III. KERANGKA PEMIKIRAN Pertanian sebagai industri dapat dilihat dalam tiga sisi, yaitu teknologi produksi pertanian, unit ekonomi rumahtangga petani (farm household), dan komoditas produk pertanian, seperti pendapat Nakajima (1986) tentang teori keseimbangan subyektif dari rumahtangga pertanian. Analisis perilaku ekonomi rumahtangga petani berusaha mengkaji sektor tanaman pangan di Indonesia yang dikuasai oleh rumahtangga petani. Tujuan akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani. Rumahtangga petani berusaha mengontrol kehidupannya untuk mencapai tujuan tersebut. Rumahtangga petani sebagai suatu unit ekonomi yang kompleks adalah usahatani dengan tenaga kerja keluarga dan konsumen yang memaksimumkan utilitasnya untuk mencapai kepuasan. Rumahtangga petani memaksimumkan fungsi kegunaan atau utilitas dengan sumberdaya terbatas, yang secara rasional menuju pada titik keseimbangan. Sebagai unit ekonomi, rumahtangga petani mempunyai hubungan simultan antara perilaku produksi dan perilaku konsumsi, yang tidak terjadi pada organisasi perusahaan. Perusahaan hanya melakukan kegiatan prod uksi barang da n jasa untuk mencapa i tujuan maksimisasi keuntungan. Kons umsi diturunka n da ri pe rilaku individu yang secara rasional berusaha memaksimumkan kepuasan dengan kendala anggaran tertentu, sehingga merupakan sebuah fungsi permintaan rumahtangga. Hubungan simultan antara perilaku produksi dan konsumsi dalam rumahtangga petani, menyebabkan perilaku rumahtangga petani memerlukan landasan teori ekonomi yang unik. 3.1. Teknologi Produksi Pertanian Dalam model perilaku rumahtangga petani, dibutuhkan keputusan terpadu antara produksi, pendapatan, dan konsumsi. Dalam sistem usahatani, maka produksi, pendapatan, dan konsumsi, merupakan salah satu bagian dari suatu sistem yang kompleks. Produksi dapat ditentukan oleh faktor internal, eksternal, dan lingkungan alami. Faktor internal terdiri dari ketersediaan sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan modal. Faktor eksternal berupa struktur masyarakat, kelembagaan (pasar, kredit, penyuluhan), dan sarana/prasarana (irigasi, 40 transportasi). Faktor alami adalah lingkungan fisik (lahan, ketinggian, radiasi, curah hujan, topografi), dan lingkungan biologi (varietas, hama-penyakit, gulma). Semua faktor tersebut menghasilkan output berupa produksi dan pendapatan, yang hasilnya dikonsumsi masyarakat luas di pasar yang saling terkait. Dengan asumsi teknologi produksi pertanian yang tetap, maka pendapatan maksimum tercapai hingga tingkat tertentu. Dengan ketersediaan sumberdaya pertanian yang terbatas kuantitas dan kualitasnya, peningkatan produksi dan produktivitas memerlukan teknologi yang efektif dan efisien. Perbedaan tingkat teknologi akan membedakan produksi yang dicapai. Dengan asumsi harga input dan harga output tetap, teknologi produksi pertanian akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani. Penerapa n teknologi baru sesuai anjuran, tergantung strategi pe tani untuk melakuka n keputusan produksi pada usahatani pertanian. Adopsi teknologi diterima jika lebih baik dan menguntungkan dibandingkan teknologi alternatif yang tersedia. Kriteria yang dipilih adalah: (1) bertujuan memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, (2) kondisi lahan harus sesuai dengan jenis tanaman anjuran, (3) dukungan irigasi untuk lahan usaha, menanam tanaman yang diinginkan, (4) pe ngetahuan dan keterampilan (5) ketersediaan waktu dan tenaga kerja serta biaya usahatani, (6) ketersediaan modal dan fasilitas kredit untuk membeli benih, pupuk, dan obat/pestisida, dan (7) kemampuan menanam modal dalam jangka tertentu hingga tanaman berhasil. Kendala adopsi teknologi produksi usahatani pertanian adalah keterbatasan modal, faktor resiko, dan ketidak-pastian. Modal yang tersedia dapat bersumber dari keluarga dan luar keluarga, yang digunakan untuk kebutuhan input teknologi sesuai anjuran, dan membiayai tenaga kerja, peralatan pertanian, investasi sesuai teknologi baru, baik mekanis maupun kimia-biologis, seperti pendapat Barker dan Hayami (1978) tentang konsekuensi ekonomis teknologi baru tanaman padi, serta implikasi perubahan teknologi dan kebijakan ekonomi untuk tanaman padi di Indonesia, sesuai analisis Jatileksono (1986). Resiko yang dihadapi petani adalah kegagalan panen karena gangguan cuaca, hama-penyakit, dan gulma. Analisis Elad et.al. (1998) tentang produktivitas tenaga kerja dalam rumahtangga pertanian di Afrika, dengan model produksi rumahtangga yang 41 direvisi, dapat dijadikan acuan untuk melihat asumsi teknologi produksi usahatani yang tetap, sehingga produktivitas usahatani dapat dicapai sampai batas tertentu. Jumlah penggunaan input yang tepat akan menghasilkan produksi yang tinggi sesuai ketersediaan sumberdaya yang dimiliki. Secara teoritis perilaku rumahtangga petani ini dapat didekati dengan teori produksi, dimana fungsi produksi diasumsikan sebagai hubungan antara produksi dan faktor produksi secara kontinyu. Secara matematis fungsinya dapat dirumuskan menjadi: Y= f (X 1 , X2 ,….., Xi ), dimana Y= produksi, dan X= faktor produksi. Hubungan antara produksi total, produksi rata-rata, dan produksi marjinal, dapat dilihat pada pembagian tahapan skala produksi sesuai hukum kenaika n hasil ya ng semakin berkurang (law of diminishing return), seperti disajikan pada Gambar 1. Produksi C Ep=1 Ep=0 Produksi Total B Ep>1 1>Ep>0 Ep<0 TI T II T III A B* Produksi Rata-rata Produksi Marjinal C* Faktor Produksi O Gambar 1. Tahapan Skala Produksi Dalam Gambar 1, terlihat bahwa pada wilayah I, penambahan faktor produksi menyebabkan persentase kenaikan produksi total lebih besar dari persentase kenaikan faktor produksi, sehingga memacu tambahan pendapatan. Produsen dianggap tidak rasional untuk menghe ntikan penamba han faktor produksi selama pendapatan. penambahan faktor produksi menghasilkan tambahan Pada wilayah II, penambahan faktor produksi menyebabkan 42 pendapatan yang menurun. Pendapatan maksimum tercapai pada saat nilai produksi marjinal sama dengan biaya pe ngorbanan marjinal sama de ngan satu, yang merupaka n daerah rasional ba gi prod usen sesuai prinsip ekonomi da lam mencapai pendapatan maksimum. Pada wilayah III, penambahan faktor produksi berakibat produksi total dan pendapatan menurun, sehingga merupaka n wilayah tidak rasional. Kedelai atau Glycine Max (L) Merril ditanam setelah panen padi di musim gadu, sebagai tanaman sela di lahan sawah irigasi setengah teknis dan tadah hujan, dengan status sebagai tanaman secondary crops. Budidaya kedelai dipengaruhi oleh waktu tanam, lokasi, jenis lahan, da n musim tanam. Budidaya kedelai dibagi tiga musim tanam, yaitu setelah padi musim hujan, padi musim gadu, dan musim hujan. Penanaman di lahan sawah lebih diminati petani karena lebih tinggi hasilnya. Penanaman kedelai setelah padi lebih hemat tenaga dan biaya. Kendala usahatani kedelai adalah, keterbatasan lahan petani subsisten yang dapat ditanam secara tumpangsari seperti dengan jagung. