TETRALOGY FALLOT (TOF) PUTRI AMELIA 19840810 200812 2 003 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 1 Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, sebagai salah satu tulisan pada Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Tulisan ini berjudul “Tetralogy. Fallot”. Dalam penyelesaian tulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua. 2 Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi i ii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1 1 BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi 2.2. Epidemiologi 2.3 Etiologi 2.4. Patogenesis 2.5. Patofisiologi 2.6. Manifestasi Klinis 2.7. Diagnosis 2.8. Diagnosis Banding 2.9. Tatalaksana 2.10. Komplikasi 2.11. Prognosis 2 2 2 4 6 7 9 12 13 15 16 BAB 3. KESIMPULAN 17 Daftar Pustaka 18 3 Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan struktural atau susunan jantung dan pembuluh darah besar intratoraks, yang berpotensi atau secara nyata memberikan pengaruh 1 fungsional yang signifikan, mungkin sudah terdapat sejak lahir. Di Indonesia, angka kejadian 8 tiap 1000 kelahiran hidup. Secara garis besar PJB dibagi atas dua kelompok, yaitu sianotik dan asianotik. Pada PJB sianotik terjadi sianosis sentral oleh karena aliran darah paru 2 berkurang akibat obstruksi aliran keluar ventrikel kanan sehingga terjadi pirau kanan ke kiri. Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling banyak ditemukan, yakni lebih kurang 10% dari seluruh kejadian penyakit jantung bawaan. Penyakit jantung bawaan tersebut memiliki 4 komponen, yaitu defek septum ventrikel, over-riding aorta, stenosis pulmonal, serta hipertrofi ventrikel kanan. Komponen yang paling penting, yang menentukan derajat beratnya penyakit, adalah stenosis pulmonal, yang bervariasi dari sangat ringan hingga berupa atresia pulmonal. 3 Manifestasi klinis utama berupa sianosis dengan derajat bervariasi tergantung pada sumber dan jumlah aliran darah paru yang dapat berasal dari duktus arteriosus persisten, major aortopulmonary collateral arteries (MAPCAs), atau kombinasi keduanya. Pada waktu 4 lahir, bayi biasanya belum sianotik, tetapi kemudian gejala tersebut muncul setelah tumbuh. Bayi atau anak dengan tetralogi Fallot memiliki peluang untuk mengalami komplikasi neurologis. Komplikasi neurologis yang paling utama adalah bencana serebrovaskular (cerebrovascular accident / stroke) dan abses serebri, yang sangat berpengaruh terhadap mortalitas maupun morbiditas pasien. Insidensi kedua komplikasi tersebut, berdasarkan dokumentasi beberapa literatur di negara – negara Barat, adalah 8,6% pada bencana serebrovaskular dan 13,7% pada abses serebri. Defisit neurologis yang disebabkan oleh komplikasi tersebut dapat bervariasi berdasarkan deteksi dini. 5 1.2. Tujuan 4 Universitas Sumatera Utara Tujuan penulisan refarat ini adalah untuk membahas secara ringkas mengenaidefinisi, diagnosis, manajemen dan prognosis tetralogi Fallot pada anak. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tetralogi Fallot adalah malformasi jantung kongenital sianotik dengan komponen stenosis pulmonal, defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta yang menyebabkan pangkal aorta melewati septum ventrikel/ over-riding aorta, serta hipertrofi ventrikel kanan. Penyakit kompleks tersebut pertama kali dideskripsikan oleh Fallot pada tahun 1881, walaupun kasus 6 kasus terebut sebelumnya telah dipaparkan melalui berbagai laporan kasus. 2.2 Epidemiologi Penyakit ini merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling umum terjadi. Secara umum, tetralogi Fallot dijumpai pada tiga dari sepuluh ribu bayi baru lahir hidup dan 3,7 merupakan lebih kurang 10% dari seluruh kejadian penyakit jantung bawaan. Insidensi 3,26% tiap 10.000 kelahiran hidup, atau sekitar 1.300 kasus baru setiap tahunnya di Amerika Serikat. Penyakit ini merupakan penyakit jantung bawaan terbanyak pada pasien berusia diatas 1 tahun yang ditangani di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Data dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa sebagian pasien tetralogi Fallot berusia diatas 5 tahun, serta 3,6 prevalensinya menurun setelah umur 10 tahun. 