Uploaded by User99606

LAPORAN KASUS HEMATEMESIS MELENA EC ULKU

advertisement
LAPORAN KASUS
“SEORANG WANITA DENGAN HEMATEMESIS MELENA”
Oleh :
Arie Setyawan, S.Ked
NPM: 17710110
Pembimbing :
dr. Judhy Eko Septiarso, Sp. PD
SMF PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
RSUD KABUPATEN SIDOARJO 2018
1
PENDAHULUAN
Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar darah berwarna
kehitaman) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian
atas/SCBA (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis adalah
keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8%-14% kematian di rumah sakit.
Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk
menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam
menentukan sumber perdarahan (Sudoyo AW, 2009).
Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering perdarahan
SCBA, berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif,
perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss. Semua keadaan
ini meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinal atas dengan
ditemukannya suatu lesi yang pasti (Marcelus Simadibrata K et al, 2012)..
Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama mendapatkan
bahwa lebih kurang 70% penyebab dari perdarahan SCBA adalah karena varises
esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena semakin
meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi
pasien usia lanjut, maka proporsi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan
meningkat. Data dari salah satu RS di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan bahwa
penyebab perdarahan saluran cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti gastritis
erosive (Marcelus Simadibrata K et al, 2012).
Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yang dapat menimbulkan
perdarahan saluran cerna bagian atas
Di negara barat perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak
sedangkan di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagus merupakan
penyebab tersering yaitu sekitar 50% - 60%, gastritis erosifa hemoragika sekitar 25% 30%, tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya < 5% (Marcelus
Simadibrata K et al, 2012).
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. K
Tanggal lahir
: 06 Juni 1957
Umur
: 61 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Jenis kelamin
: Wanita
Alamat
: Jl. Sumput RT 07/03 Sidoarjo
No. Rekam Medis
: 1449189
Tanggal MRS
: 30-08-2018
Tanggal Pemeriksaan
: 01-09-2018
II. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
-
BAB berwarna kehitaman
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sidoarjo dengan keluhan buang air besar berwarna
kehitaman seperti petis dengan konsistensi lunak, 3-5x/hari kurang lebih
sebanyak 1 gelas aqua, dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Pasien juga merasakan nyeri pada ulu hati seperti ditusuk jarum
dan tidak berkurang setelah makan, disertai rasa pusing berputar, mual dan
muntah 1x bewarna kehitaman yang bercampur dengan makanan seperti kopi
sebanyak kira-kira 20cc pada hari rabu (29/08/18). Diketahui pasien memiliki
riwayat penyakit dispepsia sejak usia 40 tahun dan memiliki kebiasaan
mengkonsumsi obat sakit kepala oskadon dan bodrex yang dibeli diwarung
sejak 5 tahun yang lalu hingga sekarang. 1 bulan terakhir pasien mengatakan
hampir tiap hari rutin mengkonsumsi jamu untuk mengurangi rasa pegel linu.
Pada tahun 2016 pasien pernah masuk rumah sakit dan dirawat selama 7 hari di
RSUD Sidoarjo dengan keluhan yang sama yaitu bab berwarna kehitaman
disertai muntah berwarna kehitaman dan nyeri pada ulu hati. Pasien mengatakan
, tidak ada keluhan sulit untuk menelan, tidak ada rasa panas seperti rasa
terbakar didada, tidak ada penurunan berat badan, tidak pernah sakit kuning,
tidak ada kencing bewarna seperti teh, tidak merrasa sesak dan batuk, tidak ada
3
penurunan kesadaran, tidak ada kelemahan atau kelumpuhan yang dialami,
tidak ada nyeri pada tulang, tidak pernah minum obat-obatan untuk
mengencerkan darah.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
-
Pasien pernah sakit seperti ini 2 tahun yang lalu (2016).
-
Riwayat Dyspepsia (+) sejak usia 40 th
-
Riwayat penyakit diabetes disangkal
-
Riwayat penyakit kuning disangkal
-
Riwayat stroke disangkal
-
Riwayat penyakit hipertensi (+)
-
Riwayat penyakit jantung disangkal
-
Riwayat penyakit ginjal disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
-
Keluarga pasien tidak pernah sakit seperti ini
-
Riwayat penyakit diabetes disangkal
-
Riwayat penyakit hipertensi disangkal
e. Riwayat Pengobatan
-
Minum obat dari dokter untuk keluhan nyeri ulu hati (Tidak dibawa)
-
Riwayat Transfusi Darah tahun 2016.
f. Riwayat Kebiasaan
-
Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi jamu dan obat-obatan seperti oskadon
dan bodrex.
-
Tidak minum-minuman beralkohol.
-
Tidak merokok.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum
: Lemah
B. Kesadaran
: Composmentis
Berat Badan : 70kg
GCS : 456
C. Tanda Vital
TD
: 140/90 mmHg
Nadi
: 72 x/menit/Reguler/Lemah
Suhu
: 36,6 0C
4
Respiratory Rate
: 19 x/ menit
D. Status Generalis
Kepala dan Leher

