REKREASI PERKOTAAN : Masalah dan Ancaman oleh: Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.1 Abstract In many ways, urban recreation in Indonesia becomes very important to get more attention from scholars and practitioners. Regarding the world wide sustainable tourism movement, at least there are three important view points that have to be discussed to respond the dynamic of urban recreation nowadays; so called aspects of ecology, socio-cultures and economics. Even though no doubt about the significant impact of urban recreation in economic aspects, but to date reality shows that many imbalance impacts of social life take a place. Most of recreation supplies and pattern in urban area tend to bring many negative impacts of social life style (especially for the young generation and the poor social group), that probably could never be paid back by it economic benefit. Pendahuluan “……as work continues to grow increasingly specialized and mechanical, and to lose the creative values that it once richly provided, the major focus of living will increasingly become leisure time. WE LIVE NOT TO WORK, BUT TO PLAY AND USE OUR LEISURE TIME IN CREATIVE AND SELF-FULFILLING WAYS” (Krauss, 1977). Setelah hampir tiga decade, apa yang dituliskan Krauss tersebut di atas nampaknya semakin menjadi kenyataan dan perlu diantisipasi. Berbagai moderenisasi yang menyentuh dan berkembang pada masyarakat perkotaan telah menimbulkan berbagai domino effect yang semakin menjerat dari hari ke hari. Setidaknya, pada berbagai wilayah perkotaan di Indonesia saat ini dengan mudah dapat diamati betapa dinamika kehidupan perkotaan (urban life dynamics) yang ada telah menimbulkan bermacam pilihan rekreasi yang umumnya dipasok dengan orientasi bisnis dan direct economic benefit sebagai fokus. Rendahnya kesadaran dan kemampuan pemerintah dalam menyediakan dan membiayai fasilitas publik untuk rekreasi (recreational public facilities) telah menjadikan pihak swasta leluasa berpartisipasi dengan lebih mengedepankan kepentingan ekonomi mereka dari pada kepentingan pembangunan karakter masyarakat melalui rekreasi (recreation related public character building). 1 Contact address : [email protected] Jika hal tersebut di atas terus dibiarkan, maka bukannya tidak mungkin akan menimbulkan apa yang disebut oleh Hall dan Stephen (2002, p. 147) sebagai social stress dan social dislocation. Walaupun banyak studi menunjukkan bahwa social cost aktivitas pariwisata pada suatu daerah adalah bervariasi dari suatu tempat ke tempat lainnya (e.g. see Pizam, 1978), namun adalah pasti bahwa pariwisata akan menimbulkan perubahan karakter sosial (changes of social character) pada kawasan destinasinya (e.g. see Long, 1984). Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan hilangnya batasan geografis dan komunikasi pada era globalisasi dewasa ini, maka perubahan karakter sosial di wilayah perkotaan adalah juga menjadi penting untuk dicermati, yaitu terutama dalam konteks wilayah perkotaan sebagai trend setter bagi wilayah periphery disekitarnya ataupun bahkan bagi rural area. Sebagai conceptual paper, tulisan ini bertujuan untuk memancing perhatian para scholars dan practitioners agar lebih berkontribusi dalam membangun rekreasi dan wisata perkotaan yang baik, sehat, dan bermanfaat secara komprehensif. Untuk itu, selain memaparkan berbagai masalah dan ancaman yang ada maka dalam tulisan ini terlebih dahulu juga akan diuraikan sedikit teori yang berkaitan langsung dengan rekreasi dan wisata perkotaan. Theory and Understanding Recreation and Tourism. Dalam konteks populasi, berbicara tentang rekreasi dan wisata adalah tidak akan pernah lepas dari berbicara mengenai bagaimana pola waktu luang yang dimiliki suatu masyarakat dan bagaimana pola partisipasi mereka dalam berekreasi. Meskipun secara umum para ahli rekreasi telah menyepakati bahwa leisure time adalah salah satu syarat untuk menyatakan suatu kegiatan masyarakat sebagai rekreasi, namun skema time budget yang ditawarkan oleh Avenzora (2004) menunjukkan bahwa ada kelompok masyarakat yang cenderung mengaitkan existence activities dan subsistence activities dengan kegiatan rekreasi. Setidaknya dapat disimpulkan bahwa pada kelompok masyarakat mapan (the rich group) berbagai existence activities dan subsitance activities yang