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi tempe, kecap, oncom, tauco, natto; tahu, yuba, susu/saridele, daging tiruan; minyak salad, minyak goreng, mentega putih, margarine; yogurt, roti, es-krim, makanan bayi, kembang gula; minuman fungs ional (isoflamix); oba t-obatan (farmasi), alat kecantikan (parfum); dan bungkil kedelai sebagai makanan ternak, membuat budidaya kedelai dan industri pengolahan hasil kedelai semakin berkembang. Proses pengolahan kedelai dapat menghasilkan produk pangan fermentasi, produk pangan non- fermentasi, produk minyak kasar untuk pangan dan teknik/industri, produk lesitin, produk konsentrat protein, produk isoflamix, dan produk bungkil kedelai. Teknik budidaya usahatani kedelai yang perlu diperhatikan adalah waktu/musim dan pola tanam, pemilihan varietas benih unggul dan lokal, syarat dan kebutuhan benih, penyiapan lahan, cara dan jarak tanam, pemupukan, penggunaan mulsa, pengendalian gulma, pembumbunan, pengairan dan pengelolaan air, pengendalian hama penyakit, pemanenan dan pasca-panen. Selain faktor iklim, pertumbuhan kedelai tergantung jenis lahan, apaka h termasuk lahan berdrainase jelek (rawa, pasang surut, lebak), lahan gambut (pH renda h, 43 kesuburan renda h), lahan kering de ngan jumlah hujan terbatas, atau lahan dataran tinggi dengan suhu di bawah kebutuhan minimal pertumbuhan kedelai. Hasil kedelai di lahan kering biasanya lebih rendah dari lahan sawah, sebab penanaman kedelai setelah padi gogo dilakukan tanpa pengolahan tanah, dan teknologi budidaya kedelai lambat penguasaannya. Pertumbuhan kedelai dibagi dalam tahap vegetatif dan tahap reproduktif. Sifat-sifat agronomis kedelai yang penting adalah pada stadia reproduktif. Faktor lingkungan yang berpengaruh ada lah ke suburan tanah, ka ndungan air, naungan tanaman, s uhu udara, kecukupa n hara, kecepatan angin, serta ketahanan pada hama penyakit. Teknik produksi dan pengembangan kedelai untuk meningkatkan produksi usahatani kedelai di Indonesia menurut Sumarno et.al. (2007) dan Manwan et.al. (1990), dititik-beratkan pada penggunaan benih unggul kedelai, seperti juga pendapat Sadjad (1997) tentang pendekatan sistem dalam pengadaan benih kedelai, termasuk perakitan varietas unggul kedelai spesifik agro-ekologi. Disisi lain, rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pestisida hayati sesuai dosis anjuran, menyebabkan produksi dan produktivitas kedelai rendah hasilnya. Dalam proses alih teknologi, faktor benih, pupuk, dan pestisida, kredit usahatani, pemasaran, penyuluhan, dan konservasi sumberdaya alam, berperan penting dalam meningkatkan hasil kedelai, seperti terlihat pada kinerja penelitian tanaman pangan oleh Syam et.al. (1997). Kedelai responsif terhadap pupuk, sehingga membutuhkan pupuk NPK yang cukup. Penggunaan zat perangsang tumbuh sangat efektif untuk meningkatkan hasil kedelai di lahan kering, karena bersifat mendorong, merangsang, menghambat, atau menahan pertumbuhan tanaman. Respon tanaman terhadap zat perangsang tumbuh tergantung pada varietas, kesuburan tanah, dan keadaan lingkungan, serta musim, lokasi, dan stadia pertumbuhan kedelai. Penelitian On-farm multi- lok asi, sangat berguna untuk menguji kelayakan teknis dan ekonomis dari alternatif dan adopsi teknologi produksi baru. Inovasi dan adopsi bio-teknologi dilakuka n misalnya de ngan menggun aka n pupuk mikroba seperti Rhizoplus dan Legin, atau teknologi Rhizobium serta perbaikan 44 sistem kelembagaan seperti kredit pertanian, penyulu han dan pemasaran hasil pertanian (Sumarno et.al., 2007). Dalam penelitian pengembangan teknologi produksi usahatani kedelai, Adisarwanto dan Suyamto (1997) serta Damardjati et.al. (1997) menganalisis perlunya penggunaan pupuk dan pestisida hayati untuk intensifikasi kedelai, yang tergantung da ri jenis lahan da n agrok limat tanaman. Teknologi prod uksi usahatani kedelai meliputi: (1) pemilihan varietas benih unggul bermutu tinggi, (2) penyiapan lahan bebas gulma dan sanitasi lingkungan, (3) inokulasi rhizobium, (4) ameliorasi tanah dari aspek pH, bahan organik, hara N, P, K, Ca, Mg, sesuai keperluan, (5) penyesuaian waktu tanam dengan ketersediaan air, dan (6) peralatan dan tenaga kerja pada musim pa nen da n pasca-pa nen serta harga pasar yang wajar. Perluasan areal panen dan peningkatan produksi serta produktivitas kedelai di lahan sawah dilakukan untuk mencapai target swasembada kedelai tahun 2015. Intensifika si khusus kede lai dilakukan di lahan kering de ngan menamba h input kapur pertanian, sedangkan Supra Insus dilakukan di sawah irigasi teknis dan setengah teknis. Penanaman kedelai monokultur dilakukan di musim tanam ketiga di lahan tada h hujan. Peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi, rehabilitasi, dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Intensifikasi diarahkan pada peningkatan produksi dan mutu benih unggul melalui subsidi input produksi, atau dengan kebijakan Intensifikasi Khusus dan Operasi Khusus pada lahan marjinal. Ekstensifikasi diarahkan pada perluasan areal tanam baru di lahan sawah dan lahan kering, dengan pemberian kapur untuk memperbaiki mutu lahan. Diversifikasi tanaman dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas tanaman, serta optimalisasi pola tanam tumpang-sari di lahan sawah, lahan kering, pekarangan, dan lahan perkebunan. Diversifikasi pertanian tanaman pangan sesuai konsep agribisnis untuk tujuan ekspor oleh Surya na et.al. (1990), meliputi aktivitas terpadu secara vertikal pada proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran, dan tidak jauh berbeda dengan konsep Austin (1981) tentang analisis proyek agro-industri. Dalam sistem agribisnis, terdapat subsistem penyediaan sarana produksi, usahatani, pengolahan, 45 dan pemasaran, seperti konsep agribisnis Saragih (2001) tentang paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Subsistem usahatani yang efektif dan efisien dilakukan petani atau perusahaan kecil, dimana biaya produksi per-unit tidak terpengaruh oleh skala usaha. Pola perusahaan inti rakyat (PIR) pangan adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan antara perusahaan pertanian sebagai inti, dan petani PIR sebagai plasma, serta pemerintah sebagai pembina, pembimbing dan fasilitator, termasuk adanya pola kemitraan menuju swasembada kedelai (Lim, 1997). Permasalahan usahatani kedelai adalah: (1) keterbatasan wilayah penyebaran potensi kedelai karena hama penyakit endemik dan gulma, kemasaman tanah, genangan air, dan daya simpan benih, dan (2) kedelai sebagai tanaman pengisi waktu sela di lahan kosong setelah tanaman padi (dan jagung). Kedelai adalah tanaman komersial yang berhubungan erat dengan pedagang/ penampung kedelai, yang memerlukan standardisasi mutu biji kedelai, termasuk teknologi pascapa nen primer da n pe ngolahan kedelai (Sumarno et.al., 