PERLINDUNGAN HUKUM EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : GARI ICHSAN PUTRO (1111048000053) KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015M PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: Gari Ichsan Putro 1111048000053 Di Bawah Bimbingan: KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH J A K A R T A 1436H/2015M i ii LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 28 Mei 2015 Gari Ichsan Putro iii ABSTRAK GARI ICHSAN PUTRO. NIM 1111048000053, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif ini menganalisis Hidayatullah Jakarta, 2015, X+76 halaman. Penelitian perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial, yang membahas mengenai tinjauan umum hak kekayaan intelektual dan ekspresi budaya tradisional. Selain itu, penulis juga akan membahas perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional baik secara umum dan nasional. Selanjutnya, akan dianalisis mengenai konsep benefit sharing untuk kepentingan komersial. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum dan secara praktis maupun akademis sebagai masukan bagi pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional dalam hal kepentingan komersial dan penerapan konsep benefit sharing. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundangundangan, literatur, pendapat ahli. Penulis menganalisis perlindungan hukum pengetahuan tradisonal untuk kepentingan komersial, sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang tertera bahwa negara sebagai pemegang atas ekspresi budaya tradisional. Kata Kunci : Hak Kekayaan Intelektual, Ekspresi Budaya Tradisional, Komersial, Benefit sharing Pembimbing : Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM. Fitria SH. MR Daftar Pustaka : Tahun 1990 Sampai Tahun 2014 iv KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”. Shalawat serta salam disampaikan kepada junjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purqon, MA., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM. dan Fitria SH. MR.. Selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan v arahan selama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah diberikan. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 5. Kepada staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staff Perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk studi kepustakaan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Kedua orang tua tercinta H. Giyanto SH., MH. Dan Hj. Enny Hudikari SH., yang selalu mendoakan, mendidik dan mencurahkan kasih sayangnya, serta adikku tercinta Yunita Karimah yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Shabrina Amelia Ronny, terima kasih atas semangat, dukungan, kasih sayang dan waktunya yang tiada henti sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman Ilmu Hukum Ridwan Ardy P., Ade Putra Indrawan, Ahmad Bustomi Kamil, Dwi Puji apriyantok, Nanda Narendra Putra, Azhar Nur vi F.A., Mazda Hamdi, Marwan, teman-teman AMPUH, BLC, dan MCC dan teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan, bantuan dan kesan-kesannya selama penulis menimba ilmu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menimba ilmu dan menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan membalas kebaikan mereka. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan maaf apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 28 Mei 2015 Penulis vii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................ii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................iii ABSTRAK ............................................................................................................iv KATA PENGANTAR .......................................................................................v DAFTAR ISI ......................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................................7 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ........................................................8 D. Tinjuan (Review) Kajian Terdahulu .................................................8 E. Kerangka Konseptual .........................................................................11 F. Metode Penelitian ...............................................................................13 G. Sistematika Penulisan .........................................................................16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual .....................................................18 B. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual ................................................21 viii C. Tujuan Hak Kekayaan Intelektual ......................................................24 D. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional ............................................30 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Undang-Undang Hak Cipta .....37 1. Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ....37 2. Pengaturan Hukum Mengenai Ekspresi Budaya Tradisional ......42 B. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional .......................................47 C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Terhadap Kepentingan Komersial ...........................................................................................50 BAB IV ANALISIS MENGENAI PENERAPAN KONSEP BENEFIT SHARING SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Penggunaan Ekspresi Budaya Tradisional Yang Menyimpang .......54 1. Reog Ponorogo .........................................................................56 2. Angklung .................................................................................58 B. Benefit Sharing Dalam Ekspresi Budaya Tradisional .....................61 1. Aplikasi Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Bagi Aset Intelektual Daerah .....................................................................62 2. Pemanfaatan Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Pihak Asing ...................................................................................................64 ix 3. Konsep Eksploitasi Komersial Yang Sah Atas Ekspresi Budaya Tradisional ................................................................................65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................................72 B. Saran ...................................................................................................73 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................74 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya tradisional merupakan hasil pemikiran atau ide yang bisa terjadi pada setiap diri manusia berdasarkan kemampuan, keahlian dan keterampilan yang mereka punya. Karya-karya tersebut dihasilkan di daerah mereka berada. Karya tradisional perlu dilindungi karena termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang mengandung hak eksklusif artinya hak yang melekat pada diri manusia. Suatu karya tradisional patut dilindungi agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan seperti pembajakan, plagiat, dan kejahatan lainnya. Dengan kata lain, perlindungan terhadap karya tradisional diperlukan agar hasil karya yang mereka lahirkan tidak dapat direbut atau diakui oleh mereka yang tidak menyadari pentingnya HKI. Munculnya ketidakadilan yang dirasakan oleh negara berkembang terjadi karena ekspresi budaya tradisional bangsa-bangsa di dunia ketiga itu tidak mendapat perlindungan sebagaimana kekayaan intelektual di negara maju.1 Masalah hak cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi ekonomi di satu pihak dan masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia di pihak lain. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia masih dalam masa 1 Agus Sardojono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Bandung: PT Alumni, 2010) h. 35. 1 2 transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami masalah hak cipta yang sebelumnya tidak kenal. Masyarakat transisi industrial digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak individual-modern. Perubahan itu berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses pembangunan yang dilakukan. Dalam masyarakat semacam itu, hukum yang mengatur juga mencerminkan masa peralihan yang digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki dengan langkah yang berbeda, yakni satu kaki sedang melangkah pada corak hukum modern sementara kaki yang lain masih menapak pada hukum tradisional. Demikian halnya dengan hukum yang mengatur masalah hak cipta, meskipun secara normatif tidak banyak mengandung masalah untuk diberlakukan di Indonesia, akan tetapi secara kultural akan banyak mengalami problem dalam pelaksaannya.2 HKI mencegah dilakukannya tindakan penjiplakan atau plagiat, yaitu suatu tindakan dengan maksud menarik keuntungan dari ciptaan-ciptaan yang merupakan kekayaan intelektual seseorang. HKI juga menetapkan kaidah-kaidah hukum yang mengatur ganti rugi yang harus dipikul oleh orang yang melanggarnya dengan melakukan tindakan penjiplakan.3 2 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) h. 201-202. 3 Ibid, h. 190. 3 Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan Pemerintah mengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) adalah upaya sungguhsungguh dari negara untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pencipta dan pemilik Hak Terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas nasional. Teringkarinya hak ekonomi dan hak moral dapat mengikis motivasi para Pencipta dan pemilik Hak Terkait untuk berkreasi. Hilangnya motivasi seperti ini akan berdampak luas pada runtuhnya kreativitas makro bangsa Indonesia. Bercermin kepada negara-negara maju tampak bahwa pelindungan yang memadai terhadap Hak Cipta telah berhasil membawa pertumbuhan ekonorni kreatif secara signifikan dan mernberikan kontribusi nyata bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan hak-hak penduduk asli telah menjadi sumber perdebatan tahun terakhir ini. Perkembangan untuk memecahkan isu-isu sekitar pokok masalah ini tidaklah mudah mengingat rumitnya pokok masalah ini dan kontradiksi-kontradiksi untuk mengakui bentuk-bentuk perlindungan. Sejumlah kasus yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah mengenai penyalahgunaan terhadap sumber-sumber daya biologis dan sumber daya genetika, dan/atau yang berhubungan dengan ekspresi budaya tradisional telah menyoroti kebutuhan dan menekankan urgensi untuk memusatkan perhatian pada isu ini, karena 4 meningkatnya “biopiracy” tanpa persetujuan atau ijin dari para pemegang hak dan tanpa kompensasi yang memadai.4 Di tingkat Internasional, Indonesia telah ikut serta menjadi anggota dalam Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual) yang selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensi penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan TRIPs membawa pengaruh bagi Indonesia untuk mengakomodasi semua peraturan HAKI. Di samping itu, untuk perlindungan secara internasioanl TRIPs mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan Paris Convention (1967), Bern Convention (1971), Rome Convention (1961) dan Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989) (Article 2and Article 3, TRIPs Agreement 1994). Isyarat itu sudah barang tentu menghendaki agar Indonesia turut meratifikasi keempat konvensi itu di samping WTO yang sudah diratifikasi. Sampai saat ini dari keempat konvensi itu, Indonesia baru hanya meratifikasi 4 Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, (Depok: LPHI-FHUI, 2005) h. 17. 5 dua konvensi dari 4 konvensi yang diharuskan tersebut yakni Paris Convention (1967) dan Bern Convention (1971).5 Seiring dengan masuknya TRIPs Agreement dalam WTO, muncul anggapan pada sebagian masyarakat bahwa sistem HKI merupakan salah satu alat bagi negara maju untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka. Anggapan ini tidak seluruhnya benar karena sesungguhnya yang kaya akan sumber daya alam akan turut terlindungi. Tentunya hal ini sangat tergantung bagi negara yang bersangkutan mau memanfaatkannya atau tidak melalui pengembangan sistem HKI yang ada. Kekayaan alam yang dimiliki oleh negara berkembang yang terkait dengan indikasi geografis, ekspresi budaya tradisional termasuk ekspresi foklor dan sumber daya genetika perlu mendapatkan perhatian lebih karena ini merupakan aset yang sangat potensial bagi kemakmuran bangsa.6 Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang berjudul „Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui‟ menetapkan : 1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. 