Uploaded by citra.hasan

SEMESTA SENI 6-Okt 2020-Dok

advertisement
Nomor 6 - Oktober 2020
Pegiat Seni-Budaya Pantas Dihargai
Taufik Rahzen
Wirabangsa
Tenun Kesadaran
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Achmad Fachrodji
Balai Pustaka Konsisten
Jaga Warisan Bangsa
Jakob Oetama
Pahlawan Dunia
Pers Indonesia
1
ProFIL
C
offee Painter Indonesia adalah kumpulan para
peseni yang melukis dengan media kopi di atas
kanvas. Komunitas ini terbentuk di Museum Seni
Rupa dan Keramik saat mereka (dari berbagai komunitas
seni) berkumpul dan berkegiatan rutin on the spot atau
melukis langsung di tempat. Diprakarsai Jan Praba, May
Soebiakto SMT, M Hady Santoso, Dhar Cedhar, dan Sri
Hardana (DanArt) mendeklarasikan sebuah komunitas
pelukis yang melukis dengan media kopi tepat di Hari Kopi
Internasional (International Coffee Day) pada 1 Okt0ber
2018, yang beranggotakan pelukispelukis dari berbagai lintas komunitas
yang tertarik dengan media kopi.
Coffee Painter Indonesia
Berdiri Dua Tahun Lalu
in Culture Heritage #2’ yang rencananya akan dilaksanakan
21 - 28 Maret 2020, tertunda karena kondisi Pandemi
Covid-19.
Kegiatan workshop mereka lakukan di berbagai tempat,
seperti di Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum
Basoeki Abdullah, Museum Bahari, Bentara Budaya
Jakarta, Ukrida, SQ Apartment, bahkan sampai ke Jambi
dan daerah lainnya.
Lukisan dari kopi di atas kanvas ini memang perlu
penanganan khusus untuk finishing-nya karena berbahan
dasar air/ aquarel maka perlu coating atau pelapis yang
berbahan dasar akrilik.
Bagi para kolektor tak perlu khawatir. Kopi sebagai bahan
untuk melukis pada dasarnya mirip dengan bahan pinsil. Di
mana kopi yang dipakai harus melalui proses pembakaran
walau tidak secara langsung. Sehingga kopi menjadi seperti
arang. Bahan arang inilah yang menyebabkan warna kopi
makin lama justru semakin pekat, bukan sebaliknya yang
memudar. Kekhawatiran lain yang tak perlu dirisaukan
adalah bahwa lukisan kopi ini terjamin keawetannya.
Mari berkarya dengan media kopi yang mudah didapatkan
di seluruh pelosok Tanah Air.
Kegiatan rutin melukis langsung
dengan media kopi, workshop
di berbagai tempat, bahkan
pernah bekerja sama dengan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
DKI Jakarta untuk mengadakan
lomba lukis dengan media kopi
untuk yang pertama kali di Hari
Museum Indonesia 2018. Mereka
pun beberapa kali berpameran
lukisan media kopi di atas kanvas, di
antaranya: ‘Ekspresi Nuansa Kopi’
9 - 15 November 2018 di Semesta’s
Gallery, ‘Coffee in Culture Heritage’
9 - 16 Februari 2019 di Museum Seni
Rupa dan Keramik, ‘Coffee in Hero’
5 - 12 November 2019 di Museum
Basoeki Abdullah, Jakarta, dan ‘Coffee
2
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Karya : M Fauzan
l Judul : Kuda Tunggang
l Kamera : Fujifilm X-T20
l Lokasi : Bintaro,
Tangerang Selatan
l Waktu : 7 Juli 2020
l
Lensa SENI
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
3
D a f tar
ISI
Kiprah TEATER
Teater Kail
MEDIA SEMESTA SENI
NOMOR 6 l OKTOBER l 2020
2
ProFIL
Coffee Painter
10
3
Penghargaan pada Pegiat Seni-Budaya
Taufik Rahzen:
Lensa SENI
M Fauzan
Hargai
Para Pegiat
4
Bahasan UTAMA
Wirabangsa dan Mereka yang Menenun Kesadaran
Eka Budianta:
Edit ORIAL
6
7
Bagi Teater Kail, tidak sepenuh­
nya pemahaman teater harus
selalu dari panggung ke panggung. Yang penting jiwa para
anggotanya yang tetap berjiwa
sebagai peteater.
Seni-Budaya
Seiring berkembangnya
zaman, karena pegiat
seni-budaya juga manusia
yang punya rasa untuk
dihargai, dan manusia yang
punya kebutuhan dalam
menopang hidupnya,
mereka perlu diberi reward
atas kinerjanya. Bukan
hanya sekadar pujian,
tepukan tangan, dan
piagam penghargaan,
tetapi perlu juga
diberikan penghargaan
berupa materi
atau donasi.
24
Histori SENI
Merari Siregar
Rangkayo Rasuna Said
l Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra)
l
l
Bedah KARYA
24
Kritik Pasemon
‘Serat Plerok’
Karya Yusuf Susilo Hartono
29
Artikel SASTRA
Sapardi Djoko Damono:
Sastra, Citizen, Netizen
Anugerah, Hadiah, dan Bantuan
Sudut PANDANG
Latar PESENI
Achmad Fachrodji:
Balai Pustaka Konsisten Menjaga Warisan Bnagsa
CC Febriyanto
19
Di tangan Direktur Utama Achmad
Fachrodji-lah tata ruang,
mana­jemen, dokumentasi, dan
visi Balai Pustaka menjadi lebih
cerah ke masa depan.
Dialah maestro yang bekerja
dengan serius tetapi kaya
dengan humor, dan piawai dalam
berkomunikasi dengan
pihak lain.
Terlahir Sebagai ‘
The Blind Messenger’
32
Komunitas SENI
Ruang Puisi Kita
RPK lahir
dari kegelisahan
bahwa pada
kenyataannya
masih belum begitu
banyak wadah bagi
para peminat dan
pecinta puisi untuk
dapat menuangkan
karya-karyanya.
35
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
51 Pergelaran SENI
Kulik MUSIK
Frans Raranta
Persiapan Pertunjukan Opera Batak
Akordion Jadi
Instrumen Musik
Andalannya
40
Putri Lopian:
Tanah dan Tumpah Darah
38
Ulin Yusron:
Karya PUISI-PROSA
Yudhistira ANM Massardi
l Giyanto Subagyo
l Sulaiman Juned
l Fanny Jonathans Poyk
l Mita Katoyo
Mengenang Ulang Tahun Glenn Fredly 30 September
Renjana Tak Pernah Sirna
l
44
l
57
l
l
Harry Tjahjono
Kurt D Peterson
l Widodo Arumdono
l
l
Cerita PENDEK
l
Anil Hukma:
l
Surut
l
Ragam SENI
Corona At Equator di Dangumanu Atelier
To Build the World a New
Komite Tari DKJ
HUT RRI ke-75 di Tugu Rimba Raya
Buku Amrus Natalsya
‘Talkshow’ Jurusan Seni Musik FBS UNJ
61
Kartun HUMOR
l Memotret Covid-19 - Dodo Karundeng
l Dialog Anggota Tubuh - Munadi
l Puisi Kopi - Jan Praba
Geliat SENI RUPA
Iskandar Surya Putra:
‘Keluhan Akan Menutup Pintu-pintu Peluang yang Besar’
Iskandar SP seorang peseni yang
berdomisili di Cibinong, Bogor ini mulai
tertarik untuk mendalami ranah seni lukis
sejak usia Sekolah Dasar. Di usia 12 tahun,
ia memberani­kan diri mempertanyakan,
apakah untuk menjadi seorang pelukis
dibutuhkan sekolah lanjutan?
Loka PUSTAKA
Ewith Bahar
Serunya Berburu....Data
62
48
65
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
PEMIMPIN UMUM
Imanuel Prabowo
PEMIMPIN REDAKSI
Ireng Halimun
PEMIMPIN PERUSAHAAN
RD Nanoe Anka
SEKRETARIS REDAKSI
Rizka Nurlita Andi
REDAKTUR
Dyah Kencono Puspito Dewi
Wahyu Toveng
Fhsale
ALAMAT
Pasar Seni Gembrong Baru, Ruang 151,
Jln Basuki Rahmat, Cipinang, Jakarta Timur
PONSEL/ WA:
l 0859 599 01 299 (IH) l 0878 7301 0999 (RNA)
l 0811 1119 803 (WT)
e-MAIL:
[email protected]
In MEMORIAM
Abdul Malik Fadjar
l Endo Senggono
l Ibrahim Kadir
l Cammana
l Ade Firman Hakim
l Edo Pillu
l Imam Wahyu Rasyid
l Al-Yahya Lahdji
l
Semesta Seni
PENASIHAT
Mayjen TNI (Purn) Dr Syamsu Djalal, SH, MH
Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana, MSi
54 Legasi SENI
Jakob Oetama
l Pandoyo Adi Nugroho
l Gatot Soenjoto
l Yopie Latul
l Alwi Shahab
l Budi Tompel
l M Husseyn Umar
l Nana Sumarna
l
MANAJEMEN:
Maneh Art
(PT Maneh Kreatif Desain)
Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi lain
yang berkaitan dengan seni-budaya.
Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting
sesuai dengan misi-visi penerbitan ini.
5
EditORIAL
Hargai
Para Pegiat
Seni-Budaya
Secara empirik, hanya sedikit orang yang saya temui begitu tidak peduli pada foto
dirinya. Baginya, mau seperti apapun posisi dan kualitasnya, sejauh di sana masih
terlihat foto wajahnya, ia tidak mempersoalkannya. Namun jauh lebih banyak
orang yang sangat rewel dan mengecek dengan detil posisi dan kualitas foto
dirinya sebelum di-publish. Mengapa? Setiap kali kita melihat album foto kegiatan,
kita masing-masing fokus mencari-cari foto yang ada diri kitanya. Seperti juga
lagu/ suara yang paling indah adalah saat nama kita disebutkan orang lain.
Sesuai Piramida Kebutuhan Manusia menurut teori AA Maslow, kebutuhan
1. Fisiologis, 2. Rasa aman, 3. Cinta dan Kasih-sayang, 4. Penghargaan, dan
5. Aktualisasi diri, maka pada tingkat 4. Penghargaan adalah suatu kebutuhan manusia yang hakiki. Manusia
umumnya butuh pengakuan, apresiasi, atau penghargaan. Apalagi bagi para pakar, tokoh agama, atlet, dan
peseni di samping mereka butuh penghargaan pada dirinya, mereka pun butuh penghargaan pada karya dan
pada apa yang dikerjakannya.
Pada dasarnya para pegiat seni-budaya melakukan kegiatannya dengan dasar kecintaan (afeksi) terhadap
kesenian. Bahkan banyak yang menjadikannya sebagai the way of life atau keyakinan beberapa tingkat di
bawah keyakinannya pada agama. Mereka tidak membawa kalkulator untuk menghitung hasil finansial yang
akan didapat, karena pada awalnya mereka tidak menjadikan kesenian sebagai profesi.
Seiring berkembangnya zaman, karena pegiat seni-budaya juga manusia yang punya rasa untuk dihargai,
dan manusia yang punya kebutuhan dalam menopang hidupnya, mereka perlu diberi reward atas kinerjanya.
Bukan hanya sekadar pujian, tepukan tangan, dan piagam penghargaan, tetapi perlu juga diberikan
penghargaan berupa materi atau donasi agar kelangsungan hidupnya dan kelangsungan proses penciptaan
karya seninya tetap terjaga.
@ Ireng Halimun - Pemimpin Redaksi
6
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
K i p r a h T E AT E R
Teater Kail
Tetap Berjiwa Sebagai Peteater
Dengan memakai nama teater semestinya
berpentas di panggung teater. Tidak
demikian bagi Teater Kail. Baginya tidak
sepenuh­nya pemahaman teater harus
selalu dari panggung ke panggung.
Namanya tak akan berubah,
seperti jiwa para anggotanya
yang tetap berjiwa sebagai peteater.
S
EJARAH tidak bisa dimusnahkan, seperti sang
sutradara yang menjadi pemimpin Teater Kail
Sutarno Sk. bahwa dia pernah bermukim di Teater
Mandiri. Begitu juga bagi para mantan anggota Teater
Kail yang sejak 1973 hingga 2020, mereka tetap mengakui
bahwa kampus teaternya adalah di Teater Kail.
Teater Kail adalah sebuah lembaga pendidikan nonformal
yang menerapkan sistem penggojlokan dan bengkel
penempaan, agar anggotanya tertempa layaknya menjadi
keris, pedang, atau anak panah yang sangat tajam.
Pengakuan ini penting, masyarakat harus paham de­ngan
pentingnya kedisiplinan dalam berseni teater. Yang tumbuh
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
mengakar di kepala manusia, di hati manusia, dan di batin
manusia. Bukan melulu kesenian condong untuk sekadar
bersenang-senang, membuang-buang waktu, dan menipu,
tetapi ada upaya untuk memiliki moral yang baik.
Orang-orang yang sejak awal berdirinya, 1973, menopang
keberadaan kelompok ini tersebar dari wilayah Menteng
Pulo, Jakarta Selatan ke Jakarta Barat, Jakarta Pusat,
dan ke kota-kota lain, tentu saja tidak dapat disebutkan
keseluruhannya. Para anggota Teater Kail yang pernah
mendukung dalam mengguncangkan panggung teater di
kota-kota yang disambangi sebagai tempat pentas, memberikan testimoni atau kesaksian sebagai berikut:
Sutarno Sk:
Inilah, aku, Sutrano Sk. Aku lahir di Jakarta pada 1952
bulan 02 tanggal 22, anak ke-2 dari 4 bersaudara.
Di usiaku 22 tahun, aku mendapat kesempatan
kepercayaan dari Pimpinan dan Pembina serta Fasilitator
Teater Kail sebagai sutradara. Maka aku pun keluar dari
Teater Mandiri mengikuti saran guruku mas Putu Wijaya,
bahwa segalanya diperlukan totalitas.
Sejak 1974, aku mulai mengikutsertakan Teater Kail dalam
acara Festival Teater Remaja (FTR) ke-2 (1974). Pada waktu
itu Bapak Wahyu Sihombing sebagai Penggagas Festival
Teater Remaja di Jakarta yang mengharapkan festival ini
mampu menggerakkan perteateran di Jakarta, dapat pula
mendampingi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
sebagai pabrik seniman dan pekerja seni ke depan.
Dan teater Kail berhasil menjadi pemenang tiga tahun
berturut-turut (1974, 1975, dan 1976).
Di usiaku ke-23 tahun. Pada Final FTR-1975 berhasil meraih
Medali Sutradara Terbaik I, Penata Artistik I, Aktor serta
Aktris dan Grup Terbaik II mementaskan naskah Sang Pange­
ran karya Arswendo Atmowiloto, pemenang Lomba Naskah
Teater yang juga diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Naskah-naskah hasil lomba menjadi naskah wajib finalis
FTR. Di final yang terkumpul 25 grup, bisa jadi dua atau tiga
grup mementaskan naskah yang sama. Walhasil, kelihatan
sekali, cara bedah naskah sutradara-sutradara itu. Ada
yang kelihatan cerdas, yang kampungan, yang naïf, yang
sombong, yang norak, yang sarat simbol, yang vulgar, dan
sebagainya buat satu judul naskah saja.
Di usiaku ke-24. tahun. Pelaksanaan festival sempat
ter­sendat. Sama seperti sekarang ini, tergantung dari
keuangan Pemda. Hingga final yang biasanya dilaksanakan
pada akhir tahun, diundur hingga awal 1977. Kembali kami,
Teater Kail, berbahagia. meraih medali yang tergantung di
leher kami, Aktor, Aktris, Tata Artistik, Kelompok Makan,
7
K i p r a h T E AT E R
Grup Ter­baik I, dan saya pribadi tidak mendapat medali sebagai sutradara dengan alasan menurut seorang pengamat
seusai lomba saat itu, salah satu juri tidak setuju dengan
tambahan adegan pada ending pementasan. Katanya di
naskahnya tidak ada kesimpulan, menurut juri saya sudah
menyimpulkan atau menjawabnya dan itu sudah merupakan kesalahan sutradara. Namun gebyar sudah digebyarkan. Teater Kail bersiram Emas, dan sesuai janji Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ), Teater Kail dinobatkan sebagai
Teater Senior, mengikuti jejak Teater Remaja Jakarta de­
ngan sutradara Aldisar Syafar dari Jakarta Pusat, dan Teater
Ibukota, dengan sutradara Abdi Wiyono, dari Jakarta Barat,
Teater Lisndra (katakanlah sebuah jelulusan) Festival Teater
Remaja I/1975, dan Teater Kail lulus di FTR II/1976 bersama
Road Teater dengan sutradara Wahyudeen Noersan.
Di usia ke-25 tahun. Tahun 1977. Saya pribadi mendapat
penghargaan dari SAIF, sebuah lembaga persahabatan
Amerika dan Indonesia, yang memberikan penghargaaan
bagi seniman-seniman muda di Asia, yang 3 tahun berturut-turut jatuh di Indonesia. Rudolf Puspa pada 1976 dari
Teater Keliling, saya, dan Wiwiek Sipala mahasiswa tari dari
IKJ pada 1977, Syarifuddin Ach Pimpinan Teater Gelang-
8
gang Remaja Jakarta Timur, dan pelukis Dede Eri Supria
pada 1978. Setelah itu tidak kedengaran lagi. Mungkin
jatuhnya bintang itu di wilayah lain. Salah satu penilaiannya
mungkin karena saya mampu berturut-turut memper­
tahankan (membina) pemain-pemain Teater Kail.
Dalam perenungan saya berikutnya, ternyata “tak cukup
sedih”, jika kita tak punya fasilitas kasat mata. Mungkin
bisa diganti dengan kharisma kepemimpinan, bagaimana
anggota kita mau “berbakti” kepada kelompoknya.
La tahzan, jika kurang modal, Berangkat dari yang ada,
Putu Wijaya, Samma, Nani Tandjung, dan yang lain. Tak
perlu menangis (sendiri). Maka marilah menangis ramairamai hingga air mata kita menggenang menenggelamkan
diri kita sendiri, bercuci, dan membersihkan diri kita sendiri
untuk terus belajar dan bekerja.
Istiadi:
Lahir di Jakarta 2 Agustus 1966.
Berawal dari sifat pemaluku yang berlebihan, grogian, cara
bicara yang cenderung cepat dan merepet, aku coba-coba
mengikuti ekskul teater di sekolahku, SMAN 33 Cengkareng,
Jakarta Barat. Ekskul ini dipimpin oleh Ibu Nani Tandjung dan
Bapak Sutarno Sk. Mas Tarno biasa kupanggil, adalah pemim­
pin sekaligus sutradara dari Teater Kail, yang sejak 1976
“dinobatkan” se­bagai Grup Senior setelah memenangkan
Festival Teater Re­maja Jakarta tiga tahun berturut-turut (1974,
1975, dan 1976).
Memasuki dunia teater seperti memasuki dunia yang
berbeda. Karena teater bagiku bukan hanya sekadar sebuah
pertunjukan atau tontonan, namun menjadi kawah candra­
dimuka untuk membentuk kepribadian yang kuat, tangguh
dan tangkas. Syaratnya kita ikuti prosesnya dengan disiplin,
sungguh-sungguh sampai menuju sebuah pementasan.
Teater juga bukan sekadar melatih intonasi, artikulasi,
menghafal, improvisasi, blocking, grouping, dan keberani­an
saja, namun banyak ilmu yang tanpa disadari sangat bermanfaat ketika kita berada di alam nyata. Bermasyarakat
di lingkungan rumah, atau berkarier di dunia kerja, aku
jadi mudah beradaptasi, kreatif, peka terhadap keadaan
sekitar “sadar blocking” (sadar diri dengan posisinya di
masyarakat), dapat menyusun atau merangkai kata-kata
sebelum berbicara, hingga membawaku menjadi seperti
saat ini. Di masyarakat, aku pernah jadi Ketua RT, Ketua
RW, Ketua Alumni, dan ketua dari berbagai organisasi.
Di dunia kerja mulai dari menjadi staf biasa, supervisor,
kabag, manajer, sampai pernah ‘ngerasain’ jadi direktur.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
mengikuti arus, terus marah, terus memberi kasih dan memberi
rindu. “Drama is Conflict”- Stanislavsky
Dwi Bagus MB:
Saya mengenal teater sejak 1980, kemudian bergabung de­
ngan Teater Kail pada 1983 melalui kegiatan ekskul di sekolah.
Pentas pertama “di luar” sekolah pada April 1984 di Pasar Seni
Ancol membawakan lakon Lysistrata karya penulis komedi
Yunani klasik Aristophanes (446 – 386 SM) yang disadur WS
Rendra. Disusul kemudian pentas karya/ sutradara Sutarno Sk
yang cukup fenomenal, Bangsat, di Teater Arena Taman Ismail
Marzuki, 14 – 16 September 1984. Bangsat dipentaskan dalam
suasana yang kurang menguntungkan, karena hanya dua hari
setelah peristiwa berdarah yang sangat memilukan; Peristiwa
Tanjung Priok. Kemudian saya terlibat dalam beberapa produksi lagi, termasuk menjadi Juri Lomba Baca Puisi.
Berada di Teater Kail, seperti berada di rumah besar,
de­ngan segala dinamika kehidupannya, dengan segala
macam sifat dan kepribadian penghuninya, tapi yang pasti
hangat penuh kekeluargaan.
Tomi Faisal Alim:
Kail. Apa tuh?.... oh pancingan..... memancing kehidupan...
tapi bisa juga kail kehidupan. Hmm... banyak hal tafsiran di
masa itu kala duduk di bangku SMA 33 pada ‘83-an.
Ahh ikut, saya kan bisa melukis dan suka puisi saya juga mau
belajar teater. Masih hangat dalam imaji... Mereka datang ke
sekolah kami di Cengkareng. Tegas, bersahaja, keibuan dialah
Mba Nani yang saya kenal dan Mas Tarno yang lebih banyak
diam, tapi sepertinya Sutarno Sk yang ramping kumisan
sedang mencari bibit baru untuk anggota­nya. Kelihatan jual
mahal tapi sepertinya butuh pemain polos namun andal.
Siaap deh... hajar.. boleh jadi ini akan menjadi dunia baru
buat saya, sepertinya pas sama jiwa dan ekspresi saya walau
dulu masih agak cemen. Tak peduli siapa mas Tarno pokoknya wawasan berkesenian, pentas, eksis di mata teman dan
tentunya bisa berlagak karena dapat menyuara­kan hati nurani rakyat lewat panggung teater. Heee...Sedikit sotoy sih.
Ya itu ringkas cerita perkenalan saya dengan mbak Nani
dan mas Tarno sekeluarga di teater Kail, yang membawa
saya lebih total di kesenian.
Kail idealis, keras dan bersahaja. Semua anggota layaknya
bagian keluarga. Ikut buat sambel, makan bareng seada­nya.
Dilatih layaknya Kempetai. Mas Tarno pernah bilang kalian se­
perti harus seperti pasukan para komando’. Somprett.... kadang
ngedumel walau terus lakukan latihan keras perintahnya.
Taeek... itu yang sering didengar kalau sudah garang mela­
tih.... mondar-mandir.... manyun.... sambil ngepul. Dalam
hati tetep ngeheek...
Tapi saya tetap setia dengan Kail, walau kadang jarang bertemu. Hingga ilmu teater terus saya bawa selama saya keYogya
hingga kini melekat kapanpun dan di manapun. Karena tak jauh
runtuh, bahwa didikan seorang bapak alhasil sedikit tertanam
dan membentuk pada anak.... terbukti saya juga kadang lebih
garang kala masuk dalam melatih teater. Lagi-lagi di manapun
dan kapanpun. Tapi saya tak menggunakan kata “taeeek”.
Kini mas Tarno sudah gaek. Tapi teater Kail masih terus gelisah
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Teater Kail, buat saya, bukan sekadar wadah untuk mengeks­
presikan diri, tapi lebih dari itu…. Tempat saya menimba ilmu
dan hikmah kehidupan. Memang, Teater Kail terlalu luas untuk
disebut samudra, tapi terlalu sempit kalau dibilang akuarium. Mungkin lebih tepat kalau disebut kolam, karena tetap
bisa digunakan untuk mengail. Banyak hal yang saya dapat,
bukan hanya ilmu teater yang kemudian saya sempat mencari
nafkah dengannya, mengajar dan memberi workshop teater
di sekolah dan di kampus. Di kolam ini saya—dan temanteman—belajar berenang. Belajar (mengarungi) kehidupan.
Di usianya yang ke-46 tahun, Teater Kail tetap bisa eksis,
meskipun tidak gegap gempita dan jauh dari publisitas.
Te­rus berkontribusi bagi kesenian di Indonesia melalui ber­
bagai kegiatan; pentas monolog, baca puisi, menerbitkan
buku sastra, workshop make up karakter, pelatihan teater,
dan sebagainya. Pengampunya adalah pasangan yang luar
biasa, Mas Sutarno Sk dan Mbak Nani Tandjung (semoga
Allah merahmati mereka berdua). Meskipun dalam serba
keterbatasan, mereka berdua terus bergiat menopang
Teater Kail agar tetap bisa berdiri. Teater Kail adalah karang
kecil yang menolak tumbang dihantam gelombang.n
@ IH - Sumber: Nani Tandjung
9
B a h a s a n U TA M A
Penghargaan pada Pegiat Seni-Budaya
Bisa jadi banyak orang yang melakukan penghargaan/ apresiasi terhadap karya seni tetapi mereka tidak me­
nyadarinya. Apresiasi terhadap karya seni memang mengalir begitu saja. Namun apakah penghargaan itu juga
diberikan selayaknya kepada yang menciptakan karya seni?
D
IKUTIP dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
istilah apresiasi seni atau mengapresiasi karya seni berarti memahami
seluk-beluk karya seni serta menjadi sensitif (peka) terhadap segi-segi estetikanya. Apresiasi dapat diartikan berbagi pengalaman antara peseni
dengan penikmat karya seni.
Kegiatan apresiasi seni berarti upaya memahami berbagai hasil karya
seni dengan segala permasalahannya serta menjadi lebih peka
terhadap nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Dengan mengerti dan menyadari sepenuhnya seluk-beluk suatu
hasil karya seni serta menjadi sensitif terhadap segi-segi estetiknya,
seseorang diharapkan mampu menikmati dan menilai karya seni
tersebut dengan semestinya.
Ada dua fungsi kegiatan apresiasi seni, yaitu pertama meningkatkan
dan memupuk kecintaan kepada karya bangsa sendiri dan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia, kedua, hubungannya
dengan kegiatan mental manusia yaitu penikmatan, penilaian,
empati, dan hiburan. Apresiasi seni memunyai manfaat besar bagi
ketahanan budaya Indonesia. Melalui apresiasi kesenian Indonesia,
seseorang dapat lebih mengenal dan menghargai budaya bangsanya
sendiri. Melalui kegiatan apresiasi, seseorang dapat belajar untuk memahami dan menghargai karya seni. Implementasi kegiatan apresiasi seni untuk menghargai berbagai perbedaan yang dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Kepedulian terhadap karya seni
dan warisan budaya bangsa lainnya dapat ditumbuhkan dengan
pembelajaran apresiasi ini.
10
10
Pada rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Anugerah
Kebudayaan kepada 59 orang, baik perorangan maupun komunitas. Penghargaan tersebut diberikan atas prestasi dan dedikasi
yang telah ditorehkan dalam membesarkan kebudayaan Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 10 Oktober
2019 di Istora Senayan.
Nadjamuddin Ramly, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, mengatakan pemberian anugerah kebudayaan menjadi
penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah kepada
para pegiat seni-budaya. “Mereka tidak hanya menjadi pelaku
seni dan budaya, tetapi sekaligus menjadi pelestari. Kontribusi
mereka terhadap kelestarian kebudayaan Indonesia amat besar
dan merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk
memerhatikan para budayawan yang berprestasi,” tegasnya.
Terdapat 65 orang yang sudah menerima predikat Maestro Seni
Tradisi dari Kemendikbud. Setiap orang mendapatkan uang kehormatan sebesar Rp 25 juta per tahun hingga sang maestro meninggal dunia. “Ini bagian dari kontribusi negara. Namun APBN kita
masih terbatas. Sebenarnya nilai Rp 25 juta itu masih sangat kecil
jika dibandingkan dengan pengabdian mereka seumur hidup. Dari
generasi ke generasi mereka melestarikan dan menjaga budaya.
Kalau tidak ada Maestro Seni Tradisi di kampungnya masingmasing, banyak kebudayaan kita yang bisa punah dan tidak bisa
dinikmati lagi oleh generasi bangsa,” tutur Nadjamuddin.
Semesta
Semesta Seni
Seni ll Edisi
Edisi 66 ll Oktober
Oktober ll 2020
2020
Di tahun yang sama, Pelestri Cagar Budaya
Yayasan Panti Asih Pakem, Pelestari Pelaku Tradisi
Budaya Tugiran, Seniman Cermo Suprobo, Budayawan Argo Trikomo, Kreator Mila Rosinta Toto Atmojo mendapatkan penghargaan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman. Kegiatan yang didanai
menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) ini
merupakan pelaksanaan Program Kegiatan Pembinaan Lembaga Pegiat Seni. Ada juga Maestro
Budiman dan generasi muda berprestasi di bidang
Kebudayaan Sahasrarapadma Hangga Arwina.
Masing-masing mendapat piagam, uang pembinaan dan plakat. Tujuan pemberian penghargaan
ini sama dengan rangkaian PKN yaitu upaya untuk
menjaga budaya dari pengaruh serta unsur-unsur yang merusak budaya lokal yang tidak dapat
dilakukan oleh pemerintah sendiri, serta mempercepat akselerasi pembangunan, budaya tepa
selira yang dapat menciptakan kondusivitas serta
nilai-nilai budi pekerti atau unggah-ungguh untuk
membentengi masyarakat dari pengaruh budaya
luar yang bersifat negatif.
Pemberian penghargaan pegiat seni pun tidak serta-merta dilakukan oleh Pemerintah saja. Ciputra
Artpreneur Jakarta menginisiasi kegiatan sosial
#BersamaBantuSesama, program donasi bagi
para pekerja seni serta pekerja harian lepas yang
terdampak Pandemi Covid-19. Program ini direalisasikan dalam bentuk 1.000 paket kebutuhan
pokok yang disalurkan secara simbolis, di Jakarta, pada 18 Mei 2020. Presiden Direktur Ciputra
Artpreneur Jakarta Rina Ciputra Sastrawinata
mengatakan, program yang digaungkan sejak
awal April 2020 lalu merupakan kolaborasi antara
Grup Ciputra, Teater Koma, Teater Keliling, Teater
Semesta
Semesta Seni
Seni ll Edisi
Edisi 66 ll Oktober
Oktober ll 2020
2020
Gandrik, Bumi Purnati Indonesia, TEMAN, CCAI, dan Aku Anak Rusun.
Kemudian, Titimangsa Foundation, Jakarta Move-in, Twilite Orchestra,
The Resonanz, dan Purwacaraka Music Studio, dan didukung +Jakarta,
platform kolaborasi Pemerintah DKI Jakarta. “Pandemi Covid-19 telah
berdampak signifikan di berbagai sektor kehidupan, termasuk bidang
seni dan budaya,” ujar Rina. Dalam bidang seni dan budaya, elemen yang
paling terdampak adalah para pegiat seni, dengan melihat fakta bahwa
berbagai pertunjukan seni dan budaya di Indonesia saat ini tidak digelar
untuk sementara waktu. Para pegiat seni didefinisikan sebagai kru dan pekerja
harian lepas yang turut aktif mendukung kegiatan seni, budaya, dan industri
kreatif di Indonesia. “Berangkat dari keprihatinan itu, maka kami mengam­panyekan kegiatan donasi sosial #BersamaBantuSesama, dengan tujuan
membantu para penggiat seni melewati masa-masa sulit,” imbuh Rina.
Kegiatan donasi masih terus berjalan hingga saat ini, tidak menutup kemungkinan
skala dan kuantitas penyalurannya akan bertambah. Menurut Rina, donasi ini disalurkan
ke pegiat seni di seluruh wilayah Tanah Air, tidak hanya di Jabodetabek. Pendataan
para penerima donasi ini juga melibatkan berbagai pihak karena program ini juga
merupakan sebuah kolaborasi dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kompetensi
di bidang seni, budaya, dan industri kreatif.
