RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTIONS Pembimbing : dr. Eko Riyanto, Sp.KK Oleh : Valentina Verrell Purnomo 20190420189 BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSAL DR. RAMELAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2020 LEMBAR PENGESAHAN Judul responsi “Exanthematous Drug Eruption” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka meyelesaikan studi kepaniteran klinik Dokter Muda di bagian Kulit dan Kelamin. Mengetahui, Pembimbing dr. Eko Riyanto, Sp.KK RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSAL DR RAMELAN SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA Nama : VALENTINA VERRELL PURNOMO NIM I. II. : 20190420189 IDENTITAS PENDERITA Nama : Tn. ADP Umur : 28 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Alamat : Sidoarjo Pekerjaan : TN Agama : Islam Suku/Bangsa : Jawa/WNI Tanggal pemeriksaan : 6 Maret 2020 ANAMNESA 1. Keluhan Utama Gatal dua hari. 2. Keluhan Tambahan Gatal dari punggung malam hari, esoknya menyebar sampai hampir seluruh tubuh. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL Dr. Ramelan Surabaya pada tanggal 6 Maret 2020 dengan keluhan gatal pada tubuhnya. Pasien mengatakan bahwa pertama kali mengetahui ada bintil-bintil pada punggung pasien diberitahu oleh istrinya tepatnya pada malam hari sebelum tidur 2 hari sebelum pasien datang ke poli kulit RSAL. Pasien mengatakan bahwa bintil-bintil tersebut 1 tidak gatal jika tidak tersentuh sesuatu, tapi jika tersentuh sesuatu langsung gatal. Kemudian pasien mengatakan bahwa keesokan harinya bintil-bintil tersebut sudah bertambah banyak dan menyebar hampir di seluruh permukaan tubuh yaitu pada badan, punggung, lengan, tangan, perut, paha, tetapi area kelamin tidak ada. Pasien tidak mengalami demam saat diperiksa menggunakan termometer di rumah suhu tubuhnya 37˚C serta pasien menyangkal adanya sakit kepala, sakit tenggorokan, mata merah. Pasien mengatakan pasien lemah karena pasien masih baru memulai pengobatan TB. Pengobatan TB dimulai 2 minggu yang lalu. Pasien mendapatkan obat berupa Ofloxacin, Acetylsistein, Ethambutol, Omeprazole, , Lesichol, CTM, vial Streptomycin Sulfat, dan obat racikan (berisi kodein, salbutamol, metilprednisolone). 4. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengalami kejadian seperti ini. Riwayat diabetes melitus disangkal. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat HIV disangkal. Riwayat hepatitis disangkal. 5. Riwayat Alergi Menurut pasien, pasien tidak memiliki alergi, baik terhadap makanan, benda, maupun obat. 6. Riwayat Keluarga Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa Riwayat keluarga pasien mengalami alergi makanan dan obat-obatan disangkal. Riwayat keluarga pasien pernah mengalami asma dan rhinitis disangkal. 2 7. Riwayat Pengobatan Hanya pengobatan TB, belum pernah memberikan pengobatan pada bintil-bintil di tubuh. 8. Riwayat Kebiasaan Pasien 2 minggu ini hanya di rumah saja karena badan masih tidak fit. III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : Baik Kesadaran : Compos mentis GCS : 456 Status gizi : Baik TB/BB : 167cm / 70 kg Vital Sign Tekanan darah : 125/80 mmHg Nadi : 72x/menit, reguler RR : 20x/menit Temp : 37,0˚C Status Generalis Kepala : Dalam batas normal, mata tidak merah, mulut dan tenggorokan tidak merah. Leher : Dalam batas normal Thorax : Dalam batas normal Abdomen : Dalam batas normal Ekstremitas : Dalam batas normal Status Dermatologis Makula dan papula eritematous multiple, tersebar generalisata, bentuk bulat-geografika dengan ukuran 0.1 - 5 x 10 cm. 3 IV. RESUME Anamnesa Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL Dr. Ramelan Surabaya pada tanggal 6 Maret 2020 dengan keluhan bintil di hampir seluruh bagian tubuh dan gatal bila tersentuh. Pasien tidak mengalami demam, nyeri kepala, sakit tenggorokan dan sakit mata. Pasien baru saja memulai terapi regimen