mencapai kepuasan.
Rumahtangga petani memaksimumkan
fungsi kegunaan atau utilitas dengan sumberdaya terbatas, yang secara rasional
menuju pada titik keseimbangan.
Sebagai unit ekonomi, rumahtangga petani
mempunyai hubungan simultan antara perilaku produksi dan perilaku konsumsi,
yang tidak terjadi pada organisasi perusahaan.
Perusahaan hanya melakukan
kegiatan prod uksi barang da n jasa untuk mencapa i tujuan maksimisasi
keuntungan. Kons umsi diturunka n da ri pe rilaku individu yang secara rasional
berusaha memaksimumkan kepuasan dengan kendala anggaran tertentu, sehingga
merupakan sebuah fungsi permintaan rumahtangga. Hubungan simultan antara
perilaku produksi dan konsumsi dalam rumahtangga petani, menyebabkan
perilaku rumahtangga petani memerlukan landasan teori ekonomi yang unik.
3.1. Teknologi Produksi Pertanian
Dalam model perilaku rumahtangga petani, dibutuhkan keputusan terpadu
antara produksi, pendapatan, dan konsumsi. Dalam sistem usahatani, maka
produksi, pendapatan, dan konsumsi, merupakan salah satu bagian dari suatu
sistem yang kompleks. Produksi dapat ditentukan oleh faktor internal, eksternal,
dan lingkungan alami. Faktor internal terdiri dari ketersediaan sumberdaya lahan,
tenaga kerja, dan modal. Faktor eksternal berupa struktur masyarakat,
kelembagaan
(pasar,
kredit,
penyuluhan),
dan sarana/prasarana (irigasi,
40
transportasi). Faktor alami adalah lingkungan fisik (lahan, ketinggian, radiasi,
curah hujan, topografi), dan lingkungan biologi (varietas, hama-penyakit, gulma).
Semua faktor tersebut menghasilkan output berupa produksi dan pendapatan, yang
hasilnya dikonsumsi masyarakat luas di pasar yang saling terkait.
Dengan asumsi teknologi produksi pertanian yang tetap, maka pendapatan
maksimum tercapai hingga tingkat tertentu. Dengan ketersediaan sumberdaya
pertanian yang terbatas kuantitas dan kualitasnya, peningkatan produksi dan
produktivitas memerlukan teknologi yang efektif dan efisien. Perbedaan tingkat
teknologi akan membedakan produksi yang dicapai. Dengan asumsi harga input
dan harga output tetap, teknologi produksi pertanian akan berpengaruh terhadap
tingkat pendapatan petani.
Penerapa n teknologi baru sesuai anjuran, tergantung strategi pe tani untuk
melakuka n keputusan produksi pada usahatani pertanian. Adopsi teknologi
diterima jika lebih baik dan menguntungkan dibandingkan teknologi alternatif
yang tersedia. Kriteria yang dipilih adalah: (1) bertujuan memenuhi kebutuhan
konsumsi keluarga, (2) kondisi lahan harus sesuai dengan jenis tanaman anjuran,
(3) dukungan irigasi untuk lahan usaha,
menanam tanaman yang diinginkan,
(4) pe ngetahuan dan keterampilan
(5) ketersediaan waktu dan tenaga kerja
serta biaya usahatani, (6) ketersediaan modal dan fasilitas kredit untuk membeli
benih, pupuk, dan obat/pestisida, dan (7) kemampuan menanam modal dalam
jangka tertentu hingga tanaman berhasil.
Kendala adopsi teknologi produksi usahatani pertanian adalah keterbatasan
modal, faktor resiko, dan ketidak-pastian. Modal yang tersedia dapat bersumber
dari keluarga dan luar keluarga, yang digunakan untuk kebutuhan input teknologi
sesuai anjuran, dan membiayai tenaga kerja, peralatan pertanian, investasi sesuai
teknologi baru, baik mekanis maupun kimia-biologis, seperti pendapat Barker dan
Hayami (1978) tentang konsekuensi ekonomis teknologi baru tanaman padi, serta
implikasi perubahan teknologi dan kebijakan ekonomi untuk tanaman padi di
Indonesia, sesuai analisis Jatileksono (1986). Resiko yang dihadapi petani adalah
kegagalan panen karena gangguan cuaca, hama-penyakit, dan gulma.
Analisis Elad et.al. (1998) tentang produktivitas tenaga kerja dalam
rumahtangga pertanian di Afrika, dengan model produksi rumahtangga yang
41
direvisi, dapat dijadikan acuan untuk melihat asumsi teknologi produksi usahatani
yang tetap, sehingga produktivitas usahatani dapat dicapai sampai batas tertentu.
Jumlah penggunaan input yang tepat akan menghasilkan produksi yang tinggi
sesuai ketersediaan sumberdaya yang dimiliki.
Secara teoritis perilaku rumahtangga petani ini dapat didekati dengan teori
produksi, dimana fungsi produksi diasumsikan sebagai hubungan antara produksi
dan faktor produksi secara kontinyu. Secara matematis fungsinya dapat
dirumuskan menjadi: Y= f (X 1 , X2 ,….., Xi ), dimana Y= produksi, dan X= faktor
produksi.
Hubungan antara produksi total, produksi rata-rata, dan produksi
marjinal, dapat dilihat pada pembagian tahapan skala produksi sesuai hukum
kenaika n hasil ya ng semakin berkurang (law of diminishing return), seperti
disajikan pada Gambar 1.
Produksi
C
Ep=1
Ep=0
Produksi Total
B
Ep>1
1>Ep>0
Ep<0
TI
T II
T III
A
B*
Produksi Rata-rata
Produksi Marjinal
C*
Faktor Produksi
O
Gambar 1. Tahapan Skala Produksi
Dalam Gambar 1, terlihat bahwa pada wilayah I, penambahan faktor
produksi menyebabkan persentase kenaikan produksi total lebih besar dari
persentase kenaikan faktor produksi, sehingga memacu tambahan pendapatan.
Produsen dianggap tidak rasional untuk menghe ntikan penamba han faktor
produksi selama
pendapatan.
penambahan
faktor
produksi
menghasilkan tambahan
Pada wilayah II, penambahan faktor produksi menyebabkan
42
pendapatan yang menurun. Pendapatan maksimum tercapai pada saat nilai
produksi marjinal sama dengan biaya pe ngorbanan marjinal sama de ngan satu,
yang merupaka n daerah rasional ba gi prod usen sesuai prinsip ekonomi da lam
mencapai pendapatan maksimum. Pada wilayah III, penambahan faktor produksi
berakibat produksi total dan pendapatan menurun, sehingga merupaka n wilayah
tidak rasional.
Kedelai atau Glycine Max (L) Merril ditanam setelah panen padi di musim
gadu, sebagai tanaman sela di lahan sawah irigasi setengah teknis dan tadah hujan,
dengan status sebagai tanaman secondary crops. Budidaya kedelai dipengaruhi
oleh waktu tanam, lokasi, jenis lahan, da n musim tanam. Budidaya kedelai dibagi
tiga musim tanam, yaitu setelah padi musim hujan, padi musim gadu, dan
musim hujan. Penanaman di lahan sawah lebih diminati petani karena lebih tinggi
hasilnya.
Penanaman kedelai
setelah padi lebih hemat tenaga dan
biaya.
Kendala usahatani kedelai adalah, keterbatasan lahan petani subsisten yang dapat
ditanam secara tumpangsari seperti dengan jagung.
Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi tempe, kecap, oncom, tauco, natto;
tahu, yuba, susu/saridele, daging tiruan; minyak salad, minyak goreng, mentega
putih, margarine; yogurt, roti, es-krim, makanan bayi, kembang gula; minuman
fungs ional (isoflamix); oba t-obatan (farmasi), alat kecantikan (parfum); dan
bungkil kedelai sebagai makanan ternak, membuat budidaya kedelai dan industri
pengolahan hasil kedelai semakin berkembang. Proses pengolahan kedelai dapat
menghasilkan produk pangan fermentasi, produk pangan non- fermentasi, produk
minyak kasar untuk pangan dan teknik/industri, produk lesitin, produk konsentrat
protein, produk isoflamix, dan produk bungkil kedelai.
Teknik budidaya usahatani kedelai yang perlu diperhatikan adalah
waktu/musim dan pola tanam, pemilihan varietas benih unggul dan lokal, syarat
dan kebutuhan benih, penyiapan lahan, cara dan jarak tanam, pemupukan,
penggunaan mulsa,
pengendalian gulma,
pembumbunan,
pengairan dan
pengelolaan air, pengendalian hama penyakit, pemanenan dan pasca-panen.
