Uploaded by alyarachmadiva

Main Body Konilaisme

advertisement
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni
Copyright © CV Jejak, 2019
Penulis:
Miftakhuddin
ISBN: 978-602-474-596-7
ISBN: 978-602-474-597-4 (PDF)
Editor:
Resa Awahita
Penyunting dan Penata Letak:
Tim CV Jejak
Desain Sampul:
Meditation Art
Penerbit:
CV Jejak
Redaksi:
Jln. Bojong genteng Nomor 18, Kec. Bojong genteng
Kab. Sukabumi, Jawa Barat 43353
Web
: www.jejakpublisher.com
E-mail
: [email protected]
Facebook
: Jejak Publisher
Twitter
: @JejakPublisher
WhatsApp
: +6281774845134
Cetakan Pertama, Maret 2019
244 halaman; 16 x 24 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit maupun penulis
2 | Miftakhuddin
Sejauh mengenai kolonialisme, rupanya tidak sesederhana
pemaknaan secara umum yang selalu diidentikkan dengan penindasan
dan pemerasan publik. Pengalaman mengkaji dan menganalisisnya
membuka mata penulis bahwa paradigma kolonialisme tidak gampang
dijelaskan dengan teori-teori belaka, maupun penuturan pengalaman
oleh pelaku sejarah yang sarat subjektivitas dan etnosentrisme. Perlu
banyak pendapat pakar, sumber otentik, dan berbagai hasil riset untuk
mengungkapkan seperti apa sebetulnya paradigma kolonialisme
sekaligus dinamika yang menyertainya.
Buku ini adalah paparan dari sekelumit kajian kepustakaan yang
bersumber dari berbagai bentuk; berupa hasil riset historis, hasil telaah
ilmiah sumber-sumber primer dan sekunder yang terdapat dalam arsip
perpustakaan atau perorangan yang kemudian diterbitkan, laporan
perjalanan atau ekspedisi, beberapa artikel, bahkan pendapat para pakar
yang tertulis dalam jurnal ilmiah. Peranan penulis adalah mengumpulkan
semua jenis bahan tersebut untuk kemudian disajikan dalam suatu uraian
teoritis yang rapi, mulai kemunculan kolonialisme, perkembangannya,
dan efek lanjutan yang menyertainya.
Teks-teks mendasar yang terakumulasi di dalam buku ini dapat
memberi gambaran berbeda dari konsep kolonialisme yang selama ini
dikenal dalam historiografi pada umumnya, sehingga dapat melengkapi
khazanah pengetahuan dan perspektif pembaca soal bentuk-bentuk
paradigma kolonialisme. Namun demikian, harus diakui bahwa
akademisi dan bahkan catatan perjalanan oleh juru tulis di suatu
ekspedisi hanya membicarakan hal-hal yang menarik perhatian mereka
saja. Tentu masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka, lebihlebih adanya unsur prasangka maupun perbedaan persepsi dan
etnosentrisme. Oleh sebab itu, setiap tulisan hendaknya diapresiasi
secara objektif dan menurut konteks dan porsinya masing-masing.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 3
Buku ini sengaja dilengkapi dengan bibliografi agar pembaca
dapat memperdalam topik-topik tertentu sesuai minatnya. Meski tak
sehebat karya besar milik sejarawan M.C Ricklefs, Ania Loomba, dan
Sartono Kartodirdjo, buku ini amat berarti karena memberikan wawasan
dan perspektif baru tentang kolonialisme di tengah kerentanan bangsa
ini. Semoga dengan hadirnya buku ini di hadapan sidang pembaca,
memberi ruang kreasi baru dalam perbendaharaan informasi tentang
rekam jejak kolonialisme. Segala implikasi dan tanggung jawab ilmiah
atas isi buku ini berada pada penulis. Oleh sebab itu segala teguran,
koreksi dan kritikan akan penulis terima dengan hati terbuka.
Yogyakarta, Januari 2019
Penulis
Miftakhuddin
4 | Miftakhuddin
KATA PENGANTAR ............................................................................. 3
DAFTAR ISI............................................................................................ 5
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 7
BAB II KONSEP DASAR KOLONIALISME ..................................... 11
A. Sejarah Kolonialisme .................................................................. 11
B. Hukum Kolonial ......................................................................... 30
C. Kolonialisme dan Imperialisme .................................................. 54
D. Macam-Macam Kolonialisme..................................................... 59
BAB III PERGESERAN PARADIGMA KOLONIALISME ............... 66
A. Sebab-Sebab Pergeseran ............................................................. 66
B. Faktor Pendukung ....................................................................... 68
C. Dampak ....................................................................................... 70
BAB IV MANIFESTASI KOLONIALISME ....................................... 75
A. Amerika ...................................................................................... 75
B. Australia ...................................................................................... 84
C. New Zealand ............................................................................... 99
D. Hong Kong ................................................................................ 103
E. Singapura .................................................................................. 107
BAB V NEOKOLONIALISME .......................................................... 115
A. Neokolonialisme ....................................................................... 115
B. Pelaku Neokolonialisme ........................................................... 119
C. Sistematika dan Teknis ............................................................. 124
D. Target Akhir .............................................................................. 126
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 5
BAB VI PERAN LEMBAGA INTERNASIONAL ............................ 129
A. Association of South-East Asian Nations (ASEAN)................. 129
B. Konferensi Asia-Afrika (KAA) ................................................ 132
C. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).......................................... 134
BAB VII RESISTENSI INDONESIA TERHADAP
NEOKOLONIALISME ....................................................................... 138
A. Ideologi Bangsa ........................................................................ 138
B. Wawasan Kebangsaan .............................................................. 143
C. Pluralitas Masyarakat ................................................................ 145
D. Ketergantungan Publik ............................................................. 150
E. Konklusi .................................................................................... 155
BAB VIII POST-KOLONIAL............................................................. 158
A. Landasan Pemikiran .................................................................. 158
B. Tokoh-Tokoh Post-Kolonial ..................................................... 165
C. 1st World Country, 2nd World Country, 3rd World Country, dan
Teori Pembangunannya............................................................ 182
BAB IX KESIMPULAN ..................................................................... 202
A. Penyebab ................................................................................... 202
B. Periodisasi ................................................................................. 207
C. Dampak ..................................................................................... 226
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 230
TENTANG PENULIS ......................................................................... 244
6 | Miftakhuddin
KOLONIALISME, imperialisme dan feodalisme adalah tiga hal yang
mustahil dipisahkan, kecuali dipisahkan secara definitif. Sebab,
ketiganya adalah suatu paham yang jika salah satu diaplikasikan, maka
paham lainnya akan ikut menyertai sebagai penyokong. Ibarat kursi
dengan dua kaki, jika imperialisme adalah bagian yang melintang tempat
menopang tubuh, maka kolonialisme dan feodalisme adalah kakikakinya.
Kolonialisme adalah paham pendelegasian kekuatan politik ke
luar wilayah yang sah untuk memberdayakan wilayah lain. Tentu saja,
hak dan wewenang hingga kewajiban mereka dikontrol penuh oleh
negara asalnya sebagai pusat pemerintahan. Secara administratif,
wilayah baru itu menjadi vassal (negara bawahan) dengan sistem
pemerintahan sentralisasi dan bertanggung jawab langsung kepada
nagara pusat. Sedangkan imperialisme adalah paham ekspansi wilayah
yang ditempuh melalui penaklukan ataupun aneksasi terhadap wilayah
lain, dengan sistem pemerintahan sama dengan kolonialisme. Adapun
feodalisme adalah paham pendelegasian kekuasaan sosio-politik oleh
aristokrat (bangsawan monarki) untuk mengendalikan suatu wilayah
(umumnya berupa sebidang tanah) melalui kerja sama dengan para
pemimpin lokal sebagai mitra. Pemimpin lokal itulah yang kemudian
disebut sebagai tuan tanah atau tuan feodal. Nah, bagaimana hubungan
ketiganya?
Kolonialisme adalah paham pembentukan koloni di luar batas
wilayah teritorial yang sah, tidak peduli apakah lokasi baru itu sudah
berpenghuni atau belum. Praktis, dengan berdirinya koloni di sana, maka
suatu kerajaan telah melakukan praktik perluasan wilayah
(imperialisasi). Di sini harus dimengerti bahwa kolonialisme adalah
salah satu manifestasi imperialisme. Bilamana sejauh imperialisasi
mengalami hambatan berupa serangan masyarakat pribumi, maka suatu
kerajaan harus “menjinakkan” mereka sebagai mitra (tuan tanah/tuan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 7
feodal). Nah, terjalinnya hubungan mitra antara penguasa pusat
(pengkoloni) dengan perwakilan pribumi (tuan feodal) inilah menandai
berjalannya praktik feodalisme.
Hampir setiap praktik kolonialisme pasti disokong oleh
feodalisme. Kolonialisme tanpa feodalisme hanya terjadi pada wilayah
tak berpenghuni, dan sejauh perjalanan umat manusia hanya terjadi satu
kali, yaitu oleh masyarakat Yunani kuno. Kala itu, peradaban Yunani
berkembang di suatu wilayah dengan topografi berupa pantai, dataran
tinggi dan dataran rendah yang terpisah-pisah, sehingga membentuk
unit-unit geografis yang terdiri dari gunung, lembah, teluk, dan dataran
rendah. Karena kondisi alam inilah kemudian mereka membentuk
kesatuan politik untuk setiap unit geografisnya, karena tempat tinggal
yang demikian agak terisolasi sebagai akibat keterbatasan transportasi
dan komunikasi. Kesatuan politik ini disebut sebagai polis.
Beberapa bidang tanah di polis yang kurang subur, membuat
penduduk hanya bisa menanam anggur dan gandum. Oleh sebab itu,
banyak petani meninggalkan polisnya dan mendirikan pemukiman kecil
di sekitar Yunani untuk bertani dan berdagang di Laut Tengah.
Pemukiman petani itu kemudian disebut sebagai colonus. Inilah bentuk
terawal kolonialisme atau praktik kolonialisasi. Melalui perdagangan
dan transmigrasi, prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan hidup dengan
cara berkoloni akhirnya menyebar ke luar Yunani dan diadopsi bangsa
lain.
Tinjauan historis mengungkapkan, kolonisasi bermula untuk
mencari hasil tani yang tidak diperoleh di dalam wilayahnya sendiri,
sehingga membuat masyarakat mendirikan koloni di luar wilayahnya.
Celakanya, lambat laun sasaran koloni tidak terbatas pada hasil tani dan
wilayah kosong, melainkan juga memburu hasil tambang sekalipun di
wilayah itu sudah ada penghuninya. Citra kolonialisme makin
memburuk seiring adanya perebutan dominasi atas daerah potensial oleh
para pendatang/pengkoloni. Perebutan itu para gilirannya berujung
peperangan, penaklukan, dan berakhir dengan penjajahan. Persis dengan
apa yang diungkapkan Loomba (2003); hubungan pendatang baru
dengan penduduk asli pada perkembangannya pasti menimbulkan
beberapa masalah relasional yang kompleks dan traumatik.
8 | Miftakhuddin
Permasalahan kolonial seperti ini, lantas dikemukakan sebagai proses
“pembentukan sebuah komunitas” di daerah jajahan.
Bermula dari situ, sampai hari ini kolonialisasi diidentikkan
dengan penjajahan. Kolonialisme yang sekarang dikenal orang adalah
kolonialisme yang telah bergeser paradigmanya, baik secara teoritis
maupun secara praktis. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang punya
pengalaman dijajah kolonial selama bertahun-tahun, tentu mengklaim
bahwa kolonialisme adalah paham yang “murni” mengajarkan praktik
penjajahan dan penindasan terhadap pribumi.
Tampaknya, perubahan perspektif sekaligus stigma terhadap
kolonialisme adalah kesalahan pelaku kolonial itu sendiri. Sebab,
mereka sendiri yang mengubah paradigma kolonialisme dalam
implementasinya. Pergeseran paradigma ini agaknya memang tidak
terlepas dari sifat alami manusia yang tak pernah merasa cukup. Sesuai
dengan salah satu teori ekonomi; kebutuhan manusia itu tidak terbatas.
Karena begitu satu kebutuhan terpenuhi, akan muncul kebutuhankebutuhan lainnya. Sebagai makhluk yang terkadang amoral, manusia
dengan hasrat pemenuhan kebutuhannya kerap kali melanggar nilai-nilai
kemanusiaan.
Akan tetapi, terlepas dari siapa yang salah atas pergeseran
paradigmanya, kolonialisme sebagai usaha perebutan dan penaklukan
wilayah bercorak imperialistik-feodalistik memiliki pola yang sama,
yakni kemenangan yang selalu didapatkan oleh pengkoloni/pendatang.
Banyak sejarawan dan sarjana sejarah akhirnya berasumsi, bahwa
pengkoloni selalu mempunyai strategi, teknologi dan peradaban yang
lebih mumpuni ketimbang pribumi. Artinya, modernitas pengkoloni
lebih unggul ketimbang pihak yang dikoloni (pribumi). Para sejarawan
dan sarjana sejarah dengan mengacu kolonialisme era penjelajahan
Spanyol dan Inggris, juga menyimpulkan bahwa dalam kolonialisme ada
harapan, bahwa dengan dikuasainya pribumi maka modernitas akan
ditularkan, sebab kolonialisme yang diraih melalui penaklukan akan
bertahan dengan imperialisme dan feodalisme.
Namun demikian, melencengnya praktik kolonial dari hakikat
yang sesungguhnya menjadi penjajahan, membuat kolonialisme juga
dianggap sebagai suatu upaya modernisasi yang gagal. Chandra (1978)
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 9
dalam publikasinya di Journal Contemporary Asia menegaskan “ketika
keterbelakangan dilihat dari perspektif historik, peranan kolonialisme
dipandang sebagai upaya modernisasi yang gagal”.
Cerminan-cerminan yang ditampakkan di panggung sejarah
dunia soal pergerseran di muka, telah ditorehkan oleh Spanyol sebagai
suatu imperium “pecahan” Romawi pada abad ke-5. Kekaisaran Romawi
yang dibangun dengan dasar imperialisme dan dipertahankan dengan
politik feodalisme menginspirasi Spanyol untuk membesarkan dirinya
menjadi suatu imperium sebagaimana Romawi. Tapi kesalahan Spanyol
dalam mewujudkan cita-citanya, ialah menempatkan imperialisme
sebagai tujuan, dan menempatkan kolonialisme sebagai metode
pencapaian. Akhirnya, Spanyol menempuh cara yang keliru. Melalui
pengiriman-pengiriman utusan, membuat Spanyol hanya memperoleh
daerah koloni/jajahan, tanpa bisa mewujudkan imperium layaknya
Romawi.
10 | Miftakhuddin
A. Sejarah Kolonialisme
Secara garis besar, wujud kolonialisme sebagai suatu ide atau
gagasan adalah pergerakan suatu masyarakat sebagai respons atas
kondisi alam yang tidak lagi menguntungkan. Penelusuran historis
menunjukkan kolonialisme rupanya lahir lebih dulu ketimbang
imperialisme dan feodalisme. Karena sejak manusia meninggalkan gaya
hidup nomaden, kebutuhan akan makanan lebih urgent daripada
kebutuhan akan luasnya tempat tinggal (daerah kekuasaan), maupun
sistem politik tertentu (feodalisme).Oleh sebab itu, sekelompok manusia
yang telah mengklaim suatu wilayah sebagai tempat tinggalnya secara
tetap, harus menerima kondisinya. Jika ternyata ada kebutuhan pokok
yang tidak terpenuhi oleh lingkungannya, maka ada dua opsi; pindah
lagi atau bertahan.
Terkait dua pilihan tersebut, suatu contoh -katakanlah- migrasi
bangsa Arya. Setelah memporak-porandakan bangsa Dravida di Harappa
dan Mohenjo-daro (lembah Sungai Indus), sebagian menetap di India
dan Pakistan menyatu dengan sisa bangsa Dravida, dan sebagian lainnya
bermigrasi ke barat, yang pada gilirannya dikenal sebagai bangsa
Jermanik atau barbar (Frank, Goth, Anglo, Saxon, dll). Adapun yang
migrasi ke timur menjadi suku-suku bangsa Amerika Tengah
(Mesoamerika), yang kini lebih dikenal sebagai suku Indian (Aztek,
Maya, Inca, Olmek, Cahokia, dll).
Bila dicermati, pola migrasi mereka semi nomaden. Artinya,
menetapnya suatu komunitas tidak sepenuhnya permanen. Nyatanya ada
yang memilih tinggal dan ada yang memilih migrasi. Sebenarnya, ini
tidak hanya terjadi pada bangsa Arya, tapi juga pada bangsa di lembah
sungai Nil dan beberapa suku bangsa di Mesopotamia (Sumeria,
Akkadia, dan Babylonia). Gaya hidup menetap secara “resmi” terjadi
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 11
manakala suatu komunitas menemukan tempatnya masing-masing,
membentuk sistem sosial-politis, dan berdaulat atas wilayahnya.
Merekalah yang pada gilirannya berkembang menjadi suatu kerajaan.
Kaitannya dengan kolonialisme, bilamana suatu satuan politik
menghadapi kekurangan sumber daya alam, maka usaha memenuhinya
ialah mencari ke luar wilayahnya. Asumsi ini berlandaskan praktik
kolonisasi pertama oleh para colonus Yunani yang berdiri tanpa
membuang statusnya sebagai bagian dari polis asalnya (mother land).
1. Perkembangan Politik
Daerah yang kini adalah Yunani (Inggris: Greece) terbentuk atas
unit-unit geografis, yang terdiri dari gunung, teluk, lembah dan dataran
rendah yang terpisah-pisah. Kondisi ini membuat penduduknya
membentuk kesatuan politik untuk setiap unit geografis yang disebut
polis1. Penduduknya terdiri atas penduduk asli (bangsa Akaia2), bangsa
Hellas dari sekitar Laut Kaspia, bangsa Doria yang terkenal ahli perang
menetap di polis Sparta, suku Ionia di polis Athena, dan suku Aeolia di
polis Delphi. Pembentukan polis oleh setiap suku bangsa ini terjadi pada
sekitar 1000-800 SM, dengan sistem pemerintahan yang sangat
beragam, sebab masing-masing polis punya konstitusinya sendiri.
Kendati demikian, heterogenitas sistem politik polis-polis itu
masih bisa dipetakan. Romein (1956) membagi peradaban Yunani
menjadi tiga karakteristik pokok; kekotaan, bourgeois dan duniawi.
Kekotaan berarti polis-polis Yunani adalah satu kesatuan berbentuk
negara-kota (city-state) yang merdeka dan berhak mengatur urusan
rumah tangganya sendiri. Tapi polis bukanlah bagian dari suatu
imperium besar. Bourgeois artinya polis sebagai pendukung peradaban
Yunani merupakan suku bangsa yang bebas dan tidak berada di bawah
payung kerajaan. Kebebasan ini juga tercermin dari aktivitas
perdagangannya yang membawa kemakmuran dan kebebasan
berekspresi. Adapun duniawi berarti kebudayaannya bersifat rasional
dan materialis, sehingga mengandalkan perhitungan matematis.
1
Dalam beberapa literatur, polis disebut pula negara kota (city state)
Sebelum kedatangan bahasa asing, Akaia sudah mendirikan dua peradaban maju, yaitu;
Minos (Minoa) dan Mikenia (Myceneae).
2
12 | Miftakhuddin
2. Kolonisasi Yunani
Iklim mediteran membuat Yunani selalu mendapat hembusan
angin laut sehingga suhu udara tidak terlalu panas, ditambah hujan yang
biasanya turun pada September dan Mei, memungkinkan penduduk
menaman zaitun, gandum anggur, dan tanaman semitropis lainnya
(Sumobroto, dkk., 1989). Tapi kualitas tanahnya tergolong kurang baik.
Arus sungai yang deras dan kering pada musim panas tidak dapat
dimanfaatkan untuk irigasi (Sudrajat, 2010). Inilah mengapa mereka
membentuk koloni di luar polis untuk bertani dan berdagang. Oleh sebab
colonus adalah perpanjangan tangan dari polisnya, maka segala aktivitas
dan distribusi hasil pertanian dikontrol penuh oleh polisnya sebagai
induk pemerintahan. Fase pembentukan polis ini terjadi sejak 800-600
SM. Pada perkembangan berikutnya terjadi penyatuan polis membentuk
kekaisaran Yunani secara bertahap. Ketika masing-masing polis sudah
terbentuk, berlanjut pada fase ekspansi atau kolonisasi (800-600 SM).
Koloni ke arah timur mencapai Troya (Asia Kecil/Anatolia), dan koloni
ke arah barat mencapai Italia Selatan bahkan mencapai La Corse,
Prancis (Utomo, 2016).
Bangsa Ionia dan Aeolia mendirikan koloni ke wilayah pantai
Macedonia dan pulau-pulau di Laut Aegea, bahkan mendirikan
Perserikatan Dua Belas Kota bernama Perserikatan Aeolia, juga
mendirikan Perserikatan Dua Belas Kota di Anatolia bernama
Dodecapolis. Mereka memperluas koloni sampai Sicilia untuk
mendirikan kota Gella dan Syracusa, dan menaklukkan semenanjung
Apenina untuk mendirikan kota Tarentum dan Croton. Dua kota ini,
pada perkembangan berikutnya menjadi pusat peradaban Hellenisme,
dengan sebutan Magna Graecia3. Kolonisasi Ionia dan Aeolia akhirnya
meluas ke sekitar Prancis dan Spanyol. Sementara pada 660 SM bangsa
dari polis Megara mendirikan koloni di tepi Laut Marmora, bernama
Byzantium. Kota ini pada masa Romawi diubah namanya menjadi
3
Istilah “Graecia”, menurut Sudrajat (2010), kemungkinan menjadi rujukan kenapa Yunani
disebut “Greece” dalam bahasa Inggris. Padahal, orang Yunani sendiri menyebut nama negara
mereka sebagai Hellas atau Ellada, dan menyebut diri mereka sebagai warga negaranya
sebagai Hellen. Sedagkan dalam bahasa Indonesia, Yunani kemungkinan diambil dari kata
“Ionia”.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 13
Konstaninopel. Sementara itu, bangsa Doria mendirikan koloni sampai
ke semenanjung Peloponnesos. Selain menaklukkan Argos di pantai
utara polis Sparta, mereka menaklukkan Laconia dan Messenia yang
kemudian dipersatukan kedalam Lacedaemon. Penguasaan Sparta di
seluruh jazirah Peloponnessos membuatnya makmur dengan bersandar
pada sektor agraris.
Ada sedikitnya dua alasan Yunani melakukan kolonisasi.
Pertama, kurangnya ruang publik yang menimbulkan masalah sosial.
Kepadatan penduduk di polis-polis menyebabkan kesejahteraan ekonomi
merosot. Ketidakseimbangan antara kuantitas penduduk dengan ruang
hidup dan lahan budidaya tanaman memicu masalah-masalah sosial
seperti kesejahteraan pangan, kemiskinan, dan lainnya. Hal ini memaksa
masyarakat untuk membentuk koloni di luar wilayah. Sebagaimana
Ehrenberg (1960);
The limited space of the single political unit was again the
main cause of Greek colonization and was responsible for
the wide extent of the area of Greek settlements and the
great number of their cities. The reason for the foundation of
most colonies was the insufficiency of the homeland for
housing and feeding a growing population.
Kedua, perselisihan antar polis. Pertentangan politik yang
berujung pada peperangan mengakibatkan pihak yang kalah harus
mencari tempat baru untuk penyelamatan diri. Beberapa literatur ada
yang menyatakan bahwa terdapat alasan ketiga, yakni jiwa petualangan
masyarakat yang tumbuh karena kerasnya kondisi alam Yunani. Tapi
jika dipertimbangkan, hal itu tidak ada bedanya dengan alasan pertama,
mengenai pemenuhan kebutuhan jasmaniah.
3. Konsolidasi dan Keruntuhan
Sebagaimana seharusnya pengkoloni di daerah koloni, hubungan
pengkoloni dengan pusat terjalin baik. Hubungan yang harmonis dalam
tata kehidupan berbangsa dan bernegara -termasuk politik, bahasa dan
perniagaan- ini turut menularkan kebudayaan pengkoloni. Maka wajar
bila daerah persebaran budaya Hellenisme mencapai Spanyol dan
Anatolia. Kota-kota dagang hasil dirian kolonial yang beroperasi di Laut
14 | Miftakhuddin
Tengah pun secara perlahan juga menjamin kesejahteraan ekonomi dan
stabilitas sosial masyarakat Yunani. Praktis, persoalan penyebab
kolonisasi telah teratasi dengan gamblang. Sampai fase ini, di mana
koloni berdiri di sana-sini, sudah mulai menampakkan konstruksi
imperialisme dalam sistem pemerintahan setiap polis. Masing-masing
polis ingin wilayah kekuasaannya semakin banyak dan menyeret garis
batas teritorial wilayah semakin jauh.
Perluasan demi perluasan dilakukan setiap polis hingga terjadi
gesekan dan berakhir dengan peperangan sekaligus penaklukan. Ini
terjadi pada 600-400 SM, yang merupakan fase kejayaan polis-polis
Yunani. Fase ini ditandai kemenangan Athena dalam perang melawan
Persia, yang membuat polis Yunani lain bersekutu dengan Athena dan
mendirikan Liga Delia (Delian League). Namun ternyata, dominasi dan
hegemoni Athena sebagai pemimpin liga dimanfaatkan untuk
kepentingannya sendiri, seperti; pembangunan monumen-monumen
keagamaan di Acropolis dan pembangunan benteng Pyreus.
Sementara itu, seolah menjadi tandingan Liga Delia, Sparta
membentuk Liga Peloponnessos. Bedanya, Liga Delia terbentuk karena
minat pribadi polis untuk bergabung, sedangkan Liga Peloponnessos
terbentuk atas penaklukan-penaklukan bangsa Doria. Nah, inilah fase
yang disebut sebagai masa kejayaan polis-polis Yunani, yaitu
terkonsentrasinya dua kesatuan politik ke dalam dua kekuatan besar.
Sayangnya, Athena sempat mengalami perselisihan internal hingga
membuat kedua liga berseteru. Oleh karena Liga Peloponnessos dibantu
Persia, maka runtuhlah Liga Delia. Athena sebagai pihak yang kalah
dipaksa merobohkan bentengnya dan menjadikan Athena sebagai koloni
Sparta. Sekalipun perang dimenangkan Sparta, tapi perang selama 27
tahun itu membuat Yunani mengalami kemiskinan dan penderitaan. Raja
Philip II dari kerajaan Macedonia melihat melemahnya Yunani sebagai
suatu peluang. Akhirnya atas invasi Maceodonia, resmilah Yunani
runtuh dan menjadi kekuasaan Macedonia. Inilah fase keruntuhan
Yunani (400-300 SM).
Walau secara praktis Yunani telah runtuh, tetapi kebudayaan dan
ilmu-ilmu sains dari Yunani tetap berkembang. Malahan, Aristoteles
yang berguru filsafat dan etika politik kepada Plato menjadi guru dari
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 15
Alexander Agung (Iskandar Zulkarnaen), anak dari Raja Philip.
Perkembangan budaya dan ilmu tidak ikut hancur bersama fisik
kekaisaran Yunani, sebab di fase pembentukan polis dan fase kolonisasi,
diiringi penyebaran dan perkembangan budaya maupun ilmu
pengetahuan Yunani.
Secara umum kebudayaan Yunani diklasifikasikan ke dalam tiga
periode. Periode pertama adalah Archaic (750-500) yang terjadi pada
fase kolonisasi dan pengenalan sistem politik city-state. Periode kedua
adalah Clasical (500-336) yang terjadi semasa puncak kejayaan Yunani
dan penyempurnaan konsep tata pemerintahan demokrasi, dan periode
terakhir adalah Hellenistik (336-146) yang ditandai dengan akulturasi
kebudayaan Yunani dan budaya dari India dan Persia.
Selain semangat filsafat yang dikobarkan oleh Thales, Socrates
dan Plato, sains yang dimekarkan oleh Pythagoras, Archimedes,
Democritus dan Euclid, Hippocrates juga berkontribusi mengembangkan
ilmu pengobatan menjadi ilmu kedokteran, menghadirkan banyak obatobatan medis bahkan merumuskan kode etik kedokteran. Herodotus dan
Thucydides pun juga berkontribusi dalam meletakkan dasar-dasar
pencatatan sejarah secara baik.
Adapun bukti konkret kebudayaan Yunani yang tersebar selama
kolonisasi adalah kesenian dan kepercayaan. Seni rupa misalnya, gaya
lukisan orang-orang Yunani untuk menangkap potret seorang tokoh
menginspirasi orang-orang Romawi untuk melukiskan suasana
rapat/diskusi para konsul dan lembaga pemerintahan lainnya. Seni
arsitektur, bangunan megah Romawi dengan empat pilar besar di bagian
depan merupakan bentuk adopsi dari Yunani. Agama pun demikian,
siapa-siapa saja yang menjadi dewa Yunani adalah dewa Romawi pula
(Zeus, Posseidon, Hades, dll). Termasuk patung, bentuk konstruksi kuil,
dan praktik peribadatan. Sebetulnya, pengaruh kultural dari kolonisasi
Yunani juga merambah ke ranah pendidikan, kesusastraan dan
keolahragaan (Olympiade), namun telah penulis bahas dalam buku
sebelumnya.
Bisa dipastikan, umumnya setiap aspek kehidupan kaum yang
dikoloni adalah bentuk duplikasi -atau minimal mendapat pengaruh- dari
kaum pengkoloni. Sesuai dengan asumsi dasar, bahwa pengkoloni
16 | Miftakhuddin
mempunyai kemajuan peradaban yang lebih unggul. Infiltrasi kultural
pengkoloni di dalam masyarakat koloni agaknya memang telah menjadi
ciri khas tertentu. Ibarat membeli sapi, pasti akan mendapat talinya jua.
Namun demikian, entah mengapa filsafat, sains dan politik tetap menjadi
ikon peninggalan Yunani. Barangkali karena masyarakat berkiblat pada
data historikal dalam mengkaji fenomena alam dan mengambil
keputusan terkait filsafat, sains dan politik berdasar hasil kajian historis.
Lebih-lebih jika masyarakat Eropa dilihat menggunakan peta kultural
pada masa sebelum masehi, akan tampak wilayah Yunani mencapai Asia
Kecil, semenanjung Apenina (Magna Graecia), Afrika Utara dan
wilayah pantai di Perancis selatan seperti Marseillas hingga Spanyol.
Maka wajar bila daerah-daerah itu memiliki kesamaan budaya, gaya
hidup dan sistem pemerintahan, termasuk konsepsi kolonial.
4. Feodalisme Romawi
Romawi berdiri sejak 753 SM, di mana Yunani sedang gencargencarnya melakukan ekspansi melalui kolonisasi. Meski kala itu koloni
Yunani mencapai Italia, belum ada sumber valid yang memastikan
apakah Romawi termasuk koloni Yunani atau bukan. Tetapi, jika
bertolak pada argumen para sejarawan dan studi literatur, akan
mengerucut pada klaim bahwa Romawi adalah sebuah kerajaan
(monarki) yang berdiri sendiri, bukan merupakan bekas koloni Yunani.
Justeru, Romawi yang menginvasi Yunani dari Macedonia dan seluruh
koloninya, termasuk Mesir yang saat itu dipimpin Cleopatra pada 275
SM.
Ketika memperluas kekuasaannya, Romawi sempat berbenturan
dengan Kartago (pemerintahan dirian bangsa Fenesia tahun 814 SM)
dalam Perang Punic, tapi Romawi keluar sebagai pemenang. Kalahnya
Kartago membuat wilayahnya dimiliki Romawi, termasuk Spanyol,
kepulauan Sardinia, dan Korsika (Prancis). Sayangnya, pasca
kemenangan ini Romawi dilanda krisis. Perang saudara, korupsi,
pemberontakan militer, dan ketidakpuasan publik terhadap senat terjadi
terus menerus. Pembentukan triumvirat (tiga serangkai pemimpin
perang) hanya mampu menangani persoalan militer saja. Julius Caesar
selaku anggota triumvirat, merasa bentuk pemerintahan republik tidak
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 17
lagi relevan dengan kondisi Romawi, sebab amat rentan terhadap konflik
internal dan tidak bisa menyelesaikan persoalan politis yang demikian
kompleks. Saat ia dinobatkan sebagai diktator seumur hidup berdasarkan
sidang senat, kekuasaan Romawi meluas sampai ke utara Eropa dan
menekan garis batasnya sampai ke Britania (Inggris). Secara
administratif, wilayah kekuasaan Romawi melebihi separuh benua
Eropa. Meski sudah berada di puncak kekuasaan, sebagai pribadi yang
tidak begitu suka dengan bentuk pemerintahan republik, ia tidak
menghapuskan republik dari bumi Romawi, sebab dengan hadirnya dia
sebagai diktator, maka bentuk pemerintahan Romawi juga merupakan
oligarki.
Sampai di sini, ada beberapa versi mengenai kelanjutan karir
politik Julius Caesar, ada sumber yang menyatakan Caesar dibunuh oleh
komplotan sindikat yang ingin mengembalikan kejayaan republik
(mereka adalah Brutus dan Cassinus), ada pula sumber yang menyatakan
bahwa Caesar meninggal karena kudeta oleh persekongkolan Octavianus
dan Markus Antonius (Mark Antony4), padahal Octavianus adalah
kemenakkan Caesar. Namun keduanya menyatakan hal senada soal
pengganti Caesar dan waktu kematiannya. Caesar wafat pada 44 SM dan
digantikan Octavianus. Naiknya Octavianus ke tampuk kekuasaan,
menurut Misrawi (2010), terjadi setelah perebutan kekuasaan antara
Octavianus dengan Antonius. Triumvirat kemudian membagi Romawi
menjadi tiga; Octavianus di Eropa, Lepidus di Afrika dan Antonius di
Mesir. Sayangnya, Antonius berselisih dengan Oktavianus yang
menyebabkan Antonius tewas bunuh diri bersama istrinya, Cleopatra.
Octavianus lalu mendeklarasikan dirin sebagai kaisar Romawi bergelar
Augustus (Yang Mulia). Demikianlah bentuk pemerintahan Romawi
berubah dari republik-oligarki menjadi kekaisaran (imperium) sejak 27
SM.
Kelihaian kaisar Octavianus dalam memainkan peran politiknya
membawa Romawi pada puncak kejayaan, di mana Romawi menjadi
imperium terbesar di dunia, dan masyarakatnya hidup dalam kedamaian
dan kemakmuran ekonomi. Kondisi ini disebut Pax Romana
4
Antony adalah kekasih Cleopatra sesudah Julius Caesar (Misrawi, 2010).
18 | Miftakhuddin
(perdamaian Romawi). Guna mempertahankan dan memperluas
kekuasaannya, Octavianus menggunakan politik devide et impera (pecah
belah), yang kemudian banyak diadopsi para pengkoloni era
penjelajahan samudera. Pasca kematian Octavianus dan digantikan
kaisar-kaisar berikutnya, kejayaan Romawi mulai merosot hingga
mengalami keruntuhan. Penyebabnya bermacam-macam dan amat
kompleks.
Pertama, sistem pergantian kaisar yang “tidak jelas”. Umumnya,
tahta akan diwariskan kepada putra kaisar, tapi Octavianus tidak
memiliki anak. Inilah pemicu kekacauan internal dari berbagai kalangan
politik dan militer yang menggerogoti pemerintahan Romawi. Jabatan
kaisar tidak lagi diwariskan, melainkan dipilih berdasarkan keahliannya
dalam bertarung/berperang. Kendatipun demikian, kesalahan terbesar
Romawi ialah tidak digunakannya dewan kabinet (senat) dalam
pemilihan kaisar. Akibatnya, aktor penangkal keruntuhan menjadi tidak
kompak.
Kedua, diresmikannya agama kristen menjadi agama kerajaan
pada pemerintahan kaisar Konstitianus5 sebagai kaisar pemeluk kristen
pertama. Gereja kristen menjadi organisasi terkuat, yang mampu
menghimpun anggota sampai 10% penduduk. Pembangunan gereja di
berbagai tempat dan militansi pendakwah kristen membuat masyarakat
lebih mementingkan urusan rohani dan akhirat (pengampunan dosa).
Lunturnya sifat materialis menjadi religius, secara masif menghentikan
roda perekonomian masyarakat. Penduduk kelas petani dan pedagang
tidak lagi terobsesi pada urusan duniawi, seperti; pajak dan militer. Di
samping melemahkan pertahanan, tentu saja ini membuat siklus
perekonomian mandek. Alhasil, terjadilah inflasi besar-besaran di
seluruh Romawi.
Ketiga, gempuran dari bangsa bar-bar (jermanik) yang datang
dalam gelombang yang hampir bersamaan. Mereka berasal dari leluhur
yang sama, yakni ras Arya. Komposisi bangsa jermanik yang menyerbu
5
Awalnya, semasa pemerintahan Justiniasnus, penyebaran kristen dapat ditolerir, tapi
perkembangan yang pesat membuat masyarakat khawatir Romawi terpecah belah. Para
pendakwah dan umat kristen pun dianiaya; ditindas, dibunuh dan diumpankan kepada singa di
Colosseum.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 19
Romawi terdiri atas bangsa Frank, Saxon, Anglo, Viking, Vandal, dan
Goth (Ostrogoth dan Visigoth). Di dalam kondisi tersebut, keruntuhan
bermula saat gereja mendapat tempat dalam pemerintahan, dengan
mengintervensi pengambilan kebijakan yang seharusnya mutlak di
tangan kaisar. Lambat laun, kerajaan “ditunggangi” otokrasi gereja, yang
berdampak pada melemahnya resistensi Romawi terhadap invasi dari
luar. Oleh karena kekristenan menjadi landasan bernegara dan
bermasyarakat, pemikiran-pemikiran filsafat dan penemuan sains dari
pemikir Yunani pun dianggap musyrik dan melenceng dari wahyu
Tuhan. Kekacauan dan krisis di berbagai bidang inilah yang disebut dark
age atau Abad Kegelapan di Eropa.
Kesadaran atas ketidakbenaran ini membuat kaisar saat itu,
Diocletianus, membagi Romawi menjadi dua; Romawi Barat beribukota
di Milan, dan Romawi Timur di Byzantium (Konstantinopel6). Ia juga
menurunkan nilai mata uang. Tapi menurunkan nilai mata uang saat
inflasi besar adalah suatu hal yang sia-sia, lebih-lebih harga barang juga
naik bersamaan dengan inflasi. Kontrol untuk mengendalikan inflasi
rupanya malah menimbulkan pasar gelap dan kerusuhan. Akhirnya,
krisis ekonomi diatasi dengan penerapan pajak tinggi kepada penduduk.
Nah, berawal dari penerapan pajak tinggi inilah benih feodalisme mulai
tampak tumbuh, sebab telah ada pendelegasian kekuasaan dari
bangsawan puncak kepada tuan tanah atau tuan feodal, yaitu dewan kota
praja (vassal).
Pajak dipungut oleh seorang tuan feodal, bilamana pajak yang
terkumpul tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka tuan feodal
harus menambali. Alhasil, kondisi ini memicu catastrophic, yaitu suatu
situasi di mana banyak anggota dewan kota praja mengundurkan diri
karena tak sanggup menambali pajak tersebut. Guna mencekal
catastrophic, Diocletian dan kaisar selanjutnya “memaksa” mereka
bertahan dengan menetapkan jabatan itu berlaku turun-temurun.
Kebijakan ini juga diberlakukan untuk kelas masyarakat lain, termasuk
6
Perubahan nama Byzantium menjadi Konstantinopel sebagai penghormatan kepada kaisar
Konstantinus, karena pernah mendamaikan perselisihan penduduk penyembah dewa Yunani
dengan para umat kristen. Ia mendudukan kedua tokoh keduanya ke dalam satu forum.
20 | Miftakhuddin
petani. Sehingga anak tuan feodal akan menjadi tuan feodal, dan anak
petani akan menjadi petani. Begitu juga dengan kelas masyarakat lain.
Ditinjau dari strata feodalisme, tuan feodal (vassal) adalah
bangsawan level kedua (level pertama ialah kaisar). Sebagai tuan, ia
memiliki bawahan yang wajib menyetor upeti, mereka ialah para petani
(serf). Praktik ini, -dalam konteks feodalisme- dikenal sebagai pertanian
bangsawan atau manorial estate, yang kemudian lebih dikenal sebagai
manor7. Inti dari feodalisme adalah tanah sebagai sumber kekuasaan.
Siapa yang punya tanah, dialah yang berkuasa. Sebagaimana yang
terjadi, krisis ekonomi di Romawi Barat membuat kaisar menegaskan
seluruh tanah di Romawi adalah miliknya, sesuai dogma kekristenan;
city of God, yakni tanah adalah milik kaisar sebagai wakil Tuhan di
bumi. Doktrin gereja ini membuat vassal dan rakyat berstatus sebagai
penyewa dan penggarap tanah. Tanah kaisar ini bisa diberikan kepada;
pegawai/tentara sebagai gaji, keluarga kerajaan dan biarawan untuk
mendukung pendidikan kekristenan.
Sekurang-kurangnya ada dua faktor penyebab munculnya
feodalisme. Pertama, urgensi sistem kepemilikan tanah. Status
kepemilikan tanah di Romawi menjadi teramat penting, sebab perang
yang tidak berkesudahan dan militansi kristiani membuat roda
perekonomian menjadi mandeg. Ini membuat petani yang tak sanggup
membayar pajak mengalihkan tanahnya kepada tuan feodal untuk
disewakan kepada para petani miskin. Kesepakatannya, petani miskin
mendapat perlindungan dan kesejahteraan. Dengan kata lain, petani yang
tak punya hak milik atas tanah garapannya berstatus setengah budak.
Kedua, masuknya bangsa Jermanik yang membawa kebiasaan
pembagian hasil rampasan perang dari panglima kepada para prajurit
sebagai imbalan atau balas jasa. Pola bagi hasil ini kemudian diadopsi
dalam hubungan feodal antara lord dengan vassal. Asimilasi faktor ekokultural inilah yang menjadi platform implementasi feodalisme.
Meski sepintas tampak tak adil, feodalisme tidak bisa
disejajarkan dengan kolonialisme (penjajahan). Sebab, dalam feodalisme
7
Manor adalah sebidang tanah dengan “hak milik” dipegang bangsawan (vassal), ia tidak
hanya sebagai penguasa tanah, melainkan juga pelindung, hakim dan kepala kepolisian dalam
teritorial tanah miliknya.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 21
klasifikasi struktur, tugas dan tanggung jawab masyarakat lebih
terorganisir dan rapi. Romawi Barat meletakkan dasar feodalisme
dengan memperhatikan aspek humanistik, dibuktikan dengan sikap
konservatif penguasa terhadap petani. Faktanya, kala petani menjadi
sasaran perampok (kaum Jermanik), tuan feodal bertanggung jawab
sebagai kepala kepolisian (knights) untuk menjamin keselamatan petani.
Musim paceklik pun, mereka memberi makan para petani dari lumbung
penyimpanan. Bahkan, petani miskin (jika tak boleh disebut budak)
diizinkan menyewa peralatan dan ternak milik vassal. Demikian juga
lord, berkewajiban melindungi vassalnya, yang selalu menolong lord
dalam perang dan membayar upeti/pajak.
Struktur sosio-politik ini tidak berlangsung konstan. Menuju
puncak feodalisme di abad ke-10, banyak dewan gereja menjual surat
pengampunan dosa. Makin lama banyak vassal memerdekakan diri dan
mengakuisisi “tanahnya” sebagai miliknya pribadi. Ada pula yang
menyerahkan tanahnya kepada tuan feodal lain (ber-allod) dengan tetap
mempertahankan hak pakai atas tanahnya. Tentu saja ia mendapat
jaminan perlindungan dari feod-nya. Di samping itu, vassal mulai
menggunakan kekerasan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Karena
undang-undang tak mampu menstabilkan kemerosotan ini, maka muncul
pemberontakan, perang antar tuan feudal bahkan perang dengan
pemerintah pusat. Inilah konflik-konflik internal penyebab runtuhnya
Romawi Barat.
Namun demikian, berkat kerusuhan tersebut demokrasi mulai
kembali dengan kesepakatan yang termaktub dalam dokumen Magna
Charta tahun 1215, yang berisi raja John dari Inggris mengikat diri untuk
mengakui, menghormati dan menjamin kemerdekaan dan hak rakyat
serta gereja di Inggris. Melalui Magna Charta ini, keinginan raja lebih
dibatasi dan aktivitas rakyat menjadi legal. Sementara otokrasi gereja,
walau menurut perjanjian Lateran telah “berpindah tempat” ke Vatikan,
tapi peran militernya tetap terstruktur dan masif, terlebih melalui
partisipasinya dalam Perang Salib.
Disintegrasi Romawi dan penerapan pajak tinggi rupanya malah
menjadi “bom waktu” bagi keruntuhan Romawi. Saat Romawi Barat
runtuh akibat krisis di berbagai bidang dan serangan bangsa Jermanik,
22 | Miftakhuddin
hanya tersisa Romawi Timur (Konstantinopel) atau dikenal juga sebagai
Roma baru. Bagi Konstantinopel, masalah terbesar bukanlah bangsa
Jermanik, melainkan perselisihan dengan kristen Eropa Barat (Paus)
yang terlalu ambisius dan ekspansi Arab, yang saat itu telah menguasai
Turki, Yerussalem, Suriah, Afrika Utara, dan Spanyol. Singkatnya, tiga
kekuatan ini akhirnya terlibat ke dalam Perang Salib, yang berakhir
dengan kemenangan Arab dan runtuhnya Romawi pada 1453.
Seiring keruntuhan Romawi, feodalisme sebagai upaya
mempertahankan eksistensi dan kedaulatan Romawi berubah bentuk.
Feodalisme tak lagi berprinsip pada keturunan, tapi kinerja. Kinerja atau
tinggi rendahnya mobilitaslah yang menjadi tolok ukur status sosial.
Bentuk pergeseran ini menghasilkan suatu paham baru, yakni
kapitalisme, suatu paham yang menjadi wajah baru dari kelamnya dark
ages, sekaligus penanda dimulainya renaissance di Italia. Paham
kapitalisme memandang penguasa tidak selalu berasal dari keturunan
bangsawan. Kapitalisme lebih bebas dan terbuka, di mana penguasa
adalah siapapun yang memiliki modal. Entah dari kasta manapun,
selama dia memiliki modal maka dia adalah penguasa.
Perlu diketahui, abad pertengahan adalah masa di mana tren
feodalisme diperkenalkan secara tak sengaja oleh kaisar Romawi. Krisis
ekonomi ditambah ledakan penduduk menampakkan takdir seolah
berpihak kepada kaisar untuk menerapkan feodalisme dan
mempertahankannya. Saking populernya feodalisme di abad
pertengahan, beberapa paper sejaran menyatakan feodalisme sebagai ciri
khas abad pertengahan. Praktik feodalisme bertujuan mengkatrol kondisi
ekonomi yang melemah, namun karena sistem kerja feodalisme yang
sedemikian rupa, maka melahirkan suatu bentuk intimidasi dari kalangan
penguasa, (terutama oleh vassal). Sistem feodalisme merupakan sebuah
hierarki sosial yang besar, lebih besar dari sistem kasta Hinduism.
Kendatipun jauh dari nilai-nilai demokrasi, namun feodalisme memiliki
undang-undang dan angkatan militer (knight).
5. Kebangkitan Kolonialisme
Primadona bangsawan semasa imperium Romawi adalah
imperialisme dan feodalisme, sementara kolonialisme sempat tidak
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 23
populer. Tapi pasca keruntuhan Romawi kolonialisme kembali, ditandai
dengan didirikannya koloni pelabuhan dagang di Genoa, Venesia dan
bekas pelabuhan militer Perang Salib lainnya. Otokrasi gereja yang
mengkerdilkan kebebasan berpikir logis memudar. Pemikiran filsafat
materialistik, penelitian dan penemuan sains mulai mendapat tempat
kembali. Memang, kemenangan muslim menyapu bersih kekacauan
Dark Age dan menggantikannya dengan renaissance (Abad
Pencerahan). Ini adalah masa di mana gerakan-gerakan pembaharuan
bermunculan, yang bertolak dari pembelaan atas rasionalitas dan
keyakinan terhadap akal.
Ada tiga penemuan penting yang membuat renaissance semakin
cepat menurut Saifullah (2014), yakni; mesiu, seni cetak dan kompas.
Mesiu menandakan runtuhnya kekuasaan feodal, karena senjata telah
bisa digunakan kaum proletar. Seni cetak melambangkan pengetahuan
tak lagi menjadi milik eksklusif elit tertentu. Sedangkan kompas berarti
navigasi telah menjadi hak semua orang, dan memungkinkan orang
Eropa memperluas horizon Barat ke Dunia Baru (new world). Penemuan
kompas kemudian memicu penjelajahan-penjelajahan, seperti;
Christopher Columbus dan Vasco da Gama. Hasil gemilang atas
kembalinya mereka dari Dunia Baru membuat bangsa Barat yang
bangkrut pasca Perang Salib melakukan penjelajahan demi masa depan
yang baru.
Penjelajahan bermula sejak pelabuhan Italia, seperti; Venesia,
Florence, dll ramai akan pedagang muslim yang membawa rempahrempah dari India. Kapal-kapal Italia kemudian membawa muatan itu
melintasi Mediterania ke Eropa. Raja Portugis, Henry, meyakini bahwa
cara untuk mendapat laba maksimum adalah dengan mem-by pass
perdagangan muslim-Italia tersebut. Akhirnya ia memerintahkan
eksplorasi untuk mendapatkan dominasi perdagangan dan emas sampai
ke sekitar Afrika (Nugroho, 2016).
Penerusnya, Raja John II, menginginkan jalur perdagangan yang
kaya di Asia. Dia lantas mengutus Bartholomew Diaz menyusuri pantai
barat Afrika ke selatan hingga memutari sebuah tanjung yang oleh Diaz
dinamai Tanjung Badai, karena kapalnya terserang badai di sana. Tapi
Raja John menamainya Tanjung Harapan (cape of good hope) karena
24 | Miftakhuddin
menurutnya telah ada petunjuk untuk menuju India. Kegagalan Diaz lalu
digantikan Vasco da Gama melanjutkan ekspedisi, yang sampai di
Calicut pada 1498 (Nugroho, 2016). Sepulangnya da Gama ke Portugis,
ia membawa serta rempah-rempah sebagai hadiah dari raja India untuk
raja Portugis.
Sayangnya, daya jelajah Portugis dipandang iri oleh Spanyol
yang juga menginginkan laba besar dalam perdagangan. Kala itu,
cendekiawan Spanyol masih berselisih paham soal ukuran bumi. Ada
dua pandangan; pertama, teori Ptolomeus yang menganggap bumi lebih
kecil dari ukuran sebenarnya, dan kedua adalah anggapan ilmuwan
Universitas Salamanca yang mengklaim bumi lebih besar dari perkiraan
Ptolomeus. Seorang pelaut Italia, Cristopher Columbus termasuk yang
meyakini Ptolomeus. Ia menyatakan jika berlayar ke barat, maka dia
akan mencapai India dalam dua bulan. Sementara ilmuan Universitas
Salamanca menyatakan dia memerlukan waktu empat bulan. Tetapi Ratu
Isabella lebih percaya pada Columbus dan bersedia mensponsori
pelayarannya pada 3 Agustus 1942. Bahkan, menurut Hart (1978), Ratu
Isabella menjanjikan Colombus posisi gubernur di pulau mana pun yang
ditemuinya. Disebutkan oleh Columbus sendiri dalam Journal of the
First Voyage of Columbus oleh American Journeys Collection (2003)
hlm. 90-91,
I left the city of Granada on the 12th day of May, in the
same year pf 1942, being Saturday, and came to the town
of Palos, which is a seaport; where I equipped three
vessels well suited for such service; and departed from
that port, well supplied with provisions and with many
sailors, on the 3rd day of August of the same years, being
Friday, half an hour before sunrise,taking the route to the
islands of Canaria...
Keberangkatan Columbus diarmadai tiga kapal penjelajah; Nina,
Pinta dan Santa Maria. Setelah dua bulan berlayar melintasi samudra
Atlantik, sampailah dia di benua Amerika. Di sana ia bertemu pribumi
yang oleh Columbus dinamai Indian (orang India), sebab Columbus
mengira kalau dia sudah sampai di India. Perlu diketahui, meski pelaut
Viking (Leif Ericson) telah sampai di Amerika bertahun-tahun sebelum
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 25
Columbus, tapi Columbus-lah yang dinobatkan sebagai penemu benua
Amerika. Alasannya, penemuan Columbus memberikan pengaruh besar
terhadap Eropa. Walaupun toh ada rumor penjelajah Arab pernah
singgah di sini sebelum Viking, dia kurang memberi kontribusi yang
berarti. Berbeda dengan Columbus, yang hanya dalam hitungan tahun
setelah kembalinya dia ke Spanyol, berhasil membuka ekspedisi di
Dunia Baru. Naasnya, pendaratan pasca Columbus berakhir dengan
kolonisasi dan penaklukan suku-suku Indian.
Menurut Hart (1978), penemuan Columbus merupakan mahkota
sekaligus tonggak penting dalam sejarah eksplorasi dan kolonisasi Dunia
Baru. Colombus seolah membuka pintu bagi Eropa akan pemukiman
baru, penyedia sumber daya mineral dan sumber daya hayati yang
nantinya bakal memperbaiki kehidupan Eropa. Sekalipun kemajuan
Eropa harus mengorbankan kehidupan suku Indian, namun
eksplorasinya itu membuka jalan bagi Spanyol dan bangsa Eropa lain
untuk mengkoloni Amerika (Nugroho, 2016). Kabar baik dari Columbus
dan Vasco da Gama ini kemudian menginspirasi bangsa Barat lain
seperti Belanda, Prancis, dan Inggris untuk melakukan pelayaran ke
penjuru dunia, maka di mulailah Era of Great Voyage (zaman
penjelajahan).
Kebangkitan kolonialisme semakin pesat ketika terjadi berbagai
revolusi, seperti; Revolusi Amerika (1776), Revolusi Prancis (1799)
yang diwarnai Martin Luther dan John Calvin dalam mengkritik
konsepsi ketuhanan kristen orthodoks Roma dan penolakkannya
terhadap penjualan surat penebusan dosa, dan yang terakhir Revolusi
Industri di Inggris (berpuncak pada 1800-an) yang memperkenalkan
prinsip dan teknologi baru dalam berproduksi.
Revolusi Prancis adalah revolusi ideologis yang melahirkan
berbagai macam paham, seperti, Kristen Protestan, humanisme,
rasionalisme, kapitaslime, romantisme, merkantilisme, bahkan marxisme
(komunis).
Paham-paham
bercorak
kapitalis
memungkinkan
penganutnya menjadi pribadi yang oportunis dan ambisius sebagai
pemodal utama. Perombakan kerangka pikir ini menjadi satu-satunya
pilihan ketika sikap pemerintahan monarki dalam menghadapi
perubahan begitu kaku, ditambah lagi ketidakpuasan publik yang terdiri
26 | Miftakhuddin
atas kaum borjuis, petani, buruh dan individu. Absolutisme kerajaan
barangkali memang tidak bisa dipersalahkan, tapi penutupan utang
nasional akibat perang yang ditanggulangi dengan penarikan pajak yang
tidak berimbang, hanya akan meruntuhkan pemerintahan itu sendiri.
Persis dengan apa yang terjadi pada imperium Romawi.
Sedangkan Revolusi Industri adalah revolusi teknologis, yang
melahirkan alat-alat produksi, peralatan logam, dan teknologi lainnya.
Gara-gara revolusi industri lah masyarakat Inggris yang semula agraris
menjadi industrialis. Mereka bertransformasi menjadi masyarakat
modern. Penemuan metode pemanfaatan batu bara untuk memurnikan
besi, membuat penemuan-penemuan industrial semakin maju, sehingga
diproduksilah senapan dan persenjataan perang. Penemuan mesin uap
oleh Thomas Newcomen yang dipatenkan James Watt pada 1769 juga
memicu penemuan alat-alat berat seperti kapal perang, meriam dan
lokomotif. Inggris memiliki sumber daya industri lebih baik ketimbang
negara lain, oleh sebab itu Inggris menjadi basis industri. Sementara
negeri lain fokus pada revolusinya masing-masing, seperti bidang
komunikasi, pertanian, dan transportasi. Akhirnya, Inggris-lah yang
menjadi kiblat bagi bangsa Barat dalam mengembangkan teknologi.
Revolusi Industri dan revolusi Prancis adalah “duet maut”
korelatif dalam renaissance. Paham kapitalis misalnya, infiltrasi paham
kapitalis membuat masyarakat Inggris menjadi terkotak-kotak. Mana
pemilik modal (borjuis) dan mana pekerja, menjadi jelas kembali.
Kendatipun demikian, bedanya feodalisme Romawi dengan modernitas
Inggris ialah status pekerja yang tidak menjurus pada perbudakan.
Pekerja adalah individu yang punya hak merdeka. Adapun sumbangsih
Revolusi Industri terhadap Revolusi Prancis adalah penemuanpenemuan piranti material yang memungkinkan paham baru dari
Revolusi Prancis dapat diwujudkan dan disebarkan. Paham kapitalis
membuat penganutnya obsesif atas kekuasaan dan kepemilikan modal,
dan cara mendapatkannya adalah dengan kolonisasi dan imperialisme.
Upaya menjalankan keduanya hanya akan lancar bila menjalin kontak
dagang dan kontak politik dengan Inggris. Dengan demikian Prancis
mendapat apa yang dibutuhkan, pun juga sebaliknya.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 27
Visi pokok kolonialisme dan imperialisme adalah menguasai
seluruh wilayah di dunia, sebagai wujud “pembalasan” kepada islam
atas kekalahan kristen pada perang salib 1453. Hal ini dibuktikan dengan
keputusan Paus tahun 1493 dalam perjanjian Tordesillas, yang membagi
dunia menjadi dua; sebagian untuk Spanyol dan sebagian untuk
Portugis. Wilayah demarkasi ini membentang dari Brazil ke timur termasuk Indonesia- menjadi milik Portugis. Sisanya menjadi milik
Spanyol. Paus juga memberi hak istimewa kepada Portugis dan Spanyol
bahwa laut, pulau dan benua tetap menjadi milik mereka sampai anak
cucu mereka (Noerhayati, 2008).
Demikianlah Portugis dan Spanyol melakukan penjelajahan
karena merasa berhak atas jatahnya masing-masing. Seorang pastor anti
Islam, Raymundus Lullus, selalu bersemboyan; Islam is false and must
die. Maka di manapun Islam, harus direbut melalui dominasi politik dan
dipertahankan, agar terjadi pemisahan kaum muslimin dari agamanya
dan kemudian diganti dengan Kristen (Noerhayati, 2008). Ini pun terjadi
sesaat sebelum Columbus berlayar tahun 1492. Tahun 1400-an,
Kerajaan Spanyol pernah berusaha “menaklukkan kembali”
(reconqiesta) terhadap bangsa Moor8 yang sejak lama menguasai
Granada. Saat Raja Ferdinand dan Ratu Isabella menyelesaikan
penaklukannya pada 1492, barulah mereka siap untuk menempuh
tujuan-tujuan baru (Nugroho, 2016), dengan tiga visi utama; Gold,
Glory, Gospel (harta, kekuasaan, penyebaran agama Nasrani).
Secara praktis, kebangkitan kolonialisme ialah saat Columbus
menemukan Amerika, dan memberikan jalan Spanyol dan Eropa lain
untuk menjajah Indian9. Namun banyak literatur juga menyebut kalau
kolonialisme baru bangkit pasca Revolusi Industri dan Revolusi Prancis.
Artinya, kebangkitan kolonialisme baru terjadi sekitar 20 tahun setelah
Spanyol berhasil mengkoloni Amerika. Kesepakatan ini barangkali
merujuk pada tujuan awal dari kolonialisme dan imperialisme itu
sendiri, yakni menguasai perdagangan di Timur atau India. Cocok
8
Sebutan untuk kaum muslimin dari Timur Tengah dan Afrika Utara (Kartodirdjo, 1993).
Diawali oleh Cortez, yang mendarat di Meksiko (1519) dan menjajah Indian Aztek. Sementara
Columbus mencari jalan ke Jepang dan Cina namun akhirnya dihukum Ratu Isabella karena
terlalu ambisius.
9
28 | Miftakhuddin
dengan fakta bahwa memang Barat baru bisa menjangkau dunia Timur
secara masif pasca Revolusi Industri.
Kebangkitan koloni sampai ke Timur awalnya murni
kepentingan niaga (menguasai perdagangan). Makanya koloni Vasco da
Gama di India pun berbentuk pos perdagangan10. Koloni Spanyol di
Amerika juga berniat menguasai perdagangan. Hanya saja, Columbus
menemukan sumber daya mineral milik suku Indian, akhirnya koloni
yang berdiri ialah untuk industri. Apalagi jalur Amerika bukanlah jalur
perdagangan. Namun tidak menutup kemungkinan pula, sumber daya
dari Amerika juga diperdagangkan kepada Inggris yang saat itu sedang
butuh-butuhnya sumber daya mineral.
Bermula dari kepentingan ekonomi, berubah menjadi
kepentingan hegemoni perdagangan yang wujudkan dengan kolonisasi.
Portugis dan Spanyol pada perkembangan berikutnya juga menguasai
daerah-daerah di Asia (termasuk Jepang, Singaphore, dll.), yang
kemudian diperebutkan pula oleh Prancis dan Inggris. Inilah era
kolonialisme. Sebuah zaman yang mempertontonkan secara terus terang
suatu kerajaan mengkavling-kavling daratan dan perairan dunia menjadi
miliknya (Portugis, Spanyol, Prancis, dan Inggris).
Umumnya kolonialisme memang dibarengi imperialisme, namun
keduanya tak bisa dipandang sama, sebab tujuan kolonialisme adalah
dominasi ekonomi, dan tujuan imperialisme adalah perluasan wilayah.
Kolonialisme juga sering diwarnai legitimasi kepercayaan koloni, bahwa
moral pengkoloni lebih mulia ketimbang yang dikoloni.
10
Koloni di India tak banyak menghasilkan, sebab India bukan penghasil rempah sesungguhnya,
melainkan Nusantara. Maka Portugis mengirim Alfonso de Albuquerque ke Nusantara
(mendarat di Malaka) dan mulai melakukan kolonisasi di Malaka dan sekitarnya. Capaian
Alfonso kemudian menarik bangsa Barat lain untuk juga mendirikan koloni di sana. Spanyol
mengirim Ferdinand Magelhaens (mendarat di Filipina tahun 1521) dan Sebastian del Cano
(mendarat di Maluku tahun 1521). Belanda mengirim Cornelis de Houtman (mendarat di Banten
tahun 1596). Inggris mengirim Sir James Lancaster (mendarat di Banten tahun 1602) dan Sir
Henry Middleton (mendarat di Maluku pada 1604).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 29
B. Hukum Kolonial
Soal hukum konstitusional, sistem pemerintahan kolonial
berbentuk undang-undang sebagai produk tertulis dan pedoman bagi
seluruh warga negara. Betapapun dinamisnya peraturan perundangundangan yang diimplementasikan, tetaplah menyesuaikan dengan
kebutuhan birokrat sebagai penyelenggara negara, dan memperhatikan
hak-hak “warga negara” (warga negara pengkoloni).
Pokok aturan main dalam kolonisasi adalah pengkoloni
menguras habis sumbar daya, dengan atau tanpa melibatkan masyarakat
pribumi. Putra (2012) menegaskan, tidak ada partisipasi dari perangkat
lokal, segala sesuatu diatur oleh pemerintah pusat. Juga sama sekali
tidak ada otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga daerah sesuai
kepentingan daerah. Sebab, kolonialisme adalah suatu sistem di mana
suatu negara menguasai rakyat sekaligus sumber daya negara lain tetapi
masih tetap berhubungan dengan negeri asal (Putro, 2011). Jelas, ciri
khas sistem pemerintahan kolonial adalah sentralisasi. Sebab jika
desentralisasi yang diterapkan, bakal menciptakan otonomi daerah yang
nantinya dapat mengancam hegemoni dari pengkoloni di tanah koloni,
seperti masa Hindia Belanda (1800).
Tampaknya, semua hukum kolonial bercorak sentralisasi.
Sebagaimana Spanyol mengkoloni Amerika, Portugis mengkoloni
Nusantara, dan Prancis mengkoloni Belanda. Tetapi jika diperinci dan
ditelaah sampai level paling bawah maka akan berbeda teknis
manajerialnya. Contoh, pengolahan bahan mineral di Amerika tentu
berbeda dengan pengolahan rempah di Nusantara. Berdasarkan
pengalaman kolonial, variasi terjadi pada level teknis, yang mana
disesuaikan dengan karakteristik pribumi dan tipe hasil bumi di tanah
koloni.
Pembahasan sub bab ini mengambil sampel hukum kolonial di
Nusantara dan sekitarnya. Alasan pertama, ketersediaan sumber sejarah
yang valid (dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya). Alasan kedua,
Nusantara merupakan kawasan kolonial yang “digilir” bangsa-bangsa
Eropa dan Asia (Jepang). Sehingga pembahasan kolonialisme Nusantara
cukup merepresentasikan rupa, dinamika, dan pelaksanaan hukum
kolonial.
30 | Miftakhuddin
1. Kolonialisme Portugis
Abad 16, Nusantara kedatangan penjelajah Eropa. Alfonso de
Albuquerque sampai di Malaka tahun 1511, dan Belanda sampai di
Banten tahun 1596. Di sanalah kekuasaan kolonial menemukan
basisnya. Mereka bukan saja datang sebagai pedagang melainkan juga
sebagai pengembara mencari tempat tinggal baru untuk dijadikan koloni.
Semua berawal saat Raja Portugal mendapat berita dari Vasco da Gama
kalau penghasil rempah rupanya ialah Nusantara, maka dikirimlah
Diogo Lopes de Sequeira. Semula ia diterima baik, tapi banyak saudagar
muslim meyakinkan Sultan Mahmud Syah di Malaka tentang bahaya
Portugis, maka Diogo sekaligus armadanya diusir. Pengusiran yang
menyulut amarah raja Portugis ini membuat Alfonso de Albuquerque
dikirim dari Goa (India) untuk menguasai Malaka pada 1511.
Berdasarkan catatan ekspedisi Tomé Pires11, alasan Portugis
bersikeras menguasai Malaka ialah karena Malaka mempunyai
kedudukan strategis dan memiliki peluang ekonomi yang potensial.
Disebutkan oleh Tomé Pires dalam laporan ekspedisinya; kala itu
Malaka punya pengurus perdagangan yang dipilih sendiri oleh para
pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi
kepentingan niaga mereka. Pengurus tersebut dinamakan syahbandar.
Syahbandar terdiri atas empat orang. Pertama, syahbandar yang
mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi
para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga,
syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku,
Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau);
dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para
pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti
inilah yang mendorong Portugis tetap ngotot berusaha menguasainya.
11
Tomé Pires, dalam bukunya, Suma Oriental. Buku ini sebenarnya adalah naskah laporan resmi
untuk Raja Emanuel di Portugal tentang potensi dan peluang ekonomi di wilayah-wilayah yang
baru di kenal Portugis selama ia mendampingi Alfonso de Albuquerque dalam pelayarannya
(1512-1515). Oleh sebab itu, laporan yang terdiri atas enam jilid ini tidak pernah diterbitkan
sama sekali. Namun, berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre
des Deputes di Paris, Armando Cortesão menerbitkan terjemahannya dalam bahasa Inggris
pada tahun 1944.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 31
Gambar: Halaman Judul Buku Suma Oriental
Sumber: archive.org
32 | Miftakhuddin
Setakluknya Malaka, Portugis memulai masa kolonialnya
melalui perdagangan langsung dan terbuka dengan penghasil rempah
lain, seperti; Ternate, Banda, Seram, Ambon, dan Timor sembari
memperluas kekuasaannya ke Maluku. Namun berbeda dengan di
Malaka. Portugis di Maluku menjumpai perselisihan kerajaan Ternate
dan Tidore. Portugis kemudian membantu Ternate untuk mengalahkan
Tidore yang saat itu dibantu Spanyol. Sebagai imbalannya, Portugis
meminta hak monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Ternate.
Kesuksesannya di Malaka mempermudah penyebaran agama, dan
keberhasilannya di Ternate memperlancar dominasi ekonomi. Sampai di
sini, mulai tampak Portugis satu langkah lebih maju untuk perdagangan
rempah di Eropa nantinya. Sebagaimana M.C. Ricklefs (2010) dalam
bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Portugis berusaha
mendapat rempah-rempah, yang berarti menemukan jalan ke Asia
dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang Islam, yang
melalui tempat penjualan mereka di Venesia, yang terletak Laut Tengah
(Mediterania). Dengan begini, Portugis bisa memonopoli impor rempahrempah ke Eropa.
