Uploaded by robismalix59

Robiyanto Dwi Purnomo 2034021144 Ruang 305 UAS PAI

advertisement
Nama : Robiyanto Dwi Purnomo
Nim
: 2034021144
Kelas : 305
UAS Pendidikan Agama Islam
21 Januari 2021
1. Perhatikan ayat berikut ini!
“Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Berdasarkan Q.S. At-taubah ayat 103 di atas, berikan penjelasan dan contoh kasus yang
berkaitan dengan skema islam dalam pemberdayaan ekonomi ummat!
Jawab:
Penjelasan Surah at-Taubah Ayat: 103
Penafsiran menurut Tafsir Ibnu Katsir
Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya agar dia mengambil sedekah dari
sebagian harta mereka untuk menyucikan dan membersihkan mereka. Ketentuan ini
berlaku pula bagi orang yang mencampurkan amal shaleh denga amal buruk, walaupun
ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak ikut berjihad karena
malas. Mereka merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya.
Jadi, setiap orang yang ada setelah mereka adalah seperti mereka juga dan hukum bagi
mereka juga sama.
Firman Allah Ta’ala, “Serta berdo’lah bagi mereka.” Yakni do’akanlah mereka
dan mintakanlah ampun bagi mereka. Penafsiran ini sejalan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata
(517), “Apabila Nabi SAW., menerima sedekah dari suatu kaum, maka beliau
mendoakan mereka. Ayahku pergi untuk menyampaikan sedekahnya. Maka beliau
berdoa, “Ya Allah, semoga Engkau melimpahkan rahmat kepada keluarga Abi Aufa.”
Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya doamu itu merupakan penyejuk hati bagi
mereka.” Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Merupakan rahmat bagi mereka.”
Firman Allah Ta’ala, “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Yakni,
Maha Mendengar doa- doamu dan Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat
doamu. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Hudzaifah, “Sesungguhnya doa Nabi
saw. itu menjangkau seorang ayah, anaknya, dan cucunya”.
Firman Allah Ta’ala, “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya Allah
menerima tobat dari hamba–hamba-Nya, menerima sedekah.” Ayat ini mendorong
manusia supaya bertobat dan bersedekah; kedua perbuatan ini dapat melebur dan
menghapus dosa. Allah Ta’ala memberitahukan bahwa barang siapa yang bertobat
kepada-Nya, maka Dia akan menerimanya. Barangsiapa yang bersedekah dari hasil
usaha yang halal, maka Allah Ta’ala akan menerima sedekah itu dengan tangan kanan
Nya, lalu Dia akan mengembang-biakkan sedekah itu bagi pemiliknya hingga buah
buahan yang disedekahkannya itu menjadi sebesar gunung Uhud. Hal ini sebagaimana
yang diriwayatkan oleh ats-Tsauri dan Waki’i dari Abu Hurairah, dia berkata:
Rasulullah saw. bersabda (518), Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan
mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian mengembang- biakkan bagimu
sebagaimana kamu mengembang-biakkan anak kuda sehingga sedekah Sesuap pun
menjadi sebesar gunung Uhud.” Hal ini dibenarkan oleh firman Allah,“Tidakkah
mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba- Nya,
menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang.”
Contoh kasus yang berkaitan dengan skema islam dalam pemberdayaan ekonomi
ummat.
BMT merupakan kependekan dari kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul
Maal wa Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM)yang beroperasi berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi,yaitu:

Baitut tamwil (rumah pengembangan harta), yang bertugas melakukan kegiatan
pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antera lain mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.

Baitul maal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta
mengoptmalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) atau disebut juga dengan “Koperasi Syariah”,
merupakan lembaga keuangan syariah yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan
dana kepada anggotanya dan biasanya beroperasi dalam skala mikro. BMT terdiri dari
dua istilah, yaitu “baitulmaal” dan “baitultamwil” Baitulmaal merupakan istilah untuk
organisasi yang berperan dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana non profit,
seperti zakat, infak dan sedekah. Baitultamwil merupakan istilah untuk organisasi yang
mengumpulkan dan menyalurkan dana komersial. dengan demikian BMT mempunyai
peran ganda yaitu fungsi sosial dan fungsi komersial (Yaya, 2009: 22)
BMT yang menjadi lembaga keuangan umat sudah ada pada masa Rasulullah saw
(1-11 H/622-632 M). Ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan
perang) pada Perang Badar. Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara
pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal
tersebut, yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
(pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang itu adalah
milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah
hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kalian
benar-benar orang-orang yang beriman.” (QS. al Anfal (8): 1)
Sementara itu di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ada
kerinduan terhadap munculnya kembalilembaga keuangan pada awal Islam. Hal ini di
samping semangat keberagamaan yang semakin meningkat, tetapi juga didorong
dengan gagalnya lembaga –lembaga ekonomi yang ada dalam meningkatkan
produktifitas dan kegiatan ekonomi yang ada pada era pasar bebas.
