Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue Harli Novriani, Fitriana Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta Abstrak Di Indonesia penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak tahun 1986 penyebarannya cenderung meluas danjumlah kasus cenderung meningkat dari tahun ke tahun terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah kasus DBD secara nasional sampai 2012 menunjukkan peningkatan namun CFR cenderung menurun.Angka kematian (CFR) pada tahun 2012 masih di atas standar nasional yaitu >1%. Immunopatofisiology Minis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag yang berfungsi sebagaiAPC (Antigen Presenting Cell). Peristiwa pagositosis ini akan memicu aktifasi sel limfosit T-helper (Th tipe 2) yang menurunkan imunitas seluler sebagai akibat dari peran sitokin IL6, IL10 IL13 dan IL18, T-sitotoksik dan limfosit B sehingga menimbulkan serangkaian proses imunologi. Rangkaian proses tersebut menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya, manifetasi perdarahan terjadi karena aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia. Sedangkan peran T-helper (Th tipe 1 (IL2, IFN-ydan TNF-) dapat memberikan prognosis yang baik karena terjadi immunitas selular dominan dalam disease resistant state). Limfosit B merangsang antibodi yang muncul adalah IgG dan IgM, diagnosa dini infeksi primer dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi lgM setelah hari sakit kelima dan diagnosis infeksi/sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM. Diagnosa DBD bila ditegakkan dengan gejala klinis saja hasilnya sangat tidah bisa dipercaya. Peran Komplement C1 sampai dengan C9 mempunyai pengaruh besar terjadinya DHF ke DSS, oleh karena itu diperlukan dukungan uji laboratorium untuk kepastian penyebab. Diagnosa DBD dapat ditegakkan dengan beberapa cara yaitu, isolasi dan identifikasi virus DBD, beberapa uji serologi yaitu medeteksi antigen virus dengue, deteksi antibodi anti virus dengue yang masing-masing mempunyai, keunggulan dan kekurangan. Kata kunci: IL: interleukin, Th: sel T helper, Tc: sel T cytotoksik. Korespondensi: Harli Novriani E-mail: [email protected] J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 577 Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue Immunopatofisiologi at Clinical Dignosis Dengue Haemorhagic Fever Harli Novriani National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health Republic of Indonesia, Jakarta Abstract In Indonesia, there are 4 dengue serotypes (Dengue-1, Dengue-2, dengue-3 and Dengue4) which have been identifiedr Since 1986 the incidence was increasing especially in urban area like I Jakarta. In 2011, though the morbidity was increased, the CFR was decreased. How ever, the CFR is stilt-higher than the national control program target which is <1%. Immunopatofisiologi of dengue fever occurred as a response of the immune system against the viral infections. When the virus mutate and circulate in the blood, the macrophages which function is an Antigen Presenting Cell (APC). The phagocytosis will trigger the activation ofT-helper (Th tipe 2) response release several celular imunity sitokin IL6, IL10 IL13 dan IL18 lymphocyte cells, cytotoxic T-Cell and lymphocytes-B cells. These responses release several types of mediators which rigger systemic sign like fever, muscle and/or joint pain, malaise, and another sign like hemorhagic manifestation is due to the aggregation of thrombocytes which cause a thrombocytopenila. . Manifestation Thelper (Th tipe 1 (IL2, IFN-y dan TNF-) can be better because the imunity celular dominant disease resistant state. Limfosit B of antibodies which play role in dengue infections are IgG and IgM. In patients with primary dengue infections, Complement C1 until C9 have been detected DHF to DSS, the IgM antibodies develop rapidly and can be detected in day 5 of the illness. Clinical diagnosis should be confirmed with laboratory examination such”as viral isolation and identifications, and serology detect