Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni Copyright © CV Jejak, 2019 Penulis: Miftakhuddin ISBN: 978-602-474-596-7 ISBN: 978-602-474-597-4 (PDF) Editor: Resa Awahita Penyunting dan Penata Letak: Tim CV Jejak Desain Sampul: Meditation Art Penerbit: CV Jejak Redaksi: Jln. Bojong genteng Nomor 18, Kec. Bojong genteng Kab. Sukabumi, Jawa Barat 43353 Web : www.jejakpublisher.com E-mail : [email protected] Facebook : Jejak Publisher Twitter : @JejakPublisher WhatsApp : +6281774845134 Cetakan Pertama, Maret 2019 244 halaman; 16 x 24 cm Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit maupun penulis 2 | Miftakhuddin Sejauh mengenai kolonialisme, rupanya tidak sesederhana pemaknaan secara umum yang selalu diidentikkan dengan penindasan dan pemerasan publik. Pengalaman mengkaji dan menganalisisnya membuka mata penulis bahwa paradigma kolonialisme tidak gampang dijelaskan dengan teori-teori belaka, maupun penuturan pengalaman oleh pelaku sejarah yang sarat subjektivitas dan etnosentrisme. Perlu banyak pendapat pakar, sumber otentik, dan berbagai hasil riset untuk mengungkapkan seperti apa sebetulnya paradigma kolonialisme sekaligus dinamika yang menyertainya. Buku ini adalah paparan dari sekelumit kajian kepustakaan yang bersumber dari berbagai bentuk; berupa hasil riset historis, hasil telaah ilmiah sumber-sumber primer dan sekunder yang terdapat dalam arsip perpustakaan atau perorangan yang kemudian diterbitkan, laporan perjalanan atau ekspedisi, beberapa artikel, bahkan pendapat para pakar yang tertulis dalam jurnal ilmiah. Peranan penulis adalah mengumpulkan semua jenis bahan tersebut untuk kemudian disajikan dalam suatu uraian teoritis yang rapi, mulai kemunculan kolonialisme, perkembangannya, dan efek lanjutan yang menyertainya. Teks-teks mendasar yang terakumulasi di dalam buku ini dapat memberi gambaran berbeda dari konsep kolonialisme yang selama ini dikenal dalam historiografi pada umumnya, sehingga dapat melengkapi khazanah pengetahuan dan perspektif pembaca soal bentuk-bentuk paradigma kolonialisme. Namun demikian, harus diakui bahwa akademisi dan bahkan catatan perjalanan oleh juru tulis di suatu ekspedisi hanya membicarakan hal-hal yang menarik perhatian mereka saja. Tentu masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka, lebihlebih adanya unsur prasangka maupun perbedaan persepsi dan etnosentrisme. Oleh sebab itu, setiap tulisan hendaknya diapresiasi secara objektif dan menurut konteks dan porsinya masing-masing. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 3 Buku ini sengaja dilengkapi dengan bibliografi agar pembaca dapat memperdalam topik-topik tertentu sesuai minatnya. Meski tak sehebat karya besar milik sejarawan M.C Ricklefs, Ania Loomba, dan Sartono Kartodirdjo, buku ini amat berarti karena memberikan wawasan dan perspektif baru tentang kolonialisme di tengah kerentanan bangsa ini. Semoga dengan hadirnya buku ini di hadapan sidang pembaca, memberi ruang kreasi baru dalam perbendaharaan informasi tentang rekam jejak kolonialisme. Segala implikasi dan tanggung jawab ilmiah atas isi buku ini berada pada penulis. Oleh sebab itu segala teguran, koreksi dan kritikan akan penulis terima dengan hati terbuka. Yogyakarta, Januari 2019 Penulis Miftakhuddin 4 | Miftakhuddin KATA PENGANTAR ............................................................................. 3 DAFTAR ISI............................................................................................ 5 BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 7 BAB II KONSEP DASAR KOLONIALISME ..................................... 11 A. Sejarah Kolonialisme .................................................................. 11 B. Hukum Kolonial ......................................................................... 30 C. Kolonialisme dan Imperialisme .................................................. 54 D. Macam-Macam Kolonialisme..................................................... 59 BAB III PERGESERAN PARADIGMA KOLONIALISME ............... 66 A. Sebab-Sebab Pergeseran ............................................................. 66 B. Faktor Pendukung ....................................................................... 68 C. Dampak ....................................................................................... 70 BAB IV MANIFESTASI KOLONIALISME ....................................... 75 A. Amerika ...................................................................................... 75 B. Australia ...................................................................................... 84 C. New Zealand ............................................................................... 99 D. Hong Kong ................................................................................ 103 E. Singapura .................................................................................. 107 BAB V NEOKOLONIALISME .......................................................... 115 A. Neokolonialisme ....................................................................... 115 B. Pelaku Neokolonialisme ........................................................... 119 C. Sistematika dan Teknis ............................................................. 124 D. Target Akhir .............................................................................. 126 Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 5 BAB VI PERAN LEMBAGA INTERNASIONAL ............................ 129 A. Association of South-East Asian Nations (ASEAN)................. 129 B. Konferensi Asia-Afrika (KAA) ................................................ 132 C. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).......................................... 134 BAB VII RESISTENSI INDONESIA TERHADAP NEOKOLONIALISME ....................................................................... 138 A. Ideologi Bangsa ........................................................................ 138 B. Wawasan Kebangsaan .............................................................. 143 C. Pluralitas Masyarakat ................................................................ 145 D. Ketergantungan Publik ............................................................. 150 E. Konklusi .................................................................................... 155 BAB VIII POST-KOLONIAL............................................................. 158 A. Landasan Pemikiran .................................................................. 158 B. Tokoh-Tokoh Post-Kolonial ..................................................... 165 C. 1st World Country, 2nd World Country, 3rd World Country, dan Teori Pembangunannya............................................................ 182 BAB IX KESIMPULAN ..................................................................... 202 A. Penyebab ................................................................................... 202 B. Periodisasi ................................................................................. 207 C. Dampak ..................................................................................... 226 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 230 TENTANG PENULIS ......................................................................... 244 6 | Miftakhuddin KOLONIALISME, imperialisme dan feodalisme adalah tiga hal yang mustahil dipisahkan, kecuali dipisahkan secara definitif. Sebab, ketiganya adalah suatu paham yang jika salah satu diaplikasikan, maka paham lainnya akan ikut menyertai sebagai penyokong. Ibarat kursi dengan dua kaki, jika imperialisme adalah bagian yang melintang tempat menopang tubuh, maka kolonialisme dan feodalisme adalah kakikakinya. Kolonialisme adalah paham pendelegasian kekuatan politik ke luar wilayah yang sah untuk memberdayakan wilayah lain. Tentu saja, hak dan wewenang hingga kewajiban mereka dikontrol penuh oleh negara asalnya sebagai pusat pemerintahan. Secara administratif, wilayah baru itu menjadi vassal (negara bawahan) dengan sistem pemerintahan sentralisasi dan bertanggung jawab langsung kepada nagara pusat. Sedangkan imperialisme adalah paham ekspansi wilayah yang ditempuh melalui penaklukan ataupun aneksasi terhadap wilayah lain, dengan sistem pemerintahan sama dengan kolonialisme. Adapun feodalisme adalah paham pendelegasian kekuasaan sosio-politik oleh aristokrat (bangsawan monarki) untuk mengendalikan suatu wilayah (umumnya berupa sebidang tanah) melalui kerja sama dengan para pemimpin lokal sebagai mitra. Pemimpin lokal itulah yang kemudian disebut sebagai tuan tanah atau tuan feodal. Nah, bagaimana hubungan ketiganya? Kolonialisme adalah paham pembentukan koloni di luar batas wilayah teritorial yang sah, tidak peduli apakah lokasi baru itu sudah berpenghuni atau belum. Praktis, dengan berdirinya koloni di sana, maka suatu kerajaan telah melakukan praktik perluasan wilayah (imperialisasi). Di sini harus dimengerti bahwa kolonialisme adalah salah satu manifestasi imperialisme. Bilamana sejauh imperialisasi mengalami hambatan berupa serangan masyarakat pribumi, maka suatu kerajaan harus “menjinakkan” mereka sebagai mitra (tuan tanah/tuan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 7 feodal). Nah, terjalinnya hubungan mitra antara penguasa pusat (pengkoloni) dengan perwakilan pribumi (tuan feodal) inilah menandai berjalannya praktik feodalisme. Hampir setiap praktik kolonialisme pasti disokong oleh feodalisme. Kolonialisme tanpa feodalisme hanya terjadi pada wilayah tak berpenghuni, dan sejauh perjalanan umat manusia hanya terjadi satu kali, yaitu oleh masyarakat Yunani kuno. Kala itu, peradaban Yunani berkembang di suatu wilayah dengan topografi berupa pantai, dataran tinggi dan dataran rendah yang terpisah-pisah, sehingga membentuk unit-unit geografis yang terdiri dari gunung, lembah, teluk, dan dataran rendah. Karena kondisi alam inilah kemudian mereka membentuk kesatuan politik untuk setiap unit geografisnya, karena tempat tinggal yang demikian agak terisolasi sebagai akibat keterbatasan transportasi dan komunikasi. Kesatuan politik ini disebut sebagai polis. Beberapa bidang tanah di polis yang kurang subur, membuat penduduk hanya bisa menanam anggur dan gandum. Oleh sebab itu, banyak petani meninggalkan polisnya dan mendirikan pemukiman kecil di sekitar Yunani untuk bertani dan berdagang di Laut Tengah. Pemukiman petani itu kemudian disebut sebagai colonus. Inilah bentuk terawal kolonialisme atau praktik kolonialisasi. Melalui perdagangan dan transmigrasi, prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan hidup dengan cara berkoloni akhirnya menyebar ke luar Yunani dan diadopsi bangsa lain. Tinjauan historis mengungkapkan, kolonisasi bermula untuk mencari hasil tani yang tidak diperoleh di dalam wilayahnya sendiri, sehingga membuat masyarakat mendirikan koloni di luar wilayahnya. Celakanya, lambat laun sasaran koloni tidak terbatas pada hasil tani dan wilayah kosong, melainkan juga memburu hasil tambang sekalipun di wilayah itu sudah ada penghuninya. Citra kolonialisme makin memburuk seiring adanya perebutan dominasi atas daerah potensial oleh para pendatang/pengkoloni. Perebutan itu para gilirannya berujung peperangan, penaklukan, dan berakhir dengan penjajahan. Persis dengan apa yang diungkapkan Loomba (2003); hubungan pendatang baru dengan penduduk asli pada perkembangannya pasti menimbulkan beberapa masalah relasional yang kompleks dan traumatik. 8 | Miftakhuddin Permasalahan kolonial seperti ini, lantas dikemukakan sebagai proses “pembentukan sebuah komunitas” di daerah jajahan. Bermula dari situ, sampai hari ini kolonialisasi diidentikkan dengan penjajahan. Kolonialisme yang sekarang dikenal orang adalah kolonialisme yang telah bergeser paradigmanya, baik secara teoritis maupun secara praktis. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang punya pengalaman dijajah kolonial selama bertahun-tahun, tentu mengklaim bahwa kolonialisme adalah paham yang “murni” mengajarkan praktik penjajahan dan penindasan terhadap pribumi. Tampaknya, perubahan perspektif sekaligus stigma terhadap kolonialisme adalah kesalahan pelaku kolonial itu sendiri. Sebab, mereka sendiri yang mengubah paradigma kolonialisme dalam implementasinya. Pergeseran paradigma ini agaknya memang tidak terlepas dari sifat alami manusia yang tak pernah merasa cukup. Sesuai dengan salah satu teori ekonomi; kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Karena begitu satu kebutuhan terpenuhi, akan muncul kebutuhankebutuhan lainnya. Sebagai makhluk yang terkadang amoral, manusia dengan hasrat pemenuhan kebutuhannya kerap kali melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, terlepas dari siapa yang salah atas pergeseran paradigmanya, kolonialisme sebagai usaha perebutan dan penaklukan wilayah bercorak imperialistik-feodalistik memiliki pola yang sama, yakni kemenangan yang selalu didapatkan oleh pengkoloni/pendatang. Banyak sejarawan dan sarjana sejarah akhirnya berasumsi, bahwa pengkoloni selalu mempunyai strategi, teknologi dan peradaban yang lebih mumpuni ketimbang pribumi. Artinya, modernitas pengkoloni lebih unggul ketimbang pihak yang dikoloni (pribumi). Para sejarawan dan sarjana sejarah dengan mengacu kolonialisme era penjelajahan Spanyol dan Inggris, juga menyimpulkan bahwa dalam kolonialisme ada harapan, bahwa dengan dikuasainya pribumi maka modernitas akan ditularkan, sebab kolonialisme yang diraih melalui penaklukan akan bertahan dengan imperialisme dan feodalisme. Namun demikian, melencengnya praktik kolonial dari hakikat yang sesungguhnya menjadi penjajahan, membuat kolonialisme juga dianggap sebagai suatu upaya modernisasi yang gagal. Chandra (1978) Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 9 dalam publikasinya di Journal Contemporary Asia menegaskan “ketika keterbelakangan dilihat dari perspektif historik, peranan kolonialisme dipandang sebagai upaya modernisasi yang gagal”. Cerminan-cerminan yang ditampakkan di panggung sejarah dunia soal pergerseran di muka, telah ditorehkan oleh Spanyol sebagai suatu imperium “pecahan” Romawi pada abad ke-5. Kekaisaran Romawi yang dibangun dengan dasar imperialisme dan dipertahankan dengan politik feodalisme menginspirasi Spanyol untuk membesarkan dirinya menjadi suatu imperium sebagaimana Romawi. Tapi kesalahan Spanyol dalam mewujudkan cita-citanya, ialah menempatkan imperialisme sebagai tujuan, dan menempatkan kolonialisme sebagai metode pencapaian. Akhirnya, Spanyol menempuh cara yang keliru. Melalui pengiriman-pengiriman utusan, membuat Spanyol hanya memperoleh daerah koloni/jajahan, tanpa bisa mewujudkan imperium layaknya Romawi. 10 | Miftakhuddin A. Sejarah Kolonialisme Secara garis besar, wujud kolonialisme sebagai suatu ide atau gagasan adalah pergerakan suatu masyarakat sebagai respons atas kondisi alam yang tidak lagi menguntungkan. Penelusuran historis menunjukkan kolonialisme rupanya lahir lebih dulu ketimbang imperialisme dan feodalisme. Karena sejak manusia meninggalkan gaya hidup nomaden, kebutuhan akan makanan lebih urgent daripada kebutuhan akan luasnya tempat tinggal (daerah kekuasaan), maupun sistem politik tertentu (feodalisme).Oleh sebab itu, sekelompok manusia yang telah mengklaim suatu wilayah sebagai tempat tinggalnya secara tetap, harus menerima kondisinya. Jika ternyata ada kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi oleh lingkungannya, maka ada dua opsi; pindah lagi atau bertahan. Terkait dua pilihan tersebut, suatu contoh -katakanlah- migrasi bangsa Arya. Setelah memporak-porandakan bangsa Dravida di Harappa dan Mohenjo-daro (lembah Sungai Indus), sebagian menetap di India dan Pakistan menyatu dengan sisa bangsa Dravida, dan sebagian lainnya bermigrasi ke barat, yang pada gilirannya dikenal sebagai bangsa Jermanik atau barbar (Frank, Goth, Anglo, Saxon, dll). Adapun yang migrasi ke timur menjadi suku-suku bangsa Amerika Tengah (Mesoamerika), yang kini lebih dikenal sebagai suku Indian (Aztek, Maya, Inca, Olmek, Cahokia, dll). Bila dicermati, pola migrasi mereka semi nomaden. Artinya, menetapnya suatu komunitas tidak sepenuhnya permanen. Nyatanya ada yang memilih tinggal dan ada yang memilih migrasi. Sebenarnya, ini tidak hanya terjadi pada bangsa Arya, tapi juga pada bangsa di lembah sungai Nil dan beberapa suku bangsa di Mesopotamia (Sumeria, Akkadia, dan Babylonia). Gaya hidup menetap secara “resmi” terjadi Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 11 manakala suatu komunitas menemukan tempatnya masing-masing, membentuk sistem sosial-politis, dan berdaulat atas wilayahnya. Merekalah yang pada gilirannya berkembang menjadi suatu kerajaan. Kaitannya dengan kolonialisme, bilamana suatu satuan politik menghadapi kekurangan sumber daya alam, maka usaha memenuhinya ialah mencari ke luar wilayahnya. Asumsi ini berlandaskan praktik kolonisasi pertama oleh para colonus Yunani yang berdiri tanpa membuang statusnya sebagai bagian dari polis asalnya (mother land). 1. Perkembangan Politik Daerah yang kini adalah Yunani (Inggris: Greece) terbentuk atas unit-unit geografis, yang terdiri dari gunung, teluk, lembah dan dataran rendah yang terpisah-pisah. Kondisi ini membuat penduduknya membentuk kesatuan politik untuk setiap unit geografis yang disebut polis1. Penduduknya terdiri atas penduduk asli (bangsa Akaia2), bangsa Hellas dari sekitar Laut Kaspia, bangsa Doria yang terkenal ahli perang menetap di polis Sparta, suku Ionia di polis Athena, dan suku Aeolia di polis Delphi. Pembentukan polis oleh setiap suku bangsa ini terjadi pada sekitar 1000-800 SM, dengan sistem pemerintahan yang sangat beragam, sebab masing-masing polis punya konstitusinya sendiri. Kendati demikian, heterogenitas sistem politik polis-polis itu masih bisa dipetakan. Romein (1956) membagi peradaban Yunani menjadi tiga karakteristik pokok; kekotaan, bourgeois dan duniawi. Kekotaan berarti polis-polis Yunani adalah satu kesatuan berbentuk negara-kota (city-state) yang merdeka dan berhak mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tapi polis bukanlah bagian dari suatu imperium besar. Bourgeois artinya polis sebagai pendukung peradaban Yunani merupakan suku bangsa yang bebas dan tidak berada di bawah payung kerajaan. Kebebasan ini juga tercermin dari aktivitas perdagangannya yang membawa kemakmuran dan kebebasan berekspresi. Adapun duniawi berarti kebudayaannya bersifat rasional dan materialis, sehingga mengandalkan perhitungan matematis. 1 Dalam beberapa literatur, polis disebut pula negara kota (city state) Sebelum kedatangan bahasa asing, Akaia sudah mendirikan dua peradaban maju, yaitu; Minos (Minoa) dan Mikenia (Myceneae). 2 12 | Miftakhuddin 2. Kolonisasi Yunani Iklim mediteran membuat Yunani selalu mendapat hembusan angin laut sehingga suhu udara tidak terlalu panas, ditambah hujan yang biasanya turun pada September dan Mei, memungkinkan penduduk menaman zaitun, gandum anggur, dan tanaman semitropis lainnya (Sumobroto, dkk., 1989). Tapi kualitas tanahnya tergolong kurang baik. Arus sungai yang deras dan kering pada musim panas tidak dapat dimanfaatkan untuk irigasi (Sudrajat, 2010). Inilah mengapa mereka membentuk koloni di luar polis untuk bertani dan berdagang. Oleh sebab colonus adalah perpanjangan tangan dari polisnya, maka segala aktivitas dan distribusi hasil pertanian dikontrol penuh oleh polisnya sebagai induk pemerintahan. Fase pembentukan polis ini terjadi sejak 800-600 SM. Pada perkembangan berikutnya terjadi penyatuan polis membentuk kekaisaran Yunani secara bertahap. Ketika masing-masing polis sudah terbentuk, berlanjut pada fase ekspansi atau kolonisasi (800-600 SM). Koloni ke arah timur mencapai Troya (Asia Kecil/Anatolia), dan koloni ke arah barat mencapai Italia Selatan bahkan mencapai La Corse, Prancis (Utomo, 2016). Bangsa Ionia dan Aeolia mendirikan koloni ke wilayah pantai Macedonia dan pulau-pulau di Laut Aegea, bahkan mendirikan Perserikatan Dua Belas Kota bernama Perserikatan Aeolia, juga mendirikan Perserikatan Dua Belas Kota di Anatolia bernama Dodecapolis. Mereka memperluas koloni sampai Sicilia untuk mendirikan kota Gella dan Syracusa, dan menaklukkan semenanjung Apenina untuk mendirikan kota Tarentum dan Croton. Dua kota ini, pada perkembangan berikutnya menjadi pusat peradaban Hellenisme, dengan sebutan Magna Graecia3. Kolonisasi Ionia dan Aeolia akhirnya meluas ke sekitar Prancis dan Spanyol. Sementara pada 660 SM bangsa dari polis Megara mendirikan koloni di tepi Laut Marmora, bernama Byzantium. Kota ini pada masa Romawi diubah namanya menjadi 3 Istilah “Graecia”, menurut Sudrajat (2010), kemungkinan menjadi rujukan kenapa Yunani disebut “Greece” dalam bahasa Inggris. Padahal, orang Yunani sendiri menyebut nama negara mereka sebagai Hellas atau Ellada, dan menyebut diri mereka sebagai warga negaranya sebagai Hellen. Sedagkan dalam bahasa Indonesia, Yunani kemungkinan diambil dari kata “Ionia”. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 13 Konstaninopel. Sementara itu, bangsa Doria mendirikan koloni sampai ke semenanjung Peloponnesos. Selain menaklukkan Argos di pantai utara polis Sparta, mereka menaklukkan Laconia dan Messenia yang kemudian dipersatukan kedalam Lacedaemon. Penguasaan Sparta di seluruh jazirah Peloponnessos membuatnya makmur dengan bersandar pada sektor agraris. Ada sedikitnya dua alasan Yunani melakukan kolonisasi. Pertama, kurangnya ruang publik yang menimbulkan masalah sosial. Kepadatan penduduk di polis-polis menyebabkan kesejahteraan ekonomi merosot. Ketidakseimbangan antara kuantitas penduduk dengan ruang hidup dan lahan budidaya tanaman memicu masalah-masalah sosial seperti kesejahteraan pangan, kemiskinan, dan lainnya. Hal ini memaksa masyarakat untuk membentuk koloni di luar wilayah. Sebagaimana Ehrenberg (1960); The limited space of the single political unit was again the main cause of Greek colonization and was responsible for the wide extent of the area of Greek settlements and the great number of their cities. The reason for the foundation of most colonies was the insufficiency of the homeland for housing and feeding a growing population. Kedua, perselisihan antar polis. Pertentangan politik yang berujung pada peperangan mengakibatkan pihak yang kalah harus mencari tempat baru untuk penyelamatan diri. Beberapa literatur ada yang menyatakan bahwa terdapat alasan ketiga, yakni jiwa petualangan masyarakat yang tumbuh karena kerasnya kondisi alam Yunani. Tapi jika dipertimbangkan, hal itu tidak ada bedanya dengan alasan pertama, mengenai pemenuhan kebutuhan jasmaniah. 3. Konsolidasi dan Keruntuhan Sebagaimana seharusnya pengkoloni di daerah koloni, hubungan pengkoloni dengan pusat terjalin baik. Hubungan yang harmonis dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara -termasuk politik, bahasa dan perniagaan- ini turut menularkan kebudayaan pengkoloni. Maka wajar bila daerah persebaran budaya Hellenisme mencapai Spanyol dan Anatolia. Kota-kota dagang hasil dirian kolonial yang beroperasi di Laut 14 | Miftakhuddin Tengah pun secara perlahan juga menjamin kesejahteraan ekonomi dan stabilitas sosial masyarakat Yunani. Praktis, persoalan penyebab kolonisasi telah teratasi dengan gamblang. Sampai fase ini, di mana koloni berdiri di sana-sini, sudah mulai menampakkan konstruksi imperialisme dalam sistem pemerintahan setiap polis. Masing-masing polis ingin wilayah kekuasaannya semakin banyak dan menyeret garis batas teritorial wilayah semakin jauh. Perluasan demi perluasan dilakukan setiap polis hingga terjadi gesekan dan berakhir dengan peperangan sekaligus penaklukan. Ini terjadi pada 600-400 SM, yang merupakan fase kejayaan polis-polis Yunani. Fase ini ditandai kemenangan Athena dalam perang melawan Persia, yang membuat polis Yunani lain bersekutu dengan Athena dan mendirikan Liga Delia (Delian League). Namun ternyata, dominasi dan hegemoni Athena sebagai pemimpin liga dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri, seperti; pembangunan monumen-monumen keagamaan di Acropolis dan pembangunan benteng Pyreus. Sementara itu, seolah menjadi tandingan Liga Delia, Sparta membentuk Liga Peloponnessos. Bedanya, Liga Delia terbentuk karena minat pribadi polis untuk bergabung, sedangkan Liga Peloponnessos terbentuk atas penaklukan-penaklukan bangsa Doria. Nah, inilah fase yang disebut sebagai masa kejayaan polis-polis Yunani, yaitu terkonsentrasinya dua kesatuan politik ke dalam dua kekuatan besar. Sayangnya, Athena sempat mengalami perselisihan internal hingga membuat kedua liga berseteru. Oleh karena Liga Peloponnessos dibantu Persia, maka runtuhlah Liga Delia. Athena sebagai pihak yang kalah dipaksa merobohkan bentengnya dan menjadikan Athena sebagai koloni Sparta. Sekalipun perang dimenangkan Sparta, tapi perang selama 27 tahun itu membuat Yunani mengalami kemiskinan dan penderitaan. Raja Philip II dari kerajaan Macedonia melihat melemahnya Yunani sebagai suatu peluang. Akhirnya atas invasi Maceodonia, resmilah Yunani runtuh dan menjadi kekuasaan Macedonia. Inilah fase keruntuhan Yunani (400-300 SM). Walau secara praktis Yunani telah runtuh, tetapi kebudayaan dan ilmu-ilmu sains dari Yunani tetap berkembang. Malahan, Aristoteles yang berguru filsafat dan etika politik kepada Plato menjadi guru dari Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 15 Alexander Agung (Iskandar Zulkarnaen), anak dari Raja Philip. Perkembangan budaya dan ilmu tidak ikut hancur bersama fisik kekaisaran Yunani, sebab di fase pembentukan polis dan fase kolonisasi, diiringi penyebaran dan perkembangan budaya maupun ilmu pengetahuan Yunani. Secara umum kebudayaan Yunani diklasifikasikan ke dalam tiga periode. Periode pertama adalah Archaic (750-500) yang terjadi pada fase kolonisasi dan pengenalan sistem politik city-state. Periode kedua adalah Clasical (500-336) yang terjadi semasa puncak kejayaan Yunani dan penyempurnaan konsep tata pemerintahan demokrasi, dan periode terakhir adalah Hellenistik (336-146) yang ditandai dengan akulturasi kebudayaan Yunani dan budaya dari India dan Persia. Selain semangat filsafat yang dikobarkan oleh Thales, Socrates dan Plato, sains yang dimekarkan oleh Pythagoras, Archimedes, Democritus dan Euclid, Hippocrates juga berkontribusi mengembangkan ilmu pengobatan menjadi ilmu kedokteran, menghadirkan banyak obatobatan medis bahkan merumuskan kode etik kedokteran. Herodotus dan Thucydides pun juga berkontribusi dalam meletakkan dasar-dasar pencatatan sejarah secara baik. Adapun bukti konkret kebudayaan Yunani yang tersebar selama kolonisasi adalah kesenian dan kepercayaan. Seni rupa misalnya, gaya lukisan orang-orang Yunani untuk menangkap potret seorang tokoh menginspirasi orang-orang Romawi untuk melukiskan suasana rapat/diskusi para konsul dan lembaga pemerintahan lainnya. Seni arsitektur, bangunan megah Romawi dengan empat pilar besar di bagian depan merupakan bentuk adopsi dari Yunani. Agama pun demikian, siapa-siapa saja yang menjadi dewa Yunani adalah dewa Romawi pula (Zeus, Posseidon, Hades, dll). Termasuk patung, bentuk konstruksi kuil, dan praktik peribadatan. Sebetulnya, pengaruh kultural dari kolonisasi Yunani juga merambah ke ranah pendidikan, kesusastraan dan keolahragaan (Olympiade), namun telah penulis bahas dalam buku sebelumnya. Bisa dipastikan, umumnya setiap aspek kehidupan kaum yang dikoloni adalah bentuk duplikasi -atau minimal mendapat pengaruh- dari kaum pengkoloni. Sesuai dengan asumsi dasar, bahwa pengkoloni 16 | Miftakhuddin mempunyai kemajuan peradaban yang lebih unggul. Infiltrasi kultural pengkoloni di dalam masyarakat koloni agaknya memang telah menjadi ciri khas tertentu. Ibarat membeli sapi, pasti akan mendapat talinya jua. Namun demikian, entah mengapa filsafat, sains dan politik tetap menjadi ikon peninggalan Yunani. Barangkali karena masyarakat berkiblat pada data historikal dalam mengkaji fenomena alam dan mengambil keputusan terkait filsafat, sains dan politik berdasar hasil kajian historis. Lebih-lebih jika masyarakat Eropa dilihat menggunakan peta kultural pada masa sebelum masehi, akan tampak wilayah Yunani mencapai Asia Kecil, semenanjung Apenina (Magna Graecia), Afrika Utara dan wilayah pantai di Perancis selatan seperti Marseillas hingga Spanyol. Maka wajar bila daerah-daerah itu memiliki kesamaan budaya, gaya hidup dan sistem pemerintahan, termasuk konsepsi kolonial. 4. Feodalisme Romawi Romawi berdiri sejak 753 SM, di mana Yunani sedang gencargencarnya melakukan ekspansi melalui kolonisasi. Meski kala itu koloni Yunani mencapai Italia, belum ada sumber valid yang memastikan apakah Romawi termasuk koloni Yunani atau bukan. Tetapi, jika bertolak pada argumen para sejarawan dan studi literatur, akan mengerucut pada klaim bahwa Romawi adalah sebuah kerajaan (monarki) yang berdiri sendiri, bukan merupakan bekas koloni Yunani. Justeru, Romawi yang menginvasi Yunani dari Macedonia dan seluruh koloninya, termasuk Mesir yang saat itu dipimpin Cleopatra pada 275 SM. Ketika memperluas kekuasaannya, Romawi sempat berbenturan dengan Kartago (pemerintahan dirian bangsa Fenesia tahun 814 SM) dalam Perang Punic, tapi Romawi keluar sebagai pemenang. Kalahnya Kartago membuat wilayahnya dimiliki Romawi, termasuk Spanyol, kepulauan Sardinia, dan Korsika (Prancis). Sayangnya, pasca kemenangan ini Romawi dilanda krisis. Perang saudara, korupsi, pemberontakan militer, dan ketidakpuasan publik terhadap senat terjadi terus menerus. Pembentukan triumvirat (tiga serangkai pemimpin perang) hanya mampu menangani persoalan militer saja. Julius Caesar selaku anggota triumvirat, merasa bentuk pemerintahan republik tidak Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 17 lagi relevan dengan kondisi Romawi, sebab amat rentan terhadap konflik internal dan tidak bisa menyelesaikan persoalan politis yang demikian kompleks. Saat ia dinobatkan sebagai diktator seumur hidup berdasarkan sidang senat, kekuasaan Romawi meluas sampai ke utara Eropa dan menekan garis batasnya sampai ke Britania (Inggris). Secara administratif, wilayah kekuasaan Romawi melebihi separuh benua Eropa. Meski sudah berada di puncak kekuasaan, sebagai pribadi yang tidak begitu suka dengan bentuk pemerintahan republik, ia tidak menghapuskan republik dari bumi Romawi, sebab dengan hadirnya dia sebagai diktator, maka bentuk pemerintahan Romawi juga merupakan oligarki. Sampai di sini, ada beberapa versi mengenai kelanjutan karir politik Julius Caesar, ada sumber yang menyatakan Caesar dibunuh oleh komplotan sindikat yang ingin mengembalikan kejayaan republik (mereka adalah Brutus dan Cassinus), ada pula sumber yang menyatakan bahwa Caesar meninggal karena kudeta oleh persekongkolan Octavianus dan Markus Antonius (Mark Antony4), padahal Octavianus adalah kemenakkan Caesar. Namun keduanya menyatakan hal senada soal pengganti Caesar dan waktu kematiannya. Caesar wafat pada 44 SM dan digantikan Octavianus. Naiknya Octavianus ke tampuk kekuasaan, menurut Misrawi (2010), terjadi setelah perebutan kekuasaan antara Octavianus dengan Antonius. Triumvirat kemudian membagi Romawi menjadi tiga; Octavianus di Eropa, Lepidus di Afrika dan Antonius di Mesir. Sayangnya, Antonius berselisih dengan Oktavianus yang menyebabkan Antonius tewas bunuh diri bersama istrinya, Cleopatra. Octavianus lalu mendeklarasikan dirin sebagai kaisar Romawi bergelar Augustus (Yang Mulia). Demikianlah bentuk pemerintahan Romawi berubah dari republik-oligarki menjadi kekaisaran (imperium) sejak 27 SM. Kelihaian kaisar Octavianus dalam memainkan peran politiknya membawa Romawi pada puncak kejayaan, di mana Romawi menjadi imperium terbesar di dunia, dan masyarakatnya hidup dalam kedamaian dan kemakmuran ekonomi. Kondisi ini disebut Pax Romana 4 Antony adalah kekasih Cleopatra sesudah Julius Caesar (Misrawi, 2010). 18 | Miftakhuddin (perdamaian Romawi). Guna mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, Octavianus menggunakan politik devide et impera (pecah belah), yang kemudian banyak diadopsi para pengkoloni era penjelajahan samudera. Pasca kematian Octavianus dan digantikan kaisar-kaisar berikutnya, kejayaan Romawi mulai merosot hingga mengalami keruntuhan. Penyebabnya bermacam-macam dan amat kompleks. Pertama, sistem pergantian kaisar yang “tidak jelas”. Umumnya, tahta akan diwariskan kepada putra kaisar, tapi Octavianus tidak memiliki anak. Inilah pemicu kekacauan internal dari berbagai kalangan politik dan militer yang menggerogoti pemerintahan Romawi. Jabatan kaisar tidak lagi diwariskan, melainkan dipilih berdasarkan keahliannya dalam bertarung/berperang. Kendatipun demikian, kesalahan terbesar Romawi ialah tidak digunakannya dewan kabinet (senat) dalam pemilihan kaisar. Akibatnya, aktor penangkal keruntuhan menjadi tidak kompak. Kedua, diresmikannya agama kristen menjadi agama kerajaan pada pemerintahan kaisar Konstitianus5 sebagai kaisar pemeluk kristen pertama. Gereja kristen menjadi organisasi terkuat, yang mampu menghimpun anggota sampai 10% penduduk. Pembangunan gereja di berbagai tempat dan militansi pendakwah kristen membuat masyarakat lebih mementingkan urusan rohani dan akhirat (pengampunan dosa). Lunturnya sifat materialis menjadi religius, secara masif menghentikan roda perekonomian masyarakat. Penduduk kelas petani dan pedagang tidak lagi terobsesi pada urusan duniawi, seperti; pajak dan militer. Di samping melemahkan pertahanan, tentu saja ini membuat siklus perekonomian mandek. Alhasil, terjadilah inflasi besar-besaran di seluruh Romawi. Ketiga, gempuran dari bangsa bar-bar (jermanik) yang datang dalam gelombang yang hampir bersamaan. Mereka berasal dari leluhur yang sama, yakni ras Arya. Komposisi bangsa jermanik yang menyerbu 5 Awalnya, semasa pemerintahan Justiniasnus, penyebaran kristen dapat ditolerir, tapi perkembangan yang pesat membuat masyarakat khawatir Romawi terpecah belah. Para pendakwah dan umat kristen pun dianiaya; ditindas, dibunuh dan diumpankan kepada singa di Colosseum. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 19 Romawi terdiri atas bangsa Frank, Saxon, Anglo, Viking, Vandal, dan Goth (Ostrogoth dan Visigoth). Di dalam kondisi tersebut, keruntuhan bermula saat gereja mendapat tempat dalam pemerintahan, dengan mengintervensi pengambilan kebijakan yang seharusnya mutlak di tangan kaisar. Lambat laun, kerajaan “ditunggangi” otokrasi gereja, yang berdampak pada melemahnya resistensi Romawi terhadap invasi dari luar. Oleh karena kekristenan menjadi landasan bernegara dan bermasyarakat, pemikiran-pemikiran filsafat dan penemuan sains dari pemikir Yunani pun dianggap musyrik dan melenceng dari wahyu Tuhan. Kekacauan dan krisis di berbagai bidang inilah yang disebut dark age atau Abad Kegelapan di Eropa. Kesadaran atas ketidakbenaran ini membuat kaisar saat itu, Diocletianus, membagi Romawi menjadi dua; Romawi Barat beribukota di Milan, dan Romawi Timur di Byzantium (Konstantinopel6). Ia juga menurunkan nilai mata uang. Tapi menurunkan nilai mata uang saat inflasi besar adalah suatu hal yang sia-sia, lebih-lebih harga barang juga naik bersamaan dengan inflasi. Kontrol untuk mengendalikan inflasi rupanya malah menimbulkan pasar gelap dan kerusuhan. Akhirnya, krisis ekonomi diatasi dengan penerapan pajak tinggi kepada penduduk. Nah, berawal dari penerapan pajak tinggi inilah benih feodalisme mulai tampak tumbuh, sebab telah ada pendelegasian kekuasaan dari bangsawan puncak kepada tuan tanah atau tuan feodal, yaitu dewan kota praja (vassal). Pajak dipungut oleh seorang tuan feodal, bilamana pajak yang terkumpul tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka tuan feodal harus menambali. Alhasil, kondisi ini memicu catastrophic, yaitu suatu situasi di mana banyak anggota dewan kota praja mengundurkan diri karena tak sanggup menambali pajak tersebut. Guna mencekal catastrophic, Diocletian dan kaisar selanjutnya “memaksa” mereka bertahan dengan menetapkan jabatan itu berlaku turun-temurun. Kebijakan ini juga diberlakukan untuk kelas masyarakat lain, termasuk 6 Perubahan nama Byzantium menjadi Konstantinopel sebagai penghormatan kepada kaisar Konstantinus, karena pernah mendamaikan perselisihan penduduk penyembah dewa Yunani dengan para umat kristen. Ia mendudukan kedua tokoh keduanya ke dalam satu forum. 20 | Miftakhuddin petani. Sehingga anak tuan feodal akan menjadi tuan feodal, dan anak petani akan menjadi petani. Begitu juga dengan kelas masyarakat lain. Ditinjau dari strata feodalisme, tuan feodal (vassal) adalah bangsawan level kedua (level pertama ialah kaisar). Sebagai tuan, ia memiliki bawahan yang wajib menyetor upeti, mereka ialah para petani (serf). Praktik ini, -dalam konteks feodalisme- dikenal sebagai pertanian bangsawan atau manorial estate, yang kemudian lebih dikenal sebagai manor7. Inti dari feodalisme adalah tanah sebagai sumber kekuasaan. Siapa yang punya tanah, dialah yang berkuasa. Sebagaimana yang terjadi, krisis ekonomi di Romawi Barat membuat kaisar menegaskan seluruh tanah di Romawi adalah miliknya, sesuai dogma kekristenan; city of God, yakni tanah adalah milik kaisar sebagai wakil Tuhan di bumi. Doktrin gereja ini membuat vassal dan rakyat berstatus sebagai penyewa dan penggarap tanah. Tanah kaisar ini bisa diberikan kepada; pegawai/tentara sebagai gaji, keluarga kerajaan dan biarawan untuk mendukung pendidikan kekristenan. Sekurang-kurangnya ada dua faktor penyebab munculnya feodalisme. Pertama, urgensi sistem kepemilikan tanah. Status kepemilikan tanah di Romawi menjadi teramat penting, sebab perang yang tidak berkesudahan dan militansi kristiani membuat roda perekonomian menjadi mandeg. Ini membuat petani yang tak sanggup membayar pajak mengalihkan tanahnya kepada tuan feodal untuk disewakan kepada para petani miskin. Kesepakatannya, petani miskin mendapat perlindungan dan kesejahteraan. Dengan kata lain, petani yang tak punya hak milik atas tanah garapannya berstatus setengah budak. Kedua, masuknya bangsa Jermanik yang membawa kebiasaan pembagian hasil rampasan perang dari panglima kepada para prajurit sebagai imbalan atau balas jasa. Pola bagi hasil ini kemudian diadopsi dalam hubungan feodal antara lord dengan vassal. Asimilasi faktor ekokultural inilah yang menjadi platform implementasi feodalisme. Meski sepintas tampak tak adil, feodalisme tidak bisa disejajarkan dengan kolonialisme (penjajahan). Sebab, dalam feodalisme 7 Manor adalah sebidang tanah dengan “hak milik” dipegang bangsawan (vassal), ia tidak hanya sebagai penguasa tanah, melainkan juga pelindung, hakim dan kepala kepolisian dalam teritorial tanah miliknya. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 21 klasifikasi struktur, tugas dan tanggung jawab masyarakat lebih terorganisir dan rapi. Romawi Barat meletakkan dasar feodalisme dengan memperhatikan aspek humanistik, dibuktikan dengan sikap konservatif penguasa terhadap petani. Faktanya, kala petani menjadi sasaran perampok (kaum Jermanik), tuan feodal bertanggung jawab sebagai kepala kepolisian (knights) untuk menjamin keselamatan petani. Musim paceklik pun, mereka memberi makan para petani dari lumbung penyimpanan. Bahkan, petani miskin (jika tak boleh disebut budak) diizinkan menyewa peralatan dan ternak milik vassal. Demikian juga lord, berkewajiban melindungi vassalnya, yang selalu menolong lord dalam perang dan membayar upeti/pajak. Struktur sosio-politik ini tidak berlangsung konstan. Menuju puncak feodalisme di abad ke-10, banyak dewan gereja menjual surat pengampunan dosa. Makin lama banyak vassal memerdekakan diri dan mengakuisisi “tanahnya” sebagai miliknya pribadi. Ada pula yang menyerahkan tanahnya kepada tuan feodal lain (ber-allod) dengan tetap mempertahankan hak pakai atas tanahnya. Tentu saja ia mendapat jaminan perlindungan dari feod-nya. Di samping itu, vassal mulai menggunakan kekerasan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Karena undang-undang tak mampu menstabilkan kemerosotan ini, maka muncul pemberontakan, perang antar tuan feudal bahkan perang dengan pemerintah pusat. Inilah konflik-konflik internal penyebab runtuhnya Romawi Barat. Namun demikian, berkat kerusuhan tersebut demokrasi mulai kembali dengan kesepakatan yang termaktub dalam dokumen Magna Charta tahun 1215, yang berisi raja John dari Inggris mengikat diri untuk mengakui, menghormati dan menjamin kemerdekaan dan hak rakyat serta gereja di Inggris. Melalui Magna Charta ini, keinginan raja lebih dibatasi dan aktivitas rakyat menjadi legal. Sementara otokrasi gereja, walau menurut perjanjian Lateran telah “berpindah tempat” ke Vatikan, tapi peran militernya tetap terstruktur dan masif, terlebih melalui partisipasinya dalam Perang Salib. Disintegrasi Romawi dan penerapan pajak tinggi rupanya malah menjadi “bom waktu” bagi keruntuhan Romawi. Saat Romawi Barat runtuh akibat krisis di berbagai bidang dan serangan bangsa Jermanik, 22 | Miftakhuddin hanya tersisa Romawi Timur (Konstantinopel) atau dikenal juga sebagai Roma baru. Bagi Konstantinopel, masalah terbesar bukanlah bangsa Jermanik, melainkan perselisihan dengan kristen Eropa Barat (Paus) yang terlalu ambisius dan ekspansi Arab, yang saat itu telah menguasai Turki, Yerussalem, Suriah, Afrika Utara, dan Spanyol. Singkatnya, tiga kekuatan ini akhirnya terlibat ke dalam Perang Salib, yang berakhir dengan kemenangan Arab dan runtuhnya Romawi pada 1453. Seiring keruntuhan Romawi, feodalisme sebagai upaya mempertahankan eksistensi dan kedaulatan Romawi berubah bentuk. Feodalisme tak lagi berprinsip pada keturunan, tapi kinerja. Kinerja atau tinggi rendahnya mobilitaslah yang menjadi tolok ukur status sosial. Bentuk pergeseran ini menghasilkan suatu paham baru, yakni kapitalisme, suatu paham yang menjadi wajah baru dari kelamnya dark ages, sekaligus penanda dimulainya renaissance di Italia. Paham kapitalisme memandang penguasa tidak selalu berasal dari keturunan bangsawan. Kapitalisme lebih bebas dan terbuka, di mana penguasa adalah siapapun yang memiliki modal. Entah dari kasta manapun, selama dia memiliki modal maka dia adalah penguasa. Perlu diketahui, abad pertengahan adalah masa di mana tren feodalisme diperkenalkan secara tak sengaja oleh kaisar Romawi. Krisis ekonomi ditambah ledakan penduduk menampakkan takdir seolah berpihak kepada kaisar untuk menerapkan feodalisme dan mempertahankannya. Saking populernya feodalisme di abad pertengahan, beberapa paper sejaran menyatakan feodalisme sebagai ciri khas abad pertengahan. Praktik feodalisme bertujuan mengkatrol kondisi ekonomi yang melemah, namun karena sistem kerja feodalisme yang sedemikian rupa, maka melahirkan suatu bentuk intimidasi dari kalangan penguasa, (terutama oleh vassal). Sistem feodalisme merupakan sebuah hierarki sosial yang besar, lebih besar dari sistem kasta Hinduism. Kendatipun jauh dari nilai-nilai demokrasi, namun feodalisme memiliki undang-undang dan angkatan militer (knight). 5. Kebangkitan Kolonialisme Primadona bangsawan semasa imperium Romawi adalah imperialisme dan feodalisme, sementara kolonialisme sempat tidak Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 23 populer. Tapi pasca keruntuhan Romawi kolonialisme kembali, ditandai dengan didirikannya koloni pelabuhan dagang di Genoa, Venesia dan bekas pelabuhan militer Perang Salib lainnya. Otokrasi gereja yang mengkerdilkan kebebasan berpikir logis memudar. Pemikiran filsafat materialistik, penelitian dan penemuan sains mulai mendapat tempat kembali. Memang, kemenangan muslim menyapu bersih kekacauan Dark Age dan menggantikannya dengan renaissance (Abad Pencerahan). Ini adalah masa di mana gerakan-gerakan pembaharuan bermunculan, yang bertolak dari pembelaan atas rasionalitas dan keyakinan terhadap akal. Ada tiga penemuan penting yang membuat renaissance semakin cepat menurut Saifullah (2014), yakni; mesiu, seni cetak dan kompas. Mesiu menandakan runtuhnya kekuasaan feodal, karena senjata telah bisa digunakan kaum proletar. Seni cetak melambangkan pengetahuan tak lagi menjadi milik eksklusif elit tertentu. Sedangkan kompas berarti navigasi telah menjadi hak semua orang, dan memungkinkan orang Eropa memperluas horizon Barat ke Dunia Baru (new world). Penemuan kompas kemudian memicu penjelajahan-penjelajahan, seperti; Christopher Columbus dan Vasco da Gama. Hasil gemilang atas kembalinya mereka dari Dunia Baru membuat bangsa Barat yang bangkrut pasca Perang Salib melakukan penjelajahan demi masa depan yang baru. Penjelajahan bermula sejak pelabuhan Italia, seperti; Venesia, Florence, dll ramai akan pedagang muslim yang membawa rempahrempah dari India. Kapal-kapal Italia kemudian membawa muatan itu melintasi Mediterania ke Eropa. Raja Portugis, Henry, meyakini bahwa cara untuk mendapat laba maksimum adalah dengan mem-by pass perdagangan muslim-Italia tersebut. Akhirnya ia memerintahkan eksplorasi untuk mendapatkan dominasi perdagangan dan emas sampai ke sekitar Afrika (Nugroho, 2016). Penerusnya, Raja John II, menginginkan jalur perdagangan yang kaya di Asia. Dia lantas mengutus Bartholomew Diaz menyusuri pantai barat Afrika ke selatan hingga memutari sebuah tanjung yang oleh Diaz dinamai Tanjung Badai, karena kapalnya terserang badai di sana. Tapi Raja John menamainya Tanjung Harapan (cape of good hope) karena 24 | Miftakhuddin menurutnya telah ada petunjuk untuk menuju India. Kegagalan Diaz lalu digantikan Vasco da Gama melanjutkan ekspedisi, yang sampai di Calicut pada 1498 (Nugroho, 2016). Sepulangnya da Gama ke Portugis, ia membawa serta rempah-rempah sebagai hadiah dari raja India untuk raja Portugis. Sayangnya, daya jelajah Portugis dipandang iri oleh Spanyol yang juga menginginkan laba besar dalam perdagangan. Kala itu, cendekiawan Spanyol masih berselisih paham soal ukuran bumi. Ada dua pandangan; pertama, teori Ptolomeus yang menganggap bumi lebih kecil dari ukuran sebenarnya, dan kedua adalah anggapan ilmuwan Universitas Salamanca yang mengklaim bumi lebih besar dari perkiraan Ptolomeus. Seorang pelaut Italia, Cristopher Columbus termasuk yang meyakini Ptolomeus. Ia menyatakan jika berlayar ke barat, maka dia akan mencapai India dalam dua bulan. Sementara ilmuan Universitas Salamanca menyatakan dia memerlukan waktu empat bulan. Tetapi Ratu Isabella lebih percaya pada Columbus dan bersedia mensponsori pelayarannya pada 3 Agustus 1942. Bahkan, menurut Hart (1978), Ratu Isabella menjanjikan Colombus posisi gubernur di pulau mana pun yang ditemuinya. Disebutkan oleh Columbus sendiri dalam Journal of the First Voyage of Columbus oleh American Journeys Collection (2003) hlm. 90-91, I left the city of Granada on the 12th day of May, in the same year pf 1942, being Saturday, and came to the town of Palos, which is a seaport; where I equipped three vessels well suited for such service; and departed from that port, well supplied with provisions and with many sailors, on the 3rd day of August of the same years, being Friday, half an hour before sunrise,taking the route to the islands of Canaria... Keberangkatan Columbus diarmadai tiga kapal penjelajah; Nina, Pinta dan Santa Maria. Setelah dua bulan berlayar melintasi samudra Atlantik, sampailah dia di benua Amerika. Di sana ia bertemu pribumi yang oleh Columbus dinamai Indian (orang India), sebab Columbus mengira kalau dia sudah sampai di India. Perlu diketahui, meski pelaut Viking (Leif Ericson) telah sampai di Amerika bertahun-tahun sebelum Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 25 Columbus, tapi Columbus-lah yang dinobatkan sebagai penemu benua Amerika. Alasannya, penemuan Columbus memberikan pengaruh besar terhadap Eropa. Walaupun toh ada rumor penjelajah Arab pernah singgah di sini sebelum Viking, dia kurang memberi kontribusi yang berarti. Berbeda dengan Columbus, yang hanya dalam hitungan tahun setelah kembalinya dia ke Spanyol, berhasil membuka ekspedisi di Dunia Baru. Naasnya, pendaratan pasca Columbus berakhir dengan kolonisasi dan penaklukan suku-suku Indian. Menurut Hart (1978), penemuan Columbus merupakan mahkota sekaligus tonggak penting dalam sejarah eksplorasi dan kolonisasi Dunia Baru. Colombus seolah membuka pintu bagi Eropa akan pemukiman baru, penyedia sumber daya mineral dan sumber daya hayati yang nantinya bakal memperbaiki kehidupan Eropa. Sekalipun kemajuan Eropa harus mengorbankan kehidupan suku Indian, namun eksplorasinya itu membuka jalan bagi Spanyol dan bangsa Eropa lain untuk mengkoloni Amerika (Nugroho, 2016). Kabar baik dari Columbus dan Vasco da Gama ini kemudian menginspirasi bangsa Barat lain seperti Belanda, Prancis, dan Inggris untuk melakukan pelayaran ke penjuru dunia, maka di mulailah Era of Great Voyage (zaman penjelajahan). Kebangkitan kolonialisme semakin pesat ketika terjadi berbagai revolusi, seperti; Revolusi Amerika (1776), Revolusi Prancis (1799) yang diwarnai Martin Luther dan John Calvin dalam mengkritik konsepsi ketuhanan kristen orthodoks Roma dan penolakkannya terhadap penjualan surat penebusan dosa, dan yang terakhir Revolusi Industri di Inggris (berpuncak pada 1800-an) yang memperkenalkan prinsip dan teknologi baru dalam berproduksi. Revolusi Prancis adalah revolusi ideologis yang melahirkan berbagai macam paham, seperti, Kristen Protestan, humanisme, rasionalisme, kapitaslime, romantisme, merkantilisme, bahkan marxisme (komunis). Paham-paham bercorak kapitalis memungkinkan penganutnya menjadi pribadi yang oportunis dan ambisius sebagai pemodal utama. Perombakan kerangka pikir ini menjadi satu-satunya pilihan ketika sikap pemerintahan monarki dalam menghadapi perubahan begitu kaku, ditambah lagi ketidakpuasan publik yang terdiri 26 | Miftakhuddin atas kaum borjuis, petani, buruh dan individu. Absolutisme kerajaan barangkali memang tidak bisa dipersalahkan, tapi penutupan utang nasional akibat perang yang ditanggulangi dengan penarikan pajak yang tidak berimbang, hanya akan meruntuhkan pemerintahan itu sendiri. Persis dengan apa yang terjadi pada imperium Romawi. Sedangkan Revolusi Industri adalah revolusi teknologis, yang melahirkan alat-alat produksi, peralatan logam, dan teknologi lainnya. Gara-gara revolusi industri lah masyarakat Inggris yang semula agraris menjadi industrialis. Mereka bertransformasi menjadi masyarakat modern. Penemuan metode pemanfaatan batu bara untuk memurnikan besi, membuat penemuan-penemuan industrial semakin maju, sehingga diproduksilah senapan dan persenjataan perang. Penemuan mesin uap oleh Thomas Newcomen yang dipatenkan James Watt pada 1769 juga memicu penemuan alat-alat berat seperti kapal perang, meriam dan lokomotif. Inggris memiliki sumber daya industri lebih baik ketimbang negara lain, oleh sebab itu Inggris menjadi basis industri. Sementara negeri lain fokus pada revolusinya masing-masing, seperti bidang komunikasi, pertanian, dan transportasi. Akhirnya, Inggris-lah yang menjadi kiblat bagi bangsa Barat dalam mengembangkan teknologi. Revolusi Industri dan revolusi Prancis adalah “duet maut” korelatif dalam renaissance. Paham kapitalis misalnya, infiltrasi paham kapitalis membuat masyarakat Inggris menjadi terkotak-kotak. Mana pemilik modal (borjuis) dan mana pekerja, menjadi jelas kembali. Kendatipun demikian, bedanya feodalisme Romawi dengan modernitas Inggris ialah status pekerja yang tidak menjurus pada perbudakan. Pekerja adalah individu yang punya hak merdeka. Adapun sumbangsih Revolusi Industri terhadap Revolusi Prancis adalah penemuanpenemuan piranti material yang memungkinkan paham baru dari Revolusi Prancis dapat diwujudkan dan disebarkan. Paham kapitalis membuat penganutnya obsesif atas kekuasaan dan kepemilikan modal, dan cara mendapatkannya adalah dengan kolonisasi dan imperialisme. Upaya menjalankan keduanya hanya akan lancar bila menjalin kontak dagang dan kontak politik dengan Inggris. Dengan demikian Prancis mendapat apa yang dibutuhkan, pun juga sebaliknya. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 27 Visi pokok kolonialisme dan imperialisme adalah menguasai seluruh wilayah di dunia, sebagai wujud “pembalasan” kepada islam atas kekalahan kristen pada perang salib 1453. Hal ini dibuktikan dengan keputusan Paus tahun 1493 dalam perjanjian Tordesillas, yang membagi dunia menjadi dua; sebagian untuk Spanyol dan sebagian untuk Portugis. Wilayah demarkasi ini membentang dari Brazil ke timur termasuk Indonesia- menjadi milik Portugis. Sisanya menjadi milik Spanyol. Paus juga memberi hak istimewa kepada Portugis dan Spanyol bahwa laut, pulau dan benua tetap menjadi milik mereka sampai anak cucu mereka (Noerhayati, 2008). Demikianlah Portugis dan Spanyol melakukan penjelajahan karena merasa berhak atas jatahnya masing-masing. Seorang pastor anti Islam, Raymundus Lullus, selalu bersemboyan; Islam is false and must die. Maka di manapun Islam, harus direbut melalui dominasi politik dan dipertahankan, agar terjadi pemisahan kaum muslimin dari agamanya dan kemudian diganti dengan Kristen (Noerhayati, 2008). Ini pun terjadi sesaat sebelum Columbus berlayar tahun 1492. Tahun 1400-an, Kerajaan Spanyol pernah berusaha “menaklukkan kembali” (reconqiesta) terhadap bangsa Moor8 yang sejak lama menguasai Granada. Saat Raja Ferdinand dan Ratu Isabella menyelesaikan penaklukannya pada 1492, barulah mereka siap untuk menempuh tujuan-tujuan baru (Nugroho, 2016), dengan tiga visi utama; Gold, Glory, Gospel (harta, kekuasaan, penyebaran agama Nasrani). Secara praktis, kebangkitan kolonialisme ialah saat Columbus menemukan Amerika, dan memberikan jalan Spanyol dan Eropa lain untuk menjajah Indian9. Namun banyak literatur juga menyebut kalau kolonialisme baru bangkit pasca Revolusi Industri dan Revolusi Prancis. Artinya, kebangkitan kolonialisme baru terjadi sekitar 20 tahun setelah Spanyol berhasil mengkoloni Amerika. Kesepakatan ini barangkali merujuk pada tujuan awal dari kolonialisme dan imperialisme itu sendiri, yakni menguasai perdagangan di Timur atau India. Cocok 8 Sebutan untuk kaum muslimin dari Timur Tengah dan Afrika Utara (Kartodirdjo, 1993). Diawali oleh Cortez, yang mendarat di Meksiko (1519) dan menjajah Indian Aztek. Sementara Columbus mencari jalan ke Jepang dan Cina namun akhirnya dihukum Ratu Isabella karena terlalu ambisius. 9 28 | Miftakhuddin dengan fakta bahwa memang Barat baru bisa menjangkau dunia Timur secara masif pasca Revolusi Industri. Kebangkitan koloni sampai ke Timur awalnya murni kepentingan niaga (menguasai perdagangan). Makanya koloni Vasco da Gama di India pun berbentuk pos perdagangan10. Koloni Spanyol di Amerika juga berniat menguasai perdagangan. Hanya saja, Columbus menemukan sumber daya mineral milik suku Indian, akhirnya koloni yang berdiri ialah untuk industri. Apalagi jalur Amerika bukanlah jalur perdagangan. Namun tidak menutup kemungkinan pula, sumber daya dari Amerika juga diperdagangkan kepada Inggris yang saat itu sedang butuh-butuhnya sumber daya mineral. Bermula dari kepentingan ekonomi, berubah menjadi kepentingan hegemoni perdagangan yang wujudkan dengan kolonisasi. Portugis dan Spanyol pada perkembangan berikutnya juga menguasai daerah-daerah di Asia (termasuk Jepang, Singaphore, dll.), yang kemudian diperebutkan pula oleh Prancis dan Inggris. Inilah era kolonialisme. Sebuah zaman yang mempertontonkan secara terus terang suatu kerajaan mengkavling-kavling daratan dan perairan dunia menjadi miliknya (Portugis, Spanyol, Prancis, dan Inggris). Umumnya kolonialisme memang dibarengi imperialisme, namun keduanya tak bisa dipandang sama, sebab tujuan kolonialisme adalah dominasi ekonomi, dan tujuan imperialisme adalah perluasan wilayah. Kolonialisme juga sering diwarnai legitimasi kepercayaan koloni, bahwa moral pengkoloni lebih mulia ketimbang yang dikoloni. 10 Koloni di India tak banyak menghasilkan, sebab India bukan penghasil rempah sesungguhnya, melainkan Nusantara. Maka Portugis mengirim Alfonso de Albuquerque ke Nusantara (mendarat di Malaka) dan mulai melakukan kolonisasi di Malaka dan sekitarnya. Capaian Alfonso kemudian menarik bangsa Barat lain untuk juga mendirikan koloni di sana. Spanyol mengirim Ferdinand Magelhaens (mendarat di Filipina tahun 1521) dan Sebastian del Cano (mendarat di Maluku tahun 1521). Belanda mengirim Cornelis de Houtman (mendarat di Banten tahun 1596). Inggris mengirim Sir James Lancaster (mendarat di Banten tahun 1602) dan Sir Henry Middleton (mendarat di Maluku pada 1604). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 29 B. Hukum Kolonial Soal hukum konstitusional, sistem pemerintahan kolonial berbentuk undang-undang sebagai produk tertulis dan pedoman bagi seluruh warga negara. Betapapun dinamisnya peraturan perundangundangan yang diimplementasikan, tetaplah menyesuaikan dengan kebutuhan birokrat sebagai penyelenggara negara, dan memperhatikan hak-hak “warga negara” (warga negara pengkoloni). Pokok aturan main dalam kolonisasi adalah pengkoloni menguras habis sumbar daya, dengan atau tanpa melibatkan masyarakat pribumi. Putra (2012) menegaskan, tidak ada partisipasi dari perangkat lokal, segala sesuatu diatur oleh pemerintah pusat. Juga sama sekali tidak ada otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga daerah sesuai kepentingan daerah. Sebab, kolonialisme adalah suatu sistem di mana suatu negara menguasai rakyat sekaligus sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan dengan negeri asal (Putro, 2011). Jelas, ciri khas sistem pemerintahan kolonial adalah sentralisasi. Sebab jika desentralisasi yang diterapkan, bakal menciptakan otonomi daerah yang nantinya dapat mengancam hegemoni dari pengkoloni di tanah koloni, seperti masa Hindia Belanda (1800). Tampaknya, semua hukum kolonial bercorak sentralisasi. Sebagaimana Spanyol mengkoloni Amerika, Portugis mengkoloni Nusantara, dan Prancis mengkoloni Belanda. Tetapi jika diperinci dan ditelaah sampai level paling bawah maka akan berbeda teknis manajerialnya. Contoh, pengolahan bahan mineral di Amerika tentu berbeda dengan pengolahan rempah di Nusantara. Berdasarkan pengalaman kolonial, variasi terjadi pada level teknis, yang mana disesuaikan dengan karakteristik pribumi dan tipe hasil bumi di tanah koloni. Pembahasan sub bab ini mengambil sampel hukum kolonial di Nusantara dan sekitarnya. Alasan pertama, ketersediaan sumber sejarah yang valid (dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya). Alasan kedua, Nusantara merupakan kawasan kolonial yang “digilir” bangsa-bangsa Eropa dan Asia (Jepang). Sehingga pembahasan kolonialisme Nusantara cukup merepresentasikan rupa, dinamika, dan pelaksanaan hukum kolonial. 30 | Miftakhuddin 1. Kolonialisme Portugis Abad 16, Nusantara kedatangan penjelajah Eropa. Alfonso de Albuquerque sampai di Malaka tahun 1511, dan Belanda sampai di Banten tahun 1596. Di sanalah kekuasaan kolonial menemukan basisnya. Mereka bukan saja datang sebagai pedagang melainkan juga sebagai pengembara mencari tempat tinggal baru untuk dijadikan koloni. Semua berawal saat Raja Portugal mendapat berita dari Vasco da Gama kalau penghasil rempah rupanya ialah Nusantara, maka dikirimlah Diogo Lopes de Sequeira. Semula ia diterima baik, tapi banyak saudagar muslim meyakinkan Sultan Mahmud Syah di Malaka tentang bahaya Portugis, maka Diogo sekaligus armadanya diusir. Pengusiran yang menyulut amarah raja Portugis ini membuat Alfonso de Albuquerque dikirim dari Goa (India) untuk menguasai Malaka pada 1511. Berdasarkan catatan ekspedisi Tomé Pires11, alasan Portugis bersikeras menguasai Malaka ialah karena Malaka mempunyai kedudukan strategis dan memiliki peluang ekonomi yang potensial. Disebutkan oleh Tomé Pires dalam laporan ekspedisinya; kala itu Malaka punya pengurus perdagangan yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan niaga mereka. Pengurus tersebut dinamakan syahbandar. Syahbandar terdiri atas empat orang. Pertama, syahbandar yang mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau); dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti inilah yang mendorong Portugis tetap ngotot berusaha menguasainya. 11 Tomé Pires, dalam bukunya, Suma Oriental. Buku ini sebenarnya adalah naskah laporan resmi untuk Raja Emanuel di Portugal tentang potensi dan peluang ekonomi di wilayah-wilayah yang baru di kenal Portugis selama ia mendampingi Alfonso de Albuquerque dalam pelayarannya (1512-1515). Oleh sebab itu, laporan yang terdiri atas enam jilid ini tidak pernah diterbitkan sama sekali. Namun, berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre des Deputes di Paris, Armando Cortesão menerbitkan terjemahannya dalam bahasa Inggris pada tahun 1944. