llrr ii,, i!.'iX i', i'-\lil{lr\ i l :i;l !lil,", 'l t,i' i7l: il iltt,,,., l c sljldh s rqkrrurha6i rdl !i er !!h, rsrdu krlol ^i rrr hrcN BAB I TATA HUKUM INDONESIA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian tata hukum Indonesia, tata hukum Indonesia, hubungan antara pengantar ilmu hukum (PIH) dengan pengantar hukum Indonesia (PHI), sejarah tata hukum Indonesia, lapangan-lapangan hukum di Indonesia. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan pengertian tata hukum Indonesia 2. Menjelaskan tata hukum Indonesia 3. Menjelaskan hubungan antara pengantar ilmu hukum (PIH) dengan pengantar hukum Indonesia (PHI) 4. Menjelaskan sejarah tata hukum Indonesia 5. Menjelaskan lapangan-lapangan hukum di Indonesia. A. Pengertian Tata Hukum Indonesia Tata Hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde”, ialah susunan hukum, artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Maksud dengan ”memberikan tempat yang sebenarnya” yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.Tata atau susunan itu pelaksanaannya berlangsung selama ada pergaulan hidup manusia yang berkembang. Dalam tata hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu di tempat sejenis yang pernah berlaku dan tetap dinamakan hukum (recht). Dapat dimengerti bahwa dalam tata hukum itu adalah hukum positif 1 2 di samping aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku sebagai hukum positif.1 Pada saat ini, semua bangsa di dunia ini telah mempunyai tata hukumnya sendiri. Demikian pula Negara Republik Indonesia telah mempunyai tata hukum yang disebut dengan Tata Hukum Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Pengantar Tata Hukum Indonesia khusus membicarakan Hukum yang berlaku dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia (Hukum Positif Indonesia), yaitu keseluruhan aturan Hukum dari berbagai cabangnya yang kini berlaku dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Maka untuk lebih jelas, dalam hubungan ini kita kutip pendapat yang dikemukakan oleh Sudiman Kartohadiprodjo dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia halaman 46 sebagai berikut: Tata Hukum di Indonesia adalah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia. Berlaku, berarti memberi akibat hukum kepada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup. Sekarang, menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini, dan tidak kepada pergaulan hidup yang telah lampau, pula tidak kepada pergaulan hidup yang dicita-citakan di kemudian hari. Di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup itu terdapat di Indonesia dan tidak di negara lain; tidak di Amerika Serikat, tidak di Rusia, tidak di Filipina dan tidak pula di Australia atau India”.2 Mempelajari Tata Hukum Indonesia, adalah untuk mengetahui perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan perkataan lain untuk mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam wilayah 1 2 R. Abdoel Djamali, 2003, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5. Sudiman Kartohadiprojo, 1981, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 46. 3 Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik hukum tertulis ataupun hukum yang tidak tertulis. B. Tata Hukum Indonesia Tata Hukum adalah berasal dari perkataan tertib berdasarkan hukum. Adanya Tata Hukum akan terlihat dan merupakan suatu keharusan bagi negara yang bersendikan kepada hukum. Negara yang bersendikan kepada Hukum disebut dengan Negara Hukum (Rechtstaat), artinya dimana pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara senantiasa didasarkan kepada ketentuan-ketentuan Hukum. Republik Indonesia adalah Negara Hukum, sesuai dengan Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara yang menyatakan “Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum (Rechtstaat)”. Dalam batang tubuh UUD 1945 (amandemen ke tiga) Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dengan demikian sebagai Negara hukum tidak boleh tidak Indonesia memiliki tata hukum. Tata hukum Indonesia itu baru ada sejak adanya Negara Republik Indonesia. Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia, maka dibentuk pulalah Tata Hukum Indonesia itu, dan hal ini dinyatakan dalam: 1. Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. 2. Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya kehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu … disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia”. 4 Adapun arti yang terkandung di dalam pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menjadikan Indonesia suatu Negara yang merdeka dan berdaulat; 2. Pada saat itu juga ditetapkan Tata Hukum Indonesia yang kemudian diberi bentuk dan dituangkan dalam UUD 1945. Kenyataannya sampai hari ini memang tidak dapat diingkari, bahwa memang masih relatif kita memiliki undang-undang organik yang menjabarkan Tata Hukum Indonesia. Sehingga dalam hubungan ini amat pentinglah arti ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 dalam rangka menghindari terjadinya rechtsvacuum atau kekosongan hukum dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dengan menggunakan Pasal 2 Aturan Peralihan tersebut masih diperlakukan peraturan-peraturan sebelumnya, selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Lengkapnya pasal tersebut berbunyi: Segala Badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku, selama belum diadakannya yang baru menurut UUD ini. Sungguhpun demikian, tidaklah dapat diartikan bahwa Indonesia tidak mempunyai Tata Hukum sendiri, karena sebaliknya telah dibuktikan oleh hasil penelitian Cornelis Van Vollenhoven bahwa tata hukum asli Indonesia adalah Hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis. C. Hubungan Antara Pengantar Ilmu Hukum Dengan Pengantar Hukum Indonesia Selain Pengantar Ilmu Hukum, dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia terdapat juga mata kuliah lain yaitu Pengantar Hukum Indonesia (disingkat: PHI), yang dahulu dinamakan Pengantar Tata Hukum Indonesia (disingkat: PTHI). Pengantar Ilmu Hukum merupakan pendahuluan untuk memudahkan mempelajari Pengantar 5 Hukum Indonesia, yakni menyediakan sarana (konsep-konsep yuridik dan konsep-konsep lain yang digunakan dalam Ilmu Hukum) yang diperlukan untuk mengolah dan memaparkan Sistem Hukum Indonesia. Pengantar Ilmu Hukum menguraikan Ilmu Hukum pada umumnya yang bersifat universal, sedangkan obyek Pengantar Hukum Indonesia adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Pengantar Hukum Indonesia bertujuan untuk: 1. Mempelajari sistem hukum positif Indonesia; 2. Pengetahuan ringkas tentang keseluruhan tata hukum di Indonesia dalam garis besarnya, menjelaskan Sistem Hukum Indonesia (Tatanan Hukum Indonesia) dan latar belakang sejarahnya serta latar belakang kulturalnya. 3. Mempelajari subsistem pokok dari sistem hukum Indonesia yang mencakup juga asas-asas hukum yang melandasi dan menjiwai tiap subsistem pokok tersebut. 4. Mempelajari ciri-ciri dan sifat-sifat khas dari tata hukum Indonesia. Pengantar Hukum Indonesia lebih bersifat deskriptif analitikal, maksudnya adalah cara menggambarkan sesuatu (obyek) dengan menjelaskan sesuatu atau obyek tersebut sebagaimana adanya dengan menjabarkannya ke dalam bagian-bagian atau unsur-unsurnya serta dengan memperlihatkan tempat dan perkaitan antara bagian-bagian atau unsur-unsur itu tadi sehingga keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur itu tampak mewujudkan suatu kesatuan yang secara rasional dapat dipahami. Pengantar Tata Hukum Indonesia merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan hukum di samping Pengantar Ilmu Hukum yang masingmasing mempunyai obyek penyelidikan sendiri. Pengantar Tata Hukum Indonesia menyelidiki atau mempelajari hukum yang sekarang sedang berlaku di Indonesia dengan perkataan lain obyek Pengantar Tata Hukum Indonesia itu adalah hukum positif Indonesia 6 (hukum positif: ius constitutum). Sedang Pengantar Ilmu Hukum menyelidiki hukum pada umumnya, artinya tidak terbatas pada hukum yang sedang berlaku sekarang di Indonesia saja, melainkan juga hukum yang berlaku di tempat atau di negara lain serta pada waktu kapan saja. Dengan demikian penyelidikannya tidak terbatas pada ius constitutum saja melainkan juga menyelidi ius constituendum. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar atau basic dari Pengantar Tata Hukum Indonesia. Pengantar Tata Hukum Indonesia sebenarnya dipergunakan untuk mengantarkan bagi setiap orang yang ingin mempelajari aturan-aturan hukum Indonesia atau dengan perkataan lain ingin mempelajari aturan-aturan hukum yang sedang berlaku di Indonesia; berlaku berarti, yang memberi akibat hukum bagi peristiwa-peristiwa atau perbuatan-perbuatan di dalam masyarakat pada saat ini. Sedang di Indonesia menunjukkan suatu tempat, yaitu di dalam Negara Republik Indonesia.3 Dengan demikian, Tata Hukum Indonesia adalah merupakan tatanan hukum yang berlaku di Indonesia sekarang. Tata hukum itu menata, menyusun, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Tata hukum itu sah berlaku bagi suatu masyarakat tertentu, dibuat, ditetapkan dan dipertahankan atas daya paksa penguasa (authority) masyarakat itu4. Dengan demikian maka Tata Hukum Indonesia itu menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia. Tata Hukum Indonesia dengan sendirinya ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia (Negara Republik Indonesia). Oleh karena itu tata hukum Indonesia ada sejak saat Proklamasi Kemerdekaan, berarti: 1. Negara Republik Indonesia dibentuk oleh Bangsa Indonesia, dan 3 4 Hartono Hadisoeprapto, 2004, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1. Kusumadi Pudjosewodjo, 1997, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, PD Aksara, Jakarta, hlm. 46. 7 2. Sejak saat itu pula Bangsa Indonesia telah mengambil keputusan menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru, Tata Hukum Indonesia. Maka dari itu Proklamasi merupakan ketentuan atau norma pertama atau disebut sebagai ketentuan pangkal daripada Tata Hukum Indonesia. Oleh karena itu Proklamasi tidak dapat dicari dasar hukumnya, dasar wewenangnya kepada aturan-aturan atau ketentuan yang lainnya secara konstitusional. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa tata hukum yang ada sebagai kelanjutan dari tata hukum sebelumnya5. Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Proklamasi itu sendiri: ”hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Ketentuan ini dipertegas lagi setelah Indonesia mempunyai Undang-Undang Dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal II Aturan Peralihan, sebagai berikut: “segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. D. Sejarah Tata Hukum Indonesia Tata Hukum Indonesia memang masih saja dipengaruhi oleh Tata Hukum Belanda. Hal ini disebabkan pada masa Indonesia dijajah oleh Belanda (Zaman Hindia Belanda) tata hukum yang diterapkan di Indonesia adalah sama dengan tata hukum di Negeri Belanda berdasarkan Azaz Concordance. Sampai saat ini kenyataannya peraturan hukum zaman Hindia Belanda sebahagian masih diperlakukan, dan hal ini dibenarkan oleh Pasal 2 aturan peralihan 5 Hartono Hadisoeprapto. Op. Cit, hlm. 2. 8 UUD 1945. Sehingga, hukum positif yang berlaku di Indonesia sekarang ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang dibuat zaman Hindia Belanda, ada yang dibuat pada zaman pendudukan Pemerintah Militer Jepang, dan ada pula yang dibuat oleh pemerintah Indonesia merdeka, yang semuanya dalam rangka mempelajari Tata Hukum Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan. 1) Zaman Penjajahan Belanda a) Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (1602-1799) Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang Belanda Tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antar para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi dengan tujuan dapat memperoleh keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintah Belanda kemudian diberi hak-hak istimewa (octrooi) seperti hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang. Dengan hak octrooi itu VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah-daerah kepulauan nusantara yang didatangi, terutama kepulauan Maluku dan menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksakan aturan-aturan hukumnya. Di kepulauan Maluku aturanaturan hukum yang dipaksakan pentaatannya bagi orang-orang pribumi, ketentuan-ketentuannya merupakan hukum positif orang Belanda di “daerah perdagangan”, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal dagang di samping asas-asas hukum Romawi. Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di atas kapal dagang itu sama dengan hukum Belanda Kuno (Oud Nederlandscrecht) berdasarkan asas konkordan. 9 Pada Tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal Pieter Both untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai, di samping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal itu kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat-tetapkan sendiri oleh Direksi VOC di Belanda dengan nama “Heeren Zeventien”. Sejak Gubernur Jenderal diberi wewenang dapat membuat peraturan yang diperlukan untuk kepentingan VOC di daerah-daerah yang dikuasai, maka tetap peraturan yang diumumkan berlakunya melalui “plakat”, dan plakat-plakat yang memuat setiap peraturan setelah diumumkan tidak pernah dikumpulkan dengan tatanan yang baik. Dalam perkembangannya, maka pada Tahun 1635 tidak diketahui lagi plakat mana yang masih berlaku dan plakat mana yang sudah dicabut atau diubah. Kemudian selama tujuh tahun sejak itu semua plakat yang pernah diumumkan dikumpulkan lagi; dan bagi plakat yang masih berlaku disusun secara sistematik. Setelah penyusunannya selesai, maka pada Tahun 1642 diumumkan di Batavia dengan nama “Statuta van Batavia” (Statuta Batavia). Usaha semacam ini dilakukan lagi dan selesai pada Tahun 1766 dan diberi nama ”Nieuwe Bataviasche Statuten” (Statuta Batavia Baru). Peraturan statuta yang berlaku di daerah-daerah kekuasaan VOC berdampingan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum tersendiri dari orang-orang pribumi dan orang-orang pendatang di luar orang Eropa. Terhadap aturan-aturan hukum itu pernah dibuat suatu penelitian antara lain yang dilakukan oleh Freijer dan menghasilkan suatu kitab hukum pada Tahun 1760. Kitab hukum (kompendium) Freijer itu ternyata hanya berisi aturanaturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. 10 Sampai berakhirnya masa penjajahan VOC tanggal 31 Desember 1799, karena dibubarkan oleh pemerintah Belanda akibat banyak menanggung utang, tidak ada aturan-aturan hukum lainnya lagi yang berlaku, kecuali yang disebutkan tadi. b) Penjajahan Pemerintah Belanda (1800-1942) Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Bataavsche Republiek yang kemudian diubah menjadi koninklijk Holand. Kepulauan nusantara sejak saat itu mengalami masa-masa penjajahan pemerintah Belanda dengan melaksanakan pedoman pemerintahan dan aturan-aturan hukum sendiri. Untuk mengurus daerah-daerah jajahan raja Belanda yang monarkhi-absolut waktu itu menunjuk Deandles sebagai Gubernur Jenderal. Ia ditugaskan mempertahankan tanah jajahan nusantara dalam menghadapi kemungkinan serangan Inggris. Pelaksanaan tugas ini banyak menimbulkan korban, terutama bagi orang-orang di pulau Jawa yang dipaksa menjadi pekerja rodi seperti dalam pembuatan jalan dari Anyar ke Penarukan, Sumedang ke Bandung dan pembuatan pangkalan angkatan laut dengan bentengnya di daerah Banten. Dalam bidang pemerintahan, Deandles membagi pulau Jawa menjadi sembilan keresidenan (prefektur). Sedangkan para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda dan diangkat oleh pemerintah di Batavia dengan menerima gaji. Untuk menambah keuangan, maka pelaksanaan pertanian diperketat dengan pajak, bahkan tanah pemerintah banyak yang dijual kepada partikelir. Pada Tahun 1811, Deandles diganti oleh Jansens yang tidak lama memerintah, karena tahun itu juga kepulauan nusantara dikuasai oleh Inggris. Pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur. Dalam pemerintahan Raffles, prefektur di Jawa diubah menjadi sembilan belas dan kekuasaan para 11 bupati dikurangi. Seluruh rakyat dibebani “land-rante” (pajak bumi). Dalam bidang hukum, Raffles mengutamakan mengenai susunan pengadilan yang dikonkordansikan susunannya seperti pengadilan di India terdiri dari: (1) Division’s Court Terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atau Demang dan pegawai bawahannya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepada Bopati’s Court. (2) District’s Court atau Bopati’s Court Terdiri dari bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa dan beberapa pegawai Bumiputera di bawah perintah bupati. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada persesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada Residen’s Courts. (3) Residen’s Court Terdiri dari residen, para bupati, hooft jaksa dan hooft penghulu. Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen. (4) Court of Circuit Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai pengadilan keliling dalam menangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut sistem juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang Bumiputera. 6. 6 R. Abdoel Djamali, 2003. Op.Cit, hlm. 13-14. 12 Raffles tidak melakukan perubahan terhadap hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Bumiputera. Anggapannya, aturan-aturan hukum yang berlaku itu identik dengan hukum Islam. Bahkan bagi hakim diperintahkan untuk tetap memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum Bumiputera dalam menyelesaikan perkara. Tetapi, walaupun demikian hukum Bumiputera dianggap lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa. Setelah Inggris menyerahkan Nusantara kepada Belanda pada Tahun 1816 sebagai hasil Konvensi London 1814, maka seluruh tata pemerintahannya mulai diatur dengan baik. Sejak saat itu sejarah perundang-undangan membagi tiga masa perundang-undangan yang berjalan sebagai berikut: (1) Masa Besluiten Regerings (1814 – 1855) Berdasarkan Pasal 36 Nederlands Grondwet Tahun 1814, menyatakan bahwa “Raja yang berdaulat, secara mutlak mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di bagian-bagian lain…”, maka raja dalam monarki konstitusional ini langsung mengurus dan mengatur daerah-daerah jajahan. “Dalam melaksanakan kekuasaannya hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan sebutan “Algemene Verondening” (peraturan pusat). Karena peraturan pusat itu dibuat oleh raja, maka dinamakan juga “Koninklijk Besluit” (besluit raja). Pengundangan dari besluit-besluit yang dibuat oleh raja melalui “Publicatie”, yaitu surat selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal. Koninklijk Besluit itu sebenarnya kalau dilihat dari isi mempunyai dua sifat tergantung dari kebutuhan dibuatnya peraturan tersebut, (1) Besluit itu sebagai tindakan eksekutif hanya merupakan ketetapan raja untuk melakukan suatu pengangkatan, misalnya pengangkatan Gubernur Jenderal. (2) sebagai tindakan 13 legislatif untuk mengatur, maka sebagai Algemene Verordening, misalnya peraturan di Belanda yang disebut Algemene Maatregel von Bestuurj (AmvB). Untuk melaksanakan pemerintahan di kepulauan nusantara yang oleh Belanda disebut “Nederlands Indie” (Hindia Belanda), raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri dari Elout, Buykes dan Van der Capellen. Mereka tidak mengetahui secara menyeluruh peraturan-peraturan yang dibuat oleh Inggris. Karena itu tetap memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa terutama mengenai Landrente dalam bidang hukum, peraturan-peraturan yang berlaku bagi orang-orang Belanda sejak VOC tidak diganti atau dicabut. karena menunggu rencana pengkodifikasian hukum nasional Belanda. Setelah Belanda untuk beberapa tahun mengalami pendudukan Perancis dan merdeka kembali Tahun 1814, maka pemerintahannya memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata nasional. Pekerjaan itu selesai pada Tanggal 15 Juli 1830 dan dirancangkan akan dinyatakan berlaku pada jam 00.00 antara Tanggal 31 Desember 1830 dan 1 Januari 1831. Tetapi dalam bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda yang akhirnya terjadi pemisahan antara Belanda dengan Kerajaan Belgia. Timbulnya pemberontakan itu mengakibatkan diundurkan pengundangan pengkodifikasian hukum perdata dan baru dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1838. Kemudian untuk Hindia Belanda dikehendaki juga adanya kodifikasi hukum perdata yang akan diberlakukan bagi orangorang Belanda sesuai dengan keadaan daerah jajahan. Untuk maksud itu pada Tanggal 15 Agustus 1839 Menteri jajahan di Belanda mengangkat Komisi Undang-Undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketua, Mr. I Schneiter dan Mr. I.F.H van Nes masing-masing sebagai anggota. 14 Komisi ini dalam tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian oleh Mr. H.I. Wicher disempurnakan dan terdiri dari: (1) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP) (2) Algemene Bapelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan umum tentang perundang-undangan. (3) Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) (4) Wetboek van Koophandel (Wvk) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). (5) Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata (AP) Semua peraturan itu diundangkan berlakunya di HindiaBelanda, sejak Tanggal 1 Mei 1848 melalui S. 1847: 23). Peraturan hukum yang telah dikodifikasikan diberlakukan sebagai hukum positif bagi orang-orang Eropa di Hindia-Belanda. Politik hukum yang dijalankan oleh pemerintah penjajahan Belanda di Hindia Belanda secara tidak jelas semula dicantumkan dalam Pasal 11 Algemene Bapelingen van Wetgeving (AB). Pasal ini menyatakan, memuat perintah kepada hakim untuk memperlakukan hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan hukum perdata adat bagi golongan lain di dalam menyelesaikan perkara. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan poiltik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgelijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis yaitu hukum perdata adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya 15 dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia. Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdata berdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut Pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembeda yang tegas walaupun ada ketentuan Pasalnya. Ketentuan yang menetapkan perbedaan golongan pokok, yaitu orang Eropa dan orang Bumiputera. Siapa yang termasuk orang-orang Eropa dan siapa yang termasuk orang-orang Bumiputera tidak dijelaskan dalam ketentuannya. Hanya dalam pasal itu dinyatakan orang Eropa, orang Bumiputera, orang yang disamakan dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang-orang Bumiputera. Pembagian golongan menurut pasal-pasal itu hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa: berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang Bumiputera. Pembagian golongan ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan pemerintah waktu itu. Karena ketidajelasan kedudukan golongan bagi orang Indonesia Kristen yang dipersamakan dengan golongan orang Eropa. Tetapi karena Pasal 10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, dalam Pasal 3, Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang 16 Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukum dagang, juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang Bumiputera dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 – 10 AB itu pembagian golongan Hindia Belanda yang bertolak pangkal perbedaan agama (Kristen dan bukan Kristen) bagi yang dipersamakan, maka dalam kehidupan sehari-hari bagi yang berperkara di pengadilan akan diselesaikan oleh hakim dengan menggunakan aturan hukumnya masing-masing. (2) Masa Regering Reglement (1855 - 1926) Pada Tahun 1848 di Belanda terjadi perubahan terhadap Grondwetnya sebagai akibat dari pertentangan De Staten General (Parlemen) dengan Raja yang berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam bidang mengelola kehidupan bernegara. Kemenangan itu mengubah sistem pelaksanaan pemerintahan dari monarki menjadi konstitusional parlementer. Adanya perubahan Grondwet itu mengakibatkan juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Hal ini terutama dengan dicantumkannya ketentuan Pasal 9 ayat I, II dan IV Grondwet yang menyatakan bahwa: Ayat I Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Ayat II Aturan-aturan tentang kebijaksanaan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditentukan melalui undang-undang. 17 Ayat IV Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur melalui undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 itu, maka kekuasaan raja terhadap daerah jajahan menjadi dikurangi walaupun masih banyak mengeluarkan peraturannya sendiri. Suatu undang-undang (wet) yang mengatur keadaan daerah jajahan tidak dibuat oleh raja bersama-sama parlemen. Peraturan dasar tentang pemerintahan yang dibuat untuk kepentingan daerah jajahan di Indonesia dan berbentuk undangundang (wet) waktu itu dinamakan Regerings Reglement (RR), dan RR ini diundangkan pada Tanggal 1 Januari 1854, tetapi mulai berlaku Tahun 1855 melalui S. 1885: 2. Kalau dilihat dari isinya yang terdiri dari dalam 8 bab, 130 pasal dan mengatur tentang tata pemerintahan di Hindia Belanda, maka RR itu dianggap sebagai undang-undang dasar Pemerintah Jajahan Belanda. Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam Pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam Pasal 11 AB. Sedangkan pembagian nya tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi, melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah”, dan ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam Pasal 109 Regerings Reglement. Pada Tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengan sebutan RR (baru) dan berlaku sejak Tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926 dinamakan masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum dalam Pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Dan golongannya dibagi dalam tiga golongan, yaitu golongan Eropa, 18 Indonesia dan Timur Asing. Kedua pasal tersebut disalin tetapkan tanpa penambahan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang hal yang sejenis pada masa berlakunya Indische Staatsregeling (IS). Suatu hal yang perlu diketahui bahwa selama berlakunya RR itu, maka melalui S. 1866: 55 diundangkannya sebuah kitab hukum pidana. Diperuntukkan bagi orang-orang Eropa sebagai hasil saduran dari Code penal yang waktu itu berlaku di Belanda. Kemudian pada tahun 1872 kitab hukum itu ditambah dengan “Algemene Politie Strafreglement” Sedangkan bagi orang-orang Eropa, melalui S. 1872 : 85 diundangkan berlakunya sebuah kitab hukum pidana yang isinya hampir sama dengan kitab hukum pidana Eropa Tahun 1866. Kemudian melalui S. 1872: 111 diperlukan juga sebuah “Politiestrafreglement” bagi orang bukan Eropa. Pada Tahun 1915 dengan S. 1915: 1915 di Hindia Belanda diundangkan “Wetboek van Strafrecht” dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi setiap golongan pada Tanggal 1 Januari 1918. (3) Masa Indische Staatsregeling (1926 – 1942) Pada Tahun 1918 oleh pemerintah Belanda dibentuk sebuah “Volksraad” (Wakil Rakyat) sebagai hasil dari perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki ikut menentukan nasib bangsanya. Semula Wakil Rakyat Indonesia itu hanya mempunyai hak sebagai penasehat pemerintah saja, tetapi sejak Tahun 1926 diberi hak ikut membuat undang-undang. Sebenarnya dengan dibentuknya Wakil Rakyat Tahun 1918 itu, maka pemerintah jajahan Belanda merencanakan untuk merubah Regerings Reglement. Rencana itu baru terlaksana beberapa tahun kemudian setelah Grondwet Belanda mengalami perubahan lagi Tahun 1922. Perubahan tersebut menyangkut wewenang raja terhadap daerah jajahan. Dalam Grondwet Belanda Tahun 1922, Pasal 60-nya menyatakan bahwa 19 “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda…”. Kemudian Pasal 61: 1. Menyatakan “susunan Negara Hindia-Belanda…akan” ditentukan dalam undang-undang, hal lainnya akan diatur oleh undang-undang (wet) kalau ada kebutuhan terhadap itu. 2. Menyatakan tanpa mengurangi ketentuan dalam ayat (1) Pasal ini, maka pengaturan tentang hal lainnya di Hindia-Belanda diserahkan kepada alat-alat perlengkapan yang telah ada, sebagaimana caranya telah ditentukan oleh undang-undang, kecuali kalau undang-undang menentukan bahwa hak untuk mengatur hal-hal dan peristiwa tertentu ada di tangan raja. Akibat dari perubahan Grondwet terutama pasal-pasal di atas, maka tata pemerintahan Hindia-Belanda mengalami perubahan juga. Regerings Reglement yang berlaku sejak Tahun 1855 diubah dan diganti menjadi “Indische Staatsregeling (IS), mulai berlaku pada Tanggal 1 Januari 1926 melalui S. 1925: 415. Indische Staatsregeling mencantumkan politik hukumnya dalam Pasal 131 yang seluruh isinya merupakan salinan dari Pasal 75 RR (baru). Pasal itu terdiri dari 6 ayat yang menyatakan: (1) Hukum perdata dan pidana material dan formil akan ditulis dalam ordonansi. (2) a. Memberi pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk hukum perdata materil yang harus diatur bagi orang Eropa. b. Memberi pedoman kepada pembentuk ordonansi hukum perdata materil yang harus diatur bagi orang Indonesia dan orang Timur Asing. (3) Untuk hukum acara perdata dan hukum acara pidana ketentuan yang sama seperti mengenai hukum pidana. (4) Orang-orang Indonesia dan Timur Asing, sepanjang mereka belum tunduk kepada aturan-aturan bersama orang-orang Eropa, 20 berhak untuk menundukkan dirinya secara sukarela yang diatur dengan ordonansi. (5) Menyatakan tidak berlakunya ordonansi berdasarkan pasal ini di daerah-daerah yang berlaku hukum adat. (6) Tetap berlakunya hukum adat bagi orang Indonesia dan Timur Asing sepanjang tidak ditentukan lain oleh ordonansi. Dilihat dari ketentuan pasal itu, maka secara prinsipil isinya mengandung makna pengertian sebagai berikut: 1. Mengandung asas hukum tertulis dan tidak memuat perintah untuk mengkodifikasikan hukum di Hindia-Belanda dalam kitab hukum, tetapi menghendaki supaya hukum itu ditetapkan dalam ordonansi. 2. Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum bagi semua golongan , tetapi tidak mengharuskan unfikasi itu dilaksanakan; hanya kalau dikehendaki atas kepentingan umum jalan unifikasi dapat ditempuh bagi golongan Indonesia dan Timur Asing. 3. Adanya wewenang bagi pembentuk ordonansi untuk melakukan penyimpangan terhadap hukum Adat yang berlaku bagi golongan Indonesia dan Timur Asing atas dasar kepentingan umum. 4. Menempuh corak dualistis dalam memberlakukan hukum perdata. Hal ini dapat dilihat dari Ayat (2) bahwa bagi golongan Eropa berlaku sistem hukum perdata dengan asas konkordansi, sedangkan bagi golongan Indonesia dan Timur Asing berlaku sistem hukum perdata adat masing-masing. 5. Kalau dilihat dari sistem hukum adat yang berlaku bagi masingmasing golongan Indonesia dan Timur Asing maka berarti corak berlakunya sistem hukum adat itu pluralistis. Dari isi pasal itu tampak bahwa pemerintah jajahan Belanda masih menganggap harus ada perbedaan kedudukan hukum yang lebih tinggi bagi Eropa dari orang-orang lainnya di Indonesia waktu itu. 21 Dalam ketentuan Pasal 131 IS dinyatakan ada 3 (tiga) golongan penduduk Hindia-Belanda yang terdiri dari golongan Eropa, golongan Indonesia dan golongan Timur Asing. Hindia-Belanda yang termasuk golongan-golongan itu ditetapkan dalam Pasal 163 IS, dan Pasal tersebut seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Isinya terdiri dari 6 ayat dan yang perlu diketahui 4 ayat yang pertama, karena 2 ayat berikutnya mengatur mengenai wewenang Gubernur Jenderal tentang ketentuan pasal ini serta kepentingan penduduk yang masih ragu-ragu termasuk golongan mana dan dapat meminta penetapan hakim dalam hal itu. Dari 4 ayat dalam Pasal 163 IS menyatakan: (1) Apabila ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam peraturan umum dan peraturan setempat, aturan-aturan, peraturan polisi dan administrasi membedakan antara orang-orang Eropa, orang-orang Indonesia dan Timur Asing, maka berlaku untuk pelaksanaannya aturan-aturan sebagai berikut. Penjelasan: Ayat ini mempunyai sifat imperatif (tidak memaksa). Maksudnya tidak ada suatu keharusan untuk membagi Hindia-Belanda dalam tiga golongan. Tetapi dalam kalimat ayat tertera kata “membedakan”, yang kemudian dilaksanakan berdasarkan ayat-ayat berikutnya, berarti fungsi pasal ini menjadi interpretasi (menafsirkan). (2) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa ialah: a. semua orang Belanda b. semua orang yang berasal dari Eropa yang tidak termasuk Butir 1 c. semua orang Jepang, dan selanjutnya semua orang yang berasal dari tempat lain termasuk Butir 1 dan di negaranya akan tunduk kepada hukum keluarga yang sama dengan hukum Belanda. 22 d. Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan ketentuan selanjutnya dari orang yang dimaksud dalam Butir 2 dan 3. Penjelasan: Ada beberapa ukuran (kriteria) dari ayat ini dalam menentukan orang-orang yang termasuk golongan Eropa, antara lain: 1) Asas kebangsaan, yaitu orang Belanda dan orang Jepang. Bagi orang Belanda sudah jelas bahwa maksudnya untuk setiap orang Belanda adalah merupakan orang Eropa. Tetapi bagi orang Jepang dan geografi negaranya termasuk Asia menjadi orang dalam golongan Eropa, akan menimbulkan persoalan. Sebenarnya pemerintah Belanda melihat hal itu dari kepentingan hubungan antara kedua negara dalam bidang perdagangan. Adanya perjanjian dagang Belanda – Jepang pada Tahun 1896 yang dimuat dalam S. 1898 : 49 mengakibatkan diberlakukannya S. 1899 : 202 yang antara lain memuat bahwa semua orang Jepang dipersamakan kedudukannya dengan orang Eropa. Dengan ketentuan staatsblad itu kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan ayat tersebut. 2) Kata “berasal dari Eropa” tidak diberi batasan secara tegas. Semula ungkapan itu menimbulkan perbedaan pendapat karena kata berasal dapat ditafsirkan dengan setiap orang dari manapun juga kalau menetap di sebuah negara Eropa dan datang ke Hindia-Belanda berarti orang Eropa. Kemudian untuk memecahkan persoalan itu ada pendapat dari Mr. P.H. Kleintjes dalam bukunya “staats instellingen van nederlands indie”, perkataan “berasal” diartikan kelahiran atau keturunan yang merupakan faktor penentu. Pendapat ini mempunyai arti bahwa kalau seseorang keturunan Eropa dan atau kelahiran 23 Eropa akan termasuk orang golongan Eropa. Kedua pendapat tersebut tidak dapat menyelesaikan persoalan, karena bagi orang yang berasal dari Afrika atau Asia yang secara turun temurun ada di sebuah negara Eropa, kalau datang ke Indonesia berdasarkan pendapat tersebut adalah orang Eropa. Tentu persoalan seperti itu akan menambah beban untuk memperluas penafsiran yang hasilnya tidak menyelesaikan persoalan. Kalau kata berasal itu diartikan bahwa “seorang yang datang ke Indonesia memiliki kewarganegaraan yang georgrafis Eropa, maka akan lebih mudah menyatakan bagi orang tersebut termasuk golongan Eropa atau bukan Eropa. Misalnya seorang negro datang ke Indonesia dengan memiliki kewarganegaraan salah satu negara di Eropa, karena secara turun temurun dilahirkan di negara itu. Terhadapnya dapat ditentukan bahwa bukan orang yang termasuk golongan Eropa, karena geografisnya Afrika. 3) Asas hukum keluarga, dapat menentukan seseorang termasuk golongan Eropa kalau orang itu berasal dari tempat lain dari Indonesia. Dan yang dimaksud dengan asas hukum keluarga orang Belanda, yaitu dalam hukum keluarga tersebut mengandung dasar-dasar: a) monogami; b) pembatasan undang-undang antara usia anak-anak dan usia dewasa; c) perbedaan dalam kedudukan hukum antara anak sah dan anak luar kawin; d) sistem perhubungan kerabat; e) pengakuan kepribadian sendiri dari anak dan isteri. 4) Asas keturunan, maksudnya anak sah atau anak yang diakui menurut undang-undang sebagai keturunan selanjutnya dari 24 mereka yang tertera dalam Butir 2 dan 3 ayat (2) yang dilahirkan di Indonesia. Sebenarnya asas keturunan ini dapat dijadikan alat untuk meniadakan kriterium kebangsaan (Butir 1) karena adanya pengakuan menurut undang-undang mengakibatkan seseorang dapat menjadi orang Eropa walaupun yang diakui itu bukan termasuk geografis Eropa. (3) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Indonesia, kecuali kedudukan hukum bagi orang-orang Kristen Pribumi yang harus diatur dengan ordonansi, ialah semua orang yang termasuk penduduk asli Hindia Belanda dan tidak pindah ke dalam kelompok lain dari Indonesia, demikian pula mereka yang pernah menjadi kelompok penduduk lain dari Indonesia, namun telah meleburkan diri dengan penduduk asli. Penjelasan: Yang termasuk golongan Bumiputera ialah setiap orang Indonesia yang berada di Hindia-Belanda. Indonesia ukurannya bukan kelahiran dan dibesarkan di Indonesia, melainkan orang yang sejak zaman prasejarah sudah berdiam di Indonesia. Karena itu orang Indonesia hanyalah orang Indonesia asli. Jadi, ukuran kebenarannya adalah etnologi atau kebangsaan. Bagi orang Indonesia Kristen tetap masuk orang Indonesia walaupun dalam ayat ini dinyatakan kedudukan hukumnya dapat diatur dalam peraturan tersendiri. Maksudnya, pemerintah Hindia-Belanda tidak mengatur kedudukan hukum pada umumnya, melainkan yang berkenaan dengan Ordonansi Perkawinan orang Indonesia Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon. Pengertian golongan Indonesia menurut ayat ini terdiri dari: a. orang Indonesia asli; b. golongan lain yang meleburkan diri, yaitu: 25 1) kalau orang dari golongan lain dalam kehidupannya meniru kehidupan dari orang Indonesia asli dalam keadaan seharihari dan meninggalkan hukumnya atau hukum adatnya; 2) sebagai akibat dari perkawinan yaitu bagi wanita lain golongan yang menikah dengan laki-laki dari golongan Indonesia, maka wanita itu menjadi golongan Indonesia. Dengan demikian, peleburan diri ini mengubah kedudukan golongan lain menjadi golongan Indonesia. (4) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Timur Asing, kecuali kedudukan hukum yang harus diatur dengan ordonansi bagi orang-orang di antara mereka yang menganut agama Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat yang disebut dalam ayat (2) dan (3) pasal ini. Penjelasan: Ketentuan ayat ini dengan menyatakan siapa yang termasuk golongan Timur Asing dirumuskan secara negatif. Hal ini dapat dilihat bahwa tidak ditentukan siapa orang Timur Asing itu dan hanya dinyatakan terdiri dari mereka yang tidak termasuk golongan Eropa atau golongan Indonesia. Pembentuk undang-undang membuat ketentuan ayat ini untuk menjaga jangan sampai tidak ada yang dilewatkan dari pembagian golongan tersebut. Tetapi kemungkinan akan terjadi bahwa bagi seorang anak yang diketemukan di Indonesia dengan bentuk fisik Eropa, dirinya akan menjadi orang Timur Asing kalau orang tuanya tidak diketahui. Pembagian golongan berdasarkan Pasal 163 IS itu sebenarnya untuk menemukan sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan dalam hukum positifnya. Hukum positif dapat berlaku secara baik di dalam pergaulan hidup manusia kalau didasarkan pada kesadaran hukum pergaulan hidup itu selain politik hukum negara (pergaulan hidup manusianya). Dalam melaksanakan politik hukum hendaknya ditujukan kepada bagaimana mengatur pergaulan hidup itu supaya tertib. Selama bangsa 26 Indonesia dijajah oleh pemerintah Belanda, adanya tata tertib hidup itu sebagai akibat dari tetap berlakunya hukum dari masing-masing golongan seperti yang dicantumkan dalam Pasal 131 IS. Tetapi berdasarkan kesadaran hukumnya sendiri, maka hukum positif akan dapat berlaku secara unifikasi kalau benar-benar mencerminkan kepada kebutuhan akan hukum masyarakatnya sudah dapat dipenuhi. Tata Hukum Indonesia sebagaimana yang telah dikemukakan adalah tata hukum yang ditetapkan oleh Bangsa Indonesia sendiri atau oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu adanya tata hukum Indonesia juga sejak saat adanya negara Indonesia yaitu pada Tanggal 17 Agustus 1945, dimana kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Dengan adanya Proklamasi tersebut berarti pula bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dari melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya sendiri, yaitu Tata Hukum Indonesia. Memorandum DPRGR Tanggal 9 Juni 1966, antara lain menyatakan bahwa: “Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada Tanggal 17 Agustus 1945 adalah detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya”. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa dengan Proklamasi itu berarti: (1) menegaskan Indonesia menjadi suatu Negara, dan (2) pada saat itu pula menetapkan Tata Hukum Indonesia. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa Tata Hukum Indonesia berpokok pangkal kepada Proklamasi itu. Guna kesempurnaan negara dan Tata Hukum-nya itu maka pada Tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ditetapkan, disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. 27 Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 inilah tertulis secara garis besar Tata Hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian yang tertulis. Sebab kalau dilihat dalam penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Dalam UUD hanya terdapat rangka atau denah Tata Hukum Indonesia. Banyak ketentuan-ketentuan yang masih perlu diselenggarakan lebih lanjut dalam perbagai undang-undang organik. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Tata Hukum Indonesia itu merupakan kelanjutan dari Tata Hukum Hindia-Belanda, sebab peraturan-peraturan yang diberlakukan itu bersifat sementara saja, selama belum diganti dengan yang baru dan sekedar tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Di dalam perkembangan sejarah selanjutnya, UUD 1945 mengalami pasang surut dan pasang naik. Pernah sejak Tanggal 17 Agustus 1950, UUD itu tidak berlaku. Tetapi dengan adanya Dekrit Presiden pada Tanggal 5 Juli 1959 berlaku lagi UUD 1945 tersebut. E. Lapangan-Lapangan Hukum Untuk mendapatkan pandangan yang luas tentang Hukum sesuai dengan tujuan mempelajari Tata Hukum Indonesia yaitu untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang Hukum yang berlaku dalam wilayah Republik Indonesia maka sudah pada tempatnya kita membagi-bagi hukum itu menurut lapangan-lapangan hukum agar mempermudah kita untuk selanjutnya dalam memahami Tata Hukum Indonesia. Namun sebelum dilakukan pembagian tersebut ada baiknya dimengerti tentang pengertian hukum Positif. Hukum positif adalah keseluruhan hukum yang berlaku terhadap suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan hukum positif Indonesia adalah semua hukum yang berlaku terhadap masyarakat 28 indonesia, dalam pengertian berlakunya semenjak dan selama kelangsungan Negara Republik Indonesia. Hukum positif dikenal juga dengan istilah Ius Constitutum, sedangkan lawannya ialah apa yang disebut dengan Ius Constituendum, artinya semua aturan yang dicita-citakan agar memberi akibat kepada peristia hukum dalam pergaulan hidup manusia. Hukum positif dapat dibagi menjadi 2 golongan, masingmasingnya adalah sebagai berikut: a. Hukum Objetif Yaitu perauturan hukum yang berlaku umum dan belum dihubungkan dengan subjek hukum tertentu, atau hukum yang belum dilekatkan pada persoon tertentu. b. Hukum Subjetif Yaitu aturan hukum yang telah dihubungkan dengan subjek hukum tertentu, atau telah dilekatkan pada person yang tertentu sehingga menimbulkan perhubungan hukum, yang selajutnya dapat menimbulkan hak dan (atau) kewajiban. Lebih lanjut hukum Objektif tersebut dapat pula dibagi kedalam beberapa golongan lagi yaitu: 1. Ditinjau dari segi sumbernya, dapat dibedakan kedalam; a. Hukum Tertulis ; yaitu hukum yang bersumberkan kepada Undang-undang dan peraturan lainya yang biasanya adalah tertulis. b. Kebiasaan ; yaitu hukum yang timbul dari praktek yang dilakukan berulang kali oleh anggota masyarakat, sehingga menjadi suatu kezaliman yang biasanya tidak tertulis. Pembagian hukum sepeti itu lebih sering juga disebut dengan pembagian hukum menurut bentuknya, yaitu tertulis, atau tidak tertulis. 29 Pembagian hukum menurut sumbernya juga dilakukan oleh E. Utrecht. Beliau membagi hukum berdasarkan/menurut sumber sebagai berikut : a. Undang-undang (wetenrecht) yaitu hukum yang tercantum dalam Undang-undang dan peraturan lainnya. b. Hukum Kebiasaan dan Hukum Adat (gewonte en adatrecht) yaitu hukum yang termuat dalam kebiasaan dan adat istiadat yang mendapat pengakuan dari penguasa. c. Hukum Traktat (tractaten recht) yaitu hukum yang terdapat dalam traktat/perjanjian antar bangsa. d. Hukum Yurisprudensi yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim. e. Hukum Ilmu (wetenschap recht) yaitu hukum yang berdasarkan kepada pendapat dan saran dari para ahli hukum. 2. Dilihat dari segi isi dan sifatnya ; a. Hukum Publik yaitu peraturan hukum yuang mengatur dan melindungi kepentingan umum, sehingga dipertahankan oleh kekuasaan umum. b. Hukum Privat yaitu hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan perseorangan, dan dipertahankan oleh kekauasan umum bersadarkan inisitif orang perseorangan. 3. Dari segi sistematikanya dapat dibedakan : a. Hukum Umum yaitu hukum yang berlaku umum. b. Hukum Khusus yaitu peraturan hukum yang berlaku khusus untuk orang atau golongan tertentu saja. Catatan ; Ukuran tersebut tidak selalu demikian, setidak-tidaknya ukuran itu telah mulai bergeser, seperti pendapat Scholten bahwa BW adalah Hukum umum karena Negara harus juga tunduk pada BW sedangkan selebihnya adalah Hukum Khusus. Akan tetapi 30 sebenarnya secara singkat dapat dikatakan bahwa apa bila terjadi penyimpangan dari azaz-azas umum, baik dalam lapangan perdata atau pun pidana, maka hukum itu disebut hukum khusus. 4. Ditinjau dari sifatnya atau ditinjau dari daya kerjanya (menurut Van Apeldoorn) hukum itu dapat pula dibedakan antara : a. Hukum yang memaksa (dwingend recht) yaitu aturan hukum yang dalam keadaan kongkrit tidak dapat dikesampingkan oleh yang berkepentingan, artinya hukum itu mengikat secara muktak dan sebab itu disebut juga dengan hukum yang mutlak atau hukum yang memerintah. b. Hukum yang mengatur atau menambah (regelend recht atau aanvoelend recht) yaitu hukum yang dalam situasi kongkrit dapat dikesampingkan oleh yang berkentingan apabila dikehendaki, jadi tidak mengikat secara mutlak dan oleh sebab itu disebut juga dengan hukum relative atau hukum dispositif. Dalam hal ini E. Utrecht, untuk membedakan kedua hukum tersebut, menggunakan ukuran lain yaiu memakai ukaran sanksi. 5. Dilihat dari segi daerah berlakunya hukum itu, dapat pula dibedakan antara : a. Hukum Nasional yaitu hukum yang berlaku dalam batas wilayah suatu negara tertentu, sepeti wilayah Republik Indonesia. b. Hukum Internasional yaitu hukum yang berlaku atas beberapa negara tertentu. Selain membagi ke dalam kedua jenis pembagian hukum tersebut, ditinjau dari daerah berlakunya dikenal pula pembagian dengan menggunakan istilah baru, yaitu hukum regional yaitu hukum yang berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu, seperti semua konsep landasan kontinen (continental shelf) dan 31 konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resource of the sea) yang mula-mula merupakan hukum regional Amerika Latin. Menyangkut dengan istilah hukum nasional dalam pembicaraan sehari-hari, dimaksudkan bukan saja hukum yang berlaku dalam wilayah negara tertentu, melainkan pula hukum itu merupakan ciptakaan atau produk dari negara yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan hukum peninggalan penjajah dengan hukumnya sendiri. 6. Dilihat dari segi fungsinya atau cara pempertahankan Hukum itu dapat pula dibedakan. a. Hukum material yaitu aturan hukum yang megatur isi hubungan hukum antara dua pihak, atau menerangkan perbuatan mana yang menurut hukum dan perbuatan mana pula yang bertentangan dengan hukum. b. Hukum formal yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan agar hukum material itu tetap berjalan. Kalau kita melihat pada UUDS (1950) pernah disebut beberapa lapangan hukum yang ada di Indonesia yaitu dalam Pasal 102 dan 108. Dalam Pasal 102 disebutkan: a. Hukum Perdata dan Hukum dagang. b. Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer. c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana. Pasal 108 menyebut pula Hukum Tata Usaha. Namun ke dua pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum di Indonesia, sehingga tidak disebut secara lengkap semua lapangan hukum. 7Pasal 7 C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.177. 32 102 hanya menyebutkan lapangan-lapangan hukum yang harus dikodifikasikan, sementara Pasal 108 hanya menentukan siapa yang harus menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai hukum tata usaha. RANGKUMAN Tata hukum berasal dari kata Belanda “recht orde”, yang berarti susunan atau tertib berdasarkan hukum. Maksudnya adalah menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum, supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi. Setiap Negara merdeka mempunyai tertib hukum. Indonesia mempunyai tertib hukum dan hal ini dinyatakan dalam rumusan hukum yang menyatakan Indonesia sebagai Negara merdeka yaitu: 1. Proklamasi Kemerdekaan: “kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. 2. Pembukaan UUD 1945: “…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. … disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Republik Indonesia. Objek pengantar hukum Indonesia adalah hukum positif Indonesia yaitu keseluruhan hukum yang sekarang ini berlaku di Indonesia (sejak adanya Negara Republik Indonesia) sampai sekarang ini. Berbeda dengan pengantar ilmu hukum, yang dipelajari dalam Pengantar Ilmu Hukum adalah hukum dalam pengertian umum (genus) yang belum dibatasi oleh batas suatu wilayah Negara tertentu, atau yang dipelajari di sini adalah teori hukum (doctrin) hukum. 33 Tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah untuk mengetahui perbuatan atau tindakan manakah yang menurut Hukum, dan yang manakah yang melawan Hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan lain perkataan untuk mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik Hukum tertulis ataupun Hukum yang tidak tertulis. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang hukum yang berlaku di Indonesia, maka sudah pada tempatnya kita membagibagi hukum positif Indonesia menurut lapangannya. Hukum positif (ius constitutum) dapat dibagi menjadi dua golongan: 1. Hukum objektif 2. Hukum subjektif. Hukum objektif dapat dibagi lagi dalam beberapa golongan yaitu: 1. Dilihat dari segi sumbernya, dibedakan: a. Hukum tertulis b. Hukum tidak tertulis/kebiasaan. 2. Dari segi isi dan sifatnya, dibedakan: a. Hukum public b. Hukum privat 3. Dari segi sistematika: a. Hukum umum b. Hukum khusus 4. Dari daya kerjanya: a. Hukum yang memaksa b. Hukum yang mengatur 5. Dari segi berlakunya hukum: a. Hukum nasional 34 b. Hukum internasional 6. Dari segi fungsinya atau cara mempertahankan hukum a. Hukum materil b. Hukum formal Pembagian ini diperlukan untuk mempermudah dalam mempelajari hokum. Dalam prakteknya antara pembagian yang satu dengan yang lain sudah mengalami pergeseran, seperti Hukum tenaga kerja yang tadinya masuk dalam lapangan privat sekarang bergeser berada dalam ranah publik, begitu juga yang lain-lainnya. LATIHAN 1. Apakah Indonesia mempunyai tata hukum? Dari mana kita mengetahui bahwa Indonesia mempunyai tata hukum, jelaskan. 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tata hukum Indonesia menurut Sudiman Kartohadiprojo. 3. Jelaskan pentingnya kita mempelajari tata hukum Indonesia. 4. Jelaskan secara singkat sejarah berlakunya hukum di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda, dan kenapa sejarah hukum menjadi bagian yang dipelajari dalam materi tata hukum Indonesia. 5. Hukum positif dapat dibagi menjadi 2 golongan. Sebutkan dan jelaskan. 6. Hukum objektif dapat dibagi pula ke dalam beberapa golongan. Sebutkan dan jelaskan beberapa pembagian tersebut. 35 GLOSSARIUM 1. Rechtstaat (Negara hukum). 2. Rechtsvacuum (kekosongan hukum) 3. Ius constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang sekarang ini berlaku di suatu tempat, kalau kita bicara hukum positif Indonesia maka yang dimaksudkan adalah hukum yang sekarang ini berlaku di Indonesia. 4. Ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). 5. Azaz Concordance (asas persamaan); hukum yang ada di Belanda diikuti atau diperlakukan di Indonesia. 6. Hak Octrooi (hak istimewa). 7. Statuta van Batavia” (Statuta Batavia); peraturan hukum dalam bentuk plakat pada zaman VOC yang dibukukan dan disusun kembali secara sistematis pada Tahun 1642. 8. Nieuwe Bataviasche Statuten” (Statuta Batavia Baru); penyusunan kembali Statuta Batavia Tahun 1766. 9. land-rante (pajak bumi). 10. Algemene Verondening (peraturan pusat) pada zaman Hindia Belanda atau disebut juga dengan Koninklijk Besluit. 11. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP). 12. Algemene Bapelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan umum tentang perundang-undangan. 13. Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS). 14. Wetboek van Koophandel (Wvk) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). 15. Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata (AP). 16. Dwingend recht; hukum yang bersifat memaksa. 36 17. Regelend recht atau aanvoelend recht ; Hukum yang dalam situasi kongkrit dapat dikesampingkan oleh yang berkentingan apabila dikehendaki, jadi tidak mengikat secara mutlak dan oleh sebab itu disebut juga dengan hukum relative atau hukum dispositif. DAFTAR PUSTAKA C.S.T. Kansil 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Hartono Hadisoeprapto 2004. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Kusumadi Pudjosewodjo 1971. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, PD Aksara, Jakarta. R. Abdoel Djamali 2003. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sudiman Kartohadiprojo 1981. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta 37 BAB II ASAS-ASAS HUKUM PERDATA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian hukum perdata, sejarah kitab undang-undang hukum perdata, sumber-sumber hukum perdata, dan ruang lingkup hukum perdata. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi hukum perdata 2. Mengungkapkan sejarah kitab undang-undang hukum perdata. 3. Menjelaskan sumber-sumber hukum perdata. 4. Menjelaskan ruang lingkup hukum perdata. A. Pengertian Hukum Perdata Hukum Perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.8 Sedangkan Abdulkadir Muhammad memberikan definisi hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Berdasarkan 8 Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 72. 38 definisi tersebut ada beberapa unsur yang dibahas. Unsur-unsur tersebut adalah:9 1. Peraturan hukum (recht sregel, rule of law); 2. Hubungan hukum (rechtsbetreking, legal relation); 3. Orang (persoon). 1. Peraturan Hukum Peraturan artinya rangkaan ketentuan mengenai keterikatan. Peraturan ini ada tertulis dan ada tidak tertulis. Hukum artinya segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Istilah “perdata” berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti warga (burger), pribadi (privaat), sipil, bukan militer (civiel). Hukum perdata artinya hukum mengenai warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan hak dan kewajiban. 2. Hubungan Hukum Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Hubungan yang diatur oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban warga, pribadi yang satu terhadap warga pribadi yang lain dalam hidup masyarakat. Jadi hubungan hukum adalah hak dan kewajiban hukum setiap warga atau pribadi dalam hidup bermasyarakat. Hak dan kewajiban tersebut apabila tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi menurut hukum. 3. Orang (persoon) Orang (persoon) adalah subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi dan badan hukum 9 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, , hlm. 1-3. 39 mungkin warga negara Indonesia dan mungkin juga warga negara asing. Manusia pribadi (natuurlijk persoon) adalah gejala alam, makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang mempunyai akal, perasaan, kehendak. Sedangkan badan hukum (rechtspersoon) adalah gejala yuridis, badan ciptaan manusia berdasarkan hukum. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil. Hukum Perdata Materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata yang setiap subjek hukum. Hukum Perdata Formil mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Hukum perdata formil mempertahankan hukum perdata materiil, karena hukum perdata formil berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang melanggarnya. B. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Burgelijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di Negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukaan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil dan code de commerce. Pada waktu Perancis menguasai Belanda, kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis Tahun 1915, kedua kodifikasi 40 itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu yang lama menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (asas konkordansi). Baru pada Tahun 1838 dengan berdasarkan asas yang terdapat dalam code civil dan code de commerce, pemerintah Belanda dapat menciptakan 2 kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama: 1. Burgelijk Wetboek yang disingkat BW. 2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK. Untuk kodifikasi KUH Perdata di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di samping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerhtschof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann tidak berhasil, sehingga padaTahun 1836 ditarik kembali ke Negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Pada 31 Oktober 1837, Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi, tetapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia, maka KUH Perdata Belanda banyak menjiwai 41 KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada Tanggal 30 April 1847 melalui Staatblad Nomor 23 dan mulai berlaku pada Januari 1946.10 C. Sumber-Sumber Hukum Perdata 1. Arti Sumber Hukum Yang dimaksud sumber hukum perdata ialah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan. Asal mula itu menunjuk kepada sejarah asalnya dan pembentukannya. Sedangkan “tempat” menunjuk kepada rumusan-rumusan itu dimuat dan dapat dibaca. 2. Sumber Dalam Arti Formal Sumber dalam arti “sejarah asalnya” hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonial Belanda yang terhimpun dalam BW (KUH Perdata). Berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945, BW (KUH Perdata) itu dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang-undang yang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti “pembentuknya” adalah pembentuk undangundang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia, yang di dalamnya termasuk juga aturan peralihan. Atas dasar peraturan peralihan itu, BW (KUH Perdata) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentuk UUD Indonesia ikut menyatakan berlakunya BW (KUH Perdata). Sumber dalam arti asal mula (sejarah asal dan pembentuk) ini disebut dengan sumber hukum dalam arti formal. 10 Yulies Tiena Masriani, Op. Cit, hlm. 72-75. 42 3. Sumber Dalam Arti Materil Sumber dalam arti “tempat” adalah Staatsblad atau Lembaran Negara di mana rumusan ketentuan undang-undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb. 187-23 memuat BW (KUH Perdata), Lembaran Negara 1974-1 memuat Undang-undang Perkawinan, dan lain-lain. Selain itu keputusan hakim yang disebut yurisprudensi juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata bentukan hakim dapat dibaca. Misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai warisan, mengenai badan hukum , mengenai hak atas tanah, dan lain-lain. Sumber dalam arti tempat disebut juga sumber dalam arti materil. Sumber hukum perdata dalam arti materil umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonial dahulu, terutama terdapat dalam staatsblad. Sedangkan yang lainnya sebagai dasar yrisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan sebagaian kecil saja adalah Lembaran Negara Republik Indonesia yang memuat hukum perdata Republik Indonesia. D. Ruang Lingkup Hukum Perdata Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan mengatur bagaimana melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat tersebut ”hukum perdata materil”. Sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu disebut ”hukum perdata formal”. Hukum perdata formal sering disebut hukum acara perdata. Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat, karena manusia itu 43 adalah pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian hukum materil pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan kewajiban itu. Manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan dijadikan atas jenis kelamin pria dan wanita. Sesuai dengan kodratnya, mereka hidup berpasangan-pasangan antara wanita dan pria. Hubungan itu terikat dalam tali perkawinan yang kemudian melahirkan anak. Dengan demikian timbullah yang disebut keluarga. Hukum perdata materil mengatur tentang kehidupan keluarga. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan. Kebutuhan itu hanya dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan usaha dan kerja keras. Mereka mengadakan hubungan antara satu sama lain. Keberhasilan dalam usaha kehidupan adalah harta kekayaan yang mereka miliki, dan kelangsungan hidup keluarga dapat dijamin. Dengan demikian, hukum perdata materil mengatur harta kekayaan. Manusia hidup tidak abadi. Pada suatu saat ai akan meninggal. Jika demikian, bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan, bagaimana pula dengan harta kekayaan yang telah dioperoleh selama hidup. Siapa yang berhak mengurus dan memeliki harta kekayaan itu. Dengan demikian, hukum perdata materil mengatur tentang pewarisan. Atas dasar siklus kehidupan manusia itu, maka hukum perdata materil memuat dan mengatur segala persoalan mengenai: 1. Orang sebagai pendukung hak dan kewajiban (personenrecht). 2. Keluarga sebagai unit masyarakat terkecil (familierecht). 3. Harta kekayaan (vermogensrecht). 4. Pewarisan (erfrecht). Inilah sub-sub bidang hukum perdata yang termasuk dalam hukum perdata materil. Sedangkan sub bidang mengenai cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban, termasuk 44 dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan sub disiplin ilmu hukum yang berdiri sendiri. Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu sebagai berikut. 1. Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan (Persoonenrecht) yang antara lain mengatur tentang: a. Orang sebagai subjek hukum, dan b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk melaksanakan haknya itu. 2. Hukum kekeluargaan atau Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain: a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul di dalamnya seperti hukum harta kekayaan antara suami dan isteri. b. Hubungan hukum antara orang tua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijk macht). c. Perwalian (voogdij). d. Pengampuan (curatele). 3. Hukum kekayaan atau Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi: a. Hak Mutlak, adalah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang; b. Hak Perorangan, adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja. 4. Hukum Waris (Erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang). 45 Ad. 1. Hukum Perorangan (Persoonenrecht) Di dalam hukum perdata, istilah “orang” atau person menunjuk pada pengertian subjek hukum yang artinya pembawa hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri atas: 1. manusia (naturlijk persoon), dan 2. badan hukum (rechts persoon) Manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban terdiri sejak ia lahir dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Sejak ia lahir hidup, ia dapat dianggap sudah sebagai subjek hukum (Pasal 2 ayat (1) BW). Akan tetapi apabila ia lahir dalam keadaan meninggal, ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 2 ayat (2) BW). Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW tersebut dinamakan rechtsfictie. Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan. Badan hukum yang berstatus sebagai pembawa hak dan kewajiban (sebagai subjek hukum), misalnya negara, provinsi, kabupaten, perseroan terbatas, yayasan, wakaf, gereja, dan sebagainya. Suatu perkumpulan dapat juga dijadikan Badan Hukum asal saja memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, yaitu: a. Didirikan dengan Akta Notaris; b. Didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat; c. Anggaran dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman; dan d. Diumumkan dalam Berita Negara; Orang dan badan hukum sebagai subjek hukum dapat melakukan perbuatan hukum sebagai pelaksanaan hak dan kewajibannya. Dalam melaksanakan perbuatan hukum, badan hukum diwakili oleh para pengurusnya. Orang untuk dapat melakukan perbuatan hukum harus sudah dewasa (menurut BW harus sudah berumur 21 tahun) atau sudah kawin sebelum umur tersebut. Batas usia dewasa menurut Undang- 46 Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Yurisprudensi Mahlamah Agung adalah 18 tahun. Orang yang sudah dewasa berarti oleh hukum dianggap sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum/bertindak sendiri. Orang yang belum dewasa, yang ditaruh dalam pengampuan/pengawasan (curatele) oleh hukum dinyatakan sebagai orang yang ”tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum sendiri. Perbuatan hukum bagi orang yang berkepentingan harus dilakukan oleh wali kuratornya. Perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh orang atau badan hukum sebagai subjek hukum, misalnya: a. mengadakan perjanjian jual beli tanah; b. mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah; c. mengadakan perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang; d. mengadakan perjanjian kerja; e. dan lain-lain. Menurut hukum setiap orang harus mempunyai tempat tinggal atau domisili, juga bagi badan hukum. Tempat tinggal (domisili) adalah tempat dimana seseorang tinggal atau berkedudukan serta hak dan kewajiban hukum. Tempat tinggal dapat berupa wilayah/daerah dan dapat pula berupa rumah kediaman/kantor yang berada dalam wilayah/daerah tertentu. Tempat tingggal manusia pribadi biasa disebut tempat kediaman. Sedangkan tempat tinggal badan hukum biasa disebut dengan tempat kedudukan. Tempat tinggal sering juga disebut alamat. Tempat tinggal menentukan hak dan kewajiban seseorang menurut hukum. Hak dan kewajiban ini dapat timbul dalam bidang hukum publik dan hukum perdata. Hak dan kewajiban dalam bidang hukum publik, misalnya: 1. Hak mengikuti pemilihan umum, hak suara hanya dapat diberikan di TPS dimana yang bersangkutan tinggal atau beralamat; 47 2. kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan hanya dapat dipenuhi di tempat dimana yang bersangkutan tinggal/beralamat; 3. kewajiban membayar pajak kenderaan bermotor hanya dapat dipenuhi dimana yang bersangkutan tinggal/beralamat, karena kenderaan bermotor didaftarakan mengikuti alamat pemiliknya. Hak dan kewajiban dalam bidang hukum perdata, misalnya: 1. jika dalam perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran, debitur wajib membayar ditempat tinggal kreditur. Jadi, hak kreditur dipenuhi di tempat tinggalnya (pasala 1393 ayat 2 KUH Perdata); 2. debitur wajib membayar wesel/cek kepada pemegangnya (kreditur) di tempat tinggal/alamat debitur (pasal 137 KUHD). Ini berarti kreditur (pemegang cek/wesel) harus datang ke kantor debitur (bank) untuk memperoleh pembayaran. Debitur (bank) hanya akan membayar di kantornya, bukan ditempat lainnya; 3. debitur berhak menerima kredit dari kreditur (bank) di kantor kreditur (bank), demikian juga kewajiban membayar kredit dilakukan di kantor kreditur (bank). Dilihat dari segi terjadinya peristiwa hukum, tempat tinggal itu dapat digolongkan empat jenis, yaitu:11 1. tempat tinggal yuridis; 2. tempat tinggal nyata; 3. tempat tinggal pilihan; 4. temapat tinggal ikutan. Tempat tinggal yuridis terjadi karena peristiwa hukum kelahiran, perpindahan atau mutasi. Tempat tinggal yuridis dibuktikan oleh takartu tanda penduduk (KTP) atau bukti-bukti yang lain. Jika peristiwa hukum itu perbuatan hukum pembentukan badan 11 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 36. 48 hukum, maka tempat kedudukan dibuktikan dengan akta pendirian (anggaran dasar). Tempat tinggal yuridis adalah tempat tinggal utama. Tempat tinggal nyata terjadi karena peristiwa hukum keberadaan yang sesungguhnya. Umumnya di buktikan dengan kehadiran selalu di tempat itu. Tempat tinggal nyata sifatnya sementara karena karena adanya perbuatan atau keperluan tertentu yang tidak terus-menerus untuk jangka lama. Misalnya seorang mahasiswa yang mempunyai KTP Banda Aceh ber KKN di Kabupaten Pidie selama dua bulan, maka ia bertempat tinggal nyata di Sigli. Tempat tinggal pilihan terjadi karena peristiwa hukum membuat perjanjian, dan tempat tinggal itu dipilih oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Tempat tinggal ini dibuktikan oleh akta otentik yang mereka buat di muka Notaris. Misalnya dalam perjanjian ditentukan tempat yang dipilih ialah Kantor Pengadilan Negeri Banda Aceh. Tempat tinggal ikutan (tergantung) terjadi karena peristiwa hukum keadaan status hukum seseorang, yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya: 1. Tempat tinggal isteri sama dengan tempat tinggal suami (Pasal 32 UU No. 1 Tahun 1974); 2. tempat tinggal anak mengikuti tempat tinggal orang tua (Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974); 3. tempat tinggal orang di bawah pengampuan mengikuti pengampu/walinya (Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974). Pembuktiannya melalui akta perkawinan, kartu keluarga/KTP orang tua, putusan pengadilan tentang penunjukan wali pengampu. Kelangsungan tempat tinggal ikutan ini berhenti atau dapat dihentikan apabila status hukum yang bersangkutan berubah. 49 Arti pentingnya tempat tinggal bagi seseorang atau badan hukum ialah dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan status hukum seseorang dalam lalu lintas hukum dan berurusan dengan pengadilan. Tempat tinggal menentukan apakah seseorang itu terikat untuk memenuhi hak dan kewajiban dalam setiap peristiwa hukum. Tempat tinggal juga menentukan status hukum seseorang apakah ia dalam ikatan perkawinan, apakah ia dalam keadaan belum dewasa, apakah ia dalam keadaan tidak berwenang berbuat. Tempat tinggal juga menentukan apabila seseorang berurusan/berperkara di muka pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan agama berwenang menyelesaikan perkara perdata adalah yang daerah hukumnya meliputi tempat tingggal tergugat (Pasal 118 HIR). Ad. 2. Hukum Keluarga Hukum keluarga adalah rangkaian peraturan hukum yang timbul untuk mengatur pergaulan hidup kekeluargaan. Hukum keluarga meliputi sebagai berikut: a. Kekuasaan Orang Tua (Onderlijke Macht) Semua anak yang masih di bawah umur (belum berumur 21 tahun atau belum kawin) berada di bawah kekuasaan orang tua. Artinya, bahwa selama si anak itu belum dewasa maka orang tua mempunyai kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah hingga anak-anak itu dewasa atau sudah kawin. Sebaliknya, si anak juga wajib patuh terhadap orang tua dan apabila anak itu telah berkeluarga wajib membantu perekonomian orang tua yang tidak mampu menurut garis lurus ke atas. 50 Dalam melakukan kekuasaan orang tua, bapak/ibu mempunyai hak menguasai kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil dari kekayaan itu. Kekuasaan orang tua berakhir apabila : 1. Anak telah dewasa atau telah kawin; 2. Perkawinan orang tua putus; 3. Kekuasaan orang tua dicabut oleh Hakim, karena alasan tertentu (misalnya pemboros, pendidikannya tidak baik); dan 4. Anak dibebaskan dari kekuasaan orang tua, karena terlalu nakal hingga orang tua tidak mampu menguasai dan mendidik. b. Perwalian (Voogdij) Pada dasarnya anak yatim piatu atau anak di bawah umur yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua memerlukan bimbingan dan pemeliharaan. Oleh karena itu perlu, ditunjuk wali yaitu orang atau yayasan yang akan mengurus keperluan dan kepentingan hukum anakanak itu. Hakim biasanya menetapkan seorang wali yang masih ada hubungan darah terdekat dengan si anak, atau ayah dari anak itu yang oleh karena sesuatu hal perkawinannya dengan ibu si anak tersebut telah putus, dapat juga saudara-saudaranya yang dianggap cakap untuk itu. Namun demikian, hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan misalnya yayasan sebagai wali. Perwalian dapat terjadi karena : 1. Perkawinan orang tua putus, baik karena kematian atau karena perceraian, dan 2. Kekuasaan orang tua dicabut atau dibebaskan. Dalam keadaan yang disebut terakhir ini hakim mengangkat seorang wali yang disebut dengan wali pengawas. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). 51 c. Pengampuan (Curatele) Orang-orang yang perlu ditaruh di bawah pengampuan/pengawasan (curatele), adalah orang-orang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan baik. Mereka yang demikian itu, misalnya: a. orang sakit ingatan, b. orang yang pemboros, c. orang yang lemah daya, dan d. orang yang tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri dengan baik, misalnya orang yang sering mengganggu keamanan/ kelakuannya buruk sekali. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan biasanya diminta oleh suami atau istri, keluarga sedarah, atau kejaksaan. Dalam hal orang yang lemah daya, yang dibenarkan meminta pengawasan adalah orang yang bersangkutan, kurator, atau pengampuan ditetapkan oleh hakim dengan mengangkat suami atau isteri atau orang lain di luar keluarga atau perkumpulan dan disertai pengampu pengawas, yaitu balai harta peninggalan. Pengampuan terhadap orang itu (kurandus) berakhir apabila alasan-alasan untuk dimasukkannya seseorang di bawah curatele sudah tidak ada. d. Perkawinan Masalah perkawinan, ketentuannya secara rinci telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam undang-undang ini ditetapkan mengenai perkawinannya sendiri, akibat perkawinan dan tentang perkawinan campuran. Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan 52 tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur mengenai syarat sahnya perkawinan, yaitu: 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 ini, menunjukkan bahwa perkawinan di Indonesia tidak semata-mata berkenaan dengan hanya hubungan keperdataan kodrati pribadi melainkan juga turut campurnya agama atau kepercayaan individu yang bertujuan melaksanakan ibadat agamanya masing-masing dan juga bagi yang tidak beragama tetapi menganut suatu kepercayaan hendaknya tetap berpendirian seperti itu supaya sikap disiplin kepada dirinya selalu ada. Di samping itu Indonesia sebagai sebuah negara tentunya akan selalu memperhatikan kepentingan individu-individu warga negaranya dalam melaksanakan kodrati pribadinya melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga peristiwa itu akan dicatat. Melalui pencatatan itulah kemudian masing-masing akan diberi akte perkawinan. Kerena tanpa pencatatan niscaya bagi pihak pria terutama akan dengan leluasa melakukan perkawinan yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Sedangkan asas perkawinan di Indonesia adalah “monogami”, yaitu seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Kalau seandainya bagi pria yang akan menikah lagi, maka pernikahan itu harus mempunyai alasan yang kuat dan mendapat izin dari istrinya. Hanya saja perkecualian seperti ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. 53 Suatu perkawinan bukan merupakan bidang hukum perikatan, melainkan hukum keluarga. Karena itu hanya diperkenankan adanya kelangsungan suatu pembentukan keluarga kalau memang benar-benar atas kehendak yang disetujui bersama antara kedua pihak yang bersangkutan tanpa campur tangan orang lain dengan syarat yang dicantumkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu. Adapun syarat perkawinan itu: 1. Pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. 2. Penyimpangan dari ketentuan ini harus mendapat dispensasi Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua para pihak. 3. Kalau orang tua telah meninggal dunia, maka keluarga terdekat dari garis keturunan ke atas yang meminta dispensasinya. Sesaat setelah suatu perkawinan berlangsung, maka kedua pihak kedudukannya akan berubah, pihak pria menjadi kepala keluarga dan pihak wanita sebagai ibu rumah tangga. Pada saat itulah timbul hak dan kewajiban masing-masing. Walaupun menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan lahir bathin antara pria dan wanita dalam membentuk suatu rumah tangga, tetapi hubungan lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal. Sebab pada suatu waktu akan terjadi putusnya hubungan perkawinan, baik sengaja maupun tidak disengaja dilakukan karena suatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan itu. Perkawinan dapat putus, karena: 1. Kematian. 2. Perceraian. 3. Atas Keputusan Pengadilan. 54 Putus karena kematian merupakan suatu proses terakhir dalam melaksanakan kodrat manusia. Tetapi putus karena perceraian dan atau atas keputusan pengadilan merupakan suatu sebab yang dicaricari. Selain hal-hal tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan dalam masalah perkawinan ini berkenaan dengan adanya “perkawinan campuran”. Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa “perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia”. Ketentuan pasal ini membedakan adanya hukum yang berbeda yang berbeda karena berbeda kewarganegaraan. Kalau ditinjau dari “hukum tata negara”, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini mulai berlaku sejak diundangkan pada Tanggal 1 April 1975. Berarti bahwa sejak saat itu bagi seorang warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan perkawinannya dengan seorang asing, mereka memasuki perkawinan campuran. Adapun syarat-syarat perkawinan ini sama seperti yang dicantumkan dalam syarat-syarat perkawinan biasa. Hanya saja dalam kedudukan kewarganegaraannya akan dapat berubah seperti yang ditetapkan dalam undang-undang kewarganegaraan Nomor 52 Tahun 1958. Dengan adanya pengertian “perkawinan campuran” yang tertera di atas, hendaknya pikiran kita jangan tertuju semata-mata kepada ketentuannya saja, sebab ada perbedaan pengertian antara perkawinan campuran yang ditetapkan dalam Staatsblad 1889 Nomor 158 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Ketentuan Staatsblad itu berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 sepanjang sebelum ada peraturan yang sama mengubahnya. Dengan adanya ketentuan Pasal 57 Undang-undang 55 Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal lainnya berarti bahwa Staatsblad Tahun 1889 No. 158 tidak berlaku lagi.12 Ad. 3. Hukum Harta Kekayaan Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang.13 Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya hubungan antara subjek hukum yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara sesama subjek hukum tersebut berkaitan dengan benda sebagai objek hukumnya dan benda tersebut dapat dinilai dengan uang. Hubungan yang dilakukan antara sesama subjek hukum tersebut adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hukum harta kekayaan meliputi dua lapangan, yaitu: 1. Hukum benda yang berupa peraturan-peraturan yang mengatur hak-hak kebendaan yang mutlak sifatnya. Artinya, bahwa terhadapat hak-hak atas benda itu orang wajib menghormatinya. 2. Hukum perikatan ialah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi tertentu, sedangkan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi. Contoh: Perikatan dalam perjanjian jual beli.14 Pengertian benda menurut ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum. Sedangkan pengertian benda menurut Pasal 499 KUH Perdata adalah segala barang dan hak yang dapat dipakai orang (menjadi objek hak milik). Dalam bahasa aslinya bahasa Belanda, benda itu adalah zaak. Dalam Pasal 499 KUHPdt yang diartikan dengan zaak ialah semua barang dan hak. Hak disebut juga dengan “bagian dari harta 12 R. Abdoel Djamali, 1993, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 143. 13 Yulies Tiena Masriani, Op. Cit, hlm. 78. 14 Ibid, hlm. 78. 56 kekayaan” (vermogensbestanddeel). Harta kekayaan meliputi barang, hak, dan hubungan hukum mengenai barang dan hak, diatur dalam buku II dan buku III KUHPdt. Sedangkan zaak meliputi barang dan hak diatur dalam buku II KUHPdt.15 Barang sifatnya berwujud, sedangkan hak sifatnya tidak berwujud. Dalam literature hukum (a.l. Prof. Subekti, 1978:50), zaak diterjemahkan dengan “benda”. Demikian juga dalam pendidikan hukum (a.l. Prof. Kusumadi almarhum, 1960), zaak diterjemahkan dengan benda. Dengan demikian, pengertian “benda” mencakup barang berwujud dan barang tidak berwujud (hak). Barang berwujud dalam bahasa aslinya (Belanda) ialah “goed”. Oleh karena itu judul buku II KUHPdt “Van Zaken” lebih tepat diterjemahkan dengan “Tentang Benda” bukan “Tentang Barang”. Buku II KUHPdt memuat ketentuan-ketentuan tentang benda, yang terdiri dari barang dan hak. Barang adalah objek hak milik. Hak juga dapat menjadi objek hak milik. Karena itu benda adalah objek hak milik. Dalam arti hukum, yang dimaksud dengan benda ialah segala sesuatu yang menjadi objek hak milik. Semua benda dalam arti hukum dapat diperjualbelikan, dapat diwariskan, dapat diperalihkan kepada pihak lain. Hukum benda diatur dalam buku II KUHPdt. Hukum benda ialah keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang benda. Pengaturan tersebut pada umumnya meliputi pengertian benda, pembedaan macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan. Pengaturan hukum benda menggunakan “sistem tertutup”, artinya orang tidak boleh mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang sudah diatur dalam undang-undang. Hukum benda bersifat memaksa 15 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 126. 57 (dwingend), artinya harus dipatuhi, dituruti, tidak boleh disimpangi dengan mengadakan ketentuan baru mengenai hak-hak kebendaan. Selain dari buku II KUHPdt, hukum benda juga diatur dalam undang-undang lain, antara lain ialah: 1. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan semua peraturan pelaksanaannya. Undang-undang ini mengatur tentang hak-hak kebendaan yang berkenaan dengan bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terdapat didalamnya. Undang-undang ini mencabut berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terdapat didalamnya, kecuali mengenai hipotik, dalam buku II KUHPdt. 2. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001. Undang-undang ini mengatur tentang hak atas merek perusahaan dan perniagaan. Hak atas merek adalah benda tidak berwujud yang dapat dijadikan objek hak milik. Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dan perubahannya. Undang-undang ini mengatur tentang hak cipta sebagai benda tidak berwujud, yang dapat dijadikan objek hak milik. Peralihan hak cipta harus dilakukan secara tertulis. Ada bermacam cara pembedaan benda menurut arti pentingnya sehubungan dengan perbuatan terhadap benda tersebut. a. Benda berwujud dan benda tidak berwujud Arti penting pembedaan ini ialah terletak pada cara penyerahannya apabila benda itu dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya jual beli, pewarisan, pemberian. Penyerahan benda berwujud bergerak dilakukan secara nyata dari tangan ke tangan. Penyerahan benda berwujud berupa benda tetap dilakukan dengan balik nama. Penyerahan benda tidak berwujud berupa piutang dilakukan sebagai berikut (Pasal 613 KUHPdt): 58 (a) piutang atas nama (op naam) dengan cara cessie; (b) piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan cara penyerahan suratnya dari tangan ke tangan; (c) piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen dan penyerahan suratnya dari tangan ke tangan. b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak Arti penting pembedaan ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), pembebanan (berzwaring). Mengenai penguasaan (bezit), KUHPdt yaitu orang yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Pada benda tidak bergerak asas tersebut tidak berlaku. Mengenai penyerahan (levering), pada benda bergerak dapat dilakukan penyerahan nyata. Sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Mengenai daluarsa (verjaring), pada benda bergerak tidak dikenal daluarsa, sebab yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sedangkan pada benda tidak bergerak dikenal daluarsa: (a) dalam hal ada alas hak, daluarsanya 20 tahun (b) dalam hal tidak ada alas hak, daluarsanya 30 tahun (Pasal 1963 KUHPdt) Mengenai pembebanan (bezwaring), pada benda bergerak dilakukan dengan pand (gadai), sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan hipotik. 1. Benda bergerak Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPdt), misalnya kursin, meja, buku, ternak. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat 59 atas benda bergerak (Pasal 511 KUHPdt), misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak, hak memakai atas benda bergerak, sahamsaham perusahaan, piutang-piutang. 2. Benda tidak bergerak Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan, misalnya tanah dan segala yang melekat diatasnya seperti gedung, pepohanan, bunga-bungaan. Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu, misalnya mesin-mesin yang dipasang dalam pabrik. Tujuannya untuk dipakai tetap dan tidak berpindah-pindah (Pasal 507 KUHPdt). Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUHPdt), misalnya hipotik, credietverband, hak pakai atas benda tidak bergerak, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak. c. Benda dipakai habis dan tidak dipakai habis Arti penting pembedaan ini terletak pada pembatalan perjanjian. Perjanjian yang objeknya benda dipakai habis apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam pemulihan pada keadaan semula. Penyelesaiannya ialah harus digantikan dengan benda lain yang sejenis dan senilai. Contoh benda dipakai habis ialah beras, roti, kayu bakar. Perjanjian yang objeknya benda tidak dipakai habis apabila dibatalkan tidak begitu mengalami kesulitan pada pemulihan dalam keadaan semula, karena bendanya masih ada dan dapat diserahkan kembali. Misalnya pembatalan jual beli televisi, kenderaan bermotor, perhiasan emas berlian. 60 d. Benda sudah ada dan benda akan ada Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjian dapat dipenuhi dengan penyerahan bendanya. Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, dan perjanjian yang objeknya benda akan ada dapat menjadi batal apabila pemenuhannya itu tidak mungkin dilaksanakan sama sekali (Pasal 1320 KUHPdt: unsur ketiga). e. Benda dalam perdagangan dan luar perdagangan Arti penting pembedaan ini terletak pada pemindahtanganan karena jual beli atau karena pewarisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dengan bebas, dapat diwariskan kepada ahli waris. Benda luar perdagangan tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat diwariskan kepada ahli waris. Tidak dapat diperjualbelikan atau tidak dapat diwariskan itu mungkin karena tujuan peruntukannya, misalnya benda wakaf; mungkin karena tujuan yang dilarang undang-undang, misalnya narkotika; mungkin juga karena bertentangan dengan ketertiban umum, misalnya memperdagangkan manusia untuk pembantu rumah tangga, atau karena bertentangan dengan kesusilaan, misalnya memperdagangkan kelender gambar wanita telanjang. f. Benda dapat dibagi dan tidak dapat dibagi Arti penting pembedaan ini terletak pada pemenuhan prestasi suatu perikatan. Dalam perikatan yang objeknya benda dapat dibagi prestasi dapat dilakukan secara sebagian demi sebagian, misalnya satu ton beras dapat dibagi tanpa merubah arti dan sifatnya sebagai beras. Dalam perikatan yang objeknya benda tidak dapat dibagi, pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan sebagian demi sebagian, 61 melainkan harus secara utuh. Misalnya prestasi seekor sapi untuk membajak sawah tidak dapat dibagi menjadi separoh sapi diserahkan sekarang dan separoh lagi diserahkan kemudian. Jika seekor sapi diparoh, namanya bukan sapi lagi dan tidak berarti lagi untuk membajak sawah. g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar Arti penting pembedaan ini terletak pada pembuktian pemilikannya, untuk ketertiban umum, dan kewajiban membayar pajak. Benda terdaftar dibuktikan dengan tanda pendaftaran atau sertifikat atas nama pemiliknya, sehingga mudah dikontrol pemilikannya, pengaruhnya terhadap ketertiban umum, kewajiban pemilinya untuk membayar pajak, serta kewajiban masyarakat untuk menghormati hak milik orang lain. Contoh benda terdaftar ialah kenderaan bermotor, tanah, bangunan, kapal, perusahaan, hak cipta, hak paten, telepon, televisi, pemancar radio. Benda tidak terdaftar (disebut juga benda tidak atas nama), umumnya benda bergerak yang tidak sulit pembuktian pemilikannya karena berlaku asas “yang menguasai dianggap sebagai pemiliknya”. Di samping itu, tidak begitu berpengaruh/ berbahaya bagi ketertiban umum dan tidak begitu berpengaruh bagi pemiliknya untuk membayar pajak. Contohnya ialah alat-alat rumah tangga, pakaian sehari-hari perhiasan emas berlian, sepeda, hewan piaraan. Dalam Hukum Perikatan sebagai objek perikatan adalah prestasi. Ada tiga macam bentuk prestasi, yaitu sebagai berikut. 1. Prestasi untuk memberi sesuatu, misalnya menyerahkan barang, membayar harga. 2. Prestasi untuk berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang rusak. 62 3. Prestasi untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak menggunakan merek dagang tertentu. Jika dalam perikatan seseorang tidak memenuhi prestasi berarti yang bersangkutan telah cedera janji (wanprestasi). Sebelum seseorang dinyatakan wanprestasi, ia harus lebih dulu diperingatkan atau dilakukan somasi (teguran). Perikatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut. 1. a. Perikatan sipil adalah perikatan yang apabila tidak dipenuhi dapat dilakukan gugatan. b. Perikatan wajar adalah perikatan yang tidak mempunyai hak tagihan, tetapi apabila sudah dibayar tidak dapat diminta kembali (utang karena perjudian) 2. a. Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang dapat dibagi-bagi pemenuhannya (perjanjian kerja harian). b. Perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi pemenuhan prestasinya (perjanjian untuk rekaman lagu tertentu). 3. a. Perikatan pokok adalah perikatan yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada perikatan yang lain (perjanjian jual beli, sewa menyewa). b. Perikatan tambahan adalah perikatan yang merupakan tambahan dari perikatan lainnya (perjanjian gadai, hipotek). 4. a. Perikatan murni adalah perikatan yang prestasinya harus dipenuhi seketika itu juga. b. Perikatan bersyarat adalah perikatan yang pemenuhannya oleh debitur digantung pada suatu syarat tertentu (pinjam uang baru akan dibayar kalau penjualan barang dari si debitur laku). 63 5. a. Perikatan spesifik adalah perikatan yang prestasinya ditetapkan secara khusus (pinjam uang sebagai pembayarannya adalah tenaga kerja si debitur). b. Perikatan generik adalah perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya. Perikatan berakhir dengan beberapa cara, yaitu 1. dengan pembayaran (kalau perikatan itu jual beli), 2. dengan pembauran utang (novasi), 3. dengan pembebasan utang, 4. dengan pembatalan, 5. dengan hilangnya benda yang diperjanjikan, dan 6. dengan telah lewatnya waktu (daluwarsa). Sumber-sumber hukum perikatan adalah 1. perjanjian, dan 2. undang-undang Hukum perikatan yang bersumber dari perjanjian, misalnya: 1. jual beli, 2. tukar-menukar, 3. pinjam pakai, 4. sewa-menyewa, 5. penitipan, dan 6. perjanjian kerja. Hukum Perikatan yang bersumber dari undang-undang, misalnya: a. Perikatan yang terjadi karena undang-undang itu sendiri (wajib nafkah), b. Perikatan yang terjadi karen undang-undang dan disertai dengan tindakan manusia. (Zaakwarneming, yaitu tindakan manusia yang menurut hukum dan hakiki; tindakan melanggar hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata). 64 Ad. 4. Hukum Waris Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Ada dua macam cara untuk mengatur berpindahnya harta kekayaan seseorang yang telah meninggal (pewarisan), yaitu sebagai berikut. a. Pewarisan menurut undang-undang ialah pembagian warisan kepada ahli waris (orang-orang yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan pewaris). Pada pewarisan menurut undang-undang ada pengisian tempat (plaatsvervulling), artinya jika ahli waris yang berhak menerima warisan itu telah meninggal sebelum pembagian warisan, hak warisnya dapat diganatikan oleh anaknya. Apabila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan, suami, istri, dan saudara-saudara, harta warisan itu dipecah menjadi dua. Setengah bagian untuk keluarga Bapak dengan garis lurus ke atas dan yang setengah bagian lainnya diberikan kepada keluarga Ibu menurut garis lurus ke atas pula (terjadi kloving). b. Pewarisan berdasarkan wasiat, yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang berhak menerima warisan menurut kehendak terakhir si pewaris (wasiat pewaris). Wasiat itu harus dinyatakan dalam bentuk Akta Notaris (warisan testamenter). Pemberi warisan disebut erflater, sedangkan penerima warisan atas dasar wasiat disebut legataris. Berdasarkan penetapan garis kekeluargaan ahli waris dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu. Golongan I : meliputi suami/isteri yang hidup terlama dan keturunan dari pewaris dalam garis lurus ke bawah. Golongan II : meliputi orang tua, saudara-saudara sekandung dan keturunan dari pewaris. 65 Golongan III : adalah leluhur pewaris baik dari pihak suami/isteri. Golongan IV : adalah keluarga sedarah sampai derajat keenam. Hak waris dari golongan-golongan ini tergantung dari ada atau tidak adanya golongan sebelumnya. Artinya, Golongan I menutup hak waris Golongan II, Golongan II menutup hak waris Golongan III, dan seterusnya. Apabila Golongan I sampai dengan IV tidak ada, harta warisan menjadi milik negara. RANGKUMAN Hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Dari definisi tersebut ada beberapa unsur yang dibahas. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Peraturan hukum (recht sregel, rule of law); 2. Hubungan hukum (rechtsbetreking, legal relation); 3. Orang (persoon). Ruang lingkup hukum perdata menurut sistematika ilmu pengetahuan meliputi hukum perorangan, hukum keluarga, hukum kekayaan dan waris. 1. Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan (Persoonenrecht) yang antara lain mengatur tentang : a. Orang sebagai subjek hukum, dan b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk melaksanakan haknya itu. 2. Hukum kekeluargaan atau Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain: a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul di dalamnya seperti hukum harta kekayaan antara suami dan isteri, 66 3. 4. b. Hubungan hukum antara orang tua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijk macht), c. Perwalian (voogdij), dan d. Pengampuan (curatele). Hukum kekayaan atau Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi: a. Hak Mutlak, adalah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang; b. Hak Perorangan, adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja. Hukum Waris (Erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang). LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum perdata dan apa unsur-unsur yang terkandung di dalam definisi tersebut. 2. Jelaskan sejarah singkat hukum perdata. 3. Jelaskan ruang lingkup hukum perdata dan berikan contohcontohnya. 4. Jelaskan pembedaan benda dan apa arti pentingnya pembedaan benda tersebut. 5. Jelaskan macam-macam bentuk prestasi. GLOSSARIUM 1. Natuurlijk persoon adalah gejala alam, makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang mempunyai akal, perasaan, kehendak. 67 2. Rechtspersoon adalah gejala yuridis, adalah gejala yuridis, badan ciptaan manusia berdasarkan hukum. 3. Vermogensbestanddeel adalah hak disebut juga dengan “bagian dari harta kekayaan”. 4. Onderlijke Macht adalah kekuasaan Orang Tua terhadap pemeliharan anak. 5. Burgelijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. 6. Vermogensrecht adalah yang mengatur tentang hubunganhubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 143. Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 72. 68 BAB III ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami pengertian hukum acara perdata, tujuan dan fungsi hukum acara perdata, sumber-sumber hukum acara perdata, asas-asas hukum acara perdata, pihak-pihak dalam hukum acara perdata, perbedaan hukum acara perdata dengan hukum acara pidana, cara mengajukan gugatan perdata, isi gugatan, alat bukti dalam perkara perdata, putusan hakim, dan upaya hukum. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu: 1. Mengungkapkan pengertian hukum acara perdata. 2. Menerangkan tujuan dan fungsi hukum acara perdata. 3. Menjelaskan sumber-sumber hukum acara perdata. 4. Menjelaskan asas-asas hukum acara perdata. 5. Menjelaskan pihak-pihak dalam hukum acara perdata. 6. Menjelaskan perbadaan antara hukum acara perdata dengan hukum acara pidana. 7. Menjelaskan gugatan perdata. 8. Menjelaskan isi gugatan. 9. Menjelaskan alat-alat bukti dalam perkara perdata. 10. Menjelaskan putusan hakim dan upaya hukum. 11. Menjelaskan upaya hukum. 69 A. Pengertian Hukum Acara Perdata Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.16 R. Subekti berpendapat bahwa hukum acara perdata itu mengabdi kepada hukum materil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.17 MH. Tirtaamidjaja (mantan Hakim Agung) mengatakan: “Hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materil”.18 Sedangkan Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaati hukum perdata materil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materil. Kongkretnya: Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusannya.19 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materil. 16 Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur, Bandung, hlm. 12. 17 R. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Cetakan I, Bina Cipta, hlm. 14. 18 Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata HIR/RBG, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 9. 19 Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Aacara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 2. 70 Lebih tegas dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan serta melaksanakan putusan tersebut. Mengajukan tuntutan hak berarti meminta perlindungan hukum terhadap haknya yang dilanggar oleh orang lain. Tuntutan hak dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Tuntutan hak yang didasarkan atas sengketa yang terjadi, dinamakan gugatan. Dalam tuntutan semacam ini minimal ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak penggugat (yang mengajukan tuntutan hak) dan pihak yang tergugat (orang yang dituntut), dan 2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa lazimnya disebut permohonan. Dalam tuntutan hak yang kedua ini hanya ada satu pihak saja. Hukum Acara Perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu sebagai berikut: a. Tahap pendahuluan, merupakan persiapan menuju ke penentuan atau pelaksanaan. b. Tahap penentuan, diadakan pemeriksaan peristiwa dan sekaligus pembuktian serta keputusannya. c. Tahap pelaksanaan, tahap diadakannya pelaksanaan dari putusan. B. Tujuan Dan Fungsi Hukum Acara Perdata Hukum acara bertujuan untuk melindungi hak seseorang. Perlindungan terhadap hak seseorang diberikan oleh Hukum Acara Perdata melalui peradilan perdata. Dalam peradilan perdata, hakim akan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar setelah pemeriksaan dan pembuktian selesai. Dengan peradilan tersebut sudah barang tentu seseorang yang menguasai atau mengambil hak seseorang dengan melawan hukum akan diputuskan sebagai hak yang salah, oleh karenanya dia 71 diwajibkan menyerahkan kembali apa yang telah dikuasai itu kepada pemegang hak yang sah menurut hukum. Dengan demikian, apa yang termuat dalam hukum perdata materiil dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Di samping bertujuan melindungi hak seseorang, ada tujuan lain yang merupakan tujuan akhir dari hukum acara perdata, yaitu mempertahankan hukum materiil. Untuk mempertahankan hukum perdata materil tersebut, hukum acara perdata berfungsi untuk mengatur bagaimana caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya, bagaimana negara melalui aparatnya memeriksa dan memutuskan perkara perdata yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain, dinyatakan bahwa fungsi hukum acara perdata sebagai sarana untuk menuntut dan mempertahankan hak seseorang. C. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata 1. Herziene Indonesische Reglement (HIR) HIR berasal dari IR (Inlandsche Reglement), dimuat dalam Lembaran Negara No. 16 jo 57/1848 yang judul lengkapnya adalah Reglement op de uit oefening van de politie, de Burgelijke rechtspleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vremde Oosterlingen op Java en Madura (reglemen tentang melakukan tugas kepolisian mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura). Seperti judulnya itu maka isi HIR dapat dibagi dua yaitu bagian acara pidana dan acara perdata, yang diperuntukkan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka Landraad. Bagian acara pidana dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371. Bagian acara perdata dari Pasal 115 sampai dengan Pasal 245. Sedangkan titel ke 15 72 yang merupakan peraturan rupa-rupa (Pasal 372 s.d. 394) meliputi acara pidana dan acara perdata. Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka ketentuan dalam HIR yang mengatur tentang Acara Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. 2. Reglement Voor de Buitengewesten (RBG) RBG yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 Lembaran Negara No. 227 Tahun 1927 dan mulai berlaku pada Tanggal 1 Juli 1927 adalah pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja. Seperti reglement bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatera Barat, Palembang, Kalimantan, Minahasa dan lain-lain. RBG berlaku untuk luar Jawa dan Madura. 3. Reglement of de Burgelijke Rechtsvordering (RV) RV yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 52/1847, mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 adalah reglemen yang berisi ketentuanketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie-gerecht. Soepomo berpendapat, dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtschof, maka RV sudah tidak berlaku lagi, sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBG sajalah yang berlaku.20 Dalam kenyataan, ada bentuk-bentuk atau kegiatan tertentu yang masih menggunakan RV dalam praktek, misalnya tentang arbitrase. Mengenai lembaga arbitrase tidak diatur dalam HIR/RBG, melainkan diatur dalam RV. 20 Soepomo, 1989, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Cetakan 4, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 11. 73 4. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memuat juga beberapa ketentuan hukum acara. 5. Di tingkat Banding UU No. 20 Tahun 1947 untuk Jawa dan Madura Tetapi kemudian oleh Yurisprudensi dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka ketentuan dalam HIR/RBG tentang Banding tidak berlaku lagi. 6. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 7. Yurisprudensi, atau putusan-putusan hakim yang berkembang di lingkungan dan sudah pernah diputus di pengadilan. 8. Adat Kebiasaan Hal ini dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro. Namun Sudikno Mertokusumo mengatakan, adat kebiasaan hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian hukum. 21 9. Doktrin Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara, serta sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Tetapi doktrin itu sendiri bukan hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai obyektif juga. D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata Asas-asas Hukum Acara Perdata adalah sebagai berikut: 1. Hakim Bersikap Menunggu Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi 21 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 8. 74 apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan , maka tidak ada hakim, demikian bunyi pemeo yang tidak asing lagi (Wo kein Klager, ist kein Richer; nemo judex sine actore). Jadi, Hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau gugatan dari masyarakat. Penyelenggara proses peradilan adalah negara. Hakim tidak diperbolehkan menolak suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputuskan, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Meskipun Hakim belum menemukan hukumnya untuk perkara yang diajukan, dia harus mencari dan menemukannya agar perkara itu dapat diselesaikan. 2. Hakim Bersifat Pasif Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Artinya, luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Para pihak dapat mempelajari perkaranya sendiri menurut kehendak. Artinya, bahwa bila yang bersengketa mencabut gugatannya karena telah tercapai penyelesaian melalui perdamaian, hakim tidak menghalangi (Pasal 130 HIR, 154 Rbg). Hakim hanya dibenarkan untuk memutuskan apa yang diminta oleh para pihak, tidak boleh lebih dari tuntutan para pihak (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, 189 ayat (2) dan (3) Rbg). 75 Jadi, pengertian dari istilah “hakim pasif” hanya ditekankan pada penentuan luas sempitnya perkara. Hakim dalam hal ini tidak dibenarkan menambah atau mengurangi pokok sengketa yang diajukan oleh para pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya, hakim dalam pemeriksaan perkara perdata pun aktif, yaitu dia memimpin persidangan, memberi petunjuk kepada para pihak, berusaha mendamaikan mereka dan mencari jalan penyelesaian perkara yang diperiksanya. Hal ini juga sesuai dengan asas yang dianut oleh HIR. 3. Persidangan Bersifat Terbuka Pada dasarnya, proses peradilan dalam persidangan bersifat terbuka untuk umum, artinya semua orang boleh menghadiri persidangan asalkan tidak mengganggu jalannya persidangan dan berlaku tertib. Hal ini bertujuan agar persidangan berjalan secara fair, objektif, dan hak manusia pun terlindungi, serta diharapkan putusan pengadilan pun adil bagi masyarakat. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 12 dan 13 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009. Dari kedua ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa setiap pemeriksaan dalam sidang terbuka untuk umum, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan tertutup apabila undangundang menentukan lain, misalnya dalam pemeriksaan perceraian atau perkosaan dalam perkara pidana. Walaupun pemeriksaannya dilakukan secara tertutup, namun pembacaan keputusan hakim harus dilakukan dalam sidang terbuka sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. 4. Mendengar Kedua Belah Pihak Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak yang bersengketa harus didengar, diperhatikan, dan diperlakukan sama, hal ini diatur 76 dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Proses peradilan dalam hukum acara perdata wajib memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa. Kesempatan yang dimaksud adalah kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar, dikenal dengan asas audi et alteram partem. Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai keterangan yang benar, sebelum pihak lain memberikan pendapatnya. Dengan demikian, pengajuan alat-alat bukti harus dalam persidangan yang dihadiri oleh dua pihak yang bersengketa. 5. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili diatur dalam Pasal 84 ayat (1), 319 HIR, 618 RBg. Alasan-alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, sehingga mempunyai nilai-nilai objektif. Dengan adanya alasan-alasan itulah, putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkan. Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat beberapa putusan Mahkamah Agung yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Untuk lebih dapat mempertanggjawabkan putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. 77 Mencari dukungan pada yurisprudensi berarti bahwa hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi atau yang telah pernah diputuskannya sendiri saja. 6. Beracara dikenakan Biaya Pada asasnya, berperkara dikenakan biaya diatur dalam Pasal 121 ayat (4) HIR, 182 HIR, 183 HIR, 145 ayat (4), 192, 194 Rbg). Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan kepada para pihak serta biaya materai. Para pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo), dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari kewajiban membayar biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg). Dalam praktik, surat keterangan itu dibuat oleh Camat setempat. Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak hakim bila ternyata pemohon bukan orang yang tidak mampu. 7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Namun, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan memeriksa secara langsung terhadap para pihak, hakim akan dapat mengetahui lebih jelas pokok persoalannya, sebab para pihak yang berkepentinganlah; sebenarnya yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Biaya beracara secara langsung di pengadilan lebih ringan jika dibandingkan dengan jalan perwakilan. Tidak ada ketentuan bahwa 78 seorang wakil harus sarjana hukum, akan tetapi jika ditinjau dari segi kenyataan beracara dengan kuasa yang sarjana hukum lebih lancar daripada kuasa yang bukan sarjana hukum. Pada hakekatnya tujuan dari perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil. E. Pihak-Pihak Dalam Hukum Acara Perdata Di dalam proses peradilan perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Baik penggugat maupun tergugat yang tergolong mampu untuk melakukan perbuatan hukum dapat beracara sendiri untuk kepentingan sendiri, tetapi juga mewakilkan kepada kuasanya. Seorang kuasa untuk pihak penggugat maupun pihak tergugat harus memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal 123 ayat (1) HIR atau Pasal 147 ayat (1) Rbg. 2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil badan persidangan (Pasal 123 ayat (1) HIR (1) Rbg) 3. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1995 Tanggal 28 Mei 1965 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 Tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol. 4. Telah terdapat sebagai advokat 5. Undang-undang Advokat yang baru Tahun 2003. F. Perbedaan Antara Hukum Acara Perdata Dan Hukum Acara Pidana Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut: 79 No Hukum Acara Perdata No Hukum Acara Pidana 1 Mengatur cara-cara 1 Mengatur cara-cara mengadili perkara perdata mengadili perkara pidana di di muka Pengadilan muka Pengadilan Pidana oleh Perdata oleh Hakim Hakim Pidana. Perdata. 2 Yang menuntut Penggugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat berhadapan dengan tergugat (tidak ada jaksa) 2 Jaksa menjadi menuntut terhadap terdakwa. Jaksa sebagai penuntut umum mewakili negara berhadapan dengan terdakwa (ada jasa). 3 Inisiatif datang dari pihak yang dirugikan. 3 Inisiatif datang dari penuntut umum 4 Sumpah bukti alat 4 Ada lima alat bukti, tidak termasuk sumpah 5 Perkara yang ditarik kembali oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebelum ada putusan hakim 5 Perkara tidak dapat ditarik kembali, kecuali delik aduan 6 Hakim bersifat pasif 6 Hakim bersifat aktif 7 Putusan hakim mendasarkan kebenaran formil cukup pada 7 Putusan hakim mencari kebenaran materiil dan menurut keyakinan, serta perasaan adil hakim. 8 Tergugat yang dikalahkan dihukum sesuai dengan petitum gugatan baik sebagian atau seluruhnya 8 Terdakwa yang terbukti bersalah dihukum mati/penjara/kurungan dan denda. 9 Banding dari PN ke PT disebut Appel 9 Banding dari PN ke PT disebut Revisi. termasuk 80 G. Gugatan 1. Cara Mengajukan Gugatan Perdata Pasal 118 HIR mengatur: 1. cara mengajukan gugatan, yaitu tertulis; 2. tempat mengajukan gugatan, dan 3. dapat mewakilkan. Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya menurut Pasal 123, kepada kuasa Pengadilan Negeri di daerah hukum siapa tergugat berdomisili atau jika tidak diketahui domisilinya, tempat tinggal yang sebenarnya. Tempat mengajukan gugatan: a) Tingkat pertama = hakim sehari-hari di Pengadilan Negeri b) Tingkat kedua = tingkat banding di Pengadilan Tinggi c) Tingkat kasasi = hakim kasasi di Mahkamah Agung Hal ini menunjukkan pengadilan bertingkat/hierarki. 2. Isi Gugatan Gugatan pada pokoknya memuat hal-hal berikut: 1. Identitas para pihak (penggugat dan tergugat). Identitas adalah ciri-ciri dari penggugat dan tergugat, yaitu nama, tempat tinggal, umur, serta status kawin atau tidak. 2. Dalil-dalil konkret yang ada hubungan hukum, yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan (middelen van den eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri atas dua bagian, yaitu: bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atas peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang hukum adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan 81 hukum yang menjadi dasar, yaitu dasar tuntutan harus jelas dan lengkap. Hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di persidangan nanti, harus dimuat dalam fundamentum petendi sebagai dasar tuntutan yang memberi gambaran kejadian materil yang merupakan dasar tuntutan itu. 3. Petitum atau tuntutan Petitum atau tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan, agar diputuskan oleh hakim. Jadi, petitum mendapatkan jawaban di dalam diktum atau amar putusan. H. Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Alat-alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 Rbg, dan 1866 BW. Alat-alat bukti yang dimaksud adalah alat-alat bukti yang sah, sehingga hakim dalam acara pembuktian untuk memutuskan perkara yang diperiksa hanya dibenarkan menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang adalah: 1. Alat bukti tertulis atau surat; 2. Alat bukti saksi; 3. Alat bukti persangkaan; 4. Alat bukti pengakuan; dan 5. Alat bukti sumpah. 1. Alat Bukti Tertulis atau Surat Alat bukti tulisan atau surat diatur pada Pasal 165 sampai dengan 167 HIR atau Pasal 282 sampai dengan Pasal 305 RBG dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUH Perdata. 82 Alat-alat bukti atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati seseorang untuk pembuktian.22 Sedangkan menurut Taufik Makarao, alat bukti tulisan atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan misalnya huruf Latin, huruf Arab, huruf kanji dan lain sebagainya.23 Alat bukti surat dibedakan menjadi dua, yaitu akta dan bukan akta. Akta dibedakan menjadi dua, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta adalah surat yang dibubuhi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat dengan sengaja oleh para pihak sebagai alat pembuktian. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuanketentuan yang telah ditetapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat di dalamnya. Contoh: akta notaris. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang sempurna. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa seorang pejabat. Jadi, pembuatnya hanyalah para pihak yang berkepentingan saja. Contoh surat perjanjian di bawah tangan dan kuitansi. 2. Bukti Saksi (Kesaksian) Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 168 sampai dengan Pasal 172 HIR atau Pasal 306 sampai dengan Pasal 309 RBG atau Pasal 1895 sampai dengan Pasal 1912 KUH Perdata. 22 23 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 141-142. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT. Renika Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 99. 83 Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah pihak dalam suatu perkara, yang dipanggil di persidangan.24 Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 171 ayat (2) HIR (Pasal 308 ayat 2 RBG, atau Pasal 1907 KUH Perdata). Di sinilah letak bedanya antara keterangan yang diberikan oleh saksi dan saksi ahli. Seorang saksi dipanggil di muka sidang untuk memberikan tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya, sedangkan saksi ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya. Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak dibuat secara tertulis. Keterangan tertulis dari pihak ketiga merupakan alat bukti tertulis. Bahwa saksi harus memberi keterangan secara lisan dan pribadi ternyata dari Pasal 140 ayat (1) HIR (Pasal 166 ayat 1 RBG) dan Pasal 148 HIR (Pasal 176 RBG, di mana ditentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi terhadap saksi yang telah datang di persidangan enggan memberi keterangan dapat diberikan sanksi juga. Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139 ayat 1 HIR/165 ayat 1 RBG). Baik pihak formil maupun pihak materil tidak boleh didengar sebagai saksi. Lain halnya dengan di Inggris di mana para 24 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 159. 84 pihak di bawah sumpah didengar sebagai saksi dalam perkaranya sendiri. 3. Persangkaan Persangkaan (vermoedens, presumption) diatur dalam Pasal 173 HIR/310 RBG. Dalam pasal ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan persangkaan itu. Secara rinci alat bukti persangkaan ini diatur dalam Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUH Perdata. Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya (Pasal 1915 KUH Perdata). Wirjono Prodjodikoro, berpendapat bahwa persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti. Yang dijadikan alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata misalnya karena ada peristiwa A dianggap juga ada peristiwa B. Kesimpulan ini dapat ditarik oleh undang-undang sendiri atau hakim.25 Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undangundang. (Pasal 1915 KUH Perdata) atau dikenal dengan istilah persangkaan hakim. Menurut Pasal 1916 KUH Perdata persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang didasarkan suatu ketentuan khusus undangundang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. 25 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, 1982, hlm. 116. 85 Sedangkan persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim. Sikap salah satu pihak dalam perkara di persidangan misalnya pihak yang bersangkutan meskipun berkalikali diperintahkan untuk menunjukkan pembukuan perusahaannya, ia ini tidak memenuhi perintah tersebut dapat menghasilkan persangkaan hakim bahwa pembukuannya tidak beres dan bahwa yang bersangkutan belum memberikan pertanggungjawabannya. Juga jawaban yang mengelak, jawaban yang tidak tegas, sifat plin-plan, memberi persangkaan bahwa dalil pihak lawan adalah benar, setidaktidaknya dapat dianggap sebagai suatu hal yang negatif bagi pihak tersebut.26 4. Pengakuan Pengakuan diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR, Pasal 311, 312, 313 Rbg dan Pasal 1923, 1928 BW. Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak penggugat/tergugat. Pengakuan adalah pengakuan tegas yang diucapkan oleh si pengaku atau tidak membantah posisi pihak lawan. 5. Sumpah Sumpah adalah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan tidak benar dihukum oleh Tuhan. Sumpah dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut: 26 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Jakarta, 2002, hlm. 71. 86 a. Sumpah Suplletoir (sumpah penambah) adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. b. Sumpah Decisoir (sumpah pemutus) adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu satu pihak kepada lawannya. J. 1. Putusan Hakim Dan Upaya Hukum Putusan Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.27 Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir dan bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Jenis-jenis putusan akhir adalah sebagai berikut: 1. Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi atau membayar sejumlah uang tertentu. Putusan condemnatoir memberi hak eksekutorial, berarti mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan. 27 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 125. 87 2. Putusan Constitutief adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya, pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, dan pemutusan perjanjian. 3. Putusan Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan yang sah, atau menguatkan hak seseorang. Misalnya, hakim menetapkan pihak tergugat atau penggugat yang berhak atas barang yang disengketakan. Putusan yang bukan putusan akhir (Putusan sela atau Putusan antara) adalah putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela hanya dimintakan banding bersama-sama dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama. Selain itu, dikenal pula Putusan Praeparatoir dan Putusan Interlocutoir. Putusan Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh: putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurnya pemeriksaan saksi. Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Putusan interlocutoir berpengaruh terhadap putusan akhir. Di samping itu, ada pula Putusan Gugur dan Putusan Verstek. Putusan Gugur dijatuhkan oleh hakim apabila penggugat tidak datang pada sidang meskipun telah dipanggil secara layak. Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat, meskipun telah dipanggil secara layak (sebagaimana mestinya). 2. Upaya Hukum Dalam suatu perkara, setelah proses pemeriksaan pengadilan selesai, maka tugas hakim adalah menjatuhkan putusan. Putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim ada kemungkinan tidak memuaskan salah satu pihak, baik itu pihak penggugat maupun pihak tergugat. Jika salah 88 satu pihak tersebut tidak puas terhadap putusan hakim, maka yang bersangkutan dapat mengajukan upaya-upaya hukum. Dalam hukum acara perdata terdapat upaya-upaya hukum yang meliputi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah: perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Dengan mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak, suatu putusan tidak dapat lagi diubah. Sesuatu putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa hanyalah diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga (darden verzet). a. Perlawanan (verzet) Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek). Kepada pihak yang dikalahkan serta diterangkan kepadanya bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tidak hadir itu kepada pengadilan yang memeriksa perkara tersebut (Pasal 125 ayat 3 HIR/149 ayat 3 RBG dan Pasal 153 ayat 1 HIR/129 ayat 1 RBG). 89 b. Banding Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu upaya hukum biasa adalah banding. Upaya hukum banding diajukan apabila pihak-pihak yang berperkara tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang, karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa, membuat kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi. Banding diatur dalam Pasal 188 – 194 HIR. c. Kasasi Menurut ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985: “Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan”. Namun, dalam ketentuan pasal ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kasasi. Untuk memahami pengertian kasasi, dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 ditentukan: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: 1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; 3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Mahkamah Agung dalam melakukan peradilan kasasi tidak melakukan peninjauan putusan 90 seluruhnya dari pengadilan-pengadilan dalam tingkat peradilan terakhir, melainkan terbatas pada peninjauan mengenai hukum saja, tidak mengenai peristiwa dan pembuktiannya. Peninjauan mengenai hukum tersebut hanya terbatas pada apakah pengadilan-pengadilan dalam tingkat peradilan terakhir itu: 1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya; 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; 3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan kasasi, Mahkamah Agung bukan peradilan tingkat tertinggi sehingga yang dikasasi itu adalah putusan tingkat tertinggi. Kasasi hanya meliputi bagian hukumnya saja, tidak mengenai peristiwa. d. Peninjauan Kembali (request civil) HIR tidak mengatur tentang peninjauan kembali atau request civil. Meskipun demikian dahulu dalam praktek diterima oleh pengadilan negeri (dulu Landraad) dengan memakai ketentuan-ketentuan RV sebagai pedoman. Menurut Sudikno Mertokusumo, request civil yang diatur dalam Pasal 385 sampai dengan 401 RV, tidak lain adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Selain itu SEMA 6/1967 juga mengatur tentang peninjauan kembali. Kemudian SEMA 18/1969. Juga Peraturan Mahkamah Agung 1/1971. Lalu Peraturan Mahkamah Agung 1/1976. Setelah itu Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1980. Dan saat ini yang mengatur tentang peninjauan kembali adalah UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. 91 Uraian berikut ini akan mengacu kepada UU No. 14/1985. Ketentuan yang mengatur tentang peninjauan kembali dalam undangundang tersebut di atas adalah Bagian Keempat, Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Menurut Pasal 66: (1) permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (2) permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. (3) permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi. Adapun alasan-alasan peninjauan kembali, adalah sebagai berikut: 1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; 4) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 5) Apabila diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; 6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 67). 92 e. Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet) Perlawanan pihak ketiga atau bantahan dikenal juga dengan istilah derden verzet. Bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang bersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat. Dasar hukum yang mengatur tentang bantahan atau perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208HIR. Pasal tersebut mengatakan, ketentuan pasal di atas berlaku juga, jika orang lain membantah dalam hal pelaksanaan putusan tersebut, karena dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut adalah miliknya. Pasal yang dimaksud ketentuan di atas adalah Pasal 207 HIR yang berbunyi, (1) Bantahan orang yang berutang tentang pelaksanaan putusan, baik dalam hal yang disita adalah barang yang tidak tetap, maupun dalam hal yang disita barang yang tetap, harus diberitahukan oleh orang yang hendak membantah tersebut, dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang tersebut pada ayat keenam Pasal 195; jika bantahan itu diberitahukan secara lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya. (2) Kemudian perkara tersebut dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan negeri, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil dengan patut. (3) Bantahan itu tidak dapat menunda pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali jika ketua memberikan perintah supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan negeri. 93 Berdasarkan Pasal 207 HIR, maka pihak ketiga yang melakukan perlawanan atau bantahan harus mengajukan bantahan atau perlawanan tersebut secara tertulis atau secara lisan. Jika perlawanan atau bantahan diajukan secara lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya. Dalam praktek terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga yaitu: a. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi. b. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi adalah perlawanan pihak ketiga atas suatu penyitaan terhadap suatu benda atau barang karena putusan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tindakan selanjutnya pelaksanaan penjualan atau pelelangan terhadap barang atau benda yang menjadi sengketa. Terhadap penyitaan atau penjalan lelang ini kemudian pihak ketiga merasa bahwa barang atau benda yang disita kemudian akan dijual atau dilelang tidak dapat disita atau dijual karena barang atau benda tersebut miliknya. Sedangkan perlawanan pihak ketiga atas sita jaminan, adalah perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. RANGKUMAN Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Lebih tegas dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan serta melaksanakan putusan tersebut. Mengajukan tuntutan hak berarti 94 meminta perlindungan hukum terhadap haknya yang dilanggar oleh orang lain. Tuntutan hak dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Tuntutan hak yang didasarkan atas sengketa yang terjadi, dinamakan gugatan. Dalam tuntutan semacam ini minimal ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak penggugat (yang mengajukan tuntutan hak) dan pihak yang tergugat (orang yang dituntut), dan 2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa lazimnya disebut permohonan. Dalam tuntutan hak yang kedua ini hanya ada satu pihak saja. Hukum Acara Perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap pendahuluan, merupakan persiapan menuju ke penentuan atau pelaksanaan. 2. Tahap penentuan, diadakan pemeriksaan peristiwa dan sekaligus pembuktian serta keputusannya. 3. Tahap pelaksanaan, tahap diadakannya pelaksanaan dari putusan. LATIHAN 1. Tuntutan hak dalam hukum acara perdata dibedakan kedala dua macam. Jelaskan kedua macam tuntutan hak tersebut dan apa perbedaannya. 2. Jelaskan sumber-sumber hukum acara perdata. 3. Jelaska asas-asas hukum acara perdata. 4. Jelaskan perbedaan antara hukum acara perdata dan acara pidana. 5. Sebutkan macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata. 6. Sebutkan macam-macam upaya hukum biasa dan upaya hukum istimewa. 95 GLOSSARIUM 1. Prodeo ialah pemeriksaaan perkara dengan biaya cuma-cuma. 2. Middelen van den eis ialah dalil-dalil kongkret yang ada hubungan hukum, yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan atau lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi. 3. Vermoeden atau presumption adalah alat bukti yang oleh undangundang ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. 4. Suplletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. 5. Decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu satu pihak kepada lawannya. 6. Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi atau membayar sejumlah uang tertentu. Putusan condemnatoir memberi hak eksekutorial, berarti mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan. 7. Constitutief adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya, pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, dan pemutusan perjanjian. 8. Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, atau menguatkan hak seseorang. Misalnya, hakim menetapkan pihak tergugat atau penggugat yang berhak atas barang yang disengketakan. 9. Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. 10. Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau 96 pemeriksaan setempat. Putusan interlocutoir berpengaruh terhadap putusan akhir. 11. Verzet adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama. 12. Request civil adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 13. Derden verzet yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang bersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat. DAFTAR PUSTAKA Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju. R. Subekti, Hukum Acara Perdata, 1982, Cetakan I, Bina Cipta. Soepomo, 1989, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Cetakan 4, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Aacara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Taufik Makarao, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT. Renika Cipta, Jakarta. Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata HIR/RBG, Ghalia Indonesia, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur, Bandung. 97 BAB IV ASAS-ASAS HUKUM DAGANG Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kepada mahasiswa mampu memahami mengenai: Pengertian hukum dagang, sejarah hukum dagang, sumber-sumber hukum dagang, sistematika hukum dagang, hubungan hukum perdata dengan KUHD, perantara dalam hukum dagang, pengangkutan, asuransi, persekutuan dagang, dan koperasi. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan pengertian hukum dagang. 2. Menjelaskan sejarah hukum dagang. 3. Sumber-sumber hukum dagang. 4. Menjelaskan sistematika hukum dagang. 5. Menjelaskan hubungan antara hukum perdata dengan hukum dagang. 6. Menjelaskan perantara dalam hukum dagang. 7. Menjelaskan hukum pengangkutan. 8. Menjelaskan hukum asuransi. 9. Menjelaskan hukum persekutuan dagang, dan 10. Menjelaskan hukum koperasi. 98 A. Pengertian Hukum Dagang Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan.28 Dapat juga dikatakan, bahwa hukum dagang ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu sama lain, dalam lapangan perdagangan. Hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatanperikatan itu ada yang bersumber dari perjanjian dan ada yang bersumber dari undang-undang. Yang bersumber dari perjanjian misalnya pengangkutan, asuransi, jual beli perusahaan, makelar, komisioner, wesel, cek dan lain-lain. Yang bersumber dari undang-undang, misalnya tubrukan kapal dan lain-lain. Jadi hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. B. Sejarah Hukum Dagang Dalam abad pertengahan ketika bangsa Romawi sedang mengalami masa keemasan, maka hukum Romawi pada waktu itu sempurna, banyak digunakan di berbagai negara. Byzantium sebuah kota di Italia menjadi pusat perniagaan. Dalam perniagaan yang semakin ramai itu timbullah hal-hal yang tidak dapat lagi diselesaikan dengan hukum Romawi itu. Soal-soal dagang dan perselisihan antara para pedagang terpaksa harus diselesaikan oleh mereka sendiri. Untuk keperluan itu mereka membentuk badan-badan yang harus mengadili sengketa antara para pedagang, selain itu badan-badan tersebut membuat pula 28 C.S.T. Kansil dan Chrstine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Pengetahunan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafuka, Jakarta, hlm. 20. 99 peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pedagang. Dengan demikian lambat laun timbullah peraturan-peraturan khusus mengenai dagang. Atas perintah Napoleon, maka hukum yang berlaku bagi pedagang itu dibukukan dalam sebuah buku Code de Commerce (Tahun 1807). Di samping itu disusun kitab-kitab lainnya, yakni: Code Civil adalah yang mengatur hukum sipil. Code penal ialah yang menentukan hukum pidana. Ketiga buku itu dibawa dan berlaku di Negara Belanda dan akhirnya di bawa ke Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code de Commerce berlaku di Negeri Belanda yang pada waktu itu menjadi jajahannya. Setelah merdeka kembali pada tanggal 1 Oktober 1938, Belanda berhasil mengubah Code de Commerce menjadi Wetbook van Koophandel. Dan pada Tahun 1847 berlaku pula di Indonesia atas dasar concordantie (persamaan) dan disebut kitab undang-undang hukum dagang (KUHD). Pada waktu itu WvK hanya berlaku bagi orang Tionghoa dan orang asing lainnya. Sedangkan bangsa Indonesia tetap tunduk kepada hukum adat, kecuali atas kehendak sendiri mereka tunduk kepada WvK. Pada mulanya WvK itu terdiri dari tiga buku, kemudian menjadi dua buku setelah peraturan kepailitan (pailisemen) tidak lagi diatur dalam WvK, tetapi diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah Tahun 1905 dan berlaku pada tanggal 1 Nopember 1906. Sejak peraturan baru ini diadakan, tidak hanya seorang pedagang yang dapat pailit, tetapi setiap orang. Sebelum Tahun 1938, hukum dagang hanya mengikat pedagang saja, dan pedagang sajalah yang dapat melakukan perbuatan dagang. Misalnya menandatangani aksep wesel atau mengadakan pailit. Tetapi sejak Tahun 1938, perbuatan dagang diganti oleh perbuatan perusahaan. Dengan demikian artinya menjadi lebih luas, maka WvK itu berlaku bagi setiap pengusaha. Menurut hukum, yang dimaksudkan dengan pengusaha ialah mereka yang melakukan sesuatu untuk 100 mencari keuntungan dengan menggunakan lebih banyak modal daripada tenaga kerja.29 C. 1. 2. 3. 4. 5. Sumber-Sumber Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Kebiasaan. Yurisprudensi. Peraturan-peraturan tertulis lainnya. Peraturan itu antara lain Undang-Undang Bentuk Bentuk Usaha Negara, Undang-Undang Merek, Undang-Undang tentang Kadin, Undang-Undang tentang Perindustrian, Koperasi, dan lain-lain. Kalau kita melihat pada UUDS (1950) pernah disebut beberapa lapangan hukum yang ada di Indonesia yaitu dalam Pasal 102 dan 108. Dalam Pasal 102 disebutkan: a. Hukum Perdata dan Hukum dagang. b. Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer. c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana. Pasal 108 menyebut pula Hukum Tata Usaha. Namun ke dua pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum di Indonesia, sehingga tidak disebut secara lengkap semua lapangan hukum. 30Pasal 102 hanya menyebutkan lapangan-lapangan hukum yang harus dikodifikasikan, sementara Pasal 108 hanya menentukan siapa yang harus menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai hukum tata usaha. 29 R. Djatmiko. D, 1996, Pengantar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa, Bandung, hlm. 32. 30 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.177. 101 D. Sistematika Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terdiri atas dua buku. Buku kesatu terdiri atas 10 bab dan berjudul : Tentang Dagang pada Umumnya. Bab I : Tentang pedagang-pedagang dan perbuatan dagang (telah dihapuskan). Bab II : Tentang pemegangan buku. Bab III : Tentang beberapa jenis perseroan. Bab IV : Tentang bursa barang, makelar, dan kasir. Bab V : Tentang komisioner, ekspeditur, pengangkut, dan tentang juragan-juragan perahu yang melalui sungai dan perairan darat. Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order. Bab VII : Tentang cek, tentang promes, dan tentang kuintansi kepada pembawa (aan tonder). Bab VIII : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan. Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya. Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipanen, dan pertanggungan jiwa. Buku kedua Tentang Hak dan Kewajiban yang Terbit dari Pelayaran. Bab I : Tentang kapal laut dan muatannya. Bab II : Tentang pengusaha kapal dan perusahaan-perusahaan perkapalan. Bab III : Tentang nahkoda, anak kapal, dan penumpang. Bab IV : Tentang perjanjian kerja laut. Bab V : Tentang pencarteran kapal. Bab VA : Tentang pengangkautan barang. 102 Bab VB Bab VI Bab VII : : : Bab VIII : Bab IX : Bab X : Bab XI Bab XII : : BAB XIII : Tentang pengangkutan orang. Tentang penubrukan. Tentang pecahnya kapal, pendamparan, dan ditemukannya barang-barang di laut. Dihapuskan (menurut Stb. 1933 No. 37 jo. Stb. 1938 No. 2 yang mulai berlaku 1 April 1938). Tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan dan terhadap bahaya pembudakan. Tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai, dan di perairan darat. Tentang kerugian laut (avary) Tentang berakhirnya perikatan-perikatan dalam perdagangan di laut. Tentang kapal dan perahu yang melalui sungai dan perairan darat. E. Hubungan Hukum Perdata Dengan KUHD Hukum Dagang adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi terhadap perbuatan manusia di dalam usaha mereka untuk menjalankan perdagangan.31 Hukum Privat Eropa dibagi dalam hukum perdata dan Hukum Dagang. Pembagian ini tidak merupakan pembagian yang bersifat asasi, hanya berdasarkan dari riwayat Hukum Dagang saja. Pembagian Hukum Privat menjadi Hukum Dagang dan Hukum Perdata tidak bersifat asasi dapat dibuktikan dari: 1) Pasal 1 KUHD yang menyebutkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh daripadanya dalam kitab itu tidak khusus 31 Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105. 103 diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini. 2) Perjanjian jual beli yang penting dalam Hukum Dagang tidak ditetapkan dalam KUH Perdata. 3) Asuransi yang penting bagi persoalan perdata ditetapkan dalam KUH Dagang. Dulu peraturan-peraturan yang termuat dalam Wetboek van Koophandel hanya berlaku bagi “pedagang” saja, misalnya hanya pedagang saja yang dapat dinyatakan pailit dan menandatangani wesel. Akan tetapi, sekarang WvK berlaku juga bagi setiap orang, meskipun bukan pedagang, sebagaimana BW juga berlaku bagi setiap orang termasuk pedagang. F. Perantara Dalam Hukum Dagang Pada zaman modern ini, perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal pembelian dan penjualan. Adapun pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan, seperti: 1) Pekerjaan perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang keliling, dan sebagainya. 2) Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas, baik di darat, laut dan udara. 3) Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup risiko pengangkutan dengan asuransi. Di dalam pekerjaan perantara ini ada agen, makelar dan ada pula komisioner. 104 1. Agen Perusahaan Agen perniagaan adalah orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara dengan pihak ketiga. Orang ini mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha dan mewakilinya untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungan dengan pengusaha bukan hubungan perburuhan, dan bukan juga hubungan pelayanan berlaka. Bukan hubungan perburuhan, karena hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha tidak bersifat subordinasi, bukan hubungan seperti majikan dengan buruh, tetapi hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, jadi sama tinggi sama rendah. Hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha bersifat tetap. Karena agen perusahaan juga mewakili pengusaha, maka di sini juga ada hubungan pemberian kuasa.32 2. Makelar Menurut pengertian undang-undang, seorang makelar pada pokoknya adalah seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan berbagai perjanjian. Makelar mempunyai ciri khusus, yaitu: a) Makelar harus mendapat pengkatan resmi pemerintah cq Menteri Kehakiman (Pasal 2 ayat 1 KUHD); b) Sebelum menjalankan tugasnya, makelar harus bersumpah di muka Ketua Pengadilan Negeri, bahwa ia akan menjalankan kewajibannya dengan baik (Pasal 62 ayat 2 KUHD). 32 H.M. N. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 47. 105 Mengenai makelar ini diatur dalam KUHD, Buku I dari Pasal 62 sampai dengan Pasal 72, dan menurut Pasal 62 ayat (1) makelar mendapatkan upahnya yang disebut provisi atau courtage. Sebagai perantara atau pembantu pengusaha, makelar mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha (Pasal 62 ayat 1). Hubungan ini sama halnya dengan pengacara, tetapi lain dengan hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha. Adapun sifat hukum dari hubungan tersebut adalah campuran, yaitu sebagai pelayan belaka dan pemberian kuasa. Karena makelar adalah suatu jabatan yang diakui oleh undang-undang dan tugasnya juga ditentukan oleh undang-undang, maka dia mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil. Tanggung jawab mengenai kemungkinan timbulnya kerugian berdasarkan perbuatan makelar. Bila kerugian itu timbul, maka makelar wajib mengganti kerugian. Tanggung jawab ini juga mengenai perbuatan makelar: a) Dalam perjanjian jual beli atas contoh, maka makelar diharuskan menyimpan contoh itu sampai pada saat perjanjian telah selesai dilaksanakan seluruhnya (Pasal 69 KUHD); b) Dalam perjanjian jual beli wesel atau surat berharga lainnya, maka makelar harus menanggung sahnya tanda tangan penjual, agar pembeli jangan merugi disebabkan debitur wesel tidak mau membayar wesel karena tanda tangan penjual (andosan) itu palsu (Pasal 70 KUHD). 3. Komisioner Komisioner adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan membuat perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri, mendapat provisi atas perintah atau atas pembiayaan orang lain (Pasal 76). Menurut Yulies Tiena Masriani, komisioner adalah perantara yang berbuat atas perintah dan atas tanggungan orang lain dan juga 106 mendapat upah, namun bedanya dengan makelar ia bertindak atas namanya sendiri. Suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang komisioner mengikat dirinya sendiri terhadap pihak ketiga.33 Adapun ciri-ciri khas komisioner, ialah: a) Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagai halnya makelar; b) Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas namanya sendiri (Pasal 76 KUHD); c) Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebut namanya komiten (Pasal 77 ayat 1 KUHD). Dia di sini menjadi pihak dalam perjanjian (Pasal 77 ayat 2 KUHD). d) Tetapi komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi kuasanya (Pasal 79). Dalam hal ini maka dia tunduk pada Bab XVI, Buku III KUH Perdata tentang pemberian kuasa mulai Pasal 1972 dan seterusnya. Pada umumnya komisioner itu membuat perjanjian atas namanya sendiri (Pasal 76 KUHD). Tetapi menurut Pasal 79 KUHD, komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi kuasanya, dalam hal ini komisioner tunduk pada peraturan mengenai pemberian kuasa, yaitu Pasal 1792 KUH Perdata. Jadi dapat dikatakan bagi komisioner “berbuat atas nama sendiri” itu adalah sifat umum, sedang “berbuat atas nama pemberi kuasa” adalah sifat khusus. Hal ini adalah kebalikan dari pada makelar, pada mana “berbuat atas nama pemberi kuasa” adalah sifat umum, sedangkan “berbuat atas nama sendiri” adalah hal yang khusus. Dasar hukum hal yang terakhir ini bukanlah pasal dari undang-undang, tetapi jurisprudensi, yaitu keputusan H.G. H. Tanggal 31 Mei 1933.34 33 34 Yulies Tiena Masriani, Op. Cit, hlm. 106. H.M. N. Purwosutjipto, Op. Cit, hlm. 454. 107 Telah diketahui bahwa perjanjian komisi adalah perjanjian antara komisioner dengan komiten, dimana komisioner mengikatkan diri untuk melaksanakan perintah komiten, sedang komiten mengikatkan diri untuk membiayai pelaksanaan perjanjian itu dan membayar provisi kepada komisioner. Dalam perjanjian itu komisioner mengikatkan diri untuk melaksanakan perintah komiten atas biayanya. Di sinilah letak tanggung jawab komisioner. Komisioner harus melaksanakan perjanjian komisi itu dengan sebaikbaiknya. Dia bertanggung jawab kepada komiten bila pemberian kuasa itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Malahan menurut Pasal 1800 ayat (1) KUH Perdata, komisioner bertanggung jawab untuk biaya, kerugian dan bunga yang mungkin timbul karena tidak berprestasinya debitur. Dari itu Pasal 1802 KUH Perdata mengharuskan komisioner memberikan pertanggungjawaban selekas mungkin kepada pemberi kuasa, yaitu komitmen. G. Pengangkutan Pengangkutan adalah perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari suatu tempat lain, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos. Menurut undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, ia tidak perlu mengusahakan alat pengangkutannya. Pengangkutan melalui laut mengenal suatu surat berharga yang disebut konosemen, yaitu sepucuk surat yang bertanggal dan ditandatangani oleh nakhoda atau pegawai maskapai pelayaran atas nama si pengangkutan (maskapai pelayaran). Di dalam Hukum Dagang, di samping konosemen masih dikenal surat berharga yang lain, misalnya cheque dan wesel yang 108 sama-sama merupakan perintah membayar. Namun, keduanya juga mempunyai perbedaan, yaitu: 1) cheque melulu sebagai alat pembayaran; 2) wesel, di samping sebagai alat pembayaran, juga berfungsi lain sebagai barang dagangan, sebagai alat penagihan, ataupun sebagai pemberian kredit. H. Asuransi Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda “assurantie”, yang sama dengan istilah “assurance” dalam bahasa Perancis. Selain istilah asurantie, dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah “verzekering”, yng diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pertanggungan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah “insurance” dan “asurance”, dimana dengan istilah pertama lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi kerugian, sedangkan istilah yang disebut belakangan lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi jiwa. Mengenai pemakaian istilah untuk bidang ilmu ini, di negeri kita belum ada keseragaman, ada yang mempergunakan istilah pertanggungan, ada pula yang memakai istilah asuransi. Beberapa pengarang seperti ibu Emy Pangaribuan Simanjuntak, Santoso Poedjosoebroto, HMN Purwositjipto dan Abdulkadir Muhammad menggunakan istilah pertanggungan. Sementara yang lain, misalnya Wiryono Prodjodikoro, JE Kaihatu, H. Gunanto dan Ny Sri Redjeki Hartono, memakai istilah asuransi. Dalam peraturan perundang-undangan juga terdapat pemakaian istilah yang tidak seragam. Beberapa diantaranya memakai istilah asuransi, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1963 tentang Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Sedangkan yang memakai istilah pertanggungan, misalnya Undang- 109 undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Meskipun judul bukunya diberi istilah pertanggungan, namun Santoso Poedjosoebroto tidak membedakan kedua istilah tersebut di atas dan mengatakan asuaransi adalah sinonim dengan pertanggungan. Demikian juga Ny Sriredjeki Hartono mempergunakan istilah-istilah asuransi dan pertanggungan secara bersamaan. HMN Poerwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia juga menggunakan istilah asuransi dan pertanggungan tersebut dalam pengertian yang sama. Oleh karena itu, meskipun dalam judul tulisan ini diberi istilah asuransi, namun dalam uraiannya, di samping istilah asuransi juga dipergunakan istilah pertanggungan dalam pengertian yang sama sebagai terjemahan dari istilah assurantie dan verzekering dalam bahasa Belanda. Dari istilah pertanggungan, tercipta istilah penanggung (assuradeur atau verzekeraar), sedangkan tertanggung (geassureerde atu vezekerde, dan dipertanggungkan yang sama dengan istilah diasuransikan (geassureed atau vezekerd). Definisi (perumusan otentik) dalam asuransi termuat dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang menentukan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah sutatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinnya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti. Jika ditilik secara cermat, ternyata definisi asuransi yang tercantum dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang ini hanya cocok untuk satu golongan asuransi saja, yaitu asuransi kerugian. Sedangkan untuk golongan asuransi sejumlah uang, seperti 110 asuaransi jiwa dan golongan asuaransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, seperti asuaransi Tanggung Jawab Hukum Kenderaan Bermotor, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Oleh karena itu dalam Undang-undang tentang Usaha Perasuransian (UU Nomor 2 Tahun 1992) dianggap perlu untuk memberikan suatu definisi yang lebih lengkap, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (1), yaitu: Asuaransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penangggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuaransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Walaupun dalam defenisi tersebut di atas seolah-olah hanya terdapat satu pihak saja, yaitu penaggung yang terikatat, tetapi bila dikaji maksud sebenarnya dari perumusan itu, maka pihak tertanggung juga terikat untuk melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Oleh karena itu darti definisi tersebutdapat diperoleh adanya 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: 1. Pihak tertanggung, yang berjanji membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau berangsur-angsur; 2. Pihak penanggung, yang berjanji akan membayar sejumlah uang atau ganti kerugian kepada pihak tertanggung sekaligus atau berangsur-angsur, kalau terlaksana unsur ketiga, yaitu; 3. Suatu peristiwa yang semula belum pasti akan terjadi dan yang menimbulkan kerugian bagi tertanggung. 111 Pada hakikatnya, semua asuransis bertujuan untuk menciptakan suatu kesiap-siagaan dalam menghadapi berbagai risiko yang dapat mengancam kehiupan manusia. Terutama risiko terhadap kehilangan atau kerugian yang membuat orang secara sungguh-sungguh memikirkan cara-cara yang paling aman untuk mengatasinya. Untuk mengatasi risiko-risiko yang sewaktu-waktu menimpa dalam kehidupannya, orang-orang yang menempuh cara-cara yang berbeda. Jika kerugian itu dapat diduga, mungkin saja dihindari dengan menerapkan cara-cara pencegahan, dan dalam hal jumlah kerugian yang kecil, mungkin saja akan ditanggulanginya sendiri. Akan tetapi kesulitan akan timbul, apabila kerugian itu tidak dapat diduga sebelumnya dan dalam jumlah besar pula, sehingga tidak mampu dicegah atau dipikulnya sendiri. Dalam keadaan demikian, seseorang dapat hancur sama sekali. Jika bantuan dari masyarakat atau orang-orang sekelilingnya tidak ada. Sedangkan untuk masyarakat sebagai keseluruhan, kerugian yang demikian akan tidak seberat yang dirasakan oleh orang seseorang. Jelaslah kiranya, bahwa konsep (pengertian) yang paling umum dari asuransi adalah suatu kesepakatan dari sejumlah orang yang masing-masing berada dalam keadaan terancam bahaya yang sama, akibat suatu peristiwa yang tidak terduga, yang apabila benar-benar terjadi atas salah seorang diantara mereka, maka akan disumbangkan penggantinya oleh semua orang yang ada dalam kelempok itu. I. Persekutuan Dagang Dalam Hukum Dagang dikenal beberapa macam persekutuan dagang, antara lain sebagai berikut: 112 1. Perusahaan Perorangan/Usaha Dagang (UD) a. Pengertian Perusahaan Perorangan/Usaha Dagang (UD) yang merupakan bentuk usaha paling sederhana adalah usaha swasta yang pengusahanya satu orang. Yang dimaksud dengan pengusagha di sini adalah pemilik perusahaan. Modal atau investasi yang dimaksud dapat berupa uang, benda, atau tenaga (keahlian), yang semuanya bernilai uang. Kemungkinan, bahwa sering terjadi, di dalam operasionalisasi sebuah perusahaan perorangan melibatkan banyak orang. Orang-orang tersebut merupakan pekerja atau buruh, sedangkan pengusaha atau pemilik perusahaan jumlahnya tetap tunggal. Artinya, yang bertanggung jawab menanggung risiko, dan menikmati keuntungan hanya satu orang saja, sedangkan yang lainnya adalah orang yang bekerja di bawah pimpinan pengusaha dengan menerima upah. Bentuk usaha perorangan mempunyai kelebihan dalam hal pengambilan keputusan dan bertindak cepat untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Kelemahannya adalah dari segi pengumpulan modal yang besar untuk menghadapi berbagai persaingan dan peluang bisnis. b. Pengaturan Belum terdapat pengaturan yang resmi dalam suatu perundangundangan khusus tentang usaha dagang. Namun dalam praktik keberadaannya diakui masyarakat. Berbagai perundang-undangan di bidang perpajakan, perizinan, dan lain-lain juha menyebutkan adanya bentuk usaha tersebut walaupun tidak mengaturnya secara terperinci. Oleh karena itu, sumber hukumnya adalah kebiasaan dan jurisprudensi. Di luar negari bentuk usaha dagang tersebut juga diakui keberadaannya, sebagai one man corporation. Di Inggris dinamakan sole proprietorship. 113 c. Pendirian Karena belum diatur dalam undang-undang, maka teta cara pendirian usaha dagang ini cukup sederhana. Tidak ada keharusan untuk membuat dalam bentuk tertulis dengan akta notaris. Dalam hal ini diserahkan pada pengusaha itu untukmenentukan sendiri apakah cukup didirikan secara lisan, dengan akta di bawah tangan, atau dengan akta notaris (akta otentik). Walaupun demikian, dalam praktik usaha dagang seringkali didirikan dengan membuat akta notaris. Pendirian dengan akta notaris ini memang lebih baik untuk kepentingan pembuktian. Setelah usaha dagang terbentuk dengan atau tanpa akta notaris, terdapat beberapa kewajiban hukum lainnya yang harus dilakukan pengusaha supaya dapat beroperasi di lapangan. Kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut 1) Memperoleh Tanda Dafrar Perusahaan (TDP) pada Departemen Perisdustrian dan Perdagangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, kecuali untuk perusahaan perorangan kecil sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut; 2) Memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Surat Izin Usaha Industri, sesuai dengan bidang usahanya, pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan sebagaimana diatur di dalam peraturan perundangan perizinan usaha; 3) Memperoleh Surat Izin Tempat Usaha (SITU) melalui pemerintah daerah setempat sesuai dengan peraturan daerah di lokasi usaha; 4) Memperoleh izin berdasarkan Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie/HO Stb. 1926 Nomor 226) atau melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan lingkungan hidup. HO dan AMDAL hanya diperlukan untuk bidang usaha tertentu yang dapat 114 membahayakan lingkungan, sebagaimana perundang-undangan yang berkaitan dengan itu. diatur dalam d. Tanggung Jawab Pengusaha yang mendirikan usaha dagang bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala risiko usaha dan terhadap pihak kreditur perusahaan. Hal ini berbeda dengan persekutuan atau badan usaha yang tanggung jawabnya dipikul oleh lebih dari seorang. 2. Persekutuan Firma (Fa) a. Pengertian Firma merupakan persekutuan. Dikatakan persekutuan karena pengusahanya merupakan sekutu (partner) yang lebih dari satu orang. Firma adalah setiap persekutuan yang didirikan untuk menjalankan perusahaan di bawah satu nama bersama dan bertanggung jawab secara tanggung menanggung.35 Kelebihan firma dibandingkan usaha dagang adalah dalam pengumpulan modal, sedangkan kelemahannya pada penonjolan kemampuan pribadi para pengusaha dan para kepemimpinan atau kepemilikan ganda yang membuka kemungkinan timbulnya perselisihan.36 b. Pengaturan Firma diatur dalam KUHD Pasal 16 sampai dengan Pasal 35. Di samping itu, terdapat pula beberapa ketentuan yang relevan di dalam KUH Perdata, antara lain ketentuan tentang persekutuan perdata dan perikatan. 35 36 M. Naztzir Said, 1987, Hukum Perseroan, Alumni, Bandung, hlm. 116-117. Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 29. 115 c. Pendirian Walaupun dalam praktek, firma selalu dibuat dengan akta notaris, dalam Pasal 22 KUHD tidak diharuskan demikian, artinya dapat juga dibuat dengan akta di bawah tangan, bahkan secara lisan. Akta pendirian tersebut harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan melalui Berita Negara. Apabila pembuatan akta, pendaftaran, dan pengumuman selesai dilakukan, Firma tersebut telah berdiri dan untuk menjalankan operasi bisnis masih perlu melengkapi dengan beberapa izin dan persyaratan lainnya sebagaimana telah diuraikan pada usaha dagang, antara lain daftar perusahaan. SIUP/SII, SITU, dan HO atau AMDAL. d. Tanggung Jawab Setiap sekutu firma dapat melakukan perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk dan atas nama perseroan, tanpa perlu adanya surat kuasa khusus dari sekutu lainnya. Misalnya, Firma ABC yang sekutunya terdiri dari A, B dan C, maka semuanya dapat bertindak ke luar atas nama atau untuk kepentingan firma ABC tersebut. Apabila seorang saja bertindak, katakanlah A, maka secara hukum juga mengikat B dan C. Artinya pihak ketiga, misalnya D, apabila merasa dirugikan oleh A ia dapat menggugat baik A, B maupun C sendiri-sendiri atau ketiganya di pengadilan. Tanggung jawab demikian dinamakan tanggung jawab renteng atau tanggung jawab tanggung menanggung atau tanggung jawab solider. Harta kekayaan yang dapat digugat tidak terbatas hanya pada harta kekayaan perusahaan Firma saja, tetapi meliputi juga harta kekayaan pribadi masing-masing pengusaha tersebut. 116 3. Persekutuan Komanditer/Commanditaire Vennottchap (CV) a. Pengertian CV merupakan persekutuan terbuka yang terang-terangan menjalankan perusahaan, yaitu di samping satu orang atau lebih sekutu biasa yang bertindak sebagai pengurus, mempunyai satu orang atau lebih sekutu diam yang bertanggung jawab atas jumlah pemasukannya.37 CV merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk usaha Firma. Di dalam CV ini masih terdapat ciri dari Firma yang melekat pada sekutu pengurus (sekutu komplementer atau sekutu aktif). Sedangkan unsur tambahan pada CV yang berbeda dengan Firma adalah pada munculnya sekutu diam (sekutu komanditer atau sekutu pasif). Sekutu diam (sleeping partner) ini tidak dikenal pada Firma. Kelebihan CV justru pada adanya sekutu diam tersebut yang menyebabkan CV lebih fleksibel karena tersedianya sarana bagi pemodal untuk berinvestasi di dalam pembentukan CV, sementara yang bersangkutan sendiri tidak perlu bertindak sebagai pengurus, cukup sebagai sekutu diam saja. Pada Firma semua sekutunya merupakan pengurus sama dengan sekutu aktif (active partner) pada CV. Bentuk usaha CV ini merupakan suatu bentuk peralihan yang berada antara Firma dan Perseroan Terbatas. Dalam CV terkandung, baik ciri Firma maupun ciri Perseroan Terbatas sampai pada tingkat teretntu. b. Pengaturan CV secara khusus diatur dalam Pasal 19, 20, dan Pasal 21 KUHD. Sama halnya dengan Firma, di samping ketentuan khusus tersebut, 37 M. Naztzir Said, Op. Cit, hlm. 189. 117 berlaku juga ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata, yaitu tentang persekutuan perdata dan perikatan. c. Pendirian Di dalam KUHD tidak diatur secara khusus bagaimana prosedur mendirikan sebuah CV. Oleh karena itu, prosedur pendirian firma dapat diikuti secara analogi, yaitu tidak ada kewajiban untuk membuat dalam bentuk akta notaris (lisan pun boleh), kemudian didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumummkan dalam berita negara melalui percetakan negara di Jakarta. Sama halnya dengan Firma, CV adalah persekutuan yang melibatkan lebih dari satu orang pengusaha. Oleh karena itu, pendiriannya harus melalui pembuatan perjanjian pendirian meskipun secara lisan. Pembuatan perjanjian ini tunduk pada aturan hukum perjanjian. Perjanjian inilah yang kemudian didaftarkan dan diumumkan. Setelah pendirian tersebut selesai, pengusaha harus mendaftarkan perusahaan pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan sesuai dengan undang-undang tentang wajib daftar perusahaan dan mengurus berbagai macam perizinan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. d. Tanggung Jawab Sebagaimana dijelaskan bahwa di dalam CV ini terdapat dua macam sekutu, yaitu sekutu aktif yang di samping menanamkan modal ke dalam perusahaan juga bertugas mengurus perusahaan dan sekutu pasif atau sekutu diam yang hanya menyertakan modal, tetapi tidak terlibat di dalam pengurusan perusahaan. Akibatnya, terdapat juga dua macam tanggung jawab sekutu CV. 118 Sekutu aktif bertanggung jawab tidak saja terbatas pada kekayaan CV, tetapi juga kekayaan pribadi (kalau diperlukan). Di sini persis sama dengan sekutu pada sebuah Firma. Lain hlnya dengan sekutu pasif yang hanya bertanggung jawab terbatas pada modal yang dimasukkan saja.38 4. Perseroan Terbatas (PT) b. Pengertian Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) ditentukan bahwa PT adalah “badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Dari defunisi di atas, dapat dipahami bahwa PT adalah suatu badan hukum. PT berbeda dengan Usaha Dagang, Firma, CV yang bukan badan hukum. Sebagai badan hukum dalam PT terdapat pemisahan kekayaan milik perusahaan dengan milik pribadi pengusaha. Di samping itu, sebagai badan hukum PT wajib mendapatkan pengesahan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Bentuk usaha yang bukan badan hukum tidak memiliki kewajiban demikian. Dalam pengertian tersebut juga disebutkan bahwa PT didirikan berdasrkan perjanjian. Maksudnya PT bukanlah perusahaan perorangan seperti Usaha Dagang, tetapi sama halnya dengan Firma dan CV didirikan oleh lebih dari satu orang. Untuk mendirikan sebuah PT paling kurang harus terdapat dua orang pengusaha. Banyaknya 38 Sanusi Bintang dan Dahlan, Op. Cit, hlm. 32. 119 pengusaha yang terlibat dalam sebuah PT memungkinkan adanya akumulasi modal yang lebih banyak, yang merupakan ciri PT yang membedakan dengan badan hukum lain seperti koperasi. Pada sebuah PT modalnya dibagi ke dalam saham-saham (shares, stocks). Para pemegang saham inilah pengusaha PT tersebut. Terdapat dua macam PT, yaitu PT tertutup yang disingkat PT, merupakan perseroan terbatas yang modalnya dimiliki oleh pemegang saham yang masih saling mengenal satu sama lainnya. Misalnya anggota keluarga, sahabat, kenalan, dan tetangga yang pendiriannya tunduk pada UUPT. Di samping itu, PT terbuka yang pada nama perusahaannya memakai singkatan PT (pada awal) dan Tbk (pada akhir) nama PT tersebut. Dalam PT terbuka pemegang sahamnya sudah tidak saling mengenal lagi. Bahkan, sampai melintasi batas negara. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa PT terbuka adalah “Perseroan Publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentua peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”. Pendirian PT terbuka, di samping harus memenuhi ketentuan UUPT dan peraturan pelaksanaannya, juga ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Namor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) dan peraturan pelaksanaannya. PT merupakan bentuk usaha yang paling luwes dan ideal dalam rangka memupuk keuntungan, namun terdapat juga kelemahannya yaitu kemungkinan adanya spekulasi, manipulasi, dan kecerobohan pengelolaan.39 39 Ibid, hlm. 34. 120 c. Pengaturan Dahulu PT diatur dalam KUHD, yaitu dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pengaturan yang hanya 21 pasal tersebut tentunya tidak cukup menampung berbagai aspek PT yang sudah demikian berkembang akibat perkembangan perekonomian dan dunia usaha. Oleh karena itu, dikeluarkanlah UUPT yang menggantikan ketentuan dalam KUHD tersebut. Khusus untuk PT terbuka di samping UUPT berlaku juga Undangundang Republik Indoenesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). d. Pendirian PT didirikan melalui beberapa tahapan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan di dalam UUPT, sebagai berikut: 1) Pembuatan Akta Notaris Para pengusaha yang ingin mendirikan PT terlebih dahulu datang ke kantor notaris untuk membuat akta pendirian PT. Akta pendirian merupakan suatu perjanjian antara para pendiri PT tersebut. Isinya ditentukan sendiri oleh para pendiri, yang kemudian dituangkan notaris dalam suatu format khusus yang disediakan untuk itu sesuai dengan UUPT. Menurut Pasal 8 UUPT akta pendirian PT memuat anggaran dan keterangan lain sekurang-kurangnya: a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri; b) Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris yang pertama kali diangkat, dan kewarganegaraan direksi dan komisaris pertama kali diangkat; dan 121 c) Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham serta perincian jumlah saham dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian. Sedangkan Anggaran Dasar sendiri sekurang-kurangnya berisi: a) Nama dan tempat kedudukan perseroan; b) Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku; c) Jangka waktu berdirinya perseroan; d) Besarnya jumlah modal dasar, modal yang ditempatkan dan modal yang disetor; e) Jumlah saham, jumlah klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi , hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f) Susunan, jumlah dan nama anggota direksi dan komisaris; g) Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h) Tata cara pemilihan, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi dan komisaris; i) Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen; dan j) Ketentuan-ketentuan lain menurut UUPT. 2) Pengesahan Menteri Kehakiman Akta notaris yang telah dibuat tersebut kemudian dikirim ke Jakarta untuk mendapatkan pengesahan Menteri Kehakiman dalam rangka memperoleh status badan hukum. Badan hukum PT tersebut baru diperoleh setelah adanya pengesahan dair Menteri Kehakiman. Dalam Pasal 9 UUPT disebutkan bahwa Menteri Kehakiman akan memberikan pengesahan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya permohonan pengesahan PT, lengkap dengan lampiran- 122 lampirannya. Jika permohonan ditolak, Menteri Kehakiman memberitahukan kepada pemohon secara tertulis disertai dengan alasannya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari itu juga. 3) Pendaftaran Wajib Akta pendirian/anggaran dasar PT secara lengkap disertai SK pengesahan dari Menteri Kehakiman kemudian wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pengesahan PT atau tanggal diterimanya laporan. 4) Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN) Apabila pendaftaran dalam daftar perusahaan telah dilakukan, berikutnya direksi mengajukan permohonan pengumuman perseroan di dalam TBN dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran tersebut. Pendirian PT telah selesai dengan dilakukannya pengumuman, berikutnya perlu diselesaikan berbagai perizinan sesuai dengan perundang-undangan perizinan yang berlaku, seperti juga pada pendirian bentuk usaha lainnya. e. Tanggung Jawab Pada sebuah PT, pengusahanya adalah para pemegang saham. Para pemegang saham itu bertanggung jawab terbatas sebesar saham yang dimasukkannhya ke dalam PT. Tanggung jawab terbatas demikian sebenarnya tercermin dari nama bentuk usaha PT sendiri, yaitu perseroan terbatas. Kata “terbatas” menunjukkan adanya tanggung jawab pemegang saham yang terbatas pada modal yang dimasukkan. 123 Dalam UUPT ketentuan tanggung jawab terbatas diatur Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya”. Adanya tanggung jawab terbatas demikian merupakan ketentuan umum, karena UUPT memberikan pengecualiannya dalam hal-hal tertentu. Menurut Pasal 3 ayat (2) UUPT sistem tanggung jawab terbatas tidak berlaku apabila: 1) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi 3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau 4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. J. Koperasi a. Pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dari definisi tersebut terdapat koperasi yang para anggotanya terdiri dari orang seorang yang disebut koperasi primer dan koperasi 124 yang beranggotakan badan-badan hukum koperasi yang disebut koperasi sekunder. Baik koperasi primer maupun koperasi sekunder merupakan badan hukum. b. Pengaturan Usaha koperasi (cooperative) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Undangundang tersebut dibuat mengacu terutama pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut ditambahkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Dan bentuk perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. c. Pendirian Untuk mendirikan sebuah koperasi primer dibutuhkan sekurangkurangnya 20 (dua puluh) orang sebagai anggota. Dan untuk mendirikan sebuah koperasi sekunder sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) koperasi. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, dibuat akta pendirian koperasi. Dalam akta pendirian termuat anggaran dasar koperasi yang sekurang-kurangnya berisi: 1) Daftar nama pendiri; 2) Nama dan tempat kedudukan; 3) Maksud dan tujuan serta bidang usaha; 4) Ketentuan mengenai keanggotaan; 5) Ketentuan mengenai rapat anggota; 6) Ketentuan mengenai pengelolaan; 125 7) Ketentuan mengenai permodalan; 8) Ketentuan jangka waktu berdirinya; 9) Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usahanya; dan 10) Ketentuan mengenai sanski. Akta pendirian tersebut diperlukan juga untuk mendapatkan pengesahan badan koperasi, yang perlu dimintakan secara tertulis kepada pemerintah. Untuk mendapatkan pengesahan status badan hukum koperasi, para pendiri mengajukan permintaan tertulis disertai atau pendirian koperasi. d. Perangkat Organisasi Perangkat organisasi koperasi terdiri dari rapat anggota, pengurus, dan pengawas. Rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam koperasi yang bertugas menetapkan antara lain anggaran dasar, pengurus dan pengawas, rencana kerja, dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU). Keputusan rapat anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat atau apabila tidak berhasil berdasarkan suara terbanyak. Dalam pemungutan suara setiap anggota mempunyai satu suara. Sedangkan hak suara pada koperasi sekunder diatur dalam anggaran dasarnya. Rapat anggota dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun. Pengawas dipilih dari/dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Pengurus bertugas antara lain mengelola koperasi dan usahanya, mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan anggaran pendapatan dan belanja koperasi, dan menyelenggarakan pembukuan, laporan keuangan, dan rapat anggota. Apabila diperlukan untuk pengelolaan usaha sehari-hari pengurus dapat menyangkut pengelola berdasarkan hubungan kerja atas dasar perikatan dan bertanggung jawab kepada pengurus. Pengangkatan pengelola demikian perlu mendapatkan persetujuan rapat anggota. 126 Pengawas juga dipilih dari/dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota yang tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Untuk itu, pengawas berwenang meneliti catatan yang ada pada koperasi dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan. Di samping itu, pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga. RANGKUMAN Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan Hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatanperikatan itu ada yang bersumber dari perejanjian dan ada yang bersumber dari undang-undang. Yang bersumber dari perjanjian misalnya pengangkutan, asuransi, jual beli perusahaan, makelar, komisioner, wesel, cek dan lain-lain. Yang bersumber dari undang-undang, misalnya tubrukan kapal dan lain-lain. Sumber-sumber hukum dagang adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kebiasaan, Yurisprudensi, dan peraturan-peraturan tertulis lainnya. Peraturan itu antara lain Undang-Undang Bentuk Bentuk Usaha Negara, UndangUndang Merek, Undang-Undang tentang Kadin, Undang-Undang tentang Perindustrian, Koperasi, dan lain-lain Pada zaman modern ini, perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal pembelian dan penjualan. Adapun pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan, seperti: 127 1. Pekerjaan perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang keliling, dan sebagainya. 2. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas, baik di darat, laut dan udara. 3. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi. LATIHAN 1. Jelaskan Jelaskan sistematika hukum dagang. 2. Jelaskan hubungan antara hukum dagang dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 3. Jelaskan pengertian agen dan bagaimana hubungan hukum antara agen dan pengusaha. 4. Jelaskan ciri-ciri dari makelar. 5. Jelaskan pengertian komisioner dan apa ciri-ciri dari komisioner. 6. Jelaskan pengertian asuransi dan sebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dikatakan asuransi. 7. Jelaskan penggolongan asuransi menurut ilmu pengetahuan dan apa perbedaaannya. GLOSSARIUM 1. Code de Commer adalah adalah hukum dagang yang berlaku bagi pedagang yang dibukukan dalam sebuah buku atas perintah raja Napolion 2. Code Civil adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku di Perancis. 3. Wetbook van Koophandel adalah kitab-undang hukum dagang yang berlaku di negeri Belanda. 128 4. Assurantie adalah istilah asuransi dalam bahasa Belanda. 5. Verzekering ialah istilah pertanggungan dalam bahasa Belanda DAFTAR PUSTAKA C.S.T. Kansil dan Chrstine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Pengetahunan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafuka, Jakarta. H.M. N. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta. M. Naztzir Said, 1887, Hukum Perseroan, Alumni, Bandung. R. Djatmiko. D, 1996, Pengantar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa, Bandung. Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 129 BAB V ASAS-ASAS HUKUM PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian Asas-asas hukum pidana, pembagian hukum pidana, tujuan dan fungsi hukum pidana, asas legalitas, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dan ilmu hukum pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum pidana 2. Mengungkapkan pengertian hukum pidana 3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum pidana 4. Menjelaskan arti asas legalitas 5. Menjelaskan ruang lingkup berlakunya hukum pidana A. Istilah Dan Pengertian Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “strafrecht”. Straf berarti = pidana dari recht berarti hukum. Straf itu sendiri secara hafiah berarti hukuman. Jika digabungkan keduanya akan berarti hukum hukuman. Istilah yang demikian dianggap tidak bisa menurut tata bahasa, maka istilah “hukum hukuman” itu diganti dengan hukum pidana. Hukum pidana dapat dibagi kedalam: 1. Hukum Pidana Obyektif (Ius Poenale) 2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Poeniendi). 130 Ad.1. Hukum Pidana obyektif (ius poenale) Hukum pidan obyektif adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan di mana terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. Hukum Pidana obyektif ini dibagi dua macam yaitu Hukum Pidana Material (Materiel Strafrecht) dan Hukum Pidana Formal (Formeel Strafrecht, Strafprosesrecht). Hukum Pidana Material adalah aturan hukum yang menentukan tentang: a. Perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana; b. Siapakah yang dapat dipidana, atau siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Jenis hukuman (pidana) apakah yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar undang-undang. Ketiga unsur dari Hukum Pidana Materiel tersebut harus ada dalam aturan hukum pidana material. Misalnya ketentuan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki dengan melawan hak, dihukum karena pencurian, dengan hukum penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4000,-.” Dari pasal ini maka terlihat unsur tersebut: a. perbuatan yang dilarang: mengambil barang milik orang lain; b. orang yang dapat dipidana: yang sengaja (dengan maksud) memiliki dengan melawan hak; c. pidana yang dijatuhkan: penjara selama-lamanya lima tahun atau denda Rp. 4000,Jika unsur-unsur ini tidak ada dalam peraturan tersebut maka aturan hukum itu, bukanlah merupakan aturan hukum pidana material. 131 Istilah hukum pidana material ini juga disebut dengan Hukum Pidana Substansial. Dalam pergaulan sehari-hari hukum pidana material disebut dengan hukum pidana. Hukum pidana material ini juga disebut dengan hukum pidana in abstracto. Artinya, hukum pidana dalam arti yang abstrak (tidak nyata), karena berlaku kepada semua orang, tidak tertentu orangnya; Hukum pidana (material) ini juga dibagi ke dalam pengertianpengertian sebagai berikut: a. Hukum pidana umum b. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi orang tertentu saja, seperti hukum pidana militer, hukum pidana fiskal (Pajak). c. Hukum pidana nasional, yaitu hukum pidana yang berlaku secara nasional. d. Hukum pidana lokal, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi daerah-daerah tertentu, seperti yang terdapat dalam peraturan daerah. e. Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang telah dibukukan dalam satu kitab undang-undang, seperti yang tercantum dalam KUHP. f. Hukum pidana yang tidak terkodifikasi, yaitu hukum pidana yang terdapat dalam peraturan hukum pidana di luar KUHP. Misalnya: Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Prosekutor Narkotika. Hukum pidana formal adalah keseluruhan aturan hukum yang menentukan cara bagaimana melaksanakan ketentuan hukum pidana material yang peristiwa-peristiwa yang konkrit. 132 Ad.2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Poeniendi) Hukum pidana subyektif adalah aturan hukum yang menentukan hak negara untuk menghukum orang. Hak negara untuk menghukum orang ini, menurut Prof. Satochit Kartanegara40, adalah: a. hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan pidana, hak ini ada di tangan pembuat undang-undang. b. Hak untuk menjatuhkan hukuman. Hak ini berada di tangan hakim, untuk menghukum orang yang terbukti bersalah. c. Hak untuk melaksanakan hukuman. Hak ini terletak di tangan jaksa, untuk melaksanakan putusan hakim. Sehubungan dengan hukum pidana (material), ada yang menyebutnya dengan hukum delik. Kata delik berasal dari delictum (Latin) yang dalam bahasa Belanda disebut dengan falen yang berarti perumusan sikap/perbuatan yang salah (gagal melaksanakan yang baik dan benar). Di samping istilah delictum, dalam bahasa Latin juga dikenal istilah crimen, yang berarti misdaad (Bld), sama dengan penyelewengan. Dari istilah ini maka dikenal istilah Criminal Law, yang digunakan dalam hukum Anglo Saxon. Hukum pidana (material) juga dinamakan dengan hukum sanksi. Dalam bahasa Belanda disebut dengan sanctie. Perkataan ini berasal dari bahasa Latin yakni sanctum yang dapat berarti positif atau negatif. Yang bersifat positif berarti hadiah atau anugerah, sedangkan dalam arti negatif berarti hukuman. B. Tujuan Hukum Pidana Wiryono Projodikoro 41 menulis tentang tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Di antara para sarjana ada 2 macam tujuan hukum pidana, yaitu: 40 Satochit,. 1955, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa. hlm. 5. 133 1. Untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generate preventie, maupun menakut-nakuti orang tertentu yang menjalankan kejahatan agar tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau 2. Untuk memperbaiki orang-orang yang sudah melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang baik kembali. Tujuan ini menurut Wiryono dapat disetujui sebagai tujuan sekunder. Tujuan primer adalah tujuan dari sanksi pidana adalah untuk penataan norma dalam hukum pidana sebagaimana tujuan dari sanksi administrasi dan sanksi perdata. C. Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, hukum pidana yang berlaku adalah hukum pidana adat, hukum yang tidak tertulis. Hukum pidana adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh Hukum Islam dan sebahagian berasal dari asli masyarakat Indonesia. Pada saat sekarang ini, hukum pidana adat ini boleh dikatakan hanya merupakan ilmu pengetahuan saja karena hukum ini tidak diberlakukan lagi. Namun demikian hukum pidana adat ini juga masih dapat diangkat sebagai hukum positif jika ada kesebandingannya dengan hukum pidana positif. Hal ini ditentukan oleh Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Pasal 5 (2) sub b. Hukum Pidana tertulis mulai dikenal di Indonesia sejak orang Belanda datang ke Indonesia. Sejak dahulu hukum yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia sebanyak mungkin dipersamakan dengan 41 Wirjono, 2000, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung. hlm. 34. 