2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 5 6 Ok Saidin,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 24. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, (Depok: LPHI-FHUI, 2005), h. 2. 6 3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Undang-undang Hak Cipta Tahun 2014 secara garis besar mengatur yang membedakan dengan Undang-undang sebelumnya yaitu, pelindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di berbagai negara sehingga .jangka waktu pelindungan Hak Cipta di bidang tertentu diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Pelindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau Pemilik Hak Terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat). Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana. Berbicara mengenai HKI, perlu dipahami kembali bahwa HKI bukan masalah perlindungan hukum semata. HKI juga terkait erat dengan alih teknologi, pembangunan ekonomi, dan martabat bangsa. Dalam suatu hasil kajian yang dilakukan WIPO dinyatakan bahwa HKI merupakan sebuah kekuatan yang dapat dipergunakan untuk memperkaya kehidupan seseorang dan masa depan suatu bangsa secara material, budaya dan sosial. Dengan demikian, pengembangan sistem HKI nasional sebaiknya tidak hanya dilakukan dengan pendekatan hukum (legal approach) tapi juga dengan pendekatan teknologi dan bisnis (business and technological approach). 7 Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, jelas pula bahwa pengembangan sistem HKI nasional bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab satu instansi, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, tetapi juga perlu didukung oleh berbagai pihak. Jalinan kerja sama dan koordinasi yang baik dengan berbagai instansi pemerintah terkait dan juga kalangan swasta akan sangat membantu pencapaian tujuan sistem HKI nasional. Hal yang tidak kalah penting adalah partisipasi masyarakat yang semakin memahami dan sadar akan keberadaan dan pentingnya HKI.7 Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis dalam bentuk penelitian dengan judul sebagai berikut: “Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan hak kekayaan intelektual, maka di dalam penelitian ini akan difokuskan pada perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional dari sudut pandang Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Kemudian mengambil contoh Reog Ponorogo dan Angklung. 2. Rumusan Masalah 7 Ibid, h. 5-6. 8 Mengacu pada latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah perlindungan hukum mengenai ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta? b. Bagaimanakah implementasi ketentuan mengenai benefit sharing sebagai bentuk perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan agar diperoleh tujuan antara lain: a. Untuk mendeskripsikan perlindungan hukum mengenai ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial menurut Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. b. Untuk mendeskripsikan implementasi ketentuan mengenai benefit sharing sebagai bentuk perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh kalangan akademisi bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum Hak Kekayaan Intelektual. Penelitian ini dapat menjadi aset pengetahuan Hak Kekayaan Intelektual yang berguna serta dapat menjadi aset pustaka untuk dilanjutkan pada penelitian sejenis. Hasil penelitian ini 9 dapat menjadi masukan terhadap hal hak kekayaan intelektual sebagaimana perlu perlindungan hukum. D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Sebelumnya pernah ada penelitian yang membahas mengenai ekspresi budaya tradisional dan hak kekayaan intelektual di indonesia di antaranya: 1. Judul, “Penerapan Pembayaran Royalti Bagi Pencipta Lagu Dalam Hak Cipta Atas Kegiatan Usaha Karaoke Oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI)” yang disusun oleh Iffah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, yang membahas mengenai pengaturan Hak Cipta dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kemudian membahas hubungan dan pembayaran royalti antara Yayasan Karya Cipta Indonesia dengan Pencipta dan Pengusaha Karaoke sebagai Pengguna (User). Sementara penulis membahas mengenai perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional dalam kepentingan komersial dan benefit sharing. 2. Judul, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Upaya Perlindungan Pengetahuan Tradisional Milik Negara Berkembang” yang disusun oleh Rizki Kusumastuti, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2006, yang membahas mengenai pentingnya pemberian perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional bagi negara-negara berkembang. skripsi tersebut juga membahas mengenai perlindungan hukum terhadap 10 pengetahuan tradisional oleh WIPO, dan pengaturan berdasarkan UNCBD dan TRIPs serta implementasi ketentuan-ketentuan UNCBD dan TRIPs terhadap kasus-kasus penyalahgunaan (misappropriation) pengetahuan tradisional milik negara berkembang. Yang membedakan skripsi ini dengan penelitian yang diangkat oleh penulis adalah mengenai fokus masalah dimana dalam penelitian akan menekankan pada perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Kemudian penulis juga membahas implementasi ketentuan mengenai benefit sharing terhadap pengetahuan berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jadi melihat skripsi terdahulu lebih menekankan pada lingkup internasional karena di sana menyangkut negara-negara berkembang, sementara penulis berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan TRIPs. 3. Judul, “Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar”, yang ditulis oleh Tim Lindsey, dkk. Diterbitkan oleh PT Alumni pada tahun 2006. Buku ini merupakan referensi yang cukup baik bagi mereka yang ingin mengetahui aspek-aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual dan cara-cara penggunaannya. Dalam pembahasannya, buku tersebut juga menyediakan contoh-contoh studi kasus yang terjadi di kehidupan nyata, sehingga pembaca bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang setiap topik mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Dalam buku ini juga disinggung mengenai Perlindungan Pengetahuan Tradisional sehingga 11 dapat menambah wawasan dalam hal tersebut. Sistematika yang disajikan oleh buku ini tidak terlalu sistematis karena susunan topic-topik yang disajikan terkadang tidak berkesinambungan antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pembaca yang awam terhadap masalah-masalah dalam Hak Kekayaan Intelektual akan sulit untuk memahami inti pembicaraan dari buku ini secara keseluruhan. Secara fisik, buku ini dalam kondisi yang cukup baik, karena halaman-halamannya masih lengkap dan tidak ada yang tersobek sedikit pun. E. Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan : Hak Cipta, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa menurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencipta, berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan bersifat pribadi. Ciptaan, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, 12 pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ekspresi Budaya Tradisional, berdasarkan pengertian yang diberikan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization), adalah pengetahuan, know-how, keterampilan dan praktek yang dikembangkan, dipertahankan dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam masyarakat, yang sering membentuk bagian dari identitas budaya atau spiritual dari masyarakat tersebut.8 Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-menurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnomenic device).9 Indigenous people adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat asli.10 Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. 8 WIPO, Traditional http://www.wipo.int/tk/en/tk/ 9 Knowledge, diakses pada 8 Oktober 2014 dari James Danandjaja, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 2. 10 Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, Dan Praktiknya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 23. 13 Misappropriation diartikan sebagai penggunaan oleh pihak asing dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati yang terkait, yang menjadi milik masyarakat yang bersangkutan.11 F. Metode Penelitian Penulisan ini menggunakan metodologi penelitian yang dibagi atas: 1. Tipe Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta pengumpulan data melalui studi kepustakaan12 yang digunakan adalah bahan-bahan yang ada kaitannya dengan judul, di mana bahan-bahan yang penulis dapatkan melalui buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan judul/bahan-bahan kuliah, artikel-artikel majalah maupun surat kabar dan sebagainya. Penulis juga menggunakan wawancara dan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. 2. Pendekatan Penelitian Pada pendekatan undang-undang13 sehubungan kaitannya dengan “Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta” penulis merujuk pada Undang-undang Hak Cipta yaitu 11 Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual Dan Pengetahuan Tradisional, (Bandund: PTAlmuni, 2010), h. 11. 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 65. 13 Ibid, h. 93. 14 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jika melihat undang-undang yang ada lebih spesifik dapat melihat dalam undangundang hak cipta pasal 38 mengenai karya tradisional tersebut. Dalam pendekatan historis, Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual 15 di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. 3. Sumber Penelitian (Bahan yang Dijadikan Rujukan)14 a. Bahan Hukum Primer Untuk ketentuan yuridis, penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. b. Bahan Hukum Sekunder Dalam penulisan ini penulis juga menggunakan berbagai buku ilmiah, bahan kuliah, artikel-artikel baik dari majalah, surat kabar serta hasil penelitian yang telah ada sesuai dengan judul. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier yang digunakan penulis di antaranya kamus hukum dan kamus lengkap bahasa Indonesia. 4. Metode Pengumpulan Data15 Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan pasar modal, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 5. Metode Pengolahan dan Analisa Data 14 15 Ibid, h. 141-142. Ibid, h. 141. 16 Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. 6. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. G. Sistematika Penulisan Ada pun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut: Bab I adalah Pendahuluan, pada bab ini akan membahas latarbelakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, kerangka konseptual serta sistematika penulisan. Bab II adalah Tinjauan Umum, bab ini akan membahas mengenai sejarah Hak Kekayaan Intelektual, pengertian Hak Kekayaan Intelektual, tujuan Hak Kekayaan Intelektual, dan pengertian ekspresi budaya tradisional. 17 Bab III membahas tentang bentuk perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional. Yang memuat perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam undang-undang nasional dan secara umum. Bab IV adalah Analisis, bab ini akan membahas mengenai penerapan konsep benefit sharing untuk kepentingan komersial. Dalam bab ini membahas penggunaan ekspresi budaya tradisional yang menyimpang (seperti Reog Ponorogo dan Angklung). Selain itu, membahas benefit sharing dalam ekspresi budaya tradisional. Bab V adalah Penutup, bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian dari skripsi dan saran-saran yang dikemukakan dari hasil penelitian. 