Perekonomian dan Perbankan - Lembaga Penjamin Simpanan

advertisement
Perekonomian
dan Perbankan
Agustus 2015
Equity Tower Lt 20, 21 & 39
Sudirman Central Business District (SCBD)
Jl. Jend Sudirman Kav 52-53
Jakarta 12190
Ringkasan Laporan










China men-“devaluasi” mata uangnya pada bulan Agustus 2015 untuk menstimulasi aktivitas
ekonomi dan mendukung internasionalisasi yuan. Sementara itu Pelemahan yuan dan
berbagai mata uang lain serta risalah rapat the Fed yang dianggap “dovish” menurunkan
peluang kenaikan Fed rate di bulan September 2015.
Pasar keuangan Malaysia menghadapi tekanan berat akibat kombinasi kejatuhan harga
minyak, normalisasi kebijakan moneter AS, skandal keuangan, serta profil ULN yang relatif
tidak sehat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat menjadi 4,67% y/y pada kuartal II 2015
dari 4,72% pada kuartal sebelumnya akibat pelemahan permintaan domestik. Sementara itu
Defisit neraca berjalan sedikit meningkat ke US$ 4,48 miliar (2,05% PDB) pada kuartal II 2015
dari US$ 4,1 miliar (1,92% PDB) pada kuartal sebelumnya. Neraca pembayaran mengalami
defisit sebesar US$ 2,93 miliar.
Pemerintah mengajukan defisit sebesar Rp 273,18 triliun (2,1% PDB) untuk tahun anggaran
2016. Alokasi belanja infrastruktur naik 7,99% menjadi Rp 313,5 triliun.
Langkah devaluasi Yuan menimbulkan gejolak pada pasar keuangan dunia serta berpotensi
memicu timbulnya “currency war”. Secara umum pasar keuangan global: valas, saham, dan
surat utang menunjukkan adanya tekanan yang signifikan pada bulan Juli-Agustus 2015.
Perlambatan aktivitas ekonomi telah menyebabkan turunnya jumlah uang beredar yang
kemudian menimbulkan dampak negatif terhadap kinerja profitabilitas industri perbankan.
Kontraksi pada pendapatan bunga serta peningkatan cost of fund, membuat manajemen
bank harus mencari cara untuk memperbaiki sumber pendapatan dan pengeluaran.
Kondisi fundamental supply-demand batubara tampaknya belum mendukung arah
pemulihan harga hingga akhir tahun. Tekanan terhadap harga diperkirakan semakin kuat
menyusul adanya sinyal perlambatan impor dari India.
Kebijakan pelemahan yuan memberikan sentimen negatif terhadap harga batubara karena
adanya persepsi terkait pelemahan ekonomi China.
Risiko industri perbankan Indonesia mengalami penurunan. Indeks Stabilitas Perbankan
(Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan Juli 2015 menurun sebesar 6 bps dari bulan
sebelumnya, atau dari 100,31 menjadi 100,25 (kategori: “Normal”).
1
Ekonomi Makro
Gejolak Pasar Keuangan China, Malaysia, dan Prospek Fed Rate
Seto Wardono

China men-“devaluasi” mata uangnya pada bulan Agustus 2015 untuk menstimulasi aktivitas
ekonomi dan mendukung internasionalisasi yuan.
Pelemahan yuan dan berbagai mata uang lain serta risalah rapat the Fed yang dianggap
“dovish” menurunkan peluang kenaikan Fed rate di bulan September 2015.
Pasar keuangan Malaysia menghadapi tekanan berat akibat kombinasi kejatuhan harga minyak,
normalisasi kebijakan moneter AS, skandal keuangan, serta profil ULN yang relatif tidak sehat.


Pasar keuangan global pada bulan Juli dan Agustus 2015 dikejutkan oleh dua peristiwa penting
yang terjadi di China. Pertama, harga saham China mengalami penurunan tajam di bulan Juli
sehingga menghapus kapitalisasi pasar dalam jumlah yang sangat besar. Kedua, Bank Sentral China
(PBOC) pada bulan Agustus melakukan devaluasi terhadap yuan yang menyebabkan mata uang itu
mengalami pelemahan lebih dari 3% terhadap dolar AS hanya dalam waktu tiga hari. Depresiasi yuan
ini menyebabkan mata uang negara berkembang lain mengalami pelemahan dan memunculkan
kembali kekhawatiran akan adanya perang nilai tukar (currency war).
Pada periode 1–8 Juli 2015, indeks komposit harga saham Shanghai dan Shenzhen anjlok
masing-masing sebesar 18% dan 23,53%. Harga saham yang tercatat di Hong Kong pun terkena
dampaknya, terlihat dari penurunan indeks Hang Seng sebesar 10,41% pada waktu yang sama.
Sepanjang bulan Juli, indeks Shanghai dan Shenzhen tercatat turun sekitar 14%, sedangkan indeks
Hang Seng melemah 6,15%. Anjloknya harga saham China ini kerap dianalogikan dengan meletusnya
gelembung saham, yang diakibatkan oleh tidak sinkronnya perkembangan harga saham dengan
kondisi fundamental perusahaan dan ekonomi China.
Indeks Harga Saham Tiongkok
Nilai Tukar Yuan terhadap Dolar AS
400
30-Dec-11 = 100
6.5
Hang Seng
Shenzhen
Shanghai
6.4
320
240
6.3
160
6.2
80
0
9-Aug-15
20-Jul-15
30-Jun-15
10-Jun-15
21-May-15
1-May-15
11-Apr-15
22-Mar-15
2-Mar-15
10-Feb-15
21-Jan-15
1-Jan-15
2-Jul-15
13-Apr-15
4-Nov-14
23-Jan-15
16-Aug-14
9-Mar-14
28-May-14
19-Dec-13
12-Jul-13
30-Sep-13
2-Feb-13
23-Apr-13
14-Nov-12
7-Jun-12
26-Aug-12
30-Dec-11
19-Mar-12
6.1
Sumber: Bloomberg, LPS
Gambar 1. Indeks Harga Saham China dan Nilai Tukar Yuan
Pada 11 Agustus 2015, PBOC memangkas kurs referensi harian yuan terhadap dolar AS
sebesar 1,85%, yang terbesar selama dua dekade. Pada 12 Agustus dan 13 Agustus, kurs referensi
yuan kembali diturunkan sebanyak 1,62% dan 1,11%. PBOC menyebut kebijakan “devaluasi” ini
sebagai penyesuaian sesaat (one-time adjustment) agar nilai tukar menjadi lebih selaras dengan
3
kondisi permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas). PBOC juga menerapkan kebijakan
baru dalam menetapkan kurs referensi, yaitu mewajibkan market makers (yang mencatatkan nilai
tukarnya untuk penentuan kurs referensi) untuk mempertimbangkan nilai tukar spot penutupan hari
sebelumnya, permintaan dan penawaran valas, serta perubahan sejumlah nilai tukar utama.
Berbagai pertimbangan ini tidak disebutkan dalam panduan penetapan kurs referensi sebelumnya.
Setidaknya terdapat dua alasan utama yang melatarbelakangi kebijakan devaluasi yuan pada
11–13 Agustus 2015. Pertama, China perlu memperbaiki daya saing (competitiveness) produk
ekspornya yang telah tergerus selama sekitar 10 tahun terakhir. Pelemahan daya saing ini terindikasi
dari kecenderungan peningkatan nilai tukar efektif nominal (NEER) dan nilai tukar efektif riil (REER)
China. Perkembangan NEER dan REER bahkan menunjukkan bahwa daya saing produk China saat ini
lebih buruk dari daya saing negara-negara lain di kawasan Asia. Pelemahan daya saing ini menjadi
salah satu faktor yang menjelaskan kecenderungan penurunan performa ekspor China selama
sekitar lima tahun terakhir. Pada Juli 2015, ekspor China turun 8,3% y/y. Secara kumulatif, ekspor
sepanjang Januari–Juli 2015 juga tercatat 0,6% lebih rendah dibanding pada periode yang sama di
tahun 2014.
NEER dan REER Tiongkok
140 2010 = 100
130
NEER
REER Beberapa Negara Asia
140 2010 = 100
130
REER
120
120
110
110
100
100
90
90
Jul-15
Jan-15
Jul-14
Jan-14
Jul-13
Jan-13
Tiongkok
Jul-12
Korea
Thailand
Jan-12
Jepang
Singapura
Jul-11
Indonesia
Malaysia
Jan-11
India
Jul-10
Jan-14
Jan-12
Jan-10
Jan-08
Jan-06
Jan-04
Jan-02
Jan-00
50
Jan-98
60
Jan-96
60
Jan-94
70
70
Jan-10
80
80
Sumber: Bloomberg, LPS
Gambar 2. NEER dan REER China serta Perbandingannya dengan Negara Asia Lain
Alasan kedua yang mendorong devaluasi yuan adalah keinginan China untuk memasukkan
mata uang itu ke dalam keranjang mata uang (currency basket) yang menentukan nilai special
drawing right (SDR). SDR merupakan aset ciptaan Dana Moneter Internasional (IMF) yang menjadi
komponen cadangan devisa anggota-anggotanya. Saat ini, nilai SDR didasari oleh pergerakan satu
keranjang mata uang yang terdiri dari dolar AS, euro, pound sterling, dan yen dengan bobot
tertentu. Dalam lima tahun sekali, IMF melakukan kajian terhadap komposisi keranjang mata uang
tersebut dan kini sedang mempertimbangkan untuk menambahkan yuan.
IMF menetapkan dua kriteria bagi suatu mata uang agar bisa dimasukkan ke keranjang mata
uang yang menentukan nilai SDR. Kriteria pertama adalah besaran ekspor barang dan jasa yang
menunjukkan penggunaan mata uang suatu negara dalam kegiatan perdagangan internasional.
Menurut penilaian IMF pada 2010 (tahun terakhir pada siklus penilaian lima tahunan), China dapat
memenuhi kriteria ini karena nilai ekspornya adalah yang terbesar ketiga di dunia selama 2005–
4
2009. Pada 2010–2014, ekspor barang dan jasa China juga masih berada di posisi ketiga terbesar di
bawah Zona Euro dan AS.
Kriteria kedua yang dipakai untuk menentukan komposisi keranjang mata uang untuk valuasi
SDR adalah mata uang dimaksud harus dapat digunakan secara bebas (kriteria freely usable). Dengan
kata lain, mata uang itu harus digunakan secara luas sebagai alat pembayaran pada transaksi
internasional dan diperdagangkan secara luas di pasar valas utama. Menurut penilaian IMF pada
2010, yuan belum dapat memenuhi kriteria ini, namun penilaian pada 2015 menunjukkan
peningkatan peran yuan di pasar internasional yang signifikan. Devaluasi yuan pada Agustus 2015
bertujuan untuk membuat pergerakan mata uang ini menjadi lebih ditentukan oleh pasar (marketdetermined). Ini adalah langkah penting yang dapat mendorong internasionalisasi yuan sehingga
mata uang ini dapat menjadi lebih mudah dan bebas digunakan di pasar global.
