LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN (NYERI) Disusun Oleh : ISRO HAYATI 202015055 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS STIKES JAYAKARTA PKP DKI JAKARTA 2021 A. Konsep Dasar Kebutuhan Manusia Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidapan dan kesehatan (Haswita & Sulistyowati, 2017) Berdasarkan teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan dasar manusia ada lima tingkatan, yaitu : 1. Kebutuhan fisiologis Merupakan kebutuhan paling dasar, yaitu kebutuhan fisiologis seperti oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual. 2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan Kebutuhan ini dibagi menjadi perlindungan fisik dan perlindungan psikologis, perlindungan fisik meliputi perlindungan atas ancaman tubuh atau hidup. Ancaman tersebut dapat dapat berupa penyakit, kecelakaan, bahaya dari lingkungan dan sebagainya. Perlindungan psikologis yaitu perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. 3. Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki Kebutuhan rasa cinta adalah kebutuhan saling memiliki dan dimiliki terdiri dari memberi dan menerima kasih sayang, perasaan dimiliki dan hubungan yang berarti dengan orang lain, kehangatan, persahabatan, mendapat tempat atau diakui dalam keluarga, kelompok serta lingkungan sosial. 4. Kebutuhan akan harga diri Kebutuhan harga diri ini meliputi perasaan tidak bergantung pada orang lain, kompeten, penghargaan terhadapn diri sendiri dan orang lain. 5. Kebutuhan aktualisasi diri Merupakan kebutuhan tertinggi dalam Hierarki Maslow, berupa kebutuhan untuk berkontrikbusi pada orang lain/lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya. B. Konsep Dasar Nyeri 1. Definisi Menurut Smeltzer & Bare (2002) nyeri sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Rasa nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawat kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri dikatakan sebagai sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual (Asmadi, 2008). Menurut Potter & Perry (2010) nyeri merupakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, bersifat subjektif dan berhubungan dengan panca indra. Sedangkan menurut (Black & Hawks, 2014 dalam Mulyanto dkk, 2014) nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit untuk didefinisikan. 2. Teori-teori nyeri Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme transmisi nyeri : a. The specificity theory (teori spesifik) Teori ini menjelaskan bahwa otak menerima informasi mengenai objek eksternal dan struktur tubuh melalui saraf sensori. Timbulnya sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung–ujung serabut saraf bebas oleh perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri thalamus (Asmadi, 2008). b. The intensity theory (teori intensitas) Menurut teori intensitas nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat (Asmadi, 2008). c. The gate control theory (teori kontrol pintu) Teori kontrol pintu adalah teori paling sederhana mengenai penjelasan fisiologi nyeri, yang dikemukaan oleh Melzack dan Well pada tahun 1965. Dalam teorinya mengemukakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Artinya, impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup (Potter & Perry, 2006). 3. Klasifikasi nyeri Menurut (Asmadi, 2008 ; Potter & Perry, 2006 ; Lusianah dkk, 2012) nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan. a. Nyeri berdasarkan tempatnya 1). Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit, mukosa. 2). Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral. di 3). Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri. 4). Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lainlain. 5). Nyeri akibat kanker merupakan nyeri yang dirasakan pada klien yang menderita kanker. Nyeri yang dirasakan biasanya bersifat akut atau kronis. Nyeri kanker disebabkan oleh berkembangnya tumor dan berhubungan dengan proses patologis, prosedur invasif, toksintoksin dari pengobatan, infeksi dan keterbatasan secara fisik. Nyeri ini dirasakan pada lokasi dimana tumor berada atau tidak jauh dari tumor atau kanker. b. Nyeri berdasarkan sifatnya 1). Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. 2). Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta yang dirasakan dalam waktu yang lama. 3). Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat. Nyeri tersebut biasanya menetap ± lalu menghilang, kemudian timbul lagi. c. Nyeri berdasarkan berat ringannya 1). Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah. 2). Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi. 10-15 menit, 3). Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi. d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan 1). Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner. Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara, mendadak, area nyeri teridentifikasi. Gejala nyeri muncul seperti berkeringat, pucat, peningkatan tekanan darah, nadi dan pernapasan. 2). Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma. 4. Respon terhadap nyeri Menurut Potter & Perry (2006) ada dua respons terhadap nyeri, yaitu respons fisiologis dan respons perilaku. Kedua respons ini timbul ketika seseorang terpapar dengan nyeri, dan masing – masing individu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam merespons nyeri tersebut . a. Respons fisiologis terhadap nyeri Respons nyeri fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi tersimulasi sebagai bagian dari respons stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulus pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus – menerus, berat, atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ–organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Kecuali pada kasus–kasus nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu ketika tanda– tanda fisik kembali normal. Dengan demikian, seseorang yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda–tanda fisik. Berikut ini tabel yang menunjukkan respons fisiologis terhadap nyeri: Respons Penyebab atau efek Stimulus simpatik Dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan frekuensi pernapasan Peningkatan frekuensi denyut nadi Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah) Peningkatan kadar glukosa darah Diaforesis Peningkatan ketegangan otot Dilatasi pupil Penurunan motilitas saluran cerna Menyebabkan peningkatan asupan oksigen Menyebabkan peningkatan transport oksigen Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dan perifer dan visera ke otot – otot skelet dan otak Menghasilkan energi tambahan Mengontrol temperatur tubuh selama stres Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi Memungkinkan penglihatan yang lebih baik Membebaskan energi untuk melakukan aktivitas dengan lebih baik Stimulus parasimpatik Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah ke perifer Ketegangan otot Penurunan denyut jantung dan tekanan darah Pernapasan yang cepat dan tidak teratur Mual dan muntah Kelemahan atau kelelahan Akibat kelet ihan Akibat stimulasi vagal Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat nyeri yang terlalu lama Mengembalikan fungsi saluran cerna Akibat pengeluaran energi fisik (Sumber (Sumber : Potter & Perry, 2006) b. Respons perilaku Apabila nyeri dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, hal tersebut dapat mengancam kesejahteraan seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Beberapa pasien memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri yang dirasakan, karena mereka menganggap bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain merasa tidak nyaman atau merupakan salah satu tanda bahwa mereka kehilangan kontrol terhadap diri mereka sendiri. Pasien yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap nyeri mampu menahan rasa nyeri tanpa bantuan atau pertolongan dari orang lain. Sedangkan, seseorang yang memiliki toleransi nyeri yang rendah dapat mencari upaya untuk menghilangkan rasa nyeri sebelum nyeri terjadi. Gerakan tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya nyeri, seperti mengatubkan gigi-gigi, memegang tubuh yang terasa sakit, postur tubuh yang membungkuk, dan ekspresi wajah yang meringis. Beberapa klien bahkan menangis atau mengerang kesakitan dan biasanya terlihat gelisah atau meminta sesuatu secara terus-menerus kepada perawat. Hal ini menjadi penting bagi seseorang perawat untuk mengenali dan mengamati respon yang ditunjukkan oleh pasien terutama pada pasien yang tidak mampu atau tidak bisa melaporkan adanya rasa nyeri yang dirasakan, contohnya pasien dengan gangguan kognitif. Bagaimanapun, kurang atau tidak adanya ekspresi nyeri bukan berarti pasien tidak merasakan nyeri. Respons perilaku nyeri dapat dilihat pada tabel berikut: Respons Perilaku Vokalisasi 1. Merintih 2. Menangis 3. Sesak napas/terengah-engah Ekspresi wajah 1. 4. Meringis Mendengkur 2. Menggeletukkan gigi 3. Mengerutkan dahi 4. Menutup mata atau mulut dengan rapat membuka mata atau mulut dengan lebar Gerakan tubuh atau 1. Menggigit Gelisah bibir 5. 