PERSPEKTIF, TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN HIV / AIDS OLEH : 1. KOMANG PANDE DEWI AYUNI (P07120216001) 2. PUTU INDAH PRAPTIKA SUCI (P07120216002) 3. KADEK DWI DHARMA PRADNYANI (P07120216003) 4. EKA WAHYU RIFANI MEILIA DEWI (P07120216004) 5. NI KOMANG SRI ARDINA (P07120216005) KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN TAHUN 2020 1 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah, maka kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu, Berikut ini kelompok mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Perspektif, Trend Dan Issue Keperawatan HIV/ AIDS”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari keperawatan HIV/AIDS. Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami dengan materi Keperawatan anak. Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari kuliah, browsing internet, dan diskusi anggota. Kami sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membagun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaannya. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat khusunya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi teman-teman dan kami khususnya. Denpasar, 28 Juni 2020 Penulis 2 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………2 DAFTAR ISI …………………………………………………………………...…3 BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………......4 A. Latar Belakang …………………………………………………………...4 B. Rumusan Masalah ………………………………………………………..6 C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………6 D. Manfaat Penulisan …………………………………………………….….6 BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………...….7 A. Definisi HIV/AIDS…………………………………………………..……7 B. Cara penularan HIV/AIDS………………………………………………..8 C. Gejala HIV/AIDS………………………………………………………..10 D. Pencegahan HIV/ AIDS………………………………………………....11 E. Penanganan HIV/AIDS…………………………………………………..13 F. Trend Dan Issue Keperawatan HIV/AIDS ………………………………16 BAB III PENUTUP …………………………………………………...………....21 A. Simpulan ………………………………………………….…………......21 B. Saran ………………………………………………………….…………21 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….……...……23 3 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan suatu jenis virus yang menyerang sel darah putih sehingga menyebabkan kekebalan tubuh manusia menurun. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan beberapa penyakit yang muncul karena menurunnya kekebalan tubuh manusia yang disebabkan dari infeksi HIV. Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan dengan Antiretroviral atau ARV untuk menuruknkan jumlah virus HIV dalam tubuh agar tidak masuk dalam stadium AIDS. Orang yang sudah terjangkit AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik atau berbagai macam penyakit infeksi yang dapat berakibat fatal dengan berbagai macam komplikasinya (Departemen Kesehatan R.I, 2014). Infeksi HIV pada bayi dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius karena jumlah penderita yang banyak dan selalu meningkat sebagai akibat jumlah ibu usia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. (Setiawan, 2009). Pada akhir tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta orang di dunia hidup dengan HIV, sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan menyebabkan 1 juta kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta orang terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara menduduki peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika, yakni sebesar 3,5 juta orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita dan anak perempuan (WHO, 2016). Pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua yang diestimasikan sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di Asia Tenggara setelah India (60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA (WHO, 2016). Tahun 2016, Indonesia mengalami kenaikan kejadian insiden HIV menjadi 4 41.250 orang yang sebelumnya sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016). Hasil estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur > 15 tahun di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016). Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada lakilaki masih lebih besar dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki sebesar 63,3% dan pada perempuan sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki sebesar 67,9% dan pada perempuan sebesar 31,5%. Proporsi HIV/AIDS terbesar masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun) yang dibagi dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%), 20-24 tahun (17,3%), dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja (Kemenkes RI, 2017). Sebagian besar HIV pada anak (90%) diperoleh melalui transmisi vertikal yaitu penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother to child transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada saat kehamilan ( 510%), proses persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI (5-20%). (IDAI,2010). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila pasangan ibu dan anak menjalani program pencegahan/prevention of mother to child transmission (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan penggunaan obat anti retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan setelah kelahiran. (IDAI,2010) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. (Wiknjosastro, 2006) Faktor resiko terjadinya transmisi adalah jumlah virus, kadar CD4, adanya infeksi lain (hepatitis, sitomegalovirus), ketuban pecah dini, kelahiran 5 spontan/melalui vagina, prematuritas, dan pemberian ASI atau mixed feeding (pemberian ASI dan susu formula bersama-sama). (IDAI,2010) B. RUMUSAN MASALAH a. Apa definisi dari HIV/AIDS? b. Bagaimana cara penularan HIV/AIDS? c. Bagaimana gejala HIV/AIDS? d. Bagaimana pencegahan HIV/ AIDS? e. Bagaimana penanganan HIV/AIDS? f. Apa saja trend dan isseu keperawatan HIV/AIDS? C. TUJUAN a. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari HIV/AIDS. b. Untuk mengetahui dan memahami cara penularan HIV/AIDS. c. Untuk mengetahui dan memahami gejala HIV/AIDS. d. Untuk mengetahui dan memahami pencegahan HIV/AIDS . e. Untuk mengetahui dan memahami penanganan HIV/ AIDS f. Untuk mengetahui dan memahami trend dan isseu keperawatan HIV/AIDS. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A DEFINISI HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol. (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007). AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. (Zein, Umar, dkk., 2006). HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Yatim, 2006). 7 B CARA PENULARAN HIV/AIDS HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. a) Penularan seksual Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih beresiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan resiko hubungan seks anal lebih besar daripada resiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak beresiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV. Penyakit menular seksual meningkatkan resiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar resiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag. Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan. 8 b) Kontaminasi patogen melalui darah Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan resiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi resiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan. Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi". c) Penularan masa perinatal Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi resiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi resikonya). Menyusui meningkatkan resiko penularan sebesar 4%. 9 C GEJALA HIV/ AIDS Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga beresiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien. Gejala penularan HIV/AIDS terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah terinfeksi HIV, gejala-gejala ini hanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu saja, lalu hilang dengan sendirinya. Seseorang mungkin akan menjadi sakit dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu: 1) Demam 2) Rasa lemah dan lesu 3) Sendi-sendi terasa nyeri 4) Batuk 5) Nyeri tenggorokan Gejala selanjutnya adalah memasuki tahap dimana sudah mulai timbul gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala penyakit lain, gejala-gejala diatas ini memang tidak khas, karena dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain. Namun gejala-gejala ini menunjukkan sudah adanya kerusakan pada system kekebalan tubuh yaitu: 1) Demam berkepanjangan 2) Penurunan berat badan (lebih dari 10 % dalam waktu 3 hari) 3) Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktifitas fisik sehari-hari 4) Pembangkakan kelenjar di leher, lipat paha, dan ketiak 5) Diare atau mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas 6) Batuk da sesak nafas lebih dari 1 bulan secara terus menerus 7) Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan 10 Gejala penurunan kekebalan tubuh ditandai dengan mudahnya diserang penyakit lain, dan disebut infeksi oportunitis. Maksudnya adalah penyakit yang disebabkan baik oleh virus lain, bakteri, jamur, atau parasite (yang bisa juga hidup dalam tubuh kita), yang bila system kekebalan tubuh baik