LAPORAN PENDAHULUAN PADA TN T DENGAN CKR (CIDERA KEPALA RINGAN) DI RUANG IGD BRSU TABANAN OLEH: KOMANG ADI WIRASATYA (15C11411) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2018/2019 A. KONSEP DASAR 1. Definisi Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001). Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani 2001). Cidera kepala ringan adalah gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Penderita dengan cidera kepala di bawa ke UGD kurang lebih 80% dikatagorikan dengan cidera kepala ringan (Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118). 2. Etiologi Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah : 1) Kecelakaan lalu lintas. 2) Terjatuh 3) Pukulan atau trauma tumpul pada kepala. 4) Olah raga 5) Benturan langsung pada kepala. 6) Kecelakaan industri. 3. Klasifikasi Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan morfologi cidera: 1. Berdasarkan Mekanisme : a. Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul) b. Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya. 2. Berdasarkan Tingkat Keparahan : Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu: a. Reaksi membuka mata (Eye responses) a) Score 4 : Membuka mata dengan spontan b) Score 3 : Membuka mata bila dipanggil c) Score 2 : Membuka mata bila dirangsang nyeri d) Score 1 : Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun b. Reaksi berbicara (Verbal responses) a) Score 5 : Komunikasi verbal baik, jawaban tepat b) Score 4 : Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang c) Score 3 : Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk gerakan d) Score 2 : Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata e) Score 1 : Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun c. Reaksi Gerakan lengan / tungkai (Motoric responses) a) Score 6 : Mengikuti perintah b) Score 5 : Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau tempat c) Score 4 : Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan d) Score 3 : Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal e) Score 2 : Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal f) Score 1 : Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi 3. Berdasarkan morfologi 1) Fraktur kranial Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis linear, dan dapat pula terbuka dan tertutup. Tanda dan gejala: - Ekomosis periorbital (Racoon eyes) - Ekomosis retroaurikuler (Battle sign) - Kebocoran cairan cerebrospinal (Rhinorrhea, otorrhea) - Paresis nervus facialis dan kehilangan pendengaran 2) Lesi intracranial Lesi intracranial dilasifikasikan menjadi a. Lesi local a) Perdarahan epidural Perdarahan epidural terjadi diluar durameter tetapi masih berada didalam rongga tengkorak, dengan ciri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak diarea temoral/tempoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri menigea media, akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak/robekan vena besar. b) Perdarahan subdural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. c) Perdarahan intra serebral Kontusio serebri didapat dalam waktu bebrapa jam atau beberapa hari setelah trauma, kemudian berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan oprasi. b. Lesi difus Cidera otak difus disebabkan oleh hipoksia, iskemia, dari bagian otak karena mengalami syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang segera setelah mengalami trauma. 4. Klasifikasi cidera kepala Cidera kepala dapat di klasifikasikan Dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu: 1. Cedera Kepala Ringan (CKR) GCS 14-15 (kelompok resiko rendah). Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ) 2. Cedera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-13 (kelompok resiko sedang), hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ). 3. Cedera Kepala Berat (CKB) GCS 3-8 (kelompok resiko berat), hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema B. Anatomi Kepala 1. Kulit kepala Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi. 2. Tulang kepala Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural. 3. Lapisan Pelindung otak / Meninges Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter areknol dan diameter. 1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter yaitu melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ) dan membentuk periosteum tabula interna. 2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan sundural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala. 3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system vena. 4. Otak. Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran : 1. Efek langsung trauma pada fungsi otak, 2. Efek-efek lanjutan dari sel-sel otakyang bereaksi terhadap trauma. Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak. Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial). 5. Tekanan Intra Kranial (TIK). Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubnahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak (Herniasi batang otak) yang berakibat kematian. C. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. D. Komplikasi 1. Konkusio Hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat. 2. Hematoma Epidural Penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa 3. Hematoma subdural Penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura. 4. Pendarahan subaraknoid Akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal 5. Hematoma intraserebrum Pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka. E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik 1. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. 2. MRI Digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif 3. Angiografi serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma 4. EEG Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. 5. PET Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak. 6. Sinar X Untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang. 7. Cerebral Angiography Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. 8. Fungsi Lumbal CSS Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid. 9. AGD Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid. 10. Kimia elektrolit darah Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental. 11. Kadar Elektrolit Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibatpeningkatan tekanan intrkranial F. Penatalaksanaan 1. Pedoman resusitasi dan penilaian awal 1) Menilai jalan nafas Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi 2) Menilai pernapasan Tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi. 3) Menilai sirkulasi Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala. 4) Obati kejang Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahanlahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 2. Pedoman penatalaksanaan 1) Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. 2) Elevasi kepala 300 3) Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut : a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri. b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis, kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu. 4) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang foto rontgen kepala tidak diperlukan jikaCT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya : a. Hematoma epidural b. Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel c. Kontusio dan perdarahan jaringan otak d. Edema serebri e. Obliterasi sisterna perimesensefalik f. Pergeseran garis tengah g. Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus. 5) Pasien dengan cedera kepala ringan umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal b. Foto servikal jelas normal c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika timbul gejala perburukan. 3. Kriteria perawatan di rumah sakit : - Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan - Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun - Adanya tanda atau gejala neurologis fokal - Intoksikasi obat atau alcohol - Adanya penyakit medis komorbid yang nyata - Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.