Uploaded by indahkandelPS

12963 Perspektif , trend dan issue keperawatan hiv

advertisement
PERSPEKTIF, TREND DAN ISSUE
KEPERAWATAN HIV / AIDS
OLEH :
1. KOMANG PANDE DEWI AYUNI
(P07120216001)
2. PUTU INDAH PRAPTIKA SUCI
(P07120216002)
3. KADEK DWI DHARMA PRADNYANI
(P07120216003)
4. EKA WAHYU RIFANI MEILIA DEWI
(P07120216004)
5. NI KOMANG SRI ARDINA
(P07120216005)
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya lah, maka kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini
dengan tepat waktu, Berikut ini kelompok mempersembahkan sebuah makalah
dengan judul “Perspektif, Trend Dan Issue Keperawatan HIV/ AIDS”, yang
menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari
keperawatan HIV/AIDS.
Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami dengan materi
Keperawatan anak. Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari kuliah, browsing
internet, dan diskusi anggota. Kami sadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membagun dari semua pihak sangat kami
harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khusunya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan
pelajaran bagi teman-teman dan kami khususnya.
Denpasar, 28 Juni 2020
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...…3
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………......4
A. Latar Belakang …………………………………………………………...4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………..6
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………6
D. Manfaat Penulisan …………………………………………………….….6
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………...….7
A. Definisi HIV/AIDS…………………………………………………..……7
B. Cara penularan HIV/AIDS………………………………………………..8
C. Gejala HIV/AIDS………………………………………………………..10
D. Pencegahan HIV/ AIDS………………………………………………....11
E. Penanganan HIV/AIDS…………………………………………………..13
F. Trend Dan Issue Keperawatan HIV/AIDS ………………………………16
BAB III PENUTUP …………………………………………………...………....21
A. Simpulan ………………………………………………….…………......21
B. Saran ………………………………………………………….…………21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….……...……23
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan suatu jenis virus
yang menyerang sel darah putih sehingga menyebabkan kekebalan tubuh manusia
menurun. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan
beberapa penyakit yang muncul karena menurunnya kekebalan tubuh manusia
yang disebabkan dari infeksi HIV. Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan
dengan Antiretroviral atau ARV untuk menuruknkan jumlah virus HIV dalam
tubuh agar tidak masuk dalam stadium AIDS. Orang yang sudah terjangkit AIDS
membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik
atau berbagai macam penyakit infeksi yang dapat berakibat fatal dengan berbagai
macam komplikasinya (Departemen Kesehatan R.I, 2014). Infeksi HIV pada bayi
dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius karena
jumlah penderita yang banyak dan selalu meningkat sebagai akibat jumlah ibu
usia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. (Setiawan, 2009).
Pada akhir tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta orang di dunia hidup
dengan HIV, sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan menyebabkan 1
juta kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta orang
terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita
anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara
menduduki peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika,
yakni sebesar 3,5 juta orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita dan
anak perempuan (WHO, 2016).
Pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua
yang
diestimasikan sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di Asia
Tenggara setelah India (60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA (WHO,
2016). Tahun 2016, Indonesia mengalami kenaikan kejadian insiden HIV menjadi
4
41.250 orang yang sebelumnya sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen P2P
Kemenkes RI, 2016).
Hasil estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur >
15 tahun di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah
infeksi baru sebanyak 90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen
P2P Kemenkes RI, 2016). Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada lakilaki masih lebih besar dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki
sebesar 63,3% dan pada perempuan sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS
pada laki-laki sebesar 67,9% dan pada perempuan sebesar 31,5%. Proporsi
HIV/AIDS terbesar masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun) yang
dibagi dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%), 20-24 tahun (17,3%),
dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia
remaja (Kemenkes RI, 2017).
Sebagian besar HIV pada anak (90%) diperoleh melalui transmisi vertikal
yaitu penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother to child
transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada saat kehamilan ( 510%), proses persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI (5-20%).