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 31 Gambar: Halaman Judul Buku Suma Oriental Sumber: archive.org 32 | Miftakhuddin Setakluknya Malaka, Portugis memulai masa kolonialnya melalui perdagangan langsung dan terbuka dengan penghasil rempah lain, seperti; Ternate, Banda, Seram, Ambon, dan Timor sembari memperluas kekuasaannya ke Maluku. Namun berbeda dengan di Malaka. Portugis di Maluku menjumpai perselisihan kerajaan Ternate dan Tidore. Portugis kemudian membantu Ternate untuk mengalahkan Tidore yang saat itu dibantu Spanyol. Sebagai imbalannya, Portugis meminta hak monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Ternate. Kesuksesannya di Malaka mempermudah penyebaran agama, dan keberhasilannya di Ternate memperlancar dominasi ekonomi. Sampai di sini, mulai tampak Portugis satu langkah lebih maju untuk perdagangan rempah di Eropa nantinya. Sebagaimana M.C. Ricklefs (2010) dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Portugis berusaha mendapat rempah-rempah, yang berarti menemukan jalan ke Asia dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang Islam, yang melalui tempat penjualan mereka di Venesia, yang terletak Laut Tengah (Mediterania). Dengan begini, Portugis bisa memonopoli impor rempahrempah ke Eropa. Hanya dua kebijakan Portugis di Maluku. Pertama, pewajiban penduduk Ternate menjual cengkeh dan pala kepada Portugis dengan harga yang ditetapkan Portugis. Kedua, optimalisasi militansi kristen. Di Nusantara, Portugis memperkenalkan kristen dengan kekerasan berazas jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap islam, yakni memburu orang-orang Moor (Kartodirdjo, 1993). Bagi Portugis, semua muslim adalah Moor, dan merupakan musuh yang harus diperangi. Memang demikianlah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelang abad ke-16 sengaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk memerangi islam dan meng-kristen-kannya (Suminto, 1985). Ekspansi ini memang dapat dilihat sebagai kelanjutan Perang Salib, tapi metode penaklukan dengan militansi yang hebat ini justru membangkitkan lawan-lawannya bereaksi. Lihat saja hubungan baik Sultan Ternate dengan Portugis sampai sultan mengizinkan Portugis mendirikan benteng. Hubungan itu menjadi rusak karena para misionaris terlalu memaksakan kristenisasi masyarakat Maluku, ditambah lagi perilakunya yang dinilai tak sopan. Akibatnya, pangeran-pangeran Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 33 Nusantara terpicu menjadi muslim dan melakukan perlawanan. Celakanya, kekuatan Ternate yang tidak cukup kuat berimplikasi pada diturunkannya Sultan Tabariji dari tahta dan diasingkan ke Goa (India). Portugis baru dapat diusir Sultan Baabullah tahun 1575, dan pindah ke Tidore yang sudah bukan lagi milik Spanyol (berdasarkan perjanjian Zaragosa). 2. Kolonialisme Spanyol Perjanjian Tordesillas (diprakarsai Paus Alexander VI pada 1494), membagi dunia menjadi dua. Spanyol mengkoloni layaknya Portugis, dengan visi dan misi yang sama persis, yakni daerah kekuasaan, kekayaan (monopoli perdagangan rempah-rempah), dan politik anti-Islam yang terkenal dengan semangat reconquista atau penaklukan kembali. Spanyol mengirim Columbus sebagai conquistador (penakluk) untuk menuju sumber rempah-rempah dan mendirikan koloni di sana, namun ia malah mendarat di Amerika. Setelah pendaratan susulan oleh conquistador lainnya, Hernando Cortez, pendirian koloni dilakukan dengan menjajah suku Indian Aztek. Ketika conquistador Sebastian del Cano mendarat di Maluku, Spanyol menggunakan Kerajaan Tidore sebagai pion untuk berebut dominasi dengan Portugis. Melalui devide et impera, keduanya baik Portugis maupun Spanyol memperoleh keuntungan berupa monopoli perdagangan di masing-masing kerajaan. Tapi karena persaingan keduanya tidak kunjung usai, maka dibuatlah perjanjian Zaragoza pada 1529 untuk mempertegas perjanjian Tordesillas tentang mana jatah wilayah Portugis dan mana jatah Spanyol. Hasil perundingan Zaragosa menyebut wilayah Spanyol membentang dari Mexico barat sampai kepulauan Filipina, dan wilayah Portugis membentang dari Brazil ke timur sampai kepulauan Maluku. Maka secara de jure, Maluku menjadi milik Portugis, dan Spanyol memfokuskan kegiatan di Filipina, yang telah ditemukan Magelhaens pada 1521 atas perintah Raja Karel V. Menurut Allen (1997), penjelajahan Spanyol ke Filipina mempunyai dua motif pokok, yang kemudian diejawantahkan menjadi Gold, Glory, dan Gospel. Pertama adalah pembukaan pos perdagangan baru dan memperluas perdagangan ke Asia. Kedua adalah penyebaran 34 | Miftakhuddin agama Katholik. Sebagaimana surat wasiat terakhir Ratu Isabella, (dalam Ahmat, 2006): ...Tujuan utama negara kita adalah senantiasa untuk menukarkan agama penduduk-penduduk pulau-pulau Hindia dan Terra Firma kepada agama suci kita dan menghantar mereka biskop-biskop, mubaligh dan orang terpelajar yang lain untuk mengajar, mendidik dan melatih mereka supaya bertata-tertib... Magelhaens, kali pertama tiba langsung menggelar upacara Missa, dan atas nama raja ia memasang salib sebagai tanda pulau tersebut merupakan koloni Spanyol beragama Katholik. Atas tindakan tanpa kompromi itu, terjadi konflik dengan pribumi yang berakhir dengan tewasnya Magelhaens. Anak buah yang tersisa lantas kembali dan menamakan pulau itu sebagai St. Lazarus. Baru tahun 1526 raja mengirim Hernando Cortez, sang conquestador Mexico, ke St. Lazarus. Karena orang-orang Filipina -yang saat itu muslim- sulit ditundukkan, maka tahun 1542 raja mengirim bantuan yang dipimpin Ruy Lopez dan Vilalobos12. Kendatipun demikian, Spanyol kesulitan menaklukkan penduduk Filipina, terutama kaum muslim di bagian selatan. Tercatat sepanjang kolonialisme Spanyol kaum muslim Filipina di selatan tak dapat ditundukkan secara total, mereka adalah yang disebut barangai13. Sedikitnya ada enam kali pertempuran bangsa Moor14 Filipina melawan Spanyol. Perang pertama adalah penolakan terhadap kolonisasi Spanyol. Karena pada perang pertama Filipina kalah hingga kehilangan sebagian wilayahnya, maka perang kedua sampai kelima adalah perang perebutan kedaulatan oleh rakyat Filipina. Dan perang keenam adalah perang melawan Spanyol dibantu Amerika yang telah saat itu telah merdeka. 12 Ia yang mengganti nama St. Lazarus menjadi Philipinese pada 1560, sebagai penghormatan kepada Don Philips II, putera Raja Karel V 13 Barangai adalah kesatuan non-politik yang terdiri atas kumpulan keluarga besar pedagang muslim (moor) di bagian selatan (Mindanao dan Sulu). Istilah itu diambil dari nama perahu mereka (Corpus, 1965) 14 Bagi bangsa Spanyol, moor (moro) artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 35 Tapi terusirnya Spanyol malah membuat Amerika menjadi penjajah baru pada 1898. Hasil perang pertama tahun 1565, Spanyol berhasil menguasai sebagian Filipina dan Brunei Darussalam di Borneo (Kalimantan). Dua tahun berikutnya Spanyol berperang dengan bangsa moor Filipina, yang berakhir dengan takluknya kepala pemerintahan di Manila. Maka sejak itu, Filipina resmi dikoloni Spanyol. Hebatnya, menurut Hall (1981), penaklukan itu dicapai tanpa pertumpahan darah. Sebab, Raja Philip II tidak mau pertumpahan darah dalam penaklukkan Mexico dan Peru terulang dalam penaklukan Filipina. Semasa kolonialnya Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) dan misionsacre (misi suci) terhadap para muslim. Saat terjadi perang besar dengan bangsa moor di Filipina selatan pun (1578), Spanyol menggunakan rakyat Filipina utara yang telah dikristenkan sebagai angkatan bersenjata. Demikianlah atas nama misi suci, Spanyol mampu melancarkan adu domba dengan sangat baik. Sistem kolonisasi Spanyol kali ini lebih baik ketimbang koloni Portugis di Maluku yang sarat dengan kontak fisik. Spanyol mengambil simpati pribumi dengan kegiatan-kegiatan sosial. Di wilayah utara, misalnya, para padri mewujudkan badan-badan amal dan lembaga pendidikan di sebelah gereja-gereja dan biara sebagai pusat-pusat katolik. Mereka juga membangun infrastruktur (jalan raya, jembatan dan saluran irigasi) dan lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh beberapa ordo. Ordo Jesuit mendirikan sekolah tata bahasa untuk laki-laki pada 1595 (sekarang Universitas Ateneo de Manila), dan Ordo Dominikan mendirikan Universitas Santo Thomas pada 1611. Aktivitas mereka dilindungi pemerintah Spanyol, sebab pendidikannya turut mengkonsolidasikan kekuasaan pemerintah Spanyol (Wiharyanto, 2008). Para pejabat gereja juga mengekang otoritas sipil yang punya pengaruh kuat. Sesuai patronato real, gereja dan negara disatukan untuk mengatur dan menyebarkan ajaran kristen (Ricklefs, 2013). Politik “simbiosis mutualisme” ini dengan membagi kekuasaan ke dalam dua ranah tanggung jawab; pemerintahan sipil dan pendidikan/keagamaan. Pemerintahan sipil dipimpin gubernur jenderal sebagai pucuk pemerintahan dengan kewenangan eksekutif absolut. Dia 36 | Miftakhuddin adalah wakil raja di tanah jajahan dan bertanggung jawab langsung kepada Raja Spanyol di Madrid. Sedangkan urusan keagamaan/pendidikan menjadi wewenang uskup yang bertanggung jawab langsung kepada Paus di Roma. Kebijakan kolonial itupun pada gilirannya memunculkan desa-desa katholik dengan sangat cepat. Terlebih padri menyesuaikan medium penyebaran dengan kearifan lokal. Sebagai contoh, para padri menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Tagalog, untuk memudahkan cara penggunaannya bagi pribumi. Melalui adaptasi dan beberapa keramahan itu, para padri kemudian diberi hak dan kepercayaan untuk menguasai tanah-tanah yang luas. Pemberian hak ini, otomatis membuat padri menjadi tuan tanah atau feodal. Mereka kemudian memanipulasi harga tanah, yang akhirnya berdampak pada kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia. Membanjirlah para padri katolik dari Eropa tidak dengan motif tugas suci, melainkan memperkaya diri. Mereka lalu menjadi tuan tanah yang serakah dan mengakuisisi tanah milik rakyat seenaknya. Sebagai tuan tanah mereka punya kekuatan mengintimidasikan penduduk yang “dipaksa” berstatus sebagai penyewa tanah. Mereka mempekerjakan, menekan, memeras, dan memonopoli aktivitas ekonomi rakyat Filipina. Sejak 1589 bangsa Spanyol memungut upeti tahunan kepada setiap pria dewasa yang berusia antara 18-60 tahun. Upeti ini tidak hanya dibayarkan dalam bentuk mata uang tetapi juga tenaga kerja dan barang-barang. Pajak tahunan ini dikumpulkan melalui raja atau encomeinda (hibah) swasta yang dihadiahkan sebagai penghargaan atas jasanya kepada raja (Ricklefs, 2013). Kepincangan sosial atas otoritas padri itu ditentang oleh Jose Rizal melalui propaganda dalam novelnya Noli me Tangere (1975). Ia bercerita pimpinan gereja mengambil tanah rakyat dan memberdayakan 15 15 Pemimpin gerakan nasional Filipina pertama (Liga Filipina). Ia menulis novel El Filibusterisme dan Noli me Tangere. Melalui novelnya ia mengkritik pemerintah Spanyol dan otokrasi gereja (Wiharyanto, 2008). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 37 seenaknya. Penindasan dilakukan karena bangsa Filipina dianggap tidak lebih dari hewan yang mereka sebut sebagai Indio (kemungkinan diadaptasi dari istilah “Indian”). Para Indio hanya berharga di mata Spanyol karena mempunyai tenaga untuk diperas dan tanah untuk dikuasai. Menurut Mc Coy (1982), ada tiga sistem hukum yang diimplementasikan pemerintah kolonial Spanyol kepada Filipina. Ketiganya adalah Encoimenda, Polo, dan Vandala. Sistem Encoimenda diterapkan abad ke-16 dan ke-17, dengan menetapkan cukai yang tinggi sebagai upeti yang dipungut oleh encomendero. Sistem Polo adalah sebuah sistem penindasan melalui penggunaan tenaga kerja tanpa dibayar. Sedangkan sistem Vandala adalah penyerahan sejumlah barang tertentu tanpa timbal balik. Di samping kekuatan sosial kaum padri (tuan feodal) yang mengatur pribumi, hukum pemerintahan sipil kolonial Spanyol membagi kelas pengkoloni menjadi dua; peninsulare dan insulare atau criollo. Peninsulare adalah mereka yang lahir di negeri Spanyol, dan insulare adalah orang Spanyol yang lahir di daerah koloni Spanyol (Amerika dan Filipina). Pada perkembangan berikutnya muncul beberapa kelas-kelas sosial lainnya yang terlahir dari perkawinan dengan Cina, Muslim, pribumi Filipina, dan Spanyol (Fitra, 2015). Kolonial melanggengkan kekuasaan dengan menguasai pejabat lokal. Mereka mencari-cari kecacatan pejabat lokal agar dapat dikendalikan. Bila pejabat lokal itu membangkang, diancam akan dipermalukan dalam setiap khotbah di gereja-gereja dan tidak diberi pengampunan dosa. Tidak ada akses berpendapat sekalipun pada masyarakat kelas bawah. Segala tuntutan memperbaiki pemerintahan dicekal dan dianggap pengkhianatan terhadap Spanyol. Itulah mengapa, Jose Rizal yang menyuarakan gagasannya tentang reformasi persamaan hak untuk seluruh rakyat Filipina melalui tulisan ditangkap, diasingkan dan dihukum mati. Padahal apa yang dituntutkan sebatas persamaan hak antara orang Spanyol dan orang Filipina, dengan cara memasukkan Filipina sebagai salah satu provinsi Spanyol, bukan sebagai tanah jajahan (Moan, 1969). Melalui cara-cara itu, tokoh gereja punya kekayaan bertumpuk yang berfungsi mempertahankan kedudukannya di 38 | Miftakhuddin samping pemerintahan gubernur jenderal. Meski berbagai pemberontakan dan pergerakan rutin dijalankan, namun selalu ditumpas kolonial Spanyol. Sampai akhirnya Filipina bekerja sama dengan Amerika. Tapi seperginya Spanyol, Amerika malah menjadi penjajah baru yang lebih kuat. Baru 4 Juli 1946 Filipina diberi kemerdekaan oleh Amerika Serikat. 3. Kolonialisme Belanda Sebelum politik etis (tahun 1900-an), sistem pemerintahan sentralisitik di koloni Belanda (Nusantara) dianggap cara terbaik memperoleh keuntungan maksimal. Sebab, dengan begini partisipasi perangkat lokal dapat dibatasi, dan otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga daerah dapat dikendalikan. Konstitusi Belanda pun sampai mendarah daging pada pola hukum yang berlaku di Nusantara bahkan setelah merdeka. Menurut Hartono (2015), sejak tahun 1816 peraturan umum mulai dimuat dalam lembaran resmi yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda (Staatsblad dan Bijblad). Sistem hukum dan berbagai peraturan ini sebagian besar hampir tidak berubah, atau tidak sempat diubah pada masa pendudukan Jepang, karena masa pendudukan Jepang yang relatif amat singkat. Sebagaimana Abdullah (2010), salah satu pengaruh kolonialisme dalam politik hukum Indonesia adalah banyaknya peraturan perundangundangan yang bersifat kolonialistik (dibuat untuk melindungi dan memperkuat kolonialisme), yang mana beberapa perundang-undangan tersebut masih ada yang diberlakukan hingga sekarang. Misalnya; Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Per). Padahal, politik hukum yang dibuat dalam masyarakat yang pluralistik, harus ada suatu unifikasi hukum. Artinya, harus ada hukum yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Meski demikian, proklamasi kemerdekaan telah mengubah tradisi masyarakat dari keadaan terjajah menjadi masyarakat bebas (merdeka). Tujuan hukum pun harus berubah secara berbalikan, dari tujuan mempertahankan dan melestarikan penjajahan, menjadi mengisi kemerdekaan dengan etos yang juga berubah dari penjajahan menjadi Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 39 kebangsaan. Perubahan tersebut diperlukan dan menjadi bagian penting dalam politik hukum nasional, sebab hukum-hukum yang telah ada ketika proklamasi kemerdekaan telah dipengaruhi dan bercampur baur dengan sistem hukum atau ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila. Demikianlah menurut Mahfud M. D (2009). Masih berlakunya produk hukum peninggalan kolonial memang ditolerir berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 yang menyatakan segala badan negara dan peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum karena hukum-hukum baru yang sesuai dengan idealita dan realita belum sempat dibuat. Sehingga pemberlakuan produk hukum lama tak bisa dipandang sebagai upaya melanjutkan kebijaksanaan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Wahyono, dalam Hartono: 1991). Secara umum, hukum kolonial Belanda selama menjajah Nusantara dibagi dua periode, yakni periode VOC (1602-1799) dan periode pemerintah Hindia Belanda (1800-1942 atau masa kolonial Jepang). Peraturan yang tampak dalam kebijakan semasa VOC bercorak sentralistik, sedangkan corak yang tampak semasa Hindia Belanda adalah desentralistik. Ini dipengaruhi penjajahan Prancis yang merombak hukum-hukum kolonial Belanda. a) Kebijakan Kolonial Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) Berbeda dengan bangsa Barat lainnya, bila dicermati kembali tujuan utama Belanda ke Nusantara adalah rempah-rempah, sebagai bahan senilai emas. Saat Belanda masih koloni Spanyol, pedagang Belanda yang berpusat di Rotterdam berbelanja rempah di Lisabon (ibu kota Portugis), tapi setelah perang perang 80 tahun, Belanda berhasil merdeka dari Spanyol. Namun sayang, Spanyol justru berhasil menaklukkan Portugis pada 1580. Takluknya Portugis oleh Spanyol otomatis membuat Belanda memulai ekspedisi menemukan penghasil rempah. 40 | Miftakhuddin Berdasar petunjuk Jan Huygen van Linscoten16, pada 1596 armada Belanda di bawah komando Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Karena hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk, Belanda disambut baik dengan harapan akan membela Banten dalam penyerangan ke Palembang. Namun harapan itu tidak terwujud. Houtman ditangkap karena hanya mau membeli rempah saat musim panen, itupun melalui tengkulak Cina. Ia lalu ditangkap dan baru dibebaskan setelah membayar tebusan. Bertolak dari Banten mereka menuju Bali. Tapi karena di Bali juga mengalami pengusiran, Houtman hanya membawa pulang sedikit rempah. Kendatipun tergolong gagal, Houtman tetap disambut baik dan dianggap pelopor pelayaran menuju Nusantara. Saat pelayaran kedua dengan delapan kapal di bawah Jacob van Neck dan Wybrect van Waerwyck pada 1598. Belanda berhasil mengangkut tiga kapal rempah dan mengirimnya ke Belanda. Sementara lima kapal sisanya menuju Maluku. Maluku yang berkonflik dengan Portugis membuat Belanda diterima baik. Singkat kata, kesuksesan ekspedisi menemukan sumber rempah memicu para pedagang swasta Belanda berdatangan ke Nusantara. Persaingan sesama pedagang Belanda, perompakan oleh bajak laut, dan persaingan dengan Spanyol dan Portugis membuat pedagang Belanda rugi. Lebih-lebih persaingan dengan East India Trading Company (EIC), kongsi dagang Inggris yang telah berdiri sejak 1600 dan berpusat di Calicut-India. Akhirnya, tahun 1602 Pangeran Maurits dan Johan van Olden Barnevelt memprakarsai pendirian perserikatan dagang yang terdiri atas kongsi-kongsi dagang Belanda, bernama Verenigde OostIndische Compagnie (VOC). Baru kemudian disusul Prancis dengan mendirikan French East India Company pada 1604. VOC dibentuk tahun 1602 sebagai bentuk penyatuan (merger) beberapa serikat dagang Belanda. Kepada VOC pemerintah Belanda memberi hak octroi (hak-hak istimewa), seperti; hak monopoli 16 Jan Huygen Van Linscoten adalah pelaut Belanda yang pernah ke Indonesia karena bekerja untuk kongsi dagang Spanyol pada 1579 dan bekerja untuk kongsi dagang Portugis pada 15831598 di Goa – India. Ia memetakan beberapa tempat berpotensi rempah di Pulau Jawa yang terbebas dari Portugis Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 41 perdagangan, hak mencetak uang sendiri, hak mengumumkan perang, dan hak membuat perjanjian dengan penguasa lokal atau para raja (Wiharyanto, 2007). Status layaknya sebuah negara ini membuat VOC punya otonomi khusus untuk bertindak. Sebab, hak membuat perjanjian melingkupi hak mengangkat dan memberhentikan pegawai/penguasa setempat. Sebagai sarana mewujudkannya, pemerintah Belanda melengkapi VOC dengan pasukan bersenjata dan izin mendirikan benteng. Berkat kewenangan ini, VOC dibawah Steven van der Haagen merampas loji (pangkalan dagang) -yang juga berfungsi sebagai benteng- Portugis di Ambon pada 1605. Baru pada 1609 VOC mendirikan lojinya sendiri di Banten, yang dikepalai Francois Wittert.VOC tidak menjadikan Ambon sebagai basis utama pangkalan dagang, sebab Ambon kurang strategis (jauh dari selat Malaka). Maka dipilihlah Jayakarta, yang saat itu komposisi penduduknya ialah warga Banten. Menurut Wiharyanto (2007) tidak hanya karena strategis, Jayakarta dipilih juga untuk menyingkirkan Portugis dari perairan Malaka dan merebut kantor dagangnya. VOC mempengaruhi penguasa Banten agar mencabut hak dagang Portugis. Liciknya Belanda, setelah Portugis terusir penduduk Banten juga diusir, pada masa pemerintahan Gubernur Jan Pieterszoon Coen tahun 1619. Coen lalu mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia17 dan menjadikannya pangkalan dagang VOC. Inilah bedanya Belanda dengan kolonis lain. Belanda mendirikan basis dagang di Nusantara, tidak seperti Portugis yang berbasis di India, maupun Spanyol yang berbasis Filipina. sehingga monopoli perdagangan di perairan Malaka lebih efektif dan efisien. Hasilnya, VOC menjadi satu-satunya kongsi dagang Eropa yang menguasai hampir seluruh Nusantara. VOC menguasai Malaka tahun 1641, Padang, Semarang dan Manado tahun 1662, Makassar tahun 1667, dan Banten tahun 1684. Menurut Mustopo (2007), ketetapan VOC dalam melaksanakan monopoli adalah sebagai berikut. 17 Nama itu diambil dari leluhur bangsa Belanda; Bataaf. 42 | Miftakhuddin 1. Verplichte Leverantie, yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan VOC. Peraturan ini juga melarang rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC. 2. Contingenten, yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi. 3. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam. 4. Ekstiparsi, yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah-rempah agar tidak terjadi kelebihan produksi yang dapat menyebabkan harganya merosot. 5. Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan perahu korakora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan menindak keras pelanggarnya. Peraturan-peraturan di atas, mayoritas dijalankan secara tidak langsung (indirect rule), yakni dengan feodalisme yang telah berkembang di Indonesia, dengan gubernur jenderal sebagai pucuk pemerintahan. Gubernur jenderal dibantu dewan Hindia (Raad van Indie), yang bertugas mengirim laporan kepada de Heeren XVII (Gentlemen Seventeen) selaku direktur pusat VOC di Amsterdam. Sementara secara struktural, di bawah gubernur jenderal ada beberapa gubernur yang memerintah setiap daerah (provinsi), di bawah gubernur terdapat pula asisten residen yang memerintah residen atau keresidenan, dan yang paling bawah adalah pemerintahan tradisional (bupati ataupun raja) yang memerintah kabupaten. Melalui langkah ini, VOC menghimpun hasil bumi dari para raja dan bupati (bumiputera). Meski begitu, kaum bumiputera tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Kalaupun terlibat statusnya bukan pegawai VOC, tetapi hanya mitra yang digaji secara tidak tetap. Inilah mengapa VOC selalu campur tangan dalam pergantian raja atau bupati. Sebab Belanda melalui asisten residen yang bertanggung jawab kepada gubernur, mengawasi dan mengatur kinerja bupati/raja dalam menghimpun hasil bumi dari rakyat. Sejak saat itulah pergantian Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 43 raja dalam kerajaan-kerajaan tidak secara turun-temurun, melainkan ditentukan oleh Belanda. Kerajaan haruslah menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan Belanda. Bila menolak sistem pemilihan itu, maka akan terjadi perang yang merugikan pribumi sendiri. Ini memanglah salah satu stratgei Belanda. Sebagaimana Zed (2009), ada tiga metode Belanda mempertahankan koloninya. Pertama, kekerasan bersenjata (pasifikasi). Kedua, instrumen hukum kolonial (exhorbitant recht) dan ketiga, melanggengkan feodalisme dan menjinakkan aristokrat atau penguasa lokal tradisional. Namun begitu, upaya mempertahankan koloni pada akhirnya sampai pada batasnya. VOC mulai runtuh karena sebab politis dan ekonomis, meski menurut Cady (1964) sebab utamanya ialah penurunan taraf kerja pegawai-pegawainya. Setelah berjalan lebih dari satu setengah abad, ternyata keuntungannya semakin kecil dan kasnya semakin menipis, sedang anggaran belanjanya membesar. Akhirnya VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 (Khoo, 1976). Sebab politis ialah takluknya Belanda kepada Prancis pada 1795. Ini terjadi karena Partai Patriot Belanda yang anti-raja berhasil merebut kekuasaan dan membentuk pemerintahan baru bernama Republik Bataaf (Bataafsche Republiek) atas bantuan Prancis. Sebagai imbalan, Belanda menjadi bawahan Perancis. Kala itu, rivalitas Prancis dengan Inggris yang meluaskan imperiumnya ke Asia Tenggara sedang memanas. Badan usaha sekaliber VOC yang sedang pailit tentu tak bisa diandalkan. VOC tak pernah pulih dari penderitaan perang melawan Inggris karena pengiriman barang dengan kapal-kapal Belanda tidak dapat lagi dilakukan karena hancurnya angkatan laut Belanda dalam pertempuran di Dogger Bank pada tahun 1781 (Harrison, 1954). Maka VOC dibubarkan untuk mempermudah dan mengefisienkan pengeluaran Prancis. Di samping sebab politis di atas, ada sedikitnya empat sebab ekonomi internal yang diuraikan sebagai berikut. Pertama, sistem monopoli yang merugikan. Untuk mencapai tujuan final monopoli berupa rabat maksimum, VOC terlalu fokus pada pemegang saham, dan melupakan orang pribumi. Akibatnya, mereka menjadi sangat miskin 44 | Miftakhuddin dan bodoh. Mereka bahkan tak mampu membeli barang yang dijual Belanda, termasuk beras dan makanan lainnya. Ini terjadi karena VOC; 1) membeli hasil bumi dengan murah, tapi menjual produk Belanda dengan mahal. 2) menjaga jumlah barang monopoli. Stabilitas jumlah barang diawasi agar permintaan pasar dan harga tetap seimbang. Jika permintaan tinggi, maka pengeluaran dilebihkan, dengan syarat harganya tidak jatuh. Jika persediaan berlebih, maka dikurangi dengan memusnahkan pohon atau mengubur hasil yang berlebihan itu, supaya harga tetap tinggi. Contoh, jika harga lada sedang naik di Eropa, maka penduduk dipaksa menanam lebih banyak lada, padahal tanaman ini butuh waktu bertahun-tahun untuk berbuah-. Tapi jika waktu panen harganya sudah jatuh, maka untuk menjaga stabilitas harga persediaan di gudang-gudang akan dimusnahkan. Harga yang dibayar kepada penanam juga dikurangi. Jelas, VOC tidak mendapat banyak faedah dari monopoli yang tidak optimal itu. Terlebih para pedagang Arab, Compagnie des Indies (kongsi dagang Portugis), dan East India Company yang menjual bahan pokok (seperti; kain, dll) dengan harga lebih murah ketimbang VOC. Persaingan ini, menurut Day (1966), adalah sebab utama kemerosotan VOC dalam abad delapan belas. 3) menjaga monopoli tanaman. Di samping menjaga kuantitas stok barang, VOC mengawasi jumlah tanaman agar tidak melebihi permintaan pasar dengan melakukan pelayaran Hongi untuk memusnahkan tanaman yang melanggar aturan. Pelayaran ini, selain biayanya mahal, juga menimbulkan dendam dari penduduk yang tanamannya dirusak. Di sisi lain, Perancis dan Inggris menggalakkan penanaman pohon-pohon tersebut di tanah jajahan mereka. Tidak lama kemudian Sri Lanka dan India menghasilkan kayu manis dan bunga cengkih untuk Inggris. Sedangkan pangkalan Inggris di Bangkahulu memperoleh rempah-rempah dari pedagang-pedagang setempat. Keadaan ini membuat VOC sekali lagi mengalami kerugian (Khoo, 1976). Kedua, cara kerja yang tidak efektif dan efisien. Mulanya VOC berdiri sebagai badan usaha, tapi setelah berubah menjadi badan pemerintah, anggaran sipil atas seluruh wilayah kuasaan melebihi laba yang didapat. Implikasinya ialah pembengkakan anggaran pegawai. Apa Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 45 boleh buat, jangkauan perdagangan dan kekuasaan politik tidak seimbang (unbalance). Di sisi lain, pegawai diangkat menurut kehendak pejabat VOC, bukan berdasar profesionalitas. Mereka bergaji kecil tapi diberi kesempatan memperoleh tambahan gaji secara tak resmi. Akibatnya, terjadi korupsi dan pungli besar-besaran. Mereka bahkan melakukan perdagangan secara personal, merangkap jabatan -karena jabatan di VOC dapat dibeli-, dan yang paling parah terjadi persekongkolan antara pegawai VOC dengan para raja. Efek lanjutannya, karena penghasilan pejabat VOC yang besar tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan penduduk pribumi, maka terjadi pemberontakan yang memakan banyak biaya bagi VOC. Ketiga, pembagian laba tidak proporsional. Demi mengembalikan keuangan VOC yang hampir gulung tikar, pembagian laba kepada pemegang saham dilakukan tidak transparan. Terkadang VOC memberi keuntungan 50% meski sedang tidak mendapat untung. Ini dilakukan agar pemegang saham menyangka VOC adalah kongsi dagang bonafit, walau . Sedangkan saat untung, para pemegang saham justru tidak diberi apa-apa. Ketidaktransparanan itu menggiring opini pemegang saham bahwa VOC menipu. Dan rupanya, dengan memberi deviden besar saat rugi membuat VOC menanggung banyak hutang. Keempat, perdagangan gelap dan perompakan bajak laut. Monopoli perdagangan, pengendalian jumlah tanaman dan rendahnya penghasilan pribumi memicu perdagangan gelap dan penyelundupan. Malahan, para penyelundup terkadang juga merupakan perompak/bajak laut yang mengganggu aktivitas niaga. Sebab-sebab di atas memang saling kait-mengkait. Bila coba mencari sebab utama dan pertama kejatuhan VOC, masing-masing sebab berpeluang menjadi sebab utama. Ibarat menjawab pertanyaan; mana yang lebih dulu, telur atau ayam? (Wiharyanto, 2007). Tepat setelah dibubarkan, sejak 1 Januari 1800 seluruh kekuasaan, keputusan dan wewenang VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan Belanda, termasuk hutang dan saldo 134,7 juta gulden (Mustopo, 2007). Sejak saat itu, kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda, yang diakui oleh dunia baik secara de jure maupun de facto. b) Kebijakan Kolonial Pemerintah Hindia Belanda 46 | Miftakhuddin Pasca pembubaran VOC, administrasi jajahan VOC diurus oleh Aziatische Raad (Dewan Asia), bukan lagi de Heeren XVII (Gentlemen Seventeen). Adapun posisi gubernur jenderal dijabat Pieter Gerardus van Overstraten. Ia berhasil menangkis serangan Inggris yang dipimpin Admiral Ball atas bantuan raja-raja Jawa (Wiharyanto, 2007). Saat posisi gubernur jenderal akan digantikan Johannes Siberg, sebelum dilantik ia mengirim dua komisaris ke Hindia Belanda (Nederburg dan van Hogendrop), untuk memperkirakan politik kolonial apa yang nantinya bakal diterapkan. Namun keduanya berbeda pandangan. Nederburg cenderung konservatif. Usulannya mempertahankan dan melanjutkan sistem perekonomian dibangun VOC. Sedangkan Van Hogendrop berpendirian sangat liberal. Menurutnya, persoalan politik dan ekonomi harus dipisah. Perbedaan dua tokoh ini akhirnya diakomodir melalui Charter 1904 sebagai kompromi dua pendirian itu. Menurut Charter 1904, kebijakan lama yang masih dipandang baik perlu dipertahankan, dan akan dilakukan pembaharuan-pembaharuan bila dibutuhkan. Akhirnya, Belanda yang pada periode VOC mementingkan urusan ekonomi, kini lebih tertarik ke ranah politik (imperialisme). Di dalam bahasan tentang persoalan tersebut, ada dua hal yang perlu diketengahkan. Pertama, ekspansi Belanda periode sebelum tahun 1850 dapat dikategorikan ke dalam kolonialisme marxistis (kapitalis), sebab terdapat akumulasi modal dan kelebihan produksi di pihak Belanda. Kedua, kebijakan politik kolonial Belanda setelah tahun 1850 harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomik saja, tetapi juga harus dipelajari dari segi perluasan militer, perluasan pegawai, perluasan politik dan agama, dan masing-masing berperan sebagai faktor penentu atau faktor pembantu. Hasil mufakat Charter 1904 menggariskan penguasa tertinggi Hindia Belanda ialah Gubernur Jenderal yang dibantu empat orang raad van indie, di mana mereka sendiri juga dibantu generale secretarie yang terdiri dari commisaris general dan gouvernement secretarie. Keduanya juga membantu Gubernur Jenderal, tapi sejak 1819 keduanya digantikan dengan algemene secretarie, yang fokus membantu Gubernur Jenderal memberi pertimbangan keputusan. Namun tetap, berdasarkan UndangUndang Hindia Belanda, pemerintah tertinggi adalah Raja yang Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 47 dilaksanakan oleh menteri jajahan atas nama raja, di mana menteri jajahan bertanggung jawab pada parlemen Belanda (staten general). Adapun Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal atas nama raja yang dalam praktiknya atas nama menteri jajahan. Hartono (2015) menegaskan, pada masa itu hanya Kroon (raja) yang berwenang mengatur segala sesuatu di Belanda dan koloninya. Pengaturannya dilakukan dengan mengeluarkan Koninklijk Besluit (keputusan atau penetapan). Besluit dapat memuat tindakan eksekutif, misalnya; pengangkatan komisaris jenderal yang mengurus pemerintahan di daerah jajahan, dan dapat memuat tindakan legislatif berupa peraturan, misalnya; Algemene Maatregel van Bestuur (untuk Belanda) dan Algemene Verordening (untuk daerah jajahan). Ketika tahun 1830 Belanda mulai melakukan kodifikasi hukum perdatanya, sehingga timbul pemikiran untuk mengkodifikasi juga hukum Hindia Belanda. Maka pada 1839 dibentuklah komisi undangundang Hindia Belanda. Produk penting komisi ini adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Ketentuan-Ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan). Beberapa kodifikasi yang dihasilkan, (menurut Hartono, 2015), antara lain. a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) - Peraturan Organisasi Peradilan. b. Burgerlijk Wetboek (BW) - KUHPer c. Wetboek van Koophandel (WvK) - KUHD. d. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) - Peraturan Tentang Acara Perdata. e. Inlandsch Reglement (IR) - Reglemen Bumiputera (Peraturan Tentang Acara Perdata yang berlaku untuk bumi putera), yang belakangan diperbaharui menjadi Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Baru pada 1848, ketika terjadi perubahan Grondwet (UUD) di negeri Belanda, di mana pemerintahan berubah dari monarki menjadi parlementer, peraturan-peraturan untuk mengatur daerah jajahan tidak lagi ditetapkan Kroon seorang, tetapi bersama-sama dengan Staten Generaal (parlemen). Hasilnya adalah Reglement op het beleid der 48 | Miftakhuddin regering in Nederlandsh Indie (atau Regerings Reglement/R.R), yang mengatur kebijakan pemerintahan di Hindia Belanda. Pada masa berlakunya aturan tersebut, menurut Hartono (2015), dibuat peraturan sebagaimana disebutkan di bawah ini. a. WvS voor Nederlandsch-Indie. Ini berlaku untuk semua golongan dan mulai diterapkan sejak 1 Januari 1918. (sebelumnya, hukum pidana yang berlaku dibedakan antara; golongan Eropa, yaitu WvS voor Europeanen dan golongan pribumi, yaitu WvS voor Inlander) b. Rechtsreglement voor de Buitengewesten - RBg (Reglement untuk daerah seberang) c. Agrarisch Wet (Agraria) d. Indishe Comptabiliteitswet - ICW (Perbendaharaan Negara) e. Auteursrecht (Hak Cipta) f. Faillisementsverordening (Kepailitan) Sederhananya, kontrol kebijakan menjaga ketaatan penduduk, diwujudkan dengan memberlakukan dua sistem hukum, yakni; hukum pidana dan acara pidana, dan hukum perdata dan acara perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) mengatur soal tindak kejahatan dan pelanggaran. Sedangkan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (Wetboek van Strafprocesrecht) mengatur bagaimana proses peradilan berlangsung, sejak penyidikan polisi hingga pengambilan keputusan oleh pengadilan. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur soal kekayaan dan perjanjian. Oleh karena sebagian besar perdagangan melalui perantara Cina. Maka hukum ini dibuat untuk mempermudah pembuatan kontrak dan menjamin kepastian hukum pedagang Belanda, sekaligus mendudukan Cina atas Eropa. Selain KUH-Per, ada juga Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), yang dibuat khusus untuk orang-orang Cina18. Sementara untuk pribumi 18 Kenampakkan tendensi Belanda terhadap perdagangan memang mencerminkan minat Belanda terhadap perdagangan masih tinggi, sebagaimana Kartodirdjo (1990), bahwa sampai pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memang masih menganggap perdagangan sebagai kepentingan fundamental, sedangkan kepentingan politik dan militer dianggap kurang esensial. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 49 disediakan kitab undang-undang khusus dengan mempertimbangkan hukum adat, yang sebelumnya diabaikan untuk menundukkan pribumi. Implikasi atas diterapkannya sistem hukum yang terstruktur menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah hukum di Batavia, seperti; Rechtsschool (Sekolah Hakim) pada 1908 dan Rechtsshoge School (Sekolah Tinggi Hukum) pada 1924. Selain itu, karena kelas dan peraturan berbeda untuk setiap etnis, maka peradilan dan sanksi juga berbeda, antara pribumi, Eropa dan Cina. Klasifikasi hukum ini akan menjadi jelas saat tiba pada pembahasan Indische Staatsregeling sebagai pengganti Regerings Reglement. Indische Staatsregeling (I.S) sebagai pengganti Regerings Reglement (RR), mulai berlaku sejak 1 Januari 1926. Penggantian ini disebabkan perubahan Grondwet (UUD) negeri Belanda pada 1922. Selama pemberlakuan Indische Staatsregeling, pembentukan peraturan dilakukan Pemerintah Hindia Belanda bersama-sama dengan Volksraad (Dewan Rakyat), yang terdiri atas pribumi asli. Menurut Hartono (2015), produk penting Indische Staatsregeling antara lain: a. Herziend Inlandsch Reglement (HIR) - Reglemen Indonesia yang Diperbaharuhi. b. Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) - Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. c. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 - Ordonansi Perdagangan. Sedangkan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan yang ada di Nusantara adalah sebagai berikut. a. Hukum untuk golongan Eropa: 1. BW dan WvK yang berlaku di Belanda (sesuai asas konkordansi) 2. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvordering b. Hukum untuk golongan pribumi: hukum adat tak tertulis dan tidak berlaku mutlak. Jika diperlukan, dapat diatur dalam peraturan khusus (ordonansi). c. Hukum untuk golongan Timur Asing : 1. Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka. 50 | Miftakhuddin 2. Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda. Perkembangan berikutnya, corak desentralisasi dalam pemerintahan semakin jelas. Berdasarkan Undang-Undang Perubahan tahun 1922, Hindia Belanda dibagi ke dalam beberapa provinsi dan gewest (wilayah). Provinsi memiliki otonomi, sedangkan wilayah tidak. Daerah administratif yang dikelompokkan ke dalam provinsi adalah; Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara daerah administratif yang dikelompokkan ke dalam gewest meliputi; Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest Kalimantan Borneo, dan Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri atas Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat. Keputusan desentralisasi itu akhirnya membuat Belanda memerlukan bumiputera bukan sebatas penguasa daerah, tapi juga mengerjakan administrasi pemerintahan untuk urusan sipil, medis, dan militer. Maka dari itu, agar dapat bekerja dengan baik mereka harus sekolah. Praktis, atas kebijakan tersebut membuat Hindia Belanda hampir berubah bentuk dari koloni menjadi negara baru. Sebab, desentralisasi berdampak pada meningkatnya liberalitas stakeholder kolonial. Lebihlebih asimilasi dengan feodalisme yang telah ada “di bawah tanah” memunculkan Indonesian-isasi. Tanpa disadari, sistem kepengurusan Nusantara sejauh mungkin harus dilakukan orang Nusantara. Inilah penyebab lahirnya Volksraad (Dewan Rakyat), yang pada gilirannya dari provinsi dibentuk keresidenan (afdeling), kabupaten, kawedanan (kotamadya), kecamatan hingga desa. Pengecualian untuk jabatan kepala desa, tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial (tidak termasuk dalam korps pegawai Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda). Pejabat pribumi (inland bestuur) yang termasuk dalam departemen dalam negeri adalah Pangreh Praja atau pemangku kerajaan, yang oleh masyarakat lokal lebih dikenal dengan sebutan priyayi. Sedangkan kepala desa, berhubung bukan merupakan anggota korps Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda, maka tidak diangkat maupun digaji pemerintah. Ia dipilih dan digaji oleh rakyat melalui tanah desa (tanah béngkok) yang diserahkan kepadanya selama menjabat. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 51 Demi optimalitas kinerja, pegawai di atas kepala desa (pegawai pribumi), disekolahkan menjadi pejabat birokrasi profesional. Anrooij, dalam naskahnya De Koloniale Staat terjemahan Santoso (2014), menuturkan proses itu berjalan lebih cepat setelah tahun 1900. Pada 1908, sekolah-sekolah kepala (1879) mengalami reorganisasi menjadi Opleidingsscholen voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) atau Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pribumi. Melalui sejenis Surat Edaran tentang Etiket Penampilan (Hormatcirculaires), ditentukan pemakaian tanda-tanda kehormatan saat tampil di depan umum. Aparat pemerintahan feodal disehatkan dan dimodernisasikan; gaji dibayarkan dalam uang. Memasukki tahun 1913, pemerintah memformulasikan syarat-syarat baru pengangkatan bupati; mereka harus menyelesaikan OSVIA, menguasai bahasa Belanda secara aktif maupun pasif, dan telah bekerja sebagai wedana dan patih dengan predikat memuaskan. Banyak pegawai pemerintahan Eropa yang muda, di bawah pengaruh mantan kolega dan penulis Eduard Douwes Dekker, mulai bersikap lebih kritis terhadap korps pemerintahan dalam negeri pribumi. Bagi generasi ini, buku Max Havelaar (1860) merupakan pedoman dan sumber inspirasi. Mereka menilai, para pegawai pemerintahan pribumi lebih bersifat sebagai “ornamen pemerintah” ketimbang sebagai kolega yang punya tanggung jawab sendiri. Masih menurut Anrooij (2014), krisis ekonomi pada dekade akhir abad ke-19 menjadi alasan pemerintah untuk ikut campur secara lebih intensif dalam mengembangkan kesejahteraan. Lebih-lebih pidato raja tahun 1901 menyebutkan zedelijke roeping (panggilan akan tanggung jawab etis) Belanda terhadap Hindia, yang dianggap sebagai awal resmi Ethische Politiek (Politik Etis). Politik itu bertujuan mengembangkan tanah jajahan di bawah kepemimpinan Belanda menjadi kemandirian yang besar. Arah baru itu menyebabkan modernisasi lebih lanjut dan spesialisasi aparat pemerintahan. 4. Kesimpulan Pokok aturan main kolonisasi (telah bergeser menjadi penjajahan), adalah menghisap sumber daya alam secara terstruktur dan sistematis. Lihat saja Portugis selaku pengkoloni pertama Nusantara. 52 | Miftakhuddin Melesetnya Vasco da Gama ke India membuat raja mengutus Alfonso ke Malaka, sebab India bukan penghasil rempah utama. Menariknya, sampai tahap ini kolonisasi tidak dimaksudkan untuk “mengambil” sumber daya, melainkan dimaksudkan untuk “membeli”. Interaksi antara pendatang dengan pribumi -lah yang kemudian membuat perdagangan menjadi tidak harmonis. Ini telah dibuktikan oleh kontak sosial dan ekonomi antara bangsa Eropa dengan kerajaankerajaan di Asia Tenggara. Mula-mula pribumi menyambut baik kedatangan Barat, tapi sikap dan kepentingan yang tak sesuai pakem/adat pribumi, maka mereka dianggap menyalahi aturan, yang pada gilirannya menimbulkan konflik. Contoh; kedatangan Spanyol di Filipina. Awalnya pribumi tidak agresif dan paranoid terhadap Spanyol, namun karena Magelhaens tiba-tiba memasang salib, dan atas nama kerajaan, pulau Cebu di Filipina diklaim beragama Katholik, maka timbullah perlawasan pribumi (konflik). Begitu juga dengan Belanda di Banten. Kebaikan pembesar Banten menyambut Belanda malah dibalas dengan sikap kaku dan upaya memonopoli harga rempah, maka berujung pada pengusiran dan konflik yang berkelanjutan. Pola-pola interaksi ini agaknya sama, antara di Jawa, Maluku, bahkan Filipina. Tendensi akan penguasaan dan pemaksaan tampaknya merupakan corak utama yang khas dalam setiap perjumpaan pertama pendatang terhadap pribumi. Baru pada ekspedisi kedua dan seterusnya, upaya penaklukan dan pelemahan pribumi (kolonisasi) mulai berhasil. Sebagaimana diulas dalam bagian awal buku ini, kolonisasi ialah pendelegasian kekuasaan sosio-politik, dan menampakkan corak pemerintahan sentralistik dalam setiap implementasi kebijakannya. Baik Portugis, Spanyol, maupun Belanda. Namun begitu, sentralistik rupanya bisa berubah jika terjadi penaklukan atas pengkoloni. Sebab jatuhnya pengkoloni jelas akan menghapuskan hegemoni dalam kolonialnya. Lihat saja pengalaman Belanda saat diduduki Prancis, yang berdampak pada pembubaran VOC dan penerapan sistem pemerintahan desentralisasi di Hindia Belanda (Nusantara). Memang secara serampangan, bisa dikatakan kolonial Prancis tak mau kehilangan “tambang emas” Belanda, yakni Nusantara. Akan tetapi, asumsi ini tampaknya cukup mewakili sifat kolonial itu Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 53 sendiri. Sebagaimana diungkapkan Tomé Pires, kolonial Portugis berusaha keras menguasai Malaka demi kedudukan strategis dan potensi peluang ekonomi, yakni keberadaan syahbandar (pengurus perniagaan antarbangsa). Kaitannya dengan kolonialisme Prancis di Belanda, ialah keduanya bersifat oportunis. Itulah mengapa Prancis tidak melepas daerah koloni Belanda, justru memberikan desentralisasi melalui Belanda agar seolah Nusantara memperoleh kelonggaran. Meski telah nampak ada perubahan motif penaklukan dari penguasaan wilayah menjadi penguasaan sistem perdagangan, namun fase ini tidak menunjukkan kolonialisme telah bergeser dari pakem yang diamanatkan paus kepada para conquistador. Walau tampak terobsesi pada harta, tapi tidak semua kolonis melupakan misi suci. Spanyol di Filipina misalnya, yang menunjukkan betapa berusahanya menginfiltrasi agama suci kepada orang moor di Filipina. Pembangunan infrastruktur, kerja sosial dan penerjemahan Alkitab sampai dilakukan demi terlaksananya misi suci. C. Kolonialisme dan Imperialisme Bagai dua sisi mata koin, kolonialisme dan imperialisme tak bisa dipisah. Sebab di mana praktik kolonialisme berlangsung, di situ juga terjadi imperialisme. Pun juga sebaliknya. Kolonialisme adalah kakikaki bagi imperialisme. Segala bentuk kolonialisme akan berpuncak pada imperialisme. Lalu persoalannya, apa perbedaan yang paling mendasar? Sebab dalam praktik, keduanya acap kali diselenggarakan dengan cara yang hampir sama, dan keduanya juga merupakan bentuk “perpanjangan tangan” dari pemerintah pusat. Hanya saja, masa di mana pertama kali imperialisme dilakukan, belum ditemukan istilah yang sesuai untuk menggambarkan proses imperialisasi itu sendiri. Baru sekitar tahun 1830-an, penulis Inggris memperkenalkan istilah “imperialisme” di Prancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Istilah itu digunakan untuk menjelaskan secara gamblang dasar-dasar perluasan wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh Britania Raya (imperium Britania). Penggambaran imperialisme merujuk pada Britania karena pada masa itu Imperium Britania telah menguasai wilayah Asia dan Afrika, atau hampir tiga perempat dunia. 54 | Miftakhuddin Secara prinsipil, perbedaan keduanya terletak pada tujuannya, meski pada akhirnya, keduanya dimanifestasikan dalam bentuk penjajahan yang terkesan mengandung obsesi ekonomi. Saat Britania memperluas imperiumnya, mereka memandang penjajahan sebagai pembangunan masyarakat untuk kebaikan dunia, sebab daerah jajahan dinilai masih terbelakang. Oleh sebab itu, kini imperialisme dimengerti dengan merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomipolitik negara kaya dan berkuasa (imperialis), mengawal dan menguasai negara lain yang dianggap terbelakang dan miskin disertai eksploitasi sumber-sumbernya untuk sekaligus menambah kekayaan dan kekuasaan negara imperialis. Sekiranya dapat diketengahkan, prinsip kolonialisme adalah pendelegasian kekuatan sosio-politik, sedang imperialisme berprinsip pada hubungan ekonomi-politik (perluasan wilayah, tapi bukan koloni). Imperialisme lebih menonjolkan sifat-sifat superioritas atau keunggulan negara imperialis terhadap negara jajahan. Selain bertujuan menambah pemasukan di sektor ekonomi, kepercayaan bahwa pihak imperialis adalah bangsa yang lebih mulia (ethnosentrism) juga menyebabkan imperialisme dimaksudkan membangun masyarakat jajahan. Maka dari itu kebanyakan negara imperialis menganut chauvinisme. Contohnya, negara-negara dengan nenek moyang suku bangsa ras Arya (Jerman, Inggris, Prancis, dan Italia). Faktor ini pula yang menyebabkan imperialis ingin mencapai taraf kekuasaan lebih tinggi dan memerintah dunia melalui pengaruhnya. Sebagaimana penegasan Edward Said, bangsa Eropa tahun 1914 telah menguasai 85% wilayah bumi ini sebagai koloni, wilayah perlindungan, jajahan, dominion dan persemakmuran. Pengalaman imprealisme dan kolonialisme selama ratusan tahun telah menimbulkan implikasi pada semua penjuru dunia, baik di pihak penjajah maupun yang dijajah (Lubis, 2006). Smith (1999), mendeskripsikan bentuk imperialisme Eropa awal abad 19 setidaknya dalam empat kecenderungan atau cara yang berbeda antara lain: (1) imperialisme sebagai ekspansi ekonomi; (2) imperialisme sebagai pendudukan negara lain (the Other19); (3) imperialisme sebagai 19 Makna dan maksud istilah ini dijelaskan dalam bab “post-kolonialisme” di buku ini. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 55 semangat dan gagasan dengan berbagai macam pengejawantahannya; (4) imperialisme sebagai bidang ilmu pengetahuan diskursif. Kendati demikian, dasar imperialisme memang merujuk pada usaha menyebarkan ide-ide, gagasan-gagasan dan budaya Barat ke seluruh dunia, dengan dalih pembangunan masyarakat. Maka imperialisme tak boleh dilihat semata-mata sebagai penindasan, tetapi harus juga dipandang sebagai upaya mendorong sebuah bangsa melalui pembaharuan-pembaharuan ke arah pembinaan masyarakat “tertinggal”. Melalui pembinaan tersebut dapatlah tersumbang beberapa hal, seperti; pendidikan, kesehatan dan sistem pemerintahan maupun peraturan perundang-undangan. Praktis, kolonialisme pun berkontribusi dalam berbagai bidang. Lihat saja sistem hukum dan sistem persekolahan peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, sistem pemberdayaan masyarakat di Australia oleh Inggris, dan peninggalanpeninggalan penjajah lain. Atas dasar platform imperialisme dan kolonialisme yang rupanya juga mengandung unsur pembangunan peradaban (bersifat ambivalen), tidak jarang dosen-dosen mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) di berbagai universitas membentuk mahasiswa kelasnya menjadi kubu pro imperialisme dan kolonialisme, dan kubu kontra imperialisme dan kolonialisme. Mereka lantas diminta untuk mendiskusikan dan mempertahankan argumennya tentang kolonialisme dan imperialisme. Umumnya, imperialisme dibagi dua kategori; imperialisme kuno dan imperialisme modern. Imperialisme kuno berlangsung sebelum Revolusi Industri dan Revolusi Prancis, yang mana dijalankan dengan cakupan terbatas (sebelum era penjelajahan samudra). Contoh; imperium Romawi, Turki Usmani, China, Mongol, dan kerajaan Hindhu-Buddha di Asia Tenggara. Motif dibalik imperialisme kuno ialah kejayaan penguasa dan penyebaran agama. Inilah yang tadi dimaksud sebagai dua hal tak terpisah. Bagi beberapa orang yang keliru memahami konteks, sering kali terjebak dalam pengertian yang salah dan menganggap kolonialisme dan imperialisme adalah dua hal yang sama saja. Zed (2009), dalam naskahnya berjudul “Bagaimana Hidup sebagai Rakyat Jajahan”, merumuskan ciri-ciri pokok kolonialisme adalah sebagai berikut: 56 | Miftakhuddin − kolonialisme itu berwatak expansive, yang selalu ingin meluaskan kuasa politiknya dari yang kecil menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Ini sejalan dengan watak kapitalisme yang dibawanya, yaitu selalu ingin mendapat keuntungan lebih besar dari orang lain daripada apa yang dapat diberikannya pada orang lain. − kolonialisme itu berwatak diskriminatif, antidemokrasi, dengan menciptakan iklim ketergantungan abadi antara penjajah dan rakyat jajahan; sernua ditentukan berdasarkan hierarki kekuasaan dari “atas” dengan bantuan sistem feodalisme yang sudah ada dalam masyarakat. − kolonialisme itu berwatak menindas (oppressive) dengan memaksakan semua kehendak penjajah kepada rakyat jajahan. Ada banyak sistem yang dipaksakan kepada rakyat jajahan, baik hukum, politik-ekonomi, dan budaya; − kolonialisme itu berwatak menguras (exploitative), dengan memeras potensi SDM dan SDA secara maksirnal untuk kepentingan penjajah, sedangkan hasilnya diangkut ke negeri penjajah. Adapun imperialisme modern, bermula pasca Revolusi Industri dan Revolusi Prancis. Di samping renaissance yang diwujudkan dengan pembuktian-pembuktian sains, penyebabnya lainnya ialah Eropa kekurangan bahan baku dan kelebihan modal dan barang industri. Maka dilakukanlah penjelajahan untuk memasarkan barang industri tersebut agar memperoleh laba maksimal dan mendapatkan bahan-bahan baku. Sayangnya, ini berakhir dengan penjajahan (imperialisme). Karena sebelum ekspedisi berlangsung, para penjelajah “dititipi” misi suci menyelamatkan manusia dari segala macam ketidakadilan sekaligus kebodohan, dan motif perluasan kekuasaan raja. Celakanya, imperialisme dalam rangka memperoleh hegemoni di antara para imperial lain pada gilirannya malah menimbulkan konflik yang bermuara pada Perang Dunia sebagai puncak pertikaian kuasaKolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 57 kuasa imperialis di dunia. Pasca Perang Dunia, baru muncul paham nasionalisme untuk mencekal terulang kembalinya imperialisme dan kolonialisme. Kusumawardani (2004) juga menegaskan, ketika resesi besar menimpa negara-negara kolonial di akhir Perang Dunia II yang diikuti menguatnya kelompok masyarakat yang tersisihkan, nasionalisme menawarkan harapan adanya kebebasan dan persamaan. Nasionalisme menjadi kompensasi bagi masyarakat yang frustasi. Di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia saja, nasionalisme menjadi sebuah kata sakti yang mampu membangkitkan dan mengikat kekuatan untuk melawan penindasan. Perasaan senasib dan sepenanggungan mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama, sekalipun menurut Hobsbawm (1992), nasionalisme adalah ideologi negara modern, seperti halnya demokrasi dan komunisme, yang mana justru kolonialisme dan imperialisme merupakan bentuk dari nasionalisme yang bersifat ekspansif. Namun begitu, popularitas nasionalisme nampaknya telah dapat diakomodir dengan imperialisme baru, yang sering disebut imperialisme post-modern ataupun imperialisme ultra-modern. Artinya, saat nasionalisme mulai hadir sebagai “pembela” kalum tertindas, imperialisme post-modern hadir tanpa penguasaan secara fisik, melainkan secara psikologis menyerang ideologi, mentalitas dan kepribadian suatu bangsa. Imperialisme ini, barangkali bisa juga dikatakan sebagai imperialisme kebudayaan. Sebab, target pengiasaan sang imperialis adalah kebudayaan, bukan wilayah (imperialisme politik). Jika memang demikian adanya, maka dampak modernisasi dan globalisasi tidak lain merupakan imperialisme kebudayaan. Sebab negara-negara di Asia dan Afrika, kini -sedikit banyak- menganut budaya kebarat-baratan (western-sentris) sekalipun telah berusaha mempertahankan budaya asli. Di samping itu, kebutuhan teknologi dan ketergantungan ekonomi juga menampakkan bahwa penjajahan masih berlangsung, hanya saja dalam kemasan yang lebih rapi dan sopan. Implikasi lain yang harus diterima ialah tak ada lagi pembeda atau batas-batas teoretik soal kolonialisme dan imperialisme. Sebab kolonialisme pun dalam pendelegasian kekuasaan sosio-politik 58 | Miftakhuddin beradaptasi dengan perkembangan zaman sebagaimana terjadi pada imperialisme. Sebagai contoh, Freeport, yang telah beroperasi menjadi koloni Amerika selama bertahun-tahun di era modern, dan baru bisa renegosiasi akhir-akhir ini. Ada garis besar yang patut disoroti, yaitu pendapat Rohman (2009) yang berangkat dari argumen Ania Loomba, bahwa; Kolonialisme menggerakkan roda kapitalisme. Kapitalisme berpuncak pada imperialisme, demikian Lenin dan Kautsky memberikan makna baru pada imperialisme, yang termaktub dalam Imperialism, the highest stage of capitalism (1947). Kapitalisme inilah yang kemudian membedakan antara kolonialisme dan imperialisme. D. Macam-Macam Kolonialisme Perubahan formasi dan rupa kolonialisme yang amat penting diketahui dan dipelajari, adalah perubahan kolonialisme zaman penjelajahan menjadi neokolonialisme era damai di bawah pengawasan PBB. Menurut kajian teori para tokoh post-kolonial, transformasi itu memberikan efek tertentu pada perilaku suatu bangsa. Namun terlepas dari berbagai perubahan itu, ada pula variasi kolonialisme yang perlu dipahami bersama. Sebab, pengetahuan akan macam-macam kolonialisme ini akan memetakan dan meranking kolonialisme seperti apa yang telah terjadi pada bangsa atau ras tertentu. 1) Kolonialisme Eksploitasi Kolonialisme eksploitasi adalah paham kolonisasi untuk mengeksploitasi SDA dan SDM. Maksud dari eksploitasi SDM bukan berarti pribumi yang diambil secara kuantitatif, melainkan pemerasan tenaganya untuk bekerja. Contoh kolonisasi eksploitasi adalah Belanda kepada Nusantara, Spanyol terhadap Filipina, dan praktik koloni eksploitasi lainnya. Belanda mengeksploitasi Nusantara dengan mendirikan VOC pada periode pertama, dan menggunakan hegemoni pemerintahan Hindia Belanda pada periode kedua. Di dalam kolonisasinya, Belanda mengincar SDA dengan melibatkan SMD Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 59 sebagai motor penggerak. Begitu juga dengan koloni Spanyol di Filipina. Akan tetapi, sekalipun keduanya merupakan kolonialisme eksploitasi, namun militansi Katholik Spanyol dalam penyebaran agama menjadi ciri khas yang tidak dipunyai kolonial Belanda, yang -katanyamenjajah selama 350 tahun. Meski banyak sejarawan melakukan generalisasi atas misi utama kolonial Eropa menjadi Gold, Glory dan Gospel, tapi motif itu sama sekali tak nampak dalam kolonisasi Belanda. Hal ini barangkali bisa dipandang lumrah, sebab ditinjau dari latar belakang Belanda melakukan kolonisasi adalah karena Portugis, tempat Belanda membeli rempah telah dikuasai Spanyol, dimana peristiwa itu terjadi beberapa saat setelah Belanda merdeka dari penjajahan Spanyol. Maka, jatuhnya Portugis kepada Spanyol membuat hubungan dagang Portugis-Belanda terputus. Oleh sebab itulah Belanda mencari sumber rempah sendiri (Gold), tanpa adanya motif penyebaran agama (Gospel). Sementara kolonial Spanyol menjalankan Gold, Glory dan Gospel secara berimbang. Memang beginilah rupanya apa yang selama ini didengungdengungkan sejarawan tidak selamanya benar. Sebab faktanya, Nusantara lebih mengenal hukum dan pendidikan sebagai peninggalan kolonial Belanda, dan kesan yang awet adalah kesan soal pemerasan dan penindasan. 2) Kolonialisme Deportasi Kolonialisme deportasi diartikan sebagai paham penguasaan daerah untuk mendeportasi, yang mana umumnya deportasi dilakukan terhadap narapidana atau pelanggar hukum. Setiap negara memiliki alasan tertentu mengapa hal ini perlu dilakukan. Terdapat beberapa alasan mengapa ini perlu, seperti; adanya ancaman bahaya bila ditahan di dalam kerajaan, memberi efek jera yang tak berkesudahan, ataupun sekadar menjaga nama baik kerajaan. Contoh koloni deportasi adalah Australia sebagai koloni narapidana Inggris, dan Kepulauan Pasifik, seperti; pulau Tahiti, Samoa, Society, Marquesas, dan pulau-pulau Polinesia lainnya yang oleh Prancis didirikan penjara untuk mendeportasi narapidananya. 60 | Miftakhuddin Sebelum Australia dikoloni Inggris, benua ini ditemukan Pedro Fernandez de Quiros, seorang Portugis dalam misi kedinasan Spanyol. Rumornya, berdasar legenda Yunani, benua ini bernama Terra Australis, namun Pedro mempersembahkannya untuk raja Philip III, Raja Spanyol berdarah Austria, dan mengubah namanya menjadi Austrialia, yang kemudian lebih dikenal Australia. Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris dan Belanda bebas keluar masuk Australia, seolah tidak ada satu kekuasaan pun sedang berdaulat di sana. Maka ketika James Cook berhasil memetakan pantaipantai di New South Wales, ia menyatakannya sebagai milik Britania pada 1770, dan menggunakannya sebagai koloni orang-orang terhukum pada 1788, dengan 11 kapal bermuatan sekitar 1.500 orang (pria dan wanita) melalui pelabuhan Sydney. Akan tetapi, jumlah pria lima kali lipat jumlah wanita membuat kaum wanita hidup di bawah ancaman eksploitasi seksual, walau napi yang kembali melanggar hukum dicambuk dan kejahatan kecil bisa dihukum gantung. Suku Aborigin (pribumi) malah lebih menderita lagi. Sebab posisi mereka menjadi tergusur. Kehilangan tanah leluhur dan kematian akibat penyakit yang dibawa narapidana mengganggu pranata sosial dalam kehidupan tradisional mereka. Mandeknya aktivitas kultural masyarakat Aborigin ini menjadi salah satu alasan kenapa saat ini budaya Aborigin kurang dominan. Begitu juga dengan pulau-pulau Polinesia abad 19. Setelah ditemukan penjelajah Belanda pada abad ke 16, dan disusul James Cook pada abad ke 18, Prancis di bawah Napoleon III kemudian menguasainya satu per satu untuk mendeportasi tahanan nasional. Bagi Kaledonia Baru saja, setelah Prancis mendirikan Port de France (kini menjadi Noumea, ibukota Kaledonia), telah menjadi lokasi pembuangan 22.000 narapidana sejak 1864 hingga 1897. Jumlah itu baru menyusut drastis setelah Gubernur Prancis, Paul Fillet, memberi amnesti dan kesempatan kepada para napi untuk kembali ke kampung halamannya. Prancis memang lebih tertarik pada penaklukan wilayah ketimbang perdagangan seperti Belanda dan Portugis. Memang benar, raja-raja dan aristokrat Prancis tidak pernah benar-benar tertarik dengan pekerjaan dan wilayah yang letaknya jauh, namun sebenarnya hal itu Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 61 terjadi karena sistem politik dan administrasi yang cukup rumit dalam kerajaan Prancis. Di Prancis semuanya dilakukan secara diam-diam dan rahasia. Para pedagangnya tidak peduli dengan kemuliaan asalkan para pelautnya menemukan tanah baru, makanya mereka tidak menggembargemborkan kehebatan nahkoda kapal mereka. Akibatnya, dalam sejarah kehormatan sebagai penemu jalur laut ke India jatuh kepada orang Portugis, yakni Bartholomew Diaz (Dorléans, 2016). Ada setidaknya dua hal yang perlu diketengahkan dalam pembahasan politik koloni deportasi. Pertama, kenyataan bahwa sekalipun mereka adalah narapidana, mereka tetap berstatus warga negara kolonis. Kedua, sebagai kerajaan yang mengirim koloninya ke luar, maka koloni adalah koloni, di mana segala aspek kehidupannya selalu dikontrol negara induk. Sebagai koloni narapidana, mereka dipekerjakan tanpa digaji, dan diberi pertambangan atau wilayah agraria untuk dikelola. 