Uploaded by User114631

Bismillah LAPSUS IGD MELENA

advertisement
PORTOFOLIO
MELENA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Program Internship
Dokter Indonesia di RS Muhammadiyah Babat
Pembimbing:
dr. Septian Dany Andia
Oleh :
dr. Dian Riska Fintaningsih
RS MUHAMMADIYAH BABAT
LAMONGAN
2020
HALAMAN PENGESAHAN
PORTOFOLIO
MELENA
Telah disetujui pada 21 Juli 2020
Menyetujui
Dokter Pendamping
dr. Septian Dany Andia
ii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Definisi ........................................................................................... 1
1.3 Epidemiologi ................................................................................. 2
1.4 Etiologi ........................................................................................... 3
1.5 Faktor resiko ................................................................................... 3
1.6 Patogenesis ..................................................................................... 6
1.7 Diagnosis ........................................................................................ 8
1.8 Tatalaksana ................................................................................... 11
BAB 2 TINJAUAN KASUS....................................................................... 16
2.1 Identitas Penderita ........................................................................ 16
2.2 Anamnesis ................................................................................... 16
2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 17
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 18
2.5 Diagnosis ..................................................................................... 19
2.6 Diagnosis Banding ........................................................................ 19
2.7 Planning ........................................................................................ 19
2.8 Prognosis ...................................................................................... 20
BAB 3 PEMBAHASAN ............................................................................. 21
BAB 4 KESIMPULAN .............................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................26
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna merupakan keluhan pasien yang sering dijumpai
dalam keseharian. Berdasarkan lokasi perdarahan saluran cerna dibagi menjadi dua
yaitu perdarahan saluran cerna atas (SCBA) dan perdarahan saluran cerna bawah
(SCBB), sedangkan gejala perdarahan dibagi menjadi 3 yaitu hematemesis (muntah
darah segar), melena (feses kehitaman) dan hematokezia (perdarahan lewat anus
berwarna merah terang). 1
Melena atau berak darah merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA). Melena adalah salah satu penyakit yang sering
dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebahagian besar pasien datang
dalam keadaan stabil dan sebahagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat
yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat.2,3
Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus per 100.000
populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia..4 Ada empat penyebab
SCBA yang paling sering ditemukan, yaitu ulkus peptikum, gastritis erosif, varises
esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika. Semua keadaan ini meliputi sampai
90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinal atas dengan ditemukannya
suatu lesi yang pasti.5,6
Endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan SCBA, bukan
hanya menentukan diagnosis dan menentukan stigmata perdarahan, tetapi juga
untuk tindakan hemostasis.1,7
1.2 Definisi
Perdarahan saluran cerna dapat berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA)
atau saluran cerna bagian bawah(SCBB). Manifestasi klinisnya dapat sangat
bervariasi mulai dari yang ringan, sampai dengan perdarahan masif dan renjatan.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah kehilangan darah dalam lumen saluran
cerna mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas anatomik di
1
ligamentum treitz). Perdarahan saluran cerna bagian bawah didefinisikan sebagai
perdarahan yang berasal dari usus di sebelah bawah ligamentum treitz. 8,9,10
Gejala perdarahan saluran cerna bagian atas dapat berupa hematemesis dan atau
melena atau berupa hematokezia apabila perdarahan yang terjadi dengan jumlah
yang banyak (masif).9,10,11
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan,gumpalan,cairan warna merah cerah) atau berubah karena
enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi.
Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter) dengan bau
khas, yang menunjukkan perdarahan, saluran cerna atas serta dicernanya pada usus
halus.12,13
1.3 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang
gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan dan
perekonomian dunia.8 Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160
kasus per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia.4
Lebih dari 60% perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum,
perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%. Etiologi lain adalah malformasi
arteriovenosa, MalloryWeiss tear, gastritis, dan duodenitis. 14 Di Indonesia, sekitar
70% penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan
manajemen penyakit hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi
perdarahan ulkus peptikum diperkirakan bertambah. 4 Data studi retrospektif di RS
Cipto Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien yang menjalani
endoskopi, diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan SCBA.
Penyebab perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises
esofagus, 225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%)
gastritis erosif.4
2
1.4 Etiologi
Etiologi perdarahan saluran cerna atas di Indonesia berbeda dengan yang
dilaporkan kepustakaan barat. Di Indonesia sebagian besar kasus perdarahan SCBA
(lebih kurang 70%) disebabkan oleh pecahnya varises esofagus atau dampak lain
dari akibat adanya hipertensi portal (adanya gastropati hipertensi portal).
Sedangkan di Negara Barat sebagian besar di akibatkan tukak peptik dan gastritis
erosif. Penyebab lain yang sering dilaporkan pada perdarahan SCBA adalah
sindroma mallory-weiss dan keganasan SCBA.9,10,15
Perbedaan etiologi terbanyak di negara Barat dan di Indonesia ini dapat dilihat