Kejatuhan harga saham China dan devaluasi yuan merupakan pukulan ganda bagi ekspor
Indonesia. Jika penurunan harga saham China terus berlanjut dan berimbas pada kinerja sektor riil,
permintaan negara itu terhadap produk impor asal Indonesia berpotensi tertekan. Sementara itu,
devaluasi yuan berimbas pada pelemahan mata uang itu terhadap dolar AS dan rupiah, sehingga
menyebabkan produk impor asal Indonesia menjadi lebih mahal di pasar China. Meski cenderung
turun, porsi ekspor Indonesia ke China masih cukup besar, yakni hampir mencapai 10% pada 2014.
Ekspor Indonesia ke China didominasi kelompok bahan bakar mineral (termasuk batu bara), minyak
organik (termasuk CPO), dan bahan kimia. Selain dampak langsung, juga ada potensi dampak negatif
terhadap ekspor Indonesia melalui jalur tidak langsung, yaitu melalui ekspor Indonesia ke mitra
dagang regional, terutama negara-negara ASEAN. Pada 2014, porsi ekspor negara-negara utama
ASEAN ke China berkisar 10%–13%.
Ekspor 2014 menurut Negara Tujuan
Ekspor ke Tiongkok pada 2014 menurut
Kelompok Komoditas
33%
4%
US$ 23 miliar,
13%
5%
5%
6%
US$ 14
miliar, 8%
US$ 17
miliar, 9%
ASEAN
Jepang
Tiongkok
AS
Zona Euro
15%
8%
US$ 18 miliar,
10%
Lainnya
26.2
Korea
25.4
Jepang
4%
US$ 65 miliar,
37%
53.9
Taiwan
20%
US$ 40 miliar,
23%
Porsi Ekspor ke Tiongkok pada 2014
Hong Kong
Bahan Bakar Mineral
Berbagai Produk Kimia
Kayu & Produk Kayu
Bahan Kimia Organik
Lainnya
Minyak Organik
Bubur Kayu/Pulp
Karet & Produk Karet
Bijih, Kerak, Abu Logam
18.3
Filipina
13.0
Singapura
12.6
Malaysia
12.0
Thailand
11.0
Vietnam
10.4
Indonesia
10.0
India
4.2
0
% Total Ekspor
10 20 30 40 50 60 70
Sumber: BPS, CEIC
Gambar 3. Indikator Ekspor Terpilih
Selain berpengaruh ke ekspor Indonesia, gejolak ekonomi China juga berimbas ke investasi di
Indonesia, baik investasi di pasar modal maupun di sektor riil. Kejatuhan harga saham China menjadi
salah satu sentimen negatif yang menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) turun sebesar
2,2% sepanjang Juli 2015. Selain itu, juga terjadi kenaikan yield surat utang negara (SUN) bertenor 10
tahun sebesar 24 basis poin pada bulan itu. Di sisi lain, dampak terhadap investasi di sektor riil
diperkirakan tidak besar jika melihat aliran modal dari China yang relatif tidak signifikan. Data Badan
5
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi penanaman modal asing (PMA) dari
China sebesar US$ 800 juta selama 2014, hanya sekitar 3% dari total PMA. Sebagai kreditor, peran
China juga relatif tidak signifikan. Pada akhir 2014, tercatat hanya sekitar 3% utang luar negeri
Indonesia yang bersumber dari China.
Realisasi PMA Tahun 2014 menurut Negara Asal
Posisi ULN pada Desember 2014 menurut Kreditor
Singapura
Singapura
20%
21%
Jepang
Malaysia
41%
Jepang
31%
Amerika Serikat
Belanda
Belanda
9%
Inggris
10%
Hong Kong
Amerika Serikat
6%
3%
6%
4%
5%
6%
Korea
Tiongkok
Lainnya
Tiongkok
4%
9%
4%
16%
3%
2%
Negara Lainnya
Organisasi Internasional
Lainnya
Sumber: BI, BKPM
Gambar 4. PMA dan Utang Luar Negeri Indonesia menurut Negara Asal
Devaluasi yuan diduga juga dapat berdampak pada kebijakan moneter AS, apalagi jika
devaluasi itu berlanjut di masa mendatang. Devaluasi yuan telah menyebabkan mata uang itu dan
berbagai mata uang lain melemah terhadap dolar AS. Data Federal Reserve (the Fed) menunjukkan
penguatan rata-rata nilai tukar dolar AS terhadap mata uang lain mencapai 1,25% selama 1–14
Agustus 2015. Sebelumnya, selama tujuh bulan pertama tahun ini, dolar AS telah menguat sekitar
6%. Apresiasi dolar AS yang berlebihan adalah faktor risiko penting bagi ekonomi AS karena akan
meningkatkan tekanan deflasi. Pada Juni 2015, inflasi inti PCE (personal consumption expenditure)
yang dipakai the Fed dalam menentukan kebijakan moneternya hanya mencapai sekitar 1,3% y/y,
masih jauh di bawah target jangka panjang yang sebesar 2%. Secara implisit, penguatan dolar AS
sendiri bisa dikatakan sebagai cerminan kondisi moneter AS yang makin ketat, sehingga membuat
kenaikan bunga acuan (Fed rate) menjadi makin tidak diperlukan.
Tanpa melakukan devaluasi yuan pun, perkembangan ekonomi China sebenarnya telah
menjadi perhatian the Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya. Ini tampak jelas pada risalah
(minutes) pertemuan para pembuat kebijakan the Fed (FOMC) pada 28–29 Juli 2015. Menurut
risalah itu, the Fed mengungkapkan kekhawatiran pelaku usaha sektor manufaktur terhadap dampak
negatif dari perlambatan ekonomi China. Menurut penilaian beberapa anggota FOMC, perlambatan
ekonomi China yang signifikan akan menjadi risiko salah satu bagi prospek ekonomi AS. China sendiri
adalah pasar penting bagi produk ekspor AS. Pada 2014, porsi ekspor ke China mencapai 7,65% dari
total ekspor AS, ketiga terbesar di bawah Kanada dan Meksiko.
Selain menunjukkan kekhawatiran terhadap perkembangan ekonomi China, minutes rapat
FOMC di bulan Juli juga menunjukkan persepsi para pembuat kebijakan mengenai ekonomi AS yang
dianggap dovish. Minutes tersebut menunjukkan pandangan para anggota FOMC yang masih
beragam tentang ekonomi AS dan belum menunjukkan sinyal bahwa Fed rate akan dinaikkan pada
pertemuan berikutnya di bulan September 2015. Rilis minutes ini pada 19 Agustus 2015 serta
6
devaluasi yuan yang terjadi beberapa hari sebelumnya menurunkan probabilita kenaikan Fed rate
pada September 2015. Saat itu, Fed Funds futures menunjukkan peluang kenaikan Fed rate di bulan
September sebanyak 40%, turun dari 50% pada minggu sebelumnya dan 45% sebelum minutes
pertemuan FOMC dirilis.
Di kawasan Asia, devaluasi yuan juga menambah tekanan bagi pasar keuangan Malaysia. Pasar
keuangan Malaysia sebelumnya juga tertekan oleh sentimen normalisasi kebijakan moneter AS,
kejatuhan harga minyak, serta munculnya skandal keuangan 1Malaysia Development Bhd (1MDB)
yang dikaitkan dengan Perdana Menteri Najib Razak. Pelemahan ekonomi global dan kejatuhan
harga minyak telah mendorong penurunan surplus neraca berjalan Malaysia hingga menjadi di
bawah 4% PDB sejak kuartal III 2014, level yang relatif rendah secara historis. Ringgit pun menjadi
mata uang berkinerja terburuk di Asia. Per 10 Agustus 2015, sehari sebelum China mendevaluasi
yuan, ringgit tercatat telah melemah 12,56% sejak akhir tahun 2014. Selanjutnya, selama 11–19
Agustus 2015, mata uang ini kembali terdepresiasi 4,3%. Indeks harga saham (KLCI) pun mengalami
nasib serupa, turun 10,15% selama 2 Januari–19 Agustus 2015.
Neraca Berjalan dan Cadangan Devisa Malaysia
Utang Luar Negeri Malaysia
80
% PDB
Cadangan Devisa (Kanan)
ULN
140
100
70
50
55
40
40
1Q15
60
1Q14
85
1Q13
1Q15
1Q14
40
1Q13
0
1Q12
60
1Q11
4
1Q10
80
1Q09
8
1Q08
100
1Q07
12
1Q06
120
1Q05
16
ULN Jangka Pendek (Kanan)
% Cadangan
Devisa
70
1Q12
20
1Q11
Saldo Neraca Berjalan
160
1Q10
Miliar US$
% PDB
1Q09
24
Sumber: Bloomberg, CEIC
Gambar 5. Indikator Terpilih Ekonomi dan Keuangan Malaysia
Depresiasi ringgit yang cukup signifikan, jika berlangsung terus-menerus, diperkirakan akan
dapat mengancam sustainabilitas utang luar negeri (ULN) Malaysia. Malaysia saat ini memiliki
profil ULN yang relatif tidak sehat yang diduga juga memberi sentimen negatif bagi investor.
Total ULN negara ini cenderung naik sejak 2009 dan pada kuartal II 2015 mencapai 70,37% PDB,
di atas batas aman 31%–50% menurut kriteria Bank Dunia dan 31%–39% menurut IMF. ULN
Malaysia itu juga sangat besar jika dibandingkan dengan ULN negara tetangga seperti Filipina,
Indonesia, dan Thailand. Sementara, ULN jangka pendek Malaysia masih terbilang aman, mesk i
juga cenderung naik. Rasio ULN jangka pendek terhadap cadangan devisa negara ini mencapai
88,65% pada kuartal I 2015, masih memenuhi batas aman yang sebesar 134% menurut Bank
Dunia. Akan tetapi, rasio tersebut relatif sangat tinggi jika dibandingkan dengan rasio negaranegara Asia Tenggara lainnya.
7
Perkembangan PDB, Neraca Pembayaran, dan RAPBN 2016
Seto Wardono
 Pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat menjadi 4,67% y/y pada kuartal II 2015 dari
4,72% pada kuartal sebelumnya akibat pelemahan permintaan domestik.
 Defisit neraca berjalan sedikit meningkat ke US$ 4,48 miliar (2,05% PDB) pada kuartal II 2015 dari
US$ 4,1 miliar (1,92% PDB) pada kuartal sebelumnya. Neraca pembayaran mengalami defisit
sebesar US$ 2,93 miliar.
 Pemerintah mengajukan defisit sebesar Rp 273,18 triliun (2,1% PDB) untuk tahun anggaran 2016.
Alokasi belanja infrastruktur naik 7,99% menjadi Rp 313,5 triliun.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berlanjut pada kuartal II 2015,
disebabkan oleh pelemahan permintaan domestik. Produk domestik bruto (PDB) tumbuh 4,67% y/y
(+3,78% q/q) pada kuartal itu, turun dari 4,72% y/y (-0,17% q/q) pada kuartal I 2015. Pertumbuhan
y/y kuartal II itu adalah juga yang terendah selama hampir enam tahun. Secara kumulatif, ekonomi
Indonesia tumbuh 4,7% y/y pada semester I 2015, turun dari 4,97% y/y pada semester II 2014.