Selain faktor iklim, pertumbuhan kedelai tergantung jenis lahan, apaka h termasuk
lahan berdrainase jelek (rawa, pasang surut, lebak), lahan gambut (pH renda h,
43
kesuburan renda h), lahan kering de ngan jumlah hujan terbatas, atau lahan
dataran tinggi dengan suhu di bawah kebutuhan minimal pertumbuhan kedelai.
Hasil kedelai di lahan kering biasanya lebih rendah dari lahan sawah, sebab
penanaman kedelai setelah padi gogo dilakukan tanpa pengolahan tanah, dan
teknologi budidaya kedelai lambat penguasaannya. Pertumbuhan kedelai dibagi
dalam tahap vegetatif dan tahap reproduktif. Sifat-sifat agronomis kedelai yang
penting adalah pada stadia reproduktif.
Faktor lingkungan yang berpengaruh
ada lah ke suburan tanah, ka ndungan air, naungan tanaman, s uhu udara, kecukupa n
hara, kecepatan angin, serta ketahanan pada hama penyakit.
Teknik produksi dan pengembangan kedelai untuk meningkatkan produksi
usahatani kedelai di Indonesia menurut Sumarno et.al. (2007) dan Manwan et.al.
(1990), dititik-beratkan pada penggunaan benih unggul kedelai, seperti juga
pendapat Sadjad (1997) tentang pendekatan sistem dalam pengadaan benih
kedelai, termasuk perakitan varietas unggul kedelai spesifik agro-ekologi. Disisi
lain, rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pestisida hayati sesuai dosis anjuran,
menyebabkan produksi dan produktivitas kedelai rendah hasilnya. Dalam proses
alih teknologi, faktor benih, pupuk, dan pestisida, kredit usahatani, pemasaran,
penyuluhan, dan konservasi sumberdaya alam, berperan penting dalam
meningkatkan hasil kedelai, seperti terlihat pada kinerja penelitian tanaman
pangan oleh Syam et.al. (1997).
Kedelai responsif terhadap pupuk, sehingga membutuhkan pupuk NPK
yang cukup.
Penggunaan zat perangsang tumbuh sangat efektif untuk
meningkatkan hasil kedelai di lahan kering, karena bersifat mendorong,
merangsang, menghambat, atau menahan pertumbuhan tanaman.
Respon
tanaman terhadap zat perangsang tumbuh tergantung pada varietas, kesuburan
tanah, dan keadaan lingkungan, serta musim, lokasi, dan stadia pertumbuhan
kedelai.
Penelitian On-farm multi- lok asi, sangat berguna untuk menguji kelayakan
teknis dan ekonomis dari alternatif dan adopsi teknologi produksi baru. Inovasi
dan adopsi bio-teknologi dilakuka n misalnya de ngan menggun aka n pupuk
mikroba seperti Rhizoplus dan Legin, atau teknologi Rhizobium serta perbaikan
44
sistem kelembagaan seperti kredit pertanian, penyulu han dan pemasaran hasil
pertanian (Sumarno et.al., 2007).
Dalam penelitian pengembangan teknologi produksi usahatani kedelai,
Adisarwanto dan Suyamto (1997) serta Damardjati et.al. (1997) menganalisis
perlunya penggunaan pupuk dan pestisida hayati untuk intensifikasi kedelai, yang
tergantung da ri jenis lahan da n agrok limat tanaman.
Teknologi prod uksi
usahatani kedelai meliputi: (1) pemilihan varietas benih unggul bermutu tinggi,
(2) penyiapan lahan bebas gulma dan sanitasi lingkungan, (3) inokulasi
rhizobium, (4) ameliorasi tanah dari aspek pH, bahan organik, hara N, P, K, Ca,
Mg, sesuai keperluan, (5) penyesuaian waktu tanam dengan ketersediaan air, dan
(6) peralatan dan tenaga kerja pada musim pa nen da n pasca-pa nen serta harga
pasar yang wajar.
Perluasan areal panen dan peningkatan produksi serta produktivitas kedelai
di lahan sawah dilakukan untuk mencapai target swasembada kedelai tahun 2015.
Intensifika si khusus kede lai dilakukan di lahan kering de ngan menamba h input
kapur pertanian, sedangkan Supra Insus dilakukan di sawah irigasi teknis dan
setengah teknis.
Penanaman kedelai monokultur dilakukan di musim tanam
ketiga di lahan tada h hujan.
Peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan ekstensifikasi, intensifikasi,
diversifikasi, rehabilitasi, dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Intensifikasi
diarahkan pada peningkatan produksi dan mutu benih unggul
melalui subsidi input produksi, atau dengan kebijakan Intensifikasi Khusus dan
Operasi Khusus pada lahan marjinal. Ekstensifikasi diarahkan pada perluasan
areal tanam baru di lahan sawah dan lahan kering, dengan pemberian kapur untuk
memperbaiki mutu lahan.
Diversifikasi tanaman dapat dilakukan dengan
meningkatkan intensitas tanaman, serta optimalisasi pola tanam tumpang-sari di
lahan sawah, lahan kering, pekarangan, dan lahan perkebunan.
Diversifikasi pertanian tanaman pangan sesuai konsep agribisnis untuk
tujuan ekspor oleh Surya na et.al. (1990), meliputi aktivitas terpadu secara vertikal
pada proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran, dan tidak jauh berbeda
dengan konsep Austin (1981) tentang analisis proyek agro-industri. Dalam sistem
agribisnis, terdapat subsistem penyediaan sarana produksi, usahatani, pengolahan,
45
dan pemasaran, seperti konsep agribisnis Saragih (2001) tentang paradigma baru
pembangunan ekonomi berbasis pertanian.
Subsistem usahatani yang efektif dan efisien dilakukan petani atau
perusahaan kecil, dimana biaya produksi per-unit tidak terpengaruh oleh skala
usaha. Pola perusahaan inti rakyat (PIR) pangan adalah bentuk kerja sama saling
menguntungkan antara perusahaan pertanian sebagai inti, dan petani PIR sebagai
plasma, serta pemerintah sebagai pembina, pembimbing dan fasilitator, termasuk
adanya pola kemitraan menuju swasembada kedelai (Lim, 1997).
Permasalahan usahatani kedelai adalah:
(1) keterbatasan wilayah
penyebaran potensi kedelai karena hama penyakit endemik dan gulma,
kemasaman tanah, genangan air, dan daya simpan benih, dan (2) kedelai sebagai
tanaman pengisi waktu sela di lahan kosong setelah tanaman padi (dan jagung).
Kedelai adalah tanaman komersial yang berhubungan erat dengan pedagang/
penampung kedelai, yang memerlukan standardisasi mutu biji kedelai, termasuk
teknologi pascapa nen primer da n pe ngolahan kedelai (Sumarno et.al., 2007).
Pemecahan masalah usahatani kedelai dilakukan melalui: (1) pola tanam
dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan manusia secara optimal, serta
pengenda lian hama-penyakit dan gulma, (2) penanaman serempak dalam
hamparan luas atau usahatani kelompok (Insus), untuk mengatasi hama-penyakit
dan skala usaha, (3) jalinan arus benih antar lapang/antar musim (Jabalsim) untuk
menjamin benih murah dan aman, dan (4) pengelolaan usahatani kedelai dengan
perusahaan pembimbing atau pembina petani.
Cara bercocok tanam kedelai dapat diklasifikasikan dalam cara sederhana,
setengah intensif, dan intensif.
Kedelai ditanam sebagai tanaman tunggal,
tumpangsari, campuran, atau sebagai tanaman sela (gadu) setelah tanaman padi.
Peranan kedelai sebagai sumber protein nabati, langsung dikonsumsi masyarakat
dalam bentuk benih dan produk olahan serta pakan ternak. Produk kedelai adalah
untuk dipasarkan atau diproses (95%), untuk benih kedelai dan juga hilang pada
saat pasca panen (4%), dan untuk direbus atau digoreng (1%).
Dalam ekonomi kedelai di Indonesia dan dengan melihat posisi Indonesia
dalam perdagangan internasional kedelai, perlu kebijakan yang tepat arah dan
tujuan dalam penetapan harga dasar dan harga atap (Sumarno et.al., 2007).
