Bab IV SYARAT BATAS DALAM PEMROGRAMAN

advertisement
Bab IV
SYARAT BATAS DALAM
PEMROGRAMAN
Sintesis populasi pada tesis ini dilakukan dengan menggunakan parameterparameter yang telah didefinisikan sebelumnya. Pemodelan evolusi bintang
dan sintesis populasi tidaklah mudah karena melibatkan banyak sekali parameter yang bahkan mungkin banyak yang belum dapat diketahui dengan pasti
nilainya. Oleh sebab itu pengerjaan tesis kali ini hanya memberikan syarat
batas pada beberapa parameter penting. Walaupun masih banyak penyederhanaan dan asumsi yang dipakai tetapi diharapkan dapat memberikan hasil
yang representatif untuk sintesis populasi sistem post-CE.
Parameter-parameter yang ditentukan nilai syarat batasnya adalah massa
bintang primer, massa bintang sekunder, periode dan angin bintang. Massa
bintang primer dan sekunder serta periode adalah tiga input utama dalam program evolusi Eggleton sedangkan angin bintang dan metalisitas adalah parameter yang sangat mempengaruhi evolusi suatu bintang.
IV.1
Massa Bintang Primer
Seluruh sistem progenitor CV yang akan dievolusikan dianggap memiliki komposisi sama karena berasal dari materi pembentuk yang sama. Besar massa
bintang primer dipilih berdasarkan Initial Mass Function (IMF) dari Miller &
Scalo (1979) dan telah diaproksimasi oleh Eggleton et al. (1989).
m1 =
(1 −
X)0.75
0.19X
+ 0.032(1 − X)0.25
(IV.1)
dengan m1 adalah massa bintang primer dan X merupakan nilai acak antara 0 dan 1. Besar massa bintang primer yang diperoleh dari IMF pada
persamaan IV.1 menunjukkan hasil dimana bintang baru yang dibentuk di
13
awan cenderung memiliki massa kecil. Walaupun demikian masih ada bintangbintang bermassa besar yang terbentuk. Agar massa bintang yang dipilih oleh
IMF tidak terlalu besar atau terlalu kecil diambil batasan kedua yaitu hanya
bintang-bintang dengan massa antara 1.00M < m1 < 9.0M yang akan
dievolusikan. Batas bawah massa diambil untuk menjamin bahwa bintangbintang tersebut telah berevolusi pada batas usia yang telah ditentukan, yaitu
1.2 × 1010 tahun. Batasan sebelumnya yang digunakan pada proposal pengajuan tesis dan juga oleh Ginanjar (2006) adalah 0.95M < m1 < 9.0M . Selama proses pengerjaan tesis diketahui bahwa bintang-bintang dengan massa
< 1.00M ternyata belum berevolusi menuju cabang raksasa merah hingga
batas usia yang ditentukan.
Gambar IV.1: IMF dari Miller & Scalo (1979), ditunjukkan dengan titik, yang telah diaproksimasi oleh Eggleton et al. (1989) menggunakan persamaan IV.1. Hasil
aproksimasi ditunjukkan oleh garis kurva. (Eggleton et al. 1989)
14
Gambar IV.2: Grafik radius terhadap usia untuk bintang 1.00M . Radius bintang belum
berubah hingga usia 12 milyar tahun. Bintang belum meninggalkan deret
utama menuju cabang raksasa hingga batas usia tersebut.
IV.2
Massa Bintang Sekunder
Massa bintang sekunder ditentukan dengan menggunakan rasio massa (q)
dimana q adalah perbandingan massa bintang sekunder terhadap bintang
primer. Rasio massa yang digunakan memiliki distribusi tersendiri yang diambil dari fungsi probabilitas distribusi q oleh Howell, Nelson & Rappaport
(2001)
5
f (q) = q 0.25
4
(IV.2)
dengan q pada persamaan IV.2 merupakan nilai acak antara 0 dan 1. Nilai
rasio massa diperoleh dari hasil integrasi persamaan IV.2 antara 0 hingga q.
15
Pada pengerjaan tesis ini nilai rasio massa yang digunakan dibatasi hanya pada
rasio massa q < 0.4. Batasan nilai ini dipilih agar terjadi transfer massa yang
tidak stabil untuk menjamin terjadinya tahap CE. Jika nilai q terlalu besar,
q > 0.5, transfer massa dari primer ke sekunder terjadi dengan stabil dan tidak
akan terjadi CE. Massa sekunder sebagai input dalam program STAR dihitung
dari
q=
m2
m1
(IV.3)
Selain syarat batas nilai q, diberikan juga batasan massa untuk bintang sekunder agar dapat dievolusikan. Batasan massa minimum untuk bintang sekunder
adalah 0.08M .