(IDAI,2010). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila
pasangan ibu dan anak menjalani program pencegahan/prevention of mother to
child transmission (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan penggunaan obat anti
retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan setelah kelahiran. (IDAI,2010)
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat
kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Penelitian di Amerika Serikat dan
Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 –
40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan
atau melalui ASI. (Wiknjosastro, 2006)
Faktor resiko terjadinya transmisi adalah jumlah virus, kadar CD4, adanya
infeksi lain (hepatitis, sitomegalovirus), ketuban pecah dini, kelahiran
5
spontan/melalui vagina, prematuritas, dan pemberian ASI atau mixed feeding
(pemberian ASI dan susu formula bersama-sama). (IDAI,2010)
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa definisi dari HIV/AIDS?
b. Bagaimana cara penularan HIV/AIDS?
c. Bagaimana gejala HIV/AIDS?
d. Bagaimana pencegahan HIV/ AIDS?
e. Bagaimana penanganan HIV/AIDS?
f. Apa saja trend dan isseu keperawatan HIV/AIDS?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari HIV/AIDS.
b. Untuk mengetahui dan memahami cara penularan HIV/AIDS.
c. Untuk mengetahui dan memahami gejala HIV/AIDS.
d. Untuk mengetahui dan memahami pencegahan HIV/AIDS .
e. Untuk mengetahui dan memahami penanganan HIV/ AIDS
f. Untuk mengetahui dan memahami trend dan isseu keperawatan
HIV/AIDS.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan
pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol. (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. (Zein, Umar,
dkk., 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke
dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
(Yatim, 2006).
7
B CARA PENULARAN HIV/AIDS
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung
antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan
tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan
preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim
(vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi,
antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk
kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
a) Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara
sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif
tanpa pelindung lebih beresiko daripada hubungan seksual insertif tanpa
pelindung, dan resiko hubungan seks anal lebih besar daripada resiko hubungan
seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak beresiko karena HIV dapat
masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan
dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan
transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan resiko penularan HIV karena
dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya
borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV
(limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis
dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat
sekitar empat kali lebih besar resiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat
kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut
juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular
seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang
menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari
pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan
penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan
antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti
bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan
laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena
perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang
lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV
masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
8
b) Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik,
penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan
menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang
terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya
merupakan resiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat
Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan
jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi
resiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan
lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat
juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara
maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi.
WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh
sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis
umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas
kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di
negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan
HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak
memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV
dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
c) Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama
masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila
tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan
persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses
terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat
penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi resiko
infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban
virus, semakin tinggi resikonya). Menyusui meningkatkan resiko penularan
sebesar 4%.
9
C GEJALA HIV/ AIDS
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat
infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum
didapati pada penderita AIDS.[7] HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga beresiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,
berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan,
merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu
yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya
infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Gejala penularan HIV/AIDS terjadi beberapa hari atau beberapa minggu
setelah terinfeksi HIV, gejala-gejala ini hanya berlangsung beberapa hari atau
beberapa minggu saja, lalu hilang dengan sendirinya. Seseorang mungkin akan
menjadi sakit dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu:
1)
Demam
2)
Rasa lemah dan lesu
3)
Sendi-sendi terasa nyeri
4)
Batuk
5)
Nyeri tenggorokan
Gejala selanjutnya adalah memasuki tahap dimana sudah mulai timbul
gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala penyakit lain, gejala-gejala diatas
ini memang tidak khas, karena dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain.