2007). Pemecahan masalah usahatani kedelai dilakukan melalui: (1) pola tanam dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan manusia secara optimal, serta pengenda lian hama-penyakit dan gulma, (2) penanaman serempak dalam hamparan luas atau usahatani kelompok (Insus), untuk mengatasi hama-penyakit dan skala usaha, (3) jalinan arus benih antar lapang/antar musim (Jabalsim) untuk menjamin benih murah dan aman, dan (4) pengelolaan usahatani kedelai dengan perusahaan pembimbing atau pembina petani. Cara bercocok tanam kedelai dapat diklasifikasikan dalam cara sederhana, setengah intensif, dan intensif. Kedelai ditanam sebagai tanaman tunggal, tumpangsari, campuran, atau sebagai tanaman sela (gadu) setelah tanaman padi. Peranan kedelai sebagai sumber protein nabati, langsung dikonsumsi masyarakat dalam bentuk benih dan produk olahan serta pakan ternak. Produk kedelai adalah untuk dipasarkan atau diproses (95%), untuk benih kedelai dan juga hilang pada saat pasca panen (4%), dan untuk direbus atau digoreng (1%). Dalam ekonomi kedelai di Indonesia dan dengan melihat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai, perlu kebijakan yang tepat arah dan tujuan dalam penetapan harga dasar dan harga atap (Sumarno et.al., 2007). 46 Penetapan harga dasar kedelai dan subsidi sarana produksi, akan merangsang petani untuk meningkatkan produksi kedelai. Kebijakan harga dasar adalah untuk melindungi produsen, sedangkan kebijakan harga atap untuk melindungi konsumen (subs idi harga). Kebijakan ini dapat mempengaruhi produksi dan pemasaran kedelai. Pemerintah menetapkan harga dasar melalui sistem operasi pasar, dengan mencegah kemerosotan harga di tingkat petani melalui pembelian langsung, dan mencegah lonjakan harga. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai Indonesia menunjukkan adanya pergeseran posisi dari negara pengekspor menjadi pengimpor kedelai sejak tahun 1975. Kebutuhan konsumsi kedelai domestik untuk produk olahan, benih, dan pakan ternak, lebih besar dari produksi kedelai dalam negeri, sehingga ketergantungan impor kedelai masih berlangsung hingga sekarang. Swasembada kedelai masih belum tercapai, sehingga merupakan peluang bagi peningkatan produksi kedelai di Indonesia hingga tahun 2015 (Sumarno et.al., 2007). Harga kedelai di tingkat produsen pada tahun 1990 adalah Rp.1025, dan di tingkat konsumen Rp.1075/kg, sedangkan harga kedelai pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2001), mencapai harga rata-rata sebesar Rp.2150/kg. Pada saat yang sama, harga kede lai lebih tinggi dari harga padi/gabah yaitu Rp.1000/kg, tetapi petani kurang responsif terhadap usahatani kedelai daripada usahatani padi, karena produktivitas kedelai lebih rendah daripada padi/gabah. Berkembangnya mina padi dan palawija ikan, belum bisa menggeser usahatani padi untuk digantikan oleh komoditas lain yang lebih menguntungkan. Usahatani kedelai sebenarnya menguntungkan dari segi finansial, dengan pendapatan bersih sekitar Rp.2.05 juta/ha, walaupun luas areal panen kedelai menurun dari 1.48 juta ha (1995) menjadi 0.55 juta ha (2004), atau turun rata-rata 10% pertahun (Balitbangtan, 2005). Dengan sasaran peningkatan produksi 15% pertahun untuk mencukupi kebutuhan domestik, dan produksi meningkat 60% pada tahun 2009, berarti swasembada baru tercapai tahun 2015. Investasi yang dibutuhkan adalah Rp.5.09 triliun (2005-2009) dan Rp.16.19 triliun (2010-2025), dimana swasta menyumbang sebesar Rp. 0.68 triliun dan Rp. 2.45 triliun. Menurut Tabor (1988) dalam penawaran dan permintaan tanaman pangan di Indonesia, maka penawaran kedelai bersifat elastis terhadap perubahan harga. 47 Di Jawa, elastisitas harga kedelai lebih elastis daripada luar Jawa, sehingga luas areal tanamnya lebih berhasil. Kedelai berkompetisi dengan jagung untuk lahannya, sehingga kenaikan harga jagung menurunkan areal tanam kedelai. Konsumsi kedelai dipengaruhi oleh elastisitas harga dari pendapatan, yang lebih tinggi daripada tanaman pangan lain. Permintaan kedelai responsif terhadap harga kedelai dan perkembangan industri pengolahan tempe da n tahu. Penelitian Rosegrant et.al. (1987) tentang kebijakan investasi dan harga di sektor tanaman pangan di Indonesia, menyatakan bahwa elastisitas harga dan pendapatan kedelai adalah inelastis. Berarti, peningkatan harga kedelai akan menurunkan jumlah permintaan kedelai. Kenaikan jumlah permintaan lebih rendah daripada kenaikan pendapatan. Kenaikan harga kedelai di pasar tidak berdampak besar pada penurunan konsumsi kedelai. Konsumsi kedelai meningkat karena kesadaran masyarakat tentang protein dan gizi serta pentingnya pengembangan industri pengolahan kedelai. Dengan teknologi produksi berlainan, hasil kedelai di lahan sawah irigasi teknis lebih tinggi daripada di lahan kering atau tadah hujan. Penggunaan teknologi produksi yang kurang efektif dan efisien, akan menimbulkan kesenjangan hasil, karena keterbatasan sarana dan prasarana irigasi serta penggunaan input modern. Biaya tinggi yang terjadi karena proteksi harga dan kuota, faktor teknologi, dan investasi di bidang infrastruktur. Rosegrant et.al. (1987) menganalisis proses ekstraksi setiap satu ton biji kedelai kering, dapat menghasilkan 774.20 kg tepung kedelai, 176.40 kg minyak kedelai, 20.00 kg ampas, dan 29.40 kg limbah buangan. Dalam agribisnis dan kegiatan agroindustri, sarana produksi dan alsintan merupakan faktor penunjang pengembangan kedelai, agar mutu dan daya saing meningkat. Sarana produksi merupakan variable-cost, dan alsintan adalah fixedcost, sehingga mengurangi keuntungan petani. Jika harga naik, biaya produksi naik. Petani dengan skala usahatani kecil cenderung efisien dan lebih kecil resikonya, walaupun terdapat fluktuasi harga pada saat panen atau paceklik. Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan adalah untuk mengurangi proteksi harga, agar dapat bersaing pada harga dunia, dimana konsumen lebih diuntungkan daripada produsen. Pendapatan petani naik jika perdagangan bebas 48 diberlakukan dan kebijakan harga akan memberi insentif kepada produsen kedelai. Dalam integrasi vertikal, produksi kedelai seperti halnya pengolahan tepung kedelai dan minyak kedelai masih belum ekonomis. Petani akan bergairah menanam kedelai jika faktor harga kedelai dapat dikendalikan (stabil), dan ketergantungan pada impor dapat diatasi. Produksi kedelai meningkat jika pengendalian harga menguntungkan petani, dimana kedelai sebagai bahan baku industri. Menurut Kuntjoro et.al. (1989), permintaan kedelai Indonesia adalah ine lastis terhadap perubahan harga da n peruba han pe ndapatan. Konsumen tidak responsif untuk mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung karbohidrat dibandingkan bahan pangan yang berprotein, karena pendapatannya akan berubah. Petani kedelai di Jawa pada umumnya kurang responsif terhadap perubahan harga. Peubah inp ut yang berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai adalah luas lahan, pupuk, dan tenaga kerja. Jika subsidi pupuk dihilangkan dengan kenaikan harga, maka produksi kedelai dan keuntungan petani akan menurun. Potensi peningkatan produksi kedelai ditentuka n oleh ke layaka n eko nomi dan keunggulan komparatif, dimana Jawa Barat tidak layak secara ekonomis walaupun potensial, sedangkan Jawa Timur layak untuk konsumsi lokal atau industri substitusi impor. Daerah yang layak dan unggul serta efisien produksinya adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pengurangan subsidi pupuk, terobosan teknologi, dan pengaturan harga kedelai domestik, akan meningkatkan aktivitas produksi dan konsumsi rumahtangga petani kedelai (Daris, 1993). 