3) Kolonialisme Penduduk Kolonialisme penduduk adalah kolonisasi yang mengakibatkan terdesak dan tersingkirnya penduduk pribumi. Kolonial ini disebut juga kolonial domisili, sebab terjadi perubahan domisili penduduk sipil dari induk ke koloni. Menurut Rahayu (2007), kolonisasi penduduk dilakukan dengan migrasi besar-besaran ke negeri asing dan menjadikannya sebagai tanah air baru. Pribumi sebisa mungkin ditekan, disingkirkan bahkan digenosida. Bila demikian, kolonisasi Inggris mendeportasi napi dapat pula digolongkan dalam kolonisasi ini, karena secara teknis, suku Aborigin tersingkirkan oleh kehadiran narapidana Inggris, kendatipun tujuan kolonisasi semula tidak untuk menggeser kaum pribumi. Hal yang sama dengan koloni Spanyol di Amerika, yang membuat suku Indian terjajah. Kejadian migrasi Spanyol sebagai kaum ras kulit putih, pada gilirannya menghasilkan keturunan kulit putih Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kanada. Bicara soal migrasi penduduk secara masif, tahun 1976 hingga 1996 di Pulau Galang (Indonesia) juga terjadi migrasi penduduk dari Vietnam. Mereka bermigrasi sebagai pengungsi pasca perang melawan Amerika. Mereka dirampok, diperkosa, dibunuh, tewas karena penyakit, 62 | Miftakhuddin bahkan ada yang memilih bunuh diri. Meski peperangan dimenangkan Vietnam, nyatanya pemerintah Indonesia bersama United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)-lah yang memberikan bantuan kepada para pengungsi berupa pembangunan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sekitar 250.000 pengungsi. Atas beberapa perlakuan diskriminatif yang terjadi atas mereka, hanya sedikit yang bertahan dan berpindah ke Australia, Amerika dan Kanada untuk memulai kehidupan baru. Apa yang terjadi pada warga Vietnam di atas, memang sepintas tampak seperti kolonisasi penduduk. Tapi bila dicermati, perpindahan ini tak bisa dikatakan perwujudan kolonialisme Vietnam di Indonesia, sebab tidak ada peraturan dari negara induk yang mengikat dan mengatur koloni itu. Malahan, terjadi pembiaran oleh pemerintah induk, sama seperti aktivitas etnis Rohingnya di Myanmar baru-baru ini yang juga tak bisa dikatakan sebagai koloni. Sehingga koloni tersebut tidak termasuk satupun dari lima jenis kolonialisme yang dibahas dalam sub bab ini. Barangkali, suatu saat nanti akan ditemukan sebuah istilah yang sesuai untuk menggambarkan kondisi tersebut di atas. 4) Kolonialisme Transmigrasi Kolonialisme ini dilakukan dengan maksud menampung kepadatan penduduk akibat ledakan demografi. Beberapa tulisan malah menyebut praktik ini sebagai “kolonialisasi kelebihan penduduk” atau koloni libensraum. Kolonisasi ini pernah dilakukan oleh Italia dan Jepang. Italia melakukannya ke Somalia, Eritrea dan Libya pada abad 19. Hal itu disebabkan pasca tiga kali perang kemerdekaan Italia terjadi kekosongan kekuasaan, karena Prancis mengabaikan garnisunnya di Roma. Konstitusi Albertino (Statuo Albertino) kemudian meluas dan menjadi dasar penyatuan Italia. Konstitusi itu menyediakan kebebasan asasi bagi masyarakat kelas apapun, tetapi undang-undang eletoral mengecualikan golongan miskin dan tak terdidik dari pemilihan umum, yang kebetulan berada di Italia Selatan dan pedesaan Utara. Saat wilayah Italia Utara terindustrialisasi dengan cepat, wilayah Italia Selatan dan pedesaan Utara masih belum terbangun dan mengalami kelebihan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 63 penduduk. Hal ini menyebabkan jutaan penduduk Italia berhijrah dan membentuk koloni ke Somalia, Eritrea dan Libya. Adapun kolonisasi Jepang, dilakukan menjelang Perang Dunia II. Saat Jepang menginvasi Mancuria (Tiongkok), Jepang mulai menjalankan nanshin-rod20. Saat Nusantara dikuasai pemerintah kolonial Belanda, Jepang memulai aksinya dengan menduduki Papua. Di sana, Jepang mengusahakan pembukaan cabang Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha, perusahaan perkembangan daerah laut selatan yang bertindak sebagai perusahaan produksi. Tapi sesungguhnya, kantor itu adalah organisasi mata-mata, bahkan ada juga yang menyamar sebagai nelayan (Parera, 2013). Para pegawai itu diberi tugas menyelidiki sumber-sumber pertambangan di bagian barat Papua dan botani di wilayah Manokwari, aga dapat dipetakan sumber bahan kebutuhan militer Jepang yang nantinya akan bertugas di Papua (Koentjaraningrat & Bachtiar, 1963). Sebenarnya, Belanda tidak menyetujui kehadiran pengusaha Jepang di Papua, apalagi di Jepang telah beredar kabar yang menganjurkan daerah Papua dijadikan tempat penampungan kelebihan penduduk. Tapi, karena Belanda tak mampu membangun Papua sendirian karena kekurangan dana dan tenaga, akhirnya Belanda terpaksa memberi izin mendirikan tiga perusahaan kebun dan satu perusahaan gopal di Nabire dan Waropen (Parera, 2013). 5) Kolonialisme Sekunder Kolonisasi sekunder memandang suatu daerah yang tidak mengutungkan negara induk, tapi perlu dipertahankan untuk kepentingan strategis (Rahayu, 2007). Biasanya, koloni sekunder bewujud pangkalan-pangkalan sementara, baik berupa pangkalan dagang maupun pangkalan militer. Koloni dagang misalnya; VOC di Batavia, kongsi dagang Portugis di India, koloni pedagang independen di pelabuhan-pelabuhan italia, dan East India Company yang berdiri di berbagai tempat di dunia. Koloni dagang semacam ini, kerap kali dalam 20 gagasan soal imperialisme (perluasan kekuasaan) di Jepang. 64 | Miftakhuddin beberapa artikel disebut sebagai koloni penunjang atau tiang penunjang koloni. Adapun koloni sekunder untuk pangkalan militer (koloni defensi) banyak terjadi semasa Perang Dunia II, dimana hampir seluruh dunia saling rebut wilayah/pulau sebagai lokasi benteng pertahanan. Jauh sebelum itu pun, ketika Spanyol menjajah Filipina, koloni defensi telah berdiri di pulau Corregidor sebagai pertahanan Spanyol atas serangan Amerika. Kekalahan Spanyol membuat pulau itu menjadi basis militer koloni Amerika. Saat Perang Dunia II, setelah mendadak menghancurkan Pearl Harbour tahun 1941, Jepang juga menyerbu pulau ini, agar Amerika tak menghalangi penguasaan wilayah-wilayah di Asia Pasifik. Karena tentara Filipina dan Amerika kalah jumlah dan kurang pengalaman, maka pada 1942 Jepang sukses menguasai seluruh Filipina. Baru pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mengaku kalah dan mengembalikan pulau Corregidor kepada Amerika. Sekitar 3.000 tentara Jepang di pulau itu kemudian memilih harakiri, yakni bunuh diri untuk menjaga kehormatannya sebagai pejuang21. 21 ksatria Jepang, dalam kekalahannya di suatu duel atau perang, memilih bunuh diri ketimbang menyerah dan menjadi tawanan musuh. Bagi mereka, lebih baik mati daripada hidup menanggung malu. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 65 A. Sebab-Sebab Pergeseran Secara teoritik, perubahan paradigma terjadi atas dorongan hasil analisis mutakhir yang menunjukkan bahwa sistem yang dianut tidak lagi memberi hasil atau keuntungan yang memuaskan. Perubahan paradigma membawa perubahan mindset, dan perubahan mindset membawa implikasi operasional sejalan dengan tujuan yang akan dicapai melalui perubahan paradigma. Apabila digambarkan sebagai suatu bagan alir, maka perubahan di satu titik akan mempengaruhi aktivitas berikutnya, baik dalam aliran linear maupun paralel, sehingga tampak gambar networking yang kompleks (Harsono, 2006). Bab I dan bab II buku ini telah menyiratkan kolonisasi pun rupanya juga mengalami pergeseran paradigma. Akan tetapi, dari apa yang diuraikan secara kronologis di muka, tidak seberapa menguraikan sebab-sebab pergeseran tersebut. Faktanya, suatu masyarakat berupaya memenuhi kebutuhannya dengan meninggalkan negerinya (membentuk koloni), adalah indikasi adanya upaya pembangunan masyarakat. Kolonisasi manapun memang demikian. Baik koloni Yunani, Spanyol, dan Portugis membentuk koloni dengan dalih membangun masyarakat, baik dengan maupun tanpa melibatkan komunitas lain. Menurut Adelman (dalam Junaedi, 2014), setidaknya ada tiga faktor utama penyebab hal itu terjadi. Pertama, perubahan ideologi. Kedua, revolusi dan inovasi teknologi. Ketiga, perubahan lingkungan. Namun terlepas dari tiga faktor tadi, akar permasalahan dilakukannya kolonisasi ialah tak terpenuhinya kebutuhan masyarakat oleh alam. Kemudian dari akar penyebab itu, berkembang menjadi sebab-sebab lain, seperti; 1) kebutuhan akan produk agraris yang kompleks sehingga berdampak pada aktivitas perdagangan, sebagai metode lain dalam pemenuhan. 2) adanya piranti-piranti pendukung yang memungkinkan 66 | Miftakhuddin untuk dilakukannya kolonisasi, seperti; alat transportasi darat dan air, serta peralatan pertanian. 3) mulai terbentuknya sistem administrasi pemerintahan yang baik. Saat koloni pertanian Yunani hanya menghasilkan produk pertanian, maka dilakukanlah perdagangan di Laut Tengah untuk mendapat barang lain seperti kain, gerabah, dan lain-lain. Adanya aktivitas perdagangan inilah yang menyebabkan berdirinya pelabuhanpelabuhan dagang (koloni perdagangan). Pembentukan koloni dagang di pantai-pantai utara Yunani otomatis mengubah paradigma koloni dari aktivitas mencari lahan pertanian subur menjadi aktivitas perniagaan. Hal ini sekaligus membuktikan pendapat Harsono di atas, soal terjadinya pergeseran paradigma akibat sistem yang dianut tidak lagi memuaskan, adalah benar adanya. Memasuki periode imperium Romawi, kolonial perdagangan sempat mati suri. Hingga mendapat sokongan kuat dari Revolusi Industri dan Revolusi Prancis yang mengubah pola tradisional ke pola modern. Penemuan mesin pemintal benang untuk mengolah bulu domba menjadi pakaian, dan penemuan teknologi pemanfaatan batu bara untuk memurnikan besi, menjadikan peradaban Eropa maju drastis. Tetapi, industrialisasi itu menyebabkan kelebihan produksi. Di saat yang bersamaan rempah-rempah yang diperdagangkan pedagang muslim dan India mengalami kelangkaan. Maka dilakukan penjelajahan untuk memasarkan hasil produksi sekaligus mencari sumber rempah. Penjelajahan akhirnya bermuara menjadi kolonisasi di wilayahwilayah penghasil rempah-rempah (Asia). Penaklukan demi penaklukan, penjajahan demi penjajahan terus berganti. Tapi poin pentingnya adalah, pada fase ini terjadi perubahan kolonialisme lagi, dari masyarakat industri menjadi masyarakat penjajah. Artinya, tujuan masyarakat memproduksi dan memperdagangkan telah berganti menjadi upaya invasi dan eksploitasi sumber daya manusia pribumi. Secara teknis, juga terjadi pergeseran dari bentuk koloni pertama, yang semula kolonis turun tangan langsung melakukan aktivitas pertanian, kini dengan pendelegasian. Masa ini adalah masa di mana pribumi berperan sebagai penghimpun bahan baku sekaligus pasar atas produk-produk Eropa. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 67 Sekiranya dapat disimpulkan, pergeseran paradigma kolonialisme secara berturut-turut adalah koloni untuk memperoleh hasil pertanian (bangsa polis Yunani), koloni untuk memperdagangkan (pelabuhan dagang di Italia), dan koloni untuk memperdagangkan sekaligus memperoleh hasil pertanian (masa penjajahan di Asia). Sedangkan sebab ketiga, yakni mulai terbentuknya sistem administrasi pemerintahan yang baik, memiliki andil besar dalam pengorganisasian koloni. Betapapun luasnya jajahan bila tak ditunjang sistem pendelegasian yang baik untuk mengurus pemerintahan sipil, maka cakupan wilayah bersifat simbolik. Sebab, pemerintahan tak maksimal dalam menjalankan fungsinya. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan, di manapun, administrasi publik memainkan sejumlah peran penting guna mewujudkan tujuan pembentukan negara; terpenuhinya kebutuhan jasmaniah dan rohaniah warganya (Kurniawan, 2006). Penyebab pergeseran ketiga ini dapat diamati dengan mengkaji era kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda telah sukses membangun sistem adminsitrasi publik secara kompleks dan fundamental, bahkan tetap berlaku setelah masa kolonialnya berakhir. Makannya, pemerintah Hindia Belanda mampu mempertahankan eksistensinya sebagai koloni yang paling berkuasa atas pribumi Nusantara, daripada koloni Portugis, Spanyol dan Inggris. B. Faktor Pendukung Pergeseran paradigma kolonialisme disebabkan kebutuhan pengkoloni, maka dinamika paradigma pun terjadi akibat kebutuhan pengkoloni yang selalu dinamis sesuai perkembangan teknologi, ideologi dan lingkungan (alam maupun sosial). Begitu juga dengan faktor-faktornya yang selalu dinamis sesuai kondisi kekinian pada masanya. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi faktor ideal dan faktor material. Faktor ideal adalah faktor yang bersumber dari ideide atau gagasan tentang pembaharuan, dan faktor material adalah faktor berwujud kebendaan. Satu-satunya pemicu kedua faktor itu menjalankan fungsinya adalah jatuhnya Konstatinopel. Keruntuhan Romawi Timur mengakibatkan kedua faktor di atas berjalan simultan dan amat radikal, 68 | Miftakhuddin sebab selain muslim melarang dan menutup perdagangan orang-orang Eropa disana, terjadi pula renaissance. Penutupan perdagangan mengakibatkan bangsa Eropa haus akan barang-barang yang selama ini diperdagangkan. Sedang hadirnya renasissance sebagai runtuhnya otokrasi gereja dan titik balik kebangkitan ilmu pengetahuan (reformasi kerangka berpikir), berdampak pada penemuan-penemuan di berbagai bidang. Penemuan di bidang maritim seperti kompas dan kartografi, ditambah lagi skeptisme manusia akan teori-teori geografi yang menyatakan bumi itu bulat, memicu adanya penjelajahan dan pembuktian-pembuktian ilmiah tentang bumi. Sementara itu, para pengungsi Perang Salib -yang terdiri atas pedagang- mengungsi ke Portugis dan Spanyol, mereka memberitahukan lokasi-lokasi perdagangan dan wilayah potensial di Asia-Afrika. Berita ini, bagi Eropa yang kehilangan akses perdagangan, seakan menjadi oase di tengah panasnya gurun. Akhirnya, dengan disepakatinya perjanjian Tordesillas, dilakukanlah penjelajahan samudra yang dipelopori oleh Spanyol dan Portugis. Menguasai sumber rempah memang telah banyak disepakati sebagai alasan dilakukannya penjelajahan. Padahal lebih dari itu, aji mumpung Spanyol dan Portugis akan melakukan perjalanan panjang, paus menitipkan misi suci untuk membalaskan kekalahan nasrani dalam Perang Salib dan mengkristenkan orang-orang di luar kerajaan agar menjadi manusia yang taat dan beradab. Oleh sebab itu penjelajahan Portugis dan Spanyol memuat misi penyebaran agama (Gospel). Tujuannya jelas, dengan dilakukannya penyebaran Nasrani, maka di samping mendapatkan sumber rempah, wilayah kekuasaan Spanyol dan Portugal sebagai negara nasrani meluas. Praktis, imperialisme adalah juga merupakan misi atas penjelajahan samudra (Glory), demi meningkatkan citra sang raja. Sebab, ada kepercayaan kuat kewibawaan seorang raja atau ratu tercermin dari seberapa luas wilayah kekuasaannya. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 69 C. Dampak Sudah barang tentu pergeseran paradigma kolonialisme menimbulkan implikasi tertentu sebagai hasil atau risiko yang menyertainya. Tidak jarang, sering kali dampak-dampak itu dipandang sebagai hasil yang negatif. Sebagai contoh, apa yang paling diingat rakyat Indonesia pasca kolonial Belanda dan Jepang adalah penjajahannya. Penindasan, pembunuhan, pemerkosaan, kemiskinan dan penyiksaan seolah menjadi topik wajib dalam pembahasan kolonial Belanda dan Jepang. Namun begitu, ada baiknya juga perlu ditelaah dampak-dampak positif atas insiden penjajahan di Nusantara. Penjajahan Belanda misalnya. Tanpa dijajah Belanda mungkin Indonesia tak akan pernah tahu tanaman-tanaman apa saja yang laris di Barat, serta bagaimana manajemen pengelolaannya. Tanpa dijajah Belanda, orang Indonesia mungkin tidak tahu soal sistem irigasi dan konstruksi bendungan (dam). Tanpa dijajah Belanda terlebih dahulu, mungkin Indonesia tidak memiliki tambang minyak bumi di Tarakan, pabrik gula di Jawa dan infrastrukur seperti jalur kereta api, jembatan, pelabuhan dan jalan raya. Tanpa dijajah Belanda terlebih dahulu pula, barangkali orang Indonesia tidak tahu menahu bagaimana menyusun sistem hukum nasional dan sistem pendidikan nasional yang -nyatanyamasih bertahan sampai sekarang. Atau mungkin, tanpa dijajah Belanda lebih dulu, edukasi, irigasi dan produk politik etis lainnya akan terbangun dengan versi berbeda. Kajian plus-minus kolonialisme menjadi penting karena hasilnya akan mensarikan bagaimana skema pemerintahan kolonial dapat membangun sekaligus merusak instrumen jajahan. Maka dari itu, dalam melakukan kajian harus ditinjau dari perspektif kemanusiaan maupun dari perspektif pembangunan, tanpa mengabaikan aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Terkhusus bidang politik, implementasi kolonialisme agaknya mampu merombak pakem-pakem dan tata aturan yang telah dianggap baku menjadi lebih fleksibel. Mari menengok ke belakang, di masa Jawa sedang dijajah langsung Pemerintah Belanda dan Inggris, para gubernur jenderal baik Deandels maupun Raffles telah meletakkan dasar pemerintahan modern. Mereka menjadikan kaum bumiputera dan 70 | Miftakhuddin aristokrat sebagai pegawai negeri, diberi gaji dan dipilih. Padahal menurut adat, kedudukan raja hanya bisa diperoleh dari keturunan, dan digaji oleh rakyatnya melalui pembayaran upeti. Legalitas yang didapat raja dan bupati sekaligus menandai kalau di tingkat pusat, disusun sistem pemerintahan berdasar pembagian kekuasaan trias politica milik Montesquieu (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Sehingga raja dan bupati berperan sebagai lembaga eksekutif, termasuk menghimpun pendapatan warga untuk diserahkan kepada gubernur. Penggubahan prosedur elit politik dan bangsawan ini otomatis merontokkan kewibawaan tradisional kaum penguasa pribumi, karena amat terbatasnya wewenang dalam politik kerajaan. Di dalam kondisi ini, ada beberapa penguasa tradisional justru mengalihkan perhatinanya kepada bidang sastra. Misalnya, Mangkunegara IV menyusun kitab Wedatama, Paku Buwono V memerintahkan penulisan serat Centhini, dan lain sebagainya. Demikianlah pemerintah kolonial mengintervensi persoalan kerajaan supaya pribumi tetap tunduk. Masyarakat Nusantara yang semula giat bertransaksi antar kerajaan, menjadi terisolasi di pulaunya masing-masing. Secara perlahan kolonialisme mengekang mobilitas pribumi agar tetap beraktivitas di tanah pertaniannya. Pergerakan tak lagi dilakukan keluar, melainkan ke dalam, sehingga menyuburkan feodalisme. Terlebih, adanya monopoli membuat perdagangan menjadi hak prerogatif pengkoloni, sedangkan hak pribumi sebatas tanammenanam dan panen-memanen di pedalaman. Peran Belanda adalah eksportir, dengan perantara Cina, sedang pribumi sebagai pengecer (itupun jika sempat). Pembagian tugas menurut komposisi masyarakat otomatis menciptakan gap yang cukup besar dan mereformasi stratifikasi sosial sebelumnya. Pribumi menduduki kelas sosial paling rendah, di mana kelas tertinggi adalah orang Eropa dan kedua adalah Indo dan orang Timur asing. Maksud golongan Indo adalah peranakan Eropa dengan bangsa pribumi, sedangkan timur asing adalah orang-orang Asia yang berdagang di Nusantatra, seperti Cina dan Arab. Adapun pribumi melingkupi tukang kayu, tani dan pekerja rendahan lainnya. Hal inilah Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 71 yang menyebabkan kualitas sosial budaya dan ekonomi warga pribumi mengalami kemerosotan secara tajam. Namun demikian, kemerosotan tingkat ekonomi dan kualitas sosial budaya pribumi rupanya diimbangi peningkatan dalam berbagai bidang. Dampak kolonialisme ini mengubah tatanan tradisional ke arah tatanan modern, termasuk pemusatan pemerintahan seluruh Nusantara ke Jawa (Batavia), sebagai ibukota. Untungnya, kepadatan penduduk sebagai efek samping pemusatan pemerintahan di Batavia dapat diakomodir dengan program transmigrasi (politik etis) dari Jawa ke Sumatera dan Borneo, untuk mengimbangi pembangunan di sana. Di samping manajemen demografi, Belanda juga memperkenalkan budaya sekuler. Sebab, awalnya pendidikan hanya untuk bangsawan, yang diselenggarakan para raja dan para wali dengan memanfaatkan lingkungan keraton dan pesantren. Tapi dengan adanya kolonial, seolah menjadi harga yang harus dibayar atas intervensi Belanda ke ranah politik kerajaan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah, seperti; Sekolah Rakyat, Meer Uitgebreid Lagere School Onderwijs (MULO) atau setara SMP, Algemeen Metddelbare School (AMS) atau setara SMA, Technische Hoogere School (THS) atau sekolah tinggi teknik di Bandung, School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah tinggi kedokteran di Batavia, dan sekolah tinggi hukum Rechts Hoogere School (RHS) di Batavia. Pendirian sekolah-sekolah ini bertolak dari kebutuhan Belanda akan pegawai sipil, medis dan militer. Maka dari itu, hanya laki-laki ningrat yang diizinkan bersekolah. Baru memasuki zaman pergerakan nasional, organisasi seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, serta orang-orang seperti Ki Hadjar Dewantara dan R.A Kartini mulai memperhatikan pendidikan dengan secara mandiri menggagas sekolahsekolah untuk pribumi yang bukan bangsawan, sebagai wujud keprihatinan atas kebijakan “pilih kasih” pemerintah Belanda. Sekolah Dasar enam tahun, SLTP dan SLTA masing-masing tiga tahun adalah sekelumit contoh peninggalan non materi pemerintah kolonial Belanda. Lebih dari itu, KUHP dan KUH-Per serta pembagian kekuasaan dalam berpolitik juga merupakan peninggalan kolonial Belanda yang masih bertahan sampai sekarang. Jika bukan karena apa 72 | Miftakhuddin yang disebutkan di atas mengandung substansi positif, lantas apa alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan “mengapa sistem itu masih dipertahankan?”. Oleh sebab itulah kolonialisme tidak selamanya harus dilihat sebagai pemerasan, perusakan dan penurunan derajat kemanusiaan warga pribumi, melainkan dapat kiranya dipandang dari sisi lain sebagai proses pembangunan masyarakat dan pemerintahan sipil. Segala kerugian karena Belanda menjadikan kita sebagai objek jajahan, adalah realitas historis yang tak boleh dilupakan. Tapi peninggalan materi dan non materi kolonial yang masih kita pakai juga bukan merupakan opini yang patut disanksikan. Lagi pula, tidak semua manusia Belanda maupun dari kelas sosial Eropa setuju dengan praktik penjajahan, baik semasa VOC maupun pemerintah Hindia Belanda. Douwer Dekker misalnya, ia salah satu cendikiawan golongan Eropa yang tak ada sangkut pautnya dengan penjajahan. Meski pernah menjadi pegawai pemerintahan, justru kesewenang-wenangan yang dilihat dari pengalamannya memberi inspirasi untuk memihak golongan Indo dan pribumi. Melalui bukunya, Max Havelaar, ia mengkritik habis-habisan ketidakadilan yang menimpa pribumi. Sayangnya, ia sempat ditahan pemerintah dengan tuduhan pengkhianat, padahal telah menggunakan nama samaran “Mulatuli”. Perkembangan berikutnya, ia malah tergabung dalam tiga serangkai dengan Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo, meletakkan dasar-dasar nasionalisme Indonesia. Eduard Douwes Dekker adalah satu dari sekian bukti yang menunjukkan bahwa seyogyanya kolonialisme tidak dipahami secara parsial, melainkan harus dimengerti secara komprehensif. Bila akan diapresiasi, suatu peristiwa semacam kolonialisme hendaknya dipandang dari arah yang berbeda-beda dan dikaji sesuai dengan konteks dan porsinya masing-masing. Sebagaimana diulas dalam bab kedua buku ini, imperialisme dan kolonialisme sebenarnya bersifat ambivalen. Amerika, Australia dan Singapura adalah contoh lain betapa hebatnya kolonialisme dalam membangun masyarakat. Setidaknya begitulah ungkapan kaum pro-kolonialisme. Barangkali bangsa tertentu, penjajahan adalah harga yang harus dibayar Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 73 untuk mengalami transisi dari tradisional ke modern (modernisasi) di berbagai bidang, termasuk ekonomi dan sosial budaya. Smith (1999), pun turut menegaskan hal itu secara klasifikasi. Smith menyatakan penelitian akademis menunjukkan dampak pendudukan Barat terhadap pribumi umumnya diteorikan sebagai sebuah fase kemajuan dari: (1) penemuan dan kontak awal, (2) penyusutan populasi, (3) akulturasi, (4) asimilasi dan (5) perekaan ulang sebagai sebuah hibrida budaya etnis. Sedangkan perspektif pribumi memperlihatkan sebuah gerak maju bertahap, sebagai berikut: (1) kontak dan invansi, (2) genosida dan penghancuran, (3) perlawanan dan upaya bertahan hidup (survival) dan (4) pemulihan sebagai bangsa pribumi. 74 | Miftakhuddin A. Amerika Rumornya, nenek moyang Amerika berasal dari Asia. Mereka datang dengan menyeberangi Selat Bering saat masih dapat dilewati dengan berjalan kaki di zaman es. Saat ini, “jembatan darat” itu telah tertutup air sejak akhir zaman es. Sebagai masyarakat nomaden, mereka bermigrasi mengikuti hewan buruan hingga sampai di daratan besar yang kini disebut benua Amerika. Mereka kemudian menjadi Indian (masyarakat pra Columbus). Kendati sejak abad ke-11 bangsa Viking telah mendirikan koloni di Greenland dan sekitarnya, tapi pendaratan Columbus di Kepulauan Karibia menjadi pintu masuk kolonial Spanyol ke Amerika. Sebab, kepulangannya membawa berita tentang daratan yang luas dan jalur baru menuju dunia Timur. Seiring runtuhnya koloni Viking, koloni Spanyol mulai berdiri sejak akhir abad ke-15 dan 16, dengan pendirian benteng di Saint Augustine, Florida. Sementara di daerah yang kini dikenal sebagai Meksiko, koloni didirikan dengan menaklukkan dan menjajah Indian Aztek, lalu menamainya Neuva Espana (Spanyol Baru). Segala perlawanan yang selalu ditumpas, dan migrasi demi migrasi pada gilirannya menekan dan mereduksi populasi Indian lain, seperti; Inca, Maya, dll. Selama kurang lebih tiga abad setelah penemuannya, koloni Spanyol meluas ke Amerika Tengah, sebagian besar Amerika Selatan, Meksiko, bahkan sampai ke Amerika Utara hingga Alaska. Utamanya, penjajahan ini didasarkan beberapa tujuan, yakni; eksploitasi kekayaan alam, memperkuat relasi perdagangan, dan memperoleh tenaga kerja dengan harga murah. Inilah penyebab kepunahan Indian dan akulturasi kebudayaan. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 75 Tapi Portugis rupanya telah lebih dulu mendarat di Amerika. Pangeran Henry mengirim Francisco Hermandes de Cordoba yang kemudian mendarat di Yucatan pada 1517, dan Juan de Gijalva di Veacruz tahun 1518. Pangeran Henry melakukannya demi menjayakan Portugis, maka dia memimpin penjelajahan untuk menemukan rute baru menuju penghasil rempah, emas, dan perak. Melalui kepionirannya, akhirnya diperolehlah emas dari Afrika dan menjadikan pantai barat Afrika sebagai jalur perdagangan Portugal. Barulah kemudian tahun tahun 1487 Bartholomew Diaz dikirim ke Asia namun malah berhenti di Tanjung Harapan akibat badai. Ekspedisi lantas dilanjutkan Vasco da Gama pada akhir abad ke-15, yang mencapai Calicut-India. Di sini telah didapati ternyata fokus Portugis adalah India dan benua Afrika, bukan Amerika. Barangkali, periode inilah yang memberi peluang Spanyol melakukan kolonisasi di Amerika tahun 1492. Baru saat Pedro Alvares Cabral menemukan Brazil pada 1500 dalam perjalanan menuju India, Portugis mengembangkan koloninya ke Amerika Selatan. Bagi Portugis, para penguasa lokal di kota-kota perdagangan, seperti; Calicut dan Goa di India, dan pelabuhan Ormuz di Iran, diserang dan ditaklukkan22. Khusus di Brazil saja, Portugis mendirikan pemukiman permanen di Sao Vicente tahun 1532. Tampaknya Portugis tak mainmain dalam usaha menguasai Brazil. Sebab, saat keuntungan dagang di India tak mampu lagi mengimbangi pengeluaran kerajaan yang boros, Brazil menyediakan kayu celup dan gula yang laris di Eropa, ditambah lagi penemuan dan pembukaan tambang emas dan berlian di pedalaman Brazil yang membuat seluruh Amerika demam emas. Berkat prestasi dua kerajaan penakluk itu, kerajaan lain seperti Prancis, Inggris dan Belanda menjadi “latah”, sehingga dimulai era penjelajahan (Era of Great Voyage). Saat Amerika Selatan dan Tengah dikuasai Spanyol, dan Brazil dikuasai Portugis, maka hanya Amerika Utara yang memungkinkan diperebutkan oleh tiga kerajaan. Koloni Prancis berdiri di sebelah Timur, sekitar aliran sungai Mississipi sebelah 22 Pelabuhan di Brazil dan India nantinya diserahkan kepada Spanyol berdasarkan Perjanjian Zaragoza. 76 | Miftakhuddin selatan, dan anak sungainya hingga Kanada. Secara resmi, kali pertama kedatangan Prancis diawali Giovanni Verrazarro pada 1524 untuk menyelidiki alur menuju Hindia. Namun penyelidikan itu malah membuka jalan migrasi Prancis menuju tanah harapan baru (Kanada). Adapun secara nonformal, koloni Prancis juga berdiri karena deportasi atau pelarian atas penindasan pemerintah Prancis terhadap kaum Protestan. Pemerintah mengakui sekte Katholik dan menekan sekte Protestan hingga meletus Perang Hogenut. Protestan sebagai pihak yang kalah, akhirnya melarikan diri ke Amerika Utara, agar memperoleh kebebasan moral dalam beragama, tanpa tekanan pemerintah (Katholik). Koloni mereka maju dengan mengekspor ikan, gula dan bulu domba untuk pembuatan wool. Beberapa saat setelahnya, Lord Baltimore, seorang bangsawan Prancis, mendirikan koloni di sebelah utara Virginia pada 1632. Koloninya dinamai Maryland (sekarang Washington D.C), yang diambil dari nama Ratu Prancis, Henrietta Maria. Hampir semua artikel (daring) tentang koloni ini menyebutkan bahwa sejak awal berdirinya, koloni Maryland berkembang pesat. Keluarga Baltimore kemudian menjadi aristokrat, karena koloni ini dikelola perusahaan keluarga. Namun pada 1715, Maryland diambil alih pemerintah Inggris, dengan tetap memberi hak istimewa kepada keluarga Baltimore. Hebatnya, walau Inggris adalah bangsa Eropa yang datang belakangan, yakni tahun 1585 di Pulau Roanoke yang tak berlangsung lama karena perebutan, namun perkembangannya cukup pesat begitu satu koloni mampu bertahan di tahun 1607, yaitu koloni di Jamestown, Virginia. Koloni ini pun sebetulnya hampir gagal bertahan, akibat serangan wabah penyakit dan kelaparan. Namun saat Sir Walter Raleigh mencari emas untuk mempertahankan koloni itu, ia menemukan pada orang Indian, tumbuhan aneh yang dapat dinikmati asapnya (tembakau). Dicontohkan oleh Indian, setelah tumbuhan itu kering, kemudian digulung, dibakar, dan dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap asapnya sehingga menimbulkan kecanduan (merokok). Ia sendiri termasuk penggemar tumbuhan tersebut. Maka muncullah kebiasaan/kebutuhan akan rokok di Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 77 Eropa yang dipopulerkan Inggris. Pembudidayaan tembakau lah yang akhirnya menyelamatkan koloni Inggris di Jamestown. Bahkan koloni itu menjadi pusat perekonomian penghasil tembakau. Walau emas kemudian juga ditemukan di sana, tapi tembakau tetap merupakan komoditi yang menunjukkan prospek bagus untuk masa depan pasar Eropa. Sampai-sampai parlemen Inggris memberikan hak penuh kepada kongsi dagang Inggris untuk menanamkan modal dan pengembangan koloni Jamestown, karena dinilai potensial untuk investasi. Sejak saat itu, dipakailah nama Virginia, sebagai penghormatan kepada Ratu Elizabeth I, yang bergelar Virgin Queen. Koloni Virginia lalu ditetapkan sebagai Virginia Company of London, dan dilimpahkan kepada kongsi dagang Inggris, Virginia Bay Company. Gubernur pertamanya adalah Sir Thomas Dale, sedang gubernur berikutnya adalah Sir George Yeardley, yang pada pemerintahannya didirikan dewan perwakilan bernama House of Burgesses. Akan tetapi, sejak 1619 hingga 1624 koloni Virginia dilanda berbagai masalah. Bangkrutnya Virginia Bay Company, epidemi, serangan Indian, dan masalah kesejahteraan sosial berupa aksi protes atas pemberlakuan pajak, membuat pemerintah kerajaan Inggris mengambil alih Virginia dan memerintahnya secara langsung. Untung, sebelum kejatuhannya, tahun 1621 para Pilgrim Fathers (orang-orang pelarian karena berselisih paham dengan gereja Inggris) mulai membentuk koloni di Plymouth, Massachusetts. Mereka kelompok agamis yang punya perbedaan radikal dengan gereja Inggris, mereka adalah kristen dari sekte Puritan. Selain pelarian, komposisi koloni juga datang karena dideportasi pemerintah Inggris. Pertentangan religius itu terjadi saat raja Henry VIII mengakui sekte Anglikan sebagai agama nasional. Mirip kasus di Prancis, pengakuan atas sekte ini mengakibatkan tekanan moral keagamaan sekte Puritan yang sedang bersandar pada kemurnian kristen ortodhoks. Tekanan inilah yang mendorong Puritan hengkang mencari kehidupan bebas, dan mereka percaya kebebasan hanya dapat ditemukan di daerah yang baru. Maka berdirilah koloni Plymouth di Teluk Massachusetts tahun 1630. 78 | Miftakhuddin Disamping diskriminasi di wilayah kerajaannya, pemerintah Inggris juga menindas bangsa Ir (Eire) penganut Katholik di wilayah Irlandia (termasuk vassal Inggris). Tekanan politik Inggris makin keruh ketika pemilik tanah di Irlandia (bangsawan Inggris) menaikkan sewa tanah. Ketidakmampuan menyewa tanah tentu saja berakibat pada masalah-masalah sosial, ditambah lagi ketiadaan wakil bangsa Ir di parlemen Inggris, membuat hak-hak bangsa Ir tidak ada yang membela. Maka mereka melakukan migrasi mengikuti jejak Puritan dengan maksud yang sama. Tapi Puritan telah mencapai taraf perkembangan yang mengesankan. Politik di koloni Plymouth cenderung stabil, sebab prioritas mereka adalah pembangunan masyarakat ketimbang sekadar menemukan emas. Lebih-lebih perjanjian damai sesama kolonis maupun dengan Indian telah disepakati. Sebagai kaum pelarian kristen, mereka hidup dengan prinsip etika kristen. Sehingga aspek pendidikan cukup diutamakan. Sejak 1636 mereka telah berpikir tentang sekolah untuk anak-anak mereka. Setiap 50 keluarga mendirikan sekolah untuk membaca, menulis dan aritmatika. Adapun setiap 100 keluarga, dibangun Grammar School, sebagai persiapan pendirian College (sekolah menengah). Di sinilah lahirnya Harward College (sekarang Harward International College/HIC). Di perguruan inilah banyak anak petani diajari ilmu hukum. Pesatnya kemajuan yang sampai mengalahkan kemajuan di New England (Inggris), pada gilirannya membuat parlemen Inggris memberikan wewenang kepada kongsi dagang Inggris, Massachusets Bay Company, dan mengubah namanya menjadi New England, sebagai penghormatan kepada dewan New England di Inggris yang telah memberi izin menanamkan usaha di Amerika Utara. Tampaknya, prestasi Inggris di Amerika memang cukup membanggakan dibidang ekonomi dan daerah administratif, karena mampu menyaingi koloni Spanyol. Lebih-lebih saat Roger Williams diusir dari Massachusetts dan mendirikan koloni di Rhode Island, teritorial atas nama kerajaan Inggris makin meluas. Berdasarkan uraian di atas, ada tiga tujuan pokok pengembangan koloni Inggris di Amerika. Pertama, alasan ekonomi dan industri berupa ditemukannya tembakau dan emas. Ini tidak terlepas dengan fakta Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 79 bahwa organisasi-organisasi pedagang Eropa (Gilda) sedang berkembang sejak abad ke 13. Akibatnya, pusat-pusat industri manufaktur dan pakaian menyebar secara sporadis. Kedua, alasan politik berupa ketidaksepahaman dengan pemerintah Inggris, sehingga banyak warga mencari suaka ke tempat lain. Ketiga, alasan agama berupa pencarian kebebasan beragama oleh kaum Puritan. Berbeda dengan koloni Inggris yang terbentuk dengan berbagai sebab, koloni Belanda berdiri oleh VOC, dengan dibangunya pos dagang di Niew Amsterdam (sekarang New York) pada 1624. Namun lagi-lagi koloni bangsa Eropa lain menjadi milik Inggris melalui perebutan. Nama Niew Amsterdam pun diubah menjadi New York (diambil dari nama Duke of York yang berkuasa di Inggris dengan gelar James II). Koloni itu kemudian mengalami pemekaran akibat berkembangnya semangat liberal yang dibawa Penn, seorang penganut Quaker (salah satu sekte Kristen Protestan). Melalui gagasan liberalnya, Penn berhasil mendirikan koloni Pennsylvania. Sementara koloni Belanda yang bertahan hanya Suriname, yang kemudian oleh Belanda diisi dengan orang-orang Jawa, hingga kemerdekaannya pada 1975. Sedangkan kepulauan Antilles Belanda (Hindia Barat Belanda) di Kepulauan Karibia, Aruba23 dan pulau-pulau lainnya masih menjadi bagian kerajaan Belanda hingga sekarang. Tahun 1700 di Amerika mengalami The Great Awakening, yang merupakan gerakan serempak pertama dan terbesar. Gerakan ini muncul akibat menyebarnya paham Pietisme ke Eropa dan Amerika, dan menjadi aktor utama dalam kebangkitan negara-negara koloni hingga 1742. Terhitung sejak 1733, di Amerika telah berkembang tiga belas koloni, yang umumnya dikelompokkan dalam tiga koloni besar. New England (koloni Utara), terdiri dari New Hampshire, Massachusetts, Rhode Island dan Connecticut. Koloni Tengah, terdiri dari New York, New Jersey, Pennsylvania, Delaware. Koloni Selatan terdiri dari Maryland, Virginia, Carolina Utara, Carolina Selatan, dan Georgia. 23 Aruba, awalnya dijajah Spanyol selama satu abad, namun karena beriklim panas dengan landscape tumbuhan kaktus, maka Spanyol kurang memperhatikan Aruba. Sebab tak cocok untuk perkebunan maupun perdagangan budak Belanda kemudian mengakuisisi pada 1636 (id.wikipedia.org). 80 | Miftakhuddin New England, walau punya peternakan-peternakan kecil, tapi lebih bertumpu pada perikanan, perkapalan, dan industri. Koloni Selatan memiliki perkebunan tembakau dan kapas. Perkebunan semula digarap pekerja sewaan, tapi kemudian dikerjakan para budak yang didatangkan dari Afrika dan Hindia Barat. Adapun koloni Tengah hanya memiliki peternakan kecil. Guna mempertahankan masyarakatnya, ketiga belas koloni itu mengikat diri pada perekonomian Atlantik antara Amerika, Hindia Barat, Eropa, dan Afrika, untuk melakukan perdagangan budak, hasil ternak, dan produk industri seperti rum dan gula. Saat Inggris memenangkan perang atas Prancis dalam Perang Tujuh Tahun, sebagai pihak kalah Prancis dipaksa menyerahkan koloninya di Kanada kepada Inggris, dan menyerahkan Louisiana ke Spanyol, (Spanyol menyerahkan Florida ke Inggris). Inggris kemudian mengeluarkan Proklamasi 1763, yang menyatakan orang dari tiga belas koloni tidak boleh menetap di sebelah barat Pegunungan Appalachia, atau dikenakan pajak. Bagi para kolonis, pemberlakuan pajak amat tidak adil. Terlebih kebijakan itu dinilai inkontitusional, sebab kolonis tak punya hak suara di parlemen Britania. Mereka menyatakan, “tiada pajak tanpa perwakilan”. Pajak-pajak yang dipersoalkan ialah Sugar Act (1764), Stamp Act (1765), Townsend Duties (1767), dan Tea Act (1773). Selain mengupayakan partisipasi kolonis di parlemen mereka menunjukkan protesnya melalui Boston Tea Party, yakni aksi membuang ratusan kotak berisi teh dari kapal di Pelabuhan Boston, sebagai respons atas Tea Act. Aksi itu kemudian diikuti oleh beberapa perang kemerdekaan di Lexington dan Boston. Agar perang mereda, tentara Britania lalu mengambil alih kota Boston dan mendirikan Kongres Kontinental, yang terdiri atas orangorang yang dianggap mewakili tiga belas koloni. Mereka adalah Benjamin Franklin, John Adams, Thomas Jefferson, John Hancock, Roger Sherman, dan John Jay. Seorang aktivis dan politikus radikal Britania, Thomas Paine, kemudian menulis dan menyebar pamflet bertajuk Common Sense pada 1776, yang menyatakan koloni-koloni harus merdeka dari Britania. Alhasil, tahun itu juga (4 Juli 1776), terjadi Revolusi Amerika. Ketiga belas koloni sepakat pada Deklarasi Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 81 Kemerdekaan Amerika menjadi Amerika Serikat. Salah satu pertimbangannya adalah, kolonis-kolonis telah terlibat perang dengan Britania dalam Perang Revolusi Amerika yang dimulai sejak 1775 di Lexington dan Concord untuk menentang ketidakadilan Britania kepada kolonis. Berlangsungnya perang mengindikasikan Amerika tak bisa terus menerus dijajah, dan protes pajak berupa tuntutan partisipasi ke parlemen adalah tanda Amerika ingin kedaulatan atas dirinya. Walau selama perang tentara Amerika di bawah kepemimpinan George Washington banyak mengalami kekalahan, tapi di Yorktown, atas bantuan Prancis mereka menang. Pasca penandatanganan Traktat Paris, akhirnya Britania menarik semua pasukannya dari Amerika Serikat. Deklarasi Kemerdekaan Amerika merupakan suatu akta dari Kongres Kontinental Kedua di Philadelphia, yang menyatakan Tiga Belas Koloni merdeka dari Britania Raya. Deklarasi itu sebagian besar ditulis Thomas Jefferson, yang menjelaskan justifikasi pelepasan diri dari jerat Britania, dan menyatakan tanggal 4 Juli 1776 sebagai hari kemerdekaan Amerika Serikat. Kendatipun begitu, Amerika belum punya pemimpin tunggal. Tahun 1781, koloni-koloni Amerika masih mempersiapkan sebuah kesatuan (union) melalui Articles of Confederation, yang melimpahkan sebagian besar kekuasaan kepada negara-negara bagian, (hanya sedikit kekuasaan pemerintah pusat). Namun Articles of Confederation hanya bertahan enam tahun, bahkan bisa dikatakan gagal. Sebab, tak mampu mengakomodir pemberontakan kolonis dan penduduk asli. Sebagai penggantinya, tahun 1787 para tokoh seperti; Washington, James Madison, Alexander Hamilton, dan Gouverneur Morris merekonstruksi Konstitusi Amerika. Melalui konstitusi barunya, Amerika menjadi pemerintahan nasional yang lebih kuat dengan disokong lembaga eksekutif (Presiden dan kabinetnya), legislatif (Dewan Perwakilan Rayat dan Senat), dan yudikatif (pengadilan federal). Konstitusi ini diratifikasi negara-negara bagian tahun 1788, dan George Washington diangkat sebagai presiden pertama Amerika Serikat pada 1789. 82 | Miftakhuddin Berakhirnya era kolonial rupanya justru menjadi babak baru perbudakan di negara-negara bagian Selatan. Sebab di Selatan, masyarakat bertumpu pada sektor agraris, sehingga amat memerlukan budak. Maka perbudakan adalah sesuatu yang legal. Berbeda dengan Utara yang bertumpu pada sektor industri, di sana tidak diperlukan budak. Sehingga negara-negara bagian Utara menginginkan dihapuskannya perbudakan. Semasa Abraham Lincoln terpilih menjadi presiden, peta geopolitik Amerika tak lantas berubah dari kondisi demikian. Malahan, banyak negara budak melepaskan diri membentuk negara baru, yakni negara konfederasi Amerika, yang beribukota di Richmond, Virginia. Praktis Amerika terbelah menjadi dua; Konfederasi (pro-selatan) dan Union atau Pemerintah (pro-utara). Terbelahnya Amerika berlanjut dengan perang saudara bertahun-tahun. Sekalipun Abraham Lincoln mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi tahun 1863 pada salah satu kemenangan Utara, nyatanya deklarasi itu tak cukup mampu menuntaskan perang dan perbudakan. Justru pasca tewasnya Lincoln atas suatu penembakan, budak-budak dibebaskan dan menjadi warga biasa yang mempunyai hak suara, berdasarkan amandemen konstitusi Amerika. Komposisi Amerika tersusun atas bangsa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, bahkan China dan Israel (Yahudi). Di antara golongangolongan itu, etnis Jerman sangat berpengaruh dalam revolusi kemerdekaan. Mereka prajurit dengan tradisi militer tangguh (khas suku bangsa Arya). Sementara Yahudi datang pada masa kolonial karena pemerintah Inggris memang memberi kebebasan. Mereka golongan Yahudi Sephradik (Sefardi), yang telah berabad-abad meninggalkan tanah leluhurnya dan menyebar ke Eropa sebagai minoritas dengan perlakuan kurang baik, namun semerdekanya Amerika, populasi mereka meningkat. Adapun etnis China datang sebagai buruh kontrak, yang boleh dikatakan lebih sukses ketimbang di negerinya sendiri. Sampaisampai orang kulit putih -sesama pekerja- merasa iri. Sebab meski bergaji kecil, mereka terkenal sebagai petani ulet, tekun dan rapi. Hubungan Amerika-China baru mulai efektif setelah adanya ketertarikan akan sutera China yang dibawa pedagang Yankee. Selain China, buruh Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 83 juga berasal dari Italia, yang datang melalui selatan. Sebagai budak di Selatan, mereka hidup sederhana dan melarat. Barangkali, munculnya perbudakan tidak hanya karena bangsa Afrika menjual diri kepada Eropa tapi juga kehadiran orang Italia. Migrasi besar-besaran multi etnik menjadikan Amerika sebagi muara aliran-aliran kebudayaan. Umumnya, kalangan bangsawan dan politisi memang menjadikan Amerika sebagai “tempat mendulang emas”, tapi kalangan marginal, menjadikan Amerika sebagai tempat mengadu nasib dan mencoba peruntungan, dengan harapan terlepas dari penindasan politik, kebebasan beragama, dan memperoleh jaminan ekonomi yang lebih baik. Akulturasi dan asimilasi antar imigran (kolonis) yang masing-masing datang ke Amerika membawa identitas kebudayaannya inilah akhirnya membentuk watak bangsa Amerika abad modern. B. Australia Proses penemuan Australia bukanlah fokus sub bab ini, sebab di samping polemis, konsentrasi pembahasan adalah gambaran deskriptifkronologis kolonialisme Inggris di benua ini. Pembicaraan soal penemuan hanya sebatas pengantar yang mengacu pada sumber-sumber umum, seperti anggapan bahwa suku Aborigin datang ke Australia dengan perahu di akhir zaman es, dan tidak adanya teks yang menerangkan dari mana asalnya. Sebatas perkiraan, Elkin (dalam Darmawan, 2010), menyatakan mereka masuk dari utara melalui garis pantai mulai semenanjung York sampai pantai daerah Kimberley. Menurut Shaw (dalam Darmawan 2010), kemungkinan mereka datang karena terdesak bangsa lain. Dari India melalui semenanjung Malaysia mereka ke selatan dan melalui Indonesia (Laut Timor, Laut Arafuru, dan Selat Tores). Jika benar demikian, bisa jadi suku Aborigin termasuk ras Dravida yang terdesak atas kedatangan ras Arya. Namun demikian, penegasannya adalah jauh sebelum Eropa, Aborigin telah menghuni Australia. Bangsa Eropa mencari Australia pada Era of Great Voyage abad 16 hanya ingin membuktikan mitologi Yunani kalau di bumi bagian selatan ada benua 84 | Miftakhuddin besar yang berfungsi menyeimbangkan benua di utara, yakni Terra Australis. Ada sumber yang menyatakan pelaut Portugis dalam tugas kedinasan Spanyol (Pedro Fernandez de Quiros) menemukannya pada 1606. Sang wakil kapten, Luis de Torres, yang memimpin pemberontakan dalam perjalanan malah sampai di laut selatan Irian (Papua Nugini). Meski demikian, namanya diabadikan untuk nama selat antara Australia dengan Irian. Ada pula yang menyebut Australia ditemukan James Cook dan menyatakannya sebagai milik Britania. Bahkan ada yang menyatakan kalau orang Belanda (Willem Jansz) juga menemukan dan menamainya New Holland pada abad ke 17 sebelum kedatangan James Cook. Hanya saja, hasil ekspedisi Belanda di Australia tak dilanjutkan sebab dinilai kurang menguntungkan karena tampak gersang, makanya Belanda lebih memprioritaskan pada Nusantara (Scott, 1943). Tetapi, bertentangan dengan historiografi Anglo-Saxon yang disebarluaskan para pengajar sejarah Australia, G. Arnold Wood dan Sir Ernest Scott, yang menyiratkan Australia dilihat pertama kalinya pada 1606 oleh seorang Belanda bernama Jansz, peta Prancis-Portugis yang dibuat di Dieppe antara 1536 dan 1566 berdasarkan catatan asli yang diam-diam disimpan di Casa da India di Lisabon sampai kehancurannya akibat gempa bumi 1755, membuktikan Australia ditemukan orangorang Portugis sekitar seratus tahun sebelumnya (Dorléans, 2016)24. Sebagaimana Van (2003), bahwa jalur pelayaran Portugis ini membuka jalan menuju penemuan benua Australia oleh bangsa Eropa dari arah Barat25. Terlepas dari siapa dan kapan penemuannya, masa awal kolonisasi Inggris dapat ditinjau berdasarkan laporan Joseph Bank, seorang botani Inggris yang tergabung dalam tim ekspedisi James Cook ke dunia timur pada 1766 hingga 1775, di mana ia menyebut ada wilayah di pantai timur Australia yang punya karakteristik geografis 24 Dorléans, Bernard. 2016. Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX. Terjemahan Parakitri T. Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 25 Van, Samuel. 2003. Negara dan Bangsa Jilid IV. Asia dan Australia. Jakarta: Grolier International Inc. & PT. Widyadara. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 85 hampir sama dengan wilayah Inggris. Inilah yang menarik perhatian pemerintah Inggris untuk menjadikannya tempat deportasi narapidana (Setiawan, 2016)26. Berpijak dari sini, kolonisasi Inggris kemudian meluas ke Victoria, Queensland, Tasmania, South Australia dan Western Australia. Menurut Setiawan (2016), setidaknya ada dua sebab kenapa dilakukan deportasi ke Australia. Pertama, larangan ajaran Katholik pada abad 16, karena raja menganut sekte anglikan. Raja Henry VIII yang tak kunjung memiliki anak dari istrinya, Catherine, bermaksud menceraikannya dan menikah lagi dengan Anne Boleyn dari Prancis. Tapi paus di Roma tidak menyetujui karena dalam ajaran Katholik, hanya dibenarkan menikah sekali seumur hidup. Maka, atas keputusan Paus dan tekanan politik (pewarisan tahta), Raja Henry mulai menolak Katholik dengan memisahkan gereja Katholik Inggris dari Bunda Gereja, dan mengangkat dirinya sebagai kepala gereja seluruh Inggris. Maka berdasarkan kebijakan yang diterbitkan raja Henry VIII, seluruh warga Inggris harus menganut anglikan. Barang siapa yang tak bersedia meninggalkan katholik, lalu berpindah agama ke anglikan, maka akan dipidanakan. Oleh karenanya, banyak sekali warga Inggris “tak bersalah” dijebloskan ke penjara pada masa itu27. Kedua, merosotnya kesejahteraan sosial akibat krisis agraria. Adanya paceklik di Inggris mengakibatkan kriminalitas meningkat tajam. Masa inilah yang disebut sebagai The Carnival of Crime. Banyaknya tawanan kerajaan atas kasus pencurian/perampokan serta keengganan pindah agama, tentu saja membuat penjara menjadi sesak. Bahkan penjara terapung28 tak mampu lagi menerima tahanan (Yulita, 2009). Akhirnya, atas usulan Joseph Bank, pemerintah Inggris mendeportasi narapidana ke daerah lain sebagai koloni (Kitley, dkk., 1989). 26 Setiawan, Bagus. 2016. Sejarah Australia & Oceania. Garis Besar Kolonisasi Inggris di Australia. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. 27 ibid 28 Saat penjara darat penuh, pemerintah Inggris menggunakan kapal tidak layak/tidak dapat berlayar sebagai penjara terapung. 86 | Miftakhuddin Koloni deportasi Inggris sejak 1607 di Amerika, namun karena koloni di sana mengalami ledakan demografi sekaligus perang kemerdekaan, maka deportasi ke Amerika tidak bisa dilanjutkan (George, 1989). Untungnya, pada pertengahan abad 18 James Cook menemukan Australia (New South Wales), yang mana dinilai cocok untuk diisi narapidana Inggris, sebab punya kemiripan geografis, sangat berbeda dengan yang dilihat Belanda (VOC) di sisi lainnya. Siboro (1989) menegaskan, Arthur Philip tiba di Botany Bay29 dengan armada 11 kapal pada 18 Januari 1788. Namun tempat ini dianggap tidak layak huni karena gersang dan sedikit air bersih, maka dicari pelabuhan lain dan menemukan suku Aborigin, yang terdiri atas banyak klan di pelabuhan Jackson (sekarang Sydney) pada 26 Januari30 1788. Pendatang Britania menyebut mereka eora, karena saat ditanya dari mana asalnya, mereka menjawab “eora”, yang artinya “dari sini” atau “dari tempat ini” (Miftahul, 2011). Di pelabuhan inilah Philip menurunkan orang-orangnya. Sebagaimana Kitley (1989), Inggris mendirikan koloni di New South Wales (NSW) dengan jumlah ±1500 orang, termasuk 750 di antaranya narapidana. Koloni Inggris didirikan sejak 7 Februari 1788, walau sebenarnya kepemilikan resmi baru dinyatakan pada 26 Januari 1792 (Holder, 1985). Pendirian koloni di NSW juga bermaksud mengefisienkan pelayaran/perdagangan dengan Cina. Karena dengan begini, Inggris mempunyai basis dagang di pelabuhan Sydney, yang berfungsi sebagai supply base kapal-kapal Inggris yang akan melintasi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik untuk perdagangan (Miftahul, 2011). Beberapa tahun setelahnya, tahun 1798, Matthew Flinders dan George Bass untuk pertama kalinya berhasil mengitari Australia dan membuat peta pertama benua Australia. Menurut Hudaidah (2004), Flinders adalah orang pertama yang memakai nama “Australia” untuk benua ini, dari sebelumnya “Austrialia”. Ketika ia menyiapkan manuskrip tahun 1814 berisi laporan perjalanan berjudul A Voyage to Terra Australis, Joseph Bank menyarankan untuk menggunakan nama 29 Sebelumnya bernama Stingray Harbour. Diubah menjadi Botany Bay karena Joseph Bank mengumpulkan cukup tumbuhan dari sana. 30 Tanggal ini kemudian menjadi hari nasional Australia Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 87 Terra Australis karena lebih merakyat. Flinders melakukannya, tapi ia juga meninggalkan catatan kaki; Aku mengizinkan diriku sendiri untuk melakukan sembarang inovasi terhadap istilah asli, tampaknya ia akan berganti menjadi Australia; sebab lebih terasa nyaman di telinga, dan ia adalah perpaduan nama-nama bagian bumi lain yang sama hebatnya. Pengiriman terakhir narapidana dilakukan pada 1868. Meski begitu, para pemukim bebas/imigran gelap dari Inggris sudah berdatangan sejak 1790-an. Terlepas dari kehadiran imigran gelap, kerajaan Inggris memberdayakan narapidana untuk membangun NSW. Gubernur jenderal, anggota angkatan laut dan stafnya mengusahakan pertanian, perumahan, rumah sakit dan lain-lain. Namun kurangnya keahlian di bidang pertanian menghambat kemajuan koloni (Hamid, 1999). Philip, selaku gubernur jenderal lalu memberi tanah dan kebebasan untuk mengolahnya, bagi napi yang berkelakuan baik. Kemajuan yang ditampakkan membuat pengiriman deportasi ke NSW dihentikan, agar fokus pada pengembangan masyarakat, sampai Philip kembali ke London tahun 1792. Gambar: peta wilayah koloni New South Wales Sumber: Setiawan (2016). Setiawan (2016), tanpa menyebutkan tahun kekuasaannya juga menjelaskan kebijakan Gubernur Jenderal untuk membangun New South Wales sejak Philip hingga Macquarie sebagai berikut. 88 | Miftakhuddin No. Gubernur Jenderal 1. Arthur Philip • • 2. New South Wales Corporation31 (NSWC) • • 3. Hunter 4. Philip Gidley King • • • 5. William Bligh • 6. Lachlan Macquarie • • • Peran dan Kebijakan Memberdayakan narapidana sebagai tenaga kerja dalam pembangunan di NSW Gaji narapidana berupa sebidang tanah untuk diusahakan atau dimanfaatkan sendiri Monopoli perdagangan berazaskan feodalisme; pemberian hadiah tanah kepada para perwira yang kemudian diusahakan dengan melibatkan narapidana, sedangkan hasil buminya dijual kembali kepada pemerintah Inggris Narapidana dibayar dengan rum, bukan lagi dengan sebidang tanah Menentang hegemoni NSWC Penertiban rum di kalangan narapidana Larangan impor rum, karena akan dibuka pabrik rum dan pembukaan pemukiman baru di beberapa wilayah Pemberhentian operasi pabrik rum, karena dianggap merusak moral para narapidana Melumpuhkan hegemoni NSWC Eksplorasi besar-besaran garis pantai hingga pedalaman Australia. Mengedukasi suku Aborigin 31 Korporasi NSWC dipimpin seorang perwira, yang bukan merupakan gubernur, tetapi bisa berkuasa di atas gubernur berkat monopoli perdagangan rum. Siapapun mengganggu kepentingannya, pasti ditentang, termasuk keputusan gubernur. Sampai-sampai berselisih dengan tiga gubernur setelah Philip. Hunter dituduh tidak layak, King dihina, dan berpuncak pada penjeblosan gubernur William Bligh ke penjara. Peristiwa itu terkenal sebagai Rum Rebellion (Hudaidah, 2004). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 89 Melalui penyusuran garis pantai dan pedalaman oleh gubernur jenderal NSW, sekaligus aktivitas perwira dan residivis mengubah tanah mereka menjadi pertanian yang subur, kemudian tersebar berita tentang adanya tanah yang murah dan pekerjaan yang melimpah. Akhirnya berkapal-kapal petualang Inggris mendarat di Australia sebagai penghuni liar. Gelombang pendaratan ini adalah musibah baru untuk Aborigin yang semakin terdesak. Bulan April 1789 penyakit sejenis cacar menewaskan sekitar 500 hingga 1000 Aborigin antara Broken Bay dan Botany Bay. Mereka lalu memberontak karena menganggap pendatang Britania sebagai pembawa penyakit itu. Saat telah tersisa beberapa ratus Aborigin pada 1820, Gubernur Macquarie berinisiatif menyatukan, mengkristenkan dan mendidik Aborigin, dengan memisahkan mereka dari klannya sebagai langkah awal. Ia bersama narapidana Inggris dan Irlandia lalu membangun infrastruktur dan fasilitas publik, seperti; jalan, jembatan, dan kepolisian pada 1822. Masa Macquarie adalah masa pembaharuan Sydney. Sedangkan 1830-an dan 1840-an adalah masa pembangunan urban. Sementara kota ini tumbuh cepat, imigran Inggris dan Irlandia (Darmawan, 2010). Naasnya, mayoritas imigran bukan dari daerah industri, melainkan berasal dari Inggris bagian selatan dan Irlandia, yang tergolong marjinal dan tidak begitu punya kemampuan. Makanya pemerintah tidak mempekerjakan mereka. Para penambang untuk Australia Selatan justru didatangkan dari kota lain. Imigran marginal tak begitu berperan penting. Imigran Irlandia menjadi pelayan, bahkan wanita Inggris dijadikan pekerja seks komersial. Lebih-lebih saat ditemukan emas tahun 1851 di NSW dan Victoria, koloni-koloni residivis, dan pengusaha melakukan pencarian lebih intensif, yang diikuti kapal-kapal Cina, pemilik bar dan penjual alkohol gelap, wanita penghibur, bahkan penipu dari banyak negara. Inilah masa demam emas yang disebut gold rush. Upaya gubernur menertibkan perizinan malah menimbulkan pemberontakan anti-otoriter (pemberontakan Eureka Stockade) di tahun 1854. Mereka dan sisa Aborigin lalu menyebar ke koloni NSW yang nantinya berdiri sendiri, seperti Tasmania dan Queensland. Di dua pusat 90 | Miftakhuddin pemukiman Tasmania; Hobart dan Lounceston, awalnya masing-masing dipimpin letnan gubernur dari NSW pada 1803. Namun di tahun 1810, David Collins selaku pendiri dan gubernur Hobart meninggal, dan Paterson selaku gubernur Lounceston kembali ke Inggris. Maka Macquarie menyatukan keduanya di bawah pimpinan Kolonel Davey pada 1813. Davey adalah perwira angkatan laut yang mengupayakan wilayah tersebut menjadi koloni swasembada dengan memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian untuk mencegah kelaparan, dan menjadikan Hobart sebagai pelabuhan bebas. Kendati demikian, Davey kurang disenangi gubernur NSW karena kurang disiplin dan suka mabuk (Hudaidah, 2004). Sifatnya yang kasar dan merosotnya wibawa pemerintahannya berdampak pula pada lemahnya pengawasan, sehingga banyak tahanan yang kabur. Atas rendahnya kredibilitas Davey, maka ia diganti kolonel William Sorell. Sejak pemerintahannya tahun 1817 hingga 1824, Sorell berusaha memajukan Tasmania dengan membangun jalan yang menghubungkan Hobart dengan Launceston, memajukan peternakan domba merino yang telah ada sejak zaman kejayaan New South Wales Corporation, dan melakukan ekspor gandum. Ia juga membangun penjara khusus Macquarie Harbour untuk menahan napi dengan kejahatan paling buruk (Siboro, 1989). Namun hadirnya penjara khusus untuk kriminal berat, justru membuat masyarakat merasa khawatir. Sebab mereka dipekerjakan kepada masyarakat. Guna meredakan kekhawatirannya, masyarakat memperlakukan napi dengan kejam. Sekali hakim menerima keluhan penduduk atas narapidana, maka narapidana itu diseret ke penjara dan dicambuk. Akibatnya, banyak narapidana yang melarikan diri dan hidup sebagai bushrangers (perampok kasar dan ganas). Ini adalah risiko hidup di Tasmania kala itu. Membayangkan ini, tampaknya koloni yang telah mapan semestinya tidak lagi menerima masuknya narapidana. Ketika Sorell diganti Kolonel George Arthur pada 1824, setahun kemudian (1825) pemerintah Inggris memisahkan Tasmania dengan NSW. Demikianlah Arthur menjadi gubernur jenderal pertama di Tasmania dan terwujudlah usaha Davey yang tidak terwujud pada masa Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 91 Sorell. Tasmania berhak memiliki legislative council beranggotakan tujuh orang, setara dengan NSW. Meski demikian, kedaulatannya baru diakui secara resmi melalui terbitnya undang-undang dari parlemen Inggris, Australian Colonnies Government Act tahun 1855, yang menawarkan masing-masing koloni Britania mengurusi pemerintahannya sendiri. Nama Van Diemen’s Land32 pun diubah menjadi Tasmania, diambil dari nama penemunya, yakni seorang Belanda bernama Abel Tasman. Gambar: peta wilayah koloni Tasmania Sumber: Setiawan (2016) Awal kedaulatan Tasmania diwarnai berbagai reformasi, seperti; pemurnian dan penguatan administrasi pengadilan dengan pembentukan Supreme Court, dan pembagian koloni menjadi beberapa distrik kepolisian yang masing-masing dipimpin hakim polisi. Arthur berusaha melaksanakan hukum secara ketat, sampai-sampai memecat jaksa agung yang berbuat salah. Ia juga mengizinkan penduduk menembak narapidana yang bersenjata. Regu-regu militer yang diperkuat penduduk ini melakukan operasi-operasi pembersihan pelaku kriminal di seluruh pemukiman. Hasilnya, dalam tempo satu tahun (1825-1826) lebih dari 100 bushrangers dijatuhi hukuman gantung. Penumpasan bushrangers hanyalah awal kekerasan rezim Arthur. Selanjutnya, penduduk kulit 32 Van Diemen adalah Gubernur Jenderal VOC yang menugaskan Abel Janszoon Tasman melakukan ekspedisi, hingga akhirnya menemukan Tasmania. 