BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Kooperatif 1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai dengan enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen (Rusman, 2012:202). Menurut Tom V. Savage (dalam Rusman, 2012:203) pembelajaran kooperatif yaitu: Suatu pendekatan yang menekankan kerjasama dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada siswa. Siswa juga dapat saling membelajarkan sesama siswa lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru. Menurut Robert E.Slavin (dalam Robert E.Slavin 2009:8) dalam metode pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. 11 Nur Asma mengemukakan bahwa pengembangan pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1) Pencapaian Hasil Belajar Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan sosial, pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugastugas akademik. Pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan pada siswa dalam tugas-tugas akademik, baik kelompok bawah maupun kelompok atas. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu. 2) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu Efek penting kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat sosial, kemampuan maupun ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain. 3) Pengembangan Keterampilan Sosial Tujuan Penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dalam masyarakat, meskipun beragam budayanya. (Nur Asma, 2006:12) 2. Prinsip Pembelajaran Kooperatif Menurut Nur Asma pelaksanaam pembelajaran kooperatif setidaknya terdapat lima prinsip yang dianut yaitu: 1) Belajar Siswa Aktif (Student Active Learning) Proses pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif berpusat pada siswa, aktivitas belajar lebih dominan dilakukan siswa, pengetahuan yang dibangun dan 12 2) 3) 4) 5) ditemukan adalah dengan belajar bersama-sama dengan anggota kelompok sampai masing-masingh siswa memahami materi pembelajaran dan mengakhiri dengan membuat laporan kelompok dan individual. Belajar Kerjasama (Cooperative Learning) Seluruh siswa terlibat secara aktif dalam kelompok untuk melakukan diskusi, memecahkan masalah dan mengujinya secara bersama-sama, sehingga terbentuk pengetahuan baru dari hasil kerjasama mereka. Diyakini yang diperoleh melalui penemuan-penemuan dari hasil kerjasama ini akan lebih baik permanen dalam pemahaman masing-masing siswa. Pembelajaran Partisipatorik Melalui model pembelajaran ini siswa belajar dengan melakukan sesuatu (learning by doing) secara bersamasama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran. Mengajar Reaktif ( Reactive Teaching) Untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif ini, guru perlu menciptakan strategi yang tepat agar seluruh siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi siswa dapat dibangkitkan jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik serta dapat meyakinkan siswanya akan manfaat pelajaran ini untuk masa depan mereka. Pembelajaran yang Menyenangkan ( Joyfull Learning) Model pembelajaran kooperatif menganut prinsip pembelajaran yang menyenangkan. Suasana belajar yang menyenangkan harus dimulai dari sikap dan perilaku guru di luar maupun dalam kelas. Guru harus memilki sikap yang ramah dengan tutur bahasa yang menyayangi siswasiswanya. (Nur Asma,2006:14-16) 3. Unsur-unsur Penting dalam Pembelajaran Kooperatif Menurut Johnson & Johnson (dalam Rusman, 2012:159) terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu: a. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok. 13 b. c. d. e. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama. Tanggung jawab individual Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus. Proses kelompok Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik. 4. Langkah-langkah dalam Pembelajaran Kooperatif Dalam rangka pengelolaan kelas di dalam pembelajaran kooperatif seorang pengajar dituntut mengarahkan dan membina para siswa untuk mengembangkan minat dan kiat bekerjasama dalam berinteraksi dengan pembelajar lainnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang pengajar (Anita Lie, 2003:38) yaitu: a. Pengelompokan Dalam rangka pengelompokan atau membentuk kelompok maka yang perlu diperhatikan adalah heterogenitas dari anggota kelompok, seperti keanekaragaman latar belakang sosioekonomi, etnik, dan kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, dalam satu kelompok diharapkan ada yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Adapun 14 manfaat dari pengelompokan secara heterogenitas adalah: 1) Memberi kesempatan untuk saling berbagi sesama teman dan saling mendukung. 2) Meningkatkan relasi dan interaksi antar siswa. 3) Memudahkan dan meringankan tugas guru dalam mengajar. b. Semangat kerjasama Agar proses pembelajaran kooperatif berjalan efektif maka perlu adanya pembinaan dan niat kerjasama. Oleh karena itu guru perlu untuk selalu memberikan pembinaan akan pentingnya arti kerjasama, sehingga setiap siswa mempunyai semangat kerjasama yang tinggi dalam belajar. c. Penataan ruang kelas Dalam pembelajaran kooperatif penataan ruang kelas merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan belajar para siswa. Dalam penataan ruang kelas ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan yaitu: ukuran ruang kelas, jumlah siswa, tingkat kedewasaan siswa, toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu lalang siswa, toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalang siswa lain, pengalaman guru dalam melaksanakan metode pembelajaran kooperatif, dan pengalaman siswa dalam melaksanakan model pembelajaran kooperatif. Adapun penataan bangku siswa yang dapat dijadikan pilihan oleh para guru yang hendak melaksanakan pembelajaran kooperatif (Anita Lie, 2003:51) yaitu: a. Meja tapal kuda: siswa berkelompok diujung meja b. Meja panjang: siswa berkelompok diujung meja c. Penataan tapal kuda: siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan d. Meja laboratorium e. Meja kelompok: siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan f. Klasifikal: siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan g. Meja berbaris: dua kelompok duduk berbagi satu meja 15 B. Macam-Macam Pembelajaran Kooperatif Menurut Robert E.Slavin (2009-10), berbagai metode pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran Tim Siswa Metode Student Team Learning (Pembelajaran Tim Siswa) adalah teknik pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dan diteliti oleh John Hopkins University. Lebih dari separuh dari semua kajian praktis tentang metode pembelajaran kooperatif menerapkan metode ini. Semua metode pembelajaran kooperatif menyumbangkan ide bahwa siswa yang bekerja sama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Sebagai tambahan terhadap gagasan tentang kerja kooperatif, metode PTS menekankan penggunaan tujuan-tujuan tim dan sukses tim, yang hanya akan dapat dicapai apabila semua anggota tim bisa belajar mengenai pokok bahasan yang telah diajarkan. Oleh sebab itu, dalam metode PTS tugas-tugas yang diberikan pada siswa bukan melakukan sesuatu sebagai sebuah tim, tetapi belajar sesuatu sebagai sebuah tim. Tiga konsep bagi semua metode PTS – penghargaan bagi tim, tanggung jawab individu, dan kesempatan sukses yang sama. Tim akan mendapatkan sertifikat, atau penghargaan-penghargaan tim lainnya jika mereka berhasil melampaui kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Tim tidak bersaing untuk mendapatkan penghargaan yang tidak mungkin; semua (atau tidak ada) anggota tim yang bisa saja ada yang mencapai kriteria pada minggu tersebut. Tanggung jawab individual maksudnya adalah bahwa kesuksesan tim bergantung pada pembelajaran individu dari semua anggota tim. Tanggung jawab difokuskan pada kegiatan anggota tim dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa tiap orang dalam tim siap untuk mengerjakan kuis atau bentuk penilaian lainnya yang dilakukan siswa tanpa bantuan teman satu timnya. Kesempatan sukses yang sama maksudnya, bahwa semua siswa memberi kontribusi kepada timnya dengan cara meningkatkan kinerja mereka dari yang sebelumnya . Ini akan memastikan bahwa siswa dengan prestasi tinggi, sedang dan rendah semuanya samasama ditantang untuk melakukan yang terbaik , dan bahwa kontribusi dari semua anggota tim ada nilainya. 