the antigen or antibody of the dengue virus. Each diagnosis techniques have advantages and disaavantages. Keywords: IL: interleukin, Th: sel T helper, Tc: sel T cytotoksik Pendahuluan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus kelompok Flavivirus, yang ditularkan melalui nyamuk (Aedes aegypti dan Aedes albopictus), virus ini terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis dan tersebar di dunia.Sampai saat ini dikenal 4 serotipe virus dengue (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam kelompok Arthropode Borne Virus. Ke 4 serotipe ini ada di Indonesia.1 Pada saat ini DBD menjadi endemis pada lebih dari 100 negara-negara di Afrika, Amerika, Mediterania tiniur, Asia Tenggara, dan pajak barat, dan merupakan ancaman bagi lebih dari 2,5 milyar orang.2 WHO memperkirakan kemungkinan terjadi infeksi DBD pada 50 juta sampai 100 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, dimana 250.000 sampai 500.000 merupakan kasus DHF dengan kematian sebanyak 24.000 orang setiap tahun.3,4 Kasus kematian pada DBD terutama terjadi pada kasus Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Disebutkan bahwa penderita dengan DHF angka mortality rate sebesar 5%, bila penderita dengan DSS angka mortality rate sebesar 40%.6 578 Di Indonesia penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah, sejak tahun 1986 penyakit ini penyebarannya cenderung meluas dan jumlah kasus cenderung meningkat dari tahun ke tahun, ber-jangkitnya DBD terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah kasus DBD secara nasional pada tahun 2000 sampai 2012 terus meningkat, namun CFR cenderung menurun. Angka kesakitan dan kematian (CFR) pada tahun 2000,2005 dan\ 2006 berturutturut 33.443 dengan 472 kematian (CFR = 1,41%), 80.837 penderitadengankematian 1.099 (CFR=1,35%) dan 111.730 penderita dengan jumlah kematian 1.162 (CFR= 1,04%)7 Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa angka CFR sanapai dengan tahun 2012 masih di atas standar nasional yaitu <1%. Patofisiologi Demam Dengue Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Viremiaterjadi selama 2 hari sebejutimbul gejala dan berakhir setelah lima hari pada saat gejala panas muncul. Makrofag J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya. Makrofag berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Airagen yang menempel di makrofag ini lain mengaktifasi sel T-Helper (Th tipe 2) yang menurunkan imunitasseluler sebagai akibat dari peran sitokin IL6, IL10IL13 dan IL18 dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus, juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Rangkaian proses tersebut menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demani, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya, manifetasi perdarahan terjadi karena aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia. Sedangkan peran Thelper (Th tipe 1 (IL2, IFN-y dan TNF-) dapat memberikan prognosis yang baik karena terjadi immunitas sekunder dominan. Gambar 1. Sistimatika imun cellulair yang menstimuli imun humoral dan eosinophil. (Buku Ivanroith) Patogenesis DHF dan DSS Komplemen ialah suatu sistem dalam sirkulasi darah yang terdiri dari 11 komponen protein dan beredar dalam bentuk tidak aktif serta labil terhadap suhu panas. Komplemen bukanlah suatu antibodi, tetapi merupakan pelengkap antibodi dalam suatu reaksi imun. Agar sistem komplemen dapat berfungsi, maka seluruh komponennya harus diaktifkan terlebih dahulu. Bila komponen pertama telah diikat atau difiksasi oleh suatu kompleks antigen-antibodi, maka komponen pertama segera menjadi aktif dan selanjutnya kompleks itu dapat mengaktifkan komponen-komponen lain secara teratur dan berurutan hingga C9. Hasil terakhir aktivasi itu ialah rusaknya membran sel, sedangkan selama berlangsungnya proses itu, pada tingkat-tingkat tertentu, J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 terjadi pelepasan beberapa fragmen komponen yang mempunyai efek biologis penting. Penyelidikan sistem komplemen mengungkapkan