2.3 Etiologi Penyakit jantung bawaan, yang salah satunya tetralogi Fallot, disebabkan oleh gangguan perkembangan sistem kardiovaskular pada masa embrio. Terdapat peranan faktor endogen, eksogen, dan multifaktorial (gabungan dari kedua faktor tersebut). Para ahli cenderung berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang secara terpisah 3 menyebabkan penyakit jantung bawaan. 5 Universitas Sumatera Utara 3 Tabel 2.1. Etiologi Penyakit Jantung Bawaan 3 Tabel 2.2. Beberapa Faktor Lingkungan yang Dapat Menyebabkan PJB Keterangan : PDA = patent ductus arteriosus; SP = stenosis pulmonal; TAB = transposisi arteri besar; DSV = defek septum ventrikel; Koark = koarktasio aorta; TF = tetralogi Fallot; DSA = defek septum atrium; VKAJKG = ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda; IAA = interrupted aortic arch; SA = stenosis aorta Sejauh ini, mutasi pada beberapa gen telah diidentifikasi pada berbagai kasus tetralogi Fallot, antara lain: 1. NKX2.5 pada 4% kasus. 2. JAG1 pada sindrom Alagille, penyakit dengan insidensi tetralogi Fallot yang tinggi. 3. TBX5 pada sindrom Holt-Oram, penyakit dengan beberapa 6 Universitas Sumatera Utara pasiennya memiliki tetralogi Fallot. 4. FOXC2 pada lymphedemadistichiasis, penyakit dengan sebagian kecil pasiennya memiliki tetralogi Fallot. 5. TBX1 pada 15% kasus tetralogi Fallot dengan mikrodelesi kromosom 22q11.2. 6. Gen trisomi 21, 18, dan 13, yang terdapat pada 10% kasus tetralogi Fallot secara keseluruhan. Oleh karena itu, secara umum, mutasi gen diduga menjadi etiologi utama terhadap terjadi tetralogi Fallot. 6 2.4 Patogenesis Embriologi jantung bermulai dari adanya tuba. Terdapat dua bagian tuba, yaitu trunkus arteriosus dan bulbus kordis yang berkembang menuju satu sama bawah, menuju bulbus kordis. Perputaran ini akan memisahkan aorta dengan arteri pulmonal. Deviasi ke arah anterior dari perputaran ini menyebabkan tetralogi Fallot. Deviasi antero-septal pada pembentukan lubang septum ventrikular dapat disertai dengan pembentukan jaringan fibrosa pada septum yang gagal mengalami proses muskularisasi. Deviasi ini dapat ditemukan pada absennya obsrtuksi subpulmonal, seperti pada defek septum ventrikel Eisenmenger. Oleh karena itu, pada pasien dengan tetralogi Fallot, perlu dipastikan adanya morfologi abnormal dari trabekula septoparietal yang melingkari traktur aliran subpulmonal. Kombinasi adanya deviasi septum dan trabekulasi septoparietal yang hipertrofi menghasilkan karakteristik adanya obstruksi aliran ventrikel kanan. Deviasi jaringan muskular pada lubang septum juga menyebabkan adanya defek septum ventrikel dengan gangguan alignment dan menyebabkan munculnya overriding dari aorta. Hipertrofi miokardium ventrikel kanan merupakan 8 konsekuensi hemodinamik akibat adanya lesi yang disebabkan oleh deviasi lubang septum. 7 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1. Kelainan Anatomi pada Tetralogi Fallot Sumber: Bailliard F, Anderson R. Tetralogy of Fallot. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2009 Jan 13;4(2):3. Sebagai tambahan dari berbagai kelainan terdapat dalam tetralogi Fallot, terdapat beberapa kelainan lain yang juga dapat terjadi bersamaan dengan penyakit tersebut. Beberapa 6,9 varian atomis dan kelainan yang berkaitan dengan tetralogi Fallot antara lain: 1. Tetralogi Fallot dengan atresia pulmonal Lesi ini memiliki derajat deviasi septum yang paling berat, dimana pasien memiliki atresia pulmonal, bukan stenosis, sehingga tidak terdapat aliran darah sama sekali dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis. 2. Tetralogi Fallot tanpa katup pulmonal Pada beberapa kasus yang jarang, bagian leaflet dari katup pulmonal tidak bersifat stenotik maupun atretik, melainkan tidak terbentuk atau tidak hadir. Hal ini menyebabkan celah antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis tidak terhalang oleh adanya katup. Hal ini menyebabkan penumpukan volume secara kronis pada ventrikel kanan berpindah ke arteri pulmonalis, yang bersamaan dengan hal tersebut 8 Universitas Sumatera Utara menyebabkan pelebaran pada keduanya. Pada kasus berat, hal ini dapat menyebabkan penekanan pada saluran pernapasan. 