Nomor 6 - Oktober 2020 Pegiat Seni-Budaya Pantas Dihargai Taufik Rahzen Wirabangsa Tenun Kesadaran Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Achmad Fachrodji Balai Pustaka Konsisten Jaga Warisan Bangsa Jakob Oetama Pahlawan Dunia Pers Indonesia 1 ProFIL C offee Painter Indonesia adalah kumpulan para peseni yang melukis dengan media kopi di atas kanvas. Komunitas ini terbentuk di Museum Seni Rupa dan Keramik saat mereka (dari berbagai komunitas seni) berkumpul dan berkegiatan rutin on the spot atau melukis langsung di tempat. Diprakarsai Jan Praba, May Soebiakto SMT, M Hady Santoso, Dhar Cedhar, dan Sri Hardana (DanArt) mendeklarasikan sebuah komunitas pelukis yang melukis dengan media kopi tepat di Hari Kopi Internasional (International Coffee Day) pada 1 Okt0ber 2018, yang beranggotakan pelukispelukis dari berbagai lintas komunitas yang tertarik dengan media kopi. Coffee Painter Indonesia Berdiri Dua Tahun Lalu in Culture Heritage #2’ yang rencananya akan dilaksanakan 21 - 28 Maret 2020, tertunda karena kondisi Pandemi Covid-19. Kegiatan workshop mereka lakukan di berbagai tempat, seperti di Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Basoeki Abdullah, Museum Bahari, Bentara Budaya Jakarta, Ukrida, SQ Apartment, bahkan sampai ke Jambi dan daerah lainnya. Lukisan dari kopi di atas kanvas ini memang perlu penanganan khusus untuk finishing-nya karena berbahan dasar air/ aquarel maka perlu coating atau pelapis yang berbahan dasar akrilik. Bagi para kolektor tak perlu khawatir. Kopi sebagai bahan untuk melukis pada dasarnya mirip dengan bahan pinsil. Di mana kopi yang dipakai harus melalui proses pembakaran walau tidak secara langsung. Sehingga kopi menjadi seperti arang. Bahan arang inilah yang menyebabkan warna kopi makin lama justru semakin pekat, bukan sebaliknya yang memudar. Kekhawatiran lain yang tak perlu dirisaukan adalah bahwa lukisan kopi ini terjamin keawetannya. Mari berkarya dengan media kopi yang mudah didapatkan di seluruh pelosok Tanah Air. Kegiatan rutin melukis langsung dengan media kopi, workshop di berbagai tempat, bahkan pernah bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta untuk mengadakan lomba lukis dengan media kopi untuk yang pertama kali di Hari Museum Indonesia 2018. Mereka pun beberapa kali berpameran lukisan media kopi di atas kanvas, di antaranya: ‘Ekspresi Nuansa Kopi’ 9 - 15 November 2018 di Semesta’s Gallery, ‘Coffee in Culture Heritage’ 9 - 16 Februari 2019 di Museum Seni Rupa dan Keramik, ‘Coffee in Hero’ 5 - 12 November 2019 di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, dan ‘Coffee 2 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Karya : M Fauzan l Judul : Kuda Tunggang l Kamera : Fujifilm X-T20 l Lokasi : Bintaro, Tangerang Selatan l Waktu : 7 Juli 2020 l Lensa SENI Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 3 D a f tar ISI Kiprah TEATER Teater Kail MEDIA SEMESTA SENI NOMOR 6 l OKTOBER l 2020 2 ProFIL Coffee Painter 10 3 Penghargaan pada Pegiat Seni-Budaya Taufik Rahzen: Lensa SENI M Fauzan Hargai Para Pegiat 4 Bahasan UTAMA Wirabangsa dan Mereka yang Menenun Kesadaran Eka Budianta: Edit ORIAL 6 7 Bagi Teater Kail, tidak sepenuh­ nya pemahaman teater harus selalu dari panggung ke panggung. Yang penting jiwa para anggotanya yang tetap berjiwa sebagai peteater. Seni-Budaya Seiring berkembangnya zaman, karena pegiat seni-budaya juga manusia yang punya rasa untuk dihargai, dan manusia yang punya kebutuhan dalam menopang hidupnya, mereka perlu diberi reward atas kinerjanya. Bukan hanya sekadar pujian, tepukan tangan, dan piagam penghargaan, tetapi perlu juga diberikan penghargaan berupa materi atau donasi. 24 Histori SENI Merari Siregar Rangkayo Rasuna Said l Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) l l Bedah KARYA 24 Kritik Pasemon ‘Serat Plerok’ Karya Yusuf Susilo Hartono 29 Artikel SASTRA Sapardi Djoko Damono: Sastra, Citizen, Netizen Anugerah, Hadiah, dan Bantuan Sudut PANDANG Latar PESENI Achmad Fachrodji: Balai Pustaka Konsisten Menjaga Warisan Bnagsa CC Febriyanto 19 Di tangan Direktur Utama Achmad Fachrodji-lah tata ruang, mana­jemen, dokumentasi, dan visi Balai Pustaka menjadi lebih cerah ke masa depan. Dialah maestro yang bekerja dengan serius tetapi kaya dengan humor, dan piawai dalam berkomunikasi dengan pihak lain. Terlahir Sebagai ‘ The Blind Messenger’ 32 Komunitas SENI Ruang Puisi Kita RPK lahir dari kegelisahan bahwa pada kenyataannya masih belum begitu banyak wadah bagi para peminat dan pecinta puisi untuk dapat menuangkan karya-karyanya. 35 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 51 Pergelaran SENI Kulik MUSIK Frans Raranta Persiapan Pertunjukan Opera Batak Akordion Jadi Instrumen Musik Andalannya 40 Putri Lopian: Tanah dan Tumpah Darah 38 Ulin Yusron: Karya PUISI-PROSA Yudhistira ANM Massardi l Giyanto Subagyo l Sulaiman Juned l Fanny Jonathans Poyk l Mita Katoyo Mengenang Ulang Tahun Glenn Fredly 30 September Renjana Tak Pernah Sirna l 44 l 57 l l Harry Tjahjono Kurt D Peterson l Widodo Arumdono l l Cerita PENDEK l Anil Hukma: l Surut l Ragam SENI Corona At Equator di Dangumanu Atelier To Build the World a New Komite Tari DKJ HUT RRI ke-75 di Tugu Rimba Raya Buku Amrus Natalsya ‘Talkshow’ Jurusan Seni Musik FBS UNJ 61 Kartun HUMOR l Memotret Covid-19 - Dodo Karundeng l Dialog Anggota Tubuh - Munadi l Puisi Kopi - Jan Praba Geliat SENI RUPA Iskandar Surya Putra: ‘Keluhan Akan Menutup Pintu-pintu Peluang yang Besar’ Iskandar SP seorang peseni yang berdomisili di Cibinong, Bogor ini mulai tertarik untuk mendalami ranah seni lukis sejak usia Sekolah Dasar. Di usia 12 tahun, ia memberani­kan diri mempertanyakan, apakah untuk menjadi seorang pelukis dibutuhkan sekolah lanjutan? Loka PUSTAKA Ewith Bahar Serunya Berburu....Data 62 48 65 l Edisi 6 l Oktober l 2020 PEMIMPIN UMUM Imanuel Prabowo PEMIMPIN REDAKSI Ireng Halimun PEMIMPIN PERUSAHAAN RD Nanoe Anka SEKRETARIS REDAKSI Rizka Nurlita Andi REDAKTUR Dyah Kencono Puspito Dewi Wahyu Toveng Fhsale ALAMAT Pasar Seni Gembrong Baru, Ruang 151, Jln Basuki Rahmat, Cipinang, Jakarta Timur PONSEL/ WA: l 0859 599 01 299 (IH) l 0878 7301 0999 (RNA) l 0811 1119 803 (WT) e-MAIL: [email protected] In MEMORIAM Abdul Malik Fadjar l Endo Senggono l Ibrahim Kadir l Cammana l Ade Firman Hakim l Edo Pillu l Imam Wahyu Rasyid l Al-Yahya Lahdji l Semesta Seni PENASIHAT Mayjen TNI (Purn) Dr Syamsu Djalal, SH, MH Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana, MSi 54 Legasi SENI Jakob Oetama l Pandoyo Adi Nugroho l Gatot Soenjoto l Yopie Latul l Alwi Shahab l Budi Tompel l M Husseyn Umar l Nana Sumarna l MANAJEMEN: Maneh Art (PT Maneh Kreatif Desain) Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi lain yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini. 5 EditORIAL Hargai Para Pegiat Seni-Budaya Secara empirik, hanya sedikit orang yang saya temui begitu tidak peduli pada foto dirinya. Baginya, mau seperti apapun posisi dan kualitasnya, sejauh di sana masih terlihat foto wajahnya, ia tidak mempersoalkannya. Namun jauh lebih banyak orang yang sangat rewel dan mengecek dengan detil posisi dan kualitas foto dirinya sebelum di-publish. Mengapa? Setiap kali kita melihat album foto kegiatan, kita masing-masing fokus mencari-cari foto yang ada diri kitanya. Seperti juga lagu/ suara yang paling indah adalah saat nama kita disebutkan orang lain. Sesuai Piramida Kebutuhan Manusia menurut teori AA Maslow, kebutuhan 1. Fisiologis, 2. Rasa aman, 3. Cinta dan Kasih-sayang, 4. Penghargaan, dan 5. Aktualisasi diri, maka pada tingkat 4. Penghargaan adalah suatu kebutuhan manusia yang hakiki. Manusia umumnya butuh pengakuan, apresiasi, atau penghargaan. Apalagi bagi para pakar, tokoh agama, atlet, dan peseni di samping mereka butuh penghargaan pada dirinya, mereka pun butuh penghargaan pada karya dan pada apa yang dikerjakannya. Pada dasarnya para pegiat seni-budaya melakukan kegiatannya dengan dasar kecintaan (afeksi) terhadap kesenian. Bahkan banyak yang menjadikannya sebagai the way of life atau keyakinan beberapa tingkat di bawah keyakinannya pada agama. Mereka tidak membawa kalkulator untuk menghitung hasil finansial yang akan didapat, karena pada awalnya mereka tidak menjadikan kesenian sebagai profesi. Seiring berkembangnya zaman, karena pegiat seni-budaya juga manusia yang punya rasa untuk dihargai, dan manusia yang punya kebutuhan dalam menopang hidupnya, mereka perlu diberi reward atas kinerjanya. Bukan hanya sekadar pujian, tepukan tangan, dan piagam penghargaan, tetapi perlu juga diberikan penghargaan berupa materi atau donasi agar kelangsungan hidupnya dan kelangsungan proses penciptaan karya seninya tetap terjaga. @ Ireng Halimun - Pemimpin Redaksi 6 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 K i p r a h T E AT E R Teater Kail Tetap Berjiwa Sebagai Peteater Dengan memakai nama teater semestinya berpentas di panggung teater. Tidak demikian bagi Teater Kail. Baginya tidak sepenuh­nya pemahaman teater harus selalu dari panggung ke panggung. Namanya tak akan berubah, seperti jiwa para anggotanya yang tetap berjiwa sebagai peteater. S EJARAH tidak bisa dimusnahkan, seperti sang sutradara yang menjadi pemimpin Teater Kail Sutarno Sk. bahwa dia pernah bermukim di Teater Mandiri. Begitu juga bagi para mantan anggota Teater Kail yang sejak 1973 hingga 2020, mereka tetap mengakui bahwa kampus teaternya adalah di Teater Kail. Teater Kail adalah sebuah lembaga pendidikan nonformal yang menerapkan sistem penggojlokan dan bengkel penempaan, agar anggotanya tertempa layaknya menjadi keris, pedang, atau anak panah yang sangat tajam. Pengakuan ini penting, masyarakat harus paham de­ngan pentingnya kedisiplinan dalam berseni teater. Yang tumbuh Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 mengakar di kepala manusia, di hati manusia, dan di batin manusia. Bukan melulu kesenian condong untuk sekadar bersenang-senang, membuang-buang waktu, dan menipu, tetapi ada upaya untuk memiliki moral yang baik. Orang-orang yang sejak awal berdirinya, 1973, menopang keberadaan kelompok ini tersebar dari wilayah Menteng Pulo, Jakarta Selatan ke Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan ke kota-kota lain, tentu saja tidak dapat disebutkan keseluruhannya. Para anggota Teater Kail yang pernah mendukung dalam mengguncangkan panggung teater di kota-kota yang disambangi sebagai tempat pentas, memberikan testimoni atau kesaksian sebagai berikut: Sutarno Sk: Inilah, aku, Sutrano Sk. Aku lahir di Jakarta pada 1952 bulan 02 tanggal 22, anak ke-2 dari 4 bersaudara. Di usiaku 22 tahun, aku mendapat kesempatan kepercayaan dari Pimpinan dan Pembina serta Fasilitator Teater Kail sebagai sutradara. Maka aku pun keluar dari Teater Mandiri mengikuti saran guruku mas Putu Wijaya, bahwa segalanya diperlukan totalitas. Sejak 1974, aku mulai mengikutsertakan Teater Kail dalam acara Festival Teater Remaja (FTR) ke-2 (1974). Pada waktu itu Bapak Wahyu Sihombing sebagai Penggagas Festival Teater Remaja di Jakarta yang mengharapkan festival ini mampu menggerakkan perteateran di Jakarta, dapat pula mendampingi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta sebagai pabrik seniman dan pekerja seni ke depan. Dan teater Kail berhasil menjadi pemenang tiga tahun berturut-turut (1974, 1975, dan 1976). Di usiaku ke-23 tahun. Pada Final FTR-1975 berhasil meraih Medali Sutradara Terbaik I, Penata Artistik I, Aktor serta Aktris dan Grup Terbaik II mementaskan naskah Sang Pange­ ran karya Arswendo Atmowiloto, pemenang Lomba Naskah Teater yang juga diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Naskah-naskah hasil lomba menjadi naskah wajib finalis FTR. Di final yang terkumpul 25 grup, bisa jadi dua atau tiga grup mementaskan naskah yang sama. Walhasil, kelihatan sekali, cara bedah naskah sutradara-sutradara itu. Ada yang kelihatan cerdas, yang kampungan, yang naïf, yang sombong, yang norak, yang sarat simbol, yang vulgar, dan sebagainya buat satu judul naskah saja. Di usiaku ke-24. tahun. Pelaksanaan festival sempat ter­sendat. Sama seperti sekarang ini, tergantung dari keuangan Pemda. Hingga final yang biasanya dilaksanakan pada akhir tahun, diundur hingga awal 1977. Kembali kami, Teater Kail, berbahagia. meraih medali yang tergantung di leher kami, Aktor, Aktris, Tata Artistik, Kelompok Makan, 7 K i p r a h T E AT E R Grup Ter­baik I, dan saya pribadi tidak mendapat medali sebagai sutradara dengan alasan menurut seorang pengamat seusai lomba saat itu, salah satu juri tidak setuju dengan tambahan adegan pada ending pementasan. Katanya di naskahnya tidak ada kesimpulan, menurut juri saya sudah menyimpulkan atau menjawabnya dan itu sudah merupakan kesalahan sutradara. Namun gebyar sudah digebyarkan. Teater Kail bersiram Emas, dan sesuai janji Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Teater Kail dinobatkan sebagai Teater Senior, mengikuti jejak Teater Remaja Jakarta de­ ngan sutradara Aldisar Syafar dari Jakarta Pusat, dan Teater Ibukota, dengan sutradara Abdi Wiyono, dari Jakarta Barat, Teater Lisndra (katakanlah sebuah jelulusan) Festival Teater Remaja I/1975, dan Teater Kail lulus di FTR II/1976 bersama Road Teater dengan sutradara Wahyudeen Noersan. Di usia ke-25 tahun. Tahun 1977. Saya pribadi mendapat penghargaan dari SAIF, sebuah lembaga persahabatan Amerika dan Indonesia, yang memberikan penghargaaan bagi seniman-seniman muda di Asia, yang 3 tahun berturut-turut jatuh di Indonesia. Rudolf Puspa pada 1976 dari Teater Keliling, saya, dan Wiwiek Sipala mahasiswa tari dari IKJ pada 1977, Syarifuddin Ach Pimpinan Teater Gelang- 8 gang Remaja Jakarta Timur, dan pelukis Dede Eri Supria pada 1978. Setelah itu tidak kedengaran lagi. Mungkin jatuhnya bintang itu di wilayah lain. Salah satu penilaiannya mungkin karena saya mampu berturut-turut memper­ tahankan (membina) pemain-pemain Teater Kail. Dalam perenungan saya berikutnya, ternyata “tak cukup sedih”, jika kita tak punya fasilitas kasat mata. Mungkin bisa diganti dengan kharisma kepemimpinan, bagaimana anggota kita mau “berbakti” kepada kelompoknya. La tahzan, jika kurang modal, Berangkat dari yang ada, Putu Wijaya, Samma, Nani Tandjung, dan yang lain. Tak perlu menangis (sendiri). Maka marilah menangis ramairamai hingga air mata kita menggenang menenggelamkan diri kita sendiri, bercuci, dan membersihkan diri kita sendiri untuk terus belajar dan bekerja. Istiadi: Lahir di Jakarta 2 Agustus 1966. Berawal dari sifat pemaluku yang berlebihan, grogian, cara bicara yang cenderung cepat dan merepet, aku coba-coba mengikuti ekskul teater di sekolahku, SMAN 33 Cengkareng, Jakarta Barat. Ekskul ini dipimpin oleh Ibu Nani Tandjung dan Bapak Sutarno Sk. Mas Tarno biasa kupanggil, adalah pemim­ pin sekaligus sutradara dari Teater Kail, yang sejak 1976 “dinobatkan” se­bagai Grup Senior setelah memenangkan Festival Teater Re­maja Jakarta tiga tahun berturut-turut (1974, 1975, dan 1976). Memasuki dunia teater seperti memasuki dunia yang berbeda. Karena teater bagiku bukan hanya sekadar sebuah pertunjukan atau tontonan, namun menjadi kawah candra­ dimuka untuk membentuk kepribadian yang kuat, tangguh dan tangkas. Syaratnya kita ikuti prosesnya dengan disiplin, sungguh-sungguh sampai menuju sebuah pementasan. Teater juga bukan sekadar melatih intonasi, artikulasi, menghafal, improvisasi, blocking, grouping, dan keberani­an saja, namun banyak ilmu yang tanpa disadari sangat bermanfaat ketika kita berada di alam nyata. Bermasyarakat di lingkungan rumah, atau berkarier di dunia kerja, aku jadi mudah beradaptasi, kreatif, peka terhadap keadaan sekitar “sadar blocking” (sadar diri dengan posisinya di masyarakat), dapat menyusun atau merangkai kata-kata sebelum berbicara, hingga membawaku menjadi seperti saat ini. Di masyarakat, aku pernah jadi Ketua RT, Ketua RW, Ketua Alumni, dan ketua dari berbagai organisasi. Di dunia kerja mulai dari menjadi staf biasa, supervisor, kabag, manajer, sampai pernah ‘ngerasain’ jadi direktur. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 mengikuti arus, terus marah, terus memberi kasih dan memberi rindu. “Drama is Conflict”- Stanislavsky Dwi Bagus MB: Saya mengenal teater sejak 1980, kemudian bergabung de­ ngan Teater Kail pada 1983 melalui kegiatan ekskul di sekolah. Pentas pertama “di luar” sekolah pada April 1984 di Pasar Seni Ancol membawakan lakon Lysistrata karya penulis komedi Yunani klasik Aristophanes (446 – 386 SM) yang disadur WS Rendra. Disusul kemudian pentas karya/ sutradara Sutarno Sk yang cukup fenomenal, Bangsat, di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 14 – 16 September 1984. Bangsat dipentaskan dalam suasana yang kurang menguntungkan, karena hanya dua hari setelah peristiwa berdarah yang sangat memilukan; Peristiwa Tanjung Priok. Kemudian saya terlibat dalam beberapa produksi lagi, termasuk menjadi Juri Lomba Baca Puisi. Berada di Teater Kail, seperti berada di rumah besar, de­ngan segala dinamika kehidupannya, dengan segala macam sifat dan kepribadian penghuninya, tapi yang pasti hangat penuh kekeluargaan. Tomi Faisal Alim: Kail. Apa tuh?.... oh pancingan..... memancing kehidupan... tapi bisa juga kail kehidupan. Hmm... banyak hal tafsiran di masa itu kala duduk di bangku SMA 33 pada ‘83-an. Ahh ikut, saya kan bisa melukis dan suka puisi saya juga mau belajar teater. Masih hangat dalam imaji... Mereka datang ke sekolah kami di Cengkareng. Tegas, bersahaja, keibuan dialah Mba Nani yang saya kenal dan Mas Tarno yang lebih banyak diam, tapi sepertinya Sutarno Sk yang ramping kumisan sedang mencari bibit baru untuk anggota­nya. Kelihatan jual mahal tapi sepertinya butuh pemain polos namun andal. Siaap deh... hajar.. boleh jadi ini akan menjadi dunia baru buat saya, sepertinya pas sama jiwa dan ekspresi saya walau dulu masih agak cemen. Tak peduli siapa mas Tarno pokoknya wawasan berkesenian, pentas, eksis di mata teman dan tentunya bisa berlagak karena dapat menyuara­kan hati nurani rakyat lewat panggung teater. Heee...Sedikit sotoy sih. Ya itu ringkas cerita perkenalan saya dengan mbak Nani dan mas Tarno sekeluarga di teater Kail, yang membawa saya lebih total di kesenian. Kail idealis, keras dan bersahaja. Semua anggota layaknya bagian keluarga. Ikut buat sambel, makan bareng seada­nya. Dilatih layaknya Kempetai. Mas Tarno pernah bilang kalian se­ perti harus seperti pasukan para komando’. Somprett.... kadang ngedumel walau terus lakukan latihan keras perintahnya. Taeek... itu yang sering didengar kalau sudah garang mela­ tih.... mondar-mandir.... manyun.... sambil ngepul. Dalam hati tetep ngeheek... Tapi saya tetap setia dengan Kail, walau kadang jarang bertemu. Hingga ilmu teater terus saya bawa selama saya keYogya hingga kini melekat kapanpun dan di manapun. Karena tak jauh runtuh, bahwa didikan seorang bapak alhasil sedikit tertanam dan membentuk pada anak.... terbukti saya juga kadang lebih garang kala masuk dalam melatih teater. Lagi-lagi di manapun dan kapanpun. Tapi saya tak menggunakan kata “taeeek”. Kini mas Tarno sudah gaek. Tapi teater Kail masih terus gelisah Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Teater Kail, buat saya, bukan sekadar wadah untuk mengeks­ presikan diri, tapi lebih dari itu…. Tempat saya menimba ilmu dan hikmah kehidupan. Memang, Teater Kail terlalu luas untuk disebut samudra, tapi terlalu sempit kalau dibilang akuarium. Mungkin lebih tepat kalau disebut kolam, karena tetap bisa digunakan untuk mengail. Banyak hal yang saya dapat, bukan hanya ilmu teater yang kemudian saya sempat mencari nafkah dengannya, mengajar dan memberi workshop teater di sekolah dan di kampus. Di kolam ini saya—dan temanteman—belajar berenang. Belajar (mengarungi) kehidupan. Di usianya yang ke-46 tahun, Teater Kail tetap bisa eksis, meskipun tidak gegap gempita dan jauh dari publisitas. Te­rus berkontribusi bagi kesenian di Indonesia melalui ber­ bagai kegiatan; pentas monolog, baca puisi, menerbitkan buku sastra, workshop make up karakter, pelatihan teater, dan sebagainya. Pengampunya adalah pasangan yang luar biasa, Mas Sutarno Sk dan Mbak Nani Tandjung (semoga Allah merahmati mereka berdua). Meskipun dalam serba keterbatasan, mereka berdua terus bergiat menopang Teater Kail agar tetap bisa berdiri. Teater Kail adalah karang kecil yang menolak tumbang dihantam gelombang.n @ IH - Sumber: Nani Tandjung 9 B a h a s a n U TA M A Penghargaan pada Pegiat Seni-Budaya Bisa jadi banyak orang yang melakukan penghargaan/ apresiasi terhadap karya seni tetapi mereka tidak me­ nyadarinya. Apresiasi terhadap karya seni memang mengalir begitu saja. Namun apakah penghargaan itu juga diberikan selayaknya kepada yang menciptakan karya seni? D IKUTIP dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, istilah apresiasi seni atau mengapresiasi karya seni berarti memahami seluk-beluk karya seni serta menjadi sensitif (peka) terhadap segi-segi estetikanya. Apresiasi dapat diartikan berbagi pengalaman antara peseni dengan penikmat karya seni. Kegiatan apresiasi seni berarti upaya memahami berbagai hasil karya seni dengan segala permasalahannya serta menjadi lebih peka terhadap nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya. Dengan mengerti dan menyadari sepenuhnya seluk-beluk suatu hasil karya seni serta menjadi sensitif terhadap segi-segi estetiknya, seseorang diharapkan mampu menikmati dan menilai karya seni tersebut dengan semestinya. Ada dua fungsi kegiatan apresiasi seni, yaitu pertama meningkatkan dan memupuk kecintaan kepada karya bangsa sendiri dan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia, kedua, hubungannya dengan kegiatan mental manusia yaitu penikmatan, penilaian, empati, dan hiburan. Apresiasi seni memunyai manfaat besar bagi ketahanan budaya Indonesia. Melalui apresiasi kesenian Indonesia, seseorang dapat lebih mengenal dan menghargai budaya bangsanya sendiri. Melalui kegiatan apresiasi, seseorang dapat belajar untuk memahami dan menghargai karya seni. Implementasi kegiatan apresiasi seni untuk menghargai berbagai perbedaan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kepedulian terhadap karya seni dan warisan budaya bangsa lainnya dapat ditumbuhkan dengan pembelajaran apresiasi ini. 10 10 Pada rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Anugerah Kebudayaan kepada 59 orang, baik perorangan maupun komunitas. Penghargaan tersebut diberikan atas prestasi dan dedikasi yang telah ditorehkan dalam membesarkan kebudayaan Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 10 Oktober 2019 di Istora Senayan. Nadjamuddin Ramly, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, mengatakan pemberian anugerah kebudayaan menjadi penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah kepada para pegiat seni-budaya. “Mereka tidak hanya menjadi pelaku seni dan budaya, tetapi sekaligus menjadi pelestari. Kontribusi mereka terhadap kelestarian kebudayaan Indonesia amat besar dan merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk memerhatikan para budayawan yang berprestasi,” tegasnya. Terdapat 65 orang yang sudah menerima predikat Maestro Seni Tradisi dari Kemendikbud. Setiap orang mendapatkan uang kehormatan sebesar Rp 25 juta per tahun hingga sang maestro meninggal dunia. “Ini bagian dari kontribusi negara. Namun APBN kita masih terbatas. Sebenarnya nilai Rp 25 juta itu masih sangat kecil jika dibandingkan dengan pengabdian mereka seumur hidup. Dari generasi ke generasi mereka melestarikan dan menjaga budaya. Kalau tidak ada Maestro Seni Tradisi di kampungnya masingmasing, banyak kebudayaan kita yang bisa punah dan tidak bisa dinikmati lagi oleh generasi bangsa,” tutur Nadjamuddin. Semesta Semesta Seni Seni ll Edisi Edisi 66 ll Oktober Oktober ll 2020 2020 Di tahun yang sama, Pelestri Cagar Budaya Yayasan Panti Asih Pakem, Pelestari Pelaku Tradisi Budaya Tugiran, Seniman Cermo Suprobo, Budayawan Argo Trikomo, Kreator Mila Rosinta Toto Atmojo mendapatkan penghargaan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman. Kegiatan yang didanai menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) ini merupakan pelaksanaan Program Kegiatan Pembinaan Lembaga Pegiat Seni. Ada juga Maestro Budiman dan generasi muda berprestasi di bidang Kebudayaan Sahasrarapadma Hangga Arwina. Masing-masing mendapat piagam, uang pembinaan dan plakat. Tujuan pemberian penghargaan ini sama dengan rangkaian PKN yaitu upaya untuk menjaga budaya dari pengaruh serta unsur-unsur yang merusak budaya lokal yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri, serta mempercepat akselerasi pembangunan, budaya tepa selira yang dapat menciptakan kondusivitas serta nilai-nilai budi pekerti atau unggah-ungguh untuk membentengi masyarakat dari pengaruh budaya luar yang bersifat negatif. Pemberian penghargaan pegiat seni pun tidak serta-merta dilakukan oleh Pemerintah saja. Ciputra Artpreneur Jakarta menginisiasi kegiatan sosial #BersamaBantuSesama, program donasi bagi para pekerja seni serta pekerja harian lepas yang terdampak Pandemi Covid-19. Program ini direalisasikan dalam bentuk 1.000 paket kebutuhan pokok yang disalurkan secara simbolis, di Jakarta, pada 18 Mei 2020. Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Jakarta Rina Ciputra Sastrawinata mengatakan, program yang digaungkan sejak awal April 2020 lalu merupakan kolaborasi antara Grup Ciputra, Teater Koma, Teater Keliling, Teater Semesta Semesta Seni Seni ll Edisi Edisi 66 ll Oktober Oktober ll 2020 2020 Gandrik, Bumi Purnati Indonesia, TEMAN, CCAI, dan Aku Anak Rusun. Kemudian, Titimangsa Foundation, Jakarta Move-in, Twilite Orchestra, The Resonanz, dan Purwacaraka Music Studio, dan didukung +Jakarta, platform kolaborasi Pemerintah DKI Jakarta. “Pandemi Covid-19 telah berdampak signifikan di berbagai sektor kehidupan, termasuk bidang seni dan budaya,” ujar Rina. Dalam bidang seni dan budaya, elemen yang paling terdampak adalah para pegiat seni, dengan melihat fakta bahwa berbagai pertunjukan seni dan budaya di Indonesia saat ini tidak digelar untuk sementara waktu. Para pegiat seni didefinisikan sebagai kru dan pekerja harian lepas yang turut aktif mendukung kegiatan seni, budaya, dan industri kreatif di Indonesia. “Berangkat dari keprihatinan itu, maka kami mengam­panyekan kegiatan donasi sosial #BersamaBantuSesama, dengan tujuan membantu para penggiat seni melewati masa-masa sulit,” imbuh Rina. Kegiatan donasi masih terus berjalan hingga saat ini, tidak menutup kemungkinan skala dan kuantitas penyalurannya akan bertambah. Menurut Rina, donasi ini disalurkan ke pegiat seni di seluruh wilayah Tanah Air, tidak hanya di Jabodetabek. Pendataan para penerima donasi ini juga melibatkan berbagai pihak karena program ini juga merupakan sebuah kolaborasi dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kompetensi di bidang seni, budaya, dan industri kreatif. Kembali lagi pada para pegiat seni di daerah, ada delapan figur yang konsisten dalam pelestarian budaya dan seni tradisi Banjar meraih penghargaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin. Mereka dinilai berjasa dalam mengembangkan seni budaya di Kota Banjarmasin, terutama pelestarian khazanah Banjar. Penghargaan ini pun langsung diserahkan Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina di sela Kongres Bahasa Banjar yang dihelat di Hotel Best Western Kindai Banjarmasin, pada 6 Desember 2019. Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Kota Banjarmasin Fatimah Adam mengungkapkan delapan orang yang menyabet penghargaan merupakan para tokoh yang berjasa dalam menghidupkan kembali seni dan budaya Banjarmasin. Fatimah menyebut mereka adalah para peseni, pakar budaya dan insan pers yang peduli terhadap keberlangsungan seni dan budaya Banjarmasin. Masing-masing para peraih penghargaan ini pun diganjar hadiah Rp 10 juta plus piagam penghargaan sebagai bentuk apresiasi dari Disbudpar Kota Banjarmasin. 1111 B a h a s a n U TA M A Mereka yang meraih penghargaan adalah pakar budaya kawakan Banjar, almarhum Syamsiar Seman yang diwakili putranya. Pelukis kawakan era 1960-an yang menembus kancah nasional dan internasional dalam karya kanvasnya, Misbach Tamrin. Kemudian, sang perancang busana khas Banjar Dwi Kawang Yoedha, pegiat budaya Banjar Siti Nursiah, dan sang pesastra mamanda Anang Syahrani. Dari kalangan pewarta pemerhati budaya Banjar disabet Syaiful Anwar, pelestari tari Manopeng asal Basirih, Anang Kaderi serta peseni kriya khas Banjar, Nanang Tabrani. Bali pun tidak mau kalah dalam memberi penghargaan kepada pegiat seni yang berprestasi. Dalam hajatan Festival Seni Bali Jani, bagi pegiat seni modern, seni inovasi dan kontemporer di Bali terasa istimewa. Pasalnya, ada tujuh sosok pegiat seni Bali modern dengan dedikasi di bidang seni modern dinilai secara konsisten berkarya, berhak atas penghargaan bergengsi berupa Bali Jani Nugraha 2019. Mereka adalah Ida Bagus Anom Ranuara (peteater), I Made Adnyana ‘Ole’ (pesastra), I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (pesastra), I Made Adnyana (pekritik film/ musik), I Putu Wirata Dwikora (pekritik seni rupa), Ida Ayu Oka Rusmini (pesastra), dan I Kadek Suartaya (pekritik seni pertunjukan). Ketujuh pegiat seni modern ini layak menerima penghargaan karena kiprahnya secara konsisten berkarya memajukan ekosistem seni khususnya modern dan kontemporer di Bali. Dalam berkarya, tujuan seorang peseni bukan melulu untuk mendapat hadiah atau penghargaan, melainkan untuk menciptakan karya seni bermutu. Sehingga penghargaan ini bukanlah tujuan, apalagi tujuan terakhir bagi proses berkarya seorang peseni. Penghargaan ini justru menjadi satu hal lain yang bisa saja membantu seorang peseni dalam memuluskan jalan untuk mencapai tujuan yang hakiki dalam proses berkarya seni. @ Rizka Nurlita Andi/ IH 12 12 Indonesia Raih 19 Medali Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan 2019 I ndonesia meraih 19 medali di bidang pentas seni kejuaraan vokal, bernyanyi sambil bermain musik, dan modeling dalam Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan (World Championships of Performing Arts/WCOPA) 2019 di Amerika Serikat. Ratusan penyanyi, petari, aktor, model, instrumentalis, dan berbagai artis terbaik dari 66 negara tampil dan berkompetisi dalam ajang dunia WCOPA 2019. Direktur Nasional WCOPA Indonesia, Feibe Pusung, menyatakan penghargaan kepada para kontestan yang telah meraih medali. Dia juga menyampaikan penghargaan kepada orangtua dan pemerintah RI. “Kami sangat berharap dukungan pemerintah secara penuh untuk World Championships of Performing Arts 2020 karena kompetisi semakin tinggi tantangannya, dan supaya kita akan semakin mampu berkiprah di ajang kompetisi dunia,” ucap Feibe. Delegasi Indonesia yang terdiri atas 14 orang diwakili dari Jakarta, Tangerang, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara sebelum bertolak ke Amerika Serikat mendapat motivasi dan dilepas oleh Chandra Negara, Direktur Hubungan International Badan Ekonomi Kreatif Indonesia di gedung Kementerian BUMN. Di Los Angeles, mereka disambut dan diterima Konsul Jenderal RI di Los Angeles Saud Purwanto Krisnawan. Konjen Saud menyampaikan bahwa dengan mewakili Indonesia bertanding di ajang WCOPA, putra-putri Indonesia telah menjadi pejuang dan duta seni bangsa Indonesia. Sebelum bertanding, para peserta dibekali pelatihan, wawasan dan simulasi perlombaan seni dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang diterima sebagai anggota terbaru dan mulai mengikuti kompetisi sejak 2015 dan telah meraih total 80 medali yang menunjukkan keunggulan di bidang pentas seni, di antaranya pernah meraih penghargaan paling bergengsi yaitu Junior World Champion the Instrumentalist, Champion of the World Division Winner Solo Vocal, solo vocal kelompok umur 11 15 tahun, dan di bidang musik instrumen piano. “Putra-putri Indonesia secara konsisten unggul di kate­ gori vokal Pop, RnB, Soul/Jazz, Gospel, open all style, bernyanyi sambil bermain musik, dan bermain musik,” kata Maristela, Wakil Direktur WCOPA Indonesia yang ikut serta mempersiapkan delegasi dan menyaksikan gencarnya kompetisi di WCOPA 2019. Setelah 18 tahun di selengarakan di Hollywood, lima tahun di Long beach, WCOPA tahun depan akan diselenggarakan di DisneyLand, Anneheim Californa, AS. Dengan acara diselenggarakan di Disneyland tahun depan diharapkan akan menarik semakin banyak negara dan peserta yang antusias dan berlomba-lamba untuk dapat mengadu kebolehan di bidang seni pertunjukan. Audisi delegasi Indonesia untuk mengikuti WCOPA 2020 akan dibuka pada Agustus 2019 melalui www.wcopaindonesia.com. WCOPA 2020 akan dilaksanakan pada 24 Juli hingga 2 Agustus 2020 di Disneyland Anaihem, California, Amerika Serikat. Peraih medali dalam Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan 2019 di Amerika Serikat. @ IH - Sumber: AntaraNews.com Semesta l Edisi l Semesta SeniSeni l Edisi 5 l 46September l Agustus Oktober lll 2020 2020 Wirabangsa dan Mereka yang Menenun Kesadaran Malam reboan kemarin, sebuah perhelatan bersahaja diselenggarakan pada tempat yang tak lazim; di atas atap sebuah pasar yang biasanya digunakan sebagai parkiran. Ini kali pertama lahan itu berganti peran. Lukisan mural yang menghias tembok, menjadi penanda sekaligus pembatas antara dunia siang dan malam. Mendung yang membayang sejak siang, tak mam­ pu menahan bulan purnama. Sinarnya bertindihan dengan kerlap-kerlip terang apartemen. K ITA sedang memulai sebuah inisiasi. KITA yang berarti kalian mitra, dan juga perpanjangan dari Kerapatan Indonesia Tanah Air; sedang belajar mendengar, belajar menyerap pengalaman dari mereka yang telah berjalan lebih lama. Malam itu KITA mendengar dan menyimak suara lirih yang acap tenggelam dalam keramaian dunia sehari-hari. Tiga orang yang hadir dan dihadirkan malam itu, seperti memberi jeda, memberi teguran yang mengingatkan arah jalan yang harus dilalui. “Modal saya berkesenian hanya dua: nyali dan silaturahmi. Lainnya, akan mengikuti peristiwa. Saya tak memulai kegiatan dengan dana, yang memang tak pernah saya miliki. Silaturahmi adalah sumber yang tak berhingga, dan nyali hanyalah pencetusnya,” kata Ireng Halimun, pejalan sastra yang tak letih bergerak. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 @ Taufik Rahzen Ireng yang lahir dan besar di Jakarta ini, termasuk mereka yang percaya pada kata-kata. Setiap kata adalah benih untuk menciptakan dunia yang terbayang, dunia yang disusun dari gagasan. “ Setiap pengarang menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang selalu ditawarkan pada yang lain, sebagai alternatif dari realitas sehari-hari. Pesastra merajut kata-kata, untuk merayakan keragaman. Karena dengan beragamlah, kita mencerminkan kemerdekaan kita,” tambahnya, melalui mata yang menyala. Dengan nyala keyakinan inilah, Ireng tak henti-hentinya bersilaturahmi, menemui siapa saja yang bisa ditemui. Meng­ajak berbicara, mengolah kata dan menuliskannya. 13 B a h a s a n U TA M A Menyuling Ingatan Baginya silaturahmi adalah tujuan sekaligus cara bertindak. Hanya dengan nyali yang tulus, silaturahmi memiliki maknanya. Silaturahmi publik ia lakukan melalui pergelaran sastra. Tak kurang dari lima kali pergelaran Sastra Semesta diselenggarakan dalam satu tahun terakhir. Pergelaran diselenggarakan berdasarkan kebutuhan, bukan berdasar jadwal waktu, walaupun direncanakan setiap dua bulan sekali. “Setiap masa memiliki kata-katanya sendiri, sebagaimana setiap zaman memiliki generasinya sendiri. Melalui Sastra Semesta kita membuat upacara kelahiran kata-kata dan penciptaan dunia sekaligus. Pada galibnya, pesastra adalah rasul pembawa berita,” kesimpulannya berapi-api. Lima edisi media Semesta Seni pun telah diterbitkannya, walau hanya dibantu oleh 3 - 4 orang muda yang dia juluki sebagai “pejuang tangguh”. Ragat Sukabumi Dalam usianya melampaui enam puluh tahun, tubuhnya terlihat kekar berisi dengan jalan yang ringan melayang. Ia seperti senang berjalan, dengan telapak kaki yang menyentuh bumi sepenuh-penuhnya. Ia mudah menyisipkan dirinya dalam kerumunan, mengetahui cermat di mana harus berada. Jari-jarinya kekar, seperti sedang membawa bara. Telah empat puluh tahun ia menjadi pembawa dan pembagi energi. Ia menghidupkan keseimbangan energi pada tubuh-tubuh pasiennya untuk mengembalikan kebugaran. Tak kurang dari 200 murid-muridnya menyebar di seluruh Tanah Air, juga menjaga keseimbangan tubuh. “Kesehatan adalah kemerdekaan. Dan sebagaimana kemerdeka­ an, kesehatan adalah hak segala bangsa,” katanya metaforis. Pandangannya tentang kesehatan dan tubuh yang sederha­na, justru memikat. Baginya, tak ada penyakit permanen, yang 14 Setiap subuh Budiman melangkah menyusuri Jakarta menggunakan kendaraan pertama yang lewat. Berjalan pergi dalam gelap dan pulang gelap selepas magrib, telah dilakukannya sejak 40 tahun silam. Orang tua santun dengan suara lirih ini, melakukan sesuatu yang tak terbayang dalam era banjir informasi ini. Ia seperti penjaga kesadaran yang memungut ingatan yang terbuang secara sengaja atau tak sengaja. Piagam penghargaan dari KITA untuk Sastra Semesta. terjadi hanya ketakseimbangan. Sistem tubuh yang tak seimbanglah, yang memungkinkan berbagai anasir untuk masuk sekaligus membuat ketahanan tubuh melemah. Sehingga mengembalikan keseimbangan merupakan tujuan sekaligus cara bagi penyembuhan. Membuka seluruh aliran darah yang tersumbat, dan membiarkan alam bekerja selanjutnya. “Ada tiga prinsip untuk memulihkan ketidakseimbangan: pertama, kita harus memahami seluruh peta tubuh dan aliran darah; kedua, mengetahui di mana titik totok pembuka; dan ketiga, siapa yang melakukan tindakan. Tubuh Bumi yang nanti bekerja membuat keseimbangan,” katanya mencoba meringkas metode Ragat Sukabumi. Dan metode ini, bagi­ nya, berlaku pula untuk merawat masyarakat yang sakit, serta bagaimana melakukan perubahan sosial. Ragat artinya merawat, memelihara dan menjaga raga. Sementara Sukabumi, adalah tindakan mencintai bumi dan juga daerah tempatnya berasal. Ragat Sukabumi Haji Uhud, kini berkembang menjadi gerakan akar rumput yang secara radikal menjaga ketahanan tubuh dan kesehatan jiwa. Menyusuri lapak-lapak pembuangan untuk memperoleh buku dan informasi ikutan yang ada, serta menyalurkan kepada sasaran yang tepat, merupakan pilihan hidupnya. Ia menyuling ingatan terbuang menjadi kesadaran yang hidup. Mendorong berbagai komunitas untuk menyusunnya sebagai ilmu. Umurnya diwakafkan sebagai penyedia bahan dasar bagi penge­tahuan tentang ke-Indonesia-an. Budiman adalah pemasok individu terbesar pada lembaga penelitian dan perpustakaan dunia. Library of Congres America, House of Japan, KITLV Belanda, British Council, Australian Embassy, dan tak terhitung perpustakaan universitas dan lembaga riset dunia lainnya. Ia yang memilah dan memilih buku-buku yang tepat, untuk siapa dengan tema apa buku itu pantas berlabuh. Ribuan akademisi dan pembaca yang melakukan studi tentang Indonesia, berutang budi pada jasanya yang senyap menjaga ingatan. “Saya hanya bermaksud untuk melawan lupa, setidaknya untuk diri sendiri. Saya hanya mengingatkan siapa tahu masih ada yang tercecer. Memang suatu saat, saya akan tersingkir dan tak berfungsi. Orang sudah mudah mendapatkan informasi melalui tuan Google,” ucapnya sambil menerawang. Kegelisahannya untuk memilah dan memilih buku, berjalan merayapi seluruh sudut ibu kota, mengingatkan para Sufi ahlulkitab abad pertengahan yang rindu akan kebenaran. Karenanya, kami sering menjulukinya Kitabudiman. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Wirabangsa yang Menenun Kesadaran Tiga sosok inilah, yang malam itu KITA sempat berbagai rasa dan pengalaman. Mereka mewakili ribuan orang yang bekerja dalam senyap, dan menjalani hidupnya dengan bersaha- ja. Mereka bukan selebritas dan bukan pula orang bergaji. Mereka hidup dari keringatnya sendiri, dan dengan keras kepala menikmati keindahan berbagi. Yang membuat mereka mirip, adalah matanya yang selalu menyala dan kegembiraan melihat orang lain bahagia. Mereka menenun pikiran-pikiran individu menjadi kesadaran bersama. KITA menyebutnya sebagai “Wirabangsa”, pahlawan rakyat yang tak terlihat. Taufik Rahzen Majelis Hikmah KITA Tiga piagam penghargaan dari KITA untuk tiga “Wirabangsa”. Semesta Seni Seni ll Edisi Edisi 66 ll Oktober Oktober ll 2020 2020 Semesta 1515 B a h a s a n U TA M A Anugerah, Hadiah, dan Bantuan Anugerah atau award di bidang seni diberikan untuk menghargai karya atau jasa peseni. Bisa seni rupa, seni musik, seni sastra, seni tari, seni film, maupun seni kriya. Hadiah seni biasanya diperebut­ kan dalam bentuk lomba. Bisa lomba baca puisi, lomba menulis novel, esai, lomba lukis, lomba buku puisi, lomba tari, lomba nyanyi, dan seterusnya. Sedangkan bantuan dibagikan kepada peseni yang tidak punya penghasilan lain atau menghadapi musibah. K ETIGA hal itu banyak dibahas selama Pandemi Covid-19 melanda Indonesia beserta 215 negara lain di bumi ini. Pada Mei 2019, misalnya Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mencatat paling sedikit 58.000 peseni perlu mendapat bantuan. Kebanyakan peseni tradisional, yang tidak bisa pentas karena terbentur larangan untuk berkerumun guna mencegah penularan wabah. Seni pertunjukan seperti karawitan, sandiwara tradisional, tari, dan teater praktis terhenti. Berbagai media menyebutkan bantuan itu berupa uang Rp 1 juta per orang, setelah melalui verifikasi kegiatan dan karyanya. Sedangkan untuk seni tulis-menulis dan deklamasi, masih bisa diperebutkan berbagai hadiah. Minimal semacam honorarium untuk program “menulis dari rumah”. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) menginisiasi program menulis cerita pendek dan esai dengan menyediakan uang Rp 5 juta bagi 100 orang yang karyanya terpilih. Saya beruntung karena dilibatkan sebagai anggota dewan juri untuk menilai beberapa kegiatan lomba itu. Yang paling mena­rik adalah lomba deklamasi untuk tingkat provinsi dan nasional. Saya ikut menilai 256 rekaman deklamasi yang dikirimkan oleh deklam- 16 @ Eka Budianta ator se-Jawa Barat. Selain itu juga lomba pemilihan buku karya sastra terbaik 2020 yang diadakan oleh Badan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lomba-lomba semacam itu sangat didamba oleh para peseni di berbagai bidang. Pertama, untuk memacu kreativitas, memelihara daya kreatif. Kedua, untuk mendapatkan hadiah apabila menang. Apresiasi Masyarakat Sejarah seni pertunjukan tradisional menunjukkan lebih ba­ nyak mengalami marginalisasi daripada mendapatkan apresiasi masyarakat. Hal itu sangat jelas dengan menghilangnya kelompok-kelompok sandiwara, wayang orang, gandrung, ludruk, bahkan wayang kulit. Tentu ada upaya untuk tetap mempertahan­ kan eksistensi melalui lomba dalang anak-anak, remaja, dan mengembangkan bentuk baru seperti stand up comedy. Tetapi secara umum kita melihat runtuhnya panggung Srimulat baik di Jakarta maupun Surabaya dan semakin lemahnya gedung-gedung pertunjukan semacam Wayang Orang Bharata, di Jakarta. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Selama bertahun-tahun wayang kulit hanya dihidupi oleh tokoh masyarakat yang kebetulan punya hajat. Belakangan ada satu-dua institusi–terutama perguruan tinggi yang masih percaya pergelaran wayang kulit menghidupkan spirituali­tas masyarakat. Maka muncullah kelompok-kelompok penggemar yang berseragam, membawa bekal, berpindah-pindah dari satu tontonan ke acara berikutnya. Komunitas-komunitas itu menjadi tulang pung­ gung, untuk membuktikan adanya apresiasi. Sementara di seni sastra, juga muncul komunitas-komunitas yang menerbitkan buku bersama, mengadakan acara bersama, dan membuat program-program pementasan serta apresiasi. Contoh paling menonjol adalah munculnya Hari Puisi Indonesia dengan hadiah untuk kumpulan buku terbaik dengan hadiah cukup tinggi. Penghargaan itu dilaksanakan seperti lomba, yang diikuti hingga 200-an judul buku puisi terbitan selama setahun. tiwa, Hadiah Rancage, dan Hadiah Hari Puisi itu. Sedangkan penghargaan oleh kalangan industri atau korporasi mendapat contoh dari Hadiah Bakrie dan hadiah kesetiaan berkarya dari Grup Kompas Gramedia. Stasiun televisi Media Group (Metro TV) juga memberikan penghargaan kepada pejuang kemanusiaan dan pelopor pelestarian. Di antaranya sebagai “Kick Andy Hero”. Apresiasi Negara Sekarang apresiasi dan anugerah seni seolah-olah terpulang ke Negara–menjadi urusan pemerintah. Hal itu kita rasakan pada perayaan Hari Pahlawan dan Hari Proklamasi 17 Agustus, saat belasan atau puluhan peseni dipanggil ke Istana Negara. Bentuk apresiasinya bermacam-macam. Ada bintang tanda jasa, ada piagam, dan uang secukupnya. Jumlahnya berkisar antara 50 - 60 orang, dengan prioritas untuk seni tradisional, termasuk pencak silat sebagai seni bela diri. Beberapa contoh penghargaan karya seni sastra oleh para peseni sendiri dapat dilihat pada adanya Kusala Khatulis- Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 17 B a h a s a n U TA M A Sebenarnya apresiasi penguasa kepada para peseni sudah berlangsung lama. Raja-raja Kahuripan (Abad 10) hingga Majapahit (Abad 15) tercatat suka membagi-bagikan alat tulis, pudak dan karas, untuk para kalangwan–pesyair yang gemar mencari ilham dan menikmati keindahan alam. Kebiasaan memelihara pujangga kraton ini dilaksanakan oleh para raja dan sultan, baik dalam bahasa Kawi, Jawa, maupun Melayu. Dua contoh pujangga yang paling dihargai adalah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Riau dan Ranggawarsita di Surakarta. Tradisi memberikan anugerah sastrawan negara di Malaysia dan Poet Laureate di Amerika Serikat terus berjalan hingga sekarang. Hanya di Indonesia belum terlaksana, seolah-olah mencerminkan penghargaan masyarakat yang memang belum tinggi. Reformasi 1998 memang berhasil mendobrak kemapanan dan mengembangkan demokrasi dalam berkarya. Jumlah penulis dan buku yang terbit sepanjang tahun terus membubung. Tetapi perniagaan buku dan kualitas buku yang terbit belum menggembirakan benar. Dalam suasana kurangnya apresiasi di dalam negeri, kita masih bersyukur dan bergembira bila mendengar peseni Indonesia mendapat penghargaan di luar negeri. Paling tidak pernah terbetik berita Pramoedya Ananta Toer masuk 18 nominasi penerima Hadiah Nobel, dia mendapat Hadiah Magsaysay, sebagaimana Mochtar Lubis. Pada masa milenial ini, nama-nama penting itu diteruskan oleh Eka Kurniawan yang menang World’s Readers Award (2016) masuk daftar panjang The Man Booker International Prize (2016) dan menang Oppenheimer Funds for Emerging Voices (2016), serta penerima Prince Claus Award (2018). Memang selalu ada harapan munculnya bakat-bakat lokal yang diterima dunia. Pada 2020 ini tiga perupa Indonesia masuk nominasi ajang penghargaan bergengsi, The Sovereign Asian Art Prize di Hong Kong. Mereka adalah Deden Hendan Durahman dengan karya Look/After; Cityscapes #02, I Made Wiguna Valasara dengan karya Daily Parade, dan Taufik Ermas melalui Drowning in Silence Before Midnight #3. Tentu, kita masih menaruh harapan bahwa penghargaan nasional di dalam negeri tetap menjadi dambaan. Pada 1992 pernah ada Hadiah Chairil Anwar untuk supremasi di bidang sastra yang diraih oleh Mochtar Lubis. Setelah itu ada penghargaan tahunan Akademi Jakarta, seperti yang dimenangkan pelukis Sunaryo (2017), arsitekYori Antar dan aktivis sastra Umbu Landu Paranggi, pada 2019 kemarin. Semoga peng­ hargaan, anugerah, dan apresisasi untuk peseni dan karyanya jauh mengatasi program bantuan yang kini diutamakan.*** TENTANG EKA BUDIANTA Pesyair, penulis biografi “Mendengar Pramoedya”, “Cakrawa Roosseno”, “Disentuh Emil Salim” dan lain-lainnya. Bukunya “Langit Pilihan” mendapat hadiah sebagai kumpulan puisi terbaik dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2012. Kini ia sebagai aktivis Tirto Utomo Foundation yang mendukung pelestarian rumah adat dan sejumlah sanggar karawitan. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 S u d u t PA N D A N G Achmad Fachrodji Balai Pustaka Konsisten Menjaga Warisan Bangsa Beberapa karya seni yang dibuat dengan bahan dan medium yang sama, namun akan menghasilkan karya yang kualitasnya berbeda-beda. Itu tergantung pada siapa maestro yang mengerjakannya. S AAT media Semesta Seni berkesempatan menyambangi Kantor Balai Pustaka, di Jalan Bunga No 8/8A, Palmeriam, Matraman, Jakarta Timur, pada awal September 2020, melihat banyak sekali perubahan yang lebih baik, benar, dan indah terjadi. Tenyata, di tangan Direktur Utama Achmad Fachrodji-lah tata ruang, manajemen, dokumentasi, dan visi Balai Pustaka menjadi lebih cerah ke masa depan. Dialah maestro yang bekerja dengan serius tetapi kaya dengan humor, dan piawai dalam berkomunikasi dengan pihak lain. Berikut hasil wawancara Semesta Seni dengan Achmad Fachrodji: Sejak kapan Anda bergabung dengan Balai Pustaka? Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Apa yang membuat bisnis Balai Pustaka merosot? Sebagai perusahaan milik negara, Balai Pustaka menjadi corong dan perpanjang­an tangan pemerintah dalam bidang pendidikan, dalam upaya mencerdaskan bangsa, khususnya dengan menerbitkan bukubuku pendidikan seperti buku pelajaran dan buku keterampilan dan pengayaan, dan kemudian menyebar­luaskan sampai di sekolahsekolah di seluruh Indonesia. Sampai pada tahun 2004, karena dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang Antimonopoli, hak over­print buku-buku keluaran Kemendikbud sebesar 30 persen setiap tahunnya yang menjadi pendapatan terbesar Balai Pustaka dicabut. Balai Pustaka, mau tidak mau, harus terjun ke lapangan Foto: akarpadi Empat tahun lalu, tepatnya 12 Juli 2016, saya dilantik menjadi Direksi Balai Pustaka. Awalnya saya menduduki posisi Direktur Komersial, kemudian di pengujung 2018 menjadi Direktur Utama Balai Pustaka. Berarti tahun 2020 ini saya sudah memasuki tahun keempat berga­ bung di Balai Pustaka. Saya masih ingat ketika Menteri BUMN Ibu Rini M Soemarno meminta saya ikut membenahi Balai Pustaka yang sedang terpuruk, saya langsung menyatakan siap, walau dalam diri ada sedikit gejolak apakah saya mampu mengemban amanah ini? (Balai Pustaka adalah perusahaan penerbitan, percetakan, dan multimedia yang sangat dikenal dengan karya-karya sastra yang melegenda. Usianya saat sudah 111 tahun jika dirunut dari tanggal 14 September 1908 yang cikal-bakal berdirinya nama Balai Pustaka pada 22 September 1917.) Saya bukan seorang sastrawan, atau seorang yang berlatar pendidikan sastra. Saya adalah Sarjana Kehutanan yang setiap hari bergelut dengan bermacam-macam kayu dan hasil hutan lainnya. Sebelum di Balai Pustaka bertahun- tahun saya mengabdi di Perhutani. Mulai dari awal karier sampai menjadi direksi untuk beberapa periode. Apalagi kondisi saat itu Balai Pustaka sangat mem­pri­hatin­kan, banyak tanggungan yang tertunggak kepada pihak ketiga termasuk kepada karyawan dan penulis. Namun, dengan tekad baik dan niat ikhlas, saya menerima amanah ini. Saya “menghibahkan diri” untuk menghidupkan Balai Pustaka, yang nanti ‘kan menjadi tabungan amal saya. Saya meyakini, sesuatu yang dimulai dengan niat baik, dikerjakan dengan baik dan sungguh-sungguh, hasilnya akan baik pula. Bangsa ini termasuk saya, sangatlah berutang kepada Balai Pustaka. Balai Pustakalah yang telah membuat bangsa ini men­jadi cerdas dan dapat mendu­duki posisi terbaik di dalam bidang apa pun, tentunya termasuk saya. Kini, saatnya membayar utang itu. 19 S u d u t PA N D A N G dan bersaing dengan perusahaan swasta. Berbagai upaya telah dilakukan agar bisa bertahan. Sayang, SDM yang belum terbiasa bermain ala swasta, kapal Balai Pustaka mulai oleng, jalannya semakin terseok-seok, dan pada akhirnya boleh dikatakan sampai pada titik nadir. Namun kami sangat menyadari, kami didatangkan ke Balai Pustaka adalah untuk menjalankan kapal Balai Pustaka ini. Sebagai nakhoda kami tidak boleh putus asa, kami harus bergerak dengan melakukan berbagai terobosan, kami harus banyak melakukan inovasi, kami harus membuat karyawan Balai Pustaka punya motivasi dan semangat untuk bekerja. Alhamdulillah, perlahan tapi pasti kami sudah mulai mendapat bentuk, kami harus berbuat apa, dan harus menggandeng siapa agar bisa kembali bangkit. Pasar strategis kami yang utama adalah sesama BUMN. Seruan Bu Menteri BUMN lebih mengedepankan sinergi BUMN kami Di Taman Sitti Nurbaya 20 sambut dengan suka cita. Kami pun mendatangi satu per satu perusahaan BUMN dan menawarkan buku-buku yang bertemakan cinta Tanah Air dan semangat persatuan. Kami juga menawarkan pembangun­an 1.000 taman bacaan di seluruh pelosok negeri khusus­nya di daerah 3T dalam upaya mendukung program Peme­rintah “Gerakan Cinta Baca”. Apa upaya Anda untuk meyakinkan karyawan bangkit dari keterpurukan? Di Pojok Nuansa Pelaku Sinema Awalnya memang tidak mudah mengajak karyawan Balai Pustaka untuk kembali semangat dan berlari kencang mengejar ketertinggalan. Apalagi kondisi seperti itu sudah berlangsung lama. Hak-hak mereka yang tertunggak juga menjadi masalah serius. Tentu muncul ketidakpercayaan. Perlu kehati-hatian dan trik khusus untuk meyakinkan karyawan. Sebagai nakhoda tentu saya harus memberi contoh dulu, saya langsung turun ke bawah, mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakaan. Janji kami adalah, Direksi akan menca­rikan jalan keluar bahwa hak-hak karyawan yang tertunggak segera dibayarkan. Kesejahteraan karyawan adalah yang utama. Dengan cara dan pendekat­ an seperti itu, karyawan bisa bekerja dengan tenang dan dapat memberikan waktu, pemikiran, dan tenaganya untuk kebangkitan Balai Pustaka dan segera keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan. Menghijaukan setiap sudut ruangan Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Usia Balai Pustaka sudah 103 tahun pada 2020 ini. Langkah-langkah apa saja yang sudah Anda lakukan agar tetap bertahan? Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1996, memberikan mandat kepada Balai Pustaka untuk melestarikan waris­ an budaya melalui karya-karya heritage yang dimilikinya. Tugas menjaga, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan sebagai hasil peradaban tentu tidak bisa dilepaskan dari Balai Pustaka. Dengan menyebarluaskan konten-konten yang selama ini diterbitkan Balai Pustaka menjadi salah satu bukti sejarah bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa primitif melainkan bangsa yang memunyai peradaban. Hal ini bisa dibuktikan dengan karya-karya sastra klasik yang melegenda yang muncul sebelum Indonesia merdeka dan setelah Indonesia merdeka. Tidak salah rasanya kalau Balai Pustaka disebut “Istana Peradaban”, nama yang sudah masuk ke dalam di buku Mugalemon “Galeri Istana Peradaban Balai Pustaka”. Bisnis apa saja yang dilakukan Balai Pustaka. Apakah negara hadir untuk membantu keberlangsungannya? Bisnis inti (core business) Balai Pustaka ada empat, pertama penerbitan, kedua percetakan, ketiga multimedia, dan keempat manajemen literasi. Dalam bidang penerbitan, selain menerbitkan ulang bukubuku heritage khususnya sastra klasik, Balai Pustaka juga menerbitkan buku-buku baru termasuk buku riwayat dan success story korporasi (BUMN), yang menurut kami pasar­ nya sangat besar dan luas. Dalam beberapa tahun terakhir sudah puluhan riwayat BUMN yang diluncurkan dan ke depannya akan bertambah terus. Sementara di bidang percetakan, selain memproduksi buku-buku terbitan Balai Pustaka, juga mencetak dokumen sekuritas seperti ijazah perguruan tinggi dan surat suara. Di bidang multimedia, sebagai sebuah industri kreatif, Balai Pustaka sudah Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 memunyai banyak varian produk, se­ perti Edu-BP, e-Book, platform e-learning (Barugasikola) audiobook, animasi, dan saat ini juga merambah memproduksi film layar lebar. Keempat, yang tidak kalah pentingnya bisnis manajemen literasi, yaitu dengan membangun taman bacaan di seluruh Indonesia. Bisnis ini tentunya berkolaborasi Berbincang dengan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dengan BUMN lain Sampai tahun 2017, merupakan tahun terberat bagi Balai atau Sinergi BUMN, dengan memanfaatkan dana PKBL/ Pustaka. Setelah kehilangan banyak aset dan mencatat CSR. Diharapkan dengan pembangunan TBM ini banyak utang, alhamdulillah pada tahun 2018 Balai Pustaka masyarakat mendapatkan sumber bacaan yang dapat sudah bisa mencatat laba atau keuntungan. Pencapaian ini meningkatkan skill/ keahlian mereka dalam upaya tentunya membawa angin segar dan semangat baru bagi mencapai hidup sejahtera. kami di internal Balai Pustaka. Pencatatan keuntungan ini Apa beban terberat Balai Pustaka saat ini? kami raih tentunya atas dukungan BUMN lain membeli produk Balai Pustaka seperti buku-buku sejarah dan Saat ini dunia penerbitan dan percetakan konvensional wawasan kebanggsaan juga penempatan TBM di daerah 3T. mengalami kelesuan yang luar biasa. Penerbit banyak yang gulung tikar dan toko buku banyak yang tutup. Seiring Apakah Balai Pustaka mampu bersaing dengan perusadengan semakin berkembangnya industri digital, tentu haan sejenis? sangat berdampak kepada industri pener­bitan dalam hal ini Saat ini Balai Pustaka bisa berbangga hati dan dapat memterutama buku produk cetakan lainnya. busungkan dada atas pencapaian demi pencapaian Balai Melihat fenomena ini, tentunya Balai Pustaka harus Pustaka saat ini. Buku-buku terbitan Balai Pustaka saat ini membuat inovasi produk yang menarik, yang diminati sudah kembali menyebar di seluruh Tanah Air, baik di masyarakat. perpustakaan-perpustakaan, TBM, maupun di toko-toko Bagaimana kinerja Balai Pustaka? buku besar seperti Gramedia dan juga di toko buku online. 21 S u d u t PA N D A N G Balai Pustaka juga merambah ke dunia perfiman, apa bisnis film ini menguntungkan? Pendemi Covid-19. In sya Allah di tahun 2021 film-film ini bisa ditonton seluruh masya­rakat Indonesia pendukung utama. Adapun pelaksanaannya dilangsungkan untuk empat angkatan setiap tahunnya. Betul sekali, Balai Pustaka sekarang sudah merambah ke dunia perfilman. Seperti yang sudah saya sampaikan bahwa Balai Pustaka akan terus berinovasi dengan memfaatkan karya-karya klasik, mengalihmediakan dari buku konvensional ke multimedia salah satunya dalam bentuk layar lebar. Sebagai pemain baru dalam industri film, kami menggandeng beberapa rumah produksi dan juga tokoh-tokoh dunia perfilman. Sampai saat ini kami sudah menyelesaikan dua film, yaitu Sitti Nurbaya dan Onrust, yang sedang produksi ada empat film. Target kami tahun ini akan tayang 4 sampai 5 film. Namun, tertunda karena Balai Pustaka adalah Rumah Besar Pesastra Indonesia, apa yang Anda lakukan untuk kesejahteraan mereka? Apa yang menginspirasi Anda menyulap gedung Balai Pustaka yang dulu kumuh menjadi lebih indah? Kami sangat menyadari, sastrawan/ penulis adalah aset terpenting Balai Pustaka. Tanpa keberadaan mereka, tanpa karya-karya mereka, keberadaan Balai Pustaka tentu tiada berguna. Sejarah telah menoreh tinta emas untuk jasa para sastrawan. Semenjak kepemimpinan saya, Balai Pustaka kembali me­ rang­­kul para sastrawan, mengajak mereka kembali untuk pulang ke rumah mereka, tentunya juga dengan memberikan rasa peduli akan keberlangsung­ an hidup mereka sehingga tetap semangat untuk melahirkan karya-karya sastra terbaik. Saya menyadari bahwa Balai Pustaka tidak terletak di lokasi yang strategis atau berada di jalan utama. Oleh sebab itu agar menjadi daya tarik bagi masyarakat luas dan tentu kenyamanan bekerja bagi para karyawan, saya sulap ba­ ngunan yang semula tampak kusam dan kaku menjadi segar dan penuh warna. Saya dirikan Kafe Sastra dengan berbagai menu yang namanya bernuansa sastra. Ada juga Taman Sitti Nurbaya yang dapat dimanfaatkan sebagai area ‘selfie’. Dalam upaya memancarkan kembali aura sastra, kami juga menyelenggarakan program Sanggar Sastra yang menjadi wadah bagi masyarakat lintas kalangan dan usia untuk belajar sastra, seperti pelatihan menulis puisi, prosa, teater, dan bentuk apresiasi sastra lainnya serta pelatihan musik tradisi (gamelan). Dalam program ini kami bersinergi dengan PT Pegadaian (Persero) sebagai Wina Armada Sukardi, Achmad Fachrodjim dan Ireng Halimun di ruang naskah kuno. 22 Apakah dengan merangkul kaum milenial sebagai karyawan Balai Pustaka lebih merasa segar dan sema­ngat untuk menjemput masa depan? Kaum milenial adalah generasi yang akan membawa bangsa ini ke Indonesia Emas. Milenial tentu punya semangat yang menggelora dalam mengisi hari untuk menata dan menjemput masa depan. Kreativitas dan cara bertingkah dan berlaku mereka tanpa batas. Kita harus mengakui, bahwa kehadiran mereka membawa udara segar untuk perusahaan. Banyak inonasi dan produk yang mereka buat, dan memberi warna baru bagi perusahaan. Tentunya bergandeng tangan dengan para senior. Gebrakan apa lagi yang ingin Anda lakukan? Balai Pustaka tempat konsisten dengan core business-nya di dunia penerbitan, mengembangkan intelektual properti konten-konten heritage-nya apa pun bentuknya, sesuai kebutuhan masyarakat. Mimpi saya Balai Pustaka menjadi industri kreatif terdepan di Indonesia menjadi terwujud.n @ Ireng Halimun Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Achmad Fachrodji dan Para Tokoh yang Bekerja Sama dengan Balai Pustaka Bersama Christina Danilla pemeran hantu Maria Bersama Najwa Shihab Bersama Nur Fazura Bersama Happy Salama Bersama Shahnaz Haque Bersama pemeran di Sitti Nurbaya Semua senang menerima buku pantun karya Fachrodji Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Bersama Dimas Anggara Bersama Cut Mini yang singgah di BP Bersama Garin Nugroho Bersama tim MNC Pictures Mendampingi keluarga Hanung Bramantyo 23 Histori SENI Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar: Novel Modern Pertama dalam Bahasa Indonesia A ZAB dan Sengsara adalah sebuah novel tahun 1920 yang ditulis oleh Merari Siregar dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit besar di Indonesia kala itu. Novel ini mengisahkan sepasang kekasih, Aminuddin dan Mariamin, yang tidak dibolehkan menikah dan menderita. Novel ini dianggap sebagai novel modern pertama dalam bahasa Indonesia. Rangkayo Rasuna Said Tokoh Pergerakan Wanita B anyak yang belum mengetahui bahwa hari Senin, 14 September 2020 lalu, selain dimulainya kembali PSBB di Jakarta juga menjadi Hari Lahirnya salah satu Pahlawan Nasional Rangkayo Rasuna Said yang lahir pada 1910. Banyak yang menyangka nama Rasuna Said adalah seorang pria pahlawan, namun sejatinya beliau adalah salah satu tokoh pergerakan wanita seperti RA Kartini yang berasal dari Minang. Rasuna Said sejak belia selalu bergerak dalam memajukan pendidikan bagi kaumnya. Rasuna Said di zamannya amat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Hindia Belanda, sehingga dia tercatat menjadi wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu 24 Azab dan Sengsara ditulis oleh Merari Siregar untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku (Batak), lebih-lebih di antara para lakilaki. Novel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi penulis, lalu dimodifikasi supaya lebih jelas. Novel ini diduga ditulis atau disunting agar memenuhi standar editorial Balai Pustaka. @ Berbagai sumber hukuman oleh Belanda bagi mereka yang ­menentangnya. Rasuna Said pada 1932 sempat dipenjara di Semarang. Selain menjadi guru dan pelatih kursus bagi kaum wanita, tulisan-tulisan Rasuna Said juga sangat keras mengkritik Belanda dan menjadi obor penyemangat bagi perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Rasuna Said wafat pada 2 November 1965 dalam usia 55 tahun. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 084/1974 Tanggal 13 Desember 1974. Kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan Jakarta Selatan serta di daerah asalnya di Sumatra Barat. @ Sumber: Achmad Fachrodji Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020 Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Organisasi Seni Terlarang L Lembaga Kebudajaan Rakjat (PEUBI: Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. Lekra mendorong peseni dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosialis. Semakin vokal terhadap anggota non-Lekra, kelompok lain membentuk Manikebu (Manifesto Kebudayaan), akhirnya mengarah ke Presiden Soekarno untuk melarang itu. Setelah Gerakan 30 September, Lekra dilarang bersama dengan partai komunis. Lekra didirikan sebagai respons terhadap Gerakan Gelanggang sosial-nasionalis, dengan AS Dharta sebagai sekretaris jenderal pertama. Dengan menerbitkan Muka­ dimah, yang berarti “pengantar”, sebagai panggilan nyata bagi orang-orang muda, terutama peseni dan penulis, untuk membantu dalam membangun republik rakyat demokratis. Upaya tersebut dilakukan di ibu kota Sumatra Utara Medan dan berhasil di bawah Bakri Siregar. Pada 1956, Lekra merilis Mukadimah lain, berdasarkan realisme sosialis, yang disebut seni untuk mempromosikan kemajuan sosial dan mencerminkan realitas sosial, bukan mengeksplorasi jiwa manusia dan emosi. Lekra mendesak peseni untuk berbaur dengan orang-orang (turun ke bawah) untuk lebih memahami kondisi manusia. Lekra mengadakan konferensi nasional pertama di Surakarta pada 1959, yang dihadiri Presiden Soekarno. Mulai 1962, Lekra menjadi semakin vokal terhadap orang-orang itu dianggap melawan gerakan rakyat, termasuk penulis dan pemimpin agama Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan dokumen­ tarian HB Jassin. Mereka dikritik oleh Lekra, termasuk Hamka dan Jassin, kemudian menanda­tangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 1963 sebagai respons; setelah Lekra berkampanye melawan manifesto, pemerintah Soekarno melarang itu pada 1964, dan dikucilkan dalam penanda­ tangannya. Pada 1963, Lekra mengklaim memiliki total 100 ribu anggota yang tersebar di 200 cabang. Selama periode ini, ber­ada di bawah pengawasan yang lebih ketat oleh Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta gagal Gerakan Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020 30 September, yang populer di­yakini telah dipromosikan oleh Partai Komunis, dan diikuti dengan pembunuhan massal, Soeharto pengganti Soekarno dan pemerintah Orde Baru melarang Lekra bersama-sama dengan organisasi-organisasi komunis terkait lainnya. Penulis prosa Lekra umumnya dipengaruhi oleh aliran sastra realisme sosialis. Namun, pengaruh Lekra menjadi semakin propagandis. Sebagian besar karya yang diterbitkan adalah puisi dan cerita pendek, dengan novel yang jauh lebih jarang. Lekra umumnya lebih berhasil dalam menarik peseni dari penulis, Tapi sikap vokal terbuka Lekra terhadap penulis berhaluan nonkiri, digambarkan sebagai mirip dengan pekerjaan yang mencemarkan nama orang lain, menyebabkan permusuhan abadi dan kepahitan antara penulis kiri dan kanan, yang pada waktu berbatasan oleh fitnah. Taufiq Ismail, salah satu penandatangan Manifesto Kebudayaan dan pengecam keras Lekra, digambarkan oleh sarjana sastra Michael Bodden telah menggunakan “interpretasi yang sangat meragukan” terhadap puisi anggota Lekra untuk membuktikan bahwa Lekra memiliki pra-pengetahuan tentang Gerakan 30 September, sebuah usaha untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Bodden menambahkan bahwa kritikus Ikranegara menolak seluruh tubuh Lekra yang bekerja dalam sejarah tentang teater Indonesia, tetapi sebaliknya berfokus pada mereka yang “anti-humanisme”. Sekelompok akademisi independen, termasuk Keith Foulcher dari Universitas Sydney dan Hank Meier, telah berusaha menganalisis gaya Lekra dan pengaruh yang lebih objektif. Pandangan ini juga menjadi lebih umum dengan kritik pemuda Indonesia. @ IH - Disarikan dari Wikipedia 25 B e d a h K A R YA Kritik Pasemon ‘Serat Plerok’ Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Setya Yuwana Sudikan menilai puisi-puisi Jawa (geguritan) kontemporer dalam antologi “Serat Plerok” karya Yusuf Susilo Hartono (YSH) mengandung kritik halus terhadap banyak hal. Kritik halus terhadap politik, etika, dan kemerosotan moral, hidup yang memberhalakan kebendaan, dan lain-lain. “K RITIK secara halus dalam geguritan YSH tersebut, kalau meminjam istilah Goenawan Mohamad, merupakan kritik pasemon, sehingga tidak menimbulkan amarah,” tutur Yuwana yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur, tuturnya dalam diskusi daring Bedah Serat Plerok, yang digelar oleh komunitas Balai Pemuda Surabaya, Jumat malam, 11 September 2020. Bedah buku geguritan yang juga menampilkan peneliti sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo (Yogyakarta) dipandu dosen FBS Unnes Semarang Ucik Fuadhiyah, ini mendapat perhatian medan sastra Jawa, baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jakarta, hingga luar Jawa. Di antara yang hadir, cendekiawan dan pesastra Prof Budi Darma (Surabaya), Kepala Balai Bahasa Jatim yang baru Dr Asrif, 26 pesastra dan pewarta Eka Budianta (Jakarta), peteater Jose Rizal Manua (Jakarta), pesastra dan Pemimpin Redaksi Majalah Jaya Baya Widodo Basuki (Surabaya). Menurut Yuwana, selain melakukan kritik, YSH dalam puisi-puisi Jawanya ini, juga melakukan dekonstruksi atau memberi pemaknaan ulang terhadap aksara Jawa ha na ca ra ka. Baik dengan diksi yang bisa dipahami maknanya, maupun belum ada artinya dalam kamus. Hal yang disebut belakangan, mengingatkan pada puisi-puisi bahasa Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, meskipun proses dan dasar pikirnya berbeda. “Geguritan-geguritan hasil perjalanan spiritualitas Yusuf ini terasa khas. Penggunaan metafornya khas dia, dan tidak ditemukan pada puisi Jawa lainnya,” tandasnya. Seraya berharap dapat menginspirasi kalangan sastra, khususnya pesyair-pesyair muda dalam mencari kebaruan. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Prof Setya Yuwana Sudikan Ideolek Baru Peneliti sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo dalam paparannya mengatakan, Serat Plerok ini upaya YSH mencari kebaruan, supaya sastra Jawa agar tidak beku. Penggunaan diksi yang belum ada artinya, menurut mantan pegawai Balai Bahasa Yogyakarta, adalah upaya menyampaikan getaran jiwa dan ‘ideolek baru’. “Bahasa dalam film fiksi-ilmiah petualangan AS yang disutradarai James Cameron berjudul Avatar (2009), juga tidak bisa kita pahami. Itu juga ideolek baru,” katanya memberi contoh bandingan. Kumpulan geguritan YSH sebelumnya berju­dul Ombak Wengi (2011) meraih Hadiah Sastra Rancage 2012 dari Yayasan Rancage yang dikelola Ajip Rosidi. Jika dibandingkan dengan Serat Plerok (2016), corak puisinya berbeda. Ia sependapat dengan Yuwana, bahwa karya-karyanya ini terkait dengan perjalan­an spiritualitas pribadi. Alam bawah sadarnya menyuarakan kegelisahan, di antaranya tentang hilang dan kehilang­ an, baik dalam konteks berkebudayaan, maupun berbangsa. “Dari 58 puisi yang ada, Yusuf 21 kali menggunakan kata “kelangan” (kehilangan) , dan 13 kali kata “ilang” (hilang). Pengulangan ini tentu hal penting,” tandasnya. Misalnya “tembang kelangan tembung” (nyanyian kehilangan kata). Lalu bagaimana kalau kita, kehilangan kata-kata dalam kehidupan global ini? Nyebal Tetapi Tidak Nyebeli Ucik Fuadhiyah, memberi kesaksian bahwa sebagai pembaca dan penikmat geguritan, mem­ baca geguritan YSH dalam Serat Plerok merupakan kejengkelan sekaligus kenikmatan tersendiri. Yusuf Susilo Hartono Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 27 B e d a h K A R YA manusia pada akhirnya akan berpasrah dan menuju pada Sang Pencipta. Ruwet dari segi bahasa dan diksi. Tentu saja semua diksi yang lahir dalam karya tak dapat dimungkiri memiliki tujuan estetika. “Sejujurnya, untuk membaca geguritan ini saya perlu berulang-ulang kata, baris, dan baitnya agar mendapat bunyi-bunyi yang indah, selaras dengan ekspresi, dan juga isi maksud setiap guritnya. Kosakata bahkan kata yang dihadirkan seringkali tak lazim secara konteks sintaksis kebahasaan, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Pembaca justru memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi bunyi dan bermain-main dengan diksi-diksi di dalamnya. Ya, gurit rumit dan ruwet tetapi begitu padat dan sarat makna. Seperti ciri khas karya YSH yang selalu menulis sesuatu yang revolusioner, visioner, dan kontemporer. Boleh dikatakan, bagi saya gurit-gurit YSH dalam Serat Plerok ini nyebal saka pakem, nanging ora nyebeli,” katanya sambil tersenyum.”*** @ IH - Sumber: YSH Tak bisa seperti membaca gurit-gurit pengarang lain ataupun karya beliau sebelumnya, Ombak Wengi, yang dari sisi bahasa relatif mudah ditangkap baik untuk keperluan pembacaan panggung maupun pemahaman isi. Berbeda dari gurit-gurit dalam Serat Plerok. Hampir seluruh gurit baginya cukup rumit dan ruwet. Dikatakan rumit sebab gurit-gurit yang ada di dalamnya mengangkat persoalan kehidupan manusia yang sungguh kompleks, beraneka, berliku, jempalikan, tetapi sesungguhnya bermuara pada satu. Sesuatu, Bisa jadi sesuatu itu adalah Sang Pencipta. Namun betapapun rumit persoalan hidup 28 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Arikel SASTRA Sebagai Apresiasi pada Pemikiran Sapardi Djoko Damono Sastra, Citizen, Netizen Sastrawan, karya sastra, dan pembaca sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada tiga pihak yang terlibat dalam proses tersebut: sastrawan, karya sastra, dan pembaca. Sastrawan dan pembaca adalah anggota masyarakat. M ereka terikat oleh kelompok sosial tertentu yang menyangkut pendidikan, agama, adat-istiadat, dan segenap lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Mereka kita anggap memiliki kaitan-kaitan–kalau tidak boleh dikatakan keterikatan–dengan konsep-konsep teritorialisme, primordialisme, dan sektarianisme. Sastrawan, karya sastra, dan pembaca tercakup dalam masyarakat– semua itu membentuk struktur kesusastraan yang sekaligus menjadi substruktur masyarakat. Niat sastrawan untuk menyampaikan dongeng, bisa berujud sebagai puisi, novel, drama, dan cerpen. Dalam bahasa kita, atau bahasa Jawa yang saya kenal, dongeng mencakup semua jenis itu–dan bahkan cukup aman dikatakan bahwa dongeng pada dasarnya mengaburkan batas tegas antara fakta dan fiksi. Mendongeng bisa berarti menyampaikan berita yang kita klasifikasikan sebagai fakta, tetapi juga ce­ rita yang biasanya dianggap fiksi. Petualangan Kancil disebut dongeng Kancil, demikian juga cerita tentang Joko Tarub yang mengakali bidadari dan Prabu Watu Gunung yang menaklukkan Kahyangan. Kedua cerita yang disebut terakhir itu dicantumkan dalam Bahad Tanah Jawi, kitab yang dianggap sebagai sejarah, yang juga mencakup peristiwa-peristiwa yang menyangkut peperangan antara kelompok orang Belanda, Cina, dan Jawa yang oleh sejara­wan bisa saja dianggap sebagai pernah benar-benar terjadi–yang biasa dikenal sebagai sejarah. Segala konsep itu pada hakikatnya adalah bentuk penyampaian belaka, yang memiliki ciri berbeda Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 @ Sapardi Djoko Damono berdasarkan ujud visual dan auditorinya. Karya Sastra Kita mulai dengan benda budaya yang dihasilkan sastrawan. Soneta, sebagai contoh, jenis puisi yang terdiri atas 14 larik, bisa dikelompokkan menjadi beberapa bait; soneta Petrarka berbeda dari soneta Shakespeare, misalnya. Namun jenis itu disebut soneta tidak hanya karena jumlah lariknya tetapi juga sebab ditata dalam cara pengaturan bunyi tertentu dalam masing-masing baitnya. Aspek visual puisi tersebut berubah sama sekali menjadi rentetan bunyi yang menghapus cara pengaturan aksara, kata, kalimat, larik, dan segenap tanda baca yang tentunya mula-mula diciptaan untuk menekankan pentingnya aspek bunyi dalam tampilan visual. Dalam sastra, penemuan dan pemanfaatan penulisan dan pencetakan dongeng membuktikan bahwa teknologi, yang tidak lain adalah the way people do things, kata François Sigant, diciptakan agar dongeng bisa disampaikan dengan cara yang terus-menerus diubah dan dikembangkan. Di atas kertas atau lembaran yang rata, soneta memiliki ujud yang tidak akan bisa dibayangkan penyair yang hidup dalam tradisi lisan, yang pasti tidak akan mampu membayangkan ujud visual yang rapi seperti soneta. Pantun berasal dari tradisi lisan yang kemudian kita ‘paksa’ menjadi tradisi tulis. Aspek bunyi yang ketat dalam pantun kita ubah menjadi unsur-unsur visual yang pada gilirannya menyebabkan kita mengelompokkannya sebagai bagian dari tradisi tulis dan cetak. Penataan visual tembang Jawa yang sangat ketat didasarkan pada karakteristik bunyi yang dimanfaatkan untuk menjaga agar tembang tidak bisa disusun menyimpang dari keketatan aturan penulisannya, tetapi yang justru diterapkan agar bisa dilisankan. Dengan demikian, tembang adalah puisi visual yang mensyaratkan penyampaian lisan, berbeda prosesnya dari pantun yang kita paksa menjadi tampilan visual berdasarkan karakteristik bunyi. Di luar maupun di dalam pendidikan formal, pantun sekarang ini terlebih dahulu ditulis baru kemudian dikembalikan ke habitatnya semula, yakni tradisi lisan. Dalam tembang jumlah larik setiap bait, jumlah suku kata yang berlain-lainan setiap larik, bunyi akhir setiap larik yang pasti dan tidak boleh diubah menyebabkannya menjadi jenis puisi yang sangat rumit persyaratan penyusunan visualnya, yang justru ditata sedemikian rupa untuk mengon­trol penyampaian lisan yang berkaitan bahkan dengan penataan nada. Hal yang dengan panjang-lebar telah didiskusikan oleh Walter Ong dalam Orality and Literacy. The Technologizing of the Word.Bunyi di proses sedemikian rupa agar memiliki ujud visual, hanya agar bisa dikembalikan ke bunyi lagi. Keadaan yang sekarang ini kita anggap wajar sebenarnya merupakan proses teknologi yang luar biasa, yang telah mengubah kehidupan dan keberadaan kita sepenuhnya. Menyampaikan Dongeng Kancil yang berubah-ubah ujud dari bunyi ke tulisan tangan ke aksara cetak ke gambar ke foto ke gambar bergerak ke ujud baru yang terdiri atas semua unsur itu tetap saja kita terima dan tafsirkan sebagai kancil. Teknologi, atau upaya kita untuk selalu mencari cara baru dalam menyampaikan dan melakukan sesuatu, telah memaksa binatang kesa­ yangan kita itu untuk selalu berubah ujud. Binatang itu berusaha dengan mulus berpindah-pindah habitat agar semakin lama bisa beredar lebih luas, berada di mana-mana dalam ujud yang berbeda-beda. Ia aman-aman saja menjadi penghuni dunia lisan ketika dituturkan, menjadi 29 Artikel SASTRA rangkaian aksara di kertas, menjadi gambar yang dibatasi oleh garis dan ruang dalam komik. Apakah si Kancil tetap sama, binatang yang itu-itu juga ketika berpindah-pindah habitat? Jawabannya adalah ya dan tidak. Ia tetap saja seekor kancil, benar demikian. Namun, teknologi yang kita ciptakan memaksanya untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan habitatnya yang baru. Dengan demikan tidak hanya ujudnya yang berubah tetapi juga ‘dongeng’ tentangnya harus disesuaikan dengan kehendak kita untuk menciptakan teknologi atau cara baru dalam menyampaikannya. Kancil yang sejak kita ciptakan sudah memiliki ciri yang ‘aneh’, antara lain bisa berbicara dan berakal, dalam teknologi yang lebih lanjut bisa saja muncul dalam penampilan close up dan long shot, seandainya kita tuturkan dalam film. Tokoh tetap Kancil namanya, tetapi ujud visual, rangkaian persitiwa, dan amanatnya senantiasa bergeser sejalan dengan teknologi yang kita ciptakan. Kancil diciptakan oleh sastrawan, diterima oleh pembaca. Semakin berkembang teknologi yang diciptakan untuk menyampaikan dongeng, semakin banyak juga jenis Kancil yang lahir–dan semakin rumit juga cara penerimaan yang dituntut dari pembaca. Perubahan dari bunyi menjadi aksara adalah proses teknologi yang mahacanggih, yang telah mengubah hampir segalanya dalam hidup kita. Sekarang kita tidak memasalahkannya lagi, tidak pernah memasalahkan mengapa kalau ingin ‘mendengar’ kisah Kancil anak-anak tidak bisa lagi hanya tiduran menunggu Nenek melisankannya tetapi harus membuka-buka halaman buku dan menggunakan mata untuk mengetahui kisahnya. Sewaktu Nenek mendo­ngeng di zaman lampau ketika kita belum mengenal aksara, ge­rakan literasi tidak ada, tidak terbayangkan, dan tidak perlu dipikirkan. Sekarang gerakan literasi merupakan salah satu inti kegiatan sejumlah orang dalam upaya mereka menyebarluaskan dongeng Kancil lewat aksara, lewat buku, demi terciptanya masyarakat yang berbudaya. Tanpa keterampilan menulis dan membaca kita dianggap unlettered, unlcultured–‘buta aksara, buta budaya.’ Moga-moga saja kita menyadari bahwa inti masalahnya terletak pada penguasaan teknologi. Tulisan adalah hasil teknologi, itu sebabnya kita dituntut 30 untuk menguasai teknologi yang telah menciptakannya agar bisa memahami apa yang kita hadapi. Istilah literacy ‘literasi’ diturunkan dari kata letter ‘aksara’–dan tentunya hanya berkaitan dengan teknologi penciptaan dan penerimaan aksara. Konsep itu bukan sekadar berkaitan dengan ujud yang kita lihat tetapi menyangkut keterampilan pencipta aksara dalam teknologi yang dipakainya, di samping kemampuan pembaca untuk ‘membaca’-nya. Bulu angsa, pahat, bolpoin, mesin tik, dan layar sentuh berturut-turut mengambil peran utama dalam pengembangan teknologi literasi selama ini. Literasi Dengan demikian, kalau kita masih ingin menggunakan istilah literasi, konsepnya harus diperluas agar bisa menjangkau ‘tata bahasa’ yang diperlukan pencipta untuk menciptakan karyanya. Ketika sekarang penyair menggunakan komputer untuk menulis, ia harus menguasai ‘tata bahasa’ penciptaannya sedangkan pembaca harus juga terampil membaca hasilnya. Inilah yang biasanya kita kenal sebagai melek teknologi, yang tentu boleh juga kita sebut sebagai literasi digital. Dalam hal ini literasi mempertimbangkan keterampilan pencipta maupun penerima, tidak hanya yang menyangkut penerima. Sebagai pembaca, kita harus pula menguasai literasi digital–sebagai sekadar contoh, untuk mengendalikan televisi dan komputer diperlukan literasi yang sederhana, yakni remote control, dan yang dikendalikan gadget, yakni komputer, yang dituntut adalah penguasaan tata bahasa yang sangat rumit. Tingkat literasi kita sebagai pembaca sedikit banyak ditentukan oleh taraf penguasaan atas gadget itu. Penguasaan atas semakin canggihnya taraf gadgetry yang ada untuk menciptakan dan membaca sastra menentukan berapa tinggi taraf kemampuan membaca kita. Mungkin saja yang kita baca boleh dikatakan tidak berbeda dari yang kita kenal sebelumnya, yakni jajaran aksara di atas hamparan rata, tetapi ketika yang kita hadapi dan bisa dapatkan adalah e-book atau audiobook, literasi yang dituntut dari kita tidak hanya terbatas pada membaca aksara tetapi juga bagaimana ‘membuka’ bukunya. Dan ‘buku’ akhirnya tidak lagi bisa didefinisikan sebagai benda budaya yang dibentuk dari setumpuk kertas yang bertulisan tetapi juga mencakup benda yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kertas. e-book masih bisa dikembalikan ke habitatnya semula yakni kertas, tetapi audiobook tidak bisa, dan tidak perlu sebab yang menjadi sasaran bukan penglihatan tetapi pende­ngaran. Membaca e-book kita kehilangan kertas tetapi tidak kehilangan aksara, bahkan kita masih bisa mengembalikan yang mula-mula hanya di layar komputer menjadi buku lagi. Menghadapi audiobook kita tidak lagi mengukur kemampuan membaca dengan penglihatan tetapi ‘mem­baca’-nya dengan telinga. Apakah dengan demikian audiobook masih bisa diklasifikasikan sebagai book? Yang jelas adalah bahwa penyebarluasan buku sekarang ini tidak bisa sekadar mengikuti teori yang dikembangkan berdasarkan jual-beli bundelan kertas yang kita kenal sebagai buku. Citizen, Netizen Selanjutnya, apakah audiobook merupakan bukti bahwa kita ternyata akhirnya kembali lagi ke Nenek yang mendongeng cerita tentang Kancil semata-mata dengan bunyi, tanpa ujud visual sama sekali? Apakah jenis book itu dengan sendirinya mengembalikan peran dan fungsi Nenek dalam menyampaikan dongeng? Mendengarkan Nenek mendongeng tidak memerlukan gadgetry, tidak hanya karena Nenek bukan gadget tetapi karena hubungan antara Nenek dan cucunya adalah in real life atau offline. Namun, konsep offline dan real life masih bisa terus didiskusikan lebih lanjut, tergantung antara lain berapa jauh kita mengembangkan cara melakukan segala sesuatu demi keberlangsungan dan kemudahan hidup. Di zaman lampau ketika Kancil belum diproses menjadi aksara tidak ada buku dan tidak ada gadgetry, sekarang Nenek bisa mengambil Kancil dari buku atau layar komputer, tidak hanya dari memorinya yang terbatas–tentu saja dibandingdengan storage yang ada dalam komputer. Ketika Nenek menciptakan (kembali) Kancil untuk kita, acuannya terbatas pada memorinya sebab tidak ada semacam external hard Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 disk untuk otak manusia, tetapi ketika sastrawan sekarang menciptakan Kancil ia bisa mengandalkan acuannya pada storage yang tidak ada batas dan jenisnya dalam komputer. Yang diperlukan adalah penguasaan atas ‘alat tulis’ yang dikendalikannya. Sastrawan yang menulis di zaman ini adalah warga suatu daerah, negara, atau kota karena kelahiran atau karena naturalisasi. Kaitan seorang sastrawan dengan tanahnya, yang bisa berarti negara atau kota atau kampung, bisa menjadi perhatian penting dalam penelitian sosiologi sastra. Setiap kali mendengar pembicaraan tentang Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya, yang diutamakan adalah apa yang dikenal sebagai warna lokal, yang bersumber tidak hanya pada dunia sosial yang menggerakkan dan digerakkan tokoh-tokoh tetapi juga sastrawan yang menciptakan dunia sosial itu. Ia hidup sebagai bagian dari suatu masyarakat yang bisa saja masih terikat pada prinsip dan masalah teritorialisme, primordialisme, sektarianisme, kesetiaan pada negara. Ia bisa ‘pulang kampung,’ bisa juga pindah kewarganegaraan, tetapi di mana pun dia berada tetap saja dituntut untuk memiliki KTP atau paspor. Bisa juga ia memiliki dua paspor tetapi tetap saja pada dasarnya ia menjadi bagian tidak terpisahkan dari paspor-paspor itu. Gibran Kahlil Gibran, misalnya, lahir di Lebanon tetapi pindah ke Amerika ketika masih remaja. Ia menulis dalam bahasa Inggris dan Arab, digolongkan sebagai sastrawan penting di Lebanon, di Ameri­ka meskipun pernah pada suatu masa menjadi idola remaja Amerika terutama karena buku esai-puisinya, The Prophet. Dalam kasus ini prinsip teritorialisme mungkin tidak dianggap penting tetapi primordialisme sangat menonjol–yang akhirnya mau tidak mau membawa-bawa ‘negeri leluhur’ dalam pembicaraan tentangnya. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan tak lain adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Itu semua menjadi utama ketika dalam studi sosiologi sastra kita mengangkatnya sebagai bahan kajian. Dalam konsep manusia sebagai citizen hal itu tidak bisa dibantah lagi, tetapi ketika kita beringsut sedikit demi Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 sedikit ke konsep lain, yakni Netizen ‘warga Internet’, maka kita berubah menjadi Warga Internet yang tidak mengenal ius soli atau ius sanguinis dan antara lain karenanya kita tidak dibatasi oleh teritorialisme dan primordialisme. Netizen adalah orang yang ‘mengabdikan diri’ pada Internet. Bisa dikatakan bahwa Netizen adalah ‘warga negara’ Internet meskipun pada dasarnya Internet tidak mensyaratkan KTP dan kartu identitas semacamnya. Warga negara biasanya digolong-golongkan berdasarkan posisinya dalam kehidupan sosial dan politik, atau dalam hierarki kelas sosial dan sekte di samping berdasarkan konsep etnisitas. Netizen adalah manusia yang tidak terikat pada kasta, teritori, agama, paspor dan KTP, jenis dan jenjang pendidikan, dan berbagai ikatan lain yang merupakan syarat bagi kewargainternetannya. ”Imagine” John Lennon, salah seorang anggota The Beatles, antara lain mengungkapkan sebuah impian, there’s no countries, it isn’t hard to do, nothing to kill or die for; seperti yang dibayangkan dalam larik-larik lirik lagunya yang berjudul “Imagine”. Dalam ‘impiannya’ dunia ini satu dan dia sadar, you may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.Harapannya bahwa kita semua ini pada suatu hari akan bergabung dengannya bisa ditafsirkan ada kaitannya de­ngan zaman Internet ini. Mungkin yang ada dalam pikirannya adalah khayal belaka, tetapi apa yang sekarang terjadi dan sedang berproses dalam hidup kita sejak adanya Internet boleh saja kita menafsirkan apa yang dibayangkan penulis lagu itu bisa saja telah terjadi. Apa yang disebut-sebut oleh antara lain Howard Rheingold sebagai virtual community menyebabkan saya membayangkan sebuah dunia siber atau digital atau virtual yang mungkin sekali ada dalam bayangan Lennon ketika menciptakan lagu itu. Virtual worlds adalah yang paling interaktif di antara bentuk-bentuk virtual community. Di dalamnya kita saling berhubungan seolah-olah sungguh-sungguh hidup sebagai avatar yang kita ciptakan sendiri dalam dunia yang berbasis komputer. Saya tidak tahu apakah dalam lirik-lirik Lennon itu sengaja disisipkan ideologi tertentu–agama atau politik, misalnya, tetapi suasana dan kondisi yang ada dalam masyarakat Internet sekarang ini mau tidak mau memaksa kita semakin membayangkannya sebagai ‘dunia nyata’ tempat kita berkomunikasi lewat berbagai cara antara lain teks, ikon grafis, bunyi, dan bentuk-bentuk yang dikendalikan oleh suara dan sentuhan. Tanpa taraf literasi yang unggul atas gadgetry dan tata bahasa yang rumit yang dituntut oleh komputer, kita pada suatu saat nanti akan dianggap uncultured dan unlettered ‘tidak berbudaya dan buta aksara’. Di zaman lampau, ketika nenek moyang kita masih menggunakan bulu angsa dan kuas untuk menulis karya sastra, masyarakat tentu belum menyodorkan pilihan yang tidak terbatas jumlahnya bagi warganya. Sekarang masyarakat virtual yang kita tumbuhkan dan ada di sekeliling kita mendikte proses penciptaan sastra sedemikian rupa sehingga hubungan-hubungan antarunsur dalam strukturnya menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali sejumlah konsep yang kita yakini selama ini. Sosiologi sastra digagas berdasarkan konsep tentang hubungan-hubungan antara sastrawan, karya sastra, pembaca, dan masyarakatnya. Hubungan-hubungan tersebut membentuk struktur yang berubah-ubah sebab masing-masing unsurnya selalu mengalami perubahan. Teknologi, yang tidak lain adalah the way people do things, terus-menerus dikembangkan demi kebahagiaan dan kemudahan hidup kita. Masyarakat terbentuk karena terutama anggotanya mengelompokkan diri berdasarkan niat untuk berkomunikasi, dan sekarang kita mengelompokkan diri dalam etnik atau ideologi atau teritori virtual. Demikianlah maka komunikasi menjadi landasan dan alasan kebudayaan, bahkan dikatakan bahwa komunikiasi adalah kebudayaan, kebudayaan komunikasi. Berdasarkan pemikiran demikian itulah apa yang kita kenal sebagai sosiologi sastra berkembang menjadi tradisi penelitian ilmiah. Di sekitarkita tersedia data yang tak terkirakan banyaknya berkat teknologi yang kita kembangkan, yang bisa membantu kita menjawab pertanyaan, Ke arah mana lagi kita harus mengembangkan sosiologi sastra?*** @ RNA/ IH - Sumber: https://susastra.fib.ui.ac.id 31 Kisah PESENI CC Febriyono Terlahir Sebagai ‘The Blind Messenger’ S Sering menjuarai berbagai kategori, aktor panggung dan sutradara terbaik di beberapa judul teater yang ia garap. IKJ membawanya kepada sebuah keyakinan untuk agamanya, berkat seorang sahabat Zack Sorga ia mengenal Islam dan akhirnya memeluk agama Islam dengan ilmu yang ia dapat dari sahabatnya itu--semua bisa dilihat di channel YouTube-nya bagaimana ia akhirnya memutuskan menjadi mualaf di usia yang muda namun dengan keputusan besar. CC Febriyono lahir di Lumajang, 19 Februari 1966 seorang peseni yang masuk Jurusan Teater IKJ pada 1984. Pada masa itu, dia sosok yang begitu humoris dan selalu memunyai idealisme dan ide kreatif. 32 Setelah lulus IKJ, Febriyono berkembang menjadi seorang sutradara yang andal di berbagai stasiun televisi. Beberapa sinetron yang disutradarai dan sebagai penulis skenario adalah Sahabat Pilihan, Rumah Bunga, Rumah Seratus Perkara, Rumah Kami, Tergiur, Jiran, UFO, Kismis - Kisah Misteri, Leak, Pintu Hidayah, Mahakasih, Suara Hati Lelaki, Sketsa, dan masih banyak yang lainnya di berbagai FTV. Pernah juga menjuarai Festival Film Independen Indonesia 2002 sebagai film terbaik kategori umum dengan judul Suatu Siang di Perkampungan Kali Mati Karet Bivak. Banyak prestasi yang sudah diraih Febriyono, dalam bekerja ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan selalu mengajak kru filmnya untuk salat berjamaah tepat waktu. Namun ia juga dikenal humoris dan sangat konyol. Terakhir saat sedang sibuk menyutradarai Sketsa, ia meng­alami glaukoma, penyakit mata yang total merenggut penglihatannya. Karena keterbatasannya beliau berhenti dari pekerjaan yang dicintai. Ujian tak behenti di situ saja dalam keadaan buta pun beliau ditinggalkan oleh istrinya dan dia hidup bersama empat anaknya. Ia dirawat oleh anak tertuanya, Syafira yang saat itu masih kuliah baru di semester 3. Sedangkan Tania masih di SMK, Nanda masih di SD, dan Ahsan lelaki satu-satunya masih berusia tiga tahun. Pendidikan anaknya berlanjut dengan bantuan biaya dari kakaknya, sampai akhirnya Syafira lulus kuliah dan diikuti kelulusan adik-adiknya dari sekolahnya masing-masing. Beberapa tahun kemudian Syafira pun menikah, sedangkan Ahsan kini mengenyam pendidikan di kelas 1 SMP di pondok pesantren. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Dia tidak patah semangat, tetap mencari alternatif berobat ke mana saja, untuk menghilang­kan rasa sakitnya. Padahal menurut dokter, jika kembali mendapat­kan penglihatan pun, itu mustahil dengan metode operasi biasa karena kondisinya sudah kronis. Dalam keadaan buta ia tetap salat lima waktu berjamaah di masjid. De­ngan tongkatnyalah ia susuri jalan dari rumah menuju masjid di dekat rumahnya. Dia pernah bercerita, kalau dia tidak mengenal Islam mungkin belum tentu bisa menghadapi ujian dengan tawakal dan sabar. Dia juga ke­rap mengikuti dan berdakwah dari masjid ke masjid untuk berdakwah. Sejak Bagi kebanyakan orang mungkin frustrasi menjadi pilihan­nya. Sudah ditinggalkan istri ditambah dengan kehilangan penglihatannya. Memang ia sempat merasa berputus asa, karena yang sebelumnya sebagai pekerja keras kini ia menjadi tunanetra dengan segala keterbatasannya. Glaukoma bukanlah penyakit mata biasa, ia menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 dia merenovasi sebuah Mushala Baiturrahim milik teman­nya, Sudir, di Bojong Sari, Gang Bhakti. Febriyono yang mencari dana untuk mushala tersebut. Mushalah itu kini lebih layak dari sebelumnya. Febriyono pun membuat akun YouTube yang saat ini sedang tren. Gagasannya muncul dari julukan yang ia sematkan pada dirinya “The Blind Messenger”. Hasil dari diskusi dengan anaknya, Syafira, ia ciptakan seorang tokoh yang akan digarap yaitu: The Blind Messenger yang artinya si buta pembawa pesan. Si buta itu membawa pesan agama lewat channel YouTube-nya sebagai media dakwah yang unik. Dia mendatangi seorang temannya, Dana Riza, yang akhirnya mau memproduseri channel YouTube tersebut. Dana Riza pun membiayai untuk empat episode. Dengan berbagai konsep hingga akhirnya, Febriyono dan Syafira berkerja sama untuk merealisasikan gagasan tersebut. 2008 dia beritikaf di saat break syuting, dan mengajak para kru untuk salat berjamaah. Saat sakit dan kondisi buta banyak pula teman-temannya yang men-support. Dukungan yang luar biasa itu membuatnya semakin bersemangat untuk berdakwah. Dukungan itupun ia manfaatkan untuk kebaikan, 33 4 Kisah PESENI Proses syuting pun dilakukan, Febriyono sendiri sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor utamanya. Syuting berjalan lancar meski kadang cukup kesulitan untuk menyelaraskan antara teknis dengan keinginan sang sutradara. Selama proses berjalan, dalam pembuatan konten channel YouTube sudah ada lima video yang sudah tayang. Dengan berbagai tema kita dapat melihat bagaimana sosok Febriyono di sana. Sayangnya, jadwal untuk menayangkan empat episode itu harus tertunda karena merebajnya Pandemi Covid-19. Syuting tidak bisa dilakukan karena ada beberapa adegan scene yang belum disyuting. Sebulan sebelum 8 Agustus 2020 dia menahan ginjalnya yang sakit, sehingga dari perut hingga ke kakinya membengkak. Dia tidak dirawat di rumah sakit, Syafira yang merawat­nya di rumah. Ketika dia akan dibawa ke rumah sakit, dia mau salat Ashar yang sebelumnya ingin buang air besar dulu. Syafira membersihkan, meman­dikan, dan mem­bantunya berwudlu. Lalu dia duduk di sofa dan menyempatkan bertakbir pertama dalam salatnya. Tiba-tiba ia muntah, tidak sadarkan diri, dan disandarkan di dinding. Febri­yono pun mengembuskan napas terakhirnya di samping Syafira yang sedang berupaya mengelap keri­ngat di dahinya. The Blind Messenger kini telah wafat pada 8 Agustus 2020 itu. Begitu lembut malaikat, atas izin Allah SWT, mengambil nyawa The Blind Messenger yang dikenal sebagai ahli ibadah ini. Dia adalah orang yang tidak pernah berpikir untuk diri sendiri, sebaliknya lebih mendahulukan kepen­tingan umat, seperti merenovasi mushalah dan berbuat baik lainnya. Dia banyak mengajarkan anak-anaknya dan orang lain, bahwa bersabar, tawakal,dan ikhtiar harus berjalan beriringan.n @ IH - Sumber: Syafira 34 34 Semesta Seni l EdisiSeni 6Semesta l l Oktober l Edisi 6 ll 2020 Oktober lSem 20 Semesta EdisiSeni 6 ll 2020 Oktober Komunitas SENI Ruang Puisi Kita Dianugerahi dengan Bertemu Berbagai Kalangan Ruang Puisi Kita (RPK) lahir dari kegelisahan bahwa pada kenyataannya masih belum begitu banyak wadah bagi para peminat dan pecinta puisi untuk dapat menuangkan karya-karyanya. RPK yang berdiri pada 23 November 2018 ini menjadi alternatif wadah seni puisi tersebut. 020 mesta Seni l EdisiSeni 6Semesta l l Oktober l Edisi 6 ll 2020 Oktober Semesta EdisiSeni 6 ll 2020 Oktober l 2020 K INI para pecinta puisi mulai kembali merimbun, bahkan di kalangan generasi muda atau yang lebih dikenal dengan sebutan generasi milenial, minat pada puisi mulai menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Sementara belum banyak wadah bagi mereka dalam mengekspresikan karya-karyanya, khususnya di media sosial. RPK mencoba mewadahi minat merek tersebut, karena puisi adalah sarana ekspresi yang sangat kompleks dan elegan. Dengan puisi kita bisa menuangkan segala ben- tuk keprihatinan, semua uneg-uneg dari hal yang remeh, kehidupan keseharian, bahkan hal-hal besar yang mungkin apabila disampaikan secara biasa akan menyebabkan konflik atau menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi bila disampaikan dengan puisi akan menjadi sebuah karya yang nyaman untuk dibaca, didengar, dan dinikmati. Karut-marut kondisi sosial, fluktuatifnya keadaan negeri, intrik-intrik kepentingan yang memuakkan semua pihak, bisa dikemas dengan elegan melalui karya-karya puisi. Sehingga kita semua memiliki kesempatan dalam 35 35 Komunitas SENI menyampaikan aspirasi kita, dengan cara yang bermartabat, dengan tutur kata yang indah dan dapat diterima. Mimpi besar RPK adalah menjadi tempat ekspresi yang bukan hanya sekadar karya, namun bisa menjadi workshop-nya para pesyair negeri ini, bengkelnya para pecinta aksara, yang akan melahirkan pesyair-pesyair baru yang dapat memberikan warna pada perkembangan Sastra Indonesia, khususnya di bidang puisi, sesuai dengan moto RPK: “Karena setiap aksara memiliki makna”. Komunitas Ruang Puisi Kita awal berdirinya membuat sebuah grup di laman Facebook dengan alamat: https://www. facebook.com/groups/RuangPuisiKita. Jumlah anggotanya hingga saat ini mencapai lebih dari 600 orang. Memiliki 36 36 kepengurusan/ admin aktif sebanyak empat orang yaitu: Ardian, Ossie Helmi, Nenny, dan Vivi. Selanjutnya komunitas ini merambah ke media sosial lain seperti Instagram: @ruangpuisikita dan YouTube: Ruang Puisi Kita. Mereka ingin menjadikan wadah ini sebagai penampung berbagai kegiatan seni, khususnya puisi, sastra, dan literasi. Juga bisa bekerja sama dengan pelaku seni lainnya seperti bidang seni rupa. Karena mereka yakin setiap seni itu memiliki kaitan dan saling mendukung satu sama lainnya. Oleh karenanya mereka kerap mengolaborasikan puisi dengan musik, visualisasi video, pantomim, sketsa, dan bentuk kesenian lainnya. Semesta Seni Semesta l EdisiSeni 6 l lOktober Edisi 6 ll 2020 Oktober l 20 020 “Semoga kehadiran kami bisa memberikan wadah kreatif dan juga wadah berkreasi bagi seluruh generasi pecinta aksara,” harap Ardian tabf diucapkan kepada Semesta Seni. “RPK hanyalah satu dari jutaan pegiat seni aksara, dan kami barulah seumur jagung. Kami tidak pernah lelah untuk menggali ilmu dan terus belajar. Kami sangat bersyukur karena RPK sangat dianugerahi oleh Yang Mahakuasa suatu kesempatan untuk bisa berkenalan, bersilaturahmi dengan bermacam seniman hebat, seniman baik, yang dengan tulus mendukung kami, memberikan kami masukan-masukan, memperkenalkan kami dengan link dan komunitas luar biasa lainnya hingga kami berkesempatan untuk bisa bekerja bareng dengan para seniman hebat itu,” tuturnya. Mereka pun mengembangkan silaturahmi ke bebagai pihak. Mereka bisa berkenal­ an dengan para peseni di Pasar Senen, para pelukis di Taman Mini, hingga bisa berkenalan juga dengan komunitas Sastra Semesta. RPK juga sering melibatkan dan dilibatkan pada be­berapa acara, seperti pada beberapa tahun lalu, ada acara musik lintas komunitas di TMII, mereka tampil di sana. Lalu berkenalan dengan para pelukis di Desa Seni, dia antaranya pelukis Feriendas. Melalui pelukis itulah mereka dikenalkan dengan Ireng yang pelukis dan juga membesut acara Sastra Semesta. Lalu RPK bisa tampil di salah satu pergelaran Sastra Semesta. Akhirnya RPK bermunculan di mana-mana. Hingga bisa tampil pada acara mutakhirnya di Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional di The Gade Coffee & Gold Balikpapan, 25 September 2020 lalu. Itulah anugerah yang didapatkan RPK yang akan selalu dikenang dan menjadi pemacu dalam berkesenian. Mereka bertekad, sebisa mungkin tetap berkarya dengan kemampuan yang dimiliki.n @ IH - Sumber: Ardian Semesta Seni Semesta l EdisiSeni 6 l lOktober Edisi 6 ll 2020 Oktober l 2020 37 Kulik MUSIK S EDIKIT musisi yang menyukai dan khusus mendalami instrumen Akordion, dari yang sedikit itu ada musisi humble bernama Frans Raranta. Ia sering tampil di beberapa acara kesenian dan ke mana-mana selalu membawa instrumen musik andalannya tersebut. Alasan Frans memilih Akordion karena Akordion adalah alat musik yang soliter akustik dan portabel dapat mengiringi musik bergenre apapun karena memiliki nada yang lengkap Frans Raranta Akordion Jadi Instrumen Musik Andalannya 38 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 diatonis dan kromatik.Bermacam ragam jenis Akordion yang Buton maupun piano organologi. Piano Akordion memiliki tombol-tombol bas dan chord juga tuts piano ada yang sembilan sampai dengan 120 bas dan satu sampai dengan 3,5 oktav tuts piano. Dengan Akordion sangat mungkin memainkan chord progresif dan memiliki beberapa jenis suara yang menyerupai beberapa alat musik gesek dan tiup atau Recoder. Frans lebih fokus memainkan Akordion pada akhir 1990-an, di sam­ping alat musik lain seperti perkusi, baik yang tradisional maupun modern. Baginya, Akordion dapat dimainkan dan dibawa ke mana saja, out door maupun in door; ukuranya sedang dan tidak menggunakan listrik; dan memakainya bisa di tempat atau sambil berjalan. Berbagai acara dan grup yang pernah Frans ikuti, dari Chamber group intertainmen di hotel, kafe, dan resto; grup-grup reggae, punk, latin, jazz, sampai dengan tradisi; dan beberapa grup teater, tari, film, hing- Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 ga street art. Pada tahun 2000 Frans sempat mengisi acara anak Pulang Sekolah di Trans TV sebanyak 73 episode. Pada 2007 bekerja sama dengan Museum Bank Mandiri dan sempat buka kelas Akordion. Ikut festival tari Melayu, 2008. Bergabung dengan grup punk Marjinal, 2010. Pada 2011 dia membentuk grup tradisi Betawi Samrah di Pesisir Marunda Pitungm Cilincing, Jakarta Utara. Pengalaman lain adakah bermain Akordion dengan 14 alat musik secara bersamaan bersama Teater Kantor, Grand Final Remaja Ceria, opening Festival Teater Jakarta Utara. Juga sempat bergabung dalam Jambore Perupa Pasar Seni Ancol, Seminar Revolusi Mental acara kementerian dan seniman di Galeri Cipta 1TIM, dan tiga kali mengisi acara penghargaan FTI-nya Radhar Panca Dahana.n @ IH 39 Karya PUISI-PROSA Sulaiman Juned SIPINSUR MERUNCINGKAN CINTA Yudhistira ANM Massardi ini pagi. Menanam hati di tanah nan runcing angin—kabut—hujan mengurung gigil dalam senyap. Memandang pulang Sibandang terasa hoda-hoda diantar kasih sayang dan cinta ke ruang kepala merayapi jiwa SELAMAT JALAN, NAKHODA BANGSA! - Kepada Pak JO Dalam tubuhmu, darah Sang Guru Dalam jalanmu, jejak tercetak Dalam risalahmu, sejarah berubah Dalam napasmu, sebuah kompas Petunjuk para pencari arah: Keseimbangan timbangan Kebaikan teladan Gugatan berkelanjutan Selamat jalan, Pak JO Guru Bangsa Nakhoda Kemanusiaan! Kepergianmu mengabadikan yang sudah dan indah Warisanmu mengabadikan yang pantas dan cerdas Kehidupanmu mengabadikan yang lurus dan luhur Perjalananmu mengabadikan yang tinggi dan runduk Di pusaramu Tertabur bunga dan air mata Di pusaramu Sang Waktu menunggu, bertemu dan berlalu Di pusaramu Yang fana dan baka berkaca Kepada kata Kepada warta Kepada kita : Agar tak ada yang dilupa! 9 September 2020 : merubuhkan cinta di lembah Bakara. Karya: Muhammad Nasir l Judul: Jakob Oetama l Medium: Pinsil di kertas l Ukuran: 21x30 cm l Tahun: 2018 l Giyanto Subagyo ini pagi. Menanam hati di tanah nan runcing anak-anak pinggir danau menambatkan bulan dan matahari dalam keriuhan angin. SAJAK KEPADA ENDO SENGGONO : seperti kasih sayang dan cinta Ompu Pulau Batu. Endo Senggono mengembara dari buku ke buku lalu berumah di kesunyian ini pagi. Menyambut kehadiran pada pecinta menuju cahaya dengan tarian bambu di tanah yang basah kasih sayang mempersembahkan sirih dengan ikhlas Endo, apa yang kau cari di Taman Hiburan Rakyat yang penuh dengan topeng-topeng kepalsuan? Kau bangun cahaya ilmu pengetahuan dari puing-puing reruntuhan Taman Bacaan PDS HB Jassin berdiri megah dan indah dengan pilarpilarnya Pancaran Sinar Sastra Lampu-lampu Taman Seni mulai padam Endo pulang dalam keabadian : aku enggan pergi sebab cinta melekat di hati Ah! -Sipinsur, 17 Agustus 2020 Jakarta, September 2020 40 Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020 Harry Tjahjono DARI RADIO AKU BELAJAR MENDENGAR Dari radio aku belajar mendengar Lagu-lagu cinta yang memanjakan kenangan Cerita sandiwara yang memuliakan imajinasi Berita yang dikabarkan tanpa kebencian Nyanyian rindu yang mengalir laksana suara ibuku ketika berulang kali berkata: jadilah rumput bukan lumut jadilah pohon bukan gunung yang bertumbuh dan menghidupi jadilah semut bukan gajah jadilah tawon bukan kupu-kupu yang bekerja dan menghidupi Dari radio aku belajar mendengar Suara angin berlarian di reranting akasia ketika istri seorang koruptor menangisi suaminya yang dipenjara Air matanya tumpah laksana butiran berlian yang menaburi giwang, kalung, gelang dan cincin di jemarinya. Sambil dipapah Ibunya ia berjalan tersedu menuju salah satu mobil mewah dari sekian puluh hadiah dari suaminya “Alangkah celaka hidupku ini. Alangkah kejamnya kenyataan yang kualami,” ratapnya sembari mendekap tas berisi beberapa ratus ribu Euro dan dollar Amerika. “Sudahlah, anakku. Percuma saja kamu menyesali yang sudah terjadi. Jika saja kamu melarang suamimu sejak pertama kali ia korupsi, pastilah kini hidupmu bahagia,” kata Sang Ibu menasihati. Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020 “Oo..., saya bahagia, Ibu. Bahkan ketika pertama kali suamiku mencuri hatiku, saya sungguh bahagia dan menikmatinya,” katanya sambil mengelap berlian yang terpercik air matanya. Dan angin berlarian di reranting akasia. Oo..., kebahagiaan siapa gerangan yang diculiknya? Dari radio aku belajar mendengar Suara suatu masa ketika Ibu seorang koruptor menangis meratapi nasibnya seraya bertanya: “Bagaimana Ibu harus menanggung rasa malu setiap bertemu orang-orang yang tahu bahwa kamu anakku? Bagaimana harus menghadapi mereka yang menghinakan Ibu seorang koruptor?” Namun dengan tersenyum si anak memeluk Sang Ibu seraya berkata: “Ibu tidak perlu cemas berlebihan. Saya sudah membayar saksi-saksi untuk membuat akta adopsi yang menjelaskan bahwa saya bukan anak kandung Ibu.” Aku mendengar suara suatu masa, ketika seorang Ibu menangis meratapi nasib yang ditelikung anaknya sendiri. Dari radio aku belajar mendengar suara Ibu yang berulang kali berkata: jadilah cahaya bukan matahari jadilah lentera yang menerangi dan menghidupi Dari radio aku belajar mendengar Suara bintang-bintang di langit Sudah cukup menjelaskan Bahwa kamu tidak harus menjadi rembulan l Karya: Mudji Sutrisno SJ l Judul: Peduli di Saat Pandemi l Medium: Tinta di kertas/ Desain di Komputer l Ukuran: 21x29,7 cm l Tahun: 2020 Dari radio aku belajar mendengar Jakarta, 12 September 2020 41 Karya PUISI-PROSA Kurt D Peterson Fanny Jonathans Poyk KABAR KEMATIAN Akhirnya kabar kematian bagai salam perpisahan sejenak, kenangan yang tertinggal mengendap kuat seolah cerita itu akan terulang kembali. Lalu lambaian tangan dan tegur sapanya seolah masih terasa, kemarin ia duduk di sana, kemarin ia masih menulis tentang statusnya, kemarin ada WA darinya mengirimkan cerita ketika kami menjalin rasa. Ah kemarin... Ketika berita bahwa kau pergi untuk selamanya dan kau yang lain juga berangkat ke luar dari bumi dengan berita tanpa titik hanya koma, di situ tanya berkelindan di benak, sakit apakah dia? Apakah hanya flu biasa? Batuk-batuk biasa? Demam biasa? Tanya itu menjadi beragam jawab yang tertera dari kata demi kata yang terkadang disertai curiga, jangan...jangan... Ternyata dan ternyata semua bukan fatamorgana. Yang pergi tak akan pernah kembali. Kematian seolah menjadi deret hitung, esok siapa lagi, esoknya siapa? Maka yang dekat semakin dekatlah, hapus amarah serta benci di dada, sebab jika kau, saya atau kamu tiada, ucapan kata maaf telah sia-sia. Turut berduka tetanggaku yang tadi siang telah pergi ke Sang Ilahi, hanya tangis yang tercurah dari mata ke pipi... ketika aku melewati pagar rumahmu, sapa ramah yang terucap selalu kukenang, “sehat selalu Bu Fanny...” Ya, kalimat itu kini yang tertinggal. September 2020 42 MACET (Morning poem for Jakarta) The national ideology lives in the particular sound of sirens. This is not new. An infinity of symbols, contorted; Vehicles and their particular motion Their human operators Their shape and evolution seemingly natural, Seemingly willful. This, a fallacy not unlike the linearity of time and the subsequent farce of inevitability. The force of culture and economy The technological creep and/or leap. Such an infusion appears God-like where God is the animist hustle. God-like where God sits in infinite repose in the corners of tiny toko toko, legs crossed upon motorbikes parked beneath freeway supports whose arms wait outstretched for roads to be built upon their broad shoulders. God-like where God is presence and force. God-like where God is a very hungry man with leather skin and wiggling wheels. God-like where God appears preyed upon and rises with infinity of strength. Will assumed where circumstance is the truest artificer. Life moves. Desire is itself. These things are inherent. The degree to which choice The degree to which fate The degree to which fortune, misfortune, the other, and the rest. Concept. Extraction. Distortion. Replay. Intentionality and amplification. I am looking at street signs now in a traffic jam and measuring the distance between remembrance and a sense of the familiar. The national ideology lives in the particularities of its brooms and trucks, bridges built, unbuilt, and in-between. The national ideology lives in a factory of hands. The national ideology lives in sun faded facades. The national ideology lives on wrecked jackets and backpacks, branded city travelers teeming, stranded, streaming In, of, through, above, below, beyond And before. Backward even, around bushes and over curbs. Karya: Wahyu Oesman l Judul: Perlintasan l Medium: Cat akrilik di kanvas l Ukuran: 60x70 cm l Tahun: 2020 l Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Kurt D Peterson Mita Katoyo MACET SUKA SUKA (Puisi pagi untuk Jakarta) bulan boleh terbelah hingga sabit, dan membiarkan sinar menerpa suka-suka, tetapi bintang yang acapkali tertelan gelap malam, tetap milik cahayanya sendiri, namun tak suka-suka ia bersinar, redup suatu waktu, hingga terang sebenderang kejora Pemikiran bangsa hidup dalam suara sirene yang khas. Ini tidak baru. Keabadian simbol, diputarbalikkan; Kendaraan dan gerakan khasnya Manusia sebagai penggeraknya Bentuk dan perkembangannya yang tampak wajar, Bagaikan disengaja. Ini, kekeliruan yang tidak berbeda dengan linearitas waktu dan lelucon tentang apa yang tak terhindarkan. Kekuatan budaya dan ekonomi Teknologi yang menjalar dan/ atau melonjak. 26 September 2020 Widodo Arumdono RESUME TANDA TANGAN SUNYI Kemauan diasumsikan di mana keadaan adalah seorang perajin sesungguhnya. (Untuk rekam jejak Endo Senggono) Hidup bergerak. Hasrat adalah diri. Hal-hal ini tak berubah. Tingkat pilihan Tingkat takdir Tingkat di mana rezeki, kesialan, yang lainnya, dan sisanya. Konsep. Ekstraksi. Distorsi. Ulangan. Intensionalitas dan amplifikasi. Aku sedang melihat rambu-rambu jalan di kemacetan lalu lintas dan mengukur jarak antara ingatan dan rasa yang akrab. Ideologi nasional hidup dalam kekhasan sapu dan truk, jembatan yang dibangun, belum dibangun, dan di antaranya. Ideologi nasional hidup di pabrik kerajinan tangan. Ideologi nasional hidup dalam fasad yang pudar. Ideologi nasional hidup di atas jaket dan ransel yang rusak, pelancong kota besar yang berkerumun, terdampar, bergerak Di, dari, melalui, di atas, di bawah, di luar batas Dan sebelumnya. Bahkan mundur, di sekitar semak dan di atas trotoar. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Karya: Eko Banding l Judul: Penjaga Langkah l Medium: Tinta di kertas Cannson l Ukuran: 75x42,5 cm l Tahun: 2020 l Infusi seperti itu tampak seperti Tuhan di mana Tuhan adalah iruk-pikuk animisme. Seperti Tuhan di mana Tuhan duduk dalam ketenangan tak terbatas di sudut-sudut toko kecil, kaki disilangkan di atas sepeda motor yang diparkir di bawah penyangga jalan tol yang tangannya terulur menunggu jalan yang akan dibangun di atas bahu mereka yang lebar. Seperti Tuhan di mana Tuhan adalah kehadiran dan kekuatan. Seperti Tuhan di mana Tuhan adalah orang yang sangat lapar dengan jaket kulit dan roda bergoyang. Seperti Tuhan di mana Tuhan muncul sebagai mangsa dan bangkit dengan kekuatan yang tak terbatas. Ia yang pergi Menggariskan warna pelangi Antara batu aksara dan tanda tangan sunyi Menyisir gelombang angin matahari Ekor cahaya sejati Melintasi cerlang ilusi dalam degup dunia yang penuh fantasi Ia yang pergi Membungakan atma Mengamini nafas semesta Menggarit hakikat Bagi yang bernama jiwa Kebayoran Lama, 200920 43 Cerita PENDEK B erjubah putih dengan seluruh pakaiannya mele­ bihi dari semua ukuran anggota badannya, berke­ liling di tempatnya bermukim. Barangkali kesendiriannya di sorga itu tak mungkin dibagikannya kepada orang lain. Seperti yang telah lewat, semua makhluk hidup yang telah menyapa­ nya ditanggapinya dengan wajar. Ia disapa oleh badak, ia mengangguk. Ia disapa oleh ular, ia menggeleng. Ia disapa oleh burung, ia melambai. Karena ia ingin terbang sedangkan itu tak mung­kin. Sedangkan menurut anggapannya bahwa melambai itu identik dengan terbang. Pada saat tangannya melambai ia jauhjauh sudah menganggap bahwa pada saat itulah dirinya telah melayang ke angkasa khayali yang diinginkannya. Ia disapa oleh semut, ia mengangguk. Ia juga ingin turut bersama semut untuk berjalan dalam jalinan persahabatan, namun itu pun tak mungkin. Akhirnya pada saat hidupnya dikungkung oleh kesendirian, itu pun menjadi biasa dalam setiap tindakannya. Seperti seekor capung selalu hinggap sendiri di pijakannya, hanya sesekali ia bergerombol. Setelah sapaan-sapaan itu habis, ia pun menyapa untuk dirinya sendiri. Seketika ia berhenti, tak tahu harus bersikap bagaimana. Jawabannya bukan dengan gerakan anggota tubuh. Ia harus dijawab dengan bahasa diam. Dengan pere­nungan. Sebab banyak gerakan dirinya, tidak dapat dijawab oleh kesadarannya sendiri. Untuk itulah, dari hasil sapaan untuk dirinya, ia terpaksa kembali ke masa lampau. Di masa hidupnya sekarang seperti awal dari akhir, jika ia membandingkannya kembali. Tak akan pernuh bertemu. Di gurun pasir, kulit kakinya meleleh, ia berjingkrak pada bumi yang dipijaknya, tak selamanya ia dapat berbuat demikian. Sekali waktu, ia tak dapat lagi dengan Surut @ Anil Hukma Lelaki itu telah sampai di surga keinginannya. Ia tak mau berpaling lagi ke dunianya yang dulu. Seperti tubuh ayam yang telah dikuliti bulunya, semua serba mulus dan tak mungkin akan melengket lagi seperti sebelumnya. Apalagi ia telah merasakan penderitaan seperti di neraka, menurutnya. Lalu siapa lagi yang ingin surut ke belakang jika memang tidak ada paksaan untuk kembali? Yang terakhir, sejarah tak bisa diubah, dikembalikan. 44 lincah mengelak dari keinginan-keinginannya untuk lepas dari panas yang mengungkung. Ia ingin kesejukan, seperti darat dan air yang saling menyapa. Ia tak ingin air tumpah menjadi bah yang dapat menelan tubuhnya bulat-bulat. “Aku harus melawan,” tekadnya. “Hai pohon yang kokoh di tengah padang gersang, bantu aku untuk menghilangkan panas dari kakiku”, daundaun yang memang melambai kencang ditiup angin gurun seolah menyambut gembira. “Ada imbalannya setelah itu, “ ia sangat berharap. Sekali lagi angin gurun bertiup kencang, menghadiahkannya segumpalan debu halus yang ingin menutupi matanya, namun hanya bertengger di atas bulu mata. Ia segera mengatupnya. Bersamaan itu pula, seekor kalajengking menancap di jemari kakinya. Kelingkingnya mengembang. Ia meloncat karena serangan yang tiba-tiba itu. “Tolong aku, jangan siksa aku. Pergi...,!” suaranya menan­ dingi guruh yang membawa kilat di atas sana. Ia girang mendengar suara itu. Sedang kalajengking yang tadi menggigit­ nya kembali bersembunyi di bawah gundukan pasir. Gundukan pasir yang ada di dekatnya itu, tempat di mana ia berdiri kini, menjelma jadi satu sosok yang utuh. Permukaan kulitnya kasar seperti butir-butir pasir yang menyebar satu-satu. Kentara. “Kau dari mana, kok tiba-tiba ada di sini?” ia bergirang hati sambil bertanya. Pikirnya, sudah ada kawan bersitatap. Biar tak bercakap asal saling melirik itu sudah menjadi penawar kesendirian dan ketakutannya. “Saya dari pasir, dari gundukan-gundukan pasir yang tersebar di sekelilingmu. Saripatinya saling bersatu, dan hasilnya adalah sosokku ini.” “Seperti bukan suara manusia. Asing,” katanya pada diri sendiri. Saat itu keheranan menguasai pikirannya. “Saya tidak punya bulu seperti kamu, saya suci” sambil Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 l Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Ilustrasi: Agoes Noor berucap, sosok itu meraba kulitnya. “Kulitku kasar, tapi hatiku tidak. Kau de­ ngar suaraku? Lebih halus dari kamu. Tidak seperti guruh yang kau gertak itu.” “Suaranya betul-betul lembut” gumam­ nya membenarkan. `“Seperti irama gurun pasir.” `“Kau, rabalah kulitmu sendiri. Penuh bulu. Dan bukan mustahil bulu-bulu itu tumbuh juga di hatimu. Melekat. Tanpa ada usaha untuk menghilangkannya,” ia berge­ming. Sosok itu lalu memperkenalkan diri. “Nama saya aneh. Sebuah profesi, saya kenalkan? Nama saya adalah Penasihat. Itu bisa tidak aneh, kalau kau menganggapnya bahwa tidak ada yang aneh dan baru di muka bumi ini, “ kata-katanya memang dibenarkan oleh semua yang ada di sekitarnya. Daun-daun makin kasar lambaiannya. Debu beterbangan, dan ia sendiri mengangguk sepuluh kali, sekalipun itu sudah lama diketahuinya. Berdua mereka melangkah meninggalkan gurun yang panas. Bersisian. Langkahnya seirama. Di dekatnya si Penasihat. Ia merasa tak ada lagi panas seperti tadi. Dan sedikit demi sedikit bulu-bulunya semakin pendek dan gugur satu-satu. Ia betul-betul bahagia. Dalam pengembaraan di padang maha­ luas, ia merasa lelah. Tamparan angin gurun dirasakannya sebagai tamparan yang memabukkan, seperti jari lentik yang halus mengelus-elusnya. Memberi kenikmatan. “Tolong-tolong.. jangan cakari tubuhku. Perih, ampun,” ia kembali histeris melebihi teriakannya yang tadi. Tangan-tangan yang dirasakannya mengelus-elus itu, membuat ia seperti terlena dan tiba-tiba saja menjadi kuku tajam, mencakar-cakar tubuhnya. Ia memandang sekeliling. Namun sosok yang menamakan dirinya si Penasihat telah lenyap. Sunyi. Di tubuhnya tertinggal bekas cakaran, tergores dalam dikulitnya. Ada mengambang darah di atas goresan itu. Ditambah keringat di tubuhnya meleleh di sekitar goresan itu. Menambah perih dirinya, baik rohani maupun jasmaninya karena ditinggalkan oleh temannya si.... Senja merambat. Jingga di barat, di sekitar gurun hanya merah, tubuhnya merah. Butiran-butiran pasir berkilau. Timbul lagi dalam pikirannya untuk mengangkut semua pasir-pasir itu dalam karung yang sembunyi, agar tidak terlihat dari pandang­an orang-orang. Biar dia sendiri yang tahu isi karung-karung itu. Karena hanya pasir basah yang diambil dari sebuah gurun pasir yang jauh tak bertepi. Siapa tahu menjadi suatu mukjizat, sinar yang ada di pasir itu, karena senja yang berkilau, tak akan hilang. Ia bisa kaya raya. Pada saat ia berpikir yang bukan-bukan seketika itu pula ada reaksi dari luar dan dari dalam dirinya yang akan menyakitkan dirinya sendiri. Kepalanya penting. Ia rebah di pasir, lelah sekali. Akhirnya ia pulas dalam ketidakmengertian. Ketika ia bertidur, muncul lagi sosok Penasihat. Bukan satu, tapi sepuluh, berba­ ring pula mengelilingi si ia yang tertidur itu. Bintang dilangit berkerlip seperti biasa. *** 45 Cerita PENDEK 46 ringan, semuanyat terasa damai, saat lumut-lumut dan bulu yang melengket dalam pikiran dan hatinya dihilangkannya satu-satu. Usaha untuk niat baiknya itu tak kalah susahnya seperti perjalanan surutnya ini. Barangkali karena tekad yang mele­ bihi luasnya jagad tempat berpijak itu adalah imbalan yang didapatkan, sekilas dalam hidupnya. Dalam gelap ia meraba. Namun dari gelap itu pula ia mendapatkan cahaya. Keduanya Ilustrasi: Agoes Noor Bersisian lagi mereka berjalan. Penderitaan yang sudah dialaminya tidak dirasakanya lagi. Ada perasaan damai dan bahagia pada saat mereka mengembara begini. “Lebih baik saya kembali?” Ia masih ragu mengambil keputusan. “Kau ingin melihat dekat senja yang kedua bagimu? Kita akan ke bawahnya.” “Bukankah sekarang kita sedang menuju ke sana!” “Senja sejati tak akan kita dapat, jika kita tak tahu arah­nya.” “Bukankah kita sekarang sedang menuju ke barat, ke tempat senja itu?” tanyanya dengan ragu. “Kita sedang menuju pada dua senja yang berbeda. Berapa umurmu sekarang?” “Saya tidak tahu. Saya tak punya tanggal lahir. Saya takut menetapkan kelahiran saya. Adakah yang nama­ nya tanggal, hari, jika kematian kita sendiri, kita tak tahu kapan datangnya” ia berhenti sebentar. “Ya, kita semua menuju senja itu,” kini ia mulai mengerti. “Bagimu iya, tapi tidak bagiku”, dengan cepat sosok yang menamakan dirinya penasihat itu menimpali. “Lho?” “Jangan heran. Saya sudah melewati itu. Kau sangat beruntung.... betapa peristiwa yang baru terjadi yang kau rasakan itu adalah seperti seribu kali lebih mendera dari sebenarnya. Sebelum kau kembali...“ Merinding ia seketika. Dalam jubahnya yang panjang, ia merasa asing dengan dirinya sendiri. Tubuhnya yang kerempeng terbungkus rapi dalam lambaian-lambaian kain putih dan daun yang setia berlenggok dalam alam yang tak biasa. Di tengah gurun pada tumpukan pasir kasar itu, ia tak merasa menginjak pasir bumi. Tergantung dari suasana hati, kadang merasa panas dalam bara-bara kecil yang menempel di permukaannya, lalu menjadi runcing seperti paku. Kemudian berubah menjadi debu halus, halus sekali. Sekali waktu hamparan permadani diinjaknya dengan l “Kalian ada di sini? Terima kasih” hanya itu yang dapat diucapkan ketika terbangun keesokan harinya. Ia melihat betapa sahabat yang ditunggunya itu telah berlipat ganda banyaknya. Ia heran, rupanya semua sama. Warna bajunya, ukuran sosoknya. “Mana teman saya yang sebenarnya. Itukah semua?” ia akhirnya ragu sendiri. “Selamat pagi kuucapkan padamu. Bersiaplah” salah satu di antara mereka berkata. “Cambuk dia, sebanyak berapa butir pasir yang ada dalam sebuah karung penuh”. “Kalau kau tak bisa menghitungnya, semaumu saja”. Bergiliran mereka mencambuk, si ia tak kuasa berbuat apapun. Hanya deru cambuk yang mendarat dipantatnya. Ia membela diri. “Saya hanya berniat, saya baru berniat, belum melakukannya, dosakah?. Tak ada jawaban. Hanya suara cambuk yang terus menderu telinganya. Air matanya telah habis terkuras. Di tengah sesenggukan keringnya ia menyesal. “Andai kutahu begini, saya tidak akan mengembara, tak ingin semedi. Saya menyerah. Ampun....” “Cambuk terus, bila ia selalu tak bersedia menanggung risiko terhadap tindakan yang dilakukannya,“ perintah pemimpin para penasihat itu. Akhirnya ia terkulai lemas, tubuhnya lunglai menahan sakit yang menderanya. Kembali ia pingsan dalam keti­ dakmengertian. Angin yang membelai-belai dirasakannya seperti jemari lentik meraba-raba tubuhnya. Ia terbangun. Se­ seorang lagi telah duduk di sampingnya. Segera mereka tersenyum dan berangkulan. “Maafkan saya.” Si Penasihat mengangguk. “Temanmukah yang tadi mencambukku?” tanyanya hati-hati. Si penasihat tidak mengangguk. Tak ada jawaban. “Barangkali kau sudah kuat, mari kita melanjutkan berjalanan.” Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 tak berarti, ada malam ada siang, ada gelap ada terang. Kali ini, dalam gelap, pandangannya tak berarti. Seakan-akan mata kakinya yang memberinya arah buat melangkah. Mulutnya terkunci rapat, tak dapat berkata sepatah katapun. Keinginan yang ada dalam hatinya, yang segera ia perintahkan kepada anggota tubuhnya kali ini tak menurut. Ia tak membenarkan tuannya bertindak semaunya. Seharusnya memang sekarang anggota tubuhnya menderanya dengan tindakan yang berani, bertentangan dengan keinginannya. Sekarang ia merasa gamang sendiri dalam kesadarannya yang utuh. Inilah yang selama ini tak dipercayainya tatkala pada waktu belianya selalu saja sinis pada petuah-petuah yang didengarnya dari para orang tua dan gurunya. Biarlah katanya, apa yang akan terjadi nanti, terjadilah. Dan sekarang ia telah dibawa ke suatu tempat, buat sedikit membuktikan dan memberi keyakinan sekarat, bahwa memang itu benar-benar ada. Tersadar dari segala rasa yang telah dilaluinya kini. Dengan setia melangkah bersama. Bersisian. Pulihlah kesa­maran itu selama ini. .. Seketika ia bersimpuh di harapan sosok itu. “Maafkan saya guru, maafkan” sembahnya dengan sikap sempurna. “Mengapa kau tiba-tiba memanggil guru kepadaku? Tidakkah kau sadar sosokku ini?” “Saya tak peduli, dari apa sosokmu itu. Ya, saya turut merasakan. Tak dapat kuhitung keuntungan itu.” Tatkala rasa gembira melenakan segalanya. Ia terus mengo­ceh. Matanya tertutup tanpa ia sadari. “Guru, saya tidak ingin kembali. Sosok yang dijadikannya guru itu, sebagai Penasihat telah luluh, menyebar di atas butiran pasir. Sedangkan jubah­ Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 nya menelungkup di atas hamparan pasir. Tak ada rangka dan tubuhnya. Ia tak melihat kejadian itu semua. Ia membuka mata, tanpa mengerti siapa yang meme­ rintah untuk menutup dan membukanya. Sebagai pening­galan terakhir yang diberikan padanya hanyalah jubah yang bergerak-gerak di sampingnya. Kembali kesendirian sempurna datang. Namun ia tak takut lagi menghadapi semua itu. Justru ia ingin cepat tiba pada kesendirian yang abadi. Tanpa ada dengki, iri hati, kompetisi, emosi yang terkadang mengalahkan kesadar­ an, ia tak ingin semua itu. Lelaki itu dari surga keinginannya. Ia tidak mau lagi berpaling pada dunia yang dulu. Namun kedatangannya belum ditagih oleh yang punya kuasa, yang meng’ada’kannya. Ia denganberat hati harus berjalan kembali, pada dunianya semula. Di padang mahaluas yang dipijaknya, ia melangkah sendiri. Langkahnya hanya didorong oleh angin dari segala penjuru, awan memayungi dari terik matahari. Setengah perjalanan pulang ke asalnya itu. Jubah yang dipakainya bersama yang ada dalam genggamannya, ditanggalkannya juga di atas pasir. Namun ia takut ada yang mendapatkan jejaknya di suatu waktu. Maka dipungutnya lagi kemudian dilemparkan ke angkasa. Seperti yang diharapkannya, jubah itu tidak tersedot gravitasi, ia terus melayang, melambung ke atas, ditarik oleh segumpalan awan lalu bergabung. Ia sendiri berjalan terlanjang, jasmani dan rohaninya. Sebab begitulah ia datang, dari rahim ibunya ia datang, ke rahim dunianya ia menuju. Jasmani dan rohaninya betul-betul telanjang. “Keinginanku sudah terkabul” bisiknya.*** TENTANG ANIL HUKMA Anil Hukma Daeng Sompa mulai menulis pada ruang Budaya Pedoman Rakyat pada 1986 ketika masih pelajar di kotanya. Lahir di Maros 1 September 1970. Anil merantau ke Makassar sejak kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol Universitas Ha­ sanuddin. Dengan du­kungan Beasiswa Penelitian Kompas ke NTT, skripsi “Kebijakan Redaksional Harian Pos Kupang terhadap Rubrik Seni Budaya” dirampungkannya. Karya-karyanya tersebar di media massa baik lokal maupun nasional. Karier di bidang sastra seiring dalam dunia jurnalsitisk. Di­ mulai sejak awal 1990 mulai reporter, staf redaksi, litbang dan redpel di tabloid Identitas surat kabar mahasiswa Unhas. Meraih juara Lomba Puisi pada Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional) III 1994 di Denpasar. Terpilih sebagai Peserta Terbaik II dalam Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjutan di Unibraw, Malang. Sejak Alumni, pernah aktif sebagai jurnalis di Tabloid Aliansi (periode Reformasi, 1998 - 2000, Staf Redaksi Tabloid Madani pimpinan Syahrir Makkuradde, Staf Redaksi di majalah Expose dan redaktur pelaksana (2010 - 2013) dan pemimpin redaksi majalah Aspirasi (2013 - 2017). Anil adalah anggota Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Mengikuti acara Pertemuan Sastrawan Nusantara IX, di Padang, Sumatera Barat pada 6 Desember 1997 dan Pertemuan Sastrawan X pada 17 April 1999 di Johor, Malaysia. 47 G e l i a t S E N I R U PA Iskandar Surya Putra: ‘Keluhan Akan Menutup Pintu-pintu Peluang yang Besar’ I skandar Surya Putra, atau biasa dikenal dengan nama Iskandar SP, seorang peseni yang berdomisili di Cibinong, Bogor. Ia mulai tertarik untuk mendalami ranah seni lukis sejak usia Sekolah Dasar. Di usia 12 tahun, ia memberani­ kan diri mempertanyakan, apakah untuk menjadi seorang pelukis dibutuhkan sekolah lanjutan? Dengan upayanya sendiri, ia melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang berkeras dalam dirinya itu. Tak ada hal lain yang menarik minatnya, kecuali untuk dapat menjadi seorang pelukis. 48 dalaman kemeja berkerah untuk kuliah pada saat itu. Hingga akhirnya, kaus beliau pun hanya tertinggal satu buah, dikarenakan seluruh kausnya yang lain sudah berubah menjadi ‘kanvas’ lukisan buah karya latihan yang ia lakukan. Kang Is, begitu sapaan dekatnya, memulai sepak terjang kariernya sebagai pelukis pada saat menempuh jenjang pendidikan di Akademi Seni Rupa, Yogyakarta pada 1979. Hal ini secara tidak sengaja menjadi sejarah dari seluruh kegiatannya yang berlangsung hingga kini. Semasanya menjadi mahasiswa seni pada Zaman Orde Baru, merupakan tantangan yang cukup berat, di mana untuk mendapat­kan bahan-ba­ han dan media latihan, seperti cat minyak dan kanvas untuk membuat karya sangatlah terbatas. Tidak semua orang bisa melakukannya dan bahkan dapat dikatakan termasuk ke dalam daftar barang ‘mewah’ untuk dilakukan oleh kalangan mahasiswa dengan jumlah uang sakunya pas-pasan. Ternyata, metode ini pun menarik kawan-kawan mahasiswa dan masyarakat lainnya untuk mendapatkan kaus yang berwarna dengan gambar yang bermacam-macam. Tanpa berpikir untuk mendapatkan laba atau lebih jauh menjadikannya bisnis, Iskandar pun hanya mensyaratkan kawan-kawannya ini untuk membawa dua buah kaus polos, yang mana satu kaus akan dijadikan kanvas dengan karya lukisan di atasnya, dan satu kaus lainnya merupakan ongkos untuknya yang sudah memberikan hasil goresan ta­ ngan di kaus yang lainnya itu. Hal ini dikarenakan Iskandar tetap beranggapan bahwa melukis di atas kaus merupakan alternatifnya untuk tetap dapat berlatih menggambar. Semakin lama semakin ramai kawannya yang datang, semakin banyak pula ia memiliki jumlah kaus polos yang dapat ia karyakan kemudian. Berbekal kaus-kaus pemberian inilah, ia mulai menekuni dunia lukis di atas bahan kaus dan menjualnya. Dan penghasilan dari kegiatannya itu ia gunakan untuk membayar uang sewa tempat tinggal (kost)-nya. Dari keadaan inilah ia mulai mencari alternatif media sebagai bahan dasar pembuatan lukisannya. Kanvas yang dinilai mewah dan mahal, digantikan dengan kaus-kaus oblong miliknya sendiri. Bukanlah kaus baru, melainkan kaus-kaus berwarna polos yang memang biasanya ia gunakan sebagai Dalam portfolio pribadinya, ia juga pernah bekerja di perusahaan batik ternama, yakni Batik Keris, pada 1981, hal ini ia lakukan agar dapat menjalani eksplorasi karya yang lebih mendalam lagi terutama dalam ranah seni tradisi guna memperkaya preferensi keseniannya. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Pada 1983, kaus dengan lukisan seperti ini menjadi/ dapat dikatakan sebuah tren. Meskipun untuk memakai kaus hanya dapat dilakukan di dalam rumah, karena untuk keluar rumah diharuskan menggunakan kaus berkerah atau kemeja. Begitulah kuatnya peraturan di masa Orde Baru pada saat itu. Namun Iskandar tetap bertekad, apapun yang terjadi, ia akan tetap melukis di atas kaus dan ber­usaha untuk menjualnya, yang mana kala itu kaus bergambar hanya ada dari jenis kaus partai dan juga hasil merchandise beberapa perusahaan sebagai media pemasaran mereka. Di tahun yang sama pula, ia mulai mengembangkan motif-motif lukisannya dengan mengolaborasikan tema lingkungan hidup. Dalam hal ini, ia juga mulai memikirkan untuk kebutuhan cat yang lebih bagus untuk bisa menggambar hewan-hewan yang ada di Indonesia, seperti Komodo dan lain-lain. Perumpamaan ini ia bandingkan dengan beberapa desain perangko pada saat itu, yang menggambarkan buah durian, namun malah terlihat se­perti hewan landak. Begitu minimnya bahan-bahan untuknya dapat berkarya secara maksimal menjadi kendala baginya sehingga memberanikan diri untuk mengajukan beberapa proposal ke pihak luar, demi mendapatkan ku­ alitas cat yang baik untuk dapat menggambar ikon-ikon ini dengan baik dan tidak mudah luntur di bahan kaus. Ia bertekad kuat agar lukisannya dapat terlihat sebagai­ mana poster-poster yang memiliki kualitas baik sehingga dapat dinilai lebih berharga. Sanggar yang didirikannya pun, yakni Painting on T-Shirt (POT), mulai beroperasi dan bergerilya melalui pameran skala kecil-kecilan hingga akhirnya pada 1990-an mulai bekerja sama dengan kawan yang memiliki modal lebih untuk dapat membesarkan sanggar POT-nya ini. Dimulai­ nya persediaan kaus yang berlusin-lusin, diundang oleh pusat Mall Internusa, melanglang buana sampai Amerika untuk mengajarkan teknis lukisan di atas kaus, juga menggelar pameran di Singapore Expo pada 2000-an. Tak terasa sanggar yang dibinanya semakin ramai dan besar. Adanya perbedaan pendapat di antara kalangan pegiat seni lukis di dalam sanggar pun tak pelak terjadi dan menjadikan sanggar ini sempat bubar jalan. Namun keadaan tersebut tak menyurutkan Iskandar untuk berhenti atas apa yang telah dirintisnya puluhan tahun itu. Berbekal kecintaan terhadap apa yang menjadi ‘jati diri’-nya, tanpa memikirkan apakah ini akan menguntungkan atau menghasilkan, pada 2003 ia memulai kembali Sanggar POT dengan gaya yang berbeda. Ia menyadari bahwa untuk dapat menjalani bidang ini harus dikembalikan kepada ranah dasarnya, sebagai seorang peseni, yang terbebas dari batas dan sekat-sekat ketidaknyamanan. Sanggar POT ia ciptakan sebagai wadahnya berkarya, dan dalam berkarya inilah ia menyadari bahwa dibutuhkan kenyamanan untuk terus berkembang. Karena saat ketidaknyamanan itu muncul, karya yang diciptakan pun akan terancam hancur karena kehilangan ruh dasarnya. Hal inilah yang membuatnya terus merawat Sanggar POT dari tahun ke tahun. Di saat kebangkitan Sanggar POT, pola lama ia terapkan kembali yakni dengan memanggil teman-temannya dan bahkan menyilakan masyarakat umum untuk dapat belajar di tempatnya dalam membuat lukisan di atas kaus. Bagi mereka yang tertarik datang tidak diperlukan untuk Beranjak ke tahun-tahun berikutnya, 1988, Iskandar mulai bertemu dengan seseorang yang dapat mengajarinya untuk membuat cat pewarna sendiri yang dapat tahan lama untuk dapat disapukan pada bahan kaus. Iskandar tetap mempertahankan kaus sebagai media “kanvas”-nya agar dapat tetap bersinergi dengan orangorang awam. Ini juga merupakan landasan ia terus mengembangkan usahanya pada material ini, karena bila ingin menyosialisasikan lukisannya ke kalangan bawah, maka bahan kaus akan dapat lebih dekat dan diterima, ketimbang kanvas yang dirasa terlalu mewah dan mahal. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Di depan beberapa karya lukis yang menggunakan cat POT. 49 G e l i a t S E N I R U PA membayar, jadi dapat dikatakan mereka mendapatkan workshop gratis sebagai bekal promosi juga ke depannya. Mereka hanya diharuskan membawa sendiri kaus yang akan dilukis, dan setelahnya akan mendapat cat gratis dan tentu saja pengarahan dari Iskandar untuk mulai melukis. Berkembang kemudian, datanglah tawaran kepadanya untuk mengajar di sekolah-sekolah. Namun untuk hal yang satu ini, ia tetap memberlakukan profesionalisme yakni adanya biaya kontribusi dikarenakan pastinya ia akan mengajak beberapa pegiat lukis lainnya untuk dapat melaksanakan kegiatan ini. Tidaklah dengan biaya yang besar untuk mendapatkan pengalaman melukis di atas kaus ini bagi sekolah-sekolah yang mengundangnya. Bahkan dapat dikatakan dengan perhitungan yang kasat mata, mungkin nilai kontribusi yang diberikan tidak juga cukup untuk menyediakan peralatan seperti bahan kaus, cat, dan tentunya membayar tenaga-tenaga mentor lainnya, termasuk akomodasi dan transportasi mereka. Namun inilah yang ia maksudkan dalam kecintaannya terhadap karya yang dikerjakannya, di mana ia tidak mengejar materi sebagai tolok ukur keberhasilan, melainkan sejauh mana mereka dapat menikmati proses dalam pembuatan karyanya itu. Iskandar merupakan seorang peseni yang memiliki pola pandang mendalam ke dalam kehidupan di mana ia berlaku sebagai seorang peseni. Di sela-sela penjelasan sepak terjang kariernya sebagai pelukis, ia kerap kali membu­ nyikan banyak filosofi hidup dalam berkesenian. Terdapat beberapa prinsip yang sebenarnya cukup mendasar yang dapat dite­rapkan, terutama bagi pegiat seni muda dan pemula, bahwa seni tidak pernah membebankan pelaku­ nya. Seluruh kendali kembali kepada diri kita masing-masing untuk dapat mengon­trolnya, kapan ia akan dimulai, kapan ia akan di­rehatkan, atau bahkan kapan ia harus dihentikan karena seni tidak memiliki garis akhir, maka dari itu semua dikembalikan ke diri masing-masing. Pun jauh menelisik asal mulanya berkecimpung di ranah seni hingga ber­kembang 50 menjadi usaha yang menghasilkan adalah jauh dari bayang­ an beliau, karena baginya seorang peseni tidak akan berpikir untuk apakah ini akan menjadi bisnis yang bagus kelak, semua ia jalankan melalui proses saja. Ke mana proses itu akan membawanya dan akan sampai pada di titik mana. Bagi­nya peseni adalah untuk meres­pons secara konseptual nilai moral dan mengatur nilai-nilai teknis tanpa muluk-muluk menciptakan perhitungan, sehingga hal yang berkaitan dengan budaya konsumerisme untuk pertanyaan bagaimana cara menjadi peseni yang kaya (harta) seringkali hanyalah sebuah guyonan. Pernyataan ini pun serupa dengan cara Produk cat POT pandangnya yang sangat tidak setuju pada anggapan saat memilih menjadi peseni, maka selanjutnya ada keterkaitan untuk menjadi kaya atau miskin. Padahal konsep seperti ini tidaklah berpengaruh terhadap profesi apa yang ditekuni. Latar belakang seseorang pun tidak dapat menjamin seseorang itu akan menjadi apa nanti. Semua hanya terjadi melalui jalan proses, dan sejauh mana kita dapat menikmati proses itu sendiri. Proses yang menentukan akan bagaimana ke depannya. Berbincang dengan Iskandar menyadarkan kita akan banyak hal-hal mendasar tentang menghidupi kehidupan kita sendiri, namun secara khusus beliau berpesan kepada para pelukis generasi muda, agar dapat mengembalikan pertanyaan kepada dirinya sendiri untuk apakah benar-benar ingin masuk, menyelami, dan menghidupi ranah seni atau hanya karena terjebak dan terpaksa untuk terjun ke dalamnya? Sejauh mana niatnya, karena untuk dapat berkomitmen dalam dunia ini haruslah siap dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi. Namun bila memang belum siap, pasti akan terlihat bahwa ia hanya akan menyalahkan kondisi di saat tidak terjadi apa yang diinginkannya itu. Dan kembali lagilah untuk menikmati setiap perjalanan proses yang ada. Tidak perlu terburu-buru memban­ dingkan dengan peseni atau pegiat lukis lain dengan ketenaran namanya, karena pun yang dijadikan panutannya pastilah melalui sebuah proses panjang sebelum berada pada titik ini. Hal lainnya yang disampaikan mengenai dasar menghidupi kehidupan ini adalah untuk pantang terhadap keluhan, karena percayalah saat mengeluh akan tertutup pintu-pintu peluang untuk kita bergerak lebih besar. Juga janganlah menjadi seseorang yang terlalu menakutkan perhitungan di awal langkah, karena saat pikiran hanya dapat melihat sekian ratus kilometer ke depan, percayalah bahwa hati akan dapat menjangkaunya lebih dari puluhan ribu kilometer. Saat ini Iskandar sedang memperbesar sanggarnya dengan menambahkan ruang kedai kopi yang juga memberdaya­ kan warga sekitar untuk dapat andil dalam usahanya tersebut. Ke depannya, ia bercita-cita agar Sanggar POT dan kedai kopinya ini dapat menjadi tempat berkesenian yang tidak hanya untuk kelompoknya, namun juga untuk teman-teman pegiat seni lainnya, agar semangat berkesenian dapat terus tumbuh tidak hanya di generasinya namun juga tumbuh pada generasi muda dan setelahnya kelak! @ Fhsale Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Pergelaran SENI Persiapan Pertunjukan Opera Batak Putri Lopian: Tanah dan Tumpah Darah Demi mempertahankan tanah kelahiran, luka, darah, dan nyawa rela dikorbankan. Ketika hal ini memang harus diperjuangkan. Apakah balasan akan diterima oleh dirinya, atau bisa saja akan lenyap ditelah sejarah. “Among telah berjanji lebih baik mati berkalang tanah, daripada mati di tangan kalian”. U capan itu terus terngiang di telinga, terus merasuki jiwa dan tidak pernah berhenti. Seketika kita digiring ke sejarah yang panjang, perjuangan anak dan ayah yang tidak akan hilang. Lopian mengubah perspektif kalau seorang perempuan juga dapat menjadi bagian dari sejarah perlawanan kolonial, hal ini dilakukan melalui pertunjukan Opera Batak yang dilaksanakan pada 17 Oktober 2020 pada Festival Ulos di Pangururan Sumatera Utara. Sebagai trilogi yang berangkat dari kisah Sisingamangaraja XII, pertunjukan ini dilakukan atas Dana Hibah DIKTI P3S ISI Padangpanjang bekerja sama dengan Pusat Latihan Opera Batak (PLOT). Sebagai ketua peneliti Sulaiman Juned Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 @ Ubai Dillah Al Anshori (dosen Prodi Seni Teater), beranggotakan Rosta Minawati (dosen Prodi Televisi dan Film), Enrico Alamo (dosen Prodi Seni Teater), dan Sherly Novalinda (dosen Prodi Seni Tari). Pada pertunjukan ketiga dengan judul Boru Lopian, Ulo Porang Tano Batak karya Sulaiman Juned dan Thompson HS, yang disutradarai Enrico Alamo, ini lebih difokuskan pada kehidupan boru Lopian sebagai anak dari Sisinga­ mangaraja XII yang mempertahankan dan memegang teguh pendirian Among, untuk membela masyarakat sekaligus siap mati di tangan penjajah. Dirinya memilih untuk ikut berperang, berdiri di sebelah Among, demi mengubah kedudukan perempuan yang tidak hanya berada di rumah. 51 Pergelaran SENI Walau keadaan telah terpuruk, Lopian memberikan perlawanan melalui dialog-dialog tegas. Bahwa penjajah tidak akan pernah menyurutkan darah kami untuk bertahan di tanah ini, suasana tersebut dibantu dengan musik yang membangkitkan perlawanan, haru dan juga sedih, bahkan digunakan sebagai kekuatan dari pemeran untuk menyampaikan pesan-pesan kepada penonton. Musik yang digunakan dalam pertunjukan ini dengan dua gaya. Pertama, musik tradisi yang memakai alat-alat tradisional yaitu: Panggora, Gordang, Doli-doli, dan Hapetan. Dimainkan oleh I Dewa Nyoman Supenida, Sriyanto, dan Oktavianus Matondang. Kedua, musik efek yang 52 digunakan dengan alat modern (digital efek). Musik tersebut sebagai ilustrasi di saat pembuka pertunjukan, konflik, dan adegan-adegan penting agar membantu membangunkan nilai dramatik dalam pertunjukan yang dimainkan oleh Dharminta Soeryana. Pertunjukan Opera Batak yang telah berjalan selama tiga tahun berturut-turut ini dimulai dengan judul Sisingamangaraja XII, Tongtang I Tano Batak pada 2018, Ugamo Malim, Horja Bolon pada 2019, dan pada tahun ketiga ini dengan judul Boru Lopian, Ulu Porang Tano Batak. Pertunjukan ketiga ini akan menjadi penutup atas trilogi perjalanan panjang Sisingama­ngaraja XII. Sebagaimana sejarah akan ditarik-ulur agar menjadi perbincangan yang tak pernah selesai dilisankan. Sebagai bagian dari sejarah dan seni pertunjukan, Opera Batak tidak terlepas dari keadaan masyarakat penikmat, pelaku dan penyelenggara. Menelisik ke dalam keadaan dan perjalanan Opera Batak yang dibawakan Tiliang Gultom pada abad 20 yang lebih mendekatkan pada keadaan tradisi dan ritual. Saat ini pertunjukan tersebut mulai memasuki masa-masa yang lebih maju dan meningkat. Seperti pertunjukan yang juga pernah dibawakan oleh Lena Simanjuntak, Thompson HS, dan beberapa peseni lainnya. Adanya nuansa yang baru atas pencarian Opera Batak agar tidak terlindas oleh zaman yang terus berkembang. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Beberapa adegan dalam pertunjukan sebelumnya. Pertunjukan yang disutradarai Enrico Alamo ini memberi­kan transisi atas ideologi perempuan yang ingin menjadikan dirinya sebagai salah satu kekuatan agar seluruh masyarakat (kaum) perempuan mampu menjadi kuat dan tidak tersiksa atas kolonial. Melalui adeganadegan yang memberikan nuansa perlawanan Lopian yang diperankan oleh Eli Susanti dan dibantu dengan gerakan-gerakan tor-tor serta silat, seperti peperangan, Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 penyampaian pesan yang memiliki stigma perlawanan diperankan Sherli, Lovia Tri Yuliani, Silvi, Velia, Oki Satria, Dendi, dan Tim PLOT. Sebagai bagian dari pertunjukan Opera Batak tentu hal tersebut tidak muncul dari yang sesungguhnya (asli). Sehingga, menjadikan pencarian agar keadaan yang lebih dekat dengan ketubuhan, kebaruan hadir sesuai dengan keinginan sang sutradara. Terlepas dari adegan, kekuat­ an narasi puitis dan lugas menjadi pokok penting dalam menyampaikan pesan, dua keadaan yang didapatkan Lopian atas diri­nya sendiri sebagai perempuan dan kekuatan sosok Among yang terus terpatri dalam jiwanya. Sehingga sebagai penutup pertunjukan dipilih salah satu aspek tersebut “Di tengah hutan ini telah terjadi sesuatu. Suatu peristiwa menjelang senja. Senja kelabu, yang pernah pedih dan pilu”. Pertunjukan Opera Batak Boru Lopian, Ulo Porang Tano Batak tidak terlepas atas upaya meningkatkan, memperkenalkan dan melestarikan salah satu pertunjukan tradisi yang mulai tergerus serta tertatih-tatih mencari jati dirinya kembali, sebagai tim yang tidak mungkin bisa dilepaskan untuk memberikan upaya keberhasilan pertunjukan dengan Pemimpin Produksi: Rostaminawati; Koreografer: Sherli Novalinda; serta Komposer: IDN Supenida, Sriyanto, dan Rosmegawaty Tindaon. Beberapa pemeran pertunjukan ini adalah: Tya Setiawati sebagai Boru Pandiangan, Rostaminawati sebagai Rimpu, Gian Sabilillah sebagai Rior Purba, Sulaiman Juned sebagai Matsawang, Dharminta Soeryana sebagai Partakki, Saaduddin sebagai Kepala Pasukan Belanda, Dendi dan Oki S sebagai anggota pasukan, serta yang terakhir Thompson Hs sebagai Sisingamangaraja XII.*** 53 Legasi SENI Mengenang Ulang Tahun Glenn Fredly 30 September Renjana Tak Pernah Sirna Saksopon tiupan Nicky Manuputty itu meraung, melengking menyayat rasa. Lagu Kasih Putih itu mengajak ratusan pasang mata yang ada di Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat Sumber Kasih, Lebak Bulus itu langsung bernyanyi dengan berderai air mata. Bak koor massal dalam sebuah konser, suara parau pelayat itu mengantar kepergian Glenn Fredly menuju surga. A IR mata berlinang, pikiran menerawang, yang tampak hanya mata tergenang dibalut masker pelindung tampang. Badan gemetar, suara yang biasa cetar jadi sembar. Suhu tubuh jadi luruh. Tangis tiada henti dari keluarga, rekan dan sejawat itu menjadi penanda kepergian Glenn Fredly untuk selama­ nya. Glenn musisi romantis itu telah menuju surga 8 April 2020. Ia meninggal di usia 44 tahun. Empat hari sebelum ia meninggal, Glenn merayakan ulang tahun istrinya, Mutia Ayu. Glenn meninggalkan anak semata wayangnya hasil pernikahan dengan Mutia yang masih berusia 40 hari. Glenn tak menyembunyikan kebahagiaannya memiliki putri pertama. Sampai-sampai di Festival Bekasi 29 Februari 2020, di atas panggung Glenn berseru kepada penonton, “Putri pertama saya, Gewa Atlana Syamayim Latuihamallo lahir bersama generasi kakak-kakaknya yang peduli masa depan, yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Saya percaya pada kalian semua.” (Dikutip dari akun IG https://www. instagram.com/p/B-8lXIchWsn/) Glenn bukan sekadar musisi, pencipta lagu, produser film, tetapi Glenn juga adalah aktvis kemanusiaan. Ia telah mendermakan hidupnya hingga akhir hayatnya untuk kemanusiaan. “Agama Glenn adalah kemanusiaan karena kemanusiaanlah yang menjadi spiritnya,” kata Menteri Agama (2014 - 2019), Lukman Hakim Saifuddin, saat menyampaikan ungkapan 54 @ Ulin Yusron duka cita berpulangnya Glenn ke pangkuan Bapa di Surga. Perkenalanku dengan Glenn belum lama. Mungkin baru satu dasawarsa. Tetapi banyak pengalaman dan kerja bareng yang sangat bisa dikenang. Di balik proses karya lagu-lagunya yang romantis dan mengaduk perasaan itu, terselip watak pantang menyerah dan semangat tiada kira untuk sebuah perubahan. Di lingkaran kawan-kawan industri musik, film, dan hiburan lainnya semua orang tahu kalau Glenn adalah seorang aktivis social movement. Sering ia berucap, “Revolusi Cinta, Revolusi Wangi”. Begitu­ lah ia ingin membungkus romantisme menjadi bara untuk menggerakkan anak muda. Di balik kalimat yang sering ia ucapkan di panggung, “Kita memasuki waktu Indonesia Bagian Galau.” Glenn selalu ikuti dengan menjelaskan perbedaan galau dari prihatin. Galaunya anak muda adalah selalu diikuti dengan usaha dan inisiatif. Sementara pengertian pribatin, menurut Glenn, hanya berhenti di perasaan tanpa tindakan. Glenn sangat percaya anak muda adalah sumber perubahan. Dari sekian banyak peristiwa perkawanan dengan Glenn, satu peristiwa yang tidak pernah terlupa saat ia mengajakku bertemu di parkiran Jakarta Convention Center. Mase, begitu ia sering memanggilku, kamu ke sini ya di JCC. Kamu dengerin album baruku. Ia menunjukkan CD kosong yang beberapa bulan kemudian diberi nama album Luka Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Cinta dan Merdeka. Di album itu lagu Renjana, Sabda Rindu, dan lain-lain kemudian jadi populer. Termasuk dalam album itu adalah lagu cover: Malaikat Juga Tahu. Kubilang aku suka lagu Renjana dan Sabda Rindu. Kalau lagu Malaikat Juga Tahu, tidak terlalu kaget, meski lagu lama dari lagu Dewi “Dee” Lestari, tetapi punya sentuhan yang berbeda. Ketiganya bakal ngetop! Perkawananku dengan Glenn cukup unik. Kita berbicara musik, film dan sosial-politik. Satu dasawarsa ini kita selalu sebiduk perahu dalam gagasan, pemikiran, dan gerakan. Aku mengenang Glenn sebagai pejuang tangguh yang selalu menemani kemanusiaan dan perubahan. Glenn itu tukang ngumpulin orang. Glenn bisa mempertemukanku dengan mantan aktivis DI/ TII yang sudah insyaf. Glenn bisa diajak main bareng untuk kampanye kemanusiaan, kasus Orang Hilang, manggung di acara GusDurian, kampanye lingkungan, dan lain sebagainya. Glenn memang selebritas tersohor, tetapi ia tidak pernah terpisah dari kehidupan manusia pada umumnya. Ia bisa membagi perkawanannya dalam folder-folder terpisah. Tidak heran Glenn bergaul dengan segala kalangan, melintasi batas teritorial, suku, agama, dan ras. Selain musisi dengan segudang karya Revolusi Wangi, Glenn adalah pegiat isu kemanusiaan. Dari sekian banyak kegiatan kemanusiaan Glenn, daftar di bawah ini hanya sedikit yang kuingat, yang kita bergiat bersama: • Terlibat dalam kampanye menggugat pelanggaran HAM masa lalu • Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus 97 - 98 • Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus Trisakti • Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus Semanggi I dan II • Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus Orang Hilang • Terlibat dalam kampanye menggugat Kasus Munir • Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Terlibat dalam kampanye Pembebasan Tapol Papua dan Maluku • Terlibat dalam kampanye antikorupsi • Terlibat dalam kampanye keberagaman dan kebebasan beragama • Terlibat dalam kampanye antiterorisme dan membantu program deradikalisasi • Terlibat dalam kampanye Go Green • Terlibat dalam kampanye Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa • Aktif menyuarakan “Ayo Kembali ke Timur” untuk mengajak memajukan Indonesia Timur Ada sepenggal kisah ketika Glenn berkunjung ke rumah orangtua Bimo Petrus di Malang, Jawa Timur. Bersama aktivis lain, Glenn memberikan dukungan kepada keluarga Utomo Rahardjo, yang hingga kini masih setia menanti akhir cerita penuntasan kasus penghilangan paksa atas anaknya. Pada 1997 - 1998, Bimo Petrus, Herman Hendrawan, Wiji Thukul, Suyat, dan sejumlah aktivis penentang Orde Baru lainnya, menjadi korban penculikan. Hingga kini mereka masih hilang dan belum kembali pulang. Glenn tidak menghindari menjadi bagian dari kampanye “Melawan Lupa”. Di bidang musik dan film jejak Glenn jelas banyak, sekadar menyebutkan ia penggagas Konferensi Musik Nasional dan aktif dalam Ambon City of Music. Pendiri Musik Bagus. Salah satu inisiator M-bloc, bersama Tompi, Sandhy Sandoro membuat Trio Lestari dan masih banyak lagi. Mengenang wafatnya musisi sebesar Glenn, juga mengingatkan kita pada hari lahirnya yang jatuh pada 30 September 1975. Seperti pengabdian pada dunia musik, untuk mengenang hari lahirnya di tiap 30 September, Glenn selalu membuat konser yang dipersembahkan untuk para 55 55 Legasi SENI musisi lain yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menghibur masyarakat dengan kemampuan olahsuara, dendang tembang. Sayang Tuhan berkehendak lain, konser 25 tahun Glenn berkarya pada 2020 ini tak pernah terealisasi. Glenn telah menghadap Bapa di Surga. Semasa hidupnya Glenn telah mempersembahkan konser Tanda Mata. Tercatat Konser Tanda Mata: Ruth Sahanaya, Slank, Yovie Widianto, Koes Plus. Lima bulan lebih musisi pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Di mata Ame Hutami dan Sasa Sabilsa Diara, Glenn adalah sosok inspiratif. “Kakak yang penuh mimpi namun bukan pemimpi. Berbuat dengan penuh bukti sepenuh hati, penuh perhatian dan dukungan bukan karena kasihan, penuh cinta akan Tuhan, negeri dan sesama,” tutur Ame, rekan kerja Glenn di banyak proyek musik termasuk di Konferensi Musik Nasional. Sementara Sasa Sabilsa Diara, sepupu Glenn mengenang Glenn sebagai kakak yang hangat. “Saya sangat sayang sama Kak Glenn, bukan karena dia seorang musisi hebat dan lagunya menemani hidup kita, tetapi karena dia seorang kakak yang sangat hangat. Yang jelas, beliau punya hati yang besar untuk mengampuni orang. Dia role model saya, dan dia selalu menjadi tempat saya curhat setelah Papa saya tidak ada. Beliau pernah berjanji ingin mengantarku ke altar saat menikah. Walaupun sekarang fisiknya tidak ada, saya akan bawa semangat manisnya dalam hidup saya,” tutur Sasa. Meski terhitung punya hubungan keluarga, Sasa merasakan cara Glenn mendidik. “Seorang yang mengajarkan saya untuk berproses. Memunyai kakak seperti dia yang punya banyak akses, bukan berarti bisa cepat dalam berkarya. Tetapi dia menunjukkan bagaimana kita mengenal diri sendiri selama berproses,” kata Sasa. Atas nama langit dan bumi Glenn Fredly adalah orang baik. Meski ia telah meninggalkan kita semua bertemu dengan Tuhan Yang Mahakuasa, namun jiwa dan karya-karya Glenn akan terus abadi di hati kita semua. 56 Sesungguhnya kematian bukanlah Selesai-nya kehidupan tetapi siklus Kembali ke Awal. Sang Renjana tak pernah sirna. Sabda Rindu-nya tetap jadi pandu Romansa Masa Depan. Damailah di sana, Glenn, kawan gerilya! Untuk mengenang kawan Glenn, inilah timeline jejak karya Glenn di bidang musik. Mengapa hanya musik, sebab menyusun jejak kemanusiaannya terlalu banyak untuk disebutkan: https://www.ulinyusron.com/glenn/timeline/embed/index. html?source=1F0mv1pwEUp8xEkp4cOATN6Ei30cilRyPNZKxay2t2_M&font=Default&lang=en&initial_zoom=1 TENTANG ULIN YUSRON Ulin Yusron adalah mahasiswa Penciptaan Seni, Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, dan pegiat media sosial dengan vloger #Jalania ~ Jalan-jalan Ceria, sebuah kanal YouTube yang mengeksplorasi keindahan Nusantara. Pernah terlibat dalam pameran koleksi lawas Asian Games 1962 di Galeri Nasional Indonesia, 2018. Terlibat dalam beberapa proyek kesenian musik, sastra, dan pertunjukan. Menulis topik-topik tentang media sosial, seni, dan sosial-politik. Menyelesaikan kuliah S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kemudian berlanjut meniti karier di media massa dimulai dari reporter Harian Pos Kita Solo, Berpolitik.com di Jakarta, Mingguan Ekonomi dan Bisnis Kontan dan pendiri situs Beritasatu.com. Saat ini sedang mempersiapkan proyek pameran tunggal pers lawas lima zaman dan berkesenian di jalan. Facebook: facebook.com/ulin.yusron IG: @ulinyusron Twitter: @ulinyusron Youtube: https://www.youtube.com/ user/UlinYusron Semesta Seni ll Edisi 6 ll Oktober ll 2020 Ragam SENI Corona At Equator di Dangumanu Atelier A PA yang menyamakan raja, matahari, bunga, seni dan virus? Seluruh benda dan penanda ini merujuk pada istilah yang kini menjadi kontroversial: Corona. semenjak menjalarnya virus Corona, yang mengganti pengertian kita secara mendasar tentang kematian dan kehidupan. Corona yang berarti mahkota, menjadi penanda takhta raja, terletak di atas kepala raja/ ratu yang memancarkan aura kekuasaan. Lingkaran cahaya yang mengelilingi matahari, memantulkan energi magis disebut suasana Corona. Pelupuk bunga yang berfungsi sebagai keberlanjutan spesies menjadi Corona bunga. Berbagai merek karya kreatif yang mencerminkan keanggunan dan keindahan dilabeli nama Corona. Namun, dekonstruksi makna Corona memasuki pemahaman baru, justru Kompleksitas makna Corona inilah, yang ditelusuri oleh Paul Hendro (52), pelukis hiperealis, yang membenturkan makna dan cara penciptaan. Dengan makna, ia mencari objek yang menjadi rujukan untuk digambarkan dalam figur dan benda-benda. Sementara melalui cara penciptaan, ia meleburkan diri dalam situasi keberadaan “kini di sini” yang unik. Paul Hendro menjajal daya tahan tubuhnya selama sebulan penuh dalam karantina kaca, mengisolasi diri dan berkarya. Ia memulai­ nya pada waktu sakral saat Corona penuh di Equator, pukul 11.35, 23 September 2020. Aksi lukis sekaligus meditasi rupa yang diselenggarakan di Dangumanu Atelier--yang berada di Bazarti Gembrong­seni ini; merupakan tindak doa sekaligus refleksi masa pandemi untuk menyusuri makna kehidupan dan kelayuan. @ IH - Sumber: TR P ADA Rabu, 30 September 2020, di tempat yang sama Dangumanu Atelier bekerja sama dengan Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) menggelar acara memperingati pidato Presiden Soekarno di Sidang Umum PBB ke-15, 30 September 1960. Saat itu Soekarno dengan gamblang menjelaskan tentang konsep dan filosofis Pancasila di depan para pemim­pin dunia. Ucapan Soekarno yang melegenda dan dihargai Presiden Amerika Serikat, Presiden Uni Soviet saat itu, dan kepala negara lainnya adalah, “To build the world a new.” Untuk mengenang dan membangkitkan atmosfer semangat Soekarno itu, Dangumanu Atelier dan KITA mengoordinasi Kurt D Peterson selaku pesyair, Bambang Winaryo selaku pepatung, dan Paul Hendro selaku pelukis, serta mengaitkan dengan pertunjukan dari Teater Kubur pimpinan Dindon S, untuk meresponsnya menjadi seni pertunjukan yang kolaboratif. “Ini suatu pertunjukan yang sangat nasionalis sekali. Karena kita dapat menunjukkan kebersamaan sebagai negara yang bersatu. Bukan kami, bukan kamu, tetapi kita,” ucap Ketua KITA Maman Imanulhaq. Maman pun menepis jika acara ini sebagai pengalihan isu peringatan G30S-PKI, “Tidak ada niat itu. Pidato Soekarno kan peristiwa nyata dan bersejarah bagi Indonesia dan terjadi lima tahun sebelum G30S-PKI.” @ IH Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 57 Ragam SENI Komite Tari DKJ Menari untuk Hidup, Hidup untuk Menari P andemi Covd-19 telah banyak mengubah dunia ini. Seluruh interaksi sosial turut menyesuaikan diri demi mencegah penyebarluasan virus. Kenyataan ini membuat seluruh ruang-ruang berinteraksi harus sangat dibatasi. Aktivitas pendidikan, perkantoran, hingga hiburan banyak dilakukan secara daring. Lantas bagaimana dengan dunia Tari? Pertunjukan tari yang sangat berkaitan dengan panggung akhirnya pun menjadi korban dari kondisi pandemi ini. Penutupan tempat hiburan tidak terkecuali gedung pertunjukan membuat tubuh terisolasi, tidak lagi dapat berkumpul bersama-sama menggerakkan tubuh atau berbagi energi dengan penonton dalam sebuah pertunjukan tari. Para peseni, sanggar, maupun komunitas tari tidak berdiam dengan kondisi ini. Alih wahana akrab dilakukan pada masa pandemi ini demi sekadar membuat tubuh tetap menari atau keberlangsungan industri tari itu sendiri. Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Tari menggelar diskusi publik dengan tajuk “Hidup untuk Menari, Menari 58 untuk Hidup” pada Selasa, 29 September 2020. 