pada penelitian Hreinsson pada tahun 2012 di Islandia, dimana temuan terbanyak
adalah ulkus peptikum (35,2%) diikuti oleh sindroma Mallory-Weiss (12,2%).
Penelitian Hearnshaw pada tahun 2010 di Inggris, kasus terbanyak adalah ulkus
peptikum sebanyak 36%, diikuti oleh varises esofagus sebanyak 11%. Di Indonesia,
berdasarkan penelitian Adi pada tahun 2009 dari 1673 kasus perdarahan SCBA di
SMF Penyakit Dalam RSU dr Soetomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya
varises esofagus, 19,2% gastritis erosif, 1,0% tukak peptik, 0,6% kanker lambung,
dan 2,6% karena sebab-sebab lain.8,16,17
1.5 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis
perdarahan SCBA.Faktor risiko yang telah di ketahui adalah usia, jenis kelamin,
penggunaan OAINS, penggunaan obat antiplatelet, merokok, mengkonsumsi
alkohol, riwayat ulkus, diabetes mellitus dan infeksi bakteri Helicobacter
pylori.18,19
1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko
meningkat pada usia >60 tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan
studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terhadap 837 pasien
yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA menunjukkan rata-rata usia
pasien laki-laki adalah 52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia pasien wanita
adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena
3
terjadi peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi penyakit
komorbid yang menyebabkan terjadinya berbagai macam komplikasi. 20
2.
Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki.11 Dari penelitian yang sudah
dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi dan belum ada
penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan perdarahan SCBA
dengan jenis kelamin.
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian)
terjadi pada orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross sectional
terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada dosis maksimal dalam
jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah normal, 50% menunjukkan
adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30% menunjukkan adanya ulkus.20
Jenis jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen,
indomethacin, piroxicam, asam mefenamat, diklofenak.
4.
Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan
faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10 mg
per hari masih dapat menghambat siklooksigenase.19 Aspirin dapat
menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan dan
perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel
berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran
cerna.20
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
terjadinya ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok
4
menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan
meningkatkan risiko komplikasi.20
6. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan
mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa
gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa .20
7. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus.
Pada kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi
oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses
penyembuhan.20
8. Diabetes mellitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit
komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya
perdarahan.21 Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme
pasti yang terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh diabetes
mellitus.
9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral
yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi
H.pylori <7% pada pasien ulkus duodenum. Dari hasil penelitian di New
York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari ulkus gaster disebabkan oleh
infeksi H.pylori.20
10. Chronic Kidney Disease
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease
masih belum jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia
5
terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia,
hipergastrinemia,
penggunaan
antiplatelet
dan
antikoagulan,
serta
heparinisasi pada saat dialysis.21,22-24
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena
jejas. Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah
melekat
sehingga
pada
penderita
hipertensi
dianjurkan
untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet.25
12. Chronic Heart Failure
Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat. 26
1.6 Patogenesis
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses
pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme
telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola
gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel makanan besar
menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari
pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa
dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil
sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster
selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi untuk
melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik dapat
terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut.27
6
Gambar 1. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas.
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga
rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. 33 OAINS dan obat antiplatelet
dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh
prostaglandin
atau
mengurangi
sekresi
bikarbonat
yang
menyebabkan
meningkatnya perlukaan mukosa gaster.27 Infeksi Helicobacter pylori yang
predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung dengan
konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan menstimulasi
sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi
lambung.34 Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol
yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain
alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa
saluran cerna.27 Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan
kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya
kemampuan regenerasi sel.33 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes
mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan SCBA dan
menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi perubahan
mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang berfungsi
mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan. 28
7
Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok memicu
kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon terapi sehingga
memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi.20
1.7 Diagnosis
1. Presentasi Klinis
Presentasi klinis terbanyak perdarahan SCBA adalah hematemesis
(muntah darah), emesis hitam seperti bubuk kopi, dan melena (feses hitam
seperti aspal).2,4 Sekitar 30% pasien perdarahan ulkus mengalami
hematemesis, 20% melena, dan 50% keduanya.4 Sekitar 5% pasien
mengalami hematokezia (buang air besar berwarna merah marun),2,4
biasanya jika perdarahan lebih dari 1000 mL. Pasien dengan hematokezia
dan tanda hemodinamik tidak stabil perlu dicurigai mengalami perdarahan
SCBA.4
Presentasi klinis non-spesifik adalah nausea, muntah, nyeri epigastrium,
fenomena vasovagal, sinkop, dan tanda komorbid pasien (seperti diabetes
melitus, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal kronik, dan
artritis). Riwayat konsumsi obat perlu diketahui.4
2. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi status hemodinamik (denyut nadi dan tekanan darah), laju
respirasi, kesadaran, konjungtiva pucat, waktu pengisian kapiler melambat,
dan stigmata sirosis hepatis, merupakan tanda utama yang harus segera
dikenali.4
Takikardi saat istirahat dan hipotensi ortostatik menandakan banyaknya
darah yang hilang. Perhatikan adanya keluaran urin yang rendah, bibir
kering, dan vena jugular kolaps.4
Pemeriksaan fisik harus menilai adanya defans muskuler, nyeri tekan
lepas, skar bekas operasi, dan stigmata penyakit hepar kronik. Pemeriksaan
8
rektum dilakukan untuk menilai warna feses. Spesimen feses perlu diambil
untuk tes darah samar.`14
3. Pemeriksaan Lanjutan
Tes laboratorium yang perlu adalah hemoglobin, hematokrit, ureum
darah, kreatinin, hitung trombosit, prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (PTT), international normalized ratio (INR), tes fungsi
hepar, serta tes golongan darah dan crossmatch.14
Pemasangan selang nasogastrik tidak rutin dilakukan. Jika terdeteksi
darah segar, perlu dilakukan segera endoskopi dan perawatan di unit
intensif. Bila terdapat emesis seperti bubuk kopi, maka pasien memerlukan
rawat inap dan evaluasi endoskopi dalam 24 jam.4 Pemasangan selang
nasogastrik pada beberapa kasus dapat menuntun terapi, tetapi tindakan ini
tidak dianjurkan sebagai alat diagnostik perdarahan SCBA karena memiliki
sensitivitas rendah dan likelihood ratio rendah.14
Endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan SCBA,
bukan hanya menentukan diagnosis dan menentukan stigmata perdarahan,
tetapi juga untuk tindakan hemostasis.2 Stigmata penting diketahui karena
dapat menentukan risiko perdarahan ulang. Klasifikasi stigmata Forrest
sering dipakai di Asia dan Eropa (Tabel 1).29 Pasien berisiko tinggi
perdarahan ulang bila didapatkan perdarahan arterial aktif (90%), pembuluh
darah visibel tanpa perdarahan (50%), dan bekuan darah (33%).4
Tabel 1. Kalsifikasi Forrest untuk ulkus4
TINGKAT
DESKRIPSI
FORREST I A
Ulkus dengan perdarahan aktif memancar
FORREST I B
Ulkus dengan perdarahan merembes
FORREST IIA
Ulkus dengan pembuluh darah visibel tidak berdarah
FORREST IIB
Ulkus dengan bekuan adheren
FORREST IIC
Ulkus dengan bintik pigmentasi
FORREST III
Ulkus dengan dasar bersih
9
4. Stratifikasi Risiko
Stratifikasi pasien berdasarkan kategori risiko perdarahan ulang dan
kematian dapat menggunakan sistem penilaian Blatchford dan Rockall
(Tabel 2 dan 3). Pasien risiko tinggi perlu dirawat inap di unit intensif.4
Stratifikasi risiko juga perlu dilakukan untuk menentukan pasien risiko
sangat rendah yang tidak memerlukan intervensi dan rawat inap. 30
Skor Blatchford (Tabel 2) menggunakan tanda klinis dan hasil
laboratorium awal untuk memprediksi perlunya rawat inap dan intervensi
seperti transfusi, terapi endoskopi atau pembedahan pada pasien perdarahan
SCBA. Skor Blatchford 0 memiliki sensitivitas sebesar >99% untuk
mengidentifikasi pasien yang tidak memerlukan intervensi. Skor 1 atau lebih
termasuk risiko tinggi.31 Penelitian di Singapura dan Malaysia menunjukkan
endoskopi dalam 12 jam memperbaiki angka kelangsungan hidup pasien
dengan skor Blatchford ≥12.30
Tabel 2. Skor Blatchford6
Tabel 3. Skor Rockall6
Keterangan :
1
Riwayat atau klinis/temuan laboratorium yang menandakan penyakit hepar; 2Riwayat atau
klinis/ temuan ekokardiografi yang menandakan gagal jantung. Skor 0 dikategorikan risiko
rendah, pasien dapat dipulangkan
Skor ≤ 2 menandakan risiko rendah, pasien dapat segera dipulangkan
10
Skor Rockall (Tabel 3) digunakan untuk menilai risiko kematian
berdasarkan usia, hemodinamik, komorbid, dan temuan endoskopi. Pasien
dengan skor ≤2 digolongkan risiko rendah, 3-7 termasuk risiko sedang, dan
≥8 risiko tinggi.30,31
1.8 Tatalaksana
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) merekomendasikan pendekatan
multidisiplin melibatkan internis/gastroenterologis, radiologis intervensi, dan
bedah/bedah digestif.4
1. Tatalaksana Awal
Penilaian status hemodinamik dan resusitasi dilakukan paling awal. 29
Resusitasi meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi
koagulopati, dan transfusi darah bila dibutuhkan.4 Batas transfusi darah
adalah jika Hb ≤7,0 g/dL, lebih tinggi apabila perdarahan masih berlanjut
atau perdarahan masif atau adanya komorbid seperti penyakit jantung
koroner, hemodinamik tidak stabil, dan lanjut usia. 4 Hemoglobin minimal
untuk endoskopi adalah 8 g/dL, namun jika akan dilakukan terapi
endoskopi, hemoglobin minimal 10 g/dL dan hemodinamik stabil. 4
Pemakaian selang nasogastrik untuk diagnosis, prognosis, visualisasi,
atau terapi tidak direkomendasikan.29,32 Selang nasogastrik dapat dipasang
untuk menilai perdarahan yang sedang berlangsung pada hemodinamik
tidak stabil; tujuan pemasangan adalah untuk mencegah aspirasi,
dekompresi lambung, dan evaluasi perdarahan.4 Tindakan kumbah lambung
dengan es tidak direkomendasikan.4
Terapi
pra-endoskopi
dengan
proton
pump
inhibitor
(PPI)
direkomendasikan pada perdarahan ulkus peptikum; PPI dapat dengan cepat
menetralkan asam lambung.4 pH in vitro di atas 6 dapat mendukung
pembentukan dan stabilitas bekuan.33 Lingkungan asam dapat menghambat
agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan lisis bekuan.
ACG (American College
of Gastroenterology) merekomendasikan
11
pemberian PPI bolus 80 mg diikuti dengan infus 8 mg/jam untuk
mengurangi tingkat stigmata dan mengurangi terapi endoskopi. Meskipun
begitu PPI tidak menurunkan angka perdarahan ulang, pembedahan, dan