46
Penetapan harga dasar kedelai dan subsidi sarana produksi, akan merangsang
petani untuk meningkatkan produksi kedelai. Kebijakan harga dasar adalah untuk
melindungi produsen, sedangkan kebijakan harga atap untuk melindungi
konsumen (subs idi harga).
Kebijakan ini dapat mempengaruhi produksi dan
pemasaran kedelai. Pemerintah menetapkan harga dasar melalui sistem operasi
pasar, dengan mencegah kemerosotan harga di tingkat petani melalui pembelian
langsung, dan mencegah lonjakan harga.
Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai Indonesia menunjukkan
adanya pergeseran posisi dari negara pengekspor menjadi pengimpor kedelai
sejak tahun 1975. Kebutuhan konsumsi kedelai domestik untuk produk olahan,
benih, dan pakan ternak, lebih besar dari produksi kedelai dalam negeri, sehingga
ketergantungan impor kedelai masih berlangsung hingga sekarang. Swasembada
kedelai masih belum tercapai, sehingga merupakan peluang bagi peningkatan
produksi kedelai di Indonesia hingga tahun 2015 (Sumarno et.al., 2007).
Harga kedelai di tingkat produsen pada tahun 1990 adalah Rp.1025, dan
di tingkat konsumen Rp.1075/kg, sedangkan harga kedelai pada saat penelitian ini
berlangsung (tahun 2001), mencapai harga rata-rata sebesar Rp.2150/kg. Pada saat
yang sama, harga kede lai lebih tinggi dari harga padi/gabah yaitu Rp.1000/kg,
tetapi petani kurang responsif terhadap usahatani kedelai daripada usahatani padi,
karena produktivitas kedelai lebih rendah daripada padi/gabah. Berkembangnya
mina padi dan palawija ikan, belum bisa menggeser usahatani padi untuk
digantikan oleh komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Usahatani kedelai sebenarnya menguntungkan dari segi finansial, dengan
pendapatan bersih sekitar Rp.2.05 juta/ha, walaupun luas areal panen kedelai
menurun dari 1.48 juta ha (1995) menjadi 0.55 juta ha (2004), atau turun rata-rata
10% pertahun (Balitbangtan, 2005). Dengan sasaran peningkatan produksi 15%
pertahun untuk mencukupi kebutuhan domestik, dan produksi meningkat 60%
pada tahun 2009, berarti swasembada baru tercapai tahun 2015. Investasi yang
dibutuhkan adalah Rp.5.09 triliun (2005-2009) dan Rp.16.19 triliun (2010-2025),
dimana swasta menyumbang sebesar Rp. 0.68 triliun dan Rp. 2.45 triliun.
Menurut Tabor (1988) dalam penawaran dan permintaan tanaman pangan
di Indonesia, maka penawaran kedelai bersifat elastis terhadap perubahan harga.
47
Di Jawa, elastisitas harga kedelai lebih elastis daripada luar Jawa, sehingga luas
areal tanamnya lebih berhasil.
Kedelai berkompetisi dengan jagung untuk
lahannya, sehingga kenaikan harga jagung menurunkan areal tanam kedelai.
Konsumsi kedelai dipengaruhi oleh elastisitas harga dari pendapatan, yang lebih
tinggi daripada tanaman pangan lain.
Permintaan kedelai responsif terhadap
harga kedelai dan perkembangan industri pengolahan tempe da n tahu.
Penelitian Rosegrant et.al. (1987) tentang kebijakan investasi dan harga di
sektor tanaman pangan di Indonesia, menyatakan bahwa elastisitas harga dan
pendapatan kedelai adalah inelastis.
Berarti, peningkatan harga kedelai akan
menurunkan jumlah permintaan kedelai.
Kenaikan jumlah permintaan lebih
rendah daripada kenaikan pendapatan. Kenaikan harga kedelai di pasar tidak
berdampak besar pada penurunan konsumsi kedelai. Konsumsi kedelai meningkat
karena kesadaran masyarakat tentang protein dan gizi serta pentingnya
pengembangan industri pengolahan kedelai.
Dengan teknologi produksi berlainan, hasil kedelai di lahan sawah irigasi
teknis lebih tinggi daripada di lahan kering atau tadah hujan. Penggunaan
teknologi produksi yang kurang efektif dan efisien, akan menimbulkan
kesenjangan hasil, karena keterbatasan sarana dan prasarana irigasi serta
penggunaan input modern. Biaya tinggi yang terjadi karena proteksi harga dan
kuota, faktor teknologi, dan investasi di bidang infrastruktur. Rosegrant et.al.
(1987) menganalisis proses ekstraksi setiap satu ton biji kedelai kering, dapat
menghasilkan 774.20 kg tepung kedelai, 176.40 kg minyak kedelai, 20.00 kg
ampas, dan 29.40 kg limbah buangan.
Dalam agribisnis dan kegiatan agroindustri, sarana produksi dan alsintan
merupakan faktor penunjang pengembangan kedelai, agar mutu dan daya saing
meningkat. Sarana produksi merupakan variable-cost, dan alsintan adalah fixedcost, sehingga mengurangi keuntungan petani. Jika harga naik, biaya produksi
naik. Petani dengan skala usahatani kecil cenderung efisien dan lebih kecil
resikonya, walaupun terdapat fluktuasi harga pada saat panen atau paceklik.
Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan adalah untuk mengurangi
proteksi harga, agar dapat bersaing pada harga dunia, dimana konsumen lebih
diuntungkan daripada produsen. Pendapatan petani naik jika perdagangan bebas
48
diberlakukan dan kebijakan harga akan memberi insentif kepada produsen
kedelai.
Dalam integrasi vertikal, produksi kedelai seperti halnya pengolahan tepung
kedelai dan minyak kedelai masih belum ekonomis. Petani
akan
bergairah
menanam kedelai jika faktor harga kedelai dapat dikendalikan (stabil), dan
ketergantungan pada impor dapat diatasi.
Produksi kedelai meningkat jika
pengendalian harga menguntungkan petani, dimana kedelai sebagai bahan baku
industri. Menurut Kuntjoro et.al. (1989), permintaan kedelai Indonesia adalah
ine lastis terhadap perubahan harga da n peruba han pe ndapatan. Konsumen tidak
responsif untuk mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung karbohidrat
dibandingkan bahan pangan yang berprotein, karena pendapatannya akan berubah.
Petani kedelai di Jawa pada umumnya kurang responsif terhadap perubahan
harga. Peubah inp ut yang berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai adalah
luas lahan, pupuk, dan tenaga kerja.
Jika subsidi pupuk dihilangkan dengan
kenaikan harga, maka produksi kedelai dan keuntungan petani akan menurun.
Potensi peningkatan produksi kedelai ditentuka n oleh ke layaka n eko nomi
dan keunggulan komparatif, dimana Jawa Barat tidak layak secara ekonomis
walaupun potensial, sedangkan Jawa Timur layak untuk konsumsi lokal atau
industri substitusi impor. Daerah yang layak dan unggul serta efisien produksinya
adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan
Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pengurangan subsidi pupuk, terobosan teknologi,
dan pengaturan harga kedelai domestik, akan meningkatkan aktivitas produksi dan
konsumsi rumahtangga petani kedelai (Daris, 1993).
3.2. Penawaran Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu
Jumlah penggunaan tenaga kerja menunjukkan hubungan antara tingkat
upah dengan jumlah jam kerja yang ditawarkan tenaga kerja yang bekerja. Dalam
analisis ekonomi mikro maka rumahtangga merupakan unit pengambil keputusan
yang berusaha memaksimumkan tingkat kepuasan.
Pilihannya adalah bekerja
untuk mendapatkan penghasilan atau menganggur. Dengan bekerja berarti
mendapatka n hasil yang lebih besar da n menamba h waktu untuk mencapa i
kebutuhan konsumsi.
Apabila tidak bekerja dengan memilih waktu santai
49
(leisure), berarti nilai guna pendapatannya akan lebih kecil. Kombinasi kedua
pilihan tersebut menghasilkan tingka t kepuasan maksimum.
Menurut Mangkuprawira (1985), dalam menganalisis penawaran tenaga
kerja, perlu diasumsikan: (1) pasar produksi dan tenaga kerja bersaing sempurna,
(2) tenaga kerja mempunyai selera tetap dan sama dalam memilih, (3) tidak ada
biaya tenaga kerja selain upah, dan (4) produktivitas tenaga kerja persatuan
waktu tidak tergantung pada lamanya bekerja.