Hanya dua kebijakan Portugis di Maluku. Pertama, pewajiban
penduduk Ternate menjual cengkeh dan pala kepada Portugis dengan
harga yang ditetapkan Portugis. Kedua, optimalisasi militansi kristen. Di
Nusantara, Portugis memperkenalkan kristen dengan kekerasan berazas
jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap islam, yakni
memburu orang-orang Moor (Kartodirdjo, 1993). Bagi Portugis, semua
muslim adalah Moor, dan merupakan musuh yang harus diperangi.
Memang demikianlah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelang abad
ke-16 sengaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk
memerangi islam dan meng-kristen-kannya (Suminto, 1985).
Ekspansi ini memang dapat dilihat sebagai kelanjutan Perang
Salib, tapi metode penaklukan dengan militansi yang hebat ini justru
membangkitkan lawan-lawannya bereaksi. Lihat saja hubungan baik
Sultan Ternate dengan Portugis sampai sultan mengizinkan Portugis
mendirikan benteng. Hubungan itu menjadi rusak karena para misionaris
terlalu memaksakan kristenisasi masyarakat Maluku, ditambah lagi
perilakunya yang dinilai tak sopan. Akibatnya, pangeran-pangeran
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 33
Nusantara terpicu menjadi muslim dan melakukan perlawanan.
Celakanya, kekuatan Ternate yang tidak cukup kuat berimplikasi pada
diturunkannya Sultan Tabariji dari tahta dan diasingkan ke Goa (India).
Portugis baru dapat diusir Sultan Baabullah tahun 1575, dan pindah ke
Tidore yang sudah bukan lagi milik Spanyol (berdasarkan perjanjian
Zaragosa).
2. Kolonialisme Spanyol
Perjanjian Tordesillas (diprakarsai Paus Alexander VI pada
1494), membagi dunia menjadi dua. Spanyol mengkoloni layaknya
Portugis, dengan visi dan misi yang sama persis, yakni daerah
kekuasaan, kekayaan (monopoli perdagangan rempah-rempah), dan
politik anti-Islam yang terkenal dengan semangat reconquista atau
penaklukan kembali. Spanyol mengirim Columbus sebagai conquistador
(penakluk) untuk menuju sumber rempah-rempah dan mendirikan koloni
di sana, namun ia malah mendarat di Amerika. Setelah pendaratan
susulan oleh conquistador lainnya, Hernando Cortez, pendirian koloni
dilakukan dengan menjajah suku Indian Aztek.
Ketika conquistador Sebastian del Cano mendarat di Maluku,
Spanyol menggunakan Kerajaan Tidore sebagai pion untuk berebut
dominasi dengan Portugis. Melalui devide et impera, keduanya baik
Portugis maupun Spanyol memperoleh keuntungan berupa monopoli
perdagangan di masing-masing kerajaan. Tapi karena persaingan
keduanya tidak kunjung usai, maka dibuatlah perjanjian Zaragoza pada
1529 untuk mempertegas perjanjian Tordesillas tentang mana jatah
wilayah Portugis dan mana jatah Spanyol. Hasil perundingan Zaragosa
menyebut wilayah Spanyol membentang dari Mexico barat sampai
kepulauan Filipina, dan wilayah Portugis membentang dari Brazil ke
timur sampai kepulauan Maluku. Maka secara de jure, Maluku menjadi
milik Portugis, dan Spanyol memfokuskan kegiatan di Filipina, yang
telah ditemukan Magelhaens pada 1521 atas perintah Raja Karel V.
Menurut Allen (1997), penjelajahan Spanyol ke Filipina
mempunyai dua motif pokok, yang kemudian diejawantahkan menjadi
Gold, Glory, dan Gospel. Pertama adalah pembukaan pos perdagangan
baru dan memperluas perdagangan ke Asia. Kedua adalah penyebaran
34 | Miftakhuddin
agama Katholik. Sebagaimana surat wasiat terakhir Ratu Isabella,
(dalam Ahmat, 2006):
...Tujuan utama negara kita adalah senantiasa untuk
menukarkan agama penduduk-penduduk pulau-pulau
Hindia dan Terra Firma kepada agama suci kita dan
menghantar mereka biskop-biskop, mubaligh dan orang
terpelajar yang lain untuk mengajar, mendidik dan
melatih mereka supaya bertata-tertib...
Magelhaens, kali pertama tiba langsung menggelar upacara
Missa, dan atas nama raja ia memasang salib sebagai tanda pulau
tersebut merupakan koloni Spanyol beragama Katholik. Atas tindakan
tanpa kompromi itu, terjadi konflik dengan pribumi yang berakhir
dengan tewasnya Magelhaens. Anak buah yang tersisa lantas kembali
dan menamakan pulau itu sebagai St. Lazarus. Baru tahun 1526 raja
mengirim Hernando Cortez, sang conquestador Mexico, ke St. Lazarus.
Karena orang-orang Filipina -yang saat itu muslim- sulit ditundukkan,
maka tahun 1542 raja mengirim bantuan yang dipimpin Ruy Lopez dan
Vilalobos12.
Kendatipun demikian, Spanyol kesulitan menaklukkan penduduk
Filipina, terutama kaum muslim di bagian selatan. Tercatat sepanjang
kolonialisme Spanyol kaum muslim Filipina di selatan tak dapat
ditundukkan secara total, mereka adalah yang disebut barangai13.
Sedikitnya ada enam kali pertempuran bangsa Moor14 Filipina melawan
Spanyol. Perang pertama adalah penolakan terhadap kolonisasi Spanyol.
Karena pada perang pertama Filipina kalah hingga kehilangan sebagian
wilayahnya, maka perang kedua sampai kelima adalah perang perebutan
kedaulatan oleh rakyat Filipina. Dan perang keenam adalah perang
melawan Spanyol dibantu Amerika yang telah saat itu telah merdeka.
12
Ia yang mengganti nama St. Lazarus menjadi Philipinese pada 1560, sebagai penghormatan
kepada Don Philips II, putera Raja Karel V
13 Barangai adalah kesatuan non-politik yang terdiri atas kumpulan keluarga besar pedagang
muslim (moor) di bagian selatan (Mindanao dan Sulu). Istilah itu diambil dari nama perahu
mereka (Corpus, 1965)
14 Bagi bangsa Spanyol, moor (moro) artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan
huramentados (tukang bunuh).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 35
Tapi terusirnya Spanyol malah membuat Amerika menjadi penjajah baru
pada 1898.
Hasil perang pertama tahun 1565, Spanyol berhasil menguasai
sebagian Filipina dan Brunei Darussalam di Borneo (Kalimantan). Dua
tahun berikutnya Spanyol berperang dengan bangsa moor Filipina, yang
berakhir dengan takluknya kepala pemerintahan di Manila. Maka sejak
itu, Filipina resmi dikoloni Spanyol. Hebatnya, menurut Hall (1981),
penaklukan itu dicapai tanpa pertumpahan darah. Sebab, Raja Philip II
tidak mau pertumpahan darah dalam penaklukkan Mexico dan Peru
terulang dalam penaklukan Filipina.
Semasa kolonialnya Spanyol menerapkan politik devide and rule
(pecah belah dan kuasai) dan misionsacre (misi suci) terhadap para
muslim. Saat terjadi perang besar dengan bangsa moor di Filipina
selatan pun (1578), Spanyol menggunakan rakyat Filipina utara yang
telah dikristenkan sebagai angkatan bersenjata. Demikianlah atas nama
misi suci, Spanyol mampu melancarkan adu domba dengan sangat baik.
Sistem kolonisasi Spanyol kali ini lebih baik ketimbang koloni Portugis
di Maluku yang sarat dengan kontak fisik. Spanyol mengambil simpati
pribumi dengan kegiatan-kegiatan sosial. Di wilayah utara, misalnya,
para padri mewujudkan badan-badan amal dan lembaga pendidikan di
sebelah gereja-gereja dan biara sebagai pusat-pusat katolik. Mereka juga
membangun infrastruktur (jalan raya, jembatan dan saluran irigasi) dan
lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh beberapa ordo.
Ordo Jesuit mendirikan sekolah tata bahasa untuk laki-laki pada
1595 (sekarang Universitas Ateneo de Manila), dan Ordo Dominikan
mendirikan Universitas Santo Thomas pada 1611. Aktivitas mereka
dilindungi pemerintah Spanyol, sebab pendidikannya turut
mengkonsolidasikan kekuasaan pemerintah Spanyol (Wiharyanto,
2008). Para pejabat gereja juga mengekang otoritas sipil yang punya
pengaruh kuat. Sesuai patronato real, gereja dan negara disatukan untuk
mengatur dan menyebarkan ajaran kristen (Ricklefs, 2013).
Politik “simbiosis mutualisme” ini dengan membagi kekuasaan
ke dalam dua ranah tanggung jawab; pemerintahan sipil dan
pendidikan/keagamaan. Pemerintahan sipil dipimpin gubernur jenderal
sebagai pucuk pemerintahan dengan kewenangan eksekutif absolut. Dia
36 | Miftakhuddin
adalah wakil raja di tanah jajahan dan bertanggung jawab langsung
kepada
Raja
Spanyol
di
Madrid.
Sedangkan
urusan
keagamaan/pendidikan menjadi wewenang uskup yang bertanggung
jawab langsung kepada Paus di Roma. Kebijakan kolonial itupun pada
gilirannya memunculkan desa-desa katholik dengan sangat cepat.
Terlebih padri menyesuaikan medium penyebaran dengan kearifan lokal.
Sebagai contoh, para padri menerjemahkan Injil ke dalam bahasa
Tagalog, untuk memudahkan cara penggunaannya bagi pribumi.
Melalui adaptasi dan beberapa keramahan itu, para padri
kemudian diberi hak dan kepercayaan untuk menguasai tanah-tanah
yang luas. Pemberian hak ini, otomatis membuat padri menjadi tuan
tanah atau feodal. Mereka kemudian memanipulasi harga tanah, yang
akhirnya berdampak pada kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia.
Membanjirlah para padri katolik dari Eropa tidak dengan motif tugas
suci, melainkan memperkaya diri. Mereka lalu menjadi tuan tanah yang
serakah dan mengakuisisi tanah milik rakyat seenaknya.
Sebagai tuan tanah mereka punya kekuatan mengintimidasikan
penduduk yang “dipaksa” berstatus sebagai penyewa tanah. Mereka
mempekerjakan, menekan, memeras, dan memonopoli aktivitas ekonomi
rakyat Filipina.
Sejak 1589 bangsa Spanyol memungut upeti tahunan
kepada setiap pria dewasa yang berusia antara 18-60
tahun. Upeti ini tidak hanya dibayarkan dalam bentuk
mata uang tetapi juga tenaga kerja dan barang-barang.
Pajak tahunan ini dikumpulkan melalui raja atau
encomeinda (hibah) swasta yang dihadiahkan sebagai
penghargaan atas jasanya kepada raja (Ricklefs, 2013).
Kepincangan sosial atas otoritas padri itu ditentang oleh Jose
Rizal melalui propaganda dalam novelnya Noli me Tangere (1975). Ia
bercerita pimpinan gereja mengambil tanah rakyat dan memberdayakan
15
15
Pemimpin gerakan nasional Filipina pertama (Liga Filipina). Ia menulis novel El Filibusterisme
dan Noli me Tangere. Melalui novelnya ia mengkritik pemerintah Spanyol dan otokrasi gereja
(Wiharyanto, 2008).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 37
seenaknya. Penindasan dilakukan karena bangsa Filipina dianggap tidak
lebih dari hewan yang mereka sebut sebagai Indio (kemungkinan
diadaptasi dari istilah “Indian”). Para Indio hanya berharga di mata
Spanyol karena mempunyai tenaga untuk diperas dan tanah untuk
dikuasai.
Menurut Mc Coy (1982), ada tiga sistem hukum yang
diimplementasikan pemerintah kolonial Spanyol kepada Filipina.
Ketiganya adalah Encoimenda, Polo, dan Vandala. Sistem Encoimenda
diterapkan abad ke-16 dan ke-17, dengan menetapkan cukai yang tinggi
sebagai upeti yang dipungut oleh encomendero. Sistem Polo adalah
sebuah sistem penindasan melalui penggunaan tenaga kerja tanpa
dibayar. Sedangkan sistem Vandala adalah penyerahan sejumlah barang
tertentu tanpa timbal balik.
Di samping kekuatan sosial kaum padri (tuan feodal) yang
mengatur pribumi, hukum pemerintahan sipil kolonial Spanyol membagi
kelas pengkoloni menjadi dua; peninsulare dan insulare atau criollo.
Peninsulare adalah mereka yang lahir di negeri Spanyol, dan insulare
adalah orang Spanyol yang lahir di daerah koloni Spanyol (Amerika dan
Filipina). Pada perkembangan berikutnya muncul beberapa kelas-kelas
sosial lainnya yang terlahir dari perkawinan dengan Cina, Muslim,
pribumi Filipina, dan Spanyol (Fitra, 2015).
Kolonial melanggengkan kekuasaan dengan menguasai pejabat
lokal. Mereka mencari-cari kecacatan pejabat lokal agar dapat
dikendalikan. Bila pejabat lokal itu membangkang, diancam akan
dipermalukan dalam setiap khotbah di gereja-gereja dan tidak diberi
pengampunan dosa. Tidak ada akses berpendapat sekalipun pada
masyarakat kelas bawah. Segala tuntutan memperbaiki pemerintahan
dicekal dan dianggap pengkhianatan terhadap Spanyol. Itulah mengapa,
Jose Rizal yang menyuarakan gagasannya tentang reformasi persamaan
hak untuk seluruh rakyat Filipina melalui tulisan ditangkap, diasingkan
dan dihukum mati. Padahal apa yang dituntutkan sebatas persamaan hak
antara orang Spanyol dan orang Filipina, dengan cara memasukkan
Filipina sebagai salah satu provinsi Spanyol, bukan sebagai tanah
jajahan (Moan, 1969). Melalui cara-cara itu, tokoh gereja punya
kekayaan bertumpuk yang berfungsi mempertahankan kedudukannya di
38 | Miftakhuddin
samping pemerintahan gubernur jenderal. Meski berbagai
pemberontakan dan pergerakan rutin dijalankan, namun selalu ditumpas
kolonial Spanyol. Sampai akhirnya Filipina bekerja sama dengan
Amerika. Tapi seperginya Spanyol, Amerika malah menjadi penjajah
baru yang lebih kuat. Baru 4 Juli 1946 Filipina diberi kemerdekaan oleh
Amerika Serikat.
3. Kolonialisme Belanda
Sebelum politik etis (tahun 1900-an), sistem pemerintahan
sentralisitik di koloni Belanda (Nusantara) dianggap cara terbaik
memperoleh keuntungan maksimal. Sebab, dengan begini partisipasi
perangkat lokal dapat dibatasi, dan otonomi untuk mengatur sendiri
rumah tangga daerah dapat dikendalikan. Konstitusi Belanda pun sampai
mendarah daging pada pola hukum yang berlaku di Nusantara bahkan
setelah merdeka. Menurut Hartono (2015), sejak tahun 1816 peraturan
umum mulai dimuat dalam lembaran resmi yang diterbitkan Pemerintah
Hindia Belanda (Staatsblad dan Bijblad). Sistem hukum dan berbagai
peraturan ini sebagian besar hampir tidak berubah, atau tidak sempat
diubah pada masa pendudukan Jepang, karena masa pendudukan Jepang
yang relatif amat singkat.
Sebagaimana Abdullah (2010), salah satu pengaruh kolonialisme
dalam politik hukum Indonesia adalah banyaknya peraturan perundangundangan yang bersifat kolonialistik (dibuat untuk melindungi dan
memperkuat kolonialisme), yang mana beberapa perundang-undangan
tersebut masih ada yang diberlakukan hingga sekarang. Misalnya; Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUH-Per). Padahal, politik hukum yang dibuat dalam
masyarakat yang pluralistik, harus ada suatu unifikasi hukum. Artinya,
harus ada hukum yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
Meski demikian, proklamasi kemerdekaan telah mengubah
tradisi masyarakat dari keadaan terjajah menjadi masyarakat bebas
(merdeka). Tujuan hukum pun harus berubah secara berbalikan, dari
tujuan mempertahankan dan melestarikan penjajahan, menjadi mengisi
kemerdekaan dengan etos yang juga berubah dari penjajahan menjadi
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 39
kebangsaan. Perubahan tersebut diperlukan dan menjadi bagian penting
dalam politik hukum nasional, sebab hukum-hukum yang telah ada
ketika proklamasi kemerdekaan telah dipengaruhi dan bercampur baur
dengan sistem hukum atau ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Demikianlah menurut Mahfud M. D (2009).
Masih berlakunya produk hukum peninggalan kolonial memang
ditolerir berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Tahun
1945 yang menyatakan segala badan negara dan peraturan yang ada,
masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum karena
hukum-hukum baru yang sesuai dengan idealita dan realita belum
sempat dibuat. Sehingga pemberlakuan produk hukum lama tak bisa
dipandang sebagai upaya melanjutkan kebijaksanaan hukum Pemerintah
Hindia Belanda (Wahyono, dalam Hartono: 1991).
Secara umum, hukum kolonial Belanda selama menjajah
Nusantara dibagi dua periode, yakni periode VOC (1602-1799) dan
periode pemerintah Hindia Belanda (1800-1942 atau masa kolonial
Jepang). Peraturan yang tampak dalam kebijakan semasa VOC bercorak
sentralistik, sedangkan corak yang tampak semasa Hindia Belanda
adalah desentralistik. Ini dipengaruhi penjajahan Prancis yang
merombak hukum-hukum kolonial Belanda.
a) Kebijakan Kolonial Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Berbeda dengan bangsa Barat lainnya, bila dicermati kembali
tujuan utama Belanda ke Nusantara adalah rempah-rempah, sebagai
bahan senilai emas. Saat Belanda masih koloni Spanyol, pedagang
Belanda yang berpusat di Rotterdam berbelanja rempah di Lisabon (ibu
kota Portugis), tapi setelah perang perang 80 tahun, Belanda berhasil
merdeka dari Spanyol. Namun sayang, Spanyol justru berhasil
menaklukkan Portugis pada 1580. Takluknya Portugis oleh Spanyol
otomatis membuat Belanda memulai ekspedisi menemukan penghasil
rempah.
40 | Miftakhuddin
Berdasar petunjuk Jan Huygen van Linscoten16, pada 1596
armada Belanda di bawah komando Cornelis de Houtman mendarat di
Banten. Karena hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk,
Belanda disambut baik dengan harapan akan membela Banten dalam
penyerangan ke Palembang. Namun harapan itu tidak terwujud.
Houtman ditangkap karena hanya mau membeli rempah saat musim
panen, itupun melalui tengkulak Cina. Ia lalu ditangkap dan baru
dibebaskan setelah membayar tebusan.
Bertolak dari Banten mereka menuju Bali. Tapi karena di Bali
juga mengalami pengusiran, Houtman hanya membawa pulang sedikit
rempah. Kendatipun tergolong gagal, Houtman tetap disambut baik dan
dianggap pelopor pelayaran menuju Nusantara. Saat pelayaran kedua
dengan delapan kapal di bawah Jacob van Neck dan Wybrect van
Waerwyck pada 1598. Belanda berhasil mengangkut tiga kapal rempah
dan mengirimnya ke Belanda. Sementara lima kapal sisanya menuju
Maluku. Maluku yang berkonflik dengan Portugis membuat Belanda
diterima baik.
Singkat kata, kesuksesan ekspedisi menemukan sumber rempah
memicu para pedagang swasta Belanda berdatangan ke Nusantara.
Persaingan sesama pedagang Belanda, perompakan oleh bajak laut, dan
persaingan dengan Spanyol dan Portugis membuat pedagang Belanda
rugi. Lebih-lebih persaingan dengan East India Trading Company (EIC),
kongsi dagang Inggris yang telah berdiri sejak 1600 dan berpusat di
Calicut-India. Akhirnya, tahun 1602 Pangeran Maurits dan Johan van
Olden Barnevelt memprakarsai pendirian perserikatan dagang yang
terdiri atas kongsi-kongsi dagang Belanda, bernama Verenigde OostIndische Compagnie (VOC). Baru kemudian disusul Prancis dengan
mendirikan French East India Company pada 1604.
VOC dibentuk tahun 1602 sebagai bentuk penyatuan (merger)
beberapa serikat dagang Belanda. Kepada VOC pemerintah Belanda
memberi hak octroi (hak-hak istimewa), seperti; hak monopoli
16
Jan Huygen Van Linscoten adalah pelaut Belanda yang pernah ke Indonesia karena bekerja
untuk kongsi dagang Spanyol pada 1579 dan bekerja untuk kongsi dagang Portugis pada 15831598 di Goa – India. Ia memetakan beberapa tempat berpotensi rempah di Pulau Jawa yang
terbebas dari Portugis
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 41
perdagangan, hak mencetak uang sendiri, hak mengumumkan perang,
dan hak membuat perjanjian dengan penguasa lokal atau para raja
(Wiharyanto, 2007). Status layaknya sebuah negara ini membuat VOC
punya otonomi khusus untuk bertindak. Sebab, hak membuat perjanjian
melingkupi hak mengangkat dan memberhentikan pegawai/penguasa
setempat. Sebagai sarana mewujudkannya, pemerintah Belanda
melengkapi VOC dengan pasukan bersenjata dan izin mendirikan
benteng.
Berkat kewenangan ini, VOC dibawah Steven van der Haagen
merampas loji (pangkalan dagang) -yang juga berfungsi sebagai
benteng- Portugis di Ambon pada 1605. Baru pada 1609 VOC
mendirikan lojinya sendiri di Banten, yang dikepalai Francois
Wittert.VOC tidak menjadikan Ambon sebagai basis utama pangkalan
dagang, sebab Ambon kurang strategis (jauh dari selat Malaka). Maka
dipilihlah Jayakarta, yang saat itu komposisi penduduknya ialah warga
Banten.
Menurut Wiharyanto (2007) tidak hanya karena strategis,
Jayakarta dipilih juga untuk menyingkirkan Portugis dari perairan
Malaka dan merebut kantor dagangnya. VOC mempengaruhi penguasa
Banten agar mencabut hak dagang Portugis. Liciknya Belanda, setelah
Portugis terusir penduduk Banten juga diusir, pada masa pemerintahan
Gubernur Jan Pieterszoon Coen tahun 1619. Coen lalu mengganti nama
Jayakarta menjadi Batavia17 dan menjadikannya pangkalan dagang
VOC. Inilah bedanya Belanda dengan kolonis lain. Belanda mendirikan
basis dagang di Nusantara, tidak seperti Portugis yang berbasis di India,
maupun Spanyol yang berbasis Filipina. sehingga monopoli
perdagangan di perairan Malaka lebih efektif dan efisien. Hasilnya,
VOC menjadi satu-satunya kongsi dagang Eropa yang menguasai
hampir seluruh Nusantara. VOC menguasai Malaka tahun 1641, Padang,
Semarang dan Manado tahun 1662, Makassar tahun 1667, dan Banten
tahun 1684.
Menurut Mustopo (2007), ketetapan VOC dalam melaksanakan
monopoli adalah sebagai berikut.
17
Nama itu diambil dari leluhur bangsa Belanda; Bataaf.
42 | Miftakhuddin
1. Verplichte Leverantie, yaitu penyerahan wajib hasil
bumi dengan harga yang telah ditetapkan VOC.
Peraturan ini juga melarang rakyat menjual hasil
buminya selain kepada VOC.
2. Contingenten, yaitu kewajiban bagi rakyat untuk
membayar pajak berupa hasil bumi.
3. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman
rempah-rempah yang boleh ditanam.
4. Ekstiparsi, yaitu hak VOC untuk menebang tanaman
rempah-rempah agar tidak terjadi kelebihan produksi
yang dapat menyebabkan harganya merosot.
5. Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan perahu korakora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan
monopoli perdagangan VOC dan menindak keras
pelanggarnya.
Peraturan-peraturan di atas, mayoritas dijalankan secara tidak
langsung (indirect rule), yakni dengan feodalisme yang telah
berkembang di Indonesia, dengan gubernur jenderal sebagai pucuk
pemerintahan. Gubernur jenderal dibantu dewan Hindia (Raad van
Indie), yang bertugas mengirim laporan kepada de Heeren XVII
(Gentlemen Seventeen) selaku direktur pusat VOC di Amsterdam.
Sementara secara struktural, di bawah gubernur jenderal ada beberapa
gubernur yang memerintah setiap daerah (provinsi), di bawah gubernur
terdapat pula asisten residen yang memerintah residen atau keresidenan,
dan yang paling bawah adalah pemerintahan tradisional (bupati ataupun
raja) yang memerintah kabupaten.
Melalui langkah ini, VOC menghimpun hasil bumi dari para raja
dan bupati (bumiputera). Meski begitu, kaum bumiputera tidak terlibat
dalam struktur kepegawaian VOC. Kalaupun terlibat statusnya bukan
pegawai VOC, tetapi hanya mitra yang digaji secara tidak tetap.
Inilah mengapa VOC selalu campur tangan dalam pergantian raja
atau bupati. Sebab Belanda melalui asisten residen yang bertanggung
jawab kepada gubernur, mengawasi dan mengatur kinerja bupati/raja
dalam menghimpun hasil bumi dari rakyat. Sejak saat itulah pergantian
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 43
raja dalam kerajaan-kerajaan tidak secara turun-temurun, melainkan
ditentukan oleh Belanda. Kerajaan haruslah menyesuaikan dengan
kebutuhan dan kepentingan Belanda. Bila menolak sistem pemilihan itu,
maka akan terjadi perang yang merugikan pribumi sendiri. Ini
memanglah salah satu stratgei Belanda. Sebagaimana Zed (2009), ada
tiga metode Belanda mempertahankan koloninya. Pertama, kekerasan
bersenjata (pasifikasi). Kedua, instrumen hukum kolonial (exhorbitant
recht) dan ketiga, melanggengkan feodalisme dan menjinakkan
aristokrat atau penguasa lokal tradisional.
Namun begitu, upaya mempertahankan koloni pada akhirnya
sampai pada batasnya. VOC mulai runtuh karena sebab politis dan
ekonomis, meski menurut Cady (1964) sebab utamanya ialah penurunan
taraf kerja pegawai-pegawainya. Setelah berjalan lebih dari satu
setengah abad, ternyata keuntungannya semakin kecil dan kasnya
semakin menipis, sedang anggaran belanjanya membesar. Akhirnya
VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 (Khoo, 1976).
Sebab politis ialah takluknya Belanda kepada Prancis pada 1795.
Ini terjadi karena Partai Patriot Belanda yang anti-raja berhasil merebut
kekuasaan dan membentuk pemerintahan baru bernama Republik Bataaf
(Bataafsche Republiek) atas bantuan Prancis. Sebagai imbalan, Belanda
menjadi bawahan Perancis. Kala itu, rivalitas Prancis dengan Inggris
yang meluaskan imperiumnya ke Asia Tenggara sedang memanas.
Badan usaha sekaliber VOC yang sedang pailit tentu tak bisa
diandalkan. VOC tak pernah pulih dari penderitaan perang melawan
Inggris karena pengiriman barang dengan kapal-kapal Belanda tidak
dapat lagi dilakukan karena hancurnya angkatan laut Belanda dalam
pertempuran di Dogger Bank pada tahun 1781 (Harrison, 1954). Maka
VOC dibubarkan untuk mempermudah dan mengefisienkan pengeluaran
Prancis.
Di samping sebab politis di atas, ada sedikitnya empat sebab
ekonomi internal yang diuraikan sebagai berikut. Pertama, sistem
monopoli yang merugikan. Untuk mencapai tujuan final monopoli
berupa rabat maksimum, VOC terlalu fokus pada pemegang saham, dan
melupakan orang pribumi. Akibatnya, mereka menjadi sangat miskin
44 | Miftakhuddin
dan bodoh. Mereka bahkan tak mampu membeli barang yang dijual
Belanda, termasuk beras dan makanan lainnya.
Ini terjadi karena VOC; 1) membeli hasil bumi dengan murah,
tapi menjual produk Belanda dengan mahal. 2) menjaga jumlah barang
monopoli. Stabilitas jumlah barang diawasi agar permintaan pasar dan
harga tetap seimbang. Jika permintaan tinggi, maka pengeluaran
dilebihkan, dengan syarat harganya tidak jatuh. Jika persediaan berlebih,
maka dikurangi dengan memusnahkan pohon atau mengubur hasil yang
berlebihan itu, supaya harga tetap tinggi. Contoh, jika harga lada sedang
naik di Eropa, maka penduduk dipaksa menanam lebih banyak lada, padahal tanaman ini butuh waktu bertahun-tahun untuk berbuah-. Tapi
jika waktu panen harganya sudah jatuh, maka untuk menjaga stabilitas
harga persediaan di gudang-gudang akan dimusnahkan. Harga yang
dibayar kepada penanam juga dikurangi. Jelas, VOC tidak mendapat
banyak faedah dari monopoli yang tidak optimal itu. Terlebih para
pedagang Arab, Compagnie des Indies (kongsi dagang Portugis), dan
East India Company yang menjual bahan pokok (seperti; kain, dll)
dengan harga lebih murah ketimbang VOC. Persaingan ini, menurut Day
(1966), adalah sebab utama kemerosotan VOC dalam abad delapan
belas. 3) menjaga monopoli tanaman. Di samping menjaga kuantitas
stok barang, VOC mengawasi jumlah tanaman agar tidak melebihi
permintaan pasar dengan melakukan pelayaran Hongi untuk
memusnahkan tanaman yang melanggar aturan. Pelayaran ini, selain
biayanya mahal, juga menimbulkan dendam dari penduduk yang
tanamannya dirusak. Di sisi lain, Perancis dan Inggris menggalakkan
penanaman pohon-pohon tersebut di tanah jajahan mereka. Tidak lama
kemudian Sri Lanka dan India menghasilkan kayu manis dan bunga
cengkih untuk Inggris. Sedangkan pangkalan Inggris di Bangkahulu
memperoleh rempah-rempah dari pedagang-pedagang setempat.
Keadaan ini membuat VOC sekali lagi mengalami kerugian (Khoo,
1976).
Kedua, cara kerja yang tidak efektif dan efisien. Mulanya VOC
berdiri sebagai badan usaha, tapi setelah berubah menjadi badan
pemerintah, anggaran sipil atas seluruh wilayah kuasaan melebihi laba
yang didapat. Implikasinya ialah pembengkakan anggaran pegawai. Apa
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 45
boleh buat, jangkauan perdagangan dan kekuasaan politik tidak
seimbang (unbalance). Di sisi lain, pegawai diangkat menurut kehendak
pejabat VOC, bukan berdasar profesionalitas. Mereka bergaji kecil tapi
diberi kesempatan memperoleh tambahan gaji secara tak resmi.
Akibatnya, terjadi korupsi dan pungli besar-besaran. Mereka bahkan
melakukan perdagangan secara personal, merangkap jabatan -karena
jabatan di VOC dapat dibeli-, dan yang paling parah terjadi
persekongkolan antara pegawai VOC dengan para raja. Efek
lanjutannya, karena penghasilan pejabat VOC yang besar tidak dibarengi
dengan peningkatan pendapatan penduduk pribumi, maka terjadi
pemberontakan yang memakan banyak biaya bagi VOC.
Ketiga,
pembagian
laba
tidak
proporsional.
Demi
mengembalikan keuangan VOC yang hampir gulung tikar, pembagian
laba kepada pemegang saham dilakukan tidak transparan. Terkadang
VOC memberi keuntungan 50% meski sedang tidak mendapat untung.
Ini dilakukan agar pemegang saham menyangka VOC adalah kongsi
dagang bonafit, walau . Sedangkan saat untung, para pemegang saham
justru tidak diberi apa-apa. Ketidaktransparanan itu menggiring opini
pemegang saham bahwa VOC menipu. Dan rupanya, dengan memberi
deviden besar saat rugi membuat VOC menanggung banyak hutang.
Keempat, perdagangan gelap dan perompakan bajak laut.
Monopoli perdagangan, pengendalian jumlah tanaman dan rendahnya
penghasilan pribumi memicu perdagangan gelap dan penyelundupan.
Malahan, para penyelundup terkadang juga merupakan perompak/bajak
laut yang mengganggu aktivitas niaga.
Sebab-sebab di atas memang saling kait-mengkait. Bila coba
mencari sebab utama dan pertama kejatuhan VOC, masing-masing sebab
berpeluang menjadi sebab utama. Ibarat menjawab pertanyaan; mana
yang lebih dulu, telur atau ayam? (Wiharyanto, 2007). Tepat setelah
dibubarkan, sejak 1 Januari 1800 seluruh kekuasaan, keputusan dan
wewenang VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan Belanda,
termasuk hutang dan saldo 134,7 juta gulden (Mustopo, 2007). Sejak
saat itu, kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda, yang diakui oleh
dunia baik secara de jure maupun de facto.
b) Kebijakan Kolonial Pemerintah Hindia Belanda
46 | Miftakhuddin
Pasca pembubaran VOC, administrasi jajahan VOC diurus oleh
Aziatische Raad (Dewan Asia), bukan lagi de Heeren XVII (Gentlemen
Seventeen). Adapun posisi gubernur jenderal dijabat Pieter Gerardus van
Overstraten. Ia berhasil menangkis serangan Inggris yang dipimpin
Admiral Ball atas bantuan raja-raja Jawa (Wiharyanto, 2007). Saat posisi
gubernur jenderal akan digantikan Johannes Siberg, sebelum dilantik ia
mengirim dua komisaris ke Hindia Belanda (Nederburg dan van
Hogendrop), untuk memperkirakan politik kolonial apa yang nantinya
bakal diterapkan. Namun keduanya berbeda pandangan.
Nederburg cenderung konservatif. Usulannya mempertahankan
dan melanjutkan sistem perekonomian dibangun VOC. Sedangkan Van
Hogendrop berpendirian sangat liberal. Menurutnya, persoalan politik
dan ekonomi harus dipisah. Perbedaan dua tokoh ini akhirnya
diakomodir melalui Charter 1904 sebagai kompromi dua pendirian itu.
Menurut Charter 1904, kebijakan lama yang masih dipandang baik perlu
dipertahankan, dan akan dilakukan pembaharuan-pembaharuan bila
dibutuhkan. Akhirnya, Belanda yang pada periode VOC mementingkan
urusan ekonomi, kini lebih tertarik ke ranah politik (imperialisme).
Di dalam bahasan tentang persoalan tersebut, ada dua hal yang
perlu diketengahkan. Pertama, ekspansi Belanda periode sebelum tahun
1850 dapat dikategorikan ke dalam kolonialisme marxistis (kapitalis),
sebab terdapat akumulasi modal dan kelebihan produksi di pihak
Belanda. Kedua, kebijakan politik kolonial Belanda setelah tahun 1850
harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomik saja, tetapi juga
harus dipelajari dari segi perluasan militer, perluasan pegawai, perluasan
politik dan agama, dan masing-masing berperan sebagai faktor penentu
atau faktor pembantu.
Hasil mufakat Charter 1904 menggariskan penguasa tertinggi
Hindia Belanda ialah Gubernur Jenderal yang dibantu empat orang raad
van indie, di mana mereka sendiri juga dibantu generale secretarie yang
terdiri dari commisaris general dan gouvernement secretarie. Keduanya
juga membantu Gubernur Jenderal, tapi sejak 1819 keduanya digantikan
dengan algemene secretarie, yang fokus membantu Gubernur Jenderal
memberi pertimbangan keputusan. Namun tetap, berdasarkan UndangUndang Hindia Belanda, pemerintah tertinggi adalah Raja yang
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 47
dilaksanakan oleh menteri jajahan atas nama raja, di mana menteri
jajahan bertanggung jawab pada parlemen Belanda (staten general).
Adapun Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal
atas nama raja yang dalam praktiknya atas nama menteri jajahan.
Hartono (2015) menegaskan, pada masa itu hanya Kroon (raja)
yang berwenang mengatur segala sesuatu di Belanda dan koloninya.
Pengaturannya dilakukan dengan mengeluarkan Koninklijk Besluit
(keputusan atau penetapan). Besluit dapat memuat tindakan eksekutif,
misalnya; pengangkatan komisaris jenderal yang mengurus
pemerintahan di daerah jajahan, dan dapat memuat tindakan legislatif
berupa peraturan, misalnya; Algemene Maatregel van Bestuur (untuk
Belanda) dan Algemene Verordening (untuk daerah jajahan).
Ketika tahun 1830 Belanda mulai melakukan kodifikasi hukum
perdatanya, sehingga timbul pemikiran untuk mengkodifikasi juga
hukum Hindia Belanda. Maka pada 1839 dibentuklah komisi undangundang Hindia Belanda. Produk penting komisi ini adalah Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Ketentuan-Ketentuan Umum
tentang Perundang-Undangan). Beberapa kodifikasi yang dihasilkan,
(menurut Hartono, 2015), antara lain.
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) - Peraturan
Organisasi Peradilan.
b. Burgerlijk Wetboek (BW) - KUHPer
c. Wetboek van Koophandel (WvK) - KUHD.
d. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) - Peraturan
Tentang Acara Perdata.
e. Inlandsch Reglement (IR) - Reglemen Bumiputera (Peraturan
Tentang Acara Perdata yang berlaku untuk bumi putera), yang
belakangan diperbaharui menjadi Herziene Inlandsch Reglement
(HIR).
Baru pada 1848, ketika terjadi perubahan Grondwet (UUD) di
negeri Belanda, di mana pemerintahan berubah dari monarki menjadi
parlementer, peraturan-peraturan untuk mengatur daerah jajahan tidak
lagi ditetapkan Kroon seorang, tetapi bersama-sama dengan Staten
Generaal (parlemen). Hasilnya adalah Reglement op het beleid der
48 | Miftakhuddin
regering in Nederlandsh Indie (atau Regerings Reglement/R.R), yang
mengatur kebijakan pemerintahan di Hindia Belanda.
Pada masa berlakunya aturan tersebut, menurut Hartono (2015),
dibuat peraturan sebagaimana disebutkan di bawah ini.
a. WvS voor Nederlandsch-Indie. Ini berlaku untuk semua golongan
dan mulai diterapkan sejak 1 Januari 1918. (sebelumnya, hukum
pidana yang berlaku dibedakan antara; golongan Eropa, yaitu
WvS voor Europeanen dan golongan pribumi, yaitu WvS voor
Inlander)
b. Rechtsreglement voor de Buitengewesten - RBg (Reglement
untuk daerah seberang)
c. Agrarisch Wet (Agraria)
d. Indishe Comptabiliteitswet - ICW (Perbendaharaan Negara)
e. Auteursrecht (Hak Cipta)
f. Faillisementsverordening (Kepailitan)
Sederhananya, kontrol kebijakan menjaga ketaatan penduduk,
diwujudkan dengan memberlakukan dua sistem hukum, yakni; hukum
pidana dan acara pidana, dan hukum perdata dan acara perdata. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) mengatur soal
tindak kejahatan dan pelanggaran. Sedangkan Kitab Undang-Undang
Acara Pidana (Wetboek van Strafprocesrecht) mengatur bagaimana
proses peradilan berlangsung, sejak penyidikan polisi hingga
pengambilan keputusan oleh pengadilan.
Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur soal
kekayaan dan perjanjian. Oleh karena sebagian besar perdagangan
melalui perantara Cina. Maka hukum ini dibuat untuk mempermudah
pembuatan kontrak dan menjamin kepastian hukum pedagang Belanda,
sekaligus mendudukan Cina atas Eropa. Selain KUH-Per, ada juga Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), yang
dibuat khusus untuk orang-orang Cina18. Sementara untuk pribumi
18
Kenampakkan tendensi Belanda terhadap perdagangan memang mencerminkan minat
Belanda terhadap perdagangan masih tinggi, sebagaimana Kartodirdjo (1990), bahwa sampai
pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memang masih menganggap
perdagangan sebagai kepentingan fundamental, sedangkan kepentingan politik dan militer
dianggap kurang esensial.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 49
disediakan kitab undang-undang khusus dengan mempertimbangkan
hukum adat, yang sebelumnya diabaikan untuk menundukkan pribumi.
Implikasi atas diterapkannya sistem hukum yang terstruktur
menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah hukum di Batavia, seperti;
Rechtsschool (Sekolah Hakim) pada 1908 dan Rechtsshoge School
(Sekolah Tinggi Hukum) pada 1924. Selain itu, karena kelas dan
peraturan berbeda untuk setiap etnis, maka peradilan dan sanksi juga
berbeda, antara pribumi, Eropa dan Cina. Klasifikasi hukum ini akan
menjadi jelas saat tiba pada pembahasan Indische Staatsregeling sebagai
pengganti Regerings Reglement.
Indische Staatsregeling (I.S) sebagai pengganti Regerings
Reglement (RR), mulai berlaku sejak 1 Januari 1926. Penggantian ini
disebabkan perubahan Grondwet (UUD) negeri Belanda pada 1922.
Selama pemberlakuan Indische Staatsregeling, pembentukan peraturan
dilakukan Pemerintah Hindia Belanda bersama-sama dengan Volksraad
(Dewan Rakyat), yang terdiri atas pribumi asli. Menurut Hartono (2015),
produk penting Indische Staatsregeling antara lain:
a. Herziend Inlandsch Reglement (HIR) - Reglemen Indonesia yang
Diperbaharuhi.
b. Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) - Reglemen Acara
Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura.
c. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 - Ordonansi
Perdagangan.
Sedangkan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan
yang ada di Nusantara adalah sebagai berikut.
a. Hukum untuk golongan Eropa:
1. BW dan WvK yang berlaku di Belanda (sesuai asas
konkordansi)
2. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement
op de Strafvordering
b. Hukum untuk golongan pribumi: hukum adat tak tertulis dan
tidak berlaku mutlak. Jika diperlukan, dapat diatur dalam
peraturan khusus (ordonansi).
c. Hukum untuk golongan Timur Asing :
1. Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka.
50 | Miftakhuddin
2. Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
Perkembangan berikutnya, corak desentralisasi dalam
pemerintahan semakin jelas. Berdasarkan Undang-Undang Perubahan
tahun 1922, Hindia Belanda dibagi ke dalam beberapa provinsi dan
gewest (wilayah). Provinsi memiliki otonomi, sedangkan wilayah tidak.
Daerah administratif yang dikelompokkan ke dalam provinsi adalah;
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara daerah
administratif yang dikelompokkan ke dalam gewest meliputi; Kesultanan
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest
Kalimantan Borneo, dan Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri
atas Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat.
Keputusan desentralisasi itu akhirnya membuat Belanda memerlukan
bumiputera bukan sebatas penguasa daerah, tapi juga mengerjakan
administrasi pemerintahan untuk urusan sipil, medis, dan militer. Maka
dari itu, agar dapat bekerja dengan baik mereka harus sekolah.
Praktis, atas kebijakan tersebut membuat Hindia Belanda hampir
berubah bentuk dari koloni menjadi negara baru. Sebab, desentralisasi
berdampak pada meningkatnya liberalitas stakeholder kolonial. Lebihlebih asimilasi dengan feodalisme yang telah ada “di bawah tanah”
memunculkan Indonesian-isasi. Tanpa disadari, sistem kepengurusan
Nusantara sejauh mungkin harus dilakukan orang Nusantara. Inilah
penyebab lahirnya Volksraad (Dewan Rakyat), yang pada gilirannya dari
provinsi dibentuk keresidenan (afdeling), kabupaten, kawedanan
(kotamadya), kecamatan hingga desa.
Pengecualian untuk jabatan kepala desa, tidak termasuk dalam
struktur birokrasi pemerintah kolonial (tidak termasuk dalam korps
pegawai Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda). Pejabat pribumi
(inland bestuur) yang termasuk dalam departemen dalam negeri adalah
Pangreh Praja atau pemangku kerajaan, yang oleh masyarakat lokal
lebih dikenal dengan sebutan priyayi. Sedangkan kepala desa,
berhubung bukan merupakan anggota korps Departemen Dalam Negeri
Hindia Belanda, maka tidak diangkat maupun digaji pemerintah. Ia
dipilih dan digaji oleh rakyat melalui tanah desa (tanah béngkok) yang
diserahkan kepadanya selama menjabat.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 51
Demi optimalitas kinerja, pegawai di atas kepala desa (pegawai
pribumi), disekolahkan menjadi pejabat birokrasi profesional. Anrooij,
dalam naskahnya De Koloniale Staat terjemahan Santoso (2014),
menuturkan proses itu berjalan lebih cepat setelah tahun 1900. Pada
1908, sekolah-sekolah kepala (1879) mengalami reorganisasi menjadi
Opleidingsscholen voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) atau Sekolah
Pendidikan untuk Pegawai Pribumi. Melalui sejenis Surat Edaran
tentang Etiket Penampilan (Hormatcirculaires), ditentukan pemakaian
tanda-tanda kehormatan saat tampil di depan umum. Aparat
pemerintahan feodal disehatkan dan dimodernisasikan; gaji dibayarkan
dalam uang. Memasukki tahun 1913, pemerintah memformulasikan
syarat-syarat baru pengangkatan bupati; mereka harus menyelesaikan
OSVIA, menguasai bahasa Belanda secara aktif maupun pasif, dan telah
bekerja sebagai wedana dan patih dengan predikat memuaskan. Banyak
pegawai pemerintahan Eropa yang muda, di bawah pengaruh mantan
kolega dan penulis Eduard Douwes Dekker, mulai bersikap lebih kritis
terhadap korps pemerintahan dalam negeri pribumi. Bagi generasi ini,
buku Max Havelaar (1860) merupakan pedoman dan sumber inspirasi.
Mereka menilai, para pegawai pemerintahan pribumi lebih bersifat
sebagai “ornamen pemerintah” ketimbang sebagai kolega yang punya
tanggung jawab sendiri.
Masih menurut Anrooij (2014), krisis ekonomi pada dekade
akhir abad ke-19 menjadi alasan pemerintah untuk ikut campur secara
lebih intensif dalam mengembangkan kesejahteraan. Lebih-lebih pidato
raja tahun 1901 menyebutkan zedelijke roeping (panggilan akan
tanggung jawab etis) Belanda terhadap Hindia, yang dianggap sebagai
awal resmi Ethische Politiek (Politik Etis). Politik itu bertujuan
mengembangkan tanah jajahan di bawah kepemimpinan Belanda
menjadi kemandirian yang besar. Arah baru itu menyebabkan
modernisasi lebih lanjut dan spesialisasi aparat pemerintahan.
4. Kesimpulan
Pokok aturan main kolonisasi (telah bergeser menjadi
penjajahan), adalah menghisap sumber daya alam secara terstruktur dan
sistematis. Lihat saja Portugis selaku pengkoloni pertama Nusantara.
52 | Miftakhuddin
Melesetnya Vasco da Gama ke India membuat raja mengutus Alfonso ke
Malaka, sebab India bukan penghasil rempah utama. Menariknya,
sampai tahap ini kolonisasi tidak dimaksudkan untuk “mengambil”
sumber daya, melainkan dimaksudkan untuk “membeli”.
Interaksi antara pendatang dengan pribumi -lah yang kemudian
membuat perdagangan menjadi tidak harmonis. Ini telah dibuktikan oleh
kontak sosial dan ekonomi antara bangsa Eropa dengan kerajaankerajaan di Asia Tenggara. Mula-mula pribumi menyambut baik
kedatangan Barat, tapi sikap dan kepentingan yang tak sesuai
pakem/adat pribumi, maka mereka dianggap menyalahi aturan, yang
pada gilirannya menimbulkan konflik. Contoh; kedatangan Spanyol di
Filipina. Awalnya pribumi tidak agresif dan paranoid terhadap Spanyol,
namun karena Magelhaens tiba-tiba memasang salib, dan atas nama
kerajaan, pulau Cebu di Filipina diklaim beragama Katholik, maka
timbullah perlawasan pribumi (konflik). Begitu juga dengan Belanda di
Banten. Kebaikan pembesar Banten menyambut Belanda malah dibalas
dengan sikap kaku dan upaya memonopoli harga rempah, maka
berujung pada pengusiran dan konflik yang berkelanjutan.
Pola-pola interaksi ini agaknya sama, antara di Jawa, Maluku,
bahkan Filipina. Tendensi akan penguasaan dan pemaksaan tampaknya
merupakan corak utama yang khas dalam setiap perjumpaan pertama
pendatang terhadap pribumi. Baru pada ekspedisi kedua dan seterusnya,
upaya penaklukan dan pelemahan pribumi (kolonisasi) mulai berhasil.
Sebagaimana diulas dalam bagian awal buku ini, kolonisasi ialah
pendelegasian kekuasaan sosio-politik, dan menampakkan corak
pemerintahan sentralistik dalam setiap implementasi kebijakannya. Baik
Portugis, Spanyol, maupun Belanda.
Namun begitu, sentralistik rupanya bisa berubah jika terjadi
penaklukan atas pengkoloni. Sebab jatuhnya pengkoloni jelas akan
menghapuskan hegemoni dalam kolonialnya. Lihat saja pengalaman
Belanda saat diduduki Prancis, yang berdampak pada pembubaran VOC
dan penerapan sistem pemerintahan desentralisasi di Hindia Belanda
(Nusantara). Memang secara serampangan, bisa dikatakan kolonial
Prancis tak mau kehilangan “tambang emas” Belanda, yakni Nusantara.
Akan tetapi, asumsi ini tampaknya cukup mewakili sifat kolonial itu
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 53
sendiri. Sebagaimana diungkapkan Tomé Pires, kolonial Portugis
berusaha keras menguasai Malaka demi kedudukan strategis dan potensi
peluang ekonomi, yakni keberadaan syahbandar (pengurus perniagaan
antarbangsa). Kaitannya dengan kolonialisme Prancis di Belanda, ialah
keduanya bersifat oportunis. Itulah mengapa Prancis tidak melepas
daerah koloni Belanda, justru memberikan desentralisasi melalui
Belanda agar seolah Nusantara memperoleh kelonggaran.
Meski telah nampak ada perubahan motif penaklukan dari
penguasaan wilayah menjadi penguasaan sistem perdagangan, namun
fase ini tidak menunjukkan kolonialisme telah bergeser dari pakem yang
diamanatkan paus kepada para conquistador. Walau tampak terobsesi
pada harta, tapi tidak semua kolonis melupakan misi suci. Spanyol di
Filipina misalnya, yang menunjukkan betapa berusahanya menginfiltrasi
agama suci kepada orang moor di Filipina. Pembangunan infrastruktur,
kerja sosial dan penerjemahan Alkitab sampai dilakukan demi
terlaksananya misi suci.
C. Kolonialisme dan Imperialisme
Bagai dua sisi mata koin, kolonialisme dan imperialisme tak bisa
dipisah. Sebab di mana praktik kolonialisme berlangsung, di situ juga
terjadi imperialisme. Pun juga sebaliknya. Kolonialisme adalah kakikaki bagi imperialisme. Segala bentuk kolonialisme akan berpuncak
pada imperialisme. Lalu persoalannya, apa perbedaan yang paling
mendasar? Sebab dalam praktik, keduanya acap kali diselenggarakan
dengan cara yang hampir sama, dan keduanya juga merupakan bentuk
“perpanjangan tangan” dari pemerintah pusat. Hanya saja, masa di mana
pertama kali imperialisme dilakukan, belum ditemukan istilah yang
sesuai untuk menggambarkan proses imperialisasi itu sendiri. Baru
sekitar tahun 1830-an, penulis Inggris memperkenalkan istilah
“imperialisme” di Prancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte.
Istilah itu digunakan untuk menjelaskan secara gamblang dasar-dasar
perluasan wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh Britania Raya
(imperium Britania). Penggambaran imperialisme merujuk pada Britania
karena pada masa itu Imperium Britania telah menguasai wilayah Asia
dan Afrika, atau hampir tiga perempat dunia.
54 | Miftakhuddin
Secara prinsipil, perbedaan keduanya terletak pada tujuannya,
meski pada akhirnya, keduanya dimanifestasikan dalam bentuk
penjajahan yang terkesan mengandung obsesi ekonomi. Saat Britania
memperluas imperiumnya, mereka memandang penjajahan sebagai
pembangunan masyarakat untuk kebaikan dunia, sebab daerah jajahan
dinilai masih terbelakang. Oleh sebab itu, kini imperialisme dimengerti
dengan merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomipolitik negara kaya dan berkuasa (imperialis), mengawal dan menguasai
negara lain yang dianggap terbelakang dan miskin disertai eksploitasi
sumber-sumbernya untuk sekaligus menambah kekayaan dan kekuasaan
negara imperialis.
Sekiranya dapat diketengahkan, prinsip kolonialisme adalah
pendelegasian kekuatan sosio-politik, sedang imperialisme berprinsip
pada hubungan ekonomi-politik (perluasan wilayah, tapi bukan koloni).
Imperialisme lebih menonjolkan sifat-sifat superioritas atau keunggulan
negara imperialis terhadap negara jajahan. Selain bertujuan menambah
pemasukan di sektor ekonomi, kepercayaan bahwa pihak imperialis
adalah bangsa yang lebih mulia (ethnosentrism) juga menyebabkan
imperialisme dimaksudkan membangun masyarakat jajahan. Maka dari
itu kebanyakan negara imperialis menganut chauvinisme. Contohnya,
negara-negara dengan nenek moyang suku bangsa ras Arya (Jerman,
Inggris, Prancis, dan Italia). Faktor ini pula yang menyebabkan
imperialis ingin mencapai taraf kekuasaan lebih tinggi dan memerintah
dunia melalui pengaruhnya. Sebagaimana penegasan Edward Said,
bangsa Eropa tahun 1914 telah menguasai 85% wilayah bumi ini sebagai
koloni, wilayah perlindungan, jajahan, dominion dan persemakmuran.
Pengalaman imprealisme dan kolonialisme selama ratusan tahun telah
menimbulkan implikasi pada semua penjuru dunia, baik di pihak
penjajah maupun yang dijajah (Lubis, 2006).
Smith (1999), mendeskripsikan bentuk imperialisme Eropa awal
abad 19 setidaknya dalam empat kecenderungan atau cara yang berbeda
antara lain: (1) imperialisme sebagai ekspansi ekonomi; (2) imperialisme
sebagai pendudukan negara lain (the Other19); (3) imperialisme sebagai
19
Makna dan maksud istilah ini dijelaskan dalam bab “post-kolonialisme” di buku ini.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 55
semangat dan gagasan dengan berbagai macam pengejawantahannya; (4)
imperialisme sebagai bidang ilmu pengetahuan diskursif.
Kendati demikian, dasar imperialisme memang merujuk pada
usaha menyebarkan ide-ide, gagasan-gagasan dan budaya Barat ke
seluruh dunia, dengan dalih pembangunan masyarakat. Maka
imperialisme tak boleh dilihat semata-mata sebagai penindasan, tetapi
harus juga dipandang sebagai upaya mendorong sebuah bangsa melalui
pembaharuan-pembaharuan ke arah pembinaan masyarakat “tertinggal”.
Melalui pembinaan tersebut dapatlah tersumbang beberapa hal, seperti;
pendidikan, kesehatan dan sistem pemerintahan maupun peraturan
perundang-undangan. Praktis, kolonialisme pun berkontribusi dalam
berbagai bidang. Lihat saja sistem hukum dan sistem persekolahan
peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, sistem
pemberdayaan masyarakat di Australia oleh Inggris, dan peninggalanpeninggalan penjajah lain.
Atas dasar platform imperialisme dan kolonialisme yang rupanya
juga mengandung unsur pembangunan peradaban (bersifat ambivalen),
tidak jarang dosen-dosen mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
(ISBD) di berbagai universitas membentuk mahasiswa kelasnya menjadi
kubu pro imperialisme dan kolonialisme, dan kubu kontra imperialisme
dan kolonialisme. Mereka lantas diminta untuk mendiskusikan dan
mempertahankan argumennya tentang kolonialisme dan imperialisme.
Umumnya, imperialisme dibagi dua kategori; imperialisme kuno
dan imperialisme modern. Imperialisme kuno berlangsung sebelum
Revolusi Industri dan Revolusi Prancis, yang mana dijalankan dengan
cakupan terbatas (sebelum era penjelajahan samudra). Contoh; imperium
Romawi, Turki Usmani, China, Mongol, dan kerajaan Hindhu-Buddha
di Asia Tenggara. Motif dibalik imperialisme kuno ialah kejayaan
penguasa dan penyebaran agama. Inilah yang tadi dimaksud sebagai dua
hal tak terpisah. Bagi beberapa orang yang keliru memahami konteks,
sering kali terjebak dalam pengertian yang salah dan menganggap
kolonialisme dan imperialisme adalah dua hal yang sama saja.
Zed (2009), dalam naskahnya berjudul “Bagaimana Hidup
sebagai Rakyat Jajahan”, merumuskan ciri-ciri pokok kolonialisme
adalah sebagai berikut:
56 | Miftakhuddin
− kolonialisme itu berwatak expansive, yang selalu ingin
meluaskan kuasa politiknya dari yang kecil menjadi
lebih besar dan lebih besar lagi. Ini sejalan dengan
watak kapitalisme yang dibawanya, yaitu selalu ingin
mendapat keuntungan lebih besar dari orang lain
daripada apa yang dapat diberikannya pada orang lain.
− kolonialisme itu berwatak diskriminatif, antidemokrasi, dengan menciptakan iklim ketergantungan
abadi antara penjajah dan rakyat jajahan; sernua
ditentukan berdasarkan hierarki kekuasaan dari “atas”
dengan bantuan sistem feodalisme yang sudah ada
dalam masyarakat.
− kolonialisme itu berwatak menindas (oppressive)
dengan memaksakan semua kehendak penjajah kepada
rakyat jajahan. Ada banyak sistem yang dipaksakan
kepada rakyat jajahan, baik hukum, politik-ekonomi,
dan budaya;
− kolonialisme itu berwatak menguras (exploitative),
dengan memeras potensi SDM dan SDA secara
maksirnal untuk kepentingan penjajah, sedangkan
hasilnya diangkut ke negeri penjajah.
Adapun imperialisme modern, bermula pasca Revolusi Industri
dan Revolusi Prancis. Di samping renaissance yang diwujudkan dengan
pembuktian-pembuktian sains, penyebabnya lainnya ialah Eropa
kekurangan bahan baku dan kelebihan modal dan barang industri. Maka
dilakukanlah penjelajahan untuk memasarkan barang industri tersebut
agar memperoleh laba maksimal dan mendapatkan bahan-bahan baku.
Sayangnya, ini berakhir dengan penjajahan (imperialisme). Karena
sebelum ekspedisi berlangsung, para penjelajah “dititipi” misi suci
menyelamatkan manusia dari segala macam ketidakadilan sekaligus
kebodohan, dan motif perluasan kekuasaan raja.
Celakanya, imperialisme dalam rangka memperoleh hegemoni di
antara para imperial lain pada gilirannya malah menimbulkan konflik
yang bermuara pada Perang Dunia sebagai puncak pertikaian kuasaKolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 57
kuasa imperialis di dunia. Pasca Perang Dunia, baru muncul paham
nasionalisme untuk mencekal terulang kembalinya imperialisme dan
kolonialisme. Kusumawardani (2004) juga menegaskan, ketika resesi
besar menimpa negara-negara kolonial di akhir Perang Dunia II yang
diikuti menguatnya kelompok masyarakat yang tersisihkan,
nasionalisme menawarkan harapan adanya kebebasan dan persamaan.
Nasionalisme menjadi kompensasi bagi masyarakat yang frustasi.
Di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia saja,
nasionalisme menjadi sebuah kata sakti yang mampu membangkitkan
dan mengikat kekuatan untuk melawan penindasan. Perasaan senasib
dan sepenanggungan mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama,
sekalipun menurut Hobsbawm (1992), nasionalisme adalah ideologi
negara modern, seperti halnya demokrasi dan komunisme, yang mana
justru kolonialisme dan imperialisme merupakan bentuk dari
nasionalisme yang bersifat ekspansif.
Namun begitu, popularitas nasionalisme nampaknya telah dapat
diakomodir dengan imperialisme baru, yang sering disebut imperialisme
post-modern ataupun imperialisme ultra-modern. Artinya, saat
nasionalisme mulai hadir sebagai “pembela” kalum tertindas,
imperialisme post-modern hadir tanpa penguasaan secara fisik,
melainkan secara psikologis menyerang ideologi, mentalitas dan
kepribadian suatu bangsa. Imperialisme ini, barangkali bisa juga
dikatakan sebagai imperialisme kebudayaan. Sebab, target pengiasaan
sang imperialis adalah kebudayaan, bukan wilayah (imperialisme
politik).
Jika memang demikian adanya, maka dampak modernisasi dan
globalisasi tidak lain merupakan imperialisme kebudayaan. Sebab
negara-negara di Asia dan Afrika, kini -sedikit banyak- menganut
budaya kebarat-baratan (western-sentris) sekalipun telah berusaha
mempertahankan budaya asli. Di samping itu, kebutuhan teknologi dan
ketergantungan ekonomi juga menampakkan bahwa penjajahan masih
berlangsung, hanya saja dalam kemasan yang lebih rapi dan sopan.
Implikasi lain yang harus diterima ialah tak ada lagi pembeda
atau batas-batas teoretik soal kolonialisme dan imperialisme. Sebab
kolonialisme pun dalam pendelegasian kekuasaan sosio-politik
58 | Miftakhuddin
beradaptasi dengan perkembangan zaman sebagaimana terjadi pada
imperialisme. Sebagai contoh, Freeport, yang telah beroperasi menjadi
koloni Amerika selama bertahun-tahun di era modern, dan baru bisa
renegosiasi akhir-akhir ini. Ada garis besar yang patut disoroti, yaitu
pendapat Rohman (2009) yang berangkat dari argumen Ania Loomba,
bahwa;
Kolonialisme
menggerakkan
roda
kapitalisme.
Kapitalisme berpuncak pada imperialisme, demikian
Lenin dan Kautsky memberikan makna baru pada
imperialisme, yang termaktub dalam Imperialism, the
highest stage of capitalism (1947). Kapitalisme inilah
yang kemudian membedakan antara kolonialisme dan
imperialisme.
D. Macam-Macam Kolonialisme
Perubahan formasi dan rupa kolonialisme yang amat penting
diketahui dan dipelajari, adalah perubahan kolonialisme zaman
penjelajahan menjadi neokolonialisme era damai di bawah pengawasan
PBB. Menurut kajian teori para tokoh post-kolonial, transformasi itu
memberikan efek tertentu pada perilaku suatu bangsa. Namun terlepas
dari berbagai perubahan itu, ada pula variasi kolonialisme yang perlu
dipahami bersama. Sebab, pengetahuan akan macam-macam
kolonialisme ini akan memetakan dan meranking kolonialisme seperti
apa yang telah terjadi pada bangsa atau ras tertentu.
1) Kolonialisme Eksploitasi
Kolonialisme eksploitasi adalah paham kolonisasi untuk
mengeksploitasi SDA dan SDM. Maksud dari eksploitasi SDM bukan
berarti pribumi yang diambil secara kuantitatif, melainkan pemerasan
tenaganya untuk bekerja. Contoh kolonisasi eksploitasi adalah Belanda
kepada Nusantara, Spanyol terhadap Filipina, dan praktik koloni
eksploitasi lainnya. Belanda mengeksploitasi Nusantara dengan
mendirikan VOC pada periode pertama, dan menggunakan hegemoni
pemerintahan Hindia Belanda pada periode kedua. Di dalam
kolonisasinya, Belanda mengincar SDA dengan melibatkan SMD
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 59
sebagai motor penggerak. Begitu juga dengan koloni Spanyol di
Filipina.
Akan tetapi, sekalipun keduanya merupakan kolonialisme
eksploitasi, namun militansi Katholik Spanyol dalam penyebaran agama
menjadi ciri khas yang tidak dipunyai kolonial Belanda, yang -katanyamenjajah selama 350 tahun. Meski banyak sejarawan melakukan
generalisasi atas misi utama kolonial Eropa menjadi Gold, Glory dan
Gospel, tapi motif itu sama sekali tak nampak dalam kolonisasi Belanda.
Hal ini barangkali bisa dipandang lumrah, sebab ditinjau dari latar
belakang Belanda melakukan kolonisasi adalah karena Portugis, tempat
Belanda membeli rempah telah dikuasai Spanyol, dimana peristiwa itu
terjadi beberapa saat setelah Belanda merdeka dari penjajahan Spanyol.
Maka, jatuhnya Portugis kepada Spanyol membuat hubungan dagang
Portugis-Belanda terputus. Oleh sebab itulah Belanda mencari sumber
rempah sendiri (Gold), tanpa adanya motif penyebaran agama (Gospel).
Sementara kolonial Spanyol menjalankan Gold, Glory dan Gospel secara
berimbang.
Memang beginilah rupanya apa yang selama ini didengungdengungkan sejarawan tidak selamanya benar. Sebab faktanya,
Nusantara lebih mengenal hukum dan pendidikan sebagai peninggalan
kolonial Belanda, dan kesan yang awet adalah kesan soal pemerasan dan
penindasan.
2) Kolonialisme Deportasi
Kolonialisme deportasi diartikan sebagai paham penguasaan
daerah untuk mendeportasi, yang mana umumnya deportasi dilakukan
terhadap narapidana atau pelanggar hukum. Setiap negara memiliki
alasan tertentu mengapa hal ini perlu dilakukan. Terdapat beberapa
alasan mengapa ini perlu, seperti; adanya ancaman bahaya bila ditahan
di dalam kerajaan, memberi efek jera yang tak berkesudahan, ataupun
sekadar menjaga nama baik kerajaan. Contoh koloni deportasi adalah
Australia sebagai koloni narapidana Inggris, dan Kepulauan Pasifik,
seperti; pulau Tahiti, Samoa, Society, Marquesas, dan pulau-pulau
Polinesia lainnya yang oleh Prancis didirikan penjara untuk
mendeportasi narapidananya.
60 | Miftakhuddin
Sebelum Australia dikoloni Inggris, benua ini ditemukan Pedro
Fernandez de Quiros, seorang Portugis dalam misi kedinasan Spanyol.
Rumornya, berdasar legenda Yunani, benua ini bernama Terra Australis,
namun Pedro mempersembahkannya untuk raja Philip III, Raja Spanyol
berdarah Austria, dan mengubah namanya menjadi Austrialia, yang
kemudian lebih dikenal Australia. Sayangnya, pada perkembangan
selanjutnya bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris dan Belanda bebas
keluar masuk Australia, seolah tidak ada satu kekuasaan pun sedang
berdaulat di sana. Maka ketika James Cook berhasil memetakan pantaipantai di New South Wales, ia menyatakannya sebagai milik Britania
pada 1770, dan menggunakannya sebagai koloni orang-orang terhukum
pada 1788, dengan 11 kapal bermuatan sekitar 1.500 orang (pria dan
wanita) melalui pelabuhan Sydney. Akan tetapi, jumlah pria lima kali
lipat jumlah wanita membuat kaum wanita hidup di bawah ancaman
eksploitasi seksual, walau napi yang kembali melanggar hukum
dicambuk dan kejahatan kecil bisa dihukum gantung.
Suku Aborigin (pribumi) malah lebih menderita lagi. Sebab
posisi mereka menjadi tergusur. Kehilangan tanah leluhur dan kematian
akibat penyakit yang dibawa narapidana mengganggu pranata sosial
dalam kehidupan tradisional mereka. Mandeknya aktivitas kultural
masyarakat Aborigin ini menjadi salah satu alasan kenapa saat ini
budaya Aborigin kurang dominan.
Begitu juga dengan pulau-pulau Polinesia abad 19. Setelah
ditemukan penjelajah Belanda pada abad ke 16, dan disusul James Cook
pada abad ke 18, Prancis di bawah Napoleon III kemudian
menguasainya satu per satu untuk mendeportasi tahanan nasional. Bagi
Kaledonia Baru saja, setelah Prancis mendirikan Port de France (kini
menjadi Noumea, ibukota Kaledonia), telah menjadi lokasi pembuangan
22.000 narapidana sejak 1864 hingga 1897. Jumlah itu baru menyusut
drastis setelah Gubernur Prancis, Paul Fillet, memberi amnesti dan
kesempatan kepada para napi untuk kembali ke kampung halamannya.
Prancis memang lebih tertarik pada penaklukan wilayah
ketimbang perdagangan seperti Belanda dan Portugis. Memang benar,
raja-raja dan aristokrat Prancis tidak pernah benar-benar tertarik dengan
pekerjaan dan wilayah yang letaknya jauh, namun sebenarnya hal itu
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 61
terjadi karena sistem politik dan administrasi yang cukup rumit dalam
kerajaan Prancis. Di Prancis semuanya dilakukan secara diam-diam dan
rahasia. Para pedagangnya tidak peduli dengan kemuliaan asalkan para
pelautnya menemukan tanah baru, makanya mereka tidak menggembargemborkan kehebatan nahkoda kapal mereka. Akibatnya, dalam sejarah
kehormatan sebagai penemu jalur laut ke India jatuh kepada orang
Portugis, yakni Bartholomew Diaz (Dorléans, 2016).
Ada setidaknya dua hal yang perlu diketengahkan dalam
pembahasan politik koloni deportasi. Pertama, kenyataan bahwa
sekalipun mereka adalah narapidana, mereka tetap berstatus warga
negara kolonis. Kedua, sebagai kerajaan yang mengirim koloninya ke
luar, maka koloni adalah koloni, di mana segala aspek kehidupannya
selalu dikontrol negara induk. Sebagai koloni narapidana, mereka
dipekerjakan tanpa digaji, dan diberi pertambangan atau wilayah agraria
untuk dikelola.
