Uploaded by denny.hernawan

Legislasi Etik

advertisement
LEGISLASI ETIK
Agenda Mendesak Bagi Legislatif Baru
Denny Hernawan *
Pendahuluan
Kehidupan demokrasi yang lebih baik sekarang ini memungkinkan bangsa kita
menata ulang institusi demokrasinya. Ada 3 pranata yang diberi prioritas utama
yaitu lembaga kepresidenan, legislatif, serta infrastruktur partai politik. Instrumen
utama untuk menata ulangnya adalah sistem pemilu yang lebih mengedepankan
otonomi politik individual sebagai wujud kedaulatan rakyat. Pergeseran, baik pada
tataran pemikiran maupun praksis, menjadi tidak terelakan. Bila pada masa orde
baru, misalnya, warna sistem politik sangat didominasi lembaga eksekutif (executiveheavy), maka pada era pasca-orba lembaga legislatif mengambil alih peran sebagai
institusi politik paling dominan (legislative-heavy).
Namun pergeseran tersebut juga diikuti oleh gejala abuse of power yang
dilakukan pihak legislatif untuk kepentingan tertentu : kepentingan individukelompok atau kepentingan jangka pendek-panjang. Dengan diskresi kewenangan
baru yang begitu luas, legislatif dengan leluasa menembus batas-batas kewenangan
antar-lembaga. Kewenangan untuk melakukan fit and proper test bagi kandidat pejabat
publik atau akses terhadap sumberdaya publik (anggaran publik), misalnya,
seringkali dipergunakan sebagai entry point untuk menembus batas-batas
kewenangan tersebut. Penggunaan kewenangan baru yang bersifat over-used (atau
over-dosis) seperti ini akan sangat rentan terhadap abuse of power, apalagi bila
kontrol (eksternal maupun internal) terhadap legislatif begitu lemah atau bahkan
tidak ada. Kecenderungan adanya abuse of power tersebut terlihat dalam sejumlah
kasus yang banyak diungkap media massa di sejumlah tempat. Transaksi politik
yang dilakukan dalam konteks Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Kepala daerah
serta cozy politics antara legislatif dan eksekutif dalam ‘merekayasa’ anggaran publik
yang terjadi di sejumlah daerah merupakan dua kelompok kasus utama yang
mengundang keprihatinan publik. Bagaimana tidak ? Pelakunya tidak hanya
melibatkan individu tapi sudah dilakukan secara kolektif (collective action) dengan
1
besaran angka yang cukup besar : bila diakumulasikan jumlahnya bisa mencapai
puluhan, bahkan mungkin ratusan, milyar rupiah. Hak publik terhadap anggaran
dalam bentuk program atau proyek yang menyangkut kebutuhan mereka dipaksa
untuk di-disalokasikan atas nama hak budget yang secara inheren merupakan hak
istimewa mereka.
Implikasi dari gejala yang dipaparkan di atas sangat mengerikan : erosi, bahkan
kehilangan, kepercayaan publik baik pada individu anggota dewan maupun lembaga
dewan secara keseluruhan. Indikasi ke arah itu cukup jelas : tingkat kepedulian dan
kemampuan yang rendah. Sering muncul public criticism menyangkut fasilitas bagi
dewan yang dianggap ‘tidak pantas’ (improper) seperti fasilitas kredit tanpa bunga
yang cukup besar, uang purna-bakti, dsb. Padahal peraturan perundangan yang ada
secara jelas mengatur sedikitnya 9 jenis tunjangan atau pengeluaran lain bagi
anggota dewan. Perilaku kolektif seperti itu mencerminkan ketidak-pedulian dan
ketidak-pekaan legislatif terhadap kondisi masyarakat yang sedang ditimpa krisis.