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual Sejak awal tahun 1980-an, pembaharuan di bidang HKI terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dimulai dari tiga cabang terbesar HKI, yaitu: Hak Cipta, Merek, dan Paten, sampai dengan cabang-cabang lainnya seperti Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Varietas Tanaman. Menanggapi pembaharuan yang telah dilakukan oleh pemerintah, banyak pengamat HKI menilai kebijakan itu lebih disebabkan karena faktor keterpaksaan dari pada kebutuhan. Timbulnya anggapan demikian didasarkan pada pengamatan bahwa pembaharuan muncul bukan atas kesadaran sendiri melainkan karena tekanan dari negara-negara maju. Seorang pengamat HKI, Christoph Antons menangkap kesan ini dengan mengatakan bahwa “ketertarikan pemerintah Indonesia terhadap hukum HaKI lebih disebabkan oleh tekanan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat”. Pada pertengahan tahun 1990-an fokus diskusi HKI mulai bergeser dari isu nasional ke isu internasional. Negara-negara maju yang memprakarsai perlindungan HKI secara internasional mulai menunjukan eksistensinya sedangkan negara-negara berkembang hanya 19 bisa pasrah dan menurut kemauan pihak-pihak industri besar setelah mengalami berbagai kekalahan dalam beberapa lobi di tingkat TRIPs, sebuah internasional.16 Terlebih setelah diluncurkannya perjanjian perjanjian internasional tentang perlindungan HKI, ruang gerak untuk menyuarakan ketaksetujuan atas kehadiran HKI, seperti tidak ada lagi. Meskipun perjanjian TRIPs telah dihasilkan dan setiap negara yang tergabung di dalam WTO telah sepakat untuk melindungi HKI sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, keberadaan HKI di dalam perjanjian tersebut tetap dianggap sebagai suatu yang berlebihan, terutama dari sudut pandang negara-negara berkembang. Banyak pihak berpendapat bahwa HKI sebenarnya adalah salah satu bentuk penjajahan baru yang diterapkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan terbelakang. A. Samuel Oddie di dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa perlindungan HKI di bawah perjanjian TRIPs sebagai sebuah “bentuk penjajahan ekonomi yang sopan” (a polite form of economic imperialism). Timbulnya pendapat yang demikian didasarkan pada fakta bahwa keuntungan dan perlindungan HKI lebih dirasakan oleh negaranegara maju ketimbang negara-negara berkembang. Akibatnya, banyak negara berkembang yang bersikeras untuk melindungi HKI tidak seketat negara-negara maju dengan pertimbangan untuk mengurangi monopoli 16 Tim Lindsey, ed., dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Alumni, 2013), h. 73. 20 perusahaan multinasional serta memperlancar proses alih teknologi ke negara-negara berkembang.17 Fenomena di atas telah membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa dari sudut pandang negara-negara berkembang, HKI adalah topik yang kontroversial dan bersifat dilematis. Jika perlindungan HKI dilaksanakan secara ketat, pembangunan akan terhambat. Sebaliknya, kurang memadainya perlindungan hukum di bidang HKI, akan menjadi bumerang dan selanjutnya menjadi landasan kuat bagi World Trade Organization untuk mengeluarkan sanksi dagang terhadap negara-negara berkembang. Sebagai konsekuensinya, manfaat HKI untuk negara-negara berkembang selalu diperdebatkan dengan memfokuskan pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem HKI, seperti mahalnya harga barang dan isu alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Keadaan ini tentu kurang menguntungkan bagi negara-negara berkembang yang nota bene adalah konsumen terbesar dari produk-produk yang sarat HKI. Pertanyaan-pertanyaan penting pun kemudian muncul. Haruskah kita terus menentang perlindungan HKI pasca perjanjian TRIPs ataukah kita mencoba memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan? Jika kita telah memilih sikap, langkah apa yang harus diambil? Menunggu bantuan 17 Ibid, h. 74. 21 dari pihak asing ataukah mencoba berbenah dengan menggali potensi diri sendiri?18 B. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual HKI dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karyakarya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.19 Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio.20 Jadi melihat dari berbagai pengertian HKI, menurut penulis HKI merupakan hak kepemilikan atas suatu benda atau karya yang timbul dari hasil kerja rasio atau intelektual manusia. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan tidak terwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya, yang memiliki nilai-nilai moral, praktis, dan ekonomis. Pada dasarnya yang termasuk dalam lingkup HaKI adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang atau manusia tadi. Hal 18 Ibid, h. 75. 19 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, (Bandung:PT. Alumni, 2003), h. 2. 20 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 9. 22 inilah yang membedakan HaKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam. Karya-karya intelektual tersebut, apakah di bidang ilmu pengetahuan, ataukah seni, sastra, atau teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi property terhadap karyakarya intelektual tadi. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai assets perusahaan.21 Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. 21 Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual,(Bandung: PT Alumni, 2003), h. 2-3. 23 Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.22 Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat menhasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu. Dalam kepustakaan hukum Anglosaxon ada dikenal sebutan intellectual property rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi “Hak Kekayaan Intelektual”. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua Hak Atas Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti 22 h. 9-10. H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 24 yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.23 C. Tujuan Hak Kekayaan Intelektual Hasil dari kejeniusan manusia (juga disebut karya intelektual) telah memberi banyak hal yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan dengan cara lebih baik, mulai dari rumah tempat kita tinggal, peralatan rumah, pakaian, peralatan elektronik, komunikasi, transportasi, peralatan kantor dan masih banyak hal lain. Hal-hal tersebut merupakan hasil karya intektual mereka yang terus menciptakan kreasi, sehingga membuat hidup kita menjadi lebih enak. Kalau mereka tidak mendapatkan insentif atas pembuatan karya intelektual maka akan menyebabkan mereka malas untuk berkreasi. Oleh karena itu perlindungan dibutuhkan untuk mereka yang telah menginvestasikan tenaga, waktu dan uangnya dalam rangka menciptakan karya intektual tersebut.24 Manfaat sistem HKI. Manfaat perlindungan terhadap karya intelektual dapat dilihat dari beberapa sudut kepentingan. Bagi penghasil 23 24 Ibid, h. 10-11. Hak kekayaan intelektual dan perkembangannya: prosiding rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis lainnya tahun 2004: Jakarta 10-11 Februari 2004/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004, h. 3. 25 karya intelektual, guna melindungi investasi dalam bentuk waktu, tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan dalam menghasilkan karya intelektual agar mereka dapat menikmati pendapatan ekonomi/keuntungan dari komersialisasi hasil karya inteltualnya. Bagi pelaku usaha, dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk membangun daya kompetisi usaha. Sistem HKI sebenarnya monopoli yang diberikan negara untuk menggunakan suatu karya intelektual untuk jangka waktu tertentu dan cara tertentu. Maka dengan adanya sistem HKI bagi pelaku usaha adalah membangun daya kompetisi karena monopoli usaha terbangun. Bagi masyarakat luas, secara tidak langsung mereka mendapatkan manfaat berupa tersedianya produk-produk yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih kompetitif dari berbagai hasil inovasi yang diproduksi oleh para pelaku usaha tersebut.25 Bagi negara, secara tidak langsung perlindungan karya intelektual yang diberikan oleh sistem HKI dapat menstimulasi lahirnya atau terjadinya alih penemuan, inovasi dan kreasi yang mendukung pertumbuhan perekonomian nasional. Contoh yang cukup inspiratif adalah negara Jepang, mengapa Jepang bisa maju seperti saat ini? Setelah perang dunia kedua jepang secara militer dihajar habis-habisan. Selain itu untuk bangkit secara ekonomi kendalanya Jepang tidak memiliki sumber daya alam juga minimnya sumber daya manusia, maka satu-satunya jalan 25 Ibid, h. 3-4. 26 adalah membangun melalui industri. Jepang mengeluarkan suatu regulasi yaitu second hand policy yang merupakan larangan untuk mengimpor barang-barang baru. Alasannya adalah barang-barang bekas akan mudah rusak sehingga mereka terpaksa untuk memperbaikinya maka mereka akan mengetahui bagaimana membuat barang yang lebih baik lagi. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membangun budaya inovasi, hal ini sesuai dengan prinsip jepang, yaitu copied, improved and innovation, jadi ditiru dahulu, di-improved kemudian dikembangkan dengan lebih baik.26 Tujuan HKI bagi Pembangunan Indonesia secara umum, ada beberapa manfaat yang diperoleh dari suatu sistem HKI yang baik, yaitu:27 1. HKI meningkatkan posisi perdagangan dan investasi; 2. HKI mengembangkan teknologi; 3. HKI mendorong perusahaan untuk dapat bersaing secara internasional; 4. HKI dapat membantu komersialisasi inventoran dan inovasi secara efektif; 5. HKI dapat mengembangkan sosial budaya; 6. HKI dapat menjaga reputasi Internasional untuk kepentingan ekspor. 26 27 Ibid, h. 5. Tim Lindsey, ed., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT Alumni, 2006), h. 78. 27 Keuntungan yang ditawarkan oleh sistem HKI menjangkau bidang yang sangat luas, tidak hanya di bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga di bidang sosial dan budaya. Hal ini tidak mengherankan mengingat HKI itu sendiri terdiri dari beberapa cabang yang berbeda. Misalnya, Hak Cipta, sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sedangkan paten berhubungan dengan inventoran di bidang teknologi. Eric H.Smith juga menegaskan bahwa manfaat HKI sangat erat kaitannya dengan ekonomi dan investasi. Menurutnya, pelaksanaan HKI yang baik akan membawa manfaat bagi sebuah negara karena beberapa alasan berikut, diantaranya yaitu: 1. HKI mempercepat terjadinya penanaman modal ke sebuah negara baik domestik maupun asing; 2. HKI meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik suatu negara. 1. Mempercepat masuknya penanaman modal asing Saat ini disepakati bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara perlindungan HKI dengan masuknya investor asing ke sebuah negara. Berdasarkan studi yang dilaksanakan di Amerika, diperoleh kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika menempatkan isu perlindungan HKI sebagai faktor yang penting sebelum memutuskan untuk menanamkan modalnya ke sebuah negara yang akan dijadikan mitra dagangnya. Berdasarkan argumentasi ini dapat disimpulkan bahwa semakin baik perangkat 28 hukum HKI dan penegakannya, semakin besar pula minat para investor untuk menanamkan modalnya ke negara tersebut. 2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik Adanya hubungan yang erat antara perlindungan HKI dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik di sebuah negara, sudah tidak dapat disangkal lagi. Misalnya, Amerika Serikat mendapatkan keuntungan secara ekonomi dalam jumlah yang besar dari produk-produk HKI. Sebagai ilustrasi, industriindustri negara adikuasa tersebut memperoleh pemasukan sebesar lebih US$ 8 milyar per tahun melalui pembayaran royalty. Eric H. Smith, ketua perhimpunan HKI internasional, juga sepakat bahwa produk-produk HKI memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan ekonomi dan industri Amerika Serikat. Menurutnya, industri-industri initi di bidang Hak Cipta mampu menyumbang kira-kira 3,7% dari pendapatan per kapita Amerika Serikat. Di bidang tenaga kerja, industri tersebut juga berhasil mempekerjakan 3 juta orang atau 2,5% dari angkatan kerja Amerika Serikat.28 Berdasarkan paparan tersebut, pertanyaan penting yang muncul adalah keuntungan apa yang dapat diperoleh Indonesia dari adanya sistem perlindungan HKI yang efektif? Tidak dapat diargukan lagi, ada beberapa 28 Ibid, h. 79. 29 manfaat utama yang dapat diperoleh Indonesia jika mampu mengoptimalkan perlindungan HKI, yaitu: 1. Membantu menarik minat para investor asing masuk ke Indonesia; 2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang; 3. Mengembangkan teknologi, inovasi dan kreasi. Manfaat tersebut perlu dioptimalkan mengingat saat ini Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan dan perlu jalan alternatif untuk dapat keluar dari keadaan tersebut. Bergantung pada sumberdaya alam untuk membiayai pembangunan negara sudah tidak dapat dijadikan sandaran utama karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, alternatif utama bagi perolehan devisa negara selain sumberdaya alam, perlu dirintis mulai dari sekarang. Dari sekian banyak alternatif yang tersedia, agaknya HKI dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan negara karena prospeknya sangat menjanjikan di masa yang akan datang. Disamping itu, fakta membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kreatif serta memiliki keterampilan yang sangat tinggi di bidang tari, musik, seni rupa maupun seni patung yang sangat potensial untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta. Demikian juga dengan karya cipta yang dihasilkan oleh pengrajin-pengrajin di bidang seni sangat potensial untuk dilindungi dengan UU Desain Industri. 