3,5
-2
3,0
-3
-4
Konsumsi Swasta*
PMTB
Ekspor Bersih
-8
Konsumsi Pemerintah
Perubahan Inventori
Diskrepansi Statistik
2Q15
-1
1Q15
4,0
0
4Q14
0
3Q14
1
4,5
2Q14
5,0
4
1Q14
2
4Q13
5,5
8
3Q13
3
2Q13
4
6,0
1Q11
2Q11
3Q11
4Q11
1Q12
2Q12
3Q12
4Q12
1Q13
2Q13
3Q13
4Q13
1Q14
2Q14
3Q14
4Q14
1Q15
2Q15
6,5
Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan y/y PDB
12 ppts
1Q13
y/y
5
4Q12
q/q (Kanan)
%
3Q12
%
2Q12
7,0
1Q12
Pertumbuhan PDB Indonesia
* Mencakup konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit rumah tangga. Sumber: CEIC, LPS
Gambar 6. Pertumbuhan PDB dan Andil Jenis Pengeluaran
Perlambatan laju ekonomi pada kuartal II 2015 sejalan dengan pelemahan berbagai
komponen permintaan domestik. Dilatarbelakangi oleh pelemahan tingkat keyakinan dan daya beli
konsumen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,97% y/y pada kuartal II 2015,
yang terendah selama empat tahun. Sementara itu, masih lambatnya realisasi belanja pemerintah
tercermin dari penurunan pertumbuhan y/y konsumsi pemerintah menjadi 2,28% dari 2,71% pada
kuartal I. Pada periode yang sama, pertumbuhan investasi pada aset tetap (pembentukan modal
tetap bruto atau PMTB) melambat dari 4,29% ke 3,55% akibat penurunan belanja modal dalam
bentuk mesin, peralatan, dan kendaraan bermotor. Secara umum, komponen permintaan domestik
pada kuartal II memiliki andil 3,04 poin persentase (ppts) terhadap total pertumbuhan PDB yang
sebesar 4,67%. Andil permintaan domestik ini turun dari 4,21 ppts pada kuartal I 2015.
Di sisi lain, permintaan eksternal membaik sehingga mencegah penurunan pertumbuhan PDB
yang lebih dalam. Dibayangi oleh harga komoditas serta aktivitas ekonomi mitra dagang utama yang
8
masih lemah, ekspor barang dan jasa mengalami penurunan 0,13% y/y pada kuartal II 2015, namun
masih lebih baik dari penurunan 0,85% pada kuartal sebelumnya. Pada saat yang sama, impor malah
terkoreksi lebih dalam, selaras dengan pelemahan permintaan domestik. Pada kuartal I, impor turun
2,27% y/y, namun pada kuartal II terjadi penurunan 6,85%. Kondisi ini berdampak pada peningkatan
andil ekspor bersih (ekspor minus impor) terhadap pertumbuhan PDB dari hanya 0,32 ppts pada
kuartal I menjadi 1,6 ppts pada kuartal II.
PDB Menurut Lapangan Usaha
PDB Menurut Jenis Pengeluaran
9
% y/y
4Q14
1Q15
2Q15
6
3
Pertanian
4Q14
Pertambangan
1Q15
Manufaktur
2Q15
Konstruksi
0
Perdagangan
Transportasi
-3
Informasi
-6
Jasa Keuangan
Sektor Lainnya
-9
Konsumsi Konsumsi
Rumah Pemerintah
Tangga
PMTB
Ekspor
Impor
PDB
PDB
% y/y
-6
-3
0
3
6
9
12
Sumber: CEIC, LPS
Gambar 7. PDB menurut Jenis Pengeluaran dan menurut Lapangan Usaha
Di sisi produksi, kinerja sektor-sektor ekonomi tampak mixed pada kuartal II 2015. Sembilan
dari total 17 sektor tercatat mengalami percepatan pertumbuhan, dua di antaranya adalah sektor
yang memiliki porsi dominan dalam PDB, yaitu pertanian dan manufaktur. Dua lapangan usaha ini
masing-masing tumbuh 6,64% dan 4,42% y/y pada kuartal II, lebih tinggi dari 4% dan 3,97% pada
kuartal I. Di sisi lain, sektor pertambangan, perdagangan, dan jasa keuangan mengalami
perlambatan yang cukup signifikan. Pertumbuhan sektor konstruksi dan informasi juga melambat,
meski pada tingkatan yang lebih ringan.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik pada kuartal III 2015, antara lain didukung
oleh perbaikan sentimen pebisnis dan konsumen serta percepatan belanja pemerintah. Perbaikan
sentimen pebisnis dan konsumen terindikasi dari ekspektasi kenaikan indeks tendensi bisnis menjadi
106,09 pada kuartal III dari 105,46 pada kuartal II. Perbaikan kondisi bisnis pada kuartal III
diperkirakan terjadi akibat kenaikan harga jual produk dan order dari dalam negeri. Selain itu, juga
terjadi perbaikan sentimen konsumen yang tergambar dari peningkatan indeks tendensi konsumen
dari 105,22 pada kuartal II menjadi 112,18 pada kuartal III. Meski demikian, data bulan Juli 2015
masih menunjukkan lemahnya daya beli konsumen. Survei Konsumen Bank Indonesia (BI)
menunjukkan adanya penurunan pada indeks penghasilan dari 120,5 pada Juni 2015 menjadi 114,6
pada bulan Juli, yang terendah selama hampir lima tahun. Sementara, penurunan posisi kewajiban BI
kepada pemerintah pusat sebesar Rp 22,32 triliun pada Juli 2015, menyusul penurunan Rp 33,1
triliun pada bulan sebelumnya, menunjukkan bahwa pemerintah pusat sudah mulai berbelanja.
Meskipun terdapat sinyal membaik dari leading indicators di atas, ekonomi Indonesia
diperkirakan akan tumbuh di bawah perkiraan kami yang sebesar 5,0% pada tahun 2015. Selain
perbaikan sentimen pebisnis dan konsumen serta percepatan belanja pemerintah, aktivitas ekonomi
9
di semester II juga akan ditunjang oleh penurunan bunga kredit dan pelonggaran kebijakan
makroprudensial. Sebaliknya, nilai tukar dan harga komoditas yang masih lemah serta ketidakpastian
eksternal yang tinggi dapat menjadi faktor risiko utama yang menghalangi perbaikan aktivitas
ekonomi dalam jangka pendek ke depan.
Defisit neraca berjalan Indonesia melebar menjadi US$ 4,48 miliar pada kuartal II 2015 (2,05%
PDB) dari US$ 4,1 miliar (1,92% PDB) pada kuartal sebelumnya. Akan tetapi, angka itu berada jauh di
bawah defisit US$ 9,59 miliar (4,26% PDB) pada kuartal II 2014. Sementara, surplus neraca finansial
tergerus dari US$ 6,31 miliar pada kuartal I menjadi US$ 2,48 miliar. Dengan perkembangan ini,
neraca pembayaran mengalami defisit US$ 2,93 miliar pada kuartal II, dibandingkan dengan surplus
US$ 1,3 miliar pada kuartal sebelumnya. Pada periode yang sama, defisit pada basic balance
terpantau turun dari US$ 1,79 miliar menjadi US$ 851,01 juta, yang terendah selama hampir tiga
tahun.
Neraca Pembayaran
16
Dekomposisi Neraca Berjalan
Miliar US$
12
Miliar US$
12
6
8
0
4
0
-6
Basic Balance
1Q15
3Q14
1Q14
3Q13
1Q13
3Q12
Jasa
Pendapatan Sekunder
1Q12
1Q10
1Q15
3Q14
1Q14
3Q13
1Q13
3Q12
-18
1Q12
3Q11
1Q11
1Q10
3Q10
Neraca Pembayaran
-12
3Q11
Barang
Pendapatan Primer
Neraca Berjalan
-12
Neraca Finansial
1Q11
Neraca Berjalan
-8
3Q10
-4
Sumber: BI, CEIC
Gambar 8. Neraca Pembayaran dan Dekomposisi Neraca Berjalan
Kenaikan defisit neraca berjalan pada kuartal II 2015 terutama disebabkan oleh faktor
musiman, mengikuti pola peningkatan impor yang sejalan dengan perbaikan aktivitas ekonomi jika
dibandingkan dengan kuartal I. Impor barang tampak masih lemah pada kuartal II (hanya naik 2,28%
q/q atau turun 20,78% y/y), sehingga berimbas pada peningkatan defisit neraca berjalan yang tidak
signifikan. Di sisi lain, meski masih dibayangi oleh harga komoditas yang lemah, ekspor barang masih
bisa tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan impor. Akibatnya, surplus neraca barang meningkat dari
US$ 3,06 miliar pada kuartal I menjadi US$ 4,12 miliar pada kuartal II. Defisit di neraca jasa pada
waktu yang sama naik dari US$ 1,86 miliar menjadi US$ 2,65 miliar, sejalan dengan perbaikan
aktivitas perdagangan internasional Indonesia. Defisit neraca pendapatan primer juga meningkat,
yaitu dari US$ 6,72 miliar menjadi US$ 7,37 miliar, terutama dipicu oleh pembayaran hasil investasi
ke luar negeri yang memang cenderung meningkat di setiap kuartal II.
Di neraca finansial, surplus turun cukup signifikan akibat penurunan pembelian surat berharga
negara (SBN) oleh investor asing, peningkatan pembayaran utang luar negeri (ULN), serta penurunan
penarikan ULN oleh sektor swasta. Investor asing secara neto masih membeli SBN rupiah dan valas
senilai US$ 3,63 miliar pada kuartal II, tapi masih jauh di bawah US$ 7,07 miliar pada kuartal I. Saldo
investasi portofolio pun terpangkas dari US$ 8,8 miliar pada kuartal I menjadi US$ 5,77 miliar pada
10
kuartal II. Pada periode serupa, peningkatan pembayaran ULN pemerintah dan swasta dibarengi
oleh penurunan penarikan ULN swasta, sehingga defisit pada saldo investasi lainnya naik dari US$
4,88 miliar menjadi US$ 6,94 miliar. Ketika investasi portofolio dan investasi lainnya memburuk,
investasi langsung malah mengalami perbaikan. Surplus investasi langsung tercatat naik dari US$
2,31 miliar pada kuartal I menjadi US$ 3,63 miliar pada kuartal II, terutama disebabkan oleh
turunnya investasi pengusaha Indonesia di luar negeri.
Investasi Langsung menurut Arah
9 Miliar US$
Pola Musiman Saldo Neraca Berjalan dan PDB 1Q12–2Q15
0
Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV
-3,0
2012
6
-1
-1,5
2013
-2
0,0
2014
-3
1,5
-4
3,0
3
0
-3
Ke Luar Negeri
1Q15
3Q14
1Q14
3Q13
1Q13
3Q12
1Q12
3Q11
1Q11
1Q10
-6
3Q10
Ke Dalam Negeri (PMA)
-5
% PDB
4,5
2015
Rata-Rata
Neraca Berjalan
Rata-Rata ∆ PDB
q/q (Kanan)
Sumber: BI, CEIC
Gambar 9. Investasi Langsung serta Pola Musiman Neraca Berjalan dan PDB
Defisit neraca berjalan Indonesia masih berpotensi turun pada kuartal III 2015, mengikuti
pola musimannya. Aktivitas ekonomi yang relatif lemah, meski diperkirakan membaik, masih akan
mengekang kinerja impor, sedangkan perbaikan ekspor masih terkendala oleh harga komo ditas
dan aktivitas ekonomi regional yang lemah. Data terbaru mengindikasikan bahwa surplus neraca
perdagangan masih akan menopang kinerja neraca berjalan di kuartal III. Pada Juli 2015, surplus
perdagangan tercatat sebesar US$ 1,33 miliar, surplus bulanan terbesar sejak Januari 2014.