Selain itu, tidak sedikit masalah publik yang begitu kompleks tidak bisa diselesaikan
karena rendahnya kinerja dan kemampuan dalam merumuskan dan mengontrol
agenda publik. Rendahnya kepercayaan publik ini, bila diabaikan, hanya akan
membuat demokrasi menjadi kehilangan maknanya yang hakiki. Untuk mencegah
hal itu perlu ditanamkan pemikiran bahwa semua posisi publik, termasuk menjadi
anggota legislatif, adalah amanah atau “public office is public trust’.
Dalam mewujudkan hal terakhir itulah perlu ada komitmen kuat dari legislatif
(baik secara individual maupun kelembagaan) untuk melakukan perubahan atau
transformasi fungsional. Dewan secara sistematis harus melakukan sejumlah upaya
pemulihan citra yang dapat mengangkat kembali kepercayaan publik terhadap
mereka. Selain lebih mengefektifkan kontrol internal, misalnya lewat penataan-ulang
tatib Dewan, ada urgensi mendesak untuk mengkaji alternatif lain yaitu legislasi etik.
Hal ini dipandang relevan mengingat salah satu fungsi utama dewan adalah legislasi.
Bila dewan bisa mencitrakan diri sebagai institusi politik yang punya komitmen
untuk melakukan kontrol-diri dengan berdasar pada nilai-nilai etika publik yang
dilegalkan, merupakan sebuah keniscayaan bila hal tersebut dapat memberikan
credit point tersendiri di mata publik. Mengapa demikian ? Bila itu mampu
2
diwujudkan, dewan hakekatnya telah memberikan sesuatu yang jarang dilakukan di
negeri ini yaitu exemplary leadership atau kepemimpinan dengan memberikan teladan,
dan itu hendaknya dimulai dari dewan sendiri. Ekspektasi itu didorong oleh
kemungkinan terjadinya citra baru dewan sebagai hasil pemilu legislatif 2004 yang
lebih mencerminkan pluralisme dalam peta kekuatan politik dan pemerintahan.
Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk mengkaji legislasi etik
baik pada tataran normatif maupun kelembagaan. Pengkajian model bagi
pelembagaan komisi etik, sebagai bagian tidak terpisahkan dari legislasi etik, juga
akan dianalisis secara kritis dengan melihat pentingnya deliberasi publik (public
deliberation) sebagai prasyarat awal. Pada bagian akhir akan dibahas prospek dari
legislasi etik ke depan termasuk alternatif strategi untuk mencapainya.
Legislasi etik : sebuah pendekatan normatif
Salah satu bentuk reformasi yang coba diegendakan pada era pasca-orba adalah
reformasi hukum menuju kearah penegakan nilai-nilai keadilan bagi publik sesuai
prinsip rule of law yang menjadi pilar utama demokrasi. Legislasi etik atau ethics law,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi hukum, dipandang urgen
dan relevan untuk diagendakan sekurang-kurangnya karena 3 alasan pokok. Pertama,
salah satu sumber utama dari krisis multi-dimensional yang berkepanjangan adalah
krisis etika atau moral dalam organisasi publik. Ekses dari krisis etik ini bukan hanya
merugikan negara secara ekonomis sejumlah ratusan triliun rupiah, namun lebih dari
itu – dan ini yang tidak ternilai harganya – telah melemahkan tingkat kepercayaan
publik pada organisasi publik yang ada. Karena itu legislasi etik harus dimaknai
sebagai upaya untuk menegakkan nilai-nilai etik melalui upaya law enforcement
sehingga aplikasinya mempunyai kekuatan memaksa. Kedua, seperti telah
dipaparkan
terdahulu,
dalam
banyak
kasus
adanya
kebutuhan
untuk
mempromosikan perilaku etik pada dasarnya merupakan kombinasi dari 2 faktor
utama, yaitu korupsi yang dilakukan anggota dewan dan turunnya kepercayaan
terhadap legislator. Dalam hal kedua ini ethics law harus dimaknai sebagai upaya
untuk
memperbaiki
tingkat
kepercayaan
publik
tersebut.
