Uploaded by User89813

SEMINAR STARCROSS 2021

advertisement
STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN OFFLINE STARCROSS DALAM
MENINGKATKAN JUMLAH PELANGGAN DI STARCROSS STORE
SEMARANG
PROPOSAL SKRIPSI
OLEH
Akbar Nur Iman
G.311.15.0050
PROGRAM STUDI S1-ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2021
1.
Judul
Strategi Komunikasi Pemasaran Offline Starcross Dalam Meningkatkan Jumlah
Pelanggan di Starcross Store Semarang.
2.
Latar Belakang
Pada era globalisasi seperti sekarang ini perkembangan model atau fashion semakin
banyak, hal tersebut memicu banyak produsen yang melirik dunia fashion sebagai
bisnis merek. Tidak dipungkiri juga bisnis fashion memperoleh keuntungan yang besar
untuk pembisnisnya.
Fashion sekarang ini merupakan gaya hidup dari setiap manusia, dan sudah
menjadi satu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kebutuhan pokok. Setiap manusia
modern saat ini sangat bergantung terhadap dunia fashion. Perkembangan jaman yang
semakin melaju pesat semakin berkembang juga di dunia fashion dalam dunia ini.
Seluruh dunia sangat mencondongkan dalam berpakaiannya sesuai dengan apa yang
menurut mereka sedang populer saat ini. Keragaman dunia fashion juga merupakan
keaneka ragaman fashion brand yang menjadi acuan atau trendsetter di seluruh dunia
termasuk di Negara Indonesia. Dewasa ini perkembangan zaman yang sangat pesat
tidak hanya wanita yang memikirkan sebuah fashion, melainkan banyak pria juga
memperhatikan fashion. Dalam kehidupan dunia metropolis mereka mulai sadar akan
pentingnya fashion, karena hal ini akan mempengaruhi kepercayaan diri dalam
berpenampilan. Mereka tak segan-segan mengeluarkan banyak biaya hanya untuk
mengikuti perkembangan fashion. Indonesia mengalami perkembangan dan stabilitas
yang sangat pesat dalam bidang fashion, percampuran faktor-faktor budaya barat dan
budaya timur yang kuat memungkinkan budaya Indonesia dapat berkembang dengan
baik dalam dunia fashion. Adanya partisipasi dari segala kemajemukan aspek budaya
yang ada di Indonesia, karena tuntutan dan kebutuhan pasar yang tinggi maka dunia
kreatif dan fashion di Indonesia melahirkan inovasi baru dengan membuat toko-toko
baju yang dikenal dengan istilah Distribution Oulet atau Distro sebagai sebuah tempat
penjualan dan distribusi produk yang menjadi penghubung antara produsen dengan
konsumen.
Distro adalah suatu tempat yang mendistribusikan suatu barang. Biasanya distro
menyediakan barang-barang pakaian yang hanya ada satu sampai dua barang yang
sama. Barang yang ada di dalam distro biasanya adalah barang-barang yang jumlahnya
terbatas (limited). Artinya barang-barang yang di jual adalah barang yang bukan
diproduksi masal. Dilihat dari desainnya saja, pakaian yang diproduksi distro bukanlah
desain yang umum, distro menjual pakaian yang dibuat sendiri dan menggunakan
merek sendiri dengan desain yang unik dan bahan yang tidak kalah bagus dari brand
luar negeri. Bila melihat fenomena yang ada di Indonesia, remaja yang memakai
pakaian distro beranggapan berbeda dan juga lebih mempunyai kebanggan dan
kepuasan tersendiri. Mungkin disisnilah letak keunggulan utama dari pakaian yang
diproduksi oleh distro.
Starcross merupakan salah satu distro, sebuah industri yang bergerak di bidang
usaha pembuatan dan pendistribusian pakaian jadi. Brand fashion dari Yogyakarta
yang berdiri sejak tahun 2004 kantor pusatnya berada di Kota Yogyakarta, Jl. Taman
Siswa No.109, Wirogunan, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Awal mula nama Starcross terinspirasi dari sebuah lagu Band asal Irlandia ASH
yang berjudul Starcrossed. Makna Starcross atau menyeberang bintang secara umum
adalah menyeberangi bintang demi menggapai sesuatu. Penggunaan kalimat ini dalam
filisofi Starcross sendiri yaitu dengan persaingan pasar yang semakin kompetitif dapat
melewatinya dan juga bring the new hope membawa harapan baru dalam dunia fashion
tersendiri. Starcross merupakan kesatuan pola kerja dan komitmen yang terintegrasi
dalam keinginan untuk memberikan solusi yang dibutuhkan dalam berpakaian dan
fashion pada umumnya.