2. Imobilisasi 3. Ketegangan otot 4. Peningkatan pergerakan tangan dan jari 5. Aktivitas melangkah atau berjalan bolak balik Interaksi sosial 1. percakapan 6. Menghindari Gerakan ritmik atau gerakan menggosok 2. pada bagian aktivitas untuk menghilangkan 7. Fokus Gerakanhanya melindungi tubuh tertentu nyeri 3. Menghindari kontak sosial 4. Penurunan rentang perhatian Mengurangi (Sumber : Potter & 5. Perry, 2006) waktu perhatian 6. Mengurangi interaksi dengan lingkungan 5. Patofisiologi nyeri Menurut Smeltzer & Bare (2002), berdasarkan proses patofisiologi nyeri terbagi menjadi : a. Mekanisme neurofisiologi nyeri Sistem saraf yang mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri dalam transmisi Sensitivitas dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain. Sebagai contoh, nyeri akibat arthritis kronis dan nyeri pascaoperatif sering terasa lebih parah pada malam hari. b. Transmisi nyeri Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat dan secara potensial merusak, sifatnya bisa mekanik, termal, dan kimia. Sendi, otot skelet, fasia, tendon, dan kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai potensi untuk mentransmit stimuli yang menyebabkan nyeri. Namun demikian, organ-organ internal yang besar (visera) tidak mengandung ujung saraf yang berespons hanya pada stimuli nyeri. Nyeri yang berasal dari organ ini diakibatkan dari stimuli reseptor yang kuat yang mempunyai tujuan lain. Sebagai contoh, inflamasi, regangan, iskemia, dilatasi, dan spasme organ-organ internal yang dapat menyebabkan nyeri hebat. c. Kornu dorsalis dan jaras asenden Dorsalis dari medula spinalis dianggap sebagai tempat untuk merespon nyeri, serabut perifer (seperti reseptor nyeri) dan serabut traktus sensori asenden berakhir disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neuronal desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat dicerna secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktifitas terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Sering kali area ini disebut sebagai “gerbang”. Kecenderungan alamiah gerbang adalah menyakitkan untuk membiarkan dari perifer untuk mengaktifkan semua input yang jaras asenden dan mengakibatkan nyeri. Stimulasi dari neuron inhibitori sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri. 6. Pengukuran intensitas nyeri Intensitas nyeri dapat diukur dengan cara, antara lain dengan menggunkan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut McGill (McScale), dan skala wajah atau wong baker faces rating scale. (Haswita,Reni sulistyowati, 2017) a. Numeric Rating Scale (NRS) Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri kekurangannya akut ketimbang adalah VAS keterbatasan dan pilihan VRS. kata Namun, untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik. Skala numerik dari 0 hingga 10, di bawah, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat. Numeric Rating Scale (NRS) Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015) b. Verbal Rating Scale (VRS) Skala ini memakai dua ujung yang sama seperti VAS atau skala reda nyeri. Skala verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/nyeri hilang sama sekali. ini membatasi pilihan kata klien sehingga membedakan berbagai tipe nyeri. skala Kekurangan ini tidak skala dapat Verbal Rating Scale (VRS) Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015) c. Visual Analog Scale (VAS) Visual Analog Scale (VAS) adalah skala linear yang menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter ( Gambar 2.3).Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya atau reda rasa nyeri. Digunakan pada klien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah penggunaan sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi. Visual Analog Scale (VAS) Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015) d. Wong Baker FACES Pain Rating Scale Skala nyeri ini tergolong mudah untuk dilakukan karena hanya dengan melihat ekspresi wajah pasien pada saat bertatap muka tanpa kita menanyakan keluhannya. Skala Nyeri ini adalah skala kesakitan yang dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie Baker. Skala ini menunjukkan serangkaian wajah mulai dari wajah gembira pada 0, “Tidak ada sakit hati” sampai wajah menangis di skala 10 yang menggambarkan “Sakit terburuk”. Pasien harus memilih wajah yang paling menggambarkan bagaimana perasaan mereka. Penilaian skala nyeri ini dianjurkan untuk usia 3 tahun ke atas. Tidak semua klien dapat memahami atau menghubungkan skala intensitas nyeri dalam bentuk angka. Klien ini mencakup mengkomunikasikan anak-anak ketidaknyamanan yang secara tidak verbal, mampu klien lansia dengan gangguan kognisi atau komunikasi, dan orang yang tidak bisa berbahasa inggris, sehingga untuk klien jenis ini menggunakan skala peringkat Wong Baker FACES Pain Rating Scale. Skala wajah mencantumkan skala angka dalam setiap ekspresi nyeri sehingga intensitas nyeri dapat di dokumentasikan oleh perawat. Sumber : (Kozier, 2011) C. Konsep Asuhan Keperawatan SDKI untuk Nyeri Kronis (D.0078) 1. Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. 2. Penyebab: a. Kondisi muskuloskeletal kronis b. Kerusakan sistem saraf c. Penekanan saraf d. Infiltrasi tumor e. Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan reseptor f. Gangguan imuntas (mis. neuropati terkait HIV, virus varicella zoster) g. Gangguan fungsi metabolik h. Riwayat posisi kerja statis i. Peningkatan indeks massa tubuh j. Kondisi pasca trauma k. Tekanan emosional l. Riwayat penganiayaan (mis. fisik, psikologis, seksual) m. Riwayat penyalahgunaan obat/zat 3. Gejala dan Tanda Mayor Subjektif : a. Mengeluh nyeri b. Merasa depresi (tertekan) Objektif : a. Tampak meringis b. Gelisah c. Tidak mampu menuntaskan aktivitas 4. Gejala dan Tanda Minor Subjektif : Merasa takut mengalami cedera berulang Objektif : a. Bersikap protektif (mis. posisi menghindari nyeri) b. Waspada c. Pola tidur berubah d. Anoreksia e. Fokus menyempit f. Berfokus pada diri sendiri 5. Kondisi Klinis Terkait a. Kondisi kronis (mis arthritis reumatoid) b. Infeksi c. Cedera modula spinalis d. Kondisi pasca trauma e. Tumor 6. Outcome (SLKI) : Tingkat Nyeri Menurun (L.08066) Kriteria hasil : - Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat - Keluhan nyeri menurun - Meringis menurun - Sikap protektif menurun - Gelisah menurun - Kesulitan tidur menurun - Menarik diri menurun - Berfokus pada diri sendiri menurun - Diaforesis menurun - Perasaan depresi (tertekan) menurun - Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun - Anoreksia menurun - Ketegangan otot menurun - Mual muntah menurun - Frekuensi nadi membaik - Pola nafas membaik - Tekanan darah membaik - Proses berpikir membaik - Fokus membaik - Fungsi berkemih membaik - Perilaku membaik - Nafsu makan membaik - Pola tidur membaik 7. Intervensi Keperawatan (SIKI) a. Manajemen Nyeri (I. 08238) 1) Observasi o Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri o Identifikasi skala nyeri o Identifikasi respon nyeri non verbal o Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri o Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri o Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri o Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup o Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan o Monitor efek samping penggunaan analgetik 2) Terapeutik o Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) o Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) o Fasilitasi istirahat dan tidur o Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri 3) Edukasi o Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri o Jelaskan strategi meredakan nyeri o Anjurkan memonitor nyri secara mandiri o Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat o Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 4) Kolaborasi o Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu b. Perawatan Kenyamanan (I.08245) 1) Observasi o Identifikasi gejala yang tidak menyenangkan o Identifikasi pemahaman tentang kondisi, situasi dan perasaannya o Identifikasi masalah emosional dan spiritual 2) Terapeutik o Berikan posiis yang nyaman o Berikan kompres dingin atau hangat o Ciptakan lingkungan yang nyaman o Berikan pemijatan o Berikan terapi akupresur o Berikan terapi hipnotis o Dukung keluarga dan pengasuh terlibat dalam terapi o Diskusikan mengenai situasi dan pilihan terapi 3) Edukasi o Jelaskna mnegenai kondisi dan pilihan terapi/ pengobatan o Ajarkan terapi relaksasi o Ajarkan latihan pernafasan o Ajarkan tehnik distraksi dan imajinasi terbimbing 4) Kolaborasi o Kolaborsi pemberian analgesik, antipruritus, anthihistamin, jika perlu DAFTAR PUSTAKA Budiono, Pertain, 2016. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Bumi Medika Haswita dan Sulistyowati, Reni, 2017. Kebutuhan Dasar Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan dan Kebidanan. Jakarta: Selemba Medika Kozier et al. 2010. Fundamental Of Nursing Fundamental Keperawatan, Volume 1 Edisi 7, Jakarta: Buku Kedokteran ECG Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1 Jakarta: DPP PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. Indonesia. Jakarta : DPP PPNI 2018. Standar Luaran Keperawatan