Laporan kasus ini membahas kasus maloklusi pada pasien laki-laki berusia 9 tahun yang datang ke RSGM FKG Usakti bersama ibunya dengan keluhan gigi depan bawah kanan terlihat sedikit maju dan ingin dirawat. Pada saat pasien datang pertama kali, dilakukan anamnesis terlebih dahulu. Kemudian, dilakukan pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan ekstraoral dan intraoral. Pemeriksaan penunjang juga dilakukan yaitu pemeriksaan radiografi sefalometri dan panoramik, serta dilakukan pencetakan rahang untuk model studi. Berdasarkan anamnesis kepada pasien, ditemukan bahwa pasien memiliki riwayat kebiasaan buruk menggigit kuku pada waktu masih kecil, namun kebiasaan buruk tersebut tidak dilakukan lagi. Pada pemeriksaan ekstraoral, tipe muka pasien adalah dolicofasial, asimetris dan tidak seimbang. Hasil pemeriksaan intraoral didapatkan kebersihan gigi dan mulut pasien baik, frenulum labii atas dan bawah normal, gingiva pasien normal, bentuk dan aktivitas lidah normal, posisi postural dan posisi lidah pada waktu bicara normal, palatum normal, pada pemeriksaan radiografi tidak ada kelainan kelejar adenoid, dan tidak ada kelainan tonsil. Hasil analisis ruang yang menggunakan tabel Moyers menunjukkan bahwa pasien memiliki kekurangan ruang sebesar -3,7 mm sehingga tidak diperlukan pencabutan karena kekurangan ruang pasien kurang dari 10 mm. Pemeriksaan skeletal yang dilakukan menggunakan radiografi sefalometri menunjukkan hasil kedudukan maksila terhadap basis kranii retrusif berat, kedudukan mandibula terhadap basis kranii sudut retrusif berat, kedudukan menton terhadap profil retrusif sedang, dan kedudukan maksila terhadap profil retrusif berat. Tipe fasial pasien dolicofasial, kedudukan insisif bawah protrusif sedang, kedudukan insisif bawah proklinasi berat. Hasil perhitungan ANB yaitu SNA-SNB sebesar 3o. Berdasarkan seluruh pemeriksaan yang telah dilakukan, didapatkan diagnosis pada pasien ini adalah skeletal kelas I, dengan maloklusi dental kelas I tipe 1. Etiologi dari kasus maloklusi pasien adalah disharmoni ukuran lengkung rahang dan gigi pasien serta riwayat kebiasaan buruk menggigit kuku pada waktu kecil. Tujuan perawatan ortodonti pada pasien ini adalah untuk memperbaiki maloklusi dental, karena perawatan ortodonti tidak dapat merawat keadaan 17 skeletal. Untuk menentukan rencana perawatan pada pasien, dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiografi yang dilakukan dengan baik. Rencana perawatan yang diberikan kepada pasien adalah pembuatan piranti ortodonti lepasan dengan menggunakan expansion screw, S-spring pada gigi 12 dan 22, dan labial bow. Pembuatan S-spring pada pasien bertujuan untuk memprotaksi gigi 12 dan 22 yang memiliki inklinasi disto labio torso version ke arah labial. Pemasangan labial bow pada rahang atas dimulai dari gigi 13 hingga gigi 23 dengan posisi U loop di gigi 13 dan 23. Labial bow digunakan sebagai regulasi anterior. Pada rahang bawah, piranti ortodonti yang digunakan berupa expansion screw yang berfungsi untuk menambah ruangan serta labial bow sebagai regulasi anterior. Pemasangan labial bow pada rahang bawah dimulai dari gigi 33 hingga gigi 43 dengan posisi U loop di gigi 33 dan 43. Piranti ortodonti yang digunakan pasien diberi komponen pasif yang retentif yaitu Adam’s clasp yang terletak di gigi 16 dan 26 pada rahang atas, dan di gigi 36 dan 46 pada rahang bawah. Cengkram