Ketiga,
semakin
berpengaruhnya civil soceity organization (CSO), seperti sejumlah LSM dan watchdog
3
groups lainnya, serta tekanan dari publik , terutama attentive public, membuat
legislative bodies (baca : eksekutif dan yudikatif secara bersama-sama) didorong untuk
melakukan perubahan dalam hal prosedur internalnya. Tutuntan dari sejumlah
kalangan CSO terhadap proses legislasi anggaran (APBD maupun APBN) telah
mendorong perubahan prosedur internal pada tahapan prosesnya baik dalam bentuk
public hearing mapun public expose. Adanya perubahan dalam prosedur internal ini
harus dipandang sebagai bagian tidak terpisahkan dari ethics law untuk menghindari
kemungkinan abuse of power terhadap anggaran publik.
Secara fundamental ethics law, atau bentuk perundangan lain yang dimaksudkan
untuk menghindari konflik kepentingan, bertujuan untuk mencegah setiap pejabat
publik
menyalahgunakan
–
atau
sekurang-kurangnya
berniat
untuk
menyalahgunakan – kekuasaan dan status jabatan publik untuk kepentingan pribadi.
Dengan demikian setiap bentuk ethics law harus selalu memperhatikan 2 elemen
penting. Pertama, bersifat mencegah (preventive) penyalahgunaan kekuasaan. Kedua,
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik bukan kepentingan atau manfaat
pribadi. Melihat asumsi dasarnya yang lebih bersifat membatasi (restrictive) sangat
mudah dipahami bila upaya mencapai tujuan tersebut sangat sulit untuk
diwujudkan. Ini disebabkan karena pada hakekatnya manusia bukan hanya sekedar
homo religius namun juga homo economicus sekaligus. Status terakhir menempatkan
manusia sebagai sosok yang lebih mengedepankan self-interest dan profit maximizer.
Sangat kontradiktif bukan ?
Dalam konteks terakhir inilah kita menengarai adanya sejumlah masalah yang
secara potensial dapat menghambat komitmen terhadap urgensi legislasi etik ini.
Pertama, bila penentuan standar etik bersifat terlalu membatasi (strict), hal itu justru
akan membuat jabatan publik menjadi tidak begitu menarik. Dikombinasikan
dengan peliputan media yang begitu intensif, ethics law yang terlalu ketat hanya
akan menyebabkan keengganan, kecuali mungkin bagi mereka yang secara politis
sangat ambisius. Selain itu, pelaksanaan ethics law yang terlalu ketat bagi sebagian
legislator dipandang dapat menghambat pelaksanaan tugas dan kinerja mereka. Hal
ini terutama applicable bagi anggota legislatif paruh waktu (part-time legislators),
legislator yang menjadikan legislatif bukan sebagai profesi tapi sebagai ‘pekerjaan
4
sampingan’.
Kedua, bertentangan dengan pandangan pertama, bila legislasi etik
sifatnya sangat tersamar (vague), hal itu justru akan membuatnya menjadi tidak
bermakna (meaningless). Jika pembatasan tidak dilakukan secara spesifik, atau
tindakan tidak dirinci secara jelas, maksud dari ethics law akan menjadi bersifat
terbuka untuk ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing.
Ketiga, masalah
independensi. Seperti dipahami bersama bahwa secara legal-formal legislatif
memiliki independensi yang tinggi karena memiliki kewenangan yang bersifat
eksklusif dalam law making, budgeting dan controlling, serta sejumlah hak kelembagaan
lain yang bersifat istimewa (priviledges) seperti perlindungan dalam kebebasan
berbicara, perlindungan istimewa dari pemeriksaan dan penahanan, kekuasaan
untuk
menentukan
kualifikasi
setiap
anggotanya
serta
kekuasaan
untuk
mendisiplinkan bahkan mengeluarkan anggotanya. Dengan adanya legislasi etik
kewenangan tersebut secara signifikan akan berkurang karena diambil alih secara
kelembagaan oleh komisi etik ekstra-legislatif yang diberi kewenangan investigasi
dan kekuasaan penegakan hukum berupa sanksi pidana maupun perdata.