29 29 Ibid, h. 81. 30 Uraian tentang manfaat sistem HKI ini juga dapat menepis pandangan pesimis tentang kehadiran HKI di Indonesia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa Indonesia belum saatnya menerapkan HKI karena tingkat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi tidak semaju negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu lepas landas menuju masyarakat industri. Untuk menguatkan pendapat mereka, para pengamat juga menyodorkan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa HKI lebih banyak mendatangkan kerugian daripada keuntungan kepada Indonesia.30 D. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Istilah traditional knowledge adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, dan know how yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial. Dalam banyak cara, bentuk knowledge tidak seperti yang ada dalam istilah bahasa Inggris sehari-hari. Bentuk khusus dari knowledge merujuk kepada lingkungan pengetahuan tradisional (traditional environment knowledge). Traditional knowledge mulai menjadi berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaruan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati (biological diversity), dan kekayaan intelektual (intellectual property). Masalah ini banyak 30 Ibid, h. 82. 31 menjadi diskursus di lingkungan organisasi internasional, seperti UNDP, UNESCO, dan World Bank.31 Menurut UUHC, yang dimaksud dengan "ekspresi budaya tradisional" mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut: 1. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif; 2. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya; 3. gerak, mencakup antara lain, tarian; 4. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; 5. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya; dan 6. upacara adat. Ekspresi budaya tradisional termasuk juga pengetahuan tradisional yang secara lingkup internasional, mengandung pengertian atas pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dapat dilihat secara 31 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 26-27. 32 lengkap dalam Article 8 J Traditional Knowledge, Innovations, and Practices Introduction yang menyatakan:32 Traditional knowledge refers to the knowledge, innovation and practice of indogenous and local communities around the world. Developed from experience gained over the centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the form of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals, community laws, local language, and agricultural practices, including the development of plant species and animal breeds. Traditional knowledge is mainly of a practical nature, particulary in such field as agriculture, fisheris, health, horticulture, and foresty. (Pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman melalui negara-negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan, pengetahuan tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk cerita, lagu, foklore, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat, bahasa daerah dan praktik pertanian, mencakup pengembangan spesies tumbuhan dan keturunan binatang. Pengetahuan tradisional utamanya merupakan praktik alamiah, secara khusus seperti dalam wilayah pertanian, perikanan, kesehatan, hortikultura dan kehutanan). Sementrara itu masyarakat asli sendiri memiliki pemahaman sendiri yang dimaksud dengan traditional knowledge. Menurut mereka traditional knowledge adalah:33 1. Traditional knowledge merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi. 32 Convention on Biological Diversity, Traditional Knowledge, diakses pada 17 Maret 2015 dari http://www.cbd.int/traditional/intro.shtml 33 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum,(Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2005), h. 29. 33 2. Traditional knowledge merupakan pengetahuan di daerah perkampungan. 3. Traditional knowledge tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya, dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life. Traditional knowledge lahir dari semangat untuk bertahan (survive) 4. Traditional knowledge memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegangnya. Dari pemahaman ini, traditional knowledge dapat diartikan sebagai pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat daerah atau tradisi yang sifatnya turun-menurun. Pengetahuan tradisional itu sendiri ruang lingkupnya sangat luas, dapat meliputi bidang seni, tumbuhan, arsitektur, dan lain sebagainya.34 Menurut Douglas Nakashima, traditional knowledge adalah ilmu pengetahuan yang menjadi bagian dari sistem keilmuan yang menjangkau budaya dan cara hidup masyarakat dan merupakan warisan intelektual.35 Dari berbagai pengertian mengenai pengetahuan tradisional atau traditional knowledge, menurut penulis pengetahuan tradisional adalah ilmu pengetahuan, ekspresi kreatif, dan praktik yang dimiliki oleh masyarakat asli yang menjangkau budaya dengan sifatnya turun menurun dan merupakan warisan intelektual. 34 35 Ibid. Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, (Jakarta: Penaku, 2014) h. 82. 34 Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perlindungan terhadap pengetahuan tradisioanal. Perlindungan tersebut dapat memberi pencipta atau pemegangnya pengakuan yang berguna untuk kontribusi perkembangan pengetahuan tradisional itu sendiri, dan juga kuasa atas pemanfaatannya. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari perlindungan terhadap pengetahuan tradisional antara lain:36 1. Menghilangkan atau mengurangi ketidakadilan; 2. Mencegah penggunaan pengetahuan tersebut melalui cara-cara yang tidak berkenan bagi pemilik aslinya; 3. Pengakuan atas nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan tradisional; 4. Meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal; 5. Penyebaran manfaat pengetahuan tradisional ke seluruh dunia; 6. Melindungi atau memelihara lingkungan. Bagi Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki keanekaragaman hayati dan budaya, perlindungan terhadap pengetahuan tradisional memiliki nilai strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi, dan sosial. Dari segi budaya, adanya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional Indonesia maka kelestarian budaya Indonesia dapat tercapai. Dari segi sosial, dengan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, maka pelestarian nilai36 Rizki Kusumastuti, ”tinjauan hukum internasional terhadap upaya perlindungan pengetahuan tradisional milik negara-negara berkembang, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2006), h. 52. 35 nilai sosial akan terjaga dan terpelihara. Bagi segi ekonomi, dengan dilakukannya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, maka nilai ekonomi yang akan dihasilkan dari pengetahuan tradisional akan memiliki nilai tambah dalam hal ini devisa negara dapat ditingkatkan. Dengan melakukan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional milik bangsa Indonesia, maka peluang untuk dapat melakukan persaingan global akan dapat dilakukan.37 “Indigenous Peoples” adalah istilah yang disepakati dalam hukum internasional untuk menyebut suatu entitas masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri karena latar belakang sejarah, ekonomi, sosial dan budayanya. Secara harfiah istilah tersebut diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “masyarakat asli”. Sebagian penulis ada yang menggunakan istilah “masyarakat asli”, dan sebagian lainnya menggunakan istilah “masyarakat adat”, “bumi putra”.38 Sesuai dengan konteks historis dan sosio-politiknya, ada banyak istilah yang berbeda yang digunakan secara endemik dari satu wilayah ke wilayah lain sebagai padanan kata “indigenous peoples”. Misalnya, “aborigines”, “native peoples”, “ethnic minorities”, “first peoples” and “autochthonous”. Istilah masyarakat asli (indigenous peoples) digunakan oleh organisasi buruh internasional (International Labor OrganizationILO) untuk pertama kali. Konvensi-konvensi organisasi internasional ini, 37 38 Ibid, h 53-54. Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, dan Praktiknya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 39-40. 36 misalnya, menggunakan dua istilah sekaligus yakni „indigenous peoples‟ dan „tribal peoples‟. Pada mulanya, organisasi ini telah merekomendasikan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga merujuk dan menggunakan kedua istilah tersebut, tapi dalam kenyataannya PBB hanya menggunakan satu kata saja, yakni, “indigenous peoples”. Selanjutnya, dalam praktiknya, istilah “indigenous peoples” digunakan secara luas. Masyarakat internasional, baik pemerintahan negara-negara nasional, organisasi internasional termasuk LSM (NonGovernmental Organization-NGO) sudah menggunakan istilah ini secara umum.39 39 Ibid, h. 40-41. 37 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Undang-Undang Hak Cipta 1. Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Indonesia telah mempunyai perangkat perundang-undangan nasional yang lebih sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasionalnya dan lebih kuat dasar hukumnya bagi penegakan perlindungan HKI di Indonesia. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga sampai dewasa ini, penegakan hukum hak cipta masih menghadapi kendala-kendala yang cukup berat. Ada beberapa penyebab (causa) yang menjadikannya demikian. Yaitu, masih kurangnya budaya atau etika bangsa Indonesia untuk mau menghargai ciptaan seseorang; dan kurang pemahaman masyarakat dan penegak hukum tentang arti dan fungsi hak cipta; serta kurangnya fungsi pencegahan (deterrent) dari UUHC yang lama. Penyebab-penyebab ini masih ditambah lagi dengan penyebab lain yang berupa kurangnya koordinasi diantara para penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Instansi Bea Cukai dan instansi terkait 38 lainnya yang membidangi persoalan pelaksanaan dan strategi penegakan hukum Hak Cipta.40 Teknologi digital yang telah berkembang demikian pesatnya pada akhir-akhir ini, menjadikan tersedianya pelbagai peralatan berteknologi canggih yang berkemampuan menggandakan suatu produk bermuatan HKI secara akurat, tidak sulit, cepat dan dengan biaya produksi rendah serta tidak padat karya. Dan bagi seorang pebisnis yang bercita-cita mendapat keuntungan besar dalam waktu singkat dengan biaya produksi rendah, mudah dan segera mendapat keuntungan besar dan cepat tentunya akan mengambil peluang bisnis yang menjanjikan ini, walaupun beresiko besar melanggar rambu-rambu perundang-undangan yang berlaku. Keadaan yang demikian ini membuka kesempatan mempermudah terjadinya pelanggaran berupa pembajakan produk-produk industri hiburan berkandungan hak cipta semakin merajalela akhir-akhir ini.41 Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (disingkat UUHC), Hak Cipta, berdasarkan Pasal 1 angka 1, adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 40 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 258-259. 41 Ibid, h.259. 39 Dari batasan mengenai hak cipta tersebut dapat diketahui unsurunsur dan sifat hak cipta sebagai berikut.42 a. Hak cipta adalah suatu hak eksklusif (exclusive rights) berupa hak yang bersifat khusus, bersifat istimewa yang semata-mata hanya diperuntukkan bagi pencipta atau pemegang hak cipta sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. b. Fungsi hak cipta bagi pencipta atau pemegang hak cipta adalah untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dan atau memberikan izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tersebut. c. Ada pembatasan-pembatasan dalam hal penggunaan hak cipta yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal melaksanakan hak eksklusif pencipta berupa hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau memberi izin pada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tidak sebebasbebasnya. Namun dibatasi oleh ketentuan/hukum dalam UUHC itu sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa dalam hak cipta terkandung fungsi sosial. Dalam penggunaan dan pemanfaatannya, hendaknya mempunyai fungsi sosial. 42 Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.14. 