BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian akhir dari proses penelitian ini. Bagian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, dan saran yang berisikan masukan dan rekomendasi. 6.1 Kesimpulan Bagian kesimpulan merupakan rangkuman dari hasil penelitian yang disesuaikan dengan pertanyaan penelitian. 6.1.1 Budaya Bermukim Suku Dayak Ngaju Budaya bermukim Suku Dayak Ngaju dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu latar belakang manusia dayak, tempat bermukim, dan aktivitas yang mereka lakukan. Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu proses perjalanan hidup manusia dayak. Proses ini akan mempengaruhi segala artefak yang dibangun/dibuat oleh manusia dayak. Orang dayak merupakan manusia religius karena mereka mempercayai adanya Sang Pencipta yang menciptakan alam semesta dan segala isinya (Mitos Penciptaan Jagad Raya). Untuk lebih memahami proses penciptaan, manusia dayak menggambarkannya dalam simbol-simbol tertentu seperti Batang Garing. Mereka juga mempercayai bahwa benda-benda alam memiliki roh. Kepercayaan ini memberikan batasan/aturan bagi manusia dayak untuk memperlakukan dan mengelola alam secara bijaksana. Sebagai manusia religius, manusia dayak memiliki banyak ritual sebagai wujud penghormatan terhadap Sang Pencipta dan penghargaan terhadap roh-roh di alam. Mereka juga memiliki ritual-ritual sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap para leluhur yang telah meninggal. Artefak seperti sandong, sapundu, dan tiang pantar merupakan salah satu wujud dari ritual tersebut. Kepercayaan manusia dayak ini dalam perkembangannya dirumuskan menjadi sebuah agama yang disebut Kaharingan. Sebelumnya disebut 295 agama helo (baca helu: lama) untuk membedakan terhadap agama lain yang masuk belakangan. Manusia dayak merupakan suku yang suka berkelompok membentuk komunitas karena itu mereka memiliki hubungan kekerabatan yang kuat. Komunitas ini berguna dalam kegiatan berladang dan bertahan menghadapi serangan baik musuh maupun binatang buas. Wujud komunitas ini adalah adanya perkampungan dan berdirinya betang/huma hai (rumah panjang/rumah besar). Dalam perkembangannya, rumah panjang menjadi simbol kehidupan komunal, sebagai identitas yang khas bagi suku dayak. Latar belakang manusia dayak berpengaruh terhadap cara mereka bermukim. Memilih lokasi bermukim tidak dilakukan dengan sembarangan, ada proses ritual yang dilakukan. Demikian juga dalam proses membangun huniannya. Selain alasan ritual, pemilihan lokasi bermukim juga dipengaruhi oleh mata pencaharian utama berladang juga mencari ikan, menghindari pendatang, menghindari musuh baik serangan suku lain (masa hapuno hatetek) maupun penjajah, dan wabah penyakit. Lokasi bermukim biasanya dipilih berada di tepi sungai dengan alasan sungai mempermudah dalam transportasi menuju pada lokasi-lokasi tempat mereka bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup (berladang, berkebun, berburu, mencari ikan, mencari hasil hutan, menambang emas), sungai sebagai sumber makanan dan air minum, untuk mempermudah pengawasan terhadap datangnya musuh atau pendatang, mudah mengawasi perahu, dan sungai untuk mempermudah aktivitas domestik sehari-hari. Bentuk-bentuk hunian seperti rumah yang panjang, berbentuk panggung, orientasi ke arah sungai merupakan wujud adaptasi terhadap tempat mereka bermukim. Pemilihan lokasi bermukim juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia dayak baik yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral maupun kegiatan sehari-hari. Ada kegiatan ritual yang dilakukan di sungai terkait dengan pemanfaatan sungai sebagai salah satu sumber kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, sungai memberikan manfaat yang besar, baik sebagai sumber memenuhi kebutuhan hidup seperti untuk air minum, sumber makanan karena kaya akan ikan, juga untuk kegiatan domestik seperti mandi, cuci, dan kakus. Lanting/batang merupakan bentukkan yang dibuat untuk aktivitas domestik di tepi sungai. 