Akhirnya, pada akhir Oktober 1995 di seluruh Indonesia telah berdiri lebih dari 300
Baitul Mal Wa Tamwil,10 yang dalam istilah Indonesia dinamakan dengan Balai Usaha
Mandiri Terpadu (disingkat BMT), dan masing-masing BMT melayani 100–150
pengusaha kecil bawah. Secara konsepsi BMT adalah suatu lembaga keuangan yang di
dalamnya mencakup dua jenis kegiatan sekaligus, yaitu:
1) Kegiatan mengumpulkan dana dari berbagai sumber seperti
zakat, infaq dan sedekah, dan lain-lain yang dapat dibagikan/disalurkan kepada
yang berhak dalam mengatasi kemiskinan.
2) Kegiatan produktif dalam rangka menciptakan nilai tambah
baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari manusia.
BMT direkayasa menjadi lembaga solidaritas sekaligus lembaga ekonomi
rakyat kecil untuk bersaing di pasar bebas.
BMT berupaya menjadi jawaban terhadap problematika keuangan dan kemiskinan.
Isu kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomiumat adalah hal yang menjadi tujuan
dimunculkannya BMT pada era modern ini.
Ada banyak penghimpunan dan penyaluran dana yang secara teknis finansial dapat
dikembangkan sebuah lembaga keuangan Islam termasuk BMT. Hal ini dimungkinkan
karena sistem syariah memberi ruang yang cukup untuk itu. Namun dalam praktek,
sebagian besar BMT masih membatasi diri dengan penerapan beberapa produk saja
yang dianggap aman dan ”profitable”.
Dalam memobilisasi dana, misalnya, BMT lebih menyukai produk bagi hasil
(mudharabah) dengan pertimbangan tidak terlalu beresiko karena kapasitasnya sebagai
mudarib, serta relatif mudahdalam penerapan. Tetapi sayangnya, bila harus
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas
pembiayaan kepada para nasabah, BMT lebih mengedepankan produk mudharabah
dengan alasan, produk tersebut mampu memberi jaminan perolehan keuntungan dalam
jumlah memadai berdasarkan kesepakatan kedua pihak pada saat perjanjian
ditandatangani. Hanya saja dalam praktik, keadaan ini berjalan seringkali dengan
mengingkari prinsip-prinsip mudharabah, seperti obyek barang yang tidak jelas
keberadaannya maupun ukuranukurannya.
Sebenarnya, seperti dijelaskan di atas terdapat banyak produk yang secara teknis
finansial dapat dikembangkan BMT untuk dapat menjalankan usahanya, seperti
menghimpun
danawadih’ah,
penghimpunan
dan
penyaluran
dana
mud}a>rabah,penghimpun dan penyaluran dana musharakah, serta penyalurandana
murabahah. Adapun produk-produk lain seperti bai’ salam, ijarah, ijaah wa iqtina’,
hiwalah, sarf, qard dan seterusnya, BMTbelum terbiasa menerapkannya.
2. Hak dan kewajiban asasi manusia pada hakikatnya berjalan beriringan. Berikan
penjelasan anda mengenai hak dan kewajiban muslim sesuai dengan Q.S. An-nahl ayat
97 di bawah ini!
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Jawab.