2. Student Team-Achievement Division (STAD) Dalam STAD, para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan 16 bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendirisendiri, di mana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling bantu. Skor kuis para siswa dibandingkan dengan rata-rata pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masing-masing tim akan diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih siswa dibandingkan hasil yang mereka capai sebelumnya. Poin ini kemudian dijumlahkan untuk memperoleh skor tim, dan tim yang berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lainnya. Seluruh rangkaian kegiatan, termasuk presentasi yang disampaikan guru, praktik tim, dan kuis biasanya memerlukan waktu 3-5 periode kelas. Gagasan utama dari STAD adalah ,untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Jika para siswa ingin agar timnya mendapatkan penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu timnya untuk mempelajari materinya. Mereka harus mendukung teman , satu timnya untuk bisa melakukan yang terbaik, menunjukan norma bahwa belajar itu penting, berharga dan menyenangkan. Para siswa bekerja sama setelah guru menyampaikan materi pelajaran. Mereka boleh bekerja berpasangan dan membandingkan jawaban masing-masing, mendiskusikan setiap ketidaksesuaian, dan saling membantu satu sama lain jika ada yang salah dalam memahami. Mereka boleh mendiskusikannya dari pendekatan penyelesaian masalah, atau mereka juga boleh saling memberikan kuis mengenai objek yang sedang mereka pelajari. Mereka bekerja dengan teman satu timnya,menilai kekuatan dan kelemahan mereka untuk membantu mereka berhasil dalam kuis. 3. Teams Games-Tournament (TGT) Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam STAD, tetapi menggantikan dengan kuis dengan turnamen mingguan, di mana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja turnamen” di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memilki rekor nilai matematika terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalama tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya;ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi tinggi) keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. TGT memiliki banyak kesamaan dinamika dengan STAD, tetapi menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari 17 penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temannnya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual. 4. Jigsaw II Jigsaw II adalah adalah adaptasi dari teknik teka-teki Elliot Aronson (1978). Dalam teknik ini siswa, bekerja dalam anggota kelompok yang sama, yaitu empat orang, dengan latar belakang yang berbeda seperti dalam STAD dan TGT. Para siswa ditugaskan untuk membaca bab , buku kecil, atau materi lain, biasanya bidang studi sosial, biografi , atau member materi-materi yang bersifat penjelasan terperinci lainnya. Tiap anggota tim ditugaskan secara acak untuk menjadi “ahli” dalam aspek tertentu dari tugas membaca tersebut. 5. Team Accelerated Intruction ( TAI) Dalam TAI, para siswa memasuki sekuen individual berdasarkan tes penempatan dan kemudian melanjutkannya dengan tingkat kemampuan mereka sendiri. Secara umum, anggota kelompok bekerja pada unit pelajaran yang berbeda. Teman satu tim saling memeriksa hasil kerja masing-masing menggunakan lembar jawaban dan saling membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah. Unit tes yang terakhir akan dilakukan tanpa bantuan teman satu tim dan skornya dihitung dengan monitor siswa. Tiap minggu, guru menjumlah angka dari tiap unit yang telah diselesaikan semua anggota tim dan memberikan sertifikat atau penghargaan tim lainnya untuk tim yang berhasil melampaui kriteria skor yang didasarkan pada angka tes terakhir yang telah dilakukan, dengan poin ekstra untuk lembar jawaban yang sempurna dan pekerjaan rumah yang telah diselesaikan. Karena para siswa bertanggung jawab untuk saling mengecek satu sama lain dan mengelola materi yang disampaikan, guru dapat menghabiskan waktu di dalam kelas penyampaian pelajaran kepada kelompok kecil siswa yang terdiri dari beberapa tim yang belajar pada tingkat yang sama dalam sekuen. 6. Cooperatif Integrated Reading and Composition (CIRC) Merupakan program komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar pada tingkat yang lebih tinggi dan juga pada sekolah menengah (Madden,Slavin,& Steven, 1986). Dalam CIRC,guru menggunakan novel atau bahan bacaan yang berisi latihan soal dan cerita. Mereka mungkin menggunakan atau tidak menggunakan kelompok membaca, seperti dalam kelas membaca tradisional. Para siswa ditugaskan untuk berpasangan dalam tim mereka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang bersifat kognitif,termasuk membacakan cerita satu sama lain, 18 membuat prediksi mengenai bagaimana akhir dari sebuah cerita negarif, saling merangkum cerita satu sama lain, menulis tanggapan terhadap cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan, dan kosa kata. Para siswa juga belajar dalam timnya untuk menguasai gagasan utama dan kemampuan komprehensif lainnya. Selama periode seni berbahasa, siswa terlibat dalam pelatihan penulisan, konsep penulisan, saling mervisi dan menyunting karya yang satu dengan lainnya, dan mempersiapkan pemuatan hasil kerja tim pada buku-buku kelas. Sedangkan, menurut Arends (2008:13) ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif,yaitu: 1) Student Teams Achievement Division (STAD) STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan rekan-rekan sejawatnya di Johns Hopkins University dan merupakan pendekatan cooperative learning yang paling sederhana dan paling mudah dipahami. Guru yang menggunakan STAD menyajikan informasi akademis baru kepada siswa, baik melalui verbal atau teks. Siswa di kelas tertentu dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan wakil-wakil dari kedua gender, dari berbagai kelompok ras, dan dengan prestasi rendah, rata-rata dan tinggi. Anggota tim menggunakan worksheets atau alat lain untuk menguasai materi akademis dan kemudian saling membantu untuk mempelajari berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis, atau melaksanakan diskusi tim. Secara individual, siswa diberi kuis mingguan atau dua mingguan tentang berbagai materi akademis. Dalam mengerjakan kuis individual ini siswa dilarang bekerja sama dengan siswa lain. 2) Jigsaw Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekanrekan sejawatnya. Menggunakan jigsaw, siswa-siswa ditempatkan ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggota lima sampai enam orang. Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi matyerinya. Para anggota dari tim-tim yang berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama, bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mempelajari topik tersebut (biasanya disebut tim ahli). Setelah itu siswa kembali ke tim asalnya dan mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari dalam tim ahli kepada anggota-anggota lain di timnya masing-masing. 