Hal ini bukan berarti terdapat
kelemahan analisis, melainkan dalam dunia nyata tidak tampak adanya pasar yang
bersaing sempurna. Dalam hal ini terdapat keterlibatan pemerintah dalam hal
upah dan keragaman angkatan kerja terhadap pasar tenaga kerja. Setiap pekerja
juga tidak
seragam baik
dalam selera
maupun kemampuan bekerja.
Kenyataannya, terdapat perbedaan selera dan produktivitas karena faktor
pendidikan dan keahlian.
Dalam teori ekonomi ditunjukkan bahwa jumlah jam kerja yang dicurahkan
oleh seseorang, akan dipengaruhi oleh besarnya upa h yang diterima tenaga ke rja.
Semakin tinggi tingkat upah yang dibayarkan per-jam kerja, mendorong seseorang
untuk bekerja lebih lama, sehingga pendapatannya meningkat. Disamping itu,
jumlah jam kerja yang dicurahkan seseorang pada suatu pekerjaan dipengaruhi
oleh produktivitas.
Berarti, semakin tinggi produktivitas seseorang, semakin
sedikit waktu yang dibutuhka n untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Pada Gambar 2, terlihat bahwa jika tingkat upah meningkat maka kendala
anggaran berubah dari G 1 G1 ke G1 G3 , dan jika pendapatan meningkat maka
kendala anggaran berubah dari G 1 G1 ke G2 G2 atau sejajar. Akibatnya
rumahtangga akan mengurangi jam kerja dari H m H1 ke Hm H3 sehingga terjadi
income-effect, sedangka n peruba han harga mengakiba tka n substitution-effect,
yaitu mengganti waktu santai dengan menambah waktu bekerja dari H m H3 ke
Hm H2 . Gross-effect dari peruba han tingka t upa h ada lah sebesar H 1 H2 , yaitu
selisih dari efek pendapatan dan efek substitusi (titik P ke Q). Dalam hal ini
terjadi pengurangan penawaran tenaga kerja, sedangkan pada kasus kenaikan
penawaran tenaga kerja maka gross- effect akan positif, yaitu H 1 H2 * pada titik
Q*, dengan kendala anggaran U 2 *.
50
Barang (G)
G3
Q*
U2*
G2
Q
R
G1
P
U1
U2
G2
G1
O
H 2*
H1
H2
H3
Hm = Waktu Santai
Gambar 2. Pengaruh Perubahan Tingkat Upa h da n Pendapatan terhadap Alokasi
Waktu
Dalam Gambar 2 terlihat bahwa pada tingkat upah G 1 G1 dan tingkat
kepuasan U 1 , jam kerja yang dicurahkan untuk bekerja adalah H 1 Hm , dan waktu
santai untuk keluarga adalah OH 1 . Dengan adanya kenaikan upah dari G 1 G1 ke
G1 G3 , maka tingkat kepuasan bergeser dari U 1 ke U2 , dan jam kerja yang
dicurahkan untuk bekerja berkurang menjadi H 2 Hm , sedangka n waktu santai
untuk keluarga bertambah menjadi OH 2 . Pada tingkat upah G 1 G3 tersebut, waktu
santai untuk kegiatan rumahtangga bertambah dari OH1 jadi OH2 , dan waktu
bekerja berkurang dari H 1 Hm jadi H2 Hm , dimana utilitas rumahtangga bergeser
dari U1 ke U2 pada titik P ke Q.
Peningkatan upah tenaga kerja mengakibatkan peningkatan jam kerja, jika
efek substitusi lebih besar dari efek pendapatan, yaitu dari H m H1 ke Hm H2 *, atau
pergeseran dari titik P ke Q*. Sebaliknya kenaikan upah tenaga kerja akan
mengurangi jam kerja, apabila efek substitusi lebih kecil dari efek pendapatan,
yaitu dari H m H1 ke Hm H2 , atau pergeseran dari titik P ke Q. Jika pergeseran titik
51
P ke Q da n seterusnya ditarik suatu garis, aka n terbentuk kurva penawaran tenaga
kerja yang dapat berbalik arah atau bending-curve.
Kenaikan upah tenaga kerja berarti bertambahnya pendapatan. Pada saat
status ekonomi seseorang lebih tinggi, cenderung meningkatkan konsumsi dan
waktu santai, sehingga akan mengurangi jam kerja.
mengakibatkan terjadinya income-effect.
harga
waktu bekerja
lebih
mahal,
Pengurangan jam kerja
Kenaika n upa h tenaga kerja berarti
sehingga
mendorong rumahtangga
mensubstitusi waktu santai lebih banyak bekerja untuk menaikkan konsumsi,
sehingga terjadi substitution-effect kenaikan upah tenaga kerja. Evenson (1978)
menjelaskan tentang pengaruh perubahan upah terhadap alokasi penggunaan
waktu santai secara individual, dengan menggunakan kurva kemungkinan
produksi individu.
Pada dasarnya tujuan seseorang untuk melakukan suatu jenis pekerjaan
adalah untuk mendapatkan penghasilan dari suatu jenis pekerjaan atau kegiatan
tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh: (1) jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut,
dan (2) upah tenaga kerja per-jam yang
diterima pekerja (buruh tani).
Pada dasarnya, di negara berkembang seperti Indonesia, keputusan
konsumsi sangat menentukan keputusan dalam produksi suatu komoditas. Dalam
rumahtangga terdapat kendala berupa anggaran rumahtangga yang membatasi
konsumsi, dimana: (1) waktu terbatas pada periode tertentu, dan (2) jumlah
anggota keluarga dalam rumahtangga yang ditawarkan terbatas. Secara matematis
hal tersebut dapat dirumuskan seperti berikut ini.
Fungsi utilitas rumahtangga atau kepuasan adalah:
Ui
dimana:
Ui
Zi
= ui (Z1 , Z2 , ….. , Zi )
(3.1)
= utilitas rumahtangga atau kepuasan
= komoditas yang dihasilkan oleh rumahtangga, untuk i = 1, 2,…, n.
Untuk memaksimumkan kepuasan, rumahtangga dibatasi oleh kendala
produksi, waktu, dan pendapatan untuk membeli barang di pasar.
Fungsi
produksinya adalah:
Zi
dimana:
= zi (Xi , Ti )
(3.2)
52
Xi
Ti
= barang dan jasa ke-“i” yang dibeli di pasar,
= input waktu yang dipakai untuk memproduksi barang Z ke- “i”.
Kendala anggaran atau pendapatan untuk membeli barang dan jasa di pasar:
Σn i=1 Pi . Xi = Y = V + Tw .W
dimana:
Pi
Xi
Y
V
Tw
W
(3.3)
= harga komoditas X ke-”i” yang dibeli di pasar,
= jumlah komoditas X ke-”i” yang dibeli di pasar,
= nilai barang atau nilai penerimaan uang rumahtangga,
= penerimaan selain dari bekerja,
= waktu yang digunakan untuk bekerja,
= penerimaan per-unit T w atau upa h tenaga kerja.
Kendala waktu dapat dirumuskan sebagai berikut:
Σn i=1 Ti = Tc = T – Tw
dimana:
Ti
Tc
T
Tw
(3.4)
= jumlah waktu untuk memproduksi barang Z ke- “i”,
= total waktu santai (konsumtif) dalam rumahtangga,
= total waktu yang tersedia dalam rumahtangga,
= total waktu yang digunakan untuk bekerja.
Fungsi penawaran tenaga kerja individu juga dapat diturunkan menjadi:
Ls
dimana:
Ls
W
Y
Pi
= l s (W, Y, P1 , P2 , ….. , Pi )
(3.5)
= suplai tenaga kerja individu,
= upa h tenaga kerja,
= nilai barang atau nilai penerimaan uang rumahtangga,
= harga komoditas Z ke- “i” yg dibeli di pasar, untuk i=1,2,..., n.
Becker (1965) menganalisis tentang barang dan jasa yang bukan satusatunya input dalam proses produksi, dimana masih terdapat input lain yaitu
waktu santai yang dimiliki oleh konsumen. Konsumen menggunakan barang dan
jasa serta waktu santai untuk memaksimumkan kesejahteraannya, dimana
rumahtangga bertindak sebagai produsen dan konsumen sekaligus. Asumsinya
adalah bahwa rumahtangga mengkombinasikan komoditas yang dibeli di pasar
pada waktu memproduksi barang tersebut, sehingga dihasilkan komoditas yang
siap dikonsumsi (Zi ) dan memberikan kepuasan maksimum.