Kembali lagi pada para pegiat seni di daerah, ada delapan figur yang konsisten dalam pelestarian budaya dan seni tradisi Banjar meraih penghargaan dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Banjarmasin. Mereka dinilai berjasa dalam mengembangkan seni budaya
di Kota Banjarmasin, terutama pelestarian khazanah Banjar.
Penghargaan ini pun langsung diserahkan Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina di sela
Kongres Bahasa Banjar yang dihelat di Hotel Best Western Kindai Banjarmasin,
pada 6 Desember 2019.
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Kota Banjarmasin Fatimah Adam
mengungkapkan delapan orang yang menyabet penghargaan merupakan para tokoh
yang berjasa dalam menghidupkan kembali seni dan budaya Banjarmasin.
Fatimah menyebut mereka adalah para peseni, pakar budaya dan insan pers yang peduli
terhadap keberlangsungan seni dan budaya Banjarmasin. Masing-masing para peraih
penghargaan ini pun diganjar hadiah Rp 10 juta plus piagam penghargaan sebagai bentuk
apresiasi dari Disbudpar Kota Banjarmasin.
1111
B a h a s a n U TA M A
Mereka yang meraih penghargaan adalah pakar budaya
kawakan Banjar, almarhum Syamsiar Seman yang diwakili
putranya. Pelukis kawakan era 1960-an yang menembus
kancah nasional dan internasional dalam karya kanvasnya,
Misbach Tamrin. Kemudian, sang perancang busana khas
Banjar Dwi Kawang Yoedha, pegiat budaya Banjar Siti
Nursiah, dan sang pesastra mamanda Anang Syahrani. Dari
kalangan pewarta pemerhati budaya Banjar disabet Syaiful
Anwar, pelestari tari Manopeng asal Basirih, Anang Kaderi
serta peseni kriya khas Banjar, Nanang Tabrani.
Bali pun tidak mau kalah dalam memberi penghargaan
kepada pegiat seni yang berprestasi. Dalam hajatan Festival Seni Bali Jani, bagi pegiat seni modern, seni inovasi dan
kontemporer di Bali terasa istimewa. Pasalnya, ada tujuh
sosok pegiat seni Bali modern dengan dedikasi di bidang seni
modern dinilai secara konsisten berkarya, berhak atas penghargaan bergengsi berupa Bali Jani Nugraha 2019. Mereka
adalah Ida Bagus Anom Ranuara (peteater), I Made Adnyana
‘Ole’ (pesastra), I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (pesastra),
I Made Adnyana (pekritik film/ musik), I Putu Wirata Dwikora
(pekritik seni rupa), Ida Ayu Oka Rusmini (pesastra), dan I
Kadek Suartaya (pekritik seni pertunjukan). Ketujuh pegiat
seni modern ini layak menerima penghargaan karena
kiprahnya secara konsisten berkarya memajukan ekosistem
seni khususnya modern dan kontemporer di Bali.
Dalam berkarya, tujuan seorang peseni bukan melulu untuk
mendapat hadiah atau penghargaan, melainkan untuk
menciptakan karya seni bermutu. Sehingga penghargaan
ini bukanlah tujuan, apalagi tujuan terakhir bagi proses
berkarya seorang peseni. Penghargaan ini justru menjadi
satu hal lain yang bisa saja membantu seorang peseni dalam memuluskan jalan untuk mencapai tujuan yang hakiki
dalam proses berkarya seni.
@ Rizka Nurlita Andi/ IH
12
12
Indonesia Raih 19 Medali Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan 2019
I
ndonesia meraih 19 medali di bidang pentas seni
kejuaraan vokal, bernyanyi sambil bermain musik,
dan modeling dalam Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan (World Championships of Performing Arts/WCOPA) 2019 di Amerika Serikat. Ratusan penyanyi, petari,
aktor, model, instrumentalis, dan berbagai artis terbaik
dari 66 negara tampil dan berkompetisi dalam ajang
dunia WCOPA 2019.
Direktur Nasional WCOPA Indonesia, Feibe Pusung,
menyatakan penghargaan kepada para kontestan yang
telah meraih medali. Dia juga menyampaikan penghargaan kepada orangtua dan pemerintah RI.
“Kami sangat berharap dukungan pemerintah secara
penuh untuk World Championships of Performing Arts
2020 karena kompetisi semakin tinggi tantangannya,
dan supaya kita akan semakin mampu berkiprah di
ajang kompetisi dunia,” ucap Feibe.
Delegasi Indonesia yang terdiri atas 14 orang diwakili
dari Jakarta, Tangerang, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi
Utara sebelum bertolak ke Amerika Serikat mendapat
motivasi dan dilepas oleh Chandra Negara, Direktur
Hubungan International Badan Ekonomi Kreatif Indonesia di gedung Kementerian BUMN.
Di Los Angeles, mereka disambut dan diterima Konsul
Jenderal RI di Los Angeles Saud Purwanto Krisnawan.
Konjen Saud menyampaikan bahwa dengan mewakili Indonesia bertanding di ajang WCOPA, putra-putri Indonesia
telah menjadi pejuang dan duta seni bangsa Indonesia.
Sebelum bertanding, para peserta dibekali pelatihan,
wawasan dan simulasi perlombaan seni dunia.
Indonesia adalah salah satu negara yang diterima sebagai
anggota terbaru dan mulai mengikuti kompetisi sejak
2015 dan telah meraih total 80 medali yang menunjukkan
keunggulan di bidang pentas seni, di antaranya pernah
meraih penghargaan paling bergengsi yaitu Junior World
Champion the Instrumentalist, Champion of the World
Division Winner Solo Vocal, solo vocal kelompok umur 11 15 tahun, dan di bidang musik instrumen piano.
“Putra-putri Indonesia secara konsisten unggul di kate­
gori vokal Pop, RnB, Soul/Jazz, Gospel, open all style,
bernyanyi sambil bermain musik, dan bermain musik,”
kata Maristela, Wakil Direktur WCOPA Indonesia yang
ikut serta mempersiapkan delegasi dan menyaksikan
gencarnya kompetisi di WCOPA 2019.
Setelah 18 tahun di selengarakan di Hollywood, lima tahun
di Long beach, WCOPA tahun depan akan diselenggarakan
di DisneyLand, Anneheim Californa, AS.
Dengan acara diselenggarakan di
Disneyland tahun depan diharapkan
akan menarik semakin banyak negara
dan peserta yang antusias dan berlomba-lamba untuk dapat mengadu
kebolehan di bidang seni pertunjukan.
Audisi delegasi Indonesia untuk
mengikuti WCOPA 2020 akan dibuka
pada Agustus 2019 melalui www.wcopaindonesia.com. WCOPA 2020 akan
dilaksanakan pada 24 Juli hingga 2
Agustus 2020 di Disneyland Anaihem,
California, Amerika Serikat.
Peraih medali dalam Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan 2019 di Amerika Serikat. @ IH - Sumber: AntaraNews.com
Semesta
l Edisi
l
Semesta
SeniSeni
l Edisi
5 l 46September
l Agustus
Oktober lll 2020
2020
Wirabangsa dan Mereka
yang Menenun Kesadaran
Malam reboan kemarin, sebuah perhelatan bersahaja diselenggarakan pada tempat yang tak
lazim; di atas atap sebuah pasar yang biasanya digunakan sebagai parkiran. Ini kali pertama
lahan itu berganti peran. Lukisan mural yang menghias tembok, menjadi penanda sekaligus
pembatas antara dunia siang dan malam. Mendung yang membayang sejak siang, tak mam­
pu menahan bulan purnama. Sinarnya bertindihan dengan kerlap-kerlip terang apartemen.
K
ITA sedang memulai sebuah inisiasi. KITA yang
berarti kalian mitra, dan juga perpanjangan dari
Kerapatan Indonesia Tanah Air; sedang belajar
mendengar, belajar menyerap pengalaman dari mereka
yang telah berjalan lebih lama.
Malam itu KITA mendengar dan menyimak suara lirih yang
acap tenggelam dalam keramaian dunia sehari-hari. Tiga
orang yang hadir dan dihadirkan malam itu, seperti memberi
jeda, memberi teguran yang mengingatkan arah jalan yang
harus dilalui.
“Modal saya berkesenian hanya dua: nyali dan silaturahmi. Lainnya, akan mengikuti peristiwa. Saya tak memulai
kegiatan dengan dana, yang memang tak pernah saya miliki.
Silaturahmi adalah sumber yang tak berhingga, dan nyali
hanyalah pencetusnya,” kata Ireng Halimun, pejalan sastra
yang tak letih bergerak.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
@ Taufik Rahzen
Ireng yang lahir dan besar di Jakarta ini, termasuk mereka
yang percaya pada kata-kata. Setiap kata adalah benih
untuk menciptakan dunia yang terbayang, dunia yang
disusun dari gagasan.
“ Setiap pengarang menciptakan dunianya sendiri. Dunia
yang selalu ditawarkan pada yang lain, sebagai alternatif
dari realitas sehari-hari. Pesastra merajut kata-kata, untuk
merayakan keragaman. Karena dengan beragamlah, kita
mencerminkan kemerdekaan kita,” tambahnya, melalui
mata yang menyala.
Dengan nyala keyakinan inilah, Ireng tak henti-hentinya
bersilaturahmi, menemui siapa saja yang bisa ditemui.
Meng­ajak berbicara, mengolah kata dan menuliskannya.
13
B a h a s a n U TA M A
Menyuling Ingatan
Baginya silaturahmi adalah tujuan sekaligus cara bertindak.
Hanya dengan nyali yang tulus, silaturahmi memiliki maknanya.
Silaturahmi publik ia lakukan melalui pergelaran sastra. Tak
kurang dari lima kali pergelaran Sastra Semesta diselenggarakan dalam satu tahun terakhir. Pergelaran diselenggarakan
berdasarkan kebutuhan, bukan berdasar jadwal waktu, walaupun direncanakan setiap dua bulan sekali. “Setiap masa
memiliki kata-katanya sendiri, sebagaimana setiap zaman
memiliki generasinya sendiri. Melalui Sastra Semesta kita
membuat upacara kelahiran kata-kata dan penciptaan dunia
sekaligus. Pada galibnya, pesastra adalah rasul pembawa
berita,” kesimpulannya berapi-api. Lima edisi media Semesta
Seni pun telah diterbitkannya, walau hanya dibantu oleh 3 - 4
orang muda yang dia juluki sebagai “pejuang tangguh”.
Ragat Sukabumi
Dalam usianya melampaui enam puluh tahun, tubuhnya terlihat kekar berisi dengan jalan yang ringan melayang. Ia seperti senang berjalan, dengan telapak kaki yang menyentuh
bumi sepenuh-penuhnya. Ia mudah menyisipkan dirinya dalam kerumunan, mengetahui cermat di mana harus berada.
Jari-jarinya kekar, seperti sedang membawa bara.
Telah empat puluh tahun ia menjadi pembawa dan pembagi
energi. Ia menghidupkan keseimbangan energi pada tubuh-tubuh pasiennya untuk mengembalikan kebugaran. Tak
kurang dari 200 murid-muridnya menyebar di seluruh Tanah
Air, juga menjaga keseimbangan tubuh.
“Kesehatan adalah kemerdekaan. Dan sebagaimana kemerdeka­
an, kesehatan adalah hak segala bangsa,” katanya metaforis.
Pandangannya tentang kesehatan dan tubuh yang sederha­na,
justru memikat. Baginya, tak ada penyakit permanen, yang
14
Setiap subuh Budiman melangkah menyusuri Jakarta menggunakan kendaraan pertama yang lewat. Berjalan pergi dalam
gelap dan pulang gelap selepas magrib, telah dilakukannya
sejak 40 tahun silam. Orang tua santun dengan suara lirih
ini, melakukan sesuatu yang tak terbayang dalam era banjir
informasi ini. Ia seperti penjaga kesadaran yang memungut
ingatan yang terbuang secara sengaja atau tak sengaja.
Piagam penghargaan dari KITA untuk Sastra Semesta.
terjadi hanya ketakseimbangan. Sistem tubuh yang tak seimbanglah, yang memungkinkan berbagai anasir untuk masuk
sekaligus membuat ketahanan tubuh melemah. Sehingga
mengembalikan keseimbangan merupakan tujuan sekaligus
cara bagi penyembuhan. Membuka seluruh aliran darah yang
tersumbat, dan membiarkan alam bekerja selanjutnya.
“Ada tiga prinsip untuk memulihkan ketidakseimbangan:
pertama, kita harus memahami seluruh peta tubuh dan aliran
darah; kedua, mengetahui di mana titik totok pembuka; dan
ketiga, siapa yang melakukan tindakan. Tubuh Bumi yang
nanti bekerja membuat keseimbangan,” katanya mencoba
meringkas metode Ragat Sukabumi. Dan metode ini, bagi­
nya, berlaku pula untuk merawat masyarakat yang sakit,
serta bagaimana melakukan perubahan sosial.
Ragat artinya merawat, memelihara dan menjaga raga.
Sementara Sukabumi, adalah tindakan mencintai bumi dan
juga daerah tempatnya berasal. Ragat Sukabumi Haji Uhud,
kini berkembang menjadi gerakan akar rumput yang secara
radikal menjaga ketahanan tubuh dan kesehatan jiwa.
Menyusuri lapak-lapak pembuangan untuk memperoleh buku
dan informasi ikutan yang ada, serta menyalurkan kepada
sasaran yang tepat, merupakan pilihan hidupnya. Ia menyuling
ingatan terbuang menjadi kesadaran yang hidup. Mendorong
berbagai komunitas untuk menyusunnya sebagai ilmu.
Umurnya diwakafkan sebagai penyedia bahan dasar bagi
penge­tahuan tentang ke-Indonesia-an. Budiman adalah
pemasok individu terbesar pada lembaga penelitian dan perpustakaan dunia. Library of Congres America, House of Japan,
KITLV Belanda, British Council, Australian Embassy, dan tak
terhitung perpustakaan universitas dan lembaga riset dunia
lainnya. Ia yang memilah dan memilih buku-buku yang tepat,
untuk siapa dengan tema apa buku itu pantas berlabuh. Ribuan
akademisi dan pembaca yang melakukan studi tentang Indonesia, berutang budi pada jasanya yang senyap menjaga ingatan.
“Saya hanya bermaksud untuk melawan lupa, setidaknya untuk diri sendiri. Saya hanya mengingatkan siapa tahu masih
ada yang tercecer. Memang suatu saat, saya akan tersingkir
dan tak berfungsi. Orang sudah mudah mendapatkan informasi melalui tuan Google,” ucapnya sambil menerawang.
Kegelisahannya untuk memilah dan memilih buku, berjalan
merayapi seluruh sudut ibu kota, mengingatkan para Sufi
ahlulkitab abad pertengahan yang rindu akan kebenaran.
Karenanya, kami sering menjulukinya Kitabudiman.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Wirabangsa yang Menenun Kesadaran
Tiga sosok inilah, yang malam itu KITA sempat berbagai rasa
dan pengalaman. Mereka mewakili ribuan orang yang bekerja
dalam senyap, dan menjalani hidupnya dengan bersaha-
ja. Mereka bukan selebritas dan bukan pula orang bergaji.
Mereka hidup dari keringatnya sendiri, dan dengan keras
kepala menikmati keindahan berbagi. Yang membuat mereka
mirip, adalah matanya yang selalu menyala dan kegembiraan
melihat orang lain bahagia. Mereka menenun pikiran-pikiran
individu menjadi kesadaran bersama. KITA menyebutnya
sebagai “Wirabangsa”, pahlawan rakyat yang tak terlihat.
Taufik Rahzen
Majelis Hikmah KITA
Tiga piagam penghargaan dari KITA untuk tiga “Wirabangsa”.
Semesta Seni
Seni ll Edisi
Edisi 66 ll Oktober
Oktober ll 2020
2020
Semesta
1515
B a h a s a n U TA M A
Anugerah, Hadiah, dan Bantuan
Anugerah atau award di bidang seni diberikan untuk menghargai karya atau jasa peseni. Bisa seni
rupa, seni musik, seni sastra, seni tari, seni film, maupun seni kriya. Hadiah seni biasanya diperebut­
kan dalam bentuk lomba. Bisa lomba baca puisi, lomba menulis novel, esai, lomba lukis, lomba buku
puisi, lomba tari, lomba nyanyi, dan seterusnya. Sedangkan bantuan dibagikan kepada peseni yang
tidak punya penghasilan lain atau menghadapi musibah.
K
ETIGA hal itu banyak dibahas selama Pandemi Covid-19
melanda Indonesia beserta 215 negara lain di bumi ini.
Pada Mei 2019, misalnya Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mencatat paling sedikit 58.000 peseni perlu mendapat
bantuan. Kebanyakan peseni tradisional, yang tidak bisa pentas
karena terbentur larangan untuk berkerumun guna mencegah
penularan wabah. Seni pertunjukan seperti karawitan, sandiwara
tradisional, tari, dan teater praktis terhenti.
Berbagai media menyebutkan bantuan itu berupa uang Rp 1
juta per orang, setelah melalui verifikasi kegiatan dan karyanya.
Sedangkan untuk seni tulis-menulis dan deklamasi, masih bisa
diperebutkan berbagai hadiah. Minimal semacam honorarium
untuk program “menulis dari rumah”. Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) menginisiasi program menulis
cerita pendek dan esai dengan menyediakan uang Rp 5 juta bagi
100 orang yang karyanya terpilih.
Saya beruntung karena dilibatkan sebagai anggota dewan juri
untuk menilai beberapa kegiatan lomba itu. Yang paling mena­rik
adalah lomba deklamasi untuk tingkat provinsi dan nasional. Saya
ikut menilai 256 rekaman deklamasi yang dikirimkan oleh deklam-
16
@ Eka Budianta
ator se-Jawa Barat. Selain itu juga lomba pemilihan buku karya
sastra terbaik 2020 yang diadakan oleh Badan Pengembangan
Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lomba-lomba
semacam itu sangat didamba oleh para peseni di berbagai bidang.
Pertama, untuk memacu kreativitas, memelihara daya kreatif.
Kedua, untuk mendapatkan hadiah apabila menang.
Apresiasi Masyarakat
Sejarah seni pertunjukan tradisional menunjukkan lebih ba­
nyak mengalami marginalisasi daripada mendapatkan apresiasi
masyarakat. Hal itu sangat jelas dengan menghilangnya kelompok-kelompok sandiwara, wayang orang, gandrung, ludruk,
bahkan wayang kulit. Tentu ada upaya untuk tetap mempertahan­
kan eksistensi melalui lomba dalang anak-anak, remaja, dan
mengembangkan bentuk baru seperti stand up comedy. Tetapi
secara umum kita melihat runtuhnya panggung Srimulat baik di
Jakarta maupun Surabaya dan semakin lemahnya gedung-gedung
pertunjukan semacam Wayang Orang Bharata, di Jakarta.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Selama bertahun-tahun wayang kulit hanya dihidupi oleh
tokoh masyarakat yang kebetulan punya hajat. Belakangan ada satu-dua institusi–terutama perguruan tinggi
yang masih percaya pergelaran wayang kulit menghidupkan spirituali­tas masyarakat. Maka muncullah kelompok-kelompok penggemar yang berseragam, membawa
bekal, berpindah-pindah dari satu tontonan ke acara
berikutnya. Komunitas-komunitas itu menjadi tulang pung­
gung, untuk membuktikan adanya apresiasi.
Sementara di seni sastra, juga muncul komunitas-komunitas yang menerbitkan buku bersama, mengadakan acara
bersama, dan membuat program-program pementasan
serta apresiasi. Contoh paling menonjol adalah munculnya
Hari Puisi Indonesia dengan hadiah untuk kumpulan buku
terbaik dengan hadiah cukup tinggi. Penghargaan itu dilaksanakan seperti lomba, yang diikuti hingga 200-an judul
buku puisi terbitan selama setahun.
tiwa, Hadiah Rancage, dan Hadiah Hari Puisi itu. Sedangkan penghargaan oleh kalangan industri atau korporasi
mendapat contoh dari Hadiah Bakrie dan hadiah kesetiaan
berkarya dari Grup Kompas Gramedia. Stasiun televisi
Media Group (Metro TV) juga memberikan penghargaan
kepada pejuang kemanusiaan dan pelopor pelestarian. Di
antaranya sebagai “Kick Andy Hero”.
Apresiasi Negara
Sekarang apresiasi dan anugerah seni seolah-olah terpulang ke Negara–menjadi urusan pemerintah. Hal itu kita
rasakan pada perayaan Hari Pahlawan dan Hari Proklamasi
17 Agustus, saat belasan atau puluhan peseni dipanggil ke
Istana Negara. Bentuk apresiasinya bermacam-macam.
Ada bintang tanda jasa, ada piagam, dan uang secukupnya.
Jumlahnya berkisar antara 50 - 60 orang, dengan prioritas
untuk seni tradisional, termasuk pencak silat sebagai seni
bela diri.
Beberapa contoh penghargaan karya seni sastra oleh para
peseni sendiri dapat dilihat pada adanya Kusala Khatulis-
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
17
B a h a s a n U TA M A
Sebenarnya apresiasi penguasa kepada para peseni sudah
berlangsung lama. Raja-raja Kahuripan (Abad 10) hingga
Majapahit (Abad 15) tercatat suka membagi-bagikan alat
tulis, pudak dan karas, untuk para kalangwan–pesyair yang
gemar mencari ilham dan menikmati keindahan alam.
Kebiasaan memelihara pujangga kraton ini dilaksanakan
oleh para raja dan sultan, baik dalam bahasa Kawi, Jawa,
maupun Melayu. Dua contoh pujangga yang paling
dihargai adalah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Riau
dan Ranggawarsita di Surakarta.
Tradisi memberikan anugerah sastrawan negara di
Malaysia dan Poet Laureate di Amerika Serikat terus
berjalan hingga sekarang. Hanya di Indonesia belum
terlaksana, seolah-olah mencerminkan penghargaan
masyarakat yang memang belum tinggi. Reformasi 1998
memang berhasil mendobrak kemapanan dan mengembangkan demokrasi dalam berkarya. Jumlah penulis dan
buku yang terbit sepanjang tahun terus membubung.
Tetapi perniagaan buku dan kualitas buku yang terbit
belum menggembirakan benar.
Dalam suasana kurangnya apresiasi di dalam negeri, kita
masih bersyukur dan bergembira bila mendengar peseni
Indonesia mendapat penghargaan di luar negeri. Paling
tidak pernah terbetik berita Pramoedya Ananta Toer masuk
18
nominasi penerima Hadiah Nobel, dia mendapat Hadiah
Magsaysay, sebagaimana Mochtar Lubis. Pada masa
milenial ini, nama-nama penting itu diteruskan oleh Eka
Kurniawan yang menang World’s Readers Award (2016)
masuk daftar panjang The Man Booker International Prize
(2016) dan menang Oppenheimer Funds for Emerging
Voices (2016), serta penerima Prince Claus Award (2018).
Memang selalu ada harapan munculnya bakat-bakat lokal
yang diterima dunia. Pada 2020 ini tiga perupa Indonesia
masuk nominasi ajang penghargaan bergengsi, The
Sovereign Asian Art Prize di Hong Kong. Mereka adalah
Deden Hendan Durahman dengan karya Look/After;
Cityscapes #02, I Made Wiguna Valasara dengan karya
Daily Parade, dan Taufik Ermas melalui Drowning in Silence
Before Midnight #3.
Tentu, kita masih menaruh harapan bahwa penghargaan
nasional di dalam negeri tetap menjadi dambaan. Pada 1992
pernah ada Hadiah Chairil Anwar untuk supremasi di bidang
sastra yang diraih oleh Mochtar Lubis. Setelah itu ada penghargaan tahunan Akademi Jakarta, seperti yang dimenangkan
pelukis Sunaryo (2017), arsitekYori Antar dan aktivis sastra
Umbu Landu Paranggi, pada 2019 kemarin. Semoga peng­
hargaan, anugerah, dan apresisasi untuk peseni dan karyanya
jauh mengatasi program bantuan yang kini diutamakan.***
TENTANG
EKA BUDIANTA
Pesyair, penulis biografi “Mendengar Pramoedya”, “Cakrawa Roosseno”, “Disentuh
Emil Salim” dan lain-lainnya.
Bukunya “Langit Pilihan”
mendapat hadiah sebagai
kumpulan puisi terbaik dari
Badan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 2012. Kini ia sebagai
aktivis Tirto Utomo Foundation
yang mendukung pelestarian
rumah adat dan sejumlah
sanggar karawitan.
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
S u d u t PA N D A N G
Achmad Fachrodji
Balai Pustaka Konsisten Menjaga Warisan Bangsa
Beberapa karya seni yang dibuat dengan bahan dan medium yang sama, namun akan menghasilkan karya yang
kualitasnya berbeda-beda. Itu tergantung pada siapa maestro yang mengerjakannya.
S
AAT media Semesta Seni berkesempatan menyambangi Kantor
Balai Pustaka, di Jalan Bunga No 8/8A, Palmeriam, Matraman,
Jakarta Timur, pada awal September 2020, melihat banyak
sekali perubahan yang lebih baik, benar, dan indah terjadi. Tenyata,
di tangan Direktur Utama Achmad Fachrodji-lah tata ruang, manajemen, dokumentasi, dan visi Balai Pustaka menjadi lebih cerah ke
masa depan. Dialah maestro yang bekerja dengan serius tetapi kaya
dengan humor, dan piawai dalam berkomunikasi dengan pihak lain.
Berikut hasil wawancara Semesta Seni dengan Achmad Fachrodji:
Sejak kapan Anda bergabung dengan Balai Pustaka?
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Apa yang membuat bisnis Balai Pustaka merosot?
Sebagai perusahaan milik negara, Balai Pustaka menjadi corong dan
perpanjang­an tangan pemerintah dalam bidang pendidikan, dalam
upaya mencerdaskan bangsa, khususnya dengan menerbitkan bukubuku pendidikan seperti buku pelajaran dan buku keterampilan dan
pengayaan, dan kemudian menyebar­luaskan sampai di sekolahsekolah di seluruh Indonesia. Sampai pada tahun 2004, karena
dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang
Antimonopoli, hak over­print buku-buku
keluaran Kemendikbud sebesar 30 persen
setiap tahunnya yang menjadi pendapatan
terbesar Balai Pustaka dicabut. Balai Pustaka,
mau tidak mau, harus terjun ke lapangan
Foto: akarpadi
Empat tahun lalu, tepatnya 12 Juli 2016, saya dilantik menjadi Direksi Balai Pustaka. Awalnya saya menduduki posisi Direktur Komersial,
kemudian di pengujung 2018 menjadi Direktur Utama Balai Pustaka.
Berarti tahun 2020 ini saya sudah memasuki tahun keempat berga­
bung di Balai Pustaka. Saya masih ingat ketika Menteri BUMN Ibu
Rini M Soemarno meminta saya ikut membenahi Balai Pustaka yang
sedang terpuruk, saya langsung menyatakan siap, walau dalam
diri ada sedikit gejolak apakah saya mampu mengemban amanah
ini? (Balai Pustaka adalah perusahaan penerbitan, percetakan, dan
multimedia yang sangat dikenal dengan karya-karya sastra yang
melegenda. Usianya saat sudah 111 tahun jika dirunut dari tanggal
14 September 1908 yang cikal-bakal berdirinya nama Balai Pustaka
pada 22 September 1917.) Saya bukan seorang sastrawan, atau
seorang yang berlatar pendidikan sastra. Saya adalah Sarjana
Kehutanan yang setiap hari bergelut dengan bermacam-macam
kayu dan hasil hutan lainnya. Sebelum di Balai Pustaka bertahun-
tahun saya mengabdi di Perhutani. Mulai dari awal karier sampai
menjadi direksi untuk beberapa periode.
Apalagi kondisi saat itu Balai Pustaka sangat mem­pri­hatin­kan, banyak
tanggungan yang tertunggak kepada pihak ketiga termasuk kepada
karyawan dan penulis. Namun, dengan tekad baik dan niat ikhlas,
saya menerima amanah ini. Saya “menghibahkan diri” untuk menghidupkan Balai Pustaka, yang nanti ‘kan menjadi tabungan amal saya.
Saya meyakini, sesuatu yang dimulai dengan niat baik, dikerjakan
dengan baik dan sungguh-sungguh, hasilnya akan baik pula. Bangsa
ini termasuk saya, sangatlah berutang kepada Balai Pustaka. Balai
Pustakalah yang telah membuat bangsa ini men­jadi cerdas dan
dapat mendu­duki posisi terbaik di dalam bidang apa pun, tentunya
termasuk saya. Kini, saatnya membayar utang itu.
19
S u d u t PA N D A N G
dan bersaing dengan perusahaan swasta. Berbagai upaya
telah dilakukan agar bisa bertahan. Sayang, SDM yang
belum terbiasa bermain ala swasta, kapal Balai Pustaka
mulai oleng, jalannya semakin terseok-seok, dan pada
akhirnya boleh dikatakan sampai pada titik nadir.
Namun kami sangat menyadari, kami didatangkan ke Balai
Pustaka adalah untuk menjalankan kapal Balai Pustaka ini.
Sebagai nakhoda kami tidak boleh putus asa, kami harus
bergerak dengan melakukan berbagai terobosan, kami
harus banyak melakukan inovasi, kami harus membuat
karyawan Balai Pustaka punya motivasi dan semangat
untuk bekerja. Alhamdulillah, perlahan tapi pasti kami
sudah mulai mendapat bentuk, kami harus berbuat apa, dan
harus menggandeng siapa agar bisa kembali bangkit. Pasar
strategis kami yang utama adalah sesama BUMN. Seruan Bu
Menteri BUMN lebih mengedepankan sinergi BUMN kami
Di Taman Sitti Nurbaya
20
sambut dengan suka cita. Kami pun mendatangi satu per
satu perusahaan BUMN dan menawarkan buku-buku yang
bertemakan cinta Tanah Air dan semangat persatuan. Kami
juga menawarkan pembangun­an 1.000 taman bacaan di
seluruh pelosok negeri khusus­nya di daerah 3T dalam upaya
mendukung program Peme­rintah “Gerakan Cinta Baca”.
Apa upaya Anda untuk meyakinkan karyawan bangkit
dari keterpurukan?
Di Pojok Nuansa Pelaku Sinema
Awalnya memang tidak mudah mengajak karyawan Balai
Pustaka untuk kembali semangat dan berlari kencang
mengejar ketertinggalan. Apalagi kondisi seperti itu sudah
berlangsung lama. Hak-hak mereka yang tertunggak juga
menjadi masalah serius. Tentu muncul ketidakpercayaan.
Perlu kehati-hatian dan trik khusus untuk meyakinkan
karyawan. Sebagai nakhoda tentu saya harus memberi
contoh dulu, saya langsung turun ke bawah, mengerjakan
apa saja yang bisa dikerjakaan. Janji kami adalah, Direksi
akan menca­rikan jalan keluar bahwa hak-hak karyawan
yang tertunggak segera dibayarkan. Kesejahteraan
karyawan adalah yang utama. Dengan cara dan pendekat­
an seperti itu, karyawan bisa bekerja dengan tenang dan
dapat memberikan waktu, pemikiran, dan tenaganya untuk
kebangkitan Balai Pustaka dan segera keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Menghijaukan setiap sudut ruangan
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Usia Balai Pustaka sudah 103 tahun pada 2020 ini.
Langkah-langkah apa saja yang sudah Anda lakukan
agar tetap bertahan?
Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1996, memberikan
mandat kepada Balai Pustaka untuk melestarikan waris­
an budaya melalui karya-karya heritage yang dimilikinya.
Tugas menjaga, mengembangkan, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan sebagai hasil peradaban tentu tidak bisa
dilepaskan dari Balai Pustaka. Dengan menyebarluaskan
konten-konten yang selama ini diterbitkan Balai Pustaka
menjadi salah satu bukti sejarah bahwa bangsa Indonesia
bukanlah bangsa primitif melainkan bangsa yang memunyai peradaban. Hal ini bisa dibuktikan dengan karya-karya
sastra klasik yang melegenda yang muncul sebelum Indonesia merdeka dan setelah Indonesia merdeka. Tidak salah
rasanya kalau Balai Pustaka disebut “Istana Peradaban”,
nama yang sudah masuk ke dalam di buku Mugalemon
“Galeri Istana Peradaban Balai Pustaka”.