TB. Pengobatan TB 4 dimulai 2 minggu yang lalu. Pasien mendapatkan obat berupa Ofloxacin, Acetylsistein, Ethambutol, Omeprazole, Lesichol, CTM, vial Streptomycin Sulfat, dan obat racikan (berisi kodein, salbutamol, metilprednisolone). Status Dermatologis Makula dan papula eritematous multiple, tersebar generalisata, bentuk bulat-geografika dengan ukuran 0.1 - 5 x 10 cm. V. DIAGNOSA KERJA Exanthematous Drug Eruption VI. DIAGNOSA BANDING Infeksi virus VII. 1. PENATALAKSANAAN Diagnosa 2. Tes patch. Terapi Non Medikamentosa Edukasi kepada pasien tentang penyakitnya. Memberitahukan pasien untuk menghentikan penggunaan obat Ofloxacin, Ethambutol, Streptomycin Sulfate. Memberitahukan kepada pasien untuk segera kembali ke RS jika muncul bintil-bintil di bibir, area kelamin, adanya mata merah. Medikamentosa: Methylprednisolone tab 4mg 3x1. Interhistin tab 10mg 3x1. Salicyl talc (digunakan pada pagi, siang, dan malam). 5 3. Monitoring Perkembangan perluasan bercak dan penambahan bercak baru 4. Gejala sistemik yang muncul. Edukasi Menjaga kebersihan badan. Memberitahu kepada pasien untuk menaburkan bedak pada daerah yang gatal pada pagi, siang dan malam. VII. PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam Ad kosmetikum : dubia ad bonam 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Drug-induced cutaneous eruptions merupakan penyakit yang umum dijumpai. Derajatnya bervariasi dari rash yang mengganggu sampai penyakit yang membahayakan nyawa. Spektrum manifestasi klinisnya meliputi erupsi exanthematous, utrikaria, pustular, bullous. Reaksi yang terjadi mungkin mirip dengan penyakit kutaneus lain seperti jerawat, porphyria, lichen planus, dan lupus. Fixed drug eruptions biasanya berupa makula soliter agak gelap yang timbul berulang pada tempat yang sama. Reaksi obat mungkin dibatasi hanya pada kulit atau mungkin bagian dari reaksi sistemik kulit, seperti sindroma hipersensitivitas obat atau toxic epidermal necrolysis. Diagnosa yang tepat dari pola reaksi dapat membantu menyempitkan penyebab yang mungkin, karena obat yang berbeda akan berhubungan dengan tipe reaksi yang berbeda (Kara et al, 2019). Epidemiologi cutaneous adverse drug reactions Insidensi reaksi ini bervariasi dalam populasi. Di suatu rumah sakit Prancis, tecatat bahwa reaksi yang lebih umum terjadi ialah makulopapular (56%), dan reaksi yang lebih berat sebagai minoritas (34%). Studi pada pasien rawat jalan memperkirakan ada 2,5% anak yang ditangani dengan obat, dan sampai 12% anak yang ditangani dengan antibiotik akan mengalami reaksi kutaneus. Pada pasien lebih tua, tidak nampak memiliki resiko yang lebih tinggi dalam mengalami exanthema maculopapular, dan mungkin memiliki insidensi reaksi serius yang lebih rendah. Ada populasi yang mungkin memiliki resiko lebih tinggi mengalami reaksi obat yaitu pasien dengan HIV, penyakit jaringan ikat (termasuk lupus eritematosus), non-Hodgkin lymphoma, dan hepatitis (Kara et al, 2019). 7 EXANTHEMATOUS ERUPTIONS Exanthematous eruptions, kadang disebut juga sebagai morbilliform atau maculopapular, merupakan bentuk erupsi obat yang paling sering terjadi, yaitu 95% dari keseluruhan reaksi obat. Simple exanthems merupakan perubahan eritematous pada kulit tanpa disertai munculnya blister, pustulasi, atau berhubungan dengan tanda sistemik. Erupsi biasanya dimulai pada badan dan menyebar secara perifer dan simetrik. Gatal tidak selalu ada. Erupsi bentuk ini biasa muncul dalam satu minggu setelah terapi dimulai dan mungkin tetap bertahan satu atau dua hari setelah obat yang dicurigai sebagai penyebab dihentikan. Resolusi biasa terjadi dalam tujuh sampai empat belas hari, terjadi dengan perubahan warna dari merah terang menjadi merah kecoklatan, yang mungkin diikuti deskuamasi. Diferensial diagnosa meliputi exanthema oleh infeksi (virus, bakteri, rickettsia), penyakit kolagen vaskular, dan infeksi (Kara et al, 