92 | Miftakhuddin putih Inggris juga melakukan genosida pada homo tasmanianus (pribumi Tasmania), setelah gagal menangkapnya hidup-hidup. Selama ±13 tahun pemerintahannya, koloni Tasmania sudah maju karena pertanian dan peternakan biri-biri. Akan tetapi penggantinya, Sir Jhon Franklin, tak mampu mengembangkan lebih dari itu. Dia merupakan sarjana pecinta buku, yang berencana menyediakan pendeta untuk guru sekolah, tapi tak terlaksana hanya karena jabatannya yang tak lebih dari “kepala suatu penjara”. Melewati tahun 1840, masyarakat sipil mulai sadar bahwa narapidana-lah yang memperburuk Tasmania. Sebagai koloni yang berhak mengatur pemerintahannya sendiri, mereka mengusulkan penghapusan sistem narapidana di Tasmania, yang baru disetujui tahun 1852. Perkembangan berikutnya, setelah disahkannya Australian Colonnies Government Act tahun 1855, Tasmania mengalami kemunduran ekonomi sekitar 1860-an, namun tertolong berkat penambangan tembaga, perak, dan mineral lainnya serta kemajuan sektor agraris dengan komoditi utama apel (Setiawan, 2016), dan hasil sektor peternakan yang dapat diekspor, seperti; daging, susu dan keju (Scott, 1943). Sementara itu, pantai barat Australia yang belum pernah terjamah mulai diselidiki Prancis pada abad 19. Sebab, Belanda meski melihat dan sempat menamainya “New Holland” pada 1606, tidak mengklaim sebagai milik Belanda seperti yang dilakukan James Cook terhadap NSW. Belanda menilai daratan itu kurang potensial, maka Belanda lebih fokus pada Nusantara yang saat itu dijajahnya. Adanya rumor kalau Prancis akan menduduki wilayah itu membuat gubernur NSW, Darling, “kebakaran jenggot”. Sebab, terlalu jauh bila harus mengawasinya dari Sydney. Ia pun mengutus Mayor Lockyer mendirikan pos di King George Sound atau Albany sejak 1827 (Hudaidah 2004). Di tahun yang sama, James Stirling menyelidiki daerah Swan River, dan sangat ingin mendudukinya karena dinilai amat potensial. Gubernur Darling lalu merekomendasikannya untuk langsung ke Inggris meminta pemerintah membuka koloni di sana. Karena permohonannya ditolak dengan alasan biaya, Stirling lalu mendekati para pemilik modal Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 93 (bangsawan) untuk bermigrasi dan membuka usaha di Swan River tanpa membawa narapidana, melainkan pekerja keras. Upaya itu disusul Thomas Peel dengan membentuk kongsi untuk membuka koloni di sana. Rombongannya tiba pada 1829 di suatu daerah yang kini adalah Fremantle, tapi kemudian pindah ke tempat yang sekarang adalah kota Perth, dengan Stirling sebagai letnan gubernur dalam koloni tersebut. Dua pemukiman inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Australia Barat (Western Australia). Persoalannya adalah, tempat tinggal mereka (pekerja dan investor) terpencar-pencar, sehingga akan bahaya kalaukalau mendapat serangan. Belum lagi kesalahpahaman para pendatang akan besaran investasi. Pemilik modal keliru menafsirkan, mereka kira semua harga yang dibawa akan dihitung sebagai dana investasi, maka mereka membawa piano, meja dan kursi mewah, serta perabotan lainnya. Padahal, di sana tak ada rumah dan tak ada sarana untuk mengangkutnya. Akhirnya barang-barang itu dibiarkan di kapal dan di tepi pantai sampai rusak. Bisa dibayangkan betapa kecewanya para bangsawan di awal pendirian koloni. Persoalan lain lagi, di sini kekurangan tenaga kerja. Peel membawa sekitar 300 orang pekerja bebas. Celakanya, tarif mereka tinggi. Ditambah lagi bila tabungan gajinya sudah cukup untuk membeli tanah sendiri, mereka akan meninggalkan majikannya. Meski Peel termasuk kaya berkat investasinya, kurang pengalamannya sebagai pionir membuatnya menjadi majikan tanpa pembantu. Sehingga, bila koloni lain -seperti Tasmania- menolak transportasi narapidana, Australia Barat justru membutuhkannya. Kondisi ini membuat gubernur baru, Sir Charles Fitzgerald, berlaku “nekat”. Ia berencana mendatangkan kembali narapidana, padahal program itu sudah distop pada 1840-an. Rencana ini tentu saja dengan pertimbangan penduduk bebas terlebih dahulu. Setelah rapat umum di Perth tahun 1849, disetujui satu revolusi kepada pemerintah Inggris untuk menjadikan Australia Barat sebagai tempat transportasi narapidana (lagi). Rombongan pertama tiba tahun 1850, dan baru tahun 1868 pengangkutan narapidana dihentikan (Darmawan, 2010). Demikianlah, total imigran narapidana Australia -baik pria maupun wanita- sekitar 160.000 orang (Kitley, 1989). 94 | Miftakhuddin Kabar baiknya, walau pemerintah Inggris mengucurkan banyak dana untuk pengiriman sekitar 600 orang narapidana dan 300 orang penduduk bebas tiap tahun, telah terjadi perubahan yang menggembirakan. Jumlah penduduk dan biri-biri naik lima kali lipat, luas tanah pertanian bertambah sepuluh kali. Otomatis nilai ekspor pun meningkat tajam. Bangunan-bangunan (fasilitas publik) dan infrastruktur pun juga terbangun karena pekerjaan para narapidana. Gambar: peta koloni Western Australia Sumber: Setiawan (2016) Berbeda dengan Tasmania, meski awalnya sama-sama bagian NSW, Queensland baru terpisah pada 1859, dengan gubernur pertamanya George Bowen. Walau sama-sama mempunyai tambang emas, timah dan batu bara, tanah Queensland lebih produktif untuk peternakan dan pertanian, sebab merupakan kawasan tropis. Di sana, menurut Siboro (1989), mereka bertani kapas dan padi-padian (termasuk tebu). Perekonomian yang melejit membawa Queensland menjadi wilayah swasembada dalam waktu singkat. Terlebih, kebutuhan tenaga kerja diakomodir dengan pendatangan penduduk Victoria, yang sedang mengalami kepadatan penduduk akibat gold rush. Tidak sedikit pula imigran Cina, sampai-sampai Queensland mendapat sebutan China Town. Atas dasar Australian Colonnies Government Act dan kemajuan ekonomi yang mengesankan, Queensland mengajukan kedaulatan sendiri yang baru dikabulkan pada 1859. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 95 Gambar: peta wilayah koloni Queensland Sumber: Setiawan (2016) Tampaknya, Australian Colonnies Government Act benar-benar menjadi piranti setiap koloni untuk memerdekakan diri dari NSW. Sebab faktanya, ketika Victoria masih bagian dari NSW mengalami diskriminasi karena pembangunan cenderung dipusatkan di Sydney saja, Victoria berani menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan wilayah di antara NSW dan Tasmania, berdasarkan Australian Colonnies Government Act, dan bermodalkan tambang emas. Gambar: perta wilayah koloni Victoria Sumber: Setiawan (2016) 96 | Miftakhuddin Demikian pula Australia bagian selatan. Karya Wakefield, A Letter from Sydney tahun 1829 (dalam Setiawan 2016), menegaskan wilayah Australia Selatan memotong areal seluas 300.000 mil2 wilayah NSW sebelah selatan. Tahun 1830, rombongan perusahaan swasta tiba di Pulau Kangaroo. Tapi karena tidak layak huni, mereka bermukim di daerah yang sekarang Adelaide. Memasuki 1840, koloni tersebut hampir bangkrut karena kondisi politik dan ekonomi terpuruk dan tidak stabil. Setelah kehadiran George Grey sebagai pemimpin koloni itu, barulah koloni mulai merangkak naik. Sebab pada masanya, ditemukan tambang tembaga di Kapundan, pembangunan sektor pertanian dan peternakan di Adelaide, dan berupaya men-swasembada-kan wilayah koloni tersebut. Atas pencapaian dan berdasarkan Australian Colonnies Government Act, koloni Australia Selatan lantas mengajukan permohonan pemisahan diri kepada pemerintah Inggris. Sedangkan Australia bagian utara hanya menjadi wilayah teritorial. Gambar: peta wilayan koloni Australia Selatan Sumber: Setiawan (2016) Sebagaimana telah disinggung di muka, Australian Colonnies Government Act agaknya lebih berfungsi sebagai alternatif atas ketidakpuasan koloni terhadap NSW, ketimbang benteng pemerintah untuk meredam pemberontakan. Apalagi, koloni juga berdalih dengan menunjukkan kemandiriannya atas rumah tangganya sendiri. Di satu sisi, undang-undang itu memang mempermudah pengelolaan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 97 administratif. Tapi di sisi lain, malah menjadi awal perpecahan koloni Inggris (NSW) menjadi enam koloni otonom. Bila diperhatikan, pasca Australian Colonnies Government Act diundangkan, yang diikuti lepasnya Tasmania dari NSW, tampak bahwa koloni lain pun berupaya tumbuh secara mandiri lalu memisahkan diri. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan kebijakan itu menimbulkan intercolonial jealousy. Undang-undang tersebut bisa juga dimengerti sebagai hitorical accident, sebab karenanya, koloni Inggris di Australia menjadi terpecah belah, meski nantinya akan dipersatukan ke dalam Commonwealth of Australia. Sejauh tentang pembangunan Australia, imigran Inggris adalah fondasi atas industri-industri koloni. Pedusunan merangkak menjadi perkotaan seiring berkembangnya industri dan jumlah penduduk. Namun demikian, tidak boleh diingkari walau kuantitas imigran Inggris lebih unggul, tapi kualitas pekerja jauh lebih baik yang berasal dari Skotlandia dan Jerman. Majunya Australia berkat gemilangnya prestasi di bidang pertanian, peternakan, industri, dan pertambangan, paling tidak mampu mengangkat derajat Australia dibandingkan pikiran orang-orang yang menganggap kalau kehormatan Australia hanyalah sebatas tempat pembuangan narapidana Inggris. Stigma negatif pun lambat laun mulai luntur, bahkan di akhir abad 19, keluarga mereka lebih berpendidikan dari sebelumnya. Akhir abad 19 pula, beberapa hal seperti; munculnya kekuasaan Jerman dan Prancis di Pasifik; adanya keinginan mengisi Australia hanya dengan ras kulit putih; dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan militer, membuat seluruh elemen enam koloni menggagas wacana persatuan Australia berada di bawah satu payung konstitusi. Gagasan itu kemudian disetujui Lord Hopetoun pada 1900 dan diproklamirkan Lord Hopetoun sendiri di Sydney pada 1 Januari 1901. Melalui peraturan perundang-undangan White Australia Policy, parlemen nasional Australia lalu membatasi migrasi hanya untuk orang Eropa. Adapun suku Aborigin tidak memperoleh hak hukum, sebab masih dianggap bagian dari fauna. Namun setelah Perang Dunia II, hal ini mulai ditinggalkan. Lewat refendum tahun 1967 suku Aborigin diberi hak-hak hukum, siapapun bisa masuk ke Australia secara legal, dan 98 | Miftakhuddin Australia pun menjadi wilayah kosmopolitan (surat kabar Kompas tahun 2009, dalam Darmawan: 2010). C. New Zealand Abel Tasman adalah orang pertama yang datang ke New Zealand, pada 13 Desember 1642, dan menamainya Tasman “Staten Landt”. Namun rombongannya melakukan kontak pertama dengan suku Māori pada 18 Desember 1642, meski komunikasi tidak berjalan lancar karena bahasa. Akibat mispersepsi pula, saat terjadi tabrakan kano antara milik Māori dengan Belanda, berujung pada terbunuhnya beberapa pelaut Belanda. Tasman pun harus meninggalkan Selandia Baru, setelah sebelumnya mendatangi Pulau Utara. Setelah kedatangannya, baru kemudian James Cook mendarat di sana pada 6 Oktober 1769 (unair.ac.id). James Cook berangkat dari Inggris pada 1768, dengan tujuan Tahiti untuk melaksanakan tugasnya mengamati “Transit of Venus”. Rombongannya sampai di sana pada 1769 dan melakukan pengamatannya. Setelah tugas pertama selesai, ia mulai bergerak untuk menemukan daratan, namun karena cuaca buruk, diputuskan untuk menyelidiki New Zealand. Ia mendarat di pantai North Island (Poverty Bay), lalu ke utara dan berhenti di sebuah teluk. Di sana ia melanjutkan pengamatan peristiwa astronominya, “Transit of Mercury”. Ketika berlabuh ia melihat kepulan asap, yang membuatnya sadar bahwa dia bukan satu-satunya orang yang ada di sana. Untungnya, salah satu kru James Cook adalah orang Tahiti yang punya kesamaan bahasa. Sehingga komunikasi Inggris dengan suku Māori berjalan lancar (freeinfosociety.com). Suku Māori berasal dari Hawaiki yang merupakan ras Polinesia. Sebenarnya nama “māori” sendiri baru disandang saat kedatangan bangsa Eropa. Mereka tak menyebut dirinya “māori”, melainkan “iwi” yang berarti tulang. Maksudnya adalah, orang yang terikat garis keturunan dari satu nenek moyang yang sama (Yulianti, 2016). Sedangkan menurut teks-teks anonim dalam ensiklopedia (daring) sekelas Wikipedia, istilah māori berarti “biasa” atau “normal”, merujuk pada manusia yang berbeda dengan para dewa. Istilah itu didasarkan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 99 pada kerabat katanya, “maoli”, dari bahasa Hawaii yang artinya asli, pribumi, atau nyata33. Sedangkan suku Māori, menyebut orang Inggris sebagai pakeha yang artinya orang kulit putih, dan menyebut tanah New Zealand sebagai Aotearoa yang berarti tanah berawan putih panjang, sebagaimana telah banyak disebutkan dalam karya sejarawan dari Wellington bernama Tony Simpson, dalam bukunya Te Riri Pakeha (1990) dan Before Hobson (2015). Namun begitu, sekalipun Inggris punya penerjemah, kehadirannya yang semakin banyak tak urung menimbulkan konflik jua. Konflik dipicu sengketa tanah, akibat tidak adanya hukum yang mengatur perilaku Inggris terhadap Māori. Akibatnya, Inggris memaksakan pembelian tanah dengan harga murah. Ketidakadilan itu berlanjut pada konfrontasi terbuka antara Māori dengan Inggris. Suku Maori awalnya menggunakan senjata tradisional, namun sejak mengenal senapan Inggris, mereka menggunakannya sehingga korban meningkat. Peristiwa ini oleh sejarawan disebut sebagai Musket War (perang senapan). Guna menyudahi kekacauan tersebut, pemerintah Inggris diwakili Kapten William Hobson, dan dipandu para misionaris membuat Perjanjian Waitangi (Treaty of Waitangi) pada 6 Februari 1840. Suharto (2006) menegaskan, Treaty of Waitangi adalah naskah perjanjian damai dan pembagian kekuasaan yang ditandatangani petinggi Inggris dan lebih dari 500 kepala suku Maori pada tahun 1840. Dokumen itu menjamin hak-hak Maori dan amat berpengaruh terhadap pekerjaan sosial di Selandia Baru. Tapi disepakatinya perjanjian itu, membuat New Zealand menjadi Crown Colony of the Great Britain. Isi pokok perjanjiannya adalah sebagai berikut. • Bangsa Maori menyerahkan hak kekuasaan kepada Ratu inggris untuk membuat undang-undang • Maori akan tetap mempunyai hak tunggal sepenuhnya yang tidak dapat di ganggu gugat. Bila Maori menjual tanah, hanya kerajaan Inggris yang membeli 33 Wikipedia ialah ensiklopedi bebas yang tak bisa menjadi patokan yang kokoh. Masih diperlukan sumber lain yang benar-benar valid bila ingin mendalami asal-usul suku Māori 100 | Miftakhuddin • Bangsa Maori dijamin mempunyai hak seperti warga Inggris Simpson, sempat mendeskripsikan jalannya perjanjian ini melalui bukunya berjudul Te Riri Pakeha: The White Man’s Anger (1990). Isinya, tentang penipuan orang kulit putih terhadap suku Māori melalui perjanjian Waitangi. Barangkali, anggapannya soal penipuan ini didasarkan pada redaksi kesepakatan yang terkesan menguntungkan kolonis dan pelaksanaan perjanjian yang tak pernah damai. Sebab praktiknya, perjanjian ini memang justru mengundang konflik lagi. Memang, naskah kesepakatan telah dialih-bahasakan dari ke bahasa Maori oleh misionaris Henry Williams dan putranya, Edward. Akan tetapi masih ada mispersepsi. Inggris menyatakan Maori menyerahkan kedaulatannya di bawah Ratu Victoria. Sedangkan pihak Maori menyatakan tidak pernah tunduk di bawah Ratu Inggris, perjanjian itu hanya sebatas mengatur hubungan kedua belah pihak dalam hubungan yang setara. Perang yang tak terhindarkan tentu saja dimenangkan Inggris, sehingga New Zealand resmi menjadi koloni Inggris dibawah kepemimpinan Gubernur William Hobson pada 1841 yang berkedudukan di Auckland. Demikianlah potret kemalangan nasib suku Māori yang terpinggirkan dari tanah leluhurnya. Di bawah kekuasaan Inggris, New Zealand berkembang pesat karena didukung iklim dan kesuburan tanah. Imigrasi yang semula hanya asal-asalan menjadi masif. Komposisi mereka pun bermacammacam, meliputi; narapidana, pedagang, bajak laut, bahkan banditbandit pelarian. Mereka menetap di Bay of Island di Auckland, yang pada perkembangan berikutnya menjadi pelabuhan kapal penangkap ikan. Pedagang datang menjual peralatan logam, persenjataan, dan barang-barang lain untuk memperoleh damar dan hasil alam lainnya, sebab Auckland telah menjadi kota yang maju dari industri ekstraktif, berupa pendulangan emas, pengumpulan getah kauri dan damar. Dikembangkannya kapal yang diperlengkapi semacam lemari es untuk membekukan daging pun membuat hasil peternakan dapat diekspor ke Britania dan Amerika. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 101 Ketika New Zeland Company mengirim kolonis pertamanya ke Selandia Baru untuk menduduki kota Willington pada 1839, ribuan orang Inggris turut melakukan imigrasi. Hadirnya para imigran, membuat New Zealand bagian selatan dikelola sebagai tempat penggembalaan biri-biri dan bertani gandum atau padi-padian lainnya, sedangkan di bagian utara di kembangkan untuk peternakan sapi perah. Praktis, Auckland menjadi ibukota sekaligus kota metropolitan terbesar mulai 1841. Namun pada 1865, ibukota dipindahkan ke Wellington. Perlu diketahui pula, di antara para pendatang Inggris, hanya misionaris saja yang menunjukkan keberpihakannya kepada suku pribumi. Sejak 1814, pastor Samuel Marsden menyebarkan agama kristennya dengan cara melindungi mereka dari kekejaman Eropa, karena memang sudah menjadi kewajiban atas misi sucinya (kristenisasi). Awalnya mereka tidak tertarik, namun akhirnya mau menerimanya sebab mereka dididik (diajari membaca-menulis) dan diberikan barang-barang rumah tangga yang amat fungsional untuk pertanian. Meski hampir 40% populasinya tidak beragama, kristen adalah agama yang paling dominan di New Zealand, yang terdiri dari Anglikan, Presbiteranian, dan Methodist. Sementara Katholik, baru masuk tahun 1830, yang dibawa misionaris Prancis bernama Jean Baptiste Francois Pompallier (Dorléans, 2016). Bicara soal Jean Baptiste, ia turut berjasa bagi bangsa Maori, sebab ia memasukkan kebebasan beragama ke dalam pasal 4 dan turut menandatangani Perjanjian Waitangi. Tercatat sebanyak 164 suku menganut Katholik. Para misionaris selalu menjadi pihak penengah antara konflik Maori dengan Eropa. Mereka juga menolak adanya kolonisasi di New Zealand, dan menggiring keduanya untuk duduk bersama dalam perundingan Waitangi (freeinfosociety.com). Sampai awal tahun 1840-an New Zealand masih perluasan wilayah NSW, tapi tak lama New Zealand mendeklarasikan diri sebagai persemakmuran Inggris yang terpisah dari NSW. Deklarasi ini kemudian disusul the New Zealand Constitution Act yang diterbitkan pemerintah Britania Raya pada 1852 sebagai bentuk kedaulatan New Zealand atas pemerintah. Sebagai persemakmuran, Pemerintah Inggris lalu membentuk perwakilan New Zealand dalam Parlemen Inggris. 102 | Miftakhuddin Semenjak itu Inggris berdaulat penuh atas New Zealand, dengan tetap menghormati Perjanjian Waitangi, yang menjamin kehidupan suku Maori. Kecuali kepemilikan atas negara bagian, New Zealand dan Australia sama-sama koloni Inggris yang diperoleh dengan penaklukan atas pribumi, sama-sama didatangi imigran dengan berbagai profesi dan kewarganegaraan, dan tentunya berbagai kebudayaan. Maka tidak mengherankan bilamana diketahui New Zealand hari ini merupakan negara kosmopolitan. Malahan, bila dibanding suku Aborigin di Australia, -ditinjau dari perjalanan hubungan suku Maori dengan Inggris- tampaknya suku Maori lebih terbuka dan lebih “pandai” dalam menyikapi kedatangan Inggris. Suku Maori mampu menyodorkan kepentingan eksistensinya dalam perjanjian Waitangi, agar di kemudian hari bisa berdampingan dengan para pakeha. Hebatnya lagi, akhir-akhir ini keberadaan dan peninggalan Maori masih dihormati bahkan menjadi identitas pemersatu Selandia Baru. D. Hong Kong Sekitar tahun 1800-an, Inggris dan Cina terlibat perdagangan. Inggris ke Cina membeli teh dan kain sutera, namun Cina tak mau membeli apapun dari Inggris. Maka Inggris menjual opium/candu dari India, meskipun tidak sepenuhnya legal. Sebab, opium adalah telah lama dinikmati Cina jauh sebelum kedatangan Inggris. Saat kaisar Cina, Tao Kwang, menyita dan memusnahkan opium Inggris -tahun 1800- sebagai upaya penghentian peredaran opium di Guangzhou dan Canton, pemerintah Inggris meresponsnya dengan menyatakan perang. Maka meletuslah Perang Opium atau Perang Candu pada 1838-1842. Atas kekalahan Cina dalam perang tersebut, dinasti Qing (dibaca Ching) dipaksa menandatangani perjanjian di atas kapal perang Inggris HMS Cornwallis di Nanjing pada 1842. Sebagaimana Rengganik (2009), perjanjian itu berisi 12 pasal, dengan poin utamanya adalah penyerahan Hong Kong kepada Inggris. Secara umum, isi dari Treaty of Nanjing kurang lebih begini; 1) Cina harus membayar upeti 21 juta dolar sebagai ganti rugi. 2) Cina harus membuka kembali pintu perniagaan ke Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 103 dunia Barat. 3) Cina harus menyerahkan Hong Kong beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya kepada Inggris untuk menjadi tanah jajahan. Kesepakatan itu adalah awal dari perjanjian-perjanjian lain yang “dipaksakan” kepada pemerintah Cina, tidak hanya oleh Inggris, tapi juga bangsa Eropa lain seperti Amerika dan Prancis. Salah satu contoh saja, perjanjian hubungan Sino-Inggris yang mana berisi penghapusan berlusin-lusin perusahaan Cina, padahal kala itu perusahaan Cina lah yang memonopoli perdagangan. Begitu juga Amerika dan Prancis yang “latah” ingin punya perjanjian serupa. Pasca Perjanjian Nanjing disepakati, segala tuntutan yang termaktub dalam dokumen itu dikaji dengan seksama oleh Amerika dan Prancis. Maka pada 1844 Presiden Amerika, John Tyler, mengirim diplomatnya ke Cina, yang kemudian tiba di Macau pada Februari 1844. Tuntutan yang diajukan dalam negosiasi umumnya sama, hanya ditambahi beberapa pasal untuk kepentingan misionaris Protestan, pembangunan rumah sakit, makam, sarana perdagangan hingga navigasi (Rengganik, 2009). Masih menurut Rengganik (2009), perjanjian yang dirundingkan Prancis justru mirip perjanjian Amerika. Kendati demikian, pemerintah Cina tetap berupaya menghentikan perdagangan opium, hingga memuncak pada Perang Opium II, yang mana kali ini Cina melawan Inggris dan Prancis. Cina pun mengalami kekalahan dari kekuatan yang lebih unggul dalam dua kali perang opium. Perjanjian demi perjanjian pun dilakukan, sehingga Cina makin terpuruk karena harus mengganti kerugian perang. Apalagi setelah invasi Jepang yang juga berujung pada perjanjian Shimoseki tahun 1895. Bagi kolonial Inggris, sebagaimana Miners dalam The Government and Politics of Hongkong (1995), menguasai Hong Kong memang harus dilakukan untuk tiga alasan. Pertama, agar mempunyai basis perdagangan dengan Cina. Sebab pedagang Inggris yang berbisnis di Guangxhou dibatasi dan diperlakukan ketat oleh pejabat Cina. Kedua, diperlukan untuk tempat berlabuh, memperbaiki kapal perang dan menyimpan barang (transit). Karena memiliki pelabuhan dengan laut yang dalam, pelabuhan Hong Kong dapat pula berguna untuk berlabuh kapal-kapal besar. Ketiga, Hong Kong tidak banyak diduduki warga Cina. 104 | Miftakhuddin Telah jadi rahasia umum, perniagaan akan lancar bila para pengusaha, aset dan jalur bisnisnya memperoleh keamanan yang terjamin. Maka, Inggris juga menjadikan Hong Kong sebagai pangkalan dan markas Angkatan Laut Kerajaan, agar bila diperlukan, tentara dapat diterjunkan ke daratan Cina untuk membela perniagaannya. Persiapan Inggris bahkan sudah sampai pada pembangunan garnisun dan galangan kapal di pelabuhan untuk bersandar dan memeriksa kapal seusai patroli. Dan memang benar, mereka pernah dikerahkan untuk menumpas pemberontakan boxer tahun 1900 dan meredakan kerusuhan di Shanghai. Tidak cukup dengan pangkalan militer, Inggris memperluas wilayahnya sebagai zona penyangga untuk mengantisipasi serangan darat. Sebagaimana Miners (1995), perbatasan koloni Inggris diperluas pada akhir abad 19. Melalui Konvensi Peking II, kawasan Kowloon disewakan kepada Inggris selama 99 tahun sebagai New Territories, terhitung sejak 1898 sampai 30 Juni 1997. Keputusan ini selain untuk memperluas jangkauan dagang juga untuk menjamin keamanan seluruh pantai utara dan sekitarnya. Itulah mengapa di awal masa kolonial, Hong Kong menjadi pusat perdagangan internasional. Sampai fase ini, Hong Kong benar-benar dikuasai Inggris yang dibangun atas dasar demokrasi-liberal, sedangkan Cina tetap menjalankan pemerintahannya sendiri dengan sistem sosialis-komunis. Kendatipun begitu, dengan pengaruh perkembangannya yang sampai ke daratan Cina, Hong Kong menjadi “jendela” Cina untuk menengok perkembangan di dunia luar. Sebab, sebelum perang opium dan kesepakatan dengan Eropa, Cina sama sekali mengisolir dirinya, kecuali perniagaan dengan asing di Canton, itu pun sangat terbatas (Rengganik, 2009). Memasuki abad 20, Hong Kong dimasuki imigran Cina dalam jumlah besar. Tapi kehadiran mereka rupanya membantu Hong Kong menjadi pusat manufaktur. Hal ini juga memberi pertumbuhan ekonomi, energi dan industri ke kota. Lokasinya yang strategis kontan membuat daratan Cina menjadi negara dengan ekonomi amat baik. Kombinasi antara posisi strategis untuk bisnis dan strategi pertahanan yang masif membuat nilai Hong Kong semakin tinggi. Sekalipun di luar berkecamuk Perang Dunia I, Perang Dunia II, Kemerdekaan Cina tahun Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 105 1949, Perang Korea tahun 1950-an, hingga naiknya Deng Xiaoping di Cina, Hongkong tetap ada dan beroperasi. Saat era keajaiban ekonomi Asia Timur pun, Hong Kong termasuk di dalamnya. Sayangnya, serentetan prestasi itu harus dikembalikan kepada si empunya. Setelah dikoloni Inggris lebih 150 tahun, tanggal 1 Juli 1997 Hong Kong “dipulangkan” kepada Cina melalui Joint Declaration. Menariknya, walau sama-sama bersistem demokrasi-liberal, Hong Kong berbeda dengan Taiwan maupun Korea Selatan yang “diasuh” Amerika. Hubungan Hong Kong dengan Inggris tampak lebih unik (jika tak boleh dibilang aneh). Sebab, umumnya pribumi akan senang jika pengkoloni pergi, sementara Hong Kong seolah “ketagihan” menjadi koloni Inggris. Sebab di bawah naungan Inggris, penduduk Cina di Hong Kong lebih berhasil. Maka wajar saja, bila banyak yang mengatakan; penduduk Hong Kong lebih betah di bawah asuhan Inggris daripada di bawah asuhan Cina. Jangan-jangan anekdot itu ada benarnya, sebab beberapa tahun terakhir media surat kabar online memberitakan unjuk rasa sebagian warga Hong Kong dengan tagline penolakan atas penjajahan Cina dengan membawa-bawa bendera Inggris. Wikipedia pun mengklaim, bahwa Universitas Hong Kong pernah melakukan jajak pendapat terkait kemerdekaan Hong Kong. Hasilnya, tahun 2007 ada 35.3% memilih merdeka daripada menjadi daerah otonom khusus, sedangkan sisanya memilih tetap bertahan. Angka ini meningkat ketimbang tahun 2005, yaitu 22%. Alasan mereka memilih merdeka ialah karena tak mau partai komunis masih menguasai Cina pada 2047, di mana Joint Declaration berakhir. Meski begitu, perjanjian adalah perjanjian. Kontrak adalah kesepakatan formal yang dibuat bersama, disetujui bersama dan dijalankan bersama pula. Maka terhitung sejak 1 Juli 1997, bendera Inggris harus dicabut dan peredaran uang bergambar Ratu Elizabeth harus dihilangkan. Patut diakui memang transformasi kolonial amat signifikan. Bermula dari lahan gersang dengan perang opium, Hong Kong disewa sebagai koloni dan dikembalikan dalam rupa ala Inggris. Aset milyaran dollar pun menjadi milik Cina sepenuhnya 106 | Miftakhuddin Supaya tidak “kaget” dengan sistem komunis, pemerintah Cina yang kala itu dipimpin Deng Xiaoping mengizinkan sistem kapitalis tetap berjalan 50 tahun berikutnya, dengan menjadikan Hong Kong sebagai Special Administration Region (SAR)34. Dengan begini, Hong Kong berjalan sebagai negara dengan prinsip “one country, two system” (satu negara dua sistem). Melalui kerangka kebijakan ini, Hong Kong diberikan otonomi khusus dalam hal sistem hukum, bea cukai, mata uang, dan imigrasi. Hal-hal yang tidak termasuk dalam dualisme itu hanyalah urusan terkait pertahanan nasional dan diplomatik. Urusan tersebut adalah wewenang pemerintah pusat di Beijing. Akan tetapi, menurut Samsuri (2007), penyerahan kedaulatan kepada RRC juga berdampak pada proses politik yang mengikuti budaya politik China, yaitu dominan dipengaruhi Konfusionisme. Demikianlah Hong Kong berdiri di atas sistem kapitalis, sementara “induknya” berdiri di atas sistem sosialis. Terlepas dari sistem politik Hong Kong yang terkesan tidak jelas karena pengaruh kolonial Inggris di masa lalu, nyatanya sistem one country, two system berjalan dengan konsisten, dan kestabilan politik tetap terjaga. Malahan, hubungan Beijing dengan Hong Kong membuat iklim investasi meningkat dan terjadi transfer pekerja terlatih (Sharif, 2011). Di samping kekayaan materil, Inggris juga meninggalkan budaya antre dan mendahulukan pejalan kaki dalam berlalu lintas. E. Singapura Sebuah kawasan yang kini adalah Singapura, dulunya bagian dari kerajaan Sriwijaya. Kabarnya, dinamakan demikian karena akhir abad ke 13 atau awal abad 14, pangeran Kerajaan Sriwijaya berburu ke sebuah pulau, di mana ia melihat binatang yang belum pernah dia lihat, seperti harimau tapi bukan. Binatang itu anggun gerakannya, tangkas dan berani, dengan bulu bagian kepalanya yang hitam, putih di bagian lehernya dan coklat di bagian badannya. Rombongannya terkesan, kemudian seorang tua memberi tahu pangeran, bahwa nama binatang itu 34 Hong Kong adalah SAR pertama Cina, sebelum akhirnya disusul Macau pada 1987 pasca kolonial Portugis untuk menghubungkan perdagangan Cina dengan Jepang, dan Lisabon dengan Nagasaki. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 107 adalah “Singa” (Morgan, 1956). Menganggap penemuan itu pertanda baik, di sana ia membangun kota “Simha Pura” yang artinya “Kota Singa” dalam bahasa Sansekerta, atau “Singapura”, yang artinya “Kota Singa” dalam bahasa Melayu. Masih menurut rumor yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, catatan Tionghoa abad ke 3 menyatakan kota tersebut dinamakan Tamasek atau Tumasik Sriwijaya, yang artinya “Kota Laut”35. Kota ini berisi orang-orang nelayan dengan etnis Melayu dan Cina. Mungkin, itu alasan kenapa icon Singapura adalah singa bertubuh ikan. Bila dikehendaki, bisa saja dilakukan pelacakan dan pembahasan -dengan berbagai versi- soal sejarah Singapura. Akan tetapi, fokus sub bab ini hanya terbatas pada masa kolonial Eropa awal tahun 1500an, yang dimulai Portugis dengan mendirikan basisnya di semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Dialah Eropa pertama yang menguasai Singapura, dengan menaklukkan Sriwijaya yang sedang melemah pada abad ke 14. Penguasaan Portugis juga berhasil meluas sampai ke kesultanan Malaka di Nusantara. Kedatangan Portugis lalu disusul Belanda, Prancis dan Inggris. Mereka bertengkar memperebutkan sumber daya alam dan lokasi strategis. Portugis menghadapi sesama Eropa dan karena beberapa sebab, pada gilirannya mengalami kemunduran, yang merembet pada kemundurannya dari Asia Tenggara. Menurut Sir Thomas Roe, seorang utusan Inggris di Mughal (dalam Khoo, 1968), kejatuhan Portugis di Asia Tenggara disebabkan oleh hal-hal berikut: 1. Portugis terlalu mengandalkan kekuatan perangnya. Sehingga terjadi peperangan di mana-mana dan hal ini menumbuhkan banyak biaya. 2. Mereka datang sebagai penakluk sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. 35 Catatan Tionghoa itu mungkin ada benarnya, sebab dalam kitab Negarakertagama (1365), menyebutkan deskripsi yang sama, tentang adanya kota berisi etnis Melayu dan Cina bernama Temasek. 108 | Miftakhuddin 3. Di samping itu sering terjadi kericuhan intern, para pemimpinnya sering terlibat dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh demi kepentingan pribadinya masingmasing. Mereka tidak berdisiplin dalam tugasnya. Belanda adalah pihak pertama yang mengalahkan Portugis, namun Belanda tidak menjadikan Singapura sebagai basis dagang regionalnya, karena dinilai tidak lebih menguntungkan ketimbang Batavia. Di samping itu, meski Inggris (East India Company) hilirmudik melewati Singapura dan Nusantara untuk berdagang dengan Cina, Inggris tidak bisa menguasai Singapura. Namun tanpa disadari Belanda, Inggris telah “menaruh hati” pada Singapura. Setidaknya karena dua alasan; pertama, Singapura dinilai amat ideal untuk pangkalan armada niaga, yaitu berada di tengah jalur atau titik temu rute pelayaran Cina dan India. Kedua, monopoli perdagangan yang dilakukan Belanda di Kepulauan Maluku membuat orang lain seperti Portugis, Spanyol dan terutama Inggris hanya bisa melakukan perdagangan skala kecil. Pelabuhan Inggris yang sudah ada di Pulau Pinang terlalu jauh dengan Selat Malaka, sedangkan yang di Bengkulu menghadap ke Selat Sunda (tidak strategis), maka East India Company harus membuka pelabuhan dagang di Selat Malaka. Ketika hegemoni Belanda melemah karena masalah internal VOC dan invasi politik Napoleon Bonaparte ke Belanda tahun 1795, Inggris mulai bergerak di semenanjung Malaya. Tahun 1818, Sir Stamford Raffles berlayar dan berhasil mendarat pada 1819 di perkampungan Melayu Kecil di muara sungai Singapura yang dipimpin Tumenggung dari Johor36. Inggris sesegera mungkin menjatuhkan pilihannya di sana karena khawatir, kalau-kalau Prancis memperluas kekuasaannya ke wilayah itu, walau pada perkembangan berikutnya Inggris berusaha merebut Nusantara dari pemerintah Belanda (Prancis). Interaksi dengan masyarakat lokal membuat Raffles akhirnya tahu, bahwa Sultan Johor, Tengku Abdul Rahman, menjadi sultan hanya karena kakaknya, Tengku Husein, sedang tidak berada di sisinya semasa 36 Pulau itu milik kesultanan Johor (kerajaan Melayu/Malaysia kini), yang kondisi politiknya tidak stabil. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 109 ayahnya meninggal37. Maka tahun itu juga, 30 Januari 1819, Raffles mendekati Tengku Husein. Tengku Husein dibantu menjadi Sultan, apabila Inggris boleh mendirikan pelabuhan terbuka di Singapura, dengan syarat membayar iuran tahunan kepada Tengku Husein (Williams, 1979). Perolehan hak eksklusif Raffles tentu bisa dikatakan menyewa. Sebab, pada praktiknya Raffles dikenakan pajak tahunan. Awal kolonial Inggris, Singapura adalah wilayah jarang penduduk, berawa-rawa dan tidak sehat. Singapura hanya dihuni oleh 100 orang Melayu dan 50 orang Cina (Sudrajat, 2009). Singapura mulai maju ketika Raffles menjabat gubernur jenderal di Asia Tenggara. Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan koloni Inggris, dengan mengembangkan pos perdagangan Singapura untuk transaksi dengan Cina. Setelah menempuh jalan diplomasi dengan sultan Johor, Raffles38 atas nama East India Company yang telah memperoleh izin eksklusif, mulai mengembangkan pemukiman di Singapura. Demikianlah Raffles dianggap sebagai pendiri Singapura. Singapura adalah negara yang tumbuh bersama Inggris. Di bawah perawatannya, pemukiman nelayan berubah menjadi pusat bisnis internasional. Sebab, lokasinya yang strategis berada di antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan membuat para saudagar melabuhkan kapalnya di sana. Ditambah lagi, East India Company menjadikan Singapura sebagai pelabuhan bebas yang pengaturan izin dan pajaknya tidak serepot pelabuhan-pelabuhan lain di sekitarnya. Kesuksesan komersial ini pada gilirannya menyedot arus imigrasi besar-besar dari India, Asia Tenggara dan yang paling banyak dari Cina. Etnis Cina yang masuk adalah orang-orang miskin tak berpendidikan yang sedang mencari kerja, dan yang dari India adalah narapidana yang dikirim untuk bekerja pada proyek pekerjaan umum. Ketika hukuman mereka berakhir, banyak dari mereka malah mengambil residensi di Singapura. Demikianlah transformasi Singapura menjadi pelabuhan internasional 37 Menurut adat Melayu, calon sultan harus berada di sisi sultan sekiranya ia ingin dilantik menjadi sultan. 38 Saat berunding dengan Sultan Johor, Raffles masih menjabat Letnan Gubernur Bencoolen (kini Bengkulu). 110 | Miftakhuddin dengan peran amat penting, padahal dulunya hanya kota nelayan yang kurang diperhatikan. Namun begitu, banyaknya etnik ternyata membuat Singapura kurang kondusif. Maka Raffles mencanangkan Raffles Town Plan pada 1822 (dikenal juga sebagai Jackson Plan), untuk mengatasi ketidakteraturan antar penduduk koloni yang multikultur. Kebijakan itu memisahkan pemukiman menjadi empat wilayah menurut etnisnya. Orang Eropa dan Asia yang saat itu notabene kaya, ditempatkan di European Town. Etnis Tionghoa diletakkan di China Town (sekarang di tenggara Singapore River). Etnis India ditempatkan di Kampong Chulia (sebelah utara China Town). Sedangkan warga muslim, etnis Melayu, dan Arab ditempatkan di Kampong Glam. Kebijakan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan Konstitusi Singapura pada 1823. Berdasarkan konstitusi itu, Raffles menggariskan agar Singapura menjadi masyarakat yang berdasarkan moral baik di mana perbudakan dan penggunaan narkoba dilarang. Raffles membuat Singapura berkembang menjadi pelabuhan bebas dengan toleransi budaya dan fokus pada pendidikan. Di masa ini, sekolah berbahasa lokal dibangun, bisnis diizinkan berkembang, dan orang-orang diperbolehkan mendalami dan menyebarkan agama yang mereka pilih. Program pemberdayaan Raffles tersebut makin meningkatkan citra Singapura, hingga dikenal sebagai pelabuhan terpenting, dengan lebih dari 10.000 penduduk di tahun 1824 (Sudrajat, 2009). Menurut Nach (1976), pedagang Cina merupakan bagian terbesar penduduk Singapura, sebab kalau dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Asia Tenggara yang juga kebanjiran orang-orang Cina, Singapura menunjukkan suatu keistimewaan (Sudrajat, 2009). Sekalipun terkenal di kalangan perompak sebagai markas bajak laut Cina, tidak lantas membuat Singapura berhenti berkembang di bawah komando Inggris. Saat perkembangan seolah mencapai klimaks, Belanda sang penguasa Nusantara kembali untuk merebut Singapura, sebab di masa lalu Inggris merebut Singapura dari Belanda. Tapi Inggris perseteruan akhirnya diselesaikan dengan Treaty of London pada Maret 1824, untuk mengukuhkan mana koloni Inggris dan mana koloni Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Kepulauan Melayu bagian utara yang Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 111 meliputi pulau Pinang, Malaka dan Singapura di bawah kekuasaan Inggris. Sedangkan bagian selatan (termasuk Bengkulu) menjadi milik Belanda. Inggris kemudian menyatukan Pulau Pinang, Malaka dan Singapura ke dalam Straits Settlements (negeri-negeri selat) pada 1826, dengan pulau Pinang sebagai pusatnya (pada 1832 pusatnya dipindah ke Singapura). Sayangnya, pertumbuhan ekonomi dan populasi yang pesat kurang mendapat fasilitas dari pemerintah Inggris, seperti; layanan kesehatan masyarakat, keamanan masyarakat dan lain-lain. Bagi pemerintah Inggris, selama keuntungan dagang tidak terpengaruh, agaknya kesejahteraan masyarakat kurang diperhatikan. Ini mungkin berdampak pada kekalahan Inggris di Singapura menjelang Perang Dunia II, yang mana sekalipun Inggris menjadikan Singapura sebagai basis militer, Jepang berhasil menguasai Singapura pada 1942, ditandai dengan menyerahnya ±130.000 laskar India dan Inggris pada tahun baru imlek (15 Feburari 1942). Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang merupakan pengakuan kalah terbesar dalam sejarah Britania Raya. Tapi ini adalah reformasi yang besar pula bagi masyarakat Singapura itu sendiri. Pendudukan Jepang yang kejam membuat penduduk Singapura bersatu membentuk The Malayan People’s Anti Japanese Army (MPAYA) yang dipimpin seorang komunis bernama Cheng Peng. Ada juga Comunist Party Malaya (CPM), Cina Nasionalis (Kuomintang) dan Kesatuan Melayu Muda (KMM). Mereka bahkan dibantu tentara Inggris yang terjun di hutan-hutan. Selama gerilya, Inggris berjanji akan memberi pemerintahan yang demokratis kepada Malaya. Namun hal itu sedikit terlambat, sebab pendudukan Jepang telah menghidupkan nasionalisme orang Melayu. Mereka mulai sadar bahwa tidak seharusnya orang Melayu terus-menerus memuja Inggris yang datang untuk menghisap kekayaan mereka. Nasionalisme ini makin berkobar manakala Jepang juga memprovokasi dengan menyebarkan doktrin antiBarat. Akan tetapi, setelah kalahnya Jepang karena bom di Hiroshima dan Nagasaki, dengan dikembalikannya Singapura kepada Inggris malah membuat pemerintahan Singapura terombang-ambing (jika tak mau dikatakan vacum of power), sebab Inggris tak lagi mendominasi, bahkan 112 | Miftakhuddin seolah mempersilakan Singapura menjalankan pemerintahannya sendiri. Tampaknya, Inggris menebus janjinya saat perang melawan Jepang. Buktinya Inggris membubarkan Straits Settlement dan hanya membentuk BMA (British Military Administration) untuk membimbing pemerintahan Malaya. Namun karena tak disukai rakyat akibat termakan doktrin anti-Barat, BMA digantikan Malayan Union, untuk menyatukan semua kerajaan di Semenanjung Malaya di bawah kepemimpinan Gubernur Inggris. Inipun tetap diprotes, sebab dianggap menghapuskan kedaulatan raja-raja. Malayan Union ditentang dengan menyatukan semua organisasi Melayu ke dalam satu organisasi nasional bernama United Malay National Organization (UMNO) pada 1946. Jadi selama periode 1945 hingga 1960-an Singapura berada dalam ketidakjelasan status. Apakah menjadi koloni, anggota federasi, ataukah negara persemakmuran (commonwealth). Toh kemerdekaan pun juga belum diraih. Dilakukannya pemilu pertama tahun 1955 memang menghasilkan David Marshall sebagai ketua menteri39, tapi permohonan David diajukan ke London soal kemerdekaan Singapura tidak direspons serius. Sebab pengaruh komunis di Singapura dinilai masih terlalu besar. Oleh sebab itu, Singapura bergabung menjadi anggota Persekutuan Tanah Melayu bersama Sabah dan Sarawak untuk membentuk Malaysia pad 1963. Federasi agaknya lebih mengarah ke suatu kerja sama, sebab Singapura sebagai -calon- negara berukuran kecil membutuhkan proteksi dari wilayah yang lebih besar seperti Malaysia. Sedangkan Malaysia ingin Singapura tidak menjadi komunis, karena banyak petinggi Singapura berhalauan “kiri”. Demi suksesnya master plan ini, Malaysia sampai melakukan transmigrasi ke Singapura untuk menyeimbangkan komposisi penduduk yang mayoritas etnis Tionghoa. Namun ekspetasi Malaysia tidak terpenuhi. Transmigrasi berujung pada diskriminasi etnis Tionghoa terhadap warga Malaysia di Singapura. Di sisi lain, terjadi konflik antara partai yang berkuasa di 39 Sebelumnya, sudah pernah ada pemilu pada 1948 untuk memilih enam wakil rakyat, dan pemilu pada 1951 yang malah membuat wakil rakyat semakin bertambah banyak. Dua pemilu itu tak bisa menghasilkan satu wakil tunggal, makanya dilakukan pemilu tahun 1955 untuk memilih seorang wakil menteri. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 113 Malaysia (UMNO) dengan partai yang berkuasa di Singapura (PAP). Walhasil, Singapura dikeluarkan dari persekutuan sehingga ia menjadi republik sendiri yang merdeka pada 9 Agustus 1965, dengan presiden pertamanya Yusof Ishak. Sedangkan Malaysia, setelah menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Singapura, pada 22 Desember 1965 bergabung menjadi persemakmuran Inggris (commonwealth). 114 | Miftakhuddin A. Neokolonialisme Berbeda dengan kolonial sebelum Perang Dunia, neokolonialisme lebih terlihat bersih dan anti perang. Umumnya, neokolonialisme memakai ekonomi kapitalis untuk menundukkan elit bangsa yang lemah nasionalismenya, dan mengontrolnya. Itulah instrumen neokolonialisme. Sebagaimana Choussudovsky (dalam Razmin, 2013), sejak abad 20 penaklukan negara bermaksud menguasai aset produktif, buruh dan SDA. Tidak ada kepentingan menjajah dengan mengirim tentara. Meski begitu, neokolonialisme tetap membidik wilayah potensial. Adapun wataknya sama; dominasi dan hegemoni (Rohman, 2009). Nah, apa yang bervariasi adalah metode pengkoloni dalam menundukkan para elit. Kadang kala melalui pinjaman, politik etis, promosi budaya, bahkan pendidikan, seperti halnya Mafia of Berkeley di Indonesia semasa orde baru. Bila ditinjau dari sisi yang lain, barangkali neokolonialisme boleh disebut neo-feodalisme, sebab petinggi negara menggunakan pajak yang terakumulasi dalam APBN untuk mengakomodir ancaman pengkoloni. Menurut Littlejohn & Karen (2009), apa yang disebut neokolonialism sama halnya dalam wacana kontemporer tentang “orang lain” (the others). Neokolonialisme memakai istilah “Dunia Pertama” dan “Dunia Ketiga” untuk menunjuk negara maju dan negara berkembang, dalam pemindahan besar-besaran dan invasi budaya Amerika ke setiap bagian dunia. Amerika memperlakukan ras non kulit putih sebagai the others dalam medianya, the others yang menguntungkan. Presiden Soekarno dalam satu pidatonya di hadapan para pemimpin Eropa mengatakan; ...I hate imperialism. I detest colonialism. And I fear the consequences of their last bitter struggle for life. We are determined, that our nation, and the world as a whole, Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 115 shall not be the play thing of one small corner of the world.... Bagi Soekarno, imperialisme dan kolonialisme hilang untuk memberi jalan kepada imperialisme dan kolonialisme baru. Akibatnya, banyak negara merdeka akhirnya kecewa, sebab kemerdekaan yang diraih gagal melikuidasi sepenuhnya kekuatan imperial. Ini terjadi lantaran imperial juga menggunakan cara baru dalam menjegal negara merdeka mengkonsolidasi kekuatan politik, ekonomi dan budaya. Kurang lebih demikianlah pesan Soekarno. Kemerdekaan hanyalah skat periodik antara kolonialisme dengan neokolonialisme. Bila diproyeksikan ke pengalaman kolonial terdahulu, neokolonialisasi berarti praktik kapitalis dalam mengontrol suatu negara sebagai pengganti kontrol militer langsung. Baik dengan budaya, linguistik, maupun media. Sebagai contoh penggunaan bahasa pada abad 20, di mana bahasa Belanda dan Inggris dipandang lebih tinggi dan bergengsi ketimbang bahasa lokal. Sumber-sumber oral dari tradisi lokal diterjemahkan ke bahasa kolonial dan diatur secara terbatas sehingga hanya bangsawan yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber tersebut. Perbedaan kontras sangat nampak dewasa ini, di mana neokolonialisme masuk melalui proses globalisasi, dengan Amerika sebagai hulu dan bekas jajahan (Asia Afrika) sebagai hilir. Jika menilik tahapan kolonial sebelum 1960-an, tampak kolonialisme dimulai dengan perundingan diplomatis untuk meredam konflik. Tapi jika dicermati bagaimana perjanjian itu berjalan, selalu ada pertentangan atau pelanggaran kesepakatan. Kalaupun tidak, minimal timbul pemberontakan pribumi. Perjanjian lebih berperan mereda emosi sesaat, pengalih protes, atau peredam sementara untuk ketegangan/konflik. Itulah mengapa, kolonis menyusun skema neokolonialisme. Rohman (2009), menegaskan; saat ini kolonialismeimperialisme melakukan eksploitasi melalui sistem peraturan dan hubungan ekonomi-politis. Mulai deregulasi ekonomi yang dipaksakan, hingga penjajahan intelektual. Jelaslah, sebab munculnya neokolonialisme ialah; 1) populernya nasionalisme di berbagai kelas masyarakat. 2) terbentuknya federasi-federasi pendukung emansipasi 116 | Miftakhuddin negara terjajah. 3) deklarasi-deklarasi kemerdekaan negara-negara terjajah yang diikuti pengakuan kedaulatan. Ada sedikitnya dua faktor bagaimana sebab-sebab itu berjalan. Pertama, arus globalisasi. Globalisasi adalah peng-global-an. Artinya, penyeragaman warga dunia ke dalam satu warna universal, baik komunikasi, berperilaku, maupun aktivitas kultural lainnya. Sebagai proyek yang diusung negara adikuasa, globalisasi mewujudkan tatanan baru dengan menghapus batas-batas geografis, ekonomis dan kultural. Sudut pandang ini menilai globalisasi adalah kapitalisme termutakhir. Negara kuat mengendalikan ekonomi dunia, sementara negara berkembang mengikuti arus tanpa menciptakan arus (Irhandayaningsih, 2011) Suatu contoh; dahulu komunikasi personal jarak jauh via kirim surat (pos), setelah penemuan telepon dan e-mail, pola komunikasi berubah, dan berubah lagi tatkala ditemukan telepon genggam (handphone), yang sesuai mobilitas user. Tingginya intensitas komunikasi mendorong penyebaran inovasi. Alhasil, pola komunikasi modern yang semula terkonsentrasi di Barat, tersebar ke luar hingga mengglobal. Adanya penyamaan inilah, membuat dunia mengalami penyeragaman. Arus dari Barat mengontrol masyarakat hilir; sebab kalangan hulu (Barat) mencontohkan, kalangan hilir menirukan. Tata krama bersapa via telepon misalnya. Sapaan ala Barat berupa “hello”, kemudian -misalnya- Indonesia mengadaptasinya dengan “halo”, bukan assalamulaikum ataupun kulo nuwun. Peristiwa inilah yang oleh antropolog disebut “lunturnya jati diri bangsa” akibat globalisasi. Sukmono (2013), mempertegas dengan menyatakan perkembangan teknologi, khususnya televisi, menggeser budaya luhur seperti petuah “kalau mau membeli sesuatu, harus menabung dahulu”. Nilai itu diganti melalui propaganda kapitalis, dengan menyebut dalam iklan industrial, “beli dulu bayar belakangan; kalau tidak mampu, ngutang aja”. Tanpa sadar, neokolonial meluas dan mendikte bangsa lain. Terlebih pergerakan pola hidup menuju konsumtif kian menguntungkan negara adikuasa sebagai pusat industri, sebab produksi masal mereka telah menjumpai pasar ideal. Implikasi final atas proyek ini tak lain ialah ketergantungan. Demikianlah neokolonial menciptakan ide-ide untuk Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 117 menarik dan mengikat negara berkembang mengikuti arus yang telah disusun. Lihat saja ekonomi Indonesia awal orde baru, yang dipegang Mafia of Berkeley dengan mencangkok sistem ekonomi Amerika. Menurut beberapa ekonom, mereka didikte Amerika dalam menjalankan ekonomi Indonesia. Makanya di akhir orde baru perekonomian Indonesia defisit hingga krisis moneter. Di samping itu, lihat pula soal industri transportasi. Intensitas kendaraan produksi Jepang mendominasi Asia Tenggara, yang dapat dimengerti sebagai representasi neokolonial karena bersifat adiktif. Kedua, lembaga internasional. Meninjau efektivitas League of Nations yang gagal mengadili invasi Jepang atas Tiongkok dan invasi Italia atas Abbessyna, lembaga internasional memang rawan disarangi nekolim secara terselubung. Bahkan berdirinya United Nations yang secara normatif menjadi sumpah damai seluruh dunia, justru menampakkan neokolonial masuk melalui sela-sela birokrasi. Lihat saja Amerika pasca Perang Dunia II yang menjadi “kreditur dadakan” penyedia dana untuk pemulihan negara terdampak perang. Walau Jerman menyanggupi kerugian perang berdasarkan konfereni Postdam, namun krisis ekonomi-sosial-politik lebih banyak diatasi Amerika. Demikianlah Amerika menjadi donatur terbesar PBB dan anggota tetap Dewan Keamanan. Utang-piutang membuat Amerika dapat memainkan perundingan politis. Suatu misal; pembebasan Irian Barat. Alasan Belanda tak mau mengakui Irian Barat ialah pemulihan ekonomi akibat Perang Dunia dan pendudukan Napoleon Bonaparte. Namun pada sidang majelis umum PBB, Belanda setuju melepas Irian Barat, dengan syarat PBB membentuk Negara Papua. Karena menganggap Belanda tak mau mengembalikan Irian Barat ke Indonesia, maka Soekarno membentuk Tri Komando Rakyat (Trikora). Tapi sebelum Operasi Jaya Wijaya dijalankan, Soekarno menghentikan serangan karena telah tercapai persetujuan antara di markas besar PBB, di New York, pada 1962. Di sinilah bagian paling menarik, rupanya negosiasi itu dipandu Amerika atas nama PBB. Amerika meminta Belanda mundur, dengan membantu Belanda memulihkan perekonomiannya melalui Marshall Plan. Sedangkan Indonesia harus membalas jasa Amerika tanpa 118 | Miftakhuddin mengabaikan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), yakni Indonesia harus membayar kemerdekaan kepada Belanda senilai 4,3 miliar gulden (jika di kurs kan dengan emas, senilai 150 miliar dollar). Sebagaimana De Vries40 (2011), dalam publikasinya di eurasiareview.com; Under the Marshall plan the Dutch were receiving large loans from America to finance the post-war restoration of the country. America therefore threatened the Dutch that unless they halted their efforts to bring Indonesia back under their control, the Marshall aid would be stopped. United Nations kemudian mendesentralisasi kewenangannya melalui badan-badan khusus, seperti; UNESCO yang menangani pendidikan dan kebudayaan, WHO menangani kesehatan, FAO menangani pangan dan pertanian, IMF menangani soal pemenuhan kebutuhan finansial global (loan), dan lainnya. Bagi negara peminjam PBB melalui IMF maupun World Bank yang menggadaikan aset negara dan tak mampu melunasi hutang, maka urusan internal akan dicampuri. Di antara yang sering terlibat fenomena ini adalah Indonesia, Afghanistan, Ghana, Nikaraguai dan lainnya (Razmin, dkk., 2013). Maka wajar bila ada anekdot “IMF adalah lintah darat dunia”. Belum lagi IMF didominasi pihak tertentu, sebab pemasukan IMF berasal dari iuran anggota, dan donatur tertinggi akan berperan sentral (Razmin, dkk., 2013) B. Pelaku Neokolonialisme Berdasar hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1961, berikut siapa-siapa saja yang bertindak sebagai agen neokolonial. 1. Kedutaan-kedutaan kolonial dan misi-misi terselubung. Biasanya, lembaga ini melakukan spionase pelemahan negara tertentu. Misalnya; CIA (Amerika), KGB (Uni Soviet), MI6 (Inggris) dll. 2. Lembaga pemberi bantuan (World Bank, IMF, dan WTO 3. Militer dan kepolisian, yang dibina melalui latihan di negeri imperialis. 40 Konsultan manajemen internasional dengan fokus urusan geopolitik, ekonomi dan Islam. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 119 4. Penyusup berkedok agama dan kemanusiaan melalui serikat buruh, organisasi kebudayaan, lembaga filantropis, dan korps-korps perdamaian. 5. Media massa penyebar propaganda. 6. Pemerintahan boneka. Meski demikian, di antara poin-poin di atas terdapat korelasi yang hampir tumpang tindih dan dapat diklasifikasikan lalu dipadatkan ke dalam dua kategori; 1) investasi dan perusahaan multinasional. 2) badan keuangan internasional. 1. Investasi dan Multinational Corporation (MNC) Sejauh kaitan neokolonialisme dengan MNC, Prasetyo (2009) memberi acuan bahwa neokolonialis mengedepankan sikap hidup liberalis, hedonis dan anti-sosial. Ini tampak dalam persaingan bebas (liberal) yang pada akhirnya menghasilkan pihak menang dan kalah. Pemenang akan berjaya dan bersenang-senang (hedonis), tanpa peduli pada pihak yang kalah (anti-sosial). Katakanlah Amerika dan Papua, Amerika sebagai neokolonial berpola liberal dan hedonis, tercermin dari pola hidup yang tidak sehat, hedonis, bahkan obesitas. Kontras sekali dengan Papua. Jangankan hedonis, tahap persaingan saja mereka tak bebas. Memang, tuduhan adanya neokolonisasi negara kuat ke negara lemah bukan “barang baru”. Tak cukup atas nama pemerintah, badan usaha transnasional pun terlibat. Tidak jarang pula suatu pemerintahan bersifat korporatokrasi. Sehingga eksistensi pemerintah hanya bersifat simbolik. Akibatnya, negara menghadapi pengaliran hasil usaha yang tak seimbang. Jika negara mengizinkan masuknya investasi, maka ia membuka pintu negara maju untuk memonopoli. Keputusan begini adalah persoalan dilematis dan pelik, sebab di satu sisi negara harus mendapat pemasukan, di sisi lain negara juga perlu mengukuhkan kedaulatan, termasuk memenuhi kebutuhan rakyatnya (Razmin dkk, 2013). Sementara hadirnya MNC membuat pembangunan ekonomi selalu bergantung, sebab kebanyakan modal dan teknologi berasal dari investor. 120 | Miftakhuddin Mengkaji pengalaman pra-Soeharto, Indonesia pernah mutlak menganulir berdirinya MNC dengan mencabut UU-PMA pada 1958. Ini demi mengakomodir gagalnya pemulihan ekonomi pasca kemerdekaan hingga 1950-an, yang menyebabkan inflasi, karena “dipermainkan” Belanda dan Amerika. Sebelum mencabut UU-PMA, keputusan pertama Soekarno ialah mengubah halauan politik dari ekonomi liberal-kapitalis menuju sosialis-komunis. Sedang keputusan kedua ialah menasionalisasi perusahaan asing. De Vries (2011) dalam publikasinya berjudul Neocolonialism and The Example of Indonesia Analysis, menyatakan; Starting in 1957 Dutch interests in Indonesia wee seized and nationalized. Starting in 1963, British firms were nationalized. And starting in 1964 American firms as well. Ultimately, in 1965 foreign investment in Indonesia was completely disallowed with the repeal of the Foreign Investement Law of 1958. Kebijakan Soekarno menasionalisasi MNC, pembatalan sepihak hasil KMB, dan pencabutan keanggotaan di PBB membuat Amerika menyusun rencana baru. Mengutip dari De Vries (2011), Maxwell41 dalam risetnya tahun 1965, menemukan surat bertanggal Desember 1964 yang menyatakan Indonesia siap jauh ke pangkuan Barat melalui kudeta komounis dan menjadikan Soekarno sebagai tahanan. De Vries juga bersandar pada buku Legacy of Ashes: The History of the CIA karya Weiner, yang menjelaskan berjalannya rencana itu. Disebutkan, CIA merekrut Adam Malik dan membentuk troika, pemerintah bayangan yang terdiri atas Adam Malik, Soeharto dan sultan penguasa Jawa Tengah. Malik mengatur pertemuan rahasia dengan Amerika soal rencana pembersihan komunis (Gestapu). Sedangkan Soeharto mengatur penculikan jenderal sekaligus pembantaian simpatisan PKI sesuai daftar nama yang disediakan CIA. Satu langkah Soeharto sebagai pimpinan tertinggi ialah mengutus tim ekonom ke konferensi di Swiss yang diselenggarakan Time Life Corporation of America. Profesor dari Northwestern University, 41 Peneliti senior di Institute of Commonwealth Studies, Oxford University. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 121 Chicago, mempelajari makalah konferensi dan menggambarkan prosesi konferensi sebagaimana di bawah ini; mereka dibagi lima. Sektor pertambangan di satu ruangan, sektor jasa di tempat lain, industri ringan di tempat lain, perbankan dan keuangan di tempat lain. Orang-orang perusahaan besar mengatakan; ini adalah yang kita butuhkan. Ini, ini dan ini. Dan pada dasarnya merekalah yang merancang infrastruktur hukum di Indonesia. Belum pernah terdengar situasi seperti ini, di mana para pemodal global duduk dengan wakil dari negara yang seharusnya berdaulat, di mana para pemodal -lah yang justru menentukan ketentuan-ketentuan dan persyaratan agar bisa berinvestasi di Indonesia (De Vries, 2011). Selanjutnya pada 1967 Soeharto menerjemahkan permintaan itu menjadi UU-PMA, dan Freeport menjadi MNC pertama di tahun itu. Soeharto memimpin dan mengawal dengan tangan besi pelaksanaan UU-PMA hingga 1998. Tapi pada 2007, pemerintah malah PPh, mencabut kewajiban PPn, dan memperpanjang masa penyewaan dari 70 menjadi 95 tahun. Parahnya lagi, tahun 2010 pemerintah membuat UUPMA pengganti tahun 1967. Atas perubahan itu, Amerika mengatakan: “Perubahan perjanjian investasi Perusahaan Investasi Asing yang lebih memenuhi kebutuhan pengusaha Amerika telah ditandatangani pada April 2010. Perjanjian ini menggantikan perjanjian tahun 1967” (Vries, 2011). Demikianlah perekonomian Indonesia berbalik arah melegalkan neokoloni, meski para kapitalis punya catatan hitam. Suatu contoh Freeport. Kontrak Karya (KK) pertama diambil saat Papua belum resmi menjadi bagian dari RI, sebab Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) baru dilakukan tahun 1969. Di samping itu, Soeharto yang menandatangani KK masih berstatus sebagai pejabat sementara Presiden (dia dilantik tahun 1968). Catatan hitam lain lagi sebagaimana Amirudin (2003), Freeport memberi puluhan juta dollar kepada TNI dan Polri untuk mengamankan bisnisnya dari pemberontakan pribumi. Tercatat antara tahun 1972 dan 1977 saja, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal. 122 | Miftakhuddin 2. Badan Keuangan Internasional IMF memberi pinjaman jangka pendek, yang biasa digunakan mengatasi krisis moneter. Sedangkan World Bank (WB) menyediakan pinjaman jangka panjang, yang biasa digunakan membangun infrastruktur, rumah sakit dan sekolah (Razmin, dkk., 2013). Celakanya, pemberi hibah tertinggi mempunyai posisi dan peran dominan; AS dan Eropa. Ia memilih warga negaranya untuk menjadi pemimpin dalam badan tersebut (Wade, 1998). Sebagaimana Swedberg (1986), berdasarkan gentleman agreement, sudah menjadi tradisi, IMF diketuai perwakilan dari benua Eropa, dan World Bank diketuai orang Amerika. Tujuan WB ialah mengurangi kemiskinan dengan memberi pinjaman dan mempromosikan investasi. Sementara IMF, mengkondisikan kerja sama moneter global, perdagangan internasional, mempromosikan kesempatan kerja, dan mengamankan stabilitas keuangan negara anggota. Bahkan IMF mengawasi kebijakan ekonomi makro suatu negara untuk melihat dampaknya terhadap nilai tukar mata uang. Ada sedikitnya dua poin penting. Pertama, ketidakberuntungan karena secara tradisional presiden WB adalah Amerika. Kedua, IMF mengawasi kebijakan ekonomi makro suatu negara. Artinya, jika perkembangan ekonomi suatu negara dianggap “membahayakan”, maka IMF akan ambil sikap. Terbukti, pemerintah memprivatisasi 12 BUMN selama 19912001, dan 10 BUMN selama 2001-2006. Privatisasi memang dikehendaki, sebagaimana diatur Letter of Intents bersama IMF, dan dalam Legal Guidelines for Privatization Programs bersama WB. Berdasarkan dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, disebutkan lembaga bantuan Amerika bersama WB aktif soal privatisasi di Indonesia. Malahan, Asian Development Bank (ADB), dalam Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program tahun 2001, memberi pinjaman 400 juta dollar AS, untuk privatisasi BUMN (Indonesia, 2011). Bila perannya sejauh ini, maka bisa saja IMF memunculkan krisis ekonomi untuk menggiring pemerintah mengambil tawaran pinjaman. Berkat konsentrasi modal dan kuasa, mereka bisa mendikte syarat-syarat pinjaman kepada negara lemah (Müller, 2005). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 123 Sebagaimana Stiglitz (2002), negara minta bantuan IMF untuk keluar dari krisis, justru mengalami krisis berkepanjangan, di mana mereka diatur mekanisme ekonomi bahkan bahkan politik nasional menuju ketergantungan; debt trap. Lebih dari itu, Prof. Mubyarto (2006) mengangkat pengalaman Perkins selaku Economic Hit Man (EHM), yang dituliskannya dalam Confessions of An Economic Hit Man (2004). Perkins membuat geger dengan pengakuannya bahwa paham corporatocracy yang lahir dan berkembang di Amerika berani membayar sangat tinggi kepada seorang EHM seperti dia, dengan misi rahasia membuat negaranegara yang kaya minyak seperti Indonesia, agar mendapat utang sebanyak-banyaknya dari Amerika, terutama melalui Bank Dunia dan IMF, sampai benarbenar tidak mampu membayarnya kembali. Kalau kondisi yang matang ini sudah tercapai, maka negara yang bersangkutan sudah masuk perangkap “the global empire” sehingga “keamanan nasional Amerika terjamin”. Kalau kondisi demikian tidak tercapai, jalan terakhir akan ditempuh yaitu seperti halnya Panama tahun 1989, dan Irak tahun 2003, negara yang bersangkutan akan diinvasi dengan kekuatan militer penuh (Mubyarto, 2006). C. Sistematika dan Teknis 1. Pembentukan pemerintahan boneka di bekas jajahan. Pembentukan negara boneka adalah bentuk paling sederhana dari neokolonialisme. Sebab dengan memanfaatkan elemen-elemen reaksioner, pengusulan kepada PBB dan persetutujuan PBB, maka neokolonialisme dengan instrumen negara boneka bisa berjalan dengan baik. 2. Pengelompokkan negara-negara atau pembentukan federasi. Pembentukan federasi pernah dicontohkan Britania dengan membentuk Straits Settlements di Singapura dan kepulauan Malaya. Memang selintas tampak seperti negara boneka, tapi model ini menaungi 124 | Miftakhuddin banyak negara di bawah satu atap. Meski begitu, ada kalanya model neokolonisasi ini bertahan lama, kadang pula mengalami rekonstruksi bahkan dekonstruksi. Straits Settlements saja, pasca pendudukan Jepang mengalami perombakan menjadi British Military Administration, kemudian bertransformasi lagi menjadi Malayan Union hingga akhirnya menjadi United Malay National Organization (UMNO). Berbeda dengan commonwealth Inggris yang bertahan konstan seperti Australia, New Zealand, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Maladewa. 3. Balkanisasi (pecah belah) kepada negara menuju merdeka. Sebagaimana diulas sebelumnya, neokolonialisme telah ada bahkan sebelum kolonialisme benar-benar dihapus. Sukmono (2013) malah menegaskan kalau kolonialisme telah menjadi pemandangan berulang. Artinya, kolonialisme selalu terjadi, kontinyu, dan berkelitberkelindan. Hanya saja tampilannya berbeda. Menurut pemikir Marxis, kolonialisme lama adalah pra-kapitalis, sedangkan kolonialisme modern ditegakkan bersama kapitalisme Eropa Barat. Kolonialisme modern tak hanya mengambil upeti, tapi mengubah struktur perekonomian dan menarik “mereka” ke dalam hubungan kompleks dengan negara induk (Loomba, 2003). Naasnya, kerap kali nekolim kapitalis masuk semasa transisi dari keterjajahan menuju kemerdekaan, sebab momentum inilah timing yang paling tepat untuk membuat perjanjian dengan bekas jajahan. Kasus Irian Barat dan KMB adalah contoh konkret dan representatif. Begitu juga kasus Vietnam-Cina, Jerman Barat-Jerman Timur, dan Korea Selatan-Korea Utara. Perbedaan mendasar tiga kasus di atas hanya terletak pada proses unifikasinya. Berbeda dengan Jerman yang kini menyatu sejak diruntuhkannya Tembok Berlin, Korea tak bisa menyatu karena digunakan sebagai pion Amerika dan Soviet semasa Perang Dingin. Akibat saling curiga antara AS dan US, Amerika sempat mengusulkan ke PBB untuk mendesak Korea Utara (Yuliantri, 2013), tapi China membela Korea Utara bahkan tak segan menggunakan hak vetonya untuk menghindarkan Korea Utara dari sanksi PBB. Jelas kondisi semakin menjauhkan Korea Utara dan Selatan untuk bersatu. Terlebih sejak dibangunnya persenjataan nuklir oleh Korea Utara (Resnadiasa, Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 125 dkk., 2012). Sedangkan Vietnam dan Cina masing-masing berdiri sendiri dengan paham komunis, meski di masa lalu Cina dan Soviet adalah sumber kekuatan Vietnam dalam berperang melawan Prancis yang dibantu Amerika. 4. Melancarkan aksi subversif. Aksi subversi adalah duri dalam daging. Itulah mengapa hal ini lebih sulit diperangi ketimbang invasi dari luar. Sebagaimana peringatan Omar Dani (dalam Anwar, 2006), bahaya yang menyita kewaspadaan nasional ialah aktivitas kaum subversif yang menyelundup ke berbagai aspek kehidupan. Praktis, siapapun bisa melakukannya dan menjadi agen neokolonial; elit militer, kepolisian, pengusaha, pemerintah, bahkan tokoh agama. Siapapun berpeluang asal mempunyai peran sentral. Langkah mereka pun umumnya dengan liberalisasi politik untuk menguasai pemerintahan, baik memakai aparat, dominasi dan ketergantungan ekonomi, teknologi informasi, maupun dakwah. Sebagaimana Nugroho (2016), disamping kelakuan oknum militer yang tak bertangung jawab, penyebab liberalisasi politik dan arah demokrasi yang keblinger adalah subversi nekolim. D. Target Akhir Skala prioritas dan visi neokolonialisme lebih kompleks dan strategis ketimbang kolonialisme yang menonjolkan dominasi politikekonomi. Menurut Mayjen TNI (Purn), Hotma Marbun (2008), sasarannya adalah semua sendi kehidupan bernegara, meliputi; 1) Front Sosial-Ekonomi. 2) Front Psikologi. 3) Front Politik Dalam Negeri. 4) Front Politik Luar Negeri. 5) Front Militer. 1) Front Sosial-Ekonomi Kader neokolonial dikirim melakukan infiltrasi ekonomi ke perusahaan-perusahaan strategis, berusaha memegang peran, membentuk opini, berpartisipasi di perdagangan internasional, dan perlahan mengambil alih posisi pimpinan. Tujuan infiltrasi tentu memunculkan tekanan-tekanan ekonomi agar tergiring dalam neokolonisasi. Penting untuk diketahui, prioritas dalam proyek penekanan ekonomi ini adalah kebutuhan primer, agar timbul keresahan 126 | Miftakhuddin dan kekacauan yang kemudian ditingkatkan ke ekonomi sekunder, termasuk merusak sistem industri strategis untuk menciptakan penggangguan dan krisis ekonomi. Akhirnya wibawa pemerintah menjadi jatuh di mata publik. Tahap kedua setelah pengambilalihan ialah konsolidasi, yakni menghapus kepemilikan individu/swasta. Tahap ini secara simultan dibarengi dengan pembentukan dan penyusupan kepada organisasi politik, kemahasiswaan, buruh, bahkan militer. Nah, mereka semua dikoordinir suatu kekuatan tanpa saling tahu adanya kedekatan relasional (terselubung), jadi mereka bergerak seolah sebagai ormas independen. Tahap berikutnya ialah membentuk hierarki paralel, dengan menempatkan para kader ke jabatan-jabatan kunci di komposisi pemerintahan untuk membuat perundang-undangan sesuai kepentingan nekolim. 2) Front Psikologi Front ini didesain untuk mengisi psikis massa melalui agitasi, agar timbul rasa tidak puas atas suatu kondisi, sehingga menjelma sebagai sikap kritis dan menentang setiap kebijakan (demoralisasi). Meluasnya sikap ini diharapkan bakal mengkurasi kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan berujung pada hubungan layaknya buruh dan majikan, bahkan pemogokan umum. Bagi masyarakat multikultur seperti Indonesia, lazimnya menggunakan isu SARA sebagai senjata pokok penyebab masalah. Kala stabilitas sosial tak terkendali, agen neokolonial melancarkan aksi sugestif untuk “menghipnotis” publik melalui kegiatan sosial sambil membentuk opini melalui propaganda, agar publik yakin kalau keadaan baru yang lebih baik akan ada jika mau bergerak bersama melakukan perubahan. 3) Front Politik Dalam Negeri Diawali dengan membentuk fornt nasional yang menduduki beberapa badan penting seperti Kemendagri, Kemendikbud, dan lainnya, mereka menciptakan kesan dan suasana seolah hanya mereka yang bisa memperbaiki persoalan tertentu. Front yang satu ini memang diperlukan sebab perannya sebagai vokal pembawa “pesan” nekolim. Bila Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 127 pencitraan ini dipandang sukses, maka front nasional ditingkatkan ke front kesatuan, agar tercipta suasana seakan kondisi yang berlaku untuk mengukuhkan persatuan nasional. Langkah terakhir ialah mendirikan apa yang disebut front rakyat di tingkat daerah. Pada fase inilah terjadi semacam gerakan rakyat yang seolah menjadi hakim. 4) Front Politik Luar Negeri Awalnya neokolonial mendiskreditkan atau membuka aib negara sasaran untuk menghilangkan kepercayaan negara lain (pihak ketiga), agar negara sasaran terisolasi dan kehilangan dukungan politik maupun ekonomi. Demikianlah tercipta kondisi yang menyeret negara sasaran ke arah politik luar negeri nekolim. Baru setelah negara sasaran diambil alih, pendukung neokolonial akan memberi dukungan dan pengakuan internasionalnya. Praktis, bantuan untuk pemerintahan yang baru diambil alih sangat mengikat, dan negara baru ini menjadi “satelit”. 5) Front Militer Front militer adalah upaya terakhir, sebab keamanan dan ketertiban yang terganggu akan mempermudah pembentukan front lain. Gangguan biasanya dimulai para kriminal dan residivis melalui agitasi, teror, adu domba, pembunuhan, penyanderaan hingga fitnah. Jelas, agar masyarakat terpecah dan saling curiga. Saat di mana instabilitas merebak, angkatan bersenjata mulai dibentuk, dibina dan ditempatkan di basis-basis gerilya, terutama di kawasan-kawasan rawan subversi. Tahap ini ditandai dengan perekrutan masyarakat kelas bawah sebagai kekuatan bersenjata yang melawan pemerintah dengan bergerilya. 128 | Miftakhuddin A. Association of South-East Asian Nations (ASEAN) Sejak kejatuhan Konstantinopel, Asia Tenggara menjadi pusat perebutan tarik-menarik dominasi. Makanya kawasan ini menjadi “pusaran konflik” selama Perang Dunia II dan Perang Dingin. Salah satu respons untuk Perang Dingin ialah berupa penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 dan pembentukan Gerakan Non Blok (GNB) tahun 1961. Tujuan GNB juga termaktub dalam arsip KAA dan GNB sebagai UNESCO Memory Of the World (2015), bahwa; GNB yang lahir dari spirit KAA 1955 adalah kenyataan historis yang tidak menginginkan dunia hanya dipisahkan oleh dua blok, dua warna atau dua arah: hitam/putih atau timur/barat. GNB menawarkan arah atau warna ke tiga yang bukan hitam dan bukan putih atau bukan timur dan bukan barat. Setiap negara harus berani untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Namun kerja sama regional itu tak mampu meredam efek Perang Dingin (Sukmayani, dkk., 2008), sehingga didirikanlah forum Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) untuk bekerja sama bidang politik, ekonomi dan budaya. Tapi kedudukannya sebagai forum kerjasama pun melemah saat Inggris -yang sedang menjajah Singapuramembentuk federasi Melayu. Bagi Indonesia dan Filipina, federasi ialah produk neokolonial. Maka Filipina mengklaim Sabah dan Sarawak. Sementara Indonesia melancarkan Dwikora, yang terkenal dengan seruan “ganyang Malaysia”. Bagi Soekarno, jika federasi berdiri sebagai boneka Inggris, maka akan muncul “China kedua” yang mendominasi ekonomi dan politik di Asia Tenggara (Prihatyono, 2009). Menurut Sukmayani, dkk. (2008), konfrontasi berlanjut resolusi jajak kehendak Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 129 rakyat Sarawak, Brunei dan Sabah oleh Sekjen PBB, dan penandatanganan Deklarasi Bangkok (cikal bakal ASEAN). Menurut Alatas (1995), Menteri Luar Negeri Indonesia (19881999), kerja sama bilateral ini demi menegakkan kemerdekaan, perdamaian dunia, melalui pembangunan, pembinaan persahabatan, kerja sama, tanpa membedakan ideologi, sistem politik ataupun sistem sosial-ekonomi. Meski demikian, pokok politik luar negeri tetaplah memelihara kelangsungan hidup tiap negara (Rosenau, 1976). Sebagaimana Prihatyono (2009) dalam tesisnya, politik luar negeri selalu diabdikan demi kepentingan nasional. Oleh karenanya bagi negara berkembang seperti Indonesia, sebelum meratifikasi perjanjian hendaknya memperhatikan perumusan Undang-Undang harus berlandaskan ideologi politik dan dasar negara. Sebab dalam pasar tunggal, Piagam ASEAN memberi legalitas untuk cenderung mensubordinasikan ekonomi Indonesia (Ridlwan, 2014). Prihatyono (2009) dengan mengutip George Kahin dalam Indonesian Foreign Policy and Dilemma of Dependence (1976), menegaskan politik luar negeri Indonesia selalu dipengaruhi politik domestik dan usaha memperluas akses sumber daya eksternal. Bahkan sejak awal memang diprakarsai secara terselubung oleh Barat dalam rangka Blok Timur versus Blok Barat. Tak satu pun di dunia yang tak terpengaruh persaingan itu, termasuk organisasi regional bernafaskan USA versus Soviet lain, seperti; SEATO dan ASA. Itulah mengapa ASEAN tak bersifat kooperartif-integratif, melainkan kompetitif (Wiharyanto, 2016). ASEAN adalah instrumen kolektif neokolonial. Sebab meski anggota merdeka (de jure), tapi secara ekonomi-politik tak merdeka (de facto). Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 33/PUU-IX/2011 menegaskan globalisasi ekonomi dalam pasar bebas, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah strategi penjajahan yang terkesan modern dan bebas. Konsep ini berlaku agar ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi dengan aturan bersama yang mengikat. Gagasan pembentukannya pun sejak 1992 dan makin intensif sejak krisis moneter 1998. Pertimbangannya adalah potensi pertambangan, sumber perikanan dan hasil hutan. Plus sebagian anggota ASEAN sedang 130 | Miftakhuddin berkembang, yang haus investasi dan hutang. Jelas, walau ASEAN dibangun atas tiga pilar, nampaknya hanya economic community yang diprioritaskan. Hingga saat ini, kekayaan alam anggota ASEAN dibawah kontrol negara luar yang dikerjakan dalam model investasi neokolonial, sehingga arah kebijakan dan anggaran publik diatur melalui utang luar negeri yang melahirkan ketergantungan (Marut, 2015). Berdasarkan ASEAN Statistical Yearbook (2009), tahun 20002008 Uni Eropa menduduki peringkat pertama dalam mengalirkan dana investasi (US$ 93,6 miliar), disusul Jepang (US$ 48,2 miliar), dan Amerika (US$ 34,9 miliar). Hal yang mengejutkan, rupanya kebijakan itu mereka ambil justru akibat krisis finansial di sana. Krisis mendorong agresivitas untuk menguasai pasar ASEAN, mengontrol sumber daya, pasar keuangan, dan jasa. Sebab dengan begini mereka mampu memindah beban krisis dan membentuk keseimbangan global baru; diraih dengan menghisap negeri-negeri miskin lebih dalam (Putusan MK Tahun 2011). Lebih-lebih taktik yang dipakai bukan hanya investasi, melainkan juga penawaran hutang. Sehingga penawaran utang membuat ASEAN seakan menghiba kepada lembaga keuangan internasional dan negara maju melalui Chiang-Mai Initiative Multilateralisation (CMIM), Asian Bond Markets Initiative (ABMI) dan Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF). Putusan MK di atas juga menyebut Jepang menyiapkan US$ 20 miliar, Cina US$ 10 miliar, Amerika US$ 526 miliar tahun 2009 untuk anggota ASEAN (kecuali Brunei), dan Australia US$ 50 juta (20022008) untuk integrasi ekonomi melalui mekanisme proyek jangka menengah dan memperkuat daya saing melalui kegiatan kolaboratif. Soal proyek ambisius ini, Asian Development Bank (ADB) mengajukan program pembentukan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) yang modalnya bersumber dari anggota masing‐masing US$ 150 juta. Modal ini lalu di‐leverage dengan mengeluarkan surat utang AIF yang diharapkan akan dibeli bank‐bank sentral di ASEAN. Parahnya lagi, bunga dan pegembalian utang dipakai untuk membangun konektivitas ASEAN (Marut, 2015). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 131 B. Konferensi Asia-Afrika (KAA) Tujuan KAA berdiri ialah mempromosikan kerja sama ekonomibudaya dan menghapus kolonialisme. Prestasinya pun tak main-main. Atas dukungan dan kampanyenya, Tunisia, Aljazair dan Maroko merdeka dari penjajahan Prancis. Begitu juga kemerdekaan Nigeria dan Kamerun atas Inggris pada 1960. Ia juga mampu memberikan dukungan kepada Indonesia atas Irian Barat, Yaman atas Aden, dan meredakan sengketa Taiwan dengan Tiongkok. Namun begitu, karena Asia Tenggara adalah bekas jajahan Eropa, dan KAA terbentuk semasa Cold War, maka tak mengherankan bila neokolonialisme bertengger. Lihat saja kasus Israel-Palestina, yang membuat siapapun skeptis atas visi KAA sebagaimana termaktub dalam Dasasila Bandung; ikut menjaga perdamaian dunia. Terlepas dari di mana posisi KAA dalam hal ini, persoalan ini memang pelik. Sebab, ialah Amerika di balik panggung peperangan tersebut. Mengapa? secara historis konflik bermula pasca holocaust, para Yahudi tersebar ke Eropa, lalu Zionis memulangkan Yahudi ke “tanah yang dijanjikan” (Israel) dan ke Palestina. Zionis selaku mandator Inggris tentu memperoleh dukungan. Pemerintah Inggris mengeluarkan surat melalui menteri luar negeri, James Balfour, untuk mengizinkan Zionis mendirikan rumah nasional Yahudi di Palestina. Berikut adalah isi Deklarasi Balfour, yang dikutip Sihbudi & Ahmad (1994), His Majesty’s Goverment view with favour the estabilishment in Palestine of a National home for the Jewish People, and will use their best endeavours to facilitate the achieevement of this object, it being elearly undertood that nothing shall be done which may Prejuadice the civil and religious rights of existing non– Jewish Communities in Palestine, on the rights and political status enjoyed by jews in any other Country. Inggris bahkan menekan Palestina menerbitkan undang-undang agar orang asing boleh punya properti dan tanah dengan membeli. Undang-undang inilah yang dipakai Zionis membangun pemukiman Yahudi (Al-Ghadiry, 2010). Amerika kemudian mengambil peran Inggris dan mengirim US$ 130 juta ke Palestina untuk menuntaskan 132 | Miftakhuddin transportasi Yahudi dari Eropa ke Palestina (Solichien, 2008). Atas usaha Zionis melobi Inggris, Prancis, Rusia dan Amerika, maka Israel mampu mendeklarasikan negara pada 1948. Pimpinan Zionis, Haim Weizman, lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan Presiden Amerika, Harry Truman, untuk meminta dukungan mendirikan negara Yahudi (Saleh, 2012). Meski Suriah, Mesir dan negara arab lain menentang Israel karena dinilai ilegal dan merupakan negara boneka di “jantung” Timur Tengah (Aulia’, 2015), Amerika kembali campur tangan dengan memberi bantuan Israel untuk melawan koalisi negara arab; Mesir, Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan Arab Saudi dalam Perang Yom Kippur. Tidak sampai disitu, dukungan Amerika bahkan sampai melobi PBB. Alhasil, terjadi pengusiran ratusan ribu warga Palestina. Presiden Amerika 1966, Johnson, bahkan menekan PBB menghentikan bantuan untuk pengungsi Palestina yang melakukan milisi melawan Israel, dengan dalih mengganggu stabilitas keamanan dunia. Amerika mengancam keluar dari Dewan Keamanan PBB dan menghentikan bantuan finansial kepada PBB kalau PBB tak menerima usulan Israel (Saleh, 2012). Sementara pada era Ronald Regan, tahun 1988, juru bicara White House menyatakan lebih baik Palestina dan bangsa Arab lain menyerahkan Palestina. Pada era Obama, memang intervensi Amerika menurun. Tapi di era Donald Trump, konflik itu muncul lagi. Memang Israel adalah tempat menjual senjata Amerika, sekaligus penjaga terusan Suez dan tambang minyak bumi di sana (Rahmatullah, 2015). Apa boleh buat. Seruntuhnya Soviet, Amerika adalah yang terkuat. Keadilan dan HAM yang sering dikhotbahkan agaknya hanya ceritera. Pidato bergelora di forum-forum internasional yang membela emansipasi hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Sebab begitu menghadapi Amerika, seolah semua obsesi gugur tanpa syarat. Terlihat pada lumpuhnya KAA dalam mengatasi konflik IsraelPalestina. Lebih-lebih desentralisasi kewenangan Dewan Keamanan dalam melakukan kekerasan kepada organisasi regional tak bertentangan dengan Piagam PBB. Ini tidak saja didukung sejumlah penafsiran Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 133 terhadap isi pasal, tapi juga didukung sejumlah doktrin yang berkembang dan diakui hukum internasional (Mulyana & Irawati, 2015). Terlepas dari egoisitas Amerika, PBB pun sebetulnya memfasilitasi organisasi regional melalui Bab VIII Piagam PBB. Ketentuan ini memungkinkan organisasi regional menyelesaikan sengketa tanpa campur tangan Dewan Keamanan (Mulyana & Irawati, 2015). Seharusnya langkah PBB, menurut Boutros-Ghali (dalam Adolf, 2004), adalah sebagai berikut; Pertama, Preventive Diplomacy,untuk mencegah meluasnya sengketa, dan bisa dilakukan Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau organisasi regional bekerja sama dengan PBB. Kedua, Peace Making, untuk membuat kesepakatan damai. Ketiga, Peace Keeping, untuk mengerahkan PBB secara militer (bukan perang). Keempat, Peace Building, untuk mencegah pecahnya konflik yang telah didamaikan. Kendati demikian, ada persoalan serius yang menghalangi, yakni Bab VIII Piagam PBB menyebut organisasi regional dilarang melakukan kekerasan tanpa ada otorisasi Dewan Keamanan PBB, sementara Amerika adalah orang paling berpengaruh di Dewan Keamanan PBB (Klabbers, 2002). Tak kalah penting dari nekolim di Afrika, KAA nampaknya punya “pekerjaan rumah” lain yang perlu dituntaskan, yakni terorisme dan ekstremisme Timur Tengah. Hadirnya Islamic State of Iraq-Syria (ISIS) menjadikan persoalan KAA makin kompleks. Apalagi upaya pendirian negeri islam yang dipaksakan dan intoleran itu membuat penduduk dunia menjadi paranoid dan menganggap negara yang pernah menjadi markas ISIS tak lagi aman. C. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sebagai produk evaluasi LBB, pembentukan PBB dilengkapi cakupan bidang kerja sama lebih luas dan solutif. Stabilitas perdamaian pun diterjemahkan dalam beberapa tujuan, meliputi; mengembangkan persahabatan antarbangsa berdasarkan persamaan derajat, hak menentukan nasib sendiri, tak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dan mengembangkan kerjasama untuk memecahkan masalah ekososbud dan kemanusiaan. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan Piagam PBB: We the peoples of the united nations determined to save 134 | Miftakhuddin succeeding generations from the scourage… (Sianturi, 2014). Guna mewujdukannya, maka dibentuklah UNESCO, ILO, WHO, WTO, dan lainnya. Nah, satu di antara yang bervisi mengentaskan kemiskinan ialah WTO, yang mengangkat kesejahteraan dengan fasilitas sistem perniagaan. Demi tugasnya memastikan perdagangan antar anggota berjalan lancar, kredibel dan sebebas-bebasnya, WTO mengatur hal-hal pokok baik perniagaan barang (goods), jasa (services), maupun kekayaan intelektual (property rights). Sewaktu masih berupa GATT, badan ini menurunkan tarif perdagangan agar situasi kondusif. Tapi setelah diperbarui menjadi WTO, kebijakannya melingkupi anti-dumping dan penyelesaian sengketa (Trade Dispute Settlement). Meski begitu, ia tak luput dari persepsi curiga dan tuduhan neokolonial. Sedang bagi WTO sendiri, stigma ini ada kesalahpahaman. Publikasi sekretariat WTO dalam depts.washington.edu berjudul 10 common misunderstanding about the WTO menyebutkan satu persatu dan mengklarifikasinya, suatu contoh; The WTO does not tell governments how to conduct their trade policies. Rather, it’s a “member-driven” organization. That means: 1) the rules of the WTO system are agreements resulting from negotiations among member governments. 2) the rules are ratified by all member’s parliaments, and 3) decisions taken in the WTO are generally made by consensus among all members. In other words, decisions taken in the WTO are negotiated, accountable and democratic. ...In fact: it’s the governments who dictate to the WTO. Jelas, WTO dirancang bukan sebagai organisasi monitoring, melainkan bertindak atas komplain yang diajukan, sehingga lebih condong ke forum perundingan. Sebagaimana Nuryadin (2015) yang mengutip James Petras, penggerak globalisasi ekonomi perdagangan adalah imperial pusat, perusahaan multinasional dan bank yang didukung lembaga keuangan internasional. Hal ini pun diamini WTO dalam klarifikasinya soal tuduhan perdagangan bebas. It’s really a question of what countries are willing to bargain with each other. The WTO’s role is to provide the Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 135 forum for negotiating liberalization. It also provides the rules for how liberalization can take place. Just as important as freer trade -perhaps more important- are other principles of the WTO system. For example: nondiscrimination, and making sure the conditions for trade are stable, predictable and transparent. ...It all depends on what countries want to bargain. Asumsi-asumsi di atas akhirnya mengerucut pada kesimpulan bahwa usulan diterima adalah milik MNC dan imperial. Atas diberlakukannya sistem ini, menurut DPD-RI (2015), WTO dan AFTA memberi ruang perekonomian lebih luas bagi negara maju, dan mempersempit ruang ekonomi negara berkembang. Ini diperparah dengan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke IX di Bali pada 2013 lalu yang menghasilkan Paket Bali, berisi prediksi akan adanya pewarisan kemiskinan dan kelaparan untuk negara berkembang. Bila saat berdirinya WTO tahun 1995 angka kelaparan dunia 825 juta jiwa, maka 2013 sudah mencapai 1 miliar jiwa, dengan mayoritas di Asia (Pembaruan Tani edisi Januari 2014). Demi rakyat, hendaknya negara berkembang mengevaluasi lagi keanggotaannya di WTO, sebab mereka hanya pasar dalam skema FTA. Selama tak ada progresivitas, selama itu pula kapitalis terus menghisap. Kompas edisi 16 April 2011 memberitakan; sepanjang 2006-2008 tercatat 1.650 industri bangkrut karena tak sanggup bertahan dari produk China. Akibatnya, 140.584 tenaga kerja di PHK. Ini satu bukti nekolim FTA, yang didominasi negara maju. Memang jika berangkat dari pemberitaan-pemberitaan yang menyudutkan WTO, bakal mempengaruhi opini publik dan men-setting persepsi masyarakat bahwa WTO dalam transaksi lintas nasional memiskinkan negara berkembang dan memperkaya negara maju. Namun tuduhan ini pun dibantah sekretariat WTO dengan menyatakan dalam publikasinya soal sepuluh miskonsepsi; The accusation is inaccurate and simplistic. Trade can be a powerful force for creating jobs and reducing poverty. Often it does just that. Sometimes adjustments are necessary to deal with job losses, and here the picture is complicated. In any case, the alternative of protectionism 136 | Miftakhuddin is not the solution ... The relationship between trade and employment is complex. Freer-flowing and more stable trade boosts economic growth. It has the potential to create jobs, it can help to reduce poverty, and frequently it does both. In the WTO, liberalization is gradual, allowing countries time to make the necessary adjustments. Provisions in the agreements also allow countries to take contingency actions against imports that are particularly damaging, but under strict disciplines. At the same time, liberalization under the WTO is the result of negotiations. When countries feel the necessary adjustments cannot be made, they can and do resist demands to open the relevant sections of their markets ... In developed countries, 70% of economic activity is in services, where the effect of foreign competition on jobs is different if a foreign telecommunications company sets up business in a country it may employ local people, for example. While about 1.5 billion people are still in poverty, trade liberalization since World War II has contributed to lifting an estimated 3 billion people out of poverty. PBB agaknya tak beda jauh dengan organisasi internasional abad 19, yang visinya mulia tapi ditunggangi kepentingan negara hegemoni. Ulasan soal IMF dan World Bank di bab sebelumnya telah menggambarkan bagaimana negara adikuasa merombak kebijakan PBB agar semua menjadi legal, sebagaimana konflik Plestina-Israel dan konflik Laut Cina Selatan. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 137 A. Ideologi Bangsa Menurut Poespowardojo (dalam Alfian & Oesman, 1991), ideologi pasti memberi semangat dan arahan positif. Maka dengan ideologi, seseorang dapat memisahkan benar-salah dan baik-buruk. Suatu misal Pancasila, ideologi yang mengutamakan kebersamaan. Seorang Pancasilais tentu menolak individualisme, sebab akan melahirkan liberalisme, kapitalisme, monopoli, otoriterianisme dan totaliterisme. Ideologi ini menggariskan untuk mengedepankan kolektivitas ketimbang individualitas. Bung Hatta dalam karyanya Ke Arah Indonesia Merdeka menegaskan, kedaulatan Barat -berdasarkan J.J.Rousseau- adalah individualisme. Sedang kedaulatan Indonesia adalah rasa bersama; kolektiviteit (Cholisin, 2011). Tetapi, apakah Pancasila sebagai pandangan hidup telah diresapi? Tentu menengok carut-marut suasana sosial hari ini semua orang bisa menjawab. Tampaknya Pancasila lebih cocok dinilai sebagai cita-cita ketimbang kristalisasi nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana diasumsikan para pakar, walau menurut Kaelan (2010) Pancasila diangkat dari nilai adat, budaya serta religiusitas masyarakat heterogen sebagai causa materialist. Bukan hasil perenungan seseorang atau kelompok tertentu sebagaimana ideologi lain di dunia. Tjiptabudy (2010) mengklaim, Pancasila telah memenuhi syarat dasar negara, di antaranya; dapat menampung pluralitas melalui sila pertama, menjamin penghargaan atas manusia melalui sila kedua, menjamin keutuhan melalui sila ke tiga, bersifat demokratis melalui sila ke empat, dan menjamin keadilan melalui sila ke lima. Sekalipun demikian, realitas hari ini menunjukkan kontradiksi yang menyeret 138 | Miftakhuddin kristalisasi menjadi mimpi yang ingin dicapai. Hanya ada dua kemungkinan; pertama, Soekarno keliru dalam menafsirkan dan menerjemahkan nilai luhur bangsa menjadi Pancasila. Kedua, dinamika sosio-politik menggeser pandangan hidup menjadi lain, akibat liberalisme yang “kebablasan”. Kelihatannya Pancasila yang digadanggadang mampu menangkal ketidakadilan publik juga harus bertahan di tengah infiltrasi neoliberal dan radikalis. Celakanya lagi, ada kecenderungan Pancasila sebagai ideologi fundamental lebih bersifat simbolik, terutama bagi generasi Y dan generasi Z. Kebetulan mereka lahir di era milenial, di mana globalisasi mengaburkan batas-batas kultural antar negara. Akibatnya nasionalisme yang lahir dari Pancasila era tersebut mengalami pendangkalan. Lihat saja secara tidak permanen nasionalisme lebih sering muncul saat upacara kenegaraan dan rapat parpol. Hasilnya, korupsi di berbagai lapisan birokrasi, berkembangnya gerakan radikal separatis, dan peningkatan sikap intoleransi. Inilah celah masuknya nekolim dan neolib. Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kaum LGBT yang berjuang demi status hukumnya adalah secuil contoh. Lebih lanjut, liberalitas akan membangunkan gerakan radikal yang mendiskreditkan golongan lain. Akibatnya, bangsa Indonesia amnesia terhadap Pancasila sebagai ideologi bersama (Ma’arif, 2009). Menimbang urgensi tersebut, nampaknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) perlu diterapkan kembali, meski pada era reformasi dibubarkan melalui Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 karena dinilai tak sesuai kondisi kekinian. Harus diakui memang orde baru menghadirkan ironi hebat. Masa penggalakan P4 juga masa pelanggaran Pancasila sekaligus (pelanggaran HAM, KKN, pembatasan hak berpolitik dan berekspresi, dan teror Petrus). Namun terlepas dari itu semua, apa yang perlu disoroti ialah tak ada pemerintahan otoriter hari ini. Pancasila memang “diperalat” orde baru untuk membungkam suara kritis masyarakat atas penyalahgunaan kekuasaan (Samsuri, 2013). Menurut Tim Kerja Sosialisasi MPR (2009-2014), ada dua alasan pentingnya sosialisasi Pancasila. Pertama, faktor dalam negeri, meliputi; a) lemahnya penghayatan dan pengamalan agama, b) fanatisme kedaerahan akibat pengabaian pembangunan di masa lalu, c) merosotnya Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 139 toleransi dan ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kriminalitas dan perilaku tak etis, d) kurangnya keteladanan tokoh dan kontrol sosial, e) ketidakmampuan budaya menangkal pengaruh negatif, dan f) meningkatnya perilaku amoral. Kedua, faktor luar negeri; a) globalisasi, dan b) intervensi global dalam perumusan kebijakan nasional. Persis dengan alasan yang diutarakan MPR, bahwa dewasa ini yang muncul di permukaan ialah primordialisme, etnosentrisme, dan fanatisme religius. Terlebih era liberalis memungkinkan gerakan radikal agamis tertentu mendompleng demokrasi dan mengancam unifikasi NKRI. Jajak pendapat dimuat Kompas edisi Senin, 21 Juni 2012, menunjukkan solidaritas nasional melemah hingga 60%, toleransi golongan kaya dan miskin melemah 61,4%, toleransi antaretnis melemah 46,5%, dan toleransi antarumat beragama melemah 38,9%. Di samping itu, survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah (2001-2004) tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi, menunjukkan 61,4% menginginkan hukum islam, pada 2001. Tahun 2002, naik jadi 70,6% dan meningkat lagi jadi 75,5% pada 2004. Kemudian soal anggapan bentuk pemerintahan Islam yang terbaik, ada 57,8% pada 2001, meningkat jadi 67,1% pada 2002, dan naik lagi sampai 72,2% pada 2004 (Jamhari, 2004). Tapi pada 2007 angka ini sempat mengalami penurunan. 84,7% responden mendukung NKRI dan Pancasila (Ali, 2009). Menurut Cholisin (2011), persoalan intinya adalah disorientasi nilai-nilai Pancasila dan terbatasnya perangkat kebijakan. Masa ini adalah masa Indonesia mengalami anomie atau kekosongan, karena Pancasila sebagai norma dasar terpuruk bersama jatuhnya orde baru. Begitulah yang dikatakan Somantri (2006) dalam publikasinya Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Celakanya lagi, multikrisis di atas melahirkan frustasi dan rasa tertindas sebagai respon atas abuse of powe, yang berakibat pada korupsi, kejahatan politik dan kelesuan ekonomi. Indonesia seakan mendekati keruntuhan, yang oleh para pengamat disebut “A Country in Despair”, yaitu negara-bangsa yang tak hanya diterpa bencana, tapi tenggelam dalam ketiadaan harapan (Dhakidae, 2002). 140 | Miftakhuddin Jelas sekali, ada relasi kausalitas antara kegagalan ideologi dalam membangun karakter, dengan tingkat kesejahteraan publik. Semakin orang Pancasilais, semakin orang itu sejahtera. Sesuai hasil International Social Survey Programme (ISSP) yang melibatkan 23 negara pada 1995, dan melibatkan 34 negara pada 2003, bahwa ada korelasi positif antara semangat kebangsaan dengan tingkat kemakmuran sebuah bangsa (Cholisin, 2011). Belum terpecahkannya masalah karakter inilah penyebab Indonesia enggan beranjak dari sistem kapitalis. Padahal, hubungan Indonesia dengan pendonor (IMF, World Bank, ADB) dan pemberi pinjaman (seperti; AS, European Union) sudah mendekati hubungan layaknya pengemis dengan pemberi sedekah (Hadi, 2003). Sekurang-kurangnya ada dua pandangan kenapa ini bisa terjadi; pertama, adanya pencampakan Pancasila oleh para elit. Kedua, munculnya ideologi tandingan (Cholisin, 2011). Pencampakan maksudnya Pancasila tak lagi mendasari pengambilan kebijakan. Tak sinkron ketika para elit mengumbar Pancasila, sementara kebijakan yang diambil tidak representatif pada falsafah Pancasila. Suatu contoh ialah Kontrak Karya Freeport yang melanggar konstitusi, tepatnya pasal 33 UUD 1945. Ada pula soal penjualan blok Cepu kepada Exxon Mobil, dan penjualan Indosat kepada Singapura. Sedangkan ideologi tandingan maksudnya kehadiran gerakan agamis maupun komunis yang hendak menggeser Pancasila, seperti PKI, DI/TII, dan baru-baru ini ada HTI. Barangkali para kritikus ada benarnya. Di era ini, kesaktian Pancasila diuji setelah sekian lama menjadi pedoman pengkondisian rakyat. Malahan, sebagian pihak menilai Pancasila telah usang dan tak mungkin berlaku selamanya. Hebatnya, mereka mengajukan konsep yang monopolis di negara yang pluralis komposisi demografinya. Itulah mengapa P4 perlu direvitalisasi. Lagi pula jika dicermati konten pasal 1 dan 4 dalam P4, merupakan kekuatan dari implementasi Pancasila. Bersamanya segala perbedaan dilebur dan dalam satu pandangan. Harapannya Pancasila dapat meredam, menangkal dan mematikan mata rantai radikalisme sekaligus mensejahterakan masyarakat. Apalagi pasca reformasi 1998, masyarakat berubah dari represif ke demokratis. Hanya saja, kebebasannya disalah-artikan dengan menggunakan hak sebebasbebasnya (Saputra, 2017). Era reformasi adalah era kebebasan yang Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 141 kebablasan. Peningkatan konflik horizontal -lah indikasi penurunan penghayatan Pancasila tersebut (Lemhanas, 2012). Sebab Pancasila di samping dasar negara, juga alat pemersatu bangsa (Mahifal, 2011). Harusnya suasana euforia karena keluar dari politik otoriter tidak membuat MPR dengan gelap mata mencabut P4 (Samsuri, 2013). Pancasila sebagai “agama” sipil butuh pedoman khusus untuk seluruh kelas (Saputra, 2017). Tak ada hubungannya dengan pertanyaan “apakah P4 gagal atau berhasil?”, menurut pengamatan Dhakidae (2001), persoalan ideologisasi publik bukan masalah berhasil atau gagal, melainkan sejauh mana Pancasila dimaknai oleh segenap warga negara. Tumbangnya orde baru bukan pertanda kegagalan P4 menyemai nilainilai Pancasila, tapi akibat ketidakpuasan publik atas krisis moneter dan pengekangan kebebasan di bawah pemerintahan sentralistik. Kalaupun era reformasi antipati terhadap P4, pasti penyebabnya bukan aspek filosofis P4, melainkan kekhawatiran traumatik akibat bangsa ini pernah hidup di bawah kediktatoran (Panuju, 2017). P4 ditinggalkan bukan karena substansinya, tapi karena relasi kuasanya Soeharto. Karena itu, menelantarkan P4 tidaklah bijak. Rumusan-rumusannya masih relevan menjadi rujukan etika dan moral. Kalaupun ada yang harus disalahkan, harusnya pelaksanaan yang cenderung formal, doktriner, kuantitaif dan koorsif. Cara represif harus diubah agar peserta lebih kritis dan terbuka. Hanya karena banyak pelanggaran terjadi semasa penggalakan Pancasila, bukan berarti Pancasila tak layak diperjuangkan. Pancasila menjadi suatu makhluk di langit dan tidak tersentuh oleh proses normal kehidupan masyarakat warga di bumi sehingga korupsi tetap diakui sebagai korupsi, tetapi korupsi dilakukan oleh oknum yang tidak ada hubungannya dengan Pancasila. Pancasila tetap bersih meskipun yang memujanya adalah kaum koruptor dan yang menyembahnya adalah para pembunuh (Dhakidae, 2001). Maka kembali mendudukan Pancasila merupakan gentlemen agreement (Samsuri, 2013). Ideologi memang butuh indoktrinasi, dan terkesan doktriner di P4 adalah karena materi diseragamkan agar Pancasila ditafsirkan sama seluruh Indonesia (Saputra, 2017). 142 | Miftakhuddin Kelemahan P4 harus diperbaiki sesuai perkembangan global, nasional, dan lokal, yang akhirnya mengarah ke kepentingan bangsa. B. Wawasan Kebangsaan Wawasan kebangsaan adalah cara suatu bangsa dalam memahami dirinya. Ada yang mengatasdasarkan etnik atau ras seperti Nasional-sosialis (Nazi), atas dasar agama (India dan Pakistan), atas dasar ras-agama seperti (Israel), atas dasar konsep etnis-agama (Malaysia), dan atas dasar geopolitik, geostrategi, dan pluralitas (Indonesia). Bagi Indonesia, kompleksitas inilah yang membuat wawasan kebangsaan harus dimengerti dalam dua dimensi; sebagai geopolitik dan sebagai geostrategi. Sebagai geopolitik artinya berperan sebagai konsep persatuan dan kesatuan, sedangkan sebagai geostrategi artinya berperan sebagai konsep manajemen pembangunan nasional. Sayangnya, fungsi wawasan nusantara pun mengalami krisis multidimensional. Dibuktikan oleh disorientasi Pancasila, pergeseran nilai-nilai etika, infiltrasi kebudayaan luar, melemahnya kemandirian, dan masuknya paham kontra Pancasila (Samsuri, 2013). Dampaknya, timbul gejala awal krisis kepercayaan diri (self-confidence crisis) dan krisis rasa hormat diri (self-esteem crisis). Krisis kepercayaan diri berupa keraguan mengatasi persoalan-persoalan mendasar, seperti; kemiskinan, konflik sosial, dan gerakan subversif. Jika pada selanjutnya bidang politik dan ekonomi juga mendekati krisis ini, maka Indonesia (nation) sedang di ujung tanduk (Hadi, 2003). Ini amat kontras dengan tujuan awal sebagaimana Anhar Gonggong (dalam Hadi, 2003), bahwa founding fathers memproklamirkan kemerdekaan untuk mengubah sistem feodalistik-kolonialis menjadi modern dan demokratis. Sejauh ini, lebih dari penyebab umum, disintegrasi tidak melulu soal kurangnya rasa persatuan. Kadang perlakuan tak adil pemerintah memicu sikap separatis dengan membawa nama golongan sebagai bukti adanya keterikatan (primordialis). Sehingga gerakan separatis sebagai kelirunya pemahaman wawasan kebangsaan terbagi tiga kategori; pertama, akibat ketidakadilan pemerintahan (OPM, RMS, Riau Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 143 Berdaulat, dan GAM). Kedua, intoleran terhadap kemajemukan (NII dan GAM42). Ketiga, infiltrasi paham asing (komunisme). Menurut Magnis-Suseno (2005), wajar bila NKRI belum menjamin persatuan dan kesatuan, sebab konflik lebih banyak disebabkan akumulasi dari ketidakteguhan politik disertai fanatisme holistik tanpa mempertimbangkan heterogenitas sosial . Rapuhnya Indonesia akibat tak diikat kesamaan alamiah (suku, ras, bahasa, adat budaya, maupun religiusitas), melainkan hanya diikat adanya musuh bersama (Sindhunata, dalam DPD-RI: 2015). Artinya, meski sistem teknologi dan organisasi kemasyarakatannya sama, tapi persatuan Indonesia didasarkan pada kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah. Bangsa Indonesia dalam banyak hal punyai satu musuh yang sama. Maka lazim saja ketika musuh telah hengkang, NKRI mengalami gejolak internal. Lebih-lebih kedaulatan dan kemerdekaan diperoleh dari kemurahan hati pihak internasional (van Dijk, 1983). Sebagai evidensi empiris, ambil sampel DI/TII misalnya. Sejarah Aceh menorehkan sejak kesultanan hingga penjajahan Jepang, Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada kolonial (Machmud, 1988). Sehingga mereka menyebut gerakannya sebagai jihad, sementara RI menyebutnya pemberontakan. Bila dicermati konteks perjuangannya, apa yang melandasi aksi berada dalam taraf keagamaan komunal. Sebab bergabungnya Aceh didukung berbagai kalangan seperti ulama, pedagang, intelektual, dan unsur lainnya. Tapi meski radikalisme seolah teratasi, bukan berarti masyarakat boleh adem ayem. Jangan lupa, menurut John L. Esposito (1992) ada tiga kecenderungan gejala radikalisasi. Pertama, radikalisasi ialah respons atas kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan. Masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisasi 42 Ada dua faktor penyebab berdirinya GAM. Pertama ialah ideologi peninggalan DI/TII. Kedua adalah ketidakadilan pemerintahan orde baru di bidang ekonomi. 144 | Miftakhuddin tidak berhenti pada penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kuatnya keyakinan radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. C. Pluralitas Masyarakat Berbeda dengan multikulturalisme yang terfokus pada interaksi kultural, pluralisme hanya terfokus pada entitas perbedaan (Syaifuddin, 2006). Ada sedikitnya tiga sebab mengapa keanekaragaman budaya itu ada. Pertama, pembangunan imperium (contoh: imperium Romawi). Kedua, proses kolonisasi. Pluralistik dengan sebab ini cukup rumit, sebab kerap terjadi akulturasi dan asimilasi (contoh: Amerika, Australia dan Kanada). Ketiga, pemersatuan atas dasar kesamaan cita-cita, latar belakang historis, dan kedekatan budaya/rumpun (contoh: Indonesia, India, dan Thailand). Indonesia saja, berdasar sensus tahun 2000, ada 101 suku bangsa dengan total penduduk 201.092.238 jiwa (Suryadinata, 2003). Ini membuat Indonesia mempunyai banyak perspektif, tapi juga rentan perpecahan. Sejauh pluralitas dapat dipahami dan dimaklumi, agaknya tak jadi soal. Tapi beberapa peristiwa amuk massa adalah bukti kalau pluralitas dimaknai lain, seperti; kerusuhan Timor-Timur 1985, Lampung 1989, Rengasdengklok 1997, Makassar 1997, Ambon 1998, Sampit 2001, dan kerusuhan daerah lainnya. Lebih dari itu, bagi Sudiadi (2009) pemahaman agama -lah yang lebih dekat dengan semua ini. Tumbuhnya ormas yang bertindak atas kepentingannya adalah indikator intoleransi. Apalagi, adanya materi dakwah dengan dalih konsolidasi umat, yang memacu konflik. Agama hanya pemicu yang sebelumnya didahului masalah tertentu. Mulai persoalan kecil perebutan lahan parkir hingga masalah politik. Tampaknya, agama memang “kambing hitam” atas berbagai persoalan. Berbeda dengan Sudiadi, Zastrow (2000) menganggap konflik SARA muncul atas prasangka kalau kehadiran golongan lain mengancam tatanan yang ajeg. Akhirnya, berkembanglah etnosentrisme, Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 145 yang berujung pada stereotipe atau stigma negatif tentang tipe masyarakat tertentu. Misal, orang Batak itu kasar, orang Jawa itu polos, orang Sunda itu lelet, orang Madura itu temperamental, dan tudingan subjektif lainnya. Naasnya, prasangka sosial (prejudice) alamiah ini lestari antar generasi. Bahkan pada taraf tertentu, menjalar ke sikap saling curiga dan saling benci sebagaimana kerusuhan di Kupang, Jakarta, Poso, dan Bekasi. Tapi dengan pembangunan nasionalisme berbasis multikultur dan multietnis yang benar, semua prasangka dapat bermuara dengan sikap saling hormat. Ada dua cara paling menonjol sejauh pembangunan masyarakat multietnis, yakni kegiatan bersama dan pendidikan multikultural sebagai sarana internalisasi nilai-nilai pluralisme. Sayangnya pendidikan nasional kurang memuaskan (jika tak boleh dibilang gagal). Janganjangan benar kata Watson (2000), pendidikan multikultural bersifat memecah-belah, karena pengakuan tiap kultur melahirkan bentukbentuk yang khas. Maka ada Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education) sebagai alternatif, yang didasarkan pada kekhasan agama, sosial-budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat (Soedijarto, 2000). Namun begitu, meninjau visi Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) yang menempatkan budaya lokal sebagai objek kajian dan menargetkan mendapat output sesuai kebutuhan masyarakat, agaknya PMB justeru mengkhawatirkan. Sebab akan mempertajam batas-batas kemajemukan. Sudah barang tentu pendidikan yang berjalan di atas karakter budaya bakal meninggikan ego kedaerahan masing-masing, dan mengerucut pada primordialisme dan etnosentrisme. Kecuali, jika PBM orientasinya ditujukan pada solusi pemecahan krisis sosio-antropologis. Seiring gagalnya nasionalisasi yang dikritik akibat memaksakan unitas (uniform) ketimbang keragaman (diversity), kesadaran ini mulai berkembang. Kemajemukan dalam kemasan Bhineka Tunggal Ika kerap dimanipulasi untuk kepentingan politik. Terlebih di orde baru, yang menempatkan nasionalitas sebagai alat penata rakyat. Masa itu adalah masa di mana tumbuh keyakinan kalau integrasi sosial hanya bisa dicapai kalau masyarakatnya homogen. Bagi orde baru, nasionalisasi adalah homogenisasi secara total. Diferensiasi tidak saja dihapus, tapi 146 | Miftakhuddin diperangi layaknya sebuah kesalahan melalui bahasa politik “asas tunggal”. Heterogenitas seakan dosa dan aib karena akan dilabeli “pemberontak” atau “subversif”, istilah yang hampir tak pernah muncul dewasa ini (Abdullah, 2006). Bahasa Indonesia, misalnya. Adalah benar memposisikan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa lewat alat komunikasi universal. Tapi bahasa daerah tak boleh dinafikan, apalagi dibiarkan mati perlahan. Karena di samping bahasa daerah mengandung nilai kesopanan, pemakaian bahasa Indonesia dapat menghilangkan mode ekspresi terdalam. Kebijakan bahasa nasional di satu sisi, dan penghapusan bahasa daerah di sisi lain ialah kekeliruan, karena melahirkan sistem sosial yang seragam dan mengingkari bahasa daerah yang hierarkis. Bahasa daerah karam akibat ketiadaan komitmen untuk memelihara pluralitas dalam bentuk-bentuk yang jelas (Abdullah, 2006). Tak menutup kemungkinan, bila nanti ada konflik di daerah, negara seolah menutupi realitas kemajemukan dengan mengatasnamakan “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional” (Hanum, 2005). Bagaimanapun juga konflik sosial boleh dikata akibat pengingkaran atas kemajemukan. Memang benar apa yang dikatakan para pakar sosiologi Barat; Bhineka Tunggal Ika masih menjadi cita-cita, belum merupakan suatu realitas. Barangkali Indonesia memang demikian adanya, pluralistik tanpa pluralisme: perbedaan hanya diakui tanpa dihormati. Padahal makna pluralisme, menurut (Hanum, 2005), lebih luas dari sekadar keberagaman. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompok masyarakat, bahkan punya implikasi politis, sosial dan ekonomi yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Sementara menurut Rahman (dalam Deniawati, 2014), Pluralisme membangun toleransi. Karenanya pluralisme bukan actual plurality yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan juga lawan fanatisme, melainkan pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engangement of diversity within the bonds of civility). Lantas, model multikulturalisme seperti apa yang cocok untuk Indonesia?. Sejauh pengamatan penulis mempelajari naskah publikasi, Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 147 tesis maupun jurnal ilmiah selalu menyatakan upaya mendudukan multikulturalisme belum usai. Fokus penulisan mereka tertuju pada tujuan ketimbang proses. Ada tendensi memprioritaskan urgensi, alasan dan rasionalitas pentingnya toleransi ketimbang mempersiapkan skema konkret. Namun sebelum itu, amat menarik menyimak tiga model pokok multikulturalisme menurut Syaifuddin (2006). Secara hipotetis ia menggolongkan multikultur di dunia ke dalam tiga model. Pertama, mengedepankan nasionalitas (nationality) tanpa memperhatikan keanekaragaman. Nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Model ini memandang tiap orang berhak dilindungi sebagai warga negara. Konsekuensinya, akar kebudayaan etnik penyusun negara diabaikan. Banyak orang akhirnya menilai model ini sebagai penghancur kebudayaan (etnis). Jelas, ini kekuasaan otoriter, sebab kuasa penentu unsur integrasi nasional berada di satu elite. Mereka menggunakan nasionalitas dan nasionalisme sebagai tameng. Contohnya Prancis. Di sana, aturan diberlakukan tanpa memperhatikan latar belakang etnik, sekaligus dilarang menampakkan identitas budaya atau agama ke tataran publik. Bahkan baru-baru ini, Prancis melarang penduduknya menggunakan jilbab. Kedua, nasionalitas-etnik, yang mendasarkan kesadaran kolektif etnis terkuat. Landasannya ialah blood line dengan para founders. Siapapun yang tak punya hubungan darah dengan etnis pendiri bangsa akan tersingkir dan dianggap asing. Contohnya Jerman (ras Arya). “Pemurnian” atau genosida dalam peristiwa holocaust adalah contoh ekstrem bekerjanya sistem ini. Ketiga, model multikultural-etnik, yang mengakui eksistensi dan hak etnis secara kolektif. Model ini menempatkan pluralitas sebagai realitas yang harus diakui. Model ini diterapkan negara dengan persoalan pribumi dan pendatang, seperti; Kanada, Australia dan Amerika. Isu akibat penerapan kebijakan ini tak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tapi juga isu mayoritas-minoritas dan dominan takdominan. Persoalannya makin rumit lagi karena rupanya mayoritas belum tentu dominan. Berbagai kasus menunjukkan minoritas justru dominan. 148 | Miftakhuddin Bilamana menentukan satu model untuk Indonesia, hendaknya didasarkan pada kondisi obyektif, seperti; geografis, diversitas etnis, agama, kesenjangan kelas sosial, proyeksi masa depan, dan arus besar (mainstream) politik dan ekonomi global. Model multikulturalisme harus menjadi bentuk sosio-kultural adaptif yang sesuai kompleksitas problem masyarakat. Model pertama jelas tak relevan, sebab sejak sebelum dikenal istilah multikulturalisme, Nusantara mengenal Bhinneka Tunggal Ika. Model kedua juga tak mungkin, sebab persoalan rasial sesungguhnya tak dominan. Kalaupun ras Cina sempat mengemuka di abad 20, itu lebih kepada urusan ekonomi-politik, bukan dalam pengertian nasionalitas-etnik Jerman. Lagi pula, beberapa kebijakan seperti asimilasi tahun 1960-an justeru menunjukkan negara ingin mendekatkan etnik Cina dengan pribumi. Seolah aklamasi, tampaknya model ketiga -lah yang paling pas. Sebab eksistensi segala etnis beserta haknya diakomodasi negara. Sesuai dengan rasionalitas pentingnya UU Otoda No. 22 tahun 1999 menurut Abdullah (2006); (i) model pembangunan telah bergeser ke desentralisasi, sehingga tiap daerah boleh berkompetisi dan membuka diri; (ii) ide multikulturalisme dan otoda merupakan redefinisi atas sentralisasi yang sebelumnya gagal; (iii) dalam hubungan vertikal, pemerintah menjadi fasilitator atas ekspresi kebudayaan, tanpa melihat asal etnis. Jika multikulturalisme di atas sukses, maka Indonesia bakal seperti Amerika, yang bahkan lebih majemuk. Pengalaman Amerika, sebagaimana Harahap (2006), semula warganya diintegrasikan dengan teori Melting-Pot dan teori Salad-Bowl, tapi keduanya gagal. MeltingPot menyatukan seluruh budaya dengan peleburan jadi satu (asimilasi), sedangkan Salad-Bowl mengakulturasinya. Setelah mengenal multikulturalisme, keduanya dikoreksi dengan; 1) membuka ruang publik untuk seluruh etnis guna mengekspresikan diri dalam tatanan budaya bersama, dan membuka ruang privat untuk tiap etnis mengekspresikan budayanya secara leluasa, 2) membangun kebanggaan sebagai satu bangsa dan satu negara, 3) menghargai hak-hak sipil, dan hak-hak kelompok minoritas. Harapannya, orang-orang terkondisi hidup secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur (Suparlan, 2005). Individu dilihat sebagai refleksi kesatuan sosial-budaya. Sehingga Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 149 masyarakat akan mensyaratkan united and unified diversities, tanpa memberi ruang uniformed diversities. Sebab tinjauan teoritis dan fenomena praktis menampakkan heterogenitas harus menyatu tanpa harus seragam. D. Ketergantungan Publik Ketergantungan bukan hanya karena krisis ekonomi, tapi kelimpahan materi yang tak merata membuat kapitalis dapat “bermain”. Sehingga terjadi ketergantungan yang tak seimbang dan menimbulkan kepatuhan dari kalangan bawah (Martin, 1995). Liberalisme, kemiskinan dan ketergantungan ialah fenomena yang pasti terjadi di semua negara berkembang, ditambah lagi pengaruh globalisasi dan hutang luar negeri yang membuat kran ketergantungan terbuka kian lebar (Sholeh, 2011). Adam Smith pernah mengingatkan, masalah ekonomi hanya terselesaikan dengan mekanisme pasar, di mana keseimbangan penawaran dan permintaan akan terwujud melalui pasar persaingan sempurna. Teori ini menilai peran pemerintah tak diperlukan, karena menyebabkan perekonomian mengalami distorsi dan inefisiensi. Tapi faktanya, individu dengan motifnya masing-masing lebih sering melakukan cara non produktif. Sehingga tiada pasar yang efisien selama keseimbangan pelaku pasar belum tercapai. Sebab liberalisme memunculkan persoalan baru, seperti; kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, disruption, disparitas pendapatan, dan ketergantungan. Praktis, persoalan ekonomi merembet ke persoalan struktur politik. Lingkup ASEAN, misalnya. Karena terdiri atas negara serumpun harusnya jenis kebutuhan tak jauh beda. Tapi Indonesia butuh impor plastik/barang plastik dan mesin/pesawat mekanik dari sesama Dunia Ketiga, seperti; Malaysia dan Thailand. Pola perdagangan semacam ini akan selalu ada, sekalipun Indonesia kaya. Apalagi, adanya warisan hutang tiap tahun. Nah, WTO, APEC, ASEAN Community, dan lainnya itulah yang kemudian menjadi ajang pencarian laba. Pemerintah dalam hal ini agaknya berada di posisi “maju kena mundur kena”. Utang luar negeri seolah dapat terlunasi dengan mengizinkan penambangan, perdagangan, dan hubungan kapitalis lainnya. Harapannya pajak perizinan akan mendatangkan 150 | Miftakhuddin manfaat bagi rakyat, meski mau tak mau, sembari “memberi makan” rakyat, negara harus pasrah. Nafis (2008) dalam tesisnya soal penerapan konsensus Washington untuk kebijakan ekonomi-politik Indonesia, menyatakan utang luar negeri adalah masalah ekonomi, sosial dan politik sekaligus, yang produk akhirnya berupa reproduksi kapital. Oleh sebab itu meski orang menuding negara tak becus mengatur rumah tangga sendiri, tak lantas membuat pemerintah menghentikan hubungan bilateral kecuali stabilitas ekonomi telah kondusif. Barangkali, inilah yang dimaksud Sholeh (2011) sebagai penyesuaian proteksionis, maupun langkah perubahan tata ekonomi dan tata sosial sebagai paradigma ekonomi baru. Berkaca pada negara maju, Jepang misalnya. Mengapa meski impor ia bisa menekan ketergantungannya? Jika karena Jepang terlajur maju dengan modal dan tenaga ahli, dan hipotesis itu dihadapkan teori ketergantungan (dependency theory), maka itu bisa diterima. Namun ada asumsi lain bahwa neoimperial menyedot surplus dari negara pinggiran (berkembang) ke negara pusat (maju). Akibat pengalihan ini, negara pinggiran kehilangan surplus pokok. Praktis, di satu tempat proses ini melahirkan pembangunan, dan di tempat lain melahirkan keterbelakangan. Kemiskinan dan keterbelakangan bukan faktor kultural dan struktural yang primitif, melainkan invasi negara maju ke negara berkembang. Negara Dunia Ketiga (pheriphery) hanya bisa lepas dari kondisi itu jika mampu secara selektif, dan terencana membangun hubungan dengan kapitalis (Amien, 2005). Lihat B.J Habibie sebelum diangkat wapres. Ia bekerja untuk Jerman karena ilmunya kurang terakomodir, atau mungkin “terlalu berharga” bagi Indonesia. Persepsi awam kadang menilai nasionalisme Habibie rendah, sedang lainnya menilai Habibie bernasib naas. Padahal, itu sesuai arus utama neoimperialis; menciptakan pembangunan di Jerman, dan keterbelakangan di Indonesia. Sebagaimana Indonesia, negara-negara Amerika Latin pun demikian; bergantung pada AS. Raul Prebisch yang melakukan riset sebagai tugas dari PBB menemukan penyebab kemiskinan dan ketergantungan ialah eksploitasi pihak asing akibat hubungan ekonomi yang tak adil. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 151 terjadi karena liberalisme memakai konsep pembagian kerja internasional dan keunggulan komparatif. Itulah mengapa, pasar bebas lebih menimbulkan keterbelakangan daripada kemakmuran. Ada sedikitnya dua kritik dari hasil riset Prebisch. Pertama, soal perdagangan internasional yang bebas. Kedua, soal hambatan industrialisasi negara terbelakang. Sebagaimana Budiman (1995); justru kesenjangan (gap) besar dua kelompok negara makin besar. Negara spesialisasi industri makin kaya, negara spesialisasi pertanian makin tertinggal. Neraca perdagangan keduanya selalu menguntungkan negaranegara yang mengkhususkan diri pada produksi barangbarang industri, hingga berdampak ketergantungan negara pertanian/berkembang terhadap negara industri/maju. Kelompok negara selatan yang subur terspesialisasi pertanian, sehingga tergolong berkembang. Sedangkan kelompok negara utara yang umumnya tidak subur terspesialisasi industri. Dia -lah yang dikategorikan negara maju (Ruslin, 2013). Adanya spesialisasi menjurus pada perdagangan global dengan asumsi perdagangan menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertanian membeli barang industri lebih murah (daripada memproduksi sendiri), dan negara industri membeli hasil-hasil pertanian secara murah (dibandingkan memproduksi sendiri). Celakanya, negara industri sering memproteksi produk pertanian yang mereka hasilkan, sehingga berdampak pada sulitnya negara pinggiran melakukan ekspor. Terlebih penemuan teknologi yang mampu mensintesis bahan mentah industri, membuat negara pusat memperoleh substitusi impor (Roxborough, 1979). Ambil contoh, relasi interdependensi minyak IndonesiaSingapura. Akibat keterbatasan teknologi dan keterampilan, Indonesia tak memproduksi minyak olahan sesuai kebutuhan konsumsi masyarakat. Maka Indonesia bergantung pada Singapura, sementara Singapura tak terlalu bergantung pada Indonesia. Terjadilah interdependensi asimetris. Padahal, Singapura tak punya lahan eksploitasi minyak, sebab ia berdiri di atas lahan gambut, tapi Singapura punya kilang minyak tercanggih dan terbesar. Bila dibanding Indonesia, kapasitasnya lebih besar untuk 4,7 juta penduduk Singapura, dengan 152 | Miftakhuddin kapasitas 1,3 juta barel per hari. Sementara Indonesia hanya 800.000 barel per hari untuk 240 juta penduduk (Perdana, 2015). Mengutip dari Detik Finance edisi Selasa 11 Februari 2014, Perdana menegaskan sepanjang 2013 Indonesia juga impor dari Malaysia senilai US$ 6,4 miliar, Kuwait senilai US$ 906 juta, dan negara lain seperti; Arab, Qatar, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Taiwan, China, bahkan Rusia. Saking tingginya ketergantungan itu, mantan Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo mengatakan Indonesia akan tumbang jika lima hari saja Malaysia dan Singapura tidak ekspor minyak. Berkat kilangnya, Singapura kaya dengan membeli bahan baku murah dan menjualnya dalam barang jadi dengan harga mahal. Jelaslah Singapura maju bukan dalam pertambangan, tapi dalam pengolahan. Kondisi faktual ini, otomatis mempertegas teori keunggulan komparatif para ekonom klasik. Bahwa setiap negara bersaing dengan keunggulannya masing-masing. Hanya saja dalam hubungan center dan perifer, terjadi defisit pada neraca pengekspor bahan mentah. Efek lanjutannya tentu gerak ekonominya melambat, bahkan terhenti. Inilah sebab tersusunnya struktur ketergantungan yang menghambat pertumbuhan ekonomi negara pinggiran. Di samping itu, mereka dipaksa menghasilkan komoditas primer untuk diekspor. Harga jualnya pun rendah karena yang diekspor adalah barang primer (mentah). Mengacu diagram Sholeh (2011), dapat disimpulkan pola relasi eksploitasi center terhadap perifer, yang digambarkan dalam skema berikut. Periferi Periferi Periferi Periferi Periferi CENTER Periferi Periferi Periferi Gambar: Pola relasi eksploitasi dan ketergantungan antara center dan perifer. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 153 Center adalah si empunya pengaruh ekonomi-politik, sedangkan Periferi43 adalah negara yang bergantung pada negara center. Keseluruhan prosesnya akan melahirkan struktur produksi yang pincang bagi negara terbelakang. Hubungan metropolis-satelit selalu dicirikan sifat monopolis-ekstraktif. Metropolis punya kontrol monopolistik atas hubungan ekonomi dan perdagangan di satelit, sehingga memungkinkan metropolis mengeruk surplus ekonomi dari satelit. Akibatnya, satelit tak memiliki kemampuan mengendalikan pertumbuhan ekonominya sendiri; bergantung metropolis (Rosser, dalam Nafis: 2008). Sejalan dengan argumentasi Andre G. Frank (dalam Deliarnov, 2005) yang menitikberatkan pemikirannya pada pola hubungan politik-ekonomi antara kapitalis dengan kelas-kelas elit di negara satelit. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi menguntungkan kapitalis asing dan borjuis lokal, tanpa pernah menetes ke bawah (trickle down effect). Oleh sebab itu, keberhasilan liberalisasi ditentukan berhasil/tidaknya koalisi kepentingan “mobile capitalist” memenangkan perebutan kekuasaan melawan koalisi kepentingan politik-birokrat anti-liberalis. Sekurang-kurangnya ada dua pokok pikiran andaikata hendak melihat kerugian negara berkembang. Pertama, tak punya kontrol atas pembangunan di negerinya. Kedua, secara materi, tak menerima manfaat dari hubungan ketergantungan (Sholeh, 2011). Di sinilah letak keuntungan komparatif yang didasarkan pada opportunity cost44. Sebagaimana Todaro (1985), Pembangunan yang didasarkan pada kemandirian diri sendiri melalui isolasi sebagian atau keseluruhan, dianggap pembangunan yang secara ekonomis kurang baik dibandingkan dengan pembangunan yang mengikutsertakan diri dalam perdagangan internasional yang bebas dan tidak terbatas. 43 Kadang kala disebut negara satelit. Menurut teori keunggulan komparatif, suatu bangsa sebaiknya mengimpor kalau “opportunity cost” dari barang impor itu (yaitu apa yang harus dikorbankan untuk mengimpor barang itu) lebih kecil ketimbang “opportunity cost” dari produk domestik (yaitu apa yang dikorbankan untuk memproduksi barang itu di dalam negeri). Prinsipnya adalah memperoleh barang yang diinginkan dengan pengorbanan sesedikit mungkin cost (Ruslin, 2013). 44 154 | Miftakhuddin Menurut teori di atas, membangun berarti meleburkan diri dalam kegiatan ekonomi, sebab tiap negara pasti saling tergantung. Namun begitu, perekonomian kapitalis jelas tak akan setuju, mengingat mekanisme kapitalis ialah pemusatan modal dan meminimkan pengeluaran demi pendapatan maksimum. Implikasinya, keterbelakangan yang meski perekonomiannya merangkak naik di kapitalisasi pasar bebas, membawa kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebih. Straihm melalui bukunya Kemiskinan di Dunia Ketiga (1999), menggambarkan 42% hutan tropis sebelum era kolonial rusak tanpa perbaikan. Di Afrika Barat dan Timur 72%, di Amerika Tengah dan Selatan 37%. Di Asia Selatan 63%, dan di Asia Tenggara 38%, disusul kebakaran hutan di Borneo dan konversi lahan. Sejalan dengan pandangan umum, Amien (2005) menawarkan cara menghapus kemiskinan dan keterbelakangan melalui pemutusan kontak relasional dengan negara maju. Proses pembangunan harus secara mandiri tanpa bantuan investasi asing. Inipun didukung Presbich bahwa negara terbelakang jika ingin maju harus melakukan industrialisasi, terutama terhadap barang substitusi impor dan harus pemerintah berupa pemberian subsidi (Sholeh, 2011). E. Konklusi Boleh dibilang tiap sub bab di atas ialah indikasi neokolonialisme. Mulai ideologi, wawasan kebangsaan yang keliru, kurang terakomodirnya pluralitas, hingga tingginya ketergantungan yang sulit diurai. Tidak heran jika solidaritas pun melemah. Jajak pendapat sebagaimana dimuat Kompas dan hasil survei UIN Syarif Hidayatullah telah membuktikan dengan data numerik. Jumlah yang selalu >50% menandakan kerendahan nasionalisme, dan tingginya primordialisme islamik. Padahal, Indonesia bukan negara islam, tapi hanya negara yang mayoritas penduduknya islam. Hanya karena hukum Indonesia adopsi Hindia Belanda, bukan berarti hukum islam dapat menggantinya begitu saja. Jangan lupa, penjajah menguasai Nusantara memakai devide et impera. Mereka menebar isu murahan dan janji bantuan. Bisa jadi akan terulang lagi, terlebih ketergantungan publik amat mengkhawatirkan, Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 155 dan eksistensi neokolonial telah nampak sejak politik etis tahun 1901, yang malah membuat kesejahteraan makin merosot (Mubyarto, 2006). Sementara kondisi terkini, begitu gencar kerja sama dengan korporasi asing di berbagai bidang, termasuk perbankkan, pertanian dan yang paling laris adalah migas. Padahal migas bagi sebagaian besar ekonom ialah persoalan terbesar; kelangkaan. Mengapa? migas ialah sumber energi dengan jumlah pengguna yang selalu meningkat, bahkan telah ada solusi efisiensi dan diversifikasi. Tapi migas di Indonesia aneh. Sebab Indonesia sebetulnya kelimpahan migas, hanya saja tata produksi dan distribusinya tak demokratis. Mengapa demikian? Dominasi kontrol migas di tangan korporasi asing, di antaranya; Chevron Pasific (AS), Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corp dan Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korsel), dan Chevron Company (Santosa, 2006). Maka kelangkaan bukanlah kelangkaan alamiah, melainkan kelangkaan struktural. Pada 2005 misalnya, ekspor minyak 157,5 juta barel, sedangkan impor minyak sebesar 126,2 juta barel. Penerimaan negara atas kenaikan harga minyak dunia dan 85% laba operasional kiranya tidaklah sebesar yang dinikmati korporasi migas ekstern, yang juga telah mendapat cost recovery dari pemerintah. Karenanya, eksploitasi migas di Indonesia tidak berimplikasi pada perbaikan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi (Santosa, 2006). Seandainya harus dinyatakan seberapa dekat dan seberapa besar daya tolak Indonesia dengan neokolonialis, maka jawabannya Indonesia telah melebur. Di atas adalah contoh persolan, di luar itu masih ada penambangan pasir besi Kulon Progo, dan neokolonial perbankkan pasca krisis 1997/1998. Bahkan neokolonialisme merambah bidang kehutanan melalui PP No. 2 tahun 2008, dan bidang pertanian melalui liberalisasi. Santosa (2006) juga membuktikan adanya neokolonialis dengan; 1) Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang mengatur redistribusi tanah, dan UU Perjanjian Bagi Hasil (1964) yang mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian kolonial, justru kehilangan vitalitasnya, terlebih di Orde Baru, yang menganut developmentalisme. 2) Revolusi Hijau yang ditandai penggunaan bibit baru dan teknologi -biologis dan kimiawi- pemberantasan hama memang 156 | Miftakhuddin memicu swasembada beras tahun 1984. Namun revolusi hijau menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tapi pendapatan turun akibat mahalnya input pertanian. Term of trade petani pun turun dan distribusi pendapatan makin timpang. 3) Liberalisasi pertanian oleh IMF dan WTO, ditandai bebas masuknya produk pertanian beras, gula, jagung, dan buah yang memberatkan petani. Liberalisasi ini menguntungkan korporat besar penguasa input pertanian (benih, pupuk, dan obat-obatan). Rupanya, ungkapan Soekarno soal neokolim masih relevan setelah lebih dari 50 tahun. Sebagaimana ditegaskan Mubyarto (2006), Soekarno tahun 1955 berapi-api mengatakan colonialism has also its modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and) actual physical control by a small but alien community within a nation. Mubyarto juga mempertanyakan jika kita sadar kolonialisme belum mati, berapa banyak di antara kita yang berani mengakui kenapa kita membiarkan proses “rekolonisasi”? Apa sebab kaum cendekiawan banyak tak menyadari bahaya penjajahan intelektual ini? Presiden sekarang tak mungkin bicara lantang seperti Bung Karno, sebab Indonesia telah di cengkeramkekuasaan global (global empire) berbentuk “corporatocracy”, yang menjadi sumber utang. Ia meyakini, satu-satunya sikap yang harus dikembangkan adalah rasa percaya diri. Jika Francis Fukuyama menggaungkan pentingnya kepercayaan (trust) bagi perkembangan taraf kehidupan yang dinamis, Indonesia harus saling percaya sebagai bangsa, bukan malah percaya pada negara adikuasa. Ego kedaerahan harus dipinggirkan demi membela kepentingan nasional. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 157 A. Landasan Pemikiran Suatu tempat dinyatakan Barat atau Timur bukan dari mata angin, tapi perannya dalam interaksi global. Sebutan “Barat” disandang penjajah/kolonis, sedangkan “Timur” disandang si terjajah. Konsep Timur dan Barat sejatinya kabur, dan pada akhirnya mengandung konsep geo-kultural dan geo-politik sebagai dampak kolonialisme. Barat dan Timur hanya berada dalam imaginative geography, dimana Timur selalu diasumsikan terpesona kemajuan Barat dan pengadopsi budaya Barat, yang oleh Timur lazim disebut modernitas. Bagi dunia Timur, modernitas adalah fenomena riil yang tak dapat ditolak, sebab terbiasa dengan kehidupan mistis dan spiritual. Sedangkan Barat adalah representasi peradaban, pusat kekuatan dan penentu modernitas yang mengambil posisi tertinggi sampai ke taraf hegemoni. Bilamana diamati riwayatnya, ini terjadi lantaran persepsi utama kehidupan Timur memprioritaskan hubungan dengan Pencipta. Kondisi ini membuat Barat memposisikan diri berbeda dengan Timur. Timur yang tradisional memudahkan Barat mendominasi. Baru pada perkembangan sesudahnya, muncul gerakan pemikiran sebagai respon atas ketidakadilan di masa lalu (walaupun ketidakadilan itu bersifat ambivalen). Salah satu pemikiran itu adalah teori postkolonialisme, yang dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti real hasil kolonialisme, baik fisik, politik maupun kultur. Mendefinisikan postkolonialsime sama susahnya dengan mendefinisikan postmodernisme dan poststrukturalisme. Ketiganya menempatkan humaniora sebagai objek kajian yang sama luas dan presisi. Namun tetap ada pembedanya. Postkolonialisme berasal dari post+kolonial+isme, yang berarti paham yang berkembang setelah kolonial. Secara lebih luas, Ratna (2008) menyebutnya sebagai teori kritis yang mengungkap akibat-akibat kolonialisme. Prefiks “post” tidak sekadar bermakna “sesudah”. Sesuai pendapat Keith Foulcher dan Tony 158 | Miftakhuddin Day, postkolonial merujuk pada kehidupan masyarakat pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Wijanarko (2008) pun dengan bersandar pada professor teologi di Universitas Drew, C. Keller, menyatakan istilah post yang dimaknai sebagai sesudah adalah keliru, sebab maknanya melampaui. Menurutnya, banyak orang jatuh pada pengertian yang salah saat mengasosiasikan terminus “post” dengan berakhirnya kolonial. Keller menegaskan, ‘Post’ in this discourse never means simply ‘after’ but also ‘beyond’- as an ethical intention and direction. Pascakolonialisme ialah pandangan atas peristiwa yang hadir sesudah periodisasi kolonial. Tapi postkolonialisme ialah teori yang tidak semua orang setuju, lebih-lebih mengerti tentang postkolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” (Nurhadi, dkk., 2011). Ini berarti studi postkolonial hadir sebagai respons dari fenomena pasca kolonial representatif. Maka sasaran postkolonialisme adalah kondisi daerah yang pernah terkolonisasi maupun masyarakat yang dibayangi pengalaman kolonialisme. Maka kritik postkolonialisme adalah strategi mengkaji konfrontasi dalam proses kolonialisme lalu memproyeksikannya pada kehidupan masyarakat pasca koloniali. Makannya, postkolonialisme menitikberatkan perhatiannya untuk menganalisis apa-apa saja yang terjadi pada era kolonial, bagaimana dampaknya, dan membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan juga berbentuk psikis-kultural. Melalui kesadaran itu lalu muncul kesadaran lain bahwa masih banyak yang perlu dilakukan, seperti; memerangi neoimperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lain. Baik material maupun spiritual, baik dari bangsa asing maupun bangsa sendiri (Hidayati, 2008). Adapun tema-tema yang dikaji amat kompleks meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan. Ratna (2004) mengurainya satu persatu, menjadi; politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, sastra sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan, seperti: perbudakan, transmigrasi, pemaksaan bahasa, dan berbagai invansi kultural lain. Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang menindas kaum marjinal, yang melahirkan rasisme, yang membuat hubungan kekuasaan tak seimbang, yang menimbulkan budaya Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 159 subaltern, hibriditas dan kreofisasi. Aksinya bukan dengan propaganda maupun kekerasan fisik, tapi dialektika gagasan atau kesadaran. Di sinilah peran postkolonial sebagai perangkat kritik, yang secara jernih mengawasi bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi digerakkan untuk kepentingan kelas dominan. Postkolonial akan membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran subtil (Kusmarni, 2010) Jangan dilupakan, konstruksi Barat terhadap identitas kultural Timur tak lepas dari kepentingan, ideologi dan etnosentrisme Barat. Makanya fokus postkolonial adalah ketikadilan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan hegemoni, kolonialisme serta narsisme dan kekerasan epistemologi Barat sejak awal abad modern. Di lain perkataan, kajian poskolonial menawarkan pemahaman kritis dan upaya mengungkap berbagai dimensi ideologis, hegemonis dan imprealis yang terdapat dalam ilmu sosial-budaya. Lazuardi (dalam Fahmy, 2007) menambahkan, postkolonial berusaha membangkitkan kesadaran kalau dalam narasi oriental tersembunyi wacana ideologis yang secara kontinyu memisahkan Barat dan Timur. Perlu diketahui pula, dulu penjajah menunjukkan superioritasnya dengan penundukan pribumi. Namun tanpa disengaja, penjajahan Belanda misalnya, malah membuat pribumi meniru identitas dan karakter penjajah menjadi superior dan sadar untuk membela kepentingannya. Inilah yang disebut mimikri (akan diperdalam nanti). Sekurang-kurangnya, teori postkolonial punya tiga karakter pokok, yaitu; power and knowledge, identitas, dan perlawanan. Power dan knowledge, artinya bagaimana Barat memiliki aset berupa power dan knowledge yang lebih mapan, sehingga membuatnya cenderung melakukan invansi dan ekspansi ke negara yang dianggap tak punya keunggulan. Di dalam konteks ini, hasil riset Widyaresmi (2012) memperlihatkan pengetahuan dan kekuasaan memang tak terpisah. Siapa berpengetahuan dia berkuasa, dan penguasa menciptakan kebenaran atas sebuah pengetahuan. “Kami” dan “mereka” adalah sebuah kata yang diwacanakan sang penguasa. Bahasa tidak lagi untuk komunikasi, tapi untuk menghegemoni. 160 | Miftakhuddin Kedua adalah identitas. Pendekatan postkolonialisme berpusat pada kategorisasi yang menunjukkan Barat dan Timur, Utara dan Selatan, kulit hitam dan kulit putih, serta penjajah (colonizer) dan terjajah (colonized ). Adapun perlawanan (resistance), adalah upaya memperjuangkan kesetaraan dari pihak terjajah. Postkolonialisme lalu mendekonstruksi wacana yang terstruktur oleh Barat, termasuk pemetaan politik dan kekuasaan. Boleh dikatakan, teori postkolonial ialah pisau analisis penggugat nekolim yang melahirkan kehidupan rasisme, ketimpangan politik, dan subalternitas (Angkasa, 2015). Sebagaimana Rohman (2009), postkolonialisme menjadi strategi politis-teoritis untuk membongkar hegemoni Barat. Ia berusaha menyingkap hubungan antara persoalan yang ada saat ini dengan pengalaman kolonialnya. Ini sebenarnya telah dimulai sejak Edward Said, menerbitkan bukunya Orientalism (1978) yang berisi perspektif Barat terhadap Timur. Nurhadi, dkk (2011) menambahkan, ada juga buku Said yang lain seperti; Covering Islam (1981) dan Culture and Imperialism (1993) yang merupakan sekuel dari Orientalisme. Ada juga The Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin yang sering dirujuk dalam pembahasan teori poskolonial. Ringkasnya, postkolonialisme lahir sebagai respons golongan pembela kaum marjinal atas upaya rekonstruksi hegemoni Barat melalui propaganda dan karya sastra. Sebab di bekas jajahan, kolonialisme dan imperialisme menyisakan persoalan tidak hanya material dan moral, tapi degradasi mentalitas dan persoalan sosial-budaya lainnya. Widyaresmi (2012), dalam tugas akhirnya di Ilmu Filsafat UI, memberi gambaran operasional soal mentalitas terjajah. Bahwa kebiasaan duduk di deretan bangku belakang adalah kebiasaan masa penjajahan Belanda. Di mana saat itu, penduduk pribumi (inlander), digolongkan kelas ketiga setelah Belanda dan pendatang Asia. Sebagai kasta terendah, pada setiap pertemuan ada aturan tak tertulis, pribumi harus duduk paling belakang karena dianggap bukan tamu penting dan tak punya kepentingan suara. Inlander adalah sebutan yang diberikan Belanda. Mental inlander ini ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa. Memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 161 Mereka memang dicetak untuk tak mampu membaca potensi diri dan selalu hidup dalam cangkang pesimistis, bahkan berpikir menyerahkan pengelolaan kekayaannya kepada pihak lain, karena menilai dirinya tak cukup mampu mengaturnya. Mentalitas inlander itulah yang menurut Said membuat kolonialisme dan imperialisme bertahan ratusan tahun (Widyaresmi, 2012). Mentalitas inlander sengaja dibangun dan dipertahankan melalui hegemoni, sehingga yang terjajah merasa pantas untuk dijajah di era neokolonialisme dan neoliberalisme. Kendati demikian, buku Orientalisme Said -yang dianggap titik tolak dan referensi baku poskolonialisme- justru tak membahas efek kolonial masa lalu, tapi lebih memberi perhatian pada pembuatan makna-makna tekstual dan diskursif tentang kolonial, dan pada konsolidasi hegemoni. Seperti diungkap Said di sana, ada sejumlah karya sastra Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi kolonialisme Barat atas “kebiadaban” Timur (Nurhadi, dkk., 2011). Bagi Said, penjajahan itu alamiah, bahkan semacam tugas Barat untuk memberadabkan Timur. Sedangkan orientalisme ditempatkan dalam tiga penggunaan berbeda; 1) sebagai mode berpikir yang merujuk pada periode hubungan budaya dan politik di Eropa dan Asia, atau membedakan antara Timur dan Barat, 2) sebagai studi akademik tentang bahasa dan budaya oriental sejak abad 19, dan 3) pandangan stereotip dari kaum Oriental, yang dikembangkan beberapa generasi penulis Barat, serta pandangan-pandangan prejudis (prasangka) mereka tentang oriental. Sebagaimana Said, yang dikutip Widyaresmi (2012), ada empat jenis relasi kekuasaan dalam wacana orientalisme, yakni; kekuasaan politis (kolonialis dan imperialis), kekuasaan intelektual (mendidik Timur dengan sains, linguistik dan lainnya), kekuasaan kultural (kolonisasi selera, teks, dan nilai-nilai), dan kekuasaan moral (apa yang baik dan buruk untuk dilakukan Timur). Tapi pandangan teori Barat tidaklah netral, melainkan didesain dengan rekayasa sosial-budaya. Melalui karyanya, Said membongkar epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan kepentingan dan kuasa yang terkandung dalam berbagai teori kaum kolonialis dan orientalis. 162 | Miftakhuddin Secara sederhana, perselisihan antara Barat dan Timur dapat dicermati melalui penjelasan berikut; kajian postkolonial cenderung memakai argumentasi yang terposisi pada dua kutub, atau bisa juga disebut sebagai oposisi biner. Oposisi biner adalah sistem berpikir yang membagi dunia ke dua kategori berbeda secara diametral. Sesuatu dimasukkan kategori X karena ia bukan kategori B. Sesuatu dikatakan benar kalau ia tidak salah. Seperti dikemukakan Lubis (dalam Kusmarni, 2010), bagi pemikiran oposisi biner, seseorang hanya dihadapkan pada salah satu pilihan “ini” atau “itu” sebagai salah satu yang dinyatakan benar. Misal; Timur dan Barat, diri sendiri (self) dan orang lain (the other), subyektivitas dan obyektivitas, masa kini versus masa lalu, subyek dan obyek, dan seterusnya. Model berpikir oposisi biner menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, dan subyek, dan seterusnya dianggap memiliki posisi unggul ketimbang dengan kedudukan Timur, terjajah, orang lain, obyek, dan seterusnya. Sementara itu, hubungan penjajah-terjajah/atau bekas jajahan adalah hubungan hegemonis. Penjajah sebagai kelompok superior atas pihak terjajah yang inferior, dan dari hubungan ini kemudian muncullah apa yang disebut dominasi dan subordinasi. Kemudian dari pola hubungan seperti ini muncul lagi gambarangambaran tak mengenakkan tentang pihak terjajah sebagai kelompok masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis, tidak rasional dan lain sebagainya. Nah, saat penggiat postkolonial berusaha mendekonstruksi (membongkar) pandangan oposisi biner itu, Edward Said adalah tokoh yang paling menonjol dalam menolak skema oposisi biner tersebut. Ia ingin membubarkan sikap konservatif pada doktrin awal. Menurutnya, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum orientalis) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi sosial-budaya tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka, yang didorong motif-motif kekuasaan yang buas. Karena itu, pandangan dan teori yang dihasilkannya tidak sekadar kajian akademis yang netral dan obyektif, melainkan dimotifi hasrat politik prasangka atau rekayasa sosial-budaya. Bahkan lebih dari itu, soal kesenjangan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 163 antara superioritas Barat dengan inferioritas Timur ini, Yunita (2012) sempat mengutip dari Said: Orientalisme telah menempatkan Barat lebih tinggi daripada timur; barat adalah pembawa peradaban dan ilmu pengetahuan; Barat lebih unggul dari Timur; kekurangan Timur: bejad, irasional, kekanak-kanakan, “berbeda”, dipertentangkan dengan kelebihan Barat: berbudi luhur, rasional, dewasa, normal. Sejak saat itu, postkolonialisme terus menggugat dan memprotes segala bentuk kolonialisme dan warisan-warisannya, termasuk penguatan hegemoni Barat. Postkolonialisme menjadi kekuatan antikolonial, anti-imperial dan semua metamorfosanya; neokolonialisme dan neoimperialisme. Rohman (2009) menegaskan, dengan bantuan bidang kajian lain, kajian postkolonial semakin kuat dan subversif terhadap kekuasaan imperiali. Kajian itu menyebar, baik di Eropa dan luar Eropa, dengan satu misi; melawan hegemoni-dominasi imperialisme. Sayangnya, kajian postkolonialisme hanya terkotak dalam lingkup karya sastra, seperti; karya Gandhi berjudul Teori Poskolonial tahun 2001, karya Loomba berjudul Kolonialsime dan Pascakolonialisme tahun 2003, Aschroft dkk., berjudul Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial tahun 2003. Adapun para penulis Indonesia adalah Faruk dengan judul Belenggu PascaKolonial tahun 2007 dan Muhidin M. Dahlan (penyunting) dengan judul Postkolonial Sikap Kita terhadap Imperialisme tahun 2001 (Nurhadi dkk., 2011). Namun begitu, seolah menandingi Orientalisme, muncullah Oksidentalisme. Oksidentalisme juga hadir sebagai respon dari realitas historis atas superioritas Barat melalui pandangannya atas Timur; Orientalisme. Posisi subjek dan objek dalam Oksidentalisme menjadi terbalik; Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian. Pengertian Oksidentalisme secara umum adalah kajian kebaratan yang secara komprehensif meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat oleh masyarakat Timur. Oksidentalisme sebagai sikap dan cara pandang merupakan pilihan untuk membuka pemahaman yang 164 | Miftakhuddin objektif terhadap permasalahan dalam hubungan historis Barat dan Timur. Istilah itu dipopulerkan Hasan Hanafi, tapi ada oksidentalisoksidentalis Barat seperti Nietzsche, Scheller, Husserl, Bergson, Hazard dan lain-lain yang mengkritik Barat dengan istilahnya masing-masing. Hanafi beranggapan, kritik Barat atas Barat sendiri dibutuhkan sebagai sarana mengkritik dan melihat krisis yang dialami Barat. Sehingga Hanafi menggagas Oksidentalisme untuk melihat Barat dari perspektif non-Barat, yakni Timur. Secara objektif dari pihak Timur sendiri, gagasan oksidentalisme muncul akibat adanya ketidakseimbangan antara Barat dan Timur yang didorong motif-motif kekuasaan Barat, sehingga melahirkan gerakan pemikir dunia Timur yang menginginkan kedekatan relasional yang seimbang antara Barat dan Timur. Oleh sebab itu, oksidentalisme hadir untuk menjadikan menjadikan Barat sebagai the other yang diselidiki ego Timur. B. Tokoh-Tokoh Post-Kolonial Bilamana dikaitkan teori postrukturalisme lain, studi postkolonial tergolong relatif baru, sehingga banyak tanggapan muncul tentang teori ini. Makannya cukup sulit menentukan secara pasti kapan sebenarnya teori ini lahir. Di dunia Anglo-Amerika postkolonialisme dirintis Edward Said. Pertama kali dikemukakan tahun 1978 melalui bukunya berjudul Orientalism (Hidayati, 2008). Sebagimana telah disinggung sebelumnya, dalam perspektif postkolonialisme Said tidak sendiri, di belakangnya ada ilmuwan lain yang menyumbangkan pemikirannya, seperti; Homi K. Bhabha, Gayatri C. Spivak dan Frantz Fanon dengan masing-masing gagasan khasnya. Said dengan orentalisme, Spivak dengan subalternitas, dan Bhabha dengan hibriditas, mimikri dan ambivalensi. Edward Said adalah seorang Arab-Palestin kelahiran Jerussalem (saat itu masih dikuasai Britania) pada 1935. Sebagai anak dari saudagar Arab ia pernah bersekolah di Victoria College di Kairo yang kala itu merupakan sekolah elit di Timur Tengah. Ia kemudian pindah ke Massachusets pada usia 15 tahun dan menjadi warga Amerika pada usia 18 tahun. Ia belajar sastra, musik dan filsafat di Princeton selama satu Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 165 tahun dan memperoleh gelar doktor dalam sastra Inggris dari Universitas Harvard setelah lima tahun belajar. Ia lalu mengajar Bahasa Inggris di Universitas Columbia 30 tahun, dan sejak 1967 ia berkarir sebagai profesor Bahasa Inggris dan Sastra Perbandingan di universitas yang sama. Selain itu, Said juga menjadi dosen tamu di Universitas Harvard dan peneliti di Center for Advanced Study khusus Behaviorial Sciences di Universitas Stanford. Gambar: Edward Said Sumber: wikimedia.org Di Barat (Amerika), ia hidup tertekan karena rasialisme. Harihari dalam perjalanan hidup dan intelektualitasnya selalu diwarnai berbagai sikap hipokrit lingkungannya. Rasa permusuhan yang disebarkan lewat media, pembunuhan karakter atas nama agama dan ras, kejahatan intelektual Barat maupun intelektual Timur (Arab) yang bersembunyi di balik objektivitas ilmu adalah kenyataan yang kerap memaksa Said bersikap resisten. Perang yang melanda dunia Arab tahun 1947-1948, yang juga berdampak pada tergusurnya keluarga Said dari Palestina ke Yordania dan Lebanon, mengubah sikap Said dari intelektual kampus menjadi intelektual organis, yang kemudian membawa Said pada kegiatan advokasi dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam membela kepentingan Palestina dan dunia Arab umumnya. Selama periode 1977-1991 Said menjadi anggota Dewan Nasional Palestina, yaitu parlemen pengasingan Palestina yang beranggota 400 orang dari seluruh dunia. Dewan inilah yang menjadi 166 | Miftakhuddin payung PLO, suatu organisasi pembebasan Palestina. Namun karena lobi internasional lemah, tahun 1980 Said mengkampanyekan hak bangsa Palestina melalui sejumlah jurnal, surat kabar, radio dan televisi. Ia menulis tentang self-determination atau hak-hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina (Dahlan, dalam Kusmarni: 2010). Said menggunakan “media massa” dan “penjajah” sebagai landasan faktual dan historis dalam objek studinya. Oleh sebab itulah dalam membaca karyanya -termasuk orientalisme-, pembaca dituntut memilih berpihak kepada apa yang diperjuangkannya atau tidak membaca sama sekali (Kusmarni, 2010). Partha Chatterjee, sejarawan postkolonial India (dalam Gandhi, 2001) mengemukakan: “Saya akan selalu ingat pada hari saya membaca Orientalisme… Bagi saya, arah dari satu perjuangan antikolonial yang berhasil. Orientalisme mengisahkan tentang hal-hal yang saya rasa sudah tahu semua sebelumnya, tetapi tidak dapat menemukan kata-kata untuk merumuskannya dengan tepat. Seperti buku-buku hebat lainnya, buku ini kelihatannya mengatakan padaku untuk pertama kalinya tentang apa yang orang selalu ingin katakan.” Sebagaimana diketahui, senjata andalan Said dalam kritik postkolonial adalah bukunya berjudul Orientalism: Western Conception of the Orient (1978) dan dua sekuel atau perluasannya. Melalui itu, ia melancarkan kritik pedas terhadap pandangan, konsep dan konstruksi Barat terhadap Timur. Akhirnya pemikiran baru ini langsung berdampak besar bagi kerangka analisis kolonialisme dan pemikiran kolonial. Nah, bidang penelitian yang baru dirintis Said dalam lingkungan akademis inilah yang kemudian dikenal sebagai teori postkolonial (postcolonial theory). Tentu, teori ini sedikit banyak ditunjang representasi berbagai media dari kalangan luar lingkungan Said, yang menggambarkan betapa tidak nyamannya menjadi golongan terjajah. Seperti pernah diungkapkan Leela Gandhi (2001) dalam bukunya berjudul Teori Poskolonial, gambaran tidak menyenangkan dari pihak terjajah Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 167 menimbulkan upaya-upaya kritik terhadap representasi itu. Kesadaran akan hadirnya imperialisme di dalam cara berpikir, menimbulkan upaya untuk memulihkan cara berpikir itu ke jalan yang benar. Upaya ini lah yang di kemudian hari bermuara pada kajian postkolonialisme. Buku Orientalisme karya Said mengeksplorasi relasi historis yang tidak seimbang antara dunia Islam/Timur dengan imperialisme Eropa di satu sisi, dan di sisi lain Islam/Timur dengan Amerika. Sebagai pionir atau starter dalam bidang ilmu ini, Orientalisme sukses melahirkan kegelisahan dan kekhawatiran sekaligus pencerahan dalam berbagai disiplin ilmiah seperti cultural studies, kajian wilayah dan secara khusus melahirkan kajian ilmiah yang di lingkungan akademis yang dikenal dengan analisis diskursus kolonial (Lubis, 2006). Gagasan Said sangat luas hingga membahas tentang berbagai konteks lokal budaya, sampai-sampai sering disebut dengan “traveling theory”. Pemikirannya bahkan diakui membawa pengaruh luar biasa bagi analisis kolonialisme dan pemikiran kolonial. Bagaimanapun juga ia merintis lapangan penelitian baru di lingkungan akademis. Menurut Gandhi, orientalisme secara umum dianggap sebagai katalisator dan titik referensi bagi postkolonialisme sekaligus mewakili tahap pertama teori postkolonial. Sedangkan menurut Said sendiri, orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur. Ia juga memberikan petunjuk bahwa untuk mengidentifikasi orientalisme, akan lebih baik bila menggunakan ide diskursus dari filsuf Prancis, Michel Foucault, dalam The Archeology of Knowledge dan Discipline and Punish (Kusmarni, 2010). Masih menurut Kusmarni (2010), Said sebagai tokoh utama postkolonial dianggap berhasil membongkar dimensi ideologis, kepentingan dan kuasa dalam teori bahasa, sosial-budaya dan agama (teks budaya) yang dihasilkan oleh intelektual Barat yang imperialis. Said dalam orientalisme menunjukkan bagaimana politik dan kebudayaan saling bekerja sama melahirkan satu sistem dominasi yang bukan hanya melibatkan kekuatan militer dan serdadu, tetapi juga imajinasi sang penguasa dan yang dikuasai. Melalui orientalisme pula ia berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis. 168 | Miftakhuddin Argumentasi Said adalah kekuasaan imprealisme Barat selalu menghadapi perlawanan. Sejalan dengan itu, Utami (2012) juga mengakui bahwa pemikiran kritis Said soal teori postkolonial telah membuka cakrawala pemikiran yang amat luas, sehingga membawa implikasi pada perlawanan atas wacana-wacana yang dikembangkan Barat. Sebab dengan adanya wacana postkolonial, muncul suatu kesadaran yang dipicu berlangsungnya kolonialisme pada ranah tertentu, khususnya ranah ideologi. Sebab meski penaklukan fisik telah usang, tapi penjajahan pikiran, jiwa dan budaya masih cukup trendy (neokolonialisme). Penjajahan pikiran (colonizing mind) merupakan senjata utama kalangan bekas penjajah (Barat) untuk membuat bangsa terjajah tetap tunduk dalam kekuasaan, yang menjelma dalam bentuk lain. Said meneliti juga adanya saling ketergantungan antara wilayahwilayah kultural (budaya) di mana kaum terjajah dan kaum penjajah hidup bersama, karena budaya Timur maupun Barat sesungguhnya bukan budaya yang ada begitu saja. Keduanya hasil perjuangan dan konstruksi manusia. Ia membuktikan teks budaya tidak pernah otonom, tetapi sarat dengan nilai-nilai ideologis dan kepentingan tertentu. Edward Said sendiri tidak mengkonstruksi Timur sebagai paradigma alternatif, ia sangat tegas mendestruksi rezim-rezim lama (orientalis), akan tetapi tidak mengonstruksi paradigma atau rezim baru (postkolonial) sebagai alternatifnya. Kritik Said terlalu menekankan kepasifan penduduk pribumi (terjajah) serta tidak memperhitungkan bagaimana cara-cara masyarakat lokal dan etnis Timur menggunakan, memanipulasi dan mengkonstruksi respons-respons positifnya sendiri dalam menentang kolonialisme menggunakan konsep-konsep orientalis sendiri (Kusmarni, 2010). Padahal, kalangan Timur sebenarnya memiliki cara-cara sendiri untuk “membaca” kondisi penjajahan. Problem utama masyarakat terjajah adalah persoalan emansipasi dan peningkatan martabat agar pribumi setara dengan kaum penjajah. Maka dari itu, salah satu cara ditempuh ialah hibriditas, yang diwujudkan dengan mimikri atau peniruan. Gagasan soal hibriditas (mimikri) ini dipopulerkan guru besar Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 169 sastra Inggris Harvard University, Homi K. Bhabha45, dengan merujuk pada gagasan Frantz Fanon dan Jacques Lacan. Fanon menyatakan mimikri sebagai hasil dari proses kolonisasi yang mencerabut kaum terjajah dari tradisi dan identitas tradisionalnya, dan memaksa mereka beradaptasi dengan identitas, perilaku dan budaya penjajahnya. Sedangkan Lacan mengilustrasikan dengan analogi pertahanan biologis serangga, sehingga mimikri tergambar sebagai upaya resistensi. Begitu juga serdadu yang mencoreng wajah dan pakaiannya agar selaras dengan medan perang dalam rangka menyamar. Semasa perbudakan orang kulit hitam oleh orang kulit putih di Amerika, ada dua jenis budak. Budak pertama ialah negro rumahan, yaitu yang tinggal menjadi pembantu di rumah tuannya. Karena ia tinggal bersama tuannya, maka ia menyerap budaya tuannya dan mengira kalau budaya kulit putih itu adalah sebaik-baiknya kondisi manusia. Ia meniru tuannya dalam berpakaian dan berperilaku. Tapi tetap saja mentalnya budak, sehingga tak berpikir sekalipun untuk membebaskan diri, dengan kata lain ia hanya bertahan hidup (survive). Budak kedua adalah negro di ladang yang bekerja keras untuk mengerjakan ladang tuannya. Ia mendapat perlakuan sangat buruk, sehingga terus berupaya membebaskan diri dari perbudakan. Di dalam kasus di atas, negro rumahan adalah kaum terjajah yang menjalankan mimikri. Namun saat mimikri mulai dikembangkan Homi Bhabha, mimikri bukan saja meniru, tapi juga merupakan aksi subversif. Mimikri merupakan kamuflase untuk membela diri/bertahan hidup dengan mengurangi perbedaan semata untuk kepentingan dan tujuannya sendiri. Berangkat dari argumentasi Fanon dan Lacan itu, Bhabha lalu mengembangkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa mimikri adalah proses penulisan ulang identitas terjajah di third space (ruang ketiga), yaitu dengan menjadi hibrida, sebagai cara mendekonstruksi wacana 45 Homi K. Bhabha kelahiran tahun 1949, adalah profesor sastra Amerika dan Inggris sekaligus direktur Pusat Studi Kemanusiaan di Universitas Hardvard. Sebagai tokoh dalam disiplin postkolonial, sumbangannya dalam literatur tampak pada penciptaan istilah-istilah dan konsepkonsep baru, yang menggambarkan masyarakat yang menolak diskriminasi, penindasan dan penjajahan (Huddart, 2006). 170 | Miftakhuddin penjajah. Penyelarasan diri dengan identitas penjajah justru bermaksud memalingkan wajah dari kuasa penjajahan. Ini adalah wahana survival sekaligus resistensi. Beginilah cara Bhabha menolak oposisi biner, yakni dengan mengusulkan mimikri sebagai “ruang ketiga” dalam oposisi biner antara penjajah dengan terjajah. Boleh dikata, ruang ketiga ini adalah alternatif menghindari ketegangan antara identitas penjajah dan terjajah sebagai suatu identitas yang ajeg dan senantiasa stabil (mapan). Ruang tersebut adalah ruang negosiasi di mana identitas dan budaya diartikulasikan sehingga melahirkan kemungkinan baru dalam melihat budaya atau identitas. Konsep ini digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifatsifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya (akulturasi). Artinya, hasil dari penggabungan ini malah menghasilkan budaya baru yang serupa tapi tak sama. Hibriditas menunjukkan adanya sifat yang “saling melengkapi” antara budaya yang berkuasa dengan yang dikuasai. Gambar: Homi Bhabha Sumber: reado.in Pandangan Bhabha menilai pihak penjajah dapat menggunakan budaya lokal untuk mengakomodir pemberotakan pribumi maupun serangan dari sesama kolonis. Sedangkan pihak terjajah dapat menggunakan budaya penjajah untuk mengatasi rasa cemas dan resisten Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 171 dalam diri mereka. Melalui adanya “ruang ketiga” yang ditawarkan Bhabha dalam perspektif postkolonial, maka batas-batas antara “kita” dan “mereka” akan menjadi bias/kabur, juga akan melahirkan hasil hibridasi berupa bahasa dan budaya baru. Perlu ditegaskan, hibriditas bukan masalah genealogi (asal-usul) antara dua kebudayaan, melainkan hasil negosiasi yang dilakukan di ruang ketiga yang memperlakukan kedua budaya yang mengapitnya dengan sejajar (Bhabha, 1994). Fokus dalam ruang ketiga bukanlah seberapa parah penindasan kaum penjajah atas kaum terjajah, tapi lebih mempersoalkan betapa tajam dan tegasnya pembedaan kedua kategori tersebut. Sebagaimana dituduhkan pemikir Prancis, Jacques Derrida, wacana Barat didominasi binerisme yang membagi dua secara ketat identitas-identitas seperti putih-hitam, Barat-Timur, penjajah-terjajah, laki-laki-perempuan, dan seterusnya. Sebagaimana dikutip Utami (2012), Bhabha mengatakan; That mimicry is a strategy to confront the colonializer’s hegemony. This strategy is constructed around an ambivalence, almost the same, but not quite. Mimicry is like a coin that two sadies. At one preserving the cultural heritageof colonial dominance, and at other side negating colonization. Bila disandingkan gagasan Said, apa yang dimaksud “mimikri” adalah sejalan dan merupakan pengejawantahan teori milik Said. Rupanya memang benar yang diungkapkan Gandhi, bahwasanya orientalisme berperan sebagai katalisator dan titik referensi bagi segala bentuk ekspansi postkolonial. Satu hal yang disoroti Utami (2012), bahwa konsep mimikri berpandangan kalau yang terjajah punya kekuatan untuk melawan dengan meminjam berbagai elemen budaya untuk peniruan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan kepada penjajah, justru peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Oleh sebab itu mimikri dikategorikan sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah, dan bersifat ambivalen. Bhabha mengatakan strategi ini “almost the same, but not quite”. Karena dalam 172 | Miftakhuddin prosesnya berupa peniruan, mimikri berproses sebagai akibat adanya diferensiasi identitas penjajah dengan pribumi. Pengkoloni melakukan penaklukan yang kemudian berpengaruh pada pribumi, terutama pribumi yang mengalami proses pendidikan gaya penjajah. Sebagai contoh, mimikri penduduk Indonesia atas penjajahan Belanda yang lebih banyak melalui gaya hidup, di mana menurut Bhabha merupakan hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kepada kemajuan dan menempatkan diri setara dengan penjajah. Perlawanan melalui peniruan ini merupakan strategi untuk menghadapi penjajah agar memperoleh peningkatan dan penyetaraan martabat, yang mana cara mencapainya memerlukan representasi subjek, yakni pengkoloni (Bhabha, 1994). Hanya dengan kesetaraan derajat di kedua belah pihak, tidak ada lagi perlakuan diskriminatif. Golongan bangsawan Indonesia misalnya, yang mengikuti pendidikan di sekolah Belanda. Aspek gaya hidup, regenerasi pendidikan dan lain-lain yang ditampakkan mencerminkan budaya baru yang bukan Indonesia dan bukan Belanda, namun tetap mengandung unsur-unsur kebudayaan keduanya. Percepatan pendidikan ala Barat ini merupakan agenda modernisasi dan westernisasi melalui poitik etis. Melalui pengajaran kepada kaum bangsawan Indonesia, maka kaum bangsawan itu akan menjadi rekan bagi “kita” (Belanda) dalam kehidupan sosial dan budaya. Sementara alasan kenapa targetnya adalah bangsawan, karena orangorang Jawa, khususnya para priyayi atau aristokrat tradisional, memiliki peran sentral. Mereka target yang paling mungkin dibentuk menjadi kelompok warga Hindia yang termodernisasi dan terwesternisasi. Hubungan seperti inilah yang menutup gap antara penjajah dengan terjajah, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Suatu contoh untuk dinamika ini ialah, pemakaian jas (beskap) yang berasal dari Barat dikombinasi dengan jarik yang menjadi seragam resmi di kalangan priyayi Jawa. Strategi itu, karena bersifat “saling melengkapi”, maka sedikitbanyak juga bermanfaat bagi keduanya, yaitu kesempatan untuk survive. Pengkoloni bertahan sebagai penjajah dan menghindari pengusiran/pemberontakan, sementara pribumi bertahan sebagai terjajah Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 173 dan menghindari pemusnahan massal (genosida). Belanda menggunakan budaya lokal, dan Indonesia menggunakan simbol budaya Barat milik Belanda. Suatu misal tokoh Belanda, Snouck Hougronje. Ia akademisi Belanda yang pernah menjabat di pemerintahan Hindia Belanda untuk urusan Islam dan Pribumi. Ia memakai Islam selaku agama lokal untuk mendekatkan kepentingannya kepada pribumi. Menurutnya, Islam sebagai kekuatan politik memiliki potensi besar untuk dimobilisasi menjadi gerakan perlawanan. Maka dari itu, ia membuat umat muslim mengalami depolitisasi, sehingga potensi Islam mengkristal dan gerakan perlawanan terhadap negara kian mengecil Ulasan di atas jelas mempertegas upaya survive pasti dimiliki kedua belah pihak. Hougronje berperan sebagai agen pertahanan kolonial di tanah jajahan melalui agama, dan kaum elit pribumi sebagai agen yang “memanfaatkan” pendidikan yang tidak lain adalah fasilitas dari kolonial. Jelaslah pula bahwa inisiatif ini datang dari Belanda sebagai colonizer, sedangkan pribumi (dalam hal ini para elit) memanfaatkan kebijakan Belanda dalam rangka menutup jurang antara menguasai dan dikuasai. Begitu juga sisi kehidupan sosial yang mengobjek perempuan pribumi. Era kolonial Hindia Belanda, perempuan pribumi -yang masih muda- sering dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, namun kerap juga sebagai gundik. Bila beruntung, mereka bisa meningkatkan posisinya menjadi nyai, yaitu pembantu rumah tangga utama. Status ini membawa serta banyak hak istimewa, termasuk posisi sebagai penguasa ketika sang tuan sedang tak di rumah. Ia bahkan memegang kunci lemari dan ruang persediaan makanan, serta ditugasi mengawasi dan mengeluarkan biaya kebutuhan rumah tangga. Status baru ini tentu saja mengubah aksesoris yang dipakainya. Seperti pakaian gelap atau warnawarni diganti dengan kebaya putih berenda, mengenakan perhiasan, selop dan sapu tangan putih sebagai tanda kedudukannya yang baru (Baay, 2010). Sebenarnya perempuan pribumi dalam deskripsi kasus di atas masih dalam posisi terjajah (colonized), bahkan terjajah dua kali dalam satu kehidupan; sebagai orang pribumi yang dijajah Belanda, juga sebagai perempuan yang “dijajah” laki-laki. Akan tetapi, biasanya 174 | Miftakhuddin keluarga bersikap ganda. Artinya, saat keputusan itu diambil dengan imbalan peningkatan income sebagai nyai, di saat bersamaan ia dikecam dan dianggap aib, sebab kedudukan nyai dianggap sama dengan pelacur. Terlepas dari makian yang ia dapat, sesungguhnya kehidupan sebagai nyai merupakan sarana untuk survive. Melalui statusnya dia memperoleh simbol ke-ningrat-an Barat berupa; tingginya status dan atribut kehormatan Barat. Sebaliknya, pihak penjajah dapat memanfaatkan nyai untuk menggali informasi tentang kehidupan sosial dan budaya pribumi. Kolonisasi sebagai historical context memang tak lepas dari pertumpahan darah, tapi jangan diacuhkan bahwa dalam kolonisasi juga terjadi proses lain dalam aspek budaya, agama, pendidikan dan lainnya. Melihat alasan yang mendasari fenomena budak rumahan di Amerika dan fenomena perempuan nyai Belanda di Nusantara, membuat penulis cukup berani mengatakan kalau dalam pandangan postkolonialisme versi Bhabha (mimikri), rupanya kelunturan tradisi dan budaya pribumi tidak disebabkan lemahnya dan tidak teguhnya jati diri dalam setiap individu, melainkan pribumi sengaja membuang dan menggantikannya dengan budaya dan tradisi pengkoloni. Mereka tak punya pilihan lain untuk mendapatkan haknya untuk hidup dan mempertahankan eksistensinya. Akulturasi dengan budaya pengkoloni adalah opsi terakhir. Praktis, bukan budaya pribumi yang didoktrinasi budaya asing, melainkan pribumi yang sengaja memoles budayanya agar setara dengan asing. Tentu saja keputusan ini dalam rangka mempertahankan eksistensi dan emansipasi sebagai manusia (kesetaraan). Lagi pula, nasionalisme belum begitu populer kala itu. Sebagai bukti lain, lihat saja potret penampilan militer keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang menggabungkan unsur Jawa dengan kolonial Belanda. Bagi konstruksi orientalisme dan studi kolonialisme, hal ini dihakimi sebagai ketundukan kaum terjajah kepada dominasi budaya penjajah, sedangkan menurut perspektif si penjajah (Belanda), itu adalah tanda “kedangkalan” budaya. Tapi bagi Homi Bhabha, hal ini justeru bentuk manifest dari transformasi budaya melalui ruang ketiga yang tercipta dari hubungan keduanya oleh si terjajah. Alih-alih memperhadapkan keduanya dalam posisi saling bertentangan, pascakolonial Bhabha menunjukkan kelicinan kaum terjajah dalam Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 175 menangkis dominasi budaya penjajah dengan mengorbankan sebagian budaya asli miliknya. Pribumi dalam bingkai mimikri seolah meniru penjajah (colonizer), padahal sebenarnya itu adalah sikap perlawanan terjajah (colonized) untuk mendapat kesejajaran. Bhabha menegaskan mimikri sebagai upaya mengukuhkan sekaligus mendistorsi otoritas penjajah. Mimikri menolak ketergantungan terjajah terhadap penjajah. Terjajah menikmati adanya ambivalensi yang terjadi dalam proses mimikri, sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah (Utami, 2012). Melalui mimikri, kaum terjajah tidak melawan dengan frontal, tapi melalui “perselingkuhan budaya”, yaitu dengan mengambil tandatanda budaya penjajah yang kemudian diberi isi dan digugat, sehingga menghasilkan identitas dan cara hidup yang baru. Kaum pribumi mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah melalui pembangunan identitas atau persamaan untuk menaikkan martabat, namun tetap mempertahankan perbedaannya meki beberapa telah digeser dengan pembangunan identitas asing. Nah, di sinilah yang dimaksud mimikri bersifat ambivalen. Di satu sisi pribumi ingin membangun identias yang setara, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya. Uraian tentang akulturasi identitas inilah yang menjadi pijakan Bhabha dalam merumuskan mimikri. Menurutnya mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan yang merupakan proses pengingkaran identitas asli, perselingkuhan, ataupun kemenduaan identitas. Sifat ambivalensi kolonial ini menciptakan karakter hibrid kaum yang dikuasai (almost the same but not quite), yang ternyata sulit ditaklukkan dan justru menjadi ancaman. Sifat ambivalen telah membuka ruang bagi perlawanan kaum terjajah. Mereka yang terjajah tak selalu diam, karena memiliki kuasa untuk melawan. Sebab dalam mimikri diyakini adanya proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan (Bhabha, 1994). Mimicry, thus the sign of double articulation; a complex strategy of reform, regulation, and discipline, which “appropriates” the other as it visualizes power. Mimicry is also the sign of inappropriate, however, a difference or 176 | Miftakhuddin recalcitrance which coheres the dominant strategic function of colonial power, intensifies surveillance, and poses an immanent threat to both “normalized” knowledges and disciplinary powers. Sebagaimana banyak dikutip dalam tulisan-tulisan ilmiah, efek mimikri adalah terganggunya identitas penjajah yang tampak stabil, seperti munculnya kecemasan akan terbukanya ruang bagi si terjajah untuk menolak wacana kolonial. Mari menengok salah satu surat R.A Kartini, yang menunjukkan situasi ambivanlesi. Ia menuliskan; orang-orang Belanda menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi ketika kami mencoba mendidik diri kami sendiri, mereka lalu bersikap menentang kami. Di situ terlihat jelas kaum terjajah berhasrat memobilisasi kondisi mereka dengan meniru penjajah dalam pendidikan. Ini selaras dengan pandangan bias orientalisme yang melihat bangsa Timur harus dididik dan diberadabkan. Tapi di sisi lain, penjajah tak senang hati ketika hasrat itu menguat, sebab kesetaraan membuat kolonialisme kehilangan taringnya. Sebab peniruan dalam mimikri tidak hanya asal meniru dan menjiplak (slavish imitation). Mimikri meniru secara berlebih suatu bahasa, budaya, tata krama, dan ide-ide. Berlebihan dalam arti mimikri merupakan pengulangan atau repetisi dengan perbedaan, sehingga tidak dikatakan bahwa terjajah itu seperti budak yang hanya sekedar meniru tuannya. Mereka yang merasa telah mirip dengan penjajah yang statusnya lebih tinggi (penjajah), seakan punya posisi yang sama. Namun begitu, peniruan tetap sebuah isyarat akan lemahnya posisi peniru, sebab aktivitas mimikri selalu didasarkan pada asumsi bahwa yang ditiru dianggap lebih, dan peniru merasa kurang. Naasnya, dominasi dan subordinasi sebagai kedekatan relasional antara pemberi pengaruh dan pihak terpengaruh tidak hanya terjadi antarbangsa atau antaretnis, tapi juga terjadi dalam dalam lingkup internal sebuah bangsa, etnis, bahkan pada relasi kekuasaan gender. Seperti halnya dikaji profesor Universitas Pittsburgh, Gayatri C. Spivak, dalam artikelnya berjudul Can Subaltern Speak?. Di sana ia menyatakan subaltern tak bisa berbicara. Maksudnya, kaum perempuan dalam Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 177 pelbagai konteks kolonial tidak punya bahasa konseptual untuk berbicara karena tak ada telinga lelaki kolonial maupun pribumi mampu mendengarkannya (Kusmarni, 2010). Lebih luas dari itu, Spivak sebagai ahli kajian subaltern (subaltern studies), sebenarnya lebih memfokuskan kajiannya pada mereka yang menyandang status marginal46, seperti; imigran, kelas pekerja, kaum perempuan, dan pihak-pihak minoritas dan tertindas lainnya (Morton, 2004). Masyarakat marginal adalah masyarakat lemah secara politis, ekonomi dan sosial budaya, serta mempunyai derajat dan kasta yang rendah walau kadang secara kuantitas mereka lebih unggul ketimbang masyarakat elite. Kelemahan itu terjadi akibat kaum elite melakukan hegemoni47, sehingga mereka menjadi terpinggir atau marginal. Celakanya lagi, hegemoni tak hanya berlaku di tataran makro, tapi juga dalam tataran mikro. Artinya, di dalam masyarakat marginal juga ada penguasaan atau penindasan. Suatu misal buruh yang lebih kuat menguasai beberapa buruh lain yang lebih lemah. Maka jelaslah relasi hegemonik bukan hanya pada elite-marginal, tapi juga marginalmarginal. Nah, Gayatri Chakravorty Spivak48 lalu menjelaskan tentang konsep ini menggunakan istilah subaltern untuk menyebut mereka yang marginal. Istilah subaltern sendiri sebetulnya berasal dari Gramsci dalam tulisannya tentang kaum subaltern di dalam sejarah Italia (Notes on Italian History, 1934). Istilah itu digunakan untuk menunjuk 46 Dalam konteks lain dan non-hegemonik, ketika emansipasi perempuan telah diraih, LGBT merupakan “pendatang baru” yang langsung menjadi kaum marginal karena tersisih secara sosial dari ranah publik. 47 Hegemoni adalah konsep yang menjelaskan soal “penguasaan” tiran atau elite terhadap mereka yang lemah. Konsep ini dipopulerkan pemikir Italia, Antonio Gramsci. Makanya, setiap pakar yang membahas imperialisme, kolonialisme dan feodalisme, sedikit banyak merujuk pada gagasan Gramsci soal hegemoni. 48 Gayatri Spivak lahir tahun 1924 di Calcutta, India. Saat kelahirannya, India sedang mengalami kelaparan semu, tepatnya lima tahun menjelang kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Ia termasuk generasi intelektual pertama India pasca kemerdekaan. Sedangkan nama Spivak ia dapat dari mantan suaminya, Talbot Spivak, seorang novelis berkebangsaan Amerika. Spivak menyelesaikan studi Sastra Inggris di Universitas Calcutta pada 1959 dan melanjutkan ke Universitas Cornell, Amerika, sehingga memperoleh gelar MA dan Ph.D dibidang yang sama (Masduki, 2007). Meski begitu, ia tak mau disebut orang Amerika maupun India, ia bahkan tak mau diberi label filsuf. Ia menganggap dirinya sebagai kritikus sastra. 178 | Miftakhuddin kelompok sosial subordinat, yakni kelompok masyarakat kelas inferior yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern. Istilah itu kemudian diadopsi pertama kali oleh Ranajit Guha, sejarawan India, ketika menuliskan kembali sejarah India dalam On Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982). Ia mendefinisikan subaltern sebagai mereka yang bukan elite. Guha memberi penjelasan lebih menarik dengan mempertegas siapa kawan dan siapa lawan. Sebab dalam gagasannya, ia menggeser dikotomi menindas-ditindas yang berorientasi pada kolonial-antikolonial (pribumi). Ia mengungkap penindasan rupanya tidak hanya dari luar, melainkan juga dari dalam kelompok tertindas. Ia mengubah dikotomi “menindas-ditindas”, menjadi “elite-subaltern”. Kata elite dalam kerangka pikirannya adalah kelompok dominan baik pribumi maupun asing. Asing adalah pejabat Inggris, dan elite pribumi dibagi dua, yakni mereka yang di tingkat nasional (tuan feodal dan pegawai pemerintah kolonial), dan mereka yang di tingkat regional atau lokal (anggota kelompok dominan). Secara teoritik, diperoleh asumsi bahwa sipil bisa menindas sipil, buruh bisa menindas buruh dan seterusnya. Berkat sumbangan Guha tersebut, paradigma penindasan yang selama ini berangkat dari kehadiran aktor-aktor luar, objek kajiannya mesti ditambah dengan memperhatikan aktor-aktor dalam. Selanjutnya, Spivak menggunakan istilah itu dalam publikasinya berjudul Can the Subaltern Speak?: Speculations on Widow-Sacrifice. Naskah itu menceritakan kisah Bhuvaneswari Bhaduri, adik neneknya, yang mati gantung diri karena merasa gagal menjalankan misi dari kelompok rahasia untuk melawan penjajahan Inggris di India. Berangkat dari kasus itu ia mendeskripsikan subaltern itu sendiri. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 179 Gambar: Gayatri Chakravorty Spivak Sumber: baceleb.org Melalui tulisannya ia memperdalam gagasan Guha dan secara tegas memperingatkan para intelektual pascakolonial agar jangan terjebak pada klaim yang mereka tuduhkan kepada suara subaltern. Karena bisa jadi, mereka yang mengaku antikolonial (pembela kaum tertindas), justru bisa lebih kolonial ketimbang kolonial yang sebenarnya. Bagi Spivak, subaltern sebagai subjek yang tertekan punya dua karakteristik, yakni adanya penekanan dan adanya mekanisme pendiskriminasian. Subaltern tak sanggup memahami keberadaannya dan tak mampu untuk menyuarakan aspirasinya, sebab tak ada ruang untuk itu. Maka diperlukanlah kaum intelektual sebagai wakil mereka. Ketidakmampuan ini pun dibenarkan olehnya dengan menyatakan; sebagian besar menganggap saya tidak mengakui bahwa subaltern dapat bicara. Malah ada yang mengatakan saya tidak membiarkan kelompok itu bicara sampai ada penelitian yang memperlihatkan bahwa subaltern dapat berbicara... Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara 180 | Miftakhuddin absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara (Spivak, dalam Hartiningsih & Ninuk: 2006). Tapi walau Spivak juga berkata kalau suara subaltern tak dapat dicari karena mereka “tak bisa bicara”, intelektual tidak boleh meromantisir kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suarasuara subaltern. Sebab jika dilakukan, klaim-klaim itu malah bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan keberagaman (menghomogenkan) para kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia menjadi “kekerasan epistemologis”. Relasi yang terjalin antara intelektual dengan subaltern pun layaknya relasi “tuan-hamba”. Selain itu, setiap upaya dari luar untuk memberi mereka kemampuan bicara secara kolektif juga akan menghadapi sejumlah persoalan. Pertama, asumsi logosentris tentang solidaritas kultural di antara masyarakat yang heterogen. Kedua, ketergantungan kepada intelektual untuk berbicara atas nama kondisi subaltern daripada membiarkan mereka berbicara atas nama diri mereka sendiri. Maka dapatlah ditegaskan, bahwa dengan memperoleh kembali identitas kultural kolektif melalui cara itu, malah membuat subaltern akan kembali ke posisi subordinat dalam masyarakat. Subaltern dalam definisi Spivak adalah golongan tertindas, itulah mengapa mereka “tak bisa bersuara”. Satu-satunya cara membantu subaltern memperoleh emansipasinya, menurut Spivak, adalah intelektual bukan untuk bertujuan tertentu atau pragmatis demi mencari perhatian kaum subaltern, tapi harus hadir sebagai pendamping atau wakil subaltern. Mereka harus menjadi penyambung lidah. Seorang intelektual harus menyertai dirinya dengan “pesimisme intelektual dan optimisme kemauan”, agar mampu menunjukkan di mana dan bagaimana posisi mereka yang terpinggirkan. Apabila para intelektual masih tidak sanggup -atau malah sengaja tidak mau- menjadi penyambung lidah, maka pertanyaan “di mana dan bagaimana peran kaum intelek pascakolonial dalam membela kaum subaltern yang tertindas?” akan terus langgeng. Hubungan dan fenomena ini bila diproyeksikan dalam konteks ke-Indonesia-an hari ini, akan tampak dalam sepak terjang aktor-aktor Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 181 politik. Sebagaimana diuraikan, hubungan hegemoni bukan sekadar elite-subaltern, melainkan juga subaltern-subaltern. Buruh bisa menindas buruh lain, sipil bisa menindas sipil lain, mereka yang mengaku antikolonial justeru bisa lebih kolonial. Begitu juga partai yang mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis, dan mereka yang mengaku pembela kelompok marjinal bisa lebih kejam daripada penindas kelompok marjinal yang sebenarnya. Hal yang sering salah kaprah dalam pemaknaan adalah soal posisi dan peran kaum intelektual. Tidak sedikit pemberitaan demonstrasi berasal dari kelompok marjinal yang mengatakan mereka telah “dimanfaatkan” para politikus untuk menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor. Suatu proyek pengentasan kemiskinan misalnya, sering didengar sindiran dari masyarakat bahwa pada akhirnya para pemangku kepentingan-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat marginal tetap tinggal miskin. C. 1st World Country, 2nd World Country, 3rd World Country, dan Teori Pembangunannya Ada beberapa jenis pembagian tipikal negara di dunia dalam khazanah wacana internasional. Umumnya pembagian itu dilakukan negara maju maupun organisasi atau lembaga internasional yang berkepentingan dengan klasifikasi tersebut. Tapi yang harus benar-benar dipahami ialah perihal tidak adanya ketentuan baku atau kriteria pokok yang mengaturnya. Semua bergantung pada kepentingan dan indikator suatu pihak. Oleh karenanya, bisa jadi suatu negara dikatakan maju oleh satu pihak, namun pihak lain mengatakan negara itu sebagai negara berkembang atau bahkan sangat miskin. Begitu juga sebaliknya. Sebagai contoh, tahun 1950-an Prancis mengelompokkan negara di dunia berdasarkan tingkatan sosial ekonominya, menjadi; a) negara maju atau telah berkembang, b) sedang berkembang, dan c) negara dunia ketiga atau negara selatan yang miskin. Kemudian tahun 1960-an (masa Perang Dingin), terjadi pengelompokan negara di dunia berdasarkan politik ekonominya menjadi; a) negara Dunia Pertama, yaitu negaranegara maju atau negara industri dengan corak ekonomi pasar. Mereka 182 | Miftakhuddin adalah negara-negara Barat (mantan penjajah) penganut kapitalis. b) negara Dunia Kedua, yaitu negara-negara dengan ekonomi terencana secara sentral. Mereka adalah negara-negara penganut sosialis-komunis atau yang biasa disebut sebagai negara tirai besi. c) negara Dunia Ketiga, adalah negara-negara miskin, sedang berkembang dan baru merdeka. Selain klasifikasi itu, ada pula pengelompokan dengan pengidentifikasian menurut kemajuan negaranya, yakni menjadi negara Utara dan negara Selatan, yang populer pada tahun 1980. Negara Utara ialah mereka yang kaya atau negara maju (telah berkembang). Dinamakan demikian karena mereka ada di belahan bumi Utara. Sedangkan negara Selatan adalah mereka yang miskin atau negara belum dan sedang berkembang. Dinamakan demikian karena letak mereka ada di belahan bumi Selatan, seperti; Benua Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Bahkan World Bank pun pernah mengklasifikasikan negara berdasarkan pendapatan dan sektor ekonomi yang diandalkannya. Menurut Wolrd Bank, negara dunia dapat dikelompokkan menjadi negara maju (berpendapatan tinggi dari sektor industri), negara berkembang (berpendapatan menengah dari sektor industri), negara dunia ketiga (berpendapatan rendah dan tidak punya sektor industri). Ada juga kelompok negara pengekspor minyak yang tidak dimasukkan dalam tiga kategori sebelumnya, sebab pertumbuhan ekonominya fluktuatif sesuai harga minyak dunia yang relatif naik. Klasifikasi menurut World Bank pernah pula dilakukan berdasarkan pendapatan per kapita, menjadi; negara berpendapatan rendah, menengah ke bawah, menengah ke atas, dan berpendapatan tinggi. Sebagaimana dinyatakan di alinea pertama sub bab ini, standar masing-masing pihak tidaklah sama, sehingga berimplikasi pada klaim yang tidak menentu dan variatif. Misalnya negara-negara di jazirah Arab, menurut klasifikasi Utara-Selatan mereka tergolong negara miskin, tapi menurut World Bank, mereka justru negara berpendapatan tinggi (kaya). Begitu juga dengan Australia dan New Zealand yang meski ada di belahan dunia Selatan yang miskin menurut teori UtaraSelatan, faktanya mereka tergolong berpendapatan tinggi. Berbeda lagi Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 183 nanti dengan klasifikasi menurut United Nation Development Program (UNDP) yang malah menggunakan faktor non ekonomi. UNDP dalam menentukan Human Development Index (HDI) menggunakan tingkat harapan hidup,tingkat kematian bayi,dan tingkat pendidikan sebagai indikatornya. Namun demikian, terlepas dari berbagai versi pengelompokan di atas, dalam kaitannya dengan kajian pascakolonialisme, satu-satunya yang pantas menjadi rujukan ialah pengelompokan berdasarkan pengaruh politik dan ekonominya semasa Perang Dingin, yang membagi negara di dunia menjadi negara Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga. Sekalipun Huntington, dkk. (1989) menolaknya dengan mengatakan; Pembagian tersebut tidak lagi relevan. Sekarang ini yang jauh lebih bermakna adalah mengelompokkan negaranegara bukan berdasarkan sistem politik atau ekonomi, atau berasarkan tingkat perkembangan ekonominya, tetapi lebih berdasarkan budaya dan peradabannya. Akan tetapi, selama masih ada “pendiktean” kedaulatan politik dan ekonomi dari negara Dunia Pertama kepada negara Dunia Ketiga, juga selama masih ada keterbelakangan dan ketergantungan di salah satu belahan dunia, pengelompokan tersebut akan tetap valid. Apalagi telah ditegaskan dalam kajian-kajian postkolonialisme Spivak yang lebih berkonsentrasi pada persoalan kaum subaltern dan masyarakat Dunia Ketiga. Penegasan yang nyata ialah Dunia Pertama merupakan tempatnya produksi intelektual, dan Dunia Ketiga ialah tempatnya ekpsploitasi fisik. Sampai saat ini pun pandangan itu berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat Dunia Ketiga, karena dalam pandangannya dikenal untuk tidak meliyankan pihak yang “berbeda” darinya. Apa yang coba disampaikan Huntington, dkk. tampaknya lebih kepada isyarat untuk mengesampingkan klasifikasi negara di dunia, dan lebih memperhatikan persoalan yang bersifat laten dan krusial, yakni persoalan peradaban masyarakat modern dan isu lingkungan yang menyertainya. 