Kulit : Sawo matang, suhu raba hangat, hiperpigmentasi (-), ptechie (-), pucat (+),
ikterik (-)

Kepala : Normocephal , rambut berwarna kehitaman, uban (+), mudah rontok (), luka/bekas luka (-), benjolan (-)

Mata
: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokhor,
refleks cahaya (+/+),

Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), edem mukosa (-/-)

Telinga : Normotia (+/+), membrane timpani intak, sekret (-/-), perdarahan (-/-),
nyeri tekan tragus (-/-)

Mulut
: Sianosis (-), gusi berdarah (-), sariawan (-), mukosa mulat pucat (+)

Lidah
: Papil Tidak Atrofi, glositis (-)

Leher
: Trakea di tengah, peningkatan JVP (-), tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening, nyeri menelan (-), kesulitan menelan (-)
Thoraks
Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave(-)

Perkusi :

-
Batas kanan jantung 2 cm di sebelah lateral sternum pada ICS IV kanan
-
Batas kiri jantung 4 cm di sebelah lateral sternum pada ICS V kiri
-
Kesan : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi:
Suara 1: tunggal regular
Suara 2: tunggal regular
Murmur (-), Gallop (-)
Paru

Inspeksi: simetris kanan kiri, tidak ada pelebaran ICS

Palpasi: gerakan nafas simetris, fremitus vokal tidak ada lateralisasi
5

Perkusi: sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
E. Abdomen

Inspeksi: Bentuk simetris, cembung (-), spider angioma (-), caput medusa (-)

Auskultasi: bising usus (+) meningkat.

Perkusi: timpani (+), asites (-), shifting dullness (-), undulasi (-)

Palpasi: Supel, nyeri tekan epigastrium (+) , nyeri tekan hipocondriac kanan (-),
nyeri tekan hipocondriac kiri (-), distended (-), meteorismus (-). Hepar dan lien
tidak teraba.
F. Ektremitas
Superior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/Jejas -/Clubbing finger -/Koilonychia -/Eritema palmaris -/Icterus pada telapak tangan -/Pemeriksaan Motorik: Stage 5
Inferior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/Jejas -/Clubbing finger (-)
Koilonychia -/Pemeriksaan Motorik: Stage 5
6
IV. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
8

Hasil Endoskopi, 3 September 2018
9
V. RESUME
Anamnesis :
-
BAB bewarna kehitaman dengan konsistensi lunak 3-5x/hari kurang lebih
sebanyak 1 gelas belimbing.
-
Nyeri pada ulu hati seperti ditusuk jarum
-
Pusing
-
Mual
-
Muntah 1x bewarna kehitaman seperti kopi bercampur dengan makanan
kurang lebih 20 cc
-
Riwayat dispepsia sejak usia 40 th
-
Memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat oskadon dan bodrex serta jamu-jamu.
-
Riwayat Hipertensi (+)
Pemeriksaan Fisik :
-
Keadaan Umum
: Lemah
-
Tekanan Darah
: 140/90 mmHg
-
Kulit
: Pucat
-
Mata
: Konsjungtiva Anemis (+/+)
-
Mulut
: Mukosa mulut pucat (+)
-
Abdomen
: Nyeri tekan epigastrium (+)
-
Ekstremitas
: Akral hangat kering merah -/-
Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah lengkap 30/08/18
-
WBC
: 21.32 /Ul
-
RBC
: 1.8 /Ul
-
HGB
: 4.9 g/dL
-
HCT
: 16 %
-
PLT
: 374 /Ul
-
MCV
: 87.9 fl
-
MCH
: 26.9 pg
-
MCHC
: 30.6 g/dL
2. Kimia Klinik 30/08/18
-
Gula Darah Sewaktu : 143 mg/dL
-
BUN
: 49.7 mg/dL
10
-
Kreatinin
: 1.6 mg/dL
-
SGOT
: 42 U/L
-
SGPT
: 38 U/L
3. Elektrolit 30/08/18
-
Natrium
: 141 mmol
-
Kalium
: 4.0 mmol
-
Khlorida
: 95 mmol
4. Kimia Klinik 31/08/18
VI.
-
BUN
: 28 mg/dL
-
Serum Kreatinin : 1.2 mg/dL
-
Albumin
: 3.1 g/dL
-
SGOT
: 62 U/L
DIAGNOSIS
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini
dapat disimpulkan dengan diagnosis :
A. Diagnosis Kerja
-
Hematemesis Melena et causa Ulkus Peptikum
-
Susp. Anemia Hipokromik Mikrositer et causa pendarahan akut saluran
cerna bagian atas
-
Hipertensi Stage I
B. Diagnosis Banding