Dengan perkembangan ini, defisit neraca berjalan tahun ini diperkirakan akan lebih rendah dari
perkiraan kami yang sebesar US$ 22,53 miliar atau 2,5% PDB.
Berkebalikan dengan neraca berjalan, neraca finansial diduga akan menghadapi tekanan di
kuartal III 2015 akibat tingginya gejolak di pasar finansial global. Investasi portofolio diperkirakan
akan menjadi komponen neraca finansial yang paling terekspos oleh sentimen negatif di pasar
global. Data terkini telah menunjukkan tekanan yang kuat pada investasi portofolio. Selama 1
Juli–19 Agustus 2015, investor asing di pasar saham membukukan penjualan bersih (net sell)
sebesar Rp 4,78 triliun. Pada periode yang sama, kepemilikan asing atas SBN rupiah turun Rp 4,82
triliun. Sementara, cadangan devisa tergerus US$ 477 juta selama Juli 2015, mengindikasikan
adanya defisit neraca pembayaran di bulan itu.
Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 2015 mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2016 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Defisit RAPBN 2016
dipatok senilai Rp 273,18 triliun (2,1% PDB), naik dibandingkan defisit anggaran perubahan
(APBN-P) 2015 yang senilai Rp 222,51 triliun (1,9% PDB). Pemerintah memasang target
pendapatan negara sebanyak Rp 1.848,11 triliun atau naik sebesar 4,91% dari target APBN-P
2015. Total belanja negara direncanakan naik 6,91% menjadi Rp 2.121,29 triliun. RAPBN 2016
11
disusun berdasarkan sejumlah asumsi, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%, inflasi sebesar
4,7%, nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.400/US$, yield surat perbendaharaan negara (SPN)
bertenor tiga bulan sebesar 5,5%, harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 60/barel,
lifting minyak sebesar 830 ribu barel per hari, serta lifting gas sebesar 1.155 ribu setara barel
minyak per hari.
Pendapatan negara pada 2016 masih didominasi oleh penerimaan pajak dengan porsi
hampir 85%. Penerimaan pajak ditargetkan naik 5,14% dari angka APBN-P 2015 dan untuk
mencapainya, pemerintah telah menyiapkan beberapa kebijakan. Kebijakan tersebut mencakup
perbaikan kepatuhan wajib pajak, peningkatan tax ratio dan tax coverage, penguatan dan
perluasan basis data perpajakan. Di sisi lain, pemerintah juga berencana menggunakan kebijakan
perpajakan untuk meningkatkan investasi dan daya saing, misalnya dalam bentuk pemberian tax
holiday, tax allowance, dan pembebasan pajak pertambahan nilai untuk barang strategis.
2015
Pos Anggaran
Pendapatan Negara
2016
APBN-P
Estimasi
Realisasi
RAPBN
∆ dari APBN-P
2015 (%)
∆ dari Estimasi
Real. 2015 (%)
1.761,6
1.649,8
1.848,1
4,9
12,0
Penerimaan Dalam Negeri
1.758,3
1.646,4
1.846,1
5,0
12,1
Penerimaan Perpajakan
1.489,3
1.367,0
1.565,8
5,1
14,5
269,1
279,4
280,3
4,2
0,3
3,3
3,3
2,0
(38,7)
(38,7)
1.984,1
1.909,8
2.121,3
6,9
11,1
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Hibah
Belanja Negara
Belanja Pemerintah Pusat
1.319,5
1.245,5
1.339,1
1,5
7,5
Belanja Kementerian/Lembaga
795,5
730,1
780,4
(1,9)
6,9
Belanja Non-Kementerian/Lembaga
524,1
515,5
558,7
6,6
8,4
a.l. Program Pengelolaan Utang Negara
155,7
157,4
183,4
17,8
16,5
a.l. Program Pengelolaan Subsidi
212,1
213,9
201,4
(5,1)
(5,8)
664,6
664,2
782,2
17,7
17,8
(66,8)
(102,6)
(89,8)
(34,4)
12,5
(222,5)
(260,0)
(273,2)
(22,8)
(5,1)
(1,90)
(2,23)
(2,10)
-
-
222,5
260,0
273,2
22,8
5,1
Pembiayaan Dalam Negeri
242,5
243,7
272,0
12,1
11,6
Pembiayaan Luar Negeri
(20,0)
16,3
1,2
-
(92,6)
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
Keseimbangan Primer
Surplus/Defisit Anggaran
% terhadap PDB
Pembiayaan
Sumber: Kementerian Keuangan
Tabel 1. APBN-P 2015 dan RAPBN 2016 (Triliun Rp)
Peningkatan belanja negara pada 2016 terutama didukung oleh kenaikan yang relatif besar
pada alokasi belanja non-kementerian/lembaga (K/L) serta transfer ke daerah dan dana desa.
Belanja non-K/L ditargetkan naik 6,61% dari angka APBN-P 2015. Termasuk ke dalam pos
anggaran ini adalah pembayaran bunga utang yang direncanakan naik cukup tinggi, yaitu 17,79%,
dan belanja subsidi yang dipatok turun 5,06%. Terkait subsidi, pemerintah menegaskan kembali
komitmennya untuk melanjutkan kebijakan subsidi tetap untuk minyak solar serta subsidi selisih
harga untuk minyak tanah dan LPG tabung 3 kg. Anggaran transfer ke daerah dan dana desa juga
mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada 2016, yaitu sebesar 17,7%. Pengalokasian
12
anggaran ke daerah yang lebih besar dilakukan antara lain untuk mempercepat penguatan peran
daerah dalam penyediaan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan. Berkebalikan dengan
belanja non-K/L dan dana transfer ke daerah, alokasi belanja K/L malah dipangkas 1,9%, sejalan
dengan berlanjutnya efisiensi pada belanja barang operasional.
Pemerintah mengalokasikan belanja infrastruktur sebanyak Rp 313,5 triliun pada 2016, naik
7,99% dari alokasi tahun 2015. Belanja infrastruktur tahun 2016 diarahkan untuk mendukung
pencapaian beberapa sasaran, seperti rasio elektrifikasi sebesar 90,15%, tersedianya kapasitas
pembangkit listrik sebesar 61,5 giga watt, pengembangan jaringan irigasi seluas 500.000 ha, dan
pembangunan 15.000 rumah susun. Pemerintah juga membidik pencapaian target pembangunan
di bidang konektivitas, termasuk pembangunan 375,9 km ruas jalan baru dan 26 km ruas jalan tol,
pembangunan jalur kereta api sepanjang 110,9 km, pembangunan 11 bandara baru, serta
penetrasi broadband yang menjangkau 86% kabupaten/kota.
Ekspektasi kenaikan defisit anggaran (dari 1,9% PDB pada APBN-P 2015 menjadi 2,1% pada
RAPBN 2016) mengindikasikan anggaran tahun 2016 yang ekspansif. Jika rencana anggaran ini
bisa terealisasi dengan baik, aktivitas ekonomi secara umum juga akan terdorong. Alokasi belanja
infrastruktur yang sejumlah Rp 313,5 triliun terbilang cukup besar, terutama jika dibandingkan
dengan PMTB nominal Indonesia yang sebanyak Rp 3.612,63 triliun selama empat kuartal
terakhir. Jika dapat diimplementasikan seluruhnya, pembangunan infrastruktur ini akan menjadi
katalis penting bagi pertumbuhan ekonomi pada 2016 secara langsung, maupun secara tidak
langsung melalui perbaikan keyakinan investor. Di sisi lain, RAPBN 2016 menunjukkan
peningkatan risiko kerentanan yang terkait dengan utang. Untuk pertama kalinya sejak 2004,
penarikan neto ULN pemerintah (setelah dikurangi pembayaran cicilan pokok ULN) pada 2016
akan berada di angka positif. Dengan juga memperhitungkan penarikan utang luar negeri,
termasuk penerbitan SBN, rasio utang pemerintah diperkirakan akan naik dari sekitar 24,6% PDB
pada 2015 menjadi hampir 26% PDB pada 2016.
13
Pasar Keuangan
Pasar Keuangan Agustus 2015: Risiko dari Devaluasi Yuan
Dienda Siti Rufaedah


Devaluasi Yuan menimbulkan gejolak pada pasar keuangan dunia serta berpotensi memicu
“currency war”.
Pasar keuangan global: valas, saham, dan surat utang menunjukkan adanya tekanan yang
signifikan pada bulan Juli-Agustus 2015.
Secara mengejutkan, Bank Sentral China (PBoC) pada tanggal 11 Agustus 2015 men”devaluasi” mata uangnya dengan melebarkan currency band ke rekor terendah sebesar 1,86%.
PBoC menyatakan telah mengubah cara perhitungan acuan nilai tukar yuan yaitu dengan mengambil
nilai tengah dari harga pasar penutupan sebelumnya dan melihat pergerakan sejumlah mata uang
terpilih (tidak diungkapkan). Langkah PBoC tersebut dilakukan menyusul tertekannya kinerja ekspor
akibat menguatnya nilai tukar Yuan secara nominal serta laporan SDR IMF. Nilai tukar yuan yang
melemah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekspor China, mendorong competitiveness dari
produk domestik serta meningkatkan karakter “market friendly” yuan.
Mata Uang
Negara Maju
EUR/USD
USD/JPY
GBP/USD
Negara Berkembang
USD/IDR
USD/BRL
USD/RUB
USD/INR
USD/CNY
USD/ZAR
USD/MYR
USD/THB
USD/TRY
USD/PHP
USD/SGD
FY2014
(%)
YTD
(%)
MTD
(%)
1M
(%, Jul-15)
1W
(%)
Posisi
2015F*)
14/08/2015
(11.97)
(13.74)
(5.92)
(8.17)
(3.78)
0.42
1.14
(0.34)
0.13
(1.46)
(1.13)
(0.57)
1.29
(0.06)
0.97
1.11
124.31
1.56
1.06
125.00
1.54
(1.78)
(12.51)
(84.78)
(2.01)
(2.50)
(10.27)
(6.76)
(0.63)
(8.70)
(0.73)
(4.95)
(11.29)
(31.05)
(6.93)
(3.11)
(2.99)
(10.84)
(16.68)
(7.01)
(21.36)
(3.25)
(6.14)
(1.83)
(1.79)
(5.25)
(1.36)
(2.92)
(1.14)
(6.51)
(0.61)
(2.27)
(0.95)
(2.53)
(1.50)
(10.26)
(11.50)
(0.76)
(0.14)
(4.21)
(1.53)
(3.56)
(3.33)
(1.40)
(1.84)
(1.82)
0.70
(1.45)
(1.87)
(2.92)
(1.57)
(3.92)
(0.23)
(1.91)
(0.95)
(1.58)
13,787
3.48
64.95
65.01
6.39
12.82
4.08
35.22
2.83
46.18
1.41
13,700
3.40
60.00
64.53
6.23
12.80
3.85
35.20
2.80
45.95
1.39
Sumber: Bloomberg
Tabel 2. Perkembangan Nilai Tukar Sejumlah Mata Uang terhadap Dolar AS
Selain untuk menaikkan nilai ekspor, kebijakan ini juga diyakini untuk meningkatkan trading
yuan sebagai salah satu world reserve currency. World reserve currency merupakan mata uang yang
dipegang dalam jumlah tertentu sebagai instrumen transaksi internasional. Di tahun 2010, terdapat
empat mata uang yang telah ditetapkan sebagai world reserve currency yaitu dolar AS, euro, pound,
dan yen. IMF di bulan Oktober 2015 dijadwalkan untuk melakukan review terhadap daftar world
reserve currency dan yuan disebut-sebut menjadi salah satunya. Dengan menjadi world reserve
15
currency tersebut, mata uang yuan akan memiliki pengaruh pada sistem keuangan dunia dan dapat
dijadikan mata uang referensi dalam transaksi lintas negara: dagang, jasa, dan finansial.