3. Tetralogi Fallot dengan ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda (VKAJKG, double outlet right ventricle / DORV) VKAJKG merupakan salah satu penyakit jantung bawaan dimana kedua arteri besar keluar dari ventrikel kanan, masing – masing dengan konusnya; kedua arteri besar ini tidak menunjukkan kontinuitas dengan katup mitral. Dengan adanya over-riding aorta, maka aorta semakin lebih terhubung dengan ventrikel kanan, dibandingkan kiri. 4. Tetralogi Fallot dengan defek septum atrioventrikuaris Defek septum atrioventrikularis ditemukan pada sekitar 2% kasus tetralogi Fallot. Hal ini memang tidak secara signifikan mengubah terapi inisial terhadap pasien, namun terapi pembedahan dan rawatan praoperasi menjadi lebih kompleks. 2.5 Patofisiologi Komponen yang paling penting, yang menentukan derajat beratnya penyakit, adalah stenosis pulmonal, yang bervariasi dari sangat ringan sampai sangat berat, bahkan dapat berupa atresia pulmonal. Stenosis pulmonal ini bersifat progresif, semakin lama semakin berat. Tekanan yang meningkat akibat stenosis pulmonal menyebabkan darah yang terdeoksigenasi (yang berasal dari vena) keluar dari ventrikel kanan menuju ventrikel kiri melalui defek septum ventrikel dan ke sirkulasi sistemik melalui aorta, menyebabkan hipoksemia sistemik dan sianosis. Bila stenosis pulmonal semakin berat, maka semakin banyak darah dari ventrikel kanan menuju ke aorta. Pada stenosis pulmonal yang ringan, darah dari ventrikel kanan menuju ke paru, dan hanya pada aktivitas fisik akan terjadi pirau dari kanan ke kiri. Semakin bertambahnya usia, maka infundibulum akan semakin hipertrofik, sehingga pasien akan semakin sianotik. Obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan ini menyebabkan kurangnya aliran darah ke paru yang menyebabkan hipoksia, maka kompensasi untuk hipoksia adalah terjadinya polisitemia dan dibentuknya sirkulasi kolateral (jangka 3,10 panjang). 9 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Aliran Darah Jantung pada Tetralogi Fallot Sumber: Lilly, Leonard S. Pathopyshiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical th Students and Faculty. 6 Ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2015. p:394. Terdapatnya defek septum ventrikel yang besar disertai stenosis pulmonal, maka tekanan sistolik puncak (peak systolic pressure) ventrikel kanan menjadi sama dengan tekanan sistolik puncak ventrikel kiri. Karena tekanan ventrikel kiri berada dalam pengawasan baroreseptor, maka tekanan sistolik ventrikel kanan tidak akan melampaui tekanan sistemik. Hal inilah yang menerangkan mengapa pada tetralogi Fallot tidak atau jarang terjadi gagal jantung, karena tidak ada beban volume sehingga ukuran jantung 3 umumnya normal. 2.6 Manifestasi Klinis Menifestasi klinis tetralogi Fallot mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh. Manifestasi klinis tetralogi Fallot mula – mula dapat mirip dengan defek septum ventrikel dengan pirau dari kiri ke kanan dengan stenosis pulmonal ringan, sehingga anak masih kemerahan. Apabila derajat 3 stenosis bertambah, akan timbul sianosis. 10 Universitas Sumatera Utara Salah satu manifestasi yang penting pada tetralogi Fallot adalah terjadinya serangan sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal hyperpnea) yang ditandai oleh timbulnya sesak napas mendadak, napas cepat dan dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan dapat pula disertai kejang atau sinkop. Serangan tersebut dapat berlangsung selama beberapa menit hingga jam, sehingga hipoksemia dapat berujung pada kerusakan sel – sel otak. Serangan yang hebat dapat berakhir dengan koma, bahkan kematian. Serangan sianotik bisa timbul mendadak, walaupun menangis, pergerakan usus, dan menyusui/makan dapat memicunya. Frekuensi serangan sianotik bertambah pada musim panas dan ada infeksi. Kateterisasi jantung dan supraventricular tachycardia juga dikatakan dapat memicu terjadinya serangan. Terdapat berbagai hal yang dapat memicu terjadinya serangan tersebut, sehingga sangat sulit menentukan faktor – faktor yang pasti. Mekanisme terjadinya serangan sianotik belum diketahui secara pasti, namun beberapa hipotesis telah dikemukakan, antara lain