See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/319184471 APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) PADA SERPIH FORMASI BELUMAI DAN BAONG BAWAH SEBAGAI POTENSI BATUAN INDUK DI LAPAN.... Conference Paper · September 2017 CITATIONS READS 0 2,154 4 authors, including: Riko Susetia Yuda PT. Waskita Beton Precast 5 PUBLICATIONS 0 CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Long Ranger Compass, Solusi Akuisisi Data Geologi Lapangan secara Efektif dan Efisien View project All content following this page was uploaded by Riko Susetia Yuda on 05 October 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file. PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) PADA SERPIH FORMASI BELUMAI DAN BAONG BAWAH SEBAGAI POTENSI BATUAN INDUK DI LAPANGAN “DEWI”, CEKUNGAN SUMATERA UTARA Riko Susetia Yuda1* Ferian Anggara1 Gema Wahyudi Purnama2 Murthala Hatta2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2 PERTAMINA Hulu Energi MNK Sumatera Utara *corresponding author: [email protected] ABSTRAK Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busur dengan hidrokarbon yang melimpah. Formasi yang berpotensi sebagai batuan induk selain Formasi Bampo adalah Formasi Belumai dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep sikuen stratigrafi dan pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon (TOC) pada serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah. Penelitian dilakukan berdasarkan data sumur, biostratigrafi, seismik dan geokimia yang dimiliki oleh PT. PERTAMINA Hulu Energi. Terdapat 12 sumur yang digunakan yaitu sumur WWP-1, DNC-1, RSY-1, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, BOP-2, MDN-1, DW-1, dan TP-1. Data sumur digunakan untuk menentukan fasies pengendapan dan pola penumpukan vertikal kemudian dikombinasikan dengan biostratigrafi untuk dilakukan korelasi kronostratigrafi. Data geokimia yang digunakan adalah TOC. Hasil yang didapatkan adalah Formasi Belumai terbentuk ketika fase muka air laut relatif konstan yang dicirikan oleh keterdapatan highstand system tract (HST) pada lingkungan paparan-lereng benua dan memiliki kandungan TOC 0,66-3,64% (rerata 1,66%). Formasi Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan transgressive system tract (TST) pada lingkungan laguna, paparan-lereng benua dan memiliki kandungan TOC 0,6-3,85% (rerata 1,72%). Fasies serpih Belumai dan Baong Bawah didominasi oleh komposisi karbonatan dan menempati urutan ketiga dari pengelompokan litofasies (Slatt dkk., 2011) dengan kandungan material organik tergolong cukup. Hasil tersebut menunjukkan kandungan TOC semakin meningkat saat transgresi yang membentuk TST dengan karakteristik TOC cenderung merata. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu ketika fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST. Kata kunci: sikuen stratigrafi, total organic carbon, batuan induk, Formasi Belumai, Formasi Baong Bawah merupakan salah satu cekungan yang matang dengan potensi hidrokarbon yang besar (Pertamina BPPKA, 1995). Terdapat tiga batuan induk utama dari sistem petroleum-nya yaitu Formasi Bampo, Belumai, dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Bampo umumnya memiliki letak yang sangat dalam, sedangkan Formasi Belumai dan Baong Bawah letaknya lebih dangkal. Formasi Belumai dan Baong terdiri atas serpih dari lingkungan laut dengan potensi Total Organic Carbon (TOC) sebesar 1% (Pertamina BPPKA, I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi shale hydrocarbon yang sangat besar yaitu 349,7 trillion cubic feet (tcf) untuk jenis gas dan 242,3 miliar barrel untuk jenis minyak (EIA, 2015). Shale hydrocarbon atau hidrokarbon serpih merupakan istilah untuk menyatakan hidrokarbon nonkonvensional yang terkandung di