- Unsyiah

advertisement
llrr
ii,, i!.'iX
i',
i'-\lil{lr\ i l :i;l !lil,",
'l t,i' i7l: il iltt,,,.,
l
c
sljldh s
rqkrrurha6i rdl
!i er !!h, rsrdu krlol ^i
rrr
hrcN
BAB I
TATA HUKUM INDONESIA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: Pengertian tata hukum Indonesia, tata
hukum Indonesia, hubungan antara pengantar ilmu hukum
(PIH) dengan pengantar hukum Indonesia (PHI), sejarah tata
hukum Indonesia, lapangan-lapangan hukum di Indonesia.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian tata hukum Indonesia
2. Menjelaskan tata hukum Indonesia
3. Menjelaskan hubungan antara pengantar ilmu hukum (PIH)
dengan pengantar hukum Indonesia (PHI)
4. Menjelaskan sejarah tata hukum Indonesia
5. Menjelaskan lapangan-lapangan hukum di Indonesia.
A. Pengertian Tata Hukum Indonesia
Tata Hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde”,
ialah susunan hukum, artinya memberikan tempat yang sebenarnya
kepada hukum. Maksud dengan ”memberikan tempat yang
sebenarnya” yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan
hukum dalam hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah
dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa
hukum yang terjadi.Tata atau susunan itu pelaksanaannya berlangsung
selama ada pergaulan hidup manusia yang berkembang. Dalam tata
hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu di tempat
sejenis yang pernah berlaku dan tetap dinamakan hukum (recht).
Dapat dimengerti bahwa dalam tata hukum itu adalah hukum positif
1
2
di samping aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku sebagai
hukum positif.1
Pada saat ini, semua bangsa di dunia ini telah mempunyai tata
hukumnya sendiri. Demikian pula Negara Republik Indonesia telah
mempunyai tata hukum yang disebut dengan Tata Hukum Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa Pengantar Tata Hukum Indonesia
khusus membicarakan Hukum yang berlaku dalam batas wilayah
Negara Republik Indonesia (Hukum Positif Indonesia), yaitu
keseluruhan aturan Hukum dari berbagai cabangnya yang kini berlaku
dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Maka untuk lebih jelas, dalam hubungan ini kita kutip pendapat
yang dikemukakan oleh Sudiman Kartohadiprodjo dalam bukunya
Pengantar Hukum Indonesia halaman 46 sebagai berikut:
Tata Hukum di Indonesia adalah hukum yang berlaku sekarang di
Indonesia. Berlaku, berarti memberi akibat hukum kepada
peristiwa-peristiwa
dalam
pergaulan
hidup.
Sekarang,
menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini, dan
tidak kepada pergaulan hidup yang telah lampau, pula tidak
kepada pergaulan hidup yang dicita-citakan di kemudian hari. Di
Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup itu terdapat di
Indonesia dan tidak di negara lain; tidak di Amerika Serikat, tidak
di Rusia, tidak di Filipina dan tidak pula di Australia atau India”.2
Mempelajari Tata Hukum Indonesia, adalah untuk mengetahui
perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang
manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang
dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenangnya,
semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan perkataan lain untuk
mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam wilayah
1
2
R. Abdoel Djamali, 2003, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 5.
Sudiman Kartohadiprojo, 1981, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 46.
3
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik hukum tertulis ataupun
hukum yang tidak tertulis.
B. Tata Hukum Indonesia
Tata Hukum adalah berasal dari perkataan tertib berdasarkan hukum.
Adanya Tata Hukum akan terlihat dan merupakan suatu keharusan
bagi negara yang bersendikan kepada hukum. Negara yang
bersendikan kepada Hukum disebut dengan Negara Hukum
(Rechtstaat), artinya dimana pelaksanaan kekuasaan pemerintahan
negara senantiasa didasarkan kepada ketentuan-ketentuan Hukum.
Republik Indonesia adalah Negara Hukum, sesuai dengan
Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara yang
menyatakan “Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum
(Rechtstaat)”. Dalam batang tubuh UUD 1945 (amandemen ke tiga)
Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara
Hukum. Dengan demikian sebagai Negara hukum tidak boleh tidak
Indonesia memiliki tata hukum.
Tata hukum Indonesia itu baru ada sejak adanya Negara
Republik Indonesia. Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia,
maka dibentuk pulalah Tata Hukum Indonesia itu, dan hal ini
dinyatakan dalam:
1. Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
2. Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya
kehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu
… disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
UUD Negara Indonesia”.
4
Adapun arti yang terkandung di dalam pernyataan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Menjadikan Indonesia suatu Negara yang merdeka dan berdaulat;
2. Pada saat itu juga ditetapkan Tata Hukum Indonesia yang
kemudian diberi bentuk dan dituangkan dalam UUD 1945.
Kenyataannya sampai hari ini memang tidak dapat diingkari,
bahwa memang masih relatif kita memiliki undang-undang organik
yang menjabarkan Tata Hukum Indonesia. Sehingga dalam hubungan
ini amat pentinglah arti ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945
dalam rangka menghindari terjadinya rechtsvacuum atau kekosongan
hukum dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Sehingga
dengan menggunakan Pasal 2 Aturan Peralihan tersebut masih
diperlakukan peraturan-peraturan sebelumnya, selama belum diadakan
yang baru menurut UUD 1945.
Lengkapnya pasal tersebut berbunyi: Segala Badan Negara dan
peraturan yang masih ada langsung berlaku, selama belum
diadakannya yang baru menurut UUD ini.
Sungguhpun demikian, tidaklah dapat diartikan bahwa Indonesia
tidak mempunyai Tata Hukum sendiri, karena sebaliknya telah
dibuktikan oleh hasil penelitian Cornelis Van Vollenhoven bahwa tata
hukum asli Indonesia adalah Hukum adat yang sebagian besar tidak
tertulis.
C. Hubungan Antara Pengantar Ilmu Hukum Dengan
Pengantar Hukum Indonesia
Selain Pengantar Ilmu Hukum, dalam kurikulum pendidikan tinggi
hukum di Indonesia terdapat juga mata kuliah lain yaitu Pengantar
Hukum Indonesia (disingkat: PHI), yang dahulu dinamakan Pengantar
Tata Hukum Indonesia (disingkat: PTHI). Pengantar Ilmu Hukum
merupakan pendahuluan untuk memudahkan mempelajari Pengantar
5
Hukum Indonesia, yakni menyediakan sarana (konsep-konsep yuridik
dan konsep-konsep lain yang digunakan dalam Ilmu Hukum) yang
diperlukan untuk mengolah dan memaparkan Sistem Hukum
Indonesia. Pengantar Ilmu Hukum menguraikan Ilmu Hukum pada
umumnya yang bersifat universal, sedangkan obyek Pengantar Hukum
Indonesia adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Pengantar Hukum Indonesia bertujuan untuk:
1. Mempelajari sistem hukum positif Indonesia;
2. Pengetahuan ringkas tentang keseluruhan tata hukum di Indonesia
dalam garis besarnya, menjelaskan Sistem Hukum Indonesia
(Tatanan Hukum Indonesia) dan latar belakang sejarahnya serta
latar belakang kulturalnya.
3. Mempelajari subsistem pokok dari sistem hukum Indonesia yang
mencakup juga asas-asas hukum yang melandasi dan menjiwai tiap
subsistem pokok tersebut.
4. Mempelajari ciri-ciri dan sifat-sifat khas dari tata hukum Indonesia.
Pengantar Hukum Indonesia lebih bersifat deskriptif analitikal,
maksudnya adalah cara menggambarkan sesuatu (obyek) dengan
menjelaskan sesuatu atau obyek tersebut sebagaimana adanya dengan
menjabarkannya ke dalam bagian-bagian atau unsur-unsurnya serta
dengan memperlihatkan tempat dan perkaitan antara bagian-bagian
atau unsur-unsur itu tadi sehingga keseluruhan bagian-bagian atau
unsur-unsur itu tampak mewujudkan suatu kesatuan yang secara
rasional dapat dipahami.
Pengantar Tata Hukum Indonesia merupakan suatu cabang ilmu
pengetahuan hukum di samping Pengantar Ilmu Hukum yang masingmasing mempunyai obyek penyelidikan sendiri. Pengantar Tata
Hukum Indonesia menyelidiki atau mempelajari hukum yang
sekarang sedang berlaku di Indonesia dengan perkataan lain obyek
Pengantar Tata Hukum Indonesia itu adalah hukum positif Indonesia
6
(hukum positif: ius constitutum). Sedang Pengantar Ilmu Hukum
menyelidiki hukum pada umumnya, artinya tidak terbatas pada hukum
yang sedang berlaku sekarang di Indonesia saja, melainkan juga
hukum yang berlaku di tempat atau di negara lain serta pada waktu
kapan saja. Dengan demikian penyelidikannya tidak terbatas pada ius
constitutum saja melainkan juga menyelidi ius constituendum.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Pengantar Ilmu Hukum
merupakan dasar atau basic dari Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Pengantar Tata Hukum Indonesia sebenarnya dipergunakan untuk
mengantarkan bagi setiap orang yang ingin mempelajari aturan-aturan
hukum Indonesia atau dengan perkataan lain ingin mempelajari
aturan-aturan hukum yang sedang berlaku di Indonesia; berlaku
berarti, yang memberi akibat hukum bagi peristiwa-peristiwa atau
perbuatan-perbuatan di dalam masyarakat pada saat ini. Sedang di
Indonesia menunjukkan suatu tempat, yaitu di dalam Negara Republik
Indonesia.3
Dengan demikian, Tata Hukum Indonesia adalah merupakan
tatanan hukum yang berlaku di Indonesia sekarang. Tata hukum itu
menata, menyusun, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Tata
hukum itu sah berlaku bagi suatu masyarakat tertentu, dibuat,
ditetapkan dan dipertahankan atas daya paksa penguasa (authority)
masyarakat itu4. Dengan demikian maka Tata Hukum Indonesia itu
menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia.
Tata Hukum Indonesia dengan sendirinya ditetapkan oleh masyarakat
hukum Indonesia (Negara Republik Indonesia). Oleh karena itu tata
hukum Indonesia ada sejak saat Proklamasi Kemerdekaan, berarti:
1. Negara Republik Indonesia dibentuk oleh Bangsa Indonesia, dan
3
4
Hartono Hadisoeprapto, 2004, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 1.
Kusumadi Pudjosewodjo, 1997, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, PD
Aksara, Jakarta, hlm. 46.
7
2.
Sejak saat itu pula Bangsa Indonesia telah mengambil keputusan
menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri yaitu hukum
bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru, Tata Hukum
Indonesia.
Maka dari itu Proklamasi merupakan ketentuan atau norma
pertama atau disebut sebagai ketentuan pangkal daripada Tata Hukum
Indonesia. Oleh karena itu Proklamasi tidak dapat dicari dasar
hukumnya, dasar wewenangnya kepada aturan-aturan atau ketentuan
yang lainnya secara konstitusional. Dengan demikian, maka tidak
dapat dikatakan bahwa tata hukum yang ada sebagai kelanjutan dari
tata hukum sebelumnya5.
Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Proklamasi itu sendiri:
”hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya”. Ketentuan ini dipertegas lagi setelah Indonesia
mempunyai Undang-Undang Dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945
di dalam Pasal II Aturan Peralihan, sebagai berikut: “segala Badan
Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
D. Sejarah Tata Hukum Indonesia
Tata Hukum Indonesia memang masih saja dipengaruhi oleh Tata
Hukum Belanda. Hal ini disebabkan pada masa Indonesia dijajah oleh
Belanda (Zaman Hindia Belanda) tata hukum yang diterapkan di
Indonesia adalah sama dengan tata hukum di Negeri Belanda
berdasarkan Azaz Concordance. Sampai saat ini kenyataannya
peraturan hukum
zaman Hindia Belanda sebahagian masih
diperlakukan, dan hal ini dibenarkan oleh Pasal 2 aturan peralihan
5
Hartono Hadisoeprapto. Op. Cit, hlm. 2.
8
UUD 1945. Sehingga, hukum positif yang berlaku di Indonesia
sekarang ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang dibuat
zaman Hindia Belanda, ada yang dibuat pada zaman pendudukan
Pemerintah Militer Jepang, dan ada pula yang dibuat oleh pemerintah
Indonesia merdeka, yang semuanya dalam rangka mempelajari Tata
Hukum Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan.
1) Zaman Penjajahan Belanda
a) Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (1602-1799)
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh
para pedagang Belanda Tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi
persaingan antar para pedagang yang membeli rempah-rempah dari
orang-orang pribumi dengan tujuan dapat memperoleh keuntungan
yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh
pemerintah Belanda kemudian diberi hak-hak istimewa (octrooi)
seperti hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk
angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang. Dengan hak octrooi
itu VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah-daerah kepulauan
nusantara yang didatangi, terutama kepulauan Maluku dan
menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan
memaksakan aturan-aturan hukumnya. Di kepulauan Maluku aturanaturan hukum yang dipaksakan pentaatannya bagi orang-orang
pribumi, ketentuan-ketentuannya merupakan hukum positif orang
Belanda di “daerah perdagangan”, yaitu ketentuan-ketentuan hukum
yang dijalankan di atas kapal-kapal dagang di samping asas-asas
hukum Romawi. Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di atas
kapal dagang itu sama dengan hukum Belanda Kuno (Oud
Nederlandscrecht) berdasarkan asas konkordan.
9
Pada Tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan
wewenang kepada Gubernur Jenderal Pieter Both untuk membuat
peraturan dalam menyelesaikan perkara istimewa yang harus
disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah
yang dikuasai, di samping ia dapat memutuskan perkara perdata dan
pidana. Peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal itu kemudian
berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat-tetapkan sendiri
oleh Direksi VOC di Belanda dengan nama “Heeren Zeventien”.
Sejak Gubernur Jenderal diberi wewenang dapat membuat
peraturan yang diperlukan untuk kepentingan VOC di daerah-daerah
yang dikuasai, maka tetap peraturan yang diumumkan berlakunya
melalui “plakat”, dan plakat-plakat yang memuat setiap peraturan
setelah diumumkan tidak pernah dikumpulkan dengan tatanan yang
baik. Dalam perkembangannya, maka pada Tahun 1635 tidak
diketahui lagi plakat mana yang masih berlaku dan plakat mana yang
sudah dicabut atau diubah. Kemudian selama tujuh tahun sejak itu
semua plakat yang pernah diumumkan dikumpulkan lagi; dan bagi
plakat yang masih berlaku disusun secara sistematik. Setelah
penyusunannya selesai, maka pada Tahun 1642 diumumkan di
Batavia dengan nama “Statuta van Batavia” (Statuta Batavia). Usaha
semacam ini dilakukan lagi dan selesai pada Tahun 1766 dan diberi
nama ”Nieuwe Bataviasche Statuten” (Statuta Batavia Baru).
Peraturan statuta yang berlaku di daerah-daerah kekuasaan VOC
berdampingan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya
sebagai satu sistem hukum tersendiri dari orang-orang pribumi dan
orang-orang pendatang di luar orang Eropa. Terhadap aturan-aturan
hukum itu pernah dibuat suatu penelitian antara lain yang dilakukan
oleh Freijer dan menghasilkan suatu kitab hukum pada Tahun 1760.
Kitab hukum (kompendium) Freijer itu ternyata hanya berisi aturanaturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam.
10
Sampai berakhirnya masa penjajahan VOC tanggal
31
Desember 1799, karena dibubarkan oleh pemerintah Belanda akibat
banyak menanggung utang, tidak ada aturan-aturan hukum lainnya
lagi yang berlaku, kecuali yang disebutkan tadi.
b) Penjajahan Pemerintah Belanda (1800-1942)
Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC diambil
alih oleh pemerintah Bataavsche Republiek yang kemudian diubah
menjadi koninklijk Holand. Kepulauan nusantara sejak saat itu
mengalami masa-masa penjajahan pemerintah Belanda dengan
melaksanakan pedoman pemerintahan dan aturan-aturan hukum
sendiri. Untuk mengurus daerah-daerah jajahan raja Belanda yang
monarkhi-absolut waktu itu menunjuk Deandles sebagai Gubernur
Jenderal. Ia ditugaskan mempertahankan tanah jajahan nusantara
dalam menghadapi kemungkinan serangan Inggris. Pelaksanaan tugas
ini banyak menimbulkan korban, terutama bagi orang-orang di pulau
Jawa yang dipaksa menjadi pekerja rodi seperti dalam pembuatan
jalan dari Anyar ke Penarukan, Sumedang ke Bandung dan pembuatan
pangkalan angkatan laut dengan bentengnya di daerah Banten. Dalam
bidang pemerintahan, Deandles membagi pulau Jawa menjadi
sembilan keresidenan (prefektur). Sedangkan para bupati dijadikan
pegawai pemerintah Belanda dan diangkat oleh pemerintah di Batavia
dengan menerima gaji. Untuk menambah keuangan, maka
pelaksanaan pertanian diperketat dengan pajak, bahkan tanah
pemerintah banyak yang dijual kepada partikelir.
Pada Tahun 1811, Deandles diganti oleh Jansens yang tidak
lama memerintah, karena tahun itu juga kepulauan nusantara dikuasai
oleh Inggris. Pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford
Raffles menjadi Letnan Gubernur. Dalam pemerintahan Raffles,
prefektur di Jawa diubah menjadi sembilan belas dan kekuasaan para
11
bupati dikurangi. Seluruh rakyat dibebani “land-rante” (pajak bumi).
Dalam bidang hukum, Raffles mengutamakan mengenai susunan
pengadilan yang dikonkordansikan susunannya seperti pengadilan di
India terdiri dari:
(1) Division’s Court
Terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atau
Demang dan pegawai bawahannya. Mereka berwenang mengadili
perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20
ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepada
Bopati’s Court.
(2) District’s Court atau Bopati’s Court
Terdiri dari bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa dan beberapa
pegawai Bumiputera di bawah perintah bupati. Wewenangnya
mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, bupati
meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada
persesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada
Residen’s Courts.
(3) Residen’s Court
Terdiri dari residen, para bupati, hooft jaksa dan hooft penghulu.
Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan
hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang
melebihi 50 ropyen.
(4) Court of Circuit
Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai
pengadilan keliling dalam menangani perkara pidana dengan
ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut sistem juri
yang terdiri dari 5 sampai 9 orang Bumiputera. 6.
6
R. Abdoel Djamali, 2003. Op.Cit, hlm. 13-14.
12
Raffles tidak melakukan perubahan terhadap hukum yang
berlaku dalam lingkungan masyarakat Bumiputera. Anggapannya,
aturan-aturan hukum yang berlaku itu identik dengan hukum Islam.
Bahkan bagi hakim diperintahkan untuk tetap memberlakukan
ketentuan-ketentuan hukum Bumiputera dalam menyelesaikan
perkara. Tetapi, walaupun demikian hukum Bumiputera dianggap
lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa.
Setelah Inggris menyerahkan Nusantara kepada Belanda pada
Tahun 1816 sebagai hasil Konvensi London 1814, maka seluruh tata
pemerintahannya mulai diatur dengan baik. Sejak saat itu sejarah
perundang-undangan membagi tiga masa perundang-undangan yang
berjalan sebagai berikut:
(1) Masa Besluiten Regerings (1814 – 1855)
Berdasarkan Pasal 36 Nederlands Grondwet Tahun 1814,
menyatakan bahwa “Raja yang berdaulat, secara mutlak mempunyai
kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara
di bagian-bagian lain…”, maka raja dalam monarki konstitusional ini
langsung mengurus dan mengatur daerah-daerah jajahan. “Dalam
melaksanakan kekuasaannya hanya raja yang berhak membuat dan
mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan sebutan
“Algemene Verondening” (peraturan pusat). Karena peraturan pusat
itu dibuat oleh raja, maka dinamakan juga “Koninklijk Besluit”
(besluit raja). Pengundangan dari besluit-besluit yang dibuat oleh raja
melalui “Publicatie”, yaitu surat selebaran yang dilakukan oleh
Gubernur Jenderal. Koninklijk Besluit itu sebenarnya kalau dilihat dari
isi mempunyai dua sifat tergantung dari kebutuhan dibuatnya
peraturan tersebut, (1) Besluit itu sebagai tindakan eksekutif hanya
merupakan ketetapan raja untuk melakukan suatu pengangkatan,
misalnya pengangkatan Gubernur Jenderal. (2) sebagai tindakan
13
legislatif untuk mengatur, maka sebagai Algemene Verordening,
misalnya peraturan di Belanda yang disebut Algemene Maatregel von
Bestuurj (AmvB).
Untuk melaksanakan pemerintahan di kepulauan nusantara yang
oleh Belanda disebut “Nederlands Indie” (Hindia Belanda), raja
mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri dari Elout, Buykes dan
Van der Capellen. Mereka tidak mengetahui secara menyeluruh
peraturan-peraturan yang dibuat oleh Inggris. Karena itu tetap
memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku
pada masa Inggris berkuasa terutama mengenai Landrente dalam
bidang hukum, peraturan-peraturan yang berlaku bagi orang-orang
Belanda sejak VOC tidak diganti atau dicabut. karena menunggu
rencana pengkodifikasian hukum nasional Belanda.
Setelah Belanda untuk beberapa tahun mengalami pendudukan
Perancis dan merdeka kembali Tahun 1814, maka pemerintahannya
memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata nasional.
Pekerjaan itu selesai pada Tanggal 15 Juli 1830 dan dirancangkan
akan dinyatakan berlaku pada jam 00.00 antara Tanggal 31 Desember
1830 dan 1 Januari 1831. Tetapi dalam bulan Agustus 1830 terjadi
pemberontakan di bagian selatan Belanda yang akhirnya terjadi
pemisahan antara Belanda dengan Kerajaan Belgia. Timbulnya
pemberontakan itu mengakibatkan diundurkan pengundangan
pengkodifikasian hukum perdata dan baru dilaksanakan pada tanggal
1 Oktober 1838. Kemudian untuk Hindia Belanda dikehendaki juga
adanya kodifikasi hukum perdata yang akan diberlakukan bagi orangorang Belanda sesuai dengan keadaan daerah jajahan. Untuk maksud
itu pada Tanggal 15 Agustus 1839 Menteri jajahan di Belanda
mengangkat Komisi Undang-Undang bagi Hindia Belanda yang
terdiri dari Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketua, Mr. I
Schneiter dan Mr. I.F.H van Nes masing-masing sebagai anggota.
14
Komisi ini dalam tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan
yang kemudian oleh Mr. H.I. Wicher disempurnakan dan terdiri dari:
(1) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan
Organisasi Pengadilan (POP)
(2) Algemene Bapelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan umum
tentang perundang-undangan.
(3) Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil (KUHS)
(4) Wetboek van Koophandel (Wvk) atau Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD).
(5) Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (RV) atau peraturan
tentang Acara Perdata (AP)
Semua peraturan itu diundangkan berlakunya di HindiaBelanda, sejak Tanggal 1 Mei 1848 melalui S. 1847: 23). Peraturan
hukum yang telah dikodifikasikan diberlakukan sebagai hukum positif
bagi orang-orang Eropa di Hindia-Belanda.
Politik hukum yang dijalankan oleh pemerintah penjajahan
Belanda di Hindia Belanda secara tidak jelas semula dicantumkan
dalam Pasal 11 Algemene Bapelingen van Wetgeving (AB). Pasal ini
menyatakan, memuat perintah kepada hakim untuk memperlakukan
hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan hukum perdata adat
bagi golongan lain di dalam menyelesaikan perkara. Berdasarkan
ketentuan pasal ini, maka pemerintah penjajahan Belanda
melaksanakan poiltik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan
tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan
dan terdapat di dalam Burgelijk Wetboek (BW) dan Wetboek van
Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu.
Sedangkan yang tidak tertulis yaitu hukum perdata adat dan berlaku
bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya
15
dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang
berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem perdata lain yang berlaku
bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdata
berdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut
Pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini
disebabkan tidak adanya asas pembeda yang tegas walaupun ada
ketentuan Pasalnya. Ketentuan yang menetapkan perbedaan golongan
pokok, yaitu orang Eropa dan orang Bumiputera. Siapa yang termasuk
orang-orang Eropa dan siapa yang termasuk orang-orang Bumiputera
tidak dijelaskan dalam ketentuannya. Hanya dalam pasal itu
dinyatakan orang Eropa, orang Bumiputera, orang yang disamakan
dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang-orang
Bumiputera. Pembagian golongan menurut pasal-pasal itu hanya
berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen
selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak
beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu
dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang
bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang
Eropa: berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang
disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang
tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan
kedudukannya dengan orang Bumiputera.
Pembagian golongan ini menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan pemerintah waktu itu. Karena ketidajelasan kedudukan
golongan bagi orang Indonesia Kristen yang dipersamakan dengan
golongan orang Eropa. Tetapi karena Pasal 10 AB memberikan
wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan
pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10,
dalam Pasal 3, Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang
16
Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukum dagang,
juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada
umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan
demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk
golongan orang Bumiputera dan tidak dipersamakan dengan orang
Eropa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 – 10 AB itu pembagian
golongan Hindia Belanda yang bertolak pangkal perbedaan agama
(Kristen dan bukan Kristen) bagi yang dipersamakan, maka dalam
kehidupan sehari-hari bagi yang berperkara di pengadilan akan
diselesaikan oleh hakim dengan menggunakan aturan hukumnya
masing-masing.
(2) Masa Regering Reglement (1855 - 1926)
Pada Tahun 1848 di Belanda terjadi perubahan terhadap Grondwetnya sebagai akibat dari pertentangan De Staten General (Parlemen)
dengan Raja yang berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam
bidang mengelola kehidupan bernegara. Kemenangan itu mengubah
sistem pelaksanaan pemerintahan dari monarki menjadi
konstitusional parlementer. Adanya perubahan Grondwet itu
mengakibatkan juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan dan
perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Hal ini terutama
dengan dicantumkannya ketentuan Pasal 9 ayat I, II dan IV Grondwet
yang menyatakan bahwa:
Ayat I Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah
jajahan.
Ayat II Aturan-aturan tentang kebijaksanaan pemerintah ditetapkan
melalui undang-undang. Sistem keuangan ditentukan melalui
undang-undang.
17
Ayat IV Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah
jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur melalui
undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 59 itu, maka kekuasaan raja
terhadap daerah jajahan menjadi dikurangi walaupun masih banyak
mengeluarkan peraturannya sendiri. Suatu undang-undang (wet) yang
mengatur keadaan daerah jajahan tidak dibuat oleh raja bersama-sama
parlemen. Peraturan dasar tentang pemerintahan yang dibuat untuk
kepentingan daerah jajahan di Indonesia dan berbentuk undangundang (wet) waktu itu dinamakan Regerings Reglement (RR), dan
RR ini diundangkan pada Tanggal 1 Januari 1854, tetapi mulai
berlaku Tahun 1855 melalui S. 1885: 2. Kalau dilihat dari isinya yang
terdiri dari dalam 8 bab, 130 pasal dan mengatur tentang tata
pemerintahan di Hindia Belanda, maka RR itu dianggap sebagai
undang-undang dasar Pemerintah Jajahan Belanda.
Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang
pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu
dicantumkan dalam Pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera
dalam Pasal 11 AB. Sedangkan pembagian nya tetap dalam dua
golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi,
melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah”, dan
ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam Pasal
109 Regerings Reglement.
Pada Tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap
beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengan
sebutan RR (baru) dan berlaku sejak Tanggal 1 Januari 1920 sampai
1926 dinamakan masa Regerings Reglement. Sedangkan politik
hukum dalam Pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap
penentuan
menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Dan
golongannya dibagi dalam tiga golongan, yaitu golongan Eropa,
18
Indonesia dan Timur Asing. Kedua pasal tersebut disalin tetapkan
tanpa penambahan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang hal yang
sejenis pada masa berlakunya Indische Staatsregeling (IS).
Suatu hal yang perlu diketahui bahwa selama berlakunya RR itu,
maka melalui S. 1866: 55 diundangkannya sebuah kitab hukum
pidana. Diperuntukkan bagi orang-orang Eropa sebagai hasil saduran
dari Code penal yang waktu itu berlaku di Belanda. Kemudian pada
tahun 1872 kitab hukum itu ditambah dengan “Algemene Politie
Strafreglement” Sedangkan bagi orang-orang Eropa, melalui S. 1872 :
85 diundangkan berlakunya sebuah kitab hukum pidana yang isinya
hampir sama dengan kitab hukum pidana Eropa Tahun 1866.
Kemudian melalui S. 1872: 111 diperlukan juga sebuah “Politiestrafreglement” bagi orang bukan Eropa. Pada Tahun 1915 dengan S.
1915: 1915 di Hindia Belanda diundangkan “Wetboek van Strafrecht”
dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi setiap golongan pada
Tanggal 1 Januari 1918.
(3) Masa Indische Staatsregeling (1926 – 1942)
Pada Tahun 1918 oleh pemerintah Belanda dibentuk sebuah
“Volksraad” (Wakil Rakyat) sebagai hasil dari perjuangan bangsa
Indonesia yang menghendaki ikut menentukan nasib bangsanya.
Semula Wakil Rakyat Indonesia itu hanya mempunyai hak sebagai
penasehat pemerintah saja, tetapi sejak Tahun 1926 diberi hak ikut
membuat undang-undang. Sebenarnya dengan dibentuknya Wakil
Rakyat Tahun 1918 itu, maka pemerintah jajahan Belanda
merencanakan untuk merubah Regerings Reglement. Rencana itu baru
terlaksana beberapa tahun kemudian setelah Grondwet Belanda
mengalami perubahan lagi Tahun 1922. Perubahan tersebut
menyangkut wewenang raja terhadap daerah jajahan. Dalam
Grondwet Belanda Tahun 1922, Pasal 60-nya menyatakan bahwa
19
“Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda…”.
Kemudian Pasal 61:
1. Menyatakan “susunan Negara Hindia-Belanda…akan” ditentukan
dalam undang-undang, hal lainnya akan diatur oleh undang-undang
(wet) kalau ada kebutuhan terhadap itu.
2. Menyatakan tanpa mengurangi ketentuan dalam ayat (1) Pasal ini,
maka pengaturan tentang hal lainnya di Hindia-Belanda diserahkan
kepada alat-alat perlengkapan yang telah ada, sebagaimana caranya
telah ditentukan oleh undang-undang, kecuali kalau undang-undang
menentukan bahwa hak untuk mengatur hal-hal dan peristiwa
tertentu ada di tangan raja.
Akibat dari perubahan Grondwet terutama pasal-pasal di atas,
maka tata pemerintahan Hindia-Belanda mengalami perubahan juga.
Regerings Reglement yang berlaku sejak Tahun 1855 diubah dan
diganti menjadi “Indische Staatsregeling (IS), mulai berlaku pada
Tanggal 1 Januari 1926 melalui S. 1925: 415.
Indische Staatsregeling mencantumkan politik hukumnya dalam Pasal
131 yang seluruh isinya merupakan salinan dari Pasal 75 RR (baru).
Pasal itu terdiri dari 6 ayat yang menyatakan:
(1) Hukum perdata dan pidana material dan formil akan ditulis dalam
ordonansi.
(2) a. Memberi pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk hukum
perdata materil yang harus diatur bagi orang Eropa.
b. Memberi pedoman kepada pembentuk ordonansi hukum
perdata materil yang harus diatur bagi orang Indonesia dan
orang Timur Asing.
(3) Untuk hukum acara perdata dan hukum acara pidana ketentuan
yang sama seperti mengenai hukum pidana.
(4) Orang-orang Indonesia dan Timur Asing, sepanjang mereka
belum tunduk kepada aturan-aturan bersama orang-orang Eropa,
20
berhak untuk menundukkan dirinya secara sukarela yang diatur
dengan ordonansi.
(5) Menyatakan tidak berlakunya ordonansi berdasarkan pasal ini di
daerah-daerah yang berlaku hukum adat.
(6) Tetap berlakunya hukum adat bagi orang Indonesia dan Timur
Asing sepanjang tidak ditentukan lain oleh ordonansi.
Dilihat dari ketentuan pasal itu, maka secara prinsipil isinya
mengandung makna pengertian sebagai berikut:
1. Mengandung asas hukum tertulis dan tidak memuat perintah untuk
mengkodifikasikan hukum di Hindia-Belanda dalam kitab hukum,
tetapi menghendaki supaya hukum itu ditetapkan dalam ordonansi.
2. Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum bagi semua
golongan , tetapi tidak mengharuskan unfikasi itu dilaksanakan;
hanya kalau dikehendaki atas kepentingan umum jalan unifikasi
dapat ditempuh bagi golongan Indonesia dan Timur Asing.
3. Adanya wewenang bagi pembentuk ordonansi untuk melakukan
penyimpangan terhadap hukum Adat yang berlaku bagi golongan
Indonesia dan Timur Asing atas dasar kepentingan umum.
4. Menempuh corak dualistis dalam memberlakukan hukum perdata.
Hal ini dapat dilihat dari Ayat (2) bahwa bagi golongan Eropa
berlaku sistem hukum perdata dengan asas konkordansi, sedangkan
bagi golongan Indonesia dan Timur Asing berlaku sistem hukum
perdata adat masing-masing.
5. Kalau dilihat dari sistem hukum adat yang berlaku bagi masingmasing golongan Indonesia dan Timur Asing maka berarti corak
berlakunya sistem hukum adat itu pluralistis.
Dari isi pasal itu tampak bahwa pemerintah jajahan Belanda
masih menganggap harus ada perbedaan kedudukan hukum yang lebih
tinggi bagi Eropa dari orang-orang lainnya di Indonesia waktu itu.
21
Dalam ketentuan Pasal 131 IS dinyatakan ada 3 (tiga) golongan
penduduk Hindia-Belanda yang terdiri dari golongan Eropa, golongan
Indonesia dan golongan Timur Asing. Hindia-Belanda yang termasuk
golongan-golongan itu ditetapkan dalam Pasal 163 IS, dan Pasal
tersebut seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Isinya terdiri
dari 6 ayat dan yang perlu diketahui 4 ayat yang pertama, karena 2
ayat berikutnya mengatur mengenai wewenang Gubernur Jenderal
tentang ketentuan pasal ini serta kepentingan penduduk yang masih
ragu-ragu termasuk golongan mana dan dapat meminta penetapan
hakim dalam hal itu. Dari 4 ayat dalam Pasal 163 IS menyatakan:
(1) Apabila ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam
peraturan umum dan peraturan setempat, aturan-aturan, peraturan
polisi dan administrasi membedakan antara orang-orang Eropa,
orang-orang Indonesia dan Timur Asing, maka berlaku untuk
pelaksanaannya aturan-aturan sebagai berikut. Penjelasan: Ayat
ini mempunyai sifat imperatif (tidak memaksa). Maksudnya tidak
ada suatu keharusan untuk membagi Hindia-Belanda dalam tiga
golongan. Tetapi dalam kalimat ayat tertera kata “membedakan”,
yang kemudian dilaksanakan berdasarkan ayat-ayat berikutnya,
berarti fungsi pasal ini menjadi interpretasi (menafsirkan).
(2) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa
ialah:
a. semua orang Belanda
b. semua orang yang berasal dari Eropa yang tidak termasuk
Butir 1
c. semua orang Jepang, dan selanjutnya semua orang yang
berasal dari tempat lain termasuk Butir 1 dan di negaranya
akan tunduk kepada hukum keluarga yang sama dengan hukum
Belanda.
22
d. Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan
ketentuan selanjutnya dari orang yang dimaksud dalam Butir 2
dan 3.
Penjelasan:
Ada beberapa ukuran (kriteria) dari ayat ini dalam menentukan
orang-orang yang termasuk golongan Eropa, antara lain:
1) Asas kebangsaan, yaitu orang Belanda dan orang Jepang.
Bagi orang Belanda sudah jelas bahwa maksudnya untuk
setiap orang Belanda adalah merupakan orang Eropa. Tetapi
bagi orang Jepang dan geografi negaranya termasuk Asia
menjadi orang dalam golongan Eropa, akan menimbulkan
persoalan. Sebenarnya pemerintah Belanda melihat hal itu
dari kepentingan hubungan antara kedua negara dalam bidang
perdagangan. Adanya perjanjian dagang Belanda – Jepang
pada Tahun 1896 yang dimuat dalam S. 1898 : 49
mengakibatkan diberlakukannya S. 1899 : 202 yang antara
lain memuat bahwa semua orang Jepang dipersamakan
kedudukannya dengan orang Eropa. Dengan ketentuan
staatsblad itu kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan
ayat tersebut.
2) Kata “berasal dari Eropa” tidak diberi batasan secara tegas.
Semula ungkapan itu menimbulkan perbedaan pendapat
karena kata berasal dapat ditafsirkan dengan setiap orang dari
manapun juga kalau menetap di sebuah negara Eropa dan
datang ke Hindia-Belanda berarti orang Eropa. Kemudian
untuk memecahkan persoalan itu ada pendapat dari Mr. P.H.
Kleintjes dalam bukunya “staats instellingen van nederlands
indie”, perkataan “berasal” diartikan kelahiran atau keturunan
yang merupakan faktor penentu. Pendapat ini mempunyai arti
bahwa kalau seseorang keturunan Eropa dan atau kelahiran
23
Eropa akan termasuk orang golongan Eropa. Kedua pendapat
tersebut tidak dapat menyelesaikan persoalan, karena bagi
orang yang berasal dari Afrika atau Asia yang secara turun
temurun ada di sebuah negara Eropa, kalau datang ke
Indonesia berdasarkan pendapat tersebut adalah orang Eropa.
Tentu persoalan seperti itu akan menambah beban untuk
memperluas penafsiran yang hasilnya tidak menyelesaikan
persoalan. Kalau kata berasal itu diartikan bahwa “seorang
yang datang ke Indonesia memiliki kewarganegaraan yang
georgrafis Eropa, maka akan lebih mudah menyatakan bagi
orang tersebut termasuk golongan Eropa atau bukan Eropa.
Misalnya seorang negro datang ke Indonesia dengan
memiliki kewarganegaraan salah satu negara di Eropa, karena
secara turun temurun dilahirkan di negara itu. Terhadapnya
dapat ditentukan bahwa bukan orang yang termasuk golongan
Eropa, karena geografisnya Afrika.
3) Asas hukum keluarga, dapat menentukan seseorang termasuk
golongan Eropa kalau orang itu berasal dari tempat lain dari
Indonesia. Dan yang dimaksud dengan asas hukum keluarga
orang Belanda, yaitu dalam hukum keluarga tersebut
mengandung dasar-dasar:
a) monogami;
b) pembatasan undang-undang antara usia anak-anak dan
usia dewasa;
c) perbedaan dalam kedudukan hukum antara anak sah dan
anak luar kawin;
d) sistem perhubungan kerabat;
e) pengakuan kepribadian sendiri dari anak dan isteri.
4) Asas keturunan, maksudnya anak sah atau anak yang diakui
menurut undang-undang sebagai keturunan selanjutnya dari
24
mereka yang tertera dalam Butir 2 dan 3 ayat (2) yang
dilahirkan di Indonesia. Sebenarnya asas keturunan ini dapat
dijadikan alat untuk meniadakan kriterium kebangsaan (Butir
1) karena adanya pengakuan menurut undang-undang
mengakibatkan seseorang dapat menjadi orang Eropa
walaupun yang diakui itu bukan termasuk geografis Eropa.
(3) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Indonesia,
kecuali kedudukan hukum bagi orang-orang Kristen Pribumi yang
harus diatur dengan ordonansi, ialah semua orang yang termasuk
penduduk asli Hindia Belanda dan tidak pindah ke dalam
kelompok lain dari Indonesia, demikian pula mereka yang pernah
menjadi kelompok penduduk lain dari Indonesia, namun telah
meleburkan diri dengan penduduk asli. Penjelasan:
Yang
termasuk golongan Bumiputera ialah setiap orang Indonesia yang
berada di Hindia-Belanda. Indonesia ukurannya bukan kelahiran
dan dibesarkan di Indonesia, melainkan orang yang sejak zaman
prasejarah sudah berdiam di Indonesia. Karena itu orang
Indonesia hanyalah orang Indonesia asli. Jadi, ukuran
kebenarannya adalah etnologi atau kebangsaan. Bagi orang
Indonesia Kristen tetap masuk orang Indonesia walaupun dalam
ayat ini dinyatakan kedudukan hukumnya dapat diatur dalam
peraturan tersendiri. Maksudnya, pemerintah Hindia-Belanda
tidak mengatur kedudukan hukum pada umumnya, melainkan
yang berkenaan dengan Ordonansi Perkawinan orang Indonesia
Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon.
Pengertian golongan Indonesia menurut ayat ini terdiri dari:
a. orang Indonesia asli;
b. golongan lain yang meleburkan diri, yaitu:
25
1) kalau orang dari golongan lain dalam kehidupannya meniru
kehidupan dari orang Indonesia asli dalam keadaan seharihari dan meninggalkan hukumnya atau hukum adatnya;
2) sebagai akibat dari perkawinan yaitu bagi wanita lain
golongan yang menikah dengan laki-laki dari golongan
Indonesia, maka wanita itu menjadi golongan Indonesia.
Dengan demikian, peleburan diri ini mengubah kedudukan
golongan lain menjadi golongan Indonesia.
(4) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Timur
Asing, kecuali kedudukan hukum yang harus diatur dengan
ordonansi bagi orang-orang di antara mereka yang menganut
agama Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat
yang disebut dalam ayat (2) dan (3) pasal ini.
Penjelasan: Ketentuan ayat ini dengan menyatakan siapa yang
termasuk golongan Timur Asing dirumuskan secara negatif. Hal ini
dapat dilihat bahwa tidak ditentukan siapa orang Timur Asing itu dan
hanya dinyatakan terdiri dari mereka yang tidak termasuk golongan
Eropa atau golongan Indonesia. Pembentuk undang-undang membuat
ketentuan ayat ini untuk menjaga jangan sampai tidak ada yang
dilewatkan dari pembagian golongan tersebut. Tetapi kemungkinan
akan terjadi bahwa bagi seorang anak yang diketemukan di Indonesia
dengan bentuk fisik Eropa, dirinya akan menjadi orang Timur Asing
kalau orang tuanya tidak diketahui. Pembagian golongan berdasarkan
Pasal 163 IS itu sebenarnya untuk menemukan sistem hukum yang
berlaku bagi masing-masing golongan dalam hukum positifnya.
Hukum positif dapat berlaku secara baik di dalam pergaulan
hidup manusia kalau didasarkan pada kesadaran hukum pergaulan
hidup itu selain politik hukum negara (pergaulan hidup manusianya).
Dalam melaksanakan politik hukum hendaknya ditujukan kepada
bagaimana mengatur pergaulan hidup itu supaya tertib. Selama bangsa
26
Indonesia dijajah oleh pemerintah Belanda, adanya tata tertib hidup itu
sebagai akibat dari tetap berlakunya hukum dari masing-masing
golongan seperti yang dicantumkan dalam Pasal 131 IS. Tetapi
berdasarkan kesadaran hukumnya sendiri, maka hukum positif akan
dapat berlaku secara unifikasi kalau benar-benar mencerminkan
kepada kebutuhan akan hukum masyarakatnya sudah dapat dipenuhi.
Tata Hukum Indonesia sebagaimana yang telah dikemukakan
adalah tata hukum yang ditetapkan oleh Bangsa Indonesia sendiri atau
oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu adanya tata hukum Indonesia
juga sejak saat adanya negara Indonesia yaitu pada Tanggal 17
Agustus 1945, dimana kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamirkan.
Dengan adanya Proklamasi tersebut berarti pula bahwa
sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk
menentukan dari melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum
bangsa Indonesia dengan tata hukumnya sendiri, yaitu Tata Hukum
Indonesia. Memorandum DPRGR Tanggal 9 Juni 1966, antara lain
menyatakan bahwa: “Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang
dinyatakan pada Tanggal 17 Agustus 1945 adalah detik penjebolan
tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum
nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya”.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa dengan Proklamasi itu
berarti: (1) menegaskan Indonesia menjadi suatu Negara, dan (2) pada
saat itu pula menetapkan Tata Hukum Indonesia.
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa Tata Hukum
Indonesia berpokok pangkal kepada Proklamasi itu. Guna
kesempurnaan negara dan Tata Hukum-nya itu maka pada Tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
ditetapkan, disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
27
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 inilah tertulis secara garis
besar Tata Hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian yang tertulis.
Sebab kalau dilihat dalam penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa
UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu.
Dalam UUD hanya terdapat rangka atau denah Tata Hukum
Indonesia. Banyak ketentuan-ketentuan yang masih perlu
diselenggarakan lebih lanjut dalam perbagai undang-undang organik.
Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Tata Hukum
Indonesia itu merupakan kelanjutan dari Tata Hukum Hindia-Belanda,
sebab peraturan-peraturan yang diberlakukan itu bersifat sementara
saja, selama belum diganti dengan yang baru dan sekedar tidak
bertentangan dengan jiwa UUD 1945.
Di dalam perkembangan sejarah selanjutnya, UUD 1945
mengalami pasang surut dan pasang naik. Pernah sejak Tanggal 17
Agustus 1950, UUD itu tidak berlaku. Tetapi dengan adanya Dekrit
Presiden pada Tanggal 5 Juli 1959 berlaku lagi UUD 1945 tersebut.
E. Lapangan-Lapangan Hukum
Untuk mendapatkan pandangan yang luas tentang Hukum
sesuai dengan tujuan mempelajari Tata Hukum Indonesia yaitu untuk
mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang Hukum yang
berlaku dalam wilayah Republik Indonesia maka sudah pada
tempatnya kita membagi-bagi hukum itu menurut lapangan-lapangan
hukum agar mempermudah kita untuk selanjutnya dalam memahami
Tata Hukum Indonesia. Namun sebelum dilakukan pembagian
tersebut ada baiknya dimengerti tentang pengertian hukum Positif.
Hukum positif adalah keseluruhan hukum yang berlaku terhadap
suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu.
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan hukum positif
Indonesia adalah semua hukum yang berlaku terhadap masyarakat
28
indonesia, dalam pengertian berlakunya semenjak dan selama
kelangsungan Negara Republik Indonesia.
Hukum positif dikenal juga dengan istilah Ius Constitutum,
sedangkan lawannya ialah apa yang disebut dengan Ius
Constituendum, artinya semua aturan yang dicita-citakan agar
memberi akibat kepada peristia hukum dalam pergaulan hidup
manusia.
Hukum positif dapat dibagi menjadi 2 golongan, masingmasingnya adalah sebagai berikut:
a. Hukum Objetif
Yaitu perauturan hukum yang berlaku umum dan belum
dihubungkan dengan subjek hukum tertentu, atau hukum yang
belum dilekatkan pada persoon tertentu.
b. Hukum Subjetif
Yaitu aturan hukum yang telah dihubungkan dengan subjek hukum
tertentu, atau telah dilekatkan pada person yang tertentu sehingga
menimbulkan perhubungan hukum, yang selajutnya dapat
menimbulkan hak dan (atau) kewajiban.
Lebih lanjut hukum Objektif tersebut dapat pula dibagi kedalam
beberapa golongan lagi yaitu:
1. Ditinjau dari segi sumbernya, dapat dibedakan kedalam;
a. Hukum Tertulis ;
yaitu hukum yang bersumberkan kepada
Undang-undang dan peraturan lainya yang biasanya adalah
tertulis.
b. Kebiasaan ;
yaitu hukum yang timbul dari praktek yang
dilakukan berulang kali oleh anggota masyarakat, sehingga
menjadi suatu kezaliman yang biasanya tidak tertulis.
Pembagian hukum sepeti itu lebih sering juga disebut dengan
pembagian hukum menurut bentuknya, yaitu tertulis, atau tidak
tertulis.
29
Pembagian hukum menurut sumbernya juga dilakukan oleh
E. Utrecht. Beliau membagi hukum berdasarkan/menurut sumber
sebagai berikut :
a. Undang-undang (wetenrecht) yaitu hukum yang tercantum
dalam Undang-undang dan peraturan lainnya.
b. Hukum Kebiasaan dan Hukum Adat (gewonte en adatrecht)
yaitu hukum yang termuat dalam kebiasaan dan adat istiadat
yang mendapat pengakuan dari penguasa.
c. Hukum Traktat (tractaten recht)
yaitu
hukum
yang
terdapat dalam traktat/perjanjian antar bangsa.
d. Hukum Yurisprudensi yaitu hukum yang terbentuk karena
keputusan hakim.
e. Hukum Ilmu (wetenschap recht) yaitu hukum yang
berdasarkan kepada pendapat dan saran dari para ahli hukum.
2. Dilihat dari segi isi dan sifatnya ;
a. Hukum Publik yaitu peraturan hukum yuang mengatur dan
melindungi kepentingan umum, sehingga dipertahankan oleh
kekuasaan umum.
b. Hukum Privat yaitu hukum yang mengatur dan melindungi
kepentingan perseorangan, dan dipertahankan oleh kekauasan
umum bersadarkan inisitif orang perseorangan.
3. Dari segi sistematikanya dapat dibedakan :
a. Hukum Umum yaitu hukum yang berlaku umum.
b. Hukum Khusus yaitu peraturan hukum yang berlaku khusus
untuk orang atau golongan tertentu saja.
Catatan ;
Ukuran tersebut tidak selalu demikian, setidak-tidaknya
ukuran itu telah mulai bergeser, seperti pendapat Scholten bahwa
BW adalah Hukum umum karena Negara harus juga tunduk pada
BW sedangkan selebihnya adalah Hukum Khusus. Akan tetapi
30
sebenarnya secara singkat dapat dikatakan bahwa apa bila terjadi
penyimpangan dari azaz-azas umum, baik dalam lapangan perdata
atau pun pidana, maka hukum itu disebut hukum khusus.
4. Ditinjau dari sifatnya atau ditinjau dari daya kerjanya (menurut
Van Apeldoorn) hukum itu dapat pula dibedakan antara :
a. Hukum yang memaksa (dwingend recht) yaitu aturan hukum
yang dalam keadaan kongkrit tidak dapat dikesampingkan oleh
yang berkepentingan, artinya hukum itu mengikat secara
muktak dan sebab itu disebut juga dengan hukum yang mutlak
atau hukum yang memerintah.
b. Hukum yang mengatur atau menambah (regelend recht atau
aanvoelend recht) yaitu hukum yang dalam situasi kongkrit
dapat dikesampingkan oleh yang berkentingan apabila
dikehendaki, jadi tidak mengikat secara mutlak dan oleh sebab
itu disebut juga dengan hukum relative atau hukum dispositif.
Dalam hal ini E. Utrecht, untuk membedakan kedua
hukum tersebut, menggunakan ukuran lain yaiu memakai ukaran
sanksi.
5. Dilihat dari segi daerah berlakunya hukum itu, dapat pula
dibedakan antara :
a. Hukum Nasional yaitu hukum yang berlaku dalam batas
wilayah suatu negara tertentu, sepeti wilayah Republik
Indonesia.
b. Hukum Internasional yaitu hukum yang berlaku atas beberapa
negara tertentu.
Selain membagi ke dalam kedua jenis pembagian hukum
tersebut, ditinjau dari daerah berlakunya dikenal pula pembagian
dengan menggunakan istilah baru, yaitu hukum regional yaitu
hukum yang berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu,
seperti semua konsep landasan kontinen (continental shelf) dan
31
konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the
living resource of the sea) yang mula-mula merupakan hukum
regional Amerika Latin.
Menyangkut dengan istilah hukum nasional dalam
pembicaraan sehari-hari, dimaksudkan bukan saja hukum yang
berlaku dalam wilayah negara tertentu, melainkan pula hukum itu
merupakan ciptakaan atau produk dari negara yang bersangkutan.
Hal ini dimaksudkan untuk membedakan hukum peninggalan
penjajah dengan hukumnya sendiri.
6. Dilihat dari segi fungsinya atau cara pempertahankan Hukum itu
dapat pula dibedakan.
a. Hukum material yaitu aturan hukum yang megatur isi hubungan
hukum antara dua pihak, atau menerangkan perbuatan mana
yang menurut hukum dan perbuatan mana pula yang
bertentangan dengan hukum.
b. Hukum formal yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang
cara bagaimana mempertahankan agar hukum material itu tetap
berjalan.
Kalau kita melihat pada UUDS (1950) pernah disebut beberapa
lapangan hukum yang ada di Indonesia yaitu dalam Pasal 102 dan
108. Dalam Pasal 102 disebutkan:
a. Hukum Perdata dan Hukum dagang.
b. Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer.
c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.
Pasal 108 menyebut pula Hukum Tata Usaha. Namun ke dua
pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum di Indonesia,
sehingga tidak disebut secara lengkap semua lapangan hukum. 7Pasal
7
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hlm.177.
32
102 hanya menyebutkan lapangan-lapangan hukum yang harus
dikodifikasikan, sementara Pasal 108 hanya menentukan siapa yang
harus menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai hukum tata usaha.
RANGKUMAN
Tata hukum berasal dari kata Belanda “recht orde”, yang
berarti susunan atau tertib berdasarkan hukum. Maksudnya
adalah menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum,
supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui
dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum
yang terjadi.
Setiap Negara merdeka mempunyai tertib hukum.
Indonesia mempunyai tertib hukum dan hal ini dinyatakan
dalam rumusan hukum yang menyatakan Indonesia sebagai
Negara merdeka yaitu:
1. Proklamasi Kemerdekaan: “kami bangsa Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
2. Pembukaan UUD 1945: “…maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. … disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD
Negara Republik Indonesia.
Objek pengantar hukum Indonesia adalah hukum positif
Indonesia yaitu keseluruhan hukum yang sekarang ini berlaku di
Indonesia (sejak adanya Negara Republik Indonesia) sampai
sekarang ini.
Berbeda dengan pengantar ilmu hukum, yang dipelajari
dalam Pengantar Ilmu Hukum adalah hukum dalam pengertian
umum (genus) yang belum dibatasi oleh batas suatu wilayah
Negara tertentu, atau yang dipelajari di sini adalah teori hukum
(doctrin) hukum.
33
Tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah untuk
mengetahui perbuatan atau tindakan manakah yang menurut Hukum,
dan yang manakah yang melawan Hukum, bagaimanakah kedudukan
seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan
wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan lain
perkataan untuk mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik Hukum
tertulis ataupun Hukum yang tidak tertulis.
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang hukum
yang berlaku di Indonesia, maka sudah pada tempatnya kita membagibagi hukum positif Indonesia menurut lapangannya. Hukum positif
(ius constitutum) dapat dibagi menjadi dua golongan:
1. Hukum objektif
2. Hukum subjektif.
Hukum objektif dapat dibagi lagi dalam beberapa golongan
yaitu:
1. Dilihat dari segi sumbernya, dibedakan:
a. Hukum tertulis
b. Hukum tidak tertulis/kebiasaan.
2. Dari segi isi dan sifatnya, dibedakan:
a. Hukum public
b. Hukum privat
3. Dari segi sistematika:
a. Hukum umum
b. Hukum khusus
4. Dari daya kerjanya:
a. Hukum yang memaksa
b. Hukum yang mengatur
5. Dari segi berlakunya hukum:
a. Hukum nasional
34
b. Hukum internasional
6. Dari segi fungsinya atau cara mempertahankan hukum
a. Hukum materil
b. Hukum formal
Pembagian ini diperlukan untuk mempermudah dalam
mempelajari hokum. Dalam prakteknya antara pembagian yang satu
dengan yang lain sudah mengalami pergeseran, seperti Hukum tenaga
kerja yang tadinya masuk dalam lapangan privat sekarang bergeser
berada dalam ranah publik, begitu juga yang lain-lainnya.
LATIHAN
1. Apakah Indonesia mempunyai tata hukum? Dari mana kita
mengetahui bahwa Indonesia mempunyai tata hukum,
jelaskan.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tata hukum Indonesia
menurut Sudiman Kartohadiprojo.
3. Jelaskan pentingnya kita mempelajari tata hukum
Indonesia.
4. Jelaskan secara singkat sejarah berlakunya hukum di
Indonesia sejak zaman Hindia Belanda, dan kenapa sejarah
hukum menjadi bagian yang dipelajari dalam materi tata
hukum Indonesia.
5. Hukum positif dapat dibagi menjadi 2 golongan. Sebutkan
dan jelaskan.
6. Hukum objektif dapat dibagi pula ke dalam beberapa
golongan. Sebutkan dan jelaskan beberapa pembagian
tersebut.
35
GLOSSARIUM
1. Rechtstaat (Negara hukum).
2. Rechtsvacuum (kekosongan hukum)
3. Ius constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang sekarang ini
berlaku di suatu tempat, kalau kita bicara hukum positif Indonesia
maka yang dimaksudkan adalah hukum yang sekarang ini berlaku
di Indonesia.
4. Ius constituendum (hukum yang dicita-citakan).
5. Azaz Concordance (asas persamaan); hukum yang ada di Belanda
diikuti atau diperlakukan di Indonesia.
6. Hak Octrooi (hak istimewa).
7. Statuta van Batavia” (Statuta Batavia); peraturan hukum dalam
bentuk plakat pada zaman VOC yang dibukukan dan disusun
kembali secara sistematis pada Tahun 1642.
8. Nieuwe Bataviasche Statuten” (Statuta Batavia Baru);
penyusunan kembali Statuta Batavia Tahun 1766.
9. land-rante (pajak bumi).
10. Algemene Verondening (peraturan pusat) pada zaman Hindia
Belanda atau disebut juga dengan Koninklijk Besluit.
11. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan
Organisasi Pengadilan (POP).
12. Algemene Bapelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan umum
tentang perundang-undangan.
13. Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil (KUHS).
14. Wetboek van Koophandel (Wvk) atau Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD).
15. Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (RV) atau peraturan
tentang Acara Perdata (AP).
16. Dwingend recht; hukum yang bersifat memaksa.
36
17. Regelend recht atau aanvoelend recht ; Hukum yang dalam
situasi kongkrit dapat dikesampingkan oleh yang berkentingan
apabila dikehendaki, jadi tidak mengikat secara mutlak dan oleh
sebab itu disebut juga dengan hukum relative atau hukum
dispositif.
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Hartono Hadisoeprapto 2004. Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
Kusumadi Pudjosewodjo 1971. Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia, PD Aksara, Jakarta.
R. Abdoel Djamali 2003. Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudiman Kartohadiprojo 1981. Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Liberty, Yogyakarta
37
BAB II
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: Pengertian hukum perdata, sejarah kitab
undang-undang hukum perdata, sumber-sumber hukum perdata,
dan ruang lingkup hukum perdata.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi hukum perdata
2. Mengungkapkan sejarah kitab undang-undang hukum
perdata.
3. Menjelaskan sumber-sumber hukum perdata.
4. Menjelaskan ruang lingkup hukum perdata.
A. Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah
laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun
pergaulan keluarga.8
Sedangkan Abdulkadir Muhammad memberikan definisi hukum
perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Berdasarkan
8
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 72.
38
definisi tersebut ada beberapa unsur yang dibahas. Unsur-unsur
tersebut adalah:9
1. Peraturan hukum (recht sregel, rule of law);
2. Hubungan hukum (rechtsbetreking, legal relation);
3. Orang (persoon).
1. Peraturan Hukum
Peraturan artinya rangkaan ketentuan mengenai keterikatan. Peraturan
ini ada tertulis dan ada tidak tertulis. Hukum artinya segala peraturan
tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap
pelanggarnya. Istilah “perdata” berasal dari bahasa sangsekerta yang
berarti warga (burger), pribadi (privaat), sipil, bukan militer (civiel).
Hukum perdata artinya hukum mengenai warga, pribadi, sipil,
berkenaan dengan hak dan kewajiban.
2. Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum.
Hubungan yang diatur oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban
warga, pribadi yang satu terhadap warga pribadi yang lain dalam
hidup masyarakat. Jadi hubungan hukum adalah hak dan kewajiban
hukum setiap warga atau pribadi dalam hidup bermasyarakat. Hak dan
kewajiban tersebut apabila tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi
menurut hukum.
3. Orang (persoon)
Orang (persoon) adalah subjek hukum, yaitu pendukung hak dan
kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban ini dapat berupa manusia
pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi dan badan hukum
9
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, , hlm. 1-3.
39
mungkin warga negara Indonesia dan mungkin juga warga negara
asing.
Manusia pribadi (natuurlijk persoon) adalah gejala alam,
makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang mempunyai akal, perasaan,
kehendak. Sedangkan badan hukum (rechtspersoon) adalah gejala
yuridis, badan ciptaan manusia berdasarkan hukum.
Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu Hukum Perdata
Materiil dan Hukum Perdata Formil. Hukum Perdata Materiil
mengatur kepentingan-kepentingan perdata yang setiap subjek hukum.
Hukum Perdata Formil mengatur bagaimana cara seseorang
mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
Hukum perdata formil mempertahankan hukum perdata materiil,
karena hukum perdata formil berfungsi menerapkan hukum perdata
materiil apabila ada yang melanggarnya.
B. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal
dengan istilah Burgelijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum
perdata yang disusun di Negeri Belanda.
Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum perdata
Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun
berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu
itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Hukum privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi (pembukaan suatu lapangan hukum secara sistematis dan
teratur dalam satu buku) yang bernama code civil dan code de
commerce.
Pada waktu Perancis menguasai Belanda, kedua kodifikasi itu
diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah
negeri Belanda merdeka dari Perancis Tahun 1915, kedua kodifikasi
40
itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah
Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu yang lama
menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (asas konkordansi).
Baru pada Tahun 1838 dengan berdasarkan asas yang terdapat
dalam code civil dan code de commerce, pemerintah Belanda dapat
menciptakan 2 kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama:
1. Burgelijk Wetboek yang disingkat BW.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK.
Untuk kodifikasi KUH Perdata di Indonesia dibentuk sebuah
panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara
hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di
negeri Belanda.
Di samping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda
mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah
Agung di Hindia Belanda (Hooggerhtschof) yang diberi tugas
istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia.
