PERANAN PENDIDIKAN TASAWUF DALAM MEMBENTUK GENERASI MILENIAL YANG KHOLIFATULLAH FIL ARDH Resty Rahmatika1, Laila Rif’atin2, Siti Nur’aini3, Merliawati Prihantini4, Ahmad Syarifuddin5 Kata Kunci Pendidikan Tasawuf Generasi milenial Kholifatullah fil Ardh Konten: A. Pendahuluan Kemajuan teknologi yang semakin pesat turut mewarnai segala aspek kehidupan baik dalam bidang komunikasi dan informasi. Hal inilah yang mempermudah generasi milenial untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Sehingga, jelaslah sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia termasuk moral baik yang bersifat positif maupun yang negatif. Dewasa ini banyak pesantren yang mengharapkan adanya pembinaaan peserta didik atau santri yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai-nilai sikap, pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan serta meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan. Usaha melakukan pembinaan seperti inilah yang ditawarkan oleh pesantren sebagai lembaga tertua di Indonesia, guna mewujudkan generasi muda yang handal dan tangguh. Pondok pesantren harus mampu bertahan dan maju berkembang di tengahtengah arus globalisasi tentunya memiliki esensi dasar yang tidak dapat terlepas dari karakteristik pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam yang berusaha menekankan akan pentinya pendidikan karakter Islami sebagai panduan dan pedoman hidup baik di pondok pesantren maupun setelah terjun ke masyarakat. Karakter yang dimaksud di sini adalah tasawuf yang merupakan inti dari ajaran Islam diamna bertasawuf merupakan fitrah manusia (Asmaran, 2002). Disinilah titik temu antara tasawuf dan pondok pesantren. Sebab esensi pondok pesantren terletak pada pembinaan karakter Abstrak kepribadian yang islami, maka sudah seyogyanya nilai-nilai tasawuf akan menjadi penopang berdirnya pondok pesantren atau tasawuf sebagai subkultur pondok pesantren dalam membentuk santri yang notabene sebagai generasi millennial yang kholifatullah fil ardh melalui pendidikan tasawuf. 1. Peranan Pendidikan Tasawuf dalam Membentuk Generasi Milenial Peranan pendidikan tasawuf dalam membentuk generasi millennial yang kholifatullah fil ardh dapat dikaji melalui penjelasan dari pengertian, karakteristik, serta tujuan pendidikan tasawuf itu sendiri yang mengarakan kepada pembentukan generasi millennial yang khalifatullah fil ardh. a. Pendidikan Tasawuf 1) Pengertian Pendidikan Tasawuf Pendidikan merupakan suatu proses mempersiapkan generasi untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Sodiq, 2014: 150). Pendidikan mempunyai tujuan mempersiapkan manusia yang mampu berperan sebagai khalifah di muka bumi dan sekaligus sebagai ‘abid. Dalam kaitan tersebut, seseorang yang telah menerima pendidikan, pada gilirannya ia mempunyai kewajiban mendidik anggota masyarakatnya, karena sesungguhnya pendidikan itu adalah mengambil (take) dan memberi (give). Tasawuf merupakan ilmu yang dengannya diketahui cara untuk mencapai Allah SWT, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji. Awal dari 1 tasawuf adalah ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya adalah karunia (Ujaibah, 7). Pendidikan tasawuf tidak terlepas dari pendidikan Islam. Qardhawi (1980: 39) pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhmya, meliputi akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Langgulung (1980: 94) mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Pendidikan tasawuf adalah upaya secara sadar dan sistematis ke arah tujuan yang diharapkan yaitu terbentuknya suatu generasi yang berilmu dan berakhlak mulia yang tidak hanya mulia perbuatan lahiriyahnya yang bersandarkan kepada syari’at Islam yakni Al-Qur’an dan AlHadits, tetapi juga sekaligus mulia pikiran dan hatinya yang bersandar kepada Allah SWT (tauhid) (Shodiq, 2014: 157). 