40 d. Hak cipta merupakan benda bergerak yang tidak berwujud (benda immateriil) yang dapat dialihkan atau beralih pada pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian. Perlindungan hukum terhadap hak cipta menurut UUHC selain bersifat administratif juga bersifat perdata, dan pidana. Dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat perdata terhadap hak cipta.43 Rancangan Undang-undang Hak Cipta telah ditetapkan menjadi undang-undang. Undang-undang Hak Cipta yang baru ini (“UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”) akan mengganti Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Berikut telah dipaparkan perbandingan secara umum mengenai hak cipta yang terdapat dalam kedua undangundang tersebut. Perbandingan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Tabel 1 UU No 28 Tahun 2014 Masa berlaku 43 Ibid, h. 15. 70 Tahun UU No 19 Tahun 2002 50 Tahun 41 Hak ekonomi Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta Tidak diatur Pengalihan hak ekonomi Pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan UU, objek jaminan fidusia Mediasi, arbitrase, pengadilan, delik aduan untuk tuntutan pidana Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan UU Lembaga manajemen kolektif Tidak diatur Penyelesaian sengketa Ketentuan lain Pengadilan niaga, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa Persamaan yang terdapat dalam UUHC yang lama dengan yang baru, sama-sama mengatur mengenai hak cipta. UUHC lama dan baru keduanya mengatur hak cipta berdasarkan sifatnya dari hak cipta yaitu mengandung hak moral dan hak ekonomi. Keduanya juga mengatur tentang pengalihan dan berakhirnya hak cipta. Dari persamaan diatas terdapat pula beberapa perbedaan dari isi keduanya, jika dibandingkan dengan tindak pidana dalam UUHC yang lama, maka tindak pidana hak cipta sekarang lebih banyak dan lebih sempurna. Peran dan fungsi hukum pidana semakin kuat dalam memberi perlindungan hukum terhadap hak cipta. Sebagaimana kenyataan selama 42 ini, penegakkan hukum hak cipta masih menghadapi kendala yang cukup berat. Dikatakan Eddy Damian, penyebabnya ialah kurangnya budaya atau etika bangsa Indonesia untuk mau menghargai ciptaan seseorang dan kurang pemahaman masyarakat dan penegakan hukum tentang arti dan fungsi hak cipta; serta kurangnya fungsi pencegahan (deterrent) dari UUHC yang lama.44 Selain itu, sebagai benda bergerak, baik dalam UU No. 19 Tahun 2002 dan UU Hak Cipta Baru diatur mengenai cara mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat UU Hak Cipta Baru ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan wakaf dan dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia. Dalam UU Hak Cipta Baru juga ada yang namanya Lembaga Manajemen Kolektif. Lembaga Manajemen Kolektif, yakni institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UU No. 28 Tahun 2014).45 2. Pengaturan Hukum Mengenai Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia adalah salah negara berkembang yang memiliki banyak sumber daya hayati dan ekspresi budaya tradisional. Namun perlindungan terhadap sumber daya hayati dan terutama ekspresi budaya tradisional 44 45 Ibid, h.17. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54192d63ee29a/ini-hal-baru-yang-diaturdi-uu-hak-cipta-pengganti-uu-no-19-tahun-2002 43 Indonesia belum maksimal. Ini dapat dilihat dari belum adanya ketentuan khusus yang dibuat Pemerintah Indonesia untuk melindungi ekspresi budaya tradisionalnya.46 Indonesia menjadi salah satu negara peserta pendiri (original member) WTO sebagai sebuah lembaga formal. Terbentuknya WTO didasari oleh keinginan kuat negara-negara memulihkan kembali perekonomian yang hancur setelah Perang Dunia II. Perjanjian TRIPs adalah salah satu kesapakatan yang dicapai dalam perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang melahirkan World Trade Organisation Agreement (WTO). TRIPs merupakan instrumen hukum internasional. Berdasarkan Statuta of International of Justice (ICJ) atau Statuta Mahkamah Internasional, perjanjian merupakan salah satu sumber pokok hukum internasional. Namun, TRIPs bukanlah titik awal tumbuhnya konsep Hak Kekayaan Intelektual. Berbagai konvensi internasional telah sejak lama dilahirkan, dan telah beberapa kali diubah. Yang signifikan dan menjadi dasar utama bagi konsep Industrial Property adalah Paris Convention for The Protection of Industrial Property (“Paris Convention”). Sedangkan untuk bidang copyright adalah Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works (“Berne Convention”). Seperti tampak dari dua konvensi diatas secara tradisional hak kekayaan intelektual terbagi 46 Riski Kusumastuti, “tinjuan hukum internasional terhadap upaya perlindungan pengetahuan tradisional milik negara-negara berkembang”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia, 2006), h. 106. 44 atas: industrial property, meliputi antara lain paten, merek, dan desain industri; serta copyright and related rights.47 Menurut TRIPs adanya batas antara kekayaan intelektual dengan pengetahuan tradisional dapat dilihat dari sifat kepemilikannya, yaitu bersifat kolektif atau komunal. TRIPs merupakan suatu kompromi, sebuah kesepakatan yang akan menimbulkam suatu permintaan untuk merendahkan atau meninggikan adanya suatu perlindungan di hampir seluruh kekayaan intelektual. WIPO didirikan berdasarkan konvensi yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 yang bernama Convention Establishing the World Intellectual Property Organization berlaku pada tahun 1970 dan menjadi badan khusus PBB pada bulan Desember 1974.48 Pada tahun 1989 anggota WIPO telah mencapai 123 negara di antaranya: Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Organisasi ini merupakan organisasi antar pemerintah yang berkedudukan di Jenewa. WIPO bertugas untuk mengembangkan usaha-usaha perlindungan terhadap hak milik intelektual, meningkatkan kerjasama antar negara dan organisasiorganisasi internasional. Menurut Konvensi WIPO yang termasuk ke 47 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT Alumni, 2005), h.21-22. 48 Taryana Soenandar, Perlindungan HAKI (Hak Milik Intelektual) Di Negara-negara ASEAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 7. 45 dalam ruang lingkup Intellectual Property Rights (IPR) terdiri dari dua unsur yaitu:49 a. Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Right) yang meliputi paten, merek dagang, dan desain industri. b. Hak cipta yang meliputi hasil-hasil karya kesusastraan, musik, fotografi dan sinematografi. Ada dua fungsi WIPO yang pokok yaitu pertama fungsi pengembangan, dan fungsi administratif. Fungsi pertama dari WIPO dilakukan melalui kegiatan-kegiatan dalam rangka: (1) memprakasai pembuatan perjanjian internasional, (2) memberikan informasi-informasi tentang perkembangan dan masalah-masalah IPR kepada negara peserta, dan (3) memberikan bantuan teknik kepada negara-negara berkembang. Fungsi yang kedua adalah fungsi administratif sebagai badan sentral bagi administratif keanggotaan WIPO dalam perjanjian-perjanjian internasional, kegiatannya dilaksanakan oleh alat-alat perlengkapan administratif khusus. Tugas administratif tersebut antara lain mendaftarkan negara-negara yang menjadi peserta perjanjian internasional di bawah WIPO.50 Dalam lingkup internasional, ekspresi budaya tradisional masih menjadi pembahasan sehingga peraturan mengenai perlindungan ekspresi 49 Ibid, h. 8. 50 Ibid. 46 budaya tradisional belum diformulasikan dalam suatu produk hukum. Namun, dalam situs WIPO telah dipaparkan sekilas mengenai keharusan dalam melindungi ekspresi budaya tradisional. Dalam situs WIPO, dijelaskan bahwa,51 “Protection” of TK in the IP (Intellectual Property) sense may mean the protection of TK against their misuse or misappropriation, such as their copying, adaptation or use by unauthorized third parties. The objective of protection, in short, is to make sure that the intellectual innovation and creativity embodied in TK are not wrongly used. IP protection can mean recognizing and exercising exclusive rights, i.e., excluding others from making certain uses of TK. IP protection can also include non-proprietary forms of protection like moral rights, equitable compensation schemes and protection against unfair competition.“Protection” is therefore different from “preservation” or “safeguarding,” which are the identification, documentation, transmission, revitalization and promotion of cultural heritage in order to ensure its maintenance or viability. The objective, in that case, is to make sure that the TK do not disappear and are maintained and promoted. “Protection,” “preservation” and “safeguarding” are not mutually exclusive. Having different objectives, they may be implemented in conjunction with one another and help promote each other, for example, through documentation or inventory-making. ("Perlindungan" dari TK dalam arti IP (Intellectual Property) diartikan sebagai perlindungan TK terhadap penyalahgunaan atau penyelewengan, seperti menyalin, mengadaptasi atau penggunaan oleh pihak ketiga yang tidak berwenang. Tujuan perlindungan, singkatnya, adalah untuk memastikan bahwa inovasi dan kreativitas intelektual yang diwujudkan dalam TK tidak disalahgunakan. Perlindungan IP berarti mengakui dan melaksanakan hak eksklusif, yaitu, mengecualikan pihak lain terhadap penggunaan TK tertentu. Perlindungan IP juga dapat mencakup bentuk perlindungan nonproprietary seperti hak moral, skema kompensasi yang adil dan perlindungan terhadap persaingan tidak sehat. "Perlindungan" Oleh karena itu berbeda dari "pelestarian" atau "pengamanan," yang merupakan identifikasi, dokumentasi, transmisi, revitalisasi dan promosi warisan budaya untuk memastikan perawatan atau kelangsungan hidup. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa TK tidak hilang dan dapat dipertahankan serta dipromosikan. 51 http://www.wipo.int/tk/en/resources/faqs.html 47 "Perlindungan," "pelestarian" dan "pengamanan" tidak selalu bersifat eksklusif. Mereka memiliki tujuan yang berbeda, dimana dapat diimplementasikan dalam hubungannya dengan satu sama lain dan membantu mempromosikan satu sama lain, misalnya, melalui dokumentasi atau persediaan keputusan.) Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlindungan ekspresi budaya tradisional sudah merupakan agenda penting dalam perkembangan HKI. Sehingga hal itu yang merupakan dasar dari pengaturan mengenai perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam hukum nasional. B. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Selama ini, perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional dilakukan dengan cara melakukan klaim kepada organisasi kebudayaan internasional. Hal ini dalam rangka membuat masyarakat internasional mengetahui bahwa karya atau ide tersebut merupakan milik dari bangsa indonesia. Namun, minimnya pengaturan hukum untuk mengatur secara jelas mengenai mekanisme perlindungan tersebut membuat maraknya pelanggaran hak terhadap bangsa indonesia mengenai karya atau ide ekspresi budaya tradisional. Hal ini tentu merugikan indonesia, khususnya masyarakat adat dikarenakan ide yang telah lama mereka jaga secara turun temurun dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Walaupun, pemerintah dalam hal ini telah membentuk suatu produk hukum yang tercantum dalam UUHC, namun demikian tidaklah 48 cukup memadai untuk memberikan kepastian hukum kepada ekspresi budaya tradisional di indonesia. Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang berjudul „Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui‟ menetapkan : 1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. 2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sistem nilai budaya, menurut Koentjaraningrat, merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia. Sistem nilai serupa itu menjadi penuntun interaksi para individu dalam masyarakat.52 Melalui sistem nilai yang terus-menerus dinternalisasikan pada individu akan terbentuk sikap atau attitude seperti yang diharapkan.53 Sejalan dengan itu ditekankan pula pentingnya pengembangan nilai dan penyempurnaan etika individu agar dapat hidup secara harmonis 52 Koentjaraningrat, kebudayaan: Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 25. 53 Ibid, h. 26. 