98463-BUDI UTOMO-FUH - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA
DALAM TAFSIR AN-NUUR
Tafsir Surat al An’âm ayat 159 dan al Rûm 30 sampai 32
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh :
Budi Utomo
NIM: 208034000003
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan
hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat 8 Juni 2010
Budi Utomo
ABSTRAK
Masalah disintegrasi bukan hanya terjadi pada masalah kenegaraan
tetapi juga merambah wilayah beragama dan berkeyakinan. Disintegrasi
dalam satu kawasan negara biasanya membicarakan masalah state atau
pembagian wilayah yang diklaim oleh pihak separatis sebagai hak mereka
yang diambil oleh pemerintahan yang sah. Jadi yang dibicarakan adalah
peta wilayah.
Disintegrasi di dalam agama dan keyakinan adalah terjadi karena
adanya orientasi baru baik dalam masalah ibadah ritual, pemahaman dan
kelembagaan secara parsial atau keseluruhan. Pada awalnya yang
dibicarakan adalah peta pemikiran tetapi pada akhirnya bisa sampai pada
pembicaraan peta wilayah, pemberontakan kepada otoritas kekuasaan yang
sah. Yang seluruhnya keluar dari pakem yang ada dalam tuntunan Allah
dan Rasul-Nya sebagai pemilik otoritas Islam. Kemudian Islam yang
sudah tidak original itu masih memakai nama gen awalnya sehingga
timbulah banyak varian yang saling berbenturan karena persaingan seolah
mengharuskan adanya satu juara saja, yang paling benar, yang paling
original. Persaingan yang tak pernah usai, tidak hanya menyebabkan
perang dingin tetapi juga kerap memicu bentrokan fisik bahkan
pertumpahan darah dan perang senjata dalam waktu yang panjang dan
melelahkan. Bahkan memicu dendam sejarah yang terus diwariskan.
Tulisan dalam penelitian ini berbicara tentang perpecahan dalam
Islam seputar tataran definisi, sebab awal, bahaya dan solusinya dalam
persfektif tafsir al Qur’an. Dibingkai dalam analisa tafsir atas tafsir
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam wilayah keIndonesiaan.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdu li Allâh rabb al ‘alamîn.
Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad.
Terima kasih yang tulus kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Zaenun Kamal F.,
MA., Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Bustamin Msi., Ketua Jurusan
Tafsir Hadis, Dr. Edwin Syarif MA., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. Tak
lupa pula kepada pembimbing skripsi bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, MA.,
atas kesabaran, bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian
skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada seluruh dosen pembimbing mata kuliah di
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, semoga Allah memberikan keberkahan
atas ilmu yang diajarkan. Tak lupa pula kepada segenap karyawan
Perpustakaan Utama, Perpustakaan FU UIN dan Perpustakaan Umum
IMan Jama.
Permohonan maaf dan terima kasih yang tiada terhingga kepada
Orang Tua tercinta Ibu Hajjah Janatun dan Bapak Haji Tambak bin
Ranyan yang sekian lama menunggu dengan sabar dan ikhlas atas
keterlambatan penyelesaian tugas ini karena kesalahan dan keterbatasan
penulis. Juga atas dukungan moril, materil dan do’a yang tiada putusputusnya. Semoga rida dunia sampai akhirat. Allah berikan keberkahan
pada umur dan ‘amal shalih keduanya.
Terima kasih juga kepada rekan-rekan asâtîdz pendukung
berdirinya Pesantren Syi’ar al Islam terutama kepada Tuan Guru dan
Orang Tua kami tercinta K.H. Muhammad Suharliansyah al Banjari atas
nasehat dan bimbingannya. Semoga Allah mengangkat derajat beliau
setinggi-tingginya.
ii
Terima kasih selanjutnya untuk isteri tercinta Fitria Kadam dan
Pasukan Kecilku; Zhafira La Zanba, Zakia Nurul ‘Aini dan Zou Zein yang
selalu membawa keceriaan dan menjadi semangat hidup. Semoga Romo
(penulis) bisa memberikan sejarah yang baik untuk kebahagiaan dan
kebanggaan keluarga “ La Zanba” kecil kita. Juga kepada Keluarga besar
lain di Kampung Gedong; Bapak Rudi Trikurniawan sekeluarga dan Ibu
Tuti beserta suami dan anak-anak. Keluarga besar cucu Mbah Tesbeh alias
Mbah Salbani.
Penulis dedikasikan tulisan ini untuk keluarga besar “698 ghairu”
semoga menjadi inspirasi bagi kemajuan kita bersama. “ Kita boleh
terlambat dalam hal-hal yang bisa kita kejar, tetapi kita tak bisa menunda
keputusan atas perkara yang harus kita kerjakan, jangan bunuh
idealisme...”
Selesainya tulisan ini adalah keberkahan luar biasa bagi penulis
dan keluarga besar dan ini adalah hadiah luar biasa dan hiburan yang
sangat menggembirakan sekaligus mengharukan.
Hanya Allah yang bisa membalas seluruh kebaikan atas inspirasi
dan motivasi dari Ibu-Bapak, para guru, orang tua, dosen pembimbing dan
seluruh keluarga besar. Jazâkumullâhu khairan katsîran.
Wassalâmu ‘alaikum wa rahmah Allah wa barakâtuh.
Kelapa Dua Wetan, 03 Juni 2010
Budi Utomo
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………….. .....
i
KATA PENGANTAR ..........................................................................
ii
DAFTAR ISI ........................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………
6
C. Tujuan Penelitian……………………………………….
8
D. Metodologi Penelitian………………………………….
8
E. Sistematika Penulisan………………………………….
10
BAB II BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI
ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR
A. Riwayat Hidup……………………………………………. 12
B. Pemikiran dan Karya……………………………………… 15
C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur……………………….. 17
D. Karakteristik Tafsir An-Nuur…………………………….. 19
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU
MENCERAI-BERAI
A. Pengertian Agama ..........................................................
21
B. Fungsi Agama ................................................................
24
C. Agama dan Perilaku Memecah Belah..............................
26
iv
BAB IV ANALISIS TENTANG MASALAH PERILAKU MENCERAIBERAI AGAMA DAN BAHAYANYA DALAM TAFSIR AN
NUUR KAJIAN SURAH AL AN’ÂM AYAT 159 DAN AL RÛM
30 SAMPAI 32
BAB V
A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 ............
31
B. Pengertian Memecah Belah Agama .................................
33
C. Perpecahan dalam Islam..................................................
35
D. Penyebab Perpecahan......................................................
41
E. Bahaya Perpecahan dalam Agama...................................
45
F. Klaim Syirik atas Perilaku Memecah Belah Agama ........
47
G. Solusi untuk Menghindari Perpecahan ............................
50
PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................
57
B. Saran-saran .....................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
59
LAMPIRAN ........................................................................................
63
v
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini media sering membicarakan penyerangan yang dilakukan
oleh sekelompok umat Islam atas kelompok umat Islam lainnya. Mulai dari
serangan argumentasi dalam berbagai tulisan, intimidasi sampai kekerasan fisik
yang terkadang menimbulkan bentrokan fisik massa yang berseteru. Bisa saja
perseteruan itu dipicu oleh adanya perbedaan konsep esensial dalam agama, yaitu
masalah teologi1. Mungkin juga disebabkan pilihan politik dengan latar belakang
pemahaman politik yang didasarkan pada partai berasas Islam yang berbeda2.
Ataupun organisasi non politik yang menggunakan atribut Islam3.
Ini menunjukkan adanya disintegrasi umat Islam. Perbedaan dalam satu
kesatuan agama. Satu sembahan dan sumber pengambilan hukum namun berbeda
pandangan dalam banyak hal.
Sangat berbeda dengan para shahabah Rasulullah saw. yang pada awalnya
mereka berasal dari berbagai latar belakang keyakinan, strata sosial dan suku
bangsa bahkan fanatisme yang sering memicu peperangan. Maka Islam merangkul
mereka dalam sebuah semangat persaudaraan Islam sehingga bisa meretas batasbatas pembeda dan mampu bersatu dalam keberagaman. Sebut saja term ‘Arab
1
ANTARA
Diserang,”
artikel
diakses
pada
Pebruari 2009 dari
http://www.ANTARA.com.
2
Rival Fahmi, -Okezone, “Pulang-Kampanye-Massa-PKS-PPP-Bentrok,” artikel diakses
pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://news.okezone.com
3
detikSurabaya, >> News Jatim, 11/04/2008, “ Rebutan Lahan, anggota FPI Nyaris
Bentrok dengan Warga,” artikel diakses Jum’at, 12 Juni 2009 dari http://m.detik.com.
1
senin,
23
2
dan ‘Ajam, orang merdeka dan budak, muhâjirîn dan anshâr, bangsawan dan
rakyat biasa, itu semua adalah setting latar belakang sosio cultural ketika itu.
Sebuah contoh adalah kehidupan umat Islam di masa dahulu, mereka
hidup berdampingan dengan orang-orang non muslim, bahkan al-Qur’an dengan
tegas menyatakan dalam Sûrah al Kâfirûn /109:6
‫ﻳﻦﹺ‬‫ ﺩ‬‫ﻲ‬‫ﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻳﻨ‬‫ ﺩ‬‫ﻟﹶﻜﹸﻢ‬
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
Tetapi sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut, pemisahan antara
muslim dengan non muslim tersebut adalah dalam masalah akidah dan ibadah
saja. Ketika orang-orang musyrik mencoba mengajak Nabi saw. untuk melakukan
kompromi dalam bidang agama. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dijalankan.
Karena kompromi atau toleransi kerjasama dengan orang non muslim
diperbolehkan ketika urusannya bukan permasalahan aqidah dan atau ibadah.4
Memang membicarakan masa itu merupakan sebuah hayalan tentang
kondisi ideal umat Islam. Hayalan itu dipertegas lagi dengan adanya hadis yang
menyebutkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau bersama para
shahabah kemudian tâbi’ în kemudian tâbi’ al tâbi’în5. Namun tetap saja ada
rambu-rambu bagi umat yang menginginkan berada dalam kelompok Nabi dan
shahabah. Nabi pulalah yang memberi informasi akan terpecahnya umat Islam ke
dalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu ahlu
4
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), h. 68-69.
5
Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari
(Beirut: Dar al Fikr, 1981),vol.3, h.3650-3651.
3
al sunnah wa al jamâ’ah. Menurut Nabi mereka adalah orang-orang yang
mengikutinya dan para sahabatnya.
‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬- ‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻻﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬‫ﻴﻨ‬‫ ﻓ‬‫ ﻗﹶﺎﻡ‬‫ﻪ‬‫ﺎﻥﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺳ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﺎﻭﹺﻳ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﲔ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬‫ﻦﹺ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻰ ﺛ‬‫ﻗﹸﻮﺍ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﻓﹾﺘ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ » ﺃﹶﻻﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﻣ‬‫ﻴﻨ‬‫ ﻓ‬‫ ﻗﹶﺎﻡ‬-‫ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﻰ‬‫ﺓﹲ ﻓ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﻭ‬‫ﺎﺭﹺ ﻭ‬‫ﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ ﺛ‬‫ﲔ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹶﻰ ﺛﹶﻼﹶﺙ‬‫ ﻋ‬‫ﺮﹺﻕ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﺘ‬‫ﻠﱠﺔﹶ ﺳ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻩ‬‫ﺬ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﻫ‬‫ﻠﱠﺔﹰ ﻭ‬‫ﻣ‬
6
‫ﺔﹸ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻰ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬.«‫ﺔ‬‫ﻨ‬‫ﺍﻟﹾﺠ‬
“Dari mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya terdapat seseorang di
antara kami yang berdiri, kemudian dia berkata, “ketahuilah, bahwasanya
Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum
kalian dari kalangan ahli kitab telah bercerai-berai menjadi 72 millah, dan
sesungguhnya, millah ini (agama Islam) akan tercerai-berai menjadi 73 golongan.
72 golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga.’
Segolongan itu adalah al jamâ’ah.”
Dalam riwayat lain, terdapat perbedaan redaksi dengan maksud yang
sama, yakni penjelasan tentang satu kelompok yang selamat dengan redaksi
sebagai berikut:
‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﺓﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﻠﱠﺔﹰ ﻭ‬‫ﺎﺭﹺ ﺇﹺﻻﱠ ﻣ‬‫ﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻓ‬‫ﻢ‬‫ﻠﱠﺔﹰ ﻛﹸﻠﱡﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹶﻰ ﺛﹶﻼﹶﺙ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﺘ‬‫ ﺃﹸﻣ‬‫ﺮﹺﻕ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﺗ‬‫ﻭ‬
7
‫ﺎﺑﹺﻰ‬‫ﺤ‬‫ﺃﹶﺻ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻣ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ ﻳ‬‫ﻰ‬‫ﻫ‬
“Ummatku akan tercerai-berai menjadi 73 millah, semuanya masuk
neraka, kecuali satu millah. Para sahabat bertanya, siapa (yang berada dalam)
6
Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani al Azdî, Sunan Abi Dawud, vol.4
(Cairo: Darul Hadis, 1999), h.324.
7
Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat al Turmuzî, Sunan al Turmuzi, vol. 5 (Beirut:
Dar al Fikr, 1980), h. 2641.
4
millah itu ya Rasulallah? Beliau bersabda, “yaitu orang-orang yang mengikuti apa
yang ada padaku dan para sahabatku.”
Keterangan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi setiap kelompok
yang mengaku sebagai salah satu golongan yang selamat untuk mempertahankan
diri sekaligus menyerang balik. Dan dari sini juga istilah salaf diperdebatkan8.
Sebuah ironi yang terjadi adalah ketika larangan untuk berkelompokkelompok dan bergolong-golong itu secara tegas tertera dalam al-Qur’an, bahkan
kelompok dan golongan itu semakin hari semakin terlihat lebih banyak.