retentif ini bertujuan untuk memberikan efek retensi dan stabilisasi terutama sewaktu berfungsi. Tujuan lainnya adalah untuk menahan gigi tetap pada posisinya tanpa terganggu gaya yang bekerja.23 Pada saat pemasangan piranti ortodonti lepasan, pasien diinstruksikan untuk menggunakan piranti ortodonti tersebut sepanjang hari, termasuk pada saat tidur, kecuali pada saat makan datang kontrol setiap satu minggu sekali untuk dilakukan aktivasi, dan membersihkan piranti ortodonti pada saat setelah makan dan pada saat menggosok gigi. Pada pasien ini dilakukan aktivasi sebanyak 15 kali. Aktivasi pertama (Agustus 2019) kali dilakukan 3 bulan setelah pemasangan piranti ortodonti (Mei 2019). Pengasahan plat piranti rahang bawah dilakukan pada region 3 dan 4, tepatnya pada bagian lingual gigi 33, 32, 31, 41, 42, dan 43 dikarenakan plat terlalu menekan bagian lingual gigi anterior rahang bawah pasien sehingga pasien merasa sakit. Kemudian, dilanjutkan ekspansi bilateral masing-masing sebanyak 1 kali pada rahang atas dan rahang bawah. Pasien mulai sibuk dengan kegiatan sekolah hingga sore hari sehingga sulit datang untuk kontrol dan baru dapat datang pada bulan September 2019 untuk aktivasi kedua. Pada aktivasi kedua 18 tersebut, insersi piranti rahang bawah tidak dapat masuk sama sekali sehingga dilakukan pencetakan untuk reparasi piranti rahang bawah dan dilakukan observasi, lalu dilanjutkan dengan ekspansi bilateral sebanyak 1 kali pada rahang atas. Pada aktivasi ketiga (Oktober 2019), piranti rahang atas tidak dapat masuk karena terdapat persistensi gigi 65 sehingga gigi 25 yang telah erupsi sebagian menghalangi insersi plat rahang atas, oleh karena itu dilakukan pengasahan plat bagian palatal pada gigi 25 kemudian dilanjutkan dengan ekspansi bilateral masing-masing sebanyak 1 kali pada rahang atas dan rahang bawah. Rencana perawatan untuk persistensi gigi 65 adalah ekstraksi dengan anestesi infiltrasi. Namun, pada kunjungan aktivasi ke-8 gigi tersebut sudah tanggal karena dicabut sendiri oleh pasien. Pada setiap aktivasi dilakukan ekspansi bilateral baik pada rahang atas maupun rahang bawah untuk mengekspansi lengkung rahang pasien. Mulai dari aktivasi ke 4, pasien mulai rutin datang untuk kontrol dalam jangka waktu satu hingga dua minggu sekali sehingga piranti ortodonti dapat masuk ke dalam mulut pasien. Namun pada aktivasi ke 9 (Januari 2020), piranti rahang bawah kembali tidak dapat masuk sehingga dilakukan reekspansi sebanyak 6 kali dengan total ekspansi bilateral rahang bawah sebelumnya sebanyak 7 kali. Pasien mengaku tidak memakai piranti ortodonti rahang bawah dengan alasan kurang nyaman dan terlalu cekat, sehingga pasien lebih sering memakai piranti ortodonti pada rahang atas. Pada aktivasi ke 11, kondisi plat pada piranti orthodonti rahang atas pasien dikatakan sudah mulai stabil dan tersedia cukup ruang, sehingga dapat dilakukan aktivasi Sspring untuk protraksi gigi 12. Aktivasi S-spring dilakukan dengan diikuti ekspansi bilateral hingga aktivasi ke-13. Pada gigi 22 tidak dilakukan aktivasi S-spring. Gigi 22 telah bergerak hingga berada sesuai dengan lengkung karena dilakukan ekspansi bilateral yang akan melebarkan lengkung rahang pasien. Setelah diobservasi, diketahui bahwa posisi komponen S-spring sudah terlalu jauh terhadap gigi 22 sehingga aktivasi tidak dapat dilakukan. Kontrol pemakaian piranti ortodonti