Deskripsi tersebut secara garis besar mencerminkan produk Starcross, yang
mendedikasikan produknya untuk konsumen lebih dinamis, selalu mengedepankan
kualitas terbaik, detail, kuat dan trend terkini. Starcross berkeinginan memberikan
solusi terbaik untuk kebutuhan fashion sesuai target segmentasi dan positioning yang
ditawarkan.
Starcross sendiri memproduksi berbagai macam produk fashion seperti baju,
celana, jaket serta aksesoris pendukung seperti tas, topi, jam tangan, dompet dan lain
sebagainya. Desain dari produk fashion yang diproduksi oleh Starcross ini mengarah
pada fashion remaja, sehingga target pemasaran produk mereka lebih mengarah kepada
anak-anak muda.
Sampai saat ini Starcross telah memiliki 24 cabang yang tersebar di Indonesia.
Dalam mengembangkan pasarnya, Starcross mempunyai cara dengan memperluas
cabang di beberapa kota di Indonesia, salah satunya kota Semarang yang terletak di Jl.
Singosari Raya No.47, Pleburan, Semarang Selatan. Starcross store Semarang berdiri
pada tahun 2018, melihat antusias konsumen yang tinggi di kota Semarang akhirnya
Starcross membuka toko cabang di ibu kota Jawa Tengah ini. Guna memperluas
pasarnya dan untuk mempermudah konsumen dalam menjangkau produknya secara
langsung.
Terdapat banyak distro yang cukup terkenal seperti Unkl347, Maternal Disaster,
Rown Dvsn, dan lain sebagainya. Peneliti memilih Starcross karena merupakan distro
ternama dari Yogyakarta bahkan di Indonesia, distro yang kuat akan konsisten di dunia
clothing land, terdapat quality control tersendiri di perusahaan tersebut dengan desain
yang unik serta bahan yang tidak kalah bagus dari brand lokal maupun luar negeri
dengan harga yang cukup terjangkau.
Hal tersebut tak lepas dari strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan distro
Starcross dalam menjalankan bisnisnya, untuk mengatasi persaingan yang semakin
kompetitif. Sementara itu selain strategi yang menentukan dalam memenangkan
persaingan, sebuah distro haruslah mempunyai perbedaan dengan distro lainnya.
Perusahaan clothing ini meyakini tempat sangat berpengaruh dalam target pemasaran
produk mereka. Sehingga tempat yang strategis dan memperluas cabang akan
mempermudah konsumen untuk menjangkau produk Starcross.
Keharmonisan
berarti
keserasian
ataupun
keselarasan(Fajar,
2001:166).
Keharmonisan antarsuku dalam bermasyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain saling toleransi dan saling menghormati. Masyarakat dapat dikatakan
harmonis apabila masing-masing anggotanya merasakan nyaman, aman, damai, dan
rasa tenang.
Komunikasi merupakan sebuah proses dimana sebuah interaksi antara komunikator
dan komunikan yang melakukan pertukaran pesan melalui suatu media baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Komunikasi pada hakikatnya suatu kebutuhan, baik
untuk diri sendiri ataupun orang lain. Komunikasi sendiri dianggap sebagai suatu hal
yang kursial dalam kehidupan untuk melakukan interaksi sosial. Komunikasi yang
efektif dapat memberi efek yang baik pada kehidupan bermasyarakat mengingat
masyarakat sendiri terdiri dari berbagai macam suku.
Keanekaragaman dari berbagai latar belakang etnik memungkinkan terjadinya
perkawinan antar etnik atau antar budaya. Hal tersebut dapat memberi pengaruh
terhadap pola pikir dan pandangan masyarakat mengenai peran, fungsi, dan juga status
dalam keluarga yang tak jarang dapat menyebabkan konflik.
Beragam budaya yang sangat berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda
dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Dalam proses komunikasi
antara orang-orang yang berbeda budaya dibutuhkan pengertian atau pemahaman yang
lebih mendalam. Salah satunya dengan mempelajari budaya orang lain yang berbeda
budaya adalah merupakan mewujudkan pemahaman tersebut. Dengan adanya
pemahaman tersebut maka komunikasi antar budaya akan lebih efektif dan tujuan
komunikasi bisa tercapai. Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari
komunikasi antar budaya agar terciptanya komunikasi yang efektif (Deddy Mulyana,
2000:6).
Komunikasi antar budaya yaitu proses komunikasi yang melibatkan orang-orang
yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda. Dalam keadaan ini
komunikator dan komunikan sering dihadapkan pada kesalahan penafsiran pesan,
karena masing-masing individu memiliki budaya berbeda, karenanya ikut menentukan
tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat
dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya.