Bisnis apa saja yang dilakukan Balai Pustaka. Apakah
negara hadir untuk membantu keberlangsungannya?
Bisnis inti (core business) Balai Pustaka ada empat, pertama
penerbitan, kedua percetakan, ketiga multimedia, dan
keempat manajemen literasi.
Dalam bidang penerbitan, selain menerbitkan ulang bukubuku heritage khususnya sastra klasik, Balai Pustaka juga
menerbitkan buku-buku baru termasuk buku riwayat dan
success story korporasi (BUMN), yang menurut kami pasar­
nya sangat besar dan luas. Dalam beberapa tahun terakhir
sudah puluhan riwayat BUMN yang diluncurkan dan ke
depannya akan bertambah terus. Sementara di bidang
percetakan, selain memproduksi buku-buku terbitan Balai
Pustaka, juga mencetak dokumen sekuritas seperti ijazah
perguruan tinggi dan surat suara. Di bidang multimedia,
sebagai sebuah industri kreatif, Balai Pustaka sudah
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
memunyai banyak
varian produk, se­
perti Edu-BP, e-Book,
platform e-learning
(Barugasikola) audiobook, animasi, dan saat
ini juga merambah
memproduksi film
layar lebar.
Keempat, yang tidak
kalah pentingnya
bisnis manajemen
literasi, yaitu dengan
membangun taman
bacaan di seluruh
Indonesia. Bisnis ini
tentunya berkolaborasi Berbincang dengan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo
dengan BUMN lain
Sampai tahun 2017, merupakan tahun terberat bagi Balai
atau Sinergi BUMN, dengan memanfaatkan dana PKBL/
Pustaka. Setelah kehilangan banyak aset dan mencatat
CSR. Diharapkan dengan pembangunan TBM ini
banyak utang, alhamdulillah pada tahun 2018 Balai Pustaka
masyarakat mendapatkan sumber bacaan yang dapat
sudah bisa mencatat laba atau keuntungan. Pencapaian ini
meningkatkan skill/ keahlian mereka dalam upaya
tentunya membawa angin segar dan semangat baru bagi
mencapai hidup sejahtera.
kami di internal Balai Pustaka. Pencatatan keuntungan ini
Apa beban terberat Balai Pustaka saat ini?
kami raih tentunya atas dukungan BUMN lain membeli
produk Balai Pustaka seperti buku-buku sejarah dan
Saat ini dunia penerbitan dan percetakan konvensional
wawasan kebanggsaan juga penempatan TBM di daerah 3T.
mengalami kelesuan yang luar biasa. Penerbit banyak yang
gulung tikar dan toko buku banyak yang tutup. Seiring
Apakah Balai Pustaka mampu bersaing dengan perusadengan semakin berkembangnya industri digital, tentu
haan sejenis?
sangat berdampak kepada industri pener­bitan dalam hal ini
Saat ini Balai Pustaka bisa berbangga hati dan dapat memterutama buku produk cetakan lainnya.
busungkan dada atas pencapaian demi pencapaian Balai
Melihat fenomena ini, tentunya Balai Pustaka harus
Pustaka saat ini. Buku-buku terbitan Balai Pustaka saat ini
membuat inovasi produk yang menarik, yang diminati
sudah kembali menyebar di seluruh Tanah Air, baik di
masyarakat.
perpustakaan-perpustakaan, TBM, maupun di toko-toko
Bagaimana kinerja Balai Pustaka?
buku besar seperti Gramedia dan juga di toko buku online.
21
S u d u t PA N D A N G
Balai Pustaka juga merambah ke dunia perfiman, apa
bisnis film ini menguntungkan?
Pendemi Covid-19. In sya Allah di tahun 2021 film-film ini
bisa ditonton seluruh masya­rakat Indonesia
pendukung utama. Adapun pelaksanaannya dilangsungkan
untuk empat angkatan setiap tahunnya.
Betul sekali, Balai Pustaka sekarang sudah merambah
ke dunia perfilman. Seperti yang sudah saya sampaikan
bahwa Balai Pustaka akan terus berinovasi dengan memfaatkan karya-karya klasik, mengalihmediakan dari buku
konvensional ke multimedia salah satunya dalam bentuk
layar lebar. Sebagai pemain baru dalam industri film,
kami menggandeng beberapa rumah produksi dan juga
tokoh-tokoh dunia perfilman. Sampai saat ini kami sudah
menyelesaikan dua film, yaitu Sitti Nurbaya dan Onrust,
yang sedang produksi ada empat film. Target kami tahun
ini akan tayang 4 sampai 5 film. Namun, tertunda karena
Balai Pustaka adalah Rumah Besar Pesastra Indonesia,
apa yang Anda lakukan untuk kesejahteraan mereka?
Apa yang menginspirasi Anda menyulap gedung Balai
Pustaka yang dulu kumuh menjadi lebih indah?
Kami sangat menyadari, sastrawan/ penulis adalah aset
terpenting Balai Pustaka. Tanpa keberadaan mereka, tanpa
karya-karya mereka, keberadaan Balai Pustaka tentu tiada
berguna. Sejarah telah menoreh tinta emas untuk jasa para
sastrawan.
Semenjak kepemimpinan saya, Balai Pustaka kembali me­
rang­­kul para sastrawan, mengajak mereka kembali untuk
pulang ke rumah mereka, tentunya juga dengan memberikan
rasa peduli akan keberlangsung­
an hidup mereka sehingga tetap
semangat untuk melahirkan
karya-karya sastra terbaik.
Saya menyadari bahwa Balai Pustaka tidak terletak di lokasi
yang strategis atau berada di jalan utama. Oleh sebab itu
agar menjadi daya tarik bagi masyarakat luas dan tentu
kenyamanan bekerja bagi para karyawan, saya sulap ba­
ngunan yang semula tampak kusam dan kaku menjadi segar
dan penuh warna. Saya dirikan Kafe Sastra dengan berbagai
menu yang namanya bernuansa sastra. Ada juga Taman Sitti
Nurbaya yang dapat dimanfaatkan sebagai area ‘selfie’.
Dalam upaya memancarkan
kembali aura sastra, kami juga
menyelenggarakan program
Sanggar Sastra yang menjadi wadah bagi masyarakat
lintas kalangan dan usia untuk
belajar sastra, seperti pelatihan
menulis puisi, prosa, teater, dan
bentuk apresiasi sastra lainnya
serta pelatihan musik tradisi
(gamelan). Dalam program
ini kami bersinergi dengan PT
Pegadaian (Persero) sebagai
Wina Armada Sukardi, Achmad
Fachrodjim dan Ireng Halimun
di ruang naskah kuno.
22
Apakah dengan merangkul kaum milenial sebagai
karyawan Balai Pustaka lebih merasa segar dan
sema­ngat untuk menjemput masa depan?
Kaum milenial adalah generasi yang akan membawa
bangsa ini ke Indonesia Emas. Milenial tentu punya
semangat yang menggelora dalam mengisi hari untuk
menata dan menjemput masa depan. Kreativitas dan cara
bertingkah dan berlaku mereka tanpa batas. Kita harus
mengakui, bahwa kehadiran mereka membawa udara
segar untuk perusahaan. Banyak inonasi dan produk yang
mereka buat, dan memberi warna baru bagi perusahaan.
Tentunya bergandeng tangan dengan para senior.
Gebrakan apa lagi yang ingin Anda lakukan?
Balai Pustaka tempat konsisten dengan core business-nya
di dunia penerbitan, mengembangkan intelektual properti
konten-konten heritage-nya apa pun bentuknya, sesuai
kebutuhan masyarakat. Mimpi saya Balai Pustaka menjadi
industri kreatif terdepan di Indonesia menjadi terwujud.n
@ Ireng Halimun
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Achmad Fachrodji dan Para Tokoh yang Bekerja Sama dengan Balai Pustaka
Bersama Christina Danilla pemeran hantu Maria
Bersama Najwa Shihab
Bersama Nur Fazura
Bersama Happy Salama
Bersama Shahnaz Haque
Bersama pemeran di Sitti Nurbaya
Semua senang menerima buku pantun karya Fachrodji
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Bersama Dimas Anggara
Bersama Cut Mini yang singgah di BP
Bersama Garin Nugroho
Bersama tim MNC Pictures
Mendampingi keluarga Hanung Bramantyo
23
Histori SENI
Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar:
Novel Modern Pertama dalam Bahasa Indonesia
A
ZAB dan Sengsara adalah sebuah novel
tahun 1920 yang ditulis oleh Merari Siregar
dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit
besar di Indonesia kala itu. Novel ini
mengisahkan sepasang kekasih, Aminuddin
dan Mariamin, yang tidak dibolehkan menikah
dan menderita.
Novel ini dianggap sebagai novel modern
pertama dalam bahasa Indonesia.
Rangkayo Rasuna Said
Tokoh Pergerakan Wanita
B
anyak yang belum mengetahui bahwa hari Senin,
14 September 2020 lalu, selain dimulainya kembali
PSBB di Jakarta juga menjadi Hari Lahirnya salah satu Pahlawan Nasional Rangkayo Rasuna Said yang lahir pada 1910.
Banyak yang menyangka nama Rasuna Said adalah seorang
pria pahlawan, namun sejatinya beliau adalah salah satu
tokoh pergerakan wanita seperti RA Kartini yang berasal
dari Minang. Rasuna Said sejak belia selalu bergerak dalam
memajukan pendidikan bagi kaumnya.
Rasuna Said di zamannya amat mahir dalam berpidato
mengecam pemerintahan Hindia Belanda, sehingga dia tercatat
menjadi wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu
24
Azab dan Sengsara ditulis oleh Merari Siregar
untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang
kurang baik dan sempurna di tengah-tengah
bangsaku (Batak), lebih-lebih di antara para lakilaki. Novel ini dibuat berdasarkan pengalaman
pribadi penulis, lalu dimodifikasi supaya lebih
jelas. Novel ini diduga ditulis atau disunting agar
memenuhi standar editorial Balai Pustaka.
@ Berbagai sumber
hukuman oleh Belanda bagi mereka yang ­menentangnya. Rasuna
Said pada 1932 sempat dipenjara di Semarang.
Selain menjadi guru dan pelatih kursus bagi kaum wanita,
tulisan-tulisan Rasuna Said juga sangat keras mengkritik
Belanda dan menjadi obor penyemangat bagi perjuangan
Kemerdekaan Indonesia.
Rasuna Said wafat pada 2 November 1965 dalam usia 55
tahun. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 084/1974 Tanggal 13
Desember 1974.
Kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan
protokol di kawasan Kuningan Jakarta Selatan serta di daerah
asalnya di Sumatra Barat.
@ Sumber: Achmad Fachrodji
Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Organisasi Seni Terlarang
L
Lembaga Kebudajaan Rakjat (PEUBI: Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau dikenal dengan akronim Lekra,
merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia.
Lekra didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar,
dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950.
Lekra mendorong peseni dan penulis untuk mengikuti
doktrin realisme sosialis. Semakin vokal terhadap anggota
non-Lekra, kelompok lain membentuk Manikebu (Manifesto Kebudayaan), akhirnya mengarah ke Presiden Soekarno
untuk melarang itu. Setelah Gerakan 30 September, Lekra
dilarang bersama dengan partai komunis.
Lekra didirikan sebagai respons terhadap Gerakan Gelanggang sosial-nasionalis, dengan AS Dharta sebagai
sekretaris jenderal pertama. Dengan menerbitkan Muka­
dimah, yang berarti “pengantar”, sebagai panggilan nyata
bagi orang-orang muda, terutama peseni dan penulis,
untuk membantu dalam membangun republik rakyat
demokratis. Upaya tersebut dilakukan di ibu kota Sumatra
Utara Medan dan berhasil di bawah Bakri Siregar.
Pada 1956, Lekra merilis Mukadimah lain, berdasarkan
realisme sosialis, yang disebut seni untuk mempromosikan
kemajuan sosial dan mencerminkan realitas sosial, bukan
mengeksplorasi jiwa manusia dan emosi. Lekra mendesak peseni untuk berbaur dengan orang-orang (turun ke
bawah) untuk lebih memahami kondisi manusia.
Lekra mengadakan konferensi nasional pertama di
Surakarta pada 1959, yang dihadiri
Presiden Soekarno. Mulai 1962, Lekra
menjadi semakin vokal terhadap
orang-orang itu dianggap melawan
gerakan rakyat, termasuk penulis
dan pemimpin agama Haji Abdul
Malik Karim Amrullah dan dokumen­
tarian HB Jassin. Mereka dikritik oleh
Lekra, termasuk Hamka dan Jassin,
kemudian menanda­tangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada
1963 sebagai respons; setelah Lekra
berkampanye melawan manifesto, pemerintah Soekarno melarang itu pada
1964, dan dikucilkan dalam penanda­
tangannya.
Pada 1963, Lekra mengklaim memiliki
total 100 ribu anggota yang tersebar
di 200 cabang. Selama periode ini,
ber­ada di bawah pengawasan yang
lebih ketat oleh Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta gagal Gerakan
Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020
30 September, yang populer di­yakini telah dipromosikan
oleh Partai Komunis, dan diikuti dengan pembunuhan
massal, Soeharto pengganti Soekarno dan pemerintah Orde Baru melarang Lekra bersama-sama dengan
organisasi-organisasi komunis terkait lainnya.
Penulis prosa Lekra umumnya dipengaruhi oleh aliran
sastra realisme sosialis. Namun, pengaruh Lekra menjadi
semakin propagandis. Sebagian besar karya yang diterbitkan adalah puisi dan cerita pendek, dengan novel yang
jauh lebih jarang.
Lekra umumnya lebih berhasil dalam menarik peseni dari
penulis, Tapi sikap vokal terbuka Lekra terhadap penulis
berhaluan nonkiri, digambarkan sebagai mirip dengan
pekerjaan yang mencemarkan nama orang lain, menyebabkan permusuhan abadi dan kepahitan antara penulis
kiri dan kanan, yang pada waktu berbatasan oleh
fitnah. Taufiq Ismail, salah satu penandatangan Manifesto
Kebudayaan dan pengecam keras Lekra, digambarkan
oleh sarjana sastra Michael Bodden telah menggunakan
“interpretasi yang sangat meragukan” terhadap puisi
anggota Lekra untuk membuktikan bahwa Lekra memiliki
pra-pengetahuan tentang Gerakan 30 September, sebuah
usaha untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Bodden menambahkan bahwa kritikus Ikranegara
menolak seluruh tubuh Lekra yang bekerja dalam sejarah
tentang teater Indonesia, tetapi sebaliknya berfokus pada
mereka yang “anti-humanisme”.
Sekelompok akademisi independen, termasuk Keith Foulcher dari Universitas Sydney dan Hank Meier, telah
berusaha menganalisis gaya Lekra dan pengaruh yang
lebih objektif. Pandangan ini juga menjadi lebih umum
dengan kritik pemuda Indonesia.
@ IH - Disarikan dari Wikipedia
25
B e d a h K A R YA
Kritik Pasemon ‘Serat Plerok’
Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Setya
Yuwana Sudikan menilai puisi-puisi Jawa (geguritan) kontemporer dalam antologi “Serat
Plerok” karya Yusuf Susilo Hartono (YSH) mengandung kritik halus terhadap banyak hal.
Kritik halus terhadap politik, etika, dan kemerosotan moral, hidup yang memberhalakan
kebendaan, dan lain-lain.
“K
RITIK secara halus dalam geguritan YSH
tersebut, kalau meminjam istilah Goenawan
Mohamad, merupakan kritik pasemon, sehingga
tidak menimbulkan amarah,” tutur Yuwana yang juga Ketua
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur, tuturnya dalam
diskusi daring Bedah Serat Plerok, yang digelar oleh
komunitas Balai Pemuda Surabaya, Jumat malam,
11 September 2020.
Bedah buku geguritan yang juga menampilkan peneliti
sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo (Yogyakarta) dipandu
dosen FBS Unnes Semarang Ucik Fuadhiyah, ini mendapat
perhatian medan sastra Jawa, baik di Jawa Timur, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jakarta, hingga luar Jawa. Di antara
yang hadir, cendekiawan dan pesastra Prof Budi Darma
(Surabaya), Kepala Balai Bahasa Jatim yang baru Dr Asrif,
26
pesastra dan pewarta Eka Budianta (Jakarta), peteater Jose
Rizal Manua (Jakarta), pesastra dan Pemimpin Redaksi
Majalah Jaya Baya Widodo Basuki (Surabaya).
Menurut Yuwana, selain melakukan kritik, YSH dalam
puisi-puisi Jawanya ini, juga melakukan dekonstruksi atau
memberi pemaknaan ulang terhadap aksara Jawa ha na ca ra
ka. Baik dengan diksi yang bisa dipahami maknanya,
maupun belum ada artinya dalam kamus. Hal yang disebut
belakangan, mengingatkan pada puisi-puisi bahasa Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, meskipun proses dan dasar
pikirnya berbeda. “Geguritan-geguritan hasil perjalanan spiritualitas Yusuf ini terasa khas. Penggunaan metafornya khas
dia, dan tidak ditemukan pada puisi Jawa lainnya,” tandasnya. Seraya berharap dapat menginspirasi kalangan sastra,
khususnya pesyair-pesyair muda dalam mencari kebaruan.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Prof Setya Yuwana Sudikan
Ideolek Baru
Peneliti sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo dalam paparannya mengatakan, Serat Plerok ini upaya YSH mencari kebaruan, supaya sastra Jawa agar tidak beku. Penggunaan diksi
yang belum ada artinya, menurut mantan pegawai Balai
Bahasa Yogyakarta, adalah upaya menyampaikan getaran
jiwa dan ‘ideolek baru’. “Bahasa dalam film fiksi-ilmiah
petualangan AS yang disutradarai James Cameron berjudul
Avatar (2009), juga tidak bisa kita pahami. Itu juga ideolek
baru,” katanya memberi contoh bandingan.
Kumpulan geguritan YSH sebelumnya berju­dul
Ombak Wengi (2011) meraih Hadiah Sastra
Rancage 2012 dari Yayasan Rancage yang
dikelola Ajip Rosidi. Jika dibandingkan dengan
Serat Plerok (2016), corak puisinya
berbeda. Ia sependapat dengan Yuwana,
bahwa karya-karyanya ini terkait dengan
perjalan­an spiritualitas pribadi. Alam bawah
sadarnya menyuarakan kegelisahan, di
antaranya tentang hilang dan kehilang­
an, baik dalam konteks berkebudayaan,
maupun berbangsa. “Dari 58 puisi yang ada,
Yusuf 21 kali menggunakan kata “kelangan”
(kehilangan) , dan 13 kali kata “ilang” (hilang).
Pengulangan ini tentu hal penting,” tandasnya.
Misalnya “tembang kelangan tembung” (nyanyian
kehilangan kata). Lalu bagaimana kalau kita,
kehilangan kata-kata dalam kehidupan global ini?
Nyebal Tetapi Tidak Nyebeli
Ucik Fuadhiyah, memberi kesaksian bahwa
sebagai pembaca dan penikmat geguritan, mem­
baca geguritan YSH dalam Serat Plerok merupakan
kejengkelan sekaligus kenikmatan tersendiri.
Yusuf Susilo Hartono
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
27
B e d a h K A R YA
manusia pada akhirnya akan berpasrah dan
menuju pada Sang Pencipta. Ruwet dari segi
bahasa dan diksi. Tentu saja semua diksi yang
lahir dalam karya tak dapat dimungkiri
memiliki tujuan estetika. “Sejujurnya,
untuk membaca geguritan ini saya perlu
berulang-ulang kata, baris, dan baitnya agar
mendapat bunyi-bunyi yang indah, selaras
dengan ekspresi, dan juga isi maksud setiap
guritnya. Kosakata bahkan kata yang
dihadirkan seringkali tak lazim secara konteks
sintaksis kebahasaan, hal ini menjadi tantangan tersendiri.
Pembaca justru memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi bunyi dan bermain-main dengan diksi-diksi di dalamnya.
Ya, gurit rumit dan ruwet tetapi begitu padat dan sarat
makna. Seperti ciri khas karya YSH yang selalu menulis sesuatu yang revolusioner, visioner, dan kontemporer. Boleh
dikatakan, bagi saya gurit-gurit YSH dalam Serat Plerok ini
nyebal saka pakem, nanging ora nyebeli,” katanya sambil
tersenyum.”***
@ IH - Sumber: YSH
Tak bisa seperti membaca gurit-gurit pengarang lain
ataupun karya beliau sebelumnya, Ombak Wengi, yang dari
sisi bahasa relatif mudah ditangkap baik untuk keperluan
pembacaan panggung maupun pemahaman isi. Berbeda
dari gurit-gurit dalam Serat Plerok. Hampir seluruh gurit
baginya cukup rumit dan ruwet. Dikatakan rumit sebab
gurit-gurit yang ada di dalamnya mengangkat persoalan
kehidupan manusia yang sungguh kompleks, beraneka,
berliku, jempalikan, tetapi sesungguhnya bermuara pada
satu. Sesuatu, Bisa jadi sesuatu itu adalah Sang
Pencipta. Namun betapapun rumit persoalan hidup
28
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Arikel SASTRA
Sebagai Apresiasi pada Pemikiran Sapardi Djoko Damono
Sastra, Citizen, Netizen
Sastrawan, karya sastra, dan pembaca sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada
tiga pihak yang terlibat dalam proses tersebut: sastrawan, karya sastra, dan pembaca.
Sastrawan dan pembaca adalah anggota masyarakat.
M
ereka terikat oleh kelompok sosial tertentu yang
menyangkut pendidikan, agama, adat-istiadat, dan
segenap lembaga sosial yang ada di sekitarnya.
Mereka kita anggap memiliki kaitan-kaitan–kalau tidak
boleh dikatakan keterikatan–dengan konsep-konsep teritorialisme, primordialisme, dan sektarianisme. Sastrawan,
karya sastra, dan pembaca tercakup dalam masyarakat–
semua itu membentuk struktur kesusastraan yang sekaligus menjadi substruktur masyarakat.
Niat sastrawan untuk menyampaikan dongeng, bisa berujud
sebagai puisi, novel, drama, dan cerpen. Dalam bahasa kita,
atau bahasa Jawa yang saya kenal, dongeng mencakup
semua jenis itu–dan bahkan cukup aman dikatakan bahwa
dongeng pada dasarnya mengaburkan batas tegas antara
fakta dan fiksi. Mendongeng bisa berarti menyampaikan
berita yang kita klasifikasikan sebagai fakta, tetapi juga ce­
rita yang biasanya dianggap fiksi. Petualangan Kancil disebut
dongeng Kancil, demikian juga cerita tentang Joko Tarub
yang mengakali bidadari dan Prabu Watu Gunung yang
menaklukkan Kahyangan. Kedua cerita yang disebut terakhir
itu dicantumkan dalam Bahad Tanah Jawi, kitab yang dianggap sebagai sejarah, yang juga mencakup peristiwa-peristiwa yang menyangkut peperangan antara kelompok orang
Belanda, Cina, dan Jawa yang oleh sejara­wan bisa saja dianggap sebagai pernah benar-benar terjadi–yang biasa dikenal
sebagai sejarah. Segala konsep itu pada hakikatnya adalah
bentuk penyampaian belaka, yang memiliki ciri berbeda
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
@ Sapardi Djoko Damono
berdasarkan ujud visual dan auditorinya.
Karya Sastra
Kita mulai dengan benda budaya yang dihasilkan sastrawan. Soneta, sebagai contoh, jenis puisi yang terdiri atas
14 larik, bisa dikelompokkan menjadi beberapa bait; soneta
Petrarka berbeda dari soneta Shakespeare, misalnya. Namun jenis itu disebut soneta tidak hanya karena jumlah lariknya tetapi juga sebab ditata dalam cara pengaturan bunyi
tertentu dalam masing-masing baitnya. Aspek visual puisi
tersebut berubah sama sekali menjadi rentetan bunyi yang
menghapus cara pengaturan aksara, kata, kalimat, larik,
dan segenap tanda baca yang tentunya mula-mula diciptaan untuk menekankan pentingnya aspek bunyi dalam
tampilan visual. Dalam sastra, penemuan dan pemanfaatan
penulisan dan pencetakan dongeng membuktikan bahwa teknologi, yang tidak lain adalah the way people do things, kata
François Sigant, diciptakan agar dongeng bisa disampaikan
dengan cara yang terus-menerus diubah dan dikembangkan.
Di atas kertas atau lembaran yang rata, soneta memiliki ujud
yang tidak akan bisa dibayangkan penyair yang hidup dalam
tradisi lisan, yang pasti tidak akan mampu membayangkan
ujud visual yang rapi seperti soneta.
Pantun berasal dari tradisi lisan yang kemudian kita ‘paksa’
menjadi tradisi tulis. Aspek bunyi yang ketat dalam pantun
kita ubah menjadi unsur-unsur visual yang pada gilirannya
menyebabkan kita mengelompokkannya sebagai bagian
dari tradisi tulis dan cetak. Penataan visual tembang Jawa
yang sangat ketat didasarkan pada karakteristik bunyi yang
dimanfaatkan untuk menjaga agar tembang tidak bisa
disusun menyimpang dari keketatan aturan penulisannya,
tetapi yang justru diterapkan agar bisa dilisankan. Dengan
demikian, tembang adalah puisi visual yang mensyaratkan
penyampaian lisan, berbeda prosesnya dari pantun yang
kita paksa menjadi tampilan visual berdasarkan karakteristik bunyi. Di luar maupun di dalam pendidikan formal,
pantun sekarang ini terlebih dahulu ditulis baru kemudian
dikembalikan ke habitatnya semula, yakni tradisi lisan.
Dalam tembang jumlah larik setiap bait, jumlah suku
kata yang berlain-lainan setiap larik, bunyi akhir setiap
larik yang pasti dan tidak boleh diubah menyebabkannya
menjadi jenis puisi yang sangat rumit persyaratan penyusunan visualnya, yang justru ditata sedemikian rupa untuk
mengon­trol penyampaian lisan yang berkaitan bahkan
dengan penataan nada. Hal yang dengan panjang-lebar telah didiskusikan oleh Walter Ong dalam Orality and Literacy.
The Technologizing of the Word.Bunyi di proses sedemikian
rupa agar memiliki ujud visual, hanya agar bisa dikembalikan ke bunyi lagi. Keadaan yang sekarang ini kita anggap
wajar sebenarnya merupakan proses teknologi yang luar
biasa, yang telah mengubah kehidupan dan keberadaan
kita sepenuhnya.
Menyampaikan Dongeng
Kancil yang berubah-ubah ujud dari bunyi ke tulisan tangan
ke aksara cetak ke gambar ke foto ke gambar bergerak ke
ujud baru yang terdiri atas semua unsur itu tetap saja kita
terima dan tafsirkan sebagai kancil. Teknologi, atau upaya
kita untuk selalu mencari cara baru dalam menyampaikan
dan melakukan sesuatu, telah memaksa binatang kesa­
yangan kita itu untuk selalu berubah ujud. Binatang itu
berusaha dengan mulus berpindah-pindah habitat agar
semakin lama bisa beredar lebih luas, berada di mana-mana dalam ujud yang berbeda-beda. Ia aman-aman saja
menjadi penghuni dunia lisan ketika dituturkan, menjadi
29
Artikel SASTRA
rangkaian aksara di kertas, menjadi gambar yang dibatasi
oleh garis dan ruang dalam komik.
Apakah si Kancil tetap sama, binatang yang itu-itu juga ketika berpindah-pindah habitat? Jawabannya adalah ya dan
tidak. Ia tetap saja seekor kancil, benar demikian. Namun,
teknologi yang kita ciptakan memaksanya untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan habitatnya yang baru.
Dengan demikan tidak hanya ujudnya yang berubah tetapi
juga ‘dongeng’ tentangnya harus disesuaikan dengan
kehendak kita untuk menciptakan teknologi atau cara baru
dalam menyampaikannya. Kancil yang sejak kita ciptakan
sudah memiliki ciri yang ‘aneh’, antara lain bisa berbicara
dan berakal, dalam teknologi yang lebih lanjut bisa saja
muncul dalam penampilan close up dan long shot, seandainya kita tuturkan dalam film. Tokoh tetap Kancil namanya,
tetapi ujud visual, rangkaian persitiwa, dan amanatnya
senantiasa bergeser sejalan dengan teknologi yang kita
ciptakan. Kancil diciptakan oleh sastrawan, diterima oleh
pembaca. Semakin berkembang teknologi yang diciptakan
untuk menyampaikan dongeng, semakin banyak juga jenis
Kancil yang lahir–dan semakin rumit juga cara penerimaan
yang dituntut dari pembaca. Perubahan dari bunyi menjadi aksara adalah proses teknologi yang mahacanggih,
yang telah mengubah hampir segalanya dalam hidup kita.
Sekarang kita tidak memasalahkannya lagi, tidak pernah
memasalahkan mengapa kalau ingin ‘mendengar’ kisah
Kancil anak-anak tidak bisa lagi hanya tiduran menunggu Nenek melisankannya tetapi harus membuka-buka
halaman buku dan menggunakan mata untuk mengetahui
kisahnya. Sewaktu Nenek mendo­ngeng di zaman lampau
ketika kita belum mengenal aksara, ge­rakan literasi tidak
ada, tidak terbayangkan, dan tidak perlu dipikirkan. Sekarang gerakan literasi merupakan salah satu inti kegiatan
sejumlah orang dalam upaya mereka menyebarluaskan
dongeng Kancil lewat aksara, lewat buku, demi terciptanya
masyarakat yang berbudaya. Tanpa keterampilan menulis
dan membaca kita dianggap unlettered, unlcultured–‘buta
aksara, buta budaya.’ Moga-moga saja kita menyadari
bahwa inti masalahnya terletak pada penguasaan teknologi. Tulisan adalah hasil teknologi, itu sebabnya kita dituntut
30
untuk menguasai teknologi yang telah menciptakannya
agar bisa memahami apa yang kita hadapi. Istilah literacy
‘literasi’ diturunkan dari kata letter ‘aksara’–dan tentunya
hanya berkaitan dengan teknologi penciptaan dan penerimaan aksara. Konsep itu bukan sekadar berkaitan dengan
ujud yang kita lihat tetapi menyangkut keterampilan pencipta aksara dalam teknologi yang dipakainya, di samping
kemampuan pembaca untuk ‘membaca’-nya. Bulu angsa,
pahat, bolpoin, mesin tik, dan layar sentuh berturut-turut
mengambil peran utama dalam pengembangan teknologi
literasi selama ini.
Literasi
Dengan demikian, kalau kita masih ingin menggunakan istilah literasi, konsepnya harus diperluas agar bisa menjangkau ‘tata bahasa’ yang diperlukan pencipta untuk menciptakan karyanya. Ketika sekarang penyair menggunakan
komputer untuk menulis, ia harus menguasai ‘tata bahasa’
penciptaannya sedangkan pembaca harus juga terampil
membaca hasilnya. Inilah yang biasanya kita kenal sebagai
melek teknologi, yang tentu boleh juga kita sebut sebagai
literasi digital. Dalam hal ini literasi mempertimbangkan
keterampilan pencipta maupun penerima, tidak hanya
yang menyangkut penerima. Sebagai pembaca, kita harus
pula menguasai literasi digital–sebagai sekadar contoh,
untuk mengendalikan televisi dan komputer diperlukan
literasi yang sederhana, yakni remote control, dan yang
dikendalikan gadget, yakni komputer, yang dituntut adalah
penguasaan tata bahasa yang sangat rumit. Tingkat literasi
kita sebagai pembaca sedikit banyak ditentukan oleh taraf
penguasaan atas gadget itu. Penguasaan atas semakin
canggihnya taraf gadgetry yang ada untuk menciptakan
dan membaca sastra menentukan berapa tinggi taraf
kemampuan membaca kita. Mungkin saja yang kita baca
boleh dikatakan tidak berbeda dari yang kita kenal sebelumnya, yakni jajaran aksara di atas hamparan rata, tetapi
ketika yang kita hadapi dan bisa dapatkan adalah e-book
atau audiobook, literasi yang dituntut dari kita tidak hanya
terbatas pada membaca aksara tetapi juga bagaimana
‘membuka’ bukunya. Dan ‘buku’ akhirnya tidak lagi bisa
didefinisikan sebagai benda budaya yang dibentuk dari setumpuk kertas yang bertulisan tetapi juga mencakup benda
yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kertas. e-book
masih bisa dikembalikan ke habitatnya semula yakni kertas, tetapi audiobook tidak bisa, dan tidak perlu sebab yang
menjadi sasaran bukan penglihatan tetapi pende­ngaran.