mereka kaitkan dengan recreation supplies and facilities telah menjadi lambang prestige bagi kelompok mereka. Hall dan Stephen (2002, p. 31) mengingatkan bahwa adalah penting untuk mampu dan mau mengenali keterkaitan antara permintaan sebagai partisipasi (human demand as participation) dan permintaan sebagai keinginan untuk terlibat dalam rekreasi (human demand as a desire to engage in recreationi) dengan sumberdaya, suplai, fasilitas dan oportuniti yang menggerakan berbagai permintaan tersebut menjadi terpenuhi. Dalam konteks demand, berbagai literature yang ada telah menawarkan berbagai demand typology, mulai dari potential demand, induced demand dan actual demand, hingga suppressed demand, substitution of demand, dan redirection demand (e.g. see Cooper et al., 1993 dan Uysal, 1998) . Namun tidak demikian halnya dalam konteks resources and supply, berbagai literatur yang ada hanya memaparkan pengertian resources and supply secara implisit, yaitu dengan ungkapan “it could be wildlife, water, land etc.” Dalam konteks recreation resources, Avenzora (2003) mengungkapkan bahwa sumberdaya rekreasi dan wisata dapat dipahami melalui pengertian tentang : (1) apa dan berapa banyak dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan, dan (3) kepada siapa dapat diberikan. Dan, sejalan dengan variabel waktu dan ruang maka recreation-resources yang akan disediakan tersebut dapat didefinisikan sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi”. Meskipun World Tourism Organisation telah mengeluarkan definisi tourism, pada kenyataannya berbagai negara anggotanya memberlakukan definisi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, USA menyatakan perlunya turis untuk melakukan“over night” sebagai syarat perjalanan mereka dapat dihitung dalam pendataan statistik mereka, sementara Canada tidak (lihat Smith 1989, p. 78). Dari berbagai definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa definisi yang dibangun semata-mata lebih tertuju untuk memfasilitasi proses pencatatan statistik. Untuk mempelajari kompleksitas dalam tourism, suatu model yang diajukan oleh Ja’fari (cited in Cooper et al., 1999, p. 4) dapat dipertimbangkan sebagai suatu model yang baik dan komprehensif. Model tersebut menggambarkan berbagai aspek yang dibutuhkan untuk mendukung suatu tourism development, dan sekaligus menunjukkan betapa kompleksnya studi tentang tourism. Melalui model tersebut hendaknya juga dapat disadari tentang lingkup pengetahuan yang dibutuhkan untuk merencanakan suatu perencanaan rekreasi dan pariwisata. Urban Recreation and Tourism. Berbeda dengan rural tourism yang sering menghadapi kelangkaan sumberdaya rekreasi dan wisata bagi partisipasi masyarakatnya, maka dalam konteks urban tourism sering terjadi kendala-kendala penting berikut (Hall and Stephen, 2002, p. 174), yaitu : Physical barriers. Tingkat partisipasi sering dikendalai oleh adanya struktur umur masyarakat yang tidak seimbang, yang akhirnya menimbulkan kendala fisik untuk kehadiran. Financial barriers. Struktur kondisi sosial yang timpang pada masyarakat perkotaan sering menyebabkan sebagian besar golongan menengah ke bawah tidak mampu berpartisipasi pada berbagai fasilitas rekreasi yang umumnya diperuntukan bagi golongan menengah ke atas. Social barriers. Hal ini setidaknya sering ditimbulkan oleh adanya image yang berbeda pada setiap kelompok sosial. Kelompok menengah ke bawah, misalnya, meskipun berkeinginan tapi akan sangat sulit diharapkan untuk mau berpartisipasi dalam tontonan opera. Transport barriers. Meskipun secara umum transportasi adalah bukan masalah pada areal perkotaan, namun rendahnya kualitas transportasi dan rendahnya tingkat kepemilikan mobil pribadi sering menjadi kendala bagi partisipasi masyarakat perkotaan dalam rekreasi atau wisata. Secara sederhana, rentang dan dinamika rekreasi dan wisata di areal perkotaan dapat diwakili oleh model yang ditawarkan oleh Hall dan Stephen (2002) sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Meskipun dari model tersebut dapat dilihat bahwa terjadi interaksi pada setiap kelompok, namun persoalan sesunggungnya yang perlu menjadi perhatian dalam perencanaan adalah bagaimana proporsi dan tingkat partisipasinya. Gambar 1. Dinamika dan Areal Fungsional Rekreasi & Pariwisata Perkotaan Tingkat partisipasi masyarakat dalam berbagai dinamika rekreasi di atas adalah akan sangat ditentukan oleh dinamika motivasi yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Crandall (1980) mengidentifikasi setidaknya ada 17 macam motivasi masyarakat yang berkaitan dengan partisipasi mereka dalam rekreasi dan pariwisata, yaitu seperti yang tertera pada Tabel 1. Sedangkan proses keputusan mereka untuk berpatisipasi dapat digambarkan oleh model (Gambar 2) yang ditawarkan oleh Pigram (1983). Tabel 1. Motivasi Masyarakat dalam Berekreasi dan Wisata Menurut Crandall (1980) No. Motivasi 1. Enjoying nature, escaping from civilisation. 