STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN OFFLINE STARCROSS DALAM MENINGKATKAN JUMLAH PELANGGAN DI STARCROSS STORE SEMARANG PROPOSAL SKRIPSI OLEH Akbar Nur Iman G.311.15.0050 PROGRAM STUDI S1-ILMU KOMUNIKASI JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS SEMARANG SEMARANG 2021 1. Judul Strategi Komunikasi Pemasaran Offline Starcross Dalam Meningkatkan Jumlah Pelanggan di Starcross Store Semarang. 2. Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini perkembangan model atau fashion semakin banyak, hal tersebut memicu banyak produsen yang melirik dunia fashion sebagai bisnis merek. Tidak dipungkiri juga bisnis fashion memperoleh keuntungan yang besar untuk pembisnisnya. Fashion sekarang ini merupakan gaya hidup dari setiap manusia, dan sudah menjadi satu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kebutuhan pokok. Setiap manusia modern saat ini sangat bergantung terhadap dunia fashion. Perkembangan jaman yang semakin melaju pesat semakin berkembang juga di dunia fashion dalam dunia ini. Seluruh dunia sangat mencondongkan dalam berpakaiannya sesuai dengan apa yang menurut mereka sedang populer saat ini. Keragaman dunia fashion juga merupakan keaneka ragaman fashion brand yang menjadi acuan atau trendsetter di seluruh dunia termasuk di Negara Indonesia. Dewasa ini perkembangan zaman yang sangat pesat tidak hanya wanita yang memikirkan sebuah fashion, melainkan banyak pria juga memperhatikan fashion. Dalam kehidupan dunia metropolis mereka mulai sadar akan pentingnya fashion, karena hal ini akan mempengaruhi kepercayaan diri dalam berpenampilan. Mereka tak segan-segan mengeluarkan banyak biaya hanya untuk mengikuti perkembangan fashion. Indonesia mengalami perkembangan dan stabilitas yang sangat pesat dalam bidang fashion, percampuran faktor-faktor budaya barat dan budaya timur yang kuat memungkinkan budaya Indonesia dapat berkembang dengan baik dalam dunia fashion. Adanya partisipasi dari segala kemajemukan aspek budaya yang ada di Indonesia, karena tuntutan dan kebutuhan pasar yang tinggi maka dunia kreatif dan fashion di Indonesia melahirkan inovasi baru dengan membuat toko-toko baju yang dikenal dengan istilah Distribution Oulet atau Distro sebagai sebuah tempat penjualan dan distribusi produk yang menjadi penghubung antara produsen dengan konsumen. Distro adalah suatu tempat yang mendistribusikan suatu barang. Biasanya distro menyediakan barang-barang pakaian yang hanya ada satu sampai dua barang yang sama. Barang yang ada di dalam distro biasanya adalah barang-barang yang jumlahnya terbatas (limited). Artinya barang-barang yang di jual adalah barang yang bukan diproduksi masal. Dilihat dari desainnya saja, pakaian yang diproduksi distro bukanlah desain yang umum, distro menjual pakaian yang dibuat sendiri dan menggunakan merek sendiri dengan desain yang unik dan bahan yang tidak kalah bagus dari brand luar negeri. Bila melihat fenomena yang ada di Indonesia, remaja yang memakai pakaian distro beranggapan berbeda dan juga lebih mempunyai kebanggan dan kepuasan tersendiri. Mungkin disisnilah letak keunggulan utama dari pakaian yang diproduksi oleh distro. Starcross merupakan salah satu distro, sebuah industri yang bergerak di bidang usaha pembuatan dan pendistribusian pakaian jadi. Brand fashion dari Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 2004 kantor pusatnya berada di Kota Yogyakarta, Jl. Taman Siswa No.109, Wirogunan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula nama Starcross terinspirasi dari sebuah lagu Band asal Irlandia ASH yang berjudul Starcrossed. Makna Starcross atau menyeberang bintang secara umum adalah menyeberangi bintang demi menggapai sesuatu. Penggunaan kalimat ini dalam filisofi Starcross sendiri yaitu dengan persaingan pasar yang semakin kompetitif dapat melewatinya dan juga bring the new hope membawa harapan baru dalam dunia fashion tersendiri. Starcross merupakan kesatuan pola kerja dan komitmen yang terintegrasi dalam keinginan untuk memberikan solusi yang dibutuhkan dalam berpakaian dan fashion pada umumnya. Deskripsi tersebut secara garis besar mencerminkan produk Starcross, yang mendedikasikan produknya untuk konsumen lebih dinamis, selalu mengedepankan kualitas terbaik, detail, kuat dan trend terkini. Starcross berkeinginan memberikan solusi terbaik untuk kebutuhan fashion sesuai