Uploaded by restyrahmatika66

TASAWUF KHALIFATULLAH FIL ARDH

advertisement
PERANAN PENDIDIKAN TASAWUF DALAM MEMBENTUK GENERASI MILENIAL
YANG KHOLIFATULLAH FIL ARDH
Resty Rahmatika1, Laila Rif’atin2, Siti Nur’aini3, Merliawati Prihantini4, Ahmad Syarifuddin5
Kata Kunci
Pendidikan Tasawuf
Generasi milenial
Kholifatullah fil Ardh
Konten:
A. Pendahuluan
Kemajuan teknologi yang semakin
pesat turut mewarnai segala aspek
kehidupan baik dalam bidang komunikasi
dan
informasi.
Hal
inilah
yang
mempermudah generasi milenial untuk
mendapatkan informasi dan berkomunikasi
melalui berbagai media, baik media cetak
maupun media elektronik. Sehingga,
jelaslah sangat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia termasuk moral baik
yang bersifat positif maupun yang negatif.
Dewasa ini banyak pesantren yang
mengharapkan adanya pembinaaan peserta
didik atau santri yang dilaksanakan secara
seimbang
antara
nilai-nilai
sikap,
pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan
serta meningkatkan kesadaran terhadap
lingkungan. Usaha melakukan pembinaan
seperti inilah yang ditawarkan oleh
pesantren sebagai lembaga tertua di
Indonesia, guna mewujudkan generasi
muda yang handal dan tangguh.
Pondok pesantren harus mampu
bertahan dan maju berkembang di tengahtengah arus globalisasi tentunya memiliki
esensi dasar yang tidak dapat terlepas dari
karakteristik pesantren, yaitu lembaga
pendidikan
Islam
yang
berusaha
menekankan akan pentinya pendidikan
karakter Islami sebagai panduan dan
pedoman hidup baik di pondok pesantren
maupun setelah terjun ke masyarakat.
Karakter yang dimaksud di sini
adalah tasawuf yang merupakan inti dari
ajaran Islam diamna bertasawuf merupakan
fitrah manusia (Asmaran, 2002). Disinilah
titik temu antara tasawuf dan pondok
pesantren. Sebab esensi pondok pesantren
terletak
pada
pembinaan
karakter
Abstrak
kepribadian yang islami, maka sudah
seyogyanya nilai-nilai tasawuf akan
menjadi penopang berdirnya pondok
pesantren atau tasawuf sebagai subkultur
pondok pesantren dalam membentuk santri
yang notabene sebagai generasi millennial
yang kholifatullah fil ardh melalui
pendidikan tasawuf.
1.
Peranan Pendidikan Tasawuf dalam
Membentuk Generasi Milenial
Peranan pendidikan tasawuf dalam
membentuk generasi millennial yang
kholifatullah fil ardh dapat dikaji melalui
penjelasan dari pengertian, karakteristik,
serta tujuan pendidikan tasawuf itu sendiri
yang mengarakan kepada pembentukan
generasi millennial yang khalifatullah fil
ardh.
a. Pendidikan Tasawuf
1) Pengertian Pendidikan Tasawuf
Pendidikan merupakan suatu proses
mempersiapkan
generasi
untuk
menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan
efisien (Sodiq, 2014: 150). Pendidikan
mempunyai
tujuan
mempersiapkan
manusia yang mampu berperan sebagai
khalifah di muka bumi dan sekaligus
sebagai ‘abid. Dalam kaitan tersebut,
seseorang yang telah menerima pendidikan,
pada gilirannya ia mempunyai kewajiban
mendidik anggota masyarakatnya, karena
sesungguhnya pendidikan itu adalah
mengambil (take) dan memberi (give).
Tasawuf merupakan ilmu yang
dengannya diketahui cara untuk mencapai
Allah SWT, membersihkan batin dari
semua akhlak tercela dan menghiasinya
dengan beragam akhlak terpuji. Awal dari
1
tasawuf adalah ilmu, tengahnya adalah
amal, dan akhirnya adalah karunia
(Ujaibah, 7). Pendidikan tasawuf tidak
terlepas dari pendidikan Islam. Qardhawi
(1980: 39) pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhmya, meliputi
akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya,
akhlak dan keterampilannya.
