Uploaded by User106679

imunopatogenesis DHF

advertisement
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Immunopatofisiologi pada
Kasus Demam Berdarah Dengue
Harli Novriani, Fitriana
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta
Abstrak
Di Indonesia penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak tahun 1986 penyebarannya
cenderung meluas danjumlah kasus cenderung meningkat dari tahun ke tahun terutama di
kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah kasus DBD secara nasional sampai 2012 menunjukkan
peningkatan namun CFR cenderung menurun.Angka kematian (CFR) pada tahun 2012 masih
di atas standar nasional yaitu >1%.
Immunopatofisiology Minis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya
virus. Virus berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag yang
berfungsi sebagaiAPC (Antigen Presenting Cell). Peristiwa pagositosis ini akan memicu aktifasi
sel limfosit T-helper (Th tipe 2) yang menurunkan imunitas seluler sebagai akibat dari peran
sitokin IL6, IL10 IL13 dan IL18, T-sitotoksik dan limfosit B sehingga menimbulkan serangkaian
proses imunologi. Rangkaian proses tersebut menyebabkan terlepasnya mediator-mediator
yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya, manifetasi perdarahan terjadi karena aggregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia. Sedangkan peran T-helper (Th tipe 1 (IL2, IFN-ydan TNF-) dapat memberikan
prognosis yang baik karena terjadi immunitas selular dominan dalam disease resistant state).
Limfosit B merangsang antibodi yang muncul adalah IgG dan IgM, diagnosa dini infeksi primer
dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi lgM setelah hari sakit kelima dan diagnosis
infeksi/sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan
IgM. Diagnosa DBD bila ditegakkan dengan gejala klinis saja hasilnya sangat tidah bisa
dipercaya. Peran Komplement C1 sampai dengan C9 mempunyai pengaruh besar terjadinya
DHF ke DSS, oleh karena itu diperlukan dukungan uji laboratorium untuk kepastian penyebab.
Diagnosa DBD dapat ditegakkan dengan beberapa cara yaitu, isolasi dan identifikasi virus
DBD, beberapa uji serologi yaitu medeteksi antigen virus dengue, deteksi antibodi anti virus
dengue yang masing-masing mempunyai, keunggulan dan kekurangan.
Kata kunci: IL: interleukin, Th: sel T helper, Tc: sel T cytotoksik.
Korespondensi: Harli Novriani
E-mail: [email protected]
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
577
Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue
Immunopatofisiologi at Clinical Dignosis Dengue Haemorhagic Fever
Harli Novriani
National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health
Republic of Indonesia, Jakarta
Abstract
In Indonesia, there are 4 dengue serotypes (Dengue-1, Dengue-2, dengue-3 and Dengue4) which
have been identifiedr Since 1986 the incidence was increasing especially in urban area like I
Jakarta. In 2011, though the morbidity was increased, the CFR was decreased. How ever, the CFR
is stilt-higher than the national control program target which is <1%. Immunopatofisiologi of
dengue fever occurred as a response of the immune system against the viral infections. When the
virus mutate and circulate in the blood, the macrophages which function is an Antigen Presenting
Cell (APC). The phagocytosis will trigger the activation ofT-helper (Th tipe 2) response release
several celular imunity sitokin IL6, IL10 IL13 dan IL18 lymphocyte cells, cytotoxic T-Cell and
lymphocytes-B cells. These responses release several types of mediators which rigger systemic
sign like fever, muscle and/or joint pain, malaise, and another sign like hemorhagic manifestation
is due to the aggregation of thrombocytes which cause a thrombocytopenila. . Manifestation Thelper (Th tipe 1 (IL2, IFN-y dan TNF-) can be better because the imunity celular dominant
disease resistant state.
Limfosit B of antibodies which play role in dengue infections are IgG and IgM. In patients with
primary dengue infections, Complement C1 until C9 have been detected DHF to DSS, the IgM
antibodies develop rapidly and can be detected in day 5 of the illness.
Clinical diagnosis should be confirmed with laboratory examination such”as viral isolation and
identifications, and serology detect the antigen or antibody of the dengue virus. Each diagnosis
techniques have advantages and disaavantages.