lepasan pada pasien ini dilakukan sebanyak 15 kali aktivasi, dengan total ekspansi rahang sebanyak 15 putaran pada rahang atas dan 7 putaran pada rahang bawah. Setiap satu putaran expansion screw menghasilkan jarak sebesar 0,25 mm.24 Setelah dihitung, pelebaran 19 lengkung rahang pasien yang diharapkan memiliki jarak sebesar 3,75 mm pada rahang atas dan 1,75 mm pada rahang bawah. Cara mengetahui adanya pelebaran lengkung rahang yaitu dilakukan pengukuran jarak intermolar dengan mengukur jarak distal gigi molar pertama kanan dan kiri pada rahang atas dan rahang bawah sebelum perawatan, kemudian hasilnya dibandingkan dengan rahang atas dan rahang bawah sesudah perawatan. Namun, hal ini belum dapat dibuktikan karena belum dilakukan pencetakan evaluasi dan step model sehingga pengukuran perubahan lengkung rahang sebelum dan sesudah perawatan tidak dapat dilakukan. Ekspansi bilateral dilakukan dengan menggunakan sekrup ekspansi yang ada pada basis plat akrilik. Sekrup ekspansi bertujuan untuk melebarkan lengkung gigi melalui perluasan plat akrilik ke arah bilateral sehingga didapat ruang yang cukup dalam lengkung rahang untuk memperbaiki gigi insisivus yang crowding. Prinsip perawatan crowding ialah menyediakan ruang bagi gigi yang malposisi yang benar dalam lengkung. Pada rahang atas, ekspansi ruang dilakukan untuk melebarkan lengkung rahang sehingga diharapkan tersedia cukup ruang untuk protraksi gigi 12 dan 22 yang memiliki inklinasi disto labio torso version dan mengikuti pertumbuhan rahang. Pada rahang bawah, ekspansi juga dilakukan guna menambah ruang sekaligus mendorong gigi 42 yang memiliki inklinasi mesio labio torso version sehingga dapat berada sesuai dengan lengkung rahang yang tepat. Pada kasus ini, kondisi maloklusi pada pasien tidak mengalami perubahan yang signifikan karena masih terdapat crowding ringan pada gigi anterior. Kondisi maloklusi pada pasien masih belum teratasi dengan baik dan tidak mengalami perubahan yang bermakna. Hal ini dikarenakan pasien kurang kooperatif dalam pemakaian piranti ortodonti, dan juga pasien tidak rutin datang untuk kontrol dalam jangka waktu satu minggu sekali. Kooperatif pasien yang buruk menyebabkan piranti ortodonti tidak dapat masuk pada beberapa kali aktivasi awal, sehingga dilakukan reekspansi dan pengasahan plat. Apabila pasien memiliki kooperatif yang baik, diharapkan hasil perawatan ini akan terbukti dari keadaan crowding gigi anterior yang membaik. 20 BAB V KESIMPULAN Perawatan ortodonti usia dini dilakukan untuk mengurangi faktor-faktor yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan gigi maupun rahang. Pemasangan piranti ortodonti lepasan pada pasien bertujuan untuk memperbaiki maloklusi dental, dan bukan memperbaiki kondisi skeletal. Untuk menentukan rencana perawatan pada pasien, diperlukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang yang maksimal. Pada kasus ini, pasien memiliki kelainan skeletal kelas I dengan maloklusi dental kelas I tipe 1 (crowding pada gigi anterior). Desain piranti ortodonti lepasan yang digunakan pada perawatan pasien ini adalah pembuatan S-spring, expansion screw, dan labial bow pada rahang atas. Untuk rahang bawah, diberikan expansion screw dan labial bow. Perawatan ortodonti menggunakan piranti ortodonti lepasan pada pasien anak-anak sangat dipengaruhi oleh faktor kooperatif pasien, sehingga pasien dan orangtua pasien perlu diberikan motivasi yang cukup untuk dapat mengikuti seluruh prosedur perawatan. 