3) Kolonialisme Penduduk
Kolonialisme penduduk adalah kolonisasi yang mengakibatkan
terdesak dan tersingkirnya penduduk pribumi. Kolonial ini disebut juga
kolonial domisili, sebab terjadi perubahan domisili penduduk sipil dari
induk ke koloni. Menurut Rahayu (2007), kolonisasi penduduk
dilakukan dengan migrasi besar-besaran ke negeri asing dan
menjadikannya sebagai tanah air baru. Pribumi sebisa mungkin ditekan,
disingkirkan bahkan digenosida. Bila demikian, kolonisasi Inggris
mendeportasi napi dapat pula digolongkan dalam kolonisasi ini, karena
secara teknis, suku Aborigin tersingkirkan oleh kehadiran narapidana
Inggris, kendatipun tujuan kolonisasi semula tidak untuk menggeser
kaum pribumi. Hal yang sama dengan koloni Spanyol di Amerika, yang
membuat suku Indian terjajah. Kejadian migrasi Spanyol sebagai kaum
ras kulit putih, pada gilirannya menghasilkan keturunan kulit putih
Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kanada.
Bicara soal migrasi penduduk secara masif, tahun 1976 hingga
1996 di Pulau Galang (Indonesia) juga terjadi migrasi penduduk dari
Vietnam. Mereka bermigrasi sebagai pengungsi pasca perang melawan
Amerika. Mereka dirampok, diperkosa, dibunuh, tewas karena penyakit,
62 | Miftakhuddin
bahkan ada yang memilih bunuh diri. Meski peperangan dimenangkan
Vietnam, nyatanya pemerintah Indonesia bersama United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR)-lah yang memberikan bantuan
kepada para pengungsi berupa pembangunan fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan hidup sekitar 250.000 pengungsi. Atas beberapa perlakuan
diskriminatif yang terjadi atas mereka, hanya sedikit yang bertahan dan
berpindah ke Australia, Amerika dan Kanada untuk memulai kehidupan
baru.
Apa yang terjadi pada warga Vietnam di atas, memang sepintas
tampak seperti kolonisasi penduduk. Tapi bila dicermati, perpindahan ini
tak bisa dikatakan perwujudan kolonialisme Vietnam di Indonesia, sebab
tidak ada peraturan dari negara induk yang mengikat dan mengatur
koloni itu. Malahan, terjadi pembiaran oleh pemerintah induk, sama
seperti aktivitas etnis Rohingnya di Myanmar baru-baru ini yang juga
tak bisa dikatakan sebagai koloni. Sehingga koloni tersebut tidak
termasuk satupun dari lima jenis kolonialisme yang dibahas dalam sub
bab ini. Barangkali, suatu saat nanti akan ditemukan sebuah istilah yang
sesuai untuk menggambarkan kondisi tersebut di atas.
4) Kolonialisme Transmigrasi
Kolonialisme ini dilakukan dengan maksud menampung
kepadatan penduduk akibat ledakan demografi. Beberapa tulisan malah
menyebut praktik ini sebagai “kolonialisasi kelebihan penduduk” atau
koloni libensraum. Kolonisasi ini pernah dilakukan oleh Italia dan
Jepang. Italia melakukannya ke Somalia, Eritrea dan Libya pada abad
19. Hal itu disebabkan pasca tiga kali perang kemerdekaan Italia terjadi
kekosongan kekuasaan, karena Prancis mengabaikan garnisunnya di
Roma. Konstitusi Albertino (Statuo Albertino) kemudian meluas dan
menjadi dasar penyatuan Italia. Konstitusi itu menyediakan kebebasan
asasi bagi masyarakat kelas apapun, tetapi undang-undang eletoral
mengecualikan golongan miskin dan tak terdidik dari pemilihan umum,
yang kebetulan berada di Italia Selatan dan pedesaan Utara. Saat wilayah
Italia Utara terindustrialisasi dengan cepat, wilayah Italia Selatan dan
pedesaan Utara masih belum terbangun dan mengalami kelebihan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 63
penduduk. Hal ini menyebabkan jutaan penduduk Italia berhijrah dan
membentuk koloni ke Somalia, Eritrea dan Libya.
Adapun kolonisasi Jepang, dilakukan menjelang Perang Dunia II.
Saat Jepang menginvasi Mancuria (Tiongkok), Jepang mulai
menjalankan nanshin-rod20. Saat Nusantara dikuasai pemerintah
kolonial Belanda, Jepang memulai aksinya dengan menduduki Papua. Di
sana, Jepang mengusahakan pembukaan cabang Nanyo Kohatsu
Kabushiki Kaisha, perusahaan perkembangan daerah laut selatan yang
bertindak sebagai perusahaan produksi. Tapi sesungguhnya, kantor itu
adalah organisasi mata-mata, bahkan ada juga yang menyamar sebagai
nelayan (Parera, 2013). Para pegawai itu diberi tugas menyelidiki
sumber-sumber pertambangan di bagian barat Papua dan botani di
wilayah Manokwari, aga dapat dipetakan sumber bahan kebutuhan
militer Jepang yang nantinya akan bertugas di Papua (Koentjaraningrat
& Bachtiar, 1963).
Sebenarnya, Belanda tidak menyetujui kehadiran pengusaha
Jepang di Papua, apalagi di Jepang telah beredar kabar yang
menganjurkan daerah Papua dijadikan tempat penampungan kelebihan
penduduk. Tapi, karena Belanda tak mampu membangun Papua
sendirian karena kekurangan dana dan tenaga, akhirnya Belanda
terpaksa memberi izin mendirikan tiga perusahaan kebun dan satu
perusahaan gopal di Nabire dan Waropen (Parera, 2013).
5) Kolonialisme Sekunder
Kolonisasi sekunder memandang suatu daerah yang tidak
mengutungkan negara induk, tapi perlu dipertahankan untuk
kepentingan strategis (Rahayu, 2007). Biasanya, koloni sekunder
bewujud pangkalan-pangkalan sementara, baik berupa pangkalan dagang
maupun pangkalan militer. Koloni dagang misalnya; VOC di Batavia,
kongsi dagang Portugis di India, koloni pedagang independen di
pelabuhan-pelabuhan italia, dan East India Company yang berdiri di
berbagai tempat di dunia. Koloni dagang semacam ini, kerap kali dalam
20
gagasan soal imperialisme (perluasan kekuasaan) di Jepang.
64 | Miftakhuddin
beberapa artikel disebut sebagai koloni penunjang atau tiang penunjang
koloni.
Adapun koloni sekunder untuk pangkalan militer (koloni defensi)
banyak terjadi semasa Perang Dunia II, dimana hampir seluruh dunia
saling rebut wilayah/pulau sebagai lokasi benteng pertahanan. Jauh
sebelum itu pun, ketika Spanyol menjajah Filipina, koloni defensi telah
berdiri di pulau Corregidor sebagai pertahanan Spanyol atas serangan
Amerika. Kekalahan Spanyol membuat pulau itu menjadi basis militer
koloni Amerika. Saat Perang Dunia II, setelah mendadak
menghancurkan Pearl Harbour tahun 1941, Jepang juga menyerbu pulau
ini, agar Amerika tak menghalangi penguasaan wilayah-wilayah di Asia
Pasifik. Karena tentara Filipina dan Amerika kalah jumlah dan kurang
pengalaman, maka pada 1942 Jepang sukses menguasai seluruh Filipina.
Baru pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mengaku
kalah dan mengembalikan pulau Corregidor kepada Amerika. Sekitar
3.000 tentara Jepang di pulau itu kemudian memilih harakiri, yakni
bunuh diri untuk menjaga kehormatannya sebagai pejuang21.
21
ksatria Jepang, dalam kekalahannya di suatu duel atau perang, memilih bunuh diri ketimbang
menyerah dan menjadi tawanan musuh. Bagi mereka, lebih baik mati daripada hidup
menanggung malu.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 65
A. Sebab-Sebab Pergeseran
Secara teoritik, perubahan paradigma terjadi atas dorongan hasil
analisis mutakhir yang menunjukkan bahwa sistem yang dianut tidak
lagi memberi hasil atau keuntungan yang memuaskan. Perubahan
paradigma membawa perubahan mindset, dan perubahan mindset
membawa implikasi operasional sejalan dengan tujuan yang akan
dicapai melalui perubahan paradigma. Apabila digambarkan sebagai
suatu bagan alir, maka perubahan di satu titik akan mempengaruhi
aktivitas berikutnya, baik dalam aliran linear maupun paralel, sehingga
tampak gambar networking yang kompleks (Harsono, 2006).
Bab I dan bab II buku ini telah menyiratkan kolonisasi pun
rupanya juga mengalami pergeseran paradigma. Akan tetapi, dari apa
yang diuraikan secara kronologis di muka, tidak seberapa menguraikan
sebab-sebab pergeseran tersebut. Faktanya, suatu masyarakat berupaya
memenuhi kebutuhannya dengan meninggalkan negerinya (membentuk
koloni), adalah indikasi adanya upaya pembangunan masyarakat.
Kolonisasi manapun memang demikian. Baik koloni Yunani, Spanyol,
dan Portugis membentuk koloni dengan dalih membangun masyarakat,
baik dengan maupun tanpa melibatkan komunitas lain.
Menurut Adelman (dalam Junaedi, 2014), setidaknya ada tiga
faktor utama penyebab hal itu terjadi. Pertama, perubahan ideologi.
Kedua, revolusi dan inovasi teknologi. Ketiga, perubahan lingkungan.
Namun terlepas dari tiga faktor tadi, akar permasalahan dilakukannya
kolonisasi ialah tak terpenuhinya kebutuhan masyarakat oleh alam.
Kemudian dari akar penyebab itu, berkembang menjadi sebab-sebab
lain, seperti; 1) kebutuhan akan produk agraris yang kompleks sehingga
berdampak pada aktivitas perdagangan, sebagai metode lain dalam
pemenuhan. 2) adanya piranti-piranti pendukung yang memungkinkan
66 | Miftakhuddin
untuk dilakukannya kolonisasi, seperti; alat transportasi darat dan air,
serta peralatan pertanian. 3) mulai terbentuknya sistem administrasi
pemerintahan yang baik.
Saat koloni pertanian Yunani hanya menghasilkan produk
pertanian, maka dilakukanlah perdagangan di Laut Tengah untuk
mendapat barang lain seperti kain, gerabah, dan lain-lain. Adanya
aktivitas perdagangan inilah yang menyebabkan berdirinya pelabuhanpelabuhan dagang (koloni perdagangan). Pembentukan koloni dagang di
pantai-pantai utara Yunani otomatis mengubah paradigma koloni dari
aktivitas mencari lahan pertanian subur menjadi aktivitas perniagaan.
Hal ini sekaligus membuktikan pendapat Harsono di atas, soal terjadinya
pergeseran paradigma akibat sistem yang dianut tidak lagi memuaskan,
adalah benar adanya.
Memasuki periode imperium Romawi, kolonial perdagangan
sempat mati suri. Hingga mendapat sokongan kuat dari Revolusi Industri
dan Revolusi Prancis yang mengubah pola tradisional ke pola modern.
Penemuan mesin pemintal benang untuk mengolah bulu domba menjadi
pakaian, dan penemuan teknologi pemanfaatan batu bara untuk
memurnikan besi, menjadikan peradaban Eropa maju drastis. Tetapi,
industrialisasi itu menyebabkan kelebihan produksi. Di saat yang
bersamaan rempah-rempah yang diperdagangkan pedagang muslim dan
India mengalami kelangkaan. Maka dilakukan penjelajahan untuk
memasarkan hasil produksi sekaligus mencari sumber rempah.
Penjelajahan akhirnya bermuara menjadi kolonisasi di wilayahwilayah penghasil rempah-rempah (Asia). Penaklukan demi penaklukan,
penjajahan demi penjajahan terus berganti. Tapi poin pentingnya adalah,
pada fase ini terjadi perubahan kolonialisme lagi, dari masyarakat
industri menjadi masyarakat penjajah. Artinya, tujuan masyarakat
memproduksi dan memperdagangkan telah berganti menjadi upaya
invasi dan eksploitasi sumber daya manusia pribumi. Secara teknis, juga
terjadi pergeseran dari bentuk koloni pertama, yang semula kolonis
turun tangan langsung melakukan aktivitas pertanian, kini dengan
pendelegasian. Masa ini adalah masa di mana pribumi berperan sebagai
penghimpun bahan baku sekaligus pasar atas produk-produk Eropa.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 67
Sekiranya
dapat
disimpulkan,
pergeseran
paradigma
kolonialisme secara berturut-turut adalah koloni untuk memperoleh hasil
pertanian (bangsa polis Yunani), koloni untuk memperdagangkan
(pelabuhan dagang di Italia), dan koloni untuk memperdagangkan
sekaligus memperoleh hasil pertanian (masa penjajahan di Asia).
Sedangkan sebab ketiga, yakni mulai terbentuknya sistem administrasi
pemerintahan yang baik, memiliki andil besar dalam pengorganisasian
koloni.
Betapapun luasnya jajahan bila tak ditunjang sistem
pendelegasian yang baik untuk mengurus pemerintahan sipil, maka
cakupan wilayah bersifat simbolik. Sebab, pemerintahan tak maksimal
dalam menjalankan fungsinya. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan,
di manapun, administrasi publik memainkan sejumlah peran penting
guna mewujudkan tujuan pembentukan negara; terpenuhinya kebutuhan
jasmaniah dan rohaniah warganya (Kurniawan, 2006).
Penyebab pergeseran ketiga ini dapat diamati dengan mengkaji
era kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda telah sukses
membangun sistem adminsitrasi publik secara kompleks dan
fundamental, bahkan tetap berlaku setelah masa kolonialnya berakhir.
Makannya, pemerintah Hindia Belanda mampu mempertahankan
eksistensinya sebagai koloni yang paling berkuasa atas pribumi
Nusantara, daripada koloni Portugis, Spanyol dan Inggris.
B. Faktor Pendukung
Pergeseran paradigma kolonialisme disebabkan kebutuhan
pengkoloni, maka dinamika paradigma pun terjadi akibat kebutuhan
pengkoloni yang selalu dinamis sesuai perkembangan teknologi,
ideologi dan lingkungan (alam maupun sosial). Begitu juga dengan
faktor-faktornya yang selalu dinamis sesuai kondisi kekinian pada
masanya. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi faktor ideal
dan faktor material. Faktor ideal adalah faktor yang bersumber dari ideide atau gagasan tentang pembaharuan, dan faktor material adalah faktor
berwujud kebendaan. Satu-satunya pemicu kedua faktor itu menjalankan
fungsinya adalah jatuhnya Konstatinopel. Keruntuhan Romawi Timur
mengakibatkan kedua faktor di atas berjalan simultan dan amat radikal,
68 | Miftakhuddin
sebab selain muslim melarang dan menutup perdagangan orang-orang
Eropa disana, terjadi pula renaissance.
Penutupan perdagangan mengakibatkan bangsa Eropa haus akan
barang-barang yang selama ini diperdagangkan. Sedang hadirnya
renasissance sebagai runtuhnya otokrasi gereja dan titik balik
kebangkitan ilmu pengetahuan (reformasi kerangka berpikir),
berdampak pada penemuan-penemuan di berbagai bidang. Penemuan di
bidang maritim seperti kompas dan kartografi, ditambah lagi skeptisme
manusia akan teori-teori geografi yang menyatakan bumi itu bulat,
memicu adanya penjelajahan dan pembuktian-pembuktian ilmiah
tentang bumi.
Sementara itu, para pengungsi Perang Salib -yang terdiri atas
pedagang- mengungsi ke Portugis dan Spanyol, mereka memberitahukan
lokasi-lokasi perdagangan dan wilayah potensial di Asia-Afrika. Berita
ini, bagi Eropa yang kehilangan akses perdagangan, seakan menjadi oase
di tengah panasnya gurun. Akhirnya, dengan disepakatinya perjanjian
Tordesillas, dilakukanlah penjelajahan samudra yang dipelopori oleh
Spanyol dan Portugis.
Menguasai sumber rempah memang telah banyak disepakati
sebagai alasan dilakukannya penjelajahan. Padahal lebih dari itu, aji
mumpung Spanyol dan Portugis akan melakukan perjalanan panjang,
paus menitipkan misi suci untuk membalaskan kekalahan nasrani dalam
Perang Salib dan mengkristenkan orang-orang di luar kerajaan agar
menjadi manusia yang taat dan beradab. Oleh sebab itu penjelajahan
Portugis dan Spanyol memuat misi penyebaran agama (Gospel).
Tujuannya jelas, dengan dilakukannya penyebaran Nasrani, maka di
samping mendapatkan sumber rempah, wilayah kekuasaan Spanyol dan
Portugal sebagai negara nasrani meluas. Praktis, imperialisme adalah
juga merupakan misi atas penjelajahan samudra (Glory), demi
meningkatkan citra sang raja. Sebab, ada kepercayaan kuat kewibawaan
seorang raja atau ratu tercermin dari seberapa luas wilayah
kekuasaannya.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 69
C. Dampak
Sudah barang tentu pergeseran paradigma kolonialisme
menimbulkan implikasi tertentu sebagai hasil atau risiko yang
menyertainya. Tidak jarang, sering kali dampak-dampak itu dipandang
sebagai hasil yang negatif. Sebagai contoh, apa yang paling diingat
rakyat Indonesia pasca kolonial Belanda dan Jepang adalah
penjajahannya. Penindasan, pembunuhan, pemerkosaan, kemiskinan dan
penyiksaan seolah menjadi topik wajib dalam pembahasan kolonial
Belanda dan Jepang. Namun begitu, ada baiknya juga perlu ditelaah
dampak-dampak positif atas insiden penjajahan di Nusantara.
Penjajahan Belanda misalnya. Tanpa dijajah Belanda mungkin
Indonesia tak akan pernah tahu tanaman-tanaman apa saja yang laris di
Barat, serta bagaimana manajemen pengelolaannya. Tanpa dijajah
Belanda, orang Indonesia mungkin tidak tahu soal sistem irigasi dan
konstruksi bendungan (dam). Tanpa dijajah Belanda terlebih dahulu,
mungkin Indonesia tidak memiliki tambang minyak bumi di Tarakan,
pabrik gula di Jawa dan infrastrukur seperti jalur kereta api, jembatan,
pelabuhan dan jalan raya. Tanpa dijajah Belanda terlebih dahulu pula,
barangkali orang Indonesia tidak tahu menahu bagaimana menyusun
sistem hukum nasional dan sistem pendidikan nasional yang -nyatanyamasih bertahan sampai sekarang. Atau mungkin, tanpa dijajah Belanda
lebih dulu, edukasi, irigasi dan produk politik etis lainnya akan
terbangun dengan versi berbeda.
Kajian plus-minus kolonialisme menjadi penting karena hasilnya
akan mensarikan bagaimana skema pemerintahan kolonial dapat
membangun sekaligus merusak instrumen jajahan. Maka dari itu, dalam
melakukan kajian harus ditinjau dari perspektif kemanusiaan maupun
dari perspektif pembangunan, tanpa mengabaikan aspek politik,
ekonomi dan sosial budaya.
Terkhusus bidang politik, implementasi kolonialisme agaknya
mampu merombak pakem-pakem dan tata aturan yang telah dianggap
baku menjadi lebih fleksibel. Mari menengok ke belakang, di masa Jawa
sedang dijajah langsung Pemerintah Belanda dan Inggris, para gubernur
jenderal baik Deandels maupun Raffles telah meletakkan dasar
pemerintahan modern. Mereka menjadikan kaum bumiputera dan
70 | Miftakhuddin
aristokrat sebagai pegawai negeri, diberi gaji dan dipilih. Padahal
menurut adat, kedudukan raja hanya bisa diperoleh dari keturunan, dan
digaji oleh rakyatnya melalui pembayaran upeti.
Legalitas yang didapat raja dan bupati sekaligus menandai kalau
di tingkat pusat, disusun sistem pemerintahan berdasar pembagian
kekuasaan trias politica milik Montesquieu (eksekutif, legislatif dan
yudikatif). Sehingga raja dan bupati berperan sebagai lembaga eksekutif,
termasuk menghimpun pendapatan warga untuk diserahkan kepada
gubernur. Penggubahan prosedur elit politik dan bangsawan ini otomatis
merontokkan kewibawaan tradisional kaum penguasa pribumi, karena
amat terbatasnya wewenang dalam politik kerajaan. Di dalam kondisi
ini, ada beberapa penguasa tradisional justru mengalihkan perhatinanya
kepada bidang sastra. Misalnya, Mangkunegara IV menyusun kitab
Wedatama, Paku Buwono V memerintahkan penulisan serat Centhini,
dan lain sebagainya.
Demikianlah pemerintah kolonial mengintervensi persoalan
kerajaan supaya pribumi tetap tunduk. Masyarakat Nusantara yang
semula giat bertransaksi antar kerajaan, menjadi terisolasi di pulaunya
masing-masing. Secara perlahan kolonialisme mengekang mobilitas
pribumi agar tetap beraktivitas di tanah pertaniannya. Pergerakan tak
lagi dilakukan keluar, melainkan ke dalam, sehingga menyuburkan
feodalisme. Terlebih, adanya monopoli membuat perdagangan menjadi
hak prerogatif pengkoloni, sedangkan hak pribumi sebatas tanammenanam dan panen-memanen di pedalaman. Peran Belanda adalah
eksportir, dengan perantara Cina, sedang pribumi sebagai pengecer
(itupun jika sempat).
Pembagian tugas menurut komposisi masyarakat otomatis
menciptakan gap yang cukup besar dan mereformasi stratifikasi sosial
sebelumnya. Pribumi menduduki kelas sosial paling rendah, di mana
kelas tertinggi adalah orang Eropa dan kedua adalah Indo dan orang
Timur asing. Maksud golongan Indo adalah peranakan Eropa dengan
bangsa pribumi, sedangkan timur asing adalah orang-orang Asia yang
berdagang di Nusantatra, seperti Cina dan Arab. Adapun pribumi
melingkupi tukang kayu, tani dan pekerja rendahan lainnya. Hal inilah
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 71
yang menyebabkan kualitas sosial budaya dan ekonomi warga pribumi
mengalami kemerosotan secara tajam.
Namun demikian, kemerosotan tingkat ekonomi dan kualitas
sosial budaya pribumi rupanya diimbangi peningkatan dalam berbagai
bidang. Dampak kolonialisme ini mengubah tatanan tradisional ke arah
tatanan modern, termasuk pemusatan pemerintahan seluruh Nusantara
ke Jawa (Batavia), sebagai ibukota. Untungnya, kepadatan penduduk
sebagai efek samping pemusatan pemerintahan di Batavia dapat
diakomodir dengan program transmigrasi (politik etis) dari Jawa ke
Sumatera dan Borneo, untuk mengimbangi pembangunan di sana.
Di
samping
manajemen
demografi,
Belanda
juga
memperkenalkan budaya sekuler. Sebab, awalnya pendidikan hanya
untuk bangsawan, yang diselenggarakan para raja dan para wali dengan
memanfaatkan lingkungan keraton dan pesantren. Tapi dengan adanya
kolonial, seolah menjadi harga yang harus dibayar atas intervensi
Belanda ke ranah politik kerajaan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah,
seperti; Sekolah Rakyat, Meer Uitgebreid Lagere School Onderwijs
(MULO) atau setara SMP, Algemeen Metddelbare School (AMS) atau
setara SMA, Technische Hoogere School (THS) atau sekolah tinggi
teknik di Bandung, School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA)
atau sekolah tinggi kedokteran di Batavia, dan sekolah tinggi hukum
Rechts Hoogere School (RHS) di Batavia.
Pendirian sekolah-sekolah ini bertolak dari kebutuhan Belanda
akan pegawai sipil, medis dan militer. Maka dari itu, hanya laki-laki
ningrat yang diizinkan bersekolah. Baru memasuki zaman pergerakan
nasional, organisasi seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, serta
orang-orang seperti Ki Hadjar Dewantara dan R.A Kartini mulai
memperhatikan pendidikan dengan secara mandiri menggagas sekolahsekolah untuk pribumi yang bukan bangsawan, sebagai wujud
keprihatinan atas kebijakan “pilih kasih” pemerintah Belanda.
Sekolah Dasar enam tahun, SLTP dan SLTA masing-masing tiga
tahun adalah sekelumit contoh peninggalan non materi pemerintah
kolonial Belanda. Lebih dari itu, KUHP dan KUH-Per serta pembagian
kekuasaan dalam berpolitik juga merupakan peninggalan kolonial
Belanda yang masih bertahan sampai sekarang. Jika bukan karena apa
72 | Miftakhuddin
yang disebutkan di atas mengandung substansi positif, lantas apa alasan
yang tepat untuk menjawab pertanyaan “mengapa sistem itu masih
dipertahankan?”.
Oleh sebab itulah kolonialisme tidak selamanya harus dilihat
sebagai pemerasan, perusakan dan penurunan derajat kemanusiaan
warga pribumi, melainkan dapat kiranya dipandang dari sisi lain sebagai
proses pembangunan masyarakat dan pemerintahan sipil. Segala
kerugian karena Belanda menjadikan kita sebagai objek jajahan, adalah
realitas historis yang tak boleh dilupakan. Tapi peninggalan materi dan
non materi kolonial yang masih kita pakai juga bukan merupakan opini
yang patut disanksikan.
Lagi pula, tidak semua manusia Belanda maupun dari kelas
sosial Eropa setuju dengan praktik penjajahan, baik semasa VOC
maupun pemerintah Hindia Belanda. Douwer Dekker misalnya, ia salah
satu cendikiawan golongan Eropa yang tak ada sangkut pautnya dengan
penjajahan. Meski pernah menjadi pegawai pemerintahan, justru
kesewenang-wenangan yang dilihat dari pengalamannya memberi
inspirasi untuk memihak golongan Indo dan pribumi. Melalui bukunya,
Max Havelaar, ia mengkritik habis-habisan ketidakadilan yang menimpa
pribumi. Sayangnya, ia sempat ditahan pemerintah dengan tuduhan
pengkhianat, padahal telah menggunakan nama samaran “Mulatuli”.
Perkembangan berikutnya, ia malah tergabung dalam tiga
serangkai dengan Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo,
meletakkan dasar-dasar nasionalisme Indonesia. Eduard Douwes Dekker
adalah satu dari sekian bukti yang menunjukkan bahwa seyogyanya
kolonialisme tidak dipahami secara parsial, melainkan harus dimengerti
secara komprehensif. Bila akan diapresiasi, suatu peristiwa semacam
kolonialisme hendaknya dipandang dari arah yang berbeda-beda dan
dikaji sesuai dengan konteks dan porsinya masing-masing. Sebagaimana
diulas dalam bab kedua buku ini, imperialisme dan kolonialisme
sebenarnya bersifat ambivalen. Amerika, Australia dan Singapura adalah
contoh lain betapa hebatnya kolonialisme dalam membangun
masyarakat. Setidaknya begitulah ungkapan kaum pro-kolonialisme.
Barangkali bangsa tertentu, penjajahan adalah harga yang harus dibayar
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 73
untuk mengalami transisi dari tradisional ke modern (modernisasi) di
berbagai bidang, termasuk ekonomi dan sosial budaya.
Smith (1999), pun turut menegaskan hal itu secara klasifikasi.
Smith menyatakan penelitian akademis menunjukkan dampak
pendudukan Barat terhadap pribumi umumnya diteorikan sebagai sebuah
fase kemajuan dari: (1) penemuan dan kontak awal, (2) penyusutan
populasi, (3) akulturasi, (4) asimilasi dan (5) perekaan ulang sebagai
sebuah hibrida budaya etnis. Sedangkan perspektif pribumi
memperlihatkan sebuah gerak maju bertahap, sebagai berikut: (1) kontak
dan invansi, (2) genosida dan penghancuran, (3) perlawanan dan upaya
bertahan hidup (survival) dan (4) pemulihan sebagai bangsa pribumi.
74 | Miftakhuddin
A. Amerika
Rumornya, nenek moyang Amerika berasal dari Asia. Mereka
datang dengan menyeberangi Selat Bering saat masih dapat dilewati
dengan berjalan kaki di zaman es. Saat ini, “jembatan darat” itu telah
tertutup air sejak akhir zaman es. Sebagai masyarakat nomaden, mereka
bermigrasi mengikuti hewan buruan hingga sampai di daratan besar
yang kini disebut benua Amerika. Mereka kemudian menjadi Indian
(masyarakat pra Columbus).
Kendati sejak abad ke-11 bangsa Viking telah mendirikan koloni
di Greenland dan sekitarnya, tapi pendaratan Columbus di Kepulauan
Karibia menjadi pintu masuk kolonial Spanyol ke Amerika. Sebab,
kepulangannya membawa berita tentang daratan yang luas dan jalur baru
menuju dunia Timur. Seiring runtuhnya koloni Viking, koloni Spanyol
mulai berdiri sejak akhir abad ke-15 dan 16, dengan pendirian benteng
di Saint Augustine, Florida.
Sementara di daerah yang kini dikenal sebagai Meksiko, koloni
didirikan dengan menaklukkan dan menjajah Indian Aztek, lalu
menamainya Neuva Espana (Spanyol Baru). Segala perlawanan yang
selalu ditumpas, dan migrasi demi migrasi pada gilirannya menekan dan
mereduksi populasi Indian lain, seperti; Inca, Maya, dll. Selama kurang
lebih tiga abad setelah penemuannya, koloni Spanyol meluas ke
Amerika Tengah, sebagian besar Amerika Selatan, Meksiko, bahkan
sampai ke Amerika Utara hingga Alaska. Utamanya, penjajahan ini
didasarkan beberapa tujuan, yakni; eksploitasi kekayaan alam,
memperkuat relasi perdagangan, dan memperoleh tenaga kerja dengan
harga murah. Inilah penyebab kepunahan Indian dan akulturasi
kebudayaan.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 75
Tapi Portugis rupanya telah lebih dulu mendarat di Amerika.
Pangeran Henry mengirim Francisco Hermandes de Cordoba yang
kemudian mendarat di Yucatan pada 1517, dan Juan de Gijalva di
Veacruz tahun 1518. Pangeran Henry melakukannya demi menjayakan
Portugis, maka dia memimpin penjelajahan untuk menemukan rute baru
menuju penghasil rempah, emas, dan perak. Melalui kepionirannya,
akhirnya diperolehlah emas dari Afrika dan menjadikan pantai barat
Afrika sebagai jalur perdagangan Portugal. Barulah kemudian tahun
tahun 1487 Bartholomew Diaz dikirim ke Asia namun malah berhenti di
Tanjung Harapan akibat badai. Ekspedisi lantas dilanjutkan Vasco da
Gama pada akhir abad ke-15, yang mencapai Calicut-India.
Di sini telah didapati ternyata fokus Portugis adalah India dan
benua Afrika, bukan Amerika. Barangkali, periode inilah yang memberi
peluang Spanyol melakukan kolonisasi di Amerika tahun 1492. Baru
saat Pedro Alvares Cabral menemukan Brazil pada 1500 dalam
perjalanan menuju India, Portugis mengembangkan koloninya ke
Amerika Selatan. Bagi Portugis, para penguasa lokal di kota-kota
perdagangan, seperti; Calicut dan Goa di India, dan pelabuhan Ormuz di
Iran, diserang dan ditaklukkan22.
Khusus di Brazil saja, Portugis mendirikan pemukiman
permanen di Sao Vicente tahun 1532. Tampaknya Portugis tak mainmain dalam usaha menguasai Brazil. Sebab, saat keuntungan dagang di
India tak mampu lagi mengimbangi pengeluaran kerajaan yang boros,
Brazil menyediakan kayu celup dan gula yang laris di Eropa, ditambah
lagi penemuan dan pembukaan tambang emas dan berlian di pedalaman
Brazil yang membuat seluruh Amerika demam emas.
Berkat prestasi dua kerajaan penakluk itu, kerajaan lain seperti
Prancis, Inggris dan Belanda menjadi “latah”, sehingga dimulai era
penjelajahan (Era of Great Voyage). Saat Amerika Selatan dan Tengah
dikuasai Spanyol, dan Brazil dikuasai Portugis, maka hanya Amerika
Utara yang memungkinkan diperebutkan oleh tiga kerajaan. Koloni
Prancis berdiri di sebelah Timur, sekitar aliran sungai Mississipi sebelah
22
Pelabuhan di Brazil dan India nantinya diserahkan kepada Spanyol berdasarkan Perjanjian
Zaragoza.
76 | Miftakhuddin
selatan, dan anak sungainya hingga Kanada. Secara resmi, kali pertama
kedatangan Prancis diawali Giovanni Verrazarro pada 1524 untuk
menyelidiki alur menuju Hindia. Namun penyelidikan itu malah
membuka jalan migrasi Prancis menuju tanah harapan baru (Kanada).
Adapun secara nonformal, koloni Prancis juga berdiri karena deportasi
atau pelarian atas penindasan pemerintah Prancis terhadap kaum
Protestan.
Pemerintah mengakui sekte Katholik dan menekan sekte
Protestan hingga meletus Perang Hogenut. Protestan sebagai pihak yang
kalah, akhirnya melarikan diri ke Amerika Utara, agar memperoleh
kebebasan moral dalam beragama, tanpa tekanan pemerintah (Katholik).
Koloni mereka maju dengan mengekspor ikan, gula dan bulu domba
untuk pembuatan wool.
Beberapa saat setelahnya, Lord Baltimore, seorang bangsawan
Prancis, mendirikan koloni di sebelah utara Virginia pada 1632.
Koloninya dinamai Maryland (sekarang Washington D.C), yang diambil
dari nama Ratu Prancis, Henrietta Maria. Hampir semua artikel (daring)
tentang koloni ini menyebutkan bahwa sejak awal berdirinya, koloni
Maryland berkembang pesat. Keluarga Baltimore kemudian menjadi
aristokrat, karena koloni ini dikelola perusahaan keluarga. Namun pada
1715, Maryland diambil alih pemerintah Inggris, dengan tetap memberi
hak istimewa kepada keluarga Baltimore.
Hebatnya, walau Inggris adalah bangsa Eropa yang datang
belakangan, yakni tahun 1585 di Pulau Roanoke yang tak berlangsung
lama karena perebutan, namun perkembangannya cukup pesat begitu
satu koloni mampu bertahan di tahun 1607, yaitu koloni di Jamestown,
Virginia. Koloni ini pun sebetulnya hampir gagal bertahan, akibat
serangan wabah penyakit dan kelaparan.
Namun saat Sir Walter Raleigh mencari emas untuk
mempertahankan koloni itu, ia menemukan pada orang Indian,
tumbuhan aneh yang dapat dinikmati asapnya (tembakau). Dicontohkan
oleh Indian, setelah tumbuhan itu kering, kemudian digulung, dibakar,
dan dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap asapnya sehingga
menimbulkan kecanduan (merokok). Ia sendiri termasuk penggemar
tumbuhan tersebut. Maka muncullah kebiasaan/kebutuhan akan rokok di
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 77
Eropa yang dipopulerkan Inggris. Pembudidayaan tembakau lah yang
akhirnya menyelamatkan koloni Inggris di Jamestown. Bahkan koloni
itu menjadi pusat perekonomian penghasil tembakau.
Walau emas kemudian juga ditemukan di sana, tapi tembakau
tetap merupakan komoditi yang menunjukkan prospek bagus untuk masa
depan pasar Eropa. Sampai-sampai parlemen Inggris memberikan hak
penuh kepada kongsi dagang Inggris untuk menanamkan modal dan
pengembangan koloni Jamestown, karena dinilai potensial untuk
investasi. Sejak saat itu, dipakailah nama Virginia, sebagai
penghormatan kepada Ratu Elizabeth I, yang bergelar Virgin Queen.
Koloni Virginia lalu ditetapkan sebagai Virginia Company of London,
dan dilimpahkan kepada kongsi dagang Inggris, Virginia Bay Company.
Gubernur pertamanya adalah Sir Thomas Dale, sedang gubernur
berikutnya adalah Sir George Yeardley, yang pada pemerintahannya
didirikan dewan perwakilan bernama House of Burgesses.
Akan tetapi, sejak 1619 hingga 1624 koloni Virginia dilanda
berbagai masalah. Bangkrutnya Virginia Bay Company, epidemi,
serangan Indian, dan masalah kesejahteraan sosial berupa aksi protes
atas pemberlakuan pajak, membuat pemerintah kerajaan Inggris
mengambil alih Virginia dan memerintahnya secara langsung. Untung,
sebelum kejatuhannya, tahun 1621 para Pilgrim Fathers (orang-orang
pelarian karena berselisih paham dengan gereja Inggris) mulai
membentuk koloni di Plymouth, Massachusetts. Mereka kelompok
agamis yang punya perbedaan radikal dengan gereja Inggris, mereka
adalah kristen dari sekte Puritan. Selain pelarian, komposisi koloni juga
datang karena dideportasi pemerintah Inggris.
Pertentangan religius itu terjadi saat raja Henry VIII mengakui
sekte Anglikan sebagai agama nasional. Mirip kasus di Prancis,
pengakuan atas sekte ini mengakibatkan tekanan moral keagamaan sekte
Puritan yang sedang bersandar pada kemurnian kristen ortodhoks.
Tekanan inilah yang mendorong Puritan hengkang mencari kehidupan
bebas, dan mereka percaya kebebasan hanya dapat ditemukan di daerah
yang baru. Maka berdirilah koloni Plymouth di Teluk Massachusetts
tahun 1630.
78 | Miftakhuddin
Disamping diskriminasi di wilayah kerajaannya, pemerintah
Inggris juga menindas bangsa Ir (Eire) penganut Katholik di wilayah
Irlandia (termasuk vassal Inggris). Tekanan politik Inggris makin keruh
ketika pemilik tanah di Irlandia (bangsawan Inggris) menaikkan sewa
tanah. Ketidakmampuan menyewa tanah tentu saja berakibat pada
masalah-masalah sosial, ditambah lagi ketiadaan wakil bangsa Ir di
parlemen Inggris, membuat hak-hak bangsa Ir tidak ada yang membela.
Maka mereka melakukan migrasi mengikuti jejak Puritan dengan
maksud yang sama. Tapi Puritan telah mencapai taraf perkembangan
yang mengesankan. Politik di koloni Plymouth cenderung stabil, sebab
prioritas mereka adalah pembangunan masyarakat ketimbang sekadar
menemukan emas. Lebih-lebih perjanjian damai sesama kolonis maupun
dengan Indian telah disepakati.
Sebagai kaum pelarian kristen, mereka hidup dengan prinsip
etika kristen. Sehingga aspek pendidikan cukup diutamakan. Sejak 1636
mereka telah berpikir tentang sekolah untuk anak-anak mereka. Setiap
50 keluarga mendirikan sekolah untuk membaca, menulis dan
aritmatika. Adapun setiap 100 keluarga, dibangun Grammar School,
sebagai persiapan pendirian College (sekolah menengah). Di sinilah
lahirnya Harward College (sekarang Harward International
College/HIC). Di perguruan inilah banyak anak petani diajari ilmu
hukum. Pesatnya kemajuan yang sampai mengalahkan kemajuan di New
England (Inggris), pada gilirannya membuat parlemen Inggris
memberikan wewenang kepada kongsi dagang Inggris, Massachusets
Bay Company, dan mengubah namanya menjadi New England, sebagai
penghormatan kepada dewan New England di Inggris yang telah
memberi izin menanamkan usaha di Amerika Utara. Tampaknya,
prestasi Inggris di Amerika memang cukup membanggakan dibidang
ekonomi dan daerah administratif, karena mampu menyaingi koloni
Spanyol. Lebih-lebih saat Roger Williams diusir dari Massachusetts dan
mendirikan koloni di Rhode Island, teritorial atas nama kerajaan Inggris
makin meluas.
Berdasarkan uraian di atas, ada tiga tujuan pokok pengembangan
koloni Inggris di Amerika. Pertama, alasan ekonomi dan industri berupa
ditemukannya tembakau dan emas. Ini tidak terlepas dengan fakta
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 79
bahwa organisasi-organisasi pedagang Eropa (Gilda) sedang
berkembang sejak abad ke 13. Akibatnya, pusat-pusat industri
manufaktur dan pakaian menyebar secara sporadis. Kedua, alasan politik
berupa ketidaksepahaman dengan pemerintah Inggris, sehingga banyak
warga mencari suaka ke tempat lain. Ketiga, alasan agama berupa
pencarian kebebasan beragama oleh kaum Puritan.
Berbeda dengan koloni Inggris yang terbentuk dengan berbagai
sebab, koloni Belanda berdiri oleh VOC, dengan dibangunya pos dagang
di Niew Amsterdam (sekarang New York) pada 1624. Namun lagi-lagi
koloni bangsa Eropa lain menjadi milik Inggris melalui perebutan. Nama
Niew Amsterdam pun diubah menjadi New York (diambil dari nama
Duke of York yang berkuasa di Inggris dengan gelar James II). Koloni
itu kemudian mengalami pemekaran akibat berkembangnya semangat
liberal yang dibawa Penn, seorang penganut Quaker (salah satu sekte
Kristen Protestan). Melalui gagasan liberalnya, Penn berhasil
mendirikan koloni Pennsylvania. Sementara koloni Belanda yang
bertahan hanya Suriname, yang kemudian oleh Belanda diisi dengan
orang-orang Jawa, hingga kemerdekaannya pada 1975. Sedangkan
kepulauan Antilles Belanda (Hindia Barat Belanda) di Kepulauan
Karibia, Aruba23 dan pulau-pulau lainnya masih menjadi bagian kerajaan
Belanda hingga sekarang.
Tahun 1700 di Amerika mengalami The Great Awakening, yang
merupakan gerakan serempak pertama dan terbesar. Gerakan ini muncul
akibat menyebarnya paham Pietisme ke Eropa dan Amerika, dan
menjadi aktor utama dalam kebangkitan negara-negara koloni hingga
1742. Terhitung sejak 1733, di Amerika telah berkembang tiga belas
koloni, yang umumnya dikelompokkan dalam tiga koloni besar. New
England (koloni Utara), terdiri dari New Hampshire, Massachusetts,
Rhode Island dan Connecticut. Koloni Tengah, terdiri dari New York,
New Jersey, Pennsylvania, Delaware. Koloni Selatan terdiri dari
Maryland, Virginia, Carolina Utara, Carolina Selatan, dan Georgia.
23
Aruba, awalnya dijajah Spanyol selama satu abad, namun karena beriklim panas dengan
landscape tumbuhan kaktus, maka Spanyol kurang memperhatikan Aruba. Sebab tak cocok
untuk perkebunan maupun perdagangan budak Belanda kemudian mengakuisisi pada 1636
(id.wikipedia.org).
80 | Miftakhuddin
New England, walau punya peternakan-peternakan kecil, tapi
lebih bertumpu pada perikanan, perkapalan, dan industri. Koloni Selatan
memiliki perkebunan tembakau dan kapas. Perkebunan semula digarap
pekerja sewaan, tapi kemudian dikerjakan para budak yang didatangkan
dari Afrika dan Hindia Barat. Adapun koloni Tengah hanya memiliki
peternakan kecil. Guna mempertahankan masyarakatnya, ketiga belas
koloni itu mengikat diri pada perekonomian Atlantik antara Amerika,
Hindia Barat, Eropa, dan Afrika, untuk melakukan perdagangan budak,
hasil ternak, dan produk industri seperti rum dan gula.
Saat Inggris memenangkan perang atas Prancis dalam Perang
Tujuh Tahun, sebagai pihak kalah Prancis dipaksa menyerahkan
koloninya di Kanada kepada Inggris, dan menyerahkan Louisiana ke
Spanyol, (Spanyol menyerahkan Florida ke Inggris). Inggris kemudian
mengeluarkan Proklamasi 1763, yang menyatakan orang dari tiga belas
koloni tidak boleh menetap di sebelah barat Pegunungan Appalachia,
atau dikenakan pajak.
Bagi para kolonis, pemberlakuan pajak amat tidak adil. Terlebih
kebijakan itu dinilai inkontitusional, sebab kolonis tak punya hak suara
di parlemen Britania. Mereka menyatakan, “tiada pajak tanpa
perwakilan”. Pajak-pajak yang dipersoalkan ialah Sugar Act (1764),
Stamp Act (1765), Townsend Duties (1767), dan Tea Act (1773). Selain
mengupayakan partisipasi kolonis di parlemen mereka menunjukkan
protesnya melalui Boston Tea Party, yakni aksi membuang ratusan
kotak berisi teh dari kapal di Pelabuhan Boston, sebagai respons atas
Tea Act. Aksi itu kemudian diikuti oleh beberapa perang kemerdekaan di
Lexington dan Boston.
Agar perang mereda, tentara Britania lalu mengambil alih kota
Boston dan mendirikan Kongres Kontinental, yang terdiri atas orangorang yang dianggap mewakili tiga belas koloni. Mereka adalah
Benjamin Franklin, John Adams, Thomas Jefferson, John Hancock,
Roger Sherman, dan John Jay. Seorang aktivis dan politikus radikal
Britania, Thomas Paine, kemudian menulis dan menyebar pamflet
bertajuk Common Sense pada 1776, yang menyatakan koloni-koloni
harus merdeka dari Britania. Alhasil, tahun itu juga (4 Juli 1776), terjadi
Revolusi Amerika. Ketiga belas koloni sepakat pada Deklarasi
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 81
Kemerdekaan Amerika menjadi Amerika Serikat. Salah satu
pertimbangannya adalah, kolonis-kolonis telah terlibat perang dengan
Britania dalam Perang Revolusi Amerika yang dimulai sejak 1775 di
Lexington dan Concord untuk menentang ketidakadilan Britania kepada
kolonis.
Berlangsungnya perang mengindikasikan Amerika tak bisa terus
menerus dijajah, dan protes pajak berupa tuntutan partisipasi ke
parlemen adalah tanda Amerika ingin kedaulatan atas dirinya. Walau
selama perang tentara Amerika di bawah kepemimpinan George
Washington banyak mengalami kekalahan, tapi di Yorktown, atas
bantuan Prancis mereka menang. Pasca penandatanganan Traktat Paris,
akhirnya Britania menarik semua pasukannya dari Amerika Serikat.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika merupakan suatu akta dari
Kongres Kontinental Kedua di Philadelphia, yang menyatakan Tiga
Belas Koloni merdeka dari Britania Raya. Deklarasi itu sebagian besar
ditulis Thomas Jefferson, yang menjelaskan justifikasi pelepasan diri
dari jerat Britania, dan menyatakan tanggal 4 Juli 1776 sebagai hari
kemerdekaan Amerika Serikat. Kendatipun begitu, Amerika belum
punya pemimpin tunggal. Tahun 1781, koloni-koloni Amerika masih
mempersiapkan sebuah kesatuan (union) melalui Articles of
Confederation, yang melimpahkan sebagian besar kekuasaan kepada
negara-negara bagian, (hanya sedikit kekuasaan pemerintah pusat).
Namun Articles of Confederation hanya bertahan enam tahun, bahkan
bisa dikatakan gagal. Sebab, tak mampu mengakomodir pemberontakan
kolonis dan penduduk asli.
Sebagai penggantinya, tahun 1787 para tokoh seperti;
Washington, James Madison, Alexander Hamilton, dan Gouverneur
Morris merekonstruksi Konstitusi Amerika. Melalui konstitusi barunya,
Amerika menjadi pemerintahan nasional yang lebih kuat dengan
disokong lembaga eksekutif (Presiden dan kabinetnya), legislatif
(Dewan Perwakilan Rayat dan Senat), dan yudikatif (pengadilan
federal). Konstitusi ini diratifikasi negara-negara bagian tahun 1788, dan
George Washington diangkat sebagai presiden pertama Amerika Serikat
pada 1789.
82 | Miftakhuddin
Berakhirnya era kolonial rupanya justru menjadi babak baru
perbudakan di negara-negara bagian Selatan. Sebab di Selatan,
masyarakat bertumpu pada sektor agraris, sehingga amat memerlukan
budak. Maka perbudakan adalah sesuatu yang legal. Berbeda dengan
Utara yang bertumpu pada sektor industri, di sana tidak diperlukan
budak. Sehingga negara-negara bagian Utara menginginkan
dihapuskannya perbudakan. Semasa Abraham Lincoln terpilih menjadi
presiden, peta geopolitik Amerika tak lantas berubah dari kondisi
demikian. Malahan, banyak negara budak melepaskan diri membentuk
negara baru, yakni negara konfederasi Amerika, yang beribukota di
Richmond, Virginia.
Praktis Amerika terbelah menjadi dua; Konfederasi (pro-selatan)
dan Union atau Pemerintah (pro-utara). Terbelahnya Amerika berlanjut
dengan perang saudara bertahun-tahun. Sekalipun Abraham Lincoln
mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi tahun 1863 pada salah satu
kemenangan Utara, nyatanya deklarasi itu tak cukup mampu
menuntaskan perang dan perbudakan. Justru pasca tewasnya Lincoln
atas suatu penembakan, budak-budak dibebaskan dan menjadi warga
biasa yang mempunyai hak suara, berdasarkan amandemen konstitusi
Amerika.
Komposisi Amerika tersusun atas bangsa Inggris, Belanda,
Jerman, Prancis, bahkan China dan Israel (Yahudi). Di antara golongangolongan itu, etnis Jerman sangat berpengaruh dalam revolusi
kemerdekaan. Mereka prajurit dengan tradisi militer tangguh (khas suku
bangsa Arya). Sementara Yahudi datang pada masa kolonial karena
pemerintah Inggris memang memberi kebebasan. Mereka golongan
Yahudi Sephradik (Sefardi), yang telah berabad-abad meninggalkan
tanah leluhurnya dan menyebar ke Eropa sebagai minoritas dengan
perlakuan kurang baik, namun semerdekanya Amerika, populasi mereka
meningkat. Adapun etnis China datang sebagai buruh kontrak, yang
boleh dikatakan lebih sukses ketimbang di negerinya sendiri. Sampaisampai orang kulit putih -sesama pekerja- merasa iri. Sebab meski
bergaji kecil, mereka terkenal sebagai petani ulet, tekun dan rapi.
Hubungan Amerika-China baru mulai efektif setelah adanya ketertarikan
akan sutera China yang dibawa pedagang Yankee. Selain China, buruh
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 83
juga berasal dari Italia, yang datang melalui selatan. Sebagai budak di
Selatan, mereka hidup sederhana dan melarat. Barangkali, munculnya
perbudakan tidak hanya karena bangsa Afrika menjual diri kepada Eropa
tapi juga kehadiran orang Italia.
Migrasi besar-besaran multi etnik menjadikan Amerika sebagi
muara aliran-aliran kebudayaan. Umumnya, kalangan bangsawan dan
politisi memang menjadikan Amerika sebagai “tempat mendulang
emas”, tapi kalangan marginal, menjadikan Amerika sebagai tempat
mengadu nasib dan mencoba peruntungan, dengan harapan terlepas dari
penindasan politik, kebebasan beragama, dan memperoleh jaminan
ekonomi yang lebih baik. Akulturasi dan asimilasi antar imigran
(kolonis) yang masing-masing datang ke Amerika membawa identitas
kebudayaannya inilah akhirnya membentuk watak bangsa Amerika abad
modern.
B. Australia
Proses penemuan Australia bukanlah fokus sub bab ini, sebab di
samping polemis, konsentrasi pembahasan adalah gambaran deskriptifkronologis kolonialisme Inggris di benua ini. Pembicaraan soal
penemuan hanya sebatas pengantar yang mengacu pada sumber-sumber
umum, seperti anggapan bahwa suku Aborigin datang ke Australia
dengan perahu di akhir zaman es, dan tidak adanya teks yang
menerangkan dari mana asalnya.
Sebatas perkiraan, Elkin (dalam Darmawan, 2010), menyatakan
mereka masuk dari utara melalui garis pantai mulai semenanjung York
sampai pantai daerah Kimberley. Menurut Shaw (dalam Darmawan
2010), kemungkinan mereka datang karena terdesak bangsa lain. Dari
India melalui semenanjung Malaysia mereka ke selatan dan melalui
Indonesia (Laut Timor, Laut Arafuru, dan Selat Tores). Jika benar
demikian, bisa jadi suku Aborigin termasuk ras Dravida yang terdesak
atas kedatangan ras Arya. Namun demikian, penegasannya adalah jauh
sebelum Eropa, Aborigin telah menghuni Australia. Bangsa Eropa
mencari Australia pada Era of Great Voyage abad 16 hanya ingin
membuktikan mitologi Yunani kalau di bumi bagian selatan ada benua
84 | Miftakhuddin
besar yang berfungsi menyeimbangkan benua di utara, yakni Terra
Australis.
Ada sumber yang menyatakan pelaut Portugis dalam tugas
kedinasan Spanyol (Pedro Fernandez de Quiros) menemukannya pada
1606. Sang wakil kapten, Luis de Torres, yang memimpin
pemberontakan dalam perjalanan malah sampai di laut selatan Irian
(Papua Nugini). Meski demikian, namanya diabadikan untuk nama selat
antara Australia dengan Irian. Ada pula yang menyebut Australia
ditemukan James Cook dan menyatakannya sebagai milik Britania.
Bahkan ada yang menyatakan kalau orang Belanda (Willem Jansz) juga
menemukan dan menamainya New Holland pada abad ke 17 sebelum
kedatangan James Cook. Hanya saja, hasil ekspedisi Belanda di
Australia tak dilanjutkan sebab dinilai kurang menguntungkan karena
tampak gersang, makanya Belanda lebih memprioritaskan pada
Nusantara (Scott, 1943).
Tetapi, bertentangan dengan historiografi Anglo-Saxon yang
disebarluaskan para pengajar sejarah Australia, G. Arnold Wood dan Sir
Ernest Scott, yang menyiratkan Australia dilihat pertama kalinya pada
1606 oleh seorang Belanda bernama Jansz, peta Prancis-Portugis yang
dibuat di Dieppe antara 1536 dan 1566 berdasarkan catatan asli yang
diam-diam disimpan di Casa da India di Lisabon sampai kehancurannya
akibat gempa bumi 1755, membuktikan Australia ditemukan orangorang Portugis sekitar seratus tahun sebelumnya (Dorléans, 2016)24.
Sebagaimana Van (2003), bahwa jalur pelayaran Portugis ini membuka
jalan menuju penemuan benua Australia oleh bangsa Eropa dari arah
Barat25.
Terlepas dari siapa dan kapan penemuannya, masa awal
kolonisasi Inggris dapat ditinjau berdasarkan laporan Joseph Bank,
seorang botani Inggris yang tergabung dalam tim ekspedisi James Cook
ke dunia timur pada 1766 hingga 1775, di mana ia menyebut ada
wilayah di pantai timur Australia yang punya karakteristik geografis
24
Dorléans, Bernard. 2016. Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI Sampai dengan
Abad XX. Terjemahan Parakitri T. Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
25 Van, Samuel. 2003. Negara dan Bangsa Jilid IV. Asia dan Australia. Jakarta: Grolier
International Inc. & PT. Widyadara.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 85
hampir sama dengan wilayah Inggris. Inilah yang menarik perhatian
pemerintah Inggris untuk menjadikannya tempat deportasi narapidana
(Setiawan, 2016)26. Berpijak dari sini, kolonisasi Inggris kemudian
meluas ke Victoria, Queensland, Tasmania, South Australia dan Western
Australia.
Menurut Setiawan (2016), setidaknya ada dua sebab kenapa
dilakukan deportasi ke Australia. Pertama, larangan ajaran Katholik
pada abad 16, karena raja menganut sekte anglikan. Raja Henry VIII
yang tak kunjung memiliki anak dari istrinya, Catherine, bermaksud
menceraikannya dan menikah lagi dengan Anne Boleyn dari Prancis.
Tapi paus di Roma tidak menyetujui karena dalam ajaran Katholik,
hanya dibenarkan menikah sekali seumur hidup. Maka, atas keputusan
Paus dan tekanan politik (pewarisan tahta), Raja Henry mulai menolak
Katholik dengan memisahkan gereja Katholik Inggris dari Bunda
Gereja, dan mengangkat dirinya sebagai kepala gereja seluruh Inggris.
Maka berdasarkan kebijakan yang diterbitkan raja Henry VIII, seluruh
warga Inggris harus menganut anglikan. Barang siapa yang tak bersedia
meninggalkan katholik, lalu berpindah agama ke anglikan, maka akan
dipidanakan. Oleh karenanya, banyak sekali warga Inggris “tak
bersalah” dijebloskan ke penjara pada masa itu27.
Kedua, merosotnya kesejahteraan sosial akibat krisis agraria.
Adanya paceklik di Inggris mengakibatkan kriminalitas meningkat
tajam. Masa inilah yang disebut sebagai The Carnival of Crime.
Banyaknya tawanan kerajaan atas kasus pencurian/perampokan serta
keengganan pindah agama, tentu saja membuat penjara menjadi sesak.
Bahkan penjara terapung28 tak mampu lagi menerima tahanan (Yulita,
2009). Akhirnya, atas usulan Joseph Bank, pemerintah Inggris
mendeportasi narapidana ke daerah lain sebagai koloni (Kitley, dkk.,
1989).
26
Setiawan, Bagus. 2016. Sejarah Australia & Oceania. Garis Besar Kolonisasi Inggris di
Australia. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
27 ibid
28 Saat penjara darat penuh, pemerintah Inggris menggunakan kapal tidak layak/tidak dapat
berlayar sebagai penjara terapung.
86 | Miftakhuddin
Koloni deportasi Inggris sejak 1607 di Amerika, namun karena
koloni di sana mengalami ledakan demografi sekaligus perang
kemerdekaan, maka deportasi ke Amerika tidak bisa dilanjutkan
(George, 1989). Untungnya, pada pertengahan abad 18 James Cook
menemukan Australia (New South Wales), yang mana dinilai cocok
untuk diisi narapidana Inggris, sebab punya kemiripan geografis, sangat
berbeda dengan yang dilihat Belanda (VOC) di sisi lainnya.
Siboro (1989) menegaskan, Arthur Philip tiba di Botany Bay29
dengan armada 11 kapal pada 18 Januari 1788. Namun tempat ini
dianggap tidak layak huni karena gersang dan sedikit air bersih, maka
dicari pelabuhan lain dan menemukan suku Aborigin, yang terdiri atas
banyak klan di pelabuhan Jackson (sekarang Sydney) pada 26 Januari30
1788. Pendatang Britania menyebut mereka eora, karena saat ditanya
dari mana asalnya, mereka menjawab “eora”, yang artinya “dari sini”
atau “dari tempat ini” (Miftahul, 2011). Di pelabuhan inilah Philip
menurunkan orang-orangnya.
Sebagaimana Kitley (1989), Inggris mendirikan koloni di New
South Wales (NSW) dengan jumlah ±1500 orang, termasuk 750 di
antaranya narapidana. Koloni Inggris didirikan sejak 7 Februari 1788,
walau sebenarnya kepemilikan resmi baru dinyatakan pada 26 Januari
1792 (Holder, 1985). Pendirian koloni di NSW juga bermaksud
mengefisienkan pelayaran/perdagangan dengan Cina. Karena dengan
begini, Inggris mempunyai basis dagang di pelabuhan Sydney, yang
berfungsi sebagai supply base kapal-kapal Inggris yang akan melintasi
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik untuk perdagangan (Miftahul,
2011). Beberapa tahun setelahnya, tahun 1798, Matthew Flinders dan
George Bass untuk pertama kalinya berhasil mengitari Australia dan
membuat peta pertama benua Australia. Menurut Hudaidah (2004),
Flinders adalah orang pertama yang memakai nama “Australia” untuk
benua ini, dari sebelumnya “Austrialia”. Ketika ia menyiapkan
manuskrip tahun 1814 berisi laporan perjalanan berjudul A Voyage to
Terra Australis, Joseph Bank menyarankan untuk menggunakan nama
29
Sebelumnya bernama Stingray Harbour. Diubah menjadi Botany Bay karena Joseph Bank
mengumpulkan cukup tumbuhan dari sana.
30 Tanggal ini kemudian menjadi hari nasional Australia
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 87
Terra Australis karena lebih merakyat. Flinders melakukannya, tapi ia
juga meninggalkan catatan kaki;
Aku mengizinkan diriku sendiri untuk melakukan
sembarang inovasi terhadap istilah asli, tampaknya ia
akan berganti menjadi Australia; sebab lebih terasa
nyaman di telinga, dan ia adalah perpaduan nama-nama
bagian bumi lain yang sama hebatnya.
Pengiriman terakhir narapidana dilakukan pada 1868. Meski
begitu, para pemukim bebas/imigran gelap dari Inggris sudah
berdatangan sejak 1790-an. Terlepas dari kehadiran imigran gelap,
kerajaan Inggris memberdayakan narapidana untuk membangun NSW.
Gubernur jenderal, anggota angkatan laut dan stafnya mengusahakan
pertanian, perumahan, rumah sakit dan lain-lain. Namun kurangnya
keahlian di bidang pertanian menghambat kemajuan koloni (Hamid,
1999). Philip, selaku gubernur jenderal lalu memberi tanah dan
kebebasan untuk mengolahnya, bagi napi yang berkelakuan baik.
Kemajuan yang ditampakkan membuat pengiriman deportasi ke NSW
dihentikan, agar fokus pada pengembangan masyarakat, sampai Philip
kembali ke London tahun 1792.
Gambar: peta wilayah koloni New South Wales
Sumber: Setiawan (2016).
Setiawan (2016), tanpa menyebutkan tahun kekuasaannya juga
menjelaskan kebijakan Gubernur Jenderal untuk membangun New South
Wales sejak Philip hingga Macquarie sebagai berikut.
88 | Miftakhuddin
No. Gubernur Jenderal
1.
Arthur Philip
•
•
2.
New South Wales
Corporation31
(NSWC)
•
•
3.
Hunter
4.
Philip Gidley King
•
•
•
5.
William Bligh
•
6.
Lachlan Macquarie
•
•
•
Peran dan Kebijakan
Memberdayakan narapidana sebagai
tenaga kerja dalam pembangunan di
NSW
Gaji narapidana berupa sebidang tanah
untuk diusahakan atau dimanfaatkan
sendiri
Monopoli perdagangan berazaskan
feodalisme; pemberian hadiah tanah
kepada para perwira yang kemudian
diusahakan
dengan
melibatkan
narapidana, sedangkan hasil buminya
dijual kembali kepada pemerintah
Inggris
Narapidana dibayar dengan rum, bukan
lagi dengan sebidang tanah
Menentang hegemoni NSWC
Penertiban rum di kalangan narapidana
Larangan impor rum, karena akan
dibuka pabrik rum dan pembukaan
pemukiman baru di beberapa wilayah
Pemberhentian operasi pabrik rum,
karena dianggap merusak moral para
narapidana
Melumpuhkan hegemoni NSWC
Eksplorasi besar-besaran garis pantai
hingga pedalaman Australia.
Mengedukasi suku Aborigin
31
Korporasi NSWC dipimpin seorang perwira, yang bukan merupakan gubernur, tetapi bisa
berkuasa di atas gubernur berkat monopoli perdagangan rum. Siapapun mengganggu
kepentingannya, pasti ditentang, termasuk keputusan gubernur. Sampai-sampai berselisih
dengan tiga gubernur setelah Philip. Hunter dituduh tidak layak, King dihina, dan berpuncak
pada penjeblosan gubernur William Bligh ke penjara. Peristiwa itu terkenal sebagai Rum
Rebellion (Hudaidah, 2004).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 89
Melalui penyusuran garis pantai dan pedalaman oleh gubernur
jenderal NSW, sekaligus aktivitas perwira dan residivis mengubah tanah
mereka menjadi pertanian yang subur, kemudian tersebar berita tentang
adanya tanah yang murah dan pekerjaan yang melimpah. Akhirnya
berkapal-kapal petualang Inggris mendarat di Australia sebagai
penghuni liar. Gelombang pendaratan ini adalah musibah baru untuk
Aborigin yang semakin terdesak.
Bulan April 1789 penyakit sejenis cacar menewaskan sekitar 500
hingga 1000 Aborigin antara Broken Bay dan Botany Bay. Mereka lalu
memberontak karena menganggap pendatang Britania sebagai pembawa
penyakit itu. Saat telah tersisa beberapa ratus Aborigin pada 1820,
Gubernur Macquarie berinisiatif menyatukan, mengkristenkan dan
mendidik Aborigin, dengan memisahkan mereka dari klannya sebagai
langkah awal. Ia bersama narapidana Inggris dan Irlandia lalu
membangun infrastruktur dan fasilitas publik, seperti; jalan, jembatan,
dan kepolisian pada 1822. Masa Macquarie adalah masa pembaharuan
Sydney. Sedangkan 1830-an dan 1840-an adalah masa pembangunan
urban.
Sementara kota ini tumbuh cepat, imigran Inggris dan Irlandia
(Darmawan, 2010). Naasnya, mayoritas imigran bukan dari daerah
industri, melainkan berasal dari Inggris bagian selatan dan Irlandia, yang
tergolong marjinal dan tidak begitu punya kemampuan. Makanya
pemerintah tidak mempekerjakan mereka. Para penambang untuk
Australia Selatan justru didatangkan dari kota lain. Imigran marginal tak
begitu berperan penting. Imigran Irlandia menjadi pelayan, bahkan
wanita Inggris dijadikan pekerja seks komersial. Lebih-lebih saat
ditemukan emas tahun 1851 di NSW dan Victoria, koloni-koloni
residivis, dan pengusaha melakukan pencarian lebih intensif, yang
diikuti kapal-kapal Cina, pemilik bar dan penjual alkohol gelap, wanita
penghibur, bahkan penipu dari banyak negara. Inilah masa demam emas
yang disebut gold rush. Upaya gubernur menertibkan perizinan malah
menimbulkan pemberontakan anti-otoriter (pemberontakan Eureka
Stockade) di tahun 1854.
Mereka dan sisa Aborigin lalu menyebar ke koloni NSW yang
nantinya berdiri sendiri, seperti Tasmania dan Queensland. Di dua pusat
90 | Miftakhuddin
pemukiman Tasmania; Hobart dan Lounceston, awalnya masing-masing
dipimpin letnan gubernur dari NSW pada 1803. Namun di tahun 1810,
David Collins selaku pendiri dan gubernur Hobart meninggal, dan
Paterson selaku gubernur Lounceston kembali ke Inggris. Maka
Macquarie menyatukan keduanya di bawah pimpinan Kolonel Davey
pada 1813.
Davey adalah perwira angkatan laut yang mengupayakan
wilayah tersebut menjadi koloni swasembada dengan memprioritaskan
pembangunan di sektor pertanian untuk mencegah kelaparan, dan
menjadikan Hobart sebagai pelabuhan bebas. Kendati demikian, Davey
kurang disenangi gubernur NSW karena kurang disiplin dan suka mabuk
(Hudaidah, 2004). Sifatnya yang kasar dan merosotnya wibawa
pemerintahannya berdampak pula pada lemahnya pengawasan, sehingga
banyak tahanan yang kabur. Atas rendahnya kredibilitas Davey, maka ia
diganti kolonel William Sorell.
Sejak pemerintahannya tahun 1817 hingga 1824, Sorell berusaha
memajukan Tasmania dengan membangun jalan yang menghubungkan
Hobart dengan Launceston, memajukan peternakan domba merino yang
telah ada sejak zaman kejayaan New South Wales Corporation, dan
melakukan ekspor gandum. Ia juga membangun penjara khusus
Macquarie Harbour untuk menahan napi dengan kejahatan paling buruk
(Siboro, 1989). Namun hadirnya penjara khusus untuk kriminal berat,
justru membuat masyarakat merasa khawatir. Sebab mereka
dipekerjakan kepada masyarakat.
Guna meredakan kekhawatirannya, masyarakat memperlakukan
napi dengan kejam. Sekali hakim menerima keluhan penduduk atas
narapidana, maka narapidana itu diseret ke penjara dan dicambuk.
Akibatnya, banyak narapidana yang melarikan diri dan hidup sebagai
bushrangers (perampok kasar dan ganas). Ini adalah risiko hidup di
Tasmania kala itu. Membayangkan ini, tampaknya koloni yang telah
mapan semestinya tidak lagi menerima masuknya narapidana.
Ketika Sorell diganti Kolonel George Arthur pada 1824, setahun
kemudian (1825) pemerintah Inggris memisahkan Tasmania dengan
NSW. Demikianlah Arthur menjadi gubernur jenderal pertama di
Tasmania dan terwujudlah usaha Davey yang tidak terwujud pada masa
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 91
Sorell. Tasmania berhak memiliki legislative council beranggotakan
tujuh orang, setara dengan NSW. Meski demikian, kedaulatannya baru
diakui secara resmi melalui terbitnya undang-undang dari parlemen
Inggris, Australian Colonnies Government Act tahun 1855, yang
menawarkan
masing-masing
koloni
Britania
mengurusi
pemerintahannya sendiri. Nama Van Diemen’s Land32 pun diubah
menjadi Tasmania, diambil dari nama penemunya, yakni seorang
Belanda bernama Abel Tasman.