kuman ini dapat dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini pengidap HIV telah berkembang menjadi penderita AIDS. Pada umumnya penderita AIDS akan meninggal dunia sekitar 2 tahun setelah gejala AIDS ini uncul. Gejala AIDS yang timbul adalah : 1) Radang paru 2) Radang saluran pencernaan 3) Radang karena jamur di mulut dan kerongkongan 4) Kanker kulit 5) TBC 6) Gangguan susunan saraf D PENCEGAHAN HIV / AIDS Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian resiko infeksinya secara umum dapat diabaikan. a) Hubungan seksual Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi resiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti 11 vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan. Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting. Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan beresiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan resiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju. Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan resiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual beresiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini. Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan resiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:“ Anda jauhi seks, Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. 12 b) Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV. Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter. c) Penularan dari ibu ke anak Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara. E. PENANGANAN TERHADAP HIV Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah. 13 a) Terapi antivirus Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal. Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam 14 penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan resiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut. b) Penanganan eksperimental dan saran Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin. Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam beresiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut. c) Pengobatan alternatif Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius. Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium 15 dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya. F. TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN HIV/AIDS 1. Peer Group Remaja merupakan masa dimana fungsi reproduksinya mulai berkembang. Hal ini akan berdampak pada perilaku seksualnya. Salah satu perilaku seksual yang rentan akan memberikan dampak terjadinya HIV/AIDS yaitu seks bebas. Saat ini sedang dikembangkan model ”peer group” sebagai salah satu cara dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan remaja akan kesehatan reproduksinya dengan harapan suatu kelompok remaja akan dapat mempengaruhi kelompok remaja yang lain. Metode ini telah diterapkan pada lembaga pendidikan, baik oleh Depkes maupun lembaga swadaya masyarakat. Adapun jumlah penderita HIV pada kelompok remaja (15-19 tahun) hingga Desember 2017 adalah sebesar 1.729 orang, atau 4% dari penderita HIV (Depkes RI, 2017). Mengingat remaja adalah penerus bangsa, maka hal ini akan sangat mengancam masa depan bangsa dan negara ini. Diharapkan dengan metode peer group dapat menurunkan angka kejadian, karena diyakini bahwa kelompok remaja ini lebih mudah saling mempengaruhi. 2. One Day Care One day care merupakan sistem pelayanan kesehatan dimana pasien tidak memerlukan perawatan lebih dari satu hari. Setelah menjalani operasi pembedahan dan perawatan, pasien boleh pulang. Biasanya dilakukan pada kasus minimal. Berdasarkan hasil analisis beberapa rumah sakit, di Indonesia didapatkan bahwa metode one day care ini dapat mengurangi lama hari perawatan sehingga tidak menimbulkan penumpukkan pasien pada rumah sakit tersebut dan 16 dapat mengurangi beban kerja perawat. Hal ini juga dapat berdampak pada pasien dimana biaya perawatan dapat ditekan seminimal mungkin. 