Gastritis erosif

Ca Gaster

Ca Esofagus

Varises Esofagus
VII. PENATALAKSANAAN
A. Non – Medikamentosa
-
Tirah baring
-
Puasa sampai pendarahan berhenti
-
Diet cair
-
Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan
dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
11
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.
B. Medikamentosa
-
Inf. RL 21 tpm
-
Inj. Santagesic (Sodium Metamizol) 3x500 mg
-
Inj. Prosogan (Lansoprazole) 3 x30 mg
-
Inj. Kalnex (As. Tranexamat) 3 x 100 mg
-
Inj. Vitamin K(Phytomenadione) 3 x10 mg
-
Peroral : Syr. Sucralfat 3 x cth 2
Transusi PRC 2 kolf s/d Hb >> 10 g/dL Untuk mencegah terjadinya
kegagalan sirkulasi dan mencukupi suplai oksigen kejaringan.
12
VIII.
ANALISIS KASUS
Pada tanggal 30/08/18 pasien Ny. K (61th) datang ke IGD RSUD Sidoarjo
dengan keluhan BAB berwarna hitam sejak 1 minggu konsistensi lunak berbau amis,
disertai mual dan muntah berwarna hitam seperti kopi yang bercampur dengan
makanan. Dari ringkasan uraian keluhan yang menjadi analisis pada kasus ini perlu kita
ketahui terlebih dahulu apakah perdarahan yang terjadi merupakan perdarahan saluran
cerna atas atau bawah. Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik
umumnya hematemesis dan atau melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya
darah, sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan manifestasi klinik
umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan jernih. Pada kasus ini
didapatkan adanya hematemesis dan melena serta aspirasi nasogastrik didapatkan
adanya darah (Wenas, 2009).
Secara terminologi atau definisi pendarahan saluran cerna bagian atas atau
SCBA adalah pendarahan saluran makanan dari Ligamentum treitz bagian proksimal.
Kemungkinan pasien datang dengan 1).anemia defisiensi besi akibat pendarahan
tersembunyi yang berlangsung lama, 2). Hematemesis dengan atau tanpa melena
disertai dengan atau tanpa anemia dan gangguan hemodinamik (Sudoyo AW, 2009).
Menurut literatur dalam Oxord handbook of Clinical Medicine 2010 penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah :
a. Ulkus peptikum
b. Sindrome Mallory-weiss
c. Varises esophagus
d. Erosi gastritis
e. Penggunaan obat trombolitik dan antikoagulan
13
f. Keganasan.
g. Idiopatik.
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah warna
menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kop tercampur enzim dan asam
lambung (Sudoyo AW, 2009).
Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom
lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal
dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua
kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol. Lycorice, obat-obat yang
mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam. Oleh
karena itu dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin (Sudoyo AW,
2009).
Pendarahan saluran cerna bagian atas sendiri dibagi menjadi dua bagian yakni
perdarahan oleh karena Varises esophagus atau Non Esofagus. Pada kasus ini penting
untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan nonvarises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.
Pada perdarahan yang disebabkan karena varises esophagus sangat sering
terjadi dan erat kaitanya pada kasus Sirosis hepatis yang dapat disebabkan oleh karena
Hepatitis B, C, atau penyakit hati alkoholik, dimana terjadi peningkatan tekanan dalam
vena porta >10mmHg oleh karena adanya obstruksi aliran darah vena porta. Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada Ny. K tidak didapatkan adanya data
yang menunjang kearah perdarahan yang disebabkan oleh karena Varises Esofagus
pada kasus Sirosis Hepatis. Pada anamnesis pasien mengatakan tidak pernah memiliki
riwayat sakit kuning, kencing bewarna seperti teh, ataupun minum-minuman
beralkohol dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya ikterus, ascites, spider navi, eritema palmaris, kerontokan pada
rambut pubis, serta edem pada tungkai. Dari hasil pemeriksaan penunjang seperti
Laboratorium tidak didapatkan adanya peningkatan abnormal SGPT/SGOT yang
14
signifikan, penurunan kadar serum albumin, serta Bilirubin direct/Total dalam batas
normal. Hasil pemeriksaan endoskopi menunjukan tidak didapatkan adanya gambaran
distensi/pelebaran dari vena di bagian esofagus.
Dari analisa diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya perdarahan yang
terjadi pada Ny.K merupakan perdarahan Non-Varises yang dapat disebabkan karena
Keganasan seperti Ca gaster/esophagus, gastritis erosive, Mallory-weiss tear, dan
