Nama : Robiyanto Dwi Purnomo Nim : 2034021144 Kelas : 305 UAS Pendidikan Agama Islam 21 Januari 2021 1. Perhatikan ayat berikut ini! “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Berdasarkan Q.S. At-taubah ayat 103 di atas, berikan penjelasan dan contoh kasus yang berkaitan dengan skema islam dalam pemberdayaan ekonomi ummat! Jawab: Penjelasan Surah at-Taubah Ayat: 103 Penafsiran menurut Tafsir Ibnu Katsir Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya agar dia mengambil sedekah dari sebagian harta mereka untuk menyucikan dan membersihkan mereka. Ketentuan ini berlaku pula bagi orang yang mencampurkan amal shaleh denga amal buruk, walaupun ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak ikut berjihad karena malas. Mereka merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya. Jadi, setiap orang yang ada setelah mereka adalah seperti mereka juga dan hukum bagi mereka juga sama. Firman Allah Ta’ala, “Serta berdo’lah bagi mereka.” Yakni do’akanlah mereka dan mintakanlah ampun bagi mereka. Penafsiran ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata (517), “Apabila Nabi SAW., menerima sedekah dari suatu kaum, maka beliau mendoakan mereka. Ayahku pergi untuk menyampaikan sedekahnya. Maka beliau berdoa, “Ya Allah, semoga Engkau melimpahkan rahmat kepada keluarga Abi Aufa.” Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya doamu itu merupakan penyejuk hati bagi mereka.” Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Merupakan rahmat bagi mereka.” Firman Allah Ta’ala, “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Yakni, Maha Mendengar doa- doamu dan Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat doamu. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Hudzaifah, “Sesungguhnya doa Nabi saw. itu menjangkau seorang ayah, anaknya, dan cucunya”. Firman Allah Ta’ala, “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya Allah menerima tobat dari hamba–hamba-Nya, menerima sedekah.” Ayat ini mendorong manusia supaya bertobat dan bersedekah; kedua perbuatan ini dapat melebur dan menghapus dosa. Allah Ta’ala memberitahukan bahwa barang siapa yang bertobat kepada-Nya, maka Dia akan menerimanya. Barangsiapa yang bersedekah dari hasil usaha yang halal, maka Allah Ta’ala akan menerima sedekah itu dengan tangan kanan Nya, lalu Dia akan mengembang-biakkan sedekah itu bagi pemiliknya hingga buah buahan yang disedekahkannya itu menjadi sebesar gunung Uhud. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh ats-Tsauri dan Waki’i dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda (518), Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian mengembang- biakkan bagimu sebagaimana kamu mengembang-biakkan anak kuda sehingga sedekah Sesuap pun menjadi sebesar gunung Uhud.” Hal ini dibenarkan oleh firman Allah,“Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba- Nya, menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” Contoh kasus yang berkaitan dengan skema islam dalam pemberdayaan ekonomi ummat. BMT merupakan kependekan dari kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Maal wa Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM)yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi,yaitu: Baitut tamwil (rumah pengembangan harta), yang bertugas melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antera lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. Baitul maal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta mengoptmalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) atau disebut juga dengan “Koperasi Syariah”, merupakan lembaga keuangan syariah yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana kepada anggotanya dan biasanya beroperasi dalam skala mikro. BMT terdiri dari dua istilah, yaitu “baitulmaal” dan “baitultamwil” Baitulmaal merupakan istilah untuk organisasi yang berperan dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana non profit, seperti zakat, infak dan sedekah. Baitultamwil merupakan istilah untuk organisasi yang mengumpulkan dan menyalurkan dana komersial. dengan demikian BMT mempunyai peran ganda yaitu fungsi sosial dan fungsi komersial (Yaya, 2009: 22) BMT yang menjadi lembaga keuangan umat sudah ada pada masa Rasulullah saw (1-11 H/622-632 M). Ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar. Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal tersebut, yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” (QS. al Anfal (8): 1) Sementara itu di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ada kerinduan terhadap munculnya kembalilembaga keuangan pada awal Islam. Hal ini di samping semangat keberagamaan yang semakin meningkat, tetapi juga didorong dengan gagalnya lembaga –lembaga ekonomi yang ada dalam meningkatkan produktifitas dan kegiatan ekonomi yang ada pada era pasar bebas. Akhirnya, pada akhir Oktober 1995 di seluruh Indonesia telah berdiri lebih dari 300 Baitul Mal Wa Tamwil,10 yang dalam istilah Indonesia dinamakan dengan Balai Usaha Mandiri Terpadu (disingkat BMT), dan masing-masing BMT melayani 100–150 pengusaha kecil bawah. Secara konsepsi BMT adalah suatu lembaga keuangan yang di dalamnya mencakup dua jenis kegiatan sekaligus, yaitu: 1) Kegiatan mengumpulkan dana dari berbagai sumber seperti zakat, infaq dan sedekah, dan lain-lain yang dapat dibagikan/disalurkan kepada yang berhak dalam mengatasi kemiskinan. 2) Kegiatan produktif dalam rangka menciptakan nilai tambah baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari manusia. BMT direkayasa menjadi lembaga solidaritas sekaligus lembaga ekonomi rakyat kecil untuk bersaing di pasar bebas. BMT berupaya menjadi jawaban terhadap problematika keuangan dan kemiskinan. Isu kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomiumat adalah hal yang menjadi tujuan dimunculkannya BMT pada era modern ini. Ada banyak penghimpunan dan penyaluran dana yang secara teknis finansial dapat dikembangkan sebuah lembaga keuangan Islam termasuk BMT. Hal ini dimungkinkan karena sistem syariah memberi ruang yang cukup untuk itu. Namun dalam praktek, sebagian besar BMT masih membatasi diri dengan penerapan beberapa produk saja yang dianggap aman dan ”profitable”. Dalam memobilisasi dana, misalnya, BMT lebih menyukai produk bagi hasil (mudharabah) dengan pertimbangan tidak terlalu beresiko karena kapasitasnya sebagai mudarib, serta relatif mudahdalam penerapan. Tetapi sayangnya, bila harus menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada para nasabah, BMT lebih mengedepankan produk mudharabah dengan alasan, produk tersebut mampu memberi jaminan perolehan keuntungan dalam jumlah memadai berdasarkan kesepakatan kedua pihak pada saat perjanjian ditandatangani. Hanya saja dalam praktik, keadaan ini berjalan seringkali dengan mengingkari prinsip-prinsip mudharabah, seperti obyek barang yang tidak jelas keberadaannya maupun ukuranukurannya. Sebenarnya, seperti dijelaskan di atas terdapat banyak produk yang secara teknis finansial dapat dikembangkan BMT untuk dapat menjalankan usahanya, seperti menghimpun danawadih’ah, penghimpunan dan penyaluran dana mud}a>rabah,penghimpun dan penyaluran dana musharakah, serta penyalurandana murabahah. Adapun produk-produk lain seperti bai’ salam, ijarah, ijaah wa iqtina’, hiwalah, sarf, qard dan seterusnya, BMTbelum terbiasa menerapkannya. 