target segmentasi dan positioning yang ditawarkan. Starcross sendiri memproduksi berbagai macam produk fashion seperti baju, celana, jaket serta aksesoris pendukung seperti tas, topi, jam tangan, dompet dan lain sebagainya. Desain dari produk fashion yang diproduksi oleh Starcross ini mengarah pada fashion remaja, sehingga target pemasaran produk mereka lebih mengarah kepada anak-anak muda. Sampai saat ini Starcross telah memiliki 24 cabang yang tersebar di Indonesia. Dalam mengembangkan pasarnya, Starcross mempunyai cara dengan memperluas cabang di beberapa kota di Indonesia, salah satunya kota Semarang yang terletak di Jl. Singosari Raya No.47, Pleburan, Semarang Selatan. Starcross store Semarang berdiri pada tahun 2018, melihat antusias konsumen yang tinggi di kota Semarang akhirnya Starcross membuka toko cabang di ibu kota Jawa Tengah ini. Guna memperluas pasarnya dan untuk mempermudah konsumen dalam menjangkau produknya secara langsung. Terdapat banyak distro yang cukup terkenal seperti Unkl347, Maternal Disaster, Rown Dvsn, dan lain sebagainya. Peneliti memilih Starcross karena merupakan distro ternama dari Yogyakarta bahkan di Indonesia, distro yang kuat akan konsisten di dunia clothing land, terdapat quality control tersendiri di perusahaan tersebut dengan desain yang unik serta bahan yang tidak kalah bagus dari brand lokal maupun luar negeri dengan harga yang cukup terjangkau. Hal tersebut tak lepas dari strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan distro Starcross dalam menjalankan bisnisnya, untuk mengatasi persaingan yang semakin kompetitif. Sementara itu selain strategi yang menentukan dalam memenangkan persaingan, sebuah distro haruslah mempunyai perbedaan dengan distro lainnya. Perusahaan clothing ini meyakini tempat sangat berpengaruh dalam target pemasaran produk mereka. Sehingga tempat yang strategis dan memperluas cabang akan mempermudah konsumen untuk menjangkau produk Starcross. Keharmonisan berarti keserasian ataupun keselarasan(Fajar, 2001:166). Keharmonisan antarsuku dalam bermasyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain saling toleransi dan saling menghormati. Masyarakat dapat dikatakan harmonis apabila masing-masing anggotanya merasakan nyaman, aman, damai, dan rasa tenang. Komunikasi merupakan sebuah proses dimana sebuah interaksi antara komunikator dan komunikan yang melakukan pertukaran pesan melalui suatu media baik secara langsung ataupun tidak langsung. Komunikasi pada hakikatnya suatu kebutuhan, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain. Komunikasi sendiri dianggap sebagai suatu hal yang kursial dalam kehidupan untuk melakukan interaksi sosial. Komunikasi yang efektif dapat memberi efek yang baik pada kehidupan bermasyarakat mengingat masyarakat sendiri terdiri dari berbagai macam suku. Keanekaragaman dari berbagai latar belakang etnik memungkinkan terjadinya perkawinan antar etnik atau antar budaya. Hal tersebut dapat memberi pengaruh terhadap pola pikir dan pandangan masyarakat mengenai peran, fungsi, dan juga status dalam keluarga yang tak jarang dapat menyebabkan konflik. Beragam budaya yang sangat berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Dalam proses komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya dibutuhkan pengertian atau pemahaman yang lebih mendalam. Salah satunya dengan mempelajari budaya orang lain yang berbeda budaya adalah merupakan mewujudkan pemahaman tersebut. Dengan adanya pemahaman tersebut maka komunikasi antar budaya akan lebih efektif dan tujuan komunikasi bisa tercapai. Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari komunikasi antar budaya agar terciptanya komunikasi yang efektif (Deddy Mulyana, 2000:6). Komunikasi antar budaya yaitu proses komunikasi yang melibatkan orang-orang yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda. Dalam keadaan ini komunikator dan komunikan sering dihadapkan pada kesalahan penafsiran pesan, karena masing-masing individu memiliki budaya berbeda, karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Dalam komunikasi antar budayamenggunakan komunikasi verbal (bahasa) yaitu lambang terpenting yang dapat disampaikan secara langsung dengan berbicara ataupun tertulis, bahasa merupakan sarana dalam melakukan interaksi untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita. Perbedaan persepsi tentang