QS An Nahl ayat 97 bukan ayat kesetaraan gender. Perhatikan penafsiran yang
benar terhadap QS Annahl ayat 97, Imam Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari
‫ح‬
menafsirkan ” ‫”ا َِِٰص َ ِلم ۡ َن‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal karena ketaatan
kepada Allah, maka Allah akan memenuhi janjiNya kepada orang-orang yang beriman
baik laki-laki maupun perempuan. Allah benar benar akan memberi balasan kepada
orang yang mengerjakan ketaaatan atas ketaannya. Amal shalih adalah melaksanakan
semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, menunaikan semua
kewajibannya baik yang sama antara laki-laki dan perempuan semisal shalat, shaum,
puasa, haji, berdakwa dan mendidik putra putrinya. Begitu pula kewajiban yang yang
berbeda laki-laki dan perempuan misalnya perempuan diharamkan untuk menjadi
Khalifah (Pemimpin negara), Muawin (Pembantu Khalifah, Wali (Gubernur); Suami
sebagai pemimpin rumah tangga yang mempunyai kewajiban memimpin, memberi
nafkah, mendidik dan melindungi keluarga. Dan isteri sebagai ibu, pengatur rumah
yang mempunyai kewajiban mengurus rumah, mengasuh/mendidik anak-anaknya.
Senada dengan Imam Ath Thabari, Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir
‫ ح‬Barangsiapa yang mengerjakan amal
menafsirkan QS Annahl ayat 97: ” ‫”ا َِِٰص َ ِلم ۡ َن‬
shalih yaitu amal yang mengikuti Alquran dan Hadis. Dan dia adalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya baik laki-laki maupun
perempuan.
Sungguh amal shalih ini adalah amal yang sesuai yang diperintahkan dan disyariatkan
oleh Allah. Dengan demikian jelas mencakup semua amal yang sesuai yang
diperintahkan dan disyariatkan oleh Allah. Syariat Islam ini baik yang sama laki-laki
dan perempuan, maupun yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya Ibnu Abbas dalam Tanwir Miqbas dan Imam Jalaludin dalam
Tafsir Jalalain menafsirkan sama tentang “َ‫ ”ً ِحبِّيَ ًحصيَ ُِنََِٰ ِحح َنل‬maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” berupa ketaatan dan qonaah dalam
kehidupan di dunia dan kehidupan yang baik di Surga. Artinya baik laki-laki maupun
perempuan akan dibalas oleh Allah dengan menjadikannya sebagai orang-orang yang
taat terhadap hukum-hukum Alloh. Tentu saja baik hukum yang sama antara laki-laki
dan perempuan, maupun hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Disamping itu Alloh juga menjadikannya sifat qonaah, yaitu menerima apa adanya
rizki yang halal dari Allah, ridlo terhadap qodlo Nya
dan
bersyukur terhadap
pemberian Nya, termasuk ketetapan Allah bahwa dia dilahirkan sebagai laki-laki atau
perempuan. Ajaran Islam membangun relasi laki-laki dan perempuan itu saling
bekerjasama, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa untuk meraih
kemuliaan hidup, bukan untuk bersaing diantara mereka.
Demikianlah Peraturan Islam baik yang sama antara laki-laki dan perempuan,
maupun yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tujuannya adalah agar mampu
memenuhi kebutuhan manusia dan mampu menyelesaikan permasalan manusia secara
tuntas, tanpa menimbulkan masalah yang lain. Hal ini karena aturan yang diciptakan
sesuai dengan kebutuhan manusia, fitroh dan kodrat manusia. (Taqiyuddin al Nabhani,
Peraturan Hidup dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1993).
Dari sinilah akan muncul kepuasan akal, ketenteraman hati dan ketenangan jiwa.
Inilah peraturan yang mampu mengantarkan kerjasama, tolong menolong laki-laki dan
perempuan dalam kebaikan dan taqwa, untuk menggapai kejayaan Islam dan kaum
muslimin.
3. Di bawah ini merupakan salah satu ayat yang berkaitan dengan pranata sosial dalam
islam. Berikan pandangan dan pendapatmu mengenai Q.S. An-nisa ayat 3 berikut ini!
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat, agar kamu tidak berbuat zalim.”
Jawab.
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M), ayat ke-3 tentang
pernikahan ini adalah hukum kedua yang dijelaskan Allah dalam Surat An-Nisa’,
setelah sebelumnya dijelaskan hukum yang pertama dalam ayat ke-2 yang berkaitan
dengan hukum harta anak yatim. Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memahami
konteks ayat, “Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil dalam (menikahi) anakanak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian
sukai…”
Pertama, menurut Sayyidah Aisyah RA konteks ayat ini adalah anak yatim
perempuan yang berada dalam perawatan walinya, lalu si wali tertarik kecantikan dan
harta anak tersebut sehingga ingin menikahinya dengan mahar paling murah.
