Uploaded by User90942

REKREASI PERKOTAAN2

advertisement
REKREASI PERKOTAAN :
Masalah dan Ancaman
oleh:
Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.1
Abstract
In many ways, urban recreation in Indonesia becomes very important to
get more attention from scholars and practitioners. Regarding the world
wide sustainable tourism movement, at least there are three important
view points that have to be discussed to respond the dynamic of urban
recreation nowadays; so called aspects of ecology, socio-cultures and
economics. Even though no doubt about the significant impact of urban
recreation in economic aspects, but to date reality shows that many
imbalance impacts of social life take a place. Most of recreation supplies
and pattern in urban area tend to bring many negative impacts of social
life style (especially for the young generation and the poor social group),
that probably could never be paid back by it economic benefit.
Pendahuluan
“……as work continues to grow increasingly specialized and mechanical, and
to lose the creative values that it once richly provided, the major focus of living
will increasingly become leisure time. WE LIVE NOT TO WORK, BUT TO
PLAY AND USE OUR LEISURE TIME IN CREATIVE AND SELF-FULFILLING
WAYS” (Krauss, 1977).
Setelah hampir tiga decade, apa yang dituliskan Krauss tersebut di atas nampaknya
semakin menjadi kenyataan dan perlu diantisipasi. Berbagai moderenisasi yang
menyentuh dan berkembang pada masyarakat perkotaan telah menimbulkan
berbagai domino effect yang semakin menjerat dari hari ke hari. Setidaknya, pada
berbagai wilayah perkotaan di Indonesia saat ini dengan mudah dapat diamati
betapa dinamika kehidupan perkotaan (urban life dynamics) yang ada telah
menimbulkan bermacam pilihan rekreasi yang umumnya dipasok dengan orientasi
bisnis dan direct economic benefit sebagai fokus. Rendahnya kesadaran dan
kemampuan pemerintah dalam menyediakan dan membiayai fasilitas publik untuk
rekreasi (recreational public facilities) telah menjadikan pihak swasta leluasa
berpartisipasi dengan lebih mengedepankan kepentingan ekonomi mereka dari pada
kepentingan pembangunan karakter masyarakat melalui rekreasi (recreation related
public character building).
1
Contact address : [email protected]
Jika hal tersebut di atas terus dibiarkan, maka bukannya tidak mungkin akan
menimbulkan apa yang disebut oleh Hall dan Stephen (2002, p. 147) sebagai social
stress dan social dislocation. Walaupun banyak studi menunjukkan bahwa social cost
aktivitas pariwisata pada suatu daerah adalah bervariasi dari suatu tempat ke tempat
lainnya (e.g. see Pizam, 1978), namun adalah pasti bahwa pariwisata akan
menimbulkan perubahan karakter sosial (changes of social character) pada kawasan
destinasinya (e.g. see Long, 1984). Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan hilangnya
batasan geografis dan komunikasi pada era globalisasi dewasa ini, maka perubahan
karakter sosial di wilayah perkotaan adalah juga menjadi penting untuk dicermati,
yaitu terutama dalam konteks wilayah perkotaan sebagai trend setter bagi wilayah
periphery disekitarnya ataupun bahkan bagi rural area.
Sebagai conceptual paper, tulisan ini bertujuan untuk memancing perhatian para
scholars dan practitioners agar lebih berkontribusi dalam membangun rekreasi dan
wisata perkotaan yang baik, sehat, dan bermanfaat secara komprehensif. Untuk itu,
selain memaparkan berbagai masalah dan ancaman yang ada maka dalam tulisan ini
terlebih dahulu juga akan diuraikan sedikit teori yang berkaitan langsung dengan
rekreasi dan wisata perkotaan.
Theory and Understanding
Recreation and Tourism. Dalam konteks populasi, berbicara tentang rekreasi dan
wisata adalah tidak akan pernah lepas dari berbicara mengenai bagaimana pola
waktu luang yang dimiliki suatu masyarakat dan bagaimana pola partisipasi mereka
dalam berekreasi. Meskipun secara umum para ahli rekreasi telah menyepakati
bahwa leisure time adalah salah satu syarat untuk menyatakan suatu kegiatan
masyarakat sebagai rekreasi, namun skema time budget yang ditawarkan oleh
Avenzora (2004) menunjukkan bahwa ada kelompok masyarakat yang cenderung
mengaitkan existence activities dan subsistence activities dengan kegiatan rekreasi.