suatu hal dapat disepakati bersama dengan menggunakan sarana bahasa dan bahasa hanya dapat digunakan bila ada kesepakatan di antara pengguna bahasa. (Liliweri,Alo. 2003). Kesalahpahaman akan muncul ketika seseorang memiliki masalah utamanya seperti individu kecenderungan menganggap, bahwa budayanya sebagai suatu keharusan tanpa perlu dipersoalkan lagi (Mulyana& Rakhmat (ed.), 2003: 7). Dan karenanya setiap porang akan menggunakan budayanya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya lain. Salah satu bentuk aktivitas komunikasi antar budaya yang nyata dapat terlihat dalam kehidupan permikahan beda adat. Kehidupan pernikahan beda adat akan terjadi suatu kesalahpahaman komunikasi antar budaya, jika situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan untuk mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya budaya lain yang merupakan peleburan dari dua budaya tersebut (third culture), atau bahkan kedua budaya dapat sama-sama berjalan seiring dalam satu keluarga. Kondisi yang tidak nyaman kerap muncul apabila seseorang sangat bergantung pada stereotip dari pada bergantung pada persepsi yang langsung dialaminya. Perkawinan merupakan salah satu tahapan yang penting dan dilakukan dalam perjalanan hidup seorang manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 menyatakan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Suyono seperti dikutip oleh Ernatip et.al (2004), perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat atau agama dengan maksud bahwa mereka 5 saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Perkawinan yang ideal dipengaruhi oleh adat istiadat dan pengaruh latar belakang budaya keluarga, lingkungan serta pergaulan masyarakat dan pengaruh agama atau kepercayaan yang melingkupi perbuatan hukum tersebut. Menurut Koentjaraningrat, 2009: 156, individu yang melakukan perkawinan campuran akan dihadapkan pada perubahan dari tadisi yang biasa dilihatnya, walaupun berbeda tapi tetap mengacu kepada aturan dan tradisi. Peran-peran yang dijalankan baiknya sesuai dengan kepercayaan, nilai dan norma yang diwariskan oleh budayanya, karna suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang menganutnya. Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, karna suatu pernikahan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budayanya. Seperti halnya di Desa Bobotsari Kabupaten Purbalingga, perkawinan beda suku sering terjadi. Kabupaten Purbalingga khususnya Kecamatan Bobotsari merupakan pusat perdagangan di sekitaran Karesidenan Banyumas. Oleh karena itu, Desa Bobotsari menjadi sasaran bagi masyarakat berbagai daerah untuk memulai kehidupan baru. Sehingga komunikasi antar budaya sangat penting guna mengurangi diskomunication atau kesalahan dalam berkomunikasi maupun misscommunication atau kesalahpahaman pesan dalam berkomunikasi. Setiap perkawinan sebenarnya merupakan perkawinan campur karena tidak mungkin seorang individu menikah dengan orang yang benar-benar sama dengan 6 dirinya, namun perbedaan budaya pada pasangan yang menikah campur antara bangsa memiliki berbedaan ekstrim dibandingkan dengan menikah sesama bangsa. Pada kasus ini peneliti melihat pernikahan beda adat antara suku Jawa dengan Sunda dalam menyatukan kebudayaan yang berbeda. Peran keluarga dan kerabat juga diperlukan untuk memutuskan suatu keputusan terlebih jika itu menyangkut kebiasaan adat yang telah yakini secara turun temurun, ini sesuai dengan yang dikatakan Mulya dan Rakhmat dalam Pata (2015: 3), bahwa tidak mudah untuk menjalani pernikahan beda adat, karena masalah utama yang terjadi dalam berinteraksi dengan orang berbeda budaya adalah setiap individu memiliki kecenderungan menganggap bahwa budayanya sebagai suatu keharusan tanpa perlu dipersoalkan karenanya setiap orang akan menggunakan budayanya sebagai standarisasi untuk mengukur budaya-budaya lain. Berikut adalah contoh penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Enong Zahroh (Universitas Syarif Hidayatullah, 2017) yang berjudul “Komunikasi Antar Budaya dalam Pernikahan Antar Suku Jawa dan Betawi di Daerah Trondol RT 03 RW 01 Serang Banten”. Penelitian ini menemukan bagaimana nilai dan norma memengaruhi pola komunikasi dalam pernikahan antar suku. Penelitian lainnya oleh Sri Wahyuni (Universitas Singaperbangsa Karawang, 2013) dengan judul “Komunikasi Lintas Budaya Pernikahan Pasangan Beda Etnis”. Penelitian ini menghasilkan bahwa kedua etnis, yaitu Etnis Sunda dan Minang mempunyai fanatisme yang lebih besar dan memiliki kesamaan pandangan yang bersifat tradisional dalam melakukan pengalaman dalam agama dan hambatan apa saja yang terjadi dalam pernikahan tersebut. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perbedaan nilai dan norma dapat menjadi sebuah hambatan dalam pernikahan beda adat. Selain nilai dan norma, perbedaan bahasa yang dapat menyebabkan misscommunication. Rasa toleransi dalam berbudaya diharapkan mampu untuk mencapai keluarga yang harmonis. Berdasarkan penelitian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai Keharmonisan”. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai Keharmonisan? 4.Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan komunikasi antarbudaya dalam pernikahan beda adat Jawa dan Sunda untuk mencapai keharmonisan. 5.Manfaat Penelitian Hasil penelitian Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai Keharmonisan diharapkan bermanfaat: 5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu membrikan kontribusi dalam penelitianpenelitian selanjutnya sehingga penelitian yang disajikan dpat dikembangkan berdasarkan perkembangan jaman. Peneliti berharap memeberikan inspirasi yang positif bagi pembaca untuk melakukan penelitian selanjutnya terutama penelitian dalam penerapan komunikasi antarbudaya dalam pernikahan beda adat. 5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat khususnya mengenai Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai Keharmonisan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan bacaan bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. 6. Tinjauan Pustaka 6.1 Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antar budaya adalah komunikasi komunikasi antar individu yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat yang berlatar belakang budaya berbeda sering menghadapi masalah berupa penyampaian pesan. Saat orang-orang yang berasal dari beragam bangsa, etnik, kelompok ras, dan kelompok bahasa inilah yang dinamakan komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa yang merujuk dimana orang– orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda. (Young Yun Kim ,1984) Seluruh defenisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelakupelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu individu atau kelompokkelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Menurut Liliweri (2004:9) komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari budaya yang lain. Jadi komunikasi antar budaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya. Komunikasi Antarbudaya melibatkan berbagai tingkat perbedaan keanggotaan kelompok budaya. Komunikasi Antarbudaya melibatkan penyandian simultan dan menerjemahkan pesan verbal dan nonverbal dalam proses pertukaran makna. Ada beberapa istilah yang kerap disepadankan dengan istilah komunikasi antarbudaya, diantaranya adalah: 1. Komunikasi antar etnik: komunikasi antar etnik adalah komunikasi antaranggota etnik yang berbeda, atau komunikasi antaranggota etnik yang sama namun mempunyai latar belakang atau subkultur yang berbeda. Kelompok etnik adalah sekelompok warga besar yang diidentifikasikan memiliki kesamaan biologis dan tradisi (Webster, 1976:393). Komunikasi antaretnik merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya, namun komunikasi antarbudaya belum tentu merupakan komunikasi antaretnik. 2. Komunikasi antar ras: komunikasi sekelompok orang yang ditandai dengan arti-arti biologis yang sama. Secara teoritis 2 orang dari ras berbeda boleh jadi memiliki budaya (terutama ditandai dengan bahasa dan agama) yang sama. Secara implisit komunikasi antar ras juga mengandung dimensi komunikasi antar budaya, karena biasanya ras berbeda memiliki bahasa dan asal-usul berbeda. Kalaupun kedua pihak yang berbeda ras sejak lahir diasuh dalam budaya yang sama, potensi konflik tetap ada dalam komunikasi mereka, mengingat pihak-pihak bersangkutan menganut stereotip-stereotip tertentu (biasanya negatif) mengenai mitra komunikasinya yang berbeda ras itu. 6.2 Teori Interaksi Simbolik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Effendy, 1989:184) definisi interaksi adalah proses saling memengaruhi dalam bentuk perilaku atau kegiatan diantara anggota-anggota