Teori alokasi waktu diatas belum memisahkan antara waktu santai dengan
waktu bekerja dalam rumahtangga, sehingga Gronau (1977) dan Evenson (1978)
53
mencoba untuk memisahkan tenaga kerja pria dan wanita. Waktu dan barang
secara langsung
merupaka n indikator kepuasan da n faktor input yang
menghasilkan barang tertentu (Zi ). Barang tersebut dapat dihasilkan rumahtangga
atau dibeli di pasar, tetapi komposisinya tidak mempengaruhi Zi .
Fungsi utilitas seseorang terhadap komoditas Zi , menurut Gronau (1977)
merupakan kombinasi barang dan jasa, serta konsumsi waktu santai (L), yaitu:
Zi
= zi (Xi , L)
(3.6)
Barang tersebut dapat dibeli di pasar atau di produksi didalam rumahtangga, tetapi
komposisi barang X ke-”i” tidak mempengaruhi komoditas Z ke-”i”.
Menurut Singh et.al (1986), konsumsi total terdiri dari nilai barang dan jasa
yang diproduksi rumahtangga sendiri (X h ), ditambah konsumsi barang yang dibeli
di pasar (X m ), serta waktu untuk kegiatan konsumstif atau santai (X l ).
Pengeluaran atau konsumsi untuk memproduksi barang dan jasa dalam
rumahtangga, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Xi
= Xm + Xh + Xl
(3.7)
Dengan kendala tingkat produktivitas marjinal yang semakin menurun
karena waktu bekerja dan perubahan komposisi X h , sehingga peningkatan H i
memiliki substitusi pasar yang lebih rendah atau murah, yaitu:
Xh
= f (H i )
(3.8)
Maksimisasi komoditas Zi dibatasi dua kendala yaitu: kendala anggaran
atau pendapatan dan kendala waktu.
(1). Kendala anggaran atau pendapatan barang dan jasa yang dibeli di pasar
(X m ):
Xm
= W.N f + V
(3.9)
(2). Kendala waktu yang disediakan (T):
T
dimana:
W
Nf
V
L
Hi
= L + Hi + N f
= upa h tenaga kerja atau gaji,
= tenaga kerja yang digunakan,
= penerimaan lainnya,
= waktu santai (Leisure),
= fungsi dari nilai barang dan jasa yang diproduksi rumahtangga
(3.10)
54
Evenson (1978) mengasumsikan bahwa kepuasan rumahtangga tidak berasal
dari barang yang diperoleh langsung di pasar, tetapi juga dari barang yang
dihasilkan dalam rumahtangga. Jika fungsi kepuasan maksimum- nya adalah:
Ui
= ui (Zi )
(3.11)
Jadi kendala produksi rumahtangga dirumuskan sebagai berikut:
Zi
= zi (Xi , Tij )
(3.12)
dimana:
Tij
= vektor input waktu anggota keluarga rumahtangga ke- “j” unt uk
memproduksi barang Z ke- “i” yang dikonsumsinya.
Kendala pendapatan untuk membeli barang dan jasa di pasar adalah:
ΣPi . Xi = Y + ΣWj .Tmj
dimana:
Pi
Xi
Y
Wj
Tmj
(3.13)
= harga komoditas X i ,
= komoditas atau bahan mentah yang diperoleh di pasar,
= pendapatan bukan dari bekerja,
= tingkat upah anggota keluarga dalam rumahtangga ke- “j”,
= vektor jumlah anggota keluarga dalam rumahtangga.
Waktu keseluruhan yang dimiliki anggota keluarga dalam rumahtangga
ke-“j” adalah tetap sama, dan fungsi kendala waktu adalah:
Tj
dimana:
Tj
Tm j
Th j
Tl j
= Tm j + Th j + Tl j
(3.14)
= waktu total yg dimiliki anggota keluarga rumahtangga ke-“j”,
= vektor waktu untuk mencari nafkah,
= vektor waktu untuk bekerja dalam rumahtangga,
= vektor waktu lua ng atau santai.
Teori alokasi waktu dari Becker (1965) diatas tidak menunjukkan perbedaan
antara waktu santai dan waktu bekerja dalam rumahtangga. Kemudian Gronau
(1977) maupun Evenson (1980), mengembangkan formulasi tersebut dengan
membedakan secara eksplisit antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam
rumahtangga, dan memisahkan antara tenaga kerja pria dan wanita.
Singh et.al. (1986) menyempurnakan model tersebut dengan model yang
dapat menganalisis aktivitas produksi dan konsumsi rumahtangga petani, yang
disebut Agricultural/Farm Household Model.
Dalam memaksimumkan fungsi
kepuasan untuk konsumsi barang dan konsumsi waktu, rumahtangga diasumsikan
mengikuti model dasar sebagai berikut:
55
Ui
= ui (Ch , Cm , Cl )
(3.15)
dimana:
Ui
Ch
Cm
Cl
= kepuasan atau utilitas rumahtangga,
= konsumsi barang yang dihasilkan rumahtangga,
= konsumsi barang yang dibeli di pasar,
= konsumsi waktu santai (leisure).
Disini
diasumsikan bahwa
rumahtangga
sebagai konsumen akan
memaksimumkan kepuasannya dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu,
seperti persamaan berikut:
Qh
= qh (Cl , A)
(3.16)
T
= C l + Fi + N f
(3.17)
Pm .Cm = Ph (Qh – Ch ) – W (Cl – Fi ) + W.N f + E
(3.18)
dimana:
Qh
= jumlah produksi komoditas pertanian yang dihasilkan
rumahtangga,
T
= waktu yang tersedia dalam rumahtangga,
P m = harga barang dan jasa yang dibeli di pasar,
C m = konsumsi barang yang dibeli di pasar,
P h = harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga,
C h = konsumsi barang yang dihasilkan rumahtangga,
Q h -C h = surplus produksi komoditas pertanian untuk dijual di pasar,
W = upah atas dasar harga pasar,
C l = konsumsi waktu santai (leisure),
Fi
= input tenaga kerja dalam rumahtangga,
N f = input tenaga kerja luar rumahtangga,
A
= faktor produksi tetap rumahtangga.
Kendala yang dihadapi rumahtangga tersebut dapat disatukan dengan
mensubstitusikan kendala produksi dan waktu ke dalam kendala pendapatan,
sehingga akan menghasilkan bentuk kendala tunggal, yaitu:
Pm .Cm + Ph .Ch + W.C l = W.T + π
(3.19)
dimana:
π
= Ph . qh (Cl , A) – W.Cl
 (π = keuntungan maksimal).
Persamaan ini menunjukkan bahwa sisi kiri merupakan pengeluaran total
rumahtangga untuk barang (C m dan C h ) dan konsumsi waktu santai (C l ).
Sedangkan sisi kanan adalah pengembangan dari konsep pendapatan penuh dari
Becker (1965), dimana nilai waktu yang tersedia adalah secara eksplisit.
Pengembangan lain adalah dengan memasukkan pengukuran keuntungan atau
56
(P h .Qh –W.C l ), dimana semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah pasar.
Persamaan tersebut merupakan inti dari model dasar ekonomi rumahtangga.
Dalam memaksimumkan kepuasan, rumahtangga dapat memilih tingkat
konsumsi dari barang (C m dan C h ), konsumsi waktu santai (C l ), da n input tenaga
kerja (F i +N f ), yang digunakan dalam kegiatan produksi. Untuk mengoptimalkan
penggunaan input tenaga kerja, First Order Condition (FOC)-nya adalah:
Ph . (δ .Qh / δ.Cl ) = W
(3.20)
Rumahtangga berusaha untuk menyamakan penerimaan produk marjinal
dari tenaga kerja dengan upah pasar.
Dari persamaan ini dapat diturunkan
penggunaan input tenaga kerja (F i +N f ) sebagai fungsi dari P h , W, dan A, yaitu:
L*
= l* (W, Ph , A)
(3.21)
Jika persamaan ini disubstitusikan ke sisi kanan pada persamaan diatas, akan
diperoleh persamaan sebagai berikut:
Pm .Cm + Ph .Ch + W.C l =
(3.22)
Y*
dimana:
Y*
= pendapatan penuh pada saat keuntungan maksimum.