3) Group Investigation (GI) Group Investigation (GI) yang aslinya dirancang oleh Herbert Thelen, yang lebih mutakhir pedekatan ini diperluas dan 19 disempurnalan oleh Sharan dan rekan-rekannya di Tel Aviv University. GI merupakan pendekatan cooperative learning yang paling kompleks dan paling sulit diimplementasikan. GI melibatkan siswa dalam merencanakan topik-topik yang akan dipelajari dan bagaimana cara menjalankan investigasinya. 4) Pendekatan Struktural Pendekatan cooperative learning lainnya dikembangkan selama dekade lalu, terutama oleh Spencer Kagan. Pendekatan struktural menekankan penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan mengharuskan siswa untuk bekerja secara independen di kelompok-kelompok kecil dan ditandai oleh reward kooperatif dan bukan reward individual. Arends (2008:15) memberikan dua contoh model pembelajaran kooperatif struktural yaitu ; a) Think-Pair-Share (TPS) Pendekatan ini menantang asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi perlu dilakukan dalam setting seluruh kelompok, dan memilki prosedur-prosedur built-in untuk memberikan lebih banyak waktu kepada siswa untuk berfikir, untuk merespons, dan untuk saling membantu. b) Numbered Heads Together (NHT) Adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam review berbagai materi yang dibahas dalam sebuah pelajaran dan untuk memeriksa pemahaman mereka tentang isi pelajaran itu. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan upaya dalam rangka mengaktifkan siswa dengan cara bekerja dalam kelompok yang berbeda latar belakang, saling berbagi pengetahuan, mengungkapkan pendapat untuk menyelesaikan masalah atau tugas yang telah diberikan guru secara bersama-sama. 20 C. Pembelajaran Tipe Jigsaw 1. Pengertian Pembelajaran Tipe Jigsaw Menurut Rusman (2012:217) arti Jigsaw dalam bahasa inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah puzzle yaitu sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerjasama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan pengertian di atas bahwa model pembelajaran Jigsaw merupakan model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Dalam pembelajaran model Jigsaw ini siswa memiliki mengemukakan pendapat, dan meningkatkan keterampilan banyak mengelola kesempatan informasi berkomunikasi, anggota yang untuk dapat kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya. Pembelajaran model Jigsaw pada hakikatnya merupakan model pembelajaran kooperatif yang berpusat pada siswa. Siswa mempunyai peran dan tanggung jawab besar dalam pembelajaran. Tujuan model Jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, keterampilan belajar kooperatif dan penguasaan pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh siswa apabila siswa mempelajari materi secara individual. Dalam model Jigsaw ini, siswa dibagi menjadi dua kelompok, 21 yaitu kelompok awal dan kelompok ahli. Setiap siswa yang ada dalam kelompok awal mengkhususkan diri pada satu bagian dari sebuah unit pembelajaran. Siswa dalam kelompok awal ini kemudian dibagi lagi untuk masuk ke dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan materi yang berbeda. Siswa kemudian kembali ke kelompok awal untuk mendiskusikan materi hasil kelompok ahli pada siswa kelompok awal. Sedangkan menurut Robert E.Slavin (2009:237-238), jigsaw II dapat digunakan apabila materi yang akan dipelajari adalah yang berbentuk narasi tertulis. Metode ini paling sesuai untuk subjek-subjek seperti pelajaran ilmu sosial, literature, sebagian pelajaran ilmu pengetahuan ilmiah, dan bidang-bidang lainnya yaitu tujuan pembelajaran lebih kepada penguasaan konsep daripada penguasaan kemampuan. Pengajaran “ bahan baku” untuk jigsaw II biasanya harus berupa bab, cerita, biografi atau materi-materi narasi atau deskripsi serupa. Dalam Jigsaw II, para siswa bekerja dalam tim yang heterogen, seperti dalam STAD dan TGT. Para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit , dan diberikan “ lembar ahli ‘’ yang terdiri atas topik-topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua anak selesai membaca, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang saat bertemu dalam “ kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh menit. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Yang 22 terakhir adalah, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik, dan skor kuis akan menjadi skor tim, seperti dalam STAD. Seperti juga dalam STAD, skor-skor yang dikontribusikan para siswa kepada timnya didasarkan pada sistem skor perkembangan individual, dan para siswa yang timnya meraih skor tertinggi akan menerima sertifikat atau bentuk-bentuk rekognisi tim lainnya. Sehingga, para siswa termotivasi untuk mempelajari materi dengan baik dan untuk bekerja keras dalam kelompok ahli mereka supaya mereka dapat membantu timnya melakukan tugas dengan baik. Kunci metode jigsaw ini adalah interdependensi: tiap siswa bergantung kepada teman satu timnya untuk dapat memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat penilaian. Untuk membuat materi jigsaw II, ikuti langkah-langkah berikut: a. Pilihlah salah satu atau dua bab, cerita, atau unit-unit lainnya, yang masing-masing mencakup materi untuk dua atau tiga hari. Jika para siswa akan membacanya di kelas, materi yang dipilih haruslah membutuhkan waktu tidak lebih dari setengah jam untuk membacanya, jika bacaan tersebut akan dijadikan tugas untuk dibaca di rumah, maka pilihannya boleh lebih panjang. b. Buatlah sebuah lembar ahli untuk tiap unit. Lembar ini akan mengatakan kepada siswa di mana mereka perlu berkonsentrasi saat membaca, dan dengan kelompok ahli yang akan bekerja, Lembar ini berisi empat topik yang menjadi inti dari unti pembelajaran. ( Robert E.Slavin 2009:237-238) 2. Langkah-langkah Pembelajaran Tipe Jigsaw Dalam konsep ini semua siswa harus bisa mendapatkan kesempatan dalam proses belajar supaya semua pemikiran siswa dapat diketahui. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran 23 dengan menggunakan model Jigsaw (Rusman, 2012:218) adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. Siswa dikelompokkan dengan anggota + 4 orang Tiap orang dalam tim diberi bagian materi dan tugas yang berbeda Anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama membentuk kelompok baru (kelompok ahli) Setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang subbab yang mereka kuasai Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi Pembahasan dan guru memberi evaluasi Penutup. Alur proses pembuatan kelompok ahli dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat diilustrasikan sebagaimana gambar berikut: Kelompok Asal Kelompok Ahli Kelompok Asal Kelompok I 1 2 3 4 1 1 1 1 1 1 Kelompok I 1 2 3 4 Kelompok II 1 2 3 4 Kelompok II 1 2 3 4 2 2 2 2 2 2 Kelompok III 1 2 3 4 Kelompok III 1 2 3 4 3 3 3 3 3 3 Kelompok IV 1 2 3 4 Kelompok IV 1 2 3 4 4 4 4 4 4 4 Kelompok V 1 2 3 4 Kelompok V 1 2 3 4 Kelompok VI 1 2 3 4 Kelompok VI 1 2 3 4 Gambar 1: Ilustrasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw 24 Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam pengelompokannya siswa di kelompokkan menjadi kelompok asal, kemudian setiap kelompok diberikan topik yang berbeda untuk dipelajari. Siswa dari kelompok asal dengan topik yang sama dipertemukan dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Para ahli kemudian kembali ke kelompok asal mereka masing-masing dan mengambil giliran untuk mengajari anggota kelompoknya tentang topik mereka. Selain itu ada beberapa fase yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw seperti pendapat Stahl dan Aronson, Elliot (dalam Anita Lie, 2003:91) yang membagi menjadi 7 fase yaitu: a. b. c. d. e. Fase 1: Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut. Dan memotifasi siswa untuk belajar. Fase 2: Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jelas menyuguhkan berbagai fakta, pengalaman, fenomena fisis yang berkaitan langsung dengan materi. Fase 3: Kelompok Asal atau Base Group Siswa dikelompokkan menjadi kelompok asal dengan anggota 5 sampai 6 orang dengan kemampuan akademik yang heterogen. Setiap anggota kelompok diberikan sub pokok bahasan/topik yang berbeda untuk mereka pelajari. Fase 4: Kelompok Ahli atau Expert Group Siswa yang mendapat topik yang sama berdiskusi dalam kelompok ahli. Fase 5: Tim ahli kembali ke kelompok asal Siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan apa yang 25 f. g. mereka dapatkan dalam kelompok ahli. Fase 6: Evaluasi Semua siswa diberikan tes meliputi semua topik dari materi yang telah di diskusikan. Fase 7: Memberikan Penghargaan Guru memberikan penghargaan baik secara individual maupun kelompok. Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran teknik Jigsaw menurut Anita Lie (2004:68-69), yaitu: 1. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian. 2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari ini. Pengajar bisa menulis topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan siswa agar lebih siap mengahadapi bahan pelajaran baru. 3. Siswa dibagi dalam kelompok berempat. 4. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama,sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua. Demikian seterusnya. 5. Siswa disuruh membaca atau mengerjakan bagian mereka masingmasing. 6. Setelah selesai, siswa saling berbagi mengenai bagian yang dibaca atau dikerjakan mereka masing-masing. Dalam kegiatan ini siswa dapat saling melengkapi dan berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. 7. Khusus untuk kegiatan membaca, pengajar membagi bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing siswa. Siswa membaca bagian tersebut. 8. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau seluruh kelas. 9. Jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk kelompok para ahli (kelompoknya). Siswa berkumpul dengan siswa lain yang mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka bekerjasama mempelajari atau mengerjakan bagian tersebut. Kemudian masing-masing siswa kembali ke kelompoknya sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada rekan-rekan dalam kelompoknya. 26 3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Kaitannya dengan Aktivitas dan Prestasi Belajar Menurut Hudoyo (dalam Aryani Sri, 2003:83) bahwa mengajar bukan hanya memberi informasi, memerintah atau membiarkan siswa belajar sendiri melainkan memberi kesempatan kepada yang diajar untuk mencari, bertanya, menebak, menalar dan bahkan mendebat. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, dalam mengajar diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat sehingga tujuan dari pembelajaran dapat tercapai. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini siswalah yang secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Dengan memberikan siswa bekerja secara aktif dalam proses pembelajaran berarti memberikan kesempatan yang luas untuk menggunakan kemampuan dalam mengembangkan keahliannya. Teori Piaget sebagaimana dikutip oleh Anita Lie (2003:101), di dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, siswa sendirilah yang aktif membangun (mengkonstruksi) pengetahuannya. Model ini juga menekankan aktivitas siswa di dalam menemukan konsep-konsep yang dipelajari dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator. Kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini adalah kegiatan yang mengarah pada proses belajar seperti: siswa tidak 27 mengerjakan pelajaran lain, tidak terpengaruh situasi di luar kelas, siswa mendengarkan arahan dari guru, bertanya atau menjawab pertanyaan guru, mengerjakan tugas dalam kelompok dengan sungguh-sungguh dan seksama, mengemukakan pendapat dalam diskusi, saling membantu antar anggota, memperhatikan penjelasan yang dianggap penting dari guru atau siswa lain, merespon atas stimulus yang diberikan guru dan tidak tampak bosan waktu pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah Jigsaw menyebabkan siswa akan merasakan manfaat langsung dari pembelajaran itu sendiri. Hal ini meningkatkan motivasi siswa dalam belajar dan menumbuhkan sikap yang positif terhadap pembelajaran, dengan demikian prestasi belajar siswa akan lebih baik. 4. Kekurangan dan Keunggulan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Anita Lie (2003:84) Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw diantaranya adalah sebagai berikut: a. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran pembelajaran kooperatif. b. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton. c. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran pembelajaran kooperatif. d. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran. 28 e. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran. Keunggulan Menurut Anita Lie (2003:85) pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Meningkatkan bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. a. b. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok awal siswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus terampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap angota kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Di sini, peran guru adalah memfasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Para kelompok ahli harus mampu untuk membagi pengetahuan yang di dapatkan saat melakukan diskusi di kelompok ahli, sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. 29 Menurut Isjoni (2011-18), kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam( intern ) dan faktor dari luar (eksternal). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang,disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga,pemikiran dan waktu. 2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai. 3) Selama kegiatan berdiskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif. Sedangkan faktor dari luar erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, yaitu semakin pudarnya kurikulum pembelajaran, selain itu pelaksanaan tes yang terpusat seperti EBTA/EBTANAS sehingga kegiatan belajar mengajar du kelas cenderung dipersiapkan untuk keberhasilan perolehan NEM. D. Pembelajaran Konvensional/Ceramah Pada dasarnya pembelajaran biasa merupakan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, namun sekarang sudah banyak penggabungan misalnya dengan media atau metode pembelajaran yang lain. Winarno Surahmad menyatakan bahwa ceramah adalah bentuk interaksi penerangan dan penuturan secara lisan seseorang terhadap kelompok pendengar (Winarno Surahmad,1986: 98-100). Nana Sudjana menyatakan bahwa ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara 30 lisan (Nana Sudjana, 1989:77). Keuntunganya yaitu dapat menguasai seluruh arah pembicaraan dan organisasi kelompok pendengar. Kelemahannya yaitu tidak mengetahui sampai dimana setiap anggota kelompok mengerti yang telah dibicarakan. Menurut Sunaryo ( 1989:128) kelebihan dan kelemahan model ceramah yaitu: Kelebihan 1. Tepat untuk menyajikan materi. 2. Mudah mengendalikan informasi. 3. Mudah membangkitkan hasrat,minat,dan antusiasme. Kelemahan 1. Kegiatan belajar dimonopoli guru. 2. Guru tidak tahu sejauh mana informasi yang diterima siswa. 3. Adanya gangguan/distorsi, sehingga informasi tidak sesuai. 4. Mudah menimbulkan verbalisme. 