19.30 WIB hingga selesai. Bertujuan mengangkat resiliensi peseni juga masyarakat luas untuk tetap menari meski dalam kondisi keterbatasan ruang untuk berinteraksi secara langsung. Narasumber diskusi: Esha Tegar Putra (Pesastra dan Peneliti Seni), Mariska Febriyani (Founder @ballet.id), Melati Suryodarmo (Praktisi, Pegiat Seni Rupa dan Pertunjukan), Rieka Nur Asy Syam (Program Offiicer Bakti Budaya Djarum Foundation), dan Rusdy Rukmarata (Direktur Artistik @ekidanceco) Moderator: Saras Dewi (Komite Tari DKJ dan Dosen Filsafat UI). Tersimpul bahwa dengan adanya pandemi banyak hikmah yang dapat dipetik. Dari segi positifnya, dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) petari (peseni) dapat berkreasi sendiri dan melahirkan gagasan baru lewat perenungan; pertunjukan secara daring malah dapat menaikkan jumlah penonton puluhan kali lipat dibanding dengan mengadakan secara luring; peseni diajarkan kondisi untuk tidak mengeluh dan mencoba mencari terobosan baru; dan kebiasaan menari tetap dapat dilaksanakan dalam keseharian kita. Negatifnya, sesama petari tidak bisa saling bertemu langsung saat melakukan pelatihan; penghayatan, emosi, dan interaksi petari dengan penonton tidak ditemui saat pentas secara daring; dan tidak merasakan atmosfer kebersamaan ketimbang pergelaran yang diadakan dengan langsung ditonton. @ Ireng Halimun Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 HUT RRI ke-75 di Tugu Rimba Raya Isi Kemerdekaan di Tengah Pandemi D I masa Pandemi Covid-19, Direktur Utama RRI Muhammad Rohanudin menyampaikan sambutan usai penyulutan api obor Tri Prasetya RRI dan disaksikan secara virtual Kepala Stasiun dan Karyawan RRI se-Indonesia untuk mengha­diri dialog dalam mengenang Perjuang­ an Radio Rimba Raya dalam mengisi Kemerdekaan dan HUT Radio Republik Indonesia (RRI) ke-75 yang diadakan di Tugu Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, pada 9 September 2020. Rohanudin menceritakan sejarah radio siaran di Indonesia memiliki perjalanan panjang di masa perju­ angan, salah satunya adalah Radio Rimba Raya, yang kala itu Indone­sia sudah merdeka, tetapi Belanda mengumumkan Indone­sia telah bubar. Namun Radio Rimba Raya di Bener Meriah, Aceh yang gagal dibom musuh dengan lantang menyuara­kan Indonesia masih ada. Saat itu semua alat komunikasi diputus. Akan tetapi nan jauh di pedalaman hutan rimba muncul suara lantang dari Tanah Gayo melalui Radio Perjuangan Rimba Raya yang saat ini berada di Bener Meriah, Aceh yang menyatakan dari sinilah Indonesia masih ada. Sebutan Radio Republik Indonesia (RRI) secara resmi disandang pada 11 September 1945 atau 24 hari setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Bupati Bener Meriah Sarkawi pada saat kegiatan pergelaran budaya musikalisasi puisi menyampaikan bahwa Radio Rimba Raya memiliki peranan penting dalam sejarah perjuangan dan keberadaan bangsa Indonesia. “Dengan acara yang dilakukan di sini mudah-mudahan semangat­ nya akan bisa dikobarkan di kalangan masyarakat kita di sini juga nasional dan juga bisa mendorong kita untuk merivitali­sasi bangunan, ditambah dan difungsikan kembali, karena ini aset yang penting bagi bangsa ini,” ungkapnya. Rangkaian acara yang diselenggarakan RRI Takengon dalam memeriahkan Hari Radio 2020, mulai dari lomba bercerita untuk tingkat murid Sekolah Dasar (SD), perge­ laran budaya musikalisasi puisi, dialog bersama Bupati Bener Meriah Sarkawi dan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar di Tugu Rimba Raya mengangkat topik “Mengenang Perjuangan Radio Rimba Raya dalam Mengisi Kemerdekaan di Masa Pandemi Covid-19, parade puisi sejumlah pejabat di Aceh Tengah dan Bener Meriah hingga peseni, dilanjutkan dengan upacara dan tabur bunga di makam pahlawan Takengon, upacara bendera dan penyulutan api obor Tri Prasetya RRI.n @ Rizka Nurlita Andi Berbagai sumber Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 B UKU Amrus Natalsya Mutiara dari Bumi Tarung telah terbit dan dapat dipesan. Buku 18x23 cm, bertebal xi + 223 halaman, dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia ini ditulis oleh EZ Halim. Pembaca dapat mengetahui tentang perjalanan berkesenian Amrus, baik sebagai perupa maupun pesyair. Bahkan untuk memperkaya isi buku ini kritikus seni lukis Agus Dermawan T dan pelukis senior Misbach Tamrin pun turut menyumbangkan tulisannya.n @ IH - Sumber: ArtYung 59 Ragam SENI ‘Talkshow’ Jurusan Seni Musik FBS UNJ Bermusik harus ‘Fun’ dan Berdisiplin J URUSAN Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta menggelar webinar pada Sabtu, 26 September 2020, 13.30 – 15.45 WIB. Talkshow dalam rangka kuliah perdana 2020 ini bertema “Berkarya di Masa Pandemi”. Acara ini diperkuat dengan menampilkan musisi Erwin Gutawa sebagai penyaji materi dan RM Aditya Andrianto sebagai moderator. Pokok bahasannya adalah: Latar belakang dimulainya bermusik seorang Erwin Gutawa dan perjalanan karier bermusik hingga di era Pandemi. Perlu adanya inspirasi ketika kita membuat karya orkes, di antaranya: Inspirasi dari karya musiknya sendiri yang dapat memotivasi untuk melakukan tindakan yang berhubungan dengan musik; inspirasi dari idola atau siapa orang yang didengar; senang pada sesuatu yang baru dan memilih sesuatu yang diterima; baca-dengar- pantau peseni di luar lingkaran pertemana; Indonesia merupakan sumber inspirasi; dan perlu effort untuk mendapatkan ilmu dan referensi harus banyak supaya gagasan dapat diwujudkan. Bahasan lain adalah tentang aransemen, di antaranya: Harus mengerti teknik aransemen, ada teori yang harus diperhatikan; semakin banyak instrumen akan semakin complicated; harus mengerti instrumen yang dipakai, menge­nai range, timbre, karakter instrumen, dan kombi- 60 nasi instrumen; dan harus mengerti ilmu harmoni, latihan semua instrumen agar peka mewujudkan gagasan menjadi musikal. Ketika kita menciptakan melodi ciptakanlah seolah-olah di pikiran kita seperti mengkhayal yang isinya harus dirasakan; latihan mendengar sesuatu yang ada di kepala kita; mind ear memudahkan kerja, imajinasi semakin luas; dan harus masuk akal dengan memainkan instrumen, pengenalan instrumenisasi sangat tepat. Filosofis dalam melakukan sesuatu, di antaranya: Harus suka dengan yang kita buat; harus menjadi diri sendiri; menjadi Indonesia itu keren; harus nekat dan jangan menunggu dibuat orang lain dulu; dan buatlah sesuatu dengan semaksimal mungkin. Erwin sangat peduli pada pendidikan musik, pandangannya sebagai berikut: Berwirausahalah dalam musik; karya musik perlu dikelola dengan baik dan disampaikan dengan baik; musisi zaman sekarang perlu sense of enterpreneunship, perlu manajemen, perlu diurus dengan baik, dan perlu usaha lain untuk mengaturnya; perlu bekerja sama dengan banyak orang; teknologi semakin simple, musisi bisa menjadi label, dan produk bisa menjadi banyak sekali; penting untuk mencari perhatian lewat media sosial; bisa berkolaborasi dengan sesama musisi atau peseni lain untuk merealisasikan apa yang diinginkan, dan mengasualkan orkes biar orang lain bisa menikmati. Jika ada kesulitan dan kebuntuan dalam mengaransemen, menurutnya, zaman selalu berubah, selera dan tren harus diikuti. Keadaan industri musik tidak selalu sama dengan akademiknya. Jam terbang, pengalaman, stag dalam gagasan itu hal yang biasa. Ketika pandemi terjadi, kita masih beruntung punya teknologi dan network. Musisi harus mengasah dirinya untuk memunyai kemampuan bermusik sendiri tanpa mendengarkan yang lainnya. Mereka harus berdisiplin, sering membaca tulisan, dan melatih kepekaan. Konser online bisa menjadi sumber pemasukan, dari sebagai aktivitas bisa menjadi potensi. Aktivitas perlu dipelihara dan terus dikembangkan menjadi suatu tontonan alternatif. Konser vitual tidak berhenti ketika ada pandemi, sebaliknya semakin dikembangkan menjadi alternatif tontonan. Erwin pun berpesan, kalau kita berposes belajar-mengajar harus fun dan enjoy. Tetapi, disiplin musik harus tetap dijaga. Harus kreatif agar tetap enjoy. Memberi wawasan dan pengalaman akan mempercepat proses.n @ IH Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Puisi Kopi Kartun HUMOR Memotret Covid-19 @ Dodo Karundeng Dialog Anggota Tubuh Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober @ Jan Praba l 2020 @ Munadi 61 L o k a P U S TA K A Serunya Berburu....Data @ Ewith Bahar Orang menulis buku tentu saja dengan berbagai motivasi. Ada yang hanya karena ambisi untuk menjadi penulis semata, ada pula yang dilatarbelakangi maksud-maksud sangat serius, seperti demi meninggalkan legacy berharga bagi dunia, kemanusiaan, dan kehidupan misalnya, yang tentu saja akan bermanfaat bagi orang banyak. Perbedaan motivasi tersebut pastilah dengan sendirinya akan berimbas pada proses penulisan atau sikap sang penulis dalam merampungkan karyanya. M otivasi pertama, mungkin tidak berakibat terlalu menguras waktu, tenaga, serta pikiran. Tapi motivasi belakangan, yang memang dilakukan penulis untuk menghasilkan karya yang serius dan tidak asal selesai, bisa jadi dilakoni dengan proses yang lebih rumit dan berliku. Sebab di dalamnya tercakup hal-hal yang menuntut ketelitian dan keseriusan, seperti pendalaman materi yang memakan waktu, penemuan akurasi info-info tertentu yang menuntut penulis berjibaku dalam pencarian bukti sebagai konfirmasi bagi informasi yang masih samar, dan lain sebagainya. Maka kerap kita temui fakta, ada buku yang bisa diselesaikan dalam waktu lama kendati tidak terlalu tebal. Atau sebaliknya, ada buku yang relatif tebal, tapi nyatanya bisa ditamatkan hanya dalam tempo yang singkat saja. 62 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Buku saya, Chairil Anwar, Hidup 1000 Tahun Lagi tampaknya termasuk yang diselesaikan dalam waktu relatif lama. Pro­ses mengumpulkan serta membaca referensi, me­rupakan tahap paling awal, tanpa diintervensi proses menulis sama sekali. Ini bagian yang sangat krusial, merupakan proses penyimpanan data ke dalam otak, seraya mereka-reka desain kerangka tulisan. Namun yang pasti, ketika proses menulis berlangsung, proses membaca referensi tentu saja akan diulang kembali, bahkan bisa berpuluh-puluh kali. Juga proses melengkapi data pun terus berlanjut. Bagian inilah justru yang sangat menuntut kesabaran dan keuletan. Masing-masing topik tulisan tentu memiliki problemnya sendiri-sendiri. Yang berabe, kadang bisa saja kita menemukan sumber data yang justru memuat data salah. Maka ketelitian dan keluasan pengetahuan kita diuji di sini. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sebuah info akurat atau tidak? Bisa dibilang di sinilah akan terbukti manfaat membaca reguler yang disiplin kita lakukan jauh di waktu-waktu sebelumnya, di mana info-info yang pernah kita baca sesungguhnya tersimpan pada storage atau server di dalam otak. Data tersimpan itu kerap bisa muncul atau kita ingat kembali, sehingga di suatu waktu ketika kita menemukan informasi yang kontradiktif terhadap apa yang kita ketahui atau simpan dalam otak dan merupakan data yang akurat, kita bisa dengan yakin untuk menyebutkan benar atau salahnya. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Data dalam sebuah buku harus benar. Entah untuk masa­ lah besar atau kecil, sama saja pentingnya. Dalam proses penulisan buku saya, ada beberapa data kecil yang kendati menurut orang lain tidak prinsipil, tapi justru memaksa saya bersikeras untuk mencari akurasinya. Walaupun untuk masa­ lah sebuah nama saja misalnya, yang ketika tercantum di buku pun, tak terlalu terlihat oleh pembaca. Namun bagi saya sebagai penulis, ini hal yang tak bisa diabaikan. Rasa tang­gung jawab membuat saya rela bersusah-payah untuk mencari kejelasan. Jika info tersebut di buku atau sumber berita lain terkesan diabaikan atau tak diperjelas, maka biarlah orang mendapat kejelasannya di buku saya. Contohnya pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Hari Akhir Olanda di Jawa (De Vloekzang van Sentot of de Laatste Dag Der Hollanders op Java) yang mencantumkan nama Sentot, di bawah judul sajak. Saya berpikir keras, siapa sesungguhnya Sentot yang dimaksud dalam sajak berbahasa asli Belanda dan diterjemahkan Chairil Anwar ini? Ketika bersua Prof Dr Abdul Hadi WM dalam perhelatan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia, saya tanyakan pada beliau hal tersebut, mengingat pak Abdul Hadi sempat menulis esai Islam dan Barat: Benturan Budaya Yang Tak Kunjung Usai, di mana beliau sempat mengupas tentang sajak tersebut. Lalu beliau jawab, Sentot yang dimaksud adalah Sentot Prawirodirjo. Tentu saja tidak serta-merta saya terima jawaban itu. Musti periksa silang lagi. Saya mencocok- kan dulu tahun-tahun kehidupan yang meliputi orang-orang yang berkaitan dengan sajak Hari Akhir Olanda di Jawa yang melibatkan nama Multatuli dan Roorda van Eysinga, serta fakta kehidupan Sentot Prawirodirjo. Hasilnya, menurut saya ada kejanggalan, jika yang dimaksud sajak itu adalah Sentot Prawirodirjo, yang merupakan panglima perang di zaman Pangeran Diponegoro. Sajak Hari Akhir Olanda di Jawa ada dalam buku Multatuli, Max Havelaar, dan merupakan karya Roorda van Eysinga. Hanya sebatas itu fakta awal. Setelah mengamati bahwa sama sekali tidak ada hubungannya antara Sentot Prawirodirjo dan orang-orang yang terkait dengan penciptaan sajak dalam buku Multatuli itu, saya mulai bergerilya mencari fakta. Mudah? Tidak. Karena tidak tahu harus bergerak dari mana dulu. Jangan coba-coba tergantung pada Google, kalau tak mau tersesat jauh. Fakta-fakta tentang Chairil Anwar tidak sama dengan fakta mengenai Shakespeare atau Gabriel Garcia Marquez yang memang bertebaran di Google, dan ditulis oleh sumber yang bisa dipertanggungjawabkan ke­absahannya. Pencarian inilah yang terasa seru meski melelahkan. Saya mulai membuat list daftar pustaka yang termuat dalam buku-buku sastra dan sejarah, baik yang berhubungan langsung dengan Chairil Anwar atau Multatuli maupun tidak. Baik buku lokal maupun terbitan asing. Saya berburu buku ke perpustakaan maupun toko buku loak. Sebagian, catatan dari teman yang ada di luar negeri. 63 L o k a P U S TA K A Lebih kurang tiga bulan kemudian, pencarian saya terjawab. Saya terus dibimbing instink untuk terus mencari , dan akhirnya membaca tentang Roorda van Eysinga, yang sempat disebut Multatuli sepintas. Sesungguhnya nama Sentot itu adalah nama pena Roorda van Eysinga, yang digunakannya ketika ia menjabat sebagai pembantu redaksi surat kabar Bataviaasch Handelsblad. Konfirmasi mengenai hal ini di buku saya, tak lebih dari enam baris saja. Sungguh tak sebanding dengan proses pencarian infonya, yang sampai membuat tidak bisa tidur. Lalu luberan info lainnya dikemanakan? Tentu saja disimpan karena pasti berguna suatu waktu untuk proyek penulisan yang lain lagi. Proses mencari info akurat yang sering kali tidak mudah itu, memang kadang ditinggalkan oleh penulis tertentu, karena dianggap merepotkan. Ketika saya menulis novel yang sebagian setingnya Italia, saya juga sempat direpot­ kan oleh banyak hal terkait data dan info. Meski novel merupakan cerita fiksi, tapi sebaiknya informasi tidak dikarang sembarangan. Mengingat novel tersebut ber­seting waktu tahun 1600-an, saya harus mempelajari sejarah Italia dengan detil dan intensif. Persis seperti kuliah. Saya harus meneliti moda transportasi apa yang sudah ada dan biasa dipakai serta penyakit apa yang kerap diderita rakyat Italia di masa itu. Juga termasuk mempelajari psikologi masyarakat Italia secara spesifik, sebab bukankah saya menceritakan hubungan antar­ manusia di novel itu, yang dalam segala aspek memiliki kespesifikan tersendiri. Karena kebetulan mempunyai beberapa teman penulis bangsa Italia di Facebook, 64 Saya merasa cukup dimudahkan pula dalam berburu info, dengan kiriman catatan-catatan yang saya butuhkan. Wilayah-wilayah yang saya pakai untuk seting tempat seperti Fusignano, San Lazzaro di Savenna, Pianoro, Vaglia, dan Barga, juga tak luput dieksplorasi dengan matang. Semua­ nya harus cocok atau mendekati realita. Jangan sampai mencerita­kan model bangunan atau suasana jalan raya di suatu wilayah, yang berbeda deskripsi dengan fakta aslinya, misalnya. Bahkan ketika menceritakan seorang tokoh yang sarapan keju pun saya harus pula esktra hati-hati. Jenis keju di seluruh dunia nyaris mencapai lima ribu jenis, dan hampir setengahnya ada di Italia. Sebagian jenis keju tentu saja belum ada di tahun 1600-an, mengingat­kan saya untuk waspada jika memang harus menyebut jenis keju tertentu. Padahal di novel, soal keju ini hanya muncul satu baris, tetapi belajar­nya memakan waktu nyaris sebulan, tersebab proses pencarian sumber data yang tidak serta-merta datang sekaligus. Tapi saya dengan senang hati mempelajari seja­rah perkejuan ini, karena sekaligus untuk bahan penulisan glossary yang saat ini juga sedang saya lakukan. Apa yang terjadi setelah proses penulisan buku yang harus disertai proses belajar dan proses pencarian data yang cukup merepotkan seperti ini? Tentu saja, pertama adalah kepuasan pribadi. Kepuasan bisa menemukan info dan memberikan info baru yang benar. Kedua, merasa kaya dengan tambahan ilmu baru. Konsep kekayaan penulis dalam konteks berkarya memang berbeda. Tidak berwujud, tapi terasa di jiwa. Namun hakikat kekayaan yang sejatinya berupa kebahagiaan, memang demikian, bukan? Wujudnya boleh tak kasat mata, tapi kebahagiaannya nyata.*** Tentang EWItH BAHAR Ewith Bahar ialah lulusan Fakultas Sastra Inggris, UKI, Jakarta, dan telah mulai menulis sejak SMA, sebagai penulis acara radio serta artikel musik di majalah, di antaranya majalah Vista dan Gadis. Dunia kerja terbanyak yang dilakoninya adalah dunia televisi, yakni TVRI dan RCTI. Selain pernah menjabat sebagai PR Manager di Hotel Ciputra dan Hotel Gran Mélia Jakarta, Ewith juga pernah mengajar di Interstudi. Saat ini sudah delapan judul buku yang diterbitkannya, mulai dari buku puisi, kumpulan cerpen, novel, hingga biografi. Salah satu buku puisinya, Sonata Borobudur, dinobatkan sebagai Lima Besar Buku Puisi Terbaik Indonesia 2019, yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 In MEMORIAM Abdul Malik Fadjar: Lebih Banyak Bangun Umat Ketimbang Banyak Bicara P rofesor Dr (HC) Drs H Abdul Malik Fadjar MSc, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode Januari 2015 hingga Oktober 2019 meninggal dunia dalam usia 81 tahun. Tokoh kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939, yang juga sesepuh organisasi Muhammadiyah itu mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui keterangan resmi di akun Twitter @muhammadiyah, secara khusus menuliskan kabar duka tersebut, “Innalillahi wainnailaihi rajiun, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan segenap warga Muhammadiyah, turut berduka atas wafatnya Bapak Malik Fadjar pada Senin 7 September 2020, pukul 19.00 WIB, semoga husnul khotimah dan dirahmati Allah Subhanahu Wa ta’ala”, tulis mereka. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Profesor Dr Haedar Nashir MSi melalui pernyataan duka citanya, menyampaikan bahwa Profesor Malik, adalah tokoh yang banyak mengayomi yang tua maupun muda, “Sebagai orang yang lebih muda dan banyak berinteraksi dengan beliau, saya banyak belajar darinya, beliau tokoh Muhammadiyah, Umat Islam dan Bangsa yang gigih, penuh prestasi di bidang pendidikan, berpikiran maju, inklusif dan diterima banyak pihak, kita kehilangan tokoh besar yang dimiliki bangsa ini, almarhum lebih banyak bekerja membangun pusat keunggulan dan membawa umat untuk maju ketimbang banyak bicara, pengabdiannya untuk bangsa sangat besar, tanpa mengeluh, radius pemikirannya pun melintasi, kaum muda dan generasi bangsa penting meneladani beliau, selamat jalan Pak Malik, kami kehilangan sosok teladan.” Sementara Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyampaikan kepada khalayak melalui keterangan tertulisnya, “Mohon doa semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, Abdul Malik Fadjar adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat hebat, gigih dan hidup sederhana, ia teladan bagi warga Persyarikatan, Umat dan Bangsa, Muhammadiyah sangat kehilangan.” Abdul Malik Fadjar lahir dari pasangan Fadjar Martodihardjo dan Salamah Fadjar, ia lulus dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang pada 1972, semasa hidupnya pernah menempati beberapa jabatan penting, antara lain, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (1983 - 2000), Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan (1998 - 1999), Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong (2001 - 2004), Menko Kesra (2004), dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI (2014 - 2019). @(Dari berbagai sumber/Wahyu Toveng). Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 65 6 In MEMORIAM Jakob Oetama: Pahlawan Dunia Jurnalistik Indonesia P endiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama tutup usia pada Rabu, 9 September 2020, 13.05 WIB di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading Jakarta dalam usia 88 tahun. Almarhum disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia Palmerah Selatan dan akan diantarkan menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada Kamis, 10 September 2020. Terkait penerapan protokol kesehatan selama situasi pandemi, karyawan maupun purnakaryawan yang hendak menyampaikan penghormatan terakhir kepada Jakob dapat mengikuti prosesi persemayaman dan pemakaman secara daring melalui tautan www.kompas.tv/live. Presiden Joko Widodo menyatakan, “Saya sungguhsungguh merasa kehilangan atas kepergian Bapak Jakob Oetama, hari ini, Rabu 9 September 2020. Almarhum bukan sekadar seorang tokoh pers, pendiri dan pemimpin surat kabar Harian Kompas atau Kelompok Kompas Gramedia, tapi adalah tokoh bangsa ini.” “Saya mengingat Pak Jakob Oetama sebagai seorang jurnalis sejati dengan semangat juang dan daya kritis yang tinggi, dengan pandangan yang senantiasa ber­nuansa kemanusiaan. Ia selalu menyampaikan pandangan dan kritiknya itu dalam bahasa yang halus dan santun,” imbuh Jokowi. 66 66 Lalu Jokowi menutupnya dengan mengatakan, “Selamat jalan Pak Jakob Oetama. Terima kasih untuk warisan kebajikan dan jasa almarhum untuk dunia pers dan bangsa ini. Semoga segala amal pengabdian almarhum mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT, dan segenap keluarga yang ditinggalkannya tetap kuat dan tabah.” Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjadi inspektur upa­cara, memimpin serah-terima jenazah Jakob. Penyerahan jenazah Jakob dilakukan oleh putra sulungnya Irwan Oetama kepada Bamsoet selaku Ketua MPR RI mewakili negara di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Barat. Selanjutnya, jenazah akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Lahir di Magelang, Borobudur pada 27 September 1931, tokoh jurnalistik sekaligus pendiri Kompas ini memiliki kecintaannya terhadap Indonesia tak perlu diragukan, bisa dilihat dari rekam jejaknya sebagai jurnalis, budayawan, sekaligus pejuang demokrasi. Hingga akhirnya mengantarkan dirinya meraih penghargaan Bintang Mahaputera dari pemerintah Indonesia pada 1973. “Terlalu banyak testimoni yang bisa diberikan tentang kehebatan Pak Jakob Oetama di bidang jurnalis, budayawan, dan demokrasi. Namun tak banyak yang mengulas sosok­nya sebagai manusia yang rendah hati, peduli terhadap sesama, dan yang terpenting caranya memperlakukan para wartawan dan karyawannya dengan sangat baik. Tak heran jika di bawah kepemimpinannya, Kompas tak sekadar menjadi koran biasa. Melainkan berkembang biak menjadi imperium Kompas Gramedia Group yang memiliki gedung setinggi 223 meter dengan 53 lantai, terletak di jantung Ibu Kota Jakarta,” ujar Bamsoet usai melepas jenazah Jakob Oetama, di Jakarta, Kamis, 10 September 2020. Ketua DPR RI ke-20 ini menceritakan, saat mulai berkarier menjadi wartawan di periode 1985-an, dirinya banyak mendengar cerita tentang kehebatan sentuhan hati Jakob Oetama kepada para wartawannya. Beliau tak segan menelepon langsung wartawan yang bertugas di lapangan untuk mengapresiasi berita yang mereka tulis. Tepukan bahu saat bertemu serta menyapa para warta­wannya dengan nama sapaan mereka, adalah cerita lain yang menggambarkan cara Jakob Oetama memimpin dengan hati. “Tak heran jika banyak orang, bukan hanya para wartawan dan karyawannya, namun juga yang pernah bergaul dengan dirinya termasuk saya, menganggap Pak Jakob Oetama sebagai ayah ideologis. Sebagai orang tua yang bijaksana, penuh welas asih dengan kharisma kepemim­pinan yang kuat,” tandas Bamsoet. Semesta Seni Semesta l EdisiSeni 6Semesta l l Oktober EdisiSeni 6 ll 2020 l Oktober Edisi 6 ll 2020 Oktober lSem 20 jalan Pak Jakob. Semangat dan idelismemu tetap di hati kami,” pungkas Bamsoet. Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, di dunia jurnalistik, Jakob Oetama juga bukan tipikal sosok yang ‘keras kepala’. Sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru pada 21 Januari 1978, Kompas akhirnya bisa terbit kembali setelah penandatanganan surat permintaan maaf dan pernyataan kesetiaan kepada peme­rintah Orde Baru dengan kop surat tertanggal 28 Januari 1978. Menandakan bahwa terkadang kompromi perlu dilakukan demi tercapainya tujuan. Wakil Presiden ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) memimpin prosesi pemakaman jenazah Jakob Oetama di Taman Makam Pah­lawan (TMP) Kalibata, Kamis siang, 10 September 2020. “Saya Muhammad Jusuf Kalla, atas nama negara, bangsa dan TNI, dengan ini mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi jiwa raga dan jasa-jasa almarhum,” kata JK dikutip dari siaran Kompas TV. “Berkat pemikiran Pak Jakob, Kompas dan dunia jurnalistik Indonesia dikenalkan prinsip baru, dari Jurnalisme Fakta ke Jurnalisme Makna. Prinsip tersebut pada intinya mengajarkan para jurnalis tak sekadar membuat berita sesuai fakta, melainkan juga menghadirkan makna dari fakta peristiwa yang terjadi. Pak Jakob mengajarkan, media seyogianya menjadi batu penjuru, tempat masyarakat mendapat kepastian. Media harus memberi jawab, menjelaskan duduknya perkara. Dengan begitu, pembaca mendapatkan pencerahan. Selamat 020 mesta Seni Semesta l EdisiSeni 6Semesta l l Oktober EdisiSeni 6 ll 2020 l Oktober Edisi 6 ll 2020 Oktober Selaku inspektur upacara, JK meminta kepada seluruh kerabat hingga perwakilan pegawai Kompas Gramedia yang hadir, untuk selalu mendoakan dan mengenang jasa kebesaran yang telah dilakukan Jakob semasa hidupnya. @ IH - Disarikan dari beberapa sumber l 2020 67 67 Pandoyo Adi Nugroho: Tokoh Antagonis di Sampek Engtay In MEMORIAM Endo Senggono: Mantan Kepala Harian Perpustakaan PDS HB Jassin K AMIS siang, 10 September 2020, 12.30 WIB, Endo Senggono mantan Kepala Harian Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin mengembuskan napas terakhirnya dengan tenang di rumahnya, di daerah Cilangkap, Jakarta Timur. Para sahabat dan publik sastra Tanah Air pun mengurai kenangan akan sosoknya yang bersahaja, penuh cinta dan dedikasi terhadap pekerjaannya, yang selalu mengapresiasi siapapun yang datang berkunjung ke PDS HB Jassin, baik itu pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pewarta, pesastra, pakar budaya, peseni, penulis, dan pecinta sastra ataupun masyarakat umum. Endo dilahirkan di Cimahi, 21 Desember 1959, ia adalah Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini FIB) Angkatan 1986. Ia memulai aktivitas tugasnya di PDS HB Jassin sejak 1987, kala itu ia sebagai sukarelawan yang hanya mendapat ganti uang transpor dan tanpa upah. Sebagaimana ia pernah menceritakan di Kompas, Jumat 25 Maret 2011, awal keterlibatannya di PDS HB Jassin, adalah sekadar mengisi waktu, setelah ia lulus kuliah dan belum memunyai pekerjaan, lalu diajak oleh HB Jassin yang merupakan Dosen Pengajar di almamaternya untuk membantunya di tempat itu. Karena Endo memang menyukai buku, ia pun menjadi terlibat lebih dalam menangani dokumen pribadi milik HB Jassin dan semua tulisan para penulis se-Indonesia yang tersebar dalam bentuk buku ataupun terbit di berbagai surat kabar dan majalah. Ia mendapatkan kejelasan statusnya di tempat itu pada 1997, saat ia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bergolongan III/D. Sebuah akun FB bernama Do Ro menuliskan kenangannya tentang Endo di linimasa akun FB Endo Senggono, “Beliau pada masa kerjanya di PDS HB Jassin, memberi kesempat­an kepada banyak teman penulis dan seniman untuk diskusi seni-budaya di kantornya.“ Sedangkan pesastra Remmy Novaris DM, pendiri Dapur Sastra Jakarta (DSJ) pun menuliskan, “Ketika Endo Senggono masih aktif di Taman Ismail Marzuki (TIM), ia menjadi ATM teman-teman sastrawan jika kehabisan ongkos pulang, atau menumpang gratis diantar sampai tujuan.