Ulkus peptikum/PUB. Hal ini dapat dibuktikan dari data yang hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pada pasien.
Dari data dari anamnesis Ny.K mengeluhkan BAB berwarna hitam sejak 1
minggu yang diikuti keluhan dyspepsia seperti nyeri dibagian ulu hati seperti ditusuk
jarum, mual dan muntah berwarna hitam seperti kopi. Pasien juga memiliki riwayat
konsumsi obat golongan NSAID dan jamu-jamuan sejak lama. Pasien juga memiliki
riwayat dyspepsia sejak usia 40 th. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum
seorang yang menderita hematemesis melena biasanya mengeluh dyspepsia atau
memiliki riwayat keluhan dyspepsia berulang dan salah satunya dengan dengan riwayat
penggunaan obat NSAID jangka panjang. Dari kecurigaan pendarahan saluran cerna
bagian atas karena keganasan secara anamnesis dapat disingkirkan karena tidak
didapatkan adanya tanda dan gejala yang khas seperti adanya penurunan berat badan
berarti dalam 3 bulan terakhir, walaupun dari segi usia Ny. K (61th) >40th prevalensi
terjadinya Ca gaster tidak jarang ditemukan. Untuk pemakaian obat-obatan
antikoagulan pada kasus stroke atau penyakit jantung coroner disangkal oleh pasien.
15
Pada pemeriksaan fisik Ny. K didapatkan adanya tanda-tanda anemia yakni
pasien tampak terlihat pucat dengan konjungtiva palpebra anemis (+/+) yang
menandakan kurang darah (Gralnek, 2008). Selain itu didapatkan pula nyeri tekan (+)
pada daerah epigastrium. Kekurangan darah ini sebagai akibat manifestasi perdarahan
akut yang dialami pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan data WBC
yang meningkat dari nilai normal (21.32/Ul), RBC (1.8/Ul) pada Hb kurang dari nilai
normal (4,9g/dL), HCT kurang dari nilai normal (16%), dan PLT (374/Ul). Untuk
mengetahui derajat dan penyebab dari kekurangan darah dapat dilihat dari
hemoglobulin, MCV dan MCH dari pemeriksaan darah lengkap (Djuwantoro et al,
2009). Pada pasien ini, dilihat dari Hb, MCV dan MCH maka pasien ini diduga
mengalami anemia hipokromik-mikrositer akibat pendarahan yang dialami, dan butuh
pemeriksaan lanjutan untuk memastikanya dengan pemeriksaan Hapusan darah tepi.
Pada pemeriksaan penunjang Endoskopi pada Ny. K tgl 3/09/18 didapatkan
kesan perdarahan saluran cerna bagian atas oleh karena Ulkus Peptikum/Peptic Ulcer
Bleeding.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang pada Ny. K dapat saya
simpulkan dengan diagnosis hematemesis melena et causa Ulkus peptikum dengan
diagnosis sekunder Susp. Anemia Hipokromik Mikrositer yang perlu dipastikan dengan
evaluasi pemeriksaan hapusan darah tepi.
16
IX. Ulkus Peptikum
Lambung
sebagai
reservoir/lumbung
makanan
berfungsi
menerima
makanan/minuman, menggiling, mencampur dan mengosongkan makanan kedalam
duodenum. Lambung yang selalu berhubungan dengan semua jenis makanan, minuman
dan obat-obatan akan mengalami iritasi kronik. Lambung dilindungi terhadap faktor
iritan oleh lapisan mukus/mukus barier serta epitel, tetapi beberapa faktor iritan seperti
makanan minuman dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), alkohol dan empedu
dapat menimbulkan defek lapisan mukus dan terjadi difusi balik ion H+, sehingga
timbul gastritis akut/kronik hingga ulkus peptik.
Ulkus peptikum merupakan kerusakan jaringan mulai dari mukosa, submukosa,
sampai dengan muskularis mukosa dari saluran makan bagian atas dengan diameter
>5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis, yang merupakan luka
terbuka, pinggir edema dengan batas yang jelas disertai indurasi dengan dasar tukak
ditutupi debris, akibat pengaruh asam lambung dan pepsin (Askandar et al, 2015).
A. Etiologi
Diketahui ada dua faktor utama penyebab dari ulkus peptikum, yaitu, infeksi
Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID (Askandar et al, 2015).
Hal tersebut sejalan dengan kasus yang didapatkan pada pasien, dimana Ny.K
memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan seperti bodrex dan oskadon apabila
nyeri kepala timbul yang sudah sering dikonsumsi sejak 5 tahun lamanya. Kedua obat
tersebut mengandung obat golongan NSAID berupa Paracetamol yang merupakan
turunan dari Salisilat. Selain itu pasien juga mengatakan rutin minum jamu-jamu untuk
mengurangi ras pegel linu sejak 1 bulan terakhir. Dikatakan oleh (Efi Widyawati, et al,
2015) bahwa salah satu prinsip kerja obat tradisional adalah proses reaksinya yang
lambat namun bersifat konstruktif, tidak seperti obat kimia yang bias langsung bereaksi
