NAMA : NOVIDA ROYANI SEMESTER : SATU ( 1 ) TUGAS : TELAAH JURNAL EKOLOGI PERAIRAN STUDI KELAYAKAN LAHAN BUDIDAYA RUMPU LAUT DAN ANALISIS RUMPUT LAUT BERDASARKAN MUSIM DAN JARAK LOKASI SERTA FISIOLOGI NUTRISI RUMPUT LAUT : APLIKASI KONSEP AKUAKULTUR DAN BIOREMEDIASI A. Judul Studi kelayakan lahan budidaya rumput laut dan analisis Rumput laut berdasarkan musim dan jarak lokasi serta Fisiologi nutrisi rumput laut : aplikasi konsep Akuakultur Dan bioremediasi Judulnya baik karena judul berupa pernyataan B. Nama Penulis Judul 1 1. Abdul Qadir jailani 2. Endang Yuli Herawati 3. Bambang Sumedi Judul 2 1. Andi asni Judul 3 1. Michael Y. Roleda 2. Catriona L. Hurd C. Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lokasi baru pengembangan kegiatan budidaya rumput laut secara berkelanjutan yang terbebas dari kegiatan masyarakat dengan melihat faktor ekologis dan daya dukung perairan. Rumput laut merupakan salah satu komoditas ekspor dan utama program Revitalisasi perikanan berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan Masyarakat . Parameter lingkungan dan produksi diamati berdasarkan musim dan jarak lokasi Budidaya. Karbon anorganik, nitrogen dan fosfor adalah elemen utama yang dibutuhkan Oleh rumput laut untuk fotosintesis dan pertumbuhan Ulasan ini berfokus Terutama pada nitrogen,tetapi peran karbon dan fosfor,yang secara interaktif Dapat mempengaruhi proses fisiologis rumput laut. D. Objek penelitian Kecamatan Bluto Sumenep madura Jawa Timur Di Perairan Kabupaten Bantaeng The Marine Science Institute, E. Pendahaluan Perikanan dan akuakultur menyediakan pangan yang besar dan pendapatan bagi negaranegara yang mempunyai pesisir dan merupakan sumber kehidupan dari 3 milyar orang (Amosu dan Alberto, 2012). Rumput laut merupakan tanaman yang mengagumkan dilaut dan merupakan tanaman yang sangat berguna. Rumput laut tumbuh di perairan dangkal (Mohammed, 2013). Rumput laut juga dapat dimanfaatkan sebagai penyerap nutrien yang berlebihan dari buangan tambak perikanan (Yousef, 2012) Kabupaten sumenep merupakan daerah penghasil rumput laut terbesar di Jawa Timur. Wilayah pantai yang landai, ekosistem terumbu karang dan perairan laut yang relatif tenang memacu perkembangan usaha budidaya rumput laut, dan dengan luas areal budidaya 5.795 ha dapat menghasilkan 3.224,70 ton rumput laut per tahun (Anonim, 2008). Salah satu daerah sentra penghasil rumput laut di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Bantaeng. Di sepanjang pesisir terdapat potensi rumput laut yang cukup besar, dimana perkembangan produksi rumput laut lima tahun terakhir semakin meningkat tahun 2010 produksi 6.897 ton kering, sedangkan pada tahun 2015 meningkat menjadi 10.677 ton kering dengan potensi lahan 5.395 Ha (Dinas Perikanan dan Kelautan Bantaeng, 2014). Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng dilihat dari pemanfaatan lahan budidaya berkembang pesat dan produksinya masih perlu ditingkatkan. Kondisi tersebut mengakibatkan kegiatan budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Bantaeng menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan hampir setiap jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai Kabupaten Bantaeng telah ditanami rumput laut yang diduga tanpa memperhitungkan daya dukung lahan. Hal ini terutama pada perairan dekat pantai dan yang jauh dari pantai belum banyak dimanfaatkan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan terutama pada daerah yang dekat pantai dan akan berdampak pada produksi dan kualitas rumput laut. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan penataan lokasi dengan cara pengaturan proporsi pemanfaatan lahan berdasarkan musim dan jarak dari garis pantai. Karbon anorganik, cahaya dan nutrisi dibutuhkan untuk rumput laut fotosintesis dan pertumbuhan, dan secara interaktif mengatur laju produksi rumput laut. Nitrogen adalah unsur yang paling sering diamati membatasi pertumbuhan, meskipun dalam beberapa kasus fosfor mungkin membatasi. Apalagi karena karbon anorganik (Ci) di Indonesia air laut terjadi terutama sebagai bikarbonat (HCO3-), ketidakmampuan dari beberapa spesies menggunakan HCO3 sebagai sumber Ci dapat menyebabkan karbon Keterbatasan, terutama di antara spesies kolam pasang surut. Ini Ulasan akan fokus pada nutrisi nitrogen rumput laut dan juga akan pertimbangkan fosfor dan fisiologi karbon yang dapat berinteraksi secara interaktif mempengaruhi penyerapan nitrogen dan asimilasi, dan akibatnya, Fotosintesis dan pertumbuhan rumput laut. Ulasan ini adalah tidak dimaksudkan untuk menjadi komprehensif tetapi untuk membangun di atas sebelumnya ulasan dari Harrison & Hurd (2001) andHurd et al. (2014, bab 6). Di sini, kami menguraikan konsep dasar nutrisi alami sumber ke rumput laut, mekanisme yang digunakan rumput laut dan mengasimilasi nutrisi, dan kegunaan 'kurva kinetik' di memahami mekanisme dan tingkat penyerapan nutrisi. Lanjut, kita membahas bagaimana penyerapan dan pertumbuhan nutrisi diatur oleh faktor abiotik dan biotik menggunakan klasik dan kontemporer contoh literatur; konteksnya adalah pertumbuhan rumput laut bisa ditingkatkan dengan menyediakan faktor lingkungan yang optimal seperti cahaya, gerakan air, dan pasokan nutrisi. Kami kemudian menjelaskan caranya Konsepnya mungkin diterapkan pada polikultur rumput laut dan terintegrasi akuakultur multitrofik (IMTA). F. PEMBAHASAN Pengukuran kualitas perairan diperoleh bahwa lokasi budidaya di perairan Bluto masih bagus pada beberapa titik koordinat, akan tetapi ada juga titik nilai yang menunjukkan skor kurang bagus. Hal ini diduga pada beberapa lokasi di perairan Bluto mempunyai tingkat pencemaran yang tinggi, sebagai contoh pada koordinat (113,8121, -7,1330 dan 113,8095, -7,1351). Hasil pengukuran parameter kualitas air yang dilakukan pada 15 titik pada pukul 11.00-13.00 WIB di perairan Bluto. Pengambilan data primer yaitu pengukuran langsung parameter lingkungan dilapangan, sedangkan untuk mengetahui data produksi dan kualitas rumput laut dengan cara eksprimen. Satu bentangan dipasang bibit rumput laut diikat per rumpun dan digantung pada tali bentangan dengan jarak per rumpun masing-masing 10 cm. Bobot awal rumput laut pada setiap bentangan tali masing-masing 5 kg dalam jumlah rumpun. Pada penelitian ini metode pemeliharaan rumput laut yang digunakan adalah long line (floating method). Bibit rumput laut diikat pada tali yang panjang selanjutnya dibentangkan di perairan. G. PERMASALAHAN Dampak budidaya terhadap lingkungan dan produksi perikanan budidaya telah menjadi isu penting dalam beberapa tahun terakhir (Phillips,1990). Aktivitas masyarakat pesisir berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya, oleh sebab itu perlu diketahui aktivitas yang ada di lokasi yang dapat mengganggu kegiatan budidaya. Wawancara meliputi kegiatan perikanan dan pengolahan yang ada di lokasi serta konflik kepentingan. Selanjutnya dibuat peta lokasi yang sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut.. Nitrat mempengaruhi produksi rumput laut karena nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae karena merupakan faktor pembatas. Pertumbuhan rumput laut meningkat dengan meningkatnya kadar nitrat di perairan (Hayashi., et. al., 2010). Unsur nitrat pada perairan diperlukan rumput laut untuk pertumbuhan, produksi dan untuk pembentukan cadangan makanan berupa kandungan senyawa organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan unsur-unsur lainnya. Gerakan air adalah pendorong utama penyerapan dan nutrisi produktivitas rumput laut karena mengatur skala