21 DAFTAR PUSTAKA 1. Tak M, Nagarajapa R, dkk. Prevalence of Malocclusion and Orthodontic Treatment Needs Among 12-15 years old School Children of Udaipur, India. Eur J Dent (Suppl 1); 2013. 2. Cobourne M. Clinical cases in orthodontics. United Kingdom: Wiley & Sons; 2012. 3. Barnett, Edward M. Pediatric occlusal therapy. United States of America: The C.V Mosby Company; 1974. 4. Alhammadi MS, dkk. Global distribution of malocclusion traits : A systematic review. Dental Press J Orthod. 2018 Nov-Dec; 23(6): 40.e1– 40.e10. 5. Gunawan P.N., Anindita P.S., Laguhi V.A. Gambaran maloklusi dengan menggunakan hmar pada pasien dirumah sakit gigi dan mulut universitas sam ratulangi manado. Journal e-Gigi. JuliDesember 2014; 2(2). 6. Gulati R, Parul B, Pranav G, Kumar N. Interceptive orthodontics: a headway towards normal occlusion-report of two cases. Indian Journal of Orthodontics and Dentofacial Research, JulySeptember. 2016;2(3):126-130 7. DaCosta OO, Alkins EA, dkk. Malocclusion and Early Orthodontic Treatment Requirements in the Mixed Dentitions of a Population of Nigerian Children. J Orthod Sci. 2016; 5(3): 81-86. 8. Bahreman A. Early age orthodontc treatment. Chicago : Quintessence; 2013. p4. 9. Wijayanti P, Krisnawati, Ismah N. Gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun (studi pendahuluan di SD At- Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta). Jurnal PDGI. 2014; 63(1): 25-29. 10. Proffit, W.R, dkk .. Contemporary Orthodontic. Ed. ke-4. Canada: Mosby Elsevier. 2007; 484486. 11. Hassan R, Rahimah AK. Occlusion, malocclusion andmethod of measurements- an overview. Archives of Orofacial Sciences. 2007. (2);3-9. 12. Koesoemahardja HD, Indrawati A, Jenie I. Tumbuh kembang dentofasial manusia. Ed ke-2. Jakarta: Universitas Trisakti;2008. p101. 13. Douglass G, De Vreugd R. The Dynamics of Occlusal Relationships. Chicago: Quintessence.1997; p69-78. 22 14. Graber, T.M. Orthodontics principles and practice. Philadelphia: Saunders Company; 1972 hlm. 180-203. 15. Roth. Functional occlusion for the orthodontist. J Cli Orthod:1981; 32-51. 16. Hylander, W.L. Functional anatomy in The temporomandibular joint. Sarnat, Ed. ke-4. Philadelphia: Saunders Company; 1922.p 72-83. 17. Das PJ, Dkhar W, Pradhan A. An Evaluation of Dental Crowding in Relation to the Distal Crown Width and Arch Dimensions in Southern Indian Population. J Clin Diagn Res. 2017; 11(9) : TC 10- TC 13. 18. Sakinah N, Wibowo D, Helmi ZN. Peningkatan lebar lengkung gigi rahang atas melalui perawatan ortodonti menggunakan sekrup ekspansi. Dentino (Jur. Ked. Gigi). 2016; 1(1): 83-87. 19. Adnan Y. Positive Effects for Patients Seeking Orthodontic Treatment. Int J Dent Med Res. 2014;1(3): 92-97 20. Isaacson KG, Muir JD, Reed RT. Removable orthodontic appliances. Oxford: Wright; 2002, p. 9. 21. Singh G. Textbook of orthodontics. 3nd Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2015;p.427. 22. Foster T. Buku Ajar Ortodonti. Jakarta: EGC Buku Penerbit Kedokteran; 2000. 23. Tokarevich I. Rublevsky D. Mandibular Incisor Crowding in The MixedDentition. Advances in Etiology, Early Diagnosis and OrthodonticTreatment. Dental Science and Practice. 2014;5 (5) : 20-34. 24. Spolyar JL. Orthodontics for Oral Cleft Craniofacial Disorder in Plastic Surgery Secret Plus. Ed ke-2. 2010.