Namun gejala-gejala ini menunjukkan sudah adanya kerusakan pada system
kekebalan tubuh yaitu:
1)
Demam berkepanjangan
2)
Penurunan berat badan (lebih dari 10 % dalam waktu 3 hari)
3)
Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktifitas fisik sehari-hari
4)
Pembangkakan kelenjar di leher, lipat paha, dan ketiak
5)
Diare atau mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas
6)
Batuk da sesak nafas lebih dari 1 bulan secara terus menerus
7)
Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan
10
Gejala penurunan kekebalan tubuh ditandai dengan mudahnya diserang
penyakit lain, dan disebut infeksi oportunitis. Maksudnya adalah penyakit yang
disebabkan baik oleh virus lain, bakteri, jamur, atau parasite (yang bisa juga hidup
dalam tubuh kita), yang bila system kekebalan tubuh baik kuman ini dapat
dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini pengidap HIV telah berkembang menjadi
penderita AIDS. Pada umumnya penderita AIDS akan meninggal dunia sekitar 2
tahun setelah gejala AIDS ini uncul.
Gejala AIDS yang timbul adalah :
1)
Radang paru
2)
Radang saluran pencernaan
3)
Radang karena jamur di mulut dan kerongkongan
4)
Kanker kulit
5)
TBC
6)
Gangguan susunan saraf
D PENCEGAHAN HIV / AIDS
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui
hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang
terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran
(periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan
urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan
cairan-cairan tersebut, dengan demikian resiko infeksinya secara umum dapat
diabaikan.
a) Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung
antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah
modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria
atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi resiko penularan
HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih
besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom
laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan
dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk
mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya.
Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti
11
vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena
bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang.
Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan
dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari
poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan
dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan
memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk
dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang
membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita,
cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih
jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita.
Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita,
hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif
terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan
strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan
bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap
pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi
pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian
atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan
keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan
beresiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga
mengabaikan resiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian,
transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh
transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak
terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan resiko infeksi HIV
pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini
akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun
penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah
kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan
bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual beresiko sehingga mengurangi dampak dari usaha
pencegahan ini.
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan
menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan resiko terkena HIV melalui
hubungan seksual. Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:“ Anda jauhi
seks, Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom.
12
b) Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti
mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan,
dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba
untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola,
sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan
jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang
membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan
dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat
gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman.
Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian
perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
c) Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan
pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak
(mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat
diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman,
ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun
demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif
disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan
sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15
tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di
antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV,
2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
E. PENANGANAN TERHADAP HIV
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran
kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung
setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis
(PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak
waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare,
tidak enak badan, mual, dan lelah.
13
a) Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah
sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu
setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan
terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut
"koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan
antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue
reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV
lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka
rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk
orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan
HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus,
kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu
memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia
(banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak
menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam
tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali
setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur
hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan
HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang
hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya
penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian
(mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV
menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai
sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah
9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien
selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya
mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh
dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa
ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV
tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan
terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan
atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu
psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya
dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan
HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi
dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin.
Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam
14
penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin,
peningkatan resiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang
dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia
tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS
tersebut.
b) Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk
menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya
pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya
dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20
tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha
mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk
memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik
untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika
menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan
B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam beresiko
terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga
disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis
yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
c)
Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala
atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk
mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy)
seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi
HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa
tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada
perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral
kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa,
meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas)
akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.
Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa
manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban
tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium
15
dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan
antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif
memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini,
namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS.
Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya
adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.
F. TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN HIV/AIDS
1.
Peer Group
Remaja merupakan masa dimana fungsi reproduksinya mulai berkembang.
Hal ini akan berdampak pada perilaku seksualnya. Salah satu perilaku seksual
yang rentan akan memberikan dampak terjadinya HIV/AIDS yaitu seks bebas.
Saat ini sedang dikembangkan model ”peer group” sebagai salah satu cara dalam
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan remaja akan kesehatan reproduksinya
dengan harapan suatu kelompok remaja akan dapat mempengaruhi kelompok
remaja yang lain. Metode ini telah diterapkan pada lembaga pendidikan, baik oleh
Depkes maupun lembaga swadaya masyarakat. Adapun jumlah penderita HIV
pada kelompok remaja (15-19 tahun) hingga Desember 2017 adalah sebesar 1.729
orang, atau 4% dari penderita HIV (Depkes RI, 2017). Mengingat remaja adalah
penerus bangsa, maka hal ini akan sangat mengancam masa depan bangsa dan
negara ini. Diharapkan dengan metode peer group dapat menurunkan angka
kejadian, karena diyakini bahwa kelompok remaja ini lebih mudah saling
mempengaruhi.