Mr. C.C. Hagemann tidak berhasil, sehingga padaTahun 1836
ditarik kembali ke Negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua
Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr. C.J. Scholten van
Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Scholten van Oud Haarlem diangkat
menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr.
Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum
berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J.
Scholten van Oud Haarlem lagi, tetapi anggotanya diganti, yaitu Mr.
J. Schneither dan Mr. A.J. van Nes.
Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH
Perdata Indonesia, maka KUH Perdata Belanda banyak menjiwai
41
KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam
kodifikasi KUH Perdata Indonesia.
Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada
Tanggal 30 April 1847 melalui Staatblad Nomor 23 dan mulai berlaku
pada Januari 1946.10
C. Sumber-Sumber Hukum Perdata
1. Arti Sumber Hukum
Yang dimaksud sumber hukum perdata ialah asal mula hukum
perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan. Asal mula itu
menunjuk kepada sejarah asalnya dan pembentukannya. Sedangkan
“tempat” menunjuk kepada rumusan-rumusan itu dimuat dan dapat
dibaca.
2. Sumber Dalam Arti Formal
Sumber dalam arti “sejarah asalnya” hukum perdata adalah hukum
perdata buatan pemerintah kolonial Belanda yang terhimpun dalam
BW (KUH Perdata). Berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945, BW
(KUH Perdata) itu dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti
dengan undang-undang yang baru berdasarkan UUD 1945.
Sumber dalam arti “pembentuknya” adalah pembentuk undangundang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat
Indonesia, yang di dalamnya termasuk juga aturan peralihan. Atas
dasar peraturan peralihan itu, BW (KUH Perdata) dinyatakan tetap
berlaku. Ini berarti pembentuk UUD Indonesia ikut menyatakan
berlakunya BW (KUH Perdata).
Sumber dalam arti asal mula (sejarah asal dan pembentuk) ini
disebut dengan sumber hukum dalam arti formal.
10
Yulies Tiena Masriani, Op. Cit, hlm. 72-75.
42
3. Sumber Dalam Arti Materil
Sumber dalam arti “tempat” adalah Staatsblad atau Lembaran Negara
di mana rumusan ketentuan undang-undang hukum perdata dapat
dibaca oleh umum. Misalnya Stb. 187-23 memuat BW (KUH
Perdata), Lembaran
Negara 1974-1 memuat Undang-undang
Perkawinan, dan lain-lain.
Selain itu keputusan hakim yang disebut yurisprudensi juga
termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata bentukan
hakim dapat dibaca. Misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung
mengenai warisan, mengenai badan hukum , mengenai hak atas tanah,
dan lain-lain. Sumber dalam arti tempat disebut juga sumber dalam
arti materil.
Sumber hukum perdata dalam arti materil umumnya masih
bekas peninggalan zaman kolonial dahulu, terutama terdapat dalam
staatsblad. Sedangkan yang lainnya sebagai dasar yrisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan sebagaian kecil saja adalah
Lembaran Negara Republik Indonesia yang memuat hukum perdata
Republik Indonesia.
D. Ruang Lingkup Hukum Perdata
Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan
mengatur bagaimana melaksanakan dan mempertahankan hak dan
kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban
dalam hidup bermasyarakat tersebut ”hukum perdata materil”.
Sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu disebut
”hukum perdata formal”. Hukum perdata formal sering disebut hukum
acara perdata.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral.
Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat, karena manusia itu
43
adalah pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian hukum
materil pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang
dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan kewajiban itu.
Manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan dijadikan atas jenis
kelamin pria dan wanita. Sesuai dengan kodratnya, mereka hidup
berpasangan-pasangan antara wanita dan pria. Hubungan itu terikat
dalam tali perkawinan yang kemudian melahirkan anak. Dengan
demikian timbullah yang disebut keluarga. Hukum perdata materil
mengatur tentang kehidupan keluarga.
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan.
Kebutuhan itu hanya dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan usaha
dan kerja keras. Mereka mengadakan hubungan antara satu sama lain.
Keberhasilan dalam usaha kehidupan adalah harta kekayaan yang
mereka miliki, dan kelangsungan hidup keluarga dapat dijamin.
Dengan demikian, hukum perdata materil mengatur harta kekayaan.
Manusia hidup tidak abadi. Pada suatu saat ai akan meninggal.
Jika demikian, bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan,
bagaimana pula dengan harta kekayaan yang telah dioperoleh selama
hidup. Siapa yang berhak mengurus dan memeliki harta kekayaan itu.
Dengan demikian, hukum perdata materil mengatur tentang
pewarisan.
Atas dasar siklus kehidupan manusia itu, maka hukum perdata
materil memuat dan mengatur segala persoalan mengenai:
1. Orang sebagai pendukung hak dan kewajiban (personenrecht).
2. Keluarga sebagai unit masyarakat terkecil (familierecht).
3. Harta kekayaan (vermogensrecht).
4. Pewarisan (erfrecht).
Inilah sub-sub bidang hukum perdata yang termasuk dalam
hukum perdata materil. Sedangkan sub bidang mengenai cara
melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban, termasuk
44
dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan sub
disiplin ilmu hukum yang berdiri sendiri.
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim
dibagi dalam empat bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan (Persoonenrecht)
yang antara lain mengatur tentang:
a. Orang sebagai subjek hukum, dan
b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan
bertindak sendiri untuk melaksanakan haknya itu.
2. Hukum kekeluargaan atau Hukum Keluarga (Familierecht) yang
memuat antara lain:
a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul di
dalamnya seperti hukum harta kekayaan antara suami dan isteri.
b. Hubungan hukum antara orang tua dan anak-anaknya atau
kekuasaan orang tua (ouderlijk macht).
c. Perwalian (voogdij).
d. Pengampuan (curatele).
3. Hukum kekayaan atau Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi:
a. Hak Mutlak, adalah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang;
b. Hak Perorangan, adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap
seorang atau suatu pihak tertentu saja.
4. Hukum Waris (Erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan
seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum
dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan
seseorang).
45
Ad. 1. Hukum Perorangan (Persoonenrecht)
Di dalam hukum perdata, istilah “orang” atau person menunjuk pada
pengertian subjek hukum yang artinya pembawa hak dan kewajiban.
Subjek hukum terdiri atas:
1. manusia (naturlijk persoon), dan
2. badan hukum (rechts persoon)
Manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban terdiri sejak ia
lahir dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Sejak ia lahir hidup, ia
dapat dianggap sudah sebagai subjek hukum (Pasal 2 ayat (1) BW).
Akan tetapi apabila ia lahir dalam keadaan meninggal, ia dianggap
tidak pernah ada (Pasal 2 ayat (2) BW). Ketentuan yang termuat
dalam Pasal 2 BW tersebut dinamakan rechtsfictie. Ketentuan ini
sangat penting dalam hal warisan.
Badan hukum yang berstatus sebagai pembawa hak dan
kewajiban (sebagai subjek hukum), misalnya negara, provinsi,
kabupaten, perseroan terbatas, yayasan, wakaf, gereja, dan sebagainya.
Suatu perkumpulan dapat juga dijadikan Badan Hukum asal saja
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, yaitu:
a. Didirikan dengan Akta Notaris;
b. Didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat;
c. Anggaran dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman; dan
d. Diumumkan dalam Berita Negara;
Orang dan badan hukum sebagai subjek hukum dapat
melakukan perbuatan hukum sebagai pelaksanaan hak dan
kewajibannya. Dalam melaksanakan perbuatan hukum, badan hukum
diwakili oleh para pengurusnya.
Orang untuk dapat melakukan perbuatan hukum harus sudah
dewasa (menurut BW harus sudah berumur 21 tahun) atau sudah
kawin sebelum umur tersebut. Batas usia dewasa menurut Undang-
46
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Yurisprudensi Mahlamah Agung
adalah 18 tahun.
Orang yang sudah dewasa berarti oleh hukum dianggap sudah
cakap untuk melakukan perbuatan hukum/bertindak sendiri. Orang
yang belum dewasa, yang ditaruh dalam pengampuan/pengawasan
(curatele) oleh hukum dinyatakan sebagai orang yang ”tidak cakap”
untuk melakukan perbuatan hukum sendiri. Perbuatan hukum bagi
orang yang berkepentingan harus dilakukan oleh wali kuratornya.
Perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh orang atau badan
hukum sebagai subjek hukum, misalnya:
a. mengadakan perjanjian jual beli tanah;
b. mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah;
c. mengadakan perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang;
d. mengadakan perjanjian kerja;
e. dan lain-lain.
Menurut hukum setiap orang harus mempunyai tempat tinggal
atau domisili, juga bagi badan hukum. Tempat tinggal (domisili)
adalah tempat dimana seseorang tinggal atau berkedudukan serta hak
dan kewajiban hukum. Tempat tinggal dapat berupa wilayah/daerah
dan dapat pula berupa rumah kediaman/kantor yang berada dalam
wilayah/daerah tertentu. Tempat tingggal manusia pribadi biasa
disebut tempat kediaman. Sedangkan tempat tinggal badan hukum
biasa disebut dengan tempat kedudukan. Tempat tinggal sering juga
disebut alamat.
Tempat tinggal menentukan hak dan kewajiban seseorang
menurut hukum. Hak dan kewajiban ini dapat timbul dalam bidang
hukum publik dan hukum perdata. Hak dan kewajiban dalam bidang
hukum publik, misalnya:
1. Hak mengikuti pemilihan umum, hak suara hanya dapat diberikan
di TPS dimana yang bersangkutan tinggal atau beralamat;
47
2. kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan hanya dapat
dipenuhi di tempat dimana yang bersangkutan tinggal/beralamat;
3. kewajiban membayar pajak kenderaan bermotor hanya dapat
dipenuhi dimana yang bersangkutan tinggal/beralamat, karena
kenderaan bermotor didaftarakan mengikuti alamat pemiliknya.
Hak dan kewajiban dalam bidang hukum perdata, misalnya:
1. jika dalam perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran,
debitur wajib membayar ditempat tinggal kreditur. Jadi, hak
kreditur dipenuhi di tempat tinggalnya (pasala 1393 ayat 2 KUH
Perdata);
2. debitur wajib membayar wesel/cek kepada pemegangnya
(kreditur) di tempat tinggal/alamat debitur (pasal 137 KUHD). Ini
berarti kreditur (pemegang cek/wesel) harus datang ke kantor
debitur (bank) untuk memperoleh pembayaran. Debitur (bank)
hanya akan membayar di kantornya, bukan ditempat lainnya;
3. debitur berhak menerima kredit dari kreditur (bank) di kantor
kreditur (bank), demikian juga kewajiban membayar kredit
dilakukan di kantor kreditur (bank).
Dilihat dari segi terjadinya peristiwa hukum, tempat tinggal itu
dapat digolongkan empat jenis, yaitu:11
1. tempat tinggal yuridis;
2. tempat tinggal nyata;
3. tempat tinggal pilihan;
4. temapat tinggal ikutan.
Tempat tinggal yuridis terjadi karena peristiwa hukum
kelahiran, perpindahan atau mutasi. Tempat tinggal yuridis
dibuktikan oleh takartu tanda penduduk (KTP) atau bukti-bukti yang
lain. Jika peristiwa hukum itu perbuatan hukum pembentukan badan
11
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 36.
48
hukum, maka tempat kedudukan dibuktikan dengan akta pendirian
(anggaran dasar). Tempat tinggal yuridis adalah tempat tinggal utama.
Tempat tinggal nyata terjadi karena peristiwa hukum
keberadaan yang sesungguhnya. Umumnya di buktikan dengan
kehadiran selalu di tempat itu. Tempat tinggal nyata sifatnya
sementara karena karena adanya perbuatan atau keperluan tertentu
yang tidak terus-menerus untuk jangka lama. Misalnya seorang
mahasiswa yang mempunyai KTP Banda Aceh ber KKN di
Kabupaten Pidie selama dua bulan, maka ia bertempat tinggal nyata di
Sigli.
Tempat tinggal pilihan terjadi karena peristiwa hukum membuat
perjanjian, dan tempat tinggal itu dipilih oleh pihak-pihak yang
membuat perjanjian itu. Tempat tinggal ini dibuktikan oleh akta
otentik yang mereka buat di muka Notaris. Misalnya dalam perjanjian
ditentukan tempat yang dipilih ialah Kantor Pengadilan Negeri Banda
Aceh.
Tempat tinggal ikutan (tergantung) terjadi karena peristiwa
hukum keadaan status hukum seseorang, yang ditentukan oleh
undang-undang, misalnya:
1. Tempat tinggal isteri sama dengan tempat tinggal suami (Pasal 32
UU No. 1 Tahun 1974);
2. tempat tinggal anak mengikuti tempat tinggal orang tua (Pasal 41
UU No. 1 Tahun 1974);
3. tempat tinggal orang di bawah pengampuan mengikuti
pengampu/walinya (Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974).
Pembuktiannya melalui akta perkawinan, kartu keluarga/KTP
orang tua, putusan pengadilan tentang penunjukan wali pengampu.
Kelangsungan tempat tinggal ikutan ini berhenti atau dapat dihentikan
apabila status hukum yang bersangkutan berubah.
49
Arti pentingnya tempat tinggal bagi seseorang atau badan
hukum ialah dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan
status hukum seseorang dalam lalu lintas hukum dan berurusan
dengan pengadilan.
Tempat tinggal menentukan apakah seseorang itu terikat untuk
memenuhi hak dan kewajiban dalam setiap peristiwa hukum. Tempat
tinggal juga menentukan status hukum seseorang apakah ia dalam
ikatan perkawinan, apakah ia dalam keadaan belum dewasa, apakah ia
dalam keadaan tidak berwenang berbuat. Tempat tinggal juga
menentukan apabila seseorang berurusan/berperkara di muka
pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan agama berwenang
menyelesaikan perkara perdata adalah yang daerah hukumnya
meliputi tempat tingggal tergugat (Pasal 118 HIR).
Ad. 2. Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah rangkaian peraturan hukum yang timbul
untuk mengatur pergaulan hidup kekeluargaan. Hukum keluarga
meliputi sebagai berikut:
a. Kekuasaan Orang Tua (Onderlijke Macht)
Semua anak yang masih di bawah umur (belum berumur 21 tahun atau
belum kawin) berada di bawah kekuasaan orang tua. Artinya, bahwa
selama si anak itu belum dewasa maka orang tua mempunyai
kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah hingga
anak-anak itu dewasa atau sudah kawin.
Sebaliknya, si anak juga wajib patuh terhadap orang tua dan
apabila anak itu telah berkeluarga wajib membantu perekonomian
orang tua yang tidak mampu menurut garis lurus ke atas.
50
Dalam melakukan kekuasaan orang tua, bapak/ibu mempunyai
hak menguasai kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil dari
kekayaan itu. Kekuasaan orang tua berakhir apabila :
1. Anak telah dewasa atau telah kawin;
2. Perkawinan orang tua putus;
3. Kekuasaan orang tua dicabut oleh Hakim, karena alasan tertentu
(misalnya pemboros, pendidikannya tidak baik); dan
4. Anak dibebaskan dari kekuasaan orang tua, karena terlalu nakal
hingga orang tua tidak mampu menguasai dan mendidik.
b. Perwalian (Voogdij)
Pada dasarnya anak yatim piatu atau anak di bawah umur yang tidak
berada dalam kekuasaan orang tua memerlukan bimbingan dan
pemeliharaan. Oleh karena itu perlu, ditunjuk wali yaitu orang atau
yayasan yang akan mengurus keperluan dan kepentingan hukum anakanak itu.
Hakim biasanya menetapkan seorang wali yang masih ada
hubungan darah terdekat dengan si anak, atau ayah dari anak itu yang
oleh karena sesuatu hal perkawinannya dengan ibu si anak tersebut
telah putus, dapat juga saudara-saudaranya yang dianggap cakap
untuk itu.
Namun demikian, hakim juga dapat menetapkan seseorang atau
perkumpulan misalnya yayasan sebagai wali. Perwalian dapat terjadi
karena :
1. Perkawinan orang tua putus, baik karena kematian atau karena
perceraian, dan
2. Kekuasaan orang tua dicabut atau dibebaskan.
Dalam keadaan yang disebut terakhir ini hakim mengangkat
seorang wali yang disebut dengan wali pengawas. Wali pengawas di
Indonesia dijalankan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).
51
c. Pengampuan (Curatele)
Orang-orang yang perlu ditaruh di bawah pengampuan/pengawasan
(curatele), adalah orang-orang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat
mengurus kepentingannya sendiri dengan baik. Mereka yang demikian
itu, misalnya:
a. orang sakit ingatan,
b. orang yang pemboros,
c. orang yang lemah daya, dan
d. orang yang tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri dengan
baik, misalnya orang yang sering mengganggu keamanan/
kelakuannya buruk sekali.
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan biasanya diminta
oleh suami atau istri, keluarga sedarah, atau kejaksaan.
Dalam hal orang yang lemah daya, yang dibenarkan meminta
pengawasan adalah orang yang bersangkutan, kurator, atau
pengampuan ditetapkan oleh hakim dengan mengangkat suami atau
isteri atau orang lain di luar keluarga atau perkumpulan dan disertai
pengampu pengawas, yaitu balai harta peninggalan. Pengampuan
terhadap orang itu (kurandus) berakhir apabila alasan-alasan untuk
dimasukkannya seseorang di bawah curatele sudah tidak ada.
d. Perkawinan
Masalah perkawinan, ketentuannya secara rinci telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Dalam undang-undang ini ditetapkan mengenai perkawinannya
sendiri, akibat perkawinan dan tentang perkawinan campuran. Pasal 1
menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
52
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 diatur mengenai syarat sahnya perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 2 ini, menunjukkan bahwa perkawinan di
Indonesia tidak semata-mata berkenaan dengan hanya hubungan
keperdataan kodrati pribadi melainkan juga turut campurnya agama
atau kepercayaan individu yang bertujuan melaksanakan ibadat
agamanya masing-masing dan juga bagi yang tidak beragama tetapi
menganut suatu kepercayaan hendaknya tetap berpendirian seperti itu
supaya sikap disiplin kepada dirinya selalu ada. Di samping itu
Indonesia sebagai sebuah negara tentunya akan selalu memperhatikan
kepentingan individu-individu warga negaranya dalam melaksanakan
kodrati pribadinya melanjutkan keturunan dengan membentuk
keluarga peristiwa itu akan dicatat. Melalui pencatatan itulah
kemudian masing-masing akan diberi akte perkawinan. Kerena tanpa
pencatatan niscaya bagi pihak pria terutama akan dengan leluasa
melakukan perkawinan yang kedua, ketiga dan selanjutnya.
Sedangkan asas perkawinan di Indonesia adalah “monogami”, yaitu
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Kalau seandainya bagi pria
yang akan menikah lagi, maka pernikahan itu harus mempunyai alasan
yang kuat dan mendapat izin dari istrinya. Hanya saja perkecualian
seperti ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil dengan adanya
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
53
Suatu perkawinan bukan merupakan bidang hukum perikatan,
melainkan hukum keluarga. Karena itu hanya diperkenankan adanya
kelangsungan suatu pembentukan keluarga kalau memang benar-benar
atas kehendak yang disetujui bersama antara kedua pihak yang
bersangkutan tanpa campur tangan orang lain dengan syarat yang
dicantumkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu.
Adapun syarat perkawinan itu:
1. Pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 tahun.
2. Penyimpangan dari ketentuan ini harus mendapat dispensasi
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
para pihak.
3. Kalau orang tua telah meninggal dunia, maka keluarga terdekat dari
garis keturunan ke atas yang meminta dispensasinya.
Sesaat setelah suatu perkawinan berlangsung, maka kedua pihak
kedudukannya akan berubah, pihak pria menjadi kepala keluarga dan
pihak wanita sebagai ibu rumah tangga. Pada saat itulah timbul hak
dan kewajiban masing-masing.
Walaupun menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, dinyatakan bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan lahir
bathin antara pria dan wanita dalam membentuk suatu rumah tangga,
tetapi hubungan lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal. Sebab
pada suatu waktu akan terjadi putusnya hubungan perkawinan, baik
sengaja maupun tidak disengaja dilakukan karena suatu sebab yang
mengganggu berlanjutnya hubungan itu. Perkawinan dapat putus,
karena:
1. Kematian.
2. Perceraian.
3. Atas Keputusan Pengadilan.
54
Putus karena kematian merupakan suatu proses terakhir dalam
melaksanakan kodrat manusia. Tetapi putus karena perceraian dan
atau atas keputusan pengadilan merupakan suatu sebab yang dicaricari.
Selain hal-hal tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan
dalam masalah perkawinan ini berkenaan dengan adanya “perkawinan
campuran”. Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
menyatakan bahwa “perkawinan campuran adalah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia”. Ketentuan pasal ini
membedakan adanya hukum yang berbeda yang berbeda karena
berbeda kewarganegaraan. Kalau ditinjau dari “hukum tata negara”,
maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini mulai berlaku sejak
diundangkan pada Tanggal 1 April 1975. Berarti bahwa sejak saat itu
bagi seorang warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan
perkawinannya dengan seorang asing, mereka memasuki perkawinan
campuran. Adapun syarat-syarat perkawinan ini sama seperti yang
dicantumkan dalam syarat-syarat perkawinan biasa. Hanya saja dalam
kedudukan kewarganegaraannya akan dapat berubah seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang kewarganegaraan Nomor 52 Tahun
1958. Dengan adanya pengertian “perkawinan campuran” yang tertera
di atas, hendaknya pikiran kita jangan tertuju semata-mata kepada
ketentuannya saja, sebab ada perbedaan pengertian antara perkawinan
campuran yang ditetapkan dalam Staatsblad 1889 Nomor 158 dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Ketentuan Staatsblad itu
berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 sepanjang sebelum ada peraturan yang sama
mengubahnya. Dengan adanya ketentuan Pasal 57 Undang-undang
55
Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal lainnya berarti bahwa Staatsblad
Tahun 1889 No. 158 tidak berlaku lagi.12
Ad. 3. Hukum Harta Kekayaan
Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang.13
Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya hubungan antara
subjek hukum yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara
sesama subjek hukum tersebut berkaitan dengan benda sebagai objek
hukumnya dan benda tersebut dapat dinilai dengan uang.
Hubungan yang dilakukan antara sesama subjek hukum tersebut
adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hukum harta kekayaan meliputi dua lapangan, yaitu:
1. Hukum benda yang berupa peraturan-peraturan yang mengatur
hak-hak kebendaan yang mutlak sifatnya. Artinya, bahwa
terhadapat hak-hak atas benda itu orang wajib menghormatinya.
2. Hukum perikatan ialah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan hukum yang bersifat kehartaan antara dua orang atau
lebih dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi tertentu,
sedangkan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi. Contoh:
Perikatan dalam perjanjian jual beli.14
Pengertian benda menurut ilmu pengetahuan adalah segala
sesuatu yang dapat menjadi objek hukum. Sedangkan pengertian
benda menurut Pasal 499 KUH Perdata adalah segala barang dan hak
yang dapat dipakai orang (menjadi objek hak milik).
Dalam bahasa aslinya bahasa Belanda, benda itu adalah zaak.
Dalam Pasal 499 KUHPdt yang diartikan dengan zaak ialah semua
barang dan hak. Hak disebut juga dengan “bagian dari harta
12
R. Abdoel Djamali, 1993, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 143.
13
Yulies Tiena Masriani, Op. Cit, hlm. 78.
14
Ibid, hlm. 78.
56
kekayaan” (vermogensbestanddeel). Harta kekayaan meliputi barang,
hak, dan hubungan hukum mengenai barang dan hak, diatur dalam
buku II dan buku III KUHPdt. Sedangkan zaak meliputi barang dan
hak diatur dalam buku II KUHPdt.15
Barang sifatnya berwujud, sedangkan hak sifatnya tidak
berwujud. Dalam literature hukum (a.l. Prof. Subekti, 1978:50), zaak
diterjemahkan dengan “benda”. Demikian juga dalam pendidikan
hukum (a.l. Prof. Kusumadi almarhum, 1960), zaak diterjemahkan
dengan benda. Dengan demikian, pengertian “benda” mencakup
barang berwujud dan barang tidak berwujud (hak). Barang berwujud
dalam bahasa aslinya (Belanda) ialah “goed”.
Oleh karena itu judul buku II KUHPdt “Van Zaken” lebih tepat
diterjemahkan dengan “Tentang Benda” bukan “Tentang Barang”.
Buku II KUHPdt memuat ketentuan-ketentuan tentang benda, yang
terdiri dari barang dan hak.
Barang adalah objek hak milik. Hak juga dapat menjadi objek
hak milik. Karena itu benda adalah objek hak milik. Dalam arti
hukum, yang dimaksud dengan benda ialah segala sesuatu yang
menjadi objek hak milik. Semua benda dalam arti hukum dapat
diperjualbelikan, dapat diwariskan, dapat diperalihkan kepada pihak
lain.
Hukum benda diatur dalam buku II KUHPdt. Hukum benda
ialah keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang benda.
Pengaturan tersebut pada umumnya meliputi pengertian benda,
pembedaan macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan.
Pengaturan hukum benda menggunakan “sistem tertutup”, artinya
orang tidak boleh mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang
sudah diatur dalam undang-undang. Hukum benda bersifat memaksa
15
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 126.
57
(dwingend), artinya harus dipatuhi, dituruti, tidak boleh disimpangi
dengan mengadakan ketentuan baru mengenai hak-hak kebendaan.
Selain dari buku II KUHPdt, hukum benda juga diatur dalam
undang-undang lain, antara lain ialah:
1. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan semua
peraturan pelaksanaannya. Undang-undang ini mengatur tentang
hak-hak kebendaan yang berkenaan dengan bumi, air, dan segala
kekayaan alam yang terdapat didalamnya.
Undang-undang ini mencabut berlakunya ketentuan-ketentuan
mengenai bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terdapat
didalamnya, kecuali mengenai hipotik, dalam buku II KUHPdt.
2. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001. Undang-undang ini
mengatur tentang hak atas merek perusahaan dan perniagaan. Hak
atas merek adalah benda tidak berwujud yang dapat dijadikan objek
hak milik.
Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dan
perubahannya. Undang-undang ini mengatur tentang hak cipta sebagai
benda tidak berwujud, yang dapat dijadikan objek hak milik. Peralihan
hak cipta harus dilakukan secara tertulis.
Ada bermacam cara pembedaan benda menurut arti pentingnya
sehubungan dengan perbuatan terhadap benda tersebut.
a. Benda berwujud dan benda tidak berwujud
Arti penting pembedaan ini ialah terletak pada cara penyerahannya
apabila benda itu dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya jual
beli, pewarisan, pemberian. Penyerahan benda berwujud bergerak
dilakukan secara nyata dari tangan ke tangan. Penyerahan benda
berwujud berupa benda tetap dilakukan dengan balik nama.
Penyerahan benda tidak berwujud berupa piutang dilakukan sebagai
berikut (Pasal 613 KUHPdt):
58
(a) piutang atas nama (op naam) dengan cara cessie;
(b) piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan cara penyerahan
suratnya dari tangan ke tangan;
(c) piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen dan
penyerahan suratnya dari tangan ke tangan.
b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak
Arti penting pembedaan ini terletak pada penguasaan (bezit),
penyerahan
(levering),
daluarsa
(verjaring),
pembebanan
(berzwaring). Mengenai penguasaan (bezit), KUHPdt yaitu orang
yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Pada
benda tidak bergerak asas tersebut tidak berlaku.
Mengenai penyerahan (levering), pada benda bergerak dapat
dilakukan penyerahan nyata. Sedangkan pada benda tidak bergerak
dilakukan dengan balik nama.
Mengenai daluarsa (verjaring), pada benda bergerak tidak
dikenal daluarsa, sebab yang menguasai benda bergerak dianggap
sebagai pemiliknya. Sedangkan pada benda tidak bergerak dikenal
daluarsa:
(a) dalam hal ada alas hak, daluarsanya 20 tahun
(b) dalam hal tidak ada alas hak, daluarsanya 30 tahun (Pasal 1963
KUHPdt)
Mengenai pembebanan (bezwaring), pada benda bergerak
dilakukan dengan pand (gadai), sedangkan pada benda tidak bergerak
dilakukan dengan hipotik.
1. Benda bergerak
Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan
(Pasal 509 KUHPdt), misalnya kursin, meja, buku, ternak. Benda
bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat
59
atas benda bergerak (Pasal 511 KUHPdt), misalnya hak memungut
hasil atas benda bergerak, hak memakai atas benda bergerak, sahamsaham perusahaan, piutang-piutang.
2. Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat
dipindah-pindahkan, misalnya tanah dan segala yang melekat
diatasnya seperti gedung, pepohanan, bunga-bungaan. Benda tidak
bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada benda
tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu, misalnya
mesin-mesin yang dipasang dalam pabrik. Tujuannya untuk dipakai
tetap dan tidak berpindah-pindah (Pasal 507 KUHPdt).
Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah
hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUHPdt),
misalnya hipotik, credietverband, hak pakai atas benda tidak bergerak,
hak memungut hasil atas benda tidak bergerak.
c. Benda dipakai habis dan tidak dipakai habis
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembatalan perjanjian.
Perjanjian yang objeknya benda dipakai habis apabila dibatalkan
mengalami kesulitan dalam pemulihan pada keadaan semula.
Penyelesaiannya ialah harus digantikan dengan benda lain yang
sejenis dan senilai. Contoh benda dipakai habis ialah beras, roti, kayu
bakar.
Perjanjian yang objeknya benda tidak dipakai habis apabila
dibatalkan tidak begitu mengalami kesulitan pada pemulihan dalam
keadaan semula, karena bendanya masih ada dan dapat diserahkan
kembali. Misalnya pembatalan jual beli televisi, kenderaan bermotor,
perhiasan emas berlian.
60
d. Benda sudah ada dan benda akan ada
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai
jaminan hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada
dapat dijadikan jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjian dapat
dipenuhi dengan penyerahan bendanya. Benda akan ada tidak dapat
dijadikan jaminan hutang, dan perjanjian yang objeknya benda akan
ada dapat menjadi batal apabila pemenuhannya itu tidak mungkin
dilaksanakan sama sekali (Pasal 1320 KUHPdt: unsur ketiga).
e. Benda dalam perdagangan dan luar perdagangan
Arti penting pembedaan ini terletak pada pemindahtanganan karena
jual beli atau karena pewarisan. Benda dalam perdagangan dapat
diperjualbelikan dengan bebas, dapat diwariskan kepada ahli waris.
Benda luar perdagangan tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat
diwariskan kepada ahli waris.
Tidak dapat diperjualbelikan atau tidak dapat diwariskan itu
mungkin karena tujuan peruntukannya, misalnya benda wakaf;
mungkin karena tujuan yang dilarang undang-undang, misalnya
narkotika; mungkin juga karena bertentangan dengan ketertiban
umum, misalnya memperdagangkan manusia untuk pembantu rumah
tangga, atau karena bertentangan dengan kesusilaan, misalnya
memperdagangkan kelender gambar wanita telanjang.
f. Benda dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Arti penting pembedaan ini terletak pada pemenuhan prestasi suatu
perikatan. Dalam perikatan yang objeknya benda dapat dibagi prestasi
dapat dilakukan secara sebagian demi sebagian, misalnya satu ton
beras dapat dibagi tanpa merubah arti dan sifatnya sebagai beras.
Dalam perikatan yang objeknya benda tidak dapat dibagi,
pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan sebagian demi sebagian,
61
melainkan harus secara utuh. Misalnya prestasi seekor sapi untuk
membajak sawah tidak dapat dibagi menjadi separoh sapi diserahkan
sekarang dan separoh lagi diserahkan kemudian. Jika seekor sapi
diparoh, namanya bukan sapi lagi dan tidak berarti lagi untuk
membajak sawah.
g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembuktian pemilikannya,
untuk ketertiban umum, dan kewajiban membayar pajak. Benda
terdaftar dibuktikan dengan tanda pendaftaran atau sertifikat atas
nama pemiliknya, sehingga mudah dikontrol pemilikannya,
pengaruhnya terhadap ketertiban umum, kewajiban pemilinya untuk
membayar pajak, serta kewajiban masyarakat untuk menghormati hak
milik orang lain. Contoh benda terdaftar ialah kenderaan bermotor,
tanah, bangunan, kapal, perusahaan, hak cipta, hak paten, telepon,
televisi, pemancar radio.
Benda tidak terdaftar (disebut juga benda tidak atas nama),
umumnya benda bergerak yang tidak sulit pembuktian pemilikannya
karena berlaku asas “yang menguasai dianggap sebagai pemiliknya”.
Di samping itu, tidak begitu berpengaruh/ berbahaya bagi ketertiban
umum dan tidak begitu berpengaruh bagi pemiliknya untuk membayar
pajak. Contohnya ialah alat-alat rumah tangga, pakaian sehari-hari
perhiasan emas berlian, sepeda, hewan piaraan.
Dalam Hukum Perikatan sebagai objek perikatan adalah
prestasi. Ada tiga macam bentuk prestasi, yaitu sebagai berikut.
1. Prestasi untuk memberi sesuatu, misalnya menyerahkan barang,
membayar harga.
2. Prestasi untuk berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang
rusak.
62
3. Prestasi untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak menggunakan
merek dagang tertentu.
Jika dalam perikatan seseorang tidak memenuhi prestasi berarti
yang bersangkutan telah cedera janji (wanprestasi). Sebelum
seseorang dinyatakan wanprestasi, ia harus lebih dulu diperingatkan
atau dilakukan somasi (teguran).
Perikatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu
sebagai berikut.
1. a. Perikatan sipil adalah perikatan yang apabila tidak dipenuhi
dapat dilakukan gugatan.
b. Perikatan wajar adalah perikatan yang tidak mempunyai hak
tagihan, tetapi apabila sudah dibayar tidak dapat diminta
kembali (utang karena perjudian)
2. a. Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang dapat
dibagi-bagi pemenuhannya (perjanjian kerja harian).
b. Perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan yang tidak
dapat dibagi-bagi pemenuhan prestasinya (perjanjian untuk
rekaman lagu tertentu).
3. a. Perikatan pokok adalah perikatan yang berdiri sendiri, tidak
tergantung pada perikatan yang lain (perjanjian jual beli, sewa
menyewa).
b. Perikatan tambahan adalah perikatan yang merupakan
tambahan dari perikatan lainnya (perjanjian gadai, hipotek).
4. a. Perikatan murni adalah perikatan yang prestasinya harus
dipenuhi seketika itu juga.
b. Perikatan bersyarat adalah perikatan yang pemenuhannya oleh
debitur digantung pada suatu syarat tertentu (pinjam uang baru
akan dibayar kalau penjualan barang dari si debitur laku).
63
5.
a. Perikatan spesifik adalah perikatan yang prestasinya ditetapkan
secara khusus (pinjam uang sebagai pembayarannya adalah
tenaga kerja si debitur).
b. Perikatan generik adalah perikatan yang hanya ditentukan
menurut jenisnya.
Perikatan berakhir dengan beberapa cara, yaitu
1. dengan pembayaran (kalau perikatan itu jual beli),
2. dengan pembauran utang (novasi),
3. dengan pembebasan utang,
4. dengan pembatalan,
5. dengan hilangnya benda yang diperjanjikan, dan
6. dengan telah lewatnya waktu (daluwarsa).
Sumber-sumber hukum perikatan adalah
1. perjanjian, dan
2. undang-undang
Hukum perikatan yang bersumber dari perjanjian, misalnya:
1. jual beli,
2. tukar-menukar,
3. pinjam pakai,
4. sewa-menyewa,
5. penitipan, dan
6. perjanjian kerja.
Hukum Perikatan yang bersumber dari undang-undang,
misalnya:
a. Perikatan yang terjadi karena undang-undang itu sendiri (wajib
nafkah),
b. Perikatan yang terjadi karen undang-undang dan disertai dengan
tindakan manusia. (Zaakwarneming, yaitu tindakan manusia yang
menurut hukum dan hakiki; tindakan melanggar hukum yang
diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata).
64
Ad. 4. Hukum Waris
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Ada dua macam cara untuk mengatur berpindahnya harta
kekayaan seseorang yang telah meninggal (pewarisan), yaitu sebagai
berikut.
a. Pewarisan menurut undang-undang ialah pembagian warisan
kepada ahli waris (orang-orang yang mempunyai hubungan darah
terdekat dengan pewaris). Pada pewarisan menurut undang-undang
ada pengisian tempat (plaatsvervulling), artinya jika ahli waris
yang berhak menerima warisan itu telah meninggal sebelum
pembagian warisan, hak warisnya dapat diganatikan oleh anaknya.
Apabila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan,
suami, istri, dan saudara-saudara, harta warisan itu dipecah menjadi
dua. Setengah bagian untuk keluarga Bapak dengan garis lurus ke
atas dan yang setengah bagian lainnya diberikan kepada keluarga
Ibu menurut garis lurus ke atas pula (terjadi kloving).
b. Pewarisan berdasarkan wasiat, yaitu pembagian warisan kepada
orang-orang yang berhak menerima warisan menurut kehendak
terakhir si pewaris (wasiat pewaris). Wasiat itu harus dinyatakan
dalam bentuk Akta Notaris (warisan testamenter). Pemberi warisan
disebut erflater, sedangkan penerima warisan atas dasar wasiat
disebut legataris.
Berdasarkan penetapan garis kekeluargaan ahli waris dapat
dibagi menjadi empat golongan, yaitu.
Golongan I
: meliputi suami/isteri yang hidup terlama dan
keturunan dari pewaris dalam garis lurus ke bawah.
Golongan II
: meliputi orang tua, saudara-saudara sekandung dan
keturunan dari pewaris.
65
Golongan III : adalah leluhur pewaris baik dari pihak suami/isteri.
Golongan IV : adalah keluarga sedarah sampai derajat keenam.
Hak waris dari golongan-golongan ini tergantung dari ada atau
tidak adanya golongan sebelumnya. Artinya, Golongan I menutup hak
waris Golongan II, Golongan II menutup hak waris Golongan III, dan
seterusnya. Apabila Golongan I sampai dengan IV tidak ada, harta
warisan menjadi milik negara.
RANGKUMAN
Hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Dari
definisi tersebut ada beberapa unsur yang dibahas. Unsur-unsur
tersebut adalah:
1. Peraturan hukum (recht sregel, rule of law);
2. Hubungan hukum (rechtsbetreking, legal relation);
3. Orang (persoon).
Ruang lingkup hukum perdata menurut sistematika ilmu
pengetahuan meliputi hukum perorangan, hukum keluarga, hukum
kekayaan dan waris.
1. Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan (Persoonenrecht)
yang antara lain mengatur tentang :
a. Orang sebagai subjek hukum, dan
b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan
bertindak sendiri untuk melaksanakan haknya itu.
2. Hukum kekeluargaan atau Hukum Keluarga (Familierecht) yang
memuat antara lain:
a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul
di dalamnya seperti hukum harta kekayaan antara suami dan
isteri,
66
3.
4.
b. Hubungan hukum antara orang tua dan anak-anaknya atau
kekuasaan orang tua (ouderlijk macht),
c. Perwalian (voogdij), dan
d. Pengampuan (curatele).
Hukum kekayaan atau Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi:
a. Hak Mutlak, adalah hak-hak yang berlaku terhadap setiap
orang;
b. Hak Perorangan, adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap
seorang atau suatu pihak tertentu saja.
Hukum Waris (Erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan
seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum
dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan
seseorang).
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum perdata dan apa
unsur-unsur yang terkandung di dalam definisi tersebut.
2. Jelaskan sejarah singkat hukum perdata.
3. Jelaskan ruang lingkup hukum perdata dan berikan contohcontohnya.
4. Jelaskan pembedaan benda dan apa arti pentingnya
pembedaan benda tersebut.
5. Jelaskan macam-macam bentuk prestasi.
GLOSSARIUM
1. Natuurlijk persoon adalah gejala alam, makhluk hidup ciptaan
Tuhan, yang mempunyai akal, perasaan, kehendak.
67
2. Rechtspersoon adalah gejala yuridis, adalah gejala yuridis, badan
ciptaan manusia berdasarkan hukum.
3. Vermogensbestanddeel adalah hak disebut juga dengan “bagian
dari harta kekayaan”.
4. Onderlijke Macht adalah
kekuasaan Orang Tua terhadap
pemeliharan anak.
5. Burgelijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang
disusun di negeri Belanda.
6. Vermogensrecht adalah yang mengatur tentang hubunganhubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hlm. 143.
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 72.
68
BAB III
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami pengertian hukum acara perdata, tujuan dan
fungsi hukum acara perdata, sumber-sumber hukum acara
perdata, asas-asas hukum acara perdata, pihak-pihak dalam
hukum acara perdata, perbedaan hukum acara perdata dengan
hukum acara pidana, cara mengajukan gugatan perdata, isi
gugatan, alat bukti dalam perkara perdata, putusan hakim, dan
upaya hukum.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan
mampu:
1. Mengungkapkan pengertian hukum acara perdata.
2. Menerangkan tujuan dan fungsi hukum acara perdata.
3. Menjelaskan sumber-sumber hukum acara perdata.
4. Menjelaskan asas-asas hukum acara perdata.
5. Menjelaskan pihak-pihak dalam hukum acara perdata.
6. Menjelaskan perbadaan antara hukum acara perdata dengan
hukum acara pidana.
7. Menjelaskan gugatan perdata.
8. Menjelaskan isi gugatan.
9. Menjelaskan alat-alat bukti dalam perkara perdata.
10. Menjelaskan putusan hakim dan upaya hukum.
11. Menjelaskan upaya hukum.
69
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.16
R. Subekti berpendapat bahwa hukum acara perdata itu
mengabdi kepada hukum materil, maka dengan sendirinya setiap
perkembangan dalam hukum materil itu sebaiknya selalu diikuti
dengan penyesuaian hukum acaranya.17
MH. Tirtaamidjaja (mantan Hakim Agung) mengatakan:
“Hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum
perdata materil”.18
Sedangkan Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaati hukum perdata materil dengan perantaraan
hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menjamin pelaksanaan hukum perdata materil. Kongkretnya: Hukum
acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada
putusannya.19
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata
adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menjamin pelaksanaan hukum perdata materil.
16
Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur, Bandung,
hlm. 12.
17
R. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Cetakan I, Bina Cipta, hlm. 14.
18
Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata HIR/RBG, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 9.
19
Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Aacara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 2.
70
Lebih tegas dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah
hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan serta
melaksanakan putusan tersebut. Mengajukan tuntutan hak berarti
meminta perlindungan hukum terhadap haknya yang dilanggar oleh
orang lain.
Tuntutan hak dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Tuntutan hak yang didasarkan atas sengketa yang terjadi,
dinamakan gugatan. Dalam tuntutan semacam ini minimal ada dua
pihak yang terlibat, yaitu pihak penggugat (yang mengajukan
tuntutan hak) dan pihak yang tergugat (orang yang dituntut), dan
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa lazimnya disebut
permohonan. Dalam tuntutan hak yang kedua ini hanya ada satu
pihak saja.
Hukum Acara Perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu
sebagai berikut:
a. Tahap pendahuluan, merupakan persiapan menuju ke penentuan
atau pelaksanaan.
b. Tahap penentuan, diadakan pemeriksaan peristiwa dan sekaligus
pembuktian serta keputusannya.
c. Tahap pelaksanaan, tahap diadakannya pelaksanaan dari putusan.
B. Tujuan Dan Fungsi Hukum Acara Perdata
Hukum acara bertujuan untuk melindungi hak seseorang.
Perlindungan terhadap hak seseorang diberikan oleh Hukum Acara
Perdata melalui peradilan perdata. Dalam peradilan perdata, hakim
akan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar setelah
pemeriksaan dan pembuktian selesai.
Dengan peradilan tersebut sudah barang tentu seseorang yang
menguasai atau mengambil hak seseorang dengan melawan hukum
akan diputuskan sebagai hak yang salah, oleh karenanya dia
71
diwajibkan menyerahkan kembali apa yang telah dikuasai itu kepada
pemegang hak yang sah menurut hukum. Dengan demikian, apa yang
termuat dalam hukum perdata materiil dapat dijalankan sebagaimana
mestinya.
Di samping bertujuan melindungi hak seseorang, ada tujuan lain
yang merupakan tujuan akhir dari hukum acara perdata, yaitu
mempertahankan hukum materiil. Untuk mempertahankan hukum
perdata materil tersebut, hukum acara perdata berfungsi untuk
mengatur bagaimana caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya,
bagaimana negara melalui aparatnya memeriksa dan memutuskan
perkara perdata yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain,
dinyatakan bahwa fungsi hukum acara perdata sebagai sarana untuk
menuntut dan mempertahankan hak seseorang.
C. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata
1. Herziene Indonesische Reglement (HIR)
HIR berasal dari IR (Inlandsche Reglement), dimuat dalam Lembaran
Negara No. 16 jo 57/1848 yang judul lengkapnya adalah Reglement
op de uit oefening van de politie, de Burgelijke rechtspleging en de
Strafvordering onder de Inlanders en de Vremde Oosterlingen op
Java en Madura (reglemen tentang melakukan tugas kepolisian
mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap
golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Seperti judulnya itu maka isi HIR dapat dibagi dua yaitu bagian
acara pidana dan acara perdata, yang diperuntukkan bagi golongan
Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di
muka Landraad. Bagian acara pidana dari Pasal 1 sampai dengan
Pasal 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371. Bagian acara
perdata dari Pasal 115 sampai dengan Pasal 245. Sedangkan titel ke 15
72
yang merupakan peraturan rupa-rupa (Pasal 372 s.d. 394) meliputi
acara pidana dan acara perdata.
Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka ketentuan
dalam HIR yang mengatur tentang Acara Pidana dinyatakan tidak
berlaku lagi.
2. Reglement Voor de Buitengewesten (RBG)
RBG yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927
Lembaran Negara No. 227 Tahun 1927 dan mulai berlaku pada
Tanggal 1 Juli 1927 adalah pengganti berbagai peraturan yang berupa
reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu
saja. Seperti reglement bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatera Barat,
Palembang, Kalimantan, Minahasa dan lain-lain. RBG berlaku untuk
luar Jawa dan Madura.
3. Reglement of de Burgelijke Rechtsvordering (RV)
RV yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 52/1847, mulai berlaku
pada tanggal 1 Mei 1848 adalah reglemen yang berisi ketentuanketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus untuk golongan
Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di
muka Raad van Justitie dan Residentie-gerecht.
Soepomo berpendapat, dengan dihapuskannya Raad van Justitie
dan Hoogerechtschof, maka RV sudah tidak berlaku lagi, sehingga
dengan demikian hanya HIR dan RBG sajalah yang berlaku.20
Dalam kenyataan, ada bentuk-bentuk atau kegiatan tertentu yang
masih menggunakan RV dalam praktek, misalnya tentang arbitrase.
Mengenai lembaga arbitrase tidak diatur dalam HIR/RBG, melainkan
diatur dalam RV.
20
Soepomo, 1989, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Cetakan 4, Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm. 11.
73
4. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang memuat juga beberapa ketentuan hukum acara.
5. Di tingkat Banding UU No. 20 Tahun 1947 untuk Jawa dan
Madura
Tetapi kemudian oleh Yurisprudensi dianggap berlaku untuk
seluruh Indonesia. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka
ketentuan dalam HIR/RBG tentang Banding tidak berlaku lagi.
6. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
7. Yurisprudensi, atau putusan-putusan hakim yang berkembang di
lingkungan dan sudah pernah diputus di pengadilan.
8. Adat Kebiasaan
Hal ini dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro. Namun Sudikno
Mertokusumo mengatakan, adat kebiasaan hakim yang tidak
tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin
kepastian hukum. 21
9. Doktrin
Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara,
serta sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata.
Tetapi doktrin itu sendiri bukan hukum. Kewibawaan ilmu
pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat
obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan
hakim bernilai obyektif juga.
D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Asas-asas Hukum Acara Perdata adalah sebagai berikut:
1. Hakim Bersikap Menunggu
Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara
perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi
21
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 8.
74
apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan
hak itu diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan , maka
tidak ada hakim, demikian bunyi pemeo yang tidak asing lagi (Wo
kein Klager, ist kein Richer; nemo judex sine actore).
Jadi, Hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau
gugatan dari masyarakat. Penyelenggara proses peradilan adalah
negara. Hakim tidak diperbolehkan menolak suatu perkara perdata
yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputuskan, hal ini
diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009. Meskipun Hakim belum menemukan hukumnya untuk perkara
yang diajukan, dia harus mencari dan menemukannya agar perkara itu
dapat diselesaikan.
2. Hakim Bersifat Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Artinya, luas
pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009).
Para pihak dapat mempelajari perkaranya sendiri menurut
kehendak. Artinya, bahwa bila yang bersengketa mencabut
gugatannya karena telah tercapai penyelesaian melalui perdamaian,
hakim tidak menghalangi (Pasal 130 HIR, 154 Rbg).
Hakim hanya dibenarkan untuk memutuskan apa yang diminta
oleh para pihak, tidak boleh lebih dari tuntutan para pihak (Pasal 178
ayat (2) dan (3) HIR, 189 ayat (2) dan (3) Rbg).
75
Jadi, pengertian dari istilah “hakim pasif” hanya ditekankan
pada penentuan luas sempitnya perkara. Hakim dalam hal ini tidak
dibenarkan menambah atau mengurangi pokok sengketa yang
diajukan oleh para pihak yang berkepentingan.
Dalam kenyataannya, hakim dalam pemeriksaan perkara perdata
pun aktif, yaitu dia memimpin persidangan, memberi petunjuk kepada
para pihak, berusaha mendamaikan mereka dan mencari jalan
penyelesaian perkara yang diperiksanya. Hal ini juga sesuai dengan
asas yang dianut oleh HIR.
3. Persidangan Bersifat Terbuka
Pada dasarnya, proses peradilan dalam persidangan bersifat terbuka
untuk umum, artinya semua orang boleh menghadiri persidangan
asalkan tidak mengganggu jalannya persidangan dan berlaku tertib.
Hal ini bertujuan agar persidangan berjalan secara fair, objektif, dan
hak manusia pun terlindungi, serta diharapkan putusan pengadilan pun
adil bagi masyarakat.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 12 dan 13 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009. Dari kedua ketentuan tersebut dapat
dikatakan bahwa setiap pemeriksaan dalam sidang terbuka untuk
umum, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan tertutup apabila undangundang menentukan lain, misalnya dalam pemeriksaan perceraian atau
perkosaan dalam perkara pidana.
Walaupun pemeriksaannya dilakukan secara tertutup, namun
pembacaan keputusan hakim harus dilakukan dalam sidang terbuka
sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak
Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak yang bersengketa
harus didengar, diperhatikan, dan diperlakukan sama, hal ini diatur
76
dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009).
Proses peradilan dalam hukum acara perdata wajib memberikan
kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa.
Kesempatan yang dimaksud adalah kesempatan untuk menyampaikan
pendapatnya.
Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar, dikenal dengan
asas audi et alteram partem. Hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak sebagai keterangan yang benar, sebelum pihak
lain memberikan pendapatnya. Dengan demikian, pengajuan alat-alat
bukti harus dalam persidangan yang dihadiri oleh dua pihak yang
bersengketa.
5. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi
dasar untuk mengadili diatur dalam Pasal 84 ayat (1), 319 HIR, 618
RBg.
Alasan-alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, sehingga
mempunyai nilai-nilai objektif. Dengan adanya alasan-alasan itulah,
putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang
menjatuhkan.
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat
kita lihat beberapa putusan Mahkamah Agung yang menetapkan,
bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk
kasasi dan harus dibatalkan. Untuk lebih dapat mempertanggjawabkan
putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu
pengetahuan.
77
Mencari dukungan pada yurisprudensi berarti bahwa hakim
terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang
sejenis yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi atau yang telah pernah diputuskannya sendiri saja.
6. Beracara dikenakan Biaya
Pada asasnya, berperkara dikenakan biaya diatur dalam Pasal 121 ayat
(4) HIR, 182 HIR, 183 HIR, 145 ayat (4), 192, 194 Rbg). Biaya
perkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan kepada para pihak serta biaya materai.
Para pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat
mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo), dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari kewajiban membayar biaya
perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang
dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg).
Dalam praktik, surat keterangan itu dibuat oleh Camat setempat.
Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak hakim bila ternyata
pemohon bukan orang yang tidak mampu.
7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri kepada
orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara
langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Namun,
para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila
dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg).
Dengan memeriksa secara langsung terhadap para pihak, hakim
akan dapat mengetahui lebih jelas pokok persoalannya, sebab para
pihak yang berkepentinganlah; sebenarnya yang mengetahui seluk
beluk peristiwanya.
Biaya beracara secara langsung di pengadilan lebih ringan jika
dibandingkan dengan jalan perwakilan. Tidak ada ketentuan bahwa
78
seorang wakil harus sarjana hukum, akan tetapi jika ditinjau dari segi
kenyataan beracara dengan kuasa yang sarjana hukum lebih lancar
daripada kuasa yang bukan sarjana hukum.
Pada hakekatnya tujuan dari perwakilan wajib oleh sarjana
hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih
menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan
dan memperoleh putusan yang adil.
E. Pihak-Pihak Dalam Hukum Acara Perdata
Di dalam proses peradilan perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua
pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Baik penggugat
maupun tergugat yang tergolong mampu untuk melakukan perbuatan
hukum dapat beracara sendiri untuk kepentingan sendiri, tetapi juga
mewakilkan kepada kuasanya.
Seorang kuasa untuk pihak penggugat maupun pihak tergugat
harus memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:
1. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal
123 ayat (1) HIR atau Pasal 147 ayat (1) Rbg.
2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil badan persidangan (Pasal 123
ayat (1) HIR (1) Rbg)
3. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1995
Tanggal 28 Mei 1965 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P.
14/2/11 Tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol.
4. Telah terdapat sebagai advokat
5. Undang-undang Advokat yang baru Tahun 2003.
F. Perbedaan Antara Hukum Acara Perdata Dan Hukum Acara
Pidana
Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
adalah sebagai berikut:
79
No
Hukum Acara Perdata
No
Hukum Acara Pidana
1 Mengatur
cara-cara 1 Mengatur
cara-cara
mengadili perkara perdata
mengadili perkara pidana di
di
muka
Pengadilan
muka Pengadilan Pidana oleh
Perdata
oleh
Hakim
Hakim Pidana.
Perdata.
2
Yang menuntut Penggugat
adalah
pihak
yang
dirugikan.
Penggugat
berhadapan
dengan
tergugat (tidak ada jaksa)
2
Jaksa menjadi menuntut
terhadap terdakwa. Jaksa
sebagai
penuntut
umum
mewakili negara berhadapan
dengan terdakwa (ada jasa).
3
Inisiatif datang dari pihak
yang dirugikan.
3
Inisiatif datang dari penuntut
umum
4
Sumpah
bukti
alat
4
Ada lima alat bukti, tidak
termasuk sumpah
5
Perkara
yang
ditarik
kembali oleh pihak-pihak
yang
bersangkutan
sebelum ada putusan
hakim
5
Perkara tidak dapat ditarik
kembali, kecuali delik aduan
6
Hakim bersifat pasif
6
Hakim bersifat aktif
7
Putusan hakim
mendasarkan
kebenaran formil
cukup
pada
7
Putusan
hakim
mencari
kebenaran
materiil
dan
menurut keyakinan, serta
perasaan adil hakim.
8
Tergugat yang dikalahkan
dihukum sesuai dengan
petitum gugatan baik
sebagian atau seluruhnya
8
Terdakwa yang terbukti
bersalah
dihukum
mati/penjara/kurungan
dan
denda.
9
Banding dari PN ke PT
disebut Appel
9
Banding dari PN ke PT
disebut Revisi.
termasuk
80
G. Gugatan
1. Cara Mengajukan Gugatan Perdata
Pasal 118 HIR mengatur:
1. cara mengajukan gugatan, yaitu tertulis;
2. tempat mengajukan gugatan, dan
3. dapat mewakilkan.
Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk wewenang
Pengadilan Negeri dimasukkan dengan surat permintaan yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya menurut Pasal 123,
kepada kuasa Pengadilan Negeri di daerah hukum siapa tergugat
berdomisili atau jika tidak diketahui domisilinya, tempat tinggal yang
sebenarnya.
Tempat mengajukan gugatan:
a) Tingkat pertama = hakim sehari-hari di Pengadilan Negeri
b) Tingkat kedua = tingkat banding di Pengadilan Tinggi
c) Tingkat kasasi = hakim kasasi di Mahkamah Agung
Hal ini menunjukkan pengadilan bertingkat/hierarki.
2. Isi Gugatan
Gugatan pada pokoknya memuat hal-hal berikut:
1. Identitas para pihak (penggugat dan tergugat). Identitas adalah
ciri-ciri dari penggugat dan tergugat, yaitu nama, tempat tinggal,
umur, serta status kawin atau tidak.
2. Dalil-dalil konkret yang ada hubungan hukum, yang merupakan
dasar serta alasan-alasan dari tuntutan (middelen van den eis) atau
lebih dikenal dengan fundamentum petendi.
Fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri atas dua
bagian, yaitu: bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian
atas peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian
tentang hukum adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan
81
hukum yang menjadi dasar, yaitu dasar tuntutan harus jelas dan
lengkap.
Hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di persidangan nanti,
harus dimuat dalam fundamentum petendi sebagai dasar tuntutan yang
memberi gambaran kejadian materil yang merupakan dasar tuntutan
itu.
3. Petitum atau tuntutan
Petitum atau tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan,
agar diputuskan oleh hakim. Jadi, petitum mendapatkan jawaban di
dalam diktum atau amar putusan.
H. Alat Bukti Dalam Perkara Perdata
Alat-alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, 284
Rbg, dan 1866 BW. Alat-alat bukti yang dimaksud adalah alat-alat
bukti yang sah, sehingga hakim dalam acara pembuktian untuk
memutuskan perkara yang diperiksa hanya dibenarkan menggunakan
alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.
Alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang adalah:
1. Alat bukti tertulis atau surat;
2. Alat bukti saksi;
3. Alat bukti persangkaan;
4. Alat bukti pengakuan; dan
5. Alat bukti sumpah.
1. Alat Bukti Tertulis atau Surat
Alat bukti tulisan atau surat diatur pada Pasal 165 sampai dengan 167
HIR atau Pasal 282 sampai dengan Pasal 305 RBG dan Pasal 1867
sampai dengan Pasal 1894 KUH Perdata.
82
Alat-alat bukti atau surat adalah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
seseorang untuk pembuktian.22
Sedangkan menurut Taufik Makarao, alat bukti tulisan atau surat
adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa
dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf
kanji dan lain sebagainya.23
Alat bukti surat dibedakan menjadi dua, yaitu akta dan bukan
akta. Akta dibedakan menjadi dua, yaitu akta otentik dan akta di
bawah tangan. Akta adalah surat yang dibubuhi tanda tangan, yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan yang dibuat dengan sengaja oleh para pihak sebagai alat
pembuktian.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat
yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuanketentuan yang telah ditetapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan
yang berkepentingan untuk dicatat di dalamnya. Contoh: akta notaris.
Akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang sempurna.
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa seorang pejabat. Jadi, pembuatnya
hanyalah para pihak yang berkepentingan saja. Contoh surat
perjanjian di bawah tangan dan kuitansi.
2. Bukti Saksi (Kesaksian)
Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 168 sampai dengan
Pasal 172 HIR atau Pasal 306 sampai dengan Pasal 309 RBG atau
Pasal 1895 sampai dengan Pasal 1912 KUH Perdata.
22
23
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 141-142.
Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT. Renika Cipta, Jakarta,
2004, hlm. 99.
83
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
pihak dalam suatu perkara, yang dipanggil di persidangan.24
Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang
peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat
atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan
kesaksian. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 171 ayat (2) HIR
(Pasal 308 ayat 2 RBG, atau Pasal 1907 KUH Perdata). Di sinilah
letak bedanya antara keterangan yang diberikan oleh saksi dan saksi
ahli. Seorang saksi dipanggil di muka sidang untuk memberikan
tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya, sedangkan
saksi ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai
peristiwanya.
Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi
di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan
serta tidak dibuat secara tertulis. Keterangan tertulis dari pihak ketiga
merupakan alat bukti tertulis. Bahwa saksi harus memberi keterangan
secara lisan dan pribadi ternyata dari Pasal 140 ayat (1) HIR (Pasal
166 ayat 1 RBG) dan Pasal 148 HIR (Pasal 176 RBG, di mana
ditentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut
dan tidak datang diberi sanksi terhadap saksi yang telah datang di
persidangan enggan memberi keterangan dapat diberikan sanksi juga.
Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan
bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139 ayat 1 HIR/165
ayat 1 RBG). Baik pihak formil maupun pihak materil tidak boleh
didengar sebagai saksi. Lain halnya dengan di Inggris di mana para
24
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 159.
84
pihak di bawah sumpah didengar sebagai saksi dalam perkaranya
sendiri.
3. Persangkaan
Persangkaan (vermoedens, presumption) diatur dalam Pasal 173
HIR/310 RBG. Dalam pasal ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud
dengan persangkaan itu. Secara rinci alat bukti persangkaan ini diatur
dalam Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUH Perdata.
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau
oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah
peristiwa lain yang belum terang kenyataannya (Pasal 1915 KUH
Perdata).
Wirjono Prodjodikoro, berpendapat bahwa persangkaan itu
bukanlah sebagai alat bukti. Yang dijadikan alat bukti sebetulnya
bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya
kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang
membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata misalnya
karena ada peristiwa A dianggap juga ada peristiwa B. Kesimpulan ini
dapat ditarik oleh undang-undang sendiri atau hakim.25
Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan menurut
undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undangundang. (Pasal 1915 KUH Perdata) atau dikenal dengan istilah
persangkaan hakim.
Menurut Pasal 1916 KUH Perdata persangkaan undang-undang
ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan khusus undangundang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau
peristiwa-peristiwa tertentu.