Maksimisasi
kepuasan
dengan
kendala
persamaan
tersebut
akan
menghasilkan FOC sebagai berikut:
δU / δ Cm = λ.Pm
(3.23)
δU / δ Ch
= λ.Ph
(3.24)
δU / δ Cl
= λ.W
(3.25)
Pm .Cm + Ph .Ch + W.C l = Y*
(3.26)
Dengan demikian dapat diturunkan konsumsi barang yang dihasilkan
rumahtangga (C h ), konsumsi barang yang dibeli di pasar (C m ), dan konsumsi
waktu santai (C l ), yang masing- masing dipengaruhi oleh harga, upah, dan
pendapatan. Fungsi persamaan turunan-nya menjadi:
Xi
= x i (Pm , Ph , W, Y*), untuk i = m, h, l.
(3.27)
Dengan melihat persamaan diatas, maka permintaan tergantung pada hargaharga dan pendapatan. Untuk kasus rumahtangga petani, pendapatan ditentukan
oleh aktivitas produksi rumahtangga, sedangkan perubahan faktor- faktor produksi
akan merubah Y* dan perilaku konsumsi.
57
Disamping itu, tingkat produktivitas tenaga kerja yang dihitung sebagai
pendapatan per-jam kerja atau upah per-jam kerja dipengaruhi oleh: (1) kekayaan
atau moda l, dan (2) keterampilan yang dimiliki. Berarti, produktivitas menjadi
tinggi apabila modal dan keterampilan dihitung dalam proses produksi. Untuk
individu yang berpenghasilan rendah, faktor produksi dan keterampilan
merupakan keterbatasan, sehingga hanya mampu mengerjakan jenis pekerjaan
yang mengandalkan tenaga kerja dan modal sedikit. Konsekuensinya, individu
akan menerima pe ndapatan lebih renda h.
Penguasaan faktor- faktor produksi yang tidak merata mengakibatkan
produktivitas tenaga kerja tidak merata pula.
Seseorang yang memiliki
penghasilan tinggi, faktor produksi modal dan keterampilan bukanlah hal yang
langka, sehingga produktivitasnya akan tinggi dan memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi.
Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan pendapatan melalui
perluasan kesempatan kerja, tanpa diikuti peningkatan produktivitas tenaga kerja,
akan berjalan lambat dan pendapatan yang diperolehnya rendah, sekalipun jumlah
hari kerja dan jam kerja tenaga kerja tersedia lebih banyak.
Alokasi waktu optimal untuk mencari nafkah, pekerjaan rumahtangga, dan
waktu luang atau santai, diperoleh dengan memaksimumkan fungsi kepuasan atau
utilitas rumahtangga, dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu.
3.3. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai
Dalam dekade terakhir berkembang teori ekonomi rumahtangga yang
mempelajari perilaku rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan
produksi dan konsumsi, yang berhubungan dengan alokasi waktu dan pendapatan,
dimana analisisnya dilakukan dengan pendekatan secara simultan.
Bagi dan
Singh (1974) merumuskan model ekonomi mikro pengambilan
keputusan
tersebut untuk kasus di negara berkembang. Bentuk pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh rumahtangga petani terbagi atas keputusan produksi, konsumsi,
marketed surplus, penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga, investasi dan
finansial.
Yotopoulos dan Lau (1974) juga menganalisis produksi dan konsumsi
rumahtangga dengan menggunakan pendekatan mikro-ekonomi serta fungs i
58
produksi Cobb-Douglas, dengan mengasumsikan bahwa: (1) rumahtangga sebagai
konsumen akan memaksimumkan kepuasannya, yang merupakan fungsi dari
waktu santai dan konsumsi komoditas lain dengan kendala sumberdaya, (2)
rumahtangga sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan dengan
kendala teknologi sumberdaya dan harga sarana produksi, (3) tenaga kerja dalam
dan luar keluarga bersubstitusi sempurna, dan (4) partisipasi rumahtangga dalam
pasar tenaga kerja.
Barnum dan Squire (1978) menganalisis perilaku produksi usahatani,
konsumsi, dan penawaran tenaga kerja, pada pertanian semi-ko mersial di pa sar
tenaga kerja yang bersaing. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan erat
antara keputusan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga petani.
Menurut Singh et.al. (1986), Agricultural Household Model diturunkan dari
teori perilaku konsumen. Model Bagi dan Singh (1974) adalah mode l analisis
simultan rumahtangga petani, dimana petani memaksimumkan utilitasnya dengan
kendala produksi, pendapatan, dan waktu. Penurunan model ini adalah dalam
bentuk keputusan produksi, tenaga kerja, konsumsi, investasi, kredit pertanian,
dan surplus pasar, yang dijabarkan dalam fungsi persamaan seperti pada Bab IV.
Teori perilaku petani yang berkembang dewasa ini adalah hubungan antara
kegiatan produksi dan konsumsi secara tidak terpisahkan (non-separabel). Dalam
Agricultural/Farm Household Model, Singh et.al. (1986), Barnum dan Squire
(1978), serta Bagi dan Singh (1974), menganalisis perilaku petani dengan model
persamaan simultan secara terpisah (separabel), dalam keputusan produksi,
tenaga kerja dalam dan luar keluarga, konsumsi, investasi, finansial, dan surplus
pasar.
Dalam model ekonomi rumahtangga dari Singh et.al. (1986), keputusan
produksi
diambil dari fungsi produksi pertanian, dimana jumlah produksi
pertanian kotor (Q i ) merupakan fungsi dari penggunaan lahan garapan (L),
persediaan moda l usaha (K t ), tenaga kerja dalam keluarga (N f ), tenaga kerja luar
ke luarga (N h ), biaya produksi tidak tetap (O), serta perubahan teknologi dan
kelembagaan (T). Fungsi produksi dirumuskan sebagai berikut:
Qi
= f (L, K t , N f , Nh , O, T)
(3.28)
59
Keputusan konsumsi terdiri dari konsumsi subsisten dan konsumsi tunai,
dimana
konsumsi subsisten (C s ) merupakan fungsi dari jumlah produksi
pertanian kotor (Q i ),
jumlah anggota keluarga (F), konsumsi tunai (C c ), dan
konsumsi subsisten sebelumnya (C s-1 ). Konsumsi tunai (C c ) merupakan fungsi
dari pendapatan rumahtangga atau disposable income (Yd ), jumlah anggota
ke luarga (F), ko nsumsi subs isten (C s ), indeks harga konsumen (P c ), dan konsumsi
tunai sebelumnya (C c-1 ). Fungsi ko nsumsi dirumuskan seba gai berikut:
Cs
= f (Q i , F, Cc , Cs-1 )
(3.29)
Cc
= f (Yd , F, Cs , Pc , Cc-1 )
(3.30)
Petani
memproduksi dan menjual komoditas ke konsumen, sedangkan
masyarakat membeli komoditas dari produsen, sehingga terjadi Marketed-Surplus,
dimana surplus pasar (M) merupakan fungsi dari jumlah produksi pertanian kotor
(Q i ), konsumsi subsisten (C s ), konsumsi tunai (C c ), dan indeks harga komoditas
pertanian (P a ). Fungsi surplus pasar dirumuskan sebagai berikut:
M
= f (Q i , Cs , Cc , Pa )
(3.31)
Tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja
dalam keluarga (N f ) adalah fungsi dari produksi pertanian kotor (Q i ), mekanisasi
pertanian (K m ), upah tenaga kerja (W a ), dan upah anggota keluarga petani (W f ).