2.
One Day Care
One day care merupakan sistem pelayanan kesehatan dimana pasien tidak
memerlukan perawatan lebih dari satu hari. Setelah menjalani operasi
pembedahan dan perawatan, pasien boleh pulang. Biasanya dilakukan pada kasus
minimal. Berdasarkan hasil analisis beberapa rumah sakit, di Indonesia
didapatkan bahwa metode one day care ini dapat mengurangi lama hari perawatan
sehingga tidak menimbulkan penumpukkan pasien pada rumah sakit tersebut dan
16
dapat mengurangi beban kerja perawat. Hal ini juga dapat berdampak pada pasien
dimana biaya perawatan dapat ditekan seminimal mungkin.
3.
Penularan HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang masih saja diselimuti berbagai macam
mitos dan kesalahpahaman. Pemahaman keliru mengenai penyakit ini telah mendorong
sejumlah perilaku yang justru menyebabkan makin banyak orang terjangkit virus HIV.
Mitos-mitos menyesatkan tentang HIV dan AIDS juga berkontribusi terhadap melekatnya
stigma negatif kepada setiap pengidapnya, sehingga mereka merasa enggan untuk
mendapatkan pengobatan. Berikut ini beberapa mitos-mitos atau issue-issue tentang
penyebaran HIV/AIDS yang banyak beredar di masyarakat :
a.
Seseorang bisa tertular HIV jika tinggal bersama atau bergaul dengan ODHA
Fakta: Beragam penelitian membuktikan bahwa HIV dan AIDS tidak bisa
ditularkan melalui interaksi biasa. Seseorang tidak akan tertular HIV setelah
melakukan kontak fisik biasa maupun tinggal serumah dengannya. Seseorang
hanya akan tertular virus HIV jika selaput lendirnya terkena cairan dari
seseorang yang sudah terinfeksi HIV, seperti darah, ASI, pra-seminal, dubur,
air mani dan vagina. Menempelnya keringat pengidap HIV pada orang sehat
tidak akan menularkan virus tersebut. Meskipun virus HIV terdapat pada
keringat penderita, namun jumlahnya yang sedikit tidak akan bisa
menginfeksi orang lain. Penularan juga bisa terjadi melalui kulit yang rusak
atau dengan menggunakan jarum yang terinfeksi. Oleh sebab itu, seseorang
tidak akan tertular jika berbagi alat makan dengan penderita HIV, berpelukan,
menggunakan alat olahraga yang sama, atau menggunakan toilet yang sama.
b.
Nyamuk menyebarkan HIV
Fakta: HIV memang ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah dan cairan
kelamin, namun sampai detik ini tidak ada bukti medis yang dapat
menunjukkan bahwa gigitan nyamuk bisa menjadi perantara penyebaran virus
HIV. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh National Cancer Institute
menunjukkan bahwa tidak terjadi kasus penularan HIV oleh nyamuk, bahkan
di daerah yang banyak nyamuknya sekalipun. Saat nyamuk berpindah lokasi
gigitan, mereka tidak akan mengalirkan darah milik orang sebelumnya
17
kepada ‘mangsa’ selanjutnya. Selain itu, umur virus HIV dalam serangga juga
tidak akan bertahan lama.
c.
Seks oral dan ‘french kiss’ dapat menularkan HIV
Fakta: Hubungan seks anal dan vaginal memang menjadi salah satu faktor
risiko utama penularan HIV. Meski demikian, seks oral dan ciuman mulut
terbuka (french kiss), juga memiliki potensi penularan, walau jarang terjadi.