Setidaknya dapat disimpulkan bahwa pada kelompok masyarakat mapan (the rich
group) berbagai existence activities dan subsitance activities yang mereka kaitkan dengan
recreation supplies and facilities telah menjadi lambang prestige bagi kelompok mereka.
Hall dan Stephen (2002, p. 31) mengingatkan bahwa adalah penting untuk mampu
dan mau mengenali keterkaitan antara permintaan sebagai partisipasi (human demand
as participation) dan permintaan sebagai keinginan untuk terlibat dalam rekreasi
(human demand as a desire to engage in recreationi) dengan sumberdaya, suplai, fasilitas
dan oportuniti yang menggerakan berbagai permintaan tersebut menjadi terpenuhi.
Dalam konteks demand, berbagai literature yang ada telah menawarkan berbagai
demand typology, mulai dari potential demand, induced demand dan actual demand,
hingga suppressed demand, substitution of demand, dan redirection demand (e.g. see
Cooper et al., 1993 dan Uysal, 1998) . Namun tidak demikian halnya dalam konteks
resources and supply, berbagai literatur yang ada hanya memaparkan pengertian
resources and supply secara implisit, yaitu dengan ungkapan “it could be wildlife, water,
land etc.”
Dalam konteks recreation resources, Avenzora (2003) mengungkapkan bahwa
sumberdaya rekreasi dan wisata dapat dipahami melalui pengertian tentang :
(1) apa dan berapa banyak dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan, dan (3)
kepada siapa dapat diberikan. Dan, sejalan dengan variabel waktu dan ruang
maka recreation-resources yang akan disediakan tersebut dapat didefinisikan
sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung
elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk
berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan
orang berekreasi”.
Meskipun World Tourism Organisation telah mengeluarkan definisi tourism,
pada kenyataannya berbagai negara anggotanya memberlakukan definisi
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, USA menyatakan perlunya turis untuk
melakukan“over night” sebagai syarat perjalanan mereka dapat dihitung
dalam pendataan statistik mereka, sementara Canada tidak (lihat Smith 1989,
p. 78). Dari berbagai definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa definisi
yang dibangun semata-mata lebih tertuju untuk memfasilitasi proses
pencatatan statistik.
Untuk mempelajari kompleksitas dalam tourism, suatu model yang diajukan
oleh Ja’fari (cited in Cooper et al., 1999, p. 4) dapat dipertimbangkan sebagai
suatu model yang baik dan komprehensif. Model tersebut menggambarkan
berbagai aspek yang dibutuhkan untuk mendukung suatu tourism
development, dan sekaligus menunjukkan betapa kompleksnya studi tentang
tourism. Melalui model tersebut hendaknya juga dapat disadari tentang
lingkup pengetahuan yang dibutuhkan untuk merencanakan suatu
perencanaan rekreasi dan pariwisata.
Urban Recreation and Tourism. Berbeda dengan rural tourism
yang sering
menghadapi kelangkaan sumberdaya rekreasi dan wisata bagi partisipasi
masyarakatnya, maka dalam konteks urban tourism sering terjadi kendala-kendala
penting berikut (Hall and Stephen, 2002, p. 174), yaitu :

Physical barriers. Tingkat partisipasi sering dikendalai oleh adanya struktur
umur masyarakat yang tidak seimbang, yang akhirnya menimbulkan
kendala fisik untuk kehadiran.

Financial barriers. Struktur kondisi sosial yang timpang pada masyarakat
perkotaan sering menyebabkan sebagian besar golongan menengah ke
bawah tidak mampu berpartisipasi pada berbagai fasilitas rekreasi yang
umumnya diperuntukan bagi golongan menengah ke atas.