yang lebih besar pasokan nutrisi dan DIC melalui adveksi ke rumput laut permukaan dan ketebalan batas kecepatan dan difusi lapisan (DBL) yang terbentuk di permukaan rumput laut (Hurd 2017). Nutrisi bergerak melintasi DBL melalui difusi molekuler; Oleh karena itu, dalam aliran lambat, di mana lapisan batas lebih tebal bentuk, pasokan nutrisi dapat dikurangi dibandingkan dengan aliran cepat, disebut 'pembatasan transfer massa' pertumbuhan (Hurd2000). Banyak penelitian laboratorium menggambarkan bagaimana NO3- dan NH4+ tingkat penyerapan meningkat dengan kecepatan air laut, hingga maksimum rate tercapai (lihat review oleh Hurd 2017). Gelombang simulasi tindakan juga dapat menyebabkan peningkatan tingkat pertumbuhan (Barr et al. 2008). Kecepatan di mana tingkat penyerapan jenuh akan bergantung pada persyaratan spesies untuk nutrisi dan juga pada rumput laut morfologi dan bentuk pertumbuhan. Rumput laut tumbuh di tempat tidur padat membuat 'lapisan batas kanopi', tambahan lapisan di mana nutrisi harus melakukan perjalanan untuk mencapai permukaan rumput laut (Hurd 2017). H. HASIL PENELITIAN 1) Studi kelayakan Lahan Budidaya Rumput laut Kecamatan Bluto Sumenep Madura jawa Timur Nilai BOD di lokasi berkisar antara 1,1 – 6,3 mg/L, pada beberapa lokasi nilai BOD ditenggarai melebihi batas optimal 1-2 mg/L (Agustiningsih,2012). Perbedaan nilai ini dikarenakan perairan Bluto rentan akan masukan limbah baik dari rumah tangga, pabrik, dan pertanian. Lokasi budidaya rumput laut di harapkan jauh dari sumber pencemar karena akan membuat rumput laut menjadi kerdil, rumput laut akan dilapisi cairan yang berkilau seperti pelangi pada bagian thallus sehingga daya serap unsur hara terganggu. Ortofosfat berkisar 0,1-0,58 mg/L. Nilai ini terbilang terlalu tinggi untuk suatu perairan. Sama halnya seperti nitrat keberadaan ortofosfat bersifat pembatas bagi pertumbuhan rumput laut, terkait dengan tingkat kesuburan perairan. Perairan Bluto terbilang subur dikarenakan terdapat banyak masukan bahan organik dari darat, pertanian, limbah RT dan pabrik juga peternakan. Hasil pengukuran salinitas di lokasi berkisar antara 30-35 ppt dan nilai tersebut masih dalam batas normal. Nilai salinitas 30-35 ‰ dapat meningkatkan jumlah sel, pertumbuhan, dan rendemen karaginan rumput laut (Arisandi, 2011). Hasil pengukuran kualitas air diperoleh kisaran suhu di lokasi 29-33 °C yang tergantung musim. Saat musim kemarau nilai suhu dapat mencapai 34°C. Nilai suhu tersebut masih dalam batas normal yang bisa ditoleransi oleh rumput laut. Teknik budidaya yang tepat menjadi faktor pembatas dalam peningkatan produksi, umumnya di Bluto menggunakan rakit apung yang sebagian thallus rumput laut muncul ke permukaan sehingga terpapar langsung oleh sinar matahari yang mengakibatkan thallus menjadi pucat dikarenakan ketinggian nilai suhu permukaan laut. Selanjutnya rumput laut yang pucat akan mudah putus hanyut terbawa arus. 2) Analisis Rumput laut Berdasarkan musim dan jarak lokasi Budidaya di Perairan kabupaten bantaeng Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa musim dan jarak dari garis pantai berpengaruh nyata terhadap produksi (P<0,05). Hasil uji lanjut BNT terhadap jarak dari garis pantai, musim berpengaruh terhadap produksi dimana pada musim hujan produksi lebih tinggi dari pada musim kemarau. Hal ini disebabkan karena pada musim hujan terjadi perbedaan kualitas perairan terutama ketersediaan unsur hara yang berasal dari aliran air hujan dan daratan diperairan lebih tinggi, sehingga penyerapan nutrien oleh rumput laut juga tinggi (Herlinah, 2009). Hal ini sesuai hasil penelitian Latief (2012) di perairan Pulau Saugi mendapatkan pertumbuhan jenis Kappaphycus alvarezii pada musim hujan lebih baik dari pada musim kemarau. Analisis regresi linier berganda antara produksi (Y) dengan parameter lingkungan yaitu suhu, salinitas, nitrat, fosfat, pH, kecepatan arus, kecerahan (X). Hasil analisis pada musim hujan menunjukkan bahwa produksi rumput laut signifikan (P<0,05) dengan kecerahan yaitu R = 0,539 (R2 = 0,291). Hubungan produksi dengan parameter lingkungan mengikuti persamaan linier : Y = 0,687 + 0,254 Kecerahan. Makna dari korelasi linier positif yang signifikan ini adalah bahwa dengan meningkatnya kecerahan pada musim hujan maka produksi rumput laut akan meningkat pula. Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) 0,291 menunjukkan bahwa keragaman produksi rumput laut (29,1%) dapat dijelaskan oleh keragaman kecerahan. Oleh karena itu dapat dikatakan sebesar 29,1% pengaruhnya terhadap produksi rumput laut jika dibandingkan dengan parameter lain. Sedangkan hasil analisis regresi pada musim kemarau menunjukkan bahwa produksi rumput laut signifikan (P<0,05) dengan salinitas, nitrat dan kecerahan yaitu R = 0,837 (R2 = 0,684). Hubungan produksi dengan parameter lingkungan mengikuti persamaan linier : Y = -14,068 + 0,401 Salinitas + 4,53 Nitrat + 0,236 Kecerahan. Makna dari korelasi linier positif yang signifikan ini adalah bahwa salinitas, nitrat dan kecerahan berhubungan dengan peningkatan produksi rumput laut. Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) 0,684 menunjukkan bahwa keragaman produksi rumput laut (68,4%) dapat dijelaskan oleh keragaman salinitas, nitrat dan kecerahan. Oleh karena itu dapat dikatakan sebesar 68,4% pengaruh salinitas, nitrat dan kecerahan terhadap produksi rumput laut pada musim kemarau jika dibandingkan dengan parameter lain. 3) Seawed Nutrient Physiologi : Application Of Concepts to aquaculture and Bioremediation konsentrasi DIC dalam air laut dapat mempengaruhi rumput laut serapan nitrogen. Misalnya, dalam Hizikia fusiformis[= Sargassum fusiforme (Harvey) Setchell], NO3Serapan itu lebih tinggi dalam budaya yang diperkaya CO2 daripada CO2 ambien (Zou2005). Apalagi konsentrasi CO2 yang lebih tinggi juga ditingkatkan aktivitas nitrat reduktase (NR) selama periode cahaya. Lebih besar aktivitas NR maksimum, afinitas lebih tinggi untuk NO3-, dan yang lebih tinggi Rasio Vmax / Km diamati pada thalli yang tumbuh dengan CO2 tinggi dalam thalli tumbuh CO2, menunjukkan enzim yang efisien aktivitas di bawah CO2 tinggi (Zou 2005). Dalam M. pyrifera, tingkat penyerapan keduanya NO3- dan NH4+ adalah lebih tinggi di bawah konsentrasi CO2 yang lebih tinggi ketika air laut diperkaya dengan NH4+ dibandingkan dengan NO3(Fernández et al.2017a). Selain itu, terlepas dari status N awal rumput laut, NOMOR 3- tingkat penyerapan dan aktivitas NR meningkat di bawah CO2 yang lebih tinggi tetapi tidak ada peningkatan laju fotosintesis dan pertumbuhan (Fernández et al. 2017b). Ini menunjukkan bahwa lebih tinggi[H +] / pengurangan pH di bawah konsentrasi CO2 yang lebih tinggi berperan dalam mengatur metabolisme N. Demikian pula, peningkatan aktivitas NR juga diamati di Ulva rigida C.Agardh ketika ditanam di bawah kombinasi CO2 tinggi dan NO3- konsentrasi; namun, ketika ditanam di bawah NO3 rendah-, Aktivitas NR berkurang terlepas konsentrasi CO2 (Gordillo et al. 2001). Ini menunjukkan bahwa efek CO2 pada metabolisme N dari U. rigida kemungkinan besar terkait dengan sintesis de novo NR daripada dengan perubahan dalam metabolisme C. Bersama dengan CO2 yang lebih tinggi, cahaya optimal dan suhu juga dapat memainkan peran penting dalam menerjemahkan lebih tinggi. I. KESIMPULAN Kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep dapat menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat pesisir dengan memanfaatkan luas perairan yang berpotensi, akan tetapi harus memperhitungkan aspek lingkungan dan sosial masyarakat seperti konflik kepentingan dan pemanfaatan wilayah dengan perikanan tangkap. Hasil penelitian ini merekomendasikan tentang perlunya campur tangan pemerintah dalam penyelesaian konflik dalam pemanfaatan lahan untuk perikanan tangkap dan budidaya dengan mengatur zona-zona pemanfaatan dan sosialisasi dalam pelestarian lingkungan pesisir. 