Kekhawatiran seperti ini hanya akan membuat meningkatkan potensi resistensi dari
legislatif bodies terhadap ethics law dengan dalih mempertahankan independensi
mereka.
Bila memang ethics law telah menjadi keputusan, apa yang secara normatif harus
diatur didalamnya ? Karena ethics law sifatnya preventif dan bersifat membatasi,
maka secara prinsipil ada 5 kategori pembatasan (restrictions) yang harus
dipertimbangkan dalam isi ethics law. Pertama, prinsip hal-hal yang bersifat resmi
(official matters), yaitu restriksi terhadap penggunaan jabatan untuk keuntungan
ekonomi, kontrak, pekerjaan dan hak-hak istimewa bagi legislator dan rekanan
dekatnya. Kedua, prinsip keuntungan pribadi (personal gain), yaitu restriksi terhadap
partisipasi legislatif dalam sidang atau tindakan komisi bila hal itu menyangkut
kepentingan pribadi legislator maupun rekanannya. Ketiga, prinsip keuntungan privat
(private gain), yaitu restriksi terhadap penggunaan sumberdaya publik untuk
kepentingan privat. Keempat, prinsip hadiah (gifts), yaitu restriksi terhadap
penerimaan hadiah, layanan dan hal menguntungkan lainnya (favoritsm) bagi
legislator atau rekanannya. Kelima, prinsip ketidak-patutan (improper), yaitu restriksi
5
terhadap representasi klien didepan legislator dan agensi pemerintah bila hal itu
menyangkut kepentingan rekanan legislator. Kelima prinsip tadi dimaksudkan
sebagai pedoman (guidelines) bagi para pejabat publik pada umumnya dan legislator
pada khususnya dalam bertindak dan mengambil keputusan. Kejelasan prinsip
tersebut juga diyakini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik
tanggungjawab (conflict of responsibility) dari para pejabat publik yang diakibatkan
oleh adanya conflict of role, conflict of authority dan conflict of interest.
Komisi Etik : Perspektif Kelembagaan
Dalam hal ethics law telah diadopsi pertanyaan mendasar berikutnya adalah :
siapa yang akan mengawal dan menegakan law tersebut ? Disinilah kita
bersinggungan dengan aspek kelembagaan, karena nilai-nilai yang ada dalam law
harus dapat melembaga dalam praktek.
Ada beberapa pendekatan atau model berbeda yang dapat dipergunakan dalam
mengelola dan menegakan legislasi etik. Pertama, menciptakan komisi etik didalam
legislatif itu sendiri. Model ini dipandang sebagai model tradisional dan konservatif
karena keanggotaan komisi etik hanya terbatas pada legislator saja. Berdasarkan model
ini problem etika lebih dipandang sebagai urusan interen legislatif. Walaupun disatu
sisi model ini sejalan dengan prinsip pemisahan kekuasaan karena secara jelas dapat
melindungi independensi legislatif, namun disisi lain oleh sejumlah pihak (publik
dan anggota dewan yang reformis) dianggap tidak efektif dan kurang independen
dalam memutus masalah etis yang ada. Kedua, melalui amandemen konstitusi dan
peraturan perundangan lain dapat dibentuk sebuah komisi etik sebagai bagian dari
eksekutif atau sebuah agensi independen yang diberi kewenangan luas untuk mengawasi
penegakan hukum etik yang berlaku tidak hanya bagi legislator saja tetapi juga
pejabat dan pegawai publik bahkan pejabat yudikatif.