49 dengan sesama. Untuk dapat mewujudkan keharmonisan dan keteraturan kehidupan masyarakat, setiap individu dianjurkan untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang mencederai hak dan kepentingan orang lain.54 Sudah terbukti bahwa hubungan harmonis antar sesama, antara pencipta dan masyarakat, antara pencipta dan warisan budaya masyarakat, menciptakan atmosfer yang kondusif bagi aktivitas dan kreativitas masyarakat. Dalam komunitas dimana kebudayaan dan kesenian tradisi menyatu dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai penghormatan dan penghargaan merupakan stimulan yang efektif untuk mendorong terwujudnya potensi kreatif masyarakat. Seni tari dan musik, kerajinan tangan, ukiran-ukiran, dan batik dapat tumbuh subur menjadi karya seharihari masyarakat yang khas dan otentik menggambarkan budaya daerah.55 Sejalan dengan globalisasi yang terjadi hampir di semua sektor, interaksi antar bangsa dan negara yang semakin meningkat, telah mendorong negara-negara untuk lebih kompetitif dalam mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada, termasuk pula ekspresi budaya tradisional. Menurut Coombe (2001), tujuan akhir yang ingin dicapai dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional adalah penciptaan kesejahteraan manusia itu sendiri, yakni masyarakat asli melalui perlindungan kebutuhannya yang paling dasar (primary human being needs). Dengan 54 Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, Dan Aktualisasi, (Jakarta: Penaku, 2014), h. 252. 55 Ibid, h. 253. 50 kata lain perlindungan itu harus berorientasi kepada manusia (human being centris).56 Perlindungan ekspresi budaya tradisional terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dapat melanggar kepatutan, karena yang terkandung dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional tersebut berupa hak ekonomi dan hak moral. Oleh karena itu harus dipahami bahwa dengan memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada pengetahuan yang dijaga dan dipelihara oleh setiap generasi secara turunmenurun, akan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat luas, pemilik ekspresi budaya tradisional, dan negara. C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Terhadap Kepentingan Komersial Munculnya kesadaran negara-negara berkembang akan pentingnya perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional mereka disebabkan karena adanya misappropriation yang dilakukan negara-negara maju atas ekspresi budaya tradisional masyarakat di negara-negara berkembang. Dalam proses pengambilan ekspresi budaya tradisional ini yang kemudian dieksploitasi secara komersial tidak dilakukan dengan masyarakat setempat dan tidak memberi pembagian manfaat (benefit sharing) atas penggunaan ekspresi budaya tersebut. Negara-negara berkembang menyadari bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam proses pemanfaatan 56 Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Praktiknya,(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 97. Konsep, Dasar hukum, Dan 51 ekspresi budaya tradisional dan sumber daya hayati oleh negara-negara maju.57 Fakta menunjukan bahwa negara-negara yang maju perekonomiannya bertumpu pada industri berbasis karya-karya intelektual. Sebagai contoh, Amerika Serikat, industri-industri penghasil devisa tertinggi terdiri dari industri senjata, film, musik, komputer-piranti lunak dan buku, dimana kesemuanya adalah industri-industri yang berbasis pada karya intelektual. Hal ini sangat kontras dengan negara-negara berkembang yang kebanyakan mengandalkan pada kekayaan alam seperti penjualan minyak, kayu, dll. Kekayaan alam dapat habis dikeruk, tetapi kekayaan intelektual akan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan yang baik, sistem penelitian dan pengembangan yang konstruktif, dan regulasi yang kondusif dan sistem insentif yang baik.58 Komersialisasi Ekspresi Budaya Tradisional (yang selanjutnya disebut EBT) milik Indonesia yang oleh pihak asing secara tidak sah dan melanggar hukum telah menimbulkan kerugian bagi pemilik EBT. Pemilik EBT adalah masyarakat adat dimana EBT tersebut berasal. Kurangnya 57 Rizki Kusumastuti, ”tinjauan hukum internasional terhadap upaya perlindungan pengetahuan tradisional milik negara-negara berkembang, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2006), h. 49-50. 58 Hak kekayaan intelektual dan perkembangannya: prosiding rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis lainnya tahun 2004: Jakarta 10-11 Februari 2004/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), h. 18-19. 52 pengetahuan masyarakat adat akan pentingnya perlindungan suatu EBT yang dimiliki mengakibatkan mudahnya EBT tersebut digunakan oleh pihak asing.59 Selain cara-cara yang dapat dilakukan untuk melindungi EBT milik Indonesia dari penggunaan secara melanggar hukum oleh pihak asing sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yang tak kalah pentingnya adalah pengaturan mengenai pembagian keuntungan (benefit sharing).60 Benefit sharing merupakan pembagian keuntungan yang dilakukan guna memberikan penghargaan atas pemanfaatan EBT yang diberikan kepada pemegang atau pemilik EBT. Pembagian keuntungan (benefit sharing) dapat digambarkan sebagai suatu bentuk kompensasi (royalti). Pengaturan untuk pembagian keuntungan (benefit sharing) dimasukkan dalam Undang-Undang sui generis agar memiliki ketentuan yang jelas dalam pengaturannya. Pembagian keuntungan (benefit sharing) tidak hanya dapat berupa materi melainkan berupa non-materi yang dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan antara para pihak, yaitu pihak yang ingin menggunakan EBT milik Indonesia dengan masyarakat adat (dapat diwakilkan oleh Ketua Adat atau orang yang dianggap relevan) dan Pemerintah Pusat atau Daerah. Kesepakatan tersebut dibuat untuk dapat menentukan besarnya 59 Istie Widyastuti, “Upaya Pencegahan Penggunaan Secara Melawan Hukum Pengetahuaun Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) Milik Indonesia Oleh Pihak Asing,” (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2013), h. 149. 60 Ibid, h. 150. 53 royalti yang akan diperoleh oleh pihak yang EBT-nya digunakan untuk kepentingan tertentu. Fungsi dari Pemerintah Pusat atau Daerah dalam pemberian royalti adalah untuk mengakomodasi royalti teresbut sebagai suatu anggaran Pemerintah yang dapat digunakan sebagai sarana pengembangan EBT dan/atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan agar dapat terstruktur dan teroganisir untuk menghindari adanya kesulitan yang timbul apabila royalti dalam bentuk materi diberikan secara langsung kepada masyarakat adat, misalnya konflik antar masyarakat adat.61 Royalti dalam bentuk materi yang diperoleh digunakan sebagai sumber danan untuk melakukan pelestarian terhadap EBT yang dimiliki agar dapat terus dijaga dan dikembangkan demi kemajuan masyarakat adat yang dalam kehidupan sehari-harinya bergantung pada EBT tersebut, sedangkan royalti dalam bentuk non-materi adalah sebagai bukti penghargaan pihak ketiga yang memanfaatkan EBT milik Indonesia sebagai sesuatu yang khas agar tetap menjaga kelestarian warisan budaya Indonesia.62 Dari penjelaskan diatas dapat disimpulkan benefit sharing merupakan pembagian keuntungan, dalam bentuk kompensasi atau royalti, yang dilakukan diantara pemerintah pusat atau daerah dengan masyarakat adat (Ketua Adat). 61 Ibid 62 Ibid, h. 151. 54 BAB IV ANALISIS MENGENAI PENERAPAN KONSEP BENEFIT SHARING SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Penggunaan Ekspresi Budaya Tradisional Yang Menyimpang Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keragaman hayati dan budaya. Kekayaan intelektual masyarakat asli dan sumber daya alam di Indonesia ini mencakupi banyak hal, mulai dari makanan tradisional, pengobatan tradisional, hingga pada karya-karya seni tradisional. Seperti batik, wayang kulit, lagu-lagu tradisional, tarian-tarian tradisional dan lain-lain. Namun, tanpa disadari banyak produk sumber daya hayati dan karya intelektual lokal masyarakat Indonesia itu telah disalahgunakan, bahkan telah didaftarkan hak intelektualnya oleh pihak asing. Salah satu pihak asing yang telah banyak mempergunakan tanpa izin karya seni tradisional Indonesia, adalah Malaysia. Contohnya seperti, alat musik angklung dan reog ponorogo. Angklung telah dinyatakan sebagai alat musik nasional kerajaan Malaysia, dengan sebutan Music Bamboo Malay.63 Reog ponorogo dalam situs kebudayaannya diubah namanya menjadi tari 63 “Jangan Ambil Angklung Kami, Pakcik ”, artikel diakses pada 10 Februari 2015 dari Kompas, (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/14/utama/3988155.html), 55 barongan.64 Padahal di Indonesia, berbagai karya seni tradisional telah memiliki sejarahnya sendiri. Klaim Malaysia dimulai pada 2007, yakni kesenian Reog Ponorogo. Reog adalah salah satu kesenian budaya dari Jawa Timur bagian barat laut. Sementara itu, Ponorogo dianggap sebagai kota asal reog yang sebenarnya. Tarian ini menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Mulai muncul kontroversi ketika pada topeng dadak merak di situs resmi Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia terdapat tulisan Malaysia. Negeri tetangga yang kerap menyebut Indonesia serumpun itu mengakuinya pula sebagai warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia.65 Tentu saja, hal itu memicu protes dari berbagai pihak di Tanah Air, termasuk seniman reog asal Ponorogo. Hak cipta kesenian reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004. Ditemukan pula informasi, dadak merak yang terlihat di situs resmi itu adalah buatan perajin Ponorogo. Ribuan seniman reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemerintah Malaysia tak pernah 64 “Tari Barongan”, artikel diakses pada (http://www.heritage.gov.my/kekkwa/viewbudaya.php?id=46), 65 10 Februari 2015 dari, “Terusik Lagi Klaim Negeri Jiran”, artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari, http://news.liputan6.com/read/416067/terusik-lagi-klaim-negeri-jiran 56 mengklaim Reog Ponorogo. Kesenian itu dibawa rakyat Jawa yang merantau ke Malaysia.66 Setelah ditelusuri dengan cermat oleh Dinas Pariwisata & Seni Budaya Pemkab Ponorogo terhadap gambar kesenian Barongan pada website kementrian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Negeri Jiran Malaysia, ternyata terdapat banyak kesamaan dengan Reog asli Ponorogo. Pemerintah Kabupaten Ponorogo sendiri telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo sebagai hak cipta milik Kabupaten Ponorogo yang tercatat dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adanya informasi yang didapat dari salah satu situs internet milik Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia yang menyebutkan bahwa kesenian reog Ponorogo adalah milik Pemerintah Malaysia sempat membuat resah warga Ponorogo.67 1. Reog Ponorogo Kesenian Reog Ponorogo di Indonesia sudah ada sejak zaman Kerajaan Bantarangin. Kerajaan ini terletak di desa Sumoroto, Kecamatan Kauman, Ponorogo. Menurut bukti-bukti tertulis yang berada di Leiden, Belanda, kesenian khas Ponorogo ini dipetik dari hikayat Raja Bantarangin, Prabu Klana Sewandana yang mengirim utusannya dipimpin 66 67 Ibid. “Barongan Malaysia Hasil Jiplakan Reog Ponorogo”, artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20071124004938 57 Pujangga Anom untuk meminang Dewi Sangga Langit, putri Prabu Lembu Amijaya.68 “Reog” atau “Reyog” berasal dari kata “Riyet” atau kondisi bangunan yang hampir rubuh, dan suara gamelan reog yang bergemuruh itulah yang diidentikan dengan suara “bata rubuh” (Soetaryo, 1960, Poerwijoyo, 1985).69 Tarian Reog menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (T = 240 cm, L = 190 cm) berwujud kepala seekor macan dengan seekor merak yang bertengger di atasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang ke atas (dhadhak merak), ditambah para penari perempuan yang memerankan sosok perajurit berkuda (jathilan), penari-penari laki-laki berbadan gempal berseragam hitam, berhias kumis dan cambang yang lebat (warok), seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah, berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja (Prabu Klono Sewandono) yang didampingi oleh patihnya yang diperankan oleh penari yang juga bertopeng merah dengan hidung besar, mata melotot, mulut lebar, dan rambut jabrig (Patih Bujangganong). Sementara itu dari belakang panggung terdengar suara gamelan dan teriakan-teriakan atau suara menyerupai geraman macan dari para “supporter” reog yang juga berbaju, celana, dan ikat kepala hitam 68 Djito Patiatmodjo, Lahir di Ponorogo Coba di Klaim Tetangga, artikel diakses pada 10 Februari 2015, suara merdeka; (http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/30/nas02.html), 69 Muhammad Zamzam Fauzannafi, Reog Ponorogo Menari Di Antara Dominasi Dan Keragaman, (Yogyakarta: Kepel Press, 2005), h. 15. 