Tenaga kerja luar ke luarga (N h ) adalah fungsi dari produksi pertanian kotor (Q i ),
mekanisasi pertanian (K m ), upah tenaga kerja (W a ), indeks harga input pertanian
lainnya (P i ), indeks harga komoditas pertanian (P a ), dan tenaga kerja dalam
ke luarga (N f ). Fungsi tenaga kerja dalam dan luar keluarga adalah:
Nf
= f (Q i , K m , Wa , Wf )
(3.32)
Nh
= f (Q i , K m , Wa , Pi , Pa , N f)
(3.33)
Upah tenaga kerja atau buruh-tani (W a ) adalah fungsi dari tingkat
pengangguran (U r ), indeks harga konsumen (P c ), upah industri/manufaktur (W n ),
dan tingkat upah sebelumnya (W a-1 ). Fungsi upa h buruh-tani adalah:
Wa
= f (Ur , Pc , Wn , Wa-1 )
(3.34)
Keputusan investasi (I) merupakan fungsi dari penggunaan lahan garapan
(L), persediaan modal sebelumnya (K t-1 ), tingkat suku-bunga (i), tabungan
sebelumnya (S t-1 ), dan jumlah permintaan kredit (B).
dirumuskan sebagai berikut:
Fungsi investasi
60
I
= f (L, K t-1 , i, S t-1 , B)
(3.35)
Dalam keputusan finansial, jumlah permintaan kredit (B) merupakan fungsi
dari tingkat bunga (i), biaya produksi tidak tetap (O), investasi (I), dan tabungan
sebelumnya (S t-1 ). Fungsi permintaan kredit dirumuskan sebagai berikut:
B
= f (i, O, I, S t-1 )
(3.36)
Keputusan produksi, konsumsi, surplus pasar, tenaga kerja, upah tenaga
kerja, investasi, dan aspek finansial, saling terkait satu sama lain dan umum
terjadi di negara berkembang. Yotopoulos dan Lau (1974), membuat model
rumahtangga petani dengan penekanan pada keseimbangan umum sektor
pertanian, baik produksi maupun konsumsi. Asumsinya adalah: (1) petani sebagai
konsumen berusaha memaksimumkan utilitas dengan kendala sumberdaya, (2)
petani sebagai produsen berusaha memaksimumkan keuntungan dengan kendala
teknologi, sumberdaya dan harga, (3) tenaga kerja dalam dan luar keluarga
bersubstitusi sempurna, dan (4) petani berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.
Integrasi model ekonomi mikro dan makro mempunyai konsekuensi sebagai
berikut: (1) perlu adanya parameter lahan, obligasi tetap, jumlah keluarga, dan
komposisi analisis komparatif statik,
(2) model ekonomi mikro rumahtangga
sebagai blok rekursif, yaitu keputusan produksi optimal terpisah dengan
keputusan konsumsi optimal, (3) tingkat upah tenaga kerja dalam keseimbangan,
merupakan asumsi yang mengganggu di negara berkembang,
dan (4) dalam
rangka analisis komparatif statik, dapat pula dianalisis simulasi mode l
dinamiknya.
Secara teoritis, Becker (1965) telah mengembangkan model dasar ekonomi
rumahtangga yang mempelajari tentang perilaku produksi dan konsumsi
rumahtangga, yang kemudian oleh Evenson (1978) disebutnya New Household
Economics.
Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan dalam
aktivitas produksi dan konsumsi serta berhubungan dengan alokasi waktu dan
pendapatan rumahtangga dengan analisis secara simultan.
Asumsi yang
digunakan adalah bahwa dalam mengkonsumsi, kepuasan rumahtangga bukan
hanya dari barang dan jasa yang diperoleh di pasar, melainkan juga dari berbagai
komoditas yang dihasilkan rumahtangga. Beberapa asumsinya antara lain: (1)
waktu dan barang atau jasa merupakan aspek kepuasan, (2) waktu dan barang atau
61
jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi produksi rumahtangga, dan (3)
rumahtangga bertindak sebagai produsen dan konsumen.
Penelitian tentang perilaku rumahtangga petani kedelai yang dilakukan oleh
Susetyanto (1994) di kabupaten Subang–Jawa Barat, menganalisis dampak
alternatif kebijakan terhadap produksi, pendapatan, dan konsumsi rumahtangga
petani kedelai, dengan menggunakan pendekatan model persamaan simultan.
Perilaku rumahtangga petani kedelai dalam luas areal panen, produksi,
tenaga kerja dalam dan luar keluarga, pendapatan, konsumsi , investasi, tabungan,
dan kredit, mempunyai respon positif atau negatif terhadap perubahan hargaharga. Kebijaka n ke naika n harga kede lai, harga gaba h kering pa nen, upa h tenaga
kerja, da n harga input teknologi produksi, dapat berdampak besar atau kecil dalam
meningkatkan produksi,
penerimaan usahatani kedelai,
dan pendapatan
rumahtangga petani. Kebijakan pemerintah dalam penentuan harga dasar padi
dan palawija serta penghapusan subsidi pupuk, sesuai dengan harapan untuk
menyerap tenaga kerja serta meningkatkan produksi dan pendapatan rumahtangga
petani. Temuan penelitian ini akan menjadi acuan dalam studi usahatani kedelai
lanjutan.
3.4. Fungs i Permintaa n Input dan Penawaran Output
Formulasi fungsi utilitas (U) dalam model ekonomi rumahtangga yang unik,
seperti pada usahatani kedelai sebagai secondary crops atau tanaman sela setelah
padi, dapat diasumsikan sebagai berikut:
Ui
= f (K p , K ki , Ks ),
(3.37)
dimana:
Ui = fungsi utilitas rumahtangga petani kedelai,
K p = jumlah konsumsi pangan,
K ki = jumlah konsumsi komoditas ke-”i”
(i=1,2,3,4, dimana 1=kedelai,2=non-kedelai, 3=non-usahatani lain,
4=non-pertanian lain),
K s = jumlah konsumsi waktu santai atau leisure.
Dengan syarat kontinyu dan dapat diturunkan dua kali, meningkat secara
monoton, lengkap, refleksif, transitif, dan cembung, maka formulasi matematis
untuk rumahtangga dengan kendala fungsi produksi adalah sebagai berikut:
62
Qi
dimana:
Qi
Ck
T
S3
Zi
= f (Ck , T, S 3 , Zi ) ,
(3.38)
= fungsi produksi kedelai,
= konsumsi kedelai,
= waktu kerja total usahatani kedelai,
= input sarana produksi (1.benih kedelai, 2.pupuk, 3.pestisida)
= input faktor tetap ke- ”i” (i=1,2,3,4, dimana: 1= luas areal panen
kedelai, 2= umur tanaman kedelai, 3= pengalaman bercocok-tanam
kedelai, 4= areal tanam dan irigasi teknis).
Rumahtangga petani kedelai diasumsikan menghadapi kendala waktu, yaitu:
T
= Ks + F + N f
(3.39)
F
= T – Ks – N f
(3.40)
dimana:
T
Ks
F
Nf
= jumlah waktu yang tersedia untuk rumahtangga,
= konsumsi waktu santai (leisure),
= waktu kerja untuk usahatani kedelai dari rumahtangga,
= waktu kerja untuk kegiatan luar usahatani dari rumahtangga.
Rumahtangga usahatani kedelai diasumsikan menghasilkan pendapatan dari
penjualan hasil usahatani kedelai, upah tenaga kerja dari luar usahatani, dan
pendapatan lain dari buruh-tani, kemudian membelanjakan hasil pendapatannya
untuk konsumsi kedelai pangan dan non-pangan, serta konsumsi lain rutin dan
non-rutin. Formulasi keseimbangan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga
dapat dirumuskan sebagai berikut:
H k .Ck – Uk .(T– F)+UNk – HS3 .S 3 + YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .K ki
dimana:
Hk
HS3
Hp
Hki
Ck
T
=
=
=
=
=
=
Uk =
UNk =
YNl =
(3.41)
harga kedelai,
harga sarana produksi tertimbang,
harga komoditas pangan,
harga barang konsumsi ke- ”i” untuk i=1,2,3,4, dimana 1=
gabahKP, 2=jagung, 3= palawija lain, 4= kacang-2an,
konsumsi kedelai,
waktu kerja untuk kegiatan luar usahatani dan rumahtangga,
(T–F)>0, berarti rumahtangga sebagai pembeli bersih tenaga kerja,
(T–F)<0, berarti rumahtangga sebagai penjual bersih tenaga kerja,
upah tenaga kerja usahatani kedelai,
upa h tenaga kerja non-usahatani kedelai,
pendapa tan non-usahatani lain (buruh,sewa/sakap,warung,warisan).
63
Secara matematis persamaan ini dapat dipecahkan dengan kendala waktu,
dan dimasukkan dalam persamaan pendapatan, sehingga diperoleh hasil:
H k .Ck – Uk .T +Uk .F+UNk .Nf – HS3 .S3 +YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .Kki (3.42)
Apabila kendala waktu disubstitusikan dalam persamaan, akan diperoleh:
H k .Ck – Uk .T +Uk .(T– Nf – L) +UNk .N f– HS3 .S3 + YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .Kki
(3.43)
H k .Ck – Uk .T+Uk .T– Uk .Nf– Uk .L+UNk .Nf – HS3 .S3 +YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .Kki
(3.44)
H k .Ck – Uk .T– HS3 .S3 +Uk .T+(UNk – Uk ).N f +YNl =H p .K p –∑3 i=1 Hki .Kki +Uk .L= Y*
(3.45)
Dalam hal ini, Y* adalah pendapatan penuh (full income) sesuai ko nsep
Becker (1965). Sisi kanan dari pendapatan penuh Y* terdiri dari:
1.