1. Produksi rumput laut lebih tinggi pada musim hujan dibanding musim kemarau. 2. Musim dan Jarak dari garis pantai berpengaruh (P<0,05) terhadap produksi Rumput laut 3. Parameter lingkungan yang memberikan konstribusi signifikan terhadap produksi rumput laut pada musim hujan adalah kecerahan sedangkan pada musim kemarau adalah nitrat, salinitas dan kecerahan. Di antara berbagai masalah lingkungan terkait dengan intensif budidaya ikan, seperti efek pelarian ikan budidaya populasi liar, pencucian logam berat dari keramba ikan, dan efek penggunaan antibiotik yang tidak diatur, eutrofikasi pesisir merupakan perhatian utama. Dekomposisi pakan ikan yang berlebihan dan ekskresi hewan dapat meningkatkan nutrisi terlarut, terutama nitrogen, ke dalam kolom air, yang bisa berbahaya mekar alga dan kerusakan lingkungan pesisir (mis.Buschmann et al. 2008a; Chopin et al. 2001; Domingues et al.2015). IMTA adalah metode pertanian yang bertujuan untuk mengurangi dampak eutrofikasi yang terkait dengan budidaya ikan dan meningkatkan keberlanjutan akuakultur dengan mendorong ekologis efisiensi, penerimaan lingkungan, keanekaragaman produk, profitabilitas dan manfaat sosial (Kleitou et al. 2018). Referensi IMTA untuk pertanian terpadu beberapa organisme dari berbagai tingkat trofik, di mana satu spesies melengkapi spesies lainnya. Untuk misalnya, dalam sistem IMTA di mana rumput laut dibudidayakan di dekat dengan ikan, rumput laut berfungsi sebagai biofilter, berasimilasi kelebihan nutrisi dari peternakan ikan dan mengubahnya menjadi biomassa yang berharga (Gbr.1; Fernández et al. 2019). IMTA dapat didirikan di peternakan ikan darat. J. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin Kupang-Nusa Tenggara Timur, Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong. Anonim, 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta. Anonim, 2008. Pengembangan Sentra Budidaya dan Agribisnis Rumput Laut. Dinas Kelautan dan Perikanan. Sumenep. Anonim, 2012. The State of World Fisheries and Aquaculture. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Agustiningsih, D., 2012. Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Tesis Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang. Amarulah, 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kota Baru untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Amosu dan Alberto, O. 2012. South African Seaweed Aquaculture: A Sustainable Development Example for Other African Coastal Countries. African Journal of Agricultural, 8(43):5268-5279.Arisandi. 2011. Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Morfologi, Ukuran dan Jumlah Sel, Pertumbuhan serta Rendemen Karaginan Kappaphycus alvarezii. Jurnal Ilmu Kelautan,16(3):143150. Ariati, R.W., Sya’rani, L dan Arini, E. 2007.Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal PasirLaut, 3(1):27-45.Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Edisis Revisi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.Burtin, P. 2003. Nutritional Value of Seaweed. Journal of Agricultural Food Chemistry,2(4):1-6. Dahuri, R., 1998. The Application of Carryng Capacity Concept For Sustainable Costal Resources Development in Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Indonesia, 1(1):22-31 Fachrudin, S.A., 2011. Potential Resources Study At Coastal Area Of Sumenep Regency. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 3(2):18-28. Gazali, I. 2013. Evaluasi Dampak Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas Terhadap Kualitas Air Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, 1(2):1-8 Harahap, N dan Kaunang, T.D., 2011. Analisis Parameter Oseanografi di Lokasi Pengembangan Eucheuma spinosum Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara. Indonesian Journal of Marine Sciences, 16(4):193-198. Harrison P. J., dan Hurd C. L. (2001) Nutrient Physiology of Seaweeds: Application of Concepts to Aquaculture. Cahiers de Biologie Marine. 42:71–82. Kamlasi, Y. 2008. Kajian Ekologis dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Mohammed, G. 2013. Seaweed Farming. Calicut Research Centre of CMFRI, Calicut. Phillips, M. 1990.Environmental Aspects of Seaweed Culture. In Regional Workshop on the Culture and Utilization of Seaweeds. Vol. II, NACA, Bangkok. Radiarta, I., Wardoyo, S. E., Priyono, B., dan Praseno, O. 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(1):67–71. Setiyanto, D., Efendi, I. dan Antara, K. J. 2008. Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii var Maumare, var Sacol dan Eucheuma cottonii diPerairan Musi Buleleng. Jurnal Ilmu Kelautan, 13(3):171-176.Sulistyowati, H., 2003. Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) di Pantai Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Jurnal Ilmu Dasar, 4(1): 58-61. Yousef, S.A., Alejandro, AA., Buschmann H., dan Kevin, M., 2012. Fitzsimmons Experiments on an Integrated Aquaculture System (Seaweeds and Marine Fish) on the Red Sea Coast of Saudi Arabia: Efficiency Comparison of Two Local Seaweed Species for Nutrient Biofiltration and Production. Aquaculture, 4:21–31. Zoer’aini. 1992. Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Abreu M.H., Pereira R., Buschmann A.H., Sousa-Pinto I. & Yarish C.2011a. Nitrogen uptake responses of Gracilaria vermiculophylla (Ohmi) Papenfuss under combined and single addition of nitrate and ammonium. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 407: 190–199. DOI: 10.1016/j.jembe.2011.06.034. Abreu M.H., Pereira R., Yarish C., Buschmann A.H. & Sousa-Pinto I. 2011b. IMTA with Gracilaria vermiculophylla: productivity and nutrient removal performance of the seaweed in a land-based pilot scale system. Aquaculture 312: 77–87. DOI: 10.1016/j. aquaculture.2010.12.036. Ale M.T., Mikkelsen J.D. & Meyer A.S. 2011. Differential growth response of Ulva lactuca to ammonium and nitrate assimilation. Journal of Applied Phycology 23: 345–351. DOI: 10.1007/s10811-010- 9546-2. Barr N.G., Kloeppel A., Rees T.A.V., Scherer C., Taylor R.B. & Wenzel A. 2008. Wave surge increases rates of growth and nutrient uptake in the green seaweed Ulva pertusa maintained at low bulk flow velocities. Aquatic Biology 3: 179–186. DOI: 10.3354/ab00079. Barr N.G., Tijsen R.J. & Rees T.A.V. 2004. Contrasting effects of methionine sulfoximine on uptake and assimilation of ammonium in Ulva intestinalis (Chlorophyceae). Journal of Phycology 40: 697–704. DOI: 10.1111/j.1529-8817.2004.04004.x.Bell E.C. 1993. Photosynthetic response to temperature and desiccation of the intertidal alga Mastocarpus papillatus. Marine Biology 117: 337–346. DOI: 10.1007/BF00345679. Bird K.T. 1988. Agar production and quality from Gracilaria sp. Strain G-16: effects of environmental factors. Botanica Marina 31: 33–39. DOI: 10.1515/botm.1988.31.1.33. Bird K.T., Hanisak M.D. & Ryther J. 1981. Chemical quality and production of agars extracted from Gracilaria tikvahiae grown in different nitrogen enrichment conditions. Botanica Marina 24: 441–444. DOI: 10.1515/botm.1981.24.8.441. Björk M., Axelsson L. & Beer S. 2004. Why is Ulva intestinalis the onlymacroalga inhabiting isolated rockpools along the Swedish Atlantic coast? Marine Ecology Progress Series 284: 109– 116. DOI: 10.3354/ meps284109.