3.2. Penawaran Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu Jumlah penggunaan tenaga kerja menunjukkan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah jam kerja yang ditawarkan tenaga kerja yang bekerja. Dalam analisis ekonomi mikro maka rumahtangga merupakan unit pengambil keputusan yang berusaha memaksimumkan tingkat kepuasan. Pilihannya adalah bekerja untuk mendapatkan penghasilan atau menganggur. Dengan bekerja berarti mendapatka n hasil yang lebih besar da n menamba h waktu untuk mencapa i kebutuhan konsumsi. Apabila tidak bekerja dengan memilih waktu santai 49 (leisure), berarti nilai guna pendapatannya akan lebih kecil. Kombinasi kedua pilihan tersebut menghasilkan tingka t kepuasan maksimum. Menurut Mangkuprawira (1985), dalam menganalisis penawaran tenaga kerja, perlu diasumsikan: (1) pasar produksi dan tenaga kerja bersaing sempurna, (2) tenaga kerja mempunyai selera tetap dan sama dalam memilih, (3) tidak ada biaya tenaga kerja selain upah, dan (4) produktivitas tenaga kerja persatuan waktu tidak tergantung pada lamanya bekerja. Hal ini bukan berarti terdapat kelemahan analisis, melainkan dalam dunia nyata tidak tampak adanya pasar yang bersaing sempurna. Dalam hal ini terdapat keterlibatan pemerintah dalam hal upah dan keragaman angkatan kerja terhadap pasar tenaga kerja. Setiap pekerja juga tidak seragam baik dalam selera maupun kemampuan bekerja. Kenyataannya, terdapat perbedaan selera dan produktivitas karena faktor pendidikan dan keahlian. Dalam teori ekonomi ditunjukkan bahwa jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh seseorang, akan dipengaruhi oleh besarnya upa h yang diterima tenaga ke rja. Semakin tinggi tingkat upah yang dibayarkan per-jam kerja, mendorong seseorang untuk bekerja lebih lama, sehingga pendapatannya meningkat. Disamping itu, jumlah jam kerja yang dicurahkan seseorang pada suatu pekerjaan dipengaruhi oleh produktivitas. Berarti, semakin tinggi produktivitas seseorang, semakin sedikit waktu yang dibutuhka n untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pada Gambar 2, terlihat bahwa jika tingkat upah meningkat maka kendala anggaran berubah dari G 1 G1 ke G1 G3 , dan jika pendapatan meningkat maka kendala anggaran berubah dari G 1 G1 ke G2 G2 atau sejajar. Akibatnya rumahtangga akan mengurangi jam kerja dari H m H1 ke Hm H3 sehingga terjadi income-effect, sedangka n peruba han harga mengakiba tka n substitution-effect, yaitu mengganti waktu santai dengan menambah waktu bekerja dari H m H3 ke Hm H2 . Gross-effect dari peruba han tingka t upa h ada lah sebesar H 1 H2 , yaitu selisih dari efek pendapatan dan efek substitusi (titik P ke Q). Dalam hal ini terjadi pengurangan penawaran tenaga kerja, sedangkan pada kasus kenaikan penawaran tenaga kerja maka gross- effect akan positif, yaitu H 1 H2 * pada titik Q*, dengan kendala anggaran U 2 *. 50 Barang (G) G3 Q* U2* G2 Q R G1 P U1 U2 G2 G1 O H 2* H1 H2 H3 Hm = Waktu Santai Gambar 2. Pengaruh Perubahan Tingkat Upa h da n Pendapatan terhadap Alokasi Waktu Dalam Gambar 2 terlihat bahwa pada tingkat upah G 1 G1 dan tingkat kepuasan U 1 , jam kerja yang dicurahkan untuk bekerja adalah H 1 Hm , dan waktu santai untuk keluarga adalah OH 1 . Dengan adanya kenaikan upah dari G 1 G1 ke G1 G3 , maka tingkat kepuasan bergeser dari U 1 ke U2 , dan jam kerja yang dicurahkan untuk bekerja berkurang menjadi H 2 Hm , sedangka n waktu santai untuk keluarga bertambah menjadi OH 2 . Pada tingkat upah G 1 G3 tersebut, waktu santai untuk kegiatan rumahtangga bertambah dari OH1 jadi OH2 , dan waktu bekerja berkurang dari H 1 Hm jadi H2 Hm , dimana utilitas rumahtangga bergeser dari U1 ke U2 pada titik P ke Q. Peningkatan upah tenaga kerja mengakibatkan peningkatan jam kerja, jika efek substitusi lebih besar dari efek pendapatan, yaitu dari H m H1 ke Hm H2 *, atau pergeseran dari titik P ke Q*. Sebaliknya kenaikan upah tenaga kerja akan mengurangi jam kerja, apabila efek substitusi lebih kecil dari efek pendapatan, yaitu dari H m H1 ke Hm H2 , atau pergeseran dari titik P ke Q. Jika pergeseran titik 51 P ke Q da n seterusnya ditarik suatu garis, aka n terbentuk kurva penawaran tenaga kerja yang dapat berbalik arah atau bending-curve. Kenaikan upah tenaga kerja berarti bertambahnya pendapatan. Pada saat status ekonomi seseorang lebih tinggi, cenderung meningkatkan konsumsi dan waktu santai, sehingga akan mengurangi jam kerja. mengakibatkan terjadinya income-effect. harga waktu bekerja lebih mahal, Pengurangan jam kerja Kenaika n upa h tenaga kerja berarti sehingga mendorong rumahtangga mensubstitusi waktu santai lebih banyak bekerja untuk menaikkan konsumsi, sehingga terjadi substitution-effect kenaikan upah tenaga kerja. Evenson (1978) menjelaskan tentang pengaruh perubahan upah terhadap alokasi penggunaan waktu santai secara individual, dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi individu. Pada dasarnya tujuan seseorang untuk melakukan suatu jenis pekerjaan adalah untuk mendapatkan penghasilan dari suatu jenis pekerjaan atau kegiatan tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh: (1) jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan (2) upah tenaga kerja per-jam yang diterima pekerja (buruh tani). Pada dasarnya, di negara berkembang seperti Indonesia, keputusan konsumsi sangat menentukan keputusan dalam produksi suatu komoditas. Dalam rumahtangga terdapat kendala berupa anggaran rumahtangga yang membatasi konsumsi, dimana: (1) waktu terbatas pada periode tertentu, dan (2) jumlah anggota keluarga dalam rumahtangga yang ditawarkan terbatas. Secara matematis hal tersebut dapat dirumuskan seperti berikut ini. Fungsi utilitas rumahtangga atau kepuasan adalah: Ui dimana: Ui Zi = ui (Z1 , Z2 , ….. , Zi ) (3.1) = utilitas rumahtangga atau kepuasan = komoditas yang dihasilkan oleh rumahtangga, untuk i = 1, 2,…, n. Untuk memaksimumkan kepuasan, rumahtangga dibatasi oleh kendala produksi, waktu, dan pendapatan untuk membeli barang di pasar. Fungsi produksinya adalah: Zi dimana: = zi (Xi , Ti ) (3.2) 52 Xi Ti = barang dan jasa ke-“i” yang dibeli di pasar, = input waktu yang dipakai untuk memproduksi barang Z ke- “i”. Kendala anggaran atau pendapatan untuk membeli