2019).. Exanthematous eruptions dapat disebabkan oleh banyak obat, termasuk β-lactam nonnucleoside (golongan reverse penicillin), transcriptase antimikroba inhibitors sulfonamide, (nevirapine), dan pengobatan anti-epilepsi. Studi menunjukan bahwa obat dengan sel T spesifik memainkan peran major dalam reaksi obat exanthematous, bullous dan pustular. Pada pasien dengan infeksi mononucleosis, resiko berkembangnya erupsi exanthematous ketika ditangani dengan aminopenicillin (contohnya ampicillin) meningkat dari 3% menjadi 7% menjadi 60% menjadi 100%. Observasi yang mirip juga nampak pada interaksi obat dengan virus pada 50% pasien dengan HIV yang mengonsumsi antibiotik sulfonamide (Kara et al, 2019). Erupsi exanthemathous yang berhubungan dengan demam dan inflamasi organ dalam (seperti liver, ginjal, CNS) menunjukkan reaksi yang lebih serius, disebut sebagai hypersensitivity syndrome reaction (HSR), reaksi hipersensitivitas yang diinduksi obat, atau reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik. Terjadi sekitar satu dari 3000 paparan terhadap agent seperti aromatik antikonvulsan, lamotriginie, sulfonamie 8 antimikroba, dapsone, nitrofurantoin, nevirapine, minocycline, metronidazole, allopurinol. HSR terjadi paling sering pada paparan pertama oleh obat tersebut, dengan gejala inisial dimulai satu sampai enam minggu setelah paparan. Demam dan malaise sering muncul. Limfositosis atipikal dengan subsekuen eosinofilia mungkin terjadi selama fase inisial reaksi pada beberapa pasien. Meskipun mayoritas pasien mengalami erupsi exanthematous, tetapi manifestasi kutaneus yang lebih serius dapat terjadi. Keterlibatan organ dalam dapat nampak asimptomatik. Disfungsi thyroid yang dipengaruhi oleh imun merupakan komplikasi jangka panjang yang menyebabkan hiperthyroid atau hipothyroid, dan mungkin tidak muncul sampai tiga sampai dua belas bulan setelah gejala pertama muncul (Kara et al, 2019). Etiologi Obat-obatan baru yang digunakan dalam waktu tiga bulan, terutama dalam waktu enam minggu, merupakan agent penyebab potensial untuk mayoritas erupsi kutaneus (pengecualian termasuk obat pemicu lupus, obat pemicu pemfigus, dan obat pemicu pseudolimfoma kutaneus), sebagai obat yang telah digunakan secara intermitten (Kara et al, 2019). Patogenesis Mayoritas erupsi obat kutaneus terjadi akibat reaksi yang dimediasi oleh imun (immune-mediated reaction) terhadap sebuah pengobatan, dan dapat melibatkan IgE atau IgG atau limfosit. Banyaknya reaksi-reaksi yang terjadi mungkin menyebabkan spektrum munculnya penyakit sangat heterogen. Sistem imun mungkin menargetkan bentuk alami obat, produk metabolitnya, bentuk obat yang berubah, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut (Kara et al, 2019). Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patogenesesis erupsi obat kutaneus dibagi menjadi empat tipe mekanisme. Tipe I dimediasi oleh IgE yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis, urtikaria, dan 9 angioedema, timbul sangat cepat, terkadang dapat urtikaria/angioedema persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan. Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai oleh reaksi antigen IgG dan komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit, atau sel prekursor hematologik lain. Obat yang dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain golongan penisillin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamid, analgesik, dan antipiretik. Sedangkan tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukkan manifestasi klinis berupa vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat. Tipe IV merupakan tipe yang paling sering mendasari kejadian erupsi obat kutaneus, yang diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis erupsi ringan sampai berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat melibatkan hati, ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T terbagi atas empat subklas, yaitu tipe IVa sampai IVd. Subklasifikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Budianti, 2018). 