Keywords: IL: interleukin, Th: sel T helper, Tc: sel T cytotoksik
Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
oleh virus kelompok Flavivirus, yang ditularkan melalui
nyamuk (Aedes aegypti dan Aedes albopictus), virus ini
terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis dan tersebar
di dunia.Sampai saat ini dikenal 4 serotipe virus dengue (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam
kelompok Arthropode Borne Virus. Ke 4 serotipe ini ada di
Indonesia.1 Pada saat ini DBD menjadi endemis pada lebih
dari 100 negara-negara di Afrika, Amerika, Mediterania tiniur,
Asia Tenggara, dan pajak barat, dan merupakan ancaman
bagi lebih dari 2,5 milyar orang.2 WHO memperkirakan
kemungkinan terjadi infeksi DBD pada 50 juta sampai 100
juta orang di seluruh dunia setiap tahun, dimana 250.000
sampai 500.000 merupakan kasus DHF dengan kematian
sebanyak 24.000 orang setiap tahun.3,4 Kasus kematian pada
DBD terutama terjadi pada kasus Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Disebutkan
bahwa penderita dengan DHF angka mortality rate sebesar
5%, bila penderita dengan DSS angka mortality rate sebesar
40%.6
578
Di Indonesia penyakit DBD sampai saat ini masih
merupakan masalah, sejak tahun 1986 penyakit ini
penyebarannya cenderung meluas dan jumlah kasus
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, ber-jangkitnya
DBD terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah kasus
DBD secara nasional pada tahun 2000 sampai 2012 terus
meningkat, namun CFR cenderung menurun. Angka kesakitan
dan kematian (CFR) pada tahun 2000,2005 dan\ 2006 berturutturut 33.443 dengan 472 kematian (CFR = 1,41%), 80.837
penderitadengankematian 1.099 (CFR=1,35%) dan 111.730
penderita dengan jumlah kematian 1.162 (CFR= 1,04%)7
Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa angka CFR
sanapai dengan tahun 2012 masih di atas standar nasional
yaitu <1%.
Patofisiologi Demam Dengue
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi
tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di
dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag.
Viremiaterjadi selama 2 hari sebejutimbul gejala dan berakhir
setelah lima hari pada saat gejala panas muncul. Makrofag
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue
akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya. Makrofag berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Airagen yang menempel di makrofag ini lain
mengaktifasi sel T-Helper (Th tipe 2) yang menurunkan
imunitasseluler sebagai akibat dari peran sitokin IL6, IL10IL13
dan IL18 dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih
banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus,
juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Rangkaian proses tersebut menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik
seperti demani, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya,
manifetasi perdarahan terjadi karena aggregasi trombosit
yang menyebabkan trombositopenia. Sedangkan peran Thelper (Th tipe 1 (IL2, IFN-y dan TNF-) dapat memberikan
prognosis yang baik karena terjadi immunitas sekunder
dominan.
Gambar 1. Sistimatika imun cellulair yang menstimuli
imun humoral dan eosinophil. (Buku Ivanroith)
Patogenesis DHF dan DSS
Komplemen ialah suatu sistem dalam sirkulasi darah
yang terdiri dari 11 komponen protein dan beredar dalam
bentuk tidak aktif serta labil terhadap suhu panas. Komplemen
bukanlah suatu antibodi, tetapi merupakan pelengkap
antibodi dalam suatu reaksi imun. Agar sistem komplemen
dapat berfungsi, maka seluruh komponennya harus
diaktifkan terlebih dahulu. Bila komponen pertama telah diikat
atau difiksasi oleh suatu kompleks antigen-antibodi, maka
komponen pertama segera menjadi aktif dan selanjutnya
kompleks itu dapat mengaktifkan komponen-komponen lain
secara teratur dan berurutan hingga C9. Hasil terakhir aktivasi
itu ialah rusaknya membran sel, sedangkan selama
berlangsungnya proses itu, pada tingkat-tingkat tertentu,
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
terjadi pelepasan beberapa fragmen komponen yang
mempunyai efek biologis penting.
Penyelidikan sistem komplemen mengungkapkan
keterangan lebih jelas mengenai mekanisme DHF dan DSS.
Terjadinya aktivasi sistem komplemen dan konsumsi Co dapat
dibuktikan, baik pada DHF primer maupun sekunder (WHO,
1973). Adanya kompleks imun diduga didasarkan atas
ditemukannya pada waktu bersamaan virus dengue dan
antibodi dalam serum penderita, di samping itu ditunjang
juga oleh adanya konsumsi C1 dan ditemukannya IgG, antigen dengue serta deposit C3 dalam ginjal penderita pada masa
konvalesen. Adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada penderita DHF derajat
ringan maupun berat. Metode yang digunakannya ialah PEG
(polyethylene glycol) method, inhibition IgG coated latex
agglutination method dan raft cell immunofluoresence
method. Menurunnya kadar komplemen pada penderita DHF
terutama melibatkan C3, C3, praaktivator, C4 dan C5. Kadar
komplemen dalam serum ternyata menurun sejajar dengan
berat penyakit. Akibat aktivasi “komplemen ialah dilepaskannya peptida dengan betat molekul rendah, yaitu
anafilatoksin C3a dan C5a berturut-turut akibat aktivasi C3 dan
C5. Kedua peptida ini berdaya untuk membebaskan histamin,
dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan berperan dalam
terjadinya renjatan. Bukti yang memperkuat adanya anafilatoksin ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat
dalam urin 24 jam penderita DHF. Penyelidikan lebih jauh
membuktikan bahwa pada penderita DSS konsentrasi C3
menurun sebanyak 33% dan C5 89%. Dengan demikian, dapat
dibayangkan jumlah anafilatoksin yang dibebaskan pada
masa renjatan. Walaupun plasma mengandung inaktivator
ampuh terhadap kedua peptida itu, agaknya peranan dalam
proses terjadinya renjatan ialah mendahului inaktivasi (WHO,
1973). Bukti bahwa anafilatoksin ini secara cepat .diinaktivasi
dan menghilang dari sirkulasi ialah penyembuhan dramatis
seorang penderita ren-jatan apabila ditanggulangi secara
adekuat.
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan the secondary heterologous infec-tion hypothesis dapat dilihat pada
gambar 4 yang dicoba dirumuskan oleh Suvatte (1977). Akibat
infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang
rendah, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
iransformasi limfosit imun dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus-antibody complex) yang selanjutnya akan mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel
579
Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue
dinding itu. Pada penderita dengan renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24-28 jam. Renjatan yang tidak
dltanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksi
jaringan, asidosis metabolik, dan kematian.
oleh karena itu proses ini memerlukan waktu yang relatif lama,
paling cepat memerlukan waktu 4 hari sampai jumlah sel
memenuhi untuk dilakukan uji IF AT. Sehingga untuk
identifikasi hasil kultur, saat ini lebih banyak dilakukan uji RTPCR, dibandingkan IF AT prosedur uji hanya memerlukan
waktu 1 hari. Tetapi uji diatas biasanya diper-lukan untuk
studi dasar virologi, sudi epidemiologi molekuler atau untuk
mempelajari patogenesis infeksi virus dengue. Untuk
pemeriksaan rutin saat ini dilakukan isolasi dan kultur virus
dengue yang berasal dari serum atau plasma akut penderita
DBD, dengan menggunakan galur sel C6/36.12-14
Uji Serologi
Tujuan dari uji serologi adalah usaha untuk menemukan
atau identifikasi virus penyebab atau jejak yang ditinggalkan
virus dengue didalam serum atau plasma penderita DBD.
Metode yang dikembangkan untuk uji serologi pada umumnya
dengan memanfaatkan reaksi antigen antibodi, hasil akhir dari
uji serologi tergantung target yang akan diidentifikasi.
Gambar 2. Patogenesis Terjadinya Renjatan pada DHF dan
DSS. (Buku Sumarno Hadiprodjo)
Diagnosa
Gejala yang ditunjukkan pada infeksi DBD sangat
beragam dan tidak spesifik, mulai darigejala demam ringan
seperti gejala flu pada umumnya (dengue fever; demam 3
sampai 5 hari, salat kepala dansebagainyadan gejala ini
biasanya dapat sembuh dengan sendirinya; sampaidengan
gejala berat Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock
Syndrome (DHF/DSS), yang diawali dengan.gejala seperti
DF tetapi diikuti dengan meningkatnya permeabilitas system taskularisas dan diikuti dengan perdarah; keadaan ini