peningkatan kontraktilitas infundibular, vasodilatasi perifer, hiperventilasi, dan stimulasi 3,11,12 mekanoreseptor ventrikel kanan. Anak dengan tetralogi Fallot biasanya belajar untuk meringankan gejala yang dialaminya dengan posisi jongkok (squatting position) setelah dapat berjalan; setelah berjalan beberapa lama, anak akan berjongkok untuk beberapa waktu sebelum ia berjalan kembali. Hal ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi. Hal tersebut mungkin telah dipelajari oleh anak sejak bayi dengan mengadopsi knee-chest posture. Posisi jongkok dapat menyebabkan peningkatan resistensi sistemik vaskular dengan melekukkan arteri femoralis, sehingga menurunkan pirau kanan ke kiri dan meningkatkan aliran darah ke paru. O’Donell dkk menyimpulkan dalam penilitiannya bahwa mengubah posisi dari berdiri menjadi jongkok dapat meningkatkan saturasi oksigen saat istirahat maupun setelah melakukan aktivitas disebabkan oleh alasan anatomis dan berhubungan dengan pirau ventrikel kanan dan aorta. Peneliti juga mengatakan pada anak normal, posisi jongkok dapat meningkatkan tekanan 3,10,13,14 darah arteri, curah jantung, dan volume darah sental. Pada bayi bentuk dada normal, namun pada anak yang lebih besar dapat tampak menonjol akibat pelebaran ventrikel kanan. Jari tabuh (clubbing fingers) dapat mulai terlihat setelah pasien berusia 6 bulan. Anak dapat menjadi iritatif dalam keadaan kadar oksigen berkurang, atau memerlukan asupan oksigen yang lebih banyak, anak dapat menjadi mudah lelah, mengantuk, atau bahkan tidak merespons ketika dipanggil, menyusu yang terputusputus. Pada anak dengan tetralogi Fallot, biasanya dijumpai keterlambatan pertumbuhan, 3,15 tinggi dan berat badan dan ukuran tubuh kurus yang tidak sesuai dengan usia anak. 11 Universitas Sumatera Utara 16 Dalam perjalanan penyakit tetralogi Fallot, hal – hal berikut dapat terjadi: • Polisitemia sebagai mekanisme kompensasi hipoksia / sianosis. • Defisiensi relatif zat besi (anemia hipokromik). • Spell hipoksik pada bayi. • Gangguan pertumbuhan terjadi bila sianosis berat • Abses otak dan kejadian serebrovaskular akibat gangguan peredaran darah otak. • Endokarditis infektif. • Regurgitasi aorta pada tetralogi Fallot berat dengan aorta yang dilatasi hebat. • Koagulopati akibat sianosis berat yang lama. 2.7 Diagnosis Tetralogi Fallot dapat didiagnosis sebelum bayi lahir saat gambaran anatomi jantung mulai terlihat jelas pada ekokardiografi fetus, biasanya pada usia gestasi 12 minggu. Segera setelah didiagnosis, disarankan pengamatan antenatal serial dengan interval 6 minggu untuk mengikuti pertumbuhan arteri pulmonalis, untuk menilai kembali arah arteri paru utama dan 17 aliran duktal dan untuk mengevaluasi, jika ada, kelainan di luar jantung. Pada anamnesis, tidak hanya ditanyakan riwayat adanya manifestasi klinis dari tetralogi Fallot, tetapi juga riwayat kehamilan, kelahiran, keluarga, serta pertumbuhan dan perkembangan pasien. Pada semua pasien, terutama pada neonatus, harus dibedakan apakah sianosis sentral atau perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh faktor jantung atau bukan. Kebanyakan neonatus normal menunjukkan sianosis perifer pada tangan dan kaki yang kadang cukup hebat terutama bila udara luar sangat dingin, biasanya menghilang dalam 48 jam dan jarang nampak setelah 72 jam. Sianosis sentral yang terjadi segera pascalahir adalah manifestasi hipoventilasi. Sianosis sentral pada saat lahir pada umumnya disebabkan oleh 3 penyakit jantung bawaan. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan berbagai manifestasi tetralogi Fallot seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Getaran bising jantung jarang teraba. Suara jantung 1 (S1) normal, sedangkan suara jantung 2 (S2) biasanya tunggal (yakni A2). Terdengar bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal, yang makin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi (berlawanan dengan stenosis pulmonal murni). Bising ini adalah bising stenosis pulmonal, bukan bising defek septum ventrikel; darah dari ventrikel kanan yang melintas ke ventrikel 12 Universitas Sumatera Utara kiri dan aorta tidak mengalami turbulensi oleh karena tekanan