134 hukum yang berlaku di negeri Belanda, berdasarkan asas konkordanxsi (Pasal 131 (2) sub a). Pada masa VOC berlaku hukum pidana: 1. Hukum statuta yang termuat dalam statuta van Batavia 2. Hukum Belanda kuno 3. Asas-asas Hukum Romawi. Setelah VOC berakhir di Indonesia, pada masa Daendels berkuasa di Indonesia, pada tahun 1810, dibuat suatu peraturan mengenai hukum dan peradilan. Bagi orang Eropa berlaku Statuta Betawi Baru dan bagi orang pribumi berlaku hukum adat. Namun Gubernur Jenderal boleh mengubah sistem hukuman menurut hukum adat jika: a. hukuman tersebut tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan; b. hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara. Ada berbagai jenis pidana yang berlaku berdasarkan Plakat tanggal 22 April 1808, yaitu: 1) Dibakar hidup terikat pada suatu tiang; 2) Dibunuh dengan menggunakan keris; 3) Dicap bakar; 4) Dipukul dengan rantai; 5) Dipenjara; 6) Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum. Pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, Thomas Stanford Raffles mengadakan perubahan dalam hukum acara dan susunan peradilan umum dalam hukum material tetap berlaku hukum statuta bagi orang Eropa. Setelah Belanda berkuasa kembali di Indonesia, untuk sementara tetap memperlakukan hukum yang ada agar tidak terdapat kekosongan hukum namun tetap mempunyai kehendak untuk mengadakan kodifikasi yang berlaku di Indonesia. 135 D. Sejarah KUHP Dalam bidang hukum pidana juga terdapat dualisme hukum pada masa Hindia Belanda. Bagi golongan Eropa berlaku KUHP tersendiri berdasarkan Instruksi Raja Belanda tanggal 10 Pebuari 1866 No. 54 (S. 1866 No.55) yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1867. Terhadap orang pribumi dan timur asing diberlakukan pula satu KUHP tersendiri berdasarkan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 (S. 1872 No. 85) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1973. Kedua-dua KUHP tersebut merupakan jiplakan dari Code Penal Perancis yang berlaku di negeri Belanda pada permulaan abad XIX, ketika Kaisar Napoleon berkuasa. Pada tahun 1881 di negeri Belanda dibentuk KUHP baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) berdasarkan Instruksi raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915. KUHP ini berlaku efektif mulai 1 Januari 1918, dan berlaku untuk semua golongan penduduk. Mulai saat itu berakhirlah dualisme dalam hukum pidana di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, KUHP ini tetap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Kemudian pada tanggal 26 Pebruari 1946 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 sebagai penegasan tentang berlakunya KUHP tersebut di Indonesia. Pasal V UU ini menyebutkan: Peraturan hukum pidana yang seluruh atau sebahagian tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebahagian untuk sementara tidak berlaku. Atas dasar pasal ini maka dalam KUHP terdapat pasalpasal yang dihapuskan. Pasal VI, merubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht, dan disebut dengan KUHP. 136 Dengan adanya negara RIS, maka untuk negara-negara bahagian seperti Kalimantan Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur bahkan di Jakarta Raya tidak berlaku lagi ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Keadaan ini berlaku sampai dengan tahun 1950. Untuk adanya unifikasi hukum, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. E. Dasar Berlakunya Aturan Hukum Pidana Menurut CST Kansil42, dasar berlakunya aturan hukum pidana ditinjau dari 1 sudut yaitu dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif dilihat berdasarkan waktu sedangkan dari sudut positif, berdasarkan tempat. 1. Berdasarkan waktu Berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu adalah berdasarkan asas legalitas (legaliteit beginzel). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu. Di dalam ayat (2) dinyatakan: jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini mengharuskan: a. Ketentuan hukum pidana harus tertulis (asas kodifikasi). b. Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (asas retroaktif). c. Tidak berlaku analogi dalam aturan hukum pidana. 42 Kansil, CST. 1977, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Jakarta, PN Balai Pustaka. 72. 137 Menurut ketentuan tersebut, suatu perbuatan baru dapat dipidana jika ada aturannya terlebih dahulu dari perbuatan yang dilakukan. Aturan tersebut harus berupa undang-undang baik dalam arti formal maupun dalam arti material. Undang-undang hukum pidana tidak boleh berlaku surut artinya suatu aturan hukum pidana tidak boleh diberlakukan terhadap perbuatan yang telah dilakukan sebelum peraturan perundangundangan itu dibuat. Perkecualiannya disebut dalam ayat (2) Pasal 1 KUHP tersebut hanya terhadap perbuatan yang sebelumnya memang telah merupakan perbuatan pidana sebelumnya. Hanya saja ancaman pidana yang ada dalam undang-undang yang baru. Dalam hal yang demikian inilah undang-undang yang lama diterapkan terhadap terdakwa. Jika aturan yang baru tersebut ancaman pidananya lebih ringan atau perbuatan pidana tersebut bukan merupakan perbuatan pidana (tindak pidana) lagi maka ketentuan yang baru tersebut yang diterapkan. Asas tidak ada analogi dalam hukum pidana, artinya tidak boleh mempersamakan antara perbuatan yang ada diluar aturan hukum pidana dengan perbuatan yang ada dalam aturan hukum pidana. Misalnya perbuatan mencaci atau mengupat merupakan perbuatan jahat menurut Agama Islam dan diancam dosa bagi yang melakukannya. Namun perbuatan ini tidak diatur dalam aturan hukum pidana positif, oleh karena itu ia tidak boleh dipersamakan dengan perbuatan menghina sebagaimana yang diatur dalam Pasal 310 KUHP. Asas legalitas ini, berasal dari asas “nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali” atau nulla sine lege = tiada hukuman jika tidak ada undang-undang. Nulla poena sine crimen = tidak ada hukuman jika tidak ada kejahatan. 138 Nullum crime sine poena legali = tidak ada kejahatan, jika tidak ada hukuman dalam undang-undang. Asas ini berasal dari Anselm von Feuervach 43dalam bukunya Lehrbuch des peinliches Recht. Maksud von Feuerbach dengan asas ini adalah untuk membatasi hasrat manusia untuk melakukan kejahatan. Ia berpendapat bahwa ancaman hukuman yang ada dalam undang-undang akan menahan manusia melakukan kejahatan dan ancaman tersebut bersifat preventif. Teorinya ini juga dinamakan dengan teori pencegahan umum (leer van de generale preventie) atau teori paksaan atau tekanan kejiwaan (psychologiscge zwang). Dinamakan dengan teori paksaan atau tekanan kejiwaan, karena orang pada umumnya yang membaca aturan hukum yang mengandung ancaman pidana tersebut akan merasa takut untuk melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang pidana tersebut. 2. Berdasarkan Tempat Satokhid Kartanegara, menyebutkan ada empat asas berlakunya KUHP berdasarkan tempat ini. 1) Asas territorial atau asas wilayah Menurut asas ini berlakunya undang-undang hukum pidana berlakunya disandarkan kepada tempat atau territorial dimana perbuatan tersebut dilakukan. Tempat tersebut terletak dalam wilayah negara dimana undang-undang hukum pidana itu berlaku. Di dalam KUHP asas ini termuat dalam Pasal 2 dan 3 KUHP. Pasal 2 : Ketentuan dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum. 43 Anselm von Feuervach, Lehrbuch des peinliches Recht. 139 Pasal 3 : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kenderaan air atau pesawat udara Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2 dan 3 tersebut, ketentuan pidana Indonesia tersebut diberlakukan baik terhadap orang Indonesia maupun terhadap orang asing, yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia. Pasal 3, memperluas pengertian wilayah Indonesia, yaitu ketentuan hukum pidana Indonesia juga berlaku terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang ada di atas kapal dan pesawat udara Indonesia walaupun berada di luar wilayah Indonesia. Ketentuan ini menganut prinsip yang diatur dalam Hukum Internasional, yaitu prinsip atau pulau terapung (Floating Island). 2) Asas nasionalitas aktif atau asas personalitas Asas ini menentukan bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara didasarkan kepada kewarganegaraan atau nasionalitas dari orang yang melaksanakan perbuatan pidana tersebut, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Asas ini tercantum dalam Pasal 5, 6 dan Pasal 7 KUHP (lebih lanjut lihat pasal-pasal tersebut). 3) Asas Nasionalitas pasif atau asas perlindungan Asas ini menentukan bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana sesuatu negara disandarkan kepada kepentingan hukum dari negara yang bersangkutan. Yang menjadi dasar dari asas ini adalah bahwa tiap-tiap negara yang berdaulat berhak untuk melindungi kepentingan hukumnya, walaupun dilakukan oleh orang di luar negara tersebut. Asas ini diatur dalam Pasal 4 sub 1e, 2e dan 3e, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP, seperti makar mati terhadap kepala negara, pemalsuan mata uang atau surat berharga Indonesia. Pasal 7 menentukan jika pegawai Indonesia melakukan kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, seperti memperjualbelikan budak. Pasal 8 tentang nakhoda 140 atau anak buah kapal yang melakukan kejahatan terhadap jiwa orang di luar negeri. 4) Asas universalitas Asas ini menentukan bahwa undang-undang hukum pidana dari suatu negara dapat diberlakukan terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap ketertiban hukum seluruh dunia. Dalam KUHP asas ini tercantum dalam Pasal 4 sub 4e, salah satunya kejahatan pembajakan di laut, walaupun kejahatan tersebut dilakukan di laut bebas. F. Perbuatan Pidana Atau Tindak Pidana Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang atau diharuskan yang jika dilanggar diancam dengan hukuman. Dalam bahasa Belanda terdapat istilah “strafbaar feit” dan “delict”. Istilah strafbaar feit dan delict, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan berbagai arti oleh para ahli. 1. Perbuatan pidana oleh Prof. Mulyanto dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI tahun 1955 di Yogyakarta. 2. Peristiwa pidana oleh Mr. R. Tresna dan Dr. E. Utrecht, S.H. 3. Tindak pidana digunakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang yang baru menggunakan istilah tindak pidana. 4. Pelanggaran pidana dipakai oleh Mr. M. H. Tirtaamijaya di dalam buku, Pokok-pokok Hukum Pidana. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, oleh Mr. Karni: Ringkasan Tentang Hukum Pidana. 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam UU No. 12/Drt/1951, yang mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere strafbepalingen. 141 Pada saat ini pembuat undang-undang pada umumnya memakai istilah tindak pidana seperti yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada dua unsur pokok yang harus dipenuhi oleh seorang yang melakukan tindak pidana (perbuatan pidana) dan ia dipidana jika memenuhi unsur: a) Melawan hukum (wederechtelijkheid). Perbuatan yang dilakukan itu melawan hukum atau bertentangan dengan hukum. Perbuatan juga disebut dengan kelakuan. Perbuatan/kelakuan itu dapat berupa perbuatan positif (melakukan perbuatan tertentu) misalnya memukul, dan dapat juga tidak melakukan sesuatu, seperti tidak memberi susu kepada bayi, yang mengakibatkan bayi tersebut meninggal. b) Adanya kesalahan dari sipembuat/pelaku (unsur kesalahan: schuld). Seseorang melakukan perbuatan dan ia dipidana jika ia mempunyai kesalahan. Tiada pidana tanpa kesadaran. Asas ini disebut dengan asas geenstraf zonder schuld, atau asas culpabilitas. Kesalahan dalam arti luas disebut dengan schuld. Schuld ini dibagi atas opzet (sengaja, kesengajaan) dan culpa (lalai, kelalaian, kurang hati-hati). Kesalahan dalam arti sempit hanya culpa saja. Misalnya yang disebut dalam Pasal 359 KUHP, karena salahnya mengakibatkan matinya orang lain. Dengan perkataan lain seorang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana atas perbuatannya jika memenuhi unsur melawan hukum dan unsur kesalahan. G. Alasan Yang Menghapuskan Pidana (Strafuitsluitingsgronden) Seorang yang melakukan tindak pidana akan tetapi ia tidak dipidana karena ada alasan yang menghapuskan pidana. Di dalam KUHP, 142 alasan yang menghapuskan pidana diatur dalam Pasal-pasal 44, 48, 49, 50 dan Pasal 51 KUHP. Pasal 44 menentukan bahwa orang yang melakukan tindak pidana karena kurang sempurna atau sakit berubah akal tidak dapat dipidana. Misalnya orang gila atau orang dungu (embisil). Pasal 48 KUHP, mengatur tentang daya memaksa atau daya paksa (overmacht). Pasal ini menentukan bahwa orang yang melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Overmacht ini dibagi ke dalam 3 bagian: 1. Overmacht yang absolut, dimana orang yang melakukan perbuatan tersebut sama sekali tidak dapat memilih untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Misalnya seorang yang kuat melempar orang yang lemah ke etalase toko orang lain yang mengakibatkan hancurnya etalase tersebut. 2. Overmancht yang relatif, dimana orang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan pidana tersebut masih dapat memilih untuk tidak melakukan perbuatan yang dipaksakan, akan tetapi akan membahayakan fisik atau jiwanya. Misalnya, seorang kasir yang ditodong dengan pistol, agar ia menyerahkan uang dibawah kekuasaannya, kepada penodong. Kasir tersebut masih dapat memilih untuk tidak menyerahkan uang tersebut, akan tetapi akan membahayakannya. Jika ia menyerahkan juga, kasir tersebut tidak boleh dihukum. 3. Keadaan darurat (noodoestand). Di sini orang melakukan suatu perbuatan pidana oleh karena dipaksa oleh keadaan. Misalnya, dua orang yang sama-sama karam di laut. Salah seorang menemukan sebilah papan yang mampu mengapungkan dirinya denga papan yang sama. Akan tetapi jika hal itu terjadi akibatnya kedua-duanya 143 akan tenggelam. Dalam hal demikian jika yang menemukan papan tersebut memukul kawannya sehingga ia mati tenggelam, maka yang memukul tersebut tidak dipidana. Pasal 49 KUHP, mengatur tentang dua hal: Di dalam ayat (1), ditentukan bahwa orang yang membela diri karena terpaksa, ia tidak dipidana. Pembelaan diri karena terpaksa ini disebut dengan noodweer. Sedangkan dalam ayat (2), ditentukan bahwa orang yang membela diri yang melampaui batas pembelaan (noodweer excess) tidak dipidana. Pembelaan diri yang melampaui batas pembelaan ini disebut juga dengan pembelaan karena panas hati atau mata gelap. Misalnya seorang polisi yang melihat isterinya sedang diperkosa orang dan pada saat itu juga ia menembaknya dengan semua peluru yang ada di dalam pistolnya. Sebenarnya dengan satu peluru saja di pelaku perkosaan itu telah dapat dilumpuhkan. Pasal 50 KUHP, menentukan bahwa orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak dipidana. Misalnya seorang polisi wajib menangkap orang yang tertangkap basah (tertangkap tangan) melakukan kejahatan. Kewajibannya itu ditetapkan dalam undangundang. Jika polisi tersebut memukul si pelaku yang berakibat luka, karena ia melawan terhadap penangkapan tersebut, maka polisi tersebut tidak boleh dipidana. Pasal 51 KUHP mengatur tentang menjalankan perintah jabatan. Dalam ayat (1), menjalankan perintah yang sah, sedangkan dalam ayat (2), menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi ia menggangap sebagai perintah yang sah. Contoh yang terakhir ini, misalnya seorang polisi menerima perintah secara tertulis untuk menangkap seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Dalam penangkapan itu polisi tersebut telah menembak kaki si tersangka, karena ia melarikan diri, meskipun telah diberikan tembakan peringatan. Kemudian ternyata perintah tersebut tidak sah, karena bukan dikeluarkan oleh pejabat 144 yang sah. Dalam hal ini polisi yang bersangkutan tidak boleh dihukum. Kesalahan ada pada orang yang mengeluarkan perintah yang tidak sah. H. Jenis-Jenis Delik (Tindak Pidana) KUHP mempunyai sistematika sebagai berikut: Buku Kesatu : Aturan Umum, Pasal 1 – 103 Buku Kedua : Kejahatan, Pasal 104 – 488 Buku Ketiga : Pelanggaran, Pasal 489 – 569 Dari sistematika KUHP ini terlihat bahwa tindak pidana dibagi 2 (dua) macam yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembahagian atas kejahatan ini didasarkan kepada kualitasnya. Kejahatan disebut dengan delik hukum (rechtsdelicten), yaitu perbuatan yang menurut sifatnya merupakan perbuatan jahat, meksipun tidak ditetapkan oleh undang-undang sebagai kejahatan. Pelanggaran adalah delik undang-undang (wet delicten) yaitu perbuatan-perbuatan yang menjadi perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana) jika telah ditetapkan oleh undang-undang. Kejahatan yang disebut dalam Buku Kedua KUHP tersebut, dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dirinci lagi dalam berbagai jenis delik sebagai berikut: 1. Delik dolus dan delik colpus. Delik dolus adalah delik yang dilakukan dengan sengaja misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP). Delik colpus adalah delik yang dilakukan dengan kelalaian, misalnya karena salahnya mengakibatkan matinya orang (Pasal 359 KUHP). 2. Delik formal dan delik material. Delik formal adalah delik yang selesai jika perbuatannya telah dilakukan. Misalnya pencurian, tindak pidana telah selesai jika telah melakukan perbuatan mengambil barang orang lain. Delik 145 3. 4. 5. Delik 6. material, adalah delik yang selesai apabila telah terjadinya akibat. Misalnya pembunuhan. Delik ini selesai apabila telah terjadinya akibat matinya orang lain (Pasal 338 KUHP). Delik aduan dan delik bukan aduan. Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya aduan dari orang yang berhak mengadu menurut yang ditentukan undang-undang. Misalnya perzinahan, (Pasal 284 KUHP), pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP), dan lain-lain. Delik umum dan delik khusus Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh semua orang seperti pencurian, penggelapan, pembunuhan, penipuan dan lainlain. Delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orangorang tertentu saja, seperti delik jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri saja, delik yang dilakukan oleh militer saja. Tetapi juga dimasukkan dalam pengertian delik khusus yaitu delik yang diatur dalam undang-undang yang khusus seperti delik subversi, delik ekonomi, delik narkotika, delik fiskal. Delik commissie dan delik ommissie commissie adalah delik dimana orang melakukan perbuatan yang dilarang. Delik ommissie adalah delik dimana orang tidak melakukan perbuatan yang diharuskan, misalnya tidak memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan pertolongan, ibu yang tidak memberikan susu kepada bayinya yang mengakibatkan anaknya meninggal dunia. Delik commission per ommissionis commissa Delik ini adalah dimana orang melakukan perbuatan yang dilarang dengan tidak melakukan perbuatan yang diharuskan. Misalnya seorang ibu yang membunuh bayinya dengan cara tidak memberi asi. 146 Delik 7. Delik politik dan delik bukan politik politik adalah delik yang berhubungan dengan keamanan negara, misalnya delik subversi, makar mati terhadap presiden (Pasal 104 KUHP). Delik bukan politik adalah delik yang tidak berhubungan dengan keamanan negara. I. Jenis-Jenis Pidana Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Dalam pasal ini, jenis pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 1. Pidana pokok: a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Denda Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan pidana tutupan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946. Pidana tutupan ini merupakan pidana penjara, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan yang mempunyai maksud dan patut dihormati. Dahulu pidana ini dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan politik. Namun pidana tutupan menjadi hanya dipergunakan satu kasus yaitu penculikan Perdana Menteri pada tahun 1946. Pidana tambahan adalah: 1) pencabutan hak-hak tertentu, misalnya pencabutan hak memilih, hak menjadi tentara, pencabutan sim 2) perampasan barang-barang tertentu, seperti penyitaan barangbarang yang diperoleh atau digunakan untuk melakukan kegiatan, misalnya perampasan barang-barang hasil curian. 147 3) Pengumuman putusan hakim, terpidana diwajibkan untuk mengumumkan putusan hakim baik melalui media massa maupun dengan cara menempatkan pengumuman di tempat-tempat umum. Lebih lanjut dijelaskan tentang pidana pokok sebagai berikut: Pidana mati Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dilaksanakan dengan cara digantung di tiang gantungan oleh seorang algojo. Akan tetapi ketentuan Pasal 11 ini tibak berlaku lagi dengan adanya UU No.2/PNS/1964, yang menentukan bahwa pidana mati dilaksanakan dengan cara menembak sampai mati oleh satu regu tembak Brigade Mobil di daerah wilayah hukum Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan pada tingkat pertama. Pidana mati tidak dijalankan terhadap orang gila, kecuali telah sembuh dari gilanya. Terhadap perempuan yang sedang hamil, setelah ia melahirkan. Pidana mati dilaksanakan setelah ada fiat executive dari presiden. Pidana penjara Pidana penjara terdiri atas penjara seumur hidup dan penjara sementara. Penjara sementara. Penjara sementara minimum umum lamanya satu hari, tetapi tidak ada maksimum umum. Pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun dan dapat mencapai 20 tahun jika ada alasan yang memberatkan hukuman seperti penanggulangan kejahatan (recidive), perbarengan (concursus, samenloop), kejahatan jabatan (Pasal 12 KUHP). Pidana kurungan Pidana kurungan serendah-rendahnya satu hari (minimum umum). Setinggi-tingginya satu tahun. Tetapi tidak ada maksimum umum. Hukuman kurungan dapat melebihi satu tahun, jika ada alasan yang memberatkan hukuman. Paling tinggi 1 tahun 4 bulan (Pasal 18 KUHP). 148 Di dalam Pasal 14a (1) KUHP ditentukan tentang adanya pidana percobaan jika hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun atau hukuman kurungan, tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda. Hukuman percobaan adalah hukuman yang disebut di atas, tetapi hukuman itu tidak dijalankan selama masa percobaan yang disebutkan dalam putusan hakim. Misalnya hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 6 bulan dalam masa percobaan 1 tahun. Jika terpidana tidak melakukan kejahatan apapun juga dalam masa 1 tahun tersebut dan memenuhi syarat-syarat khusus lainnya, maka terpidana tidak menjalani lagi pidana dalam lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi jika dalam masa 1 tahun tersebut terpidana melanggar syaratsyarat yang ditentukan dalam putusan hakim, maka terpidana harus menjalani pidana yang telah dijatuhkan itu dan dituntut pula terhadap kejahatan yang baru. Ada beberapa perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan. a) Pidana penjara dapat dijalankan di seluruh wilayah negara Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya boleh dijalankan di daerah ia bertempat tinggal atau berdiam atau di mana putusan dijatuhkan. b) Orang yang dipidana penjara pekerjaannya lebih berat dari terpidana kurungan. c) Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole, hak untuk memperbaiki diri di rumah penjara dengan biaya sendiri. Pidana denda Menurut Pasal 30 KUHP pidana denda minimum dua puluh lima sen. Jika pidana denda tidak dibayar maka dapat diganti dengan kurungan. Kurungan pengganti denda lamanya minimum satu hari dan setinggi-tingginya 6 bulan. Dapat ditambah menjadi 8 bulan jika ada pemberatan (lebih lanjut lihat Pasal 30 KUHP). 149 Pada saat sekarang ini beberapa undang-undang seperti undang-undang tentang lingkungan hidup, undang-undang narkotika dan lain-lain telah menentukan pidana denda yang sangat tinggi. 2. Pidana Tambahan Pidana pencabutan hak-hak tertentu diatur mulai Pasal 35-38 KUHP. Hak yang dapat dicabut adalah hak untuk menjabat suatu jabatan atau segala jabatan, hak memilih dan dipilih, hak menjadi wali atau kurator. Tetapi hakim tidak boleh memecat seseorang jika undang-undang menentukan pejabat lain yang berwenang untuk melakukan pemecatan. Pidana perampasan barang-barang tertentu, adalah barangbarang yang diperoleh dari kejahatan atau digunakan untuk melakukan kejahatan. Perampasan ini ditentukan dalam Pasal 39 – 42 KUHP. Pidana tambahan untuk mengumumkan putusan hakim ditentukan dalam Pasal 43 KUHP. Cara mengumumkan putusan hakim tersebut ditentukan oleh hakim menurut yang ditentukan dalam undangundang tertentu lainnya. Misalnya kepada terpidana diwajibkan untuk mengumumkan putusan hakim tersebut di surat-surat kabar. J. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Orang yang melakukan tindak pidana tidak sama kualitasnya menurut hukum pidana. Pelaku tindak pidana ada beberapa kategori: 1. Menurut Pasal 55 KUHP dibedakan: a) Pelaku (dader) b) Pelaku bersama-sama (mededader) c) Pelaku peserta (medepleger) d) Pelaku penyuruh (doenpleger) e) Pelaku pembujuk (uitlokker) 150 ad.a) pelaku atau dader, jika ia melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan. ad.b) pelaku bersama-sama, jika yang melakukan tindak pidana tersebut lebih dari satu orang dan setiap orang memenuhi semua unsur delik. ad.c) pelaku peserta, jika pada tindak pidana tersebut ada yang berstatus sebagai pleger, misalnya dalam tindak pidana zina. Menurut Pasal 284 KUHP, salah seorang pelakunya yang sudah kawin. Orang yang sudah kawin ini disebut dengan pleger sedangkan yang belum kawin disebut sebagai medepleger. Pleger dan medepleger sama-sama dihukum. ad.d) pelaku pembujuk (yang membujuk melakukan). Pembujuk menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan cara memberikan sesuatu atau dengan perjanjian tertentu. Orang yang dibujuk adalah orang dapat dipertanggung jawabkan, dan orang membujuk hanya dipertanggung jawabkan sepanjang hal yang dibujuknya. Jika orang yang dibujuk melakukan perbuatan melebihi dari yang dibujuk, maka kelebihan tersebut menjadi tanggung jawabnya sendiri. Baik pelaku, pelaku bersama-sama, pelaku peserta, yang menyuruh melakukan dan pembujuk, dihukum sebagai orang yang melakukan. 2. Percobaan (poging) Pelaku percobaan melakukan tindak pidana disebut dengan poger. Percobaan ini diatur dalam Pasal 53 KUHP. Percobaan itu ada jika yang melakukan perbuatan pidana tidak selesai karena diluar kehendaknya. Misalnya A hendak membunuh B dengan cara 151 menembak. Akan tetapi tembakannya meleset. Hukuman yang dijatuhkan kepada poger adalah maksimum pidana pokok dikurangi sepertiganya. Jika diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54 KUHP). 3. Pembantu melakukan tindak pidana (medeplichtige) Pembantu melakukan tindak pidana, diatur dalam Pasal 56 KUHP. Seseorang disebut sebagai membantu melakukan tindak pidana jika ia sengaja membantu atau sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pidana yang dijatuhkan selama-lamanya hukuman maksimum dalam pasal tersebut dikurang sepertiganya (Pasal 57 KUHP). RANGKUMAN Hukum pidana dapat dibagi: 1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi) Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 152 Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan: “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. Ketentuan ayat ini memuat asas legalitas yang tercakup dalam rumusan: “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali” yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum pidana. 2. Jelaskan perbedaan antara tujuan dan fungsi hukum pidana. 3. Jelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam asas legalitas. 4. Jelaskan perbedaan antara asas nasionalitas aktif dengan asas nasionalitas pasif. GLOSSARIUM 1. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undangundang hukum pidana terlebih dahulu. 2. Strafrecht berarti Pidana Recht berati hukum. Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman. 3. Wettelijke strafbepaling (aturan pidana dalam perundangan). DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kansil, CST 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Jakarta, PN Balai Pustaka. 153 Kartanegara, Satochit, 1955. Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa. Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Moeljatno, 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta. Soesilo, 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor. Wirjono Prodjodikoro.2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung. 154 BAB VI ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapakan mahasiswa mampu memahami: pengertian dan sifat hukum acara pidana, ilmu bantu hukum acara pidana, sejarah singkat hukum acara pidana, beberapa pembaharuan dalam hukum acara pidana, asas-asas hukum acara pidana, alasan yang menghapuskan pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum acara pidana 2. Mengungkapkan pengertian hukum acara pidana 3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum acara pidana 4. Menjelaskan arti asas dalam hukum acara pidana 5. Menjelaskan alasan yang menghapuskan pidana A. Pengertian Dan Sifat Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Formeel Straftrecht atau Strafprosesrecht. Wiryono Projodikoro44, memberi pengertian tentang hukum acara pidana sebagai berikut: Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 44 Wirjono Projodikoro, 1989, Hukum Acara Pidana, hlm. PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 3. 155 Secara umum orang memberi pengertian kepada hukum acara pidana sebagai peraturan hukum yang menentukan cara bagaimana mempertahankan ketentuan hukum pidana material. Akan tetapi Van Bemmelen tidak sependapat bahwa hukum acara pidana semata-mata sebagai pelaksana dari ketentuan hukum pidana material, karena aturan hukum acara pidana juga menghasilkan norma-norma sendiri, seperti setiap orang wajib menjadi saksi, setiap orang tidak boleh meninggalkan tempat kejadian perkara, sampai dengan dibolehkan meninggalkan tempat tersebut oleh yang berwenang. Ada definisi yang diberikan oleh sarjana Belanda lainnya sebagai berikut: 1. J. de Bosch Kemper: Hukum Acara Pidana memuat sejumlah asas-asas dan peraturan perundangan yang mengatur wewenang negara bilamana undangundang hukum pidana dilanggar maka negara melaksanakan haknya. 2. D. Simons: Hukum Acara Pidana mengatur bagaimanakah negara dengan alatalat perlengkapannya, mempergunakan wewenangnya untuk memidana. Van Bemelen mengganggap definisi di atas: a. kurang tepat karena perumusan kedua sarjana tersebut terlalu menitik beratkan kepada cara pelaksanaan wewenang alat perlengkapan negara untuk menjatuhkan pidana, dan terlalu menitik beratkan kepada suatu pelanggaran undang-undang. Hakim tidak saja berwenang memidana, tetapi juga berwenang untuk membebaskan terdakwa jika ia terbukti tidak bersalah. Hakim dalam mengadili adalah untuk mencari kebenaran yang material, kebenaran yang sesungguhnya (materieel waarheid). Hukum Acara Pidana akan mulai berjalan jika ada dugaan 156 telah terjadinya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, polisi telah melakukan penyelidikannya. Ada kemungkinan bahwa setelah penyelidikan dilakukan ternyata bukan sebagai tindak pidana. Dengan demikian ketentuan Hukum Pidana tidak akan dilaksanakan. b. Kurang lengkap, karena dalam kedua definisi tersebut tidak disinggung-singgung tentang tugas pokok hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran yang selengkap-lengkapnya. Sifat Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana bersifat Hukum Publik, karena aturan hukum ini mengatur tentang kepentingan umum, kepentingan antara penguasa dengan yang dikuasai dan dipertahankan oleh negara. B. Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana Ada beberapa ilmu pengetahuan yang lain yang membantu Hukum Acara Pidana. 1. Logika 2. Psychologie 3. Kriminalistik 4. Psychiartrie 5. Kriminologi. Ad.a. Logika Logika berarti berfikir dengan akal yang sehat berdasarkan atas hubungan beberapa fakta. Atas dasar logika ini maka hukum acara pidana dapat dibagi dalam fase orientasi, hopotesis dan verifikasi. Orientasi, diperlukan dimana para petugas penyidikan mengumpulkan bahan-bahan keterangan dan meninjau keadaan di tempat kejadian, apakah ada tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai bahan bukti. 157 Setelah fase orientasi selesai, maka disusunlah fikiran secara hipotesis (patokan duga) untuk menentukan tindak pidana apakah yang terjadi, pembunuhan, atau penganiayaan atau pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang. Fase yang ketiga adalah mengadakan verifikasi. Fase ini merupakan pemeriksaan pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam fase ini segala bahan, keterangan dan bukti-bukti lainnya dicocokkaan, dibanding-bandingkan satu sama lain untuk menentukan tindak pidana apakah yang sebenarnya telah terjadi dan apakah terdakwa bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Ad.b. Psychologie Di dalam pemeriksaan pendahuluan, terutama dalam mengadakan interogasi dengan tersangka, penyidik harus menguasai ilmu psikologi untuk memudahkan memperoleh keterangan. Ada kalanya seseorang ada yang suka dipuji, ada yang terlalu takut. Jika hal demikian diketahui oleh penyidik maka antara tersangka dengan penyidik dapat terjalin hubungan kejiwaan, sehingga menempatkan tersangka sebagai kawan bicara dari hati ke hati. Dengan demikian keterangan yang diperlukan akan mudah didapat tanpa memerlukan tindakan-tindakan yang taidak wajar. Demikian juga dengan pemeriksaan yang dilakukan di persidangan. Ad. c. Kriminalistik Kriminalistik ini sebenarnya bukanlah merupakan ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan gabungan yang beberapa ilmu pengetahuan yang lain, yang berhubungan dengan teknik penyidikan perkara pidana. Ilmu pengetahuan lain itu antara lain: 1) Ilmu tentang tulisan (schriftkunde) 2) Ilmu tentang racun (toxicologie) 3) Ilmu pengetahuan tentang sidik jari (dactyloscopie) 158 4) Ilmu pengetahuan tentang luka 5) Ilmu kimia, dll. Kriminalistik ini dirumuskan sebagai pengumpulan dan pengolahan data secara sistematis yang berhubungan dengan penyidikan delik-delik (rumusan dari Hoge Raad). Ad. d. Psychiatrie Psikhiatrie ini merupakan ilmu yang mempelajari jiwa yang tidak normal. Ilmu ini diperlukan untuk menentukan apakah seorang melakukan perbuatan itu dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak. Jika ternyata tidak sehat jiwanya maka ia tidak dapat dipidana. Misalnya orang yang menderita penyakit kleptomanie yaitu orang yang suka mengambil barang orang lain yang sejenis. Akan tetapi barang tersebut tidak digunakan untuk keperluan ia sendiri, tetapi diberikan kepada orang lain. Jika ternyata hal yang demikian maka terdakwa tidak dapat dipidana karena pencurian. Ad. e. Krimiologi Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan dan cara pemberatannya. Seseorang yang melakukan tindak pidana karena sebab-sebab tertentu, misalnya mencuri karena lapar dengan mencuri karena ingin memiliki yang lebih banyak akan berbeda hukumannya. C. Sejarah Singkat Hukum Acara Pidana Mulai tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal Belanda tanggal 3 Desember 1847, diberlakukan Hukum Acara Pidana di Indonesia, untuk orang Bumiputera yang dipersamakan, diperlukan suatu Kitab Undang-Undang yang disebut dengan Inlands Reglement (I.R), bagi orang Eropa hukum acara 159 pidana diperlakukan Kitab Undang-Undang tersendiri yaitu Reglement opde Strafvordering. Inlands Reglement ini kemudian diadakan perubahan karena sukar diterapkan di Indonesia, Inlands Reglement dirubah menjadi Het Herziene Inlands Reglement (Reglement Indonesia yang dibaharui (HIR), Stbl. 1941 No. 44. Meskipun telah diadakan perubahan, namun di kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dll, masih tetap berlaku IR dan HIR secara berdampingan. Pada zaman Jepang masih tetap berlaku HIR, Landgerechtsreglement dan Reglement voor dengan Buitengewesten (RBg) sebagai Hukum Acara Pidana. Pada masa Indonesia merdeka tetap berlaku ketentuan-ketentuan tersebut, berdasarkan Pasal II Aturan Peradilan UUD 1945. Kemudian pada masa berlakunya UUDS 1950, melalui Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951, diadakan keseragaman terhadap badan-badan peradilan dan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Sebelum ada Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tersebut, terjadi ketidak seragaman baik tentang badanbadan peradilan maupun Hukum Acara Pidana yang berlaku. Untuk pengadilan tingkat pertama, ada yang menamakan Pengadilan Negeri, ada yang menyebutnya dengan Raad van Justitie, Landraad, dan ada yang menamakan dengan Pengadilan Negeri. Untuk pengadilan tingkat banding ada yang menamakan dengan Pengadilan Tinggi, ada yang menamakan dengan Apel Raad atau Hoogerechthof. Sedangkan untuk hukum acaranya ada yang menggunakan HIR atau Landgerechtsreglement atau menggunakan Rbg. Dengan adanya undang-undang tersebut maka untuk badan pengadilan tingkat pertama semua dinamakan dengan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk pengadilan banding. Hukum acaranya digunakan HIR sebagai pedoman untuk seluruh Indonesia. 160 Setelah melalui proses yang panjang, maka pada tanggal 31 Desember 1981, dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, HIR, dicabut dan diberlakukan undangundang tersebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional. Dalam konsideran menimbang, dari undang-undang tersebut dinyatakan bahwa HIR dicabut karena di dalam HIR tidak memberi perlindungan hak asasi yang cukup terhadap warga negara dan warga negara wajib mengetahui hak dan kewajibannya serta alat penegak hukum mengetahui tentang batas kewajiban dan wewenangnya. D. Beberapa Pembaharuan di dalam KUHAP KUHAP sebagai hukum nasional telah diusahakan sedemikian rupa agar hukum acara pidana tersebut cukup menjamin perlindungan hak asasi manusia dan kepastian hukum dengan membuat ketentuanketentuan yang lebih rinci baik mengenai hak-hak tersangka/terdakwa dan pelaksanaan upaya paksa. Dalam rangka perlindungan hak asasi tersebut telah diadakan lembaga hukum yang baru: 1. Penyelidikan 2. Hak-hak tersangka dan terdakwa 3. Praperadilan 4. Ganti kerugian dan rehabilitasi 5. Pengawasan dan pengamanan pelaksanaan putusan pengadilan. Ad. 1. Penyelidikan Penyelidikan adalah bahagian dari penyidikan dalam perkara pidana. Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari cara menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 5 KUHAP). 161 Penyelidikan ini merupakan filter, untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau tidak. Jika merupakan tindak pidana maka akan diproses sebagai perkara pidana. Jika tidak merupakan tindak pidana, tetapi merupakan peristiwa perdata maka peristiwa tersebut tidak boleh diproses sebagai perkara pidana. Pengalaman pada masa berlakunya HIR, oleh karena tidak ada ketentuan yang konkrit sedemikian rupa maka banyak terjadi perkara perdata yang diproses sebagai perkara pidana. Terhadap tersangka dikenakan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, yang sangat merugikan hak asasi tersangka. Misalnya orang yang berhutang, karena hutangnya tidak dapat dibayar menurut yang diperjanjikan, maka yang berpiutang melaporkan perkara tersebut kepada polisi dan yang berhutang diproses dalam perkara pidana. Demikian pula dengan sewa-menyewa rumah, yang semuanya itu seharusnya diselesaikan melalui proses perdata. Ad. 2. Hak-hak tersangka dan terdakwa Dalam KUHAP telah dibuat satu bab khusus yang mencantumkan tentang hak-hak tersangaka dan terdakwa yaitu pada Bab VI: Pasal 50 – 68 KUHAP. Di dalam pasal-pasal ini antara lain diatur tentang: a) hak untuk segera mendapat pemeriksaan b) hak untuk diberitahukan kesalahannya c) hak untuk didampingi penasehat hukumnya d) hak untuk memperoleh juru bahasa e) hak untuk segera perkaranya diajukan ke pengadilan f) hak untuk mendapat putusan hakim seadil-adilnya g) hak untuk mendapat kunjungan keluarga h) hak untuk mendapat perawatan kesehatan, dll. 162 Ad. 3. Praperadilan Praperadilan merupakan wewenang dari pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskan permintaan tentang: a) sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan c) ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 1 butir 10, Pasal 77 – 83 KUHAP). Untuk melakukan penangkapan dan penahanan KUHAP telah menentukan syarat-syarat yang ketat, sehingga penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan jika tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan (Pasal 16 – 19, Pasal 20 – 31 KUHAP). Jika syaratsyarat penangkapan atau penahanan tersebut tidak dipenuhi maka tersangka atau keluarganya atau kuasanya dapat mengajukan kepada pengadilan negeri untuk menetapkan bahwa penangkapan atau penahanan itu tidak sah dan sekaligus meminta diberikan ganti kerugian material yang telah dideritanya sebagai akibat dari penangkapan atau penadahan yang tidak tersebut. Ad. 4. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Di dalam HIR, tidak ada ketentuan bahwa terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili, ternyata tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau keliru mengenai orangnya atau keliru hukum yang diterapkan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi. KUHAP mengaturnya dalam Pasal 95 – 97. Semasa berlakunya HIR, orang-orang yang salah tangkap dan salah tahan telah sekian lama dan ternyata kemudian pengadilan membebaskannya, maka yang bersangkutan tidak dapat berbuat apaapa. Tidak ada upaya hukum yang dapat digunakan untuk mendapatkan hak ganti kerugian dan untuk merehabiliter nama baiknya. Demikian juga pada tingkat pemeriksaan pendahuluan. 163 Dengan adanya ketentuan dalam KUHAP ini maka hak-hak tersangka atau terdakwa telah terlindungi. Ad. 5. Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dilaksanakan oleh Jaksa. Untuk memastikan apakah putusan tersebut telah dilaksanakan atau tidak maka dalam KUHAP ditentukan tentang pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan tersebut di dalam Pasal 270 – 276. E. Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana Ada berbagai asas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana. Asasasas tersebut ada yang berasal dari: 1. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 14 Tahun 1970) sejak tanggal 15 Januari 2004 telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 2. Asas-asas umum hukum. Ad. 1. Yang berasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 4 tahun 2004. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 6 Tahun 1981 disebutkan ada 10 asas yang berasal dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dijabarkan ke dalam KUHAP, diantaranya: a) Asas kedudukan yang sama dalam hukum (equality before the law) Pasal 5 ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Atas dasar asas ini maka di dalam KUHAP tidak ada ketentuan yang memperbedakan antara orang kaya dan miskin antara pejabat 164 dengan bukan pejabat. Setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana akan diproses dengan prosedur yang sama. b) Asas tertulis pelaksanaan upaya jaksa. Pasal 7 : Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Penjabaran dari asas ini terdapat dalam Pasal 18 KUHAP tentang penangkapan, Pasal 21 ayat (1) tentang penahanan, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) tentang penggeledahan, Pasal 38 ayat (1) tentang penyitaan dan Pasal 43 tentang penyitaan surat. c) Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) Pasal 8 : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam KUHAP asas ini dijabarkan antara lain ke dalam Pasal 117 ayat (1) keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapun atau dalam bentuk apapun. Pasal 153 ayat (2) sub b, hakim wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberi jawaban secara tidak bebas. d) Asas peradilan cepat dan biaya ringan Pasal 4 menentukan: Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa peradilan dilaksanakan dengan cepat, tepat, adil dan biaya ringan, acaranya tidak berbelit-belit yang menyebabkan prose sampai bertahun- 165 tahun, bahkan perlu dilanjutkan oleh ahli warisnya (penjelasan UU No. 14 Tahun 1970). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan dari pencari keadilan; sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan secara efisien dan efektif, biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dan mencari kebenaran dan keadilan. Di dalam KUHAP sendiri asas ini dijabarkan dalam bentuk jenis acara pemeriksaan. Ada acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat. e) Asas peradilan terbuka untuk umum (public hearing) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 17, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 19: (1) Sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. (2) Tidak dipenuhi ketetnuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum Dalam KUHAP asas ini dijabatkan pada Pasal 153 ayat (3) dan dalam Pasal 195. f) Asas pembelaan diri (right of self defence) Pasal 35 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004). Pasal 36 : Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta penasihat hukum (UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2004). 166 Di dalam KUHAP asas ini dijabarkan ke dalam Pasal 54, 55, 56 dan 57. Ad. 2. Asas-asas umum hukum Asas-asas umum hukum ini, adalah asas-asas yang tidak berasal dari satu aturan hukum tertentu. Tetapi merupakan suatu pemikiran awal (dasar pemikiran) untuk penyusunan aturan-aturan hukum yang konkrit. a. Asas opportunitas dan asas legalitas Asas opportunitas ini adalah asas dimana penuntut umum wajib tidak menuntut suatu perkara pidana yang mempunyai bukti yang cukup demi kepentingan umum. Menurut Wiryono Projodikoro45, ada orang yang berpendapat bahwa asas ini berasal dari Pasal 37 RO yang berisi bahwa pegawai penuntut umum wajib melakukan sesuatu berhubung dengan adanya laporan tentang adanya suatu peristiwa tentang tindak pidana. Akan tetapi pendapat tersebut menurut Wiryono Projodikoro tidak cepat, karena menurut pasal itu hanya dapat ditafsirkan bahwa penuntut umum wajib mengusut suatu perkara yang sedang terjadi. Dalam Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang lama (UU No. 15 Tahun 1961 prinsip ini tercantum dalam Pasal 12 yang menentukan bahwa Jaksa Agung dapat mengenyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Artinya perkara tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Dalam bahasa Belanda disebut dengan deponeeren = deponir (Indo). Istilah sehari-hari perkara tersebut didep. Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, prinsip ini dimuat dalam Pasal 32 sub c. Jaksa Agung mempunyai wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. 45 Ibid 167 Lawan dari asas opportunitas ini adalah asas legalitas, yaitu penuntut umum wajib menuntut setiap perkara yang cukup bukti ke pengadilan. Asas ini tidak dianut di Indonesia. b. Asas larangan menghakimi sendiri (Verbod van eigen richting) Asas ini adalah asas yang paling pokok dalam pembentukan hukum acara pidabna. Dari asas ini timbul pemikiran agar ada aturan hukum yang mengatur prosedur untuk menyelesaikan sesuatu perkara baik pidana maupun perdata. Ada aturan hukum material saja tidak akan dapat dijalankan jika tidak ada aturan tentang prosedur menjalankan aturan hukum material. Tindakan menghakimi sendiri akan dapat menimbulkan tindak pidana baik berupa penganiayaan, pembunuhan, merampas kemerdekaan orang lain dan sebagainya. Di dalam KUHAP larangan menghakimi sendiri ini dapat dilihat dalam Pasal 108 ayat (1) (2) (3). c. Asas inquistoir dan accusatoir Prinsip inquisitoir dan accosatoir ini berhubungan dengan sistem pemeriksaan. Wiryono Projodikoro46 menulis tentang prinsip ini sebagai berikut. Di dunia ilmu pengetahuan hukum ada dua sistem yang dapat dianut, sistem inquisitoir dan accusatoir. Inquisitoir (arta kata: pemeriksaan) menganggap tersangka sebagai barang, suatu obyek yang harus diperiksa wujudnya berhubungan dengan suatu pendakwaan. Sedang sistem accusatoir (arti kata: menuduh) menganggap seorang tersangka atau terdakwa sebagai subjek berhadap-hadapan dengan pihak mendakwa yaitu kepolisian dan kejaksaan yang mempunyai hak-hak yang sama nilainya, dan hakim berada di atas kedua pihak itu untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku. 46 Ibid 168 Pada masa berlakunya HIR, tersangka pada tingkat pemeriksaan pendahuluan mempunyai hak untuk didampingi oleh penasehat hukum, tidak ada hak untuk diberitahukan tentang apa yang dipersangka kepadanya, tidak diketahui dengan pasti di mana ia diperiksa, penangkapan sangat mudah dilakukan. Pada tingkat pemeriksaan pendahuluan ini diperlakukan sistem pemeriksaan inquisitoir. Sistem accusatoir, diperlakukan di depan sidang di mana kepada terdakwa telah diberikan hak untuk didampingi oleh penasehat hukum. Ia telah dapat melakukan pembelaan diri baik dengan menyanggah dakwaan atau mengajukan saksi-saksi yang meringankannya. Saksi yang meringankan terdakwa disebut dengan saksi a de charge yang memberatkan disebut dengan saksi a charge. Bagaimana dengan berlakunya KUHAP. Tentang hal ini ada dua pendapat. Pendapat yang pertama menyatakan yang digunakan pada pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) adalah sistem inquisitoir yang diperlunak sedangkan pendapat yang kedua menyatakan digunakan sistem accusatoir yang terbatas. Dasar hukum yang digunakan adalah sama yaitu kepada tersangka diberihak untuk didampingi oleh penasehat hukum pada kepada tersangka diberi hak untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pmeriksaan pendahuluan, seperti yang diatur dalam Pasal 54 KUHAP. KUHAP menentukan ada 5 tahap penyelesaian perkara pidana, yaitu: 1. Tahap penyidikan 2. Tahap penuntutan 3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan 5. Tahap pengawasan dan 169 Ad. 1. Tahap penyidikan Pada tahap penyidikan ini ada dua tahap pemeriksaan perkara pidana, yaitu: a. penyelidikan b. penyidikan Tahap penyelidikan merupakan bahagian dari penyidikan. Penyelidikan dilakukan oleh penyelidik yaitu pejabat Polisi RI sejak dari Baradha sampai dengan Jenderal Polisi (Pasal 4 KUHAP). Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik. Penyidik terdiri atas: penyidik POLRI dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu (PPNS) (Pasal 6 KUHAP). Pengertian penyidik dan penyidikan, lihat Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP. Ad. 2 Tahap penuntutan Tahap penuntutan ini dibagi dua: a. prapenuntutan b. penuntutan Prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk menyempurnakan berkas perkara penyidikan yang belum lengkap (Pasal 110 dan 138 KUHAP). Tidak semua berkas perkara penyidikan dilakukan prapenuntutan, hanya yang tidak lengkap saja dilakukan tindak prapenuntutan oleh penuntut umum (lihat pengertian Jaksa dan Penuntut Umum dalam Pasal 1 butir 6 sub a dan b). Penuntutan (vervolging) adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana yang cukup bukti ke pengadilan yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Pengertian ini penting, karena dengan tindakan penuntutan menghentikan jalannya daluarsa penuntutan (Pasal 80 KUHP). 170 Ad. 3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan Setelah perkara pidana dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan maka ketua pengadilan mempertimbangkan apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Jika berwenang ia menunjuk hakim yang mengadili perkara tersebut (Pasal 152 KUHAP). a. Acara Pemeriksaan Hakim mengadili perkara tersebut sesuai dengan acara pemeriksaan perkara tersebut. (a) Perkara biasa diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa (Pasal 152 – 202 KUHAP). (b) Perkara singkat, diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat (Pasal 203 KUHAP) (c) Perkara cepat: 1. perkara ringan, diperiksa dengan acara pemeriksaan perkara ringan (Pasal 205 – 210 KUHAP). 2. perkara pelanggaran lalu lintas jalan tertentu, diperiksa dengan acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan tertentu (Pasal 211 – 216 KUHAP) b. Alat-alat Bukti Alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian adalah alatalat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: (a) keterangan saksi (b) keterangan ahli (c) surat (d) petunjuk (e) keterangan terdakwa (ayat (1) Pasal 184) Dalam ayat disebutkan hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. 171 c. Sistem pembuktian Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem pembuktian negatief wettelijk, yaitu hakim hanya dapat menghukum terdakwa jika sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP. d. Isi Putusan Hakim Pidana Ada 3 macam isi putusan hakim pidana: (a) Putusan bebas (vrijspraak), yaitu dakwaan terhadap terdakwa tidak terbukti. (b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging), yaitu dakwaan penuntut umum terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Misalnya perbuatan tersebut perbuatan hukum perdata atau pada terdakwa terdapat alasan yang menghapuskan pidana (Pasal 191 (2) KUHAP). (c) Penjatuhan pidana (veroordeling), dakwaan penuntut umum terbukti. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan (193 KUHAP). e. Upaya Hukum (rechts middelen) Terhadap putusan hakim dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 1 butir 12 KUHAP). Upaya hukum ada 2 macam: 1. Upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dari kasasi. 172 2. Upaya hukum luar biasa adalah: 1. peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung. Ad. 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi dengan upaya hukum biasa, dilaksanakan oleh Jaksa. Hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau pasti (institusi kracht van gewijsde) yang dapat dilaksanakan. Sedangkan putusan yang masih diajukan perlawanan, banding atau kasasi, tidak boleh dilaksanakan (dieksekusi). Ad. 5. Tahap pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan, telah dibahas pada halaman sebelumnya. Karena dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu bertentangan satu sama lain; a. karena putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Menurut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, putusan dapat dimintakan peninjauan kembali apabila suatu putusan terhadap perbuatan pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pelaksanaan hukuman. Tata cara peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP. Dalam peninjauan kembali putusan, Mahkamah Agung dapat merumuskan: 1. menolak permohonan peninjauan kembali bila alasan tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung. 173 2. bila Mahkamah Agung membenarkan alasan permohonan, putusan Mahkamah Agung dapat berupa: a. putusan bebas, b. putusan lepas dari segala tuntutan hukum, c. putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum, atau d. putusan yang menerapkan pidana yang lebih ringan. RANGKUMAN Secara umum orang memberi pengertian kepada hukum acara pidana sebagai peraturan hukum yang menentukan cara bagaimana mempertahankan ketentuan hukum pidana material. Akan tetapi Van Bemmelen tidak sependapat bahwa hukum acara pidana semata-mata sebagai pelaksana dari ketentuan hukum pidana material, karena aturan hukum acara pidana juga menghasilkan norma-norma sendiri, seperti setiap orang wajib menjadi saksi, setiap orang tidak boleh meninggalkan tempat kejadian perkara, sampai dengan dibolehkan meninggalkan tempat tersebut oleh yang berwenang. Ada 3 macam isi putusan hakim pidana: 1. Putusan bebas (vrijspraak), yaitu dakwaan terhadap terdakwa tidak terbukti. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging), yaitu dakwaan penuntut umum terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Misalnya perbuatan tersebut perbuatan hukum perdata atau pada terdakwa terdapat alasan yang menghapuskan pidana (Pasal 191 (2) KUHAP). 3. Penjatuhan pidana (veroordeling), dakwaan penuntut umum terbukti. TErdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan (193 KUHAP). 4. Upaya Hukum (rechts middelen) 174 Terhadap putusan hakim dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah: hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 1 butir 12 KUHAP). Upaya hukum ada 2 macam: 1. Upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dari kasasi. 2. Upaya hukum luar biasa adalah: a. peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. b. kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung. LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana. 2. Jelaskan beberapa pembaharuan yang terdapat dalam hukum acara pidana 3. Jelaskan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara pidana. 4. Jelaskan alasan-alasan yang menghapuskan pidana. GLOSSARIUM Negatief wettelijk, yaitu hakim hanya dapat menghukum terdakwa jika sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP. DAFTAR PUSTAKA Wirjono projodikoro, 1989, Hukum Acara Pidana, hlm. PT Refika Aditama, Bandung. 175 BAB VII ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami mengenai: Istilah dan pengertian hukum perdata internasional, sejarah hukum perdata internasional, sumber-sumber hukum perdata internasional, dan titik pertalian dalam hukum perdata internasional. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan istilah dan pengertian hukum perdata internasional. 2. Menjelaskan sejarah hukum perdata internasional. 3. Menjelaskan sumber-sumber hukum perdata internasional. 4. Menjelaskan titik pertalian dalam hukum perdata internasional. A. Istilah Dan Pengertian Hukum Perdata Internasional Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang digunakan di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari istilah: 1. Private International Law 2. International Private Law 3. Internationales Privatrecht 4. Droit International Prive 5. Diritto Internazionale Privato 176 Pembahasan istilah dan pengertian Hukum Perdata Internasional ini erat kaitannya dengan istilah dengan pengertian Hukum Internasional (publik) karena selain samasama menyebut internasional, keduanya juga sering kali dipertentangkan, yakni antara hukum publik dan hukum perdata. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas negara. Dengan kata lain, Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda.47 Adapun Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.48 Dengan demikian, antara Hukum Perdata Internasional dan Hukum Internasional terdapat persamaan, yaitu sama-sama mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara (internasional). Sedangkan perbedaan terletak pada sifat hubungan hukum atau persoalan yang diaturnya (objeknya). Menurut Mochtar Kusumaadmadja, cara membedakan yang demikian itu lebih tepat dari pada mebedakan berdasarkan pelakunya (subjek hukumnya) dengan mengatakan bahwa Hukum Internasional (publik) mengatur hubungan antara negara, sedangkan Hukum Perdata Internasional antara orang 47 Mochtar Kusumaadmadja, 1990, Pengantar Hukum Internasional: Bku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung, Hlm. 1. 48 Ibid, hlm. 2. 177 perseorangan. Karena suatu negara (atau badan hukum publik lainnya) adakalanya melakukan hubungan perdata, sedangkan orang perseorangan menurut hukum internasional modern adakalanya dianggap mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum internasional.49 Dilihat dari sumber hukumnya, sumber Hukum Internasional berdasarkan pada Pasal 38 Statuta (Piagam) Mahkamah Internasional) adalah sebagai berikut: 1. Perjanjian internasioanal; 2. Kebiasaan internasional; 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa beradab; dan 4. Putusan-putusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaidah hukum. Sumber hukum dari Hukum Perdata Internasional adalah hukum nasional, maka istilah Hukum Perdata Internasional tersebut dikatakan kurang tepat. Walaupun istilah tersebut banyak mendapat kecaman atau kritik kerena dianggap kurang tepat, namun oleh karena istilah tersebut sudah lama dan lazim dipergunakan, maka istilah Hukum Perdata Internasional itu terus digunakan. Menurut R.H. Graveson, HPI merupakan bidang hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena teritorialitasnya atau personalitas yang dapat menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum asing untuk memutuskan perkara 49 Ibid, hlm. 2. 