Devaluasi yang ditujukan untuk meningkatkan ekspor China diperkirakan dapat berdampak
pada perekonomian mitra dagang. Menurut data BIS, mata uang yuan pada bulan Juli 2015
mencapai 127,46 secara nominal (NEER) dan 132,13 secara riil (REER). Jika kita bandingkan dengan
beberapa mata uang selected countries, valuasi yuan adalah yang tertinggi dan menunjukkan tren
yang terus meningkat. Sedangkan mata uang won, lira, rupiah, dan yen menunjukkan pergerakan
sebaliknya, hal ini mencerminkan adanya tekanan. Dengan demikian devaluasi sebesar 1,86% yang
jika penyesuaian terhadap yuan terus dilakukan, maka ekspor China akan meningkat seiring barang
mereka yang semakin kompetitif. Hal ini pun pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap
ekspor mitra dagang.
140
130
120
110
100
90
80
70
60
CNY
KRW
BRL
IND
REER CNY (lhs)
JPY
NEER CNY (lhs)
140
USDCNY (rhs)
9
130
8
120
110
7
100
6
90
Jul-15
Sep-14
Nov-13
Jan-13
Mar-12
May-11
Jul-10
Sep-09
Jan-08
Nov-08
Mar-07
Jul-05
5
May-06
Jul-15
Sep-14
Nov-13
Jan-13
Mar-12
May-11
Jul-10
Sep-09
Nov-08
Jan-08
Mar-07
May-06
Jul-05
80
Sumber: BIS dan Bloomberg
Gambar 10. Perkembangan NEER Mata Uang Terpilih
Devaluasi yuan menimbulkan gejolak pada pasar keuangan dunia. Mata uang negara
berkembang secara serentak melemah terhadap dolar AS. Setelah mata uang negara berkembang
menunjukkan penurunan selama bulan Juli 2015, pelemahan pun berlanjut hingga minggu kedua
bulan Agustus 2015. Hingga tanggal 14 Agustus 2015, depresiasi terbesar terjadi pada nilai tukar
ringgit dan rubel. Sedangkan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebesar 1,83% ke level 13.787
per dolar AS. Reshuffle kabinet yang diumumkan pada tanggal 12 Agustus 2015 pun ternyata dinilai
belum mampu mengangkat pergerakan rupiah. Pasca pengumuman, nilai tukar rupiah ditutup
melemah 1,42% d/d mencapai Rp 13.800 per dolar AS.
Devaluasi ini juga menyebabkan kenaikan ketidakpastian mengenai kapan The Fed akan mulai
menaikkan suku bunganya. The Fed disebut-sebut akan menaikkan suku bunga pada kuartal III-2015
atau kuartal IV-2015. Gejolak yang tengah terjadi sekarang ini diyakini dapat menghambat The Fed
dalam menunda kenaikan Fed rate. Dalam serangkaian rilis dan minutes of meeting The Fed,
diketahui bahwa timing dan besaran penyesuaian kebijakan moneter tergantung pada tiga faktor
yakni: (1) kondisi pasar ketenagakerjaan, (2) capaian inflasi, dan (3) posisi nilai tukar dolar AS
(terhadap sejumlah mata uang, trade weighted index). Devaluasi yuan mendorong apresiasi lanjutan
dolar AS dan ini berpotensi menimbulkan risiko negatif terhadap kinerja perekonomian AS.
16
Penurunan nilai tukar yuan juga dikhawatirkan dapat memicu terjadinya currency war. Untuk
meningkatkan daya saing ekspornya agar tetap kompetitif, setiap negara diperkirakan akan ikut
melemahkan mata uangnya. Ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan perang mata uang akibat
adanya persaingan. Jika hal ini terjadi, maka dapat membuat nilai tukar rupiah terus melemah dalam
jangka panjang.
Indeks Saham
Negara Maju
Dow Jones (USA)
S&P 500 (USA)
Stoxx Europe 600 (Eropa)
Nikkei 225 (Jepang)
FTSE 100 (Inggris)
Negara Berkembang
IHSG (Indonesia)
Ibovespa (Brazil)
MICEX (Rusia)
Sensex (India)
Shanghai (China)
Shenzhen (China)
Hang Seng (China)
JALSH (Afrika Selatan)
KLCI (Malaysia)
SET (Thailand)
Borsa Istanbul (Turki)
PCOMP (Filipina)
FSSTI (Singapura)
FY2014
(%)
YTD
(%)
MTD
(%)
1M
(%, Jul-15)
1W
(%)
Posisi
Posisi
31/07/2015 14/08/2015
7.52
11.39
4.35
7.12
(2.71)
(1.94)
1.59
12.76
17.58
(0.23)
(1.20)
(0.58)
(2.56)
(0.32)
(2.17)
0.40
1.97
3.95
1.73
2.69
0.60
0.67
(2.73)
(0.99)
(2.50)
17,689.86
2,103.84
396.37
20,585.24
6,696.28
17,477.40
2,091.54
386.24
20,519.45
6,550.74
22.29
(2.91)
(7.15)
29.89
52.87
33.80
1.28
7.60
(5.66)
15.32
26.43
22.76
6.24
(12.27)
(5.00)
22.62
2.07
22.59
63.26
1.64
2.11
(9.34)
(5.59)
(9.81)
2.46
(7.46)
(4.52)
(6.60)
2.60
(0.17)
8.23
9.47
(2.62)
(2.37)
(7.33)
(1.82)
(3.25)
(1.87)
(2.76)
(2.20)
(4.17)
0.87
1.20
(14.34)
(14.35)
(6.15)
0.48
0.97
(4.28)
(2.84)
(0.19)
(3.46)
(3.88)
(2.20)
1.30
(0.60)
5.91
6.12
(2.29)
(2.30)
(5.10)
(1.04)
(1.43)
(1.65)
(2.58)
4,802.53
50,864.77
1,669.00
28,114.56
3,663.73
2,110.62
24,636.28
52,053.27
1,723.14
1,440.12
79,909.68
7,550.00
3,202.50
4,585.39
47,508.41
1,712.47
28,067.31
3,965.34
2,310.40
23,991.03
50,821.18
1,596.82
1,413.92
77,308.95
7,408.44
3,114.25
Sumber: Bloomberg
Tabel 3. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
Sejalan dengan pelemahan nilai tukar, bursa saham global secara umum menunjukkan tren
bearish. Bursa saham AS melemah menyusul pergerakan bursa Asia dimana kecemasan terhadap
berlanjutnya devaluasi nilai tukar yuan menjadi salah satu faktor dari kemerosotan bursa. Keputusan
devaluasi tersebut memicu tekanan jual pada saham-saham utama dunia. Indeks Dow Jones dan S&P
500 masing-masing melemah 1,2% dan 0,58% ke level 17.477,4 dan 2.091,54. Sementara itu, indeks
saham Stoxx 600 mengalami penurunan terbesar sebesar 2,56% menjadi 386,24.
Sentimen negatif berasal dari perekonomian Jepang yang pada kuartal II-2015 mengalami
kontraksi mencapai 1,6% y/y. Turunnya ekspor dan belanja konsumen menjadi trigger melambatnya
ekonomi Jepang. Rilis data tersebut mendorong indeks saham Nikkei 225 ditutup turun sebesar
0,32% mencapai 20.519,45 pada akhir perdagangan minggu kedua bulan Agustus 2015.
Devaluasi yuan memberikan sentimen negatif terhadap pasar saham Indonesia. Mengingat
China merupakan mitra dagang utama Indonesia maka perlambatan ekonomi China akan turut
berdampak pada perekonomian Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir
perdagangan tanggal 14 Agustus 2015 ditutup pada zona merah dengan turun sebesar 4,52%.
Penurunan indeks disebabkan oleh dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia. Setelah pada
17
bulan Juli 2015, asing sempat mencatatkan net buy sebesar Rp 0,13 triliun namun per tanggal 14
Agustus 2015 asing mencatatkan net sell sebesar Rp 4,47 triliun.
Sovereign Bond Yield 10Yr
(LCY)
Negara Maju
Amerika Serikat
Eropa
Jepang
Inggris
Negara Berkembang
Indonesia
Brazil
India
China
Afrika Selatan
Malaysia
Thailand
FY2014
(bps)
YTD
(bps)
MTD
(bps)
1M
(bps, Jul-15)
1W
(bps)
Posisi
14/08/2015
2015*)
(86)
(139)
(41)
(127)
3
12
6
12
2
2
(3)
(1)
(17)
(12)
(5)
(14)
4
(0)
(4)
3
2.20
0.66
0.38
1.88
2.57
0.89
0.49
2.31
(66)
149
(97)
(97)
6
2
(117)
93
122
(11)
(10)
20
11
(1)
15
62
(6)
(5)
(9)
18
(9)
24
35
(5)
(2)
(3)
5
(13)
28
(25)
(7)
7
(0)
9
(6)
8.72
13.59
7.74
3.55
8.17
4.26
2.72
7.84
n/a
7.59
3.51
8.42
3.99
2.57
Sumber: Bloomberg
Tabel 4. Perkembangan Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Pasar obligasi negara maju secara mayoritas bergerak bullish pasca PBoC mendevaluasi mata
uangnya yang turut mendorong permintaan terhadap aset fixed income. Kebijakan yang dikeluarkan
PBoC ini sekaligus mengkonfirmasi potensi downside risk dari perekonomian China serta dapat
memicu bank sentral mempertahankan suku bunga rendah dalam jangka waktu yang lama. Sesaat
pasca devaluasi, imbal hasil obligasi pemerintah negara maju menunjukkan penguatan di kisaran 2
bps hingga 10 bps. Permintaan terhadap aset-aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS, Eropa,
Jepang, dan Inggris cenderung meningkat. Terhindarnya Yunani dari default juga memberikan
sentimen positif bagi kinerja pasar obligasi negara maju.
Berbeda dengan kinerja pasar obligasi pemerintah negara maju, devaluasi yuan berdampak
pada pelemahan obligasi negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia, devaluasi yuan yang
mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah direspons negatif oleh pelaku pasar obligasi.
Pelemahan rupiah memicu investor asing melepas kepemilikannya di obligasi. Seluruh seri obligasi
pemerintah, baik yang bertenor pendek maupun panjang, menunjukkan penurunan harga. Hingga
tanggal 14 Agustus 2015, harga obligasi benchmark seri FR0069 tenor 5 tahun turun 0,6% dari 99,33
(31 Juli 2015) menjadi 98,79 (14 Agustus 2015). Sementara itu, harga obligasi seri FR0068 (tenor 20
tahun) mengalami penurunan tertinggi sebesar 1,93% ke level 94,20. Dengan adanya penurunan
harga tersebut, imbal hasil seluruh tenor menunjukkan peningkatan dengan peningkatan terbesar
terjadi pada obligasi seri FR0071 (tenor 15 tahun) sebesar 24 bps dari 8,74% ke 8,98%. Naiknya imbal
hasil tertinggi pada obligasi tenor panjang mengindikasikan adanya ekspektasi pelemahan nilai tukar
yang dikompensasi dengan return yang diminta lebih tinggi.