seringkali diakhiri dengan kematian gejala yang tidak spesifik
dari DBD mirip dengan demam seperti pada infeksi lain
(In-fluenza, Chikungunya, demam Typhoid ) sehingga bila
diagnosa DBD hanya ditegakkan dengan gejala klinis saja
sangat tidak bisa dipercaya, diperlukan dukungan uji
laboratorium untuk kepastian penyebab.10,11
lsolasi dan Identifikasi Virus DBD
Kultur virus dari isolat dari nyamuk masih merupakan
uji andalan, metode ini memerlukan proses lanjut yaitu
identifikasi virus dengan menggunakan: antibody (IFAT),
580
1. Deteksi Antigen Virus Dengue
Virus dengue adalah virus RNA yang berpolaritas
positif, 15 yang terdiri dari 3 struktur gen protein yang
mengkode nucleocapsid atau protein cor (C), membrane-associated protein (M), envelope protein (E) dan gen pro-tein
yang menyandi 7 nomtructural protein (NS). Urutan gen
tersebut seperti pada flavivirus pada umumnya, yaitu 5'-CprM(M)-E-NSl-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B~NS5-3'.16,17
Uji serologi yang sudah dikembangkan seperti ELISA,
uji dot blot, adalah untuk mendeteksi antigen E/M18 dan NS
119,20 Deteksi antigen tersebut dengan menggunakan antibodi
monoklonal yang dikembangkan secara khusus dan spesifik
untuk antigen E/M atau NS 1. Dari penelitian yang dilakukan
antigen NS1 berpotensi untuk digunakan sebagai target
penentu seseorang terinfeksi atau tidak terinfeksi oleh virus
dengue. NS 1 disekresi oleh sel yang terinfeksi virus dengue
dan bersirkulasi dalam darah penderita demam berdarah fa
akut,21 dapat dideteksi pada hari I sampai hari 9 padasaat
onset demam baik pada infeksi primer maupun sekunder, oleh
karena itu deteksi NS1 merupakan pendekatan dalam
pengembangan diagnosa DBD. Kelemahan pada deteksi antigen adalah hadirnya IgG anti virus dengue pada penderita
DBD sekunder dapat mempengarahi hasil akhir, sebagian dari
antigen target yang ada dalam sera atau plasma penderita
sudah dalam bentuk ikatan dengan IgG spesifik terhadap
antigen target virus dengue, dan menyebabkan berkurangnya
jumlah antigen bebas, hal ini dapat me-nurunkan sensitifitas
uji.19,20
2. Deteksi Antibodi Anti Virus Dengue
Disamping deteksi antigen, untuk mengetahui seseorang
terinfeksi atau tidak terinfeksi virus dengue, dapat dilakukan
juga dengan deteksi antibodi anti virus dengue. Beberapa
metode yang sudah dikembangkan antara lain, uji HI, uji
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue
neutralisasi, uji IF AT (Immuno Fluorescent Antibodi Test),
ELISA (Enzyme Link Immunosorbent Assay), Complement
fixation, dot blotting, western blotting dan rapid immunochromatography test.I8 Diantara uji tersebut diatas uji HI
dan ELISA adalah umum dipakai untuk konfirmasi infeksi
vi-rus dengue, dengan alasan kemudahan operasional saat
ini sudah tersedia beberapa merek komersial perangkat
deteksi antibodi dengan rapid immunochromatography test.
Uji HI (Hemaglutination Inhibition) adalah deteksi ada
tidaknya hambatan ikatan antara hemagglutinin yang ada
pada dinding virus dengan reseptor yang ada pada dinding
sel darah merah angsa, uji ini sederhana, sensitif dan relatif
murah, karena dapat menggunakan reagen-reagen lokal.14
Tetapi pada uji ini memerlukan beberapa tahap penanganan
sampel untuk menghilangkan inhibitor dan aglutinin non
spesifik terlebih dahulu, disamping itu membutuhkan waktu
kurang lebih 24 jam dan membutuhkan 2 jenis sampel darah
fase akut dan konvalesen, yang diperoleh antara 1-2 minggu
setelah hari pertama demam. Uji HI dapat digunakan untuk
membedakan kejadian penderita dengan klasifikasi infeksi
primer atau sekunder; penderita dianggap positif bila terjadi
peningkatan titer antibodi sebanyak 4 kali atau lebih pada
sera fase konvalesen, pada infeksi primer titer antibodi kurang
dari 1:2560, dan pada penderita infeksi sekunder titer antibodi
1:2560 atau lebih.14 Deteksi antibodi anti dengue dengan uji
HI bersifat kuantitatif hanya mengetahui peningkatan titer
antibodi secara kuantitatif, tetapi tidak dapat untuk
mengetahui ada tidaknya IgM atau IgG anti-dengue. Dengan
adanya kekurangan-kekurangan tersebut, saat ini uji HI
menjadi kurang diminati.