25
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, 1982, hlm. 116.
85
Sedangkan persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala
peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari
pemeriksaan tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk
menyusun persangkaan hakim. Sikap salah satu pihak dalam perkara
di persidangan misalnya pihak yang bersangkutan meskipun berkalikali diperintahkan untuk menunjukkan pembukuan perusahaannya, ia
ini tidak memenuhi perintah tersebut dapat menghasilkan persangkaan
hakim bahwa pembukuannya tidak beres dan bahwa yang
bersangkutan belum memberikan pertanggungjawabannya. Juga
jawaban yang mengelak, jawaban yang tidak tegas, sifat plin-plan,
memberi persangkaan bahwa dalil pihak lawan adalah benar, setidaktidaknya dapat dianggap sebagai suatu hal yang negatif bagi pihak
tersebut.26
4. Pengakuan
Pengakuan diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR, Pasal 311, 312, 313
Rbg dan Pasal 1923, 1928 BW. Pengakuan adalah keterangan sepihak
dari salah satu pihak penggugat/tergugat. Pengakuan adalah
pengakuan tegas yang diucapkan oleh si pengaku atau tidak
membantah posisi pihak lawan.
5. Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat akan Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan tidak benar dihukum oleh Tuhan.
Sumpah dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
26
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Jakarta, 2002, hlm. 71.
86
a. Sumpah Suplletoir (sumpah penambah) adalah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu
pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi
sengketa sebagai dasar putusannya.
b. Sumpah Decisoir (sumpah pemutus) adalah sumpah yang
dibebankan atas permintaan salah satu satu pihak kepada
lawannya.
J.
1.
Putusan Hakim Dan Upaya Hukum
Putusan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sengketa antara para
pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan,
melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.27
Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir
dan bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang
mengakhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Jenis-jenis putusan akhir adalah sebagai berikut:
1. Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum
pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi atau membayar
sejumlah uang tertentu. Putusan condemnatoir memberi hak
eksekutorial, berarti mempunyai kekuatan mengikat dan dapat
dipaksakan.
27
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 125.
87
2. Putusan Constitutief adalah putusan yang meniadakan atau
menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya, pemutusan
perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan,
pernyataan pailit, dan pemutusan perjanjian.
3. Putusan Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan yang sah, atau menguatkan hak
seseorang. Misalnya, hakim menetapkan pihak tergugat atau
penggugat yang berhak atas barang yang disengketakan.
Putusan yang bukan putusan akhir (Putusan sela atau Putusan
antara) adalah putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya
persidangan. Putusan sela hanya dimintakan banding bersama-sama
dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama.
Selain itu, dikenal pula Putusan Praeparatoir dan Putusan
Interlocutoir. Putusan Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan
putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau
putusan akhir. Contoh: putusan untuk menggabungkan dua perkara
atau untuk menolak diundurnya pemeriksaan saksi. Putusan
Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian,
misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan
setempat. Putusan interlocutoir berpengaruh terhadap putusan akhir.
Di samping itu, ada pula Putusan Gugur dan Putusan Verstek.
Putusan Gugur dijatuhkan oleh hakim apabila penggugat tidak datang
pada sidang meskipun telah dipanggil secara layak. Putusan verstek
adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat,
meskipun telah dipanggil secara layak (sebagaimana mestinya).
2. Upaya Hukum
Dalam suatu perkara, setelah proses pemeriksaan pengadilan selesai,
maka tugas hakim adalah menjatuhkan putusan. Putusan yang telah
dijatuhkan oleh hakim ada kemungkinan tidak memuaskan salah satu
pihak, baik itu pihak penggugat maupun pihak tergugat. Jika salah
88
satu pihak tersebut tidak puas terhadap putusan hakim, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan upaya-upaya hukum.
Dalam hukum acara perdata terdapat upaya-upaya hukum yang
meliputi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau upaya
hukum istimewa.
Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan
selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan.
Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk
sementara. Upaya hukum biasa ialah: perlawanan (verzet), banding,
dan kasasi.
Dengan mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak,
suatu putusan tidak dapat lagi diubah. Sesuatu putusan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap apabila tidak tersedia lagi upaya hukum
biasa. Untuk putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar
biasa hanyalah diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut
dalam undang-undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah
peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga
(darden verzet).
a. Perlawanan (verzet)
Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan
pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama
(putusan verstek). Kepada pihak yang dikalahkan serta diterangkan
kepadanya bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap
putusan tidak hadir itu kepada pengadilan yang memeriksa perkara
tersebut (Pasal 125 ayat 3 HIR/149 ayat 3 RBG dan Pasal 153 ayat 1
HIR/129 ayat 1 RBG).
89
b. Banding
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu upaya hukum biasa adalah
banding. Upaya hukum banding diajukan apabila pihak-pihak yang
berperkara tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.
Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang,
karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa,
membuat kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan. Karena itu
dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan
permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi. Banding diatur dalam
Pasal 188 – 194 HIR.
c. Kasasi
Menurut ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985:
“Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua
lingkungan peradilan”.
Namun, dalam ketentuan pasal ini tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan kasasi. Untuk memahami pengertian kasasi, dalam
Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 ditentukan:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan
karena:
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dikemukakan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa Mahkamah Agung dalam
melakukan peradilan kasasi tidak melakukan peninjauan putusan
90
seluruhnya dari pengadilan-pengadilan dalam tingkat peradilan
terakhir, melainkan terbatas pada peninjauan mengenai hukum saja,
tidak mengenai peristiwa dan pembuktiannya. Peninjauan mengenai
hukum tersebut hanya terbatas pada apakah pengadilan-pengadilan
dalam tingkat peradilan terakhir itu:
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya;
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Dalam melakukan kasasi, Mahkamah Agung bukan peradilan
tingkat tertinggi sehingga yang dikasasi itu adalah putusan tingkat
tertinggi. Kasasi hanya meliputi bagian hukumnya saja, tidak
mengenai peristiwa.
d. Peninjauan Kembali (request civil)
HIR tidak mengatur tentang peninjauan kembali atau request civil.
Meskipun demikian dahulu dalam praktek diterima oleh pengadilan
negeri (dulu Landraad) dengan memakai ketentuan-ketentuan RV
sebagai pedoman.
Menurut Sudikno Mertokusumo, request civil yang diatur dalam
Pasal 385 sampai dengan 401 RV, tidak lain adalah peninjauan
kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.
Selain itu SEMA 6/1967 juga mengatur tentang peninjauan
kembali. Kemudian SEMA 18/1969. Juga Peraturan Mahkamah
Agung 1/1971. Lalu Peraturan Mahkamah Agung 1/1976. Setelah itu
Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1980. Dan saat ini yang mengatur
tentang peninjauan kembali adalah UU No. 14/1985 tentang
Mahkamah Agung.
91
Uraian berikut ini akan mengacu kepada UU No. 14/1985.
Ketentuan yang mengatur tentang peninjauan kembali dalam undangundang tersebut di atas adalah Bagian Keempat, Pasal 66 sampai
dengan Pasal 77.
Menurut Pasal 66: (1) permohonan peninjauan kembali dapat
diajukan hanya 1 (satu) kali. (2) permohonan peninjauan kembali
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan. (3) permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama
belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan
kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Adapun alasan-alasan peninjauan kembali, adalah sebagai
berikut:
1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut;
4) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5) Apabila diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu
dengan yang lain;
6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 67).
92
e. Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet)
Perlawanan pihak ketiga atau bantahan dikenal juga dengan istilah
derden verzet. Bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya
hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu
perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau
benda yang bersengketakan dimana barang atau benda tersebut
akan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha
untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan
bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik
tergugat.
Dasar hukum yang mengatur tentang bantahan atau perlawanan
pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208HIR. Pasal tersebut
mengatakan, ketentuan pasal di atas berlaku juga, jika orang lain
membantah dalam hal pelaksanaan putusan tersebut, karena
dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut adalah miliknya.
Pasal yang dimaksud ketentuan di atas adalah Pasal 207 HIR yang
berbunyi, (1) Bantahan orang yang berutang tentang pelaksanaan
putusan, baik dalam hal yang disita adalah barang yang tidak tetap,
maupun dalam hal yang disita barang yang tetap, harus diberitahukan
oleh orang yang hendak membantah tersebut, dengan surat atau
dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang tersebut pada ayat
keenam Pasal 195; jika bantahan itu diberitahukan secara lisan, maka
ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya. (2) Kemudian
perkara tersebut dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan
negeri, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau
dipanggil dengan patut. (3) Bantahan itu tidak dapat menunda
pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali jika ketua memberikan
perintah supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan
negeri.
93
Berdasarkan Pasal 207 HIR, maka pihak ketiga yang melakukan
perlawanan atau bantahan harus mengajukan bantahan atau
perlawanan tersebut secara tertulis atau secara lisan. Jika perlawanan
atau bantahan diajukan secara lisan, maka ketua wajib mencatatnya
atau menyuruh mencatatnya.
Dalam praktek terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga
yaitu:
a. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi.
b. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi adalah
perlawanan pihak ketiga atas suatu penyitaan terhadap suatu benda
atau barang karena putusan sudah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Tindakan selanjutnya pelaksanaan penjualan atau pelelangan
terhadap barang atau benda yang menjadi sengketa. Terhadap
penyitaan atau penjalan lelang ini kemudian pihak ketiga merasa
bahwa barang atau benda yang disita kemudian akan dijual atau
dilelang tidak dapat disita atau dijual karena barang atau benda
tersebut miliknya.
Sedangkan perlawanan pihak ketiga atas sita jaminan, adalah
perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan
pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
RANGKUMAN
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan
dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Lebih tegas dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah
hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan serta
melaksanakan putusan tersebut. Mengajukan tuntutan hak berarti
94
meminta perlindungan hukum terhadap haknya yang dilanggar oleh
orang lain.
Tuntutan hak dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Tuntutan hak yang didasarkan atas sengketa yang terjadi,
dinamakan gugatan. Dalam tuntutan semacam ini minimal ada dua
pihak yang terlibat, yaitu pihak penggugat (yang mengajukan
tuntutan hak) dan pihak yang tergugat (orang yang dituntut), dan
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa lazimnya disebut
permohonan. Dalam tuntutan hak yang kedua ini hanya ada satu
pihak saja.
Hukum Acara Perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu
sebagai berikut:
1. Tahap pendahuluan, merupakan persiapan menuju ke penentuan
atau pelaksanaan.
2. Tahap penentuan, diadakan pemeriksaan peristiwa dan sekaligus
pembuktian serta keputusannya.
3. Tahap pelaksanaan, tahap diadakannya pelaksanaan dari putusan.
LATIHAN
1. Tuntutan hak dalam hukum acara perdata dibedakan kedala dua
macam. Jelaskan kedua macam tuntutan hak tersebut dan apa
perbedaannya.
2. Jelaskan sumber-sumber hukum acara perdata.
3. Jelaska asas-asas hukum acara perdata.
4. Jelaskan perbedaan antara hukum acara perdata dan acara pidana.
5. Sebutkan macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata.
6. Sebutkan macam-macam upaya hukum biasa dan upaya hukum
istimewa.
95
GLOSSARIUM
1. Prodeo ialah pemeriksaaan perkara dengan biaya cuma-cuma.
2. Middelen van den eis ialah dalil-dalil kongkret yang ada
hubungan hukum, yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari
tuntutan atau lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi.
3. Vermoeden atau presumption adalah alat bukti yang oleh undangundang ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah
peristiwa lain yang belum terang kenyataannya.
4. Suplletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian
peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
5. Decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah
satu satu pihak kepada lawannya.
6. Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak
yang kalah untuk memenuhi prestasi atau membayar sejumlah
uang tertentu. Putusan condemnatoir memberi hak eksekutorial,
berarti mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan.
7. Constitutief adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan
suatu keadaan hukum baru. Misalnya, pemutusan perkawinan,
pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, dan
pemutusan perjanjian.
8. Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, atau menguatkan hak seseorang.
Misalnya, hakim menetapkan pihak tergugat atau penggugat yang
berhak atas barang yang disengketakan.
9. Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir,
tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir.
10. Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau
96
pemeriksaan setempat. Putusan interlocutoir berpengaruh terhadap
putusan akhir.
11. Verzet adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan
pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama.
12. Request civil adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
13. Derden verzet yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang
semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia
merasa berkepentingan atas barang atau benda yang
bersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/sedang
disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk
mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa
benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat.
DAFTAR PUSTAKA
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, 1982, Cetakan I, Bina Cipta.
Soepomo, 1989, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Cetakan 4,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Aacara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
Taufik Makarao, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT.
Renika Cipta, Jakarta.
Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata HIR/RBG, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Sumur, Bandung.
97
BAB IV
ASAS-ASAS HUKUM DAGANG
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kepada
mahasiswa mampu memahami mengenai: Pengertian hukum
dagang, sejarah hukum dagang, sumber-sumber hukum dagang,
sistematika hukum dagang, hubungan hukum perdata dengan
KUHD, perantara dalam hukum dagang, pengangkutan,
asuransi, persekutuan dagang, dan koperasi.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan pengertian hukum dagang.
2. Menjelaskan sejarah hukum dagang.
3. Sumber-sumber hukum dagang.
4. Menjelaskan sistematika hukum dagang.
5. Menjelaskan hubungan antara hukum perdata dengan
hukum dagang.
6. Menjelaskan perantara dalam hukum dagang.
7. Menjelaskan hukum pengangkutan.
8. Menjelaskan hukum asuransi.
9. Menjelaskan hukum persekutuan dagang, dan
10. Menjelaskan hukum koperasi.
98
A. Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku
manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya
memperoleh keuntungan.28
Dapat juga dikatakan, bahwa hukum dagang ialah hukum
yang mengatur hubungan hukum antara manusia-manusia dan
badan-badan hukum satu sama lain, dalam lapangan
perdagangan.
Hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan,
yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatanperikatan itu ada yang bersumber dari perjanjian dan ada yang
bersumber dari undang-undang. Yang bersumber dari perjanjian
misalnya pengangkutan, asuransi, jual beli perusahaan, makelar,
komisioner, wesel, cek dan lain-lain. Yang bersumber dari
undang-undang, misalnya tubrukan kapal dan lain-lain. Jadi
hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari
lapangan perusahaan.
B. Sejarah Hukum Dagang
Dalam abad pertengahan ketika bangsa Romawi sedang mengalami
masa keemasan, maka hukum Romawi pada waktu itu sempurna,
banyak digunakan di berbagai negara. Byzantium sebuah kota di Italia
menjadi pusat perniagaan. Dalam perniagaan yang semakin ramai itu
timbullah hal-hal yang tidak dapat lagi diselesaikan dengan hukum
Romawi itu. Soal-soal dagang dan perselisihan antara para pedagang
terpaksa harus diselesaikan oleh mereka sendiri. Untuk keperluan itu
mereka membentuk badan-badan yang harus mengadili sengketa
antara para pedagang, selain itu badan-badan tersebut membuat pula
28
C.S.T. Kansil dan Chrstine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Pengetahunan Hukum
Dagang Indonesia, Sinar Grafuka, Jakarta, hlm. 20.
99
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pedagang.
Dengan demikian lambat laun timbullah peraturan-peraturan khusus
mengenai dagang.
Atas perintah Napoleon, maka hukum yang berlaku bagi
pedagang itu dibukukan dalam sebuah buku Code de Commerce
(Tahun 1807). Di samping itu disusun kitab-kitab lainnya, yakni:
Code Civil adalah yang mengatur hukum sipil. Code penal ialah yang
menentukan hukum pidana. Ketiga buku itu dibawa dan berlaku di
Negara Belanda dan akhirnya di bawa ke Indonesia. Pada tanggal
1 Januari 1809 Code de Commerce berlaku di Negeri Belanda yang
pada waktu itu menjadi jajahannya. Setelah merdeka kembali pada
tanggal 1 Oktober 1938, Belanda berhasil mengubah Code de
Commerce menjadi Wetbook van Koophandel. Dan pada Tahun 1847
berlaku pula di Indonesia atas dasar concordantie (persamaan) dan
disebut kitab undang-undang hukum dagang (KUHD). Pada waktu itu
WvK hanya berlaku bagi orang Tionghoa dan orang asing lainnya.
Sedangkan bangsa Indonesia tetap tunduk kepada hukum adat, kecuali
atas kehendak sendiri mereka tunduk kepada WvK. Pada mulanya
WvK itu terdiri dari tiga buku, kemudian menjadi dua buku setelah
peraturan kepailitan (pailisemen) tidak lagi diatur dalam WvK, tetapi
diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah Tahun 1905 dan berlaku
pada tanggal 1 Nopember 1906. Sejak peraturan baru ini diadakan,
tidak hanya seorang pedagang yang dapat pailit, tetapi setiap orang.
Sebelum Tahun 1938, hukum dagang hanya mengikat pedagang saja,
dan pedagang sajalah yang dapat melakukan perbuatan dagang.
Misalnya menandatangani aksep wesel atau mengadakan pailit. Tetapi
sejak Tahun 1938, perbuatan dagang diganti oleh perbuatan
perusahaan. Dengan demikian artinya menjadi lebih luas, maka WvK
itu berlaku bagi setiap pengusaha. Menurut hukum, yang dimaksudkan
dengan pengusaha ialah mereka yang melakukan sesuatu untuk
100
mencari keuntungan dengan menggunakan lebih banyak modal
daripada tenaga kerja.29
C.
1.
2.
3.
4.
5.
Sumber-Sumber Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Kebiasaan.
Yurisprudensi.
Peraturan-peraturan tertulis lainnya. Peraturan itu antara lain
Undang-Undang Bentuk Bentuk Usaha Negara, Undang-Undang
Merek, Undang-Undang tentang Kadin, Undang-Undang tentang
Perindustrian, Koperasi, dan lain-lain.
Kalau kita melihat pada UUDS (1950) pernah disebut beberapa
lapangan hukum yang ada di Indonesia yaitu dalam Pasal 102 dan
108. Dalam Pasal 102 disebutkan:
a. Hukum Perdata dan Hukum dagang.
b. Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer.
c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.
Pasal 108 menyebut pula Hukum Tata Usaha. Namun ke dua
pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum di Indonesia,
sehingga tidak disebut secara lengkap semua lapangan hukum. 30Pasal
102 hanya menyebutkan lapangan-lapangan hukum yang harus
dikodifikasikan, sementara Pasal 108 hanya menentukan siapa yang
harus menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai hukum tata usaha.
29
R. Djatmiko. D, 1996, Pengantar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa,
Bandung, hlm. 32.
30
C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hlm.177.
101
D. Sistematika Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terdiri atas dua buku.
Buku kesatu terdiri atas 10 bab dan berjudul : Tentang Dagang pada
Umumnya.
Bab I
: Tentang pedagang-pedagang dan perbuatan dagang
(telah dihapuskan).
Bab II
: Tentang pemegangan buku.
Bab III
: Tentang beberapa jenis perseroan.
Bab IV
: Tentang bursa barang, makelar, dan kasir.
Bab V
: Tentang komisioner, ekspeditur, pengangkut, dan
tentang juragan-juragan perahu yang melalui sungai
dan perairan darat.
Bab VI
: Tentang surat wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek, tentang promes, dan tentang kuintansi
kepada pembawa (aan tonder).
Bab VIII : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal
kepailitan.
Bab IX
: Tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya.
Bab X
: Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya
kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil
pertanian yang belum dipanen, dan pertanggungan
jiwa.
Buku kedua Tentang Hak dan Kewajiban yang Terbit dari Pelayaran.
Bab I
: Tentang kapal laut dan muatannya.
Bab II
: Tentang pengusaha kapal dan perusahaan-perusahaan
perkapalan.
Bab III
: Tentang nahkoda, anak kapal, dan penumpang.
Bab IV
: Tentang perjanjian kerja laut.
Bab V
: Tentang pencarteran kapal.
Bab VA : Tentang pengangkautan barang.
102
Bab VB
Bab VI
Bab VII
:
:
:
Bab VIII
:
Bab IX
:
Bab X
:
Bab XI
Bab XII
:
:
BAB XIII :
Tentang pengangkutan orang.
Tentang penubrukan.
Tentang pecahnya kapal, pendamparan, dan
ditemukannya barang-barang di laut.
Dihapuskan (menurut Stb. 1933 No. 37 jo. Stb. 1938
No. 2 yang mulai berlaku 1 April 1938).
Tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut
dan dan terhadap bahaya pembudakan.
Tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam
pengangkutan di daratan, di sungai, dan di perairan
darat.
Tentang kerugian laut (avary)
Tentang berakhirnya perikatan-perikatan dalam
perdagangan di laut.
Tentang kapal dan perahu yang melalui sungai dan
perairan darat.
E. Hubungan Hukum Perdata Dengan KUHD
Hukum Dagang adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur
dengan disertai sanksi terhadap perbuatan manusia di dalam usaha
mereka untuk menjalankan perdagangan.31
Hukum Privat Eropa dibagi dalam hukum perdata dan Hukum
Dagang. Pembagian ini tidak merupakan pembagian yang bersifat
asasi, hanya berdasarkan dari riwayat Hukum Dagang saja. Pembagian
Hukum Privat menjadi Hukum Dagang dan Hukum Perdata tidak
bersifat asasi dapat dibuktikan dari:
1) Pasal 1 KUHD yang menyebutkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seberapa jauh daripadanya dalam kitab itu tidak khusus
31
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 105.
103
diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap
hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini.
2) Perjanjian jual beli yang penting dalam Hukum Dagang tidak
ditetapkan dalam KUH Perdata.
3) Asuransi yang penting bagi persoalan perdata ditetapkan dalam
KUH Dagang.
Dulu peraturan-peraturan yang termuat dalam Wetboek van
Koophandel hanya berlaku bagi “pedagang” saja, misalnya hanya
pedagang saja yang dapat dinyatakan pailit dan menandatangani
wesel. Akan tetapi, sekarang WvK berlaku juga bagi setiap orang,
meskipun bukan pedagang, sebagaimana BW juga berlaku bagi setiap
orang termasuk pedagang.
F. Perantara Dalam Hukum Dagang
Pada zaman modern ini, perdagangan dapat diartikan sebagai
pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal
pembelian dan penjualan.
Adapun pemberian perantaraan produsen kepada konsumen
dapat meliputi aneka macam pekerjaan, seperti:
1) Pekerjaan perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang
keliling, dan sebagainya.
2) Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas, baik di darat, laut dan
udara.
3) Pertanggungan
(asuransi)
yang
berhubungan
dengan
pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup risiko
pengangkutan dengan asuransi.
Di dalam pekerjaan perantara ini ada agen, makelar dan ada
pula komisioner.
104
1. Agen Perusahaan
Agen perniagaan adalah orang yang melayani beberapa pengusaha
sebagai perantara dengan pihak ketiga. Orang ini mempunyai
hubungan tetap dengan pengusaha dan mewakilinya untuk
mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan
pihak ketiga.
Hubungan dengan pengusaha bukan hubungan perburuhan,
dan bukan juga hubungan pelayanan berlaka. Bukan hubungan
perburuhan, karena hubungan antara agen perusahaan dengan
pengusaha tidak bersifat subordinasi, bukan hubungan seperti
majikan dengan buruh, tetapi hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, jadi sama tinggi sama rendah. Hubungan antara agen
perusahaan dengan pengusaha bersifat tetap. Karena agen
perusahaan juga mewakili pengusaha, maka di sini juga ada
hubungan pemberian kuasa.32
2. Makelar
Menurut pengertian undang-undang, seorang makelar pada
pokoknya adalah seorang perantara yang menghubungkan
pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan berbagai
perjanjian.
Makelar mempunyai ciri khusus, yaitu:
a) Makelar harus mendapat pengkatan resmi pemerintah cq
Menteri Kehakiman (Pasal 2 ayat 1 KUHD);
b) Sebelum menjalankan tugasnya, makelar harus bersumpah di
muka Ketua Pengadilan Negeri, bahwa ia akan menjalankan
kewajibannya dengan baik (Pasal 62 ayat 2 KUHD).
32
H.M. N. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Djambatan, Jakarta, hlm. 47.
105
Mengenai makelar ini diatur dalam KUHD, Buku I dari
Pasal 62 sampai dengan Pasal 72, dan menurut Pasal 62 ayat (1)
makelar mendapatkan upahnya yang disebut provisi atau courtage.
Sebagai perantara atau pembantu pengusaha, makelar
mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha (Pasal 62
ayat 1). Hubungan ini sama halnya dengan pengacara, tetapi lain
dengan hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha.
Adapun sifat hukum dari hubungan tersebut adalah
campuran, yaitu sebagai pelayan belaka dan pemberian kuasa.
Karena makelar adalah suatu jabatan yang diakui oleh
undang-undang dan tugasnya juga ditentukan oleh undang-undang,
maka dia mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil. Tanggung
jawab mengenai kemungkinan timbulnya kerugian berdasarkan
perbuatan makelar. Bila kerugian itu timbul, maka makelar wajib
mengganti kerugian. Tanggung jawab ini juga mengenai perbuatan
makelar:
a) Dalam perjanjian jual beli atas contoh, maka makelar
diharuskan menyimpan contoh itu sampai pada saat perjanjian
telah selesai dilaksanakan seluruhnya (Pasal 69 KUHD);
b) Dalam perjanjian jual beli wesel atau surat berharga lainnya,
maka makelar harus menanggung sahnya tanda tangan penjual,
agar pembeli jangan merugi disebabkan debitur wesel tidak
mau membayar wesel karena tanda tangan penjual (andosan)
itu palsu (Pasal 70 KUHD).
3. Komisioner
Komisioner adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan
membuat perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri, mendapat
provisi atas perintah atau atas pembiayaan orang lain (Pasal 76).
Menurut Yulies Tiena Masriani, komisioner adalah perantara yang
berbuat atas perintah dan atas tanggungan orang lain dan juga
106
mendapat upah, namun bedanya dengan makelar ia bertindak atas
namanya sendiri. Suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang
komisioner mengikat dirinya sendiri terhadap pihak ketiga.33
Adapun ciri-ciri khas komisioner, ialah:
a) Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagai
halnya makelar;
b) Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas
namanya sendiri (Pasal 76 KUHD);
c) Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebut namanya
komiten (Pasal 77 ayat 1 KUHD). Dia di sini menjadi pihak
dalam perjanjian (Pasal 77 ayat 2 KUHD).
d) Tetapi komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi
kuasanya (Pasal 79). Dalam hal ini maka dia tunduk pada Bab
XVI, Buku III KUH Perdata tentang pemberian kuasa mulai Pasal
1972 dan seterusnya.
Pada umumnya komisioner itu membuat perjanjian atas
namanya sendiri (Pasal 76 KUHD). Tetapi menurut Pasal 79 KUHD,
komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi kuasanya, dalam
hal ini komisioner tunduk pada peraturan mengenai pemberian kuasa,
yaitu Pasal 1792 KUH Perdata. Jadi dapat dikatakan bagi komisioner
“berbuat atas nama sendiri” itu adalah sifat umum, sedang “berbuat
atas nama pemberi kuasa” adalah sifat khusus. Hal ini adalah
kebalikan dari pada makelar, pada mana “berbuat atas nama pemberi
kuasa” adalah sifat umum, sedangkan “berbuat atas nama sendiri”
adalah hal yang khusus. Dasar hukum hal yang terakhir ini bukanlah
pasal dari undang-undang, tetapi jurisprudensi, yaitu keputusan H.G.
H. Tanggal 31 Mei 1933.34
33
34
Yulies Tiena Masriani, Op. Cit, hlm. 106.
H.M. N. Purwosutjipto, Op. Cit, hlm. 454.
107
Telah diketahui bahwa perjanjian komisi adalah perjanjian
antara komisioner dengan komiten, dimana komisioner mengikatkan
diri untuk melaksanakan perintah komiten, sedang komiten
mengikatkan diri untuk membiayai pelaksanaan perjanjian itu dan
membayar provisi kepada komisioner. Dalam perjanjian itu
komisioner mengikatkan diri untuk melaksanakan perintah komiten
atas biayanya. Di sinilah letak tanggung jawab komisioner.
Komisioner harus melaksanakan perjanjian komisi itu dengan sebaikbaiknya. Dia bertanggung jawab kepada komiten bila pemberian
kuasa itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Malahan menurut
Pasal 1800 ayat (1) KUH Perdata, komisioner bertanggung jawab
untuk biaya, kerugian dan bunga yang mungkin timbul karena tidak
berprestasinya debitur. Dari itu Pasal 1802 KUH Perdata
mengharuskan komisioner memberikan pertanggungjawaban selekas
mungkin kepada pemberi kuasa, yaitu komitmen.
G. Pengangkutan
Pengangkutan adalah perjanjian di mana satu pihak menyanggupi
untuk dengan aman membawa orang/barang dari suatu tempat lain,
sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos.
Menurut undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi
untuk melaksanakan pengangkutan saja, ia tidak perlu mengusahakan
alat pengangkutannya.
Pengangkutan melalui laut mengenal suatu surat berharga
yang disebut konosemen, yaitu sepucuk surat yang bertanggal dan
ditandatangani oleh nakhoda atau pegawai maskapai pelayaran atas
nama si pengangkutan (maskapai pelayaran).
Di dalam Hukum Dagang, di samping konosemen masih
dikenal surat berharga yang lain, misalnya cheque dan wesel yang
108
sama-sama merupakan perintah membayar. Namun, keduanya juga
mempunyai perbedaan, yaitu:
1) cheque melulu sebagai alat pembayaran;
2) wesel, di samping sebagai alat pembayaran, juga berfungsi lain
sebagai barang dagangan, sebagai alat penagihan, ataupun sebagai
pemberian kredit.
H. Asuransi
Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda “assurantie”, yang sama
dengan istilah “assurance” dalam bahasa Perancis. Selain istilah
asurantie, dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah “verzekering”,
yng diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pertanggungan.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah “insurance” dan
“asurance”, dimana dengan istilah pertama lebih banyak dipakai
dalam bidang asuransi kerugian, sedangkan istilah yang disebut
belakangan lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi jiwa.
Mengenai pemakaian istilah untuk bidang ilmu ini, di negeri kita
belum ada keseragaman, ada yang mempergunakan istilah
pertanggungan, ada pula yang memakai istilah asuransi. Beberapa
pengarang seperti ibu Emy Pangaribuan Simanjuntak, Santoso
Poedjosoebroto, HMN Purwositjipto dan Abdulkadir Muhammad
menggunakan istilah pertanggungan. Sementara yang lain, misalnya
Wiryono Prodjodikoro, JE Kaihatu, H. Gunanto dan Ny Sri Redjeki
Hartono, memakai istilah asuransi.
Dalam peraturan perundang-undangan juga terdapat pemakaian
istilah yang tidak seragam. Beberapa diantaranya memakai istilah
asuransi, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1963 tentang
Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja.
Sedangkan yang memakai istilah pertanggungan, misalnya Undang-
109
undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang.
Meskipun judul bukunya diberi istilah pertanggungan, namun
Santoso Poedjosoebroto tidak membedakan kedua istilah tersebut di
atas dan mengatakan asuaransi adalah sinonim dengan pertanggungan.
Demikian juga Ny Sriredjeki Hartono mempergunakan istilah-istilah
asuransi dan pertanggungan secara bersamaan. HMN Poerwadarminta
dalam kamus umum Bahasa Indonesia juga menggunakan istilah
asuransi dan pertanggungan tersebut dalam pengertian yang sama.
Oleh karena itu, meskipun dalam judul tulisan ini diberi istilah
asuransi, namun dalam uraiannya, di samping istilah asuransi juga
dipergunakan istilah pertanggungan dalam pengertian yang sama
sebagai terjemahan dari istilah assurantie dan verzekering dalam
bahasa Belanda. Dari istilah pertanggungan, tercipta istilah
penanggung (assuradeur atau verzekeraar), sedangkan tertanggung
(geassureerde atu vezekerde, dan dipertanggungkan yang sama
dengan istilah diasuransikan (geassureed atau vezekerd).
Definisi (perumusan otentik) dalam asuransi termuat dalam
Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang menentukan
bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah sutatu perjanjian dimana
penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan
dirinnya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari
kerugian karena kehilangan, kerugian atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya
karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Jika ditilik secara cermat, ternyata definisi asuransi yang
tercantum dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang ini
hanya cocok untuk satu golongan asuransi saja, yaitu asuransi
kerugian. Sedangkan untuk golongan asuransi sejumlah uang, seperti
110
asuaransi jiwa dan golongan asuaransi tanggung jawab hukum
terhadap pihak ketiga, seperti asuaransi Tanggung Jawab Hukum
Kenderaan Bermotor, tidak tercakup dalam definisi tersebut.
Oleh karena itu dalam Undang-undang tentang Usaha
Perasuransian (UU Nomor 2 Tahun 1992) dianggap perlu untuk
memberikan suatu definisi yang lebih lengkap, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 angka (1), yaitu:
Asuaransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penangggung mengikatkan diri
pada tertanggung, dengan menerima premi asuaransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Walaupun dalam defenisi tersebut di atas seolah-olah hanya
terdapat satu pihak saja, yaitu penaggung yang terikatat, tetapi bila
dikaji maksud sebenarnya dari perumusan itu, maka pihak tertanggung
juga terikat untuk melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Oleh karena
itu darti definisi tersebutdapat diperoleh adanya 3 (tiga) unsur pokok,
yaitu:
1. Pihak tertanggung, yang berjanji membayar premi kepada pihak
penanggung sekaligus atau berangsur-angsur;
2. Pihak penanggung, yang berjanji akan membayar sejumlah uang
atau ganti kerugian kepada pihak tertanggung sekaligus atau
berangsur-angsur, kalau terlaksana unsur ketiga, yaitu;
3. Suatu peristiwa yang semula belum pasti akan terjadi dan yang
menimbulkan kerugian bagi tertanggung.
111
Pada hakikatnya, semua asuransis bertujuan untuk menciptakan
suatu kesiap-siagaan dalam menghadapi berbagai risiko yang dapat
mengancam kehiupan manusia. Terutama risiko terhadap kehilangan
atau kerugian yang membuat orang secara sungguh-sungguh
memikirkan cara-cara yang paling aman untuk mengatasinya.
Untuk mengatasi risiko-risiko yang sewaktu-waktu menimpa
dalam kehidupannya, orang-orang yang menempuh cara-cara yang
berbeda. Jika kerugian itu dapat diduga, mungkin saja dihindari
dengan menerapkan cara-cara pencegahan, dan dalam hal jumlah
kerugian yang kecil, mungkin saja akan ditanggulanginya sendiri.
Akan tetapi kesulitan akan timbul, apabila kerugian itu tidak dapat
diduga sebelumnya dan dalam jumlah besar pula, sehingga tidak
mampu dicegah atau dipikulnya sendiri.
Dalam keadaan demikian, seseorang dapat hancur sama sekali.
Jika bantuan dari masyarakat atau orang-orang sekelilingnya tidak
ada. Sedangkan untuk masyarakat sebagai keseluruhan, kerugian yang
demikian akan tidak seberat yang dirasakan oleh orang seseorang.
Jelaslah kiranya, bahwa konsep (pengertian) yang paling umum
dari asuransi adalah suatu kesepakatan dari sejumlah orang yang
masing-masing berada dalam keadaan terancam bahaya yang sama,
akibat suatu peristiwa yang tidak terduga, yang apabila benar-benar
terjadi atas salah seorang diantara mereka, maka akan disumbangkan
penggantinya oleh semua orang yang ada dalam kelempok itu.
I. Persekutuan Dagang
Dalam Hukum Dagang dikenal beberapa macam persekutuan dagang,
antara lain sebagai berikut:
112
1. Perusahaan Perorangan/Usaha Dagang (UD)
a. Pengertian
Perusahaan Perorangan/Usaha Dagang (UD) yang merupakan bentuk
usaha paling sederhana adalah usaha swasta yang pengusahanya satu
orang. Yang dimaksud dengan pengusagha di sini adalah pemilik
perusahaan. Modal atau investasi yang dimaksud dapat berupa uang,
benda, atau tenaga (keahlian), yang semuanya bernilai uang.
Kemungkinan, bahwa sering terjadi, di dalam operasionalisasi
sebuah perusahaan perorangan melibatkan banyak orang. Orang-orang
tersebut merupakan pekerja atau buruh, sedangkan pengusaha atau
pemilik perusahaan jumlahnya tetap tunggal. Artinya, yang
bertanggung jawab menanggung risiko, dan menikmati keuntungan
hanya satu orang saja, sedangkan yang lainnya adalah orang yang
bekerja di bawah pimpinan pengusaha dengan menerima upah.
Bentuk usaha perorangan mempunyai kelebihan dalam hal
pengambilan keputusan dan bertindak cepat untuk memanfaatkan
peluang bisnis yang ada. Kelemahannya adalah dari segi pengumpulan
modal yang besar untuk menghadapi berbagai persaingan dan peluang
bisnis.
b. Pengaturan
Belum terdapat pengaturan yang resmi dalam suatu perundangundangan khusus tentang usaha dagang. Namun dalam praktik
keberadaannya diakui masyarakat. Berbagai perundang-undangan di
bidang perpajakan, perizinan, dan lain-lain juha menyebutkan adanya
bentuk usaha tersebut walaupun tidak mengaturnya secara terperinci.
Oleh karena itu, sumber hukumnya adalah kebiasaan dan
jurisprudensi. Di luar negari bentuk usaha dagang tersebut juga diakui
keberadaannya, sebagai one man corporation. Di Inggris dinamakan
sole proprietorship.
113
c. Pendirian
Karena belum diatur dalam undang-undang, maka teta cara
pendirian usaha dagang ini cukup sederhana. Tidak ada keharusan
untuk membuat dalam bentuk tertulis dengan akta notaris. Dalam hal
ini diserahkan pada pengusaha itu untukmenentukan sendiri apakah
cukup didirikan secara lisan, dengan akta di bawah tangan, atau
dengan akta notaris (akta otentik). Walaupun demikian, dalam praktik
usaha dagang seringkali didirikan dengan membuat akta notaris.
Pendirian dengan akta notaris ini memang lebih baik untuk
kepentingan pembuktian.
Setelah usaha dagang terbentuk dengan atau tanpa akta notaris,
terdapat beberapa kewajiban hukum lainnya yang harus dilakukan
pengusaha supaya dapat beroperasi di lapangan.
Kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut
1) Memperoleh Tanda Dafrar Perusahaan (TDP) pada Departemen
Perisdustrian dan Perdagangan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan, kecuali untuk perusahaan perorangan kecil
sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut;
2) Memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Surat
Izin Usaha Industri, sesuai dengan bidang usahanya, pada
Departemen Perindustrian dan Perdagangan sebagaimana diatur
di dalam peraturan perundangan perizinan usaha;
3) Memperoleh Surat Izin Tempat Usaha (SITU) melalui pemerintah
daerah setempat sesuai dengan peraturan daerah di lokasi usaha;
4) Memperoleh izin berdasarkan Undang-undang Gangguan (Hinder
Ordonnantie/HO Stb. 1926 Nomor 226) atau melakukan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan lingkungan hidup. HO dan AMDAL
hanya diperlukan untuk bidang usaha tertentu yang dapat
114
membahayakan lingkungan, sebagaimana
perundang-undangan yang berkaitan dengan itu.
diatur
dalam
d. Tanggung Jawab
Pengusaha yang mendirikan usaha dagang bertanggung jawab secara
pribadi terhadap segala risiko usaha dan terhadap pihak kreditur
perusahaan. Hal ini berbeda dengan persekutuan atau badan usaha
yang tanggung jawabnya dipikul oleh lebih dari seorang.
2. Persekutuan Firma (Fa)
a. Pengertian
Firma merupakan persekutuan. Dikatakan persekutuan karena
pengusahanya merupakan sekutu (partner) yang lebih dari satu orang.
Firma adalah setiap persekutuan yang didirikan untuk menjalankan
perusahaan di bawah satu nama bersama dan bertanggung jawab
secara tanggung menanggung.35
Kelebihan firma dibandingkan usaha dagang adalah dalam
pengumpulan modal, sedangkan kelemahannya pada penonjolan
kemampuan pribadi para pengusaha dan para kepemimpinan atau
kepemilikan ganda yang membuka kemungkinan timbulnya
perselisihan.36
b. Pengaturan
Firma diatur dalam KUHD Pasal 16 sampai dengan Pasal 35. Di
samping itu, terdapat pula beberapa ketentuan yang relevan di dalam
KUH Perdata, antara lain ketentuan tentang persekutuan perdata dan
perikatan.
35
36
M. Naztzir Said, 1987, Hukum Perseroan, Alumni, Bandung, hlm. 116-117.
Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 29.
115
c. Pendirian
Walaupun dalam praktek, firma selalu dibuat dengan akta notaris,
dalam Pasal 22 KUHD tidak diharuskan demikian, artinya dapat juga
dibuat dengan akta di bawah tangan, bahkan secara lisan. Akta
pendirian tersebut harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan
Negeri dan diumumkan melalui Berita Negara.
Apabila pembuatan akta, pendaftaran, dan pengumuman selesai
dilakukan, Firma tersebut telah berdiri dan untuk menjalankan operasi
bisnis masih perlu melengkapi dengan beberapa izin dan persyaratan
lainnya sebagaimana telah diuraikan pada usaha dagang, antara lain
daftar perusahaan. SIUP/SII, SITU, dan HO atau AMDAL.
d. Tanggung Jawab
Setiap sekutu firma dapat melakukan perikatan atau hubungan hukum
dengan pihak ketiga untuk dan atas nama perseroan, tanpa perlu
adanya surat kuasa khusus dari sekutu lainnya. Misalnya, Firma ABC
yang sekutunya terdiri dari A, B dan C, maka semuanya dapat
bertindak ke luar atas nama atau untuk kepentingan firma ABC
tersebut.
Apabila seorang saja bertindak, katakanlah A, maka secara
hukum juga mengikat B dan C. Artinya pihak ketiga, misalnya D,
apabila merasa dirugikan oleh A ia dapat menggugat baik A, B
maupun C sendiri-sendiri atau ketiganya di pengadilan. Tanggung
jawab demikian dinamakan tanggung jawab renteng atau tanggung
jawab tanggung menanggung atau tanggung jawab solider.
Harta kekayaan yang dapat digugat tidak terbatas hanya pada
harta kekayaan perusahaan Firma saja, tetapi meliputi juga harta
kekayaan pribadi masing-masing pengusaha tersebut.
116
3. Persekutuan Komanditer/Commanditaire Vennottchap (CV)
a. Pengertian
CV merupakan persekutuan terbuka yang terang-terangan
menjalankan perusahaan, yaitu di samping satu orang atau lebih
sekutu biasa yang bertindak sebagai pengurus, mempunyai satu orang
atau lebih sekutu diam yang bertanggung jawab atas jumlah
pemasukannya.37
CV merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk usaha
Firma. Di dalam CV ini masih terdapat ciri dari Firma yang melekat
pada sekutu pengurus (sekutu komplementer atau sekutu aktif).
Sedangkan unsur tambahan pada CV yang berbeda dengan Firma
adalah pada munculnya sekutu diam (sekutu komanditer atau sekutu
pasif). Sekutu diam (sleeping partner) ini tidak dikenal pada Firma.
Kelebihan CV justru pada adanya sekutu diam tersebut yang
menyebabkan CV lebih fleksibel karena tersedianya sarana bagi
pemodal untuk berinvestasi di dalam pembentukan CV, sementara
yang bersangkutan sendiri tidak perlu bertindak sebagai pengurus,
cukup sebagai sekutu diam saja. Pada Firma semua sekutunya
merupakan pengurus sama dengan sekutu aktif (active partner) pada
CV. Bentuk usaha CV ini merupakan suatu bentuk peralihan yang
berada antara Firma dan Perseroan Terbatas. Dalam CV terkandung,
baik ciri Firma maupun ciri Perseroan Terbatas sampai pada tingkat
teretntu.
b. Pengaturan
CV secara khusus diatur dalam Pasal 19, 20, dan Pasal 21 KUHD.
Sama halnya dengan Firma, di samping ketentuan khusus tersebut,
37
M. Naztzir Said, Op. Cit, hlm. 189.
117
berlaku juga ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata,
yaitu tentang persekutuan perdata dan perikatan.
c. Pendirian
Di dalam KUHD tidak diatur secara khusus bagaimana prosedur
mendirikan sebuah CV. Oleh karena itu, prosedur pendirian firma
dapat diikuti secara analogi, yaitu tidak ada kewajiban untuk membuat
dalam bentuk akta notaris (lisan pun boleh), kemudian didaftarkan di
kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumummkan dalam berita
negara melalui percetakan negara di Jakarta.
Sama halnya dengan Firma, CV adalah persekutuan yang
melibatkan lebih dari satu orang pengusaha. Oleh karena itu,
pendiriannya harus melalui pembuatan perjanjian pendirian meskipun
secara lisan. Pembuatan perjanjian ini tunduk pada aturan hukum
perjanjian. Perjanjian inilah yang kemudian didaftarkan dan
diumumkan.
Setelah pendirian tersebut selesai, pengusaha harus
mendaftarkan perusahaan pada Departemen Perindustrian dan
Perdagangan sesuai dengan undang-undang tentang wajib daftar
perusahaan dan mengurus berbagai macam perizinan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
d. Tanggung Jawab
Sebagaimana dijelaskan bahwa di dalam CV ini terdapat dua macam
sekutu, yaitu sekutu aktif yang di samping menanamkan modal ke
dalam perusahaan juga bertugas mengurus perusahaan dan sekutu
pasif atau sekutu diam yang hanya menyertakan modal, tetapi tidak
terlibat di dalam pengurusan perusahaan. Akibatnya, terdapat juga dua
macam tanggung jawab sekutu CV.
118
Sekutu aktif bertanggung jawab tidak saja terbatas pada
kekayaan CV, tetapi juga kekayaan pribadi (kalau diperlukan). Di sini
persis sama dengan sekutu pada sebuah Firma. Lain hlnya dengan
sekutu pasif yang hanya bertanggung jawab terbatas pada modal yang
dimasukkan saja.38
4. Perseroan Terbatas (PT)
b. Pengertian
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UUPT) ditentukan bahwa PT adalah
“badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”.
Dari defunisi di atas, dapat dipahami bahwa PT adalah suatu
badan hukum. PT berbeda dengan Usaha Dagang, Firma, CV yang
bukan badan hukum. Sebagai badan hukum dalam PT terdapat
pemisahan kekayaan milik perusahaan dengan milik pribadi
pengusaha. Di samping itu, sebagai badan hukum PT wajib
mendapatkan pengesahan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri
Kehakiman. Bentuk usaha yang bukan badan hukum tidak memiliki
kewajiban demikian.
Dalam pengertian tersebut juga disebutkan bahwa PT didirikan
berdasrkan perjanjian. Maksudnya PT bukanlah perusahaan
perorangan seperti Usaha Dagang, tetapi sama halnya dengan Firma
dan CV didirikan oleh lebih dari satu orang. Untuk mendirikan sebuah
PT paling kurang harus terdapat dua orang pengusaha. Banyaknya
38
Sanusi Bintang dan Dahlan, Op. Cit, hlm. 32.
119
pengusaha yang terlibat dalam sebuah PT memungkinkan adanya
akumulasi modal yang lebih banyak, yang merupakan ciri PT yang
membedakan dengan badan hukum lain seperti koperasi.
Pada sebuah PT modalnya dibagi ke dalam saham-saham
(shares, stocks). Para pemegang saham inilah pengusaha PT tersebut.
Terdapat dua macam PT, yaitu PT tertutup yang disingkat PT,
merupakan perseroan terbatas yang modalnya dimiliki oleh pemegang
saham yang masih saling mengenal satu sama lainnya. Misalnya
anggota keluarga, sahabat, kenalan, dan tetangga yang pendiriannya
tunduk pada UUPT. Di samping itu, PT terbuka yang pada nama
perusahaannya memakai singkatan PT (pada awal) dan Tbk (pada
akhir) nama PT tersebut. Dalam PT terbuka pemegang sahamnya
sudah tidak saling mengenal lagi. Bahkan, sampai melintasi batas
negara.
Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa PT terbuka adalah
“Perseroan Publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum
saham, sesuai dengan ketentua peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal”.
Pendirian PT terbuka, di samping harus memenuhi ketentuan
UUPT dan peraturan pelaksanaannya, juga ketentuan Undang-undang
Republik Indonesia Namor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(UUPM) dan peraturan pelaksanaannya. PT merupakan bentuk usaha
yang paling luwes dan ideal dalam rangka memupuk keuntungan,
namun terdapat juga kelemahannya yaitu kemungkinan adanya
spekulasi, manipulasi, dan kecerobohan pengelolaan.39
39
Ibid, hlm. 34.
120
c. Pengaturan
Dahulu PT diatur dalam KUHD, yaitu dalam Pasal 36 sampai dengan
Pasal 56. Pengaturan yang hanya 21 pasal tersebut tentunya tidak
cukup menampung berbagai aspek PT yang sudah demikian
berkembang akibat perkembangan perekonomian dan dunia usaha.
Oleh karena itu, dikeluarkanlah UUPT yang menggantikan ketentuan
dalam KUHD tersebut.
Khusus untuk PT terbuka di samping UUPT berlaku juga Undangundang Republik Indoenesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (UUPM).
d. Pendirian
PT didirikan melalui beberapa tahapan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan di dalam UUPT, sebagai berikut:
1) Pembuatan Akta Notaris
Para pengusaha yang ingin mendirikan PT terlebih dahulu datang ke
kantor notaris untuk membuat akta pendirian PT. Akta pendirian
merupakan suatu perjanjian antara para pendiri PT tersebut. Isinya
ditentukan sendiri oleh para pendiri, yang kemudian dituangkan
notaris dalam suatu format khusus yang disediakan untuk itu sesuai
dengan UUPT.
Menurut Pasal 8 UUPT akta pendirian PT memuat anggaran dan
keterangan lain sekurang-kurangnya:
a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal,
dan kewarganegaraan pendiri;
b) Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris
yang pertama kali diangkat, dan kewarganegaraan direksi dan
komisaris pertama kali diangkat; dan
121
c) Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham serta
perincian jumlah saham dan nilai nominal atau nilai yang
diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor pada
saat pendirian.
Sedangkan Anggaran Dasar sendiri sekurang-kurangnya berisi:
a) Nama dan tempat kedudukan perseroan;
b) Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku;
c) Jangka waktu berdirinya perseroan;
d) Besarnya jumlah modal dasar, modal yang ditempatkan dan modal
yang disetor;
e) Jumlah saham, jumlah klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah
saham untuk tiap klasifikasi , hak-hak yang melekat pada setiap
saham, dan nilai nominal setiap saham;
f) Susunan, jumlah dan nama anggota direksi dan komisaris;
g) Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h) Tata cara pemilihan, pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota direksi dan komisaris;
i) Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen; dan
j) Ketentuan-ketentuan lain menurut UUPT.
2) Pengesahan Menteri Kehakiman
Akta notaris yang telah dibuat tersebut kemudian dikirim ke Jakarta
untuk mendapatkan pengesahan Menteri Kehakiman dalam rangka
memperoleh status badan hukum.
Badan hukum PT tersebut baru diperoleh setelah adanya
pengesahan dair Menteri Kehakiman. Dalam Pasal 9 UUPT
disebutkan bahwa Menteri Kehakiman akan memberikan pengesahan
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah
diterimanya permohonan pengesahan PT, lengkap dengan lampiran-
122
lampirannya. Jika permohonan ditolak, Menteri Kehakiman
memberitahukan kepada pemohon secara tertulis disertai dengan
alasannya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari itu juga.
3) Pendaftaran Wajib
Akta pendirian/anggaran dasar PT secara lengkap disertai SK
pengesahan dari Menteri Kehakiman kemudian wajib didaftarkan
dalam daftar perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pengesahan PT atau
tanggal diterimanya laporan.
4) Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN)
Apabila pendaftaran dalam daftar perusahaan telah dilakukan,
berikutnya direksi mengajukan permohonan pengumuman perseroan
di dalam TBN dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak pendaftaran tersebut.
Pendirian PT telah selesai dengan dilakukannya pengumuman,
berikutnya perlu diselesaikan berbagai perizinan sesuai dengan
perundang-undangan perizinan yang berlaku, seperti juga pada
pendirian bentuk usaha lainnya.
e. Tanggung Jawab
Pada sebuah PT, pengusahanya adalah para pemegang saham. Para
pemegang saham itu bertanggung jawab terbatas sebesar saham yang
dimasukkannhya ke dalam PT. Tanggung jawab terbatas demikian
sebenarnya tercermin dari nama bentuk usaha PT sendiri, yaitu
perseroan terbatas. Kata “terbatas” menunjukkan adanya tanggung
jawab pemegang saham yang terbatas pada modal yang dimasukkan.
123
Dalam UUPT ketentuan tanggung jawab terbatas diatur Pasal 3
ayat (1) yang berbunyi: “pemegang saham perseroan tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas
nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan
melebihi nilai saham yang dimilikinya”.
Adanya tanggung jawab terbatas demikian merupakan ketentuan
umum, karena UUPT memberikan pengecualiannya dalam hal-hal
tertentu. Menurut Pasal 3 ayat (2) UUPT sistem tanggung jawab
terbatas tidak berlaku apabila:
1) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;
2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk
kepentingan pribadi
3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi utang perseroan.
J. Koperasi
a. Pengertian
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Dari definisi tersebut terdapat koperasi yang para anggotanya
terdiri dari orang seorang yang disebut koperasi primer dan koperasi
124
yang beranggotakan badan-badan hukum koperasi yang disebut
koperasi sekunder.
Baik koperasi primer maupun koperasi sekunder merupakan
badan hukum.
b. Pengaturan
Usaha koperasi (cooperative) diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Undangundang tersebut dibuat mengacu terutama pada Pasal 33 ayat (1) UUD
1945 yang menentukan bahwa perekonomian Indonesia disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam
Penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
ditambahkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang seorang. Dan bentuk perusahaan yang
sesuai dengan itu adalah koperasi.
c. Pendirian
Untuk mendirikan sebuah koperasi primer dibutuhkan sekurangkurangnya 20 (dua puluh) orang sebagai anggota. Dan untuk
mendirikan sebuah koperasi sekunder sekurang-kurangnya terdapat 3
(tiga) koperasi.
Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, dibuat akta
pendirian koperasi. Dalam akta pendirian termuat anggaran dasar
koperasi yang sekurang-kurangnya berisi:
1) Daftar nama pendiri;
2) Nama dan tempat kedudukan;
3) Maksud dan tujuan serta bidang usaha;
4) Ketentuan mengenai keanggotaan;
5) Ketentuan mengenai rapat anggota;
6) Ketentuan mengenai pengelolaan;
125
7) Ketentuan mengenai permodalan;
8) Ketentuan jangka waktu berdirinya;
9) Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usahanya; dan
10) Ketentuan mengenai sanski.
Akta pendirian tersebut diperlukan juga untuk mendapatkan
pengesahan badan koperasi, yang perlu dimintakan secara tertulis
kepada pemerintah. Untuk mendapatkan pengesahan status badan
hukum koperasi, para pendiri mengajukan permintaan tertulis disertai
atau pendirian koperasi.
d. Perangkat Organisasi
Perangkat organisasi koperasi terdiri dari rapat anggota, pengurus, dan
pengawas. Rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di
dalam koperasi yang bertugas menetapkan antara lain anggaran dasar,
pengurus dan pengawas, rencana kerja, dan pembagian Sisa Hasil
Usaha (SHU). Keputusan rapat anggota diambil berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat atau apabila tidak berhasil
berdasarkan suara terbanyak. Dalam pemungutan suara setiap anggota
mempunyai satu suara. Sedangkan hak suara pada koperasi sekunder
diatur dalam anggaran dasarnya. Rapat anggota dilakukan paling
sedikit sekali dalam setahun.
Pengawas dipilih dari/dan oleh anggota koperasi dalam rapat
anggota untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Pengurus bertugas antara
lain mengelola koperasi dan usahanya, mengajukan rancangan rencana
kerja serta rancangan anggaran pendapatan dan belanja koperasi, dan
menyelenggarakan pembukuan, laporan keuangan, dan rapat anggota.
Apabila diperlukan untuk pengelolaan usaha sehari-hari pengurus
dapat menyangkut pengelola berdasarkan hubungan kerja atas dasar
perikatan dan bertanggung jawab kepada pengurus. Pengangkatan
pengelola demikian perlu mendapatkan persetujuan rapat anggota.
126
Pengawas juga dipilih dari/dan oleh anggota koperasi dalam
rapat anggota yang tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi dan membuat
laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Untuk itu, pengawas
berwenang meneliti catatan yang ada pada koperasi dan mendapatkan
segala keterangan yang diperlukan. Di samping itu, pengawas harus
merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
RANGKUMAN
Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah
laku manusia yang turut melakukan perdagangan dalam
usahanya memperoleh keuntungan
Hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan,
yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatanperikatan itu ada yang bersumber dari perejanjian dan ada yang
bersumber dari undang-undang. Yang bersumber dari perjanjian
misalnya pengangkutan, asuransi, jual beli perusahaan, makelar,
komisioner, wesel, cek dan lain-lain. Yang bersumber dari
undang-undang, misalnya tubrukan kapal dan lain-lain.
Sumber-sumber hukum dagang adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kebiasaan,
Yurisprudensi, dan peraturan-peraturan tertulis lainnya. Peraturan itu
antara lain Undang-Undang Bentuk Bentuk Usaha Negara, UndangUndang Merek, Undang-Undang tentang Kadin, Undang-Undang
tentang Perindustrian, Koperasi, dan lain-lain
Pada zaman modern ini, perdagangan dapat diartikan sebagai
pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal
pembelian dan penjualan.
Adapun pemberian perantaraan produsen kepada konsumen
dapat meliputi aneka macam pekerjaan, seperti:
127
1. Pekerjaan perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang
keliling, dan sebagainya.
2. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas, baik di darat, laut dan
udara.
3. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan,
supaya pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan
asuransi.
LATIHAN
1. Jelaskan Jelaskan sistematika hukum dagang.
2. Jelaskan hubungan antara hukum dagang dengan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
3. Jelaskan pengertian agen dan bagaimana hubungan hukum
antara agen dan pengusaha.
4. Jelaskan ciri-ciri dari makelar.
5. Jelaskan pengertian komisioner dan apa ciri-ciri dari
komisioner.
6. Jelaskan pengertian asuransi dan sebutkan unsur-unsur yang
harus dipenuhi agar dikatakan asuransi.
7. Jelaskan penggolongan asuransi menurut ilmu pengetahuan
dan apa perbedaaannya.
GLOSSARIUM
1. Code de Commer adalah adalah hukum dagang yang berlaku bagi
pedagang yang dibukukan dalam sebuah buku atas perintah raja
Napolion
2. Code Civil adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang berlaku di Perancis.
3. Wetbook van Koophandel adalah kitab-undang hukum dagang
yang berlaku di negeri Belanda.
128
4. Assurantie adalah istilah asuransi dalam bahasa Belanda.
5. Verzekering ialah istilah pertanggungan dalam bahasa Belanda
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil dan Chrstine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok
Pengetahunan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafuka,
Jakarta.
H.M. N. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia, Djambatan, Jakarta.
M. Naztzir Said, 1887, Hukum Perseroan, Alumni, Bandung.
R. Djatmiko. D, 1996, Pengantar Hukum Perdata dan Hukum
Dagang, Angkasa, Bandung.
Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan
Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
129
BAB V
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: Pengertian Asas-asas hukum pidana,
pembagian hukum pidana, tujuan dan fungsi hukum pidana,
asas legalitas, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dan
ilmu hukum pidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum pidana
2. Mengungkapkan pengertian hukum pidana
3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum pidana
4. Menjelaskan arti asas legalitas
5. Menjelaskan ruang lingkup berlakunya hukum pidana
A. Istilah Dan Pengertian
Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
“strafrecht”. Straf berarti = pidana dari recht berarti hukum. Straf itu
sendiri secara hafiah berarti hukuman. Jika digabungkan keduanya
akan berarti hukum hukuman. Istilah yang demikian dianggap tidak
bisa menurut tata bahasa, maka istilah “hukum hukuman” itu diganti
dengan hukum pidana.
Hukum pidana dapat dibagi kedalam:
1. Hukum Pidana Obyektif (Ius Poenale)
2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Poeniendi).
130
Ad.1. Hukum Pidana obyektif (ius poenale)
Hukum pidan obyektif adalah sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan di mana terhadap
pelanggarannya diancam dengan hukuman.
Hukum Pidana obyektif ini dibagi dua macam yaitu Hukum
Pidana Material (Materiel Strafrecht) dan Hukum Pidana Formal
(Formeel Strafrecht, Strafprosesrecht).
Hukum Pidana Material adalah aturan hukum yang menentukan
tentang:
a. Perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana;
b. Siapakah yang dapat dipidana, atau siapakah yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Jenis hukuman (pidana) apakah yang dapat dijatuhkan kepada
orang yang melanggar undang-undang.
Ketiga unsur dari Hukum Pidana Materiel tersebut harus ada
dalam aturan hukum pidana material. Misalnya ketentuan dalam Pasal
362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau
sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan
memiliki dengan melawan hak, dihukum karena pencurian, dengan
hukum penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4000,-.”
Dari pasal ini maka terlihat unsur tersebut:
a. perbuatan yang dilarang: mengambil barang milik orang lain;
b. orang yang dapat dipidana: yang sengaja (dengan maksud)
memiliki dengan melawan hak;
c. pidana yang dijatuhkan: penjara selama-lamanya lima tahun atau
denda Rp. 4000,Jika unsur-unsur ini tidak ada dalam peraturan tersebut maka aturan
hukum itu, bukanlah merupakan aturan hukum pidana material.