Selama melakukan seks oral, menempatkan mulut pada penis, vagina, atau
anus dapat berpotensi terkena cairan yang terinfeksi dan bisa masuk ke
selaput lendir mulut yang terluka, termasuk sariawan. Cara penularan lain
yang jarang adalah ciuman dalam dan terbuka. Organisasi HIV/AIDS asal
Inggris, AVERT, mengatakan ciuman mulut tertutup bukan ancaman besar.
Tetapi, ciuman dengan mulut terbuka bisa menjadi faktor risiko jika ada
darah yang terlibat, seperti luka gigit, gusi berdarah, atau sariawan di mulut.
Lebih lanjut, Centers for Disease Control and Prevention US (CDC) menilai
cairan tubuh lainnya, termasuk air liur, hanya memiliki sangat sedikit residu
antibodi HIV sehingga risiko infeksi tergolong sangat rendah. Penting untuk
dicatat bahwa HIV tidak ditularkan melalui air liur, tetapi melalui darah di
mulut seseorang.
d.
ODHA tidak akan menyebarkan virus selama berobat secara teratur
Fakta: apabila diminum secara rutin, obat retroviral dapat membantu
mengendalikan gejala penyakit seseorang, tetapi tetap saja berisiko
menularkan virus HIV pada orang lain apabila tidak berhati-hati. Pasalnya,
obat hanya akan menekan kadar jumlah viral load HIV dalam darah sehingga
terlihat normal pada tiap uji tes darah. Penelitian menunjukkan bahwa
bagaimanapun juga darah yang hanya sedikit mengandung virus HIV tetap
berisiko menularkan penyakit.
e.
Pasangan yang keduanya positif HIV tidak perlu mempraktikkan seks yang
aman
Fakta: seks dengan menggunakan kondom tetap berlaku pada pasangan
sesama ODHA, karena dua orang yang positif HIV bisa memiliki genetik
virus yang berbeda. Apabila keduanya terlibat dalam seks tanpa kondom,
18
masing-masing virus dapat menginfeksi satu sama lain dan berevolusi untuk
menyerang tubuh dengan dua tipe virus yang berbeda. Hal ini akan semakin
memperparah
penyakit
masing-masing
pihak
dan
mungkin
akan
membutuhkan perubahan terapi dan dosis obatnya.
f.
HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan
Fakta: sampai saat ini memang belum ada obat penawar HIV AIDS.
Pengobatan antiretroviral (ARV) yang tersedia hanya bisa membantu
menekan perkembangan penyakitnya, mencegah risiko penularan, dan
mengurangi risiko kematian akibat komplikasi HIV/AIDS secara drastis.
Obat HIV dapat membantu penderita HIV untuk
hidup lebih sehat dan
normal. Namun untuk bisa mencapai semua target ini, obat retroviral harus
tetap diminum rutin seumur hidup.
g.
Berenang bersama ODHA bisa tertular HIV
Fakta : virus HIV tidak bisa bertahan hidup dan berkembang di dalam air,
udara, kotoran atau tinja, hingga air seni, sebab virus HIV tidak dapat
bertahan lama di luar tubuh manusia. Terlebih lagi air kolam renang
mengandung kaporit, sehingga akan mempercepat matinya virus HIV.
h.
Virus HIV dapat ditularkan melalui pisau cukur
Fakta: penggunaan pisau cukur secara bergantian antar keluarga dan di
tempat potong rambut tidak akan menularkan HIV/AIDS, sebab virus tersebut
mudah mati di udara bebas. Hanya saja, penggunaan pisau cukur bergantian
tidak disarankan, bukan karena penyebaran HIV/AIDS, melainkan karena
masalah higienitas.
i.
Virus HIV ditularkan melalui makanan kaleng yang terinjeksi darah yang
telah terkontaminasi virus
Fakta : virus HIV mudah mati di luar tubuh manusia. Selain itu, makanan
kaleng juga melewati proses sterilisasi sehingga virus HIV akan dengan
mudah mati.
j.