dalam serpih. Serpih ini selain sebagai reservoar, juga berperan sebagai batuan induk. Cekungan Sumatera Utara 1 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 1995). Formasi Baong Bawah sendiri memiliki kandungan TOC berkisar 0,8–3,5% dengan tipe kerogen II/III (mixed oil/gas-prone) (Bahesti dkk., 2013). Tipe kerogen berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut berpotensi menghasilkan gas serpih karena banyak reservoar penghasil gas serpih berasal dari batuan induk overmature oil-prone (Passey dkk., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep stratigrafi dan pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon pada serpih Formasi Baong Bawah yang memiliki potensi sebagai batuan induk. Reyeu Hinge merupakan tektonik batuan dasar dan batas paleofisiografi pada Tersier yang terletak di sebelah timur cekungan dan sebelah barat paparan Malaka. Rayeu Hinge hanya terdapat sepanjang zona lemah batuan dasar dan merupakan lekukan sederhana, bukan zona sesar. 2.2. Tektonik dan Stratigrafi Regional Menurut Barber, dkk. (2005), evolusi Cekungan Sumatera Utara dapat dibagi menjadi beberapa tahap (Gambar 1), yaitu: A. Pre-Rift (Eosen Akhir); periode ini mencakup seluruh perisitiwa geologi pada awal Tersier yang berupa peregangan (rifting) batuan dasar sebagai fase awal pembentukan cekungan. Saat itu, area Cekungan Sumatera Utara sudah merupakan paparan karbonat dan deltaik. Fase ini menghasilkan Formasi Tampur dan Meucampli yang terdiri dari batupasir, batugamping dan konglomerat polimik. B. Syn-rift atau horst and graben stage (Oligosen Awal-Akhir); merupakan fase peregangan yang dimulai dengan sedimentasi klastik kontinen yang sangat dominan dengan sedimen berasal dari baratlaut dan timur kemudian dilanjutkan dengan sedimentasi endapan laut dan darat bersamaan dengan transgresi. Akhir dari peregangan diikuti dengan pengangkatan termal yang menghasilkan ketidakselarasan post-rift regional dan sedimentasi klastik laut mulai dominan dengan lingkungan pengendapan berupa laut tertutup. Saat itu pula terjadi pembedaan antara Bukit Barisan, cekungan belakang busur dan cekungan depan busur. Fase ini menghasilkan Formasi Bruksah/Parapat (batupasir kasar dan konglomerat di bagian bawah, serta sisipan serpih yang diendapkan secara tidak selaras) dan Bampo (serpih hitam dan tidak berlapis, umumnya berasosiasi dengan pirit dan gamping). C. Post-rift transgresi; merupakan tahapan saat terjadi transgresi regional yang menghasilkan endapan deltaik dan karbonat berkembang di struktur tinggian yang telah ada sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan Formasi Peutu (batupasir dengan sisipan batubara), Belumai (batupasir glaukonit dengan perselingan serpih dan batugamping) dan Arun (batupasir kalkarenit dan kalsilutit dengan selingan serpih). II. TATAAN GEOLOGI 2.1. Struktur Geologi Regional Struktur geologi cekungan Sumatera Utara dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori yaitu batuan dasar tersesarkan normal, struktur inversi, pengangkatan Bukit Barisan, struktur detached dan Rayeu hinge (Reed, 1995 dalam Pertamina BPPKA, 1995:34). Batuan dasar tersesarkan normal terbentuk akibat gaya ekstensi pada fase regangan (syn-rift). Gaya ekstensional inilah yang menghasilkan half-graben dan full-graben dengan asosiasi horst, blok sesar termiringkan, ramp regions, antiklin roll-over dan zona hinge, serta antiklin pada zona transfer (Pertamina BPPKA, 1995:34). Struktur inversi dihasilkan selama ekstensi berlangsung. Struktur ini terdapat pada zona transfer TL-BD dengan trend lokal timurlaut. Pembentukan area lokal kompresi pada zona transfer ini dihasilkan oleh antiklin berarah baratlut akibat inversi graben pull-apart kecil (Pertamina BPPKA, 1995:35). Pengangkatan