kematian.29 Jika endoskopi ditunda dan tidak dapat dilakukan, terapi PPI
intravena direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut. 4
Penilaian risiko untuk stratifikasi pasien, juga dilakukan untuk
membantu membuat keputusan awal seperti saat endoskopi, saat
pemulangan, dan tingkat perawatan.29
2. Tatalaksana Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam; pada pasien risiko tinggi
seperti instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap
setelah resusitasi atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang
nasogastrik, endoskopi dilakukan very early dalam ≤12 jam.29,32 Di lain
pihak, endoskopi early meningkatkan risiko desaturasi terutama bila
dilakukan sebelum resusitasi dan stabilisasi. 29 Pada pasien dengan status
hemodinamik stabil dan tanpa komorbid serius, endoskopi dapat dilakukan
sebelum pasien pulang.4
Tujuan endoskopi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang.4 ACG merekomendasikan terapi endoskopi
untuk perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah
visibel tanpa perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan
adheren), terapi endoskopi dapat dipertimbangkan terutama pada pasien
risiko tinggi perdarahan ulang. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan
untuk ulkus dengan dasar bersih atau bintik pigmentasi.29
Penentuan
stigmata
melalui
endoskopi
dapat
menjadi
dasar
pertimbangan terapi (Gambar 1).4,29 Perdarahan ulkus aktif memerlukan
kombinasi terapi hemostasis, salah satunya adalah epinefrin yang dapat
dikombinasikan dengan pemasangan hemoklip, termokoagulasi, dan
elektrokoagulasi.4 Epinefrin tidak direkomendasikan sebagai terapi
tunggal.4,29
12
Pasien dengan stigmata risiko tinggi (perdarahan aktif, pembuluh darah
visibel, bekuan darah) memerlukan rawat inap setidaknya 3 hari. Pasien
dipulangkan jika tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi rawat
inap lagi. Pasien dapat memulai diet cair jernih segera setelah endoskopi dan
ditingkatkan bertahap.29 Bila terjadi perdarahan ulang, endoskopi dapat
diulang. Jika tidak dapat dihentikan dengan endoskopi, dapat dilakukan
pembedahan atau embolisasi arterial.4
Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat langsung diberi diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi bila status hemodinamik stabil, hemoglobin
adekuat, dan tidak ada masalah medis lain.4
3. Terapi Pasca-Endoskopi
Farmakoterapi memiliki peran besar setelah endoskopi pada perdarahan
SCBA karena ulkus peptikum. PPI lebih superior dibandingkan
antihistamin.4 Data terkini merekomendasikan pemberian PPI intravena
dosis tinggi selama 72 jam untuk pasien risiko tinggi.4 Pasien dengan ulkus
dasar bersih dapat diberi terapi PPI dosis standar (oral satu kali per hari).29
Pasien perdarahan ulkus peptikum yang dipulangkan direkomendasikan
mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan dosis PPI tergantung etiologi
dan penggunaan obat lain.4
Tes H. pylori direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus
peptikum.4 Jika hasil positif maka diberikan terapi tripel selama 1 minggu.
Setelah pemberian terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan
menggunakan urea breath test (UBT) atau H. pylori stool antigen test.
Pemeriksaan dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir terapi.34 Jika
terapi gagal mengeradikasi H. pylori, maka perlu diberikan terapi lini
kedua.34 Diagnosis H. pylori memiliki nilai prediksi negatif rendah pada
pasien perdarahan SCBA akut, sehingga hasil tes negatif dalam kondisi akut
perlu diulang.4 Pemberian PPI dapat dihentikan setelah eradikasi H. pylori
dinyatakan berhasil, kecuali jika pasien memakai AINS.29 Bila AINS tetap
diperlukan, sebaiknya dari golongan COX-2-selective dengan dosis efektif
13
terendah ditambah PPI.29 Pasien ulkus idiopatik (non-H. pylori, non-AINS)
perlu diberi PPI jangka panjang.29
ACG merekomendasikan untuk menghentikan dan menilai ulang
kebutuhan aspirin untuk pencegahan kejadian kardiovaskular primer.
Aspirin perlu dilanjutkan jika digunakan untuk pencegahan sekunder,
idealnya dalam 1-3 hari, lebih pasti dalam 7 hari.29
ESGE
(European
Society
for
Gynaecological
Endoscopy)
merekomendasikan pemberian ulang terapi antikoagulan pada pasien yang
memiliki indikasi pemakaian antikoagulan jangka panjang. Saat aman untuk
memulai kembali terapi adalah antara hari ke-7 sampai hari ke-15.
Pemberian kurang dari 7 hari hanya pada pasien dengan risiko trombosis
besar.32
PERAN PPI
Penggunaan PPI untuk perdarahan ulkus peptikum akut atau rekuren
adalah untuk menaikkan pH lambung ke angka 6 atau lebih tinggi. Dalam
keadaan pH di atas 6, aktivitas pepsin menurun, fungsi trombosit optimal,
dan fibrinolisis terhambat, sehingga bekuan darah di atas ulkus menjadi
stabil.35 Pasien dengan risiko rendah perdarahan direkomendasikan
menggunakan PPI oral dosis standar, sedangkan pada risiko tinggi
direkomendasikan PPI dosis tinggi intravena bolus 80 mg diikuti infus
kontinu 8 mg/jam selama 72 jam.4,29
Sebuah studi metaanalisis 21 penelitian yang melibatkan 2915 pasien
menunjukkan bahwa PPI menurunkan kejadian perdarahan ulang (OR=
0,46; CI 95% 0,33 s/d 0,64) dan pembedahan (OR= 0,59; CI 95% 0,46 s/d
0,76), namun tidak menurunkan angka kematian (OR= 1,11; CI 95% 0,79
s/d 1,57).9 Studi metaanalisis lain yang berasal dari 13 penelitian
menunjukkan bahwa PPI injeksi intermiten tidak inferior terhadap terapi PPI
bolus
dilanjutkan
infus
kontinu
selama
72
jam
yang
banyak
direkomendasikan saat ini. Pada metaanalisis ini terdapat penelitian yang
menyertakan pH intragastrik. Pemberian PPI oral 80 mg dan bolus 40 mg
14
tiap 12 jam dibandingkan dengan PPI infus kontinyu memiliki proporsi
waktu untuk mencapai pH ≥ 6 yang 100% identik. Perbedaan waktu
mencapai pH ≥6 antara pemberian bolus intermiten (intravena 80 mg
dilanjutkan 40 mg tiap 12 jam) dengan infus kontinu tidak berbeda
bermakna (49% vs 59%). Akan tetapi, bolus intermiten dengan dosis lebih
kecil (injeksi intermiten bolus 40 mg tiap 24 jam) hasilnya signifikan lebih
rendah (39% vs 71%).33 Dalam keadaan endoskopi tertunda atau tidak dapat
dilakukan, PPI direkomendasikan untuk mencegah perdarahan lebih
lanjut.29
15
BAB 2
TINJAUAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama
: Tn.K (230534)
Umur
: 65 tahun
Jenis Kelamin
: Laki- laki
Pendidikan
: Tidak sekolah
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Jawa
Alamat
: Kalen 002/0043, Kalen
Tanggal pemeriksaan : 21 April 2020
2.2 Anamnesis

Keluhan utama
BAB berwarna hitam

Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan buang air besar berwarna kehitaman
sejak 3 hari yang lalu, sehari lebih dari 3x. Waran hitam pekat dan lunak
seperti petis/ter. Muntah seperti kopi disangkal. Nafsu makan turun karena
nerasa nyeri di uluhati, terutama saat makan. Pasien mengeluh dada tidak
nyaman dan terasa sesak, bertambah berat jika beraktivitas berat. dan badan
sangat lemas. Kepala pusing berkunang- kunang.
16

Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat nyeri atau rasa panas terbakar pada uluhati disangkal
 Riawayat penyakit diabetes melitus, tekanan darah tinggi dan penyakit
jantung disangkal.
 Riwayat persendian (terutama lutut) sering linu- linu
 Tidak ada riwayat alergi obat dan lain-lain

Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini

Riwayat Sosial
 Merokok dan minuman beralkohol disangkal
 Pasien hampir setiap hari konsumsi pil pegel linu dan jamu- jamuan yang
dibeli di warung.
 Jarang kontrol kesehatan.
 Pasien beberapa bulan terakhir pola makan tidak teratur.
2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum
: Lemas

GCS
: 456

Kesadaran
: compos mentis

Vital sign
:
TD
: 100/70 mmHg
HR
: 86x/menit
Suhu
: 36o
RR
: 20x/menit
SaO2
: 80% (dengan nasal kanul 2 lpm menjadi 96%)
17

Status generalis
:
K/L
: A/I/C/D +/-/-/-, tidak ditemukan pembesaran KGB
Thorax
: bentuk normal, gerakan simetris, spider nevi (-)
 Cor
: S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo
: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen
:
 Inspeksi
: Bentuk normal, caput medusa (-)
 Auskultasi
: BU (+) Normal
 Perkusi
: Timpani, undulasi (-)
 Palpasi
: NT (+) epigastrium, pembesaran/ massa hepar dan
lien (-)
Ekstremitas
: akral pucat, CRT >2 detik, edem (-), eritema palmaris (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium :
Pemeriksaan
Eritrosit
Haemoglobin
Hematrokrit
Leukosit
Trombosit
Difcount
Gol Darah
GDA
BUN/ureum
Creatinin
Hasil
Darah Lengkap
0,80
1,6
5,8
3.400
307.000
4/0/71/20/5
Golongan Darah
A/+
Gula Darah Acak
237
RFT
12
1,3
18
Nilai Rujukan
3-6,5 juta
11,5-18,0 g/dl
35,0-54,0 %
4-11 ribu
150-450 ribu
3-5/1-2/54-62/25-33/37
A/B/O/AB
<180 mg/dL
10-50 mg/dl
0,8-1,5 mg/dl
2.5 Diagnosis
1. Melena et causa suspect Gastric Errosiva
2. Anemia
3. Hiperglikemia
2.6 Diagnosis Banding
Hematemesis melena suspek gastritis erosif dd ulkus peptikum dd ruptur
varises esofagus
2.7 Planning