2. Escape from routine and responsibility 3. Physical exercise 4. Creativity 5. Relaxation 6. Social Contact 7 Meeting new people 8. Heterosexual contact 9. Family contact No. Motivasi 10. Self actualisation (feed back, self improvement, ability utilisation) 11. Recognition, Status 12. Social Power 13. Altruism 14. Stimulus Seeking 15. Achievement, Challange, Competition 16. Killing time, Avoiding Boredom 17. Intelektual Aestheticism Gambar 2. Proses Pengambilan Keputusan untuk Berpartisipasi dalam Rekreasi & Wisata Dikaitkan dengan pola pasokan sumberdaya rekreasi dan wisata, maka model (Gambar 3) yang disimpulkan oleh Asworth tentang kondisi pasokan di Eropa Barat barangkali dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam mengevaluasi kondisi pasokan di Indonesia. Sedangkan untuk membandingkan pola partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan berbagai fasilitas dan pasokan rekreasi serta wisata yang ada maka model (Gambar 4) yang disimpulkan oleh Glyptis (1981) adalah cukup representatif untuk dipakai. Gambar 3. Model Penyebaran Lokasi Fasilitas Wisata (hotel) di Eropa Barat Gambar 4. Model Penyebaran Pengunjung pada Tapak ( Informal) Rekreasi Some Crucial Conditions to Learn Crowded Urban. Meskipun secara makro memang dapat dilihat pesatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah perkotaan di Indonesia, namun harus diingat bahwa urban development aspects tidaklah hanya ekonomi praktis belaka. Identitas suatu perkotaan (urban identity) setidaknya ditentukan oleh : (1) physical performance, (2) public facilities and accessibilities, (3) regulation and security, (4) green open space, (5) living standard, (6) economic activities, (7) socio-culture norms and traditions, dan (8) inhabitant behaviour. Terciptanya good total performance dari suatu wilayah perkotaan adalah tergantung dari keharmonisan pembangunan berbagai aspek tersebut. Jika Jakarta diambil sebagai contoh, hasil studi Makarumi et al. (2004) menyimpulkan bahwa proses urbanisasi di Jakarta jauh lebih pesat dari Bangkok dan Manila yang sama-sama tergolong kota besar di Asia, dan telah menyebabkan green open space dalam bentuk mixed land use hanya ditemukan jauh di luar batas kota. Walaupun bukan istilah yang terlalu tepat dan tidak enak untuk di dengar, barangkali istilah crowded urban untuk sementara dapat dipakai guna menggambarkan keutuhan simpang siurnya situasi pembangunan dan kondisi wilayah perkotaan di Indonesia. Setidaknya, dapat disimpulkan bahwa kerancuan penerapan konsep dan pendekatan pembangunan wilayah perkotaan di Indonesia – mulai dari pengadopsian konsep dan pendekatan intensive urban dengan ciri super block diakhir tahun 70-an hingga pengadopsian konsep dan pendekatan extensive urban dengan ciri pembangunan kota mandiri pada kawasan periphery diakhir tahun 80-an – hingga saat ini telah menimbulkan banyak ketimpangan dalam segala hal. Salah satu dampak negatif penting yang ditimbulkan crowded urban atas rekreasi perkotaan adalah hilangnya public urban open space. Hilang, rusak atau terbengkalainya berbagai ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan di Indonesia tidak hanya terjadi di kota besar, namun juga terjadi pada kota-kota kecil yang sedang dalam proses pertumbuhan menjadi kota besar. Jika di kota besar penyebab utama hilangnya green open space adalah tingginya motif ekonomi dalam pemanfaatan ruang kota, maka pada kota kecil terbengkalainya green open space adalah lebih disebabkan karena keterbatasan dana pemerintah kota untuk membangun green open space bagi berbagai kebutuhan masyarakat, termasuk rekreasi dan olah raga. Kecuali pada kawasan perumahan kelompok elite, maka mudah diamati