Membaca e-book kita kehilangan kertas tetapi tidak kehilangan aksara, bahkan kita masih bisa mengembalikan yang
mula-mula hanya di layar komputer menjadi buku lagi.
Menghadapi audiobook kita tidak lagi mengukur kemampuan membaca dengan penglihatan tetapi ‘mem­baca’-nya
dengan telinga. Apakah dengan demikian audiobook masih
bisa diklasifikasikan sebagai book? Yang jelas adalah bahwa
penyebarluasan buku sekarang ini tidak bisa sekadar
mengikuti teori yang dikembangkan berdasarkan jual-beli
bundelan kertas yang kita kenal sebagai buku.
Citizen, Netizen
Selanjutnya, apakah audiobook merupakan bukti bahwa kita ternyata akhirnya kembali lagi ke Nenek yang
mendongeng cerita tentang Kancil semata-mata dengan
bunyi, tanpa ujud visual sama sekali? Apakah jenis book
itu dengan sendirinya mengembalikan peran dan fungsi
Nenek dalam menyampaikan dongeng? Mendengarkan
Nenek mendongeng tidak memerlukan gadgetry, tidak
hanya karena Nenek bukan gadget tetapi karena hubungan
antara Nenek dan cucunya adalah in real life atau offline.
Namun, konsep offline dan real life masih bisa terus didiskusikan lebih lanjut, tergantung antara lain berapa jauh
kita mengembangkan cara melakukan segala sesuatu demi
keberlangsungan dan kemudahan hidup. Di zaman lampau
ketika Kancil belum diproses menjadi aksara tidak ada buku
dan tidak ada gadgetry, sekarang Nenek bisa mengambil
Kancil dari buku atau layar komputer, tidak hanya dari
memorinya yang terbatas–tentu saja dibandingdengan
storage yang ada dalam komputer. Ketika Nenek menciptakan (kembali) Kancil untuk kita, acuannya terbatas
pada memorinya sebab tidak ada semacam external hard
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
disk untuk otak manusia, tetapi ketika sastrawan sekarang
menciptakan Kancil ia bisa mengandalkan acuannya pada
storage yang tidak ada batas dan jenisnya dalam komputer.
Yang diperlukan adalah penguasaan atas ‘alat tulis’ yang
dikendalikannya. Sastrawan yang menulis di zaman ini
adalah warga suatu daerah, negara, atau kota karena kelahiran atau karena naturalisasi. Kaitan seorang sastrawan
dengan tanahnya, yang bisa berarti negara atau kota atau
kampung, bisa menjadi perhatian penting dalam penelitian
sosiologi sastra. Setiap kali mendengar pembicaraan tentang Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya, yang diutamakan
adalah apa yang dikenal sebagai warna lokal, yang bersumber tidak hanya pada dunia sosial yang menggerakkan
dan digerakkan tokoh-tokoh tetapi juga sastrawan yang
menciptakan dunia sosial itu. Ia hidup sebagai bagian dari
suatu masyarakat yang bisa saja masih terikat pada prinsip
dan masalah teritorialisme, primordialisme, sektarianisme,
kesetiaan pada negara. Ia bisa ‘pulang kampung,’ bisa juga
pindah kewarganegaraan, tetapi di mana pun dia berada
tetap saja dituntut untuk memiliki KTP atau paspor. Bisa
juga ia memiliki dua paspor tetapi tetap saja pada dasarnya
ia menjadi bagian tidak terpisahkan dari paspor-paspor
itu. Gibran Kahlil Gibran, misalnya, lahir di Lebanon tetapi
pindah ke Amerika ketika masih remaja. Ia menulis dalam
bahasa Inggris dan Arab, digolongkan sebagai sastrawan
penting di Lebanon, di Ameri­ka meskipun pernah pada
suatu masa menjadi idola remaja Amerika terutama karena
buku esai-puisinya, The Prophet. Dalam kasus ini prinsip
teritorialisme mungkin tidak dianggap penting tetapi
primordialisme sangat menonjol–yang akhirnya mau tidak
mau membawa-bawa ‘negeri leluhur’ dalam pembicaraan
tentangnya. Sastra menampilkan gambaran kehidupan;
dan kehidupan tak lain adalah suatu kenyataan sosial.
Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam
batin seseorang. Itu semua menjadi utama ketika dalam
studi sosiologi sastra kita mengangkatnya sebagai bahan
kajian. Dalam konsep manusia sebagai citizen hal itu tidak
bisa dibantah lagi, tetapi ketika kita beringsut sedikit demi
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
sedikit ke konsep lain, yakni Netizen ‘warga Internet’, maka
kita berubah menjadi Warga Internet yang tidak mengenal
ius soli atau ius sanguinis dan antara lain karenanya kita tidak dibatasi oleh teritorialisme dan primordialisme. Netizen
adalah orang yang ‘mengabdikan diri’ pada Internet. Bisa
dikatakan bahwa Netizen adalah ‘warga negara’ Internet
meskipun pada dasarnya Internet tidak mensyaratkan KTP
dan kartu identitas semacamnya. Warga negara biasanya
digolong-golongkan berdasarkan posisinya dalam kehidupan sosial dan politik, atau dalam hierarki kelas sosial
dan sekte di samping berdasarkan konsep etnisitas. Netizen
adalah manusia yang tidak terikat pada kasta, teritori,
agama, paspor dan KTP, jenis dan jenjang pendidikan, dan
berbagai ikatan lain yang merupakan syarat bagi kewargainternetannya.
”Imagine”
John Lennon, salah seorang anggota The Beatles, antara
lain mengungkapkan sebuah impian, there’s no countries,
it isn’t hard to do, nothing to kill or die for; seperti yang
dibayangkan dalam larik-larik lirik lagunya yang berjudul
“Imagine”. Dalam ‘impiannya’ dunia ini satu dan dia sadar,
you may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.Harapannya bahwa kita semua ini pada suatu hari akan bergabung dengannya bisa ditafsirkan ada kaitannya de­ngan
zaman Internet ini. Mungkin yang ada dalam pikirannya
adalah khayal belaka, tetapi apa yang sekarang terjadi dan
sedang berproses dalam hidup kita sejak adanya Internet
boleh saja kita menafsirkan apa yang dibayangkan penulis
lagu itu bisa saja telah terjadi. Apa yang disebut-sebut oleh
antara lain Howard Rheingold sebagai virtual community
menyebabkan saya membayangkan sebuah dunia siber
atau digital atau virtual yang mungkin sekali ada dalam
bayangan Lennon ketika menciptakan lagu itu. Virtual
worlds adalah yang paling interaktif di antara bentuk-bentuk virtual community. Di dalamnya kita saling berhubungan seolah-olah sungguh-sungguh hidup sebagai avatar
yang kita ciptakan sendiri dalam dunia yang berbasis
komputer. Saya tidak tahu apakah dalam lirik-lirik Lennon
itu sengaja disisipkan ideologi tertentu–agama atau politik,
misalnya, tetapi suasana dan kondisi yang ada dalam masyarakat Internet sekarang ini mau tidak mau memaksa kita
semakin membayangkannya sebagai ‘dunia nyata’ tempat
kita berkomunikasi lewat berbagai cara antara lain teks,
ikon grafis, bunyi, dan bentuk-bentuk yang dikendalikan
oleh suara dan sentuhan. Tanpa taraf literasi yang unggul
atas gadgetry dan tata bahasa yang rumit yang dituntut
oleh komputer, kita pada suatu saat nanti akan dianggap uncultured dan unlettered ‘tidak berbudaya dan buta
aksara’. Di zaman lampau, ketika nenek moyang kita masih
menggunakan bulu angsa dan kuas untuk menulis karya
sastra, masyarakat tentu belum menyodorkan pilihan yang
tidak terbatas jumlahnya bagi warganya. Sekarang masyarakat virtual yang kita tumbuhkan dan ada di sekeliling
kita mendikte proses penciptaan sastra sedemikian rupa
sehingga hubungan-hubungan antarunsur dalam strukturnya menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali sejumlah konsep yang kita yakini selama ini. Sosiologi sastra
digagas berdasarkan konsep tentang hubungan-hubungan
antara sastrawan, karya sastra, pembaca, dan masyarakatnya. Hubungan-hubungan tersebut membentuk struktur
yang berubah-ubah sebab masing-masing unsurnya selalu
mengalami perubahan. Teknologi, yang tidak lain adalah
the way people do things, terus-menerus dikembangkan
demi kebahagiaan dan kemudahan hidup kita. Masyarakat
terbentuk karena terutama anggotanya mengelompokkan
diri berdasarkan niat untuk berkomunikasi, dan sekarang
kita mengelompokkan diri dalam etnik atau ideologi atau
teritori virtual. Demikianlah maka komunikasi menjadi
landasan dan alasan kebudayaan, bahkan dikatakan bahwa
komunikiasi adalah kebudayaan, kebudayaan komunikasi.
Berdasarkan pemikiran demikian itulah apa yang kita kenal
sebagai sosiologi sastra berkembang menjadi tradisi penelitian ilmiah. Di sekitarkita tersedia data yang tak terkirakan
banyaknya berkat teknologi yang kita kembangkan, yang
bisa membantu kita menjawab pertanyaan, Ke arah mana
lagi kita harus mengembangkan sosiologi sastra?***
@ RNA/ IH - Sumber: https://susastra.fib.ui.ac.id
31
Kisah PESENI
CC Febriyono Terlahir Sebagai
‘The Blind Messenger’
S
Sering menjuarai berbagai kategori,
aktor panggung dan sutradara terbaik di
beberapa judul teater yang ia garap. IKJ
membawanya kepada sebuah keyakinan untuk
agamanya, berkat seorang sahabat Zack Sorga
ia mengenal Islam dan akhirnya memeluk agama
Islam dengan ilmu yang ia dapat dari sahabatnya
itu--semua bisa dilihat di channel YouTube-nya
bagaimana ia akhirnya memutuskan menjadi
mualaf di usia yang muda namun dengan
keputusan besar.
CC Febriyono lahir di Lumajang,
19 Februari 1966 seorang peseni yang
masuk Jurusan Teater IKJ pada 1984.
Pada masa itu, dia sosok yang begitu
humoris dan selalu memunyai
idealisme dan ide kreatif.
32
Setelah lulus IKJ, Febriyono berkembang
menjadi seorang sutradara yang andal di
berbagai stasiun televisi. Beberapa sinetron yang
disutradarai dan sebagai penulis skenario adalah
Sahabat Pilihan, Rumah Bunga, Rumah Seratus
Perkara, Rumah Kami, Tergiur, Jiran, UFO, Kismis
- Kisah Misteri, Leak, Pintu Hidayah, Mahakasih,
Suara Hati Lelaki, Sketsa, dan masih banyak yang
lainnya di berbagai FTV. Pernah juga menjuarai
Festival Film Independen Indonesia 2002 sebagai
film terbaik kategori umum dengan judul Suatu
Siang di Perkampungan Kali Mati Karet Bivak.
Banyak prestasi yang sudah diraih Febriyono,
dalam bekerja ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan selalu mengajak kru filmnya untuk salat
berjamaah tepat waktu. Namun ia juga dikenal
humoris dan sangat konyol. Terakhir saat sedang
sibuk menyutradarai Sketsa, ia meng­alami
glaukoma, penyakit mata yang total merenggut
penglihatannya. Karena keterbatasannya beliau
berhenti dari pekerjaan yang dicintai.
Ujian tak behenti di situ saja dalam keadaan
buta pun beliau ditinggalkan oleh istrinya dan
dia hidup bersama empat anaknya. Ia dirawat
oleh anak tertuanya, Syafira yang saat itu masih
kuliah baru di semester 3. Sedangkan Tania
masih di SMK, Nanda masih di SD, dan Ahsan
lelaki satu-satunya masih berusia tiga tahun.
Pendidikan anaknya berlanjut dengan bantuan
biaya dari kakaknya, sampai akhirnya Syafira
lulus kuliah dan diikuti kelulusan adik-adiknya
dari sekolahnya masing-masing. Beberapa tahun kemudian Syafira pun menikah, sedangkan
Ahsan kini mengenyam pendidikan di kelas 1
SMP di pondok pesantren.
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Dia tidak patah semangat, tetap
mencari alternatif berobat ke mana
saja, untuk menghilang­kan rasa
sakitnya. Padahal menurut dokter,
jika kembali mendapat­kan
penglihatan pun, itu mustahil dengan
metode operasi biasa karena
kondisinya sudah kronis.
Dalam keadaan buta ia tetap salat
lima waktu berjamaah di masjid.
De­ngan tongkatnyalah ia susuri jalan
dari rumah menuju masjid di dekat
rumahnya.
Dia pernah bercerita, kalau dia tidak
mengenal Islam mungkin belum
tentu bisa menghadapi ujian dengan
tawakal dan sabar. Dia juga ke­rap
mengikuti dan berdakwah dari masjid
ke masjid untuk berdakwah. Sejak
Bagi kebanyakan orang mungkin frustrasi menjadi
pilihan­nya. Sudah ditinggalkan istri ditambah dengan
kehilangan penglihatannya. Memang ia sempat merasa
berputus asa, karena yang sebelumnya sebagai pekerja
keras kini ia menjadi tunanetra dengan segala
keterbatasannya. Glaukoma bukanlah penyakit mata biasa,
ia menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
dia merenovasi sebuah Mushala Baiturrahim milik teman­nya,
Sudir, di Bojong Sari, Gang Bhakti. Febriyono yang mencari
dana untuk mushala tersebut. Mushalah itu kini lebih layak
dari sebelumnya.
Febriyono pun membuat akun YouTube yang saat ini
sedang tren. Gagasannya muncul dari julukan yang ia
sematkan pada dirinya “The Blind Messenger”. Hasil dari
diskusi dengan anaknya, Syafira, ia ciptakan seorang tokoh
yang akan digarap yaitu: The Blind Messenger yang artinya
si buta pembawa pesan. Si buta itu membawa pesan
agama lewat channel YouTube-nya sebagai media
dakwah yang unik. Dia mendatangi seorang temannya,
Dana Riza, yang akhirnya mau memproduseri channel
YouTube tersebut. Dana Riza pun membiayai untuk empat
episode. Dengan berbagai konsep hingga akhirnya,
Febriyono dan Syafira berkerja sama untuk merealisasikan
gagasan tersebut.
2008 dia beritikaf di saat break syuting, dan mengajak para
kru untuk salat berjamaah.
Saat sakit dan kondisi buta banyak pula teman-temannya
yang men-support. Dukungan yang luar biasa itu
membuatnya semakin bersemangat untuk berdakwah.
Dukungan itupun ia manfaatkan untuk kebaikan,
33
4
Kisah PESENI
Proses syuting pun dilakukan, Febriyono sendiri sebagai
sutradara, penulis skenario, dan aktor utamanya.
Syuting berjalan lancar meski kadang cukup kesulitan
untuk menyelaraskan antara teknis dengan keinginan sang
sutradara. Selama proses berjalan, dalam pembuatan
konten channel YouTube sudah ada lima video yang
sudah tayang. Dengan berbagai tema kita dapat melihat
bagaimana sosok Febriyono di sana.
Sayangnya, jadwal untuk menayangkan empat episode
itu harus tertunda karena merebajnya Pandemi Covid-19.
Syuting tidak bisa dilakukan karena ada beberapa adegan
scene yang belum disyuting.
Sebulan sebelum 8 Agustus 2020 dia menahan ginjalnya
yang sakit, sehingga dari perut hingga ke kakinya
membengkak. Dia tidak dirawat di rumah sakit,
Syafira yang merawat­nya di rumah. Ketika dia akan dibawa
ke rumah sakit, dia mau salat Ashar yang sebelumnya ingin
buang air besar dulu. Syafira membersihkan, meman­dikan,
dan mem­bantunya berwudlu. Lalu dia duduk di sofa dan
menyempatkan bertakbir pertama dalam salatnya. Tiba-tiba
ia muntah, tidak sadarkan diri, dan disandarkan di
dinding. Febri­yono pun mengembuskan napas terakhirnya di
samping Syafira yang sedang berupaya mengelap keri­ngat
di dahinya. The Blind Messenger kini telah wafat pada 8
Agustus 2020 itu.
Begitu lembut malaikat, atas izin Allah SWT, mengambil nyawa The Blind Messenger yang dikenal sebagai ahli ibadah ini.
Dia adalah orang yang tidak pernah berpikir untuk diri sendiri,
sebaliknya lebih mendahulukan kepen­tingan umat, seperti
merenovasi mushalah dan berbuat baik lainnya. Dia banyak
mengajarkan anak-anaknya dan orang lain, bahwa bersabar,
tawakal,dan ikhtiar harus berjalan beriringan.n
@ IH - Sumber: Syafira
34
34
Semesta Seni
l EdisiSeni
6Semesta
l l
Oktober
l Edisi 6 ll 2020
Oktober lSem
20
Semesta
EdisiSeni
6 ll 2020
Oktober
Komunitas SENI
Ruang Puisi Kita
Dianugerahi
dengan Bertemu
Berbagai Kalangan
Ruang Puisi Kita (RPK) lahir
dari kegelisahan bahwa pada
kenyataannya masih belum begitu banyak
wadah bagi para peminat dan pecinta puisi
untuk dapat menuangkan karya-karyanya.
RPK yang berdiri pada 23 November 2018
ini menjadi alternatif wadah
seni puisi tersebut.
020
mesta Seni
l EdisiSeni
6Semesta
l l
Oktober
l Edisi 6 ll 2020
Oktober
Semesta
EdisiSeni
6 ll 2020
Oktober
l
2020
K
INI para pecinta puisi mulai kembali merimbun,
bahkan di kalangan generasi muda atau yang lebih
dikenal dengan sebutan generasi milenial, minat
pada puisi mulai menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Sementara belum banyak wadah bagi mereka
dalam mengekspresikan karya-karyanya, khususnya di
media sosial.
RPK mencoba mewadahi minat merek tersebut, karena
puisi adalah sarana ekspresi yang sangat kompleks dan
elegan. Dengan puisi kita bisa menuangkan segala ben-
tuk keprihatinan, semua uneg-uneg dari hal yang remeh,
kehidupan keseharian, bahkan hal-hal besar yang mungkin
apabila disampaikan secara biasa akan menyebabkan
konflik atau menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi bila
disampaikan dengan puisi akan menjadi sebuah karya yang
nyaman untuk dibaca, didengar, dan dinikmati.
Karut-marut kondisi sosial, fluktuatifnya keadaan negeri,
intrik-intrik kepentingan yang memuakkan semua pihak,
bisa dikemas dengan elegan melalui karya-karya puisi.
Sehingga kita semua memiliki kesempatan dalam
35
35
Komunitas SENI
menyampaikan aspirasi kita, dengan cara yang bermartabat, dengan tutur kata yang indah dan dapat diterima.
Mimpi besar RPK adalah menjadi tempat ekspresi yang
bukan hanya sekadar karya, namun bisa menjadi workshop-nya para pesyair negeri ini, bengkelnya para pecinta
aksara, yang akan melahirkan pesyair-pesyair baru yang
dapat memberikan warna pada perkembangan Sastra
Indonesia, khususnya di bidang puisi, sesuai dengan moto
RPK: “Karena setiap aksara memiliki makna”.
Komunitas Ruang Puisi Kita awal berdirinya membuat sebuah grup di laman Facebook dengan alamat: https://www.
facebook.com/groups/RuangPuisiKita. Jumlah anggotanya
hingga saat ini mencapai lebih dari 600 orang. Memiliki
36
36
kepengurusan/ admin aktif sebanyak empat orang yaitu:
Ardian, Ossie Helmi, Nenny, dan Vivi.
Selanjutnya komunitas ini merambah ke media sosial lain
seperti Instagram: @ruangpuisikita dan YouTube: Ruang
Puisi Kita.
Mereka ingin menjadikan wadah ini sebagai penampung
berbagai kegiatan seni, khususnya puisi, sastra, dan literasi.
Juga bisa bekerja sama dengan pelaku seni lainnya seperti
bidang seni rupa. Karena mereka yakin setiap seni itu
memiliki kaitan dan saling mendukung satu sama lainnya.
Oleh karenanya mereka kerap mengolaborasikan puisi
dengan musik, visualisasi video, pantomim, sketsa, dan
bentuk kesenian lainnya.
Semesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6 l lOktober
Edisi 6 ll 2020
Oktober
l
20
020
“Semoga kehadiran kami bisa memberikan wadah kreatif
dan juga wadah berkreasi bagi seluruh generasi pecinta
aksara,” harap Ardian tabf diucapkan kepada Semesta Seni.
“RPK hanyalah satu dari jutaan pegiat seni aksara, dan
kami barulah seumur jagung. Kami tidak pernah lelah
untuk menggali ilmu dan terus belajar. Kami sangat
bersyukur karena RPK sangat dianugerahi oleh Yang
Mahakuasa suatu kesempatan untuk bisa berkenalan,
bersilaturahmi dengan bermacam seniman hebat, seniman
baik, yang dengan tulus mendukung kami, memberikan
kami masukan-masukan, memperkenalkan kami dengan
link dan komunitas luar biasa lainnya hingga kami
berkesempatan untuk bisa bekerja bareng dengan para
seniman hebat itu,” tuturnya.
Mereka pun mengembangkan silaturahmi
ke bebagai pihak. Mereka bisa berkenal­
an dengan para peseni di Pasar Senen,
para pelukis di Taman Mini, hingga bisa
berkenalan juga dengan komunitas Sastra
Semesta.
RPK juga sering melibatkan dan dilibatkan pada be­berapa acara, seperti pada
beberapa tahun lalu, ada acara musik
lintas komunitas di TMII, mereka tampil
di sana. Lalu berkenalan dengan para pelukis di Desa Seni, dia antaranya pelukis
Feriendas. Melalui pelukis itulah mereka
dikenalkan dengan Ireng yang pelukis dan
juga membesut acara Sastra Semesta. Lalu RPK bisa tampil
di salah satu pergelaran Sastra Semesta.
Akhirnya RPK bermunculan di mana-mana. Hingga bisa
tampil pada acara mutakhirnya di Peringatan Hari Bahasa
Isyarat Internasional di The Gade Coffee & Gold Balikpapan,
25 September 2020 lalu.
Itulah anugerah yang didapatkan RPK yang akan selalu
dikenang dan menjadi pemacu dalam berkesenian. Mereka
bertekad, sebisa mungkin tetap berkarya dengan
kemampuan yang dimiliki.n
@ IH - Sumber: Ardian
Semesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6 l lOktober
Edisi 6 ll 2020
Oktober
l
2020
37
Kulik MUSIK
S
EDIKIT musisi yang menyukai dan khusus mendalami
instrumen Akordion, dari yang sedikit itu ada musisi
humble bernama Frans Raranta. Ia sering tampil di
beberapa acara kesenian dan ke mana-mana selalu membawa instrumen musik andalannya tersebut.
Alasan Frans memilih Akordion karena Akordion adalah alat
musik yang soliter akustik dan portabel dapat mengiringi
musik bergenre apapun karena memiliki nada yang lengkap
Frans Raranta
Akordion Jadi Instrumen Musik Andalannya
38
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
diatonis dan kromatik.Bermacam ragam jenis Akordion yang Buton
maupun piano organologi. Piano Akordion memiliki tombol-tombol bas
dan chord juga tuts piano ada yang sembilan sampai dengan 120 bas dan
satu sampai dengan 3,5 oktav tuts piano. Dengan Akordion sangat mungkin memainkan chord progresif dan memiliki beberapa jenis suara yang
menyerupai beberapa alat musik gesek dan tiup atau Recoder.
Frans lebih fokus memainkan Akordion pada akhir 1990-an, di sam­ping
alat musik lain seperti perkusi, baik yang tradisional maupun modern.
Baginya, Akordion dapat dimainkan dan dibawa ke mana saja, out door
maupun in door; ukuranya sedang dan tidak menggunakan listrik; dan
memakainya bisa di tempat atau sambil berjalan.
Berbagai acara dan grup yang pernah Frans ikuti, dari Chamber group
intertainmen di hotel, kafe, dan resto; grup-grup reggae, punk, latin,
jazz, sampai dengan tradisi; dan beberapa grup teater, tari, film, hing-
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
ga street art. Pada tahun 2000 Frans sempat mengisi acara anak Pulang
Sekolah di Trans TV sebanyak 73 episode.
Pada 2007 bekerja sama dengan Museum Bank Mandiri dan sempat
buka kelas Akordion. Ikut festival tari Melayu, 2008. Bergabung dengan
grup punk Marjinal, 2010. Pada 2011 dia membentuk grup tradisi Betawi Samrah di Pesisir Marunda Pitungm Cilincing, Jakarta Utara.
Pengalaman lain adakah bermain Akordion dengan 14 alat musik
secara bersamaan bersama Teater Kantor, Grand Final Remaja Ceria,
opening Festival Teater Jakarta Utara. Juga sempat bergabung dalam
Jambore Perupa Pasar Seni Ancol, Seminar Revolusi Mental acara
kementerian dan seniman di Galeri Cipta 1TIM, dan tiga kali mengisi
acara penghargaan FTI-nya Radhar Panca Dahana.n
@ IH
39
Karya PUISI-PROSA
Sulaiman Juned
SIPINSUR MERUNCINGKAN CINTA
Yudhistira ANM Massardi
ini
pagi. Menanam hati di tanah nan runcing
angin—kabut—hujan mengurung gigil dalam
senyap. Memandang pulang Sibandang terasa
hoda-hoda diantar kasih sayang dan cinta
ke ruang kepala
merayapi
jiwa
SELAMAT JALAN, NAKHODA BANGSA!
- Kepada Pak JO
Dalam tubuhmu, darah Sang Guru
Dalam jalanmu, jejak tercetak
Dalam risalahmu, sejarah berubah
Dalam napasmu, sebuah kompas
Petunjuk para pencari arah:
Keseimbangan timbangan
Kebaikan teladan
Gugatan berkelanjutan
Selamat jalan, Pak JO
Guru Bangsa
Nakhoda Kemanusiaan!
Kepergianmu mengabadikan yang sudah dan indah
Warisanmu mengabadikan yang pantas dan cerdas
Kehidupanmu mengabadikan yang lurus dan luhur
Perjalananmu mengabadikan yang tinggi dan runduk
Di pusaramu
Tertabur bunga dan air mata
Di pusaramu
Sang Waktu menunggu, bertemu dan berlalu
Di pusaramu
Yang fana dan baka berkaca
Kepada kata
Kepada warta
Kepada kita
: Agar tak ada yang dilupa!
9 September 2020
: merubuhkan cinta di lembah Bakara.
Karya: Muhammad Nasir l Judul: Jakob
Oetama l Medium: Pinsil di kertas
l Ukuran: 21x30 cm l Tahun: 2018
l
Giyanto Subagyo
ini
pagi. Menanam hati di tanah nan runcing
anak-anak pinggir danau menambatkan bulan dan
matahari
dalam keriuhan
angin.
SAJAK KEPADA ENDO SENGGONO
: seperti kasih sayang dan cinta Ompu Pulau Batu.
Endo Senggono mengembara dari buku ke buku lalu
berumah di kesunyian
ini
pagi. Menyambut kehadiran pada pecinta
menuju cahaya dengan tarian bambu
di tanah yang basah kasih sayang
mempersembahkan sirih
dengan ikhlas
Endo, apa yang kau cari di Taman Hiburan Rakyat yang
penuh dengan topeng-topeng kepalsuan?
Kau bangun cahaya ilmu pengetahuan dari puing-puing
reruntuhan Taman Bacaan
PDS HB Jassin berdiri megah dan indah dengan pilarpilarnya Pancaran Sinar Sastra
Lampu-lampu Taman Seni mulai padam Endo pulang
dalam keabadian
: aku enggan pergi sebab cinta melekat di hati
Ah!
-Sipinsur, 17 Agustus 2020
Jakarta, September 2020
40
Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020
Harry Tjahjono
DARI RADIO AKU BELAJAR MENDENGAR
Dari radio aku belajar mendengar
Lagu-lagu cinta yang memanjakan kenangan
Cerita sandiwara yang memuliakan imajinasi
Berita yang dikabarkan tanpa kebencian
Nyanyian rindu yang mengalir laksana suara ibuku
ketika berulang kali berkata:
jadilah rumput
bukan lumut
jadilah pohon
bukan gunung
yang bertumbuh
dan menghidupi
jadilah semut
bukan gajah
jadilah tawon
bukan kupu-kupu
yang bekerja
dan menghidupi
Dari radio aku belajar mendengar
Suara angin berlarian di reranting akasia ketika istri
seorang koruptor menangisi suaminya yang dipenjara
Air matanya tumpah laksana butiran berlian yang
menaburi giwang, kalung, gelang dan cincin di jemarinya.
Sambil dipapah Ibunya ia berjalan tersedu menuju salah
satu mobil mewah dari sekian puluh hadiah dari suaminya
“Alangkah celaka hidupku ini. Alangkah kejamnya
kenyataan yang kualami,” ratapnya sembari mendekap tas
berisi beberapa ratus ribu Euro dan dollar Amerika.
“Sudahlah, anakku. Percuma saja kamu menyesali yang
sudah terjadi. Jika saja kamu melarang suamimu sejak
pertama kali ia korupsi, pastilah kini hidupmu bahagia,”
kata Sang Ibu menasihati.
Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020
“Oo..., saya bahagia, Ibu. Bahkan ketika pertama kali suamiku
mencuri hatiku, saya sungguh bahagia dan menikmatinya,”
katanya sambil mengelap berlian yang terpercik air matanya.
Dan angin berlarian di reranting akasia. Oo..., kebahagiaan
siapa gerangan yang diculiknya?
Dari radio aku belajar mendengar
Suara suatu masa ketika Ibu seorang koruptor menangis
meratapi nasibnya seraya bertanya: “Bagaimana Ibu harus
menanggung rasa malu setiap bertemu orang-orang yang
tahu bahwa kamu anakku? Bagaimana harus menghadapi
mereka yang menghinakan Ibu seorang koruptor?”
Namun dengan tersenyum si anak memeluk Sang Ibu
seraya berkata: “Ibu tidak perlu cemas berlebihan.
Saya sudah membayar saksi-saksi untuk membuat
akta adopsi yang menjelaskan bahwa saya bukan
anak kandung Ibu.”
Aku mendengar suara suatu masa, ketika seorang Ibu
menangis meratapi nasib yang ditelikung anaknya sendiri.
Dari radio aku belajar mendengar suara Ibu yang berulang
kali berkata:
jadilah cahaya
bukan matahari
jadilah lentera
yang menerangi
dan menghidupi
Dari radio aku belajar mendengar
Suara bintang-bintang di langit
Sudah cukup menjelaskan
Bahwa kamu tidak harus menjadi rembulan
l Karya: Mudji Sutrisno SJ l Judul: Peduli di Saat
Pandemi l Medium: Tinta di kertas/ Desain di
Komputer l Ukuran: 21x29,7 cm l Tahun: 2020
Dari radio aku belajar mendengar
Jakarta, 12 September 2020
41
Karya PUISI-PROSA
Kurt D Peterson
Fanny Jonathans Poyk
KABAR KEMATIAN
Akhirnya kabar kematian bagai salam perpisahan sejenak,
kenangan yang tertinggal mengendap kuat seolah cerita
itu akan terulang kembali. Lalu lambaian tangan dan tegur
sapanya seolah masih terasa, kemarin ia duduk di sana,
kemarin ia masih menulis tentang statusnya, kemarin ada
WA darinya mengirimkan cerita ketika kami menjalin rasa.
Ah kemarin...
Ketika berita bahwa kau pergi untuk selamanya dan kau
yang lain juga berangkat ke luar dari bumi dengan berita
tanpa titik hanya koma, di situ tanya berkelindan di benak,
sakit apakah dia? Apakah hanya flu biasa? Batuk-batuk
biasa? Demam biasa? Tanya itu menjadi beragam jawab
yang tertera dari kata demi kata yang terkadang disertai
curiga, jangan...jangan...
Ternyata dan ternyata semua bukan fatamorgana. Yang
pergi tak akan pernah kembali. Kematian seolah menjadi
deret hitung, esok siapa lagi, esoknya siapa? Maka yang
dekat semakin dekatlah, hapus amarah serta benci di dada,
sebab jika kau, saya atau kamu tiada, ucapan kata maaf
telah sia-sia.