10 Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu : 1. Konsep Hapten / Prohapten Pada umumnya obat merupakan prohapten artinya tidak bersifat reaktif bila tidak berikatan dengan protein. Sehingga obat dimetabolisme terlebih dahulu untuk dapat membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunogenik sehingga mampu menstimulasi respons imun. Contohnya adalah obat golongan beta-laktam, penisilin dan sefalospoin. Contoh lain adalah obat golongan sulfametoksazol yang dimetabolisme oleh sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif (Budianti, 2018). 2. Konsep pharmacological interaction (p-i concept) Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-i concept (pharmacological interaction of drugs with immune receptors), yaitu obat dapat membentuk ikatan spesifik secara langsung dan reversibel dengan berbagai macam reseptor antigen spesifik dan berinteraksi sehingga mampu menstimulasi respons imun. Menurut konsep ini obat inert yang tidak mampu membentukikatan kovalen dengan protein atau peptida, masih dapat merangsang sistem imun melalui ikatan langsung dengan reseptor sel T (Budianti, 2018). 11 Bukti klinis yang mendukung konsep p-i adalah (Budianti, 2018) : 1. Interval waktu antara pajanan obat dan timbul gejala klinis sangat singkat untuk membangkitkan respons imun spesifik, sehingga diduga respons imun yang terjadi tidak melalui fase sensitisasi. 2. Beberapa obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi bentuk reaktif, misalnya pada media kontras. Konsep hapten juga tidak dapat menjelaskan mekanisme alergi pada kontras. 3. Beberapa obat inert yang tidak mampu membentuk kompleks hapten di kulit ternyata menunjukan hasil positif pada uji kulit dan ditemukan infiltrasi limfosit T. Faktor predisposisi dapat dibagi menjadi faktor konstitusional dan faktor yang didapat. Faktor konstitusional termasuk variasi farmakogenetik dalam hubungan antara enzim yang memetabolisme obat dan human leukocyte antigen (HLA) (Kara et al, 2019). Pembentukan metabolit toksik dari antikonvulsan aromatik mungkin memerankan peran sangat penting dalam perkembangan HSR. Pada 12 mayoritas individu metabolit reaktif kimiawi yang diproduksi akan didetoksifikasi oleh hydroxylases epoxide. Tetapi jika detoksifikasi tidak lengkap, salah satu metabolit mungkin akan bertindak sebagai hapten dan memulai respon imun, dan menstimulasi apoptosis atau menyebabkan sel nekrosis secara langsung. Sekitar 70%-75% pasien yang mengalami HSR karena antikonvulsan aromatik juga menunjukan cross-reactivity terhadap antikonvulsan aromatik lainnya. Sebagai tambahan, pada percobaan in vitro terdapat sebuah pola keturunan genetik dari HSR yang diinduksi oleh antikonvulsan, jadi konseling pada anggota keluarga diperlukan (Kara et al, 2019). Antimikroba sulfonamida meliputi sulfonamide (mengandung SO2NH2) dan amina aromatik (mengandung cincin benzene-NH2). Amina aromatik dapat dimetabolisme dapat dimetabolisme menjadi metabolit toksik, disebut hydroxylamina dan senyawa nitroso. Pada mayoritas pasien, metabolit akan didetoksifikasi. HSR mungkin terjadi pada pasien dengan metabolit oksidatif berlebih atau tidak mampu mendetoksifikasi metabolit (Kara et al, 2019). Obat lain yang mengandung aromatik amine, seperti procainamide, dapsone, dan acebutolol, mungkin juga dimetabolisme menjadi senyawa kimia reaktif. Pasien yang mengalami gejala yang cocok dengan HSR akibat sulfonamide harus menghindari aromatik amine ini, karena adanya kemungkinan terjadi cross-reactivity. Tetapi cross-reactivity lebih sedikit terjadi pada antimikroba sulfonamida dibanding obat yang bukan aromatic amina (seperti, sulfonyl-urea, diuretik thiazide, furosemide, celecoxib, dan acetazolamide) (Kara et al, 2019). Molekul HLA kelas I (HLA-A, HLA-B, HLA-C) ada sebagai antigen intraseluler terhadap sel T CD8+. Karier alel spesifik HLA kelas I berhubungan dengan reaksi obat yang berat. HLA-B*1502 dengan SJSTEN oleh carbamazepine dan SJS pada kaum China Han oleh phenytoin, HLA-B*5801 dengan SJS-TEN oleh allopurinol, dan HLA-B*5701 dengan hipersensitivitas oleh abacavir (Kara et al, 2019). 