Dalam komunikasi antar budayamenggunakan komunikasi verbal (bahasa) yaitu
lambang terpenting yang dapat disampaikan secara langsung dengan berbicara ataupun
tertulis,
bahasa
merupakan
sarana
dalam
melakukan
interaksi
untuk
mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita. Perbedaan persepsi tentang suatu hal
dapat disepakati bersama dengan menggunakan sarana bahasa dan bahasa hanya dapat
digunakan bila ada kesepakatan di antara pengguna bahasa. (Liliweri,Alo. 2003).
Kesalahpahaman akan muncul ketika seseorang memiliki masalah utamanya
seperti individu kecenderungan menganggap, bahwa budayanya sebagai suatu
keharusan tanpa perlu dipersoalkan lagi (Mulyana& Rakhmat (ed.), 2003: 7). Dan
karenanya setiap porang akan menggunakan budayanya sebagai standar untuk
mengukur budaya-budaya lain. Salah satu bentuk aktivitas komunikasi antar budaya
yang nyata dapat terlihat dalam kehidupan permikahan beda adat.
Kehidupan pernikahan beda adat akan terjadi suatu kesalahpahaman komunikasi
antar budaya, jika situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan untuk
mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya budaya lain
yang merupakan peleburan dari dua budaya tersebut (third culture), atau bahkan kedua
budaya dapat sama-sama berjalan seiring dalam satu keluarga. Kondisi yang tidak
nyaman kerap muncul apabila seseorang sangat bergantung pada stereotip dari pada
bergantung pada persepsi yang langsung dialaminya.
Perkawinan merupakan salah satu tahapan yang penting dan dilakukan dalam
perjalanan hidup seorang manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 menyatakan Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Suyono seperti dikutip oleh Ernatip et.al (2004),
perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang
saling mengadakan ikatan hukum adat atau agama dengan maksud bahwa mereka 5
saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
Perkawinan yang ideal dipengaruhi oleh adat istiadat dan pengaruh latar belakang
budaya keluarga, lingkungan serta pergaulan masyarakat dan pengaruh agama atau
kepercayaan yang melingkupi perbuatan hukum tersebut. Menurut Koentjaraningrat,
2009: 156, individu yang melakukan perkawinan campuran akan dihadapkan pada
perubahan dari tadisi yang biasa dilihatnya, walaupun berbeda tapi tetap mengacu
kepada aturan dan tradisi. Peran-peran yang dijalankan baiknya sesuai dengan
kepercayaan, nilai dan norma yang diwariskan oleh budayanya, karna suatu sistem nilai
budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang
menganutnya. Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, karna
suatu pernikahan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut
keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budayanya.
Seperti halnya di Desa Bobotsari Kabupaten Purbalingga, perkawinan beda suku
sering terjadi. Kabupaten Purbalingga khususnya Kecamatan Bobotsari merupakan
pusat perdagangan di sekitaran Karesidenan Banyumas. Oleh karena itu, Desa
Bobotsari menjadi sasaran bagi masyarakat berbagai daerah untuk memulai kehidupan
baru. Sehingga komunikasi antar budaya sangat penting guna mengurangi
diskomunication atau kesalahan dalam berkomunikasi maupun misscommunication
atau kesalahpahaman pesan dalam berkomunikasi. Setiap perkawinan sebenarnya
merupakan perkawinan campur karena tidak mungkin seorang individu menikah
dengan orang yang benar-benar sama dengan 6 dirinya, namun perbedaan budaya pada
pasangan yang menikah campur antara bangsa memiliki berbedaan ekstrim
dibandingkan dengan menikah sesama bangsa. Pada kasus ini peneliti melihat
pernikahan beda adat antara suku Jawa dengan Sunda dalam menyatukan kebudayaan
yang berbeda. Peran keluarga dan kerabat juga diperlukan untuk memutuskan suatu
keputusan terlebih jika itu menyangkut kebiasaan adat yang telah yakini secara turun
temurun, ini sesuai dengan yang dikatakan Mulya dan Rakhmat dalam Pata (2015: 3),
bahwa tidak mudah untuk menjalani pernikahan beda adat, karena masalah utama yang
terjadi dalam berinteraksi dengan orang berbeda budaya adalah setiap individu
memiliki kecenderungan menganggap bahwa budayanya sebagai suatu keharusan
tanpa perlu dipersoalkan karenanya setiap orang akan menggunakan budayanya
sebagai standarisasi untuk mengukur budaya-budaya lain.