Berkaitan dengan anggota komisi etik, hal ini sangat tergantung pada pilihan
model. Bila model pertama yang dipilih, akan muncul kecenderungan kuat untuk
sedikit memberi ruang partisipasi publik sebagai anggota komisi karena telah terjadi
internalisasi masalah etik di legislatif. Sebaliknya, ruang bagi partisipasi publik
sebagai anggota komisi akan lebih terbuka bila model kedua yang dipilih, apalagi
6
bila bentuk kelembagaannya adalah agensi independen. Siapa pun yang dipilih
sebagai anggota komisi ia sepatutnya mempunyai integritas moral, kompetensi serta
sikap independen atau non-partisan, sehingga dapat secara objektif dan proporsional
memutus masalah pelanggaran etik yang ada.
Deliberasi Publik : Prasyarat Awal
Melihat solusi tuntas dan komprehensif tentang penegakan hukum etik ini baru
sebatas ekspektasi publik sementara dalam ragam tindakan tidak etik sudah
demikian akut dalam lembaga-kekuasaan, maka harus ditempuh berbagai cara untuk
membangun semacam common ground diantara publik dengan mereka. Lord Lindsay
pernah menulis bahwa kunci demokrasi adalah adanya potensi atau peluang bagi
diskusi. Diskusi yang baik akan membuat kita menjadi lebih bijaksana. Dalam
konteks ini publik dapat merencanakan tercapainya common ground tersebut
melalui diskusi yang fokus pada nilai dan pemahaman bersama. Tanpa ada
keduanya (nilai dan pemahaman bersama) seringkali diskusi hanya akan
menghasilkan debat kusir. Untuk itu perlu adanya ukuran-ukuran persamaan sosial
dan persamaan akses terhadap informasi karena diskusi yang ideal terjadi hanya
pada pihak-pihak yang dipandang sederajat. Tidak ada hubungan subordinasi.
Disinilah letak pentingnya deliberasi publik sebagai upaya sadar dalam menentukan
tujuan-tujuan publik dan menemukan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagai tahapan awal setidaknya ada 2 hal yang perlu dipertimbangkan dalam
deliberasi publik ini.
Pertama, fokus. Prasyarat paling mendasar dari deliberasi publik adalah publik atau
masyarakat luas setuju untuk memfokuskan debat pada masalah yang menyangkut
kepentingan umum, bukan kepentingan individu maupun kelompok. Sebelum suatu
posisi diambil harus ada persetujuan yang luas tentang hakekat dari masalah utama
yang dihadapi publik. Penyelewengan dana APBD, misalnya, yang tidak menyentuh
langsung kepentingan publik seperti anggaran untuk purna bakti, dana operasional,
dana studi banding ke luar negeri dsb dapat dijadikan sebagai entry point. Mengapa ?
Karena publik setuju bahwa tindakan penyelewengan kekuasaan tidak ada alasan
pembenarnya baik secara legal, politik apalagi secara etik dan moral. Selain itu, wujud
7
dari penyelewengan itu bisa diukur besarannya. Angka kumulatif dari besaran
penyelewengan APBD di sejumlah daerah seperti Padang, Payakumbuh,
Palembang, Bandar Lampung, Garut dan daerah lain menurut perkiraan mencapai
ratusan milyar rupiah. Lebih jauh lagi, hakekat dan akar masalahnya pun cukup jelas :
tanggungjawab (responsibility). Tindakan tidak bertanggungjawab mereka disebabkan
oleh kombinasi dari konflik kepentingan, konflik peran dan konflik kewenangan
yang dimiliki secara tidak proporsional.
Bila pada sisi publik deliberasi bisa menghasilkan kesepakatan luas tentang
public-interest focused dan hakekat masalahnya, maka untuk meningkatkan leverage
effect dibutuhkan peran sentral media massa. Hal ini disebabkan karena perbincangan
tentang banyak masalah publik, terutama antara pejabat dengan warganya,
seringkali menggunakan komunikasi media massa. Sepanjang media massa
mempunyai concern yang kuat terhadap public interest melalui konsistensi
peliputannya serta efek teknologis yang dimilikinya terhadap perubahan sosiopolitik, maka pengaruh media massa terhadap proses pembuatan kebijakan publik
terlalu signifikan untuk diabaikan. Pada titik inilah kita berharap bahwa kesepakatan
publik hasil deliberasi dapat didorong lebih lanjut dalam agenda kebijakan, apakah
agenda sistemik maupun agenda institusional.