Sejalan dengan kenaikan imbal hasil tersebut, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara
(SBN) menunjukkan penurunan. Dalam satu pekan terakhir, asing mencatatkan net sell sebesar Rp
1,72 triliun yaitu dari Rp 541,2 triliun (7 Agustus 2015) menjadi Rp 539,48 triliun (13 Agustus 2015).
18
Kepemilikan investor asing sendiri memiliki share 39,04% terhadap total SBN yang dapat
diperdagangkan. Pasar obligasi diperkirakan masih akan tertekan mengingat spekulasi kenaikan suku
bunga The Fed di kuartal III-2015 semakin dekat. Berdasarkan konsensus Bloomberg, imbal hasil
obligasi pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2015 diperkirakan melemah sebesar 4 bps ke level
7,84%.
19
Perbankan
Perbankan: Perlambatan
Profitabilitas
Ekonomi
Mulai
Berdampak
Pada
Seno Agung Kuncoro


Perlambatan aktivitas ekonomi telah menyebabkan turunnya jumlah uang beredar yang
kemudian menimbulkan dampak negatif terhadap kinerja profitabilitas industri perbankan.
Kontraksi pada pendapatan bunga serta peningkatan cost of fund, membuat manajemen bank
harus mencari cara untuk memperbaiki sumber pendapatan dan pengeluaran.
Gejolak yang ada di sektor keuangan saat ini bisa dinilai sebagai pembelajaran setelah pada
beberapa tahun sebelumnya menikmati manisnya pertumbuhan ekonomi dan keuangan yang tinggi.
Indonesia dengan pengalamannya mengalami krisis 1997-1998 serta “mini crisis” di tahun 2005 dan
2008, diyakini bisa melewati gelojak saat ini dengan lebih percaya diri, untuk kemudian bangkit
tumbuh lebih cepat.
Pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2015 ini berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Saat ini tidak hanya Rupiah yang melemah, tetapi mata uang negara lain juga turut
melemah (terhadap dolar AS). Menguatnya mata uang dolar AS, akibat dari kinerja perekonomian
yang solid dan rencana kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate) telah mendorong capital
outflow sehingga mayoritas mata uang negara lain mengalami pelemahan.
Pertumbuhan kredit year-on-year pada periode Mei 2015 masih belum memperlihatkan
peningkatan, sementara pertumbuhan dana pihak ketiga year-on-year menunjukkan kecenderungan
yang menurun. Dampak dari perlambatan aktivitas ekonomi telah menyebabkan turunnya jumlah
uang beredar yang kemudian menimbulkan dampak negatif terhadap kinerja profitabilitas industri
perbankan. Sampai dengan bulan Mei 2015, kredit tumbuh sebesar 10,40% terendah dalam lima
tahun terakhir (lihat Gambar 11).
Sumber: CEIC dan Bank Indonesia
Gambar 11. Pertumbuhan Kredit, Dana Pihak Ketiga, dan LDR
21
Perbankan nasional pada tahun 2015 ini masih berada dalam fase siklus yang menurun akibat
kondisi makroekonomi yang kurang kondusif. Inflasi bulan Mei 2015 masih cukup tinggi mencapai
7,15%. Sementara nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 11% pada periode Januari-Agustus
2015. Dengan inflasi yang masih tinggi dan nilai tukar rupiah yang menurun membuat Bank
Indonesia sulit menurunkan suku bunga acuan.
Dengan pertumbuhan yang cenderung stabil sebesar 11,1% (y/y), sektor industri rumah
tangga masih memberikan kontribusi yang besar dari total kredit industri perbankan di tengah
penyaluran kredit perbankan yang melesu (lihat Gambar 12). Sementara sektor perdagangan
mengalami penurunan pertumbuhan yang signifikan dan hanya tumbuh 12,7% (y/y) pada Mei 2015
dibanding akhir tahun 2014 sebesar 18,7% (y/y). Hal ini membuat persaingan di sektor rumah tangga
menjadi semakin sengit, karena perbankan lebih memilih untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor
konsumsi sebagai dampak melemahnya perekonomian domestik.
Pada bulan Juni 2015, BI melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk uang muka sektor
konsumsi terutama properti dan kendaraan bermotor. Sektor properti dan kendaraan bermotor
dianggap memiliki multiplier effect dan backward linkage yang cukup besar kepada sektor-sektor
ekonomi lainnya,yang diharapkan bisa memberi tenaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sumber: CEIC dan Bank Indonesia
Gambar 12. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Sektor dan Jenis
Melihat dari pertumbuhan kredit berdasarkan jenisnya, kredit investasi mengalami penurunan
signifikan dari kuartal 4 tahun 2014 yang sebesar 22,8% hingga mencapai 14,5% (y/y) di periode Mei
2015. Pertumbuhan kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing sebesar 11,6% dan 11,1% (y/y)
di bulan Mei 2015 juga mengalami penurunan tetapi tidak terlalu signifikan dibandingkan kredit
investasi. Untuk komposisi berdasarkan jenisnya, kredit modal kerja masih mendominasi dibanding
jenis kredit konsumsi dan investasi. Dengan adanya perlambatan pertumbuhan kredit, menunjukkan
bahwa seluruh sektor industri tengah menghadapi persoalan akibat kondisi perekonomian yang lesu.
Pada bulan Juli 2015 ADB telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015
menjadi 5% (sebelumnya: 5,5%) seiring masih lambatnya penyerapan anggaran dan realisasi
22
penerimaan pajak hingga Semester I 2015. Selain itu, dampak positif realokasi subsidi BBM, revisi
aturan perizinan dan akuisisi lahan belum dirasakan. Sementara itu, World Bank merevisi proyeksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 4,7% (sebelumnya: 5,2%) akibat rendahnya harga
komoditas dan melemahnya pertumbuhan investasi. Dengan revisi proyeksi pertumbuhan
perekonomian Indonesia yang lebih rendah maka sampai dengan akhir 2015 kinerja pertumbuhan
perbankan seharusnya tidak lebih baik dari tahun 2014. Ekspansi kredit yang di bawah ekspektasi
membawa pesan, perekonomian akan bergerak lamban.
Sampai dengan pertengahan kuartal 2 tahun 2015, kredit macet perbankan masih
memperlihatkan tren peningkatan, walau masih dalam batas aman yang ditentukan regulator.
Pertumbuhan NPL nominal yang tinggi disertai dengan ekspansi kredit yang rendah akan membuat
rasio NPL akan terus meningkat. Industri perbankan perlu mencari jalan keluar untuk hal ini, dimana
di satu sisi dihadapkan pada permasalahan pertumbuhan, dan di sisi lain mengelola peningkatan
kredit bermasalah. Risk appetite dari pihak manajemen perlu dipertajam kembali, dimana para
pelaku industri perbankan tidak hanya berdiam diri di hilir pergerakan ekonomi, tetapi juga mampu
ikut terlibat dalam hulu perekonomian. Mencari jalan keluar untuk mengatasi kredit bermasalah
tidak hanya melalui penagihan kepada nasabah, tetapi bisa turut serta dalam mencarikan solusi
permasalahan kreditur (restrukturisasi).
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 13. Rasio dan Pertumbuhan NPL
Data pertumbuhan Non Performing Loan (NPL) baik nominal maupun secara rasio
menunjukkan tren peningkatan selama setahun terakhir (lihat Gambar 13). Pertumbuhan NPL
nominal naik signifikan sebesar 30,7% (y/y) pada Mei 2015, dan Rasio Gross NPL perbankan juga
mengalami peningkatan namun masih di bawah regulatory comfort zone 5%, yakni naik dari 2,18%
pada Mei 2014 menjadi sebesar 2,58% pada Mei 2015 atau meningkat sebanyak 40 bps.
23
Sumber: Bank Indonesia
Tabel 5. Rincian Data Rasio NPL
Penurunan kualitas kredit juga terlihat dari kolektibilitas nominal kredit yang menunjukkan
tren meningkat pada semua kategori. Pertumbuhan tertinggi dari sisi kolektibilitas nominal kredit
terjadi pada kategori Macet (lost). Kategori kolektibiltas Macet pada Mei 2015 tumbuh sebesar
43,17% (y/y) dan tercatat sebesar Rp61,7 triliun (lihat Tabel 5), kemudian disusul dengan kategori
Diragukan (doubtful) yang tumbuh sebesar 14,48% (y/y). Peningkatan pada kredit bermasalah
tentunya akan meningkatkan cadangan potensi kerugian sehingga tingkat profitabilitas perbankan
semakin menurun.
Likuiditas perbankan pada kuartal 2 tahun 2015 terlihat masih longgar. Hal ini ditunjukkan
dengan penurunan rasio kredit terhadap simpanan atau LDR dari 90,3% pada Mei 2014 menjadi
88,7% pada Mei 2015. Penurunan LDR ini disebabkan oleh pertumbuhan DPK yang masih lebih tinggi
dari pertumbuhan kredit. Kondisi seperti ini diperkirakan akan bertahan hingga akhir tahun 2015.
Terdapat pola dinamis dimana pertumbuhan kredit akan mengalami akselerasi menjelang awal
semester kedua hingga akhir tahun (lihat Gambar 14) namun dengan pertumbuhan DPK yang
diperkirakan masih tinggi maka tekanan pada likuiditas masih terkendali. Pola pergerakan dinamis
pertumbuhan DPK akan mencapai puncaknya pada akhir kuartal 3 dan kuartal 4. Meskipun demikian
kami melihat untuk tahun 2015 akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana akselerasi
tersebut kemungkinan berada dibawah level historis.
24
Sumber: BI
Gambar 14. LDR dynamics
Melonggarnya likuiditas juga terlihat pada simpanan valuta asing, dimana terjadi kenaikan
simpanan selama 4 bulan terakhir. LDR valas mengalami penurunan menjadi 84,8% di Mei 2015
(lihat Gambar 15). Hal tersebut didorong oleh faktor depresiasi rupiah yang cukup besar yang
mendorong psikologis nasabah untuk mengkonversi simpanan dalam rupiah menjadi simpanan
valas.
Sementara pertumbuhan simpanan valas mencapai sebesar 16,6% pada Mei 2015, menurun
dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 22,9%. Hal ini mengindikasikan posisi
bank yang tidak terlalu agresif dalam melakukan penghimpunan dana valuta asing. Dari suku bunga
pasar valas yang dipantau juga menunjukkan penurunan yang bisa menjadi cerminan likuiditas valas
yang meningkat serta langkah strategis bank untuk menurunkan cost of fund.
Tren pertumbuhan DPK di lain pihak masih didominasi oleh deposito yang membuat dana
mahal di perbankan secara proporsional semakin meningkat.Kini, bank tak hanya bersaing di dalam
industrinya untuk berebut dana murah di pasar. Tetapi, bank juga harus berebut dana masyarakat
dengan pemerintah yang gencar menerbitkan surat utang (crowding out offset).
