BAB 1 LATAR BELAKANG Pada masa pandemi Covid-19 yang telah melanda hampir seluruh dunia yang tidak terkecuali di Indonesia sendiri sangatlah berpengaruh pada beberapa aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, dan lain-lain. Tidak terkecuali peredaran narkotika di Indonesia. Ditengah terjadinya krisis ekonomi, banyak orang-orang kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian dan lain-lain, peredaran narkotika justru meningkat pada masa pandemi Covid-19 ini Narkotika, Psikotoprika, dan Zat Adiktif atau yang lebih sering disingkat menjadi NAPZA sudah tidak asing lagi di jaman ini. Narkoba sudah bukan hal yang asing bagi telinga masyarakat, begitu pula dengan kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA itu sendiri. Kasus penyalahgunaan NAPZA sudah bukan hal yang mengejutkan bagi masyarakat. Badan Narkotika Nasional menyebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan NAPZA pada periode 2017 hingga 2019 mengalami kenaikan sebesar 0,03 persen. Kenaikan ini dipicu karenna adanya penyalahgunaan narkotika jenis baru. Namun demikian, BNN menjelaskan bahwa angka prevalensi NAPZA mulai tahun 2011 sampai 2019 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2011 prevalensi terhadap NAPZA berada pada angka 2,23 persen kemudian pada tahun 2014 turun menjadi 2,18 persen (Emrald Alamsyah, 2019). Lalu pada tahun 2017 turun menjadi 1,77 persen, dan barulah pada tahun 2019 mengalami sedikit peningkatan menjadi 1,80 persen. Permasalahan mengenai NAPZA memang masih menjadi suatu hal yang bersifat kompleks. Mengingat urgensinya yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa jika penggunaanya tidak bijak dan dibiarkan dapat merugikan dan sangat membawa dampak yang buruk bagi orang yang menjadi korbannya. Bukan hanya membawa dampak buruk bagi orang yang menjadi korbannya saja, penyalahgunaan NAPZA ini juga dapat mengancam pihak-pihak yang ada disekitarnya. Ditambah, persebaran NAPZA ini sendiri cukup sulit dikontrol. Para pengedar dan pemakai seperti tidak mengenal keadaan dan situasi, seperti contohnya pada saat ini. Pada masa pandemi covid-19. Peredaran NAPZA di tengah pandemi Covid-19 ini menjadi semakin serius. Mengingat tidak hanya satu masalah saja yang sedang dihadapi, melainkan dua masalah sekaligus. Peredaran NAPZA yang masih berjalan dan Pandemi Covid-19. Pemakaian NAPZA pada masa pandemi seperti saat ini akan lebih membahayakan dua kali lipat daripada kondisi normal. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NAPZA a. Definisi NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Clinical Psychiatry . Introduction and Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry fourth edition. Wolters Kluwer;2017 b. Penggolongan NAPZA Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan : 1) Golongan Depresan (Downer) Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakainya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain. 2) Golongan Stimulan(Upper) Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain. 3) Golongan Halusinogen Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Clinical Psychiatry . Introduction and Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry fourth edition. Wolters Kluwer;2017 c. Penyalahgunaan dan ketergantungan Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V), yang disebut gangguan akibat zat psikoaktif dan sindrom ketergantungan mencakup dua kategori, yakni gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif dan gangguan akibat zat psikoaktif. Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik 1) Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial. 2) Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”. Kedua istilah diatas memiliki perbedaan yang bermakna. Pada gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif menunjukkan reaksi negatif atas penggunaan yang sering dan bersifat terus menerus dari zat tersebut. Kondisi ini tidak menunjukkan efek secara langsung melainkan terjadi secara bertahap bersamaan dengan proses ketergantungan. Sedangkan gangguan akibat zat psikoaktif mengacu pada efek langsung dari penggunaan zat, atau disebut intoksikasi, dan efek langsung dari putus obat (withdrawal syndrome). American Psychiatric Association. (2013). DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V). Washington, DC : American Psychiatric Association b. Mekanisme NAPZA dalam tubuh Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan otak yang bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang aktivitas fungsi otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak merupakan sentral perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan perilaku tersebut tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh . Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara: disedot melalui hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena, ditempelkan pada kulit (terutama lrngan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai dengan cara penggunaannya, langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh-pembuluh darah di sekitar dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan menuju reseptornya masing-masing yang terdapat pada otak. Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak, dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam (lock into) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron dengan bekerja mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan kebanjiran yang tidak alami dari neurotransmitter. Bila seseorang menyuntik heroin (opioid atau putauw). Heroin segera berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada: VTA (ventral tegmental area), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan dengan sebutan reward pathway. Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi sistem reward melalui peningkatan neurotransmisi dopamin. Penggunaan opioid yang berkelanjutan membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya drug untuk mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku normal lain. Orang tidak lagi mampu merasakan keuntungan reward alami (seperti makanan, air, sex) dan tidak dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran opioid. Chaudhary, Gp & kc, Manju & mustafa, mohammed & shrestha, Bikram & yadav, Purushottam. (2020). Drug Utilization Trend of Psychotropic Drugs in the Psychiatric Out-patient Department of Crimson Hospital, Rupandehi.. c. Penyebab penyalahgunaan NAPZA 1) Faktor Psikodinamik Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau manifestasi dari regresi oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa banyak alasan untuk mencurigai faktor lingkungan memainkan peran dalam penyalahgunaan NAPZA. Sehingga dalam banyak artikel disebutkan bahwa pelaku penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalah anak-anak atau remaja dengan perkembangan psikososial yang buruk. 2) Faktor Genetik Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan saudara kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab utama terjadinya penyalahgunaan NAPZA. 3) Teori Prilaku Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku mencari zat dibanding pada gejala dependensi fisik. Sebagian besar penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan pertama, dan oleh karena itu, zat tersebut bertindak sebagai penguat positif perilaku mencari zat. 4) Faktor Neurokimiawi Dengan pengecualian alkohol, para peneliti telah mengidentifikasi neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan sebagian besar zat yang disalahgunakan. Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan dan ketergantungan zat adalah opioid, katekolamin (terutama dopamin), dan sistem asam gamma-aminobutirat. Neuron yang terutama penting adalah neuron dopaminergik pada area tegmental ventral. Frityatama Mahardika. Hubungan antara pengetahuan tentang NAPZA dengan tindakan pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada siswa SMA Negeri 3 Semarang. Nexus Kedokteran Komunitas. Universitas Sebelas maret;2017 Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Clinical Psychiatry . Introduction and Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry fourth edition. Wolters Kluwer;2017 d. Manifestasi klinis 1) Alkohol Minuman beralkohol memberikan berbagai gambaran klinis antara lain: Intoksikasi: euforia, cadel, nistagmus, ataksia, bradikardi, hipotensi, kejang, koma. Pada keadaan intoksikasi berat, refleks menjadi negative Keadaan putus alkohol: halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium, tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan hipertensi Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin, fetal alcohol syndrome Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia Gangguan lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan tindak kekerasan. 2) Opioid Termasuk dalam golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin, metado, kodein. Golongan opioid yang paling sering disalahguakan adalah heroin. Di Indonesia, sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan adiksi heroin. Akibat penyalahgunaan opioid adalah a. Problem fisik: Abses pada kulit sampai septicemia Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke Endokarditis Hepatitis B dan C HIV/AIDS Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan syaraf lokal Opiate neonatal abstinence syndrome. b. Problem psikiater: Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif Suicide Depresi berat sampai skizofrenia c. Problem sosial Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat Kecelakaan lalu lintas Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam, menodong, menipu hingga membunuh) d. Sebab-sebab kematian Reaksi heroin akut menyebabkan kolapsnya kardiovaskuler dan akhirnya meninggal Overdosekarena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar bernafas dan menyebabkan kematian Tindak kekerasan Bronkhopneumonia Endokarditis 3) Ganja Bahan aktif ganja berasal dari tanaman ganja yang bersifat adiktif disebut delta tetra hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam lemak. Karena tidak larut dalan air, THK tinggal lama didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak sehingga menyebabkan brain damage). Gambaran klinis disebabkan ganja tegolong kombinasi CNS-depresant, stimulasi dan halusinogenik. Di indonesia terdapat antara 2-3 juta orang yang pernah mengisap ganja. Penggunaan pemula ganja, terutama dikalangan anak usia muda meningkat tajam selama 4-5 tahun terakhir, karena ganja mudah diperoleh dimana-mana. Akibat penyalahgunaan ganja adalah : a. Problem fisik: Gangguan sistem reproduksi (infertilitas, mengganggu menstruasi, maturasi organ seksual, kehilangan libido, impotensi) Fetal damage selama kehamilan Infeksi sistem pernafasan (sinusitis, bronkitis kronik) Mengandung agen sel-sel epitel kanker (kanker paru, sistem pernafasan bagian atas, saluran pencernaan, leher dan kepala) Empisema Gangguan kardiovaskuler Gangguan imunitas Gangguan syaraf (sakit kepala, gangguan fungsi koordinasi motorik) b. Problem psikiatri: Gangguan memori hingga kesulitan belajar Sindro amotivasional Ansietas, panik hingga reaksi bingung Psikosis paranoid sampai skizofrenia Depresi berat sampai suicide Apatis, perilaku antisosial c. Problem sosial: Kesulitan belajar sampai dikeluarkan dari sekolah Kenakalan rmaja Hancurnya akademic or job performance sampai kehilangan pekerjaan Gangguan dalam mengendarai kendaraan, alat mesin Terlibat masalah hukum d. Sebab kematian: Suicide Infeksi berat Tindak kekerasan (termasuk kecelakaan lalu lintas). 4) Amfetamin dan turunannya Amfetamin merupakan senyawa kimia yang bersifat stimulasi, sering dikenal sebagai Amphetamine Type Stimulants atau ATS. Dulu amfetamin sulfat digolongkan dalam ilmu kedokteran sebagai obat untuk obesitas, epilepsi, narkolepsi dan depresi. Amfetamin sulfat pada tahun 1960 dan 1970 disalahgunakan oelh siswa/mahasiswa yaitu tahan tidak tidur untuk belajar dan untuk diet agar badan tetap langsing. Dewasa ini oleh sindikat psikotropik ilegal, derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam bentuk : ecstasy (MDMA, 3,4 metilenediaxymethamphetamine) dan shabu (methamphetamine). Ecstasydalam bentuk pil, tablet atau kapsul dan shabu dalam bentuk bubuk kristal putih. Kedua zat digunakan sebagai alasan klasik yaitu for fun, recreational use, meningkatkan libido dan memperkuat sex perfomance. Akibat penyalahgunaan amfetamin (termasuk escstasy dan shabu) adalah: a. Problem fisik: Malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu makan Denyut jantung meningkat sehingga membahayakan bagi mereka yang pernah memiliki riwayat penyakit jantung Gangguan ginjal, emboli parru dan stroke Hepatitis HIV/AIDS bagi mereka yang menggunakan suntikan amfetamin b. Problem psikiatri: Perilaku agresif Confusional state, psikosis paranoid sampai skizofrenia Kondisi putus zat meneybabkan letargi, fatigue, exhausted, serangan panik, gangguan tidur Depresi berat sampai suicide Halusinasi (terutama ecstasy dan shabu) c. Problem sosial: Tindak kekerasan (berkelahi) Kecelakaan lalu lintas Aktivitas criminal d. Sebab kematian: Suicide Serangan jantung Tindak kekerasan, kecelakaan lalu lintas Dehidrasi, sindrom keracunan air. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Clinical Psychiatry . Introduction and Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry fourth edition. Wolters Kluwer;2017 Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on: American Psychiatriy Journal, 2010 October 20 Zawilska JB, Wojcieszak J. Novel Psychoactive Substances : Classification and General Information. J Springer. 2018. 2.2 Epidemiologi Kasus NAPZA pada pandemi covid-19 ini mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada bulan April jumlah kasus meningkat sebesar 120% dibanding bulan Maret 2020. Para bandar narkoba memanfaatkan momentum masa pandemi Covid-19 ini dengan mengedarkan narkoba di Indonesia. Segala bentuk penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah serius yang tidak bisa dibiarkan begitu saja, untuk kalangan manapun, entah itu dari kalangan anak-anak sampai dewasa, pelajar sampai aparat sekalipun. Karena pada hakekatnya, NAPZA dapat merugikan dirinya sendiri bahkan lingkungan terdekatnya. Terutama pada masa pandemi Covid-19, peningkatan persebaran NAPZA meningkat pesat yang mana itu sangat mengancam ketahanan dan keamanan negara. 2.3 Klasifikasi a. Adiktif NAPZA b. Adiktif non NAPZA Adiksi internet 2.4 Patofisologi adiktif NAPZA 2.5 Gejala perilaku adiktif 2.6 Komplikasi yang ditimbulkan dari perilaku adiktif 2.7 Hubungan covid-19 dengan perilaku adiktif terhadap NAPZA 2.8 Pasien adiktif yang terinfeksi COVID 2.9 Tatalaksana perilaku adiktif Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA (National Institute of Drug Abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan pegangan bagi para profesional dan masyarakat 1) Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu 2) Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu. Seorang adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan untuk masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil keputusan, harus secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak berubah pendirian kembali ) 3) Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs ) individu tersebut, tidak semata – mata hanya untuk kebutuhan memutus menggunakan NAPZA 4) Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum. 5) Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif atau tidak 6) Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi 7) Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku lain 8) Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus mendapatkan terapi untuk keduanya secara integrative 9) Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka panjang 10) Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk terapi yang efektif 11) Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus dimonitor secara kontinyu 12) Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis B dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan konseling untuk membantu pasien agar mampu memodifikasi atau mengubah tingkah lakunya, serta tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang beresiko mendapatkan infeksi 13) Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang dan sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang Sasaran terapi Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan aiksi NAPZA : 1) Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah penghentian total penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat penting dilakuakan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang. Komitmen tersebut membantu menurunkan angka morbiditas dan penggunaan NAPZA. Umumnya mayoritas pasien / klien perlu mendapat motivasi yang cukup kuat untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran terapi. 2) Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari terapi. Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien mengidentifikasi situasi yang menempatka dirinya kepada resiko relaps dan menggembangkan respon alternatif asal bukan merupakan NAPZA. Pada beberap pasien atau klien, situasi sosial atau interpersonal dapat merupakan faktor beresiko terjadinya relaps. Pengurangan frekuensi dan keparaha relaps sering menjasikan sasaran yang realistik daripada pencegahan yang sempurna. 3) Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam masyarakat. Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluarga, kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam pekerjaan, problema finensial dan hukum dan gangguan dalam fungsi kesehatan umum. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan sosial serta mempertahankan status dalam pekerjaannya disamping mempertahankan dirinya semaksimal mungkin agar tetap dalam kondisi bebas obat. Tahapan terapi Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut: 1) Fase penilaian (assesment phase), sering disebut dengan fase penilaian awal (initial intake). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah : a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala – gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang digunakan. b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan neuro – psikologi c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk karakteristik berikut: setting terapi, kontekstual (voluntary, non voluntary), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap program terapi, lamanya (singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun) dan hasil dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi terapi lainnya d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio – ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor – faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya, problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien ketika menggunakan zat (dimana, dengan siapa, berapa kali/ banyak, bagaimana cara penggunaan). e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan – pemeriksaan laboratorium lainnya terhadap kelainan – kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat akut atau menahun. f. Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering diketemukan pada pasien / klien ketergantungan zat (seperti HIV, tuberkulosis, hepatitis). 2) Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi : a. Rawat inap dan rawat jalan b. Intensive out – patient treatment c. Terapi simptomatik d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification e. Detoksifikasi dengan menggunakan: kodein dan ibuprofen, klonidin dan naltrexon, buprenorfin, metadon 3) Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan program terapi subtitusi (seperti antagonis – naltrexon, agonis metadon, atau partial – agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut, umumnya memiliki relaps rate yang tinggi Husin AB, Siste K, Amir N, Kusumawardhani A, Elvira SD, Mangindaan L. Buku Ajar Psikiatri. 2nd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia. 2015. 22. Kaplan H, Saddock B, JA G. SInopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. 7th ed. Jakarta: Binarupa Aksara. 2010. 2.10 2.11 2.12 23. Arozal W, Gan S. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia. 2012. Pencegahan perilaku adiktif Kesimpulan Daftar pustaka