Social barriers. Hal ini setidaknya sering ditimbulkan oleh adanya image
yang berbeda pada setiap kelompok sosial. Kelompok menengah ke bawah,
misalnya, meskipun berkeinginan tapi akan sangat sulit diharapkan untuk
mau berpartisipasi dalam tontonan opera.

Transport barriers. Meskipun secara umum transportasi adalah bukan
masalah pada areal perkotaan, namun rendahnya kualitas transportasi dan
rendahnya tingkat kepemilikan mobil pribadi sering menjadi kendala bagi
partisipasi masyarakat perkotaan dalam rekreasi atau wisata.
Secara sederhana, rentang dan dinamika rekreasi dan wisata di areal perkotaan
dapat diwakili oleh model yang ditawarkan oleh Hall dan Stephen (2002)
sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Meskipun dari model tersebut dapat dilihat
bahwa terjadi interaksi pada setiap kelompok, namun persoalan sesunggungnya
yang perlu menjadi perhatian dalam perencanaan adalah bagaimana proporsi dan
tingkat partisipasinya.
Gambar 1. Dinamika dan Areal Fungsional Rekreasi & Pariwisata Perkotaan
Tingkat partisipasi masyarakat dalam berbagai dinamika rekreasi di atas adalah akan
sangat ditentukan oleh dinamika motivasi yang berkembang di dalam masyarakat itu
sendiri. Crandall (1980) mengidentifikasi setidaknya ada 17 macam motivasi
masyarakat yang berkaitan dengan partisipasi mereka dalam rekreasi dan pariwisata,
yaitu seperti yang tertera pada Tabel 1. Sedangkan proses keputusan mereka untuk
berpatisipasi dapat digambarkan oleh model (Gambar 2) yang ditawarkan oleh
Pigram (1983).
Tabel 1. Motivasi Masyarakat dalam Berekreasi dan Wisata Menurut Crandall (1980)
No.
Motivasi
1. Enjoying
nature,
escaping
from
civilisation.
2. Escape from routine and responsibility
3. Physical exercise
4. Creativity
5. Relaxation
6. Social Contact
7 Meeting new people
8. Heterosexual contact
9. Family contact
No.
Motivasi
10. Self actualisation (feed back, self
improvement, ability utilisation)
11. Recognition, Status
12. Social Power
13. Altruism
14. Stimulus Seeking
15. Achievement, Challange, Competition
16. Killing time, Avoiding Boredom
17. Intelektual Aestheticism
Gambar 2. Proses Pengambilan Keputusan untuk Berpartisipasi dalam Rekreasi & Wisata
Dikaitkan dengan pola pasokan sumberdaya rekreasi dan wisata, maka model
(Gambar 3) yang disimpulkan oleh Asworth tentang kondisi pasokan di Eropa Barat
barangkali dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam mengevaluasi kondisi
pasokan di Indonesia.
Sedangkan untuk membandingkan pola partisipasi
masyarakat dalam memanfaatkan berbagai fasilitas dan pasokan rekreasi serta wisata
yang ada maka model (Gambar 4) yang disimpulkan oleh Glyptis (1981) adalah
cukup representatif untuk dipakai.
Gambar 3. Model Penyebaran Lokasi Fasilitas Wisata (hotel) di Eropa Barat
Gambar 4. Model Penyebaran Pengunjung pada Tapak ( Informal) Rekreasi
Some Crucial Conditions to Learn
Crowded Urban. Meskipun secara makro memang dapat dilihat pesatnya
pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah perkotaan di Indonesia, namun harus
diingat bahwa urban development aspects tidaklah hanya ekonomi praktis belaka.
Identitas suatu perkotaan (urban identity) setidaknya ditentukan oleh : (1) physical
performance, (2) public facilities and accessibilities, (3) regulation and security, (4) green
open space, (5) living standard, (6) economic activities, (7) socio-culture norms and traditions,
dan (8) inhabitant behaviour. Terciptanya good total performance dari suatu wilayah
perkotaan adalah tergantung dari keharmonisan pembangunan berbagai aspek
tersebut. Jika Jakarta diambil sebagai contoh, hasil studi Makarumi et al. (2004)
menyimpulkan bahwa proses urbanisasi di Jakarta jauh lebih pesat dari Bangkok dan
Manila yang sama-sama tergolong kota besar di Asia, dan telah menyebabkan green
open space dalam bentuk mixed land use hanya ditemukan jauh di luar batas kota.