58 (senggakan). Apabila ditambah dengan para penabuh gamelan dan para senggakan jumlah keseluruhan pemain reog yang tampil di atas panggung yang luas (sekitar 30 x 20 m) bisa mencapai 50 orang.70 2. Angklung Angklung, sebagai salah satu jenis alat musik yang terbuat dari bambu, sesungguhnya telah lama dikenal dalam kebudayaan Indonesia. Beberapa ahli, seperti J. Kunst (1936:814) berpendapat bahwa beberapa alat musik bambu ini berasal dari masa bahkan sebelum adanya pengaruh Hindu. Menurut dugaan mereka, permulaan berkembangnya alat musik dari bambu di Indonesia ini erat hubungannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia, yang kemudian menjadi nenek moyang suku-suku Melayu Polinesia, beberapa milenium sebelum Masehi.71 Almarhum Daeng Soetigma, penemu angklung modern bertangga nada diatonis kromatik, dalam skripsinya menyebutkan bahwa keberadaan angklung di pulau Jawa pertama kali dikenal pada abad ke17, melalui tulisan mengenai Sultan Agung dari Banten yang dalam purinya mempunyai perangkat angklung lengkap, bisa dimainkan oleh hamba sahayanya, orang Bali. Semenjak itu, angklung lantas mengalami 70 71 Ibid, h. 13-14. Theresia E.E. Pardede, “evaluasi kebijakan diplomasi kebudayaan angklung indonesia (studi kasus kebijakan komunikasi pemerintah pasca diakuinya angklung dalam daftar representatif warisan budaya tak benda oleh UNESCO),” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 82. 59 penyebaran ke daerah selatan Banten, lalu ke arah timur, diantaranya ke daerah Priangan, Garut, dan Tasikmalaya. Sebagai alat musik yang berbahan baku bambu, angklung memiliki tiga bagian utama, yakni: (1) tabung suara, (2) kerangka, (3) dasar. Angklung dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan, sehingga menghasilkan resonansi bunyi pada tabung suara. Pada masa lalu, angklung dipergunakan seperti layaknya lonceng, bersifat khidmat dan dipergunakan dalam bentuk hubungan kegiatan ritual.72 Dari sejarah tersebut sudah jelas bahwa Angklung dan Reog Ponorogo milik Indonesia. Angklung dan Reog Ponorogo bukan milik Malaysia hanya saja ada beberapa orang yang berasal dari Indonesia dalam hal ini komunitas Reog Ponorogo maupun juga Angklung yang mementaskan di Malaysia, yang patut disalahkan bahwa Malaysia mengklaim dengan cara mengiklankan Reog tersebut sebagai ikon iklan pariwisata dan Angklung sebagai alat musik kenegaraan Negara Malaysia. Salah satu penyebab hal itu terjadi dikarenakan belum jelasnya ketentuan yang mengatur perlindungan dan pelestarian produk budaya tradisional atau yang disebut dengan folklor. Berbeda dengan pengaturan HKI seperti hak cipta, merek, paten, dan desain industri. Selain itu, inventarisasi dan publikasi seni budaya Indonesia yang semestinya 72 Ibid, h. 82-83. 60 didaftarkan di lembaga internasional yang mengurusi hak kekayaan budaya agar tidak diklaim pihak lain juga masih buruk.73 Diklaimnya Reog Ponorogo dan Angklung juga dapat terjadi karena adanya kesamaan antara suku dan ras masyarakat Indonesia dengan Malaysia. Selain itu, faktor bisnis, dimana Malaysia membuat iklan mengenai pengenalan Visit Malaysia kepada masyarakat dunia yang mengandung unsur kebudayaan yang pada dasarnya merupakan milik Indonesia, juga menjadi salah satu penyebab utama. Era globalisasi, tentunya berpengaruh pada dinamika budaya di setiap negara. Khususnya di Indonesia, hal ini bisa dirasakan dan sangat menonjol saat ini. Begitu bebasnya budaya yang masuk dari berbagai arus kehidupan. Dampak yang paling buruk terjadi ialah hilangnya budaya-budaya yang menjadi ciri khas di beberapa daerah. Tentunya Malaysia tidak bisa mengklaim Reog dan Angklung sebagai kepunyaannya, seharusnya Malaysia meminta izin terlebih dahulu kepada daerah dimana kesenian itu berasal, yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat. Reog Ponorogo dan Angklung pun di tingkat Internasional, yaitu UNESCO terdaftar sebagai warisan budaya yang di miliki atas nama negara Indonesia, atas dasar tersebut Indonesia sebagai pemilik asli 73 “Aturan Perlindungan dan Pelestarian Budaya Bangsa Masih Belum Jelas”, diakses pada 5 Mei 2015 dari www.hukumonline.com/berita/baca/hol23010/aturan-perlindungan-danpelestarian-budaya-bangsa-masih-belum-jelas 61 dan bukan Malaysia. Pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomasi sebagai jalan yang paling baik untuk ditempuh.74 B. Benefit Sharing Dalam Ekspresi Budaya Tradisional Benefit sharing dalam ekspresi budaya tradisional merupakan unsur yang penting dalam perkembangan ekspresi budaya tradisional. Sebab pada dasarnya, ekspresi budaya tradisional mengandung hak ekonomi, maka dari itu perlu diatur secara baku mengenai benefit sharing. Pengaturan tersebut perlu tertera dalam peraturan pelaksana UUHC, sebab dalam UUHC belum terdapat pasal yang mengatur mengenai hal tersebut. Tentunya, dalam menjalankan konsep benefit sharing diperlukan wadah untuk mengelolanya, sebaiknya pengelola benefit sharing berada di bawah pemerintah daerah agar tidak terjadi saling berebut atas hak ekonomi. Setiap pihak, khususnya pihak asing apabila ingin mementaskan ekspresi budaya tradisional diharuskan meminta izin kepada daerah setempat sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini dikarenakan agar tidak terjadi kesalah pahaman seperti kasus-kasus sebelumnya. Dengan adanya pengaturan benefit sharing, memudahkan pemerintah pusat mengalokasikan APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara), untuk 74 Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: 27 April 2015. 62 mengembangkan ekspresi budaya tradisional dengan cara membangun fasilitas di daerah-daerah tertentu. 1. Aplikasi Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Bagi Aset Intelektual Daerah Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, terutama pada dekade terakhir ini, pemerintah daerah kabupaten/kota seakan “berlomba” mengupayakan peningkatan pendapatan daerah. Yang terakhir ini mencakup pula aset-aset intelektual milik daerah yang memiliki nilai ekonomi dan potensi untuk dieksploitasi dengan mengikuti kaidah-kaidah dan tata niaga bisnis yang lazim. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya berbagai ragam bentuk dan jenis HKI yang memiliki kaitan dengan aset intelektual daerah, termasuk yang bersumber dari budaya dan tradisi.75 Dengan adanya pengaturan benefit sharing, tentunya Pemerintah dapat mengalokasikan dana dalam APBN untuk pengembangan ekspresi budaya tradisional. Selama ini belum ada pengaturan yang mengatur mengenai hal itu, maka dari itu peraturan pelaksaan UUHC harus lengkap dengan diaturnya konsep benefit sharing.76 Tentunya setiap daerah perlu anggaran untuk melestarikan ekspresi budaya tradisional seperti membangun fasilitas sanggar dan 75 Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, (Jakarta: Penaku, 2014), h. 321. 76 Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: 27 April 2015. 63 perawatan alat-alat atau benda-benda tradisional. Hal ini dikarenakan, apabila dana hanya diandalkan dari kemampuan individu atau kelompok masyarakat, akan tidak sebanding dengan banyaknya kebudayaan yang ada. Dengan dilestarikannya ekspresi budaya tradisional, hal itu pun dapat meningkatkan pendapatan daerah itu sendiri. Yang paling utama adalah bahwa keberadaan ekspresi budaya tradisional daerah tersebut harus tetap ada dan dapat diwariskan kepada anak cucu kita nanti. Sejauh ini Indonesia telah memiliki seluruh perangkat hukum HKI. Persetujuan TRIPS yang diratifikasi tahun 1994 menjadi pemicu hampir seluruh negara melengkapi melakukan peraturan perubahan hukum yang dan penyempurnaan belum dimiliki. serta Dalam perkembangannya, pada tahun-tahun awal Milenium ini, seluruh perangkat hukum HKI tersebut direvisi. Dengan selesainya penggantian UUHC maka perangkat perundangan HKI nasional dapat dikatakan telah lengkap dan bulat. Ini berarti, mengkaji status aset-aset daerah berikut perlindungan hukumnya dapat dengan utuh dipotret dari berbagai konsep HKI, termasuk prinsip-prinsip hukum HKI nasional yang mengaturnya. Apabila dikaitkan dengan status dan identitas daerah pertanyaannya kemudian apakah karya-karya ragam seni rupa dalam segala bentuknya termasuk seni pahat, seni patung, dan batik merupakan aset milik daerah atau milik pengrajin perorangan yang berdomisili di daerah itu?. Untuk masalah ini ada dua kemungkinan jawaban. 64 Pertama, batik misalnya merupakan pemilik pengrajin sebagai penciptanya. Ini terjadi apabila batik itu merupakan karya perorangan yang memiliki bobot seni dan diciptakan berdasarkan ide sendiri atau memenuhi syarat orisinalitas. Kedua, milik daerah. Ini terjadi apabila karya tersebut merupakan karya tradisional yang telah menjadi milik umum karena usia perlindungannya telah usai. Karya-karya seperti ini lazim disebut sebagai public domain. Sebagai milik umum, karya-karya seperti ini tidak dapat diklaim sebagai milik daerah. Yang perlu dicatat adalah prinsip pembatasan yang diatur dalam UUHC. Intinya, ciptaan public domain bebas digunakan oleh WNI tetapi tidak oleh WNA.77 2. Pemanfaatan Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Pihak Asing Setiap pihak asing yang ingin menggunakan ekspresi budaya tradisional harus izin pada negara yang bersangkutan, izin tersebut langsung pada pemerintah daerah pengetahuan itu berasal. Dengan persetujuan atau MOU (Memorandum Of Understanding) antara para pihak baru pihak asing dapat mementaskan atau mempertunjukan ekspresi budaya tradisional.78 Sejauh ini peraturan pemerintah yang diharapkan menjadi dasar pengaturan untuk itu belum disusun. Dalam hal demikian masih sangat besar kemungkinan terjadi pemanfaatan tanpa prosedur atas ciptaan77 78 Ibid, h. 329. Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: 27 April 2015. 65 ciptaan tradisional yang berada didaerah dan menjadi aset daerah yang bersangkutan. Ada pula kemungkinan digunakan dan dieksploitasi secara cuma-cuma oleh pihak asing. Bagaimana misalnya jika orang jepang membuat miniatur candi borobodur untuk gift? Siapa yang harus mengugat karna merasa dirugikan? Jawabannya masih belum dapat diberikan secara jelas. Untuk itu, terlepas dari belum adanya pengaturan, masyarakat daerah perlu diingatkan mengenai perlunya menjaga aset daerah tersebut dari kemungkinan pemanfaatannya secara komersial oleh orang asing.79 3. Konsep Eksploitasi Komersial Yang Sah Atas Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia, boleh dikatakan belum muncul kesadaran diantara anggota masyarakat lokal akan arti penting perlindungan hukum bagi traditional knowledge. Jika ada kesadaran yang dimaksud, tentunya baru sebatas di kalangan tertentu yang menaruh perhatian pada masalah pemanfaatan sumber daya hayati dan traditional knowledge, khususnya dalam hubungannya dengan perdagangan produk-produk yang bersumber dari pengolahan sumber daya hayati dan traditional knowledge. Kesadaran ini muncul dari rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh negara berkembang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya hayati dan traditional knowledge oleh pihak-pihak di luar anggota masyarakat 79 Ibid, h. 330. 66 lokal tanpa adanya benefit sharing bagi “pemilik” sumber daya hayati dan traditional knowledge yang dimaksud.80 Namun demikian, yang patut disayangkan dari tingginya nilai ekonomi pada traditional knowledge itu adalah tidak meratanya penikmatan keuntungan (benefit sharing). Masyarakat (lokal) yang yang merupakan pihak yang menjaga kelestarian suatu traditional knowledge justru tidak ikut menikmati nilai ekonomi itu, karena hanya dinikmati perusahaan-perusahaan swasta dari negara-negara maju.81 Konsep Barat mengenai kekayaan intelektual berbeda secara radikal dari kebanyakan sistem pengetahuan dan inovasi masyarakat pedesaan ataupun lokal. Pada umumnya, masyarakat non-industri melihat pengetahuan dan inovasi sebagai sebuah hasil cipta kolektif yang harus dipelihara dengan sebentuk kepercayaan demi generasi mendatang. Perspektif ini berseberangan dengan sistem kekayaan intelektual industrial yang memandang sumber daya alam, unsur-unsur hayati dan pengetahuan sebagai komoditas. Masyarakat tradisional tidak memandang pengetahuan dan inovasi sebagai komoditas, melainkan sebagai karya masyarakat yang diterlantarkan dari generasi lalu ke generasi mendatang. Bumi dan alam digunakan dan dikelola, namun tidak dimiliki secara eksklusif. Sebaliknya 80 Jannati, “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Traditional Knowlegde Gunu Pembangunan Ekonomi Indonesia”, diakses pada 21 Februari 2014 dari http://eprints.uns.ac.id/9171/1/79122107200911091.pdf, h. 105. 