2) Karakteristik Pendidikan Tasawuf Ajaran tasawuf ditandai tiga hal: Pertama, berusaha menjadikan iman bersifat nalar (nazhri) dari perasaan jiwa yang bergelora, mengubah iman aqli menjadi iman qolb. Kedua, melatih dan mengembangkan diri menuju tingkat kesempurnaan. Dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Ketiga, memandang dunia ini sebagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari kematian (Rahmat, 1995: 99). 3) Tujuan Pendidikan Tasawuf Tujuan pendidikan tasawuf dijabarkan sebagai berikut: a) Tazkiyat Al-Nafs (pensucian jiwa) Pendidikan tasawuf merupakan pembersihan jiwa atau perjalanan (al-sair) menuju Allah SWT, atau perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih (alMuzakka), dari akal yang belum tunduk kepada syari’at menuju akal yang sesuai dengan syari’at, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat, dari ruh yang menjauh dari pintu Allah SWT, lalai dalam beribadah dan tidak sungguh-sungguh melakukannya menuju ruh yang mengenal (‘arif). Allah SWT, senantiasa melaksanakan hak-hak Allah SWT untuk beribadah kepadaNya, dari fisik yang tidak mentaati aturan syari’at menuju fisik yang senantiasa memegang (melaksanakan perintah) aturanaturan syari’at Allah SWT. Singkatnya, dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah SAW dalam hal perkataan, tingkah laku, dan keadaannya (Al-Hawwa, 1992: 69). Tujuan ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang murid, karena dengan kesucian jiwa dari berbagai kotoran jiwa/hati, menjadikan seseorang mudah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan meraih kebahagiaan dan keberuntungan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syams (91): 7-10: ٍس َْ َنو َ . هووَو اَهََس َْسَ وَو َ ا َهَّوَو َنتَ اَ َه. اَد َ ا اهَّوَو َن َمو ٍَْ اَ اهووَو َمن ََ َح. َناَد َوا َ َ اَااووَو َمن Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. Dalam Al-Qur’an QS. Al-A’la (87): 14-15, Allah SWT juga berfirman: اَ اهز تَ َمن ََ َح ٍَْ اَد. لصاز َوهَ َب َّا َْ َنر َ سَ َو َ َا “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang”. 2.3.2 Taqarrub Ila Allah (Pendekatan Diri Kepada Allah) 2 Pendidikan spiritual sufistik mempunyai tujuan akhir dari pendidikan dan latihannya untuk menemui (liqa’) dan mempersatukan diri dengan Tuhannya (Aceh, 1996: 42). Nasution (1995: 70) dalam hal ini mengatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya. Mahmud (1995: 69) menambahkan bahwa jika seseorang telah mendapatkan pendidikan spiritual secara sempurna, maka rohnya akan menjadi bening, jiwanya akan menjadi suci, akal akan bercahaya, akhlak akan lurus, dan fisiknya akan bersih. Hal itu terwujud karena adanya relasi yang kuat antara mereka dan Pencipta, mengharapkan kemuliaan-Nya, bertawakkal kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta yakin akan pertolongan, hidayah, dan taufik-Nya. Orang yang merasakan kedekatannya dengan Allah SWT menurut Al-Habsy () adalah orang yang merasakan pengawasan Allah Yang Maha Melihat dan menyibukkan diri dengan-Nya. Pernyataan Habib Ahmad itu berdasarkan Al-Qur‟an surat Al-„Alaq (96): 14: َا َسسَ او ََْ ي َََْسس َ ََوسَ ر ي ََّا اَّس “Tidakkah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Melihat?”. Jadi ia mawas diri terhadap pengawasan Allah padanya dan selalu memeriksa keadaan dirinya. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 52: ََ َه ََّ َىصَز ََّاَّاسَ َن َهوو َ ٍَ َواَِقَو “Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. 2.3.3 Pembenukan Manusia yang Ikhlas Sabiq (1982: 57) mendefinisikan ikhlas yaitu berkata, beramal, dan berjihad hanya semata-mata mencari ridha Allah SWT, tanpa mempertimbangkan harta, pangkat, status, popularitas, kamajuan atau kemunduran, supaya ia dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan amal dan kerendahan akhlaqnya serta dapat berhubungan langsung dengan Allah SWT. Untuk mencapai tingkatan ikhlas ini, menurut Al-Jilani (2008: 45) dengan menggunakan akal dan bersabar dalam berbuat yang dilandasi dengan Tauhid. Sabar ini menurut Yunahar Ilyas (1999: 135) ada bermacam-macam, yaitu: (1) sabar menerima cobaan hidup; (2) sabar dari keinginan hawa nafsu; (3) sabar dalam ketaatan kepada Allah SWT; (4) sabar dalam berdakwah; (5) sabar dalam perang; (6) sabar dalam pergaulan. 