2. Hak dan kewajiban asasi manusia pada hakikatnya berjalan beriringan. Berikan penjelasan anda mengenai hak dan kewajiban muslim sesuai dengan Q.S. An-nahl ayat 97 di bawah ini! “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Jawab. QS An Nahl ayat 97 bukan ayat kesetaraan gender. Perhatikan penafsiran yang benar terhadap QS Annahl ayat 97, Imam Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari ح menafsirkan ” ”ا َِِٰص َ ِلم ۡ َن Barangsiapa yang mengerjakan amal karena ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memenuhi janjiNya kepada orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Allah benar benar akan memberi balasan kepada orang yang mengerjakan ketaaatan atas ketaannya. Amal shalih adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, menunaikan semua kewajibannya baik yang sama antara laki-laki dan perempuan semisal shalat, shaum, puasa, haji, berdakwa dan mendidik putra putrinya. Begitu pula kewajiban yang yang berbeda laki-laki dan perempuan misalnya perempuan diharamkan untuk menjadi Khalifah (Pemimpin negara), Muawin (Pembantu Khalifah, Wali (Gubernur); Suami sebagai pemimpin rumah tangga yang mempunyai kewajiban memimpin, memberi nafkah, mendidik dan melindungi keluarga. Dan isteri sebagai ibu, pengatur rumah yang mempunyai kewajiban mengurus rumah, mengasuh/mendidik anak-anaknya. Senada dengan Imam Ath Thabari, Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir حBarangsiapa yang mengerjakan amal menafsirkan QS Annahl ayat 97: ” ”ا َِِٰص َ ِلم ۡ َن shalih yaitu amal yang mengikuti Alquran dan Hadis. Dan dia adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya baik laki-laki maupun perempuan. Sungguh amal shalih ini adalah amal yang sesuai yang diperintahkan dan disyariatkan oleh Allah. Dengan demikian jelas mencakup semua amal yang sesuai yang diperintahkan dan disyariatkan oleh Allah. Syariat Islam ini baik yang sama laki-laki dan perempuan, maupun yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya Ibnu Abbas dalam Tanwir Miqbas dan Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menafsirkan sama tentang “َ ”ً ِحبِّيَ ًحصيَ ُِنََِٰ ِحح َنلmaka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” berupa ketaatan dan qonaah dalam kehidupan di dunia dan kehidupan yang baik di Surga. Artinya baik laki-laki maupun perempuan akan dibalas oleh Allah dengan menjadikannya sebagai orang-orang yang taat terhadap hukum-hukum Alloh. Tentu saja baik hukum yang sama antara laki-laki dan perempuan, maupun hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Disamping itu Alloh juga menjadikannya sifat qonaah, yaitu menerima apa adanya rizki yang halal dari Allah, ridlo terhadap qodlo Nya dan bersyukur terhadap pemberian Nya, termasuk ketetapan Allah bahwa dia dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Ajaran Islam membangun relasi laki-laki dan perempuan itu saling bekerjasama, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa untuk meraih kemuliaan hidup, bukan untuk bersaing diantara mereka. Demikianlah Peraturan Islam baik yang sama antara laki-laki dan perempuan, maupun yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tujuannya adalah agar mampu memenuhi kebutuhan manusia dan mampu menyelesaikan permasalan manusia secara tuntas, tanpa menimbulkan masalah yang lain. Hal ini karena aturan yang diciptakan sesuai dengan kebutuhan manusia, fitroh dan kodrat manusia. (Taqiyuddin al Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1993). Dari sinilah akan muncul kepuasan akal, ketenteraman hati dan ketenangan jiwa. Inilah peraturan yang mampu mengantarkan kerjasama, tolong menolong laki-laki dan perempuan dalam kebaikan dan taqwa, untuk menggapai kejayaan Islam dan kaum muslimin. 3. Di bawah ini merupakan salah satu ayat yang berkaitan dengan pranata sosial dalam islam. Berikan pandangan dan pendapatmu mengenai Q.S. An-nisa ayat 3 berikut ini! “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat, agar kamu tidak berbuat zalim.” Jawab. Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M), ayat ke-3 tentang pernikahan ini adalah hukum kedua yang dijelaskan Allah dalam Surat An-Nisa’, setelah sebelumnya dijelaskan hukum yang pertama dalam ayat ke-2 yang berkaitan dengan hukum harta anak yatim. Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memahami konteks ayat, “Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil dalam (menikahi) anakanak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai…” Pertama, menurut Sayyidah Aisyah RA konteks ayat ini adalah anak yatim perempuan yang berada dalam perawatan walinya, lalu si wali tertarik kecantikan dan harta anak tersebut sehingga ingin menikahinya dengan mahar paling murah. Kemudian bila berhasil menikahinya, si wali akan memperlakukannya dengan perlakuan yang buruk karena tidak akan ada orang yang membelanya. Dalam konteks seperti itulah pada ayat ini Allah menegaskan, “Bila kalian khawatir akan berperilaku zalim terhadap anak-anak yatim perempuan saat menikahinya, maka nikahilah perempuan selain mereka yang kalian sukai.” Sederhananya, bila orang khawatir tidak berbuat adil terhadap anak-anak yatim perempuan yang dirawatnya, maka jangan nikahi mereka, akan tetapi nikahi wanita yang lain. Kedua, menurut sebagian ulama, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas RA dalam riwayat Ali bin Abi Thalhah Al-Walibi (wafat 143 H), ketika turun ayat ke-2 Surat AnNisa’ tentang anak yatim dan dosa besar memakan hartanya, maka para wali yatim saat itu takut melakukan dosa tersebut, karena tidak mampu berbuat adil dalam memenuhi hak-hak anak yatim yang dirawat mereka. Padahal, di sisi lain saat itu di antara mereka juga ada laki-laki yang beristri banyak dan membutuhkan biaya nafkah yang tidak sedikit. Sementara mereka tidak mampu memenuhi hak-hak istri mereka. Padahal, di sisi lain saat itu di antara mereka juga ada laki-laki yang beristri banyak dan membutuhkan biaya nafkah yang tidak sedikit. Sementara mereka tidak mampu memenuhi hak-hak istri mereka. Dalam kondisi seperti inilah kemudian dikatakan kepada mereka, “Bila kalian takut tidak dapat berbuat adil dalam memenuhi hak-hak anak yatim dan merasa berat hati karenanya, semestinya kalian juga takut atas ketidakadilan kalian terhadap para istri.” Lalu mereka berkata, “Sebutkan jumlah istri karena orang yang merasa dosa atau bertobat darinya tapi masih melakukan dosa semisalnya, maka seolah-olah sebenarnya ia tidak merasa dosa.” Sederhananya, bila orang khawatir berdosa karena tidak mampu berbuat adil kepada anak-anak yatim, semestinya mereka juga khawatir berdosa karena tidak mampu berbuat adil terhadap para istri. Ketiga, menurut sebagian ulama lainnya, konteks ayat ini adalah para lelaki merasa berat dengan urusan perwalian anak yatim. Dalam kondisi seperti itu lalu dikatakan kepada mereka, “Jika kalian takut tidak dapat memenuhi hak anak-anak yatim, semestinya kalian juga takut terhadap perbuatan zina, karenanya nikahilah wanitawanita yang halal dan hati-hati berada di sekitar wanita yang diharamkan.” Keempat, menurut Ikrimah RA (24 sebelum Hijriyah 13 H/598-634 M), konteks ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang mempunyai istri banyak dan anak yatim yang juga banyak. Ketika ia menafkahkan hartanya untuk para istrinya, hartanya habis dan menjadi orang yang kurang harta, maka ia akan akan mampu memenuhi hak nafkah anak yatim yang dirawatnya. Dalam konteks seperti ini Allah memberi peringatan agar laki-laki tidak beristri lebih dari empat (4). Bila masih khawatir tidak mampu memenuhi hak nafkah mereka maka hendaknya beristri, tiga (3), dua (2) atau satu (1) saja. Menurut Ar-Razi, pendapat keempat inilah yang paling mendekati kebenaran. Konteks ayat ini adalah peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak terlalu beristri banyak. Karena bisa jadi ia justru akan berbuat zalim dengan mengambil harta anak yatim yang dirawatnya untuk memenuhi kebutuhan para istrinya. (Ar-Razi, Tafsir AlFakhr Ar-Razi, juz IX, halaman 177-178). 4. “Untukmu agamamu, dan untukku-lah agamaku”. (Q.S. Al-kafirun:6) Bagaimana islam memandang toleransi dalam masyarakat multikultural berdasarkan ayat di atas? Berikan pendapat anda dan sertakan contoh kasus dalam kehidupanbermasyarakat! Jawab Toleransi dalam agama Islam disebut juga dengan tasamuh. “Sikap tasamuh/toleransi adalah sikap saling menghormati perbedaan yang ada apakah dalam hal kepercayaan akidah, atau juga ritual peribadatan serta perbedaan pandangan dan pendapat yang berbeda, terlebih cerminan umat yang terbentuk sebelum Islam bukan saja terdiri dari kaum muslimin, tetapi juga ada mereka yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani.”