“ @ Wahyu Toveng - Berbagai sumber 68 68 A KTOR Pandoyo Adi Nugroho, salah satu mantan pemeran Teater Koma yang pernah sukses sebagai tokoh antagonis Macun dalam SampekEngtay, meninggal dunia karena sakit asam lambung pada Jumat, 11 September 2020, di kediamannya, di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. Sebelumnya, pria kelahiran 29 September 1977 ini mengalami ceguk­an selama seminggu, Ratna Ully--istrinya yang pemain di Teater Koma dan menikah pada 2012--bersama Ketua RT sempat menyarankannya untuk berobat ke dokter dan klinik terdekat, namun ia menolaknya. Pandoyo pernah pula terlibat dalam pertunjukan Teater Koma yang lain, se­ perti lakon Antigoneo (2011), Sie Jin Kwie (2010), Sie Jin Kwie Kena Fitnah (2011), dan Sie Jin Kwie di Dunia Sihir (2012). Ia juga membintangi sebuah film pendek karya Sutradara Fadhil KJ berjudul Sang Perintis (2013), lalu sempat tampil bersama Teater Yuka pimpinan Renny Djajoesman dalam lakon Pekcang & Marita (2014), membintangi film pendek Iwazaki and Brown Box Testament (2015), produksi JC Production dengan sutradara Nuan Gautama, yang diikutsertakan dalam Indonesian Film Festival, LA Short Film Festival; menjadi pelatih akting, sutradara, dan penulis skrip untuk Konser Drama Musikal produksi Erwin Gutawa Production yang berjudul Di atas Rata-rata 2 (2016); dan terlibat dalam film Wage karya John De Rantau pada 2017, ia memerankan tokoh Anwar Tjokro­aminoto dan beradu akting dengan Rendra Bagus Pamungkas, Prisia Nasution, Putri Ayudya, dan Teuku Rifnu Wikana. Pada 2018, Pandoyo dan Ratna Ully, terlibat dalam pementasan bersama Teater Populer dalam lakon Pentas 1001 Malam, kerja sama antara Institut Kesenian Jakarta, Teater Populer, dan Liminal Theater. Juga memerankan tokoh Mang Ucup dalam sebuah film bergenre horor Panggil Namaku Tiga Kali karya Koya Pagayo. @ WT - Berbagai sumber Semesta Seni Seni ll Edisi Edisi 66 ll Oktober Oktober ll 2020 2020 Semesta Foto: Roy Genggam Nusantara Ibrahim Kadir: Aktor, Pesyair, dan Koreografer Asal Gayo, Aceh Tengah I brahim Kadir seorang peseni dan pakar budaya asal Gayo, Aceh Tengah, kelahiran Takengon 31 Desember 1942, meninggal dunia pada Rabu, 1 September 2020, 11.00 WIB, di RSU Datu Beru Takengon. Ibrahim dikenal sebagai seorang yang multi-talenta dalam berkesenian, ia mendapat­kan wawasan dan pengetahuan seninya dari ayah, kakak, peseni-peseni Gayo dan tempatnya menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Semasa hidupnya, ia telah mempersembahkan bagi masyarakat Gayo ribuan lirik lagu dalam bahasa setempat, salah satu yang paling populer adalah Kin Takengen atau yang berarti Untuk Takengon. Selain itu sejak 1953 ia pun berhasil menciptakan sekitar 85 puisi yang juga berbahasa Gayo dan terhimpun dalam beberapa buku kumpulan puisi, seperti Kumpulan Puisi Gayo Indonesia, Datu Beru (Didong Puisi), Antologi Puisi Gentala, Antologi Puisi Malem Dewa, dan Pembangunan Pesantren Nurul Islam dalam Untaian Puisi Gayo Indonesia. Ibrahim pernah pula menulis buku panduan Tari Guel dan buku pegangan dosen tentang metode mengajar dan menata tari di Universitas Sumatera Utara. Di dunia akting, Ibrahim pernah bermain dalam film Tjoet Nyak Dien garapan sutradara Erros Djarot pada 1990, lalu menjadi pemeran utama di film Puisi Tak Terkuburkan garap­ an sutradara Garin Nugroho pada 2000 yang membuatnya dianu­gerahi Penghargaan Pemeran Terbaik ke-2 dalam Festival Film Jokarno Italia 2000 dan Silver Screen Award for Best Asian Actor pada Festival Film Internasional Singapura di 2001, film ini sendiri memenangkan hadiah FIPRESCI dan masuk nominasi untuk Silver Screen Award for Best Asian Features di ajang tersebut. Pada tahun yang sama, aktingnya di film tersebut juga dianugerahi The Best Actor pada ajang Festival Film Cinefan di India. Film lainnya yang ia terlibat di dalamnya adalah film dokumenter berjudul Penyair dari Negeri Linge garapan sutradara Aryo Danusiri, 2001. Di mata sahabatnya dan masyarakat Gayo, Pria yang pernah pula bekerja sebagai Guru SD, SMP, SMA dan mengabdikan diri di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Aceh Tengah, ini merupakan figur yang humoris, murah hati, berjiwa halus, tekun dan penyabar. Ia pun sangat berdedikasi untuk memajukan dunia kesenian Gayo. Ketika Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Tingkat Provinsi Aceh pada 1979 dan MTQ Nasional ke-12 digelar di Banda Aceh pada 1981, ia bertindak sebagai koreografer tari massal saat acara pembukaan dan penutupan. Sedangkan pada 1983 ia menjadi penulis dan desainer tari massal di Padang. @ Wahyu Toveng - Berbagai sumber Semesta Seni Seni ll Edisi Edisi 66 ll Oktober Oktober ll 2020 2020 Semesta 69 69 In MEMORIAM Gatot Soenjoto: Peseni Multi-Talenta yang Langka G ATOT Soenjoto salah satu peseni Ventriloquis Indonesia, yang terkenal memainkan boneka bernama Tongki, meninggal dunia pada Sabtu, 12 September 2020, 01.45 WIB, di kediamannya, di Pondok Gede, Bekasi. Kabar duka tersebut dikonfirmasi oleh pihak keluarganya diunggah di fanspage Facebook, Indonesian Multi Entertainer Gatot Soenjoto & Tongki, “Hari ini adalah momen terberat bagi kami, keluarga Pondok Tongki, Sabtu dini hari tadi, Papa kami tercinta, idola saya, mentor saya Gatot Soenjoto berpulang, kembali ke Sang Maha Pencipta. Papa meninggalkan kami dengan damai dalam tidurnya di rumah dan bersatu dengan semesta, Papa adalah orang yang sangat dicintai, semasa hidupnya selalu bersama keluarga hingga akhir hayat.” Sedangkan pengamat musik Stanley Tulung di akun Facebook pribadi Gatot, menyatakan bahwa peseni kelahiran Malang, 28 Agustus 1940, itu sebelumnya tidak mengalami sakit yang berat apa­pun, hanya sempat demam dan sedikit berkurang nafsu makan. Gatot seperti dikutip dari Wikipedia, selain berprofesi sebagai ven­triloquis, ia adalah seorang peseni multi-talenta, baik sebagai pemusik, penyanyi, MC, impersonator, maupun sebagai pengarang lagu yang berjudul Gubahanku yang menjadi hit saat dinyanyikan oleh Deddy Damhudi saat Festival Lagu Pop Indonesia 1973. Ia mengawali kariernya dari Surabaya sebelum berpindah ke ibu kota. Saat itu ia pernah bersama Bob Tutupoly dalam sebuah Band bernama Bhinneka Ria, ia memainkan perkusi. Gatot mengaku banyak menimba ilmu bermusik dari Bing Slamet, Jack Lesmana, dan Mochtar Embut. Untuk Ventriloquis sendiri ia awalnya belajar dari Michael Tannen di New York pada 1974 saat masih aktif bermain musik bersama Band Lost Morenos Rest Ramayana. @ Wahyu Toveng - Ber­bagai sumber Cammana: Perempuan Penabuh Rebana yang Guru Ngaji dan Spiritual C ammana seorang parrawana towaine atau perempuan penabuh rebana, peraih Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Pengharga­an Maestro Kesenian Tradisional dari Kementerian Pariwisata dan Kebudaya­ an, asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat, mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 85 tahun, pada Senin, 7 September 2020, 15.15 WITA. Sebelumnya telah berbulan-bulan ia terbaring sakit di rumah­nya di Kelurahan Limboro dan Kecamatan Limboro, bahkan Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar pada 3 September 2020 pun telah menjenguknya dan menyarankan kepadanya agar mau dirawat di rumah sakit, namun Cammana sendiri menolaknya dan hanya ingin dirawat di rumahnya. Ali pun memerintahkan kepada Camat Limboro, untuk meminta dokter dan tenaga kesehatan agar dapat merawat perempuan itu di rumahnya. Cammana dilahirkan pada 1935 di Samasundu, dari pasangan Dzani dan Joe, Dzani sendiri, ayahnya adalah seorang parrawana tommuane “ atau lelaki pena­buh rebana sekaligus peseni pahat, guru silat, guru tasawuf yang menjabat juru tulis di kampungnya saat itu. Sedangkan Joe, ibunya adalah seorang pemetik alat musik Kecapi, sekaligus guru ngaji dan guru spiritual. Cammana memang mewarisi talenta dari kedua orangtuanya dan mulai menekuni kesenian rebana sejak usia 9 tahun hingga remaja. Hal itu menginspirasi dirinya sendiri untuk serius menularkan keahlian yang ia miliki kepada generasi penerus, khususnya anak-anak dan juga remaja perempuan, agar dapat melestarikan kesenian tradisional marrawana atau bermain rebana. Selain bermain rebana, Cammana juga menjadi guru ngaji dan guru spiritual. Syair-syair yang dilantunkannya untuk mengiringi tabuhan rebana pun selalu mengandung pesan moral dan ajaran agama Islam. Di setiap penampilan­nya bersama grup rebana yang ia bentuk, selalu diawalinya dengan lantunan shalawat dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Momen yang paling fenomenal adalah saat ia pentas bersama Grup Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Kolaborasinya bersama grup tersebut membuat banyak orang terkesima, salah satunya adalah WS Rendra yang turut hadir menyaksikan dan memberi apresiasi tinggi atas dedikasnya sebagai peseni tradisional. Penampilan lainnya yang tak terlupakan adalah saat pentas di acara Silaturahmi Kebudayaan se-Asia di Singapura pada 1994. @ WT - Ber­bagai sumber 70 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Yopie Latul: Memopulerkan Lagu Etnik Poco-poco karya Arie Sapulette Y opie Latul, penyanyi senior kelahiran Ambon-Maluku, 7 September 1955, yang pada 1995 sukses memopulerkan lagu etnik, Poco-poco karya Arie Sapulette dalam versi genre House Music, meninggal dunia pada 9 September 2020 atau berselang dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-65. Penyanyi yang mengawali debutnya pada 1982 lewat album Ambon Jazz Rock itu sehari sebelum meninggalnya terkonfirmasi positif terinfeksi Covid-19, hal itu disampaikan oleh pihak keluarga­ nya melalui postingan Instastory akun instagram putranya Carlo alias Rio pada 8 September 2020, “Saya Carlo (Rio) Latul atas nama keluarga mau memberitahu, bahwa benar, Ayah kami yang bernama Yopie Latul dinyatakan positif Corona dengan diagnosa OTG (Orang Tanpa Gejala).“ Yopie mulai dikenal publik musik Tanah Air melalui single lagu Ayun Langkahmu pada 1986, ciptaan Elfa Secioria dan Wieke Gur. Ia pun dikenal lewat lagu Kembalikan Baliku ciptaan Guruh Soekarnoputra yang ia nyanyikan bersama Paduan Swara Maharddhika pada Festival Lagu Populer Indonesia 1987. Pada ajang yang sama di era 1989 - 1990 ia berhasil menjadi pemenang pertama bersama Trie Utami dengan lagu Bila, sedangkan single lagu Poco-poco yang hingga saat ini po­ puler sebagai lagu untuk senam juga berhasil meng­ antarkannya menerima piala Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2001 dengan kategori Penyanyi Disco/ House/ Rap/ Dance Music terbaik. Beberapa bulan sebelum meninggal, Yopie sempat menuturkan antusiasnya ingin berkolaborasi de­ngan Didi Kempot. Ia mengaku bahagia melihat Didi mampu memopulerkan musik bernuansa daerah yang sebelum­ nya kurang dilirik oleh generasi milenial dan bersama Victor Hutabarat ia menyatakan kesanggupannya untuk membuka konser Maestro Campursari bertajuk 30 Tahun Lord Didi Berkarya, namun takdir berkata lain, keduanya kembali dengan tenang ke haribaan Sang Maha Pencipta pada tahun ini juga. @ Wahyu Toveng - Ber­ bagai sumber Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020 Ade Firman Hakim: Awali Karier Lewat Pemilihan Abang-None Jakarta 2008 A DE Firman Hakim, aktor muda kelahiran 20 Oktober 1988 yang pada 2013 silam pernah berperan sebagai Chaerul Saleh dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka, karya sutradara Hanung Bramantyo dan pada 2015 berperan sebagai Muso dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto karya sutradara Garin Nugroho, meninggal dunia pada 14 September 2020, 17.20 WIB, di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat. Sebelumnya pihak keluarga dan manajer Ade, menginformasikan bahwa Ade meninggal akibat terpapar Covid-19, hal ini dikarenakan ia memunyai gejala yang mengindikasikan penyakit yang belum ada obatnya tersebut, yakni sempat meng­ alami asma cukup berat dan terlihat fleks di paru-parunya. Namun sehari berselang setelah jenazahnya dimakamkan sesuai protokol Covid-19, hasil Swab Test ia menunjukkan nonreaktif, maka pihak keluarga pun melalui Dai Tirta, adiknya meralat penyebab kematian Ade. “Dari awal hasil Rapid dan Swab Test kakak saya nonreaktif, karena kakak saya punya riwayat sakit asma maka di Rapid dan Swab memang wajib, namun untuk Swab yang terakhir hasilnya belum keluar dan dari awal pun memang nonreaktif, jadi sebenarnya dia drop karena asma saja, tapi karena diperlakukannya seperti pasien Covid-19 dia agak stres, dan kakak saya itu meninggal bukan dalam keadaan koma atau kritis, “ tegas Dai Tirta. Ade mengawali kariernya di dunia hiburan, melalui ajang pemilihan Abang-None Jakarta 2008, ia tampil sebagai finalis dan meraih gelar Harapan 1, selanjutnya ia memulai debutnya sebagai aktor film melalui film berjudul Bebek Belur pada 2010 karya sutradara Adrianto Sinaga. Pada Maret 2013, Teater Koma menggamitnya untuk terlibat dalam pementasan Sampek Engtay dan berperan sebagai Sampek, ia beradu akting dengan Tuti Hartati sebagai Engtay, dan Pandoyo Adi Nugroho sebagai Macun. Pandoyo sendiri meninggal dunia lebih dulu berselang tiga hari dari Ade mengembuskan napas terakhirnya. @ Wahyu Toveng - Ber­bagai sumber 71 In MEMORIAM Alwi Shahab: Pewarta dan Pakar Sejarah Kota Jakarta P ADA Kamis, 17 September 2020, 03.00 WIB dinihari, Alwi Shahab meninggal dunia dalam usia 84 tahun. Pria kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1936 ini adalah pewarta senior Republika dan tokoh pers dan pakar sejarah Betawi. Abah Alwi mengembuskan napas terakhir di rumahnya di kawasan Condet, Jakarta Timur. Mengutip dari detiknews, Republika Online mengunggah pernyataan resmi mereka tentang kabar duka ini melalui laman Twitter-nya, sedangkan Irfan Junaidi selaku Pemimpin Redaksi Republika membenarkan hal ini saat dikonfirmasi oleh CNN Indonesia, “Iya benar, Abah (Alwi Shahab) berpulang,” tegas Irfan. Petrik Matanasi dalam tulisannya pada portal media tirto.id, menyebut almarhum sebagai pewarta dua zaman dan penulis kisah Jakarta tempo dulu, “Alwi Shahab bukan hanya seorang wartawàn, tapi juga saksi atas berkembangnya Jakarta sebagai kota modern yang terus berubah, Jakarta beruntung punya Alwi Shahab yang menulis banyak kisah menarik tentang kota ini, tidak semua kota di Indonesia punya sejarawan yang bisa membumikan sejarah pada orang-orang awam,” tulis Petrik. Alwi, melewati masa kecil sejak Perang Pasifik dan Perang Kemerdekaan, lalu menghabiskan masa remaja pada zaman demokrasi liberal. Lahir dan besar di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat membuatnya banyak berkenalan dengan para peseni yang kemudian memengaruhinya untuk tertarik dengan dunia tulis-menulis. Namun ia baru memulai karier di dunia jurnalistik pada awal 1960-an, sebagai pewarta di Kantor Berita Arabian Press Board, Jakarta, sebuah Media yang dipimpin pamannya sendiri, yakni Asad Shahab, kemudian pada Agustus 1963, Kantor Berita Antara, resmi menjadi tempat bekerja selanjutnya bagi pria yang memunyai kesamaan tanggal lahir dengan Ratu Belanda, Wilhelmina (31 Agustus 1880) itu. Ia menulis berbagai liputan, mulai dari reportase kota, kepolisian, parlemen hingga bidang ekonomi, kemudian mulai 1969 sampai dengan 1978 ia pun bertugas sebagai pewarta istana. Sedangkan untuk tugas liputan luar negeri, ia pernah meliput operasi penumpasan oleh Tentara Malaysia terhadap gerakan Komunis di perbatasan Malaysia-Thailand. Setelah pensiun dari Kantor Berita Antara pada1993, ia pun berlabuh di Harian Umum Republika, kesenioran dan pengalamannya bertahun-tahun sebagai pewarta pun menjadi contoh di lingkungan barunya, yang saat itu dipenuhi oleh orang-orang muda, namun produktivitasnya tidak kalah dari para yuniornya di tempat itu. Semenjak bersama Republika, Artikel-artikel tentang Sejarah Kota Jakarta banyak diangkat olehnya dalam rubrik Kebudayaan, juga pada rubrik Sketsa Jakarta dan Nostalgia. Ia seperti tidak pernah kehabisan materi untuk mengeksplorasi segala permasalahan Kota Jakarta beserta kisah-kisah tempo dulunya, untuk hal ini selain tekun menelaah berbagai koleksi literasi dan bahan pustaka, ia aktif mendatangi narasumber dan tempat yang menjadi objek penulisannya. @ Wahyu Toveng - Berbagai sumber 7272 Semesta Seni Semesta l EdisiSeni 6Seni l l Oktober Semesta lEdisi Edisi6 l6l 2020 lOktober Oktoberl l2020 2020 Sem Budi Tompel: Aktor Andal Kelompok Bandar Teater Jakarta Edo Pillu: Tinggalkan Kenangan atau lebih karib dipanggil Budi Tompel, salah seorang pegiat teater Jakarta Berupa Lukisan ‘Belajar dari Sejarah’ E KOUtaraBudidanDoyo aktor senior dari Kelompok Bandar Teater Jakarta, meninggal dunia pada 19 September 2020, 22.40 WIB lalu. Kabar duka itu disampaikan melalui postingan di laman grup S ELAMAT jalan, kawan Edward Piliang atau Edo Pillu atau Edo Riang (5 Juni 1969 - 21 September 2020), yang wafat di usia 51 tahun. Diabetes dan asma telah mengoyak-koyak tubuhmu. Edo masuk kuliah di Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Yogyakarta pada 1990 dan lulus pada 1997. Rabu, 16 September lalu ada berita dari rekan Zulkarnaen Damanik (Jul Batak), bahwa Edo ada di RS Bethesda, Yogya. Sejak Kamis, 17 September istrinya, Tina, mengabarkan bahwa Edo masih dalam perawatan intensif. Sayang, karena situasi kurang mendukung untuk menjenguknya, protokol kesehatan yang diberlakukan di rumah sakit, termasuk tempat opname, belum memungkinkan untuk tiap orang menjenguk pasien, banyak rekan-rekannya terkendala untuk membesuknya. Senin malam, 21 September, kabar duka itu terdengar. “Perca-perca kenangan masih menempel dalam ingatan. Kita, misalnya, bolak-balik ikut berunjuk rasa untuk berbagai isu di Bunderan UGM. Juga pernah aku mengajakmu bersama S Teddy D plus Yustoni Volunteero untuk berdemo tentang isu perempuan, bersama para aktivis perempuan Yogya, di alun-alun Jepara pada 1995,” kenang Kuss Indarto yang dikenal sebagai kurator. Pemakaman almarhum Edo dilangsungkan pada Selasa, 22 September 2020, 14.00 WIB. Berangkat dari rumah duka di Kembaran RT 03 No 142, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Almarhum dikebumi­ kan di permakaman Sonoloyo Lor, Kembaran. “Oya, lukisan pemberianmu, ‘Belajar dari Sejarah’ masih tersimpan di rumah kok. Itu bagian dari sejarah proses kre­atifmu, juga sekuel dari persahabatan kita. Terima kasih Edo, untuk semuanya. Untuk Tina dan Kay, ikhlaskan kepergian ayah Edo ya. Kuatlah... Bismillah..., Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..,” imbuh Kuss. @ IH - Sumber: Status FB Kuss Indarto mesta Seni Semesta l EdisiSeni 6Seni l l Oktober Semesta lEdisi Edisi6 l6l 2020 lOktober Oktoberl l2020 2020 Facebook Ikatan Teater Jakarta Utara oleh admin grup. Pria kelahiran 4 Mei 1962 ini sempat terlibat cukup lama dalam pementasan Kelompok Bandar Teater berdiri pada 5 Juni 1980 oleh para peserta workshop teater dan sastra yang diselenggarakan Gelanggang Remaja Jakarta Utara. Awalnya kelompok teater ini dipimpin oleh Ismail Sofyan Sani sebelum akhirnya diteruskan oleh Malhamang Zamzam pada 1986. Bersama kelompok teater ini, kala itu Budi cukup aktif mengikuti berbagai festival termasuk Festival Teater Jakarta, hingga menjuarainya beberapa kali dan membuatnya berhak tampil beberapa kali di Taman Ismail Marzuki (TIM). Setelah terbiasa memainkan naskah-naskah terkenal, Budi dan rekan-rekan mulai bereks­perimen pada 2001, mereka mengusung konsep ketakterdugaan dengan menggelar The Opening, Balok Es, Pipa Besi, Boneka Sex, dan Panggung Miring. Dalam pertunjukan ini penonton terbawa dalam sensasi kemungkinan tanpa bisa menebak alurnya. Pada 2004, Budi bersama Bandar Teater Jakarta meraih Hibah Seni Kelola Kategori Pentas Keliling untuk Karya Arthefuck (Pada Kapak, Genangan, Belukaran), berkat dukungan hibah ini, mereka tampil di Makassar, Solo dan Bandung. Di setiap kota mereka meminta peseni setempat terlibat dalam pertunjukan, tanpa latihan, namun hasilnya para peseni mampu bermain dengan baik dan mempertajam pertunjukan. Pada 17 Oktober 2017, Budi kembali terlibat bersama kelompoknya menggelar pertunjukkan fenomenal berjudul Dancing Queen/ Dansinkwin di basement Teater Jakarta, TIM yang disutradarai oleh Malhamang Zamzam dan Dendy Madiya, pertunjukan ini diambil dari lagu terkenal Dancing Queen-nya ABBA. Namun pemilihan judul pertunjukan ini sama sekali tidak mewakili proses pemaknaan seperti apa yang berlangsung selama proses pertunjukan itu sendiri, melainkan bagaimana teks berusaha mengokupasi ruang atau mengaktivasi ruang berdasarkan teks, yang kemung­kinannya malah mengkritisi teks itu sendiri. @ Wahyu Toveng - Berbagai sumber 73 7373 4 In MEMORIAM Imam Wahyudi Rasyid: Naskah Dramanya Dipengaruhi Gaya Arifin C Noer I MAM Wahyudi Rasyid, salah seorang mantan aktor senior Teater SAE, sebuah kelompok teater eksperimental pimpinan Boedi S Otong yang sangat berpengaruh pada era ‘80-an, meninggal dunia pada 17 September 2020 lalu. Kabar duka itu disampaikan oleh adiknya, Emil NA Rasyid melalui postingan per 18 September 2020, 07.20 WIB di laman Facebook-nya yang tertulis, “Innalillahi wa innailaihirojiun, Allahummafirlahu warhamu wa’afihi wa’fuanhuu, selamat tidur masku sayang, mas sudah nggak sakit lagi, semoga Allah melapangkan kuburmu, menerima amal ibadahmu, semoga engkau husnul khotimah, maafkan adikmu ini mas yang tidak bisa mengantar ke peristirahatan terakhirmu, I love you mas”. Sedangkan sahabatnya, Jean pada hari yang sama menuliskan kenangannya tentang sosok pria kelahiran 1 Januari 1958 itu, “Kukenal namanya Imam Wahyudi AR, dulu di era 80-90 ia pernah aktif di Teater SAE, bahkan pernah terlibat bermain di Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer, kemudian ia mendirikan Teater Tanah di era itu seusai keluar dari grup Teater SAE, dia sangat menga­gumi Arifin C Noer, hingga karya naskah dramanya yang dibuat untuk grupnya dipengaruhi oleh beliau”. Sahabat almarhum lainnya, Busyra Q Yoga, menuliskan kenangan berbeda, “Sekitar menjelang pertengahan 1979, sebagai produksi ke-2, Teater SAE berniat mengikuti Festival Teater yang diadakan oleh Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) di Gelanggang Remaja Jakarta Pusat (Kebon Jahe), membawakan naskah Asmaradana, yang merupakan adaptasi dari cerpen mas Danarto oleh Noorca M Massardi, usai produksi perdana Teater SAE, Dilarang untuk Melarang (1978), kami vakum selama lebih kurang 4 bulan, untuk memulai lagi kami tidak punya pemain, saat itulah saya ingat Imam, Imam menerima dengan baik ajakan saya untuk bergabung dengan Teater SAE, itulah awal mula Imam terlibat dengan Teater SAE”. @ Wahyu Toveng - Berbagai sumber 74 74 M Husseyn Umar: Mulai Menulis Sejak Berusia 17 Tahun D UNIA seni Indonesia berduka saat mendengar kabar bahwa pesyair, ahli hukum, dan salah satu pendiri/ Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, M Husseyn Umar wafat pada Senin, 21 September 2020, 22.33 WIB. Husseyn tergolong pengarang pada 1950-an yang telah banyak menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada saat itu, seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Pujangga Baru, Zenith, Indonesia, Kisah, dan Budaya. Di samping menulis sajak dan cerpen, ia juga sangat produktif menulis naskah sandiwara radio. Husseyn juga menulis ulasan pementasan drama, cerita pendek khusus untuk ruangan cerita minggu pagi, dan langensari. Husseyn dilahirkan di Medan, Sumatra Utara, 21 Januari 1931. Dia beragama Islam. Pendidikan formalnya dimulai pada zaman Jepang. Dia mengikuti latihan pendidikan guru dan pegawai di Pangkalpinang kemudian menamatkan MULO Bagian B pada 1949. Sesudah tamat SMA bagian A (sastra) di Jakarta pada 1952, dia me­lanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Pengetahuan Masyarakat dan tamat pada 1957. Saat itu gelar bagi lulusan Fakultas Hukum adalah Meester in de Rechten (Mr). Husseyn mulai menulis sejak masih menjadi pelajar SMA pada akhir 1940-an. Saat itu, ia berumur 17 tahun. Setelah lulus Fakultas Hukum, ia seakan-akan menghilang dari dunia sastra karena kesibukan­nya sebagai pegawai pemerintah. Setelah pensiun sebagai pegawai, Husseyn kembali ke habitat lamanya. Dia rajin menghadiri acara-acara sastra. Kegiatan Husseyn dalam sastra sangat banyak. Pada 1960 dia pernah menjadi redaktur majalah Roman, menggantikan Nugroho Notosusanto. Dia juga mengasuh Ruangan Mutu, Ilmu dan Seni bersama Wiratmo Sukito dan Anas Ma`ruf di RRI Jakarta. Ketika masih berstatus mahasiswa, Husseyn pernah menjadi anggota redaksi majalah Forum (majalah mahasiswa UI). Di sam­ping itu, ada bukti-bukti peranan Husseyn dalam kehidupan sastra, yaitu ada­nya ulasan atau pendapat tentang karya-karyanya. @ IH - Berbagai sumber Semesta Seni Semesta l EdisiSeni 6Semesta l Oktober l EdisiSeni 6 ll2020 lOktober Edisi 6 ll 2020 Oktober lSem 20 Al-Yahya Lahdji ‘Api Asmara’-mu Akan Terus Menyala B ILA pada 1975 Anda adalah remaja yang duduk di sekolah menengah yang suka bernyanyi, lagu Api Asmara, tentu tak asing. Api Asmara yang dinyanyikan Rien Jamain itu begitu hitnya sehingga beberapa penyanyi kondang menyanyikan dengan berbagai versi. Rien Djamain, sebagai penyanyi pertamanya, juga merupakan album perdananya melantunkan dalam irama Jazz berkolaborasi dengan Jack Lesmana Combo, kelompok kampiun Jazz Indonesia saat itu. Ternyata pencipta lagu Api Asmara itu adalah Al-Yahya, pria yang pada 27 September 2020, 14.50 WIB lalu mengembuskan napas terakhir di RS Mintoharjo, Jakarta Pusat dalam usia 72 tahun. Tak banyak yang tahu kecuali dua adiknya, Edo Abdullah yang pelukis dan Abdul Latif yang memang bersiaga. Kendati menderita sakit paru-paru, AI-Yahya adalah salah satu yang terkena protokol pemakaman jenazah Covid-19, walaupun belum terbukti terpapar. Allah memanggilnya di saat menunggu hasil Swap Test kedua setelah tes pertama yang dinyatakan negatif. Pencipta lagu Api Asmara itu padam dalam kesunyian, namun kita percaya Api Asmara yang diciptakannya tak akan pernah padam. Al Yahya telah menciptakan lagu tak kurang dari seratusan komposisi dengan kualitas peciptaan yang rata-rata dapat melambungkan nama pendendangnya, sebut saja Rien Djamain dengan lagu Api Asmara, Bersimbah Air Mata; Harvey Malaiholo lagu Wajah Sedihmu; Rafika Duri lagu Cintaku Makan Waktu; Hutauruk Sisters lagu Menata Hati; serta Yuni Sara, Dewi Yull, Ferdi Ferdian, dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu per satu. Al-Yahya memulai karier musik sejak duduk di bangku SMP di Sidoarjo tergabung dalam kelompok The Brims. Lalu banyak menciptakan lagu untuk AKA Band Surabaya bersama Syeh Abidin, juga banyak menciptakan lagu Jack Lesmana All Star dan para penyanyi kondang 1970-an. Selamat Jalan Al-Yahya, Api Asmara-mu akan terus menyala sepanjang sejarah musik Indonesia. @ IH - Sumber: Edo Abdullah 020 mesta Seni Semesta l EdisiSeni 6Semesta l Oktober l EdisiSeni 6 ll2020 lOktober Edisi 6 ll 2020 Oktober l 2020 Nana Sumarna Cabikan Basnya Sangat Khas P ENCABIK bas gitar band Zaenal Combo dan Empat Nada, Nana Sumarna telah meninggal dunia pada Senin, 21 September 2020 lalu. Dunia musik Indonesia telah kehilangan musisi yang low profile ini. Memang di antara musisi, pencabik bas gitar paling jarang disebut dan dieks­ pos, karena posisi mereka yang cenderung di belakang pemain melodi, dan vokalis, atau drumer. Pencabik bas cenderung mem-back up band. Posisi itu berpengaruh kepada kepribadiannya yang cen­derung low profile. Nana adalah satu di antara legenda pencabik bas. Namanya tertera pada dua band pengiring legendaris Indonesia, yang populer di era 1960-an hingga 1970-an, yakni Zaenal Combo (pimpinan Zaenal Arifin) dan Empat Nada (pimpinan A Riyanto). Sederet penyanyi papan atas diiringi dua grup ini, di mana Nana menjadi pencabik basnya. Sebut saja Tetty Kadi, Titiek Sandora-Muchsin, Broery Marantika, Bob Tutupoli, dan lainnya. Awalnya Nana belajar musik dengan melihat dan cobacoba. Pas kelas 2 SMA diajak masuk studio rekaman untuk mengiringi Tetty Kadi. Sejak itu berlanjut dengan artis lainnya seperti Titiek Sandora-Muchsin, Patty Bersaudara, Erni Djohan, Arie Koes­ miran, dan lainnya. Salah satu cabikan basnya yang membekas hingga kini adalah lagu Merantau yang dinyanyikan Titiek Sandora, dengan instro bass yang berbeda dari ‘pattern’ cabikan bas umumnya. @ IH - Berbagai sumber Kontribusi desain grafis: Eki Thadan 75 75 76 Semesta Seni l Edisi 6 l Oktober l 2020