2.4 Konsep Pendidikan Tasawuf Pendidikan Tasawuf menurut Trimurti yang harus dijadikan sebagai jiwa semua kehidupan: 2.4.1 Jiwa Keikhlasan maksudnya jiwa ini bermakna sepi ing pamrih, yaitu melakukan sesuatu bukan disebabkan oleh kemauan atau keinginan agar dilihat orang agar dipuji atau mendapatkan keuntungan tertentu. Jadi apa yang dikerjakan dengan niat semata-mata untuk ibadah. Nilai keikhlasan tersebut sesuai dengan firman Allah: َ اا َََِعقَد َنََِّ ْ َ َم َِنَّ َن َمو َ لِنَ ا َ ََّدَدنَ َاب َ َمن َص “Padahal mereka tidak di suruh kecuali supanya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus (Al Bayyinah: 5). Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan yang harmonis antara kiai yang disegani dan santri yang patuh, taat, cinta, dan penuh hormat. Konsep-konsep tentang “jiwa keikhlasan” selalu dilaksanakan dalam semua kegiatan yang ada di pondok pesantren, baik kegiatan harian, mingguan, maupun bulanan, sebagaimana contoh pengurus organisasi pelajar dibantu oleh pengurus kamar/asrama yang setiap pagi bersiap diri untuk melaksanakan amanah dan tanggung jawab membangunkan jamaah sholat, dsb. Hal tersebut dilakukan bukan hanya “sekedar” melakukan kewajiban akan tetapi sebuah amanah serta pengabdian yang mesti dilakukan dan dijunjung tinggi tanpa mengharap ganjaran apapun. 2.4.2 Jiwa Kesederhanaan Sederhana bukan bermakna miskin dan bukan pula bermakna tidak punya harta. Sederhana itu sikap yang wajar terhadap harta, sesuai kebutuhan dan tidak berlebih-lebihan. Dalam jiwa kesederhanan 3 terdapat nilai-nilai kekuatan, ketabahan, kesanggupan, dan penguasaan diri dalam menghadapi permasalahan perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju, dalam menjalani hidup tanpa pantang mundur dalam segala situasi. Kesederhanaan ini dapat dicontohkan dari cara berpakaian santri sama sekali tidak mencerminkan sebuah kemewahan, tidak ada pakaian yang seragam, bajunya yang polos namun tidak mengesampingkan aspek keindahan dan kebersihan. Jiwa Berdikari maksudnya kemampuan dan kesanggupan untuk menolong diri sendiri. Berdikari tidak hanya bermakna bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, sebagaimana pondok pesantren juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah mengharapkan dan menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasih orang lain. Ini menunjukkan prinsip kebersamaan; sama-sama memberikan iuran dan sama-sama menggunakannya. 2.4.3 Jiwa Ukhuwwah Islamiah Jiwa Ukhuwwah Islamiah maksudnya kehidupan diliputi suasana persatuan dan persaudaraan yang akrab. Oleh sebab itu, apa yang dialami dengan segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan persatuan dan persaudaraan. Tidak ada dinding pemisah di antara mereka. Persaudaraan ini bukan saja selama berada dalam pondok pesantren tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan umat yang luas. 2.4.4 Jiwa bebas Jiwa bebas adalah bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menemukan masa depan. Para santri harus bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan (Nizham, 2015: 239). Jiwa inilah yang dibawa oleh santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya di Masyarakat. Dan jiwa Pondok Pesantren inilah yang harus senantiasa dihidupkan, dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya (Zarkasi, 1996: 429). 2. Generasi Milenial 3.1 Pegertian Generasi Milenial Generasi Y dikenal dengan sebutan generasi millenial atau milenium. Ungkapan generasi Y mulai dipakai pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter, dengan kata lain generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming (Lyons, 2004). 