296 Beberapa aktivitas juga berpengaruh terhadap bentuk hunian panggung. Mata pencaharian berladang, berpengaruh pada pemanfaatan bagian kolong hunian untuk kegiatan mengolah hasil ladang, selain itu mereka memanfaatkan kolong hunian untuk memelihara ternak, kolong hunian juga dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan komunal, aktivitas lainnya adalah pandai besi dimana suku dayak biasa mengolah sendiri peralatan kerja mereka seperti mandau, dohong, mata tombak, dan lain-lain. Aktivitas berladang juga berpengaruh terhadap munculnya varian-varian artefak lain seperti tingkap dan pasah dukuh (rumah kebun). Walaupun mata pencaharian utama sebagian besar manusia dayak adalah berladang namun mencari ikan juga merupakan salah satu mata pencaharian, bahkan menjadi mata pencaharian utama bagi manusia dayak yang tidak memiliki lahan untuk berladang. Bentuk hunian panggung yang berada di atas air maupun hunian yang mengapung merupakan wujud dari implikasi mata pencaharian sebagai nelayan. Posisi hunian di atas air mempermudah mereka dalam bekerja dan mengawasi hasil tangkapan mereka yang biasanya diletakkan dalam keramba, dan kolong dapat dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan perahu. Lokasi bermukim, mata pencaharian, aktivitas domestik dan aktivitas lainnya akan membentuk pola perilaku yang tetap (habitus). Pola perilaku ini dimulai dari manusia dayak lahir hingga meninggal. Kehidupan manusia dayak dimulai ketika mereka lahir, masa anak-anak dilalui dengan melakukan aktivitas bermain dan belajar untuk mengenal alam serta melatih kemampuan, masa remaja dijalani dengan bermain dan membantu orang tua baik di hunian maupun bekerja, masa dewasa merupakan masa manusia dayak untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup dan memulai hidup berkeluarga, sedangkan aktivitas dimasa tua tetap melakukan seperti pada masa sebelumnya sesuai dengan kemampuannya sambil melakukan transfer pengetahuan kepada keturunannya (anak dan cucu). Proses kehidupan ini dilakukan dan dijalani manusia dayak secara turun temurun. Sungai, hutan, ladang serta hunian merupakan media pembentuk pola perilaku tersebut. Kemampuan berenang, mengendarai perahu dan mencari ikan akan dibentuk di sungai. Sungai juga merupakan tempat untuk bermain dan rekreasi selain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan meniup sumpit (menyipet) dan teknik 297 berburu dibentuk di hutan. Seperti sungai, hutan juga merupakan tempat bermain, rekreasi, dan tempat bekerja. Ladang merupakan tempat bekerja utama manusia dayak. Bagi anak-anak dan remaja, ladang merupakan tempat untuk belajar mengenal mata pencaharian utama, mereka melakukan kegiatan berkebun untuk mempelajari proses bercocok tanam sekaligus membantu orang tua. Hunian dan ruang terbuka didekatnya (karatak lewu) merupakan pusat kehidupan manusia dayak. Hunian merupakan tempat manusia dayak dilahirkan, tempat bermain anak-anak dan remaja, tempat bekerja, tempat melakukan transfer ilmu pengetahuan, tempat kegiatan ritual, tempat meninggal, dikuburkan dekat hunian, diantar ke surga, dan peristirahatan terakhir (makam diletakkan dekat hunian). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya bermukim merupakan proses kehidupan (profan maupun sakral) yang berisikan dinamika hubungan antara manusia, tempat, dan aktivitas yang berlangsung di tempat tersebut. Hubungan ini dilatar belakangi budaya manusia yang selalu dipegang secara turun temurun sebagai tradisi. Termasuk di dalamnya simbol-simbol yang digunakan untuk menggambarkan siapa manusia tersebut. Latar belakang manusia ini mempengaruhi pemilihan tempat sebagai lokasi bermukim. Ada unsur-unsur kebiasaan yang digunakan untuk memilih tempat bermukim. Salah satu unsur kebiasaan itu adalah aktivitas yang selama ini dilakukan yang meliputi aktivitas domestik dan aktivitas memenuhi kebutuhan hidup (mata pencaharian). Tempat bermukim dan aktivitas-aktivitas tersebut kemudian akan membentuk pola perilaku. Secara ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 6.1. 