Bukit Barisan terjadi akibat kompresi arcuate sepanjang restraining bend pada sistem Sesar Sumatera. Bukit Barisan tersusun oleh struktur individual yang umumnya dibatasi oleh sesar naik sepanjang sisi utaranya dan oleh zona sesar sobek kompleks di sepanjang sisi timurnya. Sesar naik sepanjang sisi utara ini umumnya membentuk lipatan fault-propagation pada sedimen Pliosen (Pertamina BPPKA, 1995:35). Struktur Detached dihasilkan oleh kompresi regional yang sama dengan Bukit Barisan. Struktur ini secara lokal berasosiasi dengan sesar naik yang melibatkan batuan dasar yang juga membatasi Bukit Barisan. Sistem sesar detached akibat gravitasi hadir di sebelah utara Bukit Barisan dan di sebelah selatan Cekungan Sumatera Utara. 2 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Saat transgresi maksimum terjadi, endapan menjadi dominan berbutir halus dengan sedikit interkalasi butiran klastik yang lebih kasar. Hal ini kemudian menghasilkan Formasi Baong Bawah yang terdiri atas serpih laut dengan sedikit sisipan batupasir. D. Post-rift regresi; merupakan tahapan saat regresi terjadi yang menghasilkan dominasi endapan klastik berbutir kasar (pasir) akibat dari pengangkatan Bukit Barisan dan peristiwa volkanisme. Fase ini menghasilkan Formasi Baong Atas (serpih dengan selingan batupasir yang lebih banyak), Keutapan (perselingan antara serpih, batulempung, beberapa sisipan batugampingan dan batupasir), Seurula (batupasir, serpih, dominan batulempung, batubara dan fragmen batuan volkanik) dan Julu Rayeu (batupasir halus sampai kasar, serpih dengan fragmen batuan volkanik, batulempung). Saat volkanisme, diendapkan satuan volkanik Toba yang dilanjutkan dengan pengendapan alluvial kuarter. menunjukkan tipe kerogen batuan merupakan tipe III atau gas-prone. induknya III. METODE PENELITIAN Lokasi tujuan penelitian adalah Lapangan “Dewi” yang termasuk dalam Cekungan Sumatera Utara. Lapangan “Dewi” berada di sebelah tenggara provinsi Sumatera Utara (Gambar 2). Objek penelitian secara khusus adalah serpih Formasi Baong Bawah. Penelitian ini menggunakan data yang disediakan oleh PT. Pertamina Hulu Energi Unconventional Hydrocarbon yang terdiri atas dua belas sumur yang digunakan yaitu sumur WWP-1, DNC-1, RSY-1, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, BOP-2, MDN-1, DW-1, dan TP-1. Data tersebut meliputi data log sumur, geokimia laboratorium dan biostratigrafi. Analisis log sumur dilakukan berdasarkan pola log gamma ray, resistivity, log pemboran (mudlog), dan laporan sumur sehingga dapat diketahui fasies litologi, lingkungan pengendapan, dan sikuen stratigrafi yang bekerja pada target formasi. Sikuen stratigrafi tersebut ditentukan bagian top dan bottom-nya lalu dicocokkan umur dan paleobathimetrinya berdasarkan data biostratigrafi agar dapat dilakukan korelasi kronostratigrafi antar sumur. Kemudian hasil korelasi diikatkan ke seismik (well seismic tie). Hasil akhir pengolahan data seismik berupa peta struktur kedalaman dan isopach sehingga dapat diketahui kondisi dan ketebalan sikuen stratigrafi di bawah permukaan. Data sumur, seismik dan biostratigrafi digunakan dalam penyusunan paleogeografi. Analisis geokimia yang dilakukan pada serbuk pemboran (cutting) dan batuinti terdiri atas analisis kuantitas material organik. Analisis kuantitas material organik didasarkan pada data Rock-Eval pyrolysis yang berguna untuk mengetahui TOC. Data TOC ini kemudian digunakan untuk mengkalibrasi analisis DLogR guna mengkalkulasi TOC pada kedalaman tertentu yang tidak terdapat data geokimianya. Adapun data geokimia Rock-Eval Pyrolisis dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. 