13 Molekul HLA kelas II (HLA-DP, HLA-DQ, HLA-DR) ada sebagai antigen ekstraseluler terhadap sel T helper CD4+. HLA-DR4 secara signifikan lebih umum ada pada individu dengan lupus akibat hydralazine daripada SLE idiopatik. Faktor HLA juga mungkin mempengaruhi resiko reaksi terhadap nevirapine, abacavir, carbamazepine, dan allopurinol (Kara et al, 2019). Banyak obat yang berhubungan dengan reaksi obat idiosyncratic berat dimetabolisme tubuh menjadi bentuk reaktif, atau toksik, atau prodak obat. Prodak reaktif ini merupakan bagian kecil dari metabolit obat dan biasanya dengan sangat cepat akan didetoksifikasi. Tetapi pada pasien dengan sindroma hipersensitivitas, SJS dan TEN memiliki sensitivitas yang lebih besar terhadap metabolit reaktif oxidative dari antibiotik sulfonamide dan antikonvulsan aromatik (carbamazepine, phenytoin, phenobarbital, primidone, oxcarbazepine) dibanding pasien lainnya (Kara et al, 2019). Faktor-faktor yang didapat juga mengubah risiko seseorang mengalami erupsi obat. Infeksi virus aktif dan bersamaan penggunaan obat lain mengubah frekuensi erupsi obat terkait. Reaktivasi infeksi virus laten dengan human herpes virus 6 juga tampak umum pada sindrom hipersensitivitas obat, dan bertanggung jawab atas beberapa fitur klinis dan / atau perjalanan penyakit. Infeksi aktif atau reaktivasi dari human herpes virus 6 telah diamati di pasien yang mengalami HSR akibat allopurinol. Infeksi virus dapat bertindak sebagai, atau menghasilkan produksi, sinyal bahaya yang mengarah ke respon imun yang merusak mungkin terhadap obat-obatan, dibanding mengarah ke toleransi imun (Kara et al, 2019). Interaksi obat-obat juga dapat mengubah risiko erupsi kulit. Asam valproat meningkatkan risiko reaksi merugikan kulit yang parah terhadap lamotrigin, antikonvulsan lain. Dasar dari interaksi dan reaksi ini tidak diketahui, tetapi mereka dapat mewakili dari kombinasi faktor-faktor, termasuk perubahan dalam metabolisme obat, detoksifikasi obat, defens 14 antioksidan dan reaktivitas imun (Kara et al, 2019). Reaksi Obat Non Imunologis (Non Immunologic Drug Reactions) Idiosyncrasy Reaksi merupakan akibat dari kekurangan enzim secara herediter Idiosyncrasy terhadap individual Mekanisme masih belum diketahui obat topikal atau sistemik Cumulation Reaksinya tergantung dari dosis, berdasarkan pada jumlah total obat yang teringesti, pigmentasi disebabkan oleh emas, amiodarone, atau minocycline Reaksi disebabkan oleh Reaksi yang terjadi memiliki toksis kombinasi obat dengan patogenesis tetapi dapat juga karena iradiasi ultraviolet immunologis (photosensitivitas) Iritansi / toksisitas dari 5-Fluorouracil, imiquimod obat topikal Atrofi karena obat topikal Glukokortikoid Diagnosis Gangguan iatrogenik ini berbeda dengan penyakit lainnya, meskipun mereka sangat mirip dengan banyak penyakit infeksi atau penyakit idiopatik. Sebuah penyakit yang disebabkan oleh obat harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding spektrum penyakit dermatologis, khususnya ketika gejalanya tidak biasa atau atipikal (Kara et al, 2019). Diagnosa erupsi obat kutaneus melibatkan karakterisasi yang tepat dari tipe reaksi ini. Banyaknya erupsi obat kutaneus mungkin juga menandakan adanya toksisitas organ dalam. Bahkan erupsi kutaneus yang paling kecil akan memicu tinjauan sistem klinis, karena tingkat keparahan tidak nampak dari manifestasi yang muncul pada kulit. 