Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri[1][2]. Namun kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi[3][4][5]. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini.[6] Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara harus menanggung keruigan sebesar Rp 2,314 triliun[7]. Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto[8][9]. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan sebagai pembuat keterangan palsu saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan[10]. Penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan sidang yang berjalan setelah itu untuk para tersangka KPK.[11][12] Dalam perjalanannya, para pihak berwenang dibuat harus berusaha lebih giat dalam menciptakan keadilan atas tersangka Setya Novanto. Berbagai lika-liku dihadapi, mulai dari ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka, sidang praperadilan, dibatalkannya status tersangka Novanto oleh hakim, kecelakaan yang dialami Novanto bahkan hingga ditetapkannya ia lagi sebagai tersangka[13][14][15]. Perkara ini juga diselingi oleh kematian Johannes Marliem di Amerika Serikat yang dianggap sebagai saksi kunci dari tindakan korupsi.[16] Untuk kepentingan pengembangan kasus atas tewasnya Marliem, KPK pun melakukan kerja sama dengan FBI.[17] Perkembangan kasus e-KTP yang terjadi di era digital membuat kasus ini mendapatkan sorotan dari para warganet. Dalam beberapa kesempatan para warganet meluapkan ekspresi mereka terkait kasus korupsi e-KTP dengan menciptakan trending topic tertentu di twitter dan membuat meme untuk kemudian diunggah di media sosial. Namun reaksi warganet lebih condong ditujukan pada Setya Novanto ketimbang tersangka yang lain.[18] Tak hanya media nasional, media asing seperti AFP dan ABC juga turut memberitakan perkara ini, terutama terkait keterlibatan Setya Novanto.[19] Kendati perkara proyek e-KTP telah berjalan selama beberapa tahun, kasus ini belum mencapai garis finish. Baru dua orang, yakni Irman dan Sugiharto yang telah divonis hukuman penjara sementara yang lain masih harus menghadapi proses hukum yang berlaku[20]. Oleh karena itu, para pihak berwenang masih harus ekstra kerja keras lagi untuk menutup buku atas perkara ini. KASUS MEGA KORUPSI E-KTP KPK akhirya menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka setelah berulang kali lolos dari jeratanhukum. Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkanSetyaNovanto atau Setnov sebagai tersangka setelah berulang kali lolos dari jeratan hukum. Orangnomor satu di DPR itu dinilai berperan aktif mengatur lelang proyek E-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.Seperti ditayangkan Kopi Pagi dalam Liputan6 Pagi SCTV , Minggu (23/7/2017), Setnov dansejumlah anggota DPR periode 2009-2014 dianggap menyalahgunakan wewenang, memainkanpengaruhnya, sehingga proyek E-KTP menjadi berantakan. Dananya menguap ke mana-mana.Negara pun dirugikan Rp 2,3 triliun.Masyarakat pun sontak tersentak. Terlebih, ini bukan kali pertama petinggi di lembaga tingginegara merugikan negara.Sebelumnya, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga berurusan dengan KPK. Akilyang juga mantan politisi Golkar terbukti menerima suap dalam kasus sengketa pilkada untuksejumlah daerah. Di antaranya Lebak, Palembang, Lampung Selatan, Pulau Morotai, dan GunungMas.Hakim kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Akil. Namun, dia tidakdiwajibkan membayar denda Rp 10 miliar seperti tuntutan jaksa karena dianggap telah dijatuhihukuman maksimal. Bukan hanya Akil, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman juga tersandung kasussuap. Senator asal Sumatera Barat ini terbukti menerima uang Rp 100 juta dari pihak swasta untukmengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog. Jika sukses, Irman bakal mendapat feeRp 300 per kilogram dari gula yang dipasok. Atas persekongkolan jahat inilah Irman kemudian divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.Hak politiknya juga dicabut selama tiga tahun.Sebenarnya, bukan kali ini sajaSetnov tersandung perkara hukum. Namanya pernah disebutterlibat kasus piutang Bank Bali ke BDNI pada tahun 1999. Empat tahun kemudian, dia jugadisebut tidak membayar pajak ketika menjadi importir beras sehingga merugikan negara lebih dariRp 23 miliar.Tidak berhenti di situ. Nama Setnov lagi-lagi tersangkut dalam kasus korupsi. Kali ini untuk proyekpenyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Namun keterlibatannya seakanmenguap sampai akhirnya dia dikabarkan meminta saham PT Freeport.Namun, sekali lagi, tidak satu pun kasus yang bisa membuktikan Setnov terbukti bersalah secarahukum. Tapi, kali ini KPK mempunyai pertimbangan berbeda.Kesaksian terdakwa Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat di Kemendagri, di persidanganmenjadi fakta sekaligus pintu masuk KPK untuk membuktikan keterlibatan Setnov dalam kasusproyek E-KTP.Mantan ketua fraksi Partai Golkar itu disebut menerima uang suap Rp 574 miliar. Hal itu pula yangmembuat Setnov harus mondar-mandir diperiksa KPK.Bolak balik diperiksa, berulang kali pula Setnov membantah. Bahkan, dia berani bersumpah tidakpernah menerima aliran dana proyek E-KTP seperti yang disangkakan.Bantahan bukan hanya disampaikan Setnov. Sejumlah anggota DPR tiba-tiba juga membentukPansus Hak Angket KPK. Mereka seperti terusik ketika sejumlah nama anggota dewan jugadisebut kebagian suap proyek E-KTP. Kinerja KPK langsung dipertanyakan, dikritisi, dan dianggap melampaui wewenang. Bukan hanyaitu, mereka juga mendatangi LP Sukamiskin Bandung untuk menemui sejumlah tahanan kasuskorupsi yang pernah ditangani KPK.Bagi mereka, pasti ada yang keliru dalam penanganan kasus korupsi E-KTP. Untuk itu, Setnovtidak perlu mundur dari jabatannya karena dianggap belum tentu bersalah dan belum jugaberstatus terdakwa. Sikap inilah yang kemudian dikomentari banyak orang di minggu ini