… “Toleransi sosial keagamaan dapat dilakukan melalui‟ dialog antar umat beragama. Dialog berarti „kami berbicara kepada Anda‟ atau „kami berbicara dengan Anda‟ yang kemudian berlanjut menjadi „kita semua‟ berbicara sesama kita membicarakan masalah kita bersama.” “Sikap toleransi sosial keagamaan menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Interaksi b. Rasa persaudaraan c. Bentuk kepedulian d. Kerjasama e. Kerukunan f. Kedamaian g. Terbuka h. Menerima keindahan dari perbedaan i. Penghargaan timbal balik j. Pemahaman timbal balik k. Rasa cinta dan kasih saying l. Perhatian m. Menghargai kebaikan dari orang lain n. Menghargai situasi-situasi dari orang lain.” Suatu masyarakat akan disebut masyarakat multikultural apabiladalam suatu masyarakat hidup dua atau lebih kultural dan mereka saling menghormati, menghargai, dan toleran. Multikultural merupakan kehadiran atau keberadaan dua realitas budaya atau kultural yang ada dalam suatu masyarakat yang saling berinteraksi,saling berdampingan, saling menghormati, saling toleransi, dan kedua budaya atau lebih tersebut mengakui adanya toleransi, kesetaraan, dan persamaan diantara mereka (Taufik, 20014: 14) 5. Adat istiadat merupakan kebudayaan yang melekat dalam suatu masyarakat secara turun temurun. Bagaimana islam memandang adat istiadat/kebudayaan berdasarkan ayat dibawah ini? “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36) Jawab Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini memberi tuntunan bahwa dilarang mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang hal itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Bahkan al-Qatadah menegaskan, janganlah seseorang mengatakan mendengar padahal ia belum mendengarnya, jangan menyatakan melihat padahal ia sendiri belum melihatnya dan jangan pula menyatakan mengetahui sesuatu padahal ia sendiri belum mengetahuinya. Karena itulah Rasulullah Saw. “meminta umatnya untuk menjauhi sikap menduga-duga (dzan) atau berprasangka karena hal itu termasuk perbuatan dosa”. Dari satu sisi tuntunan ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, sangka buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-alat untuk meraih pengetahuan. (QS.An-Nahl : 78) Sayyid Qutub berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang sedemikain singkat telah menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati dan akal. Bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan pengawasan Allah SWT. Tambahan dan penekanan ini merupakan keistimewaan Islam dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini. Pintu-pintu atau media untuk sampainya ilmu adalah melalui al-sam’u (pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fu’adu (perenungan-pemikiran). Ketiganya harus diintegrasikan dengan baik untuk memaksimalkan pendidikan intelektual seseorang. Karena itu, perlu dipahami bahwa yang dilihat di sini adalah fungsinya, potensinya, bukan alatnya. Ada orang yang punya mata tapi tidak melihat, punya telinga tapi tidak mendengar. Punya hati tapi tidak merenungkan. Bendanya: uzunun, ‘ainun, qalbun (QS. Al-A’raf: 179). Al-Qur’an mengajarkan manusia agar bersikap kritis, dengan cara menggunakan pendengaran, penglihatan dan akal pikiran. Karena itu, ajaran Islam melarang orang bertaqlid dalam agama, yaitu mengikuti saja tanpa mengetahui dalil atau sumber rujukannya. Sikap taqlid sama dengan meniadakan adanya potensi akal yang Allah Swt berikan kepadanya. Ayat ini sangat relevan dalam konteks pembelajaran aktif (active learning) yang berusaha memaksimalkan potensi generik inderawi tersebut untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu.