Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S56 STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN LUWU TIMUR STRATEGY FOR CORAL REEF MANAGEMENTIN EAST LUWU Fachrie Rezka Ayyub1, Abdul Rauf2 dan Andi Asni3 1) Analis Permasalahan Hukum Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan 2) dan 3) Dosen Program Studi Manajemen Pesisir dan Teknologi Kelautan, Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakandan penyebab kerusakanekosistem terumbu karang di Kabupaten Luwu Timur, serta merumuskanrencana strategi yang tepat untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi penutupan terumbu karang secara umum masuk dalam kategori sedang (rata-rata persentase live hard coral32,7%).Kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan oleh kegiatan destructive fishing pemboman ikan dan pembiusan (51,68%), faktor sedimentasi dan eutrofikasi (25,97%), faktor alat tangkap, jangkar dan ship grouding (20,57%), serta faktor pemangsaan (1,77%). Prioritas rencana strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yaitu : (1)Rehabilitasi habitat terumbu karang dan perlindungan endangered species; (2) Rehabilitasi kawasan hutan di daerah hulu sungai; (3) Modernisasi penangkapan ikan dan pemanfaatan teknologi tepat guna; (4) Pembentukan jejaring Kawasan Konservasi untuk perlindungan ekosistem terumbu karang; (5) Integrasi rencana zonasi wilayah pesisir dan laut dengan Pemerintah Provinsi; (6) Pengembangan reception facilities dan Instalasi Pengolahan Air Limbah terpadu di wilayah pesisir; (7) Optimalisasi sarana dan prasarana infrastruktur pengawasan ekosistem terumbu karang; (8) Pemberdayaan Pokmaswas untuk menunjang intensifikasi pengawasan; (9) Peningkatan SDM aparat melalui diklat teknis pengawasan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang; serta (10) Pengembangan pariwisata dan jasa lingkungan untuk mendukung peningkatan ekonomi masyarakat. Kata kunci: Tingkat Kerusakan, Line Intercept Transect, AHP dan SWOT, Teluk Bone ABSTRACT This study aims to determine the extent of damage to coral reef ecosystems in East Luwu regency, determine the causes of coral reef ecosystem damage and formulate the right strategy plan to preserve the ecosystem of coral reefs. The results showed that the condition of coral cover in medium category (average percentage of live hard coral Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S57 32,7%).Damage to coral reef ecosystem caused by destructive fishing fish bombing and anesthesia activity (51,68%), sedimentation factor and eutrophication (25,97%), fishing gear, anchor and ship grouding (20,57%), and predation factor (1.79%).The priority of coral reef management plan are: (1) Rehabilitation of coral reef habitat and endangered species protection; (2) Rehabilitation of forest area in the upper river area; (3) Modernization of fishing and utilization of appropriate technology; (4) Establishment of a network of Conservation Areas for the protection of coral reef ecosystems; (5) Integration of zoning plan of coastal and marine areas with Provincial Government; (6) Development of reception facilities and integrated wastewater treatment plant in coastal areas; (7) Optimization of infrastructural facilities and infrastructure for coral reef ecosystem supervision; (8) Empowerment of community watchdog groups to support the intensification of supervision; (9) Increasing the human resources of the apparatus through technical training on the supervision and management of coral reef ecosystem; and (10) Development of tourism and environmental services to support economic improvement of the community. Key words: Level of Damage, Line Intercept Transect, AHP and SWOT, Bone Bay PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang mata pencahariannya bergantung pada perikanan laut dangkal (nelayan tradisional). Terumbu karang termasuk ekosistem yang rentan terhadap perubahan lingkungan perairan baik yang disebabkan oleh faktor alami (autogenic) seperti gempa bumi, badai, tsunami, pemangsaan, pemanasan global dan pengaruh perubahan iklim lainnya, maupun oleh faktor manusia (anthropogenic). Di Indonesia, kerusakan ekosistem terumbu karang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penambangan batu karang, penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, zat beracun dan alat tangkap yang pengoperasiannya merusak terumbu karang, pencemaran perairan oleh limbah domestik, pertanian dan industri dari kegiatan di darat (land base activities), maupun di laut (marine base activities), siltasi dan sedimentasi akibat erosi tanah di daratan, penambangan, abrasi dan reklamasi pantai di sekitar terumbu karang (Dahuri, 2006). Salah satu kabupaten di kawasan Teluk Bone yaitu Luwu Timur, memiliki potensi sumberdaya terumbu karang yang terdapat di Kecamatan pesisir Burau, Wotu dan Malili dengan panjang garis pantai ±117,4 Km, luas laut otonomi ±48.050 Km2 dan luas daerah penangkapan ±2.291.321 Ha. Adapun terumbu karang yang dimiliki seluas ±136,415 Ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu Timur, 2014). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Dinas Kelautan, Perikanan dan Pangan Kabupaten Luwu Timur pada tahun 2016, alat tangkap yang beroperasi Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S58 di wilayah ekosistem terumbu karang antara lain jaring insang tetap, rawai dasar, sero dan bubu, dengan jumlah nelayan 549 orang. Potensi sumberdaya perikanan tersebut, termasuk sumberdaya perikanan terumbu karang tidak luput dari tantangan pengelolaan secara berkelanjutan. Permasalahan degradasi terumbu karang utamanya disebabkan oleh penambangan karang untuk material bangunan dan destructive fishing. Selain itu, isu pencemaran dan sedimentasi tinggi akibat suplai dari Daerah Aliran Sungai terutama oleh aktifitas penambangan, pertanian maupun oleh limbah rumah tangga, khususnya suplai dari Sungai Salonoa, Sungai Angkona dan Sungai Malili. Daerah Aliran Sungaiyang bermuara di Teluk Bone tersebut, berpotensi mengganggu ekosistem pesisir terutama terumbu karang (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Luwu Timur, 2015). Keterbatasan data terkait kondisi ekosistem terumbu karang berimplikasi pada kebijakan dan strategi pengelolaan yang kurang terarah dan tidak berkelanjutan. Untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan terhadap ekosistem terumbu karang yang dihadapi baik yang disebabkan oleh faktor alami (autogenic) maupun oleh faktor manusia (anthropogenic), maka perlu dilakukan penelitian mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan menyusun rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Luwu Timur, sehingga aktivitas-aktivitas pemanfaatan ekosistem terumbu karang dapat terkontrol dengan baik untuk menunjang keberlangsungan sumber penghidupan masyarakat pesisir khususnya masyarakat Kabupaten Luwu Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakandan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Kabupaten Luwu Timur, serta merumuskanrencana strategi yang tepat untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar 1).Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari – Februari 2018. Gambar 1. Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitualat selam (SCUBA diving), line transect, alat tulis dan kamera bawah air, GPS untuk penentuan posisi stasiun pengamatan, Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S59 thermometer untuk mengukur suhu perairan, pH meter untuk mengukur keasaman, handrefraktometer untuk mengukur salinitas perairan, layangan arus untuk menetukan kecepatan arus, kompas untuk penentuan arah arus, secchi disk untuk mengukur tingkat kecerahan, turbiditymeter untuk mengukur kekeruhan, spektrofotometer untuk mengukur nitrat dan fosfat, serta perahu motor untuk sebagai alat transportasi. Teknik Pengumpulan Data Metode penentuan titik stasiun untuk sumber data kondisi tutupan karang dilakukan secara purposive sampling, di mana penentuan titik stasiun dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil antara lain : (1) titik stasiun penelitian merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground) oleh nelayan setempat; (2) cakupan lokasi penelitian yang cukup luas, sehingga faktor transportasi, waktu dan biaya merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Jenis data yang diambil antara lain penutupan terumbu karang dengan metode Transek Garis Menyinggung (Line Intercept Transect), jumlah dan jenis ikan karang yang berada dalam area 2,5 meter di sebelah kanan dan kiri transek sepanjang 50 meter,parameter fisikakimia, serta jenis alat tangkap dengan pengisian kuisioner. Teknik Penentuan Responden Metode penarikan contoh responden nelayan penangkap ikan di terumbu karang Kabupaten Luwu Timur dilakukan secara acak sederhana.Pemilihan responden untuk analisis SWOT dan AHP dilakukan secara purposive sampling, dengan responden ditentukan dari aparatur pemerintah, akademisi dan LSM. Secara lengkap jumlah responden terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah responden pada saat penelitian Responden Nelayan Burau:17 orang Wotu:27 orang Angkona:6 orang Malili:35 orang Jumlah:85 orang Responden SWOT dan AHP Aparatur:4 orang Akademisi:2 orang LSM:2 orang Jumlah:8 orang Metode Analisis Data Persentase Tutupan Karan Persentase tutupan karang Tutupan karang (cm) = 100% Ukuran transek (cm) Persentase total tutupan karang hidup yang diperoleh selanjutnya dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988), yaitu kondisi rusak (0-24,9%), sedang (25-49,9%), baik(50-74,9%) dan sangat baik (75-100%). Kelimpahan Ikan Karang Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya ikan per luas daerah pengambilan contoh (English et al., 1997). Kemudian dihitung Indeks Keanekaragaman Jenis (H’), Indeks Keseragaman Jenis (E) dan Indeks Dominansi Jenis (C) ikan karang (Odum, 1993). Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S60 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Untuk memperkirakan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang, maka dilakukan pengelompokan kategori tipe karang mati (dead coral, dead coral algae dan rubble), serta komponen abiotik (sand, silt dan rock). Persentase tutupan tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan data kerusakan terumbu karang.Selanjutnya untuk mengetahui penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang, berdasarkan hasil observasi dengan melihat ciri-ciri kerusakan (Syafyuddin Yusuf, komunikasi pribadi tanggal 18 September 2017). Arahan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Rencana strategi penggunaan pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan metode A-WOT. Metode tersebut merupakan gabungan antara AHP dengan SWOT. Penentuan faktor internal (kekuatan – kelemahan) dan faktor eksternal (peluang – ancaman) dilakukan dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) melalui teknik wawancara mendalam dan pengisian kuisioner terhadap responden nelayan, aparatur pemerintah, akademisi dan LSM. Rencana strategi yang dihasilkan dari analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan analisis AHP. Tujuan dari analisis ini untuk menentukan prioritas rencana strategi yang terbaik berdasarkan kerangka AHP yang dibangun (Saaty, 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Provinsi Sulawesi Selatan dengan Kecamatan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa dengan posisi 2015’00’’ – 30 Lintang Selatan dan 120030’00’’ sampai 0 121 30’00’’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Luwu Timur adalah 664.686,68 Ha. Topografi wilayah pesisir Kecamatan Wotu, Malili, Angkona dan Burau relatif daerah datar.Kondisi pantai dari kecamatan tersebut relatif landai berlumpur dan berpasir dengan kedalaman mencapai kurang lebih 45 m pada batas sejauh 4 mil. Adapun data pasang surut menunjukkan bahwa tipe pasang surut perairan Kabupaten Luwu Timur adalah campuran condong ke harian ganda dengan kisaran pasang surut sebesar 178 cm (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Luwu Timur, 2015). Kondisi Sosial Ekonomi Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Dinas Kelautan, Perikanan dan Pangan Kabupaten Luwu Timur, alat tangkap yang beroperasi di ekosistem terumbu karang pada tahun 2016, sekitar 87,1% menggunakan jaring Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S61 Kondisi Terumbu Karang Pengukuran kondisi terumbu karang Kabupaten Luwu Timur dilakukan di 6 (enam) stasiun yaitu (I) Pasi Bonebone Kecamatan Burau, (II) Pasi Balobalo Kecamatan Wotu, (III) Pasi Maejaeja Kecamatan Wotu, (IV) Tanjung Mangkasa Kecamatan Malili, (V) Tanjung Waru-waru Kecamatan Malili dan (VI) Pulau Bulu Poloe Kecamatan Malili. Selama melakukan pengukuran keadaan cuaca cerah hingga mendung dan bertepatan dengan musim barat (Oktober – Maret). Pada musim ini dicirikan dengan gelombang dan angin yang cukup tenang dibandingkan dengan musim timur (April – September). Berdasarkan data hasil pengukuran yang dilakukan, rata-rata kondisi penutupan karang hidup (live hard coral) secara umum masuk dalam kategori sedang yaitu 32,7%. Sedangkan tutupan pecahan karang (rubble) sebesar 25,24% dan karang mati (dead coral) sebesar 23,31%.Penutupan substrat dasar semua kategori dapat dilihat pada Gambar 2. Persentase insang tetap, sedangkan rawai dasar 7,47%, sero 4,9% dan bubu hanya 0,5%. Dari hasil wawancara dapat diperkirakan besarnya pendapatan nelayan berkisar antara Rp.750.000 sampai Rp. 3.000.000 per bulan. Nelayan dalam melakukan penangkapan selama 1 (satu) kali trip rata-rata antara 7 – 10 jam dengan hasil tangkapan rata-rata 10 – 20 kg. Pada umumnya hasil tangkapan nelayan dijual dalam keadaan segar kepada pengumpul dengan harga yang ditentukan oleh pengumpul. Para pengumpul selanjutnya menjual ikan ke Kota Palopo dan ke Kota Makassar. 35 30 25 20 15 10 5 0 32,70 25,24 23,31 0,87 1,27 4,39 11,35 Kategori Gambar 2. Persentase rata-rata substrat dasar ekosistem terumbu karang Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil survey yang dilakukan Pusat Studi Terumbu Karang Unhas pada tahun 2000, bahwa kondisi terumbu karang di Teluk Bone adalah dalam kondisi rusak sampai sedang dengan rata-rata penutupan karang hidup sebesar 30% (Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2016). Penutupan karang hidup paling tinggi yaitu pada stasiun VI (Pulau Bulu Poloe Kecamatan Malili) sebesar 51,76% dan stasiun I (Pasi Bone-bone Kecamatan Burau) sebesar 49,89%. Sedangkan penutupan karang hidup paling rendah pada stasiun IV (Tanjung Mangkasa Kecamatan Malili) sebesar 2,16% dan stasiun III (Pasi Maeja-eja Kecamatan Wotu) sebesar 16,25%. Penutupan karang hidup pada substrat dasar untuk setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 3. 0,86 Persentase Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S62 60 50 40 30 20 10 0 49,89 45,25 51,76 30,9 16,25 2,16 I II III IV V VI Stasiun Gambar 3. Persentase rata-rata penutupan karang hidup setiap stasiun Keberadaan Ikan Di Terumbu Karang Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan Kabupaten Luwu Timur, diindikasikan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi penurunan terhadap jumlah tangkapan ikan karang. Jenis spesies ikan karang yang ditemukan meliputi kategori ikan spesies target, ikan mayor dan ikan indikator. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata, ikan karang yang paling sering ditemukan yaitu kategori ikan mayor (59,52%). Sedangkan yang paling sedikit yaitu ikan indikator (1,56%). Ikan indikator yang ditemukan yaitu ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Adapun ikan target yang ditemukan sejumlah 14 famili dan 58 spesies. Ikan target yang paling banyak antara lainikan ekor kuning (Caesionidae), ikan kakap (Lutjanidae) dan ikan kakatua (Scaridae). Hasil perhitungan indeks keberadaan ikan di terumbu karang Kabupaten Luwu Timur, indeks keanekaragaman jenisnya berkisar antara 2,118 – 2,9196. Berdasarkan klasifikasi Indeks Shannon-Wienner untuk ikan karang,hal tersebut menunjukkan bahwa populasi pada semua stasiun penelitian sudah mulai tertekan dalam kategori sedang, baik penyebaran jumlah individu tiap jenis, kestabilan komunitas, maupun tekanan ekologi.Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada kedalaman 15 meter stasiun I (Pasi Bone-bone Kecamatan Burau) yaitu 2,9196. Sedangkan indeks keseragaman jenis berkisar antara 0,5501 – 0,7202. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran individu setiap spesies pada semua stasiunpenelitian dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda dengan kondisi komunitas labil/sedang. Adapun indeks dominasi jenis berkisar antara 0,0877 – 0,2983.Indeks dominasi tersebut menunjukkan nilai yang mendekati 0, berarti hampir tidak ada spesies ikan karang yang mendominasi populasi pada semua stasiun penelitian di wilayah perairan Kabupaten Luwu Timur. Hubungan Antara Tutupan Karang Hidup Dengan Kelimpahan Individu dan Jumlah Spesies Ikan Keberadaan ikan karang di terumbu memiliki keterkaitan erat dengan kondisi fisik terumbu karang tersebut. Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan mempengaruhi densitas ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Rasdiana, 2010). Hubungan signifikan antara ikan karang dengan tutupan karang hidup, di mana semakin tinggi tutupan karang hidup maka semakin besar kelimpahan individu dan jumlah spesies ikankarang di perairan Kabupaten Luwu Timur. Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S63 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Ekosistem Dari hasil perhitungan rata-rata tingkat kerusakan ekosistem terumbu karang Kabupaten Luwu Timur, kerusakan tertinggi didapatkan pada stasiun IV (Tanjung Mangkasa Kecamatan Malili) sebesar 86,6%. Kegiatan destructive fishing pemboman ikan dan pembiusan yang mengakibatkan penutupan kerusakan terumbu karang paling besar dengan persentase 51,68%. Selain itu, faktor yang menyebabkan karang mati yaitu sedimentasi dan eutrofikasi (25,97%). Sedimentasi dan eutrofikasi menyuburkan pertumbuhan alga. Sejumlah besar tutupan turf alga dan crustose alga yang melekat pada substrat karang mati menyebabkan berkurangnya kesempatan koloni karang tumbuh dan menghalangi kesempatan rekrutmen (McCook, 2001; Fatma, 2006). Penyebab lain yang menyebabkan penutupan kerusakan terumbu karang dalam spot kecil adalah dampak pengoperasian alat tangkap, pelemparan jangkar dan ship grouding (20,57%) serta faktor pemangsaan (1,77%). Arahan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Unsur kekuatan (strength) antara lain dukungan pemerintah setempat untuk perlindungan ekosistem terumbu karang, ekosistem terumbu karang masih potensial untuk dikonservasi, kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah masih tergolong cukup tinggi, kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga sumberdaya terumbu karang, ketersediaan sarana dan prasarana pengawasan,serta memiliki biodiversity biota ekonomis dan endangered species. Adapun unsur kelemahan (weakness) yaitu akses terbuka perairan wilayah penangkapan Teluk Bone, belum memiliki kawasan konsevasi di ekosistem terumbu karang, jauhnya akses dari daratan untuk melaksanakan kegiatan pengawasan, kegiatan penangkapan dan pasca penangkapan masih sederhana, masyarakat belum mengetahui tentang PUU yang berkaitan langsung dengan ekosistem terumbu karang,rendahnya kualitas SDM aparat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang,serta pelimpahan kewenangan pengelolaan kelautan ke Pemerintah Provinsi. Unsur peluang (opportunity) antara lain adanya dukungan teknologi rehabilitasi terumbu karang, adanya kesiapan stakeholders untuk menjalin kerjasama, adanya peluang teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, adanya peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan ekosistem terumbu karang dan belum adanya kegiatan pemanfaatan terumbu karang untuk tujuan komersial. Sedangkan unsur ancaman (threat) yaitu adanya kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan wilayah perairan, degradasi terumbu karang oleh sedimentasi dari muara sungai dan penebangan hutan pesisir danmasih seringnya terjadi kegiatan destructive fishing. Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S64 Berdasarkan faktor internal dan eksternal tersebut, maka disusun rencana pengelolaan terumbu karangdi wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur dengan metode A-WOT dan ditetapkan 10 (sepuluh) strategi terbaik yaitu : (1) Rehabilitasi habitat terumbu karang dan perlindungan endangered species; (2) Rehabilitasi kawasan hutan di daerah hulu sungai;(3) Modernisasi penangkapan ikan dan pemanfaatan teknologi tepat guna; (4) Pembentukan jejaring Kawasan Konservasi untuk perlindungan ekosistem terumbu karang; (5) Integrasi rencana zonasi wilayah pesisir dan laut dengan Pemerintah Provinsi; (6) Pengembangan reception facilities dan IPAL terpadu di wilayah pesisir; (7) Optimalisasi sarana dan prasarana infrastruktur pengawasan ekosistem terumbu karang; (8) Pemberdayaan Pokmaswas untuk menunjang intensifikasi pengawasan; (9) Peningkatan SDM aparat melalui diklat teknis pengawasan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang; serta (10) Pengembangan pariwisata dan jasa lingkungan untuk mendukung peningkatan ekonomi masyarakat. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Luwu Timur, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kondisi penutupan terumbu karang secara umum masuk dalam kategori sedang (rata-rata persentase live hard coral 32,7%). 2. Kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan oleh kegiatan destructive fishing pemboman ikan dan pembiusan (51,68%), faktor sedimentasi dan eutrofikasi (25,97%), faktor alat tangkap, jangkar dan ship grouding (20,57%), serta faktor pemangsaan (1,77%). 3. Berdasarkan hasil analisis dengan metode A-WOT, ditetapkan prioritas rencana strategi pengelolaan terumbu karangdi wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur dalam rangka kegiatan perikanan tangkap yang ramah lingkungan, serta perlindungan dan pemeliharaan ekosistem terumbu karang. SARAN 1. Pemerintah diminta memperkuat penindakan hukum dan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. 2. Untuk penyempurnaan hasil penelitian ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji hubungan terumbu karang dengan laju sedimentasi dan proses eutrofikasi. 3. Perlu dilakukan penelitian tentang dinamika populasi ikan ekonomisdan endangered species yang berada di Kabupaten Luwu Timur. DAFTAR PUSTAKA Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Luwu Timur, 2015. Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur Tahun 2011 – 2031. Malili Fachrie Rezka Ayyub, Et al / Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : S56-S65 S65 Dahuri, R. 2006. Perencanaan pembangunan wilayah pesisir mengharmoniskan pertumbuhan ekonomi pemerataan kesejeahteraan dan kelestarian lingkungan. Makalah. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu Timur. 2014. Naskah Akademik Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kabupaten Luwu Timur. Malili English, S., C.Wilkinson, and V.Baker. 1997. Survey Manual For Tropical Marine Resources.2nd edition. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science. pp. 390 Fatma. 2006. Studi Rekrutmen Karang Keras (Scleractinia) mintakat reef flat di Pulau Kayangan, Samalona dan Barrang Lompo Kota Makassar. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar McCook,L.J.2001. Competition between coraland algal turfa longagradient ofter resterialin fluence in the nears hore central Great Barrier Reef. Coral Reefs.19:419-425 Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3.Terjemahan dari Fundamentals of Ecology. Yogyakarta: Gadjah University Press Mada Rasdiana, H. 2010. Kajian kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di kawasan konservasi dan wisata laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Saaty, T.L. 2008. Decision making with the analytic hierarchy process. Int. J. Services Sciences. 1(1):83-98.