Virus HIV ditularkan oleh tukang periksa gula darah keliling
19
Fakta: jarum yang digunakan untuk pemeriksaan glukosa darah tidak
memiliki lubang penyimpan darah, sehingga virus HIV yang berada di udara
bebas akan mati dalam kurun waktu kurang dari semenit.
20
BAB III
A. SIMPULAN
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Bayi
yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit berat
atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral
memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari.
Kebanyakan anak dengan
infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun. Pendekatan
diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari pada orang
dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang
meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai
diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering
membingungkan. Penatalaksaan pada bayi HIV diantaranya diberikan obatobatan antiretroviral (ARV), Memberikan asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi) dan
Imunisasi. Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV
merupakan masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis
tetapi juga harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune
Reconstitution Syndrome (IRIS). Ada beberapa trend dan issue keperawatan
terkait HIV/AIDS, antara lain peer group, one day care, dan issue-issue tentang
penularan HIV/AIDS
B. SARAN
Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus bayi dalam terapi ARV merupakan
masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga
harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution
Syndrome (IRIS). Banyak issue atau mitos terkait penularan HIV/AIDS yang
beredar di masyarakat. Penting bagi pembaca untuk mengetahui fakta-fakta
penularan virus HIV/AIDS agar tidak melahirkan stigma yang negatif terhadap
ODHA.
21
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 5. Jakarta: Depkes RI, p441-448.
Setiawan, I Made. 2009. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu
Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan. Majalah Kedokteran Indonesia,
Vol
:
59,
No
:
10.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/690/
690. [Diakses pada 29 Juni 2020]
WHO.
Progress
Report
on
HIV.
2017.
https://www.who.int/hiv/pub/progressreports/en/ [Diakses pada 29 Juni
2020]
UNAIDS. Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013.
Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS; 2013.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2
&ved=2ahUKEwiWz8aWmqPjAhVC6XMBHbvDB7IQFjABegQIARAC
&url=https%3A%2F%2Fwww.unaids.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%
2Fmedia_asset%2F2017_databook_en.pdf&usg=AOvVaw3sVtM9UBSqUDS8_UE5MSdy
[Diakses
pada 29 Juni 2020]
WHO.
Progress
Report
on
HIV.
2016.
https://www.who.int/hiv/pub/progressreports/en/ [Diakses pada 29 Juni
2020]
Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan RI. Laporan Situasi Perkembangan HIV &
AIDS di Indonesia Triwulan IV Tahun 2016. Jakarta: Ditjen PP & PL
Kementrian
Kesehatan
RI;
2016.
http://www.depkes.go.id/article/view/13010100020/unit-kerja-eselon-2-
22
ditjen-pengendalian-penyakit-dan-penyehatan-lingkungan.html
[Diakses
pada 29 Juni 2020]
Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta : EGC
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Program Pencegahan Transmisi HIV dari
Ibu ke Anak. 2010. http://p2p.kemkes.go.id/ [Diakses pada 29 Juni 2020]
Behrman, dkk.2009. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC
Betz, Cecily L. (2010). Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2.
Jakarta : EGC
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak.
Jakarta : Depkes RI.
Komisi Penanggulangan AIDS, 2007. Gejala Orang-orang yang Terinfeksi HIV
menjadi
AIDS.Diperoleh
dari
http://AIDSina.org/modules.php?name=FAQ&MYFAQ=YES&idcat=1&c
ategories=HIV-AIDS. [Diakses pada 29 Juni 2020]
Rampengan & Laurentz. 2008. Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC
Robbins, dkk. 2008. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC
Syahlan, JH. 2007 . AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media
Wartono, JH. 2000. AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga
Pengembangan Informasi Indonesia
Yatim, Danny Irawan, 2006. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia; 5
23
Zein, Umar, dkk., 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda
Ketahui. Medan: USU press; 1-44.
Depkes RI. 2017. Laporan Perkembangan HIV-AIDS & Infeksi Menular Seksual
(IMS) Triwulan IV Tahun 2017. Jakarta
Nasronudin. 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologis Molekuler, Klinis & Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press
Nursalam., Kurniawati & Ninuk Dian. 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
24
Download