keterangan lebih jelas mengenai mekanisme DHF dan DSS. Terjadinya aktivasi sistem komplemen dan konsumsi Co dapat dibuktikan, baik pada DHF primer maupun sekunder (WHO, 1973). Adanya kompleks imun diduga didasarkan atas ditemukannya pada waktu bersamaan virus dengue dan antibodi dalam serum penderita, di samping itu ditunjang juga oleh adanya konsumsi C1 dan ditemukannya IgG, antigen dengue serta deposit C3 dalam ginjal penderita pada masa konvalesen. Adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada penderita DHF derajat ringan maupun berat. Metode yang digunakannya ialah PEG (polyethylene glycol) method, inhibition IgG coated latex agglutination method dan raft cell immunofluoresence method. Menurunnya kadar komplemen pada penderita DHF terutama melibatkan C3, C3, praaktivator, C4 dan C5. Kadar komplemen dalam serum ternyata menurun sejajar dengan berat penyakit. Akibat aktivasi “komplemen ialah dilepaskannya peptida dengan betat molekul rendah, yaitu anafilatoksin C3a dan C5a berturut-turut akibat aktivasi C3 dan C5. Kedua peptida ini berdaya untuk membebaskan histamin, dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan berperan dalam terjadinya renjatan. Bukti yang memperkuat adanya anafilatoksin ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam penderita DHF. Penyelidikan lebih jauh membuktikan bahwa pada penderita DSS konsentrasi C3 menurun sebanyak 33% dan C5 89%. Dengan demikian, dapat dibayangkan jumlah anafilatoksin yang dibebaskan pada masa renjatan. Walaupun plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap kedua peptida itu, agaknya peranan dalam proses terjadinya renjatan ialah mendahului inaktivasi (WHO, 1973). Bukti bahwa anafilatoksin ini secara cepat .diinaktivasi dan menghilang dari sirkulasi ialah penyembuhan dramatis seorang penderita ren-jatan apabila ditanggulangi secara adekuat. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan the secondary heterologous infec-tion hypothesis dapat dilihat pada gambar 4 yang dicoba dirumuskan oleh Suvatte (1977). Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan iransformasi limfosit imun dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus-antibody complex) yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel 579 Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue dinding itu. Pada penderita dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-28 jam. Renjatan yang tidak dltanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksi jaringan, asidosis metabolik, dan kematian. oleh karena itu proses ini memerlukan waktu yang relatif lama, paling cepat memerlukan waktu 4 hari sampai jumlah sel memenuhi untuk dilakukan uji IF AT. Sehingga untuk identifikasi hasil kultur, saat ini lebih banyak dilakukan uji RTPCR, dibandingkan IF AT prosedur uji hanya memerlukan waktu 1 hari. Tetapi uji diatas biasanya diper-lukan untuk studi dasar virologi, sudi epidemiologi molekuler atau untuk mempelajari patogenesis infeksi virus dengue. Untuk pemeriksaan rutin saat ini dilakukan isolasi dan kultur virus dengue yang berasal dari serum atau plasma akut penderita DBD, dengan menggunakan galur sel C6/36.12-14 Uji Serologi Tujuan dari uji serologi adalah usaha untuk menemukan atau identifikasi virus penyebab atau jejak yang ditinggalkan virus dengue didalam serum atau plasma penderita DBD. Metode yang dikembangkan untuk uji serologi pada umumnya dengan memanfaatkan reaksi antigen antibodi, hasil akhir dari uji serologi tergantung target yang akan diidentifikasi. Gambar 2. Patogenesis Terjadinya Renjatan pada DHF dan DSS. (Buku Sumarno Hadiprodjo) Diagnosa Gejala yang ditunjukkan pada infeksi DBD sangat beragam dan tidak spesifik, mulai darigejala demam ringan seperti gejala flu pada umumnya (dengue fever; demam 3 sampai 5 hari, salat kepala dansebagainyadan gejala ini biasanya dapat sembuh dengan sendirinya; sampaidengan gejala berat Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DHF/DSS), yang diawali dengan.gejala seperti DF tetapi diikuti dengan