Dalam al-Qur’an Sûrah Ali 'Imran /3:103 disebutkan:
ً‫ﺍﺀ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺔﹶ ﺇﹺﺫﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ﻤ‬‫ ﻧﹺﻌ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺫﹾﻛﹸﺮ‬‫ﻗﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺟ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﺤ‬‫ﻤ‬‫ﺼ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻋ‬‫ﻭ‬
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻘﹶﺬﹶﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺭﹺ ﻓﹶﺄﹶﻧ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺓ‬‫ﻔﹾﺮ‬‫ﻔﹶﺎ ﺣ‬‫ﻠﹶﻰ ﺷ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻛﹸﻨ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺍﻧ‬‫ﻮ‬‫ ﺇﹺﺧ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﻨﹺﻌ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺻ‬‫ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑﹺﻜﹸﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻓﹶﺄﹶﻟﱠﻒ‬
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻬ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﱠﻜﹸﻢ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﻪ‬‫ﺎﺗ‬‫ ﺁَﻳ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ﻛﹶﺬﹶﻟ‬
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orangorang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”9.
QS. Ali 'Imran /3:103
Dalam ayat lain Allah swt. Berfirman:
‫ﻓﹸﻮﺍ ﺇﹺﻥﱠ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹶ ﻟ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻗﹶﺒ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻮﺑ‬‫ﻌ‬‫ ﺷ‬‫ﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺜﹶﻰ ﻭ‬‫ﺃﹸﻧ‬‫ ﺫﹶﻛﹶﺮﹴ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﺒﹺﲑ‬‫ ﺧ‬‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻘﹶﺎﻛﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﺗ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻣ‬‫ﺃﹶﻛﹾﺮ‬
8
Muhammad al Ghazali, Islam yang Diterlantarkan, Penerjemah Muhammad Jamaluddin
(Bandung : Karisma, 1994), h. 13-22.
9
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya
(Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd, 1426H), h. 93.
5
“Hai manusia, sesungguhnya Kami meciptakan kamu dari seorang lakilaki (Adam) dan seorang wanita (Hawa) dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)10
Ketika kota Mekkah dibebaskan dari kaum musyrikin (fathu Makkah)
pada bulan Ramadlan 8 H, Bilal seorang Sahabat nabi yang berkulit hitam naik ke
atas ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Melihat kejadian ini, ada seoang
berkomentar, “mengapa budak hitam seperti itu yang mengumandangkan adzan?”.
Dari peristiwa tersebut, Allah kemudian menurunkan ayat 13 surah al Hujurat ini.
Dalam ayat ini sekurang-kurangnya terdapat dua buah teori. Pertama, teori
persamaan hak bagi manusia (Nazhariyyah al Musâwah). Persamaan ini berlaku
untuk seluruh manusia tanpa melihat etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan,
dan lain sebagainya11. Ketika ayat ini diturunkan kepada Nabi saw Beliau hidup
dalam suatu masyarakat yang sendi-sendi kehidupannya adalah berpijak di atas
prinsip-prinsip perbedaan. Perbedaan dalam keyakinan, harta, pangkat, keturunan,
dan warna kulit. Masyarakat pada masa itu membanggakan keturunan dan
kabilah-kabilah (suku-suku) mereka.
Kedua, teori pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa (syu’ûb, bentuk
tunggalnya: sya’b) dan suku-suku bangsa (qabâil, bentuk tunggalnya: qabilah).
Eksistensi bangsa-bangsa dan suku bangsa ini diakui dan dikehendaki oleh Allah.
Keberadaannya bukan untuk berbangga-banggaan apalagi melecehkan pihak lain.
10
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999) h. 29.
11
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al Jina’i al Islami, vol.1 (Bairut : Dar al-Katib al
‘Arabi, tth), h. 26.
6
Melainkan untuk saling mengenali satu sama lain, termasuk mengenali
kekurangan dan kelebihan pihak lain.12
Setiap kelompok selalu saja merasa bahwa ajaran mereka yang paling
benar dan biasanya adanya perseteruan ini terjadi karena masing-masing ingin
menjaga kemurnian agama agar tidak bercampur dengan ajaran yang bukan
berasal dari al-Qur’an dan Hadis Nabi13.
Orang-orang yang mengatas namakan memberantas bid’ah dan kekolotan
kadang tanpa sadar sedang berjuang dalam masalah khilafiyah. Kelompok yang
mempertahankan sebuah masalah khilafiyah dan yang berupaya memberantas
perkara itu juga sama-sama dalam rangka memurnikan ajaran Islam14.
Teori yang akan penulis bahas dalam tulisan ini adalah bahwa umat Islam
akan terpecah kedalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka
kecuali satu ahlu al sunnah wa al jama’ah. Masalah ini sangat penting untuk
dibahas karena banyaknya kesalahpahaman umat dalam memaknai ahlu al sunnah
wa al jama’ah sehingga menimbulkan perpecahan dan pertikaian.
1. Pembatasan Masalah
Dalam al-Qur’an setidaknya ada dua tempat yang secara jelas
menyebutkan idiom farraqû dînahum15 yang secara terjemah harfiah bahasa
12
Yaqub, Kerukunan Umat, h. 31.
Zamihan Mat Zin al Ghari, Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilain (Selangor: Tera Jaya
Enterprise, 2001), h. 148-149.
14
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern
(Ponorogo: Gontor Press), h. 460.
15
Faidu Allah al Hasanî al Maqdisî, Fathu al Rahmân li Talibi al Qur-ân (Indonesia:
Maktabah Dahlân, t.t.), h.341.
13
7
Indonesia berarti “mencerai-berai16 agama mereka” yaitu pada Sûrah al
An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32. 17 Dua ayat inilah yang akan dibahas
selain karena di dalamnya secara apa adanya menyebut kata yang secara
terjemah harfiah bahasa Indonesia akar katanya berarti memecah belah
agama dan secara munasabah memiliki kesamaan topik, yaitu larangan untuk
memecah belah agama tetapi juga memiliki beberapa poin yang menarik
untuk dibahas dan dibicarakan dalam sub-sub judul. Mengingat terlalu
luasnya pembahasan dan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
perpecahan dalam Islam termasuk sudut pandang pembahasannya maka
penelitian ini dibatasi sebatas lingkup penafsiran Hasbi ash Shiddieqy dalam
Tafsir an-Nuur.
Pemilihan Tafsir an-Nuur sebagai rujukan awal tulisan ini dengan
alasan karena ini adalah tafsir berbahasa Indonesia yang ditulis lengkap.
Cakupan wilayah pembahasan ini menggunakan dua skala yaitu lokal
ke-Indonesiaan dan internasional. Dalam penelitian ini pembicaraan akan
menggunakan skala nasional meski terkadang membawa wacana pemikiran
internasional karena pada hakekatnya keduanya memiliki hubungan sangat
erat.
16
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 1050.
17
Muhammad Fuad ‘Abd al Baqi, al Mu’jam al Mufahras li Alfâz al Qur ân al Karîm
(Beirut: Dar al Fikr,t.t.), h. 656.
8
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah maka penulis merumuskan
permasalahan dalam bingkai pertanyaan “ Bagaimana Penafsiran Hasbi ash
Shiddieqy mengenai farraqû dînahum yang tertera dalam Sûrah al
An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.
B. Tujuan Penelitian
Selain untuk memenuhi persyaratan akademis dalam rangka memperoleh
gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
skripsi ini bertujuan untuk:
1. Mendalami makna mencerai-berai agama yang terdapat dalam Sûrah al
An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.
2. Mengetahui secara umum pokok-pokok pemikiran Hasbi ash Shiddieqy yang
terkait dengan makna farraqû dînahum.
3. Menelaah dan menelusuri penafsiran Hasbi ash Shiddieqy serta pendapatnya
diantara beberapa pendapat lain.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan metode
kepustakaan (library reseach) dari berbagai buku yang berkaitan dengan
masalah ini.
9
Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk kepada
Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur karya Prof. DR. Teungku Muhammad
Hasbi ash Shiddieqy. Sedangkan sumber sekunder penulis merujuk kepada
tafsir berbahasa Indonesia lainnya yaitu Tafsir al Azhar, sebuah tafsir
berbahasa Arab yaitu Tafsîr ibn al Katsîr dan buku-buku lain yang berkaitan
dengan skripsi ini.
2. Metode Pembahasan
Adapun metode yang digunakan dalam membahas penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Yaitu dengan
menerangkan tinjauan teoritis seputar definisi agama, fungsi agama, perilaku
memecah belah agama dan hubungan antara agama dan perilaku memecah
belah. Masalah-masalah tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan
sudut pandang penafsiran Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash
Shiddieqy dalam Tafsir an Nuur pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al
Rûm/30: 32. Hasil analisa itulah yang akhirnya dirangkum dalam kesimpulan
dan saran.
10
3. Tehnik Penulisan
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku: “
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, yang
diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
Pengecualian terdapat pada penulisan Tafsir an Nuur kependekan
dari Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur menggunakan cara penulisan judul
pada buku aslinya yaitu buku cetakan Pustaka Rizki Putra Semarang tahun
1995 dan tahun 2000. Ungkapan shallallahu ‘alaihi wasallam disingkat
menjadi saw., berdasarkan penulisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis membagi tulisan menjadi lima bab dan
masing-masing terdiri dari sub-sub bab:
Bab I merupakan pendahuluan yang menjadi acuan dan landasan
pembasan skripsi ini. Memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan
Bab II berisi biografi Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi
Ash
Shiddieqy dan keterangan tentang Tafsir an Nuur berupa riwayat hidup,
pemikiran dan karya, sejarah penulisan dan karakteristik Tafsir an-Nuur.
Bab III berisi pengertian mengenai agama, fungsi agama dan kaitan antara
agama dengan perilaku memecah belah agama.
11
Bab IV analisis tentang masalah perilaku mencerai-berai agama dan
bahayanya dari Tafsir an Nuur , kajian Surah al An’âm/6: 159 dan al Rûm/30: 32.
Bab V penutup, yaitu berupa kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH
SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR
A. Riwayat Hidup1
Mengenai tempat lahir dan asal keturunan maka Hasbi ash-Shiddieqy
lahir di Loukseumawe, Aceh Utara di tengah keluarga berstrata sosial ulamaumara, tepatnya pada 10 Maret 1904. Ayahnya, Tengku Muhammad Husein ibn
Muhammad Su’ud, adalah salah seorang loyalis rumpun Tengku Chik Di
Simeuluk Samalanga. Sementara Ibunya, Tengku Amrah adalah putri Tengku
Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi.
Berdarah campuran Arab-Aceh Hasbi berasal dari lingkungan keluarga
ulama, pendidik dan pejuang. Ash-Shiddieqy dibelakang nama beliau adalah
nama keluarga yang dihubungkan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq khalifah
pertama dari kalangan shahabah pada tingkatan yang ke tigapuluh tujuh.
Ditinggal ibunya pada usia enam tahun setelah itu, Hasbi diasuh oleh
Tengku Syamsiyah, saudara wanita ibunya yang tidak dikaruniai putra.2 Dalam
keterangan lain, Tengku Syamsiyah adalah paman dari pihak ibu Hasbi. Ia khatam
al-Qur’an pada usia delapan tahun. Setahun berikutnya ia belajar qirâ’at dan
1
Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam 2, vol. 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
h.94.
2
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu: Ilmu Pokok dalam Menafsirkan
al-Qur’an (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h.323.
12
13
tajwîd serta dasar-dasar tafsir dan fiqih dari ayahnya yang menghendakinya
menjadi seorang ulama. Ayahnya pula yang mengirim Hasbi ke salah satu dayah
di kota kelahirannya. Dayah berarti orang perempuan (ibu) yang diserahi
mengasuh atau menyusui anak orang lain; inang pengasuh; ibu susu. Tetapi dalam
kebiasaan masyarakat Aceh, dayah berarti tempat pendidikan agama, layaknya
pesantren di Jawa. 3
Delapan tahun lamanya Hasbi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya.
Tahun 1912 ia belajar bahasa Arab di dayah Tengku Chik Di Piyeung dan
seterusnya berpindah-pindah tempat.
Pada tahun 1916 Hasbi merantau ke dayah Tengku Chik Idris di
Tanjungan Barat, Samalanga, dayah terbesar dan terkemuka di Aceh Utara untuk
belajar ilmu fiqih. Dua tahun kemudian pindah ke dayah Tengku Chik Hasan di
Kruengkale sampai tahun 1920 hingga mendapat syahâdah yaitu legalitas sang
guru untuk membuka dayah sendiri.
Kegemarannya membaca didukung kemahirannya dalam mengusai
bahasa-bahasa lain selain Melayu. Bahasa asing selain bahasa Arab yang
dimilikinya adalah bahasa Latin dan bahasa Belanda.
Al Irsyad Surabaya adalah tempat studi bahasa Arab Hasbi yang berangkat
kesana bersama al Kalali pada tahun 1926. tahun 1928 memimpin sekolah al
Irsyad di Lhokseumawe. Tahun1930 menjadi kepala sekolah al Huda di
Kruengmane Aceh utara. Pada tahun 1940-1942 menjadi direktur Darul
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 1335.
14
Mu’allimin Muhammadiyah Kutaraja. Masih sempat juga membuka Akademi
Bahasa Arab.
Pada era demokrasi liberal, ia terlibat secara aktif mewakili Partai
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan-perdebatan
panjang yang membahas masalah ideologi di Konstituante yaitu lembaga yang
mewakili rakyat ketika itu. Karir politik ini dimulai dari tahun 1930 ketika
diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond cabang Aceh utara di
Lhokseumawe. Dan masuk sebagai anggaota konstituante pada tahun 1955.