6.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Place Attachment dan Implikasinya Untuk menemukan place attachment yang dialami Suku Dayak Ngaju, dilakukan dengan mempelajari dan memahami budaya bermukim mereka. Aspek-aspek dalam budaya bermukim yang tetap bertahan dari masa ke masa baik disadari maupun tidak disadari dan tidak berubah walaupun telah terjadi perubahan zaman, masuknya pendatang, perubahan kepercayaan, perkembangan kota, perubahan mata pencaharian, dan lain-lain merupakan poin penting untuk menemukan place attachment. 298 MANUSIA Ritual Simbol Mitos Identitas Agama Budaya Bermukim Suku Dayak Ngaju Proses Bermukim TEMPAT Kekerabatan Aktivitas Domestik Mata Pencaharian AKTIVITAS Gambar 6.1: Diagram Aspek-aspek Hubungan Manusia, Tempat, dan Aktivitas dalam Budaya Bermukim Suku Dayak Ngaju Pada masa lalu (tradisional), keterikatan Suku Dayak terhadap tempat merupakan ikatan secara spiritual. Tempat merupakan sarana manusia dayak lahir dan menerima roh (arwah), menjalani masa kecil dan remaja di tempat tersebut, masa dewasa untuk bekerja mungkin tidak selalu ada di tempat itu namun disaat akan meninggal akan kembali pulang, meninggal dan dikubur di tempat itu, setelah tinggal tulang-tulang maka akan dibawa dan diletakkan di tempat itu, dan pada akhirnya melalui tempat itu, roh akan diantar menuju surga. Tulang-tulang kemudian diletakkan pada sandong yang melambangkan roh telah diantar ke surga. Pada masa sekarang di Kampung Pahandut, keterikatan secara spiritual sudah tidak lagi seperti masa tradisional. Hasil penelitian menunjukkan keterikatan dipengaruhi 3 faktor, yaitu: 1) Faktor fisik, meliputi kepemilikan lahan/hunian berdasarkan warisan dan lama tinggal, pada sungai dan kampung yang memberikan identitas diri; 2) Faktor sosial, meliputi kekerabatan dan kewajiban melaksanakan kegiatan ritual; dan 3) Faktor budaya, temuan 299 menunjukkan bahwa budaya dan ritual masa lalu tercermin dalam tata hunian suku dayak. Faktor kedua dan ketiga merupakan perwujudan dari jejak kehidupan spiritual masa lalu (tradisional). Dari ketiga faktor yang mempengaruhi keterikatan, faktor budaya merupakan yang utama karena mempengaruhi hunian sebagai wujud arsitektur, faktor sosial sendiri berada dalam lingkup budaya. Berkaitan dengan hunian, batang garing sebagai simbol perikehidupan orang dayak secara “tidak sadar” terwujud dalam tatanan ruang dalam hunian yang terus secara berkesinambungan berlanjut pada perkembangan hunian suku dayak hingga saat ini. Pemahaman terhadap ritual masa lalu dan kekerabatan yang pernah muncul pada rumah panjang (betang) berpengaruh pada tata ruang hunian masa kini. Ruang-ruang yang ada merupakan reproduksi dari pemahaman terhadap kehidupan sosial dan makna ritual yang pernah ada pada masa lalu yang terkonsepsi dalam benak orang dayak. Ruang yang tercipta merupakan pengejawantahan dari kehidupan sosial dan kehidupan ritual. Dari pemaparan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Suku Dayak Ngaju tradisional mengalami keterikatan secara spritual yaitu dari roh (lahir) kembali menjadi roh (mati) dan diantar ke surga melalui hunian sebagai wadahnya. Sedangkan pada masa sekarang, keterikatan yang muncul merupakan keterikatan simbolisme terhadap penciptaan (pencipta, sesama, dan alam) dan kehidupan spiritual masa lalu yang terkonsepsi dalam benak sebagai orang dayak. Keterikatan tersebut disebabkan oleh faktor identitas diri; konsepsi makna simbol dan kegiatan ritual; kewajiban dan partisipasi dalam kegiatan ritual; memori; serta mental dan spiritual berkaitan dengan supranatural. Wujud keterikatan tersebut terlihat pada tata ruang hunian mereka (material) dan munculnya falsafah baru yaitu