barang dan jasa di pasar: Σn i=1 Pi . Xi = Y = V + Tw .W dimana: Pi Xi Y V Tw W (3.3) = harga komoditas X ke-”i” yang dibeli di pasar, = jumlah komoditas X ke-”i” yang dibeli di pasar, = nilai barang atau nilai penerimaan uang rumahtangga, = penerimaan selain dari bekerja, = waktu yang digunakan untuk bekerja, = penerimaan per-unit T w atau upa h tenaga kerja. Kendala waktu dapat dirumuskan sebagai berikut: Σn i=1 Ti = Tc = T – Tw dimana: Ti Tc T Tw (3.4) = jumlah waktu untuk memproduksi barang Z ke- “i”, = total waktu santai (konsumtif) dalam rumahtangga, = total waktu yang tersedia dalam rumahtangga, = total waktu yang digunakan untuk bekerja. Fungsi penawaran tenaga kerja individu juga dapat diturunkan menjadi: Ls dimana: Ls W Y Pi = l s (W, Y, P1 , P2 , ….. , Pi ) (3.5) = suplai tenaga kerja individu, = upa h tenaga kerja, = nilai barang atau nilai penerimaan uang rumahtangga, = harga komoditas Z ke- “i” yg dibeli di pasar, untuk i=1,2,..., n. Becker (1965) menganalisis tentang barang dan jasa yang bukan satusatunya input dalam proses produksi, dimana masih terdapat input lain yaitu waktu santai yang dimiliki oleh konsumen. Konsumen menggunakan barang dan jasa serta waktu santai untuk memaksimumkan kesejahteraannya, dimana rumahtangga bertindak sebagai produsen dan konsumen sekaligus. Asumsinya adalah bahwa rumahtangga mengkombinasikan komoditas yang dibeli di pasar pada waktu memproduksi barang tersebut, sehingga dihasilkan komoditas yang siap dikonsumsi (Zi ) dan memberikan kepuasan maksimum. Teori alokasi waktu diatas belum memisahkan antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam rumahtangga, sehingga Gronau (1977) dan Evenson (1978) 53 mencoba untuk memisahkan tenaga kerja pria dan wanita. Waktu dan barang secara langsung merupaka n indikator kepuasan da n faktor input yang menghasilkan barang tertentu (Zi ). Barang tersebut dapat dihasilkan rumahtangga atau dibeli di pasar, tetapi komposisinya tidak mempengaruhi Zi . Fungsi utilitas seseorang terhadap komoditas Zi , menurut Gronau (1977) merupakan kombinasi barang dan jasa, serta konsumsi waktu santai (L), yaitu: Zi = zi (Xi , L) (3.6) Barang tersebut dapat dibeli di pasar atau di produksi didalam rumahtangga, tetapi komposisi barang X ke-”i” tidak mempengaruhi komoditas Z ke-”i”. Menurut Singh et.al (1986), konsumsi total terdiri dari nilai barang dan jasa yang diproduksi rumahtangga sendiri (X h ), ditambah konsumsi barang yang dibeli di pasar (X m ), serta waktu untuk kegiatan konsumstif atau santai (X l ). Pengeluaran atau konsumsi untuk memproduksi barang dan jasa dalam rumahtangga, dapat dirumuskan sebagai berikut: Xi = Xm + Xh + Xl (3.7) Dengan kendala tingkat produktivitas marjinal yang semakin menurun karena waktu bekerja dan perubahan komposisi X h , sehingga peningkatan H i memiliki substitusi pasar yang lebih rendah atau murah, yaitu: Xh = f (H i ) (3.8) Maksimisasi komoditas Zi dibatasi dua kendala yaitu: kendala anggaran atau pendapatan dan kendala waktu. (1). Kendala anggaran atau pendapatan barang dan jasa yang dibeli di pasar (X m ): Xm = W.N f + V (3.9) (2). Kendala waktu yang disediakan (T): T dimana: W Nf V L Hi = L + Hi + N f = upa h tenaga kerja atau gaji, = tenaga kerja yang digunakan, = penerimaan lainnya, = waktu santai (Leisure), = fungsi dari nilai barang dan jasa yang diproduksi rumahtangga (3.10) 54 Evenson (1978) mengasumsikan bahwa kepuasan rumahtangga tidak berasal dari barang yang diperoleh langsung di pasar, tetapi juga dari barang yang dihasilkan dalam rumahtangga. Jika fungsi kepuasan maksimum- nya adalah: Ui = ui (Zi ) (3.11) Jadi kendala produksi rumahtangga dirumuskan sebagai berikut: Zi = zi (Xi , Tij ) (3.12) dimana: Tij = vektor input waktu anggota keluarga rumahtangga ke- “j” unt uk memproduksi barang Z ke- “i” yang dikonsumsinya. Kendala pendapatan untuk membeli barang dan jasa di pasar adalah: ΣPi . Xi = Y + ΣWj .Tmj dimana: Pi Xi Y Wj Tmj (3.13) = harga komoditas X i , = komoditas atau bahan mentah yang diperoleh di pasar, = pendapatan bukan dari bekerja, = tingkat upah anggota keluarga dalam rumahtangga ke- “j”, = vektor jumlah anggota keluarga dalam rumahtangga. Waktu keseluruhan yang dimiliki anggota keluarga dalam rumahtangga ke-“j” adalah tetap sama, dan fungsi kendala waktu adalah: Tj dimana: Tj Tm j Th j Tl j = Tm j + Th j + Tl j (3.14) = waktu total yg dimiliki anggota keluarga rumahtangga ke-“j”, = vektor waktu untuk mencari nafkah, = vektor waktu untuk bekerja dalam rumahtangga, = vektor waktu lua ng atau santai. Teori alokasi waktu dari Becker (1965) diatas tidak menunjukkan perbedaan antara waktu santai dan waktu bekerja dalam rumahtangga. Kemudian Gronau (1977) maupun Evenson (1980), mengembangkan formulasi tersebut dengan membedakan secara eksplisit antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam rumahtangga, dan memisahkan antara tenaga kerja pria dan wanita. Singh et.al. (1986) menyempurnakan model tersebut dengan model yang dapat menganalisis aktivitas produksi dan konsumsi rumahtangga petani, yang disebut Agricultural/Farm Household Model. Dalam memaksimumkan fungsi kepuasan untuk konsumsi barang dan konsumsi waktu, rumahtangga diasumsikan mengikuti model dasar sebagai berikut: 55 Ui = ui (Ch , Cm , Cl ) (3.15) dimana: Ui Ch Cm Cl = kepuasan atau utilitas rumahtangga, = konsumsi barang yang dihasilkan rumahtangga, = konsumsi barang yang dibeli di pasar, = konsumsi waktu santai (leisure). Disini diasumsikan bahwa rumahtangga sebagai konsumen akan memaksimumkan kepuasannya dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu, seperti persamaan berikut: Qh = qh (Cl , A) (3.16) T = C l + Fi + N f (3.17) Pm .Cm = Ph (Qh – Ch ) – W (Cl – Fi ) + W.N f + E (3.18) dimana: Qh = jumlah produksi komoditas pertanian yang dihasilkan rumahtangga, T = waktu yang tersedia dalam rumahtangga, P m = harga barang dan jasa yang dibeli di pasar, C m = konsumsi barang yang dibeli di pasar, P h = harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga, C h = konsumsi barang yang dihasilkan rumahtangga, Q h -C h = surplus produksi komoditas pertanian untuk dijual di pasar, W = upah atas dasar harga pasar, C l = konsumsi waktu santai (leisure), Fi = input tenaga kerja dalam rumahtangga, N f = input tenaga kerja luar rumahtangga, A = faktor produksi tetap rumahtangga. Kendala yang dihadapi rumahtangga tersebut dapat disatukan dengan mensubstitusikan kendala produksi dan waktu ke dalam kendala pendapatan, sehingga akan menghasilkan bentuk kendala tunggal, yaitu: Pm .Cm + Ph .Ch + W.C l = W.T + π (3.19) dimana: π = Ph . qh (Cl , A) – W.Cl (π = keuntungan maksimal). Persamaan ini menunjukkan bahwa sisi kiri merupakan pengeluaran total rumahtangga untuk barang (C m dan C h ) dan konsumsi waktu santai (C l ). Sedangkan sisi kanan adalah pengembangan dari konsep pendapatan penuh dari Becker (1965), dimana nilai waktu yang tersedia adalah secara