Walaupun bukan istilah yang terlalu tepat dan tidak enak untuk di dengar,
barangkali istilah crowded urban untuk sementara dapat dipakai guna
menggambarkan keutuhan simpang siurnya situasi pembangunan dan kondisi
wilayah perkotaan di Indonesia. Setidaknya, dapat disimpulkan bahwa kerancuan
penerapan konsep dan pendekatan pembangunan wilayah perkotaan di Indonesia –
mulai dari pengadopsian konsep dan pendekatan intensive urban dengan ciri super
block diakhir tahun 70-an hingga pengadopsian konsep dan pendekatan extensive
urban dengan ciri pembangunan kota mandiri pada kawasan periphery diakhir tahun
80-an – hingga saat ini telah menimbulkan banyak ketimpangan dalam segala hal.
Salah satu dampak negatif penting yang ditimbulkan crowded urban atas rekreasi
perkotaan adalah hilangnya public urban open space.
Hilang, rusak atau terbengkalainya berbagai ruang terbuka hijau di kawasan
perkotaan di Indonesia tidak hanya terjadi di kota besar, namun juga terjadi pada
kota-kota kecil yang sedang dalam proses pertumbuhan menjadi kota besar. Jika di
kota besar penyebab utama hilangnya green open space adalah tingginya motif
ekonomi dalam pemanfaatan ruang kota, maka pada kota kecil terbengkalainya green
open space adalah lebih disebabkan karena keterbatasan dana pemerintah kota untuk
membangun green open space bagi berbagai kebutuhan masyarakat, termasuk rekreasi
dan olah raga.
Kecuali pada kawasan perumahan kelompok elite, maka mudah diamati dan dapat
dikatakan bahwa banyak tapak ruang terbuka hijau di kota besar yang semestinya
berfungsi sebagai public open space telah berubah fungsinya menjadi berbagai tapak
kegiatan ekonomi; baik secara legal ataupun ilegal. Pola illegal to legal adalah
merupakan modus operandi yang umum dan mudah diamati dalam perubahan
fungsi public open space di wilayah perkotaan. Cara ”membiarkan terbengkalai”
(sehingga digunakan secara ilegal) dan kemudian ”merubah fungsinya secara diamdiam” ( melalui mekanisme revisi RDTR sebagai proses yang legal) adalah sangat
umum ditemui pada berbagai kelompok otoritas pembangunan kota; baik dalam
skala kawasan perumahan ataupun satuan unit perkotaan.
Dalam konteks urban recreational land use, Hall and Stephen (2002) mensyaratkan
setidaknya ada 6 pola peruntukan ruang yang penting untuk disediakan bagi
berbagai kegiatan rekreasi masyarakat, yaitu : (1) linear open space, (2) smal local park,
(3) local park, (4) distric park , (5) metropolitan park, dan (6) regional park. Karakteristik
dari berbagai functional open space tersebut adalah seperti tertera pada Tabel 2.
Sungguh ironis, bahwa belum ada satupun wilayah perkotaan di Indonesia yang
telah mendekati kondisi ideal tersebut.
Tabel 2. Hirarki Public Open Space bagi Wilayah Perkotaan.
No.
Tipe
Fungsi
1.
Linier open
space
Pedestrian visit
2.
Small local park
3.
Local park
Pedestrian visit,
khususnya bagi
orang tua dan
anak-anak,
terutama bagi
itensitas
pemukiman yang
tinggi.
Pedestrian visitor
4.
District park
5.
Metropolitan
park
6.