Namun akhirnya lebih memilih dunia akademis daripada berpolitik praktis. Tahun
1958 menjadi utusan Indonesia dalam Seminar Islm Internasional di Lahore.
Karir akademiknya dimulai dari menjadi staf pengajar sekolah persiapan
PTAIN sampai akhirnya menjadi direkturnya. Mata kuliah Hadits menjadi
spesialisasinya di IAIN. Tahun 1960 mendapat promosi sebagai Guru Besar
dengan pidato pengukuhan berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Jaman
yang disampaikan pada acara peringatan setengah tahun peralihan nama PTAIN
menjadi IAIN tahun1961.
Sewaktu pembukaan Fakultas Syariah di Darussalam, Banda Aceh yang
berinduk pada IAIN Yogyakarta beliau menjadi Dekannya sejak September 1960
hingga Januari 1962. Lepas dari jabatan ini, tahun 1963-1966 Hasbi merangkap
lagi sebagai Pembantu Rektor III dengan tetap menjadi Dekan Fakultas Syariah di
IAIN Yogyakarta.
Ada beberapa jabatan struktural di berbagai Perguruan Tinggi Swasta.
Tahun 1961-1971 ia menjabat sebagai Rektor Universitas al-Irsyad Surakarta dan
15
Universitas Cokroaminoto di kota yang sama. Mengajar di Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1964. Mengajar dan menjadi Dekan pada
Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang sejak
tahun 1967 hingga wafatnya.
Meskipun tidak pernah belajar di luar negeri beliau mampu menelurkan
lebih dari seratus judul karya intelektual dari beragam disiplin keilmuan dan
berbagai artikel lainnya. Ia mendapat anugerah Doctor Honoris Causa
dari
Unisba dan IAIN Sunan Kalijaga sekaligus pada tahun 1975. Pada tanggal 9
Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka
menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau
dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara
pelepasan jenazah dihadiri Buya Hamka dan Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir
yang sempat diselesaikan adalah Pedoman Haji.
Keppres Nomor 067/TK/Tahun 2007 menetapkan pemberian gelar
pahlawan nasional dan Bintang Mahaputra Utama kepada Prof Dr Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.4
B. Pemikiran dan Karya
Dari segi pemikiran Hasbi adalah pelajar tekun yang memiliki kemampuan
otodidak yang baik.
4
Terbukti dengan penyampaian makalahnya dalam
Margawati Rahayu Simarmata,” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan
Nasional,” artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://inilah.com.
16
Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan tahun
1958. Bahkan sebelum berhaji atau belajar di Timur Tengah Hasbi sudah jauhjauh menyerukan pembaharuan. Sejak awal Hasbi sudah berani menentang arus
bahkan di lingkungan yang sangat fanatik sekalipun. Terkenal sangat moderat
tetapi juga tegas dalam mengambil sikap. Dan beliau adalah penggagas awal fiqh
yang berkepribadian Indonesia.
Hasbi sebagaimana kebanyakan ulama memandang bahwa syariat Islam
bersifat lentur sehingga dinamikanya bisa disesuaikan dengan masa dan wilayah
hadirnya. Beliau memandang bahwa fiqh merupakan produk ijtihad yang belum
final sehingga memungkinkan umat Islam Indonesia untuk memiliki coraknya
sendiri. Beliau mengkritik praktek penggunaan fiqh yang dilaksanakan
masyarakat Indonesia yang dinilai tidak berkepribadian Indonesia. Pintu ijtihad
masih terus terbuka lebar. Beliau menyarankan tinjauan ulang atas hukum-hukum
produk ulama mazhab, mencari hukum yang timbul dari adat kebiasaan dan
meninjau masalah kontemporer dengan tinjauan proporsional. Kemudian semua
itu diramu untuk menjadi mazhab fiqh baru Indonesia.
Pandangan modern Hasbi tentang zakat dan sarannya kepada pemerintah
untuk membuat bait al mâl adalah bukti kepahaman atas maqâsid al syarî’ah atau
tujuan
pemberlakuan
syariah
sekaligus
bentuk
kepedulian
beliau
atas
kesejahteraan umat Islam dan tanggung jawab ilmiah sebagai seorang pengemban
ilmu Allah.
Karya ilmiah Hasbi adalah buah dari ketekunan membaca di perpustakaan
pribadinya setelah habis isya disela-sela kesibukannya. Bahkan sekitar tahun
17
1957-1958 beliau mendapat penghargaan sebagai salah seorang dari sepuluh
penulis Islam terkemuka.
Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya
mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang
ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid) dengan klasifikasi sebagai berikut:
1.
Bidang fiqh terdiri dari 36 judul.
2.
Bidang hadis terdiri dari 8 judul.
3.
Bidang tafsir terdiri dari 6 judul.
4.
Bidang tauhid; ilmu kalam terdiri dari 5 judul.
5.
Yang lainnya adalah tema-tema umum.
C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur
Hasbi menulis tafsirnya sejak tahun 1952 hingga tahun 1961 di sela-sela
kesibukannya mengajar, menjadi dekan fakultas Syari’ah IAIN dan menjadi
anggota konstituente dari partai Masyumi. Karena kesibukannya itu, ia tidak
menuliskan sendiri tafsirnya, tapi hanya mendiktekan kemudian dituliskan oleh
seorang pengetik, sementara di mejanya bertebaran berbagai buku rujukan5.
Latar belakang penulian tafsir ini, sebagaimana yang ia tulis di pengantar
tafsirnya, karena ia melihat banyak umat Islam Indonesia yang mulai tertarik
untuk mendalami
5
ajaran Islam, termasuk tafsir al-Qur’an. Tapi sayang,
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 1
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), h. iv.
18
kebanyakan diantara mereka tidak menguasai bahasa Arab, padahal kitab-kitab
tafsir umumnya berbahasa Arab. Maka ia tulis tafsir ini untuk memudahkan
mereka yang tertarik mendalami tafsir al-Qur’an itu.
Di bidang tafsir al-Qur’an, Hasbi menulis dua tafsir, yaitu Tafsir an-Nuur
(1956) dan Tafsir al-Bayan (1966). Tafsir an-Nuur ditulis di tengah perdebatan
tentang boleh-tidaknya menerjemah sekaligus menulis al-Qur’an dengan bahasa
selain bahasa Arab. Bagi Hasbi, al-Qur’an bersifat universal. Karena itu, demi
suksesnya misi transformasi maka penggunaan bahasa pembaca yang terkotakkotak dalam suku dan bangsa masing-masing untuk menafsirkan al-Qur’an
menjadi sebuah kebutuhan mendesak, tidak terkecuali menggunakan bahasa
Indonesia.
Hasbi sepenuhnya menyadari bahwa pendapatnya ini berseberangan
dengan pendapat majelis ulama-ulama besar Saudi Arabia dalam keputusan No.
67, 21 Syawal 1399 H/1978 M. Keputusan itu berisi fatwa haramnya menulis
(menafsirkan) al-Qur’an dengan menggunakan selain bahasa Arab. Namun ia
jalan terus dengan menulis Tafsir an-Nuur.
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Hasbi banyak menggunakan sumbersumber seperti ayat al-Qur’an, riwayat Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in, teoriteori ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga pendapat para mufasir. Ia menyusun
Tafsir an-Nuur dengan sistematika pembahasan tertentu yang diharapkan mampu
menggugah minat pembaca sekaligus memudahkannya dalam memahami dan
mendapat penjelasan yang relatif lengkap. Tafsir an-Nuur bahkan menjadi salah
19
satu kitab tafsir rujukan Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci alQur’an dalam tugasnya menerjemahkan al-Qur’an.
D. Karakteristik Tafsir An-Nuur
Sistem penulisan tafsir ini pertama-tama menyajikan pengantar umum
bagi setiap surat. Dengan menghubungkan hal-hal yang memiliki korelasi dengan
surat sebelumnya, atau biasa disebut munasabah. Kemudian menyebutkan satu,
dua atau tiga ayat al-Qur’an yang mengandung satu pembahasan. Kemudian ayat
tersebut diterjemahkan maknanya dengan cara yang mudah difahami. Setelah itu
barulah Hasbi menafsirkan inti dari ayat-ayat terebut. Selanjutnya ia menyebutkan
ayat-ayat lain yang mengandung pembahasan yang sama. Terakhir untuk lebih
memudahkan memahami maksud ayat-ayat itu ia menyebutkan asbabunnuzulnya, jika memang ada.
Materi tafsir yang terdapat dalam an-Nuur Hasbi sarikan dari tafsir-tafsir
mu’tabar, terutama dari al-Maraghî. Ayat dan hadits yang dinukil dalam tafsir ini
terdapat pula dalam tafsir-tafsir induk dan tafsir-tafsir yang mengambil dari tafsirtafsir induk itu. Sementara dalam menerangkan ayat-ayat yang semakna dengan
ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, Hasbi berpedoman pada Tafsîr Ibnu Katsir,
karena banyak menafsirkan ayat dengan ayat.
Tahun 1995 Tafsir an-Nuur diterbitkan oleh Pustaka Rizki Putra Semarang
dalam 5 jilid.
Dari maksud penulisan tafsir ini yaitu untuk memudahkan mereka yang
tertarik mendalami tafsir al Qur’an dan kesungguhan Hasbi dalam menekankan
20
segi-segi kemasyarakatan dan hukum-hukum sosial maka jelas terlihat bahwa
corak tafsir ini adalah al adabî al ijtim’î, sastra budaya kemasyarakatan.6
Begitu seriusnya Hasbi dalam menyampaikan ide-idenya sampai dalam
penulisan tafsir ini disertakan transliterasi ayat-ayat al-Qur’an pada bagian tafsir
hal ini selain untuk mempermudah para peminat tafsir yang belum bisa membaca
al-Qur’an dalam tulisan aslinya sekaligus mendorong umat untuk tidak minder
menghadapi tafsir al-Qur’an karena memang dia ditujukan bagi seluruh umat baik
kalangan terpelajar ataupun masyarakat awam. Apabila diperhatikan dengan
seksama maka akan didapati bahwa terjemahan dalam tafsir ini memiki ruh yang
sama dengan terjemah Departemen Agama hanya terdapat penyesuaian kata
seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia modern. Karena memang tafsir
Hasbi merupakan salah satu diantara rujukan tim penerjemah al-Qur’an yang
dibentuk Departemen Agama disamping Hasbi juga terlibat secara aktif dalam
proses lahirnya al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Dartemen Agama.
6
Didin Saefuddin Buchari, Pedoman Memahami al Qur’an (Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005), h.188.
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU
MENCERAI-BERAI
A. Pengertian Agama
Kata agama dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti:
Segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan lain sebagainya)
serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu.1
Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, agama disetarakan dengan
religion dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin: religio yang berarti
kekhawatiran, keseganan, atau berasal dari kata relegere yang berarti membaca
kembali atau dari kata religare yang berarti mengikat kembali. Dalam definisi
agama adalah segala kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa berikut ajaran
kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; sangat
mementingkan konsep mengenai asal-usul (Tuhan) serta tujuan akhir perjalanan
hidup manusia; digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi
dorongan-dorongan moralnya yang luhur dan
mencapai kesempurnaan yang
paling tinggi melalui penghayatan dan melibatkan seluruh kemampuan ruhaniah
dan sikap pasrah diri.2
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006), h. 10.
2
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 13.
21
22
Selain dikenal sebagai religi, agama disetarakan dengan dîn dalam bahasa
Arab. Dalam Al Munjid kata dîn diartikan sebagai: al dîn (jama’ :adyân): (1) al
jazâu wa al mukâfaah; (2) al qadâ; (3) al mâlik/ al muluk wa al sultân;(4) al
tadbîr;(5) al hisâb.3(Artinya: (1) pahala, (2) ketentuan, (3) kekuasaan, (4)
pengelolaan, (5) perhitungan).
Al Jurjani dalam al Ta’rîfât memadankan al dîn dengan al millah yang
disebut sebagai satu dalam zat atau materinya tetapi berbeda di dalam
penggambaran. Ketika sebagai syariat yang dipatuhi maka disebut al Dîn. Ketika
berfungsi mengumpulkan seluruh makna agama maka disebut
al millah.
Ditambah dengan al Madzhab ketika difungsikan sebagai tempat kembali atau
referensi. Secara gampang dibedakan antara ketiganya kepada sandarannya, al dîn
disandarkan kepada Allah, al millah kepada nabi dan al millah kepada mujtahid.4
Harun Nasution mencantumkan empat unsur penting yang ada dalam
agama secara umum, yaitu:
1. Kekuatan gaib.
2. Keyakinan bahwa kebaikan di dunia dan akhirat bergantung kepada hubungan
baik dengan sesuatu yang gaib tersebut.
3. Respons emosional seperti rasa takut dan cinta.
4. Paham akan adanya yang suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab suci atau
tempat-tempat tertentu.5
3
Louis Ma’luf,Munjid; fi al lughah, (Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960; reprint,
Beirut: Dar el- Machreq Sarl, 1986), h. 231.
4
‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al Jurjani, al Ta’rîfât,, (Beirut: Dar al Kitab al
‘Arabiy,1996), h. 141-142.
5
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.1 (Jakarta: UI-Press,1986),
h. 11.