3.2 Karakteristik Generasi Milenial Lyons (2004) mengungkapkan ciriciri dari generasi Y yang tidak lain adalah generasi milenial: karakteristik masingmasing individu berbeda, tergantung dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya, pola komunikasinya sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya, memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next di tahun 2010 dan Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation, maka Mucharomah (2017: 204) menyimpulkan bahwa karakteristik generasi millenial diuraikan sebagai berikut: Pertama, Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah. Bisa dibilang millennial tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada 4 UGC atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan oleh orang lain di Internet. Kedua, Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV. Generasi ini lahir di era perkembangan teknologi, Internet juga berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka. Generasi millennial lebih suka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up-todate. Ketiga, Millennial wajib punya media sosial. Banyak dari kalangan millennial melakukan semua komunikasinya melalui text messaging atau juga chatting di dunia maya, dengan membuat akun yang berisikan profil dirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line. Akun media sosial juga dapat dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi, karena apa yang ditulis tentang dirinya adalah apa yang akan semua orang baca. Jadi, hampir semua generasi millennial dipastikan memiliki akun media sosial sebagai tempat berkomunikasi dan berekspresi. Keempat, Millennial kurang suka membaca secara konvensional. Populasi orang yang suka membaca buku turun drastis pada generasi millennial. Bagi generasi ini, tulisan dinilai memusingkan dan membosankan. Generasi millennial bisa dibilang lebih menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Walaupun begitu, millennial yang hobi membaca buku masih tetap ada. Namun, mereka sudah tidak membeli buku di toko buku lagi. Mereka lebih memilih membaca buku online (e-book) sebagai salah satu solusi yang mempermudah generasi ini, untuk tidak perlu repot membawa buku. Dewasa ini, sudah banyak penerbit yang menyediakan format e-book untuk dijual, agar pembaca dapat membaca dalam ponsel pintarnya. Kelima, Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka. Kini semua serba digital dan online, generasi ini melihat dunia tidak secara langsung, namun dengan cara yang berbeda, yaitu dengan berselancar di dunia maya, sehingga mereka jadi tahu segalanya. Keenam, Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif. Diprediksikan pada tahun 2025 mendatang, millennial akan menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen. Dewasa ini, tidaklah sedikit posisi pemimpin dan manajer yang telah diduduki oleh millennial. Sebagaimana diungkap oleh riset Sociolab, kebanyakan dari millennial cenderung meminta gaji tinggi, meminta jam kerja fleksibel, dan meminta promosi dalam waktu setahun. Di sisi lain, kebanyakan dari mereka juga tidak loyal terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan, namun lebih loyal terhadap merek. Millennial biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun. Namun demikian, sebab kaum millennial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, tidak sedikit perusahaan yang mengalami kenaikan pendapatan karena memperkerjakan generasi millennial. Ketujuh, Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless. Semuanya semakin mudah dengan kecanggihan teknologi yang semakin maju ini, maka pada generasi millennial pun mulai banyak ditemui perilaku transaksi pembelian yang sudah tidak menggunakan uang tunai lagi alias cashless. Generasi ini lebih suka tidak repot membawa uang, karena sekarang hampir semua pembelian bisa dibayar menggunakan kartu, sehingga lebih praktis, hanya perlu gesek atau tapping. 