Gambar: peta wilayah koloni Tasmania
Sumber: Setiawan (2016)
Awal kedaulatan Tasmania diwarnai berbagai reformasi, seperti;
pemurnian dan penguatan administrasi pengadilan dengan pembentukan
Supreme Court, dan pembagian koloni menjadi beberapa distrik
kepolisian yang masing-masing dipimpin hakim polisi. Arthur berusaha
melaksanakan hukum secara ketat, sampai-sampai memecat jaksa agung
yang berbuat salah. Ia juga mengizinkan penduduk menembak
narapidana yang bersenjata. Regu-regu militer yang diperkuat penduduk
ini melakukan operasi-operasi pembersihan pelaku kriminal di seluruh
pemukiman. Hasilnya, dalam tempo satu tahun (1825-1826) lebih dari
100 bushrangers dijatuhi hukuman gantung. Penumpasan bushrangers
hanyalah awal kekerasan rezim Arthur. Selanjutnya, penduduk kulit
32
Van Diemen adalah Gubernur Jenderal VOC yang menugaskan Abel Janszoon Tasman
melakukan ekspedisi, hingga akhirnya menemukan Tasmania.
92 | Miftakhuddin
putih Inggris juga melakukan genosida pada homo tasmanianus (pribumi
Tasmania), setelah gagal menangkapnya hidup-hidup.
Selama ±13 tahun pemerintahannya, koloni Tasmania sudah
maju karena pertanian dan peternakan biri-biri. Akan tetapi
penggantinya, Sir Jhon Franklin, tak mampu mengembangkan lebih dari
itu. Dia merupakan sarjana pecinta buku, yang berencana menyediakan
pendeta untuk guru sekolah, tapi tak terlaksana hanya karena jabatannya
yang tak lebih dari “kepala suatu penjara”.
Melewati tahun 1840, masyarakat sipil mulai sadar bahwa
narapidana-lah yang memperburuk Tasmania. Sebagai koloni yang
berhak mengatur pemerintahannya sendiri, mereka mengusulkan
penghapusan sistem narapidana di Tasmania, yang baru disetujui tahun
1852. Perkembangan berikutnya, setelah disahkannya Australian
Colonnies Government Act tahun 1855, Tasmania mengalami
kemunduran ekonomi sekitar 1860-an, namun tertolong berkat
penambangan tembaga, perak, dan mineral lainnya serta kemajuan
sektor agraris dengan komoditi utama apel (Setiawan, 2016), dan hasil
sektor peternakan yang dapat diekspor, seperti; daging, susu dan keju
(Scott, 1943).
Sementara itu, pantai barat Australia yang belum pernah
terjamah mulai diselidiki Prancis pada abad 19. Sebab, Belanda meski
melihat dan sempat menamainya “New Holland” pada 1606, tidak
mengklaim sebagai milik Belanda seperti yang dilakukan James Cook
terhadap NSW. Belanda menilai daratan itu kurang potensial, maka
Belanda lebih fokus pada Nusantara yang saat itu dijajahnya. Adanya
rumor kalau Prancis akan menduduki wilayah itu membuat gubernur
NSW, Darling, “kebakaran jenggot”. Sebab, terlalu jauh bila harus
mengawasinya dari Sydney. Ia pun mengutus Mayor Lockyer
mendirikan pos di King George Sound atau Albany sejak 1827
(Hudaidah 2004).
Di tahun yang sama, James Stirling menyelidiki daerah Swan
River, dan sangat ingin mendudukinya karena dinilai amat potensial.
Gubernur Darling lalu merekomendasikannya untuk langsung ke Inggris
meminta pemerintah membuka koloni di sana. Karena permohonannya
ditolak dengan alasan biaya, Stirling lalu mendekati para pemilik modal
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 93
(bangsawan) untuk bermigrasi dan membuka usaha di Swan River tanpa
membawa narapidana, melainkan pekerja keras. Upaya itu disusul
Thomas Peel dengan membentuk kongsi untuk membuka koloni di sana.
Rombongannya tiba pada 1829 di suatu daerah yang kini adalah
Fremantle, tapi kemudian pindah ke tempat yang sekarang adalah kota
Perth, dengan Stirling sebagai letnan gubernur dalam koloni tersebut.
Dua pemukiman inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Australia
Barat (Western Australia). Persoalannya adalah, tempat tinggal mereka
(pekerja dan investor) terpencar-pencar, sehingga akan bahaya kalaukalau mendapat serangan. Belum lagi kesalahpahaman para pendatang
akan besaran investasi. Pemilik modal keliru menafsirkan, mereka kira
semua harga yang dibawa akan dihitung sebagai dana investasi, maka
mereka membawa piano, meja dan kursi mewah, serta perabotan
lainnya. Padahal, di sana tak ada rumah dan tak ada sarana untuk
mengangkutnya. Akhirnya barang-barang itu dibiarkan di kapal dan di
tepi pantai sampai rusak. Bisa dibayangkan betapa kecewanya para
bangsawan di awal pendirian koloni.
Persoalan lain lagi, di sini kekurangan tenaga kerja. Peel
membawa sekitar 300 orang pekerja bebas. Celakanya, tarif mereka
tinggi. Ditambah lagi bila tabungan gajinya sudah cukup untuk membeli
tanah sendiri, mereka akan meninggalkan majikannya. Meski Peel
termasuk kaya berkat investasinya, kurang pengalamannya sebagai
pionir membuatnya menjadi majikan tanpa pembantu. Sehingga, bila
koloni lain -seperti Tasmania- menolak transportasi narapidana,
Australia Barat justru membutuhkannya.
Kondisi ini membuat gubernur baru, Sir Charles Fitzgerald,
berlaku “nekat”. Ia berencana mendatangkan kembali narapidana,
padahal program itu sudah distop pada 1840-an. Rencana ini tentu saja
dengan pertimbangan penduduk bebas terlebih dahulu. Setelah rapat
umum di Perth tahun 1849, disetujui satu revolusi kepada pemerintah
Inggris untuk menjadikan Australia Barat sebagai tempat transportasi
narapidana (lagi). Rombongan pertama tiba tahun 1850, dan baru tahun
1868 pengangkutan narapidana dihentikan (Darmawan, 2010).
Demikianlah, total imigran narapidana Australia -baik pria maupun
wanita- sekitar 160.000 orang (Kitley, 1989).
94 | Miftakhuddin
Kabar baiknya, walau pemerintah Inggris mengucurkan banyak
dana untuk pengiriman sekitar 600 orang narapidana dan 300 orang
penduduk bebas tiap tahun, telah terjadi perubahan yang
menggembirakan. Jumlah penduduk dan biri-biri naik lima kali lipat,
luas tanah pertanian bertambah sepuluh kali. Otomatis nilai ekspor pun
meningkat tajam. Bangunan-bangunan (fasilitas publik) dan infrastruktur
pun juga terbangun karena pekerjaan para narapidana.
Gambar: peta koloni Western Australia
Sumber: Setiawan (2016)
Berbeda dengan Tasmania, meski awalnya sama-sama bagian
NSW, Queensland baru terpisah pada 1859, dengan gubernur
pertamanya George Bowen. Walau sama-sama mempunyai tambang
emas, timah dan batu bara, tanah Queensland lebih produktif untuk
peternakan dan pertanian, sebab merupakan kawasan tropis. Di sana,
menurut Siboro (1989), mereka bertani kapas dan padi-padian (termasuk
tebu). Perekonomian yang melejit membawa Queensland menjadi
wilayah swasembada dalam waktu singkat. Terlebih, kebutuhan tenaga
kerja diakomodir dengan pendatangan penduduk Victoria, yang sedang
mengalami kepadatan penduduk akibat gold rush. Tidak sedikit pula
imigran Cina, sampai-sampai Queensland mendapat sebutan China
Town. Atas dasar Australian Colonnies Government Act dan kemajuan
ekonomi yang mengesankan, Queensland mengajukan kedaulatan
sendiri yang baru dikabulkan pada 1859.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 95
Gambar: peta wilayah koloni Queensland
Sumber: Setiawan (2016)
Tampaknya, Australian Colonnies Government Act benar-benar
menjadi piranti setiap koloni untuk memerdekakan diri dari NSW. Sebab
faktanya, ketika Victoria masih bagian dari NSW mengalami
diskriminasi karena pembangunan cenderung dipusatkan di Sydney saja,
Victoria berani menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan wilayah
di antara NSW dan Tasmania, berdasarkan Australian Colonnies
Government Act, dan bermodalkan tambang emas.
Gambar: perta wilayah koloni Victoria
Sumber: Setiawan (2016)
96 | Miftakhuddin
Demikian pula Australia bagian selatan. Karya Wakefield, A
Letter from Sydney tahun 1829 (dalam Setiawan 2016), menegaskan
wilayah Australia Selatan memotong areal seluas 300.000 mil2 wilayah
NSW sebelah selatan. Tahun 1830, rombongan perusahaan swasta tiba
di Pulau Kangaroo. Tapi karena tidak layak huni, mereka bermukim di
daerah yang sekarang Adelaide. Memasuki 1840, koloni tersebut hampir
bangkrut karena kondisi politik dan ekonomi terpuruk dan tidak stabil.
Setelah kehadiran George Grey sebagai pemimpin koloni itu, barulah
koloni mulai merangkak naik. Sebab pada masanya, ditemukan tambang
tembaga di Kapundan, pembangunan sektor pertanian dan peternakan di
Adelaide, dan berupaya men-swasembada-kan wilayah koloni tersebut.
Atas pencapaian dan berdasarkan Australian Colonnies Government Act,
koloni Australia Selatan lantas mengajukan permohonan pemisahan diri
kepada pemerintah Inggris. Sedangkan Australia bagian utara hanya
menjadi wilayah teritorial.
Gambar: peta wilayan koloni Australia Selatan
Sumber: Setiawan (2016)
Sebagaimana telah disinggung di muka, Australian Colonnies
Government Act agaknya lebih berfungsi sebagai alternatif atas
ketidakpuasan koloni terhadap NSW, ketimbang benteng pemerintah
untuk meredam pemberontakan. Apalagi, koloni juga berdalih dengan
menunjukkan kemandiriannya atas rumah tangganya sendiri. Di satu
sisi, undang-undang itu memang mempermudah pengelolaan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 97
administratif. Tapi di sisi lain, malah menjadi awal perpecahan koloni
Inggris (NSW) menjadi enam koloni otonom.
Bila diperhatikan, pasca Australian Colonnies Government Act
diundangkan, yang diikuti lepasnya Tasmania dari NSW, tampak bahwa
koloni lain pun berupaya tumbuh secara mandiri lalu memisahkan diri.
Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan kebijakan itu menimbulkan
intercolonial jealousy. Undang-undang tersebut bisa juga dimengerti
sebagai hitorical accident, sebab karenanya, koloni Inggris di Australia
menjadi terpecah belah, meski nantinya akan dipersatukan ke dalam
Commonwealth of Australia.
Sejauh tentang pembangunan Australia, imigran Inggris adalah
fondasi atas industri-industri koloni. Pedusunan merangkak menjadi
perkotaan seiring berkembangnya industri dan jumlah penduduk. Namun
demikian, tidak boleh diingkari walau kuantitas imigran Inggris lebih
unggul, tapi kualitas pekerja jauh lebih baik yang berasal dari Skotlandia
dan Jerman. Majunya Australia berkat gemilangnya prestasi di bidang
pertanian, peternakan, industri, dan pertambangan, paling tidak mampu
mengangkat derajat Australia dibandingkan pikiran orang-orang yang
menganggap kalau kehormatan Australia hanyalah sebatas tempat
pembuangan narapidana Inggris. Stigma negatif pun lambat laun mulai
luntur, bahkan di akhir abad 19, keluarga mereka lebih berpendidikan
dari sebelumnya.
Akhir abad 19 pula, beberapa hal seperti; munculnya kekuasaan
Jerman dan Prancis di Pasifik; adanya keinginan mengisi Australia
hanya dengan ras kulit putih; dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi
dan militer, membuat seluruh elemen enam koloni menggagas wacana
persatuan Australia berada di bawah satu payung konstitusi. Gagasan itu
kemudian disetujui Lord Hopetoun pada 1900 dan diproklamirkan Lord
Hopetoun sendiri di Sydney pada 1 Januari 1901.
Melalui peraturan perundang-undangan White Australia Policy,
parlemen nasional Australia lalu membatasi migrasi hanya untuk orang
Eropa. Adapun suku Aborigin tidak memperoleh hak hukum, sebab
masih dianggap bagian dari fauna. Namun setelah Perang Dunia II, hal
ini mulai ditinggalkan. Lewat refendum tahun 1967 suku Aborigin diberi
hak-hak hukum, siapapun bisa masuk ke Australia secara legal, dan
98 | Miftakhuddin
Australia pun menjadi wilayah kosmopolitan (surat kabar Kompas tahun
2009, dalam Darmawan: 2010).
C. New Zealand
Abel Tasman adalah orang pertama yang datang ke New
Zealand, pada 13 Desember 1642, dan menamainya Tasman “Staten
Landt”. Namun rombongannya melakukan kontak pertama dengan suku
Māori pada 18 Desember 1642, meski komunikasi tidak berjalan lancar
karena bahasa. Akibat mispersepsi pula, saat terjadi tabrakan kano
antara milik Māori dengan Belanda, berujung pada terbunuhnya
beberapa pelaut Belanda. Tasman pun harus meninggalkan Selandia
Baru, setelah sebelumnya mendatangi Pulau Utara. Setelah
kedatangannya, baru kemudian James Cook mendarat di sana pada 6
Oktober 1769 (unair.ac.id).
James Cook berangkat dari Inggris pada 1768, dengan tujuan
Tahiti untuk melaksanakan tugasnya mengamati “Transit of Venus”.
Rombongannya sampai di sana pada 1769 dan melakukan
pengamatannya. Setelah tugas pertama selesai, ia mulai bergerak untuk
menemukan daratan, namun karena cuaca buruk, diputuskan untuk
menyelidiki New Zealand. Ia mendarat di pantai North Island (Poverty
Bay), lalu ke utara dan berhenti di sebuah teluk. Di sana ia melanjutkan
pengamatan peristiwa astronominya, “Transit of Mercury”. Ketika
berlabuh ia melihat kepulan asap, yang membuatnya sadar bahwa dia
bukan satu-satunya orang yang ada di sana. Untungnya, salah satu kru
James Cook adalah orang Tahiti yang punya kesamaan bahasa. Sehingga
komunikasi Inggris dengan suku Māori berjalan lancar
(freeinfosociety.com).
Suku Māori berasal dari Hawaiki yang merupakan ras Polinesia.
Sebenarnya nama “māori” sendiri baru disandang saat kedatangan
bangsa Eropa. Mereka tak menyebut dirinya “māori”, melainkan “iwi”
yang berarti tulang. Maksudnya adalah, orang yang terikat garis
keturunan dari satu nenek moyang yang sama (Yulianti, 2016).
Sedangkan menurut teks-teks anonim dalam ensiklopedia (daring)
sekelas Wikipedia, istilah māori berarti “biasa” atau “normal”, merujuk
pada manusia yang berbeda dengan para dewa. Istilah itu didasarkan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 99
pada kerabat katanya, “maoli”, dari bahasa Hawaii yang artinya asli,
pribumi, atau nyata33. Sedangkan suku Māori, menyebut orang Inggris
sebagai pakeha yang artinya orang kulit putih, dan menyebut tanah New
Zealand sebagai Aotearoa yang berarti tanah berawan putih panjang,
sebagaimana telah banyak disebutkan dalam karya sejarawan dari
Wellington bernama Tony Simpson, dalam bukunya Te Riri Pakeha
(1990) dan Before Hobson (2015).
Namun begitu, sekalipun Inggris punya penerjemah,
kehadirannya yang semakin banyak tak urung menimbulkan konflik jua.
Konflik dipicu sengketa tanah, akibat tidak adanya hukum yang
mengatur perilaku Inggris terhadap Māori. Akibatnya, Inggris
memaksakan pembelian tanah dengan harga murah. Ketidakadilan itu
berlanjut pada konfrontasi terbuka antara Māori dengan Inggris. Suku
Maori awalnya menggunakan senjata tradisional, namun sejak mengenal
senapan Inggris, mereka menggunakannya sehingga korban meningkat.
Peristiwa ini oleh sejarawan disebut sebagai Musket War (perang
senapan).
Guna menyudahi kekacauan tersebut, pemerintah Inggris
diwakili Kapten William Hobson, dan dipandu para misionaris membuat
Perjanjian Waitangi (Treaty of Waitangi) pada 6 Februari 1840. Suharto
(2006) menegaskan, Treaty of Waitangi adalah naskah perjanjian damai
dan pembagian kekuasaan yang ditandatangani petinggi Inggris dan
lebih dari 500 kepala suku Maori pada tahun 1840. Dokumen itu
menjamin hak-hak Maori dan amat berpengaruh terhadap pekerjaan
sosial di Selandia Baru. Tapi disepakatinya perjanjian itu, membuat New
Zealand menjadi Crown Colony of the Great Britain. Isi pokok
perjanjiannya adalah sebagai berikut.
• Bangsa Maori menyerahkan hak kekuasaan kepada Ratu
inggris untuk membuat undang-undang
• Maori akan tetap mempunyai hak tunggal sepenuhnya
yang tidak dapat di ganggu gugat. Bila Maori menjual
tanah, hanya kerajaan Inggris yang membeli
33
Wikipedia ialah ensiklopedi bebas yang tak bisa menjadi patokan yang kokoh. Masih
diperlukan sumber lain yang benar-benar valid bila ingin mendalami asal-usul suku Māori
100 | Miftakhuddin
• Bangsa Maori dijamin mempunyai hak seperti warga
Inggris
Simpson, sempat mendeskripsikan jalannya perjanjian ini
melalui bukunya berjudul Te Riri Pakeha: The White Man’s Anger
(1990). Isinya, tentang penipuan orang kulit putih terhadap suku Māori
melalui perjanjian Waitangi. Barangkali, anggapannya soal penipuan ini
didasarkan pada redaksi kesepakatan yang terkesan menguntungkan
kolonis dan pelaksanaan perjanjian yang tak pernah damai. Sebab
praktiknya, perjanjian ini memang justru mengundang konflik lagi.
Memang, naskah kesepakatan telah dialih-bahasakan dari ke
bahasa Maori oleh misionaris Henry Williams dan putranya, Edward.
Akan tetapi masih ada mispersepsi. Inggris menyatakan Maori
menyerahkan kedaulatannya di bawah Ratu Victoria. Sedangkan pihak
Maori menyatakan tidak pernah tunduk di bawah Ratu Inggris,
perjanjian itu hanya sebatas mengatur hubungan kedua belah pihak
dalam hubungan yang setara. Perang yang tak terhindarkan tentu saja
dimenangkan Inggris, sehingga New Zealand resmi menjadi koloni
Inggris dibawah kepemimpinan Gubernur William Hobson pada 1841
yang berkedudukan di Auckland. Demikianlah potret kemalangan nasib
suku Māori yang terpinggirkan dari tanah leluhurnya.
Di bawah kekuasaan Inggris, New Zealand berkembang pesat
karena didukung iklim dan kesuburan tanah. Imigrasi yang semula
hanya asal-asalan menjadi masif. Komposisi mereka pun bermacammacam, meliputi; narapidana, pedagang, bajak laut, bahkan banditbandit pelarian. Mereka menetap di Bay of Island di Auckland, yang
pada perkembangan berikutnya menjadi pelabuhan kapal penangkap
ikan. Pedagang datang menjual peralatan logam, persenjataan, dan
barang-barang lain untuk memperoleh damar dan hasil alam lainnya,
sebab Auckland telah menjadi kota yang maju dari industri ekstraktif,
berupa pendulangan emas, pengumpulan getah kauri dan damar.
Dikembangkannya kapal yang diperlengkapi semacam lemari es untuk
membekukan daging pun membuat hasil peternakan dapat diekspor ke
Britania dan Amerika.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 101
Ketika New Zeland Company mengirim kolonis pertamanya ke
Selandia Baru untuk menduduki kota Willington pada 1839, ribuan
orang Inggris turut melakukan imigrasi. Hadirnya para imigran,
membuat New Zealand bagian selatan dikelola sebagai tempat
penggembalaan biri-biri dan bertani gandum atau padi-padian lainnya,
sedangkan di bagian utara di kembangkan untuk peternakan sapi perah.
Praktis, Auckland menjadi ibukota sekaligus kota metropolitan terbesar
mulai 1841. Namun pada 1865, ibukota dipindahkan ke Wellington.
Perlu diketahui pula, di antara para pendatang Inggris, hanya
misionaris saja yang menunjukkan keberpihakannya kepada suku
pribumi. Sejak 1814, pastor Samuel Marsden menyebarkan agama
kristennya dengan cara melindungi mereka dari kekejaman Eropa,
karena memang sudah menjadi kewajiban atas misi sucinya
(kristenisasi). Awalnya mereka tidak tertarik, namun akhirnya mau
menerimanya sebab mereka dididik (diajari membaca-menulis) dan
diberikan barang-barang rumah tangga yang amat fungsional untuk
pertanian. Meski hampir 40% populasinya tidak beragama, kristen
adalah agama yang paling dominan di New Zealand, yang terdiri dari
Anglikan, Presbiteranian, dan Methodist.
Sementara Katholik, baru masuk tahun 1830, yang dibawa
misionaris Prancis bernama
Jean Baptiste Francois Pompallier
(Dorléans, 2016). Bicara soal Jean Baptiste, ia turut berjasa bagi bangsa
Maori, sebab ia memasukkan kebebasan beragama ke dalam pasal 4
dan turut menandatangani Perjanjian Waitangi. Tercatat sebanyak 164
suku menganut Katholik. Para misionaris selalu menjadi pihak penengah
antara konflik Maori dengan Eropa. Mereka juga menolak adanya
kolonisasi di New Zealand, dan menggiring keduanya untuk duduk
bersama dalam perundingan Waitangi (freeinfosociety.com).
Sampai awal tahun 1840-an New Zealand masih perluasan
wilayah NSW, tapi tak lama New Zealand mendeklarasikan diri sebagai
persemakmuran Inggris yang terpisah dari NSW. Deklarasi ini
kemudian disusul the New Zealand Constitution Act yang diterbitkan
pemerintah Britania Raya pada 1852 sebagai bentuk kedaulatan New
Zealand atas pemerintah. Sebagai persemakmuran, Pemerintah Inggris
lalu membentuk perwakilan New Zealand dalam Parlemen Inggris.
102 | Miftakhuddin
Semenjak itu Inggris berdaulat penuh atas New Zealand, dengan tetap
menghormati Perjanjian Waitangi, yang menjamin kehidupan suku
Maori.
Kecuali kepemilikan atas negara bagian, New Zealand dan
Australia sama-sama koloni Inggris yang diperoleh dengan penaklukan
atas pribumi, sama-sama didatangi imigran dengan berbagai profesi dan
kewarganegaraan, dan tentunya berbagai kebudayaan. Maka tidak
mengherankan bilamana diketahui New Zealand hari ini merupakan
negara kosmopolitan. Malahan, bila dibanding suku Aborigin di
Australia, -ditinjau dari perjalanan hubungan suku Maori dengan
Inggris- tampaknya suku Maori lebih terbuka dan lebih “pandai” dalam
menyikapi kedatangan Inggris. Suku Maori mampu menyodorkan
kepentingan eksistensinya dalam perjanjian Waitangi, agar di kemudian
hari bisa berdampingan dengan para pakeha. Hebatnya lagi, akhir-akhir
ini keberadaan dan peninggalan Maori masih dihormati bahkan menjadi
identitas pemersatu Selandia Baru.
D. Hong Kong
Sekitar tahun 1800-an, Inggris dan Cina terlibat perdagangan.
Inggris ke Cina membeli teh dan kain sutera, namun Cina tak mau
membeli apapun dari Inggris. Maka Inggris menjual opium/candu dari
India, meskipun tidak sepenuhnya legal. Sebab, opium adalah telah lama
dinikmati Cina jauh sebelum kedatangan Inggris. Saat kaisar Cina, Tao
Kwang, menyita dan memusnahkan opium Inggris -tahun 1800- sebagai
upaya penghentian peredaran opium di Guangzhou dan Canton,
pemerintah Inggris meresponsnya dengan menyatakan perang. Maka
meletuslah Perang Opium atau Perang Candu pada 1838-1842.
Atas kekalahan Cina dalam perang tersebut, dinasti Qing (dibaca
Ching) dipaksa menandatangani perjanjian di atas kapal perang Inggris
HMS Cornwallis di Nanjing pada 1842. Sebagaimana Rengganik
(2009), perjanjian itu berisi 12 pasal, dengan poin utamanya adalah
penyerahan Hong Kong kepada Inggris. Secara umum, isi dari Treaty of
Nanjing kurang lebih begini; 1) Cina harus membayar upeti 21 juta dolar
sebagai ganti rugi. 2) Cina harus membuka kembali pintu perniagaan ke
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 103
dunia Barat. 3) Cina harus menyerahkan Hong Kong beserta pulau-pulau
kecil di sekitarnya kepada Inggris untuk menjadi tanah jajahan.
Kesepakatan itu adalah awal dari perjanjian-perjanjian lain yang
“dipaksakan” kepada pemerintah Cina, tidak hanya oleh Inggris, tapi
juga bangsa Eropa lain seperti Amerika dan Prancis. Salah satu contoh
saja, perjanjian hubungan Sino-Inggris yang mana berisi penghapusan
berlusin-lusin perusahaan Cina, padahal kala itu perusahaan Cina lah
yang memonopoli perdagangan. Begitu juga Amerika dan Prancis yang
“latah” ingin punya perjanjian serupa. Pasca Perjanjian Nanjing
disepakati, segala tuntutan yang termaktub dalam dokumen itu dikaji
dengan seksama oleh Amerika dan Prancis. Maka pada 1844 Presiden
Amerika, John Tyler, mengirim diplomatnya ke Cina, yang kemudian
tiba di Macau pada Februari 1844. Tuntutan yang diajukan dalam
negosiasi umumnya sama, hanya ditambahi beberapa pasal untuk
kepentingan misionaris Protestan, pembangunan rumah sakit, makam,
sarana perdagangan hingga navigasi (Rengganik, 2009).
Masih menurut Rengganik (2009), perjanjian yang dirundingkan
Prancis justru mirip perjanjian Amerika. Kendati demikian, pemerintah
Cina tetap berupaya menghentikan perdagangan opium, hingga
memuncak pada Perang Opium II, yang mana kali ini Cina melawan
Inggris dan Prancis. Cina pun mengalami kekalahan dari kekuatan yang
lebih unggul dalam dua kali perang opium. Perjanjian demi perjanjian
pun dilakukan, sehingga Cina makin terpuruk karena harus mengganti
kerugian perang. Apalagi setelah invasi Jepang yang juga berujung pada
perjanjian Shimoseki tahun 1895.
Bagi kolonial Inggris, sebagaimana Miners dalam The
Government and Politics of Hongkong (1995), menguasai Hong Kong
memang harus dilakukan untuk tiga alasan. Pertama, agar mempunyai
basis perdagangan dengan Cina. Sebab pedagang Inggris yang berbisnis
di Guangxhou dibatasi dan diperlakukan ketat oleh pejabat Cina. Kedua,
diperlukan untuk tempat berlabuh, memperbaiki kapal perang dan
menyimpan barang (transit). Karena memiliki pelabuhan dengan laut
yang dalam, pelabuhan Hong Kong dapat pula berguna untuk berlabuh
kapal-kapal besar. Ketiga, Hong Kong tidak banyak diduduki warga
Cina.
104 | Miftakhuddin
Telah jadi rahasia umum, perniagaan akan lancar bila para
pengusaha, aset dan jalur bisnisnya memperoleh keamanan yang
terjamin. Maka, Inggris juga menjadikan Hong Kong sebagai pangkalan
dan markas Angkatan Laut Kerajaan, agar bila diperlukan, tentara dapat
diterjunkan ke daratan Cina untuk membela perniagaannya. Persiapan
Inggris bahkan sudah sampai pada pembangunan garnisun dan galangan
kapal di pelabuhan untuk bersandar dan memeriksa kapal seusai patroli.
Dan memang benar, mereka pernah dikerahkan untuk menumpas
pemberontakan boxer tahun 1900 dan meredakan kerusuhan di
Shanghai. Tidak cukup dengan pangkalan militer, Inggris memperluas
wilayahnya sebagai zona penyangga untuk mengantisipasi serangan
darat. Sebagaimana Miners (1995), perbatasan koloni Inggris diperluas
pada akhir abad 19. Melalui Konvensi Peking II, kawasan Kowloon
disewakan kepada Inggris selama 99 tahun sebagai New Territories,
terhitung sejak 1898 sampai 30 Juni 1997. Keputusan ini selain untuk
memperluas jangkauan dagang juga untuk menjamin keamanan seluruh
pantai utara dan sekitarnya. Itulah mengapa di awal masa kolonial, Hong
Kong menjadi pusat perdagangan internasional.
Sampai fase ini, Hong Kong benar-benar dikuasai Inggris yang
dibangun atas dasar demokrasi-liberal, sedangkan Cina tetap
menjalankan pemerintahannya sendiri dengan sistem sosialis-komunis.
Kendatipun begitu, dengan pengaruh perkembangannya yang sampai ke
daratan Cina, Hong Kong menjadi “jendela” Cina untuk menengok
perkembangan di dunia luar. Sebab, sebelum perang opium dan
kesepakatan dengan Eropa, Cina sama sekali mengisolir dirinya, kecuali
perniagaan dengan asing di Canton, itu pun sangat terbatas (Rengganik,
2009).
Memasuki abad 20, Hong Kong dimasuki imigran Cina dalam
jumlah besar. Tapi kehadiran mereka rupanya membantu Hong Kong
menjadi pusat manufaktur. Hal ini juga memberi pertumbuhan ekonomi,
energi dan industri ke kota. Lokasinya yang strategis kontan membuat
daratan Cina menjadi negara dengan ekonomi amat baik. Kombinasi
antara posisi strategis untuk bisnis dan strategi pertahanan yang masif
membuat nilai Hong Kong semakin tinggi. Sekalipun di luar
berkecamuk Perang Dunia I, Perang Dunia II, Kemerdekaan Cina tahun
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 105
1949, Perang Korea tahun 1950-an, hingga naiknya Deng Xiaoping di
Cina, Hongkong tetap ada dan beroperasi. Saat era keajaiban ekonomi
Asia Timur pun, Hong Kong termasuk di dalamnya.
Sayangnya, serentetan prestasi itu harus dikembalikan kepada si
empunya. Setelah dikoloni Inggris lebih 150 tahun, tanggal 1 Juli 1997
Hong Kong “dipulangkan” kepada Cina melalui Joint Declaration.
Menariknya, walau sama-sama bersistem demokrasi-liberal, Hong Kong
berbeda dengan Taiwan maupun Korea Selatan yang “diasuh” Amerika.
Hubungan Hong Kong dengan Inggris tampak lebih unik (jika tak boleh
dibilang aneh). Sebab, umumnya pribumi akan senang jika pengkoloni
pergi, sementara Hong Kong seolah “ketagihan” menjadi koloni Inggris.
Sebab di bawah naungan Inggris, penduduk Cina di Hong Kong lebih
berhasil. Maka wajar saja, bila banyak yang mengatakan; penduduk
Hong Kong lebih betah di bawah asuhan Inggris daripada di bawah
asuhan Cina.
Jangan-jangan anekdot itu ada benarnya, sebab beberapa tahun
terakhir media surat kabar online memberitakan unjuk rasa sebagian
warga Hong Kong dengan tagline penolakan atas penjajahan Cina
dengan membawa-bawa bendera Inggris. Wikipedia pun mengklaim,
bahwa Universitas Hong Kong pernah melakukan jajak pendapat terkait
kemerdekaan Hong Kong. Hasilnya, tahun 2007 ada 35.3% memilih
merdeka daripada menjadi daerah otonom khusus, sedangkan sisanya
memilih tetap bertahan. Angka ini meningkat ketimbang tahun 2005,
yaitu 22%. Alasan mereka memilih merdeka ialah karena tak mau partai
komunis masih menguasai Cina pada 2047, di mana Joint Declaration
berakhir.
Meski begitu, perjanjian adalah perjanjian. Kontrak adalah
kesepakatan formal yang dibuat bersama, disetujui bersama dan
dijalankan bersama pula. Maka terhitung sejak 1 Juli 1997, bendera
Inggris harus dicabut dan peredaran uang bergambar Ratu Elizabeth
harus dihilangkan. Patut diakui memang transformasi kolonial amat
signifikan. Bermula dari lahan gersang dengan perang opium, Hong
Kong disewa sebagai koloni dan dikembalikan dalam rupa ala Inggris.
Aset milyaran dollar pun menjadi milik Cina sepenuhnya
106 | Miftakhuddin
Supaya tidak “kaget” dengan sistem komunis, pemerintah Cina
yang kala itu dipimpin Deng Xiaoping mengizinkan sistem kapitalis
tetap berjalan 50 tahun berikutnya, dengan menjadikan Hong Kong
sebagai Special Administration Region (SAR)34. Dengan begini, Hong
Kong berjalan sebagai negara dengan prinsip “one country, two system”
(satu negara dua sistem). Melalui kerangka kebijakan ini, Hong Kong
diberikan otonomi khusus dalam hal sistem hukum, bea cukai, mata
uang, dan imigrasi. Hal-hal yang tidak termasuk dalam dualisme itu
hanyalah urusan terkait pertahanan nasional dan diplomatik. Urusan
tersebut adalah wewenang pemerintah pusat di Beijing. Akan tetapi,
menurut Samsuri (2007), penyerahan kedaulatan kepada RRC juga
berdampak pada proses politik yang mengikuti budaya politik China,
yaitu dominan dipengaruhi Konfusionisme.
Demikianlah Hong Kong berdiri di atas sistem kapitalis,
sementara “induknya” berdiri di atas sistem sosialis. Terlepas dari sistem
politik Hong Kong yang terkesan tidak jelas karena pengaruh kolonial
Inggris di masa lalu, nyatanya sistem one country, two system berjalan
dengan konsisten, dan kestabilan politik tetap terjaga. Malahan,
hubungan Beijing dengan Hong Kong membuat iklim investasi
meningkat dan terjadi transfer pekerja terlatih (Sharif, 2011). Di
samping kekayaan materil, Inggris juga meninggalkan budaya antre dan
mendahulukan pejalan kaki dalam berlalu lintas.
E. Singapura
Sebuah kawasan yang kini adalah Singapura, dulunya bagian dari
kerajaan Sriwijaya. Kabarnya, dinamakan demikian karena akhir abad
ke 13 atau awal abad 14, pangeran Kerajaan Sriwijaya berburu ke
sebuah pulau, di mana ia melihat binatang yang belum pernah dia lihat,
seperti harimau tapi bukan. Binatang itu anggun gerakannya, tangkas
dan berani, dengan bulu bagian kepalanya yang hitam, putih di bagian
lehernya dan coklat di bagian badannya. Rombongannya terkesan,
kemudian seorang tua memberi tahu pangeran, bahwa nama binatang itu
34
Hong Kong adalah SAR pertama Cina, sebelum akhirnya disusul Macau pada 1987 pasca
kolonial Portugis untuk menghubungkan perdagangan Cina dengan Jepang, dan Lisabon
dengan Nagasaki.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 107
adalah “Singa” (Morgan, 1956). Menganggap penemuan itu pertanda
baik, di sana ia membangun kota “Simha Pura” yang artinya “Kota
Singa” dalam bahasa Sansekerta, atau “Singapura”, yang artinya “Kota
Singa” dalam bahasa Melayu.
Masih
menurut
rumor
yang
belum
tentu
dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya, catatan Tionghoa abad ke 3
menyatakan kota tersebut dinamakan Tamasek atau Tumasik Sriwijaya,
yang artinya “Kota Laut”35. Kota ini berisi orang-orang nelayan dengan
etnis Melayu dan Cina. Mungkin, itu alasan kenapa icon Singapura
adalah singa bertubuh ikan.
Bila dikehendaki, bisa saja dilakukan pelacakan dan pembahasan
-dengan berbagai versi- soal sejarah Singapura. Akan tetapi, fokus sub
bab ini hanya terbatas pada masa kolonial Eropa awal tahun 1500an,
yang dimulai Portugis dengan mendirikan basisnya di semenanjung
Malaya (sekarang Malaysia). Dialah Eropa pertama yang menguasai
Singapura, dengan menaklukkan Sriwijaya yang sedang melemah pada
abad ke 14. Penguasaan Portugis juga berhasil meluas sampai ke
kesultanan Malaka di Nusantara.
Kedatangan Portugis lalu disusul Belanda, Prancis dan Inggris.
Mereka bertengkar memperebutkan sumber daya alam dan lokasi
strategis. Portugis menghadapi sesama Eropa dan karena beberapa
sebab, pada gilirannya mengalami kemunduran, yang merembet pada
kemundurannya dari Asia Tenggara. Menurut Sir Thomas Roe, seorang
utusan Inggris di Mughal (dalam Khoo, 1968), kejatuhan Portugis di
Asia Tenggara disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Portugis terlalu mengandalkan kekuatan perangnya.
Sehingga terjadi peperangan di mana-mana dan hal ini
menumbuhkan banyak biaya.
2. Mereka datang sebagai penakluk sehingga menimbulkan
permusuhan dan kebencian di kalangan bangsa-bangsa
di Asia Tenggara.
35
Catatan Tionghoa itu mungkin ada benarnya, sebab dalam kitab Negarakertagama (1365),
menyebutkan deskripsi yang sama, tentang adanya kota berisi etnis Melayu dan Cina bernama
Temasek.
108 | Miftakhuddin
3. Di samping itu sering terjadi kericuhan intern, para
pemimpinnya sering terlibat dalam perebutan kekuasaan
dan pengaruh demi kepentingan pribadinya masingmasing. Mereka tidak berdisiplin dalam tugasnya.
Belanda adalah pihak pertama yang mengalahkan Portugis,
namun Belanda tidak menjadikan Singapura sebagai basis dagang
regionalnya, karena dinilai tidak lebih menguntungkan ketimbang
Batavia. Di samping itu, meski Inggris (East India Company) hilirmudik melewati Singapura dan Nusantara untuk berdagang dengan Cina,
Inggris tidak bisa menguasai Singapura. Namun tanpa disadari Belanda,
Inggris telah “menaruh hati” pada Singapura. Setidaknya karena dua
alasan; pertama, Singapura dinilai amat ideal untuk pangkalan armada
niaga, yaitu berada di tengah jalur atau titik temu rute pelayaran Cina
dan India. Kedua, monopoli perdagangan yang dilakukan Belanda di
Kepulauan Maluku membuat orang lain seperti Portugis, Spanyol dan
terutama Inggris hanya bisa melakukan perdagangan skala kecil.
Pelabuhan Inggris yang sudah ada di Pulau Pinang terlalu jauh dengan
Selat Malaka, sedangkan yang di Bengkulu menghadap ke Selat Sunda
(tidak strategis), maka East India Company harus membuka pelabuhan
dagang di Selat Malaka.
Ketika hegemoni Belanda melemah karena masalah internal
VOC dan invasi politik Napoleon Bonaparte ke Belanda tahun 1795,
Inggris mulai bergerak di semenanjung Malaya. Tahun 1818, Sir
Stamford Raffles berlayar dan berhasil mendarat pada 1819 di
perkampungan Melayu Kecil di muara sungai Singapura yang dipimpin
Tumenggung dari Johor36. Inggris sesegera mungkin menjatuhkan
pilihannya di sana karena khawatir, kalau-kalau Prancis memperluas
kekuasaannya ke wilayah itu, walau pada perkembangan berikutnya
Inggris berusaha merebut Nusantara dari pemerintah Belanda (Prancis).
Interaksi dengan masyarakat lokal membuat Raffles akhirnya
tahu, bahwa Sultan Johor, Tengku Abdul Rahman, menjadi sultan hanya
karena kakaknya, Tengku Husein, sedang tidak berada di sisinya semasa
36
Pulau itu milik kesultanan Johor (kerajaan Melayu/Malaysia kini), yang kondisi politiknya
tidak stabil.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 109
ayahnya meninggal37. Maka tahun itu juga, 30 Januari 1819, Raffles
mendekati Tengku Husein. Tengku Husein dibantu menjadi Sultan,
apabila Inggris boleh mendirikan pelabuhan terbuka di Singapura,
dengan syarat membayar iuran tahunan kepada Tengku Husein
(Williams, 1979). Perolehan hak eksklusif Raffles tentu bisa dikatakan
menyewa. Sebab, pada praktiknya Raffles dikenakan pajak tahunan.
Awal kolonial Inggris, Singapura adalah wilayah jarang
penduduk, berawa-rawa dan tidak sehat. Singapura hanya dihuni oleh
100 orang Melayu dan 50 orang Cina (Sudrajat, 2009). Singapura mulai
maju ketika Raffles menjabat gubernur jenderal di Asia Tenggara. Ia
mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan koloni Inggris,
dengan mengembangkan pos perdagangan Singapura untuk transaksi
dengan Cina. Setelah menempuh jalan diplomasi dengan sultan Johor,
Raffles38 atas nama East India Company yang telah memperoleh izin
eksklusif, mulai mengembangkan pemukiman di Singapura.
Demikianlah Raffles dianggap sebagai pendiri Singapura.
Singapura adalah negara yang tumbuh bersama Inggris. Di
bawah perawatannya, pemukiman nelayan berubah menjadi pusat bisnis
internasional. Sebab, lokasinya yang strategis berada di antara Samudera
Hindia dan Laut Cina Selatan membuat para saudagar melabuhkan
kapalnya di sana. Ditambah lagi, East India Company menjadikan
Singapura sebagai pelabuhan bebas yang pengaturan izin dan pajaknya
tidak serepot pelabuhan-pelabuhan lain di sekitarnya. Kesuksesan
komersial ini pada gilirannya menyedot arus imigrasi besar-besar dari
India, Asia Tenggara dan yang paling banyak dari Cina. Etnis Cina yang
masuk adalah orang-orang miskin tak berpendidikan yang sedang
mencari kerja, dan yang dari India adalah narapidana yang dikirim untuk
bekerja pada proyek pekerjaan umum. Ketika hukuman mereka berakhir,
banyak dari mereka malah mengambil residensi di Singapura.
Demikianlah transformasi Singapura menjadi pelabuhan internasional
37
Menurut adat Melayu, calon sultan harus berada di sisi sultan sekiranya ia ingin dilantik
menjadi sultan.
38 Saat berunding dengan Sultan Johor, Raffles masih menjabat Letnan Gubernur Bencoolen
(kini Bengkulu).
110 | Miftakhuddin
dengan peran amat penting, padahal dulunya hanya kota nelayan yang
kurang diperhatikan.
Namun begitu, banyaknya etnik ternyata membuat Singapura
kurang kondusif. Maka Raffles mencanangkan Raffles Town Plan pada
1822 (dikenal juga sebagai Jackson Plan), untuk mengatasi
ketidakteraturan antar penduduk koloni yang multikultur. Kebijakan itu
memisahkan pemukiman menjadi empat wilayah menurut etnisnya.
Orang Eropa dan Asia yang saat itu notabene kaya, ditempatkan di
European Town. Etnis Tionghoa diletakkan di China Town (sekarang di
tenggara Singapore River). Etnis India ditempatkan di Kampong Chulia
(sebelah utara China Town). Sedangkan warga muslim, etnis Melayu,
dan Arab ditempatkan di Kampong Glam.
Kebijakan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan Konstitusi
Singapura pada 1823. Berdasarkan konstitusi itu, Raffles menggariskan
agar Singapura menjadi masyarakat yang berdasarkan moral baik di
mana perbudakan dan penggunaan narkoba dilarang. Raffles membuat
Singapura berkembang menjadi pelabuhan bebas dengan toleransi
budaya dan fokus pada pendidikan. Di masa ini, sekolah berbahasa lokal
dibangun, bisnis diizinkan berkembang, dan orang-orang diperbolehkan
mendalami dan menyebarkan agama yang mereka pilih.
Program pemberdayaan Raffles tersebut makin meningkatkan
citra Singapura, hingga dikenal sebagai pelabuhan terpenting, dengan
lebih dari 10.000 penduduk di tahun 1824 (Sudrajat, 2009). Menurut
Nach (1976), pedagang Cina merupakan bagian terbesar penduduk
Singapura, sebab kalau dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Asia
Tenggara yang juga kebanjiran orang-orang Cina, Singapura
menunjukkan suatu keistimewaan (Sudrajat, 2009). Sekalipun terkenal
di kalangan perompak sebagai markas bajak laut Cina, tidak lantas
membuat Singapura berhenti berkembang di bawah komando Inggris.
Saat perkembangan seolah mencapai klimaks, Belanda sang
penguasa Nusantara kembali untuk merebut Singapura, sebab di masa
lalu Inggris merebut Singapura dari Belanda. Tapi Inggris perseteruan
akhirnya diselesaikan dengan Treaty of London pada Maret 1824, untuk
mengukuhkan mana koloni Inggris dan mana koloni Belanda.
Berdasarkan kesepakatan itu, Kepulauan Melayu bagian utara yang
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 111
meliputi pulau Pinang, Malaka dan Singapura di bawah kekuasaan
Inggris. Sedangkan bagian selatan (termasuk Bengkulu) menjadi milik
Belanda. Inggris kemudian menyatukan Pulau Pinang, Malaka dan
Singapura ke dalam Straits Settlements (negeri-negeri selat) pada 1826,
dengan pulau Pinang sebagai pusatnya (pada 1832 pusatnya dipindah ke
Singapura). Sayangnya, pertumbuhan ekonomi dan populasi yang pesat
kurang mendapat fasilitas dari pemerintah Inggris, seperti; layanan
kesehatan masyarakat, keamanan masyarakat dan lain-lain. Bagi
pemerintah Inggris, selama keuntungan dagang tidak terpengaruh,
agaknya kesejahteraan masyarakat kurang diperhatikan.
Ini mungkin berdampak pada kekalahan Inggris di Singapura
menjelang Perang Dunia II, yang mana sekalipun Inggris menjadikan
Singapura sebagai basis militer, Jepang berhasil menguasai Singapura
pada 1942, ditandai dengan menyerahnya ±130.000 laskar India dan
Inggris pada tahun baru imlek (15 Feburari 1942). Jatuhnya Singapura
ke tangan Jepang merupakan pengakuan kalah terbesar dalam sejarah
Britania Raya. Tapi ini adalah reformasi yang besar pula bagi
masyarakat Singapura itu sendiri.
Pendudukan Jepang yang kejam membuat penduduk Singapura
bersatu membentuk The Malayan People’s Anti Japanese Army
(MPAYA) yang dipimpin seorang komunis bernama Cheng Peng. Ada
juga Comunist Party Malaya (CPM), Cina Nasionalis (Kuomintang) dan
Kesatuan Melayu Muda (KMM). Mereka bahkan dibantu tentara Inggris
yang terjun di hutan-hutan. Selama gerilya, Inggris berjanji akan
memberi pemerintahan yang demokratis kepada Malaya. Namun hal itu
sedikit terlambat, sebab pendudukan Jepang telah menghidupkan
nasionalisme orang Melayu. Mereka mulai sadar bahwa tidak
seharusnya orang Melayu terus-menerus memuja Inggris yang datang
untuk menghisap kekayaan mereka. Nasionalisme ini makin berkobar
manakala Jepang juga memprovokasi dengan menyebarkan doktrin antiBarat.
Akan tetapi, setelah kalahnya Jepang karena bom di Hiroshima
dan Nagasaki, dengan dikembalikannya Singapura kepada Inggris malah
membuat pemerintahan Singapura terombang-ambing (jika tak mau
dikatakan vacum of power), sebab Inggris tak lagi mendominasi, bahkan
112 | Miftakhuddin
seolah mempersilakan Singapura menjalankan pemerintahannya sendiri.
Tampaknya, Inggris menebus janjinya saat perang melawan Jepang.
Buktinya Inggris membubarkan Straits Settlement dan hanya
membentuk BMA (British Military Administration) untuk membimbing
pemerintahan Malaya. Namun karena tak disukai rakyat akibat termakan
doktrin anti-Barat, BMA digantikan Malayan Union, untuk menyatukan
semua kerajaan di Semenanjung Malaya di bawah kepemimpinan
Gubernur Inggris. Inipun tetap diprotes, sebab dianggap menghapuskan
kedaulatan raja-raja. Malayan Union ditentang dengan menyatukan
semua organisasi Melayu ke dalam satu organisasi nasional bernama
United Malay National Organization (UMNO) pada 1946.
Jadi selama periode 1945 hingga 1960-an Singapura berada
dalam ketidakjelasan status. Apakah menjadi koloni, anggota federasi,
ataukah negara persemakmuran (commonwealth). Toh kemerdekaan pun
juga belum diraih. Dilakukannya pemilu pertama tahun 1955 memang
menghasilkan David Marshall sebagai ketua menteri39, tapi permohonan
David diajukan ke London soal kemerdekaan Singapura tidak direspons
serius. Sebab pengaruh komunis di Singapura dinilai masih terlalu besar.
Oleh sebab itu, Singapura bergabung menjadi anggota
Persekutuan Tanah Melayu bersama Sabah dan Sarawak untuk
membentuk Malaysia pad 1963. Federasi agaknya lebih mengarah ke
suatu kerja sama, sebab Singapura sebagai -calon- negara berukuran
kecil membutuhkan proteksi dari wilayah yang lebih besar seperti
Malaysia. Sedangkan Malaysia ingin Singapura tidak menjadi komunis,
karena banyak petinggi Singapura berhalauan “kiri”. Demi suksesnya
master plan ini, Malaysia sampai melakukan transmigrasi ke Singapura
untuk menyeimbangkan komposisi penduduk yang mayoritas etnis
Tionghoa.
Namun ekspetasi Malaysia tidak terpenuhi. Transmigrasi
berujung pada diskriminasi etnis Tionghoa terhadap warga Malaysia di
Singapura. Di sisi lain, terjadi konflik antara partai yang berkuasa di
39
Sebelumnya, sudah pernah ada pemilu pada 1948 untuk memilih enam wakil rakyat, dan
pemilu pada 1951 yang malah membuat wakil rakyat semakin bertambah banyak. Dua pemilu
itu tak bisa menghasilkan satu wakil tunggal, makanya dilakukan pemilu tahun 1955 untuk
memilih seorang wakil menteri.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 113
Malaysia (UMNO) dengan partai yang berkuasa di Singapura (PAP).
Walhasil, Singapura dikeluarkan dari persekutuan sehingga ia menjadi
republik sendiri yang merdeka pada 9 Agustus 1965, dengan presiden
pertamanya Yusof Ishak. Sedangkan Malaysia, setelah menjadi negara
pertama yang mengakui kemerdekaan Singapura, pada 22 Desember
1965 bergabung menjadi persemakmuran Inggris (commonwealth).
114 | Miftakhuddin
A. Neokolonialisme
Berbeda
dengan
kolonial
sebelum
Perang
Dunia,
neokolonialisme lebih terlihat bersih dan anti perang. Umumnya,
neokolonialisme memakai ekonomi kapitalis untuk menundukkan elit
bangsa yang lemah nasionalismenya, dan mengontrolnya. Itulah
instrumen neokolonialisme. Sebagaimana Choussudovsky (dalam
Razmin, 2013), sejak abad 20 penaklukan negara bermaksud menguasai
aset produktif, buruh dan SDA. Tidak ada kepentingan menjajah dengan
mengirim tentara. Meski begitu, neokolonialisme tetap membidik
wilayah potensial. Adapun wataknya sama; dominasi dan hegemoni
(Rohman, 2009). Nah, apa yang bervariasi adalah metode pengkoloni
dalam menundukkan para elit. Kadang kala melalui pinjaman, politik
etis, promosi budaya, bahkan pendidikan, seperti halnya Mafia of
Berkeley di Indonesia semasa orde baru. Bila ditinjau dari sisi yang lain,
barangkali neokolonialisme boleh disebut neo-feodalisme, sebab
petinggi negara menggunakan pajak yang terakumulasi dalam APBN
untuk mengakomodir ancaman pengkoloni.
Menurut Littlejohn & Karen (2009), apa yang disebut
neokolonialism sama halnya dalam wacana kontemporer tentang “orang
lain” (the others). Neokolonialisme memakai istilah “Dunia Pertama”
dan “Dunia Ketiga” untuk menunjuk negara maju dan negara
berkembang, dalam pemindahan besar-besaran dan invasi budaya
Amerika ke setiap bagian dunia. Amerika memperlakukan ras non kulit
putih sebagai the others dalam medianya, the others yang
menguntungkan. Presiden Soekarno dalam satu pidatonya di hadapan
para pemimpin Eropa mengatakan;
...I hate imperialism. I detest colonialism. And I fear the
consequences of their last bitter struggle for life. We are
determined, that our nation, and the world as a whole,
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 115
shall not be the play thing of one small corner of the
world....
Bagi Soekarno, imperialisme dan kolonialisme hilang untuk
memberi jalan kepada imperialisme dan kolonialisme baru. Akibatnya,
banyak negara merdeka akhirnya kecewa, sebab kemerdekaan yang
diraih gagal melikuidasi sepenuhnya kekuatan imperial. Ini terjadi
lantaran imperial juga menggunakan cara baru dalam menjegal negara
merdeka mengkonsolidasi kekuatan politik, ekonomi dan budaya.
Kurang lebih demikianlah pesan Soekarno. Kemerdekaan hanyalah skat
periodik antara kolonialisme dengan neokolonialisme.
Bila diproyeksikan ke pengalaman kolonial terdahulu,
neokolonialisasi berarti praktik kapitalis dalam mengontrol suatu negara
sebagai pengganti kontrol militer langsung. Baik dengan budaya,
linguistik, maupun media. Sebagai contoh penggunaan bahasa pada abad
20, di mana bahasa Belanda dan Inggris dipandang lebih tinggi dan
bergengsi ketimbang bahasa lokal. Sumber-sumber oral dari tradisi lokal
diterjemahkan ke bahasa kolonial dan diatur secara terbatas sehingga
hanya bangsawan yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber
tersebut. Perbedaan kontras sangat nampak dewasa ini, di mana
neokolonialisme masuk melalui proses globalisasi, dengan Amerika
sebagai hulu dan bekas jajahan (Asia Afrika) sebagai hilir.
Jika menilik tahapan kolonial sebelum 1960-an, tampak
kolonialisme dimulai dengan perundingan diplomatis untuk meredam
konflik. Tapi jika dicermati bagaimana perjanjian itu berjalan, selalu ada
pertentangan atau pelanggaran kesepakatan. Kalaupun tidak, minimal
timbul pemberontakan pribumi. Perjanjian lebih berperan mereda emosi
sesaat,
pengalih
protes,
atau
peredam
sementara
untuk
ketegangan/konflik. Itulah mengapa, kolonis menyusun skema
neokolonialisme. Rohman (2009), menegaskan; saat ini kolonialismeimperialisme melakukan eksploitasi melalui sistem peraturan dan
hubungan ekonomi-politis. Mulai deregulasi ekonomi yang dipaksakan,
hingga
penjajahan
intelektual.
Jelaslah,
sebab
munculnya
neokolonialisme ialah; 1) populernya nasionalisme di berbagai kelas
masyarakat. 2) terbentuknya federasi-federasi pendukung emansipasi
116 | Miftakhuddin
negara terjajah. 3) deklarasi-deklarasi kemerdekaan negara-negara
terjajah yang diikuti pengakuan kedaulatan.
Ada sedikitnya dua faktor bagaimana sebab-sebab itu berjalan.
Pertama, arus globalisasi. Globalisasi adalah peng-global-an. Artinya,
penyeragaman warga dunia ke dalam satu warna universal, baik
komunikasi, berperilaku, maupun aktivitas kultural lainnya. Sebagai
proyek yang diusung negara adikuasa, globalisasi mewujudkan tatanan
baru dengan menghapus batas-batas geografis, ekonomis dan kultural.
Sudut pandang ini menilai globalisasi adalah kapitalisme termutakhir.
Negara kuat mengendalikan ekonomi dunia, sementara negara
berkembang mengikuti arus tanpa menciptakan arus (Irhandayaningsih,
2011)
Suatu contoh; dahulu komunikasi personal jarak jauh via kirim
surat (pos), setelah penemuan telepon dan e-mail, pola komunikasi
berubah, dan berubah lagi tatkala ditemukan telepon genggam
(handphone), yang sesuai mobilitas user. Tingginya intensitas
komunikasi mendorong penyebaran inovasi. Alhasil, pola komunikasi
modern yang semula terkonsentrasi di Barat, tersebar ke luar hingga
mengglobal. Adanya penyamaan inilah, membuat dunia mengalami
penyeragaman. Arus dari Barat mengontrol masyarakat hilir; sebab
kalangan hulu (Barat) mencontohkan, kalangan hilir menirukan. Tata
krama bersapa via telepon misalnya. Sapaan ala Barat berupa “hello”,
kemudian -misalnya- Indonesia mengadaptasinya dengan “halo”, bukan
assalamulaikum ataupun kulo nuwun. Peristiwa inilah yang oleh
antropolog disebut “lunturnya jati diri bangsa” akibat globalisasi.
Sukmono (2013), mempertegas dengan menyatakan perkembangan
teknologi, khususnya televisi, menggeser budaya luhur seperti petuah
“kalau mau membeli sesuatu, harus menabung dahulu”. Nilai itu diganti
melalui propaganda kapitalis, dengan menyebut dalam iklan industrial,
“beli dulu bayar belakangan; kalau tidak mampu, ngutang aja”.
Tanpa sadar, neokolonial meluas dan mendikte bangsa lain.
Terlebih pergerakan pola hidup menuju konsumtif kian menguntungkan
negara adikuasa sebagai pusat industri, sebab produksi masal mereka
telah menjumpai pasar ideal. Implikasi final atas proyek ini tak lain ialah
ketergantungan. Demikianlah neokolonial menciptakan ide-ide untuk
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 117
menarik dan mengikat negara berkembang mengikuti arus yang telah
disusun. Lihat saja ekonomi Indonesia awal orde baru, yang dipegang
Mafia of Berkeley dengan mencangkok sistem ekonomi Amerika.
Menurut beberapa ekonom, mereka didikte Amerika dalam menjalankan
ekonomi Indonesia. Makanya di akhir orde baru perekonomian
Indonesia defisit hingga krisis moneter. Di samping itu, lihat pula soal
industri transportasi. Intensitas kendaraan produksi Jepang mendominasi
Asia Tenggara, yang dapat dimengerti sebagai representasi neokolonial
karena bersifat adiktif.
Kedua, lembaga internasional. Meninjau efektivitas League of
Nations yang gagal mengadili invasi Jepang atas Tiongkok dan invasi
Italia atas Abbessyna, lembaga internasional memang rawan disarangi
nekolim secara terselubung. Bahkan berdirinya United Nations yang
secara normatif menjadi sumpah damai seluruh dunia, justru
menampakkan neokolonial masuk melalui sela-sela birokrasi. Lihat saja
Amerika pasca Perang Dunia II yang menjadi “kreditur dadakan”
penyedia dana untuk pemulihan negara terdampak perang. Walau
Jerman menyanggupi kerugian perang berdasarkan konfereni Postdam,
namun krisis ekonomi-sosial-politik lebih banyak diatasi Amerika.
Demikianlah Amerika menjadi donatur terbesar PBB dan anggota tetap
Dewan Keamanan.
Utang-piutang membuat Amerika dapat memainkan perundingan
politis. Suatu misal; pembebasan Irian Barat. Alasan Belanda tak mau
mengakui Irian Barat ialah pemulihan ekonomi akibat Perang Dunia dan
pendudukan Napoleon Bonaparte. Namun pada sidang majelis umum
PBB, Belanda setuju melepas Irian Barat, dengan syarat PBB
membentuk Negara Papua. Karena menganggap Belanda tak mau
mengembalikan Irian Barat ke Indonesia, maka Soekarno membentuk
Tri Komando Rakyat (Trikora). Tapi sebelum Operasi Jaya Wijaya
dijalankan, Soekarno menghentikan serangan karena telah tercapai
persetujuan antara di markas besar PBB, di New York, pada 1962.
Di sinilah bagian paling menarik, rupanya negosiasi itu dipandu
Amerika atas nama PBB. Amerika meminta Belanda mundur, dengan
membantu Belanda memulihkan perekonomiannya melalui Marshall
Plan. Sedangkan Indonesia harus membalas jasa Amerika tanpa
118 | Miftakhuddin
mengabaikan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), yakni Indonesia
harus membayar kemerdekaan kepada Belanda senilai 4,3 miliar gulden
(jika di kurs kan dengan emas, senilai 150 miliar dollar). Sebagaimana
De Vries40 (2011), dalam publikasinya di eurasiareview.com;
Under the Marshall plan the Dutch were receiving large
loans from America to finance the post-war restoration of
the country. America therefore threatened the Dutch that
unless they halted their efforts to bring Indonesia back
under their control, the Marshall aid would be stopped.
United Nations kemudian mendesentralisasi kewenangannya
melalui badan-badan khusus, seperti; UNESCO yang menangani
pendidikan dan kebudayaan, WHO menangani kesehatan, FAO
menangani pangan dan pertanian, IMF menangani soal pemenuhan
kebutuhan finansial global (loan), dan lainnya. Bagi negara peminjam
PBB melalui IMF maupun World Bank yang menggadaikan aset negara
dan tak mampu melunasi hutang, maka urusan internal akan dicampuri.
Di antara yang sering terlibat fenomena ini adalah Indonesia,
Afghanistan, Ghana, Nikaraguai dan lainnya (Razmin, dkk., 2013).
Maka wajar bila ada anekdot “IMF adalah lintah darat dunia”. Belum
lagi IMF didominasi pihak tertentu, sebab pemasukan IMF berasal dari
iuran anggota, dan donatur tertinggi akan berperan sentral (Razmin,
dkk., 2013)
B. Pelaku Neokolonialisme
Berdasar hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1961,
berikut siapa-siapa saja yang bertindak sebagai agen neokolonial.
1. Kedutaan-kedutaan kolonial dan misi-misi terselubung. Biasanya,
lembaga ini melakukan spionase pelemahan negara tertentu.
Misalnya; CIA (Amerika), KGB (Uni Soviet), MI6 (Inggris) dll.
2. Lembaga pemberi bantuan (World Bank, IMF, dan WTO
3. Militer dan kepolisian, yang dibina melalui latihan di negeri
imperialis.
40
Konsultan manajemen internasional dengan fokus urusan geopolitik, ekonomi dan Islam.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 119
4. Penyusup berkedok agama dan kemanusiaan melalui serikat buruh,
organisasi kebudayaan, lembaga filantropis, dan korps-korps
perdamaian.
5. Media massa penyebar propaganda.
6. Pemerintahan boneka.
Meski demikian, di antara poin-poin di atas terdapat korelasi
yang hampir tumpang tindih dan dapat diklasifikasikan lalu dipadatkan
ke dalam dua kategori; 1) investasi dan perusahaan multinasional. 2)
badan keuangan internasional.
1. Investasi dan Multinational Corporation (MNC)
Sejauh kaitan neokolonialisme dengan MNC, Prasetyo (2009)
memberi acuan bahwa neokolonialis mengedepankan sikap hidup
liberalis, hedonis dan anti-sosial. Ini tampak dalam persaingan bebas
(liberal) yang pada akhirnya menghasilkan pihak menang dan kalah.
Pemenang akan berjaya dan bersenang-senang (hedonis), tanpa peduli
pada pihak yang kalah (anti-sosial). Katakanlah Amerika dan Papua,
Amerika sebagai neokolonial berpola liberal dan hedonis, tercermin dari
pola hidup yang tidak sehat, hedonis, bahkan obesitas. Kontras sekali
dengan Papua. Jangankan hedonis, tahap persaingan saja mereka tak
bebas.
Memang, tuduhan adanya neokolonisasi negara kuat ke negara
lemah bukan “barang baru”. Tak cukup atas nama pemerintah, badan
usaha transnasional pun terlibat. Tidak jarang pula suatu pemerintahan
bersifat korporatokrasi. Sehingga eksistensi pemerintah hanya bersifat
simbolik. Akibatnya, negara menghadapi pengaliran hasil usaha yang
tak seimbang. Jika negara mengizinkan masuknya investasi, maka ia
membuka pintu negara maju untuk memonopoli. Keputusan begini
adalah persoalan dilematis dan pelik, sebab di satu sisi negara harus
mendapat pemasukan, di sisi lain negara juga perlu mengukuhkan
kedaulatan, termasuk memenuhi kebutuhan rakyatnya (Razmin dkk,
2013). Sementara hadirnya MNC membuat pembangunan ekonomi
selalu bergantung, sebab kebanyakan modal dan teknologi berasal dari
investor.
120 | Miftakhuddin
Mengkaji pengalaman pra-Soeharto, Indonesia pernah mutlak
menganulir berdirinya MNC dengan mencabut UU-PMA pada 1958. Ini
demi mengakomodir gagalnya pemulihan ekonomi pasca kemerdekaan
hingga 1950-an, yang menyebabkan inflasi, karena “dipermainkan”
Belanda dan Amerika. Sebelum mencabut UU-PMA, keputusan pertama
Soekarno ialah mengubah halauan politik dari ekonomi liberal-kapitalis
menuju sosialis-komunis. Sedang keputusan kedua ialah menasionalisasi
perusahaan asing. De Vries (2011) dalam publikasinya berjudul
Neocolonialism and The Example of Indonesia Analysis, menyatakan;
Starting in 1957 Dutch interests in Indonesia wee seized
and nationalized. Starting in 1963, British firms were
nationalized. And starting in 1964 American firms as well.
Ultimately, in 1965 foreign investment in Indonesia was
completely disallowed with the repeal of the Foreign
Investement Law of 1958.
Kebijakan Soekarno menasionalisasi MNC, pembatalan sepihak
hasil KMB, dan pencabutan keanggotaan di PBB membuat Amerika
menyusun rencana baru. Mengutip dari De Vries (2011), Maxwell41
dalam risetnya tahun 1965, menemukan surat bertanggal Desember 1964
yang menyatakan Indonesia siap jauh ke pangkuan Barat melalui kudeta
komounis dan menjadikan Soekarno sebagai tahanan. De Vries juga
bersandar pada buku Legacy of Ashes: The History of the CIA karya
Weiner, yang menjelaskan berjalannya rencana itu. Disebutkan, CIA
merekrut Adam Malik dan membentuk troika, pemerintah bayangan
yang terdiri atas Adam Malik, Soeharto dan sultan penguasa Jawa
Tengah. Malik mengatur pertemuan rahasia dengan Amerika soal
rencana pembersihan komunis (Gestapu). Sedangkan Soeharto mengatur
penculikan jenderal sekaligus pembantaian simpatisan PKI sesuai daftar
nama yang disediakan CIA.
Satu langkah Soeharto sebagai pimpinan tertinggi ialah mengutus
tim ekonom ke konferensi di Swiss yang diselenggarakan Time Life
Corporation of America. Profesor dari Northwestern University,
41
Peneliti senior di Institute of Commonwealth Studies, Oxford University.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 121
Chicago, mempelajari makalah konferensi dan menggambarkan prosesi
konferensi sebagaimana di bawah ini;
mereka dibagi lima. Sektor pertambangan di satu
ruangan, sektor jasa di tempat lain, industri ringan di
tempat lain, perbankan dan keuangan di tempat lain.
Orang-orang perusahaan besar mengatakan; ini adalah
yang kita butuhkan. Ini, ini dan ini. Dan pada dasarnya
merekalah yang merancang infrastruktur hukum di
Indonesia. Belum pernah terdengar situasi seperti ini, di
mana para pemodal global duduk dengan wakil dari
negara yang seharusnya berdaulat, di mana para pemodal
-lah yang justru menentukan ketentuan-ketentuan dan
persyaratan agar bisa berinvestasi di Indonesia (De Vries,
2011).
Selanjutnya pada 1967 Soeharto menerjemahkan permintaan itu
menjadi UU-PMA, dan Freeport menjadi MNC pertama di tahun itu.
Soeharto memimpin dan mengawal dengan tangan besi pelaksanaan
UU-PMA hingga 1998. Tapi pada 2007, pemerintah malah PPh,
mencabut kewajiban PPn, dan memperpanjang masa penyewaan dari 70
menjadi 95 tahun. Parahnya lagi, tahun 2010 pemerintah membuat UUPMA pengganti tahun 1967. Atas perubahan itu, Amerika mengatakan:
“Perubahan perjanjian investasi Perusahaan Investasi Asing yang lebih
memenuhi kebutuhan pengusaha Amerika telah ditandatangani pada
April 2010. Perjanjian ini menggantikan perjanjian tahun 1967” (Vries,
2011).
Demikianlah perekonomian Indonesia berbalik arah melegalkan
neokoloni, meski para kapitalis punya catatan hitam. Suatu contoh
Freeport. Kontrak Karya (KK) pertama diambil saat Papua belum resmi
menjadi bagian dari RI, sebab Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) baru
dilakukan tahun 1969. Di samping itu, Soeharto yang menandatangani
KK masih berstatus sebagai pejabat sementara Presiden (dia dilantik
tahun 1968). Catatan hitam lain lagi sebagaimana Amirudin (2003),
Freeport memberi puluhan juta dollar kepada TNI dan Polri untuk
mengamankan bisnisnya dari pemberontakan pribumi. Tercatat antara
tahun 1972 dan 1977 saja, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal.