tapi bersifat kuratif. Hal ini karena obat tradisional bukan senyawa aktif. Karena itu,
jika efek kesembuhan langsung muncul begitu obat tradisional diminum, maka layak
dicurigai karena pasti ada sesuatu. Itulah yang terjadi pada obat-obatan tradiisional jika
diberikan obat-obatan kimia. Adapun bahan-bahan yang biasa diacmpur atau
17
digunakan
mengandung obat
golongan
kortikosteroid
seperti
dexametason,
phenilbutason ataupun prednison.
B. Patofisiologi
Dari kebiasaan Ny. K mengkonsumsi obat golongan NSAID dan Jamu pegel
linu adalah merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya gangguan
fisiokimia pertahanan dari mukosa lambung dan menyebabkan kerusakan mukosa akan
terus berlanjut, hingga memudahkan terjadinya proses inflamasi. Sejak usia 40 th pasien
mengaku telah memiliki keluhan dispepsia (nyeri ulu hati, mual, muntah) tetapi tidak
sampai muntah bewarna seperti kopi atau buang air besar bewarna kehitaman. Dimana
bisa kita simpulkan bahwa pasien memiliki dispepsia kronik. Kemudian pada tahun
2016 pasien mengatkan pernah di rawat di RSUD Sidoarjo dengan keluhan yang sama
yakni BAB kehitaman disertai muntah bewarna seperti kopi. Atas dasar teori yang
didapatkan pada kasus ini telah terjadi gangguan pada lambung yang terjadi sejak lama,
kemudian di perparah dengan penggunaan NSAID, dimana NSAID
memiliki
mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang mengubah asam
arakidonat (AA) menjadi prostaglandin (PG) yang merupakan suatu mediator nyeri.
Jadi dengan dihambatnya sintesa prostaglandin, timbulnya rasa nyeri juga akan
dihambat seperti pada kasus ini pasien sering mengkonsumsi NSAID untuk mengurangi
nyeri kepala yang dirasakan oleh pasien (ScheimanJM, 2009). Tetapi efek lain yang
ditimbulkan dalam penggunaan jangka panjang NSAID justru berdampak negatif atau
menjadi faktor predisposisi terjadinya kerusakan organ seperti pada kasus ini adalah
gaster/lambung.
Pada lambung fungsi dari prostaglandin memiliki efek sitoprotektif terhadap
lapisan mukosa dan berperan penting dalam meningkatkan sekresi mukus dan
bikarbonat, mempertahankan pompa sodium, stabilisasi membran sel serta
meningkatkan aliran darah mukosa. Apabila terjadi hambatan pada sintesis PG akan
mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi pada mukosa lambung dengan
bentuk ringan sampai berat (ScheimanJM, 2009).
Obat antiinflamasi non-steroid/NSAID akan merusak mukosa lambung melalui
2 mekanisme utama yaitu lokal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara lokal terjadi
18
karena OAINS bersifat lipofilik dan asam, sehingga mempermudah trapping ion
hidrogen masuk kedalam mukosa dan menimbulkan ulserasi. Efek sistemik NSAID
lebih penting yaitu terjadinya kerusakan mukosa lambung akibat dari produksi
prostaglandin yang menurun. Pada keadaan normal, asam lambung dan pepsin tidak
akan menyebabkan kerusakan mukosa lambung (ScheimanJM, 2009
Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak (misalnya karena
salisilat) maka akan terjadi difusi balik H+ dari lumen masuk ke dalam mukosa. Difusi
balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang dapat merusak mukosa lambung dan
menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar. Na+ dan protein plasma banyak yang
masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan histamin. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan sekresi asam lambung oleh sel parietal, peningkatan
permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu juga akan merangsang
parasimpatik lokal akibat dari sekresi asam lambung dan tonus muskularis mukosa
meningkat, sehingga kongesti vena makin hebat dan dapat menyebabkan perdarahan.
C. Terapi
Pengelolaan dasar pada Ny.K dengan kasus perdarahan saluran cerna atas sama
seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Sedangkan
pada ulkus peptikum terapi ditujukan untuk menghilangkan keluhan ataupun gejala,
menyembuhkan ulkus, mencegah kekambuhan serta mencegah timbulnya komplikasi.
Pada pemeriksaan awal yang perlu diperhatikan adalah status hemodinamik dari
pasien, pada kasus ini didapatkan TD140/90mmHg dengan nadi 72x/reguler/lemah,
kesadaran compos mentis, akral teraba hangat, respiratory rate 19x, dengan produksi
urin lancar dan banyak. Dengan demikian dapat diartikan bahwa status hemodinamik
dari pasien dalam keadaan stabil. Adapun kondisi dimana status hemodinamik tidak
stabil dapat ditemukan tanda-tanda 1). hipotensi (< 90/60 mm Hg atau MAP < 70