Kedua, norm-setting. Norm-setting berkaitan dengan upaya untuk menentukan kapan
kondisi tertentu dapat dianggap sebagai masalah kebijakan. Bila publik telah
bersepakat bahwa penyelewengan yang dilakukan legislatif, baik secara individual
dan institusional, merupakan bentuk pelanggaran berat sementara pihak legislatif
menganggapnya bukan sebagai unethical behaviour karena telah berdasarkan UU atau
PP yang mengaturnya, itu merupakan cermin bahwa norm-setting belum terbentuk.
Karena itu sangat diperlukan adanya pertukaran gagasan dan sikap kritis bersama
agar tercipta kondisi dimana masalah yang dihadapi adalah masalah bersama yang
mencakup lintas segmen sosial dan lintas kepentingan.
Sebenarnya proses diskusi atau deliberasi publik dilakukan secara segmented
dalam sejumlah forum, namun satu sama lain saling terkait. Partai politik
mendiskusikan rumusan program dan mengidentifikasi sejumlah masalah bagi
kepentingan pemilu; Pemilih mendiskusikan masalah dan kandidat; Legislatif
8
mencoba menterjemahkan program ke dalam perundangan setelah melakukan
serangkaian debat dengan pihak-pihak yang berbeda kepentingan; Eksekutif
mendiskusikan
bagaimana
melaksanakan
kebijakan;
dan
pengadilan
yang
menyediakan dorongan bagi agensi dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk
menyajikan argumen mereka yang paling kuat dalam kasus terjadi perselisihan
hukum. Pendeknya, debat dan persuasi terjadi di setiap level proses dengan fungsi
khusus oleh masing-masing organ deliberasi publik, dalam hal ini parpol, pemilih,
legislatif, eksekutif dan pengadilan. Mereka berdebat dalam bentuk dan sudut
pandang yang berebeda. Namun karena mereka mendiskusikan masalah yang sama
yang saling berkaitan, maka semuanya akan memberikan kontribusi terhadap solusi
secara keseluruhan. Untuk itulah menjadi urgen upaya untuk melakukan
pelembagaan deliberasi publik ini. Disini diperlukan sejumlah prosedur yang disusun
dengan maksud menjamin bahwa setiap opini dari pihak manapun didengarkan
tanpa harus ada kewajiban untuk sampai pada kesimpulan bersama. Bentuk-bentuk
seperti public hearing, public expose, public dialogue dan forum pengungkapan
informasi lain secara terbuka perlu dikembangkan.
Dalam tahapan kedua ini diharapkan ada semacam collective awareness bahwa
kasus-kasus yang menyangkut penyelewengan dan APBD, misalnya, akan
memberikan dampak negatif berupa arus balik kritik publik terhadap keberadaan
legislatif sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan kepentingan publik.
Munculnya beragam demonstrasi atas kinerja dewan dan expose media massa
atasnya harus dimaknai sebagai ekspektasi publik untuk mengembalikan legislatif
pada fungsi pokoknya yang hakiki : responsible law-making and representing public
interest. Harus ada kesadaran baru dari legislatif untuk back to basics melalui
kesepakatan bersama untuk mencari solusi masalah yang dihadapi dengan
menentukan norma-norma yang sifatnya mengatur dan mengikat, baik secara
individual maupun kelembagaan. Langkah awal untuk mewujudkannya adalah
melalui legislasi etik yang didalamnya mengatur tentang apa yang boleh dan tidak
boleh mereka lakukan sebagai wakil rakyat.