masyarakat, dan definisi simbolik (Effendy, 1989:352) adalah bersifat melambangkan sesuatu. Simbolik berasal dari bahasa Latin “Symbolic(us)” dan bahasa Yunani “symbolicos”. Susanne K. Langer dalam (Mulyana, 2008:92) menyebutkan dimana salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang, dimana manusia adalah satu-satunya hewan yang menggunakan lambang. Keunggulan manusia yang lain dan membedakan dari makhluk lain adalah keistimewaan mereka sebagai animal symbolicum (Mulyana, 2008:92). Peneliti mendefinisikan interaksi simbolik sebagai segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan suatu makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu (Kriyantono, 2008:114). Sedangkan Komunikasi antarbudaya didefinisikan sebagai komunikasi yang melibatkan interaksi atara orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda tentang sebuah budaya dan simbol-simbol yang cukup berbeda dalam berkomunikasi. Komunikasi antar budaya sangat diperlukan setiap individu untuk berinteraksi dengan individu lain agar tidak menimbulkan kesalahpahaman berkomunikasi dengan budaya yang berbeda. (Samovar, 2010:13) sedangkan Nurani (2015) menjelaskan bahwa komunikasi antar budaya melibatkan interaksi antara orang yang mempunyai pandangan budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam komunikasi. Kemudian dalam penelitian ini konsep yang dipakai adalah asimilasi terhadap komunikasi antarbudaya dengan dijelaskan konsep asimilasi tersebut adalah proses percantuman dan penyatuan di antara adat yang berlainan budaya sehingga membentuk satu kelompok dengan kebudayaan dan identiti yang sama. Kemudian kumpulan minoriti kehilangan identiti akibat diserap oleh kumpulan dominan dari segi kebudayaan dan sosial dengan dijelaskan ada dua asimilasi diantaranya 1) Similasi Budaya yaitu Kumpulan minoriti mempelajari ciri kebudayaan masyarakat tuan rumah seperti bahasa, pakaian, makanan dan adat resam dan Tidak menghilangkan identiti asal. 2) Kemudiaan asimiliasi 7 struktur yaitu Satu proses apabila anggota kumpulan kecil / minoriti berjaya menyertai institusi utama dan aktiviti sosial masyarakat dominan dan mereka kehilangan identiti. Proses asimilasi berlaku dalam keadaan adat yang berbeda budaya. Individu di dalam atau diantara etnik sering berinteraksi, Interaksi berlaku dalam tempoh yang lama. Teori interaksi simbolik menurut Ralph La Rossa dan Donald C. Reitzes, mempelajari teori interaksi adalah sebuah ide-ide mengenai hubungan diri dengan masyarakat tatau asumsi mendasar diantaranya (1) pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2) pentingnnya konsep mengenai diri, (3) hubungan antar individu dengan masyarakat (lynn. h turner, 1993) Herbert Blumer (1969) mendefinisikan bahwa asumsi-asumsi ini dijelaskan sebagai (1) Manusia bertindak terhadap manusia lainnnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka (2) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, (3) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. 6.3 Pernikahan Beda Adat Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu bergantung dengan orang lain dalam sekelompok masyarakat. Selain itu juga memiliki hasrat untuk bergaul dan memiliki keturunan. Manusia memiliki kebutuhan berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Interaksi dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Salah satunya adalah dalam sebuah hubungan pernikahan. Menurut Sarlito (2009:73) pernikahan adalah komitmen yang serius antarpasangan dan dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial bahwa saat itu pasangan telah resmi menjadi pasangan suami-istri. Kartono (2006:207) mengatakan pernikahan adalah suatu peristiwa, dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal di hadapan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin, untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara dan ritus-ritus tertentu. Walgito (2004:12) mengatakan dalam pernikahan terdapat ikatan lahir dan batin, yang berarti bahwa dalam pernikahan itu perlu adanya ikatan secara fisik dan psikologis pada dua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti ikatan fisik pada saat individu melangsungkan pernikahan sesuai peraturan yang ada. Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan istri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak tampak secara langsung atau merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan istri harus ada ikatan lahir dan batin, harus saling mencintai satu sama lain dan tidak adanya paksaan dalam pernikahan. Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan beda adat membutuhkan motivasi yang lebih tinggi dan kuat untuk membina sebuah rumah tangga daripada pernikahan dengan adat yang sama. Pasangan pernikahan beda adat mempunyai latar belakang budaya yang berbeda maka sudah jelas pasti membutuhkan pengetahuan lintas budaya dan juga toleransi agar tercapai pernikahan yang seumur hidup dan berjalan dengan harmonis. 6.4 Adat Jawa Menurut Koenjtaraningrat (1999:330) adalah orang yang lahir dengan bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli yang bertempat tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur dan melestarikan budaya jawa. Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger. Salah satu budaya yang dilestarikan oleh keluarga Jawa adalah menjalankan empat keutamaan tata krama keluarga Jawa yaitu ( 1) Bersikap sesuai dengan derajat masing-masing pihak dan saling menghormati kedudukan masing-masing, (2) Menyatakan sesuatu secara tidak langsung melalui “sanepo” atau kiasan, (3) Bersikap menghormati hal-hal yang bersifat pribadi seakan-akan tidak tahu masalah pribadi orang lain, (4) Menghindari ucapan atau sikap yang menunjukkan ketidakmampuan mengontrol diri dengan sikap kasar atau melawan secara langsung (Rachim & Nashori, 2007). Orang Jawa dikenal mempunyai stereotip sebagai suku bangsa atau kelompok orang yang berpenampilan halus dan sopan. Ciri khas yang dimiliki orang Jawa adalah menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Bahasa Jawa oleh para pakar bahasa dunia diakui sebagai bahasa yang halus dan sopan. Selain itu bahasa Jawa memiliki tingkatan seperti bahasa Jawa halus atau krama ditunjukkan kepada orang tua, orang yang dituakan, orang yang lebih tua, atau orang yang dihormati. Bahasa Jawa kasar atau ngoko digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih muda atau dengan teman dan orang yang sudah dikenal dengan baik. Pengelompokan dalam tatanan berinteraksi tersebut mengharuskan 4 orang Jawa untuk berbicara dengan melihat posisi, peran serta kedudukan dirinya dengan posisi lawan bicara (Yana, 2010). 6.5 Adat Sunda Suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah 11 yang juga sering disebut tanah pasundan (Koentjaraningrat, 1999, 307). Orang Sunda berasal dari bagian barat pulau Jawa, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurangkurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Masyarakat umumnya mengenal orang Sunda sebagai orang yang santun dan ramah. Kesantunan ini dapat dilihat dari bahasa daerah yang digunakan yaitu bahasa Sunda yang sesuai tingkatan atau disbeut undak unduk basa. Karakter orang Sunda yang mengedapnkan sopan santun dan etika sehingga mendahulukan orang lain untuk maju terlebih dahulu dan tidak menonjolkan diri sendiri. Tampaknya hal tersebut mencerminkan bahwa orang Sunda tidak terlalu mengedepankan ambisi dalam kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupannya, orang Sunda juga mengedepankan budi pekerti dan moral yang terkait dengan nilai dan norma. Orang Sunda juga selalu mengedepankan orang lain dalam kehidupan sehari-hariya, atau dalam ungkapan Sunda “mangga ti payun yang”. Menurut Dosen Fakultas Sastra Universitas Pakuan Dadan Suwarna mengatakan ungkapan tersebut merupakan aktualisasi dari sikap terhadap empati, kesantunan, kebersahajaan, dan dalam memposisikan diri dalam ningrat. (Kompas, 17 Maret 2006) 6.7 Keharmonisan Keharmonisan keluarga merupakan situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, saling menghargai dan menyayangi, memiliki waktu bersama, menjalin komunikasi yang positif dan mampu mengatasi setiap permasalahan secara efektif (Defrain dan Asay, 2007). Keharmonisan keluarga merupakan faktor yang mendukung perkembangan individu dalam berbagai aspek untuk menunjang kehidupan individu, baik kehidupan sekarang maupun di kemudian hari. Menurut Ahmadi (2007, hlm. 239-240) keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memiliki keutuhan dalam interaksi keluarga yang berlangsung secara wajar. Menurut Qaimi (2002, hlm. 14) keluarga yang harmonis adalah keluarga yang seimbang. Menurut David (dalam Shochib, 2000, hlm. 19) keluarga seimbang adalah keluarga yang