mmHg) dengan frekuensi nadi > 1OO/menit; 2). tekanan diastolik ortostatik turun > l0
mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg; 3). frekuensi nadi ortostatik meningkat > l5l
menit; 4). akral yang teraba dingin; 5). kesadaran yang menurun; 6). anuria atau oliguria
(produksi urin < 30 ml/jam).
19
Transfusi darah dapat diberikan diberikan, tergantung jumlah darah yang hilang,
perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan
akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran
cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: 1). Perdarahan dalam kondisi
hemodinamik tidak stabil, 2).Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan
jumlahnya I liter atau lebih, 3).Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan
hemoglobin < l0 g%o atau hematokrit <30%.) dan terdapat tanda-tanda oksigenasi yang
menurun.
Dalam hal ini pasien dapat diberikan transfusi darah agar suplai oksigen
kejaringan tercukupi dan mencegah kegagalan sirkulasi atas indikasi sebagai berikut,
sampai target Hb >10g% atau Hematokrit >30% :
Untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang pada perdarahan saluran cerna
bagian atas oleh karena ulkus peptikum di pasien ini dapat diberikan obat golongan anti
sekresi asam yang dikatakan memiliki manfaat untuk mencegah perdarahan berulang
dengan diberikan PPI (Proton Pump Inhibitor) dengan dosis tinggi diawali bolus
Omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan perinfus 8 mg/kgBB/selama 72 jam. Untuk
Antagonis reseptor H2 dikatakan kurang bermanfaat dalam mencegah perdarahan ulang
oleh karena ulkus peptikum.
Secara keseluruhan 80% perdarahan Ulkus peptikum dapat berhenti spontan,
adapun beberapa terapi endoskopi yang dapat dilakukan pada kasus perdarahan ulkus
peptikum meliputi: l). Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater
probe) 2). Noncontact thermal (laser) 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin,
polidokanol, alkohol, cy ano acrylat e, atau pemakaian klip). Terapi endoskopi yang
relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung dapat dilakukan dengan
penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10000
sebanyak 0,5-l ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%)
tidak melebihi 1 ml.
Berdasarkan ringkasan yang dimuat dalam Konsensus Nasional Perdarahan
Saluran Cerna Atas Non Varises oleh PGI tahun 2012 membagi penatalakanaan pada
kasus perdarahan oleh karena ulkus peptikum dalam 3 tahapan, yakni tatalaksana dini,
20
terapi endoskopik, terapi pasca endoskopik yang meliputi terapi antisekretorik dan
terapi eradikasi H. Pylori.
Terapi Ulkus peptikum pada Ny.K dapat dibagi menjadi terapi Nonmedikamentosa, terapi medikamentosa, operasi (Sudoyo AW, 2009).
1. Non Medikamentosa
Istirahat. Pada pasien dengan ulkus peptikum secara umum dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan, pada pasian Ny.K didapatkan adanya simtom alarm yaitu
berupa hematemesis-melena, usia >40 th, serta kebiasaan penggunaan NSAID
dalam waktu yang lama oleh karena itu dianjurkan untuk rawat inap dirumah sakit
selain untuk penyembuhan juga sebagai langkah awal dalam melakukan
manajemen terapi berdasarkan dari hasil temuan lesi dari endoskopik pada
dispepsia yang belum diinvestigasi. Dikatakan bahwa penyembuhan dapat lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan penggunaan
analgetik.
Diet. Pemberian makanan lunak (bubur) ataupun makanan yang mengandung
susu pada keadaan pasien ini tidak dianjurkan karena justru akan merangsang
pengeluaran asam lambung. beberapa peneliti menagnjurkan untuk diberikan
makanan biasa, tidak merangsang asam lambung dan diet seimbang.
2. Medikamentosa
Secara medikamentosa pada kasus ulkus peptikum dapat diberikan terapi
antisekretorik dan terapi eradikasi H.Pylori. Untuk terapi antisekretorik dapat
diberikan obat-obatan seperti golongan Antasida, koloid bismuth, sukralfat,
prostaglandin, antagonis reseptor H2, dan proton pump inhibitor.
Pada kasus yang dialami Ny.K dimana terjadi perdarahan saluran cerna bagian
atas oleh karena ulkus peptikum, Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna
Atas Non Varises oleh PGI tahun 2012 merekomendasikan penggunaan obat
golongan PPI karena dapat dengan cepat menetralkan asam lambung. Adapun
preparat yang banyak beredar di RS seluruh Indonesia berupa Omeprazole,
lansoprazole, dan pantoprazole (Sudoyo AW, 2009).
Pada kasus ini Ny. K dapat diberikan dengan dosis :