sistolik antara ventrikel kanan 3 dan kiri hampir sama. Pada pemeriksaan laboratorium umumnya didapatkan kenaikan jumlah eritrosit dan hematokrit yang sesuai dengan derajat desaturasi dan stenosis. Pasien tetralogi Fallot dengan kadar hemoglobin dan hematokrit yang rendah atau normal mungkin menderita defisiensi 3 besi. Gambaran radiologis dada pada bayi dengan tetralogi Fallot umumnya menunjukkan situs viseral normal, levokardia, ukuran jantung normal, penurunan gambaran vaskular paru, dan mungkin arkus aorta terletak di sebelah kanan. Apeks jantung nampak kecil dan 3,6 terangkat, dan konus pulmonalis cekung. Gambaran ini mirip dengan bentuk sepatu. Gambar 2.3 Gambaran Radiologis Pasien Tetralogi Fallot Sumber: Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro S, Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1994.p:242 13 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Gambaran EKG Pasien Tetralogi Fallot Keterangan: Deviasi sumbu QRS ke kanan, kompleks QRS negatif di Lead I dan positif di AvF. Hipertrofi ventrikel kanan ditandai oleh kompleks QRS yang positif di V1 dan S yang dalam di V6. Gelombang P yang tinggi di V2 menandakan pembesaran atrium kanan. Sumber: Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro S, Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1994.p:242 Pada neonatus EKG tidak berbeda dengan anak normal. Pada anak mungkin gelombang T positif di V1, disertai deviasi axis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan. Gelombang P di Lead II dapat tinggi (P pulmonal). Hipertrofi biventrikuler dapat terlihat pada anak dengan tetralogi Fallot yang tidak menunjukkan sianosis. Hipertrofi atrium kanan 3,16 kadang terlihat. Gambaran ekokardiografi yang mencolok adalah defek septum ventrikel yang besar disertai over-riding aorta besar, sedangkan arteri pulmonalis kecil; katup pulmonal tidak selalu dapat jelas dilihat. Infundibulum sempit. Dengan teknik Doppler dapat dilihat arus dari ventrikel kanan ke aorta, dan dapat diperkirakan perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dengan arteri pulmonalis, meskipun dalam praktek gambaran Doppler yang bagus tidak mudah diperoleh, khususnya pada stenosis infundibular yang berat. Stenosis pada cabang arteri 3 pulmonalis perifer, yang dapat sampai 28% kasus, mungkin dapat dideteksi. 16 Gambaran ekokardiografi yang dapat ditemukan: 14 Universitas Sumatera Utara • Ekokardiografi 2 dimensi dan Doppler dapat memastikan diagnosis dan beratnya tetralogi Fallot. • Dari pandangan parasternal long axis terlihat defek septum ventrikel perimembran subaortik / infundibuler yang besar dengan over–riding aorta. • Dari pandangan parasternal short axis terlihat anatomi alur keluar ventrikel kanan, katup pulmonal, annulus dan batang utama arteri pulmonalis, serta cabang kanan dan kirinya. • Dengan pemeriksaan Doppler, gradient tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dapat dihitung. • Anomali arteri koroner juga dapat dideteksi dengan ekokardiografi. • Kelainan penyerta seperti defek septum atrium dan vena cava superior kiri yang persisten juga dapat terlihat. Kateterisasi jantung tidak diperlukan bila pasien akan dilakukan tindakan bedah paliatif, misalnya pembuatan pintasan Blalock-Taussig. Akan tetapi kateterisasi biasanya diperlukan sebelum tindakan bedah koreksi dengan maksud untuk: • Mengetahui terdapatnya defek septum ventrikel multipel (5%) • Mendeteksi kelainan arteri koroner (5%) • Mendeteksi stenosis pulmonal perifer (28%) Dengan kateterisasi, dapat dikonfirmasikan terdapatnya penurunan saturasi oksigen setinggi aorta, peningkatan tekanan di ventrikel kanan, dengan tekanan arteri pulmonalis normal atau rendah. Dimensi serta kontraktilitas ventrikel kiri, morfologi dan ukuran arteri pulmonalis, terdapatnya kolateral, serta anatomi arteri koroner dapat didemonstrasikan dengan angiokardiografi. Hal – hal tersebut sering tidak dapat diperoleh dengan pemeriksaan ekokardiografi. Pada pasien tetralogi Fallot, kateterisasi dilakukan untuk jantung kanan dan 3 kiri, serta dilakukan pula diventrikulografi dan aortografi. 