2.3. Sistem Petroleum Menurut Barber dkk., (2005), terdapat dua sistem petroleum yang paling terkenal yaitu sistem Bampo-Peutu di bagian utara dan sistem BaongBelumai-Keutapang di sebelah tenggara. Sistem Bampo-Peutu terdiri dari Bampo sebagai batuan induknya yang mengekspulsikan hidrokarbon ke reservoar batugamping Arun yang mana sebagai bagian dari Formasi Peutu dan disekat oleh serpih overpressure Formasi Baong. Sistem BaongBelumai-Keutapang terdiri dari Formasi Baong Bawah-Belumai sebagai batuan induk untuk minyak ringan dan kondensat, Keutapang-Baong Atas sebagai batuan reservoar dan penyekatnya. Kirby, dkk. (1993) dalam Barber, dkk. (2005), yang melakukan studi di bagian tengah cekungan menemukan bahwa Formasi Baong memiliki TOC sekitar 0,5%. Adapun Formasi Belumai memiliki TOC sekitar 0,2-4,8% dan material organiknya berasal dari laut, sedangkan Formasi Bampo sekitar 0,27-3,84%. Menurut Sjahbuddin, dkk. (1993), Formasi Baong memiliki kerogen yang terdiri dari dua tipe. Tipe kerogen II/III atau mixed oil/gasprone dan tipe III atau gas-prone. Analisis juga dilakukan pada Formasi Belumai yang IV. HASIL DAN DISKUSI 4.1. Penentuan Sikuen Stratigrafi Analisis log sumur dilakukan berdasarkan pola log gamma ray (GR), resistivity, log pemboran (mudlog), dan data laporan sumur sehingga dapat diketahui sikuen stratigrafi pada target formasi. 3 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Sikuen stratigrafi tersebut ditentukan bagian top dan bottom-nya untuk dilakukan korelasi antar sumur (well to well correlation). Awalnya, dilakukan penentuan fasies litologi berdasarkan log GR dan data mudlog. Kemudian ditentukan formasi target dan top-bottomnya dari karakteristik litologinya yang dicocokkan dengan data laporan sumur dan mudlog. Selanjutnya adalah ditentukan lingkungan pengendapannya berdasarkan model fasies. Kemudian ditentukan parasikuennya berdasarkan pola defleksi GR yang besar dan resistivity yang rendah utamanya deep resistivity seperti Induction Lateralog Deep (ILD) atau (Lateralog Deep) LLD yang mencirikan flooding surface. Kumpulan parasikuen tersebut membentuk sikuen dan ditentukan system tract-nya berdasarkan karakteristiknya (Gambar 3). Berdasarkan penentuan tersebut, menunjukkan bahwa Formasi Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dicirikan oleh pola mendalam ke atas atau menghalus ke atas hingga maksimum sehingga membentuk transgressive system tract (TST). Formasi Belumai terbentuk ketika muka air laut relatif stabil yang dicirikan oleh pola mendangkal ke atas atau mengkasar ke atas sehingga membentuk highstand system tract (HST). Setelah penentuan parasikuen dan system tract selesai dilakukan, ditariklah maximum flooding surface (MFS) sebagai datum untuk korelasi kronostratigrafi antar sumur. Penarikan datum MFS berguna untuk mengetahui mana arah cekungan (basinward) yang dicirikan oleh semakin tebalnya serpih. Korelasi dilakukan pada dua belas sumur yaitu WWP-1, DNC-1, RSY-1, BOP-1, TB-1, TB2, TB-3, TB-4, BOP-1, DW-1, MDN-1, dan TP-1. Korelasi dilakukan dari tenggara ke baratlaut yang menunjukkan bahwa arah cekungan berada di sebelah baratlaut. Hal ini dicirikan oleh semakin tebalnya serpih (Gambar 4). Kemudian hasil korelasi diikatkan ke seismik (well seismic tie). Hasil akhir pengolahan data seismik berupa peta struktur kedalaman (Gambar 5) dan isopach (Gambar 6) sehingga dapat diketahui kondisi dan ketebalan sikuen stratigrafi di bawah permukaan. Data sumur, isopach dan biostratigrafi digunakan dalam penyusunan peta paleogeografi (Gambar 7 dan Gambar 8). Formasi Baong Bawah. Kedalaman yang tidak memiliki nilai TOC, menggunakan metode DLogR Passey dkk. (1990) seperti yang terlihat pada Gambar 9. Hasil analisis data kemudian dicocokan dengan klasifikasi dari McCarthy dkk. (2011). Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa pada HST Formasi Belumai memiliki nilai rerata TOC 1,66% (cukup) dengan kisaran nilai 0,66-3,64% (buruk-baik). Distribusi TOC yang dibuat berdasarkan nilai yang ada kemudian diinterpolasikan secara konvergen dengan bantuan software Petrel 2013 (Gambar 10). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa nilai TOC terbesar berada di sebelah selatan daerah penelitian, sedangkan semakin ke arah utara maka akan semakin kecil. Nilai TOC tersebut ternyata tidak sebanding dengan ketebalan sedimennya, kemungkinan karena pengaruh sedimentasi klastika yang lebih besar di daerah lereng sehingga mempengaruhi kandungan material organik. Hasil analisis data berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 9 pada TST Formasi Baong Bawah menunjukkan bahwa nilai rerata TOC 1,72% (cukup) dengan kisaran nilai 0,6-3,85% (burukbaik). Distribusi TOC yang dibuat berdasarkan nilai yang ada kemudian diinterpolasikan secara konvergen (Gambar 11) menunjukkan bahwa nilai TOC besar berada di sebelah selatan dan utara daerah penelitian, sedangkan semakin ke arah tengah nilainya akan semakin kecil. Nilai TOC tersebut ternyata sebanding dengan ketebalan sedimennya yang menunjukkan bahwa semakin tebal sedimen maka semakin besar TOC-nya. 4.3. Penentuan Fasies Serpih Penentuan fasies serpih dilakukan dengan menggunakan kombinasi data serbuk bor (cutting) dan log sumur (Gambar 12). Fasies serpih pada HST Formasi Belumai diidentifikasi pada sumur RSY-1 (kedalaman 2630-3065 m), TB-1 (kedalaman 2390-2560 m), MDN-1 (2560-2680 m), dan TP-1 (kedalaman 1740- 1950 m). Fasies serpih tersebut terdiri dari tiga fasies (Tabel 3) yaitu serpih abuabu dengan sisipan batulanau abu-abu dan batupasir laminasi dengan ketebalan 435 m dan TOC 0,93%, serpih cokelat-hitam karbonatan dengan sisipan batupasir & batugamping yang memiliki ketebalan 170-210 m dan TOC 1,08-2,24%, serta perselingan serpih abu-abu dan serpih lanauan dengan ketebalan 120 m dan TOC 0,76%. Fasies serpih pada TST Formasi Baong Bawah 4.2. Kuantitas Material Organik (TOC) Kuantitas batuan induk hidrokarbon serpih terbagi menjadi dua target yaitu Formasi Belumai dan 4 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA diidentifikasi pada sumur RSY-1 (kedalaman 20152486 m), TB-1 (kedalaman 1901-2360 m), TB-2 (kedalaman 1961 -2400 m), TB-3 (kedalaman 1961 -2300 m), BOP-2 (kedalaman 2061-2131 m), MDN1 (2140-2410 m), dan TP-1 (kedalaman 1490-1740 m). Fasies serpih tersebut terdiri dari tiga fasies (Tabel 3) yaitu serpih cokelat dan abu-abu dengan ketebalan 471 m dan TOC 1,48%, perselingan serpih cokelat-hitam karbonatan dengan batupasir yang memiliki ketebalan 150 m dan TOC 1,47%, serta serpih cokelat & abu-abu karbonatan dengan sisipan batupasir dan batulanau yang memiliki ketebalan 70-439 m dan TOC 0,64-3,21%. Menurut Slatt dkk. (2011), tiap jenis litofasies serpih tertentu dapat berpengaruh terhadap kandungan material organik yang ada di dalamnya (Gambar 13). Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan laut yang membentuk serpih tersebut. Kondisi tersebut adalah fluktuasi muka air laut relatif, yang mana kenaikan muka air laut menyebabkan perubahan lingkungan oksik menjadi anoksik sehingga terjadi perubahan komposisi dari serpih dan peningkatan kandungan material organik di dalamnya. Begitupun sebaliknya, penurunan muka air laut relatif menyebabkan perubahan komposisi dari serpih tersebut dan penurunan kandungan material organik di dalamnya. Fasies serpih Formasi Baong Bawah dan Belumai yang didominasi oleh komposisi karbonatan menempati urutan ke tiga dari pengelompokan litofasies dengan tingkatan kandungan material organiknya. Hal ini sebanding dengan kuantitas TOC dari ke dua Formasi tersebut yaitu 0,64-3,21% (buruk-baik). rentang 0.66-3,64% (buruk-baik). Saat transgresi hingga mencapai maksimum dan menghasilkan Formasi Baong Bawah dengan keterdapatan Transgressive System Tract, memiliki nilai rerata TOC 1,72% (cukup) dengan rentang 0,6-3,85% (buruk-baik). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan TOC pada saat transgresi (TST) lebih besar daripada saat fase muka air laut relatif stabil, dalam artian penambahan ruang akomodasinya lebih kecil daripada kecepatan suplai sedimennya sehingga membentuk HST. Perbandingan distribusi TOC terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 14. V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu ketika fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST. IV. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada PT. PERTAMINA Hulu Energi Unconventional Hydrocarbon yang telah menyediakan data untuk keperluan penelitian. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ferian Anggara, S.T., M.Eng. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan hingga selesainya penelitian tersebut. DAFTAR PUSTAKA 4.4. Pengaruh Aplikasi Sikuen Stratigrafi terhadap Kandungan TOC Aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk. Hal ini sama seperti penelitian dari Slatt dkk. (2011) yang mana perubahan kondisi lingkungan laut dapat mempengaruhi kandungan material organik di dalamnya. Kondisi tersebut adalah fluktuasi muka air laut relatif, yang mana kenaikan muka air laut menyebabkan perubahan lingkungan oksik menjadi anoksik sehingga terjadi perubahan komposisi dari serpih dan peningkatan kandungan material organik di dalamnya, begitupun sebaliknya. Saat fase muka air laut relatif stabil, yang menghasilkan Formasi Belumai dengan keterdapatan Highstand System Tract, memiliki kandungan nilai rerata TOC 1,66% (cukup) dengan Bahesti, F., Eddy A. S., Nanang A. M., Wuryadi S., Mohammad W., dan F. Nuri. 2013. Integrated Geochemical, Geomechanical and Geological (3G) Study of Lower Baong shale Formation for Preliminary Shale Gas Prospectivity in the North Sumatra Basin. SPE Conference Paper, SPE Journal. Texas: Society of Petroleum Engineers. Barber, A.J. and De Smet, M.E.M. 2005. Chapter 7: Tertiary stratigraphy. In: Barber, A.J., Crow, M.J., & Milsom, J.S., eds, Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution, Geological Society, London, Memoirs, p86-97. McCarthy, K., Katherine R., Martin N., Daniel P., Kenneth P., dan Artur S.. 2011. Basic Petroleum Geochemistry for Source Rock 5 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Evaluation. Oilfield Review Summer 2011: 23, No. 2. Passey, O.R., Moretti, F.U., Stroud, J.D.. 1990. A practical model for organic richness from porosity and resistivity logs. AAPG Bulletin 74, 1777–1794. Passey, Q.R., Bohacs, K. M., Esch, W.L., Klimentidis, R., Sinha, S. 2010. From oil prone source rock to gas producing shale reservoir geologic and petrophysical characterization of unconventional shale gas reservoir, CPS/SPE international Oil and Gas conference Exhibition in China, Beijing. Pepper, A.S. dan Corvi, P.J.. 1995b. Simple Kinetic Models of Petroleum Formation. Part III: Modelling an open system: Marine and Petroleum Geology, v. 12, no. 4, p. 417-452. Pertamina BPPKA. 1995. Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods, and Application, Vol. I North Sumatra Basin. Jakarta: Pertamina. Sjahbuddin, E. dan Ramli D.. 1993. Hydrocarbon Source Rock Characteristics and the Implications for Hydrocarbon Maturation in the North Sumatra Basin. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 93, p. 509. Slatt, R.M., Philp, R.P., O'Brien, N.R., Abousleiman, Y., Singh, P., Eslinger, E.V., Perez, R., Portas, R., Baruch, E., Marfurt, K.J., dan Madrid-Arroyo, S.. 2011. Pore-toregional-scale integrated characterization workflow for unconventional gas shales. dalam: J. Breyer, ed., Shale reservoir-Giant resources for the 21 st century: AAPG Memoir 97, p. 1-24. 