23
Muhammad Rasyid Rida dalam al Manâr meyebutkan bahwa:
Sesungguhnya agama adalah aturan yang ditentukan oleh Tuhan karena
akal manusia secara mandiri tidak bisa mencapai kecuali harus adanya
pertolongan wahyu. Meskipun demikian agama ini sesuai dengan tuntutan
fitrah (jati diri) manusia untuk membersihkan jiwanya dan mempersiapkan
manusia untuk sesuatu kehidupan yang abadi di hari akhirat nanti.6
Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu Filsafat dan Agama membagi
agama berdasarkan sumbernya menjadi dua, yaitu:
1. Agama budaya.
2. Agama wahyu.
Agama budaya adalah agama yang lahir dari kebudayaan manusia atau
ciptaan manusia. Sedangkan agama wahyu adalah agama yang diwahyukan
Allah.7
Sedangkan agama yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Islam
yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah. Dalam istilah teologi berarti agama monotheis yang diwahyukan Allah
kemudian diterima dan disiarkan Nabi Muhammad saw.. Berpedoman pada kitab
suci al Qur’an dan Hadis Rasulullah.8
Agama Islam adalah agama yang datang dengan terutusnya seorang mulia
Nabi Muhammad saw. sebagai penutup Nabi dan Rasul Allah, yang diberi wahyu
dengan dipenuhi mukjizat berupa al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat
6
Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam
(Surabaya: Anika Bahagia, 1985), h.15.
7
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h.
142.
8
Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 412.
24
penjelas yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan juga sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa sekaligus sebagai pengingat bagi orang-orang yang
lupa.9
B. Fungsi Agama
Sang pencipta telah menciptakan berbagai macam hewan di muka bumi
ini. Bila dibandingkan dengan populasi hewan lunak, maka jumlah hewan buas
lebih banyak. Oleh karena itu, akan ditemukan senjata utama pada masing-masing
hewan tersebut, demi menghindari serangan dari hewan yang lain.
Manusia adalah termasuk bagian dari hewan. Manusia mempunyai tangan,
lisan, pedang, alat-alat perang, kendaraan, dan banyak lagi peralatan lain yang
dapat berfungsi sebagai alat pertahanannya. Bahkan jika dibandingkan dengan
hewan lainnya, manusia mempunyai alat yang lebih variatif. Karena manusia
mempunyai sesuatu yang membedakan dari hewan yaitu akal yang cenderung
berkembang, maka manusia membutuhkan peraturan. Peraturan yang dimaksud
adalah adanya perintah dan larangan, yang dengannya, manusia dapat hidup
teratur dan terjaga keamanan dan kelestariannya.10
Tujuan hidup beragama adalah membersihkan diri dan mensucikan jiwa
dan ruh. Tujuan agama lainnya adalah membina manusia agar menjadi baik dan
jauh dari kejahatan. Maka ajaran moral seperti kebersihan jiwa, tidak
mementingkan diri sendiri, cinta kebenaran, suka membantu manusia, kebesaran
jiwa, suka damai, rendah hati dan sebagainya merupakan hal-hal yang ditekankan.
9
‘Alî Ahmad al Jûrjâwî, Hikmah al Tasyrî’ wa falsafatihi (Beirut: Dar al Fikr, 1997), h.
29.
10
Idem, h. 53 - 55.
25
Karenanya agama menjadi sangat penting bagi hidup kemasyarakatan manusia
sebab dari individu-individu yang berjiwa bersih dengan akhlak yang baik itulah
masyarakat yang baik dapat dibina.11
Sebuah kutipan tentang fungsi agama dalam masyarakat modern berbunyi:
“Agama bukanlah pengganti politik-ekonomi, sastra, maupun hukum. Tapi
ia dapat memperluas horizon dan visi manusia, menciptakan konteks
transendental bagi pemecahan persoalan-persoalan yang saling terkait dari
kehidupan manusia sekarang yang sedang mengalami frustasi baik secara
individual maupun kolektif.” 12
Agama selain sebagai pembuka jalan pikiran juga diyakini sebagai solusi
yang dapat menyelesaikan problem kemanusiaan bukan hanya sebagai individu
tetapi juga sebagai masyarakat manusia. Dengan agama manusia bisa mengatur
seluruh persoalan hidup dengan baik sehingga terbebas dari segala macam
tekanan yang kadang membuat frustasi. Maka sikap keberagamaan yang malah
selalu menimbulkan konflik dan polemik berarti telah menyalahi fungsi agama.
Demikian fungsi agama secara umum. Secara khusus dalam menerangkan
fungsi Islam sebagai agama Maulana Muhammad Ali dalam mukadimah
Islamologi13 menyebutkan :
1. Agama adalah kekuatan untuk mengembangkan akhlak manusia..
2. Islam sebagai landasan peradaban abadi.
3. Islam adalah kekuatan pemersatu yang paling besar di dunia.
4. Islam adalah kekuatan ruhani terbesar di dunia.
5. Islam memecahkan masalah dunia yang besar-besar.
11
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., vol. 1, h.18-19.
William McInner,”Agama di Abad Duapuluh Satu,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, v
.II, no.5(1990) h.79.
13
Ali , Islamologi. Penerjemah R. Kaelan danH.M. Bachrun (Jakarta: Darul Kutubil
Islamiyah, t.t.), h.10-18.
12
26
C. Agama dan Perilaku Memecah Belah
Agama-agama besar secara umum memiliki dua ekstrim pada pola
kepercayaan
penganutnya
yaitu:
sekularis
dan
fundamentalis.
Kaum
fundamentalis terikat dengan dogma yang menutup peluang perubahan atau
sekedar adaptasi. Prinsip moral yang absolut dan ketat dari pemahaman yang
tekstual apa adanya menjadikan seluruh realitas hanya sebatas baik dan buruk
tanpa toleransi sedikitpun. Bahkan pendidikan dalam rumah tangga dengan aturan
yang sangat ketat membuat mereka sulit untuk menerima kenyataan bahwa
masyarakat sangat heterogen dan pluralistik. Tidak mau mendengar dan melihat
untuk perubahan. Tetapi pada saat yang sama mereka lebih memilih banyak sibuk
menciptakan koloni yang bisa dikuasai dan menghabiskan waktu dan energi untuk
merintangi dan memerangi lawan mereka dari pada membuka jalan kedekatan
kepada “Tuhan”. Sebaliknya kaum sekularis malah berupaya untuk lepas dari
formalitas agama.14
Konflik sosial yang bersumber dari agama biasanya timbul karena
perbedaan yang terjadi dalam empat hal, yaitu: doktrin dan sikap, suku dan ras
umat beragama, tingkat kebudayaan dan masalah prosentase kwantitas pemeluk
agama dalam satu lingkup tertentu. Masalah doktrin dan sikap adalah masalah
cara pemberian informasi agama seperti apa yang diterangkan tentang fatwa. Suku
dan ras adalah strata yang terjadi baik secara sistemik atau terjadi diluar kesadaran
masyarakat beragama. Tingkat kebudayaan menunjukkan kwalitas masyarakat
14
William McInner,”Agama di Abad Duapuluh Satu,”, h. 79-80.
27
beragama secara general. Sedangkan masalah mayoritas dan minoritas adalah
masalah hegemoni pemahaman dan dominasi peran politik, ekonomi dan sosial.15
Dari definisi agama yang telah dipaparkan di atas tidak terdapat
keterangan yang menyatakan bahwa agama adalah sebuah lembaga formal atau
institusi yang memiliki struktur organisasi. Ketika ada keterangan bahwa “agama
digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi dorongandorongan moralnya…” maka kata wahana tidak bisa diartikan sebagai organisasi
agama. Agama dalam hal ini adalah sesuatu yang abstrak, kesadaran dalam hati
dan keyakinan yang dalam. Ketika masyarakat beragama berkumpul sebagai satu
komunitas secara tidak sadar kemudian timbul rasa kebersamaan dan sebagian
kemudian mengira bahwa rasa kebersamaan itu adalah agama. Formalisasi agama
inilah yang kemudian menyulut adanya konflik, karena muatan lokal yang masuk
kepada komponen asli agama berbeda disetiap tempat16.
Agama sendiri, dalam hal ini Islam, melarang segala jenis pemutusan
hubungan, pemboikotan, propokasi kebencian, tetapi menganjurkan kepada
persatuan dan persaudaraan.
‫ﻟﹶﺎ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺳ‬‫ﺤ‬‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬- - ‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻮﻝﹸ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬: ‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬
‫ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﻋ‬‫ﻛﹸﻮﻧ‬‫ﻭ‬, ‫ﺾﹴ‬‫ﻌ‬‫ﻊﹺ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﻠﹶﻰ ﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﺒﹺﻊ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬, ‫ﻭﺍ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬, ‫ﻮﺍ‬‫ﺎﻏﹶﻀ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬, ‫ﻮﺍ‬‫ﺸ‬‫ﺎﺟ‬‫ﻨ‬‫ﺗ‬
‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ‬‫ﲑ‬‫ﺸ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬, ‫ﺎ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﻯ ﻫ‬‫ﻘﹾﻮ‬‫ﺍﹶﻟﺘ‬, ‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ﻘ‬‫ﺤ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬, ‫ﺬﹸﻟﹸﻪ‬‫ﺨ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬, ‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﻈﹾﻠ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬, ‫ﻢﹺ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﻮ ﺍﹶﻟﹾﻤ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹶﻟﹾﻤ‬, ‫ﺎ‬‫ﺍﻧ‬‫ﻮ‬‫ﺇﹺﺧ‬
15
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta, Kanisius, 1989), h. 151.
Muhammad Syamsu As., Ulama Pembawa Islam di Indonesia (Jakarta: Penerbit
Lentera, 1996), h. 53-54.
16
28
‫ﻢﹺ‬‫ﺴﻠ‬
 ‫ﻠﹶﻰ ﺍﹶﻟﹾﻤ‬‫ﻢﹺ ﻋ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﻛﹸﻞﱡ ﺍﹶﻟﹾﻤ‬, ‫ﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﹶﻟﹾﻤ‬‫ﺎﻩ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﺮ‬‫ﻘ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﹶﻟﺸ‬‫ﻦ‬‫ﺮﹺﺉﹴ ﻣ‬‫ﻣ‬‫ﺐﹺ ﺍ‬‫ﺴ‬‫ﺑﹺﺤ‬, ‫ﺍﺭﹴ‬‫ﺮ‬‫ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﹶ ﻣ‬‫ﺭﹺﻩ‬‫ﺪ‬‫ﺻ‬
17
‫ﻪ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬, ‫ﺎﻟﹸﻪ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬, ‫ﻪ‬‫ﻣ‬‫ﺩ‬, ‫ﺍﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺣ‬
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda,
“Janganlah kalian saling membenci, saling mengintai, saling memarahi, saling
memboikot, dan janganlah kalian bertransaksi diatas transaksi orang lain. Jadilah
kalian sebagai bamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah
saudara bagai muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya, merendahkannya,
atau meremehkannya. Taqwa berada di sini (Nabi Muhammad menunjuk dadanya
tiga kali) yaitu menurut seberapa besar perbuatan buruknya dalam penghinaan
terhadap saudara semuslimnya. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram
darahnya, hartanya, dan harga dirinya”
Bahkan
Islam
mengharamkan
permusuhan
dengan
cara
saling
mendiamkan lebih dari tiga hari, apalagi lebih dari sekedar mendiamkan dan
diatas tiga hari.
‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻮﻝﹶ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬- ‫ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬- ‫ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ‬‫ﻮﺏ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬
, ‫ﺬﹶﺍ‬‫ ﻫ‬‫ﺮﹺﺽ‬‫ﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺬﹶﺍ ﻭ‬‫ ﻫ‬‫ﺮﹺﺽ‬‫ﻌ‬‫ ﻓﹶﻴ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻴ‬‫ﻘ‬‫ ﹾﻠﺘ‬‫ ﻳ‬.‫ﺎﻝﹴ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙ‬‫ﻕ‬‫ ﻓﹶﻮ‬‫ﺎﻩ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺠ‬‫ﻬ‬‫ﻢﹴ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﻤ‬‫ﻞﱡ ﻟ‬‫ﺤ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬: - ‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬18
‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻔﹶﻖ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬- ‫ﻠﹶﺎﻡﹺ‬‫ﺃﹸ ﺑﹺﺎﻟﺴ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻱ ﻳ‬‫ﺎ ﺍﹶﻟﱠﺬ‬‫ﻤ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺧ‬‫ﻭ‬
‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬- ‫ﻮﻝﹸ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬- ‫ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬- ‫ﻢﹴ‬‫ﻄﹾﻌ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﺮﹺ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬
.19‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻔﹶﻖ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬.‫ﻢﹴ‬‫ﺣ‬‫ ﺭ‬‫ﻊ‬‫ ﻗﹶﺎﻃ‬:‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬- ‫ﻊ‬‫ﺔﹶ ﻗﹶﺎﻃ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹸ ﺍﹶﻟﹾﺠ‬‫ﺧ‬‫ﺪ‬‫ ﻟﹶﺎ ﻳ‬- - ‫ﻭﺳﻠﻢ‬
17
Abu al Husain. Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al Fikr, 1992), vol. 8, h.10.
18
Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, al Jami’ al Shahih al
Bukhari (Beirut: Dar al Fikr, 1981), vol. 5, h. 2256.
19
al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari, vol. 5, h. 2231.
29
“Dari Abi Ayyub ra, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, “Tidak
halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam, yaitu
ketika keduanya bertemu, yang satu berpaling ke arah sini dan yang satu lagi ke
arah sini, dan yang lebih baik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu memberi
salam,” muttafaq ‘alaih.
“Dari Jubair bin Mut’im ra, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda,
‘Tidak akan masuk surga seseorang yang memutus tali persaudaraan,” muttafaq
‘alaih.
Perlu dipahami bahwa dalam pembahasan ini kata kunci permasalahan
terletak pada kata “mencerai-berai” yang dalam bahasa Arab terambil dari kata
farraqa yang merupakan kata kerja masa lampau sedangkan bentuk kata bendanya
adalah tafriqah atau tafrîq. Kata ini dibedakan dari kata ikhtilâf sebuah kata
benda yang berasal dari kata kerja bentuk lampau ikhtalafa dengan arti berselisih
atau berbeda pendapat. Ikhtilâf biasanya dikaitkan dengan hasil ijtihâd dalam
masalah cabang yang bukan masalah prinsipil. Sedangkan tafrîq merupakan
perpecahan umat yang kadang muncul salah satunya dari ikhtilâf yang
berkepanjangan. Setiap tafrîq adalah ikhtilâf tetapi tiadak semua ikhtilâf berakhir
dengan tafrîq.
