SIKAP KWI TERHADAP RUU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

advertisement
Oleh:
R.D. A. Benny Susetyo, Pr
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI
 Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI)
sebagai salah satu lembaga keagamaan yang
menaruh perhatian pada penguatan jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan
memandang perlu memberikan catatan
kritis sejak awal terhadap RUU Kerukunan
Umat Beragama (RUU KUB) yang disiapkan
oleh DPR RI. Catatan KWI ini mengacu pada
draft 1 Agustus 2011 yang diterima dari
DPR RI.
 KWI
menggambarkan bahwa pilihan untuk
membentuk UU baru tentang jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan harus
dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar hak
asasi manusia, antidiskriminasi, tidak
segregatif, dan meletakkan kerukunan sebagai
faktor determinan bukan sebagai faktor
independen. Studi ini menggambarkan bahwa
kerukunan adalah akibat atau suatu sistuasi
dan kondisi yang timbul dari tindakantindakan negara dan warga negara.
 Dengan
cara pandang yang demikian, maka
materi-materi pokok yang hendaknya diatur
dalam RUU adalah tindakan-tindakan yang
berdampak pada jaminan kebebasan dan
kerukunan. Setiap tindakan yang mengganggu
jaminan kebebasan maka dapat dikriminalisasi.
Semangat kesetaraan adalah prasyarat khusus
bagi terciptanya kerukunan. Selama masih
terdapat entitas warga yang didiskriminasikan,
maka kerukunan mustahil dapat tercipta. Selain
itu, tindakan-tindakan yang memicu kerukunan
juga dapat dikriminalisasi.
Terdapat 5 kontroversi yang menjadi perhatian
KWI atas draft RUU Kerukunan Umat Beragama,
yaitu:
RUU KUB meletakkan kerukunan sebagai variabel
independen yang mempengaruhi variabel-variabel
kebebasan yang dijamin oleh Konstitusi RI. Atas nama
kerukunan segala tindakan dapat dibatasi, meskipun
mengandung muatan diskriminatif. Judul RUU ini
adalah Kerukunan Umat Beragama. Padahal yang
menjadi maksud konstitusional RUU ini adalah
menjamin hak-hak konstitusional warga negara yang
tercantum dalam UUD Negara RI 1945. Kerukunan
adalah akibat atau suatu sistuasi dan kondisi yang
timbul dari tindakan-tindakan negara dan warga
negara. Jadi, kalau bangsa ini hendak menciptakan
kerukunan, maka tindakan yang harus dilakukan
adalah menjamin kebebasan setiap orang dan
menindak kelompok-kelompok yang melakukan
penyerangan terhadap kebebasan tersebut.
KWI percaya bahwa toleransi dan kerukunan sebenarnya
masih menjadi modal sosial Indonesia yang kuat.
Kerukunan terkoyak karena aksi-aksi diskriminasi dan
intoleransi, bahkan kekerasan. Karena itu cukup
sederhana bagi negeri ini untuk menciptakan kerukunan,
yakni jamin kebebasan, hapuskan diskriminasi,
intoleransi, dan tindak pelaku-pelaku kekerasan. Inilah
tugas UU yang harusnya dibuat, yakni mencari landasan
operasional bagi penghapusan diskriminasi, intoleransi,
dan kekerasan terhadap pemeluk agama/ keyakinan.
Atas dasar itu, KWI secara tegas mengusulkan bahwa
RUU Penghapusan Diskriminasi Agama adalah
jawaban untuk mengatasi berbagai ketegangan dalam
kehidupan agama di Indonesia.