meningkatnya permeabilitas system taskularisas dan diikuti dengan perdarah; keadaan ini seringkali diakhiri dengan kematian gejala yang tidak spesifik dari DBD mirip dengan demam seperti pada infeksi lain (In-fluenza, Chikungunya, demam Typhoid ) sehingga bila diagnosa DBD hanya ditegakkan dengan gejala klinis saja sangat tidak bisa dipercaya, diperlukan dukungan uji laboratorium untuk kepastian penyebab.10,11 lsolasi dan Identifikasi Virus DBD Kultur virus dari isolat dari nyamuk masih merupakan uji andalan, metode ini memerlukan proses lanjut yaitu identifikasi virus dengan menggunakan: antibody (IFAT), 580 1. Deteksi Antigen Virus Dengue Virus dengue adalah virus RNA yang berpolaritas positif, 15 yang terdiri dari 3 struktur gen protein yang mengkode nucleocapsid atau protein cor (C), membrane-associated protein (M), envelope protein (E) dan gen pro-tein yang menyandi 7 nomtructural protein (NS). Urutan gen tersebut seperti pada flavivirus pada umumnya, yaitu 5'-CprM(M)-E-NSl-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B~NS5-3'.16,17 Uji serologi yang sudah dikembangkan seperti ELISA, uji dot blot, adalah untuk mendeteksi antigen E/M18 dan NS 119,20 Deteksi antigen tersebut dengan menggunakan antibodi monoklonal yang dikembangkan secara khusus dan spesifik untuk antigen E/M atau NS 1. Dari penelitian yang dilakukan antigen NS1 berpotensi untuk digunakan sebagai target penentu seseorang terinfeksi atau tidak terinfeksi oleh virus dengue. NS 1 disekresi oleh sel yang terinfeksi virus dengue dan bersirkulasi dalam darah penderita demam berdarah fa akut,21 dapat dideteksi pada hari I sampai hari 9 padasaat onset demam baik pada infeksi primer maupun sekunder, oleh karena itu deteksi NS1 merupakan pendekatan dalam pengembangan diagnosa DBD. Kelemahan pada deteksi antigen adalah hadirnya IgG anti virus dengue pada penderita DBD sekunder dapat mempengarahi hasil akhir, sebagian dari antigen target yang ada dalam sera atau plasma penderita sudah dalam bentuk ikatan dengan IgG spesifik terhadap antigen target virus dengue, dan menyebabkan berkurangnya jumlah antigen bebas, hal ini dapat me-nurunkan sensitifitas uji.19,20 2. Deteksi Antibodi Anti Virus Dengue Disamping deteksi antigen, untuk mengetahui seseorang terinfeksi atau tidak terinfeksi virus dengue, dapat dilakukan juga dengan deteksi antibodi anti virus dengue. Beberapa metode yang sudah dikembangkan antara lain, uji HI, uji J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue neutralisasi, uji IF AT (Immuno Fluorescent Antibodi Test), ELISA (Enzyme Link Immunosorbent Assay), Complement fixation, dot blotting, western blotting dan rapid immunochromatography test.I8 Diantara uji tersebut diatas uji HI dan ELISA adalah umum dipakai untuk konfirmasi infeksi vi-rus dengue, dengan alasan kemudahan operasional saat ini sudah tersedia beberapa merek komersial perangkat deteksi antibodi dengan rapid immunochromatography test. Uji HI (Hemaglutination Inhibition) adalah deteksi ada tidaknya hambatan ikatan antara hemagglutinin yang ada pada dinding virus dengan reseptor yang ada pada dinding sel darah merah angsa, uji ini sederhana, sensitif dan relatif murah, karena dapat menggunakan reagen-reagen lokal.14 Tetapi pada uji ini memerlukan beberapa tahap penanganan sampel untuk menghilangkan inhibitor dan aglutinin non spesifik terlebih dahulu, disamping itu membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam dan membutuhkan 2 jenis sampel darah fase akut dan konvalesen, yang diperoleh antara 1-2 minggu setelah hari pertama demam. Uji HI dapat digunakan untuk membedakan kejadian penderita dengan klasifikasi infeksi primer atau sekunder; penderita dianggap positif bila terjadi peningkatan titer antibodi sebanyak 4 kali atau lebih pada sera fase konvalesen, pada infeksi primer titer antibodi kurang dari 1:2560, dan pada penderita infeksi sekunder titer antibodi 1:2560 atau lebih.14 Deteksi antibodi anti dengue dengan uji HI bersifat kuantitatif hanya mengetahui peningkatan titer