Berikut adalah contoh penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Enong Zahroh
(Universitas Syarif Hidayatullah, 2017) yang berjudul “Komunikasi Antar Budaya
dalam Pernikahan Antar Suku Jawa dan Betawi di Daerah Trondol RT 03 RW 01
Serang Banten”. Penelitian ini menemukan bagaimana nilai dan norma memengaruhi
pola komunikasi dalam pernikahan antar suku. Penelitian lainnya oleh Sri Wahyuni
(Universitas Singaperbangsa Karawang, 2013) dengan judul “Komunikasi Lintas
Budaya Pernikahan Pasangan Beda Etnis”. Penelitian ini menghasilkan bahwa kedua
etnis, yaitu Etnis Sunda dan Minang mempunyai fanatisme yang lebih besar dan
memiliki kesamaan pandangan yang bersifat tradisional dalam melakukan pengalaman
dalam agama dan hambatan apa saja yang terjadi dalam pernikahan tersebut.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perbedaan nilai dan norma
dapat menjadi sebuah hambatan dalam pernikahan beda adat. Selain nilai dan norma,
perbedaan bahasa yang dapat menyebabkan misscommunication. Rasa toleransi dalam
berbudaya diharapkan mampu untuk mencapai keluarga yang harmonis. Berdasarkan
penelitian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai
Keharmonisan”.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Komunikasi
Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan Sunda untuk Mencapai
Keharmonisan?
4.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan komunikasi
antarbudaya dalam pernikahan beda adat Jawa dan Sunda untuk mencapai
keharmonisan.
5.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan
Sunda untuk Mencapai Keharmonisan diharapkan bermanfaat:
5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu membrikan kontribusi dalam penelitianpenelitian selanjutnya sehingga penelitian yang disajikan dpat dikembangkan
berdasarkan perkembangan jaman. Peneliti berharap memeberikan inspirasi
yang positif bagi pembaca untuk melakukan penelitian selanjutnya terutama
penelitian dalam penerapan komunikasi antarbudaya dalam pernikahan beda
adat.
5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat khususnya
mengenai Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat Jawa dan Sunda
untuk Mencapai Keharmonisan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
referensi dan bacaan bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi.
6. Tinjauan Pustaka
6.1 Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi komunikasi antar individu
yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
Dalam kondisi seperti itu, masyarakat yang berlatar belakang budaya berbeda
sering menghadapi masalah berupa penyampaian pesan. Saat orang-orang yang
berasal dari beragam bangsa, etnik, kelompok ras, dan kelompok bahasa inilah
yang dinamakan komunikasi antar budaya.
Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa yang merujuk dimana orang–
orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tak tidak langsung
memiliki latar belakang budaya yang berbeda. (Young Yun Kim ,1984) Seluruh
defenisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan
kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses
komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan
mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik
kebudayaan antar pelakupelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap
terhadap proses komunikasi individu individu atau kelompokkelompok yang
berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Menurut Liliweri
(2004:9) komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota
suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari budaya yang lain. Jadi
komunikasi antar budaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang
dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya. Komunikasi
Antarbudaya melibatkan berbagai tingkat perbedaan keanggotaan kelompok
budaya. Komunikasi Antarbudaya melibatkan penyandian simultan dan
menerjemahkan pesan verbal dan nonverbal dalam proses pertukaran makna.
Ada beberapa istilah yang kerap disepadankan dengan istilah komunikasi
antarbudaya, diantaranya adalah:
1. Komunikasi antar etnik: komunikasi antar etnik adalah komunikasi
antaranggota etnik yang berbeda, atau komunikasi antaranggota etnik yang
sama namun mempunyai latar belakang atau subkultur yang berbeda.
Kelompok etnik adalah sekelompok warga besar yang diidentifikasikan
memiliki kesamaan biologis dan tradisi (Webster, 1976:393). Komunikasi
antaretnik merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya, namun komunikasi
antarbudaya belum tentu merupakan komunikasi antaretnik.
2. Komunikasi antar ras: komunikasi sekelompok orang yang ditandai dengan
arti-arti biologis yang sama. Secara teoritis 2 orang dari ras berbeda boleh jadi
memiliki budaya (terutama ditandai dengan bahasa dan agama) yang sama.
Secara implisit komunikasi antar ras juga mengandung dimensi komunikasi
antar budaya, karena biasanya ras berbeda memiliki bahasa dan asal-usul
berbeda. Kalaupun kedua pihak yang berbeda ras sejak lahir diasuh dalam
budaya yang sama, potensi konflik tetap ada dalam komunikasi mereka,
mengingat pihak-pihak bersangkutan menganut stereotip-stereotip tertentu
(biasanya negatif) mengenai mitra komunikasinya yang berbeda ras itu.