falsafah huma betang (non-material) berdasarkan wujud hunian masa lalu (betang). Dalam simpulan tersebut, budaya merupakan bagian terkuat yang mengikat Suku Dayak Ngaju. Istilah culture place attachment merupakan hal yang tepat untuk menunjukkan model keterikatan yang dialami Suku Dayak Ngaju. Simpulan dari temuan tersebut kemudian dikaitkan dengan teori dari Lefebvre, Bourdieu (Sub bab 5.3) dan place attachment dari Stokols dan Shumaker; Proshansky, Fabian dan Kaminoff; Low dan Altman; Pellow; Cooper 300 Marcus; Hummon; Low; Hidalgo dan Hernandez; Teddy, Nikora dan Guerin; Scannell dan Gifford; Raymond, Brown dan Weber (Sub bab 2.2, Sub bab 3, Sub bab 5.3, Gambar 2.7, Gambar 5.32) maka didapatkan rumusan: Keterikatan pada tempat yang dialami Suku Dayak Ngaju berada dalam lingkup budaya (cultural place attachment) yaitu secara spiritual terhadap tempat sebagai wadah menerima roh (lahir) sampai roh diantar menuju surga (keterikatan dari roh kembali menjadi roh), terhadap aspek identitas, sosial spritual, supranatural, simbolisme dalam lingkup budaya masa lalu yang terkonsepsi dan terpola dalam pikiran dan benak manusia yang tereproduksi dalam wujud material (arsitektur) dan non material (filosofi). Model place attachment yang muncul merupakan penekanan terhadap suatu proses hubungan antara manusia (actor), tempat (place), dan aktivitas (activity) dalam lingkup cultural bonding. Secara diagram dapat dilihat pada Gambar 6.2 dan Gambar 6.3. Gambar 6.3 menunjukkan hasil penelitian ini berada dalam lingkup keterikatan terhadap faktor budaya (cultural bonding). Stokols dan Shumaker (1981); Proshansky, Lima dimensi Fabian & dalam place Kaminoff (1983, attachment 1995), Cooper yaitu: continuity, Marcus (1992); distinctivenes, Pellow (1992); symbolism, Low (1992); attachment, dan Hummon (1992); familiarity Teddy, Nikora dan Guerin (2008) Hidalgo dan Hernandez (2001) Fokus: social dan physical Scannell dan Gifford (2010): model place attachment pada 3 dimensi, yaitu person (individual, grup), process (affect, cognitive, behavior), dan place (social, physical) Proses yang berhubungan dengan budaya (symbolism) yang mendasari place attachment (Low, 1992): • Ikatan berdasarkan silsilah/keturunan • Pertalian yang timbul akibat kehilangan lahan atau penghancuran • Ikatan ekonomis Ikatan secara kosmologi • Pertalian keyakinan atau agama, ziarah sekular, partisipasi dalam perayaan acara kebudayaan • Kisah cerita meliputi sejarah dan pemberian nama terhadap tempat Raymond, Brown dan Weber (2010): model place attachment yang melibatkan tiga hal yaitu personal (place identity, place dependence, rootedness), community (neighborhood attachment, familiarity, belongingness), dan natural environmental (connectedness to nature, environmental identity, affinity to nature) Keterikatan pada tempat berada dalam lingkup budaya (cultural place attachment) yaitu secara spiritual terhadap tempat sebagai wadah menerima roh sampai roh diantar menuju surga, terhadap aspek identitas, sosial spritual, supranatural, simbolisme dalam lingkup kultural masa lalu yang terkonsepsi dan terpola dalam pikiran dan benak manusia yang tereproduksi dalam wujud material (arsitektur) dan non material (filosofi). Model place attachment yang muncul merupakan penekanan terhadap suatu proses hubungan antara manusia (actor), tempat (place), dan aktivitas (activity) dalam lingkup cultural bonding. (Sangalang, 2013) Gambar 6.2: Diagram Struktur Pengembangan Teori Place Attachment 301 MANUSIA TEMPAT Spiritual Identitas Simbol Falsafah CULTURAL BONDING Ritual Sosial Memori AKTIVITAS Gambar 6.3: Konsep Model Culture Place Attachment dalam Hubungan antara Manusia, Tempat, dan Aktivitas Tabel 6.1: Perbandingan Penelitian Mengenai Sebelumnya dengan Hasil Penelitian Place Attachment yang PENELITIAN PLACE ATTACHMENT Sebelum Tahun 1990 Tahun 19902000 Tahun 2013 Tahun 2000-2012 Metode penelitian kualitatif (fenomenologis) • Metode penelitian kuantitatif • Metode penelitian mix method (kuantitatif dan kualitatif) Objek tempat: Objek tempat beragam: built hunian environment dan natural environment • Fokus pada dimensi sosial • Fokus pada dimensi sosial dan • Fisik hanya wadah dimensi fisik • Budaya bagian dari dimensi sosial • Budaya bagian dari dimensi sosial • Keterikatan pada dimensi sosial lebih kuat dari dimensi fisik Meletakkan pondasi bagi penelitian selanjutnya Mengembangkan hasil temuan penelitian sebelumnya (Keterikatan pada Tempat untuk Hunian di Tepi Sungai-Referensi Suku Dayak Ngaju di Palangka Raya) Metode penelitian kualitatif (grounded) Objek tempat: hunian dan lingkungan permukiman Suku Dayak Ngaju Temuan: Keterikatan yang dialami Suku Dayak Ngaju terfokus pada 3 dimensi yaitu fisik, sosial, dan budaya (berdiri sendiri, lepas dari dimensi sosial). Dari ketiganya, dimensi budaya yang terkuat, dan dimensi sosial sendiri merupakan bagian dari budaya. Budaya tersebut adalah kehidupan spiritual (dari roh kembali ke roh), simbolisme dalam lingkup budaya masa lalu (penciptaan dan simbol kehidupan), dan sosial dalam kewajiban spritual. Memperkaya hasil temuan penelitian sebelumnya dan sekaligus memberi masukan baru dengan munculnya dimensi budaya (Sumber: hasil kajian pustaka dan temuan penelitian, 2013) 302 6.1.3 Proses dalam Penelitian secara Metodologis Pemilihan metode dalam penelitian ini dipengaruhi oleh tantangan yang dilontarkan peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian dengan topik place attachment masih terbuka lebar untuk diteliti dalam lingkup bidang keilmuan, kajian, tema, objek, komunitas, dan lain-lain. Penelusuran terhadap penelitianpenelitian sebelumnya menunjukkan bahwa topik ini sangat banyak dilakukan terutama dalam periode tahun 2000 ke atas (sampai 2012). Dalam penelusuran ditemukan bahwa penelitian ini dimulai dari peneliti-peneliti fenomenologi. Temuan-temuan berupa definisi dan faktor-faktor/variabel-variabel yang dihasilkan kemudian menjadi rujukan bagi peneliti-peneliti berikutnya. Penelitian sesudahnya lebih banyak melakukan pengujian hipotesa berdasarkan temuantemuan tersebut sehingga pemilihan metode kuantitatif lebih banyak dipilih. Dalam penelusuran pustaka sampai saat ini, belum ditemukan kajian place attachment terhadap Suku Dayak Ngaju yang berdiam di tepi sungai. Namun penelusuran pustaka yang terbatas tidak terlalu kuat untuk memperkuat klaim ini. Untuk itu pemilihan metode penelitian yang tepat sangat penting karena tujuan penelitian untuk mengembangkan teori dalam lingkup place attachment. Mengembangkan yang dimaksud adalah dapat memperkaya yang sudah ada maupun menemukan hal-hal yang baru sehingga penelitian ini bukan menguji hipotesa. Untuk itu metode kualitatif yang dipilih dalam penelitian ini. Place attachment merupakan fenomena yang sudah ditemukan banyak jawaban melalui penelitian-penelitian sebelumnya, karena itu penelitian ini tidak menggunakan fenomena sebagai pijakan. Jawaban dari penelitian-penelitian sebelumnya belum tuntas dalam lingkup teoritis sehingga masih bisa dikembangkan. Dalam lingkup kualitatif maka dipilih metode grounded research. Tujuannya adalah mengembangkan teori dasar menurut data-data yang ditemukan. Kesulitan penerapan metode ini adalah tujuan penelitian yang jelas ingin mengembangkan teori dalam lingkup place attachment. Hasil-hasil temuan sebelumnya akan sangat berpengaruh dalam pola pikir saat turun ke lapangan. Padahal grounded mempunyai aturan dasar harus “kepala kosong” saat masuk ke wilayah penelitian. Kepala kosong disini dalam artian tidak terpengaruh teori apapun termasuk teori yang akan dikembangkan. Namun masuk ke dalam wilayah 303 studi benar-benar kepala kosong juga tidak mungkin, harus dibekali pengetahuan terhadap lokasi yang akan diteliti apalagi lokasi memiliki karakteristik khusus terutama etnis yang menjadi objek