Turut berduka tetanggaku yang tadi siang telah pergi ke
Sang Ilahi, hanya tangis yang tercurah dari mata ke pipi...
ketika aku melewati pagar rumahmu, sapa ramah yang
terucap selalu kukenang, “sehat selalu Bu Fanny...”
Ya, kalimat itu kini yang tertinggal.
September 2020
42
MACET
(Morning poem for Jakarta)
The national ideology lives in the particular sound of sirens.
This is not new.
An infinity of symbols, contorted;
Vehicles and their particular motion
Their human operators
Their shape and evolution seemingly natural,
Seemingly willful.
This, a fallacy not unlike the linearity of time and the subsequent farce of inevitability.
The force of culture and economy
The technological creep and/or leap.
Such an infusion appears God-like where God is the animist
hustle.
God-like where God sits in infinite repose in the corners
of tiny toko toko, legs crossed upon motorbikes parked
beneath freeway supports whose arms wait outstretched
for roads to be built upon their broad shoulders.
God-like where God is presence and force.
God-like where God is a very hungry man with leather skin
and wiggling wheels.
God-like where God appears preyed upon and rises with
infinity of strength.
Will assumed where circumstance is the truest artificer.
Life moves. Desire is itself. These things are inherent.
The degree to which choice
The degree to which fate
The degree to which fortune, misfortune, the other, and
the rest.
Concept. Extraction. Distortion. Replay.
Intentionality and amplification.
I am looking at street signs now in a traffic jam and measuring the distance between remembrance and a sense of the
familiar.
The national ideology lives in the particularities of its
brooms and trucks, bridges built, unbuilt, and in-between.
The national ideology lives in a factory of hands.
The national ideology lives in sun faded facades.
The national ideology lives on wrecked jackets and backpacks, branded city travelers teeming, stranded, streaming
In, of, through, above, below, beyond
And before. Backward even, around bushes and over curbs.
Karya: Wahyu Oesman
l Judul: Perlintasan
l Medium: Cat akrilik di kanvas
l Ukuran: 60x70 cm
l Tahun: 2020
l
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Kurt D Peterson
Mita Katoyo
MACET
SUKA SUKA
(Puisi pagi untuk Jakarta)
bulan boleh terbelah hingga sabit,
dan membiarkan sinar menerpa suka-suka,
tetapi bintang yang acapkali tertelan gelap malam,
tetap milik cahayanya sendiri,
namun tak suka-suka ia bersinar,
redup suatu waktu,
hingga terang sebenderang kejora
Pemikiran bangsa hidup dalam suara sirene yang khas.
Ini tidak baru.
Keabadian simbol, diputarbalikkan;
Kendaraan dan gerakan khasnya
Manusia sebagai penggeraknya
Bentuk dan perkembangannya yang tampak wajar,
Bagaikan disengaja.
Ini, kekeliruan yang tidak berbeda dengan linearitas waktu
dan lelucon tentang apa yang tak terhindarkan.
Kekuatan budaya dan ekonomi
Teknologi yang menjalar dan/ atau melonjak.
26 September 2020
Widodo Arumdono
RESUME TANDA TANGAN SUNYI
Kemauan diasumsikan di mana keadaan adalah seorang
perajin sesungguhnya.
(Untuk rekam jejak Endo Senggono)
Hidup bergerak. Hasrat adalah diri. Hal-hal ini tak berubah.
Tingkat pilihan
Tingkat takdir
Tingkat di mana rezeki, kesialan, yang lainnya, dan sisanya.
Konsep. Ekstraksi. Distorsi. Ulangan.
Intensionalitas dan amplifikasi.
Aku sedang melihat rambu-rambu jalan di kemacetan lalu
lintas dan mengukur jarak antara ingatan dan rasa yang akrab.
Ideologi nasional hidup dalam kekhasan sapu dan truk,
jembatan yang dibangun, belum dibangun, dan di antaranya.
Ideologi nasional hidup di pabrik kerajinan tangan.
Ideologi nasional hidup dalam fasad yang pudar.
Ideologi nasional hidup di atas jaket dan ransel yang rusak,
pelancong kota besar yang berkerumun, terdampar, bergerak
Di, dari, melalui, di atas, di bawah, di luar batas
Dan sebelumnya. Bahkan mundur, di sekitar semak dan di
atas trotoar.
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Karya: Eko Banding l Judul: Penjaga
Langkah l Medium: Tinta di kertas Cannson
l Ukuran: 75x42,5 cm l Tahun: 2020
l
Infusi seperti itu tampak seperti Tuhan di mana Tuhan
adalah iruk-pikuk animisme.
Seperti Tuhan di mana Tuhan duduk dalam ketenangan tak
terbatas di sudut-sudut toko kecil, kaki disilangkan di atas
sepeda motor yang diparkir di bawah penyangga jalan tol
yang tangannya terulur menunggu jalan yang akan
dibangun di atas bahu mereka yang lebar.
Seperti Tuhan di mana Tuhan adalah kehadiran dan
kekuatan.
Seperti Tuhan di mana Tuhan adalah orang yang sangat
lapar dengan jaket kulit dan roda bergoyang.
Seperti Tuhan di mana Tuhan muncul sebagai mangsa dan
bangkit dengan kekuatan yang tak terbatas.
Ia yang pergi
Menggariskan warna pelangi
Antara batu aksara dan tanda tangan sunyi
Menyisir gelombang angin matahari
Ekor cahaya sejati
Melintasi cerlang ilusi dalam degup dunia
yang penuh fantasi
Ia yang pergi
Membungakan atma
Mengamini nafas semesta
Menggarit hakikat
Bagi yang bernama jiwa
Kebayoran Lama, 200920
43
Cerita PENDEK
B
erjubah putih dengan seluruh pakaiannya mele­
bihi dari semua ukuran anggota badannya, berke­
liling di tempatnya bermukim. Barangkali kesendiriannya di sorga itu tak mungkin dibagikannya kepada
orang lain.
Seperti yang telah lewat, semua
makhluk hidup yang telah menyapa­
nya ditanggapinya dengan wajar. Ia
disapa oleh badak, ia mengangguk.
Ia disapa oleh ular, ia menggeleng.
Ia disapa oleh burung, ia melambai.
Karena ia ingin terbang sedangkan itu
tak mung­kin. Sedangkan menurut anggapannya bahwa melambai itu identik
dengan terbang. Pada saat tangannya melambai ia jauhjauh sudah menganggap bahwa pada saat itulah dirinya
telah melayang ke angkasa khayali yang diinginkannya.
Ia disapa oleh semut, ia mengangguk. Ia juga ingin
turut bersama semut untuk berjalan dalam jalinan persahabatan, namun itu pun tak mungkin. Akhirnya pada saat
hidupnya dikungkung oleh kesendirian, itu pun menjadi
biasa dalam setiap tindakannya. Seperti seekor capung
selalu hinggap sendiri di pijakannya, hanya sesekali ia
bergerombol. Setelah sapaan-sapaan itu habis, ia pun
menyapa untuk dirinya sendiri.
Seketika ia berhenti, tak tahu harus bersikap bagaimana. Jawabannya bukan dengan gerakan anggota tubuh. Ia
harus dijawab dengan bahasa diam. Dengan pere­nungan.
Sebab banyak gerakan dirinya, tidak dapat dijawab oleh
kesadarannya sendiri. Untuk itulah, dari hasil sapaan untuk dirinya, ia terpaksa kembali ke masa lampau. Di masa
hidupnya sekarang seperti awal dari akhir, jika ia membandingkannya kembali. Tak akan pernuh bertemu.
Di gurun pasir, kulit kakinya meleleh, ia berjingkrak
pada bumi yang dipijaknya, tak selamanya ia dapat
berbuat demikian. Sekali waktu, ia tak dapat lagi dengan
Surut
@ Anil Hukma
Lelaki itu telah sampai di surga
keinginannya. Ia tak mau
berpaling lagi ke dunianya yang dulu.
Seperti tubuh ayam
yang telah dikuliti bulunya,
semua serba mulus dan tak mungkin
akan melengket lagi seperti sebelumnya.
Apalagi ia telah merasakan penderitaan
seperti di neraka, menurutnya.
Lalu siapa lagi yang
ingin surut ke belakang jika memang
tidak ada paksaan untuk kembali?
Yang terakhir, sejarah tak bisa diubah,
dikembalikan.
44
lincah mengelak dari keinginan-keinginannya untuk lepas
dari panas yang mengungkung.
Ia ingin kesejukan, seperti darat dan air yang saling
menyapa. Ia tak ingin air tumpah menjadi bah yang dapat
menelan tubuhnya bulat-bulat.
“Aku harus melawan,” tekadnya.
“Hai pohon yang kokoh di tengah padang gersang,
bantu aku untuk menghilangkan panas dari kakiku”, daundaun yang memang melambai kencang ditiup angin
gurun seolah menyambut gembira.
“Ada imbalannya setelah itu, “ ia sangat berharap. Sekali
lagi angin gurun bertiup kencang, menghadiahkannya
segumpalan debu halus yang ingin menutupi matanya,
namun hanya bertengger di atas bulu mata. Ia segera
mengatupnya. Bersamaan itu pula, seekor kalajengking
menancap di jemari kakinya. Kelingkingnya mengembang. Ia meloncat karena serangan yang tiba-tiba itu.
“Tolong aku, jangan siksa aku. Pergi...,!” suaranya menan­
dingi guruh yang membawa kilat di atas sana. Ia girang mendengar suara itu. Sedang kalajengking yang tadi menggigit­
nya kembali bersembunyi di bawah gundukan pasir.
Gundukan pasir yang ada di dekatnya itu, tempat di
mana ia berdiri kini, menjelma jadi satu sosok yang utuh.
Permukaan kulitnya kasar seperti butir-butir pasir yang
menyebar satu-satu. Kentara.
“Kau dari mana, kok tiba-tiba ada di sini?” ia bergirang
hati sambil bertanya. Pikirnya, sudah ada kawan bersitatap. Biar tak bercakap asal saling melirik itu sudah menjadi
penawar kesendirian dan ketakutannya.
“Saya dari pasir, dari gundukan-gundukan pasir yang
tersebar di sekelilingmu. Saripatinya saling bersatu, dan
hasilnya adalah sosokku ini.”
“Seperti bukan suara manusia. Asing,” katanya pada diri
sendiri. Saat itu keheranan menguasai pikirannya.
“Saya tidak punya bulu seperti kamu, saya suci” sambil
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
l
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Ilustrasi: Agoes Noor
berucap, sosok itu meraba kulitnya.
“Kulitku kasar, tapi hatiku tidak. Kau de­
ngar suaraku? Lebih halus dari kamu. Tidak
seperti guruh yang kau gertak itu.”
“Suaranya betul-betul lembut” gumam­
nya membenarkan.
`“Seperti irama gurun pasir.”
`“Kau, rabalah kulitmu sendiri. Penuh bulu.
Dan bukan mustahil bulu-bulu itu tumbuh
juga di hatimu. Melekat. Tanpa ada usaha
untuk menghilangkannya,” ia berge­ming.
Sosok itu lalu memperkenalkan diri.
“Nama saya aneh. Sebuah profesi, saya kenalkan? Nama saya adalah Penasihat. Itu bisa
tidak aneh, kalau kau menganggapnya bahwa tidak ada yang aneh dan baru di muka
bumi ini, “ kata-katanya memang dibenarkan
oleh semua yang ada di sekitarnya.
Daun-daun makin kasar lambaiannya.
Debu beterbangan, dan ia sendiri mengangguk sepuluh kali, sekalipun itu sudah
lama diketahuinya.
Berdua mereka melangkah meninggalkan gurun yang panas. Bersisian.
Langkahnya seirama. Di dekatnya si
Penasihat. Ia merasa tak ada lagi panas
seperti tadi. Dan sedikit demi sedikit
bulu-bulunya semakin pendek dan gugur
satu-satu. Ia betul-betul bahagia.
Dalam pengembaraan di padang maha­
luas, ia merasa lelah. Tamparan angin gurun dirasakannya sebagai tamparan yang
memabukkan, seperti jari lentik yang halus
mengelus-elusnya. Memberi kenikmatan.
“Tolong-tolong.. jangan cakari tubuhku.
Perih, ampun,” ia kembali histeris melebihi
teriakannya yang tadi. Tangan-tangan
yang dirasakannya mengelus-elus itu,
membuat ia seperti terlena dan tiba-tiba
saja menjadi kuku tajam, mencakar-cakar tubuhnya. Ia memandang sekeliling.
Namun sosok yang menamakan dirinya si
Penasihat telah lenyap. Sunyi.
Di tubuhnya tertinggal bekas cakaran,
tergores dalam dikulitnya. Ada mengambang darah di atas goresan itu. Ditambah
keringat di tubuhnya meleleh di sekitar
goresan itu. Menambah perih dirinya, baik
rohani maupun jasmaninya karena ditinggalkan oleh temannya si....
Senja merambat. Jingga di barat, di sekitar gurun hanya merah, tubuhnya merah.
Butiran-butiran pasir berkilau. Timbul
lagi dalam pikirannya untuk mengangkut semua pasir-pasir itu dalam karung
yang sembunyi, agar tidak terlihat dari
pandang­an orang-orang. Biar dia sendiri
yang tahu isi karung-karung itu. Karena hanya pasir basah yang diambil dari
sebuah gurun pasir yang jauh tak bertepi.
Siapa tahu menjadi suatu mukjizat, sinar
yang ada di pasir itu, karena senja yang
berkilau, tak akan hilang. Ia bisa kaya raya.
Pada saat ia berpikir yang bukan-bukan
seketika itu pula ada reaksi dari luar dan
dari dalam dirinya yang akan menyakitkan
dirinya sendiri. Kepalanya penting. Ia rebah di pasir, lelah sekali. Akhirnya ia pulas
dalam ketidakmengertian.
Ketika ia bertidur, muncul lagi sosok
Penasihat. Bukan satu, tapi sepuluh, berba­
ring pula mengelilingi si ia yang tertidur
itu. Bintang dilangit berkerlip seperti biasa.
***
45
Cerita PENDEK
46
ringan, semuanyat terasa damai, saat lumut-lumut dan
bulu yang melengket dalam pikiran dan hatinya dihilangkannya satu-satu.
Usaha untuk niat baiknya itu tak kalah susahnya seperti
perjalanan surutnya ini. Barangkali karena tekad yang mele­
bihi luasnya jagad tempat berpijak itu adalah imbalan yang
didapatkan, sekilas dalam hidupnya. Dalam gelap ia meraba.
Namun dari gelap itu pula ia mendapatkan cahaya. Keduanya
Ilustrasi: Agoes Noor
Bersisian lagi mereka berjalan. Penderitaan yang sudah
dialaminya tidak dirasakanya lagi. Ada perasaan damai
dan bahagia pada saat mereka mengembara begini.
“Lebih baik saya kembali?” Ia masih ragu mengambil
keputusan.
“Kau ingin melihat dekat senja yang kedua bagimu? Kita
akan ke bawahnya.”
“Bukankah sekarang kita sedang menuju ke sana!”
“Senja sejati tak akan kita dapat, jika kita tak tahu arah­nya.”
“Bukankah kita sekarang sedang menuju ke barat, ke
tempat senja itu?” tanyanya dengan ragu.
“Kita sedang menuju pada dua senja yang berbeda.
Berapa umurmu sekarang?”
“Saya tidak tahu. Saya tak punya tanggal lahir. Saya
takut menetapkan kelahiran saya. Adakah yang nama­
nya tanggal, hari, jika kematian kita sendiri, kita tak tahu
kapan datangnya” ia berhenti sebentar.
“Ya, kita semua menuju senja itu,” kini ia mulai mengerti.
“Bagimu iya, tapi tidak bagiku”, dengan cepat sosok
yang menamakan dirinya penasihat itu menimpali.
“Lho?”
“Jangan heran. Saya sudah melewati itu. Kau sangat
beruntung.... betapa peristiwa yang baru terjadi yang kau
rasakan itu adalah seperti seribu kali lebih mendera dari
sebenarnya. Sebelum kau kembali...“
Merinding ia seketika. Dalam jubahnya yang panjang, ia
merasa asing dengan dirinya sendiri. Tubuhnya yang kerempeng terbungkus rapi dalam lambaian-lambaian kain putih
dan daun yang setia berlenggok dalam alam yang tak biasa.
Di tengah gurun pada tumpukan pasir kasar itu, ia tak
merasa menginjak pasir bumi. Tergantung dari suasana
hati, kadang merasa panas dalam bara-bara kecil yang
menempel di permukaannya, lalu menjadi runcing seperti
paku. Kemudian berubah menjadi debu halus, halus sekali. Sekali waktu hamparan permadani diinjaknya dengan
l
“Kalian ada di sini? Terima kasih” hanya itu yang dapat
diucapkan ketika terbangun keesokan harinya. Ia melihat betapa sahabat yang ditunggunya itu telah berlipat
ganda banyaknya. Ia heran, rupanya semua sama. Warna
bajunya, ukuran sosoknya.
“Mana teman saya yang sebenarnya. Itukah semua?” ia
akhirnya ragu sendiri.
“Selamat pagi kuucapkan padamu. Bersiaplah” salah
satu di antara mereka berkata.
“Cambuk dia, sebanyak berapa butir pasir yang ada
dalam sebuah karung penuh”.
“Kalau kau tak bisa menghitungnya, semaumu saja”.
Bergiliran mereka mencambuk, si ia tak kuasa berbuat
apapun. Hanya deru cambuk yang mendarat dipantatnya.
Ia membela diri.
“Saya hanya berniat, saya baru berniat, belum melakukannya, dosakah?. Tak ada jawaban. Hanya suara cambuk
yang terus menderu telinganya. Air matanya telah habis
terkuras. Di tengah sesenggukan keringnya ia menyesal.
“Andai kutahu begini, saya tidak akan mengembara, tak
ingin semedi. Saya menyerah. Ampun....”
“Cambuk terus, bila ia selalu tak bersedia menanggung
risiko terhadap tindakan yang dilakukannya,“ perintah
pemimpin para penasihat itu.
Akhirnya ia terkulai lemas, tubuhnya lunglai menahan
sakit yang menderanya. Kembali ia pingsan dalam keti­
dakmengertian.
Angin yang membelai-belai dirasakannya seperti
jemari lentik meraba-raba tubuhnya. Ia terbangun. Se­
seorang lagi telah duduk di sampingnya. Segera mereka
tersenyum dan berangkulan.
“Maafkan saya.” Si Penasihat mengangguk.
“Temanmukah yang tadi mencambukku?” tanyanya hati-hati. Si penasihat tidak mengangguk. Tak ada jawaban.
“Barangkali kau sudah kuat, mari kita melanjutkan berjalanan.”
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
tak berarti, ada malam ada siang, ada gelap ada terang.
Kali ini, dalam gelap, pandangannya tak berarti.
Seakan-akan mata kakinya yang memberinya arah buat
melangkah. Mulutnya terkunci rapat, tak dapat berkata
sepatah katapun. Keinginan yang ada dalam hatinya,
yang segera ia perintahkan kepada anggota tubuhnya
kali ini tak menurut. Ia tak membenarkan tuannya bertindak semaunya. Seharusnya memang sekarang anggota
tubuhnya menderanya dengan tindakan yang berani,
bertentangan dengan keinginannya. Sekarang ia merasa
gamang sendiri dalam kesadarannya yang utuh.
Inilah yang selama ini tak dipercayainya tatkala pada
waktu belianya selalu saja sinis pada petuah-petuah yang
didengarnya dari para orang tua dan gurunya. Biarlah
katanya, apa yang akan terjadi nanti, terjadilah. Dan
sekarang ia telah dibawa ke suatu tempat, buat sedikit
membuktikan dan memberi keyakinan sekarat, bahwa
memang itu benar-benar ada.
Tersadar dari segala rasa yang telah dilaluinya kini.
Dengan setia melangkah bersama. Bersisian. Pulihlah
kesa­maran itu selama ini. ..
Seketika ia bersimpuh di harapan sosok itu.
“Maafkan saya guru, maafkan” sembahnya dengan
sikap sempurna.
“Mengapa kau tiba-tiba memanggil guru kepadaku?
Tidakkah kau sadar sosokku ini?”
“Saya tak peduli, dari apa sosokmu itu. Ya, saya turut
merasakan. Tak dapat kuhitung keuntungan itu.”
Tatkala rasa gembira melenakan segalanya. Ia terus
mengo­ceh. Matanya tertutup tanpa ia sadari.
“Guru, saya tidak ingin kembali.
Sosok yang dijadikannya guru itu, sebagai Penasihat telah
luluh, menyebar di atas butiran pasir. Sedangkan jubah­
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
nya menelungkup di atas hamparan pasir. Tak ada rangka
dan tubuhnya. Ia tak melihat kejadian itu semua.
Ia membuka mata, tanpa mengerti siapa yang meme­
rintah untuk menutup dan membukanya. Sebagai
pening­galan terakhir yang diberikan padanya hanyalah
jubah yang bergerak-gerak di sampingnya.
Kembali kesendirian sempurna datang. Namun ia tak takut lagi menghadapi semua itu. Justru ia ingin cepat tiba
pada kesendirian yang abadi. Tanpa ada dengki, iri hati,
kompetisi, emosi yang terkadang mengalahkan kesadar­
an, ia tak ingin semua itu.
Lelaki itu dari surga keinginannya. Ia tidak mau lagi berpaling pada dunia yang dulu. Namun kedatangannya belum ditagih oleh yang punya kuasa, yang meng’ada’kannya. Ia denganberat hati harus berjalan kembali, pada
dunianya semula. Di padang mahaluas yang dipijaknya,
ia melangkah sendiri. Langkahnya hanya didorong oleh
angin dari segala penjuru, awan memayungi dari terik
matahari.
Setengah perjalanan pulang ke asalnya itu. Jubah yang
dipakainya bersama yang ada dalam genggamannya, ditanggalkannya juga di atas pasir. Namun ia takut ada yang
mendapatkan jejaknya di suatu waktu. Maka dipungutnya
lagi kemudian dilemparkan ke angkasa. Seperti yang
diharapkannya, jubah itu tidak tersedot gravitasi, ia terus
melayang, melambung ke atas, ditarik oleh segumpalan
awan lalu bergabung.
Ia sendiri berjalan terlanjang, jasmani dan rohaninya.
Sebab begitulah ia datang, dari rahim ibunya ia datang,
ke rahim dunianya ia menuju. Jasmani dan rohaninya
betul-betul telanjang.
“Keinginanku sudah terkabul” bisiknya.***
TENTANG
ANIL HUKMA
Anil Hukma Daeng
Sompa mulai menulis
pada ruang Budaya
Pedoman Rakyat pada
1986 ketika masih
pelajar di kotanya. Lahir di Maros 1 September
1970. Anil merantau ke Makassar sejak kuliah
di jurusan Komunikasi Fisipol Universitas Ha­
sanuddin. Dengan du­kungan Beasiswa Penelitian
Kompas ke NTT, skripsi “Kebijakan Redaksional
Harian Pos Kupang terhadap Rubrik Seni Budaya”
dirampungkannya. Karya-karyanya tersebar di
media massa baik lokal maupun nasional. Karier di
bidang sastra seiring dalam dunia jurnalsitisk. Di­
mulai sejak awal 1990 mulai reporter, staf redaksi,
litbang dan redpel di tabloid Identitas surat kabar
mahasiswa Unhas. Meraih juara Lomba Puisi
pada Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Tingkat
Nasional) III 1994 di Denpasar. Terpilih sebagai
Peserta Terbaik II dalam Pendidikan Jurnalistik
Mahasiswa Tingkat Lanjutan di Unibraw, Malang.
Sejak Alumni, pernah aktif sebagai jurnalis di
Tabloid Aliansi (periode Reformasi, 1998 - 2000,
Staf Redaksi Tabloid Madani pimpinan Syahrir
Makkuradde, Staf Redaksi di majalah Expose dan
redaktur pelaksana (2010 - 2013) dan pemimpin
redaksi majalah Aspirasi (2013 - 2017). Anil adalah
anggota Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Mengikuti acara Pertemuan Sastrawan Nusantara IX, di
Padang, Sumatera Barat pada 6 Desember 1997
dan Pertemuan Sastrawan X pada 17 April 1999 di
Johor, Malaysia.
47
G e l i a t S E N I R U PA
Iskandar Surya Putra:
‘Keluhan Akan Menutup
Pintu-pintu Peluang yang Besar’
I
skandar Surya Putra, atau biasa dikenal dengan nama
Iskandar SP, seorang peseni yang berdomisili di Cibinong,
Bogor. Ia mulai tertarik untuk mendalami ranah seni lukis
sejak usia Sekolah Dasar. Di usia 12 tahun, ia memberani­
kan diri mempertanyakan, apakah untuk menjadi seorang
pelukis dibutuhkan sekolah lanjutan? Dengan upayanya
sendiri, ia melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta
untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang berkeras
dalam dirinya itu. Tak ada hal lain yang menarik minatnya,
kecuali untuk dapat menjadi seorang pelukis.
48
dalaman kemeja berkerah untuk kuliah pada saat itu.
Hingga akhirnya, kaus beliau pun hanya tertinggal satu buah,
dikarenakan seluruh kausnya yang lain sudah berubah
menjadi ‘kanvas’ lukisan buah karya latihan yang ia lakukan.
Kang Is, begitu sapaan dekatnya, memulai sepak terjang
kariernya sebagai pelukis pada saat menempuh jenjang pendidikan di Akademi Seni Rupa, Yogyakarta pada 1979. Hal ini
secara tidak sengaja menjadi sejarah dari seluruh kegiatannya yang berlangsung hingga kini. Semasanya menjadi mahasiswa seni pada Zaman Orde Baru, merupakan tantangan
yang cukup berat, di mana untuk mendapat­kan bahan-ba­
han dan media latihan, seperti cat minyak dan kanvas untuk
membuat karya sangatlah terbatas. Tidak semua orang bisa
melakukannya dan bahkan dapat dikatakan termasuk ke
dalam daftar barang ‘mewah’ untuk dilakukan oleh kalangan
mahasiswa dengan jumlah uang sakunya pas-pasan.
Ternyata, metode ini pun menarik kawan-kawan mahasiswa dan masyarakat lainnya untuk mendapatkan kaus
yang berwarna dengan gambar yang bermacam-macam.
Tanpa berpikir untuk mendapatkan laba atau lebih jauh
menjadikannya bisnis, Iskandar pun hanya mensyaratkan
kawan-kawannya ini untuk membawa dua buah kaus
polos, yang mana satu kaus akan dijadikan kanvas dengan
karya lukisan di atasnya, dan satu kaus lainnya merupakan
ongkos untuknya yang sudah memberikan hasil goresan ta­
ngan di kaus yang lainnya itu. Hal ini dikarenakan Iskandar
tetap beranggapan bahwa melukis di atas kaus merupakan
alternatifnya untuk tetap dapat berlatih menggambar. Semakin lama semakin ramai kawannya yang datang, semakin banyak pula ia memiliki jumlah kaus polos yang dapat ia
karyakan kemudian. Berbekal kaus-kaus pemberian inilah,
ia mulai menekuni dunia lukis di atas bahan kaus dan menjualnya. Dan penghasilan dari kegiatannya itu ia gunakan
untuk membayar uang sewa tempat tinggal (kost)-nya.
Dari keadaan inilah ia mulai mencari alternatif media sebagai
bahan dasar pembuatan lukisannya. Kanvas yang dinilai
mewah dan mahal, digantikan dengan kaus-kaus oblong
miliknya sendiri. Bukanlah kaus baru, melainkan kaus-kaus
berwarna polos yang memang biasanya ia gunakan sebagai
Dalam portfolio pribadinya, ia juga pernah bekerja di
perusahaan batik ternama, yakni Batik Keris, pada 1981,
hal ini ia lakukan agar dapat menjalani eksplorasi karya
yang lebih mendalam lagi terutama dalam ranah seni
tradisi guna memperkaya preferensi keseniannya.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Pada 1983, kaus dengan lukisan seperti ini menjadi/ dapat
dikatakan sebuah tren. Meskipun untuk memakai kaus
hanya dapat dilakukan di dalam rumah, karena untuk
keluar rumah diharuskan menggunakan kaus berkerah atau
kemeja. Begitulah kuatnya peraturan di masa Orde Baru
pada saat itu. Namun Iskandar tetap bertekad, apapun yang
terjadi, ia akan tetap melukis di atas kaus dan ber­usaha
untuk menjualnya, yang mana kala itu kaus bergambar
hanya ada dari jenis kaus partai dan juga hasil merchandise
beberapa perusahaan sebagai media pemasaran mereka.
Di tahun yang sama pula, ia mulai mengembangkan
motif-motif lukisannya dengan mengolaborasikan tema
lingkungan hidup. Dalam hal ini, ia juga mulai memikirkan
untuk kebutuhan cat yang lebih bagus untuk bisa menggambar hewan-hewan yang ada di Indonesia, seperti
Komodo dan lain-lain. Perumpamaan ini ia bandingkan
dengan beberapa desain perangko pada saat itu, yang
menggambarkan buah durian, namun malah terlihat
se­perti hewan landak. Begitu minimnya bahan-bahan
untuknya dapat berkarya secara maksimal menjadi kendala
baginya sehingga memberanikan diri untuk mengajukan
beberapa proposal ke pihak luar, demi mendapatkan ku­
alitas cat yang baik untuk dapat menggambar ikon-ikon ini
dengan baik dan tidak mudah luntur di bahan kaus.
Ia bertekad kuat agar lukisannya dapat terlihat sebagai­
mana poster-poster yang memiliki kualitas baik sehingga
dapat dinilai lebih berharga.
Sanggar yang didirikannya pun, yakni Painting on T-Shirt
(POT), mulai beroperasi dan bergerilya melalui pameran
skala kecil-kecilan hingga akhirnya pada 1990-an mulai
bekerja sama dengan kawan yang memiliki modal lebih
untuk dapat membesarkan sanggar POT-nya ini. Dimulai­
nya persediaan kaus yang berlusin-lusin, diundang oleh
pusat Mall Internusa, melanglang buana sampai Amerika
untuk mengajarkan teknis lukisan di atas kaus, juga menggelar pameran di Singapore Expo pada 2000-an. Tak terasa
sanggar yang dibinanya semakin ramai dan besar. Adanya
perbedaan pendapat di antara kalangan pegiat seni lukis di
dalam sanggar pun tak pelak terjadi dan menjadikan sanggar ini sempat bubar jalan. Namun keadaan tersebut tak
menyurutkan Iskandar untuk berhenti atas apa yang telah
dirintisnya puluhan tahun itu. Berbekal kecintaan terhadap
apa yang menjadi ‘jati diri’-nya, tanpa memikirkan apakah
ini akan menguntungkan atau menghasilkan, pada 2003 ia
memulai kembali Sanggar POT dengan gaya yang berbeda.
Ia menyadari bahwa untuk dapat menjalani bidang ini
harus dikembalikan kepada ranah dasarnya, sebagai
seorang peseni, yang terbebas dari batas dan sekat-sekat
ketidaknyamanan.
Sanggar POT ia ciptakan sebagai wadahnya berkarya, dan
dalam berkarya inilah ia menyadari bahwa dibutuhkan
kenyamanan untuk terus berkembang. Karena saat
ketidaknyamanan itu muncul, karya yang diciptakan pun
akan terancam hancur karena kehilangan ruh dasarnya.
Hal inilah yang membuatnya terus merawat Sanggar POT
dari tahun ke tahun.
Di saat kebangkitan Sanggar POT, pola lama ia terapkan
kembali yakni dengan memanggil teman-temannya dan
bahkan menyilakan masyarakat umum untuk dapat belajar
di tempatnya dalam membuat lukisan di atas kaus. Bagi
mereka yang tertarik datang tidak diperlukan untuk
Beranjak ke tahun-tahun berikutnya, 1988, Iskandar mulai
bertemu dengan seseorang yang dapat mengajarinya
untuk membuat cat pewarna sendiri yang dapat tahan
lama untuk dapat disapukan pada bahan kaus.
Iskandar tetap mempertahankan kaus sebagai media
“kanvas”-nya agar dapat tetap bersinergi dengan orangorang awam. Ini juga merupakan landasan ia terus
mengembangkan usahanya pada material ini, karena bila
ingin menyosialisasikan lukisannya ke kalangan bawah,
maka bahan kaus akan dapat lebih dekat dan diterima,
ketimbang kanvas yang dirasa terlalu mewah dan mahal.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Di depan beberapa karya lukis yang menggunakan cat POT.