178 atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau asing.50 Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai suatu keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa antara warga (warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidahkaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi, dan soal-soal.51 Sauveplanne berpendapat bahwa HPI adalah keseluruhan aturan-aturan yang mengatur hubungan-hubungan hukum privat atau perdata yang mengandung elemen-elemen internasional dan hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan negara-negara asing, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah penundukan langsung ke arah hukum nasional dapat selalu dibenarkan.52 Berdasarkan uraian di atas, maka istilah Internasional di dalam HPI tidaklah merujuk kepada sumbernya, tetapi menunjuk kepada fakta-fakta atau, materinya yaitu hubunganhubungan atau peristiwa-peristiwa yang bersifat internasional (objeknyalah yang internasional).53 Jadi, yang internasional itu adalah hubunganhubungannya, sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum perdata nasional. Dengan demikian, masing-masing negara 50 Bayu Seto, 1992, Dasar-Dasar Hukum Internasional, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4. 51 Sudarga Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Binacipta, Bandung, hlm. 21. 52 Bayu Seto, op.cit, hlm. 7. 53 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta, Bandung, hlm. 8. 179 yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri,54 sehingga akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa istilah HPI masih banyak mendapat kritik atau keberatan dari sejumlah penulis atau pakar HPI.55 Kritik atau keberatan tersebut antara lain mengenai:56 1. HPI bukan merupakan hukum internasional, tetapi hukum nasional. Kata internasional dalam HPI tidak merujuk pada sumber hukumnya. 2. Istilah internasional dalam HPI bukan hukum antar negara sebagaimana istilah Hukum Internasional (Publik) yang merupakan hukum antar negara. 3. Seolah-olah ada ketidakkonsekuenan penggunaan istilah dimana istilah perdata dan internasional. Perdata, tetapi mengapa internasional? Perdata berarti privat antara orangorang pribadi, mana bisa internasional. Jadi, seolah-olah ada suatu contradicctio in terminis, seperti orang bicara tentang zwarte schimmel (kuda hitam yang berwarna putih).57 Namun demikian, apabila istilah internasional sematamata diartikan sebagai internasional dalam hubungannya (internationale verhoudingen atau international relations), maka disini tidak ada lagi contradictio in terminis.58 54 P.B. Nygh, 1984, Conflict of Law in Australia, Fourth ed. Butterworths, Sydney, hlm. 2. 55 Secara historis, 1982, Istilah HPI lebih banyak digunakan penulis atau pakar hukum dari negara-negara Eropa. Lihat David D. Sigel. Conflicts. West Publishing Co. St. Paul Minn, hlm. 2. 56 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid I (Buku 1). Alumni, Bandung, 1992, hlm. 17 et.seq. 57 Ibid, hlm. 6. 58 Ibid, hlm. 7. 180 Hukum Perdata Internasional (HPI) diperlukan apabila seorang asing yaitu yang bukan warganegara tersangkut dalam suatu peristiwa hukum dalam bidang keperdataan di suatu negara atau kalau orangorang dari berbagai negara mengadakan suatu hubungan hukum dalam bidang yang sama. Contoh-contoh hubungan HPI: a. Seorang Indonesia laki-laki kawin dengan seorang perempuan Perancis di Amerika. b. Orang-orang Inggris mempunyai tanah di India; c. Seorang Italia meninggalkan warisan di Belgia, dan sebagainya. Teranglah bahwa hubungan-hubungan hukum yang timbul atau yang diadakan oleh subyek-subyek hukum itu tidak hanya terbatas dalam lingkungan satu negara saja. Lagi pula harus diperhatikan, bahwa tiap-tiap negara kenyataannya mempunyai sistem hukum sendiri-sendiri, sehingga dalam hubungan-hubungan Hukum Perdata Internasional itu timbul kesulitan-kesulitan hukum negara manakah atau hukum apakah yang harus berlaku untuk dapat menentukan penyelesaian perselisihan itu. Dalam contoh pertama di atas mungkin berlaku hukum Indonesia, atau hukum Perancis, atau hukum Amerika, atau suatu aturan hukum khusus. Karena itu HPI dapat dirumuskan sebagai berikut: “Kesemuanya kaidah hukum apabila dalam suatu peristiwa hukum tersangkut hukum dari dua negara atau lebih. Dari rumusan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa aturan-aturan HPI terdiri dari 2 golongan, yaitu: 1. Peraturan-peraturan petunjuk, dan 2. Peraturan-peraturan asli (mandiri). 181 Ad. 1. Peraturan-peraturan petunjuk Peraturan-peraturan petunjuk ialah peraturan-peraturan yang memberi petunjuk tentang aturan manakah yang dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara yang timbul karena hubungan hukum antara seorang dengan orang lain yang masing-masing berlainan kewarganegaraannya. Contoh: Seorang warga negara Indonesia tinggal di Indonesia menjual beli pertaniannya kepada seorang warga negara Amerika di Jakarta. Perjanjian jual beli ini diatur oleh aturan-aturan petunjuk, yaitu aturanaturan yang menunjukkan hukum manakah yang dipakai untuk mengatur perjanjian jual beli antara kedua orang yang berbeda bangsa tadi. Dalam hal ini ada 3 kemungkinan: Mungkin dipakai hukum Inggris; Mungkin dipakai hukum Amerika; Mungkin dipakai hukum Indonesia. Ad. 2. Peraturan-peraturan asli (mandiri) Peraturan-peraturan asli (mandiri), ialah peraturan-peraturan itu sendiri yang menyelesaikannya, jadi bukan oleh peraturan-peraturan yang menunjukkan hukum negara mana yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan itu. Contoh: Pengangkutan barang dengan kereta api antar negaranegara Eropah. Di sini berlaku peraturan hukum khusus, yaitu peraturan kereta api itu sendiri, dan bukan hukum dari negara atau orang yang bersangkutan dengan pengangkutan barang itu. Contoh-contoh lain dari peraturan mandiri ialah traktat-traktat Internasional. Mengenai pengangkutan udara, tabrakan kapal, cek, dan wesel. 182 Mengenai peraturan-peraturan petunjuk di Indonesia diatur dalam AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving, Peraturan-peraturan umum dari perundang-undangan). Peraturan-peraturan itu didasarkan pada teori yang dinamakan teori statuta, yang terdiri atas tiga bagian yaitu: a. Statuta Personalia, b. Statuta Realia, dan c. Statuta Mixta. Ad.a. Statuta Personalia Menurut Pasal 16 AB, maka segala ketentuan perundang-undangan mengenai status dan kewenangan seseorang tetap berlaku bagi warga negara Indonesia, yang berada di luar negeri. Jadi hukum Indonesia mengikuti warga negara Indonesia di luar negeri. Ad. b. Statuta Realia Menurut Pasal 17 AB menentukan, bahwa mengenai benda-benda tidak bergerak berlaku peraturan-peraturan perundang-undangan dari negara atau tempat, di mana benda-benda itu berada. Jadi, sebidang tanah yang dimiliki oleh seorang warga negara Indonesia di luar negeri, tunduk kepada hukum luar negeri di mana tanah itu terletak. Ad. c. Statuta Mixta Menurut Pasal 18 AB, maka bentuk tiap-tiap perbuatan hukum yang dilakukan seseorang warganegara Indonesia di luar negeri berlaku hukum dari negara atau tempat di mana perbuatan itu dilaksanakan. Misalnya: seorang warga negara Indonesia mengadakan perjanjian jual beli di Kota Paris dengan seorang Indonesia lainnya. Yang dapat menentukan isi jual beli itu ialah hukum Indonesia, akan tetapi yang menentukan cara pelaksanaan jual beli itu ialah hukum Perancis. 183 B. Sejarah Hukum Perdata Internasional 1. Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional Di dalam sejarah perkembangan Hukum Perdata Internasional, tampaknya perdagangan (pada taraf permulaan adalah pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional. Pada zaman Romawi Kuno, segala persoalan yang ditimbul sebagai akibat hubungan antara orang Romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut praetor peregrinis. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para cives Romawi, yaitu Ius Civile yang telah disesuaikan dengan pergaulan internasional. Ius Civile yang telah diadaptasi untuk hubungan ointernsional itu kemudian disebut Ius Gentium.59 Pada masa Romawi berkembang asas-asas yang dilandasi prinsip atau asas toritorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas Hukum Perdata Internasional yang penting, misalnya:60 a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda tersebut berada atau terletak. b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang bersifat Hukum Perdata Internasional) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian. c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perseorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap. 59 60 Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 14. Ibid, Hlm. 23. 184 Di dalam prinsip teritorial, hukum yang berlaku bersifat toritorial. Setiap wilayah (teritorial) memiliki hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau yang berada di wilayah itu, dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu. 2. 2. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abab 6-10 M) Pada akhir abab 6 M, Kekaisaran Romawi ditaklukkan bangsa “Barbar” dari Eropa. Bekas wilayah Kekaisaran Romawi diduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian, prinsip toritorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal, hukum yang berlaku digantungkan kepada pribadi yang bersangkutan. Sehingga di dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa hukum sekaligus. Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah hukum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hukum mana yang akan diberlakukan.61 Beberapa asas Hukum Perdata Internasional yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai asas Hukum Perdata Internasional (yang berasas personal) misalnya:62 61 62 Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 15. Ibid, Hlm. 16. 185 a. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hukum personal dari pihak tertugat. b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum seseorang ditentukan oeh hukum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal dari masing-masing pihak. c. Asas yang mengatakan bahwa maslah pewarisan harus diatur berdasarkan hukum personal pewaris. d. Pengesahan suatu perkawianan harus dilakukan berdasarkan hukum personal sang suami. 3. 3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M) Di kawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat teritorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Perancis, dan Jerman. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hukum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hukum yang berlangsung di wilayahnya.63 Dengan perkataan lain, tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat begitu saja dcabut penguasa, sehingga dalam keadaan demikian Hukum Perdata Internasional tidak berkembang sama sekali.64 Di kawasan Eropa bagian selatan, transformasi dari asas personal geneologis ke asas toritorial berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat peerdagangan, khususnya di 63 Ibid, 1974, mengutip Graverson, R.H. Conflict of Laws-Private International Law, edisi 7. Sweed & Maxwell, London, Hlm. 31. 64 Ibid, 186 Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah geneologis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Kotakota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Paruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan:65 a. Batas-batas teritorial tersendiri; dan b. Sistem hukum lokal sendiri yang berlainan satu lainnya dan berbeda pula dengan hukum Romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia.66 Keanekaragaman (diversity) sistem-sistem hukum lokal (municipal laws) ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar kota seringkali menimbulkan problem pengakuan terhadap hukum dan hak-hak asing (kota lain) di dalam satu wilayah kota. Secara langsung atau tidak, situasi ini mendorong pertumbuhan kaidah-kaidah hukum perdata internasional. 4. 4. Perkembangan Teori Statuta Di Italia (Abad 13-15 M) Seiring dengan makin berkembangnya perdagangan antara (warga) kota-kota di Italia tersebut di atas, penerapan asas toritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali. Sistem feodal memandang hanya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu hukum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan lagi apabila hak- 65 66 Ibid, hlm. 17. Sudargo Gautama, Op. Cit, hlm. 165. 187 hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat di kota A akan dikesampingkan di kota B.67 Situasi ini mendorong para ahli hukum universitasuniversitas di Italia untuk mencari asas-asas hukum yang dianggap lebih adil dan wajar (fair and reasonable). Usaha yang dilakukan dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tulis dalam hukum Romawi. Mereka inilah yang termasuk dalam golongan postlossatoren.68 Dalam mencari dasar hukum untuk mengatur hubunganhubungan diantara para pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dari Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata: cuntos popules ques Clementiae Nostrae Regit Imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).69 Di dalam teks codex tersebut ditemukan glosse accursius (1128) yang pada pokoknya mengatakan:70 Apabila seseorang warga Bologna digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status deri Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga, oleh karena dalam Undang-undang Conctos Popolos telah ditentukan ... quos nostro clmennae regit imperium.71 Doktrin yang telah dikemukakan Accursius di atas kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (131467 Ibid, Hlm. 165. Ibid, Lihat juga Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 18. 69 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.cit, Hlm. 167. 70 Sudargo Gautama, Op. Cit, Hlm. 167. 71 Dengan bahasa yang lain Bayu Seto merumuskan tafsiran Accursius sebagai berikut” bila seseorang dari suatu kota tertentu dituntut secara hukum di kota lain, maka ia tidak diadili berdasarkan hukum dari kota lain itu, sebab ia bukan merupakan subyek hukum di sana”. Lihat Bayu Seta, Op. Cit, Hlm. 10. 68 188 1357). Bartolus berusaha mengembangka asas-asas untuk menentukan wilayah berlakunya setiap atauran hukum yang berlaku dengan mengajukan pertanyaan hubungan macam manakah yang diatur oleh suatu kaidah hukum tertentu. Jadi, titik tolaknya adalah kaidah-kaidah yang berlaku di suatu negeri atau kota tertentu.72 Bortolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis dan statuta realia dengan kekuasaan toritorial hukum itu. Dia membedakan statuta ke dalam statuta yang mengijinkan sesuatu (earlubend, veroorloren) dan yang melarang sesuatu. Statuta personalia adalah statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Hal ini bermakna, bahwa statuta itu mengikuti orang (persoon) dimanapun ia berada.73 Statuta realia mempunyai lingkungan kuasa secara toritorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di bawah statuta-statutanya. Bartoluslah yang mengemukakan persoalan-persoalan yang hingga kini masih menajdi persoalan Hukum Perdata Internasional, antara lain mengenai bentuk (form) perbuatan hukum. Bartolus menambahkan satu statuta lagi, yaitu statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di temapat berlakunya statuta itu dengan segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatuir menurut statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.74 72 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, Hlm. 16. Sudargo Gautama, Op. Cit, Hlm. 168. 74 Ibid 73 189 Berdasarkan doktrin statuta di atas kemudian dikembangkan metode berfikir Hukum Perdata Internasional sebagai berikut: a. Apabila persoalan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi menyangkut persoalan status suatu benda, maka kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat dimana benda itu berada. Dalam perkembangannya, cara berfikir realia semacam ini hanya berlaku terhadap benda tetap saja. Sedangkan terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.75 b. Apabila persolan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statuta personalia dari tempat dimana orang tersebut berkediaman tetap (lex domicilii); dan c. Apabila persoalan Hukum Perdata Internasional yang dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atau akibat dari suatu perbuatan hukum, maka dan akibat dari perbuatan itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Cara berfikir atau asas ini diadopsi oleh Pasal 18 AB yang menyebutkan: “Bentuk setiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang dari negara atau tempat dimana perbuatan itu dilakukan” (De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verrigt). 75 Mobilia sequntuur personam bermakna bahwa benda bergerak nmengikuti orangnya. Dengan kata lain benda bergerak diatur atau tunduk kepada hukum nasionalitas atau domisili pemilik benda bergerak yang bersangkutan. Lihat J.G. Castel, Op. Cit, Hlm. 8. 190 5. 5. Teori Statuta Di Perancis (Abad 16) Pada abad ke-16 provinsi-provinsi di Perancis memiliki sistem hukum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakikatnya sama dengan statuta. Karena adanya keanekaragaman cautume tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar provinsi, maka komplik hukum antar provinsi makin meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hukum Perancis, seperti Charles Dumaulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statuta dan menerapkannya di Perancis dengan beberapa modifikasi.76 Charles Duomulin memperluas pengertian statuta personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian atau kontrak. Jadi, perjanjian atau kontrak yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta realia, menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam status perseorangan. Walaupun Bertrand D’Argentre mempergunakan teori statuta dari Bartolus dan Dumoulin, akan tetapi pada akhirnya ia mengemukakan teori yang jauh berbeda dengan asas-asas teori statuta Italia dan teori Dumoulin.77 Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi (kebesan) para pihak, melainkan otonomi, provinsi.78 76 Bayu Seto, Op. Cit, hlm. 24. C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 25. 78 Bayu Seto, Op. Cit, hlm. 25. 77 191 Bertrand D’Argentre tetap mengakui adanya statuta personal, akan tetapi perlu adanya pengecualian. Dengan bahasa yang lain, Bayu Seto79 menjelaskan bahwa, D’Argentre mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (legal capacities), akan tetapi: a. Ada statuta yang dimaksudkan untuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia); atau b. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (statuta mixta) yang dilakukan di tempat tertentu. Statuta semacam ini harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan teritorial atau wilayah penguasa yang memberlakukan statuta itu. Menurut Sudargo Gotama, pendirian atau pendapat yang dikemukakan Bertrand D’Argentre yang demikian itu tidak bisa dilepaskan dari status Bertrand D’Argentre sebagai seorang baron. Pandangan-pandangannya tentu tidak terlepas dari pengaruh ide-ide feodal yang mengedepankan segi toritorial semua ketentuan hukum. Kedaulatan teritorial itu adalah yang tertinggi dan harus dihormati semua orang yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum di wilayah penguasa yang bersangkutan.80 6. 6. Teori Statuta Di Negeri Belanda (Abad 17) Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat 79 80 Ibid Lihat Sudargo Gautama, Op. Cit, hlm. 171. 192 itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dibuat negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah negara tersebut. Hukum asing tidak berlaku di wilayah negara tersebut.81 Prinsip dasar yang diguakan penganut teori statuta di negeri Belanda adalah kedaulatan eksklusif negara. Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajukan tiga prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum perdata internasional sebagai berikut:82 a. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja. b. Semua orang baik yang menetap maupun sementara, yang berada di wilayah suatu negara berdaulat harus menjadi ubjek hukum dari negara itu dan terikat pada negara itu. c. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas = comity), diakui pula bahwa setiap pemerintah negara yang berdaulat mengakui, bahwa hukum yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memilii kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hukum dari negara yang memberikan pengakuan itu.83 Menurut Sudargo Gautama, hakim yang berpedoman pada asas komitas tidak berarti dapat bertindak sewenang-wenang. Hakim perlu memperhatikan pula hukum asing demi kepentingan negara-negara yang bersangkutan secara timbal balik. Selanjutnya Ulrik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut di atas harus pula diperhatikan 81 Ibid, hlm. 171. Bayu Seto, Op. Cit, Hlm. 24-25 dan C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, hlm. 19. 83 Sudorgo Gautama, Op. Cit, hlm. 172. 82 193 prinsip lain, yaitu semua perbuatan/transaksi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hukum dari suatu negara tertentu, akan diakui sah pula di tempat lain yang sistem hukumnya sebenarnya menganggap perbuatan atau transaksi semacam itu batal. Tetapi, perbuatan atau transaksi yang dilaksanakan di suatu tempat tertentu yang menganggapnya batal demi hukum juga harus dianggap batal dimanapun juga.84 Menurut Johanes Voet, pada hakekatnya tidak ada negara yang wajib mengatakan suatu kaidah hukum asing berlaku dalam batas-batas wilayah hukumnya. Jika hal ini terjadi, maka hal itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun pergaulan antar bangsa atau comitas gentium.85 Dewasa ini teori comitas gentium tersebut sudah banyak ditinggalkan para ahli. Cheshire misalnya, menyatakan bahwa penggunaan hukum asing hanyalah disebabkan keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do jastice), Jadi, tidak berdasarkan sopan santun atau bukan pula merupakan perongrongan atau pengorbanan kedaulatan negara sendiri.86 7. Teori-teori modern Pada abad ke-19, pemikiran Hukum Perdata Internasional mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar hukum, yaitu Joseph Story, Friedrich Cael von Savigny, dan Pasquae Stanislao Manchini.87 Titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang 84 Bayu Seto, Loc. Cit. C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit, Hlm. 20. 86 Ibid, Hlm. 21. 87 Ibid, Hlm. 23. 85 194 sama pula; baik bila diputuskan oleh hakim di negara A maupun di negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama di mana-mana. Satunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu sistem hukum supra nasional, yaitu hukum perdata internasional. Oleh karena titik tolak berpikir Von Savigny ini adalah bahwa HPI itu bersifat hukum supra nasional, oleh karenanya bersifat universal, maka ada yang menyebut pemikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI Universal.88 Menurut Von Savigny, pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (negara atau manusia) yang bersangkutan.89 Manchini berpendapat, bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu.90 a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan; b. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order). Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI, yaitu: 88 Bayu Seto, op.cit., hlm. 26-27. C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 24. 90 Ibid., hlm. 256-27. 89 195 a. Kaidah-kaidah untuk perseorangan berlaku bagi semua warganegara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil). b. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat teritorial dan berlaku bagi orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial). c. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum). Cita-cita Manchini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan-persetujuan internasional, sedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional. Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri, dan inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang, putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi) di dalam masing-masing masyarakat hukum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI, seperti perjanjianperjanjian HPI Den Haag. C. Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional 1. Undang-undang nasional yaitu undang-undang dan peraturanperaturan hukum dari suatu negara. Misalnya Pasal 16, 17 dan 18 AB yang telah disebut di atas. 2. Traktat, ialah perjanjian-perjanjian antar negara, misalnya traktattraktat Den Haag dari tahun 1902 dan 1905, di antaranya mengenai: a. Perkawinan, perceraian, dan perwalian (1902). 196 3. 4. b. Akibat perkawinan dan kekayaan perkawinan (1905), dan c. Penyampunan (1905) Jurisprudensi, yaitu putusan-putusan hakim baik Internasional maupun nasional. Pendapat ahli hukum yang terkenal yang ditulis dalam buku Hukum Perdata Internasioal, sebagai pedoman, tidak mengikat hakim dalam menetapkan putusannya. D. Titik-Titik Pertalian 1. Pengertian Titik Pertalian Dalam Hukum Perdata Internasional Titik pertalian atau titik-titik taut dalam Hukum Perdata Internasional biasa juga disebut dengan istilah anknopingspunten (Belanda), connecting factors atau point of contact (Inggris). Menurut Sudargo Gotama, titik taut atau titiktitik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menyebabkan berlakuknya stelsel hukum (feiten omstandigheiden die voor toepassing in aanmerking doen komen het een of andere rechtstelsel).91 2. Titik-Titik Pertalian Primer (Titik Taut Pembeda) Titik-titik pertalian primer (TPP) adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan Hukum Perdata Intenasional. Faktor-faktor yang termasuk dalam TPP adalah sebagai berikut: a) Kewarganegaraan; b) Bendera kapal dan pesawat udara; 91 Sudargo Gautama, 1986, Hukum Perdata Internasional, Jilid Kedua Bagian Pertama (Buku 2), Eresco, Bandung, hlm. 24. 197 c) Domisili (domicille); d) Tempat kediaman (residence); e) Tempat kedudukan badan hukum (legal seat); dan f) Pilihan hukum dalam hubungan intern. Dengan demikian, titik-titik pertalian primer merupakan alat pertama bagi pelaksana hukum untuk mengetahui apakah suatu perkara atau perselisihan merupakan perkara hukum perdata internasional atau bukan. Ad. 1. Kewarganegaraan Perbedaan kewarganegaraan di antara para pihak yang melakukan suatau hubungan hukum akan melahirkan persoalan hukum perdata internasional. Misalnya: seorang warganegara Indonesia menikah dengan warganegara Belanda, atau seorang warganegara Indonesia melakukan transaksi jual beli dengan seorang warganegara Jerman. Ad. 2. Bendera Kapal dan Pesawat Udara Dalam arti luas, kapal bermakna kenderaan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kenderaan yang berdaya dukung dinamis, kenderaan di bawah permukaan air, serta alat apapun dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.92 Menurut Annex 7.3. Convention on International Civil Aviation, pesawat udara berarti: any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air other than the reaction of against the earth’s surface... Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992, pesawat udara disefinisikan sebagai setiap alat yang dapat 92 Pasal 1 Angka 2 Undang-undang nomor 21 Tahun 1992. 198 terbang di atmosfir karena gaya angkat dari reaksi udara. Dengan demikian pesawat udara itu antara lain bisa mencakup pesawat terbang dan helikopter. Bendera kapal atau pesawat udara menunjuk kepada tempat dimana suatu kapal atau pesawat udara didaftarkan untuk memperoleh kebangsaan dan menetapkan hukum mana yang menguasai kapal atau pesawat udara itu. Hukum bendera kapal atau pesawat udara tersebut menunjukkan kebangsaan kapal atau pesawat udara itu. Kebangsaan kapal atau pesawat udara ditentukan berdasarkan di negara mana kapal atau pesawat udara itu didaftarakan. Karena bendera atau kebangsaan kapal atau pesawat udara berbeda dengan kebangsaan (kewarganegaraan) pihak-pihak yang bersangkutan dengan kapal atau pesawat udara dapat menimbulkan persoalan hukum perdata internasional.93 Ad. 3. Domisili (Domicile) Persolan domisili dapat juga menjadi faktor penting timbulnya persoalan hukum perdata internasional. Misalnya: Seorang warganegara Ingris (A) yang berdomisili di negara Y, melangsungkan perkawinan dengan warganegara Inggris (B) yang berdomisili di negara X.94 Ad. 4. Tempat Kediaman Persolan tempat kediaman seseorang juga dapat melahirkan masalah hukum perdata internasional. Misalnya: Dua orang warganegara Malaysia yang berkediaman sementara di Indonesia melangsungkan pernikahan di Indonesia. 93 94 Sudargo Gautama, Op. Cit, Buku 2, hlm. 28. Ibid, hlm. 28. 199 Ad. 5. Tempat Kedudukan Badan Hukum Sebagaimana halnya manusia, badan hukum sebagai subjek hukum juga memiliki kebangsaan dan tempat kedudukan (legal seat). Umumnya kebangsaan badan hukum ditentukan berdasarkan tempat (atau negara) dimana pendirian badan hukum tersebut didaftarkan. Misalnya PT Indohokindo, sebuah PT joint venture antara beberapa pengusaha Jepang dan Indonesia. PT tersebut didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Jakarta (Indonesia). Dengan demikian status hukum PT tersebut adalah badan hukum Indonesia. Contoh lain: Hong Ming Co.Ltd sebuah perusahaan joint venture antara pengusaha Indonesia dan Singapura, didirikan dan berkedudukan di Singapura, maka perusahaan yang bersangkutan berbadan hukum Singapura. Seringkali dijumpai beberapa pengusaha Indonesia yang mendirikan perusahaan di negara lain, misalnya di Hongkong. Walaupun semua pemegang saham adalah warganegara Indonesia, namun karena didirikan berdasarkan hukum Hongkong, maka perusahaan berbadan hukum dan harus tunduk kepaa hukum Hongkong. Ad. 6. Pilihan Hukum Interen Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pilihan interen dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: Dua orang WNI di Jakarta mengadakan transaksi jual beli barang-barang bahan suatu pabrik yang penyerahannya memakan waktu jangka panjang dan barangnya diimpor dari Inggris. Dalam kontrak jual beli itu dinyatakan, bahwa perjanjian jual beli itu diatur oleh hukum Inggris.95 Karena adanya pilihan hukum oleh para pihak yang menutup kontrak jual beli ke arah hukum yang 95 Sudargo Gautama, Op. Cit, hlm. 30. 200 berlainan dari hukum nasional mereka, akan melahirkan hubungan HPI.96 3. Titik-Titik Pertalian Sekunder (Titik Taut Penentu) Titik-titik pertalian sekunder (TPS) adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. Termasuk dalam TPS adalah sebagai berikut: a) tempat terletaknya benda (Lex Situs = lex rei sitae); b) tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus); c) tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex loci celebrationis); d) tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus); e) tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis = lex loci executionis); f) tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicticommisi); g) pilihan hukum (choice of law); Menurut Sudargo Gautama97 ada kemungkinan TPS jatuhnya bersamaan dengan TPP, yaitu: h) kewarganegaraan (lex patriae); i) bendera kapal (dan pesawat udara); j) domisili (lex domicilii); k) tempat kediaman; dan l) tempat kedudukan badan hukum (legal seats). Penerapan titik taut penentu atau titik pertalian dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah: PT Abadi Telekomomindo sebuah perusahaan pembuat peralatan mendapat kredit dari Bank Sumitomo, Singapura. Sebagai jaminan 96 97 Ibid, hlm. 31. Ibid, hlm. 33. 201 bagi kredit tersebut, PT Abadi Telekomomindo membebankan hak tanggungan atas tanah hak guna bangunan dan bangunan diatasnya. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Jakarta. Sesuai dengan asas lex rei situe, maka pengaturan pembebanan hak tanggungan tersebut harus tunduk atau diatur berdasarkan hukum Indonesia, dalam hal ini UU No. 4 Tahun 1996 jo UU No. 5 Tahun 1960. Jika ada perselisihan yang menyangkut suatu perbuatan atau perbuatan melawan hukum, pengaturannya didasarkan kepada hukum dimana perbuatan hukum atau perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan. Misalnya Andrew Young, warganegara Inggris melakukan suatu perbuatan melawan hukum terhadap Yoseph Liem, warganegara Singapuran di Jakarta, maka pengaturan hukumnya harus tunduk kepada hukum Indonesia. Penyelesaian hukum suatu perselisihan yang menyangkut kontrak dapat diselesaikan berdasarkan tempat ditandatanganinya kontrak. Misalnya PT Pembangunan Jaya Abadi melakukan perjanjian ekspor impor dengan Hong Ming Co. Ltd (Singapura), kontraknya ditandatangani di Jakarta. Jika diikuti titik taut lex loci contractus, maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian tersebut adalah hukum Indonesia. Jika perjanjian tersebut dilaksanakan di Singapura, dan titik taut yang digunakan adalah lex loci solutionis, maka yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum Singapura. Jika dalam suatu kontrak dagang internasional terdapat pilihan hukum, maka hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut haruslah hukum yang dipilih dan disepakati oleh para pihak. Misalnya PT Pembangunan Jaya Abadi mengadakan perjanjian ekspor-impor dengan Hong Ming Co. Ltd. Di dalam kontrak tersebut terdapat klausula “jika terjadi perselisihan yang menyangkut penafsiran dan pelaksanaan kontrak ini, maka penyelesaiannya didasarkan pada hukum Singapura. Hukum Singapura adalah hukum yang dipilih oleh para pihak. 202 Jika ada kapal yang dimiliki warganegara Indonesia, tetapi didaftarkan di negara lain, maka kapal yang bersangkutan adalah berkebangsaan asing. Jika kapal-kapal milik badan hukum atau warganegara Indonesia yang berkebangsaan negara Bermuda membebankan hipotik atas kapal atas kredit kepada Bank di Indonesia, maka pembebanan hipotiknya harus dilakukan di Bermuda sesuai dengan hukum Bermuda. Menurut R.H. Graveson, dalam menyelesaikan suatu perkara HPI perlu diperhatikan tiga hal, yaitu:98 a) Titik taut apa sajakah yang dipilih sistem HPI tertentu yang dapat diterapkan pada sekumpulan fakta yang bersangkutan. b) Berdasarkan sistem hukum manakah diantara pelbagai sistem hukum yang relevan dengan perkara, titik-titik taut akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena faktor-faktor yang sama mungkin secara teoritis diberi interpretasi yang berbeda dalam pelbagai sistem hukum. c) Setelah kedua masalah tadi ditetapkan barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu dibatasi oleh sistem hukum yang akan diberlakukan (lex causae). Titik taut penentu tersebut di atas tentunya tidak digunakan semuanya dalam suatu kasus tertentu. Misalnya ada perselisihan yang menyangkut suatu kontrak dagang internasional, tentu tidak semua titik taut penentu itu digunakan, harus dipilih salah satu. Pemilihan tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ada. Jika di dalam kontrak itu telah ada pilihan hukum, maka hukum yang digunakan haruslah sesuai dengan hukum yang dipilih para pihak. Jika di dalam kontrak itu ternyata tidak ada pilihan hukumnya, maka harus dicari titik-titik penentu lainnya, misalnya tempat ditandatanganinya kontrak dan tempat dilangsungkannya kontrak. 98 Bayu Seto, Op.Cit., hlm. 85. 203 Penggunaan titik taut selain pilihan hukum tersebut harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Jika kasus tersebut diadili di Indonesia, maka pengadilan sesuai dengan Pasal 18 AB harus menggunakan hukum tempat atau negara dimana kontrak tersebut dilaksanakan. Penggunaan titik-titik taut penentu dalam suatu kasus faktual dapat diibaratkan dengan hubungan antara kunci (gembok) dan anak kunci. Kasus atau fakta dapat digambarkan seperti gembok. Titik-titik taut penentu adalah anak kuncinya. Untuk membuka gembok tersebut tersedia banyak anak kunci. Tidak semua anak kunci tersebut cocok atau dapat membuka gembok tersebut. Harus dicari dan dipilih salah satu anak kunci yang paling cocok. Mengenai fungsionalisasi titik-titik taut tersebut didalam suatu perkara HPI dapat dijelaskan melalui tahapan penyelesaian perkara HPI:99 a) Pertama-tama harus ditentukan dulu titik-titik taut primer dalam rangka menentukan apakah peristiwa hukum yang dihadapi peristiwa HPI atau bukan. Di sini akan dicari unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang dihadapi. b) Setelah hal tersebut di atas ditentukan, langkah berikutnya adalah melakukan kualifikasi fakta berdasarkan lex fori. Kualifikasi fakta ini dilakukan untuk menetapkan kategori yuridis perkara yang dihadapi. c) Setelah kategori yuridis ditentukan, langkah berikutnya adalah penentuan kaidah HPI mana dari lex fori yang harus digunakan untuk menentukan lex causae. Pada tahap ini sebenarnya orang menentukan titik taut sekunder apa yang bersifat menentukan (decisive) berdasarkan kaidah HPI lex fori. d) Setelah lex causae ditentukan, maka dengan menggunakan titiktitik taut yang dikenal lex causae, hakim berusaha menetapkan 99 Ibid, hlm. 86 – 87. 204 kaidah-kaidah hukum internal apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara. e) Apabila berdasarkan titik taut dari lex causae hakim telah dapat menentukan kaidah hukum internal/material apa yang harus diberlakukan, maka barulah perkara dapat diputuskan. RANGKUMAN Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas negara. Di dalam HPI dikenal dua macam aturan, yaitu peraturanperaturan petunjuk dan peraturan-peraturan asli (mandiri). Peraturanperaturan petunjuk ialah peraturan-peraturan yang memberi petunjuk tentang aturan manakah yang dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara yang timbul karena hubungan hukum antara seorang dengan orang lain yang masing-masing berlainan kewarganegaraannya. Peraturan-peraturan asli (mandiri) ialah peraturan-peraturan itu sendiri yang menyelesaikannya, jadi bukan oleh peraturan-peraturan yang menunjukkan hukum negara mana yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan itu. Mengenai peraturan-peraturan petunjuk di Indonesia diatur dalam AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving/ Peraturan-peraturan umum dari perundang-undangan), yaitu: 1) Pasal 16 AB (Statuta Personalia) yang mengatur segala ketentuan perundang-undangan mengenai status dan kewenangan seseorang tetap berlaku bagi warga negara Indonesia, yang berada di luar negeri. Jadi hukum Indonesia mengikuti warga negara Indonesia di luar negeri. 2) Pasal 17 AB (Statuta Realia) yang menentukan bahwa mengenai benda-benda tidak bergerak berlaku peraturan-peraturan 205 perundang-undangan dari negara atau tempat, di mana bendabenda itu berada. 3) Pasal 18 AB (Statuta Mixta) yang menentukan untuk tiap-tiap perbuatan hukum yang dilakukan seseorang warganegara Indonesia di luar negeri berlaku hukum dari negara atau tempat di mana perbuatan itu dilaksanakan LATIHAN 1. Jelaskan pengertian hukum perdata internasional. 2. Aturan hukum perdata internasional terdiri dari dua golongan. Jelaskan dan berikan contohnya. 3. Pada masa Romawi berkembang asas-asas yang dilandasi prinsip atau asas toritorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas hukum perdata internasional yang penting. Jelaskan asas-asas tersebut. 4. Jelaskan sumber-sumber hukum perdata internasional. 5. Apakah yang dimaksud dengan titik pertalian. 6. Jelaskan macam-macam titik pertalian dalam hukum perdata internasional dan apa fungsi dari masing-masing titik pertalian tersebut. 7. Jelaskan pengertian titik pertalain primer dan sebutkan faktorfaktornya. 8. Jelaskan pengertian titik pertalian sekunder dan jelaskan faktorfaktornya. GLOSSARIUM 1. Private International Law,International Private Law, Internationales Privatrecht, Droit International Prive,Diritto Internazionale Privato adalah nama-nama yang sering dipergunakan untuk menyebut hukum perdata internasional. 206 2. Zwarte schimmel (kuda hitam yang berwarna putih) maksudnya adalah yang digunakan sebenarnya adalah hukum perdata, namun karena menyangkut dengan hubungan antar Negara disebutlah hukum perdata internasional. 3. Contradictio in terminis (terjadi krontradiksi antara istilah perdata yang sifatnya hukum privat dengan hukum internasional). 4. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda tersebut berada atau terletak. 5. Asas Lex Loci Contractus, adalah untuk perjanjianperjanjian (yang bersifat Hukum Perdata Internasional) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian. 6. Municipal laws (sistem-sistem hukum local). 7. cuntos popules ques Clementiae Nostrae Regit Imperium (semua bangsa di bawak kekuasaan kami). 8. De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verrigt maksudnya adalah hukum yang diterapkan terhadap setiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang atau Negara dari tempat di mana perbuatan itu dilakukan. 9. (the desire to do jastice (keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya). 10. Anknopingspunten (Belanda), connecting factors atau point of contact (Inggris) adalah titik pertalian atau titik taut dalam hukum perdata internasional. 11. Lex Situs = lex rei sitae adalah tempat letaknya benda. 207 12. Lex loci actus adalah tempat dilangsungkannya perbuatan hukum. 13. Lex loci celebrationis adalah tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkaawinan. 14. Lex loci contractus adalah tempat ditandatanganinya kontrak. 15. Lex loci solutionis atau lex loci executionis) adalah tempat dilaksanakannya perjanjian. 16. Lex loci delicticommisi adalah tempat terjadinya perbuatan melawan hukum. DAFTAR PUSTAKA Bayu Seto, 1992, Dasar-Dasar Hukum Internasional, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung. C.F.G. Sunaryati Hartono, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta, Bandung. David D. Sigel. 1982, Conflicts. West Publishing Co. St. Paul Minn. Mochtar Kusumaadmadja, 1990, Pengantar Hukum Internasional: Bku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung. P.B. Nygh, 1984, Conflict of Law in Australia, Fourth ed. Butterworths, Sydney Sudargo Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Binacipta, Bandung. ---------, 1992, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid I (Buku 1). Alumni, Bandung. ---------, 1996, Hukum Perdata Internasional, Jilid Kedua Bagian Pertama (Buku 2), Eresco, Bandung. 208 BAB VIII ASAS-ASAS HUKUM INTERNASIONAL Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajrai pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami; sejarah perkembangan hukum internasional, sumbersumber hukum internasional, subjek hukum internasional, hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Tujuan Khusus pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum internasional. 2. Mengungkapkan sumber-sumber hukum internasional. 3. Menjelaskan subjek hukum internasional. 4. Menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. A. Pengertian Hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja100, Hukum Internasional adalah sekumpulan kaedah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan persoalan yang melintasi batas antara: (a) negara dengan negara, (b) negara dengan subjek hukum internasional bukan negara satu sama lainnya. 100 Muktar Kusumatmadja, 2003, Hukum Internasional Publik, Alumni, Bandung, hal. 1-2/ 209 Pengertian hukum internasional yang diberikan pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly101, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subyek hukum lain ke dalamnya. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan, kerjasama dan saling ketergantungan antar negara, menjamurnya organisasi-organisasi internasional, munculnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi, menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organsiasi internasional, kelompok-kelompok supranatural, dan gerakan-gerakan pembebanan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu, hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara. Walaupun hukum internasional tidak lagi semata-mata merupakan hukum antar negara dengan tampilnya aktor-aktor baru non negara, namun dalam kehidupan internasional, negara masih tetap memainkan peranan utama mengingat dampak kedaulatan yang dimilikinya terhadap keseluruhan sistem hukum internasional. Sebetulnya negara bukan saja merupakan subjek tetapi juga aktor hukum internasional yang paling berperan dalam membuat hukum internasional baik melalui partisipasinya pada berbagai hubungan atau interaksi internasional, maupun melalui perjanjianperjanjian internasional yang dibuatnya dengan negara atau aktoraktor lainnya, atau melalui keterikatannya terhadap keputusan dan resolusi organisasi-organisasi internasional. Dengan demikian hukum internasional dapat dirumuskan sebagai suatu kaidah atau norma101 . Ibid, hlm. 7. 210 norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum internasinal, yaitu negara, lembaga dan organisasi internasional, serta individu dalam hal-hal tertentu. B. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Pada dasarnya hukum internasional dalam pengertian modern hampir berumur 4 abad, namun akar-akarnya telah terdapat semenjak zaman Yunani kuno dan zaman Romawi. Di zaman Yunani kuno ahliahli pikir seperti Aristoteles, Socrates dan Plato telah mengemukakan gagasan mengenai wilayah, masyarakat dan individu. Lebih dari 2000 tahun yang lalu city-states di Yunani walaupun didiami oleh bangsa dengan bahasa yang sama, hubungan mereka telah diatur dengan ketentuan-ketentuan tersebut menyangakut pengaturan-pengaturan perang dan penghormatan terhadap utusan-utusan negara. Namun, pada waktu itu ketentuan-ketentuan tersebut belum lagi didasarkan atas prinsip hukum yang mengikat tetapi atas percampuran moral, agama dan hukum. Pada zaman kekaisaran Romawi, berbeda dengan zaman Yunani kuno, hubungan internasional sudah ditandai dengan negara-negara dalam arti kata yang sebenarnya. Dengan negara-negara lain, kerajaan Romawi membuat bermacam-macam perjanjian seperti perjanjianperjanjian persahabatan, persekutuan dan perdamaian. Disamping itu kerajaan Romawi juga mengembangkan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perang dan damai. Sumbangan Romawi terhadap pembentukan hukum internasional cukup berarti, tetapi prinsip-prinsip yang dirumuskannya tidak banyak berkembang karena negara tersebut menaklukkan hampir semua negara lain pada waktu itu. Barulah pada abad ke-15 dan 16, city-states di Italia seperti Venice, Genoa dan Florence mengembangkan praktek pengiriman duta-duta besar residen ke ibukota masing-masing yang berakibat dibuatnya prinsip-prinsip 211 hukum yang mengatur hubungan diplomatik mereka terutama kekebalan-kekebalan para duta besar dan stafnya. Hukum internasional dalam arti sekarang, baru berkembang mulai abad ke-16 dan 17 setelah lahirnaya negara-negara dengan sistem modern di Eropa. Perkembangan hukum internasional pada waktu itu sangat banyak dipengaruhi oleh karya-karya tokoh-tokoh kenamaan di Eropa yang dapat juga atas dua aliran utama yaitu golongan naturalis dan golongan positivis. 1. Golongan Naturalis Golongan naturalis menyebutkan, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui dengan akal sehat. Hukum harus dicari dan bukan dibuat. Itulah yang dinamakan golongan naturalis yang merumuskan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam bersumberkan pada ajaran Tuhan. Tuhan mengajarkan bahwa umat manusia dilarang berbuat jahat dan harus berbuat baik antara satu dengan yang lain demi keselamatan umat manusia. Atas dasar hukum alam itu pula, negaranegara harus bersikap baik dalam hubunganna satu sama lain demi keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat internasional. Tokoh terkemuka golongan ini ialah warga Belanda Hugo de Groot atau Grotuis (1583-1645). Tokoh-tokoh lainnya adalah Fransisco de Vittoria (1480-1546), Fransisco Suarez (1548-1617), Alberico Gentilis (1552-1606). Ditinjau dari perkembangan hukum internasional, sumbangan Grotius sangat besar dan bahkan ia telah diberi julukan pendiri hukum internasional modern. Karyanya yang terkenal ialah De jure belli ac pacis (Hukum Perang dan Damai) yang berisikan dasar-dasar baru yang mengatur hubungan antar negara. Dengan karyanya tersebut 212 hukum internasional selanjutnya merupakan suatu sistem hukum yang terpisah, suatu cabang tersendiri. 2. Golongan Positivis Golongan positivis menyatakan, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negaranegara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiaswaan internasional. Seperti apa yang dinyatakan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du contract social, “La loi e’est I’expression de la volonte generale”. Hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh utama penganut aliran positivis ini juga warga Belanda bersama Cornelius Van Bynkershoek (1673-1743). Tokoh-tokoh lainnya adalah Prof. Richard Zouche (1590-1660) dan Emerich de Vattel (1714-1767). Teori hukum positif mulai berkembang di abad ke-18 dan baru pada abad 19 diterima oleh masyarakat internasional. Pada abad ke-19, hukum internasional berkembang dengan cepat karena beberapa faktor: (1) Negara-negara Eropa sesudah Kongres Wina 1815 berjanji untuk selalu memakai prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain, (2) Banyak dibuat perjanjian-perjanjian (law-making treaties) seperti di bidang perang dan netralitas, peradilan dan arbitrasi, (3) Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang sering melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang baru. Di paruh kedua abad ke-20, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut: (1) Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar 213 negara, (2) Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar engara di berbagai bidang, (3) Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global, (4) Bermunculannya organisasi-organisasi seperti PBB dengan berbagai organ subsidernya serta Badan-badan khusus dalam kerangka PBB yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang. C. Sumber-Sumber Hukum Internasional Menurut J. G. Starke102 bahwa sumber-sumber materiil hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Pada garis besarnya, bahan-bahan tersebut dapat dikategorikan dalam lima bentuk, yaitu: 1. Kebiasaan 2. Traktat 3. Keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrasi 4. Karya-karya hukum 5. Keputusan atau ketetapan organ-organ/lembaga internasional. Sedangkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara-perkara adalah: 1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun khusus. 2. Kebiasaan internasional (international custom); 3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab; 102 Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 45. 214 4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional. Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut tidak memasukkan keputusan-keputusan arbitrasi sebagai sumber hukum internasional karena dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui badan arbitrasi hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para pihak pada perjanjian. Di lain pihak, prinsip-prinsip hukum umum dimasukkan dalam Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah dalam menyelesaikan suatu sengketa. Prinsip-prinsip umum tersebut harus digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsepkonsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional. 1. Perjanjian Internasional Konvensi-konvensi internasional yang merupakan sumber utama hukum internasional adalah konversi yang berbentuk law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum. Sebagai contoh dapat disebutkan: a. Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 mengenai Hukum Perang dan Penyelesaian Sengketa Secara damai. b. General Treaty for the Renunciation of War, 27 Agustus 1928. c. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945 d. Konvensi-konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1861 dan Hubungan Konsuler, 1963. 215 e. Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dan Protokol-protokol tambahan, 1977. f. Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982. g. Konvensi Senjata-senjata Kimia, (Chemical Weapons Convention) 1993. h. Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT), 1996. Di samping itu terdapat sejumlah perjanjian mengenai kawasan bebas senjata nuklir yang bersifat regional, yaitu: a. Treaty of Tlatelolco yang meliputi wilayah Amerika Latin dan Karibia (1967). b. Treaty of Rarotonga meliputi kawasan Pasifik Selatan (1986). c. Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) Treaty meliputi kawasan Asia Tenggara (1995) d. Treaty of Pelindaba meliputi kawasan Afrika (1996). 2. Hukum Kebiasaan Internasional Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya proses atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktek yang sama, dilakukan secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh banyak negara. Dengan cara demikian maka terbentuk hukum kebiasaan yang makin lama makin bertambah kuat dan berlaku secara universal karena diikuti oleh hampir semua negara di dunia. Konvensi-konvesi Hubungan Diplomatik, Konsuler, Konvensi-konvensi Hukum Laut tahun 1958 dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 adalah bebrapa contoh hasil kodifikasi hukum kebiasaan. Dalam 216 beberapa hal, hukum kebiasaan menguntungkan dari hukum tertulis mengingat sifatnya yang cukup luwes. Hukum kebiasaan dapat berubah sesuai perkembangan kebutuhan internasional sedangkan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif harus melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. 3. Prinsip-prinsip Umum Hukum Sumber ketiga hukum internasional adalah prinsip-prinsip umum hukm yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara. Walaupun hukum nasional berbeda dari satu negara ke negara lain namun prinsip-prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip umum yang diambil dari sistem-sistem nasional ini dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip hukum administrasi dan perdagangan, ganti rugi dan kontrak kerja diambil dari sistem nasional untuk mengatur kegiatan yang sama dalam kerangka hukum internasional. Di samping itu terdapat prinsip lainnya seperti pacta sunt servanda, persamaan negara dan bona fides. 4. Keputusan-keputusan Peradilan Keputusan-keputusan peradilan memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional misalnya dalam sengketa-sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam hukum internasional yang selanjutnya mendapat persetujuan negara-negara secara umum. Di samping itu karya dari tokoh-tokoh kenamaan dapat memainkan peranan dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan hukum. Kita masih ingat betapa besarnya peranan pakar-pakar hukum di abad ke17 dan 18 dalam proses pembentukan hukum internasional. Sehubungan dengan sumber-sumber hukum ini, Mahkamah juga 217 diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et bono yaitu keputusan yang buta atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. D. Hubungan Antara Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Hubungan antara perangkat hukum ini terdapat dua aliran yaitu monisme dan dualisme. Menurut pandangan monisme, semua hukum merupakan satu sistem kesatuan hukum yang mengikat apakah terhadap individu-individu dalam suatu negara ataupun terhadap negara-negara dalam masyrakat internasional. Tokoh-tokoh aliran monisme ini adalah Kelsen dan Goerges Scelle. Sebaliknya para pendukung dualisme seperti Triepe dan Anzilotti menganggap bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah 2 sistem hukum yang terpisah, berbeda satu sama lain. Menurut aliran dualisme ini perbedaan tersebut terdapat pada: 1. Perbedaan Sumber Hukum Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional. 2. Perbedaan mengenai Subjek Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara sedangkan subjek hukum internasional adalah negaranegara anggota masyarakat internasional. 218 3. Perbedaan mengenai Kekuatan Hukum Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna kalau dibanding dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horizontal. Pandangan dualisme ini dibantah golongan monisme dengan alasan bahwa: (a) Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, namun subjek hukumnya tetap sama yaitu bukanlah pada akhirnya yang diatur oleh hukum internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara. (b) sama-sama mempnyai kekuatan hukum yang mengikat. Di saat diakuinya hukum internasional sebagai suatu sistem hukum maka tidaklah mungkin untuk dibantah bahwa hukum internasional dan nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat apakah terhadap individu-individu ataupun negara. Selanjutnya mengenai aliran monisme terdapat pula dua pandangan yaitu yang memberikan primat pada hukum nasional atas hukum internasional dan primat hukum internasional atas hukum nasional. Tanpa melibatkan diri pada diskusi akademis mengenai kebenaran pandangan kedua aliran monisme dan dualisme tersebut dapatlah dikatakan bahwa praktek internasional tidak menunjukkan secara nyata aliran yang lebih dominan. Sebaliknya terdapat konfirmasi primat hukum internasional atas hukum nasional sebagai syarat yang diperlukan bagi keberadaan hukum internasional. E. Subjek Hukum Internasional Yang dimaksud dengan subyek hukum internasional ialah setiap negara, badan hukum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan hukum internasional. 219 Subyek hukum internasional itu antara lain ialah: 1. Negara Negara sebagai subjek hukum internasional yaitu negara yang merdeka, berdaulat dan tidak merupakan bagian dari suatu negara. Negara yang berdaulat artinya negara yang mempunyai pemerintahan sendiri secara penuh yaitu kekuasaan penuh terhadap warga negara dalam lingkungan kewenangan negara itu. 2. Tahta suci Yang dimaksud Tahta Suci (Heilige Stoel) ialah Gereja Katolik Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan bukan sebuah negara sebagai yang disyaratkan negara pada umumnya, tetapi Tahta Suci itu mempunyai kedudukan sama dengan sebuah negara sebagai subjek hukum internasional. Manusia sebagai individu dianggap merupakan subjek hukum internasional kalau dalam tindakan atau kegiatan yang dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai kehendak damai kehidupan masyarakat dunia. Misalnya: Pertanggungjawaban individu terhadap timbulnya Perang Dunia II. 3. Organisasi Internasional Dalam pergaulan internasional yang menyangkut mengenai hubungan antara negara-negara, maka banyak sekali organisasi yang diadakan (dibentuk) oleh negara-negara itu. Bahkan sekarang dapat dikatakan telah menjadi lembaga hukum. Menurut perkembangannya, suatu organisasi internasional timbul pada tahun 1815 dan menjadi lembaga hukum internasional sejak adanya Kongres Wina. Pada tahun 1920 didirikanlah Liga BangsaBangsa yang benar-benar merupakan organisasi internasional dan anggota-anggotanya sanggup menjamin suatu perdamaian dunia. Tetapi jaminan itu tidak berhasil 220 Organisasi internasional yang bertujuan untuk kepentingan sosial ada juga seperti organisasi untuk memperbaiki dan mempertinggi pengajaran, pemberantasan kelaparan, pemberantasan penyakit dan sebagainya. F. Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional yang bersifat universal didirikan pada tanggal 26 Juni 1945 di San Fransisco sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Tujuan organisasi internasional ini dicantumkan dalam Mukaddimah Piagamnya yang menegaskan bahwa: Kami rakyat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa bermaksud untuk menyelamatkan keturunan kami dari siksaan perang yang telah dua kali dalam seumur manusia menimbulkan kesengsaraan yang tidak ada akhirnya bagi manusia, serta: 1. memperkuat lagi keyakinan hak-hak dasar manusia, kemuliaan dan derajat tinggi manusia, hak-hak yang sama dari pria dan wanita segala bangsa baik yang besar maupun yang kecil, serta 2. menciptakan suasana akan keadilan dan penghargaan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional dan lain-lain sumber hukum internasional dapat dipelihara, serta 3. memajukan masyarakat dan mempertinggi tingkat hidup yang baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas, dan untuk melaksanakan cita-cita itu 4. menciptakan kesabaran dan hidup bersama sebagai tetangga yang baik dalam keadaan damai dan terjamin, seta mempersatukan kekuatan kami supaya perdamaian dan keamanan internasional tetap terpelihara, serta 221 5. menjamin, dengan mengaku asas-asas yang tertentu dengan melakukan cara-cara tertentu, agar kekuatan senjata tidak akan digunakan, kecuali untuk keperluan bersama, serta 6. mempergunakan aparat internasional untuk menyelenggarakan kemajuan ekonomi dan sosial semua bangsa, telah menentukan sebagai persatuan semua tenaga kami dan tercapainya maksud tersebut. Karena itu, maka pemerintah kami masing-masing melalui perantaraan wakil-wakil yang ternyata mendapat surat kuasa dan sepenuhnya, telah bermusyawarah di kota San Fransisco, serta telah menyetujui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini, dan kemudian membentuk badan internasional yang akan dikenal dengan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Tujuan yang dicantumkan dalam Mukadimah ini kemudian diulang lagi dalam Pasal 1 Piagam PBB. Sedangkan asas-asasnya dicantumkan dalam Pasal 2 yang menyebutkan: a. Perserikatan Bangsa Bangsa berasaskan kepada persamaan kedaulatan. b. Semua anggota akan menjamin hak-hak yang timbul sebagai anggota dan akan memenuhi kewajibannya dengan penuh kesetiaan. c. Dalam hubungan internasional setiap anggota akan menghindarkan diri dari ancaman dan penggunaan kekerasan bagi keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara. Setiap anggota wajib membantu PBB dalam kegiatan yang diambil berdasarkan ketentuan Piagam. d. PBB akan menjamin agar bagi negara yang bukan anggota bertindak sesuai dengan asas-asas PBB dalam kepentingan yang dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional. e. PBB tidak akan ikut campur urusan dalam negeri suatu negara. 