122 | Miftakhuddin
2. Badan Keuangan Internasional
IMF memberi pinjaman jangka pendek, yang biasa digunakan
mengatasi krisis moneter. Sedangkan World Bank (WB) menyediakan
pinjaman jangka panjang, yang biasa digunakan membangun
infrastruktur, rumah sakit dan sekolah (Razmin, dkk., 2013). Celakanya,
pemberi hibah tertinggi mempunyai posisi dan peran dominan; AS dan
Eropa. Ia memilih warga negaranya untuk menjadi pemimpin dalam
badan tersebut (Wade, 1998). Sebagaimana Swedberg (1986),
berdasarkan gentleman agreement, sudah menjadi tradisi, IMF diketuai
perwakilan dari benua Eropa, dan World Bank diketuai orang Amerika.
Tujuan WB ialah mengurangi kemiskinan dengan memberi
pinjaman dan mempromosikan investasi. Sementara IMF,
mengkondisikan kerja sama moneter global, perdagangan internasional,
mempromosikan kesempatan kerja, dan mengamankan stabilitas
keuangan negara anggota. Bahkan IMF mengawasi kebijakan ekonomi
makro suatu negara untuk melihat dampaknya terhadap nilai tukar mata
uang. Ada sedikitnya dua poin penting. Pertama, ketidakberuntungan
karena secara tradisional presiden WB adalah Amerika. Kedua, IMF
mengawasi kebijakan ekonomi makro suatu negara. Artinya, jika
perkembangan ekonomi suatu negara dianggap “membahayakan”, maka
IMF akan ambil sikap.
Terbukti, pemerintah memprivatisasi 12 BUMN selama 19912001, dan 10 BUMN selama 2001-2006. Privatisasi memang
dikehendaki, sebagaimana diatur Letter of Intents bersama IMF, dan
dalam Legal Guidelines for Privatization Programs bersama WB.
Berdasarkan dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008,
disebutkan lembaga bantuan Amerika bersama WB aktif soal privatisasi
di Indonesia. Malahan, Asian Development Bank (ADB), dalam Project
Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization
Program tahun 2001, memberi pinjaman 400 juta dollar AS, untuk
privatisasi BUMN (Indonesia, 2011).
Bila perannya sejauh ini, maka bisa saja IMF memunculkan
krisis ekonomi untuk menggiring pemerintah mengambil tawaran
pinjaman. Berkat konsentrasi modal dan kuasa, mereka bisa mendikte
syarat-syarat pinjaman kepada negara lemah (Müller, 2005).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 123
Sebagaimana Stiglitz (2002), negara minta bantuan IMF untuk keluar
dari krisis, justru mengalami krisis berkepanjangan, di mana mereka
diatur mekanisme ekonomi bahkan bahkan politik nasional menuju
ketergantungan; debt trap. Lebih dari itu, Prof. Mubyarto (2006)
mengangkat pengalaman Perkins selaku Economic Hit Man (EHM),
yang dituliskannya dalam Confessions of An Economic Hit Man (2004).
Perkins membuat geger dengan pengakuannya bahwa
paham corporatocracy yang lahir dan berkembang di
Amerika berani membayar sangat tinggi kepada seorang
EHM seperti dia, dengan misi rahasia membuat negaranegara yang kaya minyak seperti Indonesia, agar
mendapat utang sebanyak-banyaknya dari Amerika,
terutama melalui Bank Dunia dan IMF, sampai benarbenar tidak mampu membayarnya kembali. Kalau kondisi
yang matang ini sudah tercapai, maka negara yang
bersangkutan sudah masuk perangkap “the global
empire” sehingga “keamanan nasional Amerika
terjamin”. Kalau kondisi demikian tidak tercapai, jalan
terakhir akan ditempuh yaitu seperti halnya Panama tahun
1989, dan Irak tahun 2003, negara yang bersangkutan
akan diinvasi dengan kekuatan militer penuh (Mubyarto,
2006).
C. Sistematika dan Teknis
1. Pembentukan pemerintahan boneka di bekas jajahan.
Pembentukan negara boneka adalah bentuk paling sederhana dari
neokolonialisme. Sebab dengan memanfaatkan elemen-elemen
reaksioner, pengusulan kepada PBB dan persetutujuan PBB, maka
neokolonialisme dengan instrumen negara boneka bisa berjalan dengan
baik.
2. Pengelompokkan negara-negara atau pembentukan federasi.
Pembentukan federasi pernah dicontohkan Britania dengan
membentuk Straits Settlements di Singapura dan kepulauan Malaya.
Memang selintas tampak seperti negara boneka, tapi model ini menaungi
124 | Miftakhuddin
banyak negara di bawah satu atap. Meski begitu, ada kalanya model
neokolonisasi ini bertahan lama, kadang pula mengalami rekonstruksi
bahkan dekonstruksi. Straits Settlements saja, pasca pendudukan Jepang
mengalami perombakan menjadi British Military Administration,
kemudian bertransformasi lagi menjadi Malayan Union hingga akhirnya
menjadi United Malay National Organization (UMNO). Berbeda
dengan commonwealth Inggris yang bertahan konstan seperti Australia,
New Zealand, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Maladewa.
3. Balkanisasi (pecah belah) kepada negara menuju merdeka.
Sebagaimana diulas sebelumnya, neokolonialisme telah ada
bahkan sebelum kolonialisme benar-benar dihapus. Sukmono (2013)
malah menegaskan kalau kolonialisme telah menjadi pemandangan
berulang. Artinya, kolonialisme selalu terjadi, kontinyu, dan berkelitberkelindan. Hanya saja tampilannya berbeda. Menurut pemikir Marxis,
kolonialisme lama adalah pra-kapitalis, sedangkan kolonialisme modern
ditegakkan bersama kapitalisme Eropa Barat. Kolonialisme modern tak
hanya mengambil upeti, tapi mengubah struktur perekonomian dan
menarik “mereka” ke dalam hubungan kompleks dengan negara induk
(Loomba, 2003). Naasnya, kerap kali nekolim kapitalis masuk semasa
transisi dari keterjajahan menuju kemerdekaan, sebab momentum inilah
timing yang paling tepat untuk membuat perjanjian dengan bekas
jajahan. Kasus Irian Barat dan KMB adalah contoh konkret dan
representatif. Begitu juga kasus Vietnam-Cina, Jerman Barat-Jerman
Timur, dan Korea Selatan-Korea Utara.
Perbedaan mendasar tiga kasus di atas hanya terletak pada proses
unifikasinya. Berbeda dengan Jerman yang kini menyatu sejak
diruntuhkannya Tembok Berlin, Korea tak bisa menyatu karena
digunakan sebagai pion Amerika dan Soviet semasa Perang Dingin.
Akibat saling curiga antara AS dan US, Amerika sempat mengusulkan
ke PBB untuk mendesak Korea Utara (Yuliantri, 2013), tapi China
membela Korea Utara bahkan tak segan menggunakan hak vetonya
untuk menghindarkan Korea Utara dari sanksi PBB. Jelas kondisi
semakin menjauhkan Korea Utara dan Selatan untuk bersatu. Terlebih
sejak dibangunnya persenjataan nuklir oleh Korea Utara (Resnadiasa,
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 125
dkk., 2012). Sedangkan Vietnam dan Cina masing-masing berdiri sendiri
dengan paham komunis, meski di masa lalu Cina dan Soviet adalah
sumber kekuatan Vietnam dalam berperang melawan Prancis yang
dibantu Amerika.
4. Melancarkan aksi subversif.
Aksi subversi adalah duri dalam daging. Itulah mengapa hal ini
lebih sulit diperangi ketimbang invasi dari luar. Sebagaimana peringatan
Omar Dani (dalam Anwar, 2006), bahaya yang menyita kewaspadaan
nasional ialah aktivitas kaum subversif yang menyelundup ke berbagai
aspek kehidupan. Praktis, siapapun bisa melakukannya dan menjadi
agen neokolonial; elit militer, kepolisian, pengusaha, pemerintah,
bahkan tokoh agama. Siapapun berpeluang asal mempunyai peran
sentral. Langkah mereka pun umumnya dengan liberalisasi politik untuk
menguasai pemerintahan, baik memakai aparat, dominasi dan
ketergantungan ekonomi, teknologi informasi, maupun dakwah.
Sebagaimana Nugroho (2016), disamping kelakuan oknum militer yang
tak bertangung jawab, penyebab liberalisasi politik dan arah demokrasi
yang keblinger adalah subversi nekolim.
D. Target Akhir
Skala prioritas dan visi neokolonialisme lebih kompleks dan
strategis ketimbang kolonialisme yang menonjolkan dominasi politikekonomi. Menurut Mayjen TNI (Purn), Hotma Marbun (2008),
sasarannya adalah semua sendi kehidupan bernegara, meliputi; 1) Front
Sosial-Ekonomi. 2) Front Psikologi. 3) Front Politik Dalam Negeri. 4)
Front Politik Luar Negeri. 5) Front Militer.
1) Front Sosial-Ekonomi
Kader neokolonial dikirim melakukan infiltrasi ekonomi ke
perusahaan-perusahaan strategis, berusaha memegang peran,
membentuk opini, berpartisipasi di perdagangan internasional, dan
perlahan mengambil alih posisi pimpinan. Tujuan infiltrasi tentu
memunculkan tekanan-tekanan ekonomi agar tergiring dalam
neokolonisasi. Penting untuk diketahui, prioritas dalam proyek
penekanan ekonomi ini adalah kebutuhan primer, agar timbul keresahan
126 | Miftakhuddin
dan kekacauan yang kemudian ditingkatkan ke ekonomi sekunder,
termasuk merusak sistem industri strategis untuk menciptakan
penggangguan dan krisis ekonomi. Akhirnya wibawa pemerintah
menjadi jatuh di mata publik.
Tahap kedua setelah pengambilalihan ialah konsolidasi, yakni
menghapus kepemilikan individu/swasta. Tahap ini secara simultan
dibarengi dengan pembentukan dan penyusupan kepada organisasi
politik, kemahasiswaan, buruh, bahkan militer. Nah, mereka semua
dikoordinir suatu kekuatan tanpa saling tahu adanya kedekatan
relasional (terselubung), jadi mereka bergerak seolah sebagai ormas
independen. Tahap berikutnya ialah membentuk hierarki paralel,
dengan menempatkan para kader ke jabatan-jabatan kunci di komposisi
pemerintahan untuk membuat perundang-undangan sesuai kepentingan
nekolim.
2) Front Psikologi
Front ini didesain untuk mengisi psikis massa melalui agitasi,
agar timbul rasa tidak puas atas suatu kondisi, sehingga menjelma
sebagai sikap kritis dan menentang setiap kebijakan (demoralisasi).
Meluasnya sikap ini diharapkan bakal mengkurasi kepercayaan publik
terhadap pemerintah, dan berujung pada hubungan layaknya buruh dan
majikan, bahkan pemogokan umum. Bagi masyarakat multikultur seperti
Indonesia, lazimnya menggunakan isu SARA sebagai senjata pokok
penyebab masalah. Kala stabilitas sosial tak terkendali, agen neokolonial
melancarkan aksi sugestif untuk “menghipnotis” publik melalui kegiatan
sosial sambil membentuk opini melalui propaganda, agar publik yakin
kalau keadaan baru yang lebih baik akan ada jika mau bergerak bersama
melakukan perubahan.
3) Front Politik Dalam Negeri
Diawali dengan membentuk fornt nasional yang menduduki
beberapa badan penting seperti Kemendagri, Kemendikbud, dan lainnya,
mereka menciptakan kesan dan suasana seolah hanya mereka yang bisa
memperbaiki persoalan tertentu. Front yang satu ini memang diperlukan
sebab perannya sebagai vokal pembawa “pesan” nekolim. Bila
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 127
pencitraan ini dipandang sukses, maka front nasional ditingkatkan ke
front kesatuan, agar tercipta suasana seakan kondisi yang berlaku untuk
mengukuhkan persatuan nasional. Langkah terakhir ialah mendirikan
apa yang disebut front rakyat di tingkat daerah. Pada fase inilah terjadi
semacam gerakan rakyat yang seolah menjadi hakim.
4) Front Politik Luar Negeri
Awalnya neokolonial mendiskreditkan atau membuka aib negara
sasaran untuk menghilangkan kepercayaan negara lain (pihak ketiga),
agar negara sasaran terisolasi dan kehilangan dukungan politik maupun
ekonomi. Demikianlah tercipta kondisi yang menyeret negara sasaran ke
arah politik luar negeri nekolim. Baru setelah negara sasaran diambil
alih, pendukung neokolonial akan memberi dukungan dan pengakuan
internasionalnya. Praktis, bantuan untuk pemerintahan yang baru
diambil alih sangat mengikat, dan negara baru ini menjadi “satelit”.
5) Front Militer
Front militer adalah upaya terakhir, sebab keamanan dan
ketertiban yang terganggu akan mempermudah pembentukan front lain.
Gangguan biasanya dimulai para kriminal dan residivis melalui agitasi,
teror, adu domba, pembunuhan, penyanderaan hingga fitnah. Jelas, agar
masyarakat terpecah dan saling curiga. Saat di mana instabilitas
merebak, angkatan bersenjata mulai dibentuk, dibina dan ditempatkan di
basis-basis gerilya, terutama di kawasan-kawasan rawan subversi. Tahap
ini ditandai dengan perekrutan masyarakat kelas bawah sebagai
kekuatan bersenjata yang melawan pemerintah dengan bergerilya.
128 | Miftakhuddin
A. Association of South-East Asian Nations (ASEAN)
Sejak kejatuhan Konstantinopel, Asia Tenggara menjadi pusat
perebutan tarik-menarik dominasi. Makanya kawasan ini menjadi
“pusaran konflik” selama Perang Dunia II dan Perang Dingin. Salah satu
respons untuk Perang Dingin ialah berupa penyelenggaraan Konferensi
Asia-Afrika tahun 1955 dan pembentukan Gerakan Non Blok (GNB)
tahun 1961. Tujuan GNB juga termaktub dalam arsip KAA dan GNB
sebagai UNESCO Memory Of the World (2015), bahwa;
GNB yang lahir dari spirit KAA 1955 adalah kenyataan
historis yang tidak menginginkan dunia hanya dipisahkan
oleh dua blok, dua warna atau dua arah: hitam/putih atau
timur/barat. GNB menawarkan arah atau warna ke tiga
yang bukan hitam dan bukan putih atau bukan timur dan
bukan barat. Setiap negara harus berani untuk
menentukan nasib dan masa depannya sendiri.
Namun kerja sama regional itu tak mampu meredam efek Perang
Dingin (Sukmayani, dkk., 2008), sehingga didirikanlah forum
Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) untuk bekerja sama
bidang politik, ekonomi dan budaya. Tapi kedudukannya sebagai forum
kerjasama pun melemah saat Inggris -yang sedang menjajah Singapuramembentuk federasi Melayu. Bagi Indonesia dan Filipina, federasi ialah
produk neokolonial. Maka Filipina mengklaim Sabah dan Sarawak.
Sementara Indonesia melancarkan Dwikora, yang terkenal dengan
seruan “ganyang Malaysia”. Bagi Soekarno, jika federasi berdiri sebagai
boneka Inggris, maka akan muncul “China kedua” yang mendominasi
ekonomi dan politik di Asia Tenggara (Prihatyono, 2009). Menurut
Sukmayani, dkk. (2008), konfrontasi berlanjut resolusi jajak kehendak
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 129
rakyat Sarawak, Brunei dan Sabah oleh Sekjen PBB, dan
penandatanganan Deklarasi Bangkok (cikal bakal ASEAN).
Menurut Alatas (1995), Menteri Luar Negeri Indonesia (19881999), kerja sama bilateral ini demi menegakkan kemerdekaan,
perdamaian dunia, melalui pembangunan, pembinaan persahabatan,
kerja sama, tanpa membedakan ideologi, sistem politik ataupun sistem
sosial-ekonomi. Meski demikian, pokok politik luar negeri tetaplah
memelihara kelangsungan hidup tiap negara (Rosenau, 1976).
Sebagaimana Prihatyono (2009) dalam tesisnya, politik luar negeri
selalu diabdikan demi kepentingan nasional. Oleh karenanya bagi negara
berkembang seperti Indonesia, sebelum meratifikasi perjanjian
hendaknya memperhatikan perumusan Undang-Undang harus
berlandaskan ideologi politik dan dasar negara. Sebab dalam pasar
tunggal, Piagam ASEAN memberi legalitas untuk cenderung
mensubordinasikan ekonomi Indonesia (Ridlwan, 2014).
Prihatyono (2009) dengan mengutip George Kahin dalam
Indonesian Foreign Policy and Dilemma of Dependence (1976),
menegaskan politik luar negeri Indonesia selalu dipengaruhi politik
domestik dan usaha memperluas akses sumber daya eksternal. Bahkan
sejak awal memang diprakarsai secara terselubung oleh Barat dalam
rangka Blok Timur versus Blok Barat. Tak satu pun di dunia yang tak
terpengaruh persaingan itu, termasuk organisasi regional bernafaskan
USA versus Soviet lain, seperti; SEATO dan ASA. Itulah mengapa
ASEAN tak bersifat kooperartif-integratif, melainkan kompetitif
(Wiharyanto, 2016).
ASEAN adalah instrumen kolektif neokolonial. Sebab meski
anggota merdeka (de jure), tapi secara ekonomi-politik tak merdeka (de
facto). Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 33/PUU-IX/2011
menegaskan globalisasi ekonomi dalam pasar bebas, seperti ASEAN
Free Trade Area (AFTA) adalah strategi penjajahan yang terkesan
modern dan bebas. Konsep ini berlaku agar ASEAN menjadi pasar
tunggal dan basis produksi dengan aturan bersama yang mengikat.
Gagasan pembentukannya pun sejak 1992 dan makin intensif sejak krisis
moneter 1998. Pertimbangannya adalah potensi pertambangan, sumber
perikanan dan hasil hutan. Plus sebagian anggota ASEAN sedang
130 | Miftakhuddin
berkembang, yang haus investasi dan hutang. Jelas, walau ASEAN
dibangun atas tiga pilar, nampaknya hanya economic community yang
diprioritaskan. Hingga saat ini, kekayaan alam anggota ASEAN dibawah
kontrol negara luar yang dikerjakan dalam model investasi neokolonial,
sehingga arah kebijakan dan anggaran publik diatur melalui utang luar
negeri yang melahirkan ketergantungan (Marut, 2015).
Berdasarkan ASEAN Statistical Yearbook (2009), tahun 20002008 Uni Eropa menduduki peringkat pertama dalam mengalirkan dana
investasi (US$ 93,6 miliar), disusul Jepang (US$ 48,2 miliar), dan
Amerika (US$ 34,9 miliar). Hal yang mengejutkan, rupanya kebijakan
itu mereka ambil justru akibat krisis finansial di sana. Krisis mendorong
agresivitas untuk menguasai pasar ASEAN, mengontrol sumber daya,
pasar keuangan, dan jasa. Sebab dengan begini mereka mampu
memindah beban krisis dan membentuk keseimbangan global baru;
diraih dengan menghisap negeri-negeri miskin lebih dalam (Putusan MK
Tahun 2011). Lebih-lebih taktik yang dipakai bukan hanya investasi,
melainkan juga penawaran hutang. Sehingga penawaran utang membuat
ASEAN seakan menghiba kepada lembaga keuangan internasional dan
negara maju melalui Chiang-Mai Initiative Multilateralisation (CMIM),
Asian Bond Markets Initiative (ABMI) dan Credit Guarantee and
Investment Facility (CGIF).
Putusan MK di atas juga menyebut Jepang menyiapkan US$ 20
miliar, Cina US$ 10 miliar, Amerika US$ 526 miliar tahun 2009 untuk
anggota ASEAN (kecuali Brunei), dan Australia US$ 50 juta (20022008) untuk integrasi ekonomi melalui mekanisme proyek jangka
menengah dan memperkuat daya saing melalui kegiatan kolaboratif.
Soal proyek ambisius ini, Asian Development Bank (ADB) mengajukan
program pembentukan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) yang
modalnya bersumber dari anggota masing‐masing US$ 150 juta. Modal
ini lalu di‐leverage dengan mengeluarkan surat utang AIF yang
diharapkan akan dibeli bank‐bank sentral di ASEAN. Parahnya lagi,
bunga dan pegembalian utang dipakai untuk membangun konektivitas
ASEAN (Marut, 2015).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 131
B. Konferensi Asia-Afrika (KAA)
Tujuan KAA berdiri ialah mempromosikan kerja sama ekonomibudaya dan menghapus kolonialisme. Prestasinya pun tak main-main.
Atas dukungan dan kampanyenya, Tunisia, Aljazair dan Maroko
merdeka dari penjajahan Prancis. Begitu juga kemerdekaan Nigeria dan
Kamerun atas Inggris pada 1960. Ia juga mampu memberikan dukungan
kepada Indonesia atas Irian Barat, Yaman atas Aden, dan meredakan
sengketa Taiwan dengan Tiongkok. Namun begitu, karena Asia
Tenggara adalah bekas jajahan Eropa, dan KAA terbentuk semasa Cold
War, maka tak mengherankan bila neokolonialisme bertengger. Lihat
saja kasus Israel-Palestina, yang membuat siapapun skeptis atas visi
KAA sebagaimana termaktub dalam Dasasila Bandung; ikut menjaga
perdamaian dunia. Terlepas dari di mana posisi KAA dalam hal ini,
persoalan ini memang pelik. Sebab, ialah Amerika di balik panggung
peperangan tersebut. Mengapa? secara historis konflik bermula pasca
holocaust, para Yahudi tersebar ke Eropa, lalu Zionis memulangkan
Yahudi ke “tanah yang dijanjikan” (Israel) dan ke Palestina.
Zionis selaku mandator Inggris tentu memperoleh dukungan.
Pemerintah Inggris mengeluarkan surat melalui menteri luar negeri,
James Balfour, untuk mengizinkan Zionis mendirikan rumah nasional
Yahudi di Palestina. Berikut adalah isi Deklarasi Balfour, yang dikutip
Sihbudi & Ahmad (1994),
His Majesty’s Goverment view with favour the
estabilishment in Palestine of a National home for the
Jewish People, and will use their best endeavours to
facilitate the achieevement of this object, it being elearly
undertood that nothing shall be done which may
Prejuadice the civil and religious rights of existing non–
Jewish Communities in Palestine, on the rights and
political status enjoyed by jews in any other Country.
Inggris bahkan menekan Palestina menerbitkan undang-undang
agar orang asing boleh punya properti dan tanah dengan membeli.
Undang-undang inilah yang dipakai Zionis membangun pemukiman
Yahudi (Al-Ghadiry, 2010). Amerika kemudian mengambil peran
Inggris dan mengirim US$ 130 juta ke Palestina untuk menuntaskan
132 | Miftakhuddin
transportasi Yahudi dari Eropa ke Palestina (Solichien, 2008). Atas
usaha Zionis melobi Inggris, Prancis, Rusia dan Amerika, maka Israel
mampu mendeklarasikan negara pada 1948. Pimpinan Zionis, Haim
Weizman, lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan Presiden
Amerika, Harry Truman, untuk meminta dukungan mendirikan negara
Yahudi (Saleh, 2012).
Meski Suriah, Mesir dan negara arab lain menentang Israel
karena dinilai ilegal dan merupakan negara boneka di “jantung” Timur
Tengah (Aulia’, 2015), Amerika kembali campur tangan dengan
memberi bantuan Israel untuk melawan koalisi negara arab; Mesir,
Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan Arab Saudi dalam Perang Yom
Kippur. Tidak sampai disitu, dukungan Amerika bahkan sampai melobi
PBB. Alhasil, terjadi pengusiran ratusan ribu warga Palestina.
Presiden Amerika 1966, Johnson, bahkan menekan PBB
menghentikan bantuan untuk pengungsi Palestina yang melakukan milisi
melawan Israel, dengan dalih mengganggu stabilitas keamanan dunia.
Amerika mengancam keluar dari Dewan Keamanan PBB dan
menghentikan bantuan finansial kepada PBB kalau PBB tak menerima
usulan Israel (Saleh, 2012). Sementara pada era Ronald Regan, tahun
1988, juru bicara White House menyatakan lebih baik Palestina dan
bangsa Arab lain menyerahkan Palestina. Pada era Obama, memang
intervensi Amerika menurun. Tapi di era Donald Trump, konflik itu
muncul lagi.
Memang Israel adalah tempat menjual senjata Amerika,
sekaligus penjaga terusan Suez dan tambang minyak bumi di sana
(Rahmatullah, 2015). Apa boleh buat. Seruntuhnya Soviet, Amerika
adalah yang terkuat. Keadilan dan HAM yang sering dikhotbahkan
agaknya hanya ceritera. Pidato bergelora di forum-forum internasional
yang membela emansipasi hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Sebab
begitu menghadapi Amerika, seolah semua obsesi gugur tanpa syarat.
Terlihat pada lumpuhnya KAA dalam mengatasi konflik IsraelPalestina. Lebih-lebih desentralisasi kewenangan Dewan Keamanan
dalam melakukan kekerasan kepada organisasi regional tak bertentangan
dengan Piagam PBB. Ini tidak saja didukung sejumlah penafsiran
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 133
terhadap isi pasal, tapi juga didukung sejumlah doktrin yang
berkembang dan diakui hukum internasional (Mulyana & Irawati, 2015).
Terlepas dari egoisitas Amerika, PBB pun sebetulnya
memfasilitasi organisasi regional melalui Bab VIII Piagam PBB.
Ketentuan ini memungkinkan organisasi regional menyelesaikan
sengketa tanpa campur tangan Dewan Keamanan (Mulyana & Irawati,
2015). Seharusnya langkah PBB, menurut Boutros-Ghali (dalam Adolf,
2004), adalah sebagai berikut; Pertama, Preventive Diplomacy,untuk
mencegah meluasnya sengketa, dan bisa dilakukan Sekjen PBB, Dewan
Keamanan, Majelis Umum, atau organisasi regional bekerja sama
dengan PBB. Kedua, Peace Making, untuk membuat kesepakatan
damai. Ketiga, Peace Keeping, untuk mengerahkan PBB secara militer
(bukan perang). Keempat, Peace Building, untuk mencegah pecahnya
konflik yang telah didamaikan. Kendati demikian, ada persoalan serius
yang menghalangi, yakni Bab VIII Piagam PBB menyebut organisasi
regional dilarang melakukan kekerasan tanpa ada otorisasi Dewan
Keamanan PBB, sementara Amerika adalah orang paling berpengaruh di
Dewan Keamanan PBB (Klabbers, 2002).
Tak kalah penting dari nekolim di Afrika, KAA nampaknya
punya “pekerjaan rumah” lain yang perlu dituntaskan, yakni terorisme
dan ekstremisme Timur Tengah. Hadirnya Islamic State of Iraq-Syria
(ISIS) menjadikan persoalan KAA makin kompleks. Apalagi upaya
pendirian negeri islam yang dipaksakan dan intoleran itu membuat
penduduk dunia menjadi paranoid dan menganggap negara yang pernah
menjadi markas ISIS tak lagi aman.
C. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Sebagai produk evaluasi LBB, pembentukan PBB dilengkapi
cakupan bidang kerja sama lebih luas dan solutif. Stabilitas perdamaian
pun diterjemahkan dalam beberapa tujuan, meliputi; mengembangkan
persahabatan antarbangsa berdasarkan persamaan derajat, hak
menentukan nasib sendiri, tak mencampuri urusan dalam negeri negara
lain, dan mengembangkan kerjasama untuk memecahkan masalah
ekososbud dan kemanusiaan. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan
Piagam PBB: We the peoples of the united nations determined to save
134 | Miftakhuddin
succeeding generations from the scourage… (Sianturi, 2014). Guna
mewujdukannya, maka dibentuklah UNESCO, ILO, WHO, WTO, dan
lainnya. Nah, satu di antara yang bervisi mengentaskan kemiskinan ialah
WTO, yang mengangkat kesejahteraan dengan fasilitas sistem
perniagaan. Demi tugasnya memastikan perdagangan antar anggota
berjalan lancar, kredibel dan sebebas-bebasnya, WTO mengatur hal-hal
pokok baik perniagaan barang (goods), jasa (services), maupun
kekayaan intelektual (property rights).
Sewaktu masih berupa GATT, badan ini menurunkan tarif
perdagangan agar situasi kondusif. Tapi setelah diperbarui menjadi
WTO, kebijakannya melingkupi anti-dumping dan penyelesaian
sengketa (Trade Dispute Settlement). Meski begitu, ia tak luput dari
persepsi curiga dan tuduhan neokolonial. Sedang bagi WTO sendiri,
stigma ini ada kesalahpahaman. Publikasi sekretariat WTO dalam
depts.washington.edu berjudul 10 common misunderstanding about the
WTO menyebutkan satu persatu dan mengklarifikasinya, suatu contoh;
The WTO does not tell governments how to conduct their
trade policies. Rather, it’s a “member-driven”
organization. That means: 1) the rules of the WTO system
are agreements resulting from negotiations among
member governments. 2) the rules are ratified by all
member’s parliaments, and 3) decisions taken in the WTO
are generally made by consensus among all members. In
other words, decisions taken in the WTO are negotiated,
accountable and democratic. ...In fact: it’s the
governments who dictate to the WTO.
Jelas, WTO dirancang bukan sebagai organisasi monitoring,
melainkan bertindak atas komplain yang diajukan, sehingga lebih
condong ke forum perundingan. Sebagaimana Nuryadin (2015) yang
mengutip James Petras, penggerak globalisasi ekonomi perdagangan
adalah imperial pusat, perusahaan multinasional dan bank yang
didukung lembaga keuangan internasional. Hal ini pun diamini WTO
dalam klarifikasinya soal tuduhan perdagangan bebas.
It’s really a question of what countries are willing to
bargain with each other. The WTO’s role is to provide the
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 135
forum for negotiating liberalization. It also provides the
rules for how liberalization can take place. Just as
important as freer trade -perhaps more important- are
other principles of the WTO system. For example: nondiscrimination, and making sure the conditions for trade
are stable, predictable and transparent. ...It all depends
on what countries want to bargain.
Asumsi-asumsi di atas akhirnya mengerucut pada kesimpulan
bahwa usulan diterima adalah milik MNC dan imperial. Atas
diberlakukannya sistem ini, menurut DPD-RI (2015), WTO dan AFTA
memberi ruang perekonomian lebih luas bagi negara maju, dan
mempersempit ruang ekonomi negara berkembang. Ini diperparah
dengan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke IX di Bali pada 2013 lalu
yang menghasilkan Paket Bali, berisi prediksi akan adanya pewarisan
kemiskinan dan kelaparan untuk negara berkembang. Bila saat berdirinya
WTO tahun 1995 angka kelaparan dunia 825 juta jiwa, maka 2013 sudah mencapai 1
miliar jiwa, dengan mayoritas di Asia (Pembaruan
Tani edisi Januari 2014).
Demi rakyat, hendaknya negara berkembang mengevaluasi lagi
keanggotaannya di WTO, sebab mereka hanya pasar dalam skema FTA.
Selama tak ada progresivitas, selama itu pula kapitalis terus menghisap.
Kompas edisi 16 April 2011 memberitakan; sepanjang 2006-2008
tercatat 1.650 industri bangkrut karena tak sanggup bertahan dari produk
China. Akibatnya, 140.584 tenaga kerja di PHK. Ini satu bukti nekolim
FTA, yang didominasi negara maju.
Memang jika berangkat dari pemberitaan-pemberitaan yang
menyudutkan WTO, bakal mempengaruhi opini publik dan men-setting
persepsi masyarakat bahwa WTO dalam transaksi lintas nasional
memiskinkan negara berkembang dan memperkaya negara maju. Namun
tuduhan ini pun dibantah sekretariat WTO dengan menyatakan dalam
publikasinya soal sepuluh miskonsepsi;
The accusation is inaccurate and simplistic. Trade can be
a powerful force for creating jobs and reducing poverty.
Often it does just that. Sometimes adjustments are
necessary to deal with job losses, and here the picture is
complicated. In any case, the alternative of protectionism
136 | Miftakhuddin
is not the solution ... The relationship between trade and
employment is complex. Freer-flowing and more stable
trade boosts economic growth. It has the potential to
create jobs, it can help to reduce poverty, and frequently
it does both.
In the WTO, liberalization is gradual, allowing countries
time to make the necessary adjustments. Provisions in the
agreements also allow countries to take contingency
actions against imports that are particularly damaging,
but under strict disciplines. At the same time,
liberalization under the WTO is the result of negotiations.
When countries feel the necessary adjustments cannot be
made, they can and do resist demands to open the
relevant sections of their markets ... In developed
countries, 70% of economic activity is in services, where
the effect of foreign competition on jobs is different if a
foreign telecommunications company sets up business in
a country it may employ local people, for example. While
about 1.5 billion people are still in poverty, trade
liberalization since World War II has contributed to
lifting an estimated 3 billion people out of poverty.
PBB agaknya tak beda jauh dengan organisasi internasional abad
19, yang visinya mulia tapi ditunggangi kepentingan negara hegemoni.
Ulasan soal IMF dan World Bank di bab sebelumnya telah
menggambarkan bagaimana negara adikuasa merombak kebijakan PBB
agar semua menjadi legal, sebagaimana konflik Plestina-Israel dan
konflik Laut Cina Selatan.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 137
A. Ideologi Bangsa
Menurut Poespowardojo (dalam Alfian & Oesman, 1991),
ideologi pasti memberi semangat dan arahan positif. Maka dengan
ideologi, seseorang dapat memisahkan benar-salah dan baik-buruk.
Suatu misal Pancasila, ideologi yang mengutamakan kebersamaan.
Seorang Pancasilais tentu menolak individualisme, sebab akan
melahirkan liberalisme, kapitalisme, monopoli, otoriterianisme dan
totaliterisme. Ideologi ini menggariskan untuk mengedepankan
kolektivitas ketimbang individualitas. Bung Hatta dalam karyanya Ke
Arah Indonesia Merdeka menegaskan, kedaulatan Barat -berdasarkan
J.J.Rousseau- adalah individualisme. Sedang kedaulatan Indonesia
adalah rasa bersama; kolektiviteit (Cholisin, 2011).
Tetapi, apakah Pancasila sebagai pandangan hidup telah
diresapi? Tentu menengok carut-marut suasana sosial hari ini semua
orang bisa menjawab. Tampaknya Pancasila lebih cocok dinilai sebagai
cita-cita ketimbang kristalisasi nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana
diasumsikan para pakar, walau menurut Kaelan (2010) Pancasila
diangkat dari nilai adat, budaya serta religiusitas masyarakat heterogen
sebagai causa materialist. Bukan hasil perenungan seseorang atau
kelompok tertentu sebagaimana ideologi lain di dunia.
Tjiptabudy (2010) mengklaim, Pancasila telah memenuhi syarat
dasar negara, di antaranya; dapat menampung pluralitas melalui sila
pertama, menjamin penghargaan atas manusia melalui sila kedua,
menjamin keutuhan melalui sila ke tiga, bersifat demokratis melalui sila
ke empat, dan menjamin keadilan melalui sila ke lima. Sekalipun
demikian, realitas hari ini menunjukkan kontradiksi yang menyeret
138 | Miftakhuddin
kristalisasi menjadi mimpi yang ingin dicapai. Hanya ada dua
kemungkinan; pertama, Soekarno keliru dalam menafsirkan dan
menerjemahkan nilai luhur bangsa menjadi Pancasila. Kedua, dinamika
sosio-politik menggeser pandangan hidup menjadi lain, akibat
liberalisme yang “kebablasan”. Kelihatannya Pancasila yang digadanggadang mampu menangkal ketidakadilan publik juga harus bertahan di
tengah infiltrasi neoliberal dan radikalis.
Celakanya lagi, ada kecenderungan Pancasila sebagai ideologi
fundamental lebih bersifat simbolik, terutama bagi generasi Y dan
generasi Z. Kebetulan mereka lahir di era milenial, di mana globalisasi
mengaburkan batas-batas kultural antar negara. Akibatnya nasionalisme
yang lahir dari Pancasila era tersebut mengalami pendangkalan. Lihat
saja secara tidak permanen nasionalisme lebih sering muncul saat
upacara kenegaraan dan rapat parpol. Hasilnya, korupsi di berbagai
lapisan birokrasi, berkembangnya gerakan radikal separatis, dan
peningkatan sikap intoleransi. Inilah celah masuknya nekolim dan
neolib. Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kaum LGBT yang berjuang
demi status hukumnya adalah secuil contoh. Lebih lanjut, liberalitas
akan membangunkan gerakan radikal yang mendiskreditkan golongan
lain. Akibatnya, bangsa Indonesia amnesia terhadap Pancasila sebagai
ideologi bersama (Ma’arif, 2009).
Menimbang urgensi tersebut, nampaknya Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) perlu diterapkan kembali, meski pada
era reformasi dibubarkan melalui Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998
karena dinilai tak sesuai kondisi kekinian. Harus diakui memang orde
baru menghadirkan ironi hebat. Masa penggalakan P4 juga masa
pelanggaran Pancasila sekaligus (pelanggaran HAM, KKN, pembatasan
hak berpolitik dan berekspresi, dan teror Petrus). Namun terlepas dari itu
semua, apa yang perlu disoroti ialah tak ada pemerintahan otoriter hari
ini. Pancasila memang “diperalat” orde baru untuk membungkam suara
kritis masyarakat atas penyalahgunaan kekuasaan (Samsuri, 2013).
Menurut Tim Kerja Sosialisasi MPR (2009-2014), ada dua alasan
pentingnya sosialisasi Pancasila. Pertama, faktor dalam negeri, meliputi;
a) lemahnya penghayatan dan pengamalan agama, b) fanatisme
kedaerahan akibat pengabaian pembangunan di masa lalu, c) merosotnya
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 139
toleransi dan ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kriminalitas
dan perilaku tak etis, d) kurangnya keteladanan tokoh dan kontrol sosial,
e) ketidakmampuan budaya menangkal pengaruh negatif, dan f)
meningkatnya perilaku amoral. Kedua, faktor luar negeri; a) globalisasi,
dan b) intervensi global dalam perumusan kebijakan nasional.
Persis dengan alasan yang diutarakan MPR, bahwa dewasa ini
yang muncul di permukaan ialah primordialisme, etnosentrisme, dan
fanatisme religius. Terlebih era liberalis memungkinkan gerakan radikal
agamis tertentu mendompleng demokrasi dan mengancam unifikasi
NKRI.
Jajak pendapat dimuat Kompas edisi Senin, 21 Juni 2012,
menunjukkan solidaritas nasional melemah hingga 60%, toleransi
golongan kaya dan miskin melemah 61,4%, toleransi antaretnis
melemah 46,5%, dan toleransi antarumat beragama melemah 38,9%. Di
samping itu, survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Syarif Hidayatullah (2001-2004) tentang Islam dan Konsolidasi
Demokrasi, menunjukkan 61,4% menginginkan hukum islam, pada
2001. Tahun 2002, naik jadi 70,6% dan meningkat lagi jadi 75,5% pada
2004. Kemudian soal anggapan bentuk pemerintahan Islam yang terbaik,
ada 57,8% pada 2001, meningkat jadi 67,1% pada 2002, dan naik lagi
sampai 72,2% pada 2004 (Jamhari, 2004). Tapi pada 2007 angka ini
sempat mengalami penurunan. 84,7% responden mendukung NKRI dan
Pancasila (Ali, 2009).
Menurut Cholisin (2011), persoalan intinya adalah disorientasi
nilai-nilai Pancasila dan terbatasnya perangkat kebijakan. Masa ini
adalah masa Indonesia mengalami anomie atau kekosongan, karena
Pancasila sebagai norma dasar terpuruk bersama jatuhnya orde baru.
Begitulah yang dikatakan Somantri (2006) dalam publikasinya
Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern.
Celakanya lagi, multikrisis di atas melahirkan frustasi dan rasa tertindas
sebagai respon atas abuse of powe, yang berakibat pada korupsi,
kejahatan politik dan kelesuan ekonomi. Indonesia seakan mendekati
keruntuhan, yang oleh para pengamat disebut “A Country in Despair”,
yaitu negara-bangsa yang tak hanya diterpa bencana, tapi tenggelam
dalam ketiadaan harapan (Dhakidae, 2002).
140 | Miftakhuddin
Jelas sekali, ada relasi kausalitas antara kegagalan ideologi dalam
membangun karakter, dengan tingkat kesejahteraan publik. Semakin
orang Pancasilais, semakin orang itu sejahtera. Sesuai hasil International
Social Survey Programme (ISSP) yang melibatkan 23 negara pada 1995,
dan melibatkan 34 negara pada 2003, bahwa ada korelasi positif antara
semangat kebangsaan dengan tingkat kemakmuran sebuah bangsa
(Cholisin, 2011). Belum terpecahkannya masalah karakter inilah
penyebab Indonesia enggan beranjak dari sistem kapitalis. Padahal,
hubungan Indonesia dengan pendonor (IMF, World Bank, ADB) dan
pemberi pinjaman (seperti; AS, European Union) sudah mendekati
hubungan layaknya pengemis dengan pemberi sedekah (Hadi, 2003).
Sekurang-kurangnya ada dua pandangan kenapa ini bisa terjadi;
pertama, adanya pencampakan Pancasila oleh para elit. Kedua,
munculnya ideologi tandingan (Cholisin, 2011). Pencampakan
maksudnya Pancasila tak lagi mendasari pengambilan kebijakan. Tak
sinkron ketika para elit mengumbar Pancasila, sementara kebijakan yang
diambil tidak representatif pada falsafah Pancasila. Suatu contoh ialah
Kontrak Karya Freeport yang melanggar konstitusi, tepatnya pasal 33
UUD 1945. Ada pula soal penjualan blok Cepu kepada Exxon Mobil,
dan penjualan Indosat kepada Singapura. Sedangkan ideologi tandingan
maksudnya kehadiran gerakan agamis maupun komunis yang hendak
menggeser Pancasila, seperti PKI, DI/TII, dan baru-baru ini ada HTI.
Barangkali para kritikus ada benarnya. Di era ini, kesaktian
Pancasila diuji setelah sekian lama menjadi pedoman pengkondisian
rakyat. Malahan, sebagian pihak menilai Pancasila telah usang dan tak
mungkin berlaku selamanya. Hebatnya, mereka mengajukan konsep
yang monopolis di negara yang pluralis komposisi demografinya. Itulah
mengapa P4 perlu direvitalisasi. Lagi pula jika dicermati konten pasal 1
dan 4 dalam P4, merupakan kekuatan dari implementasi Pancasila.
Bersamanya segala perbedaan dilebur dan dalam satu pandangan.
Harapannya Pancasila dapat meredam, menangkal dan mematikan mata
rantai radikalisme sekaligus mensejahterakan masyarakat. Apalagi pasca
reformasi 1998, masyarakat berubah dari represif ke demokratis. Hanya
saja, kebebasannya disalah-artikan dengan menggunakan hak sebebasbebasnya (Saputra, 2017). Era reformasi adalah era kebebasan yang
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 141
kebablasan. Peningkatan konflik horizontal -lah indikasi penurunan
penghayatan Pancasila tersebut (Lemhanas, 2012). Sebab Pancasila di
samping dasar negara, juga alat pemersatu bangsa (Mahifal, 2011).
Harusnya suasana euforia karena keluar dari politik otoriter tidak
membuat MPR dengan gelap mata mencabut P4 (Samsuri, 2013).
Pancasila sebagai “agama” sipil butuh pedoman khusus untuk
seluruh kelas (Saputra, 2017). Tak ada hubungannya dengan pertanyaan
“apakah P4 gagal atau berhasil?”, menurut pengamatan Dhakidae
(2001), persoalan ideologisasi publik bukan masalah berhasil atau gagal,
melainkan sejauh mana Pancasila dimaknai oleh segenap warga negara.
Tumbangnya orde baru bukan pertanda kegagalan P4 menyemai nilainilai Pancasila, tapi akibat ketidakpuasan publik atas krisis moneter dan
pengekangan kebebasan di bawah pemerintahan sentralistik. Kalaupun
era reformasi antipati terhadap P4, pasti penyebabnya bukan aspek
filosofis P4, melainkan kekhawatiran traumatik akibat bangsa ini pernah
hidup di bawah kediktatoran (Panuju, 2017). P4 ditinggalkan bukan
karena substansinya, tapi karena relasi kuasanya Soeharto. Karena itu,
menelantarkan P4 tidaklah bijak. Rumusan-rumusannya masih relevan
menjadi rujukan etika dan moral. Kalaupun ada yang harus disalahkan,
harusnya pelaksanaan yang cenderung formal, doktriner, kuantitaif dan
koorsif. Cara represif harus diubah agar peserta lebih kritis dan terbuka.
Hanya karena banyak pelanggaran terjadi semasa penggalakan
Pancasila, bukan berarti Pancasila tak layak diperjuangkan.
Pancasila menjadi suatu makhluk di langit dan tidak
tersentuh oleh proses normal kehidupan masyarakat
warga di bumi sehingga korupsi tetap diakui sebagai
korupsi, tetapi korupsi dilakukan oleh oknum yang tidak
ada hubungannya dengan Pancasila. Pancasila tetap
bersih meskipun yang memujanya adalah kaum koruptor
dan yang menyembahnya adalah para pembunuh
(Dhakidae, 2001).
Maka kembali mendudukan Pancasila merupakan gentlemen
agreement (Samsuri, 2013). Ideologi memang butuh indoktrinasi, dan
terkesan doktriner di P4 adalah karena materi diseragamkan agar
Pancasila ditafsirkan sama seluruh Indonesia (Saputra, 2017).
142 | Miftakhuddin
Kelemahan P4 harus diperbaiki sesuai perkembangan global, nasional,
dan lokal, yang akhirnya mengarah ke kepentingan bangsa.
B. Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan adalah cara suatu bangsa dalam
memahami dirinya. Ada yang mengatasdasarkan etnik atau ras seperti
Nasional-sosialis (Nazi), atas dasar agama (India dan Pakistan), atas
dasar ras-agama seperti (Israel), atas dasar konsep etnis-agama
(Malaysia), dan atas dasar geopolitik, geostrategi, dan pluralitas
(Indonesia). Bagi Indonesia, kompleksitas inilah yang membuat
wawasan kebangsaan harus dimengerti dalam dua dimensi; sebagai
geopolitik dan sebagai geostrategi. Sebagai geopolitik artinya berperan
sebagai konsep persatuan dan kesatuan, sedangkan sebagai geostrategi
artinya berperan sebagai konsep manajemen pembangunan nasional.
Sayangnya, fungsi wawasan nusantara pun mengalami krisis
multidimensional. Dibuktikan oleh disorientasi Pancasila, pergeseran
nilai-nilai etika, infiltrasi kebudayaan luar, melemahnya kemandirian,
dan masuknya paham kontra Pancasila (Samsuri, 2013). Dampaknya,
timbul gejala awal krisis kepercayaan diri (self-confidence crisis) dan
krisis rasa hormat diri (self-esteem crisis). Krisis kepercayaan diri
berupa keraguan mengatasi persoalan-persoalan mendasar, seperti;
kemiskinan, konflik sosial, dan gerakan subversif. Jika pada selanjutnya
bidang politik dan ekonomi juga mendekati krisis ini, maka Indonesia
(nation) sedang di ujung tanduk (Hadi, 2003). Ini amat kontras dengan
tujuan awal sebagaimana Anhar Gonggong (dalam Hadi, 2003), bahwa
founding fathers memproklamirkan kemerdekaan untuk mengubah
sistem feodalistik-kolonialis menjadi modern dan demokratis.
Sejauh ini, lebih dari penyebab umum, disintegrasi tidak melulu
soal kurangnya rasa persatuan. Kadang perlakuan tak adil pemerintah
memicu sikap separatis dengan membawa nama golongan sebagai bukti
adanya keterikatan (primordialis). Sehingga gerakan separatis sebagai
kelirunya pemahaman wawasan kebangsaan terbagi tiga kategori;
pertama, akibat ketidakadilan pemerintahan (OPM, RMS, Riau
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 143
Berdaulat, dan GAM). Kedua, intoleran terhadap kemajemukan (NII dan
GAM42). Ketiga, infiltrasi paham asing (komunisme).
Menurut Magnis-Suseno (2005), wajar bila NKRI belum
menjamin persatuan dan kesatuan, sebab konflik lebih banyak
disebabkan akumulasi dari ketidakteguhan politik disertai fanatisme
holistik tanpa mempertimbangkan heterogenitas sosial . Rapuhnya
Indonesia akibat tak diikat kesamaan alamiah (suku, ras, bahasa, adat
budaya, maupun religiusitas), melainkan hanya diikat adanya musuh
bersama (Sindhunata, dalam DPD-RI: 2015). Artinya, meski sistem
teknologi dan organisasi kemasyarakatannya sama, tapi persatuan
Indonesia didasarkan pada kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah.
Bangsa Indonesia dalam banyak hal punyai satu musuh yang sama.
Maka lazim saja ketika musuh telah hengkang, NKRI mengalami
gejolak internal. Lebih-lebih kedaulatan dan kemerdekaan diperoleh dari
kemurahan hati pihak internasional (van Dijk, 1983).
Sebagai evidensi empiris, ambil sampel DI/TII misalnya. Sejarah
Aceh menorehkan sejak kesultanan hingga penjajahan Jepang, Aceh tak
pernah menyerahkan kedaulatannya kepada kolonial (Machmud, 1988).
Sehingga mereka menyebut gerakannya sebagai jihad, sementara RI
menyebutnya pemberontakan. Bila dicermati konteks perjuangannya,
apa yang melandasi aksi berada dalam taraf keagamaan komunal. Sebab
bergabungnya Aceh didukung berbagai kalangan seperti ulama,
pedagang, intelektual, dan unsur lainnya.
Tapi meski radikalisme seolah teratasi, bukan berarti masyarakat
boleh adem ayem. Jangan lupa, menurut John L. Esposito (1992) ada
tiga kecenderungan gejala radikalisasi.
Pertama, radikalisasi ialah respons atas kondisi yang
sedang berlangsung. Biasanya muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan. Masalah yang
ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai
yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisasi
42
Ada dua faktor penyebab berdirinya GAM. Pertama ialah ideologi peninggalan DI/TII. Kedua
adalah ketidakadilan pemerintahan orde baru di bidang ekonomi.
144 | Miftakhuddin
tidak berhenti pada penolakan, melainkan terus berupaya
mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan
yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan
yang sudah ada. Ketiga, kuatnya keyakinan radikalis akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.
C. Pluralitas Masyarakat
Berbeda dengan multikulturalisme yang terfokus pada interaksi
kultural, pluralisme hanya terfokus pada entitas perbedaan (Syaifuddin,
2006). Ada sedikitnya tiga sebab mengapa keanekaragaman budaya itu
ada. Pertama, pembangunan imperium (contoh: imperium Romawi).
Kedua, proses kolonisasi. Pluralistik dengan sebab ini cukup rumit,
sebab kerap terjadi akulturasi dan asimilasi (contoh: Amerika, Australia
dan Kanada). Ketiga, pemersatuan atas dasar kesamaan cita-cita, latar
belakang historis, dan kedekatan budaya/rumpun (contoh: Indonesia,
India, dan Thailand).
Indonesia saja, berdasar sensus tahun 2000, ada 101 suku bangsa
dengan total penduduk 201.092.238 jiwa (Suryadinata, 2003). Ini
membuat Indonesia mempunyai banyak perspektif, tapi juga rentan
perpecahan. Sejauh pluralitas dapat dipahami dan dimaklumi, agaknya
tak jadi soal. Tapi beberapa peristiwa amuk massa adalah bukti kalau
pluralitas dimaknai lain, seperti; kerusuhan Timor-Timur 1985,
Lampung 1989, Rengasdengklok 1997, Makassar 1997, Ambon 1998,
Sampit 2001, dan kerusuhan daerah lainnya. Lebih dari itu, bagi Sudiadi
(2009) pemahaman agama -lah yang lebih dekat dengan semua ini.
Tumbuhnya ormas yang bertindak atas kepentingannya adalah indikator
intoleransi. Apalagi, adanya materi dakwah dengan dalih konsolidasi
umat, yang memacu konflik. Agama hanya pemicu yang sebelumnya
didahului masalah tertentu. Mulai persoalan kecil perebutan lahan parkir
hingga masalah politik. Tampaknya, agama memang “kambing hitam”
atas berbagai persoalan.
Berbeda dengan Sudiadi, Zastrow (2000) menganggap konflik
SARA muncul atas prasangka kalau kehadiran golongan lain
mengancam tatanan yang ajeg. Akhirnya, berkembanglah etnosentrisme,
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 145
yang berujung pada stereotipe atau stigma negatif tentang tipe
masyarakat tertentu. Misal, orang Batak itu kasar, orang Jawa itu polos,
orang Sunda itu lelet, orang Madura itu temperamental, dan tudingan
subjektif lainnya. Naasnya, prasangka sosial (prejudice) alamiah ini
lestari antar generasi. Bahkan pada taraf tertentu, menjalar ke sikap
saling curiga dan saling benci sebagaimana kerusuhan di Kupang,
Jakarta, Poso, dan Bekasi. Tapi dengan pembangunan nasionalisme
berbasis multikultur dan multietnis yang benar, semua prasangka dapat
bermuara dengan sikap saling hormat.
Ada dua cara paling menonjol sejauh pembangunan masyarakat
multietnis, yakni kegiatan bersama dan pendidikan multikultural sebagai
sarana internalisasi nilai-nilai pluralisme. Sayangnya pendidikan
nasional kurang memuaskan (jika tak boleh dibilang gagal). Janganjangan benar kata Watson (2000), pendidikan multikultural bersifat
memecah-belah, karena pengakuan tiap kultur melahirkan bentukbentuk yang khas. Maka ada Pendidikan Berbasis Masyarakat
(Community Based Education) sebagai alternatif, yang didasarkan pada
kekhasan agama, sosial-budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai
pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat (Soedijarto, 2000). Namun
begitu, meninjau visi Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) yang
menempatkan budaya lokal sebagai objek kajian dan menargetkan
mendapat output sesuai kebutuhan masyarakat, agaknya PMB justeru
mengkhawatirkan. Sebab akan mempertajam batas-batas kemajemukan.
Sudah barang tentu pendidikan yang berjalan di atas karakter budaya
bakal meninggikan ego kedaerahan masing-masing, dan mengerucut
pada primordialisme dan etnosentrisme. Kecuali, jika PBM orientasinya
ditujukan pada solusi pemecahan krisis sosio-antropologis.
Seiring gagalnya nasionalisasi yang dikritik akibat memaksakan
unitas (uniform) ketimbang keragaman (diversity), kesadaran ini mulai
berkembang. Kemajemukan dalam kemasan Bhineka Tunggal Ika kerap
dimanipulasi untuk kepentingan politik. Terlebih di orde baru, yang
menempatkan nasionalitas sebagai alat penata rakyat. Masa itu adalah
masa di mana tumbuh keyakinan kalau integrasi sosial hanya bisa
dicapai kalau masyarakatnya homogen. Bagi orde baru, nasionalisasi
adalah homogenisasi secara total. Diferensiasi tidak saja dihapus, tapi
146 | Miftakhuddin
diperangi layaknya sebuah kesalahan melalui bahasa politik “asas
tunggal”. Heterogenitas seakan dosa dan aib karena akan dilabeli
“pemberontak” atau “subversif”, istilah yang hampir tak pernah muncul
dewasa ini (Abdullah, 2006).
Bahasa Indonesia, misalnya. Adalah benar memposisikan bahasa
Indonesia sebagai pemersatu bangsa lewat alat komunikasi universal.
Tapi bahasa daerah tak boleh dinafikan, apalagi dibiarkan mati perlahan.
Karena di samping bahasa daerah mengandung nilai kesopanan,
pemakaian bahasa Indonesia dapat menghilangkan mode ekspresi
terdalam. Kebijakan bahasa nasional di satu sisi, dan penghapusan
bahasa daerah di sisi lain ialah kekeliruan, karena melahirkan sistem
sosial yang seragam dan mengingkari bahasa daerah yang hierarkis.
Bahasa daerah karam akibat ketiadaan komitmen untuk memelihara
pluralitas dalam bentuk-bentuk yang jelas (Abdullah, 2006).
Tak menutup kemungkinan, bila nanti ada konflik di daerah,
negara
seolah
menutupi
realitas
kemajemukan
dengan
mengatasnamakan “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional” (Hanum,
2005). Bagaimanapun juga konflik sosial boleh dikata akibat
pengingkaran atas kemajemukan. Memang benar apa yang dikatakan
para pakar sosiologi Barat; Bhineka Tunggal Ika masih menjadi cita-cita,
belum merupakan suatu realitas. Barangkali Indonesia memang
demikian adanya, pluralistik tanpa pluralisme: perbedaan hanya diakui
tanpa dihormati. Padahal makna pluralisme, menurut (Hanum, 2005),
lebih luas dari sekadar keberagaman. Pluralisme berkenaan dengan hak
hidup kelompok masyarakat, bahkan punya implikasi politis, sosial dan
ekonomi yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Sementara menurut
Rahman (dalam Deniawati, 2014),
Pluralisme membangun toleransi. Karenanya pluralisme
bukan actual plurality yang justru menggambarkan kesan
fragmentasi, bukan juga lawan fanatisme, melainkan
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engangement of diversity within the bonds of
civility).
Lantas, model multikulturalisme seperti apa yang cocok untuk
Indonesia?. Sejauh pengamatan penulis mempelajari naskah publikasi,
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 147
tesis maupun jurnal ilmiah selalu menyatakan upaya mendudukan
multikulturalisme belum usai. Fokus penulisan mereka tertuju pada
tujuan ketimbang proses. Ada tendensi memprioritaskan urgensi, alasan
dan rasionalitas pentingnya toleransi ketimbang mempersiapkan skema
konkret. Namun sebelum itu, amat menarik menyimak tiga model pokok
multikulturalisme menurut Syaifuddin (2006).
Secara hipotetis ia menggolongkan multikultur di dunia ke dalam
tiga model. Pertama, mengedepankan nasionalitas (nationality) tanpa
memperhatikan keanekaragaman. Nasionalitas bekerja sebagai perekat
integrasi. Model ini memandang tiap orang berhak dilindungi sebagai
warga negara. Konsekuensinya, akar kebudayaan etnik penyusun negara
diabaikan. Banyak orang akhirnya menilai model ini sebagai
penghancur kebudayaan (etnis). Jelas, ini kekuasaan otoriter, sebab
kuasa penentu unsur integrasi nasional berada di satu elite. Mereka
menggunakan nasionalitas dan nasionalisme sebagai tameng. Contohnya
Prancis. Di sana, aturan diberlakukan tanpa memperhatikan latar
belakang etnik, sekaligus dilarang menampakkan identitas budaya atau
agama ke tataran publik. Bahkan baru-baru ini, Prancis melarang
penduduknya menggunakan jilbab.
Kedua, nasionalitas-etnik, yang mendasarkan kesadaran kolektif
etnis terkuat. Landasannya ialah blood line dengan para founders.
Siapapun yang tak punya hubungan darah dengan etnis pendiri bangsa
akan tersingkir dan dianggap asing. Contohnya Jerman (ras Arya).
“Pemurnian” atau genosida dalam peristiwa holocaust adalah contoh
ekstrem bekerjanya sistem ini.
Ketiga, model multikultural-etnik, yang mengakui eksistensi dan
hak etnis secara kolektif. Model ini menempatkan pluralitas sebagai
realitas yang harus diakui. Model ini diterapkan negara dengan
persoalan pribumi dan pendatang, seperti; Kanada, Australia dan
Amerika. Isu akibat penerapan kebijakan ini tak hanya keanekaragaman
kolektif dan etnik, tapi juga isu mayoritas-minoritas dan dominan takdominan. Persoalannya makin rumit lagi karena rupanya mayoritas
belum tentu dominan. Berbagai kasus menunjukkan minoritas justru
dominan.
148 | Miftakhuddin
Bilamana menentukan satu model untuk Indonesia, hendaknya
didasarkan pada kondisi obyektif, seperti; geografis, diversitas etnis,
agama, kesenjangan kelas sosial, proyeksi masa depan, dan arus besar
(mainstream) politik dan ekonomi global. Model multikulturalisme
harus menjadi bentuk sosio-kultural adaptif yang sesuai kompleksitas
problem masyarakat. Model pertama jelas tak relevan, sebab sejak
sebelum dikenal istilah multikulturalisme, Nusantara mengenal Bhinneka
Tunggal Ika. Model kedua juga tak mungkin, sebab persoalan rasial
sesungguhnya tak dominan. Kalaupun ras Cina sempat mengemuka di
abad 20, itu lebih kepada urusan ekonomi-politik, bukan dalam
pengertian nasionalitas-etnik Jerman. Lagi pula, beberapa kebijakan
seperti asimilasi tahun 1960-an justeru menunjukkan negara ingin
mendekatkan etnik Cina dengan pribumi. Seolah aklamasi, tampaknya
model ketiga -lah yang paling pas. Sebab eksistensi segala etnis beserta
haknya diakomodasi negara. Sesuai dengan rasionalitas pentingnya UU
Otoda No. 22 tahun 1999 menurut Abdullah (2006); (i) model
pembangunan telah bergeser ke desentralisasi, sehingga tiap daerah
boleh berkompetisi dan membuka diri; (ii) ide multikulturalisme dan
otoda merupakan redefinisi atas sentralisasi yang sebelumnya gagal; (iii)
dalam hubungan vertikal, pemerintah menjadi fasilitator atas ekspresi
kebudayaan, tanpa melihat asal etnis.
Jika multikulturalisme di atas sukses, maka Indonesia bakal
seperti Amerika, yang bahkan lebih majemuk. Pengalaman Amerika,
sebagaimana Harahap (2006), semula warganya diintegrasikan dengan
teori Melting-Pot dan teori Salad-Bowl, tapi keduanya gagal. MeltingPot menyatukan seluruh budaya dengan peleburan jadi satu (asimilasi),
sedangkan Salad-Bowl mengakulturasinya. Setelah mengenal
multikulturalisme, keduanya dikoreksi dengan; 1) membuka ruang
publik untuk seluruh etnis guna mengekspresikan diri dalam tatanan
budaya bersama, dan membuka ruang privat untuk tiap etnis
mengekspresikan budayanya secara leluasa, 2) membangun kebanggaan
sebagai satu bangsa dan satu negara, 3) menghargai hak-hak sipil, dan
hak-hak kelompok minoritas. Harapannya, orang-orang terkondisi hidup
secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur (Suparlan,
2005). Individu dilihat sebagai refleksi kesatuan sosial-budaya. Sehingga
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 149
masyarakat akan mensyaratkan united and unified diversities, tanpa
memberi ruang uniformed diversities. Sebab tinjauan teoritis dan
fenomena praktis menampakkan heterogenitas harus menyatu tanpa
harus seragam.
D. Ketergantungan Publik
Ketergantungan bukan hanya karena krisis ekonomi, tapi
kelimpahan materi yang tak merata membuat kapitalis dapat “bermain”.
Sehingga terjadi ketergantungan yang tak seimbang dan menimbulkan
kepatuhan dari kalangan bawah (Martin, 1995). Liberalisme, kemiskinan
dan ketergantungan ialah fenomena yang pasti terjadi di semua negara
berkembang, ditambah lagi pengaruh globalisasi dan hutang luar negeri
yang membuat kran ketergantungan terbuka kian lebar (Sholeh, 2011).
Adam Smith pernah mengingatkan, masalah ekonomi hanya
terselesaikan dengan mekanisme pasar, di mana keseimbangan
penawaran dan permintaan akan terwujud melalui pasar persaingan
sempurna. Teori ini menilai peran pemerintah tak diperlukan, karena
menyebabkan perekonomian mengalami distorsi dan inefisiensi. Tapi
faktanya, individu dengan motifnya masing-masing lebih sering
melakukan cara non produktif. Sehingga tiada pasar yang efisien selama
keseimbangan pelaku pasar belum tercapai. Sebab liberalisme
memunculkan persoalan baru, seperti; kemiskinan, keterbelakangan,
pengangguran, disruption, disparitas pendapatan, dan ketergantungan.
Praktis, persoalan ekonomi merembet ke persoalan struktur politik.
Lingkup ASEAN, misalnya. Karena terdiri atas negara serumpun
harusnya jenis kebutuhan tak jauh beda. Tapi Indonesia butuh impor
plastik/barang plastik dan mesin/pesawat mekanik dari sesama Dunia
Ketiga, seperti; Malaysia dan Thailand.
Pola perdagangan semacam ini akan selalu ada, sekalipun
Indonesia kaya. Apalagi, adanya warisan hutang tiap tahun. Nah, WTO,
APEC, ASEAN Community, dan lainnya itulah yang kemudian menjadi
ajang pencarian laba. Pemerintah dalam hal ini agaknya berada di posisi
“maju kena mundur kena”. Utang luar negeri seolah dapat terlunasi
dengan mengizinkan penambangan, perdagangan, dan hubungan
kapitalis lainnya. Harapannya pajak perizinan akan mendatangkan
150 | Miftakhuddin
manfaat bagi rakyat, meski mau tak mau, sembari “memberi makan”
rakyat, negara harus pasrah. Nafis (2008) dalam tesisnya soal penerapan
konsensus Washington untuk kebijakan ekonomi-politik Indonesia,
menyatakan utang luar negeri adalah masalah ekonomi, sosial dan
politik sekaligus, yang produk akhirnya berupa reproduksi kapital.
Oleh sebab itu meski orang menuding negara tak becus mengatur
rumah tangga sendiri, tak lantas membuat pemerintah menghentikan
hubungan bilateral kecuali stabilitas ekonomi telah kondusif. Barangkali,
inilah yang dimaksud Sholeh (2011) sebagai penyesuaian proteksionis,
maupun langkah perubahan tata ekonomi dan tata sosial sebagai
paradigma ekonomi baru. Berkaca pada negara maju, Jepang misalnya.
Mengapa meski impor ia bisa menekan ketergantungannya? Jika karena
Jepang terlajur maju dengan modal dan tenaga ahli, dan hipotesis itu
dihadapkan teori ketergantungan (dependency theory), maka itu bisa
diterima. Namun ada asumsi lain bahwa neoimperial menyedot surplus
dari negara pinggiran (berkembang) ke negara pusat (maju). Akibat
pengalihan ini, negara pinggiran kehilangan surplus pokok. Praktis, di
satu tempat proses ini melahirkan pembangunan, dan di tempat lain
melahirkan keterbelakangan.
Kemiskinan dan keterbelakangan bukan faktor kultural dan
struktural yang primitif, melainkan invasi negara maju ke negara
berkembang. Negara Dunia Ketiga (pheriphery) hanya bisa lepas dari
kondisi itu jika mampu secara selektif, dan terencana membangun
hubungan dengan kapitalis (Amien, 2005). Lihat B.J Habibie sebelum
diangkat wapres. Ia bekerja untuk Jerman karena ilmunya kurang
terakomodir, atau mungkin “terlalu berharga” bagi Indonesia. Persepsi
awam kadang menilai nasionalisme Habibie rendah, sedang lainnya
menilai Habibie bernasib naas. Padahal, itu sesuai arus utama
neoimperialis; menciptakan pembangunan di Jerman, dan
keterbelakangan di Indonesia.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara Amerika Latin pun
demikian; bergantung pada AS. Raul Prebisch yang melakukan riset
sebagai tugas dari PBB menemukan penyebab kemiskinan dan
ketergantungan ialah eksploitasi pihak asing akibat hubungan ekonomi
yang tak adil. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 151
terjadi karena liberalisme memakai konsep pembagian kerja
internasional dan keunggulan komparatif. Itulah mengapa, pasar bebas
lebih menimbulkan keterbelakangan daripada kemakmuran.
Ada sedikitnya dua kritik dari hasil riset Prebisch. Pertama, soal
perdagangan internasional yang bebas. Kedua, soal hambatan
industrialisasi negara terbelakang. Sebagaimana Budiman (1995);
justru kesenjangan (gap) besar dua kelompok negara
makin besar. Negara spesialisasi industri makin kaya,
negara spesialisasi pertanian makin tertinggal. Neraca
perdagangan keduanya selalu menguntungkan negaranegara yang mengkhususkan diri pada produksi barangbarang industri, hingga berdampak ketergantungan negara
pertanian/berkembang terhadap negara industri/maju.
Kelompok negara selatan yang subur terspesialisasi pertanian,
sehingga tergolong berkembang. Sedangkan kelompok negara utara
yang umumnya tidak subur terspesialisasi industri. Dia -lah yang
dikategorikan negara maju (Ruslin, 2013). Adanya spesialisasi menjurus
pada perdagangan global dengan asumsi perdagangan menguntungkan
kedua belah pihak. Negara pertanian membeli barang industri lebih
murah (daripada memproduksi sendiri), dan negara industri membeli
hasil-hasil pertanian secara murah (dibandingkan memproduksi sendiri).
Celakanya, negara industri sering memproteksi produk pertanian yang
mereka hasilkan, sehingga berdampak pada sulitnya negara pinggiran
melakukan ekspor. Terlebih penemuan teknologi yang mampu
mensintesis bahan mentah industri, membuat negara pusat memperoleh
substitusi impor (Roxborough, 1979).