131
Istilah hukum pidana material ini juga disebut dengan Hukum
Pidana Substansial. Dalam pergaulan sehari-hari hukum pidana
material disebut dengan hukum pidana. Hukum pidana material ini
juga disebut dengan hukum pidana in abstracto. Artinya, hukum
pidana dalam arti yang abstrak (tidak nyata), karena berlaku kepada
semua orang, tidak tertentu orangnya;
Hukum pidana (material) ini juga dibagi ke dalam pengertianpengertian sebagai berikut:
a. Hukum pidana umum
b. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi
orang tertentu saja, seperti hukum pidana militer, hukum pidana
fiskal (Pajak).
c. Hukum pidana nasional, yaitu hukum pidana yang berlaku secara
nasional.
d. Hukum pidana lokal, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi
daerah-daerah tertentu, seperti yang terdapat dalam peraturan
daerah.
e. Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang telah
dibukukan dalam satu kitab undang-undang, seperti yang
tercantum dalam KUHP.
f. Hukum pidana yang tidak terkodifikasi, yaitu hukum pidana yang
terdapat dalam peraturan hukum pidana di luar KUHP. Misalnya:
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan
Prosekutor Narkotika.
Hukum pidana formal adalah keseluruhan aturan hukum yang
menentukan cara bagaimana melaksanakan ketentuan hukum pidana
material yang peristiwa-peristiwa yang konkrit.
132
Ad.2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Poeniendi)
Hukum pidana subyektif adalah aturan hukum yang menentukan hak
negara untuk menghukum orang. Hak negara untuk menghukum
orang ini, menurut Prof. Satochit Kartanegara40, adalah:
a. hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan pidana, hak ini
ada di tangan pembuat undang-undang.
b. Hak untuk menjatuhkan hukuman. Hak ini berada di tangan
hakim, untuk menghukum orang yang terbukti bersalah.
c. Hak untuk melaksanakan hukuman. Hak ini terletak di tangan
jaksa, untuk melaksanakan putusan hakim.
Sehubungan dengan hukum pidana (material), ada yang
menyebutnya dengan hukum delik. Kata delik berasal dari delictum
(Latin) yang dalam bahasa Belanda disebut dengan falen yang berarti
perumusan sikap/perbuatan yang salah (gagal melaksanakan yang baik
dan benar). Di samping istilah delictum, dalam bahasa Latin juga
dikenal istilah crimen, yang berarti misdaad (Bld), sama dengan
penyelewengan. Dari istilah ini maka dikenal istilah Criminal Law,
yang digunakan dalam hukum Anglo Saxon.
Hukum pidana (material) juga dinamakan dengan hukum sanksi.
Dalam bahasa Belanda disebut dengan sanctie. Perkataan ini berasal
dari bahasa Latin yakni sanctum yang dapat berarti positif atau
negatif. Yang bersifat positif berarti hadiah atau anugerah, sedangkan
dalam arti negatif berarti hukuman.
B. Tujuan Hukum Pidana
Wiryono Projodikoro 41 menulis tentang tujuan hukum pidana adalah
untuk memenuhi rasa keadilan. Di antara para sarjana ada 2 macam
tujuan hukum pidana, yaitu:
40
Satochit,. 1955, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa. hlm. 5.
133
1. Untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan
baik secara menakut-nakuti orang banyak (generate preventie,
maupun menakut-nakuti orang tertentu yang menjalankan
kejahatan agar tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie);
atau
2. Untuk memperbaiki orang-orang yang sudah melakukan kejahatan
agar menjadi orang-orang baik kembali.
Tujuan ini menurut Wiryono dapat disetujui sebagai tujuan
sekunder. Tujuan primer adalah tujuan dari sanksi pidana adalah untuk
penataan norma dalam hukum pidana sebagaimana tujuan dari sanksi
administrasi dan sanksi perdata.
C. Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, hukum pidana
yang berlaku adalah hukum pidana adat, hukum yang tidak tertulis.
Hukum pidana adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh Hukum Islam
dan sebahagian berasal dari asli masyarakat Indonesia.
Pada saat sekarang ini, hukum pidana adat ini boleh dikatakan
hanya merupakan ilmu pengetahuan saja karena hukum ini tidak
diberlakukan lagi. Namun demikian hukum pidana adat ini juga masih
dapat diangkat sebagai hukum positif jika ada kesebandingannya
dengan hukum pidana positif. Hal ini ditentukan oleh Undang-Undang
Darurat No. 1 Tahun 1951, Pasal 5 (2) sub b.
Hukum Pidana tertulis mulai dikenal di Indonesia sejak orang
Belanda datang ke Indonesia. Sejak dahulu hukum yang berlaku bagi
orang Belanda di Indonesia sebanyak mungkin dipersamakan dengan
41
Wirjono, 2000, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika
Aditama, Bandung. hlm. 34.
134
hukum yang berlaku di negeri Belanda, berdasarkan asas
konkordanxsi (Pasal 131 (2) sub a).
Pada masa VOC berlaku hukum pidana:
1. Hukum statuta yang termuat dalam statuta van Batavia
2. Hukum Belanda kuno
3. Asas-asas Hukum Romawi.
Setelah VOC berakhir di Indonesia, pada masa Daendels
berkuasa di Indonesia, pada tahun 1810, dibuat suatu peraturan
mengenai hukum dan peradilan. Bagi orang Eropa berlaku Statuta
Betawi Baru dan bagi orang pribumi berlaku hukum adat. Namun
Gubernur Jenderal boleh mengubah sistem hukuman menurut hukum
adat jika:
a. hukuman tersebut tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan;
b. hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara.
Ada berbagai jenis pidana yang berlaku berdasarkan Plakat
tanggal 22 April 1808, yaitu:
1) Dibakar hidup terikat pada suatu tiang;
2) Dibunuh dengan menggunakan keris;
3) Dicap bakar;
4) Dipukul dengan rantai;
5) Dipenjara;
6) Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, Thomas Stanford
Raffles mengadakan perubahan dalam hukum acara dan susunan
peradilan umum dalam hukum material tetap berlaku hukum statuta
bagi orang Eropa. Setelah Belanda berkuasa kembali di Indonesia,
untuk sementara tetap memperlakukan hukum yang ada agar tidak
terdapat kekosongan hukum namun tetap mempunyai kehendak untuk
mengadakan kodifikasi yang berlaku di Indonesia.
135
D. Sejarah KUHP
Dalam bidang hukum pidana juga terdapat dualisme hukum pada
masa Hindia Belanda. Bagi golongan Eropa berlaku KUHP tersendiri
berdasarkan Instruksi Raja Belanda tanggal 10 Pebuari 1866 No. 54
(S. 1866 No.55) yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1867. Terhadap
orang pribumi dan timur asing diberlakukan pula satu KUHP
tersendiri berdasarkan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 (S. 1872 No. 85)
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1973. Kedua-dua KUHP
tersebut merupakan jiplakan dari Code Penal Perancis yang berlaku di
negeri Belanda pada permulaan abad XIX, ketika Kaisar Napoleon
berkuasa. Pada tahun 1881 di negeri Belanda dibentuk KUHP baru
(Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) berdasarkan
Instruksi raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915. KUHP ini berlaku
efektif mulai 1 Januari 1918, dan berlaku untuk semua golongan
penduduk. Mulai saat itu berakhirlah dualisme dalam hukum pidana di
Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka, KUHP ini tetap berlaku berdasarkan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Kemudian pada tanggal 26
Pebruari 1946 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
sebagai penegasan tentang berlakunya KUHP tersebut di Indonesia.
Pasal V UU ini menyebutkan: Peraturan hukum pidana yang
seluruh atau sebahagian tidak dapat dijalankan atau bertentangan
dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai
arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebahagian untuk sementara
tidak berlaku. Atas dasar pasal ini maka dalam KUHP terdapat pasalpasal yang dihapuskan.
Pasal VI, merubah nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht, dan disebut
dengan KUHP.
136
Dengan adanya negara RIS, maka untuk negara-negara bahagian
seperti Kalimantan Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur bahkan
di Jakarta Raya tidak berlaku lagi ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946. Keadaan ini berlaku sampai dengan tahun 1950. Untuk
adanya unifikasi hukum, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia.
E. Dasar Berlakunya Aturan Hukum Pidana
Menurut CST Kansil42, dasar berlakunya aturan hukum pidana
ditinjau dari 1 sudut yaitu dari sudut negatif dan positif. Dari sudut
negatif dilihat berdasarkan waktu sedangkan dari sudut positif,
berdasarkan tempat.
1. Berdasarkan waktu
Berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu adalah
berdasarkan asas legalitas (legaliteit beginzel). Asas ini tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan
boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu. Di dalam
ayat (2) dinyatakan: jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan
itu dilakukan, maka kepada terdakwa dikenakan ketentuan yang
menguntungkan baginya.
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini mengharuskan:
a. Ketentuan hukum pidana harus tertulis (asas kodifikasi).
b. Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (asas retroaktif).
c. Tidak berlaku analogi dalam aturan hukum pidana.
42
Kansil, CST. 1977, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Jakarta, PN
Balai Pustaka. 72.
137
Menurut ketentuan tersebut, suatu perbuatan baru dapat dipidana
jika ada aturannya terlebih dahulu dari perbuatan yang dilakukan.
Aturan tersebut harus berupa undang-undang baik dalam arti formal
maupun dalam arti material.
Undang-undang hukum pidana tidak boleh berlaku surut artinya
suatu aturan hukum pidana tidak boleh diberlakukan terhadap
perbuatan yang telah dilakukan sebelum peraturan perundangundangan itu dibuat. Perkecualiannya disebut dalam ayat (2) Pasal 1
KUHP tersebut hanya terhadap perbuatan yang sebelumnya memang
telah merupakan perbuatan pidana sebelumnya. Hanya saja ancaman
pidana yang ada dalam undang-undang yang baru. Dalam hal yang
demikian inilah undang-undang yang lama diterapkan terhadap
terdakwa. Jika aturan yang baru tersebut ancaman pidananya lebih
ringan atau perbuatan pidana tersebut bukan merupakan perbuatan
pidana (tindak pidana) lagi maka ketentuan yang baru tersebut yang
diterapkan.
Asas tidak ada analogi dalam hukum pidana, artinya tidak boleh
mempersamakan antara perbuatan yang ada diluar aturan hukum
pidana dengan perbuatan yang ada dalam aturan hukum pidana.
Misalnya perbuatan mencaci atau mengupat merupakan perbuatan
jahat menurut Agama Islam dan diancam dosa bagi yang
melakukannya. Namun perbuatan ini tidak diatur dalam aturan hukum
pidana positif, oleh karena itu ia tidak boleh dipersamakan dengan
perbuatan menghina sebagaimana yang diatur dalam Pasal 310
KUHP.
Asas legalitas ini, berasal dari asas “nullum delictum, nulla
poena, sine praevia lege poenali” atau nulla sine lege = tiada
hukuman jika tidak ada undang-undang.
Nulla poena sine crimen
= tidak ada hukuman jika tidak ada
kejahatan.
138
Nullum crime sine poena legali = tidak ada kejahatan, jika tidak ada
hukuman dalam undang-undang.
Asas ini berasal dari Anselm von Feuervach 43dalam bukunya
Lehrbuch des peinliches Recht. Maksud von Feuerbach dengan asas
ini adalah untuk membatasi hasrat manusia untuk melakukan
kejahatan. Ia berpendapat bahwa ancaman hukuman yang ada dalam
undang-undang akan menahan manusia melakukan kejahatan dan
ancaman tersebut bersifat preventif.
Teorinya ini juga dinamakan dengan teori pencegahan umum
(leer van de generale preventie) atau teori paksaan atau tekanan
kejiwaan (psychologiscge zwang). Dinamakan dengan teori paksaan
atau tekanan kejiwaan, karena orang pada umumnya yang membaca
aturan hukum yang mengandung ancaman pidana tersebut akan
merasa takut untuk melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam
undang-undang pidana tersebut.
2. Berdasarkan Tempat
Satokhid Kartanegara, menyebutkan ada empat asas berlakunya
KUHP berdasarkan tempat ini.
1) Asas territorial atau asas wilayah
Menurut asas ini berlakunya undang-undang hukum pidana
berlakunya disandarkan kepada tempat atau territorial dimana
perbuatan tersebut dilakukan. Tempat tersebut terletak dalam wilayah
negara dimana undang-undang hukum pidana itu berlaku. Di dalam
KUHP asas ini termuat dalam Pasal 2 dan 3 KUHP.
Pasal 2 : Ketentuan dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi
tiap orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu
perbuatan yang boleh dihukum.
43
Anselm von Feuervach, Lehrbuch des peinliches Recht.
139
Pasal 3 :
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana di dalam kenderaan air atau
pesawat udara Indonesia.
Menurut ketentuan Pasal 2 dan 3 tersebut, ketentuan pidana
Indonesia tersebut diberlakukan baik terhadap orang Indonesia
maupun terhadap orang asing, yang melakukan tindak pidana dalam
wilayah Indonesia. Pasal 3, memperluas pengertian wilayah Indonesia,
yaitu ketentuan hukum pidana Indonesia juga berlaku terhadap orang
yang melakukan tindak pidana yang ada di atas kapal dan pesawat
udara Indonesia walaupun berada di luar wilayah Indonesia.
Ketentuan ini menganut prinsip yang diatur dalam Hukum
Internasional, yaitu prinsip atau pulau terapung (Floating Island).
2) Asas nasionalitas aktif atau asas personalitas
Asas ini menentukan bahwa berlakunya undang-undang hukum
pidana suatu negara didasarkan kepada kewarganegaraan atau
nasionalitas dari orang yang melaksanakan perbuatan pidana tersebut,
baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Asas ini tercantum dalam
Pasal 5, 6 dan Pasal 7 KUHP (lebih lanjut lihat pasal-pasal tersebut).
3) Asas Nasionalitas pasif atau asas perlindungan
Asas ini menentukan bahwa berlakunya undang-undang hukum
pidana sesuatu negara disandarkan kepada kepentingan hukum dari
negara yang bersangkutan. Yang menjadi dasar dari asas ini adalah
bahwa tiap-tiap negara yang berdaulat berhak untuk melindungi
kepentingan hukumnya, walaupun dilakukan oleh orang di luar negara
tersebut. Asas ini diatur dalam Pasal 4 sub 1e, 2e dan 3e, Pasal 7 dan
Pasal 8 KUHP, seperti makar mati terhadap kepala negara, pemalsuan
mata uang atau surat berharga Indonesia. Pasal 7 menentukan jika
pegawai Indonesia melakukan kejahatan terhadap kemerdekaan
seseorang, seperti memperjualbelikan budak. Pasal 8 tentang nakhoda
140
atau anak buah kapal yang melakukan kejahatan terhadap jiwa orang
di luar negeri.
4) Asas universalitas
Asas ini menentukan bahwa undang-undang hukum pidana dari suatu
negara dapat diberlakukan terhadap siapa saja yang melakukan
pelanggaran terhadap ketertiban hukum seluruh dunia. Dalam KUHP
asas ini tercantum dalam Pasal 4 sub 4e, salah satunya kejahatan
pembajakan di laut, walaupun kejahatan tersebut dilakukan di laut
bebas.
F. Perbuatan Pidana Atau Tindak Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang atau
diharuskan yang jika dilanggar diancam dengan hukuman.
Dalam bahasa Belanda terdapat istilah “strafbaar feit” dan
“delict”. Istilah strafbaar feit dan delict, diterjemahkan ke dalam
bahasa Belanda dengan berbagai arti oleh para ahli.
1. Perbuatan pidana oleh Prof. Mulyanto dalam pidato Dies Natalis
Universitas Gajah Mada VI tahun 1955 di Yogyakarta.
2. Peristiwa pidana oleh Mr. R. Tresna dan Dr. E. Utrecht, S.H.
3. Tindak pidana digunakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang yang
baru menggunakan istilah tindak pidana.
4. Pelanggaran pidana dipakai oleh Mr. M. H. Tirtaamijaya di dalam
buku, Pokok-pokok Hukum Pidana.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, oleh Mr. Karni: Ringkasan
Tentang Hukum Pidana.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam UU No.
12/Drt/1951, yang mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere
strafbepalingen.
141
Pada saat ini pembuat undang-undang pada umumnya memakai
istilah tindak pidana seperti yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ada dua unsur pokok yang harus dipenuhi oleh seorang yang
melakukan tindak pidana (perbuatan pidana) dan ia dipidana jika
memenuhi unsur:
a) Melawan hukum (wederechtelijkheid). Perbuatan yang dilakukan
itu melawan hukum atau bertentangan dengan hukum. Perbuatan
juga disebut dengan kelakuan. Perbuatan/kelakuan itu dapat
berupa perbuatan positif (melakukan perbuatan tertentu) misalnya
memukul, dan dapat juga tidak melakukan sesuatu, seperti tidak
memberi susu kepada bayi, yang mengakibatkan bayi tersebut
meninggal.
b) Adanya kesalahan dari sipembuat/pelaku (unsur kesalahan:
schuld). Seseorang melakukan perbuatan dan ia dipidana jika ia
mempunyai kesalahan. Tiada pidana tanpa kesadaran. Asas ini
disebut dengan asas geenstraf zonder schuld, atau asas
culpabilitas.
Kesalahan dalam arti luas disebut dengan schuld. Schuld ini dibagi
atas opzet (sengaja, kesengajaan) dan culpa (lalai, kelalaian,
kurang hati-hati). Kesalahan dalam arti sempit hanya culpa saja.
Misalnya yang disebut dalam Pasal 359 KUHP, karena salahnya
mengakibatkan matinya orang lain.
Dengan perkataan lain seorang dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana atas perbuatannya jika memenuhi unsur
melawan hukum dan unsur kesalahan.
G. Alasan Yang Menghapuskan Pidana (Strafuitsluitingsgronden)
Seorang yang melakukan tindak pidana akan tetapi ia tidak dipidana
karena ada alasan yang menghapuskan pidana. Di dalam KUHP,
142
alasan yang menghapuskan pidana diatur dalam Pasal-pasal 44, 48,
49, 50 dan Pasal 51 KUHP.
Pasal 44 menentukan bahwa orang yang melakukan tindak
pidana karena kurang sempurna atau sakit berubah akal tidak dapat
dipidana. Misalnya orang gila atau orang dungu (embisil).
Pasal 48 KUHP, mengatur tentang daya memaksa atau daya
paksa (overmacht). Pasal ini menentukan bahwa orang yang
melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak
dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Overmacht ini dibagi ke
dalam 3 bagian:
1. Overmacht yang absolut, dimana orang yang melakukan perbuatan
tersebut sama sekali tidak dapat memilih untuk tidak melakukan
perbuatan tersebut.
Misalnya seorang yang kuat melempar orang yang lemah ke
etalase toko orang lain yang mengakibatkan hancurnya etalase
tersebut.
2. Overmancht yang relatif, dimana orang yang dipaksa untuk
melakukan perbuatan pidana tersebut masih dapat memilih untuk
tidak melakukan perbuatan yang dipaksakan, akan tetapi akan
membahayakan fisik atau jiwanya.
Misalnya, seorang kasir yang ditodong dengan pistol, agar ia
menyerahkan uang dibawah kekuasaannya, kepada penodong.
Kasir tersebut masih dapat memilih untuk tidak menyerahkan uang
tersebut, akan tetapi akan membahayakannya. Jika ia menyerahkan
juga, kasir tersebut tidak boleh dihukum.
3. Keadaan darurat (noodoestand). Di sini orang melakukan suatu
perbuatan pidana oleh karena dipaksa oleh keadaan. Misalnya, dua
orang yang sama-sama karam di laut. Salah seorang menemukan
sebilah papan yang mampu mengapungkan dirinya denga papan
yang sama. Akan tetapi jika hal itu terjadi akibatnya kedua-duanya
143
akan tenggelam. Dalam hal demikian jika yang menemukan papan
tersebut memukul kawannya sehingga ia mati tenggelam, maka
yang memukul tersebut tidak dipidana.
Pasal 49 KUHP, mengatur tentang dua hal: Di dalam ayat (1),
ditentukan bahwa orang yang membela diri karena terpaksa, ia tidak
dipidana. Pembelaan diri karena terpaksa ini disebut dengan
noodweer. Sedangkan dalam ayat (2), ditentukan bahwa orang yang
membela diri yang melampaui batas pembelaan (noodweer excess)
tidak dipidana. Pembelaan diri yang melampaui batas pembelaan ini
disebut juga dengan pembelaan karena panas hati atau mata gelap.
Misalnya seorang polisi yang melihat isterinya sedang diperkosa
orang dan pada saat itu juga ia menembaknya dengan semua peluru
yang ada di dalam pistolnya. Sebenarnya dengan satu peluru saja di
pelaku perkosaan itu telah dapat dilumpuhkan.
Pasal 50 KUHP, menentukan bahwa orang yang menjalankan
peraturan undang-undang tidak dipidana. Misalnya seorang polisi
wajib menangkap orang yang tertangkap basah (tertangkap tangan)
melakukan kejahatan. Kewajibannya itu ditetapkan dalam undangundang. Jika polisi tersebut memukul si pelaku yang berakibat luka,
karena ia melawan terhadap penangkapan tersebut, maka polisi
tersebut tidak boleh dipidana.
Pasal 51 KUHP mengatur tentang menjalankan perintah jabatan.
Dalam ayat (1), menjalankan perintah yang sah, sedangkan dalam ayat
(2), menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi ia menggangap
sebagai perintah yang sah. Contoh yang terakhir ini, misalnya seorang
polisi menerima perintah secara tertulis untuk menangkap seseorang
yang diduga melakukan kejahatan. Dalam penangkapan itu polisi
tersebut telah menembak kaki si tersangka, karena ia melarikan diri,
meskipun telah diberikan tembakan peringatan. Kemudian ternyata
perintah tersebut tidak sah, karena bukan dikeluarkan oleh pejabat
144
yang sah. Dalam hal ini polisi yang bersangkutan tidak boleh
dihukum. Kesalahan ada pada orang yang mengeluarkan perintah
yang tidak sah.
H. Jenis-Jenis Delik (Tindak Pidana)
KUHP mempunyai sistematika sebagai berikut:
Buku Kesatu : Aturan Umum, Pasal 1 – 103
Buku Kedua : Kejahatan, Pasal 104 – 488
Buku Ketiga : Pelanggaran, Pasal 489 – 569
Dari sistematika KUHP ini terlihat bahwa tindak pidana dibagi
2 (dua) macam yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Pembahagian atas kejahatan ini didasarkan kepada
kualitasnya. Kejahatan disebut dengan delik hukum (rechtsdelicten),
yaitu perbuatan yang menurut sifatnya merupakan perbuatan jahat,
meksipun tidak ditetapkan oleh undang-undang sebagai kejahatan.
Pelanggaran adalah delik undang-undang (wet delicten) yaitu
perbuatan-perbuatan yang menjadi perbuatan yang dapat dihukum
(tindak pidana) jika telah ditetapkan oleh undang-undang.
Kejahatan yang disebut dalam Buku Kedua KUHP tersebut,
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dirinci lagi dalam berbagai
jenis delik sebagai berikut:
1. Delik dolus dan delik colpus.
Delik dolus adalah delik yang dilakukan dengan sengaja misalnya
pencurian (Pasal 362 KUHP). Delik colpus adalah delik yang
dilakukan dengan kelalaian, misalnya karena salahnya
mengakibatkan matinya orang (Pasal 359 KUHP).
2. Delik formal dan delik material.
Delik formal adalah delik yang selesai jika perbuatannya telah
dilakukan. Misalnya pencurian, tindak pidana telah selesai jika
telah melakukan perbuatan mengambil barang orang lain. Delik
145
3.
4.
5.
Delik
6.
material, adalah delik yang selesai apabila telah terjadinya akibat.
Misalnya pembunuhan. Delik ini selesai apabila telah terjadinya
akibat matinya orang lain (Pasal 338 KUHP).
Delik aduan dan delik bukan aduan.
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya
aduan dari orang yang berhak mengadu menurut yang ditentukan
undang-undang. Misalnya perzinahan, (Pasal 284 KUHP),
pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP), dan lain-lain.
Delik umum dan delik khusus
Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh semua orang
seperti pencurian, penggelapan, pembunuhan, penipuan dan lainlain.
Delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orangorang tertentu saja, seperti delik jabatan yang hanya dapat
dilakukan oleh pegawai negeri saja, delik yang dilakukan oleh
militer saja. Tetapi juga dimasukkan dalam pengertian delik
khusus yaitu delik yang diatur dalam undang-undang yang khusus
seperti delik subversi, delik ekonomi, delik narkotika, delik fiskal.
Delik commissie dan delik ommissie
commissie adalah delik dimana orang melakukan perbuatan yang
dilarang. Delik ommissie adalah delik dimana orang tidak
melakukan perbuatan yang diharuskan, misalnya tidak memberi
pertolongan kepada orang yang memerlukan pertolongan, ibu yang
tidak memberikan susu kepada bayinya yang mengakibatkan
anaknya meninggal dunia.
Delik commission per ommissionis commissa
Delik ini adalah dimana orang melakukan perbuatan yang dilarang
dengan tidak melakukan perbuatan yang diharuskan. Misalnya
seorang ibu yang membunuh bayinya dengan cara tidak memberi
asi.
146
Delik
7. Delik politik dan delik bukan politik
politik adalah delik yang berhubungan dengan keamanan negara,
misalnya delik subversi, makar mati terhadap presiden (Pasal 104
KUHP). Delik bukan politik adalah delik yang tidak berhubungan
dengan keamanan negara.
I. Jenis-Jenis Pidana
Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Dalam pasal
ini, jenis pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Denda
Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan pidana
tutupan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946. Pidana
tutupan ini merupakan pidana penjara, yang diperuntukkan bagi
orang-orang yang melakukan kejahatan yang mempunyai maksud dan
patut dihormati. Dahulu pidana ini dimaksudkan bagi orang-orang
yang melakukan kejahatan politik. Namun pidana tutupan menjadi
hanya dipergunakan satu kasus yaitu penculikan Perdana Menteri pada
tahun 1946.
Pidana tambahan adalah:
1) pencabutan hak-hak tertentu, misalnya pencabutan hak memilih,
hak menjadi tentara, pencabutan sim
2) perampasan barang-barang tertentu, seperti penyitaan barangbarang yang diperoleh atau digunakan untuk melakukan kegiatan,
misalnya perampasan barang-barang hasil curian.
147
3) Pengumuman putusan hakim, terpidana diwajibkan untuk
mengumumkan putusan hakim baik melalui media massa maupun
dengan cara menempatkan pengumuman di tempat-tempat umum.
Lebih lanjut dijelaskan tentang pidana pokok sebagai berikut:
Pidana mati
Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dilaksanakan dengan cara
digantung di tiang gantungan oleh seorang algojo. Akan tetapi
ketentuan Pasal 11 ini tibak berlaku lagi dengan adanya UU
No.2/PNS/1964, yang menentukan bahwa pidana mati dilaksanakan
dengan cara menembak sampai mati oleh satu regu tembak Brigade
Mobil di daerah wilayah hukum Pengadilan Negeri yang menjatuhkan
putusan pada tingkat pertama. Pidana mati tidak dijalankan terhadap
orang gila, kecuali telah sembuh dari gilanya. Terhadap perempuan
yang sedang hamil, setelah ia melahirkan. Pidana mati dilaksanakan
setelah ada fiat executive dari presiden.
Pidana penjara
Pidana penjara terdiri atas penjara seumur hidup dan penjara
sementara. Penjara sementara. Penjara sementara minimum umum
lamanya satu hari, tetapi tidak ada maksimum umum. Pidana penjara
setinggi-tingginya 15 tahun dan dapat mencapai 20 tahun jika ada
alasan yang memberatkan hukuman seperti penanggulangan kejahatan
(recidive), perbarengan (concursus, samenloop), kejahatan jabatan
(Pasal 12 KUHP).
Pidana kurungan
Pidana kurungan serendah-rendahnya satu hari (minimum
umum). Setinggi-tingginya satu tahun. Tetapi tidak ada maksimum
umum. Hukuman kurungan dapat melebihi satu tahun, jika ada alasan
yang memberatkan hukuman. Paling tinggi 1 tahun 4 bulan (Pasal 18
KUHP).
148
Di dalam Pasal 14a (1) KUHP ditentukan tentang adanya pidana
percobaan jika hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun
atau hukuman kurungan, tidak termasuk hukuman kurungan pengganti
denda. Hukuman percobaan adalah hukuman yang disebut di atas,
tetapi hukuman itu tidak dijalankan selama masa percobaan yang
disebutkan dalam putusan hakim. Misalnya hakim menjatuhkan
hukuman penjara selama 6 bulan dalam masa percobaan 1 tahun. Jika
terpidana tidak melakukan kejahatan apapun juga dalam masa 1 tahun
tersebut dan memenuhi syarat-syarat khusus lainnya, maka terpidana
tidak menjalani lagi pidana dalam lembaga pemasyarakatan. Akan
tetapi jika dalam masa 1 tahun tersebut terpidana melanggar syaratsyarat yang ditentukan dalam putusan hakim, maka terpidana harus
menjalani pidana yang telah dijatuhkan itu dan dituntut pula terhadap
kejahatan yang baru.
Ada beberapa perbedaan antara pidana penjara dengan pidana
kurungan.
a) Pidana penjara dapat dijalankan di seluruh wilayah negara
Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya boleh dijalankan di
daerah ia bertempat tinggal atau berdiam atau di mana putusan
dijatuhkan.
b) Orang yang dipidana penjara pekerjaannya lebih berat dari
terpidana kurungan.
c) Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole, hak untuk
memperbaiki diri di rumah penjara dengan biaya sendiri.
Pidana denda
Menurut Pasal 30 KUHP pidana denda minimum dua puluh
lima sen. Jika pidana denda tidak dibayar maka dapat diganti dengan
kurungan. Kurungan pengganti denda lamanya minimum satu hari dan
setinggi-tingginya 6 bulan. Dapat ditambah menjadi 8 bulan jika ada
pemberatan (lebih lanjut lihat Pasal 30 KUHP).
149
Pada saat sekarang ini beberapa undang-undang seperti
undang-undang tentang lingkungan hidup, undang-undang narkotika
dan lain-lain telah menentukan pidana denda yang sangat tinggi.
2. Pidana Tambahan
Pidana pencabutan hak-hak tertentu diatur mulai Pasal 35-38
KUHP. Hak yang dapat dicabut adalah hak untuk menjabat suatu
jabatan atau segala jabatan, hak memilih dan dipilih, hak menjadi wali
atau kurator. Tetapi hakim tidak boleh memecat seseorang jika
undang-undang menentukan pejabat lain yang berwenang untuk
melakukan pemecatan.
Pidana perampasan barang-barang tertentu, adalah barangbarang yang diperoleh dari kejahatan atau digunakan untuk melakukan
kejahatan. Perampasan ini ditentukan dalam Pasal 39 – 42 KUHP.
Pidana tambahan untuk mengumumkan putusan hakim ditentukan
dalam Pasal 43 KUHP. Cara mengumumkan putusan hakim tersebut
ditentukan oleh hakim menurut yang ditentukan dalam undangundang tertentu lainnya. Misalnya kepada terpidana diwajibkan untuk
mengumumkan putusan hakim tersebut di surat-surat kabar.
J. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana
Orang yang melakukan tindak pidana tidak sama kualitasnya
menurut hukum pidana. Pelaku tindak pidana ada beberapa kategori:
1. Menurut Pasal 55 KUHP dibedakan:
a) Pelaku (dader)
b) Pelaku bersama-sama (mededader)
c) Pelaku peserta (medepleger)
d) Pelaku penyuruh (doenpleger)
e) Pelaku pembujuk (uitlokker)
150
ad.a)
pelaku atau dader, jika ia melakukan sendiri tindak pidana
yang bersangkutan.
ad.b) pelaku bersama-sama, jika yang melakukan tindak pidana
tersebut lebih dari satu orang dan setiap orang memenuhi
semua unsur delik.
ad.c) pelaku peserta, jika pada tindak pidana tersebut ada yang
berstatus sebagai pleger, misalnya dalam tindak pidana
zina. Menurut Pasal 284 KUHP, salah seorang pelakunya
yang sudah kawin. Orang yang sudah kawin ini disebut
dengan pleger sedangkan yang belum kawin disebut
sebagai medepleger. Pleger dan medepleger sama-sama
dihukum.
ad.d) pelaku pembujuk (yang membujuk melakukan). Pembujuk
menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana
dengan cara memberikan sesuatu atau dengan perjanjian
tertentu. Orang yang dibujuk adalah orang dapat
dipertanggung jawabkan, dan orang membujuk hanya
dipertanggung jawabkan sepanjang hal yang dibujuknya.
Jika orang yang dibujuk melakukan perbuatan melebihi
dari yang dibujuk, maka kelebihan tersebut menjadi
tanggung jawabnya sendiri.
Baik pelaku, pelaku bersama-sama, pelaku peserta, yang
menyuruh melakukan dan pembujuk, dihukum sebagai orang yang
melakukan.
2. Percobaan (poging)
Pelaku percobaan melakukan tindak pidana disebut dengan
poger. Percobaan ini diatur dalam Pasal 53 KUHP. Percobaan itu ada
jika yang melakukan perbuatan pidana tidak selesai karena diluar
kehendaknya. Misalnya A hendak membunuh B dengan cara
151
menembak. Akan tetapi tembakannya meleset. Hukuman yang
dijatuhkan kepada poger adalah maksimum pidana pokok dikurangi
sepertiganya. Jika diancam dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun. Percobaan
melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54 KUHP).
3. Pembantu melakukan tindak pidana (medeplichtige)
Pembantu melakukan tindak pidana, diatur dalam Pasal 56
KUHP. Seseorang disebut sebagai membantu melakukan tindak
pidana jika ia sengaja membantu atau sengaja memberi kesempatan,
daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pidana yang
dijatuhkan selama-lamanya hukuman maksimum dalam pasal tersebut
dikurang sepertiganya (Pasal 57 KUHP).
RANGKUMAN
Hukum pidana dapat dibagi:
1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale)
2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
152
Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan: “Tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan
pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari perbuatan
itu”. Ketentuan ayat ini memuat asas legalitas yang tercakup
dalam rumusan: “Nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege punali” yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman
pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum pidana.
2. Jelaskan perbedaan antara tujuan dan fungsi hukum pidana.
3. Jelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam asas legalitas.
4. Jelaskan perbedaan antara asas nasionalitas aktif dengan asas
nasionalitas pasif.
GLOSSARIUM
1. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali yang
artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undangundang hukum pidana terlebih dahulu.
2. Strafrecht berarti Pidana Recht berati hukum. Straf sendiri
secara harfiah berarti hukuman.
3. Wettelijke strafbepaling (aturan pidana dalam perundangan).
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kansil, CST 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
Jakarta, PN Balai Pustaka.
153
Kartanegara, Satochit, 1955. Hukum Pidana I, Balai Lektur
Mahasiswa.
Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung.
Moeljatno, 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara,
Jakarta.
Soesilo, 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Politea, Bogor.
Wirjono Prodjodikoro.2003. Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.
154
BAB VI
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapakan mahasiswa
mampu memahami: pengertian dan sifat hukum acara pidana, ilmu
bantu hukum acara pidana, sejarah singkat hukum acara pidana,
beberapa pembaharuan dalam hukum acara pidana, asas-asas hukum
acara pidana, alasan yang menghapuskan pidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum acara pidana
2. Mengungkapkan pengertian hukum acara pidana
3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum acara pidana
4. Menjelaskan arti asas dalam hukum acara pidana
5. Menjelaskan alasan yang menghapuskan pidana
A. Pengertian Dan Sifat Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Formeel
Straftrecht atau Strafprosesrecht.
Wiryono Projodikoro44, memberi pengertian tentang hukum
acara pidana sebagai berikut:
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum
pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa,
yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
44
Wirjono Projodikoro, 1989, Hukum Acara Pidana, hlm. PT Refika Aditama,
Bandung, hlm. 3.
155
Secara umum orang memberi pengertian kepada hukum acara
pidana sebagai peraturan hukum yang menentukan cara bagaimana
mempertahankan ketentuan hukum pidana material. Akan tetapi Van
Bemmelen tidak sependapat bahwa hukum acara pidana semata-mata
sebagai pelaksana dari ketentuan hukum pidana material, karena
aturan hukum acara pidana juga menghasilkan norma-norma sendiri,
seperti setiap orang wajib menjadi saksi, setiap orang tidak boleh
meninggalkan tempat kejadian perkara, sampai dengan dibolehkan
meninggalkan tempat tersebut oleh yang berwenang.
Ada definisi yang diberikan oleh sarjana Belanda lainnya
sebagai berikut:
1. J. de Bosch Kemper:
Hukum Acara Pidana memuat sejumlah asas-asas dan peraturan
perundangan yang mengatur wewenang negara bilamana undangundang hukum pidana dilanggar maka negara melaksanakan
haknya.
2. D. Simons:
Hukum Acara Pidana mengatur bagaimanakah negara dengan alatalat perlengkapannya, mempergunakan wewenangnya untuk
memidana.
Van Bemelen mengganggap definisi di atas:
a. kurang tepat karena perumusan kedua sarjana tersebut terlalu
menitik beratkan kepada cara pelaksanaan wewenang alat
perlengkapan negara untuk menjatuhkan pidana, dan terlalu
menitik beratkan kepada suatu pelanggaran undang-undang.
Hakim tidak saja berwenang memidana, tetapi juga berwenang
untuk membebaskan terdakwa jika ia terbukti tidak bersalah.
Hakim dalam mengadili adalah untuk mencari kebenaran yang
material, kebenaran yang sesungguhnya (materieel waarheid).
Hukum Acara Pidana akan mulai berjalan jika ada dugaan
156
telah terjadinya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana, polisi telah melakukan penyelidikannya. Ada
kemungkinan bahwa setelah penyelidikan dilakukan ternyata
bukan sebagai tindak pidana. Dengan demikian ketentuan
Hukum Pidana tidak akan dilaksanakan.
b. Kurang lengkap, karena dalam kedua definisi tersebut tidak
disinggung-singgung tentang tugas pokok hukum acara pidana
yaitu mencari kebenaran yang selengkap-lengkapnya.
Sifat Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana bersifat Hukum Publik, karena aturan
hukum ini mengatur tentang kepentingan umum, kepentingan
antara penguasa dengan yang dikuasai dan dipertahankan oleh
negara.
B. Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana
Ada beberapa ilmu pengetahuan yang lain yang membantu Hukum
Acara Pidana.
1. Logika
2. Psychologie
3. Kriminalistik
4. Psychiartrie
5. Kriminologi.
Ad.a. Logika
Logika berarti berfikir dengan akal yang sehat berdasarkan atas
hubungan beberapa fakta. Atas dasar logika ini maka hukum acara
pidana dapat dibagi dalam fase orientasi, hopotesis dan verifikasi.
Orientasi, diperlukan dimana para petugas penyidikan
mengumpulkan bahan-bahan keterangan dan meninjau keadaan di
tempat kejadian, apakah ada tanda-tanda yang dapat digunakan
sebagai bahan bukti.
157
Setelah fase orientasi selesai, maka disusunlah fikiran secara
hipotesis (patokan duga) untuk menentukan tindak pidana apakah
yang terjadi, pembunuhan, atau penganiayaan atau pencurian dengan
kekerasan yang menyebabkan matinya orang.
Fase yang ketiga adalah mengadakan verifikasi. Fase ini
merupakan pemeriksaan pada tingkat pemeriksaan di sidang
pengadilan. Dalam fase ini segala bahan, keterangan dan bukti-bukti
lainnya dicocokkaan, dibanding-bandingkan satu sama lain untuk
menentukan tindak pidana apakah yang sebenarnya telah terjadi dan
apakah terdakwa bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Ad.b. Psychologie
Di dalam pemeriksaan pendahuluan, terutama dalam
mengadakan interogasi dengan tersangka, penyidik harus menguasai
ilmu psikologi untuk memudahkan memperoleh keterangan. Ada
kalanya seseorang ada yang suka dipuji, ada yang terlalu takut. Jika
hal demikian diketahui oleh penyidik maka antara tersangka dengan
penyidik dapat terjalin hubungan kejiwaan, sehingga menempatkan
tersangka sebagai kawan bicara dari hati ke hati. Dengan demikian
keterangan yang diperlukan akan mudah didapat tanpa memerlukan
tindakan-tindakan yang taidak wajar. Demikian juga dengan
pemeriksaan yang dilakukan di persidangan.
Ad. c. Kriminalistik
Kriminalistik ini sebenarnya bukanlah merupakan ilmu yang berdiri
sendiri, akan tetapi merupakan gabungan yang beberapa ilmu
pengetahuan yang lain, yang berhubungan dengan teknik penyidikan
perkara pidana. Ilmu pengetahuan lain itu antara lain:
1) Ilmu tentang tulisan (schriftkunde)
2) Ilmu tentang racun (toxicologie)
3) Ilmu pengetahuan tentang sidik jari (dactyloscopie)
158
4) Ilmu pengetahuan tentang luka
5) Ilmu kimia, dll.
Kriminalistik ini dirumuskan sebagai pengumpulan dan
pengolahan data secara sistematis yang berhubungan dengan
penyidikan delik-delik (rumusan dari Hoge Raad).
Ad. d. Psychiatrie
Psikhiatrie ini merupakan ilmu yang mempelajari jiwa yang tidak
normal. Ilmu ini diperlukan untuk menentukan apakah seorang
melakukan perbuatan itu dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak. Jika
ternyata tidak sehat jiwanya maka ia tidak dapat dipidana. Misalnya
orang yang menderita penyakit kleptomanie yaitu orang yang suka
mengambil barang orang lain yang sejenis. Akan tetapi barang
tersebut tidak digunakan untuk keperluan ia sendiri, tetapi diberikan
kepada orang lain. Jika ternyata hal yang demikian maka terdakwa
tidak dapat dipidana karena pencurian.
Ad. e. Krimiologi
Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab
terjadinya kejahatan dan cara pemberatannya. Seseorang yang
melakukan tindak pidana karena sebab-sebab tertentu, misalnya
mencuri karena lapar dengan mencuri karena ingin memiliki yang
lebih banyak akan berbeda hukumannya.
C. Sejarah Singkat Hukum Acara Pidana
Mulai tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur
Jenderal Belanda tanggal 3 Desember 1847, diberlakukan Hukum
Acara Pidana di Indonesia, untuk orang Bumiputera yang
dipersamakan, diperlukan suatu Kitab Undang-Undang yang disebut
dengan Inlands Reglement (I.R), bagi orang Eropa hukum acara
159
pidana diperlakukan Kitab Undang-Undang tersendiri yaitu Reglement
opde Strafvordering.
Inlands Reglement ini kemudian diadakan perubahan karena
sukar diterapkan di Indonesia, Inlands Reglement dirubah menjadi Het
Herziene Inlands Reglement (Reglement Indonesia yang dibaharui
(HIR), Stbl. 1941 No. 44. Meskipun telah diadakan perubahan, namun
di kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Malang, dll, masih tetap berlaku IR dan HIR secara berdampingan.
Pada
zaman
Jepang
masih
tetap
berlaku
HIR,
Landgerechtsreglement dan Reglement voor dengan Buitengewesten
(RBg) sebagai Hukum Acara Pidana. Pada masa Indonesia merdeka
tetap berlaku ketentuan-ketentuan tersebut, berdasarkan Pasal II
Aturan Peradilan UUD 1945. Kemudian pada masa berlakunya UUDS
1950, melalui Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951, diadakan
keseragaman terhadap badan-badan peradilan dan Hukum Acara
Pidana yang berlaku. Sebelum ada Undang-Undang Nomor
1/Drt/1951 tersebut, terjadi ketidak seragaman baik tentang badanbadan peradilan maupun Hukum Acara Pidana yang berlaku. Untuk
pengadilan tingkat pertama, ada yang menamakan Pengadilan Negeri,
ada yang menyebutnya dengan Raad van Justitie, Landraad, dan ada
yang menamakan dengan Pengadilan Negeri. Untuk pengadilan
tingkat banding ada yang menamakan dengan Pengadilan Tinggi, ada
yang menamakan dengan Apel Raad atau Hoogerechthof. Sedangkan
untuk hukum acaranya ada yang menggunakan HIR atau
Landgerechtsreglement atau menggunakan Rbg.
Dengan adanya undang-undang tersebut maka untuk badan
pengadilan tingkat pertama semua dinamakan dengan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk pengadilan banding. Hukum
acaranya digunakan HIR sebagai pedoman untuk seluruh Indonesia.
160
Setelah melalui proses yang panjang, maka pada tanggal 31
Desember 1981, dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang hukum acara pidana, HIR, dicabut dan diberlakukan undangundang tersebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Nasional.
Dalam konsideran menimbang, dari undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa HIR dicabut karena di dalam HIR tidak memberi
perlindungan hak asasi yang cukup terhadap warga negara dan warga
negara wajib mengetahui hak dan kewajibannya serta alat penegak
hukum mengetahui tentang batas kewajiban dan wewenangnya.
D. Beberapa Pembaharuan di dalam KUHAP
KUHAP sebagai hukum nasional telah diusahakan sedemikian rupa
agar hukum acara pidana tersebut cukup menjamin perlindungan hak
asasi manusia dan kepastian hukum dengan membuat ketentuanketentuan yang lebih rinci baik mengenai hak-hak tersangka/terdakwa
dan pelaksanaan upaya paksa.
Dalam rangka perlindungan hak asasi tersebut telah diadakan
lembaga hukum yang baru:
1. Penyelidikan
2. Hak-hak tersangka dan terdakwa
3. Praperadilan
4. Ganti kerugian dan rehabilitasi
5. Pengawasan dan pengamanan pelaksanaan putusan pengadilan.
Ad. 1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah bahagian dari penyidikan dalam perkara pidana.
Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari cara menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 5 KUHAP).
161
Penyelidikan ini merupakan filter, untuk menentukan apakah
suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau tidak. Jika
merupakan tindak pidana maka akan diproses sebagai perkara pidana.
Jika tidak merupakan tindak pidana, tetapi merupakan peristiwa
perdata maka peristiwa tersebut tidak boleh diproses sebagai perkara
pidana.
Pengalaman pada masa berlakunya HIR, oleh karena tidak ada
ketentuan yang konkrit sedemikian rupa maka banyak terjadi perkara
perdata yang diproses sebagai perkara pidana. Terhadap tersangka
dikenakan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan, yang sangat merugikan hak asasi
tersangka. Misalnya orang yang berhutang, karena hutangnya tidak
dapat dibayar menurut yang diperjanjikan, maka yang berpiutang
melaporkan perkara tersebut kepada polisi dan yang berhutang
diproses dalam perkara pidana. Demikian pula dengan sewa-menyewa
rumah, yang semuanya itu seharusnya diselesaikan melalui proses
perdata.
Ad. 2. Hak-hak tersangka dan terdakwa
Dalam KUHAP telah dibuat satu bab khusus yang mencantumkan
tentang hak-hak tersangaka dan terdakwa yaitu pada Bab VI: Pasal
50 – 68 KUHAP. Di dalam pasal-pasal ini antara lain diatur tentang:
a) hak untuk segera mendapat pemeriksaan
b) hak untuk diberitahukan kesalahannya
c) hak untuk didampingi penasehat hukumnya
d) hak untuk memperoleh juru bahasa
e) hak untuk segera perkaranya diajukan ke pengadilan
f) hak untuk mendapat putusan hakim seadil-adilnya
g) hak untuk mendapat kunjungan keluarga
h) hak untuk mendapat perawatan kesehatan, dll.
162
Ad. 3. Praperadilan
Praperadilan merupakan wewenang dari pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutuskan permintaan tentang:
a) sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan
b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan
c) ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 1 butir 10, Pasal 77 – 83
KUHAP).
Untuk melakukan penangkapan dan penahanan KUHAP telah
menentukan syarat-syarat yang ketat, sehingga penangkapan dan
penahanan tidak dapat dilakukan jika tidak memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan (Pasal 16 – 19, Pasal 20 – 31 KUHAP). Jika syaratsyarat penangkapan atau penahanan tersebut tidak dipenuhi maka
tersangka atau keluarganya atau kuasanya dapat mengajukan kepada
pengadilan negeri untuk menetapkan bahwa penangkapan atau
penahanan itu tidak sah dan sekaligus meminta diberikan ganti
kerugian material yang telah dideritanya sebagai akibat dari
penangkapan atau penadahan yang tidak tersebut.
Ad. 4. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Di dalam HIR, tidak ada ketentuan bahwa terhadap orang-orang yang
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili, ternyata tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau keliru mengenai orangnya atau
keliru hukum yang diterapkan dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian dan rehabilitasi. KUHAP mengaturnya dalam Pasal 95 – 97.
Semasa berlakunya HIR, orang-orang yang salah tangkap dan
salah tahan telah sekian lama dan ternyata kemudian pengadilan
membebaskannya, maka yang bersangkutan tidak dapat berbuat apaapa. Tidak ada upaya hukum yang dapat digunakan untuk
mendapatkan hak ganti kerugian dan untuk merehabiliter nama
baiknya. Demikian juga pada tingkat pemeriksaan pendahuluan.
163
Dengan adanya ketentuan dalam KUHAP ini maka hak-hak tersangka
atau terdakwa telah terlindungi.
Ad. 5. Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan
Pengadilan
Suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dilaksanakan oleh Jaksa. Untuk memastikan apakah
putusan tersebut telah dilaksanakan atau tidak maka dalam KUHAP
ditentukan tentang pengawasan dan pengamatan terhadap putusan
pengadilan tersebut di dalam Pasal 270 – 276.
E. Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana
Ada berbagai asas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana. Asasasas tersebut ada yang berasal dari:
1. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970) sejak tanggal 15 Januari 2004 telah diganti
dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
2. Asas-asas umum hukum.
Ad. 1. Yang berasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang No. 4 tahun 2004.
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 6 Tahun 1981
disebutkan ada 10 asas yang berasal dari Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang dijabarkan ke dalam KUHAP,
diantaranya:
a) Asas kedudukan yang sama dalam hukum (equality before the
law)
Pasal 5 ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang.
Atas dasar asas ini maka di dalam KUHAP tidak ada ketentuan
yang memperbedakan antara orang kaya dan miskin antara pejabat
164
dengan bukan pejabat. Setiap orang yang diduga melakukan tindak
pidana akan diproses dengan prosedur yang sama.
b) Asas tertulis pelaksanaan upaya jaksa.
Pasal 7 : Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas
perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penjabaran dari asas ini terdapat dalam Pasal 18 KUHAP tentang
penangkapan, Pasal 21 ayat (1) tentang penahanan, Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (2) tentang penggeledahan, Pasal 38 ayat (1) tentang
penyitaan dan Pasal 43 tentang penyitaan surat.
c) Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Pasal 8 : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Dalam KUHAP asas ini dijabarkan antara lain ke dalam Pasal 117
ayat (1) keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapun atau dalam bentuk apapun. Pasal 153
ayat (2) sub b, hakim wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal
atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi
memberi jawaban secara tidak bebas.
d) Asas peradilan cepat dan biaya ringan
Pasal 4 menentukan: Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan biaya ringan.
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa peradilan
dilaksanakan dengan cepat, tepat, adil dan biaya ringan, acaranya
tidak berbelit-belit yang menyebabkan prose sampai bertahun-
165
tahun, bahkan perlu dilanjutkan oleh ahli warisnya (penjelasan UU
No. 14 Tahun 1970). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004 dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk
memenuhi harapan dari pencari keadilan; sederhana adalah
pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan secara efisien
dan efektif, biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dipikul
oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan
penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dan mencari
kebenaran dan keadilan. Di dalam KUHAP sendiri asas ini
dijabarkan dalam bentuk jenis acara pemeriksaan. Ada acara
pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara
pemeriksaan cepat.
e) Asas peradilan terbuka untuk umum (public hearing)
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 17, Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 Pasal 19:
(1) Sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
apabila undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhi ketetnuan dalam ayat (1) mengakibatkan
batalnya putusan menurut hukum
Dalam KUHAP asas ini dijabatkan pada Pasal 153 ayat (3) dan
dalam Pasal 195.
f) Asas pembelaan diri (right of self defence)
Pasal 35 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum (UU No. 14 Tahun 1970
Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004).
Pasal 36 : Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat
dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak
menghubungi dan meminta penasihat hukum (UU No.
14 Tahun 1970 Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2004).
166
Di dalam KUHAP asas ini dijabarkan ke dalam Pasal 54, 55, 56
dan 57.
Ad. 2. Asas-asas umum hukum
Asas-asas umum hukum ini, adalah asas-asas yang tidak berasal dari
satu aturan hukum tertentu. Tetapi merupakan suatu pemikiran awal
(dasar pemikiran) untuk penyusunan aturan-aturan hukum yang
konkrit.
a. Asas opportunitas dan asas legalitas
Asas opportunitas ini adalah asas dimana penuntut umum wajib tidak
menuntut suatu perkara pidana yang mempunyai bukti yang cukup
demi kepentingan umum.
Menurut Wiryono Projodikoro45, ada orang yang berpendapat
bahwa asas ini berasal dari Pasal 37 RO yang berisi bahwa pegawai
penuntut umum wajib melakukan sesuatu berhubung dengan adanya
laporan tentang adanya suatu peristiwa tentang tindak pidana. Akan
tetapi pendapat tersebut menurut Wiryono Projodikoro tidak cepat,
karena menurut pasal itu hanya dapat ditafsirkan bahwa penuntut
umum wajib mengusut suatu perkara yang sedang terjadi.
Dalam Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang lama (UU No.
15 Tahun 1961 prinsip ini tercantum dalam Pasal 12 yang menentukan
bahwa Jaksa Agung dapat mengenyampingkan suatu perkara demi
kepentingan umum. Artinya perkara tersebut tidak diajukan ke
pengadilan. Dalam bahasa Belanda disebut dengan deponeeren =
deponir (Indo). Istilah sehari-hari perkara tersebut didep. Di dalam
Undang-Undang Kejaksaan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1991, prinsip ini dimuat dalam Pasal 32 sub c. Jaksa Agung
mempunyai wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan
umum.
45
Ibid
167
Lawan dari asas opportunitas ini adalah asas legalitas, yaitu
penuntut umum wajib menuntut setiap perkara yang cukup bukti ke
pengadilan. Asas ini tidak dianut di Indonesia.
b. Asas larangan menghakimi sendiri (Verbod van eigen richting)
Asas ini adalah asas yang paling pokok dalam pembentukan hukum
acara pidabna. Dari asas ini timbul pemikiran agar ada aturan hukum
yang mengatur prosedur untuk menyelesaikan sesuatu perkara baik
pidana maupun perdata. Ada aturan hukum material saja tidak akan
dapat dijalankan jika tidak ada aturan tentang prosedur menjalankan
aturan hukum material. Tindakan menghakimi sendiri akan dapat
menimbulkan tindak pidana baik berupa penganiayaan, pembunuhan,
merampas kemerdekaan orang lain dan sebagainya.
Di dalam KUHAP larangan menghakimi sendiri ini dapat
dilihat dalam Pasal 108 ayat (1) (2) (3).
c. Asas inquistoir dan accusatoir
Prinsip inquisitoir dan accosatoir ini berhubungan dengan sistem
pemeriksaan.
Wiryono Projodikoro46 menulis tentang prinsip ini sebagai
berikut. Di dunia ilmu pengetahuan hukum ada dua sistem yang dapat
dianut, sistem inquisitoir dan accusatoir. Inquisitoir (arta kata:
pemeriksaan) menganggap tersangka sebagai barang, suatu obyek
yang harus diperiksa wujudnya berhubungan dengan suatu
pendakwaan. Sedang sistem accusatoir (arti kata: menuduh)
menganggap seorang tersangka atau terdakwa sebagai subjek
berhadap-hadapan dengan pihak mendakwa yaitu kepolisian dan
kejaksaan yang mempunyai hak-hak yang sama nilainya, dan hakim
berada di atas kedua pihak itu untuk menyelesaikan perkara pidana
menurut hukum pidana yang berlaku.
46
Ibid
168
Pada masa berlakunya HIR, tersangka pada tingkat
pemeriksaan pendahuluan mempunyai hak untuk didampingi oleh
penasehat hukum, tidak ada hak untuk diberitahukan tentang apa yang
dipersangka kepadanya, tidak diketahui dengan pasti di mana ia
diperiksa, penangkapan sangat mudah dilakukan. Pada tingkat
pemeriksaan pendahuluan ini diperlakukan sistem pemeriksaan
inquisitoir.
Sistem accusatoir, diperlakukan di depan sidang di mana
kepada terdakwa telah diberikan hak untuk didampingi oleh penasehat
hukum. Ia telah dapat melakukan pembelaan diri baik dengan
menyanggah dakwaan atau mengajukan saksi-saksi yang
meringankannya. Saksi yang meringankan terdakwa disebut dengan
saksi a de charge yang memberatkan disebut dengan saksi a charge.
Bagaimana dengan berlakunya KUHAP. Tentang hal ini ada
dua pendapat. Pendapat yang pertama menyatakan yang digunakan
pada pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) adalah sistem inquisitoir
yang diperlunak sedangkan pendapat yang kedua menyatakan
digunakan sistem accusatoir yang terbatas. Dasar hukum yang
digunakan adalah sama yaitu kepada tersangka diberihak untuk
didampingi oleh penasehat hukum pada kepada tersangka diberi hak
untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pmeriksaan
pendahuluan, seperti yang diatur dalam Pasal 54 KUHAP.
KUHAP menentukan ada 5 tahap penyelesaian perkara pidana,
yaitu:
1. Tahap penyidikan
2. Tahap penuntutan
3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan
4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan
5. Tahap pengawasan dan
169
Ad. 1. Tahap penyidikan
Pada tahap penyidikan ini ada dua tahap pemeriksaan perkara pidana,
yaitu:
a. penyelidikan
b. penyidikan
Tahap penyelidikan merupakan bahagian dari penyidikan.
Penyelidikan dilakukan oleh penyelidik yaitu pejabat Polisi RI sejak
dari Baradha sampai dengan Jenderal Polisi (Pasal 4 KUHAP).
Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik. Penyidik terdiri atas:
penyidik POLRI dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu (PPNS)
(Pasal 6 KUHAP). Pengertian penyidik dan penyidikan, lihat Pasal 1
butir 1 dan 2 KUHAP.
Ad. 2 Tahap penuntutan
Tahap penuntutan ini dibagi dua:
a. prapenuntutan
b. penuntutan
Prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
menyempurnakan berkas perkara penyidikan yang belum lengkap
(Pasal 110 dan 138 KUHAP). Tidak semua berkas perkara penyidikan
dilakukan prapenuntutan, hanya yang tidak lengkap saja dilakukan
tindak prapenuntutan oleh penuntut umum (lihat pengertian Jaksa dan
Penuntut Umum dalam Pasal 1 butir 6 sub a dan b).
Penuntutan (vervolging) adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana yang cukup bukti ke pengadilan yang
berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh
hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Pengertian ini
penting, karena dengan tindakan penuntutan menghentikan jalannya
daluarsa penuntutan (Pasal 80 KUHP).
170
Ad. 3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan
Setelah perkara pidana dilimpahkan oleh penuntut umum ke
pengadilan maka ketua pengadilan mempertimbangkan apakah ia
berwenang mengadili perkara tersebut. Jika berwenang ia menunjuk
hakim yang mengadili perkara tersebut (Pasal 152 KUHAP).
a. Acara Pemeriksaan
Hakim mengadili perkara tersebut sesuai dengan acara pemeriksaan
perkara tersebut.
(a) Perkara biasa diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa (Pasal
152 – 202 KUHAP).
(b) Perkara singkat, diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat
(Pasal 203 KUHAP)
(c) Perkara cepat: 1. perkara ringan, diperiksa dengan acara
pemeriksaan perkara ringan (Pasal 205 – 210
KUHAP).
2. perkara pelanggaran lalu lintas jalan tertentu,
diperiksa
dengan
acara
pemeriksaan
pelanggaran lalu lintas jalan tertentu (Pasal
211 – 216 KUHAP)
b. Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian adalah alatalat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
(a) keterangan saksi
(b) keterangan ahli
(c) surat
(d) petunjuk
(e) keterangan terdakwa (ayat (1) Pasal 184)
Dalam ayat disebutkan hal-hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan.
171
c. Sistem pembuktian
Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem
pembuktian negatief wettelijk, yaitu hakim hanya dapat menghukum
terdakwa jika sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah, hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini tercantum dalam
Pasal 183 KUHAP.
d. Isi Putusan Hakim Pidana
Ada 3 macam isi putusan hakim pidana:
(a) Putusan bebas (vrijspraak), yaitu dakwaan terhadap terdakwa
tidak terbukti.
(b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging), yaitu dakwaan penuntut umum terbukti tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Misalnya perbuatan tersebut perbuatan hukum perdata atau pada
terdakwa terdapat alasan yang menghapuskan pidana (Pasal 191
(2) KUHAP).
(c) Penjatuhan pidana (veroordeling), dakwaan penuntut umum
terbukti. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana yang didakwakan (193 KUHAP).
e. Upaya Hukum (rechts middelen)
Terhadap putusan hakim dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum
adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali (Pasal 1 butir 12 KUHAP).
Upaya hukum ada 2 macam:
1. Upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dari kasasi.
172
2. Upaya hukum luar biasa adalah:
1. peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
2. kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung.
Ad. 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
yaitu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi dengan upaya
hukum biasa, dilaksanakan oleh Jaksa. Hanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau pasti (institusi kracht van
gewijsde) yang dapat dilaksanakan. Sedangkan putusan yang masih
diajukan perlawanan, banding atau kasasi, tidak boleh dilaksanakan
(dieksekusi).
Ad. 5. Tahap pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan
pengadilan, telah dibahas pada halaman sebelumnya.
Karena dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu bertentangan satu sama
lain;
a. karena putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau kekeliruan yang nyata.
Menurut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, putusan dapat
dimintakan peninjauan kembali apabila suatu putusan terhadap
perbuatan pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti
dengan pelaksanaan hukuman.