antibodi secara kuantitatif, tetapi tidak dapat untuk mengetahui ada tidaknya IgM atau IgG anti-dengue. Dengan adanya kekurangan-kekurangan tersebut, saat ini uji HI menjadi kurang diminati. Deteksi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen E/M saat ini merupakan uji yang sering dipakai. Studi yang sudah dilakukan untuk mempelajari dinamika kadar IgM dan IgG spesifik anti virus dengue pada serum penderita DBD akut dan konvalesen, dapat untuk memperkirakan seseorang mengalami infeksi virus dengue primer atau sekunder.23,24 IgM anti virus dengue dapat dideteksi baik pada sera penderita infeksi primer maupun sekunder, pemunculan IgM ) pada infeksi primer terjadi pada hari 3-5 onset sakit, kadar tertinggi dapat dideteksi pada 2 minggu sesudahnya, dan tidak dapat dideteksi lagi sekitar 2-3 bulan kemudian.19,23 Pada infeksi sekunder meskipun menunjukkan dinamika yang sama pada infeksi primer, namun kadarnya lebih rendah siknifikan dibandingkan pada infeksi primer, pada saat kadar terendah IgM (sekitar 2 bulan pasca infeksi) dapat dideteksi hanya pada sekitar 30% penderita sekunder.14 Pada infeksi primer IgG muncul sekitar 2-3 bulan pasca infeksi pada saat kadar IgM mulai rendah, pada infeksi sekunder terjadi keadaan yang sebaliknya, kadar IgG meningkat dengan cepat sebelum IgM muncul atau bersamaan waktunya dengan pemunculan IgM, dengan kadar yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada saat infeksi primer.14 Dari pengamatan Pei-Yun Shu, pada 4 bulan pasca infeksi primer, IgM dan IgG sudah tidak dapat dideteksi lagi, tetapi IgG masih dapat dideteksi pada sera infeksi sekunder meskipun setelah 10 bulan pasca infeksi.18 Selanjutnya dikatakan, dengan kenyataan diatas, mengindikasikanbahwa IgM berhubungan erat dengan kejadian infeksi baru demam berdarah dengue (infeksi primer), pada uji pasangan sera (fase akut dan fase konvalesen) peningkatan IgM dan atau IgG spesifik terhadap virus dengue (antigen E/M) akan terlihat 4 kali lebih tinggi pada sera fase konvalesen diban-dingkan pada sera fase akut penderita demam. Deteksi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen dari virus dengue, dilakukan dengan ELISA (Enzyme Link Immunosorbent Assay), IgM atau IgG spesifik penderita positif dengue (antibodi 1) akan berikatan dengan antigen concentrate dengue 1-4 yang ada pada pelarut antigen, ikatan IgM atau IgG dengan antigen spesifik tersebut kemudian akan berikatan dengan anti-human IgM atau IgG (antibodi 2) yang ada pada permukaan polystyrene sumur micro plate, yang telah di label dengan enzim peroxidase, sehingga akan terbentuk ikatan sandwich (antigen - antibodi 1 - antibodi 2speroxidase), dengan penambahan substrat maka akan terjadi perubahan warna yang disebabkan reaksi substrat dengan enzim peroxidase. Kekuatan warna akan dibaca dengan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dengan menggunakan penapis cahaya 600-650 nm. Pada penderita negatif tidak akan terjadi ikatan antara antibodi 1 dengan antigen concentrate dengue serotipe 1-4, sehingga tidak akan terbentuk ikatan sandwich, sehingga meskipun ada penambahan substrat maka tidak akan terjadi perubahan warna. Antigen E/M pada uji ELISA diisolasi melalui kulturisasi dan dimuraikan dengan menggunakan antibodi monoklonal seperti pada teknik hibridoma.25 Untuk membedakan kejadian infeksi primer atau sekunder Innis membuat klisifikasi, apabila pada uji ELISA rasio kadar IgM/IgG tinggi (IgM lebih tinggi dibandingkan IgG) adalah merupakan indikasi infeksi primer; dan bila rasio kadar IgM/IgG rendah (IgM lebih rendah dibandingkan IgG) Tabel 1. Kisaran Sensitifitas, Spesifisitas, Nilai Duga Positif, Nilai Duga Negatif dan Akurasi Beberapa Immunochromatographic Test untuk Menentukan Positif atau Negative Penderita DBD (Serotype Dengue-1, Dengue-2 Dengue-3) pada Sampel Akut Dengue-1 Dengue-2 Dengue-3 Sensi tifi tas Spesifisitas 92,9-95,7% 98,2-100% 76,9-92,15% 67,8-78,5% 48,8-53,4% 37,5-77,7% NDP (nilai duga positif) 88-91,9% 48,8-53,4% 60-95,2% J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 