184 | Miftakhuddin 1) Klasifikasi Negara Klasifikasi negara menjadi tiga kelas dimulai pasca Perang Dunia II, atau semasa Perang Dingin. Saat itu, secara geopolitik dunia terbelah menjadi dua; Blok Barat (kapitalisme) dan Blok Timur (komunisme). Blok Barat diisi negara-negara kapitalis beraliran demokrasi-liberal dengan Amerika sebagai tokoh utama yang didukung Inggris, Jerman Barat, Belanda, Jepang, Spanyol, Prancis, dll. Dukungan juga datang dari Kanada dan bekas koloni Inggris lain seperti Australia dan New Zealand. Mereka semua kemudian disebut negara “Dunia Pertama”. Sedangkan Blok Timur diisi Union of Soviet Socialist Republics (USSR) atau Uni Soviet sebagai sentralnya, yang didukung Jerman Timur, Hungaria, Polandia dan negara sosialis-komunis lain seperti China dan Kuba. Mereka yang tergabung dalam Blok Timur ini kemudian disebut sebagai negara “Dunia Kedua”. Saat banyak negara menentukan pilihannya untuk berpihak, ada kelompok negara yang memutuskan tidak berpihak (Non Blok). Sebagian besar mereka adalah negara yang sedang sibuk mengukuhkan kemerdekaannya karena baru mentas dari efek pra-klimaks Perang Dunia II. Mereka memilih membangun negara dan mensejahterakan rakyatnya ketimbang berebut pengaruh di planet ini, sampai-sampai membentuk koalisi dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) untuk membantu negara-negara berkembang sesama bekas jajahan, membantu kemerdekaan bagi yang masih terjajah, dan menghapuskan rezim apartheid di Afrika Selatan. Negara-negara Non Blok ini terdiri dari negara-negara di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin. Nah mereka -lah yang kemudian disebut sebagai negara “Dunia Ketiga”. Naasnya, kebetulan Dunia Ketiga mayoritas diisi negara sedang berkembang dan miskin karena baru merdeka, sementara Dunia Pertama diisi negara maju. Inilah penyebab stereotip Dunia Ketiga diidentikkan sebagai negara miskin/berkembang, meski esensi historisnya ialah mereka yang tidak berpihak semasa Perang Dingin. Arab, misalnya. Saudi Arabia termasuk negara Dunia Ketiga karena Non Blok (tak berpihak), namun tidak bisa jika kemudian Arab dimasukkan dalam kelompok Dunia Ketiga dengan alasan miskin/berkembang. Sebab Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 185 faktanya Arab punya pendapatan tinggi dari cadangan minyak bumi dan gas yang melimpah. Di samping Arab, -dalam kasus yang sama- di Eropa ada juga negara-negara Dunia Ketiga (Non Blok), seperti Swiss, Irlandia dan Austria. Gambar: Peta Geopolitik Negara Dunia Sumber: nationsonline.org Di luar ketiga negara di atas, ada yang namaya “Dunia Keempat”. Istilah ini muncul sekitar tahun 1970 untuk menunjuk penduduk asli yang masih menempati wilayah mereka sendiri berdasarkan tradisi dan budayanya. Sehingga khusus teruntuk Dunia Keempat ini, sama sekali tidak menyinggung pada komunitas/persekutuan, melainkan menunjuk pada suku tradisional yang belakangan kadang tak diakui secara etnis, agamis maupun politis akibat percaturan ekonomi-politik dunia. Mereka meliputi bangsa Aborigin di Australia, Maōri di New Zealand, Indian di Amerika, Eskimo di Kanada, Romani (Gypsy) di India Utara dan suku-suku asli lainnya, termasuk suku Badui, Dayak dan Asmat di Indonesia. Tidak peduli secara administratif mereka ada di Dunia Pertama, Kedua, atau Ketiga, selama menjadi suku asli yang menduduki wilayah aslinya dengan tradisi dan budayanya, mereka termasuk komunitas Dunia Keempat. 2) Negara Dunia Pertama 186 | Miftakhuddin Walau istilah yang diperkenalkan PBB sejak 1940-an ini sudah dinilai usang, namun tetap valid untuk menunjuk negara-negara kapitalis, industri, kaya, dan maju karena dilambangkan sejajar dengan pentolannya semasa perang dingin, yakni Amerika, di samping Britania Raya, Jepang, dan Australia. Sebutan Dunia Pertama sekalipun dinilai tak lagi relevan menurut Huntington, dkk. (1989), pada kenyataannya masyarakat kontemporer memandang mereka sebagai negara berekonomi maju, pengaruh terbesar, standar hidup tinggi, dan teknologi terbaik. Dasar pemilihannya adalah seberapa beradab suatu negara. Adapun jika dilihat dari riwayat kolonialnya, tampaknya golongan Dunia Pertama adalah mereka bekas jajahan Inggris. Lihat saja Amerika, Kanada, Australia, Singapura, dan Selandia Baru. Dan jika boleh diperiodisasi masa kolonial sejak keruntuhan imperium Romawi atau Perang Salib, periode pertama adalah masa kolonial era perjanjian Zaragosa antara Spanyol dan Portugis. Periode kedua adalah masa kolonial Inggris, Belanda, dan Prancis yang melakukan kolonisasi ke Asia dan Australia, dan periode ketiga adalah masa kolonial Amerika dan Jepang menuju Perang Dunia. Selebihnya merupakan masa neokolonialisme. Apabila diamati, Dunia Pertama adalah bekas jajahan Inggris yang dijajah masa kejayaan Inggris. Artinya, masa kolonisasi yang mereka alami adalah masa di mana Revolusi Industri sedang gencargencarnya. Konsekuensinya, terjadi penyebaran teknologi dan sains. Itulah sebab mereka kini cenderung maju, kaya, dan berteknologi. Jepang dan Hong Kong contohnya. Berbeda dengan Dunia Ketiga seperti di Asia, misalnya, yang mengalami penjajahan oleh Belanda (bukan Inggris), ditambah lagi terjadi perebutan-perebutan dengan kongsi dagang Inggris (EIC), pemberontakan inlander, dan tujuan kolonisasi terfokus pada perniagaan, bukan eksploitasi sumber daya mineral guna pengembangan teknologi seperti di Amerika, Australia dan New Zealand. Alhasil, peninggalan kolonial berupa teknologi (hasil revolusi Industri) hampir tidak ada, menyisakan mental terjajah, dan sistem pemerintahan feodalistik yang masih berjalan hingga abad 21. Negara Dunia Ketiga di Asia, terutama Nusantara, Filipina, dan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 187 Malaysia baru memperoleh “cipratan” teknologi sebagai dampak Revolusi Industri ketika mulai runtuhnya VOC dan masuknya pengaruh Inggris secara intensif. Apa yang terjadi di Nusantara, Filipina dan Malaysia tentu tak bisa disamakan dengan Singapura, yang meski di Asia, dia dijajah Inggris sejak awal. 3) Negara Dunia Kedua Sebagaimana diulas kategori negara tidak ditentukan kemajuannya, tapi di pihak mana ia berdiri semasa Perang Dingin. Dunia Kedua ialah mereka yang ada di Blok Timur dengan halauan sosialis-komunis. Kalaupun dipaksakan melihat mereka dari kondisi ekonomi, mereka bukan kumpulan negara berkembang, mereka termasuk negara-negara industri yang maju dan kaya. Ada sembilan belas negara komunis yang termasuk di dalamnya, tapi pasca keruntuhan Soviet pada pemerintahan Mikhail Gorbachev, hanya tinggal lima negara, yakni; China, Kuba, Laos, Korea Utara, dan Vietnam. Dunia Kedua di Asia, dalam kaitannya dengan pengalaman kolonialnya justru hampir semuanya pernah dijajah bangsa demokrasiliberal (Dunia Pertama). Paham komunis baru masuk usai Revolusi Prancis di Paris yang membuat tumbuhnya paham-paham baru, juga disebabkan penerapan Molotov Plan dari Soviet untuk menandingi Marshall Plan milik Amerika semasa Perang Dingin. Berlakunya Molotov Plan membuat Soviet menata-ulang perekonomian di Eropa Timur yang berdampak pada peperangan di daerah Asia49. Negara-negara Asia yang berjuang menuju merdeka dan mendapat bantuan Soviet tentu saja menjadi penganut komunis. Begitu juga dengan Amerika, menambah penganut demokrasi liberal dengan pemberian bantuan. Lihat Vietnam dan Korea. Perang Vietnam melambangkan perang komunis versus demokrasi. Hanya saja Amerika kalah pada peperangan ini. Demikian pula Korea yang memperoleh keberuntungan atas kalahnya Jepang di akhir Perang Dunia II. Tapi dalam kemerdekaan Korea, Soviet punya peran dengan menduduki 49 Bagi Soviet, Asia potensial untuk memasarkan senjata Soviet dan penghimpunan kekuatan untuk menandingi Amerika, yang juga menghimpun kekuatan di Asia untuk memperkuat Blok Barat. Asia hanya “papan catur” bagi Blok Barat dan Blok Timur di Eropa. 188 | Miftakhuddin Korea bagian utara, dan Amerika menduduki Korea bagian selatan, yang akhirnya berdasar Konferensi Yalta, Korea dibagi dua; Utara berpaham sosialis-komunis, dan Selatan berpaham demokrasi-liberal. 4) Negara Dunia Ketiga Secara ideologis, hubungan Dunia Pertama dan Dunia Kedua selalu kompetitif. Tapi hubungan keduanya dengan kelompok Dunia Ketiga umumnya positif dan harmonis. Tentu saja mengandung unsur keberpihakan untuk menggaet Dunia Ketiga. Implikasinya, Dunia Ketiga terlibat perang proksi antara Dunia Pertama dan Dunia Kedua. Demikianlah Dunia Pertama dan Kedua tidak angkat senjata langsung dalam Perang Dingin, melainkan memberi bantuan militer, logistik dan lainnya kepada Dunia Ketiga yang sedang berseteru atau berjuang merdeka. Praktis, Perang Dingin hanya berlaku pada Blok Timur dan Blok Barat. Sedang Dunia Ketiga adalah pion-pion yang siap bertumpah darah atas komando Dunia Pertama dan Kedua. Kendatipun demikian, Dunia Pertama tampaknya punya pengaruh, kekayaan, informasi dan kemajuan yang lebih besar. Dunia Ketiga adalah objek kajian teori pembangunan (terutama teori modernisasi dan teori ketergantungan), karena dianggap terbelakang sekalipun telah merdeka. Agar mentas dari krisis pasca kemerdekaan, mereka harus melakukan industrialisasi, yang mana ini membutuhkan uang, teknologi dan pengetahuan. Nah, ini yang membuat mereka rawan terjebak dalam hutang luar negeri yang justru kian memiskinkan. Sebagaimana ditegaskan guru besar Administrasi Pembangunan Universitas Brawijaya, Prof. Agus Suryono; Negara yang baru merdeka, menurut para ahli ekonomi barat harus dibebaskan dari lingkaran setan kemiskinan: tidak mempunyai industri karena miskin, dan miskin karena tidak mempunyai industri. Untuk keluar dari lingkaran setan itu, negara itu memerlukan uang dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan industrialisasi (Suryono, 2012). Oleh sebab itulah mereka dengan gampangnya menerima tawaran hutang tanpa dengan cermat mempertimbangkan perbedaan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 189 latar belakang sosio kultural mereka dengan negara maju yang akan dituruti langkahnya itu. Padahal, perbedaan itu sesungguhnya tidak memungkinkan bagi mereka untuk sepenuhnya menempuh langkah dan tahapan yang sama persis seperti yang dijalani negara maju (Suryono, 2012). Sejak itulah berkembang berbagai rencana pembangunan yang menjadi pegangan bagi negara baru merdeka tersebut, yang pada pokoknya mempunyai kesamaan pula: bertujuan untuk secepatnya mengejar ketertinggalan, melalui pembangunan ekonomi yang mengikuti jejak negara maju. Terutama karena didesak keinginan untuk sesegera mungkin meraih kemakmuran, dan bayangan pengalaman pahit sebagai negara terjajah. Karena baru menyelesaikan perang kemerdekaan, umumnya negara baru ini tanpa sadar memimpikan jalan pintas untuk membangun negaranya (Suryono, 2012). Inilah yang dilakukan Soeharto melalui pengesahan UU-PMA dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), dengan harapan Indonesia lepas landas (take-off) dari status negara berkembang/miskin menjadi negara maju sebagaimana “imamnya”, yakni Amerika. Tapi seperti diungkapkan Suryono, Indonesia melupakan perbedaan aspek sosio kultural antara dirinya dengan negara yang akan diikuti jejaknya. Secara kultural, negara Dunia Ketiga tak mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup, gaya pikir, dan gaya kesejahteraan masyarakat di Dunia Pertama. Akhirnya Dunia Ketiga malah menjadi korban untuk ke sekian kalinya, yang mana menurut teori ketergantungan (dependency theory), negara semacam ini adalah negara periferi (pinggiran) yang selalu bergantung pada negara center (pusat). 5) Resolusi Revolusi 1989 yang mengakhiri Perang Dingin dengan tuntas, secara laten meruntuhkan pembagian geopolitik dunia, namun secara manifest tidak demikian. Walau penggunaannya sebatas menggambarkan kesejahteraan, makna dan definisi atas istilah Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga telah berubah dari yang semula bertumpu pada ideologi politik menjadi bertumpu pada ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat. Apalagi teori tiga dunia ini telah 190 | Miftakhuddin banyak dikritik karena dinilai tidak lagi representatif terhadap situasi global terkini. Terlebih pemeringkatan itu sudah tercemar stigma negatif, terutama untuk Dunia Ketiga Atas dasar itu, sosiolog dan pemikir pembangunan menawarkan istilah “maju”, “berkembang” dan “terbelakang” dalam stratifikasi global, meski teori tiga dunia masih cukup populer di sastra kontemporer dan media. Hal ini dapat menyebabkan variasi semantik antar istilah yang menggambarkan entitas politik. Melalui terminologi ini, akan hadir jalan yang luas dalam mengkategorikan negara-negara di bumi menjadi tiga kelompok berdasarkan divisi sosial, politik, budaya dan ekonomi. Maka secara konseptual, tipe pembagian mana yang akan dipakai bergantung pada perspektif mana yang dianut. Di sinilah titik temu apa yang tadi diargumentasikan Huntington, dkk. sebagai bentuk pembagian yang tidak lagi relevan, namun masih dipakai; yakni terjadi pergeseran makna dalam terminologi teori tiga dunia, yang semula didasarkan pada divisi ideologi politik-ekonomi menjadi berdasar pada divisi sosial budaya dan ekonomi. Terlebih untuk penyebutan negara Dunia Ketiga, yang tidak mewakili Arab, Swiss dan Irlandia. Namun terlepas dari itu semua, ketertinggalan Afrika, Asia dan Amerika Latin sebagai Dunia Ketiga (dalam pengertian lama), sebenarnya juga disebabkan manuver-manuver ekonomi, politik dan militer Perang Dingin. Akhirnya, muncullah pemikir-pemikir pembangunan yang merumuskan teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena proses perkembangan negara-negara di dunia, sekaligus menyiapkan strategi yang cocok untuk membangun mereka yang miskin dan tertinggal. Kemudian dihasilkanlah beberapa teori pembangunan untuk memberikan penawaran jalan keluar kepada negara-negara miskin atau terbelakang, seperti; teori modernisasi, teori perubahan sosial, teori dependensi (ketergantungan), dan teori pembangunan kontemporer. Namun dalam perkembangannya, teori pembangunan yang paling kukuh dan banyak dikritisi ialah teori modernisasi dan teori ketergantungan. Hatu (2013) dalam bukunya berjudul Sosiologi Pembangunan menegaskan teori modernisasi dirumuskan untuk menjawab permasalahan baru yang terkait pembagian masyarakat dunia dalam tiga Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 191 kelas semasa Perang Dingin. Dunia pertama ialah masyarakat Eropa Barat dan Jepang di Timur Jauh, Dunia Kedua ialah masyarakat sosialis totaliter yang menempuh industrialisasi dengan biaya sosial yang besar, dan Dunia Ketiga ialah masyarakat postkolonial di Selatan dan Timur yang terbentang dan tenggelam dalam era agraris dan pra industri. Teori ini memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, yang mana merupakan teori yang berusaha menjelaskan perubahan dunia kurang maju ke dunia lebih maju (Sanggar, 2006). Sementara Halivaland (dalam Hatu, 2013) mengemukakan modernisasi adalah proses perubahan kultural dan sosioekonomis di mana masyarakat-masyarakat sedang berkembang memperoleh sebagian karakteristik dari masyarakat industri Barat. Menurut teori modernisasi, umumnya negara terbelakang akan menempuh jalan yang sama dengan industri maju di Barat, sehingga akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi. Teori ini menggariskan bahwa untuk mencapai kemajuan, mula-mula harus mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya 50 agar mampu take-off (tinggal landas). Sayangnya, ada asumsi dasar modernisasi adalah proses pem-barat-an masyarakat Timur. Apabila tak mengikuti pola pemikiran Barat, maka dianggap ketinggalan zaman dan kuno. Anggapan yang demikian tidak lain adalah etnosentrisme, maka berlaku -lah apa yang disebut Prof. Agus Suryono sebagai “modernisasi yang amat berbentuk westernisasi”. Modernisasi bukannya membangun masyarakat dengan ciri khas dan kemampuannya sendiri, melainkan digiring untuk mengikuti dan menjalin sepenuhnya model dari Barat. Padahal, negara berkembang harusnya menyadari model pembangunan Barat ditempa (tailored) untuk situasi yang besar sekali perbedaannya dengan negara berkembang. Walhasil, modernisasi memberi sejumlah dampak tertentu di luar prediksi dan ekspektasi negara berkembang, meski ada indikasi perubahan menuju kemajuan peradaban. 50 menurut teori modernisasi, masalah keterbelakangan negara bekas koloni di sebabkan terutama karena faktor-faktor di dalam masyarakatnya. Ini disimpulkan berdasarkan perspetif klasik ekonomi nasional dan aspek sosial yang menyebutkan pandangan tradisional dan struktur masyarakat sebagai hambatan utama dalam perkembangan politik, mentalitas serta modernisasi perekonomian. Di dalam pandangan modernisasi, akar dari segala prolem adalah kemiskinan, dan pembangunan berarti peberantasan kemiskinan. 192 | Miftakhuddin Lauer (1993) melihat sejumlah efek tersebut melingkupi aspek; demografi, sistem stratifikasi sosial, pemerintahan, pendidikan, serta nilai sikap dan kepribadian. Pertama, bidang demografi dibuktikan dengan terjadinya pertumbuhan penduduk sebagai akibat penurunan angka mortalitas, meningkatnya mobilitas dan kapasitas tenaga kerja dari desa ke kota (urbanisasi sebagai perubahan sektor agraris menuju industri), dan meningkatnya usia harapan hidup. Kedua, soal sistem stratifikasi sosial. Sanggar (2006) memaparkan perubahan itu meliputi; a) pembagian kerja yang semakin kompleks sejalan dengan meningkatnya spesialisasi, b) status sosial yang dulunya diperoleh berdasarkan keturunan atau askripsi (ascribed status) menjadi berdasarkan capaian kerja (achieved status), c) peran pekerja dari kegiatan untuk memberikan kepuasan, bergeser ke kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan, d) imbalan (reward) yang tersedia meningkat dan terdistribusikan lebih merata, e) terjadi pergeseran dalam distribusi gengsi sosial dan peluang kehidupan berbagai strata sosial. Ketiga, perubahan dalam pemerintahan yang semula berdasar kepentingan dan loyalitas kedaerahan berganti kepentingan dan loyalitas nasional. Begitu juga demokratisasi politik yang lebih menjangkau masyarakat lapisan bawah. Keempat, dalam bidang pendidikan, perubahan dapat diamati dengan melihat peningkatan pelajar/mahasiswa secara kualitatif, dan peningkatan lembaga pendidikan secara kuantitatif. Efek modernisasi membuat pendidikan diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang profesional, agar compatible untuk pasar kerja yang makin terspesialisasi. Kelima, perubahan nilai dan sikap kepribadian atau pranata sosial di pedesaan, yang dulunya bersifat solidaritas sosial dan kekeluargaan, telah menjadi individual dan efisiensi. Memang lima perubahan di atas adalah tanda kemajuan, tapi efek sampingnya berupa rusaknya lingkungan dan menurunnya rasa kemanusiaan atau empati, sekaligus lunturnya nilai-nilai sosial yang mapan. Indonesia adalah representasi nyata yang menggambarkan teori modernisasi sebagai teori yang paling dominan menentukan wajah pembangunan. Hatu (2013) membuat kerangka ciri-ciri perspektif modernisasi berupa; 1) modernisasi merupakan proses homogenisasi. Sebab sudah tak bisa dibantah, modernisasi menuntut kemiripan dan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 193 kesamaan, baik internal maupun eksternal. Dan kesamaan inilah yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan. 2) modernisasi adalah Eropanisasi dan Amerikanisasi. Ini tercermin dari asumsi umum, bahwa keberhasilan harus western-sentris. Barat adalah negara tak tertandingi dalam kesejahteraan politik dan ekonomi. Mereka sebagai negara maju dijadikan mentor dan percontohan untuk mengejar ketertinggalan negara berkembang. 3) modernisasi merupakan proses yang tidak mundur. Artinya, modernisasi tak bisa dihentikan manakala sudah mulai berjalan. Saat sudah berkontak dengan negara maju, maka Dunia Ketiga tak akan mampu menolak proses berikutnya. Lihat saja bagaimana analisis relasi center-prifer yang rawan intervensi. 4) modernisasi ialah perubahan progresif. 5) modernisasi butuh waktu panjang. Oleh karena banyaknya “kecurangan”, menurut Suryono (2012), teori ini banyak dikritik dalam implementasinya; 1) teori modernisasi hanya permainan kata manis, yang prakteknya adalah intervensi imitasi, bukan inovasi. 2) modernisasi tidak lain adalah sinonim westernisasi, urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi, yang hakikatnya sama. 3) kepalsuan pandangan dunia yang mengaku benarnya sendiri atau etnosentris. 4) adanya kepalsuan ketidaknormalan perubahan dengan asumsi bahwa model teoritik modernisasi menganggap bahwa masyarakatmasyarakat tradisional menentang perubahan, karena perubahan dianggap mengganggu. Padahal perubahan itu sendiri bersifat pasti dan alami (natural) yang bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja dari bangsa mana saja. 5) adanya kepalsuan jaminan yang berlebihan dan bersifat umum. Artinya, ada keyakinan yang berlebihan bahwa institusi yang mengalami modernisasi akan memiliki fungsi-fungsi positif dalam masyarakat tradisional. 6) adanya kepalsuan penalaran yang melingkar, di mana kebanyakan para teoretis modernisasi berangkat dari definisi modernitas menurut term dan ciri yang terbatas. Semua ciri yang tak sesuai kontribusi tipikal ideal modernisasi, dibuang sebagai kategori tradisional. 194 | Miftakhuddin 7) teori modernisasi sebagai doktrin pra-syarat. Asumsinya adalah seperangkat ciri tertentu merupakan prasyarat yang harus dipenuhi bagi modernisasi masyarakat, yang berarti peniruan (replikasi) sifatsifat budaya tertentu masyarakat maju atau Barat. 8) teori modernisasi sebagai doktrin menyamaratakan keadaan (konvergensi). Asumsinya, masyarakat sedang berkembang dianggap tidak terarah dan cenderung mengikuti jejak langkah masyarakat industri Barat dengan harapan dapat menyamai mereka; dan melambangkan masyarakat industri modern merupakan prestasi tertinggi. Padahal universalitas produk akhir sebenarnya tidak harus sama dengan contoh dan cara-cara awal (Barat). Sejumlah kritik di atas belum semua, namun cukup mewakili seluruh kritik yang ada. Kondisi di atas ialah bentuk kelemahan teori modernisasi yang kerap disoroti dalam implementasinya. Padahal konten yang substansial dari model pembangunan Barat atau modernisasi adalah industrialisasi produksi, yang jelas-jelas menjadi syarat mutlak untuk model pembangunan manapun (jika suatu masyarakat ingin merealisasikan mimpi untuk hidup lebih baik). Pemikiran berikutnya, lalu memunculkan teori yang berusaha menjelaskan mengapa program pembangunan Dunia Ketiga dalam meniru taraf kemajuan negara industri maju kurang berhasil. Teori yang mengakomodir persoalan tak terpecahkan itu ialah teori dependensi atau ketergantungan (dependency theory). Secara konsepsional, ada dua teori yang ingin menjelaskan fenomena kemiskinan dan keterbelakangan yang berkepanjangan di negara berkembang. Teori pertama cenderung mempermasalahkan faktor-faktor dalam diri masyarakat sebagai inner drive dan penyebabnya, meliputi; rendahnya modernitas, mindset dan nilai-nilai budaya tradisional (etos kerja tradisional, kurang menghargai waktu, bangga dengan keturunan (dinasti dan askripsi), menyerah pada nasib dan tunduk pada alam). Nah, teori ini adalah teori modernisasi. Sedangkan teori kedua cenderung mempersalahkan faktor-faktor diluar dari masyarakat sebagai outer drive dan penyebabnya, meliputi; bermainnya kekuatan luar yang dominan dan eksploitatif, atau adanya Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 195 faktor luar yang memang tak bisa dilawan. Nah, teori ini adalah teori dependensi (dependency teori). Teori dependensi dan teori modernisasi merupakan dua buah teori berbeda rumpun, bahkan secara diametral, sehingga dasarnya pun berbeda. Bagi teori dependensi, problem Dunia Ketiga bukan terletak pada rendahnya produktivitas internal masyarakat, melainkan pada satu proses yang disebabkan aktor-aktor eksternalnya sebagai satu variabel yang sangat menentukan dalam program pembangunan dan munculnya ketidakberkembangan/ketergantungan. Hipotesis asumtif yang bisa diajukan soal akar permasalahannya adalah neokolonialisme, eksploitasi dan penerapan sistem pembagian kerja dalam panggung internasional. Bagaimanapun ini tak bisa dilawan karena negara center (Dunia Pertama) mampu menciptakan blokade. Sebagaimana diulas dalam Bab VII, pandangan ini muncul dari krisis di Amerika Latin, dengan mengadopsi teori imperialisme Prebisch. Sebagaimana ditegaskan Hatu (2013) dalam Sosiologi Pembangunan, secara historis, teori dependensi lahir atas ketidakmampuan teori modernisasi membangkitkan ekonomi negaranegara terbelakang, terutama negara di Amerika Latin. Bantahan terhadap teori modernisasi, dinyatakan dengan mengklaim bahwa faktor luar -lah yang paling menentukan keterbelakangan, yaitu campur tangan dan dominasi negara maju terhadap laju pembangunan di Dunia Ketiga. Oleh karena kemandegan dalam perkembangan di Dunia Ketiga disebabkan intervensi aktor luar, satu-satunya jalan untuk lepas dari jerat ini ada memutus hubungan dan biarkan Dunia Ketiga menjalankan roda pembangunannya secara mandiri. Ahli teori dependensi, Theotonio Dos Santos, mendefinisikan ketergantungan sebagai relasi tak seimbang antara negara maju dan negara miskin dalam pembangunan di kedua kelompok negara tersebut. Menurutnya, jika ada kemajuan di negara Dunia Ketiga, itu hanya efek ekspansi ekonomi negara maju dengan kapitalismenya. Jika terjadi suatu negatif di negara maju, maka negara berkembang terdampak pula. Sementara jika hal negatif terjadi di negara berkembang, belum tentu negara maju akan terdampak. Inilah yang tadi oleh penulis disebut sebagai blokade dalam hubungan yang tak seimbang. 196 | Miftakhuddin Ada sedikitnya dua perspektif rasional yang menarik soal kenapa negara maju melakukan hal ini kepada negara berkembang, sebagaimana dikutip dari kaum Marxis Klasik oleh Hatu (2013). Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tak dinamis dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju ketika telah disentuh negara pusat yang membawa kapitalisme ke sana. Ibaratnya, negara pinggiran adalah putri tidur yang akan bangun dan mengembangkan potensi kecantikannya setelah disentuh pangeran tampan. Pangeran tampan itulah yang disebut negara pusat, dengan ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat ini yang kemudian dibantah penggiat teori dependensi, sebab nyatanya kecantikan itu tidak membawa perubahan yang diharapkan kepadanya diri si putri, melainkan hanya dimanfaatkan negara pusat dengan kapitalismenya yang mengikat. Menganggap seolah Dunia Ketiga mampu bangkit tanpa intervensi Dunia Pertama, Hatu menegaskan ada bantahan lagi dari teori dependensi; 1) negara pinggiran pra-kapitalis ini punya dinamika tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Bila tak tersentuh negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkan. 2) justru karena dominasi, sentuhan dan campur tangan, negara pra-kapitalis tak bisa maju karena selalu bergantung kepada negara maju tersebut. Hal yang perlu digaris bawahi adalah dengan campur tangan negara kapitalis, bukannya memajukan negara miskin malah semakin memiskinkan negara pinggiran. Ketergantungan ada dalam format neokolonialisme yang diaplikasikan tanpa harus menghapuskan kedaulatan Dunia Ketiga. Keterbelakangan ekonomi Dunia Ketiga bukan hanya disebabkan terintegrasinya mereka dalam tata ekonomi kapitalisme di negara maju, namun juga disebabkan tindakan pengawasan ketat dan monopoli modal asing, serta penggunaan teknologi maju pada tingkat internasional dan nasional. Ketika teori modernisasi menawarkan solusi dengan cara membangun masyarakat tradisional menjadi masyarakat dengan modernitas tinggi, teori ketergantungan menawarkan solusi dengan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 197 memutus hubungan kapitalis dengan para neokolonialis di negara centrum. Sebab kemiskinan dan perkembangan yang lamban di negara perifer (pinggiran) tidak lain diakibatkan struktur relasi yang tidak seimbang dan eksploitatif. Namun demikian, rupanya menurut Suryono (2012) ada juga sejumlah kritik yang dilontarkan kepada teori dependensi, seperti; 1) dianggap terlalu mendramatisir keadaan dan melebih-lebihkan (over acting). Sehingga tercipta image seakan-akan terjadi ketergantungan antara negara yang miskin (legging sectors) dengan negara yang kuat (leading sectors) 2) pandangan kaum dependensia tentang kontradiksi yang fundamental antara center dan perifer ternyata tidak berhasil memperhitungkan struktur-struktur kelas produksi di periferi yang menghambat terbentuknya tenaga produktif 3) cenderung berfokus pada masalah pusat dan kapital, karena keduanya dipersalahkan sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan, ketimbang masalah pembentukan kelas-kelas sosial lokal 4) dianggap gagal membedakan antara kapitalis dengan feodalis, atau bentuk-bentuk pengendalian produser masa pra-kapitalis lainnya, dan perampasan keuntungan (appropriasi surplus) 5) dianggap mengabaikan produktivitas tenaga kerja sebagai titik sentral dalam pembangunan ekonomi nasional, dan meletakkan tenaga penggerak (motor force) dari pembangunan kapitalis dan masalah keterbelakangan pada transfer surplus ekonomi pusat ke periferi 6) teori dependensia juga dinilai menggalakkan suatu ideologi berorientasi ke Dunia Ketiga yang meruntuhkan karakter dan potensi solidaritas kelas internasional, dengan menyatukan semuanya sebagai “musuh”, baik elit maupun massa yang berada di bangsa-bangsa pusat (negara centrum) 7) dinilai statis, karena tidak mampu untuk menjelaskan dan memperhitungkan perubahan-perubahan ekonomi di negara-negara berkembang dan terbelakang menurut waktu dan perubahannya. 198 | Miftakhuddin Bilamana ditelaah dan dicermati, kritik yang menempel pada teori dependensi merupakan kebalikan atau “pembalasan” teori modernisasi. Hubungan di antara keduanya bukanlah suatu perdebatan, melainkan lebih kepada suatu hal yang lazim karena dasar, paradigma dan perspektifnya berbeda secara diametral. Rumpun teori modernisasi membela sistem masyarakat kapitalistik, dengan tendensi etnosentrisme yang menempatkan sosok masyarakat industri kapitalis (Barat) sebagai parameter keberhasilan pembangunan, keunggulan, kemajuan, dan kesejahteraan hedonis. Sedangkan rumpun teori dependensi melawan sistem masyarakat kapitalistik, dengan bertumpu pada teori konflik historikal Karl Marx, yang mana intervensi eksternal menyebabkan penindasan dan penderitaan masyarakat kelas pekerja dalam masyarakat industri yang kapitalistik. Baik teori dependensi maupun modernisasi patut dihargai kontribusinya dalam menjelaskan fenomena kemiskinan dan keterbelakangan yang berkepanjangan. Tapi menurut Suryono (2012), kendatipun sering menjadi rujukan, keduanya belum bisa menjelaskan sepenuhnya akar persoalannya secara ideologi-sentris. Sebagai contoh, Suryono mengangkat kasus petani desa Indonesia yang dulunya rajin dan prestisius dalam menguasai dan menyikapi lingkungan alam sebagaimana masyarakat modern. Meski mereka masih hidup dalam sistem ekonomi yang tradisional, namun beberapa generasi terakhir menampakkan penurunan produktivitas dan kinerja; cenderung malas. Pertanyaannya, mengapa penurunan etos kerja dan produktivitas ini bisa terjadi? Demikian juga Immanuel Wallersten (dalam Hatu, 2013), tata ekonomi kapitalis tidak bisa dijelaskan dengan kedua perspektif di atas. Faktanya, negara-negara di Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa mengaplikasikan teori modernisasi sebagaimana dipropagandakan Amerika, maupun mengalami ketergantungan sebagaimana diusulkan teori dependensi. Menurut Wallersten (dalam Hatu, 2013), dunia awalnya dikuasai kekuatan lokal dengan sistemnya masing-masing, lalu kekuatan ini saling menjalin hubungan walau masih terpisahkan lokalitas, dan kemudian terjadi penggabungan sistem melaui Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 199 penaklukan. Atas dasar asumsi itulah kemudian Wallersten menawarkan teori Sistem Dunia (World Empire). Wallersten tidak sepakat dengan pendekatan dependensi yang melihat dalam ketergantungan yang terjadi, hanya ada dua jenis negara, yaitu negara pusat (metro) dan negara pinggiran (satelit). Itulah mengapa dia mengajukan tiga klasifikasi negara sebagaimana dikenal teori Sistem Dunia (World Empire). Tiga klasifikasi tersebut adalah; 1) negara pusat, 2) negara pusat pinggiran, dan 3) negara pinggiran. Mekanisme kerja yang berlaku adalah negara pusat mengambil keuntungan dari negara pusat-pinggiran, sedangkan negara pusat-pinggiran mengambil keuntungan dari negara pinggiran. World Empire inilah yang sekarang mengendalikan sistem ekonomi-politik negara-negara di dunia dengan mengambil keuntungan dari negara di strata bawahnya, meski tidak secara yuridis. Setiap negara dalam bingkai teori World Empire, tidak dapat berdiri sendiri, dan setiap kasta akan mengalami peningkatan kemakmuran yang lebih baik. Menurut Wallersten (dalam Hatu, 2013), ada tiga strategi sebuah negara menaikkan kastanya, yang mana bila dicermati, memiliki corak yang hampir mirip dengan solusi teori dependensi, yaitu kemandirian. Tiga strategi tersebut meliputi: 1) berani merebut kesempatan untuk berspekulasi melakukan industrialisasi substitusi impor negara pinggiran. Jika ini berhasil, maka dia cukup punya “ancang-ancang” untuk tak bergantung pada negara pusat dalam hal pasokan barang-barang baku industri di dalam negerinya sendiri. 2) Menarik investasi perusahaan luar negeri untuk mendirikan perusahaan multinasional dan menggandeng pengusaha lokal. Di sini, peran negara sangat vital karena mampu melakukan koordinasi dan memberi perlindungan terhadap usaha kecil domestik yang pada umumnya memiliki modal tenaga ahli dan wilayah pemasaran produksi terbatas. Di samping itu, jenis industri domestik skala internasional jelas perlu dana yang tidak sedikit karena ia akan bersaing dengan produk unggulan negara maju yang memiliki pangsa pasar yang jelas dan kualitas yang teruji. Itulah mengapa peran institusi negara amat penting, sebab hanya negara yang 200 | Miftakhuddin mampu mengawal sebagai institusi politik tertinggi dalam suatu kawasan. 3) Negara menjalankan kebijakan internal untuk memandirikan perekonomian negaranya sendiri dan terbebas dari dominasi negara pusat. Ini diwujudkan dengan politik dumping atau proteksi atas produk industri dalam negeri yang membanjiri pasar dalam negeri. Selain itu pemerintahan negara pinggiran harus mempersiapkan tenaga ahli dalam negeri, karena pada saatnya nanti dapat mengembangkan teknologi industri domestik. Hasilnya tentu industri dalam negeri dapat bersaing di pasar global. Survive-nya industri domestik merupakan pertanda baik bahwa pendapatan nasional mengalami surplus pertumbuhan ekonomi, dan surplus pertumbuhan ekonomi dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 201 A. Penyebab Sejak awal terbentuknya koloni, pergeseran paradigma kolonialisme telah terjadi. Masyarakat Yunani yang merasa tak puas dengan perolehan hasil alam di polisnya berusaha mendapatkannya di luar polis yang tak berpenghuni. Sehingga terjadilah pemisahan diri dari polis, namun tetap terjalin sistem ekonomi politik dengan kampung. Mereka berpisah secara sosial, tapi secara politis mereka tidak membuang statusnya sebagai bagian dari satuan politik tempat asalnya (mother land). Perantauan petani itu disebut colonus, yang artinya pemukiman. Inilah bentuk terawal koloni manusia, di mana koloni berdiri untuk mendapat hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan polisnya. Pola pemenuhan kebutuhan hidup ini kemudian ditiru bangsa lain, dan berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika terjadi peningkatan kebutuhan (terutama hasil tambang), keinginan menyebarkan agama, kepadatan penduduk, kriminalitas dan lain sebagainya dilakukanlah kolonisasi dengan berbagai motif. Sayangnya, wilayah yang koloni bukan hanya wilayah kosong, tapi melingkupi yang berpenghuni, maka terjadilah perebutan dominasi dan kedaulatan. Hubungan pemenang dengan yang kalah akhirnya menjadi hubungan penjajah dan terjajah, dan tanah tersebut menjadi tanah jajahan. Sebagaimana Loomba (2003), hubungan pendatang baru dengan penduduk asli pasti menimbulkan beberapa masalah relasional yang kompleks dan traumatik. Permasalahan kolonial seperti ini dikemukakan sebagai “pembentukan sebuah komunitas” di daerah jajahan. Bagi Yunani saja, ada sedikitnya dua alasan pokok mengapa kolonisasi itu perlu. Pertama, kepadatan penduduk/kurangnya ruang publik yang menimbulkan masalah-masalah sosial. Ketidakseimbangan kuantitas penduduk dengan ruang hidup dan lahan pertanian memicu masalah kesejahteraan pangan, kemiskinan, dan lainnya, sehingga 202 | Miftakhuddin masyarakat terpaksa berkoloni ke luar polis. Kedua, perselisihan antar polis. Persoalan politik yang berujung pertentangan/peperangan membuat pihak yang kalah harus mencari suaka baru untuk penyelamatan diri51. Beberapa literatur ada yang menyatakan terdapat alasan ketiga, yakni jiwa petualang masyarakat Yunani yang tumbuh karena kerasnya kondisi alam Yunani. Tapi jika dipertimbangkan, itu tidak berbeda dengan alasan pertama. Penyebab pergeseran kolonialisme amat kompleks dan tumpangtindih, di mana jika diklasifikasikan akan menjadi tiga kategori utama, yakni; sebab ideal, sebab sosial, dan sebab material. Sebab ideal merupakan sebab yang bersumber dari munculnya gagasan atau ide-ide tertentu, seperti; agama, ideologi dan paham-paham politik baru. Sebab sosial adalah sebab yang bersumber dari problem-problem sosial kemasyarakatan. Sebab material adalah sebab yang bersumber dan berkaitan dengan materi, bisa berupa harta benda maupun teknologi. Sebab ideal, tercermin dari kasus masuknya koloni militan kristen ortodhoks ke imperium Romawi untuk menyebarkan agama, yang mana kemudian menjadi salah satu sebab keruntuhan Romawi, di samping gempuran bangsa barbar (jermanik) dan sistem pergantian kaisar yang tidak jelas. Saat Konstitianus sebagai kaisar pertama pemeluk kristen menjadikan agamanya sebagai agama kerajaan, gereja kristen menjadi organisasi terkuat yang bisa menghimpun 10% penduduk. Pembangunan gereja di berbagai tempat dan militansi pastor/pendeta membuat masyarakat hanya berpikir soal akhirat sehingga mengabaikan urusan duniawi (materi). Lunturnya sifat materialis ini secara masif menghentikan roda perekonomian. Mereka tidak lagi patuh pada kewajiban membayar pajak, wajib militer, dan lainnya. Alhasil, terjadilah inflasi besar-besaran di seluruh Romawi. Ketika memasuki era penjelajahan, sebab ideal ini semakin jelas dengan Gold, Glory dan Gospel sebagai platform dilakukannya kolonisasi bangsa Spanyol. Sebagaimana surat wasiat terakhir Ratu Isabella, (dalam Ahmat, 2006): 51 Bila ini dihadapkan pada ungkapan Loomba di atas, maka ada dua opsi yang harus diambil pihak yang kalah, yakni menjadi rakyat terjajah atau menjadi manusia merdeka dengan bermigrasi. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 203 ...Tujuan utama negara kita adalah senantiasa untuk menukarkan agama penduduk-penduduk pulau-pulau Hindia dan Terra Firma kepada agama suci kita dan menghantar mereka biskop-biskop, mubaligh dan orang terpelajar yang lain untuk mengajar, mendidik dan melatih mereka supaya bertata-tertib... Di samping agama, kehadiran kapitalisme dan imperialisme untuk memperluas kerajaan juga termasuk sebab ideal pergeseran paradigma kolonialisme. Ini terlihat jelas dari usaha Britania Raya dan Prancis yang berlomba-lomba memperluas kekuasaannya sampai ke Asia dan hampir seluruh Eropa. Faktor politik ini turut berkontribusi dalam menggeser paradigma kolonialisme yang telah mapan ke arah dominasi teritorial kerajaan lain. Rohman (2009), turut memperjelas asumsi ini dengan berangkat dari argumen Ania Loomba, bahwa Kolonialisme menggerakkan roda kapitalisme. Kapitalisme berpuncak pada imperialisme, demikian Lenin dan Kautsky memberikan makna baru pada imperialisme, yang termaktub dalam Imperialism, the highest stage of capitalism (1947). Kapitalisme inilah yang kemudian membedakan antara kolonialisme dan imperialisme. Inilah yang tadi disebut-sebut sebagai penyebab pergeseran yang tumpang-tindih. Kolonialisme ialah paham untuk memperkuat kapitalisme, di samping itu kapitalisme juga fondasi melakukan kolonialisme. Artinya terdapat sebab ideal (sebab politik) juga merupakan sebab material. Begitu juga sebaliknya. Sebab ideal berupa munculnya paham politik baru inilah yang memberi efek paling besar dan masif di seluruh dunia, ketimbang sebab sosial dan sebab material. Apalagi saat di mana Britania Raya dan Prancis mendominasi Asia. Ketika pemikir Barat mulai memperkenalkan dan menyebarkan paham nasionalisme, paham nasionalisme menjadi landasan utama negara-negara terjajah memperjuangkan emansipasi, hak milik dan hak kelola atas tanah airnya masing-masing. Banyak negara-negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika kemudian memerdekakan diri. Setelah negara-negara di dunia dengan segala kepentingannya membentuk 204 | Miftakhuddin koalisi dan berseteru hingga berpuncak pada Perang Dunia dan Perang Dingin, PBB yang saat itu menjadi organisasi internasional paling berwenang mengatur dunia baru agar tak terjadi lagi kolonialisme. Namun demikian, itu bukanlah akhir dari kolonialisme di dunia. PBB sebagai organisasi yang mengawasi perdamaian hanya menyelesaikan persoalan kasat mata (kolonialisme fisik). Padahal di era perdamaian, faktor politik telah mentranformasi kolonialisme dan imperialisme menjadi neokolonialisme dan neoimperialisme. Artinya, apa yang disebut sebagai sebab ideal merupakan penyebab paling masif dan terstruktur bahkan sampai sekarang. Sebab sosial, dapat dibuktikan dengan mengamati kolonialisme penduduk, kolonialisme deportasi, dan kolonialisme transmigrasi sebagaimana penulis ulas dalam bab sebelumnya. Sebab sosial, menjadi suatu alasan nyata terjadinya mengapa paradigma kolonialisme bergeser, meski sementara (kontemporer). Sebab sosial telah muncul sejak Yunani menemui persoalan demografi berupa kurangnya ruang publik. Tidak seimbangnya kuantitas penduduk dengan luas lahan di suatu polis menyebabkan berbagai persoalan sosial seperti kriminalitas, kesejahteraan pangan, kemiskinan, dll. Akhirnya masyarakat polis Yunani melakukan kolonisasi transmigrasi. Persoalan sosial lain penyebab perubahan cara pandang kolonialisme bisa dilihat pula dalam sejarah Inggris yang mendeportasi rakyatnya ke Australia, Prancis yang mendeportasi narapidananya ke kepulauan di Pasifik, dan kerajaan Bali yang memenjarakan rakyatnya ke Pulo Rossa (Nusa Penida) karena dianggap menentang raja (Dorléans, 2016). Begitu juga dengan persoalan sosial yang bersumber dari invasi bangsa asing, seperti dilakukan suku Indian saat kedatangan Columbus dan bangsa Spanyol lainnya, dan suku Aborigin yang kedatangan narapidana Inggris di Australia. Mereka sebagai suku asli yang merasa tertekan pada akhirnya harus tersingkir dan mendirikan koloni. Bila dilihat dari sudut pandang pengkoloni barangkali ini menjadi sebab politik, namun dari sudut pandang pribumi, kolonial ini terjadi karena sebab sosial. Sementara, cara pandang kolonialisme kala itu hanya berlaku terbatas pada etnis dan masyarakat tertentu. Sejenak Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 205 kolonialisme dipahami sebagai suatu paham pendirian koloni atas adanya invasi, dengan maksud menghindari penjajahan atau eksploitasi SDM. Namun pada perkembangannya, tidak lagi demikian. Ketika koloni sudah terbentuk karena disebabkan oleh suatu ideologi (sebab ideal), dan sudah pula disebabkan persoalan sosial (sebab sosial), maka penyebab yang mengubah lagi paradigma kolonialisme adalah sebab material. Sebab material menjadi sebab yang paling nyata hingga siapapun bisa melihatnya. Dahulu bangsa Yunani berkoloni di tanah tak bertuan, namun kemudian sistem itu ditinggalkan karena dianggap tak lagi menguntungkan. Maka dilakukanlah kolonisasi di tanah berpenghuni, dengan ekspektasi kebutuhan yang sebelumnya tak terpenuhi menjadi terpenuhi melalui sistem baru. Praktis, ketika kebutuhan baru tidak terpenuhi dengan sistem baru, maka sistem itu ditinggalkan dengan mencari metode pemenuhan lain, yaitu transaksi perdagangan. Pola perubahan paradigma yang demikian berlaku seterusnya, sebagaimana Harsono (2006), secara teoritik perubahan paradigma terjadi atas dorongan hasil analisis mutakhir yang menunjukkan sistem yang dianut tidak lagi memberi hasil yang memuaskan. Perubahan paradigma membawa perubahan mindset, dan perubahan mindset membawa implikasi operasional sejalan dengan tujuan yang akan dicapai melalui perubahan paradigma. Terbukti berabad-abad setelahnya, sejak berakhirnya Perang Salib atau keruntuhan Romawi tahun 1453, banyak pelabuhan dagang di Barat ditutup, termasuk Lisabon yang saat itu merupakan pelabuhan paling vital bagi kehidupan Barat. Akhirnya dengan hasrat membalas kekalahan Perang Salib, mencari sumber rempah yang selama ini diperdagangkan di Lisabon, dan merebut daerah islam, maka Portugis dan Spanyol menyepakati perjanjian Tordesillas atas restu paus. Perjanjian itu membagi dunia dibagi menjadi dua; sebagian milik Portugis dan sisanya milik Spanyol. Keduanya berhak melakukan kolonisasi sesuai pembagian tersebut. Bila dicermati, ketiga motivasi itu telah mewakili sebab ideal dan sebab material. Sebab material tentu bisa langsung merujuk pada alasan pencarian rempah yang senilai emas itu, tapi faktor pendukung yang 206 | Miftakhuddin juga merupakan sebab material ialah hadirnya piranti-piranti pendukung seperti ditemukannya kompas, bubuk mesiu, mesin cetak, dan produk renaissance lainnya. B. Periodisasi Perjumpaan historis dunia Barat dan Timur sudah sangat lama terjadi. Tapi titik perjumpaan paling masif terjadi melalui serangkaian Perang Salib. Sebenarnya, itu sekadar perang antara kerajaan-kerajaan Kristen Eropa melawan negeri-negeri Islam untuk memperebutkan dominasi di Palestina. Kendatipun demikian, perang ini menjadi kulminasi dari sekian pra-anggapan yang diwariskan keduanya, seperti anggapan tentang Kristen dan anggapan tentang Islam. Dampak perangperang ini menciptakan relasi dan persepsi khas yang diwariskan pada era sesudahnya, terutama ketika pedagang Eropa muncul di perairan Asia Tenggara dan berjumpa dengan pedagang-pedagang Muslim. Sekitar abad lima belas dan selanjutnya, berkembang pula kotakota pelabuhan dagang di Eropa, seperti; Venesia dan Genoa yang mengembangkan perdagangan ke Laut Mediterania. Karena pedagang muslim di sana tergeser oleh aktivitas pedagang Eropa, pedagang muslim mulai berdagang ke Asia. Kota-kota seperti Venesia dan Genoa inilah yang mendobrak pola-pola tradisonal dan menjadi landasan dimulainya Abad Penjelajahan bangsa Eropa. Mereka tak lagi membatasi diri pada perdagangan di Laut Mediterania, melainkan mencari jalan masuk untuk sampai ke dunia Timur yang dipercayai sebagai sumber kekayaan Eropa. Kekuatan politik Eropa kemudian menggantikan para pedagang setelah secara massal Eropa menemukan dunia Timur. Demikianlah kolonialisme berkembang dari motif ekonomi politik yang terbatas, menjadi proyek peradaban untuk menguasai dunia Timur. Proyek ini berhasil terutama sejak abad 19 dan tahun 1914. Tak kurang dari 85% wilayah di dunia ini dikendalikan bangsa Eropa. Di luar itu, ironisnya sumber kekayaan tersebut sebagian malah dipakai membiayai peperangan panjang antar bangsa (Perang Dunia I dan Perang Dunia II). Untungnya seusai perang disepakati dibentuknya organisasi dunia (United Nations) untuk menjaga perdamaian. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 207 Celakanya, organisasi itu sering ditunggangi suatu elit untuk menjalankan kepentingan negaranya (neokolonialisme). Bertolak dari pembahasan ini, teranglah pola pergeseran paradigma dalam pendirian koloni selalu dinamis. Entah kolonisasi macam apa lagi yang nanti akan hadir sebagai pengganti ketika tren hegemoni untuk mengendalikan hukum (kebijakan) dan kebudayaan suatu negara tidak lagi populer. Namun yang jelas, pola ini akan tetap ada seirama dinamika kerangka pikir manusia yang senantiasa berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dirinya sebagai individu, maupun kebutuhan rakyatnya sebagai bangsa yang berkewajiban mengabdikan diri. Pergeseran-pergeseran di atas, secara periodik dapat dirunut menjadi; 1) koloni pertanian menuju koloni perdagangan. 2) koloni perdagangan menuju koloni politik. 3) koloni politik menuju koloni ekonomi-politis. 4) koloni ekonomi-politis menuju neokolonialisme (hegemoni). 1) Koloni pertanian menuju koloni perdagangan Satu-satunya sebab colonus berdiri ialah kualitas tanah di polis tergolong kurang baik (Sudrajat, 2010). Apa yang bisa ditanam hanyalah anggur, zaitun, gandum, dan tanaman semi tropis lainnya (Sumobroto, 1989). Ditambah lagi berbagai persoalan demografi, sosial, dan lainnya. Kondisi inilah yang menuntut kolonisasi dan hubungan dagang dengan Mesir, Persia, dan bangsa lain di Laut Tengah. Melalui perdaganganlah polis Yunani mendapat kebutuhannya, seperti peralatan logam, kain sutera, dan lain-lain. Tapi yang perlu diperhatikan, proses perdagangan tidak sekadar datang, jual beli lalu pergi. Mereka (termasuk pedagang bukan Yunani) mendirikan camp-camp perdagangan di sekitar Laut Tengah untuk mempermudah akses, distribusi dan mobilisasi perdagangan berikutnya, dengan harapan melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi ini, meningkat pula kesejahteraan masyarakat polisnya. Fase ini menandai kolonisasi pertanian telah berubah menjadi kolonisasi perdagangan. Koloni yang semula bermakna pemukiman petani yang desain menghasilkan produk pertanian, berubah menjadi pangkalan dagang yang didesain memperoleh barang-barang ekonomis. Fase ini juga menunjukkan substansi pokok kolonisasi adalah eksploitasi 208 | Miftakhuddin dan pembangunan. Hal ini ditampakkan oleh aktivitas para colonus yang berkembang secara sporadis dan senantiasa memberdayakan dan memeras alam untuk membangun masyarakatnya. Adanya fakta ini sekaligus sebagai indikasi hadirnya bibit imperialisme dalam pemerintahan. Perebutan wilayah strategis selalu diupayakan dalam kerangka perluasan teritorial kekuasaan. Kemenangan polis Athena melawan Persia misalnya, yang mana kemudian berlanjut dengan Liga Delia. Begitu juga dengan terbentuknya Liga Peloponessos sebagai perwujudan unifikasi penaklukan polis Sparta terhadap polis-polis lainnya. 2) Koloni perdagangan menuju koloni politik Pengembangan koloni dengan semangat imperialisme telah mengganti ruh koloni perdagangan menjadi ruh koloni kerajaan (imperial). Celakanya, koloni bangsa Yunani terhenti saat berjumpa dengan koloni bangsa Romawi yang justru tak bisa dikuasai olehnya. Malahan bangsa Romawi yang melakukan penaklukan atas Yunani dan membuatnya menjadi bagian dari imperium Romawi. Asumsi dasar yang dirumuskan secara umum, dengan anggapan kalau pengkoloni punya peradaban yang lebih unggul dan mampu memberikan duplikasi kepada berbagai aspek kehidupan bangsa yang dikoloni pun agaknya tidak berlaku dalam hubungan kolonial Yunani-Romawi. Hubungan kolonial Yunani-Romawi tampaknya mematahkan asumsi tersebut. Sebab faktanya, berbagai aspek kehidupan Romawi justru terpengaruh Yunani, seperti aspek kesenian dan kepercayaan misalnya. Seni arsitektur, seni lukis dan kepercayaan politeistik terhadap para dewa adalah bentuk duplikasi Romawi kepada Yunani. Di lain perkataan, kebudayaan dan kesenian Romawi merupakan hasil sinkretisme antara kebudayaan dan kesenian milik Yunani dengan milik Romawi. Pola ini persis dengan agama Hindhu yang juga merupakan hasil sinkretisme agama bangsa Dravida dengan kebudayaan bangsa Arya di lembah sungai Indus, ketika bangsa Arya menginvasi kota Harappa dan Mohenjo Daro (Us-Samad, 1990). Berkat kemenangan Romawi dalam mengkoloni Yunani, sayap kekuasaan Romawi melebarkan melebar hingga menguasai kerajaan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 209 tetangga dengan metode devide et impera untuk memecah belah dan mempersatukannya kembali di bawah satu atap pemerintahan. Kerajaankerajaan yang baru dikuasianya tadi otomatis menjadi negara vassal bagi Romawi, di mana terdapat pendelegasian kekuasaan politik di situ. Segala keputusan politik dan kebijakan publik di sana harus mendapat persetujuan kaisar Romawi, melalui wakil kaisar di sana. Demikian maka terbentuklah Romawi menjadi sebuah imperium besar, mirip dengan sistem pemerintahan Majapahit yang pernah berjaya di Asia Tenggara. Sampai fase ini koloni perdagangan telah bergeser menjadi koloni politis. Lihat saja bagaimana kaisar Romawi mendelegasikan kekuasaan politiknya kepada setiap kerajaan vassal. Setiap perwakilan dan perangkat birokrasi yang menyertainya secara konsepsional adalah merupakan koloni Romawi, meski secara yuridis merupakan satu kesatuan. Sistem ini makin berjalan baik ketika Romawi diperintah kaisar Justinianus dengan menyempurnakan hukum-hukum yang berlaku, dan mulai runtuh saat ada invasi kaum barbar (Arya) dan masuknya kristen ortodhoks hingga diresmikannya agama itu menjadi agama kerajaan pada masa pemerintahan kaisar Konstitianus. Koloni politik pun pada gilirannya “mati suri” ketika zaman memasuki Abad Pertengahan atau Zaman Kegelapan (Dark Age). Zaman ini adalah masa di mana pemerintahan Romawi yang membentang hampir seluruh Eropa dikuasai otokrasi gereja. Pemerintahan ditunggangi majelis gereja. Adapun kaisar hanya bersifat simbolik dalam pelantikan pejabat kerajaan. Segala penemuan sains dianggap ilmu sihir, bentuk pengkhianatan Tuhan dan melenceng dari wahyu-wahyu Tuhan. Ketika ilmuwan sains dihukum dan dieksekusi karena dianggap murtad, filsuf materialis turut benar-benar sirna. Hanya filsuf teologi kekristenan saja yang diakui kebenarannya, karena proses pendidikan yang disampaikannya didasarkan pada Alkitab. 3) Koloni politik menuju koloni ekonomi-politis Koloni politik menuju ekonomi-politis terjadi ketika masa suram Abad Pertengahan mengalami titik balik, yakni saat kerajaan Islam mulai menguasai kerajaan-kerajaan vassal Romawi. Sedikit demi sedikit 210 | Miftakhuddin penguasaan dilakukan tentara islam, ditambah dengan serbuan dari bangsa barbar membuat Romawi terdesak dan terpaksa memecah Romawi menjadi dua; Romawi Barat beribukota di Milan, dan Romawi Timur beribukota di Byzantium (Konstantinopel). Senggang beberapa waktu pasca keruntuhan Romawi Barat karena invasi militer dan inflasi yang tak terkontrol, hanya tinggal Romawi Timur yang masih bertahan dengan otokrasi gereja yang kuat. Namun desakkan tentara islam yang telah menguasai Turki, Jerussalem dan Suriah pada akhirnya memicu Perang Salib (the crusades) yang berlangsung hampir dua abad lamanya. Kemenangan islam yang ditandai jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki (Arab) menandai berakhirnya Romawi Timur dan menjadi timing titik balik Abad Pertengahan menuju Abad Pencerahan (renaissance). Revolusi Protestan sebagai bentuk perlawanan terhadap doktrin gereja dan penemuan sains sebagai bentuk bangkitnya filsafat materialistik menjadikan renaissance lebih bermakna. Ada tiga penemuan penting yang membuat renaissance semakin cepat, yakni; mesiu, seni cetak dan kompas (Saifullah, 2014). Penemuan mesiu menandakan runtuhnya kekuasaan feodal, karena hak menggunakan senjata tidak lagi terbatas pada kaum borjuis, melainkan telah terbuka untuk kaum proletar. Seni cetak melambangkan suatu pengetahuan tidak lagi menjadi milik eksklusif elit tertentu. Sementara kompas berarti navigasi telah menjadi hak semua orang dan memungkinkan orang Eropa memperluas horizon Barat ke dunia baru (new world). Penemuan kompas ini kemudian memicu penjelajahanpenjelajahan seperti; penjelajahan Vasco da Gama dan Marco Polo. Di waktu yang bersamaan, islam yang telah menguasai bekas-bekas kekuasaan Romawi, melarang orang Eropa berdagang di beberapa pelabuhan sentral. Kondisi tak menguntungkan dan disepakatinya perjanjian Tordesillas membuat bangsa Eropa (Portugis dan Spanyol) mulai melakukan penjelajahan dengan misi menemukan lokasi sumber kebutuhan pokok (cengkeh, merica, lada, dan rempah lainnya), sesuai diinformasikan para pedagang yang mengungsi dari Perang Salib di Spanyol dan Portugis, dan karena perjanjian Tordesillas disepakati atas restu paus serta dalam rangka pembalasan kepada negara islam, maka Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 211 motif penjelajahan pun sengaja dirasuki semangat reconquesta (penaklukan kembali), dengan maksud merebut kembali daerah-daerah yang direbut muslim dan mengganti agama islam menjadi agama Kristen Ortodhoks. Itulah mengapa di daerah bekas jajahan Portugis dan Spanyol, agama pribuminya berubah menjadi Katholik, terutama bekas jajahan Spanyol yang mempunyai mubaligh dengan militansi yang kuat. Era penjelajahan inilah starter dimulainya era kolonisasi (imperialisme), era perdagangan global, dan era bajak laut. Inilah yang dimaksud sejarawan sebagai Era of Great Voyage. Sebab dari era penjelajahan ini banyak dilakukan pelayaran dan penemuan daerahdaerah baru untuk dijadikan koloni, seperti; penemuan Amerika oleh Columbus, penemuan Australia dan New Zealand oleh James Cook, penemuan Brazil oleh Pedro Alvares Cabral, penemuan Tanjung Harapan di pantai barat Afrika oleh Bartholomew Diaz, dan penemuanpenemuan lain oleh para penjelajah yang pada akhirnya membuat para penemu itu membawa masyarakat negaranya mendirikan koloni di pulau itu, baik berupa koloni kependudukan (transmigrasi) maupun koloni perdagangan (pangkalan/kongsi). Penemuan Amerika misalnya. Sepulangnya Columbus ke Spanyol membawa berita adanya benua besar nan luas, bangsa Spanyol lalu berkoloni di Amerika pada abad ke 15 dan 16. Kedatangan mereka pun membuat suku Indian terjajah dan tersingkir. Begitu juga penemuan Cabral atas Brazil pada 1500 dan pendaratan Vasco da Gama di Calicut (Calcutta), India. Pencapaian ini membuat Portugis merintis koloninya di Amerika Selatan (Brazil) dan India, dengan cara menyerang dan menaklukkan penguasa dan pedagang lokal. Apalagi saat didirikan tambang emas dan berlian di Brazil, seluruh Amerika menjadi demam emas sehingga terjadi peningkatan jumlah koloni yang signifikan. Ketika Portugis dan Spanyol bertemu kerajaan-kerajaan Hindhu, Buddha dan Islam di Asia Tenggara dan menjalin hubungan permulaan, mereka berhasil membawa serta rempah sebagai hadiah dari raja lokal untuk dibawa pulang. Berita itu lantas menyebar dan membuat bangsa Eropa lain seperti Inggris, Belanda dan Prancis mengikuti jejaknya. Mereka mendirikan kongsi dagang untuk mengkonsentrasikan pedagang-pedagang swasta menjadi suatu kongsi dagang nasional. 