Langgulung
(1980:
94)
mengemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah proses penyiapan generasi muda
untuk mengisi peranan, memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk
beramal di dunia dan memetik hasilnya di
akhirat. Pendidikan tasawuf adalah upaya
secara sadar dan sistematis ke arah tujuan
yang diharapkan yaitu terbentuknya suatu
generasi yang berilmu dan berakhlak mulia
yang tidak hanya mulia perbuatan
lahiriyahnya yang bersandarkan kepada
syari’at Islam yakni Al-Qur’an dan AlHadits, tetapi juga sekaligus mulia pikiran
dan hatinya yang bersandar kepada Allah
SWT (tauhid) (Shodiq, 2014: 157).
2) Karakteristik Pendidikan Tasawuf
Ajaran tasawuf ditandai tiga hal:
Pertama, berusaha menjadikan iman
bersifat nalar (nazhri) dari perasaan jiwa
yang bergelora, mengubah iman aqli
menjadi iman qolb. Kedua, melatih dan
mengembangkan diri menuju tingkat
kesempurnaan. Dengan mengumpulkan
sifat-sifat mulia dan membersihkan diri dari
sifat-sifat tercela. Ketiga, memandang
dunia ini sebagian kecil dari kehidupan luas
yang merentang sampai hari kematian
(Rahmat, 1995: 99).
3) Tujuan Pendidikan Tasawuf
Tujuan pendidikan tasawuf dijabarkan
sebagai berikut:
a) Tazkiyat Al-Nafs (pensucian jiwa)
Pendidikan tasawuf merupakan
pembersihan jiwa atau perjalanan (al-sair)
menuju Allah SWT, atau perpindahan dari
jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih (alMuzakka), dari akal yang belum tunduk
kepada syari’at menuju akal yang sesuai
dengan syari’at, dari hati yang keras dan
berpenyakit menuju hati yang tenang dan
sehat, dari ruh yang menjauh dari pintu Allah
SWT, lalai dalam beribadah dan tidak
sungguh-sungguh melakukannya menuju ruh
yang mengenal (‘arif).
Allah SWT, senantiasa melaksanakan
hak-hak Allah SWT untuk beribadah kepadaNya, dari fisik yang tidak mentaati aturan
syari’at menuju fisik yang senantiasa
memegang (melaksanakan perintah) aturanaturan syari’at Allah SWT. Singkatnya, dari
yang kurang sempurna menuju yang lebih
sempurna dalam kebaikan dan mengikuti
Rasulullah SAW dalam hal perkataan,
tingkah laku, dan keadaannya (Al-Hawwa,
1992: 69).
Tujuan ini merupakan persyaratan
yang harus dipenuhi oleh seorang murid,
karena dengan kesucian jiwa dari berbagai
kotoran jiwa/hati, menjadikan seseorang
mudah mendekatkan diri kepada Allah
SWT, dan meraih kebahagiaan dan
keberuntungan, sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. Asy-Syams (91): 7-10:
‫ٍس َْ َنو‬
َ . ‫هووَو اَهََس َْسَ وَو‬
َ ‫ا َهَّوَو َنتَ اَ َه‬. ‫اَد‬
َ ‫ا اهَّوَو َن َمو‬
ٍَْ ‫اَ اهووَو َمن ََ َح‬. ‫َناَد‬
‫َوا‬
َ َ ‫اَااووَو َمن‬
Artinya:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu, dan Sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya”.
Dalam Al-Qur’an QS. Al-A’la (87): 14-15,
Allah SWT juga berfirman:
‫اَ اهز تَ َمن ََ َح ٍَْ اَد‬. ‫لصاز َوهَ َب َّا َْ َنر َ سَ َو‬
َ َ‫ا‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman). Dan
dia ingat nama Tuhannya, lalu dia
sembahyang”.
2.3.2 Taqarrub Ila Allah (Pendekatan Diri
Kepada Allah)
2
Pendidikan
spiritual
sufistik
mempunyai tujuan akhir dari pendidikan
dan latihannya untuk menemui (liqa’) dan
mempersatukan diri dengan Tuhannya
(Aceh, 1996: 42). Nasution (1995: 70)
dalam hal ini mengatakan bahwa tasawuf
adalah ilmu yang membahas masalah
pendekatan diri manusia kepada Tuhan
melalui penyucian rohnya. Mahmud (1995:
69) menambahkan bahwa jika seseorang
telah mendapatkan pendidikan spiritual
secara sempurna, maka rohnya akan
menjadi bening, jiwanya akan menjadi suci,
akal akan bercahaya, akhlak akan lurus, dan
fisiknya akan bersih. Hal itu terwujud
karena adanya relasi yang kuat antara
mereka dan Pencipta, mengharapkan
kemuliaan-Nya, bertawakkal kepada-Nya,
berbaik sangka kepada-Nya, serta yakin
akan pertolongan, hidayah, dan taufik-Nya.