eksplisit. Pengembangan lain adalah dengan memasukkan pengukuran keuntungan atau 56 (P h .Qh –W.C l ), dimana semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah pasar. Persamaan tersebut merupakan inti dari model dasar ekonomi rumahtangga. Dalam memaksimumkan kepuasan, rumahtangga dapat memilih tingkat konsumsi dari barang (C m dan C h ), konsumsi waktu santai (C l ), da n input tenaga kerja (F i +N f ), yang digunakan dalam kegiatan produksi. Untuk mengoptimalkan penggunaan input tenaga kerja, First Order Condition (FOC)-nya adalah: Ph . (δ .Qh / δ.Cl ) = W (3.20) Rumahtangga berusaha untuk menyamakan penerimaan produk marjinal dari tenaga kerja dengan upah pasar. Dari persamaan ini dapat diturunkan penggunaan input tenaga kerja (F i +N f ) sebagai fungsi dari P h , W, dan A, yaitu: L* = l* (W, Ph , A) (3.21) Jika persamaan ini disubstitusikan ke sisi kanan pada persamaan diatas, akan diperoleh persamaan sebagai berikut: Pm .Cm + Ph .Ch + W.C l = (3.22) Y* dimana: Y* = pendapatan penuh pada saat keuntungan maksimum. Maksimisasi kepuasan dengan kendala persamaan tersebut akan menghasilkan FOC sebagai berikut: δU / δ Cm = λ.Pm (3.23) δU / δ Ch = λ.Ph (3.24) δU / δ Cl = λ.W (3.25) Pm .Cm + Ph .Ch + W.C l = Y* (3.26) Dengan demikian dapat diturunkan konsumsi barang yang dihasilkan rumahtangga (C h ), konsumsi barang yang dibeli di pasar (C m ), dan konsumsi waktu santai (C l ), yang masing- masing dipengaruhi oleh harga, upah, dan pendapatan. Fungsi persamaan turunan-nya menjadi: Xi = x i (Pm , Ph , W, Y*), untuk i = m, h, l. (3.27) Dengan melihat persamaan diatas, maka permintaan tergantung pada hargaharga dan pendapatan. Untuk kasus rumahtangga petani, pendapatan ditentukan oleh aktivitas produksi rumahtangga, sedangkan perubahan faktor- faktor produksi akan merubah Y* dan perilaku konsumsi. 57 Disamping itu, tingkat produktivitas tenaga kerja yang dihitung sebagai pendapatan per-jam kerja atau upah per-jam kerja dipengaruhi oleh: (1) kekayaan atau moda l, dan (2) keterampilan yang dimiliki. Berarti, produktivitas menjadi tinggi apabila modal dan keterampilan dihitung dalam proses produksi. Untuk individu yang berpenghasilan rendah, faktor produksi dan keterampilan merupakan keterbatasan, sehingga hanya mampu mengerjakan jenis pekerjaan yang mengandalkan tenaga kerja dan modal sedikit. Konsekuensinya, individu akan menerima pe ndapatan lebih renda h. Penguasaan faktor- faktor produksi yang tidak merata mengakibatkan produktivitas tenaga kerja tidak merata pula. Seseorang yang memiliki penghasilan tinggi, faktor produksi modal dan keterampilan bukanlah hal yang langka, sehingga produktivitasnya akan tinggi dan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan pendapatan melalui perluasan kesempatan kerja, tanpa diikuti peningkatan produktivitas tenaga kerja, akan berjalan lambat dan pendapatan yang diperolehnya rendah, sekalipun jumlah hari kerja dan jam kerja tenaga kerja tersedia lebih banyak. Alokasi waktu optimal untuk mencari nafkah, pekerjaan rumahtangga, dan waktu luang atau santai, diperoleh dengan memaksimumkan fungsi kepuasan atau utilitas rumahtangga, dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu. 3.3. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai Dalam dekade terakhir berkembang teori ekonomi rumahtangga yang mempelajari perilaku rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi, yang berhubungan dengan alokasi waktu dan pendapatan, dimana analisisnya dilakukan dengan pendekatan secara simultan. Bagi dan Singh (1974) merumuskan model ekonomi mikro pengambilan keputusan tersebut untuk kasus di negara berkembang. Bentuk pengambilan keputusan yang dilakukan oleh rumahtangga petani terbagi atas keputusan produksi, konsumsi, marketed surplus, penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga, investasi dan finansial. Yotopoulos dan Lau (1974) juga menganalisis produksi dan konsumsi rumahtangga dengan menggunakan pendekatan mikro-ekonomi serta fungs i 58 produksi Cobb-Douglas, dengan mengasumsikan bahwa: (1) rumahtangga sebagai konsumen akan memaksimumkan kepuasannya, yang merupakan fungsi dari waktu santai dan konsumsi komoditas lain dengan kendala sumberdaya, (2) rumahtangga sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi sumberdaya dan harga sarana produksi, (3) tenaga kerja dalam dan luar keluarga bersubstitusi sempurna, dan (4) partisipasi rumahtangga dalam pasar tenaga kerja. Barnum dan Squire (1978) menganalisis perilaku produksi usahatani, konsumsi, dan penawaran tenaga kerja, pada pertanian semi-ko mersial di pa sar tenaga kerja yang bersaing. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan erat antara keputusan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga petani. Menurut Singh et.al. (1986), Agricultural Household Model diturunkan dari teori perilaku konsumen. Model Bagi dan Singh (1974) adalah mode l analisis simultan rumahtangga petani, dimana petani memaksimumkan utilitasnya dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu. Penurunan model ini adalah dalam bentuk keputusan produksi, tenaga kerja, konsumsi, investasi, kredit pertanian, dan surplus pasar, yang dijabarkan dalam fungsi persamaan seperti pada Bab IV. Teori perilaku petani yang berkembang dewasa ini adalah hubungan antara kegiatan produksi dan konsumsi secara tidak terpisahkan (non-separabel). Dalam Agricultural/Farm Household Model, Singh et.al. (1986), Barnum dan Squire (1978), serta Bagi dan Singh (1974), menganalisis perilaku petani dengan model persamaan simultan secara terpisah (separabel), dalam keputusan produksi, tenaga kerja dalam dan luar keluarga, konsumsi, investasi, finansial, dan surplus pasar. Dalam model ekonomi rumahtangga dari Singh et.al. (1986), keputusan produksi diambil dari fungsi produksi pertanian, dimana jumlah produksi pertanian kotor (Q i ) merupakan fungsi dari penggunaan lahan garapan (L), persediaan moda l usaha (K t ), tenaga kerja dalam keluarga (N f ), tenaga kerja luar ke luarga (N h ), biaya produksi tidak tetap (O), serta perubahan teknologi dan kelembagaan (T). Fungsi produksi dirumuskan sebagai berikut: Qi = f (L, K t , N f , Nh , O, T) (3.28) 59 Keputusan konsumsi terdiri dari konsumsi subsisten dan konsumsi tunai, dimana konsumsi subsisten (C s ) merupakan fungsi dari jumlah produksi pertanian kotor (Q i ), jumlah anggota keluarga (F), konsumsi tunai (C c ), dan konsumsi subsisten sebelumnya (C s-1 ). Konsumsi tunai (C c ) merupakan fungsi dari pendapatan rumahtangga atau disposable income (Yd ), jumlah anggota ke luarga (F), ko nsumsi subs isten (C s ), indeks harga konsumen (P c ), dan konsumsi tunai sebelumnya (C c-1 ). Fungsi ko nsumsi dirumuskan seba gai berikut: Cs = f (Q i , F, Cc , Cs-1 ) (3.29) Cc = f (Yd , F, Cs , Pc , Cc-1 ) (3.30) Petani memproduksi dan menjual komoditas ke konsumen, sedangkan masyarakat membeli komoditas dari produsen, sehingga terjadi