15 Perubahan pada hati, ginjal, sendi, pernapasan hematologis, dan neurologis seharusnya dicari, dan semua gejala atau tanda sistemik apa pun harus diperhatikan. Demam, malaise, faringitis, dan gejala sistemik lainnya juga harus diselidiki. Pemeriksaan lab meliputi hitung darah lengkap, tes fungsi ginjal, dan analisis urin (Kara et al, 2019). Gejala klinis yang perlu diperhatikan akan munculnya reaksi obat berat Sistemik o Demam dan/atau gejala lain dari keterlibatan organ dalam seperti faringitis, malaise, arthralgia, batuk, dan meningismus. o Lymphadenopathy Kutaneus o Perubahan menjadi erythroderma o Keterlibatan wajah secara nyata ± edema atau pembengkakan o Keterlibatan membran mukosa (terlebih jika bersifat erosif atau melibatkan konjungtiva) o Nyeri tekan pada kulit, melepuh atau bersisik o Purpura Biopsy kulit harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan reaksi yang berpotensi menjadi berat, seperti pada yang disertai gejala sistemik, erythroderma, melepuh, nyeri tekan kulit, purpura, atau pustul, serta pada kasus yang diagnosanya tidak pasti. Beberapa reaksi kutaneus, seperti FDE (Fixed Drug Eruption), hampir selalu disebabkan karena penggunaan obat terapi, dan sekitar 40%-50% kasus SJS-TEN juga berhubungan dengan obat. Erupsi lain yang lebih sering, termasuk erupsi eksanthematous atau urtikaria, memiliki penyebab non obat-obatan (Kara et al, 2019). Tidak ada pemeriksaan gold standard untuk mengkonfirmasi penyebab obat. Dibanding itu, diagnosa dan penilaian analisa penyebab 16 dari rangkaian gejala, seperti waktu paparan obat dan onset reaksi, respon reaksi obat penyebab ketika dihentikan atau dilanjutkan, waktu dan bentuk alamiah erupsi yang berulang, riwayat respon yang mirip terhadap pengobatan cross-reaction. Penyelidikan untuk mengeksklusi penyebab non obat juga membantu (Kara et al, 2019). Beberapa penilaian in vitro dapat membantu mengkonfirmasi penyebab dari kasus per individu, tetapi ketepatan sensitivitas dan spesifisitas masih belum pasti. Pada pemeriksaan, limfosit yang diambil dari serum darah pasien akan diinkubasi dengan obat-obatan yang dicurigai. Kemudian marker aktivasi limfosit akan dihitung (lymphocyte transformation test). Pengukuran sitokin seperti IFN-γ, IL-4, TNF, dan granulysin yang dirilis oleh limfosit pasien sebagai respon paparan in vitro terhadap obat yang dicurigai juga telah digunakan untuk mengkonfirmasi (cytokine release assays). Sampel darah paling baik diambil sedini mungkin setelah timbul gejala. (Sarah, 2019). Tes aktivasi basofil juga dilaporkan berguna untuk mengevaluasi pasien dengan kemungkinan alergi terhadap antibiotik β-lactam, NSAID, muscle relaxant. Tes kulit penisillin juga berguna untuk konfirmasi dari reaksi cepat hipersensitivitas yang dimediasi IgE terhdap penisillin. Tes patch juga telah digunakan pada pasien dengan erupsi eksanthematous akibat ampisillin, reaksi AGEP, dan hipersensitivitas akibat abacavir, dan diagnosa tambahan untuk FDE. Tes patch memiliki sensitivitas yang lebih besar jika dilakukan pada area kulit yang sebelumnya telah terlibat (Kara et al, 2019). Diagnosa Banding Presentasi Pola dan Keterlibatan Obat klinis distribusi membran terlibat an lesi kulit mukosa Target Ada Antikonvulsan Intravena atipikal, aromatik, Immuno- tersebar lamotrigine, globulin, luas antibiotik siklosporin, sulfonamida, perawatan SJS 17 yang Penangan- allopurinol, supportif piroxicam, dapsone TEN Nekrosis Ada Antikonvulsan Intravena epidermal aromatik, Immunoglob dengan lamotrigine, ulin, pengelup antibiotik siklosporin, asan kulit sulfonamida, perawatan allopurinol, supportif piroxicam, dapsone Pseudo- Kulit porphyria Tidak ada Tetrasiklin, Perawatan fragile, furosemide, supportif melepuh naproxen saat terkena sinar Linear IgA Bullous Ada/tidak Vancomycin, Perawatan disease ada lithium, supportif dermatosis diclofenac, piroxicam, amiodarone Pemphigus Bula Ada/tidak Penisillin, Perawatan kendur, di ada captopril, supportif dada piroxicam, penicillamine, rifampin, propanolol