6.2 Teori Interaksi Simbolik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Effendy, 1989:184) definisi interaksi
adalah proses saling memengaruhi dalam bentuk perilaku atau kegiatan diantara
anggota-anggota masyarakat, dan definisi simbolik (Effendy, 1989:352) adalah
bersifat
melambangkan
sesuatu.
Simbolik
berasal
dari
bahasa
Latin
“Symbolic(us)” dan bahasa Yunani “symbolicos”. Susanne K. Langer dalam
(Mulyana, 2008:92) menyebutkan dimana salah satu kebutuhan pokok manusia
adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang, dimana manusia adalah
satu-satunya hewan yang menggunakan lambang. Keunggulan manusia yang lain
dan membedakan dari makhluk lain adalah keistimewaan mereka sebagai animal
symbolicum (Mulyana, 2008:92).
Peneliti mendefinisikan interaksi simbolik sebagai segala hal yang saling
berhubungan dengan pembentukan suatu makna dari suatu benda atau lambang
atau simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi
baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah
memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama
yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu
(Kriyantono, 2008:114).
Sedangkan Komunikasi antarbudaya didefinisikan sebagai komunikasi yang
melibatkan interaksi atara orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda
tentang sebuah budaya dan simbol-simbol yang cukup berbeda dalam
berkomunikasi. Komunikasi antar budaya sangat diperlukan setiap individu untuk
berinteraksi dengan individu lain agar tidak menimbulkan kesalahpahaman
berkomunikasi dengan budaya yang berbeda. (Samovar, 2010:13) sedangkan
Nurani (2015) menjelaskan bahwa komunikasi antar budaya melibatkan interaksi
antara orang yang mempunyai pandangan budaya dan sistem simbolnya cukup
berbeda dalam komunikasi.
Kemudian dalam penelitian ini konsep yang dipakai adalah asimilasi terhadap
komunikasi antarbudaya dengan dijelaskan konsep asimilasi tersebut adalah
proses percantuman dan penyatuan di antara adat yang berlainan budaya sehingga
membentuk satu kelompok dengan kebudayaan dan identiti yang sama. Kemudian
kumpulan minoriti kehilangan identiti akibat diserap oleh kumpulan dominan dari
segi kebudayaan dan sosial dengan dijelaskan ada dua asimilasi diantaranya 1)
Similasi Budaya yaitu Kumpulan minoriti mempelajari ciri kebudayaan
masyarakat tuan rumah seperti bahasa, pakaian, makanan dan adat resam dan
Tidak menghilangkan identiti asal. 2) Kemudiaan asimiliasi 7 struktur yaitu Satu
proses apabila anggota kumpulan kecil / minoriti berjaya menyertai institusi utama
dan aktiviti sosial masyarakat dominan dan mereka kehilangan identiti. Proses
asimilasi berlaku dalam keadaan adat yang berbeda budaya. Individu di dalam atau
diantara etnik sering berinteraksi, Interaksi berlaku dalam tempoh yang lama.
Teori interaksi simbolik menurut Ralph La Rossa dan Donald C. Reitzes,
mempelajari teori interaksi adalah sebuah ide-ide mengenai hubungan diri dengan
masyarakat tatau asumsi mendasar diantaranya (1) pentingnya makna bagi
perilaku manusia, (2) pentingnnya konsep mengenai diri, (3) hubungan antar
individu dengan masyarakat (lynn. h turner, 1993)
Herbert Blumer (1969) mendefinisikan bahwa asumsi-asumsi ini dijelaskan
sebagai (1) Manusia bertindak terhadap manusia lainnnya berdasarkan makna
yang diberikan orang lain pada mereka (2) Makna diciptakan dalam interaksi antar
manusia, (3) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
6.3 Pernikahan Beda Adat
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri
dan selalu bergantung dengan orang lain dalam sekelompok masyarakat. Selain itu
juga memiliki hasrat untuk bergaul dan memiliki keturunan. Manusia memiliki
kebutuhan berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Interaksi dalam masyarakat
melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun kolektif.
Salah satunya adalah dalam sebuah hubungan pernikahan.
Menurut Sarlito (2009:73) pernikahan adalah komitmen yang serius
antarpasangan dan dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial
bahwa saat itu pasangan telah resmi menjadi pasangan suami-istri. Kartono
(2006:207) mengatakan pernikahan adalah suatu peristiwa, dimana sepasang
mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal di hadapan
penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin, untuk
kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara dan ritus-ritus
tertentu.