5. Siswa cenderung pasif dan tidak berkembang. Menurut Nana Sudjana model ceramah tidak senantiasa jelek bila penggunaanya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung dengan alat dan media, serta memberhatikan batas-batas kemungkinan penggunaannya (Nana Sudjana, 1989:77). Hal ini juga dikemukakan oleh Sunaryo bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam memberi ceramah antara lain: 1) Guru harus menguasai bahan ceramah 2) Bahasa ceramah harus jelas lancar dan mudah diterima untuk siswa 3) Materi ceramah harus sesuai dengan kemampuan si penerima, dengan urutan yang logis 4) Agar tidak membosankan ceramah harus diberikan secara variasi (baik gaya guru mengajar, media yang digunakan maupun pola interaksi dengan murid. 5) Mengetahui kelemahan dan kelebihan dari metode ceramah itu sendiri sehingga bisa mengantisipasi kelemahan atau mempertahankan kelebihannya ( Sunaryo,1989:77). Menurut W James Pophan dan Eva L. Baker model ceramah berjalan dengan baik jika memilki perencanaan yang baik. 31 Perencanaan itu adalah: 1) Guru harus membatasi waktu ceramah sesuai dengan usia siswa agar siswa tidak bosan 2) Guru harus menyiapkan catatan ceramah dalam bentuk ikhtisar agar guru tidak kehilangan dalam menyampaikan materi 3) Guru menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk diajukan kepada siswa, hal ini untuk mengukur efektivitas kegiatan belajar siswa 4) Guru membuat serangkain kata pembuka yang berupa lelucon dan pertanyaan untuk dipikirkan siswa dan barang kali dijawab akhir ceramah 5) Membuat ringkasan dari pokok-pokok yang akan dikemukakan. Hal ini untuk memperjelas hal-hal yang harus diperhatikan siswa.(W James Pophan dan Eva L Baker, 1992:81-82). Untuk penceramah yang baik diperlukan latihan dan umpan balik. Ceramah memungkinkan guru menyampaikan topik dengan perasaan, dapat lewat cara menyampaikan pendapat dan informasi tertentu dengan tekanan suaranya, ataupun dengan gerak-gerik badan (dalam arti berpindah tempat). Seorang penceramah perlu mengetahui dan mengontrol kecepatan bicaranya,kesesuaian kata-kata yang dipakainya, volume suaranya dan memberikan kontak mata dengan siswa agar siswa tertarik untuk memperhatikan pelajaran yang diajarkan. (W.James Pophan dan Eva L.Baker, 1992:80). E. Prestasi Belajar 1. Pengertian Belajar Belajar mempunyai pengertian yang sangat kompleks sehingga banyak ahli yang mengemukakan pengertian belajar dengan ungkapan dan pandangan yang berbeda-beda. Menurut Gagne (dalam Dahar, 1998:11), belajar didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Sedangkan menurut 32 Gagne yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999:10) belajar merupakan kegiatan yang kompleks dengan hasil belajar berupa kapabilitas, dan setelah belajar seseorang akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap serta nilai yang dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar. Lebih lanjut lagi Muhammad Surya (2007:7) mengemukakan bahwa: “Belajar ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan tentang pengertian belajar. Belajar adalah suatu proses pada diri siswa atau individu sehingga menyebabkan perubahan perilaku yang tercermin dari hasil belajarnya, yaitu meliputi aspek pengetahuan (kognitif), aspek sikap (afektif) dan aspek keterampilan (psikomotorik) yang dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan dan pengalaman-pengalaman belajar, demi tujuan yang hendak dicapai oleh siswa atau individu tersebut. 2. Pengertian Prestasi Belajar Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar 33 mengajar berlangsung. Menurut Winkel (1991:26), dalam kaitannya proses belajar dengan prestasi belajar: “Proses belajar yang dialami siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam ranah pengetahuan, keterampilan dan ranah sikap. Adanya perubahan ini tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan, tugas yang diberikan guru. Prestasi belajar ini berbeda-beda sifatnya, tergantung pada ranah (domain) yang didalamnya siswa memberikan/menunjukkan prestasi, misalnya dalam ranah pengetahuan (cognitive domain)”. Sedangkan menurut Maher (dalam Muhammad Suryabrata, 2006:45), beberapa pengertian prestasi belajar adalah sebagai beikut: a. b. c. Prestasi belajar merupakan tingkah laku yang dapat diukur dengan menggunakan tes prestasi belajar. Prestasi belajar merupakan hasil dari perubahan individu itu sendiri bukan hasil dari perbuatan orang lain. Prestasi belajar dapat dievaluasi tinggi rendahnya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh penilai atau menurut standar yang telah ditetapkan oleh kelompok. Sehubungan dengan prestasi belajar, menurut Winkel (1991:17) prestasi belajar adalah “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik, sebaliknya dikatakan prsetasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut”. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya prestasi belajar adalah perubahan perilaku dalam individu yang dimanifestasikan ke dalam pola tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan sebagai hasil belajar yang disadari dan dapat diukur berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh penilai atau menurut 34 standar yang telah ditetapkan selama mengikuti kegiatan proses pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai siswa merupakan aktualisasi dari potensi siswa yang diperoleh melalui kegiatan belajar dengan materi dan kriteria tertentu, sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Prestasi belajar dan hasil belajar merupakan dua istilah yang berbeda, tetapi kedua istilah ini merupakan akibat dari proses belajar mengajar. Perubahan tingkah laku yang dihasilkan dari suatu proses belajar mengajar adakalanya dapat diukur dan adakalanya tidak dapat diukur. Perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan penilaian tertentu melalui kriteria tertentu sebagai akibat dari proses belajar mengajar biasa diartikan sebagai prestasi belajar. Hasil belajar juga merupakan akibat dari proses belajar mengajar, tetapi tidak hanya yang diterima dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga dari luar sekolah seperti keluarga, lingkungan dan masyarakat luas. Jadi prestasi belajar merupakan hasil nyata yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar tertentu yang sesuai dengan kurikulum yang telah ditentukan dengan kriteria penilaian. Prestasi belajar juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor internal, dan faktor eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah kondisi internal dan proses kognitif siswa. Dalam interaksi pembelajaran ditemukan bahwa proses belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan belajar, bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat 35 berprestasi kurang atau dapat juga gagal berprestasi. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal adalah lingkungan yang ada disekitar siswa, diantaranya: guru sebagai pembina siswa belajar, sarana dan prasarana pembelajaran, lingkungan sosial siswa di sekolah dan kurikulum sekolah. 3. Cara Mengukur Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan interaksi antara suatu unsur-unsur yang berkaitan. Unsur utama dalam menentukan prestasi belajar adalah siswa itu sendiri sebagai pelajar, unsur kebutuhan sebagai pendorong, situasi belajar yang memberikan berbagai kemungkinan terjadinya kegiatan belajar, dan tujuan sebagai unsur yang mengarahkan kegiatan belajar. Manifestasi dari kegiatan belajar dinyatakan dalam bentuk perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar. Prestasi belajar merupakan salah satu tolok ukur berhasilnya kegiatan pembelajaran. Keberhasilan ini biasanya diukur dalam jangka waktu tertentu misalnya beberapa kali pertemuan, satu caturwulan atau semester atau bahkan pada tingkat akhir. Oleh sebab itu maka diperlukan kegiatan evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:194) alat evaluasi yang baik harus memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: kesahihan (validitas), keterandalan (reliabel), dan kepraktisan. 