Ambil contoh, relasi interdependensi minyak IndonesiaSingapura. Akibat keterbatasan teknologi dan keterampilan, Indonesia
tak memproduksi minyak olahan sesuai kebutuhan konsumsi
masyarakat. Maka Indonesia bergantung pada Singapura, sementara
Singapura tak terlalu bergantung pada Indonesia. Terjadilah
interdependensi asimetris. Padahal, Singapura tak punya lahan
eksploitasi minyak, sebab ia berdiri di atas lahan gambut, tapi Singapura
punya kilang minyak tercanggih dan terbesar. Bila dibanding Indonesia,
kapasitasnya lebih besar untuk 4,7 juta penduduk Singapura, dengan
152 | Miftakhuddin
kapasitas 1,3 juta barel per hari. Sementara Indonesia hanya 800.000
barel per hari untuk 240 juta penduduk (Perdana, 2015).
Mengutip dari Detik Finance edisi Selasa 11 Februari 2014,
Perdana menegaskan sepanjang 2013 Indonesia juga impor dari
Malaysia senilai US$ 6,4 miliar, Kuwait senilai US$ 906 juta, dan
negara lain seperti; Arab, Qatar, Korea Selatan, Uni Emirat Arab,
Taiwan, China, bahkan Rusia. Saking tingginya ketergantungan itu,
mantan Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo mengatakan
Indonesia akan tumbang jika lima hari saja Malaysia dan Singapura
tidak ekspor minyak. Berkat kilangnya, Singapura kaya dengan membeli
bahan baku murah dan menjualnya dalam barang jadi dengan harga
mahal. Jelaslah Singapura maju bukan dalam pertambangan, tapi dalam
pengolahan.
Kondisi faktual ini, otomatis mempertegas teori keunggulan
komparatif para ekonom klasik. Bahwa setiap negara bersaing dengan
keunggulannya masing-masing. Hanya saja dalam hubungan center dan
perifer, terjadi defisit pada neraca pengekspor bahan mentah. Efek
lanjutannya tentu gerak ekonominya melambat, bahkan terhenti. Inilah
sebab tersusunnya struktur ketergantungan yang menghambat
pertumbuhan ekonomi negara pinggiran. Di samping itu, mereka dipaksa
menghasilkan komoditas primer untuk diekspor. Harga jualnya pun
rendah karena yang diekspor adalah barang primer (mentah).
Mengacu diagram Sholeh (2011), dapat disimpulkan pola relasi
eksploitasi center terhadap perifer, yang digambarkan dalam skema
berikut.
Periferi
Periferi
Periferi
Periferi
Periferi
CENTER
Periferi
Periferi
Periferi
Gambar: Pola relasi eksploitasi dan ketergantungan antara center dan
perifer.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 153
Center adalah si empunya pengaruh ekonomi-politik, sedangkan
Periferi43 adalah negara yang bergantung pada negara center.
Keseluruhan prosesnya akan melahirkan struktur produksi yang pincang
bagi negara terbelakang. Hubungan metropolis-satelit selalu dicirikan
sifat monopolis-ekstraktif. Metropolis punya kontrol monopolistik atas
hubungan ekonomi dan perdagangan di satelit, sehingga memungkinkan
metropolis mengeruk surplus ekonomi dari satelit. Akibatnya, satelit tak
memiliki kemampuan mengendalikan pertumbuhan ekonominya sendiri;
bergantung metropolis (Rosser, dalam Nafis: 2008). Sejalan dengan
argumentasi Andre G. Frank (dalam Deliarnov, 2005) yang
menitikberatkan pemikirannya pada pola hubungan politik-ekonomi
antara kapitalis dengan kelas-kelas elit di negara satelit. Menurutnya,
pertumbuhan ekonomi menguntungkan kapitalis asing dan borjuis lokal,
tanpa pernah menetes ke bawah (trickle down effect). Oleh sebab itu,
keberhasilan
liberalisasi
ditentukan
berhasil/tidaknya
koalisi
kepentingan “mobile capitalist” memenangkan perebutan kekuasaan
melawan koalisi kepentingan politik-birokrat anti-liberalis.
Sekurang-kurangnya ada dua pokok pikiran andaikata hendak
melihat kerugian negara berkembang. Pertama, tak punya kontrol atas
pembangunan di negerinya. Kedua, secara materi, tak menerima manfaat
dari hubungan ketergantungan (Sholeh, 2011). Di sinilah letak
keuntungan komparatif yang didasarkan pada opportunity cost44.
Sebagaimana Todaro (1985),
Pembangunan yang didasarkan pada kemandirian diri
sendiri melalui isolasi sebagian atau keseluruhan,
dianggap pembangunan yang secara ekonomis kurang
baik dibandingkan dengan pembangunan yang
mengikutsertakan diri dalam perdagangan internasional
yang bebas dan tidak terbatas.
43
Kadang kala disebut negara satelit.
Menurut teori keunggulan komparatif, suatu bangsa sebaiknya mengimpor kalau
“opportunity cost” dari barang impor itu (yaitu apa yang harus dikorbankan untuk mengimpor
barang itu) lebih kecil ketimbang “opportunity cost” dari produk domestik (yaitu apa yang
dikorbankan untuk memproduksi barang itu di dalam negeri). Prinsipnya adalah memperoleh
barang yang diinginkan dengan pengorbanan sesedikit mungkin cost (Ruslin, 2013).
44
154 | Miftakhuddin
Menurut teori di atas, membangun berarti meleburkan diri dalam
kegiatan ekonomi, sebab tiap negara pasti saling tergantung. Namun
begitu, perekonomian kapitalis jelas tak akan setuju, mengingat
mekanisme kapitalis ialah pemusatan modal dan meminimkan
pengeluaran
demi
pendapatan
maksimum.
Implikasinya,
keterbelakangan yang meski perekonomiannya merangkak naik di
kapitalisasi pasar bebas, membawa kerusakan lingkungan akibat
eksploitasi berlebih. Straihm melalui bukunya Kemiskinan di Dunia
Ketiga (1999), menggambarkan 42% hutan tropis sebelum era kolonial
rusak tanpa perbaikan. Di Afrika Barat dan Timur 72%, di Amerika
Tengah dan Selatan 37%. Di Asia Selatan 63%, dan di Asia Tenggara
38%, disusul kebakaran hutan di Borneo dan konversi lahan. Sejalan
dengan pandangan umum, Amien (2005) menawarkan cara menghapus
kemiskinan dan keterbelakangan melalui pemutusan kontak relasional
dengan negara maju. Proses pembangunan harus secara mandiri tanpa
bantuan investasi asing. Inipun didukung Presbich bahwa negara
terbelakang jika ingin maju harus melakukan industrialisasi, terutama
terhadap barang substitusi impor dan harus pemerintah berupa
pemberian subsidi (Sholeh, 2011).
E. Konklusi
Boleh dibilang tiap sub bab di atas ialah indikasi
neokolonialisme. Mulai ideologi, wawasan kebangsaan yang keliru,
kurang terakomodirnya pluralitas, hingga tingginya ketergantungan yang
sulit diurai. Tidak heran jika solidaritas pun melemah. Jajak pendapat
sebagaimana dimuat Kompas dan hasil survei UIN Syarif Hidayatullah
telah membuktikan dengan data numerik. Jumlah yang selalu >50%
menandakan kerendahan nasionalisme, dan tingginya primordialisme
islamik. Padahal, Indonesia bukan negara islam, tapi hanya negara yang
mayoritas penduduknya islam. Hanya karena hukum Indonesia adopsi
Hindia Belanda, bukan berarti hukum islam dapat menggantinya begitu
saja.
Jangan lupa, penjajah menguasai Nusantara memakai devide et
impera. Mereka menebar isu murahan dan janji bantuan. Bisa jadi akan
terulang lagi, terlebih ketergantungan publik amat mengkhawatirkan,
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 155
dan eksistensi neokolonial telah nampak sejak politik etis tahun 1901,
yang malah membuat kesejahteraan makin merosot (Mubyarto, 2006).
Sementara kondisi terkini, begitu gencar kerja sama dengan korporasi
asing di berbagai bidang, termasuk perbankkan, pertanian dan yang
paling laris adalah migas. Padahal migas bagi sebagaian besar ekonom
ialah persoalan terbesar; kelangkaan. Mengapa? migas ialah sumber
energi dengan jumlah pengguna yang selalu meningkat, bahkan telah
ada solusi efisiensi dan diversifikasi. Tapi migas di Indonesia aneh.
Sebab Indonesia sebetulnya kelimpahan migas, hanya saja tata produksi
dan distribusinya tak demokratis. Mengapa demikian? Dominasi kontrol
migas di tangan korporasi asing, di antaranya; Chevron Pasific (AS),
Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National
Offshore Oil Corp dan Petrochina (Tiongkok), Korea Development
Company (Korsel), dan Chevron Company (Santosa, 2006).
Maka kelangkaan bukanlah kelangkaan alamiah, melainkan
kelangkaan struktural. Pada 2005 misalnya, ekspor minyak 157,5 juta
barel, sedangkan impor minyak sebesar 126,2 juta barel. Penerimaan
negara atas kenaikan harga minyak dunia dan 85% laba operasional
kiranya tidaklah sebesar yang dinikmati korporasi migas ekstern, yang
juga telah mendapat cost recovery dari pemerintah. Karenanya,
eksploitasi migas di Indonesia tidak berimplikasi pada perbaikan
kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi (Santosa, 2006).
Seandainya harus dinyatakan seberapa dekat dan seberapa besar
daya tolak Indonesia dengan neokolonialis, maka jawabannya Indonesia
telah melebur. Di atas adalah contoh persolan, di luar itu masih ada
penambangan pasir besi Kulon Progo, dan neokolonial perbankkan
pasca krisis 1997/1998. Bahkan neokolonialisme merambah bidang
kehutanan melalui PP No. 2 tahun 2008, dan bidang pertanian melalui
liberalisasi. Santosa (2006) juga membuktikan adanya neokolonialis
dengan; 1) Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang
mengatur redistribusi tanah, dan UU Perjanjian Bagi Hasil (1964) yang
mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian kolonial,
justru kehilangan vitalitasnya, terlebih di Orde Baru, yang menganut
developmentalisme. 2) Revolusi Hijau yang ditandai penggunaan bibit
baru dan teknologi -biologis dan kimiawi- pemberantasan hama memang
156 | Miftakhuddin
memicu swasembada beras tahun 1984. Namun revolusi hijau
menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tapi pendapatan
turun akibat mahalnya input pertanian. Term of trade petani pun turun
dan distribusi pendapatan makin timpang. 3) Liberalisasi pertanian oleh
IMF dan WTO, ditandai bebas masuknya produk pertanian beras, gula,
jagung, dan buah yang memberatkan petani. Liberalisasi ini
menguntungkan korporat besar penguasa input pertanian (benih, pupuk,
dan obat-obatan).
Rupanya, ungkapan Soekarno soal neokolim masih relevan
setelah lebih dari 50 tahun. Sebagaimana ditegaskan Mubyarto (2006),
Soekarno tahun 1955 berapi-api mengatakan colonialism has also its
modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and)
actual physical control by a small but alien community within a nation.
Mubyarto juga mempertanyakan jika kita sadar kolonialisme belum
mati, berapa banyak di antara kita yang berani mengakui kenapa kita
membiarkan proses “rekolonisasi”? Apa sebab kaum cendekiawan
banyak tak menyadari bahaya penjajahan intelektual ini? Presiden
sekarang tak mungkin bicara lantang seperti Bung Karno, sebab
Indonesia telah di cengkeramkekuasaan global (global empire)
berbentuk “corporatocracy”, yang menjadi sumber utang. Ia meyakini,
satu-satunya sikap yang harus dikembangkan adalah rasa percaya diri.
Jika Francis Fukuyama menggaungkan pentingnya kepercayaan (trust)
bagi perkembangan taraf kehidupan yang dinamis, Indonesia harus
saling percaya sebagai bangsa, bukan malah percaya pada negara
adikuasa. Ego kedaerahan harus dipinggirkan demi membela
kepentingan nasional.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 157
A. Landasan Pemikiran
Suatu tempat dinyatakan Barat atau Timur bukan dari mata
angin, tapi perannya dalam interaksi global. Sebutan “Barat” disandang
penjajah/kolonis, sedangkan “Timur” disandang si terjajah. Konsep
Timur dan Barat sejatinya kabur, dan pada akhirnya mengandung
konsep geo-kultural dan geo-politik sebagai dampak kolonialisme. Barat
dan Timur hanya berada dalam imaginative geography, dimana Timur
selalu diasumsikan terpesona kemajuan Barat dan pengadopsi budaya
Barat, yang oleh Timur lazim disebut modernitas. Bagi dunia Timur,
modernitas adalah fenomena riil yang tak dapat ditolak, sebab terbiasa
dengan kehidupan mistis dan spiritual. Sedangkan Barat adalah
representasi peradaban, pusat kekuatan dan penentu modernitas yang
mengambil posisi tertinggi sampai ke taraf hegemoni.
Bilamana diamati riwayatnya, ini terjadi lantaran persepsi utama
kehidupan Timur memprioritaskan hubungan dengan Pencipta. Kondisi
ini membuat Barat memposisikan diri berbeda dengan Timur. Timur
yang tradisional memudahkan Barat mendominasi. Baru pada
perkembangan sesudahnya, muncul gerakan pemikiran sebagai respon
atas ketidakadilan di masa lalu (walaupun ketidakadilan itu bersifat
ambivalen). Salah satu pemikiran itu adalah teori postkolonialisme, yang
dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti real
hasil kolonialisme, baik fisik, politik maupun kultur.
Mendefinisikan postkolonialsime sama susahnya dengan
mendefinisikan postmodernisme dan poststrukturalisme. Ketiganya
menempatkan humaniora sebagai objek kajian yang sama luas dan
presisi. Namun tetap ada pembedanya. Postkolonialisme berasal dari
post+kolonial+isme, yang berarti paham yang berkembang setelah
kolonial. Secara lebih luas, Ratna (2008) menyebutnya sebagai teori
kritis yang mengungkap akibat-akibat kolonialisme. Prefiks “post” tidak
sekadar bermakna “sesudah”. Sesuai pendapat Keith Foulcher dan Tony
158 | Miftakhuddin
Day, postkolonial merujuk pada kehidupan masyarakat pascakolonial
tetapi dalam pengertian lebih luas. Wijanarko (2008) pun dengan
bersandar pada professor teologi di Universitas Drew, C. Keller,
menyatakan istilah post yang dimaknai sebagai sesudah adalah keliru,
sebab maknanya melampaui. Menurutnya, banyak orang jatuh pada
pengertian yang salah saat mengasosiasikan terminus “post” dengan
berakhirnya kolonial. Keller menegaskan, ‘Post’ in this discourse never
means simply ‘after’ but also ‘beyond’- as an ethical intention and
direction. Pascakolonialisme ialah pandangan atas peristiwa yang hadir
sesudah periodisasi kolonial. Tapi postkolonialisme ialah teori yang
tidak semua orang setuju, lebih-lebih mengerti tentang postkolonialisme.
Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” (Nurhadi, dkk.,
2011). Ini berarti studi postkolonial hadir sebagai respons dari
fenomena pasca kolonial representatif.
Maka sasaran postkolonialisme adalah kondisi daerah yang
pernah terkolonisasi maupun masyarakat yang dibayangi pengalaman
kolonialisme. Maka kritik postkolonialisme adalah strategi mengkaji
konfrontasi dalam proses kolonialisme lalu memproyeksikannya pada
kehidupan masyarakat pasca koloniali. Makannya, postkolonialisme
menitikberatkan perhatiannya untuk menganalisis apa-apa saja yang
terjadi pada era kolonial, bagaimana dampaknya, dan membangkitkan
kesadaran bahwa penjajahan juga berbentuk psikis-kultural.
Melalui kesadaran itu lalu muncul kesadaran lain bahwa masih
banyak yang perlu dilakukan, seperti; memerangi neoimperialisme,
orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lain. Baik
material maupun spiritual, baik dari bangsa asing maupun bangsa sendiri
(Hidayati, 2008). Adapun tema-tema yang dikaji amat kompleks
meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan. Ratna (2004) mengurainya
satu persatu, menjadi; politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah,
antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, sastra sekaligus
dengan bentuk praktik di lapangan, seperti: perbudakan, transmigrasi,
pemaksaan bahasa, dan berbagai invansi kultural lain.
Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang
menindas kaum marjinal, yang melahirkan rasisme, yang membuat
hubungan kekuasaan tak seimbang, yang menimbulkan budaya
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 159
subaltern, hibriditas dan kreofisasi. Aksinya bukan dengan propaganda
maupun kekerasan fisik, tapi dialektika gagasan atau kesadaran. Di
sinilah peran postkolonial sebagai perangkat kritik, yang secara jernih
mengawasi bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi
digerakkan untuk kepentingan kelas dominan. Postkolonial akan
membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari
penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran subtil
(Kusmarni, 2010)
Jangan dilupakan, konstruksi Barat terhadap identitas kultural
Timur tak lepas dari kepentingan, ideologi dan etnosentrisme Barat.
Makanya fokus postkolonial adalah ketikadilan sosial-budaya dan ilmu
pengetahuan yang diakibatkan hegemoni, kolonialisme serta narsisme
dan kekerasan epistemologi Barat sejak awal abad modern. Di lain
perkataan, kajian poskolonial menawarkan pemahaman kritis dan upaya
mengungkap berbagai dimensi ideologis, hegemonis dan imprealis yang
terdapat dalam ilmu sosial-budaya.
Lazuardi (dalam Fahmy, 2007) menambahkan, postkolonial
berusaha membangkitkan kesadaran kalau dalam narasi oriental
tersembunyi wacana ideologis yang secara kontinyu memisahkan Barat
dan Timur. Perlu diketahui pula, dulu penjajah menunjukkan
superioritasnya dengan penundukan pribumi. Namun tanpa disengaja,
penjajahan Belanda misalnya, malah membuat pribumi meniru identitas
dan karakter penjajah menjadi superior dan sadar untuk membela
kepentingannya. Inilah yang disebut mimikri (akan diperdalam nanti).
Sekurang-kurangnya, teori postkolonial punya tiga karakter
pokok, yaitu; power and knowledge, identitas, dan perlawanan. Power
dan knowledge, artinya bagaimana Barat memiliki aset berupa power
dan knowledge yang lebih mapan, sehingga membuatnya cenderung
melakukan invansi dan ekspansi ke negara yang dianggap tak punya
keunggulan. Di dalam konteks ini, hasil riset Widyaresmi (2012)
memperlihatkan pengetahuan dan kekuasaan memang tak terpisah. Siapa
berpengetahuan dia berkuasa, dan penguasa menciptakan kebenaran atas
sebuah pengetahuan. “Kami” dan “mereka” adalah sebuah kata yang
diwacanakan sang penguasa. Bahasa tidak lagi untuk komunikasi, tapi
untuk menghegemoni.
160 | Miftakhuddin
Kedua adalah identitas. Pendekatan postkolonialisme berpusat
pada kategorisasi yang menunjukkan Barat dan Timur, Utara dan
Selatan, kulit hitam dan kulit putih, serta penjajah (colonizer) dan
terjajah (colonized ). Adapun perlawanan (resistance), adalah upaya
memperjuangkan kesetaraan dari pihak terjajah. Postkolonialisme lalu
mendekonstruksi wacana yang terstruktur oleh Barat, termasuk
pemetaan politik dan kekuasaan.
Boleh dikatakan, teori postkolonial ialah pisau analisis
penggugat nekolim yang melahirkan kehidupan rasisme, ketimpangan
politik, dan subalternitas (Angkasa, 2015). Sebagaimana Rohman
(2009), postkolonialisme menjadi strategi politis-teoritis untuk
membongkar hegemoni Barat. Ia berusaha menyingkap hubungan antara
persoalan yang ada saat ini dengan pengalaman kolonialnya. Ini
sebenarnya telah dimulai sejak Edward Said, menerbitkan bukunya
Orientalism (1978) yang berisi perspektif Barat terhadap Timur.
Nurhadi, dkk (2011) menambahkan, ada juga buku Said yang lain
seperti; Covering Islam (1981) dan Culture and Imperialism (1993) yang
merupakan sekuel dari Orientalisme. Ada juga The Empire Writes Back
(1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin yang
sering dirujuk dalam pembahasan teori poskolonial.
Ringkasnya, postkolonialisme lahir sebagai respons golongan
pembela kaum marjinal atas upaya rekonstruksi hegemoni Barat melalui
propaganda dan karya sastra. Sebab di bekas jajahan, kolonialisme dan
imperialisme menyisakan persoalan tidak hanya material dan moral, tapi
degradasi mentalitas dan persoalan sosial-budaya lainnya. Widyaresmi
(2012), dalam tugas akhirnya di Ilmu Filsafat UI, memberi gambaran
operasional soal mentalitas terjajah. Bahwa kebiasaan duduk di deretan
bangku belakang adalah kebiasaan masa penjajahan Belanda. Di mana
saat itu, penduduk pribumi (inlander), digolongkan kelas ketiga setelah
Belanda dan pendatang Asia. Sebagai kasta terendah, pada setiap
pertemuan ada aturan tak tertulis, pribumi harus duduk paling belakang
karena dianggap bukan tamu penting dan tak punya kepentingan suara.
Inlander adalah sebutan yang diberikan Belanda. Mental
inlander ini ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai
sebuah bangsa. Memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 161
Mereka memang dicetak untuk tak mampu membaca potensi diri dan
selalu hidup dalam cangkang pesimistis, bahkan berpikir menyerahkan
pengelolaan kekayaannya kepada pihak lain, karena menilai dirinya tak
cukup mampu mengaturnya. Mentalitas inlander itulah yang menurut
Said membuat kolonialisme dan imperialisme bertahan ratusan tahun
(Widyaresmi, 2012). Mentalitas inlander sengaja dibangun dan
dipertahankan melalui hegemoni, sehingga yang terjajah merasa pantas
untuk dijajah di era neokolonialisme dan neoliberalisme.
Kendati demikian, buku Orientalisme Said -yang dianggap titik
tolak dan referensi baku poskolonialisme- justru tak membahas efek
kolonial masa lalu, tapi lebih memberi perhatian pada pembuatan
makna-makna tekstual dan diskursif tentang kolonial, dan pada
konsolidasi hegemoni. Seperti diungkap Said di sana, ada sejumlah
karya sastra Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam
memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi
kolonialisme Barat atas “kebiadaban” Timur (Nurhadi, dkk., 2011).
Bagi Said, penjajahan itu alamiah, bahkan semacam tugas Barat untuk
memberadabkan Timur. Sedangkan orientalisme ditempatkan dalam tiga
penggunaan berbeda; 1) sebagai mode berpikir yang merujuk pada
periode hubungan budaya dan politik di Eropa dan Asia, atau
membedakan antara Timur dan Barat, 2) sebagai studi akademik tentang
bahasa dan budaya oriental sejak abad 19, dan 3) pandangan stereotip
dari kaum Oriental, yang dikembangkan beberapa generasi penulis
Barat, serta pandangan-pandangan prejudis (prasangka) mereka tentang
oriental.
Sebagaimana Said, yang dikutip Widyaresmi (2012), ada empat
jenis relasi kekuasaan dalam wacana orientalisme, yakni; kekuasaan
politis (kolonialis dan imperialis), kekuasaan intelektual (mendidik
Timur dengan sains, linguistik dan lainnya), kekuasaan kultural
(kolonisasi selera, teks, dan nilai-nilai), dan kekuasaan moral (apa yang
baik dan buruk untuk dilakukan Timur). Tapi pandangan teori Barat
tidaklah netral, melainkan didesain dengan rekayasa sosial-budaya.
Melalui karyanya, Said membongkar epistemologi Barat terhadap
Timur dengan menunjukkan kepentingan dan kuasa yang terkandung
dalam berbagai teori kaum kolonialis dan orientalis.
162 | Miftakhuddin
Secara sederhana, perselisihan antara Barat dan Timur dapat
dicermati melalui penjelasan berikut; kajian postkolonial cenderung
memakai argumentasi yang terposisi pada dua kutub, atau bisa juga
disebut sebagai oposisi biner. Oposisi biner adalah sistem berpikir yang
membagi dunia ke dua kategori berbeda secara diametral. Sesuatu
dimasukkan kategori X karena ia bukan kategori B. Sesuatu dikatakan
benar kalau ia tidak salah. Seperti dikemukakan Lubis (dalam Kusmarni,
2010), bagi pemikiran oposisi biner, seseorang hanya dihadapkan pada
salah satu pilihan “ini” atau “itu” sebagai salah satu yang dinyatakan
benar. Misal; Timur dan Barat, diri sendiri (self) dan orang lain (the
other), subyektivitas dan obyektivitas, masa kini versus masa lalu,
subyek dan obyek, dan seterusnya.
Model berpikir oposisi biner menempatkan kedudukan Barat,
penjajah, self, dan subyek, dan seterusnya dianggap memiliki posisi
unggul ketimbang dengan kedudukan Timur, terjajah, orang lain, obyek,
dan seterusnya. Sementara itu, hubungan penjajah-terjajah/atau bekas
jajahan adalah hubungan hegemonis. Penjajah sebagai kelompok
superior atas pihak terjajah yang inferior, dan dari hubungan ini
kemudian muncullah apa yang disebut dominasi dan subordinasi.
Kemudian dari pola hubungan seperti ini muncul lagi gambarangambaran tak mengenakkan tentang pihak terjajah sebagai kelompok
masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis, tidak rasional dan
lain sebagainya.
Nah, saat penggiat postkolonial berusaha mendekonstruksi
(membongkar) pandangan oposisi biner itu, Edward Said adalah tokoh
yang paling menonjol dalam menolak skema oposisi biner tersebut. Ia
ingin membubarkan sikap konservatif pada doktrin awal. Menurutnya,
pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum orientalis) yang
merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai
konstruksi sosial-budaya tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan
mereka, yang didorong motif-motif kekuasaan yang buas. Karena itu,
pandangan dan teori yang dihasilkannya tidak sekadar kajian akademis
yang netral dan obyektif, melainkan dimotifi hasrat politik prasangka
atau rekayasa sosial-budaya. Bahkan lebih dari itu, soal kesenjangan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 163
antara superioritas Barat dengan inferioritas Timur ini, Yunita (2012)
sempat mengutip dari Said:
Orientalisme telah menempatkan Barat lebih tinggi
daripada timur; barat adalah pembawa peradaban dan ilmu
pengetahuan; Barat lebih unggul dari Timur; kekurangan
Timur: bejad, irasional, kekanak-kanakan, “berbeda”,
dipertentangkan dengan kelebihan Barat: berbudi luhur,
rasional, dewasa, normal.
Sejak saat itu, postkolonialisme terus menggugat dan memprotes
segala bentuk kolonialisme dan warisan-warisannya, termasuk
penguatan hegemoni Barat. Postkolonialisme menjadi kekuatan antikolonial, anti-imperial dan semua metamorfosanya; neokolonialisme dan
neoimperialisme. Rohman (2009) menegaskan, dengan bantuan bidang
kajian lain, kajian postkolonial semakin kuat dan subversif terhadap
kekuasaan imperiali. Kajian itu menyebar, baik di Eropa dan luar Eropa,
dengan satu misi; melawan hegemoni-dominasi imperialisme.
Sayangnya, kajian postkolonialisme hanya terkotak dalam
lingkup karya sastra, seperti; karya Gandhi berjudul Teori Poskolonial
tahun
2001,
karya
Loomba
berjudul
Kolonialsime
dan
Pascakolonialisme tahun 2003, Aschroft dkk., berjudul Menelanjangi
Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial tahun 2003.
Adapun para penulis Indonesia adalah Faruk dengan judul Belenggu
PascaKolonial tahun 2007 dan Muhidin M. Dahlan (penyunting) dengan
judul Postkolonial Sikap Kita terhadap Imperialisme tahun 2001
(Nurhadi dkk., 2011).
Namun begitu, seolah menandingi Orientalisme, muncullah
Oksidentalisme. Oksidentalisme juga hadir sebagai respon dari realitas
historis atas superioritas Barat melalui pandangannya atas Timur;
Orientalisme. Posisi subjek dan objek dalam Oksidentalisme menjadi
terbalik; Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.
Pengertian Oksidentalisme secara umum adalah kajian kebaratan yang
secara komprehensif meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan
masyarakat Barat oleh masyarakat Timur. Oksidentalisme sebagai sikap
dan cara pandang merupakan pilihan untuk membuka pemahaman yang
164 | Miftakhuddin
objektif terhadap permasalahan dalam hubungan historis Barat dan
Timur. Istilah itu dipopulerkan Hasan Hanafi, tapi ada oksidentalisoksidentalis Barat seperti Nietzsche, Scheller, Husserl, Bergson, Hazard
dan lain-lain yang mengkritik Barat dengan istilahnya masing-masing.
Hanafi beranggapan, kritik Barat atas Barat sendiri dibutuhkan sebagai
sarana mengkritik dan melihat krisis yang dialami Barat. Sehingga
Hanafi menggagas Oksidentalisme untuk melihat Barat dari perspektif
non-Barat, yakni Timur.
Secara objektif dari pihak Timur sendiri, gagasan oksidentalisme
muncul akibat adanya ketidakseimbangan antara Barat dan Timur yang
didorong motif-motif kekuasaan Barat, sehingga melahirkan gerakan
pemikir dunia Timur yang menginginkan kedekatan relasional yang
seimbang antara Barat dan Timur. Oleh sebab itu, oksidentalisme hadir
untuk menjadikan menjadikan Barat sebagai the other yang diselidiki
ego Timur.
B. Tokoh-Tokoh Post-Kolonial
Bilamana dikaitkan teori postrukturalisme lain, studi postkolonial
tergolong relatif baru, sehingga banyak tanggapan muncul tentang teori
ini. Makannya cukup sulit menentukan secara pasti kapan sebenarnya
teori ini lahir. Di dunia Anglo-Amerika postkolonialisme dirintis
Edward Said. Pertama kali dikemukakan tahun 1978 melalui bukunya
berjudul Orientalism (Hidayati, 2008). Sebagimana telah disinggung
sebelumnya, dalam perspektif postkolonialisme Said tidak sendiri, di
belakangnya ada ilmuwan lain yang menyumbangkan pemikirannya,
seperti; Homi K. Bhabha, Gayatri C. Spivak dan Frantz Fanon dengan
masing-masing gagasan khasnya. Said dengan orentalisme, Spivak
dengan subalternitas, dan Bhabha dengan hibriditas, mimikri dan
ambivalensi.
Edward Said adalah seorang Arab-Palestin kelahiran Jerussalem
(saat itu masih dikuasai Britania) pada 1935. Sebagai anak dari saudagar
Arab ia pernah bersekolah di Victoria College di Kairo yang kala itu
merupakan sekolah elit di Timur Tengah. Ia kemudian pindah ke
Massachusets pada usia 15 tahun dan menjadi warga Amerika pada usia
18 tahun. Ia belajar sastra, musik dan filsafat di Princeton selama satu
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 165
tahun dan memperoleh gelar doktor dalam sastra Inggris dari Universitas
Harvard setelah lima tahun belajar. Ia lalu mengajar Bahasa Inggris di
Universitas Columbia 30 tahun, dan sejak 1967 ia berkarir sebagai
profesor Bahasa Inggris dan Sastra Perbandingan di universitas yang
sama. Selain itu, Said juga menjadi dosen tamu di Universitas Harvard
dan peneliti di Center for Advanced Study khusus Behaviorial Sciences
di Universitas Stanford.
Gambar: Edward Said
Sumber: wikimedia.org
Di Barat (Amerika), ia hidup tertekan karena rasialisme. Harihari dalam perjalanan hidup dan intelektualitasnya selalu diwarnai
berbagai sikap hipokrit lingkungannya. Rasa permusuhan yang
disebarkan lewat media, pembunuhan karakter atas nama agama dan ras,
kejahatan intelektual Barat maupun intelektual Timur (Arab) yang
bersembunyi di balik objektivitas ilmu adalah kenyataan yang kerap
memaksa Said bersikap resisten. Perang yang melanda dunia Arab tahun
1947-1948, yang juga berdampak pada tergusurnya keluarga Said dari
Palestina ke Yordania dan Lebanon, mengubah sikap Said dari
intelektual kampus menjadi intelektual organis, yang kemudian
membawa Said pada kegiatan advokasi dan penegakan Hak Asasi
Manusia dalam membela kepentingan Palestina dan dunia Arab
umumnya. Selama periode 1977-1991 Said menjadi anggota Dewan
Nasional Palestina, yaitu parlemen pengasingan Palestina yang
beranggota 400 orang dari seluruh dunia. Dewan inilah yang menjadi
166 | Miftakhuddin
payung PLO, suatu organisasi pembebasan Palestina. Namun karena lobi
internasional lemah, tahun 1980 Said mengkampanyekan hak bangsa
Palestina melalui sejumlah jurnal, surat kabar, radio dan televisi. Ia
menulis tentang self-determination atau hak-hak untuk menentukan
nasib sendiri bagi rakyat Palestina (Dahlan, dalam Kusmarni: 2010).
Said menggunakan “media massa” dan “penjajah” sebagai landasan
faktual dan historis dalam objek studinya. Oleh sebab itulah dalam
membaca karyanya -termasuk orientalisme-, pembaca dituntut memilih
berpihak kepada apa yang diperjuangkannya atau tidak membaca sama
sekali (Kusmarni, 2010). Partha Chatterjee, sejarawan postkolonial India
(dalam Gandhi, 2001) mengemukakan:
“Saya akan selalu ingat pada hari saya membaca
Orientalisme… Bagi saya, arah dari satu perjuangan
antikolonial yang berhasil. Orientalisme mengisahkan
tentang hal-hal yang saya rasa sudah tahu semua
sebelumnya, tetapi tidak dapat menemukan kata-kata
untuk merumuskannya dengan tepat. Seperti buku-buku
hebat lainnya, buku ini kelihatannya mengatakan padaku
untuk pertama kalinya tentang apa yang orang selalu ingin
katakan.”
Sebagaimana diketahui, senjata andalan Said dalam kritik
postkolonial adalah bukunya berjudul Orientalism: Western Conception
of the Orient (1978) dan dua sekuel atau perluasannya. Melalui itu, ia
melancarkan kritik pedas terhadap pandangan, konsep dan konstruksi
Barat terhadap Timur. Akhirnya pemikiran baru ini langsung berdampak
besar bagi kerangka analisis kolonialisme dan pemikiran kolonial. Nah,
bidang penelitian yang baru dirintis Said dalam lingkungan akademis
inilah yang kemudian dikenal sebagai teori postkolonial (postcolonial
theory).
Tentu, teori ini sedikit banyak ditunjang representasi berbagai
media dari kalangan luar lingkungan Said, yang menggambarkan betapa
tidak nyamannya menjadi golongan terjajah. Seperti pernah
diungkapkan Leela Gandhi (2001) dalam bukunya berjudul Teori
Poskolonial, gambaran tidak menyenangkan dari pihak terjajah
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 167
menimbulkan upaya-upaya kritik terhadap representasi itu. Kesadaran
akan hadirnya imperialisme di dalam cara berpikir, menimbulkan upaya
untuk memulihkan cara berpikir itu ke jalan yang benar. Upaya ini lah
yang di kemudian hari bermuara pada kajian postkolonialisme.
Buku Orientalisme karya Said mengeksplorasi relasi historis
yang tidak seimbang antara dunia Islam/Timur dengan imperialisme
Eropa di satu sisi, dan di sisi lain Islam/Timur dengan Amerika. Sebagai
pionir atau starter dalam bidang ilmu ini, Orientalisme sukses
melahirkan kegelisahan dan kekhawatiran sekaligus pencerahan dalam
berbagai disiplin ilmiah seperti cultural studies, kajian wilayah dan
secara khusus melahirkan kajian ilmiah yang di lingkungan akademis
yang dikenal dengan analisis diskursus kolonial (Lubis, 2006). Gagasan
Said sangat luas hingga membahas tentang berbagai konteks lokal
budaya, sampai-sampai sering disebut dengan “traveling theory”.
Pemikirannya bahkan diakui membawa pengaruh luar biasa bagi analisis
kolonialisme dan pemikiran kolonial. Bagaimanapun juga ia merintis
lapangan penelitian baru di lingkungan akademis.
Menurut Gandhi, orientalisme secara umum dianggap sebagai
katalisator dan titik referensi bagi postkolonialisme sekaligus mewakili
tahap pertama teori postkolonial. Sedangkan menurut Said sendiri,
orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali
dan menguasai Timur. Ia juga memberikan petunjuk bahwa untuk
mengidentifikasi orientalisme, akan lebih baik bila menggunakan ide
diskursus dari filsuf Prancis, Michel Foucault, dalam The Archeology of
Knowledge dan Discipline and Punish (Kusmarni, 2010).
Masih menurut Kusmarni (2010), Said sebagai tokoh utama
postkolonial dianggap berhasil membongkar dimensi ideologis,
kepentingan dan kuasa dalam teori bahasa, sosial-budaya dan agama
(teks budaya) yang dihasilkan oleh intelektual Barat yang imperialis.
Said dalam orientalisme menunjukkan bagaimana politik dan
kebudayaan saling bekerja sama melahirkan satu sistem dominasi yang
bukan hanya melibatkan kekuatan militer dan serdadu, tetapi juga
imajinasi sang penguasa dan yang dikuasai. Melalui orientalisme pula ia
berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam
berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis.
168 | Miftakhuddin
Argumentasi Said adalah kekuasaan imprealisme Barat selalu
menghadapi perlawanan.
Sejalan dengan itu, Utami (2012) juga mengakui bahwa
pemikiran kritis Said soal teori postkolonial telah membuka cakrawala
pemikiran yang amat luas, sehingga membawa implikasi pada
perlawanan atas wacana-wacana yang dikembangkan Barat. Sebab
dengan adanya wacana postkolonial, muncul suatu kesadaran yang
dipicu berlangsungnya kolonialisme pada ranah tertentu, khususnya
ranah ideologi. Sebab meski penaklukan fisik telah usang, tapi
penjajahan pikiran, jiwa dan budaya masih cukup trendy
(neokolonialisme). Penjajahan pikiran (colonizing mind) merupakan
senjata utama kalangan bekas penjajah (Barat) untuk membuat bangsa
terjajah tetap tunduk dalam kekuasaan, yang menjelma dalam bentuk
lain.
Said meneliti juga adanya saling ketergantungan antara wilayahwilayah kultural (budaya) di mana kaum terjajah dan kaum penjajah
hidup bersama, karena budaya Timur maupun Barat sesungguhnya
bukan budaya yang ada begitu saja. Keduanya hasil perjuangan dan
konstruksi manusia. Ia membuktikan teks budaya tidak pernah otonom,
tetapi sarat dengan nilai-nilai ideologis dan kepentingan tertentu.
Edward Said sendiri tidak mengkonstruksi Timur sebagai paradigma
alternatif, ia sangat tegas mendestruksi rezim-rezim lama (orientalis),
akan tetapi tidak mengonstruksi paradigma atau rezim baru
(postkolonial) sebagai alternatifnya. Kritik Said terlalu menekankan
kepasifan penduduk pribumi (terjajah) serta tidak memperhitungkan
bagaimana cara-cara masyarakat lokal dan etnis Timur menggunakan,
memanipulasi dan mengkonstruksi respons-respons positifnya sendiri
dalam menentang kolonialisme menggunakan konsep-konsep orientalis
sendiri (Kusmarni, 2010).
Padahal, kalangan Timur sebenarnya memiliki cara-cara sendiri
untuk “membaca” kondisi penjajahan. Problem utama masyarakat
terjajah adalah persoalan emansipasi dan peningkatan martabat agar
pribumi setara dengan kaum penjajah. Maka dari itu, salah satu cara
ditempuh ialah hibriditas, yang diwujudkan dengan mimikri atau
peniruan. Gagasan soal hibriditas (mimikri) ini dipopulerkan guru besar
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 169
sastra Inggris Harvard University, Homi K. Bhabha45, dengan merujuk
pada gagasan Frantz Fanon dan Jacques Lacan. Fanon menyatakan
mimikri sebagai hasil dari proses kolonisasi yang mencerabut kaum
terjajah dari tradisi dan identitas tradisionalnya, dan memaksa mereka
beradaptasi dengan identitas, perilaku dan budaya penjajahnya.
Sedangkan Lacan mengilustrasikan dengan analogi pertahanan biologis
serangga, sehingga mimikri tergambar sebagai upaya resistensi. Begitu
juga serdadu yang mencoreng wajah dan pakaiannya agar selaras dengan
medan perang dalam rangka menyamar.
Semasa perbudakan orang kulit hitam oleh orang kulit putih di
Amerika, ada dua jenis budak. Budak pertama ialah negro rumahan,
yaitu yang tinggal menjadi pembantu di rumah tuannya. Karena ia
tinggal bersama tuannya, maka ia menyerap budaya tuannya dan
mengira kalau budaya kulit putih itu adalah sebaik-baiknya kondisi
manusia. Ia meniru tuannya dalam berpakaian dan berperilaku. Tapi
tetap saja mentalnya budak, sehingga tak berpikir sekalipun untuk
membebaskan diri, dengan kata lain ia hanya bertahan hidup (survive).
Budak kedua adalah negro di ladang yang bekerja keras untuk
mengerjakan ladang tuannya. Ia mendapat perlakuan sangat buruk,
sehingga terus berupaya membebaskan diri dari perbudakan.
Di dalam kasus di atas, negro rumahan adalah kaum terjajah
yang menjalankan mimikri. Namun saat mimikri mulai dikembangkan
Homi Bhabha, mimikri bukan saja meniru, tapi juga merupakan aksi
subversif. Mimikri merupakan kamuflase untuk membela diri/bertahan
hidup dengan mengurangi perbedaan semata untuk kepentingan dan
tujuannya sendiri.
Berangkat dari argumentasi Fanon dan Lacan itu, Bhabha lalu
mengembangkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa mimikri adalah
proses penulisan ulang identitas terjajah di third space (ruang ketiga),
yaitu dengan menjadi hibrida, sebagai cara mendekonstruksi wacana
45
Homi K. Bhabha kelahiran tahun 1949, adalah profesor sastra Amerika dan Inggris sekaligus
direktur Pusat Studi Kemanusiaan di Universitas Hardvard. Sebagai tokoh dalam disiplin
postkolonial, sumbangannya dalam literatur tampak pada penciptaan istilah-istilah dan konsepkonsep baru, yang menggambarkan masyarakat yang menolak diskriminasi, penindasan dan
penjajahan (Huddart, 2006).
170 | Miftakhuddin
penjajah. Penyelarasan diri dengan identitas penjajah justru bermaksud
memalingkan wajah dari kuasa penjajahan. Ini adalah wahana survival
sekaligus resistensi. Beginilah cara Bhabha menolak oposisi biner, yakni
dengan mengusulkan mimikri sebagai “ruang ketiga” dalam oposisi
biner antara penjajah dengan terjajah. Boleh dikata, ruang ketiga ini
adalah alternatif menghindari ketegangan antara identitas penjajah dan
terjajah sebagai suatu identitas yang ajeg dan senantiasa stabil (mapan).
Ruang tersebut adalah ruang negosiasi di mana identitas dan
budaya diartikulasikan sehingga melahirkan kemungkinan baru dalam
melihat budaya atau identitas. Konsep ini digunakan untuk
menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifatsifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus meniadakan
sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya (akulturasi). Artinya, hasil
dari penggabungan ini malah menghasilkan budaya baru yang serupa
tapi tak sama. Hibriditas menunjukkan adanya sifat yang “saling
melengkapi” antara budaya yang berkuasa dengan yang dikuasai.
Gambar: Homi Bhabha
Sumber: reado.in
Pandangan Bhabha menilai pihak penjajah dapat menggunakan
budaya lokal untuk mengakomodir pemberotakan pribumi maupun
serangan dari sesama kolonis. Sedangkan pihak terjajah dapat
menggunakan budaya penjajah untuk mengatasi rasa cemas dan resisten
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 171
dalam diri mereka. Melalui adanya “ruang ketiga” yang ditawarkan
Bhabha dalam perspektif postkolonial, maka batas-batas antara “kita”
dan “mereka” akan menjadi bias/kabur, juga akan melahirkan hasil
hibridasi berupa bahasa dan budaya baru.
Perlu ditegaskan, hibriditas bukan masalah genealogi (asal-usul)
antara dua kebudayaan, melainkan hasil negosiasi yang dilakukan di
ruang ketiga yang memperlakukan kedua budaya yang mengapitnya
dengan sejajar (Bhabha, 1994). Fokus dalam ruang ketiga bukanlah
seberapa parah penindasan kaum penjajah atas kaum terjajah, tapi lebih
mempersoalkan betapa tajam dan tegasnya pembedaan kedua kategori
tersebut. Sebagaimana dituduhkan pemikir Prancis, Jacques Derrida,
wacana Barat didominasi binerisme yang membagi dua secara ketat
identitas-identitas seperti putih-hitam, Barat-Timur, penjajah-terjajah,
laki-laki-perempuan, dan seterusnya.
Sebagaimana dikutip Utami (2012), Bhabha mengatakan;
That mimicry is a strategy to confront the colonializer’s
hegemony. This strategy is constructed around an
ambivalence, almost the same, but not quite. Mimicry is
like a coin that two sadies. At one preserving the cultural
heritageof colonial dominance, and at other side negating
colonization.
Bila disandingkan gagasan Said, apa yang dimaksud “mimikri”
adalah sejalan dan merupakan pengejawantahan teori milik Said.
Rupanya memang benar yang diungkapkan Gandhi, bahwasanya
orientalisme berperan sebagai katalisator dan titik referensi bagi segala
bentuk ekspansi postkolonial. Satu hal yang disoroti Utami (2012),
bahwa konsep mimikri berpandangan kalau yang terjajah punya
kekuatan untuk melawan dengan meminjam berbagai elemen budaya
untuk peniruan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan
ketergantungan kepada penjajah, justru peniru menikmati dan bermain
dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut.
Oleh sebab itu mimikri dikategorikan sebagai strategi
menghadapi dominasi penjajah, dan bersifat ambivalen. Bhabha
mengatakan strategi ini “almost the same, but not quite”. Karena dalam
172 | Miftakhuddin
prosesnya berupa peniruan, mimikri berproses sebagai akibat adanya
diferensiasi identitas penjajah dengan pribumi. Pengkoloni melakukan
penaklukan yang kemudian berpengaruh pada pribumi, terutama pribumi
yang mengalami proses pendidikan gaya penjajah. Sebagai contoh,
mimikri penduduk Indonesia atas penjajahan Belanda yang lebih banyak
melalui gaya hidup, di mana menurut Bhabha merupakan hasrat
masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kepada
kemajuan dan menempatkan diri setara dengan penjajah.
Perlawanan melalui peniruan ini merupakan strategi untuk
menghadapi penjajah agar memperoleh peningkatan dan penyetaraan
martabat, yang mana cara mencapainya memerlukan representasi subjek,
yakni pengkoloni (Bhabha, 1994). Hanya dengan kesetaraan derajat di
kedua belah pihak, tidak ada lagi perlakuan diskriminatif. Golongan
bangsawan Indonesia misalnya, yang mengikuti pendidikan di sekolah
Belanda. Aspek gaya hidup, regenerasi pendidikan dan lain-lain yang
ditampakkan mencerminkan budaya baru yang bukan Indonesia dan
bukan Belanda, namun tetap mengandung unsur-unsur kebudayaan
keduanya.
Percepatan pendidikan ala Barat ini merupakan agenda
modernisasi dan westernisasi melalui poitik etis. Melalui pengajaran
kepada kaum bangsawan Indonesia, maka kaum bangsawan itu akan
menjadi rekan bagi “kita” (Belanda) dalam kehidupan sosial dan budaya.
Sementara alasan kenapa targetnya adalah bangsawan, karena orangorang Jawa, khususnya para priyayi atau aristokrat tradisional, memiliki
peran sentral. Mereka target yang paling mungkin dibentuk menjadi
kelompok warga Hindia yang termodernisasi dan terwesternisasi.
Hubungan seperti inilah yang menutup gap antara penjajah dengan
terjajah, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Suatu contoh untuk
dinamika ini ialah, pemakaian jas (beskap) yang berasal dari Barat
dikombinasi dengan jarik yang menjadi seragam resmi di kalangan
priyayi Jawa.
Strategi itu, karena bersifat “saling melengkapi”, maka sedikitbanyak juga bermanfaat bagi keduanya, yaitu kesempatan untuk survive.
Pengkoloni
bertahan
sebagai
penjajah
dan
menghindari
pengusiran/pemberontakan, sementara pribumi bertahan sebagai terjajah
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 173
dan menghindari pemusnahan massal (genosida). Belanda menggunakan
budaya lokal, dan Indonesia menggunakan simbol budaya Barat milik
Belanda. Suatu misal tokoh Belanda, Snouck Hougronje. Ia akademisi
Belanda yang pernah menjabat di pemerintahan Hindia Belanda untuk
urusan Islam dan Pribumi. Ia memakai Islam selaku agama lokal untuk
mendekatkan kepentingannya kepada pribumi. Menurutnya, Islam
sebagai kekuatan politik memiliki potensi besar untuk dimobilisasi
menjadi gerakan perlawanan. Maka dari itu, ia membuat umat muslim
mengalami depolitisasi, sehingga potensi Islam mengkristal dan gerakan
perlawanan terhadap negara kian mengecil
Ulasan di atas jelas mempertegas upaya survive pasti dimiliki
kedua belah pihak. Hougronje berperan sebagai agen pertahanan
kolonial di tanah jajahan melalui agama, dan kaum elit pribumi sebagai
agen yang “memanfaatkan” pendidikan yang tidak lain adalah fasilitas
dari kolonial. Jelaslah pula bahwa inisiatif ini datang dari Belanda
sebagai colonizer, sedangkan pribumi (dalam hal ini para elit)
memanfaatkan kebijakan Belanda dalam rangka menutup jurang antara
menguasai dan dikuasai.
Begitu juga sisi kehidupan sosial yang mengobjek perempuan
pribumi. Era kolonial Hindia Belanda, perempuan pribumi -yang masih
muda- sering dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, namun
kerap juga sebagai gundik. Bila beruntung, mereka bisa meningkatkan
posisinya menjadi nyai, yaitu pembantu rumah tangga utama. Status ini
membawa serta banyak hak istimewa, termasuk posisi sebagai penguasa
ketika sang tuan sedang tak di rumah. Ia bahkan memegang kunci lemari
dan ruang persediaan makanan, serta ditugasi mengawasi dan
mengeluarkan biaya kebutuhan rumah tangga. Status baru ini tentu saja
mengubah aksesoris yang dipakainya. Seperti pakaian gelap atau warnawarni diganti dengan kebaya putih berenda, mengenakan perhiasan,
selop dan sapu tangan putih sebagai tanda kedudukannya yang baru
(Baay, 2010).
Sebenarnya perempuan pribumi dalam deskripsi kasus di atas
masih dalam posisi terjajah (colonized), bahkan terjajah dua kali dalam
satu kehidupan; sebagai orang pribumi yang dijajah Belanda, juga
sebagai perempuan yang “dijajah” laki-laki. Akan tetapi, biasanya
174 | Miftakhuddin
keluarga bersikap ganda. Artinya, saat keputusan itu diambil dengan
imbalan peningkatan income sebagai nyai, di saat bersamaan ia dikecam
dan dianggap aib, sebab kedudukan nyai dianggap sama dengan pelacur.
Terlepas dari makian yang ia dapat, sesungguhnya kehidupan sebagai
nyai merupakan sarana untuk survive. Melalui statusnya dia memperoleh
simbol ke-ningrat-an Barat berupa; tingginya status dan atribut
kehormatan Barat. Sebaliknya, pihak penjajah dapat memanfaatkan nyai
untuk menggali informasi tentang kehidupan sosial dan budaya pribumi.
Kolonisasi sebagai historical context memang tak lepas dari
pertumpahan darah, tapi jangan diacuhkan bahwa dalam kolonisasi juga
terjadi proses lain dalam aspek budaya, agama, pendidikan dan lainnya.
Melihat alasan yang mendasari fenomena budak rumahan di Amerika
dan fenomena perempuan nyai Belanda di Nusantara, membuat penulis
cukup berani mengatakan kalau dalam pandangan postkolonialisme versi
Bhabha (mimikri), rupanya kelunturan tradisi dan budaya pribumi tidak
disebabkan lemahnya dan tidak teguhnya jati diri dalam setiap individu,
melainkan pribumi sengaja membuang dan menggantikannya dengan
budaya dan tradisi pengkoloni. Mereka tak punya pilihan lain untuk
mendapatkan haknya untuk hidup dan mempertahankan eksistensinya.
Akulturasi dengan budaya pengkoloni adalah opsi terakhir. Praktis,
bukan budaya pribumi yang didoktrinasi budaya asing, melainkan
pribumi yang sengaja memoles budayanya agar setara dengan asing.
Tentu saja keputusan ini dalam rangka mempertahankan eksistensi dan
emansipasi sebagai manusia (kesetaraan). Lagi pula, nasionalisme belum
begitu populer kala itu.
Sebagai bukti lain, lihat saja potret penampilan militer keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang menggabungkan unsur Jawa dengan
kolonial Belanda. Bagi konstruksi orientalisme dan studi kolonialisme,
hal ini dihakimi sebagai ketundukan kaum terjajah kepada dominasi
budaya penjajah, sedangkan menurut perspektif si penjajah (Belanda),
itu adalah tanda “kedangkalan” budaya. Tapi bagi Homi Bhabha, hal ini
justeru bentuk manifest dari transformasi budaya melalui ruang ketiga
yang tercipta dari hubungan keduanya oleh si terjajah. Alih-alih
memperhadapkan keduanya dalam posisi saling bertentangan,
pascakolonial Bhabha menunjukkan kelicinan kaum terjajah dalam
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 175
menangkis dominasi budaya penjajah dengan mengorbankan sebagian
budaya asli miliknya.
Pribumi dalam bingkai mimikri seolah meniru penjajah
(colonizer), padahal sebenarnya itu adalah sikap perlawanan terjajah
(colonized) untuk mendapat kesejajaran. Bhabha menegaskan mimikri
sebagai upaya mengukuhkan sekaligus mendistorsi otoritas penjajah.
Mimikri menolak ketergantungan terjajah terhadap penjajah. Terjajah
menikmati adanya ambivalensi yang terjadi dalam proses mimikri,
sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah (Utami, 2012).
Melalui mimikri, kaum terjajah tidak melawan dengan frontal,
tapi melalui “perselingkuhan budaya”, yaitu dengan mengambil tandatanda budaya penjajah yang kemudian diberi isi dan digugat, sehingga
menghasilkan identitas dan cara hidup yang baru. Kaum pribumi
mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah melalui
pembangunan identitas atau persamaan untuk menaikkan martabat,
namun tetap mempertahankan perbedaannya meki beberapa telah
digeser dengan pembangunan identitas asing. Nah, di sinilah yang
dimaksud mimikri bersifat ambivalen. Di satu sisi pribumi ingin
membangun identias yang setara, sedangkan mereka juga ingin
mempertahankan perbedaannya. Uraian tentang akulturasi identitas
inilah yang menjadi pijakan Bhabha dalam merumuskan mimikri.
Menurutnya mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni
perbedaan yang merupakan proses pengingkaran identitas asli,
perselingkuhan, ataupun kemenduaan identitas.
Sifat ambivalensi kolonial ini menciptakan karakter hibrid kaum
yang dikuasai (almost the same but not quite), yang ternyata sulit
ditaklukkan dan justru menjadi ancaman. Sifat ambivalen telah
membuka ruang bagi perlawanan kaum terjajah. Mereka yang terjajah
tak selalu diam, karena memiliki kuasa untuk melawan. Sebab dalam
mimikri diyakini adanya proses peniruan atau peminjaman berbagai
elemen kebudayaan (Bhabha, 1994).
Mimicry, thus the sign of double articulation; a complex
strategy of reform, regulation, and discipline, which
“appropriates” the other as it visualizes power. Mimicry
is also the sign of inappropriate, however, a difference or
176 | Miftakhuddin
recalcitrance which coheres the dominant strategic
function of colonial power, intensifies surveillance, and
poses an immanent threat to both “normalized”
knowledges and disciplinary powers.
Sebagaimana banyak dikutip dalam tulisan-tulisan ilmiah, efek
mimikri adalah terganggunya identitas penjajah yang tampak stabil,
seperti munculnya kecemasan akan terbukanya ruang bagi si terjajah
untuk menolak wacana kolonial. Mari menengok salah satu surat R.A
Kartini, yang menunjukkan situasi ambivanlesi. Ia menuliskan;
orang-orang Belanda menertawakan dan mengejek
kebodohan kami, tapi ketika kami mencoba mendidik diri
kami sendiri, mereka lalu bersikap menentang kami.
Di situ terlihat jelas kaum terjajah berhasrat memobilisasi kondisi
mereka dengan meniru penjajah dalam pendidikan. Ini selaras dengan
pandangan bias orientalisme yang melihat bangsa Timur harus dididik
dan diberadabkan. Tapi di sisi lain, penjajah tak senang hati ketika hasrat
itu menguat, sebab kesetaraan membuat kolonialisme kehilangan
taringnya. Sebab peniruan dalam mimikri tidak hanya asal meniru dan
menjiplak (slavish imitation). Mimikri meniru secara berlebih suatu
bahasa, budaya, tata krama, dan ide-ide. Berlebihan dalam arti mimikri
merupakan pengulangan atau repetisi dengan perbedaan, sehingga tidak
dikatakan bahwa terjajah itu seperti budak yang hanya sekedar meniru
tuannya. Mereka yang merasa telah mirip dengan penjajah yang
statusnya lebih tinggi (penjajah), seakan punya posisi yang sama.
Namun begitu, peniruan tetap sebuah isyarat akan lemahnya posisi
peniru, sebab aktivitas mimikri selalu didasarkan pada asumsi bahwa
yang ditiru dianggap lebih, dan peniru merasa kurang.
Naasnya, dominasi dan subordinasi sebagai kedekatan relasional
antara pemberi pengaruh dan pihak terpengaruh tidak hanya terjadi
antarbangsa atau antaretnis, tapi juga terjadi dalam dalam lingkup
internal sebuah bangsa, etnis, bahkan pada relasi kekuasaan gender.
Seperti halnya dikaji profesor Universitas Pittsburgh, Gayatri C. Spivak,
dalam artikelnya berjudul Can Subaltern Speak?. Di sana ia menyatakan
subaltern tak bisa berbicara. Maksudnya, kaum perempuan dalam
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 177
pelbagai konteks kolonial tidak punya bahasa konseptual untuk
berbicara karena tak ada telinga lelaki kolonial maupun pribumi mampu
mendengarkannya (Kusmarni, 2010). Lebih luas dari itu, Spivak sebagai
ahli kajian subaltern (subaltern studies), sebenarnya lebih memfokuskan
kajiannya pada mereka yang menyandang status marginal46, seperti;
imigran, kelas pekerja, kaum perempuan, dan pihak-pihak minoritas dan
tertindas lainnya (Morton, 2004).
Masyarakat marginal adalah masyarakat lemah secara politis,
ekonomi dan sosial budaya, serta mempunyai derajat dan kasta yang
rendah walau kadang secara kuantitas mereka lebih unggul ketimbang
masyarakat elite. Kelemahan itu terjadi akibat kaum elite melakukan
hegemoni47, sehingga mereka menjadi terpinggir atau marginal.
Celakanya lagi, hegemoni tak hanya berlaku di tataran makro, tapi juga
dalam tataran mikro. Artinya, di dalam masyarakat marginal juga ada
penguasaan atau penindasan. Suatu misal buruh yang lebih kuat
menguasai beberapa buruh lain yang lebih lemah. Maka jelaslah relasi
hegemonik bukan hanya pada elite-marginal, tapi juga marginalmarginal.
Nah, Gayatri Chakravorty Spivak48 lalu menjelaskan tentang
konsep ini menggunakan istilah subaltern untuk menyebut mereka yang
marginal. Istilah subaltern sendiri sebetulnya berasal dari Gramsci
dalam tulisannya tentang kaum subaltern di dalam sejarah Italia (Notes
on Italian History, 1934). Istilah itu digunakan untuk menunjuk
46
Dalam konteks lain dan non-hegemonik, ketika emansipasi perempuan telah diraih, LGBT
merupakan “pendatang baru” yang langsung menjadi kaum marginal karena tersisih secara
sosial dari ranah publik.
47 Hegemoni adalah konsep yang menjelaskan soal “penguasaan” tiran atau elite terhadap
mereka yang lemah. Konsep ini dipopulerkan pemikir Italia, Antonio Gramsci. Makanya, setiap
pakar yang membahas imperialisme, kolonialisme dan feodalisme, sedikit banyak merujuk pada
gagasan Gramsci soal hegemoni.
48 Gayatri Spivak lahir tahun 1924 di Calcutta, India. Saat kelahirannya, India sedang mengalami
kelaparan semu, tepatnya lima tahun menjelang kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Ia
termasuk generasi intelektual pertama India pasca kemerdekaan. Sedangkan nama Spivak ia
dapat dari mantan suaminya, Talbot Spivak, seorang novelis berkebangsaan Amerika. Spivak
menyelesaikan studi Sastra Inggris di Universitas Calcutta pada 1959 dan melanjutkan ke
Universitas Cornell, Amerika, sehingga memperoleh gelar MA dan Ph.D dibidang yang sama
(Masduki, 2007). Meski begitu, ia tak mau disebut orang Amerika maupun India, ia bahkan tak
mau diberi label filsuf. Ia menganggap dirinya sebagai kritikus sastra.
178 | Miftakhuddin
kelompok sosial subordinat, yakni kelompok masyarakat kelas inferior
yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas berkuasa. Petani, buruh, dan
kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan
“hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern.
Istilah itu kemudian diadopsi pertama kali oleh Ranajit Guha,
sejarawan India, ketika menuliskan kembali sejarah India dalam On
Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982). Ia
mendefinisikan subaltern sebagai mereka yang bukan elite. Guha
memberi penjelasan lebih menarik dengan mempertegas siapa kawan
dan siapa lawan. Sebab dalam gagasannya, ia menggeser dikotomi
menindas-ditindas yang berorientasi pada kolonial-antikolonial
(pribumi). Ia mengungkap penindasan rupanya tidak hanya dari luar,
melainkan juga dari dalam kelompok tertindas. Ia mengubah dikotomi
“menindas-ditindas”, menjadi “elite-subaltern”. Kata elite dalam
kerangka pikirannya adalah kelompok dominan baik pribumi maupun
asing. Asing adalah pejabat Inggris, dan elite pribumi dibagi dua, yakni
mereka yang di tingkat nasional (tuan feodal dan pegawai pemerintah
kolonial), dan mereka yang di tingkat regional atau lokal (anggota
kelompok dominan). Secara teoritik, diperoleh asumsi bahwa sipil bisa
menindas sipil, buruh bisa menindas buruh dan seterusnya.
Berkat sumbangan Guha tersebut, paradigma penindasan yang
selama ini berangkat dari kehadiran aktor-aktor luar, objek kajiannya
mesti ditambah dengan memperhatikan aktor-aktor dalam. Selanjutnya,
Spivak menggunakan istilah itu dalam publikasinya berjudul Can the
Subaltern Speak?: Speculations on Widow-Sacrifice. Naskah itu
menceritakan kisah Bhuvaneswari Bhaduri, adik neneknya, yang mati
gantung diri karena merasa gagal menjalankan misi dari kelompok
rahasia untuk melawan penjajahan Inggris di India. Berangkat dari kasus
itu ia mendeskripsikan subaltern itu sendiri.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 179
Gambar: Gayatri Chakravorty Spivak
Sumber: baceleb.org
Melalui tulisannya ia memperdalam gagasan Guha dan secara
tegas memperingatkan para intelektual pascakolonial agar jangan
terjebak pada klaim yang mereka tuduhkan kepada suara subaltern.
Karena bisa jadi, mereka yang mengaku antikolonial (pembela kaum
tertindas), justru bisa lebih kolonial ketimbang kolonial yang
sebenarnya. Bagi Spivak, subaltern sebagai subjek yang tertekan punya
dua karakteristik, yakni adanya penekanan dan adanya mekanisme
pendiskriminasian. Subaltern tak sanggup memahami keberadaannya
dan tak mampu untuk menyuarakan aspirasinya, sebab tak ada ruang
untuk itu. Maka diperlukanlah kaum intelektual sebagai wakil mereka.
Ketidakmampuan ini pun dibenarkan olehnya dengan menyatakan;
sebagian besar menganggap saya tidak mengakui bahwa
subaltern dapat bicara. Malah ada yang mengatakan saya
tidak membiarkan kelompok itu bicara sampai ada
penelitian yang memperlihatkan bahwa subaltern dapat
berbicara... Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang
sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara
180 | Miftakhuddin
absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara
(Spivak, dalam Hartiningsih & Ninuk: 2006).
Tapi walau Spivak juga berkata kalau suara subaltern tak dapat
dicari karena mereka “tak bisa bicara”, intelektual tidak boleh
meromantisir kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suarasuara subaltern. Sebab jika dilakukan, klaim-klaim itu malah bersifat
kolonial, karena ia menyamaratakan keberagaman (menghomogenkan)
para kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia menjadi “kekerasan
epistemologis”. Relasi yang terjalin antara intelektual dengan subaltern
pun layaknya relasi “tuan-hamba”.
Selain itu, setiap upaya dari luar untuk memberi mereka
kemampuan bicara secara kolektif juga akan menghadapi sejumlah
persoalan. Pertama, asumsi logosentris tentang solidaritas kultural di
antara masyarakat yang heterogen. Kedua, ketergantungan kepada
intelektual untuk berbicara atas nama kondisi subaltern daripada
membiarkan mereka berbicara atas nama diri mereka sendiri. Maka
dapatlah ditegaskan, bahwa dengan memperoleh kembali identitas
kultural kolektif melalui cara itu, malah membuat subaltern akan
kembali ke posisi subordinat dalam masyarakat.
Subaltern dalam definisi Spivak adalah golongan tertindas, itulah
mengapa mereka “tak bisa bersuara”. Satu-satunya cara membantu
subaltern memperoleh emansipasinya, menurut Spivak, adalah
intelektual bukan untuk bertujuan tertentu atau pragmatis demi mencari
perhatian kaum subaltern, tapi harus hadir sebagai pendamping atau
wakil subaltern. Mereka harus menjadi penyambung lidah. Seorang
intelektual harus menyertai dirinya dengan “pesimisme intelektual dan
optimisme kemauan”, agar mampu menunjukkan di mana dan
bagaimana posisi mereka yang terpinggirkan. Apabila para intelektual
masih tidak sanggup -atau malah sengaja tidak mau- menjadi
penyambung lidah, maka pertanyaan “di mana dan bagaimana peran
kaum intelek pascakolonial dalam membela kaum subaltern yang
tertindas?” akan terus langgeng.
Hubungan dan fenomena ini bila diproyeksikan dalam konteks
ke-Indonesia-an hari ini, akan tampak dalam sepak terjang aktor-aktor
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 181
politik. Sebagaimana diuraikan, hubungan hegemoni bukan sekadar
elite-subaltern, melainkan juga subaltern-subaltern. Buruh bisa menindas
buruh lain, sipil bisa menindas sipil lain, mereka yang mengaku
antikolonial justeru bisa lebih kolonial. Begitu juga partai yang mengaku
pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis, dan mereka
yang mengaku pembela kelompok marjinal bisa lebih kejam daripada
penindas kelompok marjinal yang sebenarnya.
Hal yang sering salah kaprah dalam pemaknaan adalah soal
posisi dan peran kaum intelektual. Tidak sedikit pemberitaan
demonstrasi berasal dari kelompok marjinal yang mengatakan mereka
telah “dimanfaatkan” para politikus untuk menurunkan dana-dana
bantuan dari lembaga-lembaga donor. Suatu proyek pengentasan
kemiskinan misalnya, sering didengar sindiran dari masyarakat bahwa
pada akhirnya para pemangku kepentingan-lah yang akhirnya justru
mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat marginal tetap tinggal
miskin.
C. 1st World Country, 2nd World Country, 3rd World Country, dan
Teori Pembangunannya
Ada beberapa jenis pembagian tipikal negara di dunia dalam
khazanah wacana internasional. Umumnya pembagian itu dilakukan
negara maju maupun organisasi atau lembaga internasional yang
berkepentingan dengan klasifikasi tersebut. Tapi yang harus benar-benar
dipahami ialah perihal tidak adanya ketentuan baku atau kriteria pokok
yang mengaturnya. Semua bergantung pada kepentingan dan indikator
suatu pihak. Oleh karenanya, bisa jadi suatu negara dikatakan maju oleh
satu pihak, namun pihak lain mengatakan negara itu sebagai negara
berkembang atau bahkan sangat miskin. Begitu juga sebaliknya.