Marketed-Surplus, dimana surplus pasar (M) merupakan fungsi dari jumlah produksi pertanian kotor (Q i ), konsumsi subsisten (C s ), konsumsi tunai (C c ), dan indeks harga komoditas pertanian (P a ). Fungsi surplus pasar dirumuskan sebagai berikut: M = f (Q i , Cs , Cc , Pa ) (3.31) Tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga (N f ) adalah fungsi dari produksi pertanian kotor (Q i ), mekanisasi pertanian (K m ), upah tenaga kerja (W a ), dan upah anggota keluarga petani (W f ). Tenaga kerja luar ke luarga (N h ) adalah fungsi dari produksi pertanian kotor (Q i ), mekanisasi pertanian (K m ), upah tenaga kerja (W a ), indeks harga input pertanian lainnya (P i ), indeks harga komoditas pertanian (P a ), dan tenaga kerja dalam ke luarga (N f ). Fungsi tenaga kerja dalam dan luar keluarga adalah: Nf = f (Q i , K m , Wa , Wf ) (3.32) Nh = f (Q i , K m , Wa , Pi , Pa , N f) (3.33) Upah tenaga kerja atau buruh-tani (W a ) adalah fungsi dari tingkat pengangguran (U r ), indeks harga konsumen (P c ), upah industri/manufaktur (W n ), dan tingkat upah sebelumnya (W a-1 ). Fungsi upa h buruh-tani adalah: Wa = f (Ur , Pc , Wn , Wa-1 ) (3.34) Keputusan investasi (I) merupakan fungsi dari penggunaan lahan garapan (L), persediaan modal sebelumnya (K t-1 ), tingkat suku-bunga (i), tabungan sebelumnya (S t-1 ), dan jumlah permintaan kredit (B). dirumuskan sebagai berikut: Fungsi investasi 60 I = f (L, K t-1 , i, S t-1 , B) (3.35) Dalam keputusan finansial, jumlah permintaan kredit (B) merupakan fungsi dari tingkat bunga (i), biaya produksi tidak tetap (O), investasi (I), dan tabungan sebelumnya (S t-1 ). Fungsi permintaan kredit dirumuskan sebagai berikut: B = f (i, O, I, S t-1 ) (3.36) Keputusan produksi, konsumsi, surplus pasar, tenaga kerja, upah tenaga kerja, investasi, dan aspek finansial, saling terkait satu sama lain dan umum terjadi di negara berkembang. Yotopoulos dan Lau (1974), membuat model rumahtangga petani dengan penekanan pada keseimbangan umum sektor pertanian, baik produksi maupun konsumsi. Asumsinya adalah: (1) petani sebagai konsumen berusaha memaksimumkan utilitas dengan kendala sumberdaya, (2) petani sebagai produsen berusaha memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi, sumberdaya dan harga, (3) tenaga kerja dalam dan luar keluarga bersubstitusi sempurna, dan (4) petani berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Integrasi model ekonomi mikro dan makro mempunyai konsekuensi sebagai berikut: (1) perlu adanya parameter lahan, obligasi tetap, jumlah keluarga, dan komposisi analisis komparatif statik, (2) model ekonomi mikro rumahtangga sebagai blok rekursif, yaitu keputusan produksi optimal terpisah dengan keputusan konsumsi optimal, (3) tingkat upah tenaga kerja dalam keseimbangan, merupakan asumsi yang mengganggu di negara berkembang, dan (4) dalam rangka analisis komparatif statik, dapat pula dianalisis simulasi mode l dinamiknya. Secara teoritis, Becker (1965) telah mengembangkan model dasar ekonomi rumahtangga yang mempelajari tentang perilaku produksi dan konsumsi rumahtangga, yang kemudian oleh Evenson (1978) disebutnya New Household Economics. Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan dalam aktivitas produksi dan konsumsi serta berhubungan dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga dengan analisis secara simultan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam mengkonsumsi, kepuasan rumahtangga bukan hanya dari barang dan jasa yang diperoleh di pasar, melainkan juga dari berbagai komoditas yang dihasilkan rumahtangga. Beberapa asumsinya antara lain: (1) waktu dan barang atau jasa merupakan aspek kepuasan, (2) waktu dan barang atau 61 jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi produksi rumahtangga, dan (3) rumahtangga bertindak sebagai produsen dan konsumen. Penelitian tentang perilaku rumahtangga petani kedelai yang dilakukan oleh Susetyanto (1994) di kabupaten Subang–Jawa Barat, menganalisis dampak alternatif kebijakan terhadap produksi, pendapatan, dan konsumsi rumahtangga petani kedelai, dengan menggunakan pendekatan model persamaan simultan. Perilaku rumahtangga petani kedelai dalam luas areal panen, produksi, tenaga kerja dalam dan luar keluarga, pendapatan, konsumsi , investasi, tabungan, dan kredit, mempunyai respon positif atau negatif terhadap perubahan hargaharga. Kebijaka n ke naika n harga kede lai, harga gaba h kering pa nen, upa h tenaga kerja, da n harga input teknologi produksi, dapat berdampak besar atau kecil dalam meningkatkan produksi, penerimaan usahatani kedelai, dan pendapatan rumahtangga petani. Kebijakan pemerintah dalam penentuan harga dasar padi dan palawija serta penghapusan subsidi pupuk, sesuai dengan harapan untuk menyerap tenaga kerja serta meningkatkan produksi dan pendapatan rumahtangga petani. Temuan penelitian ini akan menjadi acuan dalam studi usahatani kedelai lanjutan. 3.4. Fungs i Permintaa n Input dan Penawaran Output Formulasi fungsi utilitas (U) dalam model ekonomi rumahtangga yang unik, seperti pada usahatani kedelai sebagai secondary crops atau tanaman sela setelah padi, dapat diasumsikan sebagai berikut: Ui = f (K p , K ki , Ks ), (3.37) dimana: Ui = fungsi utilitas rumahtangga petani kedelai, K p = jumlah konsumsi pangan, K ki = jumlah konsumsi komoditas ke-”i” (i=1,2,3,4, dimana 1=kedelai,2=non-kedelai, 3=non-usahatani lain, 4=non-pertanian lain), K s = jumlah konsumsi waktu santai atau leisure. Dengan syarat kontinyu dan dapat diturunkan dua kali, meningkat secara monoton, lengkap, refleksif, transitif, dan cembung, maka formulasi matematis untuk rumahtangga dengan kendala fungsi produksi adalah sebagai berikut: 62 Qi dimana: Qi Ck T S3 Zi = f (Ck , T, S 3 , Zi ) , (3.38) = fungsi produksi kedelai, = konsumsi kedelai, = waktu kerja total usahatani kedelai, = input sarana produksi (1.benih kedelai, 2.pupuk, 3.pestisida) = input faktor tetap ke- ”i” (i=1,2,3,4, dimana: 1= luas areal panen kedelai, 2= umur tanaman kedelai, 3= pengalaman bercocok-tanam kedelai, 4= areal tanam dan irigasi teknis). Rumahtangga petani kedelai diasumsikan menghadapi kendala waktu, yaitu: T = Ks + F + N f (3.39) F = T – Ks – N f (3.40) dimana: T Ks F Nf = jumlah waktu yang tersedia untuk rumahtangga, = konsumsi waktu santai (leisure), = waktu kerja untuk usahatani kedelai dari rumahtangga, = waktu kerja untuk kegiatan luar usahatani dari rumahtangga. Rumahtangga usahatani kedelai diasumsikan menghasilkan pendapatan dari penjualan hasil usahatani kedelai, upah tenaga kerja dari luar usahatani, dan pendapatan lain dari buruh-tani, kemudian membelanjakan hasil pendapatannya untuk konsumsi kedelai pangan dan non-pangan, serta konsumsi lain rutin dan non-rutin. Formulasi keseimbangan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga dapat dirumuskan sebagai berikut: H k .Ck – Uk .