Kemudian bila berhasil menikahinya, si wali akan memperlakukannya dengan
perlakuan yang buruk karena tidak akan ada orang yang membelanya.
Dalam konteks seperti itulah pada ayat ini Allah menegaskan, “Bila kalian khawatir
akan berperilaku zalim terhadap anak-anak yatim perempuan saat menikahinya, maka
nikahilah perempuan selain mereka yang kalian sukai.” Sederhananya, bila orang
khawatir tidak berbuat adil terhadap anak-anak yatim perempuan yang dirawatnya,
maka jangan nikahi mereka, akan tetapi nikahi wanita yang lain.
Kedua, menurut sebagian ulama, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas RA dalam
riwayat Ali bin Abi Thalhah Al-Walibi (wafat 143 H), ketika turun ayat ke-2 Surat AnNisa’ tentang anak yatim dan dosa besar memakan hartanya, maka para wali yatim saat
itu takut melakukan dosa tersebut, karena tidak mampu berbuat adil dalam memenuhi
hak-hak anak yatim yang dirawat mereka. Padahal, di sisi lain saat itu di antara mereka
juga ada laki-laki yang beristri banyak dan membutuhkan biaya nafkah yang tidak
sedikit. Sementara mereka tidak mampu memenuhi hak-hak istri mereka. Padahal, di
sisi lain saat itu di antara mereka juga ada laki-laki yang beristri banyak dan
membutuhkan biaya nafkah yang tidak sedikit. Sementara mereka tidak mampu
memenuhi hak-hak istri mereka.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian dikatakan kepada mereka, “Bila kalian takut
tidak dapat berbuat adil dalam memenuhi hak-hak anak yatim dan merasa berat hati
karenanya, semestinya kalian juga takut atas ketidakadilan kalian terhadap para istri.”
Lalu mereka berkata, “Sebutkan jumlah istri karena orang yang merasa dosa atau
bertobat darinya tapi masih melakukan dosa semisalnya, maka seolah-olah sebenarnya
ia tidak merasa dosa.” Sederhananya, bila orang khawatir berdosa karena tidak mampu
berbuat adil kepada anak-anak yatim, semestinya mereka juga khawatir berdosa karena
tidak mampu berbuat adil terhadap para istri.
Ketiga, menurut sebagian ulama lainnya, konteks ayat ini adalah para lelaki merasa
berat dengan urusan perwalian anak yatim. Dalam kondisi seperti itu lalu dikatakan
kepada mereka, “Jika kalian takut tidak dapat memenuhi hak anak-anak yatim,
semestinya kalian juga takut terhadap perbuatan zina, karenanya nikahilah wanitawanita yang halal dan hati-hati berada di sekitar wanita yang diharamkan.”
Keempat, menurut Ikrimah RA (24 sebelum Hijriyah 13 H/598-634 M), konteks
ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang mempunyai istri banyak dan anak
yatim yang juga banyak. Ketika ia menafkahkan hartanya untuk para istrinya, hartanya
habis dan menjadi orang yang kurang harta, maka ia akan akan mampu memenuhi hak
nafkah anak yatim yang dirawatnya.
Dalam konteks seperti ini Allah memberi peringatan agar laki-laki tidak beristri
lebih dari empat (4). Bila masih khawatir tidak mampu memenuhi hak nafkah mereka
maka hendaknya beristri, tiga (3), dua (2) atau satu (1) saja.
Menurut Ar-Razi, pendapat keempat inilah yang paling mendekati kebenaran.
Konteks ayat ini adalah peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak terlalu beristri
banyak. Karena bisa jadi ia justru akan berbuat zalim dengan mengambil harta anak
yatim yang dirawatnya untuk memenuhi kebutuhan para istrinya. (Ar-Razi, Tafsir AlFakhr Ar-Razi, juz IX, halaman 177-178).
4. “Untukmu agamamu, dan untukku-lah agamaku”. (Q.S. Al-kafirun:6)
Bagaimana islam memandang toleransi dalam masyarakat multikultural berdasarkan
ayat di atas? Berikan pendapat anda dan sertakan contoh kasus dalam
kehidupanbermasyarakat!
Jawab
Toleransi
dalam
agama
Islam
disebut
juga
dengan
tasamuh.