Deteksi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen E/M
saat ini merupakan uji yang sering dipakai. Studi yang sudah
dilakukan untuk mempelajari dinamika kadar IgM dan IgG
spesifik anti virus dengue pada serum penderita DBD akut
dan konvalesen, dapat untuk memperkirakan seseorang
mengalami infeksi virus dengue primer atau sekunder.23,24
IgM anti virus dengue dapat dideteksi baik pada sera
penderita infeksi primer maupun sekunder, pemunculan IgM
) pada infeksi primer terjadi pada hari 3-5 onset sakit, kadar
tertinggi dapat dideteksi pada 2 minggu sesudahnya, dan
tidak dapat dideteksi lagi sekitar 2-3 bulan kemudian.19,23 Pada
infeksi sekunder meskipun menunjukkan dinamika yang sama
pada infeksi primer, namun kadarnya lebih rendah siknifikan
dibandingkan pada infeksi primer, pada saat kadar terendah
IgM (sekitar 2 bulan pasca infeksi) dapat dideteksi hanya
pada sekitar 30% penderita sekunder.14
Pada infeksi primer IgG muncul sekitar 2-3 bulan pasca
infeksi pada saat kadar IgM mulai rendah, pada infeksi
sekunder terjadi keadaan yang sebaliknya, kadar IgG meningkat dengan cepat sebelum IgM muncul atau bersamaan
waktunya dengan pemunculan IgM, dengan kadar yang jauh
lebih tinggi dibandingkan pada saat infeksi primer.14 Dari
pengamatan Pei-Yun Shu, pada 4 bulan pasca infeksi primer,
IgM dan IgG sudah tidak dapat dideteksi lagi, tetapi IgG
masih dapat dideteksi pada sera infeksi sekunder meskipun
setelah 10 bulan pasca infeksi.18 Selanjutnya dikatakan,
dengan kenyataan diatas, mengindikasikanbahwa IgM
berhubungan erat dengan kejadian infeksi baru demam
berdarah dengue (infeksi primer), pada uji pasangan sera (fase
akut dan fase konvalesen) peningkatan IgM dan atau IgG
spesifik terhadap virus dengue (antigen E/M) akan terlihat 4
kali lebih tinggi pada sera fase konvalesen diban-dingkan
pada sera fase akut penderita demam.
Deteksi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen dari virus dengue, dilakukan dengan ELISA (Enzyme Link
Immunosorbent Assay), IgM atau IgG spesifik penderita
positif dengue (antibodi 1) akan berikatan dengan antigen
concentrate dengue 1-4 yang ada pada pelarut antigen, ikatan
IgM atau IgG dengan antigen spesifik tersebut kemudian
akan berikatan dengan anti-human IgM atau IgG (antibodi 2)
yang ada pada permukaan polystyrene sumur micro plate,
yang telah di label dengan enzim peroxidase, sehingga akan
terbentuk ikatan sandwich (antigen - antibodi 1 - antibodi
2speroxidase), dengan penambahan substrat maka akan
terjadi perubahan warna yang disebabkan reaksi substrat
dengan enzim peroxidase. Kekuatan warna akan dibaca
dengan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm
dengan menggunakan penapis cahaya 600-650 nm. Pada
penderita negatif tidak akan terjadi ikatan antara antibodi 1
dengan antigen concentrate dengue serotipe 1-4, sehingga
tidak akan terbentuk ikatan sandwich, sehingga meskipun
ada penambahan substrat maka tidak akan terjadi perubahan
warna. Antigen E/M pada uji ELISA diisolasi melalui
kulturisasi dan dimuraikan dengan menggunakan antibodi
monoklonal seperti pada teknik hibridoma.25
Untuk membedakan kejadian infeksi primer atau
sekunder Innis membuat klisifikasi, apabila pada uji ELISA
rasio kadar IgM/IgG tinggi (IgM lebih tinggi dibandingkan
IgG) adalah merupakan indikasi infeksi primer; dan bila rasio
kadar IgM/IgG rendah (IgM lebih rendah dibandingkan IgG)
Tabel 1. Kisaran Sensitifitas, Spesifisitas, Nilai Duga Positif, Nilai Duga Negatif dan Akurasi Beberapa
Immunochromatographic Test untuk Menentukan Positif atau Negative Penderita DBD
(Serotype Dengue-1, Dengue-2 Dengue-3) pada Sampel Akut
Dengue-1
Dengue-2
Dengue-3
Sensi tifi tas
Spesifisitas
92,9-95,7%
98,2-100%
76,9-92,15%
67,8-78,5%
48,8-53,4%
37,5-77,7%
NDP (nilai duga positif)
88-91,9%
48,8-53,4%
60-95,2%
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
NDN (nilai duga negatif)
79,16-88%
95,8-100%
36,8-84%
Akurasi
85,8-90,9%
77,7-78,8%
63,6-77,05%
581
Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue
adalah indikasi infeksi sekunder (24). Pei mempertajam
indikator tersebut, yaitu bila rasio IgM/IgG >1,2 atau <1,2
masing-masing adalah indikasi kejadian infeksi primer atau
sekunder.18
Untuk para klinisi kejadian infeksi primer atau sekunder
penderita DBD tidak terlalu berpengaruh terhadap tindakan
yang diambil, bagi para klinisi lebih diperlukan informasi
bahwa penderita adalah positif demam berdarah atau tidak,
karena tindakan yang akan diambil adalah untuk mencegah
kejadian fatal. Informasi kejadian infeksi primer atau sekunder
lebih memberikan informasi tentang situasi epidemiologi di
daerahdimana penderita ditemukan.