2.8 Diagnosis Banding Beberapa penyakit jantung menunjukkan gambaran klinis yang mirip dengan tetralogi Fallot. Frekuensi kelainan – kelainan tersebut lebih sedikit daripada tetralogi Fallot, dan harus dipikirkan sebagai diagnosis banding. Kemiripan gejala klinis dan pemeriksaan penunjuang 15 Universitas Sumatera Utara pada berbagai kelainan tersebut disebabkan oleh persamaan kelainan anatomis degan 3 tetralogi Fallot, yakni: • Terdapat komunikasi kanan dan kiri di tingkat ventrikel melalui defek septum ventrikel • Terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan (stenosis pulmonal) • Terdapat pirau kanan ke kiri dengan tingkat ventrikel. Diagnosis banding dari setiap pasien sianotik dengan murmur adalah termasuk hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, begitu pula dengan lesi sianotik lainnya seperti stenosis pulmonal berat, malformasi Ebstein, transposisi trunkus arteriosus, trunkus arteri 9 komunis, anomali total drainase vena pulmonalis, dan atresia trikuspid. 2.9 Tatalaksana Tatalaksana terhadap pasien terdiri dari perawatan medis serta tindakan bedah. Kedua cara terapi ini seyogyanya tidak dipertentangkan, namun justru saling menunjang; tatalaksana 3 medis yang baik diperlukan untuk persiapan prabedah dan perawatan pascabedah. 3,16 Tatalaksana medis: 1. Pada serangan sianotik akut: 1. Pasien diletakkan dalam knee – chest position. 2. Diberikan O2 masker 5 – 8 liter / menit. 3. Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg /kgBB/subkutan (sebagian ahli menyarankan intramuscular) 4. Diberikan sodium bikarbonat 1 meq/kgBB/IV untuk koreksi asidosis 5. Diberikan transfusi darah bila kadar hemoglobin <15 g/dl, jumlah darah rata – rata yang diberikan adalah 5 ml/kgBB 6. Diberikan propanolol 0,1 mg/kgBB/IV secara bolus. 7. Jangan memberikan Digoxin pada saat pasien menderita serangan sianotik karena akan memperburuk keadaan. 2. Apabila tidak segera dilakukan operasi, dapat diberikan propranolol rumat dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Bila pasien mengalami serangan sianotik 16 Universitas Sumatera Utara disertai dengan anemia relatif, maka diperlukan preparat Fe. Dengan Fe ini akan terjadi retikulosistosis dan kadar hemoglobin meningkat. 3. Hiegene mulut dan gigi perlu diperhatikan, untuk meniadakan sumber infeksi untuk terjadi endocarditis infektif atau abses otak. 4. Terjadinya dehidrasi harus dicegah khususnya pada infeksi interkuren. 5. Orang tua perlu diedukasi atau diajarkan untuk mengenali serangan sianotik dan penanganannya. 16 Tatalaksana intervensi non bedah: 1. Dilatasi alur keluar ventrikel kanan dan katup pulmonal dengan balon, kadang dilakukan untuk megalami gejala berat. 2. Pemasangan stent pada duktus arteriosus persisten bisa juga dikerjakan bila stenosis pulmonal berat atau atretik. Tatalaksana bedah terdiri dari 2 jenis, yakni operasi paliatif untuk menambah aliran darah baru, dan bedah korektif. Bedah paliatif bertujuan meningkatkan aliran darah pulmoner, dilakukan pada: 1. Neonatus tetraogi Fallot berat / atresia pulmonar dengan hipoksia berat. 2. Bayi tetraogi Fallot denga annulus pulmonary atau arteri pulmonalis hipoplastik. 3. Bayi tetralogi Fallot dengan usia < 3-4 bulan dengan spell berulang yang gagal diterapi. 4. Bayi tetralogi Fallot dengan berat < 2,5 kg. 5. Anak tetralogi Fallot dengan hipoplastik cabang – cabang arteri pulmonalis (diameter dibawah ukuran tengah yang dibuat oleh Kirklin). 6. Anomali arteri koroner yang melintang di depan alur keluar ventrikel kanan. Jenis terapi bedah paliatif yang dikenal: 1. Anastomosis ujung ke sisi (end to side anastomosis) arteri subklavia dengan arteri pulmonalis proksimal ipsilateral. Tindakan ini disebut prosedur Blalock-Taussig atau BT shunt. 2. Prosedur Waterston, yaitu anastomosis antara aorta asendens dengan arteri pulmonalis kanan. 3. Prosedur Glenn, yaitu anastomosis antara vena kava superior dengan arteri pulmonalis kanan. 