3.3 Generasi Milenial yang Kholifatullah fil Ardh Generasi Milenial yang Kholifatullah fil Ardh merupakan generasi Y yang hidup di era digital dengan segala sesuatu yang serba digital dan online yang cenderung membawa kepada perilaku atau moral negatif namun sebaliknya, melalui era ini menjadikan kholifatullah fil ardhl. kholifatullah fil ardhl merupakan manusia 5 sempurna dan berkepribadian muslim yang menjadikan tujuan umum dari pendidikan Islam. Tujuan umum pendidikan Islam adalah membentuk kholifatullah fil ardhl. Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam adalah mengusahakan terbentuknya pribadi kholifatullah fil ardhl melalui berbagai aktifitas pendidikan yang bisa mengembangkan bagian dari aspek-aspek pribadi manusia. Tujuan khusus diusahakan dalam rangka untuk mencapai tujuan akhir. Ketiga tujuan tersebut merupakan rangkaian proses yang tidak bisa dipisahkan. 3. Wujud Pendidikan Tasawuf dalam Membentuk Generasi Milenial yang Kholifatul fil Ardh Tasawuf merupakan pola pembelajaran moral atau akhlak yang mulai tentunya tidak terlepas dari pengaruh modernisasi. Pendidikan tasawuf merupakan bagian pokok dari pendidikan Islam, karena pendidikan Tasawuf di bangun di atas kaidah-kaidah yang kuat dan dasardasar yang kokoh yang berperan sebagai penguat dan pengokoh relasi antara seorang muslim dengan Tuhannya, yakni Allah SWT. Pendidikan tasawuf dapat membentuk akhlak yang mulia suatu akhlak yang berangkat dari pantulan jiwa yang suci atau bersih dari kemusyrikan, dari kotorankotoran jiwa/hati. Implementasi pendidikan tasawuf dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah mengarah kepada pendidikan akhlak, yang lebih mengedepankan sikap kesahajaan dan ibadah yang banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Allah, yang harus dilalui dari tahap penyucian diri (tazkiyat al-nafs) dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari (ihsan). Menurut alGhazali, setiap orang dapat menempuh cara-cara ke arah itu dengan melalui penyucian hati, konsentrasi dalam berdzikir, dan fana` fi Allah atau mukashafah (Simuh, 1997: 32). Fungsi pendidikan tasawuf dalam membentuk generasi millennial yang kholifatullah fil ardh adalah menjadikan siswa berkepribadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Hasil pendidikan berupa output yang diharuskan untuk dapat menjadi manusia yang jujur, istiqamah dan tawadhu’. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana masa remaja Nabi Muhammad Saw. dikenal sebagai manusia yang memiliki gelar al-amin, sidiq, fathonah, tabligh, sabar, tawakkal, zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tidak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan kebaikan. Daftar Pustaka Asmaran. (2002). Pengantar Studi Taswuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Al-Qardhawi, Yusuf. (1980). Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna :terj. Bustani A. Gani & Zainal Abidin. Jakarta: Bulan Bintang. Langgulung, Hasan. (1980) Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif. Ujaibah, A.I. (1992). Mi’raj Al-Tashawwuf Ila Haqaiq Al-Tashawwuf. Kairo: Maktabah Al-Wahbah. Aceh, Abu Bakar. (1996). Pengantar Ilmu Tarekat:Kajian Historis Tentang Mistik Cet. XII. Solo: Ramadhani, , 1996. Nasution, Harun. (1995). Tasawuf, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina. Mahmud, Ali ‘Abd Al-Halim. (1995). AlTarbiyat Al-Ruhiyat. Al-Qahirah: Dar Al-Tauzi’ wa Al-Nasyr Al-Islamiyah. Sabiq, Sayyid. (1982). Islamuna. Beirut: Dar Al-Fikr. Al-Jailani, S.A.Q. (2008). Rahasia Menjadi Kekasih Allah: Bimbingan Spiritual Pembangun Iman dan Jiwa. Jogjakarta: DIVA Press. 6 Lyons, S. (2004). An exploration of generational values in life and at work. ProQuest Dissertations and Theses, 441-441. Retrieved from http://ezproxy.um.edu.my/docview/30 5203456?accountid=28930 Rahmat, Jalaludin. (1995). Islam Alternatif. Bandung: Mizan. Simuh. (1997). Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sodiq, A. (2014). Konsep Pendidikan Tasawuf (Kajian Tentang Tujuan dan Strategi dalam Pendidikan), Ijtimaiyya, 7(1): 149-171. 7