Orang yang merasakan kedekatannya
dengan Allah SWT menurut Al-Habsy ()
adalah orang yang merasakan pengawasan
Allah
Yang
Maha
Melihat
dan
menyibukkan diri dengan-Nya. Pernyataan
Habib Ahmad itu berdasarkan Al-Qur‟an
surat Al-„Alaq (96): 14:
َ‫ا َسسَ او ََْ ي َََْسس‬
َ َ‫َوسَ ر ي ََّا اَّس‬
“Tidakkah ia tahu, bahwa sesungguhnya
Allah itu Melihat?”. Jadi ia mawas diri
terhadap pengawasan Allah padanya dan
selalu memeriksa keadaan dirinya. Allah
berfirman dalam surat Al-Ahzab (33) ayat
52:
َ‫َ َه ََّ َىصَز ََّاَّاسَ َن َهوو‬
َ ٍَ ‫َواَِقَو‬
“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala
sesuatu”.
2.3.3 Pembenukan Manusia yang Ikhlas
Sabiq (1982: 57) mendefinisikan
ikhlas yaitu berkata, beramal, dan berjihad
hanya semata-mata mencari ridha Allah
SWT, tanpa mempertimbangkan harta,
pangkat, status, popularitas, kamajuan atau
kemunduran, supaya ia dapat memperbaiki
kelemahan-kelemahan
amal
dan
kerendahan
akhlaqnya
serta
dapat
berhubungan langsung dengan Allah SWT.
Untuk mencapai tingkatan ikhlas ini,
menurut Al-Jilani (2008: 45) dengan
menggunakan akal dan bersabar dalam
berbuat yang dilandasi dengan Tauhid.
Sabar ini menurut Yunahar Ilyas (1999:
135) ada bermacam-macam, yaitu: (1)
sabar menerima cobaan hidup; (2) sabar
dari keinginan hawa nafsu; (3) sabar dalam
ketaatan kepada Allah SWT; (4) sabar
dalam berdakwah; (5) sabar dalam perang;
(6) sabar dalam pergaulan.
2.4 Konsep Pendidikan Tasawuf
Pendidikan
Tasawuf
menurut
Trimurti yang harus dijadikan sebagai jiwa
semua kehidupan:
2.4.1 Jiwa Keikhlasan maksudnya jiwa ini
bermakna sepi ing pamrih, yaitu melakukan
sesuatu bukan disebabkan oleh kemauan
atau keinginan agar dilihat orang agar
dipuji atau mendapatkan keuntungan
tertentu. Jadi apa yang dikerjakan dengan
niat semata-mata untuk ibadah.
Nilai keikhlasan tersebut sesuai
dengan firman Allah:
‫َ اا َََِعقَد َنََِّ ْ َ َم َِنَّ َن َمو‬
َ ‫لِنَ ا‬
َ ‫ََّدَدنَ َاب َ َمن َص‬
“Padahal mereka tidak di suruh kecuali
supanya menyembah Allah dengan
memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus (Al
Bayyinah: 5). Jiwa ini menciptakan suasana
kehidupan yang harmonis antara kiai yang
disegani dan santri yang patuh, taat, cinta,
dan penuh hormat. Konsep-konsep tentang
“jiwa keikhlasan” selalu dilaksanakan
dalam semua kegiatan yang ada di pondok
pesantren, baik kegiatan harian, mingguan,
maupun bulanan, sebagaimana contoh
pengurus organisasi pelajar dibantu oleh
pengurus kamar/asrama yang setiap pagi
bersiap diri untuk melaksanakan amanah
dan tanggung jawab membangunkan
jamaah sholat, dsb.
Hal tersebut dilakukan bukan hanya
“sekedar” melakukan kewajiban akan tetapi
sebuah amanah serta pengabdian yang
mesti dilakukan dan dijunjung tinggi tanpa
mengharap ganjaran apapun.
2.4.2 Jiwa Kesederhanaan
Sederhana bukan bermakna miskin
dan bukan pula bermakna tidak punya
harta. Sederhana itu sikap yang wajar
terhadap harta, sesuai kebutuhan dan tidak
berlebih-lebihan. Dalam jiwa kesederhanan
3
terdapat nilai-nilai kekuatan, ketabahan,
kesanggupan, dan penguasaan diri dalam
menghadapi permasalahan perjuangan
hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar
jiwa besar, berani maju, dalam menjalani
hidup tanpa pantang mundur dalam segala
situasi.