Planning Diagnosis
 SGOT/SGPT
 Urea Breath Test (UBT)

Planning Terapi
 Non medikamentosa
: bed rest, puasa hingga perdarahan berhenti,
dan diet cair jernih,
 Medikamentosa
:

MRS

O2 nasal canul 2 lpm

Loading cairan 500cc, maintenance Inf. PZ 1500cc/24jam

Inj.omeprazole 80 mg bolus dilanjutkan syring pump omeprazole
8 mg/jam

Inj.asam tranexamat / 8 jam

Inj.vit K / 8 jam

Sukralfat syr 4x cth 2

Tranfusi prc 4 kolf (2 kolf perhari)
19


Konsul dr. Sp.PD
Planning monitoring
 HB dan reaksi setelah transfusi
 Progresifitas perdarahan dari BAB hitam
 Keadaan umum pasien
 GCS
 TTV

Planning Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya terkit dengan penyakit yang
di alami pasien
 Menjelaskan bahwa keluarga harus ikut memantau perkembangan pasien
terkait tanda- tanda perdarahan yaitu BAB hitam, serta kondisi pasien.
 Meminta pasien untuk puasa sementara waktu, dan diet cair.
2.8 Prognosis
Dubia ad malam
20
BAB 3
PEMBAHASAN
Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter)
dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas. 12, Saluran cerna
bagian atas adalah saluran cerna di atas ligamentum treitz, yakni dari jejunum
proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus. 8,9,10 Pada perdarahan SCBA penting
untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan nonvarises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.
Pasien pada kasus ini di diagnosis hematemesis melena berdasarkan data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis pasien mengeluhkan
BAB kehitaman seperti ter sejak 3 hari yang lalu, nyeri ulu hati, dan riwayat
mengkonsumsi obat analgesik dan jamu- jamuan hampir setiap hari. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, terdapat nyeri tekan epigastrium
dan CRT <2 detik yang menandakan waktu pengisian kapiler melambat.4 Tidak
terdapat spider nevi, pembesaran atau massa hepar-lien, caput medusa, asites,
eritema palmaris dan edema tungkai. yang menjadi salah satu dasar ditepiskannya
differen diagnosis adanya ruptur varises esofagus et causa sirosis hepatis pada
pasien ini.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kodisi anemia berat
dengan Hb 1,6 gr/dl, HCT 5,8%, Trombosit 307.000/uL, Leukosit 3.400/uL. Fungsi
ginjal ureum 12 mg/dL, creatinin 1,3 mg/dL, dan gula darah sewaktu 237 mg/dL.
Meskipun endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan SCBA tetapi
pada pasien ini tidak dilakukan karena selain keterbatasan peralatan di rumah sakit
21
juga dikarenakan HB pasien yang sangat rendah, dimana hemoglobin minimal
untuk syarat dilakukannya endoskopi adalah 8 g/dL. 4 Tes H. pylori
direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus peptikum, pemeriksaan
yang dilakukan menggunakan urea breath test (UBT) atau H. pylori stool antigen
test. Hal ini penting karena di negara berkembang peranan H. pylori mungkin lebih
besar.4 H. pylori menempel pada epitel lambung, memproduksi enzim dan toksin
yang membuat mukosa mudah rusak. H. pylori juga mempengaruhi kadar gastrin
dan produksi asam lambung.14
Ada empat penyebab perdarahan SCBA yang paling sering ditemukan, yaitu
ulkus peptikum, gastritis erosif, varises esofagus, dan ruptur mukosa
esofagogastrika. Pasien didiagnosis dengan hematemesis melena et causa gastritis
erosive dengan adanya feses hitam seperti ter tanpa disertai gejala dan tanda yang
mengarah pada penyakit hati kronis. Etiologi dapat berasal dari kelainan esofagus,
kelainan lambung, dan kelainan duodenum.13-14
Gastritis dapat berkaitan dengan penggunaan obat-obat antiinflamasi seperti
aspirin atau ibuprofen. Pada kasus ini mengarah pada kelainan di lambung yaitu
adanya gastritis erosif atas dasar riwayat kebiasaan pasien obat anti nyeri
(umumnya golongan NSAID) yang dikonsumsi hampir setiap hari tanpa anjuran
maupun kontrol ke dokter.
Obat NSAID adalah obat-obatan yang paling sering menyebabkan ulkus
lambung (ulcerogenic drugs). Obat lain yang dapat menimbulkan hematemesis
melena adalah golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton, dan
lain-lain.5
22
Penderita dilakukan tatalaksana awal meliputi resusitasi berupa pemberian
cairan intravena RL 20 tetes/menit, pemberian oksigen nasal canul 2 lpm, koreksi
koagulopati dengan injeksi vit K 1 ampul tiap 8 jam dan injeksi Asam tranexamat
1 ampul tiap 8 jam, dan transfusi darah 2 kolf/hari sebayak 4 kolf karena Hb ≤7,0
g/dL, adanya kemungkinan perdarahan masih berlanjut, adanya komorbid
hiperglikemia dan lanjut usia, untuk mencegah terjadinya kegagalan sirkulasi dan
mencukupi suplai oksigen ke jaringan. 4,37 Pasien membutuhkan rawat inap dengan
dasar skor Blatchford sebesar 12 yang artinya pasien memiliki resiko tinggi dan
memerlukan intervensi dan rawat inap.30 Selain transfuse darah, intervensi yang