222 Berdasarkan tujuan dan asas-asas ini, maka dalam pergaulan internasional PBB menyelenggarakan kegiatan melalui enam aparat perlengkapan utamanya, yaitu: 1) Majelis Umum (General Assembly) 2) Dewan Keamanan (Security Council) 3) Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) 4) Dewan Perwalian (Trusteeship Council) 5) Mahkamah Internasional (International Court of Justice) 6) Sekretaris (Secretary). Ad. 1. Majelis Umum Setiap anggota PBB merupakan Majelis Umum. Negara anggota diperkenankan mengirim lima orang wakilnya ke sidang Majelis Umum dengan hak satu suara. Sidang Majelis Umum diadakan sedikitnya sekali setahun dalam bulan September. Tetapi atas permintaan Dewan Keamanan atau sebagian besar anggota, Sekretaris Jenderal dapat mengadakan sidang istimewa, dan keadaan mendesak dalam waktu 24 jam Dewan Keamanan dapat meminta Majelis Umum mengadakan sidang darurat istimewa. Majelis Umum memiliki tugas dan wewenang yang pada pokoknya meliputi tentang perdamaian dan keamanan internasional; kerja sama ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, perikemanusiaan; sistem perwalian; keuangan penetapan keanggotaan, perubahan program; pemilihan keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwakilan, bersamasama Dewan Keamanan memilih hakim dari Mahkamah Internasional dan atas usul Dewan Keamanan memilih Sekretaris Jenderal. Untuk melaksanakan tugas-tugas itu Majelis Umum mempunyai komisi-komisi yang terdiri atas: 223 a. Komisi I mengurus bidang politik dan keamanan b. Komisi II mengurus bidang ekonomi dan keuangan c. Komisi III mengurus bidang sosial, perikemanusiaan dan kebudayaan d. Komisi IV mengurus bidang perwalian, termasuk daerah-daerah yang tidak berpemerintahan sendiri. e. Komisi V mengurus bidang administrasi dan anggaran belanja. f. Komisi VI mengurus bidang perundang-undang (hukum). Selain itu terdapat sub-sub komisi yang terdiri atas: a. United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNWRA). b. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) c. United Nations Children’s Fund (UNICEF) d. United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) e. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) f. United Nations Development Programme (UNDP) g. United Nations Institute Training and Research (UNITER) Ad. 2. Dewan Keamanan Terdiri dari lima anggota tetap yang memiliki hak “veto” (saya melarang) yaitu Inggris, Perancis, Republik Rakyat Cina, Amerika Serikat dan Uni Soviet dan sepuluh anggota tidak tetap yang dipilih setiap 2 tahun. Tugasnya memelihara perdamaian, menyelesaikan perselisihan internasional secara damai, mengambil tindakan terhadap ancaman agresi dan perkosaan perdamaian. Untuk melaksanakan tugas-tugas itu, yang didalamnya diperbantukan Panitia Staf Militer dan Panitia Perlucutan Senjata, Dewan Keamanan mempunyai wewenang: Memerintahkan kepada pihak-pihak yang berselisih untuk 224 berunding, memberikan perantaraan dan keputusan; Mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mengindahkan perintahnya. Untuk hal ini Dewan Keamanan dapat meminta bantuan dalam segala bentuk, misalnya pengiriman Pasukan-pasukan PBB. Ad. 3. Dewan Ekonomi dan Sosial Anggotanya sebanyak 54 negara anggota PBB. Keanggotaan Dewan Ekonomi dan Sosial itu dipilih oleh Majelis Umum setiap 3 tahun sekali hanya seorang wakil (dari negara terpilih) yang duduk didalamnya. Tugas dan wewenang yang diemban oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ialah: a. Menyelenggarakan kegiatan ekonomi tanggung jawabnya. b. melakukan penyilidikan untuk dilaporkan dan memberikan anjuran-anjuran mengenai bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, kesehatan, pendidikan dan masalah lain yang ada dan sosial sebagai hubungannya, membuat laporan dari hasil pekerjaannya dan disampaikan kepada Majelis Umum, kepada anggota-anggota PBB dan komisi-komisi yang mempunyai hubungan kepentingan dengan Dewan Ekonomi dan Sosial ini. Untuk melaksanakan tugasnya, Dewan Ekonomi dan Sosial oleh komisi-komisi dan badan-badan khusus. Adapun komisi-komisi itu terdiri atas: 1) Regional Economic Commission 2) Functional Commission 3) Sensational, standing, and hoc commission. Sedangkan badan-badan khusus yang dikoordinir oleh Dewan Ekonomi dan Sosial terdiri dari: a. Food and Agriculture Organization (FAO) b. International Monetary Fund (IMF) c. International Bank of Reconstruction and Development (World Bank) 225 d. United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) e. World Health Organization (WHO) f. International Labour Organization (ILO) g. International Development Association (IDA) h. International Finance Corporation (IFC) i. International Civil Aviation Organization (ICAO) j. International Postal Union (IPU) k. International Telecommunication Union (ITU) l. World Governmental Maritime Consultative Organization (WGMCO) m. World Intellectual Property Organization (WIPO) n. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Ad. 4. Dewan Perwalian Tugas-tugas Dewan Perwalian melindungi kepentingan penduduk di daerah-daerah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri. Pelaksanaannya dijalankan dengan mempertinggi kemajuan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan dalam rangka untuk memperoleh pemerintahan sendiri sesuai dengan haknya untuk menentukan nasib sendiri. Daerah-daerah yang ada di bawah perwalian itu merupakan kolonisasi dari negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia I dan II. Sebagai trustterritory dibedakan dalam tiga macam yaitu: Daerah mandat, ialah daerah yang setelah Perang Dunia I diserahkan oleh negara-negara yang kalah perang. Daerah yang dipisahkan dari negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II. Daerah-daerah yang oleh negara penanggung jawab secara sukarela diserahkan. 226 Pengawasan daerah perwalian itu dijalankan oleh Dewan Perwalian yang terdiri dari: a. Anggota penyelenggara pemerintahan daerah perwalian b. Anggota tetap Dewan Keamanan yang tidak diberi tugas sebagai negara wali. c. Anggota-anggota yang dipilih oleh Majelis Umum untuk tiga tahun lamanya. Ad. 5. Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional merupakan pengadilan tertinggi dalam kehidupan bernegara di dunia ini. Sebagai aparat perlengkapan PBB, Mahkamah beranggotakan 15 orang hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Masa pilih para hakim Mahkamah 9 tahun sekali dengan ketentuan dapat dipilih kembali. Mahkamah Internasional berkedudukan di Den Haag (Negara Belanda). Dan sebagai pengadilan internasional, Mahkamah bertugas menyelesaikan perselisihan internasional dari negara-negara anggota PBB, sebab semua anggota PBB adalah “ipsofacto” dari Piagam Mahkamah Internasional menurut Pasal 193 ayat (1) Piagam PBB. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa boleh menjadi peserta dari Piagam Mahkamah Internasional sesuai syarat-syarat yang ditetapkan oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan”. Berdasarkan ketentuan ini berarti bahwa Mahkamah Internasional dapat mengadili negara-negara bukan anggota PBB dalam menghadapi perselisihan. Mahkamah mengadili masalah yang berkenaan dengan perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum. Dalam penyelenggaraan pengadilan internasional, setiap negara anggota PBB tidak diwajibkan membawa masalah perselisihan yang mereka hadapi ke hadapan pengadilan, kecuali bagi negara-negara 227 yang telah menandatangani “optional clause”. Mengenai ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 36 ayat (2) Piagam Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa “negara-negara peserta Piagam Mahkamah Internasional sebagai kekuasaan yang mengikat berdasar hukum dan dapat tidak mengikat berdasarkan perjanjian istimewa”. Dalam hal ini hubungan hukum internasional mengenai proses perkara berdasarkan surat gugatan. Dan dengan adanya optional clause menunjukkan langkah penting menuju suatu pengadilan internasional wajib, walaupun penandatangan dari negara-negara anggota hanya mengenai penyelesaian perselisihan hukum saja. Ad. 6. Sekretariat Sekretariat PBB terdiri atas seorang Sekretaris Jenderal dan stafnya. Sekretaris Jenderal dipilih dan diangkat oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan. Tugasnya menyelenggarakan sidangsidang PBB dan Dewan-dewan, menyusun laporan-laporan tentang pekerjaan PBB dan Dewan-dewan untuk disampaikan kepada sidang Majelis Ulama. G. Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Organisasi kerjasama Asia Tenggara yang diberi nama ASEAN (Association of South East Asia Nations atau Persatuan BangsaBangsa Asia Tenggara) didirikan melalui Deklarasi ASEAN tanggal 8 Agusatus 1967 di Bangkok (Thailand). Negara-negara pendirinya ialah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Organisasi ini didirikan tanpa keanggotaan terbatas. Maksudnya terbuka bagi setiap negara yang terletak dilingkup geografis Asia Tenggara. Maksud dan tujuan organisasi ini inti utamanya ialah kerjasama dalam mencapai kesejahteraan hidup bertetangga baik dalam bernegara. Hal ini antara lain meliputi: 228 a. Pertumbuhan yang cepat dalam bidang ekonomi, kemajuan sosial dan kebudayaan. b. Memelihara perdamaian dan stabilitas regional. c. Kerjasama dan saling membantu dalam kepentingan bersama. d. Memajukan studi tentang Asia Tenggara. Untuk mencapai maksud dan tujuan ini ada aparat perlengkapan ASEAN yang terdiri dari: a. Pertemuan dari Kepala Pemerintahan negara anggota. Pertemuan Menteri Luar Negeri. b. Pertemuan ini diadakan setahun sekali secara bergilir dan menentukan program ASEAN, merumuskan pedoman dan koordinasi kegaitan serta melakukan peninjauan kembali terhadap keputusan dan program yang lalu. Komite kerja. Kepala Komite Kerja ASEAN ini ialah Menteri Luar Negeri negara tuan rumah (pertemuan) atau wakilnya. Anggota-anggotanya terdiri atas Duta Besar negara ASEAN yang ada di negara tuan rumah. Tugas Komite ini ialah: 1) melanjutkan pekerjaan ASEAN dalam kurun waktu antara sidang Menteri Luar Negeri. 2) Mengerjakan masalah-masalah rutin 3) Membuat keputusan tanpa menunggu pertemuan Menteri Luar Negeri berikutnya. 4) Sekretariat ASEAN Nasional. Pada setiap negara anggota dibentuk Sekretariat Nasional yang melaksanakan tugas-tugas ASEAN atas nama negaranya. 5) Komite tetap, khusus dan ad hoc. Tugasnya melaksanakan program ASEAN. Keanggotaan komite ini terdiri atas para ahli sesuai bidangnya. 229 6) Sekretariat ASEAN Sekretariat ASEAN berkedudukan di Jakarta (Indonesia) Lembaga ini didirikan berdasar kepada hasil Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN tahun 1976 (Juni). Kepala Sekretariat ialah Sekretaris Jenderal yang pemilihannya ditentukan dalam sidang Menteri Luar Negeri. Masa jabatan Sekretaris Jenderal selama 2 tahun secara bergantian dari negaranegara anggota. Sedangkan tugasnya melaksanakan pekerjaan kesekretariatan ASEAN. RANGKUMAN Hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara-perkara adalah: 1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun khusus. 2. Kebiasaan internasional (international custom); 3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab; 4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional. Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut tidak memasukkan keputusan-keputusan arbitrasi sebagai sumber hukum internasional karena dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui 230 badan arbitrasi hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para pihak pada perjanjian. Di lain pihak, prinsip-prinsip hukum umum dimasukkan dalam Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah dalam menyelesaikan suatu sengketa. Prinsip-prinsip umum tersebut harus digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsepkonsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional. LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Hukum internasional 2. Jelaskan sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili sebuah perkara 3. Jelaskan tugas-tugas dari mahkmah internasional 4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan law making treatis 5. Jelaska apa yang menjadi subjek hukum internasional GLOSARIUM 1. Law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum. 2. Tahta Suci (Heilige Stoel) ialah Gereja Katolik Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan bukan sebuah negara sebagai yang disyaratkan negara pada umumnya, tetapi Tahta Suci itu mempunyai kedudukan sama dengan sebuah negara sebagai subjek hukum internasional. 231 DAFTAR PUSTAKA Muktar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, 2003. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kesepuluh), Sinar Grafika, Jakarta, 1995. 232 BAB IX ASAS-ASAS HUKUM ISLAM Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: pengertian syariat dan fiqih dalam hukum Islam, tujuan Hukum Islam, Ahkamulkhamsah, Ushulul Fiqh (sumber-sumber) Hukum Islam, asas-asas Hukum Islam, Hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, Peradilan Syariah di Propinsi Aceh. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi syariat dan fiqih dalam Hukum Islam. 2. Mengungkapkan tujuan Hukum Islam. 3. Menjelaskan Ahkamulkhamsah 4. Menjelaskan Ushulul Fiqh (sumber-sumber) Hukum Islam. 5. Menjelaskan asas-asas yang terkandung di dalam Hukum Islam. 6. Menjelaskan keberadaan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. 7. Menjelaskan dasar hukum keberadaan Peradilan Syariat di Propinsi Aceh. A. Pengertian Syari’at Dan Fiqih Dalam Hukum Islam Allah menciptakan manusia untuk beribadat pada-Nya. Dalam melaksanakan ibadat pada Allah manusia diberikan petunjuk yang disebut dengan Agama atau Al-Din, atau Al-Islam. Untuk 233 menjalankan Al-Din, selanjutnya Allah swt telah memberikan syariat kepada manusia dibawah bimbingan dan petunjuk Rasul-Nya. 103 Syariat itu sendiri adalah metode atau cara melaksanakan AlDin, atau dapat juga disebut program implementasi dari Al-Din104. Syariat dengan kata lain adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah dan sabda rasul-Nya. Agar semua ketentuan hukum yang terkandung dalam syariat dapat diamalkan, maka manusia harus memahami apa yang dikendaki Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Kemampuan akal yang dihasilkan oleh manusia untuk memahami syariat (alquran dan sunnah) bukan lagi syariat melainkan disebut dengan fiqih105. Pemahaman terhadap nilai hukum yang terdapat dalam syariat bisa saja berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan tempat dan waktu, perubahan situasi dan kondisi masyarakat, kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu. Oleh karena itu fiqih sebagai hasil pemahaman terhadap syariat sering dihubungkan dengan orang atau kelompok orang yang telah berupaya melakukan penemuan hukum yang digali dari syariat. Seperti bisa dijumpai fiqih Hanafi, fiqih Syafi’i, fiqih Syi’ah. Fiqih juga sering dikaitkan dengan kebutuhan yaitu dengan memperhatikan kondisi umat Islam di daerah tertentu, yang mungkin berbeda dengan daerah lain. Misalnya, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sering disebut 103 104 105 QS. Al-Maidah: 48. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 24. I b i t, hlm. 42. 234 juga dengan fiqih Indonesia. Ini disebabkan ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia106. Kembali kepada ajaran agama Islam yang disebut dengan syari’at, meliputi apa yang tercakup dalam Ilmu Kalam (Tauhid) dan Ilmu Fiqih)107. Seseorang yang ahli dalam hukum Islam dinamakan Faqih (jamaknya: Fuqaha). Ulama-ulama hukum Islam memuat pendapatnya dalam Kitab-Kitab Fiqih yang mungkin saja berbedabeda seperti sudah dijelaskan. Misalnya mengenai penggolongan hukum Islam, sesungguhnya tidak semua ahli fiqih sependapat tentang penggolongan peraturan hukum seperti yang kita pelajari sekarang ini dalam agama Islam, namun banyak di antara mereka menyetujui penggolongan sebagai berikut: 1. Ibadah, yang dimaksudkan ke dalam ibadah ialah segala peraturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Fiqih mengenai ibadah meliputi: syahadat, shalat, shaum, zakat, dan haji. 2. Muamalah, dimasukkan ke dalam golongan ini segala perhubungan hukum antara sesama manusia, yang dapat disamakan dengan hukum privat (privat recht) dalam istilah hukum Eropah. Hukum yang berkenaan dengan muamalah mengatur perhubungan antara satu orang dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli (ba’i), sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai (rahan), waqaf, hibah, perserikatan (syarikah), perwakilan (wakalah) dan lain-lain. 3. Munakahah, golongan hukum ini mengatur perhubungan di antara sesama manusia dalam kekeluargaan yang dapat disamakan dengan hukum kekeluargaan (famili recht) dalam istilah hukum Eropah. Termasuk di dalam golongan hukum Munakahah ialah: 106 107 Departemen Agama R.I, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dirjen Binbaga, Jakarta, hlm. 141. Hanafi A, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang Jakarta, hlm. 8. 235 perkawinan, perceraian, kekuasaan orang tua, keturunan, warisan, dan lain-lain. 4. Jinayah, hukum ini meliputi segala peraturan yang berkenaan dengan perbuatan kejahatan dan hukumnya. Dapat disamakan dengan hukum Pidana dalam istilah hukum Eropah. Perbuatan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman adalah sebagai berikut: a. Kejahatan mengenai jiwa atau anggota tubuh seseorang (penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya). b. Kejahatan mengenai hak milik seseorang (perampokan, pencurian, dan sebagainya). c. Kejahatan mengenai kehormatan (tuduhan berzina, fitnah, dan sebagainya). d. Kejahatan mengenai agama (murtad, dan sebagainya). e. Kejahatan lainnya (seperti minuman keras, perjudian, dan sebagainya). Hukuman yang dapat dijatuhkan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan adalah sebagai berikut: a. Qishah, yaitu hukuman yang dijatuhkan pada seseorang setimpal dengan beratnya kejahatan yang telah dilakukannya. Misalnya seorang pembunuh, dijatuhkan hukuman bunuh pula. b. Haad, yaitu hukuman yang telah ditentukan beratnya oleh hukum syari’at. Misalnya seorang pencuri huukmnya potong tangan. c. Ta’zir, yaitu hukum siksa yang beratnya tidak ditentukan, melainkan terserah kepada pertimbangan hakim. d. Diyat, yaitu denda atau ganti kerugian yang wajib dibayar oleh yang berbuat kejahatan. e. Perampasan hak milik. 236 Pembagian dalam golongan-golongana tersebut di atas diteruskan lagi ke dalam bahagian-bahagian tersendiri yang lebih khusus. Adapun pembagian hukum Islam ini dilakukan adalah untuk memudahkan mempelajarinya, sebab hukum Islam sebenarnya merupakan satu kesatuan hukum yang tidak dapat dilepaskan begitu saja antara satu bagian dengan bagian lainnya. Umpamanya soal perkawinan selain berkaitan dengan munakahah juga berkaitan dengan ibadah. B. Tujuan Hukum Islam Apabila kita mempelajari Al-Quran dan hadis, maka secara umum dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan diakhirat dengan jalan mengambil semua yang bermanfaat dan mencegah yang mudharat yaitu menolak segala sesuatu yang tidak berguna dalam kehidupan. Dengan demikian tujuan hukum Islam adalah mencapai kemaslahatan hidup manusia baik rohani, jasmani, induvidual dan sosial108, tidak hanya di dunia saja tetapi juga di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan Hukum Islam yaitu: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan; 5. Memelihara harta; Kelima tujuan hukum Islam ini di dalam kepustakaan disebut almaqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam). 108 Muhammad Daud Ali, 2004, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 61. 237 Ad1) Pemeliharaan agama merupakan tujuan utama hukum Islam, sebab agama merupakan pedoman hidup manusia. Di dalam agama terdapat komponen aqidah yang merupakan pegagan hidup muslim, akhlak yang merupakan sikap hidup, syariat yang merupakan jalan hidup baik dalam berhubungan dengan Tuhannya, manusia dan alam. Ad2) Memelihara jiwa. Hukum Islam memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum Islam melarang pembunuhan (QS 17:33). Ad3) Memelihara akal. Akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam. Dengan akal manusia dapat berfikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya. Penggunaan akal harus diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ad4) Memelihara keturunan. Pemeliharaan keturunan penting agar kemurnian darah dapat terjaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam QS 4:11 (syarat untuk dapat saling mewarisi), QS 4:23 (larangan perkawinan), QS 17: 32 (larangan berzina). Ad5) Memelihara harta. Menurut ajaran Islam harta adalah pemberian Tuhan kepada manusia agar manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Karena itu hukum Islam melindungi hak manusia untuk memperoleh harta dengan cara yang halal. C. Ahkamulkhamsah Menurut fiqih segala tindakan manusia dalam melaksanakan peraturan-peraturan, tidak terlepas dari salah satu di antara hukum yang lima (ahkamulkhamsah), yaitu: 1. Wajib (fardhu): ialah perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan. Wajib ini dibagi lagi dalam: 238 a. Fardhu ‘ain, ialah perbuatan yang wajib dikerjakan oleh setiap orang, misalnya mengerjakan shalat, shaum, dan lain-lain. b. Fardhu kifayah, ialah perbuatan yang apabila dikerjakan oleh sebagian orang, lepaslah kewajiban dari yang lain, misalnya mengurus jenazah. 2. Sunnah atau mandud, ialah perbuatan yang jika dikerjakan diberi pahala, sedang jika ditinggalkan tidak berdosa, misalnya memberi salam. 3. Mubah atau jaiz; ialah perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, misalnya berjual beli. 4. Makruh, ialah perbuatan yang jika dikerjakan tidak berdosa, tetapi jika ditinggalkan diberi pahala, misalnya merokok. 5. Haram, ialah perbuatan yang jika dikerjakan berdosa, tetapi jika ditinggalkan diberi pahala, misalnya membunuh orang, menganiaya, dan sebagainya. Penggolongan ke dalam 5 bagian ini adalah pendapat para ahli fiqih. Di dalam Qur’an dan Hadits secara tegas tidak dijelaskan, yang terang ditentukan ialah apa-apa yang wajib dan yang haram, kadangkadang juga berupa anjuran. D. Ushulul Fiqh Kata ushul adalah pluralis dari kata Ashl (asal), artinya akal atau pokok. Jadi, ushulul fiqh artinya dasar-dasar Hukum Islam atau sumber-sumber Hukum Islam, atau dalil hukum Islam109. Dalam Hukum Islam, Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi sumber hukum Islam (QS. Al-Nisa’(4) ayat 59); setiap muslim wajib mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri (penguasa). Dengan demikian yang menjadi sumber hukum Islam adalah (1) alquran, (2) As-Sunnah 109 Mukhtar Yahya, 1979, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Pustaka Alhusna, Jakarta, hlm. 21. 239 (Al-Hadis), (3) akal fikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihat karena pengetahuan dan pengalamannya, dengan mempergunakan berbagai metode atau cara diantaranya (a) ijmak, (b) qiyas, (c) istidal, (d) al-masalih al—mursalah, (e) istihsan, (f) istishab, dan (d) ‘urf 110. E. Asas-Asas Hukum Islam Asas mempunyai beberapa pengertian. Salah satunya adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Selain itu berarti landasan. Bila kata asas dihubungkan dengan hukum, maka asas hukum akan berarti kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan dalam mengemukakan suatu argumentasi, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum111. Asas hukum Islam berasal dari Alquran dan hadis yang dikembangkan oleh akal fikiran yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum Islam ada yang berlaku umum, ada yang berlaku khusus untuk bidang-bidang hukum tertentu. Tim pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984 menyebutkan beberapa asas hukum Islam yang; (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, (3) dalam lapangan hukum perdata. Sementara asas dalam lapangan hukum Islam lainnya tidak disebutkan dalam laporan tersebut. Asas umum hukum Islam terdiri dari asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan. Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting, demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut asas semua asas hukum Islam. Di dalam Al-Quran kata 110 111 Mohammad Daud Ali, Loc. Cit, hlm. 78. Zainuddin Ali, 2006, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 45. 240 keadilan disebut lebih dari 1000 kali (terbanyak sesudah kata Allah dan ilmu pengetahuan)112. Banyak ayat yang menyuruh manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan, antara lain dalam Surat Sad (38) ayat 26 “Allah memerintahkan penguasa untuk menyelenggarakan hukum dengan sebaik-baiknya”, Al-Nisa’ (4) ayat 135 “Allah memerintahkan manusia menegakkan keadilan, menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dan keluarga dekat”, Al-Maidah (5) ayat 8 “Tuhan menegaskan agar manusia berlaku adil sebagai saksi, berlaku lurus dalam melakssanakan hukum kendatipun ada tekanan atau ancaman”. Asas kepastian hukum antara lain terdapat dalam Surat Bani Israil (17) ayat 15 yang isinya lebih kurang “…dan tidaklah kami menjatuhkan hukuman , kecuali setelah kami mengutus seorang rasul untuk menjelaskan…”. Selanjutnya dalam Al-Maidah (5) ayat 95 yang menyatakan “Allah memaafkan apa yang terjadi di masa lalu”. Dari kedua ayat tersebut disimpulkan terdapat asas kepastian hukum, di mana tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali atas ketentuan hukum yang telah ada dan berlaku. Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam menjalankan asas keadilan dan kepastian hukum seyogianya dipertimbangkan asas kemanfaatan, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan masyarakat. F. Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia Di zaman pemerintahan Hindia Belanda kedudukan Islam diatur di dalam I.S. Pasal 134 ayat 2: Evenwel staan de burgerlijke rechtzaken tusschen Mohamedanen indien hun adatrecht dat medebrengt ter 112 Saefuddin A.M, 1983, Sistem Ekonomi Islam “dalam Panjimas No. 411 (1983), hlm. 45. 241 kennisneming van den godsdienstigen rechter, boor zoever niet bij ordonantie anders is bepaald. Pasal ini mengandung landasan legal theory receptie yang mengajarkan bahwa hukum Islam baru boleh dijalankan bilamana ia telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat adat sehingga menjadi hukum adat atau dipandang sebagai bagian dari hukum adat. Oleh karena hukum adat yang diakui berlaku positif itu hanya mengenai bidang keperdataan saja, maka demikian juga hukum Islam yang diakui hanyalah dalam bidang keperdataan saja, yakni perkaraperkara perdata antara sesama orang Islam yang menurut hukum adatnya mesti diurus oleh Pengadilan Agama. Jadi, tidak termasuk hukum pidana Islam. Dengan itu berarti bahwa hukum Islam an sich bukan hukum, tetapi tergantung kepada kesediaan masyarakat setempat untuk menjadikan hukum Islam yang bukan hukum itu menjadi hukum adat. Teori yang demikian itu sangat ditentang oleh Hazairin, dan menamakannya sebagai teori iblis yang menantang iman orang Islam113. Dengan Stb. 1882 – 152 jo 153 diatur tentang Peradilan Agama untuk Jawa dan Madura yanag mempunyai wewenang antara lain dalam bidang-bidang nikah, thalak, ruju’, nafkah, dan yang berhubungan dengan perkawinan antara orang Islam. Untuk sebaian Kalimantan Selatan dan Timur dengan Stb. 1937 No. 638 dibentuk Pengadilan Agama yang disebut dengan Kerapatan Kadi. Sedang untuk luar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan itu baru dengan PP No.45 Tahun 1957 diatur mengenai peradilan agama yang disebut dengan Mahkamah Syari’ah. Baik Kerapatan Kadi maupun Mahkamah Syari’ah mempunyai wewenang yang lebih luas, selain menyelesaikan perkara-perkara yang bersangkutan dengan nikah, thalak, ruju’, dan sebagainya, juga 113 Hazairin, 1982, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas, Jakarta, hlm. 5. 242 mengenai perkara-perkara waris, wakaf, dan sebagainya antara umat Islam sepanjang menurut kenyataan perkara demikian tidak diurus oleh pengadilan lain. Dengan keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama (UU No.7 Tahun 1989) maka semua peraturan perundangan tentang Peradilan Agama tersebut di atas, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian sekarang hanya dikenal satu sistem peradilan agama yang berlaku seragam bagi seluruh Indonesia. Dalam Pasal 49 ayat (1) undang-undang ini dinyatakan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan, (b) warisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan (c) wakaf dan shadaqah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa golongan hukum Islam yang sebagian dari pedoman telah menjadi hukum positif di Indonesia ialah mengenai muamalah. Di antara muamalah yang telah menjadi hukum positif itu ialah: 1. Munakahah (Hukum Perkawinan Islam), yang berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946, yaitu yang mengatur tentang pendaftaran pencatatan nikah, thalak, ruju’ bagi orang Islam Indonesia yang tidak tunduk pada hukum lain dan sekarang berdasarkan Undang-Undang Pokok Perkwinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974) juncto peraturan mengenai peradilan agama tersebut di atas, dan dilanjutkan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 2. Faraidh (Hukum Waris Islam) yang berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 untuk luar Jawa dan Madura dan Stb.1937 No.638 jo No. 639 untuk sebagian Kalimantan Selatan dan Timur. Sedangkan untuk Jawa dan Madura hukum Faraidh tidak berlaku, tetapi untuk warisan di sini berlaku hukum adat 243 setempat, berdasarkan Stb. 1937 No. 116 dan 610. Dan sekarang sudah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan KHI. Ad.1. Munakahah (Hukum Perkawinan Islam) a. Dalam munakahah diatur hal-hal antara lain sebagai berikut: a. Disebabkan oleh pertalian sanak (nasab), yaitu: a) ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah, dan seterusnya, b) anak, anak dari anak, dan seterusnya, c) saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, d) saudara ayah dan seterusnya, e) saudara ibu dan seterusnya, dan f) anak saudara dan seterusnya. 2. Disebabkan pertalian susuan 3. Disebabkan persemendaan (mushakarah), yaitu: a) ibu tiri dan seterusnya, b) anak tiri dan seterusnya, c) mertua dan seterusnya, dan d) menantu dan seterusnya. 4. Perempuan yang saudaranya, atau saudara ayahnya, atau saudara ibunya sedang menjadi isteri kita. 5. Semua perempuan kalau kita sedang beristeri empat. 6. Perempuan dalam masa iddah. 7. Perempuan yang bukan Islam dan bukan Kitabiyah. Yang dimaksud dengan tarbiyah di sini ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani. 8. Perempuan yang dalam masa ihram. Selain dari pada perempuan-perempuan tersebut di atas semua perempuan boleh dinikahi. b. Suatu pernikahan sah apabila mencukupi syarat-syarat dan rukunrukun di bawah ini: 244 1. adanya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. 2. adanya wali nikah, yaitu keluarga sanak laki-laki dari pengantin dari garis ayah yang menikahkan, dapat disusun sebagai berikut: ayah, ayah dari ayah, (keduanya disebut wali mujbir – artinya wali yang memaksa, karena dapat menikahkan anak atau cucunya, tanpa persetujuan anak atau cucu perempuan itu jika ia masih gadis), saudara seibu seayah, saudara seayah, dan ini disebut wali nasab, artinya wali karena pertalian sanak. Apabila wali-wali yang tersebut tidak ada, dan apabila jarak antara-antara wali itu dengan pengantin perempuan sejauh dua marhalah (kira-kira 96 km) atau sedang dalam ihram, maka yang bertindak sebagai wali adalah wali hakim, misalnya penghulu. Apabila wali hakim juga tidak ada, maka kedua pengantin itu boleh mengangkat orang ketiga menjadi wali, yang disebut tahkim. Seorang wali haruslah terdiri dari laki-laki, sempurna akal, Islam, dan adil (orang baik-baik). 3. adanya aqad, yaitu ucapan penyertaan (ijab) yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dan ucapan penerimaan atau qabul yang diucapkan oleh pengantin laki-laki atau wakilnya, disertai dengan pemberian mahar, yaitu mas kawin dari pengantin lakilaki kepada pengantin perempuan. Mahar dapat berupa uang atau benda lain. 4. adanya dua saksi, yang terdiri dari laki-laki, sempruna akal dan panca idera, dan adil. 5. Relanya pengantin perempuan, kecuali jika yang menjadi itu ayah dari ayah dalam hal mengawinkan wanita yang masih gadis. 245 c. Nafkah Nafkah ialah belanja hidup yang terdiri dari tempat tinggal, makan dan pakaian yang wajib ditunaikan oleh suami kepada isteri dan anak-anaknya, demikian juga keluarga sanak yang dekat apabila mereka tidak sanggup lagi mencari nafkah. d. Thalaq Thalaq ialah perceraian yang diberikan oleh suami terhadap isterinya. Thalaq adalah hak suami yang dapat diberikan dengan mengucapkan kata-kata yang tegas misalnya thalaq atau cerai; dapat juga diberikan dengan perkataan sindiran, tetapi jika demikian haruslah ditanya haruslah ditanya apa maksud suami mengucapkan kata-kata itu. Thalaq dapat dijatuhkan oleh suami sampai tiga kali. Pada kali yang pertama dan kedua suami dapat balik kembali (ruju’), apabila masih dapat dalam masa iddah, tetapi dengan thalaq tidak suami tidak boleh ruju’ kembali. e. Ruju’ Ruju’ ialah mengulangi isteri yang telah diceraikan untuk hidup bersama sebagai suami isteri kembali, yang dilakukan oleh suami, selama isteri masih dalam thalaq satu atau dua. f. Iddah Iddah adalah suatu masa setelah perceraian untuk menentukan rahim seseorang perempuan itu bersih dari bibit suaminya yang terdahulu. Iddah ada beberapa macam: 1) Tiga kali suci dari iddah, bagi perempuan yang tidak hamil, 2) Melahirkan anak bagi yang hamil, 3) Tiga bulan bagi perempuan yang tidak haidh, dan 4) Empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang kematian suami dan hamil. 246 Ad. 2. Dalam hukum Faraidh diatur hal-hal mengenai: a. Waris (ahli waris), ialah orang-orang yang berhak atas harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia karena hubungan darah (nasab), perkawinan (mushakarah) dan karena memerdekakan hamba (wala’). b. Mal-waris (harta warisan), ialah harta-harta yang telah ditinggalkan pewaris yang dapat diwariskan oleh ahli waris. Berdasarkan PP No.45 Tahun 1957 yang berlaku di luar Jawa dan Madura ditetapkan pula berlakunya hukum mengenai: 1) Waqaf, ialah penahanan suatu harta dari peredaran, dan menyediakan harta itu atau hasilnya untuk kepentingan Islam atau umatnya. 2) Hibbah, ialah pemberian yang diikuti penyerahan atas sesuatu benda kepada orang lain secara sukarela, yang dilakukan di masa hidupnya, tanpa sesuatu syarat dan tanpa mengharapkan sesuatu balasan. 3) Sadaqah, ialah pemberian sesuatu benda secara sukarela kepada orang lain dengan pengharapan mendapat pahala dari Allah. 4) Baital-mal, ialah badan penyelenggara harta kekayaan yang diperuntukkan bagi kepentingan umat Islam yang milik perorangan. Harta-harta yang menjadi milik baital-mal adalah: a) harta-harta yang tidak ada pemiliknya, b) harta-harta yang diserahkan secara sukarela kepada baital mal, c) harta-harta yang tidak ada ahli waris atau wali ashabahnya, dan d) bagian dari zakat yang diperuntukkan untuk baital-mal. G. Peradilan Syariah Di Propinsi Aceh Dengan berpijak pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dipelajari mengenai kewenangan yang diperoleh keempat lingkungan peradilan. Pada prinsipnya, kekuasaan 247 kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar’iyah Kota atau Kabupaten untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mempunyai keunikan yang berbeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding. Mahkamah Syar’iyah Provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antara Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Sementara sengketa wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir. Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana termaksud di atas, diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun privat. Oleh karenanya kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mencakup pula seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui 248 lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub dalam penjelasan umum angka 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2002. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang al-ahwal, al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah. Bidang al-ahwal al-syakhshiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kecuali wakaf, hibah dan shadaqah. Bidang mu’amalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti: jual beli, hutang piutang, qiradh (permodalan), musaaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian), wakalah (kuasa), syirkah (perkongsian), ‘ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh) dan rahnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang), lugathah (barang temuan), perbankan, ijarah (sewa-menyewa), takaful (penjaminan), perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, shadaqah dan hadiah. Bidang jinayah adalah: 1. Hudud, yang meliputi: zina, menuduh berzina (qadzat), mencuri, merampok, minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan (bughah). 2. Qishash/diyat, yang meliputi: pembunuhan, penganiayaahn. 3. Ta’zir, yaitu huukman terhadap pelanggaran Syari’at selain hudud dan qishash/diyat, seperti: judi, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan (hukum materiilnya telah diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002), penipuan, pemalsuan dan lain-lain. Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Syar’’iyah, khususnya dalam bidang jinayah, akan diwujudkan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia. Hal ini secara tegas telah digariskan dalam Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003. 249 RANGKUMAN Syariat adalah metode atau cara melaksanakan Al-Din, atau dapat juga disebut program implementasi dari Al-Din. Kemampuan akal yang dihasilkan oleh manusia untuk memahami syariat (alquran dan sunnah) bukan lagi syariat melainkan disebut dengan fiqih. Sekalipun tidak semua ahli fiqih sependapat tentang penggolongan peraturan hukum seperti yang kita pelajari sekarang ini, namun mayoritas sepakat bahwa peraturan hukum dibedakan ke dalam; (1) ibadah, (2) muamalah, (3) munakahah, (4) jinayah. Hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan kejahatan adalah; (1) qishash, (2) haad, (3) ta’zir (4) diyat (5) perampasan hak milik. Tujuan Hukum Islam yaitu; (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta; Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi sumber hukum Islam (QS. Al-Nisa’(4) ayat 59); setiap muslim wajib mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri (penguasa). Dengan demikian yang menjadi sumber hukum Islam adalah (1) alquran, (2) As-Sunnah (AlHadis), (3) akal fikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihat karena pengetahuan dan pengalamannya, dengan mempergunakan berbagai metode atau cara diantaranya (a) ijmak, (b) qiyas, (c) istidal, (d) al-masalih al—mursalah, (e) istihsan, (f) istishab, dan (d) ‘urf 114. 114 Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hlm. 78. 250 LATIHAN 1. Jelaskan perbedaan syariah dengan fikih. 2. Sebutkan dan jelaskan apa saja yang menjadi tujuan hukum Islam. 3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Ahkamulkhamsah. 4. Jelaskan mengenai Ushulul fiqih atau apa saja yang menjadi sumber-sumber hukum Islam. 5. Jelaskan mengenai keberadaan Mahkamah Syar’iah di Propinsi Aceh kaitannya dengan hukum Islam. GLOSSARIUM 1. Qishash, yaitu hukuman yang dijatuhkan pada seseorang setimpal dengan beratnya kejahatan yang telah dilakukannya. 2. Haad, yaitu hukuman yang telah ditentukan beratnya oleh hukum syari’at. 3. Ta’zir, yaitu hukum siksa yang beratnya tidak ditentukan, melainkan terserah kepada pertimbangan hakim. 4. Diyat, yaitu denda atau ganti kerugian yang wajib dibayar oleh yang berbuat kejahatan. 5. Al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuantujuan hukum Islam). 6. Ahkamulkhamsah (hukum yang lima); wajib, Sunnah atau mandud, Mubah atau jaiz, makruh, haram. 7. Ushulul fiqih berasal dari kata ushul adalah pluralis dari kata Ashl (asal), artinya akal atau pokok. Jadi, ushulul fiqh artinya dasar-dasar Hukum Islam atau sumber-sumber Hukum Islam, atau dalil hukum Islam. 8. Ra’yu (akal fikiran). 251 DAFTAR PUSTAKA Hazairin 1982. Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas, Jakarta. Mohammad Daud Ali 1990. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mukhtar Yahya 1979. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Pustaka Alhusna, Jakarta, Suparman Usman 2001. Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta. Bustanul Arifin 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani, Jakarta. Departemen Agama R.I 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dirjen Binbaga, Jakarta. Hanafi A 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Saefuddin A.M. 1983. Sistem Ekonomi Islam “dalam Panjimas No. 411 (1983). Zainuddin Ali 2006. Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 252 BAB X ASAS-ASAS HUKUM ADAT Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian hukum adat, sumber hukum adat, asas-asas pokok dalam hukum adat, hukum adat dan penemuan hukum, pengaruh hukum adat dalam sistem hukum. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan pengertian hukum adat 2. Menjelaskan sumber-sumber hukum adat 3. Menjelaskan asas-asas pokok dalam hukum adat 4. Menjelaskan hubungan hukum adat dengan penemuan hukum 5. Menjelaskan pengaruh hukum adat dalam sistem hukum. A. Pengertian Hukum Adat Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Adat Recht”, yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya “De Atjehers” (orang-orang Aceh) tahun 1893. Istilah Adat-Recht ini kemudian dipakai pula oleh van Vollenhoven yang menulis buku pokok tentang Hukum Adat yaitu “Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie” (Hukum Adat HindiaBelanda 1901). 115 Sekalipun demikian ada yang membedakan antara antara adat recht dengan hukum adat. Seperti misalnya Kusumadi Pudjosewojo, 115 Ramli Zein, 1988, Pengantar Tata Hukum Indonesia, UIR Press, Jakarta, hlm. 62. 253 Subekti Pusponoto membedakan kedua istilah tersebut. Menurut mereka hukum adat adalah keseluruhan aturan hukum yang tidak tertulis mengenai tingkah laku dari orang Indonesia asli, dan dipatuhi karena ia dianggap patut oleh masyarakat. Sedangkan adat recht adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan orang timur asing, sekalipun tidak tertulis tetapi mempunyai upaya pemaksa116. Dalam arti sempit Hukum Adat sering disebut dengan hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa maupun di kota. Sekalipun demikian sebagian kecil hukum adat ada yang tertulis seperti piagam, perintahperintah raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig (dari Bali), dan sebagainya. Hanya saja yang tertulis sangat kecil, sehingaga tidak berpengaruh dan sering dapat diabaikan. Difinisi hukum adat menurut para ahli: 1. Ter Haar Menurut Ter Haar, hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan (macht, authority) serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta (spontan) dan ditaati dengan sepenuh hati. Fungsionaris yang dimaksud adalah kepala adat, para hakim, rapat desa, wali tanah, pejabat agama, dan pejabat desa lainnya yang memberikan keputusan di dalam dan di luar sengketa yang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat, yang diterima dan dipatuhi karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat117. 116 117 I b i t, hlm. 63. I Gede A.B. 2005, Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Kemasa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 14. 254 2. Van Vollenhoven Hukum Adat adalah aturan prilaku yang berlaku bagi orangorang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (sehingga disebut hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (sehingga dikatakan adat)118. 3. Supomo Supomo merupakan Guru Besar pertama yang merupakan orang Indonesia asli. Ketika memberi pidato pada konferensi Asia Tenggara di Washington pada tanggal 14 Agustus 1952 dengan judul “Hukum Adat di Kemudian Hari Berhubung dengan Pembinaan Negara Indonesia” mengemukakan beberapa hal tentang hukum adat sebagai berikut: a. Hukum adat adalah hukum nonstatutair. Hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam. Ia berakar pada kebudayaan tradisional. Sebagai hukum yang hidup, dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat. Ia senantiasa tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. b. Hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis. Untuk menghindari kerancuan pengertian dalam tata hukum maka hukum adat disebut sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis. Di dalam peraturan legislative (unstatutory law). Hukum adat itu sesungguhnya tidak lagi berlaku hanya bagi golongan bumi putra dan timur asing, tetapi sudah menjadi lebih luas meliputi hukum yang hidup sebagai konfensi di badan hukum Negara (parlemen), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di 118 I b i t, Hlm. 12. 255 kota maupun di desa, peraturan yang ditulis dalam paraturan desa, raja, serta hukum syariat Islam119. 4. Hazairin Di dalam pidato inagurasinya yang berjudul: “Kesusilaan dan Hukum” tahun 1952 berpendapat bahwa analisis hukum dikaitkan dengan agama (Islam). Menurutnya, seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung ataupun tidak langsung. Pada sistem hukum yang sempurna, tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Demikianlah juga dengan hukum adat; teristimewa di sini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Selanjutnya Hazairin dalam masyarakat, yaitu bahwa: kaidahkaidah Adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipun ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah-kaidah hukum itu, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dicela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi oleh kaidah-kaidah kesusilaan, diikhtiarkan pemeliharaannya dengan kaidah-kaidah hukum. Pengertian dari kaedah hukum itu sendiri sebenarnya adalah kaidah yang tidak hanya didasarkan kepada kebebasan pribadi tetapi serentak mengekang pula kebebasan itu dengan suatu gertakan, suatu ancaman paksaan yang dapat dinamakan ancaman hukum atau penguat hukum. Uraian Hazairin ini memberi kesan tentang suatu pandangan yang agak lain dari biasa. 119 I b i t, hlm. 17-18. 256 Di sini Hazairin menghilangkan suatu garis atau batas yang tegas antara hukum di pihak yang satu dengan kesusilaan (kebiasaan, kelaziman, “zede” dan sebagainya) di pihak lain. Hazairin melihat antara hukum (hukum adat) dan kesusilaan tidak ada suatu perbedaan hakiki. Dapat dikatakan bahwa segala macam hukum yang ada, yaitu segala macam peraturan dalam hidup kemasyarakatan yang mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu bersumber kepada kesusilaan. Kaidah kesusilaan termasuk kaidah Adat dibiarkan pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan dan dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu: hukuman pidana sebagai penguat hukum. Faham Hazairin tentang Hukum Adat disesuaikan dengan faham rakyat, yaitu baik dalam arti (adat) sopan-santun maupun dalam arti hukum120. B. Sumber Hukum Adat Dalam membicarakan sumber hukum (Adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron. Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti di mana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain 120 Amiruddin A. Wahab, dkk, 2007, Pengantar Hukum Indonesia (Bahan Ajar), Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 206. 257 perkataan sumber di mana asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui. Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron itu adalah: 1. Adat kebiasaan; 2. Yurisprudensi; 3. Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap ke dalam Adat istiadat masyarakat Indonesia Asli; 4. Kitab-kitab Hukum Adat; 5. Buku-buku Standar tentang Hukum Adat; 6. Pendapat Ahli Hukum Adat; Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan yang khusus memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat. C. Asas-Asas Pokok Dalam Hukum Adat Asas Religio Magis (Magisch-Religieus) Asas Komun (Commun) Asas Contant (Tunai) Asas Konkrit (Visual) Asas Religio Magis (Magisch-Religieus) adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lainlain. Kuntjaranigrat menerangkan bahwa alam pikiran religiomagis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 258 1. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, rokh-rokh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda. 2. Kepercayaan kepada kekuatan saksi yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luas biasa, binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai “magische kracht” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau menolak bahaya gaib. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindarkan dengan berbagai macam pantangan. Bushar Muhammmad tentang pengertian religio-magis mengemukakan kata “participerend cosmisch” yang mengandung pengertian komplek. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenagatenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuhtubuhan besar dan kecil, benda-benda; dan semua tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rokhaniah, “participatie”, dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage). Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas komun merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau 259 dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke belakang. Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan Desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, dengan khidmat. Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat contant (tunai) yaitu prestasi dan contra prestasi dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga. Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut paut atau tidak bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu mempunyai arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain. 260 Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer. Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis). Contoh: Panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau memindahkan hak atas tanah; peningset (panancang) dalam pertunangan atau akan melakukan perkawinan; membalas dendam terhadap seseorang dengan membuat patung, boneka atau barang lain, lalu barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung. D. Hukum Adat Dan Penemuan Hukum Telah dipahami bahwa hukum adat itu bukan hukum tertulis. Kalaupun diyakinkan sebagai hukum tertulis, makna hakiki dari hukum adat adalah hukum tertulis nonperundang-undangan dan tidak dikodifikasikan. Ini menunjukkan hukum adat selalu akan hidup, tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat yang melingkupinya. Dengan pemikiran sederhana demikian dapat dicermati jika seorang hakim memutus suatu perkara atas dasar aturan tata hukum dan perundangan yang ada secara terus menerus dan secara factual diputuskan pada masa lalu, maka seorang hakim demikian itu telah berprilaku hukum adat. Menurut Hilan Hadikusuma, sejauh mana kekuatan material putusan hukum adat yang didasari oleh aturan hukum adat itu masih dipandang perlu untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan memeriksa perkara hukum adat saat ini, dapat diukur dari beberapa segi yaitu; (1) struktur masyarakat, (2) peranan fungsionaris hukum, (3) karakteristik aturan 261 hukum, (4) metode, cara dan sistem/mekanisme penyelesaian perkara, (5) kompetensi, perkembangan hukum, dan perkembangan zaman.121 Dalam Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga disebutkan bahwa hakim di dalam mengadili dan memberikan putusan wajib memperhatikan nilai-nilai dan hukum yang berjalan dalam masyarakat. E. Perbedaan Sistem Hukum Adat Dengan Sistem Hukum Barat Sistem hukum adat sangat sederhana, bahkan terkadang tidak sistematis. Menurut konsepsi Soepomo apabila dicermati, tampak beberapa hal mendasar dalam sistem hukum adat apabila dibandingkan dengan sistem hukum barat, yaitu sebagai berikut; 1. Hukum adat tidak mengenal adanya konsep pembedaan hak perseorangan (persoonlijk rechten) dan hak kebendaan (zakelijke rechten). Zakelijke rechten adalah hak atas sesuatu barang yang bersifat zakelijke, yaitu yang berlaku terhadap tiap-tiap orang. Persoonlijk rechten adalah hak seseorang atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap sesuatu, orang lain tertentu, dan perlindungan hak-hak menurut sistem hukum adat ditangan hakim. Di dalam persengketaan di muka pengadilan, hakim menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling bertentangan serta berhadapan itu. 2. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara publiek recht (hukum umum) dan privaatrechts (hukum privat), atau jika hendak mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan hukum adat yang bersifat publiek dengan hukum adat yang mengenai lapangan privat, batas-batas antara kedua lapangan itu tidak ada. 121 Hilman Hadikusuma, 1990, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung, hlm. 48. 262 3. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana dan pelanggaran perdata. Tiap-tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan supaya adat (reaksi adat) dapat memutuskan apa yang harus digunakan untuk membetulkan hukum yang dilanggar itu. 122 RANGKUMAN Hukum adat adalah keseluruhan aturan hukum yang tidak tertulis mengenai tingkah laku dari orang Indonesia asli, dan dipatuhi karena ia dianggap patut oleh masyarakat. Asas-asas pokok dalam hukum adat yaitu asas religio magis (magisch-religieus), asas komun (mommun), asas contant (tunai) asas konkrit (visual). Bahan pertimbangan yang dapat digunakan dalam memeriksa perkara hukum adat saat ini, dapat diukur dari beberapa segi yaitu; (1) struktur masyarakat, (2) peranan fungsionaris hukum, (3) karakteristik aturan hukum, (4) metode, cara dan sistem/mekanisme penyelesaian perkara, (5) kompetensi, perkembangan hukum, dan perkembangan zaman.123 Perbedaan konsep hukum adat dengan hukum barat : 1. Hukum adat tidak mengenal adanya konsep pembedaan hak perseorangan (persoonlijk rechten) dan hak kebendaan (zakelijke rechten). 2. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara publiek recht (hukum umum) dan privaatrechts (hukum privat), 3. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana dan pelanggaran perdata. 122 123 I Gede A.B. Wiranata. Op. Cit, hlm. 84. Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 48. 263 LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum adat. 2. Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber hukum adat. 3. Sebutkan dan jelaskan asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum adat. 4. Jelaskan bagaimana kaitan hukum adat dengan penemuan hukum. 5. Jelaskan perbedaan antara hukum adat dengan hukum barat. GLOSSARIUM 1. judge made law: hakim sebagai pembuat hukum (penemu hukum). 2. Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. 3. Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti di mana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. 4. Magisch-Religieus mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain. 5. persoonlijk rechten (hak perseorangan). 6. zakelijke rechten (hak kebendaan). DAFTAR PUSTAKA Amiruddin A. Wahab, dkk 2007. Pengantar Hukum Indonesia (Bahan Ajar), Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh. Hilman Hadikusuma 1990. Pengantar Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung. 264 I Gede A.B. Wiranata 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Kemasa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Moh. Kuesnoe 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung. Ramli Zein 1988. Pengantar Tata Hukum Indonesia, UIR Press, Jakarta. Sudikno Mertokusumo 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. 265 BAB XI SUSUNAN BADAN PERADILAN DI INDONESIA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: susunan peradilan pada masa Hindia Belanda, susunan peradilan pada masa Indonesia merdeka, kewenangan peradilan dan mahkamah agung. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan sejarah peradilan di Indonesia 2. Menjelaskan kewenangan peradilan di Indonesia 3. Menjelaskan kewenangan mahkamah agung A. Pada Masa Hindia Belanda Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dahulu diadakan 5 tatanan peradilan, yaitu: 1. Peradilan Gubernemen 2. Peradilan Peribumi 3. Peradilan Daerah Swapraja 4. Peradilan Agama 5. Peradilan Desa. Peradilan Gubernemen 1. Pengadilan Gubernemen Eropah di Jawa dan Madura yang terdiri: a. Residentiegerecht b. Raad van justitie c. Hooggerechtschof 266 Residentiegerecht berkedudukan dalam daerah hukum Landraad, yang mengadili perkara-perkara kecil untuk orang Eropah. Raad van justitie merupakan: a. Pengadilan sehari-hari untuk orang Eropah dalam perkara perdata maupun perkara pidana. b. Pengadilan sehari-hari untuk orang Tionghoa dalam perkara perdata yang tergugatnya orang Eropah. c. Pengadilan sehari-hari dalam perkara perdata terhadap orang Timur Asing bukan Tionghoa dan orang Indonesia sekedar hukum Perdata Eropah berlaku terhadap pihak yang digugat. d. Pengadilan tingkat banding untuk perkara-perkara yang diputuskan oleh Landraad. e. Hooeggerechtshof merupakan pengadilan tertinggi di seluruh Hindia Belanda (147 IS). Di samping tugas peradilan juga diserahkan tugas pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh pengadilan bawahan. Hof mengadili beberapa perkara dalam tingkat pertama, peradilan tingkat banding untuk orang Eropah dan Pengadilan kasasi untuk orang-orang Indonesia. 2. Pengadilan Gubernemen Eropah di luar Jawa dan Madura yang terdiri: a. Residentiegerecht b. Raad van justitie 3. Pengadilan Gubernemen Bumi Putera di Jawa dan Madura a. Districtgerecht, yang terdapat pada setiap distrik yang mengadili perkara-perkara kecil yang terjadi antara orangorang Indonesia. Putusan pengadilan district dapat dibanding pada pengadilan kabupaten (agenschap gerecht). b. Regenschapsgerecht, terdapat di Ibukota Kabupaten. Pengadilan ini mengadili perkara antara orang Indonesia. Jika 267 penggugat orang Eropah atau orang Tionghoa perkara tersebut diadili oleh landraad. c. Landraad adalah hakim biasa bagi orang-orang Indonesia dalam perkara perdata dan pidana (Pasal 94 R). Landraad juga mengadili perkara pidana bagi orang Timur Asing lainnya dan Tionghoa. Putusan Landraad dapat diminta banding pada Raad van justitie (R.v.J). 4. Pengadilan Gubernemen Bumi Putera di luar Jawa dan Madura. Pengadilan ini terdiri dari: a. Nagorijrechtbank di Ambon b. Districtgerecht c. Magistraatgerect, mengadili perkara pidana dan perdata, jika dalam daerah tersebut terdapat Landgerecht, magistraatgerecht tidak mempunyai wewenang mengadili perkara pidana. Landgerecht, adalah pengadilan yang mengadili perkara pidana kecil untuk semua golongan (lebih lanjut lihat Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia). B. Pada Masa Indonesia Merdeka Setelah Indonesia merdeka pada umumnya diikuti. Apalagi dengan terbentuknya negara Federal (Republik Indonesia Serikat) tetapi dengan perubahan nama. 1. Pengadilan kewedanaan (Gun Hooin pada zaman Jepang; Districtgerecht pada zaman Belanda). 2. Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin pada zaman Jepang dan Raad van Justitie pada zaman Hindia Belanda). 3. Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin pada zaman Jepang, Raad van Justitie pada zaman Hindia Belanda yang merupakan pengadilan banding terhadap putusan Landraad) yang merupakan pengadilan tingkat banding. 