Kesederhanaan
ini
dapat
dicontohkan dari cara berpakaian santri
sama sekali tidak mencerminkan sebuah
kemewahan, tidak ada pakaian yang
seragam, bajunya yang polos namun tidak
mengesampingkan aspek keindahan dan
kebersihan. Jiwa Berdikari maksudnya
kemampuan dan kesanggupan untuk
menolong diri sendiri. Berdikari tidak
hanya bermakna bahwa santri sanggup
belajar dan berlatih mengurus segala
kepentingannya sendiri, sebagaimana
pondok pesantren juga harus sanggup
berdikari
sehingga
tidak
pernah
mengharapkan
dan
menyandarkan
kehidupannya kepada bantuan atau belas
kasih orang lain. Ini menunjukkan prinsip
kebersamaan; sama-sama memberikan
iuran dan sama-sama menggunakannya.
2.4.3 Jiwa Ukhuwwah Islamiah
Jiwa
Ukhuwwah
Islamiah
maksudnya kehidupan diliputi suasana
persatuan dan persaudaraan yang akrab.
Oleh sebab itu, apa yang dialami dengan
segala suka dan duka dirasakan bersama
dalam jalinan persatuan dan persaudaraan.
Tidak ada dinding pemisah di antara
mereka. Persaudaraan ini bukan saja selama
berada dalam pondok pesantren tetapi juga
harus mempengaruhi arah persaudaraan
dan persatuan umat yang luas.
2.4.4 Jiwa bebas
Jiwa bebas adalah bebas dalam
berpikir dan berbuat, bebas dalam
menemukan masa depan. Para santri harus
bebas menentukan jalan hidupnya di
masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan
optimis dalam menghadapi kesulitan
(Nizham, 2015: 239). Jiwa inilah yang
dibawa oleh santri sebagai bekal pokok
dalam kehidupannya di Masyarakat. Dan
jiwa Pondok Pesantren inilah yang harus
senantiasa dihidupkan, dipelihara dan
dikembangkan dengan sebaik-baiknya
(Zarkasi, 1996: 429).
2. Generasi Milenial
3.1 Pegertian Generasi Milenial
Generasi Y dikenal dengan sebutan
generasi
millenial
atau
milenium.
Ungkapan generasi Y mulai dipakai pada
editorial koran besar Amerika Serikat pada
Agustus 1993. Generasi ini banyak
menggunakan teknologi komunikasi instan
seperti email, SMS, instant messaging dan
media sosial seperti facebook dan twitter,
dengan kata lain generasi Y adalah generasi
yang tumbuh pada era internet booming
(Lyons, 2004).
3.2 Karakteristik Generasi Milenial
Lyons (2004) mengungkapkan ciriciri dari generasi Y yang tidak lain adalah
generasi milenial: karakteristik masingmasing individu berbeda, tergantung
dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan
sosial keluarganya, pola komunikasinya
sangat terbuka dibanding generasi-generasi
sebelumnya, pemakai media sosial yang
fanatik
dan
kehidupannya
sangat
terpengaruh
dengan
perkembangan
teknologi, lebih terbuka dengan pandangan
politik dan ekonomi, sehingga mereka
terlihat sangat reaktif terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi di sekelilingnya,
memiliki perhatian yang lebih terhadap
kekayaan.
Berdasarkan penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh Pew Research Center
juga merilis laporan riset dengan judul
Millennials: A Portrait of Generation Next
di tahun 2010 dan Boston Consulting
Group (BCG) bersama University of
Berkley tahun 2011 dengan mengambil
tema American Millennials: Deciphering
the
Enigma
Generation,
maka
Mucharomah (2017: 204) menyimpulkan
bahwa karakteristik generasi millenial
diuraikan sebagai berikut: Pertama,
Millennial lebih percaya User Generated
Content (UGC) daripada informasi searah.
Bisa dibilang millennial tidak percaya lagi
kepada distribusi informasi yang bersifat
satu arah. Mereka lebih percaya kepada
4
UGC atau konten dan informasi yang
dibuat oleh perorangan. Dalam hal pola
konsumsi,
banyak
dari
mereka
memutuskan oleh orang lain di Internet.