25
Sumber: BI
Gambar 15. Suku Bunga Pasar Valas dan Pertumbuhan Valas
Tekanan dari berbagai macam faktor yang kurang menguntungkan industri perbankan telah
mulai berdampak pada tingkat keuntungan yang dihasilkan perbankan. Pada periode Mei 2015,
pertumbuhan nominal laba jumlah dua bulan terakhir year-on-year berada pada level negatif: 1,94% (lihat Gambar 16). Bahkan untuk beberapa bank dengan skala aset menengah pertumbuhan
laba yang negatif telah dialami selama beberapa bulan terakhir.
Kontraksi pada pendapatan bunga serta peningkatan cost of fund, membuat manajemen bank
harus mencari cara untuk memperbaiki sumber pendapatan dan pengeluaran. Melambatnya
pertumbuhan DPK diindikasikan sebagai langkah yang diambil untuk menekan pengeluaran biaya
dana. Pendapatan di luar bunga juga melambat yang disebabkan menurunnya demand terhadap
produk bank oleh kreditur. Meningkatnya beban pencadangan untuk kredit bermasalah turut
menyumbang perlambatan pertumbuhan tingkat profitabilitas.
Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa institusi perbankan nasional telah banyak memetik
pelajaran dari keterpurukan kinerja pada saat krisis yang lampau. Sehingga menjadikan pengelolaan
perbankan di tengah situasi yang kurang kondusif sekalipun masih mencoba memberikan marjin
profit yang baik. Manajemen bank sepertinya mensiasati untuk menurunkan cost of fund melalui
penurunan suku bunga simpanan, terutama deposito, dengan tetap mempertahankan suku bunga
kredit yang tinggi untuk mengkompensasi kenaikan credit cost yang timbul.
26
Sumber: BI
Gambar 16. Pertumbuhan Laba dan Rasio Profitabilitas
Tren suku bunga bank benchmark yang dipantau LPS (suku bunga pasar) secara rata-rata
sepanjang bulan Juni 2015 cenderung relatif stabil. Hal ini mengindikasikan mulai meredanya
persaingan bank-bank dalam perebutan dana masyarakat. Selama Juni 2015, suku bunga deposito
perbankan secara rata-rata naik sebesar 1 bps, yakni dari 7,20% menjadi 7,21% (lihat Gambar 17). Di
sisi lain, posisi suku bunga maksimum suku bunga deposito rata-rata perbankan pada periode yang
sama mengalami penurunan lebih tinggi yakni sebesar 2 bps dari 8,64% menjadi 8,62%. Dengan
penurunan suku bunga deposito ini, biaya dana (cost of fund) bank seharusnya turun sehingga
profitabilitas bank akan membaik.
Sumber: LPS
Gambar 17. Suku Bunga Pasar Rupiah dan Sensitive Funding
Secara agregat terjadi penurunan porsi dana mahal (Sensitive CASA dan TD) yang signifikan
selama periode Desember 2014-Juni 2015. Penurunan porsi dana mahal pada sistem perbankan
27
cukup besar dari Rp1.031 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp925 triliun pada Mei 2015 atau
turun sebesar 10,2%. Supervisory action berupa pembatasan suku bunga simpanan oleh OJK telah
memaksa para nasabah untuk mengatur ulang penempatan dana mereka di bank. Intensitas
persaingan dalam perebutan dana simpanan tidak terjadi pada semua level bank. Kategori bank
sangat besar (BSB) yang memiliki aset di atas 100 triliun tidak cukup “diuntungkan” karena jumlah
porsi dana mahal menurun. Sedangkan untuk kelompok bank sangat kecil (BSK) relatif mengalami
ekspansi porsi dana mahal sebesar 3,1%. Peningkatan porsi dana mahal pada kelompok bank sangat
kecil disebabkan relatif belum dibatasinya suku bunga simpanan batas atas, dan OJK hanya
melakukan monitoring dan supervisory action untuk mengimbangi persaingan dengan bank-bank
besar yang masih memiliki low cost funding dan likuiditas yang lebih baik.
Sumber: BI
Gambar 18. Perkembangan Permodalan Perbankan
Rasio permodalan terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Capital Adequacy
Ratio (CAR) mengalami kenaikan dari 19,57% di akhir tahun 2014 menjadi 20,51% di periode Mei
tahun 2015 (lihat Gambar 18). Kenaikan CAR ini terutama disebabkan konversi akuntansi laba
operasi akhir tahun 2014 menjadi komponen modal laba ditahan. Bank-bank tampaknya menyadari
bahwa situasi sulit masih harus dihadapi sepanjang tahun 2015, sehingga memaksimalkan porsi laba
ditahan sebagai tambahan modal menjadi salah satu alternatif jalan terbaik.
Dengan situasi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian dan ekonomi domestik yang
melambat, industri perbankan nasional dihadapkan pada potensi kinerja yang menurun. Dibutuhkan
peran yang lebih aktif dari pemerintah untuk mendorong roda perekonomian, terutama janji
pemerintah untuk segera membangun proyek infrastruktur tampaknya dapat menjadi peluang yang
baik bagi perbankan untuk dapat dijadikan “tambahan amunisi” guna mencapai target pertumbuhan
kredit yang diinginkan pada tahun 2015. Di sisi lain bank harus menyeimbangkan antara target
pertumbuhan dengan potensi kenaikan NPL akibat pelemahan kondisi ekonomi.
28
Industri
Pertambangan Batubara:
Dampak Devaluasi Yuan
Perlambatan
Supply-Demand
dan
Ahmad Subhan


Kondisi fundamental supply-demand batubara tampaknya belum mendukung arah pemulihan
harga hingga akhir tahun. Tekanan terhadap harga diperkirakan semakin kuat menyusul
adanya sinyal perlambatan impor dari India
Kebijakan pelemahan yuan memberikan sentimen negatif terhadap harga batubara karena
adanya persepsi terkait pelemahan ekonomi China.
Harga batubara kembali melemah pada penutupan perdagangan Senin (17/8/2015) untuk
kontrak pengiriman September 2015 ke level USD 55,2 per ton yang merupakan level terendah sejak
tahun 2007. Tren penurunan harga batubara terpanjang dalam 7 tahun terakhir ini tampaknya
belum menunjukkan tanda-tanda berakhir di tengah masih lambatnya rasionalisasi produksi.
Tekanan terhadap harga semakin kuat menyusul adanya sinyal perlambatan impor dari India dan
Amerika Serikat yang menyusul China, sehingga pasar batubara global berpotensi kehilangan
penyangga utama di sisi konsumsi dalam waktu yang lebih lama.
Sumber : Bloomberg - Macquarie Research
Gambar 19 : Perkembangan Harga Batubara Global
Dari sisi supply hingga akhir semester I tahun 2015 ekspor batubara thermal global telah
mengalami penurunuan sebesar 23 juta ton yang mayoritas (86%~20 juta ton) dikontribusikan dari
penurunan ekspor Indonesia. Sementara negara lain seperti Australia, Kolombia dan Afrika Selatan
hanya mencatatkan kenaikan ekspor terbatas di kisaran 1-8 juta ton. Berdasarkan pola produksi yang
ada saat ini diperkirakan pasokan ke pasar ekspor hingga akhir tahun akan berkurang lebih dari 50
juta ton untuk menyeimbangkan hilangnya permintaan impor China. Melemahnya impor China saat
ini tidak hanya terjadi akibat adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi namun juga sengaja
dilakukan sebagai langkah proteksi pemerintah China bagi industri batubara domestik yang
menjalani proses restrukturisasi dan besarnya tekanan terkait isu pengelolaan lingkungan.
30
Kinerja Ekspor Batubara 1H-15 (Mt)
Proyeksi Ekspor FY 2015
Sumber : Macquarie Research
Gambar 20 : Kinerja Ekspor 1H-15 dan Proyeksi FY 2015
Hilangnya kekuatan konsumsi China di pasar batubara (impor minus 49 juta ton) secara
struktural belum mampu digantikan oleh tambahan impor dari wilayah atau negara lain meskipun
berdasarkan data impor hingga 1H-15 masih terjadi peningkatan impor dari India sebesar 22 juta
ton. Pada awalnya banyak pihak melihat posisi India cukup menjanjikan namun struktur produksi
dan konsumsi domestiknya ternyata tidak cukup mendukung dalam jangka pendek. Dari sisi produksi
pemerintah India telah menargetkan adanya peningkatan produksi batubara rata-rata 16% pa hingga
tahun 2020 yang diikuti dengan beberapa restriksi impor, sementara disisi konsumsi yang tercermin
dari output pembangkit trennya saat ini cenderung mengalami penurunan. Hal ini menjadikan
prosprk keberlanjutan volume impor India di sisa semester II tahun ini menjadi diragukan.
(Mt)
(Mt)
Sumber : Macquarie Research
Gambar 21 : Kinerja Impor 1H-15 dan Keseimbangan Supply-Demand
31
Data produksi CIL (Coal India Limited) produsen utama batubara di India (80% pangsa
produksi) menunjukkan adanya peningkatan volume sekitar 10% dalam 3 bulan terakhir, sementara
data produksi listrik domestiknya menunjukkan arah berlawanan. Kondisi ini tidak pernah terjadi
dalam 4 tahun terakhir yang mengindikasikan India sedang dalam posisi re-stocking. Fenomena restocking tersebut terkonfirmasi pula dari rasio inventory di level pembangkit yang menunjukkan
adanya peningkatan hingga diatas 20 hari operasi. Dalan jangka menengah ketiadaan peningkatan
impor dari negara lain seperti Jepang, Korea dan EU berpotensi menjadikan pasar terus
membutuhkan pengurangan produksi lebih besar dari yang sudah dilakukan saat ini.
Perbandingan Produksi Batubara Vs
Output Pembangkit
Inventory Batubara India
Sumber : Macquarie Research
Gambar 22 : Perbandingan Produksi Batubara VS Output Pembangkit dan Inventory Batubara India
Besarnya kontribusi pengurangan volume ekspor yang berasal dari Indonesia secara langsung
telah berdampak pada operasi produksi pelaku industri di dalam negeri. Direktur Eksekutif Asosiasi
Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mengungkapkan bahwa hingga akhir Juli 2015 sudah 80%
perusahaan tambang batubara yang menghentikan produksi atau memilih tutup sementara akibat
level margin yang sudah negatif. Tercatat dari sekitar 3.000 perusahaan pemegang izin usaha
pertambangan (IUP), saat ini hanya sekitar 500 perusahaan yang masih beroperasi dimana sebagian
besar yang tutup adalah perusahaan kecil di daerah pertambangan Kalimantan.
Kekuatan produsen Indonesia yang selama ini terletak pada struktur cash cost dalam 3 tahun
terakhir tampaknya mulai tergerus seiring semakin terbatasnya cash yang dimiliki perusahaan kecil.
Kendati terjadi penurunan biaya produksi akibat efek samping penguatan nilai tukar dollar,
melemahnya harga minyak (biaya energi) dan jatuhnya biaya transportasi (freight cost) untuk bulk
commodity. Namun tekanan likuiditas yang berkepanjangan dan harga yang turun sangat cepat
menjadikan perusahaan dengan cashflow terbatas berada dalam posisi sulit untuk mempertahankan
produksi.
Terlepas dari kondisi supply-demand yang tampaknya belum mendukung arah pemulihan
harga hingga akhir tahun nanti, dalam jangka pendek sentimen baru yang menarik terkait
pergerakan harga batubara justru bersumber dari langkah devaluasi yuan oleh bank sentral.
