Definisi dan Makna Demokrasi di Indonesia Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Mengutip teori dari Rousseau (2007), demokrasi adalah tahapan yang harus dilewati bagi negara jika ingin sejahtera. Pernyataan ini merujuk bahwa demokrasi sebagai acuan bagi semua negara jika ketatanegaraan suatu negara ingin sempurna. Kemudian Rousseau menambahkan bahwa kesepurnaan bukanlah milik manusia begitu pun demokrasi. Demokrasi dimaknai bukan sebagai tujuan akhir namun lebih melihat kepada fakta tahapan yang ada atau sedang berlangsung. Demokrasi akan berjalan beriringan dengan berkembangnya zaman dan dipengaruhi oleh budaya sebuah negara. Sehingga jika demokrasi diterapkan secara kaku dan terlalu ideal, demokrasi yang nyata tidak akan terwujud. Selanjutnya, esensi dari demokrasi sendiri berupa kompromi dalam penyelesaian sebuah masalah. Kelsen (2006) menyatakan esensi demokrasi terdapat pada adanya kompromi dalam menyatukan pendapat yang berbeda. Prinsipnya ada pada penyelesaian konflik melalui norma yang tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan dari salah satu pihak, dan juga tidak seluruhnya bertentangan dengan kepentingan lainnya. Kompromi tersebut cerminan cita-cita dalam penentuan kehendak sendiri secara sempurna dan terus menjadi pembahasan antara kepentingan mayoritas dan kepentingan minoritas agar terjadi kesepakatan bersama dan menjadi pegangan masyarakat dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005. Proses Demokrasi Dalam sejarah perkembangan pemikiran tentang demokrasi, Torres (1998:145-146; Winataputra, 2005) mengemukakan bahwa demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine. Dalam tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni pemerintahan oleh seluruh warga negara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi medieval theory yang pada dasarnya menerapkan Roman law dan konsep popular souverignty menempatkan suatu landsan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam contemporary doctrine of democracy, dipandang sebagai konsep republik dalam bentuk pemerintahan rakyat yang murni. Dalam tahap perkembangan berikutnya, Torres lebih condong melihat demokrasi dalam dua aspek, yakni di satu pihak adalah formal democracy dan di lain pihak substantive democracy. Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan, sedangkan substantive democracy menunjuk pada proses demokrasi, yang diidentifikasi dalam empat bentuk demokrasi (1998:146-147; Winataputra, 2005). 1. Konsep protective democracy yang merujuk pada perumusan Jeremy Bentham dan James Mill ditandai oleh kekuasaan ekonomi pasar, yakni proses pemilihan umum dilakukan secara regular sebagai upaya untuk memajukan kepentingan pasar dan melindunginya dari tirani negara. 2. Konsep “developmental democracy”, yang ditandai oleh konsepsi model manusia sebagai individu yang posesif, yakni manusia sebagai yang dikompromikan dengan konsepsi manusia sebagai mahluk yang mampu mengembangkan kekuasaan atau kemampuannya. Di samping itu, juga menempatkan democratic participation sebagai central route to self development. 3. Konsep equilibrium democracy atau pluralist democracy yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter, yang berpandangan perlunya penyeimbangan nilai partisipasi dan pentingnya apatisme, dengan alasan bahwa apatisme di kalangan mayoritas warganegara menjadi fungsional bagi demokrasi karena partisipasi yang intensif sesungguhnya dipandang tidak efisien bagi individu yang rasional. Selain itu ditambahkan bahwa partisipasi membangkitkan otoritarianisme yang laten dalam massa dan memberikan beban yang berat dengan tuntutan yang tak bisa dipenuhi. 4. Konsep participatory democracy yang diteorikan oleh C.B. Machperson yang dibangun dari pemikiran paradoks dari J.J.Rousseau yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mencapai partisipasi yang demokratis tanpa perubahan lebih dulu dalam ketakseimbangan sosial dan kesadaran sosial, tetapi juga kita tidak dapat mencapai perubahan dalam ketakseimbangan sosial dan kesadaran sosial tanpa peningkatan partisipasi lebih dulu.