dan dapat dikatakan bahwa banyak tapak ruang terbuka hijau di kota besar yang semestinya berfungsi sebagai public open space telah berubah fungsinya menjadi berbagai tapak kegiatan ekonomi; baik secara legal ataupun ilegal. Pola illegal to legal adalah merupakan modus operandi yang umum dan mudah diamati dalam perubahan fungsi public open space di wilayah perkotaan. Cara ”membiarkan terbengkalai” (sehingga digunakan secara ilegal) dan kemudian ”merubah fungsinya secara diamdiam” ( melalui mekanisme revisi RDTR sebagai proses yang legal) adalah sangat umum ditemui pada berbagai kelompok otoritas pembangunan kota; baik dalam skala kawasan perumahan ataupun satuan unit perkotaan. Dalam konteks urban recreational land use, Hall and Stephen (2002) mensyaratkan setidaknya ada 6 pola peruntukan ruang yang penting untuk disediakan bagi berbagai kegiatan rekreasi masyarakat, yaitu : (1) linear open space, (2) smal local park, (3) local park, (4) distric park , (5) metropolitan park, dan (6) regional park. Karakteristik dari berbagai functional open space tersebut adalah seperti tertera pada Tabel 2. Sungguh ironis, bahwa belum ada satupun wilayah perkotaan di Indonesia yang telah mendekati kondisi ideal tersebut. Tabel 2. Hirarki Public Open Space bagi Wilayah Perkotaan. No. Tipe Fungsi 1. Linier open space Pedestrian visit 2. Small local park 3. Local park Pedestrian visit, khususnya bagi orang tua dan anak-anak, terutama bagi itensitas pemukiman yang tinggi. Pedestrian visitor 4. District park 5. Metropolitan park 6. Regional park Ukuran & Jarak Karakteristik Ukuran bervariasi pada jarak yang memungkinkan Ukuran 2 hektar, pada jarak 0.4 km dari pemukiman yang akan dipasok Canal towpath, footpaht,; sebagai sarana rekreasi informal Ukuran 2 hektar, pada jarak 0.4 km dari pemukiman yang akan dipasok Week end and Ukuran 20 hektar , occasional visit yang pada jarak 1.2 km dapat ditempuh dari pemukiman dengan jalan kaki, yang akan dipasok sepeda ataupun satu kali naik kendaraan umum Week end atau Ukuran 60 hektar occasional visit pada jarak 3.2 km dengan atau lebih dari menggunakan pemukiman yang kendaraan pribadi akan dipasok atau public transport Week end atau 400 hektar, pada occasional visit jara 3.2 – 8 km dari dengan pemukimanmenggunakan pemukiman yang kendaraan pribadi akan dipasok atau public transport Taman, sitting out area, dan play ground untuk anak-anak Court game, play ground, sitting out, etc dengan gubahan dan nuasa landscape Suatu landscape setting bagi berbagai outdoor activities, termasuk sport, children play ground, dan kegiatan informal lainnya. Biasanya dilengkapi dengan parking lot yang memadai. Dapat berupa perpaduan antara natural setting dengan theme park bagi berbagai kegiatan rekreasi aktif dan pasif, dan menyediakan ruang yang cukup bagi kegiatan umum. Dilengkapi parking lot. Dapat berupa perpaduan antara natural setting dengan theme park bagi berbagai kegiatan informal recreation dan beberapa non intensive active recreation. Dilengkapi parking lot pada tempat yang strategis. Rcreation Opportunity . Terlepas dari apa dan siapa penyebab timbulnya crowded urban pada banyak wilayah perkotaan di Indonesia, berbagai kegagalan dalam membangun wilayah perkotaan yang harmonis telah menyebabkan banyak dampak negatif bagi public recreation. Buruknya sistem transportasi dan jauhnya jarak tempat bekerja dengan tempat tinggal adalah dua variabel penting yang sangat mempengaruhi peluang rekreasi masyarakat pada suatu crowded urban. Hal ini tidak hanya menyebabkan lebih panjangnya subsistance time yang harus mereka pakai dalam keseharian, namun juga menyebabkan tingginya biaya hidup. Lebih panjangnya subsitance time adalah sangat signifikan mengurangi leisure time yang bisa mereka pakai untuk berekreasi. Sedangkan tingginya biaya hidup adalah mengurangi porsi dispossible income yang bisa mereka pakai untuk membiayai kegiatan rekreasi. Jika kondisi wilayah perkotaan di Indonesia dewasa ini dikaitkan dengan model yang ditawarkan oleh Hall dan Stephen (2002) di atas, maka barangkali dapat disimpulkan bahwa banyak wilayah perkotaan cenderung hanya tumbuh menjadi the shoping city yang kemudian juga berkembang menjadi the night life city. Terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkan, tidak dapat disangkal bahwa