Meskipun masih banyak meninggalkan pertanyaan daripada jawaban tentang bagaimana transmisi
32
kebijakan devaluasi terhadap pasar komoditas, namun respon awal seluruh pasar komoditas
termasuk batubara cenderung negatif. Sebagian besar pelaku pasar menangkap bahwa langkah
devaluasi ini merupakan indikasi bahwa perlambatan ekonomi yang dialami China cukup serius
sehingga berpotensi berdampak pada pelemahan permintaan batubara lebih dalam.
Dalam konteks komoditas batubara saat ini pendekatan sisi produksi tampaknya akan lebih
dapat memberikan gambaran tentang bagaimana efek devaluasi yuan akan mempengaruhi pasar
batubara global. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa permintaan batubara China telah melemah
akibat perlambatan ekonomi dan pemerintah China sudah menjalankan kebijakan yang lebih
protektif terhadap pertambangan domestiknya. Berdasarkan estimasi data produksi untuk
komoditas mineral dan batubara diperolah bahwa posisi China saat ini sangat strategis untuk
produksi batubara baik thermal atupun metalurgi (coke) dengan penguasaan lebih dari 70% produksi
global.
Sumber : Macquarie Research
Gambar 23 : Share Produksi Komoditas Tambang China Terhadap Total Produksi China
Kebijakan devaluasi yuan dari sisi produksi secara langsung memberikan dampak sebagai
berikut, pertama; devaluasi yuan akan menyebabkan harga batubara impor (dalam dolar) relatif
mahal di pasar domestik sehingga memberikan insentif bagi produksi batubara domestik untuk
bersaing dalam harga. Adanya peningkatan produksi domestik sudah barang tentu menyebakan
berkurangnya volume impor meskipun disisi lain akibat adanya kebijakan proteksi akan menciptakan
segmentasi (pemisahan) antara harga pasar domestik dan global yang rentan terhadap arbitrage
harga. Kedua; adanya peningkatan produksi yang masif di saat konsumsi domestik melemah
menjadikan batubara China potensial masuk ke pasar ekspor dan artinya akan terjadi kelebihan
pasokan lebih jauh yang berujung pada tekanan harga lebih dalam.
Terlepas dari skenario diatas beberapa pertanyaan lanjutan yang justru menjadi kunci terkait
dampak devaluasi yuan terhadap produksi komoditas batubara adalah seberapa besar kemungkinan
devaluasi ini akan berlanjut dan bagaimana struktur cash cost produsen batubara China merespon
pelemahan yuan. Dengan membandingkan tingkat devaluasi yuan terhadap dolar yang bergerak
hanya di kisaran 3% dengan tingkat fluktuasi harga komoditas dalam yuan telah turun antara 20-30%
maka dampak tingkat devaluasi saat ini diperkirakan akan terbatas dan belum akan berpengaruh
33
terhadap struktur supply (produksi) batubara China. Sementara disisi lain dengan struktur biaya yang
relatif lebih mahal dibanding produsen batubara impor maka akan cukup sulit bagi produsen
domestik memperoleh keuntungan dari pelemahan yuan yang terbatas meskipun disisi lain ada
kebijakan proteksi akan memberikan positif pada produksi.
Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa kebijakan pelemahan yuan yang dilakukan bank
sentral China saat ini lebih berdampak negatif dari sisi persepsi terhadap pelemahan ekonomi China
secara keseluruhan. Dalam hal ini devaluasi belum memberikan efek terhadap struktur supplydemand batubara, meskipun secara relatif terjadi kenaikan harga batubara impor dibandingakan
batubara domestik. Devaluasi hanya akan memberikan efek esar ke sisi supply jika skala devaluasi
lebih besar, meskipun efeknya masih akan tergantung struktur biaya dan respon dari produsen
batubara China.
34
Indeks Stabilitas
Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)
Agus Afiantara
Dari penilaian sementara (data terkait perbankan menggunakan posisi bulan Mei 2015
sedangkan data pasar keuangan menggunakan posisi bulan Juli 2015), risiko industri perbankan
Indonesia mengalami penurunan, yang tercermin dari penurunan Indeks Stabilitas Perbankan (Banking
Stability Index, BSI) LPS sebesar 6 bps dari 100,31 pada bulan Juni 2015 menjadi 100,25 pada bulan Juli
2015. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), angka BSI saat ini masih
berada pada kondisi “Normal”. Dua komponen pembentuk BSI yaitu IP (Interbank Pressure) dan MP
(Market Pressure) masing-masing naik sebesar 29 bps dan 70 bps.
Sumber: LPS
Gambar 24. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP)
Likuiditas perbankan periode Mei 2015 relatif sama dengan bulan-bulan sebelumnya yang tetap
berada pada level 88%. Disisi NPL pada bulan Mei 2015 terlihat peningkatan dari 2,48% (April 2015)
menjadi 2,58%. Meskipun masih relatif terkendali, namun peningkatan ini harus diwaspadai,
mengingat angka ini terus menunjukkan peningkatan sejak Desember 2014.
Sumber: LPS
Gambar 25. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP)
36
Disisi interbank, penyaluran dana antar bank yang menurun dan suku bunga Pasar Uang Antar
Bank (PUAB) overnight yang mengalami peningkatan pada bulan Juli 2015 sebesar 5,67% dibandingkan
dengan bulan Juni 2015 sebesar 5,64% memberikan tekanan kepada sub indeks IP.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS kembali mengalami depresiasi 1,12% dari Rp 13.332
menjadi Rp 13.481. Hal ini sejalan dengan pergerakan pada Indeks Harga Saham Gabungan yang
kembali mengalami penurunan sebesar 108,13 poin dari 4.910,66 menjadi 4.802,53. Peningkatan
suku bunga JIBOR 3 bulan mengalami peningkatan pada bulan Juli 2015 dibandingkan dengan bulan
sebelumnya, naik dari 6,98% pada bulan Juni 2015 menjadi 7,51% pada bulan Juli 2015. Seluruh
indikator pembentuk sub indeks MP menunjukkan peningkatan tekanan.
37
PENGARAH
Fauzi Ichsan, Salusra Satria
KOORDINATOR
Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro
ANALIS
Ahmad Subhan, Seto Wardono, Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah, Citra Amanda
DESAIN & LAYOUT
Mutiara Aisyah
Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga
Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan
penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap
berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan
Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai
perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas
perbankan
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada :
Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko
Equity Tower lantai 39
Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9
Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12190
Telp
: +62 21 515 1000 ext 340
Email
: [email protected]
Website : www.lps.go.id
38
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih
Variabel
2011
2012
2013
2014
2015P
2016P
PDB Nominal (Triliun Rp)
7.427
8.616
9.525
10.543
11.834
13.159
PDB Nominal (Miliar US$)
847
918
914
888
900
995
PDB Riil (% y/y)
6,2
6,0
5,6
5,0
5,0
5,5
Inflasi (akhir periode, % y/y)
3,8
4,3
8,1
8,4
4,4
5,2
Inflasi (rata-rata, % y/y)
5,4
4,0
6,4
6,4
6,9
5,4
USD/IDR (akhir periode)
9.068
9.793
12.189
12.440
13.300
13.100
USD/IDR (rata-rata)
8.779
9.396
10.452
11.879
13.150
13.225
BI Rate (akhir periode)
6,00
5,75
7,50
7,75
7,50
8,00
Surplus/Defisit Fiskal (% PDB)
(1,1)
(1,8)
(2,2)
(2,2)
(2,2)
(2,2)
27,4
(2,0)
(2,6)
(1,5)
(6,2)
3,8
191,1
187,3
182,1
175,3
164,4
170,6
32,2
13,6
(1,4)
(3,4)
(8,8)
2,7
166,6
178,7
176,3
168,4
153,6
157,6
1,7
(24,4)
(29,1)
(25,4)
(22,5)
(27,9)
Variabel Kunci
Sustainabilitas Eksternal
Ekspor Barang (% y/y)
Ekspor Barang (Miliar US$)
Impor (% y/y)
Impor (Miliar US$)
Neraca Berjalan (Miliar US$)
Neraca Berjalan (% PDB)
0,2
(2,7)
(3,2)
(3,0)
(2,5)
(2,8)
110,5
112,8
99,4
111,9
111,6
115,4
25,2
27,4
29,1
32,9
36,8
36,6
Konsumsi Rumah Tangga
5,1
5,5
5,4
5,3
5,0
5,1
Konsumsi Pemerintah
5,5
4,5
6,9
2,0
3,2
3,5
Pembentukan Modal Tetap Bruto
8,9
9,1
5,3
4,1
4,5
5,0
Ekspor Barang dan Jasa
14,8
1,6
4,2
1,0
(0,9)
2,0
Impor Barang dan Jasa
15,0
8,0
1,9
2,2
(1,9)
0,7
Sektor Primer
4,1
3,9
3,2
2,7
2,6
2,9
Sektor Sekunder
6,3
5,6
4,5
4,6
5,0
5,5
Sektor Tersier
8,5
6,8
6,4
6,2
5,8
6,4
1 Tahun
5,5
4,6
5,7
6,9
7,1
6,9
3 Tahun
6,4
5,1
5,9
7,6
7,5
7,4
5 Tahun
6,9
5,4
6,0
7,9
7,8
7,9
10 Tahun
7,5
6,0
6,5
8,2
8,2
8,2
20 Tahun
8,7
6,8
7,3
8,7
8,7
8,7
Pinjaman (% y/y)
24,6
23,1
21,6
11,6
12,8
15,1
Dana Pihak Ketiga (% y/y)
19,1
15,7
13,6
12,3
14,1
14,7
Loan to Deposit Ratio (%)
79,0
84,0
89,9
89,3
88,2
88,5
Cadangan Devisa (Miliar US$)
Utang Luar Negeri (% PDB)
PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
Perbankan
Sumber: LPS
40
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 September - 30 September 2015
Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
4-September-15
Tingkat Pengangguran Agustus 2015
16-September-15
Inflasi Agustus 2015
3-September-15
Suku Bunga Acuan
15-September-15
Neraca Perdagangan Juli 2015
16-September-15
Inflasi Agustus 2015
8-September-15
Transaksi Berjalan Juli 2015
15-September-15
Suku Bunga Acuan
17-September-15
Neraca Perdagangan Agustus 2015
2-September-15
Neraca Perdagangan Agustus 2015
Zona Euro
Jepang
Brazil
10-September -15 Rapat Kebijakan Moneter
Rusia
India
China
Afrika Selatan
Indonesia
23-September-15
Transaksi Berjalan Agustus 2015
24-September-15
Tingkat Pengangguran Agustus 2015
4-September-15
Inflasi Agustus 2015
10-September-15
Neraca Perdagangan Juli 2015
17-September-15
Tingkat Pengangguran Agustus 2015
7-September-15
Transaksi Berjalan 2Q15
10-September-15
Neraca Perdagangan Agustus 2015
29-September-15
Suku Bunga Acuan
8-September-15
Neraca Perdagangan Agustus 2015
9-September-15
Inflasi Agustus 2015
15-September-15
Transaksi Berjalan 2Q15
23-September-15
Inflasi Agustus 2015
23-September-15
Suku Bunga Acuan
1-September-15
Inflasi Agustus 2015
3-September-15
Cadangan Devisa Agustus 2015
15-September-15
Neraca Perdagangan Agustus 2015
17-September-15
Suku Bunga Acuan
Sumber: LPS (Agustus 2015)
41
www.lps.go.id
Download