Walaupun perbedaan pendapat adalah bagian dari sunnah Allah bahkan
Allah menciptakan manusia untuk hal tersebut namun tentu perpecahan di
kalangnan umat Islam bukanlah sesuatu yang baik20. Ikhtilâf selagi tidak
menimbulkan perpecahan merupakan satu bentuk keluwesan syari’ah sedangkan
tafrîq merupakan satu bencana yang menghancurkan sendi-sendi persatuan umat.
20
Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya
(Jakarta: Pustaka al Riyadl, 2007), h.2-4.
30
Memerlukan kebijaksanaan yang lebih dan sportifitas yang tinggi untuk menjadi
umat Islam yang tidak terjebak dalam ranjau-ranjau perpecahan dan permusuhan.
BAB IV
ANALISIS TENTANG MASALAH PERILAKU MENCERAI-BERAI
AGAMA DAN BAHAYANYA DALAM TAFSIR AN NUUR
KAJIAN SURAH AL AN’ÂM AYAT 159 DAN AL RÛM 30 SAMPAI 32
A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32
Surah al An’âm ayat 1591
Ayat dan Terjemah
ّ‫ ﺛﹸﻢ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺃﹶﻣ‬‫ّﻤ‬‫ﺀٍ ﺇﹺﻧ‬‫ﻲ‬‫ﻲ ﺷ‬‫ ﻓ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ﺎ ﻟﹶﺴ‬‫ﻌ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺷ‬‫ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻳﻨ‬‫ّﻗﹸﻮﺍ ﺩ‬‫ ﻓﹶﺮ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﹶّﺬ‬
‫ﻠﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻔﹾﻌ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻢ‬‫ﺒﹺّﺌﹸﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬
“Sesungguhnya mereka yang memecah-belah agama sehingga menjadilah
mereka bergolong-golongan (mazhab, sekte), dan kamu tidak masuk ke salah satu
golongan itu. Sesungguhnya urusan mereka adalah dengan Allah, dan kemudian
Allah memberitahukan tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
Surat al Rûm 30 sampai 322
Ayat dan Terjemah
Ayat 30:
‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻠﹾﻖﹺ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺨ‬‫ﻳﻞﹶ ﻟ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻻ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ّﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻲ ﻓﹶﻄﹶﺮ‬‫ ﺍﻟﹶّﺘ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻄﹾﺮ‬‫ﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻓ‬‫ّﻳﻦﹺ ﺣ‬‫ﻠﺪ‬‫ ﻟ‬‫ﻚ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻓﹶﺄﹶﻗ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ّﺎﺱﹺ ﻻ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ّ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻴﹺّﻢ‬‫ّﻳﻦ‬‫ﺍﻟﺪ‬
1
ash Shiddieqy,Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur vol.2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000), h. 1343
2
Idem, vol. 4, h.3175-3178.
31
32
“Luruskanlah pandanganmu terhadp agama Allah dengan sepenuh hati,
dan berpegang eratlah kepada fitrah Allah, yang dengan fitrah itu manusia
diciptakan. Tidak ada perubahan terhadap tabiatnya yang diciptakan oleh Allah
(agama Allah), itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.
Ayat 31:
‫ﲔ‬‫ﺮﹺﻛ‬‫ﺸ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ﻻ ﺗ‬‫ّﻼﺓﹶ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ﻴﻤ‬‫ﺃﹶﻗ‬‫ ﻭ‬‫ّﻘﹸﻮﻩ‬‫ﺍﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻨﹺﻴﺒﹺﲔ‬‫ﻣ‬
“Kamu kembali kepada-Nya dan berbaktilah kepada Allah dan dirikanlah
sembahyang dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang mempersekutukan
Allah.”
Ayat 32:
‫ﻮﻥﹶ‬‫ ﻓﹶﺮﹺﺣ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺎ ﻟﹶﺪ‬‫ﺏﹴ ﺑﹺﻤ‬‫ﺰ‬‫ﺎ ﻛﹸﻞﹸّ ﺣ‬‫ﻌ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺷ‬‫ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻳﻨ‬‫ّﻗﹸﻮﺍ ﺩ‬‫ ﻓﹶﺮ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬
“Yaitu orang-orang yang mencerai-beraikan agama mereka, lalu mereka
menjadi beberapa golongan; tiap golongan merelakan apa yang ada di sisi
mereka.”
Terjemahan Departemen Agama:
Surat al An’âm ayat 159
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan
mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka
hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang mereka perbuat.
33
Terjemahan Departemen Agama:
Surat al Rûm 30 sampai 32
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,”
“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepadaNya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Allah,”
“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Di sini terlihat jelas pengaruh terjemahan Tafsir an Nuur atas terjemahan
Departemen Agama dalam al-Qur’an dan Terjemahnya. Hal itu adalah wajar
karena memang Hasbi ash Shiddieqy adalah satu diantara sepuluh anggota
“Dewan Penterjemah” yang bertugas untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam
bahasa Indonesia versi Departemen Agama selama delapan tahun sejak tahun
1967 dan satu-satunya anggota yang sudah memiliki tafsir berbahasa Indonesia
dalam edisi lengkap tigapuluh juz.3
B. Pengertian Memecah Belah Agama
Dari penafsiran Hasbi ash Shiddieqy dapatlah diketahui bahwa memecahbelah agama dan berselisih berarti mengakui sebagian ajaran agama dan
mengingkari sebagian yang lain serta mentakwilkan nash-nash agama menurut
hawa nafsu dan dorongan hati.
3
ix.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, h.
34
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai ahlu al
kitâb yang memecah-belah agama Ibrahim, Musa dan agama Isa, serta menjadikan
agama-agama itu bermazhab-mazhab. Masing-masing pengikut mazhab fanatik
terhadap mazhabnya dan memusuhi mazhab lain.
Sebagian ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai
ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam Islam yang
memecah persatuan umat.
Hasbi menggabungkan dua pendapat ini, yaitu dengan menetapkan bahwa
ayat ini menerangkan keadaan ahlu al kitab yang terkotak-kotak dalam berbagai
mazhab sekaligus menyuruh umat Islam untuk bersatu-padu serta menjauhkan diri
dari perpecahan.
Dari pilihan sikap ini terlihat bahwa Hasbi memandang bahwa dengan
memilih makna umum lafaz akan lebih mendatangkan maslahat. Seandainya
dipilih pendapat yang pertama saja maka selamatlah umat ini dari kritik Allah
yang terdapat di dalamnya. Tidak ada manfaat yang bisa dipetik bagi umat
Muhammad di belakang hari dan keterangan ini tak ubahnya berita biasa saja
yang tidak ada hubungannya dengan kondisi kekinian. Dari sini terlihat
pendekatan kritik kontekstual yang dibangun sebagai sebuah komunikasi yang
relevan guna memproduksi atau menyempurnakan diskursus yang ada.
Ketika masyarakat Islam sudah terpecah dalam berbagai kelompok dan
sekte maka berbagai kelompok dan sekte itu seolah mewakili agama di luar Islam
dan Islam di sisi yang lain adalah agama tersendiri.
35
C. Perpecahan dalam Islam
Hasbi ash Shiddieqy memandang bahwa ahli bid’ah dan partai-partai
(firqah) yang telah tumbuh dalam Islam adalah sebuah indikasi perpecahan umat
Islam. Bid’ah yang dimaksud adalah membuat perkara-perkara baru dalam agama
yang tidak ada keterangannya baik di dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi
Muhammad. Termasuk perkara-perkara yang menyelisihi keduanya.
Beberapa kalangan yang semangat memerangi bid’ah menganggapnya
sebagai masalah terbesar umat, memiliki pandangan yang tidak bisa ditawar lagi.
Dalam definisi kalangan ini, bid’ah diartikan sebagai sesuatu yang menyelisihi
atau menyimpang dari kitab dan ijma’ salaf al ummah baik berkaitan dengan
keyakinan ataupun ibadah ritual yang diamalkan. Kadang diartikan sebagai
ungkapan yang dibuat-buat dalam perkara agama ataupun membuat sesuatu yang
menyerupai syariat. Singkatnya berlelih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
Bid’ah dibagi dalam dua perkara. Pertama, pada adat atau kebiasaan, biasanya
dikaitkan dengan penemuan dan penciptaan baru. Bid’ah semacam ini masih
dibolehkan. Kedua, bid’ah yang terjadi pada agama. Bid’ah macam inilah yang
diharamkan karena perkara agama sifatnya adalah tawqîfî yaitu harus ditetapkan
dengan dalil baik dari al-Qur’an maupun dari Hadis Nabi. Bid’ah dalam agama
dikategorikan lagi dalam dua hal, yaitu dalam hal keyakinan, berupa ucapan yang
bersifat keyakinan dan dalam perkara ibadah, berupa peribadatan dengan cara
yang tidak disyariatkan. Ditinjau dari segi dalil bid’ah dikelompokkan dalam
bid’ah haqîqiyyah dan bid’ah idâfiyyahi. Yang pertama berarti sesuatu yang sama
36
sekali tidak memiliki dasar hukum dalam al-Qur’an maupun Hadis. Yang kedua
adalah sesuatu yang memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam tetapi dilakukan
dengan cara yang menyelisihi ajaran tersebut. Untuk menguatkan peringatakan
atas bahaya bid’ah ini dicantumkan pula pendapat mazhab Hanbali yang
membolehkan membunuh orang yang mengajak kepada bid’ah karena
kekhawatiran akan rusaknya jamaah umat Islam karena bid’ah tersebut. Hadishadis yang biasa dikemukakan sebagai dalil pembuka diantaranya:
1. Hadis man ahdatsa fî amrinâ… riwayat al Bukhari.
ٌ ‫ﺩ‬‫ﺭ‬
4
‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﺲ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ﺬﹶﺍ ﻣ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﺮﹺﻧ‬‫ﻰ ﺃﹶﻣ‬‫ﺙﹶ ﻓ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬
Hadis ini berbicara tentang tetolaknya amalan-amalan yang diada-adakan.
2. Hadis man ‘amila ‘amalan….riwayat Muslim.
5
‫ﺩ‬‫ ﺭ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﻬ‬، ‫ﺎ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺲ‬‫ﻼﹰ ﻟﹶﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻞﹶ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬
Hadis ini berbicara tentang tertolaknya amalan yang tidak bersumber dari
Nabi.
3. Hadis wa iyyakum wa muhdatsâti al umûr riwayat Abu Dawud.
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺶ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﺎ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬‫ﻴ‬‫ﺸ‬‫ﺒ‬‫ﺍ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﺍﻟﻄﱠﺎﻋ‬‫ﻊﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﻯ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻘﹾﻮ‬‫ ﺑﹺﺘ‬‫ﻴﻜﹸﻢ‬‫ﺃﹸﻭﺻ‬
‫ﻜﹸﻮﺍ‬‫ﺴ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺷ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﲔ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻔﹶﺎﺀِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺔ‬‫ﻨ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ ﺑﹺﺴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺍ ﻓﹶﻌ‬‫ﲑ‬‫ﻼﹶﻓﹰﺎ ﻛﹶﺜ‬‫ﺘ‬‫ﻯ ﺍﺧ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻯ ﻓﹶﺴ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬
4
al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari, vol. 3, h. 222.
5
Muslim, Shahih Muslim , vol. 8, h.132.
37
‫ﺔ‬‫ﻋ‬‫ﻛﹸﻞﱠ ﺑﹺﺪ‬‫ﺔﹲ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ ﺑﹺﺪ‬‫ﺛﹶﺔ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ﻮﺭﹺ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﻛﹸﻞﱠ ﻣ‬‫ ﺍﻷُﻣ‬‫ﺛﹶﺎﺕ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻛﹸﻢ‬‫ﺇﹺﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺟﹺﺬ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺑﹺﺎﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻮﺍ ﻋ‬‫ﻀ‬‫ﻋ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺑﹺﻬ‬
6
‫ﻼﹶﻟﹶﺔﹲ‬‫ﺿ‬
Hadis ini berbicara mengenai peringatan Nabi untuk menjauhi bid’ah karena
semua bid’ah sesat.7
Golongan moderat memandang bahwa perjuangan memurnikan ajaran
Islam dengan cara memberantas bid’ah dan kekolotan berarti masuk ke dalam
lingkup masalah khilafiyah. Karena kelompok yang mempertahankan dan
memberantas kedunya sama-sama berdalih untuk memurnikan ajaran Islam.8
Sejarah mengatakan bahwa persoalan politik yang kemudian merembet
kepada masalah teologi adalah pemicu adanya perpecahan dalam Islam. Yang
akhirnya memunculkan tiga aliran teologi yaitu: Khawârij, Murji’ah dan
Mu’tazilah. Bersamaan dengan itu muncul pula dua aliran teologi lainnya al
Qadariyyah dan al Jabaryyiah. 9
Di alam modern kini terjadi juga perdebatan tentang wajibnya mendirikan
negara Islam10 di pihak lain ada yang menganggap bahwa yang demikian adalah
paham keagamaan yang rancu dan merupakan legitimasi tindak kebrutalan seperti
teror, pembunuhan atau pengkafiran hanya dengan sebab sepele11.
6
7
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol.4, h.329.
Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan (Solo: Wacana Ilmiah
Press,2006), h.11-22.
8
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 460.
9
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI-Press,1986), h. 1-10.
10
Abdul Qadir Baraja, Gambaran Global Pemerintahan Islam (Surabaya: Penerbit RAP,
2001), h. 73-88.