kondisi ini hanya memasok sebagian kecil kebutuhan rekreasi masyarakat perkotaan, baik dalam konteks lapisan dan kelompok masyarakat yang bisa disuplai ataupun dalam konteks keanekaragaman rekreasi bagi pembangunan mental masyarakat perkotaan. Berbagai kondisi yang bersifat reciprokal tersebut telah menyebabkan MENONTON TV, MAKAN-MAKAN DI RESTORAN dan JALAN-JALAN DI MALL (rata-rata pada ranking 70 % teratas) adalah sebagai pola partisipasi rekreasi terfavorit bagi sebagian besar lapisan masyarakat perkotaan, baik pada kelompok usia anak-anak (lihat Kurniawan, 2004, dan Patriani, 2004) ataupun pada kelompok usia dewasa (lihat Gustiawan, 2005, Manurung, 2005, dan Utami, 2004). Kraus (1977) mengingatkan setidaknya ada empat aspek penting yang perlu dicapai dalam pembangunan rekreasi masyrakat, yaitu : (1) psychological aspects, (2) physical aspects, (3) social aspect, dan (4) societal needs in community life. Dalam konteks psikologi, hendaknya kegiatan rekreasi masyrakat harus diarahkan untuk mampu menghasilkan KESEHATAN EMOSIONAL mereka. Kegiatan rekreasi juga harus diarahkan untuk menstimulasi physical well being pada masyarakat. Melalui rekreasi, masyarakat didorong untuk mampu mengidentifikasi anggota kelompoknya, mampu mengembangkan persatuan dalam kelompoknya, dan mampu menjadi independent dan sekaligus dependent dalam memenuhi berbagai kebutuhan penting dalam kehidupan sosial. Naifnya, satupun aspek tersebut nampaknya belum disadari (apalagi tercapai) dengan baik pada berbagai wilayah perkotaan di Indonesia. PENUTUP Apakah ”mall related recreation” yang setidaknya hanya cenderung menciptakan consumptive community akan terus dibiarkan? Apakah the night life city yang telah terbukti menimbulkan semua aspek black stories of recreation and tourism akan terus dikembangkan? Please take your time to think, and do something. DAFTAR PUSTAKA Avenzora, R. 2003. Integrated and Ecological Planning of Sustainable Tourism Development in Rural Area in Indonesia : the case study of Tana Toraja, Sulawesi. Doctoral Dissertation at Georg-August University, Germany. Cooper, C.P., Fletcher, J., Gilbert, D.G., and Wanhill, S. 1993. Tourism : principle and practice. Pitman. London. Gustiwawan, Fajar Agung. 2005. Studi Motivasi dan Tingkat Partisipasi Pegawai PT Raya Sugarindo dalam Kegiatan Rekreasi. . Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hall, C. Michael and Stephen J. Page. 2002. The Geography of Tourism and Recreation: Environment, Place and Space (2nd edition). Routledge. London and New York. Kraus, Richard G. 1977. Recreation Today : program, planning and leadership. Goodyear Publishing Company, Inc. Santa Monica, California. Kurniawan, Ferdy. 2004. Studi Tingkat Partisipasi Rekreasi Siswa Sekolah Dasar di Kotamadya Jakarta Timur. . Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Long, J.A. 1984. Introduction – tourism and social change. In J.A. Long and R. Hecock (eds) Leisure, Tourism and Social Change. Dunfermline : Centre for Leisure Research. Dunfermline Collage of Physical Education, p. 69-67. Manurung, Deisman. 2005. Studi Motivasi dan Tingkat Partisipasi Pegawai Tambang Batubara Bukit Asam dalam Kegiatan Rekreasi. . Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Murakami, A., Alinda M. Zain, Kazuhiko Takeuchi, Atsushi Tsunekawa, Shigehiro Yokota. 2004. Trend in Urbanisation and Pattern of Land use in Asian Mega Cities Jakarta, Bangkok and Metro Manila. Article in Press, Landscape and Urban Planning. Elsevier. Patriani, Eki. 2004 Studi Tingkat Partisipasi Rekreasi Siswa Sekolah Dasar di Kota Bogor. . Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Piagram, J.J. 1983. Outdoor Recreation and Resources Management. Croom Helm. Beckenham. Pizam, A. 1978. Tourism impacts : the social costs to the destination community as perceived by its residents. Journal of Travel Research 16(4) : 8-12. Utami, Siwi Tri. 2004. Studi Motivasi dan Tingkat Partisipasi Pegawai Negeri Sipil Sektor Kesehatan dan Sektor Pendidikan Kabupaten Wonogiri dalam Kegiatan Rekreasi. Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Uysal, M. 1998. The Determinants of Tourism Demand: a theoretical perspective. In D. Ioannides and K. Debbage (eds) The Economic Geopgraphy of the Tourist Industry: a supply-side analysis. Routledge. London.