36 4. Taksonomi Tujuan Pendidikan Anderson dkk (dalam Widodo, 2006:2) menjelaskan ada empat macam dimensi pengetahuan dalam taksonomi Bloom yang telah direvisi, yaitu: 1) Pengetahuan faktual, yaitu pengetahuan yang berupa potonganpotongan informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu, yang mencakup pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang bagian detail. 2) Pengetahuan konseptual, yaitu pengetahuan yang menunjukan saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih besar dan semuanya berfungsi sama-sama, yang mencakup skema, model pemikiran dan teori. 3) Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang baru. 4) Pengetahuan metakognitif, yaitu mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri sendiri. Anderson (dalam Widodo, 2006-140) menguraikan dimensi proses kognitif pada taksonomi Bloom revisi yang mencakup: 1) Menghafal (remember), yaitu menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang yang mencakup dua macam proses kognitif mengenali dan mengingat. 2) Memahami (understand), yaitu mengkonstruk makna atau pengetian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang ada dalam pemikiran siswa, yang mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan, memberikan contoh, mengklasifikasikan, meringkas, menarik inferensi, membandingkan,dan menjelaskan. 3) Mengaplikasikan (apply), yaitu penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas, yang mencakup dua proses kognitif: menjalankan dan mengimplementasikan. 4) Menganalisis (analyze), yaitu menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut, yang mencakup tiga proses kognitif: menguraikan, mengorganisir, dan menemukan pesan tersirat. 5) Mengevaluasi (evaluate), yaitu membuat surat pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada, yang mencakup dua 37 proses kognitif: memeriksa dan mengkritik. 6) Membuat (create), yaitu menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan, yang mncakup tiga proses kognitif: membuat, merencanakan, dan memproduksi. (http://widodo.staf.upi.edu/files/2011/03/2006RevisiTaksonomi-Bloom-dan-Pengembangan-Butir-Soal.pdf) 5. Penilaian Pendidikan Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan dinyatakan bahwa Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar penilaian pendidikan yang berlaku secara nasional (Permendiknas, 2007:11). Berdasarkan Permendiknas No.20 tahun 2007 tersebut, penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi: a. b. c. Ulangan Harian Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar atau lebih. Ulangan Tengah Semester Adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanaan 8–9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempersentasikan seluruh kompetensi dasar pada periode tersebut. Ulangan Akhir Semester Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di 38 d. e. f. akhir semester. Cakupan ulangan mengliputi seluruh indikator yang mempresentasikan semua kompetensi dasar pada semester tersebut. Ulangan Kenaikan Kelas Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan mengliputi seluruh indikator yang mempresentasikan semua kompetensi dasar pada semester tersebut. Ujian Sekolah/Madrasah Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran yang tidak diujikan dalam ujiam masional. Ujian Nasional Ujian nasional adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan. 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Proses pembelajaran memiliki hubungan antara pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, taktik pembelajaran, dan model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teori tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru 39 (teacher centered approach). Untuk mencapai tujuan belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain, faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor internal), dan faktor yang ada di luar diri siswa (faktor eksternal), faktor-faktor yang ada dalam diri sisiwa bersifat biologis, sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa antara lain adalah faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan lain sebagainya. a. Faktor Internal 1) Kecerdasan/intelegensi Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuiakan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi. Adakalanya kemampuan ini ditandai dengan kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya, sehingga seorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya. Oleh karena itu jelas bahwa faktor intelegensi merupakan semua hal yang tidak dapat diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan pendapat di atas jelas bahwa intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha belajar. 40 2) Bakat Menurut definisinya, bakat adalah kemampuan potensial dalam diri seseorang, baik yang sudah dikembangkan maupun yang belum, sering kali bakat seseorang jelas terlihat bila ia melakukan suatu aktivitas dan ia dapat dengan cepat belajar dan berhasil pada bidang tersebut. Bakat sering kali terlepas dari pengaruh lingkungan, walaupun ada pengaruhnya. Dari pendapat di atas jelaslah bahwa tumbuhnya keahlian tertentu pada seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang dimilikinya sehubungan dengan bakat ini bisa menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Dalam proses belajar terutama belajar keterampilan, bakat memegang peranan penting, apalagi apabila seorang guru atau orang tua memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan bakatnya maka akan merusak keinginan anak tersebut. 3) Minat Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa sayang. Menurut Winkel (1991:24) minat adalah “kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada bidang/hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu”. Selanjutnya Slameto (1995:57) mengemukakan 41 bahwa minat adalah “kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan, kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus yang disertai dengan rasa sayang”. Kemudian Sardiman (1992:76) mengemukakan minat adalah “suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan- kebutuhannya sendiri”. Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa minat besar sekali pengaruhnya terhadap belajar atau kegiatan, bahkan pelajaran yang menarik minat siswa lebih mudah dipelajari dan disimpan karena minat menamambah kegiatan belajar. Untuk menambah minat seorang siswa di dalam menerima pelajaran di sekolah siswa diharapkan dapat mengembangkan minat untuk melakukannya sendiri. Minat belajar yang telah dimiliki siswa merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Apabila seseorang mempunyai minat yang tinggi terhadap sesuatu hal, maka akan terus berusaha untuk melakukan sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai sesuai dengan keinginannya. 4) Motivasi Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar. Persoalan motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dimiliki dalam kegiatan 42 belajar mengajar seorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar. Soemanto (1998:73) mengatakan motivasi adalah “segala daya yang mendorong sesorang untuk melakukan sesuatu”, sedangkan Sardiman (1992:27) mengatakan bahwa “motivasi adalah menggerakan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan sesuatu”. Dalam memberikan motivasi seorang guru harus berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk mengarahkan perhatian siswa kepada sasaran tertentu. Dengan adanya dorongan ini dalam diri siswa akan timbul inisitaif dengan alasan mengapa ia menekuni pelajaran. Untuk membangkitkan motivasi kepada mereka, supaya dapat melakukan kegiatan belajar dengan kehendak dan belajar secara aktif. b. Faktor eksternal Faktor ekternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestai belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu pengalaman, keadaan keluarga, lingkungan sekitar dan sebgainya. Pengaruh lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan kepada individu. Menurut Slameto (1995:60) faktor ekternal yang dapat yang dapat mempengaruhi belajar adalah “kedaan keluarga, dan lingkungan sekitar”. 