17 Universitas Sumatera Utara Bedah korektif dilakukan pada kasus yang ideal, pada usia yang cukup aman sesuai kemampuan tiap – tiap institusi. Dilakukan penutupan VSD dan eksisi infundibulum, 3,16 pelebaran annulus pulmonar dan arteri pulmonalis dengan patch bila perlu. Pemilihan tindakan bedah, apakah paliatif atau korektif bergantung kepada masing – masing klinik. Pada umumnya tindakan bedah paliatif dilakukan pada bayi kecil, atau pasien dengan hipoplasia arteri pulmonalis. Dengan bertambahnya darah ke paru, maka oksigenasi jaringan akan membaik, sehingga sianosis akan berkurang. Setelah arteri pulmonalis tumbuh sehingga diameternya memadai, maka tindakan korektif dapat dilakukan. Akhir – akhir ini terdapat kecenderungan untuk melakukan koreksi total pada pasien tetralogi Fallot pada bayi 3 dibawah usia 2 tahun bila arteri pulmonalis tidak terlalu kecil. 2.10 Komplikasi Satu atau lebih komplikasi berikut dapat terjadi pada pasien tetralogi Fallot yang tidak 3 dikoreksi: 1. Bencana serebrovaskular (cerebrovascular accident) dapat terjadi pada pasien berumur kurang dari 5 tahun, biasanya terjadi setelah serangan sianotik, pascakateterisasi jantung, atau dehidrasi. 2. Abses otak dapat terjadi pada pasien yang berusia pada pasien yang berusia lebih dari 5 tahun, dengan gejala sakit kepala, muntah – muntah, disertai gejala neurologis. Di RS Soetomo (1970 – 1985), 20% dari pasien tetralogi Fallot meninggal karena abses otak. 3. Endokarditis infektif dapat terjadi pascabedah rongga mulut dan tenggorok, seperti manipulasi gigi, tonsilektomi, dan lain – lain. Infeksi lokal di kulit, tonsil, dan nasofaring juga merupakan sumber infeksi yang dapat mengakibatkan endokarditis. 4. Anemia relatif, yang ditandai dengan hematokrit yang tinggi dibandinkan dengan kadar hemoglobin. Pada darah tepi didapatkan hipokromia, mikrositosis, dan anisositosis. 5. Trombosis paru. Trombosis lokal pada pumbuluh darah paru kecil, ini akan menambah sianosis. 6. Perdarahan. Pada polisitemia hebat, trombosit dan fibrinogen menurun hingga dapat terjadi ptekie, perdarahan gusi. Hemoptisis terjadi pada pasien yang lebih tua karena lesi trombotik di paru. 18 Universitas Sumatera Utara Penelitian yang dilakukan oleh Aftab dkk. di Departemen Kardiologi Pediatri dan Neurologi Pediatri Rumah Sakit Anak Lahore pada tahun 2015 menunjukkan bahwa komplikasi neurologis tetralogi Fallot tidak hanya cerebrovascular accident dan abses otak, walaupun keduanya memiliki angka kejadian yang paling tinggi. Cerebrovascular accident terutama dialami oleh pasien berusia kurang dari 2 tahun, sedangkan abses otak pada pasien berusia lebih dari 2 tahun. Faktor utama yang berkontribusi dalam terjadinya abses serebri pada pasien – pasien tersebut adalah hipoksia kronis yang berujung polisitemia, imunitas rendah, dan bypass dari fagosit paru, sedangkan faktor risiko utama pada stroke / cerebrovascular accident antara lain polisitemia, anemia, serta hipotensi dan dehidrasi berkepanjangan. Komplikasi neurologis lain, sesuai urutan tinggi angka kejadiannya, adalah 5 perdarahan intrakranial dan menigoensefalitis. Pada sebuah laporan kasus oleh Bhatnagar dkk. di Afrika pada tahun 2013 mempresentasikan seorang pasien anak laki – laki berusia 3 tahun dengan riwayat tetralogi Fallot memiliki gejala neurologis, yaitu kelemahan pada ekstremites serta episode kejang. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapati pasien mengalami lesi iskemik di otak. Bhatnagar dkk. menyimpulkan bahwa sianosis berkepanjangan menimbulkan polisitemia dan anemia, yang berujung pada tingginya risiko tromboemboli dan infark serebri. Polisitemia tidak hanya meningkatkan risiko kejadian tersebut, tetapi juga membuat tampilan trombosis vena serebral 18 pada CT scan. Pemeriksaan MRI juga diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. 2.11 Prognosis Progresivitas penyakit ini harus dipantau dengan ketat. Pada pasien tetralogi Fallot, apabila tidak dilakukan operasi, dapat terjadi salah satu atau lebih kemungkinan berikut: 1) pasien meninggal akibat serangan sianotik, 2) stenosis infundibular makin hebat, sehingga pasien makin sianotik, atau 3) terjadi abses otak atau komplikasi lain. 3 Secara alamiah, 50% pasien tetralogi Fallot yang tidak dikoreksi akan meninggal pada umur sekitar 5 tahun, 25% pada usia sekitar 10 tahun, dan hanya 11% saja yang bisa bertahan hidup sampai umur 25 tahun, 6% sampai umur 30 tahun, dan hanya 3% yang mencapai usia 16 40 tahun. Prognosis pasien yang lahir pada era saat ini diharapkan akan jauh lebih dengan adanya kemajuan teknologi dan penanganan medis dan operatif pada dekade – dekade terakhir. Dari seluruh pasien dengan malformasi kongenital pada jantung, penanganan pasien 19 Universitas Sumatera Utara tetralogi Fallot tidak berhenti pada saat setelah perbaikan penuh, tetapi berlanjut seumur hidup dengan pemantauan atau kontrol berkala dengan kardiolog yang ahli dengan penyakit jantung bawaan. 