Sebagai contoh, tahun 1950-an Prancis mengelompokkan negara
di dunia berdasarkan tingkatan sosial ekonominya, menjadi; a) negara
maju atau telah berkembang, b) sedang berkembang, dan c) negara dunia
ketiga atau negara selatan yang miskin. Kemudian tahun 1960-an (masa
Perang Dingin), terjadi pengelompokan negara di dunia berdasarkan
politik ekonominya menjadi; a) negara Dunia Pertama, yaitu negaranegara maju atau negara industri dengan corak ekonomi pasar. Mereka
182 | Miftakhuddin
adalah negara-negara Barat (mantan penjajah) penganut kapitalis. b)
negara Dunia Kedua, yaitu negara-negara dengan ekonomi terencana
secara sentral. Mereka adalah negara-negara penganut sosialis-komunis
atau yang biasa disebut sebagai negara tirai besi. c) negara Dunia
Ketiga, adalah negara-negara miskin, sedang berkembang dan baru
merdeka.
Selain klasifikasi itu, ada pula pengelompokan dengan
pengidentifikasian menurut kemajuan negaranya, yakni menjadi negara
Utara dan negara Selatan, yang populer pada tahun 1980. Negara Utara
ialah mereka yang kaya atau negara maju (telah berkembang).
Dinamakan demikian karena mereka ada di belahan bumi Utara.
Sedangkan negara Selatan adalah mereka yang miskin atau negara
belum dan sedang berkembang. Dinamakan demikian karena letak
mereka ada di belahan bumi Selatan, seperti; Benua Afrika, Amerika
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Bahkan World Bank pun pernah mengklasifikasikan negara
berdasarkan pendapatan dan sektor ekonomi yang diandalkannya.
Menurut Wolrd Bank, negara dunia dapat dikelompokkan menjadi
negara maju (berpendapatan tinggi dari sektor industri), negara
berkembang (berpendapatan menengah dari sektor industri), negara
dunia ketiga (berpendapatan rendah dan tidak punya sektor industri).
Ada juga kelompok negara pengekspor minyak yang tidak dimasukkan
dalam tiga kategori sebelumnya, sebab pertumbuhan ekonominya
fluktuatif sesuai harga minyak dunia yang relatif naik. Klasifikasi
menurut World Bank pernah pula dilakukan berdasarkan pendapatan per
kapita, menjadi; negara berpendapatan rendah, menengah ke bawah,
menengah ke atas, dan berpendapatan tinggi.
Sebagaimana dinyatakan di alinea pertama sub bab ini, standar
masing-masing pihak tidaklah sama, sehingga berimplikasi pada klaim
yang tidak menentu dan variatif. Misalnya negara-negara di jazirah
Arab, menurut klasifikasi Utara-Selatan mereka tergolong negara
miskin, tapi menurut World Bank, mereka justru negara berpendapatan
tinggi (kaya). Begitu juga dengan Australia dan New Zealand yang
meski ada di belahan dunia Selatan yang miskin menurut teori UtaraSelatan, faktanya mereka tergolong berpendapatan tinggi. Berbeda lagi
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 183
nanti dengan klasifikasi menurut United Nation Development Program
(UNDP) yang malah menggunakan faktor non ekonomi. UNDP dalam
menentukan Human Development Index (HDI) menggunakan tingkat
harapan hidup,tingkat kematian bayi,dan tingkat pendidikan sebagai
indikatornya.
Namun demikian, terlepas dari berbagai versi pengelompokan di
atas, dalam kaitannya dengan kajian pascakolonialisme, satu-satunya
yang pantas menjadi rujukan ialah pengelompokan berdasarkan
pengaruh politik dan ekonominya semasa Perang Dingin, yang membagi
negara di dunia menjadi negara Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia
Ketiga. Sekalipun Huntington, dkk. (1989) menolaknya dengan
mengatakan;
Pembagian tersebut tidak lagi relevan. Sekarang ini yang
jauh lebih bermakna adalah mengelompokkan negaranegara bukan berdasarkan sistem politik atau ekonomi,
atau berasarkan tingkat perkembangan ekonominya, tetapi
lebih berdasarkan budaya dan peradabannya.
Akan tetapi, selama masih ada “pendiktean” kedaulatan politik
dan ekonomi dari negara Dunia Pertama kepada negara Dunia Ketiga,
juga selama masih ada keterbelakangan dan ketergantungan di salah satu
belahan dunia, pengelompokan tersebut akan tetap valid. Apalagi telah
ditegaskan dalam kajian-kajian postkolonialisme Spivak yang lebih
berkonsentrasi pada persoalan kaum subaltern dan masyarakat Dunia
Ketiga. Penegasan yang nyata ialah Dunia Pertama merupakan
tempatnya produksi intelektual, dan Dunia Ketiga ialah tempatnya
ekpsploitasi fisik. Sampai saat ini pun pandangan itu berorientasi pada
penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat Dunia Ketiga, karena
dalam pandangannya dikenal untuk tidak meliyankan pihak yang
“berbeda” darinya. Apa yang coba disampaikan Huntington, dkk.
tampaknya lebih kepada isyarat untuk mengesampingkan klasifikasi
negara di dunia, dan lebih memperhatikan persoalan yang bersifat laten
dan krusial, yakni persoalan peradaban masyarakat modern dan isu
lingkungan yang menyertainya.
184 | Miftakhuddin
1) Klasifikasi Negara
Klasifikasi negara menjadi tiga kelas dimulai pasca Perang
Dunia II, atau semasa Perang Dingin. Saat itu, secara geopolitik dunia
terbelah menjadi dua; Blok Barat (kapitalisme) dan Blok Timur
(komunisme). Blok Barat diisi negara-negara kapitalis beraliran
demokrasi-liberal dengan Amerika sebagai tokoh utama yang didukung
Inggris, Jerman Barat, Belanda, Jepang, Spanyol, Prancis, dll. Dukungan
juga datang dari Kanada dan bekas koloni Inggris lain seperti Australia
dan New Zealand. Mereka semua kemudian disebut negara “Dunia
Pertama”. Sedangkan Blok Timur diisi Union of Soviet Socialist
Republics (USSR) atau Uni Soviet sebagai sentralnya, yang didukung
Jerman Timur, Hungaria, Polandia dan negara sosialis-komunis lain
seperti China dan Kuba. Mereka yang tergabung dalam Blok Timur ini
kemudian disebut sebagai negara “Dunia Kedua”.
Saat banyak negara menentukan pilihannya untuk berpihak, ada
kelompok negara yang memutuskan tidak berpihak (Non Blok).
Sebagian besar mereka adalah negara yang sedang sibuk mengukuhkan
kemerdekaannya karena baru mentas dari efek pra-klimaks Perang
Dunia II. Mereka memilih membangun negara dan mensejahterakan
rakyatnya ketimbang berebut pengaruh di planet ini, sampai-sampai
membentuk koalisi dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
(KAA) untuk membantu negara-negara berkembang sesama bekas
jajahan, membantu kemerdekaan bagi yang masih terjajah, dan
menghapuskan rezim apartheid di Afrika Selatan. Negara-negara Non
Blok ini terdiri dari negara-negara di Afrika, Asia, Timur Tengah dan
Amerika Latin. Nah mereka -lah yang kemudian disebut sebagai negara
“Dunia Ketiga”.
Naasnya, kebetulan Dunia Ketiga mayoritas diisi negara sedang
berkembang dan miskin karena baru merdeka, sementara Dunia Pertama
diisi negara maju. Inilah penyebab stereotip Dunia Ketiga diidentikkan
sebagai negara miskin/berkembang, meski esensi historisnya ialah
mereka yang tidak berpihak semasa Perang Dingin. Arab, misalnya.
Saudi Arabia termasuk negara Dunia Ketiga karena Non Blok (tak
berpihak), namun tidak bisa jika kemudian Arab dimasukkan dalam
kelompok Dunia Ketiga dengan alasan miskin/berkembang. Sebab
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 185
faktanya Arab punya pendapatan tinggi dari cadangan minyak bumi dan
gas yang melimpah. Di samping Arab, -dalam kasus yang sama- di
Eropa ada juga negara-negara Dunia Ketiga (Non Blok), seperti Swiss,
Irlandia dan Austria.
Gambar: Peta Geopolitik Negara Dunia
Sumber: nationsonline.org
Di luar ketiga negara di atas, ada yang namaya “Dunia
Keempat”. Istilah ini muncul sekitar tahun 1970 untuk menunjuk
penduduk asli yang masih menempati wilayah mereka sendiri
berdasarkan tradisi dan budayanya. Sehingga khusus teruntuk Dunia
Keempat
ini,
sama
sekali
tidak
menyinggung
pada
komunitas/persekutuan, melainkan menunjuk pada suku tradisional yang
belakangan kadang tak diakui secara etnis, agamis maupun politis akibat
percaturan ekonomi-politik dunia. Mereka meliputi bangsa Aborigin di
Australia, Maōri di New Zealand, Indian di Amerika, Eskimo di Kanada,
Romani (Gypsy) di India Utara dan suku-suku asli lainnya, termasuk
suku Badui, Dayak dan Asmat di Indonesia. Tidak peduli secara
administratif mereka ada di Dunia Pertama, Kedua, atau Ketiga, selama
menjadi suku asli yang menduduki wilayah aslinya dengan tradisi dan
budayanya, mereka termasuk komunitas Dunia Keempat.
2) Negara Dunia Pertama
186 | Miftakhuddin
Walau istilah yang diperkenalkan PBB sejak 1940-an ini sudah
dinilai usang, namun tetap valid untuk menunjuk negara-negara
kapitalis, industri, kaya, dan maju karena dilambangkan sejajar dengan
pentolannya semasa perang dingin, yakni Amerika, di samping Britania
Raya, Jepang, dan Australia. Sebutan Dunia Pertama sekalipun dinilai
tak lagi relevan menurut Huntington, dkk. (1989), pada kenyataannya
masyarakat kontemporer memandang mereka sebagai negara
berekonomi maju, pengaruh terbesar, standar hidup tinggi, dan teknologi
terbaik.
Dasar pemilihannya adalah seberapa beradab suatu negara.
Adapun jika dilihat dari riwayat kolonialnya, tampaknya golongan
Dunia Pertama adalah mereka bekas jajahan Inggris. Lihat saja Amerika,
Kanada, Australia, Singapura, dan Selandia Baru. Dan jika boleh
diperiodisasi masa kolonial sejak keruntuhan imperium Romawi atau
Perang Salib, periode pertama adalah masa kolonial era perjanjian
Zaragosa antara Spanyol dan Portugis. Periode kedua adalah masa
kolonial Inggris, Belanda, dan Prancis yang melakukan kolonisasi ke
Asia dan Australia, dan periode ketiga adalah masa kolonial Amerika
dan Jepang menuju Perang Dunia. Selebihnya merupakan masa
neokolonialisme.
Apabila diamati, Dunia Pertama adalah bekas jajahan Inggris
yang dijajah masa kejayaan Inggris. Artinya, masa kolonisasi yang
mereka alami adalah masa di mana Revolusi Industri sedang gencargencarnya. Konsekuensinya, terjadi penyebaran teknologi dan sains.
Itulah sebab mereka kini cenderung maju, kaya, dan berteknologi.
Jepang dan Hong Kong contohnya. Berbeda dengan Dunia Ketiga
seperti di Asia, misalnya, yang mengalami penjajahan oleh Belanda
(bukan Inggris), ditambah lagi terjadi perebutan-perebutan dengan
kongsi dagang Inggris (EIC), pemberontakan inlander, dan tujuan
kolonisasi terfokus pada perniagaan, bukan eksploitasi sumber daya
mineral guna pengembangan teknologi seperti di Amerika, Australia dan
New Zealand. Alhasil, peninggalan kolonial berupa teknologi (hasil
revolusi Industri) hampir tidak ada, menyisakan mental terjajah, dan
sistem pemerintahan feodalistik yang masih berjalan hingga abad 21.
Negara Dunia Ketiga di Asia, terutama Nusantara, Filipina, dan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 187
Malaysia baru memperoleh “cipratan” teknologi sebagai dampak
Revolusi Industri ketika mulai runtuhnya VOC dan masuknya pengaruh
Inggris secara intensif. Apa yang terjadi di Nusantara, Filipina dan
Malaysia tentu tak bisa disamakan dengan Singapura, yang meski di
Asia, dia dijajah Inggris sejak awal.
3) Negara Dunia Kedua
Sebagaimana diulas kategori negara tidak ditentukan
kemajuannya, tapi di pihak mana ia berdiri semasa Perang Dingin.
Dunia Kedua ialah mereka yang ada di Blok Timur dengan halauan
sosialis-komunis. Kalaupun dipaksakan melihat mereka dari kondisi
ekonomi, mereka bukan kumpulan negara berkembang, mereka
termasuk negara-negara industri yang maju dan kaya. Ada sembilan
belas negara komunis yang termasuk di dalamnya, tapi pasca keruntuhan
Soviet pada pemerintahan Mikhail Gorbachev, hanya tinggal lima
negara, yakni; China, Kuba, Laos, Korea Utara, dan Vietnam.
Dunia Kedua di Asia, dalam kaitannya dengan pengalaman
kolonialnya justru hampir semuanya pernah dijajah bangsa demokrasiliberal (Dunia Pertama). Paham komunis baru masuk usai Revolusi
Prancis di Paris yang membuat tumbuhnya paham-paham baru, juga
disebabkan penerapan Molotov Plan dari Soviet untuk menandingi
Marshall Plan milik Amerika semasa Perang Dingin. Berlakunya
Molotov Plan membuat Soviet menata-ulang perekonomian di Eropa
Timur yang berdampak pada peperangan di daerah Asia49.
Negara-negara Asia yang berjuang menuju merdeka dan
mendapat bantuan Soviet tentu saja menjadi penganut komunis. Begitu
juga dengan Amerika, menambah penganut demokrasi liberal dengan
pemberian bantuan. Lihat Vietnam dan Korea. Perang Vietnam
melambangkan perang komunis versus demokrasi. Hanya saja Amerika
kalah pada peperangan ini. Demikian pula Korea yang memperoleh
keberuntungan atas kalahnya Jepang di akhir Perang Dunia II. Tapi
dalam kemerdekaan Korea, Soviet punya peran dengan menduduki
49
Bagi Soviet, Asia potensial untuk memasarkan senjata Soviet dan penghimpunan kekuatan
untuk menandingi Amerika, yang juga menghimpun kekuatan di Asia untuk memperkuat Blok
Barat. Asia hanya “papan catur” bagi Blok Barat dan Blok Timur di Eropa.
188 | Miftakhuddin
Korea bagian utara, dan Amerika menduduki Korea bagian selatan, yang
akhirnya berdasar Konferensi Yalta, Korea dibagi dua; Utara berpaham
sosialis-komunis, dan Selatan berpaham demokrasi-liberal.
4) Negara Dunia Ketiga
Secara ideologis, hubungan Dunia Pertama dan Dunia Kedua
selalu kompetitif. Tapi hubungan keduanya dengan kelompok Dunia
Ketiga umumnya positif dan harmonis. Tentu saja mengandung unsur
keberpihakan untuk menggaet Dunia Ketiga. Implikasinya, Dunia Ketiga
terlibat perang proksi antara Dunia Pertama dan Dunia Kedua.
Demikianlah Dunia Pertama dan Kedua tidak angkat senjata langsung
dalam Perang Dingin, melainkan memberi bantuan militer, logistik dan
lainnya kepada Dunia Ketiga yang sedang berseteru atau berjuang
merdeka. Praktis, Perang Dingin hanya berlaku pada Blok Timur dan
Blok Barat. Sedang Dunia Ketiga adalah pion-pion yang siap bertumpah
darah atas komando Dunia Pertama dan Kedua. Kendatipun demikian,
Dunia Pertama tampaknya punya pengaruh, kekayaan, informasi dan
kemajuan yang lebih besar.
Dunia Ketiga adalah objek kajian teori pembangunan (terutama
teori modernisasi dan teori ketergantungan), karena dianggap
terbelakang sekalipun telah merdeka. Agar mentas dari krisis pasca
kemerdekaan, mereka harus melakukan industrialisasi, yang mana ini
membutuhkan uang, teknologi dan pengetahuan. Nah, ini yang membuat
mereka rawan terjebak dalam hutang luar negeri yang justru kian
memiskinkan. Sebagaimana ditegaskan guru besar Administrasi
Pembangunan Universitas Brawijaya, Prof. Agus Suryono;
Negara yang baru merdeka, menurut para ahli ekonomi
barat harus dibebaskan dari lingkaran setan kemiskinan:
tidak mempunyai industri karena miskin, dan miskin
karena tidak mempunyai industri. Untuk keluar dari
lingkaran setan itu, negara itu memerlukan uang dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
industrialisasi (Suryono, 2012).
Oleh sebab itulah mereka dengan gampangnya menerima
tawaran hutang tanpa dengan cermat mempertimbangkan perbedaan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 189
latar belakang sosio kultural mereka dengan negara maju yang akan
dituruti langkahnya itu. Padahal, perbedaan itu sesungguhnya tidak
memungkinkan bagi mereka untuk sepenuhnya menempuh langkah dan
tahapan yang sama persis seperti yang dijalani negara maju (Suryono,
2012). Sejak itulah berkembang berbagai rencana pembangunan yang
menjadi pegangan bagi negara baru merdeka tersebut, yang pada
pokoknya mempunyai kesamaan pula: bertujuan untuk secepatnya
mengejar ketertinggalan, melalui pembangunan ekonomi yang
mengikuti jejak negara maju. Terutama karena didesak keinginan untuk
sesegera mungkin meraih kemakmuran, dan bayangan pengalaman pahit
sebagai negara terjajah.
Karena baru menyelesaikan perang kemerdekaan, umumnya
negara baru ini tanpa sadar memimpikan jalan pintas untuk membangun
negaranya (Suryono, 2012). Inilah yang dilakukan Soeharto melalui
pengesahan UU-PMA dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima
Tahun), dengan harapan Indonesia lepas landas (take-off) dari status
negara berkembang/miskin menjadi negara maju sebagaimana
“imamnya”, yakni Amerika. Tapi seperti diungkapkan Suryono,
Indonesia melupakan perbedaan aspek sosio kultural antara dirinya
dengan negara yang akan diikuti jejaknya. Secara kultural, negara Dunia
Ketiga tak mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup, gaya pikir,
dan gaya kesejahteraan masyarakat di Dunia Pertama. Akhirnya Dunia
Ketiga malah menjadi korban untuk ke sekian kalinya, yang mana
menurut teori ketergantungan (dependency theory), negara semacam ini
adalah negara periferi (pinggiran) yang selalu bergantung pada negara
center (pusat).
5) Resolusi
Revolusi 1989 yang mengakhiri Perang Dingin dengan tuntas,
secara laten meruntuhkan pembagian geopolitik dunia, namun secara
manifest
tidak
demikian.
Walau
penggunaannya
sebatas
menggambarkan kesejahteraan, makna dan definisi atas istilah Dunia
Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga telah berubah dari yang
semula bertumpu pada ideologi politik menjadi bertumpu pada ekonomi
negara dan kesejahteraan rakyat. Apalagi teori tiga dunia ini telah
190 | Miftakhuddin
banyak dikritik karena dinilai tidak lagi representatif terhadap situasi
global terkini. Terlebih pemeringkatan itu sudah tercemar stigma
negatif, terutama untuk Dunia Ketiga
Atas dasar itu, sosiolog dan pemikir pembangunan menawarkan
istilah “maju”, “berkembang” dan “terbelakang” dalam stratifikasi
global, meski teori tiga dunia masih cukup populer di sastra kontemporer
dan media. Hal ini dapat menyebabkan variasi semantik antar istilah
yang menggambarkan entitas politik. Melalui terminologi ini, akan hadir
jalan yang luas dalam mengkategorikan negara-negara di bumi menjadi
tiga kelompok berdasarkan divisi sosial, politik, budaya dan ekonomi.
Maka secara konseptual, tipe pembagian mana yang akan dipakai
bergantung pada perspektif mana yang dianut.
Di sinilah titik temu apa yang tadi diargumentasikan Huntington,
dkk. sebagai bentuk pembagian yang tidak lagi relevan, namun masih
dipakai; yakni terjadi pergeseran makna dalam terminologi teori tiga
dunia, yang semula didasarkan pada divisi ideologi politik-ekonomi
menjadi berdasar pada divisi sosial budaya dan ekonomi. Terlebih untuk
penyebutan negara Dunia Ketiga, yang tidak mewakili Arab, Swiss dan
Irlandia. Namun terlepas dari itu semua, ketertinggalan Afrika, Asia dan
Amerika Latin sebagai Dunia Ketiga (dalam pengertian lama),
sebenarnya juga disebabkan manuver-manuver ekonomi, politik dan
militer Perang Dingin.
Akhirnya, muncullah pemikir-pemikir pembangunan yang
merumuskan teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena proses
perkembangan negara-negara di dunia, sekaligus menyiapkan strategi
yang cocok untuk membangun mereka yang miskin dan tertinggal.
Kemudian dihasilkanlah beberapa teori pembangunan untuk
memberikan penawaran jalan keluar kepada negara-negara miskin atau
terbelakang, seperti; teori modernisasi, teori perubahan sosial, teori
dependensi (ketergantungan), dan teori pembangunan kontemporer.
Namun dalam perkembangannya, teori pembangunan yang paling kukuh
dan banyak dikritisi ialah teori modernisasi dan teori ketergantungan.
Hatu (2013) dalam bukunya berjudul Sosiologi Pembangunan
menegaskan teori modernisasi dirumuskan untuk menjawab
permasalahan baru yang terkait pembagian masyarakat dunia dalam tiga
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 191
kelas semasa Perang Dingin. Dunia pertama ialah masyarakat Eropa
Barat dan Jepang di Timur Jauh, Dunia Kedua ialah masyarakat sosialis
totaliter yang menempuh industrialisasi dengan biaya sosial yang besar,
dan Dunia Ketiga ialah masyarakat postkolonial di Selatan dan Timur
yang terbentang dan tenggelam dalam era agraris dan pra industri. Teori
ini memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara Dunia Pertama
dan Dunia Ketiga, yang mana merupakan teori yang berusaha
menjelaskan perubahan dunia kurang maju ke dunia lebih maju
(Sanggar, 2006). Sementara Halivaland (dalam Hatu, 2013)
mengemukakan modernisasi adalah proses perubahan kultural dan sosioekonomis di mana masyarakat-masyarakat sedang berkembang
memperoleh sebagian karakteristik dari masyarakat industri Barat.
Menurut teori modernisasi, umumnya negara terbelakang akan
menempuh jalan yang sama dengan industri maju di Barat, sehingga
akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi. Teori
ini menggariskan bahwa untuk mencapai kemajuan, mula-mula harus
mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya 50 agar mampu take-off
(tinggal landas). Sayangnya, ada asumsi dasar modernisasi adalah
proses pem-barat-an masyarakat Timur. Apabila tak mengikuti pola
pemikiran Barat, maka dianggap ketinggalan zaman dan kuno.
Anggapan yang demikian tidak lain adalah etnosentrisme, maka
berlaku -lah apa yang disebut Prof. Agus Suryono sebagai “modernisasi
yang amat berbentuk westernisasi”. Modernisasi bukannya membangun
masyarakat dengan ciri khas dan kemampuannya sendiri, melainkan
digiring untuk mengikuti dan menjalin sepenuhnya model dari Barat.
Padahal, negara berkembang harusnya menyadari model pembangunan
Barat ditempa (tailored) untuk situasi yang besar sekali perbedaannya
dengan negara berkembang. Walhasil, modernisasi memberi sejumlah
dampak tertentu di luar prediksi dan ekspektasi negara berkembang,
meski ada indikasi perubahan menuju kemajuan peradaban.
50
menurut teori modernisasi, masalah keterbelakangan negara bekas koloni di sebabkan
terutama karena faktor-faktor di dalam masyarakatnya. Ini disimpulkan berdasarkan perspetif
klasik ekonomi nasional dan aspek sosial yang menyebutkan pandangan tradisional dan
struktur masyarakat sebagai hambatan utama dalam perkembangan politik, mentalitas serta
modernisasi perekonomian. Di dalam pandangan modernisasi, akar dari segala prolem adalah
kemiskinan, dan pembangunan berarti peberantasan kemiskinan.
192 | Miftakhuddin
Lauer (1993) melihat sejumlah efek tersebut melingkupi aspek;
demografi, sistem stratifikasi sosial, pemerintahan, pendidikan, serta
nilai sikap dan kepribadian. Pertama, bidang demografi dibuktikan
dengan terjadinya pertumbuhan penduduk sebagai akibat penurunan
angka mortalitas, meningkatnya mobilitas dan kapasitas tenaga kerja
dari desa ke kota (urbanisasi sebagai perubahan sektor agraris menuju
industri), dan meningkatnya usia harapan hidup. Kedua, soal sistem
stratifikasi sosial. Sanggar (2006) memaparkan perubahan itu meliputi;
a) pembagian kerja yang semakin kompleks sejalan dengan
meningkatnya spesialisasi, b) status sosial yang dulunya diperoleh
berdasarkan keturunan atau askripsi (ascribed status) menjadi
berdasarkan capaian kerja (achieved status), c) peran pekerja dari
kegiatan untuk memberikan kepuasan, bergeser ke kegiatan untuk
meningkatkan kesejahteraan, d) imbalan (reward) yang tersedia
meningkat dan terdistribusikan lebih merata, e) terjadi pergeseran dalam
distribusi gengsi sosial dan peluang kehidupan berbagai strata sosial.
Ketiga, perubahan dalam pemerintahan yang semula berdasar
kepentingan dan loyalitas kedaerahan berganti kepentingan dan loyalitas
nasional. Begitu juga demokratisasi politik yang lebih menjangkau
masyarakat lapisan bawah. Keempat, dalam bidang pendidikan,
perubahan dapat diamati dengan melihat peningkatan pelajar/mahasiswa
secara kualitatif, dan peningkatan lembaga pendidikan secara kuantitatif.
Efek modernisasi membuat pendidikan diarahkan untuk menghasilkan
lulusan yang profesional, agar compatible untuk pasar kerja yang makin
terspesialisasi. Kelima, perubahan nilai dan sikap kepribadian atau
pranata sosial di pedesaan, yang dulunya bersifat solidaritas sosial dan
kekeluargaan, telah menjadi individual dan efisiensi.
Memang lima perubahan di atas adalah tanda kemajuan, tapi efek
sampingnya berupa rusaknya lingkungan dan menurunnya rasa
kemanusiaan atau empati, sekaligus lunturnya nilai-nilai sosial yang
mapan. Indonesia adalah representasi nyata yang menggambarkan teori
modernisasi sebagai teori yang paling dominan menentukan wajah
pembangunan. Hatu (2013) membuat kerangka ciri-ciri perspektif
modernisasi berupa; 1) modernisasi merupakan proses homogenisasi.
Sebab sudah tak bisa dibantah, modernisasi menuntut kemiripan dan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 193
kesamaan, baik internal maupun eksternal. Dan kesamaan inilah yang
menjadi parameter keberhasilan pembangunan. 2) modernisasi adalah
Eropanisasi dan Amerikanisasi. Ini tercermin dari asumsi umum, bahwa
keberhasilan harus western-sentris. Barat adalah negara tak tertandingi
dalam kesejahteraan politik dan ekonomi. Mereka sebagai negara maju
dijadikan mentor dan percontohan untuk mengejar ketertinggalan negara
berkembang. 3) modernisasi merupakan proses yang tidak mundur.
Artinya, modernisasi tak bisa dihentikan manakala sudah mulai berjalan.
Saat sudah berkontak dengan negara maju, maka Dunia Ketiga tak akan
mampu menolak proses berikutnya. Lihat saja bagaimana analisis relasi
center-prifer yang rawan intervensi. 4) modernisasi ialah perubahan
progresif. 5) modernisasi butuh waktu panjang.
Oleh karena banyaknya “kecurangan”, menurut Suryono (2012),
teori ini banyak dikritik dalam implementasinya;
1) teori modernisasi hanya permainan kata manis, yang prakteknya
adalah intervensi imitasi, bukan inovasi.
2) modernisasi tidak lain adalah sinonim westernisasi, urbanisasi,
industrialisasi, sekularisasi, yang hakikatnya sama.
3) kepalsuan pandangan dunia yang mengaku benarnya sendiri atau
etnosentris.
4) adanya kepalsuan ketidaknormalan perubahan dengan asumsi
bahwa model teoritik modernisasi menganggap bahwa masyarakatmasyarakat tradisional menentang perubahan, karena perubahan
dianggap mengganggu. Padahal perubahan itu sendiri bersifat pasti
dan alami (natural) yang bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja,
di mana saja dari bangsa mana saja.
5) adanya kepalsuan jaminan yang berlebihan dan bersifat umum.
Artinya, ada keyakinan yang berlebihan bahwa institusi yang
mengalami modernisasi akan memiliki fungsi-fungsi positif dalam
masyarakat tradisional.
6) adanya kepalsuan penalaran yang melingkar, di mana kebanyakan
para teoretis modernisasi berangkat dari definisi modernitas
menurut term dan ciri yang terbatas. Semua ciri yang tak sesuai
kontribusi tipikal ideal modernisasi, dibuang sebagai kategori
tradisional.
194 | Miftakhuddin
7) teori modernisasi sebagai doktrin pra-syarat. Asumsinya adalah
seperangkat ciri tertentu merupakan prasyarat yang harus dipenuhi
bagi modernisasi masyarakat, yang berarti peniruan (replikasi) sifatsifat budaya tertentu masyarakat maju atau Barat.
8) teori modernisasi sebagai doktrin menyamaratakan keadaan
(konvergensi). Asumsinya, masyarakat sedang berkembang
dianggap tidak terarah dan cenderung mengikuti jejak langkah
masyarakat industri Barat dengan harapan dapat menyamai mereka;
dan melambangkan masyarakat industri modern merupakan prestasi
tertinggi. Padahal universalitas produk akhir sebenarnya tidak harus
sama dengan contoh dan cara-cara awal (Barat).
Sejumlah kritik di atas belum semua, namun cukup mewakili
seluruh kritik yang ada. Kondisi di atas ialah bentuk kelemahan teori
modernisasi yang kerap disoroti dalam implementasinya. Padahal konten
yang substansial dari model pembangunan Barat atau modernisasi
adalah industrialisasi produksi, yang jelas-jelas menjadi syarat mutlak
untuk model pembangunan manapun (jika suatu masyarakat ingin
merealisasikan mimpi untuk hidup lebih baik). Pemikiran berikutnya,
lalu memunculkan teori yang berusaha menjelaskan mengapa program
pembangunan Dunia Ketiga dalam meniru taraf kemajuan negara
industri maju kurang berhasil. Teori yang mengakomodir persoalan tak
terpecahkan itu ialah teori dependensi atau ketergantungan (dependency
theory).
Secara konsepsional, ada dua teori yang ingin menjelaskan
fenomena kemiskinan dan keterbelakangan yang berkepanjangan di
negara berkembang. Teori pertama cenderung mempermasalahkan
faktor-faktor dalam diri masyarakat sebagai inner drive dan
penyebabnya, meliputi; rendahnya modernitas, mindset dan nilai-nilai
budaya tradisional (etos kerja tradisional, kurang menghargai waktu,
bangga dengan keturunan (dinasti dan askripsi), menyerah pada nasib
dan tunduk pada alam). Nah, teori ini adalah teori modernisasi.
Sedangkan teori kedua cenderung mempersalahkan faktor-faktor diluar
dari masyarakat sebagai outer drive dan penyebabnya, meliputi;
bermainnya kekuatan luar yang dominan dan eksploitatif, atau adanya
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 195
faktor luar yang memang tak bisa dilawan. Nah, teori ini adalah teori
dependensi (dependency teori).
Teori dependensi dan teori modernisasi merupakan dua buah
teori berbeda rumpun, bahkan secara diametral, sehingga dasarnya pun
berbeda. Bagi teori dependensi, problem Dunia Ketiga bukan terletak
pada rendahnya produktivitas internal masyarakat, melainkan pada satu
proses yang disebabkan aktor-aktor eksternalnya sebagai satu variabel
yang sangat menentukan dalam program pembangunan dan munculnya
ketidakberkembangan/ketergantungan. Hipotesis asumtif yang bisa
diajukan soal akar permasalahannya adalah neokolonialisme, eksploitasi
dan penerapan sistem pembagian kerja dalam panggung internasional.
Bagaimanapun ini tak bisa dilawan karena negara center (Dunia
Pertama) mampu menciptakan blokade. Sebagaimana diulas dalam Bab
VII, pandangan ini muncul dari krisis di Amerika Latin, dengan
mengadopsi teori imperialisme Prebisch.
Sebagaimana ditegaskan Hatu (2013) dalam Sosiologi
Pembangunan, secara historis, teori dependensi lahir atas
ketidakmampuan teori modernisasi membangkitkan ekonomi negaranegara terbelakang, terutama negara di Amerika Latin. Bantahan
terhadap teori modernisasi, dinyatakan dengan mengklaim bahwa faktor
luar -lah yang paling menentukan keterbelakangan, yaitu campur tangan
dan dominasi negara maju terhadap laju pembangunan di Dunia Ketiga.
Oleh karena kemandegan dalam perkembangan di Dunia Ketiga
disebabkan intervensi aktor luar, satu-satunya jalan untuk lepas dari jerat
ini ada memutus hubungan dan biarkan Dunia Ketiga menjalankan roda
pembangunannya secara mandiri.
Ahli teori dependensi, Theotonio Dos Santos, mendefinisikan
ketergantungan sebagai relasi tak seimbang antara negara maju dan
negara miskin dalam pembangunan di kedua kelompok negara tersebut.
Menurutnya, jika ada kemajuan di negara Dunia Ketiga, itu hanya efek
ekspansi ekonomi negara maju dengan kapitalismenya. Jika terjadi suatu
negatif di negara maju, maka negara berkembang terdampak pula.
Sementara jika hal negatif terjadi di negara berkembang, belum tentu
negara maju akan terdampak. Inilah yang tadi oleh penulis disebut
sebagai blokade dalam hubungan yang tak seimbang.
196 | Miftakhuddin
Ada sedikitnya dua perspektif rasional yang menarik soal kenapa
negara maju melakukan hal ini kepada negara berkembang, sebagaimana
dikutip dari kaum Marxis Klasik oleh Hatu (2013). Pertama, negara
pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tak dinamis
dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat
lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju
ketika telah disentuh negara pusat yang membawa kapitalisme ke sana.
Ibaratnya, negara pinggiran adalah putri tidur yang akan bangun dan
mengembangkan potensi kecantikannya setelah disentuh pangeran
tampan. Pangeran tampan itulah yang disebut negara pusat, dengan
ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat ini yang
kemudian dibantah penggiat teori dependensi, sebab nyatanya
kecantikan itu tidak membawa perubahan yang diharapkan kepadanya
diri si putri, melainkan hanya dimanfaatkan negara pusat dengan
kapitalismenya yang mengikat.
Menganggap seolah Dunia Ketiga mampu bangkit tanpa
intervensi Dunia Pertama, Hatu menegaskan ada bantahan lagi dari teori
dependensi; 1) negara pinggiran pra-kapitalis ini punya dinamika
tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Bila tak
tersentuh negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak
dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkan. 2) justru karena
dominasi, sentuhan dan campur tangan, negara pra-kapitalis tak bisa
maju karena selalu bergantung kepada negara maju tersebut.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah dengan campur tangan
negara kapitalis, bukannya memajukan negara miskin malah semakin
memiskinkan negara pinggiran. Ketergantungan ada dalam format
neokolonialisme yang diaplikasikan tanpa harus menghapuskan
kedaulatan Dunia Ketiga. Keterbelakangan ekonomi Dunia Ketiga
bukan hanya disebabkan terintegrasinya mereka dalam tata ekonomi
kapitalisme di negara maju, namun juga disebabkan tindakan
pengawasan ketat dan monopoli modal asing, serta penggunaan
teknologi maju pada tingkat internasional dan nasional.
Ketika teori modernisasi menawarkan solusi dengan cara
membangun masyarakat tradisional menjadi masyarakat dengan
modernitas tinggi, teori ketergantungan menawarkan solusi dengan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 197
memutus hubungan kapitalis dengan para neokolonialis di negara
centrum. Sebab kemiskinan dan perkembangan yang lamban di negara
perifer (pinggiran) tidak lain diakibatkan struktur relasi yang tidak
seimbang dan eksploitatif. Namun demikian, rupanya menurut Suryono
(2012) ada juga sejumlah kritik yang dilontarkan kepada teori
dependensi, seperti;
1) dianggap terlalu mendramatisir keadaan dan melebih-lebihkan (over
acting). Sehingga tercipta image seakan-akan terjadi ketergantungan
antara negara yang miskin (legging sectors) dengan negara yang
kuat (leading sectors)
2) pandangan kaum dependensia tentang kontradiksi yang fundamental
antara center dan perifer ternyata tidak berhasil memperhitungkan
struktur-struktur kelas produksi di periferi yang menghambat
terbentuknya tenaga produktif
3) cenderung berfokus pada masalah pusat dan kapital, karena
keduanya dipersalahkan sebagai penyebab kemiskinan dan
keterbelakangan, ketimbang masalah pembentukan kelas-kelas
sosial lokal
4) dianggap gagal membedakan antara kapitalis dengan feodalis, atau
bentuk-bentuk pengendalian produser masa pra-kapitalis lainnya,
dan perampasan keuntungan (appropriasi surplus)
5) dianggap mengabaikan produktivitas tenaga kerja sebagai titik
sentral dalam pembangunan ekonomi nasional, dan meletakkan
tenaga penggerak (motor force) dari pembangunan kapitalis dan
masalah keterbelakangan pada transfer surplus ekonomi pusat ke
periferi
6) teori dependensia juga dinilai menggalakkan suatu ideologi
berorientasi ke Dunia Ketiga yang meruntuhkan karakter dan
potensi solidaritas kelas internasional, dengan menyatukan
semuanya sebagai “musuh”, baik elit maupun massa yang berada di
bangsa-bangsa pusat (negara centrum)
7) dinilai statis, karena tidak mampu untuk menjelaskan dan
memperhitungkan perubahan-perubahan ekonomi di negara-negara
berkembang dan terbelakang menurut waktu dan perubahannya.
198 | Miftakhuddin
Bilamana ditelaah dan dicermati, kritik yang menempel pada
teori dependensi merupakan kebalikan atau “pembalasan” teori
modernisasi. Hubungan di antara keduanya bukanlah suatu perdebatan,
melainkan lebih kepada suatu hal yang lazim karena dasar, paradigma
dan perspektifnya berbeda secara diametral. Rumpun teori modernisasi
membela sistem masyarakat kapitalistik, dengan tendensi etnosentrisme
yang menempatkan sosok masyarakat industri kapitalis (Barat) sebagai
parameter keberhasilan pembangunan, keunggulan, kemajuan, dan
kesejahteraan hedonis. Sedangkan rumpun teori dependensi melawan
sistem masyarakat kapitalistik, dengan bertumpu pada teori konflik
historikal Karl Marx, yang mana intervensi eksternal menyebabkan
penindasan dan penderitaan masyarakat kelas pekerja dalam masyarakat
industri yang kapitalistik.
Baik teori dependensi maupun modernisasi patut dihargai
kontribusinya dalam menjelaskan fenomena kemiskinan dan
keterbelakangan yang berkepanjangan. Tapi menurut Suryono (2012),
kendatipun sering menjadi rujukan, keduanya belum bisa menjelaskan
sepenuhnya akar persoalannya secara ideologi-sentris. Sebagai contoh,
Suryono mengangkat kasus petani desa Indonesia yang dulunya rajin
dan prestisius dalam menguasai dan menyikapi lingkungan alam
sebagaimana masyarakat modern. Meski mereka masih hidup dalam
sistem ekonomi yang tradisional, namun beberapa generasi terakhir
menampakkan penurunan produktivitas dan kinerja; cenderung malas.
Pertanyaannya, mengapa penurunan etos kerja dan produktivitas ini bisa
terjadi?
Demikian juga Immanuel Wallersten (dalam Hatu, 2013), tata
ekonomi kapitalis tidak bisa dijelaskan dengan kedua perspektif di atas.
Faktanya, negara-negara di Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan,
Hong Kong, Malaysia, dan Singapura mampu mencapai pertumbuhan
ekonomi tinggi tanpa mengaplikasikan teori modernisasi sebagaimana
dipropagandakan Amerika, maupun mengalami ketergantungan
sebagaimana diusulkan teori dependensi. Menurut Wallersten (dalam
Hatu, 2013), dunia awalnya dikuasai kekuatan lokal dengan sistemnya
masing-masing, lalu kekuatan ini saling menjalin hubungan walau masih
terpisahkan lokalitas, dan kemudian terjadi penggabungan sistem melaui
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 199
penaklukan. Atas dasar asumsi itulah kemudian Wallersten menawarkan
teori Sistem Dunia (World Empire).
Wallersten tidak sepakat dengan pendekatan dependensi yang
melihat dalam ketergantungan yang terjadi, hanya ada dua jenis negara,
yaitu negara pusat (metro) dan negara pinggiran (satelit). Itulah mengapa
dia mengajukan tiga klasifikasi negara sebagaimana dikenal teori Sistem
Dunia (World Empire). Tiga klasifikasi tersebut adalah; 1) negara pusat,
2) negara pusat pinggiran, dan 3) negara pinggiran. Mekanisme kerja
yang berlaku adalah negara pusat mengambil keuntungan dari negara
pusat-pinggiran, sedangkan negara pusat-pinggiran mengambil
keuntungan dari negara pinggiran. World Empire inilah yang sekarang
mengendalikan sistem ekonomi-politik negara-negara di dunia dengan
mengambil keuntungan dari negara di strata bawahnya, meski tidak
secara yuridis.
Setiap negara dalam bingkai teori World Empire, tidak dapat
berdiri sendiri, dan setiap kasta akan mengalami peningkatan
kemakmuran yang lebih baik. Menurut Wallersten (dalam Hatu, 2013),
ada tiga strategi sebuah negara menaikkan kastanya, yang mana bila
dicermati, memiliki corak yang hampir mirip dengan solusi teori
dependensi, yaitu kemandirian. Tiga strategi tersebut meliputi:
1) berani merebut kesempatan untuk berspekulasi melakukan
industrialisasi substitusi impor negara pinggiran. Jika ini berhasil,
maka dia cukup punya “ancang-ancang” untuk tak bergantung pada
negara pusat dalam hal pasokan barang-barang baku industri di
dalam negerinya sendiri.
2) Menarik investasi perusahaan luar negeri untuk mendirikan
perusahaan multinasional dan menggandeng pengusaha lokal. Di
sini, peran negara sangat vital karena mampu melakukan koordinasi
dan memberi perlindungan terhadap usaha kecil domestik yang pada
umumnya memiliki modal tenaga ahli dan wilayah pemasaran
produksi terbatas. Di samping itu, jenis industri domestik skala
internasional jelas perlu dana yang tidak sedikit karena ia akan
bersaing dengan produk unggulan negara maju yang memiliki
pangsa pasar yang jelas dan kualitas yang teruji. Itulah mengapa
peran institusi negara amat penting, sebab hanya negara yang
200 | Miftakhuddin
mampu mengawal sebagai institusi politik tertinggi dalam suatu
kawasan.
3) Negara menjalankan kebijakan internal untuk memandirikan
perekonomian negaranya sendiri dan terbebas dari dominasi negara
pusat. Ini diwujudkan dengan politik dumping atau proteksi atas
produk industri dalam negeri yang membanjiri pasar dalam negeri.
Selain itu pemerintahan negara pinggiran harus mempersiapkan
tenaga ahli dalam negeri, karena pada saatnya nanti dapat
mengembangkan teknologi industri domestik. Hasilnya tentu
industri dalam negeri dapat bersaing di pasar global. Survive-nya
industri domestik merupakan pertanda baik bahwa pendapatan
nasional mengalami surplus pertumbuhan ekonomi, dan surplus
pertumbuhan ekonomi dapat membawa kesejahteraan dan
kemakmuran.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 201
A. Penyebab
Sejak awal terbentuknya koloni, pergeseran paradigma
kolonialisme telah terjadi. Masyarakat Yunani yang merasa tak puas
dengan perolehan hasil alam di polisnya berusaha mendapatkannya di
luar polis yang tak berpenghuni. Sehingga terjadilah pemisahan diri dari
polis, namun tetap terjalin sistem ekonomi politik dengan kampung.
Mereka berpisah secara sosial, tapi secara politis mereka tidak
membuang statusnya sebagai bagian dari satuan politik tempat asalnya
(mother land). Perantauan petani itu disebut colonus, yang artinya
pemukiman. Inilah bentuk terawal koloni manusia, di mana koloni
berdiri untuk mendapat hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga dan polisnya.
Pola pemenuhan kebutuhan hidup ini kemudian ditiru bangsa
lain, dan berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika terjadi peningkatan
kebutuhan (terutama hasil tambang), keinginan menyebarkan agama,
kepadatan penduduk, kriminalitas dan lain sebagainya dilakukanlah
kolonisasi dengan berbagai motif. Sayangnya, wilayah yang koloni
bukan hanya wilayah kosong, tapi melingkupi yang berpenghuni, maka
terjadilah perebutan dominasi dan kedaulatan. Hubungan pemenang
dengan yang kalah akhirnya menjadi hubungan penjajah dan terjajah,
dan tanah tersebut menjadi tanah jajahan. Sebagaimana Loomba (2003),
hubungan pendatang baru dengan penduduk asli pasti menimbulkan
beberapa masalah relasional yang kompleks dan traumatik.
Permasalahan kolonial seperti ini dikemukakan sebagai “pembentukan
sebuah komunitas” di daerah jajahan.
Bagi Yunani saja, ada sedikitnya dua alasan pokok mengapa
kolonisasi itu perlu. Pertama, kepadatan penduduk/kurangnya ruang
publik yang menimbulkan masalah-masalah sosial. Ketidakseimbangan
kuantitas penduduk dengan ruang hidup dan lahan pertanian memicu
masalah kesejahteraan pangan, kemiskinan, dan lainnya, sehingga
202 | Miftakhuddin
masyarakat terpaksa berkoloni ke luar polis. Kedua, perselisihan antar
polis. Persoalan politik yang berujung pertentangan/peperangan
membuat pihak yang kalah harus mencari suaka baru untuk
penyelamatan diri51. Beberapa literatur ada yang menyatakan terdapat
alasan ketiga, yakni jiwa petualang masyarakat Yunani yang tumbuh
karena kerasnya kondisi alam Yunani. Tapi jika dipertimbangkan, itu
tidak berbeda dengan alasan pertama.
Penyebab pergeseran kolonialisme amat kompleks dan tumpangtindih, di mana jika diklasifikasikan akan menjadi tiga kategori utama,
yakni; sebab ideal, sebab sosial, dan sebab material. Sebab ideal
merupakan sebab yang bersumber dari munculnya gagasan atau ide-ide
tertentu, seperti; agama, ideologi dan paham-paham politik baru. Sebab
sosial adalah sebab yang bersumber dari problem-problem sosial
kemasyarakatan. Sebab material adalah sebab yang bersumber dan
berkaitan dengan materi, bisa berupa harta benda maupun teknologi.
Sebab ideal, tercermin dari kasus masuknya koloni militan
kristen ortodhoks ke imperium Romawi untuk menyebarkan agama,
yang mana kemudian menjadi salah satu sebab keruntuhan Romawi, di
samping gempuran bangsa barbar (jermanik) dan sistem pergantian
kaisar yang tidak jelas. Saat Konstitianus sebagai kaisar pertama
pemeluk kristen menjadikan agamanya sebagai agama kerajaan, gereja
kristen menjadi organisasi terkuat yang bisa menghimpun 10%
penduduk. Pembangunan gereja di berbagai tempat dan militansi
pastor/pendeta membuat masyarakat hanya berpikir soal akhirat
sehingga mengabaikan urusan duniawi (materi). Lunturnya sifat
materialis ini secara masif menghentikan roda perekonomian. Mereka
tidak lagi patuh pada kewajiban membayar pajak, wajib militer, dan
lainnya. Alhasil, terjadilah inflasi besar-besaran di seluruh Romawi.
Ketika memasuki era penjelajahan, sebab ideal ini semakin jelas
dengan Gold, Glory dan Gospel sebagai platform dilakukannya
kolonisasi bangsa Spanyol. Sebagaimana surat wasiat terakhir Ratu
Isabella, (dalam Ahmat, 2006):
51
Bila ini dihadapkan pada ungkapan Loomba di atas, maka ada dua opsi yang harus diambil
pihak yang kalah, yakni menjadi rakyat terjajah atau menjadi manusia merdeka dengan
bermigrasi.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 203
...Tujuan utama negara kita adalah senantiasa untuk
menukarkan agama penduduk-penduduk pulau-pulau
Hindia dan Terra Firma kepada agama suci kita dan
menghantar mereka biskop-biskop, mubaligh dan orang
terpelajar yang lain untuk mengajar, mendidik dan
melatih mereka supaya bertata-tertib...
Di samping agama, kehadiran kapitalisme dan imperialisme
untuk memperluas kerajaan juga termasuk sebab ideal pergeseran
paradigma kolonialisme. Ini terlihat jelas dari usaha Britania Raya dan
Prancis yang berlomba-lomba memperluas kekuasaannya sampai ke
Asia dan hampir seluruh Eropa. Faktor politik ini turut berkontribusi
dalam menggeser paradigma kolonialisme yang telah mapan ke arah
dominasi teritorial kerajaan lain. Rohman (2009), turut memperjelas
asumsi ini dengan berangkat dari argumen Ania Loomba, bahwa
Kolonialisme
menggerakkan
roda
kapitalisme.
Kapitalisme berpuncak pada imperialisme, demikian
Lenin dan Kautsky memberikan makna baru pada
imperialisme, yang termaktub dalam Imperialism, the
highest stage of capitalism (1947). Kapitalisme inilah
yang kemudian membedakan antara kolonialisme dan
imperialisme.
Inilah yang tadi disebut-sebut sebagai penyebab pergeseran yang
tumpang-tindih. Kolonialisme ialah paham untuk memperkuat
kapitalisme, di samping itu kapitalisme juga fondasi melakukan
kolonialisme. Artinya terdapat sebab ideal (sebab politik) juga
merupakan sebab material. Begitu juga sebaliknya. Sebab ideal berupa
munculnya paham politik baru inilah yang memberi efek paling besar
dan masif di seluruh dunia, ketimbang sebab sosial dan sebab material.
Apalagi saat di mana Britania Raya dan Prancis mendominasi Asia.
Ketika pemikir Barat mulai memperkenalkan dan menyebarkan
paham nasionalisme, paham nasionalisme menjadi landasan utama
negara-negara terjajah memperjuangkan emansipasi, hak milik dan hak
kelola atas tanah airnya masing-masing. Banyak negara-negara di Asia,
Amerika Latin dan Afrika kemudian memerdekakan diri. Setelah
negara-negara di dunia dengan segala kepentingannya membentuk
204 | Miftakhuddin
koalisi dan berseteru hingga berpuncak pada Perang Dunia dan Perang
Dingin, PBB yang saat itu menjadi organisasi internasional paling
berwenang mengatur dunia baru agar tak terjadi lagi kolonialisme.
Namun demikian, itu bukanlah akhir dari kolonialisme di dunia.
PBB sebagai organisasi yang mengawasi perdamaian hanya
menyelesaikan persoalan kasat mata (kolonialisme fisik). Padahal di era
perdamaian, faktor politik telah mentranformasi kolonialisme dan
imperialisme menjadi neokolonialisme dan neoimperialisme. Artinya,
apa yang disebut sebagai sebab ideal merupakan penyebab paling masif
dan terstruktur bahkan sampai sekarang.
Sebab sosial, dapat dibuktikan dengan mengamati kolonialisme
penduduk, kolonialisme deportasi, dan kolonialisme transmigrasi
sebagaimana penulis ulas dalam bab sebelumnya. Sebab sosial, menjadi
suatu alasan nyata terjadinya mengapa paradigma kolonialisme bergeser,
meski sementara (kontemporer). Sebab sosial telah muncul sejak Yunani
menemui persoalan demografi berupa kurangnya ruang publik. Tidak
seimbangnya kuantitas penduduk dengan luas lahan di suatu polis
menyebabkan berbagai persoalan sosial seperti kriminalitas,
kesejahteraan pangan, kemiskinan, dll. Akhirnya masyarakat polis
Yunani melakukan kolonisasi transmigrasi.
Persoalan sosial lain penyebab perubahan cara pandang
kolonialisme bisa dilihat pula dalam sejarah Inggris yang mendeportasi
rakyatnya ke Australia, Prancis yang mendeportasi narapidananya ke
kepulauan di Pasifik, dan kerajaan Bali yang memenjarakan rakyatnya
ke Pulo Rossa (Nusa Penida) karena dianggap menentang raja
(Dorléans, 2016). Begitu juga dengan persoalan sosial yang bersumber
dari invasi bangsa asing, seperti dilakukan suku Indian saat kedatangan
Columbus dan bangsa Spanyol lainnya, dan suku Aborigin yang
kedatangan narapidana Inggris di Australia. Mereka sebagai suku asli
yang merasa tertekan pada akhirnya harus tersingkir dan mendirikan
koloni.
Bila dilihat dari sudut pandang pengkoloni barangkali ini
menjadi sebab politik, namun dari sudut pandang pribumi, kolonial ini
terjadi karena sebab sosial. Sementara, cara pandang kolonialisme kala
itu hanya berlaku terbatas pada etnis dan masyarakat tertentu. Sejenak
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 205
kolonialisme dipahami sebagai suatu paham pendirian koloni atas
adanya invasi, dengan maksud menghindari penjajahan atau eksploitasi
SDM. Namun pada perkembangannya, tidak lagi demikian. Ketika
koloni sudah terbentuk karena disebabkan oleh suatu ideologi (sebab
ideal), dan sudah pula disebabkan persoalan sosial (sebab sosial), maka
penyebab yang mengubah lagi paradigma kolonialisme adalah sebab
material.
Sebab material menjadi sebab yang paling nyata hingga
siapapun bisa melihatnya. Dahulu bangsa Yunani berkoloni di tanah tak
bertuan, namun kemudian sistem itu ditinggalkan karena dianggap tak
lagi menguntungkan. Maka dilakukanlah kolonisasi di tanah
berpenghuni, dengan ekspektasi kebutuhan yang sebelumnya tak
terpenuhi menjadi terpenuhi melalui sistem baru. Praktis, ketika
kebutuhan baru tidak terpenuhi dengan sistem baru, maka sistem itu
ditinggalkan dengan mencari metode pemenuhan lain, yaitu transaksi
perdagangan.
Pola perubahan paradigma yang demikian berlaku seterusnya,
sebagaimana Harsono (2006), secara teoritik perubahan paradigma
terjadi atas dorongan hasil analisis mutakhir yang menunjukkan sistem
yang dianut tidak lagi memberi hasil yang memuaskan. Perubahan
paradigma membawa perubahan mindset, dan perubahan mindset
membawa implikasi operasional sejalan dengan tujuan yang akan
dicapai melalui perubahan paradigma. Terbukti berabad-abad
setelahnya, sejak berakhirnya Perang Salib atau keruntuhan Romawi
tahun 1453, banyak pelabuhan dagang di Barat ditutup, termasuk
Lisabon yang saat itu merupakan pelabuhan paling vital bagi kehidupan
Barat. Akhirnya dengan hasrat membalas kekalahan Perang Salib,
mencari sumber rempah yang selama ini diperdagangkan di Lisabon,
dan merebut daerah islam, maka Portugis dan Spanyol menyepakati
perjanjian Tordesillas atas restu paus. Perjanjian itu membagi dunia
dibagi menjadi dua; sebagian milik Portugis dan sisanya milik Spanyol.
Keduanya berhak melakukan kolonisasi sesuai pembagian tersebut.
Bila dicermati, ketiga motivasi itu telah mewakili sebab ideal dan
sebab material. Sebab material tentu bisa langsung merujuk pada alasan
pencarian rempah yang senilai emas itu, tapi faktor pendukung yang
206 | Miftakhuddin
juga merupakan sebab material ialah hadirnya piranti-piranti pendukung
seperti ditemukannya kompas, bubuk mesiu, mesin cetak, dan produk
renaissance lainnya.
B. Periodisasi
Perjumpaan historis dunia Barat dan Timur sudah sangat lama
terjadi. Tapi titik perjumpaan paling masif terjadi melalui serangkaian
Perang Salib. Sebenarnya, itu sekadar perang antara kerajaan-kerajaan
Kristen Eropa melawan negeri-negeri Islam untuk memperebutkan
dominasi di Palestina. Kendatipun demikian, perang ini menjadi
kulminasi dari sekian pra-anggapan yang diwariskan keduanya, seperti
anggapan tentang Kristen dan anggapan tentang Islam. Dampak perangperang ini menciptakan relasi dan persepsi khas yang diwariskan pada
era sesudahnya, terutama ketika pedagang Eropa muncul di perairan
Asia Tenggara dan berjumpa dengan pedagang-pedagang Muslim.
Sekitar abad lima belas dan selanjutnya, berkembang pula kotakota pelabuhan dagang di Eropa, seperti; Venesia dan Genoa yang
mengembangkan perdagangan ke Laut Mediterania. Karena pedagang
muslim di sana tergeser oleh aktivitas pedagang Eropa, pedagang
muslim mulai berdagang ke Asia. Kota-kota seperti Venesia dan Genoa
inilah yang mendobrak pola-pola tradisonal dan menjadi landasan
dimulainya Abad Penjelajahan bangsa Eropa. Mereka tak lagi
membatasi diri pada perdagangan di Laut Mediterania, melainkan
mencari jalan masuk untuk sampai ke dunia Timur yang dipercayai
sebagai sumber kekayaan Eropa. Kekuatan politik Eropa kemudian
menggantikan para pedagang setelah secara massal Eropa menemukan
dunia Timur. Demikianlah kolonialisme berkembang dari motif ekonomi
politik yang terbatas, menjadi proyek peradaban untuk menguasai dunia
Timur. Proyek ini berhasil terutama sejak abad 19 dan tahun 1914. Tak
kurang dari 85% wilayah di dunia ini dikendalikan bangsa Eropa.
Di luar itu, ironisnya sumber kekayaan tersebut sebagian malah
dipakai membiayai peperangan panjang antar bangsa (Perang Dunia I
dan Perang Dunia II). Untungnya seusai perang disepakati dibentuknya
organisasi dunia (United Nations) untuk menjaga perdamaian.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 207
Celakanya, organisasi itu sering ditunggangi suatu elit untuk
menjalankan kepentingan negaranya (neokolonialisme). Bertolak dari
pembahasan ini, teranglah pola pergeseran paradigma dalam pendirian
koloni selalu dinamis. Entah kolonisasi macam apa lagi yang nanti akan
hadir sebagai pengganti ketika tren hegemoni untuk mengendalikan
hukum (kebijakan) dan kebudayaan suatu negara tidak lagi populer.
Namun yang jelas, pola ini akan tetap ada seirama dinamika kerangka
pikir manusia yang senantiasa berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
dirinya sebagai individu, maupun kebutuhan rakyatnya sebagai bangsa
yang berkewajiban mengabdikan diri.
Pergeseran-pergeseran di atas, secara periodik dapat dirunut
menjadi; 1) koloni pertanian menuju koloni perdagangan. 2) koloni
perdagangan menuju koloni politik. 3) koloni politik menuju koloni
ekonomi-politis. 4) koloni ekonomi-politis menuju neokolonialisme
(hegemoni).
1) Koloni pertanian menuju koloni perdagangan
Satu-satunya sebab colonus berdiri ialah kualitas tanah di polis
tergolong kurang baik (Sudrajat, 2010). Apa yang bisa ditanam hanyalah
anggur, zaitun, gandum, dan tanaman semi tropis lainnya (Sumobroto,
1989). Ditambah lagi berbagai persoalan demografi, sosial, dan lainnya.
Kondisi inilah yang menuntut kolonisasi dan hubungan dagang dengan
Mesir, Persia, dan bangsa lain di Laut Tengah. Melalui perdaganganlah
polis Yunani mendapat kebutuhannya, seperti peralatan logam, kain
sutera, dan lain-lain. Tapi yang perlu diperhatikan, proses perdagangan
tidak sekadar datang, jual beli lalu pergi. Mereka (termasuk pedagang
bukan Yunani) mendirikan camp-camp perdagangan di sekitar Laut
Tengah untuk mempermudah akses, distribusi dan mobilisasi
perdagangan berikutnya, dengan harapan melalui peningkatan efektivitas
dan efisiensi ini, meningkat pula kesejahteraan masyarakat polisnya.
Fase ini menandai kolonisasi pertanian telah berubah menjadi
kolonisasi perdagangan. Koloni yang semula bermakna pemukiman
petani yang desain menghasilkan produk pertanian, berubah menjadi
pangkalan dagang yang didesain memperoleh barang-barang ekonomis.
Fase ini juga menunjukkan substansi pokok kolonisasi adalah eksploitasi
208 | Miftakhuddin
dan pembangunan. Hal ini ditampakkan oleh aktivitas para colonus yang
berkembang secara sporadis dan senantiasa memberdayakan dan
memeras alam untuk membangun masyarakatnya. Adanya fakta ini
sekaligus sebagai indikasi hadirnya bibit imperialisme dalam
pemerintahan. Perebutan wilayah strategis selalu diupayakan dalam
kerangka perluasan teritorial kekuasaan. Kemenangan polis Athena
melawan Persia misalnya, yang mana kemudian berlanjut dengan Liga
Delia. Begitu juga dengan terbentuknya Liga Peloponessos sebagai
perwujudan unifikasi penaklukan polis Sparta terhadap polis-polis
lainnya.
2) Koloni perdagangan menuju koloni politik
Pengembangan koloni dengan semangat imperialisme telah
mengganti ruh koloni perdagangan menjadi ruh koloni kerajaan
(imperial). Celakanya, koloni bangsa Yunani terhenti saat berjumpa
dengan koloni bangsa Romawi yang justru tak bisa dikuasai olehnya.
Malahan bangsa Romawi yang melakukan penaklukan atas Yunani dan
membuatnya menjadi bagian dari imperium Romawi. Asumsi dasar yang
dirumuskan secara umum, dengan anggapan kalau pengkoloni punya
peradaban yang lebih unggul dan mampu memberikan duplikasi kepada
berbagai aspek kehidupan bangsa yang dikoloni pun agaknya tidak
berlaku dalam hubungan kolonial Yunani-Romawi.
Hubungan kolonial Yunani-Romawi tampaknya mematahkan
asumsi tersebut. Sebab faktanya, berbagai aspek kehidupan Romawi
justru terpengaruh Yunani, seperti aspek kesenian dan kepercayaan
misalnya. Seni arsitektur, seni lukis dan kepercayaan politeistik terhadap
para dewa adalah bentuk duplikasi Romawi kepada Yunani. Di lain
perkataan, kebudayaan dan kesenian Romawi merupakan hasil
sinkretisme antara kebudayaan dan kesenian milik Yunani dengan milik
Romawi. Pola ini persis dengan agama Hindhu yang juga merupakan
hasil sinkretisme agama bangsa Dravida dengan kebudayaan bangsa
Arya di lembah sungai Indus, ketika bangsa Arya menginvasi kota
Harappa dan Mohenjo Daro (Us-Samad, 1990).
Berkat kemenangan Romawi dalam mengkoloni Yunani, sayap
kekuasaan Romawi melebarkan melebar hingga menguasai kerajaan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 209
tetangga dengan metode devide et impera untuk memecah belah dan
mempersatukannya kembali di bawah satu atap pemerintahan. Kerajaankerajaan yang baru dikuasianya tadi otomatis menjadi negara vassal bagi
Romawi, di mana terdapat pendelegasian kekuasaan politik di situ.
Segala keputusan politik dan kebijakan publik di sana harus mendapat
persetujuan kaisar Romawi, melalui wakil kaisar di sana. Demikian
maka terbentuklah Romawi menjadi sebuah imperium besar, mirip
dengan sistem pemerintahan Majapahit yang pernah berjaya di Asia
Tenggara.
Sampai fase ini koloni perdagangan telah bergeser menjadi
koloni politis. Lihat saja bagaimana kaisar Romawi mendelegasikan
kekuasaan politiknya kepada setiap kerajaan vassal. Setiap perwakilan
dan perangkat birokrasi yang menyertainya secara konsepsional adalah
merupakan koloni Romawi, meski secara yuridis merupakan satu
kesatuan. Sistem ini makin berjalan baik ketika Romawi diperintah
kaisar Justinianus dengan menyempurnakan hukum-hukum yang
berlaku, dan mulai runtuh saat ada invasi kaum barbar (Arya) dan
masuknya kristen ortodhoks hingga diresmikannya agama itu menjadi
agama kerajaan pada masa pemerintahan kaisar Konstitianus.
Koloni politik pun pada gilirannya “mati suri” ketika zaman
memasuki Abad Pertengahan atau Zaman Kegelapan (Dark Age). Zaman
ini adalah masa di mana pemerintahan Romawi yang membentang
hampir seluruh Eropa dikuasai otokrasi gereja. Pemerintahan
ditunggangi majelis gereja. Adapun kaisar hanya bersifat simbolik dalam
pelantikan pejabat kerajaan. Segala penemuan sains dianggap ilmu sihir,
bentuk pengkhianatan Tuhan dan melenceng dari wahyu-wahyu Tuhan.
Ketika ilmuwan sains dihukum dan dieksekusi karena dianggap murtad,
filsuf materialis turut benar-benar sirna. Hanya filsuf teologi kekristenan
saja yang diakui kebenarannya, karena proses pendidikan yang
disampaikannya didasarkan pada Alkitab.
3) Koloni politik menuju koloni ekonomi-politis
Koloni politik menuju ekonomi-politis terjadi ketika masa suram
Abad Pertengahan mengalami titik balik, yakni saat kerajaan Islam
mulai menguasai kerajaan-kerajaan vassal Romawi. Sedikit demi sedikit
210 | Miftakhuddin
penguasaan dilakukan tentara islam, ditambah dengan serbuan dari
bangsa barbar membuat Romawi terdesak dan terpaksa memecah
Romawi menjadi dua; Romawi Barat beribukota di Milan, dan Romawi
Timur beribukota di Byzantium (Konstantinopel). Senggang beberapa
waktu pasca keruntuhan Romawi Barat karena invasi militer dan inflasi
yang tak terkontrol, hanya tinggal Romawi Timur yang masih bertahan
dengan otokrasi gereja yang kuat. Namun desakkan tentara islam yang
telah menguasai Turki, Jerussalem dan Suriah pada akhirnya memicu
Perang Salib (the crusades) yang berlangsung hampir dua abad lamanya.
Kemenangan islam yang ditandai jatuhnya Konstantinopel ke
tangan Turki (Arab) menandai berakhirnya Romawi Timur dan menjadi
timing titik balik Abad Pertengahan menuju Abad Pencerahan
(renaissance). Revolusi Protestan sebagai bentuk perlawanan terhadap
doktrin gereja dan penemuan sains sebagai bentuk bangkitnya filsafat
materialistik menjadikan renaissance lebih bermakna. Ada tiga
penemuan penting yang membuat renaissance semakin cepat, yakni;
mesiu, seni cetak dan kompas (Saifullah, 2014).
Penemuan mesiu menandakan runtuhnya kekuasaan feodal,
karena hak menggunakan senjata tidak lagi terbatas pada kaum borjuis,
melainkan telah terbuka untuk kaum proletar. Seni cetak melambangkan
suatu pengetahuan tidak lagi menjadi milik eksklusif elit tertentu.
Sementara kompas berarti navigasi telah menjadi hak semua orang dan
memungkinkan orang Eropa memperluas horizon Barat ke dunia baru
(new world). Penemuan kompas ini kemudian memicu penjelajahanpenjelajahan seperti; penjelajahan Vasco da Gama dan Marco Polo. Di
waktu yang bersamaan, islam yang telah menguasai bekas-bekas
kekuasaan Romawi, melarang orang Eropa berdagang di beberapa
pelabuhan sentral.
Kondisi tak menguntungkan dan disepakatinya perjanjian
Tordesillas membuat bangsa Eropa (Portugis dan Spanyol) mulai
melakukan penjelajahan dengan misi menemukan lokasi sumber
kebutuhan pokok (cengkeh, merica, lada, dan rempah lainnya), sesuai
diinformasikan para pedagang yang mengungsi dari Perang Salib di
Spanyol dan Portugis, dan karena perjanjian Tordesillas disepakati atas
restu paus serta dalam rangka pembalasan kepada negara islam, maka
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 211
motif penjelajahan pun sengaja dirasuki semangat reconquesta
(penaklukan kembali), dengan maksud merebut kembali daerah-daerah
yang direbut muslim dan mengganti agama islam menjadi agama Kristen
Ortodhoks. Itulah mengapa di daerah bekas jajahan Portugis dan
Spanyol, agama pribuminya berubah menjadi Katholik, terutama bekas
jajahan Spanyol yang mempunyai mubaligh dengan militansi yang kuat.