212 | Miftakhuddin Inggris mendirikan East India Trading Company (EIC) pada 1600. Kemudian disusul Belanda dengan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 1602, dan Prancis dengan French East India Company pada 1604. Kongsi dagang tersebut pada gilirannya saling memperebutkan daerah koloni di Amerika. Inggris, Belanda dan Prancis hanya bisa memperebutkan Amerika Utara untuk mendirikan koloni. Sebab Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Brazil telah dikuasai Spanyol dan Portugis. Prancis mendirikan koloni di Kanada sejak awal abad 16, yang maju berkat ekspor ikan, gula dan bulu domba. Awal abad 17, tepatnya tahun 1632, Prancis mendirikan koloni lagi di Maryland (sekarang Washington D.C) yang kemudian diambil alih Inggris yang sebelumnya telah maju berkat kongsi dagang Inggris, Virginia Bay Company, memperoleh banyak laba dari perdagangan tembakau untuk produksi rokok. Sementara Belanda mendirikan koloni (pos dagang VOC) di Niew Amsterdam (sekarang New York) pada 1624, namun tidak bertahan lama karena perebutan. Sampai fase ini, kolonisasi telah berubah dari koloni politik (feodalis-imperial Romawi) menjadi koloni ekonomi-politis, yang tercermin dari aktivitas perdagangan global dan pendelegasian kekuasaan politik di tanah jajahan dengan mekanisme yang lebih baik dan terstruktur secara masif. Ada sedikitnya dua hal yang mencirikan fase ini; Pertama, ditemukannya Dunia Baru (new world) untuk melakukan eksploitasi, penjajahan dan pembangunan. Kedua, masa kejayaan kongsi-kongsi dagang bangsa Eropa. Celakanya, ditemukannya Dunia Baru dan pesatnya perkembangan kongsi dagang Eropa membuat eksploitasi, penjajahan dan pembangunan berjalan seirama. Apa yang dilakukan Spanyol terhadap Amerika, dan Portugis terhadap Brazil, sama juga dengan para penemu lain, yaitu eksploitasi, penjajahan dan pembangunan. Hanya saja permulaan dari itu semua berbeda-beda. Ada yang menjadikannya sebagai koloni deportasi sebagaimana Inggris terhadap Australia, ada yang menjadikannya koloni transmigrasi sebagaimana Spanyol terhadap Amerika, bahkan ada juga yang langsung menjadikannya sebagai koloni perdagangan sebagaimana Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 213 Belanda terhadap Nusantara, dan Inggris terhadap Hong Kong dan Singapore pada awal abad ke 19. Inggris waktu menemukan Australia, mula-mula menjadikannya sebagai koloni deportasi, lalu menjadikannya koloni untuk mendulang pemasukan ekonomis. Melalui pemberdayaan narapidana dengan pemberian lahan garapan, sekaligus memberi akses kepada swasta Inggris mendirikan pertambangan, membuat keuntungan Inggris meningkat tajam dan menjadi kapitalis besar. Begitu juga yang dilakukannya terhadap New Zealand. Inggris melakukan eksploitasi dengan menjajah suku Maōri. Kendatipun suku Maōri melakukan perlawanan, Inggris tetap bisa membodohi mereka melalui perjanjian Waitangi. Aksi Inggris di Australia dan New Zealand berbeda dengan aksi yang dilakukan saat ia menduduki Singapore dan Hong Kong. Saat menduduki Singapore, Inggris memang telah menjalin relasi dan kesepahaman yang baik dengan Sultan Johor. Meski pada mulanya diwarnai intrik, namun Inggris diwajibkan membayar pajak atas keleluasaannya membangun kampung nelayan Tumasik menjadi basis dagang paling produktif di Asia Tenggara. Sedangkan pakta kesepahaman Inggris dengan Kaisar Tiongkok soal Hong Kong, sedikit berbeda dengan kesepakatan yang dikukuhkan antara Inggris-Johor soal Singapore. Mula-mula hubungan InggrisTiongkok tidak seharmonis dan seintim ketika dengan Sultan Johor. Di Hong Kong harus terjadi Perang Opium terlebih dahulu untuk akhirnya membuat kesepakatan yang sedikit dipaksakan agar memperoleh izin membangun Hong Kong menjadi pelabuhan besar. Masih soal transisi dan perubahan koloni politik (feodalisimperial) menjadi koloni ekonomi-politis pada Era of Great Voyage, nampaknya Belanda -yang dalam hal ini diwakili VOC- melakukan eksploitasi secara berlebihan dan serakah, ketimbang Inggris. Belanda memusatkan perhatiannya di Jawa atas pulau-pulau besar lainnya di Nusantara, dengan tujuan awal adalah berbisnis. Ini dimaksudkan untuk mengangkat perekonomian Belanda yang saat itu tergolong miskin dibanding bangsa Eropa lainnya. Namun apa yang terjadi berikutnya, VOC melakukan penjajahan eksploitatif terhadap Indonesia selama 214 | Miftakhuddin berabad-abad lamanya. Sontak, Belanda menjadi negara mendadak kaya di Eropa dan mulai “diperhitungkan” oleh Eropa lainnya. Bila dicermati, pembeda antara koloni perdagangan era penjelajahan (Era of Great Voyage) dengan koloni perdagangan masa Yunani di Laut Tengah, ialah terletak pada visi dan mekanisme operasionalnya. Koloni perdagangan di Laut Tengah berdiri sebatas untuk pangkalan dagang, tanpa penjajahan ataupun eksploitasi manusia dan alam. Artinya pangkalan dagang berdiri semata-mata demi kepentingan distribusi. Sementara koloni perdagangan era penjelajahan, di samping untuk pangkalan dagang, juga untuk menjajah secara eksploitatif. Pola ini jelas tampak sejak ditemukannya Amerika oleh Columbus, Australia oleh Inggris, hingga pulau Jawa oleh Portugis dan Belanda. Mereka selalu mendirikan pangkalan dagang dan memperjualkan hasil penjajahannya ke pasar internasional. Namun terlepas dari visi dan mekanisme operasional pengkoloni di “rumah barunya” masing-masing, pada taraf kolonisasi ekonomipolitis ini terdapat tiga kecenderungan yang menonjol. Pertama, kecenderungan untuk mengeksploitasi dan membangun. Kedua, kecenderungan untuk mengeksploitasi tanpa membangun. Ketiga, kecenderungan untuk mengekspansi kekuasaan. Kecenderungan pertama, yaitu eksploitasi dan pembangunan. Agaknya ini hanya terjadi pada penjajahan (kolonisasi) Inggris seorang. Lihat saja kolonisasi Inggris di Amerika Utara. Kendati dalam pendirian dan pengembangan koloninya melalui kongsi dagang Virginia Bay Company banyak menuai protes dari para Indian, namun sepeninggal Inggris wilayah itu menjadi maju berkat penambangan emas dan perdagangan tembakau yang dibuka sejak masa pendudukan Inggris. Kesalahan Inggris kala itu ialah penerapan pajak tinggi, sehingga masyarakat Indian kurang sejahtera dan melakukan protes. Namun perginya Virgina Bay Company bukan berarti kemerdekaan bagi Indian, melainkan babak baru penguasaan langsung dari kerajaan Inggris. Eksploitasi dan pembangunan kolonial Inggris juga ditampakkan saat Inggris memberdayakan narapidananya di Australia dan New Zealand, hingga pemberian kemerdekaan manakala mereka (narapidana) terbukti mampu menunjukkan tren positif berupa kemandirian dalam Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 215 pengelolaan lingkungan dan mempersiapkan kebijakan publik untuk mengatur masyarakatnya. Namun berbeda dengan Australia dan New Zealand yang dibangun karena penemuan sendiri, Singapore dan Hong Kong dibangun di atas kesepakatan antara Inggris dengan penguasa setempat pada 1800-an. Artinya, Inggris -yang saat itu diwakili Rafflesmenyewa Singapore dan Hong Kong untuk menjadikannya basis dagang. Singapore, disulap dari perkampungan kecil kumuh menjadi kota pelabuhan dan pusat bisnis internasional. Kepandaian Raffles dalam menerapkan Raffles Town Plan mampu me-manage masyarakat multietnik di sana untuk mengembangkan diri dan secara sinergis mengembangkan usaha dagang. Konstitusi Raffles Town Plan juga menentang perbudakan dan melarang penggunaan narkoba. Sebaliknya, ia menggariskan agar fokus pada pendidikan dan toleransi atas multikulturalisme. Saking longgarnya keleluasaan itu, sampai-sampai Raffles mengizinkan penduduk lokal dan imigran memeluk agamanya masing-masing, yang mana kebijakan ini amat kontras dengan di negeri Britania. Sedangkan Hong Kong, juga diuubah dari lahan gersang dan tandus yang tidak produktif, dibangun menjadi pelabuhan dagang sekaligus pangkalan militer untuk berpatroli mengawasi perdagangan Inggris dengan Cina. Termasuk melindungi perdagangan Inggris dari perompakan bajak laut. Di samping itu, perairan Hong Kong yang dalam juga dimanfaatkan sebagai bengkel perbaikan kapal-kapal armada Inggris seusai menjalankan misi, terutama misi militer. Rupanya, baik Hong Kong maupun Singapore keduanya lebih mendapat perhatian internasional selama dan sesudah masa kolonial Inggris, ketimbang pada masa pendudukan penguasanya sendiri. Kenyataannya, mereka justru merasa “ketagihan” untuk dijajah Inggris, sebab dibawah “asuhan” Inggris mereka bisa maju dan berkembang. Nasib baik bagi Singapore karena memperoleh kemerdekaan, lantaran kesultanan Johor telah runtuh. Adapun Hong Kong nampaknya lebih terkatung-katung, sebab Tiongkok masih tetap ada bahkan menguat berkat pengaruh Uni Soviet di masa lalu (Perang Dingin). 216 | Miftakhuddin Mengapa Hong Kong bisa demikian? Terhitung sejak 1997, Inggris mengembalikan Hong Kong kepada pemerintah Tiongkok karena habis kontrak. Pengembalian Hong Kong kepada Cina dalam rupa ala Inggris yang dibarengi aset milyaran dollar memang disambut suka cita oleh pemerintah Cina, namun tidak dengan masyarakat Hong Kong yang ingin merdeka atau tetap menjadi bagian dari Inggris. Hal ini pun dibuktikan pemberitaan media surat kabar online beberapa tahun terakhir berisi unjuk rasa sebagian warga Hong Kong dengan tagline penolakan atas penjajahan Cina dengan membawa-bawa bendera Inggris. Jajak pendapat Universitas Hong Kong menunjukkan, pada 2007 sebanyak 35,3 persen penduduk memilih merdeka ketimbang menjadi daerah otonom khusus dari Cina, sedangkan sisanya memilih tetap bertahan sebagai daerah otonom khusus. Angka tersebut mengalami peningkatan daripada tahun 2005, yaitu 22%. Alasannya cukup sederhana, yakni karena mereka tidak mau Hong Kong menjadi sosialis (komunis). Mereka ingin hidup dengan sistem kapitalis sebagaimana digariskan pemerintah kolonial Inggris. Kecenderungan kedua, yaitu eksploitasi tanpa pembangunan. Pemanfaatan dan pemerasan tanpa membangun ini terjadi semasa kolonial Spanyol di Amerika dan kolonial Belanda di Nusantara. Masa kolonial Spanyol di Amerika adalah titik pertama dimulainya era kolonialisasi bangsa Eropa (tahun 1492 dibuka oleh Cristopher Columbus). Oleh sebab itu, barangkali eksploitasi Spanyol pada masa ini harus dimaklumi sebagai suatu usaha yang masih “primitif”, yaitu skema perampasan hak Indian atas dasar niat memperkaya diri, tanpa ada bayangan untuk membangun dan memberdayakan suku Indian dengan lebih manusiawi. Di sana bisa dilihat betapa serakahnya bangsa Spanyol dalam mendirikan koloni di Amerika. Bahkan untuk bisa dikatakan sebagai upaya menjalankan misi suci keagamaan (katholik) pun tampaknya kurang memenuhi, lebih-lebih ketika Puritan Inggris mengungsi dan mendirikan koloni di Amerika. Perkembangan koloni Puritan yang lebih pesat kian memperlihatkan Spanyol dalam menyebarkan agama suci di Amerika kurang berhasil ketimbang kaum Puritan dari Inggris. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 217 Itulah bentuk kolonisasi Spanyol di Amerika, dan barangkali pengalaman kolonisasi yang inefisien dan jauh dari kata efektif itu mendasari perubahan pendekatan dalam mengkoloni Filipina pada 1520. Di Filipina, Spanyol mengambil hati pribumi dengan kegiatan-kegiatan sosial, berupa; pembukaan badan amal di samping gereja dan biara, pembangunan infrastruktur publik, dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan oleh beberapa ordo. Ordo Jesuit mendirikan sekolah bahasa (sekarang Universitas Ateneo de Manila), dan Ordo Dominikan mendirikan Universitas Santo Thomas. Badan-badan pendidikan dan keagamaan itu dilindungi pemerintah kolonial, sebab mereka turut mengkonsolidasikan kekuasaan Spanyol di Filipina. Menurut Ricklefs (2013), gereja dan negara disatukan untuk mengatur dan menyebarkan ajaran Kristen Ortodhoks. Politik simbiosis mutualisme ini membuat gereja, biara, badan amal, dan lembaga pendidikan secara sporadis menyebar di mana-mana, akibatnya muncul desa-desa Katholik dengan sangat cepat. Penyebaran agamanya pun tak lagi dipaksakan. Para padri menyesuaikan medium penyebaran dengan kearifan lokal, seperti menerjemahkan Injil ke bahasa Tagalog, untuk mempermudah penggunaannya bagi pribumi Filipina. Sementara pemasukan ekonomis disiasati dengan memanfaatkan hak penguasaan tanah yang diberikan penduduk kepada para padri, sebagai wujud kepercayaan penduduk. Sebagai tuan feodal, para padri memanipulasi harga dan mempekerjakan penduduk di tanah tersebut. Tentu saja mereka juga punya kekuatan menekan, mengintimidasi, memeras, dan memonopoli aktivitas rakyat Filipina. Sebagaimana Ricklefs (2013); Sejak 1589 bangsa Spanyol memungut upeti tahunan kepada setiap pria dewasa yang berusia antara 18-60 tahun. Upeti ini tidak hanya dibayarkan dalam bentuk mata uang tetapi juga tenaga kerja dan barang-barang. Pajak tahunan ini dikumpulkan melalui raja atau encomeinda (hibah) swasta yang dihadiahkan sebagai penghargaan atas jasanya kepada raja. 218 | Miftakhuddin Namun begitu, kendati selama penjajahan dibangun sekolah, biara, dan badan-badan amal, tak lantas kolonial Spanyol termasuk koloni yang membangun. Sebab konteks pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan mempunyai porsi lebih besar ketimbang investasi SDM. Kalaupun iya, pembangunan yang nampaknya layak diakui ialah pembangunan spiritual, karena Spanyol dapat sedikit menggeser lokalitas kebudayaan dengan agama. Lebih-lebih pribumi Filipina tetap berjuang mengusir Spanyol dengan bantuan Amerika. Peninggalan fisik, seperti; gedung sekolah, gereja, jalan raya, dan lain sebagainya tak ubahnya mempunyai sifat yang sama dengan peninggalan Belanda di Nusantara, berupa rel kereta api, pabrik gula, jembatan, jalan raya, bahkan sistem konstitusi/hukum. Pun juga kisah epik perlawanan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tak jauh beda dari sejarah perlawanan rakyat Filipina. Kesamaan sifat yang dimaksud ialah lebih terfokus pada pembangunan fisik struktural ketimbang pembangunan SDM berkelanjutan. Bahkan politik etis Pemerintah Hindia Belanda pun juga untuk kepentingan kolonial; Edukasi dimaksudkan agar pribumi lebih terdidik untuk nantinya dipekerjakan di kantor-kantor Pemerintah; Transmigrasi dimaksudkan untuk memeratakan tenaga kerja supaya tidak terfokus di Jawa; dan Irigasi dimaksudkan untuk membuat perkebunan lebih produktif. Sejak kali pertama kedatangan Belanda di Banten oleh Cornelis de Houtman pada 1596, Belanda sudah menunjukkan sikap tidak fair dalam berniaga. Belanda hanya membeli rempah saat musim panen, itupun melalui tengkulak Cina, bukan langsung dari petani Banten. Baru kedatangan yang kedua oleh Jacob van Neck, Belanda sukses hingga mencapai Maluku dan bersaing dengan Portugis. Di sinilah permulaan kolonis ekonomi-politis. Persaingan dengan Portugis rupanya bersamaan dengan Inggris, Prancis, dan Spanyol. Maka Belanda mendirikan VOC, yang berkantor di Ambon, Banten dan Batavia (sekarang Jakarta). Segala aktivitas kantor otomatis mewadahi pendelegasian kekuasaan politik dari negeri Belanda kepada koloni. Mereka lalu diberi hak octroi, yang meliputi; hak monopoli perdagangan, hak mencetak uang sendiri, hak mengumumkan perang, dan hak membuat perjanjian dengan Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 219 penguasa lain atau para raja (Wiharyanto, 2007). Hak ini yang memberi akses VOC dapat leluasa menjajah. Berkat perjanjian-perjanjian dengan penguasa lokal, VOC dapat memperkuat pengaruhnya dan melakukan penjajahan secara legal, sebab “direstui” raja lokal yang terikat perjanjian. Tampaknya, Nusantara adalah lokasi favorit Belanda. Sebab meski Belanda menemukan Australia sebelum Inggris, mereka tidak lantas gandrung akan Australia. Lebih-lebih Australia terlihat gersang dan seolah tidak produktif. Barangkali itu juga alasan Belanda meninggalkan koloninya di Amerika Utara yang direbut Inggris tanpa perlawanan yang berarti. Saking condongnya Belanda terhadap Nusantara, sampai-sampai tampak seperti negara kedua. Sebab segala bentuk perubahan di Belanda berimplikasi langsung kepada Nusantara, lebih-lebih sejak Belanda dikuasai Prancis. Di bawah kepemimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte, VOC dihapuskan pada 1799. Selain karena banyaknya korupsi dan katastropik (catastrophic) dalam struktur keorganisasiannya, VOC dipandang tak mampu menandingi Inggris. Maka Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Louis Napoleon, untuk menjadi raja Belanda, dan atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, Louis Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels52 sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak 1808, dengan tugas utamanya mempertahankan Jawa dari ekspansi Inggris. Daendels lalu memerintahkan (kerja rodi) untuk membangun jalan sepanjang 1000 km dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur) guna mempermudah mobilitas pasukan Belanda dalam menangkal tentara Inggris. Ulasan tahap penguasaan Nusantara sejak VOC hingga Hindia Belanda (Prancis) di atas, jelas bahwa kebijakan publik cenderung 5252 Daendels berkebangsaan Belanda. Ia pernah berada di Prancis dan menyaksikan langsung Revolusi Prancis. Ia berpartisipasi dalam penyusunan UUD Belanda yang pertama. Ia bahkan mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi dianggap kurang tanggap ketika terjadi invasi Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland. Ia lalu mengundurkan diri dari militer sejak 1800. Tahun 1806 ia dipanggil Raja Louis untuk berbakti kembali sebagai tentara Belanda. Mula-mula ia ditugasi mempertahankan Provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Kesuksesannya membuat Kaisar Napoleon Bonaparte merekomendasikannya untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. 220 | Miftakhuddin eksploitatif daripada edukatif. Tidak jauh beda dengan masa kolonial Jepang pada Perang Dunia II, yang menjadikan pribumi sebagai tentara, ketimbang petani dan pekebun. Kendatipun semasa pendudukan Belanda, pribumi seperti; A.H Nasution, Gatot Soebroto, E. Kawilarang dkk. menjadi pasukan het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), tapi mayoritas penduduk lebih banyak dikonsentrasikan sebagai petani dan pekebun. Sementara bila dibandingkan masa kolonial Jepang, pemerintah lebih banyak mencetak pribumi sebagai pasukan militer dan semi militer, seperti; Heiho, Seinendan, Keibodan, Fujinkai, Pembela Tanah Air (PETA), Suishintai, Gakukotai, dan lain sebagainya. Tentu saja keputusan Jepang melatih penduduk dalam kemiliteran karena memburuknya Perang Dunia II. Kecenderungan ketiga, yaitu ekspansi kekuasaan. Sebagaimana diketahui, sampai fase ini paradigma kolonialisme telah bergeser untuk ke sekian kali. Ekspansi kekuasaan pun pada gilirannya turut memotivasi dinamika kolonialisme tersebut. Kecenderungan ini diperlihatkan kolonialisme dan imperialisme Britania Raya dan Prancis. Imperium Britania termasuk salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah umat manusia, di samping Kekaisaran Mongolia, Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman Empire) dan Imperium Romawi. Bahkan luasnya koloni Prancis tak sebanding. Daerah koloninya pada masa kejayaan hampir mencapai 100 negara yang membentangi hampir seluruh bola dunia. Oleh karenanya ada istilah khusus “di Inggris, matahari tak pernah tenggelam”. Maksudnya, luas Britania membuatnya selalu disinari matahari selama 24 jam, setidaknya satu sisinya saja. Berikut adalah peta Britania Raya pada masa kejayaannya; Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 221 Gambar: Peta Kekuasaan Britania Raya Sumber: wikimedia.org 222 | Miftakhuddin Walau tak sebanding, tapi saingan terkuat bagi Britania ialah Prancis, yang kala itu berjaya di bawah Napoleon Bonaparte. Persaingan ini dapat diamati pada konflik-konflik antar keduanya dalam perebutan wilayah di Afrika, Amerika dan Asia. Tetapi kekalahan Napoleon pada 1815 membuat Britania menjadi negara adikuasa. Armada laut yang tak tertandingi juga membuatnya menobatkan diri sebagai polisi dunia, yang kemudian terkenal sebagai Pax Britannica53. Namun begitu, dibalik sepak terjang masa kolonial ekonomi-politis ternyata apa yang dikejar ialah gengsi. Ada kepercayaan umum di Eropa, bahwa kewibawaan raja ditentukan oleh seberapa luas kekuasaannya. Semakin luas wilayah kekuasaan, semakin dihormati dan dipercaya keandalannya seseorang sebagai raja. Kejayaan Britania dalam menguasai seperlima dunia pada gilirannya terdekolonisasi pasca Perang Dunia II. Meski termasuk pemenang perang, namun kerugian perang membuat Britania terpuruk. Bahkan, baru bisa diselamatkan atas pinjaman dari Amerika. Negaranegara vassal Britania mulai bergejolak seolah mengaung demi kemerdekaannya, dan memaksa Inggris memberi kemerdekaan satu per satu sebagai negara persemakmuran. Apalagi nasionalisme sebagai gerakan anti-kolonial makin populer selama Perang Dunia II. Kendatipun demikian, Amerika sebagai kreditur dunia hadir sebagai negara adidaya baru, khususnya bagi negara-negara Eropa Barat. Sementara di seberang sana, ada Rusia yang membentuk Uni Soviet sebagai wujud unifikasi negara-negara komunis dan persatuan bagi mereka yang kemerdekaannya dibantu Rusia (Eropa Timur). Keduanya melangsungkan Perang Dingin, bersaing dalam penyebaran pengaruh dan berkompetisi teknologi militer. Praktis dalam Perang Dingin kolonisasi telah hilang, namun tampaknya lebih layak disebut sebagai “babak baru kolonialisme; neokolonialisme”. Sebab paradigma kolonialisme ekonomi-politis tercerabut dari akarnya dan bergeser ke 53 Pax Britannica (Perdamaian Britania) adalah periode damai di Eropa dan dunia selama Imperium Britania menguasai sebagian besar rute utama perdagangan maritim dan memperoleh kekuasaan lautan yang tak tertandingi. Istilah itu merujuk pada “Pax Romana” pada masa kejayaan Imperium Romawi. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 223 neokolonialisme; skema penjajahan yang dikemas apik dan menuntut ketergantungan atas super power. 4) Koloni ekonomi-politis menuju neokolonialisme (hegemoni) Sejauh mengenai neokolonialisme, pengertian tertuju pada penjajahan tanpa kekerasan fisik, bersih dari pertumpahan darah, dan secara konkret tak mendirikan koloni. Dan benar saja, sepeninggal Uni Soviet yang “mengasuh” negara-negara komunis (neokolonial ideologis), saat ini tren neokolonialisme hanya bisa dicapai melalui kekuatan ekonomi kapitalis untuk menundukkan elit bangsa, terutama oleh Amerika, satu-satunya negara adikuasa saat ini. Seluruh mata uang dikonversikan dengan US dollar. Dialah pelaku neokolonialisme paling berpengaruh. Masa itu adalah awal kenampakan dari neokolonialisme, namun sebenarnya sejak abad dua puluh, penaklukan dimaksudkan untuk menguasai aset produktif, buruh dan sumber daya alam. Tidak ada kepentingan menjajah melalui pengiriman angkatan perang (Choussudovsky, dalam Razmin: 2013). Metodenya pun variatif, berupa hutang luar negeri, politik etis, promosi budaya, tren bahasa, bahkan pendidikan, sebagaimana Mafia of Berkeley pada Orde Baru. sebagaimana Rohman (2009); saat ini, kolonialisme-imperialisme melakukan eksploitasi melalui sistem peraturan dan hubungan ekonomi-politik di tingkat dunia. Mulai dari deregulasi ekonomi yang dipaksakan ke berbagai negara dunia, terutama Dunia Ketiga, hingga penjajahan dalam bentuk pengetahuan. Biasanya, neokolonialisme menjangkiti negara-negara bekas jajahan Eropa terdahulu, seperti negara-negara di benua Afrika dan Asia, dengan bantuan dua faktor utama; pertama, sumber dan arah arus globalisasi. Kedua, peranan lembaga internasional. Globalisasi memang layak disebut faktor pendukung, bahkan lebih dari itu globalisasi bisa dibilang “kendaraan” bagi neokolonialisme, karena dengannya neokolonialisme berjalan lancar. Sementara lembaga internasional sebagai kaki-tangannya. Sebab, sekalipun lembaga internasional pada mulanya dibentuk guna mensejahterakan anggotanya, namun kehadiran negara kapitalis dalam kepengurusan menjadi peluang neokolonialisme. 224 | Miftakhuddin Dibentuknya League of Nations dan United Nations telah menjadi bukti bagaimana asumsi ini bekerja. Globalisasi sebagai proses penyeragaman secara universal mau tak mau bakal mengaburkan batas-batas geografis dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada penilaian yang memandang globalisasi adalah proyek yang diusung negara adikuasa. Sebagaimana penulis contohkan dalam Bab V soal media/teknologi komunikasi dan sistem kredit transaksi, agaknya anggapan soal globalisasi adalah proyek negara adikuasa (kapitalis) ialah benar adanya. Itulah yang membuat batas-batas kultural masyarakat dunia menjadi bias. Adapun lembaga internasional, terutama PBB, sengaja atau tidak seolah mendukung neokolonialisme. Lebih-lebih pasca keruntuhan Uni Soviet dan Great Britain, Amerika menjadi satu-satunya pengatur dunia. Posisinya sebagai anggota tetap dewan keamanan dan penderma terbesar PBB, membuktikan kalau PBB justru di bawah Amerika Serikat. Apalagi intervensi dan ancaman Amerika kepada PBB dalam kasus kerusuhan Israel-Palestina di Timur Tengah. Lihat saja Presiden Amerika tahun 1966, Johnson, menekan PBB untuk menghentikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina yang sedang membentuk milisi untuk melawan Israel, dengan alasan hal itu dapat mengganggu stabilitas keamanan dunia. Bahkan Amerika mengancam akan keluar dari Dewan Keamanan PBB dan menghentikan bantuan finansial kepada PBB kalau PBB tidak menerima usulan delegasi Israel. Akibatnya, para pengungsi Palestina tidak memperoleh bantuan UNHCR (Saleh, 2012). Alasan Amerika mempertahankan Israel sebagai alat, menurut Rahmatullah (2015) ialah di samping Israel merupakan tempat pemasaran senjata, Israel juga dimanfaatkan sebagai penjaga terusan Suez di Timur Tengah sekaligus tambang minyak bumi di sana. Apa boleh buat, Amerika memang yang terkuat saat ini. Keadilan dan hak asasi manusia yang sering dikhotbahkan para pemimpin negara agaknya sekadar penggugah semangat belaka. Pidato-pidato di berbagai forum internasional yang membela kemerdekaan dan emansipasi lebih bersifat “hangat-hangat tahi ayam”. Sebab, begitu berhadapan dengan Amerika, seolah semua niatan itu menjadi gugur tanpa syarat. Hal ini Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 225 terlihat pada lumpuhnya KAA dalam mengatasi konflik Palestina, yang disebabkan Israel mempunyai Amerika dengan kekuatan PBB yang lebih besar ketimbang Palestina yang sekadar berkekuatan KAA. Peristiwa ini mengingatkan penulis pada ungkapan salah seorang dosen penulis sebelum Donald Trump dan Hillary Clinton berebut kursi presiden, bahwa menjadi presiden Amerika sama dengan menjadi presiden dunia. Benar saja rupanya ungkapan itu berlaku bahkan sejak akhir Pedang Dingin. Demikianlah rupanya neokolonialisme justru lahir dari upaya penghapusan kolonialisme dengan dibentuknya League of Nations dan United Nation. Bila dicermati lagi, agaknya proses panjang kolonialisme di setiap fase selalu diwarnai konflik agar mencapai revolusi pada step berikutnya. Maksudnya, tiada kemajuan tanpa adanya kerusakan sebagai tanda upaya reformasi. Tidak hanya terpaku pada studi soal kolonialisme, apapun tampaknya demikian. Revolusi Prancis, Reformasi 1998 Indonesia, Revolusi Amerika, dan revolusi lainnya yang memperlihatkan pengorbanan dan usaha keras adalah harga yang harus dibayar. C. Dampak Bisa diramalkan, efek kolonialisme dipandang sebagai suatu hal yang negatif, terutama pada periode pergeseran dari kolonisasi politik menuju kolonisasi ekonomi-politis (Era of Great Voyage). Orang Indonesia di Asia Tenggara, suku Aborigin di Australia, suku Maōri di New Zealand, suku Indian di Amerika, kesemuanya memandang kolonialisme sebagai penghancur mereka, setidaknya saat mereka mengalami invasi kolonial Eropa. Insiden penjajahan termasuk ke dalam fenomena sejarah dan peristiwa sosial. Oleh karenanya, stigma negatif manakala mengkaji fakta kolonial pasti diberikan dari mereka yang merasa dirugikan, dan stigma positif pasti diberikan dari mereka yang merasa diuntungkan. Ini berlaku sekalipun pihak yang diuntungkan mengakui dosa-dosanya dengan memberikan beragam bantuan kepada bekas jajahannya. Maka diperlukanlah sudut pandang objektif untuk menelaah sejauh mana dan apa saja efek yang pergeseran kolonialisme sejak zaman Yunani hingga neokolonial negara maju. 226 | Miftakhuddin Bilamana pengkajian dilakukan secara parsial, mungkin semuanya akan terang benderang untuk setiap periode pergeseran paradigma kolonialisme. Namun konsekuensinya, kajian tersebut akan mengerucut pada diskontinuitas sejarah. Artinya, walaupun kajian dilakukan atas tahapan-tahapan kolonisasi, harus tetap memperhatikan batasan-batasan dalam kaitannya dengan step berikutnya. Kolonisasi pertanian Yunani, misalnya. Berlangsungnya koloni berimplikasi pada terpenuhinya kebutuhan masyarakat polis, yang mana selanjutnya metode pemenuhan kebutuhan dari pendirian koloni bertransformasi menjadi koloni perdagangan di Laut Tengah. Dampak yang diterima adalah terjadinya sosialisasi dengan dunia luar yang sama sekali berbeda. Hadirnya perbedaan itu pada gilirannya menggugah hasrat menyamakan koloni Yunani menjadi sama dengan mereka, baik melalui perdagangan maupun dengan invasi. Misalnya, melalui interaksi dalam perdagangan koloni Yunani menjadi tahu soal perhiasan, logam dan sutera. Maka upaya untuk menyamakan diri dengan para penjual perabotan itu dilakukan baik dengan transaksi perniagaan maupun dengan ekspansi ke wilayah pedagang secara paksa. Satu interaksi sosial akan berlanjut pada interaksi-interaksi berikutnya yang lebih kompleks. Saat kolonisasi tak lagi berdasarkan semangat pemenuhan kebutuhan jasmaniah, maka pendirian koloni dimaksudkan untuk memperluas daerah kekuasaan (semangat imperialisme). Sampai di sini ada satu poin penting yang harus dicatat, bahwa dampak pergeseran paradigma kolonialisme adalah munculnya paham imperialisme. Kerangka pikir atau fondasi imperialisme dibangun berdasarkan kolonialisme yang dimanifestasikan dengan ekspansi kolonial atas teritorial orang lain. Lebih lanjut, ketika kolonialisme dirasuki semangat imperialisme maka terjadi pula akulturasi dan munculnya aturan-aturan tertulis (undang-undang). Umumnya, hukumhukum kolonial itu kemudian diwariskan kepada daerah koloni saat koloni tersebut ditinggalkan (contoh: hukum Hindia Belanda di Indonesia), atau terpecah menjadi berbagai versi sistem hukum manakala koloni besar atau imperium mengalami dekolonisasi (contoh: negara-negara persemakmuran Inggris yang mempunyai corak hukum serumpun). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 227 Pergeseran berikutnya ketika suatu imperium terdekolonisasi dan masing-masing mengulang kolonialisasi atas nama dirinya sendiri, dampak yang ditimbulkan semakin banyak, lebih-lebih saat di mana kolonialisme didasarkan pada kepentingan ekonomi-politis. Di samping persebaran berbagai paham dan agama, tersebar pula ilmu pengetahuan (sains), peralatan perang, bahasa, kesenian, dan pembangunan. Sayangnya, proses-proses itu sering kali dibarengi genosida, intimidasi, dan penjajahan. Bagi Inggris, misalnya, dengan industrinya yang maju perdagangan lebih bonafit dan prestisius ketimbang pemungutan upeti, dan tanah-tanah jajahan dianggap sebagai pasar yang menguntungkan. Sama halnya dengan Belanda, setelah dikuasai Perancis selama dua puluh tahun, tidak memiliki industri dan modal. Tanah jajahannya lantas dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan. Pada penghabisan abad ke-19 politik ini diganti dengan politik kesejahteraan (politik etis), karena kepentingan perdagangan ingin menciptakan tanah jajahan sebagai pasar berdaya beli besar. Jelaslah bahwa kepentingan tanah jajahan bergantung pada negeri induk. Tidak jadi soal tentang politik kolonial apa yang berlaku, hanya saja daerah taklukan harus memberi keuntungan materil bagi pengkoloni, keuntungan yang memang menjadi tujuannya. Pendapat umum tentang tanah jajahan pun juga membenarkan, bahwa negeri induk (pengkoloni) mempunyai hak moral untuk menikmati segala keuntungan sebagai upah atas “kewajiban” memerintah tanah jajahannya. Menurut Smith (1999), dampak pendudukan Barat terhadap masyarakat pribumi umumnya diteorikan sebagai fase kemajuan dari: (1) penemuan dan kontak awal, (2) penyusutan populasi, (3) akulturasi, (4) asimilasi dan (5) perekaan ulang sebagai sebuah hibrida budaya etnis. Sedangkan perspektif pribumi memperlihatkan sebuah gerak maju bertahap, sebagai berikut: (1) kontak dan invansi, (2) genosida dan penghancuran, (3) perlawanan dan upaya bertahan hidup (survival) dan (4) pemulihan sebagai bangsa pribumi. Namun terlepas dari pendapat Smith di atas, kalau boleh disampaikan dalam buku ini argumentasi penulis pribadi, dampak adanya kolonialisme beserta dinamika kerangka pikir yang 228 | Miftakhuddin melandasinya, tampaknya ada sekurang-kurangnya sepuluh dampak yang terbukti tidak terhindarkan. Kesepuluh dampak itu antara lain; 1) munculnya semangat imperialisme, 2) akulturasi dan asimilasi kebudayaan, 3) keseragaman dan keanekaragaman sistem hukum, 4) penyebaran agama, paham-paham (ideologi) baru, bahasa, teknologi, dan ilmu pengetahuan (sains), 5) pembangunan, 6) genosida, 7) kemiskinan dan keterbelakangan, 8) kesenjangan dan munculnya kelaskelas baru dalam stratifikasi sosial, 9) hegemoni (pemusatan arus geopolitik), dan 10) lahirnya studi post-kolonial. Terakhir, dibalik itu semua pembangunan yang tanpa disadari rupanya juga ikut berjalan seirama kebijakan dan konflik yang terjadi, baik dengan inlander maupun dengan kolonis. Sebab di samping pembangunan fisik, bersamanya dapat ditentukan berapa harga dari bahan kebutuhan pokok, dapat diketahui mana sistem perekonomian terbaik, dapat dirasakan betapa mahalnya nyawa manusia, seberapa berharga harkat dan martabat manusia, dan betapa pentingnya melakukan dakwah untuk memperadabkan sesama manusia lain tanpa memandang mereka sebagai the others, sebagaimana dampak yang ditimbulkan era neokolonialisme dan wacana dalam kajian post-kolonial dewasa ini. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 229 Sumber Buku & Karya Ilmiah Abdullah, Abdul Gani. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Politik Hukum. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Abdullah, Irwan. 2006. Tantangan Multikulturalisme dalam Pembangunan. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 2(1). Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Ahmat, Maruwiyah. 2006. Penjajahan Portugis dan Sepanyol Ke Atas Asia Tenggara. Selangor: Publication Karisma. Alatas, Ali. 1995. Kebijaksanaan dan Politik Luar Negeri RI, PokokPokok Ceramah Menteri Luar Negeri RI pada Kursus Reguler Angkatan Ke 28 Lemhanas. Jakarta: Badan Litbang Deplu RI. Alfian & Oetojo Oesman. 1991. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat. Al-Ghadiry, Fawzy. 2010. Sejarah Palestina: Asal Muasal Konflik Palestina-Israel. Yogyakarta: Book Marks. Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Penertbit LP3ES. Allen & Uwin. 1997. Focus on South East Asia. Singapore: KHL Printing. Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal (Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Prespektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia. Amirudin., & Aderito De S. Jesus. 2003. Perjuangan Amungme antara Freeport dan Militer. Jakarta: Elsham. Angkasa, Gaudensio. 2015. Teori Postkolonial dalam Kerangka Konsep Identitas. Kupang: Universitas Katolik Widya Mandira. Anwar, Rosihan. 2006. Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 230 | Miftakhuddin Arif, Dikdik Baehaqi. 2011. “Politik Bhineka Tunggal Ika” untuk Mengelola Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. ASEAN Stasticial Yearbook 2008. 2009. Asia Southeastern-Economic Growth-Statistics. Jakarta: ASEAN Secretary. Aulia’, M. Alfian. 2015. ISIS: Strategi Amerika Serikat Melawan Iran di Suriah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London & New York: Routledge. Budiardjo, Carmel., & Liem Soei Liong. 1988. “Military Report of Incidents in the District of Jayawijaya in 1977”. United Kingdom: Tapol. Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia. Cady, J. F. 1964. South-East Asia It’s Historical Development. New York: McGraw-Hill. Chandra, Bipan. 1978. Kolonialisme, Tahap-Tahap Kolonilaisme dan Negara Kolonial. Journal Contemporary Asia. 8(2). Cholisin. 2011. Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Relevansinya dengan Kondisi Saat Ini. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Corpus, Onofre D. 1965. The Philippines. New Jersey: Prentice-Hall. Cortesão, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. An Account of The East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515. Translated from the Portuguese MS in the Bibliothéque de la Chambre des Députés, Paris. London: The Hakluyt Society. D, Mohammad Mahfud. M. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Darmawan, Wawan. 2010. Perkembangan Awal Kehidupan Masyarakat di Australia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Day, Clive. 1966. The Dutchin Java. Kualalumpur: Oxford University Press. Deniawati, Pera. 2014. Pluralisme dalam Bingkai Budaya Lokal untuk Meningkatkan Kerukunan antar Umat Beragama (Studi Kasus di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 231 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. 2015. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Wawasan Nusantara. Jakarta. Dhakidae, Daniel. 2001. Sistem sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga, dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ________, Daniel. 2002. Indonesia dalam Krisis 1997-2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Dorléans, Bernard. 2016. Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX. Terjemahan Parakitri T. Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Ehrenberg, Stefen. 1960. The Greek State. Oxford: The Alden Press. Fahmy, Nurul. 2007. Hegemoni Kolonial dalam Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Kajian Postkolonial. Padang: Universitas Andalas. Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terjemahan). Yogyakarta: Qalam. George, Margareth. 1989. Australia dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Panjta Simpati. Hadi, Otho H. 2003. Nation and Character Building Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Direktorat Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas. Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung: Rosda. Hanapiah. 2012. Pendidikan Pancasila. Bandung: Universitas Padjajaran. Hanum, Farida. 2005. Pendidikan Multikultur dalam Pluralisme Bangsa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Harahap, Ahmad Rivai. 2006. Multikulturalisme dalam Bidang Sosial. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 2 (1). Harian Kompas, edisi Senin 21 Juni 2012. Jajak Pendapat Ancaman Kebangsaan. Harjanto, Totok. 2015. Hutang Luar Negeri Indonesia, Antara Kebutuhan dan Beban Rakyat. Jurnal Ekonomi STIE Indonesia. 1. Harrison, Brian. 1954. South-East Asia: a Short History. New York: Macmillan. Harsono. 2006. Kearifan dalam Transformasi Pembelajaran: dari Teacher-Centered ke Student-Centered Learning. Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia. 1 (1). 232 | Miftakhuddin Hart, Michael H. 1978. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. terjemahan Mahbub Djunaidi (1982). Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya. Hartiningsih, Maria & Ninuk Mardiana Pambudy. 2006. Membaca Gayatri Chakravorty Spivak. Kompas Edisi 12 Maret 2006. Hartono, C. F. G. Sunaryati. 1991. Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Bandung: Universitas Padjajaran. _______, C. F. G. Sunaryati. 2015. Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Peninggalan Kolonial Belanda. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Hatu, Rauf A. 2013. Sosiologi Pembangunan. Yogyakarta: Interpena. Hidayati, Wiwik. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah atas Subaltern dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis Berdasarka Pendekatan Postkolonialisme. Semarang: Universitas Diponegoro. Hobsbawm, E. J. 1992. Nasionalisme Menjelang Abad 21. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Holder, Robin. 1985. Aborigin Asli Penduduk Australia. Jakarta: Rosda Jaya. Hudaidah. 2004. Sejarah Australia dan Oceania. Palembang: Universitas Sriwijaya. Huddart, David. 2006. Homi K. Bhabha. New York: Routledge. Huntington, Samuel. P., dkk. 1989. Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Irhandayaningsih, Ana. 2011. Ide Mobil Nasional sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Neokolonialisme di Era Globalisasi. Semarang: Universitas Diponegoro. Junaedi. 2014. Transformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma. Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: PT Gramedia. _________, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 15001900 dari Emporium Sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Khoo, Gilbert. 1968. Sejarah Asia Tenggara Sejak Tahun 1500. Petaling Jaya: Fajar Bakti. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 233 _____, Gilbert. 1976. Sejarah Asia Tenggara Sejak Tahun 1500. Kulalumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD. Kinsbury, Damien. 2005. Peace in Aceh A Personal Account of the Helsinki Peace Process. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, Kitley, Philips., Richard Chauvel., & David Reeve. 1989. Australia di Mata Indonesia. Jakarta: Gramedia. Kivimaki, Timo. 2005. Violent Internal Conflicts in Asia Pasific: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Koentjaraningrat & Harsja W. Bachtiar. 1963. Penduduk Irian Barat. Jakarta: Penerbitan Universitas. Konvensi ILO yang Diratifikasi Indonesia. 1999. Jakarta: ILO Jakarta Office. Kurniawan, Teguh. 2006. Pergeseran Paradigma Adiministrasi Publik: dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman. 2004. Nasionalisme. Buletin Psikologi Tahun XII. No. 2. Lauer, Robert. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. (terjemahan Alimanda S.U). Jakarta: Rineka Cipta. Lemhanas. 2012. Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila di Seluruh Komponen Bangsa Untuk Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an Dalam Rangka Menangkal Ideologi Radikalisme Global. Jurnal Kajian Lemhanas RI Edisi 14, Desember 2012. Jakarta: Lemhanas Republik Indonesia. Littlejohn, Stephen. W., & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Ma’arif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Machmud, Anas. 1988. Kedaulatan Aceh yang tidak pernah diserahkan kepada Belanda adalah bahagian dari Kedaulatan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 234 | Miftakhuddin Magnis-Suseno, Franz. 2003. Faktor-Faktor Mendasari Terjadinya Konflik Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan Pemecahan, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Mahifal. 2011. Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Pembinaan Ideologi dan Wawasan Kebangsaan. Bogor: Universitas Pakuan. Marbun, Hotma. 2008. Mewaspadai Polarisasi Ancaman Subversi Terhadap Nilai Ketahanan Nasional. Bandung: Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Martin, Roderick. 1995. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Rajawali Press. Marut, Donatus Kladius. 2015. ASEAN dalam Neokolonialisme dan Imperialisme. Jurnal Konfrontasi. 4 (1). Masinambow, E.K.M., & Paul Haenen. 1994. Kebudayaan dan Pembangunan di Irian Jaya. Jakarta: LIPI. Mc Coy, Alfred. W. 1982. Philippine Social History: Global Trade and Local Transformations. Manila: Ateneo de Manila University Press. Miftahul, Ilmi Hadi. 2011. Benua Australia. Bandung: Mitra Utama. Miners, Norman. 1995. The Government and Politics of Hongkong. Hong Kong: Oxford University Press. Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Jakarta: Kompas. Moan, Amat Johari. 1969. Sejarah Nasionalisma Maphilindo. Kuala Lumpur: Sharikat Percetakan Utusan Melayu Berhad. Morgan, W.S. 1956. The Story of Malaya. Singapore: Malaya Publishing House Limited. Morton, Stephen. 2004. Gayatri Chakravorty Spivak. New York: Routledge. Mubyarto. In memorian Article: Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali. dalam Awan Santosa. 2006. Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana. Müller, Johannes. 2005. Perkembangan Masyarakat Lintas-Ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Mulyana, Imam., & Irawati Handayani. 2015. Peran Organisasi Regional dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional. Jurnal Cita Hukum. 2 (2). Mustopo, Habib. M., dkk. 2007. Sejarah. Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Mojokerto: Yudhistira Galia. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 235 Nach, James. 1976. Malaysia dan Singapura dalam Lukisan. Terjemahan R. Soeparmo. Jakarta: Mutiara. Nafis, Muhammad Danial. 2008. Hubungan Consultative Group on Indonesia (CGI)-Republik Indonesia (RI) : Penerapan Konsensus Washington dalam Kebijakan Ekonomi Politik Pemerintahan Indonesia Periode Nugroho, Bambang Wahyu. 2016. Studi Amerika Latin. Diktat Kuliah. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Nugroho, Dimas Oky. 2016. Gaduhnya Demokrasi Kita. Kompas, Edisi Sabtu 17 Desember 2016. Nurhadi., dkk. 2011. Bentuk-Bentuk Poskolonialitas di Indonesia Mutakhir pada Majalah Tempo. Jurnal LITERA. 10 (1). Nuryadin, Suwirman. 2015. Pengaruh Paradigma Lingkungan Mahasiswa dan Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup terhadap Perspektif Global Mahasiswa Program Studi PKLH dan ML Program Pascasarjana UNJ, Tahun 2015. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Osborne, Robin. 1986. “OPM and the Quest for West Papuan Unity”. Australia: Robert Brown and Associates. Panuju, Redi. 2017. Merawat Pancasila Tanpa Menyalahkan P4. Jawa Pos Edisi Rabu, 4 Oktobr 2017. Parera, Ana. M. F., dkk. 2013. Sausapor Saksi Sejarah Perang Dunia II di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Yogyakarta: Kepel Press. Pembaruan Tani. 2014. End WTO!. Jakarta: Serikat Petani Indonesia (SPI). Perdana, Risna Guntar. 2015. Ketergantungan Indonesia Terhadap Minyak Olahan Produksi Singapura. Bandung: Universitas Padjajaran. Perkins, John. 2004. Confessions of An Economic Hit Man. The Shocking Inside Story of How America Really Took Over The World. Oakland: Berret-Koehler Publisher. Pigay, Decki Natalis. 2000. Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua. Jakarta: Sinar Harapan. Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Prasetyo A. P. 2009. Implikasi Praktik Neokolonialisme dalam Globalisasi Terhadap Stress dan Penuaan Dini. Solo: Universitas Negeri Sebelas Maret. 236 | Miftakhuddin Prihatyono, Agus. 2009. Peran Indonesia dalam Mewujudkan Perdamaian dan Stabilitas Asia Tenggara Melalui ASEAN Security Community. Jakarta: Universitas Indonesia. Putro, Sapto Handoyo Djarkasih. 2011. Pengaruh Kolonialisme dan Pluralisme Terhadap Politik Hukum Nasional. Bogor: Universitas Pakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUUIX/2011. Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarnageraan. Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Rahmatullah. 2015. Peran Amerika Serikat dalam Menciptakan Perdamaian dan Penyelesaian Konflik Israel dan Palestina. Jurnal Ilmiah WIDYA. 3 (1). Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Persefektif Wacana Naratif. Denpasar: Pustaka Pelajar. _____, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Razmin, Nurul Hazlina Mohd., dkk. 2013. Globalisasi sebagai Satu Kolonialisme Bentuk Baru dan Kesan kepada Ekonomi. Bharu: Universiti Malaysia Kelantan. Rengganik. 2009. Prinsip Minsheng: Ekonomi Politik dalam Pemikiran Sun Yat-sen. Depok: Universitas Indonesia. Resnadiasa, Gede., dkk. 2012. Konflik di Semenanjungt Korea dan Pengaruhnya Terhadap Keamanan Internasional. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. _______, M. C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. _______, M. C. 2013. Sejarah Asia Tenggara. Jakarta: Komunitas Bambu. Ridlwan, Zulkarnaen. 2014. Memelihara Asas Pacta Sunt Servanda atas Perjanjian Internasional (Telaah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011). Lampung: Universitas Lampung. Rizal, Jose. 1975. Noli me Tangere. (terjemahan). Jakarta: Pustaka Jaya. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 237 Rohman, Mujibur. 2009. Edward Said dan Kritik Poskolonial: Upaya Mengembalikan Sosiologi Kepada Publik. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Romein, J. M., 1956. Aera Eropa: Peradaban Eropa sebagai Penyimpangan dari Pola Umum. Bandung: N. V. Ganaco. Roxborough, Ian. 1979. Theories of Underdevelopment. London: the Macmillan Press. Ruslin, Ismah Tita. 2013. Relasi Ekonomi-Politik dalam Perspektif Dependencia. Jurnal Politik Profetik. 1 (1). Saifullah. 2014. Renaissance dan Humanisme sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat Modern. Jurnal Ushuluddin 22 (2). Saleh, Irfan Juniyanto. 2012. Strategi Amerika Serikat dalam Proses Perdamaian Israel-Palestina pada Periode Barack Obama 2008-2012. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Samsuri. 2007. Profil Civic Education di Hong Kong. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Samsuri. 2013. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila: Membangun Kenegarawanan melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sanggar, Kanto. 2006. Modernisasi dan Perubahan Sosial: Suatu Kajian dari Perspektif Teori dan Empirik. Malang: Universitas Brawijaya. Saputra, Effendy Onggo. 2017. Revitalisasi Mata Pelajaran PMP dan Penataran P4 pada Jenjang Pendidikan di Indonesia sebagai Syarat untuk Mengikis Generasi Tawuran. Jakarta: Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta. Scott, Ernest. 1943. A Short History of Australia. London: Oxford University Press. Setiawan, Bagus. 2016. Sejarah Australia & Oceania. Garis Besar Kolonisasi Inggris di Australia. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Shadily, Hasan., & Pringgodigdo. 1977. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: Kanisius. Sharif, Naubahar., & Mitchell M. Tseng. 2011. The Role of Hong Kong in Mainland China's Modernization in Manufacturing. California: University of California. Sholeh, Maimun. 2011. Akar Kemiskinan dan Ketergantungan di Negara-Negara Berkembang dalam Perspektif Strukturalis Dependensia. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. 238 | Miftakhuddin Sianturi, Marupa Hasudungan. 2014. Peran PBB sebagai Organisasi Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Yurisdiksi Negara Anggotanya dalam Kasus State Immunity antara Jerman dengan Italia Terkait Kejahatan Perang Nazi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Siboro, Julius. 1989. Sejarah Australia. Bandung: Tarsito. Sihbudi, M. Riza., & Ahmad Hadi. 1994. Palestina Solidaritas Islam dan Politik Dunia Baru. Malang: Pustaka Hidayah. Simpson, Tony. 1990. Te Riri Pakeha: The White Man’s Anger. United Kingdom: Hodder & Stoughton Ltd. _______, Tony. 2015. Before Hobson. Wellington: Blythswood Press. Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies, Research and Indigenous People. London: Zed Books. Soedijarto. 2000. Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban NegaraBangsa. Jakarta: CINAPS. Soedjatmoko. 1996. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES. Solichien, Yussuf. 2008. Kerjasama PBB-Amerika Serikat dalam Penyelesaian Kasus Invasi Irak Terhadap Kuwait (Tahun 1990-1991). Depok: Universitas Indonesia. Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Pancasila dalam Perubahan SosialPolitik Indonesia Modern. Depok: Universitas Indonesia. Spence, Jonathan D. 1990. The Search for Modern China. United States: WW. Norton & Company. Stiglitz, Joseph. E. 2002. Globalization and It’s Discontents. New York: W. W. Norton & Co. Straihm, Rudolf H. 1999. Kemiskinan di Dunia Ketiga, pengant. Mubyarto. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Strelan, John G. 1977. Search for Salvation. Adelaide: Lutheran Publishing House. Sudiadi, Dadang. 2009. Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia. Jurnal Kriminologi Indonesia. 5 (1). Sudrajat, Ajat. 2009. Perkembangan Islam di Singapura. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sudrajat. 2010. Yunani sebagai Icon Peradaban Barat. Jurnal ISTORIA. 8 (1). Suharto, Edi. 2006. Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 239 Sukmayani, Ratna., dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial 3. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sukmono, Filosa Gita. 2013. Televisi dan Neo-Kolonialisme. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Suminto, Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. Sumobroto, Sugiharto., & Budiawan. 1989. Sejarah Peradaban Barat Klasik: dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Liberty. Supardan, Dadang. 2008. Peluang Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultur: Perspektif Pendidikan Kritis. Jurnal Alumni. 1 (2). Suparlan, Parsudi. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Supriyono, Johanes. 2014. Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara. Jurnal Ultima Humaniora. 2 (1). Suryadinata., dkk. 2003. Penduduk Indonesia. Jakarta: LP3ES. Suryono, Agus. 2012. Polemik Teori Pembangunan Tentang Kemiskinan dan Keterbelakangan. Malang: Universitas Brawijaya. Swedberg, Richard. 1998. Max Weber and the Idea of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press. Syaifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Membumikan Multikulturalisme di Indonesia. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 2 (1). Tan, Sofyan. 2006. Pendidikan Multikulturalisme: Solusi Ancaman Disintegrasi Bangsa. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 2 (1). Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Tjiptabudy, J. 2010. Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Era Reformasi. Jurnal Sasi. 16 (3). Todaro, Michael P. 1985. Economic Development In The Third World. New York; Logman Inc. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UNESCO & LIPI. 2015. Arsip Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok sebagai UNESCO Memory Of The World. Jakarta: LIPI & UNESCO Jakarta Office. Us-Samad, Ulfat Aziz. 1990. Great Religions of the World. Peshawar: University of Peshawar. 240 | Miftakhuddin Utami, Sri. 2012. Mimikri dalam Kuliner Indonesia melalui Kajian Poskolonial. Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity adn Future”. Utomo, Tri Widodo W. 2016. Asymetric Policy sebagai Inovasi untuk Akselerasi Pembangunan Perbatasan Negara. Jakarta: Bappenas. van Anrooij, Francien. 2014. De Koloniale Staat 1854-1942. Terjemahan Nurhayu W. Santoso & Susi Moeiman. Leiden: Archief van het Ministerie van Koloniën. van Dijk, Corneles. 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers. Van, Samuel. 2003. Negara dan Bangsa Jilid IV. Asia dan Australia. Jakarta: Grolier International Inc. & PT. Widyadara. Wade, Robert., & Frank Veneroso. 1998. “The Asian Crisis: The High Debt Model Versus The Wall Street-Treasury-IMF Complex.” New Left Review Watson, C.W. 2000. Multiculturalism. London: Open University Press. Widyaresmi, Sistha. 2012. Timur yang Menjadi Barat: Orientalisme dalam Ranah Diskursif. Depok: universitas Indonesia. Wiharyanto, A. Kardiyat. 2007. Pergantian Kekuasaan di Indonesia Tahun 1800. Jurnal SPPS. 21 (1). __________, A. Kardiyat. 2008. Pembentukan Negara-Negara Nasional di Asia Tenggara. Jurnal Historia Vitae. 22 (2). Wijanarko, Robertus. 2008. Postkolonialisme dan Studi Teologi, Sebuah Pengantar. Jurnal Studia Philosophica et Theologica. 8 (2). Williams, Lea E. Southeast Asia: A History. New York: Oxford University Press. Wisconsin Historical Society. 2003. Journal of the First Voyage of Columbus. Wisconsin: American Journeys Collection. World Trade Organization. 10 Common Misunderstanding About the WTO. depts.warshington.edu. Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. 2013. Korea Abad 18 dan 19. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Yulita, Nelda. 2009. Ensiklopedia Geografi. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi. Yunita, Vivi. 2012. Unsur Postkolonial dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja. Padang: Universitas Negeri Padang. Zaenudin. 2015. Perkembangan Produk Hukum Kearsipan di Indonesia. Arsip Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 241 Zain, Rakhmad Fadli. 2009. Transformasi Politik Gerakan Aceh Merdeka Menjadi Partai Aceh (dalam Proses Perdamaian). Depok: Universitas Indonesia. Zastrow, Charles. 2000. Social Problems: Issues and Solution Australia/Canada/ Denmark/Japana/ Mexico/ New Zealand/ Philipines/ Puerto Rico/ Singapore/Spain/United Kingdom/United States. Wadsworth. Zed, Mestika. 2009. Bagaimana Hidup sebagai Rakyat Jajahan? Beberapa Catatan tentang Apresiasi Sejarah Kebangsaan untuk Generasi Masa Kini. Padang: Universitas Negeri Padang. Sumber Internet De Vries, Idries. 2011. Neo-Colonialism And The Example Of Indonesia-Analysis. http://www.eurasiareview.com/03112011neo-colonialism-and-the-example-of-indonesia-analysis/. (diakses pada 17 Juli 2017, pukul 01.35). Fitra, Marjan. 2015. Filipina Dibawah Spanyol. http://dunialilmusosial. blogspot.co.id/2015/03/filipina-di-bawah-spanyol.html. (diakses pada 6 Juni 2017, pukul 16.25). freeinfosociety.com (diakses pada 6 Juni 2017, pukul 18.35). Gatranews.com. FPR Serukan Lawan Neokolonialisme AS. Edisi Kamis 02 April 2015. https://www.gatra.com/nusantara-1/nasional1/141152-fdr-serukan-lawan-neo-kolonialisme-as.html (diakses pada 25 Juli 2017, pukul 01.49). Indonesia, Ade. 2011. Neo-Kolonialisme (Penjajahan Gaya Baru). http://www. kompasiana.com/ade_indonesia/neokolonialisme-penjajahan-gayabaru_5500ef97a33311bb745127fd. (diakses pada 17 Juli 2017, pukul 01.35). Masduki. 2007. Subaltren dan Gayatri Chakravorty Spivak: Otokritik Terhadap “Penyambung Lidah” Kelompok-Kelompok yang Terpinggirkan. http://dukiepoenya.blogspot.co.id/2007/11/subaltren-dangayatri-chakravorty.html. Diakses pada 31 Agustus 2017. 242 | Miftakhuddin Noerhayati. 2008. Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam. https://noerhayati. wordpress.com/2008/06/02/penjajahanbarat-terhadap-dunia-islam/. (diakses pada 3 Juni 2017, pukul 12.30). Putra, Hikmawan, S. 2012. Pengruh Pemerintahan Kolnialisme Belanda Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia. https://hikmawansp. wordpress.com/2012/07/10/pengaruhpemerintahan-kolonialisme-belanda-terhadap-sistempemerintahan-indonesia/ (diakses pada 4 Juni 2017, pukul 18.00). Tribunnews.com. Ini Bukti Amerika Menciptakan Al Qaeda dan ISIS. Edisi Jumat 16 Oktober 2015. http://medan.tribunnews.com/2015/10/16/ini-bukti-amerikamenciptakan-al-qaeda-dan-isis. (diakses pada 25 Juli 2017, pukul 23.16). unair.ac.id (diakses pada 7 Juni 2017, pukul 20.40). Yulianti. 2016. Perkembangan Awal Kehidupan Masyarakat Maori Serta Kontak Mereka dengan Orang-Orang Kulit Putih. http://yuliantihimas. blogspot.co.id/2016/01/perkembanganawal-kehidupan-masyarakat. html (diakses pada 12 Juli 2017, pukul 19.21). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 243 Miftakhuddin, lahir di Banyuwangi pada 11 Oktober 1993 dari pasangan Marsino dan Supiyati. Menamatkan SDN 1 Kaliploso (2006), SMPN 1 Cluring (2009), dan SMAN 1 Purwoharjo (2012) di kota yang sama. Atas beasiswa Banyuwangi Cerdas (4 tahun), ia meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Jember dengan predikat Cumlaude pada 2016. Selama S1, ia aktif di beberapa organisasi mahasiswa sebagai pengurus maupun anggota. Ia juga kerap mengikuti kompetisi tulisan ilmiah tingkat provinsi maupun nasional, sehingga menjadi finalis kompetisi Penulisan Artikel Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Medan (2014), dan meraih Juara III dalam kompetisi Penulisan Kreatif Kependudukan Provinsi Jawa Timur (2015). Disamping menjalani studi magister di UNY dengan beasiswa LPDP, saat ini ia masih aktif sebagai penulis lepas sejak 2017. Disinilah minatnya dalam bidang sejarah dan humaniora semakin berkembang. Maret 2018 ia diundang oleh Direktorat Sejarah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk mengikuti bimbingan teknis penulisan sejarah di Semarang. Beberapa kontibusinya di publikasikan dalam bentuk buku dan artikel ilmiah di beberapa jurnal nasional (dapat ditelusuri secara online). 244 | Miftakhuddin CV Jejak akan terus bertransformasi untuk menjadi media penerbitan dengan visi memajukan dunia literasi di Indonesia. Kami menerima berbagai naskah untuk diterbitkan. Silakan kunjungi web jejakpublisher.com untuk info lebih lanjut -------------------------------------------------------------------------------------- Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembanguna Menuju Hegemoni | 245