Kedua, Millennial lebih memilih
ponsel dibanding TV. Generasi ini lahir di
era perkembangan teknologi, Internet juga
berperan besar dalam keberlangsungan
hidup mereka. Generasi millennial lebih
suka mendapat informasi dari ponselnya,
dengan mencarinya ke Google atau
perbincangan pada forum-forum yang
mereka ikuti, supaya tetap up-todate.
Ketiga, Millennial wajib punya
media sosial. Banyak dari kalangan
millennial
melakukan
semua
komunikasinya melalui text messaging atau
juga chatting di dunia maya, dengan
membuat akun yang berisikan profil
dirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga
Line. Akun media sosial juga dapat
dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan
ekspresi, karena apa yang ditulis tentang
dirinya adalah apa yang akan semua orang
baca. Jadi, hampir semua generasi
millennial dipastikan memiliki akun media
sosial sebagai tempat berkomunikasi dan
berekspresi.
Keempat, Millennial kurang suka
membaca secara konvensional. Populasi
orang yang suka membaca buku turun
drastis pada generasi millennial. Bagi
generasi ini, tulisan dinilai memusingkan
dan membosankan. Generasi millennial
bisa dibilang lebih menyukai melihat
gambar, apalagi jika menarik dan berwarna.
Walaupun begitu, millennial yang hobi
membaca buku masih tetap ada. Namun,
mereka sudah tidak membeli buku di toko
buku lagi. Mereka lebih memilih membaca
buku online (e-book) sebagai salah satu
solusi yang mempermudah generasi ini,
untuk tidak perlu repot membawa buku.
Dewasa ini, sudah banyak penerbit yang
menyediakan format e-book untuk dijual,
agar pembaca dapat membaca dalam ponsel
pintarnya.
Kelima, Millennial lebih tahu
teknologi dibanding orangtua mereka. Kini
semua serba digital dan online, generasi ini
melihat dunia tidak secara langsung, namun
dengan cara yang berbeda, yaitu dengan
berselancar di dunia maya, sehingga
mereka jadi tahu segalanya.
Keenam, Millennial cenderung
tidak loyal namun bekerja efektif.
Diprediksikan pada tahun 2025 mendatang,
millennial akan menduduki porsi tenaga
kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen.
Dewasa ini, tidaklah sedikit posisi
pemimpin dan manajer yang telah diduduki
oleh millennial. Sebagaimana diungkap
oleh riset Sociolab, kebanyakan dari
millennial cenderung meminta gaji tinggi,
meminta jam kerja fleksibel, dan meminta
promosi dalam waktu setahun. Di sisi lain,
kebanyakan dari mereka juga tidak loyal
terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan,
namun lebih loyal terhadap merek.
Millennial biasanya hanya bertahan di
sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun.
Namun demikian, sebab kaum millennial
hidup di era informasi yang menjadikan
mereka tumbuh cerdas, tidak sedikit
perusahaan yang mengalami kenaikan
pendapatan
karena
memperkerjakan
generasi millennial.
Ketujuh, Millennial mulai banyak
melakukan transaksi secara cashless.
Semuanya semakin mudah dengan
kecanggihan teknologi yang semakin maju
ini, maka pada generasi millennial pun
mulai banyak ditemui perilaku transaksi
pembelian yang sudah tidak menggunakan
uang tunai lagi alias cashless. Generasi ini
lebih suka tidak repot membawa uang,
karena sekarang hampir semua pembelian
bisa dibayar menggunakan kartu, sehingga
lebih praktis, hanya perlu gesek atau
tapping.
3.3 Generasi Milenial yang Kholifatullah
fil Ardh
Generasi
Milenial
yang
Kholifatullah fil Ardh merupakan generasi Y
yang hidup di era digital dengan segala
sesuatu yang serba digital dan online yang
cenderung membawa kepada perilaku atau
moral negatif namun sebaliknya, melalui era
ini menjadikan kholifatullah fil ardhl.
kholifatullah fil ardhl merupakan manusia
5
sempurna dan berkepribadian muslim yang
menjadikan tujuan umum dari pendidikan
Islam.
Tujuan umum pendidikan Islam
adalah membentuk kholifatullah fil ardhl.
Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam
adalah mengusahakan terbentuknya pribadi
kholifatullah fil ardhl melalui berbagai
aktifitas
pendidikan
yang
bisa
mengembangkan bagian dari aspek-aspek
pribadi manusia. Tujuan khusus diusahakan
dalam rangka untuk mencapai tujuan akhir.