NDN (nilai duga negatif) 79,16-88% 95,8-100% 36,8-84% Akurasi 85,8-90,9% 77,7-78,8% 63,6-77,05% 581 Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue adalah indikasi infeksi sekunder (24). Pei mempertajam indikator tersebut, yaitu bila rasio IgM/IgG >1,2 atau <1,2 masing-masing adalah indikasi kejadian infeksi primer atau sekunder.18 Untuk para klinisi kejadian infeksi primer atau sekunder penderita DBD tidak terlalu berpengaruh terhadap tindakan yang diambil, bagi para klinisi lebih diperlukan informasi bahwa penderita adalah positif demam berdarah atau tidak, karena tindakan yang akan diambil adalah untuk mencegah kejadian fatal. Informasi kejadian infeksi primer atau sekunder lebih memberikan informasi tentang situasi epidemiologi di daerahdimana penderita ditemukan. 3. Diagnosa Cepat DBD Persyaratan uji ELISA masih dfrasakan terlalu rumit, karena harus dilakukan di tempat yang khusus (laboratorium serologi), memerlukan reagen dan peralatan khusus. Dengan alasan kemudahan, sederhaira dan cepat, saat ini sudah dikembangkan rapid Diagnostic Test (tes cepat) untuk DBD. Rapid Diagnostic Test (Immunochromatograpchic test) untukdengue merupakan salah satu cara yang praktis untuk deteksi antibodi (IgM dan IgG) anti dengue, pada serum akut dan tidak memerlukan pasangan sera fase akut dan konvalesen. Alat ini merupakan pengembangan uji ELISA, bedanya dengan ELISA adalah ikatan sandwich (antigenantibodi 1 -antibodi 2=peroxidase) terjadi in situ diatas kertas strip nitroselulose, dan perubahan warna yang terjadi dapat dilihat dengan niata biasa, tidak memerlukan alat bantu baca khusus; alat ini lebih mudah, lebih cepat dibandingkan ELISA, dan dapat dilakukan pada semua situasi dan tempat. Sebagian besar dari immunochromatographic test adalah deteksi IgM dan IgG anti virus dengue didalara serum, plasma atau darah penderita DBD dalam 5-30 menit. Dapat dideteksinya IgM dan IgG secara simultan, atau sendirisendiri, dapat di-simpulkan sebagai kejadian infeksi sekunder atau primer,26 sehingga alat ini lebih tepat digunakan untuk para klinisi. Saat ini banyak merek komersial yang tersedia, dari uji validitas yang sudah dilakukan pada 3 merek rdt untuk menentukan penderita positif atau negatif DBD menunjukkan hasil sebagai berikut; untuk serotipe Den-1, sensitifitas berkisar 92,9-95,7%, spesifisitas berkisar 67,8-78,5%, nilai duga positif berkisar 88-91,9%, nilai duga negatif berkisar 79,16%-88%danakurasi berkisar 85,8-90,9% (tabel 1). Untuk serotipe Den-2, sensitifitas berkisar 98,2% -100%, spesifisitas berkisar 48,8%-53,4%, nilai duga positif berkisar 71,8-73,3%, nilai duga negatif berkisar 95,8-100% danakurasi berkisar 77,7-78,8% (tabel I).26 Untuk serotipe Den-3 sensitifitas berkisar 76,9 -92,15%, spesifisitas berkisar 37,5-77,7%, nilai duga positif berkisar 60-95,2%, nilai duga negatif heddsar 36,8-4% dan akurasi berkisar 63,6-77,05% (tabel l) Kebanyakan uji validitas yang dilakukan mengacu pada hasil uji HI, dimana prinsip pada uji HI dan immunochro- 582 matographic test berbeda, hal yang membedakan Immunochromatograpchic test dengan uji HI adalah antigen yang :embangkan pada inimunochromatographicjest adalah spesifik dan telah dimurnikan untuk serotipe De-1, Den-2, Den-3 dan Den-4, dilain pihak antigen pada HI adalah crude antigen yang tidak dimurnikan, meskipun kita ketahui bahwa antigen untuk immunochromatographic test dan HI sama-sama berasal dari bagian envelope virus. Dengan demikian epitop sasaran pada uji HI berbeda dengan epitop pada uji Immunochromatograpchic test disamping itu antibodi targetuntuk HTadalah semua kelas, sedangkan Immunochromatograpchic test hanya untuk kelas IgM dan IgG26 dengan demikian bisa dimengerti apabila immunochromatographic test menunjukkan sensitifitas yang tinggi. Rendahnya spesifisitas berhubungan dengan kesalahan negatif palsu yang disebabkan karena pada saat pengambilan darah dilakukan antibodi masih rendah, sehingga tidak cukup banyak untuk ditangkap antigen seperti kita ketahui