kajian. Salah satu cara untuk mengisi pengetahuan terhadap lokasi adalah memahami budaya bermukim. Untuk lebih mempermudah saat masuk wilayah studi maka budaya bermukim yang dipahami adalah budaya bermukim masa lalu yang sampai saat ini masih dilakukan Suku Dayak Ngaju. Untuk mengetahui budaya bermukim masa lalu perlu dilakukan kajian-kajian. Untuk itu penelitian ini menggunakan metode yang lain untuk mengetahui budaya bermukim masa lalu yaitu penelusuran pustaka dan observasi pada tempat-tempat yang masih belum mengalami akulturasi. Metode yang digunakan adalah case study. Dengan metode ini didapatkan budaya bermukim masa lalu Suku Dayak Ngaju dan pengetahuan ini kemudian dibawa masuk ke lokasi penelitian. Secara diagram dapat dilihat pada gambar berikut. BUDAYA Nilai-nilai religi, sosial, mitos, simbol, filosofi, dll Metode CASE STUDY (observasi, wawancara, literatur) BUDAYA BERMUKIM ASPEK-ASPEK BUDAYA BERMUKIM YANG SALING MEMPENGARUHI DENGAN BUILT ENVIRONMENT ARTEFAK Built Environment BACKGROUND MASUK KE LOKASI PENELITIAN Metode GROUNDED Gambar 6.4: Diagram Proses Pemanfaatan Metode Case Study Budaya bermukim yang kemudian ditemukan dalam lokasi penelitian kemudian dikomparasi dengan hasil temuan dari case study sehingga budaya bermukim yang masih tetap dapat lebih dideskripsikan dan diekplorasi. Hasil dari komparasi ini yang menjadi jalan menemukan hal-hal yang berkaitan dengan place attachment. 304 6.2 Pengaruh Hasil Penelitian terhadap Keilmuan Arsitektur Hasil penelitian keterikatan pada tempat yang dialami Suku Dayak Ngaju tradisional memberikan sumbangan pada kajian makna pada arsitektur (meaning of architecture). Makna menurut Rapoport (1990:178) menunjukkan komunikasi non-verbal dari lingkungan kepada manusia. Sumbangan terhadap makna dari penelitian ini dindikasikan dari sesuatu yang suci (sanctity) seperti simbol dan peristiwa ritual, dan kehidupan spritual. Ekspresi arsitektur dari makna terwujud pada tata ruang hunian dan elemen-elemen yang ada di lingkungan hunian seperti bangunan sandong yang merupakan wujud makna spritual dari mengantar roh ke surga. Hunian Suku Dayak, khususnya pada balai merupakan ekspresi makna sentral (pusat) dari kehidupan mereka karena pada tempat ini proses transfer ilmu pengetahuan dan tradisi disampaikan para orang tua kepada keturunannya. Ekspresi arsitektur pada tata ruang hunian Suku Dayak Ngaju yang terbentuk dipengaruhi oleh tiga aspek yang saling berkaitan yaitu aspek budaya, aspek sosial, dan aspek fungsi ruang. Aspek budaya meliputi simbolisasi batang garing dan pengalaman ritual; aspek sosial meliputi kekerabatan dan hubungan sosial dalam kegiatan keagamaan; sedangkan aspek fungsi meliputi aktivitas sehari-hari dan aktivitas dalam kegiatan keagamaan. Hunian Suku Dayak Ngaju memiliki bentuk geometris empat persegipanjang, bagian dalamnya dibagi-bagi dalam bentuk yang sama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Bentuk tersebut membentuk ruang-ruang yaitu ruang tidur (karung), ruang berkumpul (balai), dapur (dampuhan), teras (henderasi), dan karayan. Ruang-ruang ini dari masa lalu hingga sekarang tetap ada dalam masing-masing bentuk hunian dan memiliki fungsi yang tetap sama, baik itu dalam bentuk rumah panjang, rumah besar maupun hunian tunggal. Hanya ada pengembangan terhadap ruang berkumpul (balai) yang saat ini berkembang menjadi ruang tamu dan ruang keluarga pada hunian tunggal. Ukuran tertentu tidak menjadi suatu yang penting karena ukuran-ukuran ruang dalam hunian Suku Dayak Ngaju masa lalu tidak berdasarkan unsur metrik tapi berdasarkan ukuran tubuh kepala keluarga, kebutuhan, dan pengalaman, karena 305 itu bangunan dan ruang-ruang hunian mereka tidak ada yang memiliki ukuran yang sama. Dibalik ruang-ruang yang memang fungsional tersebut, terdapat pengaruh budaya dan hubungan sosial dalam wujud simbol dan aktivitas. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 5.1.4, pengaruh simbol dan kegiatan ritual sangat mempengaruhi pola tata ruang hunian. Ruang-ruang dianalogikan seperti pembagian alam dalam simbol batang garing, dan tata letak ruang-ruang dianalogikan dengan prosesi ritual yang menunjukkan tiga relasi (manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam) menurut pemahaman Suku Dayak Ngaju masa lalu. Berdasarkan fungsi, Norberg-Schulz (1977:111-112) membagi fungsi arsitektur menjadi empat, yaitu: 1) Physical control, berkaitan dengan hubungan antara bangunan dengan lingkungannya dan bergantung pada kegiatan manusia yang harus dilayani oleh bangunan, perannya meliputi pengontrolan iklim (udara, kelembaban, temperatur, dan lain-lain), cahaya, suara, bau, debu, asap, serangga, manusia, dan radioaktif; 2) Functional frame, berkaitan dengan tingkah laku dan kegiatan manusia yang harus diwadahi oleh bangunan, mempresentasikan struktur kegiatan yang berkaitan dengan spatial, topologi, serta karakter dinamis dari fungsi; fungsi ini harus mampu beradaptasi dengan kegiatan yang kompleks; 3) Social millieu, manfaat bangunan secara sosial dapat menunjukkan ekspresi status, peran, kelompok, perkumpulan, institusi, dan sekelompok bangunan yang mempresentasikan sistem sosial; dan 4) Cultural symbolization, arsitektur merupakan simbol budaya, objek budaya dan hasil karya manusia yang bertujuan mewadahi aktivitas manusia. Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa hunian Suku Dayak Ngaju dipengaruhi budaya (simbol dan pengalaman ritual) dan aktivitas (sosial dan ritual). Temuan tersebut dapat memperkaya teori fungsi dari Norberg-Schulz di atas, terutama pada functional frame dan cultural symbolization. Pada functional frame, ruang-ruang pada hunian Suku Dayak terbentuk karena untuk memenuhi aktivitas sehari-hari, hubungan sosial sekaligus kegiatan ritual; hal tersebut menunjukkan bahwa ruang yang sama dapat beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda. Pada cultural symbolization, susunan ruang pada hunian 306 Suku Dayak Ngaju merupakan analogi dari simbolisasi batang garing tentang alam (alam atas dan alam manusia). Susunan ruang juga merupakan simbolisasi prosesi ritual yang terwujud pada tiga relasi, yaitu antara manusia dengan Tuhan, dengan manusia lainnya, dan dengan alam. Berkaitan dengan pola yang terbentuk pada hunian Suku Dayak, Salingaros (2008;220) mengungkapkan bahwa arsitektur dapat dibedakan menjadi dua bahasa, yaitu pattern language dan form language. Pattern language dikondisikan sebagai interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yang menetapkan bagaimana dan kemana manusia secara alami untuk berjalan, tidur, masuk dan bergerak ke sebuah bangunan, menikmati ruang dalam atau ruang luar, dan merasa nyaman atau tidak dalam sebuah taman. Pattern language merupakan seperangkat solusi yang mengoptimalkan built environment yang dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan manusia, merupakan kombinasi bentuk geometri dan pola perilaku sosial yang dapat mengakomodasi aktivitas manusia. Setiap pattern language akan berbeda pada setiap cara kehidupan dan perilaku, yang dipengaruhi oleh iklim, geografi, budaya, dan tradisi (Salingaros, 2008:220). Sedangkan form language adalah murni sebuah bentuk geometri, yang terdiri dari elemen bentuk seperti lantai, dinding, plafon, partisi, dan semua komponen arsitektural, yang mempresentasikan bentuk tertentu dan gaya sebuah bangunan (Salingaros, 2008:220). Salingaros ingin menyatakan bahwa sebuah built environment yang baik adalah mengkombinasikan antara pattern language dan form language. Jika hanya menggunakan built environment saja yang sudah baku, belum tentu built environment tersebut akan cocok dengan penggunanya. Form language pada suatu tempat mungkin memenuhi keinginan penggunanya di tempat tersebut, tapi form language yang sama diterapkan di tempat yang lain belum tentu memenuhi keinginan