49
G e l i a t S E N I R U PA
membayar, jadi dapat dikatakan mereka mendapatkan
workshop gratis sebagai bekal promosi juga ke depannya.
Mereka hanya diharuskan membawa sendiri kaus yang
akan dilukis, dan setelahnya akan mendapat cat gratis dan
tentu saja pengarahan dari Iskandar untuk mulai melukis.
Berkembang kemudian, datanglah tawaran kepadanya
untuk mengajar di sekolah-sekolah. Namun untuk hal yang
satu ini, ia tetap memberlakukan profesionalisme yakni
adanya biaya kontribusi dikarenakan pastinya ia akan
mengajak beberapa pegiat lukis lainnya untuk dapat
melaksanakan kegiatan ini. Tidaklah dengan biaya yang
besar untuk mendapatkan pengalaman melukis di atas kaus
ini bagi sekolah-sekolah yang mengundangnya. Bahkan
dapat dikatakan dengan perhitungan yang kasat mata,
mungkin nilai kontribusi yang diberikan tidak juga cukup
untuk menyediakan peralatan seperti bahan kaus, cat, dan
tentunya membayar tenaga-tenaga mentor lainnya, termasuk akomodasi dan transportasi mereka. Namun inilah yang
ia maksudkan dalam kecintaannya terhadap karya yang
dikerjakannya, di mana ia tidak mengejar materi sebagai
tolok ukur keberhasilan, melainkan sejauh mana mereka
dapat menikmati proses dalam pembuatan karyanya itu.
Iskandar merupakan seorang peseni yang memiliki pola
pandang mendalam ke dalam kehidupan di mana ia berlaku
sebagai seorang peseni. Di sela-sela penjelasan sepak
terjang kariernya sebagai pelukis, ia kerap kali membu­
nyikan banyak filosofi hidup dalam berkesenian. Terdapat
beberapa prinsip yang sebenarnya cukup mendasar yang
dapat dite­rapkan, terutama bagi pegiat seni muda dan
pemula, bahwa seni tidak pernah membebankan pelaku­
nya. Seluruh kendali kembali kepada diri kita masing-masing
untuk dapat mengon­trolnya, kapan ia akan dimulai, kapan
ia akan di­rehatkan, atau bahkan kapan ia harus dihentikan
karena seni tidak memiliki garis akhir, maka dari itu semua
dikembalikan ke diri masing-masing. Pun jauh menelisik asal
mulanya berkecimpung di ranah seni hingga ber­kembang
50
menjadi usaha yang menghasilkan adalah jauh dari bayang­
an beliau, karena baginya seorang peseni tidak akan berpikir
untuk apakah ini akan menjadi bisnis yang bagus kelak,
semua ia jalankan melalui proses saja. Ke mana proses itu
akan membawanya dan akan sampai pada di titik mana.
Bagi­nya peseni adalah untuk meres­pons secara konseptual
nilai moral dan mengatur nilai-nilai teknis tanpa muluk-muluk menciptakan perhitungan, sehingga hal yang berkaitan
dengan budaya konsumerisme untuk pertanyaan bagaimana
cara menjadi peseni yang kaya (harta) seringkali hanyalah
sebuah guyonan. Pernyataan ini pun serupa dengan cara
Produk cat POT
pandangnya yang sangat tidak setuju pada anggapan saat
memilih menjadi peseni, maka selanjutnya ada keterkaitan
untuk menjadi kaya atau miskin. Padahal konsep seperti ini
tidaklah berpengaruh terhadap profesi apa yang ditekuni.
Latar belakang seseorang pun tidak dapat menjamin
seseorang itu akan menjadi apa nanti. Semua hanya terjadi
melalui jalan proses, dan sejauh mana kita dapat menikmati
proses itu sendiri. Proses yang menentukan akan bagaimana
ke depannya.
Berbincang dengan Iskandar menyadarkan kita akan
banyak hal-hal mendasar tentang menghidupi
kehidupan kita sendiri, namun secara khusus beliau
berpesan kepada para pelukis generasi muda, agar dapat
mengembalikan pertanyaan kepada dirinya sendiri
untuk apakah benar-benar ingin masuk, menyelami, dan
menghidupi ranah seni atau hanya karena terjebak dan
terpaksa untuk terjun ke dalamnya? Sejauh mana
niatnya, karena untuk dapat berkomitmen dalam dunia
ini haruslah siap dengan segala konsekuensi yang harus
dihadapi. Namun bila memang belum siap, pasti akan
terlihat bahwa ia hanya akan menyalahkan kondisi di
saat tidak terjadi apa yang diinginkannya itu. Dan
kembali lagilah untuk menikmati setiap perjalanan
proses yang ada. Tidak perlu terburu-buru memban­
dingkan dengan peseni atau pegiat lukis lain dengan
ketenaran namanya, karena pun yang dijadikan
panutannya pastilah melalui sebuah proses panjang
sebelum berada pada titik ini.
Hal lainnya yang disampaikan mengenai dasar menghidupi
kehidupan ini adalah untuk pantang terhadap keluhan,
karena percayalah saat mengeluh akan tertutup pintu-pintu peluang untuk kita bergerak lebih besar. Juga janganlah
menjadi seseorang yang terlalu menakutkan perhitungan di
awal langkah, karena saat pikiran hanya dapat melihat sekian ratus kilometer ke depan, percayalah bahwa hati akan
dapat menjangkaunya lebih dari puluhan ribu kilometer.
Saat ini Iskandar sedang memperbesar sanggarnya dengan
menambahkan ruang kedai kopi yang juga memberdaya­
kan warga sekitar untuk dapat andil dalam usahanya
tersebut. Ke depannya, ia bercita-cita agar Sanggar POT
dan kedai kopinya ini dapat menjadi tempat berkesenian
yang tidak hanya untuk kelompoknya, namun juga untuk
teman-teman pegiat seni lainnya, agar semangat berkesenian dapat terus tumbuh tidak hanya di generasinya namun
juga tumbuh pada generasi muda dan setelahnya kelak!
@ Fhsale
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Pergelaran SENI
Persiapan Pertunjukan
Opera Batak
Putri Lopian:
Tanah dan Tumpah Darah
Demi mempertahankan tanah kelahiran, luka, darah, dan nyawa
rela dikorbankan. Ketika hal ini memang harus diperjuangkan.
Apakah balasan akan diterima oleh dirinya, atau bisa saja akan lenyap ditelah sejarah.
“Among telah berjanji lebih baik mati berkalang tanah, daripada mati di tangan kalian”.
U
capan itu terus terngiang di telinga, terus
merasuki jiwa dan tidak pernah berhenti. Seketika
kita digiring ke sejarah yang panjang, perjuangan
anak dan ayah yang tidak akan hilang. Lopian mengubah
perspektif kalau seorang perempuan juga dapat menjadi
bagian dari sejarah perlawanan kolonial, hal ini dilakukan
melalui pertunjukan Opera Batak yang dilaksanakan pada
17 Oktober 2020 pada Festival Ulos di Pangururan
Sumatera Utara.
Sebagai trilogi yang berangkat dari kisah Sisingamangaraja
XII, pertunjukan ini dilakukan atas Dana Hibah DIKTI P3S ISI
Padangpanjang bekerja sama dengan Pusat Latihan Opera
Batak (PLOT). Sebagai ketua peneliti Sulaiman Juned
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
@ Ubai Dillah Al Anshori
(dosen Prodi Seni Teater), beranggotakan Rosta Minawati
(dosen Prodi Televisi dan Film), Enrico Alamo (dosen Prodi
Seni Teater), dan Sherly Novalinda (dosen Prodi Seni Tari).
Pada pertunjukan ketiga dengan judul Boru Lopian, Ulo
Porang Tano Batak karya Sulaiman Juned dan Thompson
HS, yang disutradarai Enrico Alamo, ini lebih difokuskan
pada kehidupan boru Lopian sebagai anak dari Sisinga­
mangaraja XII yang mempertahankan dan memegang
teguh pendirian Among, untuk membela masyarakat sekaligus siap mati di tangan penjajah. Dirinya memilih untuk
ikut berperang, berdiri di sebelah Among, demi mengubah
kedudukan perempuan yang tidak hanya berada di rumah.
51
Pergelaran SENI
Walau keadaan telah terpuruk, Lopian memberikan
perlawanan melalui dialog-dialog tegas. Bahwa
penjajah tidak akan pernah menyurutkan darah kami
untuk bertahan di tanah ini, suasana tersebut dibantu
dengan musik yang membangkitkan perlawanan, haru
dan juga sedih, bahkan digunakan sebagai kekuatan
dari pemeran untuk menyampaikan pesan-pesan
kepada penonton. Musik yang digunakan dalam
pertunjukan ini dengan dua gaya. Pertama, musik
tradisi yang memakai alat-alat tradisional yaitu:
Panggora, Gordang, Doli-doli, dan Hapetan. Dimainkan
oleh I Dewa Nyoman Supenida, Sriyanto, dan
Oktavianus Matondang. Kedua, musik efek yang
52
digunakan dengan alat modern (digital efek). Musik
tersebut sebagai ilustrasi di saat pembuka pertunjukan,
konflik, dan adegan-adegan penting agar membantu
membangunkan nilai dramatik dalam pertunjukan yang
dimainkan oleh Dharminta Soeryana.
Pertunjukan Opera Batak yang telah berjalan selama
tiga tahun berturut-turut ini dimulai dengan judul
Sisingamangaraja XII, Tongtang I Tano Batak pada 2018,
Ugamo Malim, Horja Bolon pada 2019, dan pada tahun
ketiga ini dengan judul Boru Lopian, Ulu Porang Tano
Batak. Pertunjukan ketiga ini akan menjadi penutup
atas trilogi perjalanan panjang Sisingama­ngaraja XII.
Sebagaimana sejarah akan ditarik-ulur agar menjadi
perbincangan yang tak pernah selesai dilisankan.
Sebagai bagian dari sejarah dan seni pertunjukan, Opera
Batak tidak terlepas dari keadaan masyarakat penikmat,
pelaku dan penyelenggara. Menelisik ke dalam keadaan
dan perjalanan Opera Batak yang dibawakan Tiliang
Gultom pada abad 20 yang lebih mendekatkan pada
keadaan tradisi dan ritual. Saat ini pertunjukan tersebut
mulai memasuki masa-masa yang lebih maju dan
meningkat. Seperti pertunjukan yang juga pernah
dibawakan oleh Lena Simanjuntak, Thompson HS, dan
beberapa peseni lainnya. Adanya nuansa yang baru atas
pencarian Opera Batak agar tidak terlindas oleh zaman
yang terus berkembang.
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Beberapa adegan dalam pertunjukan sebelumnya.
Pertunjukan yang disutradarai Enrico Alamo ini
memberi­kan transisi atas ideologi perempuan yang ingin
menjadikan dirinya sebagai salah satu kekuatan agar
seluruh masyarakat (kaum) perempuan mampu menjadi
kuat dan tidak tersiksa atas kolonial. Melalui adeganadegan yang memberikan nuansa perlawanan Lopian
yang diperankan oleh Eli Susanti dan dibantu dengan
gerakan-gerakan tor-tor serta silat, seperti peperangan,
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
penyampaian pesan yang memiliki stigma perlawanan
diperankan Sherli, Lovia Tri Yuliani, Silvi, Velia, Oki Satria,
Dendi, dan Tim PLOT.
Sebagai bagian dari pertunjukan Opera Batak tentu hal
tersebut tidak muncul dari yang sesungguhnya (asli).
Sehingga, menjadikan pencarian agar keadaan yang lebih
dekat dengan ketubuhan, kebaruan hadir sesuai dengan
keinginan sang
sutradara. Terlepas
dari adegan, kekuat­
an narasi puitis dan
lugas menjadi pokok
penting dalam
menyampaikan
pesan, dua keadaan
yang didapatkan
Lopian atas diri­nya
sendiri sebagai perempuan dan kekuatan sosok Among
yang terus terpatri
dalam jiwanya. Sehingga sebagai penutup
pertunjukan dipilih salah satu aspek tersebut
“Di tengah hutan ini telah terjadi sesuatu. Suatu peristiwa
menjelang senja. Senja kelabu, yang pernah pedih dan pilu”.
Pertunjukan Opera Batak Boru Lopian, Ulo Porang Tano
Batak tidak terlepas atas upaya meningkatkan,
memperkenalkan dan melestarikan salah satu pertunjukan
tradisi yang mulai tergerus serta tertatih-tatih mencari
jati dirinya kembali, sebagai tim yang tidak mungkin bisa
dilepaskan untuk memberikan upaya keberhasilan
pertunjukan dengan Pemimpin Produksi: Rostaminawati;
Koreografer: Sherli Novalinda; serta Komposer: IDN
Supenida, Sriyanto, dan Rosmegawaty Tindaon. Beberapa
pemeran pertunjukan ini adalah: Tya Setiawati sebagai
Boru Pandiangan, Rostaminawati sebagai Rimpu, Gian
Sabilillah sebagai Rior Purba, Sulaiman Juned sebagai Matsawang, Dharminta Soeryana sebagai Partakki, Saaduddin
sebagai Kepala Pasukan Belanda, Dendi dan Oki S sebagai
anggota pasukan, serta yang terakhir Thompson Hs sebagai Sisingamangaraja XII.***
53
Legasi SENI
Mengenang Ulang Tahun Glenn Fredly 30 September
Renjana Tak Pernah Sirna
Saksopon tiupan
Nicky Manuputty
itu meraung, melengking
menyayat rasa.
Lagu Kasih Putih itu
mengajak ratusan pasang mata
yang ada di Gereja Protestan
di Indonesia Bagian Barat
Sumber Kasih, Lebak Bulus
itu langsung bernyanyi
dengan berderai air mata.
Bak koor massal
dalam sebuah konser,
suara parau pelayat itu
mengantar kepergian
Glenn Fredly
menuju surga.
A
IR mata berlinang, pikiran menerawang, yang tampak hanya mata tergenang dibalut masker
pelindung tampang. Badan gemetar, suara yang
biasa cetar jadi sembar. Suhu tubuh jadi luruh.
Tangis tiada henti dari keluarga, rekan dan sejawat itu
menjadi penanda kepergian Glenn Fredly untuk selama­
nya. Glenn musisi romantis itu telah menuju surga 8 April
2020. Ia meninggal di usia 44 tahun. Empat hari sebelum ia
meninggal, Glenn merayakan ulang tahun istrinya, Mutia
Ayu. Glenn meninggalkan anak semata wayangnya hasil
pernikahan dengan Mutia yang masih berusia 40 hari.
Glenn tak menyembunyikan kebahagiaannya memiliki
putri pertama. Sampai-sampai di Festival Bekasi 29 Februari 2020, di atas panggung Glenn berseru kepada penonton,
“Putri pertama saya, Gewa Atlana Syamayim Latuihamallo
lahir bersama generasi kakak-kakaknya yang peduli masa
depan, yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Saya percaya
pada kalian semua.” (Dikutip dari akun IG https://www.
instagram.com/p/B-8lXIchWsn/)
Glenn bukan sekadar musisi, pencipta lagu, produser film,
tetapi Glenn juga adalah aktvis kemanusiaan. Ia telah
mendermakan hidupnya hingga akhir hayatnya untuk
kemanusiaan.
“Agama Glenn adalah kemanusiaan karena kemanusiaanlah
yang menjadi spiritnya,” kata Menteri Agama (2014 - 2019),
Lukman Hakim Saifuddin, saat menyampaikan ungkapan
54
@ Ulin Yusron
duka cita berpulangnya Glenn ke pangkuan Bapa di Surga.
Perkenalanku dengan Glenn belum lama. Mungkin baru
satu dasawarsa. Tetapi banyak pengalaman dan kerja
bareng yang sangat bisa dikenang. Di balik proses karya
lagu-lagunya yang romantis dan mengaduk perasaan itu,
terselip watak pantang menyerah dan semangat tiada kira
untuk sebuah perubahan. Di lingkaran kawan-kawan industri musik, film, dan hiburan lainnya semua orang tahu kalau
Glenn adalah seorang aktivis social movement.
Sering ia berucap, “Revolusi Cinta, Revolusi Wangi”. Begitu­
lah ia ingin membungkus romantisme menjadi bara untuk
menggerakkan anak muda. Di balik kalimat yang sering
ia ucapkan di panggung, “Kita memasuki waktu Indonesia Bagian Galau.” Glenn selalu ikuti dengan menjelaskan
perbedaan galau dari prihatin. Galaunya anak muda adalah
selalu diikuti dengan usaha dan inisiatif. Sementara pengertian pribatin, menurut Glenn, hanya berhenti di perasaan
tanpa tindakan. Glenn sangat percaya anak muda adalah
sumber perubahan.
Dari sekian banyak peristiwa perkawanan dengan Glenn,
satu peristiwa yang tidak pernah terlupa saat ia mengajakku bertemu di parkiran Jakarta Convention Center. Mase,
begitu ia sering memanggilku, kamu ke sini ya di JCC.
Kamu dengerin album baruku. Ia menunjukkan CD kosong
yang beberapa bulan kemudian diberi nama album Luka
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Cinta dan Merdeka. Di album itu lagu Renjana, Sabda Rindu,
dan lain-lain kemudian jadi populer. Termasuk dalam album
itu adalah lagu cover: Malaikat Juga Tahu. Kubilang aku
suka lagu Renjana dan Sabda Rindu. Kalau lagu Malaikat
Juga Tahu, tidak terlalu kaget, meski lagu lama dari lagu
Dewi “Dee” Lestari, tetapi punya sentuhan yang berbeda.
Ketiganya bakal ngetop!
Perkawananku dengan Glenn cukup unik. Kita berbicara
musik, film dan sosial-politik. Satu dasawarsa ini kita selalu
sebiduk perahu dalam gagasan, pemikiran, dan gerakan.
Aku mengenang Glenn sebagai pejuang tangguh yang
selalu menemani kemanusiaan dan perubahan.
Glenn itu tukang ngumpulin orang. Glenn bisa mempertemukanku dengan mantan aktivis DI/ TII yang sudah
insyaf. Glenn bisa diajak main bareng untuk kampanye
kemanusiaan, kasus Orang Hilang, manggung di acara
GusDurian, kampanye lingkungan, dan lain sebagainya.
Glenn memang selebritas tersohor, tetapi ia tidak pernah
terpisah dari kehidupan manusia pada umumnya. Ia bisa
membagi perkawanannya dalam folder-folder terpisah.
Tidak heran Glenn bergaul dengan segala kalangan,
melintasi batas teritorial, suku, agama, dan ras.
Selain musisi dengan segudang karya Revolusi Wangi,
Glenn adalah pegiat isu kemanusiaan. Dari sekian banyak
kegiatan kemanusiaan Glenn, daftar di bawah ini hanya
sedikit yang kuingat, yang kita bergiat bersama:
•
Terlibat dalam kampanye menggugat pelanggaran
HAM masa lalu
•
Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus
97 - 98
•
Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus
Trisakti
•
Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus
Semanggi I dan II
•
Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus
Orang Hilang
•
Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus
Munir
•
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
Terlibat dalam kampanye Pembebasan Tapol
Papua dan Maluku
•
Terlibat dalam kampanye antikorupsi
•
Terlibat dalam kampanye keberagaman dan
kebebasan beragama
•
Terlibat dalam kampanye antiterorisme dan
membantu program deradikalisasi
•
Terlibat dalam kampanye Go Green
•
Terlibat dalam kampanye Bali Tolak Reklamasi
Teluk Benoa
•
Aktif menyuarakan “Ayo Kembali ke Timur”
untuk mengajak memajukan Indonesia Timur
Ada sepenggal kisah ketika Glenn berkunjung ke rumah
orangtua Bimo Petrus di Malang, Jawa Timur. Bersama
aktivis lain, Glenn memberikan dukungan kepada keluarga
Utomo Rahardjo, yang hingga kini masih setia menanti
akhir cerita penuntasan kasus penghilangan paksa
atas anaknya.
Pada 1997 - 1998, Bimo Petrus, Herman Hendrawan, Wiji
Thukul, Suyat, dan sejumlah aktivis penentang Orde Baru
lainnya, menjadi korban penculikan. Hingga kini mereka
masih hilang dan belum kembali pulang. Glenn tidak menghindari menjadi bagian dari kampanye “Melawan Lupa”.
Di bidang musik dan film jejak Glenn jelas banyak, sekadar
menyebutkan ia penggagas Konferensi Musik Nasional
dan aktif dalam Ambon City of Music. Pendiri Musik Bagus.
Salah satu inisiator M-bloc, bersama Tompi, Sandhy
Sandoro membuat Trio Lestari dan masih banyak lagi.
Mengenang wafatnya musisi sebesar Glenn, juga
mengingatkan kita pada hari lahirnya yang jatuh pada
30 September 1975. Seperti pengabdian pada dunia musik,
untuk mengenang hari lahirnya di tiap 30 September, Glenn
selalu membuat konser yang dipersembahkan untuk para
55
55
Legasi SENI
musisi lain yang telah mendedikasikan hidupnya untuk
menghibur masyarakat dengan kemampuan olahsuara,
dendang tembang.
Sayang Tuhan berkehendak lain, konser 25 tahun Glenn
berkarya pada 2020 ini tak pernah terealisasi. Glenn telah
menghadap Bapa di Surga.
Semasa hidupnya Glenn telah mempersembahkan konser
Tanda Mata. Tercatat Konser Tanda Mata: Ruth Sahanaya,
Slank, Yovie Widianto, Koes Plus.
Lima bulan lebih musisi pejuang kemanusiaan itu telah
pergi. Di mata Ame Hutami dan Sasa Sabilsa Diara, Glenn
adalah sosok inspiratif. “Kakak yang penuh mimpi namun
bukan pemimpi. Berbuat dengan penuh bukti sepenuh
hati, penuh perhatian dan dukungan bukan karena kasihan,
penuh cinta akan Tuhan, negeri dan sesama,” tutur Ame,
rekan kerja Glenn di banyak proyek musik termasuk di
Konferensi Musik Nasional.
Sementara Sasa Sabilsa Diara, sepupu Glenn mengenang
Glenn sebagai kakak yang hangat. “Saya sangat sayang
sama Kak Glenn, bukan karena dia seorang musisi hebat
dan lagunya menemani hidup kita, tetapi karena dia
seorang kakak yang sangat hangat. Yang jelas, beliau punya
hati yang besar untuk mengampuni orang. Dia role model
saya, dan dia selalu menjadi tempat saya curhat setelah
Papa saya tidak ada. Beliau pernah berjanji ingin
mengantarku ke altar saat menikah. Walaupun sekarang
fisiknya tidak ada, saya akan bawa semangat manisnya
dalam hidup saya,” tutur Sasa.
Meski terhitung punya hubungan keluarga, Sasa
merasakan cara Glenn mendidik. “Seorang yang
mengajarkan saya untuk berproses. Memunyai kakak
seperti dia yang punya banyak akses, bukan berarti bisa
cepat dalam berkarya. Tetapi dia menunjukkan bagaimana
kita mengenal diri sendiri selama berproses,” kata Sasa.
Atas nama langit dan bumi Glenn Fredly adalah orang baik.
Meski ia telah meninggalkan kita semua bertemu dengan
Tuhan Yang Mahakuasa, namun jiwa dan karya-karya Glenn
akan terus abadi di hati kita semua.
56
Sesungguhnya kematian bukanlah Selesai-nya kehidupan
tetapi siklus Kembali ke Awal. Sang Renjana tak pernah
sirna. Sabda Rindu-nya tetap jadi pandu Romansa Masa
Depan. Damailah di sana, Glenn, kawan gerilya!
Untuk mengenang kawan Glenn, inilah timeline jejak karya
Glenn di bidang musik. Mengapa hanya musik, sebab
menyusun jejak kemanusiaannya terlalu banyak untuk
disebutkan:
https://www.ulinyusron.com/glenn/timeline/embed/index.
html?source=1F0mv1pwEUp8xEkp4cOATN6Ei30cilRyPNZKxay2t2_M&font=Default&lang=en&initial_zoom=1
TENTANG ULIN YUSRON
Ulin Yusron adalah mahasiswa Penciptaan Seni, Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, dan pegiat media
sosial dengan vloger #Jalania ~ Jalan-jalan Ceria,
sebuah kanal YouTube yang mengeksplorasi keindahan
Nusantara. Pernah terlibat dalam pameran koleksi lawas
Asian Games 1962 di Galeri Nasional Indonesia, 2018.
Terlibat dalam beberapa proyek kesenian musik, sastra,
dan pertunjukan. Menulis topik-topik tentang media
sosial, seni, dan sosial-politik.
Menyelesaikan kuliah S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kemudian berlanjut meniti
karier di media massa dimulai dari reporter Harian Pos
Kita Solo, Berpolitik.com di Jakarta, Mingguan Ekonomi
dan Bisnis Kontan dan pendiri situs Beritasatu.com.
Saat ini sedang mempersiapkan proyek pameran tunggal pers lawas lima zaman dan berkesenian di jalan.
Facebook: facebook.com/ulin.yusron IG: @ulinyusron
Twitter: @ulinyusron Youtube: https://www.youtube.com/
user/UlinYusron
Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020
Ragam SENI
Corona At Equator di Dangumanu Atelier
A
PA yang menyamakan raja, matahari, bunga, seni
dan virus? Seluruh benda dan penanda ini merujuk
pada istilah yang kini menjadi kontroversial: Corona.
semenjak menjalarnya virus Corona, yang mengganti
pengertian kita secara mendasar tentang kematian dan
kehidupan.
Corona yang berarti mahkota, menjadi penanda takhta
raja, terletak di atas kepala raja/ ratu yang memancarkan
aura kekuasaan. Lingkaran cahaya yang mengelilingi
matahari, memantulkan energi magis disebut suasana
Corona. Pelupuk bunga yang berfungsi sebagai
keberlanjutan spesies menjadi Corona bunga. Berbagai
merek karya kreatif yang mencerminkan keanggunan dan
keindahan dilabeli nama Corona. Namun, dekonstruksi
makna Corona memasuki pemahaman baru, justru
Kompleksitas makna Corona inilah, yang ditelusuri oleh
Paul Hendro (52), pelukis hiperealis, yang membenturkan
makna dan cara penciptaan. Dengan makna, ia mencari
objek yang menjadi rujukan untuk digambarkan dalam
figur dan benda-benda. Sementara melalui cara
penciptaan, ia meleburkan diri dalam situasi keberadaan
“kini di sini” yang unik.
Paul Hendro menjajal daya tahan tubuhnya selama
sebulan penuh dalam
karantina kaca,
mengisolasi diri dan
berkarya. Ia memulai­
nya pada waktu sakral
saat Corona penuh di
Equator, pukul 11.35, 23
September 2020. Aksi
lukis sekaligus meditasi
rupa yang diselenggarakan di Dangumanu
Atelier--yang berada di
Bazarti Gembrong­seni
ini; merupakan tindak
doa sekaligus refleksi
masa pandemi untuk
menyusuri makna
kehidupan dan
kelayuan.
@ IH - Sumber: TR
P
ADA Rabu, 30 September 2020, di tempat yang
sama Dangumanu Atelier bekerja sama dengan
Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) menggelar acara
memperingati pidato Presiden Soekarno di Sidang
Umum PBB ke-15, 30 September 1960. Saat itu Soekarno dengan gamblang menjelaskan tentang konsep dan
filosofis Pancasila di depan para pemim­pin dunia.
Ucapan Soekarno yang melegenda dan dihargai Presiden
Amerika Serikat, Presiden Uni Soviet saat itu, dan kepala
negara lainnya adalah, “To build the world a new.”
Untuk mengenang dan membangkitkan atmosfer
semangat Soekarno itu, Dangumanu Atelier dan KITA
mengoordinasi Kurt D Peterson selaku pesyair, Bambang Winaryo selaku pepatung, dan Paul Hendro selaku
pelukis, serta mengaitkan dengan pertunjukan dari
Teater Kubur pimpinan Dindon S, untuk meresponsnya
menjadi seni pertunjukan yang kolaboratif.
“Ini suatu pertunjukan yang sangat nasionalis sekali.
Karena kita dapat menunjukkan kebersamaan sebagai
negara yang bersatu. Bukan kami, bukan kamu, tetapi
kita,” ucap Ketua KITA Maman Imanulhaq.
Maman pun menepis jika acara ini sebagai pengalihan
isu peringatan G30S-PKI, “Tidak ada niat itu. Pidato
Soekarno kan peristiwa nyata dan bersejarah bagi Indonesia dan terjadi lima tahun sebelum G30S-PKI.”
@ IH
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
57
Ragam SENI
Komite Tari DKJ
Menari untuk Hidup, Hidup untuk Menari
P
andemi Covd-19 telah banyak mengubah dunia ini.
Seluruh interaksi sosial turut menyesuaikan diri demi
mencegah penyebarluasan virus. Kenyataan ini membuat
seluruh ruang-ruang berinteraksi harus sangat dibatasi.
Aktivitas pendidikan, perkantoran, hingga hiburan banyak
dilakukan secara daring.
Lantas bagaimana dengan dunia Tari? Pertunjukan tari
yang sangat berkaitan dengan panggung akhirnya pun
menjadi korban dari kondisi pandemi ini. Penutupan tempat hiburan tidak terkecuali gedung pertunjukan membuat
tubuh terisolasi, tidak lagi dapat berkumpul bersama-sama
menggerakkan tubuh atau berbagi energi dengan penonton dalam sebuah pertunjukan tari.
Para peseni, sanggar, maupun komunitas tari tidak berdiam
dengan kondisi ini. Alih wahana akrab dilakukan pada masa
pandemi ini demi sekadar membuat tubuh tetap menari
atau keberlangsungan industri tari itu sendiri.
Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Tari menggelar
diskusi publik dengan tajuk “Hidup untuk Menari, Menari
58
untuk Hidup” pada Selasa, 29 September 2020. 19.30 WIB
hingga selesai. Bertujuan mengangkat resiliensi peseni juga
masyarakat luas untuk tetap menari meski dalam kondisi
keterbatasan ruang untuk berinteraksi secara langsung.
Narasumber diskusi: Esha Tegar Putra (Pesastra dan Peneliti
Seni), Mariska Febriyani (Founder @ballet.id), Melati Suryodarmo (Praktisi, Pegiat Seni Rupa dan Pertunjukan), Rieka Nur Asy
Syam (Program Offiicer Bakti Budaya Djarum Foundation), dan
Rusdy Rukmarata (Direktur Artistik @ekidanceco) Moderator:
Saras Dewi (Komite Tari DKJ dan Dosen Filsafat UI).
Tersimpul bahwa dengan adanya pandemi banyak hikmah
yang dapat dipetik. Dari segi positifnya, dengan adanya
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) petari (peseni)
dapat berkreasi sendiri dan melahirkan gagasan baru
lewat perenungan; pertunjukan secara daring malah dapat
menaikkan jumlah penonton puluhan kali lipat dibanding
dengan mengadakan secara luring; peseni diajarkan kondisi
untuk tidak mengeluh dan mencoba mencari terobosan
baru; dan kebiasaan menari tetap dapat dilaksanakan
dalam keseharian kita.
Negatifnya, sesama petari tidak bisa saling bertemu langsung
saat melakukan pelatihan; penghayatan, emosi, dan interaksi
petari dengan penonton tidak ditemui saat pentas secara daring; dan tidak merasakan atmosfer kebersamaan ketimbang
pergelaran yang diadakan dengan langsung ditonton.
@ Ireng Halimun
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
HUT RRI ke-75 di Tugu Rimba Raya
Isi Kemerdekaan di Tengah Pandemi
D
I masa Pandemi Covid-19, Direktur Utama RRI
Muhammad Rohanudin menyampaikan sambutan
usai penyulutan api obor Tri Prasetya RRI dan disaksikan
secara virtual Kepala Stasiun dan Karyawan RRI se-Indonesia untuk mengha­diri dialog dalam mengenang Perjuang­
an Radio Rimba Raya dalam mengisi Kemerdekaan dan
HUT Radio Republik Indonesia (RRI) ke-75 yang diadakan
di Tugu Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener
Meriah, pada 9 September 2020.