Pemphi- Bula Ada/tidak Furosemide, Perawatan goid tegang, ada penisillamie, supportif bullosa tersebar penisillin, luas sulfasalazine, 18 captopril Perjalanan Gejala Klinis dan Prognosis Perjalanan klinis dari keparahan penyakit dipengaruhi baik oleh faktor host maupun faktor dari penyakit itu sendiri. Mayoritas simple drug exanthems bersifat self-limited. Pada eksanthema yang mengalami komplikasi, akan timbul morbiditas dan mortalitas yang signifikan yang berhubungan dengan manifestasi klinis (Kara et al, 2019). SJS-TEN memiliki mortalitas tertinggi. SCORTEN merupakan sebuah skala untuk menilai keparahan dan memperkirakan mortalitas dan mortalitas. Terdapat tujuh kriteria, yaitu usia lebih dari 40 tahun, indikasi laboratorium (urea <10mmol/L, glukosa>14mmol/L, bikarbonat <20mEq/L), takikardi (detak jantung >140 bpm), adanya keganasan, luas permukaan tubuh yang terlibat >10%. Setiap kriteria yang terpenuhi memberikan satu nilai, dengan kisaran mortalitas mulai dari 3% (untuk 1 poin) sampai 90% (untuk 5 poin yang terpenuhi) (Kara et al, 2019). Pasien akan mengalami kejadian ulang jika terpapar penggunaan obat yang sama, dan mengalami erupsi sistemik lebih banyak, kejadian berikutnya akan menjadi lebih berat dan fatal. Kasus pengulangan pada SJS-TEN bisa mencapai setinggi 20% pada kasus pediatrik yang dilaporkan (Kara et al, 2019). Pada eksanthema kompleks dapat disertai dengan komplikasi jangka panjang. Pada SJS-TEN, timbulnya scar akan mempengaruhi banyak sistem sehingga menghasilkan sequelae pada kulit (hiperpigmentasi, erupsi nevi, alopecia, distrofi kuku), mata (mata kering, fotofobia, trikiasis, simblefaron), genitalia (dispareunia, retensi urin, kekeringan), dan paru (bronkitis kronis, bronkiektasis). Kelainan thyroid yang dimediasi oleh imun merupakan komplikasi umum dari sindroma hipersensitivitas dan dapat muncul beberapa bulan setelah resolusi dari eksanthema (Kara et al, 2019). 19 Manajemen Erupsi obat pada kulit biasanya tidak bervariasi keparahannya akibat dosis yang berbeda. Reaksi yang lebih tidak berbahaya mungkin dapat mereda dengan melanjutkan terapi obat (contoh, erupsi eksanthematous transien yang berhubungan dengan permulaan regimen antiretroviral HIV baru). Tetapi, sebuah reaksi yang mengarah ke kemungkinan reaksi yang membahayakan nyawa harus secepatnya dilakukan pemberhentian pemberhentian semua obat obat yang yang dicurigai, disertai dengan berinteraksi yang mungkin memperlambat eliminasi agen penyebab yang dicurigai. Meskipun peran kortikosteroid dalam penanganan reaksi kutaneus yang serius masih kontroversial, mayoritas terapis memilih untuk menggunakan prednisone dengan dosis 1-2mg/kg/hari ketika gejalanya berat. Antihistamin, topikal kortikosteroid, atau keduanya dapat digunakan untuk mengatasi gejalagejala yang timbul. Desensitisasi obat, juga dikenal sebagai induksi toleransi obat, telah digunakan utamanya untuk reaksi yang dimediasi IgE yang disebabkan oleh obat-obatan seperti penisillin atau antibodi monoklonal seperti rituximab dan infliximab. Pasien seharusnya tidak dilakukan pengujian ulang atau desensitisasi jika telah memiliki riwayat potensial reaksi yang serius (Kara et al, 2019). PENCEGAHAN Ketika pernah terjadi sebuah reaksi, perlu untuk mencegah timbulnya reaksi yang sama pada pasien dengan obat penyebab serta obat dengan cross-reaction. Faktor dari host yang penting dalam banyak reaksi. Beberapa dari faktor host dapat diturunkan (Kara et al, 2019). 20 DAFTAR PUSTAKA 1. Budianti, Windy Keumala. Erupsi Obat Alergik dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Badan Penerbit FK UI:2018.p. 190-192. 2. Heesan Kara, Sibbald Cathryn, Shear Neil H. Cutaneus Reactions to Drugs in Fitzpatrick Dermatology. 9th Edition. MC Graw Hill Education:2019.p. 749-750, 759-762. 3. Walsh, Sarah. Drug Rashes dalam ABC Dermatology.London. Johnwile & Sons Ltd:2019.p.204,212. 21 of