Tata cara peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP.
Dalam peninjauan kembali putusan, Mahkamah Agung dapat
merumuskan:
1. menolak permohonan peninjauan kembali bila alasan tidak
dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
173
2. bila Mahkamah Agung membenarkan alasan permohonan, putusan
Mahkamah Agung dapat berupa:
a. putusan bebas,
b. putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
c. putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum, atau
d. putusan yang menerapkan pidana yang lebih ringan.
RANGKUMAN
Secara umum orang memberi pengertian kepada hukum acara pidana
sebagai peraturan hukum yang menentukan cara bagaimana
mempertahankan ketentuan hukum pidana material. Akan tetapi Van
Bemmelen tidak sependapat bahwa hukum acara pidana semata-mata
sebagai pelaksana dari ketentuan hukum pidana material, karena
aturan hukum acara pidana juga menghasilkan norma-norma sendiri,
seperti setiap orang wajib menjadi saksi, setiap orang tidak boleh
meninggalkan tempat kejadian perkara, sampai dengan dibolehkan
meninggalkan tempat tersebut oleh yang berwenang.
Ada 3 macam isi putusan hakim pidana:
1. Putusan bebas (vrijspraak), yaitu dakwaan terhadap terdakwa
tidak terbukti.
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging), yaitu dakwaan penuntut umum terbukti tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Misalnya perbuatan tersebut perbuatan hukum perdata atau pada
terdakwa terdapat alasan yang menghapuskan pidana (Pasal 191
(2) KUHAP).
3. Penjatuhan pidana (veroordeling), dakwaan penuntut umum
terbukti. TErdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana yang didakwakan (193 KUHAP).
4. Upaya Hukum (rechts middelen)
174
Terhadap putusan hakim dapat diajukan upaya hukum. Upaya
hukum adalah: hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali (Pasal 1 butir 12 KUHAP).
Upaya hukum ada 2 macam:
1. Upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dari kasasi.
2. Upaya hukum luar biasa adalah:
a. peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
b. kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana.
2. Jelaskan beberapa pembaharuan yang terdapat dalam
hukum acara pidana
3. Jelaskan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara
pidana.
4. Jelaskan alasan-alasan yang menghapuskan pidana.
GLOSSARIUM
Negatief wettelijk, yaitu hakim hanya dapat menghukum terdakwa jika
sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh
keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183
KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA
Wirjono projodikoro, 1989, Hukum Acara Pidana, hlm. PT Refika Aditama,
Bandung.
175
BAB VII
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami mengenai: Istilah dan pengertian hukum
perdata internasional, sejarah hukum perdata internasional,
sumber-sumber hukum perdata internasional, dan titik pertalian
dalam hukum perdata internasional.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan istilah dan pengertian hukum perdata
internasional.
2. Menjelaskan sejarah hukum perdata internasional.
3. Menjelaskan sumber-sumber hukum perdata internasional.
4. Menjelaskan titik pertalian dalam hukum perdata
internasional.
A. Istilah Dan Pengertian Hukum Perdata Internasional
Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang digunakan di
Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari istilah:
1. Private International Law
2. International Private Law
3. Internationales Privatrecht
4. Droit International Prive
5. Diritto Internazionale Privato
176
Pembahasan istilah dan pengertian Hukum Perdata
Internasional ini erat kaitannya dengan istilah dengan
pengertian Hukum Internasional (publik) karena selain samasama menyebut internasional, keduanya juga sering kali
dipertentangkan, yakni antara hukum publik dan hukum
perdata.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata
Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum
yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas negara.
Dengan kata lain, Hukum Perdata Internasional adalah hukum
yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku hukum
yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional)
yang berbeda.47
Adapun Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan
kaidah dan asas hukum
yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintas batas negara (hubungan internasional)
yang bukan bersifat perdata.48
Dengan demikian, antara Hukum Perdata Internasional
dan Hukum Internasional terdapat persamaan, yaitu sama-sama
mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara
(internasional). Sedangkan perbedaan terletak pada sifat
hubungan hukum atau persoalan yang diaturnya (objeknya).
Menurut Mochtar Kusumaadmadja, cara membedakan
yang demikian itu lebih tepat dari pada mebedakan berdasarkan
pelakunya (subjek hukumnya) dengan mengatakan bahwa
Hukum Internasional (publik) mengatur hubungan antara
negara, sedangkan Hukum Perdata Internasional antara orang
47
Mochtar Kusumaadmadja, 1990, Pengantar Hukum Internasional: Bku I Bagian
Umum, Binacipta, Bandung, Hlm. 1.
48
Ibid, hlm. 2.
177
perseorangan. Karena suatu negara (atau badan hukum publik
lainnya) adakalanya melakukan hubungan perdata, sedangkan
orang perseorangan menurut hukum internasional modern
adakalanya dianggap mempunyai hak dan kewajiban menurut
hukum internasional.49
Dilihat dari sumber hukumnya, sumber Hukum
Internasional berdasarkan pada Pasal 38 Statuta (Piagam)
Mahkamah Internasional) adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian internasioanal;
2. Kebiasaan internasional;
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa beradab; dan
4. Putusan-putusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang
paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber
tambahan bagi penetapan kaidah hukum.
Sumber hukum dari Hukum Perdata Internasional adalah
hukum nasional, maka istilah Hukum Perdata Internasional
tersebut dikatakan kurang tepat. Walaupun istilah tersebut
banyak mendapat kecaman atau kritik kerena dianggap kurang
tepat, namun oleh karena istilah tersebut sudah lama dan lazim
dipergunakan, maka istilah Hukum Perdata Internasional itu
terus digunakan.
Menurut R.H. Graveson, HPI merupakan bidang hukum
yang berkaitan dengan perkara-perkara yang di dalamnya
mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan
suatu sistem hukum lain, baik karena teritorialitasnya atau
personalitas yang dapat menimbulkan masalah pemberlakuan
hukum sendiri atau hukum asing untuk memutuskan perkara
49
Ibid, hlm. 2.
178
atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan
sendiri atau asing.50
Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai suatu
keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan
stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa
antara warga (warga) negara pada suatu waktu tertentu
memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidahkaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam
lingkungan kuasa tempat, pribadi, dan soal-soal.51
Sauveplanne berpendapat bahwa HPI adalah keseluruhan
aturan-aturan yang mengatur hubungan-hubungan hukum privat
atau perdata yang mengandung elemen-elemen internasional
dan hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan
negara-negara asing, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah
penundukan langsung ke arah hukum nasional dapat selalu
dibenarkan.52
Berdasarkan uraian di atas, maka istilah Internasional di
dalam HPI tidaklah merujuk kepada sumbernya, tetapi
menunjuk kepada fakta-fakta atau, materinya yaitu hubunganhubungan atau peristiwa-peristiwa yang bersifat internasional
(objeknyalah yang internasional).53
Jadi, yang internasional itu adalah hubunganhubungannya, sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum
perdata nasional. Dengan demikian, masing-masing negara
50
Bayu Seto, 1992, Dasar-Dasar Hukum Internasional, Buku Kesatu, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 4.
51
Sudarga Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Badan
Pembinaan Hukum Nasional-Binacipta, Bandung, hlm. 21.
52
Bayu Seto, op.cit, hlm. 7.
53
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,
Binacipta, Bandung, hlm. 8.
179
yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri,54 sehingga akan
dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda,
dan sebagainya.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa istilah HPI
masih banyak mendapat kritik atau keberatan dari sejumlah
penulis atau pakar HPI.55 Kritik atau keberatan tersebut antara
lain mengenai:56
1. HPI bukan merupakan hukum internasional, tetapi hukum
nasional. Kata internasional dalam HPI tidak merujuk pada
sumber hukumnya.
2. Istilah internasional dalam HPI bukan hukum antar negara
sebagaimana istilah Hukum Internasional (Publik) yang
merupakan hukum antar negara.
3. Seolah-olah ada ketidakkonsekuenan penggunaan istilah
dimana istilah perdata dan internasional. Perdata, tetapi
mengapa internasional? Perdata berarti privat antara orangorang pribadi, mana bisa internasional. Jadi, seolah-olah ada
suatu contradicctio in terminis, seperti orang bicara tentang
zwarte schimmel (kuda hitam yang berwarna putih).57
Namun demikian, apabila istilah internasional sematamata diartikan sebagai internasional dalam hubungannya
(internationale verhoudingen atau international relations),
maka disini tidak ada lagi contradictio in terminis.58
54
P.B. Nygh, 1984, Conflict of Law in Australia, Fourth ed. Butterworths, Sydney,
hlm. 2.
55
Secara historis, 1982, Istilah HPI lebih banyak digunakan penulis atau pakar
hukum dari negara-negara Eropa. Lihat David D. Sigel. Conflicts. West
Publishing Co. St. Paul Minn, hlm. 2.
56
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid I (Buku 1).
Alumni, Bandung, 1992, hlm. 17 et.seq.
57
Ibid, hlm. 6.
58
Ibid, hlm. 7.
180
Hukum Perdata Internasional (HPI) diperlukan apabila seorang
asing yaitu yang bukan warganegara tersangkut dalam suatu peristiwa
hukum dalam bidang keperdataan di suatu negara atau kalau orangorang dari berbagai negara mengadakan suatu hubungan hukum dalam
bidang yang sama.
Contoh-contoh hubungan HPI:
a. Seorang Indonesia laki-laki kawin dengan seorang perempuan
Perancis di Amerika.
b. Orang-orang Inggris mempunyai tanah di India;
c. Seorang Italia meninggalkan warisan di Belgia, dan sebagainya.
Teranglah bahwa hubungan-hubungan hukum yang timbul
atau yang diadakan oleh subyek-subyek hukum itu tidak hanya
terbatas dalam lingkungan satu negara saja. Lagi pula harus
diperhatikan, bahwa tiap-tiap negara kenyataannya mempunyai sistem
hukum sendiri-sendiri, sehingga dalam hubungan-hubungan Hukum
Perdata Internasional itu timbul kesulitan-kesulitan hukum negara
manakah atau hukum apakah yang harus berlaku untuk dapat
menentukan penyelesaian perselisihan itu.
Dalam contoh pertama di atas mungkin berlaku hukum
Indonesia, atau hukum Perancis, atau hukum Amerika, atau suatu
aturan hukum khusus. Karena itu HPI dapat dirumuskan sebagai
berikut: “Kesemuanya kaidah hukum apabila dalam suatu peristiwa
hukum tersangkut hukum dari dua negara atau lebih.
Dari rumusan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa
aturan-aturan HPI terdiri dari 2 golongan, yaitu:
1. Peraturan-peraturan petunjuk, dan
2. Peraturan-peraturan asli (mandiri).
181
Ad. 1. Peraturan-peraturan petunjuk
Peraturan-peraturan petunjuk ialah peraturan-peraturan yang memberi
petunjuk tentang aturan manakah yang dipakai untuk menyelesaikan
suatu perkara yang timbul karena hubungan hukum antara seorang
dengan
orang
lain
yang
masing-masing
berlainan
kewarganegaraannya.
Contoh:
Seorang warga negara Indonesia tinggal di Indonesia menjual beli
pertaniannya kepada seorang warga negara Amerika di Jakarta.
Perjanjian jual beli ini diatur oleh aturan-aturan petunjuk, yaitu aturanaturan yang menunjukkan hukum manakah yang dipakai untuk
mengatur perjanjian jual beli antara kedua orang yang berbeda bangsa
tadi.
Dalam hal ini ada 3 kemungkinan:
Mungkin dipakai hukum Inggris;
Mungkin dipakai hukum Amerika;
Mungkin dipakai hukum Indonesia.
Ad. 2. Peraturan-peraturan asli (mandiri)
Peraturan-peraturan asli (mandiri), ialah peraturan-peraturan itu
sendiri yang menyelesaikannya, jadi bukan oleh peraturan-peraturan
yang menunjukkan hukum negara mana yang dipakai untuk
menyelesaikan perselisihan itu.
Contoh: Pengangkutan barang dengan kereta api antar negaranegara Eropah. Di sini berlaku peraturan hukum khusus, yaitu
peraturan kereta api itu sendiri, dan bukan hukum dari negara atau
orang yang bersangkutan dengan pengangkutan barang itu.
Contoh-contoh lain dari peraturan mandiri ialah traktat-traktat
Internasional. Mengenai pengangkutan udara, tabrakan kapal, cek, dan
wesel.
182
Mengenai peraturan-peraturan petunjuk di Indonesia diatur
dalam AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving, Peraturan-peraturan
umum dari perundang-undangan). Peraturan-peraturan itu didasarkan
pada teori yang dinamakan teori statuta, yang terdiri atas tiga bagian
yaitu:
a. Statuta Personalia,
b. Statuta Realia, dan
c. Statuta Mixta.
Ad.a. Statuta Personalia
Menurut Pasal 16 AB, maka segala ketentuan perundang-undangan
mengenai status dan kewenangan seseorang tetap berlaku bagi warga
negara Indonesia, yang berada di luar negeri. Jadi hukum Indonesia
mengikuti warga negara Indonesia di luar negeri.
Ad. b. Statuta Realia
Menurut Pasal 17 AB menentukan, bahwa mengenai benda-benda
tidak bergerak berlaku peraturan-peraturan perundang-undangan dari
negara atau tempat, di mana benda-benda itu berada. Jadi, sebidang
tanah yang dimiliki oleh seorang warga negara Indonesia di luar
negeri, tunduk kepada hukum luar negeri di mana tanah itu terletak.
Ad. c. Statuta Mixta
Menurut Pasal 18 AB, maka bentuk tiap-tiap perbuatan hukum yang
dilakukan seseorang warganegara Indonesia di luar negeri berlaku
hukum dari negara atau tempat di mana perbuatan itu dilaksanakan.
Misalnya: seorang warga negara Indonesia mengadakan
perjanjian jual beli di Kota Paris dengan seorang Indonesia lainnya.
Yang dapat menentukan isi jual beli itu ialah hukum Indonesia, akan
tetapi yang menentukan cara pelaksanaan jual beli itu ialah hukum
Perancis.
183
B. Sejarah Hukum Perdata Internasional
1. Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional
Di dalam sejarah perkembangan Hukum Perdata Internasional,
tampaknya perdagangan (pada taraf permulaan adalah
pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang
melahirkan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional. Pada
zaman Romawi Kuno, segala persoalan yang ditimbul sebagai
akibat hubungan antara orang Romawi dan pedagang asing
diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut
praetor peregrinis. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut
pada pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para cives
Romawi, yaitu Ius Civile yang telah disesuaikan dengan
pergaulan internasional. Ius Civile yang telah diadaptasi untuk
hubungan ointernsional itu kemudian disebut Ius Gentium.59
Pada masa Romawi berkembang asas-asas yang dilandasi
prinsip atau asas toritorial, yang dewasa ini dianggap sebagai
asas Hukum Perdata Internasional yang penting, misalnya:60
a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa
hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah
hukum dari tempat dimana benda tersebut berada atau
terletak.
b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap
perjanjian-perjanjian (yang bersifat Hukum Perdata
Internasional) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat
pembuatan perjanjian.
c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang
mengatur hak serta kewajiban perseorangan adalah hukum
dari tempat seseorang berkediaman tetap.
59
60
Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 14.
Ibid, Hlm. 23.
184
Di dalam prinsip teritorial, hukum yang berlaku
bersifat toritorial. Setiap wilayah (teritorial) memiliki
hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang berlaku
terhadap semua orang atau yang berada di wilayah itu, dan
perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.
2.
2. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abab 6-10 M)
Pada akhir abab 6 M, Kekaisaran Romawi ditaklukkan bangsa
“Barbar” dari Eropa. Bekas wilayah Kekaisaran Romawi diduki
berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda
secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang
penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap
memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum
agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan
demikian, prinsip toritorial telah berubah menjadi prinsip
personal. Di dalam prinsip personal, hukum yang berlaku
digantungkan kepada pribadi yang bersangkutan. Sehingga di
dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa hukum
sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua
suku bangsa berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah
hukum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hukum
mana yang akan diberlakukan.61
Beberapa asas Hukum Perdata Internasional yang tumbuh
pada masa tersebut yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai
asas Hukum Perdata Internasional (yang berasas personal)
misalnya:62
61
62
Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 15.
Ibid, Hlm. 16.
185
a. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam
suatu perkara adalah hukum personal dari pihak tertugat.
b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum seseorang ditentukan oeh hukum personal
orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian
harus ditentukan oleh hukum personal dari masing-masing
pihak.
c. Asas yang mengatakan bahwa maslah pewarisan harus diatur
berdasarkan hukum personal pewaris.
d. Pengesahan suatu perkawianan harus dilakukan berdasarkan
hukum personal sang suami.
3.
3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M)
Di kawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat
geneologis ke masyarakat teritorial tampak dari tumbuhnya
unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah
Inggris, Perancis, dan Jerman. Semakin banyak tuan tanah
(landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hukum mereka
sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hukum yang
berlangsung di wilayahnya.63 Dengan perkataan lain, tidak ada
pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki
orang asing dapat begitu saja dcabut penguasa, sehingga dalam
keadaan demikian Hukum Perdata Internasional tidak
berkembang sama sekali.64
Di kawasan Eropa bagian selatan, transformasi dari asas
personal geneologis ke asas toritorial berlangsung bersamaan
dengan pertumbuhan pusat-pusat peerdagangan, khususnya di
63
Ibid, 1974, mengutip Graverson, R.H. Conflict of Laws-Private International Law,
edisi 7. Sweed & Maxwell, London, Hlm. 31.
64
Ibid,
186
Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah geneologis
atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Kotakota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain Florence,
Pisa, Paruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota
tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan:65
a. Batas-batas teritorial tersendiri; dan
b. Sistem hukum lokal sendiri yang berlainan satu lainnya dan
berbeda pula dengan hukum Romawi dan Lombardi yang
berlaku umum di seluruh Italia.66
Keanekaragaman (diversity) sistem-sistem hukum lokal
(municipal laws) ditambah dengan tingginya intensitas
perdagangan antar kota seringkali menimbulkan problem
pengakuan terhadap hukum dan hak-hak asing (kota lain) di
dalam satu wilayah kota. Secara langsung atau tidak, situasi ini
mendorong pertumbuhan kaidah-kaidah hukum perdata
internasional.
4.
4. Perkembangan Teori Statuta Di Italia (Abad 13-15 M)
Seiring dengan makin berkembangnya perdagangan antara
(warga) kota-kota di Italia tersebut di atas, penerapan asas
toritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan
kembali.
Sistem feodal memandang hanya peraturan-peraturan
hukum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan
atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di
wilayahnya. Selain itu hukum masing-masing kota di Italia itu
berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan lagi apabila hak-
65
66
Ibid, hlm. 17.
Sudargo Gautama, Op. Cit, hlm. 165.
187
hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat di
kota A akan dikesampingkan di kota B.67
Situasi ini mendorong para ahli hukum universitasuniversitas di Italia untuk mencari asas-asas hukum yang
dianggap lebih adil dan wajar (fair and reasonable). Usaha
yang dilakukan dengan membuat tafsiran baru dan
menyempurnakan kaidah-kaidah yang tulis dalam hukum
Romawi. Mereka inilah yang termasuk dalam golongan
postlossatoren.68
Dalam mencari dasar hukum untuk mengatur hubunganhubungan diantara para pihak yang tunduk pada sistem hukum
yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dari
Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai
dengan kata: cuntos popules ques Clementiae Nostrae Regit
Imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).69
Di dalam teks codex tersebut ditemukan glosse accursius
(1128) yang pada pokoknya mengatakan:70
Apabila seseorang warga Bologna digugat di Modena,
maka ia janganlah diadili menurut status deri Modena dari
kota mana ia bukan merupakan warga, oleh karena dalam
Undang-undang Conctos Popolos telah ditentukan ... quos
nostro clmennae regit imperium.71
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius di atas
kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (131467
Ibid, Hlm. 165.
Ibid, Lihat juga Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 18.
69
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.cit, Hlm. 167.
70
Sudargo Gautama, Op. Cit, Hlm. 167.
71
Dengan bahasa yang lain Bayu Seto merumuskan tafsiran Accursius sebagai
berikut” bila seseorang dari suatu kota tertentu dituntut secara hukum di kota lain,
maka ia tidak diadili berdasarkan hukum dari kota lain itu, sebab ia bukan
merupakan subyek hukum di sana”. Lihat Bayu Seta, Op. Cit, Hlm. 10.
68
188
1357). Bartolus berusaha mengembangka asas-asas untuk
menentukan wilayah berlakunya setiap atauran hukum yang
berlaku dengan mengajukan pertanyaan hubungan macam
manakah yang diatur oleh suatu kaidah hukum tertentu. Jadi,
titik tolaknya adalah kaidah-kaidah yang berlaku di suatu negeri
atau kota tertentu.72
Bortolus menghubungkan statuta personalia dengan lex
originis dan statuta realia dengan kekuasaan toritorial hukum
itu. Dia membedakan statuta ke dalam statuta yang mengijinkan
sesuatu (earlubend, veroorloren) dan yang melarang sesuatu.
Statuta personalia adalah statuta yang mempunyai
lingkungan kuasa berlaku secara personal. Hal ini bermakna,
bahwa statuta itu mengikuti orang (persoon) dimanapun ia
berada.73 Statuta realia mempunyai lingkungan kuasa secara
toritorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah
pembentuk undang-undang tunduk di bawah statuta-statutanya.
Bartoluslah yang mengemukakan persoalan-persoalan
yang hingga kini masih menajdi persoalan Hukum Perdata
Internasional, antara lain mengenai bentuk (form) perbuatan
hukum. Bartolus menambahkan satu statuta lagi, yaitu statuta
mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di
temapat berlakunya statuta itu dengan segala akibat hukumnya.
Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat
hukumnya diatuir menurut statuta di tempat perjanjian itu
seharusnya dilaksanakan.74
72
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, Hlm. 16.
Sudargo Gautama, Op. Cit, Hlm. 168.
74
Ibid
73
189
Berdasarkan
doktrin
statuta
di
atas
kemudian
dikembangkan metode berfikir Hukum Perdata Internasional
sebagai berikut:
a. Apabila persoalan Hukum Perdata Internasional yang
dihadapi menyangkut persoalan status suatu benda, maka
kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta
realia dari tempat dimana benda itu berada. Dalam
perkembangannya, cara berfikir realia semacam ini hanya
berlaku terhadap benda tetap saja. Sedangkan terhadap benda
bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.75
b. Apabila persolan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi
berkaitan dengan status personal, maka status personal orang
tersebut harus diatur berdasarkan statuta personalia dari
tempat dimana orang tersebut berkediaman tetap (lex
domicilii); dan
c. Apabila persoalan Hukum Perdata Internasional yang
dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atau akibat dari suatu
perbuatan hukum, maka dan akibat dari perbuatan itu harus
tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana
perbuatan hukum itu dilakukan. Cara berfikir atau asas ini
diadopsi oleh Pasal 18 AB yang menyebutkan: “Bentuk
setiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang dari negara
atau tempat dimana perbuatan itu dilakukan” (De vorm van
elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land
of de plaats, alwaar die handeling is verrigt).
75
Mobilia sequntuur personam bermakna bahwa benda bergerak nmengikuti
orangnya. Dengan kata lain benda bergerak diatur atau tunduk kepada hukum
nasionalitas atau domisili pemilik benda bergerak yang bersangkutan. Lihat J.G.
Castel, Op. Cit, Hlm. 8.
190
5.
5. Teori Statuta Di Perancis (Abad 16)
Pada abad ke-16 provinsi-provinsi di Perancis memiliki sistem
hukum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakikatnya
sama dengan statuta. Karena adanya keanekaragaman cautume
tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar provinsi,
maka komplik hukum antar provinsi makin meningkat pula.
Dalam keadaan demikian beberapa ahli hukum Perancis, seperti
Charles Dumaulin dan Bertrand D’Argentre berusaha
mendalami teori statuta dan menerapkannya di Perancis dengan
beberapa modifikasi.76
Charles Duomulin memperluas pengertian statuta
personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang
dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya
berlaku dalam perjanjian atau kontrak. Jadi, perjanjian atau
kontrak yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam
statuta realia, menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam
ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya
kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam status
perseorangan.
Walaupun Bertrand D’Argentre mempergunakan teori
statuta dari Bartolus dan Dumoulin, akan tetapi pada akhirnya ia
mengemukakan teori yang jauh berbeda dengan asas-asas teori
statuta Italia dan teori Dumoulin.77 Menurut Bertrand
D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia,
sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi (kebesan) para
pihak, melainkan otonomi, provinsi.78
76
Bayu Seto, Op. Cit, hlm. 24.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 25.
78
Bayu Seto, Op. Cit, hlm. 25.
77
191
Bertrand D’Argentre tetap mengakui adanya statuta
personal, akan tetapi perlu adanya pengecualian. Dengan
bahasa yang lain, Bayu Seto79 menjelaskan bahwa, D’Argentre
mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta
personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan
seseorang untuk melakukan tindakan hukum (legal capacities),
akan tetapi:
a. Ada statuta yang dimaksudkan untuk mengatur orang, tetapi
berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda
(realia); atau
b. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan
hukum (statuta mixta) yang dilakukan di tempat tertentu.
Statuta semacam ini harus dianggap sebagai statuta realia,
karena isinya berkaitan dengan teritorial atau wilayah
penguasa yang memberlakukan statuta itu. Menurut
Sudargo Gotama, pendirian atau pendapat yang
dikemukakan Bertrand D’Argentre yang demikian itu tidak
bisa dilepaskan dari status Bertrand D’Argentre sebagai
seorang baron. Pandangan-pandangannya tentu tidak
terlepas dari pengaruh ide-ide feodal yang mengedepankan
segi toritorial semua ketentuan hukum. Kedaulatan teritorial
itu adalah yang tertinggi dan harus dihormati semua orang
yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum di wilayah
penguasa yang bersangkutan.80
6.
6. Teori Statuta Di Negeri Belanda (Abad 17)
Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum
Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat
79
80
Ibid
Lihat Sudargo Gautama, Op. Cit, hlm. 171.
192
itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dibuat
negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah negara tersebut.
Hukum asing tidak berlaku di wilayah negara tersebut.81 Prinsip
dasar yang diguakan penganut teori statuta di negeri Belanda
adalah kedaulatan eksklusif negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajukan
tiga prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
perkara-perkara hukum perdata internasional sebagai berikut:82
a. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yang
mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya
saja.
b. Semua orang baik yang menetap maupun sementara, yang
berada di wilayah suatu negara berdaulat harus menjadi
ubjek hukum dari negara itu dan terikat pada negara itu.
c. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas
= comity), diakui pula bahwa setiap pemerintah negara yang
berdaulat mengakui, bahwa hukum yang sudah berlaku di
negara asalnya akan tetap memilii kekuatan berlaku
dimana-mana
sejauh
tidak
bertentangan
dengan
kepentingan subyek hukum dari negara yang memberikan
pengakuan itu.83 Menurut Sudargo Gautama, hakim yang
berpedoman pada asas komitas tidak berarti dapat bertindak
sewenang-wenang. Hakim perlu memperhatikan pula
hukum asing demi kepentingan negara-negara yang
bersangkutan secara timbal balik.
Selanjutnya Ulrik Huber menegaskan bahwa dalam
menafsirkan ketiga hal tersebut di atas harus pula diperhatikan
81
Ibid, hlm. 171.
Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 24-25 dan C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, hlm. 19.
83
Sudorgo Gautama, Op. Cit, hlm. 172.
82
193
prinsip lain, yaitu semua perbuatan/transaksi yuridis yang
dianggap sah berdasarkan hukum dari suatu negara tertentu,
akan diakui sah pula di tempat lain yang sistem hukumnya
sebenarnya menganggap perbuatan atau transaksi semacam itu
batal. Tetapi, perbuatan atau transaksi yang dilaksanakan di
suatu tempat tertentu yang menganggapnya batal demi hukum
juga harus dianggap batal dimanapun juga.84
Menurut Johanes Voet, pada hakekatnya tidak ada negara
yang wajib mengatakan suatu kaidah hukum asing berlaku
dalam batas-batas wilayah hukumnya. Jika hal ini terjadi, maka
hal itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun
pergaulan antar bangsa atau comitas gentium.85
Dewasa ini teori comitas gentium tersebut sudah banyak
ditinggalkan para ahli. Cheshire misalnya, menyatakan bahwa
penggunaan hukum asing hanyalah disebabkan keinginan untuk
mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do
jastice), Jadi, tidak berdasarkan sopan santun atau bukan pula
merupakan perongrongan atau pengorbanan kedaulatan negara
sendiri.86
7. Teori-teori modern
Pada abad ke-19, pemikiran Hukum Perdata Internasional
mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar
hukum, yaitu Joseph Story, Friedrich Cael von Savigny, dan
Pasquae Stanislao Manchini.87
Titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu
hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang
84
Bayu Seto, Loc. Cit.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, Hlm. 20.
86
Ibid, Hlm. 21.
87
Ibid, Hlm. 23.
85
194
sama pula; baik bila diputuskan oleh hakim di negara A maupun
di negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut
unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa,
sehingga putusannya juga akan sama di mana-mana.
Satunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu
sistem hukum supra nasional, yaitu hukum perdata
internasional. Oleh karena titik tolak berpikir Von Savigny ini
adalah bahwa HPI itu bersifat hukum supra nasional, oleh
karenanya bersifat universal, maka ada yang menyebut
pemikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI Universal.88
Menurut Von Savigny, pengakuan terhadap hukum asing
bukan semata-mata berdasarkan comitas, akan tetapi berpokok
pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang
dipenuhinya bagi semua pihak (negara atau manusia) yang
bersangkutan.89
Manchini berpendapat, bahwa hukum personil seseorang
ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini menjadi
dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut
mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap sistem
hukum, yaitu.90
a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan;
b. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga
ketertiban umum (public order).
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI,
yaitu:
88
Bayu Seto, op.cit., hlm. 26-27.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 24.
90
Ibid., hlm. 256-27.
89
195
a. Kaidah-kaidah untuk perseorangan berlaku bagi semua
warganegara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip
personil).
b. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat
teritorial dan berlaku bagi orang yang ada dalam wilayah
kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial).
c. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang
bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan
berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum).
Cita-cita Manchini adalah mencapai unifikasi HPI melalui
persetujuan-persetujuan internasional, sedangkan Von Savigny
ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan
asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum selama
ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri, dan inipun
bergantung pada kebiasaan, undang-undang, putusan-putusan
pengadilan (yurisprudensi) di dalam masing-masing masyarakat
hukum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah
banyaknya
perjanjian
internasional
yang
berusaha
menyeragamkan kaidah-kaidah HPI, seperti perjanjianperjanjian HPI Den Haag.
C. Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional
1. Undang-undang nasional yaitu undang-undang dan peraturanperaturan hukum dari suatu negara. Misalnya Pasal 16, 17 dan 18
AB yang telah disebut di atas.
2. Traktat, ialah perjanjian-perjanjian antar negara, misalnya traktattraktat Den Haag dari tahun 1902 dan 1905, di antaranya
mengenai:
a. Perkawinan, perceraian, dan perwalian (1902).
196
3.
4.
b. Akibat perkawinan dan kekayaan perkawinan (1905), dan
c. Penyampunan (1905)
Jurisprudensi, yaitu putusan-putusan hakim baik Internasional
maupun nasional.
Pendapat ahli hukum yang terkenal yang ditulis dalam buku
Hukum Perdata Internasioal, sebagai pedoman, tidak mengikat
hakim dalam menetapkan putusannya.
D. Titik-Titik Pertalian
1. Pengertian Titik Pertalian Dalam Hukum Perdata
Internasional
Titik pertalian atau titik-titik taut dalam Hukum Perdata
Internasional
biasa
juga
disebut
dengan
istilah
anknopingspunten (Belanda), connecting factors atau point of
contact (Inggris). Menurut Sudargo Gotama, titik taut atau titiktitik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menyebabkan
berlakuknya
stelsel
hukum
(feiten
omstandigheiden die voor toepassing in aanmerking doen
komen het een of andere rechtstelsel).91
2. Titik-Titik Pertalian Primer (Titik Taut Pembeda)
Titik-titik pertalian primer (TPP) adalah faktor-faktor atau
keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau
menciptakan hubungan Hukum Perdata Intenasional.
Faktor-faktor yang termasuk dalam TPP adalah sebagai
berikut:
a) Kewarganegaraan;
b) Bendera kapal dan pesawat udara;
91
Sudargo Gautama, 1986, Hukum Perdata Internasional, Jilid Kedua Bagian
Pertama (Buku 2), Eresco, Bandung, hlm. 24.
197
c) Domisili (domicille);
d) Tempat kediaman (residence);
e) Tempat kedudukan badan hukum (legal seat); dan
f) Pilihan hukum dalam hubungan intern.
Dengan demikian, titik-titik pertalian primer merupakan
alat pertama bagi pelaksana hukum untuk mengetahui apakah
suatu perkara atau perselisihan merupakan perkara hukum
perdata internasional atau bukan.
Ad. 1. Kewarganegaraan
Perbedaan kewarganegaraan di antara para pihak yang
melakukan suatau hubungan hukum akan melahirkan persoalan
hukum perdata internasional. Misalnya: seorang warganegara
Indonesia menikah dengan warganegara Belanda, atau seorang
warganegara Indonesia melakukan transaksi jual beli dengan
seorang warganegara Jerman.
Ad. 2. Bendera Kapal dan Pesawat Udara
Dalam arti luas, kapal bermakna kenderaan air dengan bentuk
dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik,
tenaga angin, atau ditunda, termasuk kenderaan yang berdaya
dukung dinamis, kenderaan di bawah permukaan air, serta alat
apapun dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.92
Menurut Annex 7.3. Convention on International Civil
Aviation, pesawat udara berarti: any machine that can derive
support in the atmosphere from the reaction of the air other
than the reaction of against the earth’s surface... Sedangkan di
dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992,
pesawat udara disefinisikan sebagai setiap alat yang dapat
92
Pasal 1 Angka 2 Undang-undang nomor 21 Tahun 1992.
198
terbang di atmosfir karena gaya angkat dari reaksi udara.
Dengan demikian pesawat udara itu antara lain bisa mencakup
pesawat terbang dan helikopter. Bendera kapal atau pesawat
udara menunjuk kepada tempat dimana suatu kapal atau
pesawat udara didaftarkan untuk memperoleh kebangsaan dan
menetapkan hukum mana yang menguasai kapal atau pesawat
udara itu. Hukum bendera kapal atau pesawat udara tersebut
menunjukkan kebangsaan kapal atau pesawat udara itu.
Kebangsaan kapal atau pesawat udara ditentukan berdasarkan di
negara mana kapal atau pesawat udara itu didaftarakan. Karena
bendera atau kebangsaan kapal atau pesawat udara berbeda
dengan kebangsaan (kewarganegaraan) pihak-pihak yang
bersangkutan dengan kapal atau pesawat udara dapat
menimbulkan persoalan hukum perdata internasional.93
Ad. 3. Domisili (Domicile)
Persolan domisili dapat juga menjadi faktor penting timbulnya
persoalan hukum perdata internasional. Misalnya: Seorang
warganegara Ingris (A) yang berdomisili di negara Y,
melangsungkan perkawinan dengan warganegara Inggris (B)
yang berdomisili di negara X.94
Ad. 4. Tempat Kediaman
Persolan tempat kediaman seseorang juga dapat melahirkan
masalah hukum perdata internasional. Misalnya: Dua orang
warganegara Malaysia yang berkediaman sementara di
Indonesia melangsungkan pernikahan di Indonesia.
93
94
Sudargo Gautama, Op. Cit, Buku 2, hlm. 28.
Ibid, hlm. 28.
199
Ad. 5. Tempat Kedudukan Badan Hukum
Sebagaimana halnya manusia, badan hukum sebagai subjek
hukum juga memiliki kebangsaan dan tempat kedudukan (legal
seat). Umumnya kebangsaan badan hukum ditentukan
berdasarkan tempat (atau negara) dimana pendirian badan
hukum tersebut didaftarkan. Misalnya PT Indohokindo, sebuah
PT joint venture antara beberapa pengusaha Jepang dan
Indonesia. PT tersebut didirikan berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di Jakarta (Indonesia). Dengan demikian
status hukum PT tersebut adalah badan hukum Indonesia.
Contoh lain: Hong Ming Co.Ltd sebuah perusahaan joint
venture antara pengusaha Indonesia dan Singapura, didirikan
dan berkedudukan di Singapura, maka perusahaan yang
bersangkutan berbadan hukum Singapura. Seringkali dijumpai
beberapa pengusaha Indonesia yang mendirikan perusahaan di
negara lain, misalnya di Hongkong. Walaupun semua
pemegang saham adalah warganegara Indonesia, namun karena
didirikan berdasarkan hukum Hongkong, maka perusahaan
berbadan hukum dan harus tunduk kepaa hukum Hongkong.
Ad. 6. Pilihan Hukum Interen
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pilihan interen
dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: Dua orang WNI di
Jakarta mengadakan transaksi jual beli barang-barang bahan
suatu pabrik yang penyerahannya memakan waktu jangka
panjang dan barangnya diimpor dari Inggris. Dalam kontrak
jual beli itu dinyatakan, bahwa perjanjian jual beli itu diatur
oleh hukum Inggris.95 Karena adanya pilihan hukum oleh para
pihak yang menutup kontrak jual beli ke arah hukum yang
95
Sudargo Gautama, Op. Cit, hlm. 30.
200
berlainan dari hukum nasional mereka, akan melahirkan
hubungan HPI.96
3.
Titik-Titik Pertalian Sekunder (Titik Taut Penentu)
Titik-titik pertalian sekunder (TPS) adalah faktor-faktor atau
sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus
digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. Termasuk dalam
TPS adalah sebagai berikut:
a) tempat terletaknya benda (Lex Situs = lex rei sitae);
b) tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus);
c) tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex loci
celebrationis);
d) tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus);
e) tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis = lex loci
executionis);
f) tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci
delicticommisi);
g) pilihan hukum (choice of law); Menurut Sudargo Gautama97 ada
kemungkinan TPS jatuhnya bersamaan dengan TPP, yaitu:
h) kewarganegaraan (lex patriae);
i) bendera kapal (dan pesawat udara);
j) domisili (lex domicilii);
k) tempat kediaman; dan
l) tempat kedudukan badan hukum (legal seats).
Penerapan titik taut penentu atau titik pertalian dapat dilihat dari
beberapa contoh di bawah:
PT Abadi Telekomomindo sebuah perusahaan pembuat peralatan
mendapat kredit dari Bank Sumitomo, Singapura. Sebagai jaminan
96
97
Ibid, hlm. 31.
Ibid, hlm. 33.
201
bagi kredit tersebut, PT Abadi Telekomomindo membebankan hak
tanggungan atas tanah hak guna bangunan dan bangunan diatasnya.
Tanah dan bangunan tersebut terletak di Jakarta. Sesuai dengan asas
lex rei situe, maka pengaturan pembebanan hak tanggungan tersebut
harus tunduk atau diatur berdasarkan hukum Indonesia, dalam hal ini
UU No. 4 Tahun 1996 jo UU No. 5 Tahun 1960. Jika ada perselisihan
yang menyangkut suatu perbuatan atau perbuatan melawan hukum,
pengaturannya didasarkan kepada hukum dimana perbuatan hukum
atau perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan. Misalnya Andrew
Young, warganegara Inggris melakukan suatu perbuatan melawan
hukum terhadap Yoseph Liem, warganegara Singapuran di Jakarta,
maka pengaturan hukumnya harus tunduk kepada hukum Indonesia.
Penyelesaian hukum suatu perselisihan yang menyangkut
kontrak dapat diselesaikan berdasarkan tempat ditandatanganinya
kontrak. Misalnya PT Pembangunan Jaya Abadi melakukan perjanjian
ekspor impor dengan Hong Ming Co. Ltd (Singapura), kontraknya
ditandatangani di Jakarta. Jika diikuti titik taut lex loci contractus,
maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian tersebut adalah hukum
Indonesia. Jika perjanjian tersebut dilaksanakan di Singapura, dan titik
taut yang digunakan adalah lex loci solutionis, maka yang berlaku
bagi kontrak tersebut adalah hukum Singapura. Jika dalam suatu
kontrak dagang internasional terdapat pilihan hukum, maka hukum
yang berlaku bagi kontrak tersebut haruslah hukum yang dipilih dan
disepakati oleh para pihak. Misalnya PT Pembangunan Jaya Abadi
mengadakan perjanjian ekspor-impor dengan Hong Ming Co. Ltd. Di
dalam kontrak tersebut terdapat klausula “jika terjadi perselisihan
yang menyangkut penafsiran dan pelaksanaan kontrak ini, maka
penyelesaiannya didasarkan pada hukum Singapura. Hukum
Singapura adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.
202
Jika ada kapal yang dimiliki warganegara Indonesia, tetapi
didaftarkan di negara lain, maka kapal yang bersangkutan adalah
berkebangsaan asing. Jika kapal-kapal milik badan hukum atau
warganegara Indonesia yang berkebangsaan negara Bermuda
membebankan hipotik atas kapal atas kredit kepada Bank di
Indonesia, maka pembebanan hipotiknya harus dilakukan di Bermuda
sesuai dengan hukum Bermuda.
Menurut R.H. Graveson, dalam menyelesaikan suatu perkara
HPI perlu diperhatikan tiga hal, yaitu:98
a) Titik taut apa sajakah yang dipilih sistem HPI tertentu yang dapat
diterapkan pada sekumpulan fakta yang bersangkutan.
b) Berdasarkan sistem hukum manakah diantara pelbagai sistem
hukum yang relevan dengan perkara, titik-titik taut akan
ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena faktor-faktor yang
sama mungkin secara teoritis diberi interpretasi yang berbeda
dalam pelbagai sistem hukum.
c) Setelah kedua masalah tadi ditetapkan barulah ditetapkan
bagaimana pertautan itu dibatasi oleh sistem hukum yang akan
diberlakukan (lex causae).
Titik taut penentu tersebut di atas tentunya tidak digunakan
semuanya dalam suatu kasus tertentu. Misalnya ada perselisihan yang
menyangkut suatu kontrak dagang internasional, tentu tidak semua
titik taut penentu itu digunakan, harus dipilih salah satu. Pemilihan
tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ada.
Jika di dalam kontrak itu telah ada pilihan hukum, maka hukum
yang digunakan haruslah sesuai dengan hukum yang dipilih para
pihak. Jika di dalam kontrak itu ternyata tidak ada pilihan hukumnya,
maka harus dicari titik-titik penentu lainnya, misalnya tempat
ditandatanganinya kontrak dan tempat dilangsungkannya kontrak.
98
Bayu Seto, Op.Cit., hlm. 85.
203
Penggunaan titik taut selain pilihan hukum tersebut harus didasarkan
pada hukum yang berlaku. Jika kasus tersebut diadili di Indonesia,
maka pengadilan sesuai dengan Pasal 18 AB harus menggunakan
hukum tempat atau negara dimana kontrak tersebut dilaksanakan.
Penggunaan titik-titik taut penentu dalam suatu kasus faktual
dapat diibaratkan dengan hubungan antara kunci (gembok) dan anak
kunci. Kasus atau fakta dapat digambarkan seperti gembok. Titik-titik
taut penentu adalah anak kuncinya. Untuk membuka gembok tersebut
tersedia banyak anak kunci. Tidak semua anak kunci tersebut cocok
atau dapat membuka gembok tersebut. Harus dicari dan dipilih salah
satu anak kunci yang paling cocok.
Mengenai fungsionalisasi titik-titik taut tersebut didalam suatu
perkara HPI dapat dijelaskan melalui tahapan penyelesaian perkara
HPI:99
a) Pertama-tama harus ditentukan dulu titik-titik taut primer dalam
rangka menentukan apakah peristiwa hukum yang dihadapi
peristiwa HPI atau bukan. Di sini akan dicari unsur-unsur dalam
sekumpulan fakta yang dihadapi.
b) Setelah hal tersebut di atas ditentukan, langkah berikutnya adalah
melakukan kualifikasi fakta berdasarkan lex fori. Kualifikasi fakta
ini dilakukan untuk menetapkan kategori yuridis perkara yang
dihadapi.
c) Setelah kategori yuridis ditentukan, langkah berikutnya adalah
penentuan kaidah HPI mana dari lex fori yang harus digunakan
untuk menentukan lex causae. Pada tahap ini sebenarnya orang
menentukan titik taut sekunder apa yang bersifat menentukan
(decisive) berdasarkan kaidah HPI lex fori.
d) Setelah lex causae ditentukan, maka dengan menggunakan titiktitik taut yang dikenal lex causae, hakim berusaha menetapkan
99
Ibid, hlm. 86 – 87.
204
kaidah-kaidah hukum internal apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikan perkara.
e) Apabila berdasarkan titik taut dari lex causae hakim telah dapat
menentukan kaidah hukum internal/material apa yang harus
diberlakukan, maka barulah perkara dapat diputuskan.
RANGKUMAN
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah
dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang
melintas batas negara.
Di dalam HPI dikenal dua macam aturan, yaitu peraturanperaturan petunjuk dan peraturan-peraturan asli (mandiri). Peraturanperaturan petunjuk ialah peraturan-peraturan yang memberi petunjuk
tentang aturan manakah yang dipakai untuk menyelesaikan suatu
perkara yang timbul karena hubungan hukum antara seorang dengan
orang lain yang masing-masing berlainan kewarganegaraannya.
Peraturan-peraturan asli (mandiri) ialah peraturan-peraturan itu sendiri
yang menyelesaikannya, jadi bukan oleh peraturan-peraturan yang
menunjukkan hukum negara mana yang dipakai untuk menyelesaikan
perselisihan itu.
Mengenai peraturan-peraturan petunjuk di Indonesia diatur
dalam AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving/ Peraturan-peraturan
umum dari perundang-undangan), yaitu:
1) Pasal 16 AB (Statuta Personalia) yang mengatur segala ketentuan
perundang-undangan mengenai status dan kewenangan seseorang
tetap berlaku bagi warga negara Indonesia, yang berada di luar
negeri. Jadi hukum Indonesia mengikuti warga negara Indonesia
di luar negeri.
2) Pasal 17 AB (Statuta Realia) yang menentukan bahwa mengenai
benda-benda tidak bergerak berlaku peraturan-peraturan
205
perundang-undangan dari negara atau tempat, di mana bendabenda itu berada.
3) Pasal 18 AB (Statuta Mixta) yang menentukan untuk tiap-tiap
perbuatan hukum yang dilakukan seseorang warganegara
Indonesia di luar negeri berlaku hukum dari negara atau tempat di
mana perbuatan itu dilaksanakan
LATIHAN
1. Jelaskan pengertian hukum perdata internasional.
2. Aturan hukum perdata internasional terdiri dari dua golongan.
Jelaskan dan berikan contohnya.
3. Pada masa Romawi berkembang asas-asas yang dilandasi prinsip
atau asas toritorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas hukum
perdata internasional yang penting. Jelaskan asas-asas tersebut.
4. Jelaskan sumber-sumber hukum perdata internasional.
5. Apakah yang dimaksud dengan titik pertalian.
6. Jelaskan macam-macam titik pertalian dalam hukum perdata
internasional dan apa fungsi dari masing-masing titik pertalian
tersebut.
7. Jelaskan pengertian titik pertalain primer dan sebutkan faktorfaktornya.
8. Jelaskan pengertian titik pertalian sekunder dan jelaskan faktorfaktornya.
GLOSSARIUM
1. Private
International
Law,International
Private
Law,
Internationales Privatrecht, Droit International Prive,Diritto
Internazionale Privato adalah nama-nama yang sering
dipergunakan untuk menyebut hukum perdata internasional.
206
2. Zwarte schimmel (kuda hitam yang berwarna putih)
maksudnya adalah yang digunakan sebenarnya adalah
hukum perdata, namun karena menyangkut dengan
hubungan antar Negara disebutlah hukum perdata
internasional.
3. Contradictio in terminis (terjadi krontradiksi antara istilah
perdata yang sifatnya hukum privat dengan hukum
internasional).
4. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa
hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah
hukum dari tempat dimana benda tersebut berada atau
terletak.
5. Asas Lex Loci Contractus, adalah untuk perjanjianperjanjian (yang bersifat Hukum Perdata Internasional)
berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan
perjanjian.
6. Municipal laws (sistem-sistem hukum local).
7. cuntos popules ques Clementiae Nostrae Regit Imperium
(semua bangsa di bawak kekuasaan kami).
8. De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de
wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is
verrigt maksudnya adalah hukum yang diterapkan terhadap
setiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang atau
Negara dari tempat di mana perbuatan itu dilakukan.
9. (the desire to do jastice (keinginan untuk mencari
penyelesaian yang seadil-adilnya).
10. Anknopingspunten (Belanda), connecting factors atau point
of contact (Inggris) adalah titik pertalian atau titik taut dalam
hukum perdata internasional.
11. Lex Situs = lex rei sitae adalah tempat letaknya benda.
207
12. Lex loci actus adalah tempat dilangsungkannya perbuatan hukum.
13. Lex loci celebrationis adalah tempat dilangsungkannya atau
diresmikannya perkaawinan.
14. Lex loci contractus adalah tempat ditandatanganinya kontrak.
15. Lex loci solutionis atau lex loci executionis) adalah tempat
dilaksanakannya perjanjian.
16. Lex loci delicticommisi adalah tempat terjadinya perbuatan
melawan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto, 1992, Dasar-Dasar Hukum Internasional, Buku Kesatu,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata
Internasional, Binacipta, Bandung.
David D. Sigel. 1982, Conflicts. West Publishing Co. St. Paul Minn.
Mochtar Kusumaadmadja, 1990, Pengantar Hukum Internasional:
Bku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
P.B. Nygh, 1984, Conflict of Law in Australia, Fourth ed.
Butterworths, Sydney
Sudargo Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional,
Badan Pembinaan Hukum Nasional-Binacipta, Bandung.
---------, 1992, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid I (Buku
1). Alumni, Bandung.
---------, 1996, Hukum Perdata Internasional, Jilid Kedua Bagian
Pertama (Buku 2), Eresco, Bandung.
208
BAB VIII
ASAS-ASAS HUKUM INTERNASIONAL
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajrai pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu
memahami; sejarah perkembangan hukum internasional, sumbersumber hukum internasional, subjek hukum internasional, hubungan
antara hukum internasional dengan hukum nasional.
Tujuan Khusus pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum internasional.
2. Mengungkapkan sumber-sumber hukum internasional.
3. Menjelaskan subjek hukum internasional.
4. Menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional.
A. Pengertian
Hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan
dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan
antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan
masyarakat internasional.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja100, Hukum Internasional
adalah sekumpulan kaedah dan asas-asas yang mengatur hubungan
dan persoalan yang melintasi batas antara: (a) negara dengan negara,
(b) negara dengan subjek hukum internasional bukan negara satu sama
lainnya.
100
Muktar Kusumatmadja, 2003, Hukum Internasional Publik, Alumni, Bandung,
hal. 1-2/
209
Pengertian hukum internasional yang diberikan pakar hukum
terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly101, terbatas pada
negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan
subyek hukum lain ke dalamnya.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada
paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan, kerjasama dan saling
ketergantungan antar negara, menjamurnya organisasi-organisasi
internasional, munculnya negara-negara baru dalam jumlah yang
banyak sebagai akibat dekolonisasi, menyebabkan ruang lingkup
hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum
internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara tetapi juga
subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organsiasi
internasional, kelompok-kelompok supranatural, dan gerakan-gerakan
pembebanan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu, hukum
internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam
hubungannya dengan negara-negara. Walaupun hukum internasional
tidak lagi semata-mata merupakan hukum antar negara dengan
tampilnya aktor-aktor baru non negara, namun dalam kehidupan
internasional, negara masih tetap memainkan peranan utama
mengingat dampak kedaulatan yang dimilikinya terhadap keseluruhan
sistem hukum internasional.
Sebetulnya negara bukan saja merupakan subjek tetapi juga
aktor hukum internasional yang paling berperan dalam membuat
hukum internasional baik melalui partisipasinya pada berbagai
hubungan atau interaksi internasional, maupun melalui perjanjianperjanjian internasional yang dibuatnya dengan negara atau aktoraktor lainnya, atau melalui keterikatannya terhadap keputusan dan
resolusi organisasi-organisasi internasional. Dengan demikian hukum
internasional dapat dirumuskan sebagai suatu kaidah atau norma101
. Ibid, hlm. 7.
210
norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek
hukum internasinal, yaitu negara, lembaga dan organisasi
internasional, serta individu dalam hal-hal tertentu.
B. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional
Pada dasarnya hukum internasional dalam pengertian modern
hampir berumur 4 abad, namun akar-akarnya telah terdapat semenjak
zaman Yunani kuno dan zaman Romawi. Di zaman Yunani kuno ahliahli pikir seperti Aristoteles, Socrates dan Plato telah mengemukakan
gagasan mengenai wilayah, masyarakat dan individu. Lebih dari 2000
tahun yang lalu city-states di Yunani walaupun didiami oleh bangsa
dengan bahasa yang sama, hubungan mereka telah diatur dengan
ketentuan-ketentuan tersebut menyangakut pengaturan-pengaturan
perang dan penghormatan terhadap utusan-utusan negara. Namun,
pada waktu itu ketentuan-ketentuan tersebut belum lagi didasarkan
atas prinsip hukum yang mengikat tetapi atas percampuran moral,
agama dan hukum.
Pada zaman kekaisaran Romawi, berbeda dengan zaman Yunani
kuno, hubungan internasional sudah ditandai dengan negara-negara
dalam arti kata yang sebenarnya. Dengan negara-negara lain, kerajaan
Romawi membuat bermacam-macam perjanjian seperti perjanjianperjanjian persahabatan, persekutuan dan perdamaian. Disamping itu
kerajaan Romawi juga mengembangkan ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan perang dan damai. Sumbangan Romawi terhadap
pembentukan hukum internasional cukup berarti, tetapi prinsip-prinsip
yang dirumuskannya tidak banyak berkembang karena negara tersebut
menaklukkan hampir semua negara lain pada waktu itu. Barulah pada
abad ke-15 dan 16, city-states di Italia seperti Venice, Genoa dan
Florence mengembangkan praktek pengiriman duta-duta besar residen
ke ibukota masing-masing yang berakibat dibuatnya prinsip-prinsip
211
hukum yang mengatur hubungan diplomatik mereka terutama
kekebalan-kekebalan para duta besar dan stafnya.
Hukum internasional dalam arti sekarang, baru berkembang
mulai abad ke-16 dan 17 setelah lahirnaya negara-negara dengan
sistem modern di Eropa. Perkembangan hukum internasional pada
waktu itu sangat banyak dipengaruhi oleh karya-karya tokoh-tokoh
kenamaan di Eropa yang dapat juga atas dua aliran utama yaitu
golongan naturalis dan golongan positivis.
1. Golongan Naturalis
Golongan naturalis menyebutkan, prinsip-prinsip hukum dalam
semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal
dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan
yang dapat ditemui dengan akal sehat. Hukum harus dicari dan bukan
dibuat. Itulah yang dinamakan golongan naturalis yang merumuskan
prinsip-prinsip atas dasar hukum alam bersumberkan pada ajaran
Tuhan. Tuhan mengajarkan bahwa umat manusia dilarang berbuat
jahat dan harus berbuat baik antara satu dengan yang lain demi
keselamatan umat manusia. Atas dasar hukum alam itu pula, negaranegara harus bersikap baik dalam hubunganna satu sama lain demi
keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat internasional.
Tokoh terkemuka golongan ini ialah warga Belanda Hugo de
Groot atau Grotuis (1583-1645). Tokoh-tokoh lainnya adalah
Fransisco de Vittoria (1480-1546), Fransisco Suarez (1548-1617),
Alberico Gentilis (1552-1606).
Ditinjau dari perkembangan hukum internasional, sumbangan
Grotius sangat besar dan bahkan ia telah diberi julukan pendiri hukum
internasional modern. Karyanya yang terkenal ialah De jure belli ac
pacis (Hukum Perang dan Damai) yang berisikan dasar-dasar baru
yang mengatur hubungan antar negara. Dengan karyanya tersebut
212
hukum internasional selanjutnya merupakan suatu sistem hukum yang
terpisah, suatu cabang tersendiri.
2. Golongan Positivis
Golongan positivis menyatakan, hukum yang mengatur
hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negaranegara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional
adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan
dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiaswaan internasional.
Seperti apa yang dinyatakan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
dalam bukunya Du contract social, “La loi e’est I’expression de la
volonte generale”. Hukum adalah pernyataan kehendak bersama.
Tokoh utama penganut aliran positivis ini juga warga Belanda bersama
Cornelius Van Bynkershoek (1673-1743).
Tokoh-tokoh lainnya adalah Prof. Richard Zouche (1590-1660)
dan Emerich de Vattel (1714-1767). Teori hukum positif mulai
berkembang di abad ke-18 dan baru pada abad 19 diterima oleh
masyarakat internasional.
Pada abad ke-19, hukum internasional berkembang dengan
cepat karena beberapa faktor: (1) Negara-negara Eropa sesudah
Kongres Wina 1815 berjanji untuk selalu memakai prinsip-prinsip
hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain, (2) Banyak
dibuat perjanjian-perjanjian (law-making treaties) seperti di bidang
perang dan netralitas, peradilan dan arbitrasi, (3) Berkembangnya
perundingan-perundingan multilateral yang sering melahirkan
ketentuan-ketentuan hukum yang baru.
Di paruh kedua abad ke-20, hukum internasional mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Faktor-faktor penyebabnya antara
lain adalah sebagai berikut: (1) Banyaknya negara-negara baru yang
lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar
213
negara, (2) Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang
dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar
engara di berbagai bidang, (3) Banyaknya perjanjian-perjanjian
internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun
bersifat global, (4) Bermunculannya organisasi-organisasi seperti PBB
dengan berbagai organ subsidernya serta Badan-badan khusus dalam
kerangka PBB yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam
berbagai bidang.
C. Sumber-Sumber Hukum Internasional
Menurut J. G. Starke102 bahwa sumber-sumber materiil hukum
internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang
digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan
hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Pada
garis besarnya, bahan-bahan tersebut dapat dikategorikan dalam lima
bentuk, yaitu:
1. Kebiasaan
2. Traktat
3. Keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrasi
4. Karya-karya hukum
5. Keputusan atau ketetapan organ-organ/lembaga internasional.
Sedangkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
menetapkan bahwa sumber hukum internasional yang dipakai oleh
Mahkamah dalam mengadili perkara-perkara adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang
bersifat umum maupun khusus.
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang
diakui oleh negara-negara beradab;
102
Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 45.
214
4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli
yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly
qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum
internasional.
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut tidak
memasukkan keputusan-keputusan arbitrasi sebagai sumber hukum
internasional karena dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui
badan arbitrasi hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para
pihak pada perjanjian. Di lain pihak, prinsip-prinsip hukum umum
dimasukkan dalam Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai
upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk
membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber
hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah dalam
menyelesaikan suatu sengketa. Prinsip-prinsip umum tersebut harus
digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsepkonsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional.
1. Perjanjian Internasional
Konvensi-konvensi internasional yang merupakan sumber utama
hukum internasional adalah konversi yang berbentuk law making
treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan
prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum.
Sebagai contoh dapat disebutkan:
a. Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 mengenai Hukum
Perang dan Penyelesaian Sengketa Secara damai.
b. General Treaty for the Renunciation of War, 27 Agustus 1928.
c. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945
d. Konvensi-konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1861
dan Hubungan Konsuler, 1963.
215
e. Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban
Perang dan Protokol-protokol tambahan, 1977.
f. Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982.
g. Konvensi Senjata-senjata Kimia, (Chemical Weapons Convention)
1993.
h. Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT), 1996.
Di samping itu terdapat sejumlah perjanjian mengenai kawasan
bebas senjata nuklir yang bersifat regional, yaitu:
a. Treaty of Tlatelolco yang meliputi wilayah Amerika Latin dan
Karibia (1967).
b. Treaty of Rarotonga meliputi kawasan Pasifik Selatan (1986).
c. Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) Treaty
meliputi kawasan Asia Tenggara (1995)
d. Treaty of Pelindaba meliputi kawasan Afrika (1996).
2. Hukum Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui
sikap dan tindakan yang diambilnya terhadap suatu persoalan. Bila
suatu negara mengambil suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan
tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali
serta tanpa adanya proses atau tantangan dari pihak lain maka secara
berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Terbentuknya suatu
hukum kebiasaan didasari oleh praktek yang sama, dilakukan secara
konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh banyak
negara. Dengan cara demikian maka terbentuk hukum kebiasaan yang
makin lama makin bertambah kuat dan berlaku secara universal
karena diikuti oleh hampir semua negara di dunia. Konvensi-konvesi
Hubungan Diplomatik, Konsuler, Konvensi-konvensi Hukum Laut
tahun 1958 dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian tahun 1969
adalah bebrapa contoh hasil kodifikasi hukum kebiasaan. Dalam
216
beberapa hal, hukum kebiasaan menguntungkan dari hukum tertulis
mengingat sifatnya yang cukup luwes. Hukum kebiasaan dapat
berubah sesuai perkembangan kebutuhan internasional sedangkan
perubahan terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif harus melalui
prosedur yang lama dan berbelit-belit.
3. Prinsip-prinsip Umum Hukum
Sumber ketiga hukum internasional adalah prinsip-prinsip
umum hukm yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum
nasional negara-negara. Walaupun hukum nasional berbeda dari satu
negara ke negara lain namun prinsip-prinsip pokoknya tetap sama.
Prinsip-prinsip umum yang diambil dari sistem-sistem nasional ini
dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional.
Prinsip-prinsip hukum administrasi dan perdagangan, ganti rugi dan
kontrak kerja diambil dari sistem nasional untuk mengatur kegiatan
yang sama dalam kerangka hukum internasional. Di samping itu
terdapat prinsip lainnya seperti pacta sunt servanda, persamaan
negara dan bona fides.
4. Keputusan-keputusan Peradilan
Keputusan-keputusan peradilan memainkan peranan yang cukup
penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum
internasional.
Keputusan-keputusan
Mahkamah
Internasional
misalnya dalam sengketa-sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan
telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam hukum internasional
yang selanjutnya mendapat persetujuan negara-negara secara umum.
Di samping itu karya dari tokoh-tokoh kenamaan dapat memainkan
peranan dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan hukum. Kita
masih ingat betapa besarnya peranan pakar-pakar hukum di abad ke17 dan 18 dalam proses pembentukan hukum internasional.
Sehubungan dengan sumber-sumber hukum ini, Mahkamah juga
217
diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et
bono yaitu keputusan yang buta atas pelaksanaan hukum positif tetapi
atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.
D. Hubungan Antara Hukum Internasional Dan Hukum
Nasional
Hubungan antara perangkat hukum ini terdapat dua aliran yaitu
monisme dan dualisme. Menurut pandangan monisme, semua hukum
merupakan satu sistem kesatuan hukum yang mengikat apakah
terhadap individu-individu dalam suatu negara ataupun terhadap
negara-negara dalam masyrakat internasional. Tokoh-tokoh aliran
monisme ini adalah Kelsen dan Goerges Scelle. Sebaliknya para
pendukung dualisme seperti Triepe dan Anzilotti menganggap bahwa
hukum internasional dan hukum nasional adalah 2 sistem hukum yang
terpisah, berbeda satu sama lain. Menurut aliran dualisme ini
perbedaan tersebut terdapat pada:
1. Perbedaan Sumber Hukum
Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan hukum
tertulis suatu negara sedangkan hukum internasional berdasarkan pada
hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama
negara-negara dalam masyarakat internasional.
2. Perbedaan mengenai Subjek
Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam
suatu negara sedangkan subjek hukum internasional adalah negaranegara anggota masyarakat internasional.
218
3. Perbedaan mengenai Kekuatan Hukum
Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan
sempurna kalau dibanding dengan hukum internasional yang lebih
banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horizontal.
Pandangan dualisme ini dibantah golongan monisme dengan
alasan bahwa: (a) Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai
istilah yang berbeda, namun subjek hukumnya tetap sama yaitu
bukanlah pada akhirnya yang diatur oleh hukum internasional adalah
individu-individu yang terdapat dalam suatu negara. (b) sama-sama
mempnyai kekuatan hukum yang mengikat. Di saat diakuinya hukum
internasional sebagai suatu sistem hukum maka tidaklah mungkin
untuk dibantah bahwa hukum internasional dan nasional merupakan
bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat
hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat apakah
terhadap individu-individu ataupun negara.
Selanjutnya mengenai aliran monisme terdapat pula dua
pandangan yaitu yang memberikan primat pada hukum nasional atas
hukum internasional dan primat hukum internasional atas hukum
nasional. Tanpa melibatkan diri pada diskusi akademis mengenai
kebenaran pandangan kedua aliran monisme dan dualisme tersebut
dapatlah dikatakan bahwa praktek internasional tidak menunjukkan
secara nyata aliran yang lebih dominan. Sebaliknya terdapat
konfirmasi primat hukum internasional atas hukum nasional sebagai
syarat yang diperlukan bagi keberadaan hukum internasional.
E. Subjek Hukum Internasional
Yang dimaksud dengan subyek hukum internasional ialah setiap
negara, badan hukum (internasional) atau manusia yang memiliki hak
dan kewajiban dalam hubungan hukum internasional.
219
Subyek hukum internasional itu antara lain ialah:
1. Negara
Negara sebagai subjek hukum internasional yaitu negara yang
merdeka, berdaulat dan tidak merupakan bagian dari suatu negara.
Negara yang berdaulat artinya negara yang mempunyai
pemerintahan sendiri secara penuh yaitu kekuasaan penuh
terhadap warga negara dalam lingkungan kewenangan negara itu.
2. Tahta suci
Yang dimaksud Tahta Suci (Heilige Stoel) ialah Gereja Katolik
Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan
bukan sebuah negara sebagai yang disyaratkan negara pada
umumnya, tetapi Tahta Suci itu mempunyai kedudukan sama
dengan sebuah negara sebagai subjek hukum internasional.
Manusia sebagai individu dianggap merupakan subjek hukum
internasional kalau dalam tindakan atau kegiatan yang
dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai
kehendak damai kehidupan masyarakat dunia.
Misalnya: Pertanggungjawaban individu terhadap timbulnya
Perang Dunia II.
3. Organisasi Internasional
Dalam pergaulan internasional yang menyangkut mengenai
hubungan antara negara-negara, maka banyak sekali organisasi
yang diadakan (dibentuk) oleh negara-negara itu. Bahkan sekarang
dapat dikatakan telah menjadi lembaga hukum. Menurut
perkembangannya, suatu organisasi internasional timbul pada
tahun 1815 dan menjadi lembaga hukum internasional sejak
adanya Kongres Wina. Pada tahun 1920 didirikanlah Liga BangsaBangsa yang benar-benar merupakan organisasi internasional dan
anggota-anggotanya sanggup menjamin suatu perdamaian dunia.
Tetapi jaminan itu tidak berhasil
220
Organisasi internasional yang bertujuan untuk kepentingan sosial
ada juga seperti organisasi untuk memperbaiki dan mempertinggi
pengajaran, pemberantasan kelaparan, pemberantasan penyakit
dan sebagainya.
F. Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional
yang bersifat universal didirikan pada tanggal 26 Juni 1945 di San
Fransisco sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Tujuan organisasi
internasional ini dicantumkan dalam Mukaddimah Piagamnya yang
menegaskan bahwa:
Kami rakyat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa bermaksud untuk
menyelamatkan keturunan kami dari siksaan perang yang telah dua
kali dalam seumur manusia menimbulkan kesengsaraan yang tidak
ada akhirnya bagi manusia, serta:
1. memperkuat lagi keyakinan hak-hak dasar manusia, kemuliaan
dan derajat tinggi manusia, hak-hak yang sama dari pria dan
wanita segala bangsa baik yang besar maupun yang kecil, serta
2. menciptakan suasana akan keadilan dan penghargaan terhadap
kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian
internasional dan lain-lain sumber hukum internasional dapat
dipelihara, serta
3. memajukan masyarakat dan mempertinggi tingkat hidup yang baik
dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas, dan untuk
melaksanakan cita-cita itu
4. menciptakan kesabaran dan hidup bersama sebagai tetangga yang
baik dalam keadaan damai dan terjamin, seta mempersatukan
kekuatan kami supaya perdamaian dan keamanan internasional
tetap terpelihara, serta
221
5. menjamin, dengan mengaku asas-asas yang tertentu dengan
melakukan cara-cara tertentu, agar kekuatan senjata tidak akan
digunakan, kecuali untuk keperluan bersama, serta
6. mempergunakan aparat internasional untuk menyelenggarakan
kemajuan ekonomi dan sosial semua bangsa, telah menentukan
sebagai persatuan semua tenaga kami dan tercapainya maksud
tersebut.
Karena itu, maka pemerintah kami masing-masing melalui
perantaraan wakil-wakil yang ternyata mendapat surat kuasa dan
sepenuhnya, telah bermusyawarah di kota San Fransisco, serta telah
menyetujui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini,
dan kemudian membentuk badan internasional yang akan dikenal
dengan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations).
Tujuan yang dicantumkan dalam Mukadimah ini kemudian
diulang lagi dalam Pasal 1 Piagam PBB. Sedangkan asas-asasnya
dicantumkan dalam Pasal 2 yang menyebutkan:
a. Perserikatan Bangsa Bangsa berasaskan kepada persamaan
kedaulatan.
b. Semua anggota akan menjamin hak-hak yang timbul sebagai
anggota dan akan memenuhi kewajibannya dengan penuh
kesetiaan.
c. Dalam
hubungan
internasional
setiap
anggota
akan
menghindarkan diri dari ancaman dan penggunaan kekerasan bagi
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara. Setiap
anggota wajib membantu PBB dalam kegiatan yang diambil
berdasarkan ketentuan Piagam.
d. PBB akan menjamin agar bagi negara yang bukan anggota
bertindak sesuai dengan asas-asas PBB dalam kepentingan yang
dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional.
e. PBB tidak akan ikut campur urusan dalam negeri suatu negara.
222
Berdasarkan tujuan dan asas-asas ini, maka dalam pergaulan
internasional PBB menyelenggarakan kegiatan melalui enam aparat
perlengkapan utamanya, yaitu:
1) Majelis Umum (General Assembly)
2) Dewan Keamanan (Security Council)
3) Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council)
4) Dewan Perwalian (Trusteeship Council)
5) Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
6) Sekretaris (Secretary).
Ad. 1. Majelis Umum
Setiap anggota PBB merupakan Majelis Umum. Negara anggota
diperkenankan mengirim lima orang wakilnya ke sidang Majelis
Umum dengan hak satu suara.
Sidang Majelis Umum diadakan sedikitnya sekali setahun dalam
bulan September. Tetapi atas permintaan Dewan Keamanan atau
sebagian besar anggota, Sekretaris Jenderal dapat mengadakan sidang
istimewa, dan keadaan mendesak dalam waktu 24 jam Dewan
Keamanan dapat meminta Majelis Umum mengadakan sidang darurat
istimewa.
Majelis Umum memiliki tugas dan wewenang yang pada
pokoknya meliputi tentang perdamaian dan keamanan internasional;
kerja sama ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan,
perikemanusiaan; sistem perwalian; keuangan penetapan keanggotaan,
perubahan program; pemilihan keanggotaan tidak tetap Dewan
Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwakilan, bersamasama Dewan Keamanan memilih hakim dari Mahkamah Internasional
dan atas usul Dewan Keamanan memilih Sekretaris Jenderal.
Untuk melaksanakan tugas-tugas itu Majelis Umum mempunyai
komisi-komisi yang terdiri atas:
223
a. Komisi I mengurus bidang politik dan keamanan
b. Komisi II mengurus bidang ekonomi dan keuangan
c. Komisi III mengurus bidang sosial, perikemanusiaan dan
kebudayaan
d. Komisi IV mengurus bidang perwalian, termasuk daerah-daerah
yang tidak berpemerintahan sendiri.
e. Komisi V mengurus bidang administrasi dan anggaran belanja.
f. Komisi VI mengurus bidang perundang-undang (hukum).
Selain itu terdapat sub-sub komisi yang terdiri atas:
a. United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in
the Near East (UNWRA).
b. United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD)
c. United Nations Children’s Fund (UNICEF)
d. United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR)
e. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)
f. United Nations Development Programme (UNDP)
g. United Nations Institute Training and Research (UNITER)
Ad. 2. Dewan Keamanan
Terdiri dari lima anggota tetap yang memiliki hak “veto” (saya
melarang) yaitu Inggris, Perancis, Republik Rakyat Cina, Amerika
Serikat dan Uni Soviet dan sepuluh anggota tidak tetap yang dipilih
setiap 2 tahun. Tugasnya memelihara perdamaian, menyelesaikan
perselisihan internasional secara damai, mengambil tindakan terhadap
ancaman agresi dan perkosaan perdamaian. Untuk melaksanakan
tugas-tugas itu, yang didalamnya diperbantukan Panitia Staf Militer
dan Panitia Perlucutan Senjata, Dewan Keamanan mempunyai
wewenang: Memerintahkan kepada pihak-pihak yang berselisih untuk
224
berunding, memberikan perantaraan dan keputusan; Mengambil
tindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mengindahkan perintahnya.
Untuk hal ini Dewan Keamanan dapat meminta bantuan dalam
segala bentuk, misalnya pengiriman Pasukan-pasukan PBB.
Ad. 3. Dewan Ekonomi dan Sosial
Anggotanya sebanyak 54 negara anggota PBB. Keanggotaan Dewan
Ekonomi dan Sosial itu dipilih oleh Majelis Umum setiap 3 tahun
sekali hanya seorang wakil (dari negara terpilih) yang duduk
didalamnya. Tugas dan wewenang yang diemban oleh Dewan
Ekonomi dan Sosial ialah:
a. Menyelenggarakan kegiatan ekonomi tanggung jawabnya.
b. melakukan penyilidikan untuk dilaporkan dan memberikan
anjuran-anjuran mengenai bidang ekonomi, sosial, kebudayaan,
kesehatan, pendidikan dan masalah lain yang ada dan sosial
sebagai hubungannya, membuat laporan dari hasil pekerjaannya
dan disampaikan kepada Majelis Umum, kepada anggota-anggota
PBB dan komisi-komisi yang mempunyai hubungan kepentingan
dengan Dewan Ekonomi dan Sosial ini. Untuk melaksanakan
tugasnya, Dewan Ekonomi dan Sosial oleh komisi-komisi dan
badan-badan khusus. Adapun komisi-komisi itu terdiri atas:
1) Regional Economic Commission
2) Functional Commission
3) Sensational, standing, and hoc commission.
Sedangkan badan-badan khusus yang dikoordinir oleh Dewan
Ekonomi dan Sosial terdiri dari:
a. Food and Agriculture Organization (FAO)
b. International Monetary Fund (IMF)
c. International Bank of Reconstruction and Development (World
Bank)
225
d. United Nation Educational Scientific and Cultural Organization
(UNESCO)
e. World Health Organization (WHO)
f. International Labour Organization (ILO)
g. International Development Association (IDA)
h. International Finance Corporation (IFC)
i. International Civil Aviation Organization (ICAO)
j. International Postal Union (IPU)
k. International Telecommunication Union (ITU)
l. World Governmental Maritime Consultative Organization
(WGMCO)
m. World Intellectual Property Organization (WIPO)
n. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Ad. 4. Dewan Perwalian
Tugas-tugas Dewan Perwalian melindungi kepentingan penduduk di
daerah-daerah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri.
Pelaksanaannya dijalankan dengan mempertinggi kemajuan politik,
ekonomi, sosial dan pendidikan dalam rangka untuk memperoleh
pemerintahan sendiri sesuai dengan haknya untuk menentukan nasib
sendiri. Daerah-daerah yang ada di bawah perwalian itu merupakan
kolonisasi dari negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia I dan II.
Sebagai trustterritory dibedakan dalam tiga macam yaitu:
Daerah mandat, ialah daerah yang setelah Perang Dunia I diserahkan
oleh negara-negara yang kalah perang.
Daerah yang dipisahkan dari negara-negara yang kalah dalam Perang
Dunia II.
Daerah-daerah yang oleh negara penanggung jawab secara sukarela
diserahkan.
226
Pengawasan daerah perwalian itu dijalankan oleh Dewan Perwalian
yang terdiri dari:
a. Anggota penyelenggara pemerintahan daerah perwalian
b. Anggota tetap Dewan Keamanan yang tidak diberi tugas sebagai
negara wali.
c. Anggota-anggota yang dipilih oleh Majelis Umum untuk tiga
tahun lamanya.
Ad. 5. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional merupakan pengadilan tertinggi dalam
kehidupan bernegara di dunia ini. Sebagai aparat perlengkapan PBB,
Mahkamah beranggotakan 15 orang hakim yang dipilih oleh Majelis
Umum dan Dewan Keamanan. Masa pilih para hakim Mahkamah 9
tahun sekali dengan ketentuan dapat dipilih kembali.
Mahkamah Internasional berkedudukan di Den Haag (Negara
Belanda). Dan sebagai pengadilan internasional, Mahkamah bertugas
menyelesaikan perselisihan internasional dari negara-negara anggota
PBB, sebab semua anggota PBB adalah “ipsofacto” dari Piagam
Mahkamah Internasional menurut Pasal 193 ayat (1) Piagam PBB.
Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “negara yang bukan anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa boleh menjadi peserta dari Piagam
Mahkamah Internasional sesuai syarat-syarat yang ditetapkan oleh
Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan”. Berdasarkan
ketentuan ini berarti bahwa Mahkamah Internasional dapat mengadili
negara-negara bukan anggota PBB dalam menghadapi perselisihan.
Mahkamah mengadili masalah yang berkenaan dengan perselisihan
kepentingan dan perselisihan hukum.
Dalam penyelenggaraan pengadilan internasional, setiap negara
anggota PBB tidak diwajibkan membawa masalah perselisihan yang
mereka hadapi ke hadapan pengadilan, kecuali bagi negara-negara
227
yang telah menandatangani “optional clause”. Mengenai ketentuan ini
dicantumkan dalam Pasal 36 ayat (2) Piagam Mahkamah Internasional
yang menyatakan bahwa “negara-negara peserta Piagam Mahkamah
Internasional sebagai kekuasaan yang mengikat berdasar hukum dan
dapat tidak mengikat berdasarkan perjanjian istimewa”. Dalam hal ini
hubungan hukum internasional mengenai proses perkara berdasarkan
surat gugatan. Dan dengan adanya optional clause menunjukkan
langkah penting menuju suatu pengadilan internasional wajib,
walaupun penandatangan dari negara-negara anggota hanya mengenai
penyelesaian perselisihan hukum saja.
Ad. 6. Sekretariat
Sekretariat PBB terdiri atas seorang Sekretaris Jenderal dan stafnya.
Sekretaris Jenderal dipilih dan diangkat oleh Majelis Umum atas
anjuran Dewan Keamanan. Tugasnya menyelenggarakan sidangsidang PBB dan Dewan-dewan, menyusun laporan-laporan tentang
pekerjaan PBB dan Dewan-dewan untuk disampaikan kepada sidang
Majelis Ulama.
G. Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
Organisasi kerjasama Asia Tenggara yang diberi nama ASEAN
(Association of South East Asia Nations atau Persatuan BangsaBangsa Asia Tenggara) didirikan melalui Deklarasi ASEAN tanggal
8 Agusatus 1967 di Bangkok (Thailand). Negara-negara pendirinya
ialah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
Organisasi ini didirikan tanpa keanggotaan terbatas.
Maksudnya terbuka bagi setiap negara yang terletak dilingkup
geografis Asia Tenggara. Maksud dan tujuan organisasi ini inti
utamanya ialah kerjasama dalam mencapai kesejahteraan hidup
bertetangga baik dalam bernegara. Hal ini antara lain meliputi:
228
a. Pertumbuhan yang cepat dalam bidang ekonomi, kemajuan sosial
dan kebudayaan.
b. Memelihara perdamaian dan stabilitas regional.
c. Kerjasama dan saling membantu dalam kepentingan bersama.
d. Memajukan studi tentang Asia Tenggara.
Untuk mencapai maksud dan tujuan ini ada aparat
perlengkapan ASEAN yang terdiri dari:
a. Pertemuan dari Kepala Pemerintahan negara anggota. Pertemuan
Menteri Luar Negeri.
b. Pertemuan ini diadakan setahun sekali secara bergilir dan
menentukan program ASEAN, merumuskan pedoman dan
koordinasi kegaitan serta melakukan peninjauan kembali terhadap
keputusan dan program yang lalu.
Komite kerja.
Kepala Komite Kerja ASEAN ini ialah Menteri Luar Negeri negara
tuan rumah (pertemuan) atau wakilnya. Anggota-anggotanya terdiri
atas Duta Besar negara ASEAN yang ada di negara tuan rumah.
Tugas Komite ini ialah:
1) melanjutkan pekerjaan ASEAN dalam kurun waktu antara sidang
Menteri Luar Negeri.
2) Mengerjakan masalah-masalah rutin
3) Membuat keputusan tanpa menunggu pertemuan Menteri Luar
Negeri berikutnya.
4) Sekretariat ASEAN Nasional.
Pada setiap negara anggota dibentuk Sekretariat Nasional yang
melaksanakan tugas-tugas ASEAN atas nama negaranya.
5) Komite tetap, khusus dan ad hoc.
Tugasnya melaksanakan program ASEAN. Keanggotaan komite
ini terdiri atas para ahli sesuai bidangnya.
229
6) Sekretariat ASEAN
Sekretariat ASEAN berkedudukan di Jakarta (Indonesia) Lembaga
ini didirikan berdasar kepada hasil Konperensi Tingkat Tinggi
ASEAN tahun 1976 (Juni).
Kepala Sekretariat ialah Sekretaris Jenderal yang pemilihannya
ditentukan dalam sidang Menteri Luar Negeri. Masa jabatan
Sekretaris Jenderal selama 2 tahun secara bergantian dari negaranegara anggota. Sedangkan tugasnya melaksanakan pekerjaan
kesekretariatan ASEAN.
RANGKUMAN
Hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan
dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan
antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan
masyarakat internasional.
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan
bahwa sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah
dalam mengadili perkara-perkara adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang
bersifat umum maupun khusus.
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang
diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli
yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly
qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum
internasional.
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut tidak
memasukkan keputusan-keputusan arbitrasi sebagai sumber hukum
internasional karena dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui
230
badan arbitrasi hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para
pihak pada perjanjian. Di lain pihak, prinsip-prinsip hukum umum
dimasukkan dalam Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai
upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk
membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber
hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah dalam
menyelesaikan suatu sengketa. Prinsip-prinsip umum tersebut harus
digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsepkonsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Hukum internasional
2. Jelaskan sumber hukum internasional yang dipakai oleh
Mahkamah dalam mengadili sebuah perkara
3. Jelaskan tugas-tugas dari mahkmah internasional
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan law making treatis
5. Jelaska apa yang menjadi subjek hukum internasional
GLOSARIUM
1. Law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang
berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
secara umum.
2. Tahta Suci (Heilige Stoel) ialah Gereja Katolik Roma yang
diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan bukan sebuah
negara sebagai yang disyaratkan negara pada umumnya, tetapi
Tahta Suci itu mempunyai kedudukan sama dengan sebuah negara
sebagai subjek hukum internasional.
231
DAFTAR PUSTAKA
Muktar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung,
2003.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kesepuluh), Sinar
Grafika, Jakarta, 1995.
232
BAB IX
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: pengertian syariat dan fiqih dalam hukum
Islam, tujuan Hukum Islam, Ahkamulkhamsah, Ushulul Fiqh
(sumber-sumber) Hukum Islam, asas-asas Hukum Islam,
Hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, Peradilan Syariah di
Propinsi Aceh.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi syariat dan fiqih dalam Hukum
Islam.
2. Mengungkapkan tujuan Hukum Islam.
3. Menjelaskan Ahkamulkhamsah
4. Menjelaskan Ushulul Fiqh (sumber-sumber) Hukum Islam.
5. Menjelaskan asas-asas yang terkandung di dalam Hukum
Islam.
6. Menjelaskan keberadaan Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia.
7. Menjelaskan dasar hukum keberadaan Peradilan Syariat di
Propinsi Aceh.
A. Pengertian Syari’at Dan Fiqih Dalam Hukum Islam
Allah menciptakan manusia untuk beribadat pada-Nya. Dalam
melaksanakan ibadat pada Allah manusia diberikan petunjuk yang
disebut dengan Agama atau Al-Din, atau Al-Islam. Untuk
233
menjalankan Al-Din, selanjutnya Allah swt telah memberikan syariat
kepada manusia dibawah bimbingan dan petunjuk Rasul-Nya. 103
Syariat itu sendiri adalah metode atau cara melaksanakan AlDin, atau dapat juga disebut program implementasi dari Al-Din104.
Syariat dengan kata lain adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah
swt yang dijelaskan oleh Rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek
kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan
di akhirat. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah dan sabda
rasul-Nya. Agar semua ketentuan hukum yang terkandung dalam
syariat dapat diamalkan, maka manusia harus memahami apa yang
dikendaki Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Kemampuan akal yang dihasilkan oleh manusia untuk
memahami syariat (alquran dan sunnah) bukan lagi syariat melainkan
disebut dengan fiqih105.
Pemahaman terhadap nilai hukum yang terdapat dalam syariat
bisa saja berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan karena adanya
perbedaan tempat dan waktu, perubahan situasi dan kondisi
masyarakat, kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu. Oleh
karena itu fiqih sebagai hasil pemahaman terhadap syariat sering
dihubungkan dengan orang atau kelompok orang yang telah berupaya
melakukan penemuan hukum yang digali dari syariat. Seperti bisa
dijumpai fiqih Hanafi, fiqih Syafi’i, fiqih Syi’ah. Fiqih juga sering
dikaitkan dengan kebutuhan yaitu dengan memperhatikan kondisi
umat Islam di daerah tertentu, yang mungkin berbeda dengan daerah
lain. Misalnya, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sering disebut
103
104
105
QS. Al-Maidah: 48.
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 24.
I b i t, hlm. 42.
234
juga dengan fiqih Indonesia. Ini disebabkan ia disusun dengan
memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia106.
Kembali kepada ajaran agama Islam yang disebut dengan
syari’at, meliputi apa yang tercakup dalam Ilmu Kalam (Tauhid) dan
Ilmu Fiqih)107. Seseorang yang ahli dalam hukum Islam dinamakan
Faqih (jamaknya: Fuqaha). Ulama-ulama hukum Islam memuat
pendapatnya dalam Kitab-Kitab Fiqih yang mungkin saja berbedabeda seperti sudah dijelaskan. Misalnya mengenai penggolongan
hukum Islam, sesungguhnya tidak semua ahli fiqih sependapat tentang
penggolongan peraturan hukum seperti yang kita pelajari sekarang ini
dalam agama Islam, namun banyak di antara mereka menyetujui
penggolongan sebagai berikut:
1. Ibadah, yang dimaksudkan ke dalam ibadah ialah segala peraturan
tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Fiqih mengenai
ibadah meliputi: syahadat, shalat, shaum, zakat, dan haji.
2. Muamalah, dimasukkan ke dalam golongan ini segala perhubungan
hukum antara sesama manusia, yang dapat disamakan dengan
hukum privat (privat recht) dalam istilah hukum Eropah. Hukum
yang berkenaan dengan muamalah mengatur perhubungan antara
satu orang dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari, seperti
jual beli (ba’i), sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai (rahan),
waqaf, hibah, perserikatan (syarikah), perwakilan (wakalah) dan
lain-lain.
3. Munakahah, golongan hukum ini mengatur perhubungan di antara
sesama manusia dalam kekeluargaan yang dapat disamakan dengan
hukum kekeluargaan (famili recht) dalam istilah hukum Eropah.
Termasuk di dalam golongan hukum Munakahah ialah:
106
107
Departemen Agama R.I, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dirjen
Binbaga, Jakarta, hlm. 141.
Hanafi A, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang Jakarta,
hlm. 8.
235
perkawinan, perceraian, kekuasaan orang tua, keturunan, warisan,
dan lain-lain.
4. Jinayah, hukum ini meliputi segala peraturan yang berkenaan
dengan perbuatan kejahatan dan hukumnya. Dapat disamakan
dengan hukum Pidana dalam istilah hukum Eropah.
Perbuatan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman adalah
sebagai berikut:
a. Kejahatan mengenai jiwa atau anggota tubuh seseorang
(penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya).
b. Kejahatan mengenai hak milik seseorang (perampokan, pencurian,
dan sebagainya).
c. Kejahatan mengenai kehormatan (tuduhan berzina, fitnah, dan
sebagainya).
d. Kejahatan mengenai agama (murtad, dan sebagainya).
e. Kejahatan lainnya (seperti minuman keras, perjudian, dan
sebagainya).
Hukuman yang dapat dijatuhkan bagi orang-orang yang berbuat
kejahatan adalah sebagai berikut:
a. Qishah, yaitu hukuman yang dijatuhkan pada seseorang setimpal
dengan beratnya kejahatan yang telah dilakukannya. Misalnya
seorang pembunuh, dijatuhkan hukuman bunuh pula.
b. Haad, yaitu hukuman yang telah ditentukan beratnya oleh hukum
syari’at. Misalnya seorang pencuri huukmnya potong tangan.
c. Ta’zir, yaitu hukum siksa yang beratnya tidak ditentukan,
melainkan terserah kepada pertimbangan hakim.
d. Diyat, yaitu denda atau ganti kerugian yang wajib dibayar oleh
yang berbuat kejahatan.
e. Perampasan hak milik.
236
Pembagian dalam golongan-golongana tersebut di atas
diteruskan lagi ke dalam bahagian-bahagian tersendiri yang lebih
khusus.
Adapun pembagian hukum Islam ini dilakukan adalah untuk
memudahkan mempelajarinya, sebab hukum Islam sebenarnya
merupakan satu kesatuan hukum yang tidak dapat dilepaskan begitu
saja antara satu bagian dengan bagian lainnya. Umpamanya soal
perkawinan selain berkaitan dengan munakahah juga berkaitan dengan
ibadah.
B. Tujuan Hukum Islam
Apabila kita mempelajari Al-Quran dan hadis, maka secara umum
dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan diakhirat dengan jalan mengambil semua
yang bermanfaat dan mencegah yang mudharat yaitu menolak segala
sesuatu yang tidak berguna dalam kehidupan. Dengan demikian tujuan
hukum Islam adalah mencapai kemaslahatan hidup manusia baik
rohani, jasmani, induvidual dan sosial108, tidak hanya di dunia saja
tetapi juga di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima
tujuan Hukum Islam yaitu:
1. Memelihara agama;
2. Memelihara jiwa;
3. Memelihara akal;
4. Memelihara keturunan;
5. Memelihara harta;
Kelima tujuan hukum Islam ini di dalam kepustakaan disebut almaqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuan-tujuan hukum
Islam).
108
Muhammad Daud Ali, 2004, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 61.
237
Ad1) Pemeliharaan agama merupakan tujuan utama hukum Islam,
sebab agama merupakan pedoman hidup manusia. Di dalam
agama terdapat komponen aqidah yang merupakan pegagan
hidup muslim, akhlak yang merupakan sikap hidup, syariat
yang merupakan jalan hidup baik dalam berhubungan dengan
Tuhannya, manusia dan alam.
Ad2) Memelihara jiwa. Hukum Islam memelihara hak manusia untuk
hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum
Islam melarang pembunuhan (QS 17:33).
Ad3) Memelihara akal. Akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam.
Dengan akal manusia dapat berfikir tentang Allah, alam semesta
dan dirinya. Penggunaan akal harus diarahkan pada hal-hal yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Ad4) Memelihara keturunan. Pemeliharaan keturunan penting agar
kemurnian darah dapat terjaga dan kelanjutan umat manusia
dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam QS 4:11 (syarat untuk
dapat saling mewarisi), QS 4:23 (larangan perkawinan), QS 17:
32 (larangan berzina).
Ad5) Memelihara harta. Menurut ajaran Islam harta adalah pemberian
Tuhan kepada manusia agar manusia dapat melangsungkan
kehidupannya. Karena itu hukum Islam melindungi hak manusia
untuk memperoleh harta dengan cara yang halal.
C. Ahkamulkhamsah
Menurut fiqih segala tindakan manusia dalam melaksanakan
peraturan-peraturan, tidak terlepas dari salah satu di antara hukum yang
lima (ahkamulkhamsah), yaitu:
1. Wajib (fardhu): ialah perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan
dan berdosa jika ditinggalkan. Wajib ini dibagi lagi dalam:
238
a. Fardhu ‘ain, ialah perbuatan yang wajib dikerjakan oleh setiap
orang, misalnya mengerjakan shalat, shaum, dan lain-lain.
b. Fardhu kifayah, ialah perbuatan yang apabila dikerjakan oleh
sebagian orang, lepaslah kewajiban dari yang lain, misalnya
mengurus jenazah.
2. Sunnah atau mandud, ialah perbuatan yang jika dikerjakan diberi
pahala, sedang jika ditinggalkan tidak berdosa, misalnya memberi
salam.
3. Mubah atau jaiz; ialah perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan, misalnya berjual beli.
4. Makruh, ialah perbuatan yang jika dikerjakan tidak berdosa, tetapi
jika ditinggalkan diberi pahala, misalnya merokok.
5. Haram, ialah perbuatan yang jika dikerjakan berdosa, tetapi jika
ditinggalkan diberi pahala, misalnya membunuh orang,
menganiaya, dan sebagainya.
Penggolongan ke dalam 5 bagian ini adalah pendapat para ahli
fiqih. Di dalam Qur’an dan Hadits secara tegas tidak dijelaskan, yang
terang ditentukan ialah apa-apa yang wajib dan yang haram, kadangkadang juga berupa anjuran.
D. Ushulul Fiqh
Kata ushul adalah pluralis dari kata Ashl (asal), artinya akal atau
pokok. Jadi, ushulul fiqh artinya dasar-dasar Hukum Islam atau
sumber-sumber Hukum Islam, atau dalil hukum Islam109. Dalam
Hukum Islam, Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi sumber
hukum Islam (QS. Al-Nisa’(4) ayat 59); setiap muslim wajib mentaati
Allah, mentaati Rasul dan ulil amri (penguasa). Dengan demikian
yang menjadi sumber hukum Islam adalah (1) alquran, (2) As-Sunnah
109
Mukhtar Yahya, 1979, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Pustaka
Alhusna, Jakarta, hlm. 21.
239
(Al-Hadis), (3) akal fikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat
untuk berijtihat karena pengetahuan dan pengalamannya, dengan
mempergunakan berbagai metode atau cara diantaranya (a) ijmak, (b)
qiyas, (c) istidal, (d) al-masalih al—mursalah, (e) istihsan, (f) istishab,
dan (d) ‘urf 110.
E. Asas-Asas Hukum Islam
Asas mempunyai beberapa pengertian. Salah satunya adalah
kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Selain itu
berarti landasan. Bila kata asas dihubungkan dengan hukum, maka
asas hukum akan berarti kebenaran yang dipergunakan sebagai
tumpuan berfikir dan alasan dalam mengemukakan suatu argumentasi,
terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum111.
Asas hukum Islam berasal dari Alquran dan hadis yang
dikembangkan oleh akal fikiran yang memenuhi syarat untuk
berijtihad. Asas-asas hukum Islam ada yang berlaku umum, ada yang
berlaku khusus untuk bidang-bidang hukum tertentu. Tim pengkajian
Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984 menyebutkan
beberapa asas hukum Islam yang; (1) bersifat umum, (2) dalam
lapangan hukum pidana, (3) dalam lapangan hukum perdata.
Sementara asas dalam lapangan hukum Islam lainnya tidak disebutkan
dalam laporan tersebut.
Asas umum hukum Islam terdiri dari asas keadilan, asas
kepastian hukum, dan asas kemanfaatan. Asas keadilan merupakan
asas yang sangat penting, demikian pentingnya, sehingga ia dapat
disebut asas semua asas hukum Islam. Di dalam Al-Quran kata
110
111
Mohammad Daud Ali, Loc. Cit, hlm. 78.
Zainuddin Ali, 2006, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 45.
240
keadilan disebut lebih dari 1000 kali (terbanyak sesudah kata Allah
dan ilmu pengetahuan)112. Banyak ayat yang menyuruh manusia
berlaku adil dan menegakkan keadilan, antara lain dalam Surat Sad
(38)
ayat
26
“Allah
memerintahkan
penguasa
untuk
menyelenggarakan hukum dengan sebaik-baiknya”, Al-Nisa’ (4) ayat
135 “Allah memerintahkan manusia menegakkan keadilan, menjadi
saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dan keluarga
dekat”, Al-Maidah (5) ayat 8 “Tuhan menegaskan agar manusia
berlaku adil sebagai saksi, berlaku lurus dalam melakssanakan hukum
kendatipun ada tekanan atau ancaman”.
Asas kepastian hukum antara lain terdapat dalam Surat Bani
Israil (17) ayat 15 yang isinya lebih kurang “…dan tidaklah kami
menjatuhkan hukuman , kecuali setelah kami mengutus seorang rasul
untuk menjelaskan…”. Selanjutnya dalam Al-Maidah (5) ayat 95 yang
menyatakan “Allah memaafkan apa yang terjadi di masa lalu”. Dari
kedua ayat tersebut disimpulkan terdapat asas kepastian hukum, di
mana tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali atas
ketentuan hukum yang telah ada dan berlaku.
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan
dan kepastian hukum. Dalam menjalankan asas keadilan dan kepastian
hukum seyogianya dipertimbangkan asas kemanfaatan, baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi kepentingan masyarakat.
F. Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda kedudukan Islam diatur di
dalam I.S. Pasal 134 ayat 2: Evenwel staan de burgerlijke rechtzaken
tusschen Mohamedanen indien hun adatrecht dat medebrengt ter
112
Saefuddin A.M, 1983, Sistem Ekonomi Islam “dalam Panjimas No. 411 (1983),
hlm. 45.
241
kennisneming van den godsdienstigen rechter, boor zoever niet bij
ordonantie anders is bepaald.
Pasal ini mengandung landasan legal theory receptie yang
mengajarkan bahwa hukum Islam baru boleh dijalankan bilamana ia
telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat adat sehingga
menjadi hukum adat atau dipandang sebagai bagian dari hukum adat.
Oleh karena hukum adat yang diakui berlaku positif itu hanya
mengenai bidang keperdataan saja, maka demikian juga hukum Islam
yang diakui hanyalah dalam bidang keperdataan saja, yakni perkaraperkara perdata antara sesama orang Islam yang menurut hukum
adatnya mesti diurus oleh Pengadilan Agama. Jadi, tidak termasuk
hukum pidana Islam.
Dengan itu berarti bahwa hukum Islam an sich bukan hukum,
tetapi tergantung kepada kesediaan masyarakat setempat untuk
menjadikan hukum Islam yang bukan hukum itu menjadi hukum adat.
Teori yang demikian itu sangat ditentang oleh Hazairin, dan
menamakannya sebagai teori iblis yang menantang iman orang
Islam113. Dengan Stb. 1882 – 152 jo 153 diatur tentang Peradilan
Agama untuk Jawa dan Madura yanag mempunyai wewenang antara
lain dalam bidang-bidang nikah, thalak, ruju’, nafkah, dan yang
berhubungan dengan perkawinan antara orang Islam. Untuk sebaian
Kalimantan Selatan dan Timur dengan Stb. 1937 No. 638 dibentuk
Pengadilan Agama yang disebut dengan Kerapatan Kadi. Sedang
untuk luar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan itu baru dengan
PP No.45 Tahun 1957 diatur mengenai peradilan agama yang disebut
dengan Mahkamah Syari’ah.
Baik Kerapatan Kadi maupun Mahkamah Syari’ah mempunyai
wewenang yang lebih luas, selain menyelesaikan perkara-perkara
yang bersangkutan dengan nikah, thalak, ruju’, dan sebagainya, juga
113
Hazairin, 1982, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas, Jakarta, hlm. 5.
242
mengenai perkara-perkara waris, wakaf, dan sebagainya antara umat
Islam sepanjang menurut kenyataan perkara demikian tidak diurus
oleh pengadilan lain.
Dengan keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama (UU No.7
Tahun 1989) maka semua peraturan perundangan tentang Peradilan
Agama tersebut di atas, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian sekarang hanya dikenal satu sistem peradilan agama yang
berlaku seragam bagi seluruh Indonesia. Dalam Pasal 49 ayat (1)
undang-undang ini dinyatakan bahwa pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
(a) perkawinan, (b) warisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, dan (c) wakaf dan shadaqah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa golongan hukum
Islam yang sebagian dari pedoman telah menjadi hukum positif di
Indonesia ialah mengenai muamalah.
Di antara muamalah yang telah menjadi hukum positif itu ialah:
1. Munakahah (Hukum Perkawinan Islam), yang berdasarkan
Undang-Undang No.22 Tahun 1946, yaitu yang mengatur tentang
pendaftaran pencatatan nikah, thalak, ruju’ bagi orang Islam
Indonesia yang tidak tunduk pada hukum lain dan sekarang
berdasarkan Undang-Undang Pokok Perkwinan (Undang-Undang
No.1 Tahun 1974) juncto peraturan mengenai peradilan agama
tersebut di atas, dan dilanjutkan dengan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
2. Faraidh (Hukum Waris Islam) yang berlaku berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1957 untuk luar Jawa dan Madura dan
Stb.1937 No.638 jo No. 639 untuk sebagian Kalimantan Selatan
dan Timur. Sedangkan untuk Jawa dan Madura hukum Faraidh
tidak berlaku, tetapi untuk warisan di sini berlaku hukum adat
243
setempat, berdasarkan Stb. 1937 No. 116 dan 610. Dan sekarang
sudah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan KHI.
Ad.1. Munakahah (Hukum Perkawinan Islam)
a. Dalam munakahah diatur hal-hal antara lain sebagai berikut:
a. Disebabkan oleh pertalian sanak (nasab), yaitu:
a) ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah, dan seterusnya,
b) anak, anak dari anak, dan seterusnya,
c) saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu,
d) saudara ayah dan seterusnya,
e) saudara ibu dan seterusnya, dan
f) anak saudara dan seterusnya.
2. Disebabkan pertalian susuan
3. Disebabkan persemendaan (mushakarah), yaitu:
a) ibu tiri dan seterusnya,
b) anak tiri dan seterusnya,
c) mertua dan seterusnya, dan
d) menantu dan seterusnya.
4. Perempuan yang saudaranya, atau saudara ayahnya, atau
saudara ibunya sedang menjadi isteri kita.
5. Semua perempuan kalau kita sedang beristeri empat.
6. Perempuan dalam masa iddah.
7. Perempuan yang bukan Islam dan bukan Kitabiyah. Yang
dimaksud dengan tarbiyah di sini ialah orang-orang Yahudi
dan Nasrani.
8. Perempuan yang dalam masa ihram.
Selain dari pada perempuan-perempuan tersebut di atas semua
perempuan boleh dinikahi.
b. Suatu pernikahan sah apabila mencukupi syarat-syarat dan rukunrukun di bawah ini:
244
1. adanya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.
2. adanya wali nikah, yaitu keluarga sanak laki-laki dari
pengantin dari garis ayah yang menikahkan, dapat disusun
sebagai berikut: ayah, ayah dari ayah, (keduanya disebut wali
mujbir – artinya wali yang memaksa, karena dapat
menikahkan anak atau cucunya, tanpa persetujuan anak atau
cucu perempuan itu jika ia masih gadis), saudara seibu seayah,
saudara seayah, dan ini disebut wali nasab, artinya wali karena
pertalian sanak.
Apabila wali-wali yang tersebut tidak ada, dan apabila jarak
antara-antara wali itu dengan pengantin perempuan sejauh dua
marhalah (kira-kira 96 km) atau sedang dalam ihram, maka
yang bertindak sebagai wali adalah wali hakim, misalnya
penghulu. Apabila wali hakim juga tidak ada, maka kedua
pengantin itu boleh mengangkat orang ketiga menjadi wali,
yang disebut tahkim.
Seorang wali haruslah terdiri dari laki-laki, sempurna akal,
Islam, dan adil (orang baik-baik).
3. adanya aqad, yaitu ucapan penyertaan (ijab) yang diucapkan
oleh wali atau wakilnya dan ucapan penerimaan atau qabul
yang diucapkan oleh pengantin laki-laki atau wakilnya, disertai
dengan pemberian mahar, yaitu mas kawin dari pengantin lakilaki kepada pengantin perempuan. Mahar dapat berupa uang
atau benda lain.
4. adanya dua saksi, yang terdiri dari laki-laki, sempruna akal dan
panca idera, dan adil.
5. Relanya pengantin perempuan, kecuali jika yang menjadi itu
ayah dari ayah dalam hal mengawinkan wanita yang masih
gadis.
245
c. Nafkah
Nafkah ialah belanja hidup yang terdiri dari tempat tinggal, makan
dan pakaian yang wajib ditunaikan oleh suami kepada isteri dan
anak-anaknya, demikian juga keluarga sanak yang dekat apabila
mereka tidak sanggup lagi mencari nafkah.
d. Thalaq
Thalaq ialah perceraian yang diberikan oleh suami terhadap
isterinya. Thalaq adalah hak suami yang dapat diberikan dengan
mengucapkan kata-kata yang tegas misalnya thalaq atau cerai;
dapat juga diberikan dengan perkataan sindiran, tetapi jika
demikian haruslah ditanya haruslah ditanya apa maksud suami
mengucapkan kata-kata itu.
Thalaq dapat dijatuhkan oleh suami sampai tiga kali. Pada kali
yang pertama dan kedua suami dapat balik kembali (ruju’), apabila
masih dapat dalam masa iddah, tetapi dengan thalaq tidak suami
tidak boleh ruju’ kembali.
e. Ruju’
Ruju’ ialah mengulangi isteri yang telah diceraikan untuk hidup
bersama sebagai suami isteri kembali, yang dilakukan oleh suami,
selama isteri masih dalam thalaq satu atau dua.
f. Iddah
Iddah adalah suatu masa setelah perceraian untuk menentukan
rahim seseorang perempuan itu bersih dari bibit suaminya yang
terdahulu.
Iddah ada beberapa macam:
1) Tiga kali suci dari iddah, bagi perempuan yang tidak hamil,
2) Melahirkan anak bagi yang hamil,
3) Tiga bulan bagi perempuan yang tidak haidh, dan
4) Empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang kematian
suami dan hamil.
246
Ad. 2. Dalam hukum Faraidh diatur hal-hal mengenai:
a. Waris (ahli waris), ialah orang-orang yang berhak atas harta
warisan dari seseorang yang meninggal dunia karena hubungan
darah (nasab), perkawinan (mushakarah) dan karena
memerdekakan hamba (wala’).
b. Mal-waris (harta warisan), ialah harta-harta yang telah ditinggalkan
pewaris yang dapat diwariskan oleh ahli waris.
Berdasarkan PP No.45 Tahun 1957 yang berlaku di luar Jawa
dan Madura ditetapkan pula berlakunya hukum mengenai:
1) Waqaf, ialah penahanan suatu harta dari peredaran, dan
menyediakan harta itu atau hasilnya untuk kepentingan Islam atau
umatnya.
2) Hibbah, ialah pemberian yang diikuti penyerahan atas sesuatu
benda kepada orang lain secara sukarela, yang dilakukan di masa
hidupnya, tanpa sesuatu syarat dan tanpa mengharapkan sesuatu
balasan.
3) Sadaqah, ialah pemberian sesuatu benda secara sukarela kepada
orang lain dengan pengharapan mendapat pahala dari Allah.
4) Baital-mal, ialah badan penyelenggara harta kekayaan yang
diperuntukkan bagi kepentingan umat Islam yang milik perorangan.
Harta-harta yang menjadi milik baital-mal adalah:
a) harta-harta yang tidak ada pemiliknya,
b) harta-harta yang diserahkan secara sukarela kepada baital mal,
c) harta-harta yang tidak ada ahli waris atau wali ashabahnya, dan
d) bagian dari zakat yang diperuntukkan untuk baital-mal.
G. Peradilan Syariah Di Propinsi Aceh
Dengan berpijak pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dapat dipelajari mengenai kewenangan yang
diperoleh keempat lingkungan peradilan. Pada prinsipnya, kekuasaan
247
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Sementara itu, Peradilan Syariah Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada
Mahkamah Syar’iyah Kota atau Kabupaten untuk tingkat pertama dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding, jika dilihat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, mempunyai keunikan yang berbeda dengan
badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum.
Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan
Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding. Mahkamah Syar’iyah
Provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili dalam tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan antara Mahkamah
Syar’iyah di Aceh. Sementara sengketa wewenang antara Mahkamah
Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi
wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat
pertama dan tingkat terakhir. Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan
tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana termaksud di atas,
diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek
hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun privat. Oleh
karenanya kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang
ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mencakup pula
seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui
248
lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub
dalam penjelasan umum angka 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2002.
Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama
dalam bidang al-ahwal, al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah.
Bidang al-ahwal al-syakhshiyah meliputi hal-hal yang diatur
dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, kecuali wakaf, hibah dan shadaqah. Bidang
mu’amalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti: jual
beli, hutang piutang, qiradh (permodalan), musaaqah, muzara’ah,
mukhabarah (bagi hasil pertanian), wakalah (kuasa), syirkah
(perkongsian), ‘ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta),
syuf’ah (hak langgeh) dan rahnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan
lahan), ma’din (tambang), lugathah (barang temuan), perbankan,
ijarah (sewa-menyewa), takaful (penjaminan), perburuhan, harta
rampasan, waqaf, hibah, shadaqah dan hadiah. Bidang jinayah adalah:
1. Hudud, yang meliputi: zina, menuduh berzina (qadzat), mencuri,
merampok, minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan
(bughah).
2. Qishash/diyat, yang meliputi: pembunuhan, penganiayaahn.
3. Ta’zir, yaitu huukman terhadap pelanggaran Syari’at selain hudud
dan qishash/diyat, seperti: judi, khalwat, meninggalkan shalat
fardhu dan puasa ramadhan (hukum materiilnya telah diatur dalam
Qanun Nomor 11 Tahun 2002), penipuan, pemalsuan dan lain-lain.
Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Syar’’iyah, khususnya
dalam bidang jinayah, akan diwujudkan secara bertahap, sesuai
dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya
manusia. Hal ini secara tegas telah digariskan dalam Pasal 3 ayat (2)
Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003.
249
RANGKUMAN
Syariat adalah metode atau cara melaksanakan Al-Din, atau dapat juga
disebut program implementasi dari Al-Din.
Kemampuan akal yang dihasilkan oleh manusia untuk
memahami syariat (alquran dan sunnah) bukan lagi syariat melainkan
disebut dengan fiqih.
Sekalipun tidak semua ahli fiqih sependapat tentang
penggolongan peraturan hukum seperti yang kita pelajari sekarang ini,
namun mayoritas sepakat bahwa peraturan hukum dibedakan ke
dalam; (1) ibadah, (2) muamalah, (3) munakahah, (4) jinayah.
Hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang
melakukan kejahatan adalah; (1) qishash, (2) haad, (3) ta’zir (4) diyat
(5) perampasan hak milik.
Tujuan Hukum Islam yaitu; (1) memelihara agama, (2)
memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5)
memelihara harta;
Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi sumber hukum
Islam (QS. Al-Nisa’(4) ayat 59); setiap muslim wajib mentaati Allah,
mentaati Rasul dan ulil amri (penguasa). Dengan demikian yang
menjadi sumber hukum Islam adalah (1) alquran, (2) As-Sunnah (AlHadis), (3) akal fikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihat karena pengetahuan dan pengalamannya, dengan
mempergunakan berbagai metode atau cara diantaranya (a) ijmak, (b)
qiyas, (c) istidal, (d) al-masalih al—mursalah, (e) istihsan, (f)
istishab, dan (d) ‘urf 114.
114
Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hlm. 78.
250
LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan syariah dengan fikih.
2. Sebutkan dan jelaskan apa saja yang menjadi tujuan hukum
Islam.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Ahkamulkhamsah.
4. Jelaskan mengenai Ushulul fiqih atau apa saja yang menjadi
sumber-sumber hukum Islam.
5. Jelaskan mengenai keberadaan Mahkamah Syar’iah di Propinsi
Aceh kaitannya dengan hukum Islam.
GLOSSARIUM
1. Qishash, yaitu hukuman yang dijatuhkan pada seseorang setimpal
dengan beratnya kejahatan yang telah dilakukannya.
2. Haad, yaitu hukuman yang telah ditentukan beratnya oleh hukum
syari’at.
3. Ta’zir, yaitu hukum siksa yang beratnya tidak ditentukan,
melainkan terserah kepada pertimbangan hakim.
4. Diyat, yaitu denda atau ganti kerugian yang wajib dibayar oleh
yang berbuat kejahatan.
5. Al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuantujuan hukum Islam).
6. Ahkamulkhamsah (hukum yang lima); wajib, Sunnah atau mandud,
Mubah atau jaiz, makruh, haram.
7. Ushulul fiqih berasal dari kata ushul adalah pluralis dari kata
Ashl (asal), artinya akal atau pokok. Jadi, ushulul fiqh artinya
dasar-dasar Hukum Islam atau sumber-sumber Hukum Islam, atau
dalil hukum Islam.
8. Ra’yu (akal fikiran).
251
DAFTAR PUSTAKA
Hazairin 1982. Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas,
Jakarta.
Mohammad Daud Ali 1990. Hukum Islam Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Mukhtar Yahya 1979. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Pustaka Alhusna, Jakarta,
Suparman Usman 2001. Hukum Islam, Asas-asas dan
Pengantar Studi Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Gaya Media Pratama, Jakarta.
Bustanul Arifin 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia,
Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani,
Jakarta.
Departemen Agama R.I 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Dirjen Binbaga, Jakarta.
Hanafi A 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Jakarta.
Saefuddin A.M. 1983. Sistem Ekonomi Islam “dalam Panjimas No.
411 (1983).
Zainuddin Ali 2006. Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
252
BAB X
ASAS-ASAS HUKUM ADAT
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: Pengertian hukum adat, sumber hukum
adat, asas-asas pokok dalam hukum adat, hukum adat dan
penemuan hukum, pengaruh hukum adat dalam sistem hukum.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan pengertian hukum adat
2. Menjelaskan sumber-sumber hukum adat
3. Menjelaskan asas-asas pokok dalam hukum adat
4. Menjelaskan hubungan hukum adat dengan penemuan
hukum
5. Menjelaskan pengaruh hukum adat dalam sistem hukum.
A. Pengertian Hukum Adat
Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Adat
Recht”, yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje
yang kemudian dipakai dalam bukunya “De Atjehers” (orang-orang
Aceh) tahun 1893. Istilah Adat-Recht ini kemudian dipakai pula oleh
van Vollenhoven yang menulis buku pokok tentang Hukum Adat
yaitu “Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie” (Hukum Adat HindiaBelanda 1901). 115
Sekalipun demikian ada yang membedakan antara antara adat
recht dengan hukum adat. Seperti misalnya Kusumadi Pudjosewojo,
115
Ramli Zein, 1988, Pengantar Tata Hukum Indonesia, UIR Press, Jakarta, hlm.
62.
253
Subekti Pusponoto membedakan kedua istilah tersebut. Menurut
mereka hukum adat adalah keseluruhan aturan hukum yang tidak
tertulis mengenai tingkah laku dari orang Indonesia asli, dan dipatuhi
karena ia dianggap patut oleh masyarakat. Sedangkan adat recht
adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra
dan orang timur asing, sekalipun tidak tertulis tetapi mempunyai
upaya pemaksa116.
Dalam arti sempit Hukum Adat sering disebut dengan hukum
asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar
orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara
satu dengan lainnya baik di desa maupun di kota. Sekalipun demikian
sebagian kecil hukum adat ada yang tertulis seperti piagam, perintahperintah raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig (dari
Bali), dan sebagainya. Hanya saja yang tertulis sangat kecil,
sehingaga tidak berpengaruh dan sering dapat diabaikan.
Difinisi hukum adat menurut para ahli:
1. Ter Haar
Menurut Ter Haar, hukum adat adalah keseluruhan aturan yang
menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam
arti luas) yang mempunyai kewibawaan (macht, authority) serta
mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara
serta merta (spontan) dan ditaati dengan sepenuh hati. Fungsionaris
yang dimaksud adalah kepala adat, para hakim, rapat desa, wali tanah,
pejabat agama, dan pejabat desa lainnya yang memberikan keputusan
di dalam dan di luar sengketa yang tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum masyarakat, yang diterima dan dipatuhi karena
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat117.
116
117
I b i t, hlm. 63.
I Gede A.B. 2005, Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari
Masa Kemasa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 14.
254
2. Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah aturan prilaku yang berlaku bagi orangorang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak
mempunyai sanksi (sehingga disebut hukum) dan di lain pihak tidak
dikodifikasi (sehingga dikatakan adat)118.
3. Supomo
Supomo merupakan Guru Besar pertama yang merupakan orang
Indonesia asli. Ketika memberi pidato pada konferensi Asia Tenggara
di Washington pada tanggal 14 Agustus 1952 dengan judul “Hukum
Adat di Kemudian Hari Berhubung dengan Pembinaan Negara
Indonesia” mengemukakan beberapa hal tentang hukum adat sebagai
berikut:
a. Hukum adat adalah hukum nonstatutair.
Hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam.
Ia berakar pada kebudayaan tradisional. Sebagai hukum yang
hidup, dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
masyarakat. Ia senantiasa tumbuh dan berkembang seperti hidup
itu sendiri.
b. Hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis.
Untuk menghindari kerancuan pengertian dalam tata hukum maka
hukum adat disebut sebagai sinonim dari hukum yang tidak
tertulis. Di dalam peraturan legislative (unstatutory law). Hukum
adat itu sesungguhnya tidak lagi berlaku hanya bagi golongan
bumi putra dan timur asing, tetapi sudah menjadi lebih luas
meliputi hukum yang hidup sebagai konfensi di badan hukum
Negara (parlemen), hukum yang timbul karena putusan-putusan
hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan
kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di
118
I b i t, Hlm. 12.
255
kota maupun di desa, peraturan yang ditulis dalam paraturan desa,
raja, serta hukum syariat Islam119.
4. Hazairin
Di dalam pidato inagurasinya yang berjudul: “Kesusilaan dan
Hukum” tahun 1952 berpendapat bahwa analisis hukum dikaitkan
dengan agama (Islam). Menurutnya, seluruh lapangan hukum
mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung ataupun tidak
langsung. Pada sistem hukum yang sempurna, tidak ada tempat bagi
sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan.
Demikianlah juga dengan hukum adat; teristimewa di sini dijumpai
perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan
kesusilaan.
Selanjutnya Hazairin dalam masyarakat, yaitu bahwa: kaidahkaidah Adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya
telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipun
ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah
kesusilaan dan kaidah-kaidah hukum itu, namun bentuk-bentuk
perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh itu adalah
menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dicela atau dianjurkan juga,
sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu
berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi oleh
kaidah-kaidah kesusilaan, diikhtiarkan pemeliharaannya dengan
kaidah-kaidah hukum.
Pengertian dari kaedah hukum itu sendiri sebenarnya adalah
kaidah yang tidak hanya didasarkan kepada kebebasan pribadi tetapi
serentak mengekang pula kebebasan itu dengan suatu gertakan, suatu
ancaman paksaan yang dapat dinamakan ancaman hukum atau
penguat hukum. Uraian Hazairin ini memberi kesan tentang suatu
pandangan yang agak lain dari biasa.
119
I b i t, hlm. 17-18.
256
Di sini Hazairin menghilangkan suatu garis atau batas yang
tegas antara hukum di pihak yang satu dengan kesusilaan (kebiasaan,
kelaziman, “zede” dan sebagainya) di pihak lain. Hazairin melihat
antara hukum (hukum adat) dan kesusilaan tidak ada suatu perbedaan
hakiki. Dapat dikatakan bahwa segala macam hukum yang ada, yaitu
segala macam peraturan dalam hidup kemasyarakatan yang mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu bersumber kepada kesusilaan.
Kaidah kesusilaan termasuk kaidah Adat dibiarkan pemeliharaannya
kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan dan dijuruskan kepada
suatu ancaman paksaan, yaitu: hukuman pidana sebagai penguat
hukum.
Faham Hazairin tentang Hukum Adat disesuaikan dengan
faham rakyat, yaitu baik dalam arti (adat) sopan-santun maupun dalam
arti hukum120.
B. Sumber Hukum Adat
Dalam membicarakan sumber hukum (Adat) dianggap penting
terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum yaitu
Welbron dan Kenbron.
Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang
sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak
lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat
tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang
keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat
Indonesia.
Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti di
mana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain
120
Amiruddin A. Wahab, dkk, 2007, Pengantar Hukum Indonesia (Bahan Ajar),
Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 206.
257
perkataan sumber di mana asas-asas hukum (adat) menempatkan
dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui.
Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar
pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang
menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum
dalam arti Kenbron itu adalah:
1. Adat kebiasaan;
2. Yurisprudensi;
3. Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap ke dalam Adat
istiadat masyarakat Indonesia Asli;
4. Kitab-kitab Hukum Adat;
5. Buku-buku Standar tentang Hukum Adat;
6. Pendapat Ahli Hukum Adat;
Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat
kebiasaan
maupun
dalam
tulisan-tulisan
yang
khusus
memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum
atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.
C. Asas-Asas Pokok Dalam Hukum Adat
Asas Religio Magis (Magisch-Religieus)
Asas Komun (Commun)
Asas Contant (Tunai)
Asas Konkrit (Visual)
Asas Religio Magis (Magisch-Religieus) adalah pembulatan
atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara
berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lainlain.
Kuntjaranigrat menerangkan bahwa alam pikiran religiomagis
itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
258
1. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, rokh-rokh dan
hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus
gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia
dan benda-benda.
2. Kepercayaan kepada kekuatan saksi yang meliputi seluruh alam
semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa,
tumbuh-tumbuhan yang luas biasa, binatang-binatang yang luar
biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan
sebagai “magische kracht” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk
mencapai kemauan manusia atau menolak bahaya gaib. Anggapan
bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan
krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang
hanya dapat dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.
Bushar Muhammmad tentang pengertian religio-magis
mengemukakan kata “participerend cosmisch” yang mengandung
pengertian komplek. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa
dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenagatenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta
(dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuhtubuhan besar dan kecil, benda-benda; dan semua tenaga itu
membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan.
Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan
hidup jasmaniah dan rokhaniah, “participatie”, dan keseimbangan
itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu
harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berujud
dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).
Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada
kepentingan diri sendiri. Asas komun merupakan segi atau corak yang
khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau
259
dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau
alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat
sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan individual. Dalam
masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke belakang.
Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang
menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak
dapat disia-siakan. Keputusan Desa adalah berat, berlaku terus dan
dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, dengan
khidmat.
Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat
contant (tunai) yaitu prestasi dan contra prestasi dilakukan sekaligus
bersama-sama pada waktu itu juga.
Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan
suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu
pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu
juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam
Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah
timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum
dan memang tidak tersangkut paut atau tidak bersebab akibat menurut
hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika
itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri
sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan
sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu mempunyai
arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat
tentang suatu perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas,
perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.
260
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan
perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian
jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.
Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan
diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan,
dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud
suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya
menyerupai obyek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).
Contoh: Panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli
atau memindahkan hak atas tanah; peningset (panancang) dalam
pertunangan atau akan melakukan perkawinan; membalas dendam
terhadap seseorang dengan membuat patung, boneka atau barang lain,
lalu barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung.
D. Hukum Adat Dan Penemuan Hukum
Telah dipahami bahwa hukum adat itu bukan hukum tertulis.
Kalaupun diyakinkan sebagai hukum tertulis, makna hakiki dari
hukum adat adalah hukum tertulis nonperundang-undangan dan tidak
dikodifikasikan. Ini menunjukkan hukum adat selalu akan hidup,
tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat
yang melingkupinya. Dengan pemikiran sederhana demikian dapat
dicermati jika seorang hakim memutus suatu perkara atas dasar aturan
tata hukum dan perundangan yang ada secara terus menerus dan
secara factual diputuskan pada masa lalu, maka seorang hakim
demikian itu telah berprilaku hukum adat. Menurut Hilan
Hadikusuma, sejauh mana kekuatan material putusan hukum adat
yang didasari oleh aturan hukum adat itu masih dipandang perlu untuk
digunakan sebagai bahan pertimbangan memeriksa perkara hukum
adat saat ini, dapat diukur dari beberapa segi yaitu; (1) struktur
masyarakat, (2) peranan fungsionaris hukum, (3) karakteristik aturan
261
hukum, (4) metode, cara dan sistem/mekanisme penyelesaian perkara,
(5) kompetensi, perkembangan hukum, dan perkembangan zaman.121
Dalam Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman juga disebutkan bahwa hakim di dalam mengadili dan
memberikan putusan wajib memperhatikan nilai-nilai dan hukum
yang berjalan dalam masyarakat.
E. Perbedaan Sistem Hukum Adat Dengan Sistem Hukum Barat
Sistem hukum adat sangat sederhana, bahkan terkadang tidak
sistematis. Menurut konsepsi Soepomo apabila dicermati, tampak
beberapa hal mendasar dalam sistem hukum adat apabila
dibandingkan dengan sistem hukum barat, yaitu sebagai berikut;
1. Hukum adat tidak mengenal adanya konsep pembedaan hak
perseorangan (persoonlijk rechten) dan hak kebendaan (zakelijke
rechten). Zakelijke rechten adalah hak atas sesuatu barang yang
bersifat zakelijke, yaitu yang berlaku terhadap tiap-tiap orang.
Persoonlijk rechten adalah hak seseorang atas suatu objek yang
hanya berlaku terhadap sesuatu, orang lain tertentu, dan
perlindungan hak-hak menurut sistem hukum adat ditangan
hakim. Di dalam persengketaan di muka pengadilan, hakim
menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling
bertentangan serta berhadapan itu.
2. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara publiek recht
(hukum umum) dan privaatrechts (hukum privat), atau jika
hendak mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan hukum
adat yang bersifat publiek dengan hukum adat yang mengenai
lapangan privat, batas-batas antara kedua lapangan itu tidak ada.
121
Hilman Hadikusuma, 1990, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung,
hlm. 48.
262
3. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana
dan pelanggaran perdata. Tiap-tiap pelanggaran hukum adat
membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala
adat) memutuskan supaya adat (reaksi adat) dapat memutuskan
apa yang harus digunakan untuk membetulkan hukum yang
dilanggar itu. 122
RANGKUMAN
Hukum adat adalah keseluruhan aturan hukum yang tidak
tertulis mengenai tingkah laku dari orang Indonesia asli, dan dipatuhi
karena ia dianggap patut oleh masyarakat.
Asas-asas pokok dalam hukum adat yaitu asas religio magis
(magisch-religieus), asas komun (mommun), asas contant (tunai) asas
konkrit (visual).
Bahan pertimbangan yang dapat digunakan dalam memeriksa
perkara hukum adat saat ini, dapat diukur dari beberapa segi yaitu; (1)
struktur masyarakat, (2) peranan fungsionaris hukum, (3) karakteristik
aturan hukum, (4) metode, cara dan sistem/mekanisme penyelesaian
perkara, (5) kompetensi, perkembangan hukum, dan perkembangan
zaman.123
Perbedaan konsep hukum adat dengan hukum barat :
1. Hukum adat tidak mengenal adanya konsep pembedaan hak
perseorangan (persoonlijk rechten) dan hak kebendaan (zakelijke
rechten).
2. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara publiek recht
(hukum umum) dan privaatrechts (hukum privat),
3. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana
dan pelanggaran perdata.
122
123
I Gede A.B. Wiranata. Op. Cit, hlm. 84.
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 48.
263
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum adat.
2. Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber hukum adat.
3. Sebutkan dan jelaskan asas-asas pokok yang terdapat dalam
hukum adat.
4. Jelaskan bagaimana kaitan hukum adat dengan penemuan
hukum.
5. Jelaskan perbedaan antara hukum adat dengan hukum barat.
GLOSSARIUM
1. judge made law: hakim sebagai pembuat hukum (penemu
hukum).
2. Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya.
Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari
keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat
tertentu.
3. Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti di mana hukum
(adat) dapat diketahui atau ditemukan.
4. Magisch-Religieus mengandung unsur beberapa sifat atau cara
berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan
lain-lain.
5. persoonlijk rechten (hak perseorangan).
6. zakelijke rechten (hak kebendaan).
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin A. Wahab, dkk 2007. Pengantar Hukum Indonesia (Bahan
Ajar), Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh.
Hilman Hadikusuma 1990. Pengantar Ilmu Hukum Adat, Alumni,
Bandung.
264
I
Gede A.B. Wiranata 2005, Hukum Adat Indonesia
Perkembangannya Dari Masa Kemasa, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Moh. Kuesnoe 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum,
Mandar Maju, Bandung.
Ramli Zein 1988. Pengantar Tata Hukum Indonesia, UIR Press,
Jakarta.
Sudikno Mertokusumo 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta.
265
BAB XI
SUSUNAN BADAN PERADILAN DI INDONESIA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: susunan peradilan pada masa Hindia
Belanda, susunan peradilan pada masa Indonesia merdeka,
kewenangan peradilan dan mahkamah agung.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan sejarah peradilan di Indonesia
2. Menjelaskan kewenangan peradilan di Indonesia
3. Menjelaskan kewenangan mahkamah agung
A. Pada Masa Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dahulu diadakan 5 tatanan
peradilan, yaitu:
1. Peradilan Gubernemen
2. Peradilan Peribumi
3. Peradilan Daerah Swapraja
4. Peradilan Agama
5. Peradilan Desa.
Peradilan Gubernemen
1. Pengadilan Gubernemen Eropah di Jawa dan Madura yang terdiri:
a. Residentiegerecht
b. Raad van justitie
c. Hooggerechtschof
266
Residentiegerecht berkedudukan dalam daerah hukum Landraad,
yang mengadili perkara-perkara kecil untuk orang Eropah.
Raad van justitie merupakan:
a. Pengadilan sehari-hari untuk orang Eropah dalam perkara
perdata maupun perkara pidana.
b. Pengadilan sehari-hari untuk orang Tionghoa dalam perkara
perdata yang tergugatnya orang Eropah.
c. Pengadilan sehari-hari dalam perkara perdata terhadap orang
Timur Asing bukan Tionghoa dan orang Indonesia sekedar
hukum Perdata Eropah berlaku terhadap pihak yang digugat.
d. Pengadilan tingkat banding untuk perkara-perkara yang
diputuskan oleh Landraad.
e. Hooeggerechtshof merupakan pengadilan tertinggi di seluruh
Hindia Belanda (147 IS). Di samping tugas peradilan juga
diserahkan tugas pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan
kehakiman oleh pengadilan bawahan. Hof mengadili beberapa
perkara dalam tingkat pertama, peradilan tingkat banding
untuk orang Eropah dan Pengadilan kasasi untuk orang-orang
Indonesia.
2. Pengadilan Gubernemen Eropah di luar Jawa dan Madura yang
terdiri:
a. Residentiegerecht
b. Raad van justitie
3. Pengadilan Gubernemen Bumi Putera di Jawa dan Madura
a. Districtgerecht, yang terdapat pada setiap distrik yang
mengadili perkara-perkara kecil yang terjadi antara orangorang Indonesia. Putusan pengadilan district dapat dibanding
pada pengadilan kabupaten (agenschap gerecht).
b. Regenschapsgerecht, terdapat di Ibukota Kabupaten.
Pengadilan ini mengadili perkara antara orang Indonesia. Jika
267
penggugat orang Eropah atau orang Tionghoa perkara tersebut
diadili oleh landraad.
c. Landraad adalah hakim biasa bagi orang-orang Indonesia
dalam perkara perdata dan pidana (Pasal 94 R). Landraad juga
mengadili perkara pidana bagi orang Timur Asing lainnya dan
Tionghoa. Putusan Landraad dapat diminta banding pada Raad
van justitie (R.v.J).
4. Pengadilan Gubernemen Bumi Putera di luar Jawa dan Madura.
Pengadilan ini terdiri dari:
a. Nagorijrechtbank di Ambon
b. Districtgerecht
c. Magistraatgerect, mengadili perkara pidana dan perdata, jika
dalam daerah tersebut terdapat Landgerecht, magistraatgerecht
tidak mempunyai wewenang mengadili perkara pidana.
Landgerecht, adalah pengadilan yang mengadili perkara pidana
kecil untuk semua golongan (lebih lanjut lihat Soepomo, Sistem
Hukum di Indonesia).
B. Pada Masa Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka pada umumnya diikuti. Apalagi dengan
terbentuknya negara Federal (Republik Indonesia Serikat) tetapi
dengan perubahan nama.
1. Pengadilan kewedanaan (Gun Hooin pada zaman Jepang;
Districtgerecht pada zaman Belanda).
2. Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin pada zaman Jepang dan Raad
van Justitie pada zaman Hindia Belanda).
3. Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin pada zaman Jepang, Raad van
Justitie pada zaman Hindia Belanda yang merupakan pengadilan
banding terhadap putusan Landraad) yang merupakan pengadilan
tingkat banding.
268
4. Mahkamah Agung (Saikoo Hooin pada zaman Jepang
Hooggerechtschof pada zaman Hindia Belanda).
Nama-nama badan peradilan ini antara satu daerah dengan
daerah lain tidak sama misalnya peradilan tingkat pertama di tempat
tertentu dinamakan Pengadilan Negeri di tempat lain dinamakan
Pengadilan Negeri dan Landgerecht.
Untuk adanya keseragaman maka pada tahun 1951, setelah
negara kita menjadi negara kesatuan, dibentuklah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil.
Pada tahun 1964 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 yaitu Undang-Undang tentang Kekuasaan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menentukan ada 4 badan peradilan, yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Pengadilan Tata Usaha Negara
Dalam lingkungan Peradilan Umum telah dibentuk pengadilan
khusus seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM dan dalam
lingkungan Peradilan Agama diadakan pengadilan khusus seperti
Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Aceh.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 ini kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan sekarang diganti dengan
Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004.
Ad. 1. Pengadilan Umum terdiri dari:
a. Pengadilan Negeri
b. Pengadilan Tinggi
269
c. Mahkamah Agung (lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2004, Undang-Undang Peradilan, Pasal 3).
Ad. 2. Pengadilan Agama terdiri dari:
a. Pengadilan Agama
b. Pengadilan Tinggi Agama
c. Mahkamah Agung (lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006, Undang-Undang Peradilan Agama, Pasal 3).
Ad. 3. Pengadilan Militer terdiri dari:
a. Pengadilan Tentara (Mahkamah Militer)
b. Pengadilan Tinggi Tentara (Mahkamah Militer Tinggi)
c. Mahkamah Agung (lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1950 diganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,
Hukum Acaranya dalam Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1997).
Ad. 4. Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari:
a. Pengadilan Tata Usaha Negara
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (lihat UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, Pasal 5 jo Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004).
Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Tertinggi satusatunya yang berada di Ibukota Negara RI, Jakarta (Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004).
C. Kewenangan Pengadilan
Kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan dibagi dalam
2 jenis:
1. Kewenangan absolut (Kompetensi absolut) adalah pemberian
kekuasaan mengadili oleh undang-undang kepada masing-masing
270
pengadilan menurut lingkungannya (attribute van rechtsmacht).
Kewenangan absolut in dapat dilihat dalam masing-masing
undang-undang yang mengatur tentang peradilan tersebut.
a. Kewenangan absolut dari peradilan umum:
Pengadilan negeri berwenang memeriksa atau mengadili
perkara pidana dan perkara perdata pada tingkat pertama
(Pasal 50). Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara
perdata dan pidana pada tingkat banding (Pasal 51).
b. Kewenangan absolut dari Pengadilan Militer, tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950, mengadili perkara
pidana yang tercantum dalam Pasal 3 yaitu anggota ABRI,
yang dipersamakan oleh Presiden dengan Peraturan
Pemerintah sebagai anggota ABRI, orang yang termasuk suatu
golongan atau jawatan sebagai anggota ABRI, orang tidak
termasuk ketentuan di atas, tetapi ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman, diadili oleh Pengadilan Militer.
c. Kewenangan absolut dari Pengadilan Agama, disebut dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, UndangUndang Peradilan Agama, mengadili perkara perdata tertentu
bagi mereka yang beragama Islam, sebagaimana yang
dicantumkan dalam undang-undang ini, yaitu yang disebut
dalam Pasal 49, beserta penjelasannya.
d. Kewenangan absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara
disebut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara.
2. Kewenangan relatif, atau kompetensi relatif (distributie van
rechtsmacht) adalah pembahagian kewenangan mengadili dari
pengadilan yang sejenis, atau berdasarkan daerah hukumnya. Pada
asasnya di setiap kabupaten atau kota terdapat satu pengadilan
tingkat pertama, namun oleh karena luasnya wilayah dan
271
perkembangan penduduk, maka pengadilan tingkat pertama dapat
lebih dari satu pengadilan tingkat pertama tersebut.
Kewenangan relatif dari peradilan umum dan peradilan
agama, tetapkan dalam hukum acara perdata (HIR atau RBg) bagi
perdata. Sedangkan dalam perkara pidana ditentukan dalam
KUHAP. Kewenangan relatif dari Pengadilan Tentara, ditentukan
berdasarkan Ketetapan dari Menteri Kehakiman dan Menteri
Pertahanan Keamanan berdasarkan tempat kedudukan yang
ditetapkan. Jadi tidak berdasarkan per daerah kabupaten
Kewenangan telatif dari Pengadilan Tata Usaha Negara
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 di dalam
Pasal 54.
D. Mahkamah Agung
Undang-Undang Mahkamah Agung yang berlaku sekarang adalah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan dirubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004, yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1965.
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari
semua lingkungan peradilan (Pasal 2) yang berkedudukan di Jakarta
sebagai Ibukota Negara (Pasal 3).
Kekuasaan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 28 – 39.
Kekuasaannya antara lain:
1. Memutuskan permohonan kasasi (Pasal 28 dan 33)
2. Memutuskan sengketa kewenangan mengadili (Pasal 28 dan 30)
3. Memutuskan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(Pasal 28 dan 34)
4. Mahkamah Agung mempunyai hak menguji material dari semua
peraturan di bawah undang-undang, yaitu dapat menyatakan tidak
272
sah karena bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih
tinggi (Pasal 31).
5. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan.
6. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku hakim di semua
lingkungan peradilan dalam melaksanakan tugasnya.
RANGKUMAN
Kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan dibagi
dalam 2 jenis: Kewenangan absolut (Kompetensi absolut) adalah
pemberian kekuasaan mengadili oleh undang-undang kepada masingmasing pengadilan menurut lingkungannya (attribute van
rechtsmacht). Kewenangan absolut in dapat dilihat dalam masingmasing undang-undang yang mengatur tentang peradilan tersebut.
Kewenangan relatif, atau kompetensi relatif (distributie van
rechtsmacht) adalah pembagian kewenangan mengadili dari
pengadilan yang sejenis, atau berdasarkan daerah hukumnya. Pada
asasnya di setiap kabupaten atau kota terdapat satu pengadilan tingkat
pertama, namun oleh karena luasnya wilayah dan perkembangan
penduduk, maka pengadilan tingkat pertama dapat lebih dari satu
pengadilan tingkat pertama tersebut.
LATIHAN
1. Jelaskan susunan peradilan pada masa Hindia Belanda.
2. Jelaskan kewenangan mengadili masing-masing pengadilan di
Indonesia.
3. Jelaskan kewenangan mahkamah agung
273
GLOSSARIUM
1. attribute van rechtsmacht adalah pemberian kekuasaan mengadili
oleh undang-undang kepada masing-masing pengadilan menurut
lingkungannya.
2. distributie van rechtsmacht adalah pembagian kewenangan
mengadili dari pengadilan yang sejenis, atau berdasarkan daerah
hukumnya. Pada asasnya di setiap kabupaten atau kota terdapat
satu pengadilan tingkat pertama, namun oleh karena luasnya
wilayah dan perkembangan penduduk, maka pengadilan tingkat
pertama dapat lebih dari satu pengadilan tingkat pertama tersebut.
274
BAB XII
ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: pengertian hukum tata negara, sumbersumber hukum tata negara, hubungan hukum tata negara
dengan ilmu negara, ilmu politik, hukum administrasi negara
dan hukum pidana, asas-asas hukum tata negara dan lembagalembaga negara.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi hukum tata negara
2. Mengungkapkan sumber-sumber hukum tata negara
3. Menjelaskan hubungan hukum tata negara, ilmu politik,
hukum administrasi dan hukum pidana.
4. Menjelaskan asas-asas hukum tata negara.
5. Menjelaskan lembaga-lembaga negara.
A. Pengertian Hukum Tata Negara
Di negara Inggris, demikian pula di negara-negara yang menggunakan
bahasa pengantar bahasa-bahasa Inggris terdapat istilah constitutional
law yang menunjukkan pengertian Hukum Tata Negara.
Di Perancis adanya istilah Droit Constitutional (Hukum Tata
Negara) yang selalu dibedakan pengertiannya dari Droit
Administrative (Hukum Administrasi Negara).
Di Indonesia beberapa sarjana mengatakan “Hukum Tata
Negara lazim juga disebut Hukum Tata Negara Positif” dengan
pertimbangan bahwa Hukum Tata Negara Positif adalah hukum positif
275
yang berlaku pada suatu waktu dan pada suatu tempat tertentu. Oleh
karena itu Hukum Tata Negara positif adalah sebagai Hukum Tata
Negara Indonesia.
Beberapa batasan penunjang dalam pengertian Hukum Tata
Negara tersebut dapat dikemukakan beberapa pendapat sebagai
berikut:
1. Van Vollenhoven, memberikan batasan bahwa HTN itu mengatur
semua masyarakat hukum tingkat atas dan bawah, yang
selanjutnya menentukan wilayah lingkungan rakyatnya,
menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan
berfungsi dalam lingkungan masyarakat hukum tersebut.124
2. Paul Scholten dan Logemann mengatakan HTN adalah hukum
yang mengatur organisasi negara atau organisasi dari suatu
negara.125
3. Van Der Pot mengemukakan batasan bahwa HTN itu merupakan
peraturan-peraturan yang menentukan berbagai badan yang
diperlukan, termasuk wewenang, fungsi dalam hubungan antar
badan-badan itu dan antar badan-badan itu dengan para individu
serta kegiatannya.126
4. Kusumadi Pudjosewoyo berpendapat bahwa HTN adalah hukum
yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan menunjukkan
masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan
menurut tingkatannya, selanjutnya menegaskan wilayah
lingkungan rakyatnya masing-masing masyarakat hukum
menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam
124
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan
Keenam, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 8.
125
Usep Rana Wijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasarnta, Ghlm.ia Indonesia,
1983, hlm. 13.
126
Ibid, hlm. 14.
276
masing-masing masyarakat hukum itu dan susunan, wewenang
serta imbangan dari alat-alat perlengkapan tersebut.127
Dari pengertian dan batasan-batasan yang dikemukakan di atas
dapat disimpulkan bahwa HTN adalah sekumpulan peraturanperaturan hukum yang mengatur keorganisasian suatu negara yaitu
hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis koordinasi
vertikal dan horizontal tentang kedudukan warga negara pada
organisasi negara itu dan hak asasinya.
B. Sumber Hukum Tata Negara
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturanaturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat yang bersifat
mengikat, memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan
timbulnya sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum dapat dibagi dalam arti sumber hukum materil
dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil adalah sumber
hukum yang menentukan isi kaedah hukum sumber hukum materil ini
berasal dari peristiwa dalam pergaulan masyarakat dan peristiwa itu
dapat mempengaruhi bahkan menentukan sikap manusia. Peristiwa
tersebut diberi penilaian oleh masyarakat dan penilaian itu akan
menjadi petunjuk hidup yang diterima masyarakat dan diberi
perlindungan oleh pemerintah.
Sumber hukum materiil HTN Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila merupakan isi dari sumber hukum. Pancasila merupakan
jiwa dari setiap peraturan yang dibuat yang diberlakukan, segala
sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apapun yang
bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku. Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum negara.
127
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busroh, 1991, Asas-asas Hukum Tata Negara,
Ghlm.ia Indonesia, Jakarta, hlm. 22.
277
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dari
bentuknya, bentuknya ini diketahui dan ditaati dan inilah yang
menyebabkan hukum itu berlaku umum. Disinilah suatu kaidah
memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang
berwenang hal tersebut merupakan petunjuk hidup yang harus diberi
perlindungan.
Sumber hukum formil dalam HTN Indonesia dilihat dari jenis
dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) TAP MPR
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah.
5) Peraturan Daerah.
Sumber hukum tersebut di atas merupakan sumber hukum
formil menurut hirarkinya/tingkat kewenangannya sehingga setiap
peraturan hukum yang berlaku senantiasa bersumber pada peraturan
hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti pula bahwa setiap
peraturan hukum yang berlaku itu tidak boleh bertentangan dengan
peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
Sumber hukum lainnya yang juga mempunyai arti penting bagi
Hukum Tata Negara adalah:
278
a. Konvensi
Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan adalah merupakan perbuatan
yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan yang kemudian karena
dianggap baik, perbuatan itu menjadi dilakukan berulang kali,
perbuatan yang menjadi terbiasa ini selanjutnya ditaati dalam praktek
ketatanegaraan. Sebagai contoh misalnya pidato kenegaraan Presiden
dilakukan setiap tanggal 16 Agustus dan bukan tanggal 17 Agustus.
Konvensi ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undangundang.
b. Traktat atau Perjanjian
Traktat atau perjanjian adalah perjanjian yang diadakan oleh dua
negara (bilateral) atau lebih (multilateral). Traktat atau perjanjian ini
merupakan sumber hukum formal sepanjang hal ini menentukan segi
hukum ketatanegaraan yang berkembang bagi negara-negara yang
terikat dalam traktat tersebut. Misalnya tentang perjanjian antar
kewarganegaraan, perjanjian ini merupakan sumber hukum formil
bagi HTN, sebab yang diaturnya adalah masalah kewarganegaraan
yang merupakan bagian dari HTN.
C. Hubungan Htn Dengan Ilmu Negara, Ilmu Politik, Hukum
Administrasi Dan Hukum Pidana
HTN mempunyai hubungan yang erat dengan Ilmu Negara, Ilmu
Politik, Hukum Administrasi maupun Hukum Pidana karena ilmuilmu tersebut mempunyai objek atau laporan pembicaraan sama yaitu
negara, hanya sudut pandangannya yang berbeda daripada masingmasing ilmu-ilmu tersebut.
HTN dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Ilmu Politik, dan
Hukum Pidana memandang negara dari sifatnya atau pengertian yang
konkrit, artinya objeknya tertentu, misalnya pada tempat, keadaan
tertentu. Jadi sudah mempunyai objektif tertentu, misalnya Negara
279
Republik Indonesia, Negara Inggris, Negara Jepang dan sebagainya.
Kemudian negara dalam pengertiannya yang konkrit itu diselidiki
lebih lanjut mengenai susunannya, alat perlengkapannya, wewenang
dan kewajiban alat-alat perlengkapannya. Sedangkan Ilmu Negara
mempelajari bahan-bahan mengenai kenegaraan yang tidak hanya
ditujukan kepada negara-negara tertentu yang konkrit melainkan
negara-negara di dunia pada umumnya. Hasil penyelidikan Ilmu
Negara adalah nilai teoritisnya sedangkan sebaliknya bagi HTN dan
HAN yang lebih dipentingkan adalah nilai-nilai praktisnya. Apa yang
telah diperoleh dalam HTN, HAN dipergunakan secara langsung
dalam praktek oleh pejabat-pejabat negara sehubungan dengan tugas
masing-masing. Biasanya seseorang akan mempelajari terlebih dahulu
Ilmu Negara dan setelah itu untuk prakteknya dalam tugas-tugas
kenegaraan, maka orang akan mempelajari tentang HTN. Dengan
mempelajari Ilmu Negara orang akan memperoleh pengertian
mengenai asas-asas pokok tentang negara pada umumnya dan dengan
bekal ini orang akan dapat berkecimpung langsung dalam hukum
positif yang merupakan objek HTN.
Dengan demikian, jelas bahwa Ilmu Negara yang merupakan
ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian pokok dan sendi-sendi
dasar teoritis yang bersifat umum untuk HTN. Oleh karena itu untuk
dapat mengerti dengan sebaik-baiknya sistem hukum ketatanegaraan
suatu negara maka, harus terlebih dahulu memiliki ilmu pengetahuan
segala hal ihwal secara umum tentang negara yang didapat dari Ilmu
Negara. Ilmu Negara adalah Ilmu pengantar bagi mereka yang hendak
mempelajari HTN.
Hubungan HTN dengan Ilmu Politik adalah antara HTN dan
Ilmu Politik terdapat hubungan yang dekat, sehingga dapat dikatakan
batas-batas yang telah digariskan dalam HTN sering diisi atau
memerlukan pengisian dari garis politik. Terbentuknya suatu undang-
280
undang tentu diisi dengan kebijakan-kebijakan politik yang ditarik
pada waktu penyusunannya. Misalnya Pembukaan suatu UUD di situ
jelas kita akan mengetahui politik suatu negara. Demikian pula dalam
pembentukan suatu undang-undang, ratifikasi yang dilakukan DPR,
diterima atau ditolak lahirnya Rancangan Perundang-Undangan itu
selalu dipengaruhi suara para wakil rakyat, sedangkan para wakil
rakyat yang duduk dalam DPR adalah merupakan wakil dari
organisasi politik, golongan dan lain-lain.
Sehubungan dengan ini menurut Barents “ilmu politik adalah
ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Ilmu politik mempelajari negara-negara itu
melakukan tugasnya untuk mencapai tujuan dari organisasi itu”.
Selanjutnya Logemann mengatakan HTN dan Ilmu Politik
keduanya merupakan cabang ilmu sosial erat sekali kedua ilmu itu
mempelajari organisasi dalam melakukan tugasnya untuk mencapai
tujuan dari organisasi negara.
Dari seorang political scientist dipersyaratkan untuk memiliki
pengetahuan yang cukup dalam bidang HTN sedang seorang ilmuan
HTN seyogyanya mendalami Ilmu Politik karena politik dan hukum
dua hal tapi satu.
Berikutnya hubungan HTN dengan HAN. Di kalangan para ahli
hukum telah terdapat kesamaan pandangan bahwa antara HTN dan
HAN memiliki keterkaitan yang erat. Keterkaitan antara kedua hukum
ini antara lain dikemukakan oleh Van Vollenhoven “bahwa badanbadan pemerintah tanpa aturan hukum tata negara akan lumpuh, oleh
karena badan-badan ini tidak mempunyai wewenang apapun atau
wewenangnya tidak berketentuan dan badan-badan pemerintah tanpa
HAN akan bebas sepenuhnya”. Oleh karena badan-badan ini dapat
menjalankan wewenangnya menurut kehendaknya sendiri.
Selanjutnya Kranenburg berpendapat bahwa “kita tidak mungkin
281
mempelajari hukum administrasi tanpa didahului dengan mempelajari
HTN”.
Demikian juga Stroink mengatakan tidak mungkin untuk
menarik garis batas yang tegas antara HTN dan HAN, karena kedua
bidang hukum ini memiliki keterkaitan yang erat, hukum negara tanpa
bantuan HAN tidak dapat dipahami begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat diketahui bahwa
HTN dan HAN terdapat hubungan yang erat. Hal ini dapat diketahui
hubungan antara kedua hukum tersebut yaitu administrasi negara
melengkapi HTN, tanpa HAN, alat perlengkapan negara yang ada
belum dapat melaksanakan tugasnya karena belum ada pedoman yang
menjadi panutannya. Sebaliknya, tidak adanya HTN akan
mengakibatkan kekacauan di dalam penyelenggaraan organisasi
negara, bahkan akhirnya akan dapat menimbulkan anarki”, sebab
HTN diperlukan untuk memberikan batas-batas tanggung jawab dan
wewenang dari perangkat administrasi negara.
Di samping dengan Ilmu Negara, Ilmu Politik dan Hukum
Administrasi, HTN juga mempunyai hubungan dengan Hukum
Pidana. Hubungan HTN dan hukum pidana adalah bahwa ketentuan
Hukum Pidana memberikan ancaman hukuman terhadap perbuatanperbuatan bidang hukum lain. Misalnya dalam bidang HTN, seseorang
yang melakukan perbuatan pemberontakan untuk merubah bentuk
negara kesatuan Republik Indonesia menjadi negara komunis.
Demikian juga seseorang yang melakukan perbuatan pidana yang
ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun
tidak langsung. Contoh pemberontakan akan menggulingkan
pemerintahan yang sah.
282
D. Asas-Asas Hukum Tata Negara
1. Asas Pancasila
Setiap negara didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu
merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Oleh karena itu,
setiap negera mempunyai falsafah yang berbeda. Karena suatu
falsafah itu identik dengan keiginan dan watak rakyat dan bangsanya,
tidak mungkin untuk mengambil falsafah negara lain untuk dijadikan
falsafah bangsanya begitu saja. Karena falsafah itu merupakan
perwujudan dari watak dan keiginan dari suatu bangsa, segala aspek
kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya.
Pada waktu Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rapat-rapatnya mencari
philosofische grondslag untuk Indonesia yang akan merdeka,
Pancasila diputuskan sebagai dasar negara. Hal itu berarti bahwa
setiap tindakan rakyat dan negara Indonesia harus sesuai dengan
Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara itu.128
Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum
materiil. Oleh karena itu, setiap isi peraturan perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengannya. Jika hal itu terjadi, peraturan itu
harus segera dicabut.
Dalam Penjelasan UUD 1945, dapat diketahui bahwa
Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang
meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Republik Indonesia.
Pokok-pokok pikiran ini merupakan cita-cita hukum bangsa Indonesia
yang mendasari hukum dasar negara, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut.
Pokok pikiran pertama. “Negara” – begitu bunyinya –
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
128
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, hlm. 18-19.
283
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam pembukaan ini,
diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi
dan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Jadi, negara
mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan.
Negara menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan
meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar
negara yang tidak boleh dilupakan. Rumusan ini menunjukkan pokok
pikiran persatuan. Dengan pengertian yang lazim, negara,
penyelenggara negara, dan setiap warga negara wajib mengutamakan
kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupan perorangan.
Pokok pikiran kedua: “Negara hendak mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat”. Ini merupakan pokok pikiran keadilan
sosial, yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia
mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pokok pikiran ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah
negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang
terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Pokok
pikiran yang ketiga ini menunjukkan bahwa didalam negara
Indonesia, yang berdaulat adalah rakyat Indonesia sehingga
kedaulatan ada di tangan rakyat. Dan pelaksanaan dari asas kedaulatan
ini disertai asas lainnya, yaitu asas musyawarah dan dilakukan oleh
wakil-wakil rakyat. Jadi, asas kedaulatan ini dilaksanakan dengan cara
musyawarah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat.
Pokok pikiran keempat yang terkandung dalam “pembukaan”
ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
284
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang
Dasar harus mengandung isi yang mewujudkan pemerintah dan
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan
yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pokok pikiran yang keempat ini menunjukkan keyakinan bangsa
Indonesia akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, adanya cita
kemanusiaan dan cita keadilan dari bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia bahkan semua itu
menjadi dasar negara yang mengikat, biak pemerintah maupun
rakyatnya.
Keempat pokok pikiran tersebut jelas merupakan pancaran dari
pandangan hidup dan dasar falsafah negara Pancasila. Dengan
mengungkap keempat pokok pikiran ini, dapatlah kita gambarkan
bahwa Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pandangan hidup
bangsa Indonesia Pancasila.129
2. Asas Negara Hukum
Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan
terjemahan langsung dari rechsstaat.130 Istilah rechsstaat mulai populer
di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada
sejak lama. Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya
sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul
Introduction to the Study of Law of the Constitution. Dari latar
belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan
antara konsep rechsstaat dengan konsep the rule of law, meskipun
dalam perkembangannya dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi
perbedaan antara keduanya karena pada dasarnya kedua konsep itu
129
130
Azhari, 1985, Pancasila dan UUD 1945, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 20-21.
Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori
Ilmu Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hlm. 30.
285
mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama, yaitu pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan
sasaran yang sama, keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri
yaitu sistem hukum sendiri.131
Konsep rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang
absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the
rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari isi
atau kriteria rechsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat
bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law,
sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang
disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif,
sedangkan karakteristik common law adalah judicial.132 Adapun ciriciri rechtsstaat adalah:
a. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
b. Adanya pembagian kekuasaan negara;
c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ide sentral rechtsstaat
adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya
Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional
terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian
kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu
tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan yang
berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan.
131
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, Surabata, hlm. 72.
132
Ibid., hlm. 72.
286
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law
sebagai berikut.133
a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan
kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority
yang luas dari pemerintah.
b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari
semua golongan kepada ordinary law of the land yang
dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang
yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara.
c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa
hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi
dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
peradilan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,134 negara hukum berarti suatu
negara yang didalam wilayahnya adalah:
a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat
perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap
para warga negara maupun dalam saling berhubungan masingmasing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku;
b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus
tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Dari segi moral politik, menurut Franz Magnis Suseno,135 ada
empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan
dijalankan tugasnya berdasarkan: (1) kepastian hukum; (2) tuntutan
133
Ibid., hlm. 80
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung:
Eresco, Bandung, hlm. 38.
135
Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustka Utama, Jakarta, hlm. 295-298.
134
287
perlakuan yang sama; (3) legitimasi demokrasi; dan (4) tuntutan akal
budi.
Dilihat dari ilmu politik, Magnis mengambil empat ciri negara
hukum yang secara etis relevan, yaitu: (1) kekuasaan dijalankan sesuai
dengan hukum positif yang berlaku; (2) kegiatan negara berada di
bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif; (3) berdasarkan
sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia;
dan (4) menurut pembagian kekuasaan.
Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai
hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.
Begitu eratnya hubungan antara paham negara hukum dan kerakyatan
sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis atau
democratische rechtsstaat.136 Scheltema, memandang kedaulatan
rakyat (democratie beginsel) sebagai salah satu dari empat asas negara
hukum, selain rechtszekerheidbeginsel, gelijkheid beginsel, dan het
beginsel van de dienendeoverheid.137 Dalam kaitannya dengan negara
hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum,
selain masalah kesejahteraan rakyat.138
3. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Ada sebagian kalangan yang berpandangan bawa cita
kenegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 adalah cita kenegaraan
kekeluargaan, oleh Soepomo disebut Integralistik. Sebagian yang lain
136
137
138
D.J. Elzinga, 1994, “De Democratische Rechtsstat Als Ontwikkeling
Perspectief”, dalam Scheltema (ed), De Rechtsstaat Herdacht, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle, 1989, hlm. 43. Dikutip kembali dalam Bagir Manan. Hubungan
Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, hlm.
167.
Scheltema, “De Rechtstat”, Ibid., hlm. 19.
Elzinga, Op .Cit., hlm. 48.
288
berpandangan bahwa cita kenegaraan dalam UUD 1945 adalah
demokrasi karena adanya jaminan HAM di dalam UUD 1945.
Asas kekeluargaan diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh
Soepomo dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945. Pada sidang tersebut
ditunjukkan oleh Soepomo arti penting sebuah UUD sebagai dasar
sebuah negara. Dasar negara memang merupakan hal yang amat
penting bagi suatu negara. Dari dasar negara itulah kemudian disusun
Undang-Undang Dasar maupun konvensi serta peraturan perundangundangan lainnya sehingga setiap bentuk kegiatan dari negara itu
haruslah selalu bersumber dari dasar negara. “Philosofische
Grondslag”, ideologi negara atau staatsidee.139 Soepomo
mengemukakan sebagai berikut.140
...Maka dasar sistem pemerintahan itu bergantung pada
staatsidee, kepada “begrip staat” (negara) yang hendak kita
pakai untuk pembangunan negara Indonesia. Menurut
pengertian negara yang integralistik sebagai bangsa yang tertib,
sebagai persatuan rakyat yang tersusun maka pada dasarnya
tidak akan ada dualisme “staat dan individu”, tidak akan ada
pertentangan antara susunan staat dan susunan hukum individu,
tidak ada dualisme antara Staat und Staatsfreie Gesellschaft”
tidak akan membutuhkan jaminan Grund und Freiheitsrechte
individu contra staat karena individu tidak lain ialah suatu
bagian organik dari staat, yang mempunyai kedudukan dan
kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan
staat, dan sebaliknya oleh karena staat bukan suatu badan
kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan
suasana kemerdekaan seseorang.
139
140
Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara, FHUI, Jakarta, hlm. 56.
Dardji Darmodihardjo, 1981, “Orientasi Singkat Pancasila” dalam Santiaji
Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Usaha Nasional, Surabaya,
hlm. 19.
289
Upaya perumusan tentang cita kenegaraan dalam UUD 1945
berkembang pemikiran diantara para anggota BPUPKI dan PPKI
bahwa cita kenegaraan yang hendak dibangun harus didasarkan pada
paham kedaulatan rakyat yang modern, tetapi tidak mengikuti jalan
pikiran yang sudah berkemban sebelumnya di negara-negara Barat.
Cita negara (staatsidee) Indonesia harus dibangun secara khas,
dalam arti tidak meniru paham individualisme liberalisme yang justru
telah melahirkan kolonialisme dan imperalisme yang harus ditentang
ataupun paham kolektivisme ekstrem seperti yang diperlihatkan dalam
praktik di lingkungan negara-negara sosialis-komunis. Dengan kata
lain, semangat yang melandasi pemikiran para pendiri Republik
Indonesia adalah semangat sistesis, semangat untuk melakukan
kombinasi atau semangat untuk menciptakan sesuatu paham baru.141
Hal ini tercermin pula dalam pikiran Soepomo tentang teori negara
integralistik yang disebutnya berasal dari filsuf Adam Muller,
Spinoza, dan Hegel.
Ketika menguraikan pandangan mengenai teori integralistik,
Soepomo bahkan merujuk kepada ngara Jerman maupun Jepang, yagn
ketika itu memang berada satu front melawan sekutu, yang terdiri dari
negara-negara yang menganut paham individualisme-komunisme,
seperti Amerika, Inggris, Prancis, dan negara yang menganut
komunisme, yaitu Uni Soviet. Menurut Soepomo, paham liberal yang
individualistis maupun paham komunis yang didasarkan atas teori
kelas, sama-sama tidak cocok untuk Indonesia.142 Sebaliknya, paham
yang cocok adalah seperti yang diterapkan di Jerman dan Jepang.
141
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Indonesia,
Mencari Keseimbangan Individualisme dan Kolektivisme Dalam Kebijakan
Demokrasi Politik dan Ekonomi, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum UI,
Jakarta, 1994. Lihat juga dalam Suplemen Jurnal Islam dan Kebudayaan
ULUMUL QUR’AN, No. 2 Volume IV, Tahun 1993.
142
Muh. Yamin, Op. Cit., hlm. 110-111.
290
Paham yang diterapkan di kedua negara tersebut saat itu, meskipun
disebut sebagai fasisme dan totalitarianisme, oleh Soepomo dipuji
karena memandang hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam
kesatuan.143
Soekarno dan Soepomo berhasil pula menguraikan konsep
negara kekeluargaan itu secara jitu sehingga kesimpulan yang dicapai,
bahwa dalam paham kekeluargaan tidak perlu ada asumsi yang
bersifat konflik dalam merumuskan konsep hubungan antara rakyat
dan negara, sangat mempengaruhi jalan pikiran sebagian besar
anggotan BPUPKI. Oleh karena itu, dari satu segi, paham
kekeluargaan yang dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 sangat
mudah dipahami sebagai konsep kolektivisme ekstrem, dalam arti
bahwa paham-paham yang menekankan kedudukan individu, sama
sekali dianggap asing dari pikiran kenegaraan Indonesia. Dalam
Penjelasan mengenai pokok pikiran Pembukaan UUD 1945
dinyatakan bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan
segalam paham perseorangan.144 Dengan itu, dapat dimengerti
mengapa UUD 1945 tidak mendasarkan diri atas teori individualistis
ataupun teori golongan seperti yang dikemukakan oleh Soepomo.
Negara Indonesia itu adalah negara yang mengandung persatuan
antara rakyat dan pimpinannya, persis seperti yang dimaksud oleh
Soepomo dengan teori integralistiknya. Dari segi ini, corak negara
143
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 112.
Negara-begitu bunyinya-melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ‘Dalam ‘Pembukaan’ ini diterima
aliran pengertian negara Persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap
bangsa seluruhnya. Jadi, Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi
segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian ‘Pembukaan’ itu
menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah
suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.” Penjelasan UUD 1945, Ibid., hlm.
68.
144
291
Indonesia itu bersifat sangat kolektifistik dan cenderung mengabaikan
individualitas. Meskipun banyak yang mengusulkan agar
permasalahan HAM dimuat dalam UUD, Soekarno dan Soepomo
berkeras untuk konsisten dengan sistematika pemikiran integralistik
yang menolah HAM. Menurut kedua tokoh ini dalam pikiran
kekeluargaan, HAM telah diakui dengan sendirinya sehingga tidak
perlu lagi dicantumkan dalam UUD. Dalam pidato Soekarno, saat
mengawali Rapat Besar BPUPKI 15 Juli 1945, dikemukakan dengan
tegas penolakannya untuk mencantumkan rumusan HAM tersebut
dalam UUD.
Perbedaan pandangan mengenai HAM tersebut, terutama seperti
yang terlihat dalam perdebatan antara Hatta-Yamin di satu pihak
dengan Soekarno-Soepomo di pihak yang lain, pada pokoknya
mencerminkan perbedaan pemikiran mengenai konsep negara
kekeluargaan. Soekarno-Soepomo menekankan corak kolektivisme.
Meskipun
Hatta-Yamin
menerima
kolektivisme,
mereka
mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM,
yang dianggap sebagai perlindungan yang sudah seharusnya dijamin
dalam UUD untuk menghindarkan kemungkinan menjadi negara
kekuasaan. Mereka menuntut HAM ini tetap dimuat dalam UUD.
4. Asas Negara Kesatuan
Model negara kesatuan, asumsi dasarnya secara diametrik, dari
negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat
kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh
wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan
para penguasa daerah apalagi negara-negara, karena diasumsikan
bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagianbagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka
negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang
292
kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat
untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini
diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.145
Apabila dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), negara
Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai suatu negara kesatuan yang
berbentuk Republik. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang
memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara
ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan
kekuasaan kepada pemerintah daerah (local government).146 Dalam
negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara
tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan
pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara
dalam kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan
pemegang kekuasaan tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat.
Dalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugastugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah
pusat. Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya
menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan
menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga
menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya
hubungan kewenangan dan pengawasan.
Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pengertian
otonomi. Berdasarkan landasan batas tersebut, dikembangkanlah
berbagai peraturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan
menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesatuan dan tuntutan
145
146
Al Chaidar, Zulfikar Salahuddin, Herdi Sahrasad, 2000, Federasi atau
Disintegrasi, Telaah Awal Wawancara Unitaria Versus Federalis Dalam
Perspektif Islam, Nasionalisme dan Sosial Demokrasi, Jakarta: Madani Press,
Jakarta, hlm. 201-202.
M. Solly Lubis, 1983, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan
Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni, Bandung, hlm. 8.
293
otonomi. Di sini pulalah letak kemungkinan spanning yang timbul
dari kondisi tarik-menarik antara kedua kecenderungan tersebut.147
Tarik menarik itu bukanlah suatu hal yang perlu dihilangkan.
Upaya untuk menghilangkannya tidak akan pernah berhasil karena hal
itu merupakan suatu yang bersifat alami. Kehidupan negara dan
pemerintahan tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat, baik
masyarakatnya sendiri maupun masyarakat di luarnya. Negara atau
pemerintah yang baik adlaah yang berkiprah sesuai dengan dinamika
masyarakatnya. Dalam kondisi itulah, dilihat kecenderungan ke arah
kesatuan atau otonomi.
Kalau segalanya dikembalikan pada kepentingan masyarakat
dan terwujud suatu pemerintahan yang sehat, tarik menarik tersebut
tidak boleh dilhat sebagai spanning yang membahayakan satu sama
lain, melainkan suatu bentuk dinamika yang alami yang akan
senantiasa ada pada setiap tingkat perkembangan kehidupan bernegara
atau berpemerintahan. Yang pokok adalah menciptakan mekanisme
yang wajar agar setiap tarikan bukan saja peringatan (warning), tetapi
sekaligus sebagai masukan (feeding) bagi yang lain.148
Di tengah proses pembahasan perubahan UUDd 1945, PAH I
menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945.
Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, salah satu diantaranya
adalah tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.149 Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara
Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk negara
ini yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara dan dipandang paling
147
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISKA, Jakarta,
hlm. 3.
148
Ibid, hlm. 34.
149
MPR RI, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, jakarta, hlm. 25.
294
tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk
ditinjau dari berbagai latar belakang. Kesepakatan tersebut
dikukuhkan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan,
“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan.”
Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku
bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia
dalam sejarah, yang mengharuskan bangsa Indonesia bersatu dengan
seerat-eratnya dalam keragaman itu. Keragaman itu merupakan
kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak boleh
disatukan atau diseragamkan (uniformed). Oleh karena itu, prinsip
persatuan Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan. Prinsip
persatuan juga tidak boleh dipersempit maknanya ataupun
diidentikkan dengna pengertian pelembagaan bentuk negara kesatuan
yang merupakan bangunan negara yang dibangun atas motto Bhinneka
Tunggal Ika (Unity in Diversity). Bentuk negara kita adalah Negara
Kesatuan (Unitary State), sedangkan persatuan Indonesia adalah
prinsip dasar bernegara yang harus dibangun atas dasar persatuan
(unity), bukan kesatuan (uniformity).150
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan ‘negara
persatuan’ dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat
bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan
yang menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di
hadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Dalam negara
kesatuan itu, otonomi individu diakui kepentingannya secara
seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Negara persatuan
itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang
berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Namun,
150
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 6.
295
konsepsi negara persatuan itu sering disalahpahami, seakan-akan
bersifat ‘integralistik’, yang mempersatukan rakyat secara totaliter
bersama-sama dengan pemimpinnya seperti konsepsi Hitler yang
didasarkan atas pandangan Hegel tentang negara Jerman. Istilah
negara persatuan cenderung dipahami sebagai konsepsi atau ciri
negara (staatsidee) yagn bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang
mengabaikan pluralisme dan menafikan otonomi individu rakyat yang
dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya dalam Undang-Undang
Dasar. Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan salah pengertian,
istilah persatuan itu harus dikembalikan pada bunyi rumusan sila
ketiga Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”, bukan “Persatuan dan
Kesatuan Indonesia” apalagi “Kesatuan Indonesia”. Persatuan adalah
istilah filsafat dan prinsip bernegara, sedangkan kesatuan adalah
istilah bentuk negara yang bersifat teknis. Bandingkan antara rumusan
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 dan rumusan Pasal 1 ayat (1)
yang menyatakan: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang
berbentuk republik”. Negara Kesatuan adalah konsepsi tentang bentuk
negara, dan Republik adalah konsepsi mengenai bentuk pemerintahan
yang dipilih dalam kerangka UUD 1945.151
Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia
memilik bentuk negara kesatuan, di dalamnya terselenggara suatu
mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
keragaman antardaerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan
budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan
151
Jimly Asshiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945”, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, tema “Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunann
Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli hlm. 6-7.
296
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang
sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimiliknya masing-masing,
tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan
oleh pemerintah pusat.152
5. Asas Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di
Indonesia saat ini bermuara kepada ketidakjelasan konsep yagn
dibangun oleh UUD 1945, tidak adanya checks and balances antara
alat kelengkapan organisasi negara, selain berbagai kelemahan yagn
melekat pada UUD 1945. Sejak saat itu, berbagai kalangan
menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD 1945 dan mendesak
MPR untuk secepatnya melakukan perubahan tersebut. Belakangan
ini, muncul aspirasi politik yang menghendaki agar dipakai sistem
perimbangan kekuasaan (checks and balances).
Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung
kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif
terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang
memadai,153 sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan
itu menguntungkan bagi siapa saja yagn menduduki jabatan presiden.
Menurut istilah Soepomo: “concentration of power of responsibility
upon the president”.
Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan
mendasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia.
Pertama, sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorang
pemimpin senteral dan menentukan. Munculnya pusat-pusat
kekuasaan baru di luar negara telah menggeser kedudukan seorang
152
153
Jimly Asshiddiqie, Op .Cit., hlm. 63.
Mohd. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,
UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 96-98. Lihat juga dalam Bagir Manan, Teori
dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UI Press, 2003), hlm. 11-14
297
Presiden RI dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi
kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan
diturunkan dari kekuasaannya. Kedua, munculnya kehidupan politik
yang juga liberal, yang melahirkan proses politik yagn juga liberal.
Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik
rakyat. Semangat keterbukaan yagn dibawanya telah memperlihatkan
kepada publik betapa tingginya tingkat distrosi dari proses
penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga tinggi
negara, kesadaran untuk memperkuat proses checks and balance
antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa
bahkan melampaui konvensi yang selama ini dipegang – yakni “asas
kekeluargaan” di dalam penyelenggaraan negara. Kelima, reformasi
politik telah mempertebal keinginan sebagian elite berpengaruh dan
publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan
perubahan mendasar dalam konstitusi RI.154
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat (MPR) yang
merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku kedaulatan rakyat, dan
sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan tidak terbatas.
Selanjutnya, dari Majelis ini kekuasaan rakyat itu seolah dibagikan
secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada
di bawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut disebut prinsip
pembagian kekuasaan (distribution of power). Setelah dilakukan
perubahan terhadap kelembagaan dan kewenangan MPR sebagaimana
terbaca dalam Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar.
154
Indria Samego, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam
Seminar dan Lokakarya Nasional “Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil
Amandemen UUD 1945” yang diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 8-10 Juli 2002.
298
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar dari pada haluan
negara, baik yang berbentuk GBHN maupun peraturan perundangundangan, serta memilih dan mengangkat Presiden dan wakil
Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang
menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat.
Denagn ketentuan baru ini, secara teoritis berati terjadi perubahan
fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang
vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi herizontal
fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawsi
antar lembaga negara (cheks and balances).155
Demikian pula dengan perubahan yang berkaitan dengan
kekuasaan Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945 terhadap
Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya
“penggeseran” executive heavy ke arah legislatif heavy. Hal ini terlihat
dari penggeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk undangundang, yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentukm undang-undang (Pasal 20
UUD 1945). Perubahan pasal-pasal ini memindahkan titik berat
kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden,
beralih ke tangan DPR.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini
maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan”
155
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 100.
299
(distribution of power)156 dengan prinsip supremasi MPR “pemisahan
kekuasaan” (separation of power) dengan prinsip cheks and balances
sebagai ciri pelekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh
dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.
Aspek perimbangan kekuasaan mengenai hubungan presiden
dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung tampak dalam perubahan
Pasal 13 dan 14. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan
sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini
dipandang sebagai hak prerogatif. Perubahan Pasal 13 berbunyi:
(1) Dalam hal mengangkat Duta, Presiden memerhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebelum adanya perubahan, Presiden sebagai kepala negara
mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul
serta menerima duta negara lain. Menngingat pentinynya hal tersebut,
maka Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya
diberikan pertimbangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Perubahan Pasal 14 berbunyi sebagi berikut:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan menperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
156
Dengan meminjam teori Prof. Ivor Jennings, pada umumnya pemisahan
kekuasaan dalam arti materiil adalah dalam arti pembagian itu dipertahankan
dengan prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik
memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga bagian. Sedangkan
pemisahan kekuasaan dalam arti formil, pemisahan kekuasaan itu tidak
dipertahankan secara prinsipil. Sir W. Ivor Jennings, The law and the
Constitutions (London, Cetakan Keempat, University of London Presss, 1996)
hlm. 267. Lihat juga dalam Ismail Suny, Penggeseran Kekuasaan Eksekutif,
Aksara Baru, Jakarta, 1983. hlm. 16.
300
Alasan perlunya Presiden memerhatikan pertimbangan dari
Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi:
a. Grasi dan rehabilitasi iyu adalah proses yusticial dan biasanya
diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang
amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik.
b. Grasi dan rehabilitasi itu lebih banyak bersifat perorangan,
sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal.157
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi
adalah lembaga negara yang paling tepat dalam memberikan
pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu, karena grasi
menyangkut keputusan hakim, sedangkan rehabilitasi tidak selalu
terkait dengan putusan hakim.
Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal
pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan
politik. Bagir Manan kurang sependapat dengan rumusan tersebut
karena pemberian amnesti dan abolisi tidak selalu terkait dengan
pidana politik. Kalaupun diperlukan pertimbangan cukup dari
Mahkamah Agung. DPR adalah badan politik, sedangkan yang
diperlukan adalah pertimbangan hukum. Pertimbangan politik,
kemanusiaan, sosial dan lain-lain, merupakan isi dari hak prerogratif.
Yang diperlukan adalah pertimbangan hukum untuk memberi dasar
yuridis pertimbangan Presiden.158
Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak
anggota DPR yang diautur dalam Pasal 20A, berbunyi antara lain
sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legeslasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.
157
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, 2000, Reformasi Konstitusi Indonesia
Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia, Jakarta, hlm. 190.
158
Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.
165.
301
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta
hak imunitas. Ketantuan ini dikmaksudkan untuk menjadikan
DPR berfungsi secara obtimal sebagai lembaga perwakilan rakyat
sekaligus memperkokoh pelaksanaan checks and balances oleh
DPR.
Cabang kekuasaan eksekutif tetap berada di tangan Presiden dan
Wakil Presiden. Melalui perubahan UUD 1945, presiden diberuikan
kewenangan untuk membentuk suatu dewan pertimbangan yang
bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang
selanjutnya diatur dengan undang-undang. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas
penyelenggaraan negara.
Proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana
diatur dalam Pasal 6A ayat (1) mengalami perubahan menjadi
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat”. Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, diharapkan rakyat
dapat berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pilihannya
sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada
Pemilu 1999. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki
otoritas dan legimasi yang sangat kuat karena dipilih langsung oleh
rakyat.
Lembaga baru yang muncul melaui perubahan ketiga UUD 1945
adalah Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
302
Mahkamah Konstitusi (MK). UUD 1945 merumuskan kewenangan
Komisi Yudisial, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B sebagai
berikut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenag
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”. Melalui lembaga tersebut, diharapkan
dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan
rakyat sekaligus dapat diwujudkannya penegakan hukum dan
pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan
dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Hadirnya DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia diatur
dalam Pasal 22C dan 22D. Dalam Pasal 22D diatur mengenai
wewenang DPD, sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
(2) Dewan Perwakilan daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alamdan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
303
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alamdan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:
a. Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan
memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
b. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan
daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan
dengan negara dan daerah-daerah.
c. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan
daerah secara serasi dan seimbang.159
Lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
159
Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm. 106.
304
UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD.
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu
sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai
dengan prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat
diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun
pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam
lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
RANGKUMAN
HTN adalah sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang
mengatur keorganisasian suatu negara yaitu hubungan antara alat
perlengkapan negara dalam garis koordinasi vertikal dan horizontal
tentang kedudukan warga negara pada organisasi negara itu dan hak
asasinya.
Sumber hukum materiil HTN Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila merupakan isi dari sumber hukum. Pancasila merupakan
jiwa dari setiap peraturan yang dibuat yang diberlakukan, segala
sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apapun yang
bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku. Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum negara.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila
305
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dari
bentuknya, bentuknya ini diketahui dan ditaati dan inilah yang
menyebabkan hukum itu berlaku umum. Disinilah suatu kaidah
memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang
berwenang hal tersebut merupakan petunjuk hidup yang harus diberi
perlindungan.
Sumber hukum formil dalam HTN Indonesia dilihat dari jenis
dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang
3) Peraturan Pemerintah.
4) Peraturan Daerah.
HTN mempunyai hubungan yang erat dengan Ilmu Negara,
Ilmu Politik, Hukum Administrasi maupun Hukum Pidana karena
ilmu-ilmu tersebut mempunyai objek atau laporan pembicaraan sama
yaitu negara, hanya sudut pandangannya yang berbeda daripada
masing-masing ilmu-ilmu tersebut.
HTN dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Ilmu Politik,
dan Hukum Pidana memandang negara dari sifatnya atau pengertian
yang konkrit, artinya objeknya tertentu, misalnya pada tempat,
keadaan tertentu. Jadi sudah mempunyai objektif tertentu, misalnya
Negara Republik Indonesia, Negara Inggris, Negara Jepang dan
sebagainya. Kemudian negara dalam pengertiannya yang konkrit itu
306
diselidiki lebih lanjut mengenai susunannya, alat perlengkapannya,
wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkapannya. Sedangkan Ilmu
Negara mempelajari bahan-bahan mengenai kenegaraan yang tidak
hanya ditujukan kepada negara-negara tertentu yang konkrit
melainkan negara-negara di dunia pada umumnya. Hasil penyelidikan
Ilmu Negara adalah nilai teoritisnya sedangkan sebaliknya bagi HTN
dan HAN yang lebih dipentingkan adalah nilai-nilai praktisnya. Apa
yang telah diperoleh dalam HTN, HAN dipergunakan secara langsung
dalam praktek oleh pejabat-pejabat negara sehubungan dengan tugas
masing-masing. Biasanya seseorang akan mempelajari terlebih dahulu
Ilmu Negara dan setelah itu untuk prakteknya dalam tugas-tugas
kenegaraan, maka orang akan mempelajari tentang HTN. Dengan
mempelajari Ilmu Negara orang akan memperoleh pengertian
mengenai asas-asas pokok tentang negara pada umumnya dan dengan
bekal ini orang akan dapat berkecimpung langsung dalam hukum
positif yang merupakan objek HTN.
LATIHAN
1. Sebutkan pengertian Hukum Tata Negara menurut beberapa
sarjan.
2. Jelaskan sumber hukum materiil dan formil dari Hukum
Tata Negara.
3. Jelaskan hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum
Administrasi Negara.
4. Jelaskan hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu
Negara dan Ilmu Politik.
5. Sebutkan asas-asas yang terdapat dalam Hukum Tata
Negara.
307
GLOSSARIUM
1. Constitutional law adalah yang menunjukkan pengertian Hukum
Tata Negara
2. The ordinary law of the land adalah hukum konstitusi bukanlah
sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
3. Cheks and balances adalah prinsip saling mengimbangi dan saling
mengawsi antar lembaga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busroh, 1991, Asas-asas Hukum
Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Al Chaidar, Zulfikar Salahuddin, Herdi Sahrasad, 2000, Federasi atau
Disintegrasi, Telaah Awal Wawancara Unitaria Versus
Federalis Dalam Perspektif Islam, Nasionalisme dan Sosial
Demokrasi, Madani Press, Jakarta.
Azhari, 1985, Pancasila dan UUD 1945, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut
UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta.
-------, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Uniska,
Jakarta.
-------, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UI Press, Yogyakarta.
-------, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta.
308
Dardji Darmodihardjo, 1981, “Orientasi Singkat Pancasila” dalam
Santiaji Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Usaha
Nasional, Surabaya.
D.J. Elzinga, 1989, “De Democratische Rechtsstat Als Ontwikkeling
Perspectief”, dalam Scheltema (ed), De Rechtsstaat Herdacht,
W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustka Utama, Jakarta.
Indria Samego, 2002, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945,
Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Evaluasi
Kritis Atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945” yang
diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum
Indonesia, Mencari Keseimbangan Individualisme dan
Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Ekonomi,
Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta.
-------,2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945”, Makalah dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, tema “Penegakan Hukum
Dalam Era Pembangunann Berkelanjutan”, diselenggarakan
oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar.
309
--------, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi Hukum
Tata Negara, FH-UI, Jakarta.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia , Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,
Jakarta.
M. Solly Lubis, 1993, Pergeseran Garis Politik dan Perundangundangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung.
MPR RI, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI,
Jakarta.
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
\
Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan
14 Teori Ilmu Negara dari Jellinek, Melati Study Group,
Jakarta.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia, Bina Ilmu, Surbaya.
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, 2000, Reformasi Konstitusi
Indonesia Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia,
Jakarta.
310
Usep Rana Wijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasarnta,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik,
Eresco, Bandung.
--------, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan
Keenam, Dian Rakyat, Jakarta.
311
BAB XIII
ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: Pengertian hukum administrasi negara,
sumber-sumber hukum administrasi, asas-asas hukum
administrasi negara dan sumber kewenangan.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi hukum adminitrasi negara.
2. Mengungkapkan sumber-sumber hukum administrasi.
3. Menjelaskan asas-asas hukum administrasi negara.
4. Menjelaskan sumber-sumber kewenagan (atribusi, delegasi
dan mandat).
A. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai fenomena kenegaraan
dan pemerintahan keberadaannya muncul bersamaan dengan
diselenggarakannya kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan
aturan hukum tertentu. Meskipun demikian HAN sebagai suatu
cabang ilmu di negeri Belanda baru muncul belakangan dan menjadi
satu kesatuan dengan HTN dengan nama staaten administratief recht,
menurut ilmu pengetahuan hukum di Inggris disebut administrative
law, di Perancis droit administratief.
Terhadap istilah administratie para sarjana Indonesia berbeda
pendapat
dalam
menterjemahkannya,
kata
administratie
diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata
pemerintahan tata negara dan administrasi. Perbedaan penerjemahan
312
ini mengakibatkan perbedaan penamaan terhadap cabang hukum ini,
yakni seperti HAN, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha
Pemerintahan, Hukum Tata Usaha, Hukum Tata Usaha Negara
Indonesia, HAN Indonesia dan Hukum Administrasi. Adanya
keagamaan istilah ini dalam perkembangannya terdapat
kecenderungan untuk mengadakan keseragaman terhadap istilah
HAN.
Di Indonesia dalam pemakaian istilah HAN mengalami
perubahan beberapa kali berdasarkan kebijakan pemerintah, antara
lain pada tahun 1972, berdasarkan Surat Keputusan P dan K tanggal
30 Desember 1972 No. 0198/U/1972 tentang Pedoman Kurikulum
minimal dalam Pasal 5 disebutkan bahwa menggunakan istilah resmi
yang dipakai, yaitu Hukum Tata Pemerintahan yang dari bahasa
Belanda administratief recht, administrative law (Inggris). Dengan
adanya Keputusan Menteri P dan K tersebut maka istilah yang dipakai
pada fakultas-fakultas hukum adalah Hukum Tata Pemerintahan.
Dengan adanya ketegasan dalam pemakaian istilah ini maka
terdapat kejelasan dan keseragaman dalam mempelajari ilmu hukum
di bidang tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk
bidang Ilmu Hukum ini diganti lagi dengan istilah HAN, sehubungan
dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perguruan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 1983.
Sehubungan dengan pengertian HAN di kalangan para sarjana
tidak ada kata sepakat tentang pengertian HAN. Beberapa pendapat
para sarjana adalah sebagai berikut:
1. R. Abdoel Djamali, HAN adalah peraturan hukum yang mengatur
administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan
pemerintahannya yang menjadi sebab hingga negara berfungsi.
313
2.
3.
4.
5.
Kusumadai Poedjosewojo, HAN adalah keseluruhan aturan
hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa
menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya.
Syachran Basah, HAN adalah seperangkat peraturan yang
memungkinkan negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus
melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan
melindungi administrasi negara itu sendiri.
Logemann, HAN adalah menguji hubungan hukum istimewa
yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi
negara melakukan tugas mereka istimewa mereka;
tugas
administrasi negara adalah mengatur kepentingan umum,
misalnya kesehatan masyarakat, pengajaran, pengairan dan lainlain.
Dalam hal ini apabila dikaitkan dengan HTN maka menurut
Logemann terdapat perbedaan yang hakiki, yaitu apabila HTN
sebagai hukum membahas mengenai organisasi jabatan negara
yang memandang negara sebagai organisasi, sebaliknya HAN
membahas mengenai hubungan antara jabatan negara itu dan
warga masyarakat.
Di pihak lain ada beberapa sarjana yang tidak membedakan secara
prinsipil antara HTN dan HAN, yaitu HTN diartikan sama dengan
hukum konstitusi negara, sedangkan HAN menitik beratkan pada
administrasi dari pada negara saja. Administrasi merupakan salah
satu bab terpenting dalam konstitusi negara.
Sjachran Basah, HAN adalah seperangkat peraturan yang
memungkinkan administrasi negara menjalankan tugasnya, yang
sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak
administrasi negara dan melindungi administrasi negara itu
sendiri.
314
Berdasarkan beberapa definisi tersebut tampak bahwa dalam
HAN terkandung dua aspek yaitu pertama, aturan-aturan hukum yang
mengatur dengan cara bagaimana alat-alat kelengkapan negara itu
melakukan tugasnya. Kedua aturan-aturan hukum yang mengatur
hubungan antara alat perlengkapan administrasi negara dengan para
warganya. Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan,
khususnya dalam ajaran Welfare State, yang memberikan kewenangan
yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam
bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam HAN di
samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan
yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara.
Selanjutnya pengertian dari administrasi negara terdapat 3 (tiga)
pengertian yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah atau sebagai institusi
politik (kenegaraan), artinya meliputi organ yang berada di bawah
pemerintah mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati,
Walikota dan sebagainya.
2. Sebagai fungsi atau aktivitas yaitu kegiatan pemerintahan, artinya
kegiatan mengurus kepentingan negara.
3. Sebagai proses teknis melaksanakan undang-undang, artinya
meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan
undang-undang.
B. Sumber-Sumber Hukum Administrasi
1. Undang-Undang dasar 1945
Seperti diketahui, Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945. Undangundang dasar ini berlaku sampai 27 desember 1949, saat berlakunya
Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Setelah Konstitusi Republik
Indonesia Serikat berlaku untuk seluruh Indonesia, Undang-Undang
315
Dasar 1945 hanya berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia.
Dalam kenyataan, Konstitusi Republik Indonesia hanya berlaku
kurang lebih 8 (delapan) bulan. Hal itu disebabka, karena sebagian
besar rakyat di Daerah-daerah Bagian tidak menghendaki bentuk
negara serikat. Untuk keperluan itu pembuat undang-undang Federal
Republik Indonesia Serikat telah menetapkan berlakunya Undangundang Federal Nomor 7 Tahun 1950, yang Pasal 1 nya yang berisi
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam Pasal 2 ditetapkan
bahwa Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berlaku sejak Tanggal
17 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar ini berlaku selama 9
(sembilan) tahun yaitu sampai 5 Juli 1959, karena sejak itu berlaku
lagi Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden.
Seperti halnya konstitusi pada umumnya, Undang-Undang
Dasar 1945 juga mengatur tiga hal yang bersifat pokok, yaitu jaminan
terhadap adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia,
susunan ketaata negaraan (the strukture of gofernment) yang bersifat
mendasar dan pembatasan serta pembagia tugas-tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat mendasar. Walaupun Undang-Undang Dasar 1945
hanya terdiri dari 37 Pasal, akan tetapi di dalamnya telah diatur hal-hal
yang mendasar dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu dia
merupakan semacam “streefgrondwet”.160
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ketetapan MPR dibuat dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Bentuk peraturan yang bernama Ketetapan MPR ini untuk
pertama kali keluar pada Tahun 1960, yaitu Ketetapan MPR
Sementara RI Nomor 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik
160
Philipus M. Hadjon dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 56.
316
Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan
Negara.
Yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah putusan Majelis
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar (MPR) dan ke
dalam (MPR), sedangkan Keputusan MPR adalah putusan Majelis
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam saja. Walaupun
kedua putusan MPR itu dibuat dan dikeluarkan oleh MPR, akan tetapi
hanya Ketetapan MPR yang mempunyai arti penting dalam bidang
hukum. Menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
(lampiran) bentuk putusan (peraturan) MPR ini memuat:
a. Garis-geris besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan
undang-undang;
b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan
dengan keputusan Presiden.
Ini berarti bahwa, Ketetapan MPR di satu pihak dapat
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.Apabila kita pelajari semua
Ketetapan MPR (S) yang sampai sekarang masih berlaku, ternyata ada
Ketetapan MPR yang isinya mengatur dan ada yang isinya merupakan
keputusan (beschikking). Ketetapan MPR yang dimaksud ialah :
a. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1988 tentang Pertanggung jawaban
Presiden Republik Indonesia, Soeharto, selaku Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
b. Ketetapan MPR No. V/MPR/1988 tentang Pengangkatan Presiden
Republik Indonesia;
c. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan
Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Dalam Rangka Penyuksesan dan Pengawasan
Pembangunan Nasional;
317
d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No. VII/MPR/1988 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik
Indonesia.
3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti
Undang-undang.
Seperti ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 UUD 1945,
peraturan yang diberi nama undang-undang ini adalah produk
legislatif Presiden (Pemerintah) bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat. Dengan demikian inisiatif mengajukan usul rancangan
undang-undang dapat berasal dari Presiden (Pemerintah) dan dapat
pula berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seperti telah
dikemukakan dalam bagian 2.3.1., undang-undang dikeluarkan untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi selain itu,
undang-undang juga dibuat untuk melaksanakan Ketetapan MPR dan
bahkan untuk melaksanakan undang-undang. Sebagai contoh dapat
dikemukakan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan dasar
hukum dari Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sementara itu sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945, dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti Undang-undang. Peraturan ini mempunyai derajat
yang sama dengan undang-undang. Oleh karena itu akibat hukum
yang diciptakan juga sama. Perbedaan antara kedua peraturan itu
terletak dalam dua hal:
a. bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
hanya dibuat oleh presiden saja; Dewan Perwakilan Rakyat tidak
dilibatkan dalam pembuatan peraturan itu;
318
b. bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang itu
dibuat dalam keadaan genting (negara dalam keadaan darurat).
Akan tetapi, walaupun Presiden mempunyai hak untuk
mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang, Pasal 22 ayat (2) menentukan bahwa peraturan ini harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan
yang berikut. Apabila tidak mendapat persetujuan, peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu harus dicabut dan
akibat hukum yang timbul harus diatur.
4. Peraturan Pemerintah
Seperti ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Peraturan
Pemerintah ini dibuat dan dikeluarkan oleh Presiden untuk
melaksanakan undang-undang. Peraturan Pemerintah memuat aturanaturan yang bersifat umum. Terhadap Peraturan Pemerintah,
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi berwenang
untuk menyatakan tidak sah. Adapun alasannya ialah karena Peraturan
Pemerintah itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih
tinggi.
5. Keputusan Presiden
Seperti halnya Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden juga
dikeluarkan oleh Presiden. Akan tetapi berbeda dengan Peraturan
Pemerintah yang memuat aturan-aturan yang bersifat umum.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig).
Hal ini tercantum dalam lampiran Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Dalam lampiran Ketetapan MPRS itu juga
disebutkan bahwa Keputusan Presiden yang terdapat dalam UUD
1945, atau untuk melaksanakan praktek ita kenal adanya beberapa
macam Keputusan Presiden, yaitu:
319
a. Keputusan Presiden yang berisi pengangkatan seorang menjadi
Menteri atau menjadi Duta Besar atau menjadi Guru Besar atau
menjadi Direktur Jenderal suatu Departemen;
b. Keputusan Presiden yang berisi pemberian tunjangan kepada
pejabat negara tertentu, seperti Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 13 Tahun 1985 tentang Tunjangan Jabatan Bagi
Pejabat Negara Tertentu;
c. Keputusan Presiden yang mengatur hal-hal tertentu, seperti:
1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 1983
tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan
Catatan Sipil. Keputusan Presiden ini antara lain mengatur
kewenangan, organisasi, keuangan dan penyelenggaraan catatan
sipil.
2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 52 Tahun 1977
tentang Pendaftaran Penduduk. Keputusan Presiden ini antara
lain mengatur penyelenggaraan dan penyeragaman Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, persyaratan untuk memiliki
Kartu Tanda Penduduk.
Selain Keputusan Presiden, masih terdapat Instruksi Presiden.
Instruksi Presiden berisi petunjuk yang ditujukan kepada para pejabat
di lingkungan pemerintahan (eksekutif), seperti instruksi yang
ditujukan kepada Menteri, Jaksa Agung, Gubernur Kepala Daerah
atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah.
6. Peraturan Menteri dan Surat Keputusan Menteri
Peraturan Menteri adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh
seorang Menteri yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bidang
tugasnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1974 tentang
Tatacara Pencalonan, Pemilihan dan Pengangkatan Kepala Daerah;
320
b. Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah Serta Hak dan Kewajibannya;
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1986 tentang
Antar-Kerja Antar Negara.
Selain Peraturan Menteri seperti dikemukakan, masih ditemukan
adanya Surat Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Bersama (dua
atau lebih) Menteri. Yang dimaksud dengan Surat Keputusan Menteri
adalah Keputusan Menteri yang bersifat khusus mengenai masalah
tertentu sesuai dengan bidang tugasnya. Sebagai contoh dapat
dikemukakan:
a. Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.170/L/Phb/75
tentang Perambuan;
b. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. KB.510/404/Kpts/ 1983
tentang Pembinaan dan Penertiban Perkebunan Besar Swasta yang
Terlantar;
c. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
291/KMK.04/1985 tentang Macam dan Jenis Barang Kena Pajak
yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Di samping Surat Keputusan Menteri itu dalam praktek sering
kita temukan Surat Keputusan Bersama Menteri seperti:
a. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Dalam
Negeri No. Sk.40/KA/1964, D.D.18/1/32 tentang Penegasan
Konvensi Hak Gogolan Tetap.
b. Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam
Negeri No. M.01-UM.09-03-80 dan No. 42 Tahun 1980 tentang
Pelaksanaan Pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Dalam pada itu masih ada lagi Keputusan Menteri yang lain,
yang diberi nama Instruksi Menteri dan Surat Menteri. Sebagai contoh
dapat dikemukakan: Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun
321
1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
7. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Seperti ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 18 UUD 1945,
Negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan itu menganut
sistem desentralisasi. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 18 UUD
1945 wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam
Daerah-daerah Otonom dan wilayah-wilayah Administratio. Daerah
Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi terdiri dari Daerah
Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Hal ini diatur dalam Undang-undang
No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Dalam Pasal 38 Undang-undang itu ditentukan bahwa Kepala Daerah
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan
Peraturan Daerah. Secara negatif Peraturan Daerah:
a. tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya;
b. tidak boleh mengatur sesuatu hak yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya;
c. tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah
tangga daerah tingkat bawahannya.
Peraturan Daerah, baik Tingkat I maupun Tingkat II dapat
memuat ketentuan tentang ancaman pidana kurungan selama-lamanya
6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima puluh ribu
rupiah, dengan atau tidak dengan merampas barang tertentu untuk
negara. Sesuai dengan bunyi Pasal 40 Undang-undang No. 5 Tahun
1974 dikenal adanya dua macam Peraturan Daerah, yaitu:
322
a. Peraturan Daerah yang memerlukan pengetahuan penjabat yang
berwenang. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
pengundangannya dalam Lembaran Daerah.
b. Peraturan Daerah yang tidak memerlukan pengesahan penjabat
yang berwenang. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tingkat
yang ditentukan dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.
Peraturan Daerah ditandatangani oleh Kepala Daerah dan
ditandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selain Peraturan Daerah dikenal pula adanya Keputusan Kepala
Daerah. Keputusan Kepala Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah
untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau urusan-urusan dalam
rangka tugas pembantuan. Hal ini diatur dalam Pasal 45 UndangUndang No. 5 Tahun 1974. Dari rumusan tersebut jelas bahwa
Keputusan Kepala Daerah dibuat dan dikeluarkan oleh Kepala Daerah
tanpa harus meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hal itu diatur dalam Pasal 61 Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
Menurut pasal itu Keputusan Kepala Daerah yang mengadakan hutang
piutang atau menanggung pinjaman bagi kepentingan dan atas beban
Daerah harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
8. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang kita kenal dalam
perkuliahan Pengantar Hukum Indonesia. Sebagai sumber hukum,
yurisprudensi biasanya disebut bersama-sama dengan hukum tertulis,
hukum tidak tertulis dan doktrin. Secara umum yang dimaksud dengan
yurisprudensi adalah peradilan. Akan tetapi dalam arti sempit yang
dimaksud degnan yurisprudensi adalah ajaran hukum yang tersusun
dari dan dalam peradilan yang kemudian dipakai sebagai landasan
hukum. Selain pengertian di atas yurisprudensi juga diartikan sebagai
himpunan putusan-putusan pengadilan yang disusun secara sistematik.
323
Bahwa putusan badan pengadilan dapat dijadikan landasan hukum
dengan jelas dapat dibaca dari bunyi Pasal 26 Undang-undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman jo Pasal 31 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung. Dalam kedua undang-undang itu ditentukan
bahwa Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua
peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah daripada
undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tentang pernyataan
tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil
oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Ini berarti
bahwa putusan yang menyatakan tidak sahnya Peraturan Pemerintah
ke bawah baru dapat dilakukan apabila ada perkara (kasus) yang
diadili oleh Pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan tingkat
banding. Setelah adanya putusan Mahkamah Agung itu, peraturan
yang telah dinyatakan tidak sah itu harus dicabut dengan segera oleh
instansi yang membuat dan mengeluarkan peraturan itu. Dari uraian di
atas jelas bahwa putusan Mahkamah Agung itu merupakan landasan
hukum bagi pencabutan suatu peraturan yang telah dinyatakan tidak
sah.
9. Hukum Tidak Tertulis
Berbeda dengan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dalam
Uud 1945 tidak ada pasal yang mengatur tentang berlakunya hukum
adat. Walaupun demikian dalam Penjelasan Umum UUD 1945
terdapat keterangan tentang diakuinya hukum yang tidak tertulis. Hal
itu dapat dibaca dari kalimat sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum
dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang
tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga
324
hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara
meskipun tidak tertulis;
b. Memang untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara, tidak cukup
hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya saja,
akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan
bagaimana suasana kebatinan Undang-Undang Dasar itu.
Dari kutipan Penjelasan Umum itu kita mengetahui bahwa UUD
1945 juga mengakui berlakunya hukum tidak tertulis. Yang menjadi
pertanyaan ialah, apakah yang dimaksud dengan hukum tidak tertulis
itu. Dalam catatannya terhadap Undang-Undang Dasar Sementara
1950, Soepomo mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum
yang tidak tertulis ialah hukum yang tidak dibentuk oleh sebuah badan
legislatif (unstatutory law), yaitu hukum yang hidup sebagai konvensi
di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan sebagainya), hukum yang timbul karena putusan-putusan
hakim (judge made-law) dan hukum kebiasaan yang hidup di dalam
masyarakat, pendek kata “hukum adat” dalam arti yang dipakai dalam
ilmu pengetahuan hukum. Sehubungan dengan pendapat Soepomo itu,
Kusumadi Pudjosewojo menarik kesimpulan bahwa di samping
adanya hukum tertulis (putusan badan yang berwenang), juga ada
hukum tata negara adat, hukum tata usaha adat, hukum perdata adat,
hukum dagang adat, hukum pidana adat. Dalam praktek, hukum
tatanegara adat disebut konvensi, yang berasal dari kata Inggris
“convention”.161
10. Hukum Internasional
Selain cabang-cabang hukum di atas, masih kita temui cabang hukum
lain yang dinamakan hukum “internasional”. Kadang-kadang cabang
161
Ibid, hlm. 63.
325
hukum ini juga dinamakann hukum bangsa-bangsa atau hukum antar
bangsa atau hukum antar negara (Mochtar Kusumaatmadja, 1982 :4).
Menurut pakar Hukum Internasional itu, yang dimaksud dengan
hukum internasional ialah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas
yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara, yaitu:
a. antar negara dengan negara;
b. antar negara dengan subyek hukum bukan negara satu sama lain.
Menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 38 ayat (1),
dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Mahkamah
Internasional akan dipergunakan:
a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum
maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum
yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;
b. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu
kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab; dan
d. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang
paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan
bagi penetapan kaedah-kaedah hukum.162
Apa yang dikemukakan pada butir a sampai dengan d di atas
juga disebut sebagai sumber-sumber hukum internasional.
11. Keputusan Tata Usaha Negara (administratieve beschikking)
Sumber hukum lain yang perlu dikemukakan ialah keputusan tata
usaha. Sebelum membahas lebih lanjut keputusan tata usaha, perlu
dikemukakan lebih dahulu bentuk-bentuk perbuatan pemerintahan.
162
Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasioanal, Buku I
Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, hlm. 107-108.
326
Seperti diketahui, dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan
negara, administrasi (negara) harus melakukan bermacam-macam
perbuatan. Dalam kaitan ini terdapat 2 (dua) kelompok perbuatan
administrasi (negara), yaitu:
a. perbuatan hukum (rechthandelingen); dan
b. perbuatan nyata (feitelijke handelingen).
Menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia sampai
sekarang dikenal adanya hukum perdata (privat/sipil) dan hukum
publik. Sehubungan dengan itu perbuatan hukum terdiri atas:
a. perbuatan hukum perdata; da
b. perbuatan hukum publik.
Pembuatan hukum publik dapat dibagi dalam:
a. perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige
publiekrechtelije handeling);
b. perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige
publiekrechtelije handeling).
Perbuatan hukum publik bersegi satu dilakukan oleh
administrasi (aparat pemerintah) berdasarkan kekuasaannya yang
istimewa. Perbuatan hukum publik ini diberi nama keputusan
(beschikking). Keputusan administrasi ini dibuat baik untuk
menyelenggarakan hubungan dalam lingkungan alat-alat perlengkapan
negara yang membuatnya dengan seorang partikelir (swasta atau
antara dua atau lebih alat-alat perlengkapan negara). Perbuatan hukum
publik bersegi dua dibenarkan antara lain oleh Van der Pot dan A.M.
Donner.163 Sebagai contoh perbuatan hukum publik ini antara lain
ialah perjanjian kerja yang berlaku dalam jangka waktu pendek
(kortverband contract). “Kortverband contract” ini merupakan
perbuatan hukum publik bersegi dua yang diadakan oleh seorang
163
Van der Pot dan A.M. Donner, 1989, Handboek van het Nederlandse
Staatsrecht, 2e druk, Tjeen-Willink,Zwolle, hlm. 203.
327
swasta (partikelir) dengan pemerintah sebagai pihak memberi
pekerjaan. Perbuatan hukum ini diatur oleh suatu hukum istimewa,
yaitu hukum publik dalam hal ini hukum administrasi (negara).
12. Doktrin
Yang dimaksud dengan doktrin adalah pendapat-pendapat para pakar
dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh. Pendapat yang
dikemukakan ini sering dipergunakan sebagai sumber dalam
pengambilan keputusan, terutama oleh para hakim.
C. Asas-Asas Hukum Administrasi Negara
1. Asas Pemerintahan Yang Baik
Di kalangan penulis HAN di Indonesia terdapat perbedaan
penerjemahan algemene beginselen van berholijk bestuur atau asasasas umum pemerintahan yang layak. Khusus kata beginselen ada
yang menerjemahkan dengan prinsip-prinsip dasar-dasar dan asas-asas
sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan dengan sebaiknya, yang
baik, yang legal dan yang patut. Dengan penerjemahan ini algemene
beginselen van behoorlijik bestuur menjadi prinsip-prinsip atau dasardasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang
sebaiknya. Namun ada yang berpendapat dengan mengacu kepada
kata asal behoorlijk ini, yang semuanya menunjukkan kata sifat dan
berarti ada yang disifati yaitu bestuur (pemerintahan) maka
diterjemahkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang layak.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan politik Indonesia
asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan beberapa asas
328
umum penyelenggaraan negara yang sekaligus merupakan perwujudan
dari prinsip/asas pemerintahan yang baik yaitu:
a. Asas kepastian hukum
b. Asas tertib penyelenggaraan negara
c. Asas kepentingan umum
d. Asas keterbukaan
e. Asas proporsionalitas
f. Asas profesionalitas
g. Asas akuntabilitas
Dalam penjelasan undang-undang tersebut terdapat keterangan
sebagai berikut:
a. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan
landasan
peraturan
perundang-undangan,
kepatuhan dan keadilan dalam setiap penyelenggara negara.
b. Asas tertip penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam
pengendalian penyelenggaraan negara.
c. Asas kepentingan umum adalah asas yang menimbulkan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan
selektif.
d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan
tidak diskriminatif terutama penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara.
e. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian
yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
329
g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Asas Good Governance
Governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam
penyediaan public goods dan services. Praktek terbaiknya disebut
good governance atau sering disebut dengan kepemerintahan yang
baik. Menurut Lembaga Akuntansi Negara kata good dalam good
governance mengandung 2 (dua) pengertian:
Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak
rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat
dalam mencapai tujuan nasional yang mandiri, pembangunan
berkelanjutan, dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari
pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Dalam HAN, ada 13 (tiga belas) asas-asas mengenai good
governance yaitu
1) Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum memiliki 2 (dua) aspek yang satu lebih
bersifat hukum material dan yang lain bersifat hukum formal.
Asas yang bersifat material menghendaki dihormatinya hak yang
telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan
pemerintahan, sehingga dengan demikian setiap keputusan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali.
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum
membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan
ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang
330
menguntungkan, harus disusun dengan akta-kata yang jelas. Asas
kepastian hak memberi hak kepada yang berkepentingan untuk
mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya .
Asas ini berkaitan dengan prinsip HAN yaitu Presumptio Justea
Cause (praduga rechtmatig) yang berarti setiap keputusan badan
/pejabat tata usaha negara yang dikelurkan dianggap benar
menurut hukum selama belum dibuktikan sebaliknya atau
dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan dengan
hukum oleh hakim administrasi.
2) Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman
jabatan dan kelakuan atau kealfaan seorang pegawai. Asas ini
menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis
atau kualifiksi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan
seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap
kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta
sejalan
dengan
kepastian
hukum.
Artinya
terhadap
pelanggaran/kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda
akan dikemukakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang
ada.
3) Asas kesamaan dalam mengambil keputusan
Asas ini menghendaki agar badan pemerintahan mengambil
tindakan yang sama atas kasus-kasus yang faktanya sama, dalam
arti tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain jika
kasusnya sama.
4) Asas bertindak cermat
Asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam
melakukan berbagai aktivitas, sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi warga negara. Asas kecermatan masyarakat agar
badan pemerintahan sebelum mengambil ketetapan, meneliti
331
semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua
kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. Bila faktafakta penting kurang diteliti, maka ini berarti badan pemerintahan
tidak cermat.
5) Asas motivasi untuk setiap keputusan.
Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan
pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup
sebagai dasar keputusan tersebut. Motivasi ini harus jelas, benar
sehingga pihak administrabele (pihak yang terkena keputusan)
memperoleh pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang
ditujukan kepadanya.
6) Asas tidak mencampuradukkan kewenangan
Asas ini menghendaki agar pejabat pemerintahan tidak
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah
ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan
wewenang yang melampaui batas. Dalam HAN penyalahgunaan
wewenang disebut Detournement De Pouvoir dan sewenangwenang Willekeur.
7) Asas permainan yang layak
Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi
kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasiargumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi.
Asas ini menekankan kejujuran dan keterbukaan dalam proses
penyelesaian sengketa. Adanya instansi banding akan
memungkinkan terealisasinya asas ini, karena warga negara yang
tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama masih
diberi kemungkinan untuk mencari kebenaran dan keadilan baik
melalui instansi pemerintah yang lebih tinggi atau instansi lain dari
332
yang mengeluarkan keputusan administrasi maupun melalui badan
peradilan yang lebih tinggi.
8) Asas keadilan dan kewajaran
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat
administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan
kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara profesional,
sesuai seimbang, setiap dan selaras dengan hak setiap orang.
Sedangkan asas kewajaran menekankan agar aktifitas pemerintah
memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, baik itu
berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat maupun nilai-nilai
lainnya.
9) Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga
negara. Oleh karena itu aparat pemerintah harus memperhatikan
asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan
kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak
menguntungkan bagi pemerintah.
10) Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal.
Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari
pekerjaannya. Seorang pegawai yang dipecat karena diduga
melakukan kejahatan tetapi setelah dilakukan proses pemeriksaan
di Pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak bersalah,
maka pegawai tersebut harus dikembalikan lagi pada pekerjaan
semula. Bahkan juga harus diberi ganti rugi dan harus direhabilitasi
nama baiknya.
11) Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi.
Asas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas
kehidupan pribadi setiap pegawai negeri. Namun demikian
penerapan asas ini harus dikaitkan dengan sistem keyakinan,
333
kesusilaan dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat atau sebagaimana disebutkan Kuntjoro Probo Pranoto,
asas tersebut harus disesuaikan dengan pokok-pokok sila dan
UUD 1945.
12) Asas kebijaksanaan
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan
tugasnya diberi kebebasan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa
harus terpaku, pada peraturan perundang-undangan formal.
13) Asas penyelenggaraan kepentingan umum.
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan
tugasnya selaku mengutamakan kepentingan umum, yaitu
kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang
banyak. Asas ini merupakan konsekuensi dianutnya konsepsi
negara hukum modern (welfare state) yang menempatkan
pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk
mewujudkan kesejahteraan umum warga negaranya.
D. Sumber Kewenangan (Atribusi, Delegasi Dan Mandat)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah merupakan
sumber yang memberikan wewenang kepada pejabat administrasi
negara/pemerintah
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan.
Kemungkinan untuk memperoleh wewenang pemerintahan itu dapat
terjadi karena:
1. Atribusi.
2. Delegasi.
3. Mandat.
334
Ad.1. Atribusi
Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru
oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini
melahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru.
Legislator yang berkompeten untuk memberikan atribusi
wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:
a) Yang berkedudukan sebagai original legislator di Indonesia di
tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR
bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan perundangundangan dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang
melahirkan Perda.
b) Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang
berdasarkan ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu
peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang
pemerintah pemerintahan kepada Badan atau jabatan Tata Usaha
Negara tertentu.
Ad.2. Delegasi
Pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan
Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh
adanya atribusi wewenang.
Ad.3. Mandat
Pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun
pelimpahan wewenang dari Badan atau jabatan Tata Usaha Negara
yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat tidak terjadi perobahan
apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada. Yang ada
hanya sebatas hubungan intern. Misalnya antara Menteri dengan
335
Dirjen atau Irjennya dimana Menteri menugaskan Dirjen atau
Sekjennya (mandataris) untuk atas nama Menteri melakukan dan
mengambil suatu tindakan hukum serta mengeluarkan keputusankeputusan Tata Usaha Negara tertentu.
Yuridis keluar tetap Menteri berwenang karena sebagai Pejabat
Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab. Jadi Dirjen atau Sekjen
tersebut yang faktanya memutuskan sesuatu sedang Menterinya yang
memutuskan secara tertulis. Dalam hubungan mandat seperti itu,
Menteri sewaktu-waktu dapat memberikan petunjuk-petunjuk umum
maupun khusus kepada Dirjen/Sekjennya/Mandataris dalam rangka
pelaksanaan tugas yang dimandatkannya. Menteri sewaktu-waktu
dapat mengambil keputusan sendiri, jadi pada mandat wewenang
pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh Dirjen/Sekjen atas nama dan
tanggung jawab Menteri (mandatoris).
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pada
atributif disitu terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan pada delegasi
terjadi pelimpahan atau pemindahan suatu wewenang yang telah ada
sebaliknya pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru
maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau jabatan Tata Usaha
Negara yang satu kepada yang lain.
RANGKUMAN
Terhadap istilah administratie para sarjana Indonesia berbeda
pendapat
dalam
menterjemahkannya,
kata
administratie
diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata
pemerintahan tata negara dan administrasi. Perbedaan penerjemahan
ini mengakibatkan perbedaan penamaan terhadap cabang hukum ini,
yakni seperti HAN, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha
Pemerintahan, Hukum Tata Usaha, Hukum Tata Usaha Negara
336
Indonesia, HAN Indonesia dan Hukum Administrasi. Adanya
keagamaan istilah ini dalam perkembangannya terdapat
kecenderungan untuk mengadakan keseragaman terhadap istilah
HAN.
HAN adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu
hubungan antara warga negara dan pemerintahannya yang menjadi
sebab hingga negara berfungsi.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut tampak bahwa dalam
HAN terkandung dua aspek yaitu pertama, aturan-aturan hukum yang
mengatur dengan cara bagaimana alat-alat kelengkapan negara itu
melakukan tugasnya. Kedua aturan-aturan hukum yang mengatur
hubungan antara alat perlengkapan administrasi negara dengan para
warganya. Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan,
khususnya dalam ajaran Welfare State, yang memberikan kewenangan
yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam
bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam HAN di
samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan
yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara.
Selanjutnya pengertian dari administrasi negara terdapat 3 (tiga)
pengertian yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah atau sebagai institusi
politik (kenegaraan), artinya meliputi organ yang berada di bawah
pemerintah mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati,
Walikota dan sebagainya.
2. Sebagai fungsi atau aktivitas yaitu kegiatan pemerintahan, artinya
kegiatan mengurus kepentingan negara.
3. Sebagai proses teknis melaksanakan undang-undang, artinya
meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan
undang-undang.
337
LATIHAN
1. Jelaskan pengertian hukum administrasi negara dan apa saja
unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut.
2. Jelaskan sumber-sumber dari hukum administrasi negara.
3. Jelaskan secara singkat asas-asas dalam hukum administrasi
negara.
4. Sbutkanm 13 asas mengenai good governance.
5. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan kewenanangan
atribusi, delegasi dan mandat.
GLOSSARIUM
1. Administratie diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha
pemerintahan, tata pemerintahan tata negara dan administrasi.
2. Welfare State suatu ajaran yang memberikan kewenangan yang
luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam
bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam HAN di
samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturanperaturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara.
3. Judge made-law adalah hukum kebiasaan yang hidup di dalam
masyarakat, pendek kata “hukum adat” dalam arti yang dipakai
dalam ilmu pengetahuan hukum.
4. Eenzijdige publiekrechtelije handeling adalah perbuatan hukum
publik yang bersegi satu
5. tweezijdige publiekrechtelije handeling adalah perbuatan hukum
publik yang bersegi dua
6. Algemene beginselen van berholijk bestuur adalah asas-asas
umum pemerintahan yang layak.
7. Detournement De Pouvoir adalah penyalahgunaan wewenang.
338
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasioanal, Buku I
Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 107-108.
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 56.
Van der Pot dan A.M. Donner, Handboek van het Nederlandse
Staatsrecht, 2e druk, Tjeen-Willink,Zwolle, 1989, hlm. 203.
339
BAB XIV
ASAS-ASAS HUKUM ACARA TATA
USAHA NEGARA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami: pengertian hukum acara tata usaha negara,
karakteristik dan asas-asas dalam hukum acara peradilan tata
usaha negara, kewenangan peradilan tata usaha negara,
pemeriksaan di persidangan, pembuktian, dan putusan.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi hukum acara tata usaha negara.
2. Mengungkapkan karakteristik dan asas-asas dalam hukum
acara peradilan tata usaha negara.
3. Menjelaskan kewenangan peradilan tata usaha negara.
4. Menjelaskan pemeriksaan dipersidangan.
5. Menjelaskan mengenai pembuktian.
6. Menjelaskan mengenai putusan.
A. Pengertian Hukum Acara Tata Usaha Negara
Istilah Tata Usaha Negara disebagian lingkungan Perguruan
Tinggi dikenal dengan nama “Administrasi Negara”. Alasannya
karena istilah Tata Usaha Negara lebih sempit dari pada istilah
“Administrasi Negara” itu sendiri.
Dalam arti yang luas, Peradilan Tata Usaha Negara adalah
peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansiinstansi tata usaha negara, baik yang bersifat perkara pidana,
perkara perdata, perkara adat, maupun perkara-perkara
340
administrasi negara murni. Dalam arti sempit, Peradilan Tata
Usaha Negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkaraperkara administrasi negara murni.164
Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara
(administratief recht) adalah aturan hukum yang mengatur cara
bagaimana alat perlengkapan tata usaha negara melaksanakan
tugasnya dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Di dalam melaksanakan tugasnya salah satu bagian dari
kewenangannya adalah membuat atau mengeluarkan keputusan tata
usaha negara. Namun di dalam melaksanakan tugasnya tersebut ada
keputusan-keputusan tata usaha negara yang merugikan orang
perorangan atau badan hukum perdata. Agar mereka yang dirugikan
tersebut dapat mempertahankan haknya maka diatur prosedurnya
dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004.
Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan bahwa hukum
acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada
peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan.165
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
164
Djoko Prakoso, 1987, Menyongsong Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Lambroso, Semarang, hlm. 2.
165
Animus, 1986, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), hlm. 43.
341
pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.166
Berpedoman pada rumusan yang dikemukakan oleh Wirjono
Prodjodikoro teersebut, dapat pula dirumuskan bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adlah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan hukum Tata Usaha Negara (Hukum
Administrasi Negara). Dengan kata lain yang dimaksud Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur tentang
cara-cara bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, serta
mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut.167
B. Karakteristik Dan Asas-Asas Dalam Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara
Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada
asas-asas hukum yang melandasinyanya, yaitu:
1. Asas praduga rechmateg (vermoden van rechtmatigheid/
praesummptio iustae causa)
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa
selalu harus dianggap rechmateg sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaann KTUN yang
digugat (Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
2. Asas pembuktian bebas
166
167
R. Wirjono Prodjodikoro, 1978, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur,
Bandung, hlm. 13.
H. Rozali Abdullah, 1991, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1-2.
342
Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda
dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata. Asas ini dianut Pasal
107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi oleh
ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis)
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para
pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan
penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas
ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat (1), (2),
Pasal 80 dan Pasal 85 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes”
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa
saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka
ini kiranya ketentuan Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 tahun
1986 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.
Di samping asas-asas sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
perlu ditegaskan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya
menegakkan hukum publik, yaitu hukum administrasi sebgaimana
ditegaskan dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal
47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan sengketa tata
usaha negara. Hal ini ditegaskan lagi dalam rumusan tentang
keputusan tata usaha negara (Pasal 1 angka 3) yang mensyaratkan juga
tindakan hukum tata usaha untuk adanya keputusan tata usaha negara.
Juga perlu diperhatikan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha
Negara melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak hanya
melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak masyarakat.
Untuk itu di samping melindungi hak individu sebagian besar isi
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 melindungi hak-hak
343
masyarakat. Pasal-pasal yang langsung menyangkut perlindungan
hak-hak masyarakat adalah:
Pasal 49:
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
keadaan keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarka
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 55:
Gugatan dapat diajukan hanya tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkanya keputusan badan
atau pejabat tata usaha negara.
Pasal 67 ayat (1):
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakan keputusan
badan atau pejabat tata usaha yang digugat.
C. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, pengadilan
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
344
Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha
Negara menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahum
1986, adalah suatu penetapan tertulis, yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang bersdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang. Dari hal ini jelas bagi kita
bahwa sebenarnya kompetensi peradilan Tata Usaha Negara menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah lebih sempit bila
dibandingkan dengan kompetensi dengan Peradilan Tata Usaha
Negara Thorbecke dan Buys. Menurut Thorbecke bilamana pokok
sengketa (fundamentum petendi) terletak di lapangan hukumpublik
sudah tentulah hakim administrasi yang berwenang memutuskannya.
Sedangkan menurut Buys maka ukuran yang harus dipakai dalam
menentukan berwenang atau tidaknya hakim administrasi negara ialah
pokok dalam perselisihan (objectum litis). Bilamana yang
bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu,
meminta ganti kerugian, jadi objectum litis adalah suatu hak privat,
maka perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim
biasa.168 Kopetensi sebagaimana dikemukakan oleh Buys ini lebih
sempit apabila dibandingkan dengan kopetensi Thorbecke. Menurut
Buys walaupun pokok dalam perselisihannya (objectum litis) terletak
di lapangan hukum publik, apabila yang dirugikan adalah hak privat
sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili
adalah hakim biasa atau peradilan umum.169
Kompetensi peradilan tata usaha negara menurut Undangundang Nomor 5 Tahun 1986, jauh lebih sempit lagi, karena tidak
168
Utrech. E, 1964. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Ichtiar, Jakarta, hlm.
207.
169
H. Rozali Abdullah, Op. Cit, hlm. 24.
345
semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan hukum
publik (hukum tata usaha negara) dapat di adili di Peradilan Tata
Usaha Negara. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986, keputusan tata usaha yang dapat digugat di
peradilan tata usaha negara, haruslah memenuhi syarat:
1. Bersifat tertulis
Hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian.
Pengertian tertulis di sini bukanlah dalam arti bentuk formalnya,
melainkan cukup tertulis, asal saja:
a) Jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha yang mengeluarkannya;
b) Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan hak
dan kewajiban;
c) Jelas kepada siapa tulisan itu ditujukan.
Mengenai syarat tertulis ini ada pengecualiannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
a) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan
Tata Usaha Negara;
b) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka
waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud;
c) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak
diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha
346
2.
3.
Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan.
Bersifat konkret
Bersifat konkret artinya objek yang diputus dalam Keputusan
Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan;
Bersifat individual
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk orang-orang atau
badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan
yang berlaku umum;
4. Bersifat final
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak
membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya.
Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 49 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Pengadilan tidak berwenang mengadili suatu
sengketa Tata Usaha Negara, dalam hal keputusan Tata Usaha Negara
itu dikeluarkan:
1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktiknya alasan “dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum” bisa menimbulkan permasalahan, karena sampai
sekarang sulit ditentukan batasan dan ukuran yang objektif tentang
“kepentingan umum”. Biasanya pengertian “kepentingan umum” itu
selalu dilihat dari sudut kacamata penguasa, sehingga sering
merugikan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, para hakim
347
pada pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dituntut
harus berani menentukan sikap di dalam menentukan ada atau
tidaknya suatu “kepentingan umum” berdasarkan ukuran-ukuran yang
objektif menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut bertugas memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada warga masyarakat pencari keadilan dari tindakan sewenangwenang para penguasa.
Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, ada
beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan Hukum
Perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia;
7. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
Mengenai kompetensi ini ternyata Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 masih bersifat mendua, karena masih memberikan
348
kewenangan kepada badan-badan lain (peradilan semu) di luar
pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara tertentu.
Hal ini terlihat dari Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986, yang menyebutkan:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh upaya administratif telah
diselesaikan.
Yang dimaksud upaya administratif disini adalah suatu prosedur
yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata,
apabila ia merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha
Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan instansi yang
bersangkutan.
Upaya administratif tersebut terdiri dari:
1. Keberatan administratif diajukan kepada atasan pejabat yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
2. Banding administratif dilakukan oleh instansi atasan atau instansi
lain dari yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, seperti Majelis Pertimbangan Pajak, Badan
Pertimbangan Kepegawaian, Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, Panitia Urusan Perumahan, DPRD bagi suatu
peraturan daerah dan lain-lain.
Hal ini dapat diketahui dari ketentuan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
349
Negara yang bersangkutan. Apakah peraturan perundang-undangan
dimaksud memberi kemungkinan untuk menempuh suatu upaya
administratif bagi penyelesaian suatu sengketa Tata Usaha Negara di
bidang yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
a. Sengketa Kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2)
dan 24 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.
b. Perselisihan Perburuhan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
c. Sengketa Perpajakan sebagaimana diatur dalam Regeling van het
beroep in belastingzaken jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959
tentang Perubahan Regeling van het beroep in belastingzaken.
d. Dan lain-lain (Anonim, 1986-Penjelasan).
Untuk sengketa Tata Usaha Nega sebagaiman dimaksud oleh
Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan pada tingkat pertama adalah
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut baru dapat
diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setelah menempuh semua
upaya administratif yang dimungkinkan oleh peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dibuatnya Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan. Seandainya para pihak masih merasa tidak
puas atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut,
dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 51 UPTUN).
Sikap mendua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
dengan memberikan kewenangan kepada badan-badan lain selain
pengadilan di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, sebenarnya hal itu kurang menguntungkan bagi
perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri, sebagai suatu
350
peradilan yang utuh dan mandiri di samping juga dapat merugikan
warga masyarakat pencari keadilan. Dengan adanya pemberian
wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikann suatu
sengketa Tata Usaha Negara tertentu kepada badan-badan lain selain
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, jelas akan
dapat mengurangi kemandirian dan keutuhan Peradilan Tata Usaha
Negara. Bagi warga masyarakat pencari keadilan hal ini kurang
menguntungkan, karena upaya penyelesaian secara administratif yang
dilakukan di lingkungan instansi yang bersangkutan atau instansi lain
dari yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, dirasakan kurang dapat memberi rasa keadilan.
Penyelesaian secara ini akan dapat menimbulkan tekanan-tekanan
secara psikologis, sehingga para pencari keadilan kurang bebas di
dalam mengungkapkan masalahnya, karena adanya ikatan birokratis..
Penyelesaian secara ini lebih banyak menimbulkan rasa
ketidakpuasan, yang akhirnya berlanjut ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara, sehingga upaya administratif yang sudah ditempuh
dengan membuang waktu, tenaga, dan pikiran akan menjadi sia-sia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, sebaiknya penyelesaian secara
administratif melalui badan-badan di luar pengadilan yang ada di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dihapuskan saja, sehingga
wewenang mengadili yang ada pada pengadilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara menjadi utuh. Apalagi khusus di bidang
kepegawaian, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian dalam Pasal 35 dengan tegas menyebutkan
bahwa penyelesaian sengketa di bidang kepegawaian dilakukan
melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian dari Peradilan Tata Usaha
Negara yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pengaturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
351
1980 tentang upaya adminitratif, tentunya dimaksudkan untuk berlaku
sementara menjelang terbentuknya suatu Peradilan Tata Usaha Negara
yang mandiri dan permanen. Dengan dibentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara yang mandiri dan permanen berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986, maka kewenangan yang semula
diberikan badan-badan lain selain dari pengadilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara harus ditarik kembali dan diserahkan
sepenuhnya kepada pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara, sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 35 Undangundang Nomor 8 Tahun 1974.
Di samping mengadili pada tingkat pertama sengketa Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga
berwenang (Pasal 51 UPTUN):
1) Memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
banding;
2) Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di
dalam daerah hukumnya.
D. Pemeriksaan Di Persidangan
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Di bandingkan dengan peradilan lainnya, khusus peradilan perdata,
Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam
proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara, yaitu adanya tahap
pemeriksaan pendahuluan.
Pemeriksaan pendahuluan ini terdiri dari (Pasal 62 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986), yaitu:
352
a. Rapat permusyawaratan
Rapat permusyawaratan yang disebut juga dismissel process, atau
tahap penyaringan diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986. Dalam rapat permusyawaratan ini ketrua pengadilan
memeriksa gugatan yang masuk, apakah gugatan tersebut telah
memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan apakah memang termasuk wewenang
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.
Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak
diterima atau tidak berdasar, apabila:
1) Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyatanyata tidak termasuk wewenang tata usaha negara;
2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986;
3) Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan tidak layak;
4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
keputusan tata usaha negara yang digugat;
5) Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya,
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal
ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan
ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk
mendengarkannya. Terhadap penetapan ketua pengadilan tersebut
dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah diucapkan.
Perlawanan tersebut diajukan harus dengan memenuhi syarat-syarat
seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986.
353
b. Pemeriksaaan Persiapan
Pemeriksaaan persiapan diadakan mengingat penggugat di Pengadilan
Tata Usaha Negara pada umumnya adalah warga masyarakat yang
mempunyai kedudukan lemah apabila dibandingkan dengan tergugat
sebagai pejabat tata usaha negara. Dalam posisi yang lemah tersebut
sangat sulit bagi penggugat untuk menadapatkan informasi dan data
yang diperlukan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
digugat.
Dalam pemeriksaan persiapan hakim diharapkan akan berperan
aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan meminta
penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti sebelums sidang
berlangsung dan meminta Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang
diperlukan oleh pengadilan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak menyebutkan
adanya suatu sanksi yang dapat dijatuhkan kepada Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Tetapi hal ini oleh pengadilan
dapat dijadikan sebagai sebagi bukti yang merugikan pejabatat tata
usaha negara itu sendiri. Karena ketidakbersediaan memberikan
penjelasan dan informasi tersebut, dapat dijadikan sebagai suatu
petunjuk ketidak benaran pejabat yang bersangkutan.
Mengenai pemeriksaan persiapan ini diatur dalam Pasal 63
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan:
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan
yang kurang jelas;
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hakim:
354
a. Wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapinya dengan dara yang diperlukan
dalam jangka waktu 30 hari;
b. Dapat diminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan;
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a, penggugat belum menyempurnakan gugatannya,
maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatannya
tidak dapat diterima;
(4) Terhadap putusan sebagaimana dalam ayat (3) tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugat baru.
2. Pemeriksaan di Tingkat Pertama
Pemeriksaan tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan
Tata Usaha Negara, terkecuali untuk sengketa yang menurut paraturan
perundang-undangan yang bersangkuta, sengketa tersebut dapat
diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif, maka
pemeriksaan pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara. Pemeriksaan dtingkat pertama ini dilakukan
melalui 2 cara:
a. Pemeriksaan dengan acara biasa.
Dalam pemeriksaaan dengan cara biasa pengadilan memeriksa
dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan suatu majelis
yang terdiri 3 orang hakim dan salah seorang di antaranya
ditunjuk sebagai hakim ketua sidang, yang bertugas memimpin
sidang dan wajib menjaga supaya tata tertip dalam persidangan
tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan
dengan baik.
355
b.
Pemeriksaan dengan acara cepat.
Dalam hal ada kepentingan penggugat yang cukup mendesak,
penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat, baik proses pemeriksaannya
maupun pemutusannya. Kepentingan yang cukup mendesak ini dapat
disimpulkan dari alasan-alasan penggugat yang dikemukakan dalam
permohonannya (Pasal 98 UUPTUN).
Selambat-lamatnya 14 hari sesudah permohonan diterima, ketua
pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkannya atau
ditolak permohonan tersebut. Terhadap penetapan ini tidak dapat
digunakan upaya hukum, yaitu banding dan kasasi.
Kalau seandainya permohonan untuk diadakan pemeriksaan
dengan acara cepat dikabulkan oleh pengadilan, maka pemeriksaan
sengketa dilakukan dengan hakim tunggal. Ketua pengadilan dalam
jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan yang
mengabulkan permohonan penggugat untuk diadakan pemeriksaan
sengketa dengan acara cepat, menentukan hari, tanggal, waktu dan
tempat sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan
sebagaimana dilakukan dalam pemeriksaan sengketa dengan cara
biasa. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua
belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari (Pasal
99 UUPTUN).
3. Pemeriksaan di Tingkat Banding
Menurut Pasal 122 UUPTUN, terhadap putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat
atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya yang khusus yang diberi kuasa untuk itu,
Kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan
356
tersebut dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan pengadilan itu
diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Permohonan
pemeriksaan banding disertai pembayaran biaya perkara banding lebih
dahuluyang besarnya ditaksir oleh panitera (Pasal 123 UUPTUN).
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir atau
putusan sela hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersamasama putusan akhir.
4. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali
Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam Pasal 131 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat
terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara
pemeriksaan kasasi ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh pengadilan
di lingkungan pengadilan agama atau yang diputus oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut
ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian sama halnya dengan
ketiga peradilan lain, yaitu peradilan umum, peradilan agama, dan
peradilan militer, maka PeradilanTata Usaha Negara berpuncak pada
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemeriksaan di tingkat kasasi dan
permohonan pemeriksaan peninjauan kembali untuk sengketasengketa yang diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Mahkamah Agung bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus:
357
a. Permohonan kasasi.
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili.
c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap.
Ad. a. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi
Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan kasasi
telah menggunakan upaya hukum banding (Pasal 43 UMA).
Permohonan kasasi dapat diajukan oleh pihak yang bersengketa
atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu dalam sengketa Tata
Usaha Negara yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 44 UMA).
Alasan-alasan yang dapaat dipergunakan dalam permohonan
kasasi adalah (Pasal 30 UMA).
(1) Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang atau telah
melampaui batas wewenangnya dalam memeriksa dan memutus
sengketa yang bersangkutan;
(2) Pengadilan telah salah di dalam menerapkan hukum atau telah
melanggar hukum yang berlaku;
(3) Pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan, yang mengancam kelalaian itu
dengan pembatalan putusan yang bersangkutan (Pasal 30 UMA).
Ad. b. Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Pemeriksaan peninjauan kembali ini diatur dalam Pasal 132 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali pada Mahkamah
Agung. Acara pemeriksaan peninjauan kembali ini dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
358
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang berbunyi: “Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang
diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama atau
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara digunakan
Hukum Acara Peninjauan Kembali yang tercantum dalam Pasal 67
sampai Pasal 75.
Hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali untuk sengketa
Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, diberlakukan hukum acara
pemeriksaan peninjauan kembali untuk perkara perdata sebagaimana
diatur dalam Pasal 67 sampai 75 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985.
Menurut Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985,
permohonan penijauan kembali dapat diajukan dengan alasan-alasan
sebagai berikut:
1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut;
4) Apabila mengenai sesuatu bagina dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya
5) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain;
359
6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh
pihak yang bersengketa atau ahli warisnya atau seseorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses
pemeriksaan permohonan peninjauan kembali pemohon meninggal
dunia permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Menurut Pasal 69 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985,
tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali
didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67
adalah 180 hari untuk:
1) Yang disebut pada huruf a, sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang
bersengketa;
2) Yang disebut pada huruf b, sejak ditemukan surat-surat bukti yang
hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah
dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
3) Yang disebut pada huruf c, d, dan f, sejak putusan memperolah
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak
yang bersengketa;
4) Yang disebut pada huruf f, sejak putusan yang terakhir
bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang bersengketa.
Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada
Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan yang telah memutus
perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 70 UMA).
360
E. Pembuktian
Menurut Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, alat-alat
bukti yang dapat digunakan dalam proses pemeriksaan sengketa tata
usaha negara adalah:
1. Surat atau tulisan.
2. Keterangan ahli.
3. Keterangan saksi.
4. Pengakuan para pihak.
5. Pengetahuan hakim.
Ad. 1. Surat atau Tulisan
Seperti diketahui sengketa tata usaha negara selalu dikaitkan dengan
adanya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk memudahkan
pembuktian di persidanagan, secara umum ditentukan bahwa
keputusan tata usaha negara yang dapat digugat di pengadilan tata
usaha negara adalah keputusan tertulis atau dalam bentuk surat. Oleh
karena itu, surat atau tulisan merupakan salah satu alat bukti yang
penting dalam pemeriksaan sengketa tata usaha negara (Pasal 101
UUPTUN).
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 jenis, yaitu:
a) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan
berwenang membuat suarat itu dengan maksud untuk digunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya. Akta otentik merupakan alat bukti yang
sempurna, dimana hakim harus mempercayai apa yang tercantun
dalam akta tersebut, sepanjang tidak ada bukti lain yang
menyatakan ketidak benarannya.
b) Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
361
digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum di dalamnya. Kekuatan pembuktian akta
di bawah tangan hampir sama dengan akta otentik, asal saja isi
dan tanda tangan yang dicantumkan di dalamnya diakui oleh
pihak-pihak yang membuatnya.
c) Surat-surat lain yang bukan akta adalah alat bukti bebas dimana
hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayainya.
Ad. 2. Keterangan Ahli
Menurut Pasal 102 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang
dimaksud dengan keterangan ahli adalah pendapat orang yang berikan
di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang dia ketahui
menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Ad. 3. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 104 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 keterangan
saksi dianggap sebagai lat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal-hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri.
Kehadiran seorang saksi di persidanagan adalah atas permintaan
salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat
memintakan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.
Apabila seorang saksi telah dipanggil secara patut, ternyata tidak
hadir di persidangan tanpa suatu alasan yang dapat dipertanggung
jawabkan dan hakim cukup pula alasan untuk menyangka bahwa saksi
tadi sengaja tidak datang, maka hakim ketua sidang dapat
memerintahkan supaya saksi dibawa oleh polisikepersidangan.
Ad. 4. Pengakuan Para Pihak
Menurut Pasal 105 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, pengakuan
para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan
362
yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan
di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa
yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan
seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Artinya ialah bahwa
hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai
benar dan memeluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan
yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut.170
Jadi suatu pengakuan baru bisa diterima sebagai suatu bukti
yang sempurna kalau diberikan dimuka hakim (persidangan).
Pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat diterima sebagai
suatu bukti yang mengikat, hanya sebagai bukti bebas, terserah kepada
hakim untuk menerima atau tidak menerimanya. Sebagaimana,
disebutkan dalam Pasal 105 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
pengakuan yang diberikan di hadapan hakim (persidangan) tidak dapat
ditarik kembali, terkecuali kalau dapat dibuktikan adanya suatu
kekhilafan.
Ad. 5. Pengetahuan Hakim
Menurut Pasal 106 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang
dimaksud dengan pengatahuan hakim adalah hal yang olehnya
diketahui dan diyakini kebenarannya.
Yang dimaksud pengetahuan hakim ialah hal yang dialami oleh
hakim sendiri selama pemeriksaan perkara dalam sidang.171 Jadi
dalam hal ini tidak termasuk pengetahunan hakim, yaitu hal-hal yang
diberitahukan kepada hakim oleh para pihak. Pengetahuan hakim ini
sangat berguna untuk menambah keyakinan hakim, agar dapat
memberi putusan terhadap suatu sengketa yang diadilinya.
170
171
R. Subekti, 1988. Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, hlm. 112.
R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm. 125.
363
F. Putusan
Setelah selesai seluruh rangkaian proses pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara, hakim ketua sidang memberikan kesempatan kepada
pihak-pihak untuk menyampaikan kesimpulan masing-masing.
Sesudah itu hakim ketua sidang menunda sidang untuk memberikan
kesempatan kepada majelis hakim untuk bermusyawarah dalam ruang
terttutup guna mempertimbangkan putusannya. Dalam musyawarah
yang dipimpin hakim ketua sidang putusan merupakan hasil
pemukatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh
tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan dapat diambil dengan suara
terbanyak. Seandainya dalam musyawarah pertama tidak dapat
menghasilkan suatu putusan, maka musyawarah dapat ditunda pada
musyawarah berikutnya. Apabila dalam musyawarah kedua ini tidak
juga diperoleh putusan melalui suara terbanyak, maka suara hakim
ketua sidang yang akan menentukan (Pasal 97 UUPTUN).
Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang
dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua
belah pihak tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah
hakim ketua sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat
tercatat kepada yang bersangkutan. Apabila putusan pengadilan itu
tidak diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum,
maka putusan itu menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum (Pasal 108 UUPTUN).
Menurut Pasal 109 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
putusan pengadilan harus memuat:
a. Kepala putusan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang bersangkutan;
c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
364
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera,
serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa:
a. Gugatan dinyatakan gugur apabila penggugat tidak hadir pada
waktu sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
walaupun telah dipanggil secara patut; atau
b. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, karena adanya suatu
eksepsi yang diterima oleh majelis hakim; atau
c. Gugatan dinyatakan ditolak, setelah diperiksa ternyata tidak
terbukti; atau
d. Gugatan dinyatakan dikabulkan.
Dalam hal gugatandinyatakan dikabulkan maka dalam putusan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu. Kewajiban itu berupa:
a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kewajiban tersebut dapat disertai pembebanan ganti rugi dan
khusus bagi sengketa kepegawaian, kewajiban tersebut dapat disertai
pemberian rehabilitasi (Pasal 97 UUPTUN).
Apabila dalam suatu persidangan diperlukan suatu putusan sela,
putusan tersebut hanya dicantumkan dalam berita acara sidang dan
tidak dibuat sebagai putusan tersendiri. Putusan sela disebut juga
365
putusan interlukotoir, yaitu putusan yang diambil untuk mengatasi
persoalan yang timbul dalam persidangan, seperti adanya suatu
eksepsi, intervensi, dan lain-lain. Walaupun putusan sela tidak dibuat
dalam putusan tersendiri, tetapi harus juga diucapkan dalam
persidangan.
RANGKUMAN
Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara
(administratief recht) adalah aturan hukum yang mengatur cara
bagaimana alat perlengkapan tata usaha negara melaksanakan
tugasnya dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Di dalam melaksanakan tugasnya salah satu bagian dari
kewenangannya adalah membuat atau mengeluarkan keputusan tata
usaha negara. Namun di dalam melaksanakan tugasnya tersebut ada
keputusan-keputusan tata usaha negara yang merugikan orang
perorangan atau badan hukum perdata. Agar mereka yang dirugikan
tersebut dapat mempertahankan haknya maka diatur prosedurnya
dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004.
Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan bahwa hukum
acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada
peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
366
Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak
pada asas-asas hukum yang melandasinyanya, yaitu:
1. Asas praduga rechmatig (vermoden van rechtmatigheid/
praesummptio iustae causa)
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa
selalu harus dianggap rechmateg sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaann KTUN yang
digugat (Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
2. Asas pembuktian bebas
Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda
dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata. Asas ini diaunut Pasal
107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi oleh
ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis)
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para
pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan
penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas
ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat (1), (2),
Pasal 80 dan Pasal 85 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes”
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa
saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka
ini kiranya ketentuan Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 tahun
1986 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.
367
LATIHAN
1. Jelaskan pengertian hukum acara peradilan tata usaha
negara.
2. Sebutkan asas-asas dalam hukum acara peradilan tata usaha
negara.
3. Uraikan secara ringkas kewenangan peradilan tata usha
negara.
4. Jelaskan tahapan-tahapan penyelesaian pendahuluan dalam
peradilan tata usaha negara.
5. Jelaskan macam-macam alat bukti dalam hukum acara
peradilan tata usaha negara.
6. Apa saja yang harus dimuat dalam putusan hakim peradilan
tata usaha negara.
GLOSSARIUM
1. Administratief recht adalah aturan hukum yang mengatur cara
bagaimana alat perlengkapan tata usaha negara melaksanakan
tugasnya dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Vermoden van rechtmatigheid/praesummptio iustae causa adalah
suatu asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa selalu harus dianggap rechmateg sampai ada
pembatalannya.
3. Erga omnes adalah asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan
mengikat.
4. Objectum litis adalah suatu hak privat, maka perkara yang
bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim biasa.
368
DAFTAR PUSTAKA
Aninomus, 1986, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), 1986.
Djoko Prakoso, 1987, Menyongsong Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia, Lambroso, Semarang.
H. Rozali Abdullah, 1991, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Subekti, R, 1988, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung.
Utrech. E, 1964, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Ichtiar,
Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, R, 1978, Hukum Acara Perdata di Indonesia,
Sumur , Bandung.
Download