disarankan pada score Blatcford diatas 1 (resiko tinggi) adalah berupa terapi
endoskopi, tetapi karrena Hb pasien dibawah 10g/dL maka pada pasien tidak dapat
dilakukan tindakan tersebut.4,30
Pada keadaan endoskopi tertunda atau tidak dapat dilakukan, PPI
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan lebih lanjut. 29 Pada risiko tinggi
direkomendasikan PPI dosis tinggi intravena bolus 80 mg diikuti infus kontinu 8
mg/jam selama 72 jam sesuai dengan terapi yang telah diberikan pada pasien ini. 4,29
Penggunaan PPI untuk perdarahan ulkus peptikum akut atau rekuren adalah untuk
menaikkan pH lambung ke angka 6 atau lebih tinggi. Dalam keadaan pH di atas 6,
aktivitas pepsin menurun, fungsi trombosit optimal, dan fibrinolisis terhambat,
sehingga bekuan darah di atas ulkus menjadi stabil.35 Pemberian Sucralfat 4 dd cth
2 merupakan dosis standart yang dapat diberikan, dimana obat ini berfungsi sebagai
physicochemical barrier, mempromosikan aksi trofik dengan mengikat faktor
pertumbuhan seperti EGF, meningkatkan sintesis prostaglandin, merangsang
23
sekresi lendir dan bikarbonat, dan meningkatkan pertahanan dan perbaikan
mukosa.36
Penatalaksanaan non medikamentosa antara lain bed rest, puasa hingga
perdarahan berhenti, dan diet cair jernih. Pemasangan NGT di IGD tidak dilakukan
karena kondisi hemodinamik pasien yang stabil mengingat tujuan pemasangan
adalah untuk mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan evaluasi perdarahan. 4
Berdasarkan Skor Rockall (Tabel 3) yang digunakan untuk menilai risiko
kematian berdasarkan usia, hemodinamik, komorbid, dan temuan endoskopi. Skor
pasien ini tanpa menghitung hasil temuan endoskopi adalah ≥3, yang artinya pasien
memiliki resiko kematian sedang.30-31 Dengan dasar tersebut prognosis pasien ini
adalah dubia ad malam.
24
BAB 4
KESIMPULAN
Diagnosis Hematemesis Melena e.c Gastritis errosiva pada Tn. K usia
65 tahun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Meskipun endoskopi merupakan gold standard diagnosis
perdarahan SCBA tetapi pada pasien ini tidak dilakukan karena selain
keterbatasan peralatan di rumah sakit juga dikarenakan HB pasien yang
sangat rendah, dimana hemoglobin minimal untuk syarat dilakukannya
endoskopi. Seingga pada pasien ini masih perlu dilakukan pemeriksaan
tambahan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding dan menemukan
penyebab lain dari masalah pasien. Penatalaksanaan awal berupa stabilisasi
haemodinamik dan penatalaksanaan medikamentosa dengan obat golongan
PPI, tranexamat, vit K, dan sukralfat syrup dilakukan pada pasien sesuai
indikasi. Terapi non farmakologi puasa dan pengaturan bentuk diet. .
Prognosis kurang baik berdasarkan rsiko kematian dari perhitungan
Skor Rockall .
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sanda, A., Mutmainnah, M., & Samad, I. A. (2018). ANALYSIS OF BLOOD
UREA
NITROGEN/CREATININ
RATIO
TO
PREDICT
THE
GASTROINTESTINAL BLEEDING TRACT SITE. INDONESIAN JOURNAL
OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY, 24(1), 86-90.
2. Djumhana A. Perdarahan akut saluran cerna bagian atas [Internet]. [cited 2016
November
1].
Available
from:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/
uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_ bagian_atas.pdf
3. Mazen A. Managing Acute Upper GI Bleeding, Preventing Recurrences. Clev Clin
J Med; 2010.
4. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on management
of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia. Acta Medica
Indonesiana. 2014;46(2):163-71
5. Adam V. Estimates of Costs of Hospital Stay for Varical and Non Varical Upper
Gastrointestinal Bleeding. Value Health; 2008.
6. Almani SA. Chirrosis of liver: etiology, complication, and prognosis. Blackwell
publishing; 2009. hlm. 6579.
7. Azmi, F. A., Miro, S., & Iryani, D. (2016). Gambaran Esofagogastroduodenoskopi
Pasien Hematemesis dan atau Melena di RSUP M Djamil Padang Periode Januari
2010-Desember 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1).
8. Adi P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas: Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Jakarta: FKUI; 2006. Hlm. 289-97.
9. Djojoningrat D. Perdarahan saluran cerna bagian atas (hematemesis melena).
Dalam: Buku Ajar Gastroenterologi. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing;
2011.hlm.33-43
10. Saltzman J. Acute upper gastrointestinal bleeding. Dalam: Current Medical
Diagnosis and Treatment. Edisi ke-52. New York: McGrawHill; 2009. hlm.32442.
11. Abdullah M. Perdarahan saluran cerna bagian bawah (hematokezia) dan perdarahan
samar (occult). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke-5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. hlm. 453-9
26
12. Almani SA. Chirrosis of liver: etiology, complication, and prognosis. Blackwell
publishing; 2009. hlm. 65-79.