pada Immunochromatograpchic test meng-gunakan sera plasma ataudarah fase akut; sedangkan pada uji HI keputusan positif atau negatif dengan melihat peningkatan kadar antibodi sera konvaleserk. Rangkuman Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah, kasus kematian pada DBD terutama terjadi pada kasus Den-gue Hernorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Kejadian DHF dan DSS terutama disebabkan oleh perubahan sistem respon imun, Produksi sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-10, IL-13 danIL-18 dan TNF alpha, “Platelet Activating Faktor” (PAF), dapat menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan,plasanake jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotce pembuluh dan dapat mengakibatkan syok. Disamping itu kompleks virus DEN-IgG dapat merangsang komplemen, yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan dapat menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan. Diagnosis DBD bila hanya ditegakkan dengan gejala klinis saja hasilnya tidak bisa dipercaya, karena gejala demam pada awal infeksi sulit dibedakan dengan gdaTaxdemam lainnya, seperti demam influensa, chikungunya sehingga diperlukan dukungan uji laboratorium untuk kepastian penyebab. Isolasi dan identifikasi Virus DBD dari isolat nyamuk memerlukan waktu yang relatif lama, dan isolasi virus biasanya diperlukan untuk studi dasar virologi, sudi epidemiologi molekuler atau untuk mempelajari patogenesis infeksi virus dengue. Untuk pemeriksaan rutin saat inidilakukan isolasi dan kultur virus dengue yang berasal dari serum atau plasma akut penderita DBD dengan menggunakan galur sel C6/36. Metode yang dikembangkan untuk uji serologi pada umumnya dengan memanfaatkan reaksi anti-gen antibodi, hasil akhir dari uji serologi tergantung target yang akan diidentifikasi. Uji serologi yang sudah J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 Immunopatofisiologi pada Kasus Demam Berdarah Dengue dikembangkan untuk deteksi NS1 merupakan pendekatan terbaru dalam pengembangan diagnosa DBD, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan antigen NS1 berpotensi untuk digunakan sebagai target penentu seseorang terinfeksi atau tidak terinfeksi oleh virus dengue. Disamping deteksi antigen, untuk mengetahui seseorang terinfeksi atau tidak terinfeksi virus dengue, juga dapat dilakukan dengan deteksi antibodi anti virus dengue. Diantara uji tersebut diatas uji Fff dan ELISA adalah umum dipakai untuk konfirmasi infeksi virus dengue. Saat ini sudah tersedia beberapa merek komersial rapid diagnostic test (RDT), dengan metode dasar immunochromatography. RDT merupakan salah satu cara yang praktis untuk deleksi antibodi (IgM dan IgG) anti denserum akut dan tidak memerlukan pasangan sera akut dan konvalesen sehingga alat ini lebih tepat digunakan untuk para klinisi dalam menetukan positif atau negatif penderita DBD. Dari hasil uji validasi untuk menentukan positif dan negatif penderita DBD, RDT menunjukkan sensitifitas yang tinggi namun kurang spesifik. Rendahnya spesifisitas kemungkinan berhubungan dengan kesalahan negatif palsu yang disebabkan karena pada saat pengambilan darah dilakukan antibodi masih rendah. Daftar Pustaka 1. Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Di Indonesia, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, 2012. 2. Gubler, DJ. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin.Microbiol. Rev. 1998.11:480-496. 3. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue an escalating problem. BMJ . 2002.324:1563-1566 4. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control, 2 nd ed. World Health Organization, Geneva, Switzerland. 2010. 5. Kautner, Ingrid, Robinson, Max MD; Kuhnle, Ursula MD. I/ “Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis, and prevention.” The Journal of Pediatrics. Vol 131(4), October 1997. p. 516-524. 6. Rigau-Perez, et al. “Dengue and dengue haemorrhagic fever”The Lancet. Vol 352, Sept. 1998. p. 971-977. 