Walgito (2004:12) mengatakan dalam pernikahan terdapat ikatan lahir dan
batin, yang berarti bahwa dalam pernikahan itu perlu adanya ikatan secara fisik
dan psikologis pada dua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti
ikatan fisik pada saat individu melangsungkan pernikahan sesuai peraturan yang
ada. Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan istri,
maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah
ikatan yang tidak tampak secara langsung atau merupakan ikatan psikologis.
Antara suami dan istri harus ada ikatan lahir dan batin, harus saling mencintai satu
sama lain dan tidak adanya paksaan dalam pernikahan.
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan UU tersebut perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan beda adat membutuhkan motivasi yang lebih tinggi dan kuat untuk
membina sebuah rumah tangga daripada pernikahan dengan adat yang sama.
Pasangan pernikahan beda adat mempunyai latar belakang budaya yang berbeda
maka sudah jelas pasti membutuhkan pengetahuan lintas budaya dan juga toleransi
agar tercapai pernikahan yang seumur hidup dan berjalan dengan harmonis.
6.4 Adat Jawa
Menurut Koenjtaraningrat (1999:330) adalah orang yang lahir dengan bahasa
ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli yang bertempat tinggal di Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur dan melestarikan budaya jawa. Suku Jawa
merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa.
Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten,
Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten
Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan
Tengger.
Salah satu budaya yang dilestarikan oleh keluarga Jawa adalah menjalankan
empat keutamaan tata krama keluarga Jawa yaitu ( 1) Bersikap sesuai dengan derajat
masing-masing pihak dan saling menghormati kedudukan masing-masing, (2)
Menyatakan sesuatu secara tidak langsung melalui “sanepo” atau kiasan, (3) Bersikap
menghormati hal-hal yang bersifat pribadi seakan-akan tidak tahu masalah pribadi
orang lain, (4) Menghindari ucapan atau sikap yang menunjukkan ketidakmampuan
mengontrol diri dengan sikap kasar atau melawan secara langsung (Rachim & Nashori,
2007).
Orang Jawa dikenal mempunyai stereotip sebagai suku bangsa atau kelompok
orang yang berpenampilan halus dan sopan. Ciri khas yang dimiliki orang Jawa adalah
menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Bahasa Jawa oleh para pakar bahasa
dunia diakui sebagai bahasa yang halus dan sopan. Selain itu bahasa Jawa memiliki
tingkatan seperti bahasa Jawa halus atau krama ditunjukkan kepada orang tua, orang
yang dituakan, orang yang lebih tua, atau orang yang dihormati. Bahasa Jawa kasar
atau ngoko digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih muda atau dengan teman
dan orang yang sudah dikenal dengan baik. Pengelompokan dalam tatanan berinteraksi
tersebut mengharuskan 4 orang Jawa untuk berbicara dengan melihat posisi, peran serta
kedudukan dirinya dengan posisi lawan bicara (Yana, 2010).
6.5 Adat Sunda
Suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan
bahasa ibu yaitu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan
berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah 11 yang juga sering disebut
tanah pasundan (Koentjaraningrat, 1999, 307). Orang Sunda berasal dari bagian barat
pulau Jawa, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi
provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah
(Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurangkurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Masyarakat umumnya mengenal orang Sunda sebagai orang yang santun dan
ramah. Kesantunan ini dapat dilihat dari bahasa daerah yang digunakan yaitu bahasa
Sunda yang sesuai tingkatan atau disbeut undak unduk basa. Karakter orang Sunda
yang mengedapnkan sopan santun dan etika sehingga mendahulukan orang lain untuk
maju terlebih dahulu dan tidak menonjolkan diri sendiri. Tampaknya hal tersebut
mencerminkan bahwa orang Sunda tidak terlalu mengedepankan ambisi dalam
kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupannya, orang Sunda juga mengedepankan
budi pekerti dan moral yang terkait dengan nilai dan norma. Orang Sunda juga selalu
mengedepankan orang lain dalam kehidupan sehari-hariya, atau dalam ungkapan
Sunda “mangga ti payun yang”. Menurut Dosen Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Dadan Suwarna mengatakan ungkapan tersebut merupakan aktualisasi dari sikap
terhadap empati, kesantunan, kebersahajaan, dan dalam memposisikan diri dalam
ningrat. (Kompas, 17 Maret 2006)
6.7 Keharmonisan
Keharmonisan keluarga merupakan situasi dan kondisi dalam keluarga dimana
di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, saling menghargai dan
menyayangi, memiliki waktu bersama, menjalin komunikasi yang positif dan mampu
mengatasi setiap permasalahan secara efektif (Defrain dan Asay, 2007).