memiliki keharmonisan keluarga yang ditandai terdapat hubungan yang baik antar ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga, orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Menurut Mace (dalam Stinnet dan Defrain, 1999, hlm.1) kekuatan keluarga (family strength) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuk keharmonisan keluarga. Kekuatan keluarga adalah sifat-sifat hubungan yang berpengaruh terhadap kesehatan emosional dan kesejahteraan keluarga. Keluarga yang menyatakan sebagai keluarga yang kuat mengungkapkan antara anggota keluarga saling mencintai, hidup dalam kebahagiaan dan harmonis. Menurut Hawari (dalam Fauzi, 2014, hlm. 81) keharmonisan keluarga akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga dapat berfungsi dan berperan dengan wajar dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama. 7. KERANGKA BERPIKIR Adat Jawa Pernikahan Beda Adat Teori Interaksi Simbolik Adat Sunda Komunikasi Antarbudaya Keharmonisan Kerangka berpikir ini berawal dari orang Jawa dan Sunda yang telah pelaksanakan pernikahan beda adat yang dianalisis menggunakan teori interaksi simbolik. Mereka bermigrasi menuju lingkungan budaya yang baru sebagai tujuan utama mereka dalam membina rumah tangga yang baru. Setelah pasangan ini menikah, ada dua kegiatan yang utama yang harus mereka lakukan. Kegiatan yang pertama adalah kegiatan asimilasi atau pembauran dengan masyarakat sekitar. Kegiatan yang kedua adalah melakukan komunikasi antabudaya yang dapat menunjang proses pembauran tersebut. Setelah mereka bisa membaur, proses selanjutnya adalah beradaptasi dengan kebudayaan yang baru agar tercapai sebuah keharmonisan. 8. METODE PENELITIAN 8.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Jalan Mbah Sigra RT 01 RW 13 Desa Bobotsari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan kepada salah satu pasangan pernikahan beda adat. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena Kecamatan Bobotsari merupakan pusat perdagangan di Kabupaten Purbalingga, dimana banyak orang melakukan kegiatan ekonomi disana dan berasal dari berbagai macam daerah sehingga ada yang melakukan pernikahan beda adat. Selain ini peneliti juga ingin mengetahui komunikasi antarbudaya dalam pernikahan beda adat Jawa dan Sunda. 8.2 Bentuk dan Strategi Penelitian Metodologi adalah sebuah proses, prinsip dari prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian (Deddy Mulyana, 2006:145). Dalam penelitian tentang “Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai Keharmonisan” ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Nana Syaodih Sukamadinata (2011:73), penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia. Tujuan dari penelitian kualitatif interaksi simbolik adalah untuk mengetahui atau memahami perilaku. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respon yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk mendefinisikan objek tetapi lebih sebagai penafsiran dan pendefinisian. Model interaksi perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan, hukum, dan juga norma yang berlaku bagi komunitasnya. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku, yang biasanya muncul dari dalam satuan interaksi kompleks maupun interaksi kecil. Dengan demikian, interaksi simbolis akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perspektif interpretif yang dimana pendekatan ini berusaha untuk menjelaskan suatu proses pemahaman yang terjadi yang bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku manusia. Menurut Turnomo (2005:48) menyebutkan bahwa para peneliti sosial berupaya melihat komunikasi yang dipengaruhi oleh budaya, para interpreter melihat bahwa budaya dibentuk dan dipelihara melalui komunikasi, dan sebagai salah satu cara memahami komunikasi. Sehingga penelitian ini berupaya untuk melakukan deskripsi mendalam oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dalam memahami komunikasi antarbudaya dalam pernikahan beda adat Jawa dan Sunda untuk mencapai keharmonisan. 8.3 Sumber Data Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. Adapaun sumber data primer dan sekunder sebagai berikut: 8.3.1 Data Premier, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya (Sumadi Suryabrata: 1987:93). Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah pasangan dari pernikahan beda adat Jawa dan Sunda. 