IV.3
Periode
Periode adalah salah satu input utama dalam program STAR dan nilainya
diambil dari distribusi seragam log (P) dengan nilai P antara 1 hari hingga
106 tahun. Dengan demikian akan diperoleh rentang log (P) antara 0 hingga
8.5623 untuk rentang P yang diberikan. Pemilihan input periode dilakukan
dengan menggunakan persamaan sederhana
P = 10k.rand
(IV.4)
Pada persamaan di atas k bernilai 8.5623 dan rand = random number antara
0 dan 1. Dengan demikian nilai periode akan memiliki nilai 1 jika rand = 0
dan akan bernilai 108.5623 untuk rand = 1.
IV.4
Roche Lobe
Selain ketiga syarat utama m1 , m2 dan P , diberikan juga syarat tambahan
untuk sistem yang akan dievolusikan, yaitu bintang primer belum memenuhi
16
roche lobe-nya atau dengan kata lain R1 < RL,1 . Radius bintang primer dihitung dari hubungan radius terhadap massa bintang untuk bintang deret utama
(Harmanec 1988). Dari data tersebut Ginanjar (2006) melakukan regresi linier untuk menghitung radius bintang primer berdasarkan massanya. Ginanjar
(2006) melakukan dua buah regresi dengan batas massa 2.91M . Ini dilakukan
dengan mempertimbangkan adanya perbedaan kemiringan jika data di-plot secara linier. Kedua persamaan regresi yang telah dihitung oleh Ginanjar adalah
sebagai berikut:

 0.9221M + 0.1268
R=
 0.2566M + 1.9352
untuk M < 2.91M
untuk M ≥ 2.91M
Sedangkan besar roche lobe bintang primer, RL,1 , dihitung dari persamaan
RL,1 =
0.49q −2/3
ai
0.6q −2/3 + ln(1 + q −1/3 )
(IV.5)
yang diberikan oleh Eggleton (1983) dimana q adalah rasio massa dan ai adalah
separasi awal sistem sebelum terjadi CE. Tentunya agar besar RL,1 dapat dihitung diperlukan nilai ai yang diperoleh dari hukum Kepler III
a3
= m1 + m2
P2
(IV.6)
Karena input m1 , m2 dan P telah diperoleh dari simulasi random number
maka separasi awal dan roche lobe bintang primer dapat dihitung.
IV.5
Angin Bintang
Angin bintang adalah sebuah parameter yang mutlak digunakan agar model
evolusi yang dilakukan realistis, karena sekecil apa pun suatu bintang pastilah
memiliki besar angin bintang tertentu. Parameter inilah yang akan ditelaah
17
pengaruhnya terhadap sintesis populasi sistem CV pada tahap post-CE. Pada
tesis ini evolusi dan sintesis populasi dilakukan dengan menggunakan model
angin Reimers (Reimers 1975). Angin bintang model Reimers dihitung dengan
persamaan
Ṁ = −4 × 10−13 ηR
L
(M yr−1 )
gR
(IV.7)
Selama melakukan running program terjadi perubahan model angin yang digunakan dari model de Jager, Nieuwenhuijzen, dan van der Hucht (1988) menjadi
model Reimers. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada bab 5 mengenai
angin bintang. Sintesis populasi untuk tesis ini dilakukan dengan beberapa nilai parameter angin bintang, yaitu tanpa angin bintang (0.0) dan dengan angin
sebesar 0.3 dan 0.5. Jejak angin bintang berubah bergantung pada besar angin
bintang yang digunakan. Alasan pengambilan nilai-nilai yang digunakan juga
dijelaskan pada bab 5.
IV.6
Zero Age Horizontal Branch
Zero Age Horizontal Branch (ZAHB) adalah posisi bintang-bintang horizontal
branch pada diagram HR ketika baru saja terbentuk. Secara fisis, bintang HB
adalah bintang yang sedang berada pada tahap pembakaran helium di pusat
setelah melewati fase raksasa merah. Evolusi menuju HB adalah tahapan evolusi yang sulit dianalisis karena bintang harus melalui core helium flash yang
sangat hebat dan sangat cepat. Sejak pemodelan evolusi bintang dapat dilakukan hanya beberapa yang dapat mengikuti evolusi bintang melalui tahap
tersebut. He-flash adalah peristiwa fenomenal dimana terjadi perubahan luminositas dan struktur bagian dalam bintang dalam waktu yang sangat cepat.