Keharmonisan keluarga merupakan faktor yang mendukung perkembangan
individu dalam berbagai aspek untuk menunjang kehidupan individu, baik kehidupan
sekarang maupun di kemudian hari. Menurut Ahmadi (2007, hlm. 239-240) keluarga
yang harmonis adalah keluarga yang memiliki keutuhan dalam interaksi keluarga yang
berlangsung secara wajar.
Menurut Qaimi (2002, hlm. 14) keluarga yang harmonis adalah keluarga yang
seimbang. Menurut David (dalam Shochib, 2000, hlm. 19) keluarga seimbang adalah
keluarga yang memiliki keharmonisan keluarga yang ditandai terdapat hubungan yang
baik antar ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga,
orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap anggota keluarga saling
menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta.
Menurut Mace (dalam Stinnet dan Defrain, 1999, hlm.1) kekuatan keluarga
(family strength) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuk
keharmonisan keluarga. Kekuatan keluarga adalah sifat-sifat hubungan yang
berpengaruh terhadap kesehatan emosional dan kesejahteraan keluarga. Keluarga yang
menyatakan sebagai keluarga yang kuat mengungkapkan antara anggota keluarga
saling mencintai, hidup dalam kebahagiaan dan harmonis. Menurut Hawari (dalam
Fauzi, 2014, hlm. 81) keharmonisan keluarga akan terwujud apabila masing-masing
unsur dalam keluarga dapat berfungsi dan berperan dengan wajar dan tetap berpegang
teguh pada nilai-nilai agama.
7. KERANGKA BERPIKIR
Adat Jawa
Pernikahan
Beda Adat
Teori Interaksi
Simbolik
Adat Sunda
Komunikasi
Antarbudaya
Keharmonisan
Kerangka berpikir ini berawal dari orang Jawa dan Sunda yang telah
pelaksanakan pernikahan beda adat yang dianalisis menggunakan teori interaksi
simbolik. Mereka bermigrasi menuju lingkungan budaya yang baru sebagai tujuan
utama mereka dalam membina rumah tangga yang baru. Setelah pasangan ini menikah,
ada dua kegiatan yang utama yang harus mereka lakukan.
Kegiatan yang pertama adalah kegiatan asimilasi atau pembauran dengan
masyarakat sekitar. Kegiatan yang kedua adalah melakukan komunikasi antabudaya
yang dapat menunjang proses pembauran tersebut. Setelah mereka bisa membaur,
proses selanjutnya adalah beradaptasi dengan kebudayaan yang baru agar tercapai
sebuah keharmonisan.
8. METODE PENELITIAN
8.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Jalan Mbah Sigra RT 01 RW 13 Desa
Bobotsari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Penelitian ini
dilakukan kepada salah satu pasangan pernikahan beda adat. Alasan peneliti memilih
lokasi ini adalah karena Kecamatan Bobotsari merupakan pusat perdagangan di
Kabupaten Purbalingga, dimana banyak orang melakukan kegiatan ekonomi disana
dan berasal dari berbagai macam daerah sehingga ada yang melakukan pernikahan
beda adat. Selain ini peneliti juga ingin mengetahui komunikasi antarbudaya dalam
pernikahan beda adat Jawa dan Sunda.
8.2 Bentuk dan Strategi Penelitian
Metodologi adalah sebuah proses, prinsip dari prosedur yang digunakan untuk
mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain metodologi adalah
suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian (Deddy Mulyana, 2006:145).
Dalam penelitian tentang “Komunikasi Antarbudaya dalam Pernikahan Beda Adat
Jawa dan Sunda untuk Mencapai Keharmonisan” ini menggunakan metodologi
penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Nana Syaodih Sukamadinata (2011:73),
penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia.
Tujuan dari penelitian kualitatif interaksi simbolik adalah untuk mengetahui
atau memahami perilaku. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respon yang telah
ditentukan terlebih dahulu untuk mendefinisikan objek tetapi lebih sebagai penafsiran
dan pendefinisian. Model interaksi perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan,
hukum, dan juga norma yang berlaku bagi komunitasnya. Makna budaya akan
tergantung proses interaksi pelaku, yang biasanya muncul dari dalam satuan interaksi
kompleks maupun interaksi kecil. Dengan demikian, interaksi simbolis akan
menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perspektif interpretif yang
dimana pendekatan ini berusaha untuk menjelaskan suatu proses pemahaman yang
terjadi yang bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku manusia. Menurut Turnomo
(2005:48) menyebutkan bahwa para peneliti sosial berupaya melihat komunikasi yang
dipengaruhi oleh budaya, para interpreter melihat bahwa budaya dibentuk dan
dipelihara melalui komunikasi, dan sebagai salah satu cara memahami komunikasi.