43 1) Keadaan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat tepat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Slameto bahwa: keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama, keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, Negara dan dunia”. Hasbullah (2006:46) mengatakan “keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan dan bimbingan, sedangkan tugas utama dalam keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan”. Oleh karena itu orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan dimulai dari keluarga, sedangkan sekolah merupakan pendidikan lanjutan. Peralihan pendidikan informal ke lembagalembaga formal memerlukan kerjasama yang baik antara orang tua dan guru sebagai pendidik dalam usaha meningkatkan hasil belajar anak. Jalan kerjasama yang perlu ditingkatkan, dimana orang tua harus menaruh perhatian yang serius tentang cara belajar anak dirumah. Perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun, karena anak memerlukan waktu, tempat dan keadaayang baik untuk belajar. 44 2) Keadaan Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting alam menentukan keberhasailan belajar siswa, karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini dapat meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dengan siswa kurnag baik akan mempengaruhi hasil belajar. Kartono (1995:6) mengemukakan “guru dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, dan memiliki tingkah laku yang tepat dalam mengajar“. Oleh sebab itu guru dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan memiliki metode yang tepat dalam mengajar. Dalam hal ini Kartono (1995:5) berpendapat bahwa “lingkungan masyarakat menimbulkan kesukaran belajar anak, tertutama anak-anak yang sebayanya. Apabila anak-anak yang sebayanya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka anak akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka, sebaliknya bila anak-anak di sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran besar kemungkinan anak akan terbawa juga. Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan membentuk kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak akan selalu menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya, oleh karena itu apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar maka kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya. 45 F. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan acuan dasar dalam membentuk warga negara yang baik, karena di dalamnya terdapat muatan nilai-nilai dalam berbagai aspek kehidupan di antaranya nilai religi, hukum, sosial serta politik, yang sesuai dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945. Menurut Numan Soemantri (dalam Cholisin, 2004:14), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan sebagai berikut: Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. Lebih lanjut Numan Soemantri (dalam Cholisin, 2004:14) mendefinisikan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yaitu: Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir aktif warga negara dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945, dalam suasana demokratis serta dalam berbagai masalah kemasyarakatan. 46 2. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai Mata Pelajaran di Sekolah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang baik serta berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:321) mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan sebagai berikut: Mata pelajaran PKn adalah program pendidikan atau mata pelajaran yang memiliki tujuan utama untuk mendidik siswa agar menjadi warga negara yang baik, demokratis dan bertanggung jawab. Program PKn ini memandang siswa dalam kedudukannya sebagai warga negara, sehingga program-program, kompetensi atau materi yang diberikan kepada peserta didik diarahkan untuk mempersiapkan mereka mampu hidup secara fungsional sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik. Menurut Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22/ Tahun 2006: Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran di sekolah merupakan program pengajaran yang memuat beragam aspek, tidak hanya aspek kognitif semata, melainkan aspek afektif serta psikomotor secara utuh dan 47 menyeluruh guna membentuk setiap siswa untuk menjadi warga negara yang baik. 3. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 menyebutkan bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi itu salah satunya wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangatlah penting pada pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Sesuai dengan tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Sapriya, 2005:32) yaitu: Secara umum tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizenship), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civic intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan bertanggungjawab (civic responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (civic partisipation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Berdasarkan perkembangan mutakhir, tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional (Sapriya, 2005:185). Berdasarkan paparan di atas, maka tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Indonesia tidak sebatas untuk meningkatkan pengetahuan kognitif siswa saja, tetapi juga mengacu pada aspek afektif serta psikomotor, dan hal itu penting untuk pengembangan keterampilan kewarganegaraan (civic skills) siswa, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai 48 Pancasila sebagai ideologi negara yang direfleksikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Nasional No.22/ Menurut Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Tahun 2006: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. 4. Peningkatan Hasil Belajar PKn Siswa dengan Menggunakan Metode Jigsaw Penerapan Metode Jigsaw di sekolah diharapkan dapat meningkatkan kerja sama untuk mempelajari materi, rasa tanggungjawab siswa, melatih siswa untuk lebih aktif di dalam kelas, pemerataan penguasaan materi, serta mengembangkan tingkah laku dan hubungan yang lebih baik antar siswa sehingga dapat tercapai hasil belajar yang lebih baik. Penggunaan Metode pembelajaran yang tepat akan membantu meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga siswa tidak akan merasa jenuh dengan Metode pembelajaran konvensional/ceramah yang diajarkan oleh guru. 49 Metode Jigsaw merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang di dalamnya terdapat elemen-elemen, diantaranya saling ketergantungan positif yaitu interaksi tatap muka, akuntabilitas individual dan keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan (Nurhadi 2004:112). Metode Jigsaw merupakan pembelajaran yang melibatkan semua siswa yang bekerja secara kelompok dan dalam kelompok tersebut biasanya terdiri dari empat atau lima orang saling membantu dalam mengidentifikasi masalah. Menurut Hisyam Zaini (2002:56) belajar dengan Metode Jigsaw “Merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan bagian dari Metode tersebut tidak harus urut, setelah materi dibagi siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok membahas materi tersebut, setelah selesai setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk menyampaikan apa yang mereka pelajari dari kelompoknya. Dengan Metode Jigsaw ini siswa bisa saling membantu dalam memecahkan materi yang di bahas. G. Penelitian yang Relevan 1. Jurnal Penelitian dari Budihartin Dwi Meilawati (2013) mahasiswa prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo ,dalam jurnalnya yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw. Dalam jurnal penelitian ini disimpulkan bahwa dengan melalui pembelajaran kooperatif model jigsaw memberikan dampak yang positif terhadap meningkatnya hasil belajar siswa dalam memecahkan masalah matematika karena model jigsaw merupakan pengembangan dari pembelajaran yang inovatif, efektif, dan fleksibel. 