8.3.2 Data Sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data yang tersusun menjadi dokumen-dokumen. Data sekunder dalam penelitian ini berupa dokumentasi serta angket. 8.4 Teknik Sampling Pemilihan informan dilaksanakan secara purposive sampling yaitu informan dipilih berdasarkan kesengajaan dan mengacu pada tujuan penelitian. Informan merupakan individu atau orang yang dijadikan sumber untuk mendapatkan keterangan dan data dalam penelitian. Teknik purpsive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004:85). Dalam penelitian ini, dibutuhkan key informan atau orang yang merupakan kunci yang diharapkan menjadi narasumber untuk memberikan informasi akurat sesuai dengan data. Informan yang dimiliki peneliti sebagai sumber informasi penelitia yaitu: 1. Informan 1 adalah suami pasangan pernikahan beda adat selaku kepala keluarga 2. Infoman 2 adalah istri dari pasangan pernikahan beda adat selaku ibu rumah tangga 3. Informan 3 adalah masyarakat yang tinggal di sekitar rumah pasangan pernikahan beda adat. 8.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan data dengan sistematik terhadapa fenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi,1992:129). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi langsung kepada keluarga pasangan beda adat. 2. Wawancara (Indepth Interview) Wawancara mendalam (indepth interview) merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan narasumber. Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur, dan bersifat luwes. Dalam penelitian kali ini, peneliti langsung memperoleh data melalui wawancara dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada narasumber terkait. 3. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui dokumen-dokumen, catatan, transkip, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dokumen berupa foto ataupun rekaman tentang komunikasi antarbudaya pernikahan beda adat Jawa dan Sunda. 8.6 Validitas Data Peneliti memberikan kesempatan pada subjek penelitian dalam wawancara yang santai selain itu menggunakan teknik Trianggulasi. Teknk trianggulasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menggabungkan berbagai sumber data yang ada. Prinsipnya menggunakan model pengecekan data untuk menentukan apakah sebuah data benar-benar tepat mengembangkan fenomena pada sebuah penelitian (Sugiyono, 2006:267). 8.7 Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah proses mencari data, menyusun secara sistemastis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah untuk dipahami (Sugiyono, 2010:335). Berikut langkah-langkah untuk menganalisis data dalam penelitian iniadalah sebagai berikut: 1. Reduksi data Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang hal yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan membuat gambaran yang jelas (Sugiyono, 2010:338) 2. Sajian Data Menurut Miles dan Huberman (2007:18) sajian data adalah suatu rangkaian organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Penyajian data dimaksudkan untuk menemukan pola yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan serta memberikan tindakan. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan suatu konfigurasi yang utuh. Simpulan ditarik semenjak peneliti menyusun pencatatan, pola-pola, pertanyaanpertanyaan, konfigurasi, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi (Harsono, 2008:169). 9. Jadwal Penelitian 10. Daftar Pustaka Deddy Mulyana & Jalaluddin Rahmat, 2000. Komunikasi antar budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda, (Bandung: Remaja Rosdakarya) Liliweri, Alo 2009. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar budaya (Yaogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang) Liliweri, Alo 2011. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 2002. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP Mulyana Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 2002. Analisis Data Kualitatif Buku SumberTentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP Mulyana Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Richard, 2007. Teori komunikasi. Salemba humanika.Jakarta Abas, F., Laisa, Z., dan Talani, N.S. 2014. Pernikahan Dua Etnis Berbeda Dalam Perspektif Komunikasi Antar budaya. http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIS/article/ download/8180/8069. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.