Sehingga penelitian ini berupaya untuk melakukan deskripsi mendalam oleh karena itu
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dalam memahami
komunikasi antarbudaya dalam pernikahan beda adat Jawa dan Sunda untuk mencapai
keharmonisan.
8.3 Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan data primer dan data
sekunder. Adapaun sumber data primer dan sekunder sebagai berikut:
8.3.1 Data Premier, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari
sumber pertamanya (Sumadi Suryabrata: 1987:93). Adapun yang menjadi sumber data
primer dalam penelitian ini adalah pasangan dari pernikahan beda adat Jawa dan Sunda.
8.3.2 Data Sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data yang tersusun
menjadi dokumen-dokumen. Data sekunder dalam penelitian ini berupa dokumentasi
serta angket.
8.4 Teknik Sampling
Pemilihan informan dilaksanakan secara purposive sampling yaitu informan
dipilih berdasarkan kesengajaan dan mengacu pada tujuan penelitian. Informan
merupakan individu atau orang yang dijadikan sumber untuk mendapatkan keterangan
dan data dalam penelitian. Teknik purpsive sampling adalah teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004:85).
Dalam penelitian ini, dibutuhkan key informan atau orang yang merupakan
kunci yang diharapkan menjadi narasumber untuk memberikan informasi akurat sesuai
dengan data. Informan yang dimiliki peneliti sebagai sumber informasi penelitia yaitu:
1. Informan 1 adalah suami pasangan pernikahan beda adat selaku kepala keluarga
2. Infoman 2 adalah istri dari pasangan pernikahan beda adat selaku ibu rumah
tangga
3. Informan 3 adalah masyarakat yang tinggal di sekitar rumah pasangan
pernikahan beda adat.
8.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan data dengan sistematik
terhadapa fenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi,1992:129). Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan observasi langsung kepada keluarga
pasangan beda adat.
2. Wawancara (Indepth Interview)
Wawancara mendalam (indepth interview) merupakan proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dengan narasumber. Wawancara jenis ini
bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur, dan bersifat luwes. Dalam
penelitian kali ini, peneliti langsung memperoleh data melalui wawancara
dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada narasumber terkait.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui dokumen-dokumen,
catatan, transkip, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan dokumen berupa foto ataupun
rekaman tentang komunikasi antarbudaya pernikahan beda adat Jawa dan
Sunda.
8.6 Validitas Data
Peneliti memberikan kesempatan pada subjek penelitian dalam wawancara
yang santai selain itu menggunakan teknik Trianggulasi. Teknk trianggulasi
merupakan teknik pengumpulan data dengan menggabungkan berbagai sumber data
yang ada. Prinsipnya menggunakan model pengecekan data untuk menentukan apakah
sebuah data benar-benar tepat mengembangkan fenomena pada sebuah penelitian
(Sugiyono, 2006:267).
8.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses mencari data, menyusun secara sistemastis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan
cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah untuk dipahami (Sugiyono,
2010:335).
Berikut langkah-langkah untuk menganalisis data dalam penelitian iniadalah
sebagai berikut:
1. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan
membuang hal yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan membuat gambaran yang jelas (Sugiyono, 2010:338)
2. Sajian Data
Menurut Miles dan Huberman (2007:18) sajian data adalah suatu rangkaian
organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat
dilakukan. Penyajian data dimaksudkan untuk menemukan pola yang
bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan serta
memberikan tindakan.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan suatu konfigurasi yang utuh. Simpulan
ditarik semenjak peneliti menyusun pencatatan, pola-pola, pertanyaanpertanyaan, konfigurasi, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi
(Harsono, 2008:169).
9. Jadwal Penelitian
10. Daftar Pustaka
Deddy Mulyana & Jalaluddin Rahmat, 2000. Komunikasi antar budaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda, (Bandung: Remaja Rosdakarya)
Liliweri, Alo 2009. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar budaya (Yaogyakarta: PT
LKiS Printing Cemerlang)
Liliweri, Alo 2011. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 2002. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber
Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP
Mulyana Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 2002. Analisis Data Kualitatif Buku
SumberTentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP
Mulyana Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Richard, 2007. Teori komunikasi. Salemba humanika.Jakarta
Abas, F., Laisa, Z., dan Talani, N.S. 2014. Pernikahan Dua Etnis Berbeda Dalam
Perspektif Komunikasi Antar budaya. http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIS/article/
download/8180/8069.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Download