“Sikap
tasamuh/toleransi adalah sikap saling menghormati perbedaan yang ada apakah dalam
hal kepercayaan akidah, atau juga ritual peribadatan serta perbedaan pandangan dan
pendapat yang berbeda, terlebih cerminan umat yang terbentuk sebelum Islam bukan
saja terdiri dari kaum muslimin, tetapi juga ada mereka yang memeluk agama Yahudi
dan Nasrani.”… “Toleransi sosial keagamaan dapat dilakukan melalui‟ dialog antar
umat beragama. Dialog berarti „kami berbicara kepada Anda‟ atau „kami berbicara
dengan Anda‟ yang kemudian berlanjut menjadi „kita semua‟ berbicara sesama kita
membicarakan masalah kita bersama.”
“Sikap toleransi sosial keagamaan menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Interaksi
b. Rasa persaudaraan
c. Bentuk kepedulian
d. Kerjasama
e. Kerukunan
f. Kedamaian
g. Terbuka
h. Menerima keindahan dari perbedaan
i. Penghargaan timbal balik
j. Pemahaman timbal balik
k. Rasa cinta dan kasih saying
l. Perhatian
m. Menghargai kebaikan dari orang lain
n. Menghargai situasi-situasi dari orang lain.”
Suatu masyarakat akan disebut masyarakat multikultural apabiladalam
suatu masyarakat hidup dua atau lebih kultural dan mereka saling menghormati,
menghargai, dan toleran. Multikultural merupakan kehadiran atau keberadaan dua
realitas budaya atau kultural yang ada dalam suatu masyarakat yang saling
berinteraksi,saling berdampingan, saling menghormati, saling toleransi, dan kedua
budaya atau lebih tersebut mengakui adanya toleransi, kesetaraan, dan persamaan
diantara mereka (Taufik, 20014: 14)
5. Adat istiadat merupakan kebudayaan yang melekat dalam suatu masyarakat secara
turun temurun. Bagaimana islam memandang adat istiadat/kebudayaan berdasarkan
ayat dibawah ini?
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Jawab
Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini memberi tuntunan bahwa
dilarang mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang hal itu, baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Bahkan al-Qatadah menegaskan, janganlah seseorang
mengatakan mendengar padahal ia belum mendengarnya, jangan menyatakan melihat
padahal ia sendiri belum melihatnya dan jangan pula menyatakan mengetahui sesuatu
padahal ia sendiri belum mengetahuinya. Karena itulah Rasulullah Saw. “meminta
umatnya untuk menjauhi sikap menduga-duga (dzan) atau berprasangka karena hal itu
termasuk perbuatan dosa”.
Dari satu sisi tuntunan ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti
tuduhan, sangka buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi
tuntunan untuk menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-alat
untuk meraih pengetahuan. (QS.An-Nahl : 78)
Sayyid Qutub berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang
sedemikain singkat telah menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati dan akal.
Bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan
pengawasan Allah SWT. Tambahan dan penekanan ini merupakan keistimewaan Islam
dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini.
Pintu-pintu atau media untuk sampainya ilmu adalah melalui al-sam’u
(pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fu’adu (perenungan-pemikiran).
Ketiganya harus diintegrasikan dengan baik untuk memaksimalkan pendidikan
intelektual seseorang. Karena itu, perlu dipahami bahwa yang dilihat di sini adalah
fungsinya, potensinya, bukan alatnya. Ada orang yang punya mata tapi tidak melihat,
punya telinga tapi tidak mendengar. Punya hati tapi tidak merenungkan. Bendanya:
uzunun, ‘ainun, qalbun (QS. Al-A’raf: 179).
Al-Qur’an mengajarkan manusia agar bersikap kritis, dengan cara menggunakan
pendengaran, penglihatan dan akal pikiran. Karena itu, ajaran Islam melarang orang
bertaqlid dalam agama, yaitu mengikuti saja tanpa mengetahui dalil atau sumber
rujukannya. Sikap taqlid sama dengan meniadakan adanya potensi akal yang Allah Swt
berikan kepadanya. Ayat ini sangat relevan dalam konteks pembelajaran aktif (active
learning) yang berusaha memaksimalkan potensi generik inderawi tersebut untuk
memperoleh dan mengembangkan ilmu.
Download