Paradigma yang dikembangkan dalam RUU KUB secara
tegas mengandung semangat pembatasan jaminanjaminan konstitusional. Semangat segregatif juga
ditampakkan dengan mencantumkan pasal-pasal
kontroversial seperti dalam Ketentuan Umum, definisi
penodaan agama, pendidikan agama, dan penyiaran
agama (Pasal 1); pengaturan perayaan dan peringatan
hari besar keagamaan (Pasal 9); penyebarluasan agama
(Pasal 11, 12, 13, 17); pemakaman jenazah (Pasal 19);
dan pendirian tempat ibadah (Pasal 23-28). Kekeliruan
paradigmatik dalam memandang persoalan pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeyakinan mengakibatkan
RUU KUB justru didesain bukan untuk melindungi
korban tapi justru untuk melegitimasi kekerasan yang
selama ini dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu
RUU KUB didesain bukan untuk mengatasi persoalan
dan memperkuat jaminan kebebasan serta tidak
melindungi pihak-pihak yang selama ini menjadi
korban.
Sementara, materi muatan yang diadopsi di dalam
RUU KUB ini tidak memiliki kontribusi sama sekali
bagi pemenuhan jaminan kebebasan beragama/
berkeyakinan. RUU KUB hanya memicu kontroversi
baru dan ketidakrukunan permanen. Demikian juga
isi pasal-pasal dalam RUU tersebut dipastikan tidak
bisa dijalankan karena tidak ada tolok ukur yang
jelas dan menyerahkan sebagian besar persoalan
pada pertimbangan mayoritas dalam memutus
perkara.
RUU KUB didesain untuk mengokohkan
hegemoni mayoritas atas minoritas dan
mengingkari kemajemukan. Pada Pasal 2
misalnya, RUU KUB tidak menjadikan
kemajemukan (kebhinnekaan) sebagai salah
satu asas yang melandasi pembentukan
RUU. Pengabaian asas kemajemukan
kemudian mewarnai rumusan-rumusan
pasal segregatif.
Pasal 1 (4) menyebutkan:
“penodaan agama adalah setiap perbuatan
menceritakan, menganjurkan, atau
mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.”
Kutipan Pasal 1 (4) secara tegas bertentangan dengan
Pasal Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 mengakui: ”Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Bisa dipastikan, implementasi pasal semacam ini akan
sangat bergantung pada tafsir mayoritas pemeluk agama.
Tafsir atas suatu agama merupakan bentuk kemerdekaan
pikiran dan hati nurani dan kebebasan beragama. Pasal
ini merupakan bentuk pengingkaran kemajemukan
bangsa Indonesia.
Kekeliruan paradigmatik dalam menyusun
RUU KUB ini menjadikan banyak hal yang
tidak perlu diatur dan tidak bisa ditegakkan
justru dicantumkan menjadi materi muatan
RUU. RUU KUB mengatur tentang pendidikan
agama (Pasal 13-16) adalah pasal yang tidak
perlu dicantumkan dalam RUU ini. Soal
pendidikan, UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional secara komprehensif
mengatur bagaimana setiap warga negara
berhak atas pendidikan.
Sementara (Pasal 17 Ayat 2), yang menyebutkan
“penyiaran agama ditujukan kepada orang atau
kelompok orang yang belum memeluk suatu agama” jelas
tidak mungkin bisa ditegakkan. Meskipun terdapat
warga bangsa yang menganut atheis, akan tetapi
sebagian besar warga adalah beragama. Sementara
agama-agama, sebagaimana diketahui memerintahkan
kepada setiap umatnya untuk menyebarkan agama dan
ajarannya. Bahkan syiar agama ditujukan bagi semua
umat manusia. Jadi kepada siapa agama disebarkan?
Materi muatan semacam ini tidak akan bisa ditegakkan
karena mengatur sesuatu yang mustahil. Kesan yang
muncul, justru pasal ini ditujukan terhadap kelompok
yang selama ini dituduh agresif menyebarkan agamanya.

Pasal lain yang juga tidak perlu dimuat adalah soal
pemakaman jenazah. Pasal 19-22 mengatur sesuatu
yang tidak ada hubungannya dengan jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan. Pengaturan
soal manusia yang sudah mati selama ini sama sekali
tidak menjadi pemicu ketegangan antar umat
beragama. RUU KUB dengan semangat segregatif
mengatur “kehidupan” orang yang sudah meninggal.
Soal ini terlalu mewah diatur dalam RUU. Sementara
RUU ini tidak mencantumkan kewajiban negara
untuk bertindak ketika jenazah jemaat Ahmadiyah
ditolak oleh warga lantaran dikubur di pemakaman
muslim.
Pendirian rumah ibadah adalah hak yang melekat dalam
hak beragama/ berkeyakinan. Tetapi atas nama
kerukunan, ketertiban, RUU KUB melembagakan
diskriminasi terhadap elemen-elemen warga negara
untuk mendirikan rumah ibadah. Konstruksi pasal-pasal
soal pengaturan pendirian rumah ibadah (Pasal 23-28)
justru menguatkan diskriminasi yang selama ini
tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9/2006, No. 8/2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/
Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, yang selama ini menjadi acuan pengaturan
pendirian rumah ibadah.
RUU KUB juga dipastikan akan mempersulit
jemaat Kristiani, yang selama ini sering
dituding menggunakan tempat yang bukan
tempat ibadah sebagai tempat ibadah. Pasal 28
muncul diinspirasi oleh fakta bahwa beberapa
tempat ibadah agama tertentu dianggap tidak
laik fungsi. Selama ini, penggunaan tempat
tertentu sebagai tempat ibadah merupakan
ikhtiar kolektif jemaat untuk tetap
menjalankan hak beribadah lantaran tidak bisa
beribadah dan tidak bisa mendirikan rumah
ibadah sebagaimana dikehendaki.
Lima persoalan mendasar dalam RUU KUB
sebagaimana dipaparkan di atas, adalah problemproblem mendasar yang menjadi ruh RUU tersebut.
Kekeliruan paradigmatik sejak awal telah menuntun
para perancang RUU ini pada jalan yang tidak lurus
dalam menangkap masalah sosial pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeyakinan. Akibatnya alihalih menawarkan solusi, yang terjadi justru
menyulut kontroversi, ketegangan baru,
memperkuat barikade sosial berdasarkan agama,
dan menciptakan ketidakrukunan permanen.
KWI mendesak agar DPR RI menarik draft
RUU Kerukunan Umat Beragama dan
kembali menyusun ulang RUU baru dengan
paradigma hak-hak konstitusional warga,
bertolak dari fakta persoalan pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeyakinan, dan
akurasi yang tajam memahami masalah
sosial yang hendak diatasi.
KWI mengusulkan agar asas-asas berikut ini
menjadi titik tolak pengaturan jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan, yaitu:
1. Penghormatan
2. Penjaminan
3. Non-diskriminasi
4. Kesetaraan
5. Kemajemukan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Mengatur ekspresi agama, bukan keyakinannya.
Semangat melindungi minoritas.
Tidak menjadi sumber konflik baru.
Harus meletakkan kewajiban negara untuk
melindungi warga negara dari ancaman terkikisnya
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.
Institusi yang menjalankan mandat RUU.
Harus mampu menegaskan batasan kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Harus mengatur hak-hak korban pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeyakinan.

RUU yang hendak dibentuk untuk mengatasi persoalan
pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan
sesungguhnya dapat mengadopsi cara pembentukan UU
No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis. UU ini dengan sangat baik merumuskan jaminanjaminan konstitusional warga negara, menyebut tugas
dan kewajiban negara, dan mengatur sanksi administrasi
serta mengkriminalisasi setiap tindakan yang
mengganggu jaminan kebebasan beragama/
berkeyakinan.
Dengan bertolak dari asas-asas sebagaimana
dikemukakan di atas, beberapa pokok-pokok pikiran
materi muatan RUU adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kewajiban negara dan batas-batas dimana
negara melakukan intervensi
Kerukunan
Kebebasan beragama/ berkeyakinan
Agama, Keyakinan, dan Agama Tradisi
Pindah agama
Tidak beragama (Atheisme)
Ibadah
Aktivitas Keagamaan
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Penyebaran agama
Penyiaran agama
Kriminalisasi terhadap intoleransi
berdasarkan agama dan pernyataan
kebencian (hatred speech)
Pendirian rumah ibadah
Peran pemimpin agama/ FKUB
Larangan
Mekanisme komplain
Institusi pengemban mandat RUU
Sumber : www.google.com
Download