Regional park
Ukuran &
Jarak
Karakteristik
Ukuran bervariasi
pada jarak yang
memungkinkan
Ukuran 2 hektar,
pada jarak 0.4 km
dari pemukiman
yang akan dipasok
Canal towpath, footpaht,;
sebagai sarana rekreasi informal
Ukuran 2 hektar,
pada jarak 0.4 km
dari pemukiman
yang akan dipasok
Week end and
Ukuran 20 hektar ,
occasional visit yang pada jarak 1.2 km
dapat ditempuh
dari pemukiman
dengan jalan kaki, yang akan dipasok
sepeda ataupun
satu kali naik
kendaraan umum
Week end atau
Ukuran 60 hektar
occasional visit
pada jarak 3.2 km
dengan
atau lebih dari
menggunakan
pemukiman yang
kendaraan pribadi akan dipasok
atau public
transport
Week end atau
400 hektar, pada
occasional visit
jara 3.2 – 8 km dari
dengan
pemukimanmenggunakan
pemukiman yang
kendaraan pribadi akan dipasok
atau public
transport
Taman, sitting out area, dan play
ground untuk anak-anak
Court game, play ground, sitting
out, etc dengan gubahan dan
nuasa landscape
Suatu landscape setting bagi
berbagai outdoor activities,
termasuk sport, children play
ground, dan kegiatan informal
lainnya. Biasanya dilengkapi
dengan parking lot yang
memadai.
Dapat berupa perpaduan antara
natural setting dengan theme
park bagi berbagai kegiatan
rekreasi aktif dan pasif, dan
menyediakan ruang yang
cukup bagi kegiatan umum.
Dilengkapi parking lot.
Dapat berupa perpaduan antara
natural setting dengan theme
park bagi berbagai kegiatan
informal recreation dan beberapa
non intensive active recreation.
Dilengkapi parking lot pada
tempat yang strategis.
Rcreation Opportunity . Terlepas dari apa dan siapa penyebab timbulnya crowded
urban pada banyak wilayah perkotaan di Indonesia, berbagai kegagalan dalam
membangun wilayah perkotaan yang harmonis telah menyebabkan banyak dampak
negatif bagi public recreation. Buruknya sistem transportasi dan jauhnya jarak tempat
bekerja dengan tempat tinggal adalah dua variabel penting yang sangat
mempengaruhi peluang rekreasi masyarakat pada suatu crowded urban. Hal ini tidak
hanya menyebabkan lebih panjangnya subsistance time yang harus mereka pakai
dalam keseharian, namun juga menyebabkan tingginya biaya hidup.
Lebih
panjangnya subsitance time adalah sangat signifikan mengurangi leisure time yang
bisa mereka pakai untuk berekreasi. Sedangkan tingginya biaya hidup adalah
mengurangi porsi dispossible income yang bisa mereka pakai untuk membiayai
kegiatan rekreasi.
Jika kondisi wilayah perkotaan di Indonesia dewasa ini dikaitkan dengan model
yang ditawarkan oleh Hall dan Stephen (2002) di atas, maka barangkali dapat
disimpulkan bahwa banyak wilayah perkotaan cenderung hanya tumbuh menjadi the
shoping city yang kemudian juga berkembang menjadi the night life city. Terlepas dari
dampak negatif yang ditimbulkan, tidak dapat disangkal bahwa kondisi ini hanya
memasok sebagian kecil kebutuhan rekreasi masyarakat perkotaan, baik dalam
konteks lapisan dan kelompok masyarakat yang bisa disuplai ataupun dalam konteks
keanekaragaman rekreasi bagi pembangunan mental masyarakat perkotaan.
Berbagai kondisi yang bersifat reciprokal tersebut telah menyebabkan MENONTON
TV, MAKAN-MAKAN DI RESTORAN dan JALAN-JALAN DI MALL (rata-rata pada
ranking 70 % teratas) adalah sebagai pola partisipasi rekreasi terfavorit bagi sebagian
besar lapisan masyarakat perkotaan, baik pada kelompok usia anak-anak (lihat
Kurniawan, 2004, dan Patriani, 2004) ataupun pada kelompok usia dewasa (lihat
Gustiawan, 2005, Manurung, 2005, dan Utami, 2004).