6 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Gambar 1. Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Utara (Barber dkk., 2005) Gambar 2. Lokasi penelitian 7 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA /TS Gambar 3. Penentuan parasikuen dan system tract berdasarkan karakteristik log GR dan resistivity 8 Gambar 4. Korelasi antar sumur pada datum MFS yang menunjukkan cekungan berada di sebelah baratlaut daerah penelitian (tanda tanya menunjukkan korelasi yang dilakukan dengan bantuan horizon seismik karena keterbatasan data sumur) PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 9 Gambar 5. Interpretasi seismik dan pembuatan peta struktur kedalaman PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 10 Gambar 6. Peta isopach Formasi Belumai dan Baong Bawah PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 11 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Gambar 7. Paleogeografi HST Formasi Belumai Gambar 8. Paleogeografi TST Formasi Baong Bawah 12 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA a DLogR (Passey dkk., 1990) b c Gambar 9. (a.) TOC kalkulasi menggunakan metode DLogR (Passey dkk., 1990) pada sumur RSY-1; (b) Penentuan Level of Maturity dan hasil dari TOC kalkulasi pada HST Formai Belumai dari sumur yang tidak memiliki data TOC laboratorium; (c.) Penentuan Level of Maturity dan hasil dari TOC kalkulasi pada TST Formasi Baong Bawah dari sumur yang tidak memiliki data TOC laboratorium 13 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Gambar 10. Peta distribusi TOC pada HST Formasi Belumai Gambar 11. Peta distribusi TOC pada TST Formasi Baong Bawah 14 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Gambar 12. Contoh penentuan fasies serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah dari data serbuk bor dan log sumur Gambar 13. Hubungan litofasies serpih dengan kandungan material organik (Slatt dkk., 2011) 15 Gambar 14. TOC vs Kedalaman dari tiap sumur kunci PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 16 Tabel 1. Data Rock-Eval Pyrolysis tiap sumur pada HST Formasi Belumai PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 17 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Tabel 2. Data Rock-Eval Pyrolysis tiap sumur pada TST Formasi Baong Bawah 18 PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA Tabel 3. Ringkasan fasies serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah HST Formasi Belumai Sumur Kedalaman (m) RSY-1 2630-3065 TB-1 2390-2560 MDN-1 2560-2680 TP-1 1740-1950 Fasies Serpih abu-abu dengan sisipan batulanau abu-abu & batupasir laminasi Serpih cokelat-hitam karbonatan dengan sisipan batupasir Perselingan serpih abu-abu dengan serpih lanauan Serpih cokelat-hitam karbonatan dengan sisipan batupasir & batugamping Ketebalan (m) TOC (%) 435 0,93 170 1,08 120 0,76 210 2,24 Ketebalan (m) 471 279 TOC (%) 1,48 1,08 150 1,47 TST Formasi Baong Bawah RSY-1 Kedalaman (m) 2015-2486 TB-1 1901-2180 TB-1 2210-2360 Serpih cokelat & abu-abu Perselingan serpih cokelat & abu-abu karbonatan dengan batulanau Perselingan serpih cokelat-hitam karbonatan dengan batupasir TB-2 1961-2400 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan 439 2,19 TB-3 1961-2300 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan 339 3,21 BOP-2 2061-2131 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan 70 0,64 MDN-1 2140-2410 270 1,75 TP-1 1490-1740 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan dengan sisipan batupasir dan batulanau Serpih cokelat & abu-abu karbonatan dengan sisipan batupasir dan batulanau 250 1,49 Sumur Fasies 19 View publication stats