Ketiga tujuan tersebut merupakan rangkaian
proses yang tidak bisa dipisahkan.
3. Wujud Pendidikan Tasawuf dalam
Membentuk Generasi Milenial yang
Kholifatul fil Ardh
Tasawuf
merupakan
pola
pembelajaran moral atau akhlak yang mulai
tentunya tidak terlepas dari pengaruh
modernisasi.
Pendidikan tasawuf merupakan
bagian pokok dari pendidikan Islam,
karena pendidikan Tasawuf di bangun di
atas kaidah-kaidah yang kuat dan dasardasar yang kokoh yang berperan sebagai
penguat dan pengokoh relasi antara seorang
muslim dengan Tuhannya, yakni Allah
SWT.
Pendidikan
tasawuf
dapat
membentuk akhlak yang mulia suatu akhlak
yang berangkat dari pantulan jiwa yang suci
atau bersih dari kemusyrikan, dari kotorankotoran jiwa/hati.
Implementasi pendidikan tasawuf
dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah
mengarah kepada pendidikan akhlak, yang
lebih mengedepankan sikap kesahajaan dan
ibadah yang banyak untuk mencapai
kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan
Allah, yang harus dilalui dari tahap
penyucian diri (tazkiyat al-nafs) dan
merasakan kehadiran Allah dalam
kehidupan sehari-hari (ihsan). Menurut alGhazali, setiap orang dapat menempuh
cara-cara ke arah itu dengan melalui
penyucian hati, konsentrasi dalam
berdzikir, dan fana` fi Allah atau
mukashafah (Simuh, 1997: 32).
Fungsi pendidikan tasawuf dalam
membentuk generasi millennial yang
kholifatullah fil ardh adalah menjadikan
siswa berkepribadian yang shalih dan
berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya
berkualitas. Hasil pendidikan berupa output
yang diharuskan untuk dapat menjadi
manusia yang jujur, istiqamah dan
tawadhu’. Semua itu bila dilihat pada diri
Rasulullah yang pada dasarnya sudah
menjelma dalam kehidupan sehari-harinya.
Sebagaimana
masa
remaja
Nabi
Muhammad Saw. dikenal sebagai manusia
yang memiliki gelar al-amin, sidiq,
fathonah, tabligh, sabar, tawakkal, zuhud,
dan termasuk berbuat baik terhadap musuh
dan lawan yang tidak berbahaya atau yang
bisa diajak kembali pada jalan kebaikan.
Daftar Pustaka
Asmaran. (2002). Pengantar Studi Taswuf.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Qardhawi, Yusuf. (1980). Pendidikan
Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna
:terj. Bustani A. Gani & Zainal Abidin.
Jakarta: Bulan Bintang.
Langgulung, Hasan. (1980) Beberapa
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.
Bandung: Al-Ma’arif.
Ujaibah, A.I. (1992). Mi’raj Al-Tashawwuf
Ila Haqaiq Al-Tashawwuf. Kairo:
Maktabah Al-Wahbah.
Aceh, Abu Bakar. (1996). Pengantar Ilmu
Tarekat:Kajian Historis Tentang
Mistik Cet. XII. Solo: Ramadhani, ,
1996.
Nasution, Harun. (1995). Tasawuf,
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Mahmud, Ali ‘Abd Al-Halim. (1995). AlTarbiyat Al-Ruhiyat. Al-Qahirah: Dar
Al-Tauzi’ wa Al-Nasyr Al-Islamiyah.
Sabiq, Sayyid. (1982). Islamuna. Beirut:
Dar Al-Fikr.
Al-Jailani, S.A.Q. (2008). Rahasia Menjadi
Kekasih Allah: Bimbingan Spiritual
Pembangun
Iman
dan
Jiwa.
Jogjakarta: DIVA Press.
6
Lyons, S. (2004). An exploration of
generational values in life and at work.
ProQuest Dissertations and Theses,
441-441.
Retrieved
from
http://ezproxy.um.edu.my/docview/30
5203456?accountid=28930
Rahmat, Jalaludin. (1995). Islam Alternatif.
Bandung: Mizan.
Simuh.
(1997).
Tasawuf
dan
Perkembangannya dalam Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sodiq, A. (2014). Konsep Pendidikan
Tasawuf (Kajian Tentang Tujuan dan
Strategi
dalam
Pendidikan),
Ijtimaiyya, 7(1): 149-171.
7
Download