13. Asdie AH. Perdarahan Saluran Makanan. Dalam: Isselbacher Kurt J, Braunwald
Eugene, Wilson Jean D, Martin Joseph B, Fauci Anthony S, Kasper Dennis L.
Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Yogjakarta: Universitas Gadjah
Mada; 1999. hlm. 259-62
14. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician 2012;85(5):469-76
15. McQuaid K. Gastrointestinal bleeding. Dalam: Current Medical Diagnosis and
Treatment. Edisi ke- 52, New York: McGrawHill; 2010.hlm.580-3
16. Hreinsson JP, Kalaitzakis E, Gudmunsson S, Bjornsson ES. Upper gastrointestinal
bleeding: incidence, etiology, and outcomes in a population based-setting.
Scandinavia Journal of Gastroenterology. 2013;48:439-47.
17. Hearnshaw SA, Logan RFA, Lowe DD, Travis SPL, Murphy MF, Palmer KR. Use
of endoscopy for management of acute upper gastrointestinal bleeding in UK:
results of a nationwide audit. Gut. 2010;10:1136.
18. Siregar L, Rani AA, Manan C, Simadibrata M, Makmun D. Clinical profile and
outcome of non-variceal upper gastrointestinal bleeding in relation to timing of
endoscopic Procedure in patient undergoing elective endoscopy. Indones J
Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2011; 12(3):140-5.
19. Wasse H, Gillen LD, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D, StehmanBreen CO. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among end-stage renal
disease patients. Kidney Int. 2003; 64: 1455-61.
20. Soll AH, Graham YD. Peptic ulcer disease. In: Yamada T, ed. Textbook of
gastroenterology. 5th ed. 2009; 936-46
21. Wasse H, Gillen LD, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D, StehmanBreen CO. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among end-stage renal
disease patients. Kidney Int. 2003; 64: 1455-61.
22. Shirazian S, Radhakrishnan J. Gastrointestinal symptoms in patients undergoing
peritoneal dialysis: Multivariate analysis of correlated factors. World J
Gastroenterol.2010;16(22):2812-7
27
23. Saeed F, Agrawal N, Greenberg E, Holley JL. Lower gastrointestinal bleeding in
chronic hemodyalisis patients. Int J Nephrol.2011;20(11):272535
24. Kaaroud H, Ben FL, Beji S, Boubaker K, Hedri H, Ben HF. Gastrointestinal
angiodysplasia
in
chronic
renal
failure.
Saudi
J
kidney
Dis
Transplant.2008:19(5):809-12.
25. Wolf PA, D’Agostino RB, Belanger AJ, Kannel WB. Probability of stroke:a risk
profile from the Framingham Study. Stroke.1991;22:312-8
26. Rockall TA, Logan RFA, Northfield TC. Risk assessment after acute upper
gastrointestinal haemorrhage. Gut.1996;38:316-21
27. Turner JR. The gastrointestinal tract. In: Kumar V, Abbas A.K, Fausto N, Aster J.C.
Robbins and cotran pathologis basis of disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders Inc; 2010; 763-70.
28. Djokomoeljanto R. Clinical aspects of diabetes mellitus and its complications.
Pertemuan ilmiah tahunan XIV PAPDI; 2010 24-26 sept 2010; Semarang
(Indonesia): Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2010:1-11.
29. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J
Gastroenterol. 2012;107:345- 60
30. Stanley AJ. Update on risk scoring systems for patients with upper gastrointestinal
haemorrhage. World J Gastroenterol. 2012;18(22):2739-44
31. Kim J. Management and prevention of upper GI bleeding [Internet]. [cited 2016
November
1].
Available
from:
http://www.accp.com/docs/bookstore/psap/
p7b11sample01.pdf
32. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et al.
Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal hemorrhage:
European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Guideline. Endoscopy.
2015;47(10):1-46. doi: 10.1055/s-0034-1393172.
33. Sachar H, Vaidya K, Laaine L. Intermittenr vs continous proton pump inhibitor
therapy for high-risk bleeding ulcers-A systematic review and meta-analysis.
JAMA
[Internet].
2014
[cited
2016
November
2].
Available
form:
http://jamanetwork.com/journals/jamainternalmedicine/fullarticle/1901116
34. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia dan Kelompok Studi Helicobacter pylori
Indonesia.
Konsensus
Nasional
Penatalaksanaan
28
Dispepsia
dan
Infeksi
Helicobacter pylori [Internet]. 2014 [cited 2017 January 6]. Available from:
http://pbgi.esy.es/wp-content/uploads/2015/09/Konsensus-Dispepsia-danHelibacter-Pylori-2014.pdf
35. Leontiadis GI, Sharma VK, Howden CW. Systematic review and meta-analysis of
proton pump inhibitor therapy in peptic ulcer bleeding. BMJ. 2005;330(7431):568.
doi:10.1136/bmj.38356.641134.8F
36. Del Valle John. Peptic Ulcer Disease and Related Disorder. Dalam: Jameson, Fauci
AS, Kasper DL, dkk. Harrison’s Principal of Internal Medicine. Edisi ke-20. Vol 1.
New York: McGraw Hill; 2018. hlm. 2231
37. Purwadianto A. Hematemesis & Melena dalam Kedaruratan Medik. Jakarta:
Binarupa Aksara; 2000. hlm. 105-10
29
Download