3. Penularan HIV/AIDS HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang masih saja diselimuti berbagai macam mitos dan kesalahpahaman. Pemahaman keliru mengenai penyakit ini telah mendorong sejumlah perilaku yang justru menyebabkan makin banyak orang terjangkit virus HIV. Mitos-mitos menyesatkan tentang HIV dan AIDS juga berkontribusi terhadap melekatnya stigma negatif kepada setiap pengidapnya, sehingga mereka merasa enggan untuk mendapatkan pengobatan. Berikut ini beberapa mitos-mitos atau issue-issue tentang penyebaran HIV/AIDS yang banyak beredar di masyarakat : a. Seseorang bisa tertular HIV jika tinggal bersama atau bergaul dengan ODHA Fakta: Beragam penelitian membuktikan bahwa HIV dan AIDS tidak bisa ditularkan melalui interaksi biasa. Seseorang tidak akan tertular HIV setelah melakukan kontak fisik biasa maupun tinggal serumah dengannya. Seseorang hanya akan tertular virus HIV jika selaput lendirnya terkena cairan dari seseorang yang sudah terinfeksi HIV, seperti darah, ASI, pra-seminal, dubur, air mani dan vagina. Menempelnya keringat pengidap HIV pada orang sehat tidak akan menularkan virus tersebut. Meskipun virus HIV terdapat pada keringat penderita, namun jumlahnya yang sedikit tidak akan bisa menginfeksi orang lain. Penularan juga bisa terjadi melalui kulit yang rusak atau dengan menggunakan jarum yang terinfeksi. Oleh sebab itu, seseorang tidak akan tertular jika berbagi alat makan dengan penderita HIV, berpelukan, menggunakan alat olahraga yang sama, atau menggunakan toilet yang sama. b. Nyamuk menyebarkan HIV Fakta: HIV memang ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah dan cairan kelamin, namun sampai detik ini tidak ada bukti medis yang dapat menunjukkan bahwa gigitan nyamuk bisa menjadi perantara penyebaran virus HIV. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh National Cancer Institute menunjukkan bahwa tidak terjadi kasus penularan HIV oleh nyamuk, bahkan di daerah yang banyak nyamuknya sekalipun. Saat nyamuk berpindah lokasi gigitan, mereka tidak akan mengalirkan darah milik orang sebelumnya 17 kepada ‘mangsa’ selanjutnya. Selain itu, umur virus HIV dalam serangga juga tidak akan bertahan lama. c. Seks oral dan ‘french kiss’ dapat menularkan HIV Fakta: Hubungan seks anal dan vaginal memang menjadi salah satu faktor risiko utama penularan HIV. Meski demikian, seks oral dan ciuman mulut terbuka (french kiss), juga memiliki potensi penularan, walau jarang terjadi. Selama melakukan seks oral, menempatkan mulut pada penis, vagina, atau anus dapat berpotensi terkena cairan yang terinfeksi dan bisa masuk ke selaput lendir mulut yang terluka, termasuk sariawan. Cara penularan lain yang jarang adalah ciuman dalam dan terbuka. Organisasi HIV/AIDS asal Inggris, AVERT, mengatakan ciuman mulut tertutup bukan ancaman besar. Tetapi, ciuman dengan mulut terbuka bisa menjadi faktor risiko jika ada darah yang terlibat, seperti luka gigit, gusi berdarah, atau sariawan di mulut. Lebih lanjut, Centers for Disease Control and Prevention US (CDC) menilai cairan tubuh lainnya, termasuk air liur, hanya memiliki sangat sedikit residu antibodi HIV sehingga risiko infeksi tergolong sangat rendah. Penting untuk dicatat bahwa HIV tidak ditularkan melalui air liur, tetapi melalui darah di mulut seseorang. d. ODHA tidak akan menyebarkan virus selama berobat secara teratur Fakta: apabila diminum secara rutin, obat retroviral dapat membantu mengendalikan gejala penyakit seseorang, tetapi tetap saja berisiko menularkan virus HIV pada orang lain apabila tidak berhati-hati. Pasalnya, obat hanya akan menekan kadar jumlah viral load HIV dalam darah sehingga terlihat normal pada tiap uji tes darah. Penelitian menunjukkan bahwa bagaimanapun juga darah yang hanya sedikit mengandung virus HIV tetap berisiko menularkan penyakit. e. Pasangan yang keduanya positif HIV tidak perlu mempraktikkan seks yang aman Fakta: seks dengan menggunakan kondom tetap berlaku pada pasangan sesama ODHA, karena dua orang yang positif HIV bisa memiliki genetik virus yang berbeda. Apabila keduanya terlibat dalam seks tanpa kondom, 18 masing-masing virus dapat menginfeksi satu sama lain dan berevolusi untuk menyerang tubuh dengan dua tipe virus yang berbeda. Hal ini akan semakin memperparah penyakit masing-masing pihak dan mungkin akan membutuhkan perubahan terapi dan dosis obatnya. f. HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan Fakta: sampai saat ini memang belum ada obat penawar HIV AIDS. Pengobatan antiretroviral (ARV) yang tersedia hanya bisa membantu menekan perkembangan penyakitnya, mencegah risiko penularan, dan mengurangi risiko kematian akibat komplikasi HIV/AIDS secara drastis. Obat HIV dapat membantu penderita HIV untuk hidup lebih sehat dan normal. Namun untuk bisa mencapai semua target ini, obat retroviral harus tetap diminum rutin seumur hidup. g. Berenang bersama ODHA bisa tertular HIV Fakta : virus HIV tidak bisa bertahan hidup dan berkembang di dalam air, udara, kotoran atau tinja, hingga air seni, sebab virus HIV tidak dapat bertahan lama di luar tubuh manusia. Terlebih lagi air kolam renang mengandung kaporit, sehingga akan mempercepat matinya virus HIV. h. Virus HIV dapat ditularkan melalui pisau cukur Fakta: penggunaan pisau cukur secara bergantian