panggunanya. Karena itu perlu adanya metode desain yang adaptif yaitu mengkombinasikan pattern language dan form language yang saling melengkapi satu sama lainnya (Salingaros, 2008:222). Hunian Suku Dayak Ngaju dapat menjadi salah satu contoh dari metode desain yang adaptif seperti yang disampaikan Salingaros. Sebagai sebuah bentuk geometris (form language), bentuk hunian juga disesuaikan dengan pattern languagenya yaitu kondisi iklim, lokasi di tepi sungai, aktivitas domestik, 307 keamanan, aktivitas bekerja, sosial kekerabatan, dan latar belakang budaya (simbol, ritual, tradisi). Pattern language dapat menunjukkan budaya yang diekpresikan dalam wujud arsitektur (Rapoport, 1969). Mata pencaharian berbeda akan berbeda lokasi hunian tersebut, jika berladang maka hunian berada di atas “bukit”, namun jika sebagai nelayan maka hunian berada di atas air (contoh hunian di Desa Danau Tundai). Bentuk hunian memanjang karena dipengaruhi masalah keamanan, pada saat aman maka hunian tunggal dianggap lebih cocok sebagai tempat tinggal. Bentuk hunian tumbuh, jika hunian disesuaikan dengan pertambahan anggota keluarga maka hunian didisain dapat ditambah ke bagian kiri atau kanan (contoh betang Tumbang Gagu), sedangkan jika hunian dibangun sesuai dengan jumlah anggota keluarga maka hunian didisain dengan jumlah ruang yang sesuai dengan jumlah penghuninya (contoh betang Tumbang Malahoi). Jadi hunian Suku Dayak Ngaju merupakan produk arsitektur yang telah mengadopsi metode desain kombinasi pattern language dan form language. Berdasarkan pemaparan di atas, maka arsitektur Suku Dayak Ngaju adalah arsitektur yang terwujud sebagai ekspresi spiritual (form follow spiritual), simbolisasi budaya (form follow culture) dan aktivitas (form follow function). 6.3 Saran Penelitian ini bukan akhir dari pencarian hal-hal baru dalam lingkup place attachment, masih perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan. Untuk itu, disampaikan beberapa masukan terkait dengan penelitian place attachment. 1. Penelitian ini difokuskan pada Suku Dayak yang tinggal di tepi sungai, sedangkan Suku Dayak juga ada yang tinggal tidak di tepi sungai dan suku pengembara, untuk itu dapat dilakukan penelitian terhadap suku-suku tersebut. Penelitian juga dapat dilanjutkan dengan meneliti Suku Dayak yang lainnya yang tinggal di tepi sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan mupun pada suku-suku lain yang berada di pulau-pulau lainnya di Indonesia. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk menguji, mengoreksi, melengkapi bahkan membantah model cultural place attachment hasil penelitian ini. 308 2. Place attachment pada awalnya merupakan konsep pemikiran dari barat, pemilihan metode grounded merupakan cara untuk menggali dari dasar tentang place attachment berdasarkan konsep timur, yang dalam hal ini menggunakan referensi suku lokal yang ada di Indonesia. Metode yang dilakukan pada penelitian ini belum tentu merupakan metode terbaik untuk meneliti tentang place attachment. Namun cara menemukan place attachment berdasarkan budaya bermukim merupakan kunci untuk lebih dalam memahami karakter objek penelitian. Memahami budaya bermukim akan lebih mengetahui perbedaan dari etnis-etnis lokal yang ada di Indonesia maupun dari luar walaupun memiliki karakteristik tempat tinggal yang sama. 3. Pada tataran praktis, memahami budaya bermukim dan keterikatan etnis tertentu yang tinggal di kampung yang merupakan cikal bakal sebuah kota, secara umum dapat memberikan masukan berharga bagi perencanaan dan perancangan kota ke depannya. Keberadaan kampung tersebut beserta segala keunikannya harus menjadi identitas kota. Secara khusus, pengenalan budaya bermukim dan keterikatan harus dilakukan dalam seluruh kegiatan perencanaan dan perancangan yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman, baik itu informal maupun formal. 309 ( halaman ini sengaja dikosongkan ) 310