Rohanudin menceritakan sejarah radio siaran di
Indonesia memiliki perjalanan panjang di masa perju­
angan, salah satunya adalah Radio Rimba Raya, yang kala
itu Indone­sia sudah merdeka, tetapi Belanda mengumumkan Indone­sia telah bubar. Namun Radio Rimba Raya di
Bener Meriah, Aceh yang gagal dibom musuh dengan
lantang menyuara­kan Indonesia masih ada. Saat itu
semua alat komunikasi diputus. Akan tetapi nan jauh di
pedalaman hutan rimba muncul suara lantang dari Tanah
Gayo melalui Radio Perjuangan Rimba Raya yang saat ini
berada di Bener
Meriah, Aceh yang menyatakan dari sinilah Indonesia
masih ada. Sebutan Radio Republik Indonesia (RRI) secara
resmi disandang pada 11 September 1945 atau 24 hari
setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Bupati Bener Meriah Sarkawi pada saat kegiatan pergelaran budaya musikalisasi puisi menyampaikan bahwa Radio
Rimba Raya memiliki peranan penting dalam sejarah
perjuangan dan keberadaan bangsa Indonesia. “Dengan
acara yang dilakukan di sini mudah-mudahan semangat­
nya akan bisa dikobarkan di kalangan masyarakat kita di
sini juga nasional dan juga bisa mendorong kita untuk
merivitali­sasi bangunan, ditambah dan difungsikan kembali,
karena ini aset yang penting bagi bangsa ini,” ungkapnya.
Rangkaian acara yang diselenggarakan RRI Takengon
dalam memeriahkan Hari Radio 2020, mulai dari lomba
bercerita untuk tingkat murid Sekolah Dasar (SD), perge­
laran budaya musikalisasi puisi, dialog bersama Bupati
Bener Meriah Sarkawi dan Bupati Aceh Tengah Shabela
Abubakar di Tugu Rimba Raya mengangkat topik
“Mengenang Perjuangan
Radio Rimba Raya dalam
Mengisi Kemerdekaan di
Masa Pandemi Covid-19,
parade puisi sejumlah
pejabat di Aceh Tengah
dan Bener Meriah hingga
peseni, dilanjutkan dengan upacara dan tabur
bunga di makam pahlawan Takengon, upacara
bendera dan penyulutan
api obor Tri Prasetya RRI.n
@ Rizka Nurlita Andi Berbagai sumber
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
B
UKU Amrus Natalsya Mutiara dari Bumi Tarung
telah terbit dan dapat dipesan.
Buku 18x23 cm, bertebal xi + 223 halaman, dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia ini ditulis
oleh EZ Halim.
Pembaca dapat mengetahui tentang perjalanan
berkesenian Amrus, baik sebagai perupa maupun
pesyair. Bahkan untuk memperkaya isi buku ini
kritikus seni lukis Agus Dermawan T dan pelukis
senior Misbach Tamrin pun turut menyumbangkan
tulisannya.n
@ IH - Sumber: ArtYung
59
Ragam SENI
‘Talkshow’
Jurusan Seni Musik FBS UNJ
Bermusik harus ‘Fun’
dan Berdisiplin
J
URUSAN Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Jakarta menggelar webinar pada
Sabtu, 26 September 2020, 13.30 – 15.45 WIB. Talkshow
dalam rangka kuliah perdana 2020 ini bertema “Berkarya
di Masa Pandemi”. Acara ini diperkuat dengan menampilkan musisi Erwin Gutawa sebagai penyaji materi dan
RM Aditya Andrianto sebagai moderator.
Pokok bahasannya adalah: Latar belakang dimulainya
bermusik seorang Erwin Gutawa dan perjalanan karier
bermusik hingga di era Pandemi.
Perlu adanya inspirasi ketika kita membuat karya orkes, di
antaranya: Inspirasi dari karya musiknya sendiri yang dapat
memotivasi untuk melakukan tindakan yang berhubungan
dengan musik; inspirasi dari idola atau siapa orang yang
didengar; senang pada sesuatu yang baru dan memilih
sesuatu yang diterima; baca-dengar- pantau peseni di luar
lingkaran pertemana; Indonesia merupakan sumber inspirasi; dan perlu effort untuk mendapatkan ilmu dan referensi
harus banyak supaya gagasan dapat diwujudkan.
Bahasan lain adalah tentang aransemen, di antaranya:
Harus mengerti teknik aransemen, ada teori yang harus
diperhatikan; semakin banyak instrumen akan semakin
complicated; harus mengerti instrumen yang dipakai,
menge­nai range, timbre, karakter instrumen, dan kombi-
60
nasi instrumen; dan harus
mengerti ilmu harmoni,
latihan semua instrumen agar
peka mewujudkan gagasan
menjadi musikal.
Ketika kita menciptakan
melodi ciptakanlah
seolah-olah di pikiran kita
seperti mengkhayal yang
isinya harus dirasakan; latihan
mendengar sesuatu yang
ada di kepala kita; mind ear
memudahkan kerja, imajinasi
semakin luas; dan harus masuk akal dengan memainkan
instrumen, pengenalan instrumenisasi sangat tepat.
Filosofis dalam melakukan sesuatu, di antaranya: Harus
suka dengan yang kita buat; harus menjadi diri sendiri; menjadi Indonesia itu keren; harus nekat dan jangan
menunggu dibuat orang lain dulu; dan buatlah sesuatu
dengan semaksimal mungkin.
Erwin sangat peduli pada pendidikan musik, pandangannya sebagai berikut: Berwirausahalah dalam musik; karya
musik perlu dikelola dengan baik dan disampaikan dengan
baik; musisi zaman sekarang perlu sense of enterpreneunship, perlu manajemen, perlu diurus dengan baik, dan perlu
usaha lain untuk mengaturnya; perlu bekerja sama dengan
banyak orang; teknologi semakin simple, musisi bisa menjadi label, dan produk bisa menjadi banyak sekali; penting
untuk mencari perhatian lewat media sosial; bisa berkolaborasi dengan sesama musisi atau peseni lain untuk merealisasikan apa yang diinginkan, dan mengasualkan orkes biar
orang lain bisa menikmati.
Jika ada kesulitan dan kebuntuan dalam mengaransemen,
menurutnya, zaman selalu berubah, selera dan tren harus
diikuti. Keadaan industri musik tidak selalu sama dengan
akademiknya. Jam terbang, pengalaman, stag dalam gagasan itu hal yang biasa.
Ketika pandemi terjadi, kita masih beruntung punya teknologi dan network. Musisi harus mengasah dirinya untuk
memunyai kemampuan bermusik sendiri tanpa mendengarkan yang lainnya. Mereka harus berdisiplin, sering
membaca tulisan, dan melatih kepekaan.
Konser online bisa menjadi sumber pemasukan, dari sebagai
aktivitas bisa menjadi potensi. Aktivitas perlu
dipelihara dan terus dikembangkan menjadi suatu tontonan
alternatif. Konser vitual tidak berhenti ketika ada pandemi, sebaliknya semakin dikembangkan menjadi alternatif tontonan.
Erwin pun berpesan, kalau kita berposes belajar-mengajar
harus fun dan enjoy. Tetapi, disiplin musik harus tetap
dijaga. Harus kreatif agar tetap enjoy. Memberi wawasan
dan pengalaman akan mempercepat proses.n
@ IH
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Puisi Kopi
Kartun HUMOR
Memotret Covid-19
@ Dodo Karundeng
Dialog Anggota Tubuh
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
@ Jan Praba
l
2020
@ Munadi
61
L o k a P U S TA K A
Serunya Berburu....Data
@ Ewith Bahar
Orang menulis buku tentu saja dengan berbagai motivasi.
Ada yang hanya karena ambisi untuk menjadi penulis semata,
ada pula yang dilatarbelakangi maksud-maksud sangat serius,
seperti demi meninggalkan legacy berharga bagi dunia,
kemanusiaan, dan kehidupan misalnya, yang tentu saja akan
bermanfaat bagi orang banyak. Perbedaan motivasi tersebut
pastilah dengan sendirinya akan berimbas pada proses penulisan
atau sikap sang penulis dalam merampungkan karyanya.
M
otivasi pertama, mungkin tidak berakibat terlalu menguras waktu, tenaga,
serta pikiran. Tapi motivasi belakangan, yang memang dilakukan penulis untuk
menghasilkan karya yang serius dan tidak asal selesai, bisa jadi dilakoni dengan
proses yang lebih rumit dan berliku. Sebab di dalamnya tercakup hal-hal yang menuntut
ketelitian dan keseriusan, seperti pendalaman materi yang memakan waktu, penemuan
akurasi info-info tertentu yang menuntut penulis berjibaku dalam pencarian bukti
sebagai konfirmasi bagi informasi yang masih samar, dan lain sebagainya. Maka kerap
kita temui fakta, ada buku yang bisa diselesaikan dalam waktu lama kendati tidak terlalu
tebal. Atau sebaliknya, ada buku yang relatif tebal, tapi nyatanya bisa ditamatkan hanya
dalam tempo yang singkat saja.
62
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Buku saya, Chairil Anwar, Hidup 1000 Tahun Lagi tampaknya
termasuk yang diselesaikan dalam waktu relatif lama.
Pro­ses mengumpulkan serta membaca referensi,
me­rupakan tahap paling awal, tanpa diintervensi proses
menulis sama sekali. Ini bagian yang sangat krusial,
merupakan proses penyimpanan data ke dalam otak,
seraya mereka-reka desain kerangka tulisan. Namun yang
pasti, ketika proses menulis berlangsung, proses
membaca referensi tentu saja akan diulang kembali,
bahkan bisa berpuluh-puluh kali. Juga proses melengkapi
data pun terus berlanjut. Bagian inilah justru yang
sangat menuntut kesabaran dan keuletan. Masing-masing
topik tulisan tentu memiliki problemnya sendiri-sendiri.
Yang berabe, kadang bisa saja kita menemukan sumber
data yang justru memuat data salah. Maka ketelitian dan
keluasan pengetahuan kita diuji di sini. Bagaimana kita bisa
mengetahui bahwa sebuah info akurat atau tidak? Bisa
dibilang di sinilah akan terbukti manfaat membaca reguler
yang disiplin kita lakukan jauh di waktu-waktu sebelumnya,
di mana info-info yang pernah kita baca sesungguhnya
tersimpan pada storage atau server di dalam otak. Data
tersimpan itu kerap bisa muncul atau kita ingat kembali,
sehingga di suatu waktu ketika kita menemukan informasi
yang kontradiktif terhadap apa yang kita ketahui atau
simpan dalam otak dan merupakan data yang akurat, kita
bisa dengan yakin untuk menyebutkan benar atau
salahnya.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Data dalam sebuah buku harus benar. Entah untuk masa­
lah besar atau kecil, sama saja pentingnya. Dalam proses
penulisan buku saya, ada beberapa data kecil yang kendati
menurut orang lain tidak prinsipil, tapi justru memaksa saya
bersikeras untuk mencari akurasinya. Walaupun untuk masa­
lah sebuah nama saja misalnya, yang ketika tercantum di
buku pun, tak terlalu terlihat oleh pembaca. Namun bagi saya
sebagai penulis, ini hal yang tak bisa diabaikan. Rasa tang­gung
jawab membuat saya rela bersusah-payah untuk mencari
kejelasan. Jika info tersebut di buku atau sumber berita lain
terkesan diabaikan atau tak diperjelas, maka biarlah orang
mendapat kejelasannya di buku saya. Contohnya pada sajak
Chairil Anwar yang berjudul Hari Akhir Olanda di Jawa (De
Vloekzang van Sentot of de Laatste Dag Der Hollanders
op Java) yang mencantumkan nama Sentot, di bawah judul
sajak. Saya berpikir keras, siapa sesungguhnya Sentot yang
dimaksud dalam sajak berbahasa asli Belanda dan diterjemahkan Chairil Anwar ini?
Ketika bersua Prof Dr Abdul Hadi WM dalam perhelatan
Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia, saya tanyakan
pada beliau hal tersebut, mengingat pak Abdul Hadi
sempat menulis esai Islam dan Barat: Benturan Budaya Yang
Tak Kunjung Usai, di mana beliau sempat mengupas tentang
sajak tersebut. Lalu beliau jawab, Sentot yang dimaksud
adalah Sentot Prawirodirjo. Tentu saja tidak serta-merta saya
terima jawaban itu. Musti periksa silang lagi. Saya mencocok-
kan dulu tahun-tahun kehidupan yang meliputi orang-orang
yang berkaitan dengan sajak Hari Akhir Olanda di Jawa yang
melibatkan nama Multatuli dan Roorda van Eysinga, serta
fakta kehidupan Sentot Prawirodirjo. Hasilnya, menurut saya
ada kejanggalan, jika yang dimaksud sajak itu adalah Sentot
Prawirodirjo, yang merupakan panglima perang di zaman
Pangeran Diponegoro.
Sajak Hari Akhir Olanda di Jawa ada dalam buku Multatuli,
Max Havelaar, dan merupakan karya Roorda van Eysinga.
Hanya sebatas itu fakta awal. Setelah mengamati bahwa
sama sekali tidak ada hubungannya antara Sentot Prawirodirjo dan orang-orang yang terkait dengan penciptaan sajak
dalam buku Multatuli itu, saya mulai bergerilya mencari
fakta. Mudah? Tidak. Karena tidak tahu harus bergerak dari
mana dulu. Jangan coba-coba tergantung pada Google,
kalau tak mau tersesat jauh. Fakta-fakta tentang Chairil
Anwar tidak sama dengan fakta mengenai Shakespeare
atau Gabriel Garcia Marquez yang memang bertebaran di
Google, dan ditulis oleh sumber yang bisa dipertanggungjawabkan ke­absahannya. Pencarian inilah yang terasa seru
meski melelahkan. Saya mulai membuat list daftar pustaka
yang termuat dalam buku-buku sastra dan sejarah, baik yang
berhubungan langsung dengan Chairil Anwar atau Multatuli
maupun tidak. Baik buku lokal maupun terbitan asing.
Saya berburu buku ke perpustakaan maupun toko buku loak.
Sebagian, catatan dari teman yang ada di luar negeri.
63
L o k a P U S TA K A
Lebih kurang tiga bulan kemudian, pencarian saya
terjawab. Saya terus dibimbing instink untuk terus mencari
, dan akhirnya membaca tentang Roorda van Eysinga, yang
sempat disebut Multatuli sepintas. Sesungguhnya nama
Sentot itu adalah nama pena Roorda van Eysinga, yang
digunakannya ketika ia menjabat sebagai pembantu
redaksi surat kabar Bataviaasch Handelsblad. Konfirmasi
mengenai hal ini di buku saya, tak lebih dari enam baris
saja. Sungguh tak sebanding dengan proses pencarian
infonya, yang sampai membuat tidak bisa tidur. Lalu
luberan info lainnya dikemanakan? Tentu saja disimpan
karena pasti berguna suatu waktu untuk proyek penulisan
yang lain lagi.
Proses mencari info akurat yang sering kali tidak mudah
itu, memang kadang ditinggalkan oleh penulis tertentu,
karena dianggap merepotkan. Ketika saya menulis novel
yang sebagian setingnya Italia, saya juga sempat direpot­
kan oleh banyak hal terkait data dan info. Meski novel
merupakan cerita fiksi, tapi sebaiknya informasi tidak
dikarang sembarangan. Mengingat novel tersebut
ber­seting waktu tahun 1600-an, saya harus mempelajari
sejarah Italia dengan detil dan intensif. Persis seperti kuliah.
Saya harus meneliti moda transportasi apa yang sudah ada
dan biasa dipakai serta penyakit apa yang kerap
diderita rakyat Italia di masa itu. Juga termasuk
mempelajari psikologi masyarakat Italia secara spesifik,
sebab bukankah saya menceritakan hubungan antar­
manusia di novel itu, yang dalam segala aspek memiliki
kespesifikan tersendiri. Karena kebetulan mempunyai
beberapa teman penulis bangsa Italia di Facebook,
64
Saya merasa cukup dimudahkan pula dalam berburu info,
dengan kiriman catatan-catatan yang saya butuhkan.
Wilayah-wilayah yang saya pakai untuk seting tempat seperti
Fusignano, San Lazzaro di Savenna, Pianoro, Vaglia, dan
Barga, juga tak luput dieksplorasi dengan matang. Semua­
nya harus cocok atau mendekati realita. Jangan sampai
mencerita­kan model bangunan atau suasana jalan raya di
suatu wilayah, yang berbeda deskripsi dengan fakta aslinya,
misalnya. Bahkan ketika menceritakan seorang tokoh yang
sarapan keju pun saya harus pula esktra hati-hati. Jenis keju
di seluruh dunia nyaris mencapai lima ribu jenis, dan hampir
setengahnya ada di Italia. Sebagian jenis keju tentu saja belum
ada di tahun 1600-an,
mengingat­kan saya
untuk waspada jika memang harus menyebut
jenis keju tertentu. Padahal di novel, soal keju
ini hanya muncul satu
baris, tetapi belajar­nya
memakan waktu nyaris
sebulan, tersebab
proses pencarian
sumber data yang tidak
serta-merta datang
sekaligus. Tapi saya
dengan senang hati
mempelajari seja­rah
perkejuan ini, karena
sekaligus untuk bahan
penulisan glossary yang
saat ini juga sedang saya lakukan.
Apa yang terjadi setelah proses penulisan buku yang harus
disertai proses belajar dan proses pencarian data yang
cukup merepotkan seperti ini? Tentu saja, pertama adalah
kepuasan pribadi. Kepuasan bisa menemukan info dan
memberikan info baru yang benar. Kedua, merasa kaya
dengan tambahan ilmu baru. Konsep kekayaan penulis
dalam konteks berkarya memang berbeda. Tidak berwujud,
tapi terasa di jiwa. Namun hakikat kekayaan yang sejatinya
berupa kebahagiaan, memang demikian, bukan? Wujudnya
boleh tak kasat mata, tapi kebahagiaannya nyata.***
Tentang EWItH BAHAR
Ewith Bahar ialah lulusan Fakultas Sastra
Inggris, UKI, Jakarta, dan telah mulai menulis
sejak SMA, sebagai penulis acara radio serta
artikel musik di majalah, di antaranya majalah
Vista dan Gadis. Dunia kerja terbanyak yang
dilakoninya adalah dunia televisi, yakni TVRI
dan RCTI. Selain pernah menjabat sebagai
PR Manager di Hotel Ciputra dan Hotel Gran
Mélia Jakarta, Ewith juga pernah mengajar di
Interstudi. Saat ini sudah delapan judul buku
yang diterbitkannya, mulai dari buku puisi,
kumpulan cerpen, novel, hingga biografi.
Salah satu buku puisinya, Sonata Borobudur,
dinobatkan sebagai Lima Besar Buku Puisi
Terbaik Indonesia 2019, yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia.
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
In MEMORIAM
Abdul Malik Fadjar: Lebih Banyak
Bangun Umat Ketimbang Banyak Bicara
P
rofesor Dr (HC) Drs H Abdul Malik Fadjar MSc, mantan anggota Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) periode Januari 2015 hingga Oktober 2019 meninggal dunia dalam
usia 81 tahun. Tokoh kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939, yang juga sesepuh organisasi
Muhammadiyah itu mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta
Selatan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui keterangan resmi di akun Twitter @muhammadiyah, secara khusus menuliskan kabar duka tersebut, “Innalillahi wainnailaihi rajiun, Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dan segenap warga Muhammadiyah, turut berduka atas wafatnya Bapak Malik
Fadjar pada Senin 7 September 2020, pukul 19.00 WIB, semoga husnul khotimah dan dirahmati Allah
Subhanahu Wa ta’ala”, tulis mereka.
Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Profesor Dr Haedar Nashir MSi melalui pernyataan duka
citanya, menyampaikan bahwa Profesor Malik, adalah tokoh yang banyak mengayomi yang tua
maupun muda, “Sebagai orang yang lebih muda dan banyak berinteraksi dengan beliau, saya banyak
belajar darinya, beliau tokoh Muhammadiyah, Umat Islam dan Bangsa yang gigih, penuh prestasi di
bidang pendidikan, berpikiran maju, inklusif dan diterima banyak pihak, kita kehilangan tokoh besar
yang dimiliki bangsa ini, almarhum lebih banyak bekerja membangun pusat keunggulan dan
membawa umat untuk maju ketimbang banyak bicara, pengabdiannya untuk bangsa sangat besar,
tanpa mengeluh, radius pemikirannya pun melintasi, kaum muda dan generasi bangsa penting
meneladani beliau, selamat jalan Pak Malik, kami kehilangan sosok teladan.”
Sementara Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyampaikan kepada khalayak melalui
keterangan tertulisnya, “Mohon doa semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, Abdul
Malik Fadjar adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat hebat, gigih dan hidup sederhana, ia
teladan bagi warga Persyarikatan, Umat dan Bangsa, Muhammadiyah sangat kehilangan.”
Abdul Malik Fadjar lahir dari pasangan Fadjar Martodihardjo dan Salamah Fadjar, ia lulus dari Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang pada 1972, semasa hidupnya pernah menempati
beberapa jabatan penting, antara lain, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (1983 - 2000),
Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan (1998 - 1999), Menteri Pendidikan Nasional Kabinet
Gotong Royong (2001 - 2004), Menko Kesra (2004), dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI
(2014 - 2019).
@(Dari berbagai sumber/Wahyu Toveng).
Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020
65
6
In MEMORIAM
Jakob Oetama: Pahlawan Dunia Jurnalistik Indonesia
P
endiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum
Harian Kompas Jakob Oetama tutup usia pada Rabu,
9 September 2020, 13.05 WIB di Rumah Sakit Mitra
Keluarga Kelapa Gading Jakarta dalam usia 88 tahun.
Almarhum disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia
Palmerah Selatan dan akan diantarkan menuju tempat
peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata
pada Kamis, 10 September 2020.
Terkait penerapan protokol kesehatan selama situasi
pandemi, karyawan maupun purnakaryawan yang hendak
menyampaikan penghormatan terakhir kepada Jakob
dapat mengikuti prosesi persemayaman dan pemakaman
secara daring melalui tautan www.kompas.tv/live.
Presiden Joko Widodo menyatakan, “Saya sungguhsungguh merasa kehilangan atas kepergian Bapak Jakob
Oetama, hari ini, Rabu 9 September 2020. Almarhum
bukan sekadar seorang tokoh pers, pendiri dan
pemimpin surat kabar Harian Kompas atau Kelompok
Kompas Gramedia, tapi adalah tokoh bangsa ini.”
“Saya mengingat Pak Jakob Oetama sebagai seorang
jurnalis sejati dengan semangat juang dan daya kritis yang
tinggi, dengan pandangan yang senantiasa ber­nuansa
kemanusiaan. Ia selalu menyampaikan pandangan dan
kritiknya itu dalam bahasa yang halus dan santun,” imbuh
Jokowi.
66
66
Lalu Jokowi menutupnya dengan mengatakan, “Selamat
jalan Pak Jakob Oetama. Terima kasih untuk warisan
kebajikan dan jasa almarhum untuk dunia pers dan bangsa
ini. Semoga segala amal pengabdian almarhum
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT, dan
segenap keluarga yang ditinggalkannya tetap kuat dan
tabah.”
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjadi inspektur
upa­cara, memimpin serah-terima jenazah Jakob.
Penyerahan jenazah Jakob dilakukan oleh putra sulungnya
Irwan Oetama kepada Bamsoet selaku Ketua MPR RI
mewakili negara di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta
Barat. Selanjutnya, jenazah akan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Lahir di Magelang, Borobudur pada 27 September 1931,
tokoh jurnalistik sekaligus pendiri Kompas ini memiliki
kecintaannya terhadap Indonesia tak perlu diragukan,
bisa dilihat dari rekam jejaknya sebagai jurnalis,
budayawan, sekaligus pejuang demokrasi. Hingga
akhirnya mengantarkan dirinya meraih penghargaan
Bintang Mahaputera dari pemerintah Indonesia pada 1973.
“Terlalu banyak testimoni yang bisa diberikan tentang
kehebatan Pak Jakob Oetama di bidang jurnalis,
budayawan, dan demokrasi. Namun tak banyak yang
mengulas sosok­nya sebagai manusia yang rendah hati,
peduli terhadap sesama, dan yang terpenting caranya
memperlakukan para wartawan dan karyawannya dengan
sangat baik. Tak heran jika di bawah kepemimpinannya,
Kompas tak sekadar menjadi koran biasa. Melainkan
berkembang biak menjadi imperium Kompas Gramedia
Group yang memiliki gedung setinggi 223 meter
dengan 53 lantai, terletak di jantung Ibu Kota Jakarta,”
ujar Bamsoet usai melepas jenazah Jakob Oetama, di
Jakarta, Kamis, 10 September 2020.
Ketua DPR RI ke-20 ini menceritakan, saat mulai
berkarier menjadi wartawan di periode 1985-an, dirinya
banyak mendengar cerita tentang kehebatan sentuhan hati
Jakob Oetama kepada para wartawannya. Beliau tak segan
menelepon langsung wartawan yang bertugas di lapangan
untuk mengapresiasi berita yang mereka tulis. Tepukan bahu
saat bertemu serta menyapa para warta­wannya dengan
nama sapaan mereka, adalah cerita lain yang menggambarkan cara Jakob Oetama memimpin dengan hati.
“Tak heran jika banyak orang, bukan hanya para
wartawan dan karyawannya, namun juga yang pernah
bergaul dengan dirinya termasuk saya, menganggap
Pak Jakob Oetama sebagai ayah ideologis. Sebagai orang
tua yang bijaksana, penuh welas asih dengan kharisma
kepemim­pinan yang kuat,” tandas Bamsoet.
Semesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6Semesta
l l
Oktober
EdisiSeni
6 ll 2020
l
Oktober
Edisi 6 ll 2020
Oktober lSem
20
jalan Pak Jakob. Semangat dan idelismemu tetap
di hati kami,” pungkas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini
menambahkan, di dunia jurnalistik, Jakob
Oetama juga bukan tipikal sosok yang ‘keras
kepala’. Sempat dilarang terbit oleh
pemerintahan Orde Baru pada 21 Januari 1978,
Kompas akhirnya bisa terbit kembali setelah
penandatanganan surat permintaan maaf dan
pernyataan kesetiaan kepada peme­rintah Orde
Baru dengan kop surat tertanggal 28 Januari
1978. Menandakan bahwa terkadang kompromi
perlu dilakukan demi tercapainya tujuan.
Wakil Presiden ke-12 RI Jusuf Kalla (JK)
memimpin prosesi pemakaman jenazah
Jakob Oetama di Taman Makam Pah­lawan
(TMP) Kalibata, Kamis siang, 10 September
2020.
“Saya Muhammad Jusuf Kalla, atas nama
negara, bangsa dan TNI, dengan ini
mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi
jiwa raga dan jasa-jasa almarhum,” kata JK
dikutip dari siaran Kompas TV.
“Berkat pemikiran Pak Jakob, Kompas dan dunia
jurnalistik Indonesia dikenalkan prinsip baru,
dari Jurnalisme Fakta ke Jurnalisme Makna.
Prinsip tersebut pada intinya mengajarkan para
jurnalis tak sekadar membuat berita sesuai fakta, melainkan juga menghadirkan makna dari
fakta peristiwa yang terjadi. Pak Jakob
mengajarkan, media seyogianya menjadi batu
penjuru, tempat masyarakat mendapat
kepastian. Media harus memberi jawab,
menjelaskan duduknya perkara. Dengan begitu,
pembaca mendapatkan pencerahan. Selamat
020
mesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6Semesta
l l
Oktober
EdisiSeni
6 ll 2020
l
Oktober
Edisi 6 ll 2020
Oktober
Selaku inspektur upacara, JK meminta
kepada seluruh kerabat hingga perwakilan pegawai Kompas Gramedia
yang hadir, untuk selalu mendoakan
dan mengenang jasa kebesaran yang
telah dilakukan Jakob semasa hidupnya.
@ IH - Disarikan dari beberapa sumber
l
2020
67
67
Pandoyo Adi Nugroho: Tokoh
Antagonis di Sampek Engtay
In MEMORIAM
Endo Senggono: Mantan Kepala Harian
Perpustakaan PDS HB Jassin
K
AMIS siang, 10 September 2020, 12.30 WIB, Endo Senggono mantan Kepala Harian Perpustakaan Pusat
Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin mengembuskan napas terakhirnya dengan tenang di rumahnya,
di daerah Cilangkap, Jakarta Timur. Para sahabat dan publik sastra Tanah Air pun mengurai kenangan akan
sosoknya yang bersahaja, penuh cinta dan dedikasi terhadap pekerjaannya, yang selalu mengapresiasi
siapapun yang datang berkunjung ke PDS HB Jassin, baik itu pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pewarta,
pesastra, pakar budaya, peseni, penulis, dan pecinta sastra ataupun masyarakat umum.
Endo dilahirkan di Cimahi, 21 Desember 1959, ia adalah Alumnus Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (kini FIB) Angkatan 1986. Ia memulai aktivitas
tugasnya di PDS HB Jassin sejak 1987, kala itu ia sebagai sukarelawan
yang hanya mendapat ganti uang transpor dan tanpa upah.
Sebagaimana ia pernah menceritakan di Kompas, Jumat 25 Maret 2011,
awal keterlibatannya di PDS HB
Jassin, adalah sekadar mengisi waktu, setelah ia lulus kuliah dan belum
memunyai pekerjaan, lalu diajak oleh HB Jassin yang merupakan Dosen
Pengajar di almamaternya untuk membantunya di tempat itu. Karena
Endo memang menyukai buku, ia pun menjadi terlibat lebih dalam
menangani dokumen pribadi milik HB Jassin dan semua tulisan para
penulis se-Indonesia yang tersebar dalam bentuk buku ataupun
terbit di berbagai surat kabar dan majalah. Ia mendapatkan kejelasan
statusnya di tempat itu pada 1997, saat ia menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) bergolongan III/D.
Sebuah akun FB bernama Do Ro menuliskan kenangannya
tentang Endo di linimasa akun FB Endo Senggono, “Beliau
pada masa kerjanya di PDS HB Jassin, memberi kesempat­an
kepada banyak teman penulis dan seniman untuk diskusi
seni-budaya di kantornya.“
Sedangkan pesastra Remmy Novaris DM, pendiri Dapur
Sastra Jakarta (DSJ) pun menuliskan, “Ketika Endo
Senggono masih aktif di Taman Ismail Marzuki
(TIM), ia menjadi ATM teman-teman sastrawan jika
kehabisan ongkos pulang, atau menumpang gratis
diantar sampai tujuan.“
@ Wahyu Toveng - Berbagai sumber
68
68
A
KTOR Pandoyo Adi Nugroho, salah satu mantan pemeran Teater Koma
yang pernah sukses sebagai tokoh antagonis Macun dalam SampekEngtay, meninggal dunia karena sakit asam lambung pada Jumat, 11 September 2020, di kediamannya, di bilangan Cipinang, Jakarta Timur.
Sebelumnya, pria kelahiran 29 September 1977 ini mengalami ceguk­an selama seminggu, Ratna Ully--istrinya yang pemain di Teater Koma dan menikah
pada 2012--bersama Ketua RT sempat menyarankannya untuk berobat ke
dokter dan klinik terdekat, namun ia menolaknya.
Pandoyo pernah pula terlibat dalam pertunjukan Teater Koma yang lain, se­
perti lakon Antigoneo (2011), Sie Jin Kwie (2010), Sie Jin Kwie Kena Fitnah (2011),
dan Sie Jin Kwie di Dunia Sihir (2012). Ia juga membintangi sebuah film pendek
karya Sutradara Fadhil KJ berjudul Sang Perintis (2013), lalu sempat tampil
bersama Teater Yuka pimpinan Renny Djajoesman dalam lakon Pekcang &
Marita (2014), membintangi film pendek Iwazaki
and Brown Box Testament (2015), produksi JC
Production dengan sutradara Nuan Gautama, yang diikutsertakan dalam Indonesian
Film Festival, LA Short Film Festival; menjadi
pelatih akting, sutradara, dan penulis skrip
untuk Konser Drama Musikal produksi
Erwin Gutawa Production yang berjudul Di
atas Rata-rata 2 (2016); dan terlibat dalam
film Wage karya John De Rantau pada
2017, ia memerankan tokoh Anwar
Tjokro­aminoto dan beradu akting
dengan Rendra Bagus Pamungkas,
Prisia Nasution, Putri Ayudya, dan
Teuku Rifnu Wikana. Pada 2018,
Pandoyo dan Ratna Ully, terlibat
dalam pementasan bersama Teater
Populer dalam lakon Pentas 1001
Malam, kerja sama antara Institut
Kesenian Jakarta, Teater Populer, dan
Liminal Theater. Juga memerankan
tokoh Mang Ucup dalam sebuah film
bergenre horor Panggil Namaku Tiga Kali
karya Koya Pagayo.