9
Prospek
Difahami bahwa mendorong komitmen
yang kuat dari legislatif untuk mau
melakukan self-regulated melalui legislasi etik bukan merupakan tugas yang mudah.
Sejumlah indikasi menunjukan derajat resistensi yang cukup tinggi untuk melakukan
legislative reform karena hal itu hakekatnya hanya akan mengurangi power yang
begitu besar mereka miliki sekarang. Namun penulis melihat ke depan prospek
legislasi etik ini cukup terbuka melihat momentum dan perkembangan yang terjadi
akhir-akhir ini. Ada sejumlah hal yang mengukuhkan optimisme tersebut. Pertama,
ekspos media massa yang cukup intens terhadap unethical behaviour yang dilakukan
legislatif. Media massa nasional maupun daerah selama bulan-bulan terakhir ini
cukup intens mengungkap sejumlah kasus legislative abuse of power, baik dalam
bentuk news maupun editorial. Mayoritas penyimpangan berbentuk penyalahgunaan
dana publik (APBN/APBD) serta bentuk transaksional lainnya untuk sejumlah
aktivitas yang secara langsung lebih menguntungkan mereka (secara pribadi atau
lembaga) dibanding kepentingan publik. Ternyata peliputan tersebut telah turut
mendorong reaksi dan tindakan publik yang terorganisasi. Beberapa diantara kasus
(seperti sejumlah kasus yang melibatkan kepala daerah, anggota DPR/DPRD, serta
beberapa Ketua Umum Partai) upaya penegakan hukumnya sudah sesuai dengan
ekspektasi publik. Sanksi pidana yang dijatuhkan bukan hanya cukup berat, tepai
juga disertai dengan pencabutan hak politik mereka.
Kedua, hasil pemilu Legislatif. Ada secercah harapan melihat hasil pemilu legislatif
april lalu. Di tingkat nasional maupun di tingkat lokal komposisi legislatif melibatkan
lebih banyak pihak dengan perubahan komposisi yang cukup signifikan. Adanya
sirkulasi anggota legislatif dengan muka baru memunculkan optimisme akan adanya
potensi dorongan perubahan karena mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki
kaitan langsung dengan sistem lama. Selain itu, komposisi SDM anggota legislatif
baru secara kualitatif (setidaknya berdasarkan taraf pendidikan) dipandang lebih
baik. Idealnya kondisi ini akan memberikan citra berbeda dalam proses diskusi dan
deliberasi publik ke depan sehingga kebijakan publik yang dihasilkan diharapkan
akan lebih aspiratif lagi.
10
Ketiga, masyakat yang semakin well-educated dan well-informed. Publik sekarang
ditandai oleh tingkat pendidikan dan akses terhadap informasi yang lebih baik.
Terima kasih terhadap akses pendidikan yang lebih terbuka luas serta perkembangan
teknologi informasi (TI) yang begitu cepat. Setiap bentuk penyimpangan kekuasaan
yang dilakukan oleh legislatif di suatu daerah, misalnya, akan begitu cepat dikritisi
dan disebarluaskan pada masyarakat luas. Dengan sentralitas media massa, adanya
efek domino ke daerah lain menjadi sebuah keniscayaan. Kondisi ini tentu
mengharuskan legislatif untuk selalu menunjukan daya tanggap (responsiveness)
terhadap kecenderungan tuntutan perubahan yang diinginkan publik.
Dengan tiga kecenderungan tersebut terdapat cukup alasan bila kita mendesak
pada legislatif baru untuk tidak hanya sekedar mempertimbangkannya namun lebih
jauh mengagendakan legislasi etik sebagai salah satu agenda mendesak karena ia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keinginan untuk mewujudkan
trustworthy government atau pemerintahan yang amanah.
-------------------Dosen Senior di FISIP Universitas Djuanda, Bogor dan alumnus University of
Wisconsin-Madison, USA. Alamat email ; [email protected].
11
Download