Omeprazole 2x20mg/standar dosis atau 1x40mg double dosis
21

Lansoprazole/Pantoprazole 2x 40mg /standar dosis atau 1x60
mg/double dosis.
PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan
pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan
pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen. Mekanisme kerja
PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+- ATPase yang akan memecah K+H+- ATP
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCI dari kanalikuli sel
parietal kedalam lumen lambung.
Selain itu pula pada kasus yang dialami oleh Ny.K sangat disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan H.Pylori hal ini telah dicantumkan dalam tatalaksana yang di
muat dalam Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises oleh PGI
tahun 2012.
Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi
(rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath test saat
ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer.
Pemeriksaan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi eradikasi dengan
hasil tes diagnosis yang positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi ulang
pada gagal eradikasi.
Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat keberhasilan
sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan efek
samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik. Lebih
jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui endoskopi, ditemukan
bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu mencapai 80-85%. Setelah
H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak diperlukan kecuali pasien
menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.
Pada keadaan yang dialami oleh Ny.K saat ini tes diagnostik H.pylori
mempunyai nilai prediktif negatif yang rendah pada keadaan PSCBA akut. Hal ini dapat
disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam melakukan biopsi representatif atau
ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil
biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-hati
dan bila perlu dilakukan tes ulang pada pemantauan kembali.
22
Triple Therapy. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: Bismuth, Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen tipel terapi (PPI 2x1 ,
Amoxicilin 2x 1000, Klaritromisin 2x500, Metonidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500).
Kelompok Studi HP Indonesia (KSHPI,2014) merekomendasikan untuk
rejimen Triple therapy yang digunakan adalah sebagai berikut :
23
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.
Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus peptikum,
bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30 %. Kegagalan pengobatan
eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan compliance dan resisten kuman.
Infeksi dalam waktu 6 bulan paska eradikasi biasanya suatu rekurensi dengan infeksi
kuman lain.
Tujuan eradikasi HP sendiri adalan untuk: l). Mengurangi
keluhan/simtom, 2). Penyembuhan ulkus, 3). Mencegah kekambuhan..
Eradikasi
selain dapat mencegah kekambuhan ulkus juga dapat mencegah perdarahan dan
keganasan.
Terapi kuadripel. Jika gagal dengan terapi tripel, maka dianjurkan
memberikan regimen terapi kuadrupel yaitu: PPI 2 x sehari, Bismuth Subsalisilat 4x2
tab, MNZ 4x250, Tehasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan tripel
terapi. Kombinasi PPI, amoxicilin dan rifabutin selama l0 hari hasil > 80% tereradikasi
pada pasien yang telah resisten dapat dianjurkan, bila belum juga berhasil dianjurkan
kultur dan tes sensitivitas.
Terapi Operasi. Biasanya dilakukan pada pasien dengan keadaan ulkus yang
refrakter/gagal pengobatan, dalam kedadaan darurat (perforasi/stenosis pylorik), atau
ulkus dengan kecurigaan mengarah keganasan. Namun tindakan operasi ini sudah
jarang dilakukan karena efektifitas yang tinggi dalam terapi secara medikamentosa dan
secara endoskopi. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit ulkus peptikum
ditentukan adanya penyertaan ulkus duodenum: l). Ulkus antrum dilakukan anterektomi
(termasuk tukaknya) dan Bilroth 1 anastomosis gastroduodenostomi, bila disertai TD
dilakukan vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi ulkus paska operasi maka prosedur
ini kurang diminati. 2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan operasi dilakukan
lebih radikal/sub total gastrektomi dengan Roux-en-Y/esofago gastro j ejunostomi
(prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi tukak proksimal dilakukan
prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsi tukak intra operatif dan
vagotomi, rekurensi tukak 30%.
24
Pada pasien ini terapi yang diberikan diruangan Terapi yang diberikan
diruangan diruangan meliputi :

Non – Medikamentosa
-
Tirah baring/istirahat
-
Puasa sampai pendarahan berhenti
-
Diet cair
-
Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan
dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.