(T– F)+UNk – HS3 .S 3 + YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .K ki dimana: Hk HS3 Hp Hki Ck T = = = = = = Uk = UNk = YNl = (3.41) harga kedelai, harga sarana produksi tertimbang, harga komoditas pangan, harga barang konsumsi ke- ”i” untuk i=1,2,3,4, dimana 1= gabahKP, 2=jagung, 3= palawija lain, 4= kacang-2an, konsumsi kedelai, waktu kerja untuk kegiatan luar usahatani dan rumahtangga, (T–F)>0, berarti rumahtangga sebagai pembeli bersih tenaga kerja, (T–F)<0, berarti rumahtangga sebagai penjual bersih tenaga kerja, upah tenaga kerja usahatani kedelai, upa h tenaga kerja non-usahatani kedelai, pendapa tan non-usahatani lain (buruh,sewa/sakap,warung,warisan). 63 Secara matematis persamaan ini dapat dipecahkan dengan kendala waktu, dan dimasukkan dalam persamaan pendapatan, sehingga diperoleh hasil: H k .Ck – Uk .T +Uk .F+UNk .Nf – HS3 .S3 +YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .Kki (3.42) Apabila kendala waktu disubstitusikan dalam persamaan, akan diperoleh: H k .Ck – Uk .T +Uk .(T– Nf – L) +UNk .N f– HS3 .S3 + YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .Kki (3.43) H k .Ck – Uk .T+Uk .T– Uk .Nf– Uk .L+UNk .Nf – HS3 .S3 +YNl =H p .K p +∑3 i=1 Hki .Kki (3.44) H k .Ck – Uk .T– HS3 .S3 +Uk .T+(UNk – Uk ).N f +YNl =H p .K p –∑3 i=1 Hki .Kki +Uk .L= Y* (3.45) Dalam hal ini, Y* adalah pendapatan penuh (full income) sesuai ko nsep Becker (1965). Sisi kanan dari pendapatan penuh Y* terdiri dari: 1. Keuntungan usahatani kedelai, yaitu penerimaan total dikurangi biaya variabel, dimana: п = (H k .Ck –Uk .T–HS3 .S 3 ) 2. Pendapatan potensial dari upah jika seluruh waktu yang dimiliki rumahtangga dijual ke pasar tenaga kerja (U k .T) 3. Selisih pendapatan dari upah non-pertanian dengan upah pertanian, dimana jumlah waktunya sama dalam mengelola usahatani ((U Nk –Uk ).N f ) 4. Pendapa tan non-tenaga kerja (Y Nl ) Sementara itu sisi kiri dari pendapatan penuh (Y*), menunjukkan pengeluaran rumahtangga total dari konsumsi kedelai, non-kedelai, non-pangan lain, ko nsumsi lain rutin maupun non-rutin, serta konsumsi waktu santai (leisure). Maksimisasi fungsi utilitas rumahtangga dengan dua kendala, yaitu fungsi produksi kedelai dan pendapatan penuh, dapat menggunakan fungsi Lagrange dan diformulasikan sebagai berikut: Ui = f (K p , K ki , Ks ) + λ1 .(–H p .K p – Σ3 i=1 Hki .Kki – Uk .Ks + H k .Ck – Uk .T – H S3 .S3 + Uk .T + (UNk – Uk ).N f + YNl ) + λ 2 .Qk (Ck , T, S 3 ; Zi ) (3.46) Formulasi model ekonomi rumahtangga petani kedelai unifikasi adalah: Max. Ui = f (K p , K ki , Ks ), untuk i=1,2,3. (3.47) untuk i=1,2,3 (3.48) Kendalanya: Q i . (Ck , T, S 3 ; Zi ) = 0, 64 H p .K p +Σ3 i=1 Hki .Kki = Hk .Ck –HS3 .S3 –Uk .(T–F) +(UNk –Uk ).N f (3.49) +YNl T = Ks + F + N f (3.50) Fungsi permintaan kedelai, non-kedelai, non-usahatani atau non-pertanian, serta waktu santai dalam rumahtangga, dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas dari model ekonomi rumahtangga, yang diperoleh dengan syarat kondisi turunan pertama (first order condition) sama dengan nol, dan terpenuhinya syarat kondisi tur unan kedua (second order condition), sehingga dihasilkan suatu sistem persamaan linear, dalam bentuk matriks Ax=b, dengan menggunakan Cramer’sRules, dan dapat dianalisis secara komparatif statis dampak perubahan peubah kebijakan (eksogen) terhadap peubah endogen, untuk mengalokasikan sumberdaya dalam keluarga. Kondisi turunan pertama dan kedua dirumuskan sebagai berikut: Ui . K pi – λ1 /μ H pi = 0, untuk i = 1,2,3. (3.51) Ui . Kki – λ1 /μ H ki = 0, untuk i = 1,2,3. (3.52) Ui . Ks i – λ1 /μ U ki = 0, untuk i = 1,2,3. (3.53) –Σ3 i=1 H pi .K pi – Σ3 k=1 H ki .K ki + H k .Ck – H S3 .S3 – Σ3 i=1 Uki .K si – Σ3 i=1 Uki .Ti + Σ3 i=1 Uki. Ti + Σ3 i=1 (UNki –Uki ).N fi + YNl = 0 (3.54) U3 . K pi – λ1 /(1-μ). H pi = 0, untuk i = 1,2,3. (3.55) U3 . K ki – λ1 /(1-μ). H ki = 0, untuk i = 1,2,3. (3.56) U3 . Ks i – λ1 /(1-μ). U ki = 0 , untuk i = 1,2,3. (3.57) –Σ3 i=1 H pi .K pi –Σ3 k=1 Hki .Kki +H k .Ck –H S3 .S3 –Σ3 i=1 Uki .K si –Σ3 i=1 Uki .Ti +Σ3 i=1 Uki .Ti +Σ3 i=1 (UNki –Uki ).N fi +YNl = 0 (3.58) Dalam hal ini, H k + λ2 /λ1 Qi .Ck = 0 (3.59) Uki – λ2 /λ1 Qi .Ti = 0, (3.60) Uki – λ2 /λ1 Qi .Ti = 0, (3.61) Q i (Ck , Ti , S3 ; Zi ) = 0 (3.62) dimana: Ui .K pi = δU1 / δK pi , U1 .Kki = δU1 / δ.K ki , U1 .Kki, U1 .Ksi = δU1 / δ.Ks i , U2 .K pi = δU2 / δ.K pi , U2 .Kki = δU2 /δ.K ki , U2 .Kki, U2 .Ksi = δU2 / δ.K ki , U2 .Kki, U2 .Ksi 65 = δU2 /δ.K ki , U2 .Kki, U2 .Ksi = δ.Q i / δTi, Q i .S3 = δ.Q i / (3.63.) δ.S 3 Permintaan komoditas kedelai merupakan suatu fungsi dari harga kedelai, harga substitusi, harga komplemen, dan pendapatan penuh, sehingga diperoleh keuntungan maksimal dari usahatani kedelai. Fungsi ini harus memenuhi syarat adding-up, homogen, dan simetri. Setelah fungsi permintaan kedelai diperoleh, maka dapat dievaluasi dampak perubahan peubah eksogen terhadap konsumsi rumahtangga secara parsial. Selain harga barang konsumsi maka upah tenaga kerja dan pendapatan penuh dapat mempengaruhi fungsi permintaan atau konsumsi rumahtangga. Dampak perubahan konsumsi rumahtangga akibat perubahan harga-harga adalah adanya efek substitusi, efek pendapatan, dan efek keuntungan usahatani melalui pendapatan penuh. Fungsi permintaan konsumsi rumahtangga petani dapat digunaka n untuk menganalisis permintaan waktu santai, yang tidak ditemui pada fungsi permintaan konvensional. Dampak perubahan pada peubah eksogen terhadap peubah endogen dihitung berdasarkan nilai elastisitasnya. Fungsi permintaan komoditas kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut: K pi = f (H pi , H ki , HSi , Y*) , untuk i = 1,2,3. (3.64) K ki = f (H pi , H ki , HSi , Y*) , untuk i = 1,2,3. (3.65) Ks i = f (H pi , H ki , HSi , Y*) , untuk i = 1,2,3. (3.66) Dalam hal ini: Y* = Y* ( П, YNl , UNli ), untuk i = 1,2,3. (3.67) П = (H k , Uki , H S3 , Zi ) , untuk i = 1,2,3. (3.68) dimana: П = keuntungan usahatani kedelai. Pada kondisi yang optimal, dapat pula diturunkan fungsi penawaran output (Q i ), dan permintaan input (Ti , S 3 ). Penawaran komoditas kedelai (Q i ), dan permintaan input sarana produksi pertanian (Ti , S 3 ), merupakan fungsi dari harga komoditas kedelai (H k ), harga input sarana produksi pertanian (U ki , HS3 ), dan harga input tetap (Zi ). Fungsi penawaran output- nya adalah: Qi = f (H k , Uki , HS3 ; Zi ) , untuk i = 1,2,3. (3.69) Ti = f (H k , Uki , HS3 ; Zi ) , untuk i = 1,2,3. (3.70) S3 = f (H k , Uki , HS3 ; Zi ) , untuk i = 1,2,3. (3.71) 66 Fungsi pe nawaran Q i dinyatakan dalam marketed surplus sebagai berikut: M Sk = Q i – Ck (3.72) Dengan demikian dapat dilakukan analisis perilaku penawaran Q i rumahtangga pertanian, karena perubahan faktor eksogen seperti harga kedelai (Hk ). Konsumsi kedelai (C k ) dapat ditransmisikan melalui perubahan pendapatan, yang perubahannya tergantung dari jenis komoditas- nya (Xi ). Peruba ha n M Sk tergantung pada peruba han pe uba h eksogen sepe rti H k , Hp , Uk , UNk , HS3 , dan Zi .