3. Diagnosa Cepat DBD
Persyaratan uji ELISA masih dfrasakan terlalu rumit,
karena harus dilakukan di tempat yang khusus (laboratorium
serologi), memerlukan reagen dan peralatan khusus. Dengan
alasan kemudahan, sederhaira dan cepat, saat ini sudah
dikembangkan rapid Diagnostic Test (tes cepat) untuk DBD.
Rapid Diagnostic Test (Immunochromatograpchic test)
untukdengue merupakan salah satu cara yang praktis untuk
deteksi antibodi (IgM dan IgG) anti dengue, pada serum akut
dan tidak memerlukan pasangan sera fase akut dan
konvalesen. Alat ini merupakan pengembangan uji ELISA,
bedanya dengan ELISA adalah ikatan sandwich (antigenantibodi 1 -antibodi 2=peroxidase) terjadi in situ diatas kertas
strip nitroselulose, dan perubahan warna yang terjadi dapat
dilihat dengan niata biasa, tidak memerlukan alat bantu baca
khusus; alat ini lebih mudah, lebih cepat dibandingkan
ELISA, dan dapat dilakukan pada semua situasi dan tempat.
Sebagian besar dari immunochromatographic test adalah
deteksi IgM dan IgG anti virus dengue didalara serum, plasma
atau darah penderita DBD dalam 5-30 menit. Dapat
dideteksinya IgM dan IgG secara simultan, atau sendirisendiri, dapat di-simpulkan sebagai kejadian infeksi sekunder
atau primer,26 sehingga alat ini lebih tepat digunakan untuk
para klinisi.
Saat ini banyak merek komersial yang tersedia, dari uji
validitas yang sudah dilakukan pada 3 merek rdt untuk
menentukan penderita positif atau negatif DBD menunjukkan
hasil sebagai berikut; untuk serotipe Den-1, sensitifitas
berkisar 92,9-95,7%, spesifisitas berkisar 67,8-78,5%, nilai
duga positif berkisar 88-91,9%, nilai duga negatif berkisar
79,16%-88%danakurasi berkisar 85,8-90,9% (tabel 1).
Untuk serotipe Den-2, sensitifitas berkisar 98,2% -100%,
spesifisitas berkisar 48,8%-53,4%, nilai duga positif berkisar
71,8-73,3%, nilai duga negatif berkisar 95,8-100% danakurasi
berkisar 77,7-78,8% (tabel I).26
Untuk serotipe Den-3 sensitifitas berkisar 76,9 -92,15%,
spesifisitas berkisar 37,5-77,7%, nilai duga positif berkisar
60-95,2%, nilai duga negatif heddsar 36,8-4% dan akurasi
berkisar 63,6-77,05% (tabel l)
Kebanyakan uji validitas yang dilakukan mengacu pada
hasil uji HI, dimana prinsip pada uji HI dan immunochro-
582
matographic test berbeda, hal yang membedakan
Immunochromatograpchic test dengan uji HI adalah antigen yang :embangkan pada inimunochromatographicjest
adalah spesifik dan telah dimurnikan untuk serotipe De-1,
Den-2, Den-3 dan Den-4, dilain pihak antigen pada HI adalah
crude antigen yang tidak dimurnikan, meskipun kita ketahui
bahwa antigen untuk immunochromatographic test dan HI
sama-sama berasal dari bagian envelope virus. Dengan
demikian epitop sasaran pada uji HI berbeda dengan epitop
pada uji Immunochromatograpchic test disamping itu
antibodi targetuntuk HTadalah semua kelas, sedangkan
Immunochromatograpchic test hanya untuk kelas IgM dan
IgG26 dengan demikian bisa dimengerti apabila immunochromatographic test menunjukkan sensitifitas yang tinggi.