11
Miftahuzzaman, Solusi Krisis Islam Politik atau Jamaah Islam (Solo: CV. Aneka,
2000) h.35-37.
38
Sementara Joesoef Sou’yb ketika menyebutkan sekte dalam Islam
membagi dalam tiga sekte besar yaitu: Syi’ah, Sunni dan Khawârij.12
Dalam lapangan hukum setidaknya terdapat delapan pemuka mazhab yang
dibangun pada periode tâbi’in yaitu: Abu Hanifah atau an Nu’man ibn Tsabit,
Malik ibn Anas, al Laits ibn Sa’ad di Mesir, ‘Abdu ar Rahman al ‘Auza’iy di
Syam, Muhammad ibn Idris al Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Daud ibn ‘Ali di
Kufah dan ibn Jarir al Thabari. Belum lagi mazhab dalam Syi’ah seumpama
Zaidiyyah dan Imâmiyyah.13
Secara sederhana Harun Nasution memetakan kelompok Islam dalam dua
hal: ajaran dan non ajaran. Kelompok ajaran dikategorikan kembali menjadi
ajaran dasar dan bukan dasar. Ajaran bukan dasar adalah interpretasi para ulama
dan ahli Islam terhadap ajaran dasar yaitu al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran dalam
bidang hukum dan teologi yang melahirkan banyak mazhab dan aliran bahkan
bidang politik, filsafat, mistisisme dan politik bermula dari sini, yaitu dari ajaran
bukan dasar.14
Kembali memakai sudut pandang Harun Nasution bahwa biang keladi
awal dari segala masalah perpecahan dalam Islam adalah politik yang kemudian
merembet kepada masalah teologi. Kekuasaan berarti berhubungan dengan
politik. Sejarah lampau umat Islam mencatat bahwa konflik antar kelompok-
12
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: Al Husna Zikra, 1996), h.440-
444
13
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: bulan
Bintang, 1994), h. 78-79.
14
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol. 2 (Jakarta: UIPress,1986), h. 113.
39
kelompok besar dalam perebutan kekuasaan kerap menimbulkan pertumpahan
darah.15
Dalam hal fanatisme kebangsaan istilah dalam bahasa Arab ‘ibâd dan
muwalladûn yang berarti budak dan peranakan, dianggap merendahkan pernah
digunakan untuk para muallaf di Spanyol pada pemerintahan Bani Umayyah
setidaknya sampai adad ke-10 M. ini disinyalir sebagai faktor kemunduran dan
kehancuran Islam di Spanyol pada waktu itu.16
Masalah perbedaan mazhab kalam telah menjadikan ulama sekelas Imam
Ahmad ibn Hanbal harus merasakan kekejaman penguasa yang berseberangan
paham dalam menyikapi al-Qur’an sebagai Kalamullah.17
Masalah pemberian fatwa dari yang bukan ahlinya dapat dijelaskan
melalui hadits Nabi yang menyatakan tentang dicabutnya ilmu dengan wafatnya
ulama sehingga yang tersisa hanya orang jahil, orang jahil ini ketika ditanya akan
berfatwa tanpa ilmu yang pasti sesat dan menyesatkan. Apabila kebodohan telah
merajalela dan agama tidak memiliki patokan yang jelas maka siapa saja bisa
berfatwa dengan tanpa dasar. Apabila terjadi di banyak tempat tentu akan
menimbulkan perbedaan yang berujung kepada perpecahan.
‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬- ‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺹﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﻘﹾﺒﹺﺾ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﺰﹺﻋ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬، ‫ﺎ‬‫ﺍﻋ‬‫ﺰ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻧ‬‫ﻠﹾﻢ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻘﹾﺒﹺﺾ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬‫ﻘﹸﻮﻝﹸ » ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻳ‬- ‫ﻭﺳﻠﻢ‬
15
Lajnah Ilmiah HASMI, Syi’ah Bukan Islam ? (Bogor: Pustaka Marwah Indo Media,
2010), h.175-182.
16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.107.
17
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah Perkembanagn Hadits (Jakarta:
Bulan Bintang,, 1973), h. 193.
40
، ‫ﻠﹸﻮﺍ‬‫ﺌ‬‫ﺎﻻﹰ ﻓﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﺀُﻭﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺬﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﺨ‬‫ ﺍﺗ‬، ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻖﹺ ﻋ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻰ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻟﹶﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬، ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺾﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺑﹺﻘﹶﺒ‬‫ﻠﹾﻢ‬‫ﺍﻟﹾﻌ‬
18
« ‫ﻠﱡﻮﺍ‬‫ﺃﹶﺿ‬‫ﻠﱡﻮﺍ ﻭ‬‫ ﻓﹶﻀ‬، ‫ﻠﹾﻢﹴ‬‫ﺮﹺ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﺑﹺﻐ‬‫ﻮ‬‫ﻓﹶﺄﹶﻓﹾﺘ‬
Dari ‘Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata, “Aku telah
mendengar dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sungguh Allah tidak
akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hambanya, tetapi
Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga
ketika tidak tersisa seorang alim, maka orang-orang akan menjadikan
orang-orang bodoh sebagai tempat bertanya. Selanjutnya, orang-orang
bodoh itu berfatwa dengan tanpa ilmu. maka mereka sesat dan
menyesatkan.””
Masalah perbedaan pendapat memang sudah ada sejak zaman sahabat
Nabi saw., Pada zaman Nabi, perbedaan ini juga sudah ada hanya saja pada waktu
itu semua permasalahan yang ada diselesaikan langsung oleh Nabi dengan
bimbingan wahyu. Permasalahan beda pendapat ini tidak akan pernah selesai dan
umat Islam tidak akan pernah memiliki satu paham. Namun demikian perbedaan
paham antara umat Islam dalam hukum fiqh di Indonesia sangat kecil. Perbedaan
yang terjadi adalah dalam masalah hukum-hukum dalam mazhab fiqh dan berbeda
dengan adanya sekte-sekte dalam agama Kristen. Umat Islam masih shalat dalam
satu masjid dengan satu imam sebagaimana ketika di Masjid al Haram. Satu imam
yang diikuti makmum yang bermacam-macam mazhab.19
Al-Qur’an sendiri telah menerangkan sejak awal dan mensinyalir pluralitas
dan kemajemukan sebagai “ciptaan Ilahi” serta “sunnah yang azali dan abadi”. AlQur’an memiliki koleksi ayat tentang hal demikian.20 Diantaranya:
Sûrah Hûd /11:118 - 119
18
al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari,vol.1 (Beirut: Dar al Fikr, 1981), h.183.
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 454-455.
20
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas. Penerjemah Abdul Hayyie Al Kattanie
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 31-38.
19
41
‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻢ‬‫ﺣ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻔ‬‫ﻠ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ﺍﻟﹸﻮﻥﹶ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﺔﹰ ﻭ‬‫ ﺃﹸﻣ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ ﻟﹶﺠ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺎﺀَ ﺭ‬‫ ﺷ‬‫ﻟﹶﻮ‬‫ﻭ‬
‫ﲔ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺱﹺ ﺃﹶﺟ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﻨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﺄﹶﻥﱠ ﺟ‬‫ ﻟﹶﺄﹶﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺔﹸ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ ﻛﹶﻠ‬‫ﺖ‬‫ﻤ‬‫ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻠﹶﻘﹶﻬ‬‫ ﺧ‬‫ﻚ‬‫ﺬﹶﻟ‬‫ﻟ‬‫ﻭ‬
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat) kecuali orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.
Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi
neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
Sûrah al Baqarah /2: 213
‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﻝﹶ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﹺﻳﻦ‬‫ﺬ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺸ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﺒﹺﻴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺚﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻌ‬‫ﺓﹰ ﻓﹶﺒ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﺔﹰ ﻭ‬‫ ﺃﹸﻣ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟﻨ‬
‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻮﻩ‬‫ ﺃﹸﻭﺗ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹶﻒ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺧ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺧ‬‫ﻴﻤ‬‫ﺎﺱﹺ ﻓ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺤ‬‫ﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﻖ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻜ‬
‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﺍ ﻟ‬‫ﻨ‬‫ ﺁَﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻯ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﻐ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺀَﺗ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬
‫ﻴﻢﹴ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻁ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺀُ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻ‬‫ﺸ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻱ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ ﻳ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪ‬
“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para
nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan
diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi
(Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena
kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah
memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang
mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki ke jalan yang lurus.”
D. Penyebab Perpecahan
Dari komentar tafsir Surat al An’âm ayat 159 dapat disimpulkan bahwa
esensi penyebab perpecahan adalah:
a. Mengakui sebagian ajaran agama dan mengingkari sebagian yang lain.
b. Mentakwilkan nash-nash agama menurut hawa nafsu.
c. Fanatik kepada pendapat pemimpin.
42
Dalam penafsiran ini Hasbi tidak membahas terlalu lebar atau
mengembangkan persoalan dalam bentuk permisalan yang terjadi pada masa kini.
Berbeda dengan HAMKA yang mementingkan untuk memuat banyak hadis
terutama yang berkenaan dengan hadis-hadis perpecahan umat. HAMKA bahkan
menerangkan tempat para mujtahid fiqh yang dikecualikan dari perkara ini.
Memberikan contoh dari kerajaan-kerajaan Islam masa lampau, kasus perselisihan
lokal nusantara, perselisihan dalam balutan politik internasional bahkan membuat
judul khusus di akhir pembahasan dengan judul “Memecah-belah Agama di
Zaman Modern.”21
Tambahan dari Surat al Rûm: 32 yaitu bersikeras dengan pemahaman
tertentu dengan klaim kebenaran sepihak. Sejalan dengan penafsiran ini HAMKA
membahasakan dengan:
“Merasa benar sendiri dan orang lain salah belaka, dan tidak ada yang
ingin mencari atau kembali kepada titik pertemuan, yaitu Iman kepada
Keesaan Allah!”22
Ibn Katsîr juga tidak menafsirkan ini dengan panjang lebar. Hanya
menjelaskan kepada siapa ayat ini diturunkan dengan memaparkan hadis-hadis
tentang hal tersebut kemudian ditarjih berdasarkan perbandingan sanadnya.
Akhirnya memilih makna umum yang terdapat pada ayat yaitu siapa saja yang
mencerai-berai agama dan membebaskan tanggung jawab Rasul akan perlakuan
mencerai-berai dari umatnya.23
21
HAMKA, Tafsir al Azhar, vol. 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), h.142-151
Idem, v. 21, h. 82.
23
‘Imâd al Dîn Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsîr, Tafsîr Qur-ân al ‘Azim, vol. 2 (Riyad: Dâr
‘Âlam al Kutub, 1997), h.249.
22
43
Sedangkan sebab turunan sebagaimana secara persis dicantumkan dalam
Tafsir al Azhar ketika membahas tafsir Surat al An’âm ayat 159 yang disebutkan
oleh HAMKA terambil dari penafsiran Muhammad Rasyid Rida24 adalah:
1. Perebutan kekuasaan pemerintahan.
2. Fanatik kebangsaan (nasionalisme sempit).
3. Fanatik mazhab (aliran, golongan, partai).
4. Memberi fatwa agama tidak didasarkan dalil-dalil yang kuat.
5. Infiltrasi musuh.
Mengenai fanatik, HAMKA beranggapan bahwa yang demikian timbul
bukan lantaran kekuatan iman, malah disebut bahwa sikap tersebut tidak
beralasan. Sebaliknya fanatik adalah produk dari lemahnya iman. Karena tidak
berani berbanding dengan pikiran orang lain atau tidak sanggup untuk melihat
yang dimiliki orang lain.25
Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dua bahaya besar bagi masyarakat
Islam yaitu statis pada perkara yang harus dinamis dan berkembang juga kreatif
mengadakan perubahan pada sesuatu yang seharusnya tidak boleh berubah.
Padahal, apabila fleksibelitas ada pada bidang pemikiran, prinsip hidup dan moral,
maka akan melahirkan banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam tetapi
antara yang satu dengan lainnya berbeda, saling bermusuhan dan bertentangan.
Hal demikian diistilahkan dengan memisahkan umat dari agama dan nilai
luhurnya mengatasnamakan kemajuan, membuka pintu atheisme dengan
24
25
1984), h. 8.
Idem, v. 8, h. 145
HAMKA, Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas,
44
mengatasnamakan berhala baru yaitu “kemajuan”. Seharusnya masyarakat Islam
bisa tawazun, menimbang dengan benar sehingga dapat menyatu dalam hal-hal
yang bertentangan tetapi juga bisa menempati proporsinya dengan baik. 26
Sufyan Raji Abdullah menyebutkan latar belakang timbulnya firqah dalam
tujuh poin , yaitu:
1. Adanya kepentingan kelompok atau golongan.
2. Adanya pengaruh dari luar Islam.
3. Mengedepankan akal.
4. Pengaruh buku terjemahan filsafat Yunani.
5. Terpengaruh oleh paham-paham sesat.
6. Mendewakan pemikiran tokoh tertentu.27
Apabila diteliti, poin-poin ini bisa disederhanakan lagi karena nomor 3,4
dan 5 ada pada tataran yang sama yaitu pemikiran.
Imam
Zarkasyi
menyebutkan
bahwa
orang-orang
yang
senang
memperbesar dan mempertajam masalah khilafiyah adalah karena dua sebab,
yaitu:
1.
Terlalu bodoh.
2.
Menjadi alat musuh yang hendak memecah belah.28
Pendapat ini bisa diterima karena semua yang menjerumuskan manusia
pada kesesatan adalah kebodohon yang sangat, baik bodoh karena tidak memiliki
26
Yusuf Qardhawi, Karakteristik Islam:Kajian Analitik, Penerjemah Rofi’ Munawar
(Surabaya: Risalah Gusti,1995), h. 288-291.
27
Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam,h. 6-9.