antar keluarga dan di tempat potong rambut tidak akan menularkan HIV/AIDS, sebab virus tersebut mudah mati di udara bebas. Hanya saja, penggunaan pisau cukur bergantian tidak disarankan, bukan karena penyebaran HIV/AIDS, melainkan karena masalah higienitas. i. Virus HIV ditularkan melalui makanan kaleng yang terinjeksi darah yang telah terkontaminasi virus Fakta : virus HIV mudah mati di luar tubuh manusia. Selain itu, makanan kaleng juga melewati proses sterilisasi sehingga virus HIV akan dengan mudah mati. j. Virus HIV ditularkan oleh tukang periksa gula darah keliling 19 Fakta: jarum yang digunakan untuk pemeriksaan glukosa darah tidak memiliki lubang penyimpan darah, sehingga virus HIV yang berada di udara bebas akan mati dalam kurun waktu kurang dari semenit. 20 BAB III A. SIMPULAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun. Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering membingungkan. Penatalaksaan pada bayi HIV diantaranya diberikan obatobatan antiretroviral (ARV), Memberikan asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi) dan Imunisasi. Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV merupakan masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution Syndrome (IRIS). Ada beberapa trend dan issue keperawatan terkait HIV/AIDS, antara lain peer group, one day care, dan issue-issue tentang penularan HIV/AIDS B. SARAN Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus bayi dalam terapi ARV merupakan masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution Syndrome (IRIS). Banyak issue atau mitos terkait penularan HIV/AIDS yang beredar di masyarakat. Penting bagi pembaca untuk mengetahui fakta-fakta penularan virus HIV/AIDS agar tidak melahirkan stigma yang negatif terhadap ODHA. 21 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5. Jakarta: Depkes RI, p441-448. Setiawan, I Made. 2009. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol : 59, No : 10. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/690/ 690. [Diakses pada 29 Juni 2020] WHO. Progress Report on HIV. 2017. https://www.who.int/hiv/pub/progressreports/en/ [Diakses pada 29 Juni 2020] UNAIDS. Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013. Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS; 2013. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2 &ved=2ahUKEwiWz8aWmqPjAhVC6XMBHbvDB7IQFjABegQIARAC &url=https%3A%2F%2Fwww.unaids.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles% 2Fmedia_asset%2F2017_databook_en.pdf&usg=AOvVaw3sVtM9UBSqUDS8_UE5MSdy [Diakses pada 29 Juni 2020] WHO. Progress Report on HIV. 2016. https://www.who.int/hiv/pub/progressreports/en/ [Diakses pada 29 Juni 2020] Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan RI. Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia Triwulan IV Tahun 2016. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan RI; 2016. http://www.depkes.go.id/article/view/13010100020/unit-kerja-eselon-2- 22 ditjen-pengendalian-penyakit-dan-penyehatan-lingkungan.html [Diakses pada 29 Juni 2020] Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta : EGC Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Program Pencegahan Transmisi HIV dari Ibu ke Anak. 2010. http://p2p.kemkes.go.id/ [Diakses pada 29 Juni 2020] Behrman, dkk.2009. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC Betz, Cecily L. (2010). Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2. Jakarta : EGC Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak. Jakarta : Depkes RI. Komisi Penanggulangan AIDS, 2007. Gejala Orang-orang yang Terinfeksi HIV menjadi AIDS.Diperoleh dari http://AIDSina.org/modules.php?name=FAQ&MYFAQ=YES&idcat=1&c ategories=HIV-AIDS. [Diakses pada 29 Juni 2020] Rampengan & Laurentz. 2008. Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC Robbins, dkk. 2008. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC Syahlan, JH. 2007 . AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media Wartono, JH. 2000. AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga Pengembangan Informasi Indonesia Yatim, Danny Irawan, 2006. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia; 5 23 Zein, Umar, dkk., 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda Ketahui. Medan: USU press; 1-44. Depkes RI. 2017. Laporan Perkembangan HIV-AIDS & Infeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2017. Jakarta Nasronudin. 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologis Molekuler, Klinis & Sosial. Surabaya: Airlangga University Press Nursalam., Kurniawati & Ninuk Dian. 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. 24