@ WT - Berbagai sumber
Semesta Seni
Seni ll Edisi
Edisi 66 ll Oktober
Oktober ll 2020
2020
Semesta
Foto: Roy Genggam Nusantara
Ibrahim Kadir: Aktor, Pesyair, dan
Koreografer Asal Gayo, Aceh Tengah
I
brahim Kadir seorang peseni dan pakar budaya asal Gayo, Aceh Tengah, kelahiran
Takengon 31 Desember 1942, meninggal dunia pada Rabu, 1 September 2020, 11.00
WIB, di RSU Datu Beru Takengon.
Ibrahim dikenal sebagai seorang yang multi-talenta dalam berkesenian, ia mendapat­kan
wawasan dan pengetahuan seninya dari ayah, kakak, peseni-peseni Gayo dan tempatnya menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Semasa hidupnya, ia telah mempersembahkan bagi masyarakat Gayo ribuan lirik lagu dalam bahasa setempat, salah
satu yang paling populer adalah Kin Takengen atau yang berarti Untuk Takengon. Selain
itu sejak 1953 ia pun berhasil menciptakan sekitar 85 puisi yang juga berbahasa Gayo
dan terhimpun dalam beberapa buku kumpulan puisi, seperti Kumpulan Puisi Gayo
Indonesia, Datu Beru (Didong Puisi), Antologi Puisi Gentala, Antologi Puisi Malem Dewa,
dan Pembangunan Pesantren Nurul Islam dalam Untaian Puisi Gayo Indonesia. Ibrahim
pernah pula menulis buku panduan Tari Guel dan buku pegangan dosen tentang
metode mengajar dan menata tari di Universitas Sumatera Utara.
Di dunia akting, Ibrahim pernah bermain dalam film Tjoet Nyak Dien garapan sutradara
Erros Djarot pada 1990, lalu menjadi pemeran utama di film Puisi Tak Terkuburkan garap­
an sutradara Garin Nugroho pada 2000 yang membuatnya dianu­gerahi Penghargaan
Pemeran Terbaik ke-2 dalam Festival Film Jokarno Italia 2000 dan Silver Screen Award
for Best Asian Actor pada Festival Film Internasional Singapura di 2001, film ini sendiri
memenangkan hadiah FIPRESCI dan masuk nominasi untuk Silver Screen Award for Best
Asian Features di ajang tersebut. Pada tahun yang sama, aktingnya di film tersebut juga
dianugerahi The Best Actor pada ajang Festival Film Cinefan di India. Film lainnya yang ia
terlibat di dalamnya adalah film dokumenter berjudul Penyair dari Negeri Linge garapan
sutradara Aryo Danusiri, 2001.
Di mata sahabatnya dan masyarakat Gayo, Pria yang pernah pula bekerja sebagai Guru
SD, SMP, SMA dan mengabdikan diri di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Aceh Tengah, ini merupakan figur yang humoris, murah hati, berjiwa halus, tekun
dan penyabar. Ia pun sangat berdedikasi untuk memajukan dunia kesenian Gayo. Ketika
Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Tingkat Provinsi Aceh pada 1979 dan MTQ Nasional
ke-12 digelar di Banda Aceh pada 1981, ia bertindak sebagai koreografer tari massal
saat acara pembukaan dan penutupan. Sedangkan pada 1983 ia menjadi penulis dan
desainer tari massal di Padang.
@ Wahyu Toveng - Berbagai sumber
Semesta Seni
Seni ll Edisi
Edisi 66 ll Oktober
Oktober ll 2020
2020
Semesta
69
69
In MEMORIAM
Gatot Soenjoto:
Peseni Multi-Talenta yang Langka
G
ATOT Soenjoto salah satu peseni Ventriloquis Indonesia, yang terkenal memainkan
boneka bernama Tongki, meninggal dunia pada Sabtu, 12 September 2020, 01.45
WIB, di kediamannya, di Pondok Gede, Bekasi. Kabar duka tersebut dikonfirmasi oleh
pihak keluarganya diunggah di fanspage Facebook, Indonesian Multi Entertainer Gatot
Soenjoto & Tongki, “Hari ini adalah momen terberat bagi kami, keluarga Pondok Tongki,
Sabtu dini hari tadi, Papa kami tercinta, idola saya, mentor saya Gatot Soenjoto
berpulang, kembali ke Sang Maha Pencipta. Papa meninggalkan kami dengan damai
dalam tidurnya di rumah dan bersatu dengan semesta, Papa adalah orang yang
sangat dicintai, semasa hidupnya selalu bersama keluarga hingga akhir hayat.”
Sedangkan pengamat musik Stanley Tulung di akun Facebook
pribadi Gatot, menyatakan bahwa peseni kelahiran Malang, 28
Agustus 1940, itu sebelumnya tidak mengalami sakit yang berat
apa­pun, hanya sempat demam dan sedikit berkurang nafsu makan.
Gatot seperti dikutip dari Wikipedia, selain berprofesi sebagai
ven­triloquis, ia adalah seorang peseni multi-talenta, baik
sebagai pemusik, penyanyi, MC, impersonator, maupun
sebagai pengarang lagu yang berjudul Gubahanku yang
menjadi hit saat dinyanyikan oleh Deddy Damhudi
saat Festival Lagu Pop Indonesia 1973. Ia mengawali
kariernya dari Surabaya sebelum berpindah ke ibu
kota. Saat itu ia pernah bersama Bob Tutupoly
dalam sebuah Band bernama Bhinneka
Ria, ia memainkan perkusi. Gatot mengaku
banyak menimba ilmu bermusik dari Bing
Slamet, Jack Lesmana, dan Mochtar Embut.
Untuk Ventriloquis sendiri ia awalnya belajar dari
Michael Tannen di New York pada 1974 saat
masih aktif bermain musik bersama
Band Lost Morenos Rest Ramayana.
@ Wahyu Toveng - Ber­bagai sumber
Cammana: Perempuan Penabuh
Rebana yang Guru Ngaji dan Spiritual
C
ammana seorang parrawana towaine atau perempuan penabuh rebana, peraih
Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan
Pengharga­an Maestro Kesenian Tradisional dari Kementerian Pariwisata dan Kebudaya­
an, asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat, mengembuskan napas terakhirnya dalam usia
85 tahun, pada Senin, 7 September 2020, 15.15 WITA.
Sebelumnya telah berbulan-bulan ia terbaring sakit di rumah­nya di Kelurahan Limboro dan Kecamatan Limboro, bahkan Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar pada
3 September 2020 pun telah menjenguknya dan menyarankan kepadanya agar mau
dirawat di rumah sakit, namun Cammana sendiri menolaknya dan hanya ingin dirawat di
rumahnya. Ali pun memerintahkan kepada Camat Limboro, untuk meminta dokter dan
tenaga kesehatan agar dapat merawat perempuan itu di rumahnya.
Cammana dilahirkan pada 1935 di Samasundu, dari pasangan Dzani dan Joe, Dzani sendiri,
ayahnya adalah seorang parrawana tommuane “ atau lelaki pena­buh rebana sekaligus peseni
pahat, guru silat, guru tasawuf yang menjabat juru tulis di kampungnya saat itu. Sedangkan Joe, ibunya adalah seorang pemetik alat
musik Kecapi, sekaligus guru ngaji dan guru spiritual. Cammana
memang mewarisi talenta dari kedua orangtuanya dan mulai
menekuni kesenian rebana sejak usia 9 tahun hingga remaja.
Hal itu menginspirasi dirinya sendiri untuk serius menularkan
keahlian yang ia miliki kepada generasi penerus, khususnya
anak-anak dan juga remaja perempuan, agar dapat melestarikan kesenian tradisional marrawana atau bermain rebana.
Selain bermain rebana, Cammana juga menjadi guru ngaji
dan guru spiritual. Syair-syair yang dilantunkannya untuk
mengiringi tabuhan rebana pun selalu mengandung pesan
moral dan ajaran agama Islam. Di setiap penampilan­nya bersama grup rebana yang ia bentuk, selalu diawalinya dengan
lantunan shalawat dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Momen yang paling fenomenal adalah saat ia pentas bersama
Grup Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib di Yogyakarta
beberapa tahun lalu. Kolaborasinya bersama grup tersebut
membuat banyak orang terkesima, salah satunya adalah WS Rendra
yang turut hadir menyaksikan dan memberi apresiasi tinggi atas
dedikasnya sebagai peseni tradisional. Penampilan lainnya yang tak
terlupakan adalah saat pentas di acara Silaturahmi Kebudayaan
se-Asia di Singapura pada 1994.
@ WT - Ber­bagai sumber
70
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Yopie Latul: Memopulerkan Lagu Etnik
Poco-poco karya Arie Sapulette
Y
opie Latul, penyanyi senior kelahiran Ambon-Maluku, 7 September 1955, yang pada
1995 sukses memopulerkan lagu etnik, Poco-poco karya Arie Sapulette dalam versi
genre House Music, meninggal dunia pada 9 September 2020 atau berselang dua hari setelah
ulang tahunnya yang ke-65.
Penyanyi yang mengawali debutnya pada 1982 lewat album Ambon Jazz Rock itu sehari sebelum
meninggalnya terkonfirmasi positif terinfeksi Covid-19, hal itu disampaikan oleh pihak keluarga­
nya melalui postingan Instastory akun instagram putranya Carlo alias Rio pada 8 September 2020,
“Saya Carlo (Rio) Latul atas nama keluarga mau memberitahu, bahwa benar, Ayah kami yang
bernama Yopie Latul dinyatakan positif Corona dengan diagnosa OTG (Orang Tanpa Gejala).“
Yopie mulai dikenal publik musik Tanah Air melalui single lagu Ayun Langkahmu pada 1986,
ciptaan Elfa Secioria dan Wieke Gur. Ia pun dikenal lewat lagu Kembalikan Baliku ciptaan Guruh
Soekarnoputra yang ia nyanyikan bersama Paduan Swara
Maharddhika pada Festival Lagu Populer Indonesia 1987.
Pada ajang yang sama di era 1989 - 1990 ia berhasil menjadi
pemenang pertama bersama Trie Utami dengan lagu Bila,
sedangkan single lagu Poco-poco yang hingga saat ini po­
puler sebagai lagu untuk senam juga berhasil meng­
antarkannya menerima piala Anugerah Musik
Indonesia (AMI) 2001 dengan kategori Penyanyi
Disco/ House/ Rap/ Dance Music terbaik.
Beberapa bulan sebelum meninggal, Yopie sempat
menuturkan antusiasnya ingin berkolaborasi de­ngan
Didi Kempot. Ia mengaku bahagia melihat Didi mampu
memopulerkan musik bernuansa daerah yang sebelum­
nya kurang dilirik oleh generasi milenial dan bersama
Victor Hutabarat ia menyatakan kesanggupannya untuk membuka konser Maestro Campursari bertajuk
30 Tahun Lord Didi Berkarya, namun takdir berkata lain, keduanya kembali dengan tenang
ke haribaan Sang Maha Pencipta
pada tahun ini juga.
@ Wahyu
Toveng - Ber­
bagai sumber
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Ade Firman Hakim: Awali Karier Lewat
Pemilihan Abang-None Jakarta 2008
A
DE Firman Hakim, aktor muda kelahiran 20 Oktober 1988 yang pada 2013 silam
pernah berperan sebagai Chaerul Saleh dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka,
karya sutradara Hanung Bramantyo dan pada 2015 berperan sebagai Muso dalam
film Guru Bangsa Tjokroaminoto karya sutradara Garin Nugroho, meninggal dunia
pada 14 September 2020, 17.20 WIB, di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat.
Sebelumnya pihak keluarga dan manajer Ade, menginformasikan bahwa Ade
meninggal akibat terpapar Covid-19, hal ini dikarenakan ia memunyai gejala yang
mengindikasikan penyakit yang belum ada obatnya tersebut, yakni sempat meng­
alami asma cukup berat dan terlihat fleks di paru-parunya. Namun sehari berselang
setelah jenazahnya dimakamkan sesuai protokol Covid-19, hasil Swab Test ia menunjukkan nonreaktif, maka pihak keluarga pun melalui Dai Tirta, adiknya meralat penyebab kematian Ade. “Dari awal hasil Rapid dan Swab Test kakak saya nonreaktif, karena
kakak saya punya riwayat sakit asma maka di Rapid dan Swab memang wajib, namun
untuk Swab yang terakhir hasilnya belum keluar dan dari awal pun memang nonreaktif, jadi sebenarnya dia drop karena asma saja, tapi karena diperlakukannya seperti
pasien Covid-19 dia agak stres, dan kakak saya itu meninggal bukan dalam keadaan
koma atau kritis, “ tegas Dai Tirta.
Ade mengawali kariernya di dunia hiburan,
melalui ajang pemilihan Abang-None
Jakarta 2008, ia tampil sebagai
finalis dan meraih gelar Harapan 1,
selanjutnya ia memulai debutnya
sebagai aktor film melalui film
berjudul Bebek Belur pada 2010
karya sutradara Adrianto Sinaga.
Pada Maret 2013, Teater Koma
menggamitnya untuk terlibat
dalam pementasan Sampek Engtay
dan berperan sebagai Sampek, ia
beradu akting dengan Tuti Hartati
sebagai Engtay, dan Pandoyo Adi
Nugroho sebagai Macun. Pandoyo
sendiri meninggal dunia lebih dulu
berselang tiga hari dari Ade mengembuskan napas terakhirnya.
@ Wahyu Toveng - Ber­bagai sumber
71
In MEMORIAM
Alwi Shahab:
Pewarta dan Pakar Sejarah Kota Jakarta
P
ADA Kamis, 17 September 2020, 03.00 WIB dinihari, Alwi Shahab meninggal dunia dalam usia
84 tahun. Pria kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1936 ini adalah pewarta senior Republika dan tokoh
pers dan pakar sejarah Betawi. Abah Alwi mengembuskan napas terakhir di rumahnya di kawasan
Condet, Jakarta Timur. Mengutip dari detiknews, Republika Online mengunggah pernyataan resmi
mereka tentang kabar duka ini melalui laman Twitter-nya, sedangkan Irfan Junaidi selaku
Pemimpin Redaksi Republika membenarkan hal ini saat dikonfirmasi oleh CNN Indonesia,
“Iya benar, Abah (Alwi Shahab) berpulang,” tegas Irfan.
Petrik Matanasi dalam tulisannya pada portal media tirto.id, menyebut almarhum sebagai pewarta
dua zaman dan penulis kisah Jakarta tempo dulu, “Alwi Shahab bukan hanya seorang
wartawàn, tapi juga saksi atas berkembangnya Jakarta sebagai kota modern yang terus
berubah, Jakarta beruntung punya Alwi Shahab yang menulis banyak kisah menarik
tentang kota ini, tidak semua kota di Indonesia punya sejarawan yang bisa
membumikan sejarah pada orang-orang awam,” tulis Petrik.
Alwi, melewati masa kecil sejak Perang Pasifik dan Perang Kemerdekaan, lalu menghabiskan
masa remaja pada zaman demokrasi liberal. Lahir dan besar di kawasan Kwitang, Senen,
Jakarta Pusat membuatnya banyak berkenalan dengan para peseni yang kemudian
memengaruhinya untuk tertarik dengan dunia tulis-menulis. Namun ia baru memulai karier di dunia
jurnalistik pada awal 1960-an, sebagai pewarta di Kantor Berita Arabian Press Board, Jakarta, sebuah
Media yang dipimpin pamannya sendiri, yakni Asad Shahab, kemudian pada Agustus 1963, Kantor
Berita Antara, resmi menjadi tempat bekerja selanjutnya bagi pria yang memunyai kesamaan tanggal
lahir dengan Ratu Belanda, Wilhelmina (31 Agustus 1880) itu. Ia menulis berbagai liputan, mulai dari
reportase kota, kepolisian, parlemen hingga bidang ekonomi, kemudian mulai 1969 sampai dengan 1978
ia pun bertugas sebagai pewarta istana. Sedangkan untuk tugas liputan luar negeri, ia pernah meliput
operasi penumpasan oleh Tentara Malaysia terhadap gerakan Komunis di perbatasan Malaysia-Thailand.
Setelah pensiun dari Kantor Berita Antara pada1993, ia pun berlabuh di Harian Umum Republika, kesenioran
dan pengalamannya bertahun-tahun sebagai pewarta pun menjadi contoh di lingkungan barunya, yang saat itu
dipenuhi oleh orang-orang muda, namun produktivitasnya tidak kalah dari para yuniornya di tempat itu.
Semenjak bersama Republika, Artikel-artikel tentang Sejarah Kota Jakarta banyak diangkat olehnya
dalam rubrik Kebudayaan, juga pada rubrik Sketsa Jakarta dan Nostalgia. Ia seperti tidak pernah
kehabisan materi untuk mengeksplorasi segala permasalahan Kota Jakarta beserta
kisah-kisah tempo dulunya, untuk hal ini selain tekun menelaah berbagai koleksi
literasi dan bahan pustaka, ia aktif mendatangi narasumber dan tempat yang
menjadi objek penulisannya.
@ Wahyu Toveng - Berbagai sumber
7272
Semesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6Seni
l l
Oktober
Semesta
lEdisi
Edisi6 l6l 2020
lOktober
Oktoberl l2020
2020
Sem
Budi Tompel: Aktor Andal
Kelompok Bandar Teater Jakarta
Edo Pillu: Tinggalkan Kenangan
atau lebih karib dipanggil Budi Tompel, salah seorang pegiat teater Jakarta
Berupa Lukisan ‘Belajar dari Sejarah’ E KOUtaraBudidanDoyo
aktor senior dari Kelompok Bandar Teater Jakarta, meninggal dunia pada 19
September 2020, 22.40 WIB lalu. Kabar duka itu disampaikan melalui postingan di laman grup
S
ELAMAT jalan, kawan Edward Piliang atau Edo Pillu atau Edo Riang (5 Juni 1969
- 21 September 2020), yang wafat di usia 51 tahun. Diabetes dan asma telah
mengoyak-koyak tubuhmu. Edo masuk kuliah di Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan
Desain (FSRD) ISI Yogyakarta pada 1990 dan lulus pada 1997.
Rabu, 16 September lalu ada berita dari rekan Zulkarnaen Damanik
(Jul Batak), bahwa Edo ada di RS Bethesda, Yogya. Sejak Kamis, 17
September istrinya, Tina, mengabarkan bahwa Edo masih dalam
perawatan intensif. Sayang, karena situasi kurang mendukung
untuk menjenguknya, protokol kesehatan yang diberlakukan di
rumah sakit, termasuk tempat opname, belum memungkinkan
untuk tiap orang menjenguk pasien, banyak rekan-rekannya
terkendala untuk membesuknya.
Senin malam, 21 September, kabar duka itu terdengar.
“Perca-perca kenangan masih menempel dalam ingatan. Kita,
misalnya, bolak-balik ikut berunjuk rasa untuk berbagai isu di
Bunderan UGM. Juga pernah aku mengajakmu bersama
S Teddy D plus Yustoni Volunteero untuk berdemo
tentang isu perempuan, bersama para aktivis perempuan Yogya, di alun-alun Jepara pada 1995,” kenang
Kuss Indarto yang dikenal sebagai kurator.
Pemakaman almarhum Edo dilangsungkan pada
Selasa, 22 September 2020, 14.00 WIB. Berangkat
dari rumah duka di Kembaran RT 03 No 142,
Tamantirto, Kasihan, Bantul. Almarhum dikebumi­
kan di permakaman Sonoloyo Lor, Kembaran.
“Oya, lukisan pemberianmu, ‘Belajar dari Sejarah’
masih tersimpan di rumah kok. Itu bagian dari sejarah proses kre­atifmu, juga sekuel dari persahabatan
kita. Terima kasih Edo, untuk semuanya. Untuk Tina dan
Kay, ikhlaskan kepergian ayah Edo ya. Kuatlah... Bismillah...,
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..,” imbuh Kuss.
@ IH - Sumber: Status FB Kuss Indarto
mesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6Seni
l l
Oktober
Semesta
lEdisi
Edisi6 l6l 2020
lOktober
Oktoberl l2020
2020
Facebook Ikatan Teater Jakarta Utara oleh admin grup.
Pria kelahiran 4 Mei 1962 ini sempat terlibat cukup lama dalam pementasan Kelompok
Bandar Teater berdiri pada 5 Juni 1980 oleh para peserta workshop teater dan sastra yang
diselenggarakan Gelanggang Remaja Jakarta Utara. Awalnya kelompok teater ini dipimpin
oleh Ismail Sofyan Sani sebelum akhirnya diteruskan oleh Malhamang Zamzam pada 1986.
Bersama kelompok teater ini, kala itu Budi cukup aktif mengikuti berbagai festival termasuk
Festival Teater Jakarta, hingga menjuarainya beberapa kali dan membuatnya berhak tampil
beberapa kali di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Setelah terbiasa memainkan naskah-naskah terkenal, Budi dan rekan-rekan mulai
bereks­perimen pada 2001, mereka mengusung konsep ketakterdugaan dengan menggelar
The Opening, Balok Es, Pipa Besi, Boneka Sex, dan Panggung Miring. Dalam pertunjukan ini
penonton terbawa dalam sensasi kemungkinan tanpa bisa menebak alurnya.
Pada 2004, Budi bersama Bandar Teater Jakarta meraih Hibah Seni Kelola Kategori Pentas
Keliling untuk Karya Arthefuck (Pada Kapak, Genangan,
Belukaran), berkat dukungan hibah ini, mereka tampil
di Makassar, Solo dan Bandung. Di setiap kota mereka
meminta peseni setempat terlibat dalam pertunjukan,
tanpa latihan, namun hasilnya para peseni mampu
bermain dengan baik dan mempertajam pertunjukan.
Pada 17 Oktober 2017, Budi kembali terlibat bersama
kelompoknya menggelar pertunjukkan fenomenal
berjudul Dancing Queen/ Dansinkwin di basement
Teater Jakarta, TIM yang disutradarai oleh
Malhamang Zamzam dan Dendy Madiya,
pertunjukan ini diambil dari lagu terkenal Dancing
Queen-nya ABBA. Namun pemilihan judul pertunjukan
ini sama sekali tidak mewakili proses pemaknaan
seperti apa yang berlangsung selama proses
pertunjukan itu sendiri, melainkan bagaimana teks
berusaha mengokupasi ruang atau mengaktivasi ruang
berdasarkan teks, yang kemung­kinannya malah mengkritisi
teks itu sendiri.
@ Wahyu Toveng - Berbagai sumber
73
7373
4
In MEMORIAM
Imam Wahyudi Rasyid: Naskah Dramanya
Dipengaruhi Gaya Arifin C Noer
I
MAM Wahyudi Rasyid, salah seorang mantan aktor senior Teater SAE, sebuah kelompok
teater eksperimental pimpinan Boedi S Otong yang sangat berpengaruh pada era ‘80-an,
meninggal dunia pada 17 September 2020 lalu. Kabar duka itu disampaikan oleh adiknya,
Emil NA Rasyid melalui postingan per 18 September 2020, 07.20 WIB di laman Facebook-nya
yang tertulis, “Innalillahi wa innailaihirojiun, Allahummafirlahu warhamu wa’afihi wa’fuanhuu,
selamat tidur masku sayang, mas sudah nggak sakit lagi, semoga Allah melapangkan kuburmu, menerima amal ibadahmu, semoga engkau husnul khotimah, maafkan adikmu ini mas
yang tidak bisa mengantar ke peristirahatan terakhirmu, I love you mas”.
Sedangkan sahabatnya, Jean pada hari yang sama menuliskan kenangannya tentang sosok
pria kelahiran 1 Januari 1958 itu, “Kukenal namanya Imam Wahyudi AR, dulu di era 80-90 ia
pernah aktif di Teater SAE, bahkan pernah terlibat bermain di Teater
Kecil pimpinan Arifin C Noer, kemudian ia mendirikan Teater
Tanah di era itu seusai keluar dari grup Teater SAE, dia sangat
menga­gumi Arifin C Noer, hingga karya naskah dramanya
yang dibuat untuk grupnya dipengaruhi oleh beliau”.
Sahabat almarhum lainnya, Busyra Q Yoga, menuliskan
kenangan berbeda, “Sekitar menjelang pertengahan 1979,
sebagai produksi ke-2, Teater SAE berniat mengikuti Festival
Teater yang diadakan oleh Angkatan Muda Pembaharuan
Indonesia (AMPI) di Gelanggang Remaja Jakarta Pusat (Kebon
Jahe), membawakan naskah Asmaradana, yang merupakan
adaptasi dari cerpen mas Danarto oleh Noorca M Massardi, usai
produksi perdana Teater SAE, Dilarang untuk Melarang (1978),
kami vakum selama lebih kurang 4 bulan, untuk memulai lagi kami tidak punya pemain, saat itulah saya ingat
Imam, Imam menerima dengan baik ajakan saya untuk
bergabung dengan Teater SAE, itulah awal mula Imam
terlibat dengan Teater SAE”.
@ Wahyu Toveng - Berbagai sumber
74
74
M Husseyn Umar: Mulai Menulis
Sejak Berusia 17 Tahun
D
UNIA seni Indonesia berduka saat mendengar kabar bahwa pesyair, ahli
hukum, dan salah satu pendiri/ Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin,
M Husseyn Umar wafat pada Senin, 21 September 2020, 22.33 WIB.
Husseyn tergolong pengarang pada 1950-an yang telah banyak menulis puisi dan
cerpen. Karya-karyanya dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada saat itu,
seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Pujangga Baru, Zenith, Indonesia, Kisah, dan
Budaya. Di samping menulis sajak dan cerpen, ia juga sangat produktif menulis
naskah sandiwara radio. Husseyn juga menulis ulasan pementasan drama, cerita
pendek khusus untuk ruangan cerita minggu pagi, dan langensari.
Husseyn dilahirkan di Medan, Sumatra Utara, 21 Januari 1931. Dia beragama Islam.
Pendidikan formalnya dimulai pada zaman Jepang. Dia mengikuti latihan
pendidikan guru dan pegawai di Pangkalpinang kemudian menamatkan MULO
Bagian B pada 1949. Sesudah tamat SMA bagian A (sastra) di Jakarta pada 1952,
dia me­lanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jurusan
Ilmu Pengetahuan Masyarakat dan tamat pada 1957. Saat itu gelar bagi lulusan
Fakultas Hukum adalah Meester in de Rechten (Mr).
Husseyn mulai menulis sejak masih menjadi pelajar SMA
pada akhir 1940-an. Saat itu, ia berumur 17 tahun.
Setelah lulus Fakultas Hukum, ia seakan-akan
menghilang dari dunia sastra karena kesibukan­nya
sebagai pegawai pemerintah. Setelah pensiun
sebagai pegawai, Husseyn kembali ke habitat
lamanya. Dia rajin menghadiri acara-acara sastra.
Kegiatan Husseyn dalam sastra sangat banyak. Pada
1960 dia pernah menjadi redaktur majalah Roman,
menggantikan Nugroho Notosusanto. Dia juga
mengasuh Ruangan Mutu, Ilmu dan Seni bersama
Wiratmo Sukito dan Anas Ma`ruf di RRI Jakarta.
Ketika masih berstatus mahasiswa, Husseyn pernah
menjadi anggota redaksi majalah Forum
(majalah mahasiswa UI). Di sam­ping
itu, ada bukti-bukti peranan Husseyn
dalam kehidupan sastra, yaitu
ada­nya ulasan atau pendapat
tentang karya-karyanya.
@ IH - Berbagai sumber
Semesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6Semesta
l Oktober
l EdisiSeni
6 ll2020
lOktober
Edisi 6 ll 2020
Oktober lSem
20
Al-Yahya Lahdji
‘Api Asmara’-mu Akan Terus Menyala
B
ILA pada 1975 Anda adalah remaja yang duduk di sekolah menengah yang suka bernyanyi,
lagu Api Asmara, tentu tak asing. Api Asmara yang dinyanyikan Rien Jamain itu begitu hitnya sehingga beberapa penyanyi kondang menyanyikan dengan berbagai versi. Rien Djamain,
sebagai penyanyi pertamanya, juga merupakan album perdananya melantunkan dalam irama
Jazz berkolaborasi dengan Jack Lesmana Combo, kelompok kampiun Jazz Indonesia saat itu.
Ternyata pencipta lagu Api Asmara itu adalah Al-Yahya, pria yang pada 27 September 2020, 14.50
WIB lalu mengembuskan napas terakhir di RS Mintoharjo, Jakarta Pusat dalam usia 72 tahun. Tak
banyak yang tahu kecuali dua adiknya, Edo Abdullah yang pelukis dan Abdul Latif yang
memang bersiaga. Kendati menderita sakit paru-paru, AI-Yahya adalah
salah satu yang terkena protokol pemakaman jenazah Covid-19,
walaupun belum terbukti terpapar. Allah memanggilnya di
saat menunggu hasil Swap Test kedua setelah tes pertama
yang dinyatakan negatif. Pencipta lagu Api Asmara itu
padam dalam kesunyian, namun kita percaya Api Asmara
yang diciptakannya tak akan pernah padam.
Al Yahya telah menciptakan lagu tak kurang dari seratusan
komposisi dengan kualitas peciptaan yang rata-rata dapat
melambungkan nama pendendangnya, sebut saja Rien Djamain
dengan lagu Api Asmara, Bersimbah Air Mata; Harvey Malaiholo
lagu Wajah Sedihmu; Rafika Duri lagu Cintaku Makan Waktu;
Hutauruk Sisters lagu Menata Hati; serta Yuni Sara, Dewi Yull,
Ferdi Ferdian, dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu per
satu.
Al-Yahya memulai karier musik sejak duduk di bangku SMP di Sidoarjo tergabung dalam kelompok The Brims. Lalu banyak
menciptakan lagu untuk AKA Band Surabaya bersama Syeh
Abidin, juga banyak menciptakan lagu Jack Lesmana All
Star dan para penyanyi kondang 1970-an.
Selamat Jalan Al-Yahya, Api Asmara-mu akan terus menyala
sepanjang sejarah musik Indonesia.
@ IH - Sumber: Edo Abdullah
020
mesta Seni
Semesta
l EdisiSeni
6Semesta
l Oktober
l EdisiSeni
6 ll2020
lOktober
Edisi 6 ll 2020
Oktober
l
2020
Nana Sumarna
Cabikan Basnya Sangat Khas
P
ENCABIK bas gitar band Zaenal Combo dan Empat Nada, Nana Sumarna
telah meninggal dunia pada Senin, 21 September 2020 lalu. Dunia musik
Indonesia telah kehilangan musisi yang low profile ini.
Memang di antara musisi, pencabik bas gitar paling jarang disebut dan dieks­
pos, karena posisi mereka yang cenderung di belakang pemain melodi, dan
vokalis, atau drumer. Pencabik bas cenderung mem-back up band. Posisi itu
berpengaruh kepada kepribadiannya yang cen­derung low profile. Nana adalah
satu di antara legenda pencabik bas. Namanya
tertera pada dua band pengiring legendaris
Indonesia, yang populer di era 1960-an hingga
1970-an, yakni Zaenal Combo (pimpinan
Zaenal Arifin) dan Empat Nada (pimpinan
A Riyanto). Sederet penyanyi papan atas
diiringi dua grup ini, di mana Nana menjadi
pencabik basnya. Sebut saja Tetty Kadi, Titiek
Sandora-Muchsin, Broery Marantika, Bob
Tutupoli, dan lainnya.
Awalnya Nana belajar musik
dengan melihat dan cobacoba. Pas kelas 2 SMA diajak
masuk studio rekaman untuk
mengiringi Tetty Kadi. Sejak
itu berlanjut dengan artis
lainnya seperti Titiek
Sandora-Muchsin, Patty
Bersaudara, Erni
Djohan, Arie Koes­
miran, dan lainnya.
Salah satu cabikan
basnya yang membekas
hingga kini adalah lagu
Merantau yang dinyanyikan
Titiek Sandora, dengan
instro bass yang berbeda
dari ‘pattern’ cabikan bas
umumnya.
@ IH - Berbagai sumber
Kontribusi desain grafis: Eki Thadan
75
75
76
Semesta Seni
l
Edisi 6
l
Oktober
l
2020
Download