28
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 454.
45
keilmuan ataupun berilmu tetapi tertipu oleh kebodohan orang lain ataupun halhal yang menjadikan akal tertutup seperti fanatisme dan hawa nafsu.
E. Bahaya Perpecahan dalam Agama
Setidaknya ada tiga bahaya kemanusiaan atas terjadinya perpecahan dalam
tubuh umat Islam, yaitu: lenyapnya kebenaran, hancurnya rasa persatuan, dan
hilangnya rasa persaudaraan (ukhuwwah). 29
Apabila pintu kompromi sudah tertutup maka tidak ada celah bagi
perbedaan sekecil apapun padahal kadang sesuatu yang diasumsikan berbeda di
awal setelah diteliti adalah sesuatu yang sama secara subtansi, berbeda bahasa
satu makna. Kalau sudah demikian yang benar pun tidak memiliki waktu untuk
menjelaskan kebenarannya atau bahkan malah menjadi salah karena analoginya
adalah: pendapat saya yang benar atau yang ekstrim mengatakan: yang paling
benar, lawan dari benar adalah salah maka selain pendapat yang benar adalah
salah. Analogi semacam itu menghalangi umat untuk bisa bersatu. Yang ada
adalah perlombaan untuk menjadi paling benar dan mengeluarkan siapa saja yang
berbeda pendapat dari komunitasnya. Sikap yang kadang menjadi sifat semacam
ini menimbulkan permusuhan dan menghancurkan tali silaturahim, padahal umat
Islam satu dengan lainnya adalah bersaudara.
Dari aspek spiritual berarti telah terlepas dari tanggung jawab Allah dan
Rasul. Allah terangkan bahwa Rasul terlepas atas perpecahan yang terjadi pada
umatnya. Hal ini seharusnya menjadikan setiap muslim selalu mawas diri dan
29
ash Shiddieqy,Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 2 h. 1343
46
tidak terlibat dalam perbuatan tersebut. Sebanyak apapun kelompok yang bertikai
untuk memenangkan klaim sebagai yang terbaik dan yang paling benar maka
Rasul, tidak termasuk dalam salah satu golongan itu, dan jauh dari mazhabmazhab yang mereka anut. Karena tugas seorang Rasul hanyalah sebatas
menyampaikan risalah dan melahirkan syiar-syiar agama yang benar.
Sedangkan dari sudut ajaran tauhid dalam Islam hal tersebut sangat
berbahaya bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena Allah sendirilah yang akan
memberikan pembalasan kepada mereka atas amal perbuatannya. Sesudah
memperoleh azab di dunia, Allah akan membangkitkan mereka di akhirat dan
diberi pembalasan setimpal atas perbuatan memecah belah tersebut.
Dari tinjauan sosiologi atau ilmu sosial kemasyarakatan perilaku memecah
belah adalah termasuk satu bentuk deviasi atau penyimpangan sosial karena
kodrat manusia adalah makhluk sosial yang selalu bergantung kepada manusia
lainnya. Rusaknya hubungan harmonis yang terjalin dalam masyarakat sangat
berbahaya bagi persatuan dan mengurangi rasa nyaman dalam pergaulan
bermasyarakat. Karena hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia maka
menghindar dan keluar dari kehidupan bermasyarakat berarti perlawanan terhadap
sifat kemanusiaan. Sejalan dengan anggapan Aristoteles bahwa manusia seperti
itu berarti sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri dan mungkin dia bukan
manusia tetapi malaikat atau binatang. Maka manusia yang sehat selalu berupaya
untuk menciptakan suasana yang harmonis dan memberi manfaat bagi kehidupan
bersama 30.
30
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 294.
47
Dari segi politik maka perpecahan dalam agama telah mewariskan satu
rangkaian sejarah umat Islam yang penuh dengan peperangan bahkan
pertumpahan darah yang mengiringi pergantian kekuasaan dari satu dinasti
kekuasaan ke dinasti lainnya. Bahkan puncak kehancuran kebudayaaan klasik
Islam juga merupakan peristiwa yang terjadi karena persoalan ini seperti telah
dibahas sebelumnya dalam perpecahan dalam Islam. Perpecahan dalam agama
dapat dengan mudah menyulut sebuah konflik yang kompleks. Bisa merembet ke
ranah politik, ekonomi, kesukuan, kedaerahan atau teritorial dan sebagainya.
Karena agama adalah ideologi yang melibatkan emosi kejiwaan yang kadang
tanpa menggunakan nalar dan akal sehat.
Pada prinsipnya penafsiran Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy
memiliki cara pandang yang sama dengan HAMKA. Hanya saja keterangan
HAMKA lebih lebar dan detail dengan analogi yang cerdas dan disertai dengan
pemberian permisalan.31 Begitu juga keterangan ibn Katsîr yang memang
merupakan sumber diantara sumber-sumber utama dari keduanya.
F. Klaim Syirik atas Perilaku Memecah Belah Agama32
Syirik artinya adalah mengambil sesembahan di samping penyembahan
kepada Allah. Bisa berupa kegiatan menyembah, meminta ataupun berupa
pengorbanan. Seperti apa yang dilakukan sebagian manusia semasa Rasul yang
mereka mengetahui ketuhanan Allah tetapi mereka memilih sesembahan selain
31
32
HAMKA, Tafsir al Azhar, vol. 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), h. 139-151.
ash Shiddieqy,Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur,vol. 4, h. 1343
48
Allah. Mengenal Allah dalam hakekat tetapi tidak mau tunduk patuh dalam
penyembahan dan memurnikan penyembahan semata-mata hanya kepada-Nya.
Ketika seseorang terjebak dalam perilaku memecah belah agama hal
tersebut disejajarkan dengan mempersekutukan sesuatu dengan Allah dan keluar
dari keikhlasan ibadah karena tidak memelihara semua perintah Allah dan
menjauhi semua larangan-Nya sebaik-baiknya.
Perbuatan itu dianggap sebagai mengganti agama fitrah dengan agama
sesat dan karena menjadikan agama fitrah menjadi beberapa agama dan mazhab,
sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, para
penyembah berhala, dan para pemeluk agama yang salah.
Karena mengaku sebagai bagian dari umat Islam tetapi berbuat seperti apa
yang diperbuat kaum muyrikin maka para pemilik perilaku memecah belah agama
ini dimasukkan dalam golongan mereka. Disejajarkan dengan para penyembah
tuhan-tuhan selain Allah. Menyembah Allah tetapi meminta kepada selain Allah
atau sebaliknya meminta kepada Allah tetapi menyembah selain Allah.
Yang menjadikan klaim ini menjadi mengerikan adalah konsekwensi yang
harus diterima para pelaku dosa syirik. Beberapa hukuman atas dosa syirik
adalah:33
1. Dosa syirik tidak diampuni oleh Allah.
2. Syirik menghapuskan pahala kebaikan sebesar apapun.
3. Diharamkan masuk surga.
33
Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat, Penerjemah Ainul Haris
Umar Arifin Thayib (Jakarta: Yayasan al Sofwa, 2003), h.73-103.
49
4. Tempat kembalinya adalah neraka.
5. Mendapat predikat zalim.
6. Tidak memiliki penolong.
Allah akan menerima pertaubatan dan menghapuskan segala dosa seorang
hamba yang bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya. Tetapi tidak ada remisi
atau penghapusan dosa apabila menyangkut perbuatan syirik. Kalaupun taubatnya
diterima tetapi dosanya masih tercatat dalam catatan perbuatan manusia. Tidak
memiliki poin pahala dan kebajikan sementara memiliki surplus dosa syirik yang
merupakan dosa terbesar.
Pengharaman masuk surga adalah sebuah hak preogatif Allah sebagai
penguasa tunggal di hari kiamat. Karena surga berisi segala macam kenikmatan
sebagai balasan bagi orang-orang yang Allah ridai maka pelaku dosa syirik yang
merupakan sebab terbesar kemurkaan Allah terhalang untuk bisa memasukinya.
Sedangkan kewajiban masuk neraka adalah sesuatu yang bisa dipahami melalui
sebuah logika sederhana, karena Allah hanya menyediakan dua tempat setelah
hari pengadilan yaitu surga dan neraka, maka tidak ada tempat selain dari
keduanya dan tidak ada tempat yang terletak diantara dua tempat tesebut.
Perbuatan syirik menghapuskan pahala sebesar apapun juga. Tauhid yang
murni adalah syarat mutlak agar ibadah diterima. Apabila terdapat cacat dalam
berkeyakinan kepada Allah maka terjadi salah orientasi. Ketika itu terjadi maka
tidak ada kebaikan lagi yang akan dilihat oleh Allah bahkan deposit kebaikan
yang sudah ada dianggap hangus dan tidak pernah dihitung kembali.
50
Predikat zalim merupakan obyek pelaku dari kata zalama yang akar
katanya dalam bahasa Arab berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.34
Ini adalah istilah yang sangat tepat karena ketika seorang hamba menempatkan
sesuatu yang bukan Allah sebagai sesembahan atau memberikan teman kepada
Allah dalam hal menyembah dan meminta padahal hanya Dia sajalah satu-satunya
tempat menyembah dan meminta maka itu adalah sebuah salah penempatan yang
sangat besar.
Begitu amat berbahayanya perilaku ini sehingga pelakunya mendapatkan
predikat sebagai pembangkang besar, atau paling tidak diklasifikasikan dalam
jajaran para pelaku dosa besar.
Sedangkan tidak memiliki penolong berarti tidak dapat menerima
keberkahan do’a manusia yang beriman. Diakhirat nanti akan menghadapi
pengadilan Allah dan siksaan yang luar biasa tanpa sesuatupun bisa membantunya
termasuk sesembahan selain Allah.
G. Solusi untuk Menghindari Perpecahan
Membaca Sûrah al Rûm/30:32 saja tanpa menyertakan dua ayat
sebelumnya tidak akan mengantarkan pada pemahaman yang utuh karena tiga
ayat ini merupakan satu kesatuan topik yang saling berkaitan. Dalam hal ini Hasbi
juga membahas ayat-ayat tersebut dalam pembahasan yang integral dan
ditafsirkan dalam satu rangkaian analogi yang utuh. Dari Sûrah al Rûm/30:30-32
34
al Jurjani, al Ta’rîfât, h. 140
51
beberapa hal bisa dijadikan pegangan untuk menjadi solusi agar terhindar dari
perpecahan.
1. Berpegang teguh pada fitrah Allah yang menjadi tabiat manusia.
Kebenaran dapat mengalahkan syirik maka ketika wajah sudah
dihadapkan kepada agama yang lurus pasti terhindar dari semua macam
kesesatan. Karena kebenaran yang hakiki hanya ada satu maka yang dimakud
kebenaran di sini adalah kebenaran yang mutlak, yaitu yang datang dari Allah
saja dan belum bercampur dengan hal-hal lainnya. Apabila kebenaran hakiki
disandingkan dengan kebenaran relatif seperti sudut pandang atau pendapat
seseorang, kebenaran politik, kebenaran analogi dan lebih-lebih kebenaran
menurut perasaan maka sama saja dengan menyandingkan yang haq dengan
yang bâtil, menyandingkan apa yang dari Allah dengan apa yang dari makhluk
yang pada akhirnya berarti menyandingkan Allah dengan yang bukan Allah.
Perintah ini pada mulanya ditujukan kepada Nabi saw., yang dengan
sendirinya merupakan peringatan yang harus ditaati oleh umat Islam
seluruhnya.
2. Bertobat kepada-Nya (kembali kepada hukum-hukum-Nya) dan memelihara
diri dari semua perbuatan yang menimbulkan kemarahan-Nya.
Kecenderungan manusia adalah selalu menyimpang dari ajaran yang
lurus. Perilaku dan sikap mental memecah belah dan selalu menyalahkan
orang lain adalah bagian dari penyimpangan itu. Maka seluruh manusia yang
telah salah jalan diperintahkan oleh Allah untuk kembali meniti jalan Islam,
keselamatan, kedamaian
52
3. Mengerjakan shalat dengan sebaik-baiknya.
Shalat yang baik akan membuat pelakunya selalu ingat kepada Allah
dan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Shalat yang baik selain
dilaksanakan tepat waktu adalah juga yang dilaksanakan dalam sebuah
komunitas atau jamaah di sebuah tempat yang telah disepakati bersama,
seperti masjid. Kwalitas shalat yang baik memiliki pengaruh psikologis, selain
menumbuhkan kesadaran akan konsep pengawasan Allah, sehingga dapat
mengurangi kwalitas dan kwantitas kejahatan dan keburukan pada diri
seseorang tetapi juga menambah daya apropriasi, kedewasaan dalam
pergaulan karena terbiasa berada dalam lingkup jamaah shalat yang memiliki
latar belakang yang berbeda-beda. Komponen “shalat sebaik-baiknya”
termasuk juga pilihan tempat yang disepakati bersama yaitu masjid atau
semacamnya, ketika masyarakat sudah memiliki sebuah sentral kegiatan
keislaman maka segala sesuatunya secara otomatis akan terpusatkan kesatu
titik sehingga semua konflik yang ada akan mudah diantisipasi dan
diselesaikan sebaik-baiknya.
HAMKA dalam menutup tafsir ayat yang sama mengutip sebuah hadis
yang menyebutkan tiga perkara yang menjadi penguat Islam35. Tiga perkara
tersebut adalah:
1. Ikhlash sebagai fitrah dari Allah.
2. Shalat sebagai tiang agama.
3. Taat sebagai pegangan yang teguh.
35
HAMKA, Tafsir al Azhar, v. 21, h. 82
53
Didapati korelasi yang sangat tepat antara keterangan al-Qur’an dan
Hadis. Ikhlas disejajarkan berpegang teguh pada fitrah Allah. Shalat sebagai tiang
agama sejajar dengan shalat sebaik-baiknya dan taat dengan bertaubat.