Era penjelajahan inilah starter dimulainya era kolonisasi
(imperialisme), era perdagangan global, dan era bajak laut. Inilah yang
dimaksud sejarawan sebagai Era of Great Voyage. Sebab dari era
penjelajahan ini banyak dilakukan pelayaran dan penemuan daerahdaerah baru untuk dijadikan koloni, seperti; penemuan Amerika oleh
Columbus, penemuan Australia dan New Zealand oleh James Cook,
penemuan Brazil oleh Pedro Alvares Cabral, penemuan Tanjung
Harapan di pantai barat Afrika oleh Bartholomew Diaz, dan penemuanpenemuan lain oleh para penjelajah yang pada akhirnya membuat para
penemu itu membawa masyarakat negaranya mendirikan koloni di pulau
itu, baik berupa koloni kependudukan (transmigrasi) maupun koloni
perdagangan (pangkalan/kongsi).
Penemuan Amerika misalnya. Sepulangnya Columbus ke
Spanyol membawa berita adanya benua besar nan luas, bangsa Spanyol
lalu berkoloni di Amerika pada abad ke 15 dan 16. Kedatangan mereka
pun membuat suku Indian terjajah dan tersingkir. Begitu juga penemuan
Cabral atas Brazil pada 1500 dan pendaratan Vasco da Gama di Calicut
(Calcutta), India. Pencapaian ini membuat Portugis merintis koloninya
di Amerika Selatan (Brazil) dan India, dengan cara menyerang dan
menaklukkan penguasa dan pedagang lokal. Apalagi saat didirikan
tambang emas dan berlian di Brazil, seluruh Amerika menjadi demam
emas sehingga terjadi peningkatan jumlah koloni yang signifikan.
Ketika Portugis dan Spanyol bertemu kerajaan-kerajaan Hindhu,
Buddha dan Islam di Asia Tenggara dan menjalin hubungan permulaan,
mereka berhasil membawa serta rempah sebagai hadiah dari raja lokal
untuk dibawa pulang. Berita itu lantas menyebar dan membuat bangsa
Eropa lain seperti Inggris, Belanda dan Prancis mengikuti jejaknya.
Mereka mendirikan kongsi dagang untuk mengkonsentrasikan
pedagang-pedagang swasta menjadi suatu kongsi dagang nasional.
212 | Miftakhuddin
Inggris mendirikan East India Trading Company (EIC) pada 1600.
Kemudian disusul Belanda dengan Verenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) pada 1602, dan Prancis dengan French East India Company pada
1604.
Kongsi dagang tersebut pada gilirannya saling memperebutkan
daerah koloni di Amerika. Inggris, Belanda dan Prancis hanya bisa
memperebutkan Amerika Utara untuk mendirikan koloni. Sebab
Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Brazil telah dikuasai Spanyol
dan Portugis. Prancis mendirikan koloni di Kanada sejak awal abad 16,
yang maju berkat ekspor ikan, gula dan bulu domba. Awal abad 17,
tepatnya tahun 1632, Prancis mendirikan koloni lagi di Maryland
(sekarang Washington D.C) yang kemudian diambil alih Inggris yang
sebelumnya telah maju berkat kongsi dagang Inggris, Virginia Bay
Company, memperoleh banyak laba dari perdagangan tembakau untuk
produksi rokok. Sementara Belanda mendirikan koloni (pos dagang
VOC) di Niew Amsterdam (sekarang New York) pada 1624, namun
tidak bertahan lama karena perebutan.
Sampai fase ini, kolonisasi telah berubah dari koloni politik
(feodalis-imperial Romawi) menjadi koloni ekonomi-politis, yang
tercermin dari aktivitas perdagangan global dan pendelegasian
kekuasaan politik di tanah jajahan dengan mekanisme yang lebih baik
dan terstruktur secara masif. Ada sedikitnya dua hal yang mencirikan
fase ini; Pertama, ditemukannya Dunia Baru (new world) untuk
melakukan eksploitasi, penjajahan dan pembangunan. Kedua, masa
kejayaan kongsi-kongsi dagang bangsa Eropa. Celakanya, ditemukannya
Dunia Baru dan pesatnya perkembangan kongsi dagang Eropa membuat
eksploitasi, penjajahan dan pembangunan berjalan seirama.
Apa yang dilakukan Spanyol terhadap Amerika, dan Portugis
terhadap Brazil, sama juga dengan para penemu lain, yaitu eksploitasi,
penjajahan dan pembangunan. Hanya saja permulaan dari itu semua
berbeda-beda. Ada yang menjadikannya sebagai koloni deportasi
sebagaimana Inggris terhadap Australia, ada yang menjadikannya koloni
transmigrasi sebagaimana Spanyol terhadap Amerika, bahkan ada juga
yang langsung menjadikannya sebagai koloni perdagangan sebagaimana
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 213
Belanda terhadap Nusantara, dan Inggris terhadap Hong Kong dan
Singapore pada awal abad ke 19.
Inggris waktu menemukan Australia, mula-mula menjadikannya
sebagai koloni deportasi, lalu menjadikannya koloni untuk mendulang
pemasukan ekonomis. Melalui pemberdayaan narapidana dengan
pemberian lahan garapan, sekaligus memberi akses kepada swasta
Inggris mendirikan pertambangan, membuat keuntungan Inggris
meningkat tajam dan menjadi kapitalis besar. Begitu juga yang
dilakukannya terhadap New Zealand. Inggris melakukan eksploitasi
dengan menjajah suku Maōri. Kendatipun suku Maōri melakukan
perlawanan, Inggris tetap bisa membodohi mereka melalui perjanjian
Waitangi.
Aksi Inggris di Australia dan New Zealand berbeda dengan aksi
yang dilakukan saat ia menduduki Singapore dan Hong Kong. Saat
menduduki Singapore, Inggris memang telah menjalin relasi dan
kesepahaman yang baik dengan Sultan Johor. Meski pada mulanya
diwarnai intrik, namun Inggris diwajibkan membayar pajak atas
keleluasaannya membangun kampung nelayan Tumasik menjadi basis
dagang paling produktif di Asia Tenggara.
Sedangkan pakta kesepahaman Inggris dengan Kaisar Tiongkok
soal Hong Kong, sedikit berbeda dengan kesepakatan yang dikukuhkan
antara Inggris-Johor soal Singapore. Mula-mula hubungan InggrisTiongkok tidak seharmonis dan seintim ketika dengan Sultan Johor. Di
Hong Kong harus terjadi Perang Opium terlebih dahulu untuk akhirnya
membuat kesepakatan yang sedikit dipaksakan agar memperoleh izin
membangun Hong Kong menjadi pelabuhan besar.
Masih soal transisi dan perubahan koloni politik (feodalisimperial) menjadi koloni ekonomi-politis pada Era of Great Voyage,
nampaknya Belanda -yang dalam hal ini diwakili VOC- melakukan
eksploitasi secara berlebihan dan serakah, ketimbang Inggris. Belanda
memusatkan perhatiannya di Jawa atas pulau-pulau besar lainnya di
Nusantara, dengan tujuan awal adalah berbisnis. Ini dimaksudkan untuk
mengangkat perekonomian Belanda yang saat itu tergolong miskin
dibanding bangsa Eropa lainnya. Namun apa yang terjadi berikutnya,
VOC melakukan penjajahan eksploitatif terhadap Indonesia selama
214 | Miftakhuddin
berabad-abad lamanya. Sontak, Belanda menjadi negara mendadak kaya
di Eropa dan mulai “diperhitungkan” oleh Eropa lainnya.
Bila dicermati, pembeda antara koloni perdagangan era
penjelajahan (Era of Great Voyage) dengan koloni perdagangan masa
Yunani di Laut Tengah, ialah terletak pada visi dan mekanisme
operasionalnya. Koloni perdagangan di Laut Tengah berdiri sebatas
untuk pangkalan dagang, tanpa penjajahan ataupun eksploitasi manusia
dan alam. Artinya pangkalan dagang berdiri semata-mata demi
kepentingan distribusi. Sementara koloni perdagangan era penjelajahan,
di samping untuk pangkalan dagang, juga untuk menjajah secara
eksploitatif. Pola ini jelas tampak sejak ditemukannya Amerika oleh
Columbus, Australia oleh Inggris, hingga pulau Jawa oleh Portugis dan
Belanda. Mereka selalu mendirikan pangkalan dagang dan
memperjualkan hasil penjajahannya ke pasar internasional.
Namun terlepas dari visi dan mekanisme operasional pengkoloni
di “rumah barunya” masing-masing, pada taraf kolonisasi ekonomipolitis ini terdapat tiga kecenderungan yang menonjol. Pertama,
kecenderungan untuk mengeksploitasi dan membangun. Kedua,
kecenderungan untuk mengeksploitasi tanpa membangun. Ketiga,
kecenderungan untuk mengekspansi kekuasaan.
Kecenderungan pertama, yaitu eksploitasi dan pembangunan.
Agaknya ini hanya terjadi pada penjajahan (kolonisasi) Inggris seorang.
Lihat saja kolonisasi Inggris di Amerika Utara. Kendati dalam pendirian
dan pengembangan koloninya melalui kongsi dagang Virginia Bay
Company banyak menuai protes dari para Indian, namun sepeninggal
Inggris wilayah itu menjadi maju berkat penambangan emas dan
perdagangan tembakau yang dibuka sejak masa pendudukan Inggris.
Kesalahan Inggris kala itu ialah penerapan pajak tinggi, sehingga
masyarakat Indian kurang sejahtera dan melakukan protes. Namun
perginya Virgina Bay Company bukan berarti kemerdekaan bagi Indian,
melainkan babak baru penguasaan langsung dari kerajaan Inggris.
Eksploitasi dan pembangunan kolonial Inggris juga ditampakkan
saat Inggris memberdayakan narapidananya di Australia dan New
Zealand, hingga pemberian kemerdekaan manakala mereka (narapidana)
terbukti mampu menunjukkan tren positif berupa kemandirian dalam
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 215
pengelolaan lingkungan dan mempersiapkan kebijakan publik untuk
mengatur masyarakatnya. Namun berbeda dengan Australia dan New
Zealand yang dibangun karena penemuan sendiri, Singapore dan Hong
Kong dibangun di atas kesepakatan antara Inggris dengan penguasa
setempat pada 1800-an. Artinya, Inggris -yang saat itu diwakili Rafflesmenyewa Singapore dan Hong Kong untuk menjadikannya basis
dagang.
Singapore, disulap dari perkampungan kecil kumuh menjadi kota
pelabuhan dan pusat bisnis internasional. Kepandaian Raffles dalam
menerapkan Raffles Town Plan mampu me-manage masyarakat
multietnik di sana untuk mengembangkan diri dan secara sinergis
mengembangkan usaha dagang. Konstitusi Raffles Town Plan juga
menentang perbudakan dan melarang penggunaan narkoba. Sebaliknya,
ia menggariskan agar fokus pada pendidikan dan toleransi atas
multikulturalisme. Saking longgarnya keleluasaan itu, sampai-sampai
Raffles mengizinkan penduduk lokal dan imigran memeluk agamanya
masing-masing, yang mana kebijakan ini amat kontras dengan di negeri
Britania.
Sedangkan Hong Kong, juga diuubah dari lahan gersang dan
tandus yang tidak produktif, dibangun menjadi pelabuhan dagang
sekaligus pangkalan militer untuk berpatroli mengawasi perdagangan
Inggris dengan Cina. Termasuk melindungi perdagangan Inggris dari
perompakan bajak laut. Di samping itu, perairan Hong Kong yang dalam
juga dimanfaatkan sebagai bengkel perbaikan kapal-kapal armada
Inggris seusai menjalankan misi, terutama misi militer.
Rupanya, baik Hong Kong maupun Singapore keduanya lebih
mendapat perhatian internasional selama dan sesudah masa kolonial
Inggris, ketimbang pada masa pendudukan penguasanya sendiri.
Kenyataannya, mereka justru merasa “ketagihan” untuk dijajah Inggris,
sebab dibawah “asuhan” Inggris mereka bisa maju dan berkembang.
Nasib baik bagi Singapore karena memperoleh kemerdekaan, lantaran
kesultanan Johor telah runtuh. Adapun Hong Kong nampaknya lebih
terkatung-katung, sebab Tiongkok masih tetap ada bahkan menguat
berkat pengaruh Uni Soviet di masa lalu (Perang Dingin).
216 | Miftakhuddin
Mengapa Hong Kong bisa demikian? Terhitung sejak 1997,
Inggris mengembalikan Hong Kong kepada pemerintah Tiongkok
karena habis kontrak. Pengembalian Hong Kong kepada Cina dalam
rupa ala Inggris yang dibarengi aset milyaran dollar memang disambut
suka cita oleh pemerintah Cina, namun tidak dengan masyarakat Hong
Kong yang ingin merdeka atau tetap menjadi bagian dari Inggris. Hal ini
pun dibuktikan pemberitaan media surat kabar online beberapa tahun
terakhir berisi unjuk rasa sebagian warga Hong Kong dengan tagline
penolakan atas penjajahan Cina dengan membawa-bawa bendera
Inggris.
Jajak pendapat Universitas Hong Kong menunjukkan, pada 2007
sebanyak 35,3 persen penduduk memilih merdeka ketimbang menjadi
daerah otonom khusus dari Cina, sedangkan sisanya memilih tetap
bertahan sebagai daerah otonom khusus. Angka tersebut mengalami
peningkatan daripada tahun 2005, yaitu 22%. Alasannya cukup
sederhana, yakni karena mereka tidak mau Hong Kong menjadi sosialis
(komunis). Mereka ingin hidup dengan sistem kapitalis sebagaimana
digariskan pemerintah kolonial Inggris.
Kecenderungan kedua, yaitu eksploitasi tanpa pembangunan.
Pemanfaatan dan pemerasan tanpa membangun ini terjadi semasa
kolonial Spanyol di Amerika dan kolonial Belanda di Nusantara. Masa
kolonial Spanyol di Amerika adalah titik pertama dimulainya era
kolonialisasi bangsa Eropa (tahun 1492 dibuka oleh Cristopher
Columbus). Oleh sebab itu, barangkali eksploitasi Spanyol pada masa ini
harus dimaklumi sebagai suatu usaha yang masih “primitif”, yaitu skema
perampasan hak Indian atas dasar niat memperkaya diri, tanpa ada
bayangan untuk membangun dan memberdayakan suku Indian dengan
lebih manusiawi.
Di sana bisa dilihat betapa serakahnya bangsa Spanyol dalam
mendirikan koloni di Amerika. Bahkan untuk bisa dikatakan sebagai
upaya menjalankan misi suci keagamaan (katholik) pun tampaknya
kurang memenuhi, lebih-lebih ketika Puritan Inggris mengungsi dan
mendirikan koloni di Amerika. Perkembangan koloni Puritan yang lebih
pesat kian memperlihatkan Spanyol dalam menyebarkan agama suci di
Amerika kurang berhasil ketimbang kaum Puritan dari Inggris.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 217
Itulah bentuk kolonisasi Spanyol di Amerika, dan barangkali
pengalaman kolonisasi yang inefisien dan jauh dari kata efektif itu
mendasari perubahan pendekatan dalam mengkoloni Filipina pada 1520.
Di Filipina, Spanyol mengambil hati pribumi dengan kegiatan-kegiatan
sosial, berupa; pembukaan badan amal di samping gereja dan biara,
pembangunan infrastruktur publik, dan pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan oleh beberapa ordo. Ordo Jesuit mendirikan sekolah bahasa
(sekarang Universitas Ateneo de Manila), dan Ordo Dominikan
mendirikan Universitas Santo Thomas.
Badan-badan pendidikan dan keagamaan itu dilindungi
pemerintah kolonial, sebab mereka turut mengkonsolidasikan kekuasaan
Spanyol di Filipina. Menurut Ricklefs (2013), gereja dan negara
disatukan untuk mengatur dan menyebarkan ajaran Kristen Ortodhoks.
Politik simbiosis mutualisme ini membuat gereja, biara, badan amal, dan
lembaga pendidikan secara sporadis menyebar di mana-mana, akibatnya
muncul desa-desa Katholik dengan sangat cepat. Penyebaran agamanya
pun tak lagi dipaksakan. Para padri menyesuaikan medium penyebaran
dengan kearifan lokal, seperti menerjemahkan Injil ke bahasa Tagalog,
untuk mempermudah penggunaannya bagi pribumi Filipina.
Sementara pemasukan ekonomis disiasati dengan memanfaatkan
hak penguasaan tanah yang diberikan penduduk kepada para padri,
sebagai wujud kepercayaan penduduk. Sebagai tuan feodal, para padri
memanipulasi harga dan mempekerjakan penduduk di tanah tersebut.
Tentu saja mereka juga punya kekuatan menekan, mengintimidasi,
memeras, dan memonopoli aktivitas rakyat Filipina. Sebagaimana
Ricklefs (2013);
Sejak 1589 bangsa Spanyol memungut upeti tahunan
kepada setiap pria dewasa yang berusia antara 18-60
tahun. Upeti ini tidak hanya dibayarkan dalam bentuk
mata uang tetapi juga tenaga kerja dan barang-barang.
Pajak tahunan ini dikumpulkan melalui raja atau
encomeinda (hibah) swasta yang dihadiahkan sebagai
penghargaan atas jasanya kepada raja.
218 | Miftakhuddin
Namun begitu, kendati selama penjajahan dibangun sekolah,
biara, dan badan-badan amal, tak lantas kolonial Spanyol termasuk
koloni yang membangun. Sebab konteks pembangunan untuk
melanggengkan kekuasaan mempunyai porsi lebih besar ketimbang
investasi SDM. Kalaupun iya, pembangunan yang nampaknya layak
diakui ialah pembangunan spiritual, karena Spanyol dapat sedikit
menggeser lokalitas kebudayaan dengan agama. Lebih-lebih pribumi
Filipina tetap berjuang mengusir Spanyol dengan bantuan Amerika.
Peninggalan fisik, seperti; gedung sekolah, gereja, jalan raya, dan lain
sebagainya tak ubahnya mempunyai sifat yang sama dengan
peninggalan Belanda di Nusantara, berupa rel kereta api, pabrik gula,
jembatan, jalan raya, bahkan sistem konstitusi/hukum. Pun juga kisah
epik perlawanan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tak jauh beda dari
sejarah perlawanan rakyat Filipina.
Kesamaan sifat yang dimaksud ialah lebih terfokus pada
pembangunan fisik struktural ketimbang pembangunan SDM
berkelanjutan. Bahkan politik etis Pemerintah Hindia Belanda pun juga
untuk kepentingan kolonial; Edukasi dimaksudkan agar pribumi lebih
terdidik untuk nantinya dipekerjakan di kantor-kantor Pemerintah;
Transmigrasi dimaksudkan untuk memeratakan tenaga kerja supaya
tidak terfokus di Jawa; dan Irigasi dimaksudkan untuk membuat
perkebunan lebih produktif.
Sejak kali pertama kedatangan Belanda di Banten oleh Cornelis
de Houtman pada 1596, Belanda sudah menunjukkan sikap tidak fair
dalam berniaga. Belanda hanya membeli rempah saat musim panen,
itupun melalui tengkulak Cina, bukan langsung dari petani Banten. Baru
kedatangan yang kedua oleh Jacob van Neck, Belanda sukses hingga
mencapai Maluku dan bersaing dengan Portugis. Di sinilah permulaan
kolonis ekonomi-politis. Persaingan dengan Portugis rupanya bersamaan
dengan Inggris, Prancis, dan Spanyol. Maka Belanda mendirikan VOC,
yang berkantor di Ambon, Banten dan Batavia (sekarang Jakarta).
Segala aktivitas kantor otomatis mewadahi pendelegasian kekuasaan
politik dari negeri Belanda kepada koloni. Mereka lalu diberi hak octroi,
yang meliputi; hak monopoli perdagangan, hak mencetak uang sendiri,
hak mengumumkan perang, dan hak membuat perjanjian dengan
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 219
penguasa lain atau para raja (Wiharyanto, 2007). Hak ini yang memberi
akses VOC dapat leluasa menjajah. Berkat perjanjian-perjanjian dengan
penguasa lokal, VOC dapat memperkuat pengaruhnya dan melakukan
penjajahan secara legal, sebab “direstui” raja lokal yang terikat
perjanjian.
Tampaknya, Nusantara adalah lokasi favorit Belanda. Sebab
meski Belanda menemukan Australia sebelum Inggris, mereka tidak
lantas gandrung akan Australia. Lebih-lebih Australia terlihat gersang
dan seolah tidak produktif. Barangkali itu juga alasan Belanda
meninggalkan koloninya di Amerika Utara yang direbut Inggris tanpa
perlawanan yang berarti. Saking condongnya Belanda terhadap
Nusantara, sampai-sampai tampak seperti negara kedua. Sebab segala
bentuk perubahan di Belanda berimplikasi langsung kepada Nusantara,
lebih-lebih sejak Belanda dikuasai Prancis.
Di bawah kepemimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte, VOC
dihapuskan pada 1799. Selain karena banyaknya korupsi dan katastropik
(catastrophic) dalam struktur keorganisasiannya, VOC dipandang tak
mampu menandingi Inggris. Maka Napoleon Bonaparte mengangkat
adiknya, Louis Napoleon, untuk menjadi raja Belanda, dan atas saran
Kaisar Napoleon Bonaparte, Louis Napoleon mengangkat Herman
Willem Daendels52 sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak
1808, dengan tugas utamanya mempertahankan Jawa dari ekspansi
Inggris. Daendels lalu memerintahkan (kerja rodi) untuk membangun
jalan sepanjang 1000 km dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa
Timur) guna mempermudah mobilitas pasukan Belanda dalam
menangkal tentara Inggris.
Ulasan tahap penguasaan Nusantara sejak VOC hingga Hindia
Belanda (Prancis) di atas, jelas bahwa kebijakan publik cenderung
5252
Daendels berkebangsaan Belanda. Ia pernah berada di Prancis dan menyaksikan langsung
Revolusi Prancis. Ia berpartisipasi dalam penyusunan UUD Belanda yang pertama. Ia bahkan
mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi dianggap kurang tanggap ketika terjadi
invasi Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland. Ia lalu mengundurkan diri dari militer sejak
1800. Tahun 1806 ia dipanggil Raja Louis untuk berbakti kembali sebagai tentara Belanda.
Mula-mula ia ditugasi mempertahankan Provinsi Friesland dan Groningen dari serangan
Prusia. Kesuksesannya membuat Kaisar Napoleon Bonaparte merekomendasikannya untuk
menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.
220 | Miftakhuddin
eksploitatif daripada edukatif. Tidak jauh beda dengan masa kolonial
Jepang pada Perang Dunia II, yang menjadikan pribumi sebagai tentara,
ketimbang petani dan pekebun. Kendatipun semasa pendudukan
Belanda, pribumi seperti; A.H Nasution, Gatot Soebroto, E. Kawilarang
dkk. menjadi pasukan het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger
(KNIL), tapi mayoritas penduduk lebih banyak dikonsentrasikan sebagai
petani dan pekebun. Sementara bila dibandingkan masa kolonial Jepang,
pemerintah lebih banyak mencetak pribumi sebagai pasukan militer dan
semi militer, seperti; Heiho, Seinendan, Keibodan, Fujinkai, Pembela
Tanah Air (PETA), Suishintai, Gakukotai, dan lain sebagainya. Tentu
saja keputusan Jepang melatih penduduk dalam kemiliteran karena
memburuknya Perang Dunia II.
Kecenderungan ketiga, yaitu ekspansi kekuasaan. Sebagaimana
diketahui, sampai fase ini paradigma kolonialisme telah bergeser untuk
ke sekian kali. Ekspansi kekuasaan pun pada gilirannya turut
memotivasi dinamika kolonialisme tersebut. Kecenderungan ini
diperlihatkan kolonialisme dan imperialisme Britania Raya dan Prancis.
Imperium Britania termasuk salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah
umat manusia, di samping Kekaisaran Mongolia, Kesultanan
Ustmaniyah (Ottoman Empire) dan Imperium Romawi. Bahkan luasnya
koloni Prancis tak sebanding. Daerah koloninya pada masa kejayaan
hampir mencapai 100 negara yang membentangi hampir seluruh bola
dunia. Oleh karenanya ada istilah khusus “di Inggris, matahari tak
pernah tenggelam”. Maksudnya, luas Britania membuatnya selalu
disinari matahari selama 24 jam, setidaknya satu sisinya saja. Berikut
adalah peta Britania Raya pada masa kejayaannya;
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 221
Gambar: Peta Kekuasaan Britania Raya
Sumber: wikimedia.org
222 | Miftakhuddin
Walau tak sebanding, tapi saingan terkuat bagi Britania ialah
Prancis, yang kala itu berjaya di bawah Napoleon Bonaparte. Persaingan
ini dapat diamati pada konflik-konflik antar keduanya dalam perebutan
wilayah di Afrika, Amerika dan Asia. Tetapi kekalahan Napoleon pada
1815 membuat Britania menjadi negara adikuasa. Armada laut yang tak
tertandingi juga membuatnya menobatkan diri sebagai polisi dunia, yang
kemudian terkenal sebagai Pax Britannica53. Namun begitu, dibalik
sepak terjang masa kolonial ekonomi-politis ternyata apa yang dikejar
ialah gengsi. Ada kepercayaan umum di Eropa, bahwa kewibawaan raja
ditentukan oleh seberapa luas kekuasaannya. Semakin luas wilayah
kekuasaan, semakin dihormati dan dipercaya keandalannya seseorang
sebagai raja.
Kejayaan Britania dalam menguasai seperlima dunia pada
gilirannya terdekolonisasi pasca Perang Dunia II. Meski termasuk
pemenang perang, namun kerugian perang membuat Britania terpuruk.
Bahkan, baru bisa diselamatkan atas pinjaman dari Amerika. Negaranegara vassal Britania mulai bergejolak seolah mengaung demi
kemerdekaannya, dan memaksa Inggris memberi kemerdekaan satu per
satu sebagai negara persemakmuran. Apalagi nasionalisme sebagai
gerakan anti-kolonial makin populer selama Perang Dunia II.
Kendatipun demikian, Amerika sebagai kreditur dunia hadir
sebagai negara adidaya baru, khususnya bagi negara-negara Eropa Barat.
Sementara di seberang sana, ada Rusia yang membentuk Uni Soviet
sebagai wujud unifikasi negara-negara komunis dan persatuan bagi
mereka yang kemerdekaannya dibantu Rusia (Eropa Timur). Keduanya
melangsungkan Perang Dingin, bersaing dalam penyebaran pengaruh
dan berkompetisi teknologi militer. Praktis dalam Perang Dingin
kolonisasi telah hilang, namun tampaknya lebih layak disebut sebagai
“babak baru kolonialisme; neokolonialisme”. Sebab paradigma
kolonialisme ekonomi-politis tercerabut dari akarnya dan bergeser ke
53
Pax Britannica (Perdamaian Britania) adalah periode damai di Eropa dan dunia selama
Imperium Britania menguasai sebagian besar rute utama perdagangan maritim dan
memperoleh kekuasaan lautan yang tak tertandingi. Istilah itu merujuk pada “Pax Romana”
pada masa kejayaan Imperium Romawi.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 223
neokolonialisme; skema penjajahan yang dikemas apik dan menuntut
ketergantungan atas super power.
4) Koloni ekonomi-politis menuju neokolonialisme (hegemoni)
Sejauh mengenai neokolonialisme, pengertian tertuju pada
penjajahan tanpa kekerasan fisik, bersih dari pertumpahan darah, dan
secara konkret tak mendirikan koloni. Dan benar saja, sepeninggal Uni
Soviet yang “mengasuh” negara-negara komunis (neokolonial
ideologis), saat ini tren neokolonialisme hanya bisa dicapai melalui
kekuatan ekonomi kapitalis untuk menundukkan elit bangsa, terutama
oleh Amerika, satu-satunya negara adikuasa saat ini. Seluruh mata uang
dikonversikan dengan US dollar. Dialah pelaku neokolonialisme paling
berpengaruh. Masa itu adalah awal kenampakan dari neokolonialisme,
namun sebenarnya sejak abad dua puluh, penaklukan dimaksudkan
untuk menguasai aset produktif, buruh dan sumber daya alam. Tidak ada
kepentingan menjajah melalui pengiriman angkatan perang
(Choussudovsky, dalam Razmin: 2013).
Metodenya pun variatif, berupa hutang luar negeri, politik etis,
promosi budaya, tren bahasa, bahkan pendidikan, sebagaimana Mafia of
Berkeley pada Orde Baru. sebagaimana Rohman (2009);
saat ini, kolonialisme-imperialisme melakukan eksploitasi
melalui sistem peraturan dan hubungan ekonomi-politik
di tingkat dunia. Mulai dari deregulasi ekonomi yang
dipaksakan ke berbagai negara dunia, terutama Dunia
Ketiga, hingga penjajahan dalam bentuk pengetahuan.
Biasanya, neokolonialisme menjangkiti negara-negara bekas
jajahan Eropa terdahulu, seperti negara-negara di benua Afrika dan Asia,
dengan bantuan dua faktor utama; pertama, sumber dan arah arus
globalisasi. Kedua, peranan lembaga internasional. Globalisasi memang
layak disebut faktor pendukung, bahkan lebih dari itu globalisasi bisa
dibilang “kendaraan” bagi neokolonialisme, karena dengannya
neokolonialisme berjalan lancar. Sementara lembaga internasional
sebagai kaki-tangannya. Sebab, sekalipun lembaga internasional pada
mulanya dibentuk guna mensejahterakan anggotanya, namun kehadiran
negara kapitalis dalam kepengurusan menjadi peluang neokolonialisme.
224 | Miftakhuddin
Dibentuknya League of Nations dan United Nations telah menjadi bukti
bagaimana asumsi ini bekerja.
Globalisasi sebagai proses penyeragaman secara universal mau
tak mau bakal mengaburkan batas-batas geografis dan budaya
masyarakat. Di sisi lain, ada penilaian yang memandang globalisasi
adalah proyek yang diusung negara adikuasa. Sebagaimana penulis
contohkan dalam Bab V soal media/teknologi komunikasi dan sistem
kredit transaksi, agaknya anggapan soal globalisasi adalah proyek negara
adikuasa (kapitalis) ialah benar adanya. Itulah yang membuat batas-batas
kultural masyarakat dunia menjadi bias.
Adapun lembaga internasional, terutama PBB, sengaja atau tidak
seolah mendukung neokolonialisme. Lebih-lebih pasca keruntuhan Uni
Soviet dan Great Britain, Amerika menjadi satu-satunya pengatur dunia.
Posisinya sebagai anggota tetap dewan keamanan dan penderma terbesar
PBB, membuktikan kalau PBB justru di bawah Amerika Serikat.
Apalagi intervensi dan ancaman Amerika kepada PBB dalam kasus
kerusuhan Israel-Palestina di Timur Tengah.
Lihat saja Presiden Amerika tahun 1966, Johnson, menekan PBB
untuk menghentikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina
yang sedang membentuk milisi untuk melawan Israel, dengan alasan hal
itu dapat mengganggu stabilitas keamanan dunia. Bahkan Amerika
mengancam akan keluar dari Dewan Keamanan PBB dan menghentikan
bantuan finansial kepada PBB kalau PBB tidak menerima usulan
delegasi Israel. Akibatnya, para pengungsi Palestina tidak memperoleh
bantuan UNHCR (Saleh, 2012). Alasan Amerika mempertahankan Israel
sebagai alat, menurut Rahmatullah (2015) ialah di samping Israel
merupakan tempat pemasaran senjata, Israel juga dimanfaatkan sebagai
penjaga terusan Suez di Timur Tengah sekaligus tambang minyak bumi
di sana.
Apa boleh buat, Amerika memang yang terkuat saat ini. Keadilan
dan hak asasi manusia yang sering dikhotbahkan para pemimpin negara
agaknya sekadar penggugah semangat belaka. Pidato-pidato di berbagai
forum internasional yang membela kemerdekaan dan emansipasi lebih
bersifat “hangat-hangat tahi ayam”. Sebab, begitu berhadapan dengan
Amerika, seolah semua niatan itu menjadi gugur tanpa syarat. Hal ini
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 225
terlihat pada lumpuhnya KAA dalam mengatasi konflik Palestina, yang
disebabkan Israel mempunyai Amerika dengan kekuatan PBB yang
lebih besar ketimbang Palestina yang sekadar berkekuatan KAA.
Peristiwa ini mengingatkan penulis pada ungkapan salah seorang
dosen penulis sebelum Donald Trump dan Hillary Clinton berebut kursi
presiden, bahwa menjadi presiden Amerika sama dengan menjadi
presiden dunia. Benar saja rupanya ungkapan itu berlaku bahkan sejak
akhir Pedang Dingin. Demikianlah rupanya neokolonialisme justru lahir
dari upaya penghapusan kolonialisme dengan dibentuknya League of
Nations dan United Nation. Bila dicermati lagi, agaknya proses panjang
kolonialisme di setiap fase selalu diwarnai konflik agar mencapai
revolusi pada step berikutnya. Maksudnya, tiada kemajuan tanpa adanya
kerusakan sebagai tanda upaya reformasi. Tidak hanya terpaku pada
studi soal kolonialisme, apapun tampaknya demikian. Revolusi Prancis,
Reformasi 1998 Indonesia, Revolusi Amerika, dan revolusi lainnya yang
memperlihatkan pengorbanan dan usaha keras adalah harga yang harus
dibayar.
C. Dampak
Bisa diramalkan, efek kolonialisme dipandang sebagai suatu hal
yang negatif, terutama pada periode pergeseran dari kolonisasi politik
menuju kolonisasi ekonomi-politis (Era of Great Voyage). Orang
Indonesia di Asia Tenggara, suku Aborigin di Australia, suku Maōri di
New Zealand, suku Indian di Amerika, kesemuanya memandang
kolonialisme sebagai penghancur mereka, setidaknya saat mereka
mengalami invasi kolonial Eropa.
Insiden penjajahan termasuk ke dalam fenomena sejarah dan
peristiwa sosial. Oleh karenanya, stigma negatif manakala mengkaji
fakta kolonial pasti diberikan dari mereka yang merasa dirugikan, dan
stigma positif pasti diberikan dari mereka yang merasa diuntungkan. Ini
berlaku sekalipun pihak yang diuntungkan mengakui dosa-dosanya
dengan memberikan beragam bantuan kepada bekas jajahannya. Maka
diperlukanlah sudut pandang objektif untuk menelaah sejauh mana dan
apa saja efek yang pergeseran kolonialisme sejak zaman Yunani hingga
neokolonial negara maju.
226 | Miftakhuddin
Bilamana pengkajian dilakukan secara parsial, mungkin
semuanya akan terang benderang untuk setiap periode pergeseran
paradigma kolonialisme. Namun konsekuensinya, kajian tersebut akan
mengerucut pada diskontinuitas sejarah. Artinya, walaupun kajian
dilakukan atas tahapan-tahapan kolonisasi, harus tetap memperhatikan
batasan-batasan dalam kaitannya dengan step berikutnya. Kolonisasi
pertanian Yunani, misalnya. Berlangsungnya koloni berimplikasi pada
terpenuhinya kebutuhan masyarakat polis, yang mana selanjutnya
metode pemenuhan kebutuhan dari pendirian koloni bertransformasi
menjadi koloni perdagangan di Laut Tengah. Dampak yang diterima
adalah terjadinya sosialisasi dengan dunia luar yang sama sekali
berbeda. Hadirnya perbedaan itu pada gilirannya menggugah hasrat
menyamakan koloni Yunani menjadi sama dengan mereka, baik melalui
perdagangan maupun dengan invasi. Misalnya, melalui interaksi dalam
perdagangan koloni Yunani menjadi tahu soal perhiasan, logam dan
sutera. Maka upaya untuk menyamakan diri dengan para penjual
perabotan itu dilakukan baik dengan transaksi perniagaan maupun
dengan ekspansi ke wilayah pedagang secara paksa.
Satu interaksi sosial akan berlanjut pada interaksi-interaksi
berikutnya yang lebih kompleks. Saat kolonisasi tak lagi berdasarkan
semangat pemenuhan kebutuhan jasmaniah, maka pendirian koloni
dimaksudkan untuk memperluas daerah kekuasaan (semangat
imperialisme). Sampai di sini ada satu poin penting yang harus dicatat,
bahwa dampak pergeseran paradigma kolonialisme adalah munculnya
paham imperialisme. Kerangka pikir atau fondasi imperialisme dibangun
berdasarkan kolonialisme yang dimanifestasikan dengan ekspansi
kolonial atas teritorial orang lain. Lebih lanjut, ketika kolonialisme
dirasuki semangat imperialisme maka terjadi pula akulturasi dan
munculnya aturan-aturan tertulis (undang-undang). Umumnya, hukumhukum kolonial itu kemudian diwariskan kepada daerah koloni saat
koloni tersebut ditinggalkan (contoh: hukum Hindia Belanda di
Indonesia), atau terpecah menjadi berbagai versi sistem hukum
manakala koloni besar atau imperium mengalami dekolonisasi (contoh:
negara-negara persemakmuran Inggris yang mempunyai corak hukum
serumpun).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 227
Pergeseran berikutnya ketika suatu imperium terdekolonisasi dan
masing-masing mengulang kolonialisasi atas nama dirinya sendiri,
dampak yang ditimbulkan semakin banyak, lebih-lebih saat di mana
kolonialisme didasarkan pada kepentingan ekonomi-politis. Di samping
persebaran berbagai paham dan agama, tersebar pula ilmu pengetahuan
(sains), peralatan perang, bahasa, kesenian, dan pembangunan.
Sayangnya, proses-proses itu sering kali dibarengi genosida, intimidasi,
dan penjajahan.
Bagi Inggris, misalnya, dengan industrinya yang maju
perdagangan lebih bonafit dan prestisius ketimbang pemungutan upeti,
dan tanah-tanah jajahan dianggap sebagai pasar yang menguntungkan.
Sama halnya dengan Belanda, setelah dikuasai Perancis selama dua
puluh tahun, tidak memiliki industri dan modal. Tanah jajahannya lantas
dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan.
Pada penghabisan abad ke-19 politik ini diganti dengan politik
kesejahteraan (politik etis), karena kepentingan perdagangan ingin
menciptakan tanah jajahan sebagai pasar berdaya beli besar. Jelaslah
bahwa kepentingan tanah jajahan bergantung pada negeri induk. Tidak
jadi soal tentang politik kolonial apa yang berlaku, hanya saja daerah
taklukan harus memberi keuntungan materil bagi pengkoloni,
keuntungan yang memang menjadi tujuannya. Pendapat umum tentang
tanah jajahan pun juga membenarkan, bahwa negeri induk (pengkoloni)
mempunyai hak moral untuk menikmati segala keuntungan sebagai upah
atas “kewajiban” memerintah tanah jajahannya.
Menurut Smith (1999), dampak pendudukan Barat terhadap
masyarakat pribumi umumnya diteorikan sebagai fase kemajuan dari:
(1) penemuan dan kontak awal, (2) penyusutan populasi, (3) akulturasi,
(4) asimilasi dan (5) perekaan ulang sebagai sebuah hibrida budaya
etnis. Sedangkan perspektif pribumi memperlihatkan sebuah gerak maju
bertahap, sebagai berikut: (1) kontak dan invansi, (2) genosida dan
penghancuran, (3) perlawanan dan upaya bertahan hidup (survival) dan
(4) pemulihan sebagai bangsa pribumi.
Namun terlepas dari pendapat Smith di atas, kalau boleh
disampaikan dalam buku ini argumentasi penulis pribadi, dampak
adanya kolonialisme beserta dinamika kerangka pikir yang
228 | Miftakhuddin
melandasinya, tampaknya ada sekurang-kurangnya sepuluh dampak
yang terbukti tidak terhindarkan. Kesepuluh dampak itu antara lain; 1)
munculnya semangat imperialisme, 2) akulturasi dan asimilasi
kebudayaan, 3) keseragaman dan keanekaragaman sistem hukum, 4)
penyebaran agama, paham-paham (ideologi) baru, bahasa, teknologi,
dan ilmu pengetahuan (sains), 5) pembangunan, 6) genosida, 7)
kemiskinan dan keterbelakangan, 8) kesenjangan dan munculnya kelaskelas baru dalam stratifikasi sosial, 9) hegemoni (pemusatan arus
geopolitik), dan 10) lahirnya studi post-kolonial.
Terakhir, dibalik itu semua pembangunan yang tanpa disadari
rupanya juga ikut berjalan seirama kebijakan dan konflik yang terjadi,
baik dengan inlander maupun dengan kolonis. Sebab di samping
pembangunan fisik, bersamanya dapat ditentukan berapa harga dari
bahan kebutuhan pokok, dapat diketahui mana sistem perekonomian
terbaik, dapat dirasakan betapa mahalnya nyawa manusia, seberapa
berharga harkat dan martabat manusia, dan betapa pentingnya
melakukan dakwah untuk memperadabkan sesama manusia lain tanpa
memandang mereka sebagai the others, sebagaimana dampak yang
ditimbulkan era neokolonialisme dan wacana dalam kajian post-kolonial
dewasa ini.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 229
Sumber Buku & Karya Ilmiah
Abdullah, Abdul Gani. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Politik
Hukum. Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Abdullah, Irwan. 2006. Tantangan Multikulturalisme dalam
Pembangunan. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI.
2(1).
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.
Jakarta: Sinar Grafika.
Ahmat, Maruwiyah. 2006. Penjajahan Portugis dan Sepanyol Ke Atas
Asia Tenggara. Selangor: Publication Karisma.
Alatas, Ali. 1995. Kebijaksanaan dan Politik Luar Negeri RI, PokokPokok Ceramah Menteri Luar Negeri RI pada Kursus Reguler
Angkatan Ke 28 Lemhanas. Jakarta: Badan Litbang Deplu RI.
Alfian & Oetojo Oesman. 1991. Pancasila Sebagai Ideologi dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat.
Al-Ghadiry, Fawzy. 2010. Sejarah Palestina: Asal Muasal Konflik
Palestina-Israel. Yogyakarta: Book Marks.
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan
Berbangsa. Jakarta: Penertbit LP3ES.
Allen & Uwin. 1997. Focus on South East Asia. Singapore: KHL
Printing.
Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal (Konsepsi
Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Prespektif
Sains Baru. Jakarta: Gramedia.
Amirudin., & Aderito De S. Jesus. 2003. Perjuangan Amungme antara
Freeport dan Militer. Jakarta: Elsham.
Angkasa, Gaudensio. 2015. Teori Postkolonial dalam Kerangka Konsep
Identitas. Kupang: Universitas Katolik Widya Mandira.
Anwar, Rosihan. 2006. Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan
Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
230 | Miftakhuddin
Arif, Dikdik Baehaqi. 2011. “Politik Bhineka Tunggal Ika” untuk
Mengelola Masyarakat Indonesia yang Multikultural.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
ASEAN Stasticial Yearbook 2008. 2009. Asia Southeastern-Economic
Growth-Statistics. Jakarta: ASEAN Secretary.
Aulia’, M. Alfian. 2015. ISIS: Strategi Amerika Serikat Melawan Iran di
Suriah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London & New York:
Routledge.
Budiardjo, Carmel., & Liem Soei Liong. 1988. “Military Report of
Incidents in the District of Jayawijaya in 1977”. United
Kingdom: Tapol.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT
Gramedia.
Cady, J. F. 1964. South-East Asia It’s Historical Development. New
York: McGraw-Hill.
Chandra, Bipan. 1978. Kolonialisme, Tahap-Tahap Kolonilaisme dan
Negara Kolonial. Journal Contemporary Asia. 8(2).
Cholisin. 2011. Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Relevansinya
dengan Kondisi Saat Ini. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Corpus, Onofre D. 1965. The Philippines. New Jersey: Prentice-Hall.
Cortesão, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. An
Account of The East, from the Red Sea to Japan, Written in
Malacca and India in 1512-1515. Translated from the
Portuguese MS in the Bibliothéque de la Chambre des
Députés, Paris. London: The Hakluyt Society.
D, Mohammad Mahfud. M. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Darmawan, Wawan. 2010. Perkembangan Awal Kehidupan Masyarakat
di Australia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Day, Clive. 1966. The Dutchin Java. Kualalumpur: Oxford University
Press.
Deniawati, Pera. 2014. Pluralisme dalam Bingkai Budaya Lokal untuk
Meningkatkan Kerukunan antar Umat Beragama (Studi Kasus
di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan). Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 231
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. 2015. Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang
Wawasan Nusantara. Jakarta.
Dhakidae, Daniel. 2001. Sistem sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga,
dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
________, Daniel. 2002. Indonesia dalam Krisis 1997-2002. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Dorléans, Bernard. 2016. Orang Indonesia dan Orang Prancis dari
Abad XVI Sampai dengan Abad XX. Terjemahan Parakitri T.
Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ehrenberg, Stefen. 1960. The Greek State. Oxford: The Alden Press.
Fahmy, Nurul. 2007. Hegemoni Kolonial dalam Tempoe Doeloe
Antologi Sastra Pra-Indonesia Kajian Postkolonial. Padang:
Universitas Andalas.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni
Barat (terjemahan). Yogyakarta: Qalam.
George, Margareth. 1989. Australia dan Revolusi Indonesia. Jakarta:
Panjta Simpati.
Hadi, Otho H. 2003. Nation and Character Building Melalui
Pemahaman Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Direktorat
Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas.
Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung: Rosda.
Hanapiah. 2012. Pendidikan Pancasila. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Hanum, Farida. 2005. Pendidikan Multikultur dalam Pluralisme Bangsa.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Harahap, Ahmad Rivai. 2006. Multikulturalisme dalam Bidang Sosial.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 2 (1).
Harian Kompas, edisi Senin 21 Juni 2012. Jajak Pendapat Ancaman
Kebangsaan.
Harjanto, Totok. 2015. Hutang Luar Negeri Indonesia, Antara
Kebutuhan dan Beban Rakyat. Jurnal Ekonomi STIE
Indonesia. 1.
Harrison, Brian. 1954. South-East Asia: a Short History. New York:
Macmillan.
Harsono. 2006. Kearifan dalam Transformasi Pembelajaran: dari
Teacher-Centered ke Student-Centered Learning. Jurnal
Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia. 1
(1).
232 | Miftakhuddin
Hart, Michael H. 1978. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah. terjemahan Mahbub Djunaidi (1982). Jakarta Pusat:
Dunia Pustaka Jaya.
Hartiningsih, Maria & Ninuk Mardiana Pambudy. 2006. Membaca
Gayatri Chakravorty Spivak. Kompas Edisi 12 Maret 2006.
Hartono, C. F. G. Sunaryati. 1991. Pembinaan Hukum Nasional dalam
Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum. Bandung: Universitas Padjajaran.
_______, C. F. G. Sunaryati. 2015. Analisa dan Evaluasi Peraturan
Perundang-Undangan Peninggalan Kolonial Belanda.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Hatu, Rauf A. 2013. Sosiologi Pembangunan. Yogyakarta: Interpena.
Hidayati, Wiwik. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah atas Subaltern
dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis
Berdasarka Pendekatan Postkolonialisme. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Hobsbawm, E. J. 1992. Nasionalisme Menjelang Abad 21. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana.
Holder, Robin. 1985. Aborigin Asli Penduduk Australia. Jakarta: Rosda
Jaya.
Hudaidah. 2004. Sejarah Australia dan Oceania. Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Huddart, David. 2006. Homi K. Bhabha. New York: Routledge.
Huntington, Samuel. P., dkk. 1989. Amerika dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Irhandayaningsih, Ana. 2011. Ide Mobil Nasional sebagai Simbol
Perlawanan Terhadap Neokolonialisme di Era Globalisasi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Junaedi. 2014. Transformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan
Nasional
dari
Kolonialisme
sampai
Nasionalisme. Jakarta: PT Gramedia.
_________, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 15001900 dari Emporium Sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Khoo, Gilbert. 1968. Sejarah Asia Tenggara Sejak Tahun 1500. Petaling
Jaya: Fajar Bakti.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 233
_____, Gilbert. 1976. Sejarah Asia Tenggara Sejak Tahun 1500.
Kulalumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
Kinsbury, Damien. 2005. Peace in Aceh A Personal Account of the
Helsinki Peace Process. Jakarta: PT Equinox Publishing
Indonesia,
Kitley, Philips., Richard Chauvel., & David Reeve. 1989. Australia di
Mata Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Kivimaki, Timo. 2005. Violent Internal Conflicts in Asia Pasific:
Histories, Political Economies and Policies. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Koentjaraningrat & Harsja W. Bachtiar. 1963. Penduduk Irian Barat.
Jakarta: Penerbitan Universitas.
Konvensi ILO yang Diratifikasi Indonesia. 1999. Jakarta: ILO Jakarta
Office.
Kurniawan, Teguh. 2006. Pergeseran Paradigma Adiministrasi Publik:
dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman. 2004. Nasionalisme.
Buletin Psikologi Tahun XII. No. 2.
Lauer, Robert. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. (terjemahan
Alimanda S.U). Jakarta: Rineka Cipta.
Lemhanas. 2012. Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila di Seluruh
Komponen Bangsa Untuk Memantapkan Semangat
Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an Dalam
Rangka Menangkal Ideologi Radikalisme Global. Jurnal
Kajian Lemhanas RI Edisi 14, Desember 2012. Jakarta:
Lemhanas Republik Indonesia.
Littlejohn, Stephen. W., & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern.
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Ma’arif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: PT. Mizan
Pustaka.
Machmud, Anas. 1988. Kedaulatan Aceh yang tidak pernah diserahkan
kepada Belanda adalah bahagian dari Kedaulatan Indonesia.
Jakarta: Bulan Bintang.
234 | Miftakhuddin
Magnis-Suseno, Franz. 2003. Faktor-Faktor Mendasari Terjadinya
Konflik Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia:
Pencegahan dan Pemecahan, dalam Konflik Komunal di
Indonesia Saat Ini. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Mahifal. 2011. Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia Melalui Pembinaan Ideologi dan Wawasan
Kebangsaan. Bogor: Universitas Pakuan.
Marbun, Hotma. 2008. Mewaspadai Polarisasi Ancaman Subversi
Terhadap Nilai Ketahanan Nasional. Bandung: Sekolah Staf
dan Komando Angkatan Darat.
Martin, Roderick. 1995. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Rajawali Press.
Marut, Donatus Kladius. 2015. ASEAN dalam Neokolonialisme dan
Imperialisme. Jurnal Konfrontasi. 4 (1).
Masinambow, E.K.M., & Paul Haenen. 1994. Kebudayaan dan
Pembangunan di Irian Jaya. Jakarta: LIPI.
Mc Coy, Alfred. W. 1982. Philippine Social History: Global Trade and
Local Transformations. Manila: Ateneo de Manila University
Press.
Miftahul, Ilmi Hadi. 2011. Benua Australia. Bandung: Mitra Utama.
Miners, Norman. 1995. The Government and Politics of Hongkong.
Hong Kong: Oxford University Press.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat
Keulamaan. Jakarta: Kompas.
Moan, Amat Johari. 1969. Sejarah Nasionalisma Maphilindo. Kuala
Lumpur: Sharikat Percetakan Utusan Melayu Berhad.
Morgan, W.S. 1956. The Story of Malaya. Singapore: Malaya Publishing
House Limited.
Morton, Stephen. 2004. Gayatri Chakravorty Spivak. New York:
Routledge.
Mubyarto. In memorian Article: Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali.
dalam Awan Santosa. 2006. Ekonomi Kerakyatan: Urgensi,
Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana.
Müller, Johannes. 2005. Perkembangan Masyarakat Lintas-Ilmu.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mulyana, Imam., & Irawati Handayani. 2015. Peran Organisasi Regional
dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional.
Jurnal Cita Hukum. 2 (2).
Mustopo, Habib. M., dkk. 2007. Sejarah. Program Ilmu Pengetahuan
Sosial. Mojokerto: Yudhistira Galia.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 235
Nach, James. 1976. Malaysia dan Singapura dalam Lukisan.
Terjemahan R. Soeparmo. Jakarta: Mutiara.
Nafis, Muhammad Danial. 2008. Hubungan Consultative Group on
Indonesia (CGI)-Republik Indonesia (RI) : Penerapan
Konsensus Washington dalam Kebijakan Ekonomi Politik
Pemerintahan Indonesia Periode
Nugroho, Bambang Wahyu. 2016. Studi Amerika Latin. Diktat Kuliah.
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Nugroho, Dimas Oky. 2016. Gaduhnya Demokrasi Kita. Kompas, Edisi
Sabtu 17 Desember 2016.
Nurhadi., dkk. 2011. Bentuk-Bentuk Poskolonialitas di Indonesia
Mutakhir pada Majalah Tempo. Jurnal LITERA. 10 (1).
Nuryadin, Suwirman. 2015. Pengaruh Paradigma Lingkungan
Mahasiswa dan Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup
terhadap Perspektif Global Mahasiswa Program Studi PKLH
dan ML Program Pascasarjana UNJ, Tahun 2015. Laporan
Penelitian. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Osborne, Robin. 1986. “OPM and the Quest for West Papuan Unity”.
Australia: Robert Brown and Associates.
Panuju, Redi. 2017. Merawat Pancasila Tanpa Menyalahkan P4. Jawa
Pos Edisi Rabu, 4 Oktobr 2017.
Parera, Ana. M. F., dkk. 2013. Sausapor Saksi Sejarah Perang Dunia II
di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Yogyakarta:
Kepel Press.
Pembaruan Tani. 2014. End WTO!. Jakarta: Serikat Petani Indonesia
(SPI).
Perdana, Risna Guntar. 2015. Ketergantungan Indonesia Terhadap
Minyak Olahan Produksi Singapura. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Perkins, John. 2004. Confessions of An Economic Hit Man. The
Shocking Inside Story of How America Really Took Over The
World. Oakland: Berret-Koehler Publisher.
Pigay, Decki Natalis. 2000. Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik
Politik di Papua. Jakarta: Sinar Harapan.
Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta. Gramedia Pustaka
Utama.
Prasetyo A. P. 2009. Implikasi Praktik Neokolonialisme dalam
Globalisasi Terhadap Stress dan Penuaan Dini. Solo:
Universitas Negeri Sebelas Maret.
236 | Miftakhuddin
Prihatyono, Agus. 2009. Peran Indonesia dalam Mewujudkan
Perdamaian dan Stabilitas Asia Tenggara Melalui ASEAN
Security Community. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putro, Sapto Handoyo Djarkasih. 2011. Pengaruh Kolonialisme dan
Pluralisme Terhadap Politik Hukum Nasional. Bogor:
Universitas Pakuan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUUIX/2011.
Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarnageraan. Perjuangan
Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Rahmatullah. 2015. Peran Amerika Serikat dalam Menciptakan
Perdamaian dan Penyelesaian Konflik Israel dan Palestina.
Jurnal Ilmiah WIDYA. 3 (1).
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme
Persefektif Wacana Naratif. Denpasar: Pustaka Pelajar.
_____, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Razmin, Nurul Hazlina Mohd., dkk. 2013. Globalisasi sebagai Satu
Kolonialisme Bentuk Baru dan Kesan kepada Ekonomi.
Bharu: Universiti Malaysia Kelantan.
Rengganik. 2009. Prinsip Minsheng: Ekonomi Politik dalam Pemikiran
Sun Yat-sen. Depok: Universitas Indonesia.
Resnadiasa, Gede., dkk. 2012. Konflik di Semenanjungt Korea dan
Pengaruhnya
Terhadap
Keamanan
Internasional.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
_______, M. C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
_______, M. C. 2013. Sejarah Asia Tenggara. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Ridlwan, Zulkarnaen. 2014. Memelihara Asas Pacta Sunt Servanda atas
Perjanjian Internasional (Telaah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011). Lampung: Universitas
Lampung.
Rizal, Jose. 1975. Noli me Tangere. (terjemahan). Jakarta: Pustaka Jaya.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 237
Rohman, Mujibur. 2009. Edward Said dan Kritik Poskolonial: Upaya
Mengembalikan Sosiologi Kepada Publik. Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Romein, J. M., 1956. Aera Eropa: Peradaban Eropa sebagai
Penyimpangan dari Pola Umum. Bandung: N. V. Ganaco.
Roxborough, Ian. 1979. Theories of Underdevelopment. London: the
Macmillan Press.
Ruslin, Ismah Tita. 2013. Relasi Ekonomi-Politik dalam Perspektif
Dependencia. Jurnal Politik Profetik. 1 (1).
Saifullah. 2014. Renaissance dan Humanisme sebagai Jembatan
Lahirnya Filsafat Modern. Jurnal Ushuluddin 22 (2).
Saleh, Irfan Juniyanto. 2012. Strategi Amerika Serikat dalam Proses
Perdamaian Israel-Palestina pada Periode Barack Obama
2008-2012. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Samsuri. 2007. Profil Civic Education di Hong Kong. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Samsuri. 2013. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila: Membangun
Kenegarawanan melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Sanggar, Kanto. 2006. Modernisasi dan Perubahan Sosial: Suatu Kajian
dari Perspektif Teori dan Empirik. Malang: Universitas
Brawijaya.
Saputra, Effendy Onggo. 2017. Revitalisasi Mata Pelajaran PMP dan
Penataran P4 pada Jenjang Pendidikan di Indonesia sebagai
Syarat untuk Mengikis Generasi Tawuran. Jakarta:
Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta.
Scott, Ernest. 1943. A Short History of Australia. London: Oxford
University Press.
Setiawan, Bagus. 2016. Sejarah Australia & Oceania. Garis Besar
Kolonisasi Inggris di Australia. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Shadily, Hasan., & Pringgodigdo. 1977. Ensiklopedia Umum.
Yogyakarta: Kanisius.
Sharif, Naubahar., & Mitchell M. Tseng. 2011. The Role of Hong Kong
in Mainland China's Modernization in Manufacturing.
California: University of California.
Sholeh, Maimun. 2011. Akar Kemiskinan dan Ketergantungan di
Negara-Negara Berkembang dalam Perspektif Strukturalis
Dependensia. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
238 | Miftakhuddin
Sianturi, Marupa Hasudungan. 2014. Peran PBB sebagai Organisasi
Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Yurisdiksi
Negara Anggotanya dalam Kasus State Immunity antara
Jerman dengan Italia Terkait Kejahatan Perang Nazi. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Siboro, Julius. 1989. Sejarah Australia. Bandung: Tarsito.
Sihbudi, M. Riza., & Ahmad Hadi. 1994. Palestina Solidaritas Islam
dan Politik Dunia Baru. Malang: Pustaka Hidayah.
Simpson, Tony. 1990. Te Riri Pakeha: The White Man’s Anger. United
Kingdom: Hodder & Stoughton Ltd.
_______, Tony. 2015. Before Hobson. Wellington: Blythswood Press.
Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies, Research
and Indigenous People. London: Zed Books.
Soedijarto. 2000. Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban NegaraBangsa. Jakarta: CINAPS.
Soedjatmoko. 1996. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.
Solichien, Yussuf. 2008. Kerjasama PBB-Amerika Serikat dalam
Penyelesaian Kasus Invasi Irak Terhadap Kuwait (Tahun
1990-1991). Depok: Universitas Indonesia.
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Pancasila dalam Perubahan SosialPolitik Indonesia Modern. Depok: Universitas Indonesia.
Spence, Jonathan D. 1990. The Search for Modern China. United States:
WW. Norton & Company.
Stiglitz, Joseph. E. 2002. Globalization and It’s Discontents. New York:
W. W. Norton & Co.
Straihm, Rudolf H. 1999. Kemiskinan di Dunia Ketiga, pengant.
Mubyarto. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Strelan, John G. 1977. Search for Salvation. Adelaide: Lutheran
Publishing House.
Sudiadi, Dadang. 2009. Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat
yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya
Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia.
Jurnal Kriminologi Indonesia. 5 (1).
Sudrajat, Ajat. 2009. Perkembangan Islam di Singapura. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Sudrajat. 2010. Yunani sebagai Icon Peradaban Barat. Jurnal ISTORIA.
8 (1).
Suharto, Edi. 2006. Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru.
Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 239
Sukmayani, Ratna., dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial 3. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Sukmono, Filosa Gita. 2013. Televisi dan Neo-Kolonialisme.
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Suminto, Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Sumobroto, Sugiharto., & Budiawan. 1989. Sejarah Peradaban Barat
Klasik: dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi.
Yogyakarta: Liberty.
Supardan, Dadang. 2008. Peluang Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultur: Perspektif Pendidikan Kritis. Jurnal Alumni. 1
(2).
Suparlan, Parsudi. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa.
Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Supriyono, Johanes. 2014. Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan
di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara. Jurnal
Ultima Humaniora. 2 (1).
Suryadinata., dkk. 2003. Penduduk Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Suryono, Agus. 2012. Polemik Teori Pembangunan Tentang Kemiskinan
dan Keterbelakangan. Malang: Universitas Brawijaya.
Swedberg, Richard. 1998. Max Weber and the Idea of Economic
Sociology. Princeton: Princeton University Press.
Syaifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Membumikan Multikulturalisme di
Indonesia. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 2
(1).
Tan, Sofyan. 2006. Pendidikan Multikulturalisme: Solusi Ancaman
Disintegrasi Bangsa. Jurnal Antropologi Sosial Budaya
ETNOVISI. 2 (1).
Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Tjiptabudy, J. 2010. Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Melestarikan
Nilai-Nilai Pancasila di Era Reformasi. Jurnal Sasi. 16 (3).
Todaro, Michael P. 1985. Economic Development In The Third World.
New York; Logman Inc.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UNESCO & LIPI. 2015. Arsip Konferensi Asia Afrika dan Gerakan
Non-Blok sebagai UNESCO Memory Of The World. Jakarta:
LIPI & UNESCO Jakarta Office.
Us-Samad, Ulfat Aziz. 1990. Great Religions of the World. Peshawar:
University of Peshawar.
240 | Miftakhuddin
Utami, Sri. 2012. Mimikri dalam Kuliner Indonesia melalui Kajian
Poskolonial. Prosiding the 4th International Conference on
Indonesian Studies: “Unity, Diversity adn Future”.
Utomo, Tri Widodo W. 2016. Asymetric Policy sebagai Inovasi untuk
Akselerasi Pembangunan Perbatasan Negara. Jakarta:
Bappenas.
van Anrooij, Francien. 2014. De Koloniale Staat 1854-1942.
Terjemahan Nurhayu W. Santoso & Susi Moeiman. Leiden:
Archief van het Ministerie van Koloniën.
van Dijk, Corneles. 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta:
Grafiti Pers.
Van, Samuel. 2003. Negara dan Bangsa Jilid IV. Asia dan Australia.
Jakarta: Grolier International Inc. & PT. Widyadara.
Wade, Robert., & Frank Veneroso. 1998. “The Asian Crisis: The High
Debt Model Versus The Wall Street-Treasury-IMF Complex.”
New Left Review
Watson, C.W. 2000. Multiculturalism. London: Open University Press.
Widyaresmi, Sistha. 2012. Timur yang Menjadi Barat: Orientalisme
dalam Ranah Diskursif. Depok: universitas Indonesia.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 2007. Pergantian Kekuasaan di Indonesia
Tahun 1800. Jurnal SPPS. 21 (1).
__________, A. Kardiyat. 2008. Pembentukan Negara-Negara Nasional
di Asia Tenggara. Jurnal Historia Vitae. 22 (2).
Wijanarko, Robertus. 2008. Postkolonialisme dan Studi Teologi, Sebuah
Pengantar. Jurnal Studia Philosophica et Theologica. 8 (2).
Williams, Lea E. Southeast Asia: A History. New York: Oxford
University Press.
Wisconsin Historical Society. 2003. Journal of the First Voyage of
Columbus. Wisconsin: American Journeys Collection.
World Trade Organization. 10 Common Misunderstanding About the
WTO. depts.warshington.edu.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. 2013. Korea Abad 18 dan 19. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Yulita, Nelda. 2009. Ensiklopedia Geografi. Jakarta: PT Ikrar
Mandiriabadi.
Yunita, Vivi. 2012. Unsur Postkolonial dalam Novel Atheis Karya
Achdiat K. Mihardja. Padang: Universitas Negeri Padang.
Zaenudin. 2015. Perkembangan Produk Hukum Kearsipan di Indonesia.
Arsip Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 241
Zain, Rakhmad Fadli. 2009. Transformasi Politik Gerakan Aceh
Merdeka Menjadi Partai Aceh (dalam Proses Perdamaian).
Depok: Universitas Indonesia.
Zastrow, Charles. 2000. Social Problems: Issues and Solution
Australia/Canada/ Denmark/Japana/ Mexico/ New Zealand/
Philipines/
Puerto
Rico/
Singapore/Spain/United
Kingdom/United States. Wadsworth.
Zed, Mestika. 2009. Bagaimana Hidup sebagai Rakyat Jajahan?
Beberapa Catatan tentang Apresiasi Sejarah Kebangsaan
untuk Generasi Masa Kini. Padang: Universitas Negeri
Padang.
Sumber Internet
De Vries, Idries. 2011. Neo-Colonialism And The Example Of
Indonesia-Analysis. http://www.eurasiareview.com/03112011neo-colonialism-and-the-example-of-indonesia-analysis/.
(diakses pada 17 Juli 2017, pukul 01.35).
Fitra, Marjan. 2015. Filipina Dibawah Spanyol. http://dunialilmusosial.
blogspot.co.id/2015/03/filipina-di-bawah-spanyol.html.
(diakses pada 6 Juni 2017, pukul 16.25).
freeinfosociety.com (diakses pada 6 Juni 2017, pukul 18.35).
Gatranews.com. FPR Serukan Lawan Neokolonialisme AS. Edisi Kamis
02 April 2015. https://www.gatra.com/nusantara-1/nasional1/141152-fdr-serukan-lawan-neo-kolonialisme-as.html
(diakses pada 25 Juli 2017, pukul 01.49).
Indonesia, Ade. 2011. Neo-Kolonialisme (Penjajahan Gaya Baru).
http://www.
kompasiana.com/ade_indonesia/neokolonialisme-penjajahan-gayabaru_5500ef97a33311bb745127fd. (diakses pada 17 Juli
2017, pukul 01.35).
Masduki. 2007. Subaltren dan Gayatri Chakravorty Spivak: Otokritik
Terhadap “Penyambung Lidah” Kelompok-Kelompok yang
Terpinggirkan.
http://dukiepoenya.blogspot.co.id/2007/11/subaltren-dangayatri-chakravorty.html. Diakses pada 31 Agustus 2017.
242 | Miftakhuddin
Noerhayati. 2008. Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam.
https://noerhayati.
wordpress.com/2008/06/02/penjajahanbarat-terhadap-dunia-islam/. (diakses pada 3 Juni 2017, pukul
12.30).
Putra, Hikmawan, S. 2012. Pengruh Pemerintahan Kolnialisme Belanda
Terhadap
Sistem
Pemerintahan
Indonesia.
https://hikmawansp.
wordpress.com/2012/07/10/pengaruhpemerintahan-kolonialisme-belanda-terhadap-sistempemerintahan-indonesia/ (diakses pada 4 Juni 2017, pukul
18.00).
Tribunnews.com. Ini Bukti Amerika Menciptakan Al Qaeda dan ISIS.
Edisi
Jumat
16
Oktober
2015.
http://medan.tribunnews.com/2015/10/16/ini-bukti-amerikamenciptakan-al-qaeda-dan-isis. (diakses pada 25 Juli 2017,
pukul 23.16).
unair.ac.id (diakses pada 7 Juni 2017, pukul 20.40).
Yulianti. 2016. Perkembangan Awal Kehidupan Masyarakat Maori
Serta Kontak Mereka dengan Orang-Orang Kulit Putih.
http://yuliantihimas. blogspot.co.id/2016/01/perkembanganawal-kehidupan-masyarakat. html (diakses pada 12 Juli 2017,
pukul 19.21).
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 243
Miftakhuddin, lahir di Banyuwangi pada 11
Oktober 1993 dari pasangan Marsino dan
Supiyati. Menamatkan SDN 1 Kaliploso (2006),
SMPN 1 Cluring (2009), dan SMAN 1
Purwoharjo (2012) di kota yang sama. Atas
beasiswa Banyuwangi Cerdas (4 tahun), ia
meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas
Jember dengan predikat Cumlaude pada 2016.
Selama S1, ia aktif di beberapa organisasi
mahasiswa sebagai pengurus maupun anggota.
Ia juga kerap mengikuti kompetisi tulisan ilmiah tingkat provinsi
maupun nasional, sehingga menjadi finalis kompetisi Penulisan Artikel
Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Medan (2014), dan meraih Juara
III dalam kompetisi Penulisan Kreatif Kependudukan Provinsi Jawa
Timur (2015).
Disamping menjalani studi magister di UNY dengan beasiswa LPDP,
saat ini ia masih aktif sebagai penulis lepas sejak 2017. Disinilah
minatnya dalam bidang sejarah dan humaniora semakin berkembang.
Maret 2018 ia diundang oleh Direktorat Sejarah, Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, untuk mengikuti bimbingan teknis penulisan sejarah di
Semarang. Beberapa kontibusinya di publikasikan dalam bentuk buku
dan artikel ilmiah di beberapa jurnal nasional (dapat ditelusuri secara
online).
244 | Miftakhuddin
CV Jejak akan terus bertransformasi untuk
menjadi media penerbitan dengan visi
memajukan dunia literasi di Indonesia. Kami
menerima berbagai naskah untuk diterbitkan.
Silakan kunjungi web jejakpublisher.com
untuk info lebih lanjut
--------------------------------------------------------------------------------------
Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 245
Download