Kraus (1977) mengingatkan setidaknya ada empat aspek penting yang perlu dicapai
dalam pembangunan rekreasi masyrakat, yaitu : (1) psychological aspects, (2) physical
aspects, (3) social aspect, dan (4) societal needs in community life. Dalam konteks
psikologi, hendaknya kegiatan rekreasi masyrakat harus diarahkan untuk mampu
menghasilkan KESEHATAN EMOSIONAL mereka. Kegiatan rekreasi juga harus
diarahkan untuk menstimulasi physical well being pada masyarakat. Melalui rekreasi,
masyarakat didorong untuk mampu mengidentifikasi anggota kelompoknya,
mampu mengembangkan persatuan dalam kelompoknya, dan mampu menjadi
independent dan sekaligus dependent dalam memenuhi berbagai kebutuhan penting
dalam kehidupan sosial. Naifnya, satupun aspek tersebut nampaknya belum
disadari (apalagi tercapai) dengan baik pada berbagai wilayah perkotaan di
Indonesia.
PENUTUP
Apakah ”mall related recreation” yang setidaknya hanya cenderung menciptakan
consumptive community akan terus dibiarkan? Apakah the night life city yang telah
terbukti menimbulkan semua aspek black stories of recreation and tourism akan terus
dikembangkan? Please take your time to think, and do something.
DAFTAR PUSTAKA
Avenzora, R. 2003. Integrated and Ecological Planning of Sustainable Tourism
Development in Rural Area in Indonesia : the case study of Tana Toraja,
Sulawesi. Doctoral Dissertation at Georg-August University, Germany.
Cooper, C.P., Fletcher, J., Gilbert, D.G., and Wanhill, S. 1993. Tourism : principle and
practice. Pitman. London.
Gustiwawan, Fajar Agung. 2005. Studi Motivasi dan Tingkat Partisipasi Pegawai PT
Raya Sugarindo dalam Kegiatan Rekreasi. . Skripsi D-3 Ekowisata.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Hall, C. Michael and Stephen J. Page. 2002. The Geography of Tourism and
Recreation: Environment, Place and Space (2nd edition). Routledge. London
and New York.
Kraus, Richard G. 1977. Recreation Today : program, planning and leadership.
Goodyear Publishing Company, Inc. Santa Monica, California.
Kurniawan, Ferdy. 2004. Studi Tingkat Partisipasi Rekreasi Siswa Sekolah Dasar di
Kotamadya Jakarta Timur. . Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Long, J.A. 1984. Introduction – tourism and social change. In J.A. Long and R. Hecock
(eds) Leisure, Tourism and Social Change. Dunfermline : Centre for Leisure
Research. Dunfermline Collage of Physical Education, p. 69-67.
Manurung, Deisman. 2005. Studi Motivasi dan Tingkat Partisipasi Pegawai Tambang
Batubara Bukit Asam dalam Kegiatan Rekreasi. . Skripsi D-3 Ekowisata.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Murakami, A., Alinda M. Zain, Kazuhiko Takeuchi, Atsushi Tsunekawa, Shigehiro
Yokota. 2004. Trend in Urbanisation and Pattern of Land use in Asian Mega
Cities Jakarta, Bangkok and Metro Manila. Article in Press, Landscape and
Urban Planning. Elsevier.
Patriani, Eki. 2004 Studi Tingkat Partisipasi Rekreasi Siswa Sekolah Dasar di Kota
Bogor. . Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Piagram, J.J. 1983. Outdoor Recreation and Resources Management. Croom Helm.
Beckenham.
Pizam, A. 1978. Tourism impacts : the social costs to the destination community as
perceived by its residents. Journal of Travel Research 16(4) : 8-12.
Utami, Siwi Tri. 2004. Studi Motivasi dan Tingkat Partisipasi Pegawai Negeri Sipil
Sektor Kesehatan dan Sektor Pendidikan Kabupaten Wonogiri dalam
Kegiatan Rekreasi.
Skripsi D-3 Ekowisata. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Uysal, M. 1998. The Determinants of Tourism Demand: a theoretical perspective. In D.
Ioannides and K. Debbage (eds) The Economic Geopgraphy of the Tourist Industry:
a supply-side analysis. Routledge. London.
Download