7. Dirjen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RL “Rapat kerja Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.” 2012. 8. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W, Soegijanto S, Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa “N dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika. 2002. 9. Soegijanto S. “Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue”, http://www.pediatrik.com/buletin. 2006. 10. Burke DSA, Nisalak DE. Johnson, Scott RM. A V I prospective study of dengue infections in Bangkok. Am. J. Trop.Med. Hyg. 1988.38:172-180. 11. Endy, TPS, Chunsuttiwat, A, Nisalak, DH. Libraty, S. Green, AL. Rothman, Vaughn, DW. and Ennis, FA. Epidemi-ology of inapparent and symptomatic acute dengue virus infection: a prospective study of primary school children in Kamphaeng Phet, Thailand. Am. J. Epidemiol. 2002.156:40-51. J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 12. Gentry MK, Henchal EA, McCown JM, WE. Brandt, WE and, Dalrymple JM. Identification of distinct determinantson dengue-2 virus using monoclonal antibodies. Am. J. Trop: Med. Hyg. 1982.31:548-555. 13. Henchal EA, McCown J M. Seguin MC, Gentry, MK and Brandt. WE. Rapid identification of dengue virus isolates by using monoclonal antibodies in an indirect immunofluores-cence assay. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1983.32:164-169. 14. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control, 2nd ed. World Health Organization, Geneva, Switzerland. 2010. 15. Muhareva Raekiansyah; “Belajar dari Wabah Virus Dengue”, http:/ /mikrobia.wordpress. Com. 16. Leyssen PED. Clercq, Neyts J. Perspectives for the treatment of infections with Flaviviridae. Clin. Microbiol.Rev. 2011.13:6782. 17. Patarapotikul JS. Pothipunya, Wanotayan R. Hongyantarachai A, Tharavanij, S. Western blot analysis of antigens specifically recognized by natural immune responses of patients with Japanese encephalitis infections. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 1993.24:269-276. 18. Pei-Yun Shu, Jyh-Hsiung Huang, “Current Advances in Den-gue Diagnosis”, Clinical and Diagnostic Laboratory Immunol-ogy, 2004,11:4 (642-650). 19. Alcon S, Talarmin A, Debruyne M, Falconar A, Deubel V, Flamand M. Enzyme-linked immunosorbent assay to den-gue virus type 1 nonstructural protein NS1 reveals circulation of the antigen in the blood during the acute phase of disease in patients experiencing primary or secondary infections. J. Clin.Microbiol. 2002.40:376-381. 20. Koraka, P. Murgue, B. Deparis, X.Setiati, TE. Suharti, C. van Gorp, EC. Hack, CEA. Osterhaus, D. and Groen, J. Elevated levels of total and dengue virus-specific immunoglobu-lin E in patients with varying disease severity. J. Med. Virol. 2003.70:9198. 21. Kumarasamy V, Abdul Wahab AH, Chua SK, Hassan Z, Chem YK, Mohamad M, Chua KB. “ Evaluation of commercial den-gue NS1 antigen-capture ELISA for laboratory diagnosis of acute dengue virus infection”; Journal of Virological Methods.virmet2010.10136. 22. Platelia™ Dengue NS1 AG. Qualitative Or Semi-Quantitative Detection of Dengue Virus NS 1 Antigen In Human serum Or Plasma By Enzyme Immunoassay (BIO-RAD) 23. Innis BL, Nisalak A, Nimmannitya S, Kusalerdchariya S, Chongswasdi V, Suntayakom S, Puttisri P, Hoke CH. An enzymelinked immunosorbent assay to characterize dengue infections where dengue and Japanese encephalitis co-circulate. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1989.40:418-427. 24. Shu PY, Chang SF, Kuo YC, Yueh YY, Chien LJ, Sue CL, Lin TH, Huang. JH. Development of group-and serotype-specific onestep SYBR Green I-based real-time reverse transcription-PCR assay for dengue virus. J. Clin. Microbiol. 2003.41:2408-2416. 25. Basundari SU. RDT (Rapid Diagnostic Test) sebagai Alat Diagnosa Malaria. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. XIV (3): 2004. 26. Novriani H. Dengue IgG/Ig M Antibodi Rapid Test (IR-113c) Sebagai Perangkat Diagnostik Cepat Demam Berdarah Dengue. Tahun 2013. Soal PKB Uji Diri ada pada Redaksi, silahkan sampaikan komentar Sejawat 583