81 Ibid, h. 121. 67 HKI yang berkiblat ke Eropa menyatakan bahwa gagasan-gagasan inovatif dan produk pemikiran manusia dapat dilindungi secara sah sebagai kekayaan privat.82 Selama ribuan tahun, inovasi dan adaptasi terhadap perubahan telah menjadi bagian dari masyarakat pedesaan. Pengetahuan pun telah terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika sebuah pengetahuan tertentu mengenai ekspresi budaya tradisional, sebagaimana biasa dipercayakan pada kelompok sosial atau dianugerahkan kepada individu tertentu, maka hal ini tidaklah dinyatakan sebagai kekayaan privat. Beberapa pokok pengetahuan biasanya dipegang secara kolektif dan bersifat inter-generasi. Pengetahuan dijaga sedemikian hati-hati dengan kepercayaan dan diperuntukkan demi generasi mendatang serta ditambahkan demi keuntungan seluruh masyarakat. Kepemilikan individu atas unsur-unsur hayati ataupun pengetahuan mengenai unsur tersebut sama sekali tak pernah terdengar.83 Banyak masyarakat di negara berkembang menganggap bahwa ilmu pengetahuan sebagai warisan masyarakat yang harus dilestarikan agar keturunannya ikut menikmati pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada individu yang berhak memonopoli pengetahuan, karena hanya titipan 82 Ignatius Haryanto, Kapling-Kapling Daya Cipta Manusia; Monopoli-Monopoli Intelektual Atas Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati,(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2004), h. 39-40. 83 Ibid., h. 44-45. 68 sementara yang kemudian diwariskan kembali untuk keuntungan bersama dan kepentingan generasi masa depan. Sebaliknya negara-negara maju berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil inovasi dan investasi individual. Karena hasil dari pengetahuan menjadi milik para penciptanya dan bukan menjadi milik seluruh umat manusia. Atas dasar pemikiran inilah, maka diciptakan perlindungan HKI yang bertujuan memberikan hak eksklusif pada penemu inovasi. Hak eksklusif diharapkan dapat menciptakan keuntungan ekonomi dari inovasi yang kemudian dianggap akan mendorong penemu atau orang lain untuk melakukan inovasi yang baru lagi.84 Perangkat perundang-undangan HKI yang mengatur masalah ekspresi budaya tradisional, kurang memadai. Undang-undang di bidang HKI, yang dimiliki Indonesia saat ini, sepenuhnya mengadopsi gagasan yang terkandung dalam TRIPs yang berorientasi individual dan bercorak privatisasi itu. HKI mengakui dan telah mengatur sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang dituangkan dalam pemahaman foklore. Foklore itu dipahami sebagai bentuk kreativitas intelektual masyarakat tradisional. Namun konsep foklore itu terlalu sempit untuk dapat mencakup bentuk kekayaan intelektual masyarakat lokal.85 84 Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan; Telaah tentang TRIPs dan Keanekaragaman Hayati di Indonesia, ( Jakarta: INFID, 2002), h. 43-45. 85 Kusnaka Adimihardja, Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, (Bandung: Humaniora, 2004), h. 56. 69 Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang berjudul „Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui‟ menetapkan : 1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. 2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kenyataan seperti ini sangatlah memprihatinkan, mengingat bangsa Indonesia sangat potensial dalam kekayaan ekspresi budaya tradisional. Kondisi ini akan semakin membuat skeptis lagi ketika melihat realitas penegakan hukum di Indonesia. Harus diakui bahwa pengetahuan hukum di Indonesia, sedang tidak mampu memerankan fungsi dan tujuannya. Kondisi ini juga berlaku bagi penegakan hukum, di bidang HKI, termasuk di dalamnya ekspresi budaya tradisional. Banyak ekspresi budaya tradisional masyarakat Indonesia yang belum terakomodasi dan belum mendapat perlindungan hukum di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual. Untuk dapat mewujudkan perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional masyarakat Indonesia, membutuhkan koordinasi dan kerja sama dari para pembuat kebijakan negara, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat Indonesia. Perlindungan hukum terhadap 70 ekspresi budaya tradisional masyarakat Indonesia, merupakan tanggung jawab bersama dan saling terkait, dari semua komponen yang ada dalam masyarakat Indonesia. Pembagian keuntungan (benefit sharing), yang dilakukan antara pihak yang ingin menggunakan EBT milik Indonesia dengan masyarakat adat (dapat diwakilkan oleh Ketua Adat atau orang yang dianggap relevan) dan Pemerintah Pusat atau Daerah, dibuat untuk dapat menentukan besarnya royalti yang akan diperoleh oleh pihak yang EBT-nya digunakan untuk kepentingan tertentu.86 Royalti digunakan sebagai sumber dana untuk melakukan pelestarian terhadap EBT yang dimiliki agar dapat terus dijaga dan dikembangkan demi kemajuan masyarakat adat yang dalam kehidupan sehari-harinya bergantung pada EBT tersebut.87 Dalam rangka pembagian keuntungan dalam bentuk royalti, maka Pemerintah seharusnya menghimbau atau bahkan mewajibkan setiap masyarakat tradisional membentuk suatu lembaga, dalam hal ini bisa berbentuk organisasi kemasyarakatan atau paguyuban, yang sesuai dengan ketentuan Kementrian Dalam Negeri untuk menjadi wakil mereka dalam penerapan konsep benefit sharing. Dengan adanya suatu lembaga yang berwenang atas konsep benefit sharing maka ekspresi budaya tradisional dan pelakunya akan mendapatkan keuntungan atau nilai ekonomi. 86 Ibid. 87 Ibid, h. 151. 71 Mekanisme benefit sharing sebaiknya dilakukan sesuai dengan aturan dan norma yang ada di masyarakat. Pengelola benefit sharing sebaiknya dibawahi oleh pemerintah daerah. Apabila benefit sharing dikelola bebas maka akan menimbulkan keributan karena saling mengambil keuntungan atas ekspresi budaya tradisional.88 88 Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: 27 April 2015. 72 BAB V Penutup A. Kesimpulan 1. Belum memadainya perlindungan hukum mengenai ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial dalam implementasinya di masyarakat. Hal ini dikarenakan, pemerintah belum mengatur kepentingan komersial terhadap ekspresi budaya tradisional dalam bentuk peraturan perundang-undangan sui generis (dalam bentuk tersendiri atau khusus). Selama ini hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional, yakni Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada Pasal 38 hanya mengatur bahwa pemerintah sebagai pemegang hak cipta yang tidak diketahui penciptanya. 2. Adanya perbedaan pemikiran antara masyarakat tradisional atau adat dengan konsep Hak Kekayaan Intelektual, sehingga hal ini yang menjadi kendala dalam penerapan konsep benefit sharing terhadap ekspresi budaya tradisional. Peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang sejauh ini dikenal, senantiasa didasarkan kepada konsep kepemilikan kekayaan intelektual secara individual, mensyaratkan adanya kebaruan, orisinalitas, diketahui ekspresi budaya tradisional atau inventornya, dan adanya pembatasan jangka waktu perlindungan. Sedangkan dalam konteks pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, yang diutamakan adalah kepentingan komunal. Orisinalitas dan kebaruan tidak dipersyaratkan, ekspresi budaya 73 tradisional atau inventornya biasanya tidak diketahui, mengingat keberadaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional bersifat peniruan dan diperoleh secara turun-temurun. B. Saran 1. Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya membentuk peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah untuk menerapkan konsep benefit sharing. Dalam Undang-undang Hak Cipta saat ini belum mengatur tentang konsep benefit sharing. Mengingat bahwa sistem perlindungan dalam bentuk atau rezim yang selama ini kita telah kita kenal dengan baik, dipandang tidak sepenuhnya sesuai. 2. Seharusnya setiap masyarakat tradisional menuntut atau membentuk suatu lembaga dalam hal ini bisa berbentuk organisasi kemasyarakatan atau paguyuban yang sesuai dengan ketentuan Kementrian Dalam Negeri untuk menjadi wakil mereka dalam penerapan konsep benefit sharing. Dengan adanya suatu lembaga yang berwenang atas konsep benefit sharing maka ekspresi budaya tradisional dan pelakunya akan mendapatkan keuntungan atau nilai ekonomi. 74 DAFTAR PUSTAKA Buku: Adimihardja, Kusnaka. Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Bandung: Humaniora. 2004 Bintang, Sanusi. Hukum Hak Cipta. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1998 Chazawi, Adami Chazawi. Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Malang: Bayumedia Publishing. 2007 Damian, Eddy Damian. Hukum Hak Cipta. Bandung: PT. Alumni. 2005 Danandjaja, James. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002 Daulay, Zainul. Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, dan Praktiknya. Jakarta: Rajawali Pers. 2011 Fauzannafi, Muhammad Zamzam. Reog Ponorogo Menari Di Antara Dominasi Dan Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press. 2005 Gani, Ramlan A. Disiplin BERBAHASA INDONESIA. Jakarta: FITK PRESS. 2011 Haryanto, Ignatius. Kapling-Kapling Daya Cipta Manusia; Monopoli-Monopoli Intelektual Atas Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2004 Hozumi, Tumotsu. Asian Copyright Handbook. Penerjemah Masri Maris. Jakarta: Ikatan Penerbit Indonesia. 2006 Jhamtani, Hira dan Lutfiyah Hanim. Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan; Telaah tentang TRIPs dan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta: INFID. 2002 Kansil, C.S.T.. Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian Dan Hak Cipta). Jakarta: Bumi Aksara. 1990 Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: PT Alumni. 2006 Marzuki, Peter Mahmud. PENELITIAN HUKUM. Jakarta: Kencana. 2009 75 Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT Alumni. 2005 Purba, Afrillyanna, dkk. TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005 Riswandi, Budi Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005 Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004 Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007 ............ Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali Pers. 2010 Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: PT Alumni. 2010 Soelistyo, Henry. Hak Cipta Tanpa Hak Moral. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011 ............................. Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi. Jakarta: Penaku. 2014 Soenandar, Taryana. Perlindungan HAKI (Hak Milik Intelektual) Di Negaranegara ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika. 2007 Soerjono, Soekanto. PENGANTAR PENELITIAN HUKUM. Jakarta: UI Press. 1986 Usman, Rachmadi. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Alumni. 2003 Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Undang-undang Hak Cipta Jurnal Hukum: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak 76 Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional. Depok: LPHI-FHUI. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Dan Perkembangannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004: Jakarta 10-11 Februari 2004/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004. Internet: http://www.wipo.int/tk/en/tk/ http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/14/utama/3988155.htm http://www.heritage.gov.my/kekkwa/viewbudaya.php?id=46 http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/30/nas02.htm http://eprints.uns.ac.id/9171/1/79122107200911091.pdf http://www.hukumonline.com Wawancara Pribadi: Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta. 27 April 2015. Skripsi Dan Tesis: Kusumastuti, Rizki. ”Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Upaya Perlindungan Pengetahuan Tradisional Milik Negara-Negara Berkembang.” Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2006. Pardede, Theresia E.E.. “Evaluasi Kebijakan Diplomasi Kebudayaan Angklung Indonesia (Studi Kasus Kebijakan Komunikasi Pemerintah Pasca Diakuinya Angklung Dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Oleh UNESCO).” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012. Widyastuti, Istie. “Upaya Pencegahan Penggunaan Secara Melawan Hukum Pengetahuaun Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) Milik Indonesia Oleh Pihak Asing.” Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2013.