9 BAB 3 KESIMPULAN Tetralogi Fallot adalah malformasi jantung kongenital sianotik dengan komponen stenosis pulmonal, defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta yang menyebabkan pangkal aorta melewati septum ventrikel/ over-riding aorta, serta hipertrofi ventrikel kanan.Menifestasi klinis tetralogi Fallot mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh. Manifestasi klinis tetralogi Fallot mula – mula dapat mirip dengan defek septum ventrikel dengan pirau dari kiri ke kanan dengan stenosis pulmonal ringan, sehingga anak masih kemerahan.Tatalaksana terhadap pasien terdiri dari perawatan medis serta tindakan bedah.Prognosis pasien yang lahir pada era saat ini diharapkan akan jauh lebih dengan adanya kemajuan teknologi dan penanganan medis dan operatif pada dekade – dekade terakhir. Dari seluruh pasien dengan malformasi kongenital pada jantung, penanganan pasien tetralogi Fallot tidak berhenti pada saat setelah perbaikan penuh, tetapi berlanjut seumur hidup dengan pemantauan atau kontrol berkala dengan kardiolog yang ahli dengan penyakit jantung bawaan. 20 Universitas Sumatera Utara Daftar Pustaka 1. Rusepno H, Alatas H, editors. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika;2011.p:705-7 2. Djer M, Madiyono B. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri. 2000; 2(3):155-62. 3. Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro S, Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1994.p:240-251. 4. Rodriguez-Cruz E. Pulmonary Atresia with Ventricular Septal Defect. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/905119-overview# a0112. 5. Aftab S, Usman A, Sultan T. Frequency of Cerebrovascular Accidents and Brain Abcess in Children with Tetralogy of Fallot. Pakistan Journal of Neurological Sciences (PJNS). 2015 June 2;10(2);23-6. 6. Keane J, Lock J, Fyler D, Nadas A. Nadas' Pediatric Cardiology. Philadelphia: Saunders; 2006.p.559-76. 7. Yuniadi Y, Dony YH, Bambang BS. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UI. Buku Ajar Kardiovaskular. Jilid 2. Jakarta: Sagung Seto. 2017. p.537-40. 21 Universitas Sumatera Utara 8. Kleigman RM, et al. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. 2011. Philadelphia:Elsevier-Saunders. 9. Bailliard F, Anderson R. Tetralogy of Fallot. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2009 Jan 13;4(2):1-10. 10. Lilly, Leonard S. Pathopyshiology of Heart Disease: A CollaborativeProject of Medical Students and Faculty. 6th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2015. p:393-6. 11. Kothari SS. Mechanism of cyanotic spells in tetralogy of Fallot—the missing link?. International journal of cardiology. 1992 Oct 1;37(1):1-5. 12. Duro RP , Moura C, Leite-Moreira A. Anatomophysiologic basis of tetralogy of Fallot and its clinical implications. Revista portuguesa de cardiologia: orgao oficial da Sociedade Portuguesa de Cardiologia= Portuguese journal of cardiology: an official journal of the Portuguese Society of Cardiology. 2010 Apr;29(4):591-630. 13. Squatting in Fallot’s tetralogy. British Medical Journal. 1968;4(5629):470 14. O'Donnell TV, McIlroy MB. The circulatory effects of squatting. American heart journal. 1962 Sep 1;64(3):347-56. 15. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta: IDAI; 2008. 16. Rilantono, Lily I. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. hal.548- 554. 17. Fernandez MMG. Tetralogy of Fallot : From Fetus to Adult. 2010. Portugal: Faculdade de Midicina Universidade do Porto; 2010. 18. Bhatnagar S, Naware S, Kuber R, Thind SS. Pediatric stroke: Neurological sequelae in uncorrected tetralogy of fallot. Annals of medical and health sciences research. 2013;3(1a):27-30. 22 Universitas Sumatera Utara