Rendahnya spesifisitas berhubungan dengan kesalahan
negatif palsu yang disebabkan karena pada saat pengambilan
darah dilakukan antibodi masih rendah, sehingga tidak cukup
banyak untuk ditangkap antigen seperti kita ketahui pada
Immunochromatograpchic test meng-gunakan sera plasma
ataudarah fase akut; sedangkan pada uji HI keputusan positif
atau negatif dengan melihat peningkatan kadar antibodi sera
konvaleserk.
Rangkuman
Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah,
kasus kematian pada DBD terutama terjadi pada kasus
Den-gue Hernorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Kejadian DHF dan DSS terutama disebabkan
oleh perubahan sistem respon imun, Produksi sitokin seperti
IL-1, IL-6, IL-10, IL-13 danIL-18 dan TNF alpha, “Platelet
Activating Faktor” (PAF), dapat menyebabkan kebocoran
dinding pembuluh darah, merembesnya cairan,plasanake
jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotce
pembuluh dan dapat mengakibatkan syok. Disamping itu
kompleks virus DEN-IgG dapat merangsang komplemen, yang
bersifat vasoaktif dan prokoagulan dapat menimbulkan
kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Diagnosis DBD bila hanya ditegakkan dengan gejala
klinis saja hasilnya tidak bisa dipercaya, karena gejala demam
pada awal infeksi sulit dibedakan dengan gdaTaxdemam
lainnya, seperti demam influensa, chikungunya sehingga
diperlukan dukungan uji laboratorium untuk kepastian
penyebab.
Isolasi dan identifikasi Virus DBD dari isolat nyamuk
memerlukan waktu yang relatif lama, dan isolasi virus
biasanya diperlukan untuk studi dasar virologi, sudi
epidemiologi molekuler atau untuk mempelajari patogenesis
infeksi virus dengue. Untuk pemeriksaan rutin saat
inidilakukan isolasi dan kultur virus dengue yang berasal
dari serum atau plasma akut penderita DBD dengan
menggunakan galur sel C6/36. Metode yang dikembangkan
untuk uji serologi pada umumnya dengan memanfaatkan
reaksi anti-gen antibodi, hasil akhir dari uji serologi tergantung
target yang akan diidentifikasi. Uji serologi yang sudah
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue
dikembangkan untuk deteksi NS1 merupakan pendekatan
terbaru dalam pengembangan diagnosa DBD, dari hasil
penelitian yang sudah dilakukan antigen NS1 berpotensi
untuk digunakan sebagai target penentu seseorang terinfeksi
atau tidak terinfeksi oleh virus dengue. Disamping deteksi
antigen, untuk mengetahui seseorang terinfeksi atau tidak
terinfeksi virus dengue, juga dapat dilakukan dengan deteksi
antibodi anti virus dengue. Diantara uji tersebut diatas uji
Fff dan ELISA adalah umum dipakai untuk konfirmasi infeksi
virus dengue. Saat ini sudah tersedia beberapa merek
komersial rapid diagnostic test (RDT), dengan metode dasar
immunochromatography. RDT merupakan salah satu cara
yang praktis untuk deleksi antibodi (IgM dan IgG) anti denserum akut dan tidak memerlukan pasangan sera akut dan
konvalesen sehingga alat ini lebih tepat digunakan untuk
para klinisi dalam menetukan positif atau negatif penderita
DBD. Dari hasil uji validasi untuk menentukan positif dan
negatif penderita DBD, RDT menunjukkan sensitifitas yang
tinggi namun kurang spesifik. Rendahnya spesifisitas
kemungkinan berhubungan dengan kesalahan negatif palsu
yang disebabkan karena pada saat pengambilan darah
dilakukan antibodi masih rendah.
Daftar Pustaka
1.
Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, 2012.
2. Gubler, DJ. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin.Microbiol.
Rev. 1998.11:480-496.
3. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue an escalating problem. BMJ .
2002.324:1563-1566
4. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control, 2 nd ed. World Health
Organization, Geneva, Switzerland. 2010.
5. Kautner, Ingrid, Robinson, Max MD; Kuhnle, Ursula MD. I/
“Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical
presentation, diagnosis, and prevention.” The Journal of Pediatrics. Vol 131(4), October 1997. p. 516-524.
6. Rigau-Perez, et al. “Dengue and dengue haemorrhagic fever”The
Lancet. Vol 352, Sept. 1998. p. 971-977.
7. Dirjen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Departemen Kesehatan RL “Rapat kerja Pemberantasan Penyakit
Bersumber Binatang.” 2012.
8. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W, Soegijanto S,
Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa “N
dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika. 2002.
9. Soegijanto S. “Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi
Virus Dengue”, http://www.pediatrik.com/buletin. 2006.
10. Burke DSA, Nisalak DE. Johnson, Scott RM. A V I prospective
study of dengue infections in Bangkok. Am. J. Trop.Med. Hyg.
1988.38:172-180.
11. Endy, TPS, Chunsuttiwat, A, Nisalak, DH. Libraty, S. Green, AL.
Rothman, Vaughn, DW. and Ennis, FA. Epidemi-ology of inapparent and symptomatic acute dengue virus infection: a prospective study of primary school children in Kamphaeng Phet,
Thailand. Am. J. Epidemiol. 2002.156:40-51.
J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
12. Gentry MK, Henchal EA, McCown JM, WE. Brandt, WE and,
Dalrymple JM. Identification of distinct determinantson dengue-2 virus using monoclonal antibodies. Am. J. Trop: Med. Hyg.
1982.31:548-555.
13. Henchal EA, McCown J M. Seguin MC, Gentry, MK and Brandt.
WE. Rapid identification of dengue virus isolates by using monoclonal antibodies in an indirect immunofluores-cence assay. Am.
J. Trop. Med. Hyg. 1983.32:164-169.
14. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control, 2nd ed. World Health
Organization, Geneva, Switzerland. 2010.
15. Muhareva Raekiansyah; “Belajar dari Wabah Virus Dengue”, http:/
/mikrobia.wordpress. Com.
16. Leyssen PED. Clercq, Neyts J. Perspectives for the treatment of
infections with Flaviviridae. Clin. Microbiol.Rev. 2011.13:6782.
17. Patarapotikul JS. Pothipunya, Wanotayan R. Hongyantarachai
A, Tharavanij, S. Western blot analysis of antigens specifically
recognized by natural immune responses of patients with Japanese encephalitis infections. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 1993.24:269-276.
18. Pei-Yun Shu, Jyh-Hsiung Huang, “Current Advances in Den-gue
Diagnosis”, Clinical and Diagnostic Laboratory Immunol-ogy,
2004,11:4 (642-650).
19. Alcon S, Talarmin A, Debruyne M, Falconar A, Deubel V, Flamand
M. Enzyme-linked immunosorbent assay to den-gue virus type 1
nonstructural protein NS1 reveals circulation of the antigen in
the blood during the acute phase of disease in patients experiencing primary or secondary infections. J. Clin.Microbiol.
2002.40:376-381.
20. Koraka, P. Murgue, B. Deparis, X.Setiati, TE. Suharti, C. van
Gorp, EC. Hack, CEA. Osterhaus, D. and Groen, J. Elevated
levels of total and dengue virus-specific immunoglobu-lin E in
patients with varying disease severity. J. Med. Virol. 2003.70:9198.
21. Kumarasamy V, Abdul Wahab AH, Chua SK, Hassan Z, Chem
YK, Mohamad M, Chua KB. “ Evaluation of commercial den-gue
NS1 antigen-capture ELISA for laboratory diagnosis of acute
dengue virus infection”; Journal of Virological Methods.virmet2010.10136.
22. Platelia™ Dengue NS1 AG. Qualitative Or Semi-Quantitative
Detection of Dengue Virus NS 1 Antigen In Human serum Or
Plasma By Enzyme Immunoassay (BIO-RAD)
23. Innis BL, Nisalak A, Nimmannitya S, Kusalerdchariya S,
Chongswasdi V, Suntayakom S, Puttisri P, Hoke CH. An enzymelinked immunosorbent assay to characterize dengue infections
where dengue and Japanese encephalitis co-circulate. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 1989.40:418-427.
24. Shu PY, Chang SF, Kuo YC, Yueh YY, Chien LJ, Sue CL, Lin TH,
Huang. JH. Development of group-and serotype-specific onestep SYBR Green I-based real-time reverse transcription-PCR
assay for dengue virus. J. Clin. Microbiol. 2003.41:2408-2416.
25. Basundari SU. RDT (Rapid Diagnostic Test) sebagai Alat Diagnosa
Malaria. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. XIV
(3): 2004.
26. Novriani H. Dengue IgG/Ig M Antibodi Rapid Test (IR-113c)
Sebagai Perangkat Diagnostik Cepat Demam Berdarah Dengue.
Tahun 2013.
Soal PKB Uji Diri ada pada Redaksi, silahkan sampaikan komentar
Sejawat
583
Download