Keuntungan usahatani kedelai, yaitu penerimaan total dikurangi biaya
variabel, dimana: п = (H k .Ck –Uk .T–HS3 .S 3 )
2.
Pendapatan potensial dari upah jika seluruh waktu yang dimiliki
rumahtangga dijual ke pasar tenaga kerja (U k .T)
3.
Selisih pendapatan dari upah non-pertanian dengan upah pertanian, dimana
jumlah waktunya sama dalam mengelola usahatani ((U Nk –Uk ).N f )
4.
Pendapa tan non-tenaga kerja (Y Nl )
Sementara itu sisi kiri dari pendapatan penuh (Y*), menunjukkan
pengeluaran rumahtangga total dari konsumsi kedelai, non-kedelai, non-pangan
lain, ko nsumsi lain rutin maupun non-rutin, serta konsumsi waktu santai (leisure).
Maksimisasi fungsi utilitas rumahtangga dengan dua kendala, yaitu fungsi
produksi kedelai dan pendapatan penuh, dapat menggunakan fungsi Lagrange dan
diformulasikan sebagai berikut:
Ui
= f (K p , K ki , Ks ) + λ1 .(–H p .K p – Σ3 i=1 Hki .Kki – Uk .Ks +
H k .Ck – Uk .T – H S3 .S3 + Uk .T + (UNk – Uk ).N f + YNl ) +
λ 2 .Qk (Ck , T, S 3 ; Zi )
(3.46)
Formulasi model ekonomi rumahtangga petani kedelai unifikasi adalah:
Max. Ui = f (K p , K ki , Ks ),
untuk i=1,2,3.
(3.47)
untuk i=1,2,3
(3.48)
Kendalanya:
Q i . (Ck , T, S 3 ; Zi ) = 0,
64
H p .K p +Σ3 i=1 Hki .Kki = Hk .Ck –HS3 .S3 –Uk .(T–F) +(UNk –Uk ).N f (3.49)
+YNl
T
= Ks + F + N f
(3.50)
Fungsi permintaan kedelai, non-kedelai, non-usahatani atau non-pertanian,
serta waktu santai dalam rumahtangga, dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas
dari model ekonomi rumahtangga, yang diperoleh dengan syarat kondisi turunan
pertama (first order condition) sama dengan nol, dan terpenuhinya syarat kondisi
tur unan kedua (second order condition), sehingga dihasilkan suatu sistem
persamaan linear, dalam bentuk matriks Ax=b, dengan menggunakan Cramer’sRules, dan dapat dianalisis secara komparatif statis dampak perubahan peubah
kebijakan
(eksogen)
terhadap
peubah endogen,
untuk
mengalokasikan
sumberdaya dalam keluarga. Kondisi turunan pertama dan kedua dirumuskan
sebagai berikut:
Ui . K pi – λ1 /μ H pi = 0,
untuk i = 1,2,3.
(3.51)
Ui . Kki – λ1 /μ H ki = 0,
untuk i = 1,2,3.
(3.52)
Ui . Ks i – λ1 /μ U ki = 0,
untuk i = 1,2,3.
(3.53)
–Σ3 i=1 H pi .K pi – Σ3 k=1 H ki .K ki + H k .Ck – H S3 .S3 – Σ3 i=1 Uki .K si –
Σ3 i=1 Uki .Ti + Σ3 i=1 Uki. Ti + Σ3 i=1 (UNki –Uki ).N fi + YNl = 0
(3.54)
U3 . K pi – λ1 /(1-μ). H pi = 0,
untuk i = 1,2,3.
(3.55)
U3 . K ki – λ1 /(1-μ). H ki = 0,
untuk i = 1,2,3.
(3.56)
U3 . Ks i – λ1 /(1-μ). U ki = 0 ,
untuk i = 1,2,3.
(3.57)
–Σ3 i=1 H pi .K pi –Σ3 k=1 Hki .Kki +H k .Ck –H S3 .S3 –Σ3 i=1 Uki .K si
–Σ3 i=1 Uki .Ti +Σ3 i=1 Uki .Ti +Σ3 i=1 (UNki –Uki ).N fi +YNl = 0
(3.58)
Dalam hal ini,
H k + λ2 /λ1 Qi .Ck = 0
(3.59)
Uki – λ2 /λ1 Qi .Ti = 0,
(3.60)
Uki – λ2 /λ1 Qi .Ti = 0,
(3.61)
Q i (Ck , Ti , S3 ; Zi ) = 0
(3.62)
dimana:
Ui .K pi
= δU1 / δK pi , U1 .Kki
= δU1 / δ.K ki , U1 .Kki, U1 .Ksi
= δU1 / δ.Ks i , U2 .K pi
= δU2 / δ.K pi , U2 .Kki
= δU2 /δ.K ki , U2 .Kki, U2 .Ksi = δU2 / δ.K ki , U2 .Kki, U2 .Ksi
65
= δU2 /δ.K ki , U2 .Kki, U2 .Ksi = δ.Q i / δTi, Q i .S3 = δ.Q i /
(3.63.)
δ.S 3
Permintaan komoditas kedelai merupakan suatu fungsi dari harga kedelai,
harga substitusi, harga komplemen, dan pendapatan penuh, sehingga diperoleh
keuntungan maksimal dari usahatani kedelai. Fungsi ini harus memenuhi syarat
adding-up, homogen, dan simetri. Setelah fungsi permintaan kedelai diperoleh,
maka dapat dievaluasi dampak perubahan peubah eksogen terhadap konsumsi
rumahtangga secara parsial. Selain harga barang konsumsi maka upah tenaga
kerja dan pendapatan penuh dapat mempengaruhi fungsi permintaan atau
konsumsi rumahtangga.
Dampak perubahan konsumsi rumahtangga akibat
perubahan harga-harga adalah adanya efek substitusi, efek pendapatan, dan efek
keuntungan usahatani melalui pendapatan penuh.
Fungsi permintaan konsumsi rumahtangga petani dapat digunaka n untuk
menganalisis permintaan waktu santai, yang tidak ditemui pada fungsi permintaan
konvensional.
Dampak perubahan pada peubah eksogen terhadap peubah
endogen dihitung berdasarkan nilai elastisitasnya. Fungsi permintaan komoditas
kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut:
K pi = f (H pi , H ki , HSi , Y*) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.64)
K ki = f (H pi , H ki , HSi , Y*) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.65)
Ks i = f (H pi , H ki , HSi , Y*) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.66)
Dalam hal ini:
Y*
= Y* ( П, YNl , UNli ),
untuk i = 1,2,3.
(3.67)
П
= (H k , Uki , H S3 , Zi ) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.68)
dimana: П = keuntungan usahatani kedelai.
Pada kondisi yang optimal, dapat pula diturunkan fungsi penawaran output
(Q i ), dan permintaan input (Ti , S 3 ). Penawaran komoditas kedelai (Q i ), dan
permintaan input sarana produksi pertanian (Ti , S 3 ), merupakan fungsi dari harga
komoditas kedelai (H k ), harga input sarana produksi pertanian (U ki , HS3 ), dan
harga input tetap (Zi ). Fungsi penawaran output- nya adalah:
Qi
= f (H k , Uki , HS3 ; Zi ) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.69)
Ti
= f (H k , Uki , HS3 ; Zi ) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.70)
S3
= f (H k , Uki , HS3 ; Zi ) ,
untuk i = 1,2,3.
(3.71)
66
Fungsi pe nawaran Q i dinyatakan dalam marketed surplus sebagai berikut:
M Sk = Q i – Ck
(3.72)
Dengan demikian dapat dilakukan analisis perilaku penawaran Q i
rumahtangga pertanian, karena perubahan faktor eksogen seperti harga kedelai
(Hk ). Konsumsi kedelai (C k ) dapat ditransmisikan melalui perubahan pendapatan,
yang perubahannya tergantung dari jenis komoditas- nya (Xi ).
Peruba ha n M Sk tergantung pada peruba han pe uba h eksogen sepe rti H k , Hp , Uk ,
UNk , HS3 , dan Zi .
Download