Pertikaian antar kelompok Islam di Indonesia adalah satu bentuk
kegagalan dalam melihat sebuah kompleksitas. Penyelesaian konflik-konflik
secara damai semakin sulit dicapai karena tiap kelompok memiliki tafsir yang
berbeda dalam banyak hal. Islam tidak lagi menjadi satu resolusi yang bisa
diterima bahkan dalam kalangan masyarakat Islam itu sendiri.
Ketika kondisi psikososial umat Islam belum dewasa maka biasanya lebih
senang mengambil jalan pintas yaitu dengan menutup diri dari ideologi dan ajaran
asing dan pada saat yang sama memberi label sesat dan bahaya kepada sesuatu
yang tidak atau belum dikenal. Hal ini dilakukan karena tidak memiliki
kemampuan apropriasi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain tanpa ikut
terbawa hanyut di dalamnya. Ciri-ciri masyarakat seperti ini adalah:
1. Terobsesi dengan simbol formalisme-legalistik.
2. Pemahaman keagamaan yang tidak utuh dan tekstual.
3. Mudah terpesona retorika dan orasi emosional tanpa penalaran
4. Gamang menghadapi tantangan realitas modern.
Setelah
terlihat
jelas
sebab-sebab
perpecahan,
diperlukan
upaya
pendewasaan umat yaitu dengan membuka wawasan berpikir umat untuk
menyadari fenomena perkembangan wacana keagamaan kontemporer yang
menyuarakan nilai-nilai keterbukaan, pluralitas dan inklusivitas. Pembelajaran
Islam secara filosofis diyakini dapat membongkar formalisme dan kekakuan
54
pemahaman agama. Pembelajaran yang menyatukan visi ke-Tuhanan dan visi
kemanusiaaan. Maka ini adalah sebuah tawaran solusi.36
Solusi lain adalah dengan mengadakan dialog setiap kali ada permasalahan
yang harus diselesaikan. Hal ini sejalan dengan konsep tabâyun dalam al Qur’an.
Tasâmuh atau toleransi, lapang dada, bermurah hati adalah sesuatu yang
dianjurkan pemerintah dan agama dengan orang yang berlainan agama maka akan
menjadi lebih ditekankan lagi bagi sesama umat Islam. Bukan memilih untuk
termakan hasutan “Dajjal” dan musuh yang menjadikan umat Islam lebih memilih
bermusuhan dengan sesama Islam daripada dengan orang kafir37.
Alternatif lainnya adalah adanya pengawasan dan pembinaan dari
pemerintah agar kelompok-kelompok berbasis keagamaan dalam hal ini Islam
tidak berkembang liar tanpa pengawasan yang pada akhirnya menjadi sumber
keresahan. Sebagaimana bunyi Penetapan Presiden Republik Indonesia tentang
pencegahan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tertanggal 27 Januari
1965. Pada pasal 1 terdapat pelarangan terhadap penafsiran yang menyimpang
dari pokok ajaran agama dan melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai
agama yang sudah ada. Pasal 2 nomor 1 tentang peringatan penghentian atas
keputusan bersama antara Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam
Negeri. Pasal: 2 nomor: 2 tentang pembubaran dan pelarangan aliran sesat oleh
36
Oliver Leaman,Pengantar Filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah
Musa Kazim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan Media Utama,1999), h. xi-xvi.
37
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 461.
55
Presiden. Pasal 3 tentang pemberlakuan pidana bagi yang terus mengikuti aliran
sesat.38
Sebagaimana Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1979 tentang
pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap organisasi dan aliran dalam
Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam. Instruksi dialamatkan kepada
Ditjen Bimas Islam, Kepala Badan Litbang Agama, Inspektur Jenderal
dan
Kepala Kantor Wilayah Departeman Agama. Berisi perintah untuk meningkatkan
pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap kegiatan organisasi dan aliran
dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam.39
Kementrian agama memegang peranan penting dalam hal ini. Maka
menteri agama meminta kepada Ditjen Bimas Islam untuk lebih meningkatkan
profesionalismenya mengingat tugas dan tantangannya yang semakin berat.
Kemunculan aliran-aliran sempalan yang disertai berbagai tindakan kriminal
adalah masalah serius seluruh jajaran Bimas Islam. Bimas Islam sebagai instansi
yang terkait dalam bimbingan kemasyarakatan Islam, dituntut segera mengambil
langkah cepat dan tepat, sehingga permasalahan ini tidak melebar kepermasalahan
lain.40
Ada juga usulan untuk membuat satu sistem organisasi profesi dakwah.
Selain sebagai kontrol terhadap kinerja kerja dakwah organisasi ini diharap bakal
menjadi penghalang tindakan manipulasi identitas dan penyusupan yang bertujuan
38
Majelis Ulama Indonesia, Petunjuk bagi Kerukunan Ummat Islam tentang Kerukunan
Hidup antar Umat Beragama (Solo: CV. Ramadhani, 1987), h.10-13.
39
Ibid, h.32-35.
40
Blog Bimas Islam,“Menag Instruksikan Bangun Sinergi Pusat dan Daerah,” artikel
diakses pada 8 Juni 2010 dari bimasislam.com.
56
mengeksploitasi umat Islam secara negatif juga sebagai antisipasi dini atas tindak
kecurangan propaganda dakwah di luar Islam.41
41
A. Wahab Suneth dan Syarifuddin Djosan, Problematika Dakwah dalam Era Indonesia
Baru (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000), h.146-152.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penafsiran ash Shiddieqy mengenai farraqû dînahum yang tertera dalam
Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32 adalah menggabungkan dua
pendapat, yaitu yang menetapkan ayat ini turun mengenai ahlu al kitâb yang
memecah-belah agama menjadi bermazhab-mazhab dan yang menetapkan ayat ini
turun mengenai ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam
Islam. Hasbi menetapkan bahwa ayat ini menerangkan keadaan ahlu al kitab yang
terkotak-kotak dalam berbagai mazhab sekaligus menyuruh umat Islam untuk
bersatu-padu serta menjauhkan diri dari perpecahan. Hal ini berarti memilih
makna umum lafazh sebagaimana pendekatan kritik kontekstual.
B. Saran-saran
Di era ketika agama dan ajarannya tidak difahami secara subtansial tetapi
malah diambil sebagian-sebagian, perlu ditemukan secepatnya solusi untuk
menjadikan agama dapat kembali dipahami secara utuh. Meningkatnya jumlah
sekte, pemahaman dan varian baru dari komunitas umat Islam, seperti komunitas
“dzikir”, komunitas politik, komunitas seni dan budaya, komunitas ekonomi,
komunitas “tentara”, komunitas pembela kesukuan dan seterusnya adalah sebuah
tantangan atas konsep ukhuwwah atau persaudaraan Islam. Terlalu sering berita
pertikaian antar kelompok dalam Islam menjadi sorotan media.
57
58
Sebagian umat yang tidak sabar cenderung lebih memilih kekerasan
sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah perbedaan. Jika potensi
perpecahan ini dibiarkan tanpa adanya upaya untuk mengkompromikannya secara
maksimal maka perselisihan antar kelompok dalam Islam akan terus berlanjut,
bahkan dengan kwalitas konflik yang lebih kompleks dan lebih sulit diatasi.
Keterangan dalam tulisan ini adalah tinjauan dari segi tafsir. Akan lebih
baik lagi bila ada pembahasan masalah ini melalui kajian hadis.
Perlu kearifan yang lebih untuk bisa terbebas dari bahaya memecah belah
agama. Akhirnya dari tulisan ini diharapkan adanya kesadaran akan bahaya
perilaku memecah-belah sehingga selalu diwaspadai dan dihindarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Sufyan Raji. Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya. Jakarta: Pustaka al Riyadl, 2007.
Ali ,Maulana Muhammad. Islamologi. Penerjemah R. Kaelan danH.M. Bachrun.
Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, t.t..
al ‘Asqalânî, Ibnu Hajar. Bulûgh al Marâm min ‘Adillati al Ahkam. Surabaya:
Syirkah Bungkul Indah, t.t..
Anshari,Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
al Azdî, Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani. Sunan Abi Dawud.
Cairo: Darul Hadis, 1999.
Baraja,Abdul Qadir. Gambaran Global Pemerintahan Islam. Surabaya: Penerbit
RAP, 2001.
Blog Bimas Islam.“Menag Instruksikan Bangun Sinergi Pusat dan Daerah.”
Artikel diakses pada 8 Juni 2010 dari bimasislam.com.
Buchari,Didin Saefuddin. Pedoman Memahami al Qur’an. Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005.
al Bukhari, Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. al Jami’ al Shahih al
Bukhari. Beirut: Dar al Fikr, 1981.
Dagun, Save M.. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai
Pustaka, 2007.
Fahmi, Rival-Okezone. “Pulang-Kampanye-Massa-PKS-PPP-Bentrok.” Artikel
diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://news.okezone.com
al Fauzan, Sholeh bin Fauzan ‘ Abd Allah. Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Penerjemah Abu Aasia. Jakarta: Megatama, t.t.
al Ghari, Zamihan Mat Zin. Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilain. Selangor: Tera
Jaya Enterprise, 2001.
al Ghazali, Muhammad. Islam yang Diterlantarkan. Penerjemah Muhammad
Jamaluddin. Bandung : Karisma, 1994.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Insan Madani,
2007.
HAMKA. Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
− − − −. Tafsir al Azhar, v. 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
59
60
− − − −. Tafsir al Azhar, v. 21. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
Hashem, O. Syiah Ditolak Syi’ah Dicari. Jakarta: al Huda, 2000.
Hassan, A. Tafsir Qur’an al Furqan Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir. Jakarta:
Pustaka Mantiq, 2006.
Hendropuspito,D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
ibn Katsîr,Imâd al Dîn Isma’il ibn ‘Umar. Tafsîr Qur-ân al ‘Azim. Riyad: Dâr
‘Âlam al Kutub, 1997.
Imarah,Muhammad. Islam dan Pluralitas. PenerjemahAbdul Hayyie Al Kattanie.
Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Jaiz,Hartono Ahmad. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. Solo: Wacana
Ilmiah Press,2006.
al Jurjânî, ‘Alî ibn Muhammad ibn ‘Alî. al Ta’rîfât. Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabî,
1996.
al Jûrjâwî, ‘Alî Ahmad. Hikmah al Tasyrî’ wa falsafatihi. Beirut: Dar al Fikr,
1997.
Lajnah Ilmiah HASMI. Syi’ah Bukan Islam ?. Bogor: Pustaka Marwah Indo
Media, 2010.
Leaman,Oliver. Pengantar Filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Tematis.
Penerjemah Musa Kazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan Media
Utama,1999.
Majelis Ulama Indonesia. Petunjuk bagi Kerukunan Ummat Islam tentang
Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. Solo: CV. Ramadhani, 1987.
McInner,William. ”Agama di Abad Duapuluh Satu.” Jurnal Ulumul Qur’an, v.
II, no.5(1990), h.79-80.
Majelis Ulama Indonesia. Petunjuk bagi Kerukunan Ummat Islam tentang
Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. Solo: CV. Ramadhani, 1987.
Ma’luf,Louis. Munjid; fi al lughah. Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960.
Beirut: Reprint, Dar el- Machreq Sarl, 1986.
Miftahuzzaman. Solusi Krisis Islam Politik atau Jamaah Islam. Solo: CV. Aneka,
2000.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif,
1997.
al Maqdisî, Faidu Allah al Hasanî. Fathu al Rahmân li Talibi al Qur-ân.
Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t..
Muslim, Abu al Husain.Shahih Muslim. Beirut: Dar al Fikr, 1992.
61
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I-II. Jakarta: UIPress,1986.
− − − −. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UIPress, 1986.
News, ANTARA. “ Rumah Jamaah Salafi Diserang.” Artikel diakse pada senin,
23 Pebruari 2009 dari http://www.ANTARA.com.
Poerwadarminta,W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka, 2006
Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam:Kajian Analitik. Penerjemah Rofi’
Munawar. Surabaya: Risalah Gusti,1995.
− − − −. Yusuf. Membedah Islam “Ekstrem”. Penerjemah Alwi A.M.. Bandung:
Mizan,2001.
ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu: Ilmu Pokok dalam
Menafsirkan al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
− − − −. Pengantar Hukum Islam.Jakarta: bulan Bintang, 1994.
− − − −. Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995.
− − − −. Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
− − − −. Sejarah Perkembanagn Hadits. Jakarta: Bulan Bintang,, 1973.
Simarmata,Margawati Rahayu.” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan
Nasional.” Artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari
http://inilah.com
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Al Husna Zikra, 1996.
Suneth, A. Wahab dan Syarifuddin Djosan. Problematika Dakwah dalam Era
Indonesia Baru .Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000.
Surabaya, detik>> News Jatim. “ Rebutan Lahan, anggota FPI Nyaris Bentrok
dengan Warga.” Artikel diakses Jum’at, 12 Juni dari http://m.detik.com.
al Syahrastani, Abu al Fath Muhammad ‘Abdu al Karim, al Milal wa Al Nihal.
Beirut: Dar al Fikr,t.t.
Syamsu, As. Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Lentera, 1996.
Thaha, Idris, ed. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi.
Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Tim Penulis. Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren
Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996.
62
al Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat, Sunan al Turmuzi. Beirut:
Dar al Fikr,1980.
Yatim,Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an. Al Qur’an dan
Terjemahnya. Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd, 1426 H.
Zainu, Muhammad bin Jamil. Jalan Golongan yang Selamat. Penerjemah Ainul
Haris Umar Arifin Thayib. Jakarta: Yayasan al Sofwa, 2003.
LAMPIRAN
63
64
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 1965
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3
65
66
67
68
PASAL 5
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
2726
69
Download