Oleh sebab itu program harus dapat mengambil time-step yang sangat ekstrim
mencapai orde detik agar dapat mengikuti fase ini. Di lain pihak, terjadi perubahan drastis pada bagian inti sementara bagian selubung tidak berubah
sama sekali, menyebabkan kalkulasi numerik menjadi tidak stabil dan tidak
18
konvergen. Pada beberapa kasus perhitungan numerik He-flash hanya bisa
dilakukan untuk bintang-bintang dengan massa cukup besar dimana kondisi
degenerasi inti bintang tidak terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan jejak evolusi
bintang menjadi tidak lengkap dengan ketiadaan jejak menuju HB. Karena
alasan tersebut sebagian besar model HB dihitung dengan memulai proses
baru pada tahap HB, dimana struktur awal model HB diambil dari ujung cabang raksasa, dengan menganggap tidak terjadi perubahan struktur materi
yang signifikan.
Saat ini perkembangan teknologi memberikan kesempatan lebih besar untuk dapat mengikuti proses He-flash menuju HB secara numerik, salah satunya adalah pekerjaan yang dilakukan oleh Serenelli & Weiss (2005). Untuk mengikuti evolusi bintang sejak He-flash Serenelli & Weiss (2005) menggunakan Garching evolution code. Model yang dievolusikan adalah bintang
dengan massa 0.8M < M < 0.9M dengan metalisitas Z = 0.0001 dan
0.0003 untuk meliputi titik belok gugus bola berusia 8–12 Gyr.
Gambar IV.3: Jejak evolusi bintang bermassa 0.85M dengan Z = 0.0001 sejak ZAMS
hingga awal AGB (Serenelli & Weiss 2005)
19
Dalam pengerjaan tesis ini evolusi menuju HB tidak akan dilakukan karena
program evolusi dari Eggleton tidak dapat mengikuti evolusi sejak He-flash
dengan time-step yang sangat kecil. Ini adalah limitasi pada program STAR
karena program menjadi tidak stabil dan tidak konvergen jika evolusi terjadi
dalam waktu sangat cepat, misalnya saat He-flash atau C-flash. Agar evolusi
bintang-bintang bermassa kecil tetap dapat diikuti hingga tuntas maka tahap
setelah He-flash dilompati dan dilanjutkan sejak ZAHB. Untuk itu perlu dibuat
model ZAHB dengan struktur menyerupai struktur pada raksasa merah. Model
ZAHB dapat dibuat oleh program STAR dengan menggunakan input khusus.
Proses pembuatan model ZAHB dilakukan dengan mengacu pada pekerjaan
O. R. Pols (Pols et al. 1998). Proses pembuatan ZAHB dijelaskan pada bab
sintesis populasi dengan program STAR.
IV.7
Sistem Post-CE
Sistem post-CE adalah sistem bintang progenitor yang telah dievolusikan dan
mengalami tahap CE dan berhasil melewati tahap CE. Sistem yang berhasil
melewati CE akan memiliki massa inti helium dari bintang primer dengan bintang sekunder yang belum mulai berevolusi serta separasi yang lebih dekat
dibandingkan separasi awal. Pada program STAR sistem dianggap mengalami
tahap CE jika radius bintang primer sama dengan radius roche lobe disertai
perubahan periode orbital secara drastis. Selanjutnya harus diperiksa apakah
sistem selamat dari tahap CE dengan memeriksa roche lobe dari bintang sekunder. Sistem dikategorikan sebagai sistem post-CE jika telah memenuhi syarat
RL,1 = R1 dan dP/dt < −1.0 × 10−6 serta RL,2 > R2 . Roche lobe sekunder
dihitung dengan persamaan seperti pada IV.5 dengan mengganti separasi awal
ai menjadi separasi akhir af .
RL,2 =
0.49q −2/3
af
0.6q −2/3 + ln(1 + q −1/3 )
20
(IV.8)
Besar af diperoleh dari metode lain untuk menghitung perubahan separasi
akhir (Af ) terhadap separasi awal (Af ) dengan bergantung perubahan momentum sudut sebelum dan setelah terjadi CE (Webbink 2007).
Af
=
Ai
M1
M2
2 M1c + M2
M1 + M2
2
M1 − M1c
1−γ
M1 + M2
(IV.9)
Nilai γ dinyatakan dengan
M1 − M1c
Ji − Jf
=γ
Ji
M1 + M2
(IV.10)
Ji menyatakan momentum sudut sistem sebelum selubung terlepas sedangkan Jf adalah momentum sudut sistem setelah selubung lepas. Secara berurutan M1 , M2 , M1 c adalah massa primer, massa sekunder dan massa inti bintang primer.
21
Download