50 Ditunjukan dengan adanya peningkatan pada : 1). Hasil belajar meningkat dari rata- rata 76,38 pada siklus I dan 83,59 pada siklus II dengan nilai ketuntasan minimal sebesar 75. 2) Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran model jigsaw dikategorikan baik yakni memperoleh presentase 81% dari prosentase kriteria maksimal 100%. 3) Ketuntasan belajar siswa meningkat dari 68% menjadi 85%, sedangkan nilai ketuntasan belajar kelas pada penelitian ini minimal sebesar 75%. 2. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni yang ditulis oleh Sulistiani dengan judul Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD Negeri Pilangsari 1, Kecamatan Ngrampal Kabupaten Sragen Tahun 2005. Berdasarkan penelitian tersebut didapat suatu kesimpulan bahwa dengan pembelajaran kooperatif model Jigsaw hasil belajar siswa meningkat dibanding dengan menggunakan model pembelajaran konvensional, dan guru dalam proses pembelajaran dikategorikan baik dilihat dari hasil persentase pengamatan penampilan guru. Hasil bahwa penerapan pendekatan pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat (1) meningkatkan prestasi belajar siswa, (2) meningkatkan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran di kelas, (3) mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran, (4) meningkatkan respon siswa terhadap pembelajaran sehingga mendorong untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar serupa. 51 3. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Arifandi Ariani dengan judul Keefektifan Penerapan Model Pemaduan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Meningkatkan Minat dan Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 2 Ponorogo Tahun 2006.Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan persentase ketercapaian guru dalam menerapkan langkah-langkah model pemaduan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yaitu sebesar 15,38%, sedangkan dari hasil observasi kegiatan siswa tampak adanya peningkatan sebesar 6,25%. Peningkatan prestasi belajar siswa dapat diketahui dari kenaikan nilai rata-rata kelas dari sebesar 11,46% dan meningkatnya aktivitas siswa dalam bertanya meningkat sebesar 1,29%, menjawab pertanyaan dengan benar meningkat sebesar 1,6%, serta menanggapi permasalahan dengan kritis meningkat sebesar 24,42%. 4. Kemudian penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai metode jigsaw adalah penelitian yang dilakukan oleh Tohir (2006) yang berjudul Peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS melalui metode belajar cooperative dengan teknik jigsaw. Hasil Penelitian menunjukan : (1) peningkatan aktivitas siswa di kelas dari 25,50% pada siklus pertama menjadi 64 % pada siklus ketiga atau meningkat 38,50%. (2) frekuensi siswa bertanya dan mengemukakan pendapat dari 7,50% pada siklus I menjadi 24,38% pada siklus ketiga atau meningkat 16,88%. (3) pemahaman materi IPS juga meningkat dari 15% pada siklus pertama menjadi 70% pada siklus pertama menjadi 70% pada siklus ketiga meningkat 55% ini 52 dibuktikan dengan dokumen nilai harian. Perbedaan dengan penelitian di atas adalah penelitian ini merupakan penelitian eksperimen sedangkan penelitian sebelumnya merupakan penelitian tindakan kelas. Selain itu penelitian ini mencari tentang perbedaan prestasi belajar siswa, sedangkan penelitian tersebut mencari aktivitas belajar siswa. Berdasarkan gambaran hasil penelitian yang relevan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat mengembangkan berbagai aktivitas belajar siswa, selain itu juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, sehingga mampu memberikan hasil yang positif yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. H. Kerangka Berfikir Pembelajaran dilaksanakan untuk mencapai hasil belajar sebagai tujuan. Terhadap proses pembelajaran, guru dituntut kreativitasnya untuk meningkatkan kemandirian dan keaktifan siswa dalam belajar dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mencari, mengusahakan dan menemukan sendiri ilmu pengetahuan. Usaha peningkatan hasil belajar siswa bagi guru merupakan suatu kewajiban dan wujud keprofesionalan seorang guru. Guru menurut kodratnya sebagai agen perubahan haruslah selalu tanggap dan peka terhadap apa yang terjadi baik dilingkungannya maupun di luar lingkungannya. Pembelajaran kooperatif model Jigsaw diharapkan siswa secara aktif membangun pengetahuannya baik secara individu maupun dengan bantuan teman sebaya. Dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran 53 kooperatif model Jigsaw yang mungkin dapat memecahkan masalah rendahnya hasil belajar PKn pada siswa kelas XI SMK Muhammadiyah Pakem. Sebab pembelajaran kooperatif model Jigsaw memiliki karakteristikkarakteristik yang berhubungan erat dengan permasalahan yang ada. Pembelajaran kooperatif model Jigsaw, selain melatih membiasakan siswa melaksanakan tanggung jawabnya secara pribadi maupun kelompok juga melatih siswa mau menerima saran, kritik, dari semua orang. Demikian pula dengan sistem pengelolaan kelas dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pembelajaran. Hasil belajar yang mengakomodasikan kemampuan kognitif, kemampuan afektif dan psikomotorik direncanakan pencapaiannya dengan pengukuran lewat instrumen penilaian yang tepat. Siswa diusahakan dapat membangun pengetahuannya secara runtut melalui demonstrasi keterampilan dan penyajian informasi tahap demi tahap dengan bimbingan dan pelatihan dari guru. Proses belajar diusahakan sedapat mungkin dihubungkan dengan lingkungan sehingga siswa dapat menerapkan konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan Pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat digambarkan dalam kerangka berfikir sebagai berikut; 54 Kelompok Eksperimen Guru menggunakan Metode Jigsaw Prestasi Belajar Kelompok Kontrol Guru menggunakan Siswa Metode Konvensional Gambar 2: Kerangka Pemikiran Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif model Jigsaw guru menerapkan pembelajaran kooperatif model Jigsaw dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Pembelajaran kooperatif model Jigsaw juga dapat meningkatkan proses pembelajaran yang lebih efektif serta mampu memberikan pembelajaran yang kooperatif antar siswa, dan siswa diharapkan mampu saling memahami terhadap materi yang diajarkan. Ketika tanpa menggunakan pembelajaran kooperatif model jigsaw, atau menggunakan metode pembelajaran konvensional dimana siswa hanya datang, duduk, diam, catat dan hafal seolah-olah pembelajaran hanya oleh guru saja (teacher centered), tetapi setelah menggunakan pembelajaran kooperatif model Jigsaw antara guru dan siswa sama-sama dalam kondisi aktif, sehingga pembelajaran kooperatif model jigsaw ini dianggap sebagai model yang tepat dalam penerapan pembelajaran pada mata pelajaran PKn untuk meningkatkan prestasi belajar siswa di kelas XI SMK Muhammadiyah Pakem. 55 I. Hipotesis Menurut Arikunto (1996:62), hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan kerangka berfikir yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan prestasi belajar siswa antara yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan model pembelajaran konvensional. 56