Medikamentosa
-
Inf. RL 21 tpm
-
Inj. Santagesic (Sodium Metamizol) 3x500 mg
-
Inj. Prosogan (Lansoprazole) 3 x30 mg
-
Inj. Kalnex (As. Tranexamat) 3 x 100 mg
-
Inj. Vitamin K(Phytomenadione) 3 x10 mg
-
Peroral : Syr. Sucralfat 3 x cth 2
Transusi PRC 2 kolf s/d Hb >> 10 g/dL.
Pada kasus perdarahan non varises khususnya perdarahan oleh karena ulkus
peptikum secara evidance base medicine dan clinical guidlines tidak di rekomendasikan
untuk pemberian asam traneksamat karena tidak dijumpai adanya proses fibrinolisis,
sedangkan Vitamin K dikhususkan pada kasus gangguan hati seperti pada kasus Sirosis
Hepatis yang menyebabkan terjadinya Varises Esofagus oleh karena Hipertensi Porta,
terjadi kegagalan sintesis faktor koagulasi dependen Vitamin K yaitu Faktor 2,7,9, dan
10. Hal ini dibutkikan dengan temuan di laboratorium yang apabila terjadi pemanjangan
Plasma Protrombin Time (PPT) maka indikasi pemberian Vit K dapat diberikan.
25
X. KOMPLIKASI
A. Perdarahan.
Insiden 15 - 25 %, meningkat pada usia lanjut (> 50 tahun) akibat adanya
penyakit degeneratif dan meningkat akibat pemakaian OAINS. Sebagian besar
perdarahan berhenti spontan, sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila
gagal dilanjutkan dengan tindakan operasi (5% dari pasien yang memerlukan tranfusi
darah).
B. Perforasi, rasa sakit tiba tiba, sakit berat, sakit difus pada perut.
Insidensi 6-7%, hanya 2-3% mengalami perforasi terbuka ke peritoneum, l0%
tanpa keluhan / tanda perforasi dan 10% disertai perdarahan tukak dengan mortalitas
yang meningkat. Insiden perforasi meningkat pada usia lanjut karena proses
aterosklerosis dan meningkatnya penggunaan OAINS. Perforasi tukak gaster biasanya
ke lobus kiri hati, dapat menimbulkan fistula gastro kolik. Penetrasi adalah suatu
bentuk perforasi yang tidak terbukaltanpa pengeluaran isi lambung karena tertutup
oleh omentumlorgan perut di sekitar. Terapi perforasi : dekompresi, pemasangan
nasogastrik tube, aspirasi cairan lambung terus menerus, pasien dipuasakan, diberi
nutrisi parenteral total dan pemberian antibiotika diikuti tindakan operasi.
C. Stenosis pilorik/ Gastric Outlet Obstruction
Insidensi l-2 % dai pasien tukak. Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik
berupa cepat kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah
makanipost prandial, berat badan turun. Kejadian obstruksi bisa temporer akibat
peradangan daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Ini akan membaik bila
keradangan sembuh. Penghambat pompa proton (PP! amp dalam 100 cc NaCl0.9
diberi selama 10 jam dan dapat diteruskan selama beberapa hari (7- I 0 hari) hingga
obstruksi hilang. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga
mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu. Terapi : dekompresi, pasang
nasogastrik tube, dari aspirasi isi lambung, puasa/TPN, dilanjutkan dengan
pemasangan balon dilatasi dengan endoskopi dan bila gagal dilakukan tindakan
operasi piloroplasti.
26
XI. KESIMPULAN
Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) merupakan perdarahan dari lumen
saluran cerna di atas ligamentum Treitz yang dapat mengakibatkan terjadinya
hematemesis dan melena. Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dalam bentuk
segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan
asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi sedangkan
melena yaitu keluarnya feses yang lengket dan hitam seperti aspal.
Penyebab perdarahan SCBA dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, perdarahan
varises dan perdarahan non-varlses. Pengelolaan perdarahan saluran makanan secara
praktis meliputi: evaluasi status hemodinamik, stabilisasi hemodinamik, melanjutkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan lain yang diperlukan, memastikan
perdarahan saluran makanan bagian atas atau bawah, menegakkan diagnosis pasti
penyebab perdarahan, terapi spesifik.
Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan SCBA ialah penentuan status
hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakkan diagnosis atau pemberian
terapi lainnya.
Pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan cara terpilih untuk menegakkan
diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk melakukan hemostasis.
Pada perdarahan ulkus peptikum dapat dilakukan antara lain dengan terapi
medikamentosa dan non medikamentosa yang dapat dilakukan secara komprehensif
untuk mempeeroleh hasil terapi yang optimal.
27
DAFTAR PUSTAKA
Akil. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam: Tukak Duodenum. Jilid 1 Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 345, 347
Askandar Tjokroprawito, Poernomo budi, Chairul Efendi, Djoko Santoso, Gatot
Sugianto. 2015.
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gastroenterologi-
hepatologi. Jilid 1 Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 207225.
Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan Tukak
Peptikum;
Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Padang.
Dalam : Cermin Kedokteran No. 79,
Efi Widyawati, Bertha Rusdi,Indra T Maulana. 2015. Identifikasi Kandungan
Kortikosteroid
(Deksametason,
Fenilbutason,
dan
Prednison)Dalam
Kandungan Jamu Pegel Linu yang beredar di Empat Pasar Kota Bandung.
Unisba,
Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. 2009. Pathophysiology and
Treatment
of
Nonsteroidal
Anti-inflammatory
Drug
Gastropathy.
Available at Pendahuluan.pdf. FK Universitas Indonesia. Access on 30
agystus 2018
Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. 2008. The new england journal of medicine :
Management of Acute Bleeding from a Peptic Ulcer. England : N Engl J
Med ;359: p.928-37.
Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi. 2014. Persatuan Gastroenterologi Indonesia & Kelompok Studi
H.Pylori Indonesia : Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan
Infeksi H.Pylory Jakarta. hal 10-13
28
Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi. 2012. Persatuan Gastroenterologi Indonesia: Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Pendarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia.
hal 18-20
Norton J. Greenberger, Robert Burakoff, Richard S Blumberg. 2009. Current Diagnosis
& Treatment "Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy". Lange. Mc
Graw Hill. Page 330-335 Chapter 30
ScheimanJM. 2009. Nonsteroidal antiinflamatory drug (nsaid)-induced gastropathy.
Dalam: KimK, editor. Acute gastrointestinal bleeding; diagnosis and
treatment. New Jersey: Humana. hlm. 75-93.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I,
Gastritis erosiva. Jakarta.
Tjay TH, Raharja K. 2005. Obat-obat penting. Jakarta: PT Gramedia; hlm 302.
Wenas NT. 2009. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4
th
international endoscopy workshop & international symposium on
digestive disease. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI. p.
83-4.
29
Download