268 4. Mahkamah Agung (Saikoo Hooin pada zaman Jepang Hooggerechtschof pada zaman Hindia Belanda). Nama-nama badan peradilan ini antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama misalnya peradilan tingkat pertama di tempat tertentu dinamakan Pengadilan Negeri di tempat lain dinamakan Pengadilan Negeri dan Landgerecht. Untuk adanya keseragaman maka pada tahun 1951, setelah negara kita menjadi negara kesatuan, dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. Pada tahun 1964 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 yaitu Undang-Undang tentang Kekuasaan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan ada 4 badan peradilan, yaitu: 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer 4. Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam lingkungan Peradilan Umum telah dibentuk pengadilan khusus seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM dan dalam lingkungan Peradilan Agama diadakan pengadilan khusus seperti Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Aceh. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan sekarang diganti dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Ad. 1. Pengadilan Umum terdiri dari: a. Pengadilan Negeri b. Pengadilan Tinggi 269 c. Mahkamah Agung (lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, Undang-Undang Peradilan, Pasal 3). Ad. 2. Pengadilan Agama terdiri dari: a. Pengadilan Agama b. Pengadilan Tinggi Agama c. Mahkamah Agung (lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Undang-Undang Peradilan Agama, Pasal 3). Ad. 3. Pengadilan Militer terdiri dari: a. Pengadilan Tentara (Mahkamah Militer) b. Pengadilan Tinggi Tentara (Mahkamah Militer Tinggi) c. Mahkamah Agung (lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 diganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, Hukum Acaranya dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1997). Ad. 4. Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari: a. Pengadilan Tata Usaha Negara b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (lihat UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, Pasal 5 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004). Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Tertinggi satusatunya yang berada di Ibukota Negara RI, Jakarta (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004). C. Kewenangan Pengadilan Kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan dibagi dalam 2 jenis: 1. Kewenangan absolut (Kompetensi absolut) adalah pemberian kekuasaan mengadili oleh undang-undang kepada masing-masing 270 pengadilan menurut lingkungannya (attribute van rechtsmacht). Kewenangan absolut in dapat dilihat dalam masing-masing undang-undang yang mengatur tentang peradilan tersebut. a. Kewenangan absolut dari peradilan umum: Pengadilan negeri berwenang memeriksa atau mengadili perkara pidana dan perkara perdata pada tingkat pertama (Pasal 50). Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara perdata dan pidana pada tingkat banding (Pasal 51). b. Kewenangan absolut dari Pengadilan Militer, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950, mengadili perkara pidana yang tercantum dalam Pasal 3 yaitu anggota ABRI, yang dipersamakan oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah sebagai anggota ABRI, orang yang termasuk suatu golongan atau jawatan sebagai anggota ABRI, orang tidak termasuk ketentuan di atas, tetapi ditetapkan oleh Menteri Kehakiman, diadili oleh Pengadilan Militer. c. Kewenangan absolut dari Pengadilan Agama, disebut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, UndangUndang Peradilan Agama, mengadili perkara perdata tertentu bagi mereka yang beragama Islam, sebagaimana yang dicantumkan dalam undang-undang ini, yaitu yang disebut dalam Pasal 49, beserta penjelasannya. d. Kewenangan absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara disebut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara. 2. Kewenangan relatif, atau kompetensi relatif (distributie van rechtsmacht) adalah pembahagian kewenangan mengadili dari pengadilan yang sejenis, atau berdasarkan daerah hukumnya. Pada asasnya di setiap kabupaten atau kota terdapat satu pengadilan tingkat pertama, namun oleh karena luasnya wilayah dan 271 perkembangan penduduk, maka pengadilan tingkat pertama dapat lebih dari satu pengadilan tingkat pertama tersebut. Kewenangan relatif dari peradilan umum dan peradilan agama, tetapkan dalam hukum acara perdata (HIR atau RBg) bagi perdata. Sedangkan dalam perkara pidana ditentukan dalam KUHAP. Kewenangan relatif dari Pengadilan Tentara, ditentukan berdasarkan Ketetapan dari Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan berdasarkan tempat kedudukan yang ditetapkan. Jadi tidak berdasarkan per daerah kabupaten Kewenangan telatif dari Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 di dalam Pasal 54. D. Mahkamah Agung Undang-Undang Mahkamah Agung yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan dirubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan (Pasal 2) yang berkedudukan di Jakarta sebagai Ibukota Negara (Pasal 3). Kekuasaan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 28 – 39. Kekuasaannya antara lain: 1. Memutuskan permohonan kasasi (Pasal 28 dan 33) 2. Memutuskan sengketa kewenangan mengadili (Pasal 28 dan 30) 3. Memutuskan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 28 dan 34) 4. Mahkamah Agung mempunyai hak menguji material dari semua peraturan di bawah undang-undang, yaitu dapat menyatakan tidak 272 sah karena bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 31). 5. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan. 6. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku hakim di semua lingkungan peradilan dalam melaksanakan tugasnya. RANGKUMAN Kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan dibagi dalam 2 jenis: Kewenangan absolut (Kompetensi absolut) adalah pemberian kekuasaan mengadili oleh undang-undang kepada masingmasing pengadilan menurut lingkungannya (attribute van rechtsmacht). Kewenangan absolut in dapat dilihat dalam masingmasing undang-undang yang mengatur tentang peradilan tersebut. Kewenangan relatif, atau kompetensi relatif (distributie van rechtsmacht) adalah pembagian kewenangan mengadili dari pengadilan yang sejenis, atau berdasarkan daerah hukumnya. Pada asasnya di setiap kabupaten atau kota terdapat satu pengadilan tingkat pertama, namun oleh karena luasnya wilayah dan perkembangan penduduk, maka pengadilan tingkat pertama dapat lebih dari satu pengadilan tingkat pertama tersebut. LATIHAN 1. Jelaskan susunan peradilan pada masa Hindia Belanda. 2. Jelaskan kewenangan mengadili masing-masing pengadilan di Indonesia. 3. Jelaskan kewenangan mahkamah agung 273 GLOSSARIUM 1. attribute van rechtsmacht adalah pemberian kekuasaan mengadili oleh undang-undang kepada masing-masing pengadilan menurut lingkungannya. 2. distributie van rechtsmacht adalah pembagian kewenangan mengadili dari pengadilan yang sejenis, atau berdasarkan daerah hukumnya. Pada asasnya di setiap kabupaten atau kota terdapat satu pengadilan tingkat pertama, namun oleh karena luasnya wilayah dan perkembangan penduduk, maka pengadilan tingkat pertama dapat lebih dari satu pengadilan tingkat pertama tersebut. 274 BAB XII ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: pengertian hukum tata negara, sumbersumber hukum tata negara, hubungan hukum tata negara dengan ilmu negara, ilmu politik, hukum administrasi negara dan hukum pidana, asas-asas hukum tata negara dan lembagalembaga negara. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi hukum tata negara 2. Mengungkapkan sumber-sumber hukum tata negara 3. Menjelaskan hubungan hukum tata negara, ilmu politik, hukum administrasi dan hukum pidana. 4. Menjelaskan asas-asas hukum tata negara. 5. Menjelaskan lembaga-lembaga negara. A. Pengertian Hukum Tata Negara Di negara Inggris, demikian pula di negara-negara yang menggunakan bahasa pengantar bahasa-bahasa Inggris terdapat istilah constitutional law yang menunjukkan pengertian Hukum Tata Negara. Di Perancis adanya istilah Droit Constitutional (Hukum Tata Negara) yang selalu dibedakan pengertiannya dari Droit Administrative (Hukum Administrasi Negara). Di Indonesia beberapa sarjana mengatakan “Hukum Tata Negara lazim juga disebut Hukum Tata Negara Positif” dengan pertimbangan bahwa Hukum Tata Negara Positif adalah hukum positif 275 yang berlaku pada suatu waktu dan pada suatu tempat tertentu. Oleh karena itu Hukum Tata Negara positif adalah sebagai Hukum Tata Negara Indonesia. Beberapa batasan penunjang dalam pengertian Hukum Tata Negara tersebut dapat dikemukakan beberapa pendapat sebagai berikut: 1. Van Vollenhoven, memberikan batasan bahwa HTN itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas dan bawah, yang selanjutnya menentukan wilayah lingkungan rakyatnya, menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan berfungsi dalam lingkungan masyarakat hukum tersebut.124 2. Paul Scholten dan Logemann mengatakan HTN adalah hukum yang mengatur organisasi negara atau organisasi dari suatu negara.125 3. Van Der Pot mengemukakan batasan bahwa HTN itu merupakan peraturan-peraturan yang menentukan berbagai badan yang diperlukan, termasuk wewenang, fungsi dalam hubungan antar badan-badan itu dan antar badan-badan itu dengan para individu serta kegiatannya.126 4. Kusumadi Pudjosewoyo berpendapat bahwa HTN adalah hukum yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan menunjukkan masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya, selanjutnya menegaskan wilayah lingkungan rakyatnya masing-masing masyarakat hukum menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam 124 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan Keenam, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 8. 125 Usep Rana Wijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasarnta, Ghlm.ia Indonesia, 1983, hlm. 13. 126 Ibid, hlm. 14. 276 masing-masing masyarakat hukum itu dan susunan, wewenang serta imbangan dari alat-alat perlengkapan tersebut.127 Dari pengertian dan batasan-batasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa HTN adalah sekumpulan peraturanperaturan hukum yang mengatur keorganisasian suatu negara yaitu hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis koordinasi vertikal dan horizontal tentang kedudukan warga negara pada organisasi negara itu dan hak asasinya. B. Sumber Hukum Tata Negara Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturanaturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat yang bersifat mengikat, memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat dibagi dalam arti sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menentukan isi kaedah hukum sumber hukum materil ini berasal dari peristiwa dalam pergaulan masyarakat dan peristiwa itu dapat mempengaruhi bahkan menentukan sikap manusia. Peristiwa tersebut diberi penilaian oleh masyarakat dan penilaian itu akan menjadi petunjuk hidup yang diterima masyarakat dan diberi perlindungan oleh pemerintah. Sumber hukum materiil HTN Indonesia adalah Pancasila. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang dibuat yang diberlakukan, segala sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apapun yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. 127 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busroh, 1991, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghlm.ia Indonesia, Jakarta, hlm. 22. 277 Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, bentuknya ini diketahui dan ditaati dan inilah yang menyebabkan hukum itu berlaku umum. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang hal tersebut merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan. Sumber hukum formil dalam HTN Indonesia dilihat dari jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) TAP MPR 3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4) Peraturan Pemerintah. 5) Peraturan Daerah. Sumber hukum tersebut di atas merupakan sumber hukum formil menurut hirarkinya/tingkat kewenangannya sehingga setiap peraturan hukum yang berlaku senantiasa bersumber pada peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti pula bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Sumber hukum lainnya yang juga mempunyai arti penting bagi Hukum Tata Negara adalah: 278 a. Konvensi Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan adalah merupakan perbuatan yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan yang kemudian karena dianggap baik, perbuatan itu menjadi dilakukan berulang kali, perbuatan yang menjadi terbiasa ini selanjutnya ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Sebagai contoh misalnya pidato kenegaraan Presiden dilakukan setiap tanggal 16 Agustus dan bukan tanggal 17 Agustus. Konvensi ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undangundang. b. Traktat atau Perjanjian Traktat atau perjanjian adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara (bilateral) atau lebih (multilateral). Traktat atau perjanjian ini merupakan sumber hukum formal sepanjang hal ini menentukan segi hukum ketatanegaraan yang berkembang bagi negara-negara yang terikat dalam traktat tersebut. Misalnya tentang perjanjian antar kewarganegaraan, perjanjian ini merupakan sumber hukum formil bagi HTN, sebab yang diaturnya adalah masalah kewarganegaraan yang merupakan bagian dari HTN. C. Hubungan Htn Dengan Ilmu Negara, Ilmu Politik, Hukum Administrasi Dan Hukum Pidana HTN mempunyai hubungan yang erat dengan Ilmu Negara, Ilmu Politik, Hukum Administrasi maupun Hukum Pidana karena ilmuilmu tersebut mempunyai objek atau laporan pembicaraan sama yaitu negara, hanya sudut pandangannya yang berbeda daripada masingmasing ilmu-ilmu tersebut. HTN dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Ilmu Politik, dan Hukum Pidana memandang negara dari sifatnya atau pengertian yang konkrit, artinya objeknya tertentu, misalnya pada tempat, keadaan tertentu. Jadi sudah mempunyai objektif tertentu, misalnya Negara 279 Republik Indonesia, Negara Inggris, Negara Jepang dan sebagainya. Kemudian negara dalam pengertiannya yang konkrit itu diselidiki lebih lanjut mengenai susunannya, alat perlengkapannya, wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkapannya. Sedangkan Ilmu Negara mempelajari bahan-bahan mengenai kenegaraan yang tidak hanya ditujukan kepada negara-negara tertentu yang konkrit melainkan negara-negara di dunia pada umumnya. Hasil penyelidikan Ilmu Negara adalah nilai teoritisnya sedangkan sebaliknya bagi HTN dan HAN yang lebih dipentingkan adalah nilai-nilai praktisnya. Apa yang telah diperoleh dalam HTN, HAN dipergunakan secara langsung dalam praktek oleh pejabat-pejabat negara sehubungan dengan tugas masing-masing. Biasanya seseorang akan mempelajari terlebih dahulu Ilmu Negara dan setelah itu untuk prakteknya dalam tugas-tugas kenegaraan, maka orang akan mempelajari tentang HTN. Dengan mempelajari Ilmu Negara orang akan memperoleh pengertian mengenai asas-asas pokok tentang negara pada umumnya dan dengan bekal ini orang akan dapat berkecimpung langsung dalam hukum positif yang merupakan objek HTN. Dengan demikian, jelas bahwa Ilmu Negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian pokok dan sendi-sendi dasar teoritis yang bersifat umum untuk HTN. Oleh karena itu untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya sistem hukum ketatanegaraan suatu negara maka, harus terlebih dahulu memiliki ilmu pengetahuan segala hal ihwal secara umum tentang negara yang didapat dari Ilmu Negara. Ilmu Negara adalah Ilmu pengantar bagi mereka yang hendak mempelajari HTN. Hubungan HTN dengan Ilmu Politik adalah antara HTN dan Ilmu Politik terdapat hubungan yang dekat, sehingga dapat dikatakan batas-batas yang telah digariskan dalam HTN sering diisi atau memerlukan pengisian dari garis politik. Terbentuknya suatu undang- 280 undang tentu diisi dengan kebijakan-kebijakan politik yang ditarik pada waktu penyusunannya. Misalnya Pembukaan suatu UUD di situ jelas kita akan mengetahui politik suatu negara. Demikian pula dalam pembentukan suatu undang-undang, ratifikasi yang dilakukan DPR, diterima atau ditolak lahirnya Rancangan Perundang-Undangan itu selalu dipengaruhi suara para wakil rakyat, sedangkan para wakil rakyat yang duduk dalam DPR adalah merupakan wakil dari organisasi politik, golongan dan lain-lain. Sehubungan dengan ini menurut Barents “ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugasnya untuk mencapai tujuan dari organisasi itu”. Selanjutnya Logemann mengatakan HTN dan Ilmu Politik keduanya merupakan cabang ilmu sosial erat sekali kedua ilmu itu mempelajari organisasi dalam melakukan tugasnya untuk mencapai tujuan dari organisasi negara. Dari seorang political scientist dipersyaratkan untuk memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang HTN sedang seorang ilmuan HTN seyogyanya mendalami Ilmu Politik karena politik dan hukum dua hal tapi satu. Berikutnya hubungan HTN dengan HAN. Di kalangan para ahli hukum telah terdapat kesamaan pandangan bahwa antara HTN dan HAN memiliki keterkaitan yang erat. Keterkaitan antara kedua hukum ini antara lain dikemukakan oleh Van Vollenhoven “bahwa badanbadan pemerintah tanpa aturan hukum tata negara akan lumpuh, oleh karena badan-badan ini tidak mempunyai wewenang apapun atau wewenangnya tidak berketentuan dan badan-badan pemerintah tanpa HAN akan bebas sepenuhnya”. Oleh karena badan-badan ini dapat menjalankan wewenangnya menurut kehendaknya sendiri. Selanjutnya Kranenburg berpendapat bahwa “kita tidak mungkin 281 mempelajari hukum administrasi tanpa didahului dengan mempelajari HTN”. Demikian juga Stroink mengatakan tidak mungkin untuk menarik garis batas yang tegas antara HTN dan HAN, karena kedua bidang hukum ini memiliki keterkaitan yang erat, hukum negara tanpa bantuan HAN tidak dapat dipahami begitu juga sebaliknya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat diketahui bahwa HTN dan HAN terdapat hubungan yang erat. Hal ini dapat diketahui hubungan antara kedua hukum tersebut yaitu administrasi negara melengkapi HTN, tanpa HAN, alat perlengkapan negara yang ada belum dapat melaksanakan tugasnya karena belum ada pedoman yang menjadi panutannya. Sebaliknya, tidak adanya HTN akan mengakibatkan kekacauan di dalam penyelenggaraan organisasi negara, bahkan akhirnya akan dapat menimbulkan anarki”, sebab HTN diperlukan untuk memberikan batas-batas tanggung jawab dan wewenang dari perangkat administrasi negara. Di samping dengan Ilmu Negara, Ilmu Politik dan Hukum Administrasi, HTN juga mempunyai hubungan dengan Hukum Pidana. Hubungan HTN dan hukum pidana adalah bahwa ketentuan Hukum Pidana memberikan ancaman hukuman terhadap perbuatanperbuatan bidang hukum lain. Misalnya dalam bidang HTN, seseorang yang melakukan perbuatan pemberontakan untuk merubah bentuk negara kesatuan Republik Indonesia menjadi negara komunis. Demikian juga seseorang yang melakukan perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh pemberontakan akan menggulingkan pemerintahan yang sah. 282 D. Asas-Asas Hukum Tata Negara 1. Asas Pancasila Setiap negara didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Oleh karena itu, setiap negera mempunyai falsafah yang berbeda. Karena suatu falsafah itu identik dengan keiginan dan watak rakyat dan bangsanya, tidak mungkin untuk mengambil falsafah negara lain untuk dijadikan falsafah bangsanya begitu saja. Karena falsafah itu merupakan perwujudan dari watak dan keiginan dari suatu bangsa, segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya. Pada waktu Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rapat-rapatnya mencari philosofische grondslag untuk Indonesia yang akan merdeka, Pancasila diputuskan sebagai dasar negara. Hal itu berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara itu.128 Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materiil. Oleh karena itu, setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya. Jika hal itu terjadi, peraturan itu harus segera dicabut. Dalam Penjelasan UUD 1945, dapat diketahui bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini merupakan cita-cita hukum bangsa Indonesia yang mendasari hukum dasar negara, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut. Pokok pikiran pertama. “Negara” – begitu bunyinya – “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah 128 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, hlm. 18-19. 283 Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam pembukaan ini, diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan. Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran persatuan. Dengan pengertian yang lazim, negara, penyelenggara negara, dan setiap warga negara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupan perorangan. Pokok pikiran kedua: “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial, yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pokok pikiran ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Pokok pikiran yang ketiga ini menunjukkan bahwa didalam negara Indonesia, yang berdaulat adalah rakyat Indonesia sehingga kedaulatan ada di tangan rakyat. Dan pelaksanaan dari asas kedaulatan ini disertai asas lainnya, yaitu asas musyawarah dan dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Jadi, asas kedaulatan ini dilaksanakan dengan cara musyawarah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Pokok pikiran keempat yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar 284 kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewujudkan pemerintah dan penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran yang keempat ini menunjukkan keyakinan bangsa Indonesia akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, adanya cita kemanusiaan dan cita keadilan dari bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia bahkan semua itu menjadi dasar negara yang mengikat, biak pemerintah maupun rakyatnya. Keempat pokok pikiran tersebut jelas merupakan pancaran dari pandangan hidup dan dasar falsafah negara Pancasila. Dengan mengungkap keempat pokok pikiran ini, dapatlah kita gambarkan bahwa Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila.129 2. Asas Negara Hukum Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechsstaat.130 Istilah rechsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama. Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the Study of Law of the Constitution. Dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep rechsstaat dengan konsep the rule of law, meskipun dalam perkembangannya dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya karena pada dasarnya kedua konsep itu 129 130 Azhari, 1985, Pancasila dan UUD 1945, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 20-21. Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hlm. 30. 285 mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan sasaran yang sama, keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri yaitu sistem hukum sendiri.131 Konsep rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial.132 Adapun ciriciri rechtsstaat adalah: a. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat; b. Adanya pembagian kekuasaan negara; c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ide sentral rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan yang berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan. 131 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, Surabata, hlm. 72. 132 Ibid., hlm. 72. 286 A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut.133 a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah. b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara. c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro,134 negara hukum berarti suatu negara yang didalam wilayahnya adalah: a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masingmasing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku; b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dari segi moral politik, menurut Franz Magnis Suseno,135 ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan dijalankan tugasnya berdasarkan: (1) kepastian hukum; (2) tuntutan 133 Ibid., hlm. 80 Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, Bandung, hlm. 38. 135 Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustka Utama, Jakarta, hlm. 295-298. 134 287 perlakuan yang sama; (3) legitimasi demokrasi; dan (4) tuntutan akal budi. Dilihat dari ilmu politik, Magnis mengambil empat ciri negara hukum yang secara etis relevan, yaitu: (1) kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku; (2) kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif; (3) berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia; dan (4) menurut pembagian kekuasaan. Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis atau democratische rechtsstaat.136 Scheltema, memandang kedaulatan rakyat (democratie beginsel) sebagai salah satu dari empat asas negara hukum, selain rechtszekerheidbeginsel, gelijkheid beginsel, dan het beginsel van de dienendeoverheid.137 Dalam kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, selain masalah kesejahteraan rakyat.138 3. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi Ada sebagian kalangan yang berpandangan bawa cita kenegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 adalah cita kenegaraan kekeluargaan, oleh Soepomo disebut Integralistik. Sebagian yang lain 136 137 138 D.J. Elzinga, 1994, “De Democratische Rechtsstat Als Ontwikkeling Perspectief”, dalam Scheltema (ed), De Rechtsstaat Herdacht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1989, hlm. 43. Dikutip kembali dalam Bagir Manan. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 167. Scheltema, “De Rechtstat”, Ibid., hlm. 19. Elzinga, Op .Cit., hlm. 48. 288 berpandangan bahwa cita kenegaraan dalam UUD 1945 adalah demokrasi karena adanya jaminan HAM di dalam UUD 1945. Asas kekeluargaan diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Soepomo dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945. Pada sidang tersebut ditunjukkan oleh Soepomo arti penting sebuah UUD sebagai dasar sebuah negara. Dasar negara memang merupakan hal yang amat penting bagi suatu negara. Dari dasar negara itulah kemudian disusun Undang-Undang Dasar maupun konvensi serta peraturan perundangundangan lainnya sehingga setiap bentuk kegiatan dari negara itu haruslah selalu bersumber dari dasar negara. “Philosofische Grondslag”, ideologi negara atau staatsidee.139 Soepomo mengemukakan sebagai berikut.140 ...Maka dasar sistem pemerintahan itu bergantung pada staatsidee, kepada “begrip staat” (negara) yang hendak kita pakai untuk pembangunan negara Indonesia. Menurut pengertian negara yang integralistik sebagai bangsa yang tertib, sebagai persatuan rakyat yang tersusun maka pada dasarnya tidak akan ada dualisme “staat dan individu”, tidak akan ada pertentangan antara susunan staat dan susunan hukum individu, tidak ada dualisme antara Staat und Staatsfreie Gesellschaft” tidak akan membutuhkan jaminan Grund und Freiheitsrechte individu contra staat karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari staat, yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan staat, dan sebaliknya oleh karena staat bukan suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang. 139 140 Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara, FHUI, Jakarta, hlm. 56. Dardji Darmodihardjo, 1981, “Orientasi Singkat Pancasila” dalam Santiaji Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Usaha Nasional, Surabaya, hlm. 19. 289 Upaya perumusan tentang cita kenegaraan dalam UUD 1945 berkembang pemikiran diantara para anggota BPUPKI dan PPKI bahwa cita kenegaraan yang hendak dibangun harus didasarkan pada paham kedaulatan rakyat yang modern, tetapi tidak mengikuti jalan pikiran yang sudah berkemban sebelumnya di negara-negara Barat. Cita negara (staatsidee) Indonesia harus dibangun secara khas, dalam arti tidak meniru paham individualisme liberalisme yang justru telah melahirkan kolonialisme dan imperalisme yang harus ditentang ataupun paham kolektivisme ekstrem seperti yang diperlihatkan dalam praktik di lingkungan negara-negara sosialis-komunis. Dengan kata lain, semangat yang melandasi pemikiran para pendiri Republik Indonesia adalah semangat sistesis, semangat untuk melakukan kombinasi atau semangat untuk menciptakan sesuatu paham baru.141 Hal ini tercermin pula dalam pikiran Soepomo tentang teori negara integralistik yang disebutnya berasal dari filsuf Adam Muller, Spinoza, dan Hegel. Ketika menguraikan pandangan mengenai teori integralistik, Soepomo bahkan merujuk kepada ngara Jerman maupun Jepang, yagn ketika itu memang berada satu front melawan sekutu, yang terdiri dari negara-negara yang menganut paham individualisme-komunisme, seperti Amerika, Inggris, Prancis, dan negara yang menganut komunisme, yaitu Uni Soviet. Menurut Soepomo, paham liberal yang individualistis maupun paham komunis yang didasarkan atas teori kelas, sama-sama tidak cocok untuk Indonesia.142 Sebaliknya, paham yang cocok adalah seperti yang diterapkan di Jerman dan Jepang. 141 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Indonesia, Mencari Keseimbangan Individualisme dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Ekonomi, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1994. Lihat juga dalam Suplemen Jurnal Islam dan Kebudayaan ULUMUL QUR’AN, No. 2 Volume IV, Tahun 1993. 142 Muh. Yamin, Op. Cit., hlm. 110-111. 290 Paham yang diterapkan di kedua negara tersebut saat itu, meskipun disebut sebagai fasisme dan totalitarianisme, oleh Soepomo dipuji karena memandang hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam kesatuan.143 Soekarno dan Soepomo berhasil pula menguraikan konsep negara kekeluargaan itu secara jitu sehingga kesimpulan yang dicapai, bahwa dalam paham kekeluargaan tidak perlu ada asumsi yang bersifat konflik dalam merumuskan konsep hubungan antara rakyat dan negara, sangat mempengaruhi jalan pikiran sebagian besar anggotan BPUPKI. Oleh karena itu, dari satu segi, paham kekeluargaan yang dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 sangat mudah dipahami sebagai konsep kolektivisme ekstrem, dalam arti bahwa paham-paham yang menekankan kedudukan individu, sama sekali dianggap asing dari pikiran kenegaraan Indonesia. Dalam Penjelasan mengenai pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan segalam paham perseorangan.144 Dengan itu, dapat dimengerti mengapa UUD 1945 tidak mendasarkan diri atas teori individualistis ataupun teori golongan seperti yang dikemukakan oleh Soepomo. Negara Indonesia itu adalah negara yang mengandung persatuan antara rakyat dan pimpinannya, persis seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan teori integralistiknya. Dari segi ini, corak negara 143 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 112. Negara-begitu bunyinya-melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ‘Dalam ‘Pembukaan’ ini diterima aliran pengertian negara Persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian ‘Pembukaan’ itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.” Penjelasan UUD 1945, Ibid., hlm. 68. 144 291 Indonesia itu bersifat sangat kolektifistik dan cenderung mengabaikan individualitas. Meskipun banyak yang mengusulkan agar permasalahan HAM dimuat dalam UUD, Soekarno dan Soepomo berkeras untuk konsisten dengan sistematika pemikiran integralistik yang menolah HAM. Menurut kedua tokoh ini dalam pikiran kekeluargaan, HAM telah diakui dengan sendirinya sehingga tidak perlu lagi dicantumkan dalam UUD. Dalam pidato Soekarno, saat mengawali Rapat Besar BPUPKI 15 Juli 1945, dikemukakan dengan tegas penolakannya untuk mencantumkan rumusan HAM tersebut dalam UUD. Perbedaan pandangan mengenai HAM tersebut, terutama seperti yang terlihat dalam perdebatan antara Hatta-Yamin di satu pihak dengan Soekarno-Soepomo di pihak yang lain, pada pokoknya mencerminkan perbedaan pemikiran mengenai konsep negara kekeluargaan. Soekarno-Soepomo menekankan corak kolektivisme. Meskipun Hatta-Yamin menerima kolektivisme, mereka mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM, yang dianggap sebagai perlindungan yang sudah seharusnya dijamin dalam UUD untuk menghindarkan kemungkinan menjadi negara kekuasaan. Mereka menuntut HAM ini tetap dimuat dalam UUD. 4. Asas Negara Kesatuan Model negara kesatuan, asumsi dasarnya secara diametrik, dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagianbagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang 292 kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.145 Apabila dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai suatu negara kesatuan yang berbentuk Republik. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (local government).146 Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara dalam kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang kekuasaan tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugastugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pengertian otonomi. Berdasarkan landasan batas tersebut, dikembangkanlah berbagai peraturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesatuan dan tuntutan 145 146 Al Chaidar, Zulfikar Salahuddin, Herdi Sahrasad, 2000, Federasi atau Disintegrasi, Telaah Awal Wawancara Unitaria Versus Federalis Dalam Perspektif Islam, Nasionalisme dan Sosial Demokrasi, Jakarta: Madani Press, Jakarta, hlm. 201-202. M. Solly Lubis, 1983, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni, Bandung, hlm. 8. 293 otonomi. Di sini pulalah letak kemungkinan spanning yang timbul dari kondisi tarik-menarik antara kedua kecenderungan tersebut.147 Tarik menarik itu bukanlah suatu hal yang perlu dihilangkan. Upaya untuk menghilangkannya tidak akan pernah berhasil karena hal itu merupakan suatu yang bersifat alami. Kehidupan negara dan pemerintahan tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat, baik masyarakatnya sendiri maupun masyarakat di luarnya. Negara atau pemerintah yang baik adlaah yang berkiprah sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Dalam kondisi itulah, dilihat kecenderungan ke arah kesatuan atau otonomi. Kalau segalanya dikembalikan pada kepentingan masyarakat dan terwujud suatu pemerintahan yang sehat, tarik menarik tersebut tidak boleh dilhat sebagai spanning yang membahayakan satu sama lain, melainkan suatu bentuk dinamika yang alami yang akan senantiasa ada pada setiap tingkat perkembangan kehidupan bernegara atau berpemerintahan. Yang pokok adalah menciptakan mekanisme yang wajar agar setiap tarikan bukan saja peringatan (warning), tetapi sekaligus sebagai masukan (feeding) bagi yang lain.148 Di tengah proses pembahasan perubahan UUDd 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, salah satu diantaranya adalah tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.149 Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk negara ini yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara dan dipandang paling 147 Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISKA, Jakarta, hlm. 3. 148 Ibid, hlm. 34. 149 MPR RI, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, jakarta, hlm. 25. 294 tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang. Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.” Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah, yang mengharuskan bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman itu. Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed). Oleh karena itu, prinsip persatuan Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan. Prinsip persatuan juga tidak boleh dipersempit maknanya ataupun diidentikkan dengna pengertian pelembagaan bentuk negara kesatuan yang merupakan bangunan negara yang dibangun atas motto Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity). Bentuk negara kita adalah Negara Kesatuan (Unitary State), sedangkan persatuan Indonesia adalah prinsip dasar bernegara yang harus dibangun atas dasar persatuan (unity), bukan kesatuan (uniformity).150 Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan ‘negara persatuan’ dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Dalam negara kesatuan itu, otonomi individu diakui kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Negara persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Namun, 150 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 6. 295 konsepsi negara persatuan itu sering disalahpahami, seakan-akan bersifat ‘integralistik’, yang mempersatukan rakyat secara totaliter bersama-sama dengan pemimpinnya seperti konsepsi Hitler yang didasarkan atas pandangan Hegel tentang negara Jerman. Istilah negara persatuan cenderung dipahami sebagai konsepsi atau ciri negara (staatsidee) yagn bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan salah pengertian, istilah persatuan itu harus dikembalikan pada bunyi rumusan sila ketiga Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”, bukan “Persatuan dan Kesatuan Indonesia” apalagi “Kesatuan Indonesia”. Persatuan adalah istilah filsafat dan prinsip bernegara, sedangkan kesatuan adalah istilah bentuk negara yang bersifat teknis. Bandingkan antara rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 dan rumusan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Negara Kesatuan adalah konsepsi tentang bentuk negara, dan Republik adalah konsepsi mengenai bentuk pemerintahan yang dipilih dalam kerangka UUD 1945.151 Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia memilik bentuk negara kesatuan, di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antardaerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan 151 Jimly Asshiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tema “Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunann Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli hlm. 6-7. 296 otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimiliknya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat.152 5. Asas Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia saat ini bermuara kepada ketidakjelasan konsep yagn dibangun oleh UUD 1945, tidak adanya checks and balances antara alat kelengkapan organisasi negara, selain berbagai kelemahan yagn melekat pada UUD 1945. Sejak saat itu, berbagai kalangan menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD 1945 dan mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan tersebut. Belakangan ini, muncul aspirasi politik yang menghendaki agar dipakai sistem perimbangan kekuasaan (checks and balances). Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai,153 sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yagn menduduki jabatan presiden. Menurut istilah Soepomo: “concentration of power of responsibility upon the president”. Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Pertama, sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin senteral dan menentukan. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara telah menggeser kedudukan seorang 152 153 Jimly Asshiddiqie, Op .Cit., hlm. 63. Mohd. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 96-98. Lihat juga dalam Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UI Press, 2003), hlm. 11-14 297 Presiden RI dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan diturunkan dari kekuasaannya. Kedua, munculnya kehidupan politik yang juga liberal, yang melahirkan proses politik yagn juga liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rakyat. Semangat keterbukaan yagn dibawanya telah memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat distrosi dari proses penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran untuk memperkuat proses checks and balance antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini dipegang – yakni “asas kekeluargaan” di dalam penyelenggaraan negara. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagian elite berpengaruh dan publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstitusi RI.154 Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat (MPR) yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku kedaulatan rakyat, dan sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan tidak terbatas. Selanjutnya, dari Majelis ini kekuasaan rakyat itu seolah dibagikan secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut disebut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). Setelah dilakukan perubahan terhadap kelembagaan dan kewenangan MPR sebagaimana terbaca dalam Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. 154 Indria Samego, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945” yang diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 8-10 Juli 2002. 298 (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun peraturan perundangundangan, serta memilih dan mengangkat Presiden dan wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat. Denagn ketentuan baru ini, secara teoritis berati terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi herizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawsi antar lembaga negara (cheks and balances).155 Demikian pula dengan perubahan yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945 terhadap Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya “penggeseran” executive heavy ke arah legislatif heavy. Hal ini terlihat dari penggeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk undangundang, yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentukm undang-undang (Pasal 20 UUD 1945). Perubahan pasal-pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden, beralih ke tangan DPR. Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” 155 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 100. 299 (distribution of power)156 dengan prinsip supremasi MPR “pemisahan kekuasaan” (separation of power) dengan prinsip cheks and balances sebagai ciri pelekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial. Aspek perimbangan kekuasaan mengenai hubungan presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung tampak dalam perubahan Pasal 13 dan 14. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif. Perubahan Pasal 13 berbunyi: (1) Dalam hal mengangkat Duta, Presiden memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum adanya perubahan, Presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta menerima duta negara lain. Menngingat pentinynya hal tersebut, maka Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya diberikan pertimbangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan Pasal 14 berbunyi sebagi berikut: (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan menperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 156 Dengan meminjam teori Prof. Ivor Jennings, pada umumnya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil adalah dalam arti pembagian itu dipertahankan dengan prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga bagian. Sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formil, pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipil. Sir W. Ivor Jennings, The law and the Constitutions (London, Cetakan Keempat, University of London Presss, 1996) hlm. 267. Lihat juga dalam Ismail Suny, Penggeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983. hlm. 16. 300 Alasan perlunya Presiden memerhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi: a. Grasi dan rehabilitasi iyu adalah proses yusticial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik. b. Grasi dan rehabilitasi itu lebih banyak bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal.157 Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara yang paling tepat dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu, karena grasi menyangkut keputusan hakim, sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim. Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik. Bagir Manan kurang sependapat dengan rumusan tersebut karena pemberian amnesti dan abolisi tidak selalu terkait dengan pidana politik. Kalaupun diperlukan pertimbangan cukup dari Mahkamah Agung. DPR adalah badan politik, sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan hukum. Pertimbangan politik, kemanusiaan, sosial dan lain-lain, merupakan isi dari hak prerogratif. Yang diperlukan adalah pertimbangan hukum untuk memberi dasar yuridis pertimbangan Presiden.158 Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak anggota DPR yang diautur dalam Pasal 20A, berbunyi antara lain sebagai berikut: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legeslasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 157 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, 2000, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia, Jakarta, hlm. 190. 158 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 165. 301 (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Ketantuan ini dikmaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara obtimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkokoh pelaksanaan checks and balances oleh DPR. Cabang kekuasaan eksekutif tetap berada di tangan Presiden dan Wakil Presiden. Melalui perubahan UUD 1945, presiden diberuikan kewenangan untuk membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Hal ini didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) mengalami perubahan menjadi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada Pemilu 1999. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki otoritas dan legimasi yang sangat kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Lembaga baru yang muncul melaui perubahan ketiga UUD 1945 adalah Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan 302 Mahkamah Konstitusi (MK). UUD 1945 merumuskan kewenangan Komisi Yudisial, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B sebagai berikut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenag mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Melalui lembaga tersebut, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkannya penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. Hadirnya DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia diatur dalam Pasal 22C dan 22D. Dalam Pasal 22D diatur mengenai wewenang DPD, sebagai berikut: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alamdan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 303 (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alamdan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk: a. Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah. b. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah. c. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.159 Lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi”. Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap 159 Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm. 106. 304 UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. RANGKUMAN HTN adalah sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur keorganisasian suatu negara yaitu hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis koordinasi vertikal dan horizontal tentang kedudukan warga negara pada organisasi negara itu dan hak asasinya. Sumber hukum materiil HTN Indonesia adalah Pancasila. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang dibuat yang diberlakukan, segala sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apapun yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila 305 sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, bentuknya ini diketahui dan ditaati dan inilah yang menyebabkan hukum itu berlaku umum. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang hal tersebut merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan. Sumber hukum formil dalam HTN Indonesia dilihat dari jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang 3) Peraturan Pemerintah. 4) Peraturan Daerah. HTN mempunyai hubungan yang erat dengan Ilmu Negara, Ilmu Politik, Hukum Administrasi maupun Hukum Pidana karena ilmu-ilmu tersebut mempunyai objek atau laporan pembicaraan sama yaitu negara, hanya sudut pandangannya yang berbeda daripada masing-masing ilmu-ilmu tersebut. HTN dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Ilmu Politik, dan Hukum Pidana memandang negara dari sifatnya atau pengertian yang konkrit, artinya objeknya tertentu, misalnya pada tempat, keadaan tertentu. Jadi sudah mempunyai objektif tertentu, misalnya Negara Republik Indonesia, Negara Inggris, Negara Jepang dan sebagainya. Kemudian negara dalam pengertiannya yang konkrit itu 306 diselidiki lebih lanjut mengenai susunannya, alat perlengkapannya, wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkapannya. Sedangkan Ilmu Negara mempelajari bahan-bahan mengenai kenegaraan yang tidak hanya ditujukan kepada negara-negara tertentu yang konkrit melainkan negara-negara di dunia pada umumnya. Hasil penyelidikan Ilmu Negara adalah nilai teoritisnya sedangkan sebaliknya bagi HTN dan HAN yang lebih dipentingkan adalah nilai-nilai praktisnya. Apa yang telah diperoleh dalam HTN, HAN dipergunakan secara langsung dalam praktek oleh pejabat-pejabat negara sehubungan dengan tugas masing-masing. Biasanya seseorang akan mempelajari terlebih dahulu Ilmu Negara dan setelah itu untuk prakteknya dalam tugas-tugas kenegaraan, maka orang akan mempelajari tentang HTN. Dengan mempelajari Ilmu Negara orang akan memperoleh pengertian mengenai asas-asas pokok tentang negara pada umumnya dan dengan bekal ini orang akan dapat berkecimpung langsung dalam hukum positif yang merupakan objek HTN. LATIHAN 1. Sebutkan pengertian Hukum Tata Negara menurut beberapa sarjan. 2. Jelaskan sumber hukum materiil dan formil dari Hukum Tata Negara. 3. Jelaskan hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara. 4. Jelaskan hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Negara dan Ilmu Politik. 5. Sebutkan asas-asas yang terdapat dalam Hukum Tata Negara. 307 GLOSSARIUM 1. Constitutional law adalah yang menunjukkan pengertian Hukum Tata Negara 2. The ordinary law of the land adalah hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. 3. Cheks and balances adalah prinsip saling mengimbangi dan saling mengawsi antar lembaga negara. DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Busroh dan Abubakar Busroh, 1991, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Al Chaidar, Zulfikar Salahuddin, Herdi Sahrasad, 2000, Federasi atau Disintegrasi, Telaah Awal Wawancara Unitaria Versus Federalis Dalam Perspektif Islam, Nasionalisme dan Sosial Demokrasi, Madani Press, Jakarta. Azhari, 1985, Pancasila dan UUD 1945, Ghalia Indonesia, Jakarta. Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta. -------, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Uniska, Jakarta. -------, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UI Press, Yogyakarta. -------, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta. 308 Dardji Darmodihardjo, 1981, “Orientasi Singkat Pancasila” dalam Santiaji Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Usaha Nasional, Surabaya. D.J. Elzinga, 1989, “De Democratische Rechtsstat Als Ontwikkeling Perspectief”, dalam Scheltema (ed), De Rechtsstaat Herdacht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustka Utama, Jakarta. Indria Samego, 2002, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945” yang diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Indonesia, Mencari Keseimbangan Individualisme dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Ekonomi, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta. -------,2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tema “Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunann Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar. 309 --------, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH-UI, Jakarta. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia , Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta. M. Solly Lubis, 1993, Pergeseran Garis Politik dan Perundangundangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung. MPR RI, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta. Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. \ Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta. Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surbaya. Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, 2000, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia, Jakarta. 310 Usep Rana Wijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasarnta, Ghalia Indonesia, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco, Bandung. --------, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan Keenam, Dian Rakyat, Jakarta. 311 BAB XIII ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian hukum administrasi negara, sumber-sumber hukum administrasi, asas-asas hukum administrasi negara dan sumber kewenangan. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi hukum adminitrasi negara. 2. Mengungkapkan sumber-sumber hukum administrasi. 3. Menjelaskan asas-asas hukum administrasi negara. 4. Menjelaskan sumber-sumber kewenagan (atribusi, delegasi dan mandat). A. Pengertian Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai fenomena kenegaraan dan pemerintahan keberadaannya muncul bersamaan dengan diselenggarakannya kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan aturan hukum tertentu. Meskipun demikian HAN sebagai suatu cabang ilmu di negeri Belanda baru muncul belakangan dan menjadi satu kesatuan dengan HTN dengan nama staaten administratief recht, menurut ilmu pengetahuan hukum di Inggris disebut administrative law, di Perancis droit administratief. Terhadap istilah administratie para sarjana Indonesia berbeda pendapat dalam menterjemahkannya, kata administratie diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan tata negara dan administrasi. Perbedaan penerjemahan 312 ini mengakibatkan perbedaan penamaan terhadap cabang hukum ini, yakni seperti HAN, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Pemerintahan, Hukum Tata Usaha, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, HAN Indonesia dan Hukum Administrasi. Adanya keagamaan istilah ini dalam perkembangannya terdapat kecenderungan untuk mengadakan keseragaman terhadap istilah HAN. Di Indonesia dalam pemakaian istilah HAN mengalami perubahan beberapa kali berdasarkan kebijakan pemerintah, antara lain pada tahun 1972, berdasarkan Surat Keputusan P dan K tanggal 30 Desember 1972 No. 0198/U/1972 tentang Pedoman Kurikulum minimal dalam Pasal 5 disebutkan bahwa menggunakan istilah resmi yang dipakai, yaitu Hukum Tata Pemerintahan yang dari bahasa Belanda administratief recht, administrative law (Inggris). Dengan adanya Keputusan Menteri P dan K tersebut maka istilah yang dipakai pada fakultas-fakultas hukum adalah Hukum Tata Pemerintahan. Dengan adanya ketegasan dalam pemakaian istilah ini maka terdapat kejelasan dan keseragaman dalam mempelajari ilmu hukum di bidang tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang Ilmu Hukum ini diganti lagi dengan istilah HAN, sehubungan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 1983. Sehubungan dengan pengertian HAN di kalangan para sarjana tidak ada kata sepakat tentang pengertian HAN. Beberapa pendapat para sarjana adalah sebagai berikut: 1. R. Abdoel Djamali, HAN adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahannya yang menjadi sebab hingga negara berfungsi. 313 2. 3. 4. 5. Kusumadai Poedjosewojo, HAN adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya. Syachran Basah, HAN adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan melindungi administrasi negara itu sendiri. Logemann, HAN adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka istimewa mereka; tugas administrasi negara adalah mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, pengajaran, pengairan dan lainlain. Dalam hal ini apabila dikaitkan dengan HTN maka menurut Logemann terdapat perbedaan yang hakiki, yaitu apabila HTN sebagai hukum membahas mengenai organisasi jabatan negara yang memandang negara sebagai organisasi, sebaliknya HAN membahas mengenai hubungan antara jabatan negara itu dan warga masyarakat. Di pihak lain ada beberapa sarjana yang tidak membedakan secara prinsipil antara HTN dan HAN, yaitu HTN diartikan sama dengan hukum konstitusi negara, sedangkan HAN menitik beratkan pada administrasi dari pada negara saja. Administrasi merupakan salah satu bab terpenting dalam konstitusi negara. Sjachran Basah, HAN adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan tugasnya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan melindungi administrasi negara itu sendiri. 314 Berdasarkan beberapa definisi tersebut tampak bahwa dalam HAN terkandung dua aspek yaitu pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat kelengkapan negara itu melakukan tugasnya. Kedua aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan administrasi negara dengan para warganya. Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam ajaran Welfare State, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam HAN di samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. Selanjutnya pengertian dari administrasi negara terdapat 3 (tiga) pengertian yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah atau sebagai institusi politik (kenegaraan), artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan sebagainya. 2. Sebagai fungsi atau aktivitas yaitu kegiatan pemerintahan, artinya kegiatan mengurus kepentingan negara. 3. Sebagai proses teknis melaksanakan undang-undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan undang-undang. B. Sumber-Sumber Hukum Administrasi 1. Undang-Undang dasar 1945 Seperti diketahui, Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945. Undangundang dasar ini berlaku sampai 27 desember 1949, saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Setelah Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku untuk seluruh Indonesia, Undang-Undang 315 Dasar 1945 hanya berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia. Dalam kenyataan, Konstitusi Republik Indonesia hanya berlaku kurang lebih 8 (delapan) bulan. Hal itu disebabka, karena sebagian besar rakyat di Daerah-daerah Bagian tidak menghendaki bentuk negara serikat. Untuk keperluan itu pembuat undang-undang Federal Republik Indonesia Serikat telah menetapkan berlakunya Undangundang Federal Nomor 7 Tahun 1950, yang Pasal 1 nya yang berisi Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam Pasal 2 ditetapkan bahwa Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berlaku sejak Tanggal 17 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar ini berlaku selama 9 (sembilan) tahun yaitu sampai 5 Juli 1959, karena sejak itu berlaku lagi Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden. Seperti halnya konstitusi pada umumnya, Undang-Undang Dasar 1945 juga mengatur tiga hal yang bersifat pokok, yaitu jaminan terhadap adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia, susunan ketaata negaraan (the strukture of gofernment) yang bersifat mendasar dan pembatasan serta pembagia tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar. Walaupun Undang-Undang Dasar 1945 hanya terdiri dari 37 Pasal, akan tetapi di dalamnya telah diatur hal-hal yang mendasar dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu dia merupakan semacam “streefgrondwet”.160 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Ketetapan MPR dibuat dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bentuk peraturan yang bernama Ketetapan MPR ini untuk pertama kali keluar pada Tahun 1960, yaitu Ketetapan MPR Sementara RI Nomor 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik 160 Philipus M. Hadjon dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 56. 316 Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara. Yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar (MPR) dan ke dalam (MPR), sedangkan Keputusan MPR adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam saja. Walaupun kedua putusan MPR itu dibuat dan dikeluarkan oleh MPR, akan tetapi hanya Ketetapan MPR yang mempunyai arti penting dalam bidang hukum. Menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 (lampiran) bentuk putusan (peraturan) MPR ini memuat: a. Garis-geris besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan undang-undang; b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan keputusan Presiden. Ini berarti bahwa, Ketetapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.Apabila kita pelajari semua Ketetapan MPR (S) yang sampai sekarang masih berlaku, ternyata ada Ketetapan MPR yang isinya mengatur dan ada yang isinya merupakan keputusan (beschikking). Ketetapan MPR yang dimaksud ialah : a. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1988 tentang Pertanggung jawaban Presiden Republik Indonesia, Soeharto, selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat; b. Ketetapan MPR No. V/MPR/1988 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia; c. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Rangka Penyuksesan dan Pengawasan Pembangunan Nasional; 317 d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. VII/MPR/1988 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. 3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang. Seperti ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 UUD 1945, peraturan yang diberi nama undang-undang ini adalah produk legislatif Presiden (Pemerintah) bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian inisiatif mengajukan usul rancangan undang-undang dapat berasal dari Presiden (Pemerintah) dan dapat pula berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seperti telah dikemukakan dalam bagian 2.3.1., undang-undang dikeluarkan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi selain itu, undang-undang juga dibuat untuk melaksanakan Ketetapan MPR dan bahkan untuk melaksanakan undang-undang. Sebagai contoh dapat dikemukakan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan dasar hukum dari Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sementara itu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang. Peraturan ini mempunyai derajat yang sama dengan undang-undang. Oleh karena itu akibat hukum yang diciptakan juga sama. Perbedaan antara kedua peraturan itu terletak dalam dua hal: a. bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang hanya dibuat oleh presiden saja; Dewan Perwakilan Rakyat tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan itu; 318 b. bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang itu dibuat dalam keadaan genting (negara dalam keadaan darurat). Akan tetapi, walaupun Presiden mempunyai hak untuk mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang, Pasal 22 ayat (2) menentukan bahwa peraturan ini harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Apabila tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu harus dicabut dan akibat hukum yang timbul harus diatur. 4. Peraturan Pemerintah Seperti ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Peraturan Pemerintah ini dibuat dan dikeluarkan oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang. Peraturan Pemerintah memuat aturanaturan yang bersifat umum. Terhadap Peraturan Pemerintah, Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi berwenang untuk menyatakan tidak sah. Adapun alasannya ialah karena Peraturan Pemerintah itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. 5. Keputusan Presiden Seperti halnya Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden juga dikeluarkan oleh Presiden. Akan tetapi berbeda dengan Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan yang bersifat umum. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig). Hal ini tercantum dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Dalam lampiran Ketetapan MPRS itu juga disebutkan bahwa Keputusan Presiden yang terdapat dalam UUD 1945, atau untuk melaksanakan praktek ita kenal adanya beberapa macam Keputusan Presiden, yaitu: 319 a. Keputusan Presiden yang berisi pengangkatan seorang menjadi Menteri atau menjadi Duta Besar atau menjadi Guru Besar atau menjadi Direktur Jenderal suatu Departemen; b. Keputusan Presiden yang berisi pemberian tunjangan kepada pejabat negara tertentu, seperti Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun 1985 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu; c. Keputusan Presiden yang mengatur hal-hal tertentu, seperti: 1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. Keputusan Presiden ini antara lain mengatur kewenangan, organisasi, keuangan dan penyelenggaraan catatan sipil. 2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 52 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk. Keputusan Presiden ini antara lain mengatur penyelenggaraan dan penyeragaman Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, persyaratan untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk. Selain Keputusan Presiden, masih terdapat Instruksi Presiden. Instruksi Presiden berisi petunjuk yang ditujukan kepada para pejabat di lingkungan pemerintahan (eksekutif), seperti instruksi yang ditujukan kepada Menteri, Jaksa Agung, Gubernur Kepala Daerah atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah. 6. Peraturan Menteri dan Surat Keputusan Menteri Peraturan Menteri adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh seorang Menteri yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bidang tugasnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan: a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1974 tentang Tatacara Pencalonan, Pemilihan dan Pengangkatan Kepala Daerah; 320 b. Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Serta Hak dan Kewajibannya; c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1986 tentang Antar-Kerja Antar Negara. Selain Peraturan Menteri seperti dikemukakan, masih ditemukan adanya Surat Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Bersama (dua atau lebih) Menteri. Yang dimaksud dengan Surat Keputusan Menteri adalah Keputusan Menteri yang bersifat khusus mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang tugasnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan: a. Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.170/L/Phb/75 tentang Perambuan; b. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. KB.510/404/Kpts/ 1983 tentang Pembinaan dan Penertiban Perkebunan Besar Swasta yang Terlantar; c. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 291/KMK.04/1985 tentang Macam dan Jenis Barang Kena Pajak yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Di samping Surat Keputusan Menteri itu dalam praktek sering kita temukan Surat Keputusan Bersama Menteri seperti: a. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri No. Sk.40/KA/1964, D.D.18/1/32 tentang Penegasan Konvensi Hak Gogolan Tetap. b. Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M.01-UM.09-03-80 dan No. 42 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam pada itu masih ada lagi Keputusan Menteri yang lain, yang diberi nama Instruksi Menteri dan Surat Menteri. Sebagai contoh dapat dikemukakan: Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 321 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. 7. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Seperti ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 18 UUD 1945, Negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan itu menganut sistem desentralisasi. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah-daerah Otonom dan wilayah-wilayah Administratio. Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi terdiri dari Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam Pasal 38 Undang-undang itu ditentukan bahwa Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan Daerah. Secara negatif Peraturan Daerah: a. tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya; b. tidak boleh mengatur sesuatu hak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya; c. tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah tingkat bawahannya. Peraturan Daerah, baik Tingkat I maupun Tingkat II dapat memuat ketentuan tentang ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima puluh ribu rupiah, dengan atau tidak dengan merampas barang tertentu untuk negara. Sesuai dengan bunyi Pasal 40 Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dikenal adanya dua macam Peraturan Daerah, yaitu: 322 a. Peraturan Daerah yang memerlukan pengetahuan penjabat yang berwenang. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal pengundangannya dalam Lembaran Daerah. b. Peraturan Daerah yang tidak memerlukan pengesahan penjabat yang berwenang. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tingkat yang ditentukan dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. Peraturan Daerah ditandatangani oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain Peraturan Daerah dikenal pula adanya Keputusan Kepala Daerah. Keputusan Kepala Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau urusan-urusan dalam rangka tugas pembantuan. Hal ini diatur dalam Pasal 45 UndangUndang No. 5 Tahun 1974. Dari rumusan tersebut jelas bahwa Keputusan Kepala Daerah dibuat dan dikeluarkan oleh Kepala Daerah tanpa harus meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 61 Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Menurut pasal itu Keputusan Kepala Daerah yang mengadakan hutang piutang atau menanggung pinjaman bagi kepentingan dan atas beban Daerah harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 8. Yurisprudensi Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang kita kenal dalam perkuliahan Pengantar Hukum Indonesia. Sebagai sumber hukum, yurisprudensi biasanya disebut bersama-sama dengan hukum tertulis, hukum tidak tertulis dan doktrin. Secara umum yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah peradilan. Akan tetapi dalam arti sempit yang dimaksud degnan yurisprudensi adalah ajaran hukum yang tersusun dari dan dalam peradilan yang kemudian dipakai sebagai landasan hukum. Selain pengertian di atas yurisprudensi juga diartikan sebagai himpunan putusan-putusan pengadilan yang disusun secara sistematik. 323 Bahwa putusan badan pengadilan dapat dijadikan landasan hukum dengan jelas dapat dibaca dari bunyi Pasal 26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 31 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam kedua undang-undang itu ditentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah daripada undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Ini berarti bahwa putusan yang menyatakan tidak sahnya Peraturan Pemerintah ke bawah baru dapat dilakukan apabila ada perkara (kasus) yang diadili oleh Pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan tingkat banding. Setelah adanya putusan Mahkamah Agung itu, peraturan yang telah dinyatakan tidak sah itu harus dicabut dengan segera oleh instansi yang membuat dan mengeluarkan peraturan itu. Dari uraian di atas jelas bahwa putusan Mahkamah Agung itu merupakan landasan hukum bagi pencabutan suatu peraturan yang telah dinyatakan tidak sah. 9. Hukum Tidak Tertulis Berbeda dengan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dalam Uud 1945 tidak ada pasal yang mengatur tentang berlakunya hukum adat. Walaupun demikian dalam Penjelasan Umum UUD 1945 terdapat keterangan tentang diakuinya hukum yang tidak tertulis. Hal itu dapat dibaca dari kalimat sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga 324 hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis; b. Memang untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinan Undang-Undang Dasar itu. Dari kutipan Penjelasan Umum itu kita mengetahui bahwa UUD 1945 juga mengakui berlakunya hukum tidak tertulis. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah yang dimaksud dengan hukum tidak tertulis itu. Dalam catatannya terhadap Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Soepomo mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis ialah hukum yang tidak dibentuk oleh sebuah badan legislatif (unstatutory law), yaitu hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sebagainya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made-law) dan hukum kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, pendek kata “hukum adat” dalam arti yang dipakai dalam ilmu pengetahuan hukum. Sehubungan dengan pendapat Soepomo itu, Kusumadi Pudjosewojo menarik kesimpulan bahwa di samping adanya hukum tertulis (putusan badan yang berwenang), juga ada hukum tata negara adat, hukum tata usaha adat, hukum perdata adat, hukum dagang adat, hukum pidana adat. Dalam praktek, hukum tatanegara adat disebut konvensi, yang berasal dari kata Inggris “convention”.161 10. Hukum Internasional Selain cabang-cabang hukum di atas, masih kita temui cabang hukum lain yang dinamakan hukum “internasional”. Kadang-kadang cabang 161 Ibid, hlm. 63. 325 hukum ini juga dinamakann hukum bangsa-bangsa atau hukum antar bangsa atau hukum antar negara (Mochtar Kusumaatmadja, 1982 :4). Menurut pakar Hukum Internasional itu, yang dimaksud dengan hukum internasional ialah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, yaitu: a. antar negara dengan negara; b. antar negara dengan subyek hukum bukan negara satu sama lain. Menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 38 ayat (1), dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Mahkamah Internasional akan dipergunakan: a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; b. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; dan d. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum.162 Apa yang dikemukakan pada butir a sampai dengan d di atas juga disebut sebagai sumber-sumber hukum internasional. 11. Keputusan Tata Usaha Negara (administratieve beschikking) Sumber hukum lain yang perlu dikemukakan ialah keputusan tata usaha. Sebelum membahas lebih lanjut keputusan tata usaha, perlu dikemukakan lebih dahulu bentuk-bentuk perbuatan pemerintahan. 162 Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasioanal, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, hlm. 107-108. 326 Seperti diketahui, dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan negara, administrasi (negara) harus melakukan bermacam-macam perbuatan. Dalam kaitan ini terdapat 2 (dua) kelompok perbuatan administrasi (negara), yaitu: a. perbuatan hukum (rechthandelingen); dan b. perbuatan nyata (feitelijke handelingen). Menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia sampai sekarang dikenal adanya hukum perdata (privat/sipil) dan hukum publik. Sehubungan dengan itu perbuatan hukum terdiri atas: a. perbuatan hukum perdata; da b. perbuatan hukum publik. Pembuatan hukum publik dapat dibagi dalam: a. perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelije handeling); b. perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelije handeling). Perbuatan hukum publik bersegi satu dilakukan oleh administrasi (aparat pemerintah) berdasarkan kekuasaannya yang istimewa. Perbuatan hukum publik ini diberi nama keputusan (beschikking). Keputusan administrasi ini dibuat baik untuk menyelenggarakan hubungan dalam lingkungan alat-alat perlengkapan negara yang membuatnya dengan seorang partikelir (swasta atau antara dua atau lebih alat-alat perlengkapan negara). Perbuatan hukum publik bersegi dua dibenarkan antara lain oleh Van der Pot dan A.M. Donner.163 Sebagai contoh perbuatan hukum publik ini antara lain ialah perjanjian kerja yang berlaku dalam jangka waktu pendek (kortverband contract). “Kortverband contract” ini merupakan perbuatan hukum publik bersegi dua yang diadakan oleh seorang 163 Van der Pot dan A.M. Donner, 1989, Handboek van het Nederlandse Staatsrecht, 2e druk, Tjeen-Willink,Zwolle, hlm. 203. 327 swasta (partikelir) dengan pemerintah sebagai pihak memberi pekerjaan. Perbuatan hukum ini diatur oleh suatu hukum istimewa, yaitu hukum publik dalam hal ini hukum administrasi (negara). 12. Doktrin Yang dimaksud dengan doktrin adalah pendapat-pendapat para pakar dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh. Pendapat yang dikemukakan ini sering dipergunakan sebagai sumber dalam pengambilan keputusan, terutama oleh para hakim. C. Asas-Asas Hukum Administrasi Negara 1. Asas Pemerintahan Yang Baik Di kalangan penulis HAN di Indonesia terdapat perbedaan penerjemahan algemene beginselen van berholijk bestuur atau asasasas umum pemerintahan yang layak. Khusus kata beginselen ada yang menerjemahkan dengan prinsip-prinsip dasar-dasar dan asas-asas sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan dengan sebaiknya, yang baik, yang legal dan yang patut. Dengan penerjemahan ini algemene beginselen van behoorlijik bestuur menjadi prinsip-prinsip atau dasardasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang sebaiknya. Namun ada yang berpendapat dengan mengacu kepada kata asal behoorlijk ini, yang semuanya menunjukkan kata sifat dan berarti ada yang disifati yaitu bestuur (pemerintahan) maka diterjemahkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang layak. Seiring dengan perkembangan dan perubahan politik Indonesia asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan beberapa asas 328 umum penyelenggaraan negara yang sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip/asas pemerintahan yang baik yaitu: a. Asas kepastian hukum b. Asas tertib penyelenggaraan negara c. Asas kepentingan umum d. Asas keterbukaan e. Asas proporsionalitas f. Asas profesionalitas g. Asas akuntabilitas Dalam penjelasan undang-undang tersebut terdapat keterangan sebagai berikut: a. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan dan keadilan dalam setiap penyelenggara negara. b. Asas tertip penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. c. Asas kepentingan umum adalah asas yang menimbulkan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif terutama penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. e. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 329 g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Asas Good Governance Governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam penyediaan public goods dan services. Praktek terbaiknya disebut good governance atau sering disebut dengan kepemerintahan yang baik. Menurut Lembaga Akuntansi Negara kata good dalam good governance mengandung 2 (dua) pengertian: Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional yang mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dalam HAN, ada 13 (tiga belas) asas-asas mengenai good governance yaitu 1) Asas kepastian hukum Asas kepastian hukum memiliki 2 (dua) aspek yang satu lebih bersifat hukum material dan yang lain bersifat hukum formal. Asas yang bersifat material menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintahan, sehingga dengan demikian setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang 330 menguntungkan, harus disusun dengan akta-kata yang jelas. Asas kepastian hak memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya . Asas ini berkaitan dengan prinsip HAN yaitu Presumptio Justea Cause (praduga rechtmatig) yang berarti setiap keputusan badan /pejabat tata usaha negara yang dikelurkan dianggap benar menurut hukum selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan dengan hukum oleh hakim administrasi. 2) Asas keseimbangan Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelakuan atau kealfaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifiksi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran/kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan dikemukakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada. 3) Asas kesamaan dalam mengambil keputusan Asas ini menghendaki agar badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama atas kasus-kasus yang faktanya sama, dalam arti tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain jika kasusnya sama. 4) Asas bertindak cermat Asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Asas kecermatan masyarakat agar badan pemerintahan sebelum mengambil ketetapan, meneliti 331 semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. Bila faktafakta penting kurang diteliti, maka ini berarti badan pemerintahan tidak cermat. 5) Asas motivasi untuk setiap keputusan. Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar keputusan tersebut. Motivasi ini harus jelas, benar sehingga pihak administrabele (pihak yang terkena keputusan) memperoleh pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. 6) Asas tidak mencampuradukkan kewenangan Asas ini menghendaki agar pejabat pemerintahan tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. Dalam HAN penyalahgunaan wewenang disebut Detournement De Pouvoir dan sewenangwenang Willekeur. 7) Asas permainan yang layak Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasiargumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini menekankan kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa. Adanya instansi banding akan memungkinkan terealisasinya asas ini, karena warga negara yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama masih diberi kemungkinan untuk mencari kebenaran dan keadilan baik melalui instansi pemerintah yang lebih tinggi atau instansi lain dari 332 yang mengeluarkan keputusan administrasi maupun melalui badan peradilan yang lebih tinggi. 8) Asas keadilan dan kewajaran Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara profesional, sesuai seimbang, setiap dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar aktifitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat maupun nilai-nilai lainnya. 9) Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu aparat pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 10) Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal. Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari pekerjaannya. Seorang pegawai yang dipecat karena diduga melakukan kejahatan tetapi setelah dilakukan proses pemeriksaan di Pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak bersalah, maka pegawai tersebut harus dikembalikan lagi pada pekerjaan semula. Bahkan juga harus diberi ganti rugi dan harus direhabilitasi nama baiknya. 11) Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi. Asas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri. Namun demikian penerapan asas ini harus dikaitkan dengan sistem keyakinan, 333 kesusilaan dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat atau sebagaimana disebutkan Kuntjoro Probo Pranoto, asas tersebut harus disesuaikan dengan pokok-pokok sila dan UUD 1945. 12) Asas kebijaksanaan Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya diberi kebebasan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku, pada peraturan perundang-undangan formal. 13) Asas penyelenggaraan kepentingan umum. Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selaku mengutamakan kepentingan umum, yaitu kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan konsekuensi dianutnya konsepsi negara hukum modern (welfare state) yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan umum warga negaranya. D. Sumber Kewenangan (Atribusi, Delegasi Dan Mandat) Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah merupakan sumber yang memberikan wewenang kepada pejabat administrasi negara/pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kemungkinan untuk memperoleh wewenang pemerintahan itu dapat terjadi karena: 1. Atribusi. 2. Delegasi. 3. Mandat. 334 Ad.1. Atribusi Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini melahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Legislator yang berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: a) Yang berkedudukan sebagai original legislator di Indonesia di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan perundangundangan dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Perda. b) Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasarkan ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah pemerintahan kepada Badan atau jabatan Tata Usaha Negara tertentu. Ad.2. Delegasi Pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Ad.3. Mandat Pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat tidak terjadi perobahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada. Yang ada hanya sebatas hubungan intern. Misalnya antara Menteri dengan 335 Dirjen atau Irjennya dimana Menteri menugaskan Dirjen atau Sekjennya (mandataris) untuk atas nama Menteri melakukan dan mengambil suatu tindakan hukum serta mengeluarkan keputusankeputusan Tata Usaha Negara tertentu. Yuridis keluar tetap Menteri berwenang karena sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab. Jadi Dirjen atau Sekjen tersebut yang faktanya memutuskan sesuatu sedang Menterinya yang memutuskan secara tertulis. Dalam hubungan mandat seperti itu, Menteri sewaktu-waktu dapat memberikan petunjuk-petunjuk umum maupun khusus kepada Dirjen/Sekjennya/Mandataris dalam rangka pelaksanaan tugas yang dimandatkannya. Menteri sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan sendiri, jadi pada mandat wewenang pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh Dirjen/Sekjen atas nama dan tanggung jawab Menteri (mandatoris). Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pada atributif disitu terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan pada delegasi terjadi pelimpahan atau pemindahan suatu wewenang yang telah ada sebaliknya pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain. RANGKUMAN Terhadap istilah administratie para sarjana Indonesia berbeda pendapat dalam menterjemahkannya, kata administratie diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan tata negara dan administrasi. Perbedaan penerjemahan ini mengakibatkan perbedaan penamaan terhadap cabang hukum ini, yakni seperti HAN, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Pemerintahan, Hukum Tata Usaha, Hukum Tata Usaha Negara 336 Indonesia, HAN Indonesia dan Hukum Administrasi. Adanya keagamaan istilah ini dalam perkembangannya terdapat kecenderungan untuk mengadakan keseragaman terhadap istilah HAN. HAN adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahannya yang menjadi sebab hingga negara berfungsi. Berdasarkan beberapa definisi tersebut tampak bahwa dalam HAN terkandung dua aspek yaitu pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat kelengkapan negara itu melakukan tugasnya. Kedua aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan administrasi negara dengan para warganya. Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam ajaran Welfare State, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam HAN di samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. Selanjutnya pengertian dari administrasi negara terdapat 3 (tiga) pengertian yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah atau sebagai institusi politik (kenegaraan), artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan sebagainya. 2. Sebagai fungsi atau aktivitas yaitu kegiatan pemerintahan, artinya kegiatan mengurus kepentingan negara. 3. Sebagai proses teknis melaksanakan undang-undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan undang-undang. 337 LATIHAN 1. Jelaskan pengertian hukum administrasi negara dan apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut. 2. Jelaskan sumber-sumber dari hukum administrasi negara. 3. Jelaskan secara singkat asas-asas dalam hukum administrasi negara. 4. Sbutkanm 13 asas mengenai good governance. 5. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan kewenanangan atribusi, delegasi dan mandat. GLOSSARIUM 1. Administratie diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan tata negara dan administrasi. 2. Welfare State suatu ajaran yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam HAN di samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturanperaturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. 3. Judge made-law adalah hukum kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, pendek kata “hukum adat” dalam arti yang dipakai dalam ilmu pengetahuan hukum. 4. Eenzijdige publiekrechtelije handeling adalah perbuatan hukum publik yang bersegi satu 5. tweezijdige publiekrechtelije handeling adalah perbuatan hukum publik yang bersegi dua 6. Algemene beginselen van berholijk bestuur adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak. 7. Detournement De Pouvoir adalah penyalahgunaan wewenang. 338 DAFTAR PUSTAKA Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasioanal, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 107-108. Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 56. Van der Pot dan A.M. Donner, Handboek van het Nederlandse Staatsrecht, 2e druk, Tjeen-Willink,Zwolle, 1989, hlm. 203. 339 BAB XIV ASAS-ASAS HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: pengertian hukum acara tata usaha negara, karakteristik dan asas-asas dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, kewenangan peradilan tata usaha negara, pemeriksaan di persidangan, pembuktian, dan putusan. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi hukum acara tata usaha negara. 2. Mengungkapkan karakteristik dan asas-asas dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. 3. Menjelaskan kewenangan peradilan tata usaha negara. 4. Menjelaskan pemeriksaan dipersidangan. 5. Menjelaskan mengenai pembuktian. 6. Menjelaskan mengenai putusan. A. Pengertian Hukum Acara Tata Usaha Negara Istilah Tata Usaha Negara disebagian lingkungan Perguruan Tinggi dikenal dengan nama “Administrasi Negara”. Alasannya karena istilah Tata Usaha Negara lebih sempit dari pada istilah “Administrasi Negara” itu sendiri. Dalam arti yang luas, Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansiinstansi tata usaha negara, baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara adat, maupun perkara-perkara 340 administrasi negara murni. Dalam arti sempit, Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkaraperkara administrasi negara murni.164 Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara (administratief recht) adalah aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat perlengkapan tata usaha negara melaksanakan tugasnya dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Di dalam melaksanakan tugasnya salah satu bagian dari kewenangannya adalah membuat atau mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Namun di dalam melaksanakan tugasnya tersebut ada keputusan-keputusan tata usaha negara yang merugikan orang perorangan atau badan hukum perdata. Agar mereka yang dirugikan tersebut dapat mempertahankan haknya maka diatur prosedurnya dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan bahwa hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan.165 Sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana 164 Djoko Prakoso, 1987, Menyongsong Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Lambroso, Semarang, hlm. 2. 165 Animus, 1986, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), hlm. 43. 341 pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.166 Berpedoman pada rumusan yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro teersebut, dapat pula dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adlah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain yang dimaksud Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.167 B. Karakteristik Dan Asas-Asas Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinyanya, yaitu: 1. Asas praduga rechmateg (vermoden van rechtmatigheid/ praesummptio iustae causa) Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmateg sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaann KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). 2. Asas pembuktian bebas 166 167 R. Wirjono Prodjodikoro, 1978, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung, hlm. 13. H. Rozali Abdullah, 1991, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1-2. 342 Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata. Asas ini dianut Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi oleh ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. 3. Asas keaktifan hakim (dominus litis) Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat (1), (2), Pasal 80 dan Pasal 85 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. 4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes” Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”. Di samping asas-asas sebagaimana yang telah diuraikan di atas, perlu ditegaskan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik, yaitu hukum administrasi sebgaimana ditegaskan dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan sengketa tata usaha negara. Hal ini ditegaskan lagi dalam rumusan tentang keputusan tata usaha negara (Pasal 1 angka 3) yang mensyaratkan juga tindakan hukum tata usaha untuk adanya keputusan tata usaha negara. Juga perlu diperhatikan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak masyarakat. Untuk itu di samping melindungi hak individu sebagian besar isi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 melindungi hak-hak 343 masyarakat. Pasal-pasal yang langsung menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah: Pasal 49: Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarka peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55: Gugatan dapat diajukan hanya tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkanya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Pasal 67 ayat (1): Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakan keputusan badan atau pejabat tata usaha yang digugat. C. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 344 Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahum 1986, adalah suatu penetapan tertulis, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang. Dari hal ini jelas bagi kita bahwa sebenarnya kompetensi peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah lebih sempit bila dibandingkan dengan kompetensi dengan Peradilan Tata Usaha Negara Thorbecke dan Buys. Menurut Thorbecke bilamana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak di lapangan hukumpublik sudah tentulah hakim administrasi yang berwenang memutuskannya. Sedangkan menurut Buys maka ukuran yang harus dipakai dalam menentukan berwenang atau tidaknya hakim administrasi negara ialah pokok dalam perselisihan (objectum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu, meminta ganti kerugian, jadi objectum litis adalah suatu hak privat, maka perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim biasa.168 Kopetensi sebagaimana dikemukakan oleh Buys ini lebih sempit apabila dibandingkan dengan kopetensi Thorbecke. Menurut Buys walaupun pokok dalam perselisihannya (objectum litis) terletak di lapangan hukum publik, apabila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.169 Kompetensi peradilan tata usaha negara menurut Undangundang Nomor 5 Tahun 1986, jauh lebih sempit lagi, karena tidak 168 Utrech. E, 1964. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Ichtiar, Jakarta, hlm. 207. 169 H. Rozali Abdullah, Op. Cit, hlm. 24. 345 semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan hukum publik (hukum tata usaha negara) dapat di adili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, keputusan tata usaha yang dapat digugat di peradilan tata usaha negara, haruslah memenuhi syarat: 1. Bersifat tertulis Hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Pengertian tertulis di sini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainkan cukup tertulis, asal saja: a) Jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha yang mengeluarkannya; b) Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban; c) Jelas kepada siapa tulisan itu ditujukan. Mengenai syarat tertulis ini ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu: a) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara; b) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud; c) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha 346 2. 3. Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Bersifat konkret Bersifat konkret artinya objek yang diputus dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan; Bersifat individual Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk orang-orang atau badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku umum; 4. Bersifat final Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya. Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Pengadilan tidak berwenang mengadili suatu sengketa Tata Usaha Negara, dalam hal keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan: 1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktiknya alasan “dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum” bisa menimbulkan permasalahan, karena sampai sekarang sulit ditentukan batasan dan ukuran yang objektif tentang “kepentingan umum”. Biasanya pengertian “kepentingan umum” itu selalu dilihat dari sudut kacamata penguasa, sehingga sering merugikan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, para hakim 347 pada pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dituntut harus berani menentukan sikap di dalam menentukan ada atau tidaknya suatu “kepentingan umum” berdasarkan ukuran-ukuran yang objektif menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut bertugas memberikan perlindungan (pengayoman) kepada warga masyarakat pencari keadilan dari tindakan sewenangwenang para penguasa. Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu: 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan Hukum Perdata; 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 7. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Mengenai kompetensi ini ternyata Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 masih bersifat mendua, karena masih memberikan 348 kewenangan kepada badan-badan lain (peradilan semu) di luar pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara tertentu. Hal ini terlihat dari Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyebutkan: (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh upaya administratif telah diselesaikan. Yang dimaksud upaya administratif disini adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata, apabila ia merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan instansi yang bersangkutan. Upaya administratif tersebut terdiri dari: 1. Keberatan administratif diajukan kepada atasan pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 2. Banding administratif dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, seperti Majelis Pertimbangan Pajak, Badan Pertimbangan Kepegawaian, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Panitia Urusan Perumahan, DPRD bagi suatu peraturan daerah dan lain-lain. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha 349 Negara yang bersangkutan. Apakah peraturan perundang-undangan dimaksud memberi kemungkinan untuk menempuh suatu upaya administratif bagi penyelesaian suatu sengketa Tata Usaha Negara di bidang yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan: a. Sengketa Kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan 24 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. b. Perselisihan Perburuhan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. c. Sengketa Perpajakan sebagaimana diatur dalam Regeling van het beroep in belastingzaken jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang Perubahan Regeling van het beroep in belastingzaken. d. Dan lain-lain (Anonim, 1986-Penjelasan). Untuk sengketa Tata Usaha Nega sebagaiman dimaksud oleh Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut baru dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setelah menempuh semua upaya administratif yang dimungkinkan oleh peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dibuatnya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Seandainya para pihak masih merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut, dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 51 UPTUN). Sikap mendua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan memberikan kewenangan kepada badan-badan lain selain pengadilan di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu, sebenarnya hal itu kurang menguntungkan bagi perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri, sebagai suatu 350 peradilan yang utuh dan mandiri di samping juga dapat merugikan warga masyarakat pencari keadilan. Dengan adanya pemberian wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikann suatu sengketa Tata Usaha Negara tertentu kepada badan-badan lain selain pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, jelas akan dapat mengurangi kemandirian dan keutuhan Peradilan Tata Usaha Negara. Bagi warga masyarakat pencari keadilan hal ini kurang menguntungkan, karena upaya penyelesaian secara administratif yang dilakukan di lingkungan instansi yang bersangkutan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dirasakan kurang dapat memberi rasa keadilan. Penyelesaian secara ini akan dapat menimbulkan tekanan-tekanan secara psikologis, sehingga para pencari keadilan kurang bebas di dalam mengungkapkan masalahnya, karena adanya ikatan birokratis.. Penyelesaian secara ini lebih banyak menimbulkan rasa ketidakpuasan, yang akhirnya berlanjut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sehingga upaya administratif yang sudah ditempuh dengan membuang waktu, tenaga, dan pikiran akan menjadi sia-sia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, sebaiknya penyelesaian secara administratif melalui badan-badan di luar pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dihapuskan saja, sehingga wewenang mengadili yang ada pada pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara menjadi utuh. Apalagi khusus di bidang kepegawaian, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian dalam Pasal 35 dengan tegas menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 351 1980 tentang upaya adminitratif, tentunya dimaksudkan untuk berlaku sementara menjelang terbentuknya suatu Peradilan Tata Usaha Negara yang mandiri dan permanen. Dengan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara yang mandiri dan permanen berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986, maka kewenangan yang semula diberikan badan-badan lain selain dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara harus ditarik kembali dan diserahkan sepenuhnya kepada pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 35 Undangundang Nomor 8 Tahun 1974. Di samping mengadili pada tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang (Pasal 51 UPTUN): 1) Memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding; 2) Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. D. Pemeriksaan Di Persidangan 1. Pemeriksaan Pendahuluan Di bandingkan dengan peradilan lainnya, khusus peradilan perdata, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara, yaitu adanya tahap pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan ini terdiri dari (Pasal 62 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986), yaitu: 352 a. Rapat permusyawaratan Rapat permusyawaratan yang disebut juga dismissel process, atau tahap penyaringan diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Dalam rapat permusyawaratan ini ketrua pengadilan memeriksa gugatan yang masuk, apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya. Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila: 1) Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyatanyata tidak termasuk wewenang tata usaha negara; 2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986; 3) Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan tidak layak; 4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh keputusan tata usaha negara yang digugat; 5) Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya. Terhadap penetapan ketua pengadilan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut diajukan harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986. 353 b. Pemeriksaaan Persiapan Pemeriksaaan persiapan diadakan mengingat penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara pada umumnya adalah warga masyarakat yang mempunyai kedudukan lemah apabila dibandingkan dengan tergugat sebagai pejabat tata usaha negara. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi penggugat untuk menadapatkan informasi dan data yang diperlukan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Dalam pemeriksaan persiapan hakim diharapkan akan berperan aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan meminta penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti sebelums sidang berlangsung dan meminta Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan oleh pengadilan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak menyebutkan adanya suatu sanksi yang dapat dijatuhkan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Tetapi hal ini oleh pengadilan dapat dijadikan sebagai sebagi bukti yang merugikan pejabatat tata usaha negara itu sendiri. Karena ketidakbersediaan memberikan penjelasan dan informasi tersebut, dapat dijadikan sebagai suatu petunjuk ketidak benaran pejabat yang bersangkutan. Mengenai pemeriksaan persiapan ini diatur dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan: (1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas; (2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim: 354 a. Wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan dara yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari; b. Dapat diminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan; (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, penggugat belum menyempurnakan gugatannya, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatannya tidak dapat diterima; (4) Terhadap putusan sebagaimana dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugat baru. 2. Pemeriksaan di Tingkat Pertama Pemeriksaan tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, terkecuali untuk sengketa yang menurut paraturan perundang-undangan yang bersangkuta, sengketa tersebut dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif, maka pemeriksaan pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pemeriksaan dtingkat pertama ini dilakukan melalui 2 cara: a. Pemeriksaan dengan acara biasa. Dalam pemeriksaaan dengan cara biasa pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan suatu majelis yang terdiri 3 orang hakim dan salah seorang di antaranya ditunjuk sebagai hakim ketua sidang, yang bertugas memimpin sidang dan wajib menjaga supaya tata tertip dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. 355 b. Pemeriksaan dengan acara cepat. Dalam hal ada kepentingan penggugat yang cukup mendesak, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat, baik proses pemeriksaannya maupun pemutusannya. Kepentingan yang cukup mendesak ini dapat disimpulkan dari alasan-alasan penggugat yang dikemukakan dalam permohonannya (Pasal 98 UUPTUN). Selambat-lamatnya 14 hari sesudah permohonan diterima, ketua pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkannya atau ditolak permohonan tersebut. Terhadap penetapan ini tidak dapat digunakan upaya hukum, yaitu banding dan kasasi. Kalau seandainya permohonan untuk diadakan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan oleh pengadilan, maka pemeriksaan sengketa dilakukan dengan hakim tunggal. Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan yang mengabulkan permohonan penggugat untuk diadakan pemeriksaan sengketa dengan acara cepat, menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dilakukan dalam pemeriksaan sengketa dengan cara biasa. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari (Pasal 99 UUPTUN). 3. Pemeriksaan di Tingkat Banding Menurut Pasal 122 UUPTUN, terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus yang diberi kuasa untuk itu, Kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan 356 tersebut dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran biaya perkara banding lebih dahuluyang besarnya ditaksir oleh panitera (Pasal 123 UUPTUN). Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir atau putusan sela hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersamasama putusan akhir. 4. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam Pasal 131 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan kasasi ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan pengadilan agama atau yang diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan lain, yaitu peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer, maka PeradilanTata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemeriksaan di tingkat kasasi dan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali untuk sengketasengketa yang diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: 357 a. Permohonan kasasi. b. Sengketa tentang kewenangan mengadili. c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap. Ad. a. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan kasasi telah menggunakan upaya hukum banding (Pasal 43 UMA). Permohonan kasasi dapat diajukan oleh pihak yang bersengketa atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu dalam sengketa Tata Usaha Negara yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 44 UMA). Alasan-alasan yang dapaat dipergunakan dalam permohonan kasasi adalah (Pasal 30 UMA). (1) Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang atau telah melampaui batas wewenangnya dalam memeriksa dan memutus sengketa yang bersangkutan; (2) Pengadilan telah salah di dalam menerapkan hukum atau telah melanggar hukum yang berlaku; (3) Pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, yang mengancam kelalaian itu dengan pembatalan putusan yang bersangkutan (Pasal 30 UMA). Ad. b. Pemeriksaan Peninjauan Kembali Pemeriksaan peninjauan kembali ini diatur dalam Pasal 132 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan peninjauan kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) 358 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi: “Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama atau pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara digunakan Hukum Acara Peninjauan Kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai Pasal 75. Hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali untuk sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, diberlakukan hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali untuk perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 67 sampai 75 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985. Menurut Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, permohonan penijauan kembali dapat diajukan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; 4) Apabila mengenai sesuatu bagina dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya 5) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; 359 6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang bersengketa atau ahli warisnya atau seseorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses pemeriksaan permohonan peninjauan kembali pemohon meninggal dunia permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Menurut Pasal 69 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 hari untuk: 1) Yang disebut pada huruf a, sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang bersengketa; 2) Yang disebut pada huruf b, sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; 3) Yang disebut pada huruf c, d, dan f, sejak putusan memperolah kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa; 4) Yang disebut pada huruf f, sejak putusan yang terakhir bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang bersengketa. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan yang telah memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 70 UMA). 360 E. Pembuktian Menurut Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara adalah: 1. Surat atau tulisan. 2. Keterangan ahli. 3. Keterangan saksi. 4. Pengakuan para pihak. 5. Pengetahuan hakim. Ad. 1. Surat atau Tulisan Seperti diketahui sengketa tata usaha negara selalu dikaitkan dengan adanya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk memudahkan pembuktian di persidanagan, secara umum ditentukan bahwa keputusan tata usaha negara yang dapat digugat di pengadilan tata usaha negara adalah keputusan tertulis atau dalam bentuk surat. Oleh karena itu, surat atau tulisan merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pemeriksaan sengketa tata usaha negara (Pasal 101 UUPTUN). Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 jenis, yaitu: a) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat suarat itu dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, dimana hakim harus mempercayai apa yang tercantun dalam akta tersebut, sepanjang tidak ada bukti lain yang menyatakan ketidak benarannya. b) Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk 361 digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan hampir sama dengan akta otentik, asal saja isi dan tanda tangan yang dicantumkan di dalamnya diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. c) Surat-surat lain yang bukan akta adalah alat bukti bebas dimana hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayainya. Ad. 2. Keterangan Ahli Menurut Pasal 102 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah pendapat orang yang berikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang dia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Ad. 3. Keterangan Saksi Menurut Pasal 104 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 keterangan saksi dianggap sebagai lat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal-hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Kehadiran seorang saksi di persidanagan adalah atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat memintakan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan. Apabila seorang saksi telah dipanggil secara patut, ternyata tidak hadir di persidangan tanpa suatu alasan yang dapat dipertanggung jawabkan dan hakim cukup pula alasan untuk menyangka bahwa saksi tadi sengaja tidak datang, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi dibawa oleh polisikepersidangan. Ad. 4. Pengakuan Para Pihak Menurut Pasal 105 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan 362 yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Artinya ialah bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan memeluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut.170 Jadi suatu pengakuan baru bisa diterima sebagai suatu bukti yang sempurna kalau diberikan dimuka hakim (persidangan). Pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat diterima sebagai suatu bukti yang mengikat, hanya sebagai bukti bebas, terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya. Sebagaimana, disebutkan dalam Pasal 105 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, pengakuan yang diberikan di hadapan hakim (persidangan) tidak dapat ditarik kembali, terkecuali kalau dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan. Ad. 5. Pengetahuan Hakim Menurut Pasal 106 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dimaksud dengan pengatahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Yang dimaksud pengetahuan hakim ialah hal yang dialami oleh hakim sendiri selama pemeriksaan perkara dalam sidang.171 Jadi dalam hal ini tidak termasuk pengetahunan hakim, yaitu hal-hal yang diberitahukan kepada hakim oleh para pihak. Pengetahuan hakim ini sangat berguna untuk menambah keyakinan hakim, agar dapat memberi putusan terhadap suatu sengketa yang diadilinya. 170 171 R. Subekti, 1988. Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, hlm. 112. R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm. 125. 363 F. Putusan Setelah selesai seluruh rangkaian proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara, hakim ketua sidang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk menyampaikan kesimpulan masing-masing. Sesudah itu hakim ketua sidang menunda sidang untuk memberikan kesempatan kepada majelis hakim untuk bermusyawarah dalam ruang terttutup guna mempertimbangkan putusannya. Dalam musyawarah yang dipimpin hakim ketua sidang putusan merupakan hasil pemukatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan dapat diambil dengan suara terbanyak. Seandainya dalam musyawarah pertama tidak dapat menghasilkan suatu putusan, maka musyawarah dapat ditunda pada musyawarah berikutnya. Apabila dalam musyawarah kedua ini tidak juga diperoleh putusan melalui suara terbanyak, maka suara hakim ketua sidang yang akan menentukan (Pasal 97 UUPTUN). Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah hakim ketua sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Apabila putusan pengadilan itu tidak diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 UUPTUN). Menurut Pasal 109 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, putusan pengadilan harus memuat: a. Kepala putusan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersangkutan; c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; 364 d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa: a. Gugatan dinyatakan gugur apabila penggugat tidak hadir pada waktu sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun telah dipanggil secara patut; atau b. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, karena adanya suatu eksepsi yang diterima oleh majelis hakim; atau c. Gugatan dinyatakan ditolak, setelah diperiksa ternyata tidak terbukti; atau d. Gugatan dinyatakan dikabulkan. Dalam hal gugatandinyatakan dikabulkan maka dalam putusan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu. Kewajiban itu berupa: a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Kewajiban tersebut dapat disertai pembebanan ganti rugi dan khusus bagi sengketa kepegawaian, kewajiban tersebut dapat disertai pemberian rehabilitasi (Pasal 97 UUPTUN). Apabila dalam suatu persidangan diperlukan suatu putusan sela, putusan tersebut hanya dicantumkan dalam berita acara sidang dan tidak dibuat sebagai putusan tersendiri. Putusan sela disebut juga 365 putusan interlukotoir, yaitu putusan yang diambil untuk mengatasi persoalan yang timbul dalam persidangan, seperti adanya suatu eksepsi, intervensi, dan lain-lain. Walaupun putusan sela tidak dibuat dalam putusan tersendiri, tetapi harus juga diucapkan dalam persidangan. RANGKUMAN Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara (administratief recht) adalah aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat perlengkapan tata usaha negara melaksanakan tugasnya dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Di dalam melaksanakan tugasnya salah satu bagian dari kewenangannya adalah membuat atau mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Namun di dalam melaksanakan tugasnya tersebut ada keputusan-keputusan tata usaha negara yang merugikan orang perorangan atau badan hukum perdata. Agar mereka yang dirugikan tersebut dapat mempertahankan haknya maka diatur prosedurnya dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan bahwa hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 366 Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinyanya, yaitu: 1. Asas praduga rechmatig (vermoden van rechtmatigheid/ praesummptio iustae causa) Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmateg sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaann KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). 2. Asas pembuktian bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata. Asas ini diaunut Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi oleh ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. 3. Asas keaktifan hakim (dominus litis) Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat (1), (2), Pasal 80 dan Pasal 85 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. 4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes” Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”. 367 LATIHAN 1. Jelaskan pengertian hukum acara peradilan tata usaha negara. 2. Sebutkan asas-asas dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. 3. Uraikan secara ringkas kewenangan peradilan tata usha negara. 4. Jelaskan tahapan-tahapan penyelesaian pendahuluan dalam peradilan tata usaha negara. 5. Jelaskan macam-macam alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. 6. Apa saja yang harus dimuat dalam putusan hakim peradilan tata usaha negara. GLOSSARIUM 1. Administratief recht adalah aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat perlengkapan tata usaha negara melaksanakan tugasnya dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur. 2. Vermoden van rechtmatigheid/praesummptio iustae causa adalah suatu asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmateg sampai ada pembatalannya. 3. Erga omnes adalah asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat. 4. Objectum litis adalah suatu hak privat, maka perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim biasa. 368 DAFTAR PUSTAKA Aninomus, 1986, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), 1